bab i pendahuluan a. latar belakang penelitianrepository.unpas.ac.id/34049/2/f. bab i.docx.pdfhal...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Kebutuhan masyarakat akan pembiayaan sekarang ini semakin
tinggi, seiring dengan perkembangan teknologi berkembang pula
kebutuhan hidup yang semakin meningkat mengikuti arus perkembangan
jaman. Sehingga dengan semakin pesatnya temuan sistem perbankan saat
ini, membuat kegiatan transaksi keuangan mengarah pada penggunaan
uang sebagai suatu komoditi yang tidak berbentuk secara konkret
(intangible money). Bank selalu dituntut untuk bersikap profesional agar
dapat berfungsi secara efisien, sehat serta menghadapi persaingan global.
Dalam era globalisasi perkembangan ilmu dan teknologi maju dengan
pesatnya. Hal ini juga terjadi di dalam sistem perbankan, dimana
perbankan diharuskan untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan
teknologi tersebut untuk melayani nasabahnya dengan baik.
Kartu kredit adalah alat pembayaran yang dapat digunakan untuk
melakukan pembayaran atas kewajiban dari kegiatan ekonomi, termasuk
transaksi belanja dan atau tarik tunai, dimana kewajiban pembayaran
pemegang kartu dipenuhi terlebih dahulu oleh penerbit dan pemegang
kartu berkewajiban untuk melunasi pembayaran tersebut pada waktu yang
2
telah disepakati, baik secara kontan maupun angsuran.1 Walaupun
eksistensi kartu kredit tidak dimaksudkan untuk menghapus secara total
sistem pembayaran dengan menggunakan uang cash atau cek, tetapi
terutama untuk kegiatan pembayaran yang setiap hari dengan jumlah
pembayaran tingkat menengah, maka keberadaan kartu kredit
sesungguhnya dapat menggeser peranan uang cash ataupun cek. Untuk
pembayaran yang bukan tingkat menengah, memang penggunaan kartu
kredit masih belum populer. Karena, untuk transaksi kecil, orang
cenderung menggunakan uang cash, sementara untuk transaksi yang besar,
pilihannya jatuh pada alat bayar cek ataupun surat-surat berharga lainnya.
Kartu kredit atau credit card merupakan gaya hidup dan bagian dari
komunitas manusia untuk dapat dikategorikan modern dalam tata
kehidupan sebuah kota yang beranjak menuju metropolitan atau
cosmopolitan.2 Kartu kredit merupakan suatu alat berbentuk kartu yang
diterbitkan oleh bank dan dapat digunakan untuk berbagai macam
transaksi keuangan. Kartu kredit diberikan kepada pemegang untuk dapat
dipergunakan sebagai alat pembayaran di berbagai tempat yang telah
mengadakan kerjasama dengan penerbit dari kartu tersebut. Kartu kredit,
di samping berfungsi sebagai alat pembayaran dapat pula berfungsi
sebagai alat ligitimasi bagi seseorang yang namanya tercantum di dalam
kartu yang bersangkutan hingga orang dengan identitas tersebutlah yang
1 Penjelasan dari Peraturan Bank Indonesia No 7/52/PBI/2005 Tentang Kegitan alat
pembayaran dengan menggunakan kartu 2 Johanes Ibrahim, Kartu Kredit Dilematis Antar Kontrak dan Kejahatan, Refika
Aditama, Bandung, 2004, hlm. 7
3
berhak menggunakan fasilitas yang diberikan oleh kartu kredit yang
bersangkutan.
Kebutuhan masyarakat terhadap penggunaan kartu kredit dalam
memenuhi kegiatan ekonomi menunjukkan perkembangan yang sangat
pesat dari tahun ke tahun. Sejalan dengan meningkatnya penggunaan kartu
kredit sebagai alat pembayaran, tingkat keamanan teknologi, baik
keamanan kartu maupun keamanan sistem yang digunakan untuk
memproses transaksi alat pembayaran dengan menggunakan kartu kredit,
perlu ditingkatkan agar penggunaan kartu sebagai alat pembayaran dapat
senantiasa berjalan dengan aman dan lancar.
Sistem pembayaran secara elektronik ini dapat memberikan
kenyamanan dengan proses yang lebih cepat, efisien, paperless, waktu
yang lebih fleksibel, tanpa perlu hadir di counter bank telah memberikan
electronic funds transfer beberapa kelebihan. Namun harus disadari bahwa
dengan sifatnya yang unik tersebut perlindungan terhadap nasabah dapat
menjadi tidak jelas, dimana pada akhirnya dapat mengakibatkan masalah –
masalah yang timbul dari transaksi tersebut. Bahkan nasabah sering
menjadi pihak yang sangat dirugikan, misalnya terjadi penggesekan ganda
(double swipe) kartu kredit saat melakukan tranksaksi non tunai.
Di era modern, saat berbelanja di pasar swalayan seringkali banyak
orang yang membayar menggunakan kartu kredit. Kartu tersebut digesek
oleh kasir pada mesin Electronic Data Capture (EDC) dan mesin kasir.
Padahal, Bank Indonesia melarang adanya penggesekan ganda dalam
4
transaksi nontunai. Pengaturan mengenai larangan penggesekan ganda
kartu nontunai telah tercantum dalam Peraturan BI Nomor 18/40/PBI/2016
tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran. Pada Pasal
34 huruf b, BI melarang penyelenggara jasa sistem pembayaran
menyalahgunakan data dan informasi nasabah maupun data dan informasi
transaksi pembayaran selain untuk tujuan transaksi pemrosesan
pembayaran.
Bukan hanya Bank Indonesia saja yang melarang penggesekan
kartu ganda, namun Asosiasi Kartu Kredit Indonesia atau (AKKI) juga
melarangnya. Asosiasi Kartu Kredit Indonesia atau (AKKI) menyebutkan
perlu adanya langkah tegas untuk memberantas merchant yang masih
melakukan penggesekan ganda pada transaksi nontunai dari kartu debit
dan kredit.
Penggesekan ganda (double swipe) terjadi ketika pedagang
menggesekan kartu non tunai lebih dari sekali. Selain di mesin Electronic
Data Capture (EDC), penggesekan biasanya dilakukan di mesin kasir
pedagang. Gesekan ke mesin EDC dilakukan untuk proses pembayaran.
Untuk gesekan kedua pada mesin kasir merchant bertujuan memperoleh
nomor kartu konsumen. Tidak hanya itu gesekan di alat milik kasir
menimbulkan risiko yang cukup besar berupa ter-copy nya berbagai data
nasabah yang tersimpan di kartu, tidak hanya nomor kartu tetapi juga card
verification value, expiry date, ataupun service code. Kemungkinan
penyalahgunaan data nasabah pun akan sulit dibendung. Konsumen tidak
5
memperoleh jaminan dari merchant bahwa data yang disimpan di mesin
gesek kasir akan aman. Akibat dari bocornya data milik nasabah tentu
banyak, misalnya, penggandaan kartu, transaksi on line oleh pihak lain,
jual beli data, dan lain-lain. Untuk itu, data nasabah merupakan informasi
yang sangat sensitif. Tidak menutup kemungkinan ada pihak-pihak yang
memanfaatkan data nasabah di merchant.
Pada Maret 2013 Bank BCA mendapat informasi dari Fraud
Detection Unit atau bagian monitoring menginformasikan ke beberapa
nasabah yang transaksinya mencurigakan yaitu melakukan transaksi di
luar negeri diantaranya di Mexico, Colombia dan Amerika dan adanya
laporan dari beberapa Bank penerbit Kartu Kredit dan Debit di dalam
Negeri yang menyatakan adanya indikasi pencurian data di beberapa toko
The Body Shop, selanjutnya bagian monitoring melakukan konfirmasi ke
beberapa nasabah tersebut, dan diperoleh keterangan bahwa yang
bersangkutan tidak pernah melakukan transaksi di luar negeri di antaranya
di Mexico, Colombia dan Amerika. Setelah mendapat konfirmasi
tersebut kemudian pihak Bank BCA meminta kepada nasabah untuk
membuat surat sanggahan, selanjutnya beberapa nasabah membuat surat
sanggahan yang diminta oleh Bank BCA tersebut, setelah itu pihak Bank
BCA melakukan pemblokiran terhadap ke 163 (seratus enam puluh tiga)
kartu Kredit yang telah melakukan transaksi mencurigakan tersebut.
Setelah dilakukan analisa, ternyata pada sekitar awal bulan Februari 2013
ke 163 (seratus enam puluh tiga) Acount tersebut pernah bertransaksi di
6
toko atau merchant The Body Shop yang berada di wilayah Jakarta dan
Tangerang. Setelah di analisa kemudian disimpulkan bahwa ada dugaan
penggandaan atau pencurian data Kartu Kredit di toko atau merchant The
Body Shop. Pelaku diduga mengambil data nasabah dari mesin Cash
Register (POS atau Point Of Sale) yang ada di toko The Body Shop
setelah nasabah yang sebenarnya melakukan transaksi, dimana cara
mengambil data nasabah tersebut saksi tidak tau apakah menggunakan alat
atau melalui jaringan internet, selanjutnya pelaku menggandakan data
nasabah, setelah di gandakan pelaku dengan bebas menggunakan data
nasabah tersebut untuk bertransaksi di Luar Negeri diantaranya di
Colombia, Mexico dan Amerika. Untuk Bank BCA jumlah kerugiannya
sampai saat ini yaitu sekitar Rp. 500.0000.000,- (lima ratus juta rupiah).
Kasus ini terjadi saat nasabah melakukan pembayaran dengan kartu
kredit di gerai The Body Shop. Kejadian ini terjadi, saat nasabah
melakukan pembayaran, biasanya kartu kredit ini cukup di-deep di mesin
Electronic Data Capture (EDC) milik bank penerbit kartu kredit. Namun
oleh petugas gerai, ternyata kartu kredit tersebut masih digesek di mesin
cash register atau istilah lainnya adalah telah dilakukan penggesekan
ganda (double swipe). Di mesin inilah data kartu kredit tersebut dicuri.
Sehingga nasabah merupakan pihak yang sangat dirugikan serta dapat
menimbulkan hilangnya kepercayaan nasabah terhadap bank.
Hal tersebut juga bertentangan dengan ketentuan mengenai rahasia
bank menurut ketentuan Pasal 1 angka 28 Undang-Undang Nomor 10
7
Tahun 1998 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan, yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan
rahasia bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan
mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya. Adapun Pasal 40 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang mengemukakan bahwa
bank wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan
simpanannya.
Berdasarkan uraian tersebut, penulis tertarik untuk melakukan
penelitian dengan judul sebagai berikut: PERLINDUNGAN HUKUM
TERHADAP NASABAH ATAS PENGGESEKAN GANDA
(DOUBLE SWIPE) KARTU KREDIT PADA TRANSAKSI NON
TUNAI DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR
10 TAHUN 1998 PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG
NOMOR 7 TAHUN 1992 TENTANG PERBANKAN.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang penelitian, maka identifikasi
masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana perlindungan hukum terhadap nasabah atas penggesekan
ganda (double swipe) kartu kredit pada transaksi non tunai
dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang
Perbankan?
8
2. Bagaimana akibat hukum dari penggesekan ganda (double swipe) kartu
kredit pada transaksi non tunai dihubungkan dengan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7
tahun 1992 tentang Perbankan?
3. Bagaimana peran Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam permasalahan
penggesekan ganda (double swipe) kartu kredit pada transaksi non
tunai?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui, mengkaji dan menganalisis bagaimana
perlindungan hukum terhadap nasabah atas penggesekan ganda
(double swipe) kartu kredit pada transaksi non tunai dihubungkan
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan.
2. Untuk mengetahui, mengkaji dan menganalisis tentang akibat hukum
dari penggesekan ganda (double swipe) kartu kredit pada transaksi non
tunai dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang
Perbankan
3. Untuk mengetahui, mengkaji dan menganalisis tentang peran Otoritas
Jasa Keuangan (OJK) dalam permasalahan penggesekan ganda (double
swipe) kartu kredit pada transaksi non tunai.
9
D. Kegunaan Penelitian
Dari penelitian ini diharapkan akan diperoleh hasil yang dapat
memberikan kegunaan dan manfaat kepada pihak-pihak yang
berkepentingan baik secara langsung maupun tidak langsung.
1. Secara Teoritis
a. Hasil penulisan ini diharapkan dapat berguna bagi pengembangan
ilmu hukum baik secara umum dan khususnya dalam bidang ilmu
hukum perbankan terutama dalam perlindungan hukum terhadap
nasabah atas penggesekan ganda (double swipe) kartu kredit pada
transaksi non tunai dihubungkan dengan Undang-Undang
Perbankan.
b. Dapat menambah pengetahuan dan wawasan bagi penulis
khususnya dan bagi para mahasiswa fakultas hukum pada
umumnya mengenai perlindungan hukum terhadap nasabah
penggesekan ganda (double swipe) kartu kredit pada transaksi non
tunai dihubungkan dengan Undang-Undang Perbankan.
c. Sebagai bahan kajian ilmu hukum perbankan dan sebagai informasi
mengenai hukum terhadap nasabah atas penggesekan ganda
(double swipe) kartu kredit pada transaksi non tunai.
2. Secara Praktis
a. Bagi Industri
Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan masukan positif
bagi instansi yang terkait yang bergerak di dalam bidang apapun
10
agar dapat menelaah terhadap perlindungan hukum bagi nasabah
atas penggesekan ganda (double swipe) kartu kredit pada transaksi
non tunai.
b. Bagi Masyarakat
Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan
kajian penambahan informasi dalam perlindungan hukum bagi
nasabah atas penggesekan ganda (double swipe) kartu kredit pada
transaksi non tunai, dan juga sebagai sumbangan kontruksi dalam
pembentukan budaya tertib dan adil sesuai aturan hukum, dan
menelaah perlindungan hukum bagi nasabah atas penggesekan
ganda (double swipe) kartu kredit pada transaksi non tunai.
c. Bagi Pemerintah
Diharapkan penelitian ini bermanfaat untuk memberikan masukan
terkait dalam melakukan pengaturan di bidang Perbankan,
khususnya perlindungan hukum bagi nasabah atas penggesekan
ganda (double swipe) kartu kredit pada transaksi non tunai yang
terjadi sebagai acuan untuk melindungi para nasabah secara lebih
serius lagi agar mereka mendapatkan suatu kepastian hukum yang
mutlak.
E. Kerangka Pemikiran
Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk
tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai
pedoman perilaku dalam hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan
11
bermasyarakat dan bernegara. Proses penegakan hukum melibatkan semua
subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang
menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak
melakukan sesutau dengan mendasarkan diri pada norma atau hukum yang
berlaku, maka ia menjalankan atau menegakkan aturan hukum.
Pancasila sebagai dasar filosofis dan falsafah Negara Indonesia
menjadi tonggak dan nafas bagi pembentukan aturan-aturan hukum.
Sejalan dengan hal itu, H.R. Otje Salman S dan Anton F. Susanto
menyatakan bahwa:
“Memahami Pancasila berarti menunjuk kepada konteks historis
yang lebih luas. Namun demikian ia tidak saja menghantarkannya
ke belakang tentang sejarah ide, tetapi lebih jauh mengarah kepada
apa yang harus dilakukan pada masa mendatang.” 3
Kutipan diatas jelas menyatakan Pancasila harus dijadikan dasar
bagi kehidupan di masa yang akan datang termasuk dalam hal
pembentukan dan penegakan hukum. Pancasila sebagai dasar negara dan
pedoman bangsa Indonesia yang di dalamnya mencakup pengaturan secara
umum mengenai kehidupan masyarakat Indonesia, sebagaimana di atur
dalam sila ke lima “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” bahwa
kegiatan ekonomi didasarkan kepada pertumbuhan kesejahteraan bagi
masyarakat sehingga mampu memberikan keadilan. Landasan filosofis
Pancasila, dalam praktik hubungan nasabah dan bank haruslah sesuai
dengan pelaksanaan kegiatan operasional perbankan. Hal ini dapat di
3 Otje salman dan Anthon F. Susanto, Teori Hukum (Mengingat, Mengumpulkan dan
Mebuka Kembali), refika Aditama, Bandung,2004, hlm 61
12
analisis oleh peneliti melalui kajian nilai-nilai makna yang terkandung
filosofis Pancasila. Nilai-nilai makna yang hidup di masyarakat tersebut,
harus menciptakan itikad baik kedua belah pihak atau lebih yang
mewujudkan keharmonisan demi tercapainya kesejahteraan haruslah
berlandaskan pada etika kebangsaan bangsa Indonesia yakni Pancasila.4
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 mencantumkan tujuan
negara yang menjadi dasar dan cita-cita bangsa yaitu :
“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah
negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum”5
Tujuan Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum
mengandung makna bahwa negara berkewajiban untuk melindungi
seluruh warganya dengan suatu peraturan perundang-undangan demi
kesejahteraan hidup bersama dengan jelas tercantum dalam Pasal 1 ayat
(3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 pasca
perubahan menyatakan, bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”.
Ketentuan tersebut sesungguhnya lebih merupakan penegasan sebagai
upaya menjamin terwujudnya kehidupan bernegara berdasarkan hukum.
Negara hukum adalah negara yang berdiri di atas hukum yang
menjamin keadilan kepada warga negaranya. Keadilan merupakan syarat
bagi tercapainya kebahagiaan hidup untuk warga negara serta keadilan itu
perlu diajarkan rasa susila kepada setiap manusia agar menjadi warga
4 http://kuliahhukumonline.blogspot.co.id/2014/09/analisis-hakikat-hukum-pancasila-
dalam html Diakses tanggal 16 November 2017. 5 Undang-Undang Dasar Negara republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen ke-IV
13
negara yang baik. Peraturan yang sebenarnya ialah peraturan yang
mencerminkan keadilan bagi pergaulan antar warga negara. Maka yang
memerintah negara bukanlah manusia melainkan pikiran yang adil.
Hukum sebagai gejala sosial mengandung berbagai aspek, faset, ciri,
dimensi ruang dan waktu serta tatanan abstraksi yang majemuk.6 Adapun
pengertian hukum itu sendiri menurut P.Brost menyatakan bahwa Hukum
adalah keseluruhan peraturan bagi kelakuan atau perbuatan manusia di
dalam masyarakat, yang pelaksaannya dapat di paksakan dan bertujuan
mendapatkan tata atau keadilan.7 Sehingga hak setiap warga negara dapat
terpenuhi, selain itu Menurut Mochtar Kusumaatmadja, menyatakan
bahwa :
“Hukum berfungsi sebagai sarana pembaharuan atau sarana
pembangunan adalah didasarkan atas anggapan, bahwa hukum
dalam arti kaidah atau peraturan hukum memang bisa berfungsi
sebagai alat (pengatur) atau sarana pembangunan dalam arti
penyalur arah kegiatan manusia kearah yang dikehendaki
pembangunan”.8
Menurut Pasal 28D Undang-Undang Dasar Tahun 1945,
menyatakan bahwa, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta mendapat perlakuan
yang sama dihadapan hukum.” Sehingga sangatlah perlu untuk
mendapatkan keadilan dan hak yang sama dalam mendapatkan pengakuan,
jaminan, perlindungan serta mendapat perlakuan yang sama dimuka
hukum. Selain itu, Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945
6 Wawan, Pengantar Ilmu Hukum, Pustaka Setia Bandung, 2012, Hlm. 29 7 R.Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Bandung, 1992, Hlm 27 8 Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, Bina
Cipta, 1995, hlm 12-13
14
menyatakan bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas
demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan
menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Selanjutnya, mengenai rahasia bank menurut ketentuan Pasal 1
angka 28 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang
menyatakan bahwa yang dimaksud dengan rahasia bank adalah segala
sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah
penyimpan dan simpanannya. Adapun Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1992 yang mengemukakan bahwa bank wajib merahasiakan keterangan
mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya. Kecuali dalam hal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, 41 A, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44,
dan Pasal 44 A. Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa pengertian dan
ruang lingkup mengenai rahasia bank yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan lebih sempit cakupannya karena
hanya berlaku bagi nasabah penyimpan dan simpanannya saja.
Suatu hal yang menarik bagi siapa pun yang berhubungan dengan
bank adalah terjaminnya jati diri nasabah. Hal ini dapat dimaklumi, sebab
bisnis perbankan adalah bisnis kepercayaan. Dengan kata lain, nasabah
berhubungan dengan bank sebab nasabah percaya, bahwa bank akan tetap
15
memegang teguh norma-norma dalam usaha perbankan.9 Satu diantara
norma yang dimaksud adalah rahasia bank. Dibeberapa negara, baik yang
menganut sistem common law maupun civil law mengatur rahasia bank
dengan titik tolak untuk melindungi rahasia keuangan (financial privacy)
dari nasabah agar tidak mudah diakses oleh pihak-pihak yang tidak
berhak.10 Rahasia bank dalam perkembangannya diakui sebagai bagian
hak asasi manusia untuk melindungi rahasia pribadinya (right of privacy),
terutama berkaitan dengan rahasia miliknya atau keuangannya (financial
privacy).11
Terdapat dua teori berkenaan dengan rahasia bank, yaitu teori
rahasia bank yang bersifat mutlak (absolute theory) dan teori rahasia bank
yang bersifat relatif atau nisbi (relative theory). Berikut ini adalah uraian
dari kedua teori tesebut:
1. Teori Mutlak (Absolute Theory)
Menurut teori ini, rahasia bank bersifat mutlak. Semua keterangan
mengenai nasabah dan keuangannya yang tercatat dibank wajib
dirahasiakan tanpa pengecualian dan pembatasan. Dengan alasan apa
pun dan oleh siapa pun, kerahasiaan mengenai nasabah dan
keuangannya tidak boleh dibuka (diungkapkan). Apabila terjadi
pelanggaran terhadap kerahasiaan tersebut, bank yang bersangkutan
harus bertanggung jawab atas segala akibat yang ditimbulkannya.
9 Santosa Sembiring, Hukum Perbankan, Mandar Maju, Bandung, 2012. Hlm. 30. 10 Yunus Husein, Rahasia Bank Privasi versus Kepentingan Umum, Program
Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2003, Hlm. 145. 11 Muhamad Djuma, Rahasia Bank (Ketentuan dan Penerapannya) di Indonesia, PT Citra
Aditnya Bakti, Bandung, 1996, hlm. 112.
16
Menurut teori ini, bank mempunyai kewajiban untuk menympan
rahasia atau keterangan-keterangan mengenai nasabahnya yang
diketahui bank karena kegiatan usahanya dalam keadaan apapun,
dalam keadaan biasa atau luar biasa. Teori ini sangat menonjolkan
kepentingan individu sehingga kepentingan negara dan masyarakat
sering terabaikan.12
2. Teori Relatif/Nisbi (Relative Theory)
Menurut teori ini, rahasia bank bersifat relatif (terbatas). Semua
keterangan mengenai nasabah dan keuangannya yang tercatat di bank
wajib dirahasiakan. Namun, bila ada alasan yang dapat dibenarkan
oleh undang-undang, rahasia bank mengenai keuangan nasabah yang
bersangkutan boleh dibuka (diungkapkan) kepada pejabat yang
berwenang. Di Indonesia, teori relatif ini diatur dalam Pasal 40
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 jo Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 tentang Perbankan. Dengan demikian dapat disimpulkan,
bahwa menurut teori relatif, bank diperbolehkan membuka rahasia
bank atau memberi keterangan mengenai nasabahnya, jika untuk
kepentingan mendesak, misalnya untuk kepentingan negara atau
kepentingan hukum.13
Simpanan nasabah penyimpan adalah sumber dana bagi bank, oleh
karena itu wajar apabila undang-undang mengatur agar bank
melindunginya. Akan tetapi di sisi lain, tentu ada juga nasabah penyimpan
12 Zainal Asikin, Pengantar Hukum Perbankan Indonesia, PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2015, hlm. 176. 13 Ibid, Hlm. 177.
17
yang berstatus debitur beritikad jahat (bad faith). Untuk menghadapi hal
tersebut, bank tidak perlu ragu melakukan blacklist dan kepada Otoritas
Jasa Keuangan (OJK) selaku pengawas dan pembina perbankan.
Penegakan hukum yang tegas justru meningkatkan kepercayaan
masyarakat terhadap bank.14
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah lembaga Negara yang
dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 yang
berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang
terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan
baik di sektor perbankan, pasar modal, dan sektor jasa keuangan non-bank
seperti Asuransi, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa
Keuangan lainnya.
Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya Otoritas Jasa
Keuangan berlandaskan asas-asas sebagai berikut:15
1. Asas independensi, yakni independen dalam pengambilan keputusan
dan pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang OJK, dengan tetap
sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku;
2. Asas kepastian hukum, yakni asas dalam negara hukum yang
mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan dan keadilan
dalam setiap kebijakan penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan;
14 Abdulkadir Muhammad, Segi Hukum Lembaga Keuangan dan Pembiayaan, PT Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2004, hlm. 74-85 15 http://www.ojk.go.id/id/Pages/Frequently-Asked-Questions-OJK.aspx Diakses pada
tanggal 1 Februari 2018
18
3. Asas kepentingan umum, yakni asas yang membela dan melindungi
kepentingan konsumen dan masyarakat serta memajukan kesejahteraan
umum;
4. Asas keterbukaan, yakni asas yang membuka diri terhadap hak
masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak
diskriminatif tentang penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan, dengan
tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi dan
golongan, serta rahasia negara, termasuk rahasia sebagaimana
ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan;
5. Asas profesionalitas, yakni asas yang mengutamakan keahlian dalam
pelaksanaan tugas dan wewenang Otoritas Jasa Keuangan, dengan
tetap berlandaskan pada kode etik dan ketentuan peraturan perundang-
undangan;
6. Asas integritas, yakni asas yang berpegang teguh pada nilai-nilai moral
dalam setiap tindakan dan keputusan yang diambil dalam
penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan; dan
7. Asas akuntabilitas, yakni asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan
dan hasil akhir dari setiap kegiatan penyelenggaraan Otoritas Jasa
Keuangan harus dapat dipertanggungjawabkan kepada publik.
Dalam hukum perbankan dikenal beberapa prinsip perbankan,
yaitu prinsip kepercayaan (fiduciary relation principle), prinsip kehati-
19
hatian (prudential principle), prinsip kerahasiaan (secrecy principle), dan
prinsip mengenal nasabah ( know how costumer principle).16
1. Prinsip Kepercayaan ( Fiduciary relation principle )
Prinsip kepercayaan adalah suatu asas yang melandasi hubungan
antara bank dan nasabah bank. Bank berusaha dari dana masyarakat
yang disimpan berdasarkan kepercayaan, sehingga setiap bank perlu
menjaga kesehatan banknya dengan tetap memelihara dan
mempertahankan kepercayaan masyarakat. Prinsip kepercayaan diatur
dalam Pasal 29 ayat (4) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
tentang Perbankan.
2. Prinsip Kehati-hatian ( Prudential principle )
Prinsip kehati-hatian adalah suatu prinsip yang menegaskan bahwa
bank dalam menjalankan kegiatan usaha baik dalam penghimpunan
terutama dalam penyaluran dana kepada masyarakat harus sangat
berhati-hati. Tujuan dilakukannya prinsip kehati-hatian ini agar bank
selalu dalam keadaan sehat menjalankan usahanya dengan baik dan
mematuhi ketentuan-ketentuan dan norma-norma hukum yang berlaku
di dunia perbankan. Prinsip kehati-hatian tertera dalam Pasal 2 dan
Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perbankan.
16 Neni Sri Imaniyati dan Panji Adam Agus Putra, Pengantar Hukum Perbankan
Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2016, hlm 18.
20
3. Prinsip Kerahasiaan ( Secrecy principle)
Prinsip kerahasiaan bank diatur dalam Pasal 40 sampai dengan Pasal
47 Huruf A Undang-Undang Perbankan. Menurut Pasal ini bank wajib
merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan
simpanannya. Namun dalam ketentuan tersebut kewajiban
merahasiakan itu bukan tanpa pengecualian. Kewajiban merahasiakan
itu dikecualikan untuk dalam hal-hal untuk kepentingan pajak,
penyelesaian utang piutang bank yang sudah diserahkan kepada badan
Urusan Piutang dan Lelang / Panitia Urusan Piutang Negara
(UPLN/PUPN), untuk kepentingan pengadilan perkara pidana, dalam
perkara perdata antara bank dengan nasabah, dan dalam rangka tukar
menukar informasi antar bank.
4. Prinsip Mengenal Nasabah ( Know how costumer principle )
Prinsip mengenal nasabah adalah prinsip yang diterapkan oleh bank
untuk mengenal dan mengetahui identitas nasabah, memantau kegiatan
transaksi nasabah termasuk melaporkan setiap transaksi yang
mencurigakan. Prinsip mengenal nasabah nasabah diatur dalam
Peraturan Bank Indonesia No.3/1 0/PBI/2001 tentang Penerapan
Prinsip Mengenal nasabah. Tujuan yang hendak dicapai dalam
penerapan prinsip mengenal nasabah adalah meningkatkan peran
lembaga keuangan dengan berbagai kebijakan dalam menunjang
praktik lembaga keuangan, menghindari berbagai kemungkinan
lembaga keuangan dijadikan ajang tindak kejahatan dan aktivitas
21
illegal yang dilakukan nasabah, dan melindungi nama baik dan
reputasi lembaga keuangan.
Bank Indonesia mendefinisikan perbankan yakni sebagai berikut :
“Bank merupakan lembaga kepercayaan yang berfungsi sebagai
lembaga intermediasi, membantu kelancaran sistem pembayaran,
dan yang tidak kalah pentingnya adalah lembaga yang menjadi
sarana dalam pelaksanaan kebijakan pemerintah yaitu kebijakan
moneter. Karena fungsi-fungsinya tersebut, maka keberadaan bank
yang sehat, baik secara individu maupun secara keseluruhan
sebagai suatu sistem, merupakan prasyarat bagi suatu
perekonomian yang sehat. Untuk menciptakan perbankan yang
sehat antara lain diperlukan pengaturan dan pengawasan bank yang
efektif. Kebijakan perbankan dirumuskan dan dilaksanakan oleh BI
pada dasarnya merupakan bagian dari upaya untuk menciptakan,
menjaga, dan memelihara sistem perbankan yang sehat.”17
Prinsip kehati-hatian tersebut mengharuskan pihak bank untuk
selalu berhati-hati dalam menjalankan fungsinya dan kegiatan usahanya,
dalam arti luas selalu konsisten dalam melaksanakan peraturan perundang-
undangan di bidang perbankan berdasarkan profesionalisme dan itikad
baik. Selain itu juga bank Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Bank
Indonesia (PBI) No.3/10/PBI/2001 tanggal 18 Juni 2001 tentang
Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah, yang telah diubah dengan Peraturan
Bank Indonesia (PBI) No.5/21/PBI/2003 tanggal 17 oktober 2003 tentang
Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Nasabah adalah
orang yang biasa berhubungan dengan atau menjadi pelanggan bank
(dalam hal keuangan). Dengan demikian, nasabah merupakan konsumen di
17 http://www.bi.go.id/id/perbankan/Contents/Default.aspx Diakses pada tanggal 16
November 2017.
22
dalam perbankan, sebagai konsumen nasabah wajib mendapatkan
perlindungan sebagaimana dalam Pasal 4 huruf c Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa hak
atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa. Dengan demikian nasabah harus mendapatkan
jaminan sebagai konsumen dan pengguna jasa-jasa dari perbankan.
Pada usaha penyelesaian pengaduan nasabah sesuai dengan Pasal 6
ayat (1) Peraturan Bank Indonesia No. 7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian
Pengaduan Nasabah menyatakan: “Bank wajib menerima setiap
pengaduan yang diajukan oleh nasabah dan atau perwakilan nasabah yang
terkait dengan transaksi keuangan yang dilakukan oleh nasabah”.
Terkait dengan pengaduan nasabah menurut Pasal 10 ayat (1)
Peraturan Bank Indonesia No.7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian
Pengaduan Nasabah menyatakan bahwa bank wajib menyelesaikan
pengaduan paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja setelah tanggal
penerimaan pengaduan nasabah.
Bagi bank yang telah menerima pengaduan dari nasabah sesuai
Pasal 17 Peraturan Bank Indonesia No.7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian
Pengaduan Nasabah berlaku Pasal 52 Undang-Undang No.10 tahun 1998
tentang perubahan atas Undang-Undang No.7 Tahun 1992 tentang
Perbankan.
Dalam upaya penyelesaian pengaduan nasabah berdasarkan Pasal
15 Peraturan Bank Indonesia No.7/7/PBI/2015 tentang Penyelesaian
23
Pengaduan Nasabah bahwa bank wajib memiliki mekanisme pelaporan
internal penyelesaian pengaduan.
Kartu kredit adalah alat pembayaran yang dapat digunakan untuk
melakukan pembayaran atas kewajiban dari kegiatan ekonomi, termasuk
transaksi belanja dan atau tarik tunai, dimana kewajiban pembayaran
pemegang kartu dipenuhi terlebih dahulu oleh penerbit dan pemegang
kartu berkewajiban untuk melunasi pembayaran tersebut pada waktu yang
telah disepakati, baik secara kontan maupun angsuran.18
Sistem pembayaran dengan menggunakan kartu kredit ini dapat
memberikan kenyamanan dengan proses yang lebih cepat, efisien,
paperless, waktu yang lebih fleksibel, tanpa perlu hadir di counter bank
telah memberikan electronic funds transfer beberapa kelebihan. Namun
harus disadari bahwa dengan sifatnya yang unik tersebut perlindungan
terhadap nasabah dapat menjadi tidak jelas, dimana pada akhirnya dapat
mengakibatkan masalah – masalah yang timbul dari transaksi tersebut.
Bahkan nasabah sering menjadi pihak yang sangat dirugikan, misalnya
terjadi penggesekan ganda (double swipe) kartu kredit saat melakukan
tranksaksi non tunai.
Selanjutnya yang dimaksud dengan Penggesekan ganda (double
swipe) yaitu ketika pedagang menggesekan kartu non tunai lebih dari
sekali. Selain di mesin Electronic Data Capture (EDC), penggesekan
biasanya dilakukan di mesin kasir pedagang.
18 Penjelasan dari Peraturan Bank Indonesia No 7/52/PBI/2005 Tentang Kegitan alat
pembayaran dengan menggunakan kartu
24
Perlindungan hukum terhadap pemegang kartu kredit terdapat
beberapa perundang-undangan yang dapat dijadikan dasar hukum untuk
mencegah pelanggaran hukum terhadap pemegang kartu kredit, sebagai
instrument hukum dalam menyelesaikan berbagai permasalahan yang
timbul akibat penggunaan kartu kredit. Di dalam peraturan perundang-
undangan setingkat undang-undang. Undang-Undang No 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang No 10 Tahun 1998
Atas Perubahan Undang-Undang No 7 Tahun 1992 tentang Perbankan,
Undang-Undang No 3 Tahun 2004 Atas Perubahan Undang-Undang No
23 Tahun 1993 tentang Bank Indonesia Serta Undang-Undang No 21
Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, dapat menjadi dasar bagi
perlindungan hukum terhadap pemegang kartu kredit di Indonesia.
Selain itu, terdapat peraturan perundang-undangan lainnya dibawah
undang-undang yang dapat dijadikan dasar hukum bagi perlindungan
hukum terhadap pemegang kartu kredit di Indonesia saat ini, salah satunya
adalah Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/2/PBI/2012 tentang
Penyelenggaraan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu (APMK).
F. Metode Penelitian
Untuk mengetahui dan membahas suatu permasalahan, maka
diperlukan adanya pendekatan dengan menggunakan metode tertentu yang
bersifat ilmiah. Metode penelitian yang digunakan adalah sebagai berikut:
25
1. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi Penelitian ini bersifat Deskriptif Analitis 19yaitu penelitian
dengan menuliskan fakta dan memperoleh gambaran menyeluruh
mengenai peraturan perundang-undangan dan dikaitkan dengan teori-
teori hukum dalam praktik pelaksanaanya yang menyangkut
permasalahan yang diteliti. Selanjutnya akan menggambarkan antara
pengaturan mengenai bentuk perlindungan hukum terhadap nasabah
atas penggesekan ganda (double swipe) kartu kredit pada transaksi non
tunai.
2. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan
dengan cara Yuridis Normatif20, yakni suatu penelitian yang
menekankan pada segi-segi yuridis terhadap Pasal 1365 KUHPerdata
dengan cara mengkaji dan menguji permasalahan berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang ada.
Penelitian hukum normatif meliputi:
a. Penelitian terhadap asas-asas hukum.
b. Penelitian terhadap sistematik hukum, yaitu terhadap pengertian-
pengertian dasar yang terdapat dalam system hukum (subjek
hukum, objek hukum dan hubungan hukum).
19 Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Pengantar Penelitian Hukum dan Jurimetri,
Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994, hlm. 97 20 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan
Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm. 14.
26
c. Mengkaji dan menguji permasalahan berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang ada.
3. Tahap Penelitian
Sebelum penulis melakukan penelitian, terlebih dahulu menetapkan
tujuan agar jelas mengenai apa yang akan diteliti, kemudian dilakukan
perumusan masalah dari berbagai teori dan konsep yang ada, untuk
mendapatkan data primer dan data sekunder sebagaimana dimaksud di
atas. Dalam penelitian ini tahap penelitian dilakukan melalui:
a. Penelitian Kepustakaan (Library Reasearch)
Penelitian kepustakaan adalah mengumpulkan sumber data primer,
sekunder dan tersier. Dan penelitian ini dimaksudkan untuk
mendapatkan data sekunder, dengan mempelajari literature,
majalah, koran dan artikel lainnya yang berhubungan dengan
obyek yang diteliti.
1) Bahan-bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang
terdiri atas peraturan perundang-undangan yang diurut
berdasarkan herarki peraturan perundang-undangan, yaitu
mencakup Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 Amandemen ke-empat (IV), Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata, Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 tentang Perbankan, Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang –Undang No
21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, Undang-
27
Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia,
Peraturan Bank Indonesia No7/52/PBI 2005 Tentang Kegiatan
Alat Pembayaran Menggunakan Kartu, Peraturan Bank
Indonesia No. 18/40/PBI/2016 tentang Penyelenggaraan
Pemrosesan Transaksi Pembayaran.
2) Bahan hukum sekunder berupa tulisan-tulisan para ahli
dibidang hukum yang berkaitan dengan hukum primer dan
dapat membantu menganalisa bahan-bahan hukum primer,
berupa buku-buku yang relevan, internet dan surat kabar.
3) Bahan hukum tersier yakni bahan hukum yang memberikan
petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder seperti kamus, ensiklopedia dan lain-
lain.21
b. Penelitian Lapangan (Field Research)
Guna menunjang data sekunder yang diperoleh dari penelitian
kepustakaan, maka dapat dilakukan penelitian lapangan yaitu guna
melengkapi data yang berkaitan dengan penelitian ini. Penelitian
lapangan dilakukan dengan dialog dan tanya jawab dengan pihak-
pihak yang akan dapat memberikan informasi yang dibutuhkan
dalam penelitian ini.22
21 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012, hlm. 13. 22 Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Pengantar Penelitian Hukum dan Jurimetri,
Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994, hlm. 98
28
4. Teknik Pengumpul Data
Pengumpulan data merupakan suatu proses pengadaan data untuk
keperluan penelitian. Adapun teknik pengumpulan data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Studi Dokumen
Studi dokumen yaitu suatu alat pengumpulan data, yang digunakan
melalui data tertulis,23 dengan mempelajari materi-materi bacaan
berupa literature-literatur, catatan-catatan dan peraturan
perundangundangan yang berlaku untuk memperoleh data
sekunder yang berhubungan dengan permasalahan yang sedang
dibahas.
b. Wawancara
Wawancara adalah cara untuk memperoleh informasi dengan
bertanya langsung kepada para pihak yang terlibat dalam
permasalahan yang diteliti dalam skripsi ini untuk memperoleh
jawaban-jawaban yang relevan dengan permasalahan yang diteliti.
5. Alat Pengumpul Data
Alat pengumpul data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Dalam penelitian kepustakaan, alat pengumpul data dilakukan
dengan cara menginvertarisasi bahan-bahan hukum berupa catatan
tentang bahan-bahan yang relevan dengan topic penelitian,
23 Ibid, hlm. 52.
29
kemudian alat elektronik (computer) untuk mengetik dan
menyusun data yang diperoleh.
b. Dalam penelitian lapangan, alat pengumpul data yang digunakan
berupa daftar pertanyaan yang dirinci untuk keperluan wawancara
yang merupakan proses tanya jawab secara tertulis dan lisan,
kemudian direkam melalui alat perekam suara seperti handphone
recorder dan flashdisk.
6. Analisis Data
Untuk tahap selanjutnya setelah memperoleh data, maka dilanjutkan
dengan menganalisis data, dengan metode Yuridis Kualitatif yaitu
suatu cara dalam penelitian yang menghasilkan data Deskriptif
Analistis, yaitu data yang diperoleh data sekunder apa yang ditanyakan
oleh responden secara tertulis atau lisan, diteliti dan dipelajari sebagai
sesuatu yang utuh. Data dianalisis dengan cara melakukan interpretasi
atas peraturan perundang-undangan.
7. Lokasi Penelitian
Penelitian untuk penyusun skripsi ini dilakukan ditempat-tempat yang
memiliki kolerasi dengan masalah yang diangkat pada penulisan
hukum ini. Lokasi penelitian dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Penelitian Kepustakaan
1) Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Pasundan Bandung,
Jalan Lengkong Dalam Nomor 17 Bandung.
30
2) Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran
Bandung, Jalan Dipati Ukur No. 35 Bandung;
b. Study Lapangan
1) Kantor Regional 2 Jawa Barat OJK, Jalan Ir. H.Juanda No.152,
Lebak Siliwangi, Coblong, Lebakgede, Bandung, Kota
Bandung, Jawa Barat 40132
2) Kantor Perwakilan Bank Indonesia, Jalan Braga No.108,
Babakan Ciamis, Sumur Bandung, Kota Bandung, Jawa Barat
40111
8. Jadwal Penelitian
Dalam hal ini penulis melakukan kegiatan, diawali dengan pembuatan
judul dan setelah judul disetujui, kemudian penulis mencari bahan
dengan menyusun jadwal kegiatan sebagai berikut:
No Kegiatan Bulan
Des Jan Feb Mar Apr Mei
1
Persiapan / Penusunan
Proposal
3 Seminar Proposal
4 Persiapan Penelitian
5 Pengumpulan Data
6 Pengolahan Data
7 Analisis Data
31
8 Penyusunan Hasil
Penelitian ke dalam
Bentuk Penulisan
Hukum
9 Sidang Komprehensif
10 Perbaikan
11 Penjilidan
12 Pengesahan
Keterangan : Perencanaan Penulisan Sewaktu-waktu Dapat Berubah