bab i pendahuluan a. latar belakang masalahrepository.uir.ac.id/692/1/bab1.pdf... adalah salah satu...

41
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam rangka memelihara dan meneruskan pembangunan yang berkesinambungan, para pelaku pembangunan baik pemerintah maupun masyarakat, baik perseorangan maupun badan hukum memerlukan dana yang sangat besar. Seiring dengan meningkatnya pembangunan, meningkat pula kebutuhan terhadap pendanaan, yang sebagian besar dana yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan tersebut diperoleh melalui kegiatan perkreditan. 1 PT. Pegadaian (PERSERO) adalah salah satu lembaga keuangan bukan bank di Indonesia, maka dari pada itu pihak pemberi kredit (kreditur) memberikan pinjaman kepada penerima kredit (debitur) dengan harapan bahwa pinjaman itu dapat dipergunakan sebaik-baiknya untuk kemajuan usaha debitur dan pada saat yang ditentukan pinjaman itu harus dikembalikan kepada kreditur. 2 Jaminan fidusia merupakan salah satu bentuk jaminan yang timbul untuk melengkapi kekurangan pada gadai. Kekurangan tersebut didasarkan pada sifat in bezit stelling dari gadai yang mensyaratkan kekuasaan atas barang jaminan harus berada pada pemegang gadai. Perkembangan kebutuhan masyarakat memerlukan bentuk jaminan yang dalam hal ini orang dapat memperoleh kredit dengan jaminan benda bergerak namun masih dapat menggunakannya untuk keperluan sehari-hari 1 Diakses pada : http:// bolmerhutasoit.wordpress.com, Tanggal 4 Februari 2017, Pukul 14:15 Wib 2 Oey Hoey Tiong, Fidusia Sebagai Jaminan Unsur-Unsur Perikatan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2008, Hlm 67 1

Upload: duongtu

Post on 10-Apr-2019

216 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam rangka memelihara dan meneruskan pembangunan yang

berkesinambungan, para pelaku pembangunan baik pemerintah maupun masyarakat,

baik perseorangan maupun badan hukum memerlukan dana yang sangat besar.

Seiring dengan meningkatnya pembangunan, meningkat pula kebutuhan terhadap

pendanaan, yang sebagian besar dana yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan

tersebut diperoleh melalui kegiatan perkreditan.1

PT. Pegadaian (PERSERO) adalah salah satu lembaga keuangan bukan bank

di Indonesia, maka dari pada itu pihak pemberi kredit (kreditur) memberikan

pinjaman kepada penerima kredit (debitur) dengan harapan bahwa pinjaman itu dapat

dipergunakan sebaik-baiknya untuk kemajuan usaha debitur dan pada saat yang

ditentukan pinjaman itu harus dikembalikan kepada kreditur.2

Jaminan fidusia merupakan salah satu bentuk jaminan yang timbul untuk

melengkapi kekurangan pada gadai. Kekurangan tersebut didasarkan pada sifat in

bezit stelling dari gadai yang mensyaratkan kekuasaan atas barang jaminan harus

berada pada pemegang gadai. Perkembangan kebutuhan masyarakat memerlukan

bentuk jaminan yang dalam hal ini orang dapat memperoleh kredit dengan jaminan

benda bergerak namun masih dapat menggunakannya untuk keperluan sehari-hari

1 Diakses pada : http:// bolmerhutasoit.wordpress.com, Tanggal 4 Februari 2017, Pukul 14:15 Wib2 Oey Hoey Tiong, Fidusia Sebagai Jaminan Unsur-Unsur Perikatan, Ghalia Indonesia, Jakarta,

2008, Hlm 67

1

maupun untuk keperluan usahanya. Fidusia dianggap lebih mampu dan lebih sesuai

mengikuti perkembangan zaman serta kebutuhan masyarakat. Konstruksi jaminan

fidusia adalah penyerahan hak milik atas barang-barang bergerak kepunyaan debitur

kepada kreditur, sedangkan penguasaan fisiknya tetap pada debitur.

Ketertarikan penulis dalam mengambil judul ini karena PT. Pegadaian

(PERSERO) dapat memberikan pinjaman kepada masyarakat luas dengan tujuan ikut

membantu program pemerintah dalam upaya meningkatkan kesejahteraan khususnya

golongan ekonomi menengah kebawah, pada PT. Pegadaian (PERSERO) Cabang

Pasar Kodim, salah satu produk kredit yang diberikan adalah pemberian kredit untuk

Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) atau dalam pegadaian produk ini disebut

dengan Kredit Usaha Dengan Sistem Fidusia (KREASI), yaitu merupakan pemberian

pinjaman kepada para pengusaha Mikro Kecil dan Menengah (dalam rangka

pengembangan usaha) atas dasar gadai dengan pengembalian pinjaman dilakukan

melalui mekanisme angsuran. Kredit Usaha Mikro Kecil dan Menengah ini memiliki

beberapa keunggulan, yaitu fleksibel dalam menentukan jangka waktu pinjaman,

mulai dari 12 bulan, 24 bulan, ataupun 36 bulan. Sewa modal yang relatif murah

hanya 1% per bulan Flat atau 12 % per tahun. Dengan agunan berupa agunan BPKB

kendaraan bermotor (mobil plat kuning / hitam, serta sepeda motor) sehingga

kendaraan dapat tetap digunakan untuk mendukung operasional usaha, pinjaman

modal mulai dari Rp. 1.000.000,- (Satu juta rupiah) sampai dengan Rp.

100.000.000,- (Seratus juta rupiah). Pencairan kredit hanya dalam tempo 3 hari,

dimana hari pertama saat persyaratan yang ada telah dilengkapi oleh nasabah maka

2

dihari kedua akan diadakan survei di tempat usaha milik nasabah, dihari ketiga kredit

sudah bias dicairkan. Pelunasan kredit dapat dilakukan dengan cara mengangsur

setiap bulan dengan jumlah angsuran yang tetap, dan apabila ingin melakukan

pelunasan sekaligus dapat dilakukan sewaktu – waktu dengan pemberian diskon sewa

modal dan untuk mengetahui kendala-kendala yang terjadi dalam perjanjian fidusia.3

Sedangkan yang dimaksud dengan usaha mikro sebagaimana

dimaksud dalam Keputusan Menteri Keuangan RI No. 40/KMK.06/2003

tanggal 29 Januari 2003 adalah suatu usaha produktif milik keluarga atau

perorangan Warga Negara Indonesia, memiliki hasil penjualan paling banyak

Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah per tahun).

Usaha kecil sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No. 9 tahun 1995

tentang Usaha Kecil, adalah suatu usaha produktif yang berskala kecil :4

1. Milik Warga Negara Indonesia.2. Berbentuk usaha perorangan, badan usaha tidak berbadan hukum atau

berbadan hukum, termasuk koperasi.3. Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp.200.000.000,00 (dua ratus

juta rupiah), tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.4. Memiliki omset usaha paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar

rupiah) per tahun.5. Berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau cabang

perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau berafiliasi baik langsung denganusaha menengah atau usaha besar.

Menurut Pasal 8 huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2000

tentang PT. Pegadaian (PERSERO) yang berbunyi : “penyaluran uang pinjaman

3 Diakses pada www.pegadaian.co.id, Tanggal 4 Februari 2017, Pukul 14:15 Wib4 Undang-Undang No 9 tahun 1995 tentang Usaha Kecil

3

berdasarkan jaminan fidusia, pelayanan jasa titipan, pelayanan jasa sertifikasi logam

mulia dan batu, unit toko emas, dan industri perhiasan emas serta usaha-usaha lainnya

yang dapat menunjang tercapainya maksud dan tujuan perusahaan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 7, dengan persetujuan Menteri Keuangan”.

Menurut Pasal 8 huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2000

tentang PT. Pegadaian (PERSERO) juga bertugas menyalurkan pinjaman berdasarkan

jaminan fidusia. Wewenang PT. Pegadaian (PERSERO) untuk menyalurkan kredit

atau pinjaman dengan jaminan fidusia bertujuan untuk mencapai maksud dan tujuan

perusahaan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 103

Tahun 2000 yaitu :5

1. Turut meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama golonganmenengah ke bawah melalui penyediaan dana atas dasar hukum gadai,dan jasa di bidang keuangan lainnya berdasarkan ketentuan peraturanperundang-undangan yang berlaku.

2. Menghindarkan masyarakat dari bank gelap, praktek riba, dan pinjamantidak wajar lainnya.

Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud

maupun tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak

dapat dibebani Hak Tanggungan sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang

Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan

pemberi fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu yang memberikan

kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditur lainnya.”

5 Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2000 tentang PT. Pegadaian (PERSERO)

4

Dari definisi yang diberikan tersebut jelas bahwa fidusia dibedakan dari

jaminan fidusia. Fidusia merupakan suatu proses pengalihan hak kepemilikan dan

jaminan fidusia adalah jaminan yang diberikan dalam bentuk fidusia. Ini berarti

pranata jaminan fidusia yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 ini

adalah pranata jaminan fidusia sebagaimana dimaksud dalam Fiducia Cum Creditore

Contracta.6

Dari definisi yang diberikan dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999

dapat dikatakan bahwa dalam jaminan fidusia terjadi pengalihan hak kepemilikan.

Pengalihan itu terjadi atas dasar kepercayaan dengan janji benda yang hak

kepemilikannya dialihkan tetap dalam penguasaan pemilik benda. Pengalihan hak

kepemilikan tersebut dilakukan dengan cara Constitutum Possesorium. Ini berarti atas

suatu benda dengan melanjutkan penguasaan atas benda tersebut yang dimaksudkan

untuk kepentingan penerima fidusia.

Seperti halnya dengan hak tanggungan, lembaga jaminan fidusia yang kuat

mempunyai ciri-ciri :7

1. Memberikan kedudukan yang mendahulu kepada kreditur penerimafidusia terhadap kreditur lainnya.

2. Selalu mengikuti objek yang dijaminkan di tangan siapapun objek ituberada (droit de suite), kecuali pengalihan atas benda persediaan yangmenjadi objek jaminan fidusia.

3. Memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga mengikat pihak ketigadan memberikan jaminan kepastian hukum kepada pihak-pihak yangberkepentingan.

4. Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya Dalam hal debitur ataupemberi fidusia cidera janji, pemberi fidusia wajib menyerahkan objek

6 Diakses pada : http:// bolmerhutasoit.wordpress.com, Tanggal 4 Februari 2017, Pukul 14:15 Wib7 Purwahid Patrik dan Kashadi, Hukum Jaminan (Edisi Revisi Dengan UUHT), Fakultas Hukum

Universitas Diponegoro, Semarang, 2004, Hlm 36

5

jaminan fidusia dalam rangka pelaksanaan eksekusi. Eksekusi dapatdilakukan dengan cara pelaksanan title eksekutorial oleh penerima fidusiaartinya langsung melaksanakan eksekusi melalui lembaga parateeksekusi, atau penjualan benda objek jaminan fidusia atas kekuasaansendiri melalui pelelangan umum serta pengambilan pelunasan piutangdari hasil penjualan. Dalam hal akan dilakukan penjualan di bawah tanganharus dilakukan berdasarkan kesepakatan pemberi dan penerima fidusia.

Menurut Gustav Radbruch memakai asas prioritas. Asas prioritas tersebut

dijadikan sebagai sebagai tiga nilai dasar tujuan hukum yaitu keadilan, kemanfaatan

dan kepastian hukum. Setiap hukum yang diterapkan memiliki tujuan spesifik. Tujuan

hukum adalah sekaligus keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum maka faktanya

hal tersebut akan menimbulkan masalah. Tidak jarang antara kepastian hukum

berbenturan dengan kemanfaatan, antara keadilan dengan kepastian hukum, dan

antara keadilan terjadi benturan dengan kemanfaatan. Maka demi tercapainya tujuan

hukum yang menuntut kedamaian, ketentraman, kesejahteraan dan ketertiban dalam

masyarakat. Asas prioritas dalam tujuan hukum yang ditelurkan Gustav Radbruch

dapat dijadikan pedoman. Apalagi dengan kondisi masyarakat Indonesia yang berasal

dari berbagai latar belakang. Asas prioritas yang mengedepankan keadilan dari pada

manfaat dan kepastian hukum menjawab persoalan kemajemukan di Indonesia. Tetapi

menjadi catatan penerapan asas prioritas dapat dilakukan selama tidak mengganggu

ketenteraman dan kedamaian manusia selaku subjek hukum dalam masyarakat.8

Menurut Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah :9

8 Diakses pada : http blogspot.co.id/2014/12/tujuan-hukum-menurut-gustav-radbruch.html, Tanggal13 Maret 2017, Pukul 15:15 Wib

9 Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta,2001. Hlm 338

6

Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu pihak atau lebih mengikatkan

dirinya terhadap satu orang atau lebih.

Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan hukum antara dua orang atau

lebih yang disebut perikatan yang di dalamya terdapat hak dan kewajiban masing-

masing pihak. Perjanjian adalah sumber perikatan.10

Sedangkan menurut R. Subekti perjanjian itu adalah suatu peristiwa dimana

seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang saling berjanji untuk

melaksanakan suatu hal.11

Dalam Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Fidusia

dimuat pengertian dan batasan yaitu “Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan

suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak

kepemilikannya dialihkan tetap dalam penguasaan pemilik benda.”12

Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan

Fidusia menyebutkan yaitu “Jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak

baik berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya

bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam

Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan yang tetap berada

dalam penguasaan pemberian fidusia, sebagai pelunasan hutang tertentu, yang

10 Diakses pada : https://legalbanking.wordpress.com/materi-hukum/dasar-dasar-hukum-perjanjian/,Tanggal 25 April 2017, Pukul 22:30 Wib

11 R. Subekti, Hukum Perjanjian, PT Intermasa, Jakarta, 2005, Hlm 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Fidusia

7

memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditur

lainnya”.13

Ketentuan yang mengatur mengenai sifat jaminan fidusia, yaitu Pasal 4

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia, yang menyebutkan

bahwa “Jaminan fidusia merupakan perjanjian ikutan dari suatu perjanjian pokok

yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi.”

Maksud dari prestasi dalam ketentuan di atas adalah hal yang berupa

memberikan sesuatu, berbuat sesuatu yang dapat dinilia dengan uang. Sebagai suatu

perjanjian accesoir, perjanjian jaminan fidusia memiliki sifat sebagai berikut yaitu :14

1. Sifat ketergantungan terhadap perjanjian pokok.2. Keabsahannya semata-mata ditentukan oleh sah atau tidaknya perjanjian

pokok.3. Sebagai perjanjian bersyarat, maka hanya dapat dilaksanakan jika

ketentuan yang disyaratkan dalam perjanjian pokok telah atau tidakdipenuhi.

Menurut Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, perjanjian fidusia bersifat assesoir

dimana tergantung pada perjanjian pokok yang biasanya berupa perjanjian pinjaman

uang.15

Keuntungan jaminan fidusia yaitu :16

1. Pemilik barang lebih diuntungkan dengan jaminan ini karena yang berpindah

hanya haknya saja bukan barang yang dijaminkan.

13 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Fidusia14 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Jaminan Fidusia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, Hlm

12515 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Beberapa Masalah Pelaksanaan Lembaga Jaminan Khususnya

Fidusia Dalam Praktek dan Pelaksanaannya di Indonesia, UGM Press, Yogyakarta, 1997, Hlm 2616 Diakses pada : https://feelinbali.blogspot.co.id/2014/03/keuntungan-dan-kelemahan-jaminan-

fidusia.html, Tanggal 25 April 2017, Pukul 22:35 Wib

8

2. Terdapat perjanjian yang zakelijk.

3. Adanya title untuk peralihan hak.

Kelemahan jaminan fidusia yaitu :

1. Penerima jaminan hanya menerima hak dari barang yang dijaminkan dan tidak

dapat menikmati barangnya hal ini berbanding terbalik dengan gadai.

2. Hasil penjualan (eksekusi) barang fidusia melebihi jumlah utangnya maka sisa

hasil penjualan baru bisa dikembalikan kepada pemberi fidusia.

Aspek penyebab pelanggaran-pelanggaran kepastian hukum yang dilakukan

Kreditur dalam Perjanjian Kredit Usaha Mikro Dengan Jaminan Fidusia yaitu :

1. Pendaftaran fidusia dilakukan setelah debitur wanprestasi.

2. Perjanjian kredit yang diikat dengan jaminan fidusia namun obyeknya bukan

merupakan obyek jaminan fidusia, seperti misalnya hak sewa, hak pakai maupun

sewa beli (leasing). Hal ini lebih dikarenakan ketidaktahuan kreditur terhadap

aspek hukum tentang jaminan fidusia. Benda yang merupakan obyek sewa-

menyewa, hak pakai atau sewa beli bukan merupakan hak kebendaan sehingga

bukan merupakan obyek jaminan fidusia sehingga tidak dapat didaftar di Kantor

Pendaftaran Fidusia.

3. Kreditur melakukan eksekusi terhadap obyek jaminan fidusia tidak sesuai

ketentuan Pasal 29 Undang-Undang tentang Jaminan Fidusia. Apabila debitur

wanprestasi dengan tidak melunasi hutangnya sesuai yang diperjanjikan, maka

dapat dilakukan eksekusi terhadap obyek jaminan fidusia yang telah didaftarkan

di Kantor Pendaftaran Fidusia guna pelunasan utang tersebut.

9

4. Kreditur tidak mendaftarkan obyek jaminan fidusia di Kantor Pendaftaran

Fidusia karena adanya beberapa peraturan yang mengatur namun belum jelas

dan tegas (norma kabur) serta ada beberapa peraturan yang tidak mengatur sama

sekali (norma kosong), mengenai akibat hukum apabila tidak mendaftarkan atau

telat mendaftarkan benda jaminan tersebut, khususnya undang-undang ataupun

peraturan-peraturan yang berkaitan dengan jaminan fidusia ataupun peraturan

mengenai tata cara pendaftaran jaminan fidusia. Norma kabur (ketidakjelasan) /

(vague van normen) dan norma kosong tersebut dapat dilihat pada :

1. Pasal 1131, Pasal 1132, dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (norma

kosong).

2. Pasal 11 sampai dengan Pasal 18 mengenai Pendaftaran Jaminan Fidusia

dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia

(norma kabur).

3. Pasal 1 angka 11, Pasal 1 angka 23, Pasal 8, Pasal 11 Undang-Undang

Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7

Tahun 1992 tentang Perbankan (norma kosong).

4. Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6 Peraturan Pemerintah Republik

Indonesia Nomor 86 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan

Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 170) (norma kabur).

5. Pasal 1 ayat (1), Pasal 2, dan Pasal 3 Peraturan Menteri Keuangan Nomor

130/PMK.010/Tahun 2012 tentang Pendaftaran Jaminan Fidusia bagi

10

Perusahaan Pembiayaan yang melakukan Pembiayaan Konsumen untuk

Kendaraan Bermotor dengan Pembebanan Jaminan Fidusia (norma kabur).

6. Pasal 3 dan Pasal 9 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia

Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pendaftaran

Jaminan Fidusia secara elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 2013 Nomor 419) (norma kabur).

Istilah wanprestasi dalam hukum perikatan dapat diartikan sebagai suatu

kelalaian dan atau ingkar janji. Bentuk-bentuk wanprestasi itu antara lain adalah tidak

melaksanakan prestasi (prestatie) tetapi hanya sebagian, melaksanakan prestasi

(prestatie) tetapi terlambat, melaksanakan prestasi (prestatie) namun tidak

sebagaimana mestinya.17

Proses pelaksanaan eksekusi benda jaminan fidusia yang dilakukan PT

Pegadaian (Persero) Cabang Pasar Kodim adalah sebagai berikut :18

1. Eksekusi terhadap benda jaminan fidusia yang tidak didaftar adalah

perjanjian di bawah tangan terhadap perjanjian jaminan fidusia sehingga tidak

ditindaklanjuti dengan pendaftaran benda Jaminan Fidusia atau pembuatan

perjanjian Jaminan Fidusia dengan akta notariil tetapi tidak ditindaklanjuti

dengan pendaftaran di Kantor Pendaftaran Fidusia. Hal ini dilakukan dengan

pertimbangan bahwa nilai pinjaman yang di berikan tidak besar sehingga akan

17 Abd Thalib dan Admiral, Arbitrase dan Hukum Bisnis, UIR Press, Pekanbaru, 2005, Hlm 11218 Hasil Survei

11

menghabiskan biaya administrasi bila dilakukan pendaftaran, selain itu jangka

waktu yang akan dilewati juga tidak lama.

Terhadap benda dengan jaminan fidusia demikian maka eksekusinya

dilakukan sendiri oleh pegadaian, baik dengan cara melakukan pendekatan

secara pribadi agar pemberi fidusia melunasi hutangnya atau angsuran

hutang tersebut ditindak-lanjuti dengan mengambil objek jaminan fidusia atas

persetujuan pemberi fidusia karena pemberi fidusia sudah tidak mampu lagi

melanjutkan membayar angsurannya. Terhadap tindakan yang demikian

Perum Pegadaian mendasarkan pada perjanjian yang salah satu dokumenya

adalah surat kuasa pengambil benda jaminan fidusia yang telah diberikan

pemberi fidusia kepada PT Pegadaian (Persero).

2. Eksekusi terhadap benda jaminan yang didaftarkan adalah terhadap benda

jaminan yang dibebani dengan Jaminan Fidusia dan didaftarkan oleh

pegadaian kepada Kantor Pendaftaran Fidusia, berarti sudah memenuhi Pasal

5 dan Pasal 11 undang-undang Jaminan Fidusia terhadap benda jaminan

fidusia yang demikian dimungkinkan dilakukan dengan cara parate eksekusi.

Berdasarkan hasil survei peneliti di lapangan tepatnya di PT Pegadaian

(Persero) Cabang Pasar Kodim yang beralamat di Jalan Teratai No 92, terdapat

debitur yang wanprestasi dalam Perjanjian Kredit Usaha Mikro Dengan Jaminan

Fidusia yang disebabkan oleh berbagai faktor, yaitu karena usaha yang dirintis oleh

debitur mengalami kemacetan, kerugian, ataupun penipuan, dapat juga karena

keadaan memaksa atau overmacht, atau mungkin saja karena kepribadian dari

12

debiturnya sendiri yang tidak memiliki itikad baik dalam berkredit. Wanprestasi disini

adalah keadaan dimana debitur tidak melaksanakan kewajibannya yaitu membayar

bunga dari kreditnya ataupun sama sekali tidak mau melunasi hutangnya tepat pada

waktunya yang telah ditentukan akibatnya barang itu dilelang oleh pihak pegadaian,

dalam penelitian ini debitur yang melakukan perjanjian kredit usaha mikro dengan

jaminan fidusia pada tahun 2016 berjumlah 256 orang sedangkan debitur yang

wanprestasi berjumlah 150 orang pada tahun 2016.19

Dari hasil survey yang penulis lakukan pada PT. Pegadaian (Persero) Cabang

Pasar Kodim, PT. Pegadaian (PERSERO) memfasilitasi pemberian kredit dengan

jaminan fidusia terhadap para kalangan usaha, bukan untuk kredit yang bersifat

konsumtif. Disatu sisi penjaminan dengan fidusia akan lebih menguntungkan para

pihak karena kreditur PT. Pegadaian (PERSERO) tidak menyimpan barang jaminan

fidusia sehingga dapat mengurangi resiko atas barang barang jaminan, sedangkan

keuntungan debitur ialah barang jaminan masih dapat dipergunakan untuk kegiatan

mereka sehari-hari. Namun di sisi lain pemberian jaminan fidusia ini dari sisi

perlindungan hukum terhadap kreditor kurang menguntungkan dibandingkan dengan

jaminan gadai, apalagi sumber daya manusia di PT. Pegadaian (PERSERO) menurut

pengamatan penulis masih kurang dibandingkan dengan sumber daya manusia di

perbankan. Sehingga dari segi pendaftaran fidusia maupun eksekusi apabila debitur

wanprestasi akan menyulitkan PT. Pegadaian (PERSERO) itu sendiri.

19 Hasil Survei

13

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik meneliti dengan judul

penelitian : “Tinjauan Tentang Pelaksanaan Perjanjian Terhadap Jaminan

Fidusia Dalam Perjanjian Kredit Usaha Mikro Antara Nasabah Dengan PT.

Pegadaian (Persero) Cabang Pasar Kodim Pekanbaru“.

B. Pokok Permasalahan

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, pokok permasalahan dari

penelitian ini adalah :

1. Bagaimanakah Pelaksanaan Perjanjian Terhadap Jaminan Fidusia Dalam

Perjanjian Kredit Usaha Mikro Antara Nasabah Dengan PT. Pegadaian

(Persero) Cabang Pasar Kodim Pekanbaru ?

2. Apa sajakah Kendala-Kendala Jaminan Fidusia Dalam Perjanjian Kredit

Usaha Mikro Antara Nasabah Dengan PT. Pegadaian (Persero) Cabang

Pasar Kodim Pekanbaru ?

C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui pelaksanaan perjanjian terhadap jaminan fidusia dalam

perjanjian kredit usaha mikro antara nasabah dengan PT. Pegadaian

(Persero) Cabang Pasar Kodim Pekanbaru.

14

2. Untuk mengetahui kendala-kendala jaminan fidusia dalam perjanjian

kredit usaha mikro antara nasabah dengan PT. Pegadaian (Persero)

Cabang Pasar Kodim Pekanbaru.

Manfaat penelitian dengan adanya penelitian ini, bermanfaat di tinjau dari dua

segi yaitu segi teoritis dan praktis untuk :1. Manfaat Teoritis

1. Untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang di dapat di bangku

perkuliahan dan membandingkannya dengan praktek di lapangan.2. Sebagai sarana dalam mengembangkan wacana dan pemikiran bagi peneliti.3. Sebagai bahan evaluasi bagi PT. Pegadaian (Persero) Cabang Pasar Kodim

terhadap jaminan fidusia dalam perjanjian kredit usaha mikro.4. Sebagai sarana dalam mengembangkan wacana dan pemikiran sebagai

mahasiswa dalam bentuk karya ilmiah bagi Fakultas Hukum Pascasarjana

Universitas Islam Riau.2. Manfaat Praktis

1. Memberikan sumbangan pemikiran dan menambah ilmu pengetahuan

terutama di bidang hukum dan khususnya dalam hukum pegadaian.

2. Hasil penelitian ini sebagai bahan ilmu pengetahuan bagi penulis, khususnya

bidang hukum bisnis.

D. Kerangka Teori

Bidang hukum perjanjian, diatur dalam Buku III Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata dengan sistem terbuka yang artinya hukum perjanjian memberikan

kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk melakukan suatu perjanjian

15

asalkan tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan.20 Pasal 1313

KUHPerdata, menentukan bahwa definisi “Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan

mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau

lebih”.21

Perbuatan yang disebutkan dalam rumusan ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata

menjelaskan bahwa perjanjian hanya mungkin terjadi jika ada suatu perbuatan yang

nyata. Baik dalam bentuk ucapan, maupun tindakan secara fisik dan tidak hanya

dalam bentuk pikiran sematamata sehingga suatu perjanjian adalah :

1. Suatu perbuatan.

2. Antara sekurang-kurangnya dua orang atau lebih.

3. Perbuatan tersebut melahirkan perikatan diantara pihak-pihak yang

berjanji.

Dengan adanya pengertian perjanjian seperti ditentukan di atas, dapat diambil

kesimpulan bahwa kedudukan antara pihak yang mengadakan perjanjian adalah sama

dan berimbang.

Pengertian perjanjian seperti tersebut di atas terlihat secara mendalam, akan

terlihat bahwa pengertian tersebut ternyata mempunyai arti yang sangat luas dan

umum sekali sifatnya, selain itu juga tanpa menyebutkan untuk tujuan apa perjanjian

tersebut dibuat. Hal tersebut terjadi karena di dalam pengertian perjanjian menurut

ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata, hanya menyebutkan tentang pihak yang satu atau

20 Sentosa Sembiring, Hukum Perbankan, Cet. II, CV. Mandar Maju, Bandung, 2008, Hlm 6121 Gunawan Widjaya dan Ahmad Yani, Op.,cit, Hlm 45

16

lebih mengikatkan dirinya pada pihak lainnya dan sama sekali tidak menentukan

untuk apa tujuan suatu perjanjian tersebut dibuat. Oleh karena itu suatu perjanjian

akan lebih luas juga jelas artinya, jika pengertian mengenai perjanjian tersebut

diartikan sebagai suatu persetujuan di mana dua orang atau lebih saling mengikatkan

diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan.22

Menurut Setiawan Perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dimana satu

orang atau lebih saling mengikatkan diri tergadap satu orang atau lebih.23

Dalam membuat perjanjian tersebut maka didalamnya terkandung hak dan

kewajiban dan hak serta kewajiban tersebut oleh para pihak telah diketahui dan

mengenai hak serta kewajiban tersebut dalam pelaksanaannya harus dilakukan

sebagaimana pelaksanaan peraturan perundang-undangan, hal ini sesuai berdasarkan

ketentuan bunyi Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata yang menyatakan “Suatu perjanjian

yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang

membuatnya”. Jadi berdasarkan ketentuan pasal tersebut maka dalam pelaksanaan

hak dan kewajiban dalam suatu perjanjian dapat dipaksakan kepada para pihak.

Ketentuan Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata memberikan kebebasan kepada

para pihak untuk :24

a. Membuat atau tidak membuat perjanjian.

b. Mengadakan perjanjian dengan siapapun.

c. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan dan persyaratannya.

22 Abdul Kadir Mohammad, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bhakti, Bandung , 2008, Hlm 7823 Setiawan R, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bumi Cipta, Bandung, 2010, Hlm 4924 Ibid., Hlm 7

17

d. Menentukan bentuk perjanjian yaitu tertulis atau lisan.

Pelaksanaan hak dan kewajiban yang dapat dipaksakan tersebut haruslah

perjanjian yang dibuat secara sah, sehingga dengan sahnya perjanjian tersebut maka

melahirkan hak dan kewajiban. Untuk sahnya suatu perjanjian maka diperlukan

empat syarat sahnya perjanjian sebagaimana ditentukan dalam ketentuan Pasal 1320

KUH Perdata yang menyatakan “ untuk sahnya suatu perjanjian maka diperlukan

empat syarat yaitu :

1. Kesepakatan kedua belah pihak.

Syarat sahnya perjanjian adalah adanya kesepakatan yang ditandai dengan

perasaan rela atau ikhlas di antara para pihak pembuat perjanjian mengenai hal-

hal yang dituangkan didalam isi perjanjian. Kesepakatan ini diatur dalam Pasal

1320 ayat 1 KUH Perdata. Adapun yang dimaksud dengan kesepakatan adalah

penyesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak

lainnya.

Pada dasarnya, cara yang paling banyak dilakukan oleh para pihak, yaitu

dengan bahasa yang sempurna secara lisan dan secara tertulis. Tujuan pembuatan

perjanjian secara tertulis adalah agar memberikan kepastian hukum bagi para

pihak dan sebagai alat bukti yang sempurna, dikala timbul sengketa dikemudian

hari.

2. Kecakapan dalam membuat suatu perjanjian.

Kecakapan dalam membuat suatu perjanjian, yaitu kecakapan atau

kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum bagi orang-orang yang oleh

18

hukum dinyatakan sebagai subjek hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan

yang akan menimbulkan akibat hukum. Orang-orang yang akan mengadakan

perjanjian haruslah orang-orang yang cakap dan mempunyai wewenang untuk

melakukan perbuatan hukum, sebagai mana yang ditentukan oleh undang-

undang. Orang yang cakap dan berwenang untuk melakukan perbuatan hukum

adalah orang yang sudah dewasa, yaitu mereka yang telah berusia 21 tahun atau

sudah menikah.

Orang yang tidak berwenang melakukan perbuatan hukum adalah :

a. Orang – orang yang belum dewasa.

b. Orang yang berada dibawah pengampuan.

c. Wanita yang telah bersuami.

Pengertian tidak cakap hukum dibagi dalam 3 hal yaitu :25

1. Kriteria orang yang belum dewasa didalam KUH Perdata diatur didalam

Pasal 330, di mana ditentukan : “belum dewasa adalah mereka yang belum

mencapai umur genap dua puluh satu tahun dan tidak lebih dahulu kawin.

“apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum umur mereka genap 21 tahun,

maka mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa.

2. Menurut Pasal 433 KUH Perdata, orang – orang yang diletakkan dibawah

pengampuan adalah setiap orang dewasa yang selalu berada dalam keadaan

dungu, sakit otak atau mata gelap dan boros. Dalam hal ini pembentuk

undang-undang memandang bahwa yang bersangkutan tidak mampu

25 Abd Thalib dan Admiral, Op.,cit, Hlm 141

19

menginsyafi tanggung jawabnya dan karena itu tidak dapat bertindak untuk

mengadakan perjanjian. Apabila seorang yang belum dewasa, dan mereka

yang diletakkan dibawah pengampuan itu mengadakan perjanjian maka yang

mewakilinya masing masing adalah orang tua dan pengampunya.

3. KUH Perdata juga memandang bahwa seorang wanita yang telah bersuami

tidak cakap untuk mengadakan perjanjian yang dalam hal ini apabila ia

berbuat harus didampingi oleh suaminya. Sejak tahun 1963 dengan Surat

Edaran Mahkamah Agung No. 3/1963 yang ditujukan kepada ketua

pengadilan negeri dan pengadilan tinggi diseluruh Indonesia, maka

kedudukan seorang wanita yang telah bersuami itu diangkat kederajat yang

sama dengan pria, karena untu mengadakan perbuatan hukum dan

menghadap didepan pengadilan ia tidak memerlukan bantuan lagi dari

suaminya. Dengan demikian maka sub. 3 dari Pasal 1330 KUH Perdata

sekarang tidak berlaku lagi.26

3. Suatu hal tertentu.

Sebagai syarat ketiga sahnya perjanjian, menurut Pasal 1320 KUHPerdata

ialah suatu hal tertentu. Ketentuan untuk hal tertentu ini menyangkut objek

hukum atau mengenai bendanya.

Dalam membuat perjanjian antara para subyek hukum itu menyangkut

mengenai objeknya, apakah menyangkut benda berwujud, tidak berwujud, benda

bergerak atau benda tidak bergerak.

26 Ibid., Hlm 142

20

Hal tertentu mengenai obejek hukum benda itu oleh pihak-pihak

ditegaskan dalam perjanjian mengenai :

a. Jenis barang.

b. Kualitas dan mutu barang.

c. Buatan pabrik dan dari negara mana.

d. Buatan tahun berapa.

e. Warna barang.

f. Ciri khusus barang tersebut.

g. Jumlah barang.

h. Uraian lebih lanjut mengenai barang itu.

4. Suatu sebab yang halal.

Dalam pengertian ini pada benda (objek hukum) yang menjadi pokok

perjanjian itu harus melekat hak yang pasti dan diperbolehkan menurut hukum

sehingga perjanjian itu kuat.27

PT Pegadaian (PERSERO) salah satu lembaga keuangan bukan bank di

Indonesia yang mempunyai aktivitas memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap

sejumlah dana, baik bersifat produktif maupun konsumtif yang menggunakan hukum

gadai. Pada dasarnya transaksi pembiayaan yang dilakukan oleh PT Pegadaian

(PERSERO) sama dengan prinsip pinjaman melalui lembaga perbankan, namun yang

27 CST Kansil dan Christine S.T Kansil, Modul Hukum Perdata Termasuk Asas-Asas HukumPerdata, Pradnya paramita, Jakarta, 2000, Hlm 223.

21

membedakannya adalah dasar hukum yang digunakan yaitu hukum gadai artinya

bahwa barang yang digadaikan itu harus diserahkan oleh pemberi gadai kepada

penerima gadai sehingga barang-barang itu berada di bawah kekuasaan pemberi gadai

asas ini disebut Inbezitsteling.28

Inbezitsteling yaitu lebih menunjukkan adanya hubungan nyata antara si

pemegang dengan bendanya. Tanpa memperhatikan apakah ia menguasai benda

tersebut sesuai atau tidak dengan keadaan yuridisnya. Ini karena bezitter adalah pihak

yang secara nyata atau lahiriah nampak sebagai orang yang menguasai benda

tersebut. Maka ia akan memperoleh perlindungan hukum sebagai penguasa (bezitter)

tanpa wajib membuktikan haknya.29

Menurut Pasal 8 huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2000

tentang PT. Pegadaian (PERSERO) yang berbunyi : “penyaluran uang pinjaman

berdasarkan jaminan fidusia, pelayanan jasa titipan, pelayanan jasa sertifikasi logam

mulia dan batu, unit toko emas, dan industri perhiasan emas serta usaha-usaha lainnya

yang dapat menunjang tercapainya maksud dan tujuan perusahaan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 7, dengan persetujuan Menteri Keuangan”.

Menurut Pasal 8 huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2000

tentang PT. Pegadaian (PERSERO) juga bertugas menyalurkan pinjaman berdasarkan

jaminan fidusia.

28 Ade Arthesa, Edia Handiman, Bank Dan Lembaga Keuangan Bukan Bank, PT. Indeks Gramedia,Jakarta, 2006, Hlm 271

29 Diakses pada : http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt51ac95ad59294/tentang-bezit-dan-bezitter, Tanggal 25 April 2017, Pukul 21:30 Wib

22

Fidusia menurut asal katanya berasal dari kata “fides” yang berarti

kepercayaan, sesuai dengan arti kata ini, maka hubungan hukum antara

debitur (pemberi fidusia) dan kreditur (penerima fidusia) merupakan hubungan

hukum karena kepercayaan. Pemberi fidusia percaya bahwa penerima fidusia mau

mengembalikan hak milik barang yang telah diserahkan setelah dilunasi hutangnya.

Sebaliknya penerima fidusia percaya bahwa pemberi fidusia tidak akan

menyalahgunakan barang jaminan yang ada dalam kekuasaanya.

Pranata jaminan fidusia sudah dikenal dan diberlakukan sejak jaman Romawi.

Ada dua bentuk jaminan fidusia yaitu, fiducia cum creditore dan fiducia cum amico.

Keduanya timbul dari perjanjian factum fiduciae yang kemudian diikuti dengan

penyerahan hak atau in iure cessio. Dalam bentuk yang pertama atau lengkapnya

fiducia cum creditore contracta yang berarti janji kepercayaan yang dibuat dengan

kreditur dengan kata lain bahwa debitur akan mengalihkan kepemilikan suatu benda

kepada kreditur sebagai jaminan utangnya dengan kesepakatan bahwa kreditur akan

mengalihkan kembali kepemilikian tersebut kepada debitur apabila utangnya sudah

dilunasi.

Pada prinsipnya sistem hukum jaminan melarang penerima jaminan menjadi

pemilik dari barang yang dijaminkan biarpun seandainya debitur lalai memenuhi

kewajibannya. Kreditur hanya mempunyai hak untuk menjual barang jaminan dan

mengambil pelunasan dari hasil penjualan itu.30

30 Subekti, Op.,cit, Hlm 72

23

Sedangkan pendaftaran jaminan fidusia adalah mendaftarkan benda jaminan

dalam perjanjian kredit ataupun perjanjian pembiayaan yang diikat dengan fidusia,

yang telah dilakukan pembebanan dengan akta jaminan fidusia, pada Kantor

Pendaftaran Fidusia.31 Tujuannya adalah memperoleh Sertifikat Jaminan Fidusia

sebagai bukti bagi kreditur adalah pemegang jaminan fidusia, sehingga kreditur

memperoleh kepastian hukum dan keuntungan sebagai kreditur preferen (kreditur

yang didahulukan). Jaminan fidusia ini dipergunakan dalam perjanjian jaminan

fidusia.

Definisi Kredit menurut Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Pokok Perbankan

No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992

tentang Perbankan menentukan bahwa “Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan

yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan

pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam

untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”.

Perjanjian kredit merupakan Perjanjian kebendaan yaitu perjanjian yang dibuat oleh

dua pihak atau lebih berdasarkan kesepakatan pihak-pihak yang berjanji sesuai

dengan peraturan perundang-undangan yang dapat mengakibatkan melahirkan hak

kebendaan, beralih, berubah serta berakhirnya hak kebendaan tersebut.

Menurut Undang-Undang No 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia adalah

hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud

31 Thomas Soebroto, Tanya Jawab Hukum Jaminan Hipotek, Fidusia Dan Penanggulangan, DharaPrize, Semarang, 2010, Hlm 80

24

dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak

tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996

tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia,

sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang

diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditur lainnya. Ciri-ciri jaminan

fidusia diantaranya adalah memberikan hak kebendaan, memberikan hak didahulukan

kepada kreditur, memungkinkan kepada pemberi jaminan fidusia untuk tetap

menguasai objek jaminan utang, memberikan kepastian hukum, dan mudah

dieksekusi.32 Pemberian Jaminan Fidusia selalu berupa penyediaan bagian dari harta

kekayaan si pemberi fidusia untuk pemenuhan kewajibannya.33

Selain digunakan dalam perjanjian kredit, jaminan fidusia juga dapat

digunakan dalam Pembiayaan Konsumen. Pembiayaan konsumen (Consumer

Financing) berdasarkan Pasal 1 angka 7 Peraturan Presiden Republik Indonesia

Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan adalah ”kegiatan pembiayaan

untuk pengadaan barang berdasarkan kebutuhan konsumen dengan pembayaran

secara angsuran”.

Perbedaan antara fidusia zaman romawi dengan zaman sekarang adalah

terletak pada peraturan dan sistemnya, pada zaman romawi sistemnya hanya

bertumpu pada kepercayaan (trust) saja.34 Sesuai dengan dinamisnya perkembangan

masyarakat kita, maka hukum pun berkembang, termasuk sistem hukum jaminan

32 Bahsan, Op., cit, Hlm 5133 Abdulkadir Muhammad, Hukum Harta Kekayaan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010, Hlm 934 Sudargo Gautama, Pengakuan Fidusia dalam Perundang-Undangan di Indonesia, Varia Peradilan,

Majalah Hukum No. 30, IKAHI, Jakarta, 2007, Hlm 48

25

kepercayaan ini, sehingga terbentuklah Undang-Undang No 42 Tahun 1999 tentang

Jaminan Fidusia pada tanggal 30 September 1999.

Perjanjian Jaminan Fidusia ini bersifat accesoir karena merupakan ikutan dari

perjanjian pokok, yaitu perjanjian kredit.35 Lembaga Jaminan Fidusia yang sudah

terkodifikasi ini sangat banyak memberikan keuntungan bagi debitur juga kreditur.

Sebagai pemegang Jaminan Fidusia membuat kedudukan kreditur sebagai kreditur

preferen yang artinya kreditur yang didahulukan dari kreditur yang lainnya.36

Kemudian keuntungannya bagi debitur disini adalah dimana objek yang dijadikan

jaminan hutang masih dapat dikuasai oleh debitur untuk mengoperasionalkan bisnis

mereka sehingga debitur dapat memenuhi tanggung jawabnya dalam melakukan

pelunasan hutangnya kepada kreditur.

Jaminan fidusia merupakan jaminan kepercayaan yang berasal dari adanya

suatu hubungan perasaan antara manusia yang satu dengan manusia lainnya yang

mana mereka merasa aman, sehingga tumbuh rasa percaya terhadap teman

interaksinya tersebut, untuk selanjutnya memberikan harta benda mereka sebagai

jaminan kepada tempat mereka berhutang. Fidusia jaman romawi disebut juga

Fiducia Cum Creditore, artinya adalah penyerahan sebagai jaminan saja bukan

peralihan kepemilikan. Kepercayaan atau trust merupakan hubungan yang

didasarkan pada aturan moral. Definisi trust, berdasarkan pendapat Bogart adalah

hubungan kepercayaan yang mana satu orang adalah sebagai pemegang hak atas harta

35 Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, Op., cit, Hlm 1436 Satrio, Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan Fidusia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006,

Hlm 64

26

kekayaan berdasarkan hukum tunduk pada kewajiban berdasarkan equity untuk

memelihara atau mempergunakan milik itu untuk kepentingan orang lain.37 Melihat

dari definisi tersebut, kemungkinan bagi kreditur untuk wanprestasi juga cukup besar,

sehingga menyebabkan orang mulai melihat kelemahan fidusia pada masa itu,

kemudian meninggalkannya dan beralih pada gadai dan hipotek. Seiring munculnya

lembaga gadai dan hipotek, fidusia pun tenggelam dengan sendirinya.

Selanjutnya terjadi banyak perubahan akan pranata hukum jaminan tersebut

yang kemudian disebut Hukum Jaminan Fidusia yang merombak kedudukan hukum

para debitur dan kreditur, maka para debitur yang menjaminkan bendanya tetap dapat

menguasai bendanya sehingga dapat membantu mereka untuk tetap

mengoperasionalkan bisnis mereka dan dapat konsekuen memenuhi prestasi dalam

kredit mereka, sedangkan kreditur hanya sebagai pemegang jaminan dengan buktinya

adalah memegang Sertifikat Jaminan Fidusia. Selain itu juga timbul nilai positif pada

kedudukan kreditur pemegang jaminan fidusia adalah sebagai Kreditur Preferen

(yang didahulukan). Tidak hanya itu, Hoge Raad Belanda maupun Mahkamah Agung

di Indonesia secara konsekuen berpendapat bahwa fidusia hanya dapat dilakukan atas

barang-barang bergerak, tetapi dalam praktek kemudian orang sudah menggunakan

fidusia untuk barang-barang tidak bergerak.38 Ditambah dengan berlakunya Undang-

Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 1960 Nomor 104), perbedaan antara barang bergerak dan tidak bergerak

37 Emmy Pangaribuan Simanjuntak, Mengenal Trust, Penataran Dosen Hukum Perdata/Dagang,Yogyakarta, 2009, Hlm 1

38 Satrio, Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Pribadi Penanggungan (Borgtocht) dan PerikatanTanggung Menanggung, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2009, Hlm 79

27

menjadi kabur karena undang-undang tersebut menggunakan pembedaan berdasarkan

tanah dan bukan tanah.

Secara historis mengenai latar belakang tumbuhnya fidusia, dimulai dari

adanya suatu situasi pada akhir abad ke-19 yang terjadi pada para pengusaha di

Hindia Belanda, lahan pertanian mereka terserang hama sehingga menyebabkan

kerugian yang besar pada para pengusaha pertanian. Agar tetap dapat melanjutkan

usahanya mereka memerlukan modal dari Bank. Tetapi pada saat itu, sistemnya

adalah Bank baru dapat memberikan kredit kepada para pengusaha pertanian apabila

mereka mampu memberikan agunan atas uang yang mereka pinjam yaitu peralatan

pekerjaan pertanian mereka, tetapi sistemnya adalah dengan gadai yang mana agunan

tersebut diserahkan pada Bank dan para pengusaha tidak diperbolehkan untuk

menguasai agunan tersebut, selain itu Bank juga meminta agunan seperti tanah hak

milik mereka dengan sistem hipotik.

Melihat proses kredit seperti ini sangatlah tidak sesuai dengan kemampuan

para pengusaha, karena dengan tidak menguasai alat pertanian mereka tidak bisa

bekerja dan mereka pun jarang yang memiliki tanah. Apabila dipaksakan untuk

membantu mereka berarti dengan sistem gadai, yang mana agunannya masih tetap

dipegang para pengusaha. Sementara hal ini tidak sesuai dengan Pasal 1198 ayat (2)

Burgerlijk Wetboek (Pasal tersebut sama bunyinya dengan Pasal 1152 ayat (2) Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata bahwa gadai tanpa penguasaan barang jaminan oleh

kreditur adalah tidak sah.39

39 Ibid, Hlm 56

28

Untuk mengatasi permasalahan tersebut diatas dikeluarkanlah Undang-

Undang Darurat di Hindia Belanda yang mengatur suatu Lembaga yang baru yaitu

Lembaga Oogstverband (hak kebendaan) yang berdasarkan Pasal 1 Koninlijk Besluit

tahun 188 artinya adalah “suatu hak kebendaan atas hasilhasil pertanian yang belum

dipetik atau sudah beserta perusahaan serta peralatan yang digunakan untuk

pengolahan hasil pertanian itu, untuk jaminan agar supaya dipenuhi perjanjian untuk

menyerahkan produk-produk itu kepada pemberi uang untuk dijual dalam komisi

dengan tujuan membayar uang-uang persekot, bunga-bunga, ongkosongkos dan uang

provisi dari hasil penjualan.”40 Pada saat itu lembaga ini sangat diperlukan, sehingga

Lembaga Oogstverband ini bisa dikatakan sebagai sistem gadai tanpa penyerahan

agunan namun belum bersifat murni.41 Hal itu merupakan permulaan lahirnya

Fiduciare Eigendoms Overdracht.

Selanjutnya terjadi juga ketidakpuasan masyarakat dengan lembaga gadai

pada awal abad ke- 20, karena gadai dianggap tidak mampu memberikan keefektifan

bagi para pelaku bisnis dalam mengoperasionalkan kegiatan mereka. Oleh sebab itu,

para pelaku bisnis mencari alternatif lain untuk menanggulangi hal tersebut, yaitu

dengan membuat perjanjian seperti dalam Kasus Perusahaan Bir (Bierbrouwerij

40 Tan Kamelo, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, Cet I, PT. Alumni,Bandung, 2006, Hlm 49

41 Subekti, Jaminan-Jaminan untuk Pemberian Kredit menurut Hukum Indonesia, PT. Alumni,Bandung, 2009, Hlm 76

29

arrest).42 Adapun beberapa hambatan-hambatan yang menyebabkan Gadai tidak

dapat memenuhi kebutuhan para pelaku bisnis meliputi :43

1. Adanya asas inbezitstelling.2. Pegadaian atas surat-surat piutang ini karena tidak adanya ketentuan

tentang cara penarikan dari piutang-piutang oleh si pemegang gadai, tidakadanya ketentuan mengenai bentuk bagaimana gadai itu harusdilaksanakan.

3. Pegadaian kurang memuaskan, karena ketidakpastian berkedudukansebagai kreditur terkuat, sebagaimana tampak dalam hal membagi hasileksekusi, kreditur lain, yaitu pemegang hak privilege dapat berkedudukanlebih tinggi dari pemegang gadai.

Proses terjadinya jaminan fidusia memerlukan campur tangan beberapa pihak,

diantaranya pihak bank (kreditur), pihak debitur, notaris, serta kantor hukum dan

ham. Pihak kreditur disini adalah sebagai pemegang Jaminan fidusia (pemegang hak

kepemilikannya, sementara benda konkretnya masih dipegang oleh debitur sebagai

pemohon kredit). Sementara notaris adalah seorang pejabat hukum yang pada

prakteknya berwenang untuk membuat akta jaminan fidusia yang berguna sebagai

pembebanan jaminan fidusia yang dimiliki debitur. Dalam akta tersebut dibuatlah

perjanjian antara pihak debitur dan kreditur mengenai kesepakatan nominal kredit

serta benda jaminan mana yang akan diagunkan. Agar kreditur sah sebagai pemegang

jaminan fidusia, maka benda yang dijaminkan tersebut harus didaftarkan ke Kantor

Pendaftaran Fidusia, salah satu syarat yang harus dilengkapi untuk mendaftar jaminan

fidusia tersebut adalah akta jaminan fidusia yang dibuat oleh notaris. Pendaftaran

fidusia bertujuan untuk memperoleh kepastian hukum bagi kreditur sebagai

42 Mahadi, Hukum Benda dalam Sistem Hukum Perdata Nasional, Bina Cipta, Bandung, 2009,Hlm102

43 Diakses pada : http://www.Fahrizayusroh.wordpress.com, Tanggal 4 Februari 2017, Pukul 14:15Wib

30

pemegang jaminan fidusia, sehingga kreditur mempunyai kekuatan hukum untuk

mengeksekusi jaminan debitur apabila debitur wanprestasi.

Debitur sebagai warga Negara yang baik harus memiliki moral, untuk

mengetahui mana benar atau salah. Karena moral itu kedudukannya lebih tinggi

didalam hukum, yang mana “Bruggink mengatakan bahwa kaidah hukum diderivasi

dari kaidah moral (berpijak dari moral)”. Dapat dijelaskan juga ”moral dalam

hukum alam lebih tinggi kedudukannya dari moral hukum positif”. Dengan

demikian, apabila debitur dalam keadaan wanprestasi berarti debitur sudah harus

mengetahui bahwa ia ada dalam keadaan salah ataupun melawan hukum, yang mana

ia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya tersebut kepada kreditur, dan di

mata hukum.44

Keadaan memaksa atau overmacht yaitu suatu keadaan yang terjadi setelah

dibuatnya persetujuan, yang menghalangi debitur untuk memenuhi prestasinya,

dimana debitur tidak dapat dipersalahkan dan tidak harus menanggung resiko serta

tidak dapat menduga pada waktu persetujuan dibuat. Kesemuanya itu sebelum lalai

untuk memenuhi prestasinya pada saat timbulnya keadaan tersebut.45

Adapun asas pokok dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang

Jaminan Fidusia, yaitu :

1. Asas Spesialitas atas Fixed Loan, Asas ini ditegaskan dalam Pasal 1 dan 2

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Objek jaminan

44 Diakses pada : http://www.Fahrizayusroh.wordpress.com, Tanggal 26 Maret 2017, Pukul14:00Wib

45 Abd Thalib & Admiral, Op.,cit, Hlm 174

31

fidusia, merupakan agunan atau jaminan atas pelunasan utang tertentu yang

memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap

kreditur lainnya. Oleh karena itu, objek jaminan fidusia harus jelas dan tertentu

pada satu segi, dan pada segi lain harus pasti jumlah utang debitur atau paling

tidak dapat dipastikan atau diperhitungkan jumlahnya (verrekiningbaar,

deductable).

2. Asas Asesor, Menurut Pasal 4 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1992 tentang

Jaminan Fidusia, jaminan fidusia adalah perjanjian ikutan dari perjanjian pokok

(principal agreement). Perjanjian pokoknya adalah perjanjian utang, dengan

demikian keabsahan perjanjian jaminan fidusia tergantung pada perjanjian

pokok, dan penghapusan benda objek jaminan fidusia tergantung pada

penghapusan perjanjian pokok.

3. Asas Droit de Suite, Menurut Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun

1999 tentang Jaminan Fidusia yang menyebutkan Jaminan Fidusia tetap

mengikuti benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia, dalam tangan siapapun

benda itu berada, kecuali keberadaannya pada tangan pihak ketiga berdasarkan

pengalihan hak atas piutang atau cessie berdasarkan Pasal 613 KUH Perdata.

Dengan demikian, hak atas jaminan fidusia merupakan hak kebendaan mutlak

atau in rem bukan hak in personam.

4. Asas Preferen (Droit de Preference), Pengertian Asas Preferen atau hak

didahulukan diegaskan dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42

Tahun 1999 yaitu memberi hak didahulukan atau diutamakan kepada penerima

32

fidusia terhadap kreditur lain untuk mengambil pemenuhan pembayaran

pelunasan utang atas penjualan benda objek Jaminan fidusia. Kualitas hak

didahulukan penerima fidusia, tidak hapus meskipun debitur pailit atau

dilikuidasi sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor

42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.

Dengan demikian, utang yang diikat dengan perjanjian jaminan fidusia

merupakan preferential debt, yakni utang yang harus didahulukan pembayarannya

kepada penerima fidusia dari kreditur yang lain dari hasil penjualan objek jaminan

fidusia.

Dikutip dari Tesis Aswari Agastia :46

Membahas tentang kreditur dalam eksekusi melakukan pemaksaan dan

mengambil barang secara sepihak, padahal diketahui dalam barang tersebut sebagian

atau seluruhnya milik orang lain. Walaupun juga diketahui bahwa sebagian dari

barang tersebut adalah milik kreditur yang mau mengeksekusi tetapi tidak didaftarkan

dalam di kantor fidusia. Bahkan pengenaan pasal-pasal lain dapat terjadi mengingat

bahwa dimana-mana eksekusi merupakan bukan hal yang mudah, untuk itu butuh

jaminan hukum dan dukungan aparat hukum secara legal. Inilah urgensi perlindungan

hukum yang seimbang antara kreditur dan debitur. Bahkan apabila debitur

mengalihkan benda objek fidusia yang dilakukan dibawah tangan kepada pihak lain

tidak dapat dijerat dengan Undang-Undang No 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan

46 Aswari Agastia, Akibat Hukum Pendaftaran Jaminan Fidusia Setelah Debitur Wanprestasi,Fakultas Hukum UIR, 2011, Hlm 10

33

Fidusia, karena tidak syah atau legalnya perjanjian jaminan fidusia yang dibuat. Maka

dari pada itu debitur yang mengalihkan barang objek jaminan fidusia di laporkan atas

tuduhan penggelapan sesuai Pasal 372 KUHP. Oleh kreditur, tetapi ini juga bisa jadi

blunder karena bisa saling melaporkan karena sebagian dari barang tersebut menjadi

milik berdua baik kreditur dan debitur, dibutuhkan keputusan perdata oleh pengadilan

negeri setempat untuk mendudukan porsi masing-masing pemilik barang tersebut

untuk kedua belah pihak. Jika hal ini ditempuh maka akan terjadi proses hukum yang

panjang, melelahkan dan menghabiskan biaya yang tidak sedikit. Akibatnya, margin

yang hendak dicapai perusahaan tidak terealisir bahkan mungkin merugi, termasuk

rugi waktu dan pemikiran. Lembaga pembiayaan yang tidak mendaftarkan jaminan

fidusia sebenarnya rugi sendiri karena tidak punya hak eksekutorial yang legal.

Poblem bisnis yang membutuhkan kecepatan dan customer service yang prima selalu

tidak sejalan dengan logika hukum yang ada. Mungkin karena kekosongan hukum

atau hukum yang tidak selalu secepat perkembangan zaman.

Dikutip dari Tesis Apriya Rukmala Sari :47

Membahas tentang pengaturan pendaftaran jaminan fidusia dalam sistem

hukum indonesia adalah dengan melakukan analisa pada 6 (enam) peraturan

perundang-undangan yang berkaitan dengan perjanjian kredit dan jaminan fidusia,

yang mana ada beberapa peraturan yang mengatur namun belum jelas dan tegas serta

ada beberapa peraturan yang tidak mengatur sama sekali mengenai pendaftaran

47 Apriya Rukmala Sari, Penyelesaian Wanprestasi Dalam Perjanjian Kredit Kendaraan BermotorDengan Jaminan Fidusia, Fakultas Hukum UIR, 2013, Hlm 10

34

jaminan fidusia dan akibat hukum pendaftaran jaminan fidusia setelah debitur

wanprestasi. Kemudian hasil penelitian mengenai akibat hukum pendaftaran jaminan

fidusia setelah debitur wanprestasi adalah tetap dapat dilakukannya pengeksekusian

jaminan fidusia terhadap debitur yang wanprestasi karena kantor pendaftaran fidusia

tetap menerima permohonan pendaftaran jaminan fidusia walaupun sudah terlambat

dan tetap mengeluarkan sertifikat jaminan fidusia untuk diberikan pada pemohon

pendaftaran jaminan fidusia, yang mana hal ini sesuai dengan Pasal 29 Undang

-Undang No 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia.

E. Konsep Operasional

Konsep Oprasional berisikan batasan-batasan tentang terminologi yang

terdapat dalam judul dan ruang lingkup penelitian. “Tinjauan Tentang Pelaksanaan

Perjanjian Terhadap Jaminan Fidusia Dalam Perjanjian Kredit Usaha Mikro

Antara Nasabah Dengan PT. Pegadaian (Persero) Cabang Pasar Kodim

Pekanbaru”.

1. Tinjauan yaitu sesudah menyelidiki, mempelajari, dan sebagainya.48

2. Pelaksanaan yaitu proses dan cara melaksanakan.49 Jadi pelaksanaan merupakan

suatu proses kegiatan dalam melakukan perjanjian kredit usaha mikro dengan

jaminan fidusia.

48 Diakses pada : http://kbbi.web.id/selesai, Tanggal 20 Maret 2017, Pukul 10.00 WIB49 Em Zul Fajri dan Ratu Aprilia Senja, Kamus Bahasa Indonesia, Difa Publisher, Jakarta, 2004,

Hlm 508

35

3. Perjanjian yaitu suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang

atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.50

4. Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud

maupun tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang

tidak dapat dibebani Hak Tanggungan sebagaimana yang dimaksud dalam

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap

berada dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang

tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia

terhadap kreditur lainnya.51

5. Perjanjian kredit merupakan perjanjian konsensual antara debitur dengan

Kreditur yang melahirkan hubungan hutang piutang, dimana Debitur

berkewajiban membayar kembali pinjaman yang diberikan oleh Kreditur, dengan

berdasarkan syarat dan kondisi yang telah disepakati oleh para pihak.52

6. Usaha mikro adalah kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dan menengah

yang memenuhi kriteria kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan serta

kepemilikan.

7. Nasabah adalah orang yang menjadi tanggungan, dalam hal ini pihak yang

berutang dalam suatu hubungan utang-piutang tertentu.53

50 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata51 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Fidusia52 Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, Alfabeta, Bandung, 2009, Hlm 9653 Ibid., Hlm 124

36

8. PT. Pegadaian (Persero) Cabang Pasar Kodim Pekanbaru yaitu suatu lembaga

perkreditan yang bernaung dibawah BUMN, dalam hal ini melakukan perjanjian

kredit usaha mikro dengan jaminan fidusia.54

F. Metode Penelitian

Untuk mendapatkan data yang akurat dalam penelitian ini, penulis

menggunakan metode penelitian sebagai berikut :

1. Jenis dan Sifat penelitian

Dari sudut metode yang di pakai dalam penelitian ini, maka jenis penelitian

ini adalah Observational Research dengan cara survey, yaitu penelitian yang

mengambil sampel dari satu populasi menggunakan wawancara dan kuesioner

sebagai alat pengumpul data yang pokok.55 Pada penelitian ini penulis melakukan

penelitian langsung pada lokasi penelitian untuk mendapatkan bahan, data-data dan

informasi yang berhubungan dengan penelitian ini.

Sifat penelitiannya, penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yaitu

memberikan gambaran suatu kejadian yang terjadi secara jelas dan terperinci tentang

Tinjauan Tentang Pelaksanaan Perjanjian Terhadap Jaminan Fidusia Dalam Perjanjian

Kredit Usaha Mikro Antara Nasabah Dengan PT. Pegadaian (Persero) Cabang Pasar

Kodim Pekanbaru.

54 Diakses pada www.pegadaian.co.id, Tanggal 4 Februari 2017, Pukul 14:15 Wib55 Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survai, Pustaka LP3ES Indonesia,

Jakarta, 2008, Hlm 3

37

2. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian, yaitu di Kota Pekanbaru, tepatnya pada PT Pegadaian

(Persero) Cabang Pasar Kodim yang beralamat di Jalan Teratai No 92.

3. Populasi Dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini yaitu :

1. Pimpinan PT. Pegadaian (Persero) Cabang Pasar Kodim 1 orang.

2. Pegawai Kantor Pendaftaran Fidusia Pekanbaru 1 orang.

3. Pegawai Kantor Piutang Dan Lelang Negara (KP2LN) Pekanbaru 1 orang.

4. Notaris 1 orang.

5. Debitur untuk usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) PT. Pegadaian

(Persero) Cabang Pasar Kodim Tahun 2016 yang melakukan perjanjian

kredit usaha mikro dengan jaminan fidusia sebanyak 150 orang debitur.

Mengingat jumlah populasi debitur yang wanprestasi relatif cukup banyak,

maka penulis menggunakan purposive sampling yaitu dengan mengambil

sampel 10 % dari jumlah populasi debitur, sehingga jumlah responden

adalah 15 responden.

4. Data dan Sumber Data

Data yang digunakan di dalam penelitian ini terdiri atas data primer dan data

sekunder, dengan rincian sebagai berikut :

a. Data Primer

38

Data Primer yaitu data yang berupa keterangan yang berasal dari pihak-

pihak yang terlibat dengan objek yang diperoleh dari wawancara pada waktu

melakukan penelitian di lapangan, baik melalui Tanya jawab secara langsung dan

kuesioner.

b. Data Sekunder

Data Sekunder yaitu pendukung data primer, serta data yang diperoleh

melalui kajian bahan pustaka, yang meliputi berbagai buku-buku literatur,

skripsi, jurnal dan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta pendapat-

pendapat para ahli yang ada hubungannya dengan pokok masalah yang di atas.

5. Alat Pengumpul Data

Adapun alat pengumpul data yang digunakan didalam penelitian ini adalah :

1. Wawancara, yaitu suatu pengumpulan data melalui proses tanya jawab secara

langsung yang dilakukan peneliti terhadap pihak PT. Pegadaian (Persero) dalam

hal ini Pimpinan PT. Pegadaian (Persero) Cabang Pasar Kodim, Pegawai Kantor

Pendaftaran Fidusia Pekanbaru, dan Pegawai Kantor Piutang Dan Lelang Negara

(KP2LN) Pekanbaru.

2. Kuesioner, yaitu mengumpulkan data dengan menyebarkan angket yang berisi

daftar-daftar pertanyaan. Kuesioner pada penelitian ini diajukan kepada para

debitur yang melakukan perjanjian kredit usaha mikro dengan jaminan fidusia.

6. Analisis Data

39

Setelah data yang penulis peroleh, lalu penulis olah data tersebut dengan cara

menguraikan dalam bentuk rangkaian kalimat yang jelas dan rinci. Kemudian

dilakukan pembahasan dengan memperhatiakn teori-teori hukum, undang-undang,

dokumen-dokumen dan data lainnya serta dengan membandingkannya dengan

pendapat para ahli.

7. Metode Penarikan Kesimpulan

Didalam penelitian yang penulis lakukan ini, penulis menggunakan metode

penarikan kesimpulan yang digunakan adalah metode induktif yaitu penyimpulan dari

hal-hal khusus kepada hal-hal umum.

40

41