bab i pendahuluan a. latar belakangrepository.ump.ac.id/2938/2/bab i.pdf · hidup sehat misalnya...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pada zaman modern yang penuh dengan berbagai macam sesuatu yang
baru dan serba praktis ini membuat banyak orang menjadi lebih mudah dalam
melakukan segala sesuatunya, misalnya saja seperti perilaku seseorang di
dalam menerapkan gaya hidupnya pada kehidupan sehari-hari. Sejatinya
setiap orang hidup di dunia dengan memiliki beberapa aspek yang penting
dalam hidup, salah satu yang harus dijaga adalah kesehatan.
Ada beberapa indikator sebagai penentu individu dalam melakukan pola
hidup sehat misalnya seperti kebugaran fisik dalam berolahraga, pola
makan seimbang, kegiatan produktif dan sosial. Pola hidup yang tidak
sehat yaitu seperti cara hidup yang sangat sibuk dengan pekerjaan dari pagi
sampai sore, bahkan kadang-kadang sampai malam hari duduk di belakang
meja menyebabkan tidak adanya kesempatan untuk berekreasi atau berolah
raga, pola makan yang kebarat-baratan tidak sehat seperti makanan siap saji
(Setiati, dkk, 2014).
Ketika seseorang akan melakukan salah satu dari kedua pola hidup diatas
maka pola hidup yang dipilih akan menimbulkan adanya beberapa hal, baik
hal positif maupun hal negatif. Hal positif bisa membuat seseorang memiliki
kondisi tubuh yang sehat, hal negatifnya bisa membuat seseorang sakit/
terkena penyakit. Salah satu penyakit akibat pola hidup tidak sehat adalah DM
Hubungan Antara Self-Compassion…, Hastin Wulandari, Fakultas Psikologi, UMP, 2017
2
(Apriyanti, 2014). Menurut World Health Organization (WHO) menyebutkan
pada tahun 2000, jumlah pasien DM mencapai 8,4 juta dan diperkirakan pada
tahun 2030 jumlah pasien DM di indonesia bertambah 21,3 juta, sehingga
jumlah pasien DM meningkat setiap tahunnya (Christanty & Wardhana,
2013). Selanjutnya, Brunner & Suddarth (2010) menyatakan bahwa jumlah
orang yang terkena DM tipe 2 sekitar 90-95%. Sejalan dengan hal tersebut,
DM tipe 2 khususnya telah menjadi masalah kesehatan masyarakat di
seluruh dunia khususnya di negara berkembang seperti indonesia
(Kusumadewi, 2011).
Di poliklinik penyakit dalam RSUD dr. R. Goeteng Taroenadibrata
Kabupaten Purbalingga memiliki pasien DM tipe 2, tercatat dari periode tahun
2006 sampai 2017 sejumlah yang dapat dilihat dalam tabel :
Tabel 1. Data Rekamedik Pasien DM tipe 2 di RSUD dr. R. Goeteng
Taroenadibrata Kabupaten Purbalingga :
Pasien DM tipe 2 Usia Jumlah Laki-laki Perempuan
Rawat Jalan
(Studi Pendahuluan)
34-69 tahun 5 1 4
Rawat Inap 34-69 tahun 40 5 35
Rawat Jalan 34-69 tahun 73 25 48
Jumlah 118 31 87
Pasien DM selain mengalami gangguan fisiologis, ditemukan juga bahwa
pasien mengalami gangguan psikologis. Sejalan dengan Tjokroprawino (2006)
mengatakan bahwa pasien DM selain mengalami gangguan pada sistem
fisiologis, kenyataan yang ditemukan di lapangan adalah pasien DM juga
mengalami gangguan pada kondisi psikisnya. Perubahan kondisi psikis yang
diperlihatkan pasien antara lain pada aspek emosional pasien, misalnya
Hubungan Antara Self-Compassion…, Hastin Wulandari, Fakultas Psikologi, UMP, 2017
3
muncul emosi yang labil dan sangat tergantung mood pada pasien. Kondisi
emosional pasien terganggu karena pasien harus menjaga pola makannya
seperti tidak boleh mengkonsumsi gula maupun makanan manis, menjalani
diet, banyak berolahraga minimal berjalan kaki, banyak minum air putih dan
buah-buahan, serta melakukan pengecekan gula darah minimal satu bulan
sekali. Hari-hari yang membuat pasien sulit adalah ketika menghadiri pesta.
Pasien harus lebih selektif memilih makanan yang dimakannya karena salah
memilih makanan akan membuat gula darahnya naik (Tjokroprawino, 2006).
Selanjutnya Tjokroprawino (2006) menambahkan bahwa sepertinya
aktivitas-aktivitas tersebut mudah untuk dijalani tetapi terkadang pasien
mengalami kejenuhan, seperti ingin bebas mengkonsumsi jenis makanan dan
minuman. Perasaan ingin bebas mengkonsumsi semua jenis makanan, namun
tidak bisa dilakukan akan membuat pasien mengalami frustasi dan stress yang
juga mempengaruhi keadaan emosinya.
Sehingga, pasien DM mengalami gangguan psikologis karena pasien
memiliki berbagai macam perilaku seperti perilaku positif dan negatif yang
mencerminkan suatu keadaannya. Gangguan psikologis terjadi karena, adanya
suatu dorongan untuk melakukan suatu tindakan atau yang biasa disebut
dengan emosi. Emosi merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan
sehari-hari. Emosi sangat membantu menyediakan informasi yang penting
mengenai status interaksi individu dengan orang lain, akan tetapi seringkali
pengalaman emosi yang kuat membutuhkan untuk dikelola.
Hubungan Antara Self-Compassion…, Hastin Wulandari, Fakultas Psikologi, UMP, 2017
4
Emosi seperti yang diungkapkan oleh Goleman (2007) yaitu dorongan
untuk bertindak, rencana seketika untuk mengatasi masalah yang telah
ditanamkan secara berangsur-angsur oleh evolusi. Berdasarkan jenisnya emosi
dapat dibagi menjadi 2 yaitu eustress (emosi positif) dan distress (emosi
negatif). Eustress memberikan kita dorongan semangat untuk melakukan
segala kegiatan dalam kehidupan, sebaliknya distress adalah semua bentuk
stress yang melebihi kemampuan untuk mengatasinya, membebani tubuh, dan
menyebabkan masalah fisik atau psikologis (Walker, 2002).
Misalnya seperti ketika seseorang dalam kondisi yang baik maka ia akan
memperlihatkan adanya suatu emosi yang positif seperti merasakan adanya
suatu energi yang tinggi, dan kegembiraan hingga perasaan sabar, tenang dan
menarik diri, suka cita kegembiraan dan tawa termasuk perasaan yang positif.
Akan tetapi ketika seseorang sedang mengalami kondisi yang buruk maka ia
juga akan memperlihatkan adanya suatu emosi yang negatif seperti merasakan
adanya kecemasan, kemarahan, perasaan bersalah dan kesedihan (Santrock,
2011).
Dengan adanya dampak yang ditimbulkan oleh emosi, maka diperlukan
adanya suatu pengendalian emosi, karena apabila seseorang mampu
mengelola emosinya secara efektif, maka ia akan memiliki daya tahan
yang baik dalam menghadapi suatu permasalahan. Shaffer (2005) mengatakan
bahwa regulasi emosi ialah kapasitas untuk mengontrol dan menyesuaikan
emosi yang timbul pada tingkat intensitas yang tepat untuk mencapai suatu
tujuan. Sejalan dengan Thompson (dalam Janah, dkk, 2015) menggambarkan
Hubungan Antara Self-Compassion…, Hastin Wulandari, Fakultas Psikologi, UMP, 2017
5
regulasi emosi sebagai kemampuan merespon proses-proses ekstrinsik dan
intrinsik untuk memonitor, mengevaluasi, dan memodifikasi reaksi emosi
yang intensif dan menetap untuk mencapai suatu tujuan.
Regulasi emosi berhubungan dengan suasana hati. Konsep regulasi
emosi itu luas dan meliputi kesadaran dan ketidak-sadaran secara
psikologis, tingkah laku, dan proses kognitif. Menurut Gross (dalam
Aprisandityas, 2012) menyatakan bahwa penelitian secara konsisten juga
menunjukkan bahwa regulasi emosi berkaitan dengan perasaan. Oleh
karena itu perlu diketahui bahwa kemampuan dalam melakukan regulasi
emosi pada setiap individu tergantung pada apa yang benar-benar ia rasakan.
Sehingga, seseorang melakukan regulasi emosi dengan cara yang berbeda-
beda, dan dengan kemampuan yang berbeda pula. Strategi yang dipilih
dalam melakukan regulasi emosi bisa lebih sehat dibanding yang lain.
Regulasi emosi merupakan variabel yang sangat penting untuk membantu
menjaga kondisi kesehatan pasien DM tipe 2. Hal inilah yang menjadi fokus
perhatian karena pengaruh DM yang juga mempengaruhi psikis sehingga
terjadi perubahan yang cukup mencolok pada perilaku pasien DM. Kondisi
tersebut pantas untuk ditanggapi secara serius karena pengaruh yang
ditimbulkan oleh perubahan perilaku ini tidaklah hanya dialami oleh pasien
tetapi juga dialami oleh anggota keluarga dan kerabat dekat. Kondisi ini
terutama ditemui pada pasien DM tipe 2, karena pada pasien DM tipe 2
kurang dapat melakukan penyesuaian fisik dan psikologis untuk menghadapi
Hubungan Antara Self-Compassion…, Hastin Wulandari, Fakultas Psikologi, UMP, 2017
6
dan melakukan perawatan terhadap penyakitnya. Oleh karena itu peneliti
tertarik dan menganggap penting untuk meneliti tentang penyakit DM tipe 2.
Berkaitan dengan pembahasan mengenai emosi, peneliti telah melakukan
wawancara kepada lima pasien DM tipe 2 yang diwawancarai pada tanggal 19
september 2016 yaitu lima subjek berinisial WY (34 Tahun), SG (45 Tahun),
YM (53 Tahun), TK (58 Tahun), serta RS (60 Tahun) pada pukul 16.00-20.00
WIB, bertempat di rumah masing-masing subjek yang peneliti datangi secara
bergantian. Ke lima subjek tersebut merupakan sebagian dari pasien rawat
jalan yang memeriksakan kondisi kesehatannya di Poliklinik penyakit dalam
RSUD dr. R. Goeteng Taroenadibrata Kabupaten Purbalingga.
Meski pasien DM tipe 2 yang ada dirumah sakit tersebut sudah
mengalami sakit dengan rentang waktu yang cukup lama, namun pasien masih
merasakan emosi negatif muncul saat gula darahnya naik. Menurut ibu WY
(34 Tahun) menceritakan bahwa penyakit DM tipe 2 dialami WY sejak 5
tahun yang lalu, penyebab dari penyakitnya karena pola hidup yang tidak
sehat. Sejalan dengan Apriyanti (2014) bahwa individu terkena DM tipe 2
disebabkan oleh pola hidup tidak sehat. Setelah bekerja WY lebih sering
mengisi waktu dengan bermalas-malasan, menonton televisi, tiduran sambil
mengkonsumsi makanan dan minuman siap saji seperti gorengan, ketoprak,
gado-gado, stik, olahan keju, mi instan serta sari buah jus maupun minuman
yang mengandung bahan pengawet lainnya untuk menghilangkan kejenuhan
akibat pekerjaan yang menumpuk. Selain itu, WY juga tidak mengimbanginya
dengan gerak fisik seperti olahraga, bahkan dalam waktu setahun WY hanya
Hubungan Antara Self-Compassion…, Hastin Wulandari, Fakultas Psikologi, UMP, 2017
7
melakukan olahraga selama 4 kali, sehingga WY memiliki obesitas. Semenjak
sakit WY memiliki kondisi fisik, sosial dan psikis yang berubah. Pada kondisi
fisik, terjadi perubahan kondisi fisik yang terjadi secara perlahan. Gejala
tersebut seperti WY mudah merasa lelah, memiliki rasa haus yang meningkat,
sering buang air kecil pada malam hari, mengalami infeksi kulit/ luka yang
lambat sembuh, mengalami penurunan berat badan, serta memiliki gambaran
sindrom metabolik lain seperti tekanan darah tinggi. Pada kondisi sosial,
aktivitas WY menjadi terhambat.
Selain itu WY juga merasakan perubahan kondisi psikologisnya pada saat
gula darahnya naik, meski sudah lama sakit namun pada saat gula darahnya
naik WY merasa terkejut saat mengetahui gula darahnya tinggi. WY merasa
jantungnya berdetak dengan cepat saat mengetahui gula darahnya tinggi.
Perasaan terkejut WY diperlihatkan dengan bola mata WY yang seperti
melotot, alis yang naik, dan WY terus menerus menyalahkan dirinya sendiri.
WY merasa marah dengan dirinya sendiri, kemarahan WY diperlihatkan
dengan mengekspresikan raut muka dinaikkan keatas, lalu WY merasa
peredaran darahnya menggumpal di dalam tubuh. WY juga mengeluarkan
amarah dengan membanting barang-barang yang ada dikamarnya serta
meraung-raung kesakitan akibat infeksi luka yang tidak kunjung kering.
Kemarahan WY semakin meluap ketika WY diharuskan untuk meminum obat
akibat gula darah yang sudah tinggi.
WY sesekali menyimpan obatnya berharap tidak ingin dikonsumsi lagi,
bahkan pernah juga karena tidak bisa mengontrol amarahnya, obat yang
Hubungan Antara Self-Compassion…, Hastin Wulandari, Fakultas Psikologi, UMP, 2017
8
seharusnya dikomsumsi dibuang oleh WY karena WY merasa jenuh. WY
memiliki ketakutan karena kondisi WY yang sulit membaik, ketakutan WY
menyebabkan bulu kaki dan tangan WY sampai berdiri/ merinding. Bahkan,
karena ketakutannya dengan DM tipe 2 yang dialaminya, air liur WY sampai
mengering. WY sering kali mengurung diri di dalam kamar sambil menangis.
Pada saat WY menangis, WY menangis sembari menyalahkan dirinya sendiri,
WY bahkan sering menangis hingga mata WY merah dan nafas, WY merasa
terganggu karena tersendak-sendak akibat menangis sepanjang hari. WY
kecewa dengan pola hidup yang telah dilakukan, karena belum juga membuat
WY membaik. Kekecewaan WY dirasakan dengan WY murung dan sesekali
bernafas panjang (Syukur, 2011). Pada kondisi perilaku WY menarik diri dari
lingkungan, keluarga, dan kehilangan tenaga. Sedangkan pada kondisi kognitif
kini WY memiliki ingatan yang lambat (Bilous & Donelly, 2015).
Selanjutnya hasil wawancara yang dilakukan dengan ibu SG (45 Tahun),
SG sudah terkena DM tipe 2 sekitar 4 tahun yang lalu, penyebab dari
penyakitnya karena pola hidup yang tidak sehat. Sejalan dengan Apriyanti
(2014) bahwa individu terkena DM tipe 2 disebabkan oleh pola hidup tidak
sehat. Sebagai ibu rumah tangga setelah menyelesaikan pekerjaan rumah, SG
hanya menonton televisi, makan dan tidur padahal SG memiliki waktu luang
untuk melakukan hal-hal yang bermanfaat. Meski ibu rumah tangga namun
SG jarang memasak dirumah. Sehingga SG lebih sering mengkonsumsi
makanan dan minuman siap saji seperti mi goreng, bubur siap saji, ice cream,
pop ice, sarden, sosis serta saat memasakpun bahan-bahan makanan yang
Hubungan Antara Self-Compassion…, Hastin Wulandari, Fakultas Psikologi, UMP, 2017
9
digunakan SG merupakan bahan makanan yang mengandung pengawet agar
mudah di dapat. Selain itu, SG juga jarang melakukan olahraga sehingga SG
mengalami obesitas. Semenjak sakit kondisi fisik, sosial dan psikisnya
berubah. Pada kondisi fisik, terjadi perubahan kondisi fisik yang terjadi secara
perlahan. Gejala tersebut seperti SG mudah merasa lelah, memiliki rasa haus
yang meningkat, sering buang air kecil pada malam hari, mengalami infeksi
kulit/ luka yang lambat sembuh, mengalami penurunan berat badan, serta
memiliki gambaran sindrom metabolik lain seperti tekanan darah tinggi.
Pada kondisi sosial, terhambatnya aktivitas SG dalam menyelesaikan
pekerjaannya. Sedangkan untuk kondisi psikologis, SG merasa emosi yang
muncul saat gula darahnya naik seperti SG merasa marah dengan dirinya
sendiri, kemarahannya diperlihatkan dengan mengeluh pada dirinya sendiri
sambil membanting-bantingkan bantal maupun guling, karena SG merasa
tubuhnya seperti digerumuti oleh semut. Sehingga, SG juga marah-marah
dengan membanting-bantingkan barang-barang yang ada dikamar. Terkadang
kaki SG juga diremas-remas, karena SG berharap agar kesemutannya hilang.
SG sedih harus menerapkan pola hidup sehat saat gula darahnya naik, karena
jika tidak menerapkan pola hidup sehat, maka kondisi SG akan semakin
memburuk.
SG merasa sedih, yang diperlilhatkan dengan SG menangis sepanjang
malam sembari mengeluh karena terus menerus kencing, dan terus-menerus
merasa haus. SG merasa bosan dengan menu makanan yang harus dikonsumsi
saat gula darah naik, SG tidak suka dengan makanan sehat yang harus
Hubungan Antara Self-Compassion…, Hastin Wulandari, Fakultas Psikologi, UMP, 2017
10
dikonsumsi. SG merasa enggan untuk meminum obat yang disarankan oleh
dokter, karena tak kunjung membuat kondisi SG membaik. Sehingga SG
merasa kecewa, kekecewaan SG diperlihatkan dengan, SG nampak beridam
diri dan selalu ingin mengurung diri sendiri (Syukur, 2011). Pada kondisi
perilaku SG menarik diri dari lingkungan dan keluarga, dan kehilangan
tenaga. Sedangkan pada kondisi kognitif, SG memiliki daya ingat yang lambat
(Bilous & Donelly, 2015).
Hasil wawancara dengan ibu YM (53 Tahun), ditemukan bahwa YM
mulai terkena DM tipe 2 semenjak 7 tahun yang lalu. Penyebab dari
penyakitnya karena pola hidup yang tidak sehat, sejalan dengan Apriyanti
(2014) bahwa individu terkena DM tipe 2 disebabkan oleh pola hidup tidak
sehat. Dalam kesehariannya YM sibuk mengerjakan semua pekerjaannya, YM
dituntut harus bekerja keras karena kini YM yang menghidupi kedua anaknya
setelah bercerai dengan suaminya. Karena hal tersebut YM merasa terbebani,
maka dari itu saat berada didalam lingkungan kerja maupun dirumah YM
sering mengkonsumsi makanan dan minuman siap saji seperti kentang goreng
dengan sambal, ice cream, burger, serta nugget ataupun sosis yang sering
pasien bawa sebagai bekal makanan.
Karena kesibukannya, YM jarang bergerak, YM sering menghabiskan
waktunya dengan duduk berjam-jam untuk menyelesaikan pekerjaannya,
setelah selesaipun YM tidak meluangkan waktu untuk berolahraga sehingga
YM kurang gerak. Hal tersebut menyebabkan YM memiliki berat badan
berlebih/ obesitas, serta perubahan pada kondisi fisik lainnya, sosial serta
Hubungan Antara Self-Compassion…, Hastin Wulandari, Fakultas Psikologi, UMP, 2017
11
kondisi psikologisnya. Pada kondisi fisik, terjadi perubahan kondisi fisik yang
terjadi secara perlahan. Gejala tersebut seperti YM mudah merasa lelah,
memiliki rasa haus yang meningkat, sering buang air kecil pada malam hari,
mengalami infeksi dada/ luka yang lambat sembuh, mengalami penurunan
berat badan, serta memiliki gambaran sindrom metabolik lain seperti tekanan
darah tinggi.
Pada kondisi sosial, aktivitas YM terhambat. Sedangkan untuk kondisi
psikologisnya YM merasakan emosi pada saat gula darah YM naik seperti,
YM merasa sedih karena gula darahnya suit stabil. Kesedihan YM
diperlihatkan dengan, YM menangis sambil berbicara sendiri mengenai
kondisi kesehatan yang selalu buruk. YM merasa enggan melakukan diet,
meski kondisi tubuh YM sudah mengalami obesitas dan diperlukan adanya
diet untuk mengontrol gula darah. YM merasa putus asa, yang diperlihatkan
dengan YM selalu menunda-nunda menjalankan pola hidup sehat maupun
meminum obat.
Menurut YM obatnya berfungsi lama, selain itu obatnya sangat pahit dan
bentuknya terlalu besar, sehingga YM malas mengkonsumsi obat. YM merasa
benci dengan dirinya sendiri, kebencian YM terhadap dirinya sendiri
diperlihatkan dengan YM yang malas melakukan olahraga agar gula darahnya
menurun. Tetapi YM merasa cemas jika kondisinya tidak kunjung membaik
saat gula darahnya naik. Saat YM sedang merasa sangat sedih, YM hanya
berdiam diri didalam kamar, padahal saat gula darah naik YM harus bolak-
balik kekamar mandi. Namun YM telah jenuh sehingga terkadang YM sengaja
Hubungan Antara Self-Compassion…, Hastin Wulandari, Fakultas Psikologi, UMP, 2017
12
mengeluarkan air kencing ditempat tidur (Syukur, 2011). Pada kondisi
perilaku YM menarik diri dari lingkungan dan keluarga, dan kehilangan
tenaga. Sedangkan pada kondisi kognitif, kini YM memiliki daya ingat yang
lambat (Bilous & Donelly, 2015).
Selanjutnya hasil wawancara dengan ibu TK (58 Tahun), TK sudah
terkena DM tipe 2 semenjak 6 tahun yang lalu. Penyebab dari penyakitnya
karena pola hidup yang tidak sehat, sejalan dengan Apriyanti (2014) bahwa
individu terkena DM tipe 2 disebabkan oleh pola hidup tidak sehat. Pola hidup
tidak sehat yang dilakukan TK seperti duduk berjam-jam dalam
menyelesaikan pekerjaannya sembari mengkonsumsi minuman dan makanan
siap saji yaitu kopi, sari buah jus, donat, nugget, makanan olahan keju, jajan
dalam kemasan, goreng-gorengan serta makanan dengan proses pengolahan
bahan makanan yang mengandung pengawet. Karena kesibukannya, TK
jarang melakukan olahraga sehingga TK mengalami obesitas. Hal tersebut
membuat kondisi fisik, sosial serta psikologisnya mengalami perubahan. Pada
kondisi fisik, terjadi perubahan kondisi fisik yang terjadi secara perlahan.
Gejala tersebut seperti TK mudah merasa lelah, memiliki rasa haus yang
meningkat, sering buang air kecil pada malam hari, mengalami infeksi kulit/
luka yang lambat sembuh, mengalami penurunan berat badan, serta memiliki
gambaran sindrom metabolik lain seperti tekanan darah tinggi.
Pada kondisi sosial, aktivitas TK terhambat. Sedangkan kondisi
psikologisnya, TK merasakan emosi pada saat gula darahnya naik seperti TK
merasa marah dengan dirinya sendiri yang diperlihatkan dengan, TK pada saat
Hubungan Antara Self-Compassion…, Hastin Wulandari, Fakultas Psikologi, UMP, 2017
13
gula darahnya naik, banyak sekali keluhan yang muncul dari dalam dirinya
seperti lelah. Saat merasa lelah seharusnya TK beristirahat, namun yang
dilakukan oleh TK sebaliknya. TK justru tambah menghabiskan tenaganya,
karena TK merasa haus dan lapar secara terus-menerus. Sehingga, TK makan
dan minum secara terus-menerus, dan membuat kondisi TK semakin buruk.
TK sering menyesali perbuatannya, namun TK mengontrol keinginannya.
Sehingga, TK juga merasa bersalah dan ingin sekali tidak mengulanginya
namun sulit. TK juga tidak tahu bagaimana cara untuk mengontrolnya, karena
TK merasa sangat jengkel saat gula darahnya naik. TK menjadi lemas, letih,
lesu, padahal TK ingin seperti orang lain pada umumnya. Oleh karena itu, TK
merasa malu dengan dirinya sendiri karena TK merasa sudah tidak bisa
berguna lagi (Syukur, 2011). Pada kondisi perilaku TK menarik diri dari
lingkungan dan keluarga, dan kehilangan tenaga. Sedangkan pada kondisi
kognitif, TK memiliki daya ingat yang lambat (Bilous & Donelly, 2015).
Informasi lain di temukan dari hasil wawancara yang dilakukan dengan
bapak RS (60 Tahun), RS sudah terkena DM tipe 2 selama 8 tahun. Penyebab
dari penyakitnya karena pola hidup yang tidak sehat, sejalan dengan Apriyanti
(2014) bahwa individu terkena DM tipe 2 disebabkan oleh pola hidup tidak
sehat. Karena kesibukan RS menyelesaikan pekerjaannya, RS sering
mengkonsumsi makanan dan minuman siap saji yang mudah dan praktis.
Selain itu RS juga tidak mengimbanginya dengan gerak fisik seperti
berolahraga. RS sering merokok, mengkonsumsi kopi, ice cream, sosis,
nugget, makanan olahan keju, makanan yang mengandung goreng-gorengan,
Hubungan Antara Self-Compassion…, Hastin Wulandari, Fakultas Psikologi, UMP, 2017
14
serta makanan yang mengandung bahan pengawet lainnya. Selain itu, RS juga
pasif dalam melakukan aktivitas seperti sibuk menyelesaikan pekerjaannya
dengan duduk berjam-jam, dan jarang melakukan olahraga sehingga RS
mengalami obesitas. Akibat DM tipe 2 yang dialami, kini RS mengalami
perubahan pada kondisi fisik, sosial dan psikologisnya.
Pada kondisi fisik, terjadi perubahan kondisi fisik yang terjadi secara
perlahan. Gejala tersebut seperti RS mudah merasa lelah, memiliki rasa haus
yang meningkat, sering buang air kecil pada malam hari, mengalami infeksi
kulit/ luka yang lambat sembuh, mengalami penurunan berat badan, serta
memiliki gambaran sindrom metabolik lain seperti tekanan darah tinggi. Pada
kondisi sosial, aktivitas RS terhambat. Sedangkan pada kondisi psikologisnya,
RS merasakan emosi pada saat gula darahnya naik seperti RS merasa marah,
RS marah karena RS merasa saat gula darahnya naik mengganggu
aktivitasnya. Kemarahan RS diperlihatkan dengan RS terus-menerus
meminum sari buah jus, padahal sangat dianjurkan untuk meminum air putih
saat gula darah naik. Namun RS tidak menghiraukannya karena saat gula
darahnya naik, RS merasa sangat haus dan air putih dirasa tidak cukup untuk
menghilangkan rasa haus RS.
Ketika sedang bekerja, RS merasa sedih karena RS merasa hanya RS
yang mengalami sakit parah seperti ini. RS merasa malu pada teman-teman
kerjanya, karena pada saat sedang bekerja RS pernah merasa gula darahnya
tinggi. Gejala gula darah tinggi ditunjukkan dengan sering buang kecil, sering
merasa haus dan lapar. RS malu karena kondisi kesehatannya tidak seperti
Hubungan Antara Self-Compassion…, Hastin Wulandari, Fakultas Psikologi, UMP, 2017
15
orang lain pada umumnya, terkadang RS sampai merasa jijik terhadap dirinya
sendiri. RS merasa putus asa dengan penyakitnya yang diperlihatkan dengan,
RS mengurung diri di ruangan kesehatan pada saat dikantor. Pada saat
dirumah, RS mengurung diri diruang kerja yang berada dirumah, sambil
menangis. RS menangis sambil memegangi tangannya yang kesemutan,
namun RS bukan memijatnya. Akan tetapi RS justru mencubitnya karena, RS
berharap agar kesemutan yang dirasakan lekas sembuh (Syukur, 2011). Pada
kondisi perilaku RS menarik diri dari lingkungan dan keluarga, dan
kehilangan tenaga. Sedangkan pada kondisi kognitif, kini RS memiliki daya
ingat yang lambat (Bilous & Donelly, 2015).
Sehingga, ke lima subjek cenderung belum mampu memiliki strategi yang
bertujuan untuk mengontrol emosi, serta menerima respon emosional. Maka
dari itu, perilaku yang nampak pada pasien yaitu, pada saat kadar gula
darahnya naik pasien memunculkan emosi negatif. Hal tersebut dibuktikan
dengan, pada saat kadar gula darah naik ke lima subjek cenderung merasa
marah dengan dirinya sendiri, menangis karena kondisi yang sulit membaik,
menyesal terkena DM tipe 2, malas melakukan olahraga agar gula darahnya
menurun, cemas saat kondisi kesehatannya memburuk. Hal tersebut membuat
ke lima subjek sedih dan berpikir untuk menyerah dan pasrah dengan penyakit
DM tipe 2 yang dialaminya. Karena meski berobat terus menerus namun ke
lima subjek merasa penyakitnya tidak kunjung membaik. Sejalan dengan
Santrock (2011) mendefinisikan bahwa negative affectivity (afektivitas
negatif) mengacu kepada emosi yang bersifat negatif, seperti kecemasan,
Hubungan Antara Self-Compassion…, Hastin Wulandari, Fakultas Psikologi, UMP, 2017
16
kemarahan, perasaan bersalah dan kesedihan. Senada dengan Syukur (2011)
mendefinisikan juga jenis-jenis emosi negatif seperti : marah, cemas, takut,
perasaan bersalah, malu, jijik, benci, sedih, terkejut, jengkel, kecewa, putus
asa. Dari hasil wawancara yang dilakukan peneliti, maka dapat disimpulkan
bahwa ke lima subjek memiliki pandangan psikologis yang sama yaitu merasa
marah, cemas, takut, perasaan bersalah, malu, jijik, benci, sedih, terkejut,
jengkel, kecewa, putus asa, akan penyakit DM tipe 2 yang mempengaruhi
kondisi emosional pada saat kadar gula naik.
Hasil wawancara diatas didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan
oleh Penckofer dkk (2012) menemukan bahwa frekuensi fluktuasi tingkat gula
darah dengan DM tipe 2 berhubungan dengan kualitas hidup yang rendah, dan
suasana hati, mood/ emosi yang negatif. Lebih lanjut Penckofer (2012) juga
menjelaskan bahwa reaksi hiperglikemia (kadar gula darah tinggi) dapat
mempengaruhi emosi, selain itu emosi juga dapat mempengaruhi kadar gula
darah dan kontrol pasien dengan DM. Dengan adanya dampak yang
ditimbulkan oleh naik turunnya tingkat gula darah yang mempengaruhi
kondisi emosional dan sebaliknya, maka diperlukan adanya pengendalian
emosi yang biasa disebut dengan regulasi emosi.
Dengan adanya dampak psikologis yang dirasakan saat gula darah pasien
naik, maka salah satu cara yang bisa dilakukan untuk melakukan regulasi
emosi adalah dengan self-compassion. Sejalan dengan Guendelman dkk
(2017) mengatakan bahwa komponen self-compassion yang terdiri dari self-
kindness, common humanity, dan, mindfullnes memiliki keterkaitan yang
Hubungan Antara Self-Compassion…, Hastin Wulandari, Fakultas Psikologi, UMP, 2017
17
dapat mempengaruhi aspek-aspek regulasi emosi seperti, strategi regulasi
emosi (strategi), perilaku untuk mencapai tujuan (tujuan), mengontrol respon-
respon emosional (impuls), penerimaan respons emosional. Karena,
komponen self-compassion merupakan keseluruhan dari keadaan penuh
perhatian yang dimiliki oleh seseorang yang dapat digunakan untuk
melakukan strategi regulasi emosi yang berfungsi untuk mencapai suatu
tujuan yang dimiliki, dengan mengontrol perasaan negatif, dan menerima
peristiwa yang menimbulkan emosi negatif. Sehingga, yang muncul adalah
kebaikan untuk mengontrol emosinya. Kebaikan akan membawa hal positif,
yang berpotensi dan mendorong seseorang menuju perubahan dengan cara
yang lebih efektif.
Sehingga Neff (2003) lebih lanjut mendefinisikan bahwa komponen dari
self-compassion perlu dilibatkan untuk regulasi emosi diantaranya yaitu self-
kindness, common humanity, mindfulness. Neff (dalam Consedine, dkk, 2015)
juga menjelaskan bahwa adanya konsep kasih sayang terhadap diri sendiri
terdiri dari 3 komponen yang semuanya relevan dan sangat dibutuhkan oleh
pasien diabetes mellitus. Komponen yang pertama yaitu self-kindness
(kebaikan) yang mengacu pada kecenderungan untuk peduli dan memahami
diri sendiri. Kedua, common humanity (sifat manusiawi)/ kemanusiaan yang
mengakui bahwa semua manusia tidak ada yang sempurna. Komponen yang
terakhir yaitu mindfullness (kesadaran terhadap diri sendiri)/ kesadaran yang
melibatkan kesadaran pada diri sendiri melalui pengalaman pada kondisi saat
Hubungan Antara Self-Compassion…, Hastin Wulandari, Fakultas Psikologi, UMP, 2017
18
ini, sehingga tidak ada satu halpun yang diabaikan dalam upaya menyayangi
diri sendiri pada pasien diabetes mellitus.
Hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Consedine dkk (2015) juga
menyatakan bahwa komponen dari self compassion adalah self-kindness,
common humanity, mindfullnes. Penelitian tersebut menjelaskan bahwa self-
compassion yang bisa dilakukan oleh diri sendiri penting dimiliki, hal ini
karena partisipasi aktif dari pasien diabetes mellitus sendiri diperlukan untuk
untuk meningkatkan pengelolaan kadar glukosa darah, mencegah terjadinya
komplikasi yang parah, dan meningkatkan kondisi pasien diabetes mellitus
mulai dari fisik maupun psikisnya. Sejalan dengan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Anna dkk (2016) menyatakan bahwa pasien DM tipe 2 lebih
membutuhkan adanya self-compassion yaitu rasa kasih sayang terhadap diri
sendiri karena mengingat dampak yang ditimbulkan oleh DM tipe 2, maka
belajar menjadi ramah terhadap diri sendiri akan memiliki manfaat baik antara
pasien dengan DM yang dialami.
Berdasarkan permasalahan diatas, maka peneliti tertarik untuk meneliti
Hubungan antara Self-Compassion dengan Regulasi Emosi Pada Pasien
Diabetes Mellitus Tipe 2 Di RSUD dr. R. Goeteng Taroenadibrata Kabupaten
Purbalingga.
Hubungan Antara Self-Compassion…, Hastin Wulandari, Fakultas Psikologi, UMP, 2017
19
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah yang hendak
diteliti yaitu “Apakah ada hubungan antara self-compassion dengan regulasi
emosi pada pasien diabetes mellitus tipe 2 di RSUD dr. R. Goeteng
Taroenadibrata Kabupaten Purbalingga ?”
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui Hubungan antara self-
compassion dengan regulasi emosi pada pasien diabetes mellitus tipe 2 di
RSUD dr. R. Goeteng Taroenadibrata Kabupaten Purbalingga.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menambah dan
mengembangkan bidang ilmu psikologi khususnya pada bidang psikologi
klinis.
2. Manfaat praktis
Penelitian ini diharapkan bisa menambah wawasan bagi masyarakat
umum, terutama bagi pasien DM tipe 2 mengenai pentingnya merawat diri
dengan penuh rasa kasih sayang terhadap diri sendiri, baik dalam kondisi
kesehatan yang stabil maupun tidak stabil. Sehingga, adanya kehidupan
yang sehat dan sejahtera secara psikologis maupun fisiologis di setiap
kalangan masyarakat.
Hubungan Antara Self-Compassion…, Hastin Wulandari, Fakultas Psikologi, UMP, 2017