bab i pendahuluan a. latar belakang masalahrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/39978/4/chapter...

28
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kekuasaan merupakan masalah sentral di dalam suatu negara, karena negara merupakan pelembagaan masyarakat politik (polity) paling besar dan memiliki kekuasaan yang otoritatif 1 . Di negara-negara yang menganut paham demokrasi, kekuasaan itu berasal dari rakyat dan kekuasaan itu terbagi pada sejumlah lembaga-lembaga politik. Pembagian kekuasaan itu dimaksudkan untuk menghindari adanya pemusatan kekuasaan pada satu tangan sehingga ada mekanisme kontrol dan keseimbangan diantara lembaga pemegang kekuasaan tersebut. Pembagian kekuasaan pertama kali dilakukan oleh John Locke (1632- 1704). Dalam bukunya Two Treaties of Government (1679), John Locke membagi kekuasaan menjadi tiga macam yaitu kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif, dan kekuasaan federatif. Sedangkan Montesquieu (1689-1755) memisahkan kekuasaan ke dalam tiga organ yakni kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan yudikatif. Dengan adanya pembagian kekuasaan dalam tiga lembaga tersebut diharapkan dalam menjalankan pemerintahan negara tidak terjadi tumpang tindih diantara lembaga pemegang kekuasaan tersebut. Berkaitan dengan upaya mengontrol kekuasaan, agar tidak terulang sentralisasi kekuasaan 1 Kacung Maridjan. 2010. Sistem Politik Indonesia Konsolidasi Demokrasi Pasca Orde Baru. Jakarta: Kencana. Hal. 17 Universitas Sumatera Utara

Upload: ngokhuong

Post on 08-Aug-2019

218 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kekuasaan merupakan masalah sentral di dalam suatu negara, karena

negara merupakan pelembagaan masyarakat politik (polity) paling besar dan

memiliki kekuasaan yang otoritatif1. Di negara-negara yang menganut paham

demokrasi, kekuasaan itu berasal dari rakyat dan kekuasaan itu terbagi pada

sejumlah lembaga-lembaga politik. Pembagian kekuasaan itu dimaksudkan untuk

menghindari adanya pemusatan kekuasaan pada satu tangan sehingga ada

mekanisme kontrol dan keseimbangan diantara lembaga pemegang kekuasaan

tersebut.

Pembagian kekuasaan pertama kali dilakukan oleh John Locke (1632-

1704). Dalam bukunya Two Treaties of Government (1679), John Locke membagi

kekuasaan menjadi tiga macam yaitu kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif,

dan kekuasaan federatif. Sedangkan Montesquieu (1689-1755) memisahkan

kekuasaan ke dalam tiga organ yakni kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif,

dan kekuasaan yudikatif. Dengan adanya pembagian kekuasaan dalam tiga

lembaga tersebut diharapkan dalam menjalankan pemerintahan negara tidak

terjadi tumpang tindih diantara lembaga pemegang kekuasaan tersebut. Berkaitan

dengan upaya mengontrol kekuasaan, agar tidak terulang sentralisasi kekuasaan

                                                            1 Kacung Maridjan. 2010. Sistem Politik Indonesia Konsolidasi Demokrasi Pasca Orde Baru. Jakarta: Kencana. Hal. 17 

Universitas Sumatera Utara

sebagaimana pada masa Orde Baru, amandemen UUD 1945 berusaha

memperjelas pembagian dan pemisahan kekuasaan yang ada di lembaga-lembaga

pemerintahan.

Didalam sejarah pemerintahan di Indonesia, penyelenggaraan

Pemerintahan Desa pada era Orde Baru bersifat sentralistik sehingga Kepala Desa

menjadi pusat kekuasaan dalam melaksanakan penyelenggaraan Pemerintahan

Desa. Pemerintahan Orde Baru menetapkan kebijakan mengenai pengaturan

Kepala Desa dan Lembaga Musyawarah Desa (LMD). Pada awal

pembentukannya LMD bertujuan sebagai pengontrol kinerja Kepala Desa dalam

menyelenggarakan Pemerintahan Desa. Tetapi dalam perjalanannya LMD sebagai

sebuah lembaga legislatif didesa tidak dapat mewujudkan tugas dan fungsinya

sebagai media artikulasi kepentingan politik masyarakat desa. LMD bukan

sebagai lembaga yang mengontrol kinerja Kepala Desa beserta perangkat desa.

Kekuasaan eksekutif dalam hal ini Kepala Desa menjadikan posisi Kepala Desa

sebagai kepala pemerintahan sekaligus sebagai pusat kekuasaan di desa. Hal itu

semakin memperjelas bahwa Pemerintahan Desa yang terjadi pada masa Orde

Baru dilaksanakan secara sentralistis, struktur kekuasaan yang monolitik telah

menghilangkan tatanan Pemerintahan Desa yang demokratis.

Awal reformasi merupakan awal kebangkitan demokratisasi. Perubahan

yang terjadi terasa sangat cepat, mulai dari pergantian kekuasaan dan berbagai

kebijakan baru yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah

Universitas Sumatera Utara

daerah dalam upaya kearah demokratisasi. Lahirnya Undang-Undang Nomor 22

Tahun 1999 di set-up untuk mengubah sistem Pemerintahan Desa yang semula

bersifat sentralistis menjadi lebih demokratis. Mengingat masalah utama pada

masa Orde Baru yaitu adanya sentralisasi kekuasaan pada Kepala Desa sebagai

lembaga eksekutif di desa, dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999

terdapat upaya memisahkan kewenangan antara Kepala Desa dan Badan

Perwakilan Desa (BPD) serta membatasi kekuasaan Kepala Desa dengan

membentuk lembaga parlemen Badan Perwakilan Desa yang independen dari

perwakilan elit-elit desa yang dipilih oleh masyarakat. Lembaga ini memiliki

tujuan untuk melakukan pengawasan terhadap kinerja aparat pemerintah desa dan

mewakili masyarakat dalam proses penyelenggaraan Pemerintahan Desa.

Dalam melaksanakan penyelenggaraan Pemerintahan Desa dilakukan oleh

pemerintah desa bersama dengan BPD yang merupakan penyempurnaan dari

LMD (Lembaga Musyawarah Desa) karena lebih bersifat independen.

Pemerintahan Desa merupakan lembaga kemasyarakatan atau organisasi desa

yang dipahami sebagai organisasi kekuasaan yang secara politis memiliki fungsi

dan wewenang dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat untuk

mencapai keteraturan dan integrasi dalam masyarakat.

Berdasarkan Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah Pasal 200 ayat 1 bahwa dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa ada

dua unsur pemerintahan yakni Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan

Universitas Sumatera Utara

Desa (BPD). Pemerintah desa merupakan lembaga eksekutif desa dan BPD

sebagai lembaga legislatif desa. Pemerintah desa selaku kekuasaan eksekutif di

desa memiliki peran aktif dalam menentukan kebijakan dan peraturan desa.

Pemerintah desa merupakan lembaga kemasyarakatan atau organisasi desa yang

dipahami sebagai organisasi kekuasaan yang secara politis memiliki fungsi dan

wewenang dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat untuk mencapai

kesejahteraan masyarakat.

Dalam impelementasi otonomi daerah membuka peluang konsentrasi

kekuasaan pada elit politik desa yakni Kepala Desa dengan BPD. Kedudukan

BPD sebagai mitra Kepala Desa dalam pelaksanaan pemerintahan daerah.

Kemampuan BPD menempatkan diri dalam praktik penyelenggaraan

Pemerintahan Desa sangat ditentukan oleh kedudukan BPD dalam format

kekuasaan yang ada. Jika bobot kekuasaan salah satu lebih dominan, maka

kedudukan sebagai mitra sulit untuk diwujudkan. BPD membutuhkan kekuasaan

untuk menjalankan fungsinya, karena BPD merupakan representasi masyarakat

untuk mengatur pemerintahan sesuai dengan keinginan masyarakat.

Permasalahan pokok dalam penelitian ini adalah bagaimana relasi

kekuasaan antara Kepala Desa dengan BPD dalam melaksanakan

penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Pola relasi kekuasaan yang sejajar

sebagaimana telah diatur dalam undang-undang, dalam pelaksanaannya diwarnai

oleh praktek-praktek hubungan kerja yang kurang harmonis dan menunjukkan

Universitas Sumatera Utara

kecenderungan terjadinya dominasi Kepala Desa. Wujud konkret dari terjadinya

hubungan yang tidak harmonis antara Kepala Desa dengan BPD terlihat dalam

proses-proses penyusunan dan penetapan peraturan desa, penyusunan dan

penetapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBD), pelaksanaan

peraturan desa dan pelaksanaan pertanggungjawaban Kepala Desa.

Hubungan kekuasaan elit Pemerintahan Desa yaitu Kepala Desa dengan

BPD menunjukkan hanya sebatas pada penetapan peraturan desa.

Penyelenggaraan Pemerintahan Desa menjadi otoritas Kepala Desa. BPD

(Kekuasaan Legislatif di desa) hanya sebagai lembaga yang memberikan nasehat

terhadap Kepala Desa. Dalam hal ini terjadi hegemoni Kepala Desa terhadap BPD

yakni dominasi oleh satu kelompok terhadap kelompok lainnya, dengan atau tanpa

ancaman kekerasan sehingga ide-ide yang didiktekan oleh kelompok dominan

terhadap kelompok yang didominasi diterima sebagai sesuatu yang wajar yang

bersifat moral, intelektual serta budaya.

Dalam suatu hubungan kekuasaan (power relationship) selalu ada pihak

yang lebih kuat dari pihak lain2. Jadi, selalu ada hubungan tidak seimbang atau

asimetris. Dalam melaksanakan pengelolaan Pemerintahan Desa, kekuasaan

Kepala Desa terlihat lebih menonjol dibandingkan dengan Badan

Permusyawaratan Desa. Dominasi kekuasaan Kepala Desa terlihat dalam

pembuatan keputusan atau peraturan desa. Dominasi ini terjadi karena adanya

persepsi yang salah dan cenderung menyimpang akan ketentuan dalam peraturan                                                             2 Miriam Budiardjo.2008. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. hal.63. 

Universitas Sumatera Utara

perundang-undangan yang berlaku. Hal ini mengindikasikan adanya pembagian

kekuasaan yang tidak merata antara kekuasaan Kepala Desa (eksekutif) dengan

Badan Permusyawaratan Desa sebagai lembaga legislatif dalam Pemerintahan

Desa. Maka apa yang dikatakan oleh Ramlan Surbakti bahwa kekuasaan politik

senantiasa suatu kekuasaan yang memiliki aspek politik yang berupa penggunaan

sumber-sumber pengaruh untuk memberikan pengaruh terhadap proses

pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik.

Studi mengenai relasi kekuasaan antara Kepala Desa dengan Badan

Permusyawaratan Desa ini dilakukan di Nagori Simattin, Kecamatan Pamatang

Sidamanik, Kabupaten Simalungun. Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 13

Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Nagori, istilah desa disebut dengan Nagori,

Kepala Desa diganti nama dengan Pangulu, sedangkan Badan Permusyawaratan

Desa disebut dengan Maujana nagori. Kekuasaan Pangulu yang dominan dalam

pemerintahan nagori memperlihatkan adanya kekuasaan yang tidak merata dalam

struktur pemerintahan nagori di Nagori Simattin. Sebagai lembaga legislatif di

desa, Maujana nagori hanya sebagai lembaga yang memberikan nasehat terhadap

Pangulu sedangkan pengelolaan Pemerintahan nagori lebih banyak dilakukan oleh

Pangulu.

Dari uraian yang telah dipaparkan tersebut diatas, peneliti memiliki

ketertarikan untuk membahas relasi kekuasaan dalam Pemerintahan Desa. Maka

dalam hal ini peneliti mengangkat judul penelitian Relasi Kekuasaan Dalam

Universitas Sumatera Utara

Pemerintahan Nagori (Studi Kasus Relasi Kekuasaan antara Pangulu dengan

Maujana nagori di Nagori Simattin, Kecamatan Pamatang Sidamanik, Kabupaten

Simalungun).

B. Rumusan Masalah

Dalam menjalankan Pemerintahan Desa, Badan Permusyawaratan Desa

(kekuasaan legislatif desa) berkedudukan sejajar dan menjadi mitra kekuasaan

eksekutif (Kepala Desa). Namun dalam pelaksanaannya, kekuasaan Kepala Desa

sebagai eksekutif desa memperlihatkan adanya dominasi kekuasaan dalam

struktur pemerintahan desa. Kekuasaan Kepala Desa lebih besar dibandingkan

dengan kekuasaan BPD. Dari pemaparan pada latar belakang diatas maka yang

menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Bagaimana relasi kekuasaan

antara Pangulu dengan Maujana nagori dalam pengelolaan Pemerintahan Nagori

di Nagori Simattin, Kecamatan Pamatang Sidamanik, Kabupaten Simalungun ?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut :

1. Mengeksplorasi dan mendeskripsikan relasi kekuasaan antara Pangulu dan

Maujana nagori dalam pengelolaan Pemerintahan Nagori di Nagori

Simattin, Kecamatan Pamatang Sidamanik, Kabupaten Simalungun

2. Menganalisis pola hubungan kekuasaan antara Pangulu dan Maujana

nagori yang sama-sama memiliki kekuasaan dan sama-sama dipilih oleh

masyarakat.

Universitas Sumatera Utara

D. Signifikansi Penelitian

1. Peneliti mampu mengasah kemampuan dalam melakukan sebuah proses

penelitian yang bersifat ilmiah dan memberikan pengetahuan yang baru

bagi peneliti sendiri.

2. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan penjelasan tentang relasi

kekuasaan antara Pangulu dan Maujana nagori dalam Pengelolaan

Pemerintahan Nagori.

3. Penelitian ini sekiranya dapat memberikan kontribusi bagi perkembangan

ilmu pengetahuan khususnya dalam kajian tentang Kekuasaan politik dan

menjadi referensi/kepustakaan bagi Departemen Ilmu Politik Fakultas

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

E. Kerangka Teori

1. Teori Kekuasaan Politik

Kekuasaan merupakan salah satu diantara konsep politik yang paling

sering dipelajari dan dibahas oleh para akademisi dalam mempelajari ilmu politik.

Sebagian sarjana atau ilmuwan politik beranggapan bahwa kekuasaan inti dari

politik yaitu semua kegiatan yang menyangkut masalah memperebutkan dan

mempertahankan kekuasaan. Kekuasaan erat kaitannya dengan pengaruh dan

mempengaruhi. Kekuasaan biasanya berbentuk hubungan (relationship) dalam

artian bahwa ada satu pihak yang memerintah dan ada pihak yang diperintah (the

ruler and ruled), satu pihak yang memberi perintah, satu pihak yang mematuhi

perintah. Definisi mengenai kekuasaan kekuasaan telah banyak dikemukakan oleh

Universitas Sumatera Utara

para ahli. Max Weber dalam bukunya Wirtschafgt und Gessellshaft (1992) seperti

yang dikutip oleh Mirriam Budiardjo3:

Kekuasaan adalah kemampuan untuk, dalam suatu hubungan sosial, melaksanakan kemauan sendiri sekalipun mengalamai perlawanan, dan apapun dasar kemampuan ini (macht beduetet jede chance innerhalb einer soziale Beziehung den eigenen Willen durchzusethen auch gegen Widerstreben durchzustzen, gleichviel worauf diese chance beruht).

Lebih jelas Weber mengatakan, kekuasaan adalah kesempatan seseorang

atau sekelompok orang untuk menyadarkan masyarakat akan kemauan-kemauan

sendiri, dengan sekaligus menerapkannya terhadap tindakan-tindakan perlawanan

dari orang-orang atau golongan-golongan tertentu. Sementara itu apabila kita

mengacu pada teori kekuasaan menurut pendapat Ramlan Surbakti dan Robert

Dahl.

Sebagaimana yang dikutip oleh Siti Nuraini dalam buku “Memahami Ilmu

Politik” menurut Ramlan Surbakti, kekuasaan diartikan sebagai berikut :

Kekuasaan secara umum diartikan sebagai kemampuan menggunakan sumber-sumber pengaruh yang dimiliki untuk mempengaruhi pihak lain sehingga pihak lain berperilaku sesuai dengan kehendak pihak yang mempengaruhi. Dalam arti sempit kekuasaan politik dapat dirumuskan sebagai kemampuan untuk menggunakan sumber-sumber pengaruh untuk mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik sehingga keputusan menguntungkan dirinya, kelompoknya ataupun masyarakat pada umumnya4.

Gagasan yang disampaikan Ramlan Surbakti tersebut dapat disimpulkan

bahwa kekuasaan diperoleh karena adanya sumber-sumber yang dimiliki

                                                            3 Miriam Budiardjo. ibid.hal.60. 4 Siti Nuraini. 2010. “Hubungan Kekuasaan Elit Pemerintahan Desa”, Jurnal Kybernan, Vol.1.Maret 2010, Bekasi.hal 11 

Universitas Sumatera Utara

seseorang atau kelompok, yang dapat dijadikan sebagai alat atau sarana untuk

mempengaruhi orang lain atau kelompok lain sesuai yang diinginkan.

Sebagaimana yang dikutip oleh Siti Nuraini dalam buku “Analisa Politik

Modern” Robert Dahl berpendapat bahwa membahas berbagai sumber-sumber

kekuasaan tentu tidak boleh mencampurkannya dengan makna kekuasaan itu

sendiri, karena itu menurut Dahl :

Bila merumuskan pengaruh atau kekuasaan secara sederhana sebagaimana kekuasaan itu sendiri, maka tidak hanya akan kehilangan kekuasaan subyek persoalan, namun juga telah menyangkal suatu masalah yang empiris yang penting mengenai apa dan bagaimana hubungan pengaruh harus diterapkan dan bagaimana cara aktor untuk mempergunakan sumber kekuasaan yang dimilikinya5.

Dalam pandangannya, Dahl berpendapat mengenai lebih pentingnya untuk

mengkaji kekuasaan dengan melihat bagaimana hubungan kekuasaan dan

pengaruhnya, serta cara penggunaan sumber-sumber kekuasaan yang dimiliki

seseorang. Miriam Budiardjo dalam bukunya yang berjudul “Dasar-dasar Ilmu

Politik”, menyebutkan bahwa kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau

sekelompok orang untuk mempengaruhi tingkah laku seseorang atau sekelompok

lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku itu menjadi sesuai dengan keinginan

dan tujuan dari orang yang mempunyai kekuasaan itu6.

Dalam perkembangannya, kekuasaan digunakan untuk mempengaruhi

kebijakan umum dengan tujuan agar kebijakan tersebut sesuai dengan keinginan

                                                            5Siti Nuraini. ibid .hal.11 6 Miriam Budiardjo. op.cit. hal.17-18. 

Universitas Sumatera Utara

pemegang kekuasaan itu sendiri. Hal ini relevan dengan definisi yang

disampaikan oleh para ilmuwan politik yang secara umum menjelaskan bahwa

kekuasaan adalah mempengaruhi seseorang agar bertingkah laku sesuai dengan

yang diinginkan. Kekuasaan mempunyai jangkauan cukup luas meliputi

kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain, kemampuan untuk memerintah,

kemampuan untuk memberi keputusan, serta mempengaruhi pihak lain.

Bila kita mengkaji mengenai teori kekuasaan, gagasan Antonio Gramsci

tentang hegemoni akan dapat membantu kita dalam memahami kekuasaan. Bagi

Gramsci, kelas sosial akan memperoleh keunggulan (supremasi) melalui dua cara,

yaitu melalui cara dominasi (dominio) atau paksaan (coercion) dan yang kedua

adalah kepemimpinan intelektual dan moral. Cara yang terakhir ini adalah yang

kemudian disebut oleh Gramsci sebagai hegemoni.

Hegemoni bersifat tulus diwujudkan melalui intervensi kebijakan bersifat

lebih halus dan mendapat persetujuan massa. Hegemoni yang bersifat paksaan

lebih menekankan pada aspek ekonomi serta penggunaan kekuasaan negara untuk

mendapat manfaat untuk kesejahteraan. Menurut Gramsci, hegemoni adalah

dominasi oleh satu kelompok terhadap kelompok lainnya, dengan atau tanpa

ancaman kekerasan, sehingga ide yang didiktekan oleh kelompok dominan

diterima sebagai sesuatu yang wajar yang bersifat moral, intelektual serta budaya7.

                                                            7 Situs web Strinati. Dominic.1995. An Introduction to Theories of Popular Culture. London: Routledge 

Universitas Sumatera Utara

Pemerintah memperoleh legitimasi dan otoritas berupa wewenang dan

kekuasaan mengatur dan menjaga agar orang-orang berperilaku pada jalur yang

benar sesuai peraturan undang-undang, dan ditaati seluruh warganya. Pemerintah

juga berwewenang menetapkan aturan-aturan, menentukan keputusan-keputusan

terkait masalah penting, serta menyelesaikan pertentangan-pertentangan yang

terjadi dalam kehidupan masyarakat.

Menurut Max Weber, kekhasan hegemoni dan dominasi adalah pihak yang

berkuasa mempunyai wewenang sah untuk berkuasa sesuai peraturan yang

berlaku sehingga pihak yang dikuasai wajib mentaati kehendak penguasa. Suatu

hegemoni dan dominasi memerlukan keabsahan (legitimacy) yakni pengakuan dan

atau pembenaran masyarakat terhadap kekuasaan tersebut, agar penguasa dapat

melaksanakan kekuasaannya secara sah. Dalam hal ini hegemoni maupun

dominasi merupakan suatu paksaan yang lebih menekankan pada aspek ekonomi

serta penggunaan kekuasaan negara untuk mendapat manfaat kesejahteraan.

Lebih lanjut, Weber membedakan tiga jenis dominasi yakni dominasi

karismatik, dominasi tradisional, dan dominasi legal rasional. 1) Dominasi

karismatik adalah dominasi yang keabsahannya didasarkan atas kepercayaan

bahwa pihak penguasa mempunyai kemampuan luar biasa. Sang penguasa

menjalankan kekuasaannya bukan atas dasar peraturan yang berlaku tetapi atas

dasar peraturan yang dibuat sendiri dan kesetiaan bawahan mentaati aturan

tersebut. 2) Dominasi tradisional, merupakan perkembangan dominasi kharismatik

Universitas Sumatera Utara

yang telah mengalami pergeseran. Dalam dominasi tradisional penguasa

menjalankan tradisi yang telah ditegakkan oleh pemimpin karismatik sebelumnya

dan legitimasi kepemimpinan didasarkan pada tradisi sebelumnya. Biasanya

dominasi demikian merupakan kelanjutan dominasi sebelumnya. 3). Dominasi

legal rasional kekuasaan pemimpin didasarkan atas aturan hukum yang dibuat

secara sengaja atas dasar pertimbangan rasional. Keabsahan penguasa didasarkan

pada hukum, pemimpin dipilih atas dasar hukum yang berdasarkan kriteria

tertentu, dan pemimpin wajib menjalankan kekuasaan berdasarkan aturan hukum

pula.

Konsep kekuasaan (politik) diupayakan sebagai suatu elaborasi dengan

menjadikan kekuasaan itu sebagai fenomena politik kekuasaan 8 . Untuk

memahami fenomena kekuasaan politik, Charles F Andrain dan Ramlan Surbakti

seperti yang dikutip oleh P. Anthonius Sitepu dapat ditinjau dari enam (6) dimensi

yaitu9:

1. Dimensi Potensial dan Aktual

Seseorang yang dipandang mempunyai kekuasaan potensial

apabila mempunyai atau memiliki sumber-sumber kekuasaan seperti

kekayaan, tanah, senjata, pengetahuan informasi, popularitas, status sosial

yang tinggi, massa yang terorganisir, dan jabatan. Sebaliknya seseorang

yang dipandang memiliki kekuasaan aktual apabila telah menggunakan

                                                            8 P. Anthonius Sitepu. 2012. Studi Ilmu Politik. Yogyakarta: Graha Ilmu. hal.130 9 P. Anthonius Sitepu. 2012. Teori-Teori Politik. Yogyakarta: Graha Ilmu. hal.54 

Universitas Sumatera Utara

sumber-sumber yang dimilikinya kedalam kegiatan-kegiatan politik secara

efektif.

2. Dimensi Konsensus dan Paksaan

Dalam menganalisis hubungan kekuasaan harus membedakan

kekuasaan yang berdasarkan paksaan dan kekuasaan yang berdasarkan

consensus. Para analisis politik yang lebih menekankan aspek konsensus

dari kekuasaan akan cenderung melihat elit politik sebagai orang yang

tengah berusaha menggunakan kekuasaan untuk mencapai tujuan

masyarakat secara keseluruhan. Sementara itu, apabila menekankan pada

aspek paksaan dari kekuasaan akan cenderung memandang politik sebagai

perjuangan, pertarungan, dominasi, dan konflik.

3. Dimensi Positif dan Negatif

Tujuan umum pemegang kekuasaan adalah untuk mendapatkan

ketaatan atau penyesuaian diri dari pihak yang dipengaruhi. Tujuan umum

ini dapat dikelompokkan menjadi dua aspek yang berbeda yakni, tujuan

positif dan negatif. Kekuasaan positif adalah penggunaan sumber-sumber

kekuasaan untuk mencapai tujuan yang dianggap penting dan diharuskan.

Sedangkan kekuasaan negatif adalah penggunaan sumber-sumber

kekuasaan untuk mencegah orang lain mencapai tujuan yang tidak hanya

dipandang tidak perlu akan tetapi juga merugikan pihaknya.

4. Dimensi Jabatan dan Pribadi

Universitas Sumatera Utara

Dalam masyarakat yang sudah maju dan mapan, kekuasaan

terkandung erat dalam jabatan-jabatan. Penggunaan kekuasaan yang

terkandung dalam jabatan secara efektif tergantung pada kualitas pribadi

yang dimiliki dan ditampilkan oleh setiap pribadi yang memegang jabatan.

Dalam masyarakat yang masih sederhana, struktur kekuasaan didasarkan

atas realitas pribadi lebih menonjol daripada kekuasaan yang terkandung

di dalam jabatan itu. Dalam hal ini, pemimpin yang melaksanakan

kekuasaan efektifitas kekuasaannya terutama berasal dari kualitas pribadi.

5. Dimensi Implisit dan Eksplisit

Kekuasaan implisit adalah kekuasaan yang tidak terlihat dengan

kasat mata akan tetapi dapat dirasakan. Sedangkan kekuasaan eksplisit

adalah pengaruh yang terlihat dan dapat dirasakan. Adanya kekuasaan

dimensi eksplisit, menimbulkan perhatian orang pada segi rumit hubungan

kekuasaan yang disebut dengan “azas memperkirakan reaksi dari pihak

lain”.

6. Dimensi Langsung dan Tidak Langsung

Kekuasaan langsung adalah penggunaan sumber-sumber kekuasaan

untuk mempengaruhi pembuat dan pelaksana keputusan politik dengan

melakukan hubungan secara langsung tanpa melalui perantara. Yang

termasuk dalam kategori sumber-sumber kekuasaan adalah sarana paksaan

fisik, kekayaan dan harta benda (ekonomi) normatif jabatan, keahlian,

status sosial popularitas pribadi, massa yang terorganisasi, senjata, penjara,

Universitas Sumatera Utara

kerja paksa, teknologi, aparat yang menggunakan senjata. Sedangkan

kekuasaan yang tidak langsung adalah penggunaan sumber-sumber

kekuasaan untuk mempengaruhi pembuat dan pelaksana keputusan politik

dengan melalui perantara pihak lain yang diperkirakan mempunyai

pengaruh yang lebih besar terhadap pembuat dan pelaksana keputusan

politik.

2. Teori dan Konsep Pembagian Kekuasaan

Dalam sebuah negara gagasan tentang pemisahan kekuasaan diasumsikan

sebagai suatu cara untuk menjadikan negara tidak berpusat pada satu tangan

(monarkhi) melainkan harus memiliki batasan-batasan kewenangan. Dalam hal ini

John Locke (1632-1704) mengemukakan gagasan tentang teori yang memisahkan

kekuasaan dari tiap-tiap negara kedalam tiga bagian antara lain yaitu Kekuasaan

Legislatif, yakni kekuasaan untuk membuat undang-undang, kekuasaan Eksekutif,

yakni kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang, kekuasaan Federatif, yakni

kekuasaan mengadakan perserikatan dan aliansi serta segala tindakan dengan

semua orang dan badan-badan luar negeri10. Pada dasarnya, dalam perspektif

pembagian kekuasaan John Locke lebih menginginkan pembagian kekuasaan

                                                            10 Moh. Mahfud MD. 2001. Dasar dan struktur ketatanegaraan Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta. hal. 72. 

Universitas Sumatera Utara

dalam arti sebagai sebuah konsistensi atas perlindungan terhadap hak-hak rakyat

dari kesewenang-wenangan penguasa11.

Menurut John Locke, ketiga kekuasaan ini harus dipisahkan satu dari yang

lainnya12. Sementara itu, dalam pandangan Montesquieu (1689-1755) dalam suatu

pemerintahan negara, ketiga jenis kekuasaan itu harus terpisah, baik mengenai

fungsi (tugas) maupun mengenai alat kelengkapan (organ) yang melaksanakan

yaitu :

1. Kekuasaan Legislatif dilaksanakan oleh suatu badan perwakilan rakyat

(parlemen). Isi ajaran Montesquieu ini adalah mengenai pemisahan

kekuasaan (the Separation of Power) yang dikenal dengan Istilah Trias

Politica istilah yang diberikan oleh Imanuel Kant. Keharusan pemisahan

kekuasaan negara menjadi tiga jenis itu adalah agar tindakan sewenang-

wenang oleh raja dapat dihindarkan.

2. Kekuasaan Eksekutif, dilaksanakan oleh pemerintah (presiden atau raja

dengan bantuan menteri-menteri atau kabinet).

3. Kekuasaan Yudikatif, dilaksanakan oleh badan peradilan (Mahkamah

Agung dan pengadilan dibawahnya) melainkan kekuasaan itu harus

terpisah13.

                                                            11 Samsul Wahidin. 2007. Dimensi Kekuasaan Negara Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. hal.16. 12 C.S.T Kansil. 2003. Sistem pemerintahan Indonesia. Jakarta: Bumi aksara. hal. 8 13 C.S.T Kansil. ibid. hal. 8-9 

Universitas Sumatera Utara

Montesqueiu terutama menekankan pemisahan kekuasaan pada lembaga

yudikatif, sebagai cerminan kebebasan Hak Asasi Manusia dan kemerdekaan

individu 14 . Selain itu, Montesqueiu juga mengatakan bahwa jika kekuasaan

legislatif dan eksekutif disatukan dalam sattu tangan atau pada satu badan, tidak

akan mungkin tercapai kemerdekaan dalam arti sebenarnya. Pembuat Undang-

Undang juga nantinya akan menjadi pelaksana. Dalam hal lain, juga akan terjadi

hal yang sama jika kekuasaan yudikatif tidak dipisahkan dari kekuasaan legislatif

dan eksekutif, dalam artian ketiga lembaga tersebut dilaksanakan oleh satu

lembaga. Oleh karena itu, Montesqiueu menegaskan bahwa tidak ada alternatif

lain, maka ketiga kekuasaan itu harus dipisahkan dan tidak terletak pada satu

lembaga15.

Terdapat persamaan dan perbedaan gagasan dalam upaya pembagian

kekuasaan dalam pemerintahan negara yang dikemukakan oleh John Locke dan

Montesqiueu. Persamaan keduanya yaitu dalam Kekuasaan Eksekutif sebagai

kekuasaan yang melaksanakan atau menjalankan undang-undang serta Kekuasaan

Legislatif sebagai lembaga yang membuat undang-undang. Sedangkan perbedaan

nya terlihat pada Kekuasaan Federatif seperti yang dikemukakan oleh John Locke

yaitu kekuasaan mengadakan perserikatan dan aliansi serta segala tindakan

dengan semua orang dan badan-badan luar negeri sedangkan Montesquieu

mengemukakan kekuasaan yudikatif yakni kekuasaan untuk mengadili dalam hal

                                                            14 Miriam Budiardjo. 1980. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.hal.152 15 Samsul Wahidin. ibid.hal.19 

Universitas Sumatera Utara

pelanggaran perundang-undangan, peraturan yang dibuat oleh pemerintah maupun

alat kelengkapan negara.

Gagasan yang dikemukakan oleh John Locke dan Montesquieu dalam

melihat kekuasaan eksekutif juga terdapat perbedaan. Dalam pandangan John

Locke perbedaan tersebut antara lain : Kekuasaan eksekutif juga mencakup

kekuasaan yudikatif karena mengadili itu berarti melaksanakan undang-undang,

sehingga kekuasaan federatif itu berdiri sendiri sedangkan bagi Montesqueiu,

kekuasaan eksekutif juga mencakup kekuasaan federatif karena melakukan

hubungan luar negeri, sementara kekuasaan yudikatif harus berdiri sendiri dan

terpisah dari kekuasaan eksekutif. Dengan pembagian kekuasaan yang terpisah

dalam 3 (tiga) bentuk lembaga pemerintahan tersebut, maka dalam pemerintahan

negara tidak terjadi tumpang tindih dan tindak kesewenang-wenangan sehingga

terjadi mekanisme check and balances (saling mengoreksi, saling mengimbangi).

Kekuasaan politik adalah kemampuan untuk mempengaruhi kebijaksanaan

umum atau pemerintah. Kekuasaan politik seperti yang dikemukakan oleh David

Easton merupakan satu-satunya bentuk kekuasaan yang memiliki daya paksa yang

sah kepada masyarakat secara luas dan ketundukan masyarakat akan terealisir

karena rakyat memiliki kepentingan untuk menutupi keterbatasannya 16 .

Disamping itu juga bentuk kekuasaan ini merupakan kekuasaan yang memiliki

                                                            16Deden Faturohman dan Wawan Sobari. 2004. Pengantar Ilmu Politik. Malang : UMM Press. hal.25 

Universitas Sumatera Utara

tujuan untuk mempengaruhi tindakan dan aktivitas negara di bidang eksekutif,

legislatif dan yudikatif yang melingkupi rakyat dalam koridor negaranya.

Dalam menjelaskan pola hubungan kekuasaan dapat dilihat dari beberapa

pendekatan yaitu bersifat asosiatif dan disosiatif. Sebagaimana yang dikutip oleh

Soerjono Soekanto17 dalam bukunya yang berjudul “Sosiologi Suatu Pengantar”

Gillin dan Gillin menyebutkan ada dua macam proses sosial yang muncul yaitu :

1. Proses yang asosiatif

Terbagi ke dalam tiga bentuk khusus yakni : Akomodasi dan

asimilasi. Namun untuk menjelaskan bagaimana hubungan kekuasaan

antara Pangulu dengan Maujana nagori menggunakan definisi

akomodasi. Akomodasi adalah suatu proses ke arah tercapainya

persepakatan sementara yang dapat diterima kedua belah pihak yang

tengah bersengketa18. Dalam proses kehidupan politik selalu diwarnai

dengan benturan dalam mewujudkan keinginan, dalam hal tersebut

membutuhkan akomodasi, dalam bukunya yang berjudul “Sosiologi

Suatu Pengantar” Soerjono Soekanto mengartikan akomodasi

merupakan suatu cara untuk menyelesaikan pertentangan tanpa

menghancurkan pihak lawan, sehingga lawan tidak kehilangan

kepribadiannya19.

                                                            17 Soerjono Soekanto.2000. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: RajaGrafindo Persada.hal.77 18J. Dwi Narwoko & Bagong Suyanto. 2004. Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta: Kencana. hal.57. 19Soerjono Soekanto.ibid.hal.3. 

Universitas Sumatera Utara

2. Proses yang Disosiatif

Terbagi menjadi dua bentuk yakni : persaingan, kontravensi dan

konflik atau pertentangan. Dalam menjelaskan relasi kekuasaan yang

terjadi antara Pangulu dan Maujana nagori menggunakan definisi

mengenai kontravensi. Kontravensi pada hakekatnya merupakan suatu

bentuk proses sosial yang berada antara persaingan dan pertentangan.

Dalam kontravensi dikandung usaha untuk merintangi pihak lain

mencapai tujuan 20 . Yang diutamakan dalam kontravensi adalah

menggagalkan tercapainya tujuan pihak lain yang didasari oleh rasa

tidak senang.

Hubungan antara Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa.

Pertama, hubungan dominasi artinya dalam melaksanakan hubungan tersebut

pihak pertama menguasai pihak kedua; kedua, hubungan sub koordinasi artinya

dalam melaksanakan hubungan tersebut pihak kedua menguasai pihak pertama,

atau pihak kedua dengan sengaja menempatkan diri tunduk pada kemauan pihak

pertama, Ketiga, hubungan kemitraan artinya pihak pertama dan kedua setingkat

dimana mereka bertumpu pada kepercayaan, kerjasama dan saling menghargai.

Kemudian untuk menjelaskan pola hubungan ekskutif dan legislatif,

Ichlasul Amal seperti yang dikutip oleh P. Anthonius Sitepu membagi dalam 3

(tiga) pola hubungan yakni : Pertama dominasi legislatif, Kedua Dominasi

                                                            20J. Dwi Narwoko & Bagong Suyanto.ibid. hal.70. 

Universitas Sumatera Utara

Legislatif, dan Ketiga Hubungan yang seimbang antara ekskutif dan legislatif21.

Dari ketiga pola yang telah disebutkan diatas akan dapat disimpulkan pola

hubungan yang terjalin dalam pengelolaan Pemerintahan Desa. Pangulu sebagai

kekuasaan eksekutif dan Maujana nagori sebagai kekuasaan legislatif dalam

Pemerintahan Desa. Dari pola hubungan tersebut akan dapat disimpulkan

hubungan kedua pihak yakni hubungan yang asosiatif atau

kontravensi(kontradiktif).

F. Penelitian Sebelumnya

Penelitian yang pernah dilakukan terkait dengan kekuasaan dalam

Pemerintahan Desa, diantaranya dilakukan oleh Heru Kurnia (2011), yang

meneliti tentang Analisis Relasi Kekuasaan Dalam Pemerintahan Desa, hasilnya

menunjukkan bahwa dimungkinkan terwujudnya kompromi diantara sumber-

sumber kekuasaan. Kepala Desa bersekongkol dengan para perangkat desa dan

pihak BPD memanipulasi alokasi dana desa (ADD). Serta lemahnya akuntabilitas

pemerintah desa dalam mengolah Alokasi Dana Desa.

Partisipasi dan keterlibatan masyarakat desa tidak terlihat dalam

melakukan kritik secara keras maupun tindakan-tindakan protes terhadap kepala

desa dan Badan Permusyawaratan Desa. Relasi kekuasaan dalam pemerintah desa

bersifat sentralistik, dan sosial budaya masyarakat secara sosioligis masih

menerapkan prinsip-prinsip lama. Kekuasaan dalam pembuatan kebijakan terpusat

                                                            21 P. Anthonius Sitepu.ibid. hal.145. 

Universitas Sumatera Utara

pada satu orang yaitu Kepala Desa. Elemen-elemen lain yang ada didesa tidak

mempunyai kekuasaan yang signifikan dalam penentuan kebijakan-kebijakan

desa.

Pola relasi kekuasaan yang terbangun dalam Pemerintahan Desa tidak

sesuai dengan mekanisme yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan.

Pemerintahan di tingkat desa dalam aplikasinya tidak dijalankan sesuai dengan

peraturan yang berlaku yang ada hanya tulisan belaka. (Dikutip dari skripsi Heru

Kurnia, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik USU, 2011).

G. Metodologi Penelitian

1. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan untuk menjawab penelitian ini adalah

metode penelitian deskriptif. Dalam buku Metodologi Penelitian karya Narbuko

dan Ahmadi menjelaskan bahwa penelitian deskriptif sebagai penelitian yang

berusaha menuturkan pemecahan masalah yang ada sekarang berdasarkan data-

data, menyajikan data, menganalisis dan menginterpretasi dan juga bersifat

komperatif dan korelatif22.

2. Lokasi Penelitian

Pelaksanaan penelitian ini diadakan di Nagori Simattin, Kecamatan

Pamatang Sidamanik, Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara.

3. Jenis Penelitian                                                             22 Cholid Narbuko dan Abu Achmadi. 1997. Metodologi Penelitian. Jakarta: Bumi Aksara.hal.44. 

Universitas Sumatera Utara

Penelitian ini bersifat kualitatif dengan metode deskriptif analitis. Dengan

metode kualitatif, selain untuk mengungkap dan memahami sesuatu hal yang baru

dan sedikit diketahui, metode kualitatif juga akan memberikan rincian tentang

suatu fenomena yang sulit diungkap oleh penelitian kuantitatif 23 . Penelitian

kualitatif dalam analisis relasi kekuasaan dalam pengelolaan Pemerintahan Desa

berkepentingan untuk mendeskripsikan hubungan yang terjadi antara Pangulu dan

Maujana nagori dalam pengelolaan Pemerintahan Desa.

Dalam hal ini peneliti menggunakan metode purposive sampling yaitu

pengambilan sampel yang disesuaikan dengan tujuan dan syarat tertentu yang

ditetapkan berdasarkan tujuan dan masalah penelitian24. Oleh karena penelitian ini

menggunakan metode kualitatif maka peneliti membutuhkan informan kunci (key

informan).

Key informan yang dipilih yaitu Pangulu, Maujana nagori, dan perangkat

nagori serta tokoh masyarakat dengan daftar pertanyaan yang telah disusun

sebelumnya. Peneliti akan melaksanakan wawancara secara langsung dan bertemu

dengan informan yang dianggap dapat memberikan informasi mengenai judul

penelitian. Pihak-pihak yang diwawancarai dilibatkan dalam penggalian data

sebagai informan dengan tujuan agar memperoleh informasi yang tersaring tingkat

akurasinya sehingga keseimbangan informasi dapat diperoleh.

                                                            23 Ansem Strauss dan Juliet Corbin. 2003. Dasar-dasar Penelitian Kualitatif, Tata Langkah dan Teknik-Teknik Teorisasi Data.Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal.5. 24 Nawawi Hadari.1987. Metode Penelitian Sosial. Yogyakarta : Gajah Mada Press.hal.157. 

Universitas Sumatera Utara

4. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan

data primer dan data sekunder.

a. Data primer yaitu data yang diambil dari sumber data primer atau sumber

pertama dilapangan 25 . Dilaksanakan dengan metode wawancara

mendalam (indepth-interview) yang dipandu dengan oleh pedoman

wawancara. Dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan secara langsung

dan terbuka kepada informan atau pihak yang berhubungan dan memiliki

relevansi terhadap masalah yang berhubungan dengan penelitian.

b. Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari sumber kedua atau sumber

sekunder 26 . Data diperoleh dari literatur yang relevan dengan judul

penelitian seperti buku-buku, jurnal, artikel, makalah, undang-undang,

peraturan-peraturan, internet serta sumber-sumber lain yang dapat

memberikan informasi mengenai judul penelitian.

5. Teknik Analisa Data

Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisa

deskriptif kualitatif. Penelitian ini merupakan penelitian yang menggunakan data-

data primer dan data-data sekunder. Analisa data kualitatif memberikan hasil

penelitian untuk memperoleh gambaran terhadap proses yang diteliti dan juga

                                                            25 Burhan Bungin.2001. Metodologi Penelitian Sosial: Format-format Kuantitatif dan Kualitatif. Surabaya: Airlangga University Press.hal. 128 26 Burhan Bungin. ibid.hal.128 

Universitas Sumatera Utara

menganalisis makna yang ada dibalik informasi, data dan proses tersebut 27 .

Metode ini sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa

hasil wawancara dari para narasumber maupun data-data tertulis. Data hasil

wawancara akan diuraikan melalui petikan wawancara dengan masing-masing

informan.

Setelah data-data primer dan data-data sekunder terkumpul kemudian

dilanjutkan dengan menganalisis data secara deskriptif berdasarkan fenomena

yang terjadi di lapangan yakni data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan

informan. Hal ini penting dilakukan agar diperoleh kejelasan atas permasalahan

yang telah dirumuskan sebelumnya. Kemudian dilakukan penarikan kesimpulan

dari hasil penelitian.

H. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan merupakan penjabaran rencana penulisan untuk

lebih mempermudah dan terarah dalam penulisan karya ilmiah. Agar

mendapatkan gambaran yang jelas dan terperinci, maka penulis membagi

penulisan skripsi ini kedalam 4 (empat) bab. Adapun susunan sistematika

penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

                                                            27 Burhan Bungin. 2009. Penelitian Kualitatif : Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana, hal.153. 

Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN

Pada Bab I terdiri dari Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah,

Tujuan Penelitian, Signifikansi Penelitian, Kerangka Teori,

Penelitian Sebelumnya, Metodologi Penelitian dan Sistematika

Penulisan.

BAB II DESKRIPSI SINGKAT OBJEK PENELITIAN

Dalam Bab II akan mendeskripsikan Deskripsi Kabupaten

Simalungun, Desa dan Pemerintahan Desa, Peraturan Desa, Nagori

SImattin, Struktur Organisasi Pemerintahan Nagori Simattin,

Badan Permusyawaratan Desa (Untuk Kabupaten Simalungun

disebut Maujana nagori), Konfigurasi Politik Nagori Simattin.

BAB III RELASI KEKUASAAN DALAM PEMERINTAHAN DESA

Pada Bab III ini akan menyajikan hasil penelitian mengenai Fase

Historis Pengaturan Hubungan antara Kepala Desa dengan Badan

Permusyawaratan Desa, Permasalahan antara Pangulu dengan

Maujana nagori dalam Pengelolaan Pemerintahan Nagori di Nagori

Simattin, Eksekutif Desa dalam Pemerintahan Nagori, Legislatif

Desa dalam Pemerintahan Nagori, Relasi Kekuasaan Pangulu dan

Maujana nagori dalam Pengelolaan Pemerintahan Nagori, Pola

relasi kekuasaan antara Pangulu dengan Maujana nagori.

Universitas Sumatera Utara

BAB IV PENUTUP

Pada Bab IV berisi kesimpulan yang diperoleh hasil pembahasan

pada bab-bab sebelumnya.

 

Universitas Sumatera Utara