bab i pendahuluan a. latar...

45
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan sebagai sarana untuk mencerdaskan bangsa memiliki peranan yang sangat strategis. Pendidikan berkontribusi dalam mengembangkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang bermutu, terampil, kreatif, inovatif, serta memiliki attitude (sikap dan prilaku) yang positif. Sebagaimana Suparno Erman, dalam Soedijarto (2008) 1 mengatakan kemajuan suatu bangsa sangat ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia. Demikian pula menurut Suryadi dan Tilaar (1994) 2 Pendidikan memiliki fungsi yang hakiki dalam mempersiapkan sumber daya manusia yang akan menjadi aktor-aktor pembangunan dalam berbagai bidang kehidupan yang bersangkutan. Berkaitan dengan fungsi tersebut, berjalannya sistem pendidikan tidak lepas dari perubahan yang terjadi pada sistem pemerintahan maupun sistem politik dalam bernegara. Pendidikan pada dasarnya merupakan usaha pengembangan sumber daya manusia (SDM), walaupun usaha pengembangan SDM tidak hanya dilakukan melalui pendidikan formal (sekolah). Tetapi sampai saat ini, pendidikan masih dipandang sebagai sarana dan wahana utama untuk pengembangan SDM yang dilakukan dengan sistematis, programatis, dan berjenjang. Dalam konteks inilah pendidikan terasa semakin dituntut peranannya, khususnya untuk dapat menghasilkan manusia Indonesia yang berkualitas. Bahkan yang paling 1 Suparno, Erman, dalam Soedijarto, 2008, Landasan dan Arah Pendidikan Nasional Kita, Jakarta, PT. Kompas Media Nusantara, hal. Xxiii. 2 Suryadi Ace dan Tilaar H.A.R., 1994, ANALISIS KEBIJAKAN PENDIDIKAN; Suatu Pengantar, Bandung PT. Remaja Rosdakarya, hal. 3.

Upload: phamtu

Post on 23-Mar-2019

215 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75380/potongan/S2-2014... · Seiring dengan bergulirnya reformasi sejak Tahun 1998 di negara kesatuan

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pendidikan sebagai sarana untuk mencerdaskan bangsa memiliki peranan

yang sangat strategis. Pendidikan berkontribusi dalam mengembangkan Sumber

Daya Manusia (SDM) yang bermutu, terampil, kreatif, inovatif, serta memiliki

attitude (sikap dan prilaku) yang positif. Sebagaimana Suparno Erman, dalam

Soedijarto (2008)1 mengatakan kemajuan suatu bangsa sangat ditentukan oleh

kualitas sumber daya manusia. Demikian pula menurut Suryadi dan Tilaar (1994)2

Pendidikan memiliki fungsi yang hakiki dalam mempersiapkan sumber daya

manusia yang akan menjadi aktor-aktor pembangunan dalam berbagai bidang

kehidupan yang bersangkutan. Berkaitan dengan fungsi tersebut, berjalannya

sistem pendidikan tidak lepas dari perubahan yang terjadi pada sistem

pemerintahan maupun sistem politik dalam bernegara.

Pendidikan pada dasarnya merupakan usaha pengembangan sumber daya

manusia (SDM), walaupun usaha pengembangan SDM tidak hanya dilakukan

melalui pendidikan formal (sekolah). Tetapi sampai saat ini, pendidikan masih

dipandang sebagai sarana dan wahana utama untuk pengembangan SDM yang

dilakukan dengan sistematis, programatis, dan berjenjang. Dalam konteks inilah

pendidikan terasa semakin dituntut peranannya, khususnya untuk dapat

menghasilkan manusia Indonesia yang berkualitas. Bahkan yang paling

1 Suparno, Erman, dalam Soedijarto, 2008, Landasan dan Arah Pendidikan Nasional Kita,

Jakarta, PT. Kompas Media Nusantara, hal. Xxiii. 2 Suryadi Ace dan Tilaar H.A.R., 1994, ANALISIS KEBIJAKAN PENDIDIKAN; Suatu

Pengantar, Bandung PT. Remaja Rosdakarya, hal. 3.

Page 2: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75380/potongan/S2-2014... · Seiring dengan bergulirnya reformasi sejak Tahun 1998 di negara kesatuan

2

membanggakan menurut Achmady, (1994)3 adalah, pendidikan dimanifestasikan

sebagai senjata pamungkas untuk memberantas kemiskinan, sejauh apa yang

diperoleh peserta anak didik itu relevan dengan kebutuhan hidup mereka. Oleh

karena itu Pendidikan nasional harus dilaksanakan secara merata, adil, relevan,

berkualitas dan efisien bagi seluruh rakyat sampai ke daerah pelosok tanah air.

Seiring dengan bergulirnya reformasi sejak Tahun 1998 di negara kesatuan

Republik Indonesia ini, telah membawa perubahan-perubahan mendasar dalam

sistem politik di Indonesia. Salah satu bentuk konkrit perubahan yang

fundamental dalam sistem politik kita adalah terjadinya transformasi model

penyelenggaraan pemerintahan dari sistem sentralisasi ke sistem desentralisasi.

Sistem pemerintahan yang desentralistik membawa angin segar dalam konteks

penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas. Dimana salah satu kewenangan

Pemerintah Pusat yang diserahkan kepada Pemerintah Daerah adalah

penyelenggaraan pembangunan di bidang pendidikan secara otonom. Dengan hak

dan kewenangan otonomi tersebut berarti memberi ruang dan kesempatan bagi

masyarakat di daerah, untuk merencanakan dan mengimplementasikan program

pendidikan yang berkualitas bagi masyarakat di daerah tanpa diskriminasi.

Perencanaan dan implementasi program pendidikan yang berkualitas berkorelasi

posotif dengan upaya pemerataan dan perluasan akses layanan pendidikan bagi

masyarakat di daerah sampai ke pelosok-pelosok. Dengan demikian berarti dalam

sistem pemerintahan desentralistik yang demokratis, mencirikan sebuah bentuk

penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan yang lebih

3 Achmady, Z. A., 1994, Agenda Strategis Kebijakan Pendidikan Nasional Dan Upaya

Mengentaskan Kemiskinan, dalam buku “Kebijakan Publik dan Pembangunan”, IKIP Malang, hal.

71-77.

Page 3: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75380/potongan/S2-2014... · Seiring dengan bergulirnya reformasi sejak Tahun 1998 di negara kesatuan

3

partisipatif, aspiratif, dan tranformatif (membawah perubahan bagi kehidupan

masyarakat dari keadaan yang sudah baik ke arah kondisi yang lebih baik lagi).

Penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan dapat

dikatakan partisipatif, aspiratif, dan tranformatif, apabila pada setiap tahapan

pembangunan selalu melibatkan partisipasi rakyat, untuk memperjuangkan

aspirasi rakyat, dan menghendaki adanya perubahan kualitas hidup rakyat.

Tahapan pembangunan yang dimaksudkan adalah sejak formulasi, implementasi,

sampai evaluasi kebijakan pembangunan dilakukan bersama-sama dengan rakyat.

Dengan melibatkan rakyat dalam setiap tahapan atau proses perumusan kebijakan

pembangunan, sudah dapat dipastikan bahwa kinerja kebijakan pelayanan publik

akan berkualitas. Salah satu indikator kebijakan pelayanan publik dapat dikatakan

berkualitas, apabila perencanaan pendidikan yang sudah ditetapkan sebagi skala

prioritas, kemudian diimplementasikan dalam bentuk program dan kegiatan secara

konsisten. Tentu dapat dipastikan bahwa perencanaan yang diimplementasikan

secara konsisten, akan membawa perubahan kualitas kehidupan rakyat ke arah

kondisi kehidupan yang lebih baik sesuai harapan. Dalam hal ini dengan

terpenuhinya segala macam kebutuhan masyarakat, termasuk pendidikan.

Sehingga tidak keliru apabila dikatakan bahwa Kebijakan Publik atau Kebijakan

Pemerintah pada umumnya dikatakan baik, karena memiliki cita-cita mulia untuk

memperbaiki kualitas kehidupan masyarakat dari keadaan yang kurang baik

menuju kondisi kehidupan masyarakat yang lebih baik sesuai harapan (das sein).

Dalam kaitannya dengan penelitian ini, maka era globalisasi sekarang ini

dimana situasi dan kondisi kehidupan yang semakin kompetitif, sangat dibutuhkan

Page 4: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75380/potongan/S2-2014... · Seiring dengan bergulirnya reformasi sejak Tahun 1998 di negara kesatuan

4

kualitas sumber daya manusia yang mampu bersaing terutama dalam proses

pemenuhan kebutuhan hidup. Sebagaimana Zamroni (2000)4 berpendapat bahwa

pendidikan memiliki keterkaitan yang erat dengan globalisasi. Dimana dalam

proses untuk mewujudkan masyarakat global, maka pilihannya adalah Indonesia

harus melakukan reformasi di bidang pendidikan yang lebih fokuskan pada

penciptaan sistem pendidikan yang lebih komprehensif dan fleksibel, sehingga

para lulusan dapat berfungsi secara efektif dalam kehidupan masyarakat global

demokratis. Kita ketahui bahwa output dan outcome pendidikan yang berkualitas

akan berdampak pada kondisi masyarakat yang memiliki sumber daya manusia

yang berkualitas pula. Sehingga dengan demikian, maka dalam rangka memenuhi

kebutuhan pendidikan tersebut sangat tepat apabila kebijakan pembangunan

daerah, di arahkan pada upaya peningkatan kualitas layanan pendidikan. Untuk

mengetahui apakah kebijakan pemerintah benar-benar mengarah pada upaya

peningkatan kualitas pendidikan, akan terlihat pada sejauh mana konsistensi

antara perencanaan dan implementasi program. Konkritnya adalah konsistensi

antara perencanaan pendidikan selama kurun waktu 5 (lima) tahun, dengan

program yang di implementasikan setiap tahun dengan menggunakan dana APBD.

Adapun periodisasi 5 (lima) tahun yang dimaksudkan penulis adalah tahun 2005-

2009, sedangkan untuk program tahunan dibatasi pada program pendidikan tahun

2007 dan 2008.

Keharusan dalam memberikan layanan dan menyelenggarakan pendidikan

yang berkualitas bagi seluruh masyarakat merupakan kewajiban Pemerintah

4 Zamroni, 2000, Paradigma Pendidikan Masa Depan, Yogyakarta, BIGRAF Publishing, hal. 90.

Page 5: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75380/potongan/S2-2014... · Seiring dengan bergulirnya reformasi sejak Tahun 1998 di negara kesatuan

5

sebagai penyelenggara Negara. Oleh karena, secara konstitusional Negara

berkewajiban untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, setiap warga Negara berhak

mendapat pendidikan yang layak, dan pemerintah wajib membiayainya, bahkan

mengamanatkan kepada Negara agar mengalokasikan anggaran pendidikan senilai

dua puluh persen (20%) dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)

maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Dan secara tegas

(eksplisit) anggaran pendidikan dua puluh persen (20%) yang dijabarkan dalam

Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,

khususnya pasal 29, disebutkan bahwa dana pendidikan 20% dari APBN dan

APBD adalah di luar gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan.

Pada sisi yang lain, pemberlakuan UU No. 32 tahun 2004 yang mengatur

tentang prinsip-prinsip penyelenggaraan otonomi daerah, adalah bertujuan agar

pemerintah dalam memberikan pelayanan publik termasuk di bidang pendidikan

semakin efektif dan efisien. Dengan sistem penyelenggaraan desentralisasi dan

otonomi daerah, berarti Pemerintah Daerah memiliki kewenangan yang luas untuk

meningkatkan kualitas pelayanan publik, termasuk di bidang pendidikan. Namun

demikian, pelayanan publik yang berkualitas harus benar-benar menjunjung tinggi

nilai-nilai demokrasi dan kemandirian yang berakar dari masyarakat setempat.

Dimana Pemerintah Daerah bersama-sama dengan rakyatnya diberi ruang dan

kesempatan untuk merencanakan, mengimplementasikan, dan menentukan skala

prioritas pembangunan sesuai kebutuhan masyarakat di daerahnya masing-

masing. Keterlibatan masyarakat dalam setiap tahapan pembangunan sangat

strategis, oleh karena berkaitan dengan kualitas pelayanan yang mereka terima.

Page 6: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75380/potongan/S2-2014... · Seiring dengan bergulirnya reformasi sejak Tahun 1998 di negara kesatuan

6

Bagi masyarakat melalui representasi wakil-wakilnya yang telah terpilih dan

duduk di DPRD, diharapkan dapat menentukan kriteria kualitas pelayanan publik

yang sesuai dengan kebutuhan rakyat yang telah memberi mandat. Misalnya

dalam memilih dan memilah pelayanan apa yang perlu mendapatkan prioritas,

bagaimana cara atau mekanisme dalam menentukan prioritas, oleh siapa dan

dimana pelayanan itu diberikan, bagaimana agar pelayanan dapat efektif dan

efisien, dan merepresentasikan kebutuhan masyarakat. Jelasnya bahwa penetapan

semua kriteria pelayanan yang berkualitas dan memihak pada upaya peningkatan

kesejahteraan masyarakat tersebut, dalam konteks otonomi dan desentralisasi

harus ditentukkan oleh Pemerintah Daerah dan masyarakat itu sendiri.

Selama ini terdapat kecenderungan bahwa penentuan kualitas pelayanan

publik adalah sangat ditentukan oleh Pemerintah Daerah atau lembaga yang

memberikan pelayanan (provider), bukan ditentukan secara bersama-sama antara

provider dengan client, atau citizen sebagai komunitas masyarakat pengguna jasa

pelayanan sebagai pencerminan demokrasi dan kemandirian. Kecenderungan

tersebut bisa berimplikasi pada inkonsistensi perencanaan dan implementasi

program. Sehingga sebaik apapun sebuah perencanaan apabila pada tahapan

implementasinya tidak konsisten, maka tentu pula tidak akan dapat menjawab

persoalan-persoalan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Dalam konteks kebijakan pembangunan pendidikan di Kabupaten Poso,

Pemerintah Daerah memiliki visi pendidikan yaitu terwujudnya masyarakat

Kabupaten Poso yang terdidik dan berbudi luhur. Tentu cita-cita ini dimaksudkan

untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, dan handal dalam SDM. Dalam

Page 7: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75380/potongan/S2-2014... · Seiring dengan bergulirnya reformasi sejak Tahun 1998 di negara kesatuan

7

rangka untuk mewujudkan cita-cita pendidikan tersebut, Pemerintah Kabupaten

Poso tentu sudah mengimplementasikan bermacam-macam program dan kegiatan

di bidang pendidikan, dan untuk mendanai program tersebut Pemerintah Daerah

telah mengalokasikan dana pendidikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja

Daerah.

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pada Tahun 2007

sebelum perubahan, secara keseluruhan berjumlah Rp. 438.024.794.973,38.

Setelah perubahan bertambah menjadi Rp. 31.274.462.250,41 Milyar. Sehingga

total APBD Tahun 2007 sebesar Rp. 469.299.257.223,79 Milyar. Dari total

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah tahun 2007, maka di alokasikan dana

untuk sektor pendidikan sebesar Rp. 128,405,477,924.00 Milyar atau 27,36% dari

total APBD tahun 2007.

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pada Tahun 2008

sebelum perubahan, secara keseluruhan berjumlah Rp. 438.024.794.973,38

Milyar. Setelah perubahan bertambah Rp. 31.274.462.250,41 Milyar sehingga

total Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun 2008 sebesar Rp.

469.299.257.223,79 Milyar. Dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

tahun 2008, maka di alokasikan dana untuk sektor pendidikan sebesar Rp.

142,133,899,329.00 Milyar atau 30,29% dari total APBD tahun 2008. Dari uraian

di atas menunjukkan bahwa di Kabupaten Poso, anggaran pendidikan yang

teralokasikan dalam APBD 2007 maupun APBD 2008 dapat dikategorikan cukup

tinggi karena persentasenya di atas rata-rata 20% dari APBD sebagaimana yang

diamanatkan oleh UUD 1945 maupun UU No. 20 Tahun 2003 tentang pendidikan

Page 8: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75380/potongan/S2-2014... · Seiring dengan bergulirnya reformasi sejak Tahun 1998 di negara kesatuan

8

Nasional. Alokasi anggaran tersebut, tentu dimaksudkan untuk membiayai

program dan kegiatan yang sudah ditetapkan sebagai skala prioritas.

Di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), skala

prioritas pembangunan pendidikan untuk periode tahun 2005-2009 adalah untuk

perluasan dan pemerataan layanan pendidikan agar dapat diakses oleh seluruh

masyarakat, dan meningkatkan mutu layanan pendidikan yang diperoleh setiap

peserta didik. Untuk mencapai target pembangunan pendidikan tersebut, maka

Pemerintah Daerah menyusun berbagai macam program dan kegiatan pendidikan

pada masing-masing jenis dan jenjang pendidikan, yang didanai oleh Angggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah. Dari berbagai macam program dan kegiatan di

bidang pendidikan, boleh jadi sudah ada yang membawa hasil sesuai harapan,

akan tetapi bisa saja justeru terjadi sebaliknya, dana pendidikan yang begitu besar,

tidak membawa perubahan berarti sebagaimana yang diharapkan oleh masyarakat.

Sebagaimana yang telah diuraikan pada halaman sebelumnya bahwa dana

pendidikan baik tahun 2007 maupun tahun 2008 cukup tinggi, yaitu rata-rata di

atas 20% sesuai amanat konstitusi dan UU No.20 tahun 2003 tentang sistem

pendidikan nasional. Akan tetapi ironisnya anggaran pendidikan yang begitu besar

tidak menunjukan capaian hasil yang optimal sesuai yang diharapkan. Misalnya

ketika memperhatikan persentase ketidak lulusan siswa pada tahun 2007 maupun

2008 pada tingkat Sekolah Menengah Atas dapat digolongkan masih sangat

tinggi. Dari Laporan Evaluasi Program dan Capaian Target Kinerja Pembangunan

Pendidikan tahun 2008 disebutkan bahwa, lulusan Ujian Nasional (UN) pada

tingkat SMA negeri maupun swasta, dari 1.622 jumlah peserta, terdapat 962 siswa

Page 9: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75380/potongan/S2-2014... · Seiring dengan bergulirnya reformasi sejak Tahun 1998 di negara kesatuan

9

yang lulus atau 59,31% dari keseluruhan jumlah peserta ujian nasional, sedangkan

yang tidak lulus terdapat 660 siswa atau 40,69% dari keseluruhan peserta yang

mengikuti ujian nasional.

Demikian pula apabila melihat Angka Partisipasi Kasar (APK) dan Angka

Partisipasi Murni (APM) penduduk usia sekolah pada tahun 2008, masih terdapat

kesenjangan pada capaiannya di masing-masing jenjang dan jenis pendidikan

yang ada, sebagaimana dalam tabel berikut:

Tabel 1.1.

Partisipasi Penduduk Usia Sekolah Pada Semua Jenjang Pendidikan

Tahun 2008.

No Komponen Sat Capaian pada masing-masing jenjang pendidikan

TK

4-6

SD

7-12

MI

7-12

SMP

13-15

MTs

13-15

SMA

16-18

MA

16-18

SMK

16-18

1 APK % 46,85 107,48 4,13 78,98 9,55 45,15 3,15 12,19

2 APM % 32,79 91,81 3,54 50,94 6,33 31,70 2,10 9,57 Sumber: diolah dari data sekunder Laporan Capaian Target Dinas P&P Kab. Poso Tahun 2008

Selain beberapa contoh di atas, juga masih terdapat kesenjangan dalam

pembangunan fisik bangunan sekolah pada semua jenjang pendidikan yang ada.

Sebagaimana data dalam Profil Pendidikan Tahun 2008/2009 ditemukan bahwa

dari 18 kecamatan yang ada, hanya terdapat 18 unit SMU, sedangkan

penyebarannya tidak merata. Sebab masih terdapat 5 (lima) kecamatan yang sama

sekali belum memiliki sekolah, baik SMU, MA, maupun SMK. Sementara untuk

jenjang pendidikan wajib dasar 9 (Sembilan) tahun sudah merata di semua desa

dan kecamatan yang ada.

Bahkan sering sekali kita mendengarkan pemberitaan media masa ataupun

kita saksikan langsung bahwa dimana-mana terdapat gedung sekolah yang tidak

layak, daerah pemukiman warga yang belum memiliki sekolah, siswa yang putus

sekolah karena tidak mampu membayar biaya pendidikan, siswa yang tidak lulus

Page 10: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75380/potongan/S2-2014... · Seiring dengan bergulirnya reformasi sejak Tahun 1998 di negara kesatuan

10

ujian nasional, guru-guru yang menuntut haknya, dan masih banyak lagi bentuk

kesenjangan sosial lainnya dalam bidang pendidikan yang dikeluhkan oleh

masyarakat. Kondisi semacam ini tentu bertentangan dengan amanat konsititusi

dimana dalam pembukaan UUD 1945, disebutkan bahwa salah satu tujuan

mendirikan Negara adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Kemudian

pada batang tubuh UUD 1945 hasil amandemen yaitu pasal 31 ayat (1)

menyebutkan bahwa setiap warga Negara berhak mendapat pendidikan. Demikian

pula dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, pasal 5

ayat (2) disebutkan bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk

memperoleh pendidikan yang bermutu. Lebih lanjut pada pasal 6 ayat (1)

disebutkan Pemerintah Daerah wajib meberikan layanan dan kemudahan serta

menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga Negara

tanpa diskriminasi (tidak membedakan warga negara menurut jenis kelamin,

status social ekonomi, agama, dan lokasi geografis). Paling tidak, ada tiga faktor

utama yang menyebabkan kurang berhasilnya upaya peningkatan kualitas

pendidikan, antara lain: (1) strategi pembangunan pendidikan yang masih bersifat

input-oriented, (2) pengelolaan pendidikan yang masih bersifat sentralistik dan

macro-oriented, (3) kurangnya peranserta masyarakat dalam perencanaan dan

penyelenggaraan pendidikan, (Ditjen Dikdasmen, 2002). Kompleksitas persoalan

pendidikan sebagaimana dalam uraian sebelumnya menunjukan bahwa kondisi

layanan pendidikan di Indonesia pada umumnya belum berjalan maksimal

ataupun belum mencapai hasil yang optimal. Dari realitas yang ada

mengindikasikan bahwa, peningkatan kualitas pendidikan berkaitan dengan upaya

Page 11: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75380/potongan/S2-2014... · Seiring dengan bergulirnya reformasi sejak Tahun 1998 di negara kesatuan

11

pemerataan dan perluasan akses layananan pendidikan yang bermutu bagi semua

rakyat untuk menciptakan SDM yang handal masih jauh dari apa yang

diharapkan. Oleh sebab itu dalam kaitannya dengan penelitian ini, penulis ingin

mengetahui secara jelas apakah antara perencanaan, implementasi program, dan

penganggarannya yang begitu besar memang digunakan untuk menunjang

pencapaian target-target yang ingin dicapai sesuai skala prioritas pembangunan

pendidikan atau tidak.

Sebagaimana judul penelitian, maka penulis hanya mengkaji tentang

konsistensi perencanaan dan implementasi program pendidikan pada jenjang

Sekolah Menengah Umum yang didanai dengan APBD Tahun 2007 dan 2008.

B. Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang sebelumnya, maka dapat dirumuskan masalah

penelitian sebagai berikut:

1. Apakah program pembangunan pendidikan Sekolah Menengah Umum yang

didanai dengan APBD 2007-2008 ditetapkan berdasarkan skala prioritas

pembangunan pendidikan?

2. Faktor-faktor apa saja yang berperan penting dalam proses penetapan program

pembangunan pendidikan Tahun 2007-2008.

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk

mengetahui konsistensi antara perencanaan dan implementasi program pendidikan

yang didanani dengan APBD 2007-2008, pada Sekolah Menengah Umum. Selain

Page 12: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75380/potongan/S2-2014... · Seiring dengan bergulirnya reformasi sejak Tahun 1998 di negara kesatuan

12

hal tersebut di atas, penulis juga ingin mengetahui faktor-faktor apa saja yang

berperan penting di dalam proses penetapan program pembangunan pendidikan.

2. Manfaat Penelitian:

Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian adalah :

1) Manfaat teoritis yaitu dapat memberikan pemahaman akan arti pentingnya

konsistensi antara perencanaan dan implementasi program untuk mencapai

kinerja kebijakan pendidikan sesuai yang diharapkan.

2) Manfaat praktis yaitu dapat menjadi bahan masukan atau pertimbangan

bagi Pemerintah Daerah dalam membuat kebijakan pendidikan yang sesuai

dengan apa yang dibutuhkan oleh rakyat sebagai pemberi mandat.

3) Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi siapa saja

yang berminat untuk melakukan penelitian, tentang masalah-masalah

kebijakan pendidikan yang terjadi di seputar perencanaan dan implementasi

program pembangunan pendidikan.

D. Tinjauan Pustaka.

Telah terdapat penelitian sebelumnya yang dituangkan dalam bentuk tesis

dengan judul “Desentralisasi Pelayanan Pendidikan Di SMA Negeri Pangkalan

Bun” (Ikhwanudin,2007). Penelitian sebelumnya ini memiliki keterkaitan atau

korelasi dengan masalah yang akan diteliti, antara lain memiliki kesamaan ketika

berbicara mengenai pergeseran sistem pemerintahan dari sentralisasi ke sistem

desentralisasi, dan pengembangan pendidikan pada jenjang pendidikan menengah.

Akan tetapi juga terdapat perbedaan yang mendasar ketika berbicara

mengenai lokasi, dan fokus kajian masalah penelitian. Tentang lokasi, penelitian

Page 13: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75380/potongan/S2-2014... · Seiring dengan bergulirnya reformasi sejak Tahun 1998 di negara kesatuan

13

sebelumnya mengambil lokasi di SMA Negeri Pangkalan Bun Kabupaten

Kotawaringin Barat, Kalimantan Timur. Sedangkan lokasi penelitian yang penulis

lakukan adalah di Kabupaten Poso, Propinsi Sulawesi Tengah. Kemudian

perbedaan lainnya adala mengenai fokus dan obyek kajian. Dimana penelitian

sebelumnya melihat implementasi desentralisasi pendidikan dari sisi hubungan

kemitraan antar lembaga yang terlibat dalam proses pengembangan pendidikan.

Kemitraan antar lembaga yang dimaksudkan adalah hubungan kerja antara

Sekolah Menengah Atas dengan Komite Sekolah dalam meningkatkan prestasi

belajar siswa.

Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah, untuk melihat

sejauh mana keseuaian atau konsistensi antara perencanaan dengan implementasi

program pendidikan maupun pendanaannya. Atau dengan kata lain bahwa

penelitian ini membahas bagaimana kesesuaian antara Rencana Kerja Pemerintah

Daerah (RKPD) Tahun 2007/2008 dengan implementasi program dan kegiatan

pendidikan menengah yang mendapat alokasi biaya dari APBD Tahun 2007/2008.

Dengan kata lain bahwa perbedaan mendasar antara penelitian sebelumnya dan

penelitian yang dilakukan oleh penulis terletak pada lokasi dan fokus atau obyek

dan subyek penelitiannya. Walaupun terdapat perbedaan mendasar antara hasil

penelitian sebelumnya dan penelitian yang penulis lakukan, namun paling tidak

hasil penelitian sebelumnya akan membantu dan memperkaya wawasan penulis

untuk memahami persoalan-persoalan sosial yang terjadi dalam dunia pendidikan.

Dalam uraian selanjutnya, untuk mendeskripsikan tentang konsistensi antara

perencanaan dan implementasi program dan kegiatan pendidikan pada jenjang

Page 14: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75380/potongan/S2-2014... · Seiring dengan bergulirnya reformasi sejak Tahun 1998 di negara kesatuan

14

Sekolah Menengah Umum, khususnya yang didanai dengan Anggaran Pendapatan

dan Belanja Daerah tahun 2007/2008, penulis menggunakan beberapa pendekatan

teori dan konsep, antara lain:

1. Konsep Desentralisasi dan Otonomi Daerah

Desentralisasi dan Otonomi Daerah dalam kaitannya dengan penelitian ini

adalah untuk mengetahui peranan Pemerintah Daerah dalam menyelenggarakan

pendidikan yang bermutu bagi semua masyarakat tanpa adanya diskriminasi,

sebagaimana yang diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah. Hal ini penting oleh karena salah satu urusan wajib Pemerintah Daerah

dalam konteks desentralisasi dan otonomi daerah adalah penyelenggaraan

pembangunan di bidang pendidikan.

Secara konseptual, desentralisasi merupakan sebuah proses pelimpahan

otoritas pengambilan keputusan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah

untuk menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan, termasuk dalam

bidang pendidikan. Pelimpahan kewenangan tersebut tentu dimaksudkan untuk

meningkatkan efisiensi dan efektifitas pelayanan terhadap kebutuhan masyarakat.

sehingga dengan demikian dapat dikatakan bahwa desentralisasi sebagai wahana

yang diperlukan untuk mendekatkan pelayanan publik dan mempercepat

pembangunan di daerah. Dalam konteks Indonesia, desentralisasi dimaknai

sebagai sebuah proses perubahan sistem pemerintahan, dari yang dulunya (Orba

dan Orla) menggunakan sistem penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan

yang terpusat (sentralisasi) berubah menjadi sistem desentralisasi atau otonomi.

Dimana dalam sistem desentralisasi terjadi proses pelimpahan kewenangan dari

Page 15: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75380/potongan/S2-2014... · Seiring dengan bergulirnya reformasi sejak Tahun 1998 di negara kesatuan

15

Pemerintah kepada Pemerintah Daerah, untuk menjalankan roda pemerintahan

dan pembangunan sesuai batas-batas kewenangan atau otonomi yang diberikan.

Syaukani, dkk. (2009)5 menyebutkan bahwa pemberian kewenangan

(defolution of authority) kepada unit-unit atau satuan pemerintahan yang lebih

rendah dan lebih kecil merupakan sesuatu kebutuhan yang mutlak dan tidak dapat

dihindari. Pandangan tersebut mengartikan bahwa pendelegasian kewenangan

sampai pada unit-unit terkecil dalam hierarki pemerintahan, merupakan suatu

keharusan untuk dilaksanakan, sehingga pelayanan publik akan lebih berkualitas,

efektif dan efisien. Hal tersebut apabila dilaksanakan secara konsisten, maka dapat

dipastikan keseluruhan sistem pelayanan publik akan berfungsi atau berjalan

dengan baik pula. Pada sisi lain, pemberian kewenangan dan otonomi yang seluas-

luasnya kepada daerah sebagai upaya memotong jalur birokrasi dalam pemberian

layanan publik. Oleh karena pelayanan publik dalam sistem sentralisasi selama ini

terkesan memakan waktu yang lama, berbiaya tinggi, dan berbelit-belit. Demikian

pula Shabbir Cheema dan Rondinelli (1983) dalam Syaukani, dkk. (2009)6,

mengemukakan bahwa rasionalitas desentralisasi dapat memotong jalur birokrasi

yang rumit serta prosedural yang sangat terstruktur dari pemerintah pusat.

Sehingga dengan desentralisasi akan berakibat pada terjadinya penetrasi kebijakan

yang lebih baik sampai ke daerah-daerah yang terpencil. Dalam perspektif politik

menurut Rondinelli dan Cheema (1983)7 mengatakan bahwa:

5 Syaukani, dkk. 2009. Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan, Yogyakarta, kerjasama Pustaka

Pelajar-Pusat Pengkajian Etika Politik dan Pemerintahan, hal. 21. 6 Cheema dan Rondinelli (1983) dalam Syaukani, dkk. 2009. Otonomi Daerah Dalam Negara

Kesatuan, Yogyakarta, Pustaka Pelajar-Pusat Pengkajian Etika Politik dan Pemerintahan, hal. 33 7 Rondinelli dan Cheema (1983), dalam Said Mas’ud, 2008, Arah Baru Otonomi Daerah di

Indonesia, Malang, UMM Press, hal. 5

Page 16: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75380/potongan/S2-2014... · Seiring dengan bergulirnya reformasi sejak Tahun 1998 di negara kesatuan

16

“Decentralization is the transfer of planning, decision making, or

administrative authority from the central government to its field

organizations, local administrative units...”

(desentralisasi atau otonomi daerah adalah proses pelimpahan wewenang

perencanaan, pengambilan keputusan atau pemerintahan dari pemerintah

pusat kepada organisasi unit-unit pelaksana daerah,....)

Pendapat di atas, beranggapan bahwa otonomi daerah atau desentralisasi

akan membawa sejumlah manfaat bagi masyarakat di daerah. Dalam artian bahwa

desentralisasi memberi ruang bagi masyarakat di daerah secara partisipatif dalam

membuat perencanaan, melaksanakan, sampai pada melakukan evaluasi program

yang diimplementasikan. Konotasi lain desentralisasi memungkinkan representasi

yang lebih luas dari berbagai kelompok masyarakat (politik, etnis, agama,

pemuda, kalangan profesi) di dalam tahapan-tahapan pembangunan, yang

kemudian secara adil dan merata mengalokasikan sumber daya tanpa diskriminasi.

Sebagaimana (the world Bank-1999)8 menyebutkan bahwa:

“Decentralization is the tranfer of authority and responsibility for publik

functions from the central government to subordinate or quasi-independent

government organizations and or the private sector”.

Pernyataan di atas mengartikan bahwa desentralisasi atau otonomi daerah

merupakan pelimpahan wewenang dan tanggung jawab untuk menjalankan

fungsi-fungsi publik dari pemerintah pusat kepada organisasi pemerintah di

bawahnya atau yang bersifat semi independent dan atau sektor swasta.

Pelimpahan kewenangan juga bertujuan untuk mendorong peningkatan

kapasitas Pemerintah Daerah dalam mengambil alih fungsi pelayanan publik

terutama dalam penyediaan barang dan jasa di tingkat lokal secara efektif dan

seefisien mungkin. Dalam arti layanan publik yang diberikan oleh Pemerintah

8 Idem, hal 5.

Page 17: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75380/potongan/S2-2014... · Seiring dengan bergulirnya reformasi sejak Tahun 1998 di negara kesatuan

17

Daerah kepada masyarakat tepat sasaran, sesuai kebutuhan masyarakat di daerah,

dan dapat dijangkau oleh semua masyarakat yang ada sampai ke pelosok

perdesaan.

Demikian pula Sunyoto (2005)9, berpendapat bahwa secara politis,

pergeseran penyelenggaraan pemerintahan dari sistem sentralisasi ke sistem

desentralisasi, dapat meningkatkan tanggung jawab politik daerah, dalam

membangun proses demokratisasi. Demorkrasi era desentralisasi dicirikan dengan

adanya partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas sebagai proses konsolidasi

integrasi nasional untuk menghindari konflik Pusat-Daerah, dan konflik antar

Daerah. Menurut Mas’ud (2008)10 desentralisasi sebagai sebuah proses devolusi

hak dan kewenangan dalam sektor publik untuk mendekatkan dan meningkatkan

kualitas pelayanan publik. Walaupun demikian, kualitas pelayanan publik hanya

akan dapat dirasakan manfaatnya, ketika perencanaan dan program pelayanan

dilaksanakan secara konsisten dan tidak ada diskriminasi.

Sebagaimana menurut Soetomo (2006)11 bahwa pada prinsipnya, dalam

setiap proses pembangunan masyarakat agar dirasakan manfaatnya, paling tidak

harus mengandung tiga unsur yaitu adanya proses perubahan mendasar setelah

ada intervensi, mobilisasi sumber daya, dan pengembangan kapasitas masyarakat

atau memberdayakan potensi-potensi yang dimiliki oleh masyarakat.

Dengan demikian berarti penyelenggaraan pembangunan era otonomi

daerah, harus selalu berorientasi pada upaya peningkatan kualitas pelayanan

9 Usman Sunyoto, dalam Hamid Edy Suandi, dan Malian Sobirin, edt,. 2005, Memperkokoh

Otonomi Daerah; Kebijakan, Evaluasi, dan Saran. Yogyakarta, UII-Press, hal. 110. 10 Mas’ud Said, 2008, Arah Baru Otonomi Daerah di Indonesia, Malang, UMM Press, hal 6 11 Soetomo, 2006, Strategi-Strategi Pembangunan Masyarakat, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, hal.

40

Page 18: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75380/potongan/S2-2014... · Seiring dengan bergulirnya reformasi sejak Tahun 1998 di negara kesatuan

18

publik, memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dan berkembang

dalam masyarakat, dan mendistribusikan sumberdaya secara adil dan merata demi

kesejahteraan rakyat itu sendiri. Thoha (2008)12 mengatakan bahwa dengan

desentralisasi dan otonomi berarti Pemerintah Pusat lebih banyak memberikan

kepercayaan dan pemberdayaan kepada daerah agar mampu berperintahan dan

berotonomi mengatasi persoalan-persoalan di daerahnya.

Sebuah daerah seperti di Kabupaten Poso sebagai daerah yang pernah

dilanda konflik sosial pada beberapa tahun silam, diharapkan dengan semangat

otonomi daerah maka Pemerintah Daerah dan masyarakat, akan dapat menata

kembali keterpurukan pembangunan pada semua aspek kehidupan, termasuk di

bidang pendidikan. Sebagaimana Pratikno dalam Karim (2006)13 menyebutkan,

fenomena yang bisa memungkinkan desentralisasi sebagai pilihan, apabila

Pemerintah Daerah dan masyarakat mencapai titik konsolidasi bahwa

desentralisasi satu-satunya pilihan untuk menyelamatkan banyak hal. Lebih lanjut

dikatakan, keberlanjutan desentralisasi bisa terbangun tatkala stakeholders telah

menyepakati desentralisasi sebagai the only game in this country.

Di Kabupaten Poso, salah satu persoalan mendasar adalah masih rendahnya

kualitas sumberdaya manusia yang ada. Sementara bukan rahasia lagi bahwa di

era globalisasi dimana pola kehidupan yang semakin modern, tentu berdampak

pada kondisi kehidupan yang semakin kompetitif. Oleh karenanya maka tidak ada

pilihan lain bagi masyarakat agar bisa bersaing dalam memenuhi kebutuhan

12 Thoha Miftah, 2008, Birokrasi Pemerintah Indonesia di Era Reformasi, Jakarta, Kencana, hal.12 13 Pratikno, dalam Karim Abdul Gaffar, edt,. 2006, Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah di

Indonesia, Yogyakarta, Pustaka Pelajar bekerja sama dengan Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIPOL

Universitas Gadjah Mada, hal. 51.

Page 19: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75380/potongan/S2-2014... · Seiring dengan bergulirnya reformasi sejak Tahun 1998 di negara kesatuan

19

hidupnya, yaitu kualitas sumber daya manusia harus ditingkatkan. Salah satu pilar

yang menjamin terjadinya peningkatan kualitas sumber daya manusia adalah

melalui pendidikan. Sebagaimana Suryadi dan Tilaar (1994)14 mengatakan bahwa

pendidikan memiliki fungsi dalam mempersiapkan sumber daya manusia yang

akan menjadi aktor-aktor dalam menjalankan fungsi dari berbagai bidang

kehidupan yang bersangkutan.

Berkaitan dengan fungsi tersebut, berarti bahwa sistem pendidikan bagian

yang integral dengan perubahan yang terjadi dalam berbagai bidang kehidupan di

luar sistem pendidikan. Dengan kata lain, pendidikan memiliki keterkaitan

fungsional dengan beberapa faktor di luar sistem pendidikan antara lain politik,

ekonomi, sosial budaya, kependudukan, ketenagakerjaan.

Oleh karena itu, sejalan dengan pemberlakuan undang-undang otonomi

daerah, maka Pemerintah Daerah dituntut agar lebih konsisten dengan kebijakan

yang dibuat, dan responsif terhadap kebutuhan rakyatnya. Sesuai konteks

penelitian ini, maka responsifitas yang dimaksudkan penulis adalah berkaitan

dengan layanan pendidikan yang bermutu dan mudah diakses oleh semua

masyarakat. Selanjutnya kualitas layanan pendidikan berkaitan dengan alokasi

anggaran pendidikan yang memadai dan merata untuk semua jenis dan jenjang

pendidikan. Komitmen yang kuat dari pemerintah daerah dalam memajukan

pendidikan demi meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia, tergantung sejauh

mana konsistensi perencanaan dengan implementasi program dan kegiatan yang

didanai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

14 Suryadi Ace, dan Tilaar H.A.R., 1994, Analisis Kebijakan; Suatu Pengantar, Bandung, PT.

Remaja Rosdakarya, hal. 3.

Page 20: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75380/potongan/S2-2014... · Seiring dengan bergulirnya reformasi sejak Tahun 1998 di negara kesatuan

20

Banyak ahli berpendapat bahwa dalam sistem desentralisasi dan otonomi

daerah adalah sebuah kondisi ideal penyelenggaraan pemerintahan yang

dipandang lebih demokratis. Sehingga kondisi tersebut mengharuskan Pemerintah

Daerah harus mampu memberikan pelayanan publik yang lebih berkualitas, lebih

efisien, efektif dan dapat dipertanggungjawabkan (accountable) kepada

masyarakatnya. Dimensi lain yang perlu mendapat perhatian dalam sistem

penyelenggaraan pemerintahan desentralisasi yang dipandang lebih demokratis

adalah kebijakan pemerintah harus bisa mengayomi kepentingan banyak orang.

Menurut Pramusinto (2009)15, pada prinsipnya demokrasi mempunyai akar

filosofis yaitu untuk menjamin terpenuhinya kebebasan secara individual maupun

kelompok dalam memenuhi kebutuhan dasarnya. Demikian pula Pratikno (2006)16

mengatakan bahwa, keperintahan yang baik (good governance) juga menjadi

prasyarat bagi keberlanjutan demokrasi. Artinya bahwa penyelenggaraan tata

pemerintahan yang baik menyangkut proses perumusan kebijakan, proses

komunikasi politik dalam kebijakan tertentu, dan proses pengambilan keputusan

harus bisa menengahi kepentingan kelompok masyarakat.

Dengan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah yang sedang

berlangsung, idealnya Pemerintah Daerah harus mampu memperbaiki kualitas

pelayanannya kepada masyarakat. Perbaikan pelayanan publik akan dapat terus

15 Secara umum, perubahan sistem pemerintahan yang tersentral ke pola pemerintahan

desentralisasi dianggap sebagai bagian dari proses demokrasi dimana daerah diberikan

kesempatan untuk mengatur kehidupannya, sehingga dengan demikian demokrasi dimaknai

dalam ranah klasik yaitu secara instrinsik berorientasi untuk memenuhi kebutuhan dasar sebagai

kekhasan dari strong democracy (Pramusinto dan Kumorotomo, edt, 2009, Governance Reform

di Indonesia: Mencari arah Kelembagaan Politik yang Demokratis dan Birokrasi yang

Profesional, Yogyakarta, Gava Media bekerjasama dengan MAP-UGM, hal.44) 16 Pratikno, dalam Abdul Gaffar Karim, edt,.2006, Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah di

Indonesia, Yogyakarta, Pustaka Pelajar bekerja sama dengan Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIPOL

Universitas Gadjah Mada, hal. 51.

Page 21: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75380/potongan/S2-2014... · Seiring dengan bergulirnya reformasi sejak Tahun 1998 di negara kesatuan

21

berjalan apabila pemerintahan dan pembangunan diselenggarakan berdasarkan

prinsip-prinsip good governance. Antara lain dilaksanakan secara terbuka,

akuntabel, dan memberi ruang partisipasi kepada masyarakat dalam setiap tahapan

pembangunan, sehingga dengan demikian otonomi daerah akan dapat dirasakan

manfaatnya oleh masyarakat. Konotasinya bahwa di era desentralisasi dan

otonomi daerah yang demokratis, mendorong Pemerintah Daerah untuk

memanfaatkan kewenangan yang dimiliki semaksimal mungkin bersama-sama

dengan masyarakatnya dalam menentukan kebutuhan apa yang menjadi skala

prioritas program pembangunan. Menurut Prasojo17 otonomi daerah dari aspek

peningkatan partisipasi rakyat (participatory democracy) memiliki dimensi

political equality dan local accountability, dalam artian bahwa pembangunan dan

pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah daerah (local responsiveness)

harus dapat dipertanggungjawabkan dan memberikan kesempatan yang sama bagi

seluruh komponen masyarakat. Dalam konteks ini, berarti masyarakat memiliki

kesempatan yang lebih besar untuk terlibat secara aktif baik sejak perencanaan,

implementasi program, maupun ikut mengevaluasi hasil kebijakan pendidikan.

2. Teori Kebijakan Publik (Publik Policy theory).

Teori kebijakan publik dalam konteks penelitian ini, digunakan sebagai

pendekatan untuk memahami bagaimana tahapan-tahapan dalam proses

pengambilan keputusan untuk sebuah kebijakan publik. Pada umumnya kebijakan

publik diartikan sebagai kebijakan Negara (Pemerintah). Konotasi kebijakan

publik adalah serangkaian tindakan yang diambil oleh pejabat dalam lembaga atau

17 Prasojo Eko dalam Kurniawan Lutfi J., 2007, Wajah Buram Pelayanan Publik, Malang

Corruption Watch dan YAPPIKA-Aliansi Masyarakat Untuk Demokrasi., hal. viii.

Page 22: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75380/potongan/S2-2014... · Seiring dengan bergulirnya reformasi sejak Tahun 1998 di negara kesatuan

22

institusi pemerintah yang memiliki kewenangan (otoritas) dalam pengambilan

keputusan, untuk mengatasi masalah pendidikan. Kebijakan Publik dalam konteks

penelitian ini menggambarkan bagaimana isu-isu pendidikan menengah dapat

didorong untuk menjadi bagian dari Rencana Strategis Pemerintah Daerah dalam

memberikan layanan pendidikan yang berkualitas bagi seluruh masyarakat, demi

peningkatan kualitas sumber daya manusia di daerah ini. Memajukan pendidikan

dalam sistem pemerintahan desentralisasi yang lebih demokratis, (partisipatif,

aspiratif, akuntabel dan transparan) memberi jaminan bahwa perencanaan dan

lebih implementasi program akan semakin berkualitas atau konsisten. Salah satu

faktor yang mendukung perencanaan dan implementasi program pendidikan akan

semakin berkualitas dalam sistem pemerintahan desentralisasi adalah dengan

dibukanya ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses perumusan

kebijakan. Keterlibatan kelompok masyarakat diindikasikan dengan semakin

banyaknya bermunculan kelompok-kelompok kepentingan atau kelompok

penekan secara bebas dan terbuka dalam setiap tahapan pembangunan.

Sebagaimana menurut Agustino18 kehadiran kelompok kepentingan seperti

organisasi buruh, bisnis, kepemudaan dan partai politik, dalam proses perumusan

kebijakan berfungsi sebagai mediator untuk memperjuangkan kepentingan warga

masyarakat tertentu. Dalam hal ini, kehadiran kelompok kepentingan tidak hanya

mengemukakan tuntutan tetapi sekaligus memberi informasi kepada pejabat

publik tentang sifat dan akibat dari usulan kebijakan, dan menawarkan alternatif

tindakan kebijakan.

18 Agustino Leo, 2008, Dasar-Dasar Kebijakan Publik, Bandung, Alfabeta, hal. 36.

Page 23: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75380/potongan/S2-2014... · Seiring dengan bergulirnya reformasi sejak Tahun 1998 di negara kesatuan

23

Secara konseptual kajian kebijakan publik, membahas bagaimana isu-isu

atau masalah kebijakan (policy problem) yang didefinisikan menjadi agenda

kebijakan, diformulasikan menjadai kebijakan pemerintah, dan diimplementasikan

dalam bentuk program dan kegiatan untuk mengintervensi masalah pendidikan.

Sebagaimana menurut Dye (1976)19 Kebijakan Publik adalah studi tentang segala

sesuatu yang dikerjakan pemerintah, mengapa mereka melakukan, dan hasil yang

membuat sebuah kehidupan bersama tampil berbeda (what government do,why

they do it, and what difference it makes). Dari pendapat tersebut kebijakan publik

juga dapat dimaknai sebagai study tentang bagaimana, mengapa, dan apa efek dari

tindakan yang dilakukan pemerintah. Menurut Parsons20 bahwa kebijakan dapat

juga dipahami dengan menganalisis proses kebijakan (policy process) dalam

pengambilan sebuah keputusan. Pendekatan proses yang dimaksud adalah

bagaimana cara mendefinisikan problem dan ditetapkan sebagai agenda kebijakan,

kemudian dirumuskan menjadi sebuah kebijakan melalui proses pengambilan

keputusan, selanjutnya diimplementasikan dalam bentuk program dan kegiatan

dengan konsekwensi anggarannya, yang pada akhirnya dilakukan evaluasi sejauh

mana dampak dari kebijakan tersebut dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.

Pemahaman tersebut sejalan dengan pendapat Budiardjo (2008)21 bahwa

kebijakan publik adalah sebuah proses pengambilan keputusan (decision making

process) yang hanya dapat dilakukan oleh pemerintah sebagai pemegang otoritas.

Pendapat Budiarjo tersebut sejalan pula dengan pendapat yang disampaikan oleh

19 Dye Thomas R., 1976, What Governments Do, Why They do it, What Difference it Makes,

University of Alabama Press, Tuscaloosa, Ala. 20 Parsons Wayne, 2008, Public Policy: Pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan Publik,

Jakarta, Kencana Predana Media Grroup, hal. Xii. 21 Budiardjo Miriam, 2008, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, hal. 17.

Page 24: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75380/potongan/S2-2014... · Seiring dengan bergulirnya reformasi sejak Tahun 1998 di negara kesatuan

24

Easton22, bahwa kebijakan publik merupakan alokasi nilai yang otoritatif untuk

seluruh masyarakat, akan tetapi hanya pemerintahlah yang dapat berbuat secara

otoritatif bagi seluruh masyarakat, dan semua yang dipilih oleh pemerintah untuk

dikerjakan atau tidak dikerjakan adalah hasil dari alokasi nilai-nilai tersebut.

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teori atau konsep keijakan

publik sebagai sebuah pendekatan untuk memahami sejauh mana konsistensi

kebijakan pendidikan di lihat dari beberapa aspek, antara lain:

1) Kebijakan Publik Dipandang Sebagai Regulasi

Kebijakan publik dipandang sebagai regulasi atau peraturan perundang-

undangan yang bersifat mengatur dan membatasi atau mengikat bagi semua

masyarakat. Dalam rana ini kebijakan publik dapat dilihat dari tujuannya untuk

men-distribusikan sumberdaya atau recourses yang bersifat mengatur dan

mengikat demi kepentingan semua masyarakat. Kebijakan distributif misalnya,

kebijakan otonomi daerah UU No.32 Tahun 2004 dimana Pemerintah Pusat

mendistribusikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengelola

sejumlah sumber daya yang ada di daerah, untuk kepentingan kesejahteraan

rakyat. Untuk itu, dengan didukung pemberlakuan undang-undang otonomi

daerah, maka tidak ada pilihan lain bagi Pemerintah Daerah yakni harus

mendorong dan meletakkan peningkatan kualitas sumberdaya manusia sebagai

pilar utama dalam pembangunan daerah. Dalam rangka peningkatan kualitas

sumberdaya manusia di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, jalur pendidikan

formal maupun informal memegang peranan penting. Sebab peningkatan kualitas

22 Easton David dalam Thoha Miftah, 1992, Dimensi-Dimensi Prima Ilmu administrasi Negara,

Jakarta, Raja Grafindo Persada, hal. 59-60

Page 25: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75380/potongan/S2-2014... · Seiring dengan bergulirnya reformasi sejak Tahun 1998 di negara kesatuan

25

layanan pendidikan merupakan suatu proses yang terintegrasi dengan proses

peningkatan sumberdaya manusia. Sehingga dengan kebijakan otonomi daerah,

diharapkan Pemerintah Daerah akan mampu dan terus berupaya mewujudkan

amanat tersebut melalui berbagai usaha untuk meningkatkan kualitas pendidikan.

Demikian pula pemberlakuan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem

Pendidikan Nasional. Dimana dalam undang-undang tersebut mengamanatkan

Pemerintah Daerah wajib mengalokasikan dana pendidikan di luar gaji guru dan

operasional kedinasan minimal 20% dari APBN maupun APBD. Dengan

demikian kewajiban dalam pengalokasian anggaran untuk pendidikan tersebut,

merupakan salah satu bentuk kebijakan distributif yang bersifat mengatur dan

wajib dilakukan oleh Pemerintah Daerah dalam rangka meningkatkan kualitas

pelayanan publik dalam bidang pendidikan. UU No. 20 Tahun 2003 tentang

Sistem Pendidikan Nasional, pasal 56 ayat (1) esensinya mendorong peran serta

masyarakat dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan melalui fungsi

perencanaan, pengawasan, dan evaluasi program yang diimplementasikan.

2) Kebijakan Publik Sebagai Sebuah Proses Pengambilan Keputusan

Kebijakan publik juga dimaknai sebagai sebuah keputusan yang diambil

oleh pemerintah, untuk mengatasi permasalahan-permasalahan publik yang

dihadapi. Pemaknaan kebijakan publik sebagai suatu keputusan didasarkan

dengan adanya konsep state centric dimana negara atau dalam hal ini pemerintah

sebagai pemegang otoritas utama dalam pembuatan kebijakan atau keputusan.

Dalam pemahaman kebijakan publik sebagai sebuah keputusan inilah, termasuk

juga ketika Pemerintah Daerah memilih untuk tidak melakukan atau memilih

Page 26: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75380/potongan/S2-2014... · Seiring dengan bergulirnya reformasi sejak Tahun 1998 di negara kesatuan

26

melakukan tindakan nyata terkait dengan upaya merespon isu-isu pendidikan.

Sebagaimana Dye,23 mengatakan bahwa public policy is whatever government

choose todo or not todo, dengan demikian berarti bahwa apapun yang dipilih oleh

pemerintah untuk dilakukan maupun yang tidak dilakukan adalah kebijakan

publik.

Pengertian kebijakan publik di atas, mengartikan bahwa ketika pemerintah

mengambil keputusan untuk mengintervensi persoalan publik, terjadi proses

pemilihan dan pemilahan untuk menentukan program dan kegiatan prioritas

pembangunan yang akan dilakukan oleh pemerintah daerah. Dalam hal ini

merujuk pada proses pembuatan kebijakan pendidikan yang berlangsung setiap

tahun, melalui tahapan-tahapan dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan

(Musrenbang). Sehingga dari hasil Musrenbang inilah yang dijadikan penulis

sebagai pintu masuk untuk menelusuri konsistensi kebijakan pendidikan. Dimana

Pemerintah Daerah bersama DPRD menetapkan apa yang harus diprioritaskan

dalam rangka penyelenggaraan pendidikan.

Sebuah kebijakan hanya akan bernilai atau bermanfaat apabila prioritas

pembangunan konsisten dengan target pembangunan dalam kurun waktu tertentu.

Sebagaimana menurut Suharto24 pada intinya kebijakan publik merupakan

keputusan-keputusan atau pilihan-pilihan tindakan yang secara langsung mengatur

pengelolaan dan pendistribusian resorsis atau sumberdaya, demi kepentingan

publik yakni rakyat banyak. Produk-produk kebijakan pendidikan hanya akan

dirasakan manfaatnya oleh rakyat banyak apabila keputusan yang di ambil oleh

23 Dye Thomas R. dalam Winarno Budi, 2008, Kebijakan Publik: Teori dan Proses, Yogyakarta,

Medpres, hal. 17. 24 Suharto Edi, 2008, Kebijakan Sosial sebagai Kebijakan Publik, Bandung, Alfabeta, hal. 3.

Page 27: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75380/potongan/S2-2014... · Seiring dengan bergulirnya reformasi sejak Tahun 1998 di negara kesatuan

27

Pemerintah Daerah, konsisten dengan apa yang diimplementasikan. Konsistensi

yang dimaksudkan penulis adalah bagaimana program dan kegiatan yang

dilaksanakan dengan dukungan dana APBD, benar-benar untuk mendukung

pencapaian target yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah

Daerah (RPJMD).

3) Kebijakan Publik dipandang sebagai Program dan Kegiatan

Program, kegiatan, dan anggaran adalah merupakan instrumen kebijakan

publik itu sendiri. Oleh karena itu kebijakan publik yang berkualitas harus

didukung oleh program, kegiatan, dan anggaran yang realistis dan terukur. Aspek

realistis mengandung arti program dan kegiatan yang sesuai dengan konteks

masalah yang ada dalam masyarakat. Sedangkan terukur berarti program yang

dapat dijangkau dan diimplementasikan. Secara konseptual program dan kegiatan

adalah strategi dan arah tindakan yang dipilih atau ditetapkan pemerintah dalam

rangka untuk mencapai tujuan kebijakan. Sebagaimana Winarno (2008)25

mengatakan bahwa kebijakan publik tidak hanya sebatas apa yang diusulkan

pemerintah, tetapi mencakup juga arah tindakan yang dilakukan pemerintah. Oleh

karena itu pada penulisan tesis ini, kebijakan publik dimaknai juga sebagai

serangkaian program dan kegiatan Pemerintah Daerah, yang diimplementasikan

setiap tahun, yang didanai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

(APBD), untuk mencapai target yang sudah ditetapkan dalam skala prioritas

pembangunan selama lima tahun. Demikian pula Hogwood dan Gunn (1990)26,

mengatakan bahwa kebijakan publik yakni seperangkat program dan kegiatan

25 Winarno Budi, 2008, Kebijakan Publik: Teori dan Proses, Yogyakarta, Medpres, hal. 35 26 Hogwood dan Gunn, 1990, dalam Suharto Edi, 2008, Kebijakan Sosial sebagai Kebijakan

Publik, Bandung, Alfabeta, hal. 4.

Page 28: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75380/potongan/S2-2014... · Seiring dengan bergulirnya reformasi sejak Tahun 1998 di negara kesatuan

28

yang mencakup rencana penggunaan sumberdaya (recourses) lembaga dan

strategi pencapaian tujuan. Pandangan yang sama juga disebutkan oleh Bridgeman

dan Davis (2004)27 bahwa kebijakan adalah a means to an end yaitu alat untuk

mencapai sebuah tujuan. Dengan demikian dapat diartikan bahwa kebijakan

publik adalah seperangkat tindakan atau kegiatan pemerintah yang didesain

sedemikian rupa dalam bentuk program, alokasi anggaran biaya, dan struktur

pelaksanaannya, untuk mencapai hasil-hasil tertentu.

Laswell dan Kaplan (1970)28 memandang kebijakan publik sebagai suatu

program yang diproyeksikan dengan tujuan-tujuan tertentu, nilai-nilai tertentu,

praktik-praktik tertentu (a projected program of goals, values, and practices).

Dari pendapat Laswell dan Kaplan tersebut mengartikan juga bahwa kebijakan

publik adalah program dan kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah dengan

tujuan-tujuan tertentu dan memberi dampak yang dirasakan oleh masyarakat

sebagai penerima layanan.

Demikian pula Easton (1965)29 mendefinisikan kebijakan publik sebagai

akibat aktivitas pemerintah (the impact of government activity). Dengan demikian

maka dalam konteks penelitian ini, kebijakan publik berkaitan dengan aktivitas

Pemerintah Daerah yang berakibat pada perbaikan kualitas layanan pendidikan,

yang dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.

Capaian hasil pembangunan dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat di

bidang pendidikan semisal adanya pemerataan akses masyarakat terhadap layanan

27 Ibid, hal. 5. 28 Laswell Harold dan Kaplan Abraham (1970) dalam Nugroho Riant, 2009, Public Policy, PT.

Elex Media Komputindo, Jakarta, hal. 84 29 Idem, hal. 84.

Page 29: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75380/potongan/S2-2014... · Seiring dengan bergulirnya reformasi sejak Tahun 1998 di negara kesatuan

29

pendidikan yang berkualitas, tanpa membeda-bedakan status sosial masyarakat

maupun kondisi geografisnya. Pemerataan akses layanan dalam persepsi penulis,

adanya keseimbangan pembangunan infrastruktur dan pelayanan jasa dalam

bentuk beasiswa, bagi rakyat yang kurang mampu untuk membiayai pendidikan.

Sebagaimana SK MenPan Nomor 81/1993, yang dimaksud dengan pelayanan

umum adalah segala bentuk pelayanan yang dilakukan oleh instansi pemerintah

dalam bentuk barang dan jasa. Paling tidak dalam memberikan pelayanan barang

dan jasa harus ada keseimbangan menurut kebutuhannya. Selama ini, prioritas

layanan publik khususnya dalam bidang pendidikan, masih diprioritaskan dalam

bentuk barang atau fisik. Sementara pelayanan jasa masih kurang mendapatkan

perhatian dari Pemerintah Daerah.

Menurut hemat penulis, pelayanan jasa masih diterjemahkan secara sempit

oleh stakeholders yang terlibat dalam proses penyusunan program dan kegiatan.

Pelayanan jasa diartikan masih sebatas penghargaan atas jasa-jasa bagi para aktor

yang terlibat dalam proses perumusan program sampai pada pelaksanaan kegiatan.

sehingga wajarlah apabila program dan kegiatan pendidikan yang disusun setiap

tahun anggaran lebih banyak berorientasi pada proyek fisik ketimbang non-fisik.

Dari uraian tentang konsep kebijakan publik sebagaimana tersebut di atas,

maka pada prinsipnya terminologi kebijakan publik tidak hanya dalam bentuk

peraturan perundang-undangan yang bersifat mengatur tentang tatacara kehidupan

bersama, akan tetapi lebih dari itu bahwa cakupan kebijakan publik adalah

serangkaian instrumen kebijakan publik yang lebih luas. Keseluruhan proses atau

rangkaian kebijakan publik yang dimaksud, antara lain: menyangkut aspek proses

Page 30: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75380/potongan/S2-2014... · Seiring dengan bergulirnya reformasi sejak Tahun 1998 di negara kesatuan

30

perencanaan pembangunan, proses pengambilan keputusan dalam menentukan

prioritas atau arah tindakan, desain program dan kegiatan yang akan dilaksanakan,

termasuk juga anggaran pembiayaan dan struktur pelaksanaannya. Sebagaimana

menurut Suharto Edi (2006)30 bahwa kebijakan publik adalah seperangkat

tindakan (course of action), kerangka kerja (framework), petunjuk (guideline),

rencana (plan), peta (map). Dengan kata lain bahwa program dan kegiatan adalah

sebuah strategi yang dirancang untuk menterjemahkan visi politis pemerintah

menjadi definisi operasional ke dalam bentuk program dan tindakan nyata dan

sistematis untuk mencapai tujuan pembangunan yang diharapkan.

4) Formulasi Kebijakan Publik dalam konteks Pembangunan di Daerah

Secara konseptual, proses pembuatan kebijakan publik (policy making

process), adalah proses yang berlangsung dalam tahap-tahap pembuatan kebijakan

politik yang saling berkaitan satu dengan yang lain untuk mencapai suatu tujuan.

Sebagaimana menurut Dunn (2003)31 bahwa tahapan pembuatan kebijakan antara

lain terdiri dari; Penyusunan Agenda, Formulasi Kebijakan, Adopsi Kebijakan,

Implementasi Kebijakan, dan Evaluasi atau Penilaian Kebijakan. Pada level

penyusunan agenda, dimana masing-masing aktor yang terlibat dalam pembuatan

kebijakan mengadakan seleksi untuk menentukan isu-isu, atau masalah-masalah

yang akan dimasukan dalam agenda kebijakan secara kompetitif. Pada level

formulasi kebijakan, masalah yang sudah masuk dalam agenda kebijkan dan

kemudian di bahas oleh aktor pembuat kebijakan. Masalah tadi didefinisikan

30 Suharto Edi, 2006. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat, Bandung. Refika

Aditama, hal. 107. 31 Dunn, William N.2003, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Yogyakarta, Gadjah Mada

University Press, hal. 45.

Page 31: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75380/potongan/S2-2014... · Seiring dengan bergulirnya reformasi sejak Tahun 1998 di negara kesatuan

31

kemudian dicari pemecahan masalahnya. Pemecahan masalah tersebut berasal dari

alternatif atau pilihan kebijakan (policy option) yang ditawarkan oleh masing-

masing aktor. Pada level ini masing-masing aktor akan “bermain” untuk

mengusulkan pemecahan masalah yang terbaik. Pada level adopsi kebijakan, dari

sekian banyak pemecahan masalah yang ditawarkan oleh para perumus kebijakan,

yang pada akhirnya dari sekian banyak opsi yang ditawarkan tersebut hanya salah

satu yang diadopsi dengan dukungan dari mayoritas legislatif. Pada level

implementasi kebijakan, suatu program kebijakan hanya akan menjadi sebuah

catatan elit apabila tidak diimplementasikan. Oleh karena itu keputusan kebijakan

yang telah diambil sebagai pemecahan masalah harus dilaksanakan oleh unit-unit

administrasi yang memobilisasikan sumberdaya finansial dan manusia. Pada level

implementasi ini berbagai kepentingan dari masing-masing aktor yang terlibat

dalam pengambilan keputusan akan saling bersaing menawarkan opsi demi

kepentingan rakyat. Pada level evaluasi kebijakan, tahapan untuk menilai atau

mengevaluasi kebijakan yang sudah dilaksanakan, sudah sejauhmana kebijakan

tersebut mampu memecahkan masalah.

Dye (1976) dalam Parsons (2008)32 mengatakan bahwa proses pembentukan

sebuah kebijakan dalam bidang apapun, paling tidak harus melalui beberapa

tahapan seperti tersebut pada uraian di atas. Dengan demikian maka proses

pembuatan kebijakan, dilukiskan sebagai siklus aktivitas yang bertahap menurut

waktu, bersifat tidak linear, dan tidak luput dari kompetisi kepentingan atau

konflik-konflik kepentingan (conflict-interest) antar aktor yang terlibat dalam

32 Dye, Thomas R, 1976, dalam Wayne Parsons, 2008, Public Policy, Jakarta, Kencana, hal. 457

Page 32: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75380/potongan/S2-2014... · Seiring dengan bergulirnya reformasi sejak Tahun 1998 di negara kesatuan

32

membuat kebijakan atau pengambilan keputusan. Berangkat dari konsep proses

pembuatan kebijakan publik pada uraian di atas, maka formulasi kebijakan publik

pada level mikro atau level daerah, dipandang sebagai sebuah proses dalam sistem

perencanaan dan penganggaran pembangunan daerah. Dalam hal ini adalah proses

pengambilan keputusan untuk menentukan prioritas program dan kegiatan

pembangunan melalui forum Musyawarah Perencanaan dan Pembangunan atau

dikenal dengan Musrenbang. Forum musrenbang dilaksanakan setiap tahun

dengan tujuan untuk menyusun program dan kegiatan prioritas pembangunan,

memperhitungkan risorsis yang tersedia untuk mencapai target pembangunan

jangka menengah 5 (lima) tahunan.

Sesuai UU No. 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanan Pembangunan

Nasional yang mengatur mekanisme atau tata cara perencanaan pembangunan

untuk menghasilkan dokumen rencana pembangunan baik jangka panjang, jangka

menengah, dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur pemerintah dan masyarakat

secara otonom pada tingkat Daerah. Esensi pentahapan menurut jenjang waktu

untuk mengetahui keberhasilan kinerja pembangunan. Keberhasilan jangka

panjang dapat direfleksikan dengan keberhasilan jangka menengah, keberhasilan

jangka menengah dapat direfleksikan dengan keberhasilan pembangunan yang

dilaksanakan setiap tahun. Perencanaan dan pelaksanaan pembangunan setiap

tahun melalui mekanisme Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang).

Hasil musrenbang Kabupaten mendokumentasikan beberapa isu-isu

kebijakan dari masing-masing SKPD, yang sudah dikemas dalam bentuk usulan

program dan kegiatan termasuk rencana pembiayaannya. Selanjutnya usulan

Page 33: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75380/potongan/S2-2014... · Seiring dengan bergulirnya reformasi sejak Tahun 1998 di negara kesatuan

33

program dan kegiatan tersebut menjadi bahan pembahasan dalam rapat paripurna

DPRD untuk mendapat persetujuan. Dalam rapat paripurna untuk pengambilan

keputusan inilah sering terjadi perdebatan yang sengit antar stakeholders

kebijakan atau pemangku kepentingan. Stakeholders kebijakan yang dimaksudkan

di sini adalah individu, kelompok atau lembaga yang memiliki kepentingan

langsung terhadap kebijakan pedidikan. Putra (2005) dalam Suharto (2008)33

menyebutkan bahwa stakeholders kunci dalam membuat kebijakan adalah mereka

yang memiliki kewenangan secara legal. Pada tingkat kabupaten, stakeholders

kunci untuk suatu kebijakan pendidikan adalah 1). Bupati, 2). Anggota DPRD, 3).

Kepala Dinas pendidikan dan pengajaran. Sebagaimana menurut Suharto (2008)34

bahwa stakeholders kebijakan mencakup aktor yang terlibat dalam proses

perumusan dan pelaksanaan suatu kebijakan publik, para penerima manfaat,

maupun para korban yang dirugikan oleh sebuah kebijakan publik.

Kita ketahui bahwa kebijakan publik dibuat oleh karena adanya

permasalahan publik yang harus direspon oleh pemerintah, sebagai aktor yang

memiliki kewenangan dalam pengambilan keputusan. Akan tetapi pada tataran

pengambilan keputusan inilah, masing-masing aktor akan mengemukakan dan

memperjuangkan argumen kebijakan dalam mempertahankan usulan alternatif

pemecahan masalah publik. Dunn (2003)35 menyebutkan argumen-argumen

kebijakan merupakan sarana untuk melakukan perdebatan mengenai isu-isu

kebijakan publik yang bermuara pada upaya pemecahan masalah publik.

33 Putra (2005) dalam Suharto Edi, 2008, Kebijakan Sosial sebagai Kebijakan Publik, Bandung,

Alfabeta, hal. 25. 34 Ibid, hal. 24. 35 Dunn William N., 2003, Analisis Kebijakan Publik, Yogyakarta, Gadjah Mada University

Press, hal. 103.

Page 34: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75380/potongan/S2-2014... · Seiring dengan bergulirnya reformasi sejak Tahun 1998 di negara kesatuan

34

3. Konsep Implementasi Kebijakan

Salah satu tahapan dalam proses pembuatan kebijakan publik adalah

tahapan implementasi. Hal ini menjadi penting oleh karena perencanaan yang

menghasilkan skala prioritas yang kemudian tidak diimplementasikan dalm

bentuk program dan kegiatan hanya akan menjadi sebuah catatan elit. Oleh karena

itu skala prioritas yang telah diputuskan sebagai alternatif pemecahan masalah

harus dilaksanakan atau diimplementasikan. Pada level lokal atau daerah

kabupaten, unit administrasi pemerintah yang paling bertanggungjawab dalam

melaksanakan program dan kegiatan pembangunan di bidang pendidikan, adalah

Dinas Pendidikan dan Pengajaran sebagai Unit Satuan Kerja Perangkat Daerah

(SKPD).

Pada level Implementasi kebijakan adalah hal yang paling berat, karena di

sini sering terjadi masalah-masalah yang kadang tidak dijumpai dalam konsep,

tetapi muncul di lapangan. Selain itu, pada tahap implementasi kebijakan,

ancaman utamanya adalah konsistensi implementasi. Dalam penulisan tesis ini,

konsistensi perencanaan dan implementasi program pendidikan dapat dikaitkan

dengan kesesuaian antara usulan-usulan program yang terdapat dalam Rencana

Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) dengan implementasi program dan kegiatan

pendidikan yang dilaksanakan dengan menggunakan dana APBD.

Jika Kepala Daerah dan DPRD tidak mempunyai visi dan misi yang sama

dalam membangun daerah, tidak perna bersepakat, bahkan saling menjatuhkan,

dalam hal merencanakan dan mengimplementasikan satu kebijakan publik yang

akan membawa kemajuan bagi rakyat di daerah, sudah dapat dipastikan bahwa

Page 35: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75380/potongan/S2-2014... · Seiring dengan bergulirnya reformasi sejak Tahun 1998 di negara kesatuan

35

yang akan terjadi adalah kemerosotan pembangunan. Oleh karena itu, komitmen

yang kuat dan kesepakatan bersama dalam menentukan prioritas pembangunan

yang akan dilaksanakan adalah kunci efektifitas implementasi kebijakan.

Hogwood dan Gunn (1978) dalam Nugroho,36 berpendapat bahwa salah satu

efektifitas implementasi kebijakan adalah terbangunnya komunikasi dan

koordinasi yang sempurna di antara para stakeholders kebijakan. Dimana

komunikasi adalah perekat organisasi, dan koordinasi adalah asal muasal dari

kerjasama tim serta terbentuknya sinergi.

Nugroho (2009)37, menyarankan ada “empat tepat” yang perlu dipenuhi

dalam hal keefektifan implementasi kebijakan, yaitu; Tepat pertama, apakah

kebijakan sudah tepat dinilai dari sejauh mana kebijakan telah bermuatan hal-hal

yang memang memecahkan masalah yang hendak diatasi. Tepat kedua, tepat

pelaksanaannya. Dimana aktor implementasi kebijakan tidak hanya pemerintah.

Ada tiga lembaga yang dapat menjadi pelaksana, yaitu pemerintah, swasta, dan

masyarakat. Tepat ketiga; tepat target, berkenan dengan tiga hal: pertama, apakah

target yang hendak diintervensi sesuai dengan yang direncanakan, dan tidak

tumpang tindih dengan intervensi lain. Kedua, apakah targetnya dalam kondisi

siap untuk diintervensi ataukah tidak. Dalam arti kesiapan di sini adalah bukan

hanya kesiapan secara alami, namun juga apakah kondisi target ada dalam konflik

atau harmoni. Ketiga, apakah kondisi target ada dalam kondisi mendukung atau

menolak. Misalnya apakah bentuk intervensi sesuai dengan kebutuhan prioritas

rakyat atau tidak.

36 Hogwood Brian W. dan Gunn Lewis A., 1978, dalam Nugroho Riant, 2009, Public Policy,

Jakarta, PT. Elex Media Komputindo, hal. 509. 37 Nugroho Riant, 2009, Public Policy, Jakarta, PT. Elex Media Komputindo, hal. 521-523.

Page 36: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75380/potongan/S2-2014... · Seiring dengan bergulirnya reformasi sejak Tahun 1998 di negara kesatuan

36

4. Konsep Evaluasi Kebijakan.

Evaluasi merupakan sebuah tahapan penting sesudah kebijakan

diimplementasikan. Evaluasi bertujuan untuk melihat sejauh mana kebijakan yang

ditetapkan dalam bentuk program sudah dilaksanakan, dan bagaimana respons

masyarakat sebagai kelompok sasaran (target group) terhadap kebijakan yang

diimplementasikan. Evaluasi yang berorientasi kebijakan sebagai pragmatis dalam

hal cara kerja, untuk menghasilkan informasi yang bermanfaat dalam upaya

mengendalikan pelaksanaan dan mencapai hasil yang lebih baik. Untuk

menentukan seberapa jauh target program sudah tercapai, maka tolok ukurnya

adalah tujuan yang telah dirumuskan atau ditetapkan dalam kurun waktu tertentu.

Hal ini memberi gambaran bahwa sesungguhnya evaluasi mempunyai kaitan

timbal-balik yang erat dengan perencanaan, dalam perumusan sebuah kebijakan.

Menurut Dye (1981) dalam Parsons, (2008)38 evaluasi kebijakan adalah

proses pemeriksaan yang obyektif, sistematis, dan empiris, terhadap efek dari

kebijakan dan program public terhadap targetnya dari segi tujuan yang ingin

dicapai.

Evaluasi terhadap sebuah kebijakan penting dilakukan untuk mengetahui

seberapa jauh manfaatnya bagi masyarakat. Dan apabila masyarakat tidak

memperoleh manfaat dari intervensi kebijakan melalui program tersebut, maka

sebaiknya program dapat ditinjau ulang untuk penyempurnaan dalam penyusunan

program yang akan datang. Oleh karenanya pihak-pihak yang terlibat dalam

penyusunan program yang akan diimplementasikan setiap tahun, harus yakin

38 Dye Thomas R., dalam Parsons Wayne, 2008, Public Policy, Jakarta, Kencana, hal. 457.

Page 37: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75380/potongan/S2-2014... · Seiring dengan bergulirnya reformasi sejak Tahun 1998 di negara kesatuan

37

bahwa program tersebut sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Menurut

Subarsono (2009)39 ada beberapa argument perlunya evaluasi, antara lain:

1. Untuk mengetahui tingkat efektifitas suatu kebijakan, dilihat dari seberapa jauh

capaian tujuan kebijakan.

2. Untuk mengetahui keberhasilan atau kegagalan sebuah kebijakan. Dilihat dari

segi efektifitasnya, suatu kebijakan dapat diketahui berhasil atau gagal.

3. Untuk memenuhi aspek akuntabilitas publik. Dimana dengan menilai kinerja

suatu kebijakan, maka dapat dipahami pertanggungjawaban Pemerintah kepada

publik sebagai pemilik dana dan mengambil manfaat dari kebijakan dan

program pemerintah.

4. Untuk memberikan informasi kepada stakeholders terutama kelompok sasaran,

tentang manfaat dari sebuah kebijakan atau program.

5. Sebagai introduksi atau masukan bagi proses pengambilan kebijakan pada

masa yang akan datang. Sehingga tidak terulang kesalahan yang sama, dan

perumusan kebijakan dapat lebih baik lagi.

Dari hasil evaluasi dapat dideskripsikan apakah program itu gagal atau

berhasil. Dengan kata lain, bahwa hasil evaluasi juga memberi informasi

mengenai apakah program yang diimplementasikan benar-benar dapat mengatasi

masalah publik, atau justeru sebaliknya membuat masalah baru bagi masyarakat.

Sebagaimana konteks penelitian ini, program yang dipandang dapat mengatasi

masalah adalah diindikasikan dengan terpenuhinya kebutuhan masyarakat akan

pendidikan yang bermutu dan dapat diakses oleh semua masyarakat. Dan

39 Subarsono, AG., 2009, Analisis Kebijakan Publik; Konsep, Teori dan Aplikasi, Yogyakarta,

Pustaka Pelajar, hal. 123.

Page 38: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75380/potongan/S2-2014... · Seiring dengan bergulirnya reformasi sejak Tahun 1998 di negara kesatuan

38

sebaliknya, program yang tidak dapat menyelesaikan masalah atau justteru

membuat masalah baru ditandai dengan sindrom kemiskinan dan kebodohan yang

semakin meningkat. Jika setelah implementasi kebijakan publik ternyata hasilnya

tidak mampu memecahkan permasalahan yang tengah dihadapinya, maka dapat

dikatakan bahwa suatu implementasi kebijakan dalam kerangka kebijakan publik

tersebut telah gagal atau tidak efektif dalam jangka waktu yang telah ditetapkan.

Oleh sebab itu suatu kebijakan publik haruslah benar-benar dibuat secara matang

agar tujuan yang diharapkan dapat tercapai.

Dari uraian di atas, mengartikan bahwa sebuah kebijakan tidak bisa dilepas

begitu saja, tetapi harus diawasi. Dan salah satu mekanisme pengawasan disebut

evaluasi kebijakan. Pada prinsipnya evaluasi bertujuan untuk menilai keefektifan

kebijakan publik guna dipertanggungjawabkan kepada konstituennya. Sejauh

mana tujuan bisa tercapai, maka evaluasi diperlukan untuk melihat kesenjangan

antara harapan dan kenyataan.

Secara umum dikenal 2 (dua) tipe evaluasi, sebagaimana menurut Suharto

(2006)40 yaitu: 1). On-going evaluation atau evaluasi terus-menerus. Tipe evaluasi

yang pertama ini dilakukan pada interval periode waktu tertentu selama proses

implementasi program, 2). Ex-post evaluation atau evaluasi akhir dari suatu

program. Sedangkan tipe evaluasi yang kedua ini dilakukan setelah suatu program

atau rencana diimplementasikan. Selanjutnya, Wibawa, dkk. (1994)41 berpendapat

bahwa dalam praktiknya, evaluasi kebijakan publik memiliki empat fungsi, yaitu;

40 Suharto Edi., 2006, Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat, Bandung, PT. Refika

Aditama, Edisi Kedua, hal. 119. 41 Wibawa Samodra, Yuyun Purbokusumo, dan Agus Pramusinto, 1994, Evaluasi Kebijakan

Publik, Jakarta, Raja Grafindo Persada, hal. 10-11.

Page 39: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75380/potongan/S2-2014... · Seiring dengan bergulirnya reformasi sejak Tahun 1998 di negara kesatuan

39

1) Eksplanasi. Dimana melalui evaluasi dapat dipotret realitas pelaksanaan

program dan dapat dibuat suatu generalisasi tentang pola-pola hubungan antar

berbagai dimensi realitas yang diamati. Evaluator dapat mengidentifikasi masalah,

kondisi, dan aktor yang mendukung keberhasilan atau kegagalan kebijakan. 2)

Kepatuhan, melalui evaluasi dapat diketahui apakah tindakan yang dilakukan para

pelaku kebijakan, baik birokrasi maupun pelaku lainnya, sesuai dengan standar

dan prosedur yang ditetapkan oleh kebijakan. 3) Audit, melalui evaluasi dapat

diketahui, apakah output benar-benar sampai ke tangan kelompok sasaran

kebijakan, atau ada kebocoran, atau penyimpangan. 4) Akunting. Melalui evaluasi

dapat diketahui apa akibat ekonomi dari kebijakan tersebut.

Apapun dan kapanpun dilakukan evaluasi yang berkenan dengan kebijakan

publik, memberi makna bahwa study evaluasi adalah upaya sadar yang dilakukan

oleh evaluator untuk mengevaluasi kinerja kebijakan, dalam artian bukan untuk

mencari-cari kesalahan, tetapi untuk melihat sejauh mana kebijakan tersebut

dalam implementasinya benar-benar sesuai dengan apa yang menjadi target

intervensi kebijakan itu sendiri. Nugroho (2009)42 menyebutkan bahwa, evaluasi

kinerja kebijakan dilakukan untuk menilai hasil yang dicapai oleh suatu kebijakan

setelah kebijakan dilaksanakan. Hasil yang dicapai dapat diukur dalam ukuran

jangka pendek atau output, dan jangka panjang atau outcome. Evaluasi kinerja

kebijakan dapat dilakukan dengan mengadakan penilaian komprehensif terhadap:

1) Pencapaian target kebijakan (output), 2) Pencapaian tujuan kebijakan

(outcome), 3) Kesenjangan (gap) antara target dan tujuan dengan pencapaian, 4)

42 Riant Nugroho, “Public Policy”, PT. Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia,

Jakarta,2009-357.

Page 40: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75380/potongan/S2-2014... · Seiring dengan bergulirnya reformasi sejak Tahun 1998 di negara kesatuan

40

Pembandingan (benchmarking) dengan kebijakan yang sama di tempat lain yang

berhasil. Dalam konteks penelitian ini, maka evaluasi dilakukan dengan mengkaji

instrument kebijakan Pemerintah Daerah. Sebagaimana kita ketahui bahwa APBD

selain merupakan instrument yang akan menjamin terciptanya disiplin dalam

proses pengambilan keputusan terkait dengan kebijakan pendapatan maupun

belanja daerah, juga dokumen APBD salah satu produk kebijakan yang memuat

simulasi rencana anggaran Pemerintah Daerah yang disusun per-tahun anggaran,

kemudian diajukan oleh lembaga eksekutif kepada lembaga legislatif untuk

disahkan melalui sebuah pleno sehingga menjadi baku sebagai pedoman bagi

lembaga eksekutif dalam membiayai penyelenggaraan pembangunan di daerah.

Sebagaimana dalam UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

BAB I, pasal 1 ayat 14 disebutkan bahwa, Anggaran Pendapatan Dan Belanja

Daerah, adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang ditetapkan

dengan Peraturan Daerah. Oleh kerena itu evaluasi dalam konteks penelitian ini,

bermaksud untuk melihat konsistensi antara perencanaan dan pelaksanaan

program kegiatan pendidikan yang diimplementasikan oleh Pemerintah Daerah

dengan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), khususnya tahun

2007/2008.

5. Paradigma Pembangunan Pendidikan

Pembangunan adalah proses perubahan yang berkesinambungan yang

mencakup aspek kehidupan masyarakat, antara lain aspek sosial kultural,

ekonomi, politik. Tujuan utama pembangunan yaitu untuk meningkatkan tarap

hidup masyarakat dari keadaan yang kurang baik ke arah kondisi kehidupan

Page 41: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75380/potongan/S2-2014... · Seiring dengan bergulirnya reformasi sejak Tahun 1998 di negara kesatuan

41

masyarakat yang lebih baik dan berkualitas dari sebelumnya. Hal ini sejalan

dengan tujuan berdirinya Negara kesatuan Republik Indonesia, yakni antara lain

mensejahterakan dan mencerdaskan kehidupan rakyat/warga Negara sampai ke

seluruh pelosok tanah air. Dalam upaya pencapaian tujuan pembangunan tersebut,

pemerintah telah menerapkan suatu sistem pemerintahan desentralisasi dan

otonomi daerah. Dimana tujuan penerapan sistem pemerintahan desentralisasi dan

otonomi daerah tidak lain yaitu untuk menjamin pemberian pelayanan publik yang

efektif dan efisien, sekaligus percepatan pembangunan di daerah. Salah satu faktor

yang penting bagi percepatan pembangunan di daerah adalah kualitas sumber

daya manusianya.

Suparno Erman, dalam Soedijarto (2008)43 mengatakan kemajuan suatu

bangsa sangat ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia. Oleh karena itu,

pendidikan sebagai sarana untuk mencerdaskan kehidupan bangsa memiliki

peranan yang sangat strategis. Pendidikan berkontribusi dalam mengembangkan

Sumber Daya Manusia (SDM) yang bermutu, terampil, kreatif, inovatif, serta

memiliki attitude (sikap dan prilaku) yang positif.

Demikian pula menurut Suryadi dan Tilaar (1994)44 Pendidikan memiliki

fungsi yang hakiki dalam mempersiapkan sumber daya manusia yang akan

menjadi aktor-aktor pembangunan dalam berbagai bidang kehidupan yang

bersangkutan. Berkaitan dengan fungsi tersebut, berjalannya system pendidikan

tidak boleh lepas dari perubahan yang terjadi dalam berbagai bidang kehidupan.

43 Soedijarto, Landasan dan Arah Pendidikan Nasional Kita, PT. Kompas Media Nusantara,

Jakarta, 2008-XXIII. 44 Suryadi Ace dan Tilaar H.A.R., 1994, ANALISIS KEBIJAKAN PENDIDIKAN; Suatu

Pengantar, Bandung PT. Remaja Rosdakarya, hal. 3.

Page 42: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75380/potongan/S2-2014... · Seiring dengan bergulirnya reformasi sejak Tahun 1998 di negara kesatuan

42

Oleh karena pendidikan dan bidang-bidang kehidupan lain yang terjadi di luar

system pendidikan saling mempengaruhi atau saling fungsional. Bidang

kehidupan lain di luar system pendidikan tersebut antara lain meliputi faktor

kependudukan, politik, ekonomi, ketenagakerjaan, dan social budaya. Menyadari

akan keberadaan pendidikan yang integral dengan bidang kehidupan yang lain di

luar system pendidikan tersebut, maka disinilah esensi SDM yang handal

dibutuhkan peranannya. Sehingga pendidikan pada dasarnya merupakan suatu

usaha pengembangan sumber daya manusia (SDM). Walaupun usaha

pengembangan SDM tidak hanya dilakukan melalui pendidikan formal (sekolah).

Akan tetapi sampai sekarang ini masih dipandang sebagai sarana dan wahana

untuk pengembangan SDM yang dilakukan secara sistemtis, programatis, dan

berjenjang. Dalam konteks inilah pendidikan semakin dituntut peranannya untuk

menghasilkan manusia Indonesia yang berkualitas. Menurut Wahono (2001)45

dengan mengutip pendapat Thomson (1951) dan Smith (1979) yang mengatakan

bahwa ketika pendidikan mulai dilembagakan, sejak itupula pendidikan bukan

diarahkan untuk kepentingan dirinya sendiri, atau dengan kata lain dapat diartikan

bahwa pendidikan itu sejatinya diperuntukan bagi keperluan orang lain. Lebih

jauh Wahono mejelaskan, bahwa pendidikan juga mempunyai potensi yang luar

biasa dalam rangka penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi sekaligus sebagai

tools untuk menguak rahasia alam dan manusia. Sedangkan menurut Roger dan

Ruchalin (1971) dalam Wahono (2001) mengatakan bahwa pendidikan itu pada

dasarnya adalah instrumen (alat) untuk menyalurkan bakat dalam bidang ilmu

45 Wahono Francis, 2001, Kapitalisme Pendidikan; Antara Kompetisi dan Keadilan, Yogyakarta,

Putaka Pelajar, hal. 9.

Page 43: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75380/potongan/S2-2014... · Seiring dengan bergulirnya reformasi sejak Tahun 1998 di negara kesatuan

43

pengetahuan. Sebagai instrumen maka wajarlah bila pendidikan itu diabdikan

kepada suatu tujuan yang mempunyai visi dan misi. Oleh karenanya, pendidikan

masih merupakan sebuah pilihan atau suatu cara terbaik (the best of way) untuk

meningkatkan taraf hidup, perekonomian, mengikis kemiskinan, serta dapat

mengangkat status social dan harkat kehidupan manusia. John C. Bock (1992),

dalam Zamroni (2000)46 mengidentifikasi peranan pendidikan dalam proses

pembangunan sebagai berikut: 1) memasyarakatkan ideologi dan nilai-nilai sosio-

kultural bangsa, 2) mempersiapkan tenaga kerja untuk memerangi kemiskinan,

kebodohan, dan mendorong perubahan sosial, dan 3) untuk pemerataan

kesempatan dan pendapatan. Berkaitan dengan fungsi tersebut, berjalannya sistem

pendidikan tidak terlepas dari perubahan yang terjadi dalam berbagai bidang

kehidupan manusia. Antara lain perubahan system politik, dimana yang dulunya

kekuasaan Negara yang bersifat otoritarian berubah menjadi Negara yang

demokratis. Demikian pula sistem pemerintahan yang dulunya sentralisasi

berubah menjadi desentralisasi. Dimana dalam sistem pemerintahan yang

desentralistik, Pemerintah mendevolusikan kewenangan kepada daerah untuk

menyelenggarakan pemerintahan secara otonomi. Devolusi kewenangan tersebut

termasuk di dalamnya kewajiban pemerintah daerah untuk menyelenggarakan

pendidikan yang berkualitas. Oleh sebab itu tantangan yang dihadapi dalam dunia

pendidikan, tidak semata-mata datang dari sistem pendidikan secara internal, yaitu

proses belajar mengajar yang terjadi di dalam kelas. Akan tetapi yang lebih dari

itu adalah tantangan eksternal atau tantangan yang berasal dari luar sistem

46 John C. Bock, 1992, Education and Development: A Conflict Meaning dalam Zamroni, 2000,

Paradigma Pendidikan Masa Depan, Yogyakarta, BIGRAF Publishing, hal. 2.

Page 44: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75380/potongan/S2-2014... · Seiring dengan bergulirnya reformasi sejak Tahun 1998 di negara kesatuan

44

pendidikan. Tantangan eksternal yang dimaksudkan penulis, berkaitan dengan

komitmen Pemerintah Daerah dalam memajukan pendidikan di daerah melalui

kebijakan-kebijakan yang di ambil. Komitmen tersebut akan nampak pada

produk-produk kebijakan pendidikan yang lebih konsisten dengan tujuan

pembangunan pendidikan itu sendiri. Sebagaimana Suryadi dan Tilaar (1984)47

mengatakan bahwa pembangunan sistem pendidikan tidak hanya ditujukan pada

pengembangan pendidikan sebagai sebuah sistem tersendiri, akan tetapi juga

merupakan pengembangan sistem pendidikan sebagai salah satu sistem dari sistem

sosial lain yang lebih luas.

6. Tinjauan Alur Pikir.

Pemberlakuan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, adalah

untuk mengatur bagaimana prinsip-prinsip penyelenggaraan pemerintahan dan

pembangunan di daerah. Dengan sistem desentralisasi dan otonomi daerah, berarti

Pemerintah Daerah memiliki kewajiban dan kewenangan yang lebih luas untuk

meningkatkan kualitas pelayanan publik. Kehadiran pemerintah dalam melakukan

intervensi terhadap masalah publik khususnya dalam bidang pendidikan, akan

dapat dirasakan manfaatnya apabila kebijakan pelayanan publik semakin murah,

mudah, cepat, dan berkualitas.

Pemahaman dan penjabaran yang memadai terhadap amanat undang-undang

tersebut di atas sangat diperlukan, agar paling tidak ada suatu dorongan yang kuat

bagi para pembuat keputusan (stakeholders) untuk lebih realistis dan konsisten

menyusun perencanaan maupun implementasi program dan kegiatan.

47 Suryadi Ace dan Tilaar H.A.R., 1994, ANALISIS KEBIJAKAN PENDIDIKAN; Suatu

Pengantar, Bandung PT. Remaja Rosdakarya, hal. 3.

Page 45: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75380/potongan/S2-2014... · Seiring dengan bergulirnya reformasi sejak Tahun 1998 di negara kesatuan

45

Komitmen yang kuat dari Pemerintah Daerah untuk meningkatkan kualitas

sumber daya manusia melalui layanan pendidikan yang berkualitas, tentu akan

terlihat pada produk kebijakan yang dibuat dalam menentukan langkah-langkah

teknis operasional pembangunan pendidikan yang lebih konkrit. Langkah-langkah

konkrit yang dimaksud adalah bagaimana Pemerintah Daerah tetap konsisten

dengan isu-isu pendidikan yang berkaitan dengan perencanaan dan implementasi

program pengembangan pendidikan menengah di Kabupaten Poso.

Konsistensi antara perencanaan dan implementasi program pendidikan

akan terlihat dari sejauh mana kesesuaian antara RPJMD, Rencana Kerja

Pemerintah Daerah (RKPD), dan program serta kegiatan yang diimplementasikan

dengan menggunakan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Sebagaimana dalam bagan alur pikir berikut ini:

Bagan Alur Pikir

Konsistensi Perencanaan dan implementasi Program Pendidikan

Sumber: Interpretasi berdasarkan dokumen RPJMD, RKPD, dan APBD

Renstra

(RPJMD)

RKPD

DPA/

APBD

Berapa %

yang sesuai

Berapa %

yang sesuai

Konsistensi Perencanaan

dan Implementasi

Program Pendidikan