bab i pendahuluan a. latar belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/86545/potongan/s1...kafeat,...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Daun tanaman sambung nyawa (Gynura procumbens (Lour). Merr) dan
daun jati cina (Cassia angustifolia Vahl) adalah dua contoh bahan alam yang
sudah diteliti memiliki khasiat sebagai zat antiobesitas, sehingga sampai saat ini
sedang diteliti formulasi dan pembuatan sediaan campuran daun sambung nyawa
dan daun jati cina sebagai alternatif antiobesitas. Penggunaan ekstrak sambung
nyawa sebagai antiobesitas harus diteliti lebih lanjut karena akan digunakan
dalam jangka panjang. Selain itu, ekstrak daun sambung nyawa juga harus lolos
uji toksisitas akut, subkronis dan kronis karena belum diketahui secara pasti ada
atau tidaknya senyawa yang terkandung dalam ekstrak daun sambung nyawa
yang dapat menimbulkan efek samping ataupun perubahan fungsi organ.
Senyawa yang terkandung dalam daun sambung nyawa yang telah dilaporkan
antara lain flavonoid, glikosida kuersetin, tanin, saponin, steroid, triterpenoid,
asam klorogenat, asam kafeat, asam para kumarin, asam parahidroksi benzoat
(Suganda et al., 1988). Fraksi air ekstrak etanolik daun sambung nyawa memiliki
kemampuan sebagai agen antihiperlipidemia melalui mekanisme penghambatan
aktivitas enzim lipase yang berperan dalam absorbsi lipid pada tikus yang
diinduksi diet lemak tinggi (Setiawan, 2012; Sari et al., 2013).
2
Daun jati cina telah lama digunakan dalam pengobatan sebagai antigungi
dan antibakteri, konstipasi, demam, edema, dan penyakit kulit. Senyawa golongan
antrakinon pada kandungan daun jati cina seperti sennosida, aloe-emodin, rhein
dan krisofanol dilaporkan memiliki aktivitas laksatif. Sennosida merupakan
glikosida golongan antrakinon yang memiliki aktivitas paling aktif sebagai
laksatif, dimana di dalam tubuh mengalami reaksi hidrolisis enzimatis dan reduksi
oleh bakteri flora usus menjadi rheinantron (Sudarsono et al., 2002). Fraksi
antrakinon dan musilago dari ekstrak air daun jati cina dosis 2100 mg/kg BB
sudah memperlihatkan efek laksatif pada mencit putih jantan galur Balb/C
Mardiyaningsih, 2011). Daun jati cina digunakan sebagai antiobesitas dengan
bekerja sebagai laksansia dan harus diteliti lebih lanjut penggunaannya untuk
alternatif antiobesitas dan efek samping yang dapat ditimbulkan bila
mengkonsumsi dalam waktu lama. Daun jati cina juga diketahui dapat berfungsi
sebagai laksatif stimulan yang dapat meningkatkan aktivitas saluran pencernaan
dan dapat menyebabkan pergerakan usus (Anonim, 2011).
GamaSlim merupakan produk dari CV. Gama Herbal yang ditujukan
sebagai zat antiobesitas, berisi kombinasi ekstrak daun sambung nyawa dan
ekstrak daun jati cina. GamaSlim mengandung kombinasi ekstrak daun sambung
nyawa dan ekstrak daun jati cina dengan perbandingan 1:1 pada awal
formulasinya, sehingga uji toksisitas akut kombinasi kedua ekstrak tersebut
dilakukan dengan perbandingan ekstrak 1:1 dan dimulai pada dosis 2000 mg/kg.
Pada penelitian ini akan dilakukan uji toksisitas akut yaitu uji ketoksikan tidak
khas yang dirancang untuk mengevaluasi keseluruhan atau efek toksik suatu
3
senyawa pada hewan uji (Donatus, 2001), sehingga dapat terlihat efek toksik
kombinasi ekstrak daun Sambung nyawa dan ekstrak daun jati cina sebagai
antiobesitas. Uji toksisitas akut pada kombinasi kedua ekstrak ini dilakukan
karena meskipun kedua ekstrak ini telah memiliki nilai LD50 masing-masing,
namun kedua ekstrak ini belum memiliki nilai LD50 secara kombinasi, dan
terdapat kemungkinan kombinasi kedua ekstrak tersebut dapat menyebabkan
adanya metabolit yang dapat menimbulkan efek toksik.
Uji toksisitas dilakukan sesuai dengan prosedur OECD 423 pada tikus
betina galur Wistar, sehingga akan didapat nilai LD50 dari senyawa yang diujikan
yaitu dosis yang dapat mematikan separuh atau lebih hewan uji, dan dapat
diambil organ untuk dilakukan uji histopatologi sehingga dapat diketahui aman
atau tidaknya campuran ekstrak daun sambung nyawa dan daun jati cina sebagai
alternatif zat antiobesitas.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, dapat dirumuskan permasalahan
sebagai berikut:
1. Berapa besar potensi toksisitas akut oral (LD50 cut off) dari sediaan ekstrak
daun sambung nyawa dan ekstrak daun jati cina pada tikus betina Wistar?
2. Apa saja gejala toksisitas akut yang timbul setelah pemberian per oral ekstrak
daun jati cina dan ekstrak daun sambung nyawa?
3. Bagaimana spektrum efek toksik dari senyawa uji pada organ-organ vital
hewan uji dari hasil histopatologi?
4
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui potensi toksisitas akut oral (LD50 cut off) ekstrak daun jati cina
dan ekstrak daun sambung nyawa pada tikus putih betina galur Wistar.
2. Mengetahui gejala toksisitas akut yang timbul yang dapat menyebabkan
kematian hewan uji pada pemejanan ekstrak daun jati cina dan ekstrak daun
sambung nyawa.
3. Mengetahui bagaimana spektrum efek toksik dari senyawa uji pada organ-
organ vital hewan uji dari hasil histopatologi.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut :
1. Bagi masyarakat
Masyarakat mendapatkan solusi yang praktis dan efisien antiobesitas yang
dapat digunakan secara aman dalam jangka waktu yang lama.
2. Bagi akademisi
Mengetahui potensi ketoksikan dari kombinasi ekstrak daun jati cina dan
ekstrak daun sambung nyawa sehingga dapat memperkirakan potensi
ketoksikan jika senyawa ini digunakan bagi manusia sehingga dapat
diketahui dosis terapi untuk senyawa ini. Hasil penelitian diharapkan
memberi perbandingan bagi penelitian selanjutnya yang membahas masalah
yang sama.
5
E. Tinjauan Pustaka
1. Jati Cina
Jati cina atau Cassia angustifolia Vahl merupakan tanaman yang tumbuh
subur di daerah tropis. Daun jati cina digunakan dalam pengobatan sejak dulu
sebagai pencahar dan mengandung bahan turunan antrakuinon dan glukosida.
Dalam dunia kedokteran, daun jati cina memiliki efek katarsis sehingga sangat
berguna untuk digunakan pada pengobatan konstipasi (Tripathy, 1999).
Cassia angustifolia Vahl memiliki klasifikasi sebagai berikut:
Kingdom : Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas : Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)
Sub Kelas : Rosidae
Ordo : Fabales
Famili : Fabaceae (suku polong-polongan)
Genus : Cassia
Spesies : Cassia angustifolia Vahl.
(Anonim, 2012)
Daun jati cina merupakan tanaman asli Afrika berupa semak dengan tinggi
1,5 m. Daun berwarna hijau sampai hijau kekuningan, berbentuk lonjong, bagian
pangkal dan ujung meruncing, tangkai agak membesar. Bunga kelopak 5 dengan
mahkota berwarna kuning. Buah segar berbentuk elips, panjang 4-7 cm, lebar 2
6
cm dan mengandung 6-10 biji (Mun’in & Hanani, 2011). Daun jati cina memiliki
kandungan utama senosida A dan senosida B. Selain itu, daun jati cina juga
mengandung antrakuinon antara lain aloe-emodin dan rein krisofanol. Belum
lama ini, dua naftalena glikosida juga telah diisolasi dari daun dan polong (Gupta,
2008). Flavonoid yang sudah diketahui dari tanaman ini adalah kaemferol,
kaempterin dan isorhamnetin. Jati cina juga mengandung beta sitosterol (0,33%)
(Singh et al, 1997). Daun jati cina sering dikenal sebagai zat pencahar. Jati cina
memiliki asam katartika, emodin, dan asam krisofanat (Cophra, 1933).
Daun jati cina juga mengandung diglikosida diantron dan
monoantrakuinon. Senosida A di dalam tubuh akan mengalami suatu reaksi
hidrolisis enzimatik dan reduksi oleh bakteri flora usus (Entamoeba coli) menjadi
rein antron. Rein antron merupakan suatu senyawa yang menginduksi sekresi air
dan mencegah reabsorbsi air dalam saluran pencernaan, sehingga dapat
digunakan dalam upaya penyembuhan konstipasi akut (Mun’in & Hanani, 2011).
Rein–9–antron yang terkandung dalam daun senna adalah metabolit yang
diproduksi oleh bakteri di usus besar, sehingga membuat daun jati cina memiliki
khasiat sebagai laksatif stimulan (Werner & Merz, 2007).
Uji toksisitas terhadap ekstrak daun jati cina pada tikus dan kelinci tidak
menunjukkan adanya efek toksisitas seperti kematian embrio, teratogenik,
maupun fetotoksik (Mengs et al, 1986). Penelitian lain terhadap ekstrak daun jati
cina dilakukan oleh Hietala et al (1987) dengan menggunakan fraksi berbeda dari
senna pada mencit, dan menunjukkan bahwa sennosida sebagai kandungan utama
dari jati cina memiliki nilai LD50 5000 mg/kg pada tikus dan mencit.
7
2. Sambung Nyawa
Sambung nyawa (Gynura procumbens (Lour.) Merr) adalah tanaman yang
banyak terdapat di Indonesia yang dapat digunakan untuk berbagai tujuan
pengobatan misalnya untuk hipertensi, antiinflamasi, antiherpes virus simplex,
pencegahan reumatik, penyembuhan demam tinggi, kerusakan fungsi ginjal,
kanker kolon, hemorhoid, dan diabetes (Perry, 1980 cit. Hassan et al., 2010).
Sambung nyawa memiliki klasifikasi sebagai berikut:
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Bangsa : Asterales (Campanulatae)
Suku : Asteraceae (Compositae)
Marga : Gynura
Jenis : Gynura procumbens (Lour.) Merr.
(Backer & Van den Brink, 1965).
Tanaman sambung nyawa berbentuk perdu tegak bila masih muda dan
dapat merambat setelah cukup tua. Bila daunnya diremas akan mengeluarkan bau
aromatis. Batangnya segi empat beruas-ruas, panjang ruas dari pangkal sampai ke
ujung akan semakin pendek, ruas berwarna hijau dengan bercak ungu. Daun
sambung nyawa berupa daun tunggal bentuk elips memanjang atau bulat telur
terbalik tersebar, tepi daun bertoreh dan berambut halus. Tangkai daun panjang
½-3½ cm, helaian daun panjang 3 ½-12 ½ cm dan lebar 1-5 ½ cm. Helaian daun
bagian atas berwarna hijau dan bagian bawah berwarna hijau muda dan
8
mengkilat. Kedua permukaan daun berambut pendek. Tulang daun sambung
nyawa menyirip dan menonjol pada permukaan daun bagian bawah. Pada tiap
pangkal ruas terdapat tunas kecil berwarna hijau kekuningan. Tumbuhan ini
mempunyai bunga bongkol yang di dalamnya terdapat bunga tabung berwarna
kuning oranye coklat kemerahan dengan panjang 1-1 ½ cm dan berbau tidak
enak. Tiap tangkai daun dan helai daunnya mempunyai banyak sel kelenjar
minyak (Perry, 1980; Van Steenis, 1975; Backer & Van den Brink, 1965).
Daun tanaman sambung nyawa mengandung senyawa flavonoid, sterol tak
jenuh, triterpen, polifenol dan minyak atsiri (Pramono & Sudarto, 1985). Hasil
penelitian lain melaporkan bahwa daun sambung nyawa mengandung
senyawa flavonoid, tanin, saponin, steroid, triterpenoid, asam klorogenat, asam
kafeat, asam vanilat, asam para kumarat, dan asam p-hidroksi
benzoat (Suganda et al., 1988). Sedangkan hasil analisis kualitatif dengan metode
kromatografi lapis tipis yang dilakukan Sudarsono et al. (2002) mendeteksi
adanya sterol, triterpen, senyawa fenolik, polifenol, dan minyak atsiri.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, dalam fraksi polar etanol daun tanaman
sambung nyawa terdapat tiga flavonoid golongan flavon dan flavonol
(Sugiyanto et al., 2003). Penelitian yang dilakukan oleh Idrus (2003)
menyebutkan bahwa sambung nyawa mengandung sterol, glikosida sterol,
kuersetin, kaempferol–3–O–neohesperidosida, kaempferol–3–glikosida,
kuersetin–3–O–ramnosil (1,6) galaktosida, kuersetin–3–O–ramnosil (1,6)
glukosida. Dari ekstrak etanol 95% diisolasi golongan senyawa flavonoid yang
diduga sebagai 3’, 4’, 7’-trihidroksiflavon dan kuersetin yang tersubstitusi pada
9
gugus hidroksil posisi 4’; serta asam fenolat yang diduga sebagai asam
klorogenat, asam kafeat, asam vanilat, asam p-kumarat dan asam p-hidroksi
benzoat baik dalam bentuk bebas maupun dalam bentuk glikosida dan ester
(Sugihartina et al, 1978 Cit Widyaningsih, 2010).
Daun sambung nyawa oleh sebagian masyarakat Indonesia digunakan
sebagai obat kanker kandungan, payudara dan kanker darah dengan memakan 3
lembar daun segar sehari selama 7 hari. Pengobatan tersebut dapat diperpanjang
selama 1-3 bulan tergantung dari keadaan penyakit (Meiyanto, 1996). Tumbuhan
ini dilaporkan dapat digunakan untuk penyembuhan penyakit ginjal (Heyne,
1987). Daun sambung nyawa juga dapat dimanfaatkan sebagai antikoagulan,
mencairkan pembekuan darah, stimulasi sirkulasi, menghentikan pendarahan,
menghilangkan panas, membersihkan racun, khusus bagian daunnya dapat
digunakan untuk mengobati pembengkakan payudara, infeksi kerongkongan,
tidak datang haid, luka terpukul, dan melancarkan sirkulasi darah
(Wijayakusuma, 1992). Manfaat lain dari bagian daun tanaman ini dilaporkan
oleh Dalimartha (1999) dapat untuk mengatasi batu ginjal, radang mata, sakit
gigi, rematik sendi, perdarahan kandungan, kencing manis (diabetes mellitus),
darah tinggi (hipertensi), ganglion, kista, tumor, memar.
Penelitian uji toksisitas akut ekstrak metanolik daun sambung nyawa telah
dilakukan oleh Rosidah et al. (2009) pada tikus jantan dan betina, dan dari hasil
penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat efek toksik dan kematian yang
timbul dari pemejanan ekstrak metanolik daun sambung nyawa hingga dosis 5000
10
mg/kg. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa toksisitas akut ekstrak
metanolik daun sambung nyawa memiliki nilai LD50 lebih dari 5000 mg/kg.
3. Toksisitas dan Toksikologi
Toksisitas merupakan serangkaian kejadian yang dimulai dari pemejanan
zat toksik, dilanjutkan dengan distribusi, metabolisme, hingga terjadi interaksi
antara zat toksik tersebut dengan makromolekul seluler (biasanya berupa DNA
atau protein) dan berakhir dengan kemunculan tanda-tanda efek toksik.
Toksikologi diartikan sebagai studi tentang xenobiotika, ilmu tentang racun, dan
interaksi antara agen eksogen dengan sistem biologis. Pada perkembangannya,
toksikologi diartikan sebagai ilmu yang berkaitan dengan racun atau sesuatu yang
menimbulkan efek berbahaya jika dipaparkan kepada makhluk hidup baik secara
disengaja maupun tidak disengaja (Hodgson, 2004).
Uji toksisitas merupakan salah satu bagian dari uji praklinik yang
dilakukan pada hewan uji. Hewan uji yang biasa digunakan adalah galur tertentu
dari mencit, tikus, kelinci, marmut, hamster atau anjing (Sukandar, 2004).
Penelitian toksisitas suatu senyawa yang dilakukan pada hewan uji merupakan
sumber data utama bagi evaluasi toksisitas. Hal ini dikarenakan penelitian
toksisitas menjelaskan berbagai efek akibat pemejanan zat toksik pada peringkat
dosis dengan waktu pemberian bervariasi, serta menunjukkan organ sasaran,
sistem yang berpengaruh atau toksisitas yang muncul (Lu, 1995).
Uji toksisitas terbagi menjadi dua yaitu akut dan kronis berdasarkan jenis
pemejanannya. Keduanya dibedakan berdasarkan lama dan kekerapan pemejanan
11
sebagai batas kurun waktu pemejanan terhadap makhluk hidup. Akut berarti
dilakukan pemejanan dengan dosis tertentu yang cukup tinggi dalam waktu
singkat, sedangkan kronis berarti pemejanan berulang dosis kecil dalam waktu
tertentu yang cukup lama (Donatus, 2001). Ketoksikan yang muncul dapat
berbeda pada uji toksisitas akut dan kronis dikarenakan terdapat perbedaan lama
pemejanan, dosis dan zat yang dipejankan tersebut dapat memberikan efek
berbeda pada subjek uji.
Mekanisme efek toksik sendiri dapat dibagi menjadi tiga. Mekanisme efek
toksik yaitu mekanisme aksi berdasar sifat dan tempat kejadian, berdasar
antaraksi antara racun dan tempat aksinya, dan berdasarkan penumpukan racun
dalam gudang penyimpanan tubuh (Donatus, 2001).
a. Mekanisme aksi berdasarkan sifat dan tempat kejadian dapat dibagi menjadi
2, yaitu mekanisme luka intrasel dan ekstrasel. Mekanisme luka intrasel
adalah luka sel yang diawali oleh aksi racun pada tempat aksinya di dalam
sel, sering disebut mekanisme langsung atau primer. Mekanisme luka
ekstrasel terjadi secara tidak langsung. Racun beraksi di luar lingkungan sel.
Mekanisme ini sering disebut mekanisme tak langsung atau sekunder.
b. Mekanisme aksi berdasarkan antaraksi racun dan tempat aksinya. Tempat
sasaran molekuler yang terlibat dalam induksi efek toksik antara lain yaitu
sisi aktif enzim atau reseptor pada molekul. Mekanisme aksi ini dibagi
menjadi 2, yaitu reversible dan irreversible.
c. Mekanisme aksi berdasarkan penumpukan racun dalam gudang penyimpanan
tubuh. Senyawa yang sangat lipofil di dalam tubuh akan disimpan dalam
12
gudang penyimpanan lemak dan dalam penyimpanan yang bersifat tak aktif,
namun senyawa tersebut akhirnya terlepas ke sirkulasi sistemik dan
meningkat kadarnya. Bila kadar tersebut melebihi KTM nya, maka akan
timbul efek toksik (Donatus, 2001).
Wujud efek toksik yang terjadi dapat berupa perubahan biokimia,
fungsional, dan struktural. Namun tidak berarti bahwa wujud efek toksik bisa
sepenuhnya terpisah ke dalam tiga wujud tersebut. Sedangkan untuk sifat efek
toksik menurut Loomis (1978), secara umum terdapat dua jenis sifat efek toksik
yaitu reversible dan irreverseble.
Ciri khas sifat efek toksik yang reversible antara lain:
a. Jika kadar berupa zat beracun pada tempat aksi atau reseptornya telah habis,
maka reseptor atau tempat aksi tersebut akan kembali ke keadaan semula,
b. Efek toksik yang ditimbulkan akan cepat kembali normal,
c. Toksisitas racun bergantung pada dosis serta kecepatan absorbsi, distribusi,
dan eliminasi zat beracun.
Sedangkan ciri khas efek toksik yang irreversible antara lain:
a. Kerusakan permanen.
b. Pemejanan berikutnya akan menimbulkan kerusakan yang sama sehingga
memungkinkan terjadinya akumulasi efek toksik.
c. Pemejanan dosis kecil dalam jangka panjang akan menimbulakn efek yang
sama efektif dengan yang ditimbulkan oleh pemejanan dosis besar dalam
jangka waktu pendek.
13
Lu (1995) mengelompokkan berbagai jenis efek toksik menurut organ
sasaran, mekanisme kerja, atau ciri-cirinya sebagai berikut:
a. Efek lokal dan sistemik
Efek lokal menggambarkan kerusakan umum ketika toksikan bersentuhan
dengan bagian tubuh tertentu. Efek sistemik terjadi hanya setelah toksikan
terserap dan tersebar ke bagian lain tubuh.
b. Efek berpulih dan nirpulih
Efek toksik disebut berpulih (reversible) ketika efek itu dapat hilang dengan
sendirinya. Sebaliknya, efek-efek nirpulih (irreversible) akan menetap atau
justru bertambah parah setelah pemejanan toksikan dihentikan. Efek nirpulih
diantaranya karsinoma, mutasi, kerusakan syaraf, dan sirosis hati.
c. Efek segera dan tertunda
Efek segera adalah efek yang timbul segera setelah satu kali pemejanan. Efek
tertunda timbul beberapa waktu setelah pemejanan.
d. Efek morfologis, fungsional, dan biokimia
Efek morfologis berkaitan dengan perubahan bentuk luar dan mikroskopis
pada morfologi jaringan. Berbagai efek jenis ini, misalnya nekrosis dan
neoplasia, bersifat nirpulih dan berbahaya. Efek fungsional biasanya berupa
perubahan berpulih pada fungsi organ sasaran, misalnya organ hati dan
ginjal. Efek biokimiawi pada toksisitas rutin, diartikan sebagai efek toksik
yang tidak menyebabkan perubahan morfologi. Misalnya penghambatan
enzim tertentu akibat pemejanan suatu senyawa.
14
Menurut Donatus (2001), uji toksikologi dapat dibagi menjadi dua, yaitu
uji ketoksikan khas dan uji ketoksikan tak khas. Uji toksisitas khas adalah uji
toksisitas yang bertujuan untuk mengevaluasi secara rinci efek yang khas dari
suatu zat beracun pada berbagai macam hewan uji. Beberapa hal yang termasuk
dalam uji toksisitas khas antara lain uji potensiasi, uji karsinogenesis, uji
mutagenesis, uji teratogenik, reproduksi, kulit dan mata, serta perilaku.
Uji ketoksikan tak khas adalah uji yang dimaksudkan untuk mengevaluasi
secara keseluruhan atau spektrum efek toksik sesuatu senyawa pada aneka ragam
jenis hewan uji. Yang termasuk uji ketoksikan tak khas antara lain:
a. Uji toksisitas akut, yaitu uji ketoksikan yang dirancang untuk mengetahui
nilai LD50 dan dosis maksimal yang masih dapat ditoleransi oleh senyawa uji,
yang hasilnya akan diekstrapolasi pada manusia. Pengamatan dilakukan
selama 24, kecuali pada kasus tertentu selama 7-14 hari.
b. Uji ketoksikan subkronis atau subakut, yaitu uji ketoksikan suatu senyawa
yang diberikan dengan dosis berulang pada hewan uji tertentu. Umumnya
dilakukan dengan menggunakan 3 dosis, selama 1-3 bulan dan menggunakan
dua spesies yang berbeda.
c. Uji ketoksikan kronis
pada dasarnya serupa dengan uji ketoksikan subkronis, digunakan hewan
rodent dan nirrodent selama 6 bulan atau lebih. Perbedaannya hanya terletak
pada lamanya pemberian atau pemejanan takaran dosis senyawa uji, masa
pengamatan dan pemeriksaan, serta tujuannya. Uji ini diperlukan jika obat
nantinya akan digunakan dalam waktu yang cukup panjang (Priyanto, 2009).
15
Uji toksisitas akut dilakukan dengan cara memberikan dosis tunggal
senyawa uji pada hewan uji (sekurang–kurangnya dua jenis hewan uji rodent dan
nirrodent, baik jantan maupun betina). Senyawa uji diberikan melalui jalur yang
akan digunakan oleh manusia atau jalur yang memungkinkan manusia terpejani
dengan senyawa itu. Biasanya pengamatan dilakukan selama 24 jam, lalu
diteruskan hingga 7–14 hari. Pengamatan meliputi gejala–gejala klinis, jumlah
hewan yang mati, dan histopatologi organ (Loomis, 1978).
Hodgson dan Levy (2000) menyatakan bahwa dalam uji toksisitas akut,
senyawa yang diberikan dapat diabsorbsi dengan cepat sehingga menghasilkan
efek toksik segera tetapi dapat juga menghasilkan efek toksik tertunda. Data
kuantitatif yang diperoleh dari uji toksisitas akut adalah LD50 atau dosis senyawa
uji yang dapat menimbulkan kematian setengah atau lebih dari jumlah hewan uji,
sedangkan data kualitatifnya berupa penampakan klinis dan morfologi efek toksik
senyawa uji.
Terdapat tiga metode konvensional yang umum digunakan untuk
menentukan LD50 yaitu dengan metode grafik Lithfield dan Wilcoxon, metode
kertas grafik probit logaritma Tainter-Miller, dan metode rata-rata bergerak
Thompson-Weil yang berdasarkan pada hubungan antara peringkat dosis dan
persen respon. Ketiga metode tersebut menekankan pada adanya kematian hewan
uji sebagai end point dalam menentukan LD50 (Barile, 2008). Selain metode
konvensional, terdapat metode uji ketoksikan akut OECD guideline for testing of
chemicals. Terdapat tiga metode uji ketoksikan akut OECD guideline for testing
of chemicals, yaitu OECD 420, OECD 423, dan OECD 425. Masing-masing
16
metode mempunyai karakteristik tersendiri dalam menentukan dosis letal median
LD50.
a. OECD guideline 420: acute oral toxicity-fixed dose method
Fixed dose method menggunakan fase pencarian kisaran terlebih dahulu
dengan menggunakan satu ekor hewan sebelum pemejanan lima ekor hewan
yang dipejani dengan dosis 5, 50, 300, atau 2000 mg/kg BB (dengan dosis
5000 mg/kg BB juga sebagai opsi) serta menggunakan bukti toksisitas
sebagai end point bukan hanya mortalitas.
b. OECD guideline 423: acute oral toxicity-acute toxic class method
Acute toxic class method menggunakan dosis yang berurutan pada tiga ekor
hewan dengan jenis kelamin yang sama pada dosis 5, 50, 300, atau 2000
mg/kg BB (dengan 5000 mg/kg BB juga sebagai opsi). Dosis awal dipilih
agar dapat menghasilkan mortalitas pada kelompok dosis yang terdiri dari
tiga ekor binatang dan ditetapkan menggunakan informasi yang relevan
tentang senyawa kimia tersebut atau senyawa kimia yang serupa.
Berdasarkan hasil dari kelompok dosis pertama, kelompok tambahan dipejani
pada dosis yang lebih tinggi atau rendah hingga tercapai tujuan studi.
c. OECD guideline 425: acute oral toxicity-up and down procedure
Prosedur up-and-down dimulai dengan pemberian dosis pada seekor hewan
uji dengan tingkat dosis yang diperkirakan tepat dibawah dosis yang
mematikan. Pemejanan dosis pada hewan uji berikutnya dilakukan 48 jam
kemudian dengan dosis yang ditingkatkan atau diturunkan sekian kali dosis
sebelumnya berdasar perhitungan logaritma dan slope (OECD, 2001).
17
Metode yang digunakan untuk uji toksisitas akut oral yaitu OECD 423.
Metode atau prosedur uji toksisitas akut pada OECD adalah prosedur yang
dilakukan secara bertahap dengan menggunakan tiga hewan uji pada setiap step.
Bergantung pada tingkat kematian dan kesakitan dari hewan uji, dua sampai
empat step mungkin diperlukan dalam menentukan toksisitas akut suatu senyawa.
Metode ini akan dapat mengklasifikasikan dan menentukan LD50 cut off, yaitu
rentang dosis senyawa uji yang dapat memberikan kematian pada setengah atau
lebih dari jumlah hewan uji (OECD, 2001).
Prinsip dasar dari uji ini adalah prosedur bertahap dengan menggunakan
jumlah hewan uji minimal pada stepnya. Senyawa uji akan dipejankan secara oral
pada dosis tertentu pada satu kelompok hewan uji. Ada atau tidaknya kematian
pada hewan uji pada satu dosis atau satu step tertentu akan menentukan langkah
selanjutnya. Metode ini pada prinsipnya tidak memberikan hasil yang benar–
benar presisi mengenai LD50 suatu senyawa, tetapi dapat mendeterminasikan
rentang dosis atau exposure dimana dapat menimbulkan kematian hewan uji
dalam jumlah banyak. Metode ini akan memberikan determinasi LD50 apabila ada
setidaknya dua harga dosis yang menghasilkan kematian lebih dari 0% dan
kurang dari 100% (OECD, 2001).
18
Potensi ketoksikan suatu senyawa uji dapat diperkirakan berdasarkan nilai
LD50. Pada pedoman pengujian senyawa kimia OECD 423, menetapkan nilai
LD50 mengikuti kategori GHS (Globally Harmonized System) yang tertera pada
tabel 1 berikut ini.
Tabel 1. Kategori GHS (Globally Harmonized System) untuk toksisitas akut (OECD, 2001)
Jumlah
hewan uji
tiap langkah
Dosis
(mg/kg
BB)
Jumlah
Hewan
Kriteria GHS (mg/kg BB) LD50 cut-off (mg/kg BB)
3 5 2-3* Kategori I (>0-5) 5
3 50 2-3* Kategori II (>25-50) 25-50
3 300 2-3* Kategori III (>50-300) 200-300
3 2000 2-3* Kategori IV
(>300-2000)
500 (jika 3*)
1.000 (Jika 2*)
2.000
3 2000 0-1* Kategori V
(>2.000-5.000)
2.500 (jika 1*)
5.000 (jika 0*)
(tidak terklasifikasikan)
3 5000 0* Kategori V
(tidak terklasifikasikan)
5.000 (jika 0*)
(tidak terklasifikasikan)
Sedangkan pada penggolongan kriteria ketoksikan akut menurut Loomis
(1978) terdapat pada tabel 2 berikut ini.
Tabel 2. Kategori toksik menurut T.A. Loomis
Kategori LD50
Luar biasa toksik 1 mg/kg atau kurang
Sangat toksik 1 – 50 mg/kg
Cukup toksik 50 – 500 mg/kg
Sedikit toksik 0,5 - 5 g/kg
Praktis tidak toksik 5 – 15 g/kg
Relatif kurang berbahaya >15 g/kg
4. Histopatologi organ
Pemeriksaan histopatologi yaitu usaha untuk menemukan dan
mendiagnosis penyakit berdasar hasil pemeriksaan jaringan yang meliputi
pemeriksaan makroskopik jaringan disertai seleksi sampel jaringan untuk
pengamatan smikroskopik. Jaringan berasal dari biopsi atau eksisi bedah yang
19
dimasukkan dalam larutan fiksasi (sebagian besar formaldehid) dan dikirim ke
laboratorium histopatologi (Underwood, 2000). Pemeriksaan histopatologi
memberikan informasi tentang organ sasaran senyawa kimia yang mengalami
kerusakan. Organ yang biasa diamati dalam pemeriksaan histopatologi pada
hewan uji setelah pemberian sediaan uji antara lain hati, ginjal, pankreas, jantung,
lambung, usus, dan paru-paru (Lu, 1995).
Senyawa kimia dan obat-obatan dapat menyebabkan terjadinya adaptasi,
luka sel, dan kematian sel. Macam-macam luka sel atau perubahan yang dapat
terjadi pada organ akibat terpapar senyawa kimia antara lain:
a. Degenerasi hidropik (degenerasi vakuoler)
Degenerasi merupakan perubahan morfologi akibat luka yang non fatal
(tidak fatal). Perubahan jenis ini masih dapat pulih (reversible). Meskipun
sebab yang menimbulkan perubahan tersebut sama, tetapi apabila berjalan
lama dan derajatnya berlebih, akhirnya mengakibatkan kematian sel
(nekrosis). Luka pada sel dan kematian sel merupakan kerusakan yang
berbeda dalam derajat kerusakannya (Anonim, 1978).
Salah satu bentuk degenerasi adalah degenerasi hidropik, yang
diakibatkan adanya gangguan metabolisme seperti hipoksia atau keracunan
bahan makanan. Perubahan yang terjadi berupa pembengkakan sel dengan
penimbunan lebih banyak air dan metabolit dalam vakuol yang terbentuk di
dalam sitoplasma (Atmojo, 1990; Underwood, 2000).
20
b. Infiltrasi
Infiltrasi terjadi akibat gangguan yang bersifat sistemik, kemudian
mengenai sel yang sehat sehingga mengakibatkan penumpukan metabolit
dalam jumlah berlebih. Infiltrasi intrasel pada umumnya berupa penumpukan
air, lemak, dan aneka ragam jenis inklusi. Penumpukan bahan padat di
intrasel dapat menyebabkan terjadinya pembengkakan yang merupakan
respon morfologi dan bersifat timbal balik, namun memungkinkan untuk
menjadi tahap awal proses menuju kematian sel (nekrosis). Perbedaan antara
infiltrasi dan degenerasi yakni degenerasi timbul karena adanya luka,
selanjutnya mengakibatkan gangguan metabolisme karbohidrat, protein, dan
lemak dalam sel, sedangkan infiltrasi muncul diawali dengan gangguan yang
menyebabkan luka pada sel, sehingga mengakibatkan penumpukan metabolit
(Anonim, 1978; Donatus, 2001).
c. Radang
Radang adalah proses reaksi tubuh lokal (di tempat pengaruh zat
bereaksi) berupa perubahan biokimiawi dan morfologi jaringan berpembuluh
darah. Proses ini berfungsi sebagai mekanisme pertahanan aktif tubuh dengan
membatasi kerusakan yang terjadi akibat suatu zat, netralisasi dan isolasi
pengaruh zat tersebut baik yang eksogen maupun endogen (Atmodjo, 1990).
Inflamasi yang terjadi dapat disebabkan karena kondisi stress, infeksi bakteri,
virus, parasit, dan bisa sebagai akibat langsung dari efek suatu xenobiotik
atau radiasi ion (Greaves et al., 2000).
21
d. Edema
Edema merupakan timbunan cairan secara berlebihan dalam jaringan
dan rongga-rongga tubuh yang dapat disebabkan oleh suatu agen penginfeksi
(Greaves et al., 2000). Pada gambaran makroskopiknya terlihat organ
membengkak, lunak, warna pucat, dan pada bidang sayatan keluar cairan.
Jika ditekan oleh jari maka akan berpindah ke jaringan sekitar. Gambaran
mikroskopis cairan edema akan hilang saat pembuatan preparat, serta akan
terlihat sisa protein yang tampak sebagai masa homogen eosinophilik, dan
terlihat sedikit eritrosit, leukosit, atau fibrin di sekitar masa tersebut (Smith &
Jones, 1961).
e. Hemorrhagi atau pendarahan
Hemorrhagi ditandai dengan keluarnya cairan dari pembuluh yang
pecah, baik ke luar tubuh maupun ke dalam jaringan tubuh. Pada gambaran
mikroskopik akan terlihat adanya eritrosit di luar pembuluh darah dan
sebagai titik merah pada permukaan organ. Keadaan ini juga mungkin terjadi
pada hewan yang dibunuh secara fisik misalnya dengan dislokasi leher
(Smith & Jones, 1961; Glaister, 1986).
f. Kongesti
Kongesti merupakan kenaikan jumlah pembuluh darah di dalam
pembuluh darah dengan gambaran makroskopik organ membengkak, warna
merah tua, dan bidang sayatan berdarah. Gambaran mikroskopik dari
kongesti berupa kapiler darah tampak melebar penuh terisi eritrosit (Smith &
Jones, 1961).
22
Preparasi spesimen dapat dilakukan dengan dua metode yaitu fiksasi
kimiawi dan fiksasi potongan beku. Metode kimiawi dilakukan dengan merendam
jaringan pada larutan etanol untuk mengeluarkan cairan dari jaringan, kemudian
direndam dengan toluene lalu direndam dengan parafin. Blok parafin kemudian
diiris tipis dengan pisau mikrotom kemudian hasil irisan diletakkan dalam gelas
obyek untuk diwarnai. Metode fiksasi potongan beku dilakukan dengan
memotong jaringan yang sebelumnya dibuat dengan menggunakan alat pendingin
khusus cryostat dengan pisau mikrotom. Hasil irisan diletakkan pada gelas obyek
untuk diwarnai (Abbad, 2011).
Pewarnaan umumnya menggunakan pewarna kombinasi hematoksilin dan
eosin. Hematoksilin berfungsi untuk memberikan warna biru pada bagian nukleus
sel dan eosin berfungsi untuk memberikan warna merah muda pada bagian
sitoplasma serta bagian jaringan penghubung ekstraseluler (Abbad, 2011).
F. Landasan Teori
Penentuan nilai LD50 bertujuan untuk mendapatkan besarnya dosis tunggal
yang menghasilkan 50% kematian dari sekelompok hewan uji. Pada penelitian
sebelumnya, uji toksisitas akut ekstrak metanol daun sambung nyawa tidak
menimbulkan efek dan gejala toksik hingga dosis 5000 mg/kg. Selain itu, uji
toksisitas akut ekstrak etanolik daun jati cina memiliki toksisitas yang sangat
rendah dengan nilai LD50 5000 mg/kg.
23
Uji toksisitas akut kombinasi ekstrak daun jati cina dan ekstrak daun
sambung nyawa perlu dilakukan untuk mendapatkan data LD50 sehingga
menunjukkan potensi ketoksikan yang terdapat dalam kombinasi kedua ekstrak
tersebut. Selain itu, akan dilakukan pengamatan terhadap gejala toksik dan
perubahan patologi organ hewan uji sehingga membuktikan bahwa kedua ekstrak
tersebut dapat dikonsumsi secara kombinasi sebagai antiobesitas dan tidak
menimbulkan efek toksik.
G. Hipotesis
Pemberian kombinasi ekstrak daun jati cina dan ekstrak daun sambung
nyawa diduga tidak menimbulkan kematian dan efek toksik yang berarti pada
tikus betina galur Wistar hingga dosis 5000 mg/kg, sehingga ketoksikan akut
kombinasi tersebut diduga masuk dalam kategori V yaitu >5000 mg/kgBB.