bab i pendahuluan a. pengantar ke dalam...
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pengantar Ke Dalam Permasalahan
1. Diskursus Mengenai Kristologi
Gereja harus terus menerus menggumuli kesetiaannya kepada Yesus Kristus
selaku pokok pemahaman imannya. Penghayatan iman Kristen ini terus mengalami
perubahan sejalan dengan konteks kekristenan itu berada. Justru karena berada dalam
keadaan masyarakat yang berubah-ubah itulah Yesus Kristus dan kepercayaan iman
Kristen kepadaNya, oleh gereja tidak dapat tidak dikonseptualkan dan dibahasakan
dengan cara yang berbeda-beda, supaya Yesus Kristus dapat diwartakan sedemikian rupa
sehingga pewartaan itu benar-benar sampai kepada manusia yang berbeda-beda.1
Kristologi adalah suatu upaya untuk menjelaskan pokok iman Kristen mengenai Yesus
Kristus. Siapakah Yesus yang lahir dan hidup pada waktu dan tempat tertentu itu,
kemudian diimani sebagai Allah yang menyatakan diri kepada manusia, yang disebut
Anak Allah? Kristologi dengan demikian mestilah suatu ungkapan iman yang dapat
direfleksikan melalui iman dan nalar.2 Walau demikian bukan berarti dalam Kristologi,
manusia hanya mendasarkan pada akalnya mencoba memahami Allah dan menjelaskan
1 C. Groenen, Sejarah Dogma Kristologi: Perkembangan Pemikiran Tentang Yesus Kristus pada Umat Kristen, Kanisius, Jogjakarta, 1988, p. 13
2 Darwin Lumban Tobing, “Kristologi Non‐Apologetis:Kristologi Hermeneutis di dalam Konteks Postmodern”, dalam Yewangoe, A.A, Kontekstualisasi Pemikiran Dogmatika di Indonesia, Buku Penghormatan 70 Tahun Prof. Dr. Sularso Sopater, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2004, p.45
2
Yesus Kristus. Kristologi haruslah afektif dan kehidupan serta perbuatan Yesus menjadi
konkrit dan bermakna bagi manusia sekarang ini.3
Pada umumnya di dalam dunia teologi dikenal istilah Kristologi dari atas dan
Kristologi dari bawah. Kristologi dari atas menunjukkan suatu pemahaman atas
gambaran pribadi Yesus Kristus yang lebih menekankan ciri-ciri ilahi, seperti terumuskan
dalam gelar-gelar, Anak Allah, Mesias, Anak Tunggal. Istilah Kristologi dari bawah lebih
menunjukkan penghargaan atas ciri-ciri kemanusiaan Yesus Kristus dan perjuanganNya
dalam sejarah, dalam kehidupan masyarakatNya. Karya dan perjuangan Yesus yang
nampak selama hidupNya, tentu juga mempunyai nilai penyelamatan, sesuai dengan
harapan yang berlaku di sepanjang jaman. Hal ini nampak dalam sebutan-sebutan yang
dikenakan kepada Yesus sebagai Nabi, Hamba, Guru, yang dari diri sendiri tidak
mencerminkan makna ilahi. Namun kedua pemahaman Kristologi dari atas maupun
bawah ini bukan sesuatu yang perlu dipertentangkan, sebab keduanya berangkat dari
pemahaman yang ada di dalam Alkitab. Berita tentang ucapan, tindakan dan perbuatan
Yesus yang ditulis setelah kebangkitan Yesus dalam konteks jemaat Kristen purba, tidak
semestinya dianggap sebagai laporan peristiwa melainkan harus dipahami sebagai
kesaksian iman dengan pesan-pesan misiologis. Yesus yang diberitakan dalam Perjanjian
Baru bukanlah Yesus yang historis melainkan Kristus yang diimani oleh jemaat mula-
mula.
Sejarah perkembangan gereja menyatakan bahwa gereja selalu dihadapkan pada
suatu realitas sosial yang baru. Perumusan iman akan Yesus ini kemudian mengalami
perubahan pada masa post-apostolic abad ke-2 sampai abad ke-4 Masehi. Kalau
3 C. Groenen, Sejarah Dogma Kristologi: Perkembangan Pemikiran Tentang Yesus Kristus pada Umat Kristen, Kanisius, Jogjakarta, 1988, p. 203
3
kekristenan mula-mula ada dalam situasi masyarakat Yahudi, selanjutnya harus
bersentuhan langsung dengan agama dan kebudayaan dunia Yunani-Romawi.
Perjumpaan-perjumpaan itu mempengaruhi perumusan dan penafsiran iman Kristen.
Persoalan yang mendominasi diskusi pada saat itu yaitu mengenai kesiapaan Yesus,
sebagai manusia atau sebagai Anak Allah. Persoalan ini dijawab dengan mencari
pemahaman filosofis-ontologis. Itulah yang dilakukan oleh para utusan gereja dalam
konsili-konsili ekumenis sejak Nicea (325), Konstantinopel (381), Chalcedon (451) dan
selanjuntya. Dari diskusi Kristologis-ontologis dalam konsili-konsili maka lahir
pengakuan gereja, sebagaimana kita warisi sekarang bahwa Yesus Kristus sehakikat
Allah, seratus persen Allah dan seratus persen manusia.
Pengakuan iman dengan rumusan apologetis itu mewarnai seluruh rumusan
pengakuan iman gereja tentang Yesus sampai masa kini. Ekses dari pengakuan iman ini
yaitu gereja menjadi eksklusif dan menjadi kaku dalam formula dogmatisnya, sulit untuk
dimengerti orang lain. Kondisi tersebut mengisyaratkan perlunya pemikiran, pembahasan
dan penjelasan ulang terhadap pemahaman Kristologi yang ada selama ini. Gambar-
gambar Kristus yang disusun untuk tujuan apologetis harus disusun secara non-
apologetis4, sehingga mudah dipahami orang lain yang bukan Kristen. Kristologi non-
apologetis dibangun di atas kristologi fungsional, yaitu dari pemahaman makna
kehidupan, ucapan, perbuatan, pendertiaan, kematian dan kebangkitan Yesus Kristus.
Kristologi non-apologetis menjelaskan kesiapaan Yesus secara fungsional dalam
kehidupan manusia. Karena itu yang ditekankan yaitu pengenalan akan Yesus Kristus
4 Darwin Lumban Tobing, “Kristologi Non‐Apologetis:Kristologi Hermeneutis di dalam Konteks Postmodern”, dalam Yewangoe, A.A, Kontekstualisasi Pemikiran Dogmatika di Indonesia, Buku Penghormatan 70 Tahun Prof. Dr. Sularso Sopater, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2004, p.61
4
bukan pada figur personal, melainkan karya keselamatan yang diperbuatNya.5 Kasih,
penebusan, solidaritas yang menjadi pusat pewartaan Yesus dalam apa yang dikenal
dengan Kerajaan Allah menjadi yang terutama dalam penghayatan iman akan Yesus
Kristus. Kehadiran Kerajaan Allah sebagaimana telah dinyatakan dalam kehidupan Yesus
Kristus itulah yang hendak diwujudkan dalam hidup menggereja di dalam
masyarakatnya. Dengan demikian upaya dalam Kristologi fungsional memenuhi prinsip
integrasi, yaitu keseluruhan Kristologi merupakan Soteriologi yang saling melengkapi.
Yang berlaku kemudian sebuah lingkaran tak terputus Kristologi dari bawah ke
Kristologi dari atas, dari Soteriologi ke Kristologi dan sebaliknya. Sebab tidak ada iman
akan Yesus tanpa Kristus dan Kristus tanpa Yesus. “Yesuologi” dan “Krtistologi” mesti
memperolah penghayatan bersama-sama, sebab Yesus tanpa Kristus adalah tak berarti
demikian pula Kristus tanpa Yesus adalah mitos.6
2. Pergumulan Kristologis Jemaat Gereja Injili di Tanah Jawa (GITJ)
Kayuapu
GITJ (Gereja Injili di Tanah Jawa) Kayuapu sebagai komunitas umat Allah, perlu
hidup dalam imannya secara dinamis. Artinya, setiap warga GITJ dalam segala geraknya,
idealnya berdasarkan Injil (tata Injil) seperti cita-cita di dalam nama GITJ yang di
5 Darwin Lumban Tobing, “Kristologi Non‐Apologetis:Kristologi Heremeneutis di dalam Konteks Postmodern”, dalam Yewangoe, A.A, Kontekstualisasi Pemikiran Dogmatika di Indonesia, Buku Penghormatan 70 Tahun Prof. Dr. Sularso Sopater, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2004, p.62
6 Jacques Dupuis, Who Do You Say I Am?: Introduction to Christology, Orbis Books, Maryknoll, New York, USA, 1994, p. 36
5
dalamnya terdapat kata “Injili” itu.7 Tetapi yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari,
praktik hidup selaras dengan Alkitab itu masih kurang dirasakan. Kristus dan keteladanan
kehidupan-Nya belum tampak jelas sebagai pusat orientasi kehidupan. Bukan kasih dan
damai yang dialami, melainkan sikap egosentris dan ‘semangat merasa menjadi yang
paling besar’ yang mengemuka. Sekalipun, warisan pemahaman misi kolonial gereja
yang seluruh geraknya diarahkan kepada penobatan orang tidak beragama kristen
menjadi kristen itu sudah jauh di belakang, namun semangat untuk itu masih ada. Hanya
saja mulai tidak jelas media untuk mewadahi semangat itu. Kalau dahulu bidang
pendidikan dan kesehatan menjadi media misi gereja, sekarang bidang-bidang itu tidak
lagi diperlukan masyarakat sebagai yang mutlak dari gereja. Bahkan di beberapa jemaat
lokal GITJ,8 yang dahulu pernah menjadikan klinik kesehatan dan sekolah sebagai sarana
“pelayanan masyarakat,” sekarang tinggal bekas. Sedangkan beberapa sekolah dan
sebuah rumah sakit, baik sekolah milik jemaat lokal maupun milik sinode GITJ,
keberadaannya tampak kurang cukup diperlukan masyarakat.9
Pandangan setereotip positip yang pernah dilekatkan kepada gereja bahwa orang
Kristen itu berpendidikan lebih baik, pandai, jujur, berdisiplin, berintegritas dan
seterusnya, berganti menjadi setereotip negatip, yaitu orang kristen suka bertengkar,
7 Kata “Injili” ini dalam pengertian “Tata Injil” yaitu seluruh aspek kehidupan di GITJ harus berlandaskan Alkitab. Dalam Sinode GITJ pertama 30 Mei 1940, jemaat‐jemaat Kristen sekitar Muria menamakan dirinya: “Patunggilanipun Pasamuwan Kristen Tata Injil ing Wengkon Kabupaten Kudus, Pati lan Jepara,” disingkat “Pasamuwan Kristen Tata Injil.” Tetapi banyak warga jemaat yang memahami “Injili” itu sebagai “meng‐injili” orang‐orang yang beragama lain sebagai yang terutama.
8 Karmito, “Jemaat Kayuapu Abad Ke‐19 dan Awal Abad Ke‐20: Catatan‐catatan Sejarah Tak Terabaikan dari A.G. Hoekema”, tidak diterbitkan. Karmito mengemukakan data yang menyatakan bahwa pada awal abad ke‐20, di lokasi Jemaat Kayuapu yang memiliki jumlah warga jemaat 105 orang (warga sudah baptis 55 orang) didirikan Sekolah oleh Badan Misi DZV dengan jumlah murid sebanyak 100 siswa dan Klinik Kesehatan yang melayani pasien 80 s.d 100 orang setiap hari.
9 Laporan Data Statistik RSK Tayu kepada Sinode GITJ Tahun 2005, Rumah Sakit Kristen Tayu yang memiliki kapasitas tempat tidur pasien rawat inap 150 itu hanya ditempai 25‐30 orang pasien setiap hari.
6
fanatik, abudaya, anasional, serta intoleran terhadap keyakinan yang berbeda. Perubahan
bergerak cepat dalam masyarakat karena berbagai pengaruh modernitas, sedangkan cara
GITJ Kayuapu mengekspresikan keyakinan iman dalam gerak dan bentuk pelayanannya
masih tidak beranjak dari pemikiran yang diwariskan oleh para Misionaris Eropa dahulu.
Meskipun bagi generasi sekarang, warisan tradisi itu maknanya sering kabur. Orang-
orang yang beribadah di gereja pada umumnya tidak memahami mengapa hal-hal tertentu
dilakukan. Mereka mengucapkan rumusan-rumusan pengakuan iman yang tidak mereka
pahami. Misalnya sebagaimana rumusan di dalam pokok-pokok ajaran GITJ demikian
ini:
Doktrin Allah Tritunggal tidak dapat dipahami seluruhnya oleh akal budi (rasio) manusia. Hal ini disebabkan pengajaran Allah Tri Tunggal paling sulit dipahami, sulit dijelaskan, sulit diterima dan dipercaya, serta sulit diungkapkan dengan bahasa maupun kata-kata manusia. Doktrin ini hanya dapat dipahami dengan iman ( Yoh. 20:15)10
Jemaat mengucapkan rumusan itu tentu berdasarkan imannya, tetapi sesungguhnya hanya
berdasarkan kebiasaan, biasanya begitu, titik. Padahal jika banyak hal yang tidak
dipahami dalam jemaat, maka keterlibatan warga jemaat dan daya tarik jemaat itu
semakin hilang. Perlu adanya usaha untuk mengerti “pihak lain” dalam rangka
merumuskan pengajaran Gereja yang bertitik-tolak dari realitas masyarakat majemuk
yang saling mengayakan penghayatan iman. Sudah selayaknya, GITJ Kayuapu kembali
kepada kesaksian Injil yang memperoleh pemaknaan baru dalam perjumpaannya dengan
tradisi agama lain dalam hidup bersama demi kesejahteraan bersama. Hal ini sesuai
dengan usaha kontekstualisasi hidup menggereja yang selalu dihadapkan pada tugas
10 Pudjo Kartiko, A, dkk, Pokok‐Pokok Ajaran Gereja Injili di Tanah Jawa, Pati, 2007, p.35.
7
menafsirkan situasi hidup nyata dalam terang Injil. Injil yang berlaku baik secara
universal maupun yang ditangkap dan dipahami dalam konteks tertentu.11
Betapa sulit GITJ Kayuapu mewujudkan diri dan mengkomunikasikan imannya
dalam realitas konteksnya yang terus berubah. Dalam kondisi seperti ini, telah semestinya
GITJ Kayuapu menemukan kenyataan dirinya yang dibentuk berdasarkan pemahaman
akan iman di dalam konteksnya. Yang dimaksudkan di sini lebih kepada suatu upaya
memahami kembali keberadaan gereja secara total atau memakai istilah Eka
Darmaputera, “rethinking total”12 supaya kehadiran gereja berguna bagi masyarakat
sekitarnya. Dalam upaya memikir ulang secara total menjadi gereja yang fungsional itu,
maka perlu dimulai dari keterbukaan GITJ Kayuapu dalam memahami Yesus Kristus
sebagai yang sangat menentukan kehidupannya. Banyak aspek dari pemahaman akan
Kristus di dalam Perjanjian Baru yang tidak memperoleh perhatian dalam hidup
menggereja dan bermasyarakat. Hal itu disebabkan jemaat memegang rumusan-rumusan
dogma eksklusif tentang Kristus yang tidak didasarkan pada penghayatan akan Injil
secara langsung dalam konteksnya sekarang. Konteks jemaat yang perlu dipikirkan dalam
hal ini yaitu perjumpaanNya dengan masyarakat Muslim.
Jemaat GITJ Kayuapu, di Kudus, Jawa Tengah, memiliki pengalaman sejarah dan
melalui kehidupannya dapat digambarkan dinamika penghayatan akan Kristus di
dalamnya. Pada awalnya, Jemaat GITJ Kayuapu terbentuk dari tiga pengaruh tradisi
denominasi gereja. 13 Ketiga warisan tradisi teologi itu yaitu pertama, Misi Hervormd
11 J.B Banawiratma S.J, “Hidup Menggereja Yang Terbuka”, dalam J.B. Banawiratma, S. J. (ed), Gereja Indonesia, Quo Vadis? Hidup Menggereja Kontekstual, Kanisius, Jogjakarta, 2000, p. 42
12 Bdk. Eka Darmaputera, “Kehadiran Gereja Misioner di Indonesia Masa Kini”, dalam Penuntun, Vo.4, No. 13, 1997/1998, p.16 ‐17. Dalam kualitas kehadiran gereja yang memprihatinkan ini Eka mengajak melakukan rethinking total mengenai kehadiran gereja di negeri ini.
13 Sigid Heru Sukotjo, dan L Yoder, : Sejarah GITJ, Pati, (belum diterbitkan)
8
Belanda (NZG: Nederlandsche Zendeling Genootschaf) yang dibawah Zendeling Hoezoo
pada tanggal 26 Juli 1853 telah membaptis 4 orang dari Kayuapu. Semua orang yang
dibaptis itu sebelumnya Muslimin dan salah seorang di antaranya mantan santri (modin),
yaitu Nuriman. Pertobatan Nuriman dan kawan-kawannya menjadi Kristen itu
menyebabkan ia banyak mengalami penghinaan dari pihak saudara-saudara Islam.14
Kedua, pengaruh dari Tunggul Wulung dan Kawan-kawannya. Ibrahim Tunggul
Wulung adalah seorang penyebar kekristenan di beberapa daerah di Jawa. Ia bekerja di
daerah Muria, Jawa Tengah dari tahun 1855-1885. Model kehidupan kekristenan yang ia
bangun yaitu gerakan “Kristen Jawa.” Ia mencampurkan tradisi Jawa ke dalam ajarannya,
sebagaimana yang dikembangkan oleh beberapa penginjil Jawa dan Indo, seperti C.L.
Coolen di Jawa Timur.
Ketiga, yaitu pengaruh dari Misi Mennonit Belanda (DZV: Doopsgezinde Zending
Vereeniging) yang mengelola penuh jemaat ini sejak tanggal 1 Juli 1898. Misi ini
menekankan pertobatan individu, yaitu menjadikan Kristus sebagai Raja dan semua
pengikutNya harus meninggalkan kehidupan dalam budaya lamanya, termasuk
membatasi relasi dengan masyarakat Muslim sekitarnya. Menurut Alle Hoekema,
misionaris pertama DZV Pieter Jansz (1820-1904) yang datang ke Jawa dalam sikapnya
terhadap budaya, tergolong selective acculturation.15 Terhadap budayanya sendiri, Jansz
bersikap kritis. Dia menerima aspek-aspek tertentu budaya Jawa dan menyingkirkan segi-
14 Sigid Heru Sukotjo, dan L Yoder, : Sejarah GITJ, Pati, (belum diterbitkan) 15 Alle Hoekema, “Kristus dan Kebudayaan: Suatu Pandangan Teologi Mennonite”, dalam Yusri
Panggabean, Riawati Handayani, Joseph Ginting (ed), Penabur Benih Mazhab Teologi: Menuju Manusia Baru, PT BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2000, p. 177
9
segi lain dari kebudayaan Jawa.16 Namun para misionari Mennonite penerus Jansz, yang
berasal dari kampung-kampung Mennonite Jerman di Ukraina, meneruskan pola hidup
mereka dalam koloni-koloni Kristen yang agak terasing dari masyarakat sekitar. Para
misionari ini merangkap sebagai kepala desa di desa-desa Kristen sekitar Muria dan
mereka tidak berhubungan dengan kebudayaan sekitarnya. Keadaan seperti ini juga yang
diberlakukan bagi orang-orang Kristen di Kayuapu, yang tentunya menjadi sangat
berpengaruh pada pandangan terhadap orang-orang yang berkepercayaan lain di
sekitarnya.
Bagaimana jemaat ini bergerak dalam imannya sehingga tetap dapat menjaga
hidup persekutuan mereka di satu pihak dan di pihak lain memelihara relasi baik dengan
para tetangga muslim mereka, hal ini tentu menjadi sesuatu yang menarik untuk
direnungkan.17 Walau pada awalnya, kelompok orang percaya ini mencari tempat yang
cukup terisolir dari orang muslim dengan membuat perdukuhan Kristen, sekarang tentu
tidak lagi demikian. Jemaat ini sekarang telah berubah, yaitu hidup bertetangga dengan
orang-orang muslim di dalam suatu perkampungan yang sama. Dengan adanya
perjumpaan dengan masyarakat Muslim sekitarnya itu, tentulah pemahaman jemaat
mengenai Kristus yang mereka hayati dan pengutusannya pun berubah. Keadaan yang
seperti ini juga tentunya telah membawa kepada pamaknaan dirinya yang baru, terutama
menjadi komunitas kristen yang tidak eksklusif, yang dapat menghayati kehadiran Allah
bersama-sama dengan umat lain.
16 Pieter Jansz dan seorang misionari DZV yang lain, Hillebrandus Klinkert, memelopori beridirnya sekolah‐sekolah untuk anak Jawa dan menyusun kamus Jawa‐Melayu serta sebagai penerjemah Alkitab. Di sisi lain, Jansz memandang negatip tarian Jawa yang pada waktu itu dikaitkan dengan prostitusi.
17 Kerukunan dalam keluarga‐keluarga Kristen jemaat itu baik. Demikian pula mereka hidup dengan damai di antara tetangga‐tetangga yang masih memeluk agama Islam. Lih. Karmito,” Jemaat Kayuapu Abad Ke‐19 dan Awal Abad Ke‐20: Catatan‐catatan Sejarah Tak Terabaikan dari A.G. Hoekema”, tidak diterbitkan, p.8
10
Masih adanya pemahaman bahwa Kristen identik dengan imperialisme18 justru
karena sikap dan cara pandang sebagian orang Kristen sendiri terhadap pemeluk agama
lain yang mencerminkan sikap intoleran. Mereka beranggapan bahwa dengan adanya
toleransi, banyak hal esensial dalam kekristenan akan dikorbankan atau dikhianati.19
Yang dimaksudkan dengan hal esensial yang dikhianati itu pada intinya adalah keyakinan
bahwa Yesus Kristus sebagai Sang Penyelamat satu-satunya untuk dunia ini; di luar-Nya
tidak ada keselamatan dan pengenalan akan Allah yang benar. Dapat hidup berelasi baik
dengan umat beragama lain, berarti sama saja dengan mengakui kebenaran selain yang
diberitakan Alkitab, sehingga pada akhirnya mengingkari keunikan Yesus Kristus sebagai
Juruselamat yang satu-satunya atau menganggap “semua agama sama saja”.20
Pemahaman semacam itu lahir dari cara pandang maupun ideologi tertentu
terhadap Alkitab. Orang-orang yang melakukan klaim kebenaran iman secara tertutup
seperti itu merasa yakin bahwa mereka menemukan pemahaman itu berdasarkan berita
Alkitab. Apakah gambaran mengenai Allah di dalam Kristus di dalam Alkitab adalah
Allah yang membuat penolakan terhadap manusia seperti itu? Injil itu bukanlah sebuah
berita penolakan melainkan justru penerimaan Allah akan semua manusia karena
kasihNya. Apa yang telah dilakukan oleh Yesus sesuai kehendak Allah justru merupakan
pernyataan penerimaan dan kasih Allah itu kepada semua jenis manusia. Kasih Allah itu
tidak bersyarat. Allah menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik
serta menurunkan hujan bagi orang yang benar maupun tidak benar. (Mat 5:45). Karena
18 Ma’mun Mu’min, “Pluralisme Dalam Kehidupan Pemeluk Beda Agama (Studi Kasus di Desa Rahtawu Kabupten Kudus),” Proposal Desertasi Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2005, p.15 Berdasarkan pengamatan Ma’mun Mu’min ini sesuatu yang berasal dari Barat (Kirsten), oleh sebagian umat muslim selalu diprasangkai, bahkan dibenci dan dianggap ‘haram’ hukumnya
19 Ioanes Rakhmat, “Bangunan Agama dan Toleransi”, dalam Hardianto, Soegeng, dkk, (ed), Agama dalam Dialog: Pencerahan, Pendamaian dan Masa Depan, PT BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2001, p.92
20 Ibid
11
kasih Allah ini, Injil memanggil kita untuk bertobat, yaitu berbalik dari kehidupan yang
berpusat pada diri sendiri dan memulai kehidupan yang berpusat kepada kasih serta
penerimaan Allah.21 Ini berarti kita hidup bagi pemenuhan pemerintahan Allah di dunia
ini, seperti yang dinyatakan Kristus dalam sabda dan karyaNya.
Sejarah perkembangan gereja menyatakan bahwa gereja selalu dihadapkan pada
suatu realitas sosial yang baru. Kalau kekristenan mula-mula ada dalam situasi
masyarakat Yahudi, selanjutnya harus bersentuhan langsung dengan agama dan
kebudayaan dunia Yunani-Romawi. Perjumpaan-perjumpaan itu mempengaruhi
perumusan dan penafsiran iman Kristen. Pada masa lalu, kontaks dengan agama-agama
lain mempunyai dampak yang memperkaya dan memperluas iman Kristen. Namun di
sisi lain juga muncul kecenderungan perkembangan pemahaman yang menolak untuk
memandang kepercayaan lain dengan serius.22 Teologi yang muncul kemudian melulu
bersifat apologetis, bahwa iman kristen itu superior terhadap kepercayaan-kepercayaan
lain.
Sekarang ini telah semakin nampak adanya kesadaran baru dalam hidup
menggereja sesuai dengan situasi baru yang tidak dapat diabaikan. Kemajemukan agama
sekarang ini telah menjadi realitas pada hampir setiap masyarakat. Kehidupan dalam
kemajemukan tradisi religius dipahami bukan hanya sebagai fakta yang kita jumpai tetapi
sekaligus telah mulai digumuli sebagai suatu pemberian Allah.23 Dengan demikian sudah
semestinya agama-agama dengan keunikan tradisinya perlu diterima sebagai sarana dan
21 Wesley Ariarajah, Alkitab dan Orang‐orang Yang Berkepercayaan Lain (Terjemahan dari judul asli: The Bible and people of their faiths, oleh Eka Darmaputera), PT. BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2000, p.44
22 Ioanes Rakhmat, “Bangunan Agama dan Toleransi”, dalam Hardianto, Soegeng, dkk, (ed), Agama dalam Dialog: Pencerahan, Pendamaian dan Masa Depan, PT BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2001,p.87
23 J.B Banawiratma, Hidup Menggereja Yang Terbuka, dalam Gereja Indonesia, Quo Vadis? Hidup Menggereja Kontekstual, Kanisius, Jogjakarta, 2000, p.183.
12
wujud penghayatan hubungan manusia dengan Allah dalam keterbatasan manusia itu
sendiri. Pengakuan akan keterbatasan kita dalam menangkap realitas Allah yang tak
terjangkau sepenuhnya itu menjadikan kita terbuka untuk hidup bersama dalam sikap
bersedia diperkaya dan memperkaya pengalaman iman saudara-saudara beragama lain.24
Yang terjadi dalam relasi dialogis dengan orang-orang yang beragama lain yaitu
kejujuran dan keterbukaan untuk saling menghargai dan menghormati, terbuka terhadap
kritik demi terwujudnya perubahan hidup bersama yang semakin baik. Kesediaan
menerima kebenaran agama lain tentu bukan sikap menganggap semua agama itu sama
saja. Kalau semuanya sama saja, maka tidak akan terjadi keadaan saling memperkaya.
Kehidupan bersama dengan umat beragama yang lain perhatian serius, tentu
dalam rangka dialog dan kerjasama dalam menangani masalah-masalah sosial bersama
demi kesejahteraan hidup dengan mendahulukan orang miskin dan yang kurang
diberdayakan. Orang-orang kaya diundang untuk menjumpai dan mengikut Kristus dalam
menyatakan solidaritas terhadap kaum yang paling hina.25 Untuk itu pengalaman
perjumpaan dengan tradisi agama lain itu juga meniscayakan perubahan orientasi
kehidupan kita melalui perubahan gambaran kita akan Allah dan kehendaknya bagi kita
dalam dunia sekarang ini. Demikian pula, gambaran akan Yesus Kristus bagi gereja yang
hidup dalam konteks sekarang ini tidak dapat ditemukan hanya dengan menggunakan
doktrin-doktrin gereja pada masa lalu yang muncul dalam situasi dan permasalahan yang
berbeda dengan persoalan gereja sekarang ini.
24 J.B Banawiratma, Hidup Menggereja Yang Terbuka, dalam Gereja Indonesia, Quo Vadis? Hidup
Menggereja Kontekstual, Kanisius, Jogjakarta, 2000, p. 184 25 J.B Banawiratma, Sepuluh Agenda Pastoral Transformatif: Menuju Pemberdayaan Kaum Miskin dengan Perspektif Adil Gender, HAM, dan Lingkungan Hidup, Kanisius, Jogjakarta, 2002, p.44
13
Sehingga sudah sewajarnya, jika Jemaat GITJ Kayuapu perlu memikirkan
kembali penghayatannya akan Kristus secara terus-menerus, agar dapat menjadi
komunitas Kristiani yang menghadirkan pemerintahan Allah, kini dan di sini.
Penghayatan akan Kristus ini dilakukan dalam konteks masyarakat plural melalui
komunikasi iman secara dialogis dengan umat lain di sekitarnya.
B. Tujuan Penulisan
Studi ini dilakukan dengan tujuan jemaat GITJ Kayuapu secara khusus maupun
jemaat-jemaat GITJ lainnya, menyadari betapa pentingnya pemahaman Kristologi jemaat
dengan memperhatikan konteks masyarakat majemuk, sehingga kehadiran Jemaat ini
menjadi bermakna dan diterima oleh masyarakatnya. Selain itu, dengan memahami Yesus
Kristus sesuai dengan konteksnya, maka jemaat GITJ Kayuapu mampu keluar dari
pemahaman paradigma misi lamanya, yaitu menjadikan orang yang belum Kristen
menjadi Kristen, yang dianggap sebagai pemenuhan amanat agung Yesus Kristus.
Dengan demikian, orientasi jemaat bukan pada pementingan diri dan rasa berkewajiban
untuk menobatkan orang non-Kristen menjadi Kristen, melainkan terutama pertobatan
diri sendiri, pembaruan hubungan yang radikal dengan Allah dan sesama. Kesaksian
Kristen kemudian hadir melalui proses perjumpaan dari orang-orang percaya yang telah
mengalami perubahan akan orientasi hidup yang berpusat pada diri sendiri kepada hidup
yang berpusat pada Allah.
Pengungkapan akan Allah dalam Yesus Kristus bagi dunia yang ditemukan dalam
realitas otentiknya, akan menggerakkan seluruh aspek kehidupan jemaat dalam
mewujudkan harapan alam semesta ini sebagai tempat penyelenggaraan pemerintahan
14
Allah. Dalam hal ini pembangunan jemaat dipahami sebagai upaya menjadikan diri
bermakna bagi kesejahteraan hidup bersama dalam realitas masyarakat yang berbeda-
beda agama dan bukan upaya memperbesar diri atau kelompok sendiri.
C. Kerangka Teoritis
Penulis menyadari pentingnya teori yang dipakai sebagai perspektif atau
pangkal tolak dan sudut pandang untuk menyelami pikiran subyek yang diteliti serta
untuk menafsirkan dan memakai setiap fenomena dalam rangka membangun konsep.26
Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan pemikiran Tom Jacobs, SJ dalam
menyatakan perubahan dalam perumusan iman akan Yesus Kristus. Dalam pemikiran
Tom Jacobs, SJ., menurut penulis hal yang perlu dipikirkan dalam Kristologi sebagai
berikut:
Masalah mengenai bahasa Alkitab dan bahasa gereja itu tidak jelas. Bahasa
Kitab Suci banyak menggunakan makna kiasan atau metaforis. Untuk bisa memahami
maknanya tentu harus memahami situasi konkret jamannya atau jika sebagai “orang
dalam,” artinya bagi orang yang sudah terlibat dalam pikiran bersama itu dan tahu
bagaimana menempatkan kata-kata khusus ini dalam keseluruhan pengertian dan
percakapan bersama.27 Contoh dalam hal ini, yaitu mengenai perkataan Yesus: “Aku dan
Bapa adalah satu.” Begitu juga bahasa yang digunakan gereja dalam rumusan-rumusan
26 Imam Suprayogo, dkk, Metodologi Penelitian‐Sosial Agama, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2003, p.129. Dalam buku ini dikutip definisi teori dari Kerlinger (1973): Teori sebagai “seperangkat konstruk (konsep), definisi dan proposisi yang menyajikan gejala (fenomena) secara sistematis, merinci hubungan antara variabel‐variabel, dengan tujuan menerangkan gejala tersebut.
27 Tom Jacobs, Imanuel: Perubahan dalam Perumusan Iman akan Yesus Kristus, Kanisius, Jogjakarta, 2000, p.145
15
iman akan Yesus dengan istilah “Tritunggal yang Maha Kudus”, “Tiga pribadi dalam
Allah: Bapa, Putra dan Roh Kudus”. Pribadi (hypostasis), tidak selalu mudah dipahami
dalam ungkapan itu, maka kemudian diusulkan ungkapan “cara berada yang khusus”
tetapi yang terakhir ini pun tidak lebih mudah dipahami.28
Pemahaman Kristologi dalam Alkitab ( Kitab-kitab Injil, Yohanes, Surat-surat
Yohanes, Surat-surat Paulus dan Ibrani) berbeda-beda dan kemudian mengalami
perubahan yang pada prinsipnya mencerminkan masalah-masalah yang dialami oleh
jemaat Kristen pada jamannya dalam rangka aktualisasi iman. Para murid Yesus dan
gereja perdana mengalami fakta pengalaman dengan Yesus dan memandang bahwa
Yesus memiliki relasi personal yang sedemikian istimewa dengan Allah. Sedemikian
khususnya relasi personal Yesus dan Allah, sehingga orang tidak mampu memahami itu
sepenuhnya dan dapat menangkapnya sebagai suatu rahasia Ilahi atau misteri. Dalam
bahasa Ibrani misteri itu “sôd” dan Aram “raz”, ialah bahwa yang mengetahuinya
hanyalah Allah dan juga para sahabatNya yang kepada mereka Allah berkenan
mengungkapkannya.29
Dalam perspektif misteri ini, para murid Yesus dan penulis Perjanjian Baru
mengenakan kepada Yesus dalam relasi dengan Allah, sebutan yang berbeda-beda sesuai
dengan pengaruh pandangan yang hidup pada masa itu. Jadi ada latar belakang tertentu,
Yesus disebut Nabi, Guru, Kristus (Mesias), Anak Allah (Anak Manusia), Tuhan.30
Namun demikian monoteisme Yahudi tetap dipertahankan di dalam seluruh Perjanjian
Baru.
28 Tom Jacobs, Imanuel: Perubahan dalam Perumusan Iman akan Yesus Kristus, Kanisius, Jogjakarta, 2000 29 Ibid, p.38 30 Ibid, p 49‐126
16
Perubahan mulai terjadi pada masa pasca-apostolis. Pemahaman Kristus sebagai
Allah telah menjadi lazim pada zaman pasca-apostolis ini. Menurut pemahaman Tom
Jacobs, SJ hal ini disebabkan gereja kehilangan hubungan dengan masyarakat dan
kebudayaan Yahudi. Alam pikiran dan terutama bahasa agama mulai berubah.31 Pokok
permasalahan yang mengemuka bukan lagi mengenai peran dan karya Kristus berkaitan
dengan karya Allah dalam penyelamatan, melainkan pembicaraan mengenai Allah secara
ontologis dan metafisis dunia Yunani pada waktu itu.
Tokoh-tokoh yang berpengaruh pada era pasca-apostolik di antaranya yaitu
Ignatius dari Antiokia (35-107), Yustinus (100-163), Ireneus (130-200), Klemens dari
Alexandria (150-215), Tertulianus (160-225) dan Origenes (185-254). Rumusan-rumusan
baru mengenai Kristus pada jaman itu bukan dimaksudkan sebagai suatu penyangkalan
terhadap iman mula-mula, melainkan semua itu merupakan upaya menjadikan iman
Alkitabiah dapat dipertahankan dalam kerangka berpikir Hellenis. Perubahan perumusan
iman akan Yesus itu misalnya dalam gelar Anak Allah. Ignatius dari Antiokhia
memahami hal itu bukan dalam pengertian metafora, tetapi dalam arti “biasa”: Yesus
Kristus, yang menurut daging dari keturunan Daud, adalah anak manusia dan anak
Allah.32 Di sini, Anak Manusia dipahami sebagai seorang manusia dan Anak Allah
dimengerti sebagai Allah. Pemahaman mengenai satu Allah dipertahankan, tetapi karena
kehadiran Allah di dalam Kristus, membuat Dia menjadi ilahi. Kristus sendiri disebut
31 Tom Jacobs, Imanuel: Perubahan dalam Perumusan Iman akan Yesus Kristus, Kanisius, Jogjakarta, 2000, p. 145
32 Ibid, p.149
17
sebagai Allah oleh Ignatius dimaksudkan untuk menonjolkan kesatuan Kristus dengan
Bapa.33
Perubahan berikutnya yaitu mengenai pemahaman tentang Allah sebagai subyek
keselamatan (soteriologi) yang disaksikan pada seluruh Alkitab dan perkembangan
pemahaman itu pada kekristenan abad 3 dan 4 Masehi. Persoalan yang muncul yaitu
mengenai perdebatan tentang bagaimana manusia bersatu dengan Allah dan apa peran
Yesus Kristus dalam proses ini.34 Pewartaan dan kesaksian dalam Alkitab bukan menjadi
titik tolak perdebatan, melainkan rumusan-rumusan iman yang telah campur-aduk
dengan pemikiran spekulatif dunia filsafat pada waktu itu. Jadi di sini rumusan metafora
(Alkitab) diubah menjadi rumusan dogma yang mengikat. Sedangkan ayat-ayat Alkitab
dipakai dalam rangka mendukung pemikiran yang ada. Ada dua kecenderungan yang
tampak dalam Kristologi, yaitu subordianisme dan monarkhisme35 yang berperan bagi
munculnya berbagai rumusan dogmatis sebagai latar-belakang munculnya beberapa
konsili gereja yang kemudian muncul rumusan-rumusan pengakuan iman yang
mencerminkan persoalan tersebut. Rumusan-rumusan dogmatis dalam terminologi
Yunani yang rumit itu akhirnya justru mengaburkan penghayatan iman akan monoteisme
(Yahudi), sehingga Trinitas disalah-artikan menjadi triteisme.
Tanpa mengecilkan makna segala rumusan dogmatis (hellenis) yang muncul, kita
perlu kembali kepada penghayatan awal. Betapapun para penulis Perjanjian Baru sangat
meninggikan Kristus, namun pada dasarnya mereka tetap berada dalam kerangka
33. Tom Jacobs, Imanuel: Perubahan dalam Perumusan Iman akan Yesus Kristus, Kanisius, Jogjakarta, 2000, p. 151
34 Ibid, p. 184 35 Subordianisme: kecenderungan mengebawahkan peran Yesus, maka muncul istilah Logos, Anak, Firman, Citra, Kebijaksanaan dsb. Monarkhisme: kecenderungan mengilahikan Yesus. Akibat adanya dua kecenderungan ini, muncul berbagai rumusan dogmatis dalam beberapa konsili: Nikea (325), Konstantinopel (381), Efesus (431) dan Chalcedon (451).
18
monoteisme Yahudi. Yang selalu harus disadari dalam dogma “Trinitas” yaitu bahwa
Kristus tidak “sama” dengan Allah, tetapi seorang manusia,36 yaitu manusia yang
memiliki hubungan sangat personal dengan Allah melebihi semuanya. Allah dengan
demikian tetap merupakan Allah yang berkenan hadir menyertai umat manusia.
Yang perlu bagi kita sekarang untuk dapat melakukan komunikasi iman yaitu:
Kita sadar akan kenyataan bahwa dalam peredaran jaman, kata-kata dan rumus-rumus
dapat memperoleh arti dan maksud yang lain. Iman tidak menyangkut kata atau rumus,
melainkan fakta dan pengalaman. Untuk dapat memahami apa yang diimani orang
Kristen mengenai Yesus Kristus, pegangan kita bukan hanya Kitab Suci dan pengajaran
Gereja, melainkan yang paling penting adalah komunikasi iman sekarang, berdasarkan
penghayatan iman masing-masing orang beriman.
Yang dimaksud penulis dengan komunikasi iman yaitu dalam memahami Allah,
kita memiliki keterbatasan penangkapan dan pengungkapan iman dalam segala
bentuknya sehingga melibatkan pemahaman iman orang lain dalam suatu proses
perjumpaan yang saling memengaruhi atau mengayakan pemahaman masing-masing.37
Tidak ada orang atau gereja sekarang ini yang mengklaim bahwa rumusan
imannya mengungkapkan seluruh kekayaan iman. Hanya dengan komunikasi iman,
maksud dan arti dapat menjadi jelas. Karena itu persoalan bukanlah “pemurnian” rumus
atau “penyesuaian,” melainkan fungsionalisasi rumus supaya berguna lagi dalam proses
36 Tom Jacobs, Imanuel: Perubahan dalam Perumusan Iman akan Yesus Kristus, Kanisius, Jogjakarta, 2000, p. 134
37 Dalam hal ini, penting diperhatikan adanya dialog dengan tradisi‐tradisi lain bagi penghayatan iman Kristiani dalam masyarakat Indonesia yang pluri‐relegius dan pluri‐kultural. Lih. J.B. Banawiratma, “Teologi Fungsional‐Teologi Kontekstual”, dalam Eka Darmaputera (ed), Konteks Berteologi di Indonesia: Buku Penghormatan untuk HUT ke‐70 Prof. Dr. P.D Latuihamallo , BPK. Gunung Mulia, Jakarta, 1997, p. 59.
19
komunikasi iman.38 Dan itu tidak mungkin tanpa keterlibatan pribadi. Yang dicari adalah
pemahaman rumus-rumus tradisional dalam kehidupan iman jemaat sekarang.39 Hal ini
berarti bahwa sebutan-sebutan Yesus dalam Kitab Suci maupun rumusan-rumusan
doktrin gereja pada masa lalu perlu kita maknai secara baru supaya dapat dipahami oleh
semua orang dalam konteksnya.
D. Masalah dan Judul
Rumusan Permasalahan dalam Tesis ini adalah:
1. Seperti apa pemahaman jemaat mengenai Yesus Kristus?
2. Apa dampak pemahamannya tentang Yesus Kristus itu pada sikap terhadap orang
yang beragama Islam di sekitarnya?
3. Ke arah manakah selanjudnya pewartaan mengenai Yesus Kristus?
Berdasarkan pertimbangan dan pertanyaan-pertanyaaan di atas, maka penulis
meletakkan permasalahan itu dalam judul:
“Kristologi Jemaat GITJ Kayuapu dalam Perjumpaan dengan Masyarakat Muslim
Sekitarnya.”
38 Kesadaran akan pentingnya mengkaji ulang dogma Trinitas bagi Tom Jacobs muncul berkat pengalaman eksistensial diri pribadinya. Titik tolaknya yaitu kehidupan sehari‐hari dengan umat Muslim.
39 Tom Jacobs, Imanuel: Perubahan dalam Perumusan Iman akan Yesus Kristus, Kanisius, 2000, p. 31
20
E. Hipotesa
1. Pemahaman mengenai Yesus Kristus jemaat GITJ Kayuapu didasarkan pada
gambaran Kristus yang triumfalistis. Gambaran Kristus yang tidak diperoleh
secara langsung dari penghayatannya terhadap Injil (Kitab Suci) dalam realitas
konteksnya sekarang ini.
2. Pemahaman mengenai Yesus Kristus yang eksklusif itu berpengaruh bagi cara
hidup menggerejanya, sehingga menjadi gereja yang kurang sungguh-sungguh
dapat menghargai pemahaman iman orang muslim sekitarnya.
3. Diperlukan pewartaan yang berorientasi pada perwujudan masyarakat yang
mengembangkan nilai-nilai masyarakat Kerajaan Allah sebagaimana telah nyata
dalam pewartaan dan pelayanan Yesus Kristus. Yesus mengarahkan tindakanNya
untuk perbaikan, kesejahteraan, hidup yang lebih penuh bagi orang-orang
disekitarnya, terutama bagi mereka yang menderita.
F. Metode Penelitian
Penulis menggunakan pendekatan atau metode penelitian kualitatif. Disain
penelitian kualitatif ini dipilih berdasarkan permasalahan penelitian yang mencakup
makna dalam konstruksi sosial dalam kehidupan sehari-hari atau kebudayaan. Dalam hal
ini penulis lebih memperhatikan proses (dari suatu fenomena sosial) ketimbang hasil atau
produk semata.40 Kajian pustaka dilakukan sebelum melakukan studi lapangan, dalam
rangka menyediakan kerangka konsepsi (teori) penelitian lapangan. Sedangkan dalam
40 Imam Suprayogo, dkk, Metodologi Penelitian‐Sosial Agama, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2003,
p.122
21
teknis penelitian lapangan, penulis melakukan wawancara terbuka untuk menemukan
kategori pemahaman jemaat maupun tata nilai yang mengarahkan tingkah laku.41
Wawancara terbuka tidak berdasarkan daftar pertanyaan baku, walaupun peneliti
mencatat pokok-pokok mana yang harus dibicarakan.42
Penulis dalam menjawab permasalahan tesis di atas, menggunakan tahap-tahap
yang tergambar dalam Lingkaran Pastoral.43 Keempat pertanyaan ini membantu penulis
untuk menanggapi secara lebih efektif pemahaman akan Yesus Kristus jemaat GITJ
Kayuapu, melalui pemahaman yang mendalam dan evaluasi yang lebih menyeluruh.
1. Apa yang ada di sini?
Menghimpun data, cerita-cerita, gambaran apa yang sedang berlangsung di
dalam jemaat ini. Apa yang sedang dilakukan orang-orang, yang sedang
mereka rasakan, apa kisah-kisah yang mereka katakan, bagaimana mereka
menanggapinya?
2. Mengapa hal itu terjadi?
Pemeriksaan berbagai penyebab, keterkaitan-keterkaitan dan konsekuensi-
konsekuensi (dampak) dari apa yang terjadi. Siapa saja yang menjadi pelaku
kunci dan apa peranan-peranan yang mereka mainkan, apa yang telah pernah
terjadi di dalam sejarah dari peristiwa ini, apa pengaruhnya baik yang nyata
maupun yang tersembunyi?
41 John Mansford Prior, Meneliti Jemaat: Pedoman Riset Partisipatoris, Grasindo, Jakarta, 1997, p. 96 42 Ibid 43 Lingkaran Pastoral adalah sebuah proses menjawab empat pertanyaan yang mendasar seputar pengalaman yang kita miliki, baik itu pengalamam kita secara individual maupun dalam suatu masyarakat. Frans Wijsen, Peter Henriot, Rodrigo Mejia (eds), The Pastoral Circle Revisited: A Critical Quest for Truth and Transformation, Orbis Books, New York, 2005, p.229.
22
3. Bagaimana kita mengevaluasinya?
Memahami makna dari apa yang terjadi dalam jemaat ini dalam terang nilai-
nilai iman Kristen dalam rangka pengalaman hidup sehari-hari bersama umat
yang berbeda agama demi hasil yang positip. Bagaimana perspektif iman kita
membawa hasil (bermakna) pada pengalaman itu, apa pertanyaan-pertanyaan
baru yang kemudian muncul dan pemahaman-pemahaman yang disarankan
dalam terang sumber-sumber tradisional dari tulisan dan pengajaran?
4. Bagaimana kita menanggapinya?
Melangkah ke dalam tahap-tahap perencanaan, tindakan, dan agar memberi
dampak perubahan yang diharapkan dalam jemaat ini. Strategi apa yang dapat
dipilih untuk perubahan dalam tahap-tahap jangka pendek dan jangka panjang
diperlukan untuk membawa perubahan.
G. Sistematika Penulisan
Bab I : Pendahuluan
Bab ini berisi latar belakang permasalahan, kerangka teoritis, rumusan
permasalahan, topik, hipotesis, tujuan penulisan, metode penulisan, metode
penelitian dan sistematika penulisan.
Bab II : Gambaran Alkitab dan Perumusan Dogma Mengenai Yesus Kristus
Bab ini berisi perubahan perumusan Kristologis yang mengacu pada
pemikiran Tom Jacobs. Mula-mula disajikan sebutan-sebutan mengenai Yesus
sesuai gambaran Alkitab dan selanjutnya ditunjukkan adanya perubahan
23
perumusan dogmatis mengenai Yesus pada tokoh-tokoh gereja yang
berpengaruh di dalam konsili-konsili gereja.
Bab III : Pemahaman Jemaat GITJ Kayuapu Mengenai Yesus Kristus
Bab ini merupakan hasil penelitian dan analisis yang dilakukan di Jemaat GITJ
Kayuapu di Kudus. Hasil penelitian ini menggambarkan pemahaman Jemaat
mengenai Yesus Kristus yang berpengaruh pada pandangan Jemaat terhadap
orang-orang Muslim sekitarnya. Penulis juga berusaha menjelaskan mengapa
pemahaman itu terjadi dan sejauhmana hal itu berpengaruh pada upaya
membangun dialog antar umat beriman sebagai agenda penting dalam konteks
berteologi di Indonesia.
Bab IV: Wajah Kristus dalam Perjumpaan dengan Yang Lain
Bagian ini berisi refleksi teologis atas pemahaman jemaat mengenai Yesus
Kristus dan pengaruhnya pada sikap terhadap umat Muslim itu. Penulis dalam
hal ini mengemukakan penggambaran Perjanjian Baru akan Yesus Kristus dan
pewartaanNya mengenai Kerajaan Allah menjadi sangat relevan bagi
penghayatan jemaat akan Yesus Kristus dalam perjumpaan dengan masyarakat
Muslim.
Bab V: Penutup
Bagian ini merupakan kesimpulan dari seluruh penelitian dalam tesis ini dan
saran-saran untuk suatu perubahan jemaat.