bab i pendahuluan a. latar belakang · pdf filesejarah mencatat bahwa filsafat yunani klasik...

21
1 BAB I PENDAHULUAN Uraian pendahuluan ini memuat pembahasan latar belakang dan rumusan masalah. A. Latar Belakang Sejarah mencatat bahwa filsafat Yunani klasik merupakan permulaan dari pemikiran filsafat atau pembahasan filsafat secara spekulatif rasional dan irrasional dogmatis. Filsafat Yunani klasik merupakan contoh ilustrasi pemikiran dan pembahasan masalah filsafat secara sistematis dan lengkap dan berlaku sampai sekarang. 1 Pada masa Renaissance berbagai pemikiran tentang filsafat mengalami kemajuan. Saat memasuki abad ke-17 beberapa filosuf mencapai penyempurnaan dan kedewasaan pemikiran. Hal ini mempunyai pengaruh sangat besar bagi pemikiran-pemikiran filsafat pada masa berikutnya. Pengaruh itu dapat dilihat dari dua aliran filsafat yang saling bertentangan yaitu rasionalisme dan empirisme yang muncul pada abad ini. 2 Rasionalisme adalah sebuah pandangan yang berpegangan bahwa akal (reason) merupakan sumber bagi pengetahuan dan pembenaran. Semetara pengetahuan dan pembenaran itu diperoleh dengan cara berpikir. Alat dalam berpikir ialah kaidah-kaidah logis atau kaidah-kaidah logika. Rasionalisme juga merupakan aliran pemikiran yang berpendapat bahwa sumber pengetahuan yang mencukupi dan yang dapat dipercaya adalah rasio (akal). Hanya pengetahuan yang diperoleh melalui akallah yang memenuhi syarat yang dituntut oleh sifat umum dan yang perlu mutlak, yaitu syarat yang dipakai untuk semua pengetahuan ilmiah. 3 Adapun aliran empirisme merupakan suatu doktrin filsafat yang menekankan pada peranan pengalaman dalam memperoleh pengetahuan dan mengecilkan peranan akal. Istilah empirisme sendiri diambil dari bahasa Yunani 1 Ali Saifullah, Antara Filsafat dan Pendidikan, Surabaya : Usaha Nasional, 1403 H, hal. 56 2 Harun Hadiwijoyo, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta: Kanisius, 2002, hal. 18. 3 Surojiyo, Ilmu Filsafat, Suatu Pengantar, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2005, hal. 66

Upload: trinhque

Post on 07-Feb-2018

226 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

Uraian pendahuluan ini memuat pembahasan latar belakang dan rumusan

masalah.

A. Latar Belakang

Sejarah mencatat bahwa filsafat Yunani klasik merupakan permulaan dari

pemikiran filsafat atau pembahasan filsafat secara spekulatif rasional dan

irrasional dogmatis. Filsafat Yunani klasik merupakan contoh ilustrasi pemikiran

dan pembahasan masalah filsafat secara sistematis dan lengkap dan berlaku

sampai sekarang.1

Pada masa Renaissance berbagai pemikiran tentang filsafat mengalami

kemajuan. Saat memasuki abad ke-17 beberapa filosuf mencapai

penyempurnaan dan kedewasaan pemikiran. Hal ini mempunyai pengaruh

sangat besar bagi pemikiran-pemikiran filsafat pada masa berikutnya.

Pengaruh itu dapat dilihat dari dua aliran filsafat yang saling bertentangan

yaitu rasionalisme dan empirisme yang muncul pada abad ini.2 Rasionalisme

adalah sebuah pandangan yang berpegangan bahwa akal (reason) merupakan

sumber bagi pengetahuan dan pembenaran. Semetara pengetahuan dan

pembenaran itu diperoleh dengan cara berpikir. Alat dalam berpikir ialah kaidah-kaidah

logis atau kaidah-kaidah logika. Rasionalisme juga merupakan aliran pemikiran yang

berpendapat bahwa sumber pengetahuan yang mencukupi dan yang dapat dipercaya

adalah rasio (akal). Hanya pengetahuan yang diperoleh melalui akallah yang memenuhi

syarat yang dituntut oleh sifat umum dan yang perlu mutlak, yaitu syarat yang dipakai

untuk semua pengetahuan ilmiah.3

Adapun aliran empirisme merupakan suatu doktrin filsafat yang

menekankan pada peranan pengalaman dalam memperoleh pengetahuan dan

mengecilkan peranan akal. Istilah empirisme sendiri diambil dari bahasa Yunani

1 Ali Saifullah, Antara Filsafat dan Pendidikan, Surabaya : Usaha Nasional, 1403 H, hal. 56

2 Harun Hadiwijoyo, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta: Kanisius, 2002, hal. 18.

3 Surojiyo, Ilmu Filsafat, Suatu Pengantar, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2005, hal. 66

2

yakni Empiria yang berarti coba-coba atau pengalaman. Empirisme adalah lawan

dari rasionalisme. Sanggahan orang-orang rasionalis tampak jelas pada karya

Descartes. Descartes membedakan dua fungsi akal, pertama fungsi diskursif yang

menjadikan kita mampu membuat konklusi dan premis, dan kedua fungsi intuitif

yang menjadikan kita mampu menangkap kebenaran terakhir dan menangkap

konsep secara langsung. Untuk memahami isi doktrin terdapat dua ciri pokok

empirisme, yaitu mengenai teori makna dan teori pengetahuan. Semula aliran ini

menganut paham realisme yang menganggap bahwa pengenalan yang diperoleh

melalui pengalaman tanpa penyelidikan lebih lanjut telah memiliki nilai yang

obyektif. Akan tetapi kemudian nilai pengenalan yang diperoleh melalui

pegalaman itu sendiri dijadikan sasaran atau obyek penelitian.

Aliran ini muncul di Inggris pada awalnya dipelopori Francis Bacon (1531-

1626). Pada perkembangannya dilanjutkan oleh tokoh-tokoh pasca Descartes

seperti Thomas Hobbes (1588-1679), John Locke (1632-1704), Berkeley (1685-

1753), dan yang terpenting adalah David Hume (1711-1776).4

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian singkat dalam latar belakang maka pemakalah

mengajukan perumusan masalah sebagai berikut:

1. Apakah yang dimaksud dengan empirisme?

2. Bagaimanakah biografi dan pemikiran David Hume sebagai filosof

empirisme?

3. Bagaimakah telaah kritis tentang pemikiran empirisme David Hume?

4 Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu-ilmu, Yogyakarta: Belukar, 2005, hal. 53.

3

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Empirisme

Secara etimologis empirisme berasal dari kata bahasa Inggris empiricism

dan experience.5Kata-kata ini berakar dari kata bahasa Yunani empeiria dan dari

kata experietia6 yang berarti “berpengalaman dalam”, “berkenalan dengan”,

“terampil untuk”. Sementara itu menurut A.R. Lacey7 berdasarkan akar katanya

empirisme adalah aliran dalam filsafat yang berpandangan bahwa pengetahuan

secara keseluruhan atau parsial didasarkan kepada pengalaman yang

menggunakan indera.

Secara terminologis terdapat beberapa definisi mengenai empirisme,

diantaranya: doktrin bahwa sumber seluruh pengetahuan harus dicari dalam

pengalaman, pandangan bahwa semua ide merupakan abstraksi yang dibentuk

dengan menggabungkan apa yang dialami, pengalaman inderawi adalah satu-

satunya sumber pengetahuan, dan bukan akal.8

Menurut aliran ini adalah suatu hal yang tidak mungkin untuk mencari

pengetahuan mutlak dan mencakup semua segi, apalagi bila di dekat kita

terdapat kekuatan yang dapat dikuasai untuk meningkatkan pengetahuan

manusia, yang meskipun bersifat lebih lambat namun lebih dapat diandalkan.

Kaum empiris cukup puas dengan mengembangkan sebuah sistem pengetahuan

yang mempunyai peluang besar untuk benar, meskipun kepastian mutlak tidak

akan pernah dapat dijamin.9

5 Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2002, hal. 197

6 Paul Edwards (ed.), The Encyclopedia of Philosophy Volume 2, New York, The Macmillan

Company & The Free Press, 1967, hal. 499 7 A.R. Lacey, A Dictionary of Philosophy, New York, Routledge, 2000, hal. 88

8 Bagus, op. Cit., hal. 197-198.

9 Stanley M. Honer dan Thomas C. Hunt, Metode dalam Mencari Pengetahuan: Rasionalisme,

Empirisme dan Metode Keilmuan, dalam Jujun S. Suriasumantri (penyunting), Ilmu dalam

Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan tentang Hakekat Ilmu, Jakarta, Yayasan obor Indonesia,

2003, hal. 102.

4

Kaum empiris memegang teguh pendapat bahwa pengetahuan manusia

dapat diperoleh melalui pengalaman. Jika kita sedang berusaha untuk

meyakinkan seorang empiris bahwa sesuatu itu “ada”, dia akan berkata

“tunjukkan hal itu kepada saya”. Dalam persoalan mengenai fakta maka dia

harus diyakinkan oleh pengalamannya sendiri. Jika kita mengatakan kepada dia

bahwa seekor harimau di kamar mandinya, pertama dia minta kita untuk

menjelaskan bagaimana kita dapat sampai kepada kesimpulan tersebut. Jika

kemudian kita mengatakan bahwa kita melihat harimau tersebut di dalam kamar

mandi, baru kaum empiris akan mau mendengar laporan mengenai pengalaman

kita, namun dia hanya akan menerima hal tersebut jika dia atau orang lain dapat

memeriksa kebenaran yang kita ajukan, dengan jalan melihat harimau itu dengan

mata kepalanya sendiri.10

B. Biografi dan Pemikiran Empirisme David Hume

B.1 Biografi David Hume

David Hume lahir di Edinburgh, Skotlandia pada tanggal 26 April 1711

dengan nama aslinya David Home. Namun pada tahun 1734 ia mengubah

namanya karena di Inggris kesulitan mengucapkan “Home” dengan cara

skotlandia. Hume merupakan putra pasangan Yusuf chrinside dan Khaterine

Falcorner. Tapi ayahnya meninggal pada saat usia Hume masih anak-anak,

sehingga dia dibesarkan oleh ibunya.11

Dalam masalah pendidikan Hume mendapatkan pendidikan yang sangat

baik. Dengan harta warisan yang ditinggalkan ayahnya. Hume mendaftarkan di

Universitas Edinburgh untuk belajar sastra klasik. Tetapi Hume tidak puas dengan

pendidikan yang diterimanya, kemudian ia memutuskan untuk keluar dari

universitas tersebut.12

10

Honer dan Hunt, op. Cit., hal. 102 11

Paul Edwards (ed.), The Encyclopedia of Philosophy Volume 4, New York, The Macmillan

Company & The Free Press, 1967, hal. 77 12

http://id.wikipedia.org/wiki/David_Hume

5

Pada tahun 1734, setelah beberapa bulan sibuk dengan perdagangan di

Bristol, ia pergi ke La fleche di Anjon, Perancis. Disana ia sering bertukar pikiran

dengan jesuit dari College Of La Fleche, saat itu ia telah menghabiskan sebagian

besar tabungannya selama empat tahun disana untuk menulis buku yang

berjudul A Treatise of Human Nature, dan ia menyelesaikannya pada usia 26

tahun.13

Setelah publikasi karyanya pada tahun 1744, Hume ditetapkan menjadi

ketua Pneumatics dan Moral Filsafat di Universitas Edinburgh. Namun posisi itu

kemudian diberikan kepada William Cleghorn, setelah menteri Edinburgh

mengajukan petisi kepada dewan kota untuk tidak menunjuk Hume karena ia

dituduh sebagai atheis. Hume juga dituduh bid’ah, tapi ia dipertahankan oleh

ulama muda teman-temannya yang berpendapat bahwa sebagai atheis, ia

berada di luar gereja yuridiksi. Meskipun ada upaya pembelaan, namun Hume

tetap gagal untuk mendapatkan jabatan sebagai ketua filsafat di Universitas

Edinburgh.

Hume mencapai ketenaran sebagai seorang sejarawan dengan karyanya The

History Of England, menelusuri peristiwa-peristiwa dari invasi Julius Caesar ke

revolusi 1688, adalah buku best seller. Hume wafat diusianya yang ke 65 pada

tahun 1776 di kota kelahirannya Edinburgh, Skotlandia. Dan sepanjang hidupnya,

Hume tidak pernah menikah.14

Hume banyak meninggalkan karya tulis, diantaranya sebagai berikut: A

Treatise of Human Nature, 1739-1740; Essays, Moral, Political and Literary, 1741-

1742; An Enquiry Concerning Human Understanding, 1748; An Enquiry

Concerning the Principles of Morals, 1751; Political Discourses, 1752; Four

Dissertation, 1757; Dialogues Concerning Natural Religion, 1779; dan Immortality

13

Robert Cummins dan David Owen (eds.), Central Readings in the History of Modern Philosophy:

Descartes to Kant, Canada, Wadsworth Publishing Company, 1999, hal. 1; dan W.T. Jones, A

History of Western Philosophy: Hobbes to Hume, San Diego, Harcourt Brace Jovanovich, 1969, hal.

325. 14

Suseno, 13 Tokoh Eika Sejak Zaman Yunani Sampai Abad ke-19, Yogyakarta: kanisius, 1997, hal.

123

6

of the Soul, 1783.35 Perlu dicatat bahwa buku-buku An Enquiry Concerning

Human Understanding dan An Enquiry Concerning the Principles of Morals

merupakan ringkasan dan revisi dari buku A Treatise of Human Nature.15

B.2 Isi Pemikiran David Hume

a. Teori Hume tentang Pengalaman dan Kausalitas (Hukum Sebab-Akibat )

Sebagai seorang emperis Hume sangat konsisten dan termasuk radikal,

David Hume menegaskan bahwa pengalaman inderawi lebih memberi keyakinan

dibanding kesimpulan logika atau kemestian sebab akibat.16

Hukum sebab akibat

tidak lain hanya hubungan yang saling berurutan saja dan secara konstan terjadi

seperti api membuat air mendidih. Padahal dalam api tidak dapat diamati adanya

daya aktif yang mendidihkan air. Jadi daya aktif yang disebut kausalitas itu

bukanlah hal yang dapat diamati, bukan hal yang dapat dilihat dengan mata

sebagai benda dalam air yang direbus. Dengan demikian kausalitas tidak dapat

digunakan untuk menetapkan peristiwa yang akan datang berdasarkan peristiwa-

peristiwa yang terdahulu.17

Akal menurut Hume tidak dapat bekerja tanpa bantuan pengalaman.

Sebagai contoh ada seorang dari planet lain yang dianugrahi kemampuan akal

yang sangat kuat kemudian dibawa ke bumi, tentu saja dia secara langsung dapat

mengobservasi peristiwa-peristiwa yang beruntun, namun dia tidak mampu

menemukan sesuatu yang lebih dari itu. Untuk pertama kali tidak mungkin dapat

menangkap ide sebab akibat karena kekuatan-kekuatan partikular yang berjalan

secara alami belum tertangkap oleh inderanya. Begitu juga akal tidak mampu

sekaligus menyimpulkan berdasarkan satu peristiwa bahwa suatu sebab

menimbulkan akibat tertentu karena hubungan itu bisa berubah-ubah dan

15 Lacey, op. Cit., hal. 134. 16

Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1973, hal. 49-50. 17

Frederick Mayer, A History of Modern Phylosophy, New York : American Book Company, 1951,

hal.216

7

kasuistik.18

Menurut-nya, hanya dua peristiwa yang terjadi yang satu setelah

yang lain. Bahwa gerak yang satu disebabkan oleh gerak yang lain hanya

berdasarkan pendapat manusia yang mengasosiasikan dua peristiwa yang dulu

biasanya juga terjadi secara bersamaan.19

Pernyataan Hume tentang teori kausalitas ini sangat berpengaruh terhadap

perkembangan pemikiran filsafat dan agama di Barat. Dengan penolakan

terhadap teori kausalitas, Hume menghujat teori ontologis, kosmologis dan

teleologis tentang keberadaan Tuhan dan sekaligus membatasi kemampuan akal.

Munculnya positivisme yang dipelopori oleh August Comte diwarnai oleh ide

David Hume, bahkan materialisme dapat dikatakan sebagai puncak dari

emperisisme.20

Para filosof sebelum Hume percaya bahwa alam adalah akibat dan Tuhan

adalah sebab terciptanya alam. Menurut kategori logika, keberadaan sebab lebih

wajib dibandingkan dengan keberadaan akibat. Karena itu, Tuhan sebagai sebab

wajib ada dan mendahului alam, sedangkan alam sebagai akibat mungkin adanya

setelah Tuhan. Argumen ini tetap dipegang oleh para filosof sampai masa Hume.

Hume yang memulai menggugat dalil tersebut dengan menjungkirbalikkan teori

kausalitas. Hal ini antara lain yang menyebabkan Bernard Russel menganggap

Hume sebagai pendobrak dan meruntuhkan sistem-sistem filsafat abad ke-18

yang didominasi oleh rasionalisme.21

Dan di sinilah kemudian Hume membangun

sendi-sendi filsafatnya di atas pondasi skeptisisme dan bahkan dalam masalah

yang berkaitan dengan doktrin keagamaan dia sampai pada tingkat agnostik.

Menurut Hume, ide tentang neccessery connection antara sebab dan akibat

tidak dapat diserivasikan dari impression dan tidak dapat diamati melalui

penyerapan pengalaman. Tidak ada daya pada sebab yang nampak mampu

menghasilkan atau mempengaruhi akibat. Yang dapat diamati adalah

18

Frank Tillman (ed.), Introductory Philisophy, New York: Harper & Row Publisher, t.th., hal. 233. 19

C.A. Van Pursen, Orientasi di Alam Filsafat, diterjemahkan oleh Dick Hartoko, Jakarta:

Gramedia, 1991, hal. 23. 20

Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997, hal. 109 21

Colin Brown, Philosophy … hal. 70-71

8

kesinambungan urut-urutan peristiwa dalam waktu, dari suatu peristiwa

terdahulu kemudian disusul peristiwa berikutnya, tetapi bukan hubungan wajib

antara fakta-fakta presedent itu. Tidak ada sensasi yang dari padanya diperoleh

gagasan tentang adanya kekuatan pasti yang dapat disimpulkan.22

b. Teori Hume tentang Ide dan Kesan-Kesan

Hume membedakan dua macam persepsi, yakni: impressions (kesan-kesan)

dan ideas (ide-ide). Kesan-kesan adalah persepsi yang masuk ke akal dengan

sangat kuat dan hidup, sedangkan ide-ide merupakan gambaran kabur dari

kesan-kesan dalam pikiran. Jadi ide-ide selalu dekat dengan kesan-kesan.

Mengenai persepsi yang terdiri atas kesan-kesan dan ide-ide itu, Hume

masih membedakan antara yang simple dan yang kompleks. Yang dimaksud

persepsi kompleks adalah persepsi yang terdiri dari bagian-bagian yang lebih

kecil, sedangkan untuk persepsi simple, Hume memaksudkan persepsi yang tidak

bisa dibagi lagi ke dalam bagian yang lebih kecil.23

Melalui pembagian ini, Hume

menjelaskan hubungan antara ide-ide dan kesan-kesan serta sifat-sifatnya.

Menurut Hume, setiap persepsi yang muncul dalam pikiran selalu ganda

yakni berupa kesan-kesan dan berupa ide-ide. Hubungan antara keduanya begitu

erat sehingga dikatakan bahwa ide selalu mengikuti kesan. Ide tunggal berasal

dari kesan-kesan tunggal yang berkaitan dengannya. Dan ide-ide tinggal itu

merepresentasi kesan-kesan tunggal secara tepat. Keberadaan yang satu

mempengaruhi keberadaan yang lain. Tetapi ide-ide majemuk merepresen-

tasikan kesan-kesan tidak dengan tepat. Prinsip bahwa kesan selalu mendahului

ide diperkuat oleh Hume dengan mengambil contoh orang buta atau tuli sejak

lahir. Orang buta itu tidak mempunyai kemampuan untuk menangkap kesan-

kesan yang masuk lewat mata. Demikian pula orang tuli, ia tidak bisa menangkap

kesan-kesan lewat telinganya. Bila kemampuan untuk memperoleh kesan-kesan

22

Roger Seruton, A Short History of Modern Philisophy, London: Routledge, 1996, hal. 120. 23

Jaegwon Kim dan Ernest Sosa (eds.), A Companion to Mathaphysics, Oxford: Blackwell

Publisher, 1997, hal. 215.

9

itu terhambat, maka tidak hanya kesan-kesan yang akan hilang tetapi ide-ide

yang berhubungan dengannya juga akan hilang. Prinsip ini disebut prinsip

prioritas kesan-kesan.24

Prinsip ini harus dimengerti dengan pembatasan bahwa

ide-ide adalah gambaran dari kesan-kesan. Prioritas kesan-kesan terhadap ide-

ide membentuk ide primer. Dan dari pengertian bahwa ide-ide adalah gambaran

kesan-kesan, kita bisa membentuk ide-ide sekunder yang merupakan gambaran

dari ide-ide primer. Dengan demikian ide-ide membuat gambarannya sendiri

dalam ide-ide yang baru.

Penjelasan Hume tersebut mengindikasikan betapa dia tidak menyetujui

adanya ide bawaan (idea innatea) sebagaimana yang diyakini oleh aliran

rasionalisme. Usahanya ini dimaksudkan untuk membuktikan bahwa apa yang

dikatakan oleh aliran rasionalisme tentang ide bawaan itu adalah tidak benar.

c. Teori Hume tentang Sensasi dan Refleksi

Hume masih membagi kesan-kesan ke dalam dua jenis, yaitu kesan-kesan

sensasi dan kesan-kesan refleksi. Kesan-kesan sensasi merupakan kesan-kesan

yang masuk ke dalam jiwa pertama kali dan berasal dari sebab-sebab yang tidak

diketahui. Sedangkan kesan-kesan refleksi sebahagian besar berasal dari ide-ide

kita. Pertama-tama kesan masuk lewat indera, lalu kesan yang diperoleh itu

disalin oleh akal sehingga kesan itu tetap ada meskipun kesan pertama telah

hilang dan inilah yang disebut ide. Ide ini bila kembali muncul dalam jiwa akan

membentuk kesan-kesan baru dan inilah yang disebut kesan-kesan refleksi.

Kesan-kesan ini masih disalin lagi oleh ingatan (memory) dan imajinasi menjadi

ide-ide. Dengan demikian kesan-kesan refleksi mendahului ide-ide yang

berhubungan tetapi muncul sesudah dan tergantung dari kesan-kesan sensasi.25

Semua ide simpel bisa dipisahkan dari imajinasi dan disatukan kembali

dalam bentuk-bentuk sesuai dengan kemampuan imajinasi. Menurut Hume ada

24

M. Yumartana, “Pandangan Emperis Hume tentang Ide-Ide” dalam jurnal Driyar-kara, No. 4

tahun XVI, hal. 14. 25

Ibid, hal. 14-15.

10

sifat-sifat yang menghubungkan ide-ide. Ada tiga sifat yang disebutkan Hume

yaitu kesamaan (resemblance), keterkaitan (contiguity) dalam ruang dan waktu

serta sebab-akibat. Di samping ketiga sifat itu, bisa juga dua objek tergabung

dalam imajinasi bila ada objek ketiga yang membawa satu dari ketiga hubungan

itu. Relasi sebab akibat adalah yang paling luas diantara ketiganya. Relasi itu

muncul pada saat ada gerakan atau aksi dari yang lain. Tetapi tidak hanya itu,

relasi juga terbentuk bila ada yang mempunyai kekuatan atau kekuasaan. Ini

terlihat jelas dalam hubungan kepentingan atau tugas, antara tuan atau hamba.

Semua ini masuk dalam hubungan sebab akibat.26

Sifat-sifat relasi yang telah disebutkan, masing-masing membentuk

gabungan ide-ide dengan caranya sendiri. Diantara akibat-akibat dari gabungan

ide-ide itu yang paling berarti adalah ide-ide kompleks. Pada umumnya ide-ide

kompleks itu muncul dari prinsip penyatuan ide-ide simpel. Relasi biasanya

digunakan dalam dua arti. Arti pertama menunjuk pada kualitas yang

menggabungkan dua ide. Arti kedua menunjuk pada lingkungan tertentu dimana

kita bisa membandingkan dua ide. Dalam arti yang kedua inilah Hume

menunjukkan adanya tujuh relasi filosofis, yaitu

resemblance (kesamaan), identity (identitas), space and time (ruang dan waktu),

quantity or number (kuantitas atau jumlah), degrees (tingkatan-

tingkatan), contrariety (pertentangan), cause or effect (sebab atau akibat).27

Kemudian apa yang disebut oleh Hume dengan modus dan substansi? Para

filosof sebelum Hume banyak menggunakan distingsi substansi dengan aksidensi.

Hume dalam hal ini menggunakan distingsi modus dengan aksidensi. Baginya ide

tentang substansi maupun tentang modus hanyalah sekumpulan ide-ide tunggal

yang disatukan oleh imajinasi dan diberi nama tertentu. Apakah substansi ada?

Bila hal itu ada, bagi Hume idenya harus diturunkan dari suatu Kesan refleksi.

Padahal kesan-kesan itu tidak ada yang dapat merepresentasi substansi. Maka

26

M. Yumartana, “Pandangan Emperis Hume tentang Ide-Ide” dalam jurnal Driyar-kara, No. 4

tahun XVI, hal. 15. 27

Ibid, hal. 16.

11

tidak ada ide substansi kecuali hanya sekumpulan sifat-sifat saja.28

Sedangkan

modus yang juga merupakan sekumpulan ide-ide tunggal dijelaskan dengan

contoh ide tarian dan kecantikan. Bila ingin ditambah ide baru, kita harus

mengubah mana yang membedakan modenya. Jadi apa yang dimaksud substansi

dan modus oleh Hume sama sekali berbeda dengan distingsi substansi dan

aksidensi yang dikemukakan oleh para filosof pada umumnya.

d. Teori Hume tentang Ruang dan Waktu

Pembahasan tentang ruang dan waktu merupakan pembahasan metafisis

yang paling rumit. Karena itu masalah ini menimbulkan pandangan yang

berbeda-beda di kalangan para filosof termasuk di antaranya apakah ruang dan

waktu mutlak atau nisbi yang hanya terdiri dari persepsi-persepsi belaka.

Sebelum membicarakan ruang dan waktu, Hume terlebih dahulu

membahas tentang doktrin divisibilitas tak terbatas. Menurut Hume,

kemampuan akal adalah terbatas, maka akal tidak pernah memperoleh konsep

yang tidak terbatas. Apa yang bisa dibagi secara tak terbatas, pasti terdiri atas

sejumlah bahagian yang tak terbatas pula.

Kesan-kesan dan ide-ide yang berasal dari kualitas yang terbatas tidak

dapat dibagi secara terbatas. Namun kesan-kesan dan ide-ide dapat mencapai

minimum yang dapat dilihat dan dapat disentuh. Menurut Hume tidak ada yang

lebih kecil dari pada ide yang dapat dibentuk dalam angan-angan dan gambaran

tunggal dan tak terbagi. Maka masalah pandangan umum yang mengatakan

bahwa tidak mungkin imajinasi membentuk ide yang cukup, yang melampaui

tingkat kekecilan atau kesadaran tertentu. Kelemahan indera kita adalah tatkala

ia memberikan kepada kita gambaran sesuatu yang tidak proporsional dan

menghadirkan apa yang sungguh besar dan berjumlah banyak menjadi kecil dan

tunggal. Hume yakin bahwa orang dapat membentuk ide yang tidak lebih besar

dari pada atom yang paling kecil. Namun untuk membentuk ide yang tepat, kita

28

Hume, Treatise …, hal. 24

12

harus mempunyai ide yang merepresentasi bagian-bagiannya, menurut sistem

pembagian tak terbatas sama sekali tidak mungkin.29

Dengan demikian Hume

sampai pada kesimpulan yang skeptis dengan ajarannya

mengenai divisibilitas tak terbatas. Hal inilah yang mendasari pandangannya

tentang ruang dan waktu.

Menurut Hume, ide dari sejumlah bagian yang tak terbatas secara

individual sama dengan ide keluasan yang tak terbatas. Tidak mungkin keluasan

yang terbatas dapat berisi sejumlah bagian yang tak terbatas dan sebagai

akibatnya, tidak ada keluasan yang terbatas dapat dibagi secara tak terbatas.

Keluasan tak terpisahkan dari waktu. Waktu membentuk essensi keluasan

yakni bahwa bagian-bagiannya berurutan dan tak satupun yang dapat berada

bersama (co-existence). Dengan alasan ini Hume menunjukkan bahwa waktu

adalah urutan yang sama. Tahun yang satu mendahului tahun Berikutnya.

Demikian juga dengan detik, menit, jam dan hari. Tidak mungkin kemarin dan

sekarang terjadi secara bersama-sama.

Oleh karena itu Hume mengatakan bahwa waktu tersusun dari saat-saat

yang tak dapat dibagi-bagi. Bila tidak, maka kita tidak akan pernah sampai pada

akhir pemisahan. Atau bila tiap saat tidak tunggal dan tiap saat masih dapat

dibagi lagi, maka ada se-jumlah saat yang ada bersama-sama atau ada bagian-

bagian waktu. Maka divisibilitas tak terbastas dari waktu tidak mungkin dalam

kenyataannya. Kalau divisibilitas tak terbatas dari waktu tidak mungkin,

maka divisibilitas dari ruang pun demikian juga. Sebab divisibilitas tak terbatas

dari ruang mengandaikan divisibilitas tak terbatas dari waktu sebagaimana jelas

dari hakikat gerakan.

Mengenai kualitas ide ruang dan waktu, Hume memberikan sebuah

illustrasi yakni bila kita membuka mata, maka kita akan melihat banyak objek di

sekitar kita. Bila mata ditutup, maka kita akan mendapatkan ide keluasan dalam

29

M. Yumartana, “Pandangan Emperis Hume tentang Ide-Ide” dalam jurnal Driyar-kara, No. 4

tahun XVI, hal. 17.

13

imajinasi kita. Ide keluasan berasal dari kesan-kesan yang sama. Kesan itu

merupakan essensi dari pandangan. Kesan-kesan batin yang lain muncul dari

sensasi itu juga. Namun ide tentang ruang tidak berasal dari kesan-kesan batin

seperti emosi, keinginan dan lain sebagainya. Dengan demikian, menurut Hume

waktu tidak dapat muncul sendiri tetapi selalu ditemukan dalam urutan yang

dapat dilihat dari objek-objek yang dapat berubah.30

Ide tentang ruang, demikian Hume, berkaitan dengan keluasan. Ide ruang

dibawa oleh indera penglihatan atau berasal dari objek yang dapat diindera atau

disentuh. Kita tidak mempunyai ide tentang ruang atau keluasan tanpa ada objek

yang dapat dilihat atau disentuh. Tanpa ada keluasan itu, kita tidak dapat

membuat ide ruang dalam imajinasi.31

Dari sini dapat dilihat bahwa Hume merupakan tokoh yang sangat

konsisten dengan aliran yang dianutnya sebab semua pembahasannya selalu

dikaitkan dengan kekuatan empiris, bahkan sampai pada pembahasan tentang

masalah-masalah yang sangat metafisispun selalu dikembalikan pada kekuatan

dan kemampuan empiris untuk mengamatinyan seperti halnya dalam masalah

ruang dan waktu.

d. Teori Hume tentang Ketuhanan

Pandangan Hume tentang Tuhan juga tidak bisa dilepaskan dari ide dasar

emperisisme yang menganggap bahwa pengetahuan yang benar adalah

pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman atau pengetahuan yang

diperoleh melalui eksperimen.

Menurut Hume, ketika kita percaya kepada Tuhan sebagai pengatur alam

ini, maka kita akan berhadapan dengan berbagai dilema. Kita berpikir tentang

Tuhan menurut pengalaman masing-masing, sedangkan itu hanyalah setumpuk

persepsi dan koleksi emosi saja. Kemudian bagaimana kita mengatakan bahwa

30

M. Yumartana, “Pandangan Emperis Hume tentang Ide-Ide” dalam jurnal Driyar-kara, No. 4

tahun XVI, hal. 17. 31

Ibid, hal. 17

14

Tuhan maha sempurna dan maha kuasa sedangkan di alam terjadi berbagai

kejahatan dan bencana. Seharusnya alam juga sempurna sesuai dengan

penciptanya, tetapi ternyata tidak, Tuhan juga merupakan sumber kejahatan,

terbatas dan memiliki sifat mencintai dan membenci. Sebenarnya Hume tidak

mampu membuktikan adanya Tuhan kecuali Tuhan itu tidak sempurna seperti

halnya dunia. Akhirnya Hume menegaskan bahwa kita tidak tahu menahu

tentang alam lain selain yang kita diami ini. Karena itu alam lain tidak jelas,

dan pengetahuan kita tentangnya sangat terbatas.32

Lebih lanjut Hume berkomentar bahwa tidak ada bukti yang dapat dipakai

untuk membuktikan bahwa Tuhan ada dan bahwa ia menyelenggarakan dunia.

Juga tidak ada bukti bahwa jiwa tidak dapat mati. Dalam kenyataan sehari-hari

para penganut agama selalu mengikuti kepercayaan yang dianggap pasti,

sedangkan akal tidak dapat membuktikannya. Banyak sekali keyakinan agama

yang merupakan hasil khayalan, tidak berlaku umum dan tidak berguna bagi

kehidupan. Agama bukan disebabkan dari penyelewengan wahyu yang asli yaitu

dari monoteisme ke politeisme dan bukan juga dari politeisme ke monoteisme.

Akan tetapi agama berasal dari penghargaan dan ketakutan manusia terhadap

tujuan hidupnya. Dan itulah yang menyebabkan manusia mengangkat berbagai

dewa atau Tuhan untuk disembah.33

Hume mengajukan kritik terhadap alasan-alasan tradisional yang dijadikan

sebagai bukti adanya Tuhan yaitu argumen mengenai adanya mu’jizat, argumen

tentang keteraturan alam semesta dan argumen tentang penyebab pertama.34

Hume mengkritik ketiga dalil yang dijadikan alasan membuktikan adanya

Tuhan seperti tersebut di atas. Dia menolak mu’jizat dengan alasan bahwa

sepanjang sejarah, mu’jizat tidak pernah diakui oleh kaum terpelajar (ilmuan),

mu’jizat hanya cocok untuk masyarakat terbelakang dan tidak cocok untuk

32

Predrick Mayer, A History of Modern Philisophy, hal. 114. 33

David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, Chichago: Chicago University Press,

1952, hal. 470. 34

Alburey Castel, An Introduction to Modern Philosophy, New York & London: Macmillan

Publishing, 1976, hal. 20.

15

masyarakat yang sudah maju. Sebagian orang mempunyai kepercayaan terhadap

hal-hal yang luar biasa namun kepercayaan tersebut tidak mendukung

kebenaran mu’jizat. Semua agama wahyu memonopoli mu’jizat dan data-data

sejarah menunjukkan bahwa semua peristiwa di dunia ini adalah jelas sedangkan

mu’jizat sendiri merupakan penyimpangan dari hukum alam yang

normal.35

Karena itu menurut Hume, percaya kepada Tuhan berarti percaya

kepada mu’jizat sedangkan mu’jizat itu sendiri kebenarannya tidak dapat di

eksperimen.

Argumen mengenai penyelenggaraan alam atau keteraturan dalam alam

sebagaimana contoh yang dikemukakan oleh orang yang mempercayainya

seperti analogi mengenai jam tangan yang telah dibuat oleh pembuatnya dan

setelah itu pembuatnya istirahat dan membiarkan jam itu berjalan sendiri

berdasarkan perangkat-perangkat mesin yang telah dibuat untuk jam itu. Di sini

menurut Hume sudah tidak ada hubungan antara jam dengan pembuatnya. Hal

ini sama dengan dunia ini kalau kita perhatikan dengan serius, tidak lebih dari

sebuah mesin yang berjalan sesuai dengan mekanismenya sendiri tanpa ada

suatu pengatur dari luar yang mengendalikannya.36

C. Telaah Kritis atas Pemikiran Filsafat Empirisme

Meskipun pemahaman filsafat empirisme ini memiliki beberapa

keunggulan bahkan memberikan andil dalam pemahaman filsafat selanjutnya,

namun kelemahan-kelemahan aliran empirisme ini cukup banyak. Berikut kritisi

pemakalah terhadap pemikiran hume yang juga dikuatkan oleh pendapat

beberapa filosof.

David Hume menyatakan bahwa pengalaman inderawi lebih memberi

keyakinan dibandingkan kesimpulan logika atau kepastian sebab akibat. Menurut

kami (pemakalah) indera (penglihatan) manusia memiliki banyak kelemahan dan

35

Alburey Castel, An Introduction to Modern Philosophy, New York & London: Macmillan

Publishing, 1976, hal. 22-23 36

Ibid, hal. 27-28

16

keterbatasan, misalnya saja ketika kita melihat tongkat yang lurus kemudian

dimasukkan dalam kolam, maka yang terlihat tongkat tersebut bengkok. Ini

artinya apa yang terlihat mata terbatas, oleh karenanya memerlukan akal untuk

mengkaji hal tersebut. Hal ini juga dikuatkan oleh pendapat Prof. Dr. Ahmad

Tafsir, dan beliau mengkritisi empirisme atas empat kelemahan, yaitu:37

1. Indera terbatas, benda yang jauh kelihatan kecil padahal tidak.

Keterbatasan kemampuan indera ini dapat melaporkan obyek tidak

sebagaimana adanya.

2. Indera menipu, pada orang sakit malaria, gula rasanya pahit, udara panas

dirasakan dingin. Ini akan menimbulkan pengetahuan empiris yang salah

juga.

3. Obyek yang menipu, contohnya ilusi, fatamorgana. Jadi obyek itu

sebenarnya tidak sebagaimana yang ditangkap oleh alat indera, ia

membohongi indera. Ini jelas dapat menimbulkan pengetahuan inderawi

salah.

4. Kelemahan ini berasal dari indera dan obyek sekaligus. Dalam hal ini

indera misal penglihatan (mata) tidak mampu melihat seekor kerbau

secara keseluruhan dan kerbau juga tidak dapat memperlihatkan

badannya secara keseluruhan.

Selain itu, Hume juga mengabaikan peranan akal dalam menangkap

realitas. Padahal akal mampu menghubungkan kejadian-kejadian yang lampau

dengan kejadian sekarang bahkan meramalkan sesuatu yang akan datang. Akal

juga mampu memberikan ide-ide umum tentang fakta-fakta yang beragam.

Contohnya mobil, sepeda dan pesawat diabstraksikan oleh akal menjadi alat

transportasi.

Dalam hal ketuhanan, Hume mengatakan bahwa tidak ada bukti yang

dapat dipakai untuk membuktikan bahwa Tuhan ada dan bahwa ia

37

Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006, hlm. 21-22.

17

menyelenggarakan dunia. Ia terlalu tergesa-gesa mengambil kesimpulan tentang

theologi.

Penjelasan masuk akal atas adanya perancangan di jagat raya adalah bukti

keberadaan Tuhan yang mengatur alam semesta. Ketika kita melihat sebuah

patung, Anda yakin bahwa pastilah terdapat seorang ahli patung. Bantahan

seperti "Karena terdapat bebatuan berjumlah tak hingga di jagat raya, maka yang

satu ini terbentuk begitu saja dengan sendirinya secara kebetulan," sudah tentu

sangat tidak masuk akal. Sejalan dengan kaidah logika yang dinamakan pisau

cukur Occam, yang menyatakan bahwa penjelasan yang paling jelas dan langsung

tentang suatu permasalahan wajiblah diterima, maka asal-usul kesempurnaan

dan kecermatan perhitungan dan pengaturan di jagat raya wajib dijelaskan

dengan istilah perancangan (desain) dan bukan kebetulan.38

Kesempurnaan Tuhan dapat digambarkan dari ketidaksempurnaan dunia.

Seandainya dunia tidak ada atau ada tetapi sempurna, maka kesempurnaan

Tuhan akan sulit diidentifikasi. Contoh lain untuk memperkuat argumen ini

adalah kebaikan hanya dapat dipahami kalau ada kejahatan. Thomas Aquinas

mengatakan bahwa Tuhanlah yang menciptakan segala sesuatu di dunia ini.

Perbedaannya, bahwa adanya makhluk ada yang mengadakannya, sedangkan

adanya Tuhan itu ada dengan sendirinya. Secara filosofis, adanya Tuhan adalah

esensi-Nya, sedangkan adanya makhluk tidak sama dengan esensinya. Adanya

makhluk terpisah dari esensinya, tetapi dapat dibedakan satu sama lain,

sedangkan pada Tuhan keduanya identik.39

Sedangkan konsep Tuhan menurut filosof islam, dapat dilihat pada wahyu

pertama al-Qur’an surat al-’Alaq [96], ayat 1-5, Tuhan menunjukkan dirinya

sebagai pengajar manusia. Tuhan mengajarkan manusia berbagai hal termasuk

diantaranya konsep ketuhanan. Umat Islam percaya al-Qur’an adalah kalam

38

Harun Yahya, The Creation of the Universe, 2004, http://us1.harunyahya.com. 39

Imam Barnadib, filsafat pendidikan, 1986, Yogyakarta:Gama Press.

18

Tuhan (Allah), sehingga semua keterangan Allah dalam al-Qur’an merupakan

“penuturan Allah tentang diri-Nya.”

Selain itu menurut Al-Qur’an, pengakuan akan Tuhan telah ada dalam diri

manusia sejak manusia pertama kali diciptakan (QS. Al-A’raf [7]:172). Ketika

masih dalam bentuk roh, dan sebelum dilahirkan ke bumi, Allah menguji

keimanan manusia terhadap-Nya dan saat itu manusia mengiyakan Allah dan

menjadi saksi. Sehingga menurut ulama, pengakuan tersebut menjadikan

bawaan alamiah bahwa manusia memang sudah mengenal Tuhan. Seperti ketika

manusia dalam kesulitan, otomatis akan ingat keberadaan Tuhan. Al-Qur’an

menegaskan ini dalam surat Az-Zumar [39] ayat 8 dan surat Luqman [31] ayat 32.

19

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari uraian pembahasan di atas, maka pemakalah dapat menyimpulkan

sebagai berikut:

1. Empirisme adalah aliran dalam filsafat yang berpandangan bahwa

pengetahuan secara keseluruhan atau parsial didasarkan kepada

pengalaman yang menggunakan indera. pengalaman inderawi adalah

satu-satunya sumber pengetahuan, dan bukan akal

2. David Hume begitu konsisten terhadap paham empirismenya, diantara

pemikirannya, yakni:

a. Pengalaman inderawi lebih memberi keyakinan dibanding kesimpulan

logika atau kemestian sebab akibat.

b. Hume membedakan dua macam persepsi, yakni: impressions (kesan-

kesan) dan ideas (ide-ide). Kesan-kesan adalah persepsi yang masuk

ke akal dengan sangat kuat dan hidup, sedangkan ide-ide merupakan

gambaran kabur dari kesan-kesan dalam pikiran. Jadi ide-ide selalu

dekat dengan kesan-kesan.

c. Hume membagi kesan-kesan ke dalam dua jenis, yaitu kesan-kesan

sensasi dan kesan-kesan refleksi. Kesan-kesan sensasi merupakan

kesan-kesan yang masuk ke dalam jiwa pertama kali dan berasal dari

sebab-sebab yang tidak diketahui. Sedangkan kesan-kesan refleksi

sebahagian besar berasal dari ide-ide kita.

d. Tentang ketuhanan, Hume berkomentar bahwa tidak ada bukti yang

dapat dipakai untuk membuktikan bahwa Tuhan ada dan bahwa ia

menyelenggarakan dunia.

e. Empirisme menganggap agama, mukjizat, bahkan Tuhan sebagai

keyakinan yang tidak logis dan tidak bisa dibuktikan secara ilmiah

20

hanya karena empirisme tidak mampu membuktikan eksistensi

immateri.

3. Pemahaman filsafat empirisme ini memiliki beberapa keunggulan bahkan

memberikan andil dalam pemahaman filsafat selanjutnya, namun

kelemahan-kelemahan aliran empirisme ini cukup banyak, terutama

dalam teori pengalaman dan sebab akibat serta dalam konsep ketuhanan.

B. Saran dan Kritik

Dengan kerendahan hati, penulis merasa makalah ini sangat sederhana dan

jauh dari kesempuraan. Saran dan kritik yang konstuktif sangat diperlukan demi

kesempurnaan makalah sehingga akan lebih bernanfaat kontibusinya bagi

hazanah keilmuan di masa mendatang.

21

DAFTAR PUSTAKA

Bagus, Lorens, 2002, Kamus Filsafat, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Barnadib, Imam, 1986, Filsafat Pendidikan, Yogyakarta : GAMA Press.

Bakhtiar, Amsal. 1997, Filsafat Agama, Jakarta: Logos.

Castel, Alburey, 1976, An Introduction to Modern Philosophy, New York &

London: Macmillan Publishing.

Edwards, Paul(ed.), 1967, The Encyclopedia of Philosophy Volume 2, New York,

The Macmillan Company & The Free Press.

Errole, E. Harris , 1954, Nature, Mind and Modern Science, London: Allan &

Unwin Ltd.

Hadiwijoyo, Harun, , 2002, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta: Penerbit

Kanisius.

Hume, David, 1952, An Enquiry Concerning Human Understanding, Chichago:

Chicago University Press.

Jalaluddin, 2011, Filsafat Pendidikan Islam Telaah Sejarah dan Pemikirannya,

Jakarta:Kalam Mulia.

Kim, Jaegwon dan Sosa, Ernest (eds.), 1997, A Companion to Mathaphysics,

Oxford: Blackwell Publisher.

Lacey, A.R, 2000, A Dictionary of Philosophy, New York: Routledge.

Muslih, Muhammad, 2005, Filsafat Ilmu-ilmu, Yogyakarta: Belukar.

Nasution, Harun, 1973, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan

Bintang.

Pursen, C.A. Van, 1991, Orientasi di Alam Filsafat, diterjemahkan oleh Dick

Hartoko, Jakarta: Gramedia.

Saifullah, Ali, 1403, Antara Filsafat dan Pendidikan, Surabaya : Penerbit Usaha

Nasional.

Soleh, A.Khudhori, 2004, Wacana Baru Filsafat Islam, Yogyakarta:Pustaka Pelajar.

Seruton, Roger, 1996, A Short History of Modern Philisophy, London: Routledge.

Suriasumantri, Jujun S., 2003, Ilmu dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan

tentang Hakekat Ilmu, Jakarta:Yayasan obor Indonesia.

Surojiyo, 2005, Ilmu Filsafat, Suatu Pengantar, Jakarta: PT. Bumi Aksara.

Suseno, 1997, 13 Tokoh Eika Sejak Zaman Yunani Sampai Abad ke-19,

Yogyakarta: kanisius.

Tafsir, Ahmad, 2006, Filsafat Ilmu, Bandung: Remaja Rosdakarya.

Yazdi, Muhammad TM, 2003, Buku Dasar Filsafat Islam, Bandung: Mizan.

Yahya, Harun, The Creation of the Universe, 2004, http://us1.harunyahya.com.