bab i pendahuluan a. latar...

47
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Program pemberdayaan masyarakat miskin telah banyak dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat yang ditujukan kepada individu atau masyarakat melalui program-program pemerintah baik yang dilakukan oleh Depdiknas, Depnaker, Depsos dan sebagainya. Program pendidikan nonformal merupakan salah satu program yang banyak dipilih untuk memberdayakan masyarakat yang tujuannya memberikan ketrampilan maupun pelatihan kepada masyarakat miskin agar mereka dapat menggunakan ketrampilannya untuk mensejahterakan kehidupannya. Program pendidikan nonformal banyak dilakukan pada masyarakat baik yang dilakukan oleh sanggar kegiatan belajar masyarakat, PKBM, dan lembaga kursus dan pelatihan yang banyak tumbuh di masyarakat. Lembaga kursus dan pelatihan merupakan lembaga pendidikan nonformal yang sangat berperan dalam memberikan layanan pengetahuan ketrampilan dan sikap bagi masyarakat serta merupakan salah satu aspek yang sangat strategis dalam mendukung program kemiskinan dan pengangguran, hal ini didukung oleh jumlah lembaga kursus dan pelatihan yang mencapai kurang lebih 16008 LKP di Indonesia dengan berbagai jenis ketrampilan dan ini merupakan kekuatan yang sangat besar dalam mendukung pemerintah untuk mewujudkan pengentasan kemiskinan dan pengangguran.

Upload: doancong

Post on 03-Mar-2019

218 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Program pemberdayaan masyarakat miskin telah banyak dilakukan

oleh pemerintah maupun masyarakat yang ditujukan kepada individu atau

masyarakat melalui program-program pemerintah baik yang dilakukan oleh

Depdiknas, Depnaker, Depsos dan sebagainya. Program pendidikan nonformal

merupakan salah satu program yang banyak dipilih untuk memberdayakan

masyarakat yang tujuannya memberikan ketrampilan maupun pelatihan

kepada masyarakat miskin agar mereka dapat menggunakan ketrampilannya

untuk mensejahterakan kehidupannya. Program pendidikan nonformal banyak

dilakukan pada masyarakat baik yang dilakukan oleh sanggar kegiatan belajar

masyarakat, PKBM, dan lembaga kursus dan pelatihan yang banyak tumbuh

di masyarakat.

Lembaga kursus dan pelatihan merupakan lembaga pendidikan

nonformal yang sangat berperan dalam memberikan layanan pengetahuan

ketrampilan dan sikap bagi masyarakat serta merupakan salah satu aspek yang

sangat strategis dalam mendukung program kemiskinan dan pengangguran,

hal ini didukung oleh jumlah lembaga kursus dan pelatihan yang mencapai

kurang lebih 16008 LKP di Indonesia dengan berbagai jenis ketrampilan dan

ini merupakan kekuatan yang sangat besar dalam mendukung pemerintah

untuk mewujudkan pengentasan kemiskinan dan pengangguran.

2

Tangguangjawab dalam mensejahterakan masyarakat pada dasarnya

bukan saja merupakan beban pemerintah selaku penyelenggara Negara, namun

juga menjadi tanggungjawab bersama antara pemerintah, masyarakat maupun

pihak swasta, oleh karena itu pendekatan kemitraan dalam upaya

memberdayakan masyarakat merupakan sesuatu yang diidealkan.

Dalam konsep kemitraan terdapat kondisi yang menjamin adanya

proses kesejajaran dan keseimbangan peran antara pemerintah, masyarakat

dan swasta artinya pemerintah memberikan rambu dan aturan main secara

umum baik peranannya dalam membuat kebijakan maupun pendanaan.

Masyarakat diberi hak untuk mengelola sumber daya dalam rangka

melaksanakan pembangunan, dan swasta memberikan energi dalam program

pemberdayaan melalui investasi swasta. Konsep kemitraan muncul karena

banyaknya masalah dalam pendekatan pembangunan pada masa yang lalu

yang sifatnya top-down yang memposisikan pemerintah sebagai faktor dominan

dan membiarkan sikap acuh tak acuh pihak swasta dalam memberdayakan

kaum lemah.

Proses kesejajaran dalam kemitraan antara pemerintah, swasta dan

masyarakat dalam penyelenggaraan program pendidikan kecakapan hidup (life

skill) bidang menjahit di Kota Yogyakarta akan sangat menentukan

keberhasilan program ini, sehingga perlu diketahui peran pemerintah,

masyarakat, dan dunia usaha dalam pelaksanaan program ini seperti apa.

Program pendidikan kecakapan hidup bidang menjahit sebagai salah

satu program yang bertujuan mengurangi pengangguran dan kemiskinan telah

3

lama dilakukan namun hasil yang dilihat belum bisa dirasakan secara nyata

karena apabila dilihat tujuan diadakannya program ini adalah mengurangi

pengangguran dan kemiskinan.

Pengangguran terbuka di DIY berdasarkan hasil survai Angkatan Kerja

Nasional (SAKERNAS) menunjukan bahwa tingkat pengangguran terbuka

(TPT) di DIY pada Agustus 2009 sebesar 6%, Februari 2010 6,02%, Agustus

2010 5,69%. Apabila dilihat variasai TPT antar kabupaten atau kota di

Propinsi DIY, Kota Yogyakarta mempunyai angka tertinggi dibandingkan

dengan kabupaten lainnya yaitu 7,41% dan yang terendah Kabupaten Gunung

Kidul 4,04%.

Apabila dilihat dari masalah kemiskinan menurut Keputusan Walikota

Yogyakarta Nomor 782/KEP/2010 tentang Penetapan Data Keluarga Miskin

Kota Yogyakarta Tahun 2010 bahwa jumlah Kepala Keluarga (KK) miskin

sebanyak 20.456 KK terdiri atas hampir miskin 9.471 KK, miskin 10.484 KK

dan fakir miskin 501 KK. Kondisi ini lebih baik apabila dibanding tahun 2009,

yaitu jumlah KK miskin sebanyak 21.228 KK, terdiri atas hampir miskin

10.112 KK, miskin 10.577 KK dan fakir miskin 539 KK. Penduduk miskin

tahun 2010 sebanyak 65.371 jiwa, hampir miskin 30.267 jiwa, miskin 33.393

jiwa, fakir miskin 1.711 jiwa. Jumlah ini menurun apabila dibandingkan

penduduk miskin pada tahun 2009 yaitu 68.998 jiwa dengan rincian hampir

miskin 32.997 jiwa, miskin 34.152 jiwa, dan fakir miskin 1.849 jiwa.

Penduduk yang dapat dicakup dalam program jaminan kesehatan daerah

(Jamkesda) sebanyak 8.938 jiwa penduduk miskin dan 37.977 penduduk

4

rentan miskin. Adapun yang dapat dicakup dalam jaminan pendidikan daerah

sebanyak 15.565 siswa (LKPJ, 2010).

Berdasarkan kenyataan tersebut langkah-langkah strategis melalui

pengembangan program yang secara langsung dapat mengurangi

pengangguran telah dipilih dan salah satunya dengan melaksanakan program

pendidikan kecakapan hidup (life skill) khususnya bidang menjahit yang

dilaksanakan oleh Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta melalui Dinas

Pendidikan nonformal.

Sehubungan dengan hal tersebut Direktorat Pembinaan Kursus dan

Pelatihan pada tahun 2011 telah memprogramkan, melanjutkan dan

memperkuat pelayanan pendidikan kecakapan hidup bagi warga putus

sekolah, mengganggur dan kurang mampu atau miskin. Penyelenggaraan

program pendidikan kecakapan hidup merupakan upaya nyata untuk mendidik

dan melatih warga masyarakat agar menguasai bidang-bidang ketrampilan

sesuai dengan kebutuhan, bakat, minat dan peluang kerja atau usaha mandiri

yang dapat dimanfaatkan untuk bekerja baik di sektor formal maupun

informal.

Pada hematnya keberhasilan sistem pendidikan dapat dilihat dari

kemampuan lulusannya menggunakan hasil pendidikan untuk hidup. Oleh

karena itu sistem pendidikan yang baik seharusnya mampu memberikan bekal

bagi lulusannya untuk menghadapi kehidupan atau memberikan life skills pada

peserta didik. Logikanya semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka

5

semakin tinggi pula peran yang dapat dimainkannya dalam kehidupan di

masyarakat.

Pendidikan nonformal dipandang sangat efektif untuk membantu

mengatasi berbagai permasalahan yang melilit bangsa Indonesia antara lain

besarnya angka pengangguran akibat tenaga kurang terampil. Salah satu

langkah yang amat penting dalam mewujudkan masyarakat terdidik adalah

menerapkan program pendidikan kecakapan hidup atau life skill yang mempunyai

misi: 1) mengentaskan pengangguran dan kemiskinan diperkotaan/pedesaan,

2) memberdayakan masyarakat pedesaan/perkotaan, 3) mengoptimalkan daya

guna dan hasil guna potensi dan peluang kerja yang ada, 4) meningkatkan

kesejahteraan masyarakat melalui kegiatan kursus dan pelatihan sehingga

memiliki bekal untuk bekerja atau usaha mandiri.

Permasalahannya program pendidikan kecakapan hidup atau life skill

terutama bidang menjahit yang diterapkan untuk mengatasi permasalahan

kurangnya tenaga terdidik belum terlihat hasilnya dan pengalaman di lapangan

menunjukan bahwa warga belajar yang telah mengikuti program ini masih

belum mendapatkan status pekerjaan yang memadai sesuai tujuan penerapan

program ini karena banyak warga belajar yang tidak masuk dalam bursa

tenaga kerja diperusahaan maupun yang dapat berwirausaha secara mandiri.

Penelitian-penelitian terdahulu tentang keberhasilan pendidikan kecakapan

hidup telah dilakukan misalnya, Zainudin (2002:132) dalam tulisannya

tentang Pengelolaan PKBM mengatakan bahwa pengelolaan PKBM termasuk

lembaga kursus mempunyai perbedaan antara harapan dan kenyataan bahwa

6

dengan semakin pesatnya jumlah PKBM dan lembaga kursus namun tidak

diikuti meningkatnya jumlah masyarakat yang terlayani dan belum mengukir

prestasi. Demikian pula tulisan Suminar (2007:82) mendiskripsikan

pertumbuhan PKBM dan lembaga kursus masih bersifat kuantitas belum

dibarengi kualitas karena rendahnya mutu input, mutu proses dan mutu output.

Hal senada juga dikemukakan dalam penelitian Bitasari (2006) dan Ermy

(2007) di Semarang yang mengatakan bahwa Pengelolaan Pembelajaran

Program Pendidikan di PKBM telah menerapkan pendekatan andragogy

dengan cukup baik namun tujuan pendidikan yang berorientasi pada

pengembangan aspek ekonomi dalam hal ini mendapatkan penghasilan dan

pekerjaan belum tercapai dengan baik.

LKP sebagai wadah pembelajaran masyarakat yang tumbuh dan

berkembang dari oleh dan untuk masyarakat sebetulnya sangat potensial

menjadi salah satu media untuk mengatasi permasalahan di atas karena tugas

LKP adalah memberikan layanan pendidikan masyarakat. Tetapi untuk

mencapai tujuan program Pendidikan Kecakapan Hidup ini banyak hal yang

terkait diantaranya menyangkut mentalitas masyarakat yang diberdayakan,

pelaksanaan programnya, dukungan pemerintah, keterlibatan dunia usahadan

sebagainya, maka hanya lembaga kursus atau LKP yang memiliki kemampuan

membangun jaringan kemitraan yang baik dan sesuai dengan tujuan program

pendidikan life skill ini dapat terselenggara secara optimal. Jaringan kemitraan

sangat penting untuk dibangun karena untuk mengatasi persoalan pemberdayaan

masyarakat merupakan tanggungjawab bersama antara pemerintah, pihak

7

swastadan masyarakat melalui mekanisme kemitraan yang serasi, selaras dan

seimbang dan untuk memecahkan masalah pengangguran dan kemiskinan

tersebut perlu dilihat kontribusi masing-masing aktor yaitu pemerintah, swasta

dan masyarakat sehingga terbentuk model kemitraan yang dilaksanakan.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas maka

perumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

Bagaimana kemitraan yang dilaksanakan oleh LKP Ar-Rum, LKP

Modisa dan LKP Yogya Design School dan model kemitraannya dalam

pelaksanaan pendidikan kecakapan hidup (life skill) bidang menjahit.

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut :

1. Mediskripsikan kemitraan yang dilaksanakan oleh lembaga kursus dan

pelatihan dalam hal ini LKP Ar-Rum, LKP Modisa dan LKP Yogya

Design School baik kemitraan dengan pemerintah maupun Dunia Usaha

melalui peran yang dilaksanakan dalam pendidikan kecakapan hidup (life

skill ) bidang menjahit..

2. Mengetahui model kemitraan yang dilaksanakan oleh LKP Ar-Rum, LKP

Modisa dan LKP Yogya Design School baik kemitraan dengan pemerintah

maupun swasta.

8

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada

penyelenggara LKP dalam merencanakan, melaksanakan dan pencapaian

tujuan program pendidikan life skill bidang menjahit terutama tentang

kemitraan yang dilaksanakan melalui peran pemerintah, peran swasta dan

peran masyarakat dalam pelaksanaan program ini agar dapat berjalan sesuai

tujuan diadakannya program ini. Masukan kepada pemerintah terkait dengan

pelaksanaan program ini terutama berhubungan dengan kemitraan yang

dilaksanakan LKP di lapangan termasuk bagaimana partisipasi masyarakat

dan masukan untuk pihak swasta atau dunia usaha tentang pelaksanaan

program life skill bidang menjahit agar mempunyai tujuan yang sama dalam

pelaksanaan program ini.

E. Landasan Teori

1. Kemitraan

Kemitraan dalam masyarakat Indonesia merupakan hal yang tidak

asing karena dalam kehidupan sehari-hari kita mengenal gotong royong,

partisipasi masyarakat dan sebagainya. Dalam manajemen modern baik

dalam pengembangan sumberdaya manusia maupun pengembangan

kelembagaan kemitraan merupakan salah satu strategi yang biasa

ditempuh untuk mendukung keberhasilan implementasi manajemen

modern.

Kemitraan tidak sekedar diterjemahkan sebagai sebuah kerjasama,

akan tetapi memiliki pola strategis dalam mewujudkan keberhasilan suatu

9

lembaga dalam menerapkan manajemen modern. Dalam implementasinya

kemitraan dibutuhkan kesepahaman pengelolaan program, strategi

pengembangan program antara lembaga yang bermitra.

Dalam uraian tentang kemitraan ini akan diuraikan tentang :

a. Pengertian Kemitraan

Kemitraan pada dasarnya telah lama dikenal pada masyarakat

kita, istilah gotongroyong misalnya termasuk dalam kegiatan kerja

sama. Istilah kemitraan menurut Notoatmojo (2003: 107) adalah

kerjasama formal antara individu-individu, kelompok atau organisasi

untuk mencapai tujuan tertentu. Sedangkan pendapat lain tentang

kemitraan misalnya dari Promkes Depkes RI (2004: 112.) mengatakan

bahwa :

1) Kemitraan mengandung pengertian adanya interaksi dan interelasi

minimal dua pihak atau lebih dimana masing-masing pihak

merupakan mitra atau partner.

2) Kemitraan adalah upaya melibatkan berbagai komponen baik

sektor, kelompok masyarakat, lembaga pemerintah atau non

pemerintah untuk bekerjasama mencapai tujuan bersama

berdasarkan atas kesepakatan, prinsip dan peran masing-masing.

Kemitraan pada dasarnya merupakan salah satu strategi yang

ditempuh dalam mendukung keberhasilan pengembangan sumberdaya

maupun kelembagaan, dalam kemitraan dibutuhkan kesepemahan

pengelolaan program, kesepemahan pengembangan program antara

10

lembaga yang bermitra. Kemitraan dapat dilakukan dalam transfer

teknologi, transfer pengetahuan/ketrampilan, transfer sumberdaya,

transfer cara belajar dan sebagainya.

b. Prinsip Kemitraan

Ada beberapa prinsip yang perlu dipahami dalam membangun

suatu kemitraan yaitu:

1) Prinsip Kesetaraan (Equity)

Yaitu individu, organisasi atau institusi yang telah bersedia

menjalin kemitraan harus merasa sama atau sejajar kedudukannya

dengan yang lain dalam mencapai tujuan yang disepakati.

2) Prinsip Keterbukaan

Keterbukaan terhadap kelebihan dan kelemahan masing-

masing anggota dan berbagai sumberdaya yang dimiliki. Semua

harus diketahui oleh anggota lain sehingga dengan keterbukaan ini

akan menimbulkan saling melengkapi dan membantu diantara yang

bermitra.

3) Prinsip Azas Manfaat Bersama

Organisasi atau institusi yang telah menjalin kemitraan

memperoleh manfaat dari kemitraan yang terjalin sesuai dengan

kontribusi masing-masing

c. Langkah Kemitraan

Kemitraan pada dasarnya memberikan nilai tambah kekuatan

pada masing-masing sektor untuk melaksanakan visi dan misinya

11

namun kemitraan juga memerlukan persyaratan dalam langkah-

langkah kemitraan yaitu: (1) pengenalan masalah, (2) seleksi masalah,

(3) melakukan identifikasi calon mitra dan pelaku potensial, (4)

melakukan identifikasi peran mitra atau jaringan kerjasama antar

sesama mitra dalam upaya mencapai tujuan melalui kesepakatan kedua

belah pihak tentang tanggung jawab masing-masing, (5) menyususn

rencana kerja dan evaluasi.

Syarat untuk membentuk kemitraan ada beberapa yang perlu

diperhatikan, yaitu:

1) Adanya dua belah pihak atau lebih

2) Memiliki kerjasama dalam mencapai visi dan tujuan

3) Adanya kesepakatan

4) Saling membutuhkan

Sedangkan aspek yang dimitrakan adalah sebagai berikut:

1) Program Kegiatan

Penyelenggaraan kegiatan bersama dengan lembaga yang bermitra

untuk merancang program kegiatan pada pelaksanaan paling tidak

ada tiga kemungkinan.

a) Bentuk Kerjasama

Dalam melaksanakan kegiatan setiap program dilaksanakan,

dikelola secara bersama

b) Pengelolaan Program

Sebuah lembaga dalam melakukan pengelolaan program

kegiatan atau melaksanakan seluruh kegiatan dapat dikelola

secara bersama antara pihak yang bermitra.

12

2) Sarana dan Prasarana

Sarana dan prasarana kegiatan dapat dimitrakan dalam bentuk

kemitraan, misalnya: kemitraan dalam peralatan, bahan, ruang,

dana dan sebagainya. Kemitraan dapat dilakukan secara timbal

balik antar lembaga.

3) Tenaga

Kemitraan dengan menggunakan tenaga yang memadai, yang

dimiliki oleh sebuah lembaga dapat dijadikan asset untuk

didayagunakan oleh lembaga yang bermitra

d. Model Kemitraan

Model kemitraan secara umum menurut Notoadmodjo (2007:

67) adalah sebagai berikut:

1) Model kemitraan yang paling sederhana adalah bentuk jaringan

kerja yaitu kemitraan dimana masing-masing memiliki program-

program tersendiri, dan kemitraan terjadi karena adanya persamaan

pelayanan.

2) Model jaringan bersama yaitu kemitraan dimana setiap mitra

memiliki tanggung jawab yang lebih besar terhadap program

bersama, visi misi dan kegiatan dalam mencapai tujuan

direncanakan, dilaksanakan dan dievaluasi bersama.

Model kemitraan tersebut bersifat umum yang dilakukan

dalam bidang apapun, sedangkan kemitraan dalam upaya

pemberdayaan masyarakat dapat dilihat pada model kemitraan yang

13

dilakukan oleh pemerintah, masyarakat dan swasta dengan mengadopsi

konsep good governance yang memberikan tanggungjawab dalam

upaya memberdayakan masyarakat kepada pemerintah, masyarakat

dan swasta.

Kemitraan dalam hal ini terkait dengan upaya pemberdayaan

masyarakat yang secara konseptual diartikan sebagai upaya

menciptakan atau meningkatkan kapasitas masyarakat, baik secara

individu maupun kelompok, dalam memecahkan berbagai persoalan

yang terkait dengan peningkatan kualitas hidup, kemandirian dan

kesejahteraannya dan pemberdayaan masyarakat ini terkait dengan

keterlibatan lebih besar dari pemerintah dan berbagai pihak dalam hal

ini swasta dan lembaga yang tumbuh di dalam masyarakat untuk

memberikan kesempatan dan menjamin keberlanjutan dari hasil yang

ingin dicapai.

Model kemitraan dalam pemberdayaan menurut Ambar T

(2004: 101) diilhami oleh fenomena biologis yang mana kemitraan

dibedakan menjadi:

1) Pseudo partnership atau kemitraan semu yaitu persekutuan yang

terjadi antara dua pihak atau lebih namun tidak sesungguhnya

melakukan kerjasama secara seimbang satu dengan lainnya. Bahkan

salah satu pihak belum tentu memahami secara benar akan makna

sebuah kerjasama yang dilakukan tetapi dalam model ini masing-

masing pihak yang bersekutu merasa penting untuk bekerja sama,

14

tetapi pihak-pihak yang bermitra belum mengetahui substansi yang

diperjuangkan dan manfaatnya.

2) Mutualism Partnership atau kemitraan mutualistik yaitu merupakan

persekutuan dua pihak atau lebih yang sama-sama menyadari aspek

pentingnya melakukan kemitraan yaitu saling memberikan manfaat

dan mendapatkan manfaat lebih sehingga dapat mencapai tujuan

secara optimal. Pemahaman akan nilai melakukan kemitraan dua

agen organisasi atau lebih yang melakukan kemitraan manfaat saling

silang dapat diperoleh sehingga dapat memudahkan masing-masing

dalam mewujudkan visi dan misinya dan menunjang satu sama lain.

3) Conjugation partnership atau kemitraan melelui peleburan yaitu

organisasi/agenatai individu atau kelemahan yang memiliki

kelemahan bekerjasama dalam rangka meningkatkan kemampuan

masing-masing.

Model kemitraan yang lain dikembangkan atas dasar azas

kehidupan organisasi pada umumnya yang mencakup:

1) Subordinate union of partnership yaitu kemitraan semacam ini

terjadi antara dua pihak atau lebih yang mempunyai status,

kemampuan dan kekuatan yang tidak seimbang satu dengan yang

lain. Dengan demikian hubungan yang tercipta tidak berada dalam

suatu garis lurus yang seimbang satu dengan yang lainnya,

melainkan berada pada hubungan atas bawah, kuat lemah. Oleh

15

karena itu kondisi ini mengakibatkan tidak ada sharing pada peran

dan fingsi yang tidak seimbang.

2) Linear union of partnership adalah kemitraan dengan melalui

penggabungan pihak-pihak secara linear atau garis lurus sehingga

pihak yang bergabung melakukan kerjasama antar organisasi yang

memiliki persamaan secara relatif dan kesamaan tersebut berupa

tujuan atau misi, status, legalitas dan sebagainya.

3) Collaborative of partnership yaitu kemitraan yang melalui

kerjasama secara linear dalam hal ini tidak membedakan besaran

volume organisasi, status, legalitas atau kekuatan para pihak yang

bermitra tetapi yang menjadi tekanan utama adalah visi, misi dan

saling mengisi satu sama lainnyam sehingga dalam kemitraan ini

terjalin secara linear yaitu berada pada garis lurus dan tidak terjadi

subordinasi.

2. Kemitraan dalam Pemberdayaan Masyarakat

Kemitraan dalam upaya pemberdayaan masyarakat sangat erat

hubungannya dengan good governance dipandang sebagai suatu

pendekatan yang relevan. Pengertian tentang good governance seperti

yang disampaikan oleh Thoha dalam Sulistyani (2003: 21) adalah suatu

tata pemerintahan yang baik yang merupakan suatu kondisi yang menjamin

adanya proses kesejajaran, kesamaan, kohesi, dan keseimbangan peran

serta, adanya saling mengontrol yang dilakukan oleh pemerintah

16

(government), rakyat (citizen) atau civil society dan usahawan (business)

yang berada pada sektor swasta artinya ketiga komponen tersebut

mempunyai hubungan yang sama atau sederajad. Hubungan yang sinergis

antara masyarakat, pemerintah dan swasta menjadi bagian penting dalam

good governance dimana pemerintah diposisikan sebagai fasilitator dan

katalisator sedangkan tugas pembangunan menjadi tanggung jawab semua

komponen. Negara, dunia usaha dan masyarakat, merupakan bentuk ideal

yang ingin diwujudkan yaitu kemitraan antara pemerintah, masyarakat dan

swasta dengan demikian konsep good governance merujuk pada tiga pilar

utama yaitu public governance, corporate governance dan civil society.

Dalam rangka menciptakan good governence maka kedekatan antara

unsur pemerintah, unsur swasta dan masyarakat perlu diberikan peran

dalam kemitraan yang setara kepada tiga aktor pembangunan tersebut.

Pemerintah lebih transparan dalam mengembangkan kepemimpinan yang

partisipatif, swasta mampu memberikan kontribusi dalam memberikan

enerji untuk melaksanakan pemberdayaan bersama pemerintah dan

masyarakat, hendaknya mampu memanfaatkan peluang untuk memberikan

peran aktif melalui partisipasi yang koheren.

Sejak pemerintahan orde baru upaya meningkatkan kemampuan

masyarakat juga dilakukan, namun tidak sepenuhnya memiliki kontribusi

dalam pemberdayaan. Pembentukan kemampuan atau daya didalam

17

masyarakat seringkali dikaitkan dengan konteks penyelenggaraan

pembangunan nasional dan daerah.

Pemaknaan pendekatan dari pemerintah, oleh pemerintah untuk

pemerintah dalam pembangunan masyarakat adalah :

a. Datangnya ide, rencana pembangunan dan sekaligus proses

perencanaan dan penetapan keputusan datangnya dari pemerintah

tanpa melibatkan masyarakat.

b. Implementasi kebijakan pengembangan juga dilakukan oleh

pemerintah, tanpa melibatkan aktor masyarakat misalnya para

profesional, ormas dan sebagainya sehingga masyarakat hanya sebagai

sasaran pembangunan dan tidak mempunyai andil kecuali menerima

sesuatu yang diinginkan pemerintah.

Pendekatan pembangunan tersebut ternyata tidak mampu

menghasilkan legitimasi keberdayaan masyarakat yang sesungguhnya.

Akhirnya pendekatan tersebut digantikan pendekatan pembangunan dari

pemerintah bersama rakyat untuk rakyat yang pemaknaannya adalah :

a. Datangnya ide dan perencanaan dilakukan pemerintah bersama

masyarakat. Tetapi pada kenyataannya ide berupa input, permintaan

bisa datang dari masyarakat tetapi terbentuknya kebijakan seringkali

sudah dikendalikan dari pusat.

b. Pelaksanaan kebijakan pembangunan dilakukan bersama antara

pemerintah dengan masyarakat tetapi pada pelaksanaannya masih

18

selektif atau terbatas karena masih ada katub-katub yang mengatur

secara formal.

c. Intervensi pemerintah masih kental. Dari kebijakan tersebut telah

mencerminkan kemitraan tetapi masih belum melibatkan pihak swasta

untuk tanggunga jawab sosialnya dalam pengertian luas, sehingga

dilontarkan pendekatan lainnya dengan pemaknaan sebagai berikut :

1) Datangnya ide dan perencanaan pembangunan hendaknya

dilakukan oleh masyarakat dengan mempertimbangkan aspek

lokal yang bersifat kasusistik, pemerintah memberikan fasilitas

konsultasi, informasi data, anggaran dan tenaga ahli yang

dibutuhkan.

2) Masyarakat mengimplementasikan sendiri apa yang telah

direncanakan dengan fasilitas pemerintah, baik berupa anggaran,

tenaga ahli, teknologi dan sebagainya.

3) Kemanfaatan hasil pembangunan untuk masyarakat dan sekaligus

manajemen hasil pembangunan juga dilakukan dalam sistem

sosial masyarakat dimana mereka tinggal.

Selain peran pemerintah dan masyarakat peran swasta juga

penting dilibatkan dalam kemitraan ini terutama dari segi

operasionalisasi atau implementasi kebijakan kontribusi pemanfaatan

tenaga terampil maupun sumbangan dana maupun teknologi.

Pendekatan pemberdayaan masyarakat yang demikian diharapkan

19

dapat memberi peran kepada individu maupun kelompok masyarakat

untuk ikut menentukan masa depannya. Sedangkan menurut

Kartasasmita (1996) dalam Lucie Setiana (2005: 6) pada dasarnya

pemberdayaan masyarakat adalah upaya meningkatkan harkat dan

martabat masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu

melepaskan diri dari kemiskinan dan keterbelakangan, dengan kata

lain memberdayakan adalah memampukan dan memandirikan

masyarakat. Sedangkan menurut Korten (1987) dalam Soetomo (2006:

404) pemberdayaan dipahami sebagai kemampuan untuk mengubah

kondisi masa depan melalui tindakan dan pengambilan keputusan.

Untuk mencapai kondisi kemandirian masyarakat sesuai dengan

konsep tersebut maka pengembangan potensi masyarakat dan peran

serta pemerintah yang mampu memobilisasi sumberdaya

masyarakatnya serta pihak-pihak lain yang terlibat akan dapat

mewujudkan masyarakat yang mandiri tidak lagi sebagai obyek

pembangunan atau penerima manfaat saja tetapi diharapkan dapat

sebagai subyek pembangunan atau sebagai motor penggerak

pembangunan. Hal ini juga sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh

Montagu & Matson dalam Supriyatna dalam Dehumanization of Man

yang mengusulkan konsep The Good Community and Competency

yang meliputi sembilan konsep komunitas yaitu :

20

1) Setiap anggota masyarakat berinteraksi satu sama lain berdasarkan

hubungan pribadi adanya kelompok primer.

2) Komunitas mempunyai otonomi yaitu kewenangan dan

kemampuan untuk mengurus kepentingannya sendiri secara

bertanggung jawab.

3) Memiliki visibilitas yaitu memecahkan masalah mereka sendiri.

4) Distribusi kekuasaan merata sehingga setiap orang berkesempatan

riil bebas memiliki dan menyatakan kehendaknya.

5) Kesempatan setiap anggota masyarakat untuk berpartisipasi aktif

untuk kepentingan bersama.

6) Komunitas memberi makna kepada anggota.

7) Adanya hiterogenitas dan beda pendapat

8) Pelayanan masyarakat ditempatkan sedekat dan secepat yang

berkepentingan

9) Adanya manajemen konflik

Uraian tersebut dimaksudkan untuk upaya memberdayakan

masyarakat yang mempunyai posisi lemah secara menyeluruh

sehingga pemberdayaan ditujukan pada target group secara

keseluruhan, namun kemungkinan terjadi pula yang perlu

diberdayakan adalah hanya sebagian masyarakat saja misalnya

masyarakat miskin kota.

21

Apabila pemberdayaan masyarakat ditinjau dari tahapan

pemberdayaan meliputi :

1) Tahap penyadaran dan pembentukan perilaku menuju perilaku

sadar dan peduli sehingga merasa membutuhkan peningkatan

kapasitas diri.

2) Tahap tranformasi kemampuan berupa wawasan pengetahuan,

kecakapan ketrampilan agar terbuka wawasan dan memberikan

ketrampilan dasar dan dapat mengambil peran dalam

pembangunan.

3) Tahap peningkatan kemampuan intelektual, kecakapan

ketrampilan sehingga terbentuk inisiatif dan kemampuan inovatif

untuk mengantarkan kemandirian.

Dalam pemberdayaan masyarakat, masyarakat akan berproses

secara bertahap dalam waktu yang tidak singkat dan harus

memperhatikan setiap tahap. Menurut Soemodiningrat dalam Ambar

Teguh Sulistyani (2004:85) pemberdayaan masyarakat meliputi

afeksi, kognisi, psikomotor, dan konasi yang akan berbanding lurus

satu sama lain, seperti pada tabel berikut ini :

22

Tabel 1.1

Tahapan Pemberdayaan

Tahapan

Afektif

Tahapan

Kognitif

Tahapan

Psikomotorik

Tahapan

Konatif

Belum merasa

sadar & peduli

Belum

memiliki

wawasan

pengetahuan

Belum memiliki

keterampilan

dasar

Tidak

berperilaku

membangun

Tumbuh rasa

kesadaran &

kepedulian

Menguasai

pengetahuan

dasar

Menguasai

keterampilan

Bersedia terlibat

dalam

pembangunan

Memupuk

semangat

kesadaran &

kepedulian

Mengembang

kan dasar

pengetahuan

Mengembangkan

keterampilan

dasar

Berinisiatif untuk

mengambil peran

dalam

pembangunan

Merasa

membutuhkan

kemandirian

Mendalami

pengetahuan

pada tingkat

yang lebih

tinggi

Mempercayai

variasi

keterampilan

Berposisi secara

mandiri untuk

membangun diri

dan lingkungan

Dari tabel tersebut menganut pola pikir linier yaitu apabila

masyarakat atau individu berada pada tahap pertama afeksinya maka

aspek yang lain juga pada aspek pertama dan seterusnya.

3. Peran Tiga Aktor dalam Pemberdayaan Masyarakat

Kontribusi masing-masing aktor yaitu pemerintah, swasta, dan

masyarakat sehingga terbentuk model kemitraan yang diharapkan menurut

Ambar Teguh Sulistyani (2004: 97) dapat dilihat pada tabel berikut ini :

23

Tabel 1.2

Peran Tiga Aktor dalam Pemberdayaan Masyarakat

Aktor Peran dalam

Pemberdayaan Bentuk Output Peran Fasilitasi

Pemerintah Formulasi dan

Penetapan

Policy,

Implementasi

Monitoring dan

evaluasi Mediasi

Kebijakan : Politik,

Umum, Khusus/

Departemental/

Sektoral Penganggaran,

Juknis dan Juklak,

Penetapan indikator

keberhasilan Peraturan

Hukum, penyelesaian

sengketa

Dana,

jaminan alat,

teknologi,

network,

sistem

manajemen

informasi,

edukasi

Swasta Kontribusi oada

formulasi,

implementasi,

monitoring dan

evaluasi

Konsultasi &

Rekomendasi

kebijakan, tindakan dan

langkah/ policy action

implementasi, donatur,

private investment

pemeliharaan

Dana, alat,

teknologi,

tenaga ahli

dan sa

ngat terampil

Masyarakat Partisipasi

dalam formulasi,

implementasi,

monitoring dan

evaluasi

Saran, input, kritik,

rekomendasi,

keberatan, dukungan

dalam formulasi

kebijakan.Policy

action, dana swadaya

manjadi obyek,

partisipan, pelaku

utama/ subyek

Menghidupkan fungsi

sosial kontrol

Tenaga

terdidik,

tenaga

terlatih,

setengah

terdidik dan

setengah

terlatih

Berdasarkan pemetaan peran tiga aktor dalam tabel diatas,

pemerintah lebih banyak berperan pada penentuan rambu-rambu dan

aturan main secara umum. Peran pemerintah yang paling menonjol

sesungguhnya terletak pada peran pengambilan keputusan dan pendanaan.

Namum mengingat adanya kemungkinan terjadi sengketa di dalam

24

perjalanan pembangunan tersebut maka diperlukan peran mediasi,

terutama untuk mengontrol peran swasta supaya berjalan wajar tidak

merugikan masyarakat. Hal ini harus diperhitungkan dan dibuat langkah

antisipasi, karena seringkali setelah implementasi kebijakan

pembangunan, swasta dapat berbelok, dengan berpihak pada kepentingan

profitabilitas ketimbang kemaslahatan. Jika kondisi semacam ini sangat

dominan, berarti bentuk kemitraan yang dijalin telah tercemar, dan harus

dilakukan langkah perbaikan. Apabila proses mediasi ini tidak berhasil,

pemerintah dapat mencabut atau mangalihkan peran swasta pada badan

swasta lainnya, atau bahkan dengan memberikan sanksi tertentu.

Mengingat bentuk peran pemerintah sebagaimana tersebut diatas maka

fasilitasi yang diberikan oleh pemerintah adalah berupa fasilitasi

kebijakan, pendanaan. Fasilitasi pendanaan biasanya berupa investasi

publik (public investment), penyediaan sistem informasi yang baik dan

program edukasi masyarakat yang tepat.

Untuk menjaga kualitas hasil, pemerintah sebaiknya juga

menetapkan pola monitoring dan evaluasi yang jelas, dan berkelanjutan.

Program yang sudah dilakukan oleh pemerintah periode sebelumnya

hendaknya dapat dipelihara, dimonitor oleh pemerintah berikutnya.

Dengan demikian tanggung renteng akan berjalan terus, tanpa

memperdulikan telah berapa kali pergantian kepemimpinan berlangsung.

Menurut pengalaman program-program pembangunan hanya berumur

pendek yaitu sesuai dengan umur proyek. Apabila proyek selesai maka

25

hasil pembangunan tidak pernah dipantau dan diurusi. Sebenarnya

disinilah kekeliruan yang telah banyak dilakukan dalam sistem

pembangunan. Semestinya transisi kepemimpinan selalu mengagendakan

pelimpahan tanggung renteng, atas program-program yang telah

dilakukan. Dengan demikian program tersebut tetap hidup dan memberi

kemaslahatan yang semakin besar secara generatif.

Dalam rangka memudahkan pemeliharaan hasil-hasil pembangunan,

menjaga kualitas dan tanggungjawab bermitra hendaknya pemerintah

menyusun dan menetapkan kriteria evaluasi, pada setiap program

pembangunan, dan kriteria yang dibangun tersebut dikosultasikan,

didiskusikan dengan pihak masyarakat “yang memiliki kompetensi/

profesi relevan”.

Swasta mengambil peran lebih banyak pada implementasi

penentuan langkah/policy action bersama masyarakat. Peran demikian

perlu ditekankan, supaya terjadi variasi analisis berdasarkan kondisi

khusus dan bersifat kasuistik di tingkat daerah. Dengan demikian

pemberdayaan yang dilakukan akan lebih mendekati kebutuhan lokal.

Peran swasta dalam implementasi kebijakan pemberdayaan juga

mencakup kontribusi dana melalui investasi swasta yang bermanfaat

untuk mendukung proses pemberdayaan masyarakat. Sedangkan dalam

monitoring dan evaluasi pihak swasta juga memberi andil dalam

pemeliharaan hasil-hasil yang diperoleh melalui proyek-proyek

26

pemberdayaan masyarakat dari sebagian keuntungan investasi swasta

yang telah beroperasi. Dengan demikian bentuk fasilitasi akan berupa

penerjunan tanaga ahli dan sangat terampil serta teknologi yang memadai.

Secara umum peran masyarakat diberikan dalam bentuk partisipasi

baik pada level formulasi, implementasi, monitoring maupun evaluasi.

Tinggi rendahnya partisipasi yang diberikan akan berdasarkan pada

tingkat keberdayaan yang dimiliki oleh masyarakat, dan kemampuan

pemahaman pada setiap level dalam proses kebijakan publik. Tidak semua

masyarakat sudah mampu untuk memberikan input, saran, kritik pada

level formulasi kebijakan. Dalam rangka memberdayakan masyarakat

agar berkemampuan untuk memberikan saran, ide, kritik dan sebagainya

perlu dilakukan proses edukasi masyarakat. Bertolak dari kondisi

demikian ini, maka bagian dalam proses pemberdayaan di bidang

pengambilan keputusan, pemerintah sebaiknya memberikan fasilitasi

sistem edukasi masyarakat, dengan cara :

a. Memberikan ruang yang lebar kepada masyarakat untuk

menyampaikan ide, masukan, kritik, rasa keberatan, permintaan dan

sebagainya, tanpa dibebani sanksi dan ancaman.

b. Memberikan informasi secara transparan dan aksesibel kepada

masyarakat, yang menyangkut berbagai aspek pembangunan lokal

maupun nasional.

27

c. Pelibatan masyarakat dalam formulasi kebijakan dalam melihat

profesionalisme, kompetensi di samping nilai kepentingan masyarakat

terhadap program pemberdayan.

Peran lain masyarakat yang dapat digali dan dikembangkan adalah

pendanaan. Partisipasi di bidang pendanaan, merupakan potensi internal

yang dimiliki oleh masyarakat. Pada setiap penyelenggaraan

pembangunan dalam rangka pemberdayaan masyarakat biasanya

mempertanyakan bagaimana kondisi potensi masyarakat yang akan

diintervensi oleh sebuah kebijakan. Pengerahan dana masyarakat sering

terjadi untuk pembangunan yang dilakukan, dana tersebut lebih populer

dengan sebutan swadaya masyarakat.

Peran masyarakat yang lain dan memiliki posisi yang sangat

penting adalah pada pemeliharaan kontrol sosial dalam rangka pelestarian

dan pemeliharaan hasil-hasil pembangunan. Diantara masyarakat sendiri

hendaknya tumbuh dan mengembangkan sistem kontrol yang sehat dalam

masyarakat. Setiap orang akan melakukan aktivitas yang tidak merugikan

suatu proses pemberdayaan.

4. Pendidikan Life skills

Upaya pemberdayaan masyarakat melalui konsep life skills

merupakan salah satu dalam upaya memberikan keterampilan kepada

masyarakat dalam pemberdayaan masyarakat yang menurut Satori dalam

Jamal M (2009: 61) program pendidikan kecakapan hidup adalah

pendidikan yang dapat memberikan keterampilan yang praktis,

28

terpakai, terkait dengan kebutuhan pasar kerja, peluang usaha dan potensi

ekonomi dan industri yang ada di masyarakat. Apabila dihubungkan

dengan pekerjaan tertentu, Anwar dalam Slamet (2002: 134) menjelaskan

bahwa life skills dalam lingkup pendidikan nonformal ditujukan pada

penguasaan vocational skills yang intinya terletak pada penguasaan

specific occupational job. Apabila dipahami dengan baik, maka dapat

dikatakan bahwa life skills dalam konteks kepemilikan specific

occupational skills sesungguhnya diperlukan oleh setiap orang. Ini berarti

bahwa program life skills dalam pemaknaan program pendidikan

nonformal diharapkan dapat menolong mereka untuk memiliki harga diri

dan kepercayaan diri mencari nafkah dalam konteks peluang yang ada di

lingkungannya.

Brolin dalam Slamet (2002: 135) mendefinisikan life skills sebagai

kontinum pengetahuan dan kemampuan yang diperlukan oleh seseorang

untuk berfungsi secara independen dalam kehidupan. Pendapat lain

mengatakan bahwa kecakapan hidup adalah kecakapan sehari-hari yang

diperlukan oleh seseorang agar sukses dalam menjalankan kehidupan

(Slamet, 2002: 135). Sedangkan WHO (Depdiknas, 2004) memberikan

pengertian bahwa life skills adalah berbagai keterampilan atau

kemampuan untuk dapat beradaptasi dan berprilaku positif, yang

memungkinkan seseorang mampu menghadapi berbagai tuntutan dan

tantangan dalam hidupnya sehari-hari secara efektif. Dengan demikian,

29

pendidikan life skills merupakan suatu upaya pendidikan untuk

meningkatkan kecakapan hidup setiap warga negara. Kecakapan hidup

yang dimaksudkan adalah kecakapan yang dimiliki seseorang untuk

menghadapi problema hidup dan kehidupan dengan wajar tanpa merasa

tertekan, kemudian secara proaktif dan kreatif mencari serta menemukan

solusi sehingga akhirnya mampu mengat.

Dengan definisi tersebut, maka pendidikan life skills harus

merefleksikan nilai-nilai kehidupan nyata sehari-hari, baik yang bersifat

preservatif maupun progresif. Pendidikan perlu diupayakan relevansinya

dengan nilai-nilai kehidupan nyata sehari-hari. Dengan cara ini,

pendidikan akan lebih realistis, lebih kontekstual, tidak akan mencabut

peserta didik dari akarnya, sehingga pendidikan akan lebih bermakna bagi

peserta didik dan akan tumbuh subur. Seseorang dikatakan memiliki

kecakapan hidup apabila yang bersangkutan mampu, sanggup, dan

terampil menjalankan kehidupan dengan nikmat dan bahagia. Kehidupan

yang dimaksud meliputi kehidupan pribadi, kehidupan keluarga,

kehidupan tetangga, kehidupan perusahaan, kehidupan masyarakat,

kehidupan bangsa, dan kehidupan-kehidupan lainnya. Ciri kehidupan

adalah perubahan dan perubahan selalu menuntut kecakapan-kecakapan

untuk menghadapinya. Oleh karena itu, sudah sewajarnya jika pendidikan

formal dan nonformal mengajarkan kecakapan hidup.

30

Menurut Slamet (2002: 137) hasil yang diharapkan dari pendidikan

kecakapan hidup adalah: (1) peserta didik memiliki aset kualitas batiniah,

sikap, dan perbuatan lahiriyah yang siap untuk menghadapi kehidupan

masa depan sehingga yang bersangkutan mampu dan sanggup menjaga

kelangsungan hidup dan perkembangannya, (2) peserta didik memiliki

wawasan luas tentang pengembangan karir dalam dunia kerja yang sarat

perubahan yaitu yang mampu memilih, memasuki, bersaing, dan maju

dalam karir, (3) peserta didik memiliki kemampuan berlatih untuk hidup

dengan cara yang benar, yang memungkinkan peserta didik berlatih

tanpa bimbingan lagi, (4) peserta didik memiliki tingkat kemandirian,

keterbukaan, kerjasama, dan akuntabilitas yang diperlukan untuk menjaga

kelangsungan hidup dan perkembangannya, (5) peserta didik memiliki

kemampuan dan kesanggupan untuk mengatasi berbagai permasalahan

hidup yang dihadapi.

Pendidikan life skills sebagai salah satu program pendidikan

nonformal memiliki mekanisme tertentu dalam pembentukannya. Dalam

hal ini Napitupulu (1983: 123) mengemukakan bahwa pengembangan

pendidikan nonformal dilakukan dalam tiga tahap, yaitu: (1) Tahap

motivasi, tahap motivasi ini meliputi kegiatan-kegiatan yang dilakukan

untuk memotivasi kelompok sasaran pendidikan nonformal berupa warga

masyarakat angkatan kerja yang berusia produktif yang belum bekerja

untuk diorganisir dalam wadah kelompok belajar. Petugas lapangandalam

31

tahap ini berperan sebagai “sutradara” proses belajar, (2) Tahap

pelaksanaan program kelompok belajar berupa jenis kegiatan pendidikan

nonformal yang ditandai oleh kegiatan “bekerja” dan “belajar” untuk

mengejar ketertinggalan dalam berbagai bidang kehidupan, dan (3) tahap

pelestarian, adalah tahap pelembagaan warga belajar yang siap kerja

menjadi siap usaha pada program pendidikan life skills agar mereka dapat

mencitakan lapangan kerja baru atau terserap dalam pasar kerja.

Pendidikan nonformal dalam rangka pendidikan bagi masyarakat miskin

selaku anggota masyarakat tidak lepas dari konsep learning society, adult

education, experience learning sedangkan secara ekonomi berbentuk

“human resources development and in sercice training” pendek kata

pendidikan nonformal diarahkan untuk pendidikan luar sekolah, kursus

ketrampilan, penyuluhan, pendidikan dan latihan.

Konsep pendidikan luar sekolah bagi orang dewasa khususnya

keluarga miskin menurut Darkenwald dan Meriam dalam Sudardja

Adiwikarta (1988:93) adalah “a process whereby persons whose mayor

social roles are characteristic of adult status undertake systematic and

sustained learning activites for perpuse of bringing about change in

knowledge, attitude, values or skills.

Konsep tersebut mengisyaratkan adanya tujuan, subyek, materi dan

metode yang jelas yang digunakan dalam rangka pendidikan luar sekolah

atau pendidikan non formal bagi masyarakat yang tidak mampu.

32

Metode pendidikan luar sekolah atau ketrampilan bagi masyarakat

tidak mampu memperoleh pengetahuan, pengalaman, sikap dan

kepercayaan, keahlian dan partisipasi sosial memerlukan beberapa

pendekatan teori yaitu dengan pendekatan teori humanistik, teori

perkembangan dan teori perilaku. Teori humanistik lebih menekankan

pada proses penanaman dan pengembangan ketrampilan penduduk miskin

dan hal ini akan tumbuh subur bila substansi dan sumber pengembangan

lingkungan masyarakat memberikan lingkungan yang mendukung dan

positif. Teori perkembangan menekankan pada asumsi bahwa penduduk

miskin adalah kelompok yang tidak berdaya sehingga memerlukan

pengembangan nilai, sikap, kepercayaan dan keterampilan lewat beberapa

tahapan dan pola tertentu dan disertai lingkungan yang mempengaruhi

tahapan tersebut dan menurut Mezirowi dalam Tjahya Supriatna

(1978:103) dipandang sebagai konsep transformasi perspektif dimana

tahapan-tahapan tersebut diperkenalkan sebagai sesuatu yang baru dan

bermanfaat bagi perbaikan kehidupan mereka. Teori perilaku lebih

menekankan pada asumsi bahwa kegiatan pendidikan dapat merubah

perilaku seseorang bila disertai dengan latihan kerja dan ketrampilan yang

akan mempengaruhi pengalaman hidupnya. Selain itu kemiskinan bisa

disebabkan oleh terbatasnya sumberdaya manusia yang potensial dan

ketidakmampuan memanfaatkan sumberdaya yang ada baik lewat jalur

pendidikan formal maupun non formal yang pada akhirnya menimbulkan

konsekuensi terhadap rendahnya pendidikan informal. Hal senada juga

33

dikemukakan oleh Philip Coombs (1983:14) mengatakan bahwa “bila

bentuk pendidikan formal tidak mampu dilakukan oleh penduduk miskin,

maka pemerintah negara berkembanglah yang harus membuat kebijakan

pendidikan nonformal untuk mengatasi kesempatan kerja, urbanisasi,

peningkatan pendapatan dan perbaikan kesehatan serta gizi. Pendidikan

nonformal ini bisa berupa penyuluhan, penataran, kursus maupun bentuk

ketrampilan teknis lainnya.”

Tujuan pendidikan luar sekolah atau ketrampilan adalah

menekankan pada praktek daripada teori yang dilakukan dengan substansi

keteladanan, bimbingan, pembinaan, penyuluhan, praktek, peragaan dan

pelatihan guna menumbuhkan pengetahuan dan ketrampilannya.

Transformasi nilai budaya melalui jalur pendidikan diarahkan pada upaya

sosialisasi, pemberdayaan, pengembangan intelektual, sikap dan kepercayaan,

kepribadian, kemampuan mengambil keputusan, peningkatan produktivitas

dan etos kerja agar menjadi manusia yang berdaya guna dan berhasil guna.

Transformasi pendidikan dapat ditempuh dengan proses pembelajaran,

pelatihan, pembimbingan dan pembinaan. Konsep pendidikan luar

sekolah ini juga dikemukakan oleh John H Trange dalam Tjahya Supriatna

(1997: 79) mengungkapkan bahwa “experiantal leraning the educational

community has the determined that experiental learning is a subset of

learning particulary that learning which accurrs outside the classroom or

laboratory learning as a learning some suggested communicating skill

intellectual, problem solving skill, and effective behaviors” (belajar

pengalaman pendidikan masyarakat dilakukan di luar sekolah, laboratorium,

34

dan tempat praktek lainnya dalam menumbuhkan ketrampilan, kemampuan

memecahkan masalah dan perilaku efektif dari masyarakat).

Dengan perkataan lain pengalaman bisa diperoleh melalui

pendidikan luar sekolah, pendidikan orang dewasa, pendidikan

ketrampilan untuk menumbuhkan “the callenges of advances professional

development society melalui mengembangan sumber nilai, sikap dan

perilaku masyarakat dalam bentuk response centering, response humility,

and response courge” (David A kolb dalam Lamdin, 1991:97)

Sedangkan menurut K Patricia dalam Lamdin (1991) belajar

sejenis pendidikan ketrampilan dimaksudkan untuk :

a. Mempunyai akses terhadap penambahan pengalaman hidup dan

pengalaman sebagai dasar pendidikan, kesempatan kerja, latihan

ketrampilan dan pemupupukan profesi.

b. Menjadi dasar perubahan struktur soial ekonominya.

c. Memberikan basis terhadap penumbuhan sikap kelompok

komunikasi dan tindakan sosial.

Sedangkan menurut Darkenwald dan Merriam dalam Tjahya

Supriatna (1997: 81) tujuan pendidikan ketrampilan bagi penduduk miskin

terdapat lima macam penekanan yaitu :

a. Pengembangan intelektual dan keahlian

b. Pengembangan perwujudan diri

c. Pengembangan pribadi masyarakat

d. Perubahan sosial

e. Peningkatan efektivitas organisasi

35

Pendidikan luar sekolah dalam rangka memberikan pengetahuan

dan ketrampilan bagi penduduk miskin telah banyak dilakukan melalui

program-program yang dibuat oleh pemerintah melalui program PNPMMP

misalnya, salah satu yang ingin diwujudkan untuk membuka ruang akses

angkatan kerja setiap daerah secara berkelanjutan, dengan fasilitasi

pendidikan nonformal dalam bentuk program pendidikan kecakapan hidup

atau pendidikan life skills, dengan harapan angkatan kerja produktif dapat

meningkatkan ketrampilan teknis usaha dalam pembuatan berbagai produk

yang dapat dihasilkan dan layak pasar, baik pasar dalam skala lokal di

tingkat daerah maupun akses pasar yang lebih luas. Untuk itulah, melalui

PNPMMP mendorong masyarakat untuk terlibat aktif, dan mengambil

bagian, dalam layanan pendidikan life skills yang diarahkan pada

pembelajaran produktif, yang memberikan dampak terhadap peningkatan

pendapatan kepada peserta belajar. Melalui life skills bukan saja

mempersiapkan angkatan kerja sebagai pekerja upahan, melainkan tumbuh

menjadi pribadi mandiri.

Pendidikan life skillditinjau dari perannya, dapat dilihat dari:

a. Kontribusi Pendidikan Life Skills

Penyelenggaraan pendidikan life skills terutama dalam rangka

pengentasan kemiskinan dan penanggulangan pengangguran.

Depdiknas (2006) mengungkapkan bahwa pendidikan kecakapan

hidup (life skills) yang dikembangkan melalui jalur pendidikan

nonformal memusatkan perhatian kepada warga masyarakat usia

36

produktif putus sekolah tidak bekerja karena tidak memiliki

keterampilan, danwarga masyarakat lainnya yang tergolong miskin.

Dengan demikian, maka program bantuan pendidikan life skills

menitikberatkan pada penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan

keterampilan (vocational) sesuai dengan kebutuhan pasar, dunia usaha

dan dunia industri, serta potensi lokal yang layak untuk dikembangkan

menjadi usaha ekonomi. Program ini memfokuskan kepada spektrum

pedesaan, perkotaan dan usaha berorientasi pada pasar global.

Pada tahapan persiapan pelaksanaan kegiatan yang paling harus

diperhatikan oleh penyelenggara life skills adalah mengidentifikasi

jenis kecakapan hidup yang dipilih dan akan dilaksanakan sesuai

dengan kebutuhan belajar masyarakat,serta potensi wilayah dalam hal

SDM, SDA, sarana dan prasarana yang tersedia atau memungkinkan

untuk digunakan dalam prospek pasar. Dengan konsistensi pada

tahapan persiapan ini, pendidikan life skills memiliki manfaat yang

positif bagi warga belajar, masyarakat dan pemerintah.

Sedangkan ditinjau manfaat dari program ini adalah:

1) Bagi warga belajar adalah: (a) memberi pengetahuan,

keterampilan, dan sikap sebagai bekal untuk mampu bekerja atau

berusaha mandiri, (b) memiliki penghasilan yang dapat

menghidupi diri dan keluarganya, (c) menularkan/memberikan

kemampuan yang dirasakan bermamfaat kepada orang lain.

37

2) Bagi warga masyarakat adalah: (a) meningkatnya kualitas kehidupan

diri, keluarga dan lingkungannya, (b) mengurangi pengangguran, (c)

menciptakan lapangan kerja, dan (d) mengurangi kesenjangan sosial.

3) Bagi pemerintah adalah: (a) meningkatkan kualitas SDM di daerah,

(b) mencegah urbanisasi, (c) menumbuhkan kegiatan usaha

ekonomi masyarakat, (d) menekan kerawanan sosial, dan (e) dapat

memberikan kontribusi kepada PAD.

b. Peran Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat dan Lembaga Kursus

Pada prinsipnya penerapan otonomi daerah, sekaligus

bermakna sebagai upaya pemberdayaan masyarakat, sehingga menjadi

tuntutan dan tantangan bagi daerah untuk dapat mewujudkan kemampuan

dalam menggerakkan dan memberdayakan masyarakatnya. Proses

pembelajaran dan pelibatan masyarakat perlu lebih digalakkan, agar

pemerintah daerah dapat menunjukkan kemampuannya dalam

menjalankan program-program pembangunan yang berorientasi pada

kemajuan dan peningkatan taraf hidup masyarakatnya.

Sejalan dengan upaya pendidikan dan pemberdayaan

masyarakat, serta pemanfaatan potensi daerah, pada dasarnya

pembentukan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) dan

lembaga kursus merupakan suatu potensi yang dapat dimanfaatkan

oleh daerah. PKBM dan lembaga kursus yang pembentukannya

diprakarsai oleh Direktorat Pendidikan Masyarakat, Direktorat

Jenderal Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda dan Olahraga sejak

38

tahun 1998, dapat menjadi entry point untuk mencapai tujuan tersebut.

Wadah ini bukan hanya berfungsi sebagai pusat pembelajaran

masyarakat, tetapi sekaligus wahana pemberdayaan masyarakat untuk

memanfaatkan potensi lingkungan guna meningkatkan taraf hidup dan

kehidupan mereka. Wadah PKBM dan lembaga kursus itu sendiri

secara konseptual cukup netral dan luwes, karena sekecil mungkin

menghindarkan atribut yang terlalu birokratis. Motto yang didukung

dalam penyelenggaraan PKBM dan lembaga kursus adalah dari, oleh,

dan untuk masyarakat, sehingga tumbuh dan berkembangnya amat

tergantung dari peran aktif masyarakat itu sendiri. Melalui PKBM dan

lembaga kursus warga masyarakat dapat membelajarkan dirinya untuk

memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang

dibutuhkan, tetapi juga dapat memanfaatkan wadah ini untuk

menciptakan kegiatan yang bersifat produktif dan ekonomis bagi

peningkatan taraf hidup mereka.

Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) adalah suatu

wadah yang menyediakan informasi dan kegiatan belajar sepanjang

hayat bagi setiap warga masyarakat agar mereka lebih berdaya.

Wadah ini adalah milik masyarakat dikelola dari, oleh, dan untuk

masyarakat (Kusmiadi, 2003: 102). Menurut Depdiknas (2006) PKBM

adalah satuan pendidikan nonformal yang diprakarsai, dibentuk dan

dikelola oleh masyarakat untuk membelajarkan dan memberdayakan

masyarakat sesuai kebutuhan belajar masyarakat setempat. PKBM

39

juga merupakan sarana untuk mengintensifkan dan mengkoordinasikan

berbagai kegiatan pembelajaran masyarakat, sehingga dapat berjalan

secara sinergis dan efektif untuk mempercepat proses pemberdayaan

masyarakat. Sebagai wadah tempat pembelajaran, PKBM merupakan

satuan pendidikan nonformal sebagaimana disebutkan dalam Undang-

undang Nomor 20 Tahun 2003 pada Pasal 26 ayat 4 yang menyatakan

bahwa “satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus,

lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar

masyarakat, dan majlis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis”.

Kursus berdasarkan PP No 73 Tahun 1991 tentang Pendidikan

Luar Sekolah merupakan satuan pendidikan luarsekolah yang

memberikan kemampuan kepada warga belajar untuk mengembangkan

diri bekerja mencari nafkah atau melanjutkan jenjang pendidikan lebih

tinggi sehingga pendidikan kursus berorientasi pada pendidikan

kejuruan.Dilihat dari isi pendidikan satuan kursus memungkinkan

dapat memenuhi secara fleksibel segenap kebutuahn masyarakat

terutama kemampuan mencari nafkah, oleh karena itu kursus

merupakan bentuk satuan pendidikan yang memiliki banyak

keragaman terutama dalam hal keragaman karakteristik warga belajar,

kurikulum dan penyelenggara. Satuan kursus diselenggarakan oleh

masyarakat pada dasarnya merupakan perwujudan dari tanggung

jawab masyarakat terhadap kepentingan dan kebutuhan pendidikannya.

Walaupun kenyataan dilapangan menunjukan bahwa lembaga kursus

40

terdapat beragam kualitas hal ini dikarenakan keragaman kemampuan

pengelola, pendidik, sarana dan prasarana yang dimiliki masing-

masing lembaga kursus.

Selanjutnya Sihombing (1999: 70) mengemukakan bahwa

program-program PKBM dan lembaga kursus hendaknya diarahkan

untuk mengembangkan keterampilan dan pengetahuan yang tepat dan

sesuai dengan tuntutan kesempatan yang terbuka berdasarkan

kebutuhan pasar, serta tersedianya sumber dan faktor pendukung

lainnya yang terdapat di dalam masyarakat. Peningkatan taraf

ekonomi/kesejahteraan ini diutamakan dengan dasar pemikiran

walaupun aspek ekonomi dan sosial saling mempengaruhi satu sama

lain, namun suatu kenyataan masyarakat yang ada di pedesaan maupun

perkotaan aspek ekonomi adalah titik pangkal kehidupan sosial.

Dengan demikian, pengembangan program-program yang ada

di PKBM dan lembaga kursus selalu mengarah kepada pengembangan

kemauan masyarakat, dengan misi mencerdaskan kehidupan bangsa

sehingga setiap anggota masyarakat lebih mampu membangun dirinya

dan masyarakatnya.

Dengan menstimulasi PKBM melalui strategi di atas,

pendidikan life skills diasumsikan merupakan salah satu program yang

sangat tepat untuk dilaksanakan guna mendukung peningkatan

ekonomi masyarakat.

41

Pendekatan baru dalam perencanaan pendidikan nonformal

yang dikembangkan saat ini adalah dengan membentuk wadah

partisipasi masyarakat dalam pengelolaan pendidikan nonformal.

Pendekatan ini disebut pendekatan pendidikan dengan berbasis

masyarakat yang diwujudkan dalam bentuk Pusat Kegiatan Belajar

Masyarakat (PKBM) dan lembaga kursus.

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan

pendekatan interpretatif dan konstruktif yang dimaksudkan untuk

menggambarkan peran lembaga-lembaga yang terkait dalam hal ini

kemitraan pemerintah dengan lembaga kursus dan pelatihan serta pihak

swasta dalam melaksanakan program pendidikan kecakapan hidup (life

skill) bidang menjahit

Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif yaitu prosedur

penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kemitraan yang

dilaksanakan LKP dengan pemerintah dan kemitraan LKP dengan pihak

swasta yang dapat dilihat dari peran pemerintah dan peran swasta dalam

pelaksanaan program pendidikan kecakapan hidup (life skill) bidang

menjahit di Kota Yogyakarta dan dalam penelitian ini digunakan metode

penelitian interpretatif yang bermaksud untuk menggambarkan bagaimana

peran pemerintah melalui kebijakan, polecy yang berupa Juklak, Juknis,

42

implementasinya, evaluasi dan monitoring tentang program PKH,

bagaimana peran masyarakat yang berupa partisipasinya dalam PKH,

pelaksanaanya, hasil yang didapat dan status pekerjaanya dan juga peran

dunia usaha dalam mendukung program ini yang berupa penerimaan

output, pendanaan, peralatan dan sebagainya. Pada intinya penelitian

kualitatif dengan serangkaian prosedurnya digunakan untuk melihat peran

pemerintah, masyarakat dan swasta dalam kontribusinya terhadap

pemberdayaan masyarakat yang tujuan akhirnya dapat digunakan untuk

mengurangi pengangguran dan kemiskinan di Kota Yogyakarta.

2. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian yang penulis pilih adalah lembaga kursus dan

pelatihan bidang menjahit yang menyelenggarakan pendidikan kecakapan

hidup (life skill). Jumlah LKP bidang menjahit di Kota Yogyakarta ini

jumlahnya cukup banyak sehingga penulis menghubungi IPBI Kartini

yaitu lembaga ikatan penata busana Indonesia Kota Yogyakarta yang

mewadahi LKP Kota Yogyakarta dan tempat yang direkomendasi adalah

LKP Ar-Rum, LKP Modisa, LKP Yogya Design School. Penulis memilih

LPK Ar-Rum dengan alasan LKP Ar-Rum merupakan LKP yang telah

sering melaksanakan program ini mengingat LKP ini berdirinya sejak

tahun 2002 sehingga telah berpengalaman melaksanakan program

pendidikan kecakapan hidup (life skill) bidang menjahit dan dalam

penyaluran tenaga kerjadi LKP ini terdapat beberapa kegiatan yang

43

dilaksanakan untuk mengantisipasi penyaluran tenaga kerja yang tidak

bekerja di perusahaan maupun pada lembaga lain dengan dibentuknya

Kelompok usaha bersama Mekar Arum Sari dan Diah Arum Lestari serta

usaha Ar-Rum Collection. LKP Modisa dipilih karena tempatnya di

pinggiran kota dan di daerah lembaga iniberdiri warga pengangguran dan

miskin lebih banyak sehingga tidak kesulitan untuk mencari warga

belajarnya. LKP Yogya Design School dipilih karena pada lembaga ini

program pembelajarannya pada muatan lokal terdapat muatan desain

busana sehingga diharapkan lebih ada variasi materinya sehingga

lulusannya dapat memilih lapangan pekerjaan dengan lebih bervariasi

karena dapat bekerja sebagai tenaga desain baju selain sebagai penjahit

seperti pada LKP lainnya.

3. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini adalah informan yang dapat

menjelaskan pelaksanaan kemitraan dalam pendidikan kecakapan hidup

bidang menjahit yang terdiri dari lima orang yang terbagi dalam:

a. LKP Ar-Rum

Sebagai informan lembaga ini adalah pimpinan penyelenggara

Program PKH (life skill) yaitu pimpinan Ar-Rum untuk memberikan

informasi dalam kemitraan yang dilaksanakan oleh LKP Ar-Rum baik

kemitraan dengan pemerintah maupun dunia usaha yang dapat dilihat

dari peran masing-masing dalam pelaksanaan pendidikan kecakapan

hidup bidang menjahit serta bagaimana hasil pelaksanan program ini.

44

b. LKP Modisa

Sebagai informan dalam lembaga ini adalah pimpinan untuk

digali tentang pelaksanaan program pendidikan kecakapan hidup

bidang menjahit dan kemitraan yang dilaksanakan baik kemitran

dengan pemerintah maupun kemitraan dengan dunia swasta dan hasil

pelaksanaan program ini.

c. Yogya Design School

Sebagai informan dalam lembaga ini adalah pimpinan yang

digali tentang informasi pelaksanaan program inidan kemitraan yang

dilaksanakan baik kemitraan dengan pemerintah maupun swasta dan

hasil pelaksanaan program ini.

d. Dinas Pendidikan Luar Sekolah

Dinas Pendidikan Luar Sekolah Kota Yogyakarta, dan dipilih

sebagai informan adalah pejabat struktural yaitu kepala seksi

pendidikan nonformal (PNFI) yang memberikan informasi tentang

kebijakanprogram pendidikan life skill baik macam program, jumlah

dan tempat penyelenggaraan program PKH, jumlah peserta,

persyaratan administrasi, jumlah dukungan dana, sistem yang

digunakan dari mulai pengusulan sampai pada pelaksanaan dan

evaluasi dan monitoring.

45

4. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian teknik pengumpulan datanya sebagai berikut :

a. Wawancara mendalam (depth interview) dilakukan dengan pengelola

LKP yaitu dengan pimpinan sekaligus pemilik LKP Ar-Rum,

pimpinan dan sekaligus pemilikLKP Modisa dan dengan pimpinan

sekaligus pemilik Yogya Design School untuk memperoleh dan

menggali informasi dalam pelaksanaan pendidikan kecakapan hidup

bidang menjahit yaitu tentang kemitraan yang dilaksanakan baik

dengan pemerintah maupun pihak swasta, selain itu untuk memperoleh

data tentang pelaksanaan program ini yaitu tentang frekuensi dan

jumlah bantuan dari pemerintah yang diterima, tentang proses

sosialisasi program, kendala yang dihadapi dan proses pelaksanaannya

sampai pada kelulusan dan outcame dari pelaksanaan program ini.

Dalam wawancara mendalam ini dilakukan dengan pimpinan lembaga

karena yang bersangkutan merupakan penentu kebijakan dalam

pelaksanaan program pendidikan kecakapan hidup (life skill). Dalam

pelaksanannya penulis menggunakan interview guide yang dilaksanakan

secara luwes tidak kaku untuk memudahkan pengumpulan dataagar

terfokus pada topik. Selain itu wawancara juga dilakukan dengan

kepala Dinas Pendidikan Luar Sekolah Kota Yogyakarta tentang peran

pemerintah dalam program ini yang meliputi kebijakan yang

diterapkan, pendanaannya, petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan

46

yang diterapkan, kendala yang dihadap dan hasil yang didapat. Selain

itu penulis juga melakukan wawancara dengan salah satu peserta yang

dapat memberikan penjelasan tentang tanggapan pelaksanaan program

tersebut dan apakah peserta dapat berhasil dalam mengikuti program

tersebut.

b. Observasi dilakukan dengan pengamatan dan pencatatan langsung atas

semua yang berkaitan dengan obyek penelitian ini, teknik ini

digunakan sebagai pelengkap teknik yang lainnya. Adapun langkah

yang dilakukan dalam observasi ini pertama kali melakukan observasi

ke Dinas Pendidikan Luar Sekolah Kota Yogyakarta khususnya bagian

pendidikan nonformal yang mempunyai data tentang penyelenggara

pendidikan kecakapan hidup (life skill) bidang menjahit di Kota

Yogyakarta, peraturan dan petunjuk tehnisnya, data alokasi dananya,

dan lain-lain. Selanjutnya observasi dilakukan di masing-masing LKP

untuk mengetahui kegiatan pelaksanaan pendidikan kecakapan hidup

bidang menjahit terutama peranannya dalam program ini.

5. Analisis Data

Proses analisis data dilakukan setelah data dikumpulkan kemudian

direduksi yaitu data yang ada disaring melalui pemilihan, penyederhanaan,

pengabstrakan, dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan-

catatan dilapangan kemudian analisis penyajian data berupa sajian naratif

dan data yang dimiliki dari berbagai informasi tersebut digabungkan agar

47

tersusun dalam bentuk terpadu dan mudah dipahami, kemudian dibuat

deskripsi dan dibuat tendensinya terutama yang terkait dengan kemitraan

dari ketiga peran yaitu peran pemerintah, peran LKP dan peran dunia

usaha dalam pelaksanaan pendidikan kecakapn hidup (life skill) bidang

menjahit. Kemudian diinterpretasi yang selanjutnya hasil interpretasi

tersebut apakah sudah bisa menjawab pertanyaan dalam penelitian yang

kemudian ditempatkan dalam kesimpulan hasil penelitian dalam peran tiga

aktor dalam pemberdayaan yaitu pemerintah, swasta dan masyarakat

sehingga akan terihat model kemitraannya seperti apa.