bab i pendahuluan a. latar belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73420/potongan/s1...rt-pcr...

32
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Protein merupakan salah satu unsur penting yang dibutuhkan oleh tubuh untuk menjalankan fungsi pertumbuhan dan metabolisme (Young, 2001; Pencharz, 2012). Protein sebagian besar diperoleh dari makanan berasal dari hewan. Seiring meningkatnya kebutuhan dan kesadaran masyarakat tentang manfaat gizi, kebutuhan pangan asal pangan hewan dari hari ke hari semakin meningkat. Salah satu bahan pangan yang digemari adalah daging dan produk olahannya, seperti bakso. Hal ini dikarenakan, selain mempunyai cita rasa yang enak, mengandung protein dalam jumlah yang tinggi, terutama asam amino essensial yang tidak dapat dihasilkan sendiri oleh tubuh (FAO/WHO, 2000). Untuk mencukupi kebutuhan masyarakat tersebut, harus dipikirkan tentang pengadaan produk protein hewani secara cerdas, sehat, produktif, dan aman, sehingga kualitas dari sumber daya manusia di Indonesia juga dapat meningkat. Pengadaan produk protein hewani tentunya tidak hanya difokuskan dari segi kuantitasnya saja, tetapi juga segi kualitas, terutama keamanannya. Keamanan pangan didefinisikan sebagai kondisi dan upaya yang diperlukan untuk pencegahan pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan bahan lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia (PP RI, 2004). Pemerintah merealisasikan penyediaan daging yang aman dengan menetapkan slogan daging

Upload: duongtram

Post on 06-Jul-2018

224 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73420/potongan/S1...RT-PCR adalah suatu teknik pengerjaan PCR untuk mengamplifikasi (memperbanyak) sekaligus

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Protein merupakan salah satu unsur penting yang dibutuhkan oleh tubuh untuk

menjalankan fungsi pertumbuhan dan metabolisme (Young, 2001; Pencharz, 2012).

Protein sebagian besar diperoleh dari makanan berasal dari hewan. Seiring

meningkatnya kebutuhan dan kesadaran masyarakat tentang manfaat gizi, kebutuhan

pangan asal pangan hewan dari hari ke hari semakin meningkat. Salah satu bahan

pangan yang digemari adalah daging dan produk olahannya, seperti bakso. Hal ini

dikarenakan, selain mempunyai cita rasa yang enak, mengandung protein dalam jumlah

yang tinggi, terutama asam amino essensial yang tidak dapat dihasilkan sendiri oleh

tubuh (FAO/WHO, 2000). Untuk mencukupi kebutuhan masyarakat tersebut, harus

dipikirkan tentang pengadaan produk protein hewani secara cerdas, sehat, produktif,

dan aman, sehingga kualitas dari sumber daya manusia di Indonesia juga dapat

meningkat.

Pengadaan produk protein hewani tentunya tidak hanya difokuskan dari segi

kuantitasnya saja, tetapi juga segi kualitas, terutama keamanannya. Keamanan pangan

didefinisikan sebagai kondisi dan upaya yang diperlukan untuk pencegahan pangan

dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan bahan lain yang dapat mengganggu,

merugikan dan membahayakan kesehatan manusia (PP RI, 2004). Pemerintah

merealisasikan penyediaan daging yang aman dengan menetapkan slogan daging

Page 2: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73420/potongan/S1...RT-PCR adalah suatu teknik pengerjaan PCR untuk mengamplifikasi (memperbanyak) sekaligus

2

ASUH, yakni aman, sehat, utuh dan halal. Aman berarti daging tidak mengandung

bahaya yang dapat menimbulkan penyakit dan mengganggu kesehatan manusia. Sehat

berarti daging memiliki zat-zat yang berguna bagi kesehatan dan pertumbuhan tubuh.

Utuh berarti daging tidak dikurangi atau dicampur dengan bagian lain dari hewan

tersebut atau bagian dari hewan lain. Halal berarti hewan dipotong dan ditangani sesuai

syariat agama Islam. Pangan halal didefinisikan sebagai bahan pangan yang tidak

mengandung unsur atau bahan haram atau dilarang untuk dikonsumsi umat Islam serta

pengolahannya tidak bertentangan dengan syariat Islam (DEPAG RI, 2001).

Adanya peraturan dan undang-undang yang mengatur keamanan dari produk

pangan tersebut, seharusnya dapat menimbulkan rasa aman dari konsumen dalam

mengkonsumsi daging atau produk olahannya. Namun, pemalsuan produk olahan

daging ternyata masih sering kita dengar sampai saat ini. Salah satu modus yang

dilakukan adalah mencampurkan daging hewan lain dalam pembuatan produk olahan

untuk menekan biaya produksi, sehingga didapat produk yang mirip.

Banyak kasus yang diangkat tentang pemalsuan ini di berbagai wilayah tanah

air, salah satunya adalah pencampuran daging sapi dengan daging tikus. Tikus

merupakan hewan pengerat yang sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari, mulai

dari tikus rumah (Rattus rattus), tikus sawah (Rattus argentiventer), dan tikus

laboratorium (Rattus novergicus). Pada umumnya, tikus dianggap sebagai hewan yang

merugikan, karena sering merusak hasil pertanian dan perkebunan (Singleton, 1997)

dan sebagai vektor dari berbagai macam penyakit. Penyakit tersebut meliputi

leptospirosis (Leptospira interogans), pes (Yersina pestis) (Anonim, 2012), rat bite

Page 3: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73420/potongan/S1...RT-PCR adalah suatu teknik pengerjaan PCR untuk mengamplifikasi (memperbanyak) sekaligus

3

fever (Streptobacillus monilliforme) (Elliott, 2007). Pencampuran daging secara ilegal

juga dapat dikategorikan dalam tindak penipuan konsumen yang dapat dibawa ke ranah

hukum. Kesimpulan dari uraian diatas adalah produk olahan dengan campuran daging

tikus berpotensi membahayakan kesehatan sehingga perlu dikembangkan metode

deteksi agar tidak dikonsumsi masyarakat. Oleh karena itu, teknik deteksi dan

identifikasi jenis hewan menjadi sangat penting dalam daging dan produk olahan untuk

mengetahui keaslian produk. Hal tersebut dilakukan untuk menjamin keamanan dan

kehalalan pangan, serta melindungi konsumen dari pemalsuan informasi. Metode

analisis yang akurat dengan prosedur sederhana dan cepat sangat diperlukan untuk

pelabelan sumber organisme produk daging.

Real-Time Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) adalah suatu metode analisis

yang dikembangkan dari reaksi PCR (Johansson, 2006). Dalam ilmu biologi molekular,

RT-PCR adalah suatu teknik pengerjaan PCR untuk mengamplifikasi (memperbanyak)

sekaligus menghitung (kuantifikasi) jumlah target molekul DNA hasil amplifikasi

tersebut (Yepihardi, 2009). RT-PCR memungkinkan dilakukan deteksi dan

kuantifikasi (sebagai nilai absolut dari hasil perbanyakan DNA atau jumlah relatif

setelah dinormalisasi terhadap input DNA) terhadap sekuen spesifik dari sampel DNA

yang dianalisis (Vaerman, 2004). Dibandingkan dengan PCR konvensional, teknik ini

termasuk lebih cepat. Hal ini karena tidak diperlukannya tahap elektroforesis DNA,

serta relatif tidak berbahaya karena penggunaan EvaGreen® dalam pewarnaan DNA

mempunyai tingkat mutagenesis yang lebih rendah daripada Etidium Bromide (EtBr),

yang merupakan senyawa karsinogenik (Burns et al., 2005).

Page 4: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73420/potongan/S1...RT-PCR adalah suatu teknik pengerjaan PCR untuk mengamplifikasi (memperbanyak) sekaligus

4

Primer BatL 5310 (Forward primer) dan R6036R (Reverse Primer) yang

diadopsi dari penelitian Balakirev dan Rozhnov (2012), dapat digunakan untuk

mengamplifikasi DNA target pada sapi dan tikus. Primer yang mempunyai panjang

masing-masing 23 basa ini, diperkirakan dapat mengamplifikasi 748 bp fragmen gen

cytochrome c oxidase I (COI) yang terdapat dalam mitokondria tikus dan sapi, pada

suatu kondisi yang optimum. Penggunaan mtDNA sebagai target sekuen amplifikasi

dikarenakan mtDNA mempunyai jumlah kopi yang banyak dalam suatu sel, sehingga

keberhasilan amplifikasi dari suatu sampel menjadi lebih baik (Butler, 2005; Galtier et

al., 2009).

Produk PCR biasanya dianalisis menggunakan teknik elektroforesis dan

Melting Curve Analysis (MCA). Akan tetapi, teknik ini tidak cocok digunakan pada

penelitian ini. Teknik MCA mempunyai prinsip pemisahan terutama berdasarkan

panjang basa produk produk PCR, yang mana pada penelitian ini mempunyai panjang

basa yang sama, sehingga tidak dapat digambarkan karakteristik melt-curve sapi dan

tikus dari produk yang diperoleh.

Analisis produk RT-PCR pada penelitian ini dilakukan dengan teknik High

Resolution Melting Analysis (HRMA) yang mempunyai prinsip seperti Melting Curve

Analysis (MCA). Pada teknik ini, produk PCR yang dihasilkan akan dicari kurva

lelehnya dengan perubahan suhu leleh yang sangat kecil (Applied Biosytem, 2010).

Kurva leleh sendiri dipengaruhi oleh panjang basa, persen GC, dan kompleksitas dari

produk PCR. Dengan demikian, produk PCR yang mempunyai panjang produk yang

sama, tetapi mempunyai urutan basa yang berbeda, dapat memberikan kurva leleh yang

Page 5: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73420/potongan/S1...RT-PCR adalah suatu teknik pengerjaan PCR untuk mengamplifikasi (memperbanyak) sekaligus

5

berbeda akibat terdapat perbedaan persen GC dan kompleksitas dari produk.

Spesifisitas pun dapat diperoleh dengan melihat Tm dari produk yang spesifik pada

kurva turunan melt-peak. Tm produk inilah yang dapat dijadikan dasar dalam analisis

sumber hewan (sapi dan tikus) dari suatu sampel bakso.

Pada penelitian Balakirev dan Rozhnov (2012), primer BatL 5310 dan R6036R

digunakan untuk membuat taksonomi tikus Vietnam dan Sundaland menggunakan

PCR konvensional. Namun, belum ditemukan publikasi ilmiah bahwa primer ini dapat

digunakan untuk mendeteksi daging tikus dalam bakso sapi menggunakan metode

Real-Time PCR yang dikombinasi HRMA. Pada penelitian ini, ingin diketahui apakah

primer BatL dapat digunakan untuk mendeteksi cemaran daging tikus (Rattus

argentiventer) dalam bakso dengan metode Hot-Start Real-Time PCR yang

dikombinasikan dengan HRMA.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana kondisi optimum yang harus dicapai dalam amplifikasi DNA tikus

dengan primer bertarget gen cytochrome c oxidase I (COI) tikus sehingga

mendapatkan target amplifikasi yang optimum?

2. Apakah metode Real-Time PCR yang dikombinasi dengan HRMA dengan primer

bertarget gen cytochrome c oxidase I (COI) tikus dapat digunakan untuk

mendeteksi cemaran daging tikus pada produk bakso?

Page 6: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73420/potongan/S1...RT-PCR adalah suatu teknik pengerjaan PCR untuk mengamplifikasi (memperbanyak) sekaligus

6

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum

Mengetahui metode analisis yang dapat mendeteksi cemaran daging tikus

dalam produk olahan pangan daging sapi.

2. Tujuan khusus

a. Mengetahui kondisi optimum yang harus dicapai dalam amplifikasi DNA

tikus dengan primer bertarget gen cytochrome c oxidase I (COI) tikus,

sehingga didapatkan target amplifikasi yang optimum.

b. Mengetahui metode Real-Time PCR yang dikombinasikan dengan HRMA

dengan primer bertarget gen cytochrome c oxidase I (COI) tikus dapat

digunakan untuk mendeteksi cemaran daging tikus pada produk bakso.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini berguna dalam pengembangan metode deteksi cemaran daging

tikus pada produk olahan daging yaitu bakso, sehingga nantinya dapat diaplikasikan

dalam deteksi daging tikus untuk mengurangi keresahan konsumen tentang keamanan

produk pangan asal daging dengan lebih responsif.

E. Tinjauan Pustaka

1. Tikus

Tikus termasuk dalam kerajaan Animalia, filum Chordata, subfilum Vertebrata,

kelas Mamalia, ordo Rodentia, dan famili Muridae. Spesies-spesies utama yang

Page 7: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73420/potongan/S1...RT-PCR adalah suatu teknik pengerjaan PCR untuk mengamplifikasi (memperbanyak) sekaligus

7

terdapat di Pulau Jawa yaitu Bandicota indica, Mus caroli, kelompok Mus musculus,

Rattus argentiventer (tikus sawah), R. rattus (tikus rumah), R. exulans, R. tiomanicus

(tikus pohon), dan R. norvegicus (Aplin et al., 2003).

Berdasarkan ukuran dan akses, R. argentiventer, R. rattus, dan R. norvegicus

adalah spesies-spesies yang berpotensi untuk dimanfaatkan dagingnya. Tikus-tikus ini

memiliki bobot yang dapat mencapai 200 g, bahkan R. norvegicus dapat mencapai 500

g (Myers dan Armitage, 2004).

Rattus norvegicus

R. norvegicus dikenal sebagai tikus got, tikus coklat, tikus rumah besar, atau

tikus laboratorium. Jenis tikus ini paling banyak ditemukan di perkotaan, di antara

tempat-tempat tinggal manusia. Tikus ini juga dapat ditemukan di daerah persawahan,

terutama saat masa panen tiba (Prakash, 1988). Hasil seleksi terhadap hewan ini banyak

digunakan sebagai hewan percobaan (dikenal sebagai tikus putih) dan sebagai hewan

peliharaan dengan warna bervariasi (Baker et al., 1979).

R. norvegicus mempunyai tubuh yang diliputi kulit dan rambut kasar berwarna

kecoklatan (terkadang disertai titik-titik hitam atau putih) yang warnanya semakin

terang mendekati tubuh bagian bawah. R. norvegicus memiliki telinga dan ekor yang

tebal, dengan ukuran panjang ekor lebih pendek dibanding panjang badan. Tikus jenis

ini sering salah dikenali sebagai tikus hitam (Rattus rattus) karena kemiripannya. Akan

tetapi bila diperiksa lebih lanjut, kedua tikus ini dapat dibedakan berdasarkan

kelenturan punggungnya. R. norvegicus memiliki punggung yang kuat dan cenderung

kaku, sementara Rattus rattus lentur (Myers dan Armitage, 2004).

Page 8: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73420/potongan/S1...RT-PCR adalah suatu teknik pengerjaan PCR untuk mengamplifikasi (memperbanyak) sekaligus

8

Hubungan antara tikus dan manusia yang bersifat mutualisme terjadi pada tikus

albino (Rattus norvegicus Strain Albino) atau mencit albino (Mus musculus Strain

Albino) yang merupakan hewan laboratorium. Jenis tikus ini sering dijadikan hewan

percobaan untuk pengujian obat manusia dan tingkat toksisitas racun hama terhadap

manusia. Tikus dan mencit laboratorium merupakan jenis albino yang kehilangan

pigmen melaninnya, yang mana sifat ini menurun pada anak-anaknya (Barnett dan

Anthony, 2002).

Gambar 1. Rattus norvegicus dewasa (Aplin et al., 2003)

Rattus argentiventer

Rattus argentiventer atau tikus sawah, dikenal sebagai hama utama yang sering

ditemui di suatu persawahan. Hewan ini beradaptasi dengan baik pada daerah yang

tergenang air dan tersembunyi di balik rerumputan tebal. Penyebaran R. argentiventer

adalah daerah Asia Tenggara yang banyak terdapat sawah dan perkebunan. Adanya

sumber makanan yang melimpah menyebabkan pertumbuhan yang cepat, bahkan

kadang tidak mudah untuk dikendalikan (Aplin et al., 2003).

Page 9: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73420/potongan/S1...RT-PCR adalah suatu teknik pengerjaan PCR untuk mengamplifikasi (memperbanyak) sekaligus

9

Rattus argentiventer berukuran sedang, dengan bulu oranye-coklat dorsal agak

kaku yang kadang mempunyai bercak hitam. Bulu pada perut bervariasi dari warna

putih keperakan sampai abu-abu kusam, dan sering ada coret gelap di sepanjang garis

tengah perut. Moncongnya cukup panjang dengan telinga besar yang berbulu jarang.

Kadang terdapat warna oranye yang berbeda dari bulu, biasanya muncul dari dalam

telinga, meskipun kadang hilang pada pada hewan yang lebih tua. Ekor biasanya lebih

pendek daripada kepala sampai badan dan gelap (Jacob et al., 2003).

Tikus ini kadang salah dikenali dengan Rattus rattus atau tikus hitam yang

sering berada di got, rumah, atau tempat gelap lainnya. Adanya corak kuning di telinga

Rattus argentiventer menjadi pembeda yang jelas diantara keduanya, yang mana pada

Rattus rattus tidak ditemukan hal tersebut (Leung et al., 1999).

Gambar 2. Rattus argentiventer dewasa dari Indonesia (Aplin et al., 2003)

Page 10: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73420/potongan/S1...RT-PCR adalah suatu teknik pengerjaan PCR untuk mengamplifikasi (memperbanyak) sekaligus

10

2. Metode deteksi cemaran pangan

Tuntutan pengembangan metode deteksi dan identifikasi jenis daging dan

produk olahannya terus meningkat sebagai suatu upaya perlindungan konsumen,

perdagangan dan pelaksanaan undang-undang pelabelan pangan. Teknik identifikasi

jenis daging yang cepat, murah dan akurat sangat diperlukan untuk mengetahui sumber

daging yang digunakan dalam produk olahan. Pencegahan praktek kecurangan

(pemalsuan) dalam produk menjadi bagian penting dalam mengontrol regulasi produk

pangan. Menurut Ballin (2010), pemalsuan atau penipuan daging dan produk

olahannya dapat dikategorikan ke dalam beberapa kelompok pemalsuan yang paling

mungkin terjadi yaitu asal daging, substitusi daging, perlakuan pada saat pengolahan

daging dan penambahan bahan lain. Pengelompokan berdasarkan jenis substitusi

daging diantaranya substitusi sumber daging lain, lemak dan protein. Beberapa teknik

analisis identifikasi substitusi daging dan produk olahannya disajikan pada Tabel I.

Suatu organisme hidup mempunyai satu susunan tertentu dari protein atau asam

nukleat, sehingga keragaman protein dari organisme dapat dijadikan alat atau penanda

untuk menelusuri asal-usul atau kekerabatan suatu jenis hewan. Identifikasi suatu jenis

daging dan produk olahannya dapat dilakukan dengan metode berdasarkan pemisahan

fraksi molekul (elektroforesis), metode imunologi (single diffusion, double diffusion,

ELISA = enzym linked immunosorbent assay, RID = radial immunodiffusion, CIE =

counter immunoelectrophoresis), komposisi asam lemak (chromatography gas dan

high performance liquid chromatography). Semua metode tersebut mempunyai

kelemahan yaitu hanya bisa dilakukan dalam bentuk segar (mentah), memerlukan

Page 11: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73420/potongan/S1...RT-PCR adalah suatu teknik pengerjaan PCR untuk mengamplifikasi (memperbanyak) sekaligus

11

sampel yang cukup banyak dan keakuratan rendah dalam keadaan matang (daging

olahan) (Kesmen et al., 2007).

Tabel I. Berbagai jenis teknik analisis dalam deteksi jenis hewan penghasil

nutrisi (Ballin, 2010)

Substitusi Daging Teknik Analisis

Daging (jenis hewan) ELISA

LC

Isoelectric focusing

Capilary gel electrophoresis

PCR

Real-time PCR

RFLP

RAPD

Sekuensing

SSCA

CSGE

Daging (jaringan) Mid-infrared spectroscopy

ELISA

Lemak (nabati) LC-MS/MS

HPLC

GC-MS

APPI LC-MS/MS

GC-FID

Lemak (hewani) GC

Protein (nabati) HPLC

ELISA

Protein (hewani) Microsphere-based flow cytometric

immunoassay

LC

ELISA

Protein (melamin dan urea) Head space GC-MS

LC-MS/MS

Head space GC-MS

Keterangan: APPI (atmospheric pressure photoionization), CSGE (conformation

sensitive gel electrophoresis), ELISA (enzyme-linked immuno sorbent assay), FID

(flame ionization detector), GC (gas chromatography), HPLC (high performance

liquid chromatography), LC (liquid chromatography), MS (mass spectrometry), PCR

(polymerase chain reaction), RAPD (random amplified polymorphic DNA), RFLP

(restriction fragment length polymorphism).

Page 12: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73420/potongan/S1...RT-PCR adalah suatu teknik pengerjaan PCR untuk mengamplifikasi (memperbanyak) sekaligus

12

Perkembangan pesat dalam teknologi molekuler memungkinkan teknik analisis

berbasis DNA dan menyebabkan perubahan dalam identifikasi jenis daging yang

biasanya dilakukan identifikasi dari protein. Degenerasi DNA memiliki keuntungan

yang membedakan antara jenis hewan yang berbeda. Dibandingkan dengan protein,

DNA memiliki stabilitas termal yang lebih tinggi, terdapat dalam sebagian besar sel

dan memungkinkan untuk memperoleh informasi tanpa mengetahui jaringan asal.

Metode amplifikasi yang paling populer adalah polimerase chain reaction

(PCR). Teknik PCR mampu membuat target yaitu asam nukleat lebih dari satu miliar

kali lipat dari sampel DNA yang sangat sedikit atau dalam batas deteksi (Nollet dan

Toldrá, 2011). Oleh karena itu, sampel yang dibutuhkan lebih sedikit dibandingkan

dengan pengujian berbasis protein. Teknologi DNA (hibridisasi DNA, Polymerase

Chain Reaction-Random Amplified Polymorphic DNA = PCR-RAPD, PCR-

Restriction Fragment Length Polymorphism = PCR-RFLP, PCR dengan primer

spesifik), merupakan metode yang sangat praktis dan akurat, mempunyai kelebihan

dapat mendeteksi protein yang sudah terdegradasi (matang atau produk olahan) dalam

kandungan yang sangat sedikit (μg) (Nuraini, 2004). Beberapa jenis analisis PCR

digunakan karena mudah mengamplifikasi daerah target dari template DNA dalam

waktu yang lebih singkat sehingga cocok untuk identifikasi daging dan produk olahan

daging.

Identifikasi jenis hewan merupakan salah satu tujuan penggunaan penanda

DNA. Hal ini dilakukan untuk bermacam kepentingan, salah satunya adalah untuk

menghindari terjadinya pencemaran pada produk pangan, sehingga dapat

Page 13: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73420/potongan/S1...RT-PCR adalah suatu teknik pengerjaan PCR untuk mengamplifikasi (memperbanyak) sekaligus

13

mengidentifikasi suatu bahan yang tidak seharusnya ada. Identifikasi asal daging pada

sampel produk sangat berguna bagi konsumen karena beberapa alasan yaitu

kemungkinan kerugian ekonomi dari substitusi daging tersebut yang termasuk

penipuan produk, terhadap kesehatan individu yang mungkin dapat mengalami alergi

spesifik pada daging tertentu dan alasan keagamaan (Miguel et al., 2004). Deteksi dan

identifikasi daging juga sangat bermanfaat dalam pelabelan produk untuk

menginformasikan keamanan produk bagi konsumen.

3. Polymerase Chain Reaction (PCR)

Polymerase chain reaction (PCR) adalah suatu reaksi in-vitro untuk

menggandakan molekul DNA pada target tertentu dengan cara menyintesis molekul

DNA baru yang berkomplemen dengan molekul DNA tersebut dengan enzim

polimerase dan oligonukleotida pendek sebagai primer. Metode ini berjalan secara

enzimatik melalui mekanisme perubahan suhu (Buzdin dan Lukyanov, 2007).

Target PCR yaitu asam nukleat (DNA) untai ganda yang diekstraksi dari sel dan

terdenaturasi menjadi asam nukleat beruntai tunggal. Komponen reaksi PCR terdiri

atas template DNA, pasangan primer berupa oligonukleotida spesifik untuk target gen

yang dipilih, enzim (umumnya Taq polymerase, enzim thermostable dan thermoactive

yang berasal dari Thermus aquaticus), larutan penyangga dan trifosfat deoxynucleoside

(dNTP) yang digunakan untuk amplifikasi target gen secara eksponensial dengan hasil

replikasi ganda dari target awal (Muladno, 2010; Gaffar, 2007; Sulistyaningsih, 2007).

Reaksi ini dilakukan dalam suatu mesin pemanas yang diprogram secara otomatis

Page 14: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73420/potongan/S1...RT-PCR adalah suatu teknik pengerjaan PCR untuk mengamplifikasi (memperbanyak) sekaligus

14

disebut thermocycler. Mesin tersebut menyediakan kondisi termal yang diperlukan

untuk proses amplifikasi (Nollet dan Toldrá, 2011).

a. Template DNA

Template DNA adalah molekul DNA untai ganda yang mengandung sekuen

target yang akan diamplifikasi. Ukuran DNA bukan merupakan faktor utama

keberhasilan PCR. Berapapun panjangnya jika tidak mengandung sekuen yang

diinginkan, maka proses PCR tidak akan berhasil. Namun sebaliknya, jika ukuran DNA

tidak terlalu panjang tapi mengandung sekuen yang diinginkan maka PCR akan

berhasil (Sulistyaningsih, 2007).

Konsentrasi DNA juga dapat mempengaruhi keberhasilan PCR. Jika

konsentrasinya terlalu rendah maka primer mungkin tidak dapat menemukan target dan

jika konsentrasi terlalu tinggi akan meningkatkan kemungkinan mispriming. Perlu

diperhatikan kemurnian template karena akan mempengaruhi hasil reaksi

(Sulistyaningsih, 2007).

b. Primer

Susunan primer merupakan salah satu kunci keberhasilan PCR. Pasangan

primer terdiri dari 2 oligonukleotida yang mengandung 18-28 nukleotida dan

mempunyai 40-60% GC content. Sekuen primer yang lebih pendek akan memicu

amplifikasi produk PCR non spesifik. Ujung 3' primer penting dalam menentukan

spesifisitas dan sensitivitas PCR. Ujung ini tidak boleh mempunyai 3 atau lebih basa

G atau C, karena dapat menstabilkan annealing primer non spesifik. Ujung 3' kedua

Page 15: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73420/potongan/S1...RT-PCR adalah suatu teknik pengerjaan PCR untuk mengamplifikasi (memperbanyak) sekaligus

15

primer tidak boleh komplementer satu dengan yang lain karena hal ini akan

mengakibatkan pembentukan primer-dimer yang akan menurunkan hasil produk yang

diinginkan. Ujung 5' primer tidak terlalu penting untuk annealing primer, sehingga

memungkinkan untuk menambahkan sekuen tertentu, misalnya sisi restriksi enzim,

start codon ATG atau sekuen promoter (Sulistyaningsih, 2007).

Konsentrasi primer biasanya optimal pada 0,1-0,5 μM. Konsentrasi primer

yang terlalu tinggi akan menyebabkan mispriming (penempelan pada tempat yang tidak

spesifik) dan akumulasi produk non-spesifik, serta meningkatkan kemungkinan

terbentuk primer-dimer. Sebaliknya, bila konsentrasi primer terlalu sedikit maka PCR

menjadi tidak efisien sehingga hasilnya rendah (Sulistyaningsih, 2007).

c. Enzim DNA polimerase

DNA polimerase adalah enzim yang mengkatalisis polimerisasi DNA. Dalam

perkembangannya, banyak digunakan enzim Taq DNA polymerase yang memiliki

keaktifan pada suhu tinggi, sehingga penambahan enzim tidak perlu dilakukan di setiap

siklus dan proses PCR dapat dilakukan dalam satu mesin (Gaffar, 2007).

Enzim Taq DNA polymerase terdiri atas dua macam yaitu enzim alami yang

diisolasi dari sel bakteri Thermus aquaticus dan enzim rekombinan yang disintesis di

dalam sel bakteri Escherichia coli (Muladno, 2010). Enzim ini masih mempunyai

aktivitas eksonuklease dari 5' ke 3' tetapi tidak mempunyai aktivitas eksonuklease dari

3' ke 5'. Konsentrasi enzim yang dibutuhkan untuk PCR biasanya 0,5-2,5 unit.

Kelebihan jumlah enzim mengakibatkan akumulasi produk non spesifik, sedangkan

Page 16: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73420/potongan/S1...RT-PCR adalah suatu teknik pengerjaan PCR untuk mengamplifikasi (memperbanyak) sekaligus

16

jika terlalu rendah maka dihasilkan sedikit produk yang diinginkan (Sulistyaningsih,

2007).

d. Larutan buffer

Larutan buffer yang biasa digunakan untuk reaksi PCR mengandung Tris-HCL

10 mM pH 8,3, KCl 50 mM dan MgCl2 1,5 mM. Optimalisasi konsentrasi ion Mg2+

merupakan hal yang penting. Konsentrasi ion ini mempengaruhi beberapa hal yaitu

annealing primer, suhu pemisahan untai template dan produk PCR, spesifisitas produk,

pembentukan primer-dimer serta aktivitas dan ketepatan enzim Taq Polymerase. PCR

harus mengandung 0,5-2,5 μM Mg2+ dari total konsentrasi dNTP. Konsentrasi yang

lebih tinggi akan meningkatkan produk PCR, tetapi menurunkan spesifisitasnya.

Konsentrasi ion ini tergantung pada konsentrasi bahan-bahan yang mengikatnya seperti

dNTP, EDTA dan fosfat (Sulistyaningsih, 2007).

e. Deoxynucleotide Triphosphate (dNTP)

Deoxynucleotide Triphosphate merupakan material utama untuk sintesis DNA

dalam proses PCR yang terdiri dari dATP, dGTP, dCTP, dan dTTP. Konsentrasi dNTP

yang masing-masing sebesar 20-200 μM dapat menghasilkan keseimbangan optimal

antara hasil, spesifisitas dan ketepatan PCR. Konsentrasi masing-masing dNTP harus

seimbang untuk meminimalkan kesalahan penggabungan. Deoxynucleotide

Triphosphate akan menurunkan Mg2+ bebas, sehingga mempengaruhi aktivitas

polimerase dan menurunkan annealing primer. Konsentrasi dNTP yang rendah akan

meminimalkan mispriming pada daerah non target dan menurunkan kemungkinan

Page 17: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73420/potongan/S1...RT-PCR adalah suatu teknik pengerjaan PCR untuk mengamplifikasi (memperbanyak) sekaligus

17

perpanjangan nukleotida yang salah. Dengan demikian, spesifisitas dan ketepatan PCR

meningkat pada konsentrasi dNTP yang lebih rendah (Sulistyaningsih, 2007).

Proses yang terjadi dalam mesin PCR meliputi tiga tahap utama yaitu denaturasi

(pemisahan untai ganda DNA), annealing (penempelan primer), dan ekstensi

(pemanjangan primer). Proses yang dimulai dari denaturasi, penempelan dan ekstensi

disebut sebagai satu siklus. Produk PCR dapat langsung divisualisasikan melalui proses

elektroforesis dan digunakan untuk analisis lebih lanjut (Weissensteiner et al. 2004).

Produk PCR dipisahkan dengan elektroforesis gel yang diwarnai dengan etidium

bromida dan divisualisasikan dengan sinar ultraviolet (Nollet dan Toldrá, 2011).

a. Denaturasi

Selama proses denaturasi, DNA untai ganda akan membuka menjadi dua untai

tunggal. Hal ini disebabkan suhu denaturasi yang tinggi yang mengakibatkan putusnya

ikatan hidrogen diantara basa-basa yang komplemen. Pada tahap ini, seluruh reaksi

enzim tidak berjalan (Gaffar, 2007). Denaturasi biasanya dilakukan antara suhu 90-

95oC selama 3 menit untuk meyakinkan bahwa molekul DNA yang ditargetkan ingin

dilipatgandakan jumlahnya benar-benar telah terdenaturasi menjadi untai tunggal. Pada

denaturasi berikutnya, hanya diperlukan hanya 30 detik pada suhu 95oC atau 15 detik

pada suhu 97oC (Muladno, 2010).

Suhu denaturasi dipengaruhi oleh sekuen target. Jika sekuen target kaya akan

G-C maka diperlukan suhu yang lebih tinggi. Suhu denaturasi yang terlalu tinggi dan

waktu denaturasi yang terlalu lama mengakibatkan hilangnya atau berkurangnya

Page 18: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73420/potongan/S1...RT-PCR adalah suatu teknik pengerjaan PCR untuk mengamplifikasi (memperbanyak) sekaligus

18

aktivitas enzim Taq polymerase. Waktu paruh aktivitas enzim tersebut adalah >2 jam

pada suhu 92,5oC, 40 menit pada 95oC dan 5 menit pada 97,5oC (Muladno, 2010;

Sulistyaningsih, 2007).

b. Penempelan primer

Pada tahap penempelan primer (annealing), primer akan menuju daerah

spesifik yang komplemen dengan urutan primer. Pada proses annealing ini, ikatan

hidrogen akan terbentuk antara primer dengan urutan komplemen pada template.

Proses ini biasanya dilakukan pada suhu 50-60oC. Spesifisitas PCR sangat tergantung

pada suhu melting (Tm) primer, yaitu suhu dimana separuh jumlah primer menempel

pada template. Temperatur penempelan yang digunakan biasanya 5oC di bawah Tm,

yang dihitung dengan formula Tm = 4oC (G+C) + 2oC (A+T). Semakin panjang ukuran

primer, semakin tinggi temperaturnya (Muladno, 2010). Selanjutnya, DNA polimerase

akan berikatan, sehingga ikatan hidrogen tersebut akan menjadi sangat kuat dan tidak

akan putus kembali apabila dilakukan reaksi polimerisasi selanjutnya (Gaffar, 2007).

Suhu dan lamanya waktu yang dibutuhkan untuk annealing primer juga tergantung

pada komposisi basa, panjang, dan konsentrasi primer (Sulistyaningsih, 2007).

c. Reaksi polimerisasi

Umumnya reaksi polimerisasi (extension) atau perpanjangan rantai, terjadi pada

suhu 72oC karena merupakan suhu optimum Taq polymerase. Primer yang telah

menempel tadi akan mengalami perpanjangan pada sisi 3'nya dengan penambahan

dNTP yang komplemen dengan template oleh DNA polimerase (Gaffar, 2007).

Page 19: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73420/potongan/S1...RT-PCR adalah suatu teknik pengerjaan PCR untuk mengamplifikasi (memperbanyak) sekaligus

19

Kecepatan penyusunan nukleotida oleh enzim tersebut pada suhu 72oC diperkirakan

antara 35 sampai 100 nukleotida per detik, bergantung pada buffer, pH, konsentrasi

garam, dan molekul DNA target. Dengan demikian, untuk produk PCR sepanjang 2000

pasang basa, waktu 1 menit sudah lebih dari cukup untuk tahap pemanjangan primer

ini. Biasanya di akhir siklus PCR, waktu yang digunakan untuk tahap ini diperpanjang

sampai 5 menit, sehingga seluruh produk PCR diharapkan berbentuk DNA untai ganda

(Muladno, 2010).

Gambar 3. Siklus PCR (Gaffar, 2007)

4. Real-Time PCR (RT-PCR)

Real-time PCR merupakan teknologi terkini yang digunakan dalam amplifikasi

DNA. Pada real-time PCR, jumlah DNA yang diamplifikasi dapat langsung teramati

seketika sehingga tidak memerlukan analisis dengan elektroforesis gel untuk

mengetahui produk PCR. Real-time PCR lebih dikenal sebagai quantitative PCR

karena kemampuan analisisnya yang sensitif, spesifik dan reproducible sehingga

mengurangi kesalahan pada hasil (Burns et al., 2005).

ULANG

SIKLUS PENEMPELAN PRIMER

Page 20: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73420/potongan/S1...RT-PCR adalah suatu teknik pengerjaan PCR untuk mengamplifikasi (memperbanyak) sekaligus

20

Instrumen Real-Time PCR mendeteksi produk PCR dengan mengukur

peningkatan pewarna (dye) fluorescent yang berpendar ketika terikat dengan double-

stranded DNA. Karena sifat inilah maka pertumbuhan fragment DNA hasil amplifikasi

dapat diikuti secara seketika, semakin banyak DNA yang terbentuk semakin tinggi pula

intensitas fluorescent yang dihasilkan. Quantitative PCR dimungkinkan dapat

mendeteksi secara akurat konsentrasi DNA hingga hitungan pikogram atau setara

dengan sel tunggal karena sensitifitas dye yang sangat tinggi. Hasil peningkatan

fluorescent digambarkan melalui kurva amplifikasi yang menunjukkan tiga fasa yaitu

fasa awal, fasa eksponensial atau puncak dan fasa plateau atau stabil (Vaerman, 2004).

Gambar 4. Bentuk kurva pada Real-Time PCR (Bio-Rad, 2006)

Instrument Real-Time PCR memiliki tiga komponen utama yaitu thermal block

cycler sebagai akurasi data, optical system sebagai deteksi data, dan software sebagai

Page 21: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73420/potongan/S1...RT-PCR adalah suatu teknik pengerjaan PCR untuk mengamplifikasi (memperbanyak) sekaligus

21

analisis data. Real-time PCR juga dapat menganalisis banyak sampel dalam waktu

bersamaan menggunakan multiwell plates (Rocheb, 2008).

Contoh label yang dapat berikatan dengan DNA adalah pewarna (dye) SYBR®

green I dan EvaGreen® dimana label tersebut merupakan label yang tidak spesifik dan

akan berikatan dengan semua jenis DNA untai ganda. EvaGreen® merupakan label

fluoresen yang efektif dari segi biaya jika dibandingkan dengan komponen label kimia

lainnya dan juga mudah digunakan. Penentuan konsentrasi primer yang optimum dapat

dengan mudah dicapai dengan menggunakan EvaGreen® sebagai bahan fluoresen

dibandingkan dengan menggunakan bahan yang lainnya seperti TaqMan dan

Molecular Beacon (Pestana et al., 2010). Akan tetapi, EvaGreen® tidak dapat

membedakan satu DNA dengan DNA yang lainnya, maka penting untuk menganalisis

kurva pelelehan (Melting Curve Analysis) pada akhir pengujian dengan Real-Time PCR

(Pestana et al., 2010).

5. Melting Curve Analysis (MCA)

MCA adalah suatu analisis untuk memperkirakan karakteristik denaturasi DNA

untai ganda menjadi DNA untai tunggal selama mengalami pemanaasan. Suhu dimana

50% dari DNA terdenaturasi dikenal sebagai Tm (melting temperature). Nilai suhu

melting point ini sangat bergantung dari panjang sekuen DNA dan komposisi dari basa

Guanin dan Sitosin pada DNA.

Spesifitas primer dapat ditingkatkan dengan optimasi suhu leleh (melting

temperature) dari fragmen DNA. Optimasi dapat dilakukan dengan Melting Curve

Analysis (MCA). Prinsip MCA adalah perbedaan suhu leleh suatu fragmen DNA yang

Page 22: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73420/potongan/S1...RT-PCR adalah suatu teknik pengerjaan PCR untuk mengamplifikasi (memperbanyak) sekaligus

22

dipengaruhi oleh panjang dan sekuen dari fragmen tersebut. Bila hanya ada 1 jenis

fragmen DNA untai ganda, maka akan muncul 1 melting curve (Lyon, 2001; Ririe et

al., 1997).

6. High Resolution Melting Analysis (HRMA)

High Resolution Melting Analysis (HRMA) adalah sebuah teknik analisis yang

tergolong baru untuk mendeteksi variasi genetik pada sekuen DNA (Vossen et al.,

2009). Teknik ini merupakan pengembangan dari teknik Melting Curve Analysis

(MCA) yang mempunyai prinsip perbedaan suhu leleh suatu sekuen dari produk PCR.

Teknik ini mulai terkenal sejak ditemukannya dsDNA binding-dye yang lebih baik,

serta didukung alat RT-PCR generasi terbaru dan software analisisnya. HRMA ini

dapat membedakan sekuen DNA berdasarkan komposisinya, panjang, GC content, dan

bentuk komplemen heliksnya (Applied Biosystems, 2010). Jika dibandingkan dengan

teknik MCA, HRMA berbeda dalam 3 hal :

1. Secara kimia, HRMA menggunakan dye yang lebih terang emisinya, dalam

konsentrasi yang tinggi.

2. Secara instrumental, HRMA membutuhkan alat yang dapat mengumpulkan

data fluoresensi pada resolusi yang lebih tinggi.

3. Secara piranti lunak, HRMA membutuhkan software yang dapat menganalisis

data fluouresensi dengan algoritma yang agak berbeda.

Sebagai teknik yang baru berkembang dalam analisis produk PCR, HRMA

dilaporkan banyak digunakan dalam analisis Single Nucleotide Polymorphism (SNP).

Reed dan Wittwer (2004) melihat sensitivitas dan spesifisitas teknik HRMA suatu SNP

Page 23: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73420/potongan/S1...RT-PCR adalah suatu teknik pengerjaan PCR untuk mengamplifikasi (memperbanyak) sekaligus

23

dengan panjang fragmen yang berbeda. Pereyra et al. (2012), menggunakan HRMA

dalam SNP yang terkait inflamasi pada kelahiran bayi prematur. Selain itu, masih

banyak kegunaan dari HRMA, seperti DNA fingerprinting, investigasi keragaman

populasi bakteri maupun virus, dan identifikasi spesies (Kappa Biosytems, 2010).

Banyak hal yang menjadi pertimbangan dalam merancang HRMA untuk

mendapatkan hasil yang memuaskan, seperti kualitas dan kuantitas DNA, design

primer serta konsentrasi dan kemurniannya, konsentrasi Mg2+, dan panjang amplikon

dari hasil PCR (Kappa Biosytems, 2010; Applied Biosytems, 2010). Selain itu, jenis

intercalating/binding dye yang digunakan menjadi salah satu hal yang menjadi

komponen kunci keberhasilan HRMA. Berikut ini akan dipaparkan beberapa jenis

binding dye yang sering digunakan dalam proses Real-Time PCR dan kompabilitasnya

dengan HRMA :

Non-saturating dyes

SYBR® Green I merupakan sebuah contoh dye yang paling sering dipakai dalam

penggunaan Real-Time PCR, tetapi sayangnya tidak kompatibel dalam analisis HRMA.

Hal ini dikarenakan pada konsentrasi tinggi, SYBR® Green I menstabilkan dupleks dari

DNA dan menghambat DNA polimerase, sehingga dalam proses amplifikasi

digunakan konsentrasi rendah. Pada konsentrasi rendah, SYBR® Green I dapat

terdistribusi ulang di bagian yang sudah terlepas (meleleh) menjadi single-stranded

DNA, ke bagian yang belum terlepas, atau masih dalam bentuk double-stranded DNA,

sehingga tidak terdapat perubahan dalam fluoresensi (Gambar 5).

Saturating dyes

Dari kelemahan yang ditunjukkan jenis non-saturating dye, dikembangkan

Page 24: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73420/potongan/S1...RT-PCR adalah suatu teknik pengerjaan PCR untuk mengamplifikasi (memperbanyak) sekaligus

24

jenis baru yang tidak menghambat DNA polimerase atau merubah Tm dari suatu produk

PCR. Dye dengan jenis ini dapat ditambahkan dengan konsentrasi yang lebih tinggi

dari jenis sebelumnya. Distribusi ulang tidak dapat terjadi karena dsDNA sudah jenuh

(saturated) oleh binding dye. Dengan demikian, pada saat proses melting, bagian yang

sudah terlepas akan kehilangan binding dye dan menyebabkan perubahan fluoesensi

(Gambar 5). Salah satu contohnya adalah SYTO9® dan LCGreen®.

Release-on-demand dyes

EvaGreen® merupakan salah satu contoh dari jenis binding dye ini.

Penambahan dye dapat dilakukan pada konsentrasi yang lebih rendah. Hal ini

disebabkan adanya penemuan metode baru dalam emisi fluoresensi, dimana sinyal

flouresensi akan padam (quenched) saat berada dalam kondisi bebas dalam larutan.

Saat dye berinterkalasi dengan DNA, faktor pemadaman flouresensi akan hilang lalu

berfluoresensi dengan intensitas yang tinggi (Gambar 5).

Gambar 5. Mekanisme beberapa jenis binding dye yang digunakan dalam Real-

Time PCR dan HRMA (Kappa Biosytems, 2010)

Page 25: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73420/potongan/S1...RT-PCR adalah suatu teknik pengerjaan PCR untuk mengamplifikasi (memperbanyak) sekaligus

25

7. DNA mitokondria

Mitokondria merupakan organel sel penghasil energi yang terdapat dalam

sitoplasma. DNA mitokondria (mtDNA) memiliki sejumlah sifat genetik khas yang

membedakannya dari genom inti. Genom mitokondria berbentuk sirkuler, beruntai

ganda, memiliki panjang sekitar 16,5 kb yang mengandung basa guanine (G) dan

cytosine (C) berkisar antara 32-45,6%. Kedua basa tersebut menyebar tidak merata

diantara kedua untai DNA. Distribusi asimetrik nukleotida menimbulkan heavy strand

(untai berat) dan light strand (untai ringan) ketika molekul mtDNA dipisahkan dalam

gradien basa CsCl. Heavy strand atau untai H berisi lebih banyak nukleotida guanin

(G) yang mempunyai berat molekul terbesar diantara keempat nukleotida, sedangkan

Light strand atau untai L berisi lebih sedikit basa G. Pada Gambar 6 akan diberikan

ilustrasi tentang genom yang terkandung dalam mitokondria manusia (Homo sapien).

Pada mitokondria susunan genom dan karakteristiknya mirip pada tiap individu, yang

membedakan adalah pola dan susunan dari basa nukleotidanya.

Gambar 6. Susunan genom dari mitokondria manusia (Homo sapien) (Taylor &

Turnbull, 2005).

Page 26: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73420/potongan/S1...RT-PCR adalah suatu teknik pengerjaan PCR untuk mengamplifikasi (memperbanyak) sekaligus

26

Genom mitokondria terdiri atas genom penyandi rRNA, tRNA, dan protein sub

unit kompleks enzim rantai respirasi, juga memiliki urutan nukleotida daerah control

region non penyandi (non-coding region) yang dikenal dengan daerah displacement

loop (D-Loop) (Taylor dan Turnbull, 2005). Replikasi mtDNA dimulai dengan untai-

H yang terdapat dalam daerah D-loop mitokondria. Sebanyak 28 produk gen dikodekan

dari untai-H, sedangkan untai-L mentranskripsi delapan RNA transfer (tRNA) dan

enzim yang disebut ND6.

Jumlah molekul DNA mitokondria dalam sel sangat bervariasi. Rata-rata

terdapat 4-5 salinan molekul mtDNA per mitokondria. Setiap sel dapat berisi ratusan

mitokondria yang secara matematis bisa sampai beberapa ribu molekul mtDNA dalam

setiap sel seperti dalam sel telur (ovum), namun rata-rata diperkirakan terdapat sekitar

500 mtDNA dalam setiap sel. Hal tersebut menjadikan keberhasilan isolasi mtDNA

lebih besar (relatif terhadap penanda DNA nukleus) pada sampel biologis yang

mungkin telah rusak karena panas atau kelembaban. Perbandingan karakteristik dasar

DNA inti dan DNA mitokondria disajikan pada Tabel II.

Tabel II. Karakteristik DNA inti dan DNA mitokondria manusia (Butler, 2005)

Karakteristik DNA inti DNA mitokondria

Ukuran genom ~ 3,2 milyar pb ~ 16.569 pb

Jumlah kopi/sel 2 (1 alel setiap tetua) Dapat >1000

Total DNA/sel 99,75% 0,25%

Struktur Linier Sirkuler

Diturunkan dari Ibu dan bapak Ibu

Pasangan kromosom Diploid Haploid

Rekombinasi generasi Ya Tidak

Replikasi Ya Tidak

Keunikan Unik untuk setiap

individu

(kecuali kembar identik)

Tidak unik untuk setiap

individu

(relatif sama dengan ibu)

Laju mutasi Rendah ± 5-10 kali lipat dari DNA inti

Page 27: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73420/potongan/S1...RT-PCR adalah suatu teknik pengerjaan PCR untuk mengamplifikasi (memperbanyak) sekaligus

27

DNA mitokondria diketahui memiliki laju mutasi yang lebih tinggi, sekitar 5-

10 kali DNA nukleus, terdapat dalam jumlah banyak (lebih dari 1000 kopi) dalam tiap

sel, dibandingkan DNA nukleus (kromosomal) hanya berjumlah dua kopi. DNA

nukleus merupakan hasil rekombinasi DNA kedua orangtua sementara DNA

mitokondria hanya diwariskan dari ibu atau maternally inherited (Butler, 2005). DNA

mitokondria pada sel anak seluruhnya disumbangkan oleh ibu dan sperma sama sekali

tidak berkontribusi. Keunikan sistem penurunan yang menarik ini telah dimanfaatkan

dalam berbagai bidang yaitu penentuan hubungan kekerabatan, studi evolusi dan

migrasi, bidang forensic, dan identifikasi penyakit genetik.

Kemungkinan memperoleh kembali DNA mitokondria dari sampel biologis

dalam jumlah sedikit atau dari sampel biologis yang sudah terdegradasi adalah lebih

besar daripada DNA inti karena molekul DNA mitokondria terdapat dalam ratusan

sampai ribuan kopi dibanding DNA inti yang hanya dua kopi pada setiap selnya. Oleh

karena itu, otot, tulang, rambut, kulit, darah dan cairan tubuh lainnya dapat digunakan

sebagai sumber materi untuk penentuan lokus DNA mitokondria apabila terjadi

degradasi yang disebabkan oleh peralatan atau karena waktu (Butler, 2005).

Penelitian tentang identifikasi jenis daging telah dilakukan oleh beberapa

peneliti dengan penggunaan DNA mitokondria. Gen-gen yang paling sering digunakan

sebagai penanda jenis hewan atau daging diantaranya adalah sitokrom b (cyt b), 12S

dan 16S subunit ribosom RNA dan daerah displacement loop (D-loop) (Fajardo et al.,

2010). Kesmen et al. (2007) menggunakan DNA mitokondria untuk mendeteksi

adanya daging babi, kuda dan keledai pada sosis. Primer spesifik dirancang pada daerah

Page 28: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73420/potongan/S1...RT-PCR adalah suatu teknik pengerjaan PCR untuk mengamplifikasi (memperbanyak) sekaligus

28

mitokondria yang berbeda-beda untuk setiap jenis ternak yaitu gen ATPase6/ATPase8

untuk kuda, gen ND2 (NADH dehidrogenase subunit 2) untuk keledai dan gen ND5

(NADH dehidrogenase subunit 5) untuk babi. Panjang fragmen teramplifikasi untuk

kuda, keledai dan babi berturut-turut sepanjang 153, 145 dan 227 pb. Kumar et al.

(2011) menggunakan teknik PCR tunggal untuk deteksi daging kambing (Capra

hircus). Primer spesifik kambing (DAF-01 dan DGR-04) dirancang pada daerah kekal

D-loop mitokondria dan dihasilkan produk PCR sepanjang 294 pb.

8. Gen Cytochrome c oxidase I (COI)

Cytochorome oxidase I (COI) adalah suatu gen yang menyandi salah satu

subunit dari kompleks (IV) protein dalam respirasi. Kompleks (IV) ini sendiri terdiri

dari 13 polipeptida, yang mana subunit I, II, dan III dikode oleh DNA mitokondria,

sedangkan subunit IV, Va, Vb, VIa, VIb, VIc, VIIa, VIIb, VIIc, dan VIII dikode oleh

DNA kromosomal (Kadenbach et al., 1983; Shoffner dan Wallace; 1995). Enzim ini

terletak di lapisan membran dalam dari mitokondria dan merupakan enzim ketiga dan

terakhir dalam rantai proses transpor elektron dari fosforilasi oksidatif mitokondria

(OMIM, 2010). Gen ini sendiri mempunyai divergenitas genotip yang cukup tinggi,

bahkan mencapai rata-rata 9,6% dalam filum Chordata (Herbert et al., 2003). Dengan

demikian, gen ini sering digunakan dalam penentuan sumber organisme dari suatu

sampel DNA, yang berguna dalam barcoding suatu spesies serta penentuan taksonomi

dan kekerabatan antar jenis hewan (Balakirev dan Rozhnov, 2012).

Sekuen gen COI yang berasal dari tikus spesies Rattus norvegicus mempunyai

panjang sekuen 1545 bp (NCBI, 2013) dan pada sapi (Bos Taurus) mempunyai panjang

Page 29: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73420/potongan/S1...RT-PCR adalah suatu teknik pengerjaan PCR untuk mengamplifikasi (memperbanyak) sekaligus

29

1545 bp (NCBI, 2008). Gen COI dari spesies Rattus norvegicus disajikan pada Gambar

7.

Gambar 7. Daerah gen COI dalam mitokondria Rattus norvegicus (NCBI 2013).

Haider et al. (2012) melaporkan suatu metode dalam deteksi berbagai daging

menggunakan teknik PCR-RFLP (PCR-Retriction Fragment Length Polymorphism).

Jenis daging yang diidentifikasi adalah sapi, ayam, kalkun, kambing, babi, kerbau, unta

dan keledai. Sampel yang digunakan adalah daging murni yang masih segar serta

sampel darah untuk beberapa spesies. Sepasang primer universal digunakan untuk

mengamplifikasi daerah COI yang menghasilkan produk PCR sepanjang 710 bp.

Produk ini kemudian dipotong menggunakan berbagai enzim endonuklease, yaitu

Hind II, Ava II, Rsa I, Taq I, Hpa II, Tru 1I and Xba I. Dengan teknik ini, terbukti dapat

dibedakan jenis daging karena 7 enzim endonuklease yang digunakan mempunyai

target spesifik masing-masing, sehingga kombinasi dari potongan yang dihasilkan dari

tiap enzim tersebut dapat menjadi informasi jenis daging dari sampel yang diteliti.

Spychaj et al. (2009) melaporkan tentang identifikasi daging babi, sapi, dan

bebek, dalam berbagai kombinasi campuran daging tersebut dengan ayam, kalkun dan

angsa. Che et al. (2007) mengidentifikasi cemaran babi pada produk pangan untuk

Page 30: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73420/potongan/S1...RT-PCR adalah suatu teknik pengerjaan PCR untuk mengamplifikasi (memperbanyak) sekaligus

30

verifikasi kehalalan pangan. Dalmasso et al. (2004) mengidentifikasi jenis hewan pada

bahan pakan dengan metode multipleks PCR. Ghovvati et al. (2009) melakukan

identifikasi jenis hewan untuk mendeteksi pemalsuan produk pada industri pangan.

Bottero et al. (2003) melakukan penelitian pada produk susu untuk mengidentifikasi

asal susu dari sapi, kambing dan domba perah dengan metode Multipleks PCR. Zhang

et al. (2007) menggunakan metode Real-Time PCR untuk mengidentifikasi adanya

DNA sapi pada daging, susu dan keju.

9. Bakso

Bakso (Gambar 8) merupakan olahan daging yang dibentuk menyerupai bola

dengan ukuran tertentu. Pembuatan bakso sendiri diolah dengan berbagai bumbu-

bumbuan, garam dapur, dan tepung tapioka (Purnomo and Rahardian, 2008).

Terkadang, dalam pembuatan bakso ditambahkan dengan Natrium Trifosfat dan

Monosodium Glutamat untuk meningkatkan kapasitas pengikatan air. Selain itu, zat

tersebut juga dapat menambah cita rasa makanan (Huda et al, 2010).

Gambar 8. Bakso

Page 31: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73420/potongan/S1...RT-PCR adalah suatu teknik pengerjaan PCR untuk mengamplifikasi (memperbanyak) sekaligus

31

F. Landasan Teori

Bakso merupakan salah satu produk olahan dari daging. Daging sendiri

merupakan salah satu bentuk jaringan makhluk hidup yang terdiri dari berbagai sel,

yang mengandung DNA. DNA tidak rusak oleh pemanasan dan mempunyai sifat unik

kepada setiap organisme (Matsunaga et al. 1999). Adanya perbedaan urutan basa DNA

terutama pada gen cytochrome c oxidase I dalam mitokondria sapi dan tikus dapat

digunakan sebagai penanda spesifik cemaran daging tikus menggunakan metode Real-

Time PCR dengan primer BatL 5310 dan R6036R dan analisis HRMA yang

memberikan puncak Tm yang spesifik pula.

Prinsip dari metode ini adalah sepasang primer akan menempel pada gen

cytochrome c oxidase I (COI) mitokondria tikus dan sapi, lalu sekuen DNA tersebut

dapat dikenali oleh Taq DNA Polimerase dan dapat diamplifikasi selama beberapa

siklus. Hasil pembacaan berupa kurva fluoresensi terhadap siklus yang berasal dari

pendaran fluoresen label yang digunakan (dalam hal ini EvaGreen®).

Sinyal fluoresensi dari EvaGreen® tidak spesifik karena EvaGreen®

berinterkalasi dengan semua dsDNA yang ada. Untuk membedakan satu dsDNA

dengan dsDNA yang lainnya, harus dilakukan analisis kurva pelelehan dengan resolusi

yang tinggi (High Resolution Melting Analysis) pada akhir pengujian dengan Real-

Time PCR. HRMA dapat membedakan produk PCR dengan lebih akurat, sehingga dari

Tm produk PCR hasil amplifikasi daging sapi dan tikus yang muncul pada puncak yang

berbeda dapat dijadikan dasar pembeda kedua jenis daging tersebut.

Page 32: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73420/potongan/S1...RT-PCR adalah suatu teknik pengerjaan PCR untuk mengamplifikasi (memperbanyak) sekaligus

32

G. Hipotesis

Berdasarkan landasan teori tersebut maka dapat ditulis hipotesis sebagai

berikut,

1. Dengan kondisi yang optimum pada Real-Time PCR, primer yang digunakan

dapat menempel pada gen target cytochrome c oxidase I (COI) sapi dan tikus

serta dapat teramplifikasi dengan baik.

2. Adanya puncak spesifik untuk tikus dan sapi pada kurva melt-curve pada

metode Real-Time PCR yang dikombinasikan dengan HRMA, dapat dijadikan

dasar dalam mendeteksi cemaran daging tikus pada produk olahan daging yaitu

bakso.