bab i pendahuluan a. latar belakang masalah …repository.ubb.ac.id/3263/4/bab i.pdf3 total ditahun...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Anak merupakan potensi nasib manusia untuk hari mendatang,
dialah yang ikut berperan menentukan sejarah bangsa sekaligus cermin
sikap hidup bangsa pada masa mendatang.1Berdasarkan penjelasan pada
pasal 1 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (tahun) termasuk
anak yang masih dalam kandungan.
Akhir-akhir ini jumlah persoalan anak di Indonesia cukup
beragam.Hal yang menjadi permasalahan utama adalah Anak Berhadapan
Hukum (ABH). Sepanjang tahun 2011 hingga 2017 terdapat 9.266
kasus.Dari tahun ke tahun, jumlah paling banyak yaitu pada tahun 2014
dimana jumlah kasus ABH mencapai 2.208.Paling tinggi kedua pada 2013
yaitu sebanyak 1.428 kasus tertinggi ketiga 1.413 kasus pada 2012.
Dari kasus tersebut terdapat anak yang sebagai pelaku. Jumlahnya
pun tak kalah tinggi. Tercatat, pada tahun ini anak sebagai pelaku
kekerasan seksual sebanyak 116 kasus.Sedangkan anak sebagai korban,
terdapat 134 kasus merupakan anak korban kekerasan seksual. Menurut
Komisioner KPAI Bidang Traficking, kasus ABH ini ternyata
1Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, Refika Aditama, Bandung, 2006, hlm. 1.
2
menimbulkan stigma di masyarakat. Hal tersebut menjadi penyumbang
kekerasan fisik terhadap anak.2
Kemudian berkaca pada beberapa kasus yang terjadi pada anak,
mengingat kejadian pada tahun 2012. Kisah yang menghebohkan juga
menimpa seorang anak belasan tahun bernama AAL. Ia dituduh mencuri
sandal milik seorang polisi, padahal sebenarnya ia menemukan sandal
merk Eiger diluar pagar. Ia dipanggil polisi disuruh untuk mengaku
mencuri sandal. Ia sempat dipukul, ditempeleng, ditendang perutnya,
bahkan disekap berjam-jam. Akhirnya di pengadilan pada bulan Mei 2012,
hakim menjatuhkan vonis bersalah kepada AAL karena telah mencuri
sandal. Meski demikian ia tidak dipenjara melainkan disuruh pulang dan
membayar uang denda Rp. 2.000. Sebagai bentuk sindiran atas putusan
pengadilan tersebut Komisi Perlindungan Anak membelikan sandal untuk
polisi tersebut.3
Sepanjang 2016 hingga bulan April sebanyak 30 anak terlibat
tindak kriminal baik sebagai pelaku ataupun sebagai korban. Menurut
Abdul Mun’im (Kabid Humas Polda Kep. Bangka Belitung) jumlah ini
masih jauh dibandingkan dengan tahun 2015 mencapai 142 anak dengan
rincian 100 korban dan 42 pelaku pidana. Bahkan di tahun 2014 lebih
tinggi lagi mencapai 162 anak dengan rincian 123 korban dan 39 pelaku.
2www.kpai.go.id/berita/kpai-enam-tahun-terakhir-anak-berhadapan-hukum-mencapai-angka-9-266-kasus diakses pada Kamis, 20 Desember 2018, Pkl. 23.15 WIB
3Yoachim A Tridiatno, Keadilan Restoratif, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, 2015,hlm. 2-3.
3
Total ditahun 2014-2016 ada 334 anak yang terlibat tindak pidana
dengan rincian 243 korban dan 91 pelaku. Ditambahkannya bahwa tindak
pidana anak yang dilakukan oleh anak dibawah umur baik sebagai pelaku
maupun korban mayoritas antara lain pencabulan dan pencurian.4
Selain itu, berdasarkan data rekapan kasus kekerasan terhadap anak
yang telah ditangani oleh Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD)
Kepulauan Bangka Belitung selama tahun 2017 dari total 52 kasus
terdapat 2 kasus yang dapat diselesaikan melalui proses mediasi. Kedua
kasus tersebut merupakan kasus pemukulan dan pengeroyokan oleh
oknum guru dan aparat kepolisian.5
Data-data diatas tentu saja bertentangan dengan tujuan yang ada di
dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak (SPPA) yaitu agar anak memiliki harkat dan martabat
sebagaimana manusia seutuhnya, maka terhadap anak perlu diberikan
perlindungan secara khusus terutama perlindungan hukum dalam sistem
peradilan.Sistem Peradilan Pidana Anak merupakan segala unsur sistem
peradilan pidana yang terkait di dalam penanganan kasus-kasus anak
berhadapan hukum (ABH). Polisi, Kejaksaan dan Pengadilan serta
Pembimbing Kemasyarakatan atau Balai Pemasyarakatan, Advokat atau
Pemberi Bantuan, Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA), Lembaga
Penempatan Anak Sementara (LPAS) sebagai institusi atau lembaga yang
4https://m.tribunnews.com/amp/regional/2016/05/03/lima-bulan-334-anak-di-bangka-belitung-terseret-kasus-tindak-pidana-rata-rata-kasus-pencabulan diakses pada 1 Desember 2018,Pkl. 19.35 WIB.
5Data kekerasan terhadap anak tahun 2017 diperoleh dari Kantor Komisi PerlindunganAnak Daerah (KPAD) Kepulauan Bangka Belitung.
4
menangani ABH mulai dari anak bersentuhan dengan sistem peradilan,
menentukan apakah anak dibebaskan atau diproses ke pengadilan anak
hingga tahapan ketika anak akan ditempatkan dalam pilihan-pilihan, mulai
dari dibebaskan sampai dimasukkan dalam institusi penghukuman dalam
koridor keadilan restoratif. Hal itu selaras dengan :
1. Deklarasi PBB tahun 2000 tentang prinsip-prinsip pokok penggunaan
program-program keadilan restoratif dalam permasalahan-
permasalahan pida (United Nations Declaration on The Basic
Principles on The Use of Restorative Justice Programmes in Criminal
Matters).
2. Deklarasi Wina tentang Tindak Pidana dan Keadilan (Vienna
Declaration on Crime and Justice : “Meeting the challenges pf the
Twenty-First Century”) butir 27-28 tentang keadilan restoratif.
3. Kongres PBB ke-XI di Bangkok tahun 2005 tentang Pencegahan
Kejahatan dan Peradilan Pidana (Eleventh United Nation Congress on
Crime Prevention and Criminal Justice).
Selanjutnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) dan Peraturan Mahkamah
Agung Nomor 4 tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dalam
Sistem Peradilan Pidana Anak.6
Secara filosofis, sistem peradilan pidana anak beorientasi kepada
upaya penanganan anak yang berhadapan hukum (ABH) di luar sistem
6Ridwan Mansyur, www.mahkamahagung.go.id/id/artikel/2613/keadilan-restoratif-sebagai-tujuan-pelaksanaan-diversi-pada-sistem-peradilan-pidana-anak diakses pada 30 Januari2019, Pkl. 01.20 WIB.
5
peradilan pidana formal. Oleh karena itu, agar terhadap anak yang
bermasalah dengan hukum dapat terlindungi dengan baik, maka salah satu
bentuk penanganannya ditempuh melalui peradilan restoratif dengan
proses diversi.7 Secara kerangka teoritis, pada dasarnya pelaksanaan
diversi tidak lepas dari adanya konsep penerapan mediasi penal yang
mulai dikenal sejak adanya teori restorative justice. Hal ini diperkuat oleh
Diah Sulastri Dewi (Anggota Tim Pokja Mediasi Mahkamah Agung
Republik Indonesia) dalam Konferensi Asia Pasific Mediation Forum ke-
7, mediasi penal memang tidak letterlijk diatur dalam Undang-Undang 11
tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), tetapi
filosofinya mengandung mediasi penal yang dikenal di beberapa negara
yang terikat (ratifikasi) konvensi hak-hak anak, seperti Filiphina, Thailand,
Hongkong, Australia dan Jepang8, sehingga penulis meyakini perlunya
pengkajian skripsi ini dengan melihat penerapan mediasi penal dalam hal
penanganan tindak pidana anak terkhusus di Kepulauan Bangka Belitung.
Dalam kebijakan hukum pidana, pemberian hukum pidana untuk
menanggulangi kejahatan merupakan salah satu upaya di disamping
upaya-upaya lain. Penanganan kejahatan melalui sistem peradilan pidana
dikenal dengan istilah “upaya penal” yaitu dengan menggunakan peraturan
perundang-undangan pidana, disamping upaya “penyelesaian di luar
7Nandang Sambas, Diversi Sebagai Aplikasi Restorative Justice Dalam Sistem PeradilanPidana Anak Di Indonesia, dalam Makalah Pelatihan Hukum Pidana & Kriminologi Ke-IIMasyarakat Hukum Pidana & Kriminologi (MAHUPIKI).
8http://m.hukumonline.com/berita/baca/lt56bd60dd5c226/mediasi-perkara-pidana-anak--begini-filosofinya/ diakses pada 30 Januari 2019, Pkl. 00.43 WIB.
6
proses peradilan” yang penekanannya ditunjukkan pada faktor penyebab
terjadinya kejahatan.9
Mediasi penal merupakan perkembangan baru dalam ranah hukum
pidana yang membawa implikasi mulai diterapkan dimensi bersifat privat
ke dalam ranah hukum publik. Berdasarkan uraian tersebut diatas
penyelesaian perkara tindak pidana yang dilakukan oleh aparat penegak
hukum dapat diketahui tindak pidana dapat dilakukan penyelesaiannya
melalui penyelesaian secara damai diluar pengadilan dengan berpedoman
pada konsep penegakan hukum restorative justice.10
Mediasi sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa di luar
pengadilan, ternyata tak hanya dikenal dalam perkara perdata, seperti
wanprestasi, perbuatan melawan hukum (PMH), warisan, perceraian,
penguasaan dan nafkah anak atau harta bersama. Perkara pidana pun
mengenal proses mediasi, lazim disebut mediasi penal. Mediasi penal
dianut dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak (SPPA).
Diah Sulastri Dewi (Anggota Tim Pokja Mediasi Mahkamah
Agung) mengatakan dalam perkembangannya pengadilan negeri tidak
hanya memediasi perkara-perkara perdata, tetapi juga memediasi perkara
pidana anak terutama sejak terbitnya Undang-Undang Nomor 11 tahun
2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Sebab, Undang-Undang
9Taufiqurrahman Abildanwa, Mediasi Penal Sebagai Upaya Dalam RangkaPembaharuan Hukum Pidana Indonesia Berbasis Nilai-Nilai Keseimbangan, dalam JurnalPembaharuan Hukum, Vol 3 2016.
10Lilik Mulyadi, Mediasi Penal Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia : Pengkajian,Asas, Norma, Teori dan Praktik, dalam Jurnal Yustisia, No. 1 Vol 2 2013.
7
Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) mengamanatkan setiap anak yang
berhadapan dengan hukum wajib mengutamakan prinsip restorative
justice (pemulihan keadilan).
Sistem Hukum Pidana Indonesia memasuki babak baru dalam
perkembangannya. Salah satu bentuk pembaharuan yang ada dalam
hukum pidana Indonesia adalah pengaturan tentang hukum pidana dalam
perspektif dan pencapaian keadilan kepada perbaikan maupun pemulihan
keadaan setelah peristiwa dan proses peradilan pidana dikenal dengan
keadilan restoratif (restorative justice) yang berbeda dengan keadilan
retributif (menekankan keadilan pada ganti rugi). Apabila ditinjau dari
perkembangan ilmu hukum pidana dan sifat pemidanaan modern, telah
memperkenalkan dan mengembangkan apa yang disebut pendekatan
hubungan pelaku-korban atau “Doer-Victims” relationships. Suatu
pendekatan baru yang telah menggantikan pendekatan perbuatan atau
pelaku atau “daad-dader straftrecht”. Ahli hukum telah memperkenalkan
formula keadilan khususnya dalam penegakkan hak asasi manusia (HAM),
bahwa ada 3 aspek pendekatan untuk membangun suatu sistem hukum
dalam rangka modernisasi dan pembaharuan hukum, yaitu struktur
(structure), substansi (substance) dan budaya hukum (legal culture) yang
kesemuanya layak berjalan secara integral, stimulan dan paralel.11
11Ridwan Mansyur, www.mahkamahagung.go.id/id/artikel/2613/keadilan-restoratif-sebagai-tujuan-pelaksanaan-diversi-pada-sistem-peradilan-pidana-anak diakses pada 30 Januari2019, Pkl. 01.09 WIB.
8
Dari latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk melakukan
penelitian tentang penanganan tindak pidana anak melalui jalur mediasi
penal, dengan Skripsi yang berjudul :
Penerapan Mediasi Penal dalam Penanganan Tindak Pidana Anak di
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam
penulisan skripsi ini adalah :
1. Apakah urgensi pengaturan mediasi penal dalam penanganan tindak
pidana anak ?
2. Bagaimanakah penerapan mediasi penal dalam penanganan tindak
pidana anak di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung ?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui urgensi pengaturan mediasi penal dalam
penanganan tindak pidana anak.
2. Untuk mengetahui bagaimana penerapan mediasi penal dalam
penanganan tindak pidana anak Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
D. Manfaat Penelitian
Sudah seharusnya suatu penelitian memberikan manfaat bagi
berbagai pihak, adapun manfaat dari penulisan skripsi yang diharapkan
adalah :
1. Bagi Peneliti
9
Penelitian ini sebagai sarana dalam pemenuhan tugas akhir untuk
memperoleh pendidikan program sarjana (S1) di Fakultas Hukum
Universitas Bangka Belitung.Kemudian, menambah pengetahuan
tentang penerapan mediasi penal dalam penanganan tindak pidana anak.
2. Bagi Universitas
Penelitian ini diharapkan sebagai acuan atau pedoman untuk
menambah pengetahuan pihak akademisi, baik dosen maupun
mahasiswa atau pihak berkepentingan lainnya. Kemudian, penelitian ini
bermanfaat dalam menambah literatur atau referensi di perpustakaan
sebagai bahan acuan atau pedoman yang digunakan oleh mahasiswa
yang akan melakukan penelitian selanjutnya.
3. Bagi Masyarakat
Penelitian ini diharapkan bisa memberikan pengetahuan mengenai
mediasi penal dalam kasus tindak pidana anak. Kemudian, penelitian ini
sebagai media edukasi mengenai arah gerak hukum di Indonesia yang
mulai progresif dalam penerapannya.
4. Bagi Penegak Hukum
Penelitian ini diharapkan dapat membantu para penegak hukum
seperti pihak Kepolisian Daerah Kepulauan Bangka Belitung,
Pengadilan Negeri Kepulauan Bangka Belitung, KejaksaanNegeri
Kepulauan Bangka Belitung dan lain-lain dalam menjalankan tugas-
tugasnya, khususnya dalam kasus tindak pidana anak yang diselesaikan
melalui penerapan mediasi penal.
10
5. Bagi Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak,
Kependudukan Pencatatan Sipil dan Pengendalian Penduduk Keluarga
Berencana (DP3ACSKB) Kepulauan Bangka Belitung
Penelitian ini diharapkan memberikan pemahaman terhadap
Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung melalui dinas terkait
agar dapat lebih memahami terkait penerapan mediasi penal dalam
penanganan suatu tindak pidana anak.
6. Bagi Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD) Kepulauan Bangka
Belitung
Penelitian ini diharapkan memberikan pemahaman terhadap
Lembaga Negara yang membidangi perihal anak agar dapat lebih
memahami terkait penerapan mediasi penal dalam penanganan suatu
tindak pidana anak.
7. Bagi Orang Tua dan Korban
Penelitian ini diharapkan memberikan pemahaman terhadap orang
tua dan korban agar dapat mengetahui penerapan mediasi penal dalam
penanganan suatu tindak pidana anak.
E. Kerangka Teori
Menurut Moeljatno, perbuatan pidana adalah perbuatan yang
dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi)
yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan
tersebut.12
12Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1987, hlm. 54.
11
Tindak pidana memiliki istilah lainnya yang digunakan yaitu13:
a. Perbuatan pidana, dalam Pasal 5 ayat (3) huruf b Undang-Undang
Nomor 1/Drt/1951 tentang tindakan-tindakan sementara untuk
menyelenggarakan kesatuan susunan, kekuasaan dan acara
pengadilan-pengadilan sipil antara lain “...perbuatan yang
menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana”.
Istilah perbuatan pidana ini digunakan oleh Moeljatno.
Adapun teori-teori yang berkaitan dan akan digunakan sebagai
acuan atau landasan dalam menjawab permasalahan yang telah
dideskripsikan pada latar belakang diatas sebagai berikut :
1. Teori Penegakan Hukum
Secara teoritis, menurut Barda Nawawi Arief menjelaskan bahwa
upaya penegakan hukum pidana di Indonesia dilaksanakan secara:
a. Penal yaitu hukum pidana yang lebih menitik beratkan pada
sifat“Repressive”(penindasan/pemberantasan/penumpasan) sesudah
kejahatan terjadi.
b. Nonpenalyaitubahan atau diluar hukum pidana yang lebih menitik
beratkkan kepada sifat “Preventif’ (pencegahan/penangkalan)
sebelum kejahatan terjadi.14
13Farns Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta,2013, hlm. 56.
14Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Kencana, 2008, hlm.40.
12
Penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk menegakan norma,
untuk itu penegak hukum harus memahami benar-benar spirit hukum
yang mendasari peraturan hukum yang harus ditegakkan, dalam hal ini
akan bertalian dengan berbagai dinamika yang terjadi dalam proses
pembuatan peraturan perundang-undangan (law making process).
Berdasarkan dengan penegakan hukum tersebut, menurut konsep
hukum Lawrence M Friedman yang dikenal dengan teorinya “Legal
System” yang terdiri dari 3 (tiga) komponen pokok yaitu:15
1. Substansi (substance of the rules), yang berupa Perundang-
Undangan
2. Struktur (structure), yang berupa aparat penegak hukumnya
3. Budaya hukum (legal culture), yang berupa dukungan masyarakat.
Ketiga komponen tersebut saling berkaitan satu sama lainnya,
saling mendukung dan saling melengkapi, karena sekalipun struktur
hukumnya (Hakim, Jaksa, Polisi) baik, namun tidak didukung oleh
substansi dan budaya hukum, maka upaya penegakan hukum tidak
akan lebih hanya sekedar “blueprint” atau “design” saja. Berkaitan
dengan pendapat Lawrence M Friedman tersebut diatas, dapat
dipergunakan sebagai pijakan bagi Polri selaku penyidik dalam
melakukan proses penyidikan, agar berpegang pada norma-norma
hukum atau kaidah-kaidah hukum di samping memperhatikan
perkembangan dan tuntutan masyarakat dalam hidup berbangsa dan
15Imam Suroso, Hukum Acara Pidana (Karakteristik Penghentian Penyidikan danImplikasi Hukumnya), Yogyakarta, Laksbang Pressindi, 2016, hlm. 80.
13
bernegara.16 Secara konsepsional, maka inti dan arti penegakan hukum
terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang
terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan
mengejawantahkan dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran
nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan
mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Konsepsi yang
mempunyai dasar filosofis tersebut, memerlukan penjelasan lebih
lanjut, sehingga akan tampak lebih konkret.Manusia di dalam
pergaulan hidup, pada dasarnya mempunyai pandangan-pandangan
tertentu mengenai apa yang baik dan apa yang buruk. Pandangan-
pandangan tersebut senantiasa terwujud di dalam pasangan-pasangan
tertentu, misalnya ada pasangan nilai ketertiban dengan nilai
ketentraman, pasangan nilai kepentingan umum dengan nilai
kepentingan pribadi, pasangan nilai kelestarian dengan nilai
inovatisme dan seterusnya. Di dalam penegakan hukum, pasangan
nilai-nilai tersebut perlu diserasikan; umpamanya, perlu penyerasian
antara nilai ketertiban bertitik tolak pada keterikatan, sedangkan nilai
ketentraman titik tolaknya adalah kebebasan.17
Oleh karena itu dapatlah dikatakan, bahwa penegakan hukum
bukanlah semata-mata berarti pelaksanaan perundang-undangan,
walaupun di dalam kenyataan di Indonesia kecenderungnya adalah
demikian, sehingga pengertian law enforcement begitu popular.Selain
16Ibid. hlm. 81.17Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2011, hlm. 5-6.
14
itu, ada kecenderungan yang kuat untuk mengartikan penegakan
hukum sebagai pelaksanaan keputusan-keputusan hakim.Perlu dicatat,
bahwa pendapat-pendapat yang agak sempit tersebut mempunyai
kelemahanan-kelemahan, apabila pelaksanaan perundang-undangan
atau keputusan-keputusan hakim tersebut malahan mengganggu
kedamaian di dalam pergaulan hidup.
Berdasarkan penjelasan-penjelasan diatas dapatlah ditarik
kesimpulan sementara, bahwa masalah pokok penegakan hukum
sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin
mempengaruhinya.Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral,
sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor
tersebut. Faktor-faktor tersebut, adalah sebagai berikut:
1. Faktor hukumnya sendiri, yang di dalam tulisan ini akan dibatasi
pada undang-undang saja.
2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk
maupun menerapkan hukum.
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
4. Faktor masyarakat, yakni dimana lingkungan dimana hukum
tersebut berlaku atau diterapkan.
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang
didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh
karena merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan
15
tolak ukur daripada efektivitas penegakan hukum. Dengan demikian,
kelima faktor tersebut akan dibahas di sini,dengan cara
mengetengahkan contoh-contoh yang diambil dari kehidupan
masyarakat Indonesia.18
2. Teori Restorative Justice
Keadilan restoratif adalah bentuk keadilan yang berpusat pada
kebutuhan korban, pelaku kejahatan dan masyarakat.Berbeda dengan
keadilan retributif yang menekankan hukuman bagi pelaku kejahatan,
keadilan restoratif mementingkan pemulihan korban, pelaku kejahatan
dan masyarakat. Hal ini dikarenakan bahwa di dalam setiap tindak
kejahatan, korbanlah yang pertama-pertama menderita sebagai akibat
tindak kejahatan.Selanjutnya pelaku kejahatan sebagai pihak yang
telah dilakukannya dituntut untuk bertanggungjawab atas tindakannya.
Dengan bertanggungjawab itulah martabatnya sebagai pribadi
dipulihkan. Masyarakat pun harus dipulihkan, karena tindak kejahatan
juga merusak harmoni kehidupan dalam bermasyarakat.19
Sejak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menggunakan istilah
out of court settlement (penyelesaian diluar pengadilan) untuk kasus
Bibit S. Rianto - Chandra M. Hamzah, istilah itu pun menjadi popular.
rakyat juga mendapat pelajaran baru, yaitu penyelesaian perkara dapat
juga dilakukan diluar pengadilan. Ini sebuah konsep baru, selama ini
publik pada umumnya berpendapat bahwa perkara hanya dapat dan
18Ibid, hlm. 7-9.19Yoachim A Tridiatno, Keadilan Restoratif, Yogyakarta, Cahaya Atma Pustaka, 2015,
hlm. 27.
16
boleh diselesaikan melalui pengadilan yang notabene pengadilan
negeri. Bagi mereka yang menggunakan optik sosiologi hukum dalam
memandang hukum, penyelesaian perkara diluar pengadilan adalah
hal yang biasa. Namun, tidak demikian hal-nya dengan mereka yang
berfikir formal-legalistik.20
Konsep restorative justice, proses penyelesaian pelanggaran
hukum yang terjadi dilakukan dengan membawa korban dan pelaku
(tersangka) bersama-sama duduk dalam satu pertemuan untuk
bersama-sama bicara. Dalam pertemuan tersebut mediator
memberikan kesempatan kepada pihak pelaku untuk memberikan
gambaran sejelas-jelasnya mengenai tindakan yang telah
dilakukannya.
Prinsip yang dipaparkan oleh Tony Marshall dan prinsip yang
ditulis Susan Sharpe sebenarnya telah dipraktikkan selama ribuan
tahun lalu oleh masyarakat walaupun secara nonformal. Di Indonesia
praktik secara restorative justice ini juga telah dilakukan yang dikenal
dengan penyelesaian secara kekeluargaan.
Praktik yang ada merupakan sebagian dari tradisi dalam
masyarakat atau hasil dari penelitian dan perjalanan panjang dari
contoh atau pilot project yang diambil sebagai cara alternatif untuk
menyelesaikan pidana diluar pengadilan. Praktik-praktik yang ada
tetap mempunyai dasar prinsip restorative justice yang telah diakui di
20Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Progresif, Kompas, Jakarta, 2010, hlm.3.
17
banyak negara yang mana dalam pelaksanaannya kini telah
diimplementasikan dalam sejumlah aturan dan pola atau cara. Bentuk
praktik restorative justice yang telah berkembang di negara Eropa,
Amerika Serikat, Canada, Australia dan New Zealand dapat
dikelompokkan dalam empat jenis praktik yang menjadi pionir
penerapan restorative justice di beberapa negara yaitu, Victim
Offender Mediation, Conferencing/Family Group Conferencing,
Circles dan Restorative Board/Youth Panels.21
Konsep-konsep diatas dalam penerapannya di Indonesia
dituangkan dalam bentuk mediasi penal.Mediasi penal (penal
mediation) sering juga disebut dengan berbagai istilah, antara lain :
“Mediation in criminal cases” atau “Mediation in penal matters”
yang dalam istilah Belanda disebut strafbemiddeling dalam istilah
Jerman disebut “Der Aubergerichtliche Tatausgleich” (disingkat
ATA) dan dalam istilah Perancis disebut “de mediation penale”.
Karena mediasi penal terutaman mempertemukan antara pelaku tindak
pidana dengan korban, maka mediasi penal ini sering juga dikenal
dengan istilah “VictimOffender Mediator” (VOM), TaterOpfer-
Ausgleich (TOA), atau Offendervictim Arrangement (OVA).22
Eksistensi mediasi penal dapat dikaji dari perspektif filosofis,
sosiologis dan yuridis. Dikaji dari perspektif sosiologis aspek ini
21Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia,Refika Aditama, Bandung, 2012,hlm.180-181.
22Barda Nawawi Arief, Mediasi Penal Penyelesaian Perkara Diluar Pengadilan, PustakaMagister, Semarang, 2008, hlm. 1.
18
berorientasi pada masyarakat Indonesia yang akar budayanya
berorientasi pada nilai budaya kekeluargaan, mengkedepankan asas
musyawarah mufakat untuk menyelesaikan suatu sengketa dalam
suatu sistem sosial. Tegasnya, aspek dan dimensi tersebut diselesaikan
melalui dimensi kearifan lokal hukum adat. Melalui sejarah hukum
dapat diketahui bahwa hukum yang mula pertama berlaku dan
merupakan penerminan kesadaran hukum rakyat Indonesia ialah
kearifan lokal hukum adat. Aspek dan dimensi ini identik dengan
theorie receptie dari Snouck Hurgronje. Untuk jangka waktu masa
yang cukup lama hukum adat sebagai suatu norma hukum, bersama-
sama dengan norma-norma sosial lainnya dan norma agama Hindu
memainkan peranannya berfungsi sebagai alat pengendalian sosial.
F. Metode Penelitian
Secara etimologis metode diartikan sebagai jalan atau cara
melakukan atau mengerjakan sesuatu, pengertian ini diambil dari istilah
Yunani,”methodos” yang artinya “jalan menuju”. Bagi kepentingan ilmu
pengetahuan, metode merupakan titik awal menuju proposisi-proposisi
akhir dalam bidang pengetahuan tertentu.23
Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang
didasarkan pada metode sistematisdan pemikiran tertentu, yang bertujuan
untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan
menganalisisnya kecuali itu juga diadakan pemeriksaan yang mendalam
23Bahder J Nasution, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2008, hlm.13.
19
terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu
pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul didalam gejala
yang bersangkutan. Sudah tentu dalam penelitian hukum, seorang peneliti
hukum dapat melakukan aktivitas-aktivitas untuk mengungkapkan
“kebenaran hukum” yang terencana secara metodologis, sistematis dan
konsisten atau secara kebetulan, misalnya dengan mendasarkan diri pada
keadaan atau metode untung-untungnya (trial-eror) dalam aktifitas
tersebut. Oleh karena itu, kiranya tidak jarang suatu aktifitas untuk
mencari “kebenaran hukum” lebih didasarkan atas penghormatan pada
suatu pendapat atau penemuan yang telah dihasilkan oleh seseorang atau
lembaga tertentu karena otoritas atau kewibawaan ini, sehingga melakukan
pengujian terhadap temuan-temuannya. Ataupun lebih didasarkan pada
usaha-usaha yang dilakukan sekedar melalui pengalaman-pengalaman
belaka. Aktivitas yang seperti ini pun kerapkali mengabaikan metode dan
sistematika, disamping tidak didasarkan pada pemikiran yang mantap dan
pekerjaan yang terencana.24
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian hukum dalam penelitian ini adalah penelitian
hukum empiris.Penelitian hukum empiris yaitu mengkaji pelaksanaan
atau implementasi hukum secara faktual pada peristiwa hukum tertentu
yang terjadi dalam masyarakat.25
24H. Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Jakarta, Sinar Grafika, 2009, hlm. 14-15.25Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung,
2004, hlm. 136.
20
Berbeda dengan penelitian hukum normatif, penelitian hukum
empiris bertujuan untuk mengetahui sejauh mana bekerjanya hukum
dalam masyarakat.Penelitian hukum empiris sebagai hasil interaksi
antara ilmu hukum dengan disiplin ilmu-ilmu lainnya terutama sekali
sosiologi dan antropologi melahirkan sosiologi hukum dan antropologi
hukum.26
2. Metode Pendekatan
Pendekatan menurut Van Dyke adalah “An approach consists of
criteria of selection – criteria employed in selecting the problems or
questions to consider and in selecting the data to bring to bear, is
consists of standards governing the inclusion of question and
data”.Dari pengertian yang diberikan oleh Van Dyke ini, dapat
ditarik kesimpulan bahwa pendekatan merupakan cara pandang dalam
arti lebih luas. Artinya dalam menelaah suatu persoalan dapat
dilakukan berdasarkan atau dengan memakai sudut pandang dari
berbagai cabang ilmu.27
Metode pendekatan yang dilakukan adalah dengan pendekatan
kasus (case approach). Dalam metodeini, pendekatan dipahami
melalui alasan-alasan hukum berdasarkan fakta materiil dilapangan.28
3. Sumber Data
26Bahder J Nasution, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Jakarta, Rajawali Press, 2012, hlm.123.
27Ibid, hlm.126-127.28Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta, Predana Media Group, 2011, hlm.
119.
21
Sumber data yang digunakan dalam melakukan penelitian hukum
ini, yaitu menggunakan data primer sebagai sumber data utamadan
sumber data sekunder sebagai data pendukung.
a. Sumber data primer data yang bersumber dari penelitian
lapangan yaitu suatu data yang diperoleh langsung dari sumber
pertama di lapangan yaitu dari wawancara dengan para informan
dan responden.29
b. Sumber data sekunder yaitu data yang diperoleh dari bahan-
bahan pustaka. Dalam penelitian sekunder dapat dibagi 3, yaitu:
1) Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang terdiri
dari peraturan perundang-undangan, catatan-catatan resmi,
atau risalah di dalam pembuatan peraturan perundangan-
undangan atau putusan-putusan hakim.Bahan hukum primer
terdiri dari:
a) Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan
Anak
b) Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan
Anak
c) Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak
d) Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem
Peradilan Anak
29Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Rajawali Press,Jakarta, 2012, hlm. 30.
22
e) Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 4
Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dalam
Sistem Peradilan Pidana Anak.
f) Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2015 tentang
Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak
Yang Belum Berumur 12 (Dua Belas) Tahun.
2) Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang digunakan
sebagai bahan pendukung atau pelengkap bahan hukum
primer, yaitu berupa buku-buku teks yang ditulis oleh para
ahli hukum, jurnal hukum, artikel, internet, dan sumber
lainnya yang memiliki korelasi untuk mendukung penelitian
ini.
3) Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memperjelas
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dengan
memberikan pemahaman dan pengertian atas bahan hukum
lainnya.
4. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan dua
teknik yaitu:
a. Teknik Observasi
Observasi bertujuan untuk mendeskripsikan setting kegiatan
yang terjadi, orang-orang yang terlibat dalam kegiatan, waktu
kegiatan dan mana yang diberikan oleh para perlaku yang
23
diamati tentang peristiwa yang bersangkutan. Observasi
digunakan disini adalah observasi langsung.
b. Wawancara
Wawancara merupakan cara yang digunakan untuk
memperoleh keterangan secara lisan guna mencapai tujuan
tertentu. Selain itu wawancara juga merupakan teknik
pengumpulan primer yang dilakukan menggunakan alat rekam
dan alat tulis.30 Pihak-pihak yang diwawancarai dalam
penelitian ini yaitu Kepolisian Daerah Kepulauan Bangka
Belitung, Pengadilan NegeriKepulauan Bangka Belitung,
Kejaksaan Negeri Kepulauan Bangka Belitung, Dinas
Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak,
Kependudukan Pencatatan Sipil dan Pengendalian Penduduk
Keluarga Berencana (DP3ACSKB) Kepulauan Bangka
Belitung, Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD)
Kepulauan Bangka Belitung, Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM), Psikolog Anak.
c. Analisis Data
Setelah data terkumpul, data diolah dengan analisis kualitatif
yakni melakukan analisis-analisis dan menginterprestasikan
data yang telah di peroleh kemudian merumuskan hipotesa-
hipotesa (pernyataan-pernyataan).
30Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, PT Rineka Cipta, Jakarta, 2007, hlm. 26.
24
G. Orisinalitas Penelitian
Dalam setiap penelitian tugas akhir (skripsi) tentu sangat
diperlukan kehati-hatian agar tidak terjadi kesamaan bentuk ataupun hasil
yang sama dengan skripsipenulis lainnya atau biasa dikenal dengan istilah
plagiarisme. Oleh karena itu, berikut penulis jabarkan perbedaan beberapa
skripsi yang berkaitan dengan teori restorative justice, peradilan anak dan
mediasi penal yang pernah ditulis oleh mahasiswa Fakultas Hukum
Universitas Bangka Belitung, diantaranya:
Tabel 1.131
Perbandingan penelitian skripsi tentang restorative justice, peradilan
anak dan mediasi penal di Fakultas Hukum Universitas Bangka
Belitung
NO PENULIS JUDUL RUMUSAN MASALAHMETODE
PENELITIAN
1.Vera Christiani(Skripsi, 2012)
Asas OportunitasUntuk MewujudkanKeadilan RestoratifBagi Korban Tindak
Pidana
Apakah manfaat penerapanasas oportunitas pada prosesperadilan pidana di Indonesia?
Bagaimanakah bentukpenerapan asas oportunitasuntuk mewujudkan keadilanrestoratif bagi korban tindakpidana anak ?
PenelitianHukum Yuridis
Normatif denganPendekatan
Konseptual danKomparatif
2.Yulia Mamia
(Skripsi, 2013)
Penerapan HukumTerhadap AnakDalam TindakPidana Anak
Sebagai PelakuMenurut System
Peradilan Pidana
Bagaimanakah kedudukananak sebagai pelaku tindakpidana dalam pengadilananak di Indonesia ?
Bagaimanakah penerapanhukum terhadap anak sebagaipelaku tindak pidana dalam
PenelitianHukum Yuridis
Normatif denganPendekatan
Kepustakaan(Library
Research)
31Data di dapat dari hasil pengamatan dan analisis skripsi di Perpustakaan UniversitasBangka Belitung Tahun 2019.
25
Indonesia hukum acara pengadilan anak?
3. Zul Anwar(Skripsi, 2015)
Restorative JusticeSebagai Mekanisme
PenyelesaianPerkara
PerlindunganPerempuan Sebagai
KorbanPemerkosaan
Ditinjau Dari AsasPersamaan Didepan
Hukum
Bagaimanakah konseprestorative justice sebagaimekanisme penyelesaianperkara perlindunganperempuan sebagai korbanpemerkosaan ditinjau dariaspek persamaan didepanhukum ?
Faktor-faktor apakah yangmempengaruhi penerapanrestorative justice sebagaikorban pemerkosaan ditinjaudari aspek persamaandidepan hukum ?
PenelitianHukum Yuridis
Normatif denganPendekatan
Yuridis Empiris
4.Aldy Kurniawan(Skripsi, 2019)
Penerapan MediasiPenal Dalam
Penanganan TindakPidana Anak Di
Provinsi KepulauanBangka Belitung
Apakah urgensi pengaturanmediasi penal dalampenanganan tindak pidanaanak ?
Bagaimanakah penerapanmediasi penal dalampenanganan tindak pidanaanak di Provinsi KepulauanBangka Belitung ?
PenelitianHukum Empiris
denganPendekatan
Kasus(Case Approach)