bab i pendahuluan a. latar belakang - …jabarprov.go.id/root/perda/lam.perdano.11tahun2010.pdf ·...

114
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Visi Pembangunan Daerah Tahun 2005-2025 sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2008 adalah “Dengan Iman Dan Taqwa, Provinsi Jawa Barat Termaju Di Indonesia”. Visi tersebut diwujudkan melalui 5 (lima) misi pembangunan yaitu : 1) Mewujudkan kualitas kehidupan masyarakat yang berbudaya ilmu dan teknologi, produktif dan berdaya saing; 2) Meningkatkan perekonomian yang berdaya saing dan berbasis potensi Daerah, 3) Mewujudkan lingkungan hidup yang asri dan lestari; 4) Mewujudkan tata kelola kepemerintahan yang baik; 5) Mewujudkan pemerataan pembangunan yang berkeadilan. Selanjutnya dalam Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2009 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2008-2013, Visi Pemerintah Daerah adalah : “tercapainya masyarakat Jawa Barat yang dinamis, mandiri dan sejahtera. Dalam konteks pencapaian visi tersebut, pembangunan bidang kesehatan diprioritaskan untuk meningkatkan angka harapan hidup (AHH), penurunan angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian bayi (AKB) melalui : peningkatan lingkungan kehidupan yang sehat; pengembangan sistem kesehatan; peningkatan upaya pencegahan; pemberantasan dan pengendalian penyakit menular serta tidak menular; peningkatan kualitas dan kuantitas tenaga kesehatan khususnya dokter, bidan (terutama bidan di desa), perawat (utamanya perawat komunitas), sarjana kesehatan masyarakat, sanitarian, tenaga ahli gizi komunitas dan lain-lain; peningkatan upaya kesehatan preventif, promotif serta kuratif dan rehabilitatif yang terjangkau dan bermutu; peningkatan pelaksanaan program hidup bersih dan sehat. Perubahan lingkungan strategis dengan otonomi dan desentralisasi yang telah berlangsung sewindu dengan dasar Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004. Komitmen Pemerintah Daerah terhadap tercapainya Millenium Development Goals (MDGs) memerlukan penyesuaian penyelenggaraan pembangunan kesehatan di Daerah. Karakteristik sosial budaya masyarakat di Daerah yang berpengaruh positif terhadap pembangunan kesehatan tercermin dalam beberapa ekspresi budaya, misalnya pertanyaan yang diajukan seseorang bila bertemu dengan orang lain adalah kumaha damang? (apa kabar? sehat?), bahkan do‟a orang tua kepada generasi pelanjutnya adalah menjadi orang yang „cageur, bageur, bener, pinter tur singer‟ (sehat, baik, benar-ta‟at, pinter dan mandiri). Selain itu budaya silih asih, silih asah dan silih asuh. (saling menyayang, saling mendidik dan saling menjaga) dalam bentuk rereongan/ gotong royong sebagai potensi kuat pemberdayaan masyarakat. Situasi dan kondisi sosial ekonomi sesuai karakteristik Daerah yang menjadi pertimbangan pembangunan kesehatan antara lain adalah (1) wilayah perkotaan dari mulai kota-kota berskala metropolitan, kota-kota kabupaten sampai dengan kota-kota kecamatan. (2) wilayah pedesaan yang sangat beraneka ragam, desa-desa pegunungan, dataran rendah dan desa-desa pantai. (3) kondisi sosial ekonomi masyarakat yang beraneka ragam kemampuannya untuk membayar layanan kesehatan. LAMPIRAN : PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 11 TAHUN 2010 TANGGAL : 23 AGUSTUS 2010 TENTANG : PENYELENGGARAAN KESEHATAN

Upload: hadang

Post on 03-Feb-2018

239 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Visi Pembangunan Daerah Tahun 2005-2025 sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2008 adalah “Dengan Iman Dan Taqwa, Provinsi Jawa Barat Termaju Di Indonesia”. Visi tersebut diwujudkan melalui 5 (lima) misi pembangunan yaitu : 1) Mewujudkan kualitas kehidupan masyarakat yang berbudaya ilmu dan teknologi, produktif dan berdaya saing; 2) Meningkatkan perekonomian yang berdaya saing dan berbasis potensi Daerah, 3) Mewujudkan lingkungan hidup yang asri dan lestari; 4) Mewujudkan tata kelola kepemerintahan yang baik; 5) Mewujudkan pemerataan pembangunan yang berkeadilan.

Selanjutnya dalam Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2009 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2008-2013, Visi Pemerintah Daerah adalah : “tercapainya masyarakat Jawa Barat yang dinamis, mandiri dan sejahtera”.

Dalam konteks pencapaian visi tersebut, pembangunan bidang kesehatan diprioritaskan untuk meningkatkan angka harapan hidup (AHH), penurunan angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian bayi (AKB) melalui : peningkatan lingkungan kehidupan yang sehat; pengembangan sistem kesehatan; peningkatan upaya pencegahan; pemberantasan dan pengendalian penyakit menular serta tidak menular; peningkatan kualitas dan kuantitas tenaga kesehatan khususnya dokter, bidan (terutama bidan di desa), perawat (utamanya perawat komunitas), sarjana kesehatan masyarakat, sanitarian, tenaga ahli gizi komunitas dan lain-lain; peningkatan upaya kesehatan preventif, promotif serta kuratif dan rehabilitatif yang terjangkau dan bermutu; peningkatan pelaksanaan program hidup bersih dan sehat.

Perubahan lingkungan strategis dengan otonomi dan desentralisasi yang telah berlangsung sewindu dengan dasar Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004. Komitmen Pemerintah Daerah terhadap tercapainya Millenium Development Goals (MDGs) memerlukan penyesuaian penyelenggaraan pembangunan kesehatan di Daerah.

Karakteristik sosial budaya masyarakat di Daerah yang berpengaruh positif terhadap pembangunan kesehatan tercermin dalam beberapa ekspresi budaya, misalnya pertanyaan yang diajukan seseorang bila bertemu dengan orang lain adalah kumaha damang? (apa kabar? sehat?), bahkan do‟a orang tua kepada generasi pelanjutnya adalah menjadi orang yang „cageur, bageur, bener, pinter tur singer‟ (sehat, baik, benar-ta‟at, pinter dan mandiri). Selain itu budaya silih asih, silih asah dan silih asuh. (saling menyayang, saling mendidik dan saling menjaga) dalam bentuk rereongan/ gotong royong sebagai potensi kuat pemberdayaan masyarakat.

Situasi dan kondisi sosial ekonomi sesuai karakteristik Daerah yang menjadi pertimbangan pembangunan kesehatan antara lain adalah (1) wilayah perkotaan dari mulai kota-kota berskala metropolitan, kota-kota kabupaten sampai dengan kota-kota kecamatan. (2) wilayah pedesaan yang sangat beraneka ragam, desa-desa pegunungan, dataran rendah dan desa-desa pantai. (3) kondisi sosial ekonomi masyarakat yang beraneka ragam kemampuannya untuk membayar layanan kesehatan.

LAMPIRAN : PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 11 TAHUN 2010 TANGGAL : 23 AGUSTUS 2010 TENTANG : PENYELENGGARAAN KESEHATAN

2

(4) kondisi pemahaman terhadap arti kesehatan yang sulit di kalangan masyarakat berpendapatan rendah. (5) kondisi keterbatasan dana pemerintah untuk memenuhi seluruh kebutuhan pembangunan Kesehatan (6) migrasi dan urbanisasi penduduk yang tinggi.

Beberapa potensi pelayanan kesehatan khusus di Daerah, antara lain RS Mata, RS Jiwa, RS Gigi dan Mulut, Balai Kesehatan Kerja Masyarakat dan Balai Kesehatan Olah Raga Masyarakat. Masalah kesehatan khusus antara lain gangguan penglihatan yang mengancam kebutaan di Daerah, masih cukup besar dan memerlukan pelayanan dengan teknologi lebih tinggi. Keberadaan RS Mata Cicendo yang telah ditetapkan sebagai pusat rujukan nasional perlu dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan ini. Demikian pula gangguan kejiwaan masyarakat, (hasil riset kesehatan dasar, prevalensi gangguan jiwa tertinggi se-Indonesia), sehingga perlu pengembangan metoda pelayanan yang komprehensif. Keberadaan rumah sakit jiwa telah ditetapkan sebagai rujukan nasional, perlu dikembangkan. Hal lainnya, cleft center sebagai bagian dari Rumah Sakit Gigi dan Mulut selama ini merawat dan merehabilitasi pasien celah bibir dan langit-langit yang berasal dari berbagai tempat di Daerah maupun dari provinsi lain.

Pembangunan kesehatan di Daerah masih menghadapi kendala, yang belum sepenuhnya dapat diatasi. Diperlukan pemantapan dan upaya percepatan melalui SKP sebagai bentuk dan cara pembangunan kesehatan disesuaikan dengan kondisi, situasi, masalah dan potensi Daerah. SKP ini diharapkan dapat merespon seluruh tantangan pembangunan kesehatan di masa kini dan di masa yang akan datang. Pengaruh internal (perkembangan pola penyakit, demokrasi, desentralisasi, kearifan lokal) dan eksternal (pengaruh globalisasi) dapat menjadi penyebab masalah kesehatan yang kompleks, meskipun juga dapat menjadi peluang bagi pembangunan kesehatan. Daerah belum memiliki sistem kesehatan, maka SKP menjadi sangat penting dalam rangka mewujudkan perlindungan masyarakat sebagai penerima dan pemberi pelayanan (safety patient, safety provider and safety community).

B. SKP

SKP adalah bentuk dan cara penyelenggaraan pembangunan kesehatan di Daerah, mengacu kepada SKN, dan disesuaikan dengan kondisi, situasi, masalah, dan potensi Daerah, guna menjamin tercapainya tujuan pembangunan kesehatan di Daerah, yaitu mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. SKP menghimpun berbagai upaya Pemerintah, masyarakat dan sektor swasta yang secara terpadu dan saling mendukung di Daerah dan Kabupaten/Kota, guna menjamin tercapainya masyarakat yang sehat dan sejahtera.

SKP dilaksanakan dalam konteks pembangunan kesehatan secara keseluruhan, dengan mempertimbangkan kondisi lokal yang umum dan spesifik, dengan determinan sosial budaya seperti, kondisi kehidupan sehari-hari, tingkat pendidikan, pendapatan keluarga, distribusi kewenangan, keamanan, sumberdaya, kesadaran masyarakat, serta kemampuan tenaga kesehatan dalam mengatasi masalah-masalah tersebut.

C. MAKSUD DAN KEGUNAAN SKP

Penyusunan SKP dimaksudkan untuk menjadi dasar pengembangan kebijakan pembangunan kesehatan di Daerah, dan dapat dipergunakan sebagai pedoman bentuk cara penyelenggaraan kesehatan di Daerah, baik oleh masyarakat, swasta maupun oleh Pemerintah Daerah, serta pihak terkait lainnya.

Penyusunan SKP mempertegas makna pembangunan kesehatan, dalam rangka pemenuhan hak asasi manusia, memperjelas pelaksanaan pembangunan kesehatan sesuai dengan RPJPD tahun 2005-2025, memantapkan kemitraan dan kepemimpinan yang transformatif, melaksanakan pemerataan upaya kesehatan yang terjangkau dan bermutu serta peningkatan investasi kesehatan.

3

SKP disusun dengan memperhatikan revitalisasi pelayanan kesehatan dasar (Primary Health Care), seperti revitalisasi Puskesmas yang perlu mengutamakan upaya preventif dan promotif didukung oleh upaya kuratif dan rehabilitatif serta pengembangan pelayanan Dokter Keluarga bersanding dengan Jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat, membina kesehatan keluarga dan memberi pengobatan jika diperlukan.

SKP juga disusun dengan memperhatikan 1). Cakupan pelayanan yang adil dan merata, 2) Pemberian pelayanan kesehatan yang berpihak kepada masyarakat miskin, 3) Kebijakan pembangunan kesehatan yang mengutamakan upaya pemeliharaan, perbaikan dan perlindungan kesehatan masyarakat (safety patient, safety provider and safety community) dan 4) kepemimpinan perubahan, dan responsif gender.

D. LANDASAN SKP

Landasan SKP meliputi :

1. Landasan Idiil : Pancasila

2. Landasan Konstitusional : yaitu Undang-Undang Dasar 1945, khususnya: Pasal 28 A, yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya; Pasal 28 B ayat (2), setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang; 28 C ayat (1), setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia; Pasal 28 H ayat (1), setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan ayat (3), setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat; serta Pasal 34 ayat (2), Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh masyarakat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan dan ayat (3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.

3. Landasan Operasional meliputi seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penyelenggaraan SKP.

4

BAB II

PERKEMBANGAN DAN TANTANGAN SKP

A. PERKEMBANGAN DAN TANTANGAN

1. KEPENDUDUKAN

Penduduk di Daerah cenderung meningkat dari tahun 2009 sebesar 42.693.951 menjadi 44,9 Juta tahun 2013. Peningkatan jumlah penduduk ini disebabkan adanya pertumbuhan alami dan faktor migrasi netto yang positif yang berarti migrasi masuk ke Daerah lebih besar dibandingkan migrasi yang keluar. Jumlah penduduk yang terus meningkat harus diantipasi dengan baik dan dilakukan secara komprehensif. Pemerintah Daerah melalui OPD dan instansi terkait lainnya perlu melakukan upaya penanganan jumlah penduduk secara terpadu dan berkelanjutan agar laju pertumbuhan penduduk tetap terkendali. Upaya ini perlu dibarengi dengan upaya peningkatan sumberdaya manusia.

Selama 5 (lima) tahun terakhir, laju pertumbuhan penduduk (LPP) di Daerah dari tahun ke tahun terus menurun. Pada Periode 2004-2005, LPP mencapai 2,09 % menurun menjadi 1.94% pada periode tahun 2005-2006. Pada periode tahun 2006-2007 mengalami penurunan menjadi 1,84 % dan periode tahun 2007-2008 LPP menurun kembali menjadi 1,71 % dan LPP periode 2008-2009 sebesar 1,20 %. Secara rata-rata pertumbuhan penduduk dari tahun 2004-2009 adalah 1,90 % per tahunnya.

Trend pertumbuhan penduduk cukup baik dan perlu dipertahankan oleh berbagai pihak, utamanya kinerja dinas instansi terkait, mengingat tantangan pertumbuhan penduduk dan tingkat fertilitas yang tinggi akan berdampak pada penyediaan infrakstruktur yang besar dan memadai serta penyediaan lapangan pekerjaan dan ketersediaan pangan. Apabila hal tersebut tidak terpenuhi, bisa berdampak pada kerawanan sosial

Struktur penduduk yang cenderung muda bersamaan dengan makin bertambahnya kelompok usia lanjut merupakan beban ganda bagi pembangunan. Dengan melihat angka beban ketergantungan yang cenderung meningkat dari tahun 2007 sebesar 54,29% menjadi 54,19% pada tahun 2008 dan tahun 2009 sebesar 52,6%.

2. DERAJAT KESEHATAN

Sampai saat ini AKB telah dapat diturunkan dengan laju penurunan rata-rata 2,3 % setiap tahunnya. Jika pada tahun 2003 AKB di Daerah masih berkisar 43,83 per 1000 kelahiran hidup, pada tahun 2007 AKB telah mencapai 39 per 1000 kelahiran hidup.

AHH selama periode tahun 2003-2008 telah mengalami kenaikan yang cukup berarti, dari tahun 2003 sebesar 65,68 menjadi 67,80 pada tahun 2007. Diharapkan pada tahun 2013 AHH dapat mencapai 71,32 tahun. AHH mencerminkan lamanya usia seorang bayi baru lahir diharapkan hidup. Indikator ini dipandang menggambarkan taraf hidup suatu bangsa. Beberapa faktor yang mempengaruhi AHH antara lain adalah ekonomi, pendidikan, geografis.

Peningkatan umur harapan hidup waktu lahir merupakan tolok ukur keberhasilan upaya kesehatan yang telah dilakukan oleh Pemerintah Daerah. Pencapaian indeks kesehatan mengalami peningkatan dari 70,67 di tahun 2006, menjadi 71 pada tahun 2007 dan menjadi 71,33 pada Tahun 2008. Skenario pencapaian indeks pembangunan manusia 80 tahun 2015, sesuai dengan Peraturan Daerah 9 Tahun 2008 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2005-2025.

5

Angka kematian ibu maternal menunjukkan jumlah kematian ibu karena kehamilan, persalinan dan masa nifas pada setiap 1000 kelahiran hidup dalam satu wilayah pada kurun waktu tertentu. AKI berguna untuk menggambarkan tingkat kesadaran perilaku hidup sehat, status gizi dan kesehatan ibu, kondisi lingkungan, tingkat pelayanan kesehatan terutama untuk ibu hamil, pelayanan kesehatan sewaktu ibu melahirkan dan masa nifas.

Survei yang dilaksanakan Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat memperhitungkan AKI sebesar 321,15 per 100.000 kelahiran hidup dengan pembagian perkelompok wilayah. Bila dilihat menurut wilayah, AKI terbesar berada di wilayah Pantura dan Cirebon, sedangkan yang terkecil berada di Bandung Raya dan Bodebek.

Survei kematian ibu dan anak di Daerah tahun 2008 menunjukkan bahwa penyebab kematian ibu terbanyak adalah atonia uteri (16 %), eklampsi (13,6%) dan perdarahan eklamsi berat (12,55%).

Beberapa determinan penting yang mempengaruhi AKI secara langsung antara lain, status gizi, anemia pada kehamilan, keadaan tiga terlambat (3T) dan empat terlalu (4T). Survei menunjukkan 53 % kematian ibu karena terlambat memutuskan, 27 % karena terlambat dilayani dan 20 % karena transport. 32 % karena terlalu tua dan 31 % karena terlalu banyak. Faktor mendasar penyebab kematian ibu maternal adalah tingkat pendidikan ibu, kesehatan lingkungan fisik maupun budaya, keadaan ekonomi keluarga dan pola kerja rumah tangga. Adanya pandangan masyarakat bahwa ibu hamil, melahirkan dan menyusui adalah proses alami, menyebabkan ibu maternal tidak diperlakukan secara khusus, seperti dibiarkan dan membiarkan diri untuk bekerja berat, makan dengan gizi dan porsi yang kurang memadai. Faktor resiko lainnya berdasarkan penelitian di RSHS Bandung menunjukkan bahwa peradangan gusi dan jaringan pendukung gigi pada ibu hamil merupakan faktor risiko terjadinya BBLR. Prevalensi penyakit periodontal pada ibu hamil di Daerah adalah 70%.

Ditinjau dari sudut pendidikan, maka diduga terdapat korelasi yang kuat antara pendidikan perempuan dengan besarnya AKI, seperti di daerah Pantura dimana AKI-nya tinggi dimana ternyata perempuan berumur 10 tahun keatas yang tidak bersekolah mencapai 15,53%. Survei kematian ibu dan anak di Daerah pada tahun 2008 menunjukkan 40 % ibu maternal yang mati adalah lulusan SD (40 %).

Jumlah kematian ibu maternal dari laporan Kabupaten/Kota berfluktuasi dari tahun 2005-2006 sampai 2007 sebanyak 788, pada 2008 menjadi 724 dan pada 2009 menjadi 828.

Berdasarkan laporan rutin dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, jumlah kematian bayi pada tahun 2004 adalah 1.868, tahun 2006 mengalami kenaikan menjadi 3.580 dan tahun 2007 naik lagi menjadi 4.277. Hasil survei kematian ibu dan anak di Daerah tahun 2008 menunjukkan penyebab kematian bayi terbanyak adalah bayi dengan berat lahir rendah (BBLR) sebanyak 29 %, asfiksia 23 % dan kelainan congenital 8 %. Kaitan dengan faktor pendidikan menunjukkan bahwa kematian bayi terbanyak dialami oleh ibu yang berpendidikan SD (56 %).

Hasil laporan fasilitas pelayanan kesehatan ibu dan anak di Daerah dari tahun 2005-2007 menunjukkan peningkatan cakupan. Walaupun demikian masalah khas adalah cakupan kunjungan kehamilan (K1) cukup tinggi (86 %), K4, 79,9 % tetapi cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan 68 % masih di bawah target sebesar 80 %.

Penelusuran pola kematian melalui autopsi verbal pada keluarga responden yang mengalami kematian dalam rentang waktu satu tahun. Analisis perbandingan antara hasil survei kesehatan rumah tangga tahun 1995 dan 2001 dengan riset kesehatan dasar (Riskesdas) 2007 menunjukkan adanya transisi epidemiologis yang diikuti dengan transisi demografi.

6

Proporsi kematian karena penyakit tidak menular semakin meningkat dari 49,9 % menjadi 57 %, sedangkan proporsi penyakit menular menurun dari 31,2 menjadi 281 %.

Beberapa penyakit menular yang diamati memperlihatkan kecenderungan peningkatan morbiditas, seperti TBC, malaria, demam berdarah dan HIV/AIDS. Untuk penyakit TBC, case detection rate di Daerah tahun 2009 adalah 79,63 %. Demam berdarah meskipun menunjukkan trend menurun namun angka kejadiannya masih tinggi, sekitar 95/100000 penduduk pada tahun 2009. Penyakit HIV/AIDS merupakah salah satu penyakit penyebab kematian, menular progresif bukan hanya melalui hubungan seksual tapi juga melalui jarum suntik dan plasenta. Kecenderungan peningkatan jumlah kasus HIV/AIDS di Daerah dari tahun 2009 sebanyak 1508 orang HIV/AIDS.

Selain itu, penyakit tidak menular di Daerah berdasarkan hasil riskesdas 2007, menunjukkan beberapa prevalensi penyakit melebihi rata-rata nasional yaitu prevalensi gangguan jiwa (20 %) dan merupakan prevalensi tertinggi di antara seluruh provinsi di Indonesia. Prevalensi penyakit sendi, stroke, diabetes mellitus dan tumor berturut-turut adalah 41,7; 9,3 ; 8,2 ; 1,3 dan 5,5. Obesitas sebagai faktor risiko, juga memiliki prevalensi tinggi (22 %) melebihi angka nasional 19 %. Persentase balita gizi buruk di Daerah masih tinggi (1,13 %). Disamping itu penyakit gigi dan mulut pada anak sangat tinggi yaitu 89% dan 25,3% masyarakat bermasalah dengan kesehatan gigi dan mulut. Masalah lain yang ditemukan adalah banyaknya kasus celah bibir dan celah langit-langit pada bayi baru lahir. Kelainan kongenital ini berkaitan erat dengan riwayat kehamilan ibu meliputi kurangnya asupan gizi, kesalahan konsumsi obat maupun trauma pada kehamilan. Penderita celah bibir dan langit-langit yang tidak dirawat menyebabkan gangguan status gizi serta berpengaruh pada kesehatan mental dan sosial.

Dalam rangka meningkatkan kualitas hidup, kesehatan mata merupakan unsur yang berperan besar. Angka kebutaan di Indonesia 1,5 % dari jumlah penduduk di Daerah 1,1 % dari jumlah penduduk, karena tingginya angka ini bukan saja menjadi masalah kesehatan melainkan sudah menjadi masalah sosial/ekonomi. Kebutaan dapat mempengaruhi perkembangan intelektual dan produktivitas manusia, sehingga bila diukur dari sisi ekonomi akan menyebabkan kerugian finansial yang besar. Penyebab utama kebutaan adalah katarak. Estimasi insidensi katarak di Daerah sebesar 0,7 % X 56 % X jumlah penduduk. Hingga saat ini, cakupan pelayanan penanggulangan kebutaan belum optimal.

B. ANALISIS LINGKUNGAN STRATEGIS

Perkembangan global, regional, nasional dan lokal saat ini merupakan faktor dinamis yang mengalami perubahan serta sangat menentukan proses pembangunan di satu daerah, termasuk di Daerah, yang berbatasan langsung dengan ibukota Republik Indonesia.

1. TINGKAT GLOBAL

a. Komitmen Pemerintah Daerah, terhadap komitmen MDGs yang mengandung banyak aspek kesehatan

b. Revitalisasi pembangunan pelayanan kesehatan dasar dasar yang dalam rencana strategis pembangunan kesehatan di Daerah, disebut sebagai revitalisasi Puskesmas.

c. Kesetaraan gender, sepenuhnya terpadu dalam upaya pembangunan kesehatan, salah satu sebab masih tingginya AKI adalah masih rendahnya pendekatan kesetaraan gender.

7

2. TINGKAT NASIONAL

Perkembangan proses politik, seperti desentralisasi, demokratisasi, dan politik kesehatan, berdampak kepada kebijakan pembangunan kesehatan di Daerah. Oleh karena itu, diperlukan adanya komitmen perlindungan, pemeliharaan dan perbaikan kesehatan masyarakat, bukan hanya pelayanan pengobatan.

3. TINGKAT DAERAH

a. Proses desentralisasi dan demokratisasi di Daerah, yang diharapkan mampu memberdayakan Daerah dalam menyehatkan masyarakatnya, namun dalam kenyataannya belum sepenuhnya berjalan, bahkan menimbulkan euphoria di Daerah yang bisa menghambat pembangunan kesehatan.

b. Secara geografis di wilayah Jawa Barat terdapat daerah rawan bencana yang memerlukan penanggulangan masalah kesehatan.

c. Perangkat hukum yang terkait dengan kesehatan masih belum memadai, kesadaran hukum masyarakat masih rendah, serta lemahnya penegakan hukum, yang dapat mempengaruhi pembangunan kesehatan.

d. Pembangunan berwawasan kesehatan yang dicanangkan pada tahun 1999 tidak terlaksana, sehingga upaya pengendalian dan perlindungan kesehatan, masih sulit dilaksanakan.

Selain itu, pengamatan para pakar untuk menjawab tantangan di Daerah untuk mencapai peningkatan lingkungan kehidupan yang sehat, pengembangan sistem kesehatan, peningkatan upaya pencegahan-pemberantasan dan pengendalian penyakit menular, peningkatan kualitas dan kuantitas tenaga kesehatan, serta peningkatan pelayanan kesehatan antara lain:

a. Pertumbuhan penduduk yang cukup besar di Daerah, termasuk pertumbuhan penduduk yang berpendapatan rendah, cukup menyulitkan pemberian layanan kesehatan pada masyarakat.

b. Permasalahan pembangunan kesehatan yang bersifat kompleks di satu sisi dan di sisi lainnya potensi dana Pemerintah bersifat terbatas.

c. Cakupan pelayanan kesehatan ibu dan anak yang masih terbatas, serta kemampuan puskesmas untuk melayani dan membina kesadaran masyarakat yang belum memadai.

d. Dukungan keberadaan tenaga kesehatan yang masih kurang rasional dan proporsional termasuk tenaga medis, yaitu dokter, bidan dan tenaga keperawatan.

e. Keberadaan obat dan distribusi obat, belum seluruhnya terjangkau oleh masyarakat, terutama masyarakat yang berpendapatan rendah dan adanya peningkatan harga obat.

f. Status gizi yang terasa masih sangat kurang, terutama untuk menopang gizi bayi dan ibu hamil, serta perkembangan fisik masyarakat berpendapatan rendah akibat rendahnya kesadaran masyarakat dalam memahami gizi.

g. Beberapa lingkungan pemukiman di perdesaan dan perkotaan sangat tidak memenuhi kesehatan terkait dengan pemenuhan air minum, pemenuhan sanitasi lingkungan, pengendalian hujan oleh drainase, pengelolaan sampah dan kebersihan, serta kandang ternak yang merapat ke permukiman.

h. Diperlukan peningkatan manajemen pengelolaan sarana kesehatan, seperti manajemen perumahsakitan, manajemen pusat kesehatan masyarakat, manajemen institusi layanan kesehatan lainnya, serta institusi aliansi masyarakat dalam kesehatan.

8

BAB III

ASAS SKP

SKP adalah bentuk dan cara penyelenggaraan pembangunan kesehatan di Daerah, yang selalu taat pada asas, yang menjadi landasan bagi setiap program dan kegiatan pembangunan kesehatan. Acuan penyusunan SKP adalah SKN, karena asas-asas pembangunan kesehatan mengacu pada SKN.

Pembangunan kesehatan di Daerah berdasarkan visi pembangunan yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah Nomor 9 tahun 2008 adalah “ Dengan Iman dan Taqwa, Jawa Barat sebagai Provinsi termaju di Indonesia‟ bermakna spiritual dengan pengembangan kesalehan sosial bagi seluruh masyarakat, apapun agama yang dianutnya.

A. DASAR PEMBANGUNAN KESEHATAN

Pembangunan kesehatan berdasarkan asas-asas dalam SKN yang mengacu pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Jangka Panjang Nasional, yang sejalan dengan RPJPD Provinsi Jawa Barat.

Pembangunan kesehatan berdasarkan asas-asas sebagai berikut:

1. Perikemanusiaan

Pembangunan kesehatan harus berlandaskan pada prinsip perikemanusiaan yang dijiwai, digerakkan dan dikendalikan oleh keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Tenaga kesehatan perlu berbudi luhur, memegang teguh etika profesi, dan selalu menerapkan prinsip perikemanusiaan dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan.

2. Pemberdayaan dan kemandirian

Setiap orang dan masyarakat bersama dengan Pemerintah Daerah berperan, berkewajiban dan bertanggungjawab untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan perorangan, keluarga, masyarakat, dan lingkungannya. Pembangunan kesehatan harus mampu membangkitkan dan mendorong peran aktif masyarakat. Pembangunan kesehatan dilaksanakan dengan berlandaskan pada kepercayaan atas kemampuan dan kekuatan sendiri serta kepribadian bangsa dan semangat solidaritas sosial serta gotong-royong. Pembangunan kesehatan diarahkan untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi peningkatan derajat kesehatan masyarakat dengan perhatian khusus pada penduduk rentan, antara lain: ibu, bayi, anak, manusia usia lanjut dan keluarga miskin.

3. Adil dan merata

Dalam pembangunan kesehatan setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-tingginya, tanpa memandang suku, golongan, agama, dan status sosial ekonominya. Setiap orang berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

4. Pengutamaan manfaat

Pembangunan kesehatan diselenggarakan dengan mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan orang perseorangan atau golongan. Upaya kesehatan yang bermutu diselenggarakan dengan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta harus lebih mengutamakan pendekatan peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit. Pembangunan kesehatan diselenggarakan berlandaskan pada dasar kemitraan atau sinergi yang dinamis dan tata penyelenggaraan yang baik, sehingga secara berhasilguna dan secara bertahap dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi peningkatan derajat kesehatan masyarakat dan lingkungannya.

9

Secara ringkas dapat dikemukakan bahwa pembangunan kesehatan harus diupayakan secara terintegrasi antara Pusat dan Daerah dengan mengedepankan nilai-nilai pembangunan kesehatan, yaitu: a) berpihak pada masyarakat, b) bertindak cepat dan tepat, c) kerjasama tim, d) integritas yang tinggi, serta e) transparansi dan akuntabilitas.

B. DASAR SKP

Dasar penyelenggaraan SKP, sesuai SKN, mengacu kepada dasar-dasar sebagai berikut :

1. Hak asasi manusia

Sesuai dengan Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yang menggariskan setiap orang berhak atas pelayanan kesehatan untuk meningkatkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya tanpa membedakan suku, golongan, agama, jenis kelamin, dan status sosial ekonomi. Setiap anak dan perempuan berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

2. Sinergisme dan kemitraan yang dinamis

SKP akan berfungsi baik untuk mencapai tujuannya apabila terjadi koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan sinergisme baik antar pelaku, antar subsistem SKP maupun dengan sistem serta subsistem lain di luar SKP. Dengan tatanan ini, maka sistem atau sektor lain, seperti pembangunan prasarana, keuangan dan pendidikan, perlu berperan secara bersama-sama dengan sektor kesehatan untuk mencapai tujuan pembangunan kesehatan di Daerah.

Pembangunan kesehatan harus diselenggarakan dengan menggalang kemitraan yang dinamis dan harmonis antara Pemerintah Daerah dan masyarakat termasuk swasta, dengan mendayagunakan potensi yang dimiliki masing-masing. Kemitraan tersebut diwujudkan dengan mengembangkan jejaring yang berhasilguna dan berdayaguna, agar diperoleh sinergisme yang lebih mantap dalam rangka mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.

3. Komitmen dan tata kepemerintahan yang baik (good governance)

Agar SKP berfungsi baik, diperlukan komitmen yang tinggi dan dukungan serta kerjasama yang baik dari para pelaku untuk menghasilkan tata penyelenggaraan pembangunan kesehatan yang baik (good governance). Pembangunan kesehatan diselenggarakan secara demokratis, berkepastian hukum, transparan, rasional, profesional, serta bertanggungjawab dan bertanggunggugat (akuntabel).

4. Dukungan regulasi

Dalam menyelenggarakan SKP, harus ada dukungan regulasi berupa adanya berbagai peraturan perundang-undangan yang mendukung penyelenggaraan SKP dan didukung pula oleh penerapannya (law enforcement).

5. Antisipatif dan pro aktif

Setiap pelaku pembangunan harus mampu melakukan antisipasi atas perubahan yang akan terjadi, berdasarkan pengalaman masa lalu atau pengalaman yang terjadi di negara lain. Dengan mengacu pada antisipasi tersebut, pelaku pembangunan kesehatan perlu lebih proaktif terhadap perubahan lingkungan strategis baik yang bersifat internal maupun eksternal di Daerah. .

6. Responsif Gender

Dalam penyelenggaraan SKP, setiap penyusunan rencana kebijakan dan program serta pelaksanaan program kesehatan harus menerapkan kesetaraan dan keadilan gender.

10

Kesetaraan gender dalam pembangunan kesehatan adalah kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan pembangunan kesehatan dan kesamaan dalam memperoleh manfaat pembangunan kesehatan di Daerah.

7. Kearifan Lokal

Penyelenggaraan SKP di Daerah harus memperhatikan dan menggunakan potensi Daerah yang secara positif dapat meningkatkan hasilguna dan dayaguna pembangunan kesehatan, yang dapat diukur secara kuantitatif dari meningkatnya peranserta masyarakat dan secara kualitatif dari meningkatnya kualitas hidup jasmani dan rohani. Dengan demikian kebijakan pembangunan Daerah di bidang kesehatan harus sejalan dengan SKP, walaupun pelaksanaan praktisnya dalam rencana pembangunan Daerah di bidang kesehatan, dapat disesuaikan dengan potensi dan kondisi serta kebutuhan masyarakat di Daerah terutama dalam penyediaan pelayanan kesehatan dasar bagi masyarakatnya.

Karakteristik Daerah sebagaimana dinyatakan dalam visi pembangunan Daerah dengan mencantumkan „Dengan iman dan takwa‟ di awal kalimat, memberi makna dasar pembangunan Daerah yang agamis, yaitu pengembangan kehidupan masyarakat yang makin diwarnai kesalehan sosial. Dengan kesalehan sosial yang berlaku bagi seluruh agama seyogyanya akan nampak kehidupan masyarakat yang lebih tertib, aman, harmonis dan bebas dari ketidak disiplinan, kejahatan dan penyimpangan sosial. Seluruh sektor pembangunan di Daerah harus dilandasi dengan nilai keshalehan sosial ini. Karakteristik sosial budaya masyarakat Jawa Barat yang berpengaruh positif terhadap pembangunan kesehatan tercermin dalam beberapa ekspresi budaya, misalnya do‟a orang tua kepada generasi pelanjutnya adalah menjadi orang yang “cageur, bageur, bener, pinter tur singer” (sehat jasmani dan rohani; baik hati; benar dan taat; pintar, produktif dan mandiri). Selain itu budaya silih asih, silih asah dan silih asuh (saling menyayang, saling mendidik dan saling menjaga) dalam bentuk rereongan (gotong-royong) sebagai potensi kuat pemberdayaan masyarakat dalam mengembangkan masyarakat Jawa Barat yang produktif dan berdaya saing.

Berdasarkan kondisi dan permasalahan kesehatan di Daerah, telah disepakati perlunya program fokus yaitu peningkatan persalinan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan, pengendalian dan pemberantasan penyakit TBC dan pengembangan perilaku hidup bersih dan sehat.

11

BAB IV

BENTUK POKOK

SKP

A. TUJUAN SKP

Tujuan SKP adalah terselenggaranya pembangunan kesehatan oleh seluruh potensi Daerah, baik masyarakat, swasta maupun Pemerintah Daerah secara sinergis, berhasilguna dan berdayaguna, sehingga terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya di Daerah.

B. KEDUDUKAN SKP

1. Suprasistem SKP

Suprasistem SKP adalah SKN yang diarahkan untuk mencapai tujuan Bangsa Indonesia seperti yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian, abadi dan keadilan sosial. Dalam kaitan ini, undang-undang yang berkaitan dengan kesehatan merupakan kebijakan strategis dalam pembangunan kesehatan di Daerah.

2. Kedudukan SKP dalam sistem pembangunan lainnya

Terwujudnya keadaan sehat di Daerah dipengaruhi oleh berbagai faktor, yang tidak hanya menjadi tanggungjawab sektor kesehatan, melainkan juga tanggungjawab dari berbagai sektor lain terkait. Dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan, SKP perlu menjadi acuan bagi sektor lain. Dalam penyelenggaraan pembangunan provinsi, SKP dapat bersinergi secara dinamis dengan berbagai sistem pembangunan lainnya seperti: Sistem Pendidikan Provinsi, Sistem Perekonomian Provinsi, Sistem Ketahanan Pangan Provinsi, Sistem Hankam Provinsi, dan sistem-sistem provinsi lainnya.

3. Kedudukan SKP terhadap Penyelenggaraan Pembangunan Kesehatan di Daerah

Dalam pembangunan kesehatan, SKP merupakan acuan bentuk dan cara penyelenggaraan pembangunan kesehatan di Daerah.

4. Kedudukan SKP terhadap berbagai sistem kemasyarakatan termasuk swasta

Keberhasilan pembangunan kesehatan sangat ditentukan oleh dukungan sistem nilai dan budaya masyarakat yang secara bersama terhimpun dalam berbagai sistem kemasyarakatan.

Di pihak lain, berbagai sistem kemasyarakatan merupakan bagian integral dari SKP. Dalam kaitan ini SKP dipergunakan sebagai acuan bagi masyarakat dalam berbagai upaya kesehatan di Daerah. Keberhasilan pembangunan kesehatan ditentukan oleh peran aktif swasta. Dalam kaitan ini potensi swasta merupakan bagian integral dari SKP. Untuk keberhasilan pembangunan kesehatan, perlu digalang kemitraan yang setara, terbuka, dan saling menguntungkan dengan berbagai potensi swasta. SKP dapat mewarnai potensi swasta, sehingga sejalan dengan tujuan pembangunan Daerah yang berwawasan kesehatan.

12

C. SUBSISTEM SKP

Pendekatan manajemen kesehatan dewasa ini dan kecenderungannya di masa depan adalah kombinasi dari pendekatan: 1) Sistem, 2) Kontigensi, dan 3) Sinergi yang dinamis. Mengacu pada subsistem dalam SKP, hanya tercantum 6 subsistem. Berdasarkan analisis kondisi, masalah dan potensi di Daerah, maka diperlukan tambahan 3 subsistem yang baru, yaitu 1) subsistem regulasi kesehatan 2) subsistem pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta penelitian dan pengembangan kesehatan dan 3) subsistem kemitraan, sehingga keseluruhan subsistem dalam SKP menjadi 9 subsistem, meliputi:

1. Subsistem upaya kesehatan

Untuk dapat mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya perlu diselenggarakan berbagai upaya kesehatan dengan menghimpun seluruh potensi masyarakat. Upaya kesehatan yang meliputi upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perorangan yangdiselenggarakan dengan pendekatan pencegahan, peningkatan, pengobatan dan pemulihan (preventif, promotif, kuratif, dan rehabilitatif) yang diselenggarakatan secara bersama antara Pemerintah Daerah, masyarakat, dan dunia usaha dengan memberikan dukungan yang luas pada masyarakat, dan dunia usaha untuk berperan dalam melaksanakan upaya kesehatan yang berkualitas secara terpadu, menyeluruh dan berkesinambungan, dengan didasarkan pada Standar Pelayanan Minimal.

2. Subsistem pembiayaan kesehatan

Pembiayaan kesehatan bersumber dari berbagai sumber yakni Pemerintah, Pemerintah Daerah, swasta, organisasi masyarakat dan masyarakat itu sendiri.

Oleh karena itu, pembiayaan kesehatan yang adekuat, terintegrasi, stabil dan berkesinambungan memegang peran yang sangat vital untuk penyelenggaraan pelayanan kesehatan dalam rangka mencapai berbagai tujuan dari pembangunan kesehatan, antara linadalah pemerataan pelayanan kesehatan dan akses terhadap pelayanan yang berkualitas.

Pemerintah Daerah wajib mengalokasikan pembiayaan kesehatan paling sedikit 10% dari APBD di luar gaji berdasarkan prinsip keadilan, kecukupan dan keberlanjutan, dan ditujukan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan secara berkesinambungan, berkeadilan, berdayaguna dan berhasilguna. Pembiayaan kesehatan di Daerah diprioritaskan untuk pelayanan publik atau pelayanan kesehatan masyarakat yang merupakan public goods yang menjadi tanggungjawab Pemerintah Daerah, sedangkan untuk pelayanan kesehatan perorangan pembiayaannya bersifat private goods, kecuali pembiayaan untuk orang miskin dan tidak mampu menjadi tanggungjawab Pemerintah, Pemerintah Daerah dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Pembiayaan pelayanan kesehatan perorangan diselenggarakan melalui jaminan pemeliharaan kesehatan dengan mekanisme asuransi kesehatan sosial untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang paripurna (preventif, promotif, kuratif dan rehabilitatif) yang pada waktunya diharapkan akan tercapai universal coverage sesuai dengan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.

3. Subsistem sumberdaya manusia kesehatan

Sebagai pelaksana upaya kesehatan, diperlukan sumberdaya manusia kesehatan yang mencukupi dalam jumlah, jenis dan kualitasnya, serta terdistribusi secara adil dan merata, sesuai tuntutan kebutuhan pembangunan kesehatan. Oleh karena itu, SKN juga memberikan fokus penting pada pengembangan dan pemberdayaan sumberdaya manusia kesehatan, guna menjamin ketersediaan dan pendistribusian sumberdaya manusia kesehatan. Pengembangan dan pemberdayaan sumberdaya manusia kesehatan meliputi: 1) perencanaan kebutuhan sumberdaya manusia yang

13

diperlukan, 2) pengadaan yang meliputi pendidikan tenaga kesehatan dan pelatihan sumberdaya manusia kesehatan, 3) pendayagunaan sumberdaya manusia kesehatan, dan 4) pembinaan serta pengawasan sumberdaya manusia kesehatan. Sebagai pengguna dari hasil pendidikan tenaga pada institusi pendidikan tenaga kesehatan Dinas melaksanakan kemitraan dengan Dinas Pendidikan dan perguruan tinggi serta institusi pendidikan kesehatan dalam rangka meningkatkan mutu dan kompetensi lulusan. Pada keadaan tertentu, Daerah dapat melaksanakan pengadaan tenaga kesehatan strategis sesuai dengan kebutuhan.

4. Subsistem sediaan farmasi, alat kesehatan, dan makanan

Subsistem kesehatan ini meliputi berbagai kegiatan untuk menjamin aspek keamanan, khasiat/kemanfaatan dan mutu sediaan farmasi, alat kesehatan dan makanan yang beredar; ketersediaan, pemerataan dan keterjangkauan obat, terutama obat esensial; perlindungan masyarakat dari penggunaan obat yang salah, penyalahgunaan obat dan penggunaan obat yang tidak rasional; serta upaya kemandirian di bidang kefarmasian melalui pemanfaatan sumberdaya dalam negeri.

5. Subsistem manajemen dan informasi kesehatan

Subsistem ini meliputi manajemen kesehatan dan informasi kesehatan. Untuk menggerakkan pembangunan kesehatan secara berhasilguna dan berdayaguna, diperlukan manajemen kesehatan. Peranan manajemen kesehatan adalah koordinasi, integrasi, sinkronisasi serta penyerasian berbagai subsistem SKP.

Dalam kaitan ini peranan informasi kesehatan sangat penting. Dari segi pengadaan data dan informasi, kegiatannya dapat dikelompokkan sebagai berikut: 1) pengumpulan, validasi, analisa dan desiminasi data dan informasi, 2) manajemen sistem informasi, 3) dukungan kegiatan dan sumberdaya untuk unit-unit yang memerlukan, dan 4) pengembangan untuk peningkatan mutu sistem informasi kesehatan.

6. Subsistem pemberdayaan masyarakat

SKP akan berfungsi optimal apabila ditunjang oleh pemberdayaan masyarakat. Masyarakat termasuk swasta bukan semata-mata sebagai sasaran pembangunan kesehatan, melainkan juga sebagai subjek atau penyelenggara dan pelaku pembangunan kesehatan. Oleh karenanya pemberdayaan masyarakat menjadi sangat penting, agar masyarakat termasuk swasta dapat mampu dan mau berperan sebagai pelaku pembangunan kesehatan. Pemberdayaan masyarakat meliputi pula upaya peningkatan lingkungan sehat dari masyarakat sendiri. Pemberdayaan masyarakat dan upaya kesehatan pada hakekatnya merupakan fokus dari pembangunan kesehatan.

7. Subsistem regulasi kesehatan

Merupakan pengembangan dari subsistem manajemen dan informasi kesehatan. Subsistem ini meliputi bentuk dan cara pengaturan, pembinaan dan pengawasan serta penindakan terhadap berbagai aspek atau komponen upaya kesehatan untuk perlindungan pasien, petugas/tenaga kesehatan dan masyarakat serta peningkatan mutu pelayanan kesehatan, produk kesehatan dan makanan/minuman. Di dalamnya termasuk kegiatan registrasi, lisensi, sertifikasi dan akreditasi serta pengulangannya sesuai kebutuhan, dan kewenangan Daerah, berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

8. Subsistem pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan penelitian dan pengembangan kesehatan

Merupakan pengembangan dari subsistem upaya kesehatan. Tujuan subsistem ini adalah mewujudkan peranan ilmu pengetahuan dan teknologi dan penelitian dan pengembangan kesehatan yang berdaya guna dan berhasil guna dalam

14

memperoleh/menghasilkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta pengetahuan lain yang diperlukan untuk menentukan kebijakan dan program pembangunan kesehatan dalam rangka mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan lebih diarahkan untuk kuratif dan rehabilitatif, sedangkan penelitian dan pengembangan kesehatan kesehatan diarahkan untuk preventif dan promotif.

Pengaturan dan Pengendalian pengembangan Iptek serta penelitian diperlukan untuk mencegah terjadinya hal hal yang berpengaruh terhadap kesehatan masyarakat.

9. Subsistem kemitraan dan kerjasama

Merupakan pengembangan dari subsistem pemberdayaan masyarakat. Kemitraan atau disebut juga “partnership” adalah bentuk kerjasama antarlembaga pemerintahan yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif tingkat provinsi serta OPD, lembaga swasta dan lembaga kemasyarakatan, termasuk Pemerintah dan Kabupaten/Kota, agar pelaksanaan program pembangunan dapat lebih efektif, efisien, produktif dan bermutu, berbasis norma, standar, prosedur dan kriteria yang ditetapkan.

D. TATA HUBUNGAN ANTARSUBSISTEM DAN LINGKUNGANNYA

Penyelenggaraan SKP memerlukan keterkaitan antarunsur-unsur SKP sebagai suatu tata hubungan yang efektif. Keterkaitan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Subsistem upaya kesehatan diselenggarakan untuk mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Untuk penyelenggaraan subsistem tersebut diperlukan berbagai upaya dengan menghimpun seluruh potensi Bangsa Indonesia. Berbagai upaya tersebut memerlukan dukungan pembiayaan, sumberdaya manusia kesehatan, ketersediaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan makanan minuman, manajemen dan informasi kesehatan serta pemberdayaan masyarakat.

2. Subsistem pembiayaan kesehatan diselenggarakan guna menghasilkan ketersediaan pembiayaan kesehatan dengan jumlah yang mencukupi, teralokasi secara adil, dan termanfaatkan secara berhasilguna dan berdayaguna untuk terselenggaranya upaya kesehatan secara merata, terjangkau, dan bermutu bagi seluruh masyarakat. Tersedianya pembiayaan yang memadai juga akan menunjang terselenggaranya subsistem sumberdaya manusia kesehatan, subsistem sediaan farmasi, alat kesehatan serta makanan dan minuman, subsistem manajemen dan informasi kesehatan, serta subsistem pemberdayaan masyarakat.

3. Subsistem sumberdaya manusia kesehatan diselenggarakan guna menghasilkan tenaga kesehatan yang bermutu dalam jumlah yang mencukupi, terdistribusi secara adil, serta termanfaatkan secara berhasilguna dan berdayaguna, sehingga upaya kesehatan dapat diselenggarakan sesuai dengan kebutuhan seluruh lapisan masyarakat. Tersedianya tenaga kesehatan yang mencukupi dan berkualitas akan menunjang terselenggaranya subsistem pembiayaan kesehatan, subsistem sediaan farmasi, alat kesehatan dan makanan minuman, subsistem manajemen dan informasi kesehatan serta subsistem pemberdayaan masyarakat.

4. Subsistem sediaan farmasi, alat kesehatan dan makanan minuman diselenggarakan guna menjamin keamanan, khasiat, manfaat dan mutu seluruh produk sediaan farmasi, alat kesehatan dan makanan yang beredar; menjamin ketersediaan, pemerataan dan keterjangkauan obat, terutama obat esensial; perlindungan masyarakat dari penggunaan yang salah dan penyalahgunaan obat; serta penggunaan obat yang tidak rasional, dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.

15

Subsistem sediaan farmasi, alat kesehatan dan makanan minuman saling terkait dengan subsistem upaya kesehatan, pembiayaan kesehatan, sumberdaya kesehatan, manajemen dan informasi kesehatan, dan pemberdayaan masyarakat, sehingga upaya kesehatan dapat diselenggarakan dengan berhasilguna dan berdayaguna.

5. Subsistem manajemen dan informasi kesehatan diselenggarakan guna menghasilkan fungsi-fungsi kebijakan kesehatan, administrasi kesehatan, informasi kesehatan, dan hukum kesehatan yang memadai dan mampu menunjang penyelenggaraan upaya kesehatan secara berhasilguna dan berdayaguna. Dengan manajemen kesehatan yang berhasilguna dan berdayaguna dapat diselenggarakan subsistem upaya kesehatan, subsistem pembiayaan kesehatan, subsistem sumberdaya manusia kesehatan, subsistem sediaan farmasi, alat kesehatan dan makanan minuman, serta subsistem pemberdayaan masyarakat, sebagai suatu kesatuan yang terpadu dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.

6. Subsistem pemberdayaan masyarakat diselenggarakan guna menghasilkan individu, kelompok, dan masyarakat umum yang mampu berperan aktif dalam penyelenggaraan upaya kesehatan. Masyarakat yang berdaya akan berperan aktif dalam penyelenggaran subsistem pembiayaan kesehatan, subsistem sumberdaya manusia kesehatan, subsistem sediaan farmasi, alat kesehatan dan makanan minuman, serta subsistem manajemen dan informasi kesehatan.

Dalam kaitan ini, hubungan SKP dengan lingkungan strategisnya sangat penting artinya, mengingat pembangunan kesehatan tidak dapat mencapai tujuannya tanpa memperhatikan dengan seksama interaksi dengan lingkungan strategis tersebut, yang meliputi: ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan. Lingkungan tersebut terdapat di tingkat lokal, nasional, regional maupun global. Selain itu, lingkungan termaksud dapat sebagai peluang maupun kendala.

16

BAB V

CARA PENYELENGGARAAN

SISTEM KESEHATAN PROVINSI

A. SUBSISTEM UPAYA KESEHATAN

1. Pengertian

Subsistem upaya kesehatan adalah upaya kesehatan yang diselenggarakan dalam bentuk kegiatan dengan pendekatan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif yang dilaksanakan secara terpadu, menyeluruh dan berkesinambungan.

2. Tujuan

Terselenggaranya upaya kesehatan yang adil, merata, terjangkau dan bermutu guna meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.

3. Analisis situasi

Situasi di Daerah adalah terdapat kesenjangan pelayanan kesehatan di daerah perkotaan dan perdesaan akibat dari tidak meratanya distribusi tenaga kesehatan, kurangnya sarana prasarana dan kemudahan mengakses pelayanan kesehatan.

Besarnya pengaruh lingkungan dan perilaku masyarakat menimbulkan multiple burden yaitu penyakit menular lama belum teratasi, penyakit menular yang lama muncul kembali (re-emerging diseases ), penyakit menular yang baru (new emerging diseases), serta penyakit tidak menular dan katastropis semakin meningkat.

Masalah kesehatan selain masih tingginya AKI dan AKB, upaya kesehatan lainnya yang menjadi perhatian adalah pelayanan kesehatan tradisional, kesehatan reproduksi, keluarga berencana, kesehatan sekolah, kesehatan olahraga, pelayanan kesehatan pada bencana, pelayanan darah, kesehatan gigi dan mulut, penanggulangan gangguan penglihatan dan pendengaran, kesehatan matra, dan kesehatan jiwa.

Adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi bidang kesehatan baik konvensional maupun alternatif yang makin berkembang memerlukan pengaturan lebih lanjut.

PROGRAM STRATEGIS DAERAH

a. Penanggulangan Penyakit TBC

Penanggulangan penyakit TBC secara komprehensif bukan hanya mencakup pengobatan namun penanggulangan faktor risiko. Upaya penanggulangan penyakit TBC sesuai strategi Direct Observe Treatment Short Course (DOTS) yang diterapkan pada seluruh pelayanan kesehatan baik pemerintah maupun swasta, di tingkat dasar maupun rujukan .

Untuk itu, diperlukan dukungan dari lintas sektor dan seluruh stakeholder dalam kebijakan, ketersediaan sumberdaya, sarana dan prasarana. Berkenaan dengan hal tersebut, perlu menggerakkan peranserta seluruh masyarakat untuk melakukan pengobatan secara tuntas dan berkesinambungan untuk memotong rantai penularan dan menekan risiko MDR (Multiple Drugs Resistent). Penting untuk melaksanakan pencatatan dan pelaporan secara akurat dengan validasi data, serta melakukan kewaspadaan terhadap TB HIV.

b. Pelayanan kesehatan ibu dan anak

Upaya akselerasi penurunan AKI dan AKB menjadi tanggungjawab bersama antara Pemerintah, swasta dan masyarakat dengan memberikan pelayanan kesehatan komprehensif yang terjangkau dan berkualitas. Pelayanan kesehatan ibu dan anak komprehensif mencakup pula terhadap berbagai penyakit yang merupakan faktor risiko, serta determinan sosial budaya.

17

Oleh karena itu, diperlukan adanya Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat yang mendukung Peraturan Daerah Kabupaten/Kota mengenai kesehatan ibu bayi baru lahir dan anak.

c. PHBS ( perilaku hidup bersih dan sehat )

PHBS dilakukan dengan menggalang kebersamaan dan kemitraan, seluruh OPD lintas sektor, serta seluruh stakeholder.

Meningkatkan peran masing-masing OPD dan stakeholder dalam upaya kesehatan untuk pembangunan berwawasan kesehatan.

4. Unsur-unsur

Upaya kesehatan dilaksanakan dalam bentuk kegiatan dengan pendekatan peningkatan, pencegahan, pengobatan dan pemulihan (promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif) dan didasarkan pada standar pelayanan minimal kesehatan, serta paling kurang memenuhi kebutuhan kesehatan dasar masyarakat untuk mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya bagi individu atau masyarakat.

Unsur-unsur upaya kesehatan meliputi; 1) kegiatan upaya kesehatan, 2) sumberdaya upaya kesehatan, 3) pembinaan dan pengawasan upaya kesehatan, 4) penelitian dan pengembangan upaya kesehatan. Guna mengoptimalkan pencapaian strategi tersebut, perlu melibatkan peran lembaga pemerintah maupun swasta sekaligus masyarakat dan perseorangan.

Pelayanan kesehatan bersifat komprehensif yang mempunyai daya ungkit tinggi dalam mewujudkan kualitas hidup masyarakat yang produktif. Selain itu pelayanan harus berdasarkan standar profesi, sertifikasi , lisensi, akreditasi dan penegakan hukum.

Upaya yang dilaksanakan perlu didukung oleh sumberdaya yang memadai. Untuk itu, diperlukan pembinaan dan pengawasan yang berkesinambungan.

Peningkatan kualitas pelayanan didukung dengan pendidikan dan pelatihan (diklat) serta penelitian dan pengembangan kesehatan (litbangkes) sesuai kebutuhan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

a. Kegiatan upaya kesehatan

Penyelenggaraan upaya kesehatan meliputi upaya kesehatan perseorangan dan upaya kesehatan masyarakat dilaksanakan dalam bentuk kegiatan dengan pendekatan peningkatan, pencegahan, pengobatan dan pemulihan (promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif), yang dilaksanakan secara terpadu menyeluruh dan berkesinambungan, meliputi : pelayanan kesehatan, pelayanan kesehatan tradisional, peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit, penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan, penyakit menular dan tidak menular, kesehatan lingkungan, kesehatan reproduksi, kesehatan ibu dan anak, perbaikan gizi, kesehatan remaja, kesehatan usia lanjut dan penyandang cacat, gangguan penglihatan dan pendengaran, kesehatan jiwa, keluarga berencana, kesehatan sekolah, kesehatan olahraga, pelayanan kesehatan pada bencana, pelayanan darah, kesehatan gigi dan mulut, kesehatan matra dan bedah mayat.

Penyelenggaraan kegiatan upaya kesehatan diutamakan pada berbagai upaya yang mempunyai daya ungkit tinggi dalam pencapaian sasaran pembangunan kesehatan terutama penduduk rentan, antara lain ibu, bayi, anak, manusia usia lanjut, dan keluarga miskin.

Kegiatan upaya kesehatan harus memperhatikan terwujud dan terpeliharanya kualitas hidup penduduk sehingga menjadi manusia yang produktif secara sosial dan ekonomi.

18

Penyelenggaraan kegiatan upaya kesehatan merupakan tanggungjawab Pemerintah, Pemerintah Daerah, Pemerintah Kabupaten/Kota serta masyarakat, yang pelaksanaannya harus memperhatikan fungsi sosial, nilai dan norma agama, sosial budaya, moral dan etika profesi.

b. Sumberdaya upaya kesehatan

Sumberdaya upaya kesehatan terdiri dari sumberdaya manusia kesehatan, biaya, sarana dan prasarana, sediaan farmasi dan alat kesehatan, serta sistem informasi kesehatan yang memadai guna terselenggaranya upaya kesehatan.

Fasilitas pelayanan kesehatan merupakan alat dan/atau tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan, baik peningkatan, pencegahan, pengobatan maupun pemulihan yang dilakukan oleh pemerintah dan/atau masyarakat termasuk swasta.

c. Pembinaan dan pengawasan upaya kesehatan

Pelayanan kesehatan harus diberikan berdasarkan standar pelayanan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah dengan mempertimbangkan masukan dari organisasi profesi kesehatan, termasuk akademisi dan institusi pendidikan kesehatan.

Pembinaan dan pengawasan upaya kesehatan dilakukan secara berjenjang melalui standardisasi, sertifikasi, lisensi, akreditasi, dan penegakan hukum yang dilakukan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah bersama dengan organisasi profesi, akademisi dan institusi kesehatan serta masyarakat.

d. Penelitian dan pengembangan upaya kesehatan

Penelitian dan pengembangan dilakukan utamanya untuk mendukung peningkatan mutu upaya kesehatan yang berhasilguna dan berdayaguna. Penelitian dan pengembangan didasarkan pada masalah kesehatan prioritas, sumberdaya kesehatan, serta aspek terkait lainnya dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sesuai.

5. Prinsip

a. Berkesinambungan dan paripurna

Upaya kesehatan bagi masyarakat diselenggarakan secara berkesinambungan dan paripurna, meliputi upaya peningkatan, pencegahan, pengobatan hingga pemulihan, serta rujukan antartingkatan upaya kesehatan.

b. Bermutu, aman dan sesuai kebutuhan

Pelayanan dijalankan sesuai dengan standar yang berlaku. Pelayanan kesehatan bagi masyarakat harus bermutu, terjamin keamanannya bagi penerima dan pemberi pelayanan, dapat diterima masyarakat, efektif, dan sesuai, serta mampu menghadapi tantangan globalisasi bermakna mutu pelayanan.

c. Adil dan merata

Penyelenggaraan pelayanan kesehatan berasaskan adil dan merata.

d. Non diskriminatif

Setiap penduduk harus mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai kebutuhan, tanpa memandang status sosial ekonomi, suku/ras, budaya, agama, dengan tetap memperhatikan pengarusutamaan gender.

e. Terjangkau

Pelayanan kesehatan bermutu harus terjangkau baik dari segi akses dan biaya.

19

f. Teknologi tepat guna

Upaya kesehatan menggunakan teknologi tepat guna yang berbasis bukti. Teknologi tepat guna berasas pada kesesuaian kebutuhan dan tidak bertentangan dengan etika, moral dan nilai agama.

g. Bekerja dalam tim secara cepat dan tepat

Upaya kesehatan dilakukan secara kerjasama tim, keterlibatan seluruh pihak yang kompeten dilakukan secara cepat dan tepat.

6. Penyelenggaraan

a. Upaya kesehatan

1) Penyelenggaraan kegiatan upaya kesehatan mencakup kesehatan fisik, mental termasuk intelegensia dan sosial, meliputi :

a) upaya kesehatan perseorangan; dan

b) upaya kesehatan masyarakat;

2) Upaya kesehatan perseorangan adalah pelayanan kesehatan perseorangan yang ditujukan untuk menyembuhkan penyakit dan memulihkan kesehatan perseorangan dan keluarga.

3) Upaya kesehatan masyarakat adalah pelayanan kesehatan yang ditujukan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan serta mencegah penyakit suatu kelompok dan masyarakat.

4) Upaya kesehatan terdiri dari kegiatan-kegiatan yaitu :

a) Pelayanan kesehatan

(1) Penyelenggaraan pelayanan kesehatan baik pelayanan kesehatan konvensional maupun pelayanan kesehatan yang terdiri dari pengobatan tradisional dan komplementer, dilaksanakan dengan pendekatan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif, dengan mendahulukan pertolongan keselamatan nyawa pasien dibandingkan kepentingan lainnya.

(2) Pelayanan kesehatan dasar adalah pelayanan kesehatan dimana terjadi kontak pertama secara perorangan atau masyarakat dengan pelayanan kesehatan sebagai awal dari proses pelayanan kesehatan langsung maupun pelayanan kesehatan penunjang, dengan mekanisme rujukan timbal-balik, termasuk penanggulangan bencana dan pelayanan gawat darurat.

(3) Pelayanan kesehatan dilaksanakan dengan memberikan penekanan pada pelayanan pengobatan, pemulihan tanpa mengabaikan upaya peningkatan, dan pencegahan, termasuk di dalamnya pelayanan kebugaran dan gaya hidup sehat (healthy life style).

(4) Pelayanan kesehatan dapat dilaksanakan di rumah, tempat kerja maupun fasilitas pelayanan kesehatan perorangan tingkat pertama baik Puskesmas dan jaringannya, dokter keluarga dan dokter gigi keluarga serta fasilitas kesehatan lainnya milik Pemerintah, Pemerintah Daerah, Pemerintah Kabupaten/Kota, masyarakat maupun swasta. Hal ini dilaksanakan dengan dukungan pelayanan kesehatan perorangan tingkat kedua dan ketiga dalam sistem rujukan yang timbal balik.

(5) Pelayanan kesehatan diselenggarakan berdasarkan norma, standar, prosedur dan kriteria pelayanan dengan memperhatikan masukan dari organisasi profesi kesehatan dan masyarakat.

(6) Penyelenggaraan upaya kesehatan masyarakat mendukung upaya kesehatan berbasis masyarakat.

20

(7) Penyelenggaraan upaya kesehatan masyarakat menjadi tanggungjawab Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yang pelaksanaan operasionalnya dapat didelegasikan kepada Puskesmas. Masyarakat termasuk swasta dapat menyelenggarakan pelayanan kesehatan masyarakat sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan dan dapat berkerjasama dengan Pemerintah Daerah.

(8) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melaksanakan pelayanan kesehatan masyarakat yang berhubungan dengan prioritas pembangunan melalui kegiatan perbaikan lingkungan, peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit dan kematian serta paliatif. Pelaksanaan pelayanan kesehatan masyarakat tingkat pertama didukung upaya kesehatan penunjang seperti: surveilans, pencatatan dan pelaporan.

(9) Upaya revitalisasi Puskesmas, dilakukan dengan memvitalkan kembali upaya-upaya preventif, promotif, kuratif dan rehabilitatif Puskesmas serta upaya pemberdayaan masyarakat hidup sehat secara mandiri, dengan menggerakkan dan mengefektifkan kembali basic six Puskesmas (Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 218 Tahun 2004 ).

(10) Revitalisasi Puskesmas Pembantu dan revitalisasi Puskesmas Keliling, disamping memberi pengobatan, mengutamakan upaya perbaikan PHBS, dengan mengintensifkan upaya penyuluhan kesehatan dan pendidikan kesehatan masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Pembantu dan di lokasi kunjungan Puskesmas Keliling. Pengembangan klinik kesehatan desa, untuk desa-desa terpencil yang mengutamakan basic six Puskesmas pada masyarakat desa, pengembangan “wilayah binaan“ bagi balai pengobatan, DPS, BPS dan rumah bersalin, untuk membina masyarakat, lingkungannya dalam berperilaku hidup bersih dan sehat.

(11) Pembinaan langsung ke Puskesmas oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, agar basic six terlaksana secara efektif dan efisien untuk mencapai kinerja yang lebih baik. Pembinaan dan monitoring pelaksanaan upaya preventif, promotif di Kabupaten/Kota, dan Puskesmas agar pencapaian kinerja Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan Puskesmas terpenuhi sesuai dengan rencana pencapaiannya. Penggalangan kemitraan dan keterpaduan OPD serta stakeholder lainnya, untuk mewujudkan kesadaran, kemauan dan kemampuan masyarakat makin berperilaku hidup bersih dan sehat.

(12) Penyelenggaraan pelayanan kesehatan masyarakat tingkat kedua menjadi tanggungjawab Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan/atau Dinas sebagai fungsi teknisnya, yakni melaksanakan upaya kesehatan masyarakat yang tidak sanggup atau tidak memadai dilakukan di tingkat puskesmas.

(13) Dalam penanggulangan penyakit menular, yang tidak terbatas pada batas administrasi pemerintahan (lintas Kabupaten/Kota), maka tingkat yang lebih tinggi (lintas provinsi) yang harus menanganinya.

(14) Pelaksanaan upaya kesehatan masyarakat tingkat ketiga menjadi tanggung jawab Dinas dan Kementerian Kesehatan yang didukung dengan kerja sama lintas sektor.

(15) Dinas dan Kementerian Kesehatan dalam fungsi teknisnya, melaksanakan upaya kesehatan masyarakat dalam bentuk upaya rujukan dari upaya kesehatan tingkat kedua.

(16) Institusi kesehatan masyarakat tertentu secara nasional dapat dikembangkan untuk menampung perkembangan pelayanan kesehatan masyarakat.

21

b) Peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit

(1) Peningkatan kesehatan merupakan segala bentuk upaya yang dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, Pemerintah Kabupaten/Kota dan/atau masyarakat untuk mengoptimalkan kesehatan melalui kegiatan penyuluhan, penyebarluasan informasi, atau kegiatan lain untuk menunjang tercapainya hidup sehat.

(2) Pencegahan penyakit merupakan segala bentuk upaya yang dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, Pemerintah Kabupaten/Kota dan/atau masyarakat untuk menghindari atau mengurangi risiko, masalah, dan dampak buruk akibat penyakit.

(3) Pemerintah, Pemerintah Daerah, Pemerintah Kabupaten/Kota harus menjamin ketersediaan fasilitas untuk kelangsungan upaya peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit.

c) Penyakit menular dan tidak menular

(1) Untuk melindungi masyarakat dari tertularnya penyakit, menurunkan jumlah kesakitan, cacat, dan/atau meninggal dunia serta untuk mengurangi dampak ekonomi akibat penyakit menular, Pemerintah Daerah wajib melaksanakan upaya pencegahan, pengendalian dan pemberantasan penyakit menular serta akibat yang ditimbulkannya.

(2) Upaya pencegahan, pengendalian, dan penanganan penyakit menular dilakukan melalui kegiatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif bagi individu atau masyarakat.

(3) Upaya pencegahan, pengendalian dan pemberantasan penyakit menular serta akibat yang ditimbulkannya dilaksanakan dengan berbasis kewilayahan dan dilakukan dengan melalui lintas sektor serta pihak lain.

(4) Pemerintah Daerah secara berkala menetapkan dan mengumumkan jenis dan persebaran penyakit yang berpotensi menular dan/atau menyebar dalam waktu yang singkat, serta menyebutkan daerah yang dapat menjadi sumber penularan di Daerah.

(5) Pemerintah Daerah melakukan surveilans terhadap penyakit menular skala provinsi dan dalam melaksanakan surveilans dapat melakukan kerjasama dengan masyarakat dan pihak lain serta provinsi lain.

(6) Pemerintah Daerah secara berkala menetapkan dan mengumumkan jenis dan persebaran penyakit yang berpotensi menular dan/atau menyebar dalam waktu yang singkat, serta menyebutkan daerah yang dapat menjadi sumber penularan.

(7) Pemerintah Daerah menetapkan jenis penyakit yang memerlukan karantina, tempat karantina, dan lama karantina.

(8) Pemerintah Daerah dalam menetapkan dan mengumumkan jenis dan persebaran penyakit yang berpotensi menular dan/atau menyebar dalam waktu singkat dan pelaksanaan surveilans serta menetapkan jenis penyakit yang memerlukan karantina, tempat karantina, dan lama karantina berpedoman pada ketentuan yang berlaku.

(9) Pemerintah, Pemerintah Daerah, Pemerintah Kabupaten/Kota dan/atau masyarakat melakukan upaya penanggulangan keadaan wabah, letusan, atau kejadian luar biasa.

(10) Penentuan wilayah dalam keadaan wabah, letusan, atau kejadian luar biasa dan upaya penanggulangan dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

22

(11) Pencegahan penularan penyakit menular wajib dilakukan oleh masyarakat, termasuk penderita penyakit menular melalui PHBS.

(12) Dalam pelaksanaan penanggulangan penyakit menular, tenaga kesehatan yang berwenang dapat memeriksa tempat-tempat yang dicurigai sebagai tempat berkembangnya vektor dan sumber penyakit lain.

(13) Pemerintah, Pemerintah Daerah, Pemerintah Kabupaten/Kota dan/atau masyarakat melakukan upaya pencegahan, pengendalian, dan penanganan penyakit tidak menular beserta akibat yang ditimbulkannya, untuk meningkatkan pengetahuan, kesadaran, kemauan berperilaku sehat dan mencegah terjadinya penyakit tidak menular beserta akibat yang ditimbulkan.

(14) Upaya pencegahan, pengendalian, dan penanganan penyakit tidak menular dilakukan melalui kegiatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif bagi individu atau masyarakat.

(15) Pengendalian penyakit tidak menular dilakukan dengan pendekatan surveilans faktor risiko, registri penyakit, dan surveilans kematian. Kegiatan tersebut bertujuan memperoleh informasi yang esensial serta dapat digunakan untuk pengambilan keputusan dalam upaya pengendalian penyakit tidak menular serta dilakukan melalui kerjasama lintas sektor dan dengan membentuk jejaring.

(16) Pemerintah Daerah bersama masyarakat bertanggungjawab untuk melakukan komunikasi, informasi, dan edukasi yang benar tentang faktor risiko penyakit tidak menular yang mencakup seluruh fase kehidupan, antara lain meliputi diet tidak seimbang, kurang aktivitas fisik, merokok, mengkonsumsi alkohol, dan perilaku berlalulintas yang tidak benar.

(17) Manajemen pelayanan kesehatan penyakit tidak menular meliputi keseluruhan spektrum pelayanan baik promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif, dan dikelola secara profesional sehingga pelayanan kesehatan penyakit tidak menular tersedia, dapat diterima, mudah dicapai, berkualitas dan terjangkau oleh masyarakat serta dititikberatkan pada deteksi dini dan pengobatan penyakit tidak menular.

d) Kesehatan lingkungan

(1) Upaya kesehatan lingkungan ditujukan untuk mewujudkan kualitas lingkungan yang sehat, baik fisik, kimia, biologi, maupun social, yang memungkinkan setiap orang mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.

(2) Pemerintah Daerah dan masyarakat menjamin ketersediaan lingkungan yang sehat dan tidak mempunyai risiko buruk bagi kesehatan, mencakup lingkungan permukiman, tempat kerja, tempat rekreasi, serta tempat dan fasilitas umum, yang bebas dari unsur-unsur yang menimbulkan gangguan kesehatan, antara lain:

- limbah cair;

- limbah padat;

- limbah gas;

- sampah yang tidak diproses sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah;

- binatang pembawa penyakit;

- zat kimia yang berbahaya;

- kebisingan yang melebihi ambang batas;

23

- radiasi sinar pengion dan non pengion;

- air yang tercemar;

- udara yang tercemar; dan

- makanan yang terkontaminasi.

(3) Ketentuan mengenai standar baku mutu kesehatan lingkungan dan proses pengolahan limbah mengacu pada Peraturan Pemerintah.

e) Penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan

(1) Penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan diselenggarakan untuk mengembalikan status kesehatan, mengembalikan fungsi tubuh akibat penyakit dan/atau akibat cacat, atau menghilangkan cacat.

(2) Penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dilakukan dengan pengendalian, pengobatan, dan/atau perawatan.

(3) Pelaksanaan pengobatan dan/atau perawatan berdasarkan ilmu kedokteran atau ilmu keperawatan hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan.

f) Kesehatan reproduksi

(1) Kesehatan reproduksi merupakan keadaan sehat secara fisik, mental, dan sosial secara utuh, tidak semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan yang berkaitan dengan sistem, fungsi, dan proses reproduksi pada laki-laki dan perempuan.

(2) Kesehatan meliputi: saat sebelum hamil, hamil, melahirkan, dan sesudah melahirkan; pengaturan kehamilan, alat konstrasepsi, dan kesehatan seksual; dan kesehatan sistem reproduksi.

(3) Kegiatan upaya kesehatan reproduksi dilaksanakan melalui kegiatan dengan pendekatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif untuk menjamin bahwa setiap orang berhak menjalani kehidupan reproduksi dan kehidupan seksual yang sehat, aman, serta bebas dari paksaan dan/atau kekerasan dengan pasangan yang sah, menentukan kehidupan reproduksinya dan bebas dari diskriminasi, paksaan, dan/atau kekerasan yang menghormati nilai-nilai luhur yang tidak merendahkan martabat manusia sesuai dengan norma agama, menentukan sendiri kapan dan berapa sering ingin bereproduksi sehat secara medis serta tidak bertentangan dengan norma agama, memperoleh informasi, edukasi, dan konseling mengenai kesehatan reproduksi yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan.

(4) Pemerintah Daerah wajib menjamin ketersediaan sarana informasi dan sarana pelayanan kesehatan reproduksi yang aman, bermutu, dan terjangkau masyarakat, termasuk keluarga berencana.

(5) Setiap pelayanan kesehatan reproduksi yang bersifat promotif, preventif, kuratif, dan/atau rehabilitatif, termasuk reproduksi dengan bantuan dilakukan secara aman dan sehat, dengan memperhatikan aspek-aspek yang khas, khususnya reproduksi perempuan.

(6) Pelaksanaan pelayanan kesehatan reproduksi dilakukan dengan tidak bertentangan dengan nilai agama dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(7) Pemerintah Daerah wajib melindungi dan mencegah perempuan dari aborsi yang tidak bermutu, tidak aman, dan tidak bertanggungjawab serta bertentangan dengan norma agama dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

24

g) Kesehatan ibu dan anak

(1) Pemerintah Daerah harus mengutamakan upaya kesehatan ibu yang ditujukan untuk menjaga kesehatan ibu, sehingga mampu melahirkan generasi yang sehat dan berkualitas serta mengurangi angka kematian ibu.

(2) Pemerintah Daerah harus mengutamakan upaya pemeliharaan kesehatan anak yang dilakukan sejak anak masih dalam kandungan, dilahirkan, setelah dilahirkan, dan sampai berusia 18 (delapan belas) tahun.

(3) Upaya pemeliharaan kesehatan bayi dan anak menjadi tanggungjawab dan kewajiban bersama bagi orang tua, keluarga, masyarakat, dan Pemerintah, dan Pemerintah Daerah.

(4) Pemerintah Daerah harus mengupayakan agar anak yang dilahirkan wajib dibesarkan dan diasuh secara bertanggungjawab sehingga memungkinkan anak tumbuh dan berkembang secara sehat dan optimal sesuai ketentuan.

(5) Pemerintah Daerah harus mengupayakan agar setiap anak berhak memperoleh imunisasi dasar sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan untuk mencegah terjadinya penyakit yang dapat dihindari melalui imunisasi sesuai ketentuan.

(6) Pemerintah Daerah harus mengupayakan agar setiap bayi dan anak berhak terlindungi dan terhindar dari segala bentuk diskriminasi dan tindak kekerasan yang dapat mengganggu kesehatan.

(7) Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat berkewajiban untuk menjamin terselenggaranya perlindungan bayi dan anak serta menyediakan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan.

(8) Pemerintah Daerah menetapkan harmonisasi standar dan/atau kriteria terhadap kesehatan bayi dan anak serta menjamin pelaksanaannya dan memudahkan setiap penyelenggaraan terhadap standar dan kriteria yang diselenggarakan sesuai dengan pertimbangan moral, nilai agama, dan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

h) Kesehatan remaja

(1) Pemerintah Daerah melaksanakan upaya pemeliharaan kesehatan remaja yang ditujukan untuk mempersiapkan menjadi orang dewasa yang sehat dan produktif, baik sosial maupun ekonomi, termasuk untuk reproduksi remaja, agar terbebas dari berbagai gangguan.

(2) kesehatan yang dapat menghambat kemampuan menjalani kehidupan reproduksi secara sehat.

(3) Upaya pemeliharaan kesehatan remaja dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat.

(4) Pemerintah Daerah berkewajiban menjamin agar remaja dapat memperoleh edukasi, informasi, dan layanan mengenai kesehatan remaja agar mampu hidup sehat dan bertanggungjawab sesuai dengan pertimbangan moral nilai agama dan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

i) Kesehatan Usia Lanjut dan Penyandang Cacat

(1) Pemerintah daerah melaksanakan Upaya pemeliharaan kesehatan bagi lanjut usia yang ditujukan untuk menjaga agar tetap hidup sehat dan

(2) produktif secara sosial maupun ekonomis sesuai dengan martabat kemanusiaan.

25

(3) Pemerintah wajib menjamin ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan yang ramah usia lanjut dan memfasilitasi kelompok lanjut usia untuk dapat tetap hidup mandiri dan produktif secara sosial dan ekonomis.

(4) Pemerintah daerah melaksanakan Upaya pemeliharaan kesehatan penyandang cacat yang ditujukan untuk menjaga agar tetap hidup sehat dan produktif secara sosial, ekonomis, dan bermartabat, dan Pemerintah wajib menjamin ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan yang ramah penyandang cacat dan memfasilitasi penyandang cacat untuk dapat tetap hidup mandiri dan produktif secara sosial dan ekonomis.

(5) Upaya pemeliharaan kesehatan bagi lanjut usia dan penyandang cacat dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.

j) Perbaikan Gizi :

(1) Pemerintah Daerah melaksanakan Upaya perbaikan gizi masyarakat yang ditujukan untuk peningkatan mutu gizi perseorangan dan masyarakat yang dilakukan melalui : perbaikan pola konsumsi makanan yang sesuai dengan gizi seimbang; perbaikan perilaku sadar gizi, aktivitas fisik dan kesehatan; peningkatan akses dan mutu pelayanan gizi yang sesuai dengan kemajuan ilmu dan teknologi; dan peningkatan sistem kewaspadaan pangan dan gizi.

(2) Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat bersama-sama menjamin tersedianya bahan makanan yang mempunyai nilai gizi yang tinggi secara merata dan terjangkau.

(3) Pemerintah Daerah berkewajiban menjaga agar bahan makanan memenuhi standar mutu gizi yang ditetapkan dengan kententuan peraturan perundang-undangan.

(4) Penyediaan bahan makanan dilakukan secara lintas sektor dan antarprovinsi, antarkabupaten atau antarkota.

(5) Upaya perbaikan gizi dilakukan pada seluruh siklus kehidupan sejak dalam kandungan sampai dengan lanjut usia dengan prioritas kepada kelompok rawan yaitu : bayi dan balita; remaja perempuan; dan ibu hamil dan menyusui.

(6) Pemerintah Daerah melaksanakan harmonisasi standar angka kecukupan gizi, standar pelayanan gizi, dan standar tenaga gizi pada berbagai tingkat pelayanan.

(7) Pemerintah Daerah bertanggungjawab atas pemenuhan kecukupan gizi pada keluarga miskin dan dalam situasi darurat.

(8) Pemerintah Daerah bertanggungjawab terhadap pendidikan dan informasi yang benar tentang gizi kepada masyarakat.

(9) Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat melakukan upaya untuk mencapai status gizi yang baik.

(10) Pemerintah Daerah bertanggungjawab meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya gizi dan pengaruhnya terhadap peningkatan status gizi.

k) Kesehatan Jiwa

(1) Pemerintah Daerah melaksanakan upaya kesehatan jiwa yang ditujukan untuk menjamin setiap orang dapat menikmati kehidupan kejiwaan yang sehat, bebas dari ketakutan, tekanan, dan gangguan lain yang dapat mengganggu kesehatan jiwa.

26

(2) Upaya kesehatan jiwa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas preventif, promotif, kuratif, rehabilitatif pasien gangguan jiwa dan masalah psikososial, yang menjadi tanggungjawab bersama Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat.

(3) Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat bertanggungjawab menciptakan kondisi kesehatan jiwa yang setinggi-tingginya dan menjamin ketersediaan, aksesibilitas, mutu dan pemerataan upaya kesehatan jiwa.

(4) Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban untuk mengembangkan upaya kesehatan jiwa berbasis masyarakat sebagai bagian dari upaya kesehatan jiwa keseluruhan, termasuk mempermudah akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan jiwa.

(5) Pemerintah, Pemerintah Daerah dan masyarakat menjamin upaya kesehatan jiwa secara preventif, promotif, kuratif, dan rehabilitatif, termasuk menjamin upaya kesehatan jiwa di tempat kerja.

(6) Masyarakat berhak mendapatkan informasi dan edukasi yang benar mengenai kesehatan jiwa dan hak sebagaimana dimaksud ditujukan untuk menghindari pelanggaran hak asasi seseorang yang dianggap mengalami gangguan kesehatan jiwa.

(7) Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban menyediakan layanan informasi dan edukasi tentang kesehatan jiwa.

(8) Upaya penyembuhan penderita gangguan kesehatan jiwa merupakan tanggungjawab Pemerintah, Pemerintah Daerah dan masyarakat, yang dilakukan oleh tenaga kesehatan yang berwenang dan di tempat yang tepat dengan tetap menghormati hak asasi penderita, yaitu tempat untuk merawat penderita gangguan kesehatan jiwa pada fasilitas pelayanan kesehatan khusus yang memenuhi syarat, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

(9) Penderita gangguan jiwa mempunyai hak yang sama sebagai warga negara, meliputi persamaan perlakuan dalam setiap aspek kehidupan,kecuali peraturan perundang-undangan menyatakan lain.

(10) Penderita gangguan jiwa yang terlantar, menggelandang, mengancam keselamatan dirinya dan/atau orang lain, dan/atau mengganggu ketertiban dan/atau keamanan umum, wajib mendapatkan pengobatan dan perawatan di fasilitas pelayanan kesehatan.

(11) Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat wajib melakukan pengobatan dan perawatan di fasilitas pelayanan kesehatan bagi penderita gangguan jiwa yang terlantar, menggelandang, mengancam keselamatan dirinya dan/atau orang lain, dan/atau mengganggu ketertiban dan/atau keamanan umum.

(12) Pemeriksaan kesehatan jiwa untuk kepentingan penegakan hukum (visum et repertum psikiatricum) hanya dapat dilakukan oleh dokter spesialis kedokteran jiwa pada fasilitas pelayanan kesehatan.

(13) Penetapan status kecakapan hukum seseorang yang diduga mengalami gangguan kesehatan jiwa dilakukan oleh tim dokter yang mempunyai keahlian dan kompetensi sesuai dengan standar profesi sesuai ketentuan preundang-undangan.

l) Keluarga berencana

(1) Pelayanan kesehatan dalam keluarga berencana dimaksudkan untuk mengatur kehamilan bagi pasangan usia subur untuk membentuk generasi penerus yang sehat dan cerdas.

27

(2) Pemerintah Daerah bertanggungjawab dan menjamin ketersediaan tenaga, fasilitas pelayanan, alat dan obat dalam memberikan pelayanan keluarga berencana yang aman, bermutu, dan terjangkau oleh masyarakat.

m) Kesehatan sekolah

(1) Kesehatan sekolah diselenggarakan untuk meningkatkan kemampuan hidup sehat peserta didik dalam lingkungan hidup sehat sehingga peserta didik dapat belajar, tumbuh, dan berkembang secara harmonis dan menjadi sumberdaya manusia yang berkualitas.

(2) Kesehatan sekolah diselenggarakan melalui sekolah formal dan informal atau melalui lembaga pendidikan lain.

n) Kesehatan Olahraga

(1) Upaya kesehatan olahraga ditujukan untuk meningkatkan derajat kesehatan dan kebugaran jasmani masyarakat, yang merupakan upaya dasar dalam meningkatkan prestasi belajar, kerja, dan olahraga.

(2) Upaya kesehatan olahraga dilaksanakan melalui aktivitas fisik, latihan fisik, dan/atau olahraga dan lebih mengutamakan pendekatan preventif dan promotif, tanpa mengabaikan pendekatan kuratif dan rehabilitatif, yang serta diselenggarakan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat.

o) Pelayanan kesehatan pada bencana

(1) Pada saat bencana, Pemerintah, Pemerintah Daerah, Pemerintah Kabupaten/Kota dan masyarakat wajib dan bertanggungjawab atas ketersediaan sumberdaya, fasilitas dan pelaksanaan pelayanan kesehatan secara menyeluruh dan berkesinambungan, meliputi pelayanan kesehatan pada tanggap darurat dan pascabencana.

(2) Pelayanan kesehatan mencakup pelayanan kegawatdaruratan yang bertujuan untuk menyelamatkan nyawa dan mencegah kecacatan lebih lanjut.

(3) Setiap orang yang memberikan pelayanan kesehatan pada bencana harus ditujukan untuk penyelamatan nyawa, pencegahan kecacatan lebih lanjut, dan kepentingan terbaik bagi pasien. Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin perlindungan hukum bagi setiap orang sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.

(4) Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, pemerintah maupun swasta wajib memberikan pelayanan kesehatan pada bencana bagi penyelamatan nyawa pasien dan pencegahan kecacatan.

Fasilitas pelayanan kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan pada bencana dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka terlebih dahulu.

(5) Pemerintah Daerah membentuk sistem penanggulangan bencana di Daerah dengan melibatkan lintas sektor terkait.

p) Pelayanan darah

(1) Pelayanan darah merupakan upaya pelayanan kesehatan yang memanfaatkan darah manusia sebagai bahan dasar dengan tujuan kemanusiaan dan tidak untuk tujuan komersial.

28

(2) Darah diperoleh dari pendonor darah sukarela yang sehat dan memenuhi kriteria seleksi pendonor dengan mengutamakan kesehatan pendonor, dimana darah yang diperoleh dari pendonor darah sukarela sebelum digunakan untuk pelayanan darah, harus dilakukan pemeriksaan laboratorium guna mencegah penularan penyakit.

(3) Penyelenggaraan donor darah dan pengolahan darah dilakukan oleh Unit Transfusi Darah, Pemerintah Daerah, dan/atau organisasi sosial yang tugas pokok dan fungsinya di bidang kepalangmerahan.

(4) Pelayanan transfusi darah meliputi perencanaan, pengerahan pendonor darah, penyediaan, pendistribusian darah, dan tindakan medis pemberian darah kepada pasien untuk tujuan penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan.

(5) Pelaksanaan pelayanan transfusi darah dilakukan dengan menjaga keselamatan dan kesehatan penerima darah dan tenaga kesehatan dari penularan penyakit melalui transfusi darah.

(6) Gubernur mengatur standar dan persyaratan pengelolaan darah untuk pelayanan transfusi darah.

(7) Pemerintah Daerah bertanggungjawab atas pelaksanaan pelayanan darah yang aman, mudah diakses, dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Untuk kemudahan akses terhadap pelayanan darah, Pemerintah Kabupaten/Kota mengembangkan kelompok donor darah desa melalui pengembangan Desa/RW Siaga.

(8) Komponen darah dapat digunakan untuk tujuan penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan melalui proses pengolahan dan produksi. Hasil proses pengolahan dan produksi dikendalikan oleh Pemerintah Daerah.

q) kesehatan gigi dan mulut

(1) Pelayanan kesehatan gigi dan mulut dilakukan untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk peningkatan kesehatan gigi, pencegahan penyakit gigi, pengobatan penyakit gigi, dan pemulihan kesehatan gigi oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat yang dilakukan secara terpadu, terintegrasi dan berkesinambungan.

(2) Kesehatan gigi dan mulut dilaksanakan melalui pelayanan kesehatan gigi perseorangan, pelayanan kesehatan gigi masyarakat, dan usaha kesehatan gigi sekolah.

(3) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin ketersediaan tenaga, fasilitas pelayanan, alat dan obat kesehatan gigi dan mulut dalam rangka memberikan pelayanan kesehatan gigi dan mulut yang aman, bermutu, dan terjangkau oleh masyarakat.

r) Gangguan pengelihatan dan pendengaran

(1) Penanggulangan gangguan penglihatan dan pendengaran merupakan seluruh kegiatan yang dilakukan meliputi pelayanan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang ditujukan untuk meningkatkan derajat kesehatan indera penglihatan masyarakat.

(2) Penyelenggaraan kegiatan kesehatan mata menjadi tanggungjawab bersama Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat.

29

(3) Daerah wajib melaksanakan penanggulangan gangguan penglihatan dan pendengaran melalui kemitraan dengan RS Mata Cicendo sebagai Rujukan Pelayanan Kesehatan Mata Nasional untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan mata di Jawa Barat.

s) Kesehatan Matra

(1) Kesehatan matra sebagai bentuk khusus upaya kesehatan diselenggarakan untuk mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya dalam lingkungan matra yang serba berubah di lingkungan darat, laut, dan udara.

(2) Kesehatan matra meliputi kesehatan lapangan, kesehatan kelautan dan bawah air, serta kesehatan kedirgantaraan.

(3) Penyelenggaraan kesehatan matra harus dilaksanakan sesuai dengan standar.

t) Kesehatan kerja

(1) Upaya kesehatan kerja ditujukan untuk melindungi pekerja agar hidup sehat dan terbebas dari gangguan kesehatan serta pengaruh buruk yang diakibatkan oleh pekerjaan, meliputi pekerja di sektor formal dan informal.

(2) Upaya kesehatan kerja berlaku bagi setiap orang selain pekerja yang berada di lingkungan tempat kerja, lingkungan Tentara Nasional Indonesia baik darat, laut, maupun udara serta Kepolisian Republik Indonesia.

(3) Pemerintah menetapkan standar kesehatan kerja, dan pengelola tempat kerja wajib menaati standar kesehatan kerja, menjamin lingkungan kerja yang sehat serta bertanggungjawab atas terjadinya kecelakaan kerja yang terjadi di lingkungan kerja, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

(4) Pengelola tempat kerja wajib melakukan segala bentuk upaya kesehatan melalui upaya pencegahan, peningkatan, pengobatan dan pemulihan bagi tenaga kerja.

(5) Pemerintah Daerah meningkatkan Balai Kesehatan Kerja Masyarakat Provinsi Jawa Barat sebagai pusat rujukan pelayanan kesehatan kerja masyarakat di Jawa Barat dan koordinator upaya dan pelayanan kesehatan kerja masyarakat di Jawa Barat.

(6) Pekerja wajib menciptakan dan menjaga kesehatan tempat kerja yang sehat dan menaati peraturan yang berlaku di tempat kerja.

(7) Dalam penyeleksian pemilihan calon pegawai pada perusahaan/instansi, hasil pemeriksaan kesehatan secara fisik dan mental digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan dan dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

(8) Majikan atau pengusaha wajib menjamin kesehatan pekerja melalui upaya pencegahan, peningkatan, pengobatan dan pemulihan serta wajib menanggung seluruh biaya pemeliharaan kesehatan pekerja, dan gangguan kesehatan akibat kerja yang diderita oleh pekerja sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan dan Pemerintah daerah memberikan dorongan dan bantuan untuk perlindungan pekerja.

u) Bedah mayat

(1) Mayat yang tidak dikenal harus dilakukan upaya identifikasi. Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat bertanggungjawab atas upaya identifikasi.

(2) Untuk kepentingan penegakan hukum, dapat dilakukan bedah mayat forensik sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

30

(3) Bedah mayat forensik pada dilakukan oleh dokter ahli forensik, atau oleh dokter lain, dalam hal tidak ada dokter ahli forensik dan perujukan ke tempat yang ada dokter ahli forensiknya tidak dimungkinkan.

(4) Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggungjawab atas tersedianya pelayanan bedah mayat forensik di wilayahnya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

(5) Pada tubuh yang telah terbukti mati batang otaknya, dapat dilakukan tindakan pemanfaatan organ sebagai donor untuk kepentingan transplantasi organ, dengan ketentuan pelaksanaan tindakan harus memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan.

(6) Tindakan bedah mayat oleh tenaga kesehatan harus dilakukan sesuai dengan norma agama, norma kesusilaan, dan etika profesi.

5) Upaya kesehatan diselenggarakan secara berkesinambungan, terpadu, dan paripurna melalui sistem rujukan.

6) Rujukan upaya kesehatan adalah pelimpahan wewenang dan tanggungjawab secara timbal balik baik horisontal maupun vertikal terhadap kasus penyakit atau masalah penyakit atau permasalahan kesehatan. Rujukan dibagi dalam rujukan upaya kesehatan perorangan dan masyarakat. Rujukan upaya kesehatan perorangan terdiri dari rujukan kasus yang berkaitan dengan diagnosa, terapi dan tindakan medik berupa pengiriman pasien, rujukan bahan pemeriksaan spesimen untuk pemeriksaan laboratorium dan rujukan ilmu pengetahuan tentang penyakit; sedangkan rujukan upaya kesehatan masyarakat terdiri dari rujukan sarana dan logistik, rujukan tenaga dan rujukan operasional.

7) Rujukan upaya kesehatan perseorangan diselenggarakan dengan pendekatan kewilayahan, diutamakan untuk kemudahan akses terhadap pelayanan medik dasar dan/atau spesialistik serta subspesialistik. Bentuk penyelenggaraannya diatur lebih lanjut dalam operasionalisasi penyelenggaraan upaya kesehatan. Penyelenggaraan upaya kesehatan dilaksanakan oleh sarana prasarana kesehatan dengan menggunakan prinsip efisien dan efektif, seperti kasus yang bisa ditangani di tingkat Puskesmas Dengan Tempat Perawatan tidak dirujuk ke Rumah Sakit tipe C.

b. Sumberdaya

1) Upaya Kesehatan dilaksanakan dengan didukung oleh sumberdaya berupa sumberdaya manusia/tenaga kesehatan, biaya, sarana dan prasarana, sediaan farmasi dan alat kesehatan, serta sistem informasi kesehatan yang memadai, guna terselenggaranya upaya kesehatan.

2) Sumberdaya manusia/tenaga kesehatan :

a) Pelayanan kesehatan diselenggarakan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai kompetensi yang ditetapkan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

b) Penyelenggara fasilitas pelayanan kesehatan dilarang mempekerjakan tenaga kesehatan yang tidak memiliki kualifikasi dan izin melakukan pekerjaan profesi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

c) Setiap pimpinan penyelenggaraan Fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat harus memiliki kompetensi manajemen kesehatan masyarakat yang dibutuhkan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

d) Setiap pimpinan penyelenggaraan fasilitas pelayanan kesehatan perseorangan harus memiliki kompetensi manajemen kesehatan perseorangan yang dibutuhkan.

31

3) Biaya upaya kesehatan :

a) Pembiayaan pelayanan kesehatan perorangan tingkat pertama, kedua dan ketiga untuk kelompok miskin dibiayai oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah, sedangkan golongan ekonomi lainnya dibiayai dalam sistem pembiayaan yang diatur oleh Pemerintah.

b) Pembiayaan kegiatan pelayanan kesehatan masyarakat ditanggung oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah bersama dengan masyarakat. Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib membiayai pelayanan kesehatan masyarakat yang ditujukan untuk menangani masalah kesehatan masyarakat yang menjadi prioritas pembangunan.

c) Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin pembiayaan pelayanan kesehatan pada saat bencana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), atau bantuan masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

d) Pemerintah Daerah menjamin pembiayaan dalam penyelenggaraan pelayanan darah, darah dilarang diperjualbelikan dengan dalih apapun.

e) Biaya pemeriksaan kesehatan terhadap korban tindak pidana dan/atau pemeriksaan mayat untuk kepentingan hukum, ditanggung oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah melalui APBN dan APBD

f) Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggungjawab atas pemerataan penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan jiwa dengan melibatkan peranserta aktif masyarakat, termasuk pembiayaan pengobatan dan perawatan penderita gangguan jiwa untuk masyarakat miskin.

4) Fasilitas pelayanan kesehatan :

a) Fasilitas pelayanan kesehatan, menurut jenis pelayanannya terdiri atas:

(1) pelayanan kesehatan perseorangan; dan

(2) pelayanan kesehatan masyarakat.

b) Fasilitas pelayanan kesehatan meliputi :

(1) pelayanan kesehatan tingkat pertama;

(2) pelayanan kesehatan tingkat kedua; dan

(3) pelayanan kesehatan tingkat ketiga.

c) Fasilitas pelayanan kesehatan Pemerintah dan swasta dalam keadaan darurat wajib memberikan pelayanan kesehatan bagi penyelamatan nyawa pasien dan pencegahan kecacatan terlebih dahulu, dan dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka.

d) Pemerintah Daerah dapat menentukan jumlah dan jenis fasilitas pelayanan kesehatan serta pemberian izin beroperasi di Daerah, dengan ketentuan jumlah dan jenis fasilitas pelayanan kesehatan dilakukan oleh Pemerintah Daerah dengan mempertimbangkan:

(1) luas wilayah;

(2) kebutuhan kesehatan;

(3) jumlah dan persebaran penduduk;

(4) pola penyakit;

(5) pemanfaatannya;

(6) fungsi sosial; dan

(7) kemampuan dalam memanfaatkan teknologi.

32

e) Ketentuan mengenai jumlah dan jenis fasilitas pelayanan kesehatan serta pemberian izin beroperasi berlaku pula untuk fasilitas pelayanan kesehatan asing, dengan ketentuan tidak berlaku untuk jenis rumah sakit khusus karantina, penelitian, dan asilum.

f) Fasilitas pelayanan kesehatan perorangan tingkat pertama didukung oleh fasilitas kesehatan penunjang, antara lain: apotik, optik, laboratorium dan lain sebagainya, yang memenuhi standar yang telah ditetapkan. Hal ini dapat diselenggarakan sebagai pelayanan yang bergerak (ambulatory) atau menetap, dapat dikaitkan dengan tempat kerja seperti: klinik perusahaan, dapat disesuaikan dengan lingkungan atau kondisi tertentu (kesehatan matra seperti kesehatan haji, kesehatan kelautan, kesehatan penerbangan dan kesehatan wisata).

g) Pemerintah Daerah wajib menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan perorangan tingkat pertama di seluruh wilayah Jawa Barat sesuai kebutuhan, terutama bagi orang miskin, daerah terpencil, perbatasan, serta yang tidak diminati swasta.

h) Dalam pengertian fasilitas pelayanan kesehatan perorangan, termasuk pelayanan kesehatan berbasis masyarakat dalam bentuk Pos Kesehatan Desa (Poskesdes), pengobatan tradisional serta pengobatan alternatif yang secara ilmiah telah terbukti terjamin keamanan dan khasiatnya.

i) Pengembangan fasilitas pelayanan kesehatan tingkat kedua difokuskan pada pengembangan regional/wilayah sehingga di setiap wilayah terdapat rumah sakit yang dapat menjadi pusat rujukan beberapa Kabupaten/Kota.

j) Fasilitas pelayanan kesehatan perseorangan tingkat kedua adalah pelayanan kesehatan spesialistik, menerima rujukan dari fasilitas kesehatan tingkat pertama, yang meliputi rujukan kasus, spesimen dan ilmu pengetahuan. pelayanan kesehatan perorangan kedua dilaksanakan oleh dokter spesialis atau dokter yang sudah mendapatkan pendidikan khusus dan mempunyai izin praktek serta didukung sistem rujukan yang timbal balik.

k) Fasilitas pelayanan kesehatan perorangan tingkat kedua harus memberikan pelayanan kesehatan yang aman, sesuai, efektif, efisien dan berbasis bukti (evidence based medicine) serta didukung penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan.

l) Fasilitas pelayanan kesehatan perorangan tingkat kedua dapat dibantu dengan fasilitas kesehatan penunjang, antara lain: apotik, optik, laboratorium dan lain sebagainya.

m) Fasilitas pelayanan kesehatan perorangan tingkat kedua yang bersifat tradisional dan komplementer, dilaksanakan dengan berafiliasi dengan atau di rumah sakit pendidikan.

n) Fasilitas pelayanan kesehatan perorangan tingkat kedua dapat dijadikan sebagai tempat pendidikan dan pelatihan tenaga kesehatan, sesuai dengan kebutuhan pendidikan dan pelatihan. standar dan peraturan perizinan ditetapkan oleh pemerintah dengan memperhatikan masukan dari pemerintah daerah, organisasi profesi dan masyarakat.

o) Fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat tingkat pertama menerima rujukan kesehatan masyarakat berupa sarana, teknologi dan didukung oleh pelayanan kesehatan masyarakat tingkat kedua.

p) Pemerintah dan Pemerintah Daerah dapat membentuk fasilitas kesehatan yang secara khusus ditugaskan untuk melaksanakan upaya kesehatan masyarakat sesuai kebutuhan.

33

q) Fasilitas kesehatan penyelenggara pelayanan kesehatan masyarakat tingkat kedua dibangun sesuai dengan standar. Fasilitas kesehatan milik pemerintah dan swasta harus mempunyai izin sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan serta dapat bekerjasama dengan unit kerja Pemerintah Daerah seperti: laboratorium kesehatan, balai teknik kesehatan lingkungan, fasilitas kalibrasi peralatan kesehatan dan lain-lain.

r) Fasilitas pelayanan kesehatan perorangan tingkat ketiga menerima rujukan kesehatan perorangan dari pelayanan kesehatan di bawahnya, dan wajib merujuk kembali ke fasilitas kesehatan yang merujuk.

s) Fasilitas pelayanan kesehatan perorangan tingkat ketiga adalah Rumah Sakit Umum Kelas A, Rumah Sakit Khusus setara kelas A dan B, baik milik pemerintah maupun swasta yang mampu memberikan pelayanan kesehatan subspesialistik dan juga termasuk klinik khusus seperti pusat radiotherapy. Pelayanan kesehatan perorangan ketiga didukung dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi sesuai kebutuhan, dan fasilitas kesehatan penunjang, antara lain: apotik, radiologi, optik, laboratorium dan lain sebagainya.

t) Fasilitas kesehatan masyarakat tingkat ketiga menerima rujukan kesehatan masyarakat berupa sarana, teknologi maupun tenaga dari pelayanan kesehatan masyarakat tingkat kedua. Pelaksana upaya kesehatan masyarakat tingkat ketiga adalah Dinas, Unit kerja lain di tingkat provinsi, Kementerian Kesehatan dan unit kerja lain di tingkat nasional.

u) Fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat tingkat ketiga dibangun sesuai standar yang ditetapkan.

v) Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat wajib menyediakan tempat dan sarana lain yang diperlukan untuk bermain anak yang memungkinkan anak tumbuh dan berkembang secara optimal serta mampu bersosialisasi secara sehat. Sarana lain yang diperlukan wajib dilengkapi dengan sarana perlindungan terhadap risiko kesehatan agar tidak membahayakan kesehatan anak.

5) Perbekalan kesehatan :

a) Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin ketersediaan, pemerataan, dan keterjangkauan perbekalan kesehatan, terutama obat esensial. Dalam menjamin ketersediaan obat keadaan darurat, Pemerintah dapat melakukan kebijakan khusus untuk pengadaan dan pemanfaatan obat dan bahan yang berkhasiat obat.

b) Pengelolaan perbekalan kesehatan berupa obat esensial dan alat kesehatan dasar tertentu dilaksanakan dengan memperhatikan kemanfaatan, harga, dan faktor yang berkaitan dengan pemerataan.

c) Pemerintah Daerah mendorong dan mengarahkan pengembangan perbekalan kesehatan dengan memanfaatkan potensi Daerah yang tersedia dan diarahkan terutama untuk obat dan vaksin baru serta bahan alam yang berkhasiat obat, yang dilakukan dengan memperhatikan kelestarian lingkungan hidup, termasuk sumberdaya alam dan sosial budaya.

d) Pemerintah Daerah menyusun daftar dan jenis obat yang secara esensial harus tersedia bagi kepentingan masyarakat. Daftar dan jenis obat ditinjau dan disempurnakan paling lama setiap 2 (dua) tahun sesuai dengan perkembangan kebutuhan dan teknologi.

e) Pemerintah Daerah menjamin agar obat tersedia secara merata dan terjangkau oleh masyarakat.

34

f) Dalam keadaan darurat, Pemerintah Daerah dapat melakukan kebijakan khusus mengenai pengadaan dan pemanfaatan perbekalan kesehatan, dilakukan dengan mengadakan pengecualian terhadap ketentuan paten.

g) Pemerintah Daerah berwenang merencanakan kebutuhan perbekalan kesehatan sesuai dengan kebutuhan Daerah, dengan tetap memperhatikan pengaturan dan pembinaan standar pelayanan yang berlaku secara nasional.

Pemerintah Daerah melaksanakan fasilitasi untuk terjaminnya ketersediaan bahan imunisasi yang aman, bermutu, efektif, terjangkau, dan merata bagi masyarakat untuk upaya pengendalian penyakit menular melalui imunisasi di Daerah.

c. Pembinaan dan pengawasan

1) Pembinaan upaya kesehatan

a) Pembinaan upaya kesehatan ditujukan untuk menjamin terselenggaranya pelayanan kesehatan bermutu. Pelayanan kesehatan harus didukung dengan standar pelayanan yang selalu dikaji dalam periode tertentu sesuai kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kebutuhan. Pemerintah bertanggungjawab terhadap penyusunan standar pelayanan tersebut, dan Pemerintah Daerah menyusun harmonisasi standar pelayanan kesehatan tersebut disesuaikan dengan kondisi dan potensi Jawa Barat.

b) Fasilitas pelayanan kesehatan dilaksanakan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan swasta, dengan ketentuan perizinan fasilitas pelayanan kesehatan ditetapkan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah.

c) Fasilitas pelayanan kesehatan perorangan tingkat ketiga dibangun sesuai dengan standar dan perizinan yang ditetapkan oleh Pemerintah dengan memperhatikan masukan dari Pemerintah Daerah, organisasi profesi kesehatan, akademisi/institusi kesehatan dan masyarakat. Fasilitas pelayanan kesehatan perorangan tingkat ketiga dapat didirikan melalui modal patungan dengan pihak asing, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

d) Setiap orang yang melakukan pelayanan kesehatan tradisional yang menggunakan alat dan teknologi harus mendapat izin dari lembaga kesehatan yang berwenang dan penggunaannya harus dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya serta tidak bertentangan dengan norma agama dan kebudayaan masyarakat.

e) Pengobatan dan/atau perawatan dapat dilakukan berdasarkan ilmu kedokteran dan ilmu keperawatan atau cara lain yang dapat dipertanggungjawabkan kemanfaatan dan keamanannya.

f) Pemerintah Kabupaten/Kota sebagai penanggungjawab penyelenggaraan pembangunan kesehatan di wilayahnya berkewajiban melakukan pembinaan terhadap seluruh fasilitas pelayanan kesehatan termasuk swasta. Seluruh fasilitas pelayanan kesehatan wajib memberikan laporan kegiatannya. Pembinaan upaya kesehatan dilakukan oleh Pemerintah Daerah bersama dengan organisasi profesi kesehatan dan masyarakat termasuk swasta. Swasta dapat melakukan pembinaan upaya kesehatan di lingkup kerjanya masing-masing.

2) Pengawasan upaya kesehatan

a. Pengawasan ditujukan untuk menjamin konsistensi penyelenggaraan upaya kesehatan yang dilakukan secara intensif, baik internal maupun eksternal oleh Pemerintah Daerah, yang juga dapat melibatkan masyarakat dan swasta.

Hasil pengawasan digunakan untuk memberikan perlindungan terhadap masyarakat dan tenaga kesehatan selaku penyelenggara upaya kesehatan.

35

b. Penyelenggaraan pelayanan kesehatan merupakan tanggungjawab Pemerintah dan Pemerintah Daerah serta masyarakat yang dilaksanakan secara bertanggungjawab, aman, bermutu serta merata dan non diskriminatif. Pengawasan terhadap penyelenggaraan pelayanan kesehatan dilaksanakan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah dan masyarakat.

c. Masyarakat diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengembangkan, meningkatkan dan menggunakan pelayanan kesehatan tradisional yang dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya, yang diawasi oleh Pemerintah Daerah.

d. Penyelenggaraan pelayanan kesehatan tradisional dibina dan diawasi oleh Pemerintah Daerah agar terasa manfaatnya dan tidak merugikan masyarakat

e. Pemerintah daerah melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan pengobatan dan/atau perawatan atau dengan cara lain yang dapat dipertanggungjawabkan.

d. Penelitian dan pengembangan

Pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi yang memadai ditujukan untuk meningkatkan mutu upaya kesehatan.

Penyelenggaraan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut, meliputi antara lain:

1) Ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan dihasilkan dari penelitian dan pengembangan kesehatan yang diselenggarakan oleh pusat penelitian dan pengembangan milik Pemerintah, Pemerintah Daerah, swasta dan masyarakat.

2) Pemerintah melaksanakan penelitian data dasar kesehatan, seperti riset kesehatan dasar secara berkala.

3) Pemanfaatan dan penyebarluasan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan diatur oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah dengan dukungan organisasi profesi kesehatan dan institusi pendidikan, yang dilakukan dengan membentuk pusat-pusat penelitian dan pengembangan unggulan, jaringan informasi dan dokumentasi ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan.

4) Fasilitas pelayanan kesehatan berkewajiban untuk memberikan akses yang luas bagi kebutuhan penelitian dan pengembangan di bidang kesehatan; dan mengirimkan laporan hasil penelitian dan pengembangan kepada pemerintah daerah atau Menteri.

5) Pelayanan kesehatan perorangan tingkat ketiga wajib melaksanakan penelitian dan pengembangan dasar maupun terapan dan dapat dijadikan sebagai pusat pendidikan dan pelatihan tenaga kesehatan, sesuai dengan kebutuhan pendidikan dan pelatihan.

6) Untuk kepentingan penelitian dan pengembangan pelayanan kesehatan, dapat dilakukan bedah mayat klinis di rumah sakit, yang ditujukan untuk menegakkan diagnosis dan/atau menyimpulkan penyebab kematian.

7) Bedah mayat klinis dilakukan atas persetujuan tertulis pasien semasa hidupnya atau persetujuan tertulis keluarga terdekat pasien, dan dalam hal pasien diduga meninggal akibat penyakit yang membahayakan masyarakat dan bedah mayat klinis mutlak diperlukan untuk menegakkan diagnosis dan/atau penyebab kematiannya, tidak diperlukan persetujuan.

8) Untuk kepentingan pendidikan di bidang ilmu kedokteran dan biomedik dapat dilakukan bedah mayat anatomis di rumah sakit pendidikan atau di institusi pendidikan kedokteran.

36

Bedah mayat anatomis hanya dapat dilakukan terhadap mayat yang tidak dikenal atau mayat yang tidak diurus oleh keluarganya atas persetujuan tertulis orang tersebut semasa hidupnya atau persetujuan tertulis keluarganya. Mayat harus telah diawetkan, dipublikasikan untuk dicarikan keluarganya, dan disimpan paling kurang 1 (satu) bulan sejak kematiannya sesuai ketentuan perundang-undangan.

9) Bedah mayat klinis dan bedah mayat anatomis hanya dapat dilakukan oleh dokter sesuai dengan keahlian dan kewenangannya. Dalam hal pada saat melakukan bedah mayat klinis dan bedah mayat anatomis ditemukan adanya dugaan tindak pidana, tenaga kesehatan wajib melaporkan kepada penyidik sesuai peraturan perundang-undangan.

10) Penelitian yang dilaksanakan oleh badan asing dan/atau warga negara asing, harus atas izin dan diawasi Pemerintah.

7. Keterkaitan dengan subsistem lain

a. Subsistem pembiayaan kesehatan

Upaya pelayanan kesehatan yang berkaitan dengan pembiayaan kesehatan harus memenuhi standar pelayanan kesehatan dan terjangkau, dengan mengoptimalkan upaya pola asuransi yang berdasarkan sumber dana yang berasal dari masyarakat, pemberi kerja dan kewajiban negara. eluruh warga negara Indonesia di Daerah harus dapat memanfaatkan jaminan kesehatan yang sudah ada, antara lain Jamsostek, Jamkesmas, Askes dan lain-lain.

b. Subsistem sediaan farmasi alkes dan makanan

bahwa sediaan farmasi, alkes dan makanan harus saling mendukung terhadap pengembangan subsistem upaya pelayanan kesehatan.

c. Keterkaitan dengan subsistem sumberdaya manusia

Setiap upaya kesehatan harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang berkompeten dari institusi terakreditasi dan selalu mengembangkan kemampuan diri dengan pendidikan kesehatan berkelanjutan.

d. Keterkaitan dengan Subsistem Manajemen dan Informasi Kesehatan , yaitu adanya kebijakan teknis dan administrasi dalam peningkatan kualitas sistem pencatatan dan pelaporan serta akses terhadap sistim informasi yang cepat, akurat dan menyeluruh.

e. Keterkaitan dengan subsistem pemberdayaan masyarakat, bahwa upaya kesehatan harus melibatkan masyarakat dengan mengaktifkan kembali upaya kesehatan berbasis masyarakat (UKBM) dan kampanye PHBS. Upaya memandirikan masyarakat harus sesuai dengan paradigma sehat yang menitikberatkan pada preventif dan promotif.

f. Keterkaitan dengan subsistem kemitraan, bahwa upaya pelayanan kesehatan bukan hanya tanggungjawab Pemerintah, tapi perlu adanya dukungan dan kemitraan dengan sektor terkait, swasta, organisasi profesi dan LSM.

g. Keterkaitan dengan Subsistem pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan penelitian pengembangan, bahwa untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan harus mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan melaksanakan penelitian dan pengembangan untuk peningkatan kualitas hidup manusia.

37

h. Keterkaitan dengan subsistem regulasi

Upaya pelayanan kesehatan harus didukung oleh regulasi yang mengatur tentang perizinan, standardisasi, akreditasi dan sistem rujukan yang menyeluruh berlaku secara tegas dan konsisten bagi institusi pemerintah maupun swasta sesuai kewenangan lokal, regional, nasional dan internasional.

B. SUBSISTEM PEMBIAYAAN KESEHATAN

1. Pengertian

Subsistem pembiayaan kesehatan adalah bentuk dan cara penyelenggaraan berbagai upaya penggalian, pengalokasian dan pembelanjaan dana kesehatan untuk mendukung penyelenggaraan pembangunan kesehatan guna mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.

Penggalian dana adalah usaha mencari, menemukan, dan mengumpulkan dana dari berbagai sumber dana, baik dari pemerintah, masyarakat, swasta/dunia usaha, bantuan atau pinjaman luar negeri, dan sumber lain yang tidak mengikat agar tersedia dana yang mencukupi dan berkesinambungan, untuk mendukung terselenggaranya pembangunan kesehatan.

Pengalokasian dana adalah upaya penentuan banyaknya biaya yang disediakan untuk suatu keperluan perencanaan anggaran sesuai kebutuhan dengan mengutamakan prinsip prioritas dan proporsional dalam jangka waktu tertentu.

Pembelanjaan dana adalah upaya pengeluaran dana kesehatan sesuai pengalokasian anggaran, yang dikelola secara adil, transparan dan akuntabel agar termanfaatkan secara berhasilguna dan berdayaguna, untuk menjamin terselenggaranya pembangunan kesehatan.

2. Tujuan

Tujuan dari penyelenggaraan subsistem pembiayaan kesehatan adalah tersedianya pembiayaan kesehatan dalam jumlah yang mencukupi, teralokasi secara proporsional dan termanfaatkan secara berhasilguna dan berdayaguna, untuk menjamin terselenggaranya pembangunan kesehatan guna meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.

3. Analisis situasi dan kecenderungan

Besaran pembiayaan kesehatan APBD masih rendah, yaitu dibawah 5 %. Perkembangan jumlah anggaran kesehatan pada tahun 2006 sebesar Rp.82.338.438.521,- (2,5% dari total APBD). Pada tahun 2007 ada penurunan menjadi Rp.50.905.893.164,- (2,37%). Tahun 2008 meningkat menjadi sebesar Rp.60.477.524.272,- (2,02 % ) dan pada tahun 2009 terjadi peningkatan sangat signifikan menjadi Rp.252.653.435.000,-. Walaupun ada peningkatan jumlah/besaran anggaran kesehatan pada tahun 2009 dibandingkan tahun 2008, namun anggaran tahun 2009 masih dibawah 5% (sekitar 3,98%) dari total APBD. Sesuai yang diamanatkan dalam Ketetapan MPR Nomor IV Tahun 2003 dan Ketetapan MPR Nomor VI Tahun 2004, yaitu anggaran kesehatan ditingkatkan secara bertahap mencapai 15% dari total APBD. Menurut WHO, anggaran kesehatan disetiap negara minimal mencapai 5% dari Product Domestic Regional Bruto (PDRB). Menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, besaran anggaran kesehatan dialokasikan minimal 5% dari total APBN di luar gaji dan 10% dari total APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota. Alokasi anggaran diharapkan diprioritaskan untuk pelayanan publik (2/3 alokasi anggaran), terutama bagi penduuk miskin, kelompok lanjut usia dan anak terlantar.

38

Pengalokasian dana Pemerintah belum efektif, lebih banyak dialokasikan pada upaya kuratif, dibandingkan dengan biaya yang dialokasikan untuk upaya promotif dan preventif.

Sumber pembiayaan kesehatan dari masyarakat masih bersifat orang perseorangan, sehingga belum efektif dan efisien. Metode pembayaran masih didominasi oleh pembayaran tunai (out of pocket), sehingga mendorong penyelenggaraan dan pemakaian pelayanan kesehatan secara berlebihan serta meningkatnya biaya kesehatan.

Dana bersumber dari dunia usaha belum efektif dan efisien, hal ini karena belum ditopang oleh mekanisme kendali biaya. Penerapan prinsip kemitraan pemerintah dan dunia usaha (public partnership) belum berkembang sehingga meningkatkan biaya kesehatan.

Cakupan penduduk yaitu yang memiliki jaminan pemeliharaan kesehatan masih rendah, baru mencapai 43,81% (termasuk Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) wajib, JPK sukarela, dan JPK masyarakat miskin) dari keseluruhan penduduk Jawa Barat tahun 2008 yang sebagian besar berasal dari program jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat miskin sebesar 10.700.175 jiwa atau 26 % dari penduduk Jawa Barat. Masih banyak kelompok informal yang belum memiliki jaminan kesehatan, namun ke depan jaminan kesehatan dikembangkan ke arah kebijakan ”universal coverage”

Dalam mendukung kebijakan jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat mencapai universal coverage (cakupan semesta) tahun 2014, maka seyogyanya penerapan bagi masyarakat tidak miskin mempergunakan pendekatan spiritual, yaitu keshalehan sosial yang menjadi dasar pembangunan di Daerah. Dengan pendekatan ini, pembayaran premi jaminan kesehatan tidak didasarkan niat agar kalau sakit bisa berobat gratis, tetapi atas dasar semangat rereongan dan infak atau sedekah bagi warga yang jatuh sakit yang membutuhkan. Premi diprioritaskan sebagai infak dan sepenuhnya dengan ketulusan sebagai amal ibadah masing-masing warga masyarakat. Hal ini dapat dirintis dengan istilah Jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat „syariah‟.

Pendukung sumberdaya pembiayaan kesehatan belum optimal, seperti SDM pengelola, sarana, prasarana, standar dan regulasi.

Belum adanya koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan simplifikasi (KISS) lintas sektor terkait. Hal ini dapat dilihat dari pembangunan sektor lain yang berdampak pada pembangunan sektor kesehatan, khususnya dalam hal penggalian sumber, pengalokasian dan pemanfaatan dana untuk sektor kesehatan.

Belum ada regulasi berkaitan dengan pembiayaan kesehatan antara lain tentang jaminan kesehatan Daerah dalam upaya pengembangan kepesertaan semesta (Universal Coverage), regulasi tentang proporsi pembiayaan kesehatan antara Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota, khususnya untuk program prioritas, program kesehatan lintas batas, daerah terpencil serta pembiayaan masyarakat miskin. Selain itu juga belum ada regulasi pembiayaan kesehatan bersumber dari lintas sektor terkait (pembangunan lintas sektor berwawasan kesehatan) serta kemitraan dengan dunia usaha (Corporate Social Responsibility), perguruan tinggi, swasta, LSM/kelompok masyarakat.

Pembiayaan kesehatan untuk orang miskin di Daerah belum mencukupi, sehingga penggunaan surat keterangan tidak mampu masih tinggi. Kurangnya pembiayaan tersebut disebabkan oleh rendahnya anggaran kesehatan.

Pembiayaan kesehatan cenderung semakin meningkat disebabkan berbagai faktor yang berperan, antara lain : laju inflasi, kemajuan ilmu dan teknologi kedokteran, perubahan pola penyakit (multiple burden), perubahan pola pelayanan kesehatan,

39

perubahan pola hubungan pasien dengan dokter, meningkatnya permintaan pelayanan kesehatan yang lebih baik dan bermutu, serta terlambatnya mengembangkan mekanisme kendali biaya.

Sistem rujukan pelayanan kesehatan belum jalan secara berjenjang dan terstruktur, Sehinggga cenderung beban biaya kesehatan lebih mahal bagi masyarakat, dan rumah sakit terkesan menjadi puskesmas raksasa.

Dengan meningkatnya umur harapan hidup dan bertambahnya, jumlah penduduk usia lanjut, cenderung mendorong penggunaan penerapan pelayanan teknologi canggih dan perubahan pola penyakit sehingga meningkatnya biaya kesehatan.

4. Unsur-unsur

a. Sumber pembiayaan

Dana digali dari sumber Pemerintah baik dari sektor kesehatan dan sektor lain yang terkait, dari masyarakat maupun swasta serta sumber lainnya yang digunakan untuk mendukung pelaksanaan pembangunan kesehatan.

Dana bersumber dari masyarakat seperti dana sehat, tabungan ibu bersalin, dana sosial ibu bersalin, infaq sehat atau istilah lain. Dana amal merupakan sumber pembiayaan kesehatan lokal spesifik Jawa Barat, yang disebut gotong royong pada pengembangan Desa Siaga, yang merupakan potensi masyarakat untuk membantu aksesibilitas pada pelayanan kesehatan.

Potensi pembiayaan yang bersumber dana zakat, infaq dan sodaqoh yang belum dimanfaatkan dengan tata kelola yang baik untuk peningkatan pelayanan kesehatan masyarakat di Jawa Barat.

Sumberdaya pembiayaan kesehatan terdiri dari sumberdaya pengelola, standar, regulasi dan kelembagaan yang digunakan secara berhasilguna dan berdayaguna dalam upaya penggalian, pengalokasian dan pembelanjaan dana kesehatan untuk mendukung terselenggaranya pembangunan kesehatan. Oleh karena itu, maka Dana yang tersedia harus mencukupi dan dapat dipertanggungjawabkan.

b. Alokasi biaya

Alokasi dana pemerintah daerah untuk bidang kesehatan paling kurang 10% dari APBD di luar gaji.

Alokasi pembiayaan kesehatan ditujukan untuk pelayanan kesehatan di bidang pelayanan publik, terutama bagi penduduk miskin, kelompok lanjut usia, dan anak terlantar.

Alokasi biaya tersebut 2/3 (dua pertiga) dari anggaran kesehatan dalam APBD diprioritaskan untuk kepentingan pelayanan publik (meliputi subsidi premi JPKM Jawa Barat, biaya pelayanan kesehatan masyarakat miskin, biaya pelayanan RS, dan UPTD Dinas) dan 1/3 nya untuk pelaksanaan tugas pokok dan fungsi Dinas.

Alokasi pembiayaan kesehatan yang bersumber dari swasta dimobilisasi melalui sistem jaminan sosial nasional dan/atau asuransi kesehatan komersial.

c. Pengelolaan dana kesehatan

Prosedur pengelolaan dana kesehatan adalah seperangkat aturan yang disepakati dan secara konsisten dijalankan oleh para pelaku subsistem pembiayaan baik oleh Pemerintah dan Pemerintah secara lintas sektor, swasta, maupun masyarakat yang mencakup penggalian, pengalokasian dan pembelanjaan dana kesehatan.

40

5. Prinsip

a. Kecukupan

Pembiayaan kesehatan pada dasarnya merupakan tanggungjawab bersama Pemerintah, Pemerintah Daerah, masyarakat dan swasta. Alokasi dana yang berasal dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk upaya kesehatan dilakukan melalui penyusunan, baik pusat dan daerah, paling kurang 5% dari PDRB atau 10% dari total APBN/APBD setiap tahunnya. Pembiayaan kesehatan untuk orang miskin dan tidak mampu merupakan tanggungjawab Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Pemerintah Kabupaten/Kota.

Dana kesehatan diperoleh dari berbagai sumber, baik dari pemerintah, masyarakat, maupun swasta yang harus digali dan dikumpulkan serta terus ditingkatkan untuk “menjamin kecukupan,” agar jumlahnya dapat sesuai dengan kebutuhan, dikelola secara adil, transparan, akuntabel, berhasilguna dan berdayaguna memperhatikan subsidiaritas dan fleksibilitas, berkelanjutan, serta menjadi terpenuhinya ekuitas.

b. Efektif dan efisien

Dana Pemerintah dan Pemerintah Daerah ditujukan untuk pembangunan kesehatan, khususnya diarahkan untuk pembiayaan upaya kesehatan tingkat pertama, tingkat kedua dan tingkat ketiga baik upaya kesehatan perorangan, masyarakat, maupun upaya kesehatan penunjang dengan mengutamakan masyarakat rentan dan keluarga miskin, daerah terpencil, dan perbatasan.

Selain itu pembiayaan untuk program-program kesehatan yang mempunyai daya ungkit tinggi terhadap peningkatan derajat kesehatan menjadi “prioritas”.

Dalam menjamin efektivitas dan efisiensi penggunaan dana kesehatan, maka “sistem pembayaran“ pada fasilitas kesehatan harus dikembangkan menuju bentuk pembayaran prospektif/praupaya. Adapun “pembelanjaaan dana kesehatan” dilakukan melalui kesesuaian antara: perencanaan pembiayaan kesehatan, penguatan kapasitas manajemen perencanaan anggaran dan kompetensi pemberi pelayanan kesehatan dengan tujuan pembangunan kesehatan.

c. Adil dan transparan

Dana kesehatan diarahkan untuk pembiayaan upaya kesehatan perorangan dan masyarakat tingkat pertama, tingkat kedua dan tingkat ketiga, melalui pengembangan sistem jaminan kesehatan sosial, sehingga dapat menjamin terpeliharanya dan terlindunginya masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan.

Dana kesehatan digunakan secara bertanggungjawab berdasarkan prinsip tata pengelolaan kepemerintahan yang baik (good governance), transparan, dan mengacu pada ketentuan peraturan perundangan-undangan.

6. Penyelenggaraan

a. Penyelenggaraan subsistem pembiayaan kesehatan

Subsistem pembiayaan kesehatan merupakan suatu proses yang terus menerus dan terkendali, agar tersedia dana kesehatan yang mencukupi dan berkesinambungan, bersumber dari Pemerintah Daerah, swasta, masyarakat dan sumber lainnya. Perencanaan dan pengaturan pembiayaan kesehatan dilakukan melalui penggalian dan pengumpulan berbagai sumber dana yang dapat menjamin kesinambungan pembiayaan pembangunan kesehatan, mengalokasikannya secara rasional, serta menggunakannya secara efisien dan efektif.

41

Dalam hal pengaturan penggalian dan pengumpulan serta pemanfaatan dana bersumber dari iuran wajib, Pemerintah Daerah harus melakukan sinkronisasi dan sinergisme antara sumber dana dari iuran wajib, dana APBD, dana dari masyarakat, dan sumber lain.

Idealnya Pemerintah Daerah mengalokasikan anggaran untuk sektor kesehatan minimal 5% dari GDP (Gross Domestic Product) sesuai ketentuan WHO tahun 2000, dengan lebih memprioritaskan pada kegiatan promotif dan preventif. Pembiayaan kesehatan bagi keluarga miskin menjadi tanggungjawab Pemerintah Daerah dan Pemerintah. Bagi masyarakat setengah mampu diharapkan ada cost-sharing, sedang bagi masyarakat mampu harus mandiri.

Pemerintah Daerah akan mengembangkan jaminan pemeliharaan kesehatan bagi masyarakat yang bersifat wajib diikuti oleh seluruh masyarakat. Hal ini dimaksudkan agar pembiayaan kesehatan yang berasal dari masyarakat lebih efektif dan efisien. Kelembagaan jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat dapat dikelola Pemerintah Daerah ataupun swasta. Bagi Kabupaten/Kota yang telah mengembangkan jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat diharapkan dapat sinergis dan terkoordinasi dengan Pemerintah Daerah.

Dengan adanya pengembangan pemeliharaan kesehatan masyarakat, maka subsistem pelayanan kesehatan harud direformasi, baik untuk pelayanan tingkat pertama, tingkat kedua, maupun tingkat ketiga. Pelayanan kesehatan tingkat pertama selain dilakukan oleh Puskesmas juga dilakukan oleh dokter keluarga. Pembenahan sistem rujukan kesehatan dari pelayanan tingkat pertama ke tingkat kedua maupun tingkat ketiga berfungsi agar pembiayaan kesehatan menjadi efektif dan efisien. Untuk mempermudah aksesibilitas dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan, maka seluruh fasilitas kesehatan Pemerintah Daerah baik tingkat pertama, tingkat kedua, maupun tingkat ketiga akan dilengkapi sumberdaya sesuai NSPK yang telah ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan.

Sektor swasta yang mampu diharapkan dapat berperan serta dalam pembiayaan kesehatan adalah dalam bentuk Corporate Social Responsibility (CSR), yang dapat dikelola baik oleh Pemerintah Daerah maupun swasta. Jika dikelola oleh swasta, harus sejalan dengan kebijakan Pemerintah Daerah. Demikian pula apabila dikelola bersama oleh Pemerintah Daerah dengan swasta, dapat menggunakan metode kemitraan.

1) Penggalian dana

Penggalian dana untuk upaya pembangunan kesehatan yang bersumber dari Pemerintah Daerah dilakukan melalui retribusi, bantuan atau pinjaman yang tidak mengikat, serta berbagai sumber lainnya. Dana yang bersumber dari swasta dihimpun dengan menerapkan prinsip public-private partnership yang didukung dengan pemberian insentif. Penggalian dana yang bersumber dari masyarakat dihimpun secara aktif oleh masyarakat sendiri atau dilakukan secara pasif dengan memanfaatkan berbagai dana yang sudah terkumpul di masyarakat. Penggalian dana untuk pelayanan kesehatan perorangan dilakukan dengan cara penggalian dan pengumpulan dana masyarakat dalam bentuk jaminan kesehatan.

2) Pengalokasian dana

Pengalokasian dana Pemerintah Daerah dilakukan melalui perencanaan anggaran dengan mengutamakan upaya kesehatan prioritas secara bertahap, dan terus ditingkatkan jumlah pengalokasiannya sehingga sesuai dengan kebutuhan. Pemerintah Daerah akan membantu Kabupaten/Kota yang tidak mampu atau yang mempunyai kapasitas fiskal rendah.

42

Pengalokasian dana yang dihimpun dari masyarakat didasarkan pada asas gotongroyong sesuai dengan potensi dan kebutuhannya. Pengalokasian dana untuk pelayanan kesehatan perorangan dilakukan melalui kepesertaan dalam jaminan pemeliharaan kesehatan dengan iur biaya yang ditarik secara rutin setiap bulan.

3) Pembelanjaan dana

Pemakaian dana kesehatan dilakukan dengan memperhatikan aspek teknis maupun alokatif sesuai peruntukannya secara efisien dan efektif untuk terwujudnya pengelolaan pembiayaan kesehatan yang transparan, akuntabel serta penyelenggaraan kepemerintahan yang baik (good governance).

Pembelanjaan dana kesehatan diarahkan terutama melalui jaminan pemeliharaan kesehatan, baik yang bersifat wajib maupun sukarela. Hal ini termasuk program bantuan sosial dari pemerintah untuk pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin dan tidak mampu (Jamkesmas ).

b. Pembinaan dan pengawasan

Pembinaan dan pengawasan pada penggalian dana dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Hal ini diperlukan agar dana yang digali dan dikumpulkan dalam jumlah yang cukup, terpadu, transparan dan berkesinambungan. Pembinaan dan pengawasan pada pengalokasian dana, diarahkan sesuai petunjuk operasional maupun petunjuk teknis administratif, alokatif, rasional, sesuai standar pembiayaan (unit cost), standar pelayanan, standar mutu, mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan, sehingga lebih efektif dan efisien.

Pembinaan sumberdaya manusia pengelola pembiayaan kesehatan dilaksanakan melalui pelatihan formal maupun informal dalam upaya peningkatan kompetensi pengelolaan dana secara profesional. Pembinaan dan pengawasan pada pembelanjaan dana dilakukan melalui kesesuaian antara perencanaan pembiayaan kesehatan, penguatan kapasitas manajemen perencanaan anggaran dan kompetensi pemberi pelayanan kesehatan paripurna.

Untuk menjamin transparansi, akuntabilitas, hasilguna dan dayaguna, perlu ditetapkan “reward dan punishment“ bagi sumberdaya pengelola pembiayaan kesehatan.

c. Penelitian dan pengembangan

Untuk penggalian dana perlu ada penelitian dan pengembangan tentang berbagai sumber anggaran, berupa dana Pemerintah, Pemerintah Daerah, swasta, masyarakat dan sumber lainnya, baik jumlah dan peruntukannya serta dampaknya terhadap pembangunan kesehatan.

Untuk itu, perlu dialokasikan dana penelitian dan pengembangan tentang berbagai masalah pembangunan kesehatan, khususnya program kesehatan yang mempunyai daya ungkit tinggi terhadap peningkatan derajat kesehatan, sehingga perlu perencanaan anggaran sesuai kebutuhannya, yang dimanfaatkan untuk penelitian dan pengembangan tentang manfaat dan dampak pembiayaan serta tindak lanjutnya untuk pengembangan pembangunan kesehatan. Penelitian tentang akuntabilitas kinerja dan tranparansi pembelanjaan dana kesehatan.

Penelitian dan pengembangan pembelanjaan dana yang efektif, efisien, akuntabel, transparan, berhasilguna dan berdaya guna, antara lain melalui utilization review, siklus jaga mutu dan penanganan keluhan.

43

7. Keterkaitan dengan subsistem lainnya

Subsistem pembiayaan kesehatan diselenggarakan guna menghasilkan ketersediaan pembiayaan kesehatan dengan jumlah yang mencukupi, teralokasi secara adil, dan termanfaatkan secara berhasilguna dan berdayaguna untuk terselenggaranya upaya kesehatan secara merata, terjangkau, dan bermutu bagi seluruh masyarakat. Tersedianya pembiayaan yang memadai akan menunjang terselenggaranya subsistem upaya kesehatan, subsistem sumberdaya manusia kesehatan, subsistem sediaan farmasi, alat kesehatan dan makanan, subsistem manajemen dan informasi kesehatan, subsistem Ilmu pengetahuan teknologi dan penelitian pengembangan kesehatan, susbsistem regulasi kesehatan, subsistem pemberdayaan masyarakat serta subsistem kemitraan

a. Subsistem upaya kesehatan

Penggalian dana untuk subsistem upaya kesehatan dilakukan dengan cara penggalian dan pengumpulan dana masyarakat, Pemerintah , Pemerintah Daerah, dunia usaha dan sumber lainnya.

Pengalokasian dana baik dari Pemerintah Daerah, swasta dan masyarakat untuk pelayanan kesehatan tingkat pertama, tingkat kedua, dan tingkat ketiga ditujukan untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan, pemerataan serta aksesibilitas.

Pengalokasian dana Pemerintah Daerah untuk upaya kesehatan perorangan tingkat pertama, tingkat kedua dan tingkat ketiga diprioritaskan untuk masyarakat miskin melalui jaminan pemerliharaan kesehatan masyarakat dan untuk golongan ekonomi lainnya dibiayai dalam sistem pembiayaan yang diatur oleh Pemerintah Daerah. Pembiayaan untuk upaya kesehatan masyarakat tingkat pertama, tingkat kedua dan tingkat ketiga diarahkan pada program prioritas dengan mengutamakan promotif dan preventif, dan didukung pembiayaan untuk fasilitas upaya kesehatan penunjang sesuai standar.

Sedangkan pengalokasian dana yang bersumber dari masyarakat, dana swasta/ dunia usaha melalui CSR untuk upaya kesehatan masyarakat tingkat pertama, diprioritaskan pada upaya promotif dan preventif. Sedangkan untuk upaya kesehatan perorangan tingkat pertama, diarahkan melalui sistem pembiayaan jaminan pemeliharaan kesehatan baik yang bersifat wajib ataupun maupun sukarela.

Pembelanjaan/pemakaian dana dari berbagai sumber dilakukan melalui sinkronisasi dan sinergitas sesuai peruntukannya secara efektif dan efisien, sesuai prioritas, adil, proporsional, berhasilguna dan berdayaguna.

b. subsistem sumberdaya manusia kesehatan

Penggalian dana untuk pengembangan subsistem sumberdaya kesehatan bersumber dari pemerintah, bantuan luar negeri, masyarakat dan swasta/dunia usaha (CSR).

Pengalokasian dana untuk pengembangan subsistem sumberdaya kesehatan diarahkan untuk perencanaan, pengadaan dan pendayagunaan, untuk peningkatan sistem informasi, penataan regulasi, pembinaan dan pengawasan baik secara kuantitatif maupun kualitatif, dengan memperhatikan program prioritas.

Pengalokasian dana untuk pengembangan subsistem sumberdaya kesehatan diarahkan untuk peningkatan sistem informasi, penataan regulasi, serta pembinaan dan pengawasan sumberdaya kesehatan baik secara kuantitatif maupun kualitatif, dengan memperhatikan program prioritas.

44

Pembelanjaan dana sesuai dengan pengalokasiannya/peruntukannya kearah upaya pemenuhan kebutuhan sumberdaya kesehatan, dan aspek jumlah, jenis, maupun kualitas sumberdaya kesehatan yang dibutuhkan serta distribusinya, dengan memperhatikan aspek teknis dan administratif, secara efektif dan efisien, akuntabel dan transparan.

c. Subsistem sediaan farmasi, alat kesehatan dan makanan.

Penggalian dana untuk subsistem sediaan farmasi, kosmetik, alat kesehatan dan makanan minuman, bersumber dari Pemerintah, Pemerintah Daerah, masyarakat dan swasta, bantuan luar negeri dan sumber lain yang tidak mengikat.

Pengalokasian dana diarahkan untuk Pembiayaan Pengembangan Subsistem sediaan farmasi, alat kesehatan dan makanan sesuai NSPK, dalam menjamin ketersediaan, pemerataan, keterjangkauan serta mutu. Pengalokasian dana pengelolaan perbekalan kesehatan dilakukan agar kebutuhan masyarakat terpenuhi.

Pembelanjaan dana sesuai peruntukannya dengan memperhatikan aspek teknis maupun alokatif, akuntabel, transparan, secara efektif dan efisien serta berhasilguna dan berdayaguna.

d. Subsistem manajemen dan sistem informasi kesehatan

Penggalian dana untuk subsistem manajemen dan sistem informasi kesehatan bersumber dari Pemerintah, Pemerintah Daerah, masyarakat dan swasta, bantuan luar negeri dan sumber lain yang tidak mengikat.

Pengalokasian dana subsistem manajemen dan sistem informasi kesehatan diprioritaskan untuk penyelenggaraan administrasi kesehatan, informasi kesehatan, sumberdaya dan manajemen serta kepemimpinan pembangunan kesehatan sesuai norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK) untuk penyelenggaraan, perencanaan, pelaksanaan, pengendalian serta pengawasan dan pertanggungjawaban, dalam pencapaian perbaikan kesehatan masyarakat yang makin efektif dan efisien.

Pembelanjaan dana subsistem manajemen dan sistem informasi kesehatan dilakukan melalui kesesuaian antara perencanaan pembiayaan kesehatan, penguatan kapasitas manajemen perencanaan anggaran dan integrasi subsistem informasi kesehatan yang ada, dalam upaya peningkatan kemampuan dan moral penyelenggara pemerintahan agar mampu memberikan pelayanan yang mudah, cepat, dan tepat dengan pembiayaan yang terjangkau.

e. Subsistem pemberdayaan masyarakat

Penggalian dana untuk subsistem pemberdayaan masyarakat dari berbagai sumber anggaran, baik Pemerintah, Pemerintah Daerah, masyarakat dan swasta, bantuan luar negeri, dan sumber lain yang tidak mengikat.

Pengalokasian biaya ditujukan untuk operasional dan pembelanjaan dalam upaya peningkatan potensi, kemandirian masyarakat dan keluarga dalam bidang kesehatan.

Setiap orang, masyarakat, Pemerintah dan Pemerintah Daerah berperan, berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan peorangan, masyarakat, dan lingkungannya.

f. Subsistem ilmu pengetahuan dan teknologi dan penelitian dan pengembangan kesehatan

Penggalian dana untuk subsistem ilmu pengetahuan dan teknologi dan penelitian dan pengembangan kesehatan dari berbagai sumber anggaran, yaitu Pemerintah dan Pemerintah Daerah, sektor kesehatan dan nonkesehatan, perguruan tinggi, swasta dan sumber lain.

45

Pengalokasian dana untuk subsistem ilmu pengetahuan dan teknologi lebih diarahkan pada pengembangan mutu pelayanan kesehatan dalam upaya penyembuhan dan upaya rehabilitasi, antara lain pengalokasian untuk upaya pelayanan kesehatan terutama tingkat kedua dan tingkat ketiga sesuai NSPK.

Pengalokasian dana untuk subsistem penelitian dan pengembangan kesehatan diarahkan pada upaya pemeliharaan kesehatan, yaitu lebih ke arah promotif dan preventif melalui program promosi kesehatan untuk mewujudkan perlindungan masyarakat terhadap gangguan kesehatan, khususnya program kesehatan yang mempunyai daya ungkit tinggi terhadap peningkatan derajat kesehatan.

Pengalokasian dana untuk subsistem ilmu pengetahuan dan teknologi dan penelitian dan pengembangan kesehatan memerlukan kebijakan yang diarahkan pada perencanaan terpadu dari berbagai sumber anggaran antara Pemerintah, Pemerintah Daerah, swasta, perguruan tinggi dan unit penelitian lain yang ada di lintas sektor, sesuai kebutuhan nyata dengan permasalahan kesehatan, pelayanan kesehatan, monitoring evaluasi, pengawasan dan pengendalian pengelolaan pembiayaan kesehatan melalui “ online sytem“.

Pembelanjaan dana penelitian dan pengembangan harus memperhatikan aspek teknis maupun alokatif, akuntabel, transparan, secara efektif, efisien serta berhasilguna dan berdayaguna.

g. Subsistem regulasi

Regulasi pembiayaan kesehatan berdasarkan urusan di bidang kesehatan yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah berupa kewenangan langsung, koordinatif, fasilitasi dan kewenangan lintas Kabupaten / Kota .

1) Regulasi penyediaan pembiayaan kesehatan.

Regulasi alokasi pembiayaan kesehatan makin meningkat dari tahun ke tahun, yang bersumber APBD Kabupaten/Kota, APBD Provinsi, APBN, bantuan luar negeri/pinjaman luar negeri, CSR dan lembaga asuransi swasta.

Regulasi dana dari masyarakat untuk kesehatan diarahkan pada berkembangnya jaminan kesehatan sosial masyarakat.

Regulasi penerimaan dan pemanfaatan dana dari dunia usaha berupa CSR semakin ditingkatkan, khususnya untuk pemeliharaan kesehatan keluarga miskin, melalui sistem pengembangan KTP (Kartu Tanda Penduduk) berasuransi kesehatan keluarga miskin yang preminya dibayar oleh Daerah, berupa jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat.

2) Regulasi pengalokasian anggaran

Regulasi alokasi anggaran untuk upaya preventif dan promotif menjadi makin lebih besar dari pada upaya kuratif dan rehabilitatif, dengan proporsi yang makin bermakna.

Regulasi alokasi mengutamakan pada Daerah Terpencil, Daerah Tertinggal dan Daerah Perbatasan serta Daerah Rawan Kesehatan.

3) Regulasi penggunaan pembiayaan

Pertanggungajawaban penggunaan pembiayaan menerapkan prinsip akuntansi yang baku sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan dengan memperhatikan prinsip-prinsip akuntabilitas dan transparansi serta kinerja pelaksanaan program.

Untuk itu ditetapkan standar pembuatan, pencatatan, pelaporan, pelayanan dan program.

46

Penggalian dana untuk subsistem regulasi bersumber dari berbagai sumber anggaran, baik Pemerintah, Pemerintah Daerah melalui sektor kesehatan atau sektor lain yang berkaitan dengan pembangunan berwawasan kesehatan, bantuan atau pinjaman luar negeri serta sumber lain yang tidak mengikat.

Pengalokasian dana untuk kebutuhan subsistem regulasi pembangunan kesehatan dilaksanakan melalui perencanaan terpadu dengan 8 (delapan) subsistem lain dalam lingkup SKP, dan dengan lintas sektor terkait regulasi kesehatan.

Pembelanjaan atau pemanfaatan dana untuk berbagai kebutuhan regulasi yang belum ada berkaitan dengan sistem pembangunan kesehatan tersebut diatas dalam upaya berbagai kebijakan dalam upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan, upaya perlindungan masyarakat dan peningkatan derajat kesehatan masyarakat.

h. Subsistem kemitraan

Penggalian dana untuk subsistem kemitraan dari berbagai sumber anggaran, pemerintah, masyarakat dan swasta, sumber lain yang tidak mengikat

Pengalokasian dana secara terpadu, sinkronisasi berbagai sumber anggaran, untuk pembangunan kesehatan baik untuk upaya kesehatan perorangan yang lebih ke arah promotif dan preventif, maupun upaya kesehatan masyarakat

Kemitraan pemerintah daerah dengan perguruan tinggi, swasta dan sektor lain meliputi pengembangan penggalian, pengalokasian dan pemanfaatan dana upaya kesehatan tingkat pertama perorangan melalui jaminan kesehatan baik wajib ataupun secara sukarela.

Pembelanjaan dana untuk subsistem kemitraan harus memperhatikan aspek koordinatif, teknis maupun alokatif, akuntabel, transparan, secara efektif, efisien serta berhasilguna dan berdayaguna.

C. SUBSISTEM SUMBERDAYA MANUSIA KESEHATAN

1. Pengertian

Subsistem sumberdaya manusia kesehatan adalah bentuk dan cara pengelolaan sumberdaya manusia kesehatan yang meliputi upaya perencanaan, pengadaan, pendayagunaan, pembinaan dan pengawasan sumberdaya manusia kesehatan untuk mendukung penyelenggaraan pembangunan kesehatan guna mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.

Sumberdaya manusia kesehatan adalah tenaga kesehatan profesi termasuk tenaga kesehatan strategis dan tenaga kesehatan non profesi serta tenaga pendukung/penunjang kesehatan, yang terlibat dan bekerja serta mengabdikan dirinya dalam upaya dan managemen kesehatan.

2. Tujuan

Tujuan dari penyelenggaraan subsistem sumberdaya manusia kesehatan adalah tersedianya sumberdaya manusia kesehatan yang kompeten sesuai kebutuhan, yang terdistribusi secara adil dan merata serta didayagunakan secara optimal dalam mendukung penyelenggaraan pembangunan kesehatan guna mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.

47

3. Unsur-unsur

a. Sumberdaya manusia kesehatan

Sumberdaya manusia kesehatan baik tenaga kesehatan, maupun tenaga pendukung/penunjang kesehatan yang mempunyai hak untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dan sebagai makhluk sosial, dan wajib memiliki kompetensi untuk mengabdikan dirinya di bidang kesehatan, serta mempunyai etika, berakhlak luhur dan berdedikasi tinggi dalam melakukan tugasnya.

b. Sumberdaya pengembangan dan pemberdayaan sumberdaya manusia kesehatan

Sumberdaya pengembangan dan pemberdayaan sumberdaya manusia kesehatan adalah sumberdaya pendidikan tenaga kesehatan dan pelatihan sumberdaya manusia kesehatan yang meliputi berbagai standar kompetensi, modul dan kurikulum serta metode pendidikan dan pelatihan, sumberdaya manusia pendidikan dan pelatihan, serta institusi/fasilitas pendidikan dan pelatihan yang menyediakan sarana dan prasarana pendidikan dan pelatihan. Dalam sumberdaya ini juga termasuk sumberdaya manusia, dana, cara atau metode serta peralatan dan perlengkapan untuk melakukan perencanaan, pendayagunaan serta pembinaan dan pengawasan sumberdaya manusia kesehatan.

c. Penyelenggaraan pengembangan dan pemberdayaan sumberdaya manusia kesehatan

Penyelenggaraan pengembangan dan pemberdayaan sumberdaya manusia kesehatan meliputi upaya perencanaan, pengadaan; pendayagunaan; pembinaan dan pengawasan; regulasi, perlindungan hukum dan sanksi hukum; serta fasilitasi sumberdaya manusia kesehatan di daerah lintas batas provinsi.

Perencanaan sumberdaya manusia kesehatan adalah upaya penetapan jenis, jumlah, kualifikasi dan distribusi tenaga kesehatan sesuai dengan kebutuhan pembangunan kesehatan.

Pengadaan sumberdaya manusia kesehatan adalah upaya pengadaan tenaga kesehatan melalui pendidikan baru tenaga kesehatan, pendidikan berkelanjutan serta pelatihan teknis dan fungsional bagi tenaga kesehatan untuk memenuhi kebutuhan tenaga kesehatan.

Pendayagunaan sumberdaya manusia kesehatan adalah upaya pemerataan dan pemanfaatan serta pengembangan sumberdaya manusia kesehatan yang memperhatikan keseimbangan antara hak dan kewajiban perorangan dengan kebutuhan masyarakat.

Pembinaan dan pengawasan sumberdaya manusia kesehatan adalah upaya untuk mengarahkan, memberikan dukungan serta mengawasi pengembangan dan pemberdayaan sumberdaya manusia kesehatan melalui sertifikasi, registrasi, uji kompetensi dan pemberian lisensi.

Regulasi, perlindungan hukum dan sanksi hukum adalah upaya untuk mengatur pendayagunaan, pembinaan dan pengembangan serta perlindungan sumberdaya manusia kesehatan.

Fasilitasi sumberdaya manusia kesehatan di daerah lintas batas provinsi adalah upaya untuk memfasilitasi pendayagunaan, pembinaan dan pengawasan sumberdaya manusia kesehatan di daerah lintas batas provinsi sesuai dengan situasi dan kondisi setempat.

48

4. Prinsip

a. Adil dan merata serta demokratis

Pemenuhan ketersediaan sumberdaya manusia kesehatan ke seluruh wilayah Jawa Barat harus berdasarkan pemerataan dan keadilan sesuai dengan potensi dan kebutuhan pembangunan kesehatan serta dilaksanakan secara demokratis, tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai budaya dan kemajemukan bangsa.

b. Kompeten dan berintegritas

Pengadaan sumberdaya manusia kesehatan melalui pendidikan dan pelatihan yang sesuai standar pelayanan dan standar kompetensi serta menghasilkan sumberdaya manusia yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, profesional, beriman, bertaqwa, mandiri, bertanggung jawab dan berdaya saing tinggi.

c. Objektif dan Transparan

Pembinaan dan pengawasan, serta pendayagunaan (termasuk pengembangan karir) sumberdaya manusia kesehatan dilakukan secara objektif dan transparan berdasarkan prestasi kerja dan disesuaikan dengan kebutuhan pembangunan kesehatan.

d. Hierarki dalam sumberdaya manusia kesehatan

Pengembangan dan pemberdayaan sumberdaya manusia kesehatan dalam mendukung pembangunan kesehatan perlu memperhatikan adanya susunan hierarki sumberdaya manusia kesehatan yang ditetapkan berdasarkan jenis dan tingkat tanggung jawab, kompetensi serta keterampilan masing-masing sumberdaya manusia kesehatan.

5. Penyelenggaraan

a. Perencanaan sumberdaya manusia kesehatan

Perencanaan kebutuhan sumberdaya manusia kesehatan dilakukan dengan memperhatikan kebutuhan sumberdaya manusia kesehatan yang diutamakan, baik dalam upaya kesehatan tingkat pertama maupun upaya kesehatan tingkat kedua serta tingkat ketiga.

Perencanaan sumberdaya manusia kesehatan yang meliputi jenis, jumlah dan kualifikasinya dilakukan dengan meningkatkan dan memantapkan keterkaitannya dengan unsur lainnya dalam manajemen pengembangan dan pemberdayaan sumberdaya manusia kesehatan dengan memperhatikan tujuan pembangunan kesehatan dan kecenderungan permasalahan kesehatan di masa depan.

Perencanaan sumberdaya manusia kesehatan dilakukan dengan mendasarkan pada fakta (berbasis bukti) melalui peningkatan sistem informasi sumberdaya manusia kesehatan. Perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan skala provinsi mencakup (a) mengumpulkan data keadaan tenaga kesehatan di Daerah, (b) menghitung kebutuhan tenaga kesehatan di Daerah, (c) melaporkan kebutuhan tenaga kesehatan ke Pusat.

b. Pengadaan sumberdaya manusia kesehatan

Standar pendidikan tenaga kesehatan dan pelatihan sumberdaya manusia kesehatan mengacu pada standar pelayanan dan standar kompetensi sumberdaya manusia kesehatan dan perlu didukung oleh etika profesi sumberdaya manusia kesehatan. Pemerintah dengan melibatkan organisasi profesi dan masyarakat menetapkan standar kompetensi dan standar pendidikan yang berlaku secara nasional.

49

Pemerintah dengan melibatkan organisasi profesi membentuk badan regulator profesi yang bertugas menyusun berbagai peraturan persyaratan, menentukan kompetensi umum, prosedur penetapan kompetensi khusus tenaga kesehatan, menentukan sertifikasi institusi pendidikan dan pelatihan profesi.

Pemerintah bertanggungjawab mengatur pendirian institusi pendidikan dan pembukaan program pendidikan tenaga kesehatan yang sangat dibutuhkan dalam pembangunan kesehatan.

Pendirian institusi pendidikan dan pembukaan program pendidikan ditekankan untuk menghasilkan lulusan tenaga kesehatan yang bermutu dan dapat bersaing secara global dengan memperhatikan keseimbangan antara kebutuhan, dinamika pasar baik di dalam maupun di luar negeri dan kemampuan produksi tenaga kesehatan dengan yang sudah ada. Kompetensi tenaga kesehatan harus setara dengan kompetensi tenaga kesehatan di dunia internasional, sehingga registrasi tenaga kesehatan lulusan dalam negeri dapat diakui di dunia internasional.

Penyelenggaraan pendidikan tenaga kesehatan harus memenuhi akreditasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Institusi/fasilitas pelayanan kesehatan yang terakreditasi wajib mendukung penyelenggaraan pendidikan tenaga kesehatan. Penyelenggaraan pendidikan tenaga kesehatan harus berpola responsif gender yang berorientasi kepada kepentingan peserta didik (student centered).

Standar pendidikan tenaga kesehatan dan pelatihan sumberdaya manusia kesehatan mengacu kepada standar pelayanan dan standar kompetensi sumberdaya manusia kesehatan tingkat nasional dan perlu didukung oleh etika profesi sumberdaya manusia kesehatan. (1) Sarjana Strata 1, 2, 3 ditentukan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional (Dirjen Dikti Depdiknas); (2) diploma ditentukan oleh Dirjen Dikti Depdiknas dan Kementerian Kesehatan sedangkan pelatihan-pelatihan tenaga kesehatan ditetapkan oleh Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumberdaya Manusia Kesehatan (BPPSDM Kes) dibawah Kementerian Kesehatan; (3) Standar Kompetensi untuk Dokter dan Dokter Gigi ditentukan oleh Konsil Kedokteran/ Kedokteran Gigi dan; (4) Standar Kompetensi untuk profesi kesehatan lain ditentukan oleh organisasi profesi kesehatan terkait.

Untuk menjamin mutu lulusan institusi pendidikan tenaga kesehatan Pemerintah Daerah harus menjamin kemitraan untuk melaksanakan pembinaan dan/atau memfasilitasi peningkatan mutu lulusan institusi pendidikan kesehatan.

Pendidikan dan pelatihan teknis dan fungsional :

Pendidikan dan pelatihan teknis dan fungsional adalah upaya yang meliputi pendidikan dan pelatihan sumberdaya manusia kesehatan baik secara formal maupun non formal di dalam negeri maupun di luar negeri untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia kesehatan dan untuk memenuhi kebutuhan pembangunan kesehatan, termasuk di dalamnya diklat teknis fungsional Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS)

Pelatihan skala provinsi adalah tindak lanjut dari Training of Trainer dan atau pelatihan di Provinsi yang pesertanya berasal dari Dinas, Kabupaten/ Kota, Bapelkes, RSUD Provinsi dan RSUD Kabupaten/Kota. Kurikulum yang digunakan adalah standar nasional atau standar lokal.

Pelatihan teknis kesehatan adalah pelatihan yang dilaksanakan untuk mencapai persyaratan kompetensi teknis yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas tenaga kesehatan. Pelatihan fungsional kesehatan adalah pelatihan yang dilaksanakan untuk mencapai persyaratan kompetensi yang sesuai dengan jenis dan jenjang jabatan fungsional masing-masing.

50

Pemerintah Daerah sebagai pengelola diklat fungsional dan teknis skala provinsi melaksanakan (a) Penyelenggaraan diklat teknis dan fungsional standar nasional dan lokal; (b) Pembinaan diklat teknis dan fungsional; (c) Pengendalian diklat teknis dan fungsional melalui akreditasi pelatihan; (d) Evaluasi diklat tingkat provinsi.

c. Pendayagunaan sumberdaya manusia kesehatan

Pendayagunaan sumberdaya manusia kesehatan adalah upaya pemerataan dan pemanfaatan serta pengembangan sumberdaya manusia kesehatan yang memperhatikan keseimbangan antara hak dan kewajiban perorangan dengan kebutuhan masyarakat.

Pemerintah bekerjasama dengan Pemerintah Daerah dan Pemerintah Kabupaten/Kota serta swasta melakukan upaya penempatan tenaga kesehatan yang ditujukan untuk mencapai pemerataan yang berkeadilan dalam pembangunan kesehatan. Dalam rangka penempatan tenaga kesehatan untuk kepentingan pelayanan publik dan pemerataan, pemerintah melakukan berbagai pengaturan untuk memberikan imbalan material atau non material kepada tenaga kesehatan untuk bekerja di bidang tugas atau daerah yang tidak diminati, seperti: daerah terpencil, sulit dijangkau, sulit pemenuhan tenaga kesehatan, daerah tertinggal, daerah perbatasan, serta daerah bencana.

Pemerintah Daerah bersama masyarakat melakukan rekrutmen dan penempatan tenaga penunjang (tenaga masyarakat) yang diperlukan untuk mendukung Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat (UKBM) sesuai dengan kebutuhan pembangunan kesehatan.

Pemerintah Daerah dan swasta mengembangkan dan menerapkan pola karir tenaga kesehatan, yang dilakukan secara transparan, dan lintas institusi, melalui jenjang jabatan struktural dan jabatan fungsional.

Pemerintah bersama organisasi profesi dan swasta, mengupayakan penyelenggaraan pendidikan berkelanjutan dalam rangka peningkatan karir dan profesionalisme tenaga kesehatan.

Pendayagunaan tenaga kesehatan untuk keperluan luar negeri diatur oleh lembaga Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam rangka menjamin keseimbangan antara kemampuan pengadaan tenaga kesehatan di Indonesia dan kebutuhan tenaga kesehatan Indonesia di luar negeri serta melindungi hak-hak dan hak asasi manusia dari tenaga kesehatan Indonesia di luar negeri.

Pendayagunaan tenaga kesehatan asing hanya dilakukan pada tingkat konsultan pada bidang tertentu, dalam rangka alih teknologi dan ditetapkan melalui persyaratan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Tenaga kesehatan Warga Negara Indonesia lulusan institusi luar negeri yang telah memperoleh pengakuan dari Kementerian Nasional mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan tenaga kesehatan lulusan dalam negeri.

Dalam rangka pendayagunaan sumberdaya manusia kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan kesehatan, perlu dilakukan peningkatan kualitas SDM Kesehatan secara terus menerus (pra-jabatan/”pre-service” dan “in-service”), diantaranya melalui pelatihan yang terakreditasi yang dilaksanakan oleh institusi penyelenggara pelatihan yang terakreditasi.

Yang menjadi kewenangan provinsi adalah penempatan tenaga kesehatan strategis dan pemindahan tenaga tertentu antarkabupaten/kota skala provinsi, meliputi : (1) Menetapkan jenis tenaga kesehatan makro skala provinsi, (2) Menyusun jenis tenaga kesehatan makro skala provinsi/kabupaten/kota, (3) Melakukan koordinasi dalam perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan

51

strategis skala provinsi/kabupaten/kota, (4) Menyusun perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan strategis skala provinsi/Kabupaten/Kota, (5) Memberikan bantuan/bimbingan teknis kepada Pemerintahan Kabupaten/Kota dalam menyusun perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan strategis skala provinsi, (6) Menyusun pedoman pelaksanaan rekruitmen, seleksi, penempatan, manajemen pengembangan karir, pola/sistem remunerasi, sistem insentif, sistem manajemen kinerja dan penghargaan, peningkatan mutu, distribusidan sistem infomasi tenaga kesehatan makro skala provinsi, (7) Melakukan koordinasi dalam pemenuhan kebutuhan dan pendayagunaan tenaga kesehatan strategis skala provinsi, (8) Melakukan koordinasi dalam pengadaan tenaga kesehatan strategis skala provinsi, khususnya untuk jenis tenaga yang tidak tersedia di Daerah, (9) Membantu Pemerintah Kabupaten/Kota secara teknis (technical assisstance) dalam melaksanakan berbagai kebijakan/pedoman pendayagunaan tenaga kesehatan strategis skala nasional (antar susunan pemerintahan) yang tepat guna, (10) Menyusun dan menetapkan pedoman pelaksanaan monitoring dan evaluasi pendayagunaan tenaga kesehatan makro skala provinsi, (11) Bersama-sama dengan Pemerintah dan Pemerintah Kabupaten/Kota melakukan monitoring (pemantauan) dan evaluasi pendayagunaan tenaga kesehatan strategis skala provinsi (antar susunan pemerintahan) yang tepat guna sesuai dengan kebijakan, (12) Menyusun kebijakan pelaksanaan.

d. Pembinaan dan pengawasan sumberdaya manusia kesehatan

Pendayagunaan sumberdaya manusia kesehatan adalah upaya pemerataan dan pemanfaatan serta pengembangan sumberdaya manusia kesehatan yang memperhatikan keseimbangan antara hak dan kewajiban perorangan dengan kebutuhan masyarakat.

Pemerintah bekerjasama dengan Pemerintah Daerah dan Pemerintah Kabupaten/Kota serta swasta melakukan upaya penempatan tenaga kesehatan yang ditujukan untuk mencapai pemerataan yang berkeadilan dalam pembangunan kesehatan. Dalam rangka penempatan tenaga kesehatan untuk kepentingan pelayanan publik dan pemerataan, Pemerintah Daerah melakukan berbagai pengaturan untuk memberikan imbalan material atau non material kepada tenaga kesehatan untuk bekerja di bidang tugas atau daerah yang tidak diminati, seperti daerah terpencil, sulit dijangkau, daerah tertinggal, daerah perbatasan, serta daerah bencana.

Pemerintah Daerah dan masyarakat melakukan rekrutmen dan penempatan tenaga penunjang (tenaga masyarakat) yang diperlukan untuk mendukung UKBM sesuai dengan kebutuhan pembangunan kesehatan.

Pemerintah Daerah dan swasta mengembangkan dan menerapkan pola karir tenaga kesehatan, yang dilakukan secara transparan.

e. Regulasi, perlindungan hukum dan sanksi hukum

Regulasi, perlindungan hukum dan sanksi hukum adalah upaya untuk mengatur pendayagunaan, pembinaan dan pengembangan serta perlindungan SDM Kesehatan.

Perlindungan hukum diberikan bagi sumberdaya manusia kesehatan yang mendapatkan masalah-masalah hukum dalam kaitannya dengan tugas dan tanggung jawabnya. Sanksi hukum harus diberikan kepada sumberdaya manusia kesehatan yang terbukti melakukan pelanggaran hukum.

52

f. Fasilitasi sumberdaya manusia kesehatan di daerah lintas batas provinsi

Fasilitasi sumberdaya manusia kesehatan di daerah lintas batas provinsi adalah upaya untuk memfasilitasi penempatan, pendayagunaan, pembinaan dan pengawasan SDM Kesehatan di daerah lintas batas provinsi sesuai dengan situasi dan kondisi setempat.

6. Keterkaitan antarsubsistem

a. Subsistem upaya kesehatan

Perencanaan dan pengadaan sumberdaya manusia kesehatan harus sesuai dengan upaya kesehatan baik tingkat pertama, tingkat kedua dan tingkat ketiga. sumberdaya manusia kesehatan yang bermutu dan profesional dapat memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu kepada masyarakat untuk mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Pendidikan dan pelatihan sumberdaya manusia kesehatan disesuaikan dengan upaya pelayanan kesehatan yang diberikan.

b. Subsistem pembiayaan

Dalam pengadaan dan pendidikan serta pelatihan sumberdaya manusia kesehatan, dukungan pembiayaan sangat dibutuhkan untuk mendapatkan sumberdaya manusia kesehatan yang berkualitas. Pengiriman sumberdaya manusia kesehatan untuk tugas belajar harus didukung oleh pendanaan yang baik. Dukungan subsistem pembiayaan dalam pendayagunaan sumberdaya manusia kesehatan meliputi penggajian, insentif dan tunjangan.

c. Keterkaitan dengan subsistem farmasi, alat kesehatan dan makanan minuman

sumberdaya manusia kesehatan yang profesional diharapkan dapat menjamin keamanan, khasiat, manfaat dan mutu seluruh produk sediaan farmasi, alat kesehatan dan makanan minuman yang beredar; menjamin ketersediaan, pemerataan dan keterjangkauan obat, terutama obat esensial; perlindungan masyarakat dari penggunaan yang salah dan penyalahgunaan obat; serta penggunaan obat yang rasional, dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.

d. Keterkaitan dengan subsistem manajemen dan informasi kesehatan

Ketersediaan data mengenai sarana pelayanan kesehatan Pemerintah, Pemerintah Daerah ataupun swasta dan sumberdaya manusia kesehatan sangat dibutuhkan untuk perencanaan dan pengadaan sumberdaya manusia kesehatan, sehingga pendayagunaan sumberdaya manusia kesehatan sesuai dengan kebutuhan di daerah.

e. Keterkaitan dengan subsistem pemberdayaan masyarakat

sumberdaya manusia kesehatan diharapkan dapat menggiatkan program-progam kesehatan yang memerlukan pemberdayaan masyarakat seperti UKBM dan PHBS. Selain itu juga membantu menghasilkan individu, kelompok, dan masyarakat umum yang mampu berperan aktif dalam penyelenggaraan upaya kesehatan.

f. Keterkaitan dengan subsistem regulasi

Hal ini dilakukan dengan mendukung peraturan-peraturan yang berkaitan dengan sumberdaya manusia kesehatan terutama yang berkaitan dengan pengadaan, penempatan, dan pendayagunaan terutama di daerah terpencil, sulit dijangkau, tertinggal, perbatasan dan rawan bencana, termasuk pembinaan dan pengawasan sumberdaya manusia kesehatan serta penggunaan tenaga kesehatan asing. Disamping itu, mendukung peraturan-peraturan yang berkaitan dengan peningkatan kualitas sumberdaya manusia kesehatan, termasuk peraturan-peraturan yang mengatur pendirian institusi pendidikan dan pelatihan tenaga

53

kesehatan, serta mendukung peraturan-peraturan yang berkaitan dengan sertifikasi, akreditasi, registrasi dan lisensi bagi tenaga kesehatan.

g. Subsistem kemitraan

Kesehatan bukan tanggungjawab sektor kesehatan saja, karena kerjasama dan kemitraan dengan sektor lain sangat dibutuhkan. Pendayagunaan sumberdaya manusia kesehatan, dapat ditempatkan di luar sektor kesehatan. Untuk hal ini, pendekatan terhadap sektor lain sangat dibutuhkan.

Penyediaan sumberdaya manusia kesehatan; tidak hanya seputar tenaga untuk pelayanan medis dan aktivitas klinik saja; namun harus secara luas melibatkan “stakeholders” yang bergerak di bidang kesehatan yang berjalan bersama-sama, seperti : pendukung treatments dalam aktivitas klinis, tenaga LSM dan masyarakat dalam berbagai pemberdayaan, promosi kesehatan, sanitasi, air bersih, persampahan, energi, dan sebagainya. maka untuk penyediaan sumberdaya manusia secara lengkap, seluruh potensi institusi yang terkait dengan pembangunan kesehatan perlu didorong untuk berperan serta menyediakan sumberdaya manusia sesuai dengan peran dan fungsi masing-masing. jadi penyediaan sumberdaya manusia kesehatan dalam wacana regional Daerah, jangan sampai hanya bertumpu pada eksistensi potensi Pemerintah Daerah saja; tapi memiliki spirit untuk menggerakkan seluruh potensi masyarakat dan dunia swasta, LSM dan sektor lain.

Dengan semakin maraknya berbagai jenis pelayanan kesehatan di bidang klinis yang sangat beraneka ragam (kecantikan, penyakit khusus, dan terapi khusus), maka tenaga-tenaga yang melayani akan berkembang, sehingga perlu pengaturan yang berorientasi pada mutu pelayanan, out-put dan out-come. Peranan institusi-institusi lainnya dalam menopang peningkatan mutu dan kompetensi sumberdaya manusia dalam lingkup pelayanan kesehatan mencakup :

Peranan institusi pendidikan formal dan non formal, peranan asosiasi-asosiasi profesi di bidang Kesehatan, Peranan LSM (lokal, nasional, internasional), termasuk lembaga-lembaga bantuan internasional (WHO, UNDP, Unicef dan Word Bank) dan institusi lainnya.

h. Subsistem ilmu pengetahuan dan teknologi dan penelitian dan pengembangan kesehatan

i. Untuk menciptakan sumberdaya manusia kesehatan yang profesional dan bermutu, pendidikan dan pelatihan yang dilaksanakan harus mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan kesehatan dan kedokteran. Subsistem ini diharapkan dapat memfasilitasi sumberdaya manusia kesehatan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan penelitian kesehatan yang mutakhir dan terbaru.

D. SUBSISTEM SEDIAAN FARMASI, ALAT KESEHATAN, DAN MAKANAN

1. Pengertian

Sub sistem sediaan farmasi, kosmetika, alat kesehatan dan makanan minuman adalah tatanan yang menghimpun berbagai upaya yang menjamin ketersediaan, pemerataan, keterjangkauan, keamanan, khasiat/manfaat serta mutu obat, kosmetika, alat kesehatan dan makanan minuman secara terpadu dan mendukung pembangunan kesehatan di Daerah.

2. Tujuan

Terwujudnya ketersediaan serta keterjangkauan sediaan farmasi, alat kesehatan dan makanan yang aman, berkhasiat/bermanfaat, bermutu serta terjangkau oleh masyarakat untuk menjamin terselenggaranya upaya kesehatan guna meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya di Daerah.

54

3. Analisa situasi dan kecenderungan

Jumlah sarana produksi sediaan farmasi, alat kesehatan dan makanan di Daerah cukup tinggi, yaitu menyumbang lebih dari 50% jumlah nasional, mulai dari perusahaan multi nasional sampai perusahaan kecil skala industri rumah tangga, sehingga item obat yang beredar lebih dari 16.000 item.

Jumlah sarana yang banyak ini memungkinkan terjadinya persaingan usaha yang kurang sehat, sehingga informasi yang sampai kepada masyarakat kurang baik dan belum diimbangi dengan sumberdaya manusia yang berfungsi sebagai pembina, pengawas dan pelayanan kefarmasian yang cukup, sehingga penggunaan obat rasional masih rendah. Pelayanan informasi obat di Rumah Sakit dan Puskesmas masih terbatas dan masih ditemukan sediaan farmasi, alat kesehatan dan makanan yang tidak memenuhi syarat.

Dalam upaya peningkatan pelayanan kesehatan kepada masyarakat, beberapa Kabupaten/Kota menggratiskan biaya pelayanan di Puskesmas, namun kebijakan ini tidak diimbangi dengan peningkatan alokasi anggaran untuk obat, sehingga rata-rata alokasi anggaran untuk obat masih di bawah Rp.50.000,-/kapita pertahun, jauh dibawah standar nasional sebesar 2 USD/kapita/tahun atau pelayanan dasar sebesar Rp.9.000,/kapita/tahun.

4. Unsur-unsur

a. Komoditi

Sediaan farmasi dan alat kesehatan adalah komoditi untuk penyelenggaraan upaya kesehatan, yang harus tersedia dalam jenis, bentuk, dosis, jumlah, dan khasiat yang tepat.

Makanan dan minuman adalah komoditi yang mempengaruhi kesehatan masyarakat, meliputi jenis dan manfaat.

b. Sumberdaya

Sumberdaya manusia pengelola sediaan farmasi, kosmetika, alat kesehatan dan makanan minuman harus tersedia dalam jumlah yang cukup, serta mempunyai standar kompetensi yang sesuai dengan etika profesi.

Fasilitas sediaan farmasi, alat kesehatan, dan makanan minuman adalah alat atau tempat yang harus memenuhi norma, standar, prosedur, dan kriteria yang telah ditetapkan, pada fasilitas produksi, distribusi, maupun fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama, tingkat kedua, dan tingkat ketiga.

Pembiayaan yang cukup dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah diperlukan untuk menjamin ketersediaan dan keterjangkauan obat untuk obat dan alat kesehatan esensial terutama bagi masyarakat miskin.

c. Pelayanan kefarmasian

Pelayanan kefarmasian ditujukan untuk dapat menjamin penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan secara rasional, aman, dan bermutu di seluruh sarana pelayanan kesehatan sesuai norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan.

d. Pengawasan

pengawasan yang komprehensif dengan melaksanakan regulasi yang baik (good regulatory practices), ditujukan untuk menjamin setiap sediaan farmasi, kosmetika, alat kesehatan dan makanan minuman yang beredar, memenuhi standar dan persyaratan keamanan, khasiat/manfaat, dan mutu yang ditetapkan.

55

e. Pemberdayaan masyarakat

Masyarakat senantiasa dilibatkan secara aktif agar sadar dan dapat lebih berperan dalam penyediaan dan penggunaan sediaan farmasi, kosmetika, alat kesehatan dan makanan minuman serta terhindar dari penggunaan yang salah dan penyalahgunaan.

5. Prinsip

a. Aman, berkhasiat, bermanfaat, dan bermutu

Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin keamanan, khasiat, manfaat dan mutu sediaan farmasi, alat kesehatan, dan makanan minuman melalui pembinaan, pengawasan, dan pengendalian secara profesional, bertanggungjawab, independen, transparan dan berbasis bukti. Sedangkan pelaku usaha bertanggungjawab atas keamanan, khasiat, manfaat dan mutu produk sesuai dengan fungsi usahanya.

b. Tersedia, merata, dan terjangkau

Obat merupakan kebutuhan dasar manusia yang tidak tergantikan dalam pelayanan kesehatan, sehingga obat tidak boleh diperlakukan sebagai komoditas ekonomi semata. Obat harus dijamin ketersediaan dan keterjangkauannya, sehingga penetapan harganya dikendalikan oleh Pemerintah dan tidak sepenuhnya diserahkan ke mekanisme pasar.

c. Rasional

Setiap pelaku pelayanan kesehatan harus selalu bertindak berdasarkan bukti ilmiah terbaik dan prinsip tepat biaya (cost-effective) serta tepat manfaat (cost-benefit) dalam pemanfaatan obat agar memberikan hasil yang optimal.

d. Transparan dan bertanggungjawab

Masyarakat berhak untuk mendapatkan informasi yang benar, lengkap, dan tidak menyesatkan tentang sediaan farmasi, alat kesehatan, dan makanan minuman, dari produsen, distributor, dan pelaku pelayanan.

e. Kemandirian

Potensi sumberdaya dalam negeri, terutama bahan baku obat dan obat tradisional, harus dikelola secara profesional, sistematis, dan berkesinambungan, sehingga memiliki daya saing tinggi dan tidak tergantung dari sumberdaya luar negeri serta menjadi sumber ekonomi masyarakat dan devisa negara.

6. Penyelenggaraan

a. Upaya ketersediaan, pemerataan, dan keterjangkauan obat dan alat kesehatan.

Pemerintah Daerah menetapkan pedoman, norma, standar, prosedur dan kriteria di bidang penyediaan dan pengelolaan obat, alat kesehatan, reagensia dan vaksin.

Penyediaan dan pelayanan obat berpedoman pada Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan. Pemerintah dengan pengaturan khusus, menjamin tersedianya obat bagi masyarakat miskin, daerah terpencil, perbatasan, dan daerah bencana serta obat yang tidak mempunyai nilai ekonomis (orphan drug).

Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan pengendalian dan pengawasan terhadap pengadaan dan penyaluran obat dan alat kesehatan untuk menjamin ketersediaan dan pemerataan obat dan alat kesehatan.

Pemerintah mengatur harga obat dan alat kesehatan.

56

b. Upaya jaminan keamanan, khasiat/manfaat, dan mutu sediaan farmasi, kosmetika, alat kesehatan, makanan dan minuman, serta perlindungan masyarakat dari penggunaan yang salah dan penyalahgunaan obat.

Upaya jaminan keamanan, khasiat/manfaat, dan mutu sediaan farmasi, alat kesehatan, makanan dan minuman merupakan tugas bersama yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan yaitu Pemerintah, Pemerintah Daerah, pelaku usaha dan masyarakat secara terpadu dan bertanggungjawab.

Pelaksanaan regulasi yang baik (good regulatory practices) didukung oleh sumberdaya yang memadai, sistem manajemen mutu, akses terhadap ahli, kerjasama internasional, serta laboratorium pengujian mutu yang kompeten, independen, dan transparan.

Pengembangan dan penyempurnaan norma, standar, prosedur, dan kriteria mengenai produk dan fasilitas produksi dan distribusi sediaan farmasi, alat kesehatan, makanan dan minuman sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan standar internasional.

Pembinaan, pengawasan dan pengendalian impor, ekspor, produksi dan distribusi sediaan farmasi, alat kesehatan, makanan dan minuman merupakan suatu kesatuan yang utuh, dilakukan melalui penilaian keamanan, khasiat/manfaat, dan mutu produk melalui proses pendaftaran; inspeksi fasilitas produksi dan distribusi; pengambilan dan pengujian sampel; survailans dan vijilan pascapemasaran; pemantauan promosi.

Penegakan hukum yang konsisten dengan efek jera yang tinggi untuk setiap pelanggaran, termasuk pemberantasan produk palsu dan ilegal.

Peningkatan kesadaran/kemandirian masyarakat melalui penyediaan dan penyebaran informasi terpercaya termasuk informasi harga obat, sehingga masyarakat memperoleh informasi yang menyeluruh dan transparan mengenai penggunaan sediaan farmasi, alat kesehatan, makanan dan minuman.

Perlindungan masyarakat dari penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif (NAPZA) harus merupakan upaya yang terpadu antara upaya represif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.

Penggunaan sediaan farmasi berupa narkotika dan psikotropika hanya dapat dilakukan berdasarkan resep dokter atau dokter gigi dan dilarang untuk disalahgunakan, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Setiap orang yang memproduksi, menyimpan, mengedarkan, dan menggunakan narkotika dan psikotropika wajib memenuhi standar dan/atau persyaratan tertentu.

Perlindungan masyarakat terhadap pencemaran makanan atau penggunaan bahan tambahan makanan yang tidak sesuai persyaratan dilakukan, dengan mewajibkan setiap orang dan/atau badan hukum yang memproduksi, mengolah, serta mendistribusikan makanan dan minuman dan/atau yang diperlakukan sebagai makanan dan minuman hasil olahan teknologi, aman bagi manusia, hewan yang dimakan manusia, dan lingkungan.

Mewajibkan setiap orang dan/atau badan hukum yang memproduksi dan mempromosikan produk makanan dan minuman dan/atau yang diperlakukan sebagai makanan dan minuman hasil olahan teknologi, dilarang menggunakan kata-kata yang mengecoh dan/atau yang disertai klaim yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya.

Makanan dan minuman yang dipergunakan oleh masyarakat harus didasarkan pada standar dan/atau persyaratan kesehatan. Makanan dan minuman hanya

57

dapat diedarkan setelah mendapat izin edar sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Setiap makanan dan minuman yang dikemas wajib diberi tanda atau label yang berisi:

a. nama produk;

b. daftar bahan yang digunakan;

c. berat bersih atau isi bersih;

d. nomor dagang, batch dan registrasi;

e. nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukan makanan dan minuman kedalam wilayah indonesia;

f. tanggal, bulan dan tahun kadaluwarsa; dan

g. penggunaan atau cara pakai.

Pemberian tanda atau label harus dilakukan secara benar dan akurat, dan dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Makanan dan minuman yang tidak memenuhi ketentuan standar, persyaratan kesehatan, dan/atau membahayakan kesehatan, dilarang untuk diedarkan, sehingga harus ditarik dari peredaran, dicabut izin edar dan disita untuk dimusnahkan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pemerintah Daerah mendorong masyarakat rentan terutama anak, ibu hamil, dan manusia usia lanjut untuk mengkonsumsi makanan bergizi tinggi dan memenuhi persyaratan keamanan makanan.

c. Upaya penyelenggaraan pelayanan kefarmasian

Penyelenggaraan pelayanan kefarmasian di seluruh sarana pelayanan kesehatan dilakukan dengan 1) Mengutamakan kesejahteraan pasien dalam segala situasi dan kondisi; 2) Melaksanakan kegiatan inti farmasi yang meliputi pengelolaan obat dan produk kesehatan lainnya, menjamin mutu, memberikan informasi dan saran serta memonitor penggunaan obat oleh pasien; 3) Memberikan kontribusi dalam peningkatan resep yang rasional dan ekonomis serta penggunaan yang tepat; 4) Memberikan pelayanan kefarmasian yang sesuai untuk setiap individu.

Pemerintah Daerah menetapkan larangan untuk mengadakan, menyimpan, mengolah, mempromosikan dan mengedarkan obat dan bahan yang berkhasiat obat bagi setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan.

Pemantauan penyelenggaraan pelayanan kefarmasian dilakukan melalui bimbingan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan perizinan apotik dan toko obat.

Untuk melindungi masyarakat dari penggunaan obat-obat sub standar/tidak memenuhi syarat, obat rusak/daluwarsa, dan obat palsu, dilakukan monitoring di pelayanan kefarmasian.

d. Upaya penggunaan obat yang rasional

Penggunaan obat yang rasional merupakan salah satu langkah untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik dan mengefisienkan biaya pengobatan.

Penyelenggaraan upaya penggunaan obat yang rasional dilakukan antara lain melalui kegiatan berikut: 1) Penerapan DOEN dalam upaya pelayanan kesehatan tingkat pertama, tingkat kedua, dan tingkat ketiga, melalui pemanfaatan pedoman terapi dan formularium berbasis bukti ilmiah terbaik; 2) Audit dan umpan balik dalam penggunaan obat rasional; 3) Pengembangan mekanisme pemantauan ketersediaan obat esensial dan langkah-langkah perbaikan di setiap

58

fasilitas pelayanan kesehatan; 4) Pemberdayaan Komite Farmasi dan Terapi (KFT) untuk meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian melalui penggunaan obat secara rasional; 5) Peningkatan pelaksanaan pelayanan informasi obat antara tenaga kesehatan, pasien dan keluarga pasien; 6) Pemberdayaan masyarakat melalui komunikasi, informasi dan edukasi. Informasi kepada masyarakat, dilaksanakan antara lain melalui promosi penggunaan obat generik, pengelolaan berbagai penyakit secara tepat seperti penyakit diare, dan lain-lain; 7) Pemberdayaan sumberdaya manusia kesehatan dalam melaksanakan penggunaan obat rasional di seluruh fasilitas pelayanan kesehatan.

e. Upaya kemandirian sediaan farmasi melalui pemanfaatan sumberdaya dalam negeri

Pengembangan dan pemanfaatan sumberdaya alam Indonesia perlu didorong secara berkelanjutan untuk digunakan sebagai obat tradisional demi peningkatan pelayanan kesehatan dan ekonomi.

Langkah-langkah yang perlu diselenggarakan meliputi: 1) Pemilihan produk yang tepat untuk pengembangan produksi dalam negeri dengan mempertimbangkan potensi sumberdaya dalam negeri; 2) Pemerintah menciptakan iklim yang kondusif bagi investasi di bidang farmasi melalui persaingan usaha yang adil, pemberian insentif kebijakan perpajakan dan perbankan, serta kepastian proses perizinan; 3) Pembinaan industri farmasi dalam negeri agar mampu melakukan produksi sesuai dengan cara pembuatan obat yang baik dan dapat melakukan usahanya dengan efektif dan efisien sehingga mempunyai daya saing yang tinggi; 4) Komitmen seluruh pemangku kepentingan, seperti kemauan industri farmasi domestik untuk memprioritaskan penggunaan bahan baku produksi dalam negeri, penerimaan fasilitas pelayanan kesehatan, para pelayan kesehatan dan konsumen; 5) Peningkatan penelitian dan pengembangan bahan baku obat, obat, dan obat tradisional untuk menunjang pembangunan kesehatan; 6) Pengembangan pemanfaatan obat tradisional yang aman, memiliki khasiat nyata yang teruji secara ilmiah, bermutu tinggi, dan dimanfaatkan secara luas baik untuk pengobatan sendiri oleh masyarakat maupun digunakan dalam pelayanan kesehatan formal; 7) Memberikan kesempatan yang seluas-luasnya pada masyarakat untuk mengolah, memproduksi, mengedarkan, mengembangkan dan menggunakan sediaan farmasi dan obat tradisional yang dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya; 8) Menjaga kelestarian sumber obat tradisional yang sudah terbukti khasiatnya dalam pencegahan, pengobatan, perawatan dan/atau pemeliharaan kesehatan.

Penyelenggaraan subsistem sediaan farmasi, alat kesehatan, dan makanan minuman harus melibatkan seluruh pelaku baik secara perorangan maupun bersama dan terpadu antara Pemerintah, Pemerintah Daerah, swasta/dunia usaha, dan masyarakat.

7. Keterkaitan dengan subsistem lainnya

Penyelenggaraan subsistem sediaan farmasi, alat kesehatan, makanan dan minuman harus melibatkan seluruh pelaku baik secara perorangan maupun bersama dan terpadu antara Pemerintah, swasta/dunia usaha, organisasi profesi dan masyarakat.

a. Subsistem upaya kesehatan

Upaya pelayanan kesehatan memberikan peluang peningkatan pelayanan kefarmasian dengan meningkatkan peran sumberdaya yang ada dalam pelayanan kesehatan termasuk sumberdaya kefarmasian dalam pengembangan pengobatan rasional, pelayanan informasi obat dan pelayanan kefarmasian lainnya serta pengelolaan sediaan farmasi yang baik dan benar.

59

b. Subsistem pembiayaan kesehatan

Sistem pembiayaan kesehatan harus dapat menjamin terpenuhinya ketersediaan pembiayaan kesehatan untuk sediaan farmasi yang cukup untuk meningkatkan ketersediaan dan mutu sediaan farmasi yang ada di tempat pelayanan kesehatan, yang bersumber dari Pemerintah, Pemerintah Daerah, swasta maupun masyarakat.

c. Subsistem sumberdaya manusia kesehatan

Sumberdaya manusia kesehatan harus dapat menjamin ketersediaan tenaga profesi kefarmasian dan tenaga teknis kefarmasian yang kompeten melalui pelatihan maupun peningkatan pendidikan formal. Sedangkan tenaga teknis kefarmasian paling sedikit lulusan Diploma 3 baik di Puskesmas, Rumah Sakit maupun di Dinas dan Kabupaten/Kota.

d. Subsistem manajemen dan sistem informasi kesehatan

Subsistem manajemen dan sistem informasi kesehatan membantu penyebaran informasi yang benar, baik dan efektif bagi tenaga kesehatan dan masyarakat secara umum dalam upaya peningkatan pelayanan informasi obat dan pengobatan rasional serta informasi ketersediaan dan mutu sediaan farmasi, alat kesehatan serta makanan dan minuman, meliputi penataan, pengorganisasian, pendistribusian, pengendalian dan pengawasan obat (pelayanan, program, stok untuk bencana dan KLB), alat kesehatan, makanan minuman dan kosmetika.

e. Subsistem pemberdayaan masyarakat

Subsistem pemberdayaan masyarakat berperan dalam upaya meningkatkan kesadaran masyarakat dalam penggunaan obat secara mandiri (swamedikasi) dan rasional serta memilih makanan, minuman dan kosmetika yang baik untuk diri, keluarga, dan masyarakat serta mampu menyaring informasi yang beredar di media cetak maupun elektronik.

Masyarakat turut mengawasi penggunaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan makanan dan minuman untuk kepentingan sendiri secara benar, dan tidak berbahaya.

f. Subsistem regulasi

Subsistem regulasi memfasilitasi penyusunan kebijakan pengaturan periklanan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan makanan minuman.

Untuk itu ditetapkan kebijakan pembagian kewenangan pengawasan dan penyidikan di setiap strata pelayanan kesehatan serta pengembangan dan pemanfaatan penggunaan obat dan alat kesehatan tradisional, regulasi standar dan sanksi penggunaan obat di pelayanan kesehatan seperti Pos Kesehatan Desa (Poskesdes), Pos Kesehatan Pesantren (Poskestren), Balai Pengobatan (BP), Praktik bidan, Pos Persalinan Desa (Polindes) dan panti rehabilitasi penyalahguna NAPZA. Regulasi perlu ditegakkan dalam penempatan tenaga kefarmasian di BP karena dalam persyaratan pendirian BP, tidak dicantumkan. Demikian pula dokter praktek yang menyediakan obat. Obat tradisional yang telah diuji klinis dapat disediakan di Puskesmas.

g. Subsistem ilmu pengetahuan dan teknologi dan penelitian dan pengembangan kesehatan

Subsistem ilmu pengetahuan dan teknologi dan penelitian dan pengembangan kesehatan harus melaksanakan penelitian dan pengembangan kebutuhan sediaan farmasi khususnya obat tradisional, alat kesehatan dan makanan minuman, penelitian lahan yang baik untuk pengembangan bahan baku obat tradisional, pengembangan alat kesehatan tradisional serta pengembangan

60

penelitian bahan tambahan pangan pengganti BTP yang dilarang untuk masyarakat.

h. Subsistem kerjasama

Subsistem kerjasama memfasilitasi dunia usaha dengan petani bahan baku obat tradisional, memfasilitasi pembagian kewenangan Dinas, Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan, dan Badan Pelaksana Perizinan Terpadu.

E. SUBSISTEM MANAJEMEN DAN INFORMASI KESEHATAN

1. Pengertian

Subsistem manajemen dan informasi kesehatan merupakan bentuk dan cara penyelenggaraan yang menghimpun berbagai upaya manajemen kesehatan dan sistem informasi kesehatan yang mendukung subsistem lainnya guna menjamin tercapainya derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.

a. Manajemen kesehatan merupakan suatu kegiatan yang terdiri atas perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, pengendalian untuk mencapai tujuan dan mengambil keputusan yang cepat dan tepat (in the right time), di setiap jenjang administrasi kesehatan baik di tingkat unit pelaksana upaya kesehatan, di tingkat Kabupaten/Kota, Provinsi maupun Pusat guna menjamin derajat kesehatan yang setinggi-tingginya yang efektif dan efisien.

b. Informasi kesehatan merupakan suatu tatanan yang menghasilkan data/informasi yang akurat dan mutakhir untuk merancang pengambilan keputusan dan manajemen kesehatan di setiap tingkat administrasi yang meliputi pengumpulan, pengolahan, analisis, penyajian dan penyimpanan data dan informasi, yang dilakukan sejak dari tingkat Puskesmas, Kabupaten/Kota, Provinsi sampai tingkat Pusat dengan masing-masing jaringannya yang terintegrasi pada satu pusat pengelola data.

2. Tujuan

Tujuan manajemen kesehatan adalah terwujudnya bentuk dan cara penyelenggaraan manajemen kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan Daerah, berbasis data hasil penyelenggaraan kegiatan guna mendukung fungsi-fungsi manajemen kesehatan yang berhasilguna, berdayaguna dan akuntabel.

Tujuan sistem informasi kesehatan adalah terwujudnya data dan informasi yang berbasis bukti, akurat, cepat dan mutakhir guna mendukung meningkatnya derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.

3. Analisis situasi dan kecenderungan

Perencanaan pembangunan kesehatan pada saat ini belum berdasarkan fakta (evidence based) dan kinerja (performance based), oleh sebab itu perencanaan harus berbasis fakta dan kinerja.

Pengorganisasian sumberdaya kesehatan pada saat ini belum tertata dengan baik, oleh sebab itu dalam menggunakan sumberdaya harus secara efisien, efektif dan rasional untuk mencapai tujuan organisasi sesuai kebutuhan.

Penggerakan seluruh sumberdaya kesehatan belum dilaksanakan secara optimal. Oleh karena itu, harus diciptakan iklim kerjasama diantara pelaksana program sehingga tujuan dapat dicapai secara efektif dan efisien.

Pengendalian dalam proses monitoring dan evaluasi serta pengawasan masih belum sesuai dengan pedoman dan standar yang ada, oleh sebab itu pengendalian harus teratur dan berkesinambungan serta sesuai dengan rencana kerja yang sudah tersusun, dan mengadakan koreksi jika terdapat penyimpangan.

61

Keberhasilan atau kegagalan sistem informasi kesehatan di waktu yang lalu banyak berkaitan dengan masalah-masalah sumberdaya di tingkat operasional dan Kabupaten/Kota.

Ketersediaan data dan informasi belum berdasarkan evidence dan akses data dan informasi belum akurat, cepat dan mutakhir, sehingga kecenderungan dalam pengambilan keputusan tidak berdasarkan fakta.

Sistem informasi kesehatan belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam menunjang program-program kesehatan, sehingga di masa yang akan datang sistem informasi kesehatan harus terintegrasi secara selaras dan berkesinambungan serta dapat memenuhi kebutuhan program-program kesehatan.

Pemanfaatan teknologi telematika yang belum optimal disebabkan kebutuhan biaya yang besar, dan rendahnya apresiasi terhadap penggunaan teknologi atau menempatkannya pada prioritas yang rendah, oleh sebab itu perlu diupayakan pengembangan dan peningkatan sumberdaya kesehatan.

4. Unsur-unsur

a. Kebijakan kesehatan merupakan landasan yang menjadi acuan bagi seluruh pelaku pembangunan kesehatan baik Pemerintah, Pemerintah Daerah, dunia usaha, dan masyarakat dalam melaksanakan penyelenggaraan pembangunan kesehatan.

b. Administrasi kesehatan merupakan kegiatan perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian, serta pengawasan dan pertanggungjawaban penyelenggaraan pembangunan kesehatan.

c. Informasi kesehatan hasil pengumpulan, pengolahan data, analisis dan penyajian informasi, serta penyebarluasan dan pemanfaatannya sebagai masukan bagi pengambilan keputusan di bidang kesehatan.

d. Sumberdaya manajemen kesehatan dan informasi kesehatan meliputi sumberdaya manusia, dana, sarana prasarana, standar, dan kelembagaan yang digunakan secara berhasilguna dan berdayaguna dalam upaya mendukung terselenggaranya pembangunan kesehatan.

5. Prinsip

a. Inovasi atau kreativitas

Penyelenggaraan manajemen dan informasi kesehatan harus mampu menciptakan daya tahan dan kesinambungan kinerja sistem melalui inovasi/kreativitas dalam menghadapi perubahan dan tantangan pembangunan kesehatan dengan lebih baik.

b. Kepemimpinan yang visioner bidang kesehatan

Kepemimpinan yang visioner bidang kesehatan, adalah kepemimpinan yang mempunyai visi, keteladanan, dan berkomitmen dalam pembangunan kesehatan.

c. Sinergisme yang dinamis

Pendekatan manajemen kesehatan merupakan kombinasi dari pendekatan sistem, kontingensi, dan sinergi yang dinamis. Dalam manajemen ini penting adanya interaksi, transparansi, interelasi dan interdependensi yang dinamis diantara para pelaku pembangunan kesehatan. Perencanaan kebijakan, program, dan anggaran perlu disusun secara terpadu.

d. Informasi yang akurat, cepat dan mutakhir

Informasi yang berbasis evidence yang dapat di-update setiap saat serta dapat diakses dengan mudah, cepat dan terjangkau luas oleh seluruh pihak yang membutuhkan.

62

6. Penyelenggaraan

Subsistem manajemen dan informasi kesehatan diselenggarakan dengan mensinergikan unsur kebijakan, administrasi, hukum, dan informasi kesehatan.

a. Manajemen kesehatan

Penanggungjawab administrasi kesehatan adalah Dinas dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, yang mempunyai hubungan teknis fungsional.

Penyelenggaraan manajemen kesehatan didasarkan pada urusan wajib bidang kesehatan yang dilaksanakan secara terpadu, berdayaguna dan berhasilguna, berlandaskan pada arah kebijakan pembangunan Daerah dengan memperhatikan NSPK.

Prioritas pembangunan kesehatan, berorientasi pada kepentingan masyarakat, responsif gender, memanfaatkan teknologi informasi, didukung sumberdaya manusia yang kompeten, dan pembiayaan yang mencukupi; dilaksanakan secara sinergi dan dinamis antara sektor kesehatan dengan sektor lain, baik provinsi maupun Kabupaten/Kota dengan mengacu pada ketentuan peraturan perundangan-undangan; dan dilaksanakan dengan menjunjung tinggi penyelenggaraan kepemerintahan yang baik (good governance).

Perencanaan kesehatan Daerah diselenggarakan dengan menetapkan kebijakan pembangunan kesehatan jangka panjang, jangka menengah dan jangka pendek mengacu pada kesepakatan global, regional, kebijakan nasional dan memperhatikan kondisi spesifik daerah, dan kewenangan wajib, standar pelayanan minimal bidang kesehatan melalui sinkronisasi dan koordinasi dengan Kabupaten/Kota dan OPD terkait.

Dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas alokasi sumberdaya serta meningkatkan transparasi dan akuntabilitas pengelolaan program pembangunan, perlu dilakukan upaya pengendalian dan evaluasi terhadap pelaksanaan rencana pembangunan kesehatan.

Pelaksanan pengendalian meliputi pemantauan dan pelaporan terhadap perkembangan pelaksanaan rencana pembangunan dan mengidentifikasi serta mengantisipasi permasalahan yang timbul atau akan timbul untuk dapat diambil tindakan sedini mungkin.

b. Informasi kesehatan

Penyelenggaraan informasi kesehatan merupakan kegiatan pengelolaan data dan informasi yang meliputi pengumpulan, pengolahan, analisis, penyajian dan penyimpanan data/informasi, manajemen data dan informasi kesehatan, penelitian dan pengembangan kesehatan, serta penerapan pengetahuan dan teknologi informasi.

Pemerintah Daerah harus memberikan kemudahan kepada masyarakat untuk akses informasi kesehatan dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Hal ini dilakukan melalui koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi informasi kesehatan terkini, akurat, valid, cepat, serta berhasilguna dan berdayaguna sebagai bahan pengambilan keputusan dalam rangka penyediaan data dan informasi.

Dukungan pendayagunaan teknologi, data dari fasilitas kesehatan dan masyarakat (seperti riset kesehatan dasar dan surveilans), serta pengembangan sistem informasi kesehatan terpadu, dapat menjadi tulang punggung pengambilan keputusan yang bersifat evidence based.

Pengembangan sistem informasi kesehatan dilaksanakan secara bertahap dan berkesinambungan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan daerah

63

berdasarkan pada rancang bangun sistem informasi kesehatan yang telah disepakati bersama, dan kaidah-kaidah sistem informasi.

Efisiensi dan kelangsungan hidup sistem informasi kesehatan sangat tergantung pada tersedianya sumberdaya manusia dan sumberdaya fisik untuk mengelola serta organisasi yang dibangun dalam kerangka manajemen yang baik.

Pencatatan dan pelaporan rutin dalam sistem informasi kesehatan harus mendukung tiga jenis fungsi manajemen (yaitu manajemen pasien/klien, manajemen unit kesehatan, dan manajemen sistem kesehatan) yang ada di Daerah dan Kabupaten/Kota).

Sistem informasi kesehatan dibangun dari jejaring sistem informasi kesehatan di Kabupaten/Kota yang memiliki pusat jaringan dan anggota jaringannya, berupa unit-unit pelayanan kesehatan milik pemerintah maupun swasta.

Regulasi sistem informasi kesehatan diperlukan untuk menjamin penggunaan yang optimum terhadap sumberdaya yang ada dalam mendukung proses menghasilkan informasi.

Secara substansial penggunaan dan pemanfaaan teknologi informasi dan manajemen sistem informasi kesehatan di daerah, harus mempertimbangkan aspek-aspek sebagai berikut: good governance dan clean goverment yang mencakup tuntutan terhadap transparansi; akuntabilitas dan partisipasi masyarakat, west java cyber province dan e-health yang akan menopang pembangunan kesehatan di daerah; komunikasi antar OPD dan internal opd untuk menopang koordinasi dan sinergi dalam berbagai proses pengambilan keputusan; komunikasi untuk berbagai kepentingan e-health di Daerah (asuransi kesehatan, monitoring dan evaluasi); membangun jalinan komunikasi dengan institusi Pemerintah, Pemerintah Daerah, Pemerintah Kabupaten/Kota dan institusi swasta yang terkait erat dengan pembangunan kesehatan; serta integrasi sistem informasi kesehatan dengan sistem informasi lainnya dalam kerangka “west java cyber province,” termasuk informasi bagi berbagai peluang investasi di bidang kesehatan di Daerah.

7. Keterkaitan dengan subsistem lainnya

a. Sub sistem upaya kesehatan

Manajamen dan informasi kesehatan dapat mendukung kebijakan teknis dan administrasi serta memberikan data dan informasi untuk mendukung pelaksanaan penyelenggaraan upaya kesehatan yang meliputi fungsi manajemen klien/pasien, manajemen unit dan manajemen sistem kesehatan dengan mengacu kepada norma, standar, prosedur dan kriteria (NSPK).

b. Sub sistem pembiayaan kesehatan

Manajemen dan informasi kesehatan dapat memberikan dukungan baik kebijakan teknis dan administrasi dalam pembinaan dan fasilitasi pembiayaan kesehatan, melalui role sharing atau pembagian biaya pembagian biaya antara Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota, dengan mengacu kepada norma, standar, prosedur dan kriteria.

c. Sub sistem sumberdaya kesehatan

Manajemen dan informasi kesehatan dapat memberikan dukungan berupa kebijakan teknis dan administrasi dalam perencanaan, pengadaan, pendidikan dan pelatihan, pendayagunaan, pembinaan dan pengawasan sumberdaya kesehatan, agar lebih efektif dan efisien.

64

d. Sub Sistem Sediaan Farmasi, Alat kesehatan dan Makanan

Manajemen dan Informasi dapat mendukung kebijakan teknis dan administrasi serta memberikan Data dan Informasi untuk mendukung pelaksanaan penyelenggaraan Sistem Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan (Alkes) dan Makanan.

e. Sub sistem pemberdayaan masyarakat

Manajemen dan informasi kesehatan memberikan dukungan kebijakan teknis dan administrasi dalam perencanaan, pendayagunaan, pembinaan dan fasilitasi pemberdayaan masyarakat dengan mengacu pada norma, standar, prosedur dan kriteria.

f. Sub sistem regulasi kesehatan

Manajemen dan informasi kesehatan harus didukung oleh regulasi yang mengatur tentang pedoman, arah kebijakan, norma, standar, prosedur dan kriteria, dan mekanisme yang menyeluruh secara tegas dan konsisten bagi institusi pemerintah maupun swasta sesuai kewenangan lokal, regional, nasional dan internasional.

g. Sub sistem ilmu pengetahuan teknologi dan penelitian pengembangan kesehatan

Manajemen dan informasi kesehatan dapat ditunjang dari data dan informasi hasil pengembangan dan penelitan ilmu pengetahuan teknologi dan penelitian pengembangan kesehatan milik Pemerintah, Pemerintah Daerah, (Litbangkes/LIPI/BPPT/Ristakmas/Dikti,dsb), swasta, pemda lain, lembaga ilmiah dalam negeri/luar negeri, dengan mengacu kepada norma, standar, prosedur dan kriteria.

h. Sub sistem kemitraan

Manajemen dan informasi kesehatan perlu didukung swasta, organisasi profesi dan LSM dengan mengacu pada norma, standar, prosedur dan kriteria.

F. SUBSISTEM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

1. Pengertian

Subsistem pemberdayaan masyarakat adalah bentuk dan cara penyelenggaraan kesehatan untuk meningkatkan peranserta masyarakat agar tahu, mau dan mampu berperan, bukan hanya sebagai objek akan tetapi juga sebagai subjek dalam pembangunan kesehatan.

2. Tujuan

Terselenggaranya upaya pemberdayaan masyarakat melalui proses pembelajaran dan promosi kesehatan, sehingga masyarakat memiliki akses terhadap informasi, mendapat kesempatan dalam mengemukakan pendapat, serta terlibat dalam pengambilan keputusan, pemecahan masalah kesehatan yang dialami/terjadi pada individu, kelompok dan masyarakat di wilayahnya, serta mampu berinisiatif, berkreasi dan berinovasi, sehingga masyarakat dapat memberikan andil dalam pemeliharaan dan peningkatan kualitas hidup dan derajat kesehatan.

3. Analisis situasi dan kecenderungan

Pemberdayaan masyarakat dalam bidang kesehatan di Daerah belum menunjukkan hasil seperti yang diharapkan. Hal ini dapat dilihat dari cakupan program kesehatan, antara lain : cakupan PHBS di rumah tangga sebesar 32% (2007), cakupan desa siaga aktif 40% (2008), cakupan posyandu purnama-mandiri 25,67% (2008).

Adapun penyebabnya antara lain tenaga pembina yang masih kurang jumlah maupun kompetensinya, metode pengembangan pemberdayaan masyarakat yang kurang terintegrasi, banyaknya kebijakan pemberdayaan masyarakat yang seringkali

65

tumpang-tindih, terkotak-kotak serta tidak sinkron satu dengan yang lainnya serta pembiayaan yang minim dan tidak sinergis.

Terdapat kecenderungan masyarakat lebih senang mendapat bantuan secara langsung dalam mengatasi masalah atau menyerahkan pemecahan masalah kepada Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah, atau menunggu dibantu oleh pihak lain. Masyarakat enggan dan kurang berupaya untuk mengembangkan potensi untuk dapat mandiri dalam pemecahan masalah yang dihadapi, termasuk masalah kesehatan.

Berdasarkan kecenderungan yang ada, maka untuk meningkatkan dan mengembangkan potensi masyarakat dalam mengamati dan menilai pelaksanaan dan hasil-hasil pembangunan kesehatan, perlu upaya pengorganisasian dalam bentuk Badan Pertimbangan Kesehatan.

4. Unsur-unsur

Subsistem pemberdayaan masyarakat terdiri dari empat unsur, yaitu:

a. Penggerak pemberdayaan

Pemerintah, masyarakat, dan swasta menjadi inisiator, motivator dan fasilitator yang mempunyai kompetensi memadai dan dapat membangun komitmen dengan dukungan para pemimpin, baik formal maupun non formal.

b. Sasaran pemberdayaan

Perorangan (tokoh masyarakat, tokoh agama, politisi, figur masyarakat, dan sebagainya), kelompok (organisasi kemasyarakatan, organisasi profesi, kelompok masyarakat) dan masyarakat luas, serta Pemerintah dan Pemerintah Daerah yang akan berperan sebagai agen perubahan untuk penerapan perilaku hidup sehat (subjek pembangunan kesehatan).

c. Stategi promosi kesehatan

Berupa strategi pemberdayaan masyarakat untuk menumbuhkan potensi masyarakat melalui serangkaian kegiatan yaitu advokasi, pembinaan suasana dan penggerakan masyarakat.

d. Kegiatan hidup sehat

Kegiatan hidup sehat yang dilakukan sehari-hari oleh masyarakat, sehingga membentuk kebiasaan dan pola hidup, tumbuh dan berkembang, serta melembaga dan membudaya dalam kehidupan bermasyarakat.

e. Sumberdaya

Potensi yang dimiliki oleh masyarakat, swasta, dan Pemerintah dan Pemerintah Daerah yang meliputi dana, sarana dan prasarana, budaya, metode, pedoman, dan media untuk terselenggaranya proses pemberdayaan di bidang kesehatan.

5. Prinsip

Prinsip pemberdayaan masyarakat adalah menumbuhkembangkan potensi masyarakat, meningkatkan kontribusi masyarakat dalam pembangunan kesehatan, mengembangkan gotong-royong, bekerja bersama masyarakat, komunikasi informasi edukasi berbasis masyarakat, serta kemitraan dengan lintas sektor, LSM dan organisasi masyarakat lain. Agar prinsip pemberdayaan masyarakat dalam bidang kesehatan bisa terlaksana, harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

a. Berbasis masyarakat

Pembangunan kesehatan berbasis pada tata nilai perorangan, keluarga dan masyarakat, sesuai dengan keragaman sosial budaya, kebutuhan, permasalahan, serta potensi masyarakat (modal sosial).

66

b. Edukatif

Pemberdayaan masyarakat dilakukan atas dasar untuk menumbuhkan kesadaran, kemauan dan kemampuannya, serta menjadi penggerak dalam pembangunan kesehatan.

c. Kesempatan mengemukakan pendapat dan memilih pelayanan kesehatan

Masyarakat mempunyai kesempatan untuk mengemukakan pendapat dan memilih pelayanan kesehatan. Untuk itu, masyarakat diberikan kemudahan akses informasi, mengemukakan pendapat dan terlibat dalam proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kesehatan diri, keluarga, masyarakat, dan lingkungannya.

d. Kemitraan

Seluruh pelaku pembangunan kesehatan baik sebagai penyelenggara maupun sebagai pengguna jasa kesehatan, menjalin kemitraan dengan masyarakat yang dilayani, berdasarkan kebersamaan, kesetaraan dan saling memperoleh manfaat.

e. Kemandirian

Kemampuan masyarakat untuk mengoptimalkan dan menggerakkan seluruh sumberdaya setempat serta tidak bergantung kepada pihak lain. Kemandirian bermakna sebagai upaya kesehatan dari, oleh, dan untuk masyarakat.

f. Gotong-royong

Tumbuhnya rasa kepedulian, tenggang rasa, solidaritas, empati, dan kepekaan masyarakat dalam menghadapi masalah kesehatan, yang akhirnya bermuara dalam semangat gotong-royong sesuai dengan nilai luhur bangsa.

6. Penyelenggaraan

Penyelenggaraan pemberdayaan masyarakat di Daerah meliputi 3 (tiga) aspek, yaitu: pelaksanaan, pembinaan dan pengawasan serta penilaian dan pengembangan.

a. Pelaksanaan

Pelaksanaan pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan mengacu pada Kebijakan Pemerintah tentang pemberdayaan masyarakat, yang tertuang di dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, serta ketentuan peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh seluruh unsur penyelenggara pemerintahan di setiap tingkatan pemerintahan.

Pelaksanaan pemberdayaan berdasarkan kewenangan Daerah dalam bentuk

penyelenggaraan promosi kesehatan skala provinsi, yaitu :

1) Mengembangkan pengumpulan data, mengolah, analisis dan menyajikan data dari survei cepat PHBS skala provinsi.

2) Menetapkan prioritas masalah-masalah kesehatan setempat yang akan ditangani/ intervensi skala provinsi.

3) menetapkan waktu/ jadwal pelaksanaan promosi dan pemberdayaan masyarakat yang terfokus pada masalah-masalah kesehatan, prioritas. Hal ini dapat dilakukan dengan terlebih dahulu menganalisis secara epidemiologis masing-masing masalah kesehatan dan menetapkan pola kejaian menurut waktu, tempat dan orang skala provinsi.

4) melatih, mengawasi, membimbing dan mengevaluasi petugas-petugas kesehatan di unit-unit operasional dalam melaksanakan promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat untuk substansi program kesehatan prioritas skala provinsi.

67

5) membantu dan menfasilitasi petugas-petugas kesehatan di unit-unit operasional dengan sarana /media komunikasi yang sesuai untuk pelaksanaan promosi dan pembrdayaan masyarakat (misal dengan menyediakan lembar balik/media cetak, media elektronik, CD serta prototipe media lainnya). Untuk ini secara bertahap dikembangkan kemampuan petugas dalam memproduksi media (cetak dan elektronik) skala provinsi.

Bentuk pelaksanaan pemberdayaan masyarakat

1) Penggerakan Masyarakat

Pembangunan kesehatan perlu digerakkan oleh masyarakat, dan masyarakat mempunyai peluang yang penting dalam pembangunan kesehatan. Dalam kaitan ini, pelibatan aktif masyarakat dalam proses pembangunan kesehatan dilakukan mulai dari penelaahan situasi masalah kesehatan, penyusunan rencana termasuk penentuan prioritas kesehatan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi upaya kesehatan sehingga dapat terwujud kemandirian dan kesinambungan pembangunan kesehatan. Pemberdayaan masyarakat ditujukan agar individu mampu untuk hidup sehat serta berperan aktif dalam mengupayakan kesehatan kelompok maupun masyarakat.

Pemberdayaan masyarakat ditujukan guna terwujudnya penguatan upaya peningkatan, pencegahan, penyembuhan maupun pemulihan secara tersendiri atau terpadu. Perencanaan pemberdayaan masyarakat didasarkan pada fakta dan masalah kesehatan yang menjadi perhatian masyarakat setempat maupun masyarakat luas, serta dengan mempertimbangkan potensi sumberdaya dan nilai-nilai sosial budaya masyarakat.

Pemberdayaan masyarakat, termasuk penggerakan masyarakat, merupakan hal yang penting dalam pembangunan kesehatan, hal ini mengingat penekanan atau fokus pembangunan kesehatan diberikan pada peningkatan perilaku dan kemandirian masyarakat serta upaya promotif dan preventif.

2) Pengorganisasian dalam pemberdayaan

Pelaksanaan pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan melalui perorangan, kelompok, dan masyarakat luas sesuai dengan kepentingannya dengan cara berhasilguna dan berdayaguna. Pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan pula melalui pendekatan tatanan, seperti: rumah tangga, institusi pendidikan, tempat kerja, tempat umum, dan fasilitas kesehatan, agar terwujud pemberdayaan masyarakat yang berhasilguna dan berdayaguna serta terjamin kesinambungannya.

Bentuk pengorganisasian pemberdayaan masyarakat mengawasi dan menilai serta memberikan masukan terhadap penyelenggaraan upaya kesehatan, adalah Badan Pertimbangan Kesehatan Daerah, baik di tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota Kecamatan dan Desa, sesuai kebutuhan. Pembentukan Badan Pertimbangan Kesehatan ini diintegrasikan dengan lembaga yang sudah ada pada saat ini.

Unsur keanggotaan Badan Pertimbangan Kesehatan diupayakan dari seluruh sektor dan stakeholder di Daerah yaitu Bupati/Walikota, organisasi profesi, pakar kesehatan, perguruan tinggi, LSM, Asosiasi Dinas Kesehatan, Asosiasi Rumah Sakit, media massa, tokoh agama dan masyarakat. Anggota Badan ini merupakan orang terpilih yang mewakili kriteria tersebut di atas berdasarkan concern dan pengalamannya di bidang kesehatan.

68

Pemberdayaan masyarakat dilakukan dengan memperhatikan karakteristik dan kekhususan masyarakat, seperti masyarakat di desa, kota, daerah pesisir, daerah pegunungan, dan aliran sungai.

Pemberdayaan masyarakat dilakukan dengan metoda yang tepat, memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang, serta dengan memperhatikan nilai-nilai agama dan sosial budaya yang ada.

Upaya untuk meningkatkan pengetahuan, kesadaran, kemauan, dan kemampuan masyarakat dalam berperilaku sehat dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung melalui berbagai saluran media dan teknik promosi kesehatan.

Peranan Pemerintah membuka akses informasi dan dialog, menyiapkan regulasi, menyiapkan masyarakat dengan membekali pengetahuan dan keterampilan bagi masyarakat, dukungan sumberdaya untuk membangun kemandirian dalam upaya kesehatan dan mendorong terbentuknya UKBM, seperti: Poskestren, Musholla Sehat, Desa Siaga, Pemuda Siaga Peduli Bencana (Dasipena), dan kemandirian dalam upaya kesehatan.

Peran masyarakat dalam pembangunan kesehatan dapat dengan cara mendirikan sarana pelayanan kesehatan maupun memberikan informasi kesehatan (promosi kesehatan) kepada masyarakat. Dalam kaitan ini termasuk pengembangan Desa Siaga atau bentuk-bentuk lain pada masyarakat desa/kelurahan.

3) Advokasi

Masyarakat dapat berperan dalam melakukan advokasi kepada Pemerintah, Pemerintah Daerah serta lembaga pemerintahan lainnya seperti legislatif, untuk memperoleh dukungan kebijakan dan sumberdaya bagi terwujudnya pembangunan berwawasan kesehatan. Pelaksanaan advokasi dilakukan dengan dukungan informasi yang memadai serta metode yang berhasilguna dan berdayaguna.

Masyarakat dapat berpartisipasi dengan melakukan kritik yang membangun dan pengawasan pelaksanaan pembangunan kesehatan untuk kepentingan seluruh masyarakat.

4) Kemitraan

Pemberdayaan masyarakat dilakukan melalui kemitraan dengan berbagai pihak, seperti: sektor lain terkait, lembaga legislatif, dunia usaha, organisasi kemasyarakatan, perguruan tinggi dan masyarakat, agar terwujud dukungan sumberdaya dan kebijakan dalam pembangunan kesehatan yang propublik.

5) Peningkatan sumberdaya

Pemberdayaan masyarakat perlu didukung oleh pengembangan dan pemberdayaan sumberdaya manusia kesehatan yang kuat, pembiayaan yang memadai dan dukungan berbagai sarana lain yang berkaitan.

Dalam pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan pendampingan oleh penggerak yang berperan sebagai sebagai katalisator, fasilitator, komunikator, motivator, dinamisator, dan penasehat teknis dalam proses pemberdayaan masyarakat. Ketersediaan sumberdaya tersebut sangat penting agar dapat tercapai masyarakat berperilaku hidup sehat dan mandiri, termasuk pentingnya ketersediaan tenaga penggerak/promosi kesehatan di Puskesmas dan Rumah Sakit yang mempunyai kompetensi dan integritas tinggi.

69

b. Pembinaan dan pengawasan

Pembinaan dilakukan untuk pengembangan dan kesinambungan pemberdayaan masyarakat. Pembinaan dilakukan secara berjenjang mulai tingkat provinsi sampai desa/kelurahan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah yaitu tenaga kesehatan maupun tenaga lintas sektor, serta bekerjasama dengan mitra dari unsur tokoh masyarakat, swasta, LSM dan sebagainya.

Di tingkat desa, untuk kesinambungan kegiatan-kegiatan pemberdayaan masyarakat dibutuhkan penguatan forum masyarakat desa yang merupakan motor penggerak siklus pembelajaran pemecahan masalah di desa serta pembinaan terhadap anggota masyarakat desa yang dapat berperan sebagai agen pembaharu (agent of change) seperti : pembentukan jejaring promosi kesehatan, pembinaan kader dasawisma, kader siaga, dan lain-lain.

Pembinaan dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Misalnya melalui supervisi dan bimbingan/pendampingan, pembuatan dan pengiriman laporan, pemberian umpan balik, lomba atau kompetisi.

c. Penelitian dan pengembangan

Penelitian dan pengembangan pemberdayaan masyarakat perlu terus dilakukan dengan melibatkan Badan Penelitian dan Pengembangan maupun perguruan tinggi, agar diperoleh model-model pemberdayaan yang efektif dan efisien dalam memecahkan masalah kesehatan masyarakat.

Hasil penelitian disebarluaskan kepada pihak-pihak terkait untuk diimplementasikan di lapangan.

7. Keterkaitan dengan sub sistem lain

a. Sub sistem upaya kesehatan

Salah satu konsep untuk mencapai derajat kesehatan yang maksimal yaitu kesadaran, kemauan, kemampuan, untuk menangkal, memelihara dan meningkatkan kesehatan. Agar pemberdayaan masyarakat berdampak terhadap pencapaian derajat kesehatan masyarakat yang optimal, maka setiap upaya pemberdayaan kesehatan harus memperhatikan kegiatan dan sumberdaya upaya kesehatan.

b. Sub sistem sumberdaya manusia kesehatan

Pada aspek input, diharapkan dapat melakukan kemitraan dan koordinasi intensif dengan institusi pendidikan untuk menghasilkan lulusan yang siap pakai, khususnya dalam pemberdayaan masyarakat. Pemenuhan kebutuhan dapat dilakukan melalui pendidikan formal serta pembekalan lulusan melalui pendidikan dan pelatihan yang berhubungan dengan pemberdayaan masyarakat.

Untuk rekruitmen, sub sistem pemberdayaan sangat membutuhkan kualifikasi tenaga yang siap pakai, karena dalam proses rekruitmen menggunakan standar rekruitmen yang sesuai dengan kebutuhan, distribusi sumberdaya manusia diharapkan berdasarkan kebutuhan hasil mapping sumberdaya.

c. Sub sistem manajemen dan informasi kesehatan

Informasi tentang kondisi, kebutuhan dan kemajuan pemberdayaan masyarakat sangat diperlukan, demikian pula tentang potensi dan hambatan/masalah yang terjadi dalam upaya pemberdayaan. Diperlukan adanya sistem informasi yang akurat dan tepat waktu.

70

d. Sub sistem pembiayaan kesehatan

Agar pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan kesehatan dapat berjalan, maka subsistem pembiayaan kesehatan yang semula mengalokasikan pada upaya kesehatan perorangan (kuratif) ke depannya dapat diarahkan pada pembiayaan kesehatan upaya kesehatan masyarakat.

e. Sub sistem farmasi, alat kesehatan dan makanan

Diharapkan dapat lebih banyak melibatkan masyarakat dalam produksi dan pemanfaatan obat tradisional, untuk mengenali dan melindungi terhadap industri rumah tangga, bahan makanan berbahaya dan kosmetika berbahaya.

f. Subsistem regulasi kesehatan

Regulasi yang dapat menjamin terlaksananya pemberdayaan masyarakat dalam pencapaian derajat kesehatan masyarakat yang optimal, sangat penting. Diperlukan adanya kejelasan antara peran dan kewenangan masyarakat maupun Pemerintah dan Pemerintah Daerah.

Regulasi mengenai upaya pemberdayaan masyarakat dilakukan oleh institusi atau lembaga yang bekerjasama dengan masyarakat dalam bidang kesehatan dalam rangka perlindungan masyarakat.

g. Subsistem pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan penelitian dan pengembangan kesehatan

Penelitian dan pengembangan pemberdayaan masyarakat perlu dilakukan untuk memperoleh model maupun strategi pemberdayaan yang efektif dan efisien dalam memecahkan masalah-masalah kesehatan masyarakat.

Hasil penelitian disebarluaskan kepada pihak-pihak terkait untuk diimplementasikan di lapangan.

h. Subsistem kemitraan

Kemitraan ditujukan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pelaksanaan pemberdayaan masyarakat.

Eksisitensi Badan Pertimbangan Kesehatan Daerah (BPKD) sebagai lembaga yang bersifat independen lebih diarahkan untuk melakukan kegiatan sebagai berikut : (1) Melakukan refleksi terhadap pembangunan kesehatan di Daerah, terutama yang diimplementasikan di wilayah yang bercorak perkotaan maupun yang bercorak perdesaan (agraris, nelayan, dan sebagainya); (2) Melakukan analisis kebijakan untuk memperbaiki kebijakan publik yang dilandasi oleh pemahaman baru dalam pembangunan kesehatan millenium tiga; Evaluasi kebijakan dapat diangkat melalui isu-isu permasalahan pembangunan kesehatan di Daerah (Health Development Issues), kemudian dikaitkan dengan strategi pendekatan pemecahan masalah yang dilandasi dengan metodologi baru penanganan masalah;

(4) Memberikan berbagai masukan dalam penetapan visi, misi, dan tujuan yang jelas serta terukur dalam tema pembangunan kesehatan; (5) Berbagai pendekatan strategi untuk penerapan kebijakan pembangunan kesehatan di Daerah; (6) Menekankan pembiayaan dalam pemenuhan “money follow program” dan “mission budget”; (7) Melakukan monitoring dan evaluasi.

G. SUBSISTEM REGULASI KESEHATAN

1.Pengertian

Regulasi kesehatan adalah bentuk dan cara pengaturan, pembinaan dan pengawasan serta penindakan terhadap berbagai aspek atau komponen upaya kesehatan untuk perlindungan masyarakat dan peningkatan mutu.

71

Di dalamnya termasuk kegiatan registrasi, lisensi, sertifikasi dan akreditasi serta perpanjangannya sesuai kebutuhan sesuai kewenangan, berdasar peraturan perundang-undangan yang berlaku.

a. Pengertian registrasi

Registrasi adalah pendaftaran dan pencatatan seluruh aspek upaya kesehatan yang terkait dengan perlindungan masyarakat dan peningkatan mutu, yang telah memenuhi standar persyaratan yang berlaku.

b. Pengertian lisensi

Lisensi adalah pemberian izin/perizinan terhadap berbagai aspek upaya kesehatan, terkait terpenuhinya berbagai persyaratan yang sesuai standar mutu kesehatan masyarakat dan mutu pelayanan.

c. Pengertian sertifikasi

Sertifikasi adalah pemberian sertifikat kepada lembaga pelayanan kesehatan dan tenaga kesehatan yang telah memenuhi standar yang ditetapkan dalam upaya kesehatan, termasuk perpanjangannya.

d. Pengertian akreditasi

Akreditasi adalah penetapan akreditasi kepada tenaga dan lembaga yang memberikan pelayanan kesehatan, setelah memenuhi standar akreditasi yang ditetapkan.

2. Tujuan

Mewujudkan perlindungan hukum bagi masyarakat penerima upaya pelayanan kesehatan, serta kepastian hukum bagi pemberi pelayanan, yaitu lembaga, tenaga profesional dan mutu pelayanan, agar dapat tercapai mutu pelayanan yang setinggi-tingginya bagi seluruh masyarakat.

3. Analisis situasi dan kecenderungan

a. Permasalahan regulasi kesehatan secara umum

Semakin meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap hak-hak dasar untuk hidup sehat dan mendapatkan pelayanan kesehatan yang bermutu. Disisi lain, terdapat permasalahan perlu direspon dengan pengembangan fungsi regulasi oleh lembaga terkait. Semakin berkembangnya upaya-upaya kesehatan yang belum teruji keamanan dan manfaatnya, namun disambut masyarakat dengan antusias (kasus Ponari, dan lain-lain sejenisnya); Semakin berkembangnya industri kecil dan rumah tangga dalam bentuk makanan, minuman yang mengandung bahan kimia berbahaya untuk kesehatan, sediaan farmasi palsu dan substandar, serta kosmetik yang palsu dan mengandung bahan berbahaya bagi masyarakat.

Disamping itu, masih rendahnya kewenangan di bidang kesehatan sebagai payung hukum di Daerah untuk pengaturan, pembinaan, pengawasan dan penindakan, karena belum terdapat dasar hukum yang jelas dan komprehensif untuk pelaksanaan regulasi di bidang kesehatan; belum selesainya penyusunan pengembangan dasar-dasar regulasi yang berfokus kepada pelaksanaan regulasi di Daerah dan Kabupaten/Kota serta belum adanya analisis dampak kesehatan.

Regulasi di tingkat provinsi dibutuhkan berkaitan dengan kesepakatan atau penyelesaian masalah lintas Kabupaten/Kota, maupun di wilayah perbatasan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Provinsi Banten dan Provinsi Jawa Tengah. Masalah berkaitan dengan regulasi sumberdaya manusia, sebagai contoh izin praktek dokter di 3 (tiga) tempat yang berada di Kabupaten/Kota yang

72

berbeda, misalnya di Bandung dan Sumedang atau antara Jakarta dan Bekasi atau Bogor dan Tangerang Banten. Demikian juga pendidikan dan pelatihan tenaga PPNS, yang merupakan kebutuhan Kabupaten/Kota, akan lebih efektif dan efisien bila pelaksanaannya dikoordinasikan oleh tingkat Pemerintah Daerah.

b. Permasalahan regulasi kesehatan secara khusus

1) Desain regulasi. Desain regulasi yang ada lebih bersifat administratif dan lebih mengarah kepada upaya peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD); Birokrasi pelayanan publik masih rumit, sehingga proses regulasi belum jelas bagi masyarakat; Monitoring regulasi masih lemah dan tidak ada ”reward and punishment” yang tegas; Disamping itu akuntabilitas dan transparansi dalam desain regulasi masih rendah dan tidak responsif terhadap perubahan lingkungan.

2) Informasi regulasi. Terdapat ketidakseimbangan informasi antara regulator dengan masyarakat di bidang kesehatan; Belum efektifnya sosialisasi regulasi upaya kesehatan dari Pemerintah Daerah kepada lembaga pelayanan dan tenaga kesehatan, termasuk kepada organisasi profesi, dan masyarakat umum; Disamping itu belum dipahaminya manfaat perlindungan hukum oleh pelaku upaya kesehatan yang cenderung menghindari upaya penegakan hukum.

3) Faktor kapasitas. Kapasitas dan jumlah aparatur tidak sebanding dengan banyaknya aspek dan upaya kesehatan yang perlu diatur dan dimonitor secara berkala; Ketersediaan dana/anggaran belum memadai untuk pelaksanaan dan penindakan hukum; Tidak jelasnya standardisasi.

4) Faktor otoritas. Belum lengkapnya acuan hukum untuk melakukan regulasi berbagai aspek upaya kesehatan yang melindungi penerima dan pemberi pelayanan; kejelasan kewenangan provinsi dan kabupaten/kota; belum diterapkannya ” reward and punishment”; Tidak jelasnya pembagian kerja dan kewenangan antar OPD; Belum tersedia dan belum jelasnya norma, standar, prosedur dan kriteria bagi aspek-aspek upaya kesehatan, sehingga menyulitkan pengaturan.

4. Unsur-unsur

1) Regulator, peran sebagai regulator dilaksanakan oleh Dinas dan Dinas Kabupaten/Kota.

2) Sarana dan tenaga kesehatan, merupakan unsur yang diawasi, meliputi seluruh sarana dan tenaga kesehatan baik milik pemerintah maupun swasta.

3) Regulasi adalah seluruh peraturan perundangan yang mengatur tentang registrasi, sertifikasi, lisensi dan akreditasi untuk sarana dan tenaga kesehatan.

4) Norma, standar, prosedur dan kriteria bidang kesehatan.

5. Prinsip-prinsip

a. Keamanan, manfaat, dan mutu

Pemerintah Daerah mengawasi keamanan, khasiat, manfaat dan mutu seluruh aspek dan komponen upaya kesehatan, agar masyarakat terhindar dari hal-hal yang membahayakan kesehatan.

b. Kemitraan

Pembinaan, pengawasan dan penindakan atau penegakan hukum, perlu dilakukan dengan pola kemitraan.

73

c. Tingkat kewenangan

Regulasi pelaksanaan kewenangan termasuk koordinasi dan fasilitasi serta antar Kabupaten/Kota maupun dengan provinsi yang berdekatan.

6. Penyelenggaraan

Bentuk penyelenggaraan regulasi, adalah pengaturan, pembinaan, pengawasan dan penindakan setiap upaya kesehatan dan aspek-aspeknya, untuk perlindungan dan perbaikan mutu pelayanan kesehatan.

a. Pengaturan dengan pelaksanaan regulasi, lisensi, sertifikasi dan akreditasi setiap aspek dan komponen upaya kesehatan, meliputi :

1) registrasi, akreditasi, dan sertifikasi sarana kesehatan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan :

(a) Perizinan fasilitas pelayanan kesehatan ditetapkan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah.

(b) Penyelenggara fasilitas pelayanan kesehatan dilarang mempekerjakan tenaga kesehatan yang tidak memiliki kualifikasi dan izin melakukan pekerjaan profesi, yang dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

(c) Pemerintah Daerah dapat menetapkan jumlah dan jenis fasilitas pelayanan kesehatan serta pemberian izin operasional. Penetapan jumlah dan jenis fasilitas pelayanan kesehatan dilakukan oleh Pemerintah Daerah dengan mempertimbangkan:

(1) luas wilayah;

(2) kebutuhan kesehatan;

(3) jumlah dan persebaran penduduk;

(4) pola penyakit;

(5) pemanfaatan;

(6) fungsi sosial; dan

(7) kemampuan dalam memanfaatkan teknologi.

Pemerintah Daerah melaksanakan ketentuan mengenai jumlah dan jenis fasilitas pelayanan kesehatan serta pemberian izin beroperasi. Hal ini berlaku pula untuk fasilitas pelayanan kesehatan asing. Ketentuan mengenai jumlah dan jenis fasilitas pelayanan kesehatan tidak berlaku untuk jenis rumah sakit khusus karantina, penelitian, dan asilum.

2) pemberian rekomendasi izin sarana kesehatan tertentu yang diberikan oleh Pemerintah;

3) pemberian izin sarana kesehatan, meliputi Rumah Sakit Pemerintah Kelas B, Rumah Sakit Khusus, Rumah Sakit Swasta serta sarana kesehatan penunjang yang setara;

4) registrasi, akreditasi, sertifikasi tenaga kesehatan tertentu skala provinsi sesuai peraturan perundang-undangan, yaitu :

(a) Tenaga kesehatan harus memiliki kualifikasi minimum sesuai dengan ketentuan dan sertifikasi yang diperoleh melalui uji kompetensi oleh MTKP Daerah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

(b) Tenaga kesehatan berwenang untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang dilakukan sesuai dengan bidang keahlian yang dimiliki. Dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan, tenaga kesehatan wajib memiliki izin dari Pemerintah Daerah, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

74

(c) Tenaga kesehatan harus memenuhi ketentuan mengenai kode etik, standar profesi, hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan dan standar operasional prosedur, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

5) pemberian rekomendasi izin tenaga kesehatan asing;

6) penyediaan dan pengelolaan bufferstock obat provinsi, alat kesehatan, reagensia dan vaksin lainnya skala provinsi;

7) sertifikasi sarana produksi dan distribusi alat kesehatan, dan perbekalan kesehatan rumah tangga kelas II;

8) pemberian rekomendasi izin industri komoditi kesehatan, pedagang besar farmasi, dan Pedagang Besar Alat Kesehatan (PBAK);

9) pemberian Izin PBF Cabang dan IKOT;

b. Pembinaan dengan penyadaran hukum terhadap setiap pelaku upaya yang dapat berdampak terhadap kesehatan masyarakat.

c. Pengawasan dengan prinsip pencegahan, serta terjadinya dampak yang membahayakan kesehatan masyarakat.

d. Pengembangan kemitraan dengan kejelasan mengenai tugas, wewenang dan tanggungjawab OPD dalam upaya perlindungan kesehatan masyarakat.

e. Keterpaduan dalam penindakan terhadap penyimpangan peraturan yang ada, sehingga memberi kepastian hukum yang jelas bagi pelaku usaha dan pelayanan kesehatan.

f. Pemantapan pengawasan, monitoring dan penindakan yang konsisten dan berdasar hukum, dan menimbulkan efek jera.

g. Ketersediaan anggaran untuk menciptakan jumlah dan mutu PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil) untuk pelaksanaan regulasi, sehingga sebanding dengan kebutuhan.

h. Pengaturan dan penyelesaian masalah lintas Kabupaten/Kota maupun di perbatasan dengan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Provinsi Banten dan Provinsi Jawa Tengah.

7. Pembinaan dan pengawasan

a. Pembinaan upaya regulasi ditujukan untuk menjamin keamanan dan manfaat serta mutu upaya kesehatan dan aspek-aspek pendukung untuk perlindungan kesehatan masyarakat.

b. Pemerintah Daerah bertanggungjawab melakukan pembinaan regulasi terhadap seluruh bentuk upaya kesehatan dan penunjang kesehatan, agar pelaksanaan regulasi terselenggara berdasar norma, standar, prosedur dan kriteria.

c. Pembinaan regulasi oleh Dinas bekerjasama dengan OPD terkait dan lembaga lain, pihak organisasi profesi, swasta/organisasi perusahaan sejenis, dan lembaga-lembaga lain dalam masyarakat.

d. Organisasi profesi dan organisasi perusahaan dan lembaga swasta bidang kesehatan, dapat melakukan pembinaan dilingkup kerjanya masing-masing.

e. Pengawasan upaya regulasi, untuk menjamin konsistensi penyelenggaraan regulasi, dilakukan secara intensif, baik internal maupun eksternal oleh Pemerintah, yang dapat melibatkan swasta dan masyarakat.

75

8. Penelitian dan pengembangan

Pengembangan dan manfaat ilmu pengetahuan dan teknologi yang memadai untuk pengembangan regulasi perlindungan kesehatan masyarakat dan peningkatan mutu, perorangan, sarana, lembaga dan teknik pelayanan kesehatan.

Penyelenggaraan ilmu pengetahuan dan teknologi meliputi antara lain : (a) Pelaksanaan penelitian dilaksanakan oleh Pusat-Pusat Penelitian dan pengembangan, yang telah mendapat pengakuan, baik instansi pemerintah maupun swasta atau lembaga masyarakat. (b) Penelitian pelaksanaan regulasi dilakukan secara berkala, disesuaikan dengan perkembangan hukum dan sosial, serta bentuk-bentuk perlindungan hukum untuk kehidupan kesehatan masyarakat. (c) Pemanfaatan dan penyebarluasan hasil penelitian menyangkut regulasi upaya kesehatan serta berbagai komponen dan aspeknya, dilaksanakan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Penelitian oleh warga negara asing, baik dilakukan oleh badan atau individu, harus mendapat izin dan diawasi oleh Pemerintah Daerah.

9. Keterkaitan subsistem regulasi dengan subsistem lain

Regulasi kesehatan berdasarkan kewenangan di Daerah, berupa kewenangan langsung, koordinatif, dan fasilitasi lintas Kabupaten/Kota.

a. Regulasi upaya kesehatan

1) Regulasi pelayanan kesehatan tingkat pertama

a) Regulasi sarana pelayanan kesehatan perorangan tingkat pertama sesuai standar yang ditetapkan, dengan memperhatikan mutu pelayanan yang semakin dapat memberikan kepuasan bagi penerima pelayanan maupun pemberi pelayanan.

b) Regulasi standar tenaga kesehatan pelayanan kesehatan perorangan memberikan pelayanan dasar perorangan dalam hal penyuluhan dan pendidikan kesehatan kepada penerima pelayanan.

c) Regulasi terlaksananya norma, standar, prosedur dan kriteria dalam pelayanan kesehatan tingkat pertama yang disertai pembinaan dan pengawasan serta penerapan “reward and punishment”.

d) Regulasi terhadap pelayanan kesehatan tradisional dan alternatif, agar aman dan bermanfaat, dalam rangka perlindungan kesehatan masyarakat.

e) Regulasi pelayanan kesehatan keluarga miskin, dengan norma, standar, prosedur dan kriteria yang tegas, agar tidak terdapat keluarga miskin yang tidak memperoleh haknya.

f) Regulasi perkembangan UKBM, agar sepenuhnya disesuaikan kebutuhan dan kemampuan masyarakat, guna manfaat yang sebesar-besarnya untuk masyarakat.

g) Regulasi pengembangan revitalisasi Puskesmas, dengan menggerakkan fungsi vital Puskesmas dalam upaya pemeliharaan, pencegahan, peningkatan dan perlindungan masyarakat serta pemberdayaan kemandirian masyarakat hidup sehat.

h) Regulasi pelayanan kesehatan tradisional dan alternatif yang menggunakan alat dan teknologi, agar pelayanan dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya serta tidak bertentangan dengan norma agama dan budaya masyarakat.

76

i) Regulasi pengelola tempat kerja agar bertanggungjawab terhadap pekerjanya, hidup sehat terbebas dari segala gangguan kesehatan dan pengaruh buruk yang diakibatkan oleh pekerjaan serta kecelakaan kerja yang terjadi di lingkungan kerja.

2) Regulasi pelayanan kesehatan tingkat kedua

a) Regulasi sistem rujukan medis dan kesehatan, baik vertikal maupun horizontal, agar pelayanan bermutu dan menjamin sistem rujukan yang efektif.

b) Regulasi norma, standar, prosedur dan kriteria dalam pelayanan Rumah Sakit baik milik Pemerintah Daerah, TNI, Polri, swasta maupun masyarakat, agar pelayanan yang diberikan semakin bermutu.

c) Regulasi jaminan pelayanan keluarga miskin pada Rumah Sakit sehingga tidak terjadi adanya penderita keluarga miskin yang terlantar dalam pelayanan dan rujukan.

d) Regulasi pelayanan kesehatan perorangan di Rumah Sakit yang berbasis bukti (evidence based medicine), yaitu yang aman, sesuai, efektif dan efisien terutama penggunaan alat-alat kedokteran mutakhir yang mahal.

e) Regulasi kerjasama pengembangan dan pengujian obat-obat tradisional dan alternatif, untuk menjamin efektivitas dan efisiensi pengujian.

f) Regulasi penggunaan Rumah Sakit untuk tempat pendidikan dan pelatihan tenaga kesehatan, sesuai dengan kebutuhan dan standar yang ditetapkan.

g) Regulasi pelaksanaan rujukan kesehatan, berupa sarana, teknologi dan operasional, agar efektif dan efisien sesuai kebutuhan masyarakat.

h) Regulasi norma, standar, prosedur dan kriteria penanggulangan penyakit menular dan masalah kesehatan lain lintas Kabupaten/Kota.

i) Regulasi pengembangan pelayanan penunjang untuk pelayanan tingkat kedua berupa Laboratorium Kesehatan Daerah, Balai Teknik Kesehatan Lingkungan, fasilitas kalibrasi dan peralatan kesehatan lain.

j) Regulasi pengembangan pelayanan kesehatan keluarga.

3) Regulasi pelayanan kesehatan tingkat ketiga

a) Regulasi norma, standar, prosedur dan kriteria pelaksanaan rujukan medis subspesialistik, baik pelayanan kesehatan perorangan maupun kesehatan masyarakat, dan upaya kesehatan penunjang lainnya.

b) Regulasi pelayanan kesehatan rujukan tingkat ketiga untuk orang miskin, agar terlaksana secara efektif dan efisien, dan tidak merugikan hak-hak orang miskin.

c) Regulasi RS Umum dan RS Khusus di Daerah yang ditetapkan sebagai rujukan tingkat ketiga, termasuk pusat-pusat pelayanan seperti Pusat Radiotherapy, dan RS Mata Cicendo, dalam rangka menjamin pelayanan kepada masyarakat berbasis bukti (evidence based medicine).

d) Regulasi norma, standar, prosedur dan kriteria pelaksanaan rujukan kesehatan masyarakat tingkat ketiga, berupa sarana, teknologi, maupun tenaga, yang dilaksanakan oleh Dinas dan didukung kerjasama lintas sektor.

e) Regulasi norma, standar, prosedur dan kriteria terhadap pengembangan instansi kesehatan masyarakat, tingkat kedua dan tingkat ketiga, termasuk Rumah Sakit swasta yang mengembangkan berbagai pelayanan khusus, seperti Rumah Sakit Holistik, Klinik Kecantikan, Rumah Sakit Alternatif dan sebagainya.

77

b. Regulasi pembiayaan kesehatan

1) Regulasi penyediaan pembiayaan kesehatan.

a) Regulasi alokasi pembiayaan kesehatan yang semakin meningkat dari tahun ke tahun, yang bersumber dan APBD Kabupaten/Kota, APBD Provinsi, APBN, bantuan luar negeri/pinjaman luar negeri, swasta, lembaga asuransi.

b) Regulasi dana masyarakat untuk kesehatan serta semakin berkembangnya jaminan pelayanan kesehatan masyarakat, yang terjamin manfaatnya bagi masyarakat.

c) Regulasi penerimaan dan pemanfaatan dana dari perusahaan-perusahaan berupa CSR untuk agar semakin meningkat, khususnya untuk pemeliharaan kesehatan keluarga miskin.

d) Regulasi pengembangan KTP berasuransi kesehatan keluarga miskin yang preminya dibayar oleh Pemerintah Daerah, berupa jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat.

2) Regulasi pengalokasian anggaran

a) Regulasi alokasi anggaran untuk upaya preventif dan promotif diarahkan untuk semakin dominan daripada upaya kuratif dan rehabilitatif, secara proporsional.

b) Regulasi alokasi anggaran dengan mengutamakan penanganan daerah terpencil, daerah tertinggal dan daerah perbatasan serta daerah rawan kesehatan.

3) Regulasi penggunaan pembiayaan

a) Regulasi penerapan prinsip akuntansi yang baku sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

b) Regulasi penerapan prinsip-prinsip akuntabilitas dan transparansi serta kinerja pelaksanaan program.

c) Regulasi penggunaan standar-standar pembuatan, pencatatan, pelaporan, pelayanan dan program.

c. Regulasi sediaan farmasi, alat kesehatan, makanan

1) Regulasi sediaan farmasi

a) Regulasi produksi dan peredaran sediaan farmasi yang menjamin keamanan dan manfaat bagi masyarakat, khususnya penindakan terhadap obat palsu, substandar dan racikan-racikan yang membahayakan masyarakat.

b) Regulasi ketersediaan sediaan farmasi yang standar, pada seluruh tingkat pelayanan, sampai daerah-daerah terpencil untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

c) Regulasi produksi dan peredaran jenis dan bentuk obat-obat tradisional, agar terjamin keamanan dan manfaatnya untuk perlindungan masyarakat.

2) Regulasi alat kesehatan

a) Regulasi produksi dan penggunaan alat-alat kesehatan, agar penggunaannya tidak merugikan masyarakat.

b) Regulasi produksi dan pengunaan alat-alat kesehatan yang berteknologi tinggi, agar digunakan secara rasional, dan tidak menimbulkan dampak kesehatan dan kerugian bagi masyarakat.

78

c) Regulasi pengawasan, pembinaan dan penindakan terhadap penggunaan alat-alat kesehatan.

3) Regulasi makanan dan minuman

a) Regulasi pengawasan, pembinaan dan penindakan produksi dan peredaran makanan dan minuman yang mengandung bahan-bahan berbahaya bagi kesehatan masyarakat.

b) Regulasi pengawasan dan penindakan peredaran makanan dan minuman produksi luar negeri yang belum mendapat izin oleh Kementerian Kesehatan/BPOM.

c) Regulasi pengawasan dan penindakan terhadap makanan dan minuman suplemen, yang dipromosi sebagai obat yang menyembuhkan penyakit.

4) Regulasi kosmetik

a) Regulasi pengawasan dan penindakan terhadap produksi dan peredaran kosmetika palsu, sehingga membahayakan kesehatan masyarakat.

b) Regulasi pengawasan dan penindakan terhadap produksi dan peredaran kosmetika yang mengandung bahan-bahan kimia berbahaya untuk kesehatan masyarakat.

c) Regulasi pengawasan dan penindakan terhadap sarana dan lembaga yang memproduksi alat-alat dan bahan-bahan kosmetik yang membahayakan masyarakat.

d. Regulasi sumberdaya manusia kesehatan

1) Regulasi perencanaan sumberdaya manusia kesehatan

a) Regulasi perencanaan kebutuhan sumberdaya manusia kesehatan, yang sepenuhnya didasarkan pada kebutuhan dan mengacu pada standar mutu sumberdaya manusia.

b) Regulasi perencanaan mutu, jumlah dan jenis sumberdaya manusia kesehatan agar dapat bersaing secara global.

c) Regulasi perencanaan kebutuhan jumlah, jenis dan mutu sumberdaya manusia kesehatan, serta penyerapan tenaga kerja kesehatan.

2) Regulasi pengadaan sumberdaya manusia kesehatan

a) Regulasi pelaksanaan standar pengadaan sumberdaya manusia kesehatan di Daerah, meliputi standar kurikulum, standar tenaga pengajar dan standar metoda pendidikan, untuk menjamin mutu sumberdaya manusia kesehatan.

b) Regulasi pengadaan sumberdaya manusia kesehatan yang dilakukan berbagai institusi, seperti Kementerian Kesehatan, Pemerintah Daerah, TNI, Polri, dan swasta, termasuk jumlah kelas mahasiswa, dan bentuk serta jenjang pendidikan sumberdaya manusia kesehatan.

c) Regulasi terhadap pengiriman sumberdaya manusia kesehatan keluar negeri yang mengacu pada perlindungan hukum selama berkerja di luar negeri.

3) Regulasi pendayagunaan sumberdaya manusia kesehatan

a) Regulasi pendayagunaan sumberdaya manusia kesehatan berdasar prinsip pemerataan dan pengembangan karier bagi tenaga kesehatan yang bersedia bekerja di daerah terpencil, daerah perbatasan, daerah tertinggal dan daerah rawan.

b) Regulasi pendayagunaan tenaga profesional kesehatan dalam pelayanan kesehatan perorangan tingkat kedua dan tingkat ketiga untuk disiapkan bekerja di daerah yang kurang diminati.

79

c) Regulasi pembatasan penggunaan tenaga kesehatan asing di bidang konsultan dalam rangka alih teknologi, dengan persyaratan yang ketat oleh Konsil Kedokteran Indonesia (KKI).

d) Regulasi pengembangan pendayagunaan sumberdaya manusia kesehatan melalui pelatihan dan pendidikan lanjutan untuk pengembangan mutu dan karier tenaga kesehatan.

e) Regulasi pembinaan dan pengawasan sumberdaya manusia kesehatan untuk bekerja sesuai kompetensi dan disiplin profesi.

f) Regulasi pembinaan dan pengawasan praktek profesi tenaga kesehatan dalam pemberian sertifikasi dan lisensi sesuai kebutuhan.

e. Regulasi manajemen dan informasi kesehatan

1) Regulasi kebijakan kesehatan

a) Regulasi kebijakan kesehatan di berbagai institusi/lembaga kesehatan yang berkompeten membuat kebijakan sesuai norma, standar, prosedur dan kriteria.

b) Regulasi kebijakan kesehatan oleh Pemerintah Daerah dan Pemerintah Kabupaten/Kota mengacu pada pengarusutamaan pembangunan kesehatan dalam pembangunan daerah.

c) Regulasi kebijakan kesehatan yang menetapkan skala prioritas berbasis bukti (evidence based), melalui proses pengkajian bersama pemangku kepentingan dan masyarakat.

2) Regulasi administrasi kesehatan

a) Regulasi penyelenggaraan administrasi, manajemen dan kepemimpinan pembangunan kesehatan sesuai norma, standar, prosedur dan kriteria serta berorientasi pada perbaikan kehidupan kesehatan masyarakat.

b) Regulasi perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, pengawasan dan pertanggungjawaban dalam pencapaian perbaikan kesehatan masyarakat yang semakin efektif dan efisien.

c) Regulasi administrasi dan manajemen pembangunan kesehatan secara optimal.

3) Regulasi berdasar hukum kesehatan

a) Regulasi berdasar hukum kesehatan dilakukan dengan menyusun produk hukum yang harmonis dan sinergi dengan Kebijakan Pusat dan Kabupaten/Kota.

b) Regulasi berdasar hukum kesehatan diarahkan pada terciptanya kesadaran hukum masyarakat dalam upaya pembangunan kesehatan.

c) Regulasi berdasar hukum kesehatan dilaksanakan untuk perlindungan masyarakat dan pemberian pelayanan kesehatan yang berkeadilan dan kesetaraan termasuk kesetaraan gender.

4) Regulasi informasi kesehatan

a) Regulasi penyelenggaraan informasi kesehatan, meliputi pengumpulan pengolahan, analisis data dan pelaporan serta manajemen informasi kesehatan sesuai dengan norma, standar, prosedur dan kriteria.

b) Regulasi informasi kesehatan, untuk menjamin tersedianya data dan informasi terkini, akurat, valid dan cepat, untuk perumusan kebijakan pembangunan kesehatan di Daerah.

c) Regulasi informasi kesehatan yang mengatur aspek kerahasiaan informasi kesehatan dalam pengembangan sistem informasi kesehatan terpadu.

80

f. Regulasi pemberdayaan masyarakat

1) Regulasi penggerakan masyarakat

a) Regulasi penggerakan masyarakat dalam upaya kesehatan, harus berdasarkan prinsip-prinsip pemahaman tujuan dan manfaat, kerelawanan, kemampuan dasar dan peluang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dan mandiri.

b) Regulasi penggerakan masyarakat dalam berbagai kegiatan masyarakat melalui UKBM yang berbasis nilai, sosial budaya, kebutuhan, permasalahan dan potensi masyarakat setempat, untuk mengantisipasi permasalahan kesehatan.

c) Regulasi pemberdayaan masyarakat ditujukan guna terwujudnya penguatan upaya pemeliharaan, peningkatan, pencegahan dan perlindungan kesehatan masyarakat, serta penyembuhan dan pemulihan.

2) Regulasi pengorganisasian dalam pemberdayaan

a) Regulasi pengorganisasian masyarakat didasarkan pada bentuk pengorganisasian yang sesuai dengan nilai budaya masyarakat, dengan kebebasan berkreasi namun dengan tujuan perbaikan kehidupan masyarakat secara mandiri.

b) Regulasi pengorganisasian pemberdayaan masyarakat dalam upaya kesehatan, ditata secara bertahap, dimulai dengan menumbuhkan kesadaran pentingnya hidup sehat, lalu munculnya kemauan untuk berpartisipasi karena meyakini manfaat upaya untuk masyarakat sendiri, dan tumbuhnya kerelawan dan kemampuan untuk bekerja bersama masyarakat menuju kemandirian.

c) Regulasi pemberdayaan masyarakat diarahkan pada peningkatan kemampuan untuk berperanserta dalam proses penetapan kebijakan.

3) Regulasi kemitraan

a) Regulasi kemitraan dalam pemberdayaan masyarakat, bersama sektor pembangunan lain dan lembaga swasta.

b) Regulasi kemitraan dalam pengembangan kemandirian masyarakat, agar dapat bekerjasama dengan lembaga-lembaga lintas sektor serta lembaga legislatif termasuk perguruan tinggi dan lembaga swasta, untuk mewujudkan dukungan kebijakan dalam pemberdayaan kemandirian masyarakat.

c) Regulasi kemitraan dalam pengembangan sumberdaya termasuk sumberdaya manusia kesehatan, sebagai pendampingan untuk fasilitator, komunikator dan dinamisator, dalam pengembangan pembiayaan dan sarana yang dibutuhkan menuju kemandirian masyarakat.

g. Regulasi pengembangan ilmu pengetahuan teknologi dan penelitian pengembangan kesehatan

1) Regulasi penelitian kesehatan

a) Regulasi penelitian kesehatan, diarahkan pada penelitian-penelitian yang berkaitan dengan kesehatan masyarakat (public health) sebagai dasar pengembangan kebijakan pembangunan kesehatan yang lebih efektif, efisien, produktif dan bermutu.

b) Regulasi pelaksana penelitian kesehatan masyarakat yang kompeten dan terakreditasi, sehingga hasil penelitiannya dapat dipertanggungjawabkan secara akademik.

81

c) Regulasi mengenai penelitian upaya kesehatan tradisional dan pengobatan alternatif, karena belum jelas keamanan dan manfaatnya, dalam rangka mewujudkan perlindungan kesehatan masyarakat.

d) Regulasi penggunaan dan penyebarluasan informasi hasil penelitian kesehatan yang dapat menyesatkan dan menimbulkan kegelisahan masyarakat.

e) Regulasi pembinaan, pengawasan dan penindakan terhadap penyalahguna hasil-hasil penelitian yang dikategorikan rahasia menurut hukum kesehatan.

2) Regulasi pengembangan kesehatan

a) Regulasi untuk membina dan mengawasi bentuk dan cara pengembangan upaya kesehatan, agar tidak menimbulkan dampak yang merugikan kehidupan kesehatan masyarakat.

b) Regulasi kelembagaan yang mengembangkan bentuk dan cara upaya kesehatan, yang tidak bertentangan dengan norma, standar, prosedur dan kriteria.

c) Regulasi penerapan tindaklanjut dari hasil pengembangan upaya kesehatan, agar tidak menimbulkan efek negatif pada daerah aplikatif yang baru, karena adanya faktor-faktor lokal yang tidak sesuai.

d) Regulasi untuk mendorong lembaga-lembaga/instansi-instansi dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, melakukan inovasi pengembangan upaya kesehatan sesuai dengan identifikasi kondisi dan masalah potensi spesifik di wilayahnya.

3) Regulasi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi

a) Regulasi penerapan ilmu pengetahuan kesehatan dan kedokteran untuk menjamin kehidupan kesehatan manusia yang berkualitas.

b) Regulasi penerapan kemajuan teknologi diagnostik dan pengobatan untuk menjaga kehidupan kesehatan manusia dan martabatnya.

c) Regulasi teknologi informasi kesehatan dan kedokteran agar sepenuhnya mendukung perbaikan kesehatan masyarakat,serta proteksi atas kerahasiaan informasi kesehatan.

h. Regulasi kemitraan dan kerjasama

1) Regulasi kemitraan internal

a) Regulasi kerjasama kemitraan internal antarprogram, yang memperhatikan prinsip-prinsip akuntabilitas, transparansi serta norma, standar, prosedur dan kriteria.

b) Regulasi kerjasama kemitraan antarlembaga/instansi kesehatan, yang berdasarkan prinsip-prinsip efektivitas, efisiensi, serta ditujukan pada perbaikan kehidupan masyarakat.

c) Regulasi kerjasama kemitraan untuk pelaksanaan program yang dapat dinilai cost-effective dan cost-benefit-nya, serta bagaimana program kemitraan semakin dirasakan hasilnya oleh masyarakat.

2) Regulasi kemitraan eksternal

a) Regulasi kerjasama kemitraan dengan lembaga/instansi di luar kesehatan, agar terwujud sinergisme berdasarkan kinerja program kerjasama kemitraan.

82

b) Regulasi kerjasama kemitraan dengan lembaga/instansi diluar kesehatan, dalam mewujudkan harmonisasi dan dinamisasi pengembangan jejaring yang efektif dan efisien dalam perbaikan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat.

c) Regulasi kerjasama kemitraan dengan lembaga swasta, berdasarkan kepentingan bersama bagi perbaikan kehidupan kesehatan masyarakat.

H. SUBSISTEM PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN TEKNOLOGI DAN PENELITIAN PENGEMBANGAN KESESEHATAN

1. Pengertian

Subsistem ilmu pengetahuan teknologi dan penelitian pengembangan kesehatan adalah bentuk dan cara pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi serta penelitian dan pengembangan kesehatan dalam rangka mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.

Pengertian penelitian kesehatan adalah kegiatan yang dilakukan menurut kaidah dan metode ilmiah secara sistematis untuk memperoleh informasi, data dan keterangan yang berkaitan dengan pemahaman dan pembuktian kebenaran atau ketidakbenaran suatu asumsi dan/atau hipotesis di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi serta menarik kesimpulan ilmiah bagi keperluan kemajuan ilmu dan teknologi di bidang kesehatan.

Pengertian pengembangan kesehatan adalah kegiatan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan yang bertujuan memanfaatkan kaidah dan teori ilmu pengetahuan yang telah terbukti kebenarannya untuk meningkatkan fungsi, manfaat dan aplikasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah ada atau menghasilkan teknologi baru di bidang kesehatan.

2. Tujuan

Mewujudkan peranan ilmu pengetahuan teknologi dan penelitian pengembangan kesehatan yang berdayaguna dan berhasilguna dalam memperoleh/menghasilkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta pengetahuan lain, yang diperlukan untuk menentukan kebijakan dan program pembangunan kesehatan, baik secara promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Disamping itu melindungi dan menjamin keselamatan/keamanan masyarakat dari dampak negatif penerapan ilmu pengetahuan teknologi dan penelitian pengembangan kesehatan dalam rangka mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.

3. Analisis situasi kecenderungan

Penelitian dan pengembangan kesehatan di Daerah saat ini masih terkotak-kotak, yang dilakukan oleh perguruan tinggi, lembaga penelitian pengembangan dan unit-unit penelitian lainnya, yang belum menjawab kebutuhan nyata permasalahan kesehatan dan pelayanan kesehatan. Hal tersebut diakibatkan oleh adanya regulasi yang tumpang tindih serta belum adanya sinergisme antara bidang pendidikan, kesehatan dan sektor lainnya. Keadaan ini menyebabkan data-data yang berbasis bukti yang dibutuhkan untuk kepentingan program pembangunan kesehatan di Daerah menjadi tidak lengkap dan valid.

Tantangan ilmu pengetahuan teknologi dan penelitian pengembangan di bidang kesehatan di Daerah yang dihadapi adalah banyaknya hasil-hasil ilmu pengetahuan teknologi dan penelitian pengembangan kesehatan yang belum dimanfaatkan secara optimal untuk mengatasi masalah dan kendala dalam pembangunan di bidang kesehatan. Disamping itu banyaknya penyusun dan penentu kebijakan tidak menjadikan hasil ilmu pengetahuan teknologi dan penelitian pengembangan kesehatan sebagai dasar kebijakan pelaksanaan dan pengembangan

83

penyelenggaraan kesehatan yang berbasis kearifan lokal berupa teknologi tepat guna, yang mampu menjawab tantangan masa depan pembangunan kesehatan di Daerah. Perkembangan dan pemanfaatan hasil-hasil ilmu pengetahuan teknologi dan penelitian pengembangan kesehatan tanpa mempertimbangkan standar keamanan dan keselamatan, nilai-nilai kemanusiaan, norma kesusilaan dan norma budaya yang berlaku di masyarakat.

Hal ini tidak sesuai diterapkan dalam era knowledge base economy, learning organization, knowledge institution of government, dimana posisi ilmu pengetahuan menjadi sentral penggerak dinamika pembangunan.

Perkembangan ilmu pengetahuan harus ditopang oleh sokoguru penelitian dan pengembangan bidang kesehatan yang harus tumbuh dan berkembang yang didukung oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dunia usaha dan masyarakat peneliti di bidang kesehatan.

4. Unsur-unsur

Unsur-unsur subsistem ilmu pengetahuan teknologi dan penelitian pengembangan kesehatan terdiri dari :

a. Hasil penelitian dan teknologi kesehatan, merupakan hasil dari penelitian dan pengembanan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan.

b. Peneliti, yaitu setiap orang yang bertugas melakukan penelitian dan pengembangan kesehatan.

c. Pengguna hasil penelitian dan pengembangan kesehatan, yaitu individu/kelompok/organisasi yang menggunakan hasil-hasil penelitian dan pengembangan kesehatan dan produk teknologi kesehatan.

d. Penerapan hasil penelitian dan pengembangan kesehatan, yaitu setiap kegiatan untuk memanfaatkan atau menggunakan hasil penelitian dan pengembangan kesehatan baik untuk sendiri maupun untuk pihak lain.

e. Penyelenggara ilmu pengetahuan teknologi dan penelitian pengembangan kesehatan, yaitu setiap orang dan lembaga atau BHMN maupun swasta yang menyelenggarakan penelitian dan pengembangan kesehatan dan produk teknologi kesehatan.

5. Prinsip

1. Harus mengacu dan tidak boleh bertentangan dengan agama, moral, kode etik peneliti, pedoman etik penelitian, norma ketertiban umum atau norma kesusilaan dan norma budaya yang berlaku di masyarakat.

2. Tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

3. Inovatif dan kreatif.

4. Penyelenggaraan ilmu pengetahuan teknologi dan penelitian pengembangan kesehatan harus mampu menghadapi perubahan dan tantangan pembangunan kesehatan.

5. Sinergis dan dinamis.

6. Merupakan kombinasi dari pendekatan kepentingan msyarakat yang terkait dengan peningkatan kemampuan akademik dan ilmiah, melalui temuan masalah yang diangkat dari kebutuhan kesehatan masyarakat.

6. Penyelenggaraan

a. Penyelenggaraan subsistem

1) Teknologi dan produk teknologi kesehatan diadakan, diteliti, diedarkan, dikembangkan, dan dimanfaatkan bagi kesehatan masyarakat.

84

2) Teknologi kesehatan mencakup seluruh metode dan alat yang digunakan untuk mencegah terjadinya penyakit, mendeteksi adanya penyakit, meringankan penderitaan akibat penyakit, menyembuhkan, memperkecil komplikasi, dan memulihkan kesehatan setelah sakit sesuai ketentuan dan standar yang ditetapkan.

3) Dalam mengembangkan teknologi dapat dilakukan uji coba teknologi atau produk teknologi terhadap manusia atau hewan, dengan jaminan tidak merugikan manusia yang dijadikan objek uji coba.

4) Uji coba dilakukan oleh orang yang berwenang dan dengan persetujuan orang yang dijadikan objek uji coba.

5) Penelitian terhadap hewan harus dijamin untuk melindungi kelestarian hewan tersebut serta mencegah dampak buruk yang tidak langsung bagi kesehatan manusia sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

6) Setiap orang dilarang mengembangkan teknologi dan/atau produk teknologi yang dapat berpengaruh dan membawa risiko buruk terhadap kesehatan masyarakat, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

7) Fungsi dan peran subsistem ilmu pengetahuan teknologi dan penelitian pengembangan kesehatan adalah : 1) melakukan upaya-upaya penggalangan, pengembangan dan penguatan pendidikan, penelitian dan pengembangan teknologi tepat guna. 2) Penyelenggaraan ilmu pengetahuan teknologi dan penelitian pengembangan kesehatan berbasis bukti, berasas pada kesesuaian kebutuhan yang tidak bertentangan dengan etika, moral dan nilai agama serta memberikan dukungan dan ketahanan bagi perlindungan negara dan peningkatan kesehatan yang ditujukan pada kesejahteraan dan peningkatan kualitas hidup masyarakat. 3) Pengujian/pengawasan terhadap pelaksanaan penggunaan dan pemanfaatan hasil-hasil teknologi kesehatan yang belum terstandardisasi tersebut dilaksanakan oleh tim khusus yang dibentuk oleh Pemerintah Daerah dan/atau Pemerintah.

Fungsi-fungsi tersebut merupakan gabungan dari karakteristik universal dan karakteristik lokal sebagai upaya meningkatkan kompetensi setiap unsur pelayanan kesehatan dalam melakukan pelayanan kesehatan dalam upaya preventif, promotif, kuratif, rehabilitatif.

8) Pengembangan ilmu pengetahuan teknologi dan penelitian pengembangan kesehatan dapat diandalkan untuk melakukan inisiasi pembinaan dan kerjasama dengan kalangan industri, lembaga-lembaga dalam dan luar negeri dan unit-unit pelayanan kesehatan lain termasuk pelayanan kesehatan tradisional.

9) Menyusun proposal/pentahapan protokol penelitian pengembangan kesehatan.

10) Pemanfaatan hasil, yaitu mentransformasi/menerapkan hasil penelitian menjadi suatu kegiatan; pengkajian hasil penelitian dan penyusunan ringkasan eksekutif untuk pengambil keputusan dan pelaksana program, memfasilitasi publikasi hasil penelitian pengembangan kesehatan, memfasilitasi hak atas kekayaan intelektual (HaKI) sebagai hasil penelitian pengembangan kesehatan sebagai sumberdaya produk/proses.

11) Manajemen penelitian pengembangan kesehatan : memanfaatkan sumberdaya penelitian pengembangan kesehatan secara efektif dan efisien, menginisiasi, membina dan mengembangkan jejaring penelitian pengembangan kesehatan, memfasilitasi publikasi hasil penelitian pengembangan kesehatan, serta memfasilitasi HaKI.

85

12) Pengelolaan lingkungan penelitian pengembangan kesehatan; menciptakan hubungan baik dengan seluruh simpul dan mitra penelitian pengembangan kesehatan, menyediakan sistem penghargaan kepada lembaga penelitian pengembangan kesehatan, peneliti dan fungsional penelitian pengembangan kesehatan dan ilmu pengetahuan kesehatan lainnya.

13) Pengelolaan sumberdaya : menyediakan sistem rekrutmen dan pengembangan sumberdaya manusia penelitian pengembangan kesehatan, menjamin ketersediaan dan kesinambungan dana penelitian pengembangan kesehatan sesuai agenda.

14) Pengelolaan sistem regulasi perizinan penelitian dan pendanaan penelitian hubungan kemitraan di bidang ilmu pengetahuan teknologi dan penelitian pengembangan kesehatan.

b. Pembinaan dan pengawasan

1) Pembinaan dan pengawasan ilmu pengetahuan teknologi dan penelitian pengembangan kesehatan merupakan upaya untuk mengarahkan, memberikan dukungan serta mengawasi pelaksanaan pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan teknologi dan penelitian pengembangan kesehatan.

2) Pembinaan dan pengawasan terhadap kompetensi tenaga kesehatan pengguna dan pemanfaat hasil ilmu pengetahuan dan teknologi sesuai dengan standar pelayanan minimal kesehatan.

3) Pemerintah Daerah bertanggungjawab melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan ilmu pengetahuan teknologi dan penelitian pengembangan kesehatan.

4) Pembinaan dan pengawasan oleh Pemerintah Daerah dilaksanakan bekerjasama dengan organisasi profesi, organisasi pendidikan, swasta/organisasi perusahaan, lembaga donor baik dalam maupun luar negeri serta lembaga-lembaga ilmu pengetahuan teknologi dan penelitian pengembangan kesehatan lainnya.

5) Pembinaan dan pengawasan ilmu pengetahuan teknologi dan penelitian pengembangan kesehatan dilakukan secara intensif, baik internal maupun eksternal dengan memberikan masukan saran/pertimbangan yang disampaikan kepada subsistem regulasi kesehatan.

c. Penelitian dan pengembangan

1) Ruang lingkup ilmu pengetahuan teknologi dan penelitian pengembangan terdiri dari :

a) Ilmu kehidupan, mencakup biochemistry seperti biochip genomics dan bioinformatic; biologi dari sel; genomics dan bioinformatics; biomarkers; penyakit infeksi seperti HIV dan influenza; penyakit kronis seperti kanker, kardiovaskuler, dan immunological diseases; neuroscience dan neurobiology; pharmacology dan toxicology; ekologi dan biologi.

b) Ilmu sosial, mencakup psikologi dan perubahan perilaku, antara lain : kepribadian, kreativitas, kerja tim, pemasaran, kesehatan jiwa, dan media/informasi kesehatan; sosiologi seperti pemberdayaan masyarakat, kesenjangan dalam kesehatan dan pembangunan kesehatan; politik seperti dukungan masyarakat, bioterorism, dan stem cells; ekonomi seperti model bisnis, globalisasi dan intelectual property.

86

c) Ilmu fisika , matematika, dan engineering, mencakup nanotechnology, Fisika seperti imaging, Biomedicalengineering, devices and procedures seperti implants, advanced materials, tissues engineering, statistik dan probabilitas.

d) Teknologi dan manajemen informasi mencakup kemampuan komputasi informasi yang tinggi; soft ware; data storage seperti genetic, epidemiologic, dan outcome database; jejaring seperti multimedia dan wireless; modeling dan simulation seperti clinical trial simulations; ontology dan manajemen pengetahuan

e) Lingkungan dan polusi mencakup epidemiologi lingkungan, pengetahuan ekosistem, keadilan lingkungan, dan psikologi lingkungan.

f) Pelayanan kesehatan mencakup, integrasi pelayanan dan monitoring kesehatan, pemberdayaan masyarakat dan pencegahan penyakit, pelayanan gawat darurat, pelayanan penyakit kronis, ekonomi kesehatan, pelayanan terminal, pelayanan kesehatan alternatif, sistem pelayanan alternatif, terapi energi, intervensi jiwa serta badan.

Ruang lingkup tersebut diatas, baik secara vertikal maupun eksperimental, kuantitatif dan kualitatif, disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat.

2) Penelitian dan pengembangan teknologi dapat dilakukan dengan uji coba teknologi atau produk teknologi terhadap manusia dan hewan, dengan jaminan tidak merugikan manusia yang dijadikan obyek uji coba serta menjamin dan melindungi kelestarian hewan tersebut.

3) Pengembangan dan pemanfaatan teknologi dan/atau produk teknologi harus mempertimbangkan standar keamanan dan keselamatan, nilai-nilai kemanusiaan, norma kesusilaan dan norma budaya yang berlaku di masyarakat.

7. Keterkaitan dengan subsistem lainnya

a. Subsistem upaya kesehatan

Inventarisasi kebutuhan dalam upaya kesehatan dikembangkan di dalam Ilmu pengetahuan teknologi dan penelitian pengembangan kesehatan. Hasil-hasil Ilmu pengetahuan teknologi dan penelitian pengembangan kesehatan dimanfaatkan dalam pelaksanaan upaya kesehatan untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan.

b. Subsistem pembiayaan kesehatan

Kegiatan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan yang bernilaiguna bagi pengembangan teknologi dan peningkatan kesejahteraan serta kualitas hidup manusia, membutuhkan kegiatan yang sistematik dan kontinyu serta dana yang cukup besar.

Pembiayaan yang besar tersebut perlu didukung melalui kerjasama dengan lembaga-lembaga penelitian maupun sumber dana penelitian dalam negeri maupun luar negeri.

c. Subsistem sumberdaya manusia kesehatan

Keterlibatan sumberdaya manusia kesehatan dari seluruh stakeholders bidang kesehatan diarahkan dalam melakukan kajian dan pengembangan untuk memecahkan masalah aktual di bidang kesehatan, pelayanan kesehatan dan kendala kesehatan yang diselenggarakan berdasarkan bukti terkini secara efektif dan efisien.

87

d. Subsistem sediaan farmasi, alat kesehatan dan makanan

Menentukan sasaran/program penelitian dan pengembangan yang akan dicapai; pengujian dan pengawasan penggunaan dan pemanfaatan hasil teknologi kesehatan dan penelitian pengembangan kesehatan, dikaitkan dengan pengembangan kompetensi akademik dan ilmiah yang melibatkan regulator, produsen (industri) dan operator (pengguna).

e. Subsistem manajemen dan informasi kesehatan

Memberikan masukan kepada subsistem manajemen dan informasi kesehatan sebagai dasar dalam pengambilan kebijakan kesehatan. Dalam hal ini Pemerintah Daerah menerima masukan mengenai kebutuhan penelitian dan teknologi kesehatan dari subsistem manajemen dan informasi kesehatan.

f. Subsistem pemberdayaan masyarakat

Memberikan masukan model dan strategi pemberdayaan yang efektif dan efisien dalam memecahkan masalah kesehatan masyarakat serta menyebarluaskannya kepada masyarakat. Disamping itu Pemerintah Daerah menerima masukan mengenai kebutuhan penelitian dan teknologi kesehatan dari subsistem pemberdayaan masyarakat.

g. Subsistem regulasi kesehatan

Pengembangan ilmu pengetahuan teknologi dan penelitian pengembangan kesehatan didasarkan pada subsistem regulasi berkenaan dengan pelaksana penelitian, pengguna maupun penyelenggara penelitian; prosedur penelitian; penerapan hasil ilmu pengetahuan teknologi dan penelitian pengembangan kesehatan; serta penyebarluasan informasi hasil penelitian kesehatan. Hasil ilmu pengetahuan teknologi dan penelitian pengembangan kesehatan dijadikan dasar untuk penetapan regulasi kesehatan.

h. Subsistem kemitraan dan kerjasama

Memberikan masukan model kemitraan yang efektif dan efisien dalam memecahkan masalah-masalah kesehatan masyarakat. Menerima masukan mengenai kebutuhan akan penelitian dan teknologi kesehatan dari subsistem pemberdayaan masyarakat.

I. SUBSISTEM KEMITRAAN DAN KERJASAMA

1. Pengertian

Kemitraan (Partnership) adalah bentuk kerjasama antarlembaga pemerintahan meliputi Pemerintah, Pemerintah Daerah, Pemerintah Kabupaten/Kota, DPRD, OPD, lembaga swasta dan lembaga kemasyarakatan, agar pelaksanaan program pembangunan dapat lebih efektif, efisien, produktif dan bermutu, berbasis norma, standar, prosedur dan kriteria yang ditetapkan.

2. Tujuan

Terwujudnya kesadaran dan kemauan kerjasama serta kemitraan untuk pelaksanaan upaya kesehatan yang lebih efektif dan efisien dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat di Daerah, agar dapat hidup sehat dan produktif, menjadi sumberdaya manusia yang bermutu yang dapat bekerja dalam berbagai lembaga/institusi sektoral, swasta dan masyarakat.

3. Analisis situasi dan kecenderungan

Masih rendahnya pemahaman dan keinginan OPD dan lembaga swasta serta masyarakat untuk bekerjasama dalam bentuk kemitraan, yang diperlukan untuk terlaksananya berbagai upaya kesehatan secara efektif dan efisien dalam upaya menyehatkan kehidupan masyarakat.

88

Sejak pemerintahan Orde Baru, upaya melakukan koordinasi, keterpaduan dan kebersamaan belum menampakkan hasil, terutama dalam pelaksanaan program di lapangan. Hal ini disebabkan karena masih tingginya ego-sektoral dari berbagai sektor pembangunan, termasuk di Daerah.

Ego sektoral dimasa reformasi masih nampak, namun dengan otonomi daerah dan desentralisasi, hal ini dapat diminimalisasi dengan berbasis kepemimpinan di Daerah, sehingga upaya koordinasi dan keterpaduan, dapat diupayakan.

Semakin berkembangnya keberdayaan masyarakat dalam berbagai upaya kesehatan, serta upaya swasta di bidang kesehatan, menuntut perlunya pengembangan kemitraan untuk peningkatan pelayanan dan derajat kesehatan masyarakat secara lebih efisien dan efektif.

4. Unsur-unsur

a) Pemerintahan Daerah, terdiri dari lembaga eksekutif dan legislatif.

b) Seluruh OPD.

c) Pemerintah dan Pemerintah Kabupaten/Kota.

d) Lembaga swasta, yang berhubungan langsung atau tidak langsung dengan upaya kesehatan.

e) LSM, yang berhubungan langsung atau tidak langsung dengan upaya kesehatan.

f) Perguruan tinggi negeri dan swasta.

g) Lembaga-lembaga internasional.

5. Prinsip-prinsip

a. WHO : “Health is Everyone‟s Business”

b. Undang-Undang Dasar 1945 : Setiap orang berhak mendapatkan kehidupan yang sehat dan pelayanan kesehatan yang bermutu dan terjangkau.

c. Kemitraan dalam upaya kesehatan mengutamakan tujuan tercapainya kesehatan seluruh penduduk termasuk pegawai dan pekerja yang bekerja di lembaga pemerintah dan swasta, serta masyarakat umum.

d. Kemitraan mengutamakan kesetaraan, kesejajaran dan sinergisme, serta saling menguntungkan para pihak yang bermitra/bekerjasama.

e. Mengembangkan tatanan good governance dengan akuntabilitas dan transparansi dalam kemitraan/kerjasama.

f. Kemitraan didasari komitmen para pihak untuk pencapaian tujuan bagi perbaikan kesehatan masyarakat, dan keberhasilan bersama.

6. Penyelenggaraan

a. Identifikasi peran yang dapat dilakukan oleh OPD, lembaga swasta dan lembaga kemasyarakatan, dalam menunjang upaya kesehatan, baik langsung maupun tidak langsung.

b. Pengembangan komitmen bersama dan kemitraan.

c. Penetapan komitmen kemitraan yang mengikat secara hukum dalam kebijakan daerah.

d. Sosialisasi dan pengembangan komitmen pada tataran pelaksanaan di lapangan agar kemitraan dan kerjasama dapat terlaksana, sesuai kesepakatan.

e. Memonitor secara bersama-sama pelaksanaan kemitraan dan kerjasama di lapangan.

f. Melakukan evaluasi bersama terhadap hasil-hasil yang dicapai dalam kerjasama dan kemitraan, beserta masalah dan hambatan yang muncul dan solusi untuk pemecahan masalah.

89

7. Peran kemitraan yang diharapkan

Peran kemitraan yang diharapkan dari seluruh pemangku kepentingan di Daerah, khususnya OPD, yang sesuai dengan peran dan fungsi masing-masing, yang dapat dipadukan dengan upaya pelayanan dan perbaikan kesehatan masyarakat agar menjadi sehat dan produktif.

Dengan dasar, kesehatan atau hidup sehat adalah hak asasi setiap orang, maka kesehatan adalah tanggung jawab seluruh masyarakat dan bukan hanya tanggungjawab sektor kesehatan. WHO menegaskan : “Health is Everyone Bussiness”.

Peran berbagai OPD, lembaga dan badan, termasuk lembaga pemerintahan dan DPRD serta swasta dan masyarakat, baik berhubungan langsung, maupun tidak langsung, didasarkan pada perspektif kebersamaan dalam bentuk kemitraan (partnership), sebagai berikut :

1) DPRD/BADAN ANGGARAN

a) Memberikan dukungan terhadap pembangunan kesehatan, baik upaya kuratif dan rehabilitatif melalui penyedia pelayanan kesehatan dan upaya preventif dan promotif melalui revitalisasi Puskesmas dan pengembangan partisipasi masyarakat serta seluruh pemangku kepentingan.

b) Memberikan dukungan terhadap peningkatan pelayanan kesehatan kepada penduduk miskin, meliputi jaminan pengobatan dan perawatan, serta upaya-upaya preventif dan promotif.

c) Memberikan dukungan terhadap pendayagunaan dana CSR perusahaan-perusahaan besar untuk perbaikan kesehatan masyarakat miskin.

d) Memberikan dukungan untuk meningkatkan proporsi anggaran bagi pembangunan kesehatan, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

e) Melakukan pengawasan atas pembangunan kesehatan.

f) Mendorong pergerakan OPD, pemangku kepentingan dan masyarakat serta swasta mendukung keterpaduan, efektifitas dan efisiensi upaya kesehatan.

g) Menetapkan Perda yang semakin memantapkan upaya kesehatan masyarakat.

2) ASISTEN PEMERINTAHAN, HUKUM DAN HAM

a) Membantu pengembangan kelembagaan Dinas dan UPTD, untuk lebih optimal dalam pelayanan dan perbaikan kesehatan masyarakat.

b) Membantu peningkatan koordinasi dan keterpaduan OPD dalam penyelenggaraan kesehatan.

3) ASISTEN ADMINISTRASI PEMBANGUNAN

a) Membantu pengembangan program-program baru/inovatif, agar upaya kesehatan dapat lebih memenuhi tuntutan hak asasi masyarakat untuk hidup sehat.

b) Membantu pengembangan kebijakan pembangunan kesehatan, untuk peningkatan komposit kesehatan mendukung peningkatan IPM.

90

4) ASISTEN ADMINISTRASI

a) Membantu upaya pengembangan standar ketenagaan pada Dinas, Puskesmas, UPTD/UPTB dan pemenuhan kebutuhan tenaga sesuai standar yang ditetapkan.

b) Membantu upaya pembinaan dan peningkatan mutu tenaga kesehatan melalui pelatihan-pelatihan manajemen dan teknis serta pendidikan lanjutan.

5) ASISTEN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT

a) Membantu pengembangan kebijakan umum di bidang kesehatan, meliputi pelayanan kesehatan dan jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat serta PHBS.

b) Membantu percepatan pencapaian indeks kesehatan sebagai salah satu indikator IPM.

6) BIRO PELAYANAN SOSIAL DASAR

a) Membantu mendorong kebijakan pelayanan kesehatan dasar dengan menerapkan revitalisasi Puskesmas di Daerah.

b) Membantu mendorong keterpaduan jaminan pelayanan kesehatan masyarakat dengan pelayanan yang bermutu dan mudah terjangkau, yaitu pengembangan dokter keluarga/klinik keluarga di Daerah.

c) Membantu mendorong jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat dengan cakupan semesta (universal coverage) dengan menerapkan “Jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat Syariah” berdasar visi pembangunan Daerah yang dimulai dengan kata-kata “Dengan Iman dan Taqwa”, yang bermakna dasar pembangunan Jawa Barat adalah pengembangan “keshalehan sosial”.

7) BIRO PENGEMBANGAN SOSIAL

a) Membantu dalam pengembangan PHBS, berdasarkan strategi pendekatan spiritual atau sosial-keagamaan, sehingga tercipta kemudahan masyarakat untuk menerima dan melaksanakannya

b) Membantu dalam pengembangan jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat yang menerapkan upaya preventif, melalui Jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat Syariah sehingga bagi penduduk mampu, dalam memberikan premi yang harus dibayar, diniatkan sebagai infak bagi penduduk yang rawan sakit, sehingga menjadi amal ibadah berdasarkan ketulusan dalam keshalehan sosial.

8) BIRO ORGANISASI

a) Membantu dalam pengembangan organisasi Dinas agar menjadi organisasi yang makin efektif dalam upaya memelihara, meningkatkan dan melindungi kesehatan masyarakat.

b) Membantu pengembangan organisasi/kelembagaan dalam menerapkan Jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat cakupan semesta (universal coverage) tercapai pada tahun 2013, yang dimulai pada tahun 2010.

91

9) BIRO OTONOMI DAERAH DAN KERJASAMA

a) Membantu kegiatan fasilitasi pengembangan kerjasama antardaerah dan pihak ketiga, termasuk dengan institusi pendidikan dalam bidang kesehatan.

b) Membantu, memfasilitasi dan mengevaluasi kerjasama Pemerintahan Daerah dengan badan/kelembagaan luar negeri di bidang kesehatan.

c) Memfasilitasi kemitraan dengan sektor lain dalam pembangunan kesehatan.

10) BIRO HUBUNGAN MASYARAKAT

a) Membantu menginformasikan kepada media massa, upaya-upaya pembangunan kesehatan yang dikembangkan dan telah mencapai hasil yang dirasakan masyarakat di Daerah.

b) Membantu memberikan informasi yang benar dan akurat kepada media massa, jika terjadi kasus-kasus yang menarik perhatian di bidang kesehatan agar media massa mendapat informasi yang benar dan faktual, sehingga tidak berkembang opini-opini negatif terhadap Pemerintah Daerah.

11) DINAS PENDIDIKAN

a) Memantapkan, meningkatkan serta memperluas usaha kesehatan sekolah di sekolah tingkat SD, SMP dan SMA.

b) Melatih guru-guru menjadi Guru Pembina UKS di SD, SMP dan SMA.

c) Membina sikap perilaku dini hidup sehat dan bersih para peserta didik, untuk menjadi sikap hidup selanjutnya.

d) Membina lingkungan bersih dan sehat di sekolah, bebas dari sarang nyamuk dan jentik nyamuk.

e) Mengembangan dan membina dokter kecil, dengan pengembangan perilaku panutan dalam kesehatan, dan dapat mempengaruhi PHBS keluarganya.

f) Melaksanakan pertandingan sekolah sehat/dokter kecil setiap tahun untuk membina motivasi pengembangan sekolah sehat atau dokter kecil.

g) Membimbing dokter kecil, untuk pemeriksaan berkala terhadap gangguan gizi, kerusakan gigi dan gangguan kesehatan mulut, gangguan visi (penglihatan) dan gangguan cacing gelang pada peserta didik.

h) Mengembangkan kesehatan mental (kejujuran) peserta didik, dengan membuka “warung kejujuran”, yaitu warung yang tidak ada penjaganya, tetapi menggunakan pengawasan tidak langsung.

12) DINAS PERTANIAN TANAMAN PANGAN

a) Menyediakan pangan untuk gizi masyarakat miskin.

b) Petugas penyuluh pertanian di desa-desa membantu penyuluhan kesehatan yang bertujuan terwujudnya PHBS bagi para petani dan peternak agar tidak mudah jatuh sakit serta selalu sehat dan produktif.

c) Mengawasi penyimpanan, penjualan dan penggunaan pestisida dan bahan pertanian berbahaya, agar tidak mengganggu kesehatan petani dan masyarakat sekitar.

92

d) Mengadakan pengawasan dan penyuluhan agar produk-produk hasil pertanian dan peternakan tidak mempergunakan bahan kimia berbahaya bagi kesehatan manusia.

e) Membantu penyuluhan kapada peternak, untuk tidak melakukan tindakan pada hasil produksinya yang merugikan dan membahayakan masyarakat, seperti daging glonggongan, ayam suntik dan daging tidak layak konsumsi.

f) Melaksanakan kerjasama dalam KLB keracunan makanan, akibat bahan kimia berbahaya yang dikonsumsi melalui makanan dan minuman.

13) DINAS PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR

a) Memperluas jaringan pelayanan air bersih perpipaan pada daerah-daerah yang belum terjangkau yang mencukupi.

b) Mengawasi konstruksi dan instalasi air bersih, untuk menghindari kebocoran dan kontaminasi.

c) Mengembangkan program kebutuhan air bersih bagi seluruh masyarakat untuk pemenuhan hak mereka mendapat air bersih yang aman dan cukup.

14) DINAS PERHUBUNGAN

a) Mengatur pelayanan angkutan umum yang memberi kenyamanan dan kesehatan kepada para pengguna angkutan umum, termasuk ergonomi tempat duduk yang rawan kecelakaan.

b) Membina supir-supir angkutan umum untuk mempraktekkan kondisi selalu bersih dan sehat dalam kendaraannya, termasuk pelarangan merokok bagi supir dan penumpang dalam angkutan umum.

c) Membina disiplin masyarakat dan pemakai jalan, agar terhindar dari kecelakaan jalan raya.

15) BADAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DAERAH

a) Membina dan menyuluh masyarakat untuk pemeliharaan lingkungan yang sehat, sebagai kesadaran bersama.

b) Mengembangkan AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) disertai AMDAK (Analisis Mengenai Dampak Kesehatan), dalam pengembangan industri pertambangan dan eksplorasi lain.

c) Memantau dan membina penduduk wilayah rawan lingkungan tidak sehat, agar dapat dilakukan upaya pencegahan serta pengendalian dampak kesehatan.

16) DINAS PERIKANAN DAN KELAUTAN

a) Membina kehidupan kesehatan para nelayan dan penambak, agar selalu berperilaku hidup bersih dan sehat sehingga dapat selalu produktif.

b) Membina dan mengawasi para nelayan, agar dalam produksi pengawetan tidak memakai bahan-bahan kimia berbahaya bagi masyarakat.

c) Membina para nelayan agar membentuk jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat yang efektif menanggulangi kesehatan lingkungan dan gizi keluarga dengan kegotong- royongan.

93

17) DINAS PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN

a) Membantu pengawasan pemasukan dan penjualan makanan minuman serta kosmetik yang tidak memenuhi syarat industri dan perdagangan, misalnya tanpa registrasi Merek Dagang (MD) dan Merek Label (ML).

b) Mengawasi bahan-bahan yang diimpor khususnya Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), untuk ditindaki dengan re-ekspor atau pemusnahan.

c) Mengawasi peredaran bahan makanan minuman dan kosmetika impor, sebelum memperoleh pemeriksaan Badan POM dan mendapat merek dagang dan label Halal.

18) BADAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN KELUARGA BERENCANA

a) Melakukan upaya KIE-KB dan kependudukan agar konsep keluarga kecil dan keluarga potensial/berkualitas semakin diterima oleh masyarakat.

b) Pengadaan alat kontrasepsi untuk pelayanan KB di puskesmas dan outlet lainnya, sesuai kebutuhan.

c) Mengembangkan partisipasi masyarakat untuk perolehan akseptor baru dan pembinaan akseptor aktif.

d) Melakukan koordinasi upaya KB-kesehatan untuk peningkatan upaya kesehatan dan kesejahteraan keluarga.

c) Membantu pemberdayaan perempuan tentang kesehatan reproduksi, baik bagi perempuan remaja, pasangan usia subur, ibu-ibu resiko tinggi bila hamil dan bersalin lagi.

d) Membantu pemberdayaan perempuan dalam mendapatkan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan/bidan, memelihara tumbuh kembang balita serta asupan gizi yang tepat.

19) DINAS TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI

a) Membantu memgembangan upaya kesehatan kerja dan keselamatan kerja di setiap perusahaan besar, dengan minimal 500 karyawan.

b) Membantu dalam penyuluhan PHBS kepada tenaga kerja pada even-even tertentu, agar tenaga kerja tetap sehat dan produktif.

c) Membantu dalam membina lingkungan sehat di lingkungan kerja dan rumah sehat pada kompleks pemukiman tenaga kerja.

d) Membantu perilaku masyarakat dan lingkungan pemukiman transmigrasi, yang sehat dan produktif.

20) DINAS SOSIAL

a) Membantu pembinaan PHBS bagi kelompok-kelompok sosial, agar menjadi sehat dan produktif.

b) Membantu dalam pembudayaan kelompok masyarakat untuk menyadari pentingnya kesehatan, hidup produktif dan melepaskan ketergantungan dari bantuan sosial.

c) Membantu dalam upaya pemberdayaan keluarga miskin dan mengembangkan kemampuan hidup sehat secara mandiri.

94

21) DINAS PERKEBUNAN

a) Membantu pengembangan komoditi perkebunan yang berdampak pada perbaikan gizi masyarakat yang sekaligus bernilai ekonomis.

b) Membantu memberi penyuluhan kepada para pengelola dan pekerja perkebunan agar memelihara dan meningkatkan perilaku hidup sehat dan bersih.

c) Membantu melakukan pengawasan penggunaan bahan kimia/pestisida yang dapat mengganggu kesehatan konsumen pengguna hasil perkebunan dan pekerja perkebunan.

22) DINAS PARIWISATA DAN KEBUDAYAAN

a) Membantu pemeliharaan kebersihan dan lingkungan sehat objek-objek wisata di Daerah sehingga kesehatan pengunjung terlindungi.

b) Membina para pihak yang ikut serta dalam pelayanan pariwisata, agar mengutamakan sanitasi lingkungan dan kesehatan, seperti restoran, rumah makan dan sumber air minum, serta kebersihan peralatan produksi/penyajian makanan dan minuman.

c) Membina kesehatan para pelaku pariwisata agar tidak menderita penyakit menular yang dapat ditularkan kepada pengunjung/turis.

23) DINAS PERMUKIMAN DAN PERUMAHAN

a) Membantu pengembangan perumahan dan pemukiman berbasis Analisis Mengenai Dampak Kesehatan (AMDAK), mengacu pada kriteria rumah sehat, seperti ketersediaan air bersih dan sanitasi jamban keluarga serta lingkungan bebas polusi dan banjir.

b) Membantu penyiapan fasilitas umum di perumahan dan pemukiman di luar sarana ibadah dan pendidikan, berupa hutan/taman kecil.

c) Membantu membina para pengembang/kontraktor agar dalam pembangunan selalu memperhatikan kebersihan, kesehatan dan keselamatan.

24) DINAS KOPERASI DAN USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH

a) Membina masyarakat koperasi dan usaha kecil menengah agar memelihara kesehatan dan berperilaku hidup sehat, sehingga tetap sehat mengelola usahanya.

b) Mengembangkan upaya koperasi gotong royong untuk kesehatan, yang berorientasi pada penghimpunan dana sebagai upaya preventif dan promotif, misalnya melalui bantuan jamban keluarga dan pembuatan sumber air bersih bagi keluarga miskin.

c) Mengembangkan jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat, terpadu dengan koperasi, untuk jaminan kesehatan anggota-anggotanya.

25) DINAS ENERGI DAN SUMBERDAYA MINERAL

Mengembangkan listrik di pedesaan agar aktivitas masyarakat desa bisa berkembang di malam hari supaya penduduk hidup sehat dan produktif.

95

26) DINAS PETERNAKAN

a) Membantu agar seluruh hasil peternakan yang dikonsumsi masyarakat terjaga keamannya dan membina para peternak agar tidak melakukan hal-hal yang dapat merugikan kesehatan masyarakat.

b) Mengawasi rumah potong hewan untuk memelihara kebersihan dan sanitasi lingkungan, termasuk pembuangan limbah.

c) Membina para peternak dan semua yang terlibat dalam mata rantai perdagangan hewan ternak, hasil produksi ternak dan produk asal hewan ternak sampai konsumen agar selalu memperhatikan kesehatan.

27) DINAS KEHUTANAN

a) Melakukan penyuluhan kepada masyarakat yang terkait dengan kehutanan untuk hidup sehat, sebagai modal hidup produktif.

b) Membantu agar perusahaan pengelola kehutanan ikut serta memelihara kesehatan masyarakat di sekitar hutan dalam upaya preventif dan promotif seperti sanitasi dan paket gizi.

28) DINAS OLAH RAGA DAN PEMUDA

a) Membatasi sponsor even olahraga dari perusahaan rokok dan minuman keras.

b) Membina pemuda di Daerah sebagai pemuda anti rokok, anti minuman keras dan anti narkoba.

c) Membudayakan olahraga kebugaran jasmani bagi masyarakat.

29) DINAS KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA

a) Mengawasi informasi di media massa yang dapat merusak pemahaman hidup sehat masyarakat, termasuk makanan dan minuman yang tidak sesuai dengan PHBS.

b) Membantu penyebaran informasi bahwa kesehatan merupakan investasi masa kini untuk hidup produktif di masa depan.

30) DINAS BINA MARGA

a) Membantu dalam membina para perusahaan konstruksi, agar selalu memperhatikan kesehatan dan keselamatan para pekerjanya dari ancaman kesehatan di tempat kerjanya.

b) Membantu dalam membina para perusahaan konsultasi bangunan, jembatan dan jalanan, agar melakukan AMDAK (Analisis Mengenai Dampak Kesehatan) disamping AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) agar setiap pembangunan telah memperhatikan pengaruh kesehatan bagi masyarakat sekitar dan yang menggnakan hasil pembangunan itu.

c) Mengawasi dan memperbaiki jalan-jalan umum dan jembatan yang rusak, untuk menghindari kecelakaan akibat jalan rusak.

31) BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN DAERAH

a) Membantu dalam pengembangan PHBS dalam paket pendidikan dan pelatihan, khususnya anti rokok, anti minuman keras dan anti narkoba serta setia keluarga untuk menghindari HIV/AIDS.

96

b) Menetapkan konsumsi menu seimbang dan senam kebugaran jasmani dalam pendidikan dan pelatihan.

c) Mensosialisasikan kearifan lokal terkait visi pembangunan Daerah yang dimulai “Iman dan Taqwa” dalam pengembangan kesalehan sosial, pada seluruh peserta pendidikan dan pelatihan.

32) BADAN KETAHANAN PANGAN DAERAH

a) Membantu sosialisasi perlunya ketahanan pangan bagi setiap keluarga dengan mempraktekkan gizi seimbang dalam konsumsi makanan setiap hari.

b) Membantu koordinasi ketersediaan pangan yang bergizi dan terjangkau oleh masyarakat untuk konsumsi pangan sehari-hari.

c) Membantu dalam sosialisasi bahan pangan pengganti dengan nilai gizi yang sama, dalam hal terjadi keadaan kesulitan pangan.

33) BADAN KOORDINASI PROMOSI DAN PENANAMAN MODAL DAERAH

a) Membantu pengaturan investasi pembangunan Rumah Sakit Internasional agar tidak merugikan sistem pelayanan masyarakat khususnya pelayanan kepada keluarga miskin.

b) Membantu pengaturan Rumah Sakit Internasional, tetap mengutamakan pemakaian tenaga kesehatan setempat dan tidak sepenuhnya membawa tenaga kesehatan asing dari luar Indonesia.

34) BADAN KOORDINASI PEMERINTAHAN DAN PEMBANGUNAN WILAYAH

a) Membantu mengkoordinasikan upaya-upaya pembangunan kesehatan yang bersifat lintas Kabupaten/Kota dalam wilayah koordinasinya, agar hasilnya lebih efektif dan efisien bagi masyarakat.

b) Membantu mengkoordinasikan penggerakan pola hidup sehat dengan pengembangan PHBS.

35) BADAN NARKOTIKA PROVINSI

a) Bekerja sama dalam penggerakan remaja anti narkotika termasuk anti rokok dan anti minuman keras sebagai pintu masuk penggunaan NAPZA.

b) Bekerja sama dalam pengaturan lembaga-lembaga rehabilitasi pengguna narkotika, agar mempergunakan teknik rehabilitasi yang tidak merugikan masyarakat.

c) Bekerja sama dalam pembinaan pasca rehabilitasi agar tidak kembali menjadi pemakai ataupun pengedar.

36) BADAN PELAYANAN PERIZINAN TERPADU

a) Menerapkan norma standar prosedur dan kriteria yang merupakan persyaratan penerbitan izin bagi perorangan, lembaga atau perusahaan baik milik pemerintah atau swasta dalam upaya kesehatan secara ketat sehingga tidak menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan masyarakat.

b) Bekerjasama melakukan peninjauan lapangan untuk pemeriksaan terpenuhinya persyaratan yang ditentukan sebelum izin diterbitkan.

97

c) Membantu mensosialisasikan kepada lembaga dan sarana terutama swasta, yang akan berusaha dalam upaya kesehatan agar tidak hanya berorientasi pada komersial, tetapi juga berfungsi sosial khususnya pelayanan kepada keluarga miskin.

d) Membantu pengawasan dan penindakan terhadap pemegang izin yang melakukan penyimpangan atau pelanggaran ketentuan peraturan perundang-undangan.

e) Membantu mensosialisasikan kepada masyarakat, bahwa regulasi dan pengaturan izin yang ditetapkan di bidang kesehatan adalah untuk kepentingan, perlindungan, kesehatan masyarakat dan upaya peningkatan mutu upaya kesehatan.

37) RUMAH SAKIT KHUSUS

a) Menerapkan ketentuan ketenagaan khususnya tenaga dokter spesialis dalam pemberian pelayanan di Rumah Sakit Khusus.

b) Konsistensi atas jenis dan bentuk pelayanan di Rumah Sakit Khusus sesuai ketentuan perundang-undangan.

c) Menerapkan standar pelayanan yang baku untuk keselamatan pasien (patient safety) dan mengupayakan peningkatan mutu pelayanan.

d) Menerapkan ketentuan mengenai pelaporan dan standar rekam medik.

e) Menerapkan Standar Operasional Prosedur untuk mencegah terjadinya malpraktek dalam pelayanan kepada masyarakat.

f) Menerapkan ketentuan mengenai pelaporan dan standar rekam medik.

g) Menerapkan Standar Operasional Prosedur untuk mencegah terjadinya malpraktek dalam pelayanan kepada masyarakat.

38) KANWIL KEMENTERIAN AGAMA

a) Membantu melakukan penyuluhan kesehatan berdasarkan keyakinan agama/spiritual, dalam upaya menumbuhkan kesadaran dan kemauan membentuk PHBS dalam masyarakat.

b) Mengembangkan Majelis Taklim menjadi “Penggerak PHBS”.

c) Membantu memasukkan pesan-pesan hidup sehat dan produktif dalam khotbah nikah dan khotbah jum‟at, atau yang berkaitan dengan even tertentu.

39) BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH

a) Mengakomodasikan program kesehatan berbasis kebutuhan/masalah kesehatan masyarakat dalam perencanaan pembangunan Daerah.

b) Membantu pengembangan program-program inovasi, khususnya pengembangan upaya preventif dan promotif serta UKBM.

c) Membantu peningkatan alokasi APBD untuk sektor kesehatan secara bertahap menjadi 10 %.

d) Membantu perencanaan program yang menciptakan keterpaduan antara OPD dan swasta, agar perbaikan kesehatan masyarakat lebih dirasakan oleh masyarakat.

98

40) BADAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DAN PEMERINTAHAN DESA

a) Membantu penyuluhan tentang pentingnya masyarakat berpartisipasi dalam upaya kesehatan.

b) Membantu pengembangan dan pembinaan UKBM seperti Posyandu, Poskesdes, Polindes, dan lain-lain.

c) Membantu pembudayaan masyarakat untuk membangun Posyandu, Poskesdes, Polindes dan sebagainya.

d) Membantu penggerakan masyarakat untuk menjadi kader kesehatan relawan, membantu Posyandu, Poskesdes, Polindes dan lain-lain.

41) INSPEKTORAT

a) Mengawasi pelaksanaan program kesehatan, agar lebih sesuai dengan sasaran dan tujuan program pelayanan dan perbaikan kesehatan masyarakat.

b) Mengawasi aparat kesehatan, agar bekerja sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

42) BADAN KEPEGAWAIAN DAERAH

a) Membantu dalam proses rekruitmen dan seleksi tenaga kesehatan agar diperoleh tenaga kesehatan yang kompeten, amanah dan berkomitmen.

b) Membantu dalam program pengembangan pegawai kesehatan untuk peningkatan kinerja.

c) Membantu dalam pengembangan formasi pengangkatan Pegawai Daerah untuk memenuhi kebutuhan jumlah dan jenis tenaga kesehatan.

d) Membantu pemenuhan kebutuhan pegawai non kesehatan, bagi petugas administrasi, khususnya arsiparis, keuangan/perlengkapan dan tenaga teknologi informasi.

43) BADAN KESATUAN BANGSA, POLITIK, DAN PERLINDUNGAN

MASYARAKAT

a) Membantu dalam keterlibatan Lembaga Masyarakat dan Partai Politik dalam upaya kesehatan, khususnya dalam upaya kesehatan prefentif dan promotif.

b) Membantu Dinas dalam fungsi regulasi untuk perlindungan masyarakat dari hal-hal yang membahayakan kesehatan masyarakat.

c) Membantu dalam pelayanan kesehatan masyarakat saat bencana dan KLB, sesuai ketentuan perundang-undangan.

44) BIRO HUKUM DAN HAM

Membantu dalam pembuatan produk hukum bidang kesehatan di Daerah dan advokasi bantuan hukum.

45) BIRO KEUANGAN

a) Membantu kelancaran penyaluran dana untuk upaya kesehatan terutama dalam hal terjadi KLB dan bencana.

b) Membimbing staf Dinas mengenai administrasi keuangan yang akuntabel, agar terhindar dari kesalahan dan pelanggaran.

99

c) Membantu penyaluran dana untuk kegiatan pelayanan dokter keluarga, dan revitalisasi Puskesmas, berkaitan dengan urgensi kebutuhan dana sesuai program yang telah ditetapkan.

46) BIRO PEMERINTAHAN UMUM

a) Membantu penggerakan Kepala dan Personil Pemerintahan Desa, Kelurahan dan Kecamatan untuk memberi perhatian khusus kepada upaya kesehatan, dengan dasar hidup sehat adalah jaminan hidup produktif meningkatkan kesejahteraan keluarga.

b) Membantu penggerakan aparat Desa, Kelurahan dan Kecamatan untuk membantu upaya pelayanan kesehatan DPK dan revitalisasi Puskesmas.

c) Membantu penggerakan LSM dan perusahaan swasta untuk membantu upaya kesehatan dan pembentukan UKBM.

47) SATUAN POLISI PAMONG PRAJA

a) Membantu dalam penegakan hukum/Peraturan Daerah berupa penindakan terhadap pengobatan/penggunaan obat tradisional yang belum dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara akademis.

b) Membantu dalam pembinaan dan penindakan terhadap industri dan distributor makanan dan minuman yang mengandung bahan kimia dan membahayakan kesehatan masyarakat.

c) Membantu dalam pembinaan dan penindakan terhadap seseorang atau sarana yang melaksanakan usaha pelayanan kesehatan yang akan membahayakan kesehatan masyarakat.

48) BADAN PUSAT STATISTIK

a) Menyediakan data-data yang valid, akurat dan mutakhir tentang kondisi dan masalah kesehatan masyarakat.

b) Melakukan survey khusus kesehatan dan pelayanan keluarga miskin, agar menjadi dasar perencanaan program yang berbasis masalah/fakta dan cakupan pelayanan keluarga miskin, sesuai data akurat keluarga miskin.

49) PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA

a) Menetapkan kebijakan mendukung manajemen upaya kesehatan, pembiayaan, ketenagaan, penunjang kesehatan, pemberdayaan masyarakat dan regulasi kesehatan.

b) Menggerakkan OPD lintas sektor, Pemerintahan Camat dan Desa, lembaga swasta dan lembaga masyarakat dalam upaya kesehatan.

c) Membantu uji coba penggerakan dan pengendalian pelaksanaan pelayanan dokter keluarga dan pengembangan revitalisasi Puskesmas.

d) Memberikan bimbingan dan arahan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota untuk mencapai efektivitas, efisiensi, produktivitas dan peningkatan mutu upaya kesehatan, dalam mewujudkan masyarakat yang semakin sehat.

e) Memberikan dukungan terhadap pelayanan pengobatan/perawatan serta pemeliharaan dan perbaikan kesehatan keluarga miskin secara komprehensif.

f) Membantu dan memberi dukungan terhadap KLB penyakit menular dan gizi buruk, baik untuk penanggulangan maupun untuk pencegahan terjadinya KLB.

100

g) Memberi dukungan dan membantu terhadap penanggulangan bencana dan upaya pencegahan bencana yang berakibat buruk terhadap kesehatan penduduk.

h) Memberi dukungan dan membantu penggerakan perusahaan-perusahaan besar agar dapat menyalurkan CSR pada upaya kesehatan terutama bagi penduduk miskin, untuk upaya preventif dan promotif.

50) PEMERINTAH KECAMATAN

a) Membantu penggerakan kepala desa/kepala kelurahan untuk kelancaran pelaksanaan program-program kesehatan di desa dan kelurahan, khususnya revitalisasi Puskesmas.

b) Membantu upaya promosi kesehatan yang dilakukan oleh Puskesmas dan lembaga swasta kepada masyarakat, tentang pentingnya kesehatan untuk hidup produktif.

c) Membantu koordinasi dan penggerakan petugas OPD dan lembaga swasta dalam keterpaduan di lapangan, khususnya dalam pertemuan-pertemuan Minilokakarya dan penyusunan perencanaan di Puskesmas.

51) PEMERINTAHAN DESA/KELURAHAN

Membantu penggerakan RW/ORT dalam upaya kesehatan, terutama kegiatan rutin Puskesmas berupa kunjungan rumah dan penyuluhan kelompok (5-10 rumah tangga).

a) Membantu pembentukan dan pengaktifan Posyandu, Poskesdes, kader kesehatan, dana sehat dan lain-lain, yang dilakukan oleh Puskesmas bersama masyarakat.

b) Membantu membina kader-kader posyandu, kader-kader poskesdes, kader-kader kesehatan relawan lainnya agar tetap aktif melaksanakan tugasnya di masing-masing UKBM.

c) Membantu upaya rapid survey (survei cepat) yang dilakukan Puskesmas untuk mengetahui perkembangan kesehatan masyarakat dari waktu ke waktu serta partisipasi masyarakat, dan pengukuran kinerja Puskemas.

52) PENGURUS PEMBERDAYAAN KESEJAHTERAAN KELUARGA (PKK)

a) Membimbing PKK dalam penyuluhan/promosi PHBS kepada masyarakat/ibu-ibu rumah tangga.

b) Membimbing PKK untuk membentuk kader Posyandu dan Poskesdes, serta kader lainnya, seperti Kader KIA, kader KB, kader Gizi, yang bekerja sebagai relawan.

c) Membantu dalam pembinaan dan pengembangan posyandu.

d) Mengkoordinasikan pembinaan Posyandu.

e) Membantu dalam penilaian Posyandu, untuk membina semangat kerja dan kerelawanan para kader.

101

53) PENGURUS DPD KORPRI

a) Membina PHBS di kantor-kantor dan rumah tangga anggota dan pengurus KORPRI masing-masing unit kerja.

b) Melaksanakan lomba ruang kantor bersih, rapi dan nyaman di kantor Pemerintah Daerah.

c) Mengkonsultasikan gerakan anti rokok, anti miras, anti narkotika, dan anti hiv/aids serta kegiatan keolahragaan.

54) KEPOLISIAN DAERAH JAWA BARAT

a) Membantu dalam operasi pengawasan Regulasi, terutama perdagangan obat-obatan, makanan, minuman dan kosmetik yang membahayakan masyarakat.

b) Melakukan penyelidikan dan penyidikan atau penangkapan, terhadap upaya tindakan yang membahayakan kesehatan masyarakat, dan diproses secara hukum.

c) Melakukan koordinasi dengan Dinas dalam hal terdapat indikasi pelanggaran hukum dalam penyimpanan, penyaluran dan penjualan obat-obatan, makanan minuman dan kosmetika.

55)LEMBAGA PERMASYARAKATAN

a) Membantu pengembangan PHBS di lingkungan Lembaga Pemasyarakatan.

b) Membantu pengawasan peredaran miras, narkotik, penyakit AIDS di lingkungan Lembaga Pemasyarakatan.

c) Membantu pengembangan kegiatan olahraga rutin dan olahraga non prestasi di lingkungan Lembaga Pemasyarakatan..

d) Membantu pengawasan menu makanan penghuni Lapas, sehingga dapat menunjang kesehatan fisik narapidana.

e) Melakukan pencegahan dan pengendalian penyakit menular di lingkungan Lembaga Pemasyarakatan.

56) LSM PEMINAT KESEHATAN

a) Membantu mengembangkan program kesehatan masyarakat yang inovatif dengan dukungan dana dari donatur dalam negeri ataupun dari luar negeri yang sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

b) Membantu dalam mencermati perkembangan kehidupan kesehatan masyarakat untuk menemukan solusi yang efektif dan efisien.

c) Membantu dalam melakukan advokasi kepada tokoh-tokoh masyarakat formal maupun informal, agar berpartisipasi dalam pembentukan, pembinaan dan pengembangan UKBM.

57)PENGURUS IKATAN DOKTER INDONESIA JAWA BARAT (IDI)

a) Membantu IDI Kabupaten/Kota dalam mempromosikan PHBS secara intensif pada even-even tertentu, agar tercipta kesadaran dan kemauan hidup sehat produktif.

b) Membantu IDI Kabupaten/Kota dalam pembinaan DPS mem-berikan pelayanan prima dan memuaskan, serta menghindari terjadinya malpraktek, dengan menerapkan standar operasional prosedur dan rekam medik yang telah dibakukan.

102

c) Membantu IDI Kabupaten/Kota dalam pembinaan DPS untuk memenuhi ketentuan administratif, registrasi, legislasi, sertifikasi dan akreditasi, kepada Dinas Kesehatan Kota, sesuai ketentuan Konsil Kedokteran Indonesia (KKI).

58) PERSATUAN DOKTER GIGI INDONESIA(PDGI) JAWA BARAT

a) Membantu pembinaan para dokter gigi/dokter gigi spesialis untuk pengembangan PHBS dalam pelayanan yang diberikan anggotanya.

b) Membantu membina PDGI Kabupaten/Kota mengembangkan pelayanan kesehatan pelayanan kesehatan gigi dan mulut yang prima.

c) Membantu pembinaan anggota untuk bekerja berdasarkan kompetensi dan standar operasional prosedur, untuk mencegah malpraktek.

d) Membantu pengembangan partisipasi masyarakat dalam pengembangan dan pembinaan pemeliharaan kesehatan mulut dan gigi berbasis masyarakat.

59) PERSATUAN DOKTER KELUARGA INDONESIA (PDKI) JAWA BARAT

a) Membantu pengembangan percontohan pelayanan dokter keluarga di Kabupaten/Kota yang sesuai dengan norma, standar, prosedur dan kriteria dan konsep dokter keluarga.

b) Mendorong para dokter menjadi peminat dokter keluarga yang berbasis upaya preventif dan promotif.

c) membantu menjadikan pelayanan dokter keluarga sebagai fokus pengembangan PHBS dalam keluarga yang efektif.

d) Membantu pengembangan sinergisme pelayanan dokter keluarga di wilayah kerja Puskesmas dengan revitalisasi Puskesmas.

60) PENGURUS PERAWAT NASIONAL INDONESIA (PPNI) JAWA BARAT

a) Membantu PPNI Kabupaten/Kota untuk menjadikan para perawat menjadi “model” pelayanan yang ramah, santun dan bertanggungjawab di berbagai instalasi pelayanan.

b) Menjadikan para perawat sebagai promotor kesehatan di lingkungan masyarakat.

c) Membantu PPNI Kabupaten/Kota dalam pengembangan profesi perawat, untuk semakin professional yaitu bekerja berdasarkan standar standar kompetensi, serta standar perilaku pelayanan masyarakat, sehingga mencegah terjadinya malpraktek dan ketidakpuasan penerima pelayanan.

61) IKATAN BIDAN INDONESIA(IBI) JAWA BARAT

a) Membantu IBI Kabupaten/Kota untuk pengembangan mutu pelayanan yang prima dan memuaskan oleh para bidan.

b) Membantu IBI Kabupaten/Kota memberikan penyuluhan KIA dan KB kepada masyarakat.

c) Membantu IBI Kabupaten/Kota membina para bidan anggotanya agar semakin profesional berdasarkan standar kompetensi dan standar operasional prosedur, agar terhindar malpraktek.

103

62) IKATAN SARJANA FARMASI INDONESIA (ISFI) JAWA BARAT

a) Membantu ISFI Kabupaten/Kota untuk membina kesadaran masyarakat dalam penggunaan obat-obatan yang rasional.

b) Membantu pembinaan pelayanan farmasi yang prima di tempat-tempat pelayanan farmasi.

c) Membantu pengawasan peredaran obat-obat palsu dan substandard yang beredar dalam pelayanan farmasi.

d) Membantu pembinaan para apoteker agar bekerja berdasarkan kompetensi dan profesionalme.

63) PERSATUAN TOKO OBAT

a) Membantu mengingatkan anggotanya agar memperhatikan ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan dalam penjualan obat kepada masyarakat.

b) Membantu pengawasan dan melaporkan adanya obat palsu, substandard dan kadaluwarsa yang beredar di toko-toko obat.

c) Membimbing persatuan toko obat Kabupaten/Kota membina toko obat berizin/tidak berizin untuk mencegah melakukan penjualan obat-obatan yang melanggar ketentuan perundang-undangan.

64)PERSATUAN NATUROPATHIS

a) Membina para anggotanya yang melakukan praktek pengobatan agar memperhatikan asas aman dan manfaat.

b) Membantu pengawasan dan melaporkan adanya pengobatan alternatif yang dapat membahayakan kesehatan masyarakat.

c) Mendorong para pengobat naturopathis agar dapat melakukan uji keamanan dan uji khasiat dari cara dan bahan obat yang dipakai.

65) IKATAN AHLI KESEHATAN MASYARAKAT

a) Membantu pengembangan program-program kesehatan masyarakat yang berbasis upaya preventif dan promotif.

b) Membantu pengembangan profesi kesehatan masyarakat agar lebih mendapat kepercayaan dalam memimpin instansi kesehatan, khususnya Puskesmas.

c) Membantu mengembangkan kepemimpinan kesehatan masyarakat (public health leadership) bagi pejabat struktural pembangunan kesehatan.

d) Membantu pengembangan dan pembinaan UKBM.

66) KOMISI PENANGGULANGAN HIV/AIDS DAERAH

a) Membantu meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bahaya penyakit HIV/AIDS yang makin berkembang di Daerah.

b) Membantu menetralisir pandangan negatif masyarakat terhadap ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS).

c) Membantu menghilangkan warung remang-remang/prostitusi sepanjang jalan-jalan raya di Daerah, kerena merupakan sumber penularan yang sangat signifikan.

d) Membantu para ODHA yang dirawat agar tetap mendapat konsumsi obat-obatan yang diperlukan.

104

e) Membantu dalam menciptakan gerakan masyarakat berdasar kesalehan sosial, dalam bentuk “ Gerakan Anti AIDS” atau “Gerakan Suami Setia”

67) RUMAH SAKIT UMUM DAERAH

a) Mengembangkan manajemen rumah sakit yang mengacu pada pengembangan mutu pelayanan sinambung “Zero Claim of Dissatification”.

b) Mengembangkan standar pelayanan bermutu dan life saving khususnya di bagian-bagian seperti UGD dan pelayanan spesialistik sesuai ISO.

c) Menetapkan sistem koordinasi bersama Dinas dan rujukan dari Puskesmas, agar sistem rujukan berjalan semakin efektif.

d) Mengembangkan Tim Dokter Specialis pembina Puskesmas dan PDK yang mengadakan kunjungan berkala untuk “jemput bola” pasien yang perlu ditangani dokter spesialis setempat, secara terjadwal.

e) Memantapkan kerjasama dengan Dinas dalam penerapan fungsi regulasi upaya kesehatan.

f) Menyiapkan sistem pelayanan bencana serta pengembangan fungsi dan pelayanan UGD.

g) Memantapkan pelayanan pengobatan/perawatan keluarga miskin, sehingga semua merasa di layani secara profesional, dan tidak ada yang ditolak atau merasa ditolak Rumah Sakit.

h) Memantapkan rekaman medik, dan standar operational prosedur untuk seluruh tindakan pelayanan, untuk menghindari malpraktek.

68) RUMAH SAKIT Dr. HASAN SADIKIN BANDUNG

a) Membantu dalam pelayanan rujukan tertier di Daerah, yang bermutu untuk kepuasan pasien dan keluarganya.

b) Membantu untuk menjadi “model” pelayanan kesehatan dengan pemberian obat-obatan dan pemakaian alat canggih yang rasional.

c) Membantu pelayanan intensif yang bermutu, bagi kasus-kasus khusus flu burung, flu babi, dan penyakit-penyakit tertentu.

d) Membantu pelayanan rujukan bagi keluarga miskin, tanpa ada keluhan penderita atau keluarganya.

e) Membantu pengembangan penggunaan obat asli Indonesia yang aman dan bermanfaat.

f) Membantu pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran dan kesehatan, termasuk upaya-upaya preventif dan promotif.

69) RUMAH SAKIT SWASTA

a) Membantu pelayanan kesehatan yang bermutu dengan acuan pelayanan kesehatan kelas dunia;

b) Membantu pelayanan keluarga miskin melalui jamsostek, atau metode lain yang efektif.

c) Membantu pengembangan pengobatan dan penggunaan alat canggih yang rasional.

d) Membantu ketertiban praktek kedokteran, dan pencegahan malpraktek.

e) Membantu pendayagunaan lulusan-lulusan baru tenaga kesehatan, baik medis maupun paramedis di Daerah.

105

70) PERUSAHAAN DAN LEMBAGA KESEHATAN SWASTA

a) Membantu mengembangkan pelayanan kesehatan bagi karyawan dan keluarganya dan keluarganya serta masyarakat umum sekitar lokasi usaha, secara gratis bagi keluarga miskin.

b) Membantu pengembangan upaya prefentif dan promotif pada karyawan dan rumah tangganya, sebagai dukungan terhadap upaya kuratif.

c) Menerapkan secara paripurna prinsip-prinsip upaya kesehatan kerja untuk kepentingan karyawan dan perusahaan.

d) Membantu penyaluran dana CSR, untuk program kesehatan, terutama untuk pengembangan upaya preventif dan promotif bagi keluarga miskin, yang belum dicover oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah.

e) Membantu membuat dan membina UKBM pada lingkungan permukiman karyawan.

71) LAYANAN FARMASI/APOTIK

a) Membantu peningkatan keterjangkauan pelayanan farmasi sampai ke daerah terpencil.

b) Membantu pengawasan pelayanan farmasi terutama penggunaan obat-obat palsu atau substandar.

c) Membantu pengembangan mutu dan kepuasan masyarakat dalam pelayanan Farmasi.

d) Membantu penyuluhan kepada masyarakat tentang penggunaan obat yang rasional seperti penggunaan dosis penuh.

e) Membantu dalam penyuluhan PHBS.

8. Hubungan dengan subsistem lain

a. Subsistem upaya kesehatan

Mendorong terwujudnya kemitraan dan kerjasama dengan berbagai pemangku kepentingan dalam upaya kesehatan terutama untuk upaya kesehatan masyarakat primer, sekunder dan tertier, serta upaya kesehatan perorangan primer, sekunder dan tertier, agar seluruh upaya kesehatan lebih efektif, efisien, lebih bermutu dan lebih aman.

b. Subsistem pembiayaan kesehatan

Mewujudkan bentuk-bentuk dan cara kerjasama dan kemitraan dalam penggalian dana untuk upaya kesehatan, yang datang dari masyarakat sendiri, seperti jaminan kesehatan masyarakat; Mewujudkan public-private-partnership dengan pihak swasta, khususnya yang bergerak dalam pelayanan kesehatan; Melibatkan unsur-unsur swasta dan masyarakat dalam perencanaan kesehatan disertai pengalokasian dana dari pemerintah, swasta dan masyarakat; Mewujudkan pengelolaaan pembelanjaan dana berdasar prinsip-prinsip akuntabilitas, transparansi dan efisiensi, bersama pihak terkait untuk tercapainya sasaran yang tepat dalam perbaikan kesehatam masyarakat.

106

c. Subsistem sumberdaya kesehatan

1) Menciptakan bentuk dan cara perencanaan sumberdaya kesehatan di Daerah, dalam kemitraan, agar perencanaan jumlah, jenis dan mutu sumberdaya kesehatan sesuai dengan standar kebutuhan untuk menghindari pengangguran tenaga kesehatan di Daerah.

2) Menciptakan atau mengaktifkan lembaga kerjasama kemitraan yang permanen dengan penyelenggara pendidikan di Daerah, baik dari Kementerian Kesehatan, maupun Pemerintah Daerah, TNI, Kepolisian dan swasta, dalam perencanaan, pengadaan, pendayagunaan serta pengembangan tenaga kesehatan.

3) Menekankan dalam kerjasama dan kemitraan pengadaan tenaga kesehatan yang berorientasi pada mutu tenaga kesehatan agar dapat bekerja di luar negeri.

4) Mewujudkan kerjasama kemitraan dalam pembinaan dan pengawasan sumberdaya kesehatan, khususnya tenaga kesehatan profesi untuk pengembangan karier, penggajian untuk hidup layak sesuai beban tugasnya dan tata nilai masyarakat.

5) Kemitraan dapat dilakukan dengan berbagai pihak untuk perlindungan masyarakat sebagai penerima pelayanan dan tenaga kesehatan profesional sebagai pemberi pelayanan, termasuk perlindungan terhadap pelayanan tidak aman dan tidak bermanfaat.

d. Subsistem sediaan farmasi farmasi, alat kesehatan, makanan minuman dan kosmetika

1) Mengembangkan kerjasama kemitraan dengan produsen obat dan alat kesehatan, dalam upaya menjamin ketersediaan, pemerataan dan keterjangkauan sediaan farmasi/obat-obatan dan alat kesehatan, seluruh sistem pelayanan kesehatan bagi masyarakat dan penanganan/pe- nanggulangan kejadian bencana di Daerah.

2) Mengembangkan kerjasama kemitraan dengan berbagai instansi dan lembaga yang dapat menjamin keamanan, khasiat dan manfaat serta mutu sediaan farmasi, alat kesehatan, makanan dan minuman serta kosmetika.

3) Membentuk kerjasama kemitraan pengawasan dan penindakan produksi obat palsu dan substandar, serta pengawasan terhadap penggunaan yang salah dan penyalahgunaan obat-obat narkotika dan zat adiktif, dalam bentuk tindakan hukum yang dapat membuat efek jera.

4) Membentuk kerjasama kemitraan dalam pembinaan, pengawasan serta penindakan terhadap upaya pelayanan kesehatan tradisional dan alternatif, yang belum jelas keamanan dan manfaatnya bagi kesehatan masyarakat termasuk pengobatan yang hanya mempunyai efek “masking” dan sugesti.

5) Membentuk kerjasama kemitraan untuk perlindungan anak-anak sekolah dan balita agar terhindar dari konsumsi makanan dan minuman yang mengandung bahan kimia yang berbahaya bagi kesehatan, dan mendorong masyarakat rentan terutama anak-anak, ibu hamil dan lansia untuk mengkonsumsi makanan bernilai gizi tinggi.

6) Menciptakan kerjasama kemitraan dengan lembaga institusi pelayanan kesehatan perorangan, baik primer, sekunder maupun tertier, untuk pembinaan, pengawasan dan penindakan terhadap penggunaan obat dan peralatan diagnostik yang canggih, tidak rasional, dan dapat merugikan masyarakat.

107

e. Subsistem manajemen dan informasi kesehatan

1) Menciptakan kerjasama kemitraan, untuk diikutsertakan dalam, perumusan kebijakan-kebijakan pembangunan kesehatan di Daerah, yang mengacu kepada norma, standar, prosedur dan kriteria untuk manfaat sebesar-sebesarnya pada perbaikan kehidupan kesehatan masyarakat.

2) Menciptakan kerjasama kemitraan, dalam pelaksanaan administrasi dan manajemen kesehatan, yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengendalian serta pengawasan dan penilaian kesesuaiannya dengan kebijakan yang telah ditetapkan.

3) Menciptakan kerjasama kemitraan dalam harmonisasi penyelenggaraan hukum kesehatan, yang bertujuan untuk member perlindungan hukum terhadap pemberi pelayanan dan masyarakat penerima pelayanan.

4) Menciptakan kerjasama kemitraan dalam penyelenggaraan informasi kesehatan, dalam rangka tersedianya data/informasi yang terkini, akurat, valid dan cepat, sebagai bahan pengambilan keputusan dan penetapan kebijakan, dengan dukungan pendayagunaan teknologi.

f. Subsistem pemberdayaan masyarakat

1) Menciptakan berbagai cara dan bentuk kerjasama kemitraan dengan berbagai pemangku kepentingan, untuk terwujudnya pergerakan masyarakat melalui tumbuhnya kesadaran, kemauan dan kemampuan berperan serta dalam upaya kesehatan, yang manfaatnya dirasakan sendiri oleh masyarakat.

2) Menciptakan kerjasama dan kemitraan dengan lembaga dan tokoh masyarakat, yang ditujukan pada daya pikir masyarakat, dengan fakta dan masalah kesehatan yang menjadi perhatian masyarakat setempat, potensi sumberdaya dan nilai-nilai sosial budaya masyarakat.

3) Menciptakan kerjasama kemitraan dengan lembaga dan tokoh masyarakat yang ditujukan guna terwujudnya penguatan upaya promotif dan preventif dengan dukungan upaya kuratif, maupun rehabilitatif.

4) Mewujudkan kerjasama kemitraan dengan berbagai lembaga kemasyarakatan yang efektif, menciptakan pengorganisasian yang dapat menjadi wadah komunikasi dialog dan advokasi dan pembekalan masyarakat untuk tercipta kreativitas dan gagasan-gagasan masyarakat sendiri.

5) Mewujudkan kerjasama kemitraan dengan lembaga masyarakat yang dapat mendorong kemandirian masyarakat dalam berbagai kegiatan kesehatan.

6) Bentuk kerjasama dan kemitraan dapat dikembangkan dengan mengidentifikasi peran dan fungsi dari seluruh lembaga pemerintah, eksekutif, legislative, OPD, organisasi profesi, lembaga swasta, dan LSM, bentuk-bentuk kegiatan yang dapat dilakukan untuk menunjang pembangunan kesehatan di Daerah.

g. Subsistem regulasi

1) Menciptakan kerjasama kemitraan penyusunan pelaksanaan regulasi di bidang kesehatan di Daerah.

2) Menciptakan kerjasama kemitraan untuk pengawasan dan pembinaan terkait dengan pelaksanaan regulasi dan penindakannya.

108

3) Menciptakan kerjasama kemitraan agar regulasi kesehatan tidak hanya diarahkan pada bidang administrasi dan pendapatan Daerah, tetapi juga memberikan perlindungan masyarakat sebagai penerima pelayanan dan petugas kesehatan sebagai pemberi pelayanan.

4) Kerjasama kemitraan pengembangan regulasi kesehatan sesuai dengan perkembangan teknologi pelayanan kesehatan, dan upaya-upaya yang terkait dengan perlindungan kehidupan kesehatan masyarakat.

h. Subsistem penelitian dan pengembangan ilmu pengetahun dan teknologi

1) Mewujudkan wadah kerjasama kemitraan,dalam merumuskan berbagai kebutuhan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, untuk perbaikan dan peningkatan upaya kesehatan dan perbaikan kesehatan masyarakat.

2) Menciptakan kerjasama kemitraan penelitian yang dibutuhkan agar hasil penelitian dimanfaatkan dalam pengembangan kebijakan dan pelaksanaan pembangunan kesehatan di Daerah.

3) Menciptakan bentuk kerjasama kemitraan untuk merumuskan inovasi upaya kesehatan, disesuaikan dengan perkembangan teknologi dan sosial dalam kehidupan masyarakat.

4) Menciptakan kerjasama kemitraan dengan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, dalam rangka menumbuhkan semangat, kepemimpinan dan manajemen pembangunan kesehatan inovasi upaya kesehatan, disesuaikan dengan kondisi dan potensi spesifik setiap Kabupaten/Kota.

109

BAB VI

DUKUNGAN PENYELENGGARAAN

SKP

SKP diupayakan agar mampu menyesuaikan dengan perkembangan dan dinamika

pembangunan kesehatan yang dilaksanakan secara berkesinambungan. Dalam hal terjadi

perubahan paradigma dan lingkungan strategis, SKP dapat disesuaikan dan disempurnakan

dengan kondisi dan situasi yang berkembang di Daerah.

A. PROSES PENYELENGGARAAN SKP

Penyelenggaraan SKP menerapkan pendekatan kesisteman yang meliputi masukan,

proses, keluaran dan lingkungan serta keterkaitannya satu sama lain, sebagai berikut :

1. Masukan dalam SKP meliputi subsistem sumberdaya manusia, subsistem pembiayaan

kesehatan, subsistem sediaan farmasi, alat kesehatan dan makanan minuman.

2. Proses dalam SKP meliputi subsistem upaya kesehatan, subsistem pemberdayaan

masyarakat dan subsistem manajemen dan informasi kesehatan.

3. Keluaran dari SKP adalah terselenggaranya pembangunan kesehatan yang

berhasilguna dan berdayaguna, bermutu, merata dan berkeadilan.

4. Lingkungan dari SKP meliputi berbagai keadaan yang menyangkut ideologi, politik,

ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan baik nasional, regional maupun

global, yang berdampak terhadap pembangunan kesehatan. Pancasila, Undang-

undang Dasar 1945, Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional merupakan

landasan bagi penyelenggaraan SKP.

Penyelenggaraan SKP memerlukan penerapan prinsip koordinasi, integrasi, sinkronisasi

dan simplifikasi yang dinamis, baik antarpelaku, antarsubsistem SKP, maupun hubungan

sistem dengan subsistem lain di luar SKP.

Penyelenggaraan SKP dilakukan melalui siklus perencanaan, pelaksanaan dan

pengendalian serta pengawasan dan pertanggungjawaban secara sistematis,

berjenjang, transparan, akuntabel dan berkelanjutan, dengan memperhatikan Rencana

Pembangunan Jangka Panjang Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2005-2025.

Penyelenggaraan SKP dilaksanakan secara bertahap sebagai berikut :

1. Penetapan SKP

Untuk memperoleh kepastian hukum yang mengikat semua pihak, SKP perlu

ditetapkan ketantuan peraturan perundang-undangan.

2. Sosialisasi dan Advokasi SKP

SKP perlu disosialisasikan dan diadvokasikan ke seluruh pelaku pembangunan

kesehatan dan seluruh pemangku kepentingan kesehatan untuk memperoleh

komitmen dan dukungan dari semua pihak.

Sasaran sosialisasi dan advokasi SKP adalah seluruh penentu kebijakan, baik di Pusat

maupun di Daerah maupun Kabupaten/Kota, baik sektor publik maupun sektor

swasta.

110

3. Fasilitas pengembangan kebijakan kesehatan di Daerah

Dalam pembangunan kesehatan di Daerah, perlu dikembangkan kebijakan

kesehatan, seperti : Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJMD),

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJPD), Rencana Kerja

Pemerintah Daerah dan Rencana Strategis OPD, yang penyelenggaraannya

disesuaikan dengan kondisi, dinamika dan masalah spesifik Daerah dalam kerangka

SKP.

Pemerintah Daerah memfasilitasi pengembangan dan penetapan kebijakan

kesehatan di Daerah, serta memfasilitasi sosialisasi dan advokasi penyelenggaraan

pembangunan kesehatan di Daerah sesuai kebutuhan.

Penyelenggaraan SKP dalam kaitannya dengan pengembangan kebijakan kesehatan di

Daerah, dilakukan dengan berbagai kegiatan, yaitu :

1. Penyelenggaran SKP, termasuk pengembangan kebijakan di Daerah, yang

diwujudkan dalam kerangka penyelenggaran pembangunan kesehatan, baik secara

nasional maupun regional dan lokal.

2. Penyelenggaraan SKP, termasuk pengembangan kebijakan di Daerah, yang

diselenggarakan melalui penataan ulang keenam subsistemnya secara bertahap,

sistematis, terpadu dan berkelanjutan.

3. Penyelenggaraan SKP, termasuk pengembangan kebijakan di Daerah, yang

didukung dengan penyusunan kebijakan, standar dan pedoman dalam bentuk

berbagai peraturan perundang-undangan.

4. Penyelenggaraan SKP, termasuk pengembangan kebijakan kesehatan di Daerah,

yang diselenggarakan sesuai dengan asas desentralisasi yang bertanggungjawab,

demokratisasi dan good governance dalam kerangka Negara Kesatuan Republik

Indonesia.

Dalam rangka menyesuaikan dengan pengembangan global, regional, nasional dan lokal

yang dinamis dan cepat berubah, dilakukan pengendalian dan penilaian SKP sebagai

berikut :

1. Pengendalian dan penilaian SKP termasuk kebijakan kesehatan di Daerah, bertujuan

untuk memantau dan menilai keberhasilan penyelenggaraan pembangunan

kesehatan berdasarkan sistem kesehatan.

2. Pengendalian dan penilaian SKP termasuk kebijakan kesehatan di Daerah,

diselenggarakan secara berjenjang dan berkelanjutan dengan menggunakan tolok

ukur keberhasilan pembangunan kesehatan, baik tingkat nasional maupun tingkat

regional dan lokal.

3. Pengendalian dan penilaian SKP termasuk kebijakan kesehatan di Daerah perlu

didukung dengan pengembangan sistem monitoring dan evaluasi di tingkat nasional

dan regional secara terpadu.

Setiap tahun, seluruh pelaku pembangunan kesehatan dikoordinasikan oleh Pemerintah

Daerah, melakukan pengukuran pencapaian kinerja SKP berdasarkan indikator yang

akurat dan terpecaya.

111

Indikator kinerja SKP menjadi rekomendasi untuk upaya perbaikan yang harus

didokumentasikan dan disebarluaskan. Indikator tersebut menjadi acuan segenap

pelaku pembangunan kesehatan di tingkat Daerah dan Kabupaten/Kota sampai ke

tingkat desa, guna penyesuaian penyelenggaraan pembangunan kesehatan yang

berbasis fakta.

B. TATA PENYELENGGARAAN SKP

Penyelenggaraan SKP harus memperhatikan seluruh peraturan perundang-undangan

yang berlaku dan Peraturan Daerah. Secara operasional, semua peraturan perundangan

yang berkaitan harus dilaksanakan secara konsisten berdasarkan tata kelola

kepemerintahan yang baik (good governance). Adapun unsur dari tata kelola

pemerintahan yang baik, meliputi : partisipatif, berorientasi pada konsensus, efektif,

efisien, inklusif, transparan dan mengikuti kaidah hukum yang berlaku.

Untuk menjaga kepentingan masyarakat, penyelenggaraan SKP memerlukan regulasi

dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan susunan antarpemerintahan.

Tata kelola kepemerintahan yang baik disertai regulasi pada keenam subsistem SKP,

merupakan langkah menuju kesinambungan pelaksanaan sistem kesehatan. Selain tata

kelola kepemerintahan yang baik, Pemerintah dan Pemerintah Daerah harus konsisten

dan konsekuen mengawasi kepatuhan hukum masyarakat, swasta dan organisasi bukan

pemerintah lainnya. Disamping itu, pelanggar peraturan harus ditindak secara tegas.

C. PENYELENGGARA SKP

Pemerintah dan masyarakat termasuk swasta bertanggungjawab atas penyelenggaraan

pembangunan kesehatan sesuai peran dan fungsinya masing-masing. Di sektor publik,

SKP tidak bisa dilaksanakan hanya oleh Dinas atau Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.

Penyelenggaraan SKP dapat berjalan dengan baik apabila melibatkan antara lain : sektor

pendidikan, pembangunan fasilitas umum, sektor pertanian, sektor keuangan, sektor

perdagangan, sektor keamanan, sektor perikanan dan kelautan, dan lain sebagainya.

Pelaku penyelenggaraan pembangunan kesehatan adalah :

1. Individu, keluarga dan masyarakat yang meliputi tokoh masyarakat, LSM, media

massa, organisasi profesi, akademisi, praktisi serta masyarakat luas termasuk

swasta, yang berperan dalam advokasi, pengawasan social dan penyelenggaraan

berbagai pelayanan kesehatan sesuai dengan bidang keahlian dan kemampuan

masing-masing.

2. Pemerintah, Pemerintah Daerah dan Pemerintah Kabupaten/Kota berperan sebagai

penanggungjawab, penggerak, pelaksana dan pembina pembangunan kesehatan

dalam lingkup wilayah kerja dan kewenangan masing-masing. Untuk Pemerintah,

peranan tersebut ditambah dengan menetapkan kebijakan, standar, prosedur dan

kriteria yang digunakan sebagai acuan dalam penyelenggaraan pembangunan

kesehatan di Daerah.

3. Badan Legislatif, baik di pusat maupun di Daerah, yang berperan melakukan

persetujuan anggaran dan pengawasan terhadap penyelenggaraan pembangunan

kesehatan, melalui penyusunan produk-produk hukum dan mekanisme kemitraan

antara eksekutif dan legislatif.

112

4. Sektor swasta, yang memiliki atau mengembangkan industri kesehatan seperti

industri farmasi, alat-alat kesehatan, jamu, makanan sehat, asuransi kesehatan dan

industri pada umumnya.

5. Lembaga pendidikan pada tingkat SD sampai tingkat perguruan tinggi, baik milik

publik maupun swasta. Sebagian besar masalah kesehatan berhubungan dengan

perilaku dan pemahaman. Pendidikan memegang kunci untuk menyadarkan

masyarakat akan berbagai risiko kesehatan dan peran masyarakat dalam

meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.

D. SUMBERDAYA PENYELENGGARA SKP

SKP adalah bentuk dan cara penyelenggaraan pembangunan kesehatan yang bekerja

secara sinergis, harmonis dan menuju satu tujuan. Pemerintah Daerah wajib melakukan

koordinasi agar semua subsistem dan semua pelaku berfungsi dan bekerja secara

sinergis. Kepincangan pada salah satu subsistem atau pelaku akan mengganggu kerja

SKP.

Pemerintah Daerah harus menjamin tersedianya dana, sumberdaya manusia yang

memadai dan profesional, sediaan farmasi, alat kesehatan dan makanan minuman yang

dikelola dengan manajemen kesehatan yang, baik terutama yang berkaitan dengan

administrasi kesehatan dan pengaturan hukum kesehatan serta didukung dengan

informasi yang akurat, valid, tepat waktu dan tepat kebutuhan.

Pelaku sistem informasi kesehatan sesuai dengan perannya harus mampu secara cepat

merespon dan menggunakan perkembangan teknologi informasi, dalam mengolah dan

menyampaikan ke pelaku lain, maupun kepada masyarakat nasional dan internasional.

Pemerintah Daerah mengembangkan sistem insentif/disinsentif bagi setiap pelaku yang

menggunakan informasi. Selain itu, Pemerintah Daerah mengharuskan fasilitas

kesehatan publik maupun swasta untuk menyediakan informasi melalui situs yang

mudah diakses dan terbuka, sebagai cara untuk mendidik masyarakat.

Tersedianya pembiayaan kesehatan dalam jumlah yang memadai teralokasi secara adil,

merata dan bermanfaatkan secara berhasilguna dan berdayaguna sangat penting dalam

pembangunan kesehatan. Pemerintah Daerah juga menjamin tersedianya dana untuk

penelitian dan pengembangan bidang kesehatan.

Sumberdaya manusia merupakan komponen kunci keberhasilan SKP. Pemerintah

Daerah harus melakukan upaya agar semua SDM kesehatan memenuhi standar

kompetensi tertentu sesuai bidangnya sebagai prasyarat bagi penyediaan pelayanan

kesehatan yang bermutu dan diterima oleh masyarakat. Namun, Pemerintah Daerah

juga menjamin agar setiap SDM di bidang kesehatan mendapat remunerasi yang wajar,

layak dan sesuai dengan tanggungjawab, pengalaman dan kompetensinya.

Keseimbangan profesionalitas, tanggungjawab, pengalaman dan besaran remunerasi

merupakan kunci kesinambungan pelayanan kesehatan yang berkualitas.

Penyelenggaraan subsistem sediaan farmasi, alat kesehatan dan makanan minuman

harus dilakukan secara terbuka dengan keseimbangan antara produksi dan pemanfaatan

dengan dukungan dana yang memadai. Keterbukaan ini adalah kemampuan

mengakomodasikan perkembangan teknologi dan produk kefarmasian dan teknologi

peralatan kedokteran dan kesehatan serta memperhatikan keterjangkauan harga bagi

113

masyarakat. Indonesia harus mampu menjadi pengekspor berbagai sediaan farmasi, alat

kesehatan dan makanan minuman. Keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif

dalam bidang ini harus terus dikembangkan.

Untuk menjamin kesinambungan subsistem upaya kesehatan, maka dukungan masukan

informasi kesehatan, sumberdaya manusia kesehatan, sediaan farmasi, alat kesehatan

dan makanan minuman, serta pendanaan harus selalu tersedia dalam jumlah yang

memadai. Kualitas pelayanan harus selalu memenuhi standar yang ditetapkan agar

setiap pengguna pelayanan kesehatan merasa puas dan memperoleh manfaat

pelayanan kesehatan. Dengan kualitas dan kepuasan pengguna yang tinggi, maka akan

timbul kemauan masyarakat sebagai pengguna untuk berkontribusi dalam bentuk dana,

pemikiran maupun tenaga.

Pemerintah Daerah perlu menjamin adanya kepastian hukum dalam setiap

penyelenggaraan subsistem SKP. Peraturan perundangan yang dalam pelaksanaannya

mengalami hambatan besar di Daerah harus diatur lebih lanjut dengan Peraturan

Daerah. Peraturan yang dibuat harus melalui sinkronisasi dan harmonisasi dengan

berbagai peraturan di bidang kesehatan dan di luar bidang kesehatan.

Pemerintah Daerah harus melakukan penegakan hukum terhadap berbagai aspek yang

memungkinkan terselenggaranya SKP dengan baik.

Pemerintah Daerah mendorong terwujudnya kontrol sosial yang kuat dari masyarakat

terhadap kualitas pelayanan kesehatan. Pemerintah Daerah mengatur dan

memberdayakan masyarakat agar mampu melakukan kontrol sosial yang memadai guna

menjamin kesinambungan dan akuntabilitas SKP.

Pemerintah Daerah memfasilitasi dan memberikan insentif (berupa pembebasan pajak,

pembelian hasil produksi maupun bantuan teknis lainnya) bagi fasilitas kesehatan,

perguruan tinggi atau industri dalam melakukan penelitian dan pengembangan

pelayanan kesehatan guna memacu perkembangan SKP. Dinas melakukan koordinasi

dengan instansi lintas sektor maupun instansi kesehatan di Daerah untuk mendukung,

memberikan insentif dan memfasilitasi berbagai penelitian di dalam negeri guna

tersedianya sediaan farmasi dan alat kesehatan, serta sistem pengelolaan yang lebih

baik dan bermutu.

E. KERJASAMA NASIONAL DAN INTERNASIONAL

Para pelaku SKP berkewajiban mengembangkan diri agar mampu berperan di tingkat

nasional dan internasional dalam rangka menjaga agar SKP dapat berjalan dengan baik.

Perubahan strategis regional maupun global dapat mempengaruhi keberhasilan SKP.

Kehadiran tenaga kesehatan asing yang membantu pembangunan kesehatan di Daerah

tidak hanya terfokus pada tenaga-tenaga asing yang bekerja dalam lapangan kerja

medis saja, tapi yang berdampak pada pengembangan pembangunan kesehatan secara

menyeluruh, seperti tenaga-tenaga ahli yang menjebatani berbagai investasi sarana

pelayanan kesehatan yang dibangun di Daerah, ahli pendidikan di bidang pengembangan

kesehatan, serta di bidang peralatan dan teknologi penopang kesehatan.

114

BAB VII

PENUTUP

Tujuan pembangunan kesehatan hanya dapat dicapai apabila didukung oleh

kerjasama dengan semangat kemitraan antar semua pelaku pembangunan, baik

Pemerintah Daerah, DPRD, masyarakat dan dunia usaha. Dengan demikian

penyelenggaraan pembangunan kesehatan dengan dukungan SKP, dapat dilaksanakan

dengan berhasilguna dan berdayaguna dengan interaksi, interrelasi serta keterpaduan

berbagai upaya yang dilakukan oleh seluruh pelaku SKP.

Penetapan SKP dimaksudkan untuk memberikan arah bagi setiap pelaku upaya atau

pelayanan kesehatan sesuai dengan kondisi lingkungan masing-masing. Dalam

pelaksanaannya, seluruh pelaku harus memegang teguh prinsip-prinsip umum SKP dan

prinsip dasar masing-masing subsistemnya, realistis dengan kemampuan sumberdaya

manusia dan ketersediaan dana dan sumberdaya lainnya, serta kondisi lingkungannya.

Dengan demikian, meskipun nantinya diharapkan terwujud pelayanan kesehatan yang adil

dan merata, tidak berarti seluruh pelayanan kesehatan harus menyediakan pelayanan non

diskriminatif bagi seluruh masyarakat untuk seluruh jenis pelayanan. Prinsip adil dan merata

secara bertahap diupayakan sesuai kemampuan yang dimiliki.

Untuk dapat melaksanakan SKP yang memenuhi prinsip umum dan prinsip dasar dari

masing-masing subsistemnya yang disesuaikan dengan kemampuan diri dan lingkungan,

dibutuhkan manajer-manajer di sektor publik maupun di masyarakat termasuk swasta.

Manajer tersebut harus mempunyai kompetensi khusus dan mempunyai komitmen kuat

dalam upaya mencapai tujuan pembangunan kesehatan.

SKP merupakan sistem terbuka yang berinteraksi dengan berbagai sistem di Daerah

yang bersifat dinamis dan dalam pelaksanaannya selalu mengikuti perkembangan, baik

nasional, regional maupun global.

SKP harus selalu mampu menjawab peluang, tantangan dan perubahan lingkungan

strategis nasional, regional maupun internasional. Oleh karena itu, semua pemangku

kepentingan di bidang kesehatan harus memantau kinerja dan kendala yang dihadapi SKP,

sehingga SKP dapat diimplementasikan secara optimal dan berimplikasi terhadap

terwujudnya derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.

GUBERNUR JAWA BARAT,

ttd

AHMAD HERYAWAN