bab i pendahuluan a. latar belakang masalahrepository.uir.ac.id/692/1/bab1.pdf... adalah salah satu...
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam rangka memelihara dan meneruskan pembangunan yang
berkesinambungan, para pelaku pembangunan baik pemerintah maupun masyarakat,
baik perseorangan maupun badan hukum memerlukan dana yang sangat besar.
Seiring dengan meningkatnya pembangunan, meningkat pula kebutuhan terhadap
pendanaan, yang sebagian besar dana yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan
tersebut diperoleh melalui kegiatan perkreditan.1
PT. Pegadaian (PERSERO) adalah salah satu lembaga keuangan bukan bank
di Indonesia, maka dari pada itu pihak pemberi kredit (kreditur) memberikan
pinjaman kepada penerima kredit (debitur) dengan harapan bahwa pinjaman itu dapat
dipergunakan sebaik-baiknya untuk kemajuan usaha debitur dan pada saat yang
ditentukan pinjaman itu harus dikembalikan kepada kreditur.2
Jaminan fidusia merupakan salah satu bentuk jaminan yang timbul untuk
melengkapi kekurangan pada gadai. Kekurangan tersebut didasarkan pada sifat in
bezit stelling dari gadai yang mensyaratkan kekuasaan atas barang jaminan harus
berada pada pemegang gadai. Perkembangan kebutuhan masyarakat memerlukan
bentuk jaminan yang dalam hal ini orang dapat memperoleh kredit dengan jaminan
benda bergerak namun masih dapat menggunakannya untuk keperluan sehari-hari
1 Diakses pada : http:// bolmerhutasoit.wordpress.com, Tanggal 4 Februari 2017, Pukul 14:15 Wib2 Oey Hoey Tiong, Fidusia Sebagai Jaminan Unsur-Unsur Perikatan, Ghalia Indonesia, Jakarta,
2008, Hlm 67
1
maupun untuk keperluan usahanya. Fidusia dianggap lebih mampu dan lebih sesuai
mengikuti perkembangan zaman serta kebutuhan masyarakat. Konstruksi jaminan
fidusia adalah penyerahan hak milik atas barang-barang bergerak kepunyaan debitur
kepada kreditur, sedangkan penguasaan fisiknya tetap pada debitur.
Ketertarikan penulis dalam mengambil judul ini karena PT. Pegadaian
(PERSERO) dapat memberikan pinjaman kepada masyarakat luas dengan tujuan ikut
membantu program pemerintah dalam upaya meningkatkan kesejahteraan khususnya
golongan ekonomi menengah kebawah, pada PT. Pegadaian (PERSERO) Cabang
Pasar Kodim, salah satu produk kredit yang diberikan adalah pemberian kredit untuk
Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) atau dalam pegadaian produk ini disebut
dengan Kredit Usaha Dengan Sistem Fidusia (KREASI), yaitu merupakan pemberian
pinjaman kepada para pengusaha Mikro Kecil dan Menengah (dalam rangka
pengembangan usaha) atas dasar gadai dengan pengembalian pinjaman dilakukan
melalui mekanisme angsuran. Kredit Usaha Mikro Kecil dan Menengah ini memiliki
beberapa keunggulan, yaitu fleksibel dalam menentukan jangka waktu pinjaman,
mulai dari 12 bulan, 24 bulan, ataupun 36 bulan. Sewa modal yang relatif murah
hanya 1% per bulan Flat atau 12 % per tahun. Dengan agunan berupa agunan BPKB
kendaraan bermotor (mobil plat kuning / hitam, serta sepeda motor) sehingga
kendaraan dapat tetap digunakan untuk mendukung operasional usaha, pinjaman
modal mulai dari Rp. 1.000.000,- (Satu juta rupiah) sampai dengan Rp.
100.000.000,- (Seratus juta rupiah). Pencairan kredit hanya dalam tempo 3 hari,
dimana hari pertama saat persyaratan yang ada telah dilengkapi oleh nasabah maka
2
dihari kedua akan diadakan survei di tempat usaha milik nasabah, dihari ketiga kredit
sudah bias dicairkan. Pelunasan kredit dapat dilakukan dengan cara mengangsur
setiap bulan dengan jumlah angsuran yang tetap, dan apabila ingin melakukan
pelunasan sekaligus dapat dilakukan sewaktu – waktu dengan pemberian diskon sewa
modal dan untuk mengetahui kendala-kendala yang terjadi dalam perjanjian fidusia.3
Sedangkan yang dimaksud dengan usaha mikro sebagaimana
dimaksud dalam Keputusan Menteri Keuangan RI No. 40/KMK.06/2003
tanggal 29 Januari 2003 adalah suatu usaha produktif milik keluarga atau
perorangan Warga Negara Indonesia, memiliki hasil penjualan paling banyak
Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah per tahun).
Usaha kecil sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No. 9 tahun 1995
tentang Usaha Kecil, adalah suatu usaha produktif yang berskala kecil :4
1. Milik Warga Negara Indonesia.2. Berbentuk usaha perorangan, badan usaha tidak berbadan hukum atau
berbadan hukum, termasuk koperasi.3. Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp.200.000.000,00 (dua ratus
juta rupiah), tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.4. Memiliki omset usaha paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar
rupiah) per tahun.5. Berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau cabang
perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau berafiliasi baik langsung denganusaha menengah atau usaha besar.
Menurut Pasal 8 huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2000
tentang PT. Pegadaian (PERSERO) yang berbunyi : “penyaluran uang pinjaman
3 Diakses pada www.pegadaian.co.id, Tanggal 4 Februari 2017, Pukul 14:15 Wib4 Undang-Undang No 9 tahun 1995 tentang Usaha Kecil
3
berdasarkan jaminan fidusia, pelayanan jasa titipan, pelayanan jasa sertifikasi logam
mulia dan batu, unit toko emas, dan industri perhiasan emas serta usaha-usaha lainnya
yang dapat menunjang tercapainya maksud dan tujuan perusahaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7, dengan persetujuan Menteri Keuangan”.
Menurut Pasal 8 huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2000
tentang PT. Pegadaian (PERSERO) juga bertugas menyalurkan pinjaman berdasarkan
jaminan fidusia. Wewenang PT. Pegadaian (PERSERO) untuk menyalurkan kredit
atau pinjaman dengan jaminan fidusia bertujuan untuk mencapai maksud dan tujuan
perusahaan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 103
Tahun 2000 yaitu :5
1. Turut meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama golonganmenengah ke bawah melalui penyediaan dana atas dasar hukum gadai,dan jasa di bidang keuangan lainnya berdasarkan ketentuan peraturanperundang-undangan yang berlaku.
2. Menghindarkan masyarakat dari bank gelap, praktek riba, dan pinjamantidak wajar lainnya.
Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud
maupun tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak
dapat dibebani Hak Tanggungan sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan
pemberi fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu yang memberikan
kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditur lainnya.”
5 Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2000 tentang PT. Pegadaian (PERSERO)
4
Dari definisi yang diberikan tersebut jelas bahwa fidusia dibedakan dari
jaminan fidusia. Fidusia merupakan suatu proses pengalihan hak kepemilikan dan
jaminan fidusia adalah jaminan yang diberikan dalam bentuk fidusia. Ini berarti
pranata jaminan fidusia yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 ini
adalah pranata jaminan fidusia sebagaimana dimaksud dalam Fiducia Cum Creditore
Contracta.6
Dari definisi yang diberikan dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999
dapat dikatakan bahwa dalam jaminan fidusia terjadi pengalihan hak kepemilikan.
Pengalihan itu terjadi atas dasar kepercayaan dengan janji benda yang hak
kepemilikannya dialihkan tetap dalam penguasaan pemilik benda. Pengalihan hak
kepemilikan tersebut dilakukan dengan cara Constitutum Possesorium. Ini berarti atas
suatu benda dengan melanjutkan penguasaan atas benda tersebut yang dimaksudkan
untuk kepentingan penerima fidusia.
Seperti halnya dengan hak tanggungan, lembaga jaminan fidusia yang kuat
mempunyai ciri-ciri :7
1. Memberikan kedudukan yang mendahulu kepada kreditur penerimafidusia terhadap kreditur lainnya.
2. Selalu mengikuti objek yang dijaminkan di tangan siapapun objek ituberada (droit de suite), kecuali pengalihan atas benda persediaan yangmenjadi objek jaminan fidusia.
3. Memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga mengikat pihak ketigadan memberikan jaminan kepastian hukum kepada pihak-pihak yangberkepentingan.
4. Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya Dalam hal debitur ataupemberi fidusia cidera janji, pemberi fidusia wajib menyerahkan objek
6 Diakses pada : http:// bolmerhutasoit.wordpress.com, Tanggal 4 Februari 2017, Pukul 14:15 Wib7 Purwahid Patrik dan Kashadi, Hukum Jaminan (Edisi Revisi Dengan UUHT), Fakultas Hukum
Universitas Diponegoro, Semarang, 2004, Hlm 36
5
jaminan fidusia dalam rangka pelaksanaan eksekusi. Eksekusi dapatdilakukan dengan cara pelaksanan title eksekutorial oleh penerima fidusiaartinya langsung melaksanakan eksekusi melalui lembaga parateeksekusi, atau penjualan benda objek jaminan fidusia atas kekuasaansendiri melalui pelelangan umum serta pengambilan pelunasan piutangdari hasil penjualan. Dalam hal akan dilakukan penjualan di bawah tanganharus dilakukan berdasarkan kesepakatan pemberi dan penerima fidusia.
Menurut Gustav Radbruch memakai asas prioritas. Asas prioritas tersebut
dijadikan sebagai sebagai tiga nilai dasar tujuan hukum yaitu keadilan, kemanfaatan
dan kepastian hukum. Setiap hukum yang diterapkan memiliki tujuan spesifik. Tujuan
hukum adalah sekaligus keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum maka faktanya
hal tersebut akan menimbulkan masalah. Tidak jarang antara kepastian hukum
berbenturan dengan kemanfaatan, antara keadilan dengan kepastian hukum, dan
antara keadilan terjadi benturan dengan kemanfaatan. Maka demi tercapainya tujuan
hukum yang menuntut kedamaian, ketentraman, kesejahteraan dan ketertiban dalam
masyarakat. Asas prioritas dalam tujuan hukum yang ditelurkan Gustav Radbruch
dapat dijadikan pedoman. Apalagi dengan kondisi masyarakat Indonesia yang berasal
dari berbagai latar belakang. Asas prioritas yang mengedepankan keadilan dari pada
manfaat dan kepastian hukum menjawab persoalan kemajemukan di Indonesia. Tetapi
menjadi catatan penerapan asas prioritas dapat dilakukan selama tidak mengganggu
ketenteraman dan kedamaian manusia selaku subjek hukum dalam masyarakat.8
Menurut Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah :9
8 Diakses pada : http blogspot.co.id/2014/12/tujuan-hukum-menurut-gustav-radbruch.html, Tanggal13 Maret 2017, Pukul 15:15 Wib
9 Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta,2001. Hlm 338
6
Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu pihak atau lebih mengikatkan
dirinya terhadap satu orang atau lebih.
Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan hukum antara dua orang atau
lebih yang disebut perikatan yang di dalamya terdapat hak dan kewajiban masing-
masing pihak. Perjanjian adalah sumber perikatan.10
Sedangkan menurut R. Subekti perjanjian itu adalah suatu peristiwa dimana
seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang saling berjanji untuk
melaksanakan suatu hal.11
Dalam Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Fidusia
dimuat pengertian dan batasan yaitu “Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan
suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak
kepemilikannya dialihkan tetap dalam penguasaan pemilik benda.”12
Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan
Fidusia menyebutkan yaitu “Jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak
baik berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya
bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan yang tetap berada
dalam penguasaan pemberian fidusia, sebagai pelunasan hutang tertentu, yang
10 Diakses pada : https://legalbanking.wordpress.com/materi-hukum/dasar-dasar-hukum-perjanjian/,Tanggal 25 April 2017, Pukul 22:30 Wib
11 R. Subekti, Hukum Perjanjian, PT Intermasa, Jakarta, 2005, Hlm 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Fidusia
7
memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditur
lainnya”.13
Ketentuan yang mengatur mengenai sifat jaminan fidusia, yaitu Pasal 4
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia, yang menyebutkan
bahwa “Jaminan fidusia merupakan perjanjian ikutan dari suatu perjanjian pokok
yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi.”
Maksud dari prestasi dalam ketentuan di atas adalah hal yang berupa
memberikan sesuatu, berbuat sesuatu yang dapat dinilia dengan uang. Sebagai suatu
perjanjian accesoir, perjanjian jaminan fidusia memiliki sifat sebagai berikut yaitu :14
1. Sifat ketergantungan terhadap perjanjian pokok.2. Keabsahannya semata-mata ditentukan oleh sah atau tidaknya perjanjian
pokok.3. Sebagai perjanjian bersyarat, maka hanya dapat dilaksanakan jika
ketentuan yang disyaratkan dalam perjanjian pokok telah atau tidakdipenuhi.
Menurut Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, perjanjian fidusia bersifat assesoir
dimana tergantung pada perjanjian pokok yang biasanya berupa perjanjian pinjaman
uang.15
Keuntungan jaminan fidusia yaitu :16
1. Pemilik barang lebih diuntungkan dengan jaminan ini karena yang berpindah
hanya haknya saja bukan barang yang dijaminkan.
13 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Fidusia14 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Jaminan Fidusia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, Hlm
12515 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Beberapa Masalah Pelaksanaan Lembaga Jaminan Khususnya
Fidusia Dalam Praktek dan Pelaksanaannya di Indonesia, UGM Press, Yogyakarta, 1997, Hlm 2616 Diakses pada : https://feelinbali.blogspot.co.id/2014/03/keuntungan-dan-kelemahan-jaminan-
fidusia.html, Tanggal 25 April 2017, Pukul 22:35 Wib
8
2. Terdapat perjanjian yang zakelijk.
3. Adanya title untuk peralihan hak.
Kelemahan jaminan fidusia yaitu :
1. Penerima jaminan hanya menerima hak dari barang yang dijaminkan dan tidak
dapat menikmati barangnya hal ini berbanding terbalik dengan gadai.
2. Hasil penjualan (eksekusi) barang fidusia melebihi jumlah utangnya maka sisa
hasil penjualan baru bisa dikembalikan kepada pemberi fidusia.
Aspek penyebab pelanggaran-pelanggaran kepastian hukum yang dilakukan
Kreditur dalam Perjanjian Kredit Usaha Mikro Dengan Jaminan Fidusia yaitu :
1. Pendaftaran fidusia dilakukan setelah debitur wanprestasi.
2. Perjanjian kredit yang diikat dengan jaminan fidusia namun obyeknya bukan
merupakan obyek jaminan fidusia, seperti misalnya hak sewa, hak pakai maupun
sewa beli (leasing). Hal ini lebih dikarenakan ketidaktahuan kreditur terhadap
aspek hukum tentang jaminan fidusia. Benda yang merupakan obyek sewa-
menyewa, hak pakai atau sewa beli bukan merupakan hak kebendaan sehingga
bukan merupakan obyek jaminan fidusia sehingga tidak dapat didaftar di Kantor
Pendaftaran Fidusia.
3. Kreditur melakukan eksekusi terhadap obyek jaminan fidusia tidak sesuai
ketentuan Pasal 29 Undang-Undang tentang Jaminan Fidusia. Apabila debitur
wanprestasi dengan tidak melunasi hutangnya sesuai yang diperjanjikan, maka
dapat dilakukan eksekusi terhadap obyek jaminan fidusia yang telah didaftarkan
di Kantor Pendaftaran Fidusia guna pelunasan utang tersebut.
9
4. Kreditur tidak mendaftarkan obyek jaminan fidusia di Kantor Pendaftaran
Fidusia karena adanya beberapa peraturan yang mengatur namun belum jelas
dan tegas (norma kabur) serta ada beberapa peraturan yang tidak mengatur sama
sekali (norma kosong), mengenai akibat hukum apabila tidak mendaftarkan atau
telat mendaftarkan benda jaminan tersebut, khususnya undang-undang ataupun
peraturan-peraturan yang berkaitan dengan jaminan fidusia ataupun peraturan
mengenai tata cara pendaftaran jaminan fidusia. Norma kabur (ketidakjelasan) /
(vague van normen) dan norma kosong tersebut dapat dilihat pada :
1. Pasal 1131, Pasal 1132, dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (norma
kosong).
2. Pasal 11 sampai dengan Pasal 18 mengenai Pendaftaran Jaminan Fidusia
dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia
(norma kabur).
3. Pasal 1 angka 11, Pasal 1 angka 23, Pasal 8, Pasal 11 Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan (norma kosong).
4. Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6 Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 86 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan
Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 170) (norma kabur).
5. Pasal 1 ayat (1), Pasal 2, dan Pasal 3 Peraturan Menteri Keuangan Nomor
130/PMK.010/Tahun 2012 tentang Pendaftaran Jaminan Fidusia bagi
10
Perusahaan Pembiayaan yang melakukan Pembiayaan Konsumen untuk
Kendaraan Bermotor dengan Pembebanan Jaminan Fidusia (norma kabur).
6. Pasal 3 dan Pasal 9 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pendaftaran
Jaminan Fidusia secara elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2013 Nomor 419) (norma kabur).
Istilah wanprestasi dalam hukum perikatan dapat diartikan sebagai suatu
kelalaian dan atau ingkar janji. Bentuk-bentuk wanprestasi itu antara lain adalah tidak
melaksanakan prestasi (prestatie) tetapi hanya sebagian, melaksanakan prestasi
(prestatie) tetapi terlambat, melaksanakan prestasi (prestatie) namun tidak
sebagaimana mestinya.17
Proses pelaksanaan eksekusi benda jaminan fidusia yang dilakukan PT
Pegadaian (Persero) Cabang Pasar Kodim adalah sebagai berikut :18
1. Eksekusi terhadap benda jaminan fidusia yang tidak didaftar adalah
perjanjian di bawah tangan terhadap perjanjian jaminan fidusia sehingga tidak
ditindaklanjuti dengan pendaftaran benda Jaminan Fidusia atau pembuatan
perjanjian Jaminan Fidusia dengan akta notariil tetapi tidak ditindaklanjuti
dengan pendaftaran di Kantor Pendaftaran Fidusia. Hal ini dilakukan dengan
pertimbangan bahwa nilai pinjaman yang di berikan tidak besar sehingga akan
17 Abd Thalib dan Admiral, Arbitrase dan Hukum Bisnis, UIR Press, Pekanbaru, 2005, Hlm 11218 Hasil Survei
11
menghabiskan biaya administrasi bila dilakukan pendaftaran, selain itu jangka
waktu yang akan dilewati juga tidak lama.
Terhadap benda dengan jaminan fidusia demikian maka eksekusinya
dilakukan sendiri oleh pegadaian, baik dengan cara melakukan pendekatan
secara pribadi agar pemberi fidusia melunasi hutangnya atau angsuran
hutang tersebut ditindak-lanjuti dengan mengambil objek jaminan fidusia atas
persetujuan pemberi fidusia karena pemberi fidusia sudah tidak mampu lagi
melanjutkan membayar angsurannya. Terhadap tindakan yang demikian
Perum Pegadaian mendasarkan pada perjanjian yang salah satu dokumenya
adalah surat kuasa pengambil benda jaminan fidusia yang telah diberikan
pemberi fidusia kepada PT Pegadaian (Persero).
2. Eksekusi terhadap benda jaminan yang didaftarkan adalah terhadap benda
jaminan yang dibebani dengan Jaminan Fidusia dan didaftarkan oleh
pegadaian kepada Kantor Pendaftaran Fidusia, berarti sudah memenuhi Pasal
5 dan Pasal 11 undang-undang Jaminan Fidusia terhadap benda jaminan
fidusia yang demikian dimungkinkan dilakukan dengan cara parate eksekusi.
Berdasarkan hasil survei peneliti di lapangan tepatnya di PT Pegadaian
(Persero) Cabang Pasar Kodim yang beralamat di Jalan Teratai No 92, terdapat
debitur yang wanprestasi dalam Perjanjian Kredit Usaha Mikro Dengan Jaminan
Fidusia yang disebabkan oleh berbagai faktor, yaitu karena usaha yang dirintis oleh
debitur mengalami kemacetan, kerugian, ataupun penipuan, dapat juga karena
keadaan memaksa atau overmacht, atau mungkin saja karena kepribadian dari
12
debiturnya sendiri yang tidak memiliki itikad baik dalam berkredit. Wanprestasi disini
adalah keadaan dimana debitur tidak melaksanakan kewajibannya yaitu membayar
bunga dari kreditnya ataupun sama sekali tidak mau melunasi hutangnya tepat pada
waktunya yang telah ditentukan akibatnya barang itu dilelang oleh pihak pegadaian,
dalam penelitian ini debitur yang melakukan perjanjian kredit usaha mikro dengan
jaminan fidusia pada tahun 2016 berjumlah 256 orang sedangkan debitur yang
wanprestasi berjumlah 150 orang pada tahun 2016.19
Dari hasil survey yang penulis lakukan pada PT. Pegadaian (Persero) Cabang
Pasar Kodim, PT. Pegadaian (PERSERO) memfasilitasi pemberian kredit dengan
jaminan fidusia terhadap para kalangan usaha, bukan untuk kredit yang bersifat
konsumtif. Disatu sisi penjaminan dengan fidusia akan lebih menguntungkan para
pihak karena kreditur PT. Pegadaian (PERSERO) tidak menyimpan barang jaminan
fidusia sehingga dapat mengurangi resiko atas barang barang jaminan, sedangkan
keuntungan debitur ialah barang jaminan masih dapat dipergunakan untuk kegiatan
mereka sehari-hari. Namun di sisi lain pemberian jaminan fidusia ini dari sisi
perlindungan hukum terhadap kreditor kurang menguntungkan dibandingkan dengan
jaminan gadai, apalagi sumber daya manusia di PT. Pegadaian (PERSERO) menurut
pengamatan penulis masih kurang dibandingkan dengan sumber daya manusia di
perbankan. Sehingga dari segi pendaftaran fidusia maupun eksekusi apabila debitur
wanprestasi akan menyulitkan PT. Pegadaian (PERSERO) itu sendiri.
19 Hasil Survei
13
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik meneliti dengan judul
penelitian : “Tinjauan Tentang Pelaksanaan Perjanjian Terhadap Jaminan
Fidusia Dalam Perjanjian Kredit Usaha Mikro Antara Nasabah Dengan PT.
Pegadaian (Persero) Cabang Pasar Kodim Pekanbaru“.
B. Pokok Permasalahan
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, pokok permasalahan dari
penelitian ini adalah :
1. Bagaimanakah Pelaksanaan Perjanjian Terhadap Jaminan Fidusia Dalam
Perjanjian Kredit Usaha Mikro Antara Nasabah Dengan PT. Pegadaian
(Persero) Cabang Pasar Kodim Pekanbaru ?
2. Apa sajakah Kendala-Kendala Jaminan Fidusia Dalam Perjanjian Kredit
Usaha Mikro Antara Nasabah Dengan PT. Pegadaian (Persero) Cabang
Pasar Kodim Pekanbaru ?
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui pelaksanaan perjanjian terhadap jaminan fidusia dalam
perjanjian kredit usaha mikro antara nasabah dengan PT. Pegadaian
(Persero) Cabang Pasar Kodim Pekanbaru.
14
2. Untuk mengetahui kendala-kendala jaminan fidusia dalam perjanjian
kredit usaha mikro antara nasabah dengan PT. Pegadaian (Persero)
Cabang Pasar Kodim Pekanbaru.
Manfaat penelitian dengan adanya penelitian ini, bermanfaat di tinjau dari dua
segi yaitu segi teoritis dan praktis untuk :1. Manfaat Teoritis
1. Untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang di dapat di bangku
perkuliahan dan membandingkannya dengan praktek di lapangan.2. Sebagai sarana dalam mengembangkan wacana dan pemikiran bagi peneliti.3. Sebagai bahan evaluasi bagi PT. Pegadaian (Persero) Cabang Pasar Kodim
terhadap jaminan fidusia dalam perjanjian kredit usaha mikro.4. Sebagai sarana dalam mengembangkan wacana dan pemikiran sebagai
mahasiswa dalam bentuk karya ilmiah bagi Fakultas Hukum Pascasarjana
Universitas Islam Riau.2. Manfaat Praktis
1. Memberikan sumbangan pemikiran dan menambah ilmu pengetahuan
terutama di bidang hukum dan khususnya dalam hukum pegadaian.
2. Hasil penelitian ini sebagai bahan ilmu pengetahuan bagi penulis, khususnya
bidang hukum bisnis.
D. Kerangka Teori
Bidang hukum perjanjian, diatur dalam Buku III Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata dengan sistem terbuka yang artinya hukum perjanjian memberikan
kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk melakukan suatu perjanjian
15
asalkan tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan.20 Pasal 1313
KUHPerdata, menentukan bahwa definisi “Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan
mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau
lebih”.21
Perbuatan yang disebutkan dalam rumusan ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata
menjelaskan bahwa perjanjian hanya mungkin terjadi jika ada suatu perbuatan yang
nyata. Baik dalam bentuk ucapan, maupun tindakan secara fisik dan tidak hanya
dalam bentuk pikiran sematamata sehingga suatu perjanjian adalah :
1. Suatu perbuatan.
2. Antara sekurang-kurangnya dua orang atau lebih.
3. Perbuatan tersebut melahirkan perikatan diantara pihak-pihak yang
berjanji.
Dengan adanya pengertian perjanjian seperti ditentukan di atas, dapat diambil
kesimpulan bahwa kedudukan antara pihak yang mengadakan perjanjian adalah sama
dan berimbang.
Pengertian perjanjian seperti tersebut di atas terlihat secara mendalam, akan
terlihat bahwa pengertian tersebut ternyata mempunyai arti yang sangat luas dan
umum sekali sifatnya, selain itu juga tanpa menyebutkan untuk tujuan apa perjanjian
tersebut dibuat. Hal tersebut terjadi karena di dalam pengertian perjanjian menurut
ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata, hanya menyebutkan tentang pihak yang satu atau
20 Sentosa Sembiring, Hukum Perbankan, Cet. II, CV. Mandar Maju, Bandung, 2008, Hlm 6121 Gunawan Widjaya dan Ahmad Yani, Op.,cit, Hlm 45
16
lebih mengikatkan dirinya pada pihak lainnya dan sama sekali tidak menentukan
untuk apa tujuan suatu perjanjian tersebut dibuat. Oleh karena itu suatu perjanjian
akan lebih luas juga jelas artinya, jika pengertian mengenai perjanjian tersebut
diartikan sebagai suatu persetujuan di mana dua orang atau lebih saling mengikatkan
diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan.22
Menurut Setiawan Perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dimana satu
orang atau lebih saling mengikatkan diri tergadap satu orang atau lebih.23
Dalam membuat perjanjian tersebut maka didalamnya terkandung hak dan
kewajiban dan hak serta kewajiban tersebut oleh para pihak telah diketahui dan
mengenai hak serta kewajiban tersebut dalam pelaksanaannya harus dilakukan
sebagaimana pelaksanaan peraturan perundang-undangan, hal ini sesuai berdasarkan
ketentuan bunyi Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata yang menyatakan “Suatu perjanjian
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya”. Jadi berdasarkan ketentuan pasal tersebut maka dalam pelaksanaan
hak dan kewajiban dalam suatu perjanjian dapat dipaksakan kepada para pihak.
Ketentuan Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata memberikan kebebasan kepada
para pihak untuk :24
a. Membuat atau tidak membuat perjanjian.
b. Mengadakan perjanjian dengan siapapun.
c. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan dan persyaratannya.
22 Abdul Kadir Mohammad, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bhakti, Bandung , 2008, Hlm 7823 Setiawan R, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bumi Cipta, Bandung, 2010, Hlm 4924 Ibid., Hlm 7
17
d. Menentukan bentuk perjanjian yaitu tertulis atau lisan.
Pelaksanaan hak dan kewajiban yang dapat dipaksakan tersebut haruslah
perjanjian yang dibuat secara sah, sehingga dengan sahnya perjanjian tersebut maka
melahirkan hak dan kewajiban. Untuk sahnya suatu perjanjian maka diperlukan
empat syarat sahnya perjanjian sebagaimana ditentukan dalam ketentuan Pasal 1320
KUH Perdata yang menyatakan “ untuk sahnya suatu perjanjian maka diperlukan
empat syarat yaitu :
1. Kesepakatan kedua belah pihak.
Syarat sahnya perjanjian adalah adanya kesepakatan yang ditandai dengan
perasaan rela atau ikhlas di antara para pihak pembuat perjanjian mengenai hal-
hal yang dituangkan didalam isi perjanjian. Kesepakatan ini diatur dalam Pasal
1320 ayat 1 KUH Perdata. Adapun yang dimaksud dengan kesepakatan adalah
penyesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak
lainnya.
Pada dasarnya, cara yang paling banyak dilakukan oleh para pihak, yaitu
dengan bahasa yang sempurna secara lisan dan secara tertulis. Tujuan pembuatan
perjanjian secara tertulis adalah agar memberikan kepastian hukum bagi para
pihak dan sebagai alat bukti yang sempurna, dikala timbul sengketa dikemudian
hari.
2. Kecakapan dalam membuat suatu perjanjian.
Kecakapan dalam membuat suatu perjanjian, yaitu kecakapan atau
kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum bagi orang-orang yang oleh
18
hukum dinyatakan sebagai subjek hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan
yang akan menimbulkan akibat hukum. Orang-orang yang akan mengadakan
perjanjian haruslah orang-orang yang cakap dan mempunyai wewenang untuk
melakukan perbuatan hukum, sebagai mana yang ditentukan oleh undang-
undang. Orang yang cakap dan berwenang untuk melakukan perbuatan hukum
adalah orang yang sudah dewasa, yaitu mereka yang telah berusia 21 tahun atau
sudah menikah.
Orang yang tidak berwenang melakukan perbuatan hukum adalah :
a. Orang – orang yang belum dewasa.
b. Orang yang berada dibawah pengampuan.
c. Wanita yang telah bersuami.
Pengertian tidak cakap hukum dibagi dalam 3 hal yaitu :25
1. Kriteria orang yang belum dewasa didalam KUH Perdata diatur didalam
Pasal 330, di mana ditentukan : “belum dewasa adalah mereka yang belum
mencapai umur genap dua puluh satu tahun dan tidak lebih dahulu kawin.
“apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum umur mereka genap 21 tahun,
maka mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa.
2. Menurut Pasal 433 KUH Perdata, orang – orang yang diletakkan dibawah
pengampuan adalah setiap orang dewasa yang selalu berada dalam keadaan
dungu, sakit otak atau mata gelap dan boros. Dalam hal ini pembentuk
undang-undang memandang bahwa yang bersangkutan tidak mampu
25 Abd Thalib dan Admiral, Op.,cit, Hlm 141
19
menginsyafi tanggung jawabnya dan karena itu tidak dapat bertindak untuk
mengadakan perjanjian. Apabila seorang yang belum dewasa, dan mereka
yang diletakkan dibawah pengampuan itu mengadakan perjanjian maka yang
mewakilinya masing masing adalah orang tua dan pengampunya.
3. KUH Perdata juga memandang bahwa seorang wanita yang telah bersuami
tidak cakap untuk mengadakan perjanjian yang dalam hal ini apabila ia
berbuat harus didampingi oleh suaminya. Sejak tahun 1963 dengan Surat
Edaran Mahkamah Agung No. 3/1963 yang ditujukan kepada ketua
pengadilan negeri dan pengadilan tinggi diseluruh Indonesia, maka
kedudukan seorang wanita yang telah bersuami itu diangkat kederajat yang
sama dengan pria, karena untu mengadakan perbuatan hukum dan
menghadap didepan pengadilan ia tidak memerlukan bantuan lagi dari
suaminya. Dengan demikian maka sub. 3 dari Pasal 1330 KUH Perdata
sekarang tidak berlaku lagi.26
3. Suatu hal tertentu.
Sebagai syarat ketiga sahnya perjanjian, menurut Pasal 1320 KUHPerdata
ialah suatu hal tertentu. Ketentuan untuk hal tertentu ini menyangkut objek
hukum atau mengenai bendanya.
Dalam membuat perjanjian antara para subyek hukum itu menyangkut
mengenai objeknya, apakah menyangkut benda berwujud, tidak berwujud, benda
bergerak atau benda tidak bergerak.
26 Ibid., Hlm 142
20
Hal tertentu mengenai obejek hukum benda itu oleh pihak-pihak
ditegaskan dalam perjanjian mengenai :
a. Jenis barang.
b. Kualitas dan mutu barang.
c. Buatan pabrik dan dari negara mana.
d. Buatan tahun berapa.
e. Warna barang.
f. Ciri khusus barang tersebut.
g. Jumlah barang.
h. Uraian lebih lanjut mengenai barang itu.
4. Suatu sebab yang halal.
Dalam pengertian ini pada benda (objek hukum) yang menjadi pokok
perjanjian itu harus melekat hak yang pasti dan diperbolehkan menurut hukum
sehingga perjanjian itu kuat.27
PT Pegadaian (PERSERO) salah satu lembaga keuangan bukan bank di
Indonesia yang mempunyai aktivitas memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap
sejumlah dana, baik bersifat produktif maupun konsumtif yang menggunakan hukum
gadai. Pada dasarnya transaksi pembiayaan yang dilakukan oleh PT Pegadaian
(PERSERO) sama dengan prinsip pinjaman melalui lembaga perbankan, namun yang
27 CST Kansil dan Christine S.T Kansil, Modul Hukum Perdata Termasuk Asas-Asas HukumPerdata, Pradnya paramita, Jakarta, 2000, Hlm 223.
21
membedakannya adalah dasar hukum yang digunakan yaitu hukum gadai artinya
bahwa barang yang digadaikan itu harus diserahkan oleh pemberi gadai kepada
penerima gadai sehingga barang-barang itu berada di bawah kekuasaan pemberi gadai
asas ini disebut Inbezitsteling.28
Inbezitsteling yaitu lebih menunjukkan adanya hubungan nyata antara si
pemegang dengan bendanya. Tanpa memperhatikan apakah ia menguasai benda
tersebut sesuai atau tidak dengan keadaan yuridisnya. Ini karena bezitter adalah pihak
yang secara nyata atau lahiriah nampak sebagai orang yang menguasai benda
tersebut. Maka ia akan memperoleh perlindungan hukum sebagai penguasa (bezitter)
tanpa wajib membuktikan haknya.29
Menurut Pasal 8 huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2000
tentang PT. Pegadaian (PERSERO) yang berbunyi : “penyaluran uang pinjaman
berdasarkan jaminan fidusia, pelayanan jasa titipan, pelayanan jasa sertifikasi logam
mulia dan batu, unit toko emas, dan industri perhiasan emas serta usaha-usaha lainnya
yang dapat menunjang tercapainya maksud dan tujuan perusahaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7, dengan persetujuan Menteri Keuangan”.
Menurut Pasal 8 huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2000
tentang PT. Pegadaian (PERSERO) juga bertugas menyalurkan pinjaman berdasarkan
jaminan fidusia.
28 Ade Arthesa, Edia Handiman, Bank Dan Lembaga Keuangan Bukan Bank, PT. Indeks Gramedia,Jakarta, 2006, Hlm 271
29 Diakses pada : http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt51ac95ad59294/tentang-bezit-dan-bezitter, Tanggal 25 April 2017, Pukul 21:30 Wib
22
Fidusia menurut asal katanya berasal dari kata “fides” yang berarti
kepercayaan, sesuai dengan arti kata ini, maka hubungan hukum antara
debitur (pemberi fidusia) dan kreditur (penerima fidusia) merupakan hubungan
hukum karena kepercayaan. Pemberi fidusia percaya bahwa penerima fidusia mau
mengembalikan hak milik barang yang telah diserahkan setelah dilunasi hutangnya.
Sebaliknya penerima fidusia percaya bahwa pemberi fidusia tidak akan
menyalahgunakan barang jaminan yang ada dalam kekuasaanya.
Pranata jaminan fidusia sudah dikenal dan diberlakukan sejak jaman Romawi.
Ada dua bentuk jaminan fidusia yaitu, fiducia cum creditore dan fiducia cum amico.
Keduanya timbul dari perjanjian factum fiduciae yang kemudian diikuti dengan
penyerahan hak atau in iure cessio. Dalam bentuk yang pertama atau lengkapnya
fiducia cum creditore contracta yang berarti janji kepercayaan yang dibuat dengan
kreditur dengan kata lain bahwa debitur akan mengalihkan kepemilikan suatu benda
kepada kreditur sebagai jaminan utangnya dengan kesepakatan bahwa kreditur akan
mengalihkan kembali kepemilikian tersebut kepada debitur apabila utangnya sudah
dilunasi.
Pada prinsipnya sistem hukum jaminan melarang penerima jaminan menjadi
pemilik dari barang yang dijaminkan biarpun seandainya debitur lalai memenuhi
kewajibannya. Kreditur hanya mempunyai hak untuk menjual barang jaminan dan
mengambil pelunasan dari hasil penjualan itu.30
30 Subekti, Op.,cit, Hlm 72
23
Sedangkan pendaftaran jaminan fidusia adalah mendaftarkan benda jaminan
dalam perjanjian kredit ataupun perjanjian pembiayaan yang diikat dengan fidusia,
yang telah dilakukan pembebanan dengan akta jaminan fidusia, pada Kantor
Pendaftaran Fidusia.31 Tujuannya adalah memperoleh Sertifikat Jaminan Fidusia
sebagai bukti bagi kreditur adalah pemegang jaminan fidusia, sehingga kreditur
memperoleh kepastian hukum dan keuntungan sebagai kreditur preferen (kreditur
yang didahulukan). Jaminan fidusia ini dipergunakan dalam perjanjian jaminan
fidusia.
Definisi Kredit menurut Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Pokok Perbankan
No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan menentukan bahwa “Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan
yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan
pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam
untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”.
Perjanjian kredit merupakan Perjanjian kebendaan yaitu perjanjian yang dibuat oleh
dua pihak atau lebih berdasarkan kesepakatan pihak-pihak yang berjanji sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang dapat mengakibatkan melahirkan hak
kebendaan, beralih, berubah serta berakhirnya hak kebendaan tersebut.
Menurut Undang-Undang No 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia adalah
hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud
31 Thomas Soebroto, Tanya Jawab Hukum Jaminan Hipotek, Fidusia Dan Penanggulangan, DharaPrize, Semarang, 2010, Hlm 80
24
dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak
tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996
tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia,
sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang
diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditur lainnya. Ciri-ciri jaminan
fidusia diantaranya adalah memberikan hak kebendaan, memberikan hak didahulukan
kepada kreditur, memungkinkan kepada pemberi jaminan fidusia untuk tetap
menguasai objek jaminan utang, memberikan kepastian hukum, dan mudah
dieksekusi.32 Pemberian Jaminan Fidusia selalu berupa penyediaan bagian dari harta
kekayaan si pemberi fidusia untuk pemenuhan kewajibannya.33
Selain digunakan dalam perjanjian kredit, jaminan fidusia juga dapat
digunakan dalam Pembiayaan Konsumen. Pembiayaan konsumen (Consumer
Financing) berdasarkan Pasal 1 angka 7 Peraturan Presiden Republik Indonesia
Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan adalah ”kegiatan pembiayaan
untuk pengadaan barang berdasarkan kebutuhan konsumen dengan pembayaran
secara angsuran”.
Perbedaan antara fidusia zaman romawi dengan zaman sekarang adalah
terletak pada peraturan dan sistemnya, pada zaman romawi sistemnya hanya
bertumpu pada kepercayaan (trust) saja.34 Sesuai dengan dinamisnya perkembangan
masyarakat kita, maka hukum pun berkembang, termasuk sistem hukum jaminan
32 Bahsan, Op., cit, Hlm 5133 Abdulkadir Muhammad, Hukum Harta Kekayaan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010, Hlm 934 Sudargo Gautama, Pengakuan Fidusia dalam Perundang-Undangan di Indonesia, Varia Peradilan,
Majalah Hukum No. 30, IKAHI, Jakarta, 2007, Hlm 48
25
kepercayaan ini, sehingga terbentuklah Undang-Undang No 42 Tahun 1999 tentang
Jaminan Fidusia pada tanggal 30 September 1999.
Perjanjian Jaminan Fidusia ini bersifat accesoir karena merupakan ikutan dari
perjanjian pokok, yaitu perjanjian kredit.35 Lembaga Jaminan Fidusia yang sudah
terkodifikasi ini sangat banyak memberikan keuntungan bagi debitur juga kreditur.
Sebagai pemegang Jaminan Fidusia membuat kedudukan kreditur sebagai kreditur
preferen yang artinya kreditur yang didahulukan dari kreditur yang lainnya.36
Kemudian keuntungannya bagi debitur disini adalah dimana objek yang dijadikan
jaminan hutang masih dapat dikuasai oleh debitur untuk mengoperasionalkan bisnis
mereka sehingga debitur dapat memenuhi tanggung jawabnya dalam melakukan
pelunasan hutangnya kepada kreditur.
Jaminan fidusia merupakan jaminan kepercayaan yang berasal dari adanya
suatu hubungan perasaan antara manusia yang satu dengan manusia lainnya yang
mana mereka merasa aman, sehingga tumbuh rasa percaya terhadap teman
interaksinya tersebut, untuk selanjutnya memberikan harta benda mereka sebagai
jaminan kepada tempat mereka berhutang. Fidusia jaman romawi disebut juga
Fiducia Cum Creditore, artinya adalah penyerahan sebagai jaminan saja bukan
peralihan kepemilikan. Kepercayaan atau trust merupakan hubungan yang
didasarkan pada aturan moral. Definisi trust, berdasarkan pendapat Bogart adalah
hubungan kepercayaan yang mana satu orang adalah sebagai pemegang hak atas harta
35 Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, Op., cit, Hlm 1436 Satrio, Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan Fidusia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006,
Hlm 64
26
kekayaan berdasarkan hukum tunduk pada kewajiban berdasarkan equity untuk
memelihara atau mempergunakan milik itu untuk kepentingan orang lain.37 Melihat
dari definisi tersebut, kemungkinan bagi kreditur untuk wanprestasi juga cukup besar,
sehingga menyebabkan orang mulai melihat kelemahan fidusia pada masa itu,
kemudian meninggalkannya dan beralih pada gadai dan hipotek. Seiring munculnya
lembaga gadai dan hipotek, fidusia pun tenggelam dengan sendirinya.
Selanjutnya terjadi banyak perubahan akan pranata hukum jaminan tersebut
yang kemudian disebut Hukum Jaminan Fidusia yang merombak kedudukan hukum
para debitur dan kreditur, maka para debitur yang menjaminkan bendanya tetap dapat
menguasai bendanya sehingga dapat membantu mereka untuk tetap
mengoperasionalkan bisnis mereka dan dapat konsekuen memenuhi prestasi dalam
kredit mereka, sedangkan kreditur hanya sebagai pemegang jaminan dengan buktinya
adalah memegang Sertifikat Jaminan Fidusia. Selain itu juga timbul nilai positif pada
kedudukan kreditur pemegang jaminan fidusia adalah sebagai Kreditur Preferen
(yang didahulukan). Tidak hanya itu, Hoge Raad Belanda maupun Mahkamah Agung
di Indonesia secara konsekuen berpendapat bahwa fidusia hanya dapat dilakukan atas
barang-barang bergerak, tetapi dalam praktek kemudian orang sudah menggunakan
fidusia untuk barang-barang tidak bergerak.38 Ditambah dengan berlakunya Undang-
Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1960 Nomor 104), perbedaan antara barang bergerak dan tidak bergerak
37 Emmy Pangaribuan Simanjuntak, Mengenal Trust, Penataran Dosen Hukum Perdata/Dagang,Yogyakarta, 2009, Hlm 1
38 Satrio, Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Pribadi Penanggungan (Borgtocht) dan PerikatanTanggung Menanggung, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2009, Hlm 79
27
menjadi kabur karena undang-undang tersebut menggunakan pembedaan berdasarkan
tanah dan bukan tanah.
Secara historis mengenai latar belakang tumbuhnya fidusia, dimulai dari
adanya suatu situasi pada akhir abad ke-19 yang terjadi pada para pengusaha di
Hindia Belanda, lahan pertanian mereka terserang hama sehingga menyebabkan
kerugian yang besar pada para pengusaha pertanian. Agar tetap dapat melanjutkan
usahanya mereka memerlukan modal dari Bank. Tetapi pada saat itu, sistemnya
adalah Bank baru dapat memberikan kredit kepada para pengusaha pertanian apabila
mereka mampu memberikan agunan atas uang yang mereka pinjam yaitu peralatan
pekerjaan pertanian mereka, tetapi sistemnya adalah dengan gadai yang mana agunan
tersebut diserahkan pada Bank dan para pengusaha tidak diperbolehkan untuk
menguasai agunan tersebut, selain itu Bank juga meminta agunan seperti tanah hak
milik mereka dengan sistem hipotik.
Melihat proses kredit seperti ini sangatlah tidak sesuai dengan kemampuan
para pengusaha, karena dengan tidak menguasai alat pertanian mereka tidak bisa
bekerja dan mereka pun jarang yang memiliki tanah. Apabila dipaksakan untuk
membantu mereka berarti dengan sistem gadai, yang mana agunannya masih tetap
dipegang para pengusaha. Sementara hal ini tidak sesuai dengan Pasal 1198 ayat (2)
Burgerlijk Wetboek (Pasal tersebut sama bunyinya dengan Pasal 1152 ayat (2) Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata bahwa gadai tanpa penguasaan barang jaminan oleh
kreditur adalah tidak sah.39
39 Ibid, Hlm 56
28
Untuk mengatasi permasalahan tersebut diatas dikeluarkanlah Undang-
Undang Darurat di Hindia Belanda yang mengatur suatu Lembaga yang baru yaitu
Lembaga Oogstverband (hak kebendaan) yang berdasarkan Pasal 1 Koninlijk Besluit
tahun 188 artinya adalah “suatu hak kebendaan atas hasilhasil pertanian yang belum
dipetik atau sudah beserta perusahaan serta peralatan yang digunakan untuk
pengolahan hasil pertanian itu, untuk jaminan agar supaya dipenuhi perjanjian untuk
menyerahkan produk-produk itu kepada pemberi uang untuk dijual dalam komisi
dengan tujuan membayar uang-uang persekot, bunga-bunga, ongkosongkos dan uang
provisi dari hasil penjualan.”40 Pada saat itu lembaga ini sangat diperlukan, sehingga
Lembaga Oogstverband ini bisa dikatakan sebagai sistem gadai tanpa penyerahan
agunan namun belum bersifat murni.41 Hal itu merupakan permulaan lahirnya
Fiduciare Eigendoms Overdracht.
Selanjutnya terjadi juga ketidakpuasan masyarakat dengan lembaga gadai
pada awal abad ke- 20, karena gadai dianggap tidak mampu memberikan keefektifan
bagi para pelaku bisnis dalam mengoperasionalkan kegiatan mereka. Oleh sebab itu,
para pelaku bisnis mencari alternatif lain untuk menanggulangi hal tersebut, yaitu
dengan membuat perjanjian seperti dalam Kasus Perusahaan Bir (Bierbrouwerij
40 Tan Kamelo, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, Cet I, PT. Alumni,Bandung, 2006, Hlm 49
41 Subekti, Jaminan-Jaminan untuk Pemberian Kredit menurut Hukum Indonesia, PT. Alumni,Bandung, 2009, Hlm 76
29
arrest).42 Adapun beberapa hambatan-hambatan yang menyebabkan Gadai tidak
dapat memenuhi kebutuhan para pelaku bisnis meliputi :43
1. Adanya asas inbezitstelling.2. Pegadaian atas surat-surat piutang ini karena tidak adanya ketentuan
tentang cara penarikan dari piutang-piutang oleh si pemegang gadai, tidakadanya ketentuan mengenai bentuk bagaimana gadai itu harusdilaksanakan.
3. Pegadaian kurang memuaskan, karena ketidakpastian berkedudukansebagai kreditur terkuat, sebagaimana tampak dalam hal membagi hasileksekusi, kreditur lain, yaitu pemegang hak privilege dapat berkedudukanlebih tinggi dari pemegang gadai.
Proses terjadinya jaminan fidusia memerlukan campur tangan beberapa pihak,
diantaranya pihak bank (kreditur), pihak debitur, notaris, serta kantor hukum dan
ham. Pihak kreditur disini adalah sebagai pemegang Jaminan fidusia (pemegang hak
kepemilikannya, sementara benda konkretnya masih dipegang oleh debitur sebagai
pemohon kredit). Sementara notaris adalah seorang pejabat hukum yang pada
prakteknya berwenang untuk membuat akta jaminan fidusia yang berguna sebagai
pembebanan jaminan fidusia yang dimiliki debitur. Dalam akta tersebut dibuatlah
perjanjian antara pihak debitur dan kreditur mengenai kesepakatan nominal kredit
serta benda jaminan mana yang akan diagunkan. Agar kreditur sah sebagai pemegang
jaminan fidusia, maka benda yang dijaminkan tersebut harus didaftarkan ke Kantor
Pendaftaran Fidusia, salah satu syarat yang harus dilengkapi untuk mendaftar jaminan
fidusia tersebut adalah akta jaminan fidusia yang dibuat oleh notaris. Pendaftaran
fidusia bertujuan untuk memperoleh kepastian hukum bagi kreditur sebagai
42 Mahadi, Hukum Benda dalam Sistem Hukum Perdata Nasional, Bina Cipta, Bandung, 2009,Hlm102
43 Diakses pada : http://www.Fahrizayusroh.wordpress.com, Tanggal 4 Februari 2017, Pukul 14:15Wib
30
pemegang jaminan fidusia, sehingga kreditur mempunyai kekuatan hukum untuk
mengeksekusi jaminan debitur apabila debitur wanprestasi.
Debitur sebagai warga Negara yang baik harus memiliki moral, untuk
mengetahui mana benar atau salah. Karena moral itu kedudukannya lebih tinggi
didalam hukum, yang mana “Bruggink mengatakan bahwa kaidah hukum diderivasi
dari kaidah moral (berpijak dari moral)”. Dapat dijelaskan juga ”moral dalam
hukum alam lebih tinggi kedudukannya dari moral hukum positif”. Dengan
demikian, apabila debitur dalam keadaan wanprestasi berarti debitur sudah harus
mengetahui bahwa ia ada dalam keadaan salah ataupun melawan hukum, yang mana
ia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya tersebut kepada kreditur, dan di
mata hukum.44
Keadaan memaksa atau overmacht yaitu suatu keadaan yang terjadi setelah
dibuatnya persetujuan, yang menghalangi debitur untuk memenuhi prestasinya,
dimana debitur tidak dapat dipersalahkan dan tidak harus menanggung resiko serta
tidak dapat menduga pada waktu persetujuan dibuat. Kesemuanya itu sebelum lalai
untuk memenuhi prestasinya pada saat timbulnya keadaan tersebut.45
Adapun asas pokok dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang
Jaminan Fidusia, yaitu :
1. Asas Spesialitas atas Fixed Loan, Asas ini ditegaskan dalam Pasal 1 dan 2
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Objek jaminan
44 Diakses pada : http://www.Fahrizayusroh.wordpress.com, Tanggal 26 Maret 2017, Pukul14:00Wib
45 Abd Thalib & Admiral, Op.,cit, Hlm 174
31
fidusia, merupakan agunan atau jaminan atas pelunasan utang tertentu yang
memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap
kreditur lainnya. Oleh karena itu, objek jaminan fidusia harus jelas dan tertentu
pada satu segi, dan pada segi lain harus pasti jumlah utang debitur atau paling
tidak dapat dipastikan atau diperhitungkan jumlahnya (verrekiningbaar,
deductable).
2. Asas Asesor, Menurut Pasal 4 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1992 tentang
Jaminan Fidusia, jaminan fidusia adalah perjanjian ikutan dari perjanjian pokok
(principal agreement). Perjanjian pokoknya adalah perjanjian utang, dengan
demikian keabsahan perjanjian jaminan fidusia tergantung pada perjanjian
pokok, dan penghapusan benda objek jaminan fidusia tergantung pada
penghapusan perjanjian pokok.
3. Asas Droit de Suite, Menurut Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun
1999 tentang Jaminan Fidusia yang menyebutkan Jaminan Fidusia tetap
mengikuti benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia, dalam tangan siapapun
benda itu berada, kecuali keberadaannya pada tangan pihak ketiga berdasarkan
pengalihan hak atas piutang atau cessie berdasarkan Pasal 613 KUH Perdata.
Dengan demikian, hak atas jaminan fidusia merupakan hak kebendaan mutlak
atau in rem bukan hak in personam.
4. Asas Preferen (Droit de Preference), Pengertian Asas Preferen atau hak
didahulukan diegaskan dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42
Tahun 1999 yaitu memberi hak didahulukan atau diutamakan kepada penerima
32
fidusia terhadap kreditur lain untuk mengambil pemenuhan pembayaran
pelunasan utang atas penjualan benda objek Jaminan fidusia. Kualitas hak
didahulukan penerima fidusia, tidak hapus meskipun debitur pailit atau
dilikuidasi sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor
42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
Dengan demikian, utang yang diikat dengan perjanjian jaminan fidusia
merupakan preferential debt, yakni utang yang harus didahulukan pembayarannya
kepada penerima fidusia dari kreditur yang lain dari hasil penjualan objek jaminan
fidusia.
Dikutip dari Tesis Aswari Agastia :46
Membahas tentang kreditur dalam eksekusi melakukan pemaksaan dan
mengambil barang secara sepihak, padahal diketahui dalam barang tersebut sebagian
atau seluruhnya milik orang lain. Walaupun juga diketahui bahwa sebagian dari
barang tersebut adalah milik kreditur yang mau mengeksekusi tetapi tidak didaftarkan
dalam di kantor fidusia. Bahkan pengenaan pasal-pasal lain dapat terjadi mengingat
bahwa dimana-mana eksekusi merupakan bukan hal yang mudah, untuk itu butuh
jaminan hukum dan dukungan aparat hukum secara legal. Inilah urgensi perlindungan
hukum yang seimbang antara kreditur dan debitur. Bahkan apabila debitur
mengalihkan benda objek fidusia yang dilakukan dibawah tangan kepada pihak lain
tidak dapat dijerat dengan Undang-Undang No 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan
46 Aswari Agastia, Akibat Hukum Pendaftaran Jaminan Fidusia Setelah Debitur Wanprestasi,Fakultas Hukum UIR, 2011, Hlm 10
33
Fidusia, karena tidak syah atau legalnya perjanjian jaminan fidusia yang dibuat. Maka
dari pada itu debitur yang mengalihkan barang objek jaminan fidusia di laporkan atas
tuduhan penggelapan sesuai Pasal 372 KUHP. Oleh kreditur, tetapi ini juga bisa jadi
blunder karena bisa saling melaporkan karena sebagian dari barang tersebut menjadi
milik berdua baik kreditur dan debitur, dibutuhkan keputusan perdata oleh pengadilan
negeri setempat untuk mendudukan porsi masing-masing pemilik barang tersebut
untuk kedua belah pihak. Jika hal ini ditempuh maka akan terjadi proses hukum yang
panjang, melelahkan dan menghabiskan biaya yang tidak sedikit. Akibatnya, margin
yang hendak dicapai perusahaan tidak terealisir bahkan mungkin merugi, termasuk
rugi waktu dan pemikiran. Lembaga pembiayaan yang tidak mendaftarkan jaminan
fidusia sebenarnya rugi sendiri karena tidak punya hak eksekutorial yang legal.
Poblem bisnis yang membutuhkan kecepatan dan customer service yang prima selalu
tidak sejalan dengan logika hukum yang ada. Mungkin karena kekosongan hukum
atau hukum yang tidak selalu secepat perkembangan zaman.
Dikutip dari Tesis Apriya Rukmala Sari :47
Membahas tentang pengaturan pendaftaran jaminan fidusia dalam sistem
hukum indonesia adalah dengan melakukan analisa pada 6 (enam) peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan perjanjian kredit dan jaminan fidusia,
yang mana ada beberapa peraturan yang mengatur namun belum jelas dan tegas serta
ada beberapa peraturan yang tidak mengatur sama sekali mengenai pendaftaran
47 Apriya Rukmala Sari, Penyelesaian Wanprestasi Dalam Perjanjian Kredit Kendaraan BermotorDengan Jaminan Fidusia, Fakultas Hukum UIR, 2013, Hlm 10
34
jaminan fidusia dan akibat hukum pendaftaran jaminan fidusia setelah debitur
wanprestasi. Kemudian hasil penelitian mengenai akibat hukum pendaftaran jaminan
fidusia setelah debitur wanprestasi adalah tetap dapat dilakukannya pengeksekusian
jaminan fidusia terhadap debitur yang wanprestasi karena kantor pendaftaran fidusia
tetap menerima permohonan pendaftaran jaminan fidusia walaupun sudah terlambat
dan tetap mengeluarkan sertifikat jaminan fidusia untuk diberikan pada pemohon
pendaftaran jaminan fidusia, yang mana hal ini sesuai dengan Pasal 29 Undang
-Undang No 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia.
E. Konsep Operasional
Konsep Oprasional berisikan batasan-batasan tentang terminologi yang
terdapat dalam judul dan ruang lingkup penelitian. “Tinjauan Tentang Pelaksanaan
Perjanjian Terhadap Jaminan Fidusia Dalam Perjanjian Kredit Usaha Mikro
Antara Nasabah Dengan PT. Pegadaian (Persero) Cabang Pasar Kodim
Pekanbaru”.
1. Tinjauan yaitu sesudah menyelidiki, mempelajari, dan sebagainya.48
2. Pelaksanaan yaitu proses dan cara melaksanakan.49 Jadi pelaksanaan merupakan
suatu proses kegiatan dalam melakukan perjanjian kredit usaha mikro dengan
jaminan fidusia.
48 Diakses pada : http://kbbi.web.id/selesai, Tanggal 20 Maret 2017, Pukul 10.00 WIB49 Em Zul Fajri dan Ratu Aprilia Senja, Kamus Bahasa Indonesia, Difa Publisher, Jakarta, 2004,
Hlm 508
35
3. Perjanjian yaitu suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang
atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.50
4. Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud
maupun tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang
tidak dapat dibebani Hak Tanggungan sebagaimana yang dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap
berada dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang
tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia
terhadap kreditur lainnya.51
5. Perjanjian kredit merupakan perjanjian konsensual antara debitur dengan
Kreditur yang melahirkan hubungan hutang piutang, dimana Debitur
berkewajiban membayar kembali pinjaman yang diberikan oleh Kreditur, dengan
berdasarkan syarat dan kondisi yang telah disepakati oleh para pihak.52
6. Usaha mikro adalah kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dan menengah
yang memenuhi kriteria kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan serta
kepemilikan.
7. Nasabah adalah orang yang menjadi tanggungan, dalam hal ini pihak yang
berutang dalam suatu hubungan utang-piutang tertentu.53
50 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata51 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Fidusia52 Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, Alfabeta, Bandung, 2009, Hlm 9653 Ibid., Hlm 124
36
8. PT. Pegadaian (Persero) Cabang Pasar Kodim Pekanbaru yaitu suatu lembaga
perkreditan yang bernaung dibawah BUMN, dalam hal ini melakukan perjanjian
kredit usaha mikro dengan jaminan fidusia.54
F. Metode Penelitian
Untuk mendapatkan data yang akurat dalam penelitian ini, penulis
menggunakan metode penelitian sebagai berikut :
1. Jenis dan Sifat penelitian
Dari sudut metode yang di pakai dalam penelitian ini, maka jenis penelitian
ini adalah Observational Research dengan cara survey, yaitu penelitian yang
mengambil sampel dari satu populasi menggunakan wawancara dan kuesioner
sebagai alat pengumpul data yang pokok.55 Pada penelitian ini penulis melakukan
penelitian langsung pada lokasi penelitian untuk mendapatkan bahan, data-data dan
informasi yang berhubungan dengan penelitian ini.
Sifat penelitiannya, penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yaitu
memberikan gambaran suatu kejadian yang terjadi secara jelas dan terperinci tentang
Tinjauan Tentang Pelaksanaan Perjanjian Terhadap Jaminan Fidusia Dalam Perjanjian
Kredit Usaha Mikro Antara Nasabah Dengan PT. Pegadaian (Persero) Cabang Pasar
Kodim Pekanbaru.
54 Diakses pada www.pegadaian.co.id, Tanggal 4 Februari 2017, Pukul 14:15 Wib55 Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survai, Pustaka LP3ES Indonesia,
Jakarta, 2008, Hlm 3
37
2. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian, yaitu di Kota Pekanbaru, tepatnya pada PT Pegadaian
(Persero) Cabang Pasar Kodim yang beralamat di Jalan Teratai No 92.
3. Populasi Dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini yaitu :
1. Pimpinan PT. Pegadaian (Persero) Cabang Pasar Kodim 1 orang.
2. Pegawai Kantor Pendaftaran Fidusia Pekanbaru 1 orang.
3. Pegawai Kantor Piutang Dan Lelang Negara (KP2LN) Pekanbaru 1 orang.
4. Notaris 1 orang.
5. Debitur untuk usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) PT. Pegadaian
(Persero) Cabang Pasar Kodim Tahun 2016 yang melakukan perjanjian
kredit usaha mikro dengan jaminan fidusia sebanyak 150 orang debitur.
Mengingat jumlah populasi debitur yang wanprestasi relatif cukup banyak,
maka penulis menggunakan purposive sampling yaitu dengan mengambil
sampel 10 % dari jumlah populasi debitur, sehingga jumlah responden
adalah 15 responden.
4. Data dan Sumber Data
Data yang digunakan di dalam penelitian ini terdiri atas data primer dan data
sekunder, dengan rincian sebagai berikut :
a. Data Primer
38
Data Primer yaitu data yang berupa keterangan yang berasal dari pihak-
pihak yang terlibat dengan objek yang diperoleh dari wawancara pada waktu
melakukan penelitian di lapangan, baik melalui Tanya jawab secara langsung dan
kuesioner.
b. Data Sekunder
Data Sekunder yaitu pendukung data primer, serta data yang diperoleh
melalui kajian bahan pustaka, yang meliputi berbagai buku-buku literatur,
skripsi, jurnal dan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta pendapat-
pendapat para ahli yang ada hubungannya dengan pokok masalah yang di atas.
5. Alat Pengumpul Data
Adapun alat pengumpul data yang digunakan didalam penelitian ini adalah :
1. Wawancara, yaitu suatu pengumpulan data melalui proses tanya jawab secara
langsung yang dilakukan peneliti terhadap pihak PT. Pegadaian (Persero) dalam
hal ini Pimpinan PT. Pegadaian (Persero) Cabang Pasar Kodim, Pegawai Kantor
Pendaftaran Fidusia Pekanbaru, dan Pegawai Kantor Piutang Dan Lelang Negara
(KP2LN) Pekanbaru.
2. Kuesioner, yaitu mengumpulkan data dengan menyebarkan angket yang berisi
daftar-daftar pertanyaan. Kuesioner pada penelitian ini diajukan kepada para
debitur yang melakukan perjanjian kredit usaha mikro dengan jaminan fidusia.
6. Analisis Data
39
Setelah data yang penulis peroleh, lalu penulis olah data tersebut dengan cara
menguraikan dalam bentuk rangkaian kalimat yang jelas dan rinci. Kemudian
dilakukan pembahasan dengan memperhatiakn teori-teori hukum, undang-undang,
dokumen-dokumen dan data lainnya serta dengan membandingkannya dengan
pendapat para ahli.
7. Metode Penarikan Kesimpulan
Didalam penelitian yang penulis lakukan ini, penulis menggunakan metode
penarikan kesimpulan yang digunakan adalah metode induktif yaitu penyimpulan dari
hal-hal khusus kepada hal-hal umum.
40