bab i pendahuluan a. latar...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan sebagai sarana untuk mencerdaskan bangsa memiliki peranan
yang sangat strategis. Pendidikan berkontribusi dalam mengembangkan Sumber
Daya Manusia (SDM) yang bermutu, terampil, kreatif, inovatif, serta memiliki
attitude (sikap dan prilaku) yang positif. Sebagaimana Suparno Erman, dalam
Soedijarto (2008)1 mengatakan kemajuan suatu bangsa sangat ditentukan oleh
kualitas sumber daya manusia. Demikian pula menurut Suryadi dan Tilaar (1994)2
Pendidikan memiliki fungsi yang hakiki dalam mempersiapkan sumber daya
manusia yang akan menjadi aktor-aktor pembangunan dalam berbagai bidang
kehidupan yang bersangkutan. Berkaitan dengan fungsi tersebut, berjalannya
sistem pendidikan tidak lepas dari perubahan yang terjadi pada sistem
pemerintahan maupun sistem politik dalam bernegara.
Pendidikan pada dasarnya merupakan usaha pengembangan sumber daya
manusia (SDM), walaupun usaha pengembangan SDM tidak hanya dilakukan
melalui pendidikan formal (sekolah). Tetapi sampai saat ini, pendidikan masih
dipandang sebagai sarana dan wahana utama untuk pengembangan SDM yang
dilakukan dengan sistematis, programatis, dan berjenjang. Dalam konteks inilah
pendidikan terasa semakin dituntut peranannya, khususnya untuk dapat
menghasilkan manusia Indonesia yang berkualitas. Bahkan yang paling
1 Suparno, Erman, dalam Soedijarto, 2008, Landasan dan Arah Pendidikan Nasional Kita,
Jakarta, PT. Kompas Media Nusantara, hal. Xxiii. 2 Suryadi Ace dan Tilaar H.A.R., 1994, ANALISIS KEBIJAKAN PENDIDIKAN; Suatu
Pengantar, Bandung PT. Remaja Rosdakarya, hal. 3.
2
membanggakan menurut Achmady, (1994)3 adalah, pendidikan dimanifestasikan
sebagai senjata pamungkas untuk memberantas kemiskinan, sejauh apa yang
diperoleh peserta anak didik itu relevan dengan kebutuhan hidup mereka. Oleh
karena itu Pendidikan nasional harus dilaksanakan secara merata, adil, relevan,
berkualitas dan efisien bagi seluruh rakyat sampai ke daerah pelosok tanah air.
Seiring dengan bergulirnya reformasi sejak Tahun 1998 di negara kesatuan
Republik Indonesia ini, telah membawa perubahan-perubahan mendasar dalam
sistem politik di Indonesia. Salah satu bentuk konkrit perubahan yang
fundamental dalam sistem politik kita adalah terjadinya transformasi model
penyelenggaraan pemerintahan dari sistem sentralisasi ke sistem desentralisasi.
Sistem pemerintahan yang desentralistik membawa angin segar dalam konteks
penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas. Dimana salah satu kewenangan
Pemerintah Pusat yang diserahkan kepada Pemerintah Daerah adalah
penyelenggaraan pembangunan di bidang pendidikan secara otonom. Dengan hak
dan kewenangan otonomi tersebut berarti memberi ruang dan kesempatan bagi
masyarakat di daerah, untuk merencanakan dan mengimplementasikan program
pendidikan yang berkualitas bagi masyarakat di daerah tanpa diskriminasi.
Perencanaan dan implementasi program pendidikan yang berkualitas berkorelasi
posotif dengan upaya pemerataan dan perluasan akses layanan pendidikan bagi
masyarakat di daerah sampai ke pelosok-pelosok. Dengan demikian berarti dalam
sistem pemerintahan desentralistik yang demokratis, mencirikan sebuah bentuk
penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan yang lebih
3 Achmady, Z. A., 1994, Agenda Strategis Kebijakan Pendidikan Nasional Dan Upaya
Mengentaskan Kemiskinan, dalam buku “Kebijakan Publik dan Pembangunan”, IKIP Malang, hal.
71-77.
3
partisipatif, aspiratif, dan tranformatif (membawah perubahan bagi kehidupan
masyarakat dari keadaan yang sudah baik ke arah kondisi yang lebih baik lagi).
Penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan dapat
dikatakan partisipatif, aspiratif, dan tranformatif, apabila pada setiap tahapan
pembangunan selalu melibatkan partisipasi rakyat, untuk memperjuangkan
aspirasi rakyat, dan menghendaki adanya perubahan kualitas hidup rakyat.
Tahapan pembangunan yang dimaksudkan adalah sejak formulasi, implementasi,
sampai evaluasi kebijakan pembangunan dilakukan bersama-sama dengan rakyat.
Dengan melibatkan rakyat dalam setiap tahapan atau proses perumusan kebijakan
pembangunan, sudah dapat dipastikan bahwa kinerja kebijakan pelayanan publik
akan berkualitas. Salah satu indikator kebijakan pelayanan publik dapat dikatakan
berkualitas, apabila perencanaan pendidikan yang sudah ditetapkan sebagi skala
prioritas, kemudian diimplementasikan dalam bentuk program dan kegiatan secara
konsisten. Tentu dapat dipastikan bahwa perencanaan yang diimplementasikan
secara konsisten, akan membawa perubahan kualitas kehidupan rakyat ke arah
kondisi kehidupan yang lebih baik sesuai harapan. Dalam hal ini dengan
terpenuhinya segala macam kebutuhan masyarakat, termasuk pendidikan.
Sehingga tidak keliru apabila dikatakan bahwa Kebijakan Publik atau Kebijakan
Pemerintah pada umumnya dikatakan baik, karena memiliki cita-cita mulia untuk
memperbaiki kualitas kehidupan masyarakat dari keadaan yang kurang baik
menuju kondisi kehidupan masyarakat yang lebih baik sesuai harapan (das sein).
Dalam kaitannya dengan penelitian ini, maka era globalisasi sekarang ini
dimana situasi dan kondisi kehidupan yang semakin kompetitif, sangat dibutuhkan
4
kualitas sumber daya manusia yang mampu bersaing terutama dalam proses
pemenuhan kebutuhan hidup. Sebagaimana Zamroni (2000)4 berpendapat bahwa
pendidikan memiliki keterkaitan yang erat dengan globalisasi. Dimana dalam
proses untuk mewujudkan masyarakat global, maka pilihannya adalah Indonesia
harus melakukan reformasi di bidang pendidikan yang lebih fokuskan pada
penciptaan sistem pendidikan yang lebih komprehensif dan fleksibel, sehingga
para lulusan dapat berfungsi secara efektif dalam kehidupan masyarakat global
demokratis. Kita ketahui bahwa output dan outcome pendidikan yang berkualitas
akan berdampak pada kondisi masyarakat yang memiliki sumber daya manusia
yang berkualitas pula. Sehingga dengan demikian, maka dalam rangka memenuhi
kebutuhan pendidikan tersebut sangat tepat apabila kebijakan pembangunan
daerah, di arahkan pada upaya peningkatan kualitas layanan pendidikan. Untuk
mengetahui apakah kebijakan pemerintah benar-benar mengarah pada upaya
peningkatan kualitas pendidikan, akan terlihat pada sejauh mana konsistensi
antara perencanaan dan implementasi program. Konkritnya adalah konsistensi
antara perencanaan pendidikan selama kurun waktu 5 (lima) tahun, dengan
program yang di implementasikan setiap tahun dengan menggunakan dana APBD.
Adapun periodisasi 5 (lima) tahun yang dimaksudkan penulis adalah tahun 2005-
2009, sedangkan untuk program tahunan dibatasi pada program pendidikan tahun
2007 dan 2008.
Keharusan dalam memberikan layanan dan menyelenggarakan pendidikan
yang berkualitas bagi seluruh masyarakat merupakan kewajiban Pemerintah
4 Zamroni, 2000, Paradigma Pendidikan Masa Depan, Yogyakarta, BIGRAF Publishing, hal. 90.
5
sebagai penyelenggara Negara. Oleh karena, secara konstitusional Negara
berkewajiban untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, setiap warga Negara berhak
mendapat pendidikan yang layak, dan pemerintah wajib membiayainya, bahkan
mengamanatkan kepada Negara agar mengalokasikan anggaran pendidikan senilai
dua puluh persen (20%) dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Dan secara tegas
(eksplisit) anggaran pendidikan dua puluh persen (20%) yang dijabarkan dalam
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
khususnya pasal 29, disebutkan bahwa dana pendidikan 20% dari APBN dan
APBD adalah di luar gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan.
Pada sisi yang lain, pemberlakuan UU No. 32 tahun 2004 yang mengatur
tentang prinsip-prinsip penyelenggaraan otonomi daerah, adalah bertujuan agar
pemerintah dalam memberikan pelayanan publik termasuk di bidang pendidikan
semakin efektif dan efisien. Dengan sistem penyelenggaraan desentralisasi dan
otonomi daerah, berarti Pemerintah Daerah memiliki kewenangan yang luas untuk
meningkatkan kualitas pelayanan publik, termasuk di bidang pendidikan. Namun
demikian, pelayanan publik yang berkualitas harus benar-benar menjunjung tinggi
nilai-nilai demokrasi dan kemandirian yang berakar dari masyarakat setempat.
Dimana Pemerintah Daerah bersama-sama dengan rakyatnya diberi ruang dan
kesempatan untuk merencanakan, mengimplementasikan, dan menentukan skala
prioritas pembangunan sesuai kebutuhan masyarakat di daerahnya masing-
masing. Keterlibatan masyarakat dalam setiap tahapan pembangunan sangat
strategis, oleh karena berkaitan dengan kualitas pelayanan yang mereka terima.
6
Bagi masyarakat melalui representasi wakil-wakilnya yang telah terpilih dan
duduk di DPRD, diharapkan dapat menentukan kriteria kualitas pelayanan publik
yang sesuai dengan kebutuhan rakyat yang telah memberi mandat. Misalnya
dalam memilih dan memilah pelayanan apa yang perlu mendapatkan prioritas,
bagaimana cara atau mekanisme dalam menentukan prioritas, oleh siapa dan
dimana pelayanan itu diberikan, bagaimana agar pelayanan dapat efektif dan
efisien, dan merepresentasikan kebutuhan masyarakat. Jelasnya bahwa penetapan
semua kriteria pelayanan yang berkualitas dan memihak pada upaya peningkatan
kesejahteraan masyarakat tersebut, dalam konteks otonomi dan desentralisasi
harus ditentukkan oleh Pemerintah Daerah dan masyarakat itu sendiri.
Selama ini terdapat kecenderungan bahwa penentuan kualitas pelayanan
publik adalah sangat ditentukan oleh Pemerintah Daerah atau lembaga yang
memberikan pelayanan (provider), bukan ditentukan secara bersama-sama antara
provider dengan client, atau citizen sebagai komunitas masyarakat pengguna jasa
pelayanan sebagai pencerminan demokrasi dan kemandirian. Kecenderungan
tersebut bisa berimplikasi pada inkonsistensi perencanaan dan implementasi
program. Sehingga sebaik apapun sebuah perencanaan apabila pada tahapan
implementasinya tidak konsisten, maka tentu pula tidak akan dapat menjawab
persoalan-persoalan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Dalam konteks kebijakan pembangunan pendidikan di Kabupaten Poso,
Pemerintah Daerah memiliki visi pendidikan yaitu terwujudnya masyarakat
Kabupaten Poso yang terdidik dan berbudi luhur. Tentu cita-cita ini dimaksudkan
untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, dan handal dalam SDM. Dalam
7
rangka untuk mewujudkan cita-cita pendidikan tersebut, Pemerintah Kabupaten
Poso tentu sudah mengimplementasikan bermacam-macam program dan kegiatan
di bidang pendidikan, dan untuk mendanai program tersebut Pemerintah Daerah
telah mengalokasikan dana pendidikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pada Tahun 2007
sebelum perubahan, secara keseluruhan berjumlah Rp. 438.024.794.973,38.
Setelah perubahan bertambah menjadi Rp. 31.274.462.250,41 Milyar. Sehingga
total APBD Tahun 2007 sebesar Rp. 469.299.257.223,79 Milyar. Dari total
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah tahun 2007, maka di alokasikan dana
untuk sektor pendidikan sebesar Rp. 128,405,477,924.00 Milyar atau 27,36% dari
total APBD tahun 2007.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pada Tahun 2008
sebelum perubahan, secara keseluruhan berjumlah Rp. 438.024.794.973,38
Milyar. Setelah perubahan bertambah Rp. 31.274.462.250,41 Milyar sehingga
total Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun 2008 sebesar Rp.
469.299.257.223,79 Milyar. Dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
tahun 2008, maka di alokasikan dana untuk sektor pendidikan sebesar Rp.
142,133,899,329.00 Milyar atau 30,29% dari total APBD tahun 2008. Dari uraian
di atas menunjukkan bahwa di Kabupaten Poso, anggaran pendidikan yang
teralokasikan dalam APBD 2007 maupun APBD 2008 dapat dikategorikan cukup
tinggi karena persentasenya di atas rata-rata 20% dari APBD sebagaimana yang
diamanatkan oleh UUD 1945 maupun UU No. 20 Tahun 2003 tentang pendidikan
8
Nasional. Alokasi anggaran tersebut, tentu dimaksudkan untuk membiayai
program dan kegiatan yang sudah ditetapkan sebagai skala prioritas.
Di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), skala
prioritas pembangunan pendidikan untuk periode tahun 2005-2009 adalah untuk
perluasan dan pemerataan layanan pendidikan agar dapat diakses oleh seluruh
masyarakat, dan meningkatkan mutu layanan pendidikan yang diperoleh setiap
peserta didik. Untuk mencapai target pembangunan pendidikan tersebut, maka
Pemerintah Daerah menyusun berbagai macam program dan kegiatan pendidikan
pada masing-masing jenis dan jenjang pendidikan, yang didanai oleh Angggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah. Dari berbagai macam program dan kegiatan di
bidang pendidikan, boleh jadi sudah ada yang membawa hasil sesuai harapan,
akan tetapi bisa saja justeru terjadi sebaliknya, dana pendidikan yang begitu besar,
tidak membawa perubahan berarti sebagaimana yang diharapkan oleh masyarakat.
Sebagaimana yang telah diuraikan pada halaman sebelumnya bahwa dana
pendidikan baik tahun 2007 maupun tahun 2008 cukup tinggi, yaitu rata-rata di
atas 20% sesuai amanat konstitusi dan UU No.20 tahun 2003 tentang sistem
pendidikan nasional. Akan tetapi ironisnya anggaran pendidikan yang begitu besar
tidak menunjukan capaian hasil yang optimal sesuai yang diharapkan. Misalnya
ketika memperhatikan persentase ketidak lulusan siswa pada tahun 2007 maupun
2008 pada tingkat Sekolah Menengah Atas dapat digolongkan masih sangat
tinggi. Dari Laporan Evaluasi Program dan Capaian Target Kinerja Pembangunan
Pendidikan tahun 2008 disebutkan bahwa, lulusan Ujian Nasional (UN) pada
tingkat SMA negeri maupun swasta, dari 1.622 jumlah peserta, terdapat 962 siswa
9
yang lulus atau 59,31% dari keseluruhan jumlah peserta ujian nasional, sedangkan
yang tidak lulus terdapat 660 siswa atau 40,69% dari keseluruhan peserta yang
mengikuti ujian nasional.
Demikian pula apabila melihat Angka Partisipasi Kasar (APK) dan Angka
Partisipasi Murni (APM) penduduk usia sekolah pada tahun 2008, masih terdapat
kesenjangan pada capaiannya di masing-masing jenjang dan jenis pendidikan
yang ada, sebagaimana dalam tabel berikut:
Tabel 1.1.
Partisipasi Penduduk Usia Sekolah Pada Semua Jenjang Pendidikan
Tahun 2008.
No Komponen Sat Capaian pada masing-masing jenjang pendidikan
TK
4-6
SD
7-12
MI
7-12
SMP
13-15
MTs
13-15
SMA
16-18
MA
16-18
SMK
16-18
1 APK % 46,85 107,48 4,13 78,98 9,55 45,15 3,15 12,19
2 APM % 32,79 91,81 3,54 50,94 6,33 31,70 2,10 9,57 Sumber: diolah dari data sekunder Laporan Capaian Target Dinas P&P Kab. Poso Tahun 2008
Selain beberapa contoh di atas, juga masih terdapat kesenjangan dalam
pembangunan fisik bangunan sekolah pada semua jenjang pendidikan yang ada.
Sebagaimana data dalam Profil Pendidikan Tahun 2008/2009 ditemukan bahwa
dari 18 kecamatan yang ada, hanya terdapat 18 unit SMU, sedangkan
penyebarannya tidak merata. Sebab masih terdapat 5 (lima) kecamatan yang sama
sekali belum memiliki sekolah, baik SMU, MA, maupun SMK. Sementara untuk
jenjang pendidikan wajib dasar 9 (Sembilan) tahun sudah merata di semua desa
dan kecamatan yang ada.
Bahkan sering sekali kita mendengarkan pemberitaan media masa ataupun
kita saksikan langsung bahwa dimana-mana terdapat gedung sekolah yang tidak
layak, daerah pemukiman warga yang belum memiliki sekolah, siswa yang putus
sekolah karena tidak mampu membayar biaya pendidikan, siswa yang tidak lulus
10
ujian nasional, guru-guru yang menuntut haknya, dan masih banyak lagi bentuk
kesenjangan sosial lainnya dalam bidang pendidikan yang dikeluhkan oleh
masyarakat. Kondisi semacam ini tentu bertentangan dengan amanat konsititusi
dimana dalam pembukaan UUD 1945, disebutkan bahwa salah satu tujuan
mendirikan Negara adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Kemudian
pada batang tubuh UUD 1945 hasil amandemen yaitu pasal 31 ayat (1)
menyebutkan bahwa setiap warga Negara berhak mendapat pendidikan. Demikian
pula dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, pasal 5
ayat (2) disebutkan bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk
memperoleh pendidikan yang bermutu. Lebih lanjut pada pasal 6 ayat (1)
disebutkan Pemerintah Daerah wajib meberikan layanan dan kemudahan serta
menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga Negara
tanpa diskriminasi (tidak membedakan warga negara menurut jenis kelamin,
status social ekonomi, agama, dan lokasi geografis). Paling tidak, ada tiga faktor
utama yang menyebabkan kurang berhasilnya upaya peningkatan kualitas
pendidikan, antara lain: (1) strategi pembangunan pendidikan yang masih bersifat
input-oriented, (2) pengelolaan pendidikan yang masih bersifat sentralistik dan
macro-oriented, (3) kurangnya peranserta masyarakat dalam perencanaan dan
penyelenggaraan pendidikan, (Ditjen Dikdasmen, 2002). Kompleksitas persoalan
pendidikan sebagaimana dalam uraian sebelumnya menunjukan bahwa kondisi
layanan pendidikan di Indonesia pada umumnya belum berjalan maksimal
ataupun belum mencapai hasil yang optimal. Dari realitas yang ada
mengindikasikan bahwa, peningkatan kualitas pendidikan berkaitan dengan upaya
11
pemerataan dan perluasan akses layananan pendidikan yang bermutu bagi semua
rakyat untuk menciptakan SDM yang handal masih jauh dari apa yang
diharapkan. Oleh sebab itu dalam kaitannya dengan penelitian ini, penulis ingin
mengetahui secara jelas apakah antara perencanaan, implementasi program, dan
penganggarannya yang begitu besar memang digunakan untuk menunjang
pencapaian target-target yang ingin dicapai sesuai skala prioritas pembangunan
pendidikan atau tidak.
Sebagaimana judul penelitian, maka penulis hanya mengkaji tentang
konsistensi perencanaan dan implementasi program pendidikan pada jenjang
Sekolah Menengah Umum yang didanai dengan APBD Tahun 2007 dan 2008.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang sebelumnya, maka dapat dirumuskan masalah
penelitian sebagai berikut:
1. Apakah program pembangunan pendidikan Sekolah Menengah Umum yang
didanai dengan APBD 2007-2008 ditetapkan berdasarkan skala prioritas
pembangunan pendidikan?
2. Faktor-faktor apa saja yang berperan penting dalam proses penetapan program
pembangunan pendidikan Tahun 2007-2008.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk
mengetahui konsistensi antara perencanaan dan implementasi program pendidikan
yang didanani dengan APBD 2007-2008, pada Sekolah Menengah Umum. Selain
12
hal tersebut di atas, penulis juga ingin mengetahui faktor-faktor apa saja yang
berperan penting di dalam proses penetapan program pembangunan pendidikan.
2. Manfaat Penelitian:
Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian adalah :
1) Manfaat teoritis yaitu dapat memberikan pemahaman akan arti pentingnya
konsistensi antara perencanaan dan implementasi program untuk mencapai
kinerja kebijakan pendidikan sesuai yang diharapkan.
2) Manfaat praktis yaitu dapat menjadi bahan masukan atau pertimbangan
bagi Pemerintah Daerah dalam membuat kebijakan pendidikan yang sesuai
dengan apa yang dibutuhkan oleh rakyat sebagai pemberi mandat.
3) Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi siapa saja
yang berminat untuk melakukan penelitian, tentang masalah-masalah
kebijakan pendidikan yang terjadi di seputar perencanaan dan implementasi
program pembangunan pendidikan.
D. Tinjauan Pustaka.
Telah terdapat penelitian sebelumnya yang dituangkan dalam bentuk tesis
dengan judul “Desentralisasi Pelayanan Pendidikan Di SMA Negeri Pangkalan
Bun” (Ikhwanudin,2007). Penelitian sebelumnya ini memiliki keterkaitan atau
korelasi dengan masalah yang akan diteliti, antara lain memiliki kesamaan ketika
berbicara mengenai pergeseran sistem pemerintahan dari sentralisasi ke sistem
desentralisasi, dan pengembangan pendidikan pada jenjang pendidikan menengah.
Akan tetapi juga terdapat perbedaan yang mendasar ketika berbicara
mengenai lokasi, dan fokus kajian masalah penelitian. Tentang lokasi, penelitian
13
sebelumnya mengambil lokasi di SMA Negeri Pangkalan Bun Kabupaten
Kotawaringin Barat, Kalimantan Timur. Sedangkan lokasi penelitian yang penulis
lakukan adalah di Kabupaten Poso, Propinsi Sulawesi Tengah. Kemudian
perbedaan lainnya adala mengenai fokus dan obyek kajian. Dimana penelitian
sebelumnya melihat implementasi desentralisasi pendidikan dari sisi hubungan
kemitraan antar lembaga yang terlibat dalam proses pengembangan pendidikan.
Kemitraan antar lembaga yang dimaksudkan adalah hubungan kerja antara
Sekolah Menengah Atas dengan Komite Sekolah dalam meningkatkan prestasi
belajar siswa.
Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah, untuk melihat
sejauh mana keseuaian atau konsistensi antara perencanaan dengan implementasi
program pendidikan maupun pendanaannya. Atau dengan kata lain bahwa
penelitian ini membahas bagaimana kesesuaian antara Rencana Kerja Pemerintah
Daerah (RKPD) Tahun 2007/2008 dengan implementasi program dan kegiatan
pendidikan menengah yang mendapat alokasi biaya dari APBD Tahun 2007/2008.
Dengan kata lain bahwa perbedaan mendasar antara penelitian sebelumnya dan
penelitian yang dilakukan oleh penulis terletak pada lokasi dan fokus atau obyek
dan subyek penelitiannya. Walaupun terdapat perbedaan mendasar antara hasil
penelitian sebelumnya dan penelitian yang penulis lakukan, namun paling tidak
hasil penelitian sebelumnya akan membantu dan memperkaya wawasan penulis
untuk memahami persoalan-persoalan sosial yang terjadi dalam dunia pendidikan.
Dalam uraian selanjutnya, untuk mendeskripsikan tentang konsistensi antara
perencanaan dan implementasi program dan kegiatan pendidikan pada jenjang
14
Sekolah Menengah Umum, khususnya yang didanai dengan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah tahun 2007/2008, penulis menggunakan beberapa pendekatan
teori dan konsep, antara lain:
1. Konsep Desentralisasi dan Otonomi Daerah
Desentralisasi dan Otonomi Daerah dalam kaitannya dengan penelitian ini
adalah untuk mengetahui peranan Pemerintah Daerah dalam menyelenggarakan
pendidikan yang bermutu bagi semua masyarakat tanpa adanya diskriminasi,
sebagaimana yang diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah. Hal ini penting oleh karena salah satu urusan wajib Pemerintah Daerah
dalam konteks desentralisasi dan otonomi daerah adalah penyelenggaraan
pembangunan di bidang pendidikan.
Secara konseptual, desentralisasi merupakan sebuah proses pelimpahan
otoritas pengambilan keputusan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah
untuk menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan, termasuk dalam
bidang pendidikan. Pelimpahan kewenangan tersebut tentu dimaksudkan untuk
meningkatkan efisiensi dan efektifitas pelayanan terhadap kebutuhan masyarakat.
sehingga dengan demikian dapat dikatakan bahwa desentralisasi sebagai wahana
yang diperlukan untuk mendekatkan pelayanan publik dan mempercepat
pembangunan di daerah. Dalam konteks Indonesia, desentralisasi dimaknai
sebagai sebuah proses perubahan sistem pemerintahan, dari yang dulunya (Orba
dan Orla) menggunakan sistem penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan
yang terpusat (sentralisasi) berubah menjadi sistem desentralisasi atau otonomi.
Dimana dalam sistem desentralisasi terjadi proses pelimpahan kewenangan dari
15
Pemerintah kepada Pemerintah Daerah, untuk menjalankan roda pemerintahan
dan pembangunan sesuai batas-batas kewenangan atau otonomi yang diberikan.
Syaukani, dkk. (2009)5 menyebutkan bahwa pemberian kewenangan
(defolution of authority) kepada unit-unit atau satuan pemerintahan yang lebih
rendah dan lebih kecil merupakan sesuatu kebutuhan yang mutlak dan tidak dapat
dihindari. Pandangan tersebut mengartikan bahwa pendelegasian kewenangan
sampai pada unit-unit terkecil dalam hierarki pemerintahan, merupakan suatu
keharusan untuk dilaksanakan, sehingga pelayanan publik akan lebih berkualitas,
efektif dan efisien. Hal tersebut apabila dilaksanakan secara konsisten, maka dapat
dipastikan keseluruhan sistem pelayanan publik akan berfungsi atau berjalan
dengan baik pula. Pada sisi lain, pemberian kewenangan dan otonomi yang seluas-
luasnya kepada daerah sebagai upaya memotong jalur birokrasi dalam pemberian
layanan publik. Oleh karena pelayanan publik dalam sistem sentralisasi selama ini
terkesan memakan waktu yang lama, berbiaya tinggi, dan berbelit-belit. Demikian
pula Shabbir Cheema dan Rondinelli (1983) dalam Syaukani, dkk. (2009)6,
mengemukakan bahwa rasionalitas desentralisasi dapat memotong jalur birokrasi
yang rumit serta prosedural yang sangat terstruktur dari pemerintah pusat.
Sehingga dengan desentralisasi akan berakibat pada terjadinya penetrasi kebijakan
yang lebih baik sampai ke daerah-daerah yang terpencil. Dalam perspektif politik
menurut Rondinelli dan Cheema (1983)7 mengatakan bahwa:
5 Syaukani, dkk. 2009. Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan, Yogyakarta, kerjasama Pustaka
Pelajar-Pusat Pengkajian Etika Politik dan Pemerintahan, hal. 21. 6 Cheema dan Rondinelli (1983) dalam Syaukani, dkk. 2009. Otonomi Daerah Dalam Negara
Kesatuan, Yogyakarta, Pustaka Pelajar-Pusat Pengkajian Etika Politik dan Pemerintahan, hal. 33 7 Rondinelli dan Cheema (1983), dalam Said Mas’ud, 2008, Arah Baru Otonomi Daerah di
Indonesia, Malang, UMM Press, hal. 5
16
“Decentralization is the transfer of planning, decision making, or
administrative authority from the central government to its field
organizations, local administrative units...”
(desentralisasi atau otonomi daerah adalah proses pelimpahan wewenang
perencanaan, pengambilan keputusan atau pemerintahan dari pemerintah
pusat kepada organisasi unit-unit pelaksana daerah,....)
Pendapat di atas, beranggapan bahwa otonomi daerah atau desentralisasi
akan membawa sejumlah manfaat bagi masyarakat di daerah. Dalam artian bahwa
desentralisasi memberi ruang bagi masyarakat di daerah secara partisipatif dalam
membuat perencanaan, melaksanakan, sampai pada melakukan evaluasi program
yang diimplementasikan. Konotasi lain desentralisasi memungkinkan representasi
yang lebih luas dari berbagai kelompok masyarakat (politik, etnis, agama,
pemuda, kalangan profesi) di dalam tahapan-tahapan pembangunan, yang
kemudian secara adil dan merata mengalokasikan sumber daya tanpa diskriminasi.
Sebagaimana (the world Bank-1999)8 menyebutkan bahwa:
“Decentralization is the tranfer of authority and responsibility for publik
functions from the central government to subordinate or quasi-independent
government organizations and or the private sector”.
Pernyataan di atas mengartikan bahwa desentralisasi atau otonomi daerah
merupakan pelimpahan wewenang dan tanggung jawab untuk menjalankan
fungsi-fungsi publik dari pemerintah pusat kepada organisasi pemerintah di
bawahnya atau yang bersifat semi independent dan atau sektor swasta.
Pelimpahan kewenangan juga bertujuan untuk mendorong peningkatan
kapasitas Pemerintah Daerah dalam mengambil alih fungsi pelayanan publik
terutama dalam penyediaan barang dan jasa di tingkat lokal secara efektif dan
seefisien mungkin. Dalam arti layanan publik yang diberikan oleh Pemerintah
8 Idem, hal 5.
17
Daerah kepada masyarakat tepat sasaran, sesuai kebutuhan masyarakat di daerah,
dan dapat dijangkau oleh semua masyarakat yang ada sampai ke pelosok
perdesaan.
Demikian pula Sunyoto (2005)9, berpendapat bahwa secara politis,
pergeseran penyelenggaraan pemerintahan dari sistem sentralisasi ke sistem
desentralisasi, dapat meningkatkan tanggung jawab politik daerah, dalam
membangun proses demokratisasi. Demorkrasi era desentralisasi dicirikan dengan
adanya partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas sebagai proses konsolidasi
integrasi nasional untuk menghindari konflik Pusat-Daerah, dan konflik antar
Daerah. Menurut Mas’ud (2008)10 desentralisasi sebagai sebuah proses devolusi
hak dan kewenangan dalam sektor publik untuk mendekatkan dan meningkatkan
kualitas pelayanan publik. Walaupun demikian, kualitas pelayanan publik hanya
akan dapat dirasakan manfaatnya, ketika perencanaan dan program pelayanan
dilaksanakan secara konsisten dan tidak ada diskriminasi.
Sebagaimana menurut Soetomo (2006)11 bahwa pada prinsipnya, dalam
setiap proses pembangunan masyarakat agar dirasakan manfaatnya, paling tidak
harus mengandung tiga unsur yaitu adanya proses perubahan mendasar setelah
ada intervensi, mobilisasi sumber daya, dan pengembangan kapasitas masyarakat
atau memberdayakan potensi-potensi yang dimiliki oleh masyarakat.
Dengan demikian berarti penyelenggaraan pembangunan era otonomi
daerah, harus selalu berorientasi pada upaya peningkatan kualitas pelayanan
9 Usman Sunyoto, dalam Hamid Edy Suandi, dan Malian Sobirin, edt,. 2005, Memperkokoh
Otonomi Daerah; Kebijakan, Evaluasi, dan Saran. Yogyakarta, UII-Press, hal. 110. 10 Mas’ud Said, 2008, Arah Baru Otonomi Daerah di Indonesia, Malang, UMM Press, hal 6 11 Soetomo, 2006, Strategi-Strategi Pembangunan Masyarakat, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, hal.
40
18
publik, memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dan berkembang
dalam masyarakat, dan mendistribusikan sumberdaya secara adil dan merata demi
kesejahteraan rakyat itu sendiri. Thoha (2008)12 mengatakan bahwa dengan
desentralisasi dan otonomi berarti Pemerintah Pusat lebih banyak memberikan
kepercayaan dan pemberdayaan kepada daerah agar mampu berperintahan dan
berotonomi mengatasi persoalan-persoalan di daerahnya.
Sebuah daerah seperti di Kabupaten Poso sebagai daerah yang pernah
dilanda konflik sosial pada beberapa tahun silam, diharapkan dengan semangat
otonomi daerah maka Pemerintah Daerah dan masyarakat, akan dapat menata
kembali keterpurukan pembangunan pada semua aspek kehidupan, termasuk di
bidang pendidikan. Sebagaimana Pratikno dalam Karim (2006)13 menyebutkan,
fenomena yang bisa memungkinkan desentralisasi sebagai pilihan, apabila
Pemerintah Daerah dan masyarakat mencapai titik konsolidasi bahwa
desentralisasi satu-satunya pilihan untuk menyelamatkan banyak hal. Lebih lanjut
dikatakan, keberlanjutan desentralisasi bisa terbangun tatkala stakeholders telah
menyepakati desentralisasi sebagai the only game in this country.
Di Kabupaten Poso, salah satu persoalan mendasar adalah masih rendahnya
kualitas sumberdaya manusia yang ada. Sementara bukan rahasia lagi bahwa di
era globalisasi dimana pola kehidupan yang semakin modern, tentu berdampak
pada kondisi kehidupan yang semakin kompetitif. Oleh karenanya maka tidak ada
pilihan lain bagi masyarakat agar bisa bersaing dalam memenuhi kebutuhan
12 Thoha Miftah, 2008, Birokrasi Pemerintah Indonesia di Era Reformasi, Jakarta, Kencana, hal.12 13 Pratikno, dalam Karim Abdul Gaffar, edt,. 2006, Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah di
Indonesia, Yogyakarta, Pustaka Pelajar bekerja sama dengan Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIPOL
Universitas Gadjah Mada, hal. 51.
19
hidupnya, yaitu kualitas sumber daya manusia harus ditingkatkan. Salah satu pilar
yang menjamin terjadinya peningkatan kualitas sumber daya manusia adalah
melalui pendidikan. Sebagaimana Suryadi dan Tilaar (1994)14 mengatakan bahwa
pendidikan memiliki fungsi dalam mempersiapkan sumber daya manusia yang
akan menjadi aktor-aktor dalam menjalankan fungsi dari berbagai bidang
kehidupan yang bersangkutan.
Berkaitan dengan fungsi tersebut, berarti bahwa sistem pendidikan bagian
yang integral dengan perubahan yang terjadi dalam berbagai bidang kehidupan di
luar sistem pendidikan. Dengan kata lain, pendidikan memiliki keterkaitan
fungsional dengan beberapa faktor di luar sistem pendidikan antara lain politik,
ekonomi, sosial budaya, kependudukan, ketenagakerjaan.
Oleh karena itu, sejalan dengan pemberlakuan undang-undang otonomi
daerah, maka Pemerintah Daerah dituntut agar lebih konsisten dengan kebijakan
yang dibuat, dan responsif terhadap kebutuhan rakyatnya. Sesuai konteks
penelitian ini, maka responsifitas yang dimaksudkan penulis adalah berkaitan
dengan layanan pendidikan yang bermutu dan mudah diakses oleh semua
masyarakat. Selanjutnya kualitas layanan pendidikan berkaitan dengan alokasi
anggaran pendidikan yang memadai dan merata untuk semua jenis dan jenjang
pendidikan. Komitmen yang kuat dari pemerintah daerah dalam memajukan
pendidikan demi meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia, tergantung sejauh
mana konsistensi perencanaan dengan implementasi program dan kegiatan yang
didanai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
14 Suryadi Ace, dan Tilaar H.A.R., 1994, Analisis Kebijakan; Suatu Pengantar, Bandung, PT.
Remaja Rosdakarya, hal. 3.
20
Banyak ahli berpendapat bahwa dalam sistem desentralisasi dan otonomi
daerah adalah sebuah kondisi ideal penyelenggaraan pemerintahan yang
dipandang lebih demokratis. Sehingga kondisi tersebut mengharuskan Pemerintah
Daerah harus mampu memberikan pelayanan publik yang lebih berkualitas, lebih
efisien, efektif dan dapat dipertanggungjawabkan (accountable) kepada
masyarakatnya. Dimensi lain yang perlu mendapat perhatian dalam sistem
penyelenggaraan pemerintahan desentralisasi yang dipandang lebih demokratis
adalah kebijakan pemerintah harus bisa mengayomi kepentingan banyak orang.
Menurut Pramusinto (2009)15, pada prinsipnya demokrasi mempunyai akar
filosofis yaitu untuk menjamin terpenuhinya kebebasan secara individual maupun
kelompok dalam memenuhi kebutuhan dasarnya. Demikian pula Pratikno (2006)16
mengatakan bahwa, keperintahan yang baik (good governance) juga menjadi
prasyarat bagi keberlanjutan demokrasi. Artinya bahwa penyelenggaraan tata
pemerintahan yang baik menyangkut proses perumusan kebijakan, proses
komunikasi politik dalam kebijakan tertentu, dan proses pengambilan keputusan
harus bisa menengahi kepentingan kelompok masyarakat.
Dengan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah yang sedang
berlangsung, idealnya Pemerintah Daerah harus mampu memperbaiki kualitas
pelayanannya kepada masyarakat. Perbaikan pelayanan publik akan dapat terus
15 Secara umum, perubahan sistem pemerintahan yang tersentral ke pola pemerintahan
desentralisasi dianggap sebagai bagian dari proses demokrasi dimana daerah diberikan
kesempatan untuk mengatur kehidupannya, sehingga dengan demikian demokrasi dimaknai
dalam ranah klasik yaitu secara instrinsik berorientasi untuk memenuhi kebutuhan dasar sebagai
kekhasan dari strong democracy (Pramusinto dan Kumorotomo, edt, 2009, Governance Reform
di Indonesia: Mencari arah Kelembagaan Politik yang Demokratis dan Birokrasi yang
Profesional, Yogyakarta, Gava Media bekerjasama dengan MAP-UGM, hal.44) 16 Pratikno, dalam Abdul Gaffar Karim, edt,.2006, Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah di
Indonesia, Yogyakarta, Pustaka Pelajar bekerja sama dengan Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIPOL
Universitas Gadjah Mada, hal. 51.
21
berjalan apabila pemerintahan dan pembangunan diselenggarakan berdasarkan
prinsip-prinsip good governance. Antara lain dilaksanakan secara terbuka,
akuntabel, dan memberi ruang partisipasi kepada masyarakat dalam setiap tahapan
pembangunan, sehingga dengan demikian otonomi daerah akan dapat dirasakan
manfaatnya oleh masyarakat. Konotasinya bahwa di era desentralisasi dan
otonomi daerah yang demokratis, mendorong Pemerintah Daerah untuk
memanfaatkan kewenangan yang dimiliki semaksimal mungkin bersama-sama
dengan masyarakatnya dalam menentukan kebutuhan apa yang menjadi skala
prioritas program pembangunan. Menurut Prasojo17 otonomi daerah dari aspek
peningkatan partisipasi rakyat (participatory democracy) memiliki dimensi
political equality dan local accountability, dalam artian bahwa pembangunan dan
pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah daerah (local responsiveness)
harus dapat dipertanggungjawabkan dan memberikan kesempatan yang sama bagi
seluruh komponen masyarakat. Dalam konteks ini, berarti masyarakat memiliki
kesempatan yang lebih besar untuk terlibat secara aktif baik sejak perencanaan,
implementasi program, maupun ikut mengevaluasi hasil kebijakan pendidikan.
2. Teori Kebijakan Publik (Publik Policy theory).
Teori kebijakan publik dalam konteks penelitian ini, digunakan sebagai
pendekatan untuk memahami bagaimana tahapan-tahapan dalam proses
pengambilan keputusan untuk sebuah kebijakan publik. Pada umumnya kebijakan
publik diartikan sebagai kebijakan Negara (Pemerintah). Konotasi kebijakan
publik adalah serangkaian tindakan yang diambil oleh pejabat dalam lembaga atau
17 Prasojo Eko dalam Kurniawan Lutfi J., 2007, Wajah Buram Pelayanan Publik, Malang
Corruption Watch dan YAPPIKA-Aliansi Masyarakat Untuk Demokrasi., hal. viii.
22
institusi pemerintah yang memiliki kewenangan (otoritas) dalam pengambilan
keputusan, untuk mengatasi masalah pendidikan. Kebijakan Publik dalam konteks
penelitian ini menggambarkan bagaimana isu-isu pendidikan menengah dapat
didorong untuk menjadi bagian dari Rencana Strategis Pemerintah Daerah dalam
memberikan layanan pendidikan yang berkualitas bagi seluruh masyarakat, demi
peningkatan kualitas sumber daya manusia di daerah ini. Memajukan pendidikan
dalam sistem pemerintahan desentralisasi yang lebih demokratis, (partisipatif,
aspiratif, akuntabel dan transparan) memberi jaminan bahwa perencanaan dan
lebih implementasi program akan semakin berkualitas atau konsisten. Salah satu
faktor yang mendukung perencanaan dan implementasi program pendidikan akan
semakin berkualitas dalam sistem pemerintahan desentralisasi adalah dengan
dibukanya ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses perumusan
kebijakan. Keterlibatan kelompok masyarakat diindikasikan dengan semakin
banyaknya bermunculan kelompok-kelompok kepentingan atau kelompok
penekan secara bebas dan terbuka dalam setiap tahapan pembangunan.
Sebagaimana menurut Agustino18 kehadiran kelompok kepentingan seperti
organisasi buruh, bisnis, kepemudaan dan partai politik, dalam proses perumusan
kebijakan berfungsi sebagai mediator untuk memperjuangkan kepentingan warga
masyarakat tertentu. Dalam hal ini, kehadiran kelompok kepentingan tidak hanya
mengemukakan tuntutan tetapi sekaligus memberi informasi kepada pejabat
publik tentang sifat dan akibat dari usulan kebijakan, dan menawarkan alternatif
tindakan kebijakan.
18 Agustino Leo, 2008, Dasar-Dasar Kebijakan Publik, Bandung, Alfabeta, hal. 36.
23
Secara konseptual kajian kebijakan publik, membahas bagaimana isu-isu
atau masalah kebijakan (policy problem) yang didefinisikan menjadi agenda
kebijakan, diformulasikan menjadai kebijakan pemerintah, dan diimplementasikan
dalam bentuk program dan kegiatan untuk mengintervensi masalah pendidikan.
Sebagaimana menurut Dye (1976)19 Kebijakan Publik adalah studi tentang segala
sesuatu yang dikerjakan pemerintah, mengapa mereka melakukan, dan hasil yang
membuat sebuah kehidupan bersama tampil berbeda (what government do,why
they do it, and what difference it makes). Dari pendapat tersebut kebijakan publik
juga dapat dimaknai sebagai study tentang bagaimana, mengapa, dan apa efek dari
tindakan yang dilakukan pemerintah. Menurut Parsons20 bahwa kebijakan dapat
juga dipahami dengan menganalisis proses kebijakan (policy process) dalam
pengambilan sebuah keputusan. Pendekatan proses yang dimaksud adalah
bagaimana cara mendefinisikan problem dan ditetapkan sebagai agenda kebijakan,
kemudian dirumuskan menjadi sebuah kebijakan melalui proses pengambilan
keputusan, selanjutnya diimplementasikan dalam bentuk program dan kegiatan
dengan konsekwensi anggarannya, yang pada akhirnya dilakukan evaluasi sejauh
mana dampak dari kebijakan tersebut dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
Pemahaman tersebut sejalan dengan pendapat Budiardjo (2008)21 bahwa
kebijakan publik adalah sebuah proses pengambilan keputusan (decision making
process) yang hanya dapat dilakukan oleh pemerintah sebagai pemegang otoritas.
Pendapat Budiarjo tersebut sejalan pula dengan pendapat yang disampaikan oleh
19 Dye Thomas R., 1976, What Governments Do, Why They do it, What Difference it Makes,
University of Alabama Press, Tuscaloosa, Ala. 20 Parsons Wayne, 2008, Public Policy: Pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan Publik,
Jakarta, Kencana Predana Media Grroup, hal. Xii. 21 Budiardjo Miriam, 2008, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, hal. 17.
24
Easton22, bahwa kebijakan publik merupakan alokasi nilai yang otoritatif untuk
seluruh masyarakat, akan tetapi hanya pemerintahlah yang dapat berbuat secara
otoritatif bagi seluruh masyarakat, dan semua yang dipilih oleh pemerintah untuk
dikerjakan atau tidak dikerjakan adalah hasil dari alokasi nilai-nilai tersebut.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teori atau konsep keijakan
publik sebagai sebuah pendekatan untuk memahami sejauh mana konsistensi
kebijakan pendidikan di lihat dari beberapa aspek, antara lain:
1) Kebijakan Publik Dipandang Sebagai Regulasi
Kebijakan publik dipandang sebagai regulasi atau peraturan perundang-
undangan yang bersifat mengatur dan membatasi atau mengikat bagi semua
masyarakat. Dalam rana ini kebijakan publik dapat dilihat dari tujuannya untuk
men-distribusikan sumberdaya atau recourses yang bersifat mengatur dan
mengikat demi kepentingan semua masyarakat. Kebijakan distributif misalnya,
kebijakan otonomi daerah UU No.32 Tahun 2004 dimana Pemerintah Pusat
mendistribusikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengelola
sejumlah sumber daya yang ada di daerah, untuk kepentingan kesejahteraan
rakyat. Untuk itu, dengan didukung pemberlakuan undang-undang otonomi
daerah, maka tidak ada pilihan lain bagi Pemerintah Daerah yakni harus
mendorong dan meletakkan peningkatan kualitas sumberdaya manusia sebagai
pilar utama dalam pembangunan daerah. Dalam rangka peningkatan kualitas
sumberdaya manusia di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, jalur pendidikan
formal maupun informal memegang peranan penting. Sebab peningkatan kualitas
22 Easton David dalam Thoha Miftah, 1992, Dimensi-Dimensi Prima Ilmu administrasi Negara,
Jakarta, Raja Grafindo Persada, hal. 59-60
25
layanan pendidikan merupakan suatu proses yang terintegrasi dengan proses
peningkatan sumberdaya manusia. Sehingga dengan kebijakan otonomi daerah,
diharapkan Pemerintah Daerah akan mampu dan terus berupaya mewujudkan
amanat tersebut melalui berbagai usaha untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
Demikian pula pemberlakuan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Dimana dalam undang-undang tersebut mengamanatkan
Pemerintah Daerah wajib mengalokasikan dana pendidikan di luar gaji guru dan
operasional kedinasan minimal 20% dari APBN maupun APBD. Dengan
demikian kewajiban dalam pengalokasian anggaran untuk pendidikan tersebut,
merupakan salah satu bentuk kebijakan distributif yang bersifat mengatur dan
wajib dilakukan oleh Pemerintah Daerah dalam rangka meningkatkan kualitas
pelayanan publik dalam bidang pendidikan. UU No. 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional, pasal 56 ayat (1) esensinya mendorong peran serta
masyarakat dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan melalui fungsi
perencanaan, pengawasan, dan evaluasi program yang diimplementasikan.
2) Kebijakan Publik Sebagai Sebuah Proses Pengambilan Keputusan
Kebijakan publik juga dimaknai sebagai sebuah keputusan yang diambil
oleh pemerintah, untuk mengatasi permasalahan-permasalahan publik yang
dihadapi. Pemaknaan kebijakan publik sebagai suatu keputusan didasarkan
dengan adanya konsep state centric dimana negara atau dalam hal ini pemerintah
sebagai pemegang otoritas utama dalam pembuatan kebijakan atau keputusan.
Dalam pemahaman kebijakan publik sebagai sebuah keputusan inilah, termasuk
juga ketika Pemerintah Daerah memilih untuk tidak melakukan atau memilih
26
melakukan tindakan nyata terkait dengan upaya merespon isu-isu pendidikan.
Sebagaimana Dye,23 mengatakan bahwa public policy is whatever government
choose todo or not todo, dengan demikian berarti bahwa apapun yang dipilih oleh
pemerintah untuk dilakukan maupun yang tidak dilakukan adalah kebijakan
publik.
Pengertian kebijakan publik di atas, mengartikan bahwa ketika pemerintah
mengambil keputusan untuk mengintervensi persoalan publik, terjadi proses
pemilihan dan pemilahan untuk menentukan program dan kegiatan prioritas
pembangunan yang akan dilakukan oleh pemerintah daerah. Dalam hal ini
merujuk pada proses pembuatan kebijakan pendidikan yang berlangsung setiap
tahun, melalui tahapan-tahapan dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan
(Musrenbang). Sehingga dari hasil Musrenbang inilah yang dijadikan penulis
sebagai pintu masuk untuk menelusuri konsistensi kebijakan pendidikan. Dimana
Pemerintah Daerah bersama DPRD menetapkan apa yang harus diprioritaskan
dalam rangka penyelenggaraan pendidikan.
Sebuah kebijakan hanya akan bernilai atau bermanfaat apabila prioritas
pembangunan konsisten dengan target pembangunan dalam kurun waktu tertentu.
Sebagaimana menurut Suharto24 pada intinya kebijakan publik merupakan
keputusan-keputusan atau pilihan-pilihan tindakan yang secara langsung mengatur
pengelolaan dan pendistribusian resorsis atau sumberdaya, demi kepentingan
publik yakni rakyat banyak. Produk-produk kebijakan pendidikan hanya akan
dirasakan manfaatnya oleh rakyat banyak apabila keputusan yang di ambil oleh
23 Dye Thomas R. dalam Winarno Budi, 2008, Kebijakan Publik: Teori dan Proses, Yogyakarta,
Medpres, hal. 17. 24 Suharto Edi, 2008, Kebijakan Sosial sebagai Kebijakan Publik, Bandung, Alfabeta, hal. 3.
27
Pemerintah Daerah, konsisten dengan apa yang diimplementasikan. Konsistensi
yang dimaksudkan penulis adalah bagaimana program dan kegiatan yang
dilaksanakan dengan dukungan dana APBD, benar-benar untuk mendukung
pencapaian target yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Daerah (RPJMD).
3) Kebijakan Publik dipandang sebagai Program dan Kegiatan
Program, kegiatan, dan anggaran adalah merupakan instrumen kebijakan
publik itu sendiri. Oleh karena itu kebijakan publik yang berkualitas harus
didukung oleh program, kegiatan, dan anggaran yang realistis dan terukur. Aspek
realistis mengandung arti program dan kegiatan yang sesuai dengan konteks
masalah yang ada dalam masyarakat. Sedangkan terukur berarti program yang
dapat dijangkau dan diimplementasikan. Secara konseptual program dan kegiatan
adalah strategi dan arah tindakan yang dipilih atau ditetapkan pemerintah dalam
rangka untuk mencapai tujuan kebijakan. Sebagaimana Winarno (2008)25
mengatakan bahwa kebijakan publik tidak hanya sebatas apa yang diusulkan
pemerintah, tetapi mencakup juga arah tindakan yang dilakukan pemerintah. Oleh
karena itu pada penulisan tesis ini, kebijakan publik dimaknai juga sebagai
serangkaian program dan kegiatan Pemerintah Daerah, yang diimplementasikan
setiap tahun, yang didanai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD), untuk mencapai target yang sudah ditetapkan dalam skala prioritas
pembangunan selama lima tahun. Demikian pula Hogwood dan Gunn (1990)26,
mengatakan bahwa kebijakan publik yakni seperangkat program dan kegiatan
25 Winarno Budi, 2008, Kebijakan Publik: Teori dan Proses, Yogyakarta, Medpres, hal. 35 26 Hogwood dan Gunn, 1990, dalam Suharto Edi, 2008, Kebijakan Sosial sebagai Kebijakan
Publik, Bandung, Alfabeta, hal. 4.
28
yang mencakup rencana penggunaan sumberdaya (recourses) lembaga dan
strategi pencapaian tujuan. Pandangan yang sama juga disebutkan oleh Bridgeman
dan Davis (2004)27 bahwa kebijakan adalah a means to an end yaitu alat untuk
mencapai sebuah tujuan. Dengan demikian dapat diartikan bahwa kebijakan
publik adalah seperangkat tindakan atau kegiatan pemerintah yang didesain
sedemikian rupa dalam bentuk program, alokasi anggaran biaya, dan struktur
pelaksanaannya, untuk mencapai hasil-hasil tertentu.
Laswell dan Kaplan (1970)28 memandang kebijakan publik sebagai suatu
program yang diproyeksikan dengan tujuan-tujuan tertentu, nilai-nilai tertentu,
praktik-praktik tertentu (a projected program of goals, values, and practices).
Dari pendapat Laswell dan Kaplan tersebut mengartikan juga bahwa kebijakan
publik adalah program dan kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah dengan
tujuan-tujuan tertentu dan memberi dampak yang dirasakan oleh masyarakat
sebagai penerima layanan.
Demikian pula Easton (1965)29 mendefinisikan kebijakan publik sebagai
akibat aktivitas pemerintah (the impact of government activity). Dengan demikian
maka dalam konteks penelitian ini, kebijakan publik berkaitan dengan aktivitas
Pemerintah Daerah yang berakibat pada perbaikan kualitas layanan pendidikan,
yang dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
Capaian hasil pembangunan dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat di
bidang pendidikan semisal adanya pemerataan akses masyarakat terhadap layanan
27 Ibid, hal. 5. 28 Laswell Harold dan Kaplan Abraham (1970) dalam Nugroho Riant, 2009, Public Policy, PT.
Elex Media Komputindo, Jakarta, hal. 84 29 Idem, hal. 84.
29
pendidikan yang berkualitas, tanpa membeda-bedakan status sosial masyarakat
maupun kondisi geografisnya. Pemerataan akses layanan dalam persepsi penulis,
adanya keseimbangan pembangunan infrastruktur dan pelayanan jasa dalam
bentuk beasiswa, bagi rakyat yang kurang mampu untuk membiayai pendidikan.
Sebagaimana SK MenPan Nomor 81/1993, yang dimaksud dengan pelayanan
umum adalah segala bentuk pelayanan yang dilakukan oleh instansi pemerintah
dalam bentuk barang dan jasa. Paling tidak dalam memberikan pelayanan barang
dan jasa harus ada keseimbangan menurut kebutuhannya. Selama ini, prioritas
layanan publik khususnya dalam bidang pendidikan, masih diprioritaskan dalam
bentuk barang atau fisik. Sementara pelayanan jasa masih kurang mendapatkan
perhatian dari Pemerintah Daerah.
Menurut hemat penulis, pelayanan jasa masih diterjemahkan secara sempit
oleh stakeholders yang terlibat dalam proses penyusunan program dan kegiatan.
Pelayanan jasa diartikan masih sebatas penghargaan atas jasa-jasa bagi para aktor
yang terlibat dalam proses perumusan program sampai pada pelaksanaan kegiatan.
sehingga wajarlah apabila program dan kegiatan pendidikan yang disusun setiap
tahun anggaran lebih banyak berorientasi pada proyek fisik ketimbang non-fisik.
Dari uraian tentang konsep kebijakan publik sebagaimana tersebut di atas,
maka pada prinsipnya terminologi kebijakan publik tidak hanya dalam bentuk
peraturan perundang-undangan yang bersifat mengatur tentang tatacara kehidupan
bersama, akan tetapi lebih dari itu bahwa cakupan kebijakan publik adalah
serangkaian instrumen kebijakan publik yang lebih luas. Keseluruhan proses atau
rangkaian kebijakan publik yang dimaksud, antara lain: menyangkut aspek proses
30
perencanaan pembangunan, proses pengambilan keputusan dalam menentukan
prioritas atau arah tindakan, desain program dan kegiatan yang akan dilaksanakan,
termasuk juga anggaran pembiayaan dan struktur pelaksanaannya. Sebagaimana
menurut Suharto Edi (2006)30 bahwa kebijakan publik adalah seperangkat
tindakan (course of action), kerangka kerja (framework), petunjuk (guideline),
rencana (plan), peta (map). Dengan kata lain bahwa program dan kegiatan adalah
sebuah strategi yang dirancang untuk menterjemahkan visi politis pemerintah
menjadi definisi operasional ke dalam bentuk program dan tindakan nyata dan
sistematis untuk mencapai tujuan pembangunan yang diharapkan.
4) Formulasi Kebijakan Publik dalam konteks Pembangunan di Daerah
Secara konseptual, proses pembuatan kebijakan publik (policy making
process), adalah proses yang berlangsung dalam tahap-tahap pembuatan kebijakan
politik yang saling berkaitan satu dengan yang lain untuk mencapai suatu tujuan.
Sebagaimana menurut Dunn (2003)31 bahwa tahapan pembuatan kebijakan antara
lain terdiri dari; Penyusunan Agenda, Formulasi Kebijakan, Adopsi Kebijakan,
Implementasi Kebijakan, dan Evaluasi atau Penilaian Kebijakan. Pada level
penyusunan agenda, dimana masing-masing aktor yang terlibat dalam pembuatan
kebijakan mengadakan seleksi untuk menentukan isu-isu, atau masalah-masalah
yang akan dimasukan dalam agenda kebijakan secara kompetitif. Pada level
formulasi kebijakan, masalah yang sudah masuk dalam agenda kebijkan dan
kemudian di bahas oleh aktor pembuat kebijakan. Masalah tadi didefinisikan
30 Suharto Edi, 2006. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat, Bandung. Refika
Aditama, hal. 107. 31 Dunn, William N.2003, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Yogyakarta, Gadjah Mada
University Press, hal. 45.
31
kemudian dicari pemecahan masalahnya. Pemecahan masalah tersebut berasal dari
alternatif atau pilihan kebijakan (policy option) yang ditawarkan oleh masing-
masing aktor. Pada level ini masing-masing aktor akan “bermain” untuk
mengusulkan pemecahan masalah yang terbaik. Pada level adopsi kebijakan, dari
sekian banyak pemecahan masalah yang ditawarkan oleh para perumus kebijakan,
yang pada akhirnya dari sekian banyak opsi yang ditawarkan tersebut hanya salah
satu yang diadopsi dengan dukungan dari mayoritas legislatif. Pada level
implementasi kebijakan, suatu program kebijakan hanya akan menjadi sebuah
catatan elit apabila tidak diimplementasikan. Oleh karena itu keputusan kebijakan
yang telah diambil sebagai pemecahan masalah harus dilaksanakan oleh unit-unit
administrasi yang memobilisasikan sumberdaya finansial dan manusia. Pada level
implementasi ini berbagai kepentingan dari masing-masing aktor yang terlibat
dalam pengambilan keputusan akan saling bersaing menawarkan opsi demi
kepentingan rakyat. Pada level evaluasi kebijakan, tahapan untuk menilai atau
mengevaluasi kebijakan yang sudah dilaksanakan, sudah sejauhmana kebijakan
tersebut mampu memecahkan masalah.
Dye (1976) dalam Parsons (2008)32 mengatakan bahwa proses pembentukan
sebuah kebijakan dalam bidang apapun, paling tidak harus melalui beberapa
tahapan seperti tersebut pada uraian di atas. Dengan demikian maka proses
pembuatan kebijakan, dilukiskan sebagai siklus aktivitas yang bertahap menurut
waktu, bersifat tidak linear, dan tidak luput dari kompetisi kepentingan atau
konflik-konflik kepentingan (conflict-interest) antar aktor yang terlibat dalam
32 Dye, Thomas R, 1976, dalam Wayne Parsons, 2008, Public Policy, Jakarta, Kencana, hal. 457
32
membuat kebijakan atau pengambilan keputusan. Berangkat dari konsep proses
pembuatan kebijakan publik pada uraian di atas, maka formulasi kebijakan publik
pada level mikro atau level daerah, dipandang sebagai sebuah proses dalam sistem
perencanaan dan penganggaran pembangunan daerah. Dalam hal ini adalah proses
pengambilan keputusan untuk menentukan prioritas program dan kegiatan
pembangunan melalui forum Musyawarah Perencanaan dan Pembangunan atau
dikenal dengan Musrenbang. Forum musrenbang dilaksanakan setiap tahun
dengan tujuan untuk menyusun program dan kegiatan prioritas pembangunan,
memperhitungkan risorsis yang tersedia untuk mencapai target pembangunan
jangka menengah 5 (lima) tahunan.
Sesuai UU No. 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanan Pembangunan
Nasional yang mengatur mekanisme atau tata cara perencanaan pembangunan
untuk menghasilkan dokumen rencana pembangunan baik jangka panjang, jangka
menengah, dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur pemerintah dan masyarakat
secara otonom pada tingkat Daerah. Esensi pentahapan menurut jenjang waktu
untuk mengetahui keberhasilan kinerja pembangunan. Keberhasilan jangka
panjang dapat direfleksikan dengan keberhasilan jangka menengah, keberhasilan
jangka menengah dapat direfleksikan dengan keberhasilan pembangunan yang
dilaksanakan setiap tahun. Perencanaan dan pelaksanaan pembangunan setiap
tahun melalui mekanisme Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang).
Hasil musrenbang Kabupaten mendokumentasikan beberapa isu-isu
kebijakan dari masing-masing SKPD, yang sudah dikemas dalam bentuk usulan
program dan kegiatan termasuk rencana pembiayaannya. Selanjutnya usulan
33
program dan kegiatan tersebut menjadi bahan pembahasan dalam rapat paripurna
DPRD untuk mendapat persetujuan. Dalam rapat paripurna untuk pengambilan
keputusan inilah sering terjadi perdebatan yang sengit antar stakeholders
kebijakan atau pemangku kepentingan. Stakeholders kebijakan yang dimaksudkan
di sini adalah individu, kelompok atau lembaga yang memiliki kepentingan
langsung terhadap kebijakan pedidikan. Putra (2005) dalam Suharto (2008)33
menyebutkan bahwa stakeholders kunci dalam membuat kebijakan adalah mereka
yang memiliki kewenangan secara legal. Pada tingkat kabupaten, stakeholders
kunci untuk suatu kebijakan pendidikan adalah 1). Bupati, 2). Anggota DPRD, 3).
Kepala Dinas pendidikan dan pengajaran. Sebagaimana menurut Suharto (2008)34
bahwa stakeholders kebijakan mencakup aktor yang terlibat dalam proses
perumusan dan pelaksanaan suatu kebijakan publik, para penerima manfaat,
maupun para korban yang dirugikan oleh sebuah kebijakan publik.
Kita ketahui bahwa kebijakan publik dibuat oleh karena adanya
permasalahan publik yang harus direspon oleh pemerintah, sebagai aktor yang
memiliki kewenangan dalam pengambilan keputusan. Akan tetapi pada tataran
pengambilan keputusan inilah, masing-masing aktor akan mengemukakan dan
memperjuangkan argumen kebijakan dalam mempertahankan usulan alternatif
pemecahan masalah publik. Dunn (2003)35 menyebutkan argumen-argumen
kebijakan merupakan sarana untuk melakukan perdebatan mengenai isu-isu
kebijakan publik yang bermuara pada upaya pemecahan masalah publik.
33 Putra (2005) dalam Suharto Edi, 2008, Kebijakan Sosial sebagai Kebijakan Publik, Bandung,
Alfabeta, hal. 25. 34 Ibid, hal. 24. 35 Dunn William N., 2003, Analisis Kebijakan Publik, Yogyakarta, Gadjah Mada University
Press, hal. 103.
34
3. Konsep Implementasi Kebijakan
Salah satu tahapan dalam proses pembuatan kebijakan publik adalah
tahapan implementasi. Hal ini menjadi penting oleh karena perencanaan yang
menghasilkan skala prioritas yang kemudian tidak diimplementasikan dalm
bentuk program dan kegiatan hanya akan menjadi sebuah catatan elit. Oleh karena
itu skala prioritas yang telah diputuskan sebagai alternatif pemecahan masalah
harus dilaksanakan atau diimplementasikan. Pada level lokal atau daerah
kabupaten, unit administrasi pemerintah yang paling bertanggungjawab dalam
melaksanakan program dan kegiatan pembangunan di bidang pendidikan, adalah
Dinas Pendidikan dan Pengajaran sebagai Unit Satuan Kerja Perangkat Daerah
(SKPD).
Pada level Implementasi kebijakan adalah hal yang paling berat, karena di
sini sering terjadi masalah-masalah yang kadang tidak dijumpai dalam konsep,
tetapi muncul di lapangan. Selain itu, pada tahap implementasi kebijakan,
ancaman utamanya adalah konsistensi implementasi. Dalam penulisan tesis ini,
konsistensi perencanaan dan implementasi program pendidikan dapat dikaitkan
dengan kesesuaian antara usulan-usulan program yang terdapat dalam Rencana
Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) dengan implementasi program dan kegiatan
pendidikan yang dilaksanakan dengan menggunakan dana APBD.
Jika Kepala Daerah dan DPRD tidak mempunyai visi dan misi yang sama
dalam membangun daerah, tidak perna bersepakat, bahkan saling menjatuhkan,
dalam hal merencanakan dan mengimplementasikan satu kebijakan publik yang
akan membawa kemajuan bagi rakyat di daerah, sudah dapat dipastikan bahwa
35
yang akan terjadi adalah kemerosotan pembangunan. Oleh karena itu, komitmen
yang kuat dan kesepakatan bersama dalam menentukan prioritas pembangunan
yang akan dilaksanakan adalah kunci efektifitas implementasi kebijakan.
Hogwood dan Gunn (1978) dalam Nugroho,36 berpendapat bahwa salah satu
efektifitas implementasi kebijakan adalah terbangunnya komunikasi dan
koordinasi yang sempurna di antara para stakeholders kebijakan. Dimana
komunikasi adalah perekat organisasi, dan koordinasi adalah asal muasal dari
kerjasama tim serta terbentuknya sinergi.
Nugroho (2009)37, menyarankan ada “empat tepat” yang perlu dipenuhi
dalam hal keefektifan implementasi kebijakan, yaitu; Tepat pertama, apakah
kebijakan sudah tepat dinilai dari sejauh mana kebijakan telah bermuatan hal-hal
yang memang memecahkan masalah yang hendak diatasi. Tepat kedua, tepat
pelaksanaannya. Dimana aktor implementasi kebijakan tidak hanya pemerintah.
Ada tiga lembaga yang dapat menjadi pelaksana, yaitu pemerintah, swasta, dan
masyarakat. Tepat ketiga; tepat target, berkenan dengan tiga hal: pertama, apakah
target yang hendak diintervensi sesuai dengan yang direncanakan, dan tidak
tumpang tindih dengan intervensi lain. Kedua, apakah targetnya dalam kondisi
siap untuk diintervensi ataukah tidak. Dalam arti kesiapan di sini adalah bukan
hanya kesiapan secara alami, namun juga apakah kondisi target ada dalam konflik
atau harmoni. Ketiga, apakah kondisi target ada dalam kondisi mendukung atau
menolak. Misalnya apakah bentuk intervensi sesuai dengan kebutuhan prioritas
rakyat atau tidak.
36 Hogwood Brian W. dan Gunn Lewis A., 1978, dalam Nugroho Riant, 2009, Public Policy,
Jakarta, PT. Elex Media Komputindo, hal. 509. 37 Nugroho Riant, 2009, Public Policy, Jakarta, PT. Elex Media Komputindo, hal. 521-523.
36
4. Konsep Evaluasi Kebijakan.
Evaluasi merupakan sebuah tahapan penting sesudah kebijakan
diimplementasikan. Evaluasi bertujuan untuk melihat sejauh mana kebijakan yang
ditetapkan dalam bentuk program sudah dilaksanakan, dan bagaimana respons
masyarakat sebagai kelompok sasaran (target group) terhadap kebijakan yang
diimplementasikan. Evaluasi yang berorientasi kebijakan sebagai pragmatis dalam
hal cara kerja, untuk menghasilkan informasi yang bermanfaat dalam upaya
mengendalikan pelaksanaan dan mencapai hasil yang lebih baik. Untuk
menentukan seberapa jauh target program sudah tercapai, maka tolok ukurnya
adalah tujuan yang telah dirumuskan atau ditetapkan dalam kurun waktu tertentu.
Hal ini memberi gambaran bahwa sesungguhnya evaluasi mempunyai kaitan
timbal-balik yang erat dengan perencanaan, dalam perumusan sebuah kebijakan.
Menurut Dye (1981) dalam Parsons, (2008)38 evaluasi kebijakan adalah
proses pemeriksaan yang obyektif, sistematis, dan empiris, terhadap efek dari
kebijakan dan program public terhadap targetnya dari segi tujuan yang ingin
dicapai.
Evaluasi terhadap sebuah kebijakan penting dilakukan untuk mengetahui
seberapa jauh manfaatnya bagi masyarakat. Dan apabila masyarakat tidak
memperoleh manfaat dari intervensi kebijakan melalui program tersebut, maka
sebaiknya program dapat ditinjau ulang untuk penyempurnaan dalam penyusunan
program yang akan datang. Oleh karenanya pihak-pihak yang terlibat dalam
penyusunan program yang akan diimplementasikan setiap tahun, harus yakin
38 Dye Thomas R., dalam Parsons Wayne, 2008, Public Policy, Jakarta, Kencana, hal. 457.
37
bahwa program tersebut sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Menurut
Subarsono (2009)39 ada beberapa argument perlunya evaluasi, antara lain:
1. Untuk mengetahui tingkat efektifitas suatu kebijakan, dilihat dari seberapa jauh
capaian tujuan kebijakan.
2. Untuk mengetahui keberhasilan atau kegagalan sebuah kebijakan. Dilihat dari
segi efektifitasnya, suatu kebijakan dapat diketahui berhasil atau gagal.
3. Untuk memenuhi aspek akuntabilitas publik. Dimana dengan menilai kinerja
suatu kebijakan, maka dapat dipahami pertanggungjawaban Pemerintah kepada
publik sebagai pemilik dana dan mengambil manfaat dari kebijakan dan
program pemerintah.
4. Untuk memberikan informasi kepada stakeholders terutama kelompok sasaran,
tentang manfaat dari sebuah kebijakan atau program.
5. Sebagai introduksi atau masukan bagi proses pengambilan kebijakan pada
masa yang akan datang. Sehingga tidak terulang kesalahan yang sama, dan
perumusan kebijakan dapat lebih baik lagi.
Dari hasil evaluasi dapat dideskripsikan apakah program itu gagal atau
berhasil. Dengan kata lain, bahwa hasil evaluasi juga memberi informasi
mengenai apakah program yang diimplementasikan benar-benar dapat mengatasi
masalah publik, atau justeru sebaliknya membuat masalah baru bagi masyarakat.
Sebagaimana konteks penelitian ini, program yang dipandang dapat mengatasi
masalah adalah diindikasikan dengan terpenuhinya kebutuhan masyarakat akan
pendidikan yang bermutu dan dapat diakses oleh semua masyarakat. Dan
39 Subarsono, AG., 2009, Analisis Kebijakan Publik; Konsep, Teori dan Aplikasi, Yogyakarta,
Pustaka Pelajar, hal. 123.
38
sebaliknya, program yang tidak dapat menyelesaikan masalah atau justteru
membuat masalah baru ditandai dengan sindrom kemiskinan dan kebodohan yang
semakin meningkat. Jika setelah implementasi kebijakan publik ternyata hasilnya
tidak mampu memecahkan permasalahan yang tengah dihadapinya, maka dapat
dikatakan bahwa suatu implementasi kebijakan dalam kerangka kebijakan publik
tersebut telah gagal atau tidak efektif dalam jangka waktu yang telah ditetapkan.
Oleh sebab itu suatu kebijakan publik haruslah benar-benar dibuat secara matang
agar tujuan yang diharapkan dapat tercapai.
Dari uraian di atas, mengartikan bahwa sebuah kebijakan tidak bisa dilepas
begitu saja, tetapi harus diawasi. Dan salah satu mekanisme pengawasan disebut
evaluasi kebijakan. Pada prinsipnya evaluasi bertujuan untuk menilai keefektifan
kebijakan publik guna dipertanggungjawabkan kepada konstituennya. Sejauh
mana tujuan bisa tercapai, maka evaluasi diperlukan untuk melihat kesenjangan
antara harapan dan kenyataan.
Secara umum dikenal 2 (dua) tipe evaluasi, sebagaimana menurut Suharto
(2006)40 yaitu: 1). On-going evaluation atau evaluasi terus-menerus. Tipe evaluasi
yang pertama ini dilakukan pada interval periode waktu tertentu selama proses
implementasi program, 2). Ex-post evaluation atau evaluasi akhir dari suatu
program. Sedangkan tipe evaluasi yang kedua ini dilakukan setelah suatu program
atau rencana diimplementasikan. Selanjutnya, Wibawa, dkk. (1994)41 berpendapat
bahwa dalam praktiknya, evaluasi kebijakan publik memiliki empat fungsi, yaitu;
40 Suharto Edi., 2006, Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat, Bandung, PT. Refika
Aditama, Edisi Kedua, hal. 119. 41 Wibawa Samodra, Yuyun Purbokusumo, dan Agus Pramusinto, 1994, Evaluasi Kebijakan
Publik, Jakarta, Raja Grafindo Persada, hal. 10-11.
39
1) Eksplanasi. Dimana melalui evaluasi dapat dipotret realitas pelaksanaan
program dan dapat dibuat suatu generalisasi tentang pola-pola hubungan antar
berbagai dimensi realitas yang diamati. Evaluator dapat mengidentifikasi masalah,
kondisi, dan aktor yang mendukung keberhasilan atau kegagalan kebijakan. 2)
Kepatuhan, melalui evaluasi dapat diketahui apakah tindakan yang dilakukan para
pelaku kebijakan, baik birokrasi maupun pelaku lainnya, sesuai dengan standar
dan prosedur yang ditetapkan oleh kebijakan. 3) Audit, melalui evaluasi dapat
diketahui, apakah output benar-benar sampai ke tangan kelompok sasaran
kebijakan, atau ada kebocoran, atau penyimpangan. 4) Akunting. Melalui evaluasi
dapat diketahui apa akibat ekonomi dari kebijakan tersebut.
Apapun dan kapanpun dilakukan evaluasi yang berkenan dengan kebijakan
publik, memberi makna bahwa study evaluasi adalah upaya sadar yang dilakukan
oleh evaluator untuk mengevaluasi kinerja kebijakan, dalam artian bukan untuk
mencari-cari kesalahan, tetapi untuk melihat sejauh mana kebijakan tersebut
dalam implementasinya benar-benar sesuai dengan apa yang menjadi target
intervensi kebijakan itu sendiri. Nugroho (2009)42 menyebutkan bahwa, evaluasi
kinerja kebijakan dilakukan untuk menilai hasil yang dicapai oleh suatu kebijakan
setelah kebijakan dilaksanakan. Hasil yang dicapai dapat diukur dalam ukuran
jangka pendek atau output, dan jangka panjang atau outcome. Evaluasi kinerja
kebijakan dapat dilakukan dengan mengadakan penilaian komprehensif terhadap:
1) Pencapaian target kebijakan (output), 2) Pencapaian tujuan kebijakan
(outcome), 3) Kesenjangan (gap) antara target dan tujuan dengan pencapaian, 4)
42 Riant Nugroho, “Public Policy”, PT. Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia,
Jakarta,2009-357.
40
Pembandingan (benchmarking) dengan kebijakan yang sama di tempat lain yang
berhasil. Dalam konteks penelitian ini, maka evaluasi dilakukan dengan mengkaji
instrument kebijakan Pemerintah Daerah. Sebagaimana kita ketahui bahwa APBD
selain merupakan instrument yang akan menjamin terciptanya disiplin dalam
proses pengambilan keputusan terkait dengan kebijakan pendapatan maupun
belanja daerah, juga dokumen APBD salah satu produk kebijakan yang memuat
simulasi rencana anggaran Pemerintah Daerah yang disusun per-tahun anggaran,
kemudian diajukan oleh lembaga eksekutif kepada lembaga legislatif untuk
disahkan melalui sebuah pleno sehingga menjadi baku sebagai pedoman bagi
lembaga eksekutif dalam membiayai penyelenggaraan pembangunan di daerah.
Sebagaimana dalam UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
BAB I, pasal 1 ayat 14 disebutkan bahwa, Anggaran Pendapatan Dan Belanja
Daerah, adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang ditetapkan
dengan Peraturan Daerah. Oleh kerena itu evaluasi dalam konteks penelitian ini,
bermaksud untuk melihat konsistensi antara perencanaan dan pelaksanaan
program kegiatan pendidikan yang diimplementasikan oleh Pemerintah Daerah
dengan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), khususnya tahun
2007/2008.
5. Paradigma Pembangunan Pendidikan
Pembangunan adalah proses perubahan yang berkesinambungan yang
mencakup aspek kehidupan masyarakat, antara lain aspek sosial kultural,
ekonomi, politik. Tujuan utama pembangunan yaitu untuk meningkatkan tarap
hidup masyarakat dari keadaan yang kurang baik ke arah kondisi kehidupan
41
masyarakat yang lebih baik dan berkualitas dari sebelumnya. Hal ini sejalan
dengan tujuan berdirinya Negara kesatuan Republik Indonesia, yakni antara lain
mensejahterakan dan mencerdaskan kehidupan rakyat/warga Negara sampai ke
seluruh pelosok tanah air. Dalam upaya pencapaian tujuan pembangunan tersebut,
pemerintah telah menerapkan suatu sistem pemerintahan desentralisasi dan
otonomi daerah. Dimana tujuan penerapan sistem pemerintahan desentralisasi dan
otonomi daerah tidak lain yaitu untuk menjamin pemberian pelayanan publik yang
efektif dan efisien, sekaligus percepatan pembangunan di daerah. Salah satu faktor
yang penting bagi percepatan pembangunan di daerah adalah kualitas sumber
daya manusianya.
Suparno Erman, dalam Soedijarto (2008)43 mengatakan kemajuan suatu
bangsa sangat ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia. Oleh karena itu,
pendidikan sebagai sarana untuk mencerdaskan kehidupan bangsa memiliki
peranan yang sangat strategis. Pendidikan berkontribusi dalam mengembangkan
Sumber Daya Manusia (SDM) yang bermutu, terampil, kreatif, inovatif, serta
memiliki attitude (sikap dan prilaku) yang positif.
Demikian pula menurut Suryadi dan Tilaar (1994)44 Pendidikan memiliki
fungsi yang hakiki dalam mempersiapkan sumber daya manusia yang akan
menjadi aktor-aktor pembangunan dalam berbagai bidang kehidupan yang
bersangkutan. Berkaitan dengan fungsi tersebut, berjalannya system pendidikan
tidak boleh lepas dari perubahan yang terjadi dalam berbagai bidang kehidupan.
43 Soedijarto, Landasan dan Arah Pendidikan Nasional Kita, PT. Kompas Media Nusantara,
Jakarta, 2008-XXIII. 44 Suryadi Ace dan Tilaar H.A.R., 1994, ANALISIS KEBIJAKAN PENDIDIKAN; Suatu
Pengantar, Bandung PT. Remaja Rosdakarya, hal. 3.
42
Oleh karena pendidikan dan bidang-bidang kehidupan lain yang terjadi di luar
system pendidikan saling mempengaruhi atau saling fungsional. Bidang
kehidupan lain di luar system pendidikan tersebut antara lain meliputi faktor
kependudukan, politik, ekonomi, ketenagakerjaan, dan social budaya. Menyadari
akan keberadaan pendidikan yang integral dengan bidang kehidupan yang lain di
luar system pendidikan tersebut, maka disinilah esensi SDM yang handal
dibutuhkan peranannya. Sehingga pendidikan pada dasarnya merupakan suatu
usaha pengembangan sumber daya manusia (SDM). Walaupun usaha
pengembangan SDM tidak hanya dilakukan melalui pendidikan formal (sekolah).
Akan tetapi sampai sekarang ini masih dipandang sebagai sarana dan wahana
untuk pengembangan SDM yang dilakukan secara sistemtis, programatis, dan
berjenjang. Dalam konteks inilah pendidikan semakin dituntut peranannya untuk
menghasilkan manusia Indonesia yang berkualitas. Menurut Wahono (2001)45
dengan mengutip pendapat Thomson (1951) dan Smith (1979) yang mengatakan
bahwa ketika pendidikan mulai dilembagakan, sejak itupula pendidikan bukan
diarahkan untuk kepentingan dirinya sendiri, atau dengan kata lain dapat diartikan
bahwa pendidikan itu sejatinya diperuntukan bagi keperluan orang lain. Lebih
jauh Wahono mejelaskan, bahwa pendidikan juga mempunyai potensi yang luar
biasa dalam rangka penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi sekaligus sebagai
tools untuk menguak rahasia alam dan manusia. Sedangkan menurut Roger dan
Ruchalin (1971) dalam Wahono (2001) mengatakan bahwa pendidikan itu pada
dasarnya adalah instrumen (alat) untuk menyalurkan bakat dalam bidang ilmu
45 Wahono Francis, 2001, Kapitalisme Pendidikan; Antara Kompetisi dan Keadilan, Yogyakarta,
Putaka Pelajar, hal. 9.
43
pengetahuan. Sebagai instrumen maka wajarlah bila pendidikan itu diabdikan
kepada suatu tujuan yang mempunyai visi dan misi. Oleh karenanya, pendidikan
masih merupakan sebuah pilihan atau suatu cara terbaik (the best of way) untuk
meningkatkan taraf hidup, perekonomian, mengikis kemiskinan, serta dapat
mengangkat status social dan harkat kehidupan manusia. John C. Bock (1992),
dalam Zamroni (2000)46 mengidentifikasi peranan pendidikan dalam proses
pembangunan sebagai berikut: 1) memasyarakatkan ideologi dan nilai-nilai sosio-
kultural bangsa, 2) mempersiapkan tenaga kerja untuk memerangi kemiskinan,
kebodohan, dan mendorong perubahan sosial, dan 3) untuk pemerataan
kesempatan dan pendapatan. Berkaitan dengan fungsi tersebut, berjalannya sistem
pendidikan tidak terlepas dari perubahan yang terjadi dalam berbagai bidang
kehidupan manusia. Antara lain perubahan system politik, dimana yang dulunya
kekuasaan Negara yang bersifat otoritarian berubah menjadi Negara yang
demokratis. Demikian pula sistem pemerintahan yang dulunya sentralisasi
berubah menjadi desentralisasi. Dimana dalam sistem pemerintahan yang
desentralistik, Pemerintah mendevolusikan kewenangan kepada daerah untuk
menyelenggarakan pemerintahan secara otonomi. Devolusi kewenangan tersebut
termasuk di dalamnya kewajiban pemerintah daerah untuk menyelenggarakan
pendidikan yang berkualitas. Oleh sebab itu tantangan yang dihadapi dalam dunia
pendidikan, tidak semata-mata datang dari sistem pendidikan secara internal, yaitu
proses belajar mengajar yang terjadi di dalam kelas. Akan tetapi yang lebih dari
itu adalah tantangan eksternal atau tantangan yang berasal dari luar sistem
46 John C. Bock, 1992, Education and Development: A Conflict Meaning dalam Zamroni, 2000,
Paradigma Pendidikan Masa Depan, Yogyakarta, BIGRAF Publishing, hal. 2.
44
pendidikan. Tantangan eksternal yang dimaksudkan penulis, berkaitan dengan
komitmen Pemerintah Daerah dalam memajukan pendidikan di daerah melalui
kebijakan-kebijakan yang di ambil. Komitmen tersebut akan nampak pada
produk-produk kebijakan pendidikan yang lebih konsisten dengan tujuan
pembangunan pendidikan itu sendiri. Sebagaimana Suryadi dan Tilaar (1984)47
mengatakan bahwa pembangunan sistem pendidikan tidak hanya ditujukan pada
pengembangan pendidikan sebagai sebuah sistem tersendiri, akan tetapi juga
merupakan pengembangan sistem pendidikan sebagai salah satu sistem dari sistem
sosial lain yang lebih luas.
6. Tinjauan Alur Pikir.
Pemberlakuan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, adalah
untuk mengatur bagaimana prinsip-prinsip penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan di daerah. Dengan sistem desentralisasi dan otonomi daerah, berarti
Pemerintah Daerah memiliki kewajiban dan kewenangan yang lebih luas untuk
meningkatkan kualitas pelayanan publik. Kehadiran pemerintah dalam melakukan
intervensi terhadap masalah publik khususnya dalam bidang pendidikan, akan
dapat dirasakan manfaatnya apabila kebijakan pelayanan publik semakin murah,
mudah, cepat, dan berkualitas.
Pemahaman dan penjabaran yang memadai terhadap amanat undang-undang
tersebut di atas sangat diperlukan, agar paling tidak ada suatu dorongan yang kuat
bagi para pembuat keputusan (stakeholders) untuk lebih realistis dan konsisten
menyusun perencanaan maupun implementasi program dan kegiatan.
47 Suryadi Ace dan Tilaar H.A.R., 1994, ANALISIS KEBIJAKAN PENDIDIKAN; Suatu
Pengantar, Bandung PT. Remaja Rosdakarya, hal. 3.
45
Komitmen yang kuat dari Pemerintah Daerah untuk meningkatkan kualitas
sumber daya manusia melalui layanan pendidikan yang berkualitas, tentu akan
terlihat pada produk kebijakan yang dibuat dalam menentukan langkah-langkah
teknis operasional pembangunan pendidikan yang lebih konkrit. Langkah-langkah
konkrit yang dimaksud adalah bagaimana Pemerintah Daerah tetap konsisten
dengan isu-isu pendidikan yang berkaitan dengan perencanaan dan implementasi
program pengembangan pendidikan menengah di Kabupaten Poso.
Konsistensi antara perencanaan dan implementasi program pendidikan
akan terlihat dari sejauh mana kesesuaian antara RPJMD, Rencana Kerja
Pemerintah Daerah (RKPD), dan program serta kegiatan yang diimplementasikan
dengan menggunakan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Sebagaimana dalam bagan alur pikir berikut ini:
Bagan Alur Pikir
Konsistensi Perencanaan dan implementasi Program Pendidikan
Sumber: Interpretasi berdasarkan dokumen RPJMD, RKPD, dan APBD
Renstra
(RPJMD)
RKPD
DPA/
APBD
Berapa %
yang sesuai
Berapa %
yang sesuai
Konsistensi Perencanaan
dan Implementasi
Program Pendidikan