bab i pendahuluan a. latar...
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Minuman keras merupakan hasil kebudayaan yang telah ada sejak masa
periode klasik sejarah manusia. Bir sebagai salah satu jenis minuman keras telah
dikenal sejak zaman klasik. Dalam catatan sejarah, Mesir Kuno dan Mesopotamia
merupakan bangsa yang telah mengenalkan minuman ini sejak satu Abad
Sebelum Masehi.1 Bir merupakan minuman beralkohol yang sangat umum selain
air dan teh. Faktor yang mempengaruhi penerimaan konsumsi minuman
beralkohol ini bervariasi dari berbagai masyarakat. Di antaranya adalah gaya
hidup, demografi, batasan usia, serta kondisi alam dan sosial sekitarnya.2
Perkembangan selanjutnya, minuman keras dengan bahan dasar anggur dan
gandum menjadi lebih beragam. Bangsa Eropa dengan budaya minuman keras
hadir ke tanah jajahannya masing-masing secara sadar maupun tidak telah
membawa minuman keras sebagai budaya dan penampilan baru di koloni masing-
masing. Termasuk pulau Jawa sebagai jajahan Belanda tidak lepas dari dampak
budaya Belanda dan Eropa.
1 Max Nelson, The Barbarian’s Beverage: A History of Beer in Ancient
Europe, (New York: Routladge, 2005), hlm., 1. 2 Charles Bamforth, Grape vs Grain: A Historical, Technological, and
Social Comparison of Wine and Beer, (New York: Cambridge University Press, 2008), hlm., 7.
2
Kedatangan orang-orang Eropa membentuk budaya baru yang asing dan
sama sekali baru bagi penduduk bumiputra. Berbagai budaya gaya hidup yang
melingkupi kegiatan hidup sehari-hari terpusat pada budaya pendatang Eropa.
Selain dalam bentuk identitas-identitas material, juga memiliki dampak
pembaratan atas mentalitas. 3
Periode akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 juga terjadi transformasi
struktur kehidupan masyarakat dengan masuknya pendatang Eropa. Menurut
Burger4 dan Wertheim5 dikatakan sebagai memudarnya struktur masyarakat
agraris feodal tradisional dalam perubahan bentuk menuju masyarakat urban yang
lebih modern. Lebih lanjut dijelaskan bahwa proses perubahan tersebut terjadi
akibat faktor-faktor pertama, proses perubahan akibat merosotnya peranan politik,
ekonomi, dan sosial dari kerajaan-kerajaan tradisional yang kemudian secara
berangsur digantikan oleh dominasi pemerintah Hindia Belanda. Kedua,
perubahan struktur masyarakat diakibatkan oleh terbentuknya stratifikasi dan
segmentasi sosial baru bagi masyarakat pribumi dengan sistem pendidikan
modern oleh Pemerintah Hindia Belanda.
Ketiga, proses perubahan masyarakat diakibatkan oleh terjadinya
perubahan struktur perekonomian masyarakat akibat penetrasi ekonomi Barat.
Proses ini dimulai sejak diberlakukannya cultuurstelsel yang kemudian terus
3 Denys Lombard, Nusa Jawa Silang Budaya (Batas-Batas Pembaratan)
(Jakarta: Gramedia, 2005), hlm., 131. 4 D.H. Burger, Perubahan-Perubahan Struktur dalam Masyarakat Jawa
(Jakarta:Bharata Karya Aksara, 1983), hlm., 110-117. 5 W.F. Wertheim, Masyarakat Indonesia dalam Transisi: Studi Perubahan
Sosial (terjemahan), (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999)
3
berlanjut pada periode berikutnya yakni liberalisasi ekonomi, dan lebih ditegaskan
lagi pada fase pemberlakuan Politik Etis tahun 1900 sampai tahun 1930-an.
Masuknya sistem baru dari Eropa telah merubah aktivitas ekonomi dan tingkat
perekonomian penduduk lokal. Beberapa perubahan yang dapat kita lihat adalah
peningkatan terhadap daya beli terhadap barang-barang konsumsi, meluasnya
aktivitas industri dan kerajinan, serta peningkatan jumlah penduduk secara cepat
di Jawa.
Pesatnya modernisasi yang melanda masyarakat Jawa ditandai dengan
cepatnya pertumbuhan industri maupun perdagangan. Hal ini dapat dilihat pada
pesatnya pembangunan infrastruktur kota seperti gedung-gedung perkantoran,
pertokoan, pasar, jembatan, dan lain-lain. Sarana komunikasi dan transportasi
seperti telepon, telegram, penerangan atau listrik, surat kabar, kereta api, jalan,
kapal mesin uap, mobil dan lain sebagainya, serta semakin heterogennya
pelapisan sosial masyarakat di perkotaan yang membentuk masyarakat
konsumen.6 Hal ini menuntut semakin besarnya pemenuhan kebutuhan hidup.
Dalam sudut pandang perkembangan zaman, kondisi tersebut bagi
masyarakat jajahan dapat diistilahkan sebagai kondisi menuju masyarakat modern.
Dalam ilmu sosial disebut sebagai modernitas. Bermacam cara modernitas
dikenalkan di tanah jajahan. Ini sebenarnya adalah bagaimana proses budaya
orang-orang Barat dibawa ke tanah jajahan.
6 Bedjo Riyanto, Iklan Surat Kabar dan Perubahan Masyarakat di Jawa
Masa Kolonial (1870-1915), (Yogyakarta: Tarawang, 2000), hlm., 3.
4
Pada periode awal kedatangan bangsa-bangsa Eropa, dampak budaya
Barat masih sangat kecil. Baru setelah budaya “Barat” menjadi prestise dan dilihat
sebagai derajat sosial yang tinggi, maka sistem dan pola budaya mereka mulai
mempengaruhi masyarakat Indonesia. Proses ini dipercepat pada saat istana
kerajaan bertindak sebagai perantara, sehingga anggota istana dan masyarakat
kemudian mengikutinya.7 Namun demikian, Wertheim memberikan catatan
bahwa pengaruh budaya ini hanya pada tingkat eksternalnya saja, tidak sampai
pada elemen prinsip internal dari budaya. Sehingga bisa dilihat bahwa budaya
borjuasi kemudian berkembang sekedar pada nilai penampakan budaya luar yang
kemudian dilihat sebagai gaya hidup, bukan sebagai semangat atau pandangan dan
prinsip hidup.
Gejala modernisasi ini sangat tampak pada wilayah perkotaan. Hal ini
terlihat dari munculnya infrastruktur kota yang mau tidak mau harus ada sebagai
penyokong aktifitas dan penunjang kebutuhan hidup maupun tuntutan gaya hidup.
Selain itu, pusat aktivitas masyarakat Barat (Eropa) terletak di perkotaan sehingga
diperlukan pendukung berbagai aktivitas mereka. Awal abad XX kota-kota besar
di Jawa sebagian besar menjalankan fungsinya sebagai pusat-pusat administratif
dan komersial.8 Kota-kota pelabuhan utama di Jawa menjadi pusat komersial
karena memiliki fungsi ekonomi. Fungsi ekonomi yang dimaksud adalah sebagai
pintu keluar hasil bumi untuk perdagangan internasional seperti gula, kopi, dan
7 Bedjo Riyanto, op. cit., hlm., 230. 8 John Ingleson, Tangan dan Kaki Terikat: Dinamika Buruh, Sarekat
Kerja dan Perkotaan Masa Kolonial, (Jakarta:Komunitas Bambu, 2004), hlm., 118.
5
teh sekaligus pintu masuk barang-barang dari luar pulau maupun luar negeri.
Akibat aktivitas tersebut, menyebabkan arus masuknya orang-orang Eropa ke
Jawa dengan berbagai motif baik untuk keperluan pemerintahan maupun urusan
bisnis.
Perluasan sektor ekonomi berikutnya adalah adanya tuntutan kebutuhan
hidup sebagai pendukung pola dan gaya hidup orang-orang Eropa di Jawa.
Sebagian besar perluasan kegiatan perekonomian tersebut merupakan kelanjutan
mekanisme perekonomian. Salah satu fenomena yang terjadi dalam kondisi
tersebut adalah munculnya industri-industri akibat tuntutan untuk memenuhi
kebutuhan hidup orang-orang Eropa seperti kebutuhan makanan, minuman,
pakaian, serta kebutuhan untuk kenyamanan lainnya. Oleh sebab itu, permintaan
akan minuman keras yang tinggi menjadikan barang tersebut sebagai komoditi
penting dalam ekonomi perkotaan Surabaya. Berbagai aktifitas ekonomi muncul
seiring pemenuhan minuman keras baik yang didatangkan dari luar negeri
maupun hasil produksi sendiri. Hal ini melibatan aktifitas pengadaan minuman
keras melalui impor maupun melalui produksi, distribusi, dan konsumsi.
Surabaya sebagai salah satu kota pelabuhan sekaligus kota industri yang
menjadi penunjang bagi kebutuhan industri primer di pedalaman Jawa bagian
Timur. Hal ini menjadikan kota Surabaya sebagai pusat aktivitas bisnis, industri
dan perdagangan. Faktor lain yang tidak kalah penting adalah kebijakan
pemerintah menjadikan Surabaya sebagai kota industri. Perkembangan kota
sebagai pusat industrialisasi menjadikan berbagai macam kebutuhan guna
memenuhi kebutuhan hidup masyarakat yang semakin banyak. Kebijakan
6
pemerintah ini dibuktikan dengan dibangunya kawasan industri Ngagel.9 Pada
tahun 1916 pemerintah Gemeente Surabaya membuka kawasan industri yang baru
di daerah Ngagel, tepatnya pada 16 Oktober 1916.10 Lahan untuk kawasan industri
Ngagel ini semula merupakan perkebunan tebu milik Cina, kemudian dibeli oleh
pemerintah Gemeente.11 Relokasi kawasan industri Ngagel ini karena pada
periode sebelumnya, lokasi industri menjadi satu dengan pusat pemerintahan dan
pemukiman di kawasan pusat kota.12 Akibat kebisingan yang ditimbulkan oleh
industri-industri berat menimbulkan gangguan bagi penduduk sekitar industri di
9 Pembukaan kawasan industri di Ngagel (dekat dengan stasiun
Wonokromo Surabaya) dimaksudkan untuk melokalisasi bangunan pabrik-pabrik besar jauh dari kawasan pemukiman. Pembukaan kawasan industri ini oleh pemerintah Gemeente Surabaya diakibatkan kawasan industri sebelumnya di dekat Jembatan Merah telah padat serta dekat dengan pemukiman dan pusat pemerintahan.
10 Handinoto, Perkembangan Kota dan Arsitektur Kolonial Belanda di
Surabaya 1870 – 194, (Yogyakarta: ANDI, 1996), hlm., 72. 11 G.H. von Faber, Nieuw Soerabaia ( Soerabaia: N.V. Boekhandelen
Drukkerij H van Ingen Bussum, 1933), hlm., 247. Pembelian tanah ini berdasarkan akta notaris F. Eichholz tertanggal 20 Maret 1917. Tanah yang dibeli oleh Gemeente (Kepala Daerah pada waktu itu Mr. A. Meyroos) semula merupakan perkebunan tebu milik Tjoa Tjwan Khing.
12 Berdasarkan intensitas keramaian kota, Surabaya dibagi menjadi dua
wilayah yakni Bovenstad (kota Atas) dan Benedenstad (kota Bawah) yang merujuk letak tempat pada peta yang berorientasi arah. Bovenstad menunjukan sebagai kota yang terletak mendekati pelabuhan di Utara dimana berbagai aktifitas perekonmian dan bisnis berada, sehingga di kota Atas ini merupakan pusat keramaian kota yang terdiri dari pergudangan, toko-toko, pabrik, dan tempat bisnis lainnya. Sementara Benedenstad merupakan wilayah yang terletak di sebelah Selatan merupakan daerah yang lebih sepi dari aktifitas perekonomian dan perdagangan sehingga banyak dijadikan sebagai kawasan pemukiman dan perumahan. Tidak ada batasan jelas antara Benedenstad dan Bovenstad tetapi melihat pusat keramaian bisa jadi daerah Gubeng dan Simpang sebagai batas antara keduanya. Lihat di GH von Faber, Oud Soerabaia (Soerabaia: NV Boekhandelen Drukkerij H van Ingen Bussum, 1933).
7
sekitar kawasan “kota bawah”. Oleh karena itu pemerintah Gemeente membuat
kawasan industri di wilayah yang jauh dari pemukiman penduduk. Lokasi
kawasan industri Ngagel berada antara Sungai Kalimas dan jalur kereta api
Bagong disebelah Utara Kanal Wonokromo.13
Sejak awal abad XIX Surabaya sudah menjadi kota modern. Sutjipto
Tjiptoatmodjo mendeskripsikan bahwa Surabaya lebih bagus dan lebih hidup
daripada Batavia. Di dalam kota terdapat banyak gedung-gedung kantor dagang
maupun pasar. Surabaya berkembang tidak hanya sebagai kota dagang, tetapi juga
sebagai kota industri maupun kerajinan. Hal ini terlihat dari banyaknya pabrik-
pabrik maupun sentra kerajinan di Surabaya.14
Semakin beragamnya industri di Surabaya sebagai dampak
perkembangan kota dan pertambahan jumlah penduduk Eropa yang ada di
Surabaya. Orang-orang Eropa yang tinggal di Surabaya tentu saja memiliki
kebiasaan yang berbeda dengan penduduk setempat. Maka untuk memenuhi
kebutuhan tersebut perlu dibangun penyedia kebutuhan orang-orang Eropa.
Berdasar catatan data dari Centraal kantoor voor de statistiek in
Nederlansch Indie tahun 1930 jumlah penduduk Eropa pada tahun 1920 sebanyak
17.497 orang dan catatan tahun 1927 menjadi 43.926 orang.15 Sementara data
13 Howard Dick, Surabaya City of Work: A Socioeconomic History 1900-
2000, (Ohio: Ohio University Press, 2002), hlm., 353. 14 FA Sutjipto Tjiptoatmodjo, Kota-Kota Pantai di Sekitar Selat Madura
Abad XVII sampai Medio Abad XIX, (Yogyakarta: Desertasi UGM, 1983), hlm., 112.
15 Centraal kantoor vor de statistiek in Nederlansch Indie, (Weltevreden: Lansdrukkerij, 1930)
8
olahan G.H. von Faber jumlah orang Eropa laki-laki tahun1930 sebanyak 13.965
orang, perempuan 12.498 orang, total jumlah penduduk Eropa tahun 1930
sebanyak 26.463 orang.16 Sekian banyak orang Eropa merupakan lahan konsumen
bagi barang-barang kebutuhan orang Eropa. Pada awalnya untuk memenuhi
kebutuhan hidup yang sesuai dengan selera mereka, barang-barang didatangkan
dari Eropa, namun barang-barang tersebut terkena proteksi alami yang tinggi
mekipun harga dari barang tersebut sangat murah (keadaan alam ikut membatasi
seperti es batu, bahan-bahan makanan dan minuman yang cepat basi, dan
kebutuhan-kebutuhan lain yang cepat rusak ).17 Bahkan untuk aktivitas hiburan
dan ikatan ke-Eropa-an maka di tiap waktu-waktu tertentu diadakan berbagai
perkumpulan orang-orang Barat. Di Surabaya sendiri terdapat tempat
perkumpulan yang disebut Societet Concordia dan Societeit ‘De Club”
Simpang18. Selain itu juga, banyak tempat yang menyediakan sarana hiburan serta
tempat untuk memenuhi selera lidah dan perut orang-orang Eropa yakni restoran,
tempat-tempat bilyard yang lebih dikenal dengan “rumah bola”.
Dampak terjadinya Perang Dunia I tahun 1914-1918 tidak hanya
dirasakan Eropa saja tetapi juga termasuk di Hindia Belanda. Sehingga tidak
banyak industri yang dibangun pada periode tersebut. Hubungan laut antara Eropa
16 G.H. von Faber, Nieuw Soerabaia: De geschiedenis van Indies
voornaamste koopstad in de eerste kwarteeuw sedert hare instelling 1900-1930, (Soerabaia: N.V. Boekhandel en Drukkerij H. Van Ingen, 1934), hlm., 30.
17 Howard Dick, “Industrialisasi Abad ke-19: Sebuah Kesempatan yang
Hilang” dalam Thomas J Linblad, Sejarah Ekonomi Modern Indonesia: Berbagai Tantangan Baru. (Jakarta: LP3ES, 2000), hlm., 187.
18 GH von Faber, Oud Soerabaia, op. cit., hlm., 354-357.
9
dan Hindia menjadi terganggu. Sehingga barang-barang Jepang menjadi
komoditas penting dalam perdagangan di Hindia Belanda. Barang-barang Eropa
tidak dapat bersaing dengan barang-barang Jepang. Guna melindungi industri
dalam negeri serta penetrasi ekonomi Jepang, pemerintah membuat kebijakan
pelarangan impor 56 jenis barang antara lain semen, bir, hasil tenun, panci dan
alat dapur, ban kendaraan, pakaian jadi, serta ferro sulfat.19 Usaha lain yang
dilakukan pemerintah untuk membendung masuknya barang-barang dari Jepang
dengan cara menarik masuknya penanaman modal baru dari negeri Belanda.
Kelanjutan terhadap kebijakan pemerintah untuk membendung barang-
barang dari Jepang tersebut salah satunya adalah pembatasan masuknya minuman
bir. Maka didirikanlah pabrik bir Heineken di Surabaya tahun 1931. Pendirian
pabrik bir Heineken Brouwerij di Surabaya khusus untuk menyaingi bir Jepang.
Kemudian disusul pabrik yang kedua di Jakarta tahun 1933.20 Ini menandakan
bahwa ternyata pada sektor industri bir ini justru dimulai sesaat setelah terjadinya
depresi ekonomi. Ini juga membuktikan bahwa meski terjadi goncangan ekonomi
pada masa depresi ekonomi ternyata tidak menyurutkan pelaku ekonomi untuk
membangun pabrik.
Sebelum didirikannya pabrik bir Heineken Brouwerij di Surabaya ini,
untuk konsumsi masyarakat diimport dari luar. Berbagai jenis minuman keras dari
Eropa dibawa oleh agen-agen import di Hindia Belanda. Di Surabaya sendiri
19 Bisuk Siahaan, Industrialisasi di Indonesia: Sejak Hutang Kehormatan
sampai Banting Stir, (Jakarta: Deperindag, 1996), hlm., 55-56. 20 Bisuk Siahaan, op. cit., hlm., 70.
10
banyak agen dagang yang mendatangkan minuman keras dari Eropa dan Luar
Negeri seperti the East Asiatic Company, Ltd, Harmsen Verwey & co, Mitsui
Bussan Kaisha (Mitsui & Co Ltd), Jacobson van den berg & Co21, dan lain-lain.
Sebut saja jenis-jenis minuman seperti cognac, jenever, bier, dan jenis minuman
keras lainnya yang didatangkan oleh agen-agen impor tersebut. Selain jenis-jenis
minuman keras ternama tersebut yang sebagian besar dikonsumsi oleh golongan
masyarakat Eropa dan mereka yang memiliki kedudukan serta kekayaan tinggi,
bagi masyarakat lokal dan Cina sebenarnya sudah ada minuman keras yang
mereka produksi sendiri dan dikenal dengan arak. Berbagai macam sebutan arak
telah dikenal oleh masyarakat seperti ciu, arak pantai, arak bali, arak batavia,
dan lain sebagainya. Namun demikian, penelitian ini hanya membatasi pada
minuman keras yang diproduksi oleh orang-orang Barat dan atau merupakan jenis
dan merk minuman keras dari Barat. Sehingga untuk produksi minuman keras
yang diproduksi oleh pribumi maupun orang–orang Tionghoa, tidak akan dibahas
dalam penelitian ini.
Keberadaan industri bir ini ternyata memiliki pesaing lokal yang telah
lama ada di masyarakat. Sehingga pemerintah perlu mengawasi keberadaan
produk lokal dan produk ilegal. Berdasarkan arsip-arsip yang ditemukan di ANRI
21 Nama-nama agen dagang maupun ekspor impor serta perusahaan-
perusahaan bisnis yang ada di kota-kota pelabuhan besar Asia beserta deskripsi singkat mengenai perusahaan tersebut dalam Mc. Allister, Seaport of The Far East: Historical and Descriptive Commercial and Industrial Fact, Figures, and Resources (2nd edition), (London: WHL Collingridge &Aldergate Street, 1925), hlm., 339-381.
11
setidaknya terdapat proses hukum bagi masyarakat yang membuat minuman keras
ilegal.22
Minuman keras menjadi salah satu simbol budaya modern bagi
masyarakat pribumi perkotaan dari tingkat elit sampai rakyat jelata serta golongan
masyarakat Timur Asing. Dimana dalam berbagai kegiatan pesta selalu menjadi
minuman yang harus tetap disediakan.
B. Rumusan Masalah
Pada awal abad ke-20, populasi orang Eropa di Surabaya mengalami
peningkatan seiring dengan perkembangan industri di wilayah ini. Perkembangan
populasi orang Eropa ini menyebabkan kebutuhan-kebutuhan barang konsumsi
khas Eropa juga mengalami peningkatan. Salah satu kebutuhan barang konsumsi
yang khas itu adalah minuman keras. Pada periode 1900-1942, peredaran dan
perdagangan minuman Eropa sangat besar yang memberi efek terhadap kehidupan
ekonomi dan sosial budaya masyarakat di Surabaya.
Budaya minuman keras yang dibawa oleh orang-orang Eropa
mengundang isu-isu moralitas karena minuman keras dianggap memiliki efek
negatif sehingga muncul gerakan anti minuman keras. Pada saat yang sama,
industri minuman keras semakin berkembang karena memberikan kkeuntungan
ekonomi dan penerimaan negara, sehingga terjadilah perang wacana antara
22 Lihat arsip-arsip di ANRI pada koleksi Archieven Finacien dengan
kode K.52, paling tidak disebutkan dalam no inventaris 756, 758,759, 762-763, 778, 785, dan 787. Disebutkan bahwa mereka yang melakukan pekerjaan pembuatan minuman keras ilegal diproses hukum dengan denda menurut kesalahan.
12
penentang minuman keras dan pendukung minuman keras. Para penentang
minuman keras mulai menyebarkan buku-buku dan pamflet-pamflet yang intinya
mengingatkan bahaya minuman keras. Wacana ini ditanggapi para distributor dan
produsen minuman keras dengan mewacanakan minuman keras sebagai bagian
dari gaya hidup modern. Wacana-wacana modernisasi dan gaya hidup modern
disebarkan melalui surat kabar-surat kabar dan media lain dalam bentuk iklan.
Permasalahan pokok studi ini adalah tentang distribusi, konsumsi
minuman keras Eropa, dan perang wacana antara anti minuman keras dan gaya
hidup modern dalam iklan minuman keras. Pertanyaan pokok penelitian ini
adalah:
1. Bagaimana proses perdagangan, distribusi minuman keras Eropa dan
tingkat konsumsinya di Surabaya tahun 1900-1942?
2. Bagaimana perang wacana tentang minuman keras terjadi di
Surabaya tahun 1900-1942 dan mengapa minuman keras
diasosiasikan dengan gaya hidup modern?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan bagaimana proses
peredaran minuman keras Eropa dan tingkat konsumsinya di Surabaya tahun
1900-1942 serta bagaimana perang wacana minuman keras dan mengapa
minuman keras diasosiasikan dengan gaya hidup modern. Namun demikian tidak
menutup kemungkinan juga menyinggung tahun-tahun sebelum dan sesudah
temporal yang diambil. Hal ini untuk melihat perubahan-perubahan yang terjadi
13
serta perbandingan perkembangan yang terjadi, sehingga diperoleh gambaran
tentang perkembangan minuman keras Eropa di Surabaya. Meskipun dalam skala
yang luas peredaran minuman keras ini tidak memberikan masukan finansial
ekonomi yang besar, akan tetapi paling tidak memberikan sumbangan bahwa
minuman keras turut serta dalam ekonomi perkotaan serta memiliki hubungan
sosial budaya masyarakat periode sebelum dan sesudahnya. Tujuan penelitian ini
adalah untuk :
1. Mengetahui bagaimana proses distribusi minuman keras Eropa dan
tingkat konsumsinya di Surabaya tahun 1900-1942.
2. Mengetahui perang wacana minuman keras Eropa di Surabaya
tahun 1900-1942 dan mengapa minuman keras diasosiasikan
dengan gaya hidup modern?
Manfaat penulisan ini secara umum untuk menyumbangkan ide dan
gagasan tentang dinamika ekonomi sosial terutama dengan masuknya minuman
keras yang mempengaruhi budaya. Selain itu, diharapkan memberikan sumbangan
bagi keilmuan penulisan sejarah.
D. Batasan dan Ruang Lingkup
Berdasarkan tema yang diambil, maka pembahasan dibatasi pada ruang
lingkup bagaimana proses peredaran minuman keras Eropa dan tingkat
konsumsinya di Surabaya tahun 1900-1942 serta bagaimana perang wacana
minuman keras dan mengapa minuman keras diasosiasikan dengan gaya hidup
14
modern. Penulisan ini mengambil ruang lingkup geografis sebagai unit analisis
adalah kota Surabaya. Pengambilan ruang lingkup kota Surabaya dengan
pertimbangan sebagai berikut. Pertama Surabaya merupakan pusat industri
terbesar di Hindia Belanda. Sehingga jumlah penduduk asing yang ada di kota ini
memiliki jumlah kuantitas yang besar. Dari aspek tersebut paling tidak menjadi
alasan bahwa adanya sarana pendukung bagi kebutuhan hidup mereka. Kemudian
memaksa dibangunnya pabrik-pabrik pemenuhan kebutuhan seperti pabrik
makanan, minuman, pakaian, dan lain-lain.
Sebuah penggambaran perbandingan antara Surabaya dengan Batavia
dijelaskan oleh Mc. Allister bahwa Batavia diumpamakan sebagai rumah,
sedangkan Surabaya sebagai pasar dan pabrik. Irama Surabaya merupakan irama
pekerja merupakan perumpamaan yang menjelaskan kondisi umum kota Surabaya
pada awal abad XX.23 Pandangan serupa juga dikemukakan oleh Howard Dick,
menurutnya pada awal abad XX Surabaya sebagai kota industri dapat disejajarkan
sebagai kota industri terkemuka di Asia seperti Calcuta, Bombay, dan Osaka.24
Memasuki awal abad XX, kota Surabaya menjadi kota modern dengan berbagai
aktifitas masyarakatnya. Terlebih lagi sejak ditetapkannya Surabaya sebagai
Gemeente. Sekitar tahun 1930-an telah terjadi depresi ekonomi, dimana
perekonomian internasional menjadi sangat terganggu dan mengalami goncangan.
Namun pada kenyataanya pabrik bir pertama dibangun di Surabaya pada tahun
23 Mc. Allister, op. cit., hlm., 339. Kata-kata tersebut diambil dan
diterjemahkan dari Batavia is a home, Surabaya is a market and factory, the song of Sourabaya is the song of labor.
24 Howard Dick, “Industrialisasi ...”, op. cit., hlm., 177.
15
1931 oleh Heineken Brouwerij bersamaan dengan berlangsungnya depresi
ekonomi.
Kedua secara geografis kota Surabaya juga sebagai pintu masuk wilayah
pedalaman Jawa bagian Timur serta merupakan pintu keluar ekspor gula. Pada
iklan yang dibuat oleh pemerintah Gemeente dengan tujuan menarik investor
asing ke Surabaya disebutkan bahwa posisi Surabaya menguntungkan karena
terletak dalam jalur persimpangan antara Singapura dan Australia, persimpangan
antara Sumatera dan Wilayah Timur Kepulauan Hindia, memiliki pelabuhan
dengan intensitas yang padat serta memiliki jalur transportasi darat yaitu jalur
kereta api.25
Ketiga, pada akhir abad XIX Surabaya merupakan pusat industri skala
besar. Batavia sebagai pusat pemerintahan Hindia Belanda justru tidak memiliki
kelengkapan industri modern. Meskipun tercatat beberapa pabrik besar seperti
perusahaan Teknik Taylor & Lawson, perusahaan gas, pabrik roti dan es, dan lain-
lain. Daerah pedalaman melalui Batavia lebih sebagai particuliere landerijen dan
kurang didukung untuk menjadi sektor eksport yang maju.26 Berbeda halnya
dengan Surabaya, pedalaman menjadi pusat aktifitas ekonomi perdagangan
internasional. Banyaknya perusahaan perkebunan terutama gula menjadikan
penyediaan industri penyokong menjadi kuat dan besar.
25 Lihat iklan yang dibuat oleh pemerintah Gemeente Surabaya untuk
menarik para investor asing yang dimuat dalam Adresboek van de voornamste bedrijfstakken der Nederlandsch Indie nijverheid 1941.
26 Kondisi ini setidaknya berlangsung semenjak diberlakukannya
liberalisasi ekonomi. Namun seiring dengan perkembangan awal abad XX, Batavia mulai membangun infrastruktur industri modern. Lihat Howard Dick, “Industrialisasi ...”, op. cit., hlm., 197.
16
Ruang lingkup temporal penulisan ini adalah sejak tahun 1900.
Sebenarnya tahun tersebut bukan tahun yang ketat sehingga pada tahun tersebut
terjadi peristiwa yang penting. Namun dalam periode ekonomi periode tahun lebih
terbuka tidak melihat satu peristiwa penting sebagai penanda periode tertentu.
Pada tahun 1930-an tersebut sedang terjadi depresi ekonomi yang melanda dunia
internasional. Namun ternyata justru pada tahun 1931 berdiri pabrik bir Heineken
di Surabaya. Maka tahun tersebut sebagai babak baru bagi keberadaan produksi
maupun peredaran minuman keras terutama bir di Hindia Belanda khususnya
Surabaya.
Tahun 1942 diambil sebagai rentang akhir penelitian karena secara
politis pemerintah Hindia Belanda telah digantikan oleh pendudukan Militer
Jepang. Sehingga kebijakan tantang pengelolan wilayah berganti penguasa.
Akibat perubahan kebijakan masa Pendudukan Militer Jepang ini maka seluruh
aktifitas ditujukan untuk keperluan perang sehingga proses modernisasi dan
mekanisasi juga terhenti. Pengambilan rentang waktu tersebut dirasakan cukup
untuk melihat pola-pola modernisasi terkait masuknya besi baja dan mesin
industri yang ada di Surabaya. Pengambilan temporal tersebut nantinya dapat
diketahui perubahan-perubahan yang terjadi dalam proses pemenuhan kebutuhan
masyarakat akan minuman keras terutama bir.
E. Kerangka Konseptual
Minuman keras Eropa menjadi salah satu komoditi dalam perdagangan
di Hindia Belanda karena menjadi bagian dari kebutuhan dan gaya hidup
17
masyarakat yang bersinggungan dengan budaya Eropa. Namun komditi ini secara
keseluruhan pada mulanya didatangkan dari luar negeri. Adanya hukum ekonomi
yang berlaku yakni permintaan terhadap minuman keras ini menyebabkan
penyediaan barang yang ditawarkan di pasar. Minuman keras secara ekonomi
merupakan barang yang sebelumnya tidak ada dalam komoditi perdagangan Jawa
maupun Nusantara. Namun sejak kedatangan orang-orang Eropa, minuman keras
Eropa kemudian serta merta menjadi salah satu komoditi penting perdagangan.
Seiring perjalanan waktu, minuman keras ini menjadi komoditi penting
dalam perdagangan, bahkan sampai-sampai di Jawa perlu didirikan pabrik bir
tahun 1931. Distribusi dan tingkat konsumsi masyarakat yang tinggi
menyebabkan komoditi ini sebagai salah satu komoditi dagang baru di Surabaya.
Semula minuman keras didatangkan dari luar negeri, kemudian ada yang
diproduksi di Surabaya dan distribusinya ke luar wilayah Surabaya. Dengan
demikian konsep yang digunakan adalah teori basis ekonomi. Inti dari teori basis
ekonomi menurut Lincolin Arsyad27 menyatakan bahwa faktor penentu utama
pertumbuhan ekonomi suatu daerah adalah berhubungan langsung dengan
permintaan barang dan jasa dari luar daerah. Pendekatan dengan menggunakan
basis ekonomi adalah untuk melihat bahwa suatu daerah atau wilayah yang
memiliki kemampuan untuk berproduksi dan menjual hasil produksi tersebut baik
untuk daerah sendiri maupun di luar daerah. Dimana teori ini merupakan bagian
dari konsep ekonomi wilayah. Dalam konsep basis ekonomi dijelaskan bahwa
27 Lincolin Arsyad. Ekonomi Pembangunan. Edisi keempat, (Yogyakarta:
BPFE, 1999), hlm., 166.
18
adanya peredaran produk yang di distrisbusikan ke luar daerah. Sebenarnya faktor
penentu basis ekonomi adalah adanya permintaan barang yang berasal dari luar
daerah.28 Akibat permintaan barang yang tinggi menyebabkan aktifitas ekonomi
yang tinggi pula sejak dari produksi, distribusi, sampai konsumi. Hal inilah yang
menjadikan komoditi minuman keras sebagai basis ekonomi baru Surabaya.
Sehingga proses perkembangan suatu wilayah memiliki basis ekonomi baru
adalah bermula dari masuknya suatu produk ke wilayah tersebut, dan karena
permintaan barang tinggi kemudian terdapat inisiatif untuk memproduksi barang
tersebut di wilayah tersebut. Hasil produksi kemudian didistribusikan baik untuk
wilayah domestik maupun luar daerah. Jumlah produksi yang beredar di pasar
tentu saja didasarkan pada jumlah permintaan, sehingga pemenuhan barang bisa
melalui produksi sendiri maupun juga bersamaan dengan mendatangkan dari luar
(impor).
Masayarakat Eropa ataupun petinggi dari golongan bangsa lain seperti
Cina dan bangsa lainnaya tak terkecuali golongan Arab, di rumah tempat tinggal
selalu tersedia bir atau minuman keras lainnya. Minuman keras tersebut biasa
disajikan untuk menjamu tamu-tamu penting yang datang ke rumah. Pada rumah
orang-orang Eropa, bir ini biasanya disimpan di ruang rumah yang disebut kelder
atau dispens.29
28 Robinson Tarigan, Ekonomi Regional: Teori dan Aplikasi (Jakarta:
Bumi Aksara, 2009). 29 Djoko Soekiman, Kebudayaan Indies, (Yogyakarta: Bentang, 2000),
hlm., 148.
19
Tata cara borjuasi barat telah masuk kedalam tradisi dan budaya priyayi
pribumi. Salah satunya adalah upacara toast yakni bersulang dengan minuman
keras dari tuan rumah bagi yang dihormati. Dimana kebiasaan ini telah diserap
menjadi kebiasaan elit. Salah satu contohnya diceritakan oleh Darsiti Soeratman
dalam bukunya Kehidupan Dunia Keraton Surakarta 1830-1839. Di mana untuk
menunjukan kepatuhan secara simbolik terhadap kekuasaan politik pemerintah
kolonial ketika upacara perkawinan agung antara Susuhunan Paku Buwono IX
dengan RA Koestidjah maka upacara toast dilakukan sebagai pembukaan dari
seluruh rangkaian upacara. Toast dilakukan sebanyak tujuh kali disertai sorak
sorai tamu serta dengan diiringi musik selamat datang, gamelan Jawa, brassband
modern, tembakan salvo, serta suara letupan botol-botol champagne yang dibuka
tutupnya. Dalam upacara tersebut juga dihidangkan masakan-masakan Eropa
lengkap dengan menu minuman keras dari berbagai jenis yang dalam bahasa Jawa
keraton dibahasakan dengan Ratu Mas Drink.30 Hal ini selaras dengan kondisi
budaya masyarakat kota yang cenderung lebih terbuka dan kondisi pada waktu itu
masih sangat erat dengan simbol-simbol modernisme.
Sementara bagi rakyat biasa terdapat pesta hiburan rakyat yang digelar
tahunan di Surabaya disebut Jaarmarkt Soerabaja. Dalam Jaarmarkt ini digelar
berbagai hiburan rakyat berupa kesenian seperti wayang, ludruk serta hiburan
lainnya. Dalam kegiatan tersebut juga digelar dagangan hasil kerajinan
masyarakat dan aneka jajanan. Acara rakyat tahunan ini bisanya diberitakan delam
30 Darsiti Soeratman, Kehidupan Dunia Keraton Surakarta 1830-1839,
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989), hlm., 108.
20
media massa meskipun ulasan dalam media tersebut tidak secara rinci
menggambarkan tentang jalannya jaarmarkt.31
Selain fungsi secara sosial, akibat tetap diperlukannya oleh masyarakat
dari berbagai kalangan, minuman keras ini memiliki fungsi ekonomi. Kebutuhan
akan minuman keras bermerk luar negeri menjadikan banyak sekali agen-agen
impor yang bergerak dalam bidang ini. Seperti disebutkan di latar belakang.
Bahkan tidak tanggung-tanggung kemudian pada tahun 1931 di Surabaya
dibangun pabrik bir pertama di Hindia Belanda. maka tak mengherankan apabila
masyarakat kecil yang tidak mampu membeli minuman keras bermerk mereka
akan mendapatkan dalam perdagangan gelap hasil penyelundupan maupun hasil
pembuatan minuman keras ilegal. Pemalsuan dan perdagangan gelap ini terjadi
dikarenakan konsumen menginginkan barang yang sama namun dengan harga
yang lebih murah dibandingkan dengan yang asli keuntungan produsen menjadi
lebih besar karena tidak menyetorkan pajak kepada pemerintah. Ribuan botol
minuman keras tiruan diproduksi dan dijual di toko-toko milik Cina dan di
warung-warung dengan harga 8 sen. 32 Gambaran terebut menjadi kerangka
bahwa minuman keras memiliki fungsi dan dibutuhkan secara ekonomi.
Konsep modernisasi berdasarkan definisi historis menurut Eisenstadt
adalah proses perubahan menuju tipe sistem sosial, ekonomi, dan politik yang
31 Lihat De Indische Courant , maandag 14 Oktober 1929. Bahkan tentang
Jaarmarkt di Surabaya ini juga diberitakan dalam media massa luar Jawa yakni De Sumatra Post, Dinsdag 7 Agustus 1923. Penyelenggaraan Jaarmarkt di Surabaya tahun 1923 dilaksanakan pada 28 Juli 1923.
32 Ida Bagus Gede Putra, Tradisi Candu dalam Masyarakat Bali 1839-
1938, (Yogyakarta: Tesis Program Studi Sejarah UGM, 2000), hlm., 111.
21
telah maju di Eropa Barat dan Amerika Utara dari abad ke-17 hingga abad ke-19
dan kemudian menyebar ke negara Eropa lain dan dari abad ke-19 dan 20 ke
negara Amerika Selatan, Asia, dan Afrika. Selain itu menurut Wilbert Moore
bahwa modernisasi adalah transformasi total masyarakat tradisional atau pra-
modern ke tipe masyarakat teknologi dan organisasi sosial yang menyerupai
kemajuan dunia Barat yang ekonominya makmur dan situasi politiknya stabil.33
Pendapat lain menurut Tiryakin, dilihat dari perspektif proses historis
dunia, modernitas berkaitan dengan keunggulan inovasi atau terobosan kesadaran,
moral, etika, teknologi, dan tatanan sosial yang berguna bagi peningkatan
kesejahteraan manusia. Pandangan serupa juga dikemukakan oleh Chodak yang
mengatakan bahwa modernisasi adalah contoh khusus dan penting dari kemajuan
masyarakat, contoh usaha sadar yang dilakukan untuk mencapai standar
kehidupan yang lebih tinggi.34
Dalam modernisasi ini terjadi pergeseran dari sektor agraris ke sektor
industri. Lebih lanjut, dalam bidang ekonomi modernisasi berarti mengakarnya
teknologi dalam ilmu pengetahuan, bergerak dari pertanian subsisten ke pertanian
komersil, penggantian tenaga binatang dan manusia oleh energi benda mati dan
produksi mesin, berkembangnya bentuk pemukiman urban dan konsentrasi kerja
di tempat tertentu. Konsep modernisasi tersebut menggambarkan kondisi yang
terjadi di Hindia Belanda khususnya Surabaya sebagai wilayah penelitian ini.
Setidaknya apa yang terjadi dalam masyarakat adalah adanya transformasi dan
33 Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial, (Jakarta: Prenada, 2008),
hlm., 152. 34 Piotr Sztompka, op. cit., hlm., 153.
22
perubahan perekonomian akibat perubahan kebijakan pemerintah. Proses ini
berdampak besar bagi perkembangan perekonomian sekaligus perkembangan
wilayah secara fisik.
Oleh karena itu pembahasan dalam penelitian ini akan didasarkan pada
analisis konsep modernisasi yang telah disampaikan di atas. Konsep modernitas
tersebut sangat penting guna melihat bagaimana munculnya Surabaya sebagai
salah satu kota yang penting bagi penanda dunia modern di Hindia Belanda.
Modernitas perkotaan dapat dilihat dari penampakan secara fisik maupun kondisi
sosial masyarakat perkotaan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, imajinasi adalah daya pikir
untuk membayangkan (dalam angan-angan) atau menciptakan gambar (lukisan,
karangan, dsb) kejadian berdasarkan kenyataan atau pengalaman seseorang atau
juga khayalan.35 Oleh karena itu, imajinasi modernitas bisa diartikan sebagai
bayangan atau penggambaran tentang modernitas yang terwujud melalui sebuah
media atau alat. Tentu saja bayangan atau gambaran tersebut bukan merupakan
bentuk kenyataan atau realitas sebenarnya akan tetapi merupakan bentuk ideal
yang diinginkan oleh pembuatnya. Dalam hal ini imajinasi modernitas minuman
keras Eropa bisa diartikan sebagai bagaimana penggamabarn tentang modernitas
yang muncul melalui minuman keras Eropa.
35 Tim Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia , (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1998), hlm., 425
23
F. Tinjauan Pustaka
Penelitian tentang minuman keras di Surabaya periode kolonial sejauh
ini belum peneliti temukan. Pembahasan tentang minuman keras menjadi bagian
kecil dari tulisan-tulisan yang pernah ada. Terlebih lagi penelitian tentang sejarah
industri minuman keras. Pada tahun 2005 telah ada penelitian tentang minuman
keras di Batavia dengan periode tahun 1873-1898 yang ditulis oleh Yusana
Sasanti Dadtun.36 Penelitian ini merupakan penelitian tesis di Program Studi
Sejarah Universitas Gadjah Mada. Hasil penelitian tersebut seperti terwakili
dalam judulnya membahas tentang sistem produksi dan perdagangan minuman
keras di Batavia pada tahun 1873-1898. Sesuai dengan batasan spasial, penelitian
tersebut mengambil tempat Batavia.
Buku yang bersifat deskriptif naratif tentang minuman keras dan tempat-
tempat hiburan yang menyediakan minuman keras yang ada di Surabaya sampai
tahun 1930-an disajikan oleh G.H. von Faber. Baik Oud Soerabaia37 maupun
Niew Soerabia38. Kedua buku tersebut memberikan informasi sedikit tentang
beberapa jenis minuman keras dan tempat-tempat hiburan yang menyediakan
minuman keras. Selain itu itu, diinformasikan pula tentang kebiasaan orang-orang
Eropa yang minum-minuman keras terutama pada saat pesta. Meskipun informasi
36 Yusana Sasanti Dadtun, Air Api di Mulut Ciliwung: Sistem Produksi dan
Perdagangan Minuman Keras di Batavia 1873-1898, (Yogyakarta: Tesis Program Studi Sejarah UGM, 2005).
37 G.H. von Faber, Oud Soerabaia (Soerabaia: N.V. Boekhandelen
Drukkerij H. van Ingen Bussum, 1933). 38 G.H. von Faber, Niew Soerabaia (Soerabaia: N.V. Boekhandelen
Drukkerij H. van Ingen Bussum, 1934).
24
yang disampaikan dalam buku tersebut tidak banyak, setidaknya buku tersebut
memberikan gambaran sedikit tentang adanya minuman keras di Surabaya sampai
tahun 1930-an.
Tulisan yang melengkapi kedua buku dari G.H. von Faber disajikan
dalam Seaport of The Far East: Historical and Descriptive Commercial and
Industrial Fact, Figures, and Resources.39 Buku ini sebenarnya berisi profil
tentang kota-kota pelabuhan di Asia Timur dan salah satunya membahas tentang
Kota Surabaya. Secara khusus terdapat pembahasan tentang profil-profil
perusahaan-perusahaan yang bergerak dalam berbagai bidang. Penyajian buku ini
berisi informasi waktu berdiri, pemilik dan manajer, jumlah modal, hasil
produksi, jumlah tenaga kerja, serta informasi-informasi yang berkaitan dengan
perusahaan yang disajikan. Dalam buku ini diketahui perusahaan-perusahaan atau
usaha dagang yag menjadi importir minuman keras di Surabaya. Meskipun tidak
hanya khusus mendatang minuman keras, namun setidaknya terdapat penjelasan
tentang pelaku-pelaku yang berperan penting dalam mendatangkan minuman
keras ke Surabaya.
Karya lain yang bersifat informatif terdapat pada karya Howard Dick,
Surabaya City of Work: A Socioeconomic History, 1900-200040. Sebenarnya buku
ini berisi tentang kondisi sosioekonomi kota Surabaya. Namun beberapa bagian
39 Mc. Allister, Seaport of The far East: Historical and Descriptive
Commercial and Industrial Fact, Figures, and Resources 2nd edition (London: WHL Collingridge & Aldergate Street, 1925).
40 Howard Dick, Surabaya City of Work: A Socioeconomic History, 1900-
2000, (Ohio: Ohio University Press, 2002).
25
sedikit menjelaskan tentang bagaimana pabrik bir Heineken di Surabaya memiliki
peran dalam perjalanan industri minuman keras serta ekonomi perkotaan. Dimana
dijelaskan bahwa salah satu sektor yang paling cepat bangkit pada saat depresi
ekonomi adalah industri minuman keras dengan dibangunnya pabrik bir
Heineken.
Tulisan J. Kats dalam Het Alcoholkwaad en zijn bestrijding dengan
terjemahannya Bahaja Minoeman Keras serta Daja Oepaja Mendjaoehinja41
mendeskripsikan tentang berbagai dampak bahaya yang muncul jika minum
minuman beralkohol. Buku ini berisi tentang manfaat dan berbagai bahaya yang
muncul jika mengkonsumsi minuman keras. Untuk lebih meyakinkan Kats
mengutip usaha-usaha yang dilakukan perhimpunan organisasi seperti Sarekat
Islam, Budi Utomo, Muhammadiyah, Regentbond (Perkumpulan Bupati), dan
lain-lain tentang bagaimana dampak negatif minuman keras.
Media surat kabar dijadikan sebagai sarana promosi modern (iklan) bagi
pemasaran produk-produk minuman keras. Berbagai merek minuman keras
diiklankan dalam surat kabar karena merupakan media yang efektif untuk promosi
dan pemasaran. Hal ini diungkapkan oleh Bedjo Riyanto dalam Iklan Surat Kabar
dan Perubahan Masyarakat di Jawa Masa Kolonial (1870-1915)42. Lebih lanjut
dijelaskan, dari iklan-iklan tersebut menjadi tolak ukur bahwa dalam masyarakat
41 J. Kats, Het Alkoholkwaad en zijn bestrijding (bahaja Minoeman Keras
Serta Daja Oepaja Mandjaoehinja), (Weltevreden: Balai Poestaka, 1920). 42 Bedjo Riyanto, Iklan Surat Kabar dan Perubahan Masyarakat di Jawa
Masa Kolonial, (Yogyakarta: Tarawang, 2000).
26
telah terjadi perubahan baik secara sosial, ekonomi, maupun budaya sehingga
merujuk pada masyarakat modern.
Tulisan yang membahas tentang perkembangan industri secara
menyeluruh di Indonesia ditulis oleh Bisuk Siahaan. Buku ini menguraikan
tentang proses industrialisasi di Hindia Belanda dari periode kolonial sampai
periode Orde Baru Indonesia. Pembahasan mencakup industri baik dalam skala
besar, sedang, dan kecil.43 Dalam buku dijelaskan bahwa munculnya industri bir
modern diawali dengan berdirinya Pabrik Bir Heineken di Surabaya tahun 1931
kemudian disusul Pabrik bir Archipel Brouwerij Coy di Batavia tahun 1933.
Kemunculan pabrik bir di Surabaya dan Batavia pada masa depresi ekonomi ini
sebagai usaha pemerintah untuk membendung masuknya barang-barang dari
Jepang dengan menarik masuk penanam modal dari Eropa serta melindungi
barang hasil produksi sendiri.
Karya lain yang menyingung terntang modernisasi yang terjadi di Jawa
adalah Nusa Jawa: Silang Budaya (Batas-Batas Pembaratan) karya Denys
Lombard.44 Modernisasi yang dilihat sebagai saluran pembaratan sebagai dampak
teknik barat atas ekonomi dan demografi salah satunya adalah masuknya budaya
baru seperti cara minum pada saat pesta jamuan makan.
Sementara buku-buku yang membahas tentang sejarah minuman keras di
luar Indonesia diantaranya ditulis oleh Tim Mitchell tentang Intoxciated
43 Bisuk Siahaan, Industrialisasi di Indonesia: Sejak Hutang Kehormatan
sampai Banting Stir, (Jakarta: Deperindag, 1996). 44 Denys Lombard, Nusa Jawa Silang Budaya (Batas-Batas Pembaratan)
(Jakarta: Gramedia, 2005).
27
Identities: Alcohol’s Power in Mexican History and Culture. Dalam karya ini
disebutkan bahwa minuman beralkohol telah menjadi bagian penting perjalanan
sejarah dan budaya bangsa Meksiko. Dalam karyanya dijelaskan bagaimana
minuman beralkohol telah menjadi bagian sejarah dan konflik dalam bangsa
Meksiko. Dan dalam perjalanannya kemudian direduki menjadi budaya bangsa.
Karya lainnya adalah Brewing Battles: A History of American Beer yang ditulis
oleh Amy Mittleman menjabarkan bahwa sebenarnya sejak munculnya peradaban
telah ada minuman beralkohol. Sementara di Amerika sendiri, pajak minuman
beralkohol dan tembakau memainkan peran penting dalam mendukung aktifitas
finansial pemerintah federal pada akhir abad 19 dan awal abad 20 tepatnya sejak
tahun 1862 sampai 1913. Sehingga bisa dikatakan bahwa masyarakat Amerika
adalah peminum bir.
Sebagian besar karya-karya yang disebutkan diatas belum pernah ada
yang membahas tentang industri bir di Hindia Belanda sebagai salah satu
komponen perkembangan perekonomian. Terlebih lagi bir menjadi model gaya
hidup masyarakat. Oleh karena itu penelitian ini akan mengkaji tentang
bagaimana keberadaan minuman keras di Surabaya baik sebelum maupun sesudah
berdirinya Pabrik Bir Heineken sekitar tahun 1930-an.
28
G. Metode penelitian
Metode penelitian didasarkan pada tahap-tahap dalam metode sejarah,
yaitu pemilihan topik, pengumpulan sumber data, verifikasi, interpretasi, analisis
dan sintesis, serta penulisan.45
Pemilihan topik tidak terlepas dari kaidah-kaidah penulisan sejarah,
sebagai bahan pertimbangan adalah buku Mengerti Sejarah46 karya Louis
Gotchalk. Setelah mendapatkan topik dan tema yang akan ditulis kemudian
disusun kerangka dan konsep tema. Sumber-sumber yang ada ini berasal dari
terbitan pemerintah seperti Gemeente verslag van Soerabia, Kolonial verslag,
Statistisch jaaroversicht van Nederlansch Indie, Handboek of Nederlands East
Indie, Verslag omtrent de handelvereneging te Soerabaia, Year Book of The
Nederlands Indie, Stadsblad serta Adresboek, maupun arsip-rasip hasil
pemeriksaan yang dikeluarkan oleh Departement van Economisch Zaken. Selain
itu juga didukung oleh majalah ekonomi terbitan pemerintah Economische
Weekblad maupun sumber-sumber iklan dari berbagai media surat kabar atau
majalah terbitan sejaman. Artikel maupun berita-berita surat kabar dan majalah
periode kolonial juga sangat membantu sebagai sumber sejaman. Sumber-sumber
tersebut didukung pula dengan buku-buku atau tulisan yang terkait dengan
penulisan ini. Data dan sumber-sumber tersebut banyak tersimpan di Arsip
Nasional Republik Indonesia Jakarta, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia
45 Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Bentang Budaya,
2000), hlm., 90. 46 Louis Gotchlak, Mengerti Sejarah (terjemahan), (Jakarta: UI Press,
1975).
29
Jakarta, Perpustakaan BAPPEDA Propinsi Jawa Timur, Arsip Daerah Propinsi
Jawa Timur, Arsip Kota Surabaya, serta tempat-tempat atau instansi yang
menyimpan arsip terkait. Selain itu juga memanfaatkan data, informasi dan
sumber melalui media internet.
H. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan sebagai ide-ide pokok penulisan dibagi menurut
bab-bab yang memuat satu kerangka pembahasan. Dimana dalam bab-bab
tersebut akan diperinci lagi dalam sub-bab. Hal ini dimaksudkan agar penulisan
bersifat terstruktur dan pembahasan lebih fokus.
Bab I berisi pendahuluan yang memuat latar belakang permasalahan,
rumusan masalah, konsep dan kerangka penulisan, tujuan penelitian, tinjauan
pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II berisi gambaran umum tentang kondisi demografi, sosial mapun
ekonomi dari kota Surabaya sehingga menjadi jawaban atas alasan kenapa
masuknya minuman beralkohol di Surabaya sampai kemudian perlu dibangun
pabrik bir. Alasan-alasan kebutuhan hidup dan budaya menjadi penting untuk
menjadi alat analisis pada bab ini.
Bab III membahas tentang masuknya minuman keras melalaui impor
dan produksi sendiri serta bagaimana proses distribusi berlangsung sampai ke
tangan konsumen. Sebelum dibangunnya pabrik bir Heineken tahun 1931 dengan
mendatangkan dari luar negeri melalui import. Kondisi dan alasan yang
melatarbelakangi berdirinya pabrik bir di Surabaya pada masa depresi ekonomi.