bab i pendahuluan a. -...

24
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1. Permasalahan Ada beberapa pendapat dalam metafisika. Salah satu pendapat metafisik yang menyusun suatu sistem adalah pendapat yang menerima suatu prinsip pertama di belakang gejala-gejala, prinsip-prinsip inilah yang memberi makna dan hukum kenyataan. Prinsip azali, dalam hal ini dianggap sebagai kenyataan yang sesungguhnya, pada umumnya di ambil dari skema tradisional. Prinsip pertama atau azali ini ada yang-material, ada yang-hidup, ada yang-rohani dan ada yang-ilahi (Siswanto, 1998: 4). Manusia, menurut asumsi ini pasti memiliki pandangan ontologis tertentu, walaupun masih dalam bentuk yang paling sederhana. Filsafat pada tataran non-akademis (ordinary philosophy) juga berbicara tentang persoalan-persoalan yang serupa dengan filsafat pada tataran akademis. Hal ini menyiratkan bahwa manusia senantiasa haus akan penjelasan-penjelasan yang mengatasi kenyataan yang dijalaninya sehari-hari. Titus (1984: 5-11) menjelaskan suatu fakta bahwa manusia yang mempertanyakan persoalan-persoalan yang luar biasa jauh dalam scope-nya dan persepsinya menunjukkan rasa kehausan bagi tiap manusia untuk mendapatkan penjelasan, hal tersebut menunjukkan bahwa setiap orang telah berfilsafat walaupun dengan sebuah pertanyaan yang paling sederhana. Setiap

Upload: vominh

Post on 07-Mar-2019

224 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

1. Permasalahan

Ada beberapa pendapat dalam metafisika. Salah satu pendapat metafisik

yang menyusun suatu sistem adalah pendapat yang menerima suatu prinsip

pertama di belakang gejala-gejala, prinsip-prinsip inilah yang memberi makna

dan hukum kenyataan. Prinsip azali, dalam hal ini dianggap sebagai

kenyataan yang sesungguhnya, pada umumnya di ambil dari skema

tradisional. Prinsip pertama atau azali ini ada yang-material, ada yang-hidup,

ada yang-rohani dan ada yang-ilahi (Siswanto, 1998: 4). Manusia, menurut

asumsi ini pasti memiliki pandangan ontologis tertentu, walaupun masih

dalam bentuk yang paling sederhana.

Filsafat pada tataran non-akademis (ordinary philosophy) juga

berbicara tentang persoalan-persoalan yang serupa dengan filsafat pada

tataran akademis. Hal ini menyiratkan bahwa manusia senantiasa haus akan

penjelasan-penjelasan yang mengatasi kenyataan yang dijalaninya sehari-hari.

Titus (1984: 5-11) menjelaskan suatu fakta bahwa manusia yang

mempertanyakan persoalan-persoalan yang luar biasa jauh dalam scope-nya

dan persepsinya menunjukkan rasa kehausan bagi tiap manusia untuk

mendapatkan penjelasan, hal tersebut menunjukkan bahwa setiap orang telah

berfilsafat walaupun dengan sebuah pertanyaan yang paling sederhana. Setiap

2

orang memiliki filsafat walaupun orang mungkin tidak sadar akan hal

tersebut.

“In general sense, a person’s philosophy is the sum of his fundamental beliefs and convictions. In this sense every one has a philosophy, even though he does nort realize it. All people have some ideas concerning physical objects, man, the meaning of life, nature, death, God, right and wrong, and beauty and ugliness. Of course, these ideas are acquired in variety of ways (Titus, 1964: 5)”. Manusia membutuhkan a unified view of things, yakni metafisika.

Manusia dan kebudayaannya berdiri di atas ajaran ontologi tertentu yang

mendasari segala aspek kehidupannya, baik pada aspek sosial, moral, sistem

kebudayaan, budaya, ritual dan sebagainya (Ulumi, 2004: 1). Whiteley

mengatakan bahwa:

“...there are wide differences of opinion, especially between the professional philoshopher and the intellegent man in the street. The latter, when he turns to philosophy, usually expects it to provide him with an enlightening and satisfying interpretation of the universe. He wants to be instructed as to ‘the meaning of life’ and ‘the nature of ultimate reality’. He wants a firm basis for his thinking and his scheme of living, a unified view of things which will make him feel at home in the world (Whiteley, 1950: 1)”.

Provinsi Banten menentukan bentuknya yang sekarang melalui

perkembangan sejarah yang panjang, berbagai pengaruh telah ikut mewarnai

kehidupan dan budaya masyarakat, mulai dari pola kepercayaan, teknologi

sampai kepada berbagai jenis seni dan budaya yang muncul dan berkembang

di berbagai wilayah yang ada di Banten.

Seni dan budaya Banten, dalam perkembangannya ada yang khas

mencerminkan kepercayaan dan budaya masyarakat setempat seperti:

Angklung Buhun, Dogdog Lojor dan Bendrong Lesung. Seni khas masyarakat

3

Banten di sisi lain ada yang merupakan penetrasi dari keyakinan agama

seperti Debus, Rudat, Silat Patingtung dan Beluk. Berbagai jenis seni dan

budaya lain tumbuh merupakan warisan agama Islam yang kental mewarnai

masyarakat Banten dan memang awalnya disiapkan sebagai wahana

penyebaran agama Islam seperti: Dzikir Saman, terebang Gede, Seni Beduk,

Qasidahan, Yalail dan Marhabaan. Ada juga seni dan budaya masyarakat

Banten yang merupakan hasil akulturasi dari budaya luar dan berkembang di

wilayah tertentu dalam bentuk asalnya, seperti: Topeng Banjet, Gambang

Kromong, Cokek dan Tayuban. Semua seni dan budaya tersebut merupakan

bagian dari identitas daerah yang masih perlu dikembangkan dan dikaji lagi

untuk menemukan makna dan esensi terdalam dari masing-masing seni atau

kebudayaan.

Debus pada awalnya hanya dimiliki oleh sekumpulan orang Banten

yang tergabung dalam suatu perkumpulan keagamaan—Islam, yakni Tarekat

Qadiriyah dan Tarekat Rifaiyah. Kehadiran dan perkembangan kedua tarekat

ini berhubungan dengan munculnya fenomena debus di daerah Banten.

Debus, dalam hubungan itu tampak bahwa debus dan tarekat merupakan dua

hal yang saling berkaitan. Terdapat seorang pimpinan di dalam tarekat yang

biasa dikenal dengan sebutan syeikh atau kiyai. Ketiga hal tersebut, yaitu

debus, Islam dan kiyai merupakan persoalan yang tidak dapat dipisahkan

dalam kajian ontologi tesis ini, dengan memfokuskan pada studi kasus di

Walantaka, Kota Serang, Propinsi Banten.

4

Tarekat-tarekat yang populer ini sering kali disertai dengan praktik-

praktik magis, sehingga Banten merupakan daerah yang terkenal dengan

praktik-praktik magis. Masyarakat Banten yang gemar mengamalkan

berbagai macam praktik ilmu magis sering menggunakan cara-cara dan doa-

doa yang diambil dari berbagai tarekat yang telah dikenal, walaupun secara

dangkal. Banten mempunyai reputasi yang kokoh sebagai tempat

bersemayamnya ilmu-ilmu gaib, tidak sedikit orang Banten yang

memanfaatkan reputasi ini dengan bertindak sebagai juru ramal, pengusir

setan, pengendali roh, pemulih patah tulang, tukang pijat dan tabib, pelancar

usaha untuk mendapatkan kekayaan, kedudukan dan perlindungan

supernatural serta kedamaian jiwa (Hudaeri, 2010: 3).

Teknik-teknik yang berkaitan dengan tarekat hanyalah salah satu bagian

dari debus, sebab para guru debus tidak lazim dikenal juga sebagai guru

tarekat. Sebagian dari para guru debus memang memimpin wiridan

berjamaah yang sejenis dengan tarekat, tetapi tidak seorang pun dari para

guru debus yang merupakan pemimpin tarekat yang sebenarnya. Sebagian

lainnya pada umumnya adalah guru-guru silat dan sama sekali tidak dikenal

sebagai dzikir dan ratib. Bacaan-bacaan Islam yang digunakan agar menjadi

efektif juga harus “diisi” atau “dibayar” dengan berpuasa. Hasil yang sama

terkadang dapat dicapai dengan cara yang berbeda-beda, misalnya seseorang

mungkin membaca suatu formula yang “dibayar” terlebih dahulu, membaca

jimat yang sudah “diisi” sementara “meminjam” kekuatan gurunya yang

dipindahkan melalui sebuah praktik jiyad (Hudaeri, 2010: 4).

5

Debus, mengacu pada persoalan di atas, mengandung beberapa

pandangan ontologis, debus mengandung kuat unsur religi karena sangat

berhubungan dengan Yang-Transendental, pada setiap pertunjukkan selalu

ada ritual-ritual tertentu yang menandakan bahwa pelaksanaan debus tidak

dapat terlepaskan dari peran Yang Transendental, ada prinsip keyakinan bagi

para pelaku debus dan beberapa persoalan dalam kajian ontologi yang juga

terkandung di dalam debus.

Ada beberapa alasan mengapa debus Banten menjadi objek material

dalam penelitian ini. Pertama, debus bagi orang Banten mengandung unsur

magi sehingga menjadi hal yang tidak terpisahkan dari agama, karena agama

(Islam) bagi orang Banten merupakan hal yang wajib diimani tanpa syarat,

dijalani, mampu menuntun hidup manusia dan membawa konsekuensi-

konsekuensi (manfaat) praktis (Tihami, 1992: 119 dalam Ulumi, 2004: 3).

“Kebanyakan keahlian magis yang berkembang di Banten secara dekat berhubungan dengan keahlian bermain silat dan dunia kejawaraan. Debus yang merupakan praktik penanaman kekebalan tubuh terhadap api dan benda-benda tajam adalah bagian yang sangat mencolok dari teknik-teknik ini. Para guru debus umumnya menggunakan semua jenis praktik magis. Teknik-teknik debus merupakan campuran eklektik dari magi Islam dan tradisi lokal yang berasal dari kepercayaan pra-Islam. Bacaan-bacaan saktinya yang terdiri dari doa-doa Islam yang berbahasa Arab disamping bacaan-bacaan berbahasa Jawa dan Sunda (Hudaeri, 2010: 3)”.

Kedua, debus dan kesenian lain yang hidup di daerah Banten sebagian

besar mengandung unsur kebatinan, misalnya seni beladiri Pencak Silat, seni

pertunjukkan kebatinan seperti Taraje (tangga) Golok, Taraje Cau Ambon,

tarian mistik dan magis Syaman, Patingtung, Gatele dan sebagainya. Debus,

dalam hal ini merupakan salah satu seni pertunjukkan kebatinan. Ketiga,

6

debus Banten masih berlaku dan lestari hingga saat ini. Debus dilestarikan

oleh Jawara (ahli beladiri kebatinan) dan beberapa Padepokan Debus di

berbagai daerah di Banten. Keempat, debus merupakan salah satu kebudayaan

yang melekat dan tidak dapat terpisahkan bagi masyarakat Banten.

Alasan lain yang mendorong penelitian ini menggunakan objek material

debus adalah karena hingga saat ini, sejauh penelusuran penulis belum ada

kajian filosofis terhadap debus, khususnya pada dimensi ontologis. Tulisan-

tulisan yang pernah ada tentang debus hanya berkisar pada kajian budaya,

ilmu antropologi dan religi—tetap masih bersifat antropologis—yang lebih

difokuskan pada persoalan ritual-ritual. Kajian tentang debus, meskipun juga

ada kajian yang mengandung unsur filosofis debus, namun hanya dibahas

dalam kerangka filsafat kebudayaan, sehingga belum menyentuh aspek

ontologis.

Perubahan-perubahan yang terjadi di dalam sistem debus maupun di

luar lingkungan debus yang disebabkan karena perkembangan zaman dan

arus globalisasi juga merupakan salah satu persoalan ontologis yang perlu

dikaji lebih dalam. Globalisasi mengimplikasikan bahwa telah terjadi

pergeseran makna di seluruh bidang kehidupan, termasuk juga seni dan

budaya debus di Banten, sehingga mempengaruhi makna esensial dari

identitas budaya masyarakat Banten secara keseluruhan. Krisis identitas

budaya, seiring dengan perkembangan yang terjadi di daerah Banten menjadi

persoalan ontologis karena menyinggung struktur manusia yang paling dasar,

sehingga masih sangat relevan bila dikaji secara ontologis.

7

2. Rumusan Masalah

Penelitian yang berjudul Dimensi Ontologis Debus; Sumbangannya

Bagi Pembentukkan Identitas Budaya Masyarakat Banten (Studi Kasus di

Walantaka, Kota Serang, Propinsi Banten), objek materialnya adalah debus

dan problema utama tentang makna hakikat debus dengan objek formalnya

Ontologi. Penelitian ini dimaksudkan untuk mendeskripsikan sekaligus

mengungkapkan hakikat yang ada dalam debus. Fokus utama penelitian ini

adalah konsep tentang hakikat debus dilihat dari perspektif Ontologi. Objek

material dan objek formal yang dikemukakan di atas, membawa konsekuensi

permasalahan dalam penelitian ini, sebagai berikut:

a. Apa hakikat debus Banten?

b. Apa dimensi ontologis debus Banten?

c. Bagaimana sumbangan ontologi debus bagi pembentukkan identitas

budaya masyarakat Banten?

3. Keaslian Penelitian

Makmun Muzakki R dalam skripsinya yang berjudul Tarekat dan

Debus Rifa’iyah di Banten tahun 1990 yang ditemukan di perpustakaan

Universitas Indonesia meneliti dan menyelidiki keberadaan dari

perkembangan serta pengaruh Tarekat Rifa’iyah dan debus tersebut. Tarekat

Rifa’iyah dan debusnya, dalam skripsi ini dijelaskan bahwa keduanya tidak

begitu banyak berkembang dibanding dengan aliran tarekat yang lain seperti

misalnya tarekat Qadiriyah. Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa tarekat

Rifa’iyah telah berkembang menjadi tiga versi. Pertama tetap sebagai Tarekat

8

dan yang kedua menjadi seni debus dan yang terakhir wirid-wirid dan amalan

yang sedianya dipakai untuk tarekat, dikembangkan menjadi tradisi kekebalan

(kesaktian).

Isman Pratama Nasution dalam tesisnya yang ada di perpustakaan

Universitas Indonesia dengan judul Debus, Islam dan Kiyai: studi kasus di

Desa Tegal Sari, Kecamatan Walantaka, Kabupaten Serang, Jawa Barat

tahun 1995 merupakan penelitian kualitatif bidang antropologi yang

memfokuskan penelitiannya tentang keterkaitan antara debus, Islam dan kiyai

serta perkembangannya di daerah Kecamatan Walantaka, Kabupaten Serang.

Peneltitian ini dilakukan sebelum terbentuknya Provinsi Banten sekitar tahun

1990an.

Soraya Muhammad Syamlan dalam skripsinya di perpustakaan IAIN

Sunan Maulana Hasanudin Banten, Serang tahun 2001 dengan judul Seni

Debus Surosowan Banten dalam Perspektif Sejarah di Serang Abad XXI.

Skripsi ini menjelaskan secara spesifik tentang gambaran umum Debus

Surosoan Banten, dilengkapi dengan sejarah perkembangannya dalam

lingkup kajian sejarah.

Kajian tentang debus, sebagai salah satu jenis budaya kebatinan Banten

yang masih bertahan dan terus dilestarikan pernah diteliti oleh Tim Peneliti

dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Banten. Penelitian tentang

debus tersebut dituangkan dalam bentuk Laporan Penelitian yang berjudul

Debus di Masyarakat Banten pada tahun 2004. Pendekatan yang digunakan

dalam penelitian tersebut adalah Studi Budaya. Debus, dalam laporan

9

penelitian tersebut dikupas mulai dari sejarah, formula-formula pendukung

hingga prosesi dan tata panggung pagelaran. Laporan penelitian tersebut di

dalamnya tidak terdapat pembahasan tentang aspek ontologis dari debus.

Helmy Faizi Bahrul Ulumi dalam tesisnya yang berjudul Magi Orang

Banten dalam Perspektif Ontologi (Studi Kasus di Kecamatan Ciomas

Serang-Banten) tahun 2004 menyelidiki ontologi yang terkandung dalam

magi Orang Banten. Pengungkapan ontologi yang terlandung di dalamnya

dibatasi pada persoalan-persoalan ontologi dalam magi. Meskipun magi

merupakan salah satu unsur yang terkandung di dalam debus, tetapi Ulumi

tidak sedikitpun menyinggung persoalan tentang debus.

Penelitian dengan judul Dimensi Ontologis Debus; Sumbangannya

Bagi Pembentukkan Identitas Budaya Masyarakat Banten (Studi Kasus di

Walantaka, Kota Serang, Provinsi Banten), jika dilihat dari objek formalnya,

yakni ontologi, ini orisinil sehingga dapat dipertanggungjawabkan

keasliannya. Bahkan jika objek material dalam penelitian ini diperluas lagi—

hanya persoalan tentang debus, penelitian ini dapat dikatakan baru, karena

penulis belum menemukan satu karya pun yang membahas tentang dimensi

ontologis debus.

4. Manfaat Penelitian

a. Bagi Ilmu Pengetahuan

Penelitian ini berguna untuk pengembangan ilmu pengetahuan, yaitu

proses perkembangan debus sebagai salah satu budaya daerah Banten yang

10

bersentuhan secara langsung dengan kehidupan masyarakat dalam

perspektif filosofis, yakni ontologi.

b. Bagi Perkembangan Filsafat

Penelitian ini sangat bermanfaat bagi pengembangan studi, khususnya

pemikiran ontologi yang terkait dengan pengembangan wacana baru dalam

menelaah hakikat debus yang ada di sekitar kehidupan masyarakat Banten

khususnya dan masyarakat Indonesia secara umum, sehingga dapat

memperkaya pembendaharaan informasi tentang kajian ontologi di

Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Sumbangan bagi

perkembangan filsafat bahwa masih banyak sumber kajian filosofis yang

dapat dijadikan alternatif pemecahan masalah dalam kehidupan.

c. Bagi Masyarakat

Penelitian ini juga diharapkan bermanfaat bagi masyarakat pada

umumnya, karena disaat kehidupan manusia dikuasai oleh gaya hidup

globalisasi yang cenderung melupakan kelestarian budaya, maka

pemahaman atas ontologi debus merupakan kebutuhan intelektualitas

sekaligus spiritualitas untuk mengisi kekosongan jiwa manusia.

d. Bagi Pembangunan Bangsa Indonesia

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pembangunan

bangsa dan negara, karena penelitian ini dapat memperkaya khazanah

filosofis sehingga mampu menganalisis persoalan ontologi dalam debus

pada kehidupan bermasyarakat secara menyeluruh, berbangsa dan

bernegara.

11

B. Tujuan Penelitian

Penelitian ini berobjek material debus Banten, sedangkan objek

formalnya adalah ontologi, dan tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengungkap dan mendeskripsikan hakikat debus Banten.

2. Menemukan dimensi ontologis dalam debus Banten.

3. Merefleksikan dan menemukan secara kritis dan heuristik sumbangan

ontologi debus bagi pembentukkan identitas budaya masyarakat Banten.

C. Tinjauan Pustaka

Kesenian tradisional yang berkembang pesat di Serang maupun di Banten

secara umum erat kaitannya dengan penyebaran agama. Jika di kalangan

masyarakat Tionghoa dikenal kesenian Barongsay, maka di kalangan

penduduk yang beragama Islam mengenal bermacam-macam kesenian

daerah. Tercatat sekitar 35 jenis kesenian rakyat yang sebagian besar masih

bertahan di daerah Serang, Banten, seperti: Debus, Saman, Angklung Buhun,

Ubrug, Beluk, Terebang Gede, Wawacan Syekh dan sebagainya (Hakim,

2006: 209).

Kesenian tradisional yang ada di Banten pada umumnya berkembang

secara turun temurun yang tidak terlepas dari nafas keagamaan yang ada di

daerah Banten (Aminudin, 1993: 3). Kesenian tradisional debus tidak terlepas

dari perkembangan agama Islam di pulau Jawa khususnya di Banten.

Pertumbuhan debus di Banten bersamaan dengan bangkitnya perlawanan

masyarakat Banten terhadap kekuasaan Belanda yang ingin menguasai

Banten pada abad ke-16 (Hadiningrat, 1982: 9).

12

Debus merupakan salah satu kesenian yang ada di Banten yang hingga

saat ini masih ada dan dilestarikan serta sudah sangat dikenal di seluruh

nusantara bahkan di mancanegara. Pengertian debus pada awalnya sesuai

dengan asal kata dari bahasa Arab dabbus yang berarti “jarum”. Pengertian

ini muncul dilihat dari alat yang digunakan pada saat permainan debus

dilakukan yang berbentuk seperti jarum besar, yang kemudian disebut gada

dengan alat pemukulnya yang terbuat dari kayu yang berbentuk palu.

Permainan debus awalnya memang hanya berkisar pada permainan gada

tersebut, tetapi debus dari masa ke masa terus berkembang dan debus pada

masa sekarang ini sudah terdapat puluhan macam perguruan yang terdiri dari

berbagai aliran. Semua aliran itu mengatasnamakan debus (Ibrahim, kutipan

konferensi pers tentang debus pada 19 Agustus 2009).

Meskipun kata debus sangat akrab dan populer dikalangan penduduk

Banten, bahkan Indonesia, namun asal-usul dan arti dasar dari kata debus

tidak dikenal secara luas. Bahkan para pemain debus sendiri banyak yang

tidak mengetahui artinya, sehingga pemberian arti debus banyak dilakukan

secara serampangan dan tidak diketahui secara pasti. Debus berdasarkan dari

penuturan responden dan beberapa referensi yang ada sering dimaknai

sebagai “tembus”, “ora tembus” dan “dada tembus”, bahkan ada yang

mengatakan bahwa debus itu kependekan dari “Dzikiran, Batin dan

Shalawat” (Hudaeri, 2010: 12).

Kesenian debus merupakan salah satu seni kekebalan pada diri seseorang

terhadap sepotong besi tajam untuk melukai diri sendiri. Makna kata debus,

13

oleh sebagian ahli berasal dari bahasa Arab yang berarti sepotong besi tajam

(Arifin, 1993: 1).

Ada beberapa pendapat yang berbeda tentang debus. Pertama, debus

merupakan pencak silat yang berhubungan dengan ilmu kekebalan sebagai

refleksi sikap masyarakat Banten untuk mempertahankan diri. Debus sejenis

kekebalan yang dimiliki oleh seseorang terhadap benda tajam. Kedua, debus

merupakan kekuatan gaib atau ajaib yang tahan terhadap benda tajam,

tusukan, pukulan dan dibakar oleh api. Ketiga, ada orang yang berpendapat

bahwa debus sama dengan permainan sulap, yaitu karena kepandaian pemain

debus dalam melakukan trik-trik untuk mengelabui penonton terhadap atraksi

orang yang ditusuk tidak mengakibatkan luka (Tim Penyusun, 2002: 7).

Beberapa literatur yang ditulis oleh orang asing seperti Vredenbregt

(1973), Bruinesseen (1984, 1995) dan yang ditulis oleh orang Indonesia

seperti Aminuddin (1993) dan Tim Studi Pengembangan Kesenian

Tradisional Serang (1989), memperlihatkan bahwa debus adalah suatu

permainan yang telah berkembang sejak masa Kesultanan Banten Sultan

Ageng Tirtayasa (abad 17), dengan tujuan membangkitkan semangat juang

pasukan Banten dalam melawan penjajah Belanda.

Kesenian debus Banten tercipta pada masa Kesultanan Maulana

Hasanudin Banten. Debus, pada masa itu dimanfaatkan untuk alat berdakwah

dan menyebarkan agama Islam kepada masyarakat Banten yang kala itu

masih menganut agama Hindu dan Budha atau bahkan masih banyak yang

menganut kepercayaan-kepercayaan tradisional (Mashuri, 1998: 15).

14

Ibrahim (1997: 156) menuliskan hal senada bahwa debus pada masa

pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa pada abad ke-17 (1651-1652)

difokuskan sebagai alat untuk membangkitkan semangat para pejuang dalam

melawan penjajah Belanda. Oleh karena itu kesenian debus lebih bersifat

kesenian beladiri dan pemupukan rasa percaya diri. Sultan Ageng Tirtayasa,

dalam rangka mempertebal semangat prajurit dan pejuang-pejuang Banten,

memberikan suatu pengetahuan tentang ilmu kekebalan tubuh kepada para

pengikutnya dengan memberikan pelajaran ayat-ayat suci Al-Quran. Ayat-

ayat tersebut dihafalkan dan diresapi secara mendalam sehingga dapat

mempertebal semangat moral dalam melawan penjajah Belanda. Oleh karena

itu lahirnya debus di daerah Banten adalah sebagai akibat adanya perlawanan

rakyat Banten terhadap Belanda yang dilandasi oleh ajaran agama Islam

sebagai pembentuk semangat dan keyakinan dalam melakukan perjuangan.

Pengaruh Islam cukup kuat dalam masa kesultanan Banten, sehingga

berpengaruh dalam perkembangan kesenian tradisional di Serang, Banten.

Kesenian tradisional Banten sedikit demi sedikit disisipkan ajaran Islam, hal

ini karena merupakan salah satu sarana yang cukup potensial dalam kesenian

tradisional. Debus merupakan kesenian yang tumbuh dan berkembang di

sebagian besar wilayah Banten, seperti Kabupaten Serang, Kabupaten

Pandeglang dan Lebak. Debus, khusus di Kabupaten Serang berkembang di

wilayah Kecamatan Walantaka, Kecamatan Cikeusal, Kecamatan Cikande

dan Kecamatan Ciruas (Aminudin, 1993: 3).

15

Debus sekarang ini telah menjadi hiburan rakyat yang menjadi tontonan

pada acara-acara tertentu seperti resepsi pernikahan dan khitanan. Debus kini

seolah menjadi simbol dari kesenian rakyat Banten, yang sering

dipertunjukkan pada acara-acara formal pemerintah Banten, seperti pada

penyambutan tamu-tamu penting dari dalam maupun luar negeri (Hudaeri,

2010: 5).

D. Landasan Teori

Maksud ontologi adalah menyatukan seluruh kenyataan dalam satu visi

menyeluruh, menurut intinya yang paling mutlak (Bakker, 1992: 15).

Ontologi atau metafisika, dalam bahasa yang lain menurut Bakker adalah

cabang filsafat yang menyelidiki dan menggelar gambaran umum tentang

struktur realitas yang berlaku mutlak dan umum (Siswanto, 2004: 2-7). Untuk

sampai kepada pemahaman yang demikian, maka berpikir secara ontologis

menurut Taylor ( 1874) harus menghindari sikap yang arbitarianisme dan

dogmatisme terhadap problem-problem dasar yang fundamental. Oleh karena

itu untuk menemukan suatu visi yang menyeluruh harus dihindari suatu

pemikiran yang menjurus kepada bentuk ekstrimitas (Siswanto, 2010: 6).

Ontologi merupakan dasar filsafat, oleh karena itu ontologi

mempertanyakan prinsip-prinsip pertama. Seseorang harus menjaga dua sikap

sekaligus apabila manusia menginginkan untuk bermetafisika, yaitu mencoba

menjawab pertanyaan itu sendiri, kemudian menemukan beberapa asumsi

tersembunyi dibalik pertanyaan tersebut (Sontag, 2002: 1-15).

16

Ada tiga persoalan yang merujuk pada hal yang sama, yaitu filsafat

pertama, metafisika umum dan ontologi. Filsafat pertama menyelidiki

pengandaian-pengandaian paling mendalam dan paling akhir dalam

pengetahuan manusia, yang mendasari segala macam pengetahuan dan segala

usaha filsafat lainnya. Metafisika umum adalah usaha untuk menyatukan

seluruh kenyataan ke dalam satu visi menyeluruh menurut intinya yang paling

mutlak. Ontologi adalah usaha mengkaji ”yang-ada sebagai yang-ada, dengan

seada-adanya” (a being as being, pengada sekedar pengada). Ketiga term ini

dapat digunakan tanpa dibedakan, kecuali sejauh ingin ditunjukkan dengan

tepat salah satu segi tertentu (Bakker: 1992: 14-16).

Christian Wolff, salah satu tokoh penting rasionalisme pada abad ke-17,

memperkenalkan istilah ontologi. Wolff membagi metafisika kedalam dua

cabang besar. Pertama, metafisika umum yang kemudian disebut ontologi.

Metafisika dalam hal ini menyelidiki “yang-ada sebagai yang-ada” (being just

that-being) dengan perspektif yang lebih luas, oleh karena itu kemudian

disebut dengan metafisika umum. Kedua, metafisika khusus yang terdiri atas

kosmologi metafisik, psikologi rasional dan teologi natural (Siswanto,

2004:5).

Crusius menegaskan bahwa metafisika menyangkut kebenaran yang

niscaya. Crusius mengecualikan filsafat praktis dari metafisika karena dalam

filsafat praktis tidak begitu dipisahkan antara kebenaran niscaya dan

kebenaran yang bersifat kontingen. Crusius mengikuti pembagian Wolff,

tetapi dengan urutan yang sedikit berbeda, yakni ontologi, teologi, kosmologi

17

dan pneumatologi. Metafisika dapat dikatakan sebagai sebuah usaha

sistematis, reflektif dalam mencari hal yang ada dibelakang hal-hal yang fisik

dan bersifat partikular. Itu berarti usaha mencari prinsip dasar yang mencakup

semua hal. Yang-ada merupakan prinsip dasar yang dapat ditemukan pada

semua hal. Metafisika adalah ilmu tentang yang-ada yang bersifat universal

atau ilmu tentang yang-ada qua yang-ada (Bagus, 1991: 20).

Ontologi bergerak diantara dua kutub, yakni kutub pengalaman akan

kenyataan konkrit dan kutub pra-pengertian “mengada” yang paling umum.

Pra-pengetahuan itu timbul karena kemustahilan akan ketidak-dapat-

dipertanyakan-nya segala sesuatu, dengan kata lain, jika suatu (kenyataan

konkrit) itu sama sekali tidak dikenal, maka mustahil ia akan dipertanyakan.

Kedua kutub tersebut, dalam refleksi ontologis saling menjelaskan. Atas dasar

pengalaman tentang kenyataan akan semakin disadari dan dieksplisitasikan

arti dan hakikat “mengada”. Sebaliknya, pra-pemahaman tentang cakrawala

“mengada” akan semakin menyoroti pengalaman konkrit itu dan membuatnya

terpahami sungguh-sungguh (Bakker, 1992: 21).

Bakker (1992) dalam bukunya yang berjudul Ontologi atau Metafisika

Umum menjelaskan bahwa ontologi atau metafisika sebagai filsafat pengada

atau dasar-dasar kenyataan. Metafisika tetap dianggap sebagai filsafat tentang

yang-ada atau pengada. Persoalan dasar pengada diantaranya adalah apakah

pengada itu banyak atau satu? Apakah pengada memiliki ciri homogal yang

bersifat transendental? Apakah pengada memiliki permanensi atau

kebaharuan? Apakah pengada berdimensi jasmani atau rohani? Apakah

18

kehadiran pengada itu bernilai atau tidak? Apakah dalam pengada ditemukan

norma ontologis transendental yang berlaku untuk semua? (Siswanto, 2004:

23). Dimensi ontologis debus akan dikupas berdasarkan fokus persoalan-

persoalan ontologi dari Bakker, namun tidak semua persoalan bisa digunakan,

karena dalam penelitian ini hanya akan dipaparkan beberapa persoalan

ontologi yang relevan dengan debus.

E. Metode Penelitian

1. Bahan atau Materi Penelitian

Penelitian ini merupakan bentuk penelitian kualitatif bidang filsafat

yang bersumber dari data pustaka. Bahan dan materi penelitian ini akan

diperoleh melalui penelusuran pustaka yaitu dari buku-buku yang berkaitan

dengan debus Banten dan ontologi. Setelah diperoleh data pustaka, kemudian

pustaka terbagi menjadi dua yaitu pustaka primer dan pustaka sekunder.

a. Bahan Primer

Kepustakaan primer merupakan sumber-sumber utama dari bahan

dan objek material penelitian. Pustaka primer yang digunakan adalah

sebagai berikut:

1) Buku karya Mohamad Hudaeri dengan judul Debus dalam Tradisi

Masyarakat Banten. 2010. FUD Press. Banten

2) Buku karya K.Hadiningrat dengan judul Kesenian Tradisional

Debus. 1981. Depdikbud. Jakarta

3) Buku Karya Lukman Hakim dengan judul Banten dalam Perjalanan

Jurnalistik. 2006. Banten Heritage. Banten

19

4) Data yang diperoleh dari penelitian lapangan

b. Bahan Sekunder

Kepustakaan sekunder merupakan sumber-sumber tambahan yang

berhubungan dengan tema dalam penelitian ini. Kepustakaan sekunder

berasal dari data yang diperoleh dari penelitian lapangan dan berbagai

informasi terkait dari beberapa media yang mencakup, buku, majalah,

jurnal, dokumen, data internet dan sumber-sumber lainnya yang penulis

temukan dalam proses penelitian tesis ini. Data sekunder berupa pustaka

buku adalah sebagai berikut:

1) Buku karya Anton Bakker yang berjudul Ontologi atau Metafisika

Umum; Filsafat Pengada dan Dasar-Dasar Kenyataan. 1992.

Kanisius. Yogyakarta

2) Buku karya Federick Sontag yang berjudul Problems of Metaphysics.

1970. Chandler Publishing Company. Pennsylvania

3) Buku karya C.H. Whiteley, M.A yang berjudul An Introduction to

Metaphysics. 1950. Methuen & CO. Ltd. London

4) Buku karya Lorens Bagus yang berjudul Metafisika. 1991.

Gramedia. Jakarta

5) Buku karya W.H. Walsh yang berjudul Metaphysics. Hutchinson

University Library. London

6) Buku karya Alan R. White yang berjudul Methods of Metaphysics.

Croom Helm. London

20

2. Jalannya Penelitian

Penulis dalam penelitian ini mencoba untuk memahami objek materi

baik secara tekstual maupun kontekstual, kemudian penulis akan

menganalisisnya menggunakan objek formal dan menyampaikannya kembali.

Langkah yang diambil dalam penelitian ini berjalan berdasarkan tahap demi

tahap yaitu sebagai berikut:

a. Inventarisasi Data

Inventarisasi data; data tentang ontologi dan debus Banten yang

telah dikumpulkan dari penelitian kepustakaan dan lapangan itu

kemudian diseleksi dan direduksi untuk mendapatkan maknanya yang

esensial sesuai dengan ciri objek material debus dan ciri objek formal

ontologi.

b. Sistematisasi Data

Data yang telah diinventarisasi kemudian disistematisasi

berdasarkan sifat dan kedalaman materi yang berhubungan dengan objek

materi dan objek formal agar penggunaan data bisa lebih efektif dan

efisien.

c. Klasifikasi Data

Klasifikasi data; yaitu setelah dilakukan reduksi data kemudian data

dikelompokkan berdasarkan objek formal penelitian berupa landasan

ontologis, epistemologis dan aksiologis ontologi, serta objek material

penelitian berupa hakikat debus.

21

d. Analisis Data

Data yang telah diklasifikasikan mulai dianalisis sesuai dengan

rumusan masalah dan tujuan penelitian.

e. Penyajian Data

Memaparkan hasil analisis secara sistematis dan teratur berdasarkan

sub-sub bab yang telah ditentukan sebelumnya. Penyajian data diawali

dari pokok-pokok pikiran atau unsur-unsur yang paling mendasar dan

sederhana, kemudian menuju pokok pembahasan yang lebih kompleks.

3. Analisis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode dan unsur-unsur metodis yang

mengacu pada buku yang ditulis oleh Anton Bakker dan Achmad Charris

Zubair (1990:114-119), yaitu sebagai berikut:

a. Metode hermeneutika, yakni proses interpretasi dilanjutkan dengan

proses analisis hermeneutika untuk menangkap makna esensial dengan

melakukan penafsiran terhadap debus sehingga esensi dan hakikat dalam

debus dapat dipahami sesuai dengan waktu dan konteks keadaan sekarang

dengan unsur-unsur metodis sebagai berikut:

1) Deskripsi, penulis melakukan deskripsi dan penguraian secara rinci

tentang debus mulai dari pengertian, sejarah, komponen, unsur-unsur

dan nilai-nilai yang terangkum dalam praktik pagelaran debus

sehingga didapatkan pemahaman tentang hakikat debus secara jelas.

22

2) Analisis, usaha menguraikan fenomena umum dalam debus untuk

mengetahui unsur-unsur yang lebih bersifat khusus sehingga

diperoleh pengertian tentang hakikat debus yang komprehensif.

3) Refleksi, data yang telah dikomparasikan kemudian diberi

interpretasi baru sehingga memunculkan pemahaman baru tentang

debus Banten dari aspek ontologi.

b. Metode heuristika, metode ini digunakan untuk menemukan suatu

paradigma baru dari persoalan seni debus Banten yang kemudian

diharapkan dapat berperan bagi budaya kontemporer yang semakin

kompleks dan heterogenitas di Indonesia

F. Sistematika Penulisan

Hasil penelitian ini akan dilaporkan dalam enam bab, yaitu sebagai berikut:

Bab pertama berisi tentang latar belakang dilakukannya penelitian ini,

rumusan masalah yang hendak dijawab, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan

terhadap pustaka sebelumnya, landasan teori dan metode yang digunakan dalam

melakukan penelitian ini.

Bab kedua berisi tentang lingkup kajian ontologi lengkap dengan

pembahasan terperinci tentang konsep dasar tentang istilah filsafat pertama,

ontologi dan metafisika, terminologi ontologi dan metafisika, penjelasan tentang

ontologi; sebuah kajian tentang hakikat, pemaparan persoalan-persoalan dalam

ontologi menurut pandangan Anton Bakker dan pandangan Frederick Sontag,

Aliran-aliran utama ontologi seperti Monisme, Pluralisme, Idealisme, Realisme,

Materialisme, Vitalisme, Pragmatisme dan Eksistensialisme.

23

Bab ketiga berisi tentang uraian tentang lingkup kebudayaan dan kesenian

debus Banten yang disertai pembahasan secara terperinci tentang dimulainya

uraian singkat dan sistematis tentang sejarah Banten, pengertian debus, sejarah

perkembangan debus, unsur-unsur dalam debus seperti religiusitas debus, prinsip

keyakinan dalam debus, instrumen, tahapan-tahapan dalam proses ritual pada

pelaksanaan debus Banten dan keanggotaan debus dan bab ini diakhiri dengan

pemaparan tentang jenis-jenis atraksi pada pagelaran debus Banten.

Bab keempat merupakan uraian dan inti pembahasan dalam penelitian serta

analisis kritis yang diawali tentang identitas budaya masyarakat Banten,

pandangan pemain debus tentang Tuhan, manusia dan alam, pokok-pokok

Ontologi dalam debus Banten, seperti persoalan prinsip pertama menurut

pandangan pemain debus, kuantitas pengada, apakah pengada memiliki

permanensi atau kebaruan?, apakah pengada berdimensi jasmani atau rohani?,

norma ontologis dalam debus, tinjauan kritis yang berisi pembahasan tentang,

ontologi debus; yang-ada berhubungan dengan yang-transenden, debus sebagai

suatu bentuk kekuatan supernatural atau kekuatan manusia dan prinsip keyakinan

sebagai landasan kekebalan dalam ontologi debus dan diakhiri dengan kritik

ontologis terhadap debus. Analisis kritis akan berusaha ditampilkan seperti yang

diharapkan dalam analisis hasil, yaitu deskripsi, analisis, kesinambungan historis,

refleksi dan hermeneutika.

Bab kelima berisi tentang relevansi ontologi debus Banten dengan

pembentukan identitas budaya masyarakat Banten, dengan pembahasan lebih rinci

yang diawali dengan krisis identitas budaya masyarakat Banten di era globalisasi,

24

kesenian dan kebudayaan debus dalam pembentukan identitas budaya masyarakat

Banten, fungsi pandangan ontologis debus dalam kehidupan masyarakat Banten,

peran dan posisi ontologi debus bagi perkembangan seni dan budaya debus di

Banten.

Bab keenam berisi tentang kesimpulan yang merupakan jawaban dan

analisis singkat atas fenomena dalam debus yang mengacu pada rumusan masalah

dan tujuan penelitian, sehingga sedapat mungkin akan ditemukan kesesuaian

antara rumusan masalah, tujuan, analisis pembahasan dan hasilnya serta untuk

melihat benang merah hakikat debus dalam perspektif ontologi dan relevansinya

bagi pembentukkan identitas budaya masyarakat Banten.