bab i pendahuluan a. latar belakang...

25
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Terapi jangka panjang dengan menggunakan obat akan meningkatkan risiko adanya efek samping obat dan interaksi dengan obat penyakit lain atau obat bebas yang mungkin digunakan. Belum lagi apabila pasien juga menerima obat dalam jenis yang banyak. Pengetahuan pasien yang kurang dalam hal obat dapat menimbulkan masalah seperti tidak efektifnya terapi yang dijalani, minimnya kepatuhan pasien dalam konsumsi obat dan bahkan mengakibatkan timbulnya risiko overdosis bila obat tidak dikonsumsi tepat dosis. Notoatmodjo (2003) menyatakan bahwa salah satu faktor yang berhubungan dengan kepatuhan seseorang adalah penyuluhan langsung perorangan sebagai faktor untuk meningkatkan pengetahuan dan membentuk sikap yang positif. Dalam hal ini peran apoteker untuk memberi konsultasi informasi obat dan edukasi kepada pasien sangat penting (Handayani dkk, 2006). Perkembangan ilmu kefarmasian dari hanya sekedar ilmu meracik bahan- bahan alam (galenis) menjadi penemuan dan sintesa senyawa bahan obat untuk diproduksi secara masal, telah membuat pergeseran pada orientasi pelayanan kefarmasian dari obat ke pasien yang mengacu kepada pelayanan kefarmasian (pharmaceutical care). Kegiatan pelayanan kefarmasian yang semula hanya berfokus pada pengelolaan obat sebagai komoditi berubah menjadi pelayanan yang komprehensif dengan bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien (IAI, 2014).

Upload: dothuan

Post on 02-Mar-2019

216 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/72177/potongan/S1-2014... · Perkembangan ilmu kefarmasian dari hanya sekedar ilmu meracik bahan-bahan

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Terapi jangka panjang dengan menggunakan obat akan meningkatkan risiko

adanya efek samping obat dan interaksi dengan obat penyakit lain atau obat bebas

yang mungkin digunakan. Belum lagi apabila pasien juga menerima obat dalam

jenis yang banyak. Pengetahuan pasien yang kurang dalam hal obat dapat

menimbulkan masalah seperti tidak efektifnya terapi yang dijalani, minimnya

kepatuhan pasien dalam konsumsi obat dan bahkan mengakibatkan timbulnya

risiko overdosis bila obat tidak dikonsumsi tepat dosis. Notoatmodjo (2003)

menyatakan bahwa salah satu faktor yang berhubungan dengan kepatuhan

seseorang adalah penyuluhan langsung perorangan sebagai faktor untuk

meningkatkan pengetahuan dan membentuk sikap yang positif. Dalam hal ini peran

apoteker untuk memberi konsultasi informasi obat dan edukasi kepada pasien

sangat penting (Handayani dkk, 2006).

Perkembangan ilmu kefarmasian dari hanya sekedar ilmu meracik bahan-

bahan alam (galenis) menjadi penemuan dan sintesa senyawa bahan obat untuk

diproduksi secara masal, telah membuat pergeseran pada orientasi pelayanan

kefarmasian dari obat ke pasien yang mengacu kepada pelayanan kefarmasian

(pharmaceutical care). Kegiatan pelayanan kefarmasian yang semula hanya

berfokus pada pengelolaan obat sebagai komoditi berubah menjadi pelayanan yang

komprehensif dengan bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien (IAI,

2014).

Page 2: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/72177/potongan/S1-2014... · Perkembangan ilmu kefarmasian dari hanya sekedar ilmu meracik bahan-bahan

2

Sebagai konsekuensi perubahan orientasi tersebut dan untuk menindaklanjuti

peraturan perundang-undangan yaitu Undang Undang No. 36 tahun 2009 tentang

Kesehatan dan Peraturan Pemerintah No.51 tahun 2009 tentang Pekerjaan

Kefarmasian serta tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, Ikatan

Apoteker Indonesia telah membuat Standar Kompetensi Apoteker Indonesia yang

diantaranya meliputi standar kompetensi dalam pemberian informasi sediaan

farmasi dan alat kesehatan. Apoteker dituntut untuk meningkatkan kompetensinya

yang meliputi pengetahuan, ketrampilan dan perilaku untuk dapat melaksanakan

perannya dalam pemberian informasi obat (IAI, 2014).

Data yang diperoleh dari apotek UGM menunjukkan bahwa jumlah resep yang

masuk per hari nya bisa mencapai 30 lembar per hari (Apotek UGM, 2014).

Banyaknya jumlah resep yang harus dilayani juga harus disertai dengan pemberian

kualitas pelayanan kefarmasian yang baik. Sehingga perlu dilakukan penelitian

untuk mengetahui bagaimana pelayanan kefarmasian di Apotek UGM Yogyakarta

khususnya dalam hal pemberian informasi obat.

Dalam memberikan pelayanan informasi obat, apoteker di apotek harus

memperhatikan kualitas pelayanan informasi. Apoteker dituntut untuk dapat

melaksanakan praktek pelayanan yang bertanggung jawab terhadap informasi obat

agar dapat tercapai hasil yang optimal yang akan meningkatkan kualitas hidup

pasien. Seorang apoteker dituntut untuk melakukan kontak secara langsung dengan

penderita sehingga dapat lebih memahami kebutuhan penderita dalam menjalani

terapinya. Sehingga apa yang dilakukan apoteker dapat memenuhi kebutuhan

Page 3: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/72177/potongan/S1-2014... · Perkembangan ilmu kefarmasian dari hanya sekedar ilmu meracik bahan-bahan

3

penderita daripada hanya memenuhi tuntutan resep yang di tulis Dokter (Surahman

& Husein, 2011).

Pemberian informasi obat terkadang masih belum dapat dilaksanakan dengan

lengkap dan baik di apotek di Yogyakarta meskipun presentase apoteker sebagai

sumber informasi obat menurut pengunjung apotek di kota Yogyakarta cukup besar

(Handayani dkk, 2006). Konsumen menilai bahwa pelayanan informasi dan

konsultasi obat di apotek di Kotamadya Yogyakarta kurang memuaskan

(Handayani, 2003). Kenyataan di lapangan saat ini pelayanan kefarmasian yang

berupa pemberian informasi biasanya hanya mengenai cara dan aturan pakai obat

(Handayani dkk, 2006).

Untuk dapat meningkatkan pelayanan tersebut dapat diberikan suatu intervensi

terhadap apoteker. Penelitian tentang pengaruh intervensi kepada apoteker terhadap

kualitas pelayanan informasi obat di puskesmas-puskesmas kota Yogyakarta bagian

timur pernah dilakukan. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa intervensi

apoteker yang berupa pemberian buku panduan (modul) tidak memberikan

perbedaan yang signifikan terhadap materi informasi yang diberikan sekaligus yang

diterima pasien, sehingga tidak efektif meningkatkan kualitas pelayanan informasi

obat di puskesmas. Hasil ini disebabkan oleh keterbatasan waktu dan

ketidakefektifan intervensi yang diberikan sehingga perlu dirumuskan tentang

standar pelaksanaan pelayanan informasi dan konsultasi obat (Wahyuningtyaswari,

2004).

Keputusan MENKES RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 tentang standar

pelayanan kefarmasian di Apotek telah menjelaskan bahwa dalam pemberian

Page 4: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/72177/potongan/S1-2014... · Perkembangan ilmu kefarmasian dari hanya sekedar ilmu meracik bahan-bahan

4

Informasi Obat, Apoteker harus memberikan informasi yang benar, jelas, dan

mudah dimengerti, akurat, tidak bias, etis, bijaksana, dan terkini. Informasi Obat

pada pasien sekurang-kurangnya meliputi cara pemakaian obat, cara penyimpanan

obat, jangka waktu pengobatan, dan aktivitas serta makanan dan minuman yang

harus dihindari selama terapi.

Untuk menindaklanjuti penelitian yang dilakukan oleh Wahyuningtyaswari

sebelum dikeluarkannya Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

1027/MENKES/SK/IX/2004 tentang standar pelayanan kefarmasian di Apotek,

maka dilakukan sebuah penelitian yang melihat apakah pemberian informasi sesuai

standar pelayanan kefarmasian di Apotek berdasarkan Keputusan MENKES RI

Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 dapat meningkatkan pengetahuan pasien di

apotek.

Jumlah rata-rata jenis obat yang terdapat pada resep yang ditebus di Apotek

UGM adalah sebanyak 2,5 jenis obat per resep. Resep dengan lebih dari 3 jenis obat

jarang untuk ditemui (Apotek UGM, 2014). Semakin banyak jenis obat yang

diterima oleh pasien maka semakin lama waktu pemberian informasi yang harus

dilakukan. Lamanya waktu pemasukan informasi (act of remembering) akan

mempengaruhi kekuatan retensi masuknya informasi tersebut. Makin lama

intervalnya, makin kurang kuat retensinya, atau dengan kata lain kekuatan retensi

masuknya informasi akan semakin menurun (Octaviani, 2014). Inilah yang menjadi

latar belakang dipilihnya obat dengan lebih dari 2 obat pada penelitian ini. Dengan

melakukan analisa terhadap pasien dengan resep lebih dari dua jenis obat,

diharapkan dapat memberikan gambaran tentang keefektifan transfer informasi

Page 5: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/72177/potongan/S1-2014... · Perkembangan ilmu kefarmasian dari hanya sekedar ilmu meracik bahan-bahan

5

yang dilakukan pada apoteker terhadap pasien dengan jenis obat yang banyak.

Untuk membatasi agar data yang diperoleh tidak terlalu luas dan bias, maka

pengambilan subjek penelitian dibatasi dengan resep maksimal sebanyak lima jenis

obat. Pengetahuan pasien yang baik akan obatnya tentu akan mendorong pasien

untuk lebih peduli terhadap pengobatan yang dijalaninya. Hal ini dapat

meningkatkan compliance pasien dan memaksimalkan pengobatan (Idris, 2011).

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka dirumuskan permasalahan

penelitian ini :

1. Informasi apa sajakah yang masih belum diketahui pasien sebelum

mendapatkan informasi obat ?

2. Bagaimanakah tingkat pengetahuan pasien terhadap obat yang diterima

sebelum dan setelah diberikan informasi obat ?

3. Bagaimanakah pengaruh pemberian informasi obat dengan tingkat

pengetahuan pasien ?

4. Karakteristik apa sajakah yang mempengaruhi pengetahuan pasien ?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui informasi yang masih belum diketahui pasien sebelum

mendapatkan informasi obat.

2. Untuk mengetahui tingkat pengetahuan pasien terhadap obat yang diterima

sebelum dan setelah diberikan informasi obat.

Page 6: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/72177/potongan/S1-2014... · Perkembangan ilmu kefarmasian dari hanya sekedar ilmu meracik bahan-bahan

6

3. Untuk mengetahui pengaruh pemberian informasi obat dengan tingkat

pengetahuan pasien.

4. Untuk mengetahui karakteristik yang mempengaruhi pengetahuan pasien.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat dari hasil penelitian ini diharapkan agar :

1. Bermanfaat sebagai salah satu referensi gambaran tentang bagaimana tingkat

pengetahuan pasien terhadap obat yang diterima sebelum dan setelah diberikan

informasi obat.

2. Bermanfaat sebagai masukan agar apoteker dapat selalu memberikan informasi

obat yang tepat dan lengkap saat memberikan pelayanan kefarmasian kepada

pasien.

3. Bagi dunia pendidikan, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan

kontribusi dalam pengayaan materi ilmu kefarmasian khususnya dalam bidang

farmasi klinik.

4. Bagi penelitian lain, hasil penelitian ini diharapkan dapat dipakai sebagai bahan

pembanding atau sebagai dasar penelitian selanjutnya untuk memperoleh hasil

yang lebih baik.

5. Bagi peneliti, penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan

pengalaman belajar untuk dapat memahami kaedah penelitian.

6. Bagi pasien sendiri, agar mampu lebih memahami tentang informasi obat yang

diberikan demi tercapainya pengobatan yang rasional.

Page 7: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/72177/potongan/S1-2014... · Perkembangan ilmu kefarmasian dari hanya sekedar ilmu meracik bahan-bahan

7

E. Tinjauan Pustaka

1. Pengertian pengetahuan dan hubungannya dengan ketaatan

Pengetahuan adalah suatu fakta atau kondisi mengetahui sesuatu dengan baik

yang didapat lewat pengalaman dan pelatihan. Adapun definisi lain dari

pengetahuan menurut Chabris (1983), yaitu pengetahuan adalah segala maklumat

yang berguna bagi tugas yang akan dilakukan (Fibrianty, 2009). Menurut

Notoatmodjo (2003) pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah

seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. Penginderaan ini

terjadi melalui panca indera manusia, yaitu indera penglihatan, pendengaran,

penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui

mata dan telinga. Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk

terbentuknya perilaku seseorang (Notoatmodjo, 2003).

Pengetahuan seseorang tentang sesuatu hal akan mempengaruhi sikapnya.

Sikap tersebut positif maupun negatif tergantung dari pemahaman individu tentang

suatu hal tersebut, sehingga sikap ini selanjutnya akan mendorong individu

melakukan perilaku tertentu pada saat dibutuhkan, tetapi kalau sikapnya negatif,

justru akan menghindari untuk melakukan perilaku tersebut (Azwar & Syaifuddin,

2003).

Tindakan mulai terbentuk dari pengetahuan, saat seseorang mengetahui adanya

rangsangan. Kemudian akan timbul rangsangan batin dalam bentuk sikap terhadap

rangsangan yang diketahuinya tersebut. Setelah rangsangan tadi diketahui dan

disadari sepenuhnya, akan timbul tindakan terhadap rangsangan tersebut

(Notoatmodjo, 2003).

Page 8: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/72177/potongan/S1-2014... · Perkembangan ilmu kefarmasian dari hanya sekedar ilmu meracik bahan-bahan

8

Perilaku manusia merupakan hasil segala macam pengalaman serta interaksi

manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap,

dan tindakan. Dengan kata lain, perilaku merupakan respon atau reaksi seorang

individu terhadap stimulus yang berasal dari luar dan dalam dirinya. Respon ini

bersifat pasif (tanpa tindakan : berpikir, berpendapat, bersikap). Sesuai dengan

batasan tersebut perilaku kesehatan dapat dirumuskan sebagai bentuk pengalaman

dan interaksi individu dengan lingkungannya, khususnya yang menyangkut

pengetahuan dan sikap tentang kesehatan, serta tindakannya yang berhubungan

dengan kesehatan (Sarwono, 1997).

Proses pembentukan atau perubahan perilaku dapat dipengaruhi oleh berbagai

faktor dari dalam atau dari luar individu. Disamping susunan syaraf yang

mengontrol reaksi individu terhadap segala rangsangan, aspek-aspek dari dalam

individu yang juga berpengaruh dalam pembentukan dan perubahan perilaku ialah

persepsi, motivasi, dan emosi. Persepsi adalah pengamatan yang merupakan

kombinasi penglihatan, pendengaran, penciuman serta pengalaman masa lalu.

Suatu obyek yang sama dapat dipersepsikan secara berbeda oleh beberapa orang.

Motivasi adalah dorongan bertindak untuk memuaskan suatu kebutuhan (Sarwono,

1997).

Menurut Widayatun (1999), terbentuknya perilaku yang didasari oleh

pengetahuan, kesadaran, dan sikap yang positif, maka perilaku tersebut akan

bersifat langgeng (long lasting). Sebaliknya apabila perilaku itu tidak didasari oleh

pengetahuan dan kesadaran maka tidak berlangsung lama.

Page 9: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/72177/potongan/S1-2014... · Perkembangan ilmu kefarmasian dari hanya sekedar ilmu meracik bahan-bahan

9

Dalam penelitian Rogers mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadaptasi

perilaku baru di dalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan, yaitu:

a. Awareness (kesadaran), yaitu orang tersebut menyadari dalam arti

mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (obyek).

b. Interest (merasa senang), yaitu orang mulai tertarik terhadap stimulus atau

obyek tersebut.

c. Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik dan tidaknya stimulus

tersebut bagi dirinya. Hal ini berarti sikap pasien baik.

d. Trial (mencoba), yaitu orang telah mulai mencoba melakukan sesuatu

sesuai dengan apa yang dikehendaki stimulus.

e. Adaptation (menerima), yaitu subyek telah berperilaku baru sesuai dengan

pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus (Notoatmodjo, 2007).

Bukti bahwa seseorang sudah mengadaptasi perilaku baru di dalam dirinya

dapat dilihat dari bagaimana kepatuhannya dalam melakukan perilaku tersebut.

Dalam bidang kesehatan, kepatuhan atau ketaatan (compliance atau adherence)

adalah tingkat pasien melaksanakan cara pengobatan yang disarankan oleh

dokternya atau oleh yang lain (Smet & Bart, 1994). Ada beberapa faktor yang

mempengaruhi ketaatan pasien dalam menggunakan obat antara lain : tingkat

pemahaman pasien tentang obat dan pengobatan, adanya efek samping obat yang

terkadang mengganggu pasien, adanya anggapan bahwa pelayanan kesehatan

informasi obat kurang penting, adanya keterbatasan waktu untuk konsultasi,

kurangnya bekal pengetahuan dan keterampilan terapi dari pembuat resep atau

petugas pemberi obat yang memberi peranan besar terjadinya ketidakrasionalan

Page 10: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/72177/potongan/S1-2014... · Perkembangan ilmu kefarmasian dari hanya sekedar ilmu meracik bahan-bahan

10

penggunaan obat, kurangnya informasi ilmiah, hanya mengandalkan praktek

sehari-hari tanpa disertai dasar ilmiah serta pengaruh dari industri farmasi (Wati &

Murti, 2003).

Di sisi lain adanya ketidaktaatan pasien meningkatkan risiko berkembangnya

masalah kesehatan atau memperpanjang atau memperburuk kesakitan yang sedang

diderita. Riset membuktikan bahwa setiap orang dapat menjadi taat kalau situasinya

memungkinkan (Smet & Bart, 1994).

Ley mengajukan sebuah model kognitif yang menjelaskan hubungan antara

pengertian, ingatan, kepuasan dengan perilaku ketaatan pasien seperti gambar 1.

Gambar 1. Hubungan hipotesis antara pengertian, ingatan, kepuasan dengan perilaku

ketaatan (Smet & Bart, 1994)

Usia dan atau status kedewasaan merupakan faktor yang penting. Sebagai

contoh, terkadang anak-anak mempunyai tingkat ketaatan yang lebih tinggi

dibandingkan dengan remaja, meskipun anak-anak tersebut mendapatkan informasi

yang kurang, seperti dilaporkan oleh Johnson (1988) dalam Wahyuningtyaswari

(2004) pada penderita diabetes. Berbagai strategi telah dicoba untuk meningkatkan

Memory

Understanding

Satisfaction Compliance

Page 11: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/72177/potongan/S1-2014... · Perkembangan ilmu kefarmasian dari hanya sekedar ilmu meracik bahan-bahan

11

ketaatan, seperti misalnya meningkatkan ketrampilan komunikasi para dokter,

memberikan informasi yang jelas kepada pasien mengenai penyakit yang

dideritanya serta cara pengobatannya, keterlibatan lingkungan sosial (misalnya

keluarga), dan beberapa pendekatan perilaku. Salah satu strategi untuk

meningkatkan ketaatan adalah memperbaiki komunikasi antara tenaga kesehatan

dan pasien (Smet & Bart, 1994).

2. Standar pelayanan kefarmasian di apotek

Definisi apotek telah dijabarkan dalam Keputusan Menteri Kesehatan

No.1027/MENKES/SK/IX/2004 yang menyebutkan bahwa Apotek adalah tempat

tertentu, tempat dilakukan pekerjaan kefarmasian dan penyaluran sediaan farmasi,

perbekalan kesehatan lainnya kepada masyarakat (Anonim, 2004).

Apotek dipimpin oleh seorang Apoteker Pengelola Apotek (APA) yang telah

diberi surat ijin apotek (SIA). Apoteker adalah tenaga ahli yang mempunyai

kewenangan di bidang kefarmasian melalui keahlian yang diperolehnya selama

pendidikan tinggi kefarmasian (Ahaditomo,1995). Dalam mengelola apotek,

apoteker dibantu oleh seorang Asisten Apoteker (AA). Apoteker sebagai tenaga

kesehatan yang dikelompokkan profesi, telah diakui secara universal. Lingkup

pekerjaannya meliputi semua aspek tentang obat, mulai persediaan bahan baku

obat, membuat sediaan jadinya sampai dengan melayankan kepada pemakai obat

atau pasien (Ahaditomo,2001).

Menurut Peraturan Pemerintah No.51 Tahun 2009, tugas dan fungsi apotek

adalah sebagai berikut.

Page 12: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/72177/potongan/S1-2014... · Perkembangan ilmu kefarmasian dari hanya sekedar ilmu meracik bahan-bahan

12

a. Tempat pengabdian profesi seorang apoteker yang telah mengucapkan

sumpah jabatan apoteker.

b. Sarana yang digunakan untuk melakukan pekerjaan kefarmasian.

c. Sarana yang digunakan untuk memproduksi dan distribusi sediaan farmasi,

antara lain, obat, bahan baku obat, obat tradisional, dan kosmetika.

d. Sarana pembuatan dan pengendalian mutu sediaan farmasi pengamanan,

pengadaan, penyimpanan dan pendistribusi atau penyaluran obat, pengelola obat

dan pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta

pengembangan obat, bahan obat, dan obat tradisional (Anonim, 2009a)

Sedangkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

No.1027/MENKES/SK/IX/2004 dijelaskan bahwa dalam pengelolaan apotek,

apoteker senantiasa harus :

a. Memiliki kemampuan menyediakan dan memberikan pelayanan yang baik

b. Mengambil keputusan dengan tepat

c. Mampu berkomunikasi antar profesi

d. Menempatkan diri sebagai pimpinan dalam situasi multidisipliner

e. Mampu mengelola SDM secara efektif

f. Selalu belajar sepanjang karier dan membantu memberi pendidikan dan

memberi peluang untuk meningkatkan pengetahuan (Anonim, 2004).

Peraturan Pemerintah Nomor 51 tahun 2009 telah menjelaskan bahwa

pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan

farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan, dan pendistribusian atau

penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan

Page 13: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/72177/potongan/S1-2014... · Perkembangan ilmu kefarmasian dari hanya sekedar ilmu meracik bahan-bahan

13

informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat, dan obat tradisional

(Anonim, 2009a).

Standar Kompetensi Apoteker Indonesia telah disusun oleh Ikatan Apoteker

Indonesia pada tahun 2014. Standar kompetensi apoteker ini dimaksudkan untuk

melindungi masyarakat dari pelayanan yang tidak profesional, melindungi profesi

dari tuntutan masyarakat yang tidak wajar, sebagai pedoman dalam pengawasan

praktek apoteker dan untuk pembinaan serta meningkatkan mutu pelayanan farmasi

oleh apoteker. Didalam standar tersebut dijelaskan 9 unit kompetensi apoteker yang

sistematikanya adalah :

a. Unit kompetensi 1 merupakan etika profesi dan profesionalisme apoteker

dalam melakukan praktek kefarmasian.

b. Unit kompetensi 2 merupakan keahlian apoteker dalam menyelesaikan

setiap permasalahan terkait penggunaan sediaan farmasi.

c. Unit kompetensi 3 merupakan keahlian dasar apoteker yang meliputi unsur

pengetahuan, ketrampilan dan karakter sebagai care giver.

d. Unit kompetensi 4 merupakan keahlian dalam memformulasi dan

memproduksi sediaan farmasi dan alat kesehatan sesuai standar yang berlaku.

e. Unit kompetensi 5 merupakan ketrampilan dalam mengkomunikasikan

pemahaman terhadap sediaan farmasi serta pengaruh (efek) yang ditimbulkan bagi

pasien.

f. Unit kompetensi 6 merupakan pemahaman apoteker terhadap permasalah

public health yang banyak dijumpai di lingkungan sekitar.

Page 14: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/72177/potongan/S1-2014... · Perkembangan ilmu kefarmasian dari hanya sekedar ilmu meracik bahan-bahan

14

g. Unit kompetensi 7 adalah kemampuan apoteker dalam bidang manajemen

dengan didasari oleh pemahaman terhadap sifat fisiko kimia sediaan farmasi dan

alat kesehatan serta keahlian memanfaatkan teknologi sebagai alat bantu untuk

mempermudah pengelolaan.

h. Unit kompetensi 8 adalah ketrampilan dalam mengelola dan

mengorganisasikan serta ketrampilan menjalin hubungan interpersonal dalam

melakukan praktik kefarmasian.

i. Unit kompetensi 9 adalah karakter dan perilaku apoteker untuk selalu

meningkatkan pengetahuan, ketrampilan (IAI, 2014).

Apoteker di Indonesia dalam menangani pasien harus sama dengan apoteker-

apoteker di negara maju yaitu berdasarkan harkat pasien sebagai manusia dan

bukannya sebagai pembeli obat. Menurut konsep Standar Kompetensi Apoteker

Indonesia, produk kerja profesi apoteker tidak hanya berupa obat namun juga

informasi obat yang memenuhi syarat kefarmasian (IAI, 2014).

Menurut Afdhal (1995), apoteker merupakan bagian tak terpisahkan dari

proses pembangunan kesehatan yang kini tengah memperkuat peranannya pada

masyarakat dengan merubah orientasinya dari drug oriented menjadi patient

oriented sebagai upaya untuk melayani kebutuhan kefarmasian masyarakat secara

baik (Suharnoto, 2000).

Profesi apoteker bertanggung jawab untuk menghasilkan produk kerja profesi

yang memenuhi syarat kefarmasian berupa jaminan kemanfaatan obat dan sekaligus

informasi bagi pemakainya, yaitu pada pelayanan kefarmasian (patient care), tugas

tersebut adalah menjelaskan aturan penggunaan obat kepada pasien, menasehati

Page 15: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/72177/potongan/S1-2014... · Perkembangan ilmu kefarmasian dari hanya sekedar ilmu meracik bahan-bahan

15

pasien atas aspek potensi dan bahaya obat yang akan digunakan, merujukkan

kepada pusat pelayanan kesehatan, memonitor dan melakukan pusat evaluasi resep

terapeutik dari obat yang digunakan pasien serta mengkaji informasi tambahan obat

bila perlu (Ahaditomo, 1995).

Jika saat ini sedang terjadi lemahnya pengakuan terhadap profesi apoteker,

menurut Pane (1998) dalam Suharnoto (2000) hal ini karena kurang profesionalnya

apoteker dalam mengartikulasikan dirinya sebagai pelaku pelayanan kefarmasian

(pharmaceutical care) seperti menganggap pekerjaan di apotek sebagai by job,

bermental tekab (teken kabur) dan mengandalkan kemampuan farmasi hanya

karena SIK. Menurutnya ada 3 hal yang menyebabkan apotek harus memiliki

paradigma baru dalam memposisikan profesinya, yaitu :

a. Adanya peningkatan kebutuhan tentang patient councelling.

b. Adanya kesadaran terhadap pentingnya pharmaceutical care.

c. Adanya cost saving (Suharnoto, 2000).

Menurut pasien, asuhan kefarmasian (pharmaceutical care) seorang apoteker

memikul tanggung jawab secara langsung terhadap segala sesuatu sebagai akibat

yang ditimbulkan oleh karena terapi dengan obat pada individu pasien. Keberadaan

apoteker dituntut senantiasa berinteraksi dengan setiap pasien mulai dari penilaian

resep, persiapan obat, dispensing, informasi obat sampai memberikan monitoring

terhadap keberhasilan pengobatan.

Dalam Undang Undang (UU) nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan

disebutkan bahwa : Tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugasnya berkewajiban

Page 16: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/72177/potongan/S1-2014... · Perkembangan ilmu kefarmasian dari hanya sekedar ilmu meracik bahan-bahan

16

untuk memenuhi standar profesi dan menghormati hak pasien (Anonim, 2009b).

Pada penjelasan dari Undang Undang tersebut menerangkan bahwa :

a. Setiap orang berhak atas kesehatan

b. Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas

sumber daya di bidang kesehatan

c. Setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan

yang aman, bermutu, dan terjangkau

d. Setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan

sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya

e. Setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan

sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya

f. Setiap orang berhak mendapatkan lingkungan yang sehat bagi pencapaian

derajat kesehatan

g. Setiap orang berhak untuk mendapatkan informasi dan edukasi tentang

kesehatan yang seimbang dan bertanggung jawab

h. Setiap orang berhak memperoleh informasi tentang data kesehatan dirinya

termasuk tindakan dan pengobatan yang telah maupun yang akan

diterimanya dari tenaga kesehatan (Anonim, 2009b).

Dengan demikian pelayanan informasi obat di apotek merupakan wujud dari

pemenuhan hak pasien (Anonim, 2009b).

Pemenuhan hak-hak pasien ini juga telah diatur dalam Undang Undang

Perlindungan Konsumen, dimana pasien dipandang sebagai konsumen apotek.

Page 17: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/72177/potongan/S1-2014... · Perkembangan ilmu kefarmasian dari hanya sekedar ilmu meracik bahan-bahan

17

Menurut ketentuan pasal 4 Undang Undang nomor 8 tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen, konsumen memiliki hak antara lain sebagai berikut :

a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi

barang dan/atau jasa

b. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan

jaminan barang dan/atau jasa

c. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa

yang digunakan

d. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen (Anonim,

1999).

Segala upaya agar obat sampai kepada masyarakat tidak ada gunanya apabila

dalam pelayanan obat tidak menjamin penyerahan obat yang benar kepada pembeli

obat yang disertai dengan informasi yang jelas. Salah satu tujuan utama pengelolaan

obat di apotek adalah bagaimana obat yang sampai ke tangan pasien akan digunakan

secara benar dan tepat sehingga memberikan manfaat sesuai dengan tujuannya.

Sesuai dengan keterangan tersebut, kemampuan berkomunikasi dan penguasaan

informasi kefarmasian merupakan salah satu faktor penting dalam pelaksanaan

informasi obat di apotek (Suryawati, 1998).

Apoteker apotek selanjutnya disebut apoteker adalah profesional yang paling

banyak berhubungan langsung dengan masyarakat. Karena itu apotek sebagai salah

satu bentuk sarana pelayanan kesehatan yang berkewajiban untuk menyediakan dan

menyalurkan obat yang aman dan rasional harus meningkatkan fungsi dan perannya

Page 18: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/72177/potongan/S1-2014... · Perkembangan ilmu kefarmasian dari hanya sekedar ilmu meracik bahan-bahan

18

dengan selalu memperhatikan aspek kemanusiaan serta etika pelayanan kesehatan

(Siregar, 1994).

Farmasi komunitas adalah profesional kesehatan yang sangat berkaitan dengan

masyarakat atau publik. Mereka memberikan pelayanan kesehatan berupa

pemberian obat resep maupun obat bebas. Wujud dari tanggung jawab ini juga

meliputi pengumpulan informasi tentang riwayat kesehatan pasien dan pemberian

informasi tentang obat dan pengobatan kepada pasien dan mengawasi penggunaan

obat oleh pasien (WHO, 1990).

Untuk dapat meningkatkan pelayanan farmasi, menurut Siregar (1994), perlu

dilakukan hal-hal di bawah ini :

a. Untuk meningkatkan kepatuhan penderita, apoteker wajib memberi

informasi dan atau konseling kepada penderita tentang obatnya terutama hal yang

perlu diketahui penderita

b. Apoteker wajib memberi informasi obat dan kesehatan kepada masyarakat

baik secara aktif maupun pasif. Informasi obat lebih ditekankan pada penggunaan

obat yang baik dalam pengobatan sendiri (self medication), misalnya risiko lewat

dosis , terjadinya interaksi antara berbagai obat yang dipakai sekaligus, petunjuk

penggunaan, merekomendasikan dosis yang lazim, peringatan terhadap

penggunaan obat yang salah, bahaya penggunaan obat, dan sebagainya.

3. Pelayanan informasi obat di apotek

Ada berbagai macam definisi dari informasi obat, tetapi pada umumnya maksud

dan intinya sama saja. Salah satu definisinya adalah, informasi obat merupakan

setiap data atau pengetahuan objektif, diuraikan secara ilmiah dan terdokumentasi

Page 19: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/72177/potongan/S1-2014... · Perkembangan ilmu kefarmasian dari hanya sekedar ilmu meracik bahan-bahan

19

mencakup farmakologi, toksikologi, dan farmakoterapi obat. Informasi obat

mencakup, tetapi tidak terbatas pada pengetahuan seperti nama kimia, struktur dan

sifat-sifat, identifikasi, indikasi diagnostik atau indikasi terapi, mekanisme kerja,

waktu mulai kerja dan durasi kerja, dosis dan jadwal pemberian, dosis yang

direkomendasikan, absorpsi, metabolisme detoksifikasi, ekskresi, efek samping dan

reaksi merugikan, kontraindikasi, interaksi, harga, keuntungan, tanda, gejala dan

pengobatan toksisitas, efikasi klinik, data komparatif, data klinik, data penggunaan

obat, dan setiap informasi lainnya yang berguna dalam diagnosis dan pengobatan

pasien (Siregar, 2006).

Definisi pelayanan informasi obat adalah pengumpulan, pengkajian,

pengevaluasian, pengindeksan, pengorganisasian, penyimpanan, peringkasan,

pendistribusian, penyebaran serta penyampaian informasi tentang obat dalam

berbagai bentuk dan berbagai metode kepada pengguna nyata dan yang mungkin

(Siregar, 2006).

Pada umumnya, ada dua jenis metode utama dalam pelayanan informasi obat

kepada pasien, yaitu dengan metode lisan dan tertulis. Apoteker, perlu memutuskan

kapan suatu jenis dari metode itu digunakan untuk memberikan informasi obat

dengan lebih tepat. Dalam banyak situasi klinik, pemberian informasi lisan

biasanya diikuti dengan pemberian informasi tertulis.

a. Informasi tertulis

Informasi tertulis merupakan dokumentasi informasi tertentu yang diberikan

kepada pasien. Keuntungan dari format tertulis adalah memungkinkan pasien untuk

membaca ulang informasi tersebut dan secara pelan-pelan menginterpretasikan

Page 20: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/72177/potongan/S1-2014... · Perkembangan ilmu kefarmasian dari hanya sekedar ilmu meracik bahan-bahan

20

informasi tersebut (Siregar, 2006). Pemberian informasi obat secara tertulis dapat

dilakukan oleh apoteker dengan jalan memberikan buletin, leaflet, dan label obat

kepada pasien (Anonim, 2004).

b. Informasi lisan

Setelah ditetapkan bahwa informasi lisan adalah tepat, apoteker perlu

memutuskan jenis metode informasi lisan yang digunakan. Ada dua jenis metode

pemberian informasi secara lisan, yaitu komunikasi tatap muka dan komunikasi

telepon. Komunikasi tatap muka dengan pasien lebih disukai, komunikasi tatap

muka dengan pasien dapat lebih membantu apoteker dalam menilai keberhasilan

pemberian informasi yang dilakukan (Siregar, 2006).

Untuk mewujudkan pengertian dan penerimaan yang baik antara apoteker dan

pasien dalam pelaksanaan konsultasi, menurut Santoso (1994), idealnya mencakup

beberapa komponen informasi seperti disebut berikut ini:

a. Informasi tentang masalah kesehatan pasien

Pasien seharusnya diberikan informasi yang sesuai dengan masalah kesehatan

yang dideritanya.

b. Informasi tentang perawatan

c. Informasi tentang obat dan pemilihan obat

Tujuan yang spesifik dari setiap pemilihan obat dan cara kerja obat harus

diinformasikan secara benar dan obyektif. Informasi ini meliputi informasi tentang

dosis, frekuensi pemakaian, dan durasi pengobatan.

d. Informasi tentang reaksi obat yang digunakan

Page 21: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/72177/potongan/S1-2014... · Perkembangan ilmu kefarmasian dari hanya sekedar ilmu meracik bahan-bahan

21

Pemberian informasi ini seringkali tidak dilakukan karena dirasakan tidak

penting bagi pasien untuk mengetahui bagaimana reaksi obat yang digunakan.

Penjelasan tentang risiko penggunaan obat tidaklah mudah, akan tetapi perlu

diberikan informasi tentang segala sesuatu yang mungkin terjadi.

e. Informasi tentang pengawasan perawatan

Pada akhirnya pasien perlu diberikan informasi tentang bagaimana melakukan

pengawasan terhadap akibat dari pengobatan yang dipilihnya. Untuk beberapa

kasus, saat dimana efek yang diharapkan terjadi adalah sangat penting untuk

diinformasikan. Pasien juga perlu diinformasikan tentang apa yang harus dilakukan

apabila terjadi efek yang tidak diinginkan (side effect).

Dalam situasi dimana pasien telah mendapat resep, maka komponen informasi

yang harus diberikan meliputi (Suryawati, 1998) :

a. Nama obat dan indikasi/kegunaan obat

b. Cara penggunaan dan aturan pakai khusus

c. Efek samping, kontraindikasi, dan peringatan, dan apa yang harus

dilakukan kalau terjadi efek samping yang tak diharapkan

d. Tanda-tanda kesembuhan

e. Cara menyimpan obat di rumah, dan bagaimana mengetahui kalau obat

sudah rusak.

Apotek sebagai salah satu penyedia pelayanan kesehatan memiliki kekuatan yang

harus diperhatikan, yaitu harus disadari bahwa obat merupakan komoditi khusus

yang harus dilayankan kepada pasien dengan informasi. Hal ini yang membedakan

apotek dengan toko obat biasa.

Page 22: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/72177/potongan/S1-2014... · Perkembangan ilmu kefarmasian dari hanya sekedar ilmu meracik bahan-bahan

22

Kebutuhan penggunaan jasa informasi, perilaku kebutuhan informasi, tingkat

penerimaan informasi perlu diketahui untuk mengembangkan pelayanan informasi

tersebut. Seringkali kegagalan informasi disebabkan pelayanan yang diberikan

belum tentu sesuai dengan kebutuhan penggunaan. Informasi obat tidak secara

otomatis dapat mengubah perilaku penggunaan obat, kecuali pelayanan informasi

obat memang diarahkan secara khusus untuk intervensi penggunaan obat.

Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 tentang standar pelayanan

kefarmasian di Apotek telah menjelaskan bahwa dalam pemberian Informasi Obat,

Apoteker harus memberikan informasi yang benar, jelas, dan mudah dimengerti,

akurat, tidak bias, etis, bijaksana, dan terkini. Informasi Obat pada pasien sekurang-

kurangnya meliputi cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka waktu

pengobatan, dan aktivitas serta makanan dan minuman yang harus dihindari selama

terapi.

Dalam Standar Prosedur Operasional (SPO) “Komunikasi, Informasi, Dan

Edukasi” yang disusun oleh Apotek UGM Yogyakarta, tertulis bahwa dalam hal

pemenuhan kewajiban Apotek UGM dalam memberikan informasi obat, Apotek

UGM membuat Standar Prosedur Operasional (SPO) tersebut agar pasien

mengetahui cara penggunaan obat yang benar dan aman (Apotek UGM, 2011).

Lingkup pemberian informasinya sendiri mencakup informasi cara

penggunaan, aturan pakai, durasi penggunaan, efek samping yang mungkin timbul,

serta makanan/minuman dan aktivitas yang harus dilakukan/dihindari selama

penggunaan obat resep atau obat wajib apotek dengan Apoteker sebagai

penanggung jawabnya (Apotek UGM, 2011).

Page 23: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/72177/potongan/S1-2014... · Perkembangan ilmu kefarmasian dari hanya sekedar ilmu meracik bahan-bahan

23

Instruksi dalam pelaksanaan Standar Prosedur Operasional ini sendiri antara

lain :

a. Gali masalah pengobatan yang dialami pasien (terkait usia, terapi yang

sudah atau sedang dijalani), riwayat penyakit dan riwayat pengobatan pasien.

b. Berikan empati dan senyum kepada pasien.

c. Berikan solusi atas masalah yang dialami pasien dengan melibatkan

persetujuan dari pasien.

d. Beri informasi dan edukasi mengenai pengobatan yang sedang dijalani

oleh pasien. Informasi yang disampaikan meliputi aturan penggunaan obat, cara

penggunaan, durasi penggunaan, makanan/minuman dan aktivitas yang harus

dilakukan/dihindari selama penggunaan obat.

e. Pastikan informasi yang diberikan sesuai literatur.

f. Dokumentasikan KIE disertai tanggal pelayanan tersebut pada buku kerja

KIE Apoteker (Apotek UGM, 2011).

4. Pentingnya pemberian informasi dan konsultasi obat

Informasi tentang suatu obat dan promosi yang dilakukan sangat

mempengaruhi penggunaan obat tersebut dan tinggi rendahnya pemahaman

konsumen mengenai produk tergantung pada tingkat kebenaran informasi yang

disampaikan penjual atau pengusaha serta daya tangkap konsumen yang

bersangkutan (Siregar, 1994).

Untuk menjaga dan memajukan kesehatan, kekuatan mental dan fisik rakyat

adalah pemberian informasi yang cukup mengenai obat pada orang yang

memerlukan informasi oleh orang yang dalam kedudukannya cakap memberikan

Page 24: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/72177/potongan/S1-2014... · Perkembangan ilmu kefarmasian dari hanya sekedar ilmu meracik bahan-bahan

24

informasi tersebut dan orang yang diharapkan tahu banyak tentang obat adalah

apoteker. Karena hal tersebut adalah bidangnya dan menjadi tanggung jawabnya

(Anief, 2001).

Pasien perlu informasi obat karena :

a. Interpretasi pasien beragam terhadap etiket/label obat (signa)

b. Tingkat pemahaman pasien beragam

c. Tingkat kepatuhan pasien beragam

d. Efek samping obat yang mungkin terjadi

e. Obat populer untuk terapi penyakit tertentu dipakai untuk penyakit lain

(Kimia Farma, 2003).

Informasi obat bagi para pelaku pelayanan berfungsi untuk menyegarkan

kembali pengetahuan mengenai obat dan meningkatkan pengambilan keputusan

dalam memberikan informasi tentang penggunaan obat pada waktu melayani

pasien. Informasi obat juga penting untuk meningkatkan pengetahuan obat dan

penggunaannya secara rasional (Trisna & Yulia, 2001).

Dasar dari konsep pengobatan adalah untuk memberikan kebutuhan pasien

dengan tepat, yakni kebutuhan yang sesuai dengan keadaan kesehatan pasien yaitu

kebutuhan akan pengobatan dan diagnosa yang tepat, dan terakhir adalah kebutuhan

akan informasi dan konsultasi (Santoso, 1994).

Pengalaman menunjukkan bahwa informasi yang tidak proporsional dan benar

akan menyebabkan masalah yang terpendam. Akibatnya akan terjadi kegagalan

terapi. Konsultasi yang diberikan kepada pasien tidak hanya bertujuan untuk

memberikan pengetahuan dan informasi mengenai keadaan dan pengobatan yang

Page 25: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/72177/potongan/S1-2014... · Perkembangan ilmu kefarmasian dari hanya sekedar ilmu meracik bahan-bahan

25

diresepkan, tetapi juga untuk mengajak pasien menuju kebiasaan dan perilaku yang

baik untuk kesehatan. Hasil dari tindakan ini akan lebih baik jika diimbangi dengan

pengertian dan penerimaan yang baik (Santoso, 1994).

F. Keterangan Empirik

Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh gambaran mengenai tingkat

pengetahuan pasien tentang penggunaan obat sebelum dan sesudah diberikan

informasi obat oleh apoteker, termasuk gambaran tentang informasi apa saja yang

belum diketahui oleh pasien sebelum diberikan informasi tersebut. Pengaruh

pemberian informasi obat dengan peningkatan pengetahuan pasien serta hubungan

antara karakteristik pasien dengan peningkatan pengetahuan tersebut juga

diharapkan dapat diketahui.