bab i pendahuluan a. latar belakang masalah …repository.ubb.ac.id/3263/4/bab i.pdf3 total ditahun...

25
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak merupakan potensi nasib manusia untuk hari mendatang, dialah yang ikut berperan menentukan sejarah bangsa sekaligus cermin sikap hidup bangsa pada masa mendatang. 1 Berdasarkan penjelasan pada pasal 1 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (tahun) termasuk anak yang masih dalam kandungan. Akhir-akhir ini jumlah persoalan anak di Indonesia cukup beragam.Hal yang menjadi permasalahan utama adalah Anak Berhadapan Hukum (ABH). Sepanjang tahun 2011 hingga 2017 terdapat 9.266 kasus.Dari tahun ke tahun, jumlah paling banyak yaitu pada tahun 2014 dimana jumlah kasus ABH mencapai 2.208.Paling tinggi kedua pada 2013 yaitu sebanyak 1.428 kasus tertinggi ketiga 1.413 kasus pada 2012. Dari kasus tersebut terdapat anak yang sebagai pelaku. Jumlahnya pun tak kalah tinggi. Tercatat, pada tahun ini anak sebagai pelaku kekerasan seksual sebanyak 116 kasus.Sedangkan anak sebagai korban, terdapat 134 kasus merupakan anak korban kekerasan seksual. Menurut Komisioner KPAI Bidang Traficking, kasus ABH ini ternyata 1 Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, Refika Aditama, Bandung, 2006, hlm. 1.

Upload: others

Post on 26-Oct-2020

9 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Anak merupakan potensi nasib manusia untuk hari mendatang,

dialah yang ikut berperan menentukan sejarah bangsa sekaligus cermin

sikap hidup bangsa pada masa mendatang.1Berdasarkan penjelasan pada

pasal 1 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan

Anak. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (tahun) termasuk

anak yang masih dalam kandungan.

Akhir-akhir ini jumlah persoalan anak di Indonesia cukup

beragam.Hal yang menjadi permasalahan utama adalah Anak Berhadapan

Hukum (ABH). Sepanjang tahun 2011 hingga 2017 terdapat 9.266

kasus.Dari tahun ke tahun, jumlah paling banyak yaitu pada tahun 2014

dimana jumlah kasus ABH mencapai 2.208.Paling tinggi kedua pada 2013

yaitu sebanyak 1.428 kasus tertinggi ketiga 1.413 kasus pada 2012.

Dari kasus tersebut terdapat anak yang sebagai pelaku. Jumlahnya

pun tak kalah tinggi. Tercatat, pada tahun ini anak sebagai pelaku

kekerasan seksual sebanyak 116 kasus.Sedangkan anak sebagai korban,

terdapat 134 kasus merupakan anak korban kekerasan seksual. Menurut

Komisioner KPAI Bidang Traficking, kasus ABH ini ternyata

1Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, Refika Aditama, Bandung, 2006, hlm. 1.

2

menimbulkan stigma di masyarakat. Hal tersebut menjadi penyumbang

kekerasan fisik terhadap anak.2

Kemudian berkaca pada beberapa kasus yang terjadi pada anak,

mengingat kejadian pada tahun 2012. Kisah yang menghebohkan juga

menimpa seorang anak belasan tahun bernama AAL. Ia dituduh mencuri

sandal milik seorang polisi, padahal sebenarnya ia menemukan sandal

merk Eiger diluar pagar. Ia dipanggil polisi disuruh untuk mengaku

mencuri sandal. Ia sempat dipukul, ditempeleng, ditendang perutnya,

bahkan disekap berjam-jam. Akhirnya di pengadilan pada bulan Mei 2012,

hakim menjatuhkan vonis bersalah kepada AAL karena telah mencuri

sandal. Meski demikian ia tidak dipenjara melainkan disuruh pulang dan

membayar uang denda Rp. 2.000. Sebagai bentuk sindiran atas putusan

pengadilan tersebut Komisi Perlindungan Anak membelikan sandal untuk

polisi tersebut.3

Sepanjang 2016 hingga bulan April sebanyak 30 anak terlibat

tindak kriminal baik sebagai pelaku ataupun sebagai korban. Menurut

Abdul Mun’im (Kabid Humas Polda Kep. Bangka Belitung) jumlah ini

masih jauh dibandingkan dengan tahun 2015 mencapai 142 anak dengan

rincian 100 korban dan 42 pelaku pidana. Bahkan di tahun 2014 lebih

tinggi lagi mencapai 162 anak dengan rincian 123 korban dan 39 pelaku.

2www.kpai.go.id/berita/kpai-enam-tahun-terakhir-anak-berhadapan-hukum-mencapai-angka-9-266-kasus diakses pada Kamis, 20 Desember 2018, Pkl. 23.15 WIB

3Yoachim A Tridiatno, Keadilan Restoratif, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, 2015,hlm. 2-3.

3

Total ditahun 2014-2016 ada 334 anak yang terlibat tindak pidana

dengan rincian 243 korban dan 91 pelaku. Ditambahkannya bahwa tindak

pidana anak yang dilakukan oleh anak dibawah umur baik sebagai pelaku

maupun korban mayoritas antara lain pencabulan dan pencurian.4

Selain itu, berdasarkan data rekapan kasus kekerasan terhadap anak

yang telah ditangani oleh Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD)

Kepulauan Bangka Belitung selama tahun 2017 dari total 52 kasus

terdapat 2 kasus yang dapat diselesaikan melalui proses mediasi. Kedua

kasus tersebut merupakan kasus pemukulan dan pengeroyokan oleh

oknum guru dan aparat kepolisian.5

Data-data diatas tentu saja bertentangan dengan tujuan yang ada di

dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan

Pidana Anak (SPPA) yaitu agar anak memiliki harkat dan martabat

sebagaimana manusia seutuhnya, maka terhadap anak perlu diberikan

perlindungan secara khusus terutama perlindungan hukum dalam sistem

peradilan.Sistem Peradilan Pidana Anak merupakan segala unsur sistem

peradilan pidana yang terkait di dalam penanganan kasus-kasus anak

berhadapan hukum (ABH). Polisi, Kejaksaan dan Pengadilan serta

Pembimbing Kemasyarakatan atau Balai Pemasyarakatan, Advokat atau

Pemberi Bantuan, Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA), Lembaga

Penempatan Anak Sementara (LPAS) sebagai institusi atau lembaga yang

4https://m.tribunnews.com/amp/regional/2016/05/03/lima-bulan-334-anak-di-bangka-belitung-terseret-kasus-tindak-pidana-rata-rata-kasus-pencabulan diakses pada 1 Desember 2018,Pkl. 19.35 WIB.

5Data kekerasan terhadap anak tahun 2017 diperoleh dari Kantor Komisi PerlindunganAnak Daerah (KPAD) Kepulauan Bangka Belitung.

4

menangani ABH mulai dari anak bersentuhan dengan sistem peradilan,

menentukan apakah anak dibebaskan atau diproses ke pengadilan anak

hingga tahapan ketika anak akan ditempatkan dalam pilihan-pilihan, mulai

dari dibebaskan sampai dimasukkan dalam institusi penghukuman dalam

koridor keadilan restoratif. Hal itu selaras dengan :

1. Deklarasi PBB tahun 2000 tentang prinsip-prinsip pokok penggunaan

program-program keadilan restoratif dalam permasalahan-

permasalahan pida (United Nations Declaration on The Basic

Principles on The Use of Restorative Justice Programmes in Criminal

Matters).

2. Deklarasi Wina tentang Tindak Pidana dan Keadilan (Vienna

Declaration on Crime and Justice : “Meeting the challenges pf the

Twenty-First Century”) butir 27-28 tentang keadilan restoratif.

3. Kongres PBB ke-XI di Bangkok tahun 2005 tentang Pencegahan

Kejahatan dan Peradilan Pidana (Eleventh United Nation Congress on

Crime Prevention and Criminal Justice).

Selanjutnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012

tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) dan Peraturan Mahkamah

Agung Nomor 4 tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dalam

Sistem Peradilan Pidana Anak.6

Secara filosofis, sistem peradilan pidana anak beorientasi kepada

upaya penanganan anak yang berhadapan hukum (ABH) di luar sistem

6Ridwan Mansyur, www.mahkamahagung.go.id/id/artikel/2613/keadilan-restoratif-sebagai-tujuan-pelaksanaan-diversi-pada-sistem-peradilan-pidana-anak diakses pada 30 Januari2019, Pkl. 01.20 WIB.

5

peradilan pidana formal. Oleh karena itu, agar terhadap anak yang

bermasalah dengan hukum dapat terlindungi dengan baik, maka salah satu

bentuk penanganannya ditempuh melalui peradilan restoratif dengan

proses diversi.7 Secara kerangka teoritis, pada dasarnya pelaksanaan

diversi tidak lepas dari adanya konsep penerapan mediasi penal yang

mulai dikenal sejak adanya teori restorative justice. Hal ini diperkuat oleh

Diah Sulastri Dewi (Anggota Tim Pokja Mediasi Mahkamah Agung

Republik Indonesia) dalam Konferensi Asia Pasific Mediation Forum ke-

7, mediasi penal memang tidak letterlijk diatur dalam Undang-Undang 11

tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), tetapi

filosofinya mengandung mediasi penal yang dikenal di beberapa negara

yang terikat (ratifikasi) konvensi hak-hak anak, seperti Filiphina, Thailand,

Hongkong, Australia dan Jepang8, sehingga penulis meyakini perlunya

pengkajian skripsi ini dengan melihat penerapan mediasi penal dalam hal

penanganan tindak pidana anak terkhusus di Kepulauan Bangka Belitung.

Dalam kebijakan hukum pidana, pemberian hukum pidana untuk

menanggulangi kejahatan merupakan salah satu upaya di disamping

upaya-upaya lain. Penanganan kejahatan melalui sistem peradilan pidana

dikenal dengan istilah “upaya penal” yaitu dengan menggunakan peraturan

perundang-undangan pidana, disamping upaya “penyelesaian di luar

7Nandang Sambas, Diversi Sebagai Aplikasi Restorative Justice Dalam Sistem PeradilanPidana Anak Di Indonesia, dalam Makalah Pelatihan Hukum Pidana & Kriminologi Ke-IIMasyarakat Hukum Pidana & Kriminologi (MAHUPIKI).

8http://m.hukumonline.com/berita/baca/lt56bd60dd5c226/mediasi-perkara-pidana-anak--begini-filosofinya/ diakses pada 30 Januari 2019, Pkl. 00.43 WIB.

6

proses peradilan” yang penekanannya ditunjukkan pada faktor penyebab

terjadinya kejahatan.9

Mediasi penal merupakan perkembangan baru dalam ranah hukum

pidana yang membawa implikasi mulai diterapkan dimensi bersifat privat

ke dalam ranah hukum publik. Berdasarkan uraian tersebut diatas

penyelesaian perkara tindak pidana yang dilakukan oleh aparat penegak

hukum dapat diketahui tindak pidana dapat dilakukan penyelesaiannya

melalui penyelesaian secara damai diluar pengadilan dengan berpedoman

pada konsep penegakan hukum restorative justice.10

Mediasi sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa di luar

pengadilan, ternyata tak hanya dikenal dalam perkara perdata, seperti

wanprestasi, perbuatan melawan hukum (PMH), warisan, perceraian,

penguasaan dan nafkah anak atau harta bersama. Perkara pidana pun

mengenal proses mediasi, lazim disebut mediasi penal. Mediasi penal

dianut dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak (SPPA).

Diah Sulastri Dewi (Anggota Tim Pokja Mediasi Mahkamah

Agung) mengatakan dalam perkembangannya pengadilan negeri tidak

hanya memediasi perkara-perkara perdata, tetapi juga memediasi perkara

pidana anak terutama sejak terbitnya Undang-Undang Nomor 11 tahun

2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Sebab, Undang-Undang

9Taufiqurrahman Abildanwa, Mediasi Penal Sebagai Upaya Dalam RangkaPembaharuan Hukum Pidana Indonesia Berbasis Nilai-Nilai Keseimbangan, dalam JurnalPembaharuan Hukum, Vol 3 2016.

10Lilik Mulyadi, Mediasi Penal Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia : Pengkajian,Asas, Norma, Teori dan Praktik, dalam Jurnal Yustisia, No. 1 Vol 2 2013.

7

Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) mengamanatkan setiap anak yang

berhadapan dengan hukum wajib mengutamakan prinsip restorative

justice (pemulihan keadilan).

Sistem Hukum Pidana Indonesia memasuki babak baru dalam

perkembangannya. Salah satu bentuk pembaharuan yang ada dalam

hukum pidana Indonesia adalah pengaturan tentang hukum pidana dalam

perspektif dan pencapaian keadilan kepada perbaikan maupun pemulihan

keadaan setelah peristiwa dan proses peradilan pidana dikenal dengan

keadilan restoratif (restorative justice) yang berbeda dengan keadilan

retributif (menekankan keadilan pada ganti rugi). Apabila ditinjau dari

perkembangan ilmu hukum pidana dan sifat pemidanaan modern, telah

memperkenalkan dan mengembangkan apa yang disebut pendekatan

hubungan pelaku-korban atau “Doer-Victims” relationships. Suatu

pendekatan baru yang telah menggantikan pendekatan perbuatan atau

pelaku atau “daad-dader straftrecht”. Ahli hukum telah memperkenalkan

formula keadilan khususnya dalam penegakkan hak asasi manusia (HAM),

bahwa ada 3 aspek pendekatan untuk membangun suatu sistem hukum

dalam rangka modernisasi dan pembaharuan hukum, yaitu struktur

(structure), substansi (substance) dan budaya hukum (legal culture) yang

kesemuanya layak berjalan secara integral, stimulan dan paralel.11

11Ridwan Mansyur, www.mahkamahagung.go.id/id/artikel/2613/keadilan-restoratif-sebagai-tujuan-pelaksanaan-diversi-pada-sistem-peradilan-pidana-anak diakses pada 30 Januari2019, Pkl. 01.09 WIB.

8

Dari latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk melakukan

penelitian tentang penanganan tindak pidana anak melalui jalur mediasi

penal, dengan Skripsi yang berjudul :

Penerapan Mediasi Penal dalam Penanganan Tindak Pidana Anak di

Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam

penulisan skripsi ini adalah :

1. Apakah urgensi pengaturan mediasi penal dalam penanganan tindak

pidana anak ?

2. Bagaimanakah penerapan mediasi penal dalam penanganan tindak

pidana anak di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung ?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui urgensi pengaturan mediasi penal dalam

penanganan tindak pidana anak.

2. Untuk mengetahui bagaimana penerapan mediasi penal dalam

penanganan tindak pidana anak Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.

D. Manfaat Penelitian

Sudah seharusnya suatu penelitian memberikan manfaat bagi

berbagai pihak, adapun manfaat dari penulisan skripsi yang diharapkan

adalah :

1. Bagi Peneliti

9

Penelitian ini sebagai sarana dalam pemenuhan tugas akhir untuk

memperoleh pendidikan program sarjana (S1) di Fakultas Hukum

Universitas Bangka Belitung.Kemudian, menambah pengetahuan

tentang penerapan mediasi penal dalam penanganan tindak pidana anak.

2. Bagi Universitas

Penelitian ini diharapkan sebagai acuan atau pedoman untuk

menambah pengetahuan pihak akademisi, baik dosen maupun

mahasiswa atau pihak berkepentingan lainnya. Kemudian, penelitian ini

bermanfaat dalam menambah literatur atau referensi di perpustakaan

sebagai bahan acuan atau pedoman yang digunakan oleh mahasiswa

yang akan melakukan penelitian selanjutnya.

3. Bagi Masyarakat

Penelitian ini diharapkan bisa memberikan pengetahuan mengenai

mediasi penal dalam kasus tindak pidana anak. Kemudian, penelitian ini

sebagai media edukasi mengenai arah gerak hukum di Indonesia yang

mulai progresif dalam penerapannya.

4. Bagi Penegak Hukum

Penelitian ini diharapkan dapat membantu para penegak hukum

seperti pihak Kepolisian Daerah Kepulauan Bangka Belitung,

Pengadilan Negeri Kepulauan Bangka Belitung, KejaksaanNegeri

Kepulauan Bangka Belitung dan lain-lain dalam menjalankan tugas-

tugasnya, khususnya dalam kasus tindak pidana anak yang diselesaikan

melalui penerapan mediasi penal.

10

5. Bagi Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak,

Kependudukan Pencatatan Sipil dan Pengendalian Penduduk Keluarga

Berencana (DP3ACSKB) Kepulauan Bangka Belitung

Penelitian ini diharapkan memberikan pemahaman terhadap

Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung melalui dinas terkait

agar dapat lebih memahami terkait penerapan mediasi penal dalam

penanganan suatu tindak pidana anak.

6. Bagi Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD) Kepulauan Bangka

Belitung

Penelitian ini diharapkan memberikan pemahaman terhadap

Lembaga Negara yang membidangi perihal anak agar dapat lebih

memahami terkait penerapan mediasi penal dalam penanganan suatu

tindak pidana anak.

7. Bagi Orang Tua dan Korban

Penelitian ini diharapkan memberikan pemahaman terhadap orang

tua dan korban agar dapat mengetahui penerapan mediasi penal dalam

penanganan suatu tindak pidana anak.

E. Kerangka Teori

Menurut Moeljatno, perbuatan pidana adalah perbuatan yang

dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi)

yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan

tersebut.12

12Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1987, hlm. 54.

11

Tindak pidana memiliki istilah lainnya yang digunakan yaitu13:

a. Perbuatan pidana, dalam Pasal 5 ayat (3) huruf b Undang-Undang

Nomor 1/Drt/1951 tentang tindakan-tindakan sementara untuk

menyelenggarakan kesatuan susunan, kekuasaan dan acara

pengadilan-pengadilan sipil antara lain “...perbuatan yang

menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana”.

Istilah perbuatan pidana ini digunakan oleh Moeljatno.

Adapun teori-teori yang berkaitan dan akan digunakan sebagai

acuan atau landasan dalam menjawab permasalahan yang telah

dideskripsikan pada latar belakang diatas sebagai berikut :

1. Teori Penegakan Hukum

Secara teoritis, menurut Barda Nawawi Arief menjelaskan bahwa

upaya penegakan hukum pidana di Indonesia dilaksanakan secara:

a. Penal yaitu hukum pidana yang lebih menitik beratkan pada

sifat“Repressive”(penindasan/pemberantasan/penumpasan) sesudah

kejahatan terjadi.

b. Nonpenalyaitubahan atau diluar hukum pidana yang lebih menitik

beratkkan kepada sifat “Preventif’ (pencegahan/penangkalan)

sebelum kejahatan terjadi.14

13Farns Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta,2013, hlm. 56.

14Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Kencana, 2008, hlm.40.

12

Penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk menegakan norma,

untuk itu penegak hukum harus memahami benar-benar spirit hukum

yang mendasari peraturan hukum yang harus ditegakkan, dalam hal ini

akan bertalian dengan berbagai dinamika yang terjadi dalam proses

pembuatan peraturan perundang-undangan (law making process).

Berdasarkan dengan penegakan hukum tersebut, menurut konsep

hukum Lawrence M Friedman yang dikenal dengan teorinya “Legal

System” yang terdiri dari 3 (tiga) komponen pokok yaitu:15

1. Substansi (substance of the rules), yang berupa Perundang-

Undangan

2. Struktur (structure), yang berupa aparat penegak hukumnya

3. Budaya hukum (legal culture), yang berupa dukungan masyarakat.

Ketiga komponen tersebut saling berkaitan satu sama lainnya,

saling mendukung dan saling melengkapi, karena sekalipun struktur

hukumnya (Hakim, Jaksa, Polisi) baik, namun tidak didukung oleh

substansi dan budaya hukum, maka upaya penegakan hukum tidak

akan lebih hanya sekedar “blueprint” atau “design” saja. Berkaitan

dengan pendapat Lawrence M Friedman tersebut diatas, dapat

dipergunakan sebagai pijakan bagi Polri selaku penyidik dalam

melakukan proses penyidikan, agar berpegang pada norma-norma

hukum atau kaidah-kaidah hukum di samping memperhatikan

perkembangan dan tuntutan masyarakat dalam hidup berbangsa dan

15Imam Suroso, Hukum Acara Pidana (Karakteristik Penghentian Penyidikan danImplikasi Hukumnya), Yogyakarta, Laksbang Pressindi, 2016, hlm. 80.

13

bernegara.16 Secara konsepsional, maka inti dan arti penegakan hukum

terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang

terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan

mengejawantahkan dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran

nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan

mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Konsepsi yang

mempunyai dasar filosofis tersebut, memerlukan penjelasan lebih

lanjut, sehingga akan tampak lebih konkret.Manusia di dalam

pergaulan hidup, pada dasarnya mempunyai pandangan-pandangan

tertentu mengenai apa yang baik dan apa yang buruk. Pandangan-

pandangan tersebut senantiasa terwujud di dalam pasangan-pasangan

tertentu, misalnya ada pasangan nilai ketertiban dengan nilai

ketentraman, pasangan nilai kepentingan umum dengan nilai

kepentingan pribadi, pasangan nilai kelestarian dengan nilai

inovatisme dan seterusnya. Di dalam penegakan hukum, pasangan

nilai-nilai tersebut perlu diserasikan; umpamanya, perlu penyerasian

antara nilai ketertiban bertitik tolak pada keterikatan, sedangkan nilai

ketentraman titik tolaknya adalah kebebasan.17

Oleh karena itu dapatlah dikatakan, bahwa penegakan hukum

bukanlah semata-mata berarti pelaksanaan perundang-undangan,

walaupun di dalam kenyataan di Indonesia kecenderungnya adalah

demikian, sehingga pengertian law enforcement begitu popular.Selain

16Ibid. hlm. 81.17Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT

RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2011, hlm. 5-6.

14

itu, ada kecenderungan yang kuat untuk mengartikan penegakan

hukum sebagai pelaksanaan keputusan-keputusan hakim.Perlu dicatat,

bahwa pendapat-pendapat yang agak sempit tersebut mempunyai

kelemahanan-kelemahan, apabila pelaksanaan perundang-undangan

atau keputusan-keputusan hakim tersebut malahan mengganggu

kedamaian di dalam pergaulan hidup.

Berdasarkan penjelasan-penjelasan diatas dapatlah ditarik

kesimpulan sementara, bahwa masalah pokok penegakan hukum

sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin

mempengaruhinya.Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral,

sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor

tersebut. Faktor-faktor tersebut, adalah sebagai berikut:

1. Faktor hukumnya sendiri, yang di dalam tulisan ini akan dibatasi

pada undang-undang saja.

2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk

maupun menerapkan hukum.

3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.

4. Faktor masyarakat, yakni dimana lingkungan dimana hukum

tersebut berlaku atau diterapkan.

5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang

didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh

karena merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan

15

tolak ukur daripada efektivitas penegakan hukum. Dengan demikian,

kelima faktor tersebut akan dibahas di sini,dengan cara

mengetengahkan contoh-contoh yang diambil dari kehidupan

masyarakat Indonesia.18

2. Teori Restorative Justice

Keadilan restoratif adalah bentuk keadilan yang berpusat pada

kebutuhan korban, pelaku kejahatan dan masyarakat.Berbeda dengan

keadilan retributif yang menekankan hukuman bagi pelaku kejahatan,

keadilan restoratif mementingkan pemulihan korban, pelaku kejahatan

dan masyarakat. Hal ini dikarenakan bahwa di dalam setiap tindak

kejahatan, korbanlah yang pertama-pertama menderita sebagai akibat

tindak kejahatan.Selanjutnya pelaku kejahatan sebagai pihak yang

telah dilakukannya dituntut untuk bertanggungjawab atas tindakannya.

Dengan bertanggungjawab itulah martabatnya sebagai pribadi

dipulihkan. Masyarakat pun harus dipulihkan, karena tindak kejahatan

juga merusak harmoni kehidupan dalam bermasyarakat.19

Sejak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menggunakan istilah

out of court settlement (penyelesaian diluar pengadilan) untuk kasus

Bibit S. Rianto - Chandra M. Hamzah, istilah itu pun menjadi popular.

rakyat juga mendapat pelajaran baru, yaitu penyelesaian perkara dapat

juga dilakukan diluar pengadilan. Ini sebuah konsep baru, selama ini

publik pada umumnya berpendapat bahwa perkara hanya dapat dan

18Ibid, hlm. 7-9.19Yoachim A Tridiatno, Keadilan Restoratif, Yogyakarta, Cahaya Atma Pustaka, 2015,

hlm. 27.

16

boleh diselesaikan melalui pengadilan yang notabene pengadilan

negeri. Bagi mereka yang menggunakan optik sosiologi hukum dalam

memandang hukum, penyelesaian perkara diluar pengadilan adalah

hal yang biasa. Namun, tidak demikian hal-nya dengan mereka yang

berfikir formal-legalistik.20

Konsep restorative justice, proses penyelesaian pelanggaran

hukum yang terjadi dilakukan dengan membawa korban dan pelaku

(tersangka) bersama-sama duduk dalam satu pertemuan untuk

bersama-sama bicara. Dalam pertemuan tersebut mediator

memberikan kesempatan kepada pihak pelaku untuk memberikan

gambaran sejelas-jelasnya mengenai tindakan yang telah

dilakukannya.

Prinsip yang dipaparkan oleh Tony Marshall dan prinsip yang

ditulis Susan Sharpe sebenarnya telah dipraktikkan selama ribuan

tahun lalu oleh masyarakat walaupun secara nonformal. Di Indonesia

praktik secara restorative justice ini juga telah dilakukan yang dikenal

dengan penyelesaian secara kekeluargaan.

Praktik yang ada merupakan sebagian dari tradisi dalam

masyarakat atau hasil dari penelitian dan perjalanan panjang dari

contoh atau pilot project yang diambil sebagai cara alternatif untuk

menyelesaikan pidana diluar pengadilan. Praktik-praktik yang ada

tetap mempunyai dasar prinsip restorative justice yang telah diakui di

20Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Progresif, Kompas, Jakarta, 2010, hlm.3.

17

banyak negara yang mana dalam pelaksanaannya kini telah

diimplementasikan dalam sejumlah aturan dan pola atau cara. Bentuk

praktik restorative justice yang telah berkembang di negara Eropa,

Amerika Serikat, Canada, Australia dan New Zealand dapat

dikelompokkan dalam empat jenis praktik yang menjadi pionir

penerapan restorative justice di beberapa negara yaitu, Victim

Offender Mediation, Conferencing/Family Group Conferencing,

Circles dan Restorative Board/Youth Panels.21

Konsep-konsep diatas dalam penerapannya di Indonesia

dituangkan dalam bentuk mediasi penal.Mediasi penal (penal

mediation) sering juga disebut dengan berbagai istilah, antara lain :

“Mediation in criminal cases” atau “Mediation in penal matters”

yang dalam istilah Belanda disebut strafbemiddeling dalam istilah

Jerman disebut “Der Aubergerichtliche Tatausgleich” (disingkat

ATA) dan dalam istilah Perancis disebut “de mediation penale”.

Karena mediasi penal terutaman mempertemukan antara pelaku tindak

pidana dengan korban, maka mediasi penal ini sering juga dikenal

dengan istilah “VictimOffender Mediator” (VOM), TaterOpfer-

Ausgleich (TOA), atau Offendervictim Arrangement (OVA).22

Eksistensi mediasi penal dapat dikaji dari perspektif filosofis,

sosiologis dan yuridis. Dikaji dari perspektif sosiologis aspek ini

21Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia,Refika Aditama, Bandung, 2012,hlm.180-181.

22Barda Nawawi Arief, Mediasi Penal Penyelesaian Perkara Diluar Pengadilan, PustakaMagister, Semarang, 2008, hlm. 1.

18

berorientasi pada masyarakat Indonesia yang akar budayanya

berorientasi pada nilai budaya kekeluargaan, mengkedepankan asas

musyawarah mufakat untuk menyelesaikan suatu sengketa dalam

suatu sistem sosial. Tegasnya, aspek dan dimensi tersebut diselesaikan

melalui dimensi kearifan lokal hukum adat. Melalui sejarah hukum

dapat diketahui bahwa hukum yang mula pertama berlaku dan

merupakan penerminan kesadaran hukum rakyat Indonesia ialah

kearifan lokal hukum adat. Aspek dan dimensi ini identik dengan

theorie receptie dari Snouck Hurgronje. Untuk jangka waktu masa

yang cukup lama hukum adat sebagai suatu norma hukum, bersama-

sama dengan norma-norma sosial lainnya dan norma agama Hindu

memainkan peranannya berfungsi sebagai alat pengendalian sosial.

F. Metode Penelitian

Secara etimologis metode diartikan sebagai jalan atau cara

melakukan atau mengerjakan sesuatu, pengertian ini diambil dari istilah

Yunani,”methodos” yang artinya “jalan menuju”. Bagi kepentingan ilmu

pengetahuan, metode merupakan titik awal menuju proposisi-proposisi

akhir dalam bidang pengetahuan tertentu.23

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang

didasarkan pada metode sistematisdan pemikiran tertentu, yang bertujuan

untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan

menganalisisnya kecuali itu juga diadakan pemeriksaan yang mendalam

23Bahder J Nasution, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2008, hlm.13.

19

terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu

pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul didalam gejala

yang bersangkutan. Sudah tentu dalam penelitian hukum, seorang peneliti

hukum dapat melakukan aktivitas-aktivitas untuk mengungkapkan

“kebenaran hukum” yang terencana secara metodologis, sistematis dan

konsisten atau secara kebetulan, misalnya dengan mendasarkan diri pada

keadaan atau metode untung-untungnya (trial-eror) dalam aktifitas

tersebut. Oleh karena itu, kiranya tidak jarang suatu aktifitas untuk

mencari “kebenaran hukum” lebih didasarkan atas penghormatan pada

suatu pendapat atau penemuan yang telah dihasilkan oleh seseorang atau

lembaga tertentu karena otoritas atau kewibawaan ini, sehingga melakukan

pengujian terhadap temuan-temuannya. Ataupun lebih didasarkan pada

usaha-usaha yang dilakukan sekedar melalui pengalaman-pengalaman

belaka. Aktivitas yang seperti ini pun kerapkali mengabaikan metode dan

sistematika, disamping tidak didasarkan pada pemikiran yang mantap dan

pekerjaan yang terencana.24

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian hukum dalam penelitian ini adalah penelitian

hukum empiris.Penelitian hukum empiris yaitu mengkaji pelaksanaan

atau implementasi hukum secara faktual pada peristiwa hukum tertentu

yang terjadi dalam masyarakat.25

24H. Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Jakarta, Sinar Grafika, 2009, hlm. 14-15.25Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung,

2004, hlm. 136.

20

Berbeda dengan penelitian hukum normatif, penelitian hukum

empiris bertujuan untuk mengetahui sejauh mana bekerjanya hukum

dalam masyarakat.Penelitian hukum empiris sebagai hasil interaksi

antara ilmu hukum dengan disiplin ilmu-ilmu lainnya terutama sekali

sosiologi dan antropologi melahirkan sosiologi hukum dan antropologi

hukum.26

2. Metode Pendekatan

Pendekatan menurut Van Dyke adalah “An approach consists of

criteria of selection – criteria employed in selecting the problems or

questions to consider and in selecting the data to bring to bear, is

consists of standards governing the inclusion of question and

data”.Dari pengertian yang diberikan oleh Van Dyke ini, dapat

ditarik kesimpulan bahwa pendekatan merupakan cara pandang dalam

arti lebih luas. Artinya dalam menelaah suatu persoalan dapat

dilakukan berdasarkan atau dengan memakai sudut pandang dari

berbagai cabang ilmu.27

Metode pendekatan yang dilakukan adalah dengan pendekatan

kasus (case approach). Dalam metodeini, pendekatan dipahami

melalui alasan-alasan hukum berdasarkan fakta materiil dilapangan.28

3. Sumber Data

26Bahder J Nasution, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Jakarta, Rajawali Press, 2012, hlm.123.

27Ibid, hlm.126-127.28Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta, Predana Media Group, 2011, hlm.

119.

21

Sumber data yang digunakan dalam melakukan penelitian hukum

ini, yaitu menggunakan data primer sebagai sumber data utamadan

sumber data sekunder sebagai data pendukung.

a. Sumber data primer data yang bersumber dari penelitian

lapangan yaitu suatu data yang diperoleh langsung dari sumber

pertama di lapangan yaitu dari wawancara dengan para informan

dan responden.29

b. Sumber data sekunder yaitu data yang diperoleh dari bahan-

bahan pustaka. Dalam penelitian sekunder dapat dibagi 3, yaitu:

1) Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang terdiri

dari peraturan perundang-undangan, catatan-catatan resmi,

atau risalah di dalam pembuatan peraturan perundangan-

undangan atau putusan-putusan hakim.Bahan hukum primer

terdiri dari:

a) Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan

Anak

b) Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan

Anak

c) Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang

Perlindungan Anak

d) Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem

Peradilan Anak

29Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Rajawali Press,Jakarta, 2012, hlm. 30.

22

e) Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 4

Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dalam

Sistem Peradilan Pidana Anak.

f) Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2015 tentang

Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak

Yang Belum Berumur 12 (Dua Belas) Tahun.

2) Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang digunakan

sebagai bahan pendukung atau pelengkap bahan hukum

primer, yaitu berupa buku-buku teks yang ditulis oleh para

ahli hukum, jurnal hukum, artikel, internet, dan sumber

lainnya yang memiliki korelasi untuk mendukung penelitian

ini.

3) Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memperjelas

bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dengan

memberikan pemahaman dan pengertian atas bahan hukum

lainnya.

4. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan dua

teknik yaitu:

a. Teknik Observasi

Observasi bertujuan untuk mendeskripsikan setting kegiatan

yang terjadi, orang-orang yang terlibat dalam kegiatan, waktu

kegiatan dan mana yang diberikan oleh para perlaku yang

23

diamati tentang peristiwa yang bersangkutan. Observasi

digunakan disini adalah observasi langsung.

b. Wawancara

Wawancara merupakan cara yang digunakan untuk

memperoleh keterangan secara lisan guna mencapai tujuan

tertentu. Selain itu wawancara juga merupakan teknik

pengumpulan primer yang dilakukan menggunakan alat rekam

dan alat tulis.30 Pihak-pihak yang diwawancarai dalam

penelitian ini yaitu Kepolisian Daerah Kepulauan Bangka

Belitung, Pengadilan NegeriKepulauan Bangka Belitung,

Kejaksaan Negeri Kepulauan Bangka Belitung, Dinas

Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak,

Kependudukan Pencatatan Sipil dan Pengendalian Penduduk

Keluarga Berencana (DP3ACSKB) Kepulauan Bangka

Belitung, Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD)

Kepulauan Bangka Belitung, Lembaga Swadaya Masyarakat

(LSM), Psikolog Anak.

c. Analisis Data

Setelah data terkumpul, data diolah dengan analisis kualitatif

yakni melakukan analisis-analisis dan menginterprestasikan

data yang telah di peroleh kemudian merumuskan hipotesa-

hipotesa (pernyataan-pernyataan).

30Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, PT Rineka Cipta, Jakarta, 2007, hlm. 26.

24

G. Orisinalitas Penelitian

Dalam setiap penelitian tugas akhir (skripsi) tentu sangat

diperlukan kehati-hatian agar tidak terjadi kesamaan bentuk ataupun hasil

yang sama dengan skripsipenulis lainnya atau biasa dikenal dengan istilah

plagiarisme. Oleh karena itu, berikut penulis jabarkan perbedaan beberapa

skripsi yang berkaitan dengan teori restorative justice, peradilan anak dan

mediasi penal yang pernah ditulis oleh mahasiswa Fakultas Hukum

Universitas Bangka Belitung, diantaranya:

Tabel 1.131

Perbandingan penelitian skripsi tentang restorative justice, peradilan

anak dan mediasi penal di Fakultas Hukum Universitas Bangka

Belitung

NO PENULIS JUDUL RUMUSAN MASALAHMETODE

PENELITIAN

1.Vera Christiani(Skripsi, 2012)

Asas OportunitasUntuk MewujudkanKeadilan RestoratifBagi Korban Tindak

Pidana

Apakah manfaat penerapanasas oportunitas pada prosesperadilan pidana di Indonesia?

Bagaimanakah bentukpenerapan asas oportunitasuntuk mewujudkan keadilanrestoratif bagi korban tindakpidana anak ?

PenelitianHukum Yuridis

Normatif denganPendekatan

Konseptual danKomparatif

2.Yulia Mamia

(Skripsi, 2013)

Penerapan HukumTerhadap AnakDalam TindakPidana Anak

Sebagai PelakuMenurut System

Peradilan Pidana

Bagaimanakah kedudukananak sebagai pelaku tindakpidana dalam pengadilananak di Indonesia ?

Bagaimanakah penerapanhukum terhadap anak sebagaipelaku tindak pidana dalam

PenelitianHukum Yuridis

Normatif denganPendekatan

Kepustakaan(Library

Research)

31Data di dapat dari hasil pengamatan dan analisis skripsi di Perpustakaan UniversitasBangka Belitung Tahun 2019.

25

Indonesia hukum acara pengadilan anak?

3. Zul Anwar(Skripsi, 2015)

Restorative JusticeSebagai Mekanisme

PenyelesaianPerkara

PerlindunganPerempuan Sebagai

KorbanPemerkosaan

Ditinjau Dari AsasPersamaan Didepan

Hukum

Bagaimanakah konseprestorative justice sebagaimekanisme penyelesaianperkara perlindunganperempuan sebagai korbanpemerkosaan ditinjau dariaspek persamaan didepanhukum ?

Faktor-faktor apakah yangmempengaruhi penerapanrestorative justice sebagaikorban pemerkosaan ditinjaudari aspek persamaandidepan hukum ?

PenelitianHukum Yuridis

Normatif denganPendekatan

Yuridis Empiris

4.Aldy Kurniawan(Skripsi, 2019)

Penerapan MediasiPenal Dalam

Penanganan TindakPidana Anak Di

Provinsi KepulauanBangka Belitung

Apakah urgensi pengaturanmediasi penal dalampenanganan tindak pidanaanak ?

Bagaimanakah penerapanmediasi penal dalampenanganan tindak pidanaanak di Provinsi KepulauanBangka Belitung ?

PenelitianHukum Empiris

denganPendekatan

Kasus(Case Approach)