bab i pendahuluan a. latar belakang masalahrepository.uir.ac.id/258/1/bab1.pdf · (hak paten dan...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Penegakan hukum secara konsepsional, terletak pada kegiatan menyerasikan
hubungan nilai yang dijabarkan dalam kaidah yang ada dalam masyarakat guna
memelihara dan mempertahankan ketertiban. Proses penegakan hukum,
merupakan penerapan dari kaidah yang berlaku pada masyarakat.1
Pada dasarnya, penegakan hukum dapat dimulai dari memperhatikan
peranan penegak hukum. Kunci utama dalam memahami penegakan hukum yang
baik adalah pemahaman atas prisnip-prinsip yang ada di dalamnya. Demikian juga
halnya dengan hakim dalam mewujudkan penegakan hukum yang bercirikan
keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan melalui peradilan.2
Tuntutan kehidupan yang semakin kompleks dan modern, memaksa setiap
individu dalam masyarakat mau tidak mau, suka atau tidak suka menginginkan
adanya kepastian, terutama kepastian hukum, sehingga setiap individu dapat
menentukan hak dan kewajibannya dengan jelas dan terstruktur.3
Hak milik intelektual telah berkembang sejak lama, Paris Convention for
the Protection of Industrial Property Tahun 1883 merupakan bukti yang tidak
dapat disangkal. Ini merupakan bukti kepedulian masyarakat internasional
1 Tedi Sudrajat, Aspirasi Reformasi Hukum Dan Penegakan Hukum Progresif Melalui Media
Hakim Perdamaian Desa, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 10 No. 3, FH Universitas Jenderal
Soedirman, Purwokerto, September 2010, hlm. 286. 2 Fence M. Wantu, Op. Cit., hlm. 480.
3 Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, LP3S, Jakarta, 2006,
hlm. 63.
2
terhadap persoalan perlindungan dan penegakan hukum dalam bidang hak milik
intelektual adalah sangat penting.4
Ada dua lembaga multilateral yang berhubungan dengan hak kekayaan
intelektual adalah WIPO (World Trade Organization) dan TRIP’s (Trade Related
Intellectual Property Rights). WIPO berada di bawah lembaga PBB (Perserikatan
Bangsa-Bangsa) dan TRIP’s lahir dalam Putaran Uruguay diakomodasi oleh
WTO. Pembentukan WTO merupakan salah satu lembaga ekonomi dibentuk
untuk menangani ekonomi global dengan standar regional dan internasional.5
Annex 1b Konvensi WTO yaitu tentang perjanjian TRIPs yang mengatur
tentang hak milik intelektual.6 Hak milik intelektual merupakan kekayaan yang
harus mendapatkan perlindungan hukum secara khusus oleh Negara, yang
ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Kekayaan intelektual
(intellectual property) adalah hasil dari kreasi intelektual manusia.7 Perjanjian
TRIPs memberikan harapan adanya perlindungan dari berbagai produk intelektual
dalam upaya menjaga pelanggaran atas keaslian karya cipta yang terdiri dari hak
cipta, paten, merek, perlindungan varietas tanaman, rahasia dagang, desain
industri, dan desain tata letak sirkuit terpadu.8
4 Syafrinaldi, Problematika Penegakan Hukum Program Komputer Di Indonesia, Jurnar
Mahkamah Ibi Societas Ibi Ius, Vol. 1, No. 2, Fakultas Hukum Universitas Islam Riau,
Pekanbaru, 2009, hlm. 144. 5 Sri Mulyani, Pengembangan Hak Kekayaan Intelektual Sebagai Collateral (Agunan) Untuk
Mendapatkan Kredit Perbankan Di Indonesia, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 12, No. 3, Fakultas
Hukum UNTAG Semarang, 2012, hlm. 1-2. 6 Fithriatus Shalihah, Pengaturan Rental Right Atas Karya Rekaman Suara Dalam Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, Jurnar Mahkamah Ibi Societas Ibi Ius, Vol. 2,
No. 2, Fakultas Hukum Universitas Islam Riau, Pekanbaru, 2010, hlm. 220. 7 Syafrinaldi, Perlindungan Merek Terkenal Di Indonesia Di Era Globalisasi, Jurnar Mahkamah
Ibi Societas Ibi Ius, Vol. 2, No. 1, Fakultas Hukum Universitas Islam Riau, Pekanbaru, 2010, hlm.
1. 8 Fithriatus Shalihah, Op. Cit., hlm. 221.
3
Hak kekayaan intelektual (intellectual property rights) berperan sangat
penting dalam perdagangan internasional dan pembangunan ekonomi suatu
Negara. Hak milik intelektual yang terdiri dari :
1. Hak cipta (copy right);
2. Paten (patent);
3. Merek (trademark);
4. Perlindungan varitas tanaman (plant breeding);
5. Rahasia dagang (trade secret);
6. Desain industri (industrial design);
7. Desain tata letak sirkuit terpadu (integrated circuit); dan
8. Larangan monopoli dan persaingan usaha tidak sehat (anti monopoli).9
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta,
berbunyi :
“Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis
berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam
bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan”.10
Sedangkan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang
Hak Cipta, berbunyi :
“Ciptaan adalah setiap hasil karya cipta di bidang ilmu pengetahuan, seni,
dan sastra yang dihasilkan atas inspirasi, kemampuan, pikiran, imajinasi,
kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang diekspresikan dalam bentuk
nyata”.11
Bangsa Indonesia memiliki kekayaan budaya yang luar biasa. Keberagaman
dan kekhasan budaya dari setiap suku bangsa merupakan aset yang tidak terhitung
9 Syafrinaldi, dkk, Demokrasi, Penegakan Hukum dan Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual
(Hak Paten dan Pembangunan Ekonomi di Era Globalisasi), UIR Press, Pekanbaru, 2012, hlm. 1. 10
Pasal 1 angka 1, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. 11
Pasal 1 angka 3, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
4
jumlahnya. Warisan budaya peninggalan nenek moyang merupakan bagian dari
keberagaman dan kekhasan yang dimiliki oleh setiap suku bangsa di Indonesia.
Warisan budaya dapat ditafsirkan sebagai bagian dari jati diri suatu bangsa atau
martabat suatu bangsa ditentukan oleh kebudayaan, masyarakat dapat memberikan
apresiasi yang bagus tidak hanya dengan mengagumi karyanya, tapi juga ikut
melestarikannya.12
Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) merupakan hak atas kekayaan yang
timbul atau lahir dari kemampuan intelektual manusia. HaKI menjadikan karya-
karya yang timbul atau lahir karena adanya kemampuan intelektual manusia yang
harus dilindungi. Kemampuan intelektual manusia dihasilkan oleh manusia
melalui daya, rasa, dan karsanya yang diwujudkan dengan karya-karya intelektual.
Karya-karya intelektual juga dilahirkan menjadi bernilai, dengan manfaat
ekonomi yang melekat sehingga akan menumbuhkan konsep kekayaan terhadap
karya-karya intelektual.13
Sebagai etnis yang multikultur, bangsa Indonesia merupakan himpunan
berbagai jenis masyarakat yang berbeda ragam sifat karakter dan adat budaya.
Upaya peningkatan kesadaran hukum masyarakat dalam upaya melindungi
sumber daya alam terutama budaya serta keanekaragaman hayati yang terkandung
di bumi Indonesia. Melawan dalih yang banyak dipertentangkan yang selama ini
telah dikemukakan oleh perusahaan asing atau orang asing dalam mengambil
kekayaan seni budaya masyarakat Indonesia, sumber daya dan karya tradisional
12
Devi Rahayu, Perlindungan Hukum Terhadap Hak Cipta Motif Batik Tanjungbumi Madura,
Mimbar Hukum, Vol. 23, No. 1, Fakultas Hukum Universitas Trunojoyo, Bangkalan, 2011, hlm. 1. 13
Suyud Margono, Komentar Atas Undang-Undang Rahasia Dagang, Desain Industri, Desain
Letak Sirkuit Terpadu, CV. Novindo Pustaka Mandiri, Jakarta, 2001, hlm. 4.
5
yang ada secara melimpah, merupakan warisan leluhur yang dapat digunakan oleh
siapa saja dan kapan saja (common heritage of mankind). Keterbatasan data,
dokumentasi, informasi, publikasi mengenai kekayaan intelektual warisan bangsa
yakni pengetahuan tradisional (traditional knowledge) termasuk juga folklor,
sebagai asset bangsa yang sebenarnya telah ada sejak ratusan tahun yang lalu.
Perlindungan folklohre melalui hak cipta (copy right) tentu sangat susah karena
harus bersifat originality (keaslian) dan individuality (jelas siapa penciptanya),
juga pengetahuan tradisional melalui hukum paten tidak akan bisa memenuhi
patentable invention. Untuk itu perlu segera dibentuk perlindungan hukum khusus
(sui generis) yang mengatur tentang pemanfaatan folklohre yang tercakup dalam
traditional knowledge Indonesia demi kepentingan Nasional dan kepentingan
indigenous people.14
Traditional knowledge adalah karya masyarakat tradisional (adat) yang bisa
berupa adat budaya, karya seni dan teknologi yang telah turun temurun. Adat
budaya dan karya seni tradisional kemudian dikelompokkan menjadi folklore,
sedangkan traditional knowledge lebih mengarah karya berbasis Paten. Baik
folklore (ekspresi budaya tradisional) maupun traditional knowledge sudah
merupakan milik umum masyarakat sehingga secara individual tidak diketahui
penemuatau pencipta atau pemiliknya dan hukum kekayaan intelektual belum bisa
melindunginya secara khusus. Pengetahuan tradisional menjadi milik bersama
14
Endang Purwaningsih, Perlindungan Hukum Terhadap Kekayaan Intelektual Warisan Bangsa
Sebagai Implikasi Yuridis Nilai-Nilai Kebangsaan Menuju Ketahanan Nasional, Jurnal
Negarawan Kementerian Sekretariat Negara RI Vol. 26, Jakarta, 2012, hlm. 2.
6
masyarakat adat yang dijaga dan dilestarikan, yang belum dilindungi secara tepat
oleh hukum kekayaan intelektual.15
Orang pertama yang memperkenalkan Tenun ini adalah seorang pengrajin
yang didatangkan dari Kerajaan Terengganu Malaysia pada masa Kerajaan Siak
diperintah oleh Sultan Sayid Ali. Seorang wanita bernama Wan Siti Binti Wan
Karim dibawa ke Siak Sri Indrapura, beliau adalah seorang yang cakap dan
terampil dalam bertenun dan beliau mengajarkan bagaimana bertenun kain
songket. Karena pada saat itu hubungan kenegerian Kesultanan Siak dengan
negeri-negeri melayu di semenanjung sangat lah erat, terutama juga dalam hal
seni dan budaya melayu yang satu.
Pada awalnya tenun yang diajarkan adalah merupakan tenun tumpu dan
kemudian bertukar ganti dengan menggunakan alat yang dinamakan dengan
“Kik”, dan kain yang dihasilkan disebut dengan kain Tenun Siak. Pada awalnya
kain tenun siak ini dibuat terbatas bagi kalangan bangsawan saja terutama Sultan
dan para keluarga serta para pembesar kerajaan di kalangan Istana Siak. Kik
adalah alat tenun yang cukup sederhana dari bahan kayu berukuran sekitar 1 x 2
meter. Sesuai dengan ukuran alatnya, maka lebar kain yang dihasilkan tidaklah
lebar sehingga tidak cukup untuk satu kain sarung, maka haruslah di sambung dua
yang disebut dengan kain "Berkampuh". Akibatnya untuk mendapatkan sehelai
kain, terpaksa harus ditenun dua kali dan kemudian hasilnya disambung untuk
bagian atas dan bagian bawah yang sudah barang tentu memakan waktu yang
lama. Dalam bertenun memerlukan bahan baku benang, baik sutera ataupun katun
15
Ibid., hlm. 2.
7
berwarna yang dipadukan dengan benang emas sebagai ornamen (motif) atau
hiasan.
Dikarenakan benang sutera sudah susah didapat, maka lama kelamaan orang
hanya menggunakan benang katun. Dan pada saat ini pula kain tenun songket siak
dikembangkan pula pembuatannnya melalui benang sutera. Nama-nama motif
tenun Songket Riau itu antara lain, Pucuk Rebung, Bunga Teratai, Bunga
Tanjung, Bunga Melur, Tapuk Manggis, Semut Beriring, Siku Keluang. Semua
motif ini dapat pula saling bersenyawa menjadi bentuk motif baru.
Gambar I.1
Songket Bunga Tanjung
Sumber : Data Internet Tahun 2016
Tokoh Wanita Melayu Riau yang sangat berperan dalam mengembangkan
kerajinan kain tenun songket melayu Siak di Riau adalah TENGKU
MAHARATU. Tengku Maharatu adalah permaisuri Sultan Syarif Kasim II yang
kedua, setelah permaisuri pertama, Tengku Agung meninggal dunia. Dia
melanjutkan perjuangan kakaknya dalam meningkatkan kedudukan kaum
perempuan di Siak dan sekitarnya, yaitu dengan mengajarkan cara bertenun yang
kemudian dikenal dengan nama tenun Siak. Tenun Siak yang merupakan hasil
karya kaum perempuan telah menjadi pakaian adat Melayu Riau yang
8
dipergunakan dalam pakaian adat pernikahan dan upacara lainnya. Berkat
perjuangan permaisuri pertama yang dilanjutkan oleh permaisuri kedua,
perempuan yang tamat dari sekolah Madrasatun Nisak dapat menjadi mubalighat
dan memberi dakwah, terutama kepada kaum perempuan.
Gambar I.2
Songket Bunga Teratai
Sumber : Data Internet Tahun 2016
Tenunan yang lazim di sebut songket itu dalam sejarah yang panjang telah
melahirkan beragam jenis motif, yang mengandung makna dan falsafah tertentu.
Motif-motif yang lazimnya di angkat dari tumbuh-tumbuhan atau hewan
(sebagian kecil) di kekalkan menjadi variasi-variasi yang serat dengan simbol-
simbol yang mencerminkan nilai-nilai asas kepercayaan dan budaya melayu.
Selanjutnya, ada pula sebagian adat istiadat tempatan mengatur penempatan dan
pemakaian motif-motif di maksud, serta siapa saja berhak memakainya. Nilainya
mengacu kepada sifat-sifat asal dari setiap benda atau makhluk yang dijadikan
motif yang di padukan dengan nilai-nilai luhur agama islam. Dengan mengacu
nilai-nilai luhur yang terkandung di setiap motif itulah adat resam tempatan
9
mengatur pemakaian dan penempatannya, dan menjadi kebanggaan sehingga
diwariskan secara turun temurun.
Orang tua-tua menjelaskan bahwa kearifan orang melayu menyimak islam
sekitarnya memberikan mereka peluang besar dalam memilih atau menciptakan
motif. Hewan yang terkecil seperti semut, yang selalu bekerja sama mampu
membuat sarang yang besar, mampu mengangkat barang-barang yang jauh lebih
besar dari badannya, dan bila bertemu selalu berangkulan, memberi ilham
terhadap pencintaan motif untuk mengabadikan perihal semut itu dalam motif
tersebut sehingga lahirlah motif yang dinamakan motif semut beriring. Begitu
pula halnya denagn itik yang selalu berjalan beriringan dengan rukunnya
melahirkan motif itik pulang petang atau itik sekawan. Hewan yang selalu
memakan yang manis dan bersih (sari bunga), kemudian menyumbangkannya
dengan mahkluk lain dan bentuk madu dan selalu hidup berkawan-kawan dengan
damainya melahirkan pula motif lebah bergantung atau lebah bergayut.
Bunga-bungaan yang indah, wangi dan segar melahirkan motif-motif bunga
yang mengandung nilai dan filsafah keluhuran dan kehalusan budi, keakraban dan
kedamaian seperti corak bunga setaman, bunga berseluk daun dan lain-lain.
Burung balam, yang selalu hidup rukun dengan pasangannya, melahirkan motif
balam dua setengger sebagai cermin dari kerukunan hidup suami istri dan
persahabatan. Ular naga, yang di mitoskan menjadi hewan perkasa penguasa
samudra, melahirkan motif naga berjuang serindit mencerminkan sifat kearifan
dan kebijakan. Motif puncak rebung dikaitkan dengan kesuburan dan kesabaran.
10
Motif awan larat dikaitkan dengan kelemah-lembutan budi, kekreatifan, dan
sebagainya.
Dahulu setiap pengrajin diharuskan untuk memahami makna dan falsafah
yang terkandung di dalam setiap motif. Keharusan itu dimaksudkan agar mereka
pribadi mampu menyerat dan menghayati nilai-nilai yang dimaksud, mampu
menyebarluaskan, mampu pula menempatkan motif sesuai menurut alur dan patut.
Karena budaya melayu sangat ber-sebati dengan ajaran islam, inti sari ajaran
itu terpateri pula dengan corak seperti bentuk segi empat dikaitkan dengan sahabat
Nabi Muhammad SWT yang berempat, bentuk segi lima dikaitkan dengan rukun
islam, bentuk segi enam dikaitkan dengan rukun iman, bentuk wajik dikaitkan
dengan sifat Allah yang maha pemurah, bentuk bulat dikaitkan dengan sifat Allah
yang maha mengetahui dan penguasa alam semesta, dan sekitarnya. Menurut
orang tua melayu Riau, makna dan falsafah di dalam setiap motif, selain dapat
meningkatkan minat-minat orang untuk menggunakan motif tersebut, juga dapat
menyebar-luaskan nilai-nilai ajaran agama Islam yang mereka anut, itu lah
sebabnya dahulu pengrajin diajarkan membuat atau meniru corak.
Gambar I.3
Songket Bunga Tanjung
Sumber : Data Internet Tahun 2016
11
Khasanah songket melayu amatlah kaya dengan motif dan serat dengan
makna dan falsafahnya, yang dahulu dimanfaatkan untuk mewariskan nilai-nilai
asas adat dan budaya tempatan. Seorang pemakai songket tidak hanya sekedar
memakai untuk hiasan tetapi juga untuk memakai dengan simbol-simbol dan
memudahkannya untuk mencerna dan menghayati falsafah yang terkandung di
dalamnya. Kearifan itulah yang menyebabkan songket terus hidup dan
berkembang, serta memberikan manfaat yang besar dalam kehidupan mereka
sehari-hari.
Maka dari hasil penjabaran latar belakang masalah penulis, penulis tertarik
untuk melakukan penelitian tesis dengan judul : “Perlindungan Hak Cipta Atas
Seni Batik Riau Sebagai Warisan Budaya Bangsa Menurut Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta”
B. Masalah Pokok
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis dalam hal ini menetapkan
beberapa masalah yang dibahas dalam penelitian ini. Adapun masalah tersebut
adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana perlindungan hak cipta atas seni Batik Riau sebagai
warisan budaya bangsa menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2014 tentang Hak Cipta?
2. Apa hambatan terhadap perlindungan hak cipta atas seni Batik Riau
sebagai warisan budaya bangsa menurut Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2014 tentang Hak Cipta?
12
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Sebuah penelitian yang baik adalah memiliki arah dan tujuan yang hendak
di capai, maka dari itu penelitian ini bertujuan untuk :
1. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan judul tesis yang dibuat oleh penulis dan berkaitan dengan
pokok masalah yang dibahas, maka tujuan utama penelitian ini adalah :
a. Menganalisis perlindungan hak cipta atas seni Batik Riau sebagai
warisan budaya bangsa menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2014 tentang Hak Cipta.
b. Menganalisis hambatan terhadap perlindungan hak cipta atas seni
Batik Riau sebagai warisan budaya bangsa menurut Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
2. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan dari penelitian ini dapat dikemukakan sebagai berikut :
a. Secara teoritis, untuk memberikan sumbangsih ilmu pengetahuan di
bidang ilmu hukum, khususnya hukum bisnis yang terkaitan dengan
perlindungan hak cipta atas seni Batik Riau sebagai warisan budaya
bangsa menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak
Cipta.
b. Secara praktis, memberi masukan dan pemahaman bagi para ahli,
praktisi dan masyarakat luas dalam rangka pengembangan dan
pembentukan hukum terutama untuk perbaikan dan penyempurnaan
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan
13
hak cipta atas seni Batik Riau sebagai warisan budaya bangsa menurut
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
D. Kerangka Teori
Kerangka teori merupakan teori yang dibuat untuk memberikan gambaran
yang sistematis mengenai masalah yang akan di teliti. Teori ini masih bersifat
sementara yang akan dibuktikan kebenaran dengan cara meneliti dalam realitas.
Kerangka teori lazimnya dipergunakan dalam penelitian ilmu sosial dan dapat
juga digunakan dalam penelitian hukum yaitu pada penelitian hukum.16
Penelitian hukum yang menjadi fokus kajian pada bekerjanya hukum dalam
masyarakat atau dengan kata lain mengkaji hukum dalam hubungan dengan
prilaku sosial. Teori yang biasa digunakan untuk menganalisis permasalahan-
permasalahan, teori ini sesungguhnya dibangun berdasarkan teori yang
dihubungkan dengan kondisi sosial di mana hukum dalam arti sistem norma itu
ditetapkan.17
Penelitian tesis ini, dapat dilihat sejauh mana perlindungan Hak
Cipta atas Songket Melayu sebagai Warisan Budaya Bangsa (studi terhadap
Sentra Produksi Tenun Siak Khas Melayu).
Maka dari itu dalam penelitian tesis ini, penulis menggunakan beberapa
teori, Teori Induk (Grand Theory) yaitu tentang “Keadilan”. Keadilan adalah
perekat tatanan kehidupan bermasyarakat yang beradab. Hukum diciptakan agar
setiap individu anggota masyarakat dan penyelenggara negara melakukan sesuatu
tidakan yang diperlukan untuk menjaga ikatan sosial dan mencapai tujuan
16
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1996, hlm. 127. 17
Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Pustaka
Pelajar, Bandung, 2010, hlm. 140.
14
kehidupan bersama atau sebaliknya agar tidak melakukan suatu tindakan yang
dapat merusak tatanan keadilan. Jika tindakan yang diperintahkan tidak dilakukan
atau suatu larangan dilanggar, tatanan sosial akan terganggu karena terciderainya
keadilan. Untuk mengembalikan tertib kehidupan bermasyarakat, keadilan harus
ditegakkan. Setiap pelanggaran akan mendapatkan sanksi sesuai dengan tingkat
pelanggaran itu sendiri.18
Keadilan memang merupakan konsepsi yang abstrak. Namun demikian di
dalam konsep keadilan terkandung makna perlindungan hak, persamaan derajat
dan kedudukan di hadapan hukum, serta asas proporsionalitas antara kepentingan
individu dan kepentingan sosial. Sifat abstrak dari keadilan adalah karena
keadilan tidak selalu dapat dilahirkan dari rasionalitas, tetapi juga ditentukan oleh
atmosfir sosial yang dipengaruhi oleh tata nilai dan norma lain dalam masyarakat.
Oleh karena itu keadilan juga memiliki sifat dinamis yang kadang-kadang tidak
dapat diwadahi dalam hukum positif.19
Adil pada hakekatnya bermakna menempatkan sesuatu pada tempatnya dan
memberikan kepada siapa saja apa yang menjadi haknya, yang didasarkan pada
suatu asas bahwa semua orang sama kedudukannya di muka hukum (equality
before the law). Penekanan yang lebih cenderung kepada asas keadilan dapat
berarti harus mempertimbangkan hukum yang hidup di masyarakat, yang terdiri
dari kebiasaan dan ketentuan hukum yang tidak tertulis. Hakim dalam alasan dan
pertimbangan hukumnya harus mampu mengakomodir segala ketentuan yang
18
Moh. Mahfud MD, Penegakan Hukum DanTata Kelola Pemerintahan Yang Baik, Bahan pada
Acara Seminar Nasional “Saatnya Hati Nurani Bicara” yang diselenggarakan oleh DPP Partai
HANURA. Mahkamah Konstitusi Jakarta, 8 Januari 2009. 19
Ibid.
15
hidup dalam masyarakat berupa kebiasaan dan ketentuan hukum yang tidak
tertulis, manakala memilih asas keadilan sebagai dasar memutus perkara yang
dihadapi.20
Keadilan, dalam literatur sering diartikan sebagai suatu sikap dan karakter.
Sikap dan karakter yang membuat orang melakukan perbuatan dan berharap atas
keadilan, sedangkan sikap dan karakter yang membuat orang bertindak dan
berharap ketidak adilan. Secara umum dikatakan bahwa orang yang tidak adil
adalah orang yang tidak patuh terhadap hukum (unlawful, lawless) dan orang yang
tidak fair (unfair), maka orang yang adil adalah orang yang patuh terhadap hukum
(law-abiding) dan fair. Karena tindakan memenuhi/mematuhi hukum adalah adil,
maka semua tindakan pembuatan hukum oleh legislatif sesuai dengan aturan yang
ada adalah adil.
Tujuan pembuatan hukum adalah untuk mencapai kemajuan kebahagiaan
masyarakat. Maka, semua tindakan yang cenderung untuk memproduksi dan
mempertahankan kebahagiaan masyarakat adalah adil. Keadilan sebagai bagian
dari nilai sosial memiliki makna yang amat luas, bahkan pada suatu titik bisa
bertentangan dengan hukum sebagai salah satu tata nilai sosial. Suatu kejahatan
yang dilakukan adalah suatu kesalahan. Namun apabila hal tersebut bukan
merupakan keserakahan tidak bisa disebut menimbulkan ketidakadilan.
Sebaliknya suatu tindakan yang bukan merupakan kejahatan dapat menimbulkan
ketidakadilan.
20
Fence M. Wantu, Mewujudkan Kepastian Hukum, Keadilan Dan Kemanfaatan Dalam Putusan
Hakim Di Peradilan Perdata, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 12 No. 3, September 2012, hlm. 31.
16
Ukuran keadilan sebagaimana di singgung di atas sebenarnya menjangkau
wilayah yang ideal atau berada dalam wilayah cita, dikarenakan berbicara masalah
keadilan, berarti sudah dalam wilayah makna yang masuk dalam tataran filosofis
yang perlu perenungan secara mendalam sampai hakikat yang paling dalam,
bahkan Kelsen menekankan pada filsafat hukum Plato, bahwa keadilan didasarkan
pada pengetahuan perihal sesuatu yang baik. Pengetahuan akan hal yang baik
secara fundamental merupakan persoalan di luar dunia. Hal tersebut dapat
diperoleh dengan kebijaksanaan.
Jelas bahwa keadilan masuk ke dalam kajian ilmu-ilmu filsafat. Banyak
filsafat yang mengharapkan inspirasi bagi pengetahuan keadilan. Kesemua itu
termasuk filsafat-filsafat yang sangat berbeda dalam ruang dan waktu. Keadilan
merupakan salah satu contoh materi atau forma yang menjadi objek filsafat.
Dalam kajian filsafat, keadilan telah menjadi pokok pembicaraan serius sejak awal
munculnya filsafat Yunani. Pembicaraan keadilan memiliki cakupan yang luas,
mulai dari yang bersifat etik, filosofis, hukum, sampai pada keadilan sosial.
Banyak orang yang berpikir bahwa bertindak adil dan tidak adil tergantung
pada kekuatan dan kekuatan yang dimiliki, untuk menjadi adil cukup terlihat
mudah, namun tentu saja tidak begitu halnya penerapannya dalam kehidupan
manusia. Keadilan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari tujuan hukum itu
sendiri, di samping kepastian hukum dan kemanfaatan.
Menyikapi adanya beberapa permasalahan (baca kasus) hukum yang terjadi
di negara Indonesia yang kemudian dituangkan dalam beberapa putusan hakim
sehingga membawa pada satu perenungan bahwa terminologi keadilan yang
17
notabene ada dalam kajian filsafat dapatkah dijadikan sebagai bagian utama dalam
pencapaian tujuan hukum, mengingat konsep keadilan yang bersifat abstrak
sehingga diperlukan pemahaman dalam filsafat ilmu hukum yang akan
menjelaskan nilai dasar hukum secara filosofis sehingga dapat membangun
hukum yang sebenarnya.21
Hukum sebagai pengemban nilai keadilan menurut Radbruch menjadi
ukuran bagi adil tidak adilnya tata hukum. Tidak hanya itu, nilai keadilan juga
menjadi dasar dari hukum sebagai hukum. Dengan demikian, keadilan memiliki
sifat normatif sekaligus konstitutif bagi hukum. Keadilan menjadi dasar bagi tiap
hukum positif yang bermartabat.22
Keadilan menjadi landasan moral hukum dan sekaligus tolok ukur sistem
hukum positif. Kepada keadilanlah hukum positif berpangkal. Sedangkan
konstitutif, karena keadilan harus menjadi unsur mutlak bagi hukum sebagai
hukum. Tanpa keadilan, sebuah aturan tidak pantas menjadi hukum. Apabila,
dalam penegakan hukum cenderung pada nilai kepastian hukum atau dari sudut
peraturannya, maka sebagai nilai ia telah menggeser nilai keadilan dan kegunaan.
Hal ini dikarenakan, di dalam kepastian hukum yang terpenting adalah peraturan
itu sendiri sesuai dengan apa yang dirumuskan.
Begitu juga ketika nilai kegunaan lebih diutamakan, maka nilai kegunaan
akan menggeser nilai kepastian hukum maupun nilai keadilan karena yang penting
bagi nilai kegunaan adalah kenyataan apakah hukum tersebut berguna bagi
21
Inge Dwisvimiar, Keadilan Dalam Perspektif Filsafat Ilmu Hukum, Jurnal Dinamika Hukum
Vol. 11 No. 3, September 2011. 22
Yovita A. Mangesti & Bernard L. Tanya, Moralitas Hukum, Genta Publishing, Yogyakarta,
2014, hlm. 74.
18
masyarakat. Demikian juga, ketika yang diperhatikan hanya nilai keadilan, maka
akan menggeser nilai kepastian hukum dan kegunaan. Sehingga, dalam penegakan
hukum harus ada keseimbangan antara ketiga nilai tersebut.23
Menurut Aristoteles, tanpa ada kecenderungan hati sosial-etis yang baik
pada warga negara, maka tidak ada harapan untuk tercapai keadilan tertinggi
dalam negara meskipun yang memerintah adalah orang-orang bijak dengan
undang-undang yang mutu sekalipun.24
Karena hukum mengikat semua orang, maka keadilan hukum mesti
dipahami dalam penngertian kesamaan. Namun ia membagi kesamaan numerik
dan kesamaan proporsional. Kesamaan numerik melahirkan prinsip: ”semua orang
sederajat di depan hukum”. Sedangkan kesamaan proporsional melahirkan
prinsip: ”memberi tiap orang apa yang menjadi haknya”. Selain model keadilan
berbasis kesamaan, Aristoteles juga mengajukan model keadilan lain, yakni
keadilan distributif dan keadilan korektif. Keadilan distributif identik dengan
keadilan atas dasar kesamaan proporsional. Sedangkan keadilan korektif
(remedial), berfokus pada pembetulan sesuatu yang salah. Jika suatu perjanjian
dilanggar atau kesalahan dilakukan, maka keadilan korektif berupaya memberi
kompensasi25
yang memadai bagi pihak yang dirugikan. Jika suatu kejahatan
dilakukan, maka hukuman yang sepantasnya perlu diberikan pada si pelaku.26
23
LBH Perjuangan, Penegakan Hukum Yang Menjamin Keadilan, Kepastian Hukum Dan
Kemanfaatan (Studi Kasus : Kasus Mbah Minah), http://lbhperjuangan.blogspot.com/2010/10/
penegakan-hukum-yang-menjamin-keadilan.html, Diakses Pada Tanggal 24 Maret 2016 Jam 10.22
Wib. 24
Bernard L. Tanya, Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Genta
Publishing, Yogyakarta, 2013, hlm. 42. 25
Ibid., hlm. 42. 26
Ibid., hlm. 43.
19
Singkatnya, keadilan korektif bertugas membangun kembali kesetaraan.
Keadilan korektif merupakan standar umum untuk memperbaiki setiap akibat
perbuatan, tanpa memandang siapa pelakunya. Prinsip-prinsip itu adalah hukum
harus memperbaiki kejahatan, ganti rugi harus memperbaiki kerugian dan
memulihkan keuntungan yang tidak sah.27
Untuk menelaah lebih jelas tentang pengertian keadilan ini perlu kiranya
dirujuk pandangan hukum alam klasik yang diajarkan oleh Thomas Aquinas.
Dengan mengikuti pandangan Aristoteles, Thomas Aquinas mengemukan dua
macam keadilan yaitu keadilan distributif (iustitia distributiva) dan keadilan
komulatif (iustitia commutativa). Dua macam keadilan itu sebenarnya merupakan
varian-varian persamaan, tetapi bukan persamaan itu sendiri. Prinsip persamaan
mengandung: “hal yang sama harus diperlakukan sama dan yang tidak sama harus
diperlakukan tidak sama pula”. Tampaknya prinsip itu merupakan terjemahan
yang keliru dari ajaran ius suum cuique tribuere28
karena ajaran ini tidak berkaitan
dengan masalah perlakuan. Ajaran mengenai keadilan dalam hal ini hanya
bersangkutan29
paut dengan apa yang menjadi hak sesorang yang lain dan dalam
hubungan dengan masyarakat.30
Menurut Kurt Wilk bahwa bentuk keadilan pertama, yaitu keadilan
distributif merujuk kepada adanya persamaan di antara manusia didasarkan atas
prinsip proporsionalitas. Gustav Radbruch mengemukakan bahwa pada keadilan
27
Ibid., hlm. 43. 28
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Prenada Media Group, Jakarta, 2009, hlm.
151. 29
Ibid., hlm. 151. 30
Ibid., hlm. 152.
20
distributif terdapat hubungan yang bersifat superordinasi artinya antara yang
mempunyai wewenang untuk membagi dan yang mendapat bagian.31
Untuk melaksanakan keadilan ini diperlukan adanya pihak yang membagi
yang bersifat superordinasi terhadap lebih dari satu orang atau kelompok orang
sebagai pihak yang menerima bagian yang sama-sama mempunyai kedudukan
yang bersifat subordinasi terhadap yang membagi. Yang menjadi tolok ukur
dalam prinsip proporsionalitas dalam kerangka keadilan distributif adalah jasa,
prestasi, kebutuhan, dan fungsi. Dengan adanya dua orang atau kelompok orang
yang berkedudukan sama sebagai subordinat terhadap pihak yang membagi dapat
dilihat apakah yang membagi telah berlaku adil berdasarkan tolok ukur tersebut.
Dalam dunia nyata, pihak yang membagi adalah negara dan yang mendapat
bagian adalah rakyatnya. Berdasarkan pandangan ini, dilihat dari keadilan
distributif apakah suatu negara telah membuat undang-undang yang bersandarkan
pada tolok ukur tersebut, apakah tindakan pemerintah juga demikian dan
pengadilan juga menjatuhkan putusan yang memerhatikan ukuran-ukuran itu.32
Lebih lanjut Kurt Wilk menyatakan bahwa dengan berpegang pada
pandangan tersebut, Radbruch lebih jauh menyatakan bahwa prinsip keadilan
distributif bukanlah berkaitan dengan siapa yang di33
perlakukan sama dan siapa
yang diperlakukan tidak sama; persamaan atau ketidaksamaan itu sebenarnya
merupakan sesuatu yang telah terbentuk. Akhirnya, Radbruch bahwa keadilan
distributif hanya bersangkut paut dengan hubungan di antara manusia bukan jenis
perlakuan terhadap manusia yang berbeda sehingga keadilan distributif tidak
31
Ibid., hlm. 152. 32
Ibid., hlm. 152. 33
Ibid., hlm. 152.
21
bersangkut paut dengan pemidanaan, misalnya apakah pencuri harus digantung
dan pembunuh harus digilas sampai mati atau pencuri cukup didenda sedangkan
pembunuh harus dipenjarakan.34
Bentuk kedua keadilan menurut Kurt Wilk, yaitu keadilan komutatif
terdapat pada hubungan yang bersifat koordinatif di antara para pihak. Untuk
melihat bekerjanya keadilan ini diperlukan adanya dua pihak yang mempunyai
kedudukan yang sama. Contoh keadilan komutatif yang diberikan Aristoteles
adalah antara kerja dan upah dan antara kerugian dan ganti rugi. Mengenai
keadilan komutatif ini, Thomas Aquinas mengungkapkan bahwa dalam hubungan
antara dua orang yang bersifat koordinatif tersebut, persamaan diartikan sebagai
ekuivalensi, harmoni, dan keseimbangan.35
Meskipun Aristoteles menyatakan bahwa keadilan bukan persamaan,
bentuk-bentuk keadilan yang dikemukan olehnya, yaitu keadilan distributif dan
keadilan komutatif yang dielaborasi lebih lanjut oleh Thomas Aquinas dan Gustav
Radbruch mengindikasikan adanya persamaan. Hal ini sangat berbeda dengan
konsep ius suum cuique tribuere yang artinya memberikan kepada setiap orang
apa yang menjadi bagiannya. Sebenarnya doktrin itu pertama kali dikemukan oleh
Ulpianus dan berbunyi: Iustitia est perpetua et constans voluntas ius suum36
cuiquni tribuendi, yang kalau diterjemahkan secara bebas keadilan adalah suatu
keinginan yang terus-menerus dan tetap untuk memberikan kepada orang apa
34
Ibid., hlm. 153. 35
Ibid., hlm. 153. 36
Ibid., hlm. 153.
22
yang menjadi bagiannya. Jika konsep ini ditelaah, keadilan tidak harus
berkonotasi dengan persamaan seperti pada keadilan distributif dan komutatif.37
Hukum sebagai pengemban nilai-nilai kemanusiaan, menurut Radbruch
menjadi ukuran bagi adil dan tidak adilnya tata hukum. Tidak hanya itu, nilai
keadilan (memajukan nilai-nilai kemanusiaan) juga menjadi dasar dari hukum
sebagai hukum. Dengan demikian, keadilan memiliki sifat normatif sekaligus
konstitutif bagi hukum. Keadilan menjadi dasar bagi tiap hukum positif yang
bermartabat.38
Jadi bagi Radbruch, keadilan merupakan titik sentral dalam hukum. Adapun
dua aspek lainnya yakni kepastian dan finalitas/kemanfaatan, bukanlah unit yang
berdiri sendiri dan terpisah dari kerangka keadilan itu sendiri. Sebab tujuan
keadilan, menurut Radbruch, adalah untuk memajukan kebaikan dalam hidup
manusia. Aspek inilah yang harus mewarnai isi hukum.39
Gustav Radbruch
mengemukakan idealnya dalam suatu putusan harus memuat idee des recht, yang
meliputi 3 unsur yaitu keadilan (Gerechtigkeit), kepastian hukum
(Rechtsicherheit) dan kemanfaatan (Zwechtmassigkeit). Ketiga unsur tersebut
semestinya oleh Hakim harus dipertimbangkan dan diakomodir secara
proporsional, sehingga pada gilirannya dapat dihasilkan putusan yang berkualitas
dan memenuhi harapan para pencari keadilan.40
Teori Radbruch tidak mengijinkan adanya pertentangan antara, keadilan,
kepastian, dan kemanfaatan, seperti yang terjadi selama ini. Kepastian dan
37
Ibid., hlm. 154. 38
Yovita A. Mangesti & Bernard L. Tanya, Op. Cit., hlm. 74. 39
Ibid., hlm. 74. 40
Ibid., hlm. 74.
23
Kemanfaatan, bukan saja harus diletakkan dalam kerangka keadilan, tetapi juga
sebenarnya merupakan suatu kesatuan dengan keadilan itu sendiri. Kepastian
hukum, tidak lagi sekedar kepastian legalitis, tetapi kepastian yang berkeadilan.
Demikian juga soal kemanfaatan. Ia bukan lagi kemanfaatan tanpa patokan, tetapi
kemanfaatan yang berkeadilan (yaitu memajukan nilai-nilai kemanusiaan).41
Gustav Radbruch menuturkan bahwa hukum adalah pengemban nilai
keadilan, keadilan memiliki sifat normatif sekaligus konstitutif bagi hukum.
Bersifat normative karena kepada keadilanlah, hukum positif berpangkal. Bersifat
konstitutif karena keadilan harus menjadi unsur mutlak bagi hukum, tanpa
keadilan, sebuah aturan tidak pantas menjadi hukum.42
Hal ini memperhatikan pula asas prioritas yang dikemukakan oleh Gustav
Radbruch bahwa untuk menerapkan hukum secara tepat dan adil untuk memenuhi
tujuan hukum maka yang diutamakan adalah keadilan, kemudian kemanfaatan
setelah itu kepastian hukum.43
Hukum memiliki fungsi tidak hanya menegakkan
keadilan tetapi juga menegakkan kepastian dan kemanfaatan. Berkaitan dengan
hal tersebut asas prioritas yang telah ditelurkan Gustav Radbruch menjadi titik
terang dalam masalah ini. Prioritas keadilan dari segala aspek lain adalah hal
penting. Kemanfaatan dan kepastian hukum menduduki strata dibawah keadilan.
41
Ibid., hlm. 74. 42
Bernard L. Tanya, Op. Cit., hlm. 117. 43
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Editor Awaludin Marwan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
2012, hlm. 20.
24
Faktanya sampai saat ini diterapkannya asas prioritas ini membuat proses
penegakan dan pemberlakuan hukum positif di Indonesia masih dapat berjalan.44
Setiap hukum yang diterapkan memiliki tujuan spesifik. Misalnya, hukum
pidana memiliki tujuan spesifik dibandingkan dengan hukum perdata, hukum
formal mempunyai tujuan spesifik jika dibandingkan dengan hukum materil.
Tujuan hukum adalah sekaligus keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum
maka faktanya hal tersebut akan menimbulkan masalah. Tidak jarang antara
kepastian hukum berbenturan dengan kemanfaatan, antara keadilan dengan
kepastian hukum, dan antara keadilan terjadi benturan dengan kemanfaatan.
Contoh yang mudah untuk dipahami adalah jika hakim dihadapkan dalam sebuah
kasus untuk mengambil sebuah keputusannya adil. Pembaruan oleh hakim melalui
putusannya juga tidak bisa dilakukan secara maksimal, selain pengaruh civil law
system yang menghendaki hakim mendasarkan diri secara ketat pada bunyi
undang-undang meski undang-undang tersebut telah ketinggalan zaman. Maka
penerapan keadilan dalam pembuatan putusan bukanlah hal mudah untuk
dilakukan. Paradigma berpikir hakim juga lebih condong pada mendasarkan diri
pada filsafat positivisme hukum. Melihat dari sudut pandang ini tujuan utama
hukum menjadi bukan keadilan melainkan kepastian.
Hanya hal yang bersifat pasti saja yang dapat dijadikan ukuran kebenaran.
Ukuran adil cenderung disesuaikan dengan rasa keadilan pribadi masing-masing.
Masyarakat pada umumnya masih beranggapan putusan hakim yang ada masih
kaku dengan bunyi aturan dalam undang-undang. Keadilan adalah hak asasi yang
44
Muhammad Ichwan, Teori Hukum Dalam Pandangan Prof. Dr. I. Nyoman Nurjaya, S.H., M.S.,
http://www.mahasiswa-indonesia.com/2013/11/teori-hukum-dalam-pandangan-prof-dr-i.html,
Diakses Pada Tanggal 23 Maret 2016 Jam 12.04 Wib.
25
harus dinikmati oleh setiap manusia yang mampu mengaktualisasikan segala
potensi manusia. Tentu dalam hal ini akan memberikan nilai dan arti yang
berbeda keadilan yang berbeda untuk terdakwa dan pihak lain yang jadi korban
ketika hakim membuat putusan. Maka dalam hal ini bisa saja keadilan akan
berdampak pada kemanfaatan bagi masyarakat luas. Tetapi ketika kemanfaatan
masyarakat luas yang harus dipuaskan, maka nilai keadilan bagi orang tertentu
mau tidak mau akan dikorbankannya. Maka keadilan, kemanfaatan dan kepastian
hukum akan sangat sulit untuk ditegakkan secara bersama.45
Selanjutnya dalam penelitian tesis ini juga menggunakan Teori Turunan
(Middle Range Theory) yaitu tentang “Hak Milik Intelektual” Jhon Locke dalam
teori tentang hak milik mengatak bahwa hak milik yang dimiliki seorang manusia
terhadap benda telah ada sejak manusia itu lahir, benda disini diartikan baik itu
benda berwujud maupun benda tidak berwujud (hak milik intelektual).46
Munculnya istilah hak milik intelektual (HAMI) atau dikenal dalam bahasa
asing “geistiges Eigentum” (Jerman) atau intellectual property right (Inggris) atau
intelectuele propriete (Prancis) sangat dipengaruhi oleh pemikiran Jhon Locke
tentang hak milik.47
Munculnya ajaran baru hak milik intelektual, I. Kant pada Tahun 1785
menekankan bahwa si pencipta (Autor) memiliki hak yang tidak dapat dilihat atas
karyanya, hak itu disebut dengan “ius personalissimus” yaitu hak yang lahir dalam
45
Bolmer Hutasoit, Artikel Politik Hukum : Tujuan Hukum Menurut Gustav Radbruch, https://
bolmerhutasoit.wordpress.com/2011/10/07/artikel-politik-hukum-tujuan-hukummenurut-gustav-
radbruch/, Diakses Pada Tanggal 23 Maret 2016 Jam 12.48 Wib. 46
Syafrinaldi, Problematika Penegakan Hukum Program Komputer Di Indonesia, Jurnar
Mahkamah, Vol. 15, No. 2, Fakultas Hukum Universitas Islam Riau, Pekanbaru, 2003, hlm. 233. 47
Syafrinaldi, Hukum Tentang Perlindungan Hak Milik Intelektual Dalam Menghadapi Era
Globalisasi, UIR Press, Pekanbaru, 2006, hlm. 6.
26
dirinya sendiri (hak kepribadian).48
Fichte mengutarakan bahwa seorang autor
mempunya hak atas suatu karya intelektual. Fichte lalu membedakan antara buku
yang merupakan hasil karya dalam bentuk cetakan dengan isi buku itu sendiri
(tulisannya). Dengan pembedaan ini eksistensi ajaran “geistiges Eigentum” di
Jerman semakin kokoh dalam masyarakat hukum. Hegel juga membedakan benda
dalam dua bentuk, yaitu :
1. Benda nyata (Sacbeigentum); dan
2. Produksi intelektualitas manusia (geistige Produktion).49
Seorang Jurist Jerman yang bernama Klostermann, pada Tahun 1869 untuk
pertama kalinya memakai istilah hak milik intelektual (geistige Eigentum) dalam
karya yang berjudul “Das geistige Eigentum an Schriftwerken, Kunstwerken und
Erfindungen nach preibischem und internationalem Recht”. Karya Klostermann ini
akhirnya memberikan sumbangan yang sangat berarti untuk lahirnya peraturan
perundang-undangan dalam bidang hak cipta dan design industri di Norddeutschen
Bundes dan Jerman Raya (Deutsches Reich).50
Sistem hukum yang berkembang di setiap negara, termasuk di Indonesia,
hak kekayaan intelektual, sangat dipengaruhi oleh hukum internasional dan juga
oleh hukum negara-negara lain. Hal ini tidak bisa dinafikan, karena bagaimanapun
juga sistem hukum internasional yang mengatur mengenai hak kekayaan
intelektual lebih duluan lahir dan berkembang secara dinamis dan progresif
48
Ibid., hlm 6. 49
Ibid., hlm. 6. 50
Syafrinaldi, Hukum Tentang Perlindungan Hak Milik Intelektual Dalam Menghadapi Era
Globalisasi, UIR Press, Pekanbaru, 2010, hlm. 8.
27
dibandingkan dengan hukum nasional.51
Hak Kekayaan Intelektual merupakan terjemahan dari Intellectual Property
Rights. Secara sederhana HKI adalah suatu hak yang timbul bagi hasil pemikiran
yang menghasilkan suatu produk yang bermanfaat bagi manusia. Hak Kekayaan
Intelektual juga dapat diartikan sebagai hak bagi seseorang karena ia telah
membuat sesuatu yang berguna bagi orang lain. Objek atau hal-hal yang diatur
dalam Hak Kekayaan Intelektual adalah karya yang lahir dari kemampuan
intelektual (daya pikir) manusia.52
Menurut Hayyanul Haq, sesungguhnya teori yang menjadi dasar
pengembangan Intellectual Property Rights adalah berasal dari teori John Locke
yang inti ajarannya adalah sebagai berikut :
1. Tuhan telah menciptakan seluruh alam semesta ini untuk semua
manusia;
2. Tuhan menciptaan manusia dengan segala potensi yang melekat dalam
dirinya untuk bisa survive (mempertahankan diri);
3. Setiap manusia berhak untuk melakukan intervensi atas alam guna
mempertahankan survivetas;
4. Setiap manusia berhak atas hasil-hasil yang diperoleh dari setiap
interaksi antar personal-personal yang ada;
5. Hak personal itu tidak bisa diberikan atau dicabut oleh siapapun;
6. Setiap orang harus menghormati hak itu sebagai hak personal.53
Hak Kekayaan Intelektual dikaitkan dengan tiga elemen penting, yaitu :
1. Adanya sebuah hak eksklusif yang diberikan oleh hukum;
2. Hak terebut berkaitan dengan usaha manusia yang didasarkan pada
kemampuan intelektual; dan
51
Syafrinaldi, Hak Milik Intelektual dan Globalisasi, UIR Press, Pekanbaru, 2006, hlm. 54. 52
Haris Munandar dan Sally Sitanggang, HAKI-Hak Kekayaan Intelektual, Erlangga, Jakarta,
2008, hlm. 2. 53
Hasbir Paserangi, Hak Kekayaan Intelektual, Perlindungan Hukum Hak Cipta Perangkat Lunak
Program Komputer Dalam Hubungannya Dengan Prinsip-Prinsip Dalam TRIPs Di Indonesia,
Rabbani Press, Jakarta Selatan, 2011, hlm. 168.
28
3. Kemampuan intelektual tersebut memiliki nilai ekonomi.54
Meskipun terdapat teori universalitas tentang hak kekayaan intelektual,
hingga kini belum ada definisi tunggal yang disepakati di seluruh dunia tentang
apakah yang dimaksud dengan hak kekayaan intelektual. Hal ini disebabkan
pengertian dari hak kekayaan intelektual sulit untuk didefinisikan dalam satu
kalimat sederhana yang dengan tepat dapat menggambarkan tentang pengertian
dari hak kekayaan intelektual secara menyeluruh.55
Masing-masing Negara memiliki definisi tentang kekayaan intelektual. Hak
kekayaan intelektual di berbagai Negara sangat dipengaruhi oleh politik hukum
dan standar perlindungan hukum yang diterapkan di masing-masing Negara. Di
samping itu, ada beberapa faktor yang juga berperan dalam menciptakan adanya
perbedaan baik dalam mendefinisikan hak kekayaan intelektual maupun dalam
menentukan standar perlindungan atas hak kekayaan di berbagai Negara.56
Perlindungan dan penegakan hukum hak kekayaan intelektual berjutuan
untuk mendorong timbulnya inovasi, pengalihan dan penyebaran teknologi dan
diperoleh manfaat bersama antara penghasil dan pengguna, dengan cara
menciptakan kesejahteraan sosial ekonomi serta keseimbangan antara hak dan
kewajiban.57
Selanjutnya dalam penelitian tesis ini juga menggunakan Teori Aplikasi
(Operational Theory) atau (Applied Theory) yaitu tentang “Kebudayaan”.
54
Tomi Suryo Utomo, Hak Kekayaan Intelektual di Era Global, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2010,
hlm. 2. 55
Elyta Ras Ginting, Hukum Hak Cipta Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2012, hlm.
16. 56
Ibid., hlm. 17. 57
Abdul Thalib, Hak Kekayaan Intelektual (HAKI), Bahan Ajar, Program Studi Ilmu Hukum
Pascasarjana, Universitas Islam Riau, Pekanbaru, 2013, hlm. 17.
29
Kebudayaan adalah salah satu dari sistem tata nilai yang dihayati dan dianut
seseorang kemudian membentuk sikap mental dan pola berfikir seseorang itu
ditentukan oleh kelompok masyarakat lingkungannya. Menurut Koentjaraningrat
mengemukakan bahwa :
“Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya
manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri
manusia dalam belajar”.58
Manusia dan kebudayaan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan,
meskipun makhluk manusia akan mati, tetapi kebudayaan akan diwariskan pada
keturunannya. Waris adalah orang yang berhak menerima harta pusaka dari orang
yang telah meninggal, sedangkan pewarisan adalah proses mewarisi atau
mewariskan.59
Berdasarkan penelitian terdahulu yang diteliti oleh Marselina Dorkas Gah
Yang Berjudul Prinsip-Prinsip Hak Kekayaan Intelektual Atas Hak Cipta Karya
Seni Tenunan Tradisional (Tenun Ikat Sumba Timur) pada Program Studi
Magister Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas
Jember pada Tahun 2012. Hasil penelitian menunjukkan bahwa :
1. Tidak semua prinsip dalam Hak Cipta dapat diimplementasikan dalam
karya cipta tenun ikat Sumba Timur, karena terdapat perbedaan
karakteristik antara folklor atau ciptaan tradisional dengan ciptaan-
ciptaan pada umumnya, selain itu belum adanya instrumen hukum
baik secara internasional maupun nasional yang bersifat mengikat dan
menjadi model dalam pengaturan mengenai perlindungan terhadap
ciptaan-ciptaan tradisional.
2. Karya seni tenun ikat Sumba Timur dikualifikasikan sebagai kekayaan
intelektual tradisional, dikarenakan kaya seni ini merupakan bagian
58
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Rieneka Cipta, Jakarta, 2000, hlm. 180. 59
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1986, hlm.
852.
30
dari ekspresi budaya tradisional yang hidup dan berlangsung sejak
lama di masyarakat Sumba Timur. Berbeda dengan HKI Modern yang
lebih mengedepankan kepemilikan individu dan mempersyaratkan
keaslian. Namun demikian, diantara keduanya sama-sama berangkat
dari adanya kreatifitas intelektual.
3. Undang-Undang Hak Cipta belum memberikan perlindungan hukum
yang memadai terhadap kekayaan intelektual berupa karya seni tenun
ikat Sumba Timur dikarenakan tidak memenuhi beberapa prinsip yang
dipersyaratkan oleh Undang-Undang Hak Cipta untuk mendapat
perlindungan, selain itu ketidak jelasan mengenai pengaturan atas
folklor yang di dalamnya mencakup tenunan tradisional, yaitu belum
adanya lembaga yang ditunjuk dalam mengadministrasi ciptaan yang
berupa folklor termasuk karya seni tenun ikat Sumba Timur dan juga
belum adanya peraturan pelaksana yang mengatur mengenai
mekanisme perlindungannya.60
Berdasarkan penelitian terdahulu yang diteliti oleh Rahmadany Yang
Berjudul Perlindungan Hukum Terhadap Pengetahuan Tradisional (Kajian
Terhadap Motif Ulos Batak Toba) pada Program Studi Magister Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan Tahun 2011.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa, Ulos Batak Toba merupakan bagian
dari pengetahuan tradisional, ulos dibuat oleh masyarakat adat Batak Toba yang
ada di Sumatera Utara, pembuatan ulos ini dilakukan secara turun temurun.
Pengaturan mengenai Ulos terdapat dalam pasal 12 ayat 1 huruf i UUHC Nomor
19 Tahun 2002 yaitu dalam ruang lingkup seni batik. Ulos disamakan dengan
pengertian seni batik karena ulos adalah kain tenun khas Batak yang dibuat secara
konvensional dilindungi dalam undang-undang ini sebagai bentuk ciptaan
tersendiri. Karya-karya seperti itu memperoleh perlindungan karena mempunyai
60
Marselina Dorkas Gah, Prinsip-Prinsip Hak Kekayaan Intelektual Atas Hak Cipta Karya Seni
Tenunan Tradisional (Tenun Ikat Sumba Timur), Tesis, Program Studi Magister Ilmu Hukum
Konsentrasi Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Jember, 2012.
31
nilai seni, baik pada ciptaan motif atau gambar maupun komposisi warnanya.61
E. Konsep Operasional
Suatu konsep operasional merupakan konsep yang menggambarkan
hubungan antara konsep-konsep khusus yang ingin atau akan di teliti, sedangkan
konsep atau variabel merupakan abstraksi dari gejala atau fenomena yang diteliti.
Konsep operasional pada hakekatnya merupakan suatu pengarahan atau pedoman
yang lebih kongkrit dari pada kerangka teoritis yang sering kali bersifat abstrak.
Konsep operasional ini dibuat untuk menghindari pemahaman dan penafsiran
yang keliru dan memberikan arahan dan batasan-batasan pada penelitian ini.
Perlindungan merupakan tempat berlindung atau merupakan perbuatan (hal)
melindungi.62
Perlindungan hukum adalah segala upaya pemerintah untuk menjamin
adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada warganya agar hak
sebagai seorang warga negara tidak dilanggar, bagi yang melanggar, akan dapat
dikenakan sanksi sesuai peraturan yang berlaku.63
Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis
berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk
61
Rahmadany, Perlindungan Hukum Terhadap Pengetahuan Tradisional (Kajian Terhadap Motif
Ulos Batak Toba), Tesis, Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara, Medan, 2011. 62
W.J.S. Poerwadarminta, Op. Cit., hlm. 600. 63
Harian Republika, Pemegang Paten Perlu Perlindungan Hukum, Tanggal 24 Mei 2004,
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/35732/6/Chapter%20III-V.pdf, Diakses Pada
Tanggal 28 Mei 2016 Jam 09.32 Wib.
32
nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.64
Songket adalah kain yang ditenun dengan menggunakan benang emas atau
benang perak.65
Warisan adalah istilah menurut bahasa Indonesia yang mengandung arti
harta peninggalan, pusaka, surat-surat wasiat.66
F. Metode Penelitian
Penyusunan tesis ini penulis menggunakan beberapa bagian metode
penelitian yaitu :
1. Jenis dan Sifat Penelitian
a. Jenis Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan
metode pendekatan secara Hukum Sosiologis.67
Pendekatan secara hukum karena
penelitian bertitik tolak dengan menggunakan kaedah hukum terutama ditinjau
dari sudut ilmu hukum dan peraturan-peraturan tertulis yang direalisasikan pada
penelitian terhadap hal-hal yang berkaitan dengan perlindungan hak cipta atas seni
Batik Riau sebagai warisan budaya bangsa menurut Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
64
Pasal 1 angka (1), Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta. 65
Songket, http://kebudayaanindonesia.net/kebudayaan/877/songket, Diakses Pada Tanggal 28
Mei 2016 Jam 09.41 Wib. 66
Pengertian Warisan, http://www.kajianpustaka.com/2013/11/pengertian-rukun-dan-syarat-
warisan.html, Diakses Pada Tanggal 28 Mei 2016 Jam 09.56 Wib. 67
Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survai, PT. Pustaka LP3ES
Indonesia, Jakarta, 2005, hlm. 3.
33
b. Sifat Penelitian
Sedangkan dari sifatnya, penelitian ini merupakan penelitian deskriptif
analisis. Metode deskriptif dapat diartikan sebagai proses pemecahan masalah
yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan subyek atau
obyek peneliti, pada saat sekarang berdasarkan fakta yang tampak atau
sebagaimana adanya.
2. Lokasi Penelitian
Salah satu hal yang harus ada dalam penelitian empiris adalah adanya lokasi
penelitian yang menunjuk pada tempat dilakukan penelitian. Penelitian ini
dilakukan di dalam ruang lingkup wilayah hukum Kota Pekanbaru. Pemilihan
waktu penelitian pada tahun 2016.
3. Populasi dan Responden
Populasi dalam penelitian ini adalah pihak Kepala Kantor Wilayah
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Provinsi Riau, Kepala Dinas
Pariwisata Kesenian Dan Kebudayaan Provinsi Riau dan Rumah Tenunan Siak
Hasnah Munodo. Sebagaimana yang terdapat dalam tabel berikut :
Tabel I.1
Populasi dan Responden
No Populasi Responden
1 Kepala Kantor Wilayah Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia Provinsi
Riau
1 Orang
2 Kepala Dinas Pariwisata Kesenian Dan
Kebudayaan Provinsi Riau
1 Orang
3 Rumah Tenunan Siak Hasnah Munodo 3 Orang
Jumlah 5 Orang
Sumber : Olahan Data Populasi dan Sampel 2016
34
4. Data dan Sumber Data
Dalam suatu penelitian umumnya dibedakan antara data yang diperoleh
secara lansung dari masyarakat dan bahan-bahan pustaka. Sumber data yang
langsung di dapat dari masyarakat atau dari sumber pertama disebut dengan data
primer,68
sedangkan sumber dari kepustakaan dinamakan data sekunder.69
a. Data Primer
Data Primer merupakan data yang diperoleh melalui studi lapangan.
Data primer meliputi data perilaku terapan dari ketentuan normatif
terhadap peristiwa hukum in concreto.70
Data primer diperoleh
langsung dari responden.
b. Data Sekunder
Data sekunder pada dasarnya adalah data normatif terutama yang
bersumber dari perundang-undangan.71
Data sekunder atau studi
kepustakaan ini untuk mencari konsepsi-konsepsi, teori-teori,
pendapat-pendapat, ataupun penemuan-penemuan yang berhubungan
erat dengan pokok permasalahan.72
5. Alat Pengumpul Data
Sebagai alat pengumpulan data dalam penelitian ini adalah wawancara.
Wawancara adalah cara untuk memperoleh informasi dengan bertanya langsung
68
Sumadi Suryabrata, Metode Penelitian, Rajawali, Jakarta, 1990, hlm. 93. 69
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat,
Radja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm. 21. 70
Ibid., hlm. 46. 71
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004,
hlm. 151. 72
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum Dan Jurimetri, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 1990, hlm. 98.
35
pada yang diwawancarai.73
Wawancara mana dilakukan dengan pihak yang
berhubungan langsung dengan penelitian penulis.
6. Analisis Data
Data yang diperoleh baik dari studi lapangan maupun studi dokumen, pada
dasarnya merupakan data tataran yang dianalisis secara deskriptif kualitatif, yaitu
setelah data terkumpul kemudian dituangkan dalam bentuk uraian logis dan
sistematis, selanjutnya dianalisis untuk memperoleh kejelasan penyelesaian
masalah. Data yang diperoleh melalui observasi dan wawancara di olah dan di
analisis dengan menggunakan teori hukum, asas-asas hukum, serta peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan yang dijadikan dasar dalam penelitian.
7. Metode Penarikan Kesimpulan
Metode penarikan kesimpulan yang digunakan dalam penelitian ini
dilakukan dengan berfikir induktif yaitu penarikan kesimpulan nilai-nilai yang
terkandung dalam fakta untuk selanjutnya dirumuskan secara umum (generalisasi)
tentang perlindungan hak cipta atas seni Batik Riau sebagai warisan budaya
bangsa menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
73
Ibid., hlm. 57.