anak usaha kompas gramedia telantarkan karyawan

Upload: desy-era

Post on 11-Jul-2015

135 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Anak Usaha Kompas Gramedia Telantarkan KaryawanPosted on | February 7, 2011 | 7 Comments

Rilis Pers PFI Salah satu anak perusahan Kompas Gramedia kembali menelantarkan karyawannya. Praktek kesewenang-wenangan itu kali ini dialami oleh lima karyawannya yang bekerja pada Tabloid Gaya Hidup Sehat. Setidaknya terdapat empat pelanggaran yang dilakukan oleh pihak manajemen, yakni: pelanggaran terhadap UU Perburuhan berupa PHK sepihak, praktek kriminalisasi dan pelanggaran HAM berupa perampasan hak/ penahanan gaji serta pelanggaran etika jurnalistik dengan menghapus nama dari boks redaksi di tabloid dan menggunakan karya fotografi tanpa keterangan yang jelas. Kelima karyawan yang menjadi korban adalah Anton Bayu Samudra (pewarta foto), Suharso Rahman Soejitno (pewarta foto), Swastyastika Padma (Sekretaris Redaksi), FX.Suharno (Dokumentasi Naskah/ Foto dan Perpustakaan), dan Arif Sutristanto (Ilustrator). Mereka dipaksa mundur oleh PT Rakentindo Primamedia Mandiri (anak usaha Kompas Gramedia yang mengelola redaksi tabloid Gaya Hidup Sehat) dengan alasan kerugian yang dialami selama lebih dari 12 tahun beroperasi. Namun alasan tersebut nyatanya tidak didukung dengan bukti laporan keuangan yang memadai. Modus PHK dilakukan dengan mewajibkan test psikologi terhadap 11 karyawan tabloid GHS. Test yang digelar pada tanggal 26 Oktober 2010 itu dijelaskan pihak manajemen sebagai bentuk assesment guna keperluan evaluasi kinerja para karyawan. Hasil test keluar tanggal 1 Desember 2010 , menyatakan bahwa lima karyawan diantaranya tetap dipertahankan dan sisanya diminta mengundurkan diri. Empat diantara lima karyawan yang diminta mengundurkan diri merupakan pekerja visual,termasuk 2 orang pewarta foto. Anehnya, saat yang bersamaan Kompas Gramedia kembali membuka sejumlah lowongan untuk posisi pewarta foto. Penyelesaian kasus ini mulanya sempat dilakukan secara bipartit antara menejemen dengan para karyawan. Namun hingga kini belum menemukan kata sepakat: para karyawan tetap dalam posisi mempertanyakan alasan PHK, adapun menejemen berkukuh tidak mengakui status

karyawan kelima karyawan tersebut. Bahkan perusahaan hingga kini menahan gaji mereka sejak bulan Januari hingga sekarang. Tindakan PHK sepihak ini tentu bertentangan dengan UU Ketenagakerjaan karena sengketa hubungan industrial tidak bisa dieksekusi sebelum adanya persetujuan kedua belah pihak. Tidak hanya itu. Pihak perusahaan juga melecehkan profesi pewarta foto dengan mengeliminasi identitas karya jurnalisitik yang terus mereka komodifikasi. Aksi sepihak tersebut terjadi setelah General Manager Editorial SHM Arief Kurniawan mengeluarkan surat pemberitahuan penghilangan nama mereka dari boks redaksi pengasuh tabloid GHS. Praktek tersebut jelas merupakan bentuk pelanggaran terhadap UU Pers khususnya pada pasal 12 yang menyebut bahwa: Pengumuman (pencantuman nama di kolom boks redaksi) tersebut dimaksud sebagai wujud pertanggungjawaban atas karya jurnalistik yang diterbitkan atau disiarkan. Belakangan memang dua dari lima karyawan menerima tawaran pesangon, yaitu FX.Suharno (Dokumentasi Naskah/Foto dan Perpustakaan ) dan Arif Sutrisno (Ilustrator ). Namun kasus yang dialami oleh para karyawan tersebut semakin memperlihatkan maraknya praktek konglomerasi diranah industri media. Para pengusaha kini tampak semakin ganas melebarkan sayap bisnis mereka tanpa mau memperdulikan apa yang menjadi hak para karyawan, merampas hak hidup seseorang dengan menahan gaji dan mengabaikan aspek hukum dalam dalam menjalankan roda bisnisnya. Karena itu kami menyatakan sikap: 1.Mengecam keras kasus pelecehan profesi jurnalis dan kriminalisasi pekerja pers ini. 2.Mengutuk arogansi sikap manajemen Kompas Gramedia yang melakukan PHK secara sepihak dan bertentangan dengan UU tenaga kerja 3.Mengutuk pelecehan profesi Pewarta Foto yang dilakukan Grup Kompas Gramedia dalam kasus ini. 4.Menuntut Kompas Gramedia menghormati etika jurnalistik, hak karyawan dan mengedepankan kebebasan pers diatas kepentingan bisnis. 5. Mendesak Kompas Gramedia membatalkan PHK atas Anton, Tika dan Harso. Jakarta, 7 Februari 2011HOME MALANG RAYA

Larang Tan Malaka, Polisi Langgar UU Pers

Rabu, 12 Januari 2011 | 07:47 WIB Dibaca: 302

BATU | SURYA- Pelarangan penayangan video opera Tan Malaka karya Goenawan Mohamad dan Tony Prabowo di Batu TV oleh aparat keamanan Kota Batu menuai kecaman dari Aliansi Juranlistik Independen (AJI) Malang.

AJI Malang, menilai pelarangan itu mencerminkan ketidak-pahaman aparat kepolisian terhadap sejarah bangsa Indonesia sendiri. Tan Malaka itu sendiri adalah pahlawan, yang diberi gelar pahlawan oleh Soekarno. Meskipun dalam pergerakannya dia memiliki paham komunis, tetapi dia bukanlah orang komunis fundamentalis seperti Muso dan Aidit. Jadi apa yang ditakutkan, ujar Abdi Purnomo, Ketua AJI Malang, Selasa (11/1). Menurutnya, pelarangan langsung maupun tidak langsung terhadap media yang akan menyiarkannya adalah pelanggaran terhadap kebebasan pers seperti yang diatur dalam UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Kita tidak hidup di zaman Orde Baru lagi, kenapa ini tidak dijadikan pembelajaran berdemokrasi. Kami minta aparat menonton dulu, tayangannya itu baru bisa menyimpulkan apakah itu membahayakan stabilitas nasional masyarakat, pintanya. Sejauh ini, penanyangan video opera Tan Malaka produksi Tempo TV tidak pernah menemui masalah. Selain Jakarta, sudah ada delapan stasiun tv lokal yang menanyangkannya. Sementara dua televisi lokal gagal menayangkan yakni Batu TV dan KSTV Kediri. Sementara itu Kapolres Batu, AKBP Gatot Soegeng Soesanto, menilai video itu bernuansa ajaran komunis karena latar belakang Tan Malaka yang disebutnya memiliki pandangan politik komunis. Namun, Gatot mengaku tidak melarang penayangan itu, pihaknya datang menanyakan rencana Batu TV saja dan kebetulan Batu TV sendiri memutuskan untuk tidak menayangkannya. Videonya itu saja belum diedit dan oleh pihak Batu TV sendiri memang tak ditayangkan, tandasnya.nrea

Wednesday, 19 May 2010 17:12 Pers: Kapolri jangan kekang kami! Warta TIM WASPADA ONLINE (Waspada Online/Muhammad Muharram Lubis) MEDAN/JAKARTA - Yang berkaitan dengan Susno Duadji, jangan diteruskan beritanya. Jangan terlalu diekspos dan dibesar-besarkan beritanya.

Biarkan proses hukum yang berjalan. Tegakan dulu hukum berjalan. Itulah pernyataan Kapolri, Jenderal Bambang Hendarso Danuri kepada wartawan, baru-baru ini, yang disampaikan dengan nada serius dan tegas sebagai permintaan khusus agar media tidak memberitakan tentang perkembangan kasus yang melibatkan Susno, mantan Kabareskrim Mabes Polri, yang saat ini ditahan di Mako Brimob di Kelapa Dua, Depok. Menanggapi pernyataan itu, kalangan pers dan media di Indonesia memberikan sikap atas yang cukup keras. Mereka menilai bahwa itu merupakan pelanggaran terhadap UU Pers oleh Kapolri. Salah satunya dari pemimpin redaksi SCTV, Don Bosco Selamun, yang tegas mengatakan bahwa Kapolri tidak berhak melakukan larangan atau menghalangi tugas jurnalistik. "Para pejabat, termasuk Kapolri, harus hati-hati kalau bicara. Jangan seperti itu, karena ini era demokrasi dan tidak ada yang bisa mengekang kebebasan pers untuk memberitakan suatu masalah, selama pemberitaaannya berimbang," katanya kepada Waspada Online, malam ini "Kasus (Susno) ini kasus yang menarik dan mengundang perhatian masyarakat, sehingga menyebabkan publik ingin tahu hasil akhir kasus ini. Jadi sudah merupakan kewajiban kami di media untuk tetap mengekspos kasus ini," kata Don Bosco, yang juga mantan pemimpin redaksi Metro TV ini. Namun, menurutnya, situasi ini kembali lagi pada pihak media itu sendiri untuk bisa memilah berita mana yang pantas untuk dipublish. "Karena kita sangat bergantung pada nilai berita. Kalau nilai beritanya ada dan beritanya bagus seperti kasus Susno ini, sangatlah layak diekspos," tegasnya lagi. Ahmad Khusaeni, anggota dewan kehormatan PWI Jaya, melontarkan nada serupa meski menurutnya, apa yang dikatakan oleh Kapolri wajar dan sah-sah saja. Namun, Khusaeni mengingatkan bahwa siapapun tidak bisa melarang atau menghambat kinerja pers selama sesuai dengan kaedah atau aturan yang berlaku. Pers mengabdi kepada publik, bukan Kapolri, tegasnya kepada Waspada Online. Dia menghimbau, pers harus terus memberitakan kepada khalayak ramai tentang sesuatu hal yang dianggap telah menyimpang dari rasa keadilan dan kebenaran. Pers mempunyai harkat dan martabat dalam upaya sosial kontrol untuk memberikan kritik pada penguasa. Media massa harus tetap menggonggong terhadap penyimpangan yang mencederai rasa keadilan dan kebenaran karena pemberitaan pers merupakan warning system, nilainya. Sebab, katanya lagi, apa yang disajikan oleh pers merupakan bentuk pelayanan pers terhadap kebutuhan dan hak publik dalam memperoleh informasi dan berita. Wakil Pemimpin Redaksi kantor berita nasional ini juga mengatakan, pada prinsipnya pers harus berpijak dan mengabdi pada kepentingan publik, bukan kepentingan elit atau pejabat. Dan kemudian juga, lanjutnya, pers harus berpijak pada kebenaran dalam menginformasikannya kepada rakyat.

Pers tidak bisa dibungkam oleh siapapun, jika ini terjadi maka setengah tiang bagi pers tegasnya. Sementara itu, pemimpin redaksi RCTI, Arief Suditomo, enggan berkomentar jika terkait suatu bentuk pengekangan terhadap kebebasan pers. Dia menilai pernyataan Kapolri hanya sebatas dalam konteks himbauan, dan semua kembali kepada pers. Wajar saja Kapolri menghimbau. Semua kembali ke pers secara proporsional, katanya singkat. Di Medan, pemimpin redaksi dan wakil pemimpin umum Waspada Online, Avian Tumengkol, menilai bahwa pernyataan mantan Kapolda Sumatera Utara itu sangat tidak pantas diucapkan. "Seharusnya BHD bisa lebih bijak dalam memberikan pernyataan, khususnya kepada pers. Saya kira Kapolri sudah melewati batas kewajaran karena tidak menutup kemungkinan pernyataan itu melanggar UU Pers," katanya. Menurut Avian, kondisi seperti ini bisa saja terjadi di era Orde Baru, dimana pers sangat dikekang dan dibatasi kebebasannya dalam mendisiminasi informasi kepada publik. "Dalam era informasi dan teknologi seperti sekarang, pernyataan seperti itu bisa mengakibatkan pelanggaran hukum. Dan pasti banyak kalangan pers yang tersinggung, khususnya media-media yang independen dan melawan kultur dimana penguasa bisa mempengaruhi media itu," tegas Avian. "Ada baiknya Kapolri memberikan keterangan yang lebih bersahabat kepada publik, khususnya media, supaya nantinya tidak berakibat panjang. Sikap arogan seperti itu sangat kental dengan gaya dictatorship. Ini bisa bahaya," Avian mengatakan. Ketua Persatuan Wartawan Indonesia Sumatera Utara (PWI Sumut), Muhammad Syahrir, menilai bahwa apa yang diucapkan oleh Kapolri merupakan sebuah tindakan pembungkaman terhadap media. Kapolri telah melakukan pelanggaran terhadap Undang-undang Pers, karena apa yang dikatakan merupakan tindakan yang menghalang-halangi kegiatan jurnalistik dalam rangka memberitakan suatu peristiwa dan informasi kepada publik," tegas Syahrir, kepada Waspada Online, malam ini. Padahal, menurut Syahrir mengingatkan, sebelumnya Kapolri pernah mengatakan kepada pres agar selalu memberitakan sebuah kasus. "Tapi sekarang kenapa dalam kasus ini (Susno, red) Kapolri justru minta pers untuk menutup-nutupi?" kata pemimpin redaksi Harian Realitas ini, menyesal. BHD harus menjelaskan secara rinci, Syahrir melanjutkan, kepada kalangan media alasan yang mendasarinya untuk memberikan menyatakan pernyataan seperti yang intimidatif itu. Media harus tetap memberitakan kasus terkait Susno, namun tetap menjunjungtinggi kode etik jurnalistik yang ada. "Banyak pelanggaran yang dilakukan Polri dalam pemeriksaan kasus Susno, salah satunya pelanggaran HAM. Kapolri tidak punya kewenangan untuk membatasi kinerja jurnalis, karena

Kapolri bukanlah atasan kita (pers), tegasnya. Nada serupa juga dilontarkan oleh Dedy Ardiansyah, pemimpin redaksi Harian Global, yang mengatakan bahwa media sudah mempunyai tahapan yang tak tak perlu dibatasi. "Apalagi dengan alasan pembatasan agar proses pemeriksaan bisa berjalan lancar seperti yang diucapkan Kapolri. Karena semakin pers dibatasi, kami semakin curiga," kata Dedy. "Apa yang ditakutkan dari pemberitaan tentang Susno? Media punya mekanisme kerja, tidak sembarang dalam memberitakan suatu kejadian, apalagi kasus seperti Susno. Justru saya curiga kenapa Kapolri membatasi dan melarang media. Ada apa? Ada maksud apa dibalik itu?" sesal Dedy menyayangkan pernyataan Kapolri itu. Dalam kasus Susno, menurutnya, sudah menjadi sorotan publik dan masyarakat luas di Indonesia, termasuk di luar negeri. Diharapkan, dalam pemberitaan kasus Susno jangan dibatasi hanya sekedar antara Kapolri dengan Susno, tapi lebih kepada perbaikan reformasi. "Apalagi ada temuan PPATK yang menemukan rekening mencurigakan para petinggi Polri. Pokoknya pelarangan terhadap media tidak disetujui. Itu harus dilarang. Kita sangat menyesal Kapolri memberikan pernyataan seperti itu," kata Dedy. Wakil pemimpin redaksi Harian Waspada, Sofyan Harahap, juga memberikan tanggapan keras. "Kapolri sama sekali tidak berhak untuk melarang-larang media karena sudah kewajiban pers untuk memberitakan peristiwa-peristiwa dan informasi penting yang kepada publik," katanya. "Media jangan pedulikan pernyataan Kapolri. Media harus terus mem-blow up kasus ini (Susno) sampai terungkap, termasuk siapa orang-orang yang terlibat didalamnya," tegas Sofyan yang juga staf pengajar di Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi "Pembangunan Medan. Media, menurutnya, juga harus memberitakan tentang pembungkaman yang selama ini dilakukan oleh Polri terhadap Susno. "Jadi sama sekali tidak ada hak bagi Kapolri untuk melarang media seperti itu. Kalau dia merasa keberatan, silahkan pakai hak jawab. Yang jelas, kalau Kapolri melarang kami, berarti dia melakukan pelanggaran terhadap UU Pers," Sofyan menegaskan lagi. Sementara itu, menteri komunikasi dan informatika, Tifatul Sembiring, justru biasa-biasa saja, bahkan dingin dalam menanggapi pernyataan BHD. Memangnya Menkominfo itu tugasnya hanya untuk mengomentari pernyataan pejabat saja. Itu urusan Kapolri bukan saya, kata pejabat muda asal Sumatera Utara itu, kepada Waspada Online, dengan nada marah.(dat04/wol-mdn)

Kontributor TV One Polisikan Karyawan PT Adira Finance

Samsul Choiri, Kontributor TV One Situbondo Situbondo, (1titik.com) Kisruh, dan ricuh di Kantor PT Adira Finance di Jl Basuki Rahmat, Kelurahan Mimbaan, Kecamatan Panji, Situbondo, Jawa Timur, membawa korban wartawan televisi, Rabu (13/4/2011) siang. Karyawan PT Adira Finance, berusaha menghalang halangi sejumlah wartawan Televisi, dan Elektronik yang berusaha meliput aksi warga di Kantor PT Adira Finance, yang sedang mengamuk itu. Wartawan tetap memaksa karena serbuan massa warga itu merupakan aksi balasan warga terhadap aksi premanisme debt collector PT Adira Finance, yang main rampas kendaraan bermotor di jalan raya. Wartawan media cetak, elektronik, dan televise berusaha diusir. Bahkan saat mengambil gambar wartawan dihalang halangi. Merasa tugasnya yang dijamin UU No 40 tahun 1999, tentang UU Pokok Pers, dan dihalang halangi wartawan tak gentar. Mereka terus saja melakukan liputan. Tetapi, karyawan PT Adira Finance, malah tidak bisa mengendalikan diri. Salah seorang karyawan PT Adira Finance, dengan emosi merampas kamera reporter TV One, Samsul Choiri bahkan kameranya dirusak. Akibat keributan itu pelayanan nasabah PT Adira Finance, jelas terhenti. Sementara itu aksi warga tidak berlanjut anarkis karena sepeda motor milik Deny warga Desa Kilensari, Kecamatan Panarukan itu akhirnya dikembalikan oleh PT Adira Finance. Tetapi, yang berlanjut malah kasus perusakan karyawan PT Adira Finance. Menurut rencana wartawan TV One, Situbondo, Samsul Choiri akan melaporkan kasus perusakan itu kepada Kepolisian setempat. GIT

Membatalkan Pasal Pembredelan terhadap PersSenin, 06 Juli 2009 | 12:30 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta -Masyarakat luas, dan pers pada khususnya, kini boleh merasa lega. Mahkamah Konstitusi kemarin (3 Juli 2009) telah mengabulkan permohonan uji materi (judicial review) terhadap Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, perihal pelarangan penyiaran berita selama masa tenang, serta sanksi pembredelan terhadap media massa yang melakukan pelanggaran. Dalam putusannya, Mahkamah menyatakan pasal dan ayat yang terkait dengan pelarangan pemberitaan, berikut sanksi dalam UndangUndang Pemilu Presiden itu, bertentangan dengan UUD 1945, serta tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Permohonan judicial review yang diajukan oleh lima media nasional (The Jakarta Post, Tempo, Koran Tempo, Jurnal Nasional, Viva News, Radio KBR 68H, dan Radio VHR) menilai UU Pemilu Presiden tersebut sangat represif. Misalnya pada pasal 47 ayat 5, yang menyebutkan: Media massa cetak dan lembaga penyiaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selama masa tenang dilarang menyiarkan berita, iklan, rekam jejak Pasangan Calon, atau bentuk lainnya yang mengarah kepada kepentingan Kampanye yang menguntungkan atau merugikan Pasangan Calon. Beberapa pasal yang termaktub dalam UU Pemilu Presiden tersebut dinilai sebagai bagian yang menghambat, membelenggu, dan mengancam kebebasan pers dalam mencari, memperoleh, serta menyebarluaskan gagasan dan informasi kepada masyarakat. Apalagi disertai ancaman hukuman yang sangat berat, yakni hingga pada pencabutan izin penerbitan atau penyiaran bagi mereka yang melakukan pelanggaran, sebagaimana yang tertulis dalam Pasal 57 ayat 1 Undang-Undang Pemilu Presiden. Disebutkan dalam pasal itu, Sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (2) dapat berupa: a. teguran tertulis; b penghentian sementara mata acara yang bermasalah; c. pengurangan durasi dan waktu pemberitaan, penyiaran, dan iklan Kampanye; d. denda; e. pembekuan kegiatan pemberitaan, penyiaran, dan iklan Kampanye untuk waktu tertentu; atau f. pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran atau pencabutan izin penerbitan media massa cetak. Pelarangan menyiarkan berita berikut sanksinya seperti ini, sekalipun pada masa tenang pemilu presiden, tentu bertentangan dengan semangat demokrasi. Hak masyarakat untuk mendapatkan informasi, yang merupakan bagian dari hak asasi manusia, yang jelas-jelas dijamin oleh Undangundang Dasar benar-benar, seperti telah dinafikan. Karena itu, pelarangan terhadap penyiaran berita bertentangan dengan Konstitusi Pasal 28-F: Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi guna mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Hal itu diperkuat lagi oleh Undang-Undang No. 40/1999, Pasal 4 ayat 2 tentang Pers: Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, dan pelarangan penyiaran.

Pers atau media massa yang memiliki kebebasan dalam mencari, memperoleh, mengolah, serta menyebarluaskan gagasan dan informasi kepada masyarakat, merupakan bagian dari hak asasi manusia yang juga dijamin oleh Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor XVII/MPR/1998 tentang hak asasi manusia, bahwa setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi sejalan dengan Piagam Bangsa-Bangsa tentang Hak Asasi Manusia Pasal 19, yang berbunyi: Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan dan untuk mencari, dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas wilayah. Dengan adanya jaminan perlindungan terhadap kebebasan pers oleh Konstitusi, ketetapan MPR, serta Deklarasi Hak Asasi Manusia, seharusnya tidak ada lagi aturan hukum maupun perundangundangan lainnya yang dapat membatasi, menghambat, dan mengancam kebebasan pers. Dan putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan pasal pelarangan berita selama masa tenang pada pemilihan presiden dan wakil presiden, serta membatalkan sanksi pembredelan terhadap pers (UU No. 42/2008), sangatlah tepat. Sinkronisasi dan harmonisasi perundang-undangan Hasil produk legislasi yang dibuat oleh DPR dan pemerintah acap kali menimbulkan kontroversi ketika diundangkan. Hal ini akibat kurangnya pelibatan masyarakat dan kelompok masyarakat dalam penyusunan undang-undang. Dan juga sering kali undang-undang yang disusun, ketika diberlakukan, ternyata dalam pelaksanaannya tumpang-tindih atau tidak sinkron dengan undangundang yang lain. Bahkan saling bertentangan. Ini menunjukkan betapa pembuat undang-undang tampak tidak memperhatikan aturan hukum yang lain yang sudah dihasilkan lebih dahulu. Dalam UU No. 42/2008 tentang Pemilu Presiden, terhadap pasal yang diujimaterikan, misalnya, terdapat ketentuan pasal yang menyamaratakan antara lembaga penyiaran dan media cetak, padahal terdapat perbedaan mendasar antara lembaga penyiaran yang diatur oleh UU No. 32/2002 dan media cetak yang diatur dalam UU No. 40/1999, yaitu bahwa media yang berupa lembaga penyiaran yang menggunakan spektrum udara (domain publik) yang terbatas memerlukan perizinan yang melibatkan Menteri Komunikasi dan Informatika serta KPI. Sedangkan bagi media massa cetak, sudah tidak lagi diperlukan perizinan dari instansi mana pun. Karena itu, pengaturan dalam suatu undang-undang yang cenderung menggeneralisasi kedua institusi pers tersebut sangat tidak tepat dan dapat menimbulkan berbagai kerancuan dalam tafsir dan penerapannya. Contoh kerancuan hukum akibat generalisasi terhadap kedua lembaga itu, misalnya, dalam Undang-Undang Pers (UU No. 40/1999) dinyatakan Dewan Pers tidak memiliki kewenangan untuk mencabut izin penerbitan media cetak, sementara dalam Undang-Undang Pemilu Presiden (UU No. 42/2008) tertulis Dewan Pers dan KPI diberi kewenangan mencabut izin penyelenggaraan penyiaran dan media cetak. Dengan lahirnya UU No. 40/1999 tentang Pers, di Indonesia ini tidak dikenal lagi adanya penyensoran, pembredelan, dan pelarangan penyiaran, namun terhadap pasal yang diujimaterikan terdapat sanksi pelanggaran berupa pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran atau pencabutan izin penerbitan media massa cetak (Pasal 57 ayat 1).

Dengan adanya putusan Mahkamah, putusan MK bisa dijadikan yurisprudensi bagi DPR dan pemerintah dalam setiap menyusun regulasi/ undang-undang untuk memperhatikan dan mempertimbangkan sinkronisasi serta harmonisasi antara satu undang-undang dan lainnya sehingga tidak ada pertentangan antara satu undang-undang dan undang-udang lainnya. Hendrayana, Direktur Eksekutif LBH Pers SINOPSIS Arok Dedes menceritakan sejarah perlawanan dan pemberontakan Ken Arok terhadap pemerintahan akuwu Tumampel, Tunggul Ametung. Dalam buku ini, Pram secara jelas mengungkap kondisi sosial politik pada masa itu. Novel ini mencoba memberikan suatu perspektif baru terhadap sejarah dengan menggambarkan Ken Arok bukan hanya seorang berandalan pemberontak ,seperti yang banyak dikatakan buku pelajaran sejarah, tetapi disini diceritakan bahwa Ken Arok adalah seorang pemimpin rakyat yang tidak puas dengan pemerintahan yang menindas. Novel ini juga menggambarkan kondisi pemberontakan yang terjadi di dalam suatu negara atau kerajaan yang sarat dengan intrik politik.

Arok Dedes; Rebutan Kuasa Kaum AgamawanPublished on September 16, 2009 by Dudi Rustandi 2 Komentar Oleh DUDI RUSTANDI

Judul Buku : Arok Dedes Penulis : Pramoedya Ananta Toer Penerbit : Lentera Dipantara, April 2009 Tebal : xiii + 561 halaman Sunan Gunung Djati-Siapa yang tak kenal Pram, sapaan akrab Pramoedya Ananta Toer, seorang Novelis Besar yang dihargai dunia namun diasingkan di negeri sendiri. Seorang Pembela Islam namun dituduh Komunis, yang karyanya telah diterjemahkan ke lebih 70 bahasa dunia.

Melalui karya Arok Dedes yang banyak dibicarakan orang sebagai novel Sumbangan kudeta ala Jawa untuk Indonesia pada sisi lain Pram ingin menceritakan periha ambisi kaum agamawan namun sekaligus mengangkat kearifannya di sisi lain. Roman sejarah awal abad 13 ini, menceritakan secara detail-seperti disinggung dalam pengantarnya-yang menolak seluruh dongengan dan mistika sebagaimana yang pernah masuk dalam buku-buku sejarah diniyah. Cerita Arok Dedes adalah cerita politik yang menggetarkan. Menurut penerbitnya ini adalah roman politik yang seutuh-utuhnya. Berkisah tentang kudeta pertama di Nusantara. Kudeta ala Jawa. Kudeta merangkak yang menggunakan banyak tangan untuk kemudian memukul habis dan mengambil bagian kekuasaan sepenuh-penuhnya. Kudeta licik tapi cerdik. Berdarah, tapi para pembunuh yang sejati bertepuk dada mendapati penghormatan yang tinggi. Melibatkan gerakan militer (Gerakan Gandring), menyebarkan syak wasangka dari dalam, memperhadapkan antarkawan, mengorganisasi kelompok paramiliter (begundal-begundal dan jajaro), dan memanasi perkubuan. Aktor-aktornya bekerja seperti hantu. Kalaupun gerakannya diketahui, namun tiada bukti yang paling sahih bagi penguasa (Tunggul Ametung dan patih-patihnya) untuk menyingkirkannya. Dalam pandangan saya, Arok adalah simpul dari gabungan antara mesin paramiliter licik, politisi sipil yang cerdik-rakus dari kalangan bawah dan legitimasi kaum agamawan. Arok mendapatkan semua legitimasi itu untuk mengukuhkan diri sebagai penyelamat Rakyat dari politik yang dijalankan oleh Orde Ametung secara sewenang-wenang. Ibarat Robinhood, Arok menjadi perampok untuk kemudian hasil rampokannya dijadikan sebagai dana persiapan untuk menjatuhkan Orde Ametung. Di tangan Arok, hasil rampokan berhasil dikelola untuk menggerakan massa dari berbagai kalangan. Dengan gerakan massa yang dipimpinnya, Arok tak mesti memperlihatkan tangannya yang berlumut darah mengiringi kejatuhan Ametung di Bilik Agung Tumapel. Arok menggunakan tangan musuhnya, dengan memperdayakan Dedes untuk merayu musuh politiknya dari keturunan Ksatria. Arok berhasil menjadikan Dedes sebagai umpan, yang kemudian dapat menjadikan musuhnya sebagai umpan yang dituduh sebagai pembunuh penguasa Tunggul Ametung. Dengan siasatnya tersebut, Arok tampil ke muka tanpa cacat. Sementara, Dedes yang merasa sangat pantas menjadi Akuwu karena keturunan Kaum Agama, harus rela menyerahkan kekuasaannya kepada Tunggul Ametung dan Ken Umang sang Permaisuri dari Kalangan Sudra. Satu hal yang menarik dari Roman Sejarah Arok Dedes adalah bagaimana besarnya peran kaum agamawan yang telah menjadikan Arok sebagai bogalalakon untuk merebut kekuasaan dari kaum Whisnu. Arok sendiri adalah campuran antara penganut Shiwa, Wisnu dan Budha. Karena berangkat Dari masa kecilnya sebagai penganut Wishnu sebagaimana halnya pada keluarga Umang, sementara guru pertamanya adalah penganut Budha dan guru terakhirnya adalah penganut Shiwa. Sementara Dedes yang merasa pantas untuk tampill adalah penganut Shiwa dan Ken Umang sendiri yang menjadi permaisuri baru bersama Ken Dedes adalah penganut Wisnu. Sedikit banyak, Pram mengisahkan bagaimana ambisi Kaum Brahmana titipan Kerajaan Kediri yang mengawasi Tumapel berambisi untuk menjatuhkan Tunggul Ametung, namun di sisi lain, stratifikasi sosial yang dibuat oleh kaum Wishnu membuat gerah kaum Shiwa karena membeda-

bedakan manusia dari stratifikasi sosialnya. Tentu saja hal ini bertambah gerah ketika pemerintahan yang diperintah secara sewenang-wenang oleh tunggul Ametung. Sehingga membulatkan tekad kaum Brahmana Shiwa untuk menggulingkan Tunggul Ametung. Menjadikan Brahmana Muda sebagai bogalalakon, yang berasal dari rakyat biasa kemudian menjadi Ksatria sekaligus Brahmana, Kaum Brahmana Shiwa berhasil menggulingkan Tunggul Ametung dengan cantik, tanpa harus mengotori tangan Arok atau Kaum Brahmana Shiwa sendiri. Melalui tangan musuhnya sendiri yang dijadikan wayang oleh kaum Brahamana Wishnu, Kaum Brahmana Shiwa dapat menggulingkan kekuasaan Tunggul Ametung tanpa ceda.