bab i pendahuluan a. alasan pemilihan judul modal sosial
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Alasan Pemilihan Judul
Modal sosial memang bukan sebuah ‘barang baru’ di jagat ilmu sosial,
namun konsep modal sosial itu sendiri tetap memiliki pengaruh yang sangat kuat
seiring dengan perkembangan peradaban manusia. Gagasan mengenai modal
sosial kemudian juga banyak mempengaruhi para peneliti dan pemikir ilmu sosial.
Penggunaannya dalam kehidupan umat manusia ditunjukkan dalam hasil
penelitian-penelitian yang dilakukan oleh ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu,
bahwa modal sosial dapat memberikan manfaat bagi pertumbuhan ekonomi,
politik, pendidikan, kesehatan, atau bahkan kriminalitas (John Field, 2003). John
Field dalam pengantar bukunya yang berjudul Social Capital, berpendapat bahwa
pemaknaan modal sosial tidaklah sulit, bahkan dapat diringkas dalam dua kata:
soal hubungan. Kemudian hal tersebut dia perjelas dengan mengatakan:
“Setiap manusia berhubungan melalui serangkaian jaringan dan mereka cenderung
memiliki kesamaan nilai dengan anggota lain dalam jaringan tersebut; sejauh
jejaring tersebut menjadi sumber daya, dia dapat dipandang sebagai modal. ... Jadi,
secara umum, ini berarti bahwa semakin banyak Anda mengenal orang, dan semakin
banyak Anda memiliki kesamaan cara pandang dengan mereka, maka semakin kaya
modal sosial Anda.”
Pernyataan tersebut membenarkan suatu tanggapan mengenai hakikat
manusia adalah sebagai makhluk sosial, dimana setiap manusia tidak dapat hidup
tanpa berkomunikasi dan menjalin hubungan dengan manusia lainnya. Hal ini
pula yang memunculkan sebuah paradigma yang mengedepankan partisipasi aktif
masyarakat sebagai kesatuan yang utuh, untuk mengelola sumber daya dalam
rangka melaksanakan pembangunan, dan paradigma tersebut adalah paradigma
pemberdayaan masyarakat (Community Empowerment). Konsep pemberdayaan
masyarakat ini bertujuan untuk mengubah kondisi masyarakat ke arah yang lebih
baik dengan memberikan kesempatan kepada kelompok masyarakat yang akan
diberdayakan untuk merencanakan dan menjalankan suatu program atas dasar
kebutuhan mereka. Tujuan yang ingin dicapai dari pemberdayaan masyarakat
(Community Empowerment) itu sendiri adalah untuk membentuk masyarakat yang
2
mandiri. Kemandirian tersebut meliputi kemandirian berpikir, bertindak dan
mengendalikan apa yang sesungguhnya dimaknai sebagai suatu masyarakat yang
mandiri (Ambar Teguh: 2004). Kemandirian dapat menjadi kekuatan utama bagi
masyarakat, karena apapun konsep yang digunakan dalam suatu program
pemberdayaan, kemandirian selalu menjadi wujud pencapaian ideal dari program-
program tersebut.
Dalam dimensi yang sama, Corporate Social Responsibility (CSR) juga
merupakan sebuah pintu masuk yang dapat dimanfaatkan bagi masyarakat untuk
memberdayakan diri sekaligus memperbaiki lingkungan mereka. Konsep yang
diterapkan dalam CSR, sangat erat kaitannya dengan pemberdayaan masyarakat
karena pada umumnya program-program CSR adalah mengenai isu pelayanan
masyarakat (community service), pemberdayaan masyarakat dan lingkungan
hidup. Kecenderungan selama ini menunjukkan bahwa, semakin banyak kalangan
akademisi maupun praktisi bisnis yang semakin menyadari pentingnya CSR. Hal
tersebut diakibatkan oleh tersingkapnya peranan masyarakat sebagai sumber dari
segala sumber daya yang dimiliki dan direproduksi oleh perusahaan.
Penilaian mengenai substansi dalam pemilihan judul di atas, yaitu:
1. Aktualitas
Perlahan tapi pasti, modal sosial mulai dilirik dan diperhatikan,
selain adanya modal ekonomi, modal alam, modal fisik, dan modal
manusia yang selama ini selalu diutamakan. Bahkan modal sosial mulai
dirasa merupakan unsur penting di dalam mencapai suatu tujuan program
pemberdayaan masyarakat (community empowerment) maupun CSR.
Aspek ekonomi dan manusia yang selama ini lebih diutamakan ternyata
belum mampu untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang
muncul dalam kehidupan bermasyarakat dan dalam memberdayakan
masyarakat. Oleh karenanya unsur modal sosial juga harus diperhatikan di
dalam mencapai suatu tujuan tertentu yang kaitannya dengan kehidupan
bermasyarakat. Keberadaan modal sosial identik dengan kehidupan
masyarakat pedesaan, di mana unsur budaya, kekeluargaan, dan gotong
royong masih cukup kuat karena modal sosial terkait dengan jaringan,
3
kepercayaan, dan institusi lokal. Sedangkan masyarakat perkotaan identik
dengan karakteristiknya yang heterogen dan individualistik, serta sebagai
masyarakat urban (migran) yang sebelumnya tidak saling mengenal,
sehingga kerap dipandang memiliki modal sosial yang minim. Padahal
sesungguhnya modal sosial dibutuhkan di segala sisi kehidupan
masyarakat, baik yang tinggal di perkotaan maupun pedesaan. Karena
modal sosial sangat penting perannya di dalam mencapai sebuah tujuan
bersama untuk kepentingan bersama pula, terlebih bagi kelompok
masyarakat yang terikat pada asosiasi sengaja (gemeinschaft) seperti
kelompok masyarakat sasaran program CSR.
Tanggungjawab sosial perusahaan (CSR) itu sendiri menjadi sebuah
isu yang hangat dalam beberapa tahun terakhir ini. Melihat kembali pada
lahirnya UU No. 40 tahun 2007 sebagai kekuatan konstitusional dalam
pelaksanaan program CSR. Walaupun dalam prakteknya memang masih
dijumpai berbagai corak implementasi yang dilaksanakan oleh berbagai
perusahaan, namun dalam prinsip ilmu pengetahuan dijelaskan bahwa
pengetahuan itu akan selalu berkembang mengikuti perkembangan
peradaban manusia itu sendiri. Oleh karena itu secara akademis pengkajian
terhadap berbagai model program CSR menjadi sebuah bentuk studi yang
aktual. Selain itu spesifikasi pengkajian yang dilakukan dalam studi ini
adalah mengenai kondisi keberdayaan masyarakat sasaran program CSR
tersebut, dimana mobilitas sosial masyarakat yang terus bergerak secara
dinamis tentu akan menumbuhkan benih gerakan sosial baru yang dapat
menghambat pelaksanaan implementasi program CSR tersebut. Sehingga
pengkajian mengenai kondisi sosial masyarakat sasaran perlu dilakukan
secara berkala dan kontinyu.
Modal Sosial yang merupakan isu lama akan menjadi menarik ketika
dikaitkan dengan CSR, karena kekuatan dari modal sosial dapat
memberikan pengaruh yang signifikan bagi survival strategy masyarakat
pada umumnya maupun masyarakat sasaran program CSR, yang nantinya
akan berdampak pada tujuan utama program CSR yakni kemandirian
masyarakat dan program CSR yang berkelanjutan (sustainable).
4
2. Orisinalitas
Penelitian mengenai program-program Corporate Social
Responsibility (CSR) di PT. Badak NGL memang sudah banyak
dilakukan, salah satu diantaranya yaitu penelitian oleh Ginanjar Tamimy
(2003): “KEMISKINAN YANG TAK TERSENTUH (Studi Tentang
Dinamika Pelaksanaan Corporate Social Responsibility Pada Daerah
Terdekat Perusahaan Besar di Bontang Kalimantan Timur)”. Dalam
penelitian ini terlihat jelas latar belakang isu sosial yang diangkat adalah
mengenai wajah dari pelaksanaan CSR yang dilaksanakan oleh PT Badak
NGL terkait dengan multiplier effect dari PT Badak, serta relasi yang
terjadi antara pemerintah, perusahaan, dan masyarakat dalam pelaksanaan
CSR, yang berdampak pada tidak tersentuhnya suatu daerah terdekat
perusahaan. Namun, penelitian yang disuguhkan oleh peneliti kali ini
memiliki fokus kajian yang berbeda, yakni melakukan pembahasan
mengenai pengaruh modal sosial dalam keberlanjutan program ternak
mandiri di PT Badak NGL dan baru pertama kali dilakukan.
3. Relevansi dengan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSdK) memiliki
tiga konsentrasi keilmuan, yakni Kebijakan Sosial (Social Policy),
Pemberdayaan Masyarakat (Community Empowerment), dan CSR
(Corporate Social Responsibility). Penelitian ini mengkaji mengenai
pengaruh modal sosial dalam keberlanjutan program CSR. Oleh karena
itu, penelitian akan bersentuhan dengan pemberdayaan masyarakat dan
juga CSR terkait fungsinya sebagai sarana penyalur modal sosial. Dengan
demikian, penelitian ini menjadi sangat relevan dengan konteks keilmuan
Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan.
B. Latar Belakang
Seiring perkembangan sejarah umat manusia, peran industri tampak jelas
dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan umat manusia yang
berbanding lurus dengan jumlah pertumbuhan penduduk bumi ini yang semakin
meningkat sehingga dampak yang ditimbulkan oleh sektor industri pun semakin
5
besar pula. Layaknya sebuah koin, dampak positif dan negatif dari industrialisasi
hanyalah berbeda sisi depan dan belakang. Pada satu sisi, sektor industri atau
korporasi terutama skala besar telah mampu memberikan kontribusi terhadap
pertumbuhan ekonomi nasional dan pemenuhan kebutuhan hidup umat manusia.
Namun, pada sisi lainnya eksploitasi sumber-sumber daya alam dan manusia oleh
sektor industri seringkali menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan,
minimnya upah tenaga kerja yang layak, marginalisasi tenaga kerja lokal, dan
terlupakannya perlindungan sosial bagi tenaga kerja maupun masyarakat sekitar
perusahaan.
Guna menyikapi dampak kerusakan lingkungan yang kemudian
memunculkan isu pemanasan global, banyak pihak di seluruh dunia yang gencar
menyerukan pemanfaatan energi yang lebih bersih untuk pengembangan hidup
yang berkelanjutan. Hal ini dibuktikan dengan maraknya pengenalan terhadap
energi-energi alternatif seperti biosolar, panel surya, listrik, biogas, LNG, rumput
laut dan lainnya. LNG (Liquefied Natural Gas) atau gas alam cair menjadi salah
satu alternatif sumber energi yang lebih bersih di Indonesia. LNG dipilih menjadi
energi alternatif karena sangat efisien untuk di distribusikan dan fasilitas
pengolahan maupun produksi LNG telah ada di dalam negeri sejak lama. LNG
merupakan perubahan bentuk gas alam menjadi cair. Gas alam akan berubah
menjadi cair jika melalui proses pendinginan dengan suhu sekitar -156 °C. Proses
ini mengakibatkan volume gas alam cair menjadi 600 kali lebih kecil
dibandingkan volume gas alam, sehingga membuat gas alam cair menjadi lebih
efektif untuk didistribusikan. LNG pun menawarkan kepadatan energi yang
sebanding dengan bahan bakar petrol dan diesel, dimana konsumsi LNG 0,62 juta
ton/tahun diperkirakan dapat menggantikan konsumsi solar non subsidi sebesar
1,62 juta kiloliter/tahun, dan juga lebih bersih karena dapat mengurangi emisi
sekitar 85% jika dibandingkan dengan bensin dan solar (Situs resmi Kementerian
Energi dan Sumber Daya Mineral, 2012).
Menurut U.S. Energy Information Administration (EIA) tahun 2002,
menyebutkan bahwa Indonesia merupakan produsen dan eksportir gas alam cair
terbesar di dunia (U.S. Energy Information Administration: 2002). Pemerintah
6
juga merintis untuk memanfaatkan gas alam cair untuk bahan bakar bagi sektor
transportasi dan rumah tangga. Salah satu perusahaan yang dipercaya pemerintah
dalam memproduksi maupun memasok kebutuhan LNG baik di luar negeri
maupun dalam negeri, tidak lain adalah PT. Badak NGL (PTB). Pada 7 Agustus
2012, sebagai bentuk komitmen dalam merintis pemanfaatan LNG ini, PTB
melakukan uji coba penggunaan LNG untuk kendaraan operasional perusahaan.
Selain itu, uji coba juga dilakukan pada tiga unit kompor rumah tangga. Hal ini
diharapkan dapat menekan konsumsi BBM, mengurangi subsidi sehingga dapat
menghemat devisa negara di masa mendatang.
Selayaknya perusahaan pada umumnya, PTB juga diwajibkan menjalankan
tanggung jawab sosial perusahaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku, seperti UU No. 40 Tahun 2007 pada Pasal 74 ayat (1) mengenai
kewajiban melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan oleh setiap
perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan
dengan sumber daya alam, serta ayat (2) mengenai alokasi dana Tanggung Sosial
dan Lingkungan sebagai biaya perseroan. Tanggung jawab Sosial dan lingkungan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kewajiban perusahaan yang
dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya
dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. Kemudian, pada ayat
(3) dinyatakan bahwa perseroan yang tidak melakukan kewajiban sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Kemudian Pasal 74 ayat (4) menyatakan bahwa ketentuan
lebih lanjut mengenai Tanggungjawab Sosial dan Lingkungan diatur dengan
Peraturan Pemerintah. Ketentuan ini bertujuan agar dapat menciptakan hubungan
perusahaan yang serasi, seimbang, berwawasan lingkungan, sesuai dengan nilai,
norma dan budaya masyarakat setempat. Munculnya peraturan-peraturan tersebut
juga berpengaruh pada memudarnya pandangan-pandangan yang sebelumnya
melihat praktek CSR sebagai suatu kesukarelaan dari suatu perseroan.
PTB memperoleh anggaran tanggung jawab sosial-nya dengan menyisihkan
dana operasi rata-rata Rp 8 – 10 miliar per tahun untuk Program Community
Development (Comdev) yang merupakan bagian dari operating cost dan dikelola
7
oleh Hubungan Pemerintahan dan Masyarakat (Hupmas) (Sustainability Report
PT. Badak NGL: 2009). Kegiatan Comdev PTB pada umumnya dibagi dalam
bentuk kegiatan (1) Community Empowerment seperti Dana Bergulir; Mitra
Binaan; Pelatihan dan Keterampilan, (2) Community Service, seperti Infrastruktur;
Pendidikan; Keagamaan; Kesehatan; Pemberdayaan Masyarakat; Pemuda, olah
raga, kesenian dan kebudayaan; Dukungan kepada Pemerintah dan Masyarakat.
Salah satu bentuk program Comdev dalam bentuk kegiatan Community
Empowerment yang dijalankan yakni Program Ternak Mandiri. Awal mula
terbentuknya program ini didasari kesulitan yang dialami oleh pihak Lembaga
Amil Zakat Yaumil (Laz Yaumil) dalam memperoleh sapi potong untuk hewan
qurban. Pekerja PT. Badak NGL yang terdiri dari pekerja tetap sebanyak 1.331
orang dan tenaga kerja outsourcing sebanyak 2.200 orang (kondisi akhir tahun
2008), sekiranya membutuhkan sapi qurban sekitar 3%-5% dari total jumlah
pekerja. Guna memenuhi kebutuhan tersebut, pihak Laz Yaumil mencari
kelompok masyarakat yang dirasa tepat untuk menjalankan program Ternak
Mandiri ini dan ketika itu beberapa warga di Desa Suka Rahmat menjadi pilihan
Laz Yaumil. Saat ini program ternak mandiri memiliki 2 kelompok binaan,
dimana kelompok binaan ini merupakan kelompok masyarakat kurang mampu
yang berprofesi sebagai petani, buruh lepas, dan pemulung. Kelompok binaan ini
nantinya akan dititipkan bibit sapi potong untuk digemukkan dan kemudian dijual.
Program ini bekerjasama dengan yayasan binaan PTB yakni Laz Yaumil, sebagai
fasilitator penjualan sapi yang telah digemukkan oleh kelompok ternak mandiri.
Selain bibit sapi, para peternak tersebut juga mendapatkan bantuan dana bergulir
dari BMT Mitra Amanah (lembaga mitra yang mengelola dana Comdev PTB).
Program penggemukan sapi ini terbagi di dua lokasi, yaitu Desa Suka Rahmat
yang berlokasi di wilayah perbatasan Bontang dan Kutai Timur, serta Kelompok
An Nur, di Lhok Tuan, Bontang Utara. Sejak tahun 2011, Comdev PTB juga telah
mengembangkan usaha penggemukan sapi (Ternak Mandiri) dengan program
Biogas. Pengembangan program ternak mandiri ini sendiri bekerjasama dengan
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPT) Kalimantan Timur. Kemudian pada
bulan september tahun 2011, program biogas juga mengalami pengembangan
8
program, yakni pembuatan pupuk kompos dengan memanfaatkan ampas buangan
instalasi biogas.
Program Ternak Mandiri di wilayah Desa Suka Rahmat sudah berjalan sejak
tahun 2007, itu berarti hingga tahun 2012 ini, program tersebut sudah berlangsung
selama 5 tahun. Lamanya perjalanan program ini berlangsung tentu berkat
dukungan stakeholders yang terlibat dan sejumlah modal-modal yang terdapat
dalam program maupun kelompok sasaran program tersebut. Tentunya dalam
waktu yang cukup lama tersebut, akan ada hal-hal yang membuat para anggota
kelompoknya merasa terikat satu sama lain. Sebuah ikatan yang terbentuk dari
sebuah modal bersama yang telah ada ataupun baru dimiliki oleh masyarakat
sasaran program ketika mengikuti Program CSR Ternak Mandiri tersebut, yakni
ikatan oleh modal sosial. Solidaritas, trust, jaringan, maupun interaksi, semua hal
tersebut merupakan beberapa elemen-elemen penting dalam modal sosial. Modal
sosial menjadi penting dalam keberlanjutan program karena kemampuannya
dalam mengikat maupun menjembatani banyak orang sekaligus. Modal sosial juga
memiliki perbedaan yang unik dengan jenis modal lain, yang terletak pada proses
penggunaannya yaitu apabila suatu modal sosial digunakan secara terus menerus
maka modal ini tidaklah akan habis, bahkan sebaliknya, modal ini justru akan
semakin bertambah besar nilainya dan tumbuh kuat. Semakin kuatnya modal
sosial yang dimiliki oleh masyarakat akan berdampak positif pada mobilisasi
tujuan bersama masyarakat tersebut. Masyarakat jenis ini tentunya akan lebih
responsif dan dinamis ketika menjalankan suatu program pemberdayaan jika
dibandingkan dengan masyarakat yang lemah modal sosialnya.
Hal-hal yang sudah dijelaskan diatas sangatlah menarik perhatian dan
melatar belakangi peneliti untuk melakukan penelitian mengenai peran dari modal
sosial kelompok Ternak Mandiri Suka Rahmat dalam keberlanjutan program CSR
Ternak Mandiri. Untuk itulah peneliti bermaksud melakukan penelitian yang
berjudul “Peran Modal Sosial Dalam Keberlanjutan Program Corporate Social
Responsibility”, dengan harapan penelitian ini menghasilkan temuan penting
berkaitan dengan modal sosial yang terdapat pada masyarakat sasaran program
9
CSR (Ternak Mandiri) di Desa Suka Rahmat, Kecamatan Teluk Pandan,
Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan yang tertuang dalam latar belakang masalah,
permasalahan yang diangkat adalah mengenai peran modal sosial dalam
keberlanjutan program-program CSR Ternak Mandiri. Adapun rumusan
masalahnya adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana keberlanjutan program Corporate Social Responsibility
Ternak Mandiri di PT. Badak NGL (Kabupaten Kutai Timur,
Kalimantan Timur)?
2. Bagaimana modal sosial kelompok sasaran program Ternak Mandiri
dapat berperan dalam keberlanjutan program-program CSR tersebut?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan Penelitian
Suatu penelitian pada dasarnya dilaksanakan untuk memecahkan masalah.
Tujuan penelitian diperlukan agar penelitian yang dilakukan mempunyai arah
yang jelas dan sistematis. Dalam penelitian ini terdapat tujuan operasional dan
substansial, yaitu :
1. Tujuan Operasional
a. Penelitian ini ditujukan untuk menyusun skripsi sebagai syarat untuk
memperoleh gelar sarjana pada jurusan Pembangunan Sosial dan
Kesejahteraan.
b. Sebagai karya ilmiah, diharapkan penelitian ini dapat memberikan
kontribusi positif bagi pengembangan keilmuan Jurusan
Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan pada khususnya dan Ilmu
Sosial pada umumnya, serta bagi penelitian-penelitian lainnya yang
memiliki keterkaitan kajian penelitian.
10
2. Tujuan Substansial
Tujuan Substansial ini berkaitan dengan rumusan masalah penelitian,
yakni :
a. Untuk mengetahui keberlanjutan program CSR Ternak Mandiri PT.
Badak NGL di Desa Suka Rahmat, Kecamatan Teluk Pandan,
Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur.
b. Untuk mengetahui peran modal sosial kelompok sasaran program
Ternak Mandiri dalam keberlanjutan program CSR Ternak Mandiri.
Manfaat Penelitian
Selain memiliki tujuan, suatu penelitian juga harus memiliki manfaat.
Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Hasil pemikiran ini dapat dijadikan sumbangan pemikiran, masukan,
referensi sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan kebijakan
oleh perusahaan, pemerintah dan instansi terkait, dalam rangka
mengembangkan program CSR maupun program-program
pemberdayaan masyarakat lainnya.
2. Memberikan informasi mengenai situasi serta kondisi masyarakat
sasaran program CSR PT Badak NGL, yang diharapkan dapat menjadi
acuan peningkatan efektivitas maupun efisiensi program CSR di masa
mendatang.
3. Penelitian diharapkan bermanfaat bagi masyarakat, khususnya bagi
masyarakat sasaran program CSR.
E. Tinjauan Pustaka
Karena banyaknya definisi dan teori mengenai hal tersebut, maka untuk
mempermudah pemahaman mengenai modal sosial dan keberlanjutan program
CSR dalam konteks penelitian ini, peneliti menggunakan beberapa aspek yang
mengkerangkai pemikiran penelitian ini, yaitu :
11
1. Keberlanjutan Program CSR
Keberlanjutan suatu program tidak terlepas dari paradigma yang
digunakan ketika perencanaan program tersebut. Sebagai contoh, ketika
masa orde baru, ada sebuah paradigma pembangunan yang gencar
diekspresikan dalam setiap upaya pembangunan masyarakat maupun
ekonomi. Paradigma tersebut adalah paradigma pertumbuhan. Paradigma
ini dipelopori oleh Rostow (1960), yang mengedepankan politik
pembangunan dengan pendekatan pertahapan pembangunan. Ide dasar
yang ditawarkan oleh Rostow adalah pembangunan perlu dibuat dengan
pentahapan sehingga terdapat keberlanjutan yang lebih terprogram
(dalam Ambar Teguh, 2004:43). Konsep paradigma pertumbuhan
(growth paradigm), merupakan aras pemikiran yang memperjuangkan
terjadinya peningkatan pendapatan masyarakat sehingga pendapatan
negara turut meningkat. Tak lama setelah itu, konsep pembangunan
berkelanjutan diperkenalkan pada akhir tahun 1970-an dan populer sejak
pertengahan dekade 1980-an. Secara teoritis konsep ini muncul sebagai
kritik terhadap paradigma ekonomi maupun non ekonomi yang hanya
memiliki satu tolok ukur, yaitu paradigma pertumbuhan yang biasanya
menggunakan “Gross National Product“ (GNP) sebagai parameter.
Akibatnya, para perencana dan pelaku pembangunan cenderung
mengabaikan tujuan sebenarnya dari upaya pembangunan, yaitu
pemberdayaan dan peningkatkan kualitas kehidupan masyarakat luas,
terutama masyarakat terpinggirkan. Orientasi pembangunan menjadi bias
dengan hanya mengejar laju pertumbuhan GNP yang tinggi, dengan
mengabaikan aspek distribusi dari hasil pembangunan sehingga
menimbulkan kesenjangan dalam masyarakat. Orientasi pertumbuhan
ekonomi dalam prakteknya telah mengakibatkan akumulasi hasil
pembangunan hanya pada sekelompok kecil orang, dan memarginalkan
masyarakat secara luas.
Konsep dari paradigma pembangunan berkelanjutan (sustainable
development) ini adalah sebuah konsep pembangunan yang bersifat
ramah lingkungan, dimana pembangunan yang dilakukan harus
12
memperhatikan masalah sumber daya yang bersifat renewable/ non-
renewable. Sehingga proses pembangunan tidak hanya mengejar
keuntungan semata (profit) melalui aksi-aksi eksploitasi sumber daya
yang tersedia, namun juga harus memperhatikan bagaimana proses
pembaruannya. Salah satu definisi mengenai paradigma ini, yaitu yang
diperkenalkan oleh the World Commission on Environment and
Development (Brundtland Commission 1987), yang menyebutkan :
“Development that meets the needs of the present without compromising
the ability of future generations to meet their own needs”
Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa pembangunan
berkelanjutan adalah suatu upaya untuk memenuhi kebutuhan generasi
masa kini tanpa mengorbankan kebutuhan generasi yang akan datang.
Permasalahan pemenuhan kebutuhan pada generasi sekarang, harus
memperhatikan keberlangsungan sumber daya yang tersedia.
Pemanfaatan teknologi dan sumber daya manusia yang berkualitas
dituntut untuk dapat mengurangi jumlah penggunaan sumber daya lain
yang sifatnya terbatas dan tidak dapat diperbaharui (non-renewable).
Sehingga diperlukan sebuah perumusan kebijakan pembangunan yang
memperhatikan kesinambungan antara aspek manusia (social), ekonomis
(economic), dan lingkungan (environment). Perumusan kebijakan
tersebut seperti yang dikemukakan oleh pihak Bank Dunia dalam situs
resminya (http://www.worldbank.org/depweb/english/sd.html), yang
menyebutkan :
“People concerned about sustainable development suggest that meeting
the needs of the future depends on how well we balance social, economic,
and environmental objectives--or needs--when making decisions today.
Some of these needs are itemized around the puzzle diagram.”
13
Gambar I.1 Sustainable Development Pyramid
(Sumber: situs resmi bank dunia)
Perumusan kebijakan pembangunan berkelanjutan tersebut selain
diterapkan oleh sistem pemerintahan pada beberapa negara, juga
diterapkan pada level perusahaan. Jika disimak baik-baik, perumusan
kebijakan tersebut sangat identik dengan konsep Tanggungjawab Sosial
Perusahaan (CSR) yang dikembangkan oleh John Elkington (1997), yang
dalam bukunya ‘Cannibal with Forks, the Triple Bottom Line of
Twentieth Century Bussiness’ menyatakan bahwa perusahaan selain
mengejar keuntungan (Profit) untuk kepentingan shareholder (pemegang
saham), juga harus memperhatikan stakeholder (pemangku kepentingan)
yakni terlibat dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat
(People), serta menjaga kelestarian lingkungan (Planet). Jika program
yang dilaksanakan adalah pemberdayaan masyarakat maka yang menjadi
obyek kajian di sini adalah people, artinya bahwa tujuan dari progam
yang dilaksanakan adalah meningkatkan kemandirian masyarakat yang
menjadi sasaran program.
Dalam perkembangannya, pembangunan berkelanjutan
didefinisikan sebagai upaya peningkatan untuk kehidupan manusia
namun masih dalam kemampuan daya dukung ekosistem. Munasinghe
(1993) secara diagramatis menggambarkan pembangunan berkelanjutan
sebagai interaksi antara tiga dimensi, yaitu ekologi, sosial dan ekonomi,
seperti terlihat dalam gambar di bawah ini.
14
Gambar I.2 Sustainable Development Concept
(Sumber: www.mindlangka.org)
Pembangunan berkelanjutan mengarus tengahkan ketiga alur
keberlanjutan ekonomi, sosial dan ekologi secara serentak dalam alur
lingkar pembangunan sehingga terjadilah hubungan interaksi antara
pembangunan ekonomi, sosial dan ekologi (lingkungan). Keberlanjutan
ekonomi di sini berkaitan dengan efisiensi, pertumbuhan dan
keuntungan. Keberlanjutan sosial terkait dengan keadilan, pemerataan,
stabilitas sosial, partisipasi serta preservasi budaya, sedangkan
keberlanjutan ekologi berkaitan dengan pemeliharaan sumberdaya agar
lestari (konservasi alam), daya lentur ekosistem, keanekaragaman hayati
dan kesehatan lingkungan.
Menurut Undang Undang Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
No 23 tahun 1997 pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar dan
terencana yang memadukan lingkungan hidup termasuk sumberdaya ke
dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan kesejahteraan
dan mutu hidup masa kini dan generasi masa depan. Inti dari konsep ini
adalah bahwa tujuan sosial, ekonomi dan lingkungan harus saling
mendukung dan terkait dalam proses pembangunan. Bila tidak akan
terjadi “trade off” antar tujuan. Pendekatan Pembangunan Berkelanjutan
sangat bervariasi, merefleksikan keragaman yang dihadapi oleh masing-
masing negara/daerah bahkan dunia seperti yang disampaikan oleh
15
Dalay-Clayton and Bass (2002) (lihat gambar I.3.) bahwa pembangunan
berkelanjutan akan berbeda antara lokal, nasional dan global tergantung
kepada masing-masing tujuan yang diinginkan dan keadaan implementasi
di lapangan.
Gambar I.3 Sistem Pembangunan Berkelanjutan (WSSD,2002)
(Sumber: Dalal-Clayton and Bass, 2002)
Djajadiningrat (2005:123), menyatakan bahwa pembangunan
berkelanjutan merupakan pencapaian keberlanjutan dari berbagai aspek
yaitu keberlanjutan dimensi ekologis, ekonomi, sosial budaya, politik dan
pertahanan serta keamanan. Indikator dari masing masing aspek adalah
sebagai berikut :
1. Keberlanjutan Ekologis: (a) memelihara integritas tatanan
lingkungan (ekosistem) agar sistem penunjang kehidupan tetap
terjamin. Sistem dimana produktivitas, adaptabilitas dan
pemulihan tanah, air, udara dan seluruh kehidupan tergantung
pada keberlanjutannya, (b) Memelihara keanekaragaman hayati.
2. Keberlanjutan Ekonomi: tiga elemen utama dalam keberlanjutan
ekonomi yaitu efisiensi ekonomi, kesejahteraan yang
berkesinambungan dan peningkatan pemerataan serta distribusi
kemakmuran.
16
3. Keberlanjutan Sosial: Ada 4 sasaran yaitu (a) Stabilitas Penduduk,
(b) Memenuhi kebutuhan dasar manusia, (c) Mempertahankan
keanekaragaman budaya (dengan menghargai sistem sosial
budaya seluruh bangsa), (d) Mendorong partisipasi masyarakat
lokal dalam mengambil keputusan.
4. Keberlanjutan Politik: (a) Respek pada “human right”, kebebasan
individu dan sosial untuk berpartisipasi di bidang ekonomi, sosial
dan politik, (b) Demokrasi: memastikan adanya proses demokrasi
yg transparan dan bertanggung jawab.
5. Keberlanjutan Pertahanan dan Keamanan: Keberlanjutan
kemampuan menghadapi dan mengatasi tantangan, ancaman dari
dalam atau luar yang dapat membahayakan integritas, identitas
dan kelangsungan negara dan bangsa
Pembangunan berkelanjutan setidaknya membahas empat hal
utama yaitu: (1) Upaya memenuhi kebutuhan manusia yang ditopang
dengan kemampuan dan daya dukung ekosistem, (2) Upaya peningkatan
mutu kehidupan manusia dengan cara melindungi dan memberlanjutkan,
(3) Upaya meningkatkan sumberdaya manusia dan alam yang akan
dibutuhkan pada masa yang akan datang dan (4) Upaya mempertemukan
kebutuhan manusia secara antar generasi.
Pembangunan berkelanjutan pada hakekatnya dapat diwujudkan
melalui keterkaitan yang tepat antara sumberdaya alam, kondisi ekonomi,
sosial dan budaya. Pemanfaatan sumberdaya alam dan kemampuan
biosfer untuk mendukung kegiatan manusia sangat ditentukan oleh
tingkat teknologi maupun tingkat pengetahuan yang dikuasai dan yang
diimplementasikan. Dengan demikian, pembangunan berkelanjutan
bukanlah situasi harmoni yang sifatnya tetap dan statis, melainkan
merupakan suatu proses perubahan yang eksploitasi sumberdaya
alamnya, arah investasinya, orientasi perkembangan teknologinya dan
pengembangan kelembagaannya konsisten dengan pemenuhan kebutuhan
pada saat ini dan kebutuhan di masa depan.
17
Oleh karena itu, untuk menjelaskan sustainability program Ternak
Mandiri, teori yang dirasa cukup tepat adalah teori pembangunan
berkelanjutan dari Mohan Munasinghe. Munasinghe sendiri merupakan
seorang pakar yang berlatar belakang ilmu energi, ekonomi, dan
lingkungan. Berdasarkan asumsi inilah yang sesuai dengan tema
penelitian ini yaitu keberlanjutan sebuah program CSR di sebuah desa
yang terdiri dari individu-individu yang saling berinteraksi satu sama
lain, homogenitas suku, kekerabatan yang kental dan memiliki potensi
alam yang sedang mulai dikembangkan melalui program Ternak Mandiri
guna memperoleh manfaat ekonomi. Selain itu, Munasinghe juga sangat
memperhatikan pemanfaatan ekologi (lingkungan) dalam menunjang
faktor-faktor ekonomi.
Dari pengertian-pengertian mengenai konsep pembangunan
berkelanjutan yang telah disebutkan sebelumnya, dapat disimpulkan
bahwa dasar dari terbentuknya pembangunan berkelanjutan (sustainable
development) adalah pencapaian keberlanjutan dari berbagai dimensi
yaitu keberlanjutan dimensi ekonomi, dimensi ekologi dan dimensi
sosial. Dari setiap dimensi tersebut, selanjutnya ditentukan indikator-
indikator yang diteliti dalam keberlanjutan program TM ini. Menurut
Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD),
indikator didefinisikan sebagai suatu parameter, atau nilai yang diperoleh
dari parameter, yang menunjuk ke: menyediakan informasi tentang,
menggambarkan keadaan dari suatu fenomena/lingkungan, dengan
signifikansi yang secara langsung melampaui nilai parameter terkait
(OECD, 1994:9). Dengan demikian, indikator merupakan hal yang lebih
dari sekedar informasi biasa ataupun data ‘mentah’, namun indikator
merupakan informasi yang memiliki karakter normatif dan mempunyai
implikasi terhadap pengambilan keputusan suatu kebijakan dalam
program. Pembentukan dari indikator-indikator ini memiliki arti untuk
memberikan penilaian pembangunan berkelanjutan jika sasaran
perkembangan program telah ditentukan sebelumnya karena indikator-
indikator ini seringkali berhubungan kepada perkembangan dari strategi
18
keberlanjutan hingga pendefinisian suatu sasaran sekunder program
(misalnya, zero waste program).
Indikator-indikator diperoleh setelah melalui proses reduksi dari
pernyataan para informan dan juga triangulasi sumber yang dilakukan.
Data-data dari indikator-indikator ini bersumber dari hasil observasi
lapangan, serta wawancara mendalam dengan pihak penyelenggara
program (PTB, Laz Yaumil, dan BMT Mitra Amanah) dan pihak peserta
program (Pengurus dan Non Pengurus). Data sekunder dari pihak
penyelenggara juga turut digunakan untuk mendukung indikator-
indikator yang telah ditentukan. Berikut ini adalah dimensi-dimensi serta
indikator-indikator yang dimaksudkan oleh peneliti :
1. Dimensi Ekonomi
Dalam setiap program pemberdayaan masyarakat maupun
tanggungjawab sosial perusahaan, dimensi ekonomi selalu menjadi
faktor utama yang diperhitungkan. Aspek ekonomi yang
diperhitungkan muncul dalam bentuk rendahnya penghasilan
masyarakat sehingga tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan
hidup mereka sampai batas yang layak. Menurut Solow (1986),
konsep modern yang mendasari keberlanjutan dimensi ekonomi
berusaha untuk memaksimalkan aliran pendapatan yang bisa
dihasilkan, sementara itu setidaknya mempertahankan aset (atau
modal) yang dapat menghasilkan pendapatan ini.
Indikator-indikator yang ditentukan dalam dimensi
keberlanjutan ekonomi lebih ditekankan kepada indikator yang
menggambarkan efisiensi ekonomi, kesejahteraan yang
berkesinambungan bagi peserta program dan peningkatan
pemerataan serta distribusi kesejahteraan dalam kelompok Ternak
Mandiri Suka Rahmat secara keseluruhan. Indikator yang
digunakan dalam dimensi ekonomi seluruhnya ada 4 indikator,
yaitu Dana Pembelian Sapi, Pendapatan, Pemasaran, dan
Kepemilikan alat produksi.
19
(1) Dana pembelian sapi merupakan kunci awal dari
terselenggaranya program, tanpa adanya dana ini maka
program ini tidak akan memiliki modal untuk digunakan.
Besaran modal yang tersedia berdampak pada banyaknya sapi
yang akan digemukkan atau dikelola. Dana ini digunakan
untuk membeli bibit sapi jantan yang akan digemukkan dan
juga sapi betina yang diharapkan nantinya dapat menjadi
sumber penghasil bibit sapi sendiri tanpa perlu membeli bibit
sapi dari pedagang besar seperti yang selama ini dilakukan.
Dana ini merupakan aset/modal yang dapat mempertahankan
kestabilan pendapatan para peternak.
(2) Pendapatan yang dimaksudkan dalam hal ini adalah perolehan
keuntungan yang didapatkan oleh peserta program baik dari
program penggemukan, pupuk kompos, maupun biogas.
Pendapatan yang diperoleh umumnya berupa sejumlah uang
atas penjualan sapi dan pupuk kompos. Namun, untuk biogas
sendiri karena bentuknya merupakan sebuah fasilitas yang
menyediakan akses terhadap gas gratis untuk konsumsi rumah
tangga peternak maka peneliti mengkonversikan perolehan gas
tersebut ke dalam bentuk rupiah. Pengembangan program
dilakukan guna meningkatkan efisiensi pendapatan dari
program awal (penggemukan) sehingga limbah dari program
tersebut dapat pula dimanfaatkan sebagai sumber pendapatan
baru bagi peternak.
(3) Akses terhadap pasar merupakan kunci pendistribusian sapi
serta pupuk dari hasil usaha para peserta program kepada
konsumen. Pemasaran yang luas akan berdampak pada
penentuan harga jual, peningkatan permintaan serta
penghematan waktu yang diperlukan untuk menjual sapi dan
pupuk tersebut. Hal ini tentunya dapat memaksimalkan
pendapatan yang diterima oleh peternak. Meski selama ini
mayoritas dari sapi-sapi itu dibeli oleh Laz Yaumil melalui
20
sistem bagi hasil, serta beberapa pupuk-pupuk kompos dibeli
oleh BMT, namun beberapa tahun terakhir para peternak
diizinkan untuk menjual hasil usaha mereka ke pihak luar.
(4) Kepemilikan alat produksi menjadi modal keberlanjutan
program yang terpenting. Alat produksi seperti sapi
penggemukan, sapi betina produktif, kandang, dan alkon masih
merupakan supply rutin ataupun pemberian dari pihak
penyelenggara. Selama peternak masih memerlukan supply
dari pihak penyelenggara maka tujuan dari kemandirian
masyarakat akan semakin menjauh. Namun, semenjak
dilakukannya pengembangan program, diharapkan adanya ciri
kemandirian dari para peternak binaan yang mengarah pada
keberlanjutan di bidang ekonomi. Salah satu ciri ideal
keberlanjutan ekonomi dari indikator ini adalah adanya
peternak yang memiliki alat produksi milik sendiri, bukan lagi
pemberian maupun pinjaman dari pihak penyelenggara.
2. Dimensi Ekologi
Penafsiran lingkungan keberlanjutan berfokus pada
kelangsungan hidup secara keseluruhan dan kesehatan sistem
kehidupan, yang didefinisikan dalam istilah yang komprehensif,
multi-skala, ukuran yang dinamis, hirarkis ketahanan, kekuatan dan
organisasi (Costanza, 2000: 7). Ide-ide ini berlaku baik untuk
sistem alam yang liar maupun yang dikelola seperti pertanian,
pedesaan dan perkotaan. Dimensi ekologi merupakan hasil
pemikiran utama dari paradigma pembangunan berkelanjutan.
Pembangunan berkelanjutan menuntut kompensasi atas peluang
hilangnya pemenuhan kebutuhan generasi mendatang, karena
kegiatan ekonomi saat ini yang dapat mempengaruhi
keanekaragaman hayati dan kemampuan ekologi di masa depan.
Indikator-indikator yang ditentukan dalam dimensi
keberlanjutan ekologi (lingkungan) terdiri pada indikator yang
menekankan kepada hal-hal yang berkaitan dengan pemeliharaan
21
keberlanjutan daya dukung lingkungan, sehingga tidak melewati
batas kemampuannya untuk mendukung seluruh aktivitas yang ada
di dalamnya dan meningkatkan kapasitas serta kualitas dari
ekosistem agar sistem penunjang kehidupan tetap terjamin.
Indikator yang digunakan untuk menilai keberlanjutan ekologi
seluruhnya ada 3 indikator, yaitu Ketersediaan Pakan, Sumber Air,
dan Pengelolaan Kandang & Limbah.
(1) Ketersediaan pakan menjadi menjadi syarat utama daya
dukung alam terhadap keberlanjutan program TM ini. Ketika
sapi penggemukan maupun sapi peranakan didatangkan dari
supplier lokal maupun dari Samarinda, sapi-sapi tersebut
tentunya harus langsung diberikan makan karena selama
perjalanan jauh tersebut sapi-sapi tidaklah mendapatkan
makanan. Selama proses berjalannya masa penggemukan dan
peranakan, sapi-sapi juga harus diberi makan sesuai dengan
ketentuan jumlah kebutuhan makan hariannya, biasanya
mengacu pada bobot badan ternak sapi. Pakan yang dimaksud
pun tidak harus selalu rumput. Sejumlah pakan ternak biasanya
tersedia banyak di daerah yang banyak terdapat sejumlah
sawah padi. Namun, di RT 06 dan RT 07 ini tidak terdapat
lahan padi karena mayoritas petani disini adalah petani kebun
sehingga variasi jumlah makanan tergantung pada tanaman
produktif yang mereka tanam. Selain itu, beberapa peternak
sudah ada yang memiliki lahan khusus untuk menanam rumput
gajah guna memenuhi kebutuhan pakan ternak mereka. Lahan
sawit pun terdapat cukup banyak di wilayah barat dari RT 07,
begitu juga rerumputan yang terdapat di lahan tersebut.
(2) Daya dukung air dalam program ini merupakan faktor penting
bagi keberlanjutan program karena air dibutuhkan untuk
konsumsi sehari-hari sapi, peternak, maupun warga sekitar.
Mayoritas warga RT 07 dan beberapa warga 06 masih sangat
bergantung pada air sungai untuk kehidupannya, baik untuk
22
mencuci, mandi dan beberapa orang memanfaatkannya untuk
sumber air minum. Ketersediaan air di wilayah ini memang
cukup banyak untuk konsumsi ternak sapi namun untuk
konsumsi manusia, sumber air minum hanya ada beberapa
saja. Salah satu upaya dalam pemeliharaan sumber-sumber air
adalah dengan tidak mencemarinya. Oleh karena itu, untuk
mendukung seluruh aktivitas yang ada di dalam program ini
dapat berjalan dengan baik, indikator sumber air ini harus
diperhatikan keberlanjutannya.
(3) Indikator pengelolaan kandang & limbah dipilih karena
pengaruhnya terhadap lingkungan sekitar dan juga kepada
persepsi masyarakat. Pengelolaan kandang yang baik dapat
menciptakan lingkungan masyarakat yang harmonis, tanpa
adanya pihak-pihak yang terganggu dengan keberadaan
kandang tersebut, terkait bau dari tumpukan kotoran yang ada.
Pembersihan kandang yang rutin tiap harinya merupakan
wujud pengelolaan kandang yang baik. Tersedianya tempat
penampungan kotoran ternak dengan memperhatikan letaknya
dapat mencegah tercemarnya air maupun menyebarnya bau
dari limbah ternak sehingga image baik dari program tetap
terjaga. Limbah yang dikeluarkan dari sapi dan sudah
menumpuk, cenderung menimbulkan bau yang tidak sedap.
Salah satu solusinya adalah dengan merubahnya menjadi
pupuk, baik itu bentuk padat maupun cair. Limbah yang sudah
diolah menjadi pupuk akan memperoleh nilai ekonomi dan
siap untuk dijual belikan. Sehubungan dengan mayoritas
peserta program adalah petani kebun, maka pupuk juga dapat
digunakan untuk menyuburkan lahan tanam mereka.
Penggunaan pupuk kompos pada tanah dapat meningkatkan
kapasitas serta kualitas dari ekosistem tanah karena menambah
daya ikat tanah terhadap air dan unsur-unsur hara tanah,
memperbaiki drainase dan tata udara dalam tanah, membantu
23
proses pelapukan bahan mineral, memberi ketersediaan bahan
makanan bagi mikroba serta menurunkan aktivitas mikro
organisme yang merugikan.
3. Dimensi Sosial
Dalam dimensi keberlanjutan sosial, indikator-indikator yang
ditentukan berkaitan dengan stabilitas penduduk, menghargai
sistem sosial dan mempertahankan keaneka ragaman budaya serta
mendorong partisipasi peserta program dalam mengambil
keputusan. Dalam penentuan indikator dimensi sosial ini akan
sedikit berbeda karena indikator yang dipilih adalah beberapa
komponen pembentuk modal sosial. Ketika masa observasi
berlangsung, peneliti yakin bahwa komponen-kompenen ini
terdapat dalam kelompok peserta program Ternak Mandiri dan
semakin yakin ketika menanyakan beberapa pertanyaan terkait
modal sosial dalam wawancara mendalam yang dilakukan dengan
para peserta program dan penyelenggara program. Beberapa
komponen pembentuk modal sosial itu adalah partisipasi, interaksi,
jaringan (network), dan kepercayaan (trust). Berdasarkan
komponen pembentuk modal sosial tersebut, peneliti kemudian
menentukan indikator yang digunakan untuk menilai keberlanjutan
sosial, dimana seluruhnya terdapat 4 buah indikator, yaitu
partisipasi, interaksi, jaringan, dan kepercayaan (trust).
2. Modal Sosial
Konsep mengenai modal sosial telah lama dikenal luas, namun
modal ini masih sering dipandang sebelah mata karena wujudnya yang
tidak kasat mata, berbeda dengan jenis modal lainnya. Hal ini dapat
terlihat pada beberapa program pemberdayaan masyarakat yang tidak
fokus pada manusianya (people centered), melainkan fokus pada
pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat (basic needs). Hal ini hanya
akan menimbulkan ketergantungan dan semakin menjauhkan sosok
kemandirian. Seharusnya modal sosial menjadi hal yang sangat
24
diperhitungkan dalam perumusan program-program CSR maupun
pemberdayaan masyarakat, karena kekuatan dari modal sosial akan
tampak dalam hubungannya dengan kegiatan bersama, kelompok
jaringan, dimana interaksi sosial menjadi senjata utama. Hal tesebut
memungkinkan untuk terwujudnya pencapaian bersama maupun
pencapaian program.
Modal sosial yang merupakan hasil dari interaksi sosial,
mengakibatkan kompleksitas dari konsep modal sosial itu sendiri.
Namun, menurut Djamaludin Ancok (2003:7), pandangan para pakar
dalam mendefinisikan konsep modal sosial dapat dikategorikan
kedalam dua kelompok. Kelompok pertama menekankan pada jaringan
hubungan sosial (social network), sedangkan kelompok kedua lebih
menekankan pada karakteristik (traits) yang melekat (embedded) pada
diri individu manusia yang terlibat dalam sebuah interaksi sosial.
Sedangkan dalam kaitannya pada suatu komunitas, Lesser (2000:
102-105) berpendapat bahwa modal sosial menjadi sangat penting bagi
komunitas karena (1) memberikan kemudahan dalam mengakses
informasi bagi anggota komunitas (2) menjadi media power sharing
atau pembagian kekuasaan dalam komunitas (3) mengembangkan
solidaritas (4) memungkinkan mobilisasi sumber daya komunitas (5)
memungkinkan pencapaian bersama dan (6) membentuk perilaku
kebersamaan dan berorganisasi komunitas.
Dalam konsep modal sosial terdapat banyak sekali teori dan
perspektif-perspektif yang diungkapkan oleh para tokoh. Meski
demikian, terdapat tiga teori yang selama ini mendominasi isu dari
modal sosial, masing-masing teori modal sosial tersebut dicetuskan oleh
Pierre Bourdieu, James Coleman, dan Robert Putnam.
a. Pierre Bourdieu
Bourdieu melihat modal sosial sebagai aset yang dimanfaatkan
oleh kelompok elite, khususnya mereka yang memiliki modal finansial
dan/atau modal budaya yang terbatas (John Field, 2010:65). Bourdieu
(1977) menyatakan bahwa
25
“Modal hubungan sosial yang jika diperlukan akan memberikan ‘dukungan-
dukungan’ bermanfaat: modal harga diri dan kehormatan yang seringkali
diperlukan jika orang ingin menarik para klien ke dalam posisi-posisi yang
penting secara sosial, dan yang bisa menjadi alat tukar, misalnya dalam karir
politik (Bourdieu 1977, dalam John Field, 2010:23)”
Dari pernyataannya tersebut, tampak bahwa Bourdieu melihat
bahwa modal sosial hanya bermanfaat bagi kaum elite untuk
memperoleh dan mempertahankan kekuasaannya. Sehingga Bourdieu
cenderung mengesampingkan manfaat modal sosial bagi kaum-kaum
yang kurang beruntung. Hal ini dikarenakan menurutnya modal
ekonomi adalah akar dari semua modal jenis modal lain (Bourdieu,
1986 dalam John Field, 2010: 24). Sehingga bagi siapa yang memiliki
modal ekonomi yang kuat, maka akan mudah baginya memanfaatkan
dan memperoleh modal-modal lainnya, termasuk modal sosial. Dengan
demikian, konsep modal sosial Bourdieu dilihat sebagai sesuatu yang
bersifat indivualistik.
b. James Coleman
Berbeda dengan Bourdieu, Coleman mendasarkan konsep modal
sosialnya pada teori pilihan rasional. Teori pilihan rasional memiliki
keyakinan dengan ekonomi klasik bahwa semua perilaku berasal dari
individu yang berusaha mengejar kepentingan mereka sendiri, dengan
demikian interaksi sosial juga dipandang sebagai bentuk pertukaran.
Dan bagi Coleman, konsep modal sosial adalah sarana untuk
menjelaskan bagaimana seseorang berusaha bekerja sama (dalam John
Field, 2010: 33-34). Dalam hal ini posisi modal sosial adalah sebagai
produk sampingan dari aktivitas yang dilakukan untuk mencapai tujuan
lain. Jadi individu atau aktor itu tidaklah membentuk modal sosialnya
sendiri, melainkan hanya sebagai sebuah dampak dari kegiatan-
kegiatannya dalam mencapai suatu tujuan lain yang sesuai dengan
kepentingannya sendiri. Berdasarkan konsep modal sosial dari Coleman
ini, setiap individu yang melakukan kerjasama atau menjalin hubungan
dengan sesamanya, itu tidak lebih dari sekedar adalah kepentingannya
sendiri. Jika seseorang merasa tidak memiliki kepentingan tertentu,
26
maka ia tidak akan memilih untuk bekerjasama atau menjalin suatu
hubungan dengan orang lain.
Hubungan dipandang membangun sumber modal dengan
membantu menciptakan kewajiban dan harapan antar aktor,
membangun kejujuran lingkungan sosial, membuka saluran informasi,
dan menetapkan norma yang menopang bentuk-bentuk perilaku tertentu
sambil menerapkan sanksi pada calon-calon penunggang bebas
(Coleman, 1988 dalam John Field, 2010: 39)
Jika Bourdieu melihat modal sosial secara individualistik, konsep
modal sosial dari Coleman ini menjembatani peran individu dan
kolektif, di mana menurutnya modal sosial sebagai aset modal bagi
individu, namun melihatnya terbangun dari sumber-sumber daya
struktur sosial (Coleman, 1994 dalam John Field, 2010:40). Modal
sosial berdasarkan konsep dari Coleman ini tidak hanya dimiliki dan
bermanfaat bagi para elite penguasa seperti yang diyakini oleh
Bourdieu, melainkan modal sosial juga akan bermanfaat selama
seseorang berusaha untuk mengejar kepentingannya sendiri, baik itu
para elite maupun non elite. Karena setiap orang pasti memiliki
kepentingannya masing-masing, hanya jenis kepentingannya saja yang
berbeda.
c. Robert Putnam
Teori modal sosial yang selanjutnya berasal dari Robert Putnam,
seorang tokoh yang berlatar belakang ilmu politik. Berbeda dari dua
tokoh sebelumnya di mana modal sosial bertindak sebagai sumber daya
yang bermanfaat bagi individu dan kelompok, Putnam menggali konsep
modal sosial ini lebih dalam lagi, yakni dengan melihatnya sebagai
sumber daya yang berfungsi pada level sosial (dalam John Field,
2010:65). Selain itu, Putnam juga memiliki ide terkait konsep modal
sosial yang diperbaharui dari tahun ke tahun. Seperti pada tahun 1993,
dimana konsep modal sosial Putnam mengacu pada bagian dari
organisasi sosial, seperti kepercayaan, norma, dan jaringan, yang dapat
meningkatkan efisiensi masyarakat dengan memfasilitasi tindakan-
27
tindakan terkoordinasi (Putnam, 1993a dalam John Field, 2010:49).
Selanjutnya pada tahun 1996, definisi Putnam tentang modal sosial
sedikit berubah. Putnam menyatakan yang dia maksud dengan modal
sosial adalah bagian dari kehidupan sosial (jaringan, norma dan
kepercayaan) yang mendorong partisipan bertindak bersama secara
lebih efektif untuk mencapai tujuan-tujuan bersama. Tiga ramuan utama
(jaringan, norma, dan kepercayaan) tersebut belum berubah, namun
terdapat hal yang baru yakni identifikasi ‘partisipan’ ketimbang
‘masyarakat’ sebagai penerima manfaat dari modal sosial. Pada tahun
2000, Putnam kembali memperbarui konsep modal sosialnya dengan
berargumen bahwa: gagasan inti dari teori modal sosial adalah bahwa
jaringan sosial memiliki nilai…kontak sosial mempengaruhi
produktivitas individu dan kelompok. Pada definisi ini, Putnam
menekankan pada nilai yang terkandung di dalam sebuah jaringan
sosial dan kualitas kontak sosial yang menentukan terbentuknya modal
sosial sehingga definisi ini memberikan kita dua ketimbang tiga ramuan
primer, yakni jaringan dan norma (dalam Field, 2010:52).
Selanjutnya Putnam memperkenalkan perbedaan antara dua
bentuk dasar modal sosial, yakni modal sosial yang menjembatani
(inklusif) dan yang mengikat (eksklusif). Modal sosial yang mengikat
cenderung mendorong identitas eksklusif, mempertahankan
homogenitas, menopang resiprositas spesifik, memobilisasi solidaritas,
sambil pada saat yang sama menjadi ‘semacam perekat terkuat
sosiologi’ dalam memelihara serta memperkuat kesetiaan dan identitas
spesifik kelompok. Sedangkan modal sosial yang menjembatani lebih
berperan baik dalam menghubungkan aset eksternal dan bagi
persebaran informasi, serta dapat membangun identitas dan resiprositas
yang lebih luas (dalam John Field, 2010:52). Putnam (1993) juga
menyatakan bahwa kekerabatan kalah penting sebagai sumber
solidaritas bila dibandingkan dengan kenalan dan keanggotaan bersama
asosiasi sekunder, yang dapat menyatukan individu dari kelompok-
kelompok kecil yang berlainan dan terpisah satu sama lain (dalam John
28
Field, 2010:53). Ia pun berargumen bahwa ikatan ‘vertikal’ bisa jadi
kalah membantu bila dibandingkan dengan ikatan ‘horizontal’, karena
bisa jadi melemahkan kapasitas bagi tindakan kolektif dan cenderung
menciptakan kecurigaan sehingga dapat dikatakan bahwa suatu status
kekerabatan tidak akan berarti jika dihadapkan pada solidaritas antar
anggota suatu kelompok tertentu, dimana norma dan nilai-nilai dari
kelompok tersebut telah terinternalisasi pada diri anggotanya.
Dari ketiga teori modal sosial tersebut, peneliti memilih
menggunakan teori modal sosial menurut Robert Putnam karena teori
ini mampu membedakan antara modal sosial yang bersifat
menjembatani (inklusif) dengan yang bersifat mengikat (eksklusif), hal
ini dapat membantu peneliti dalam melihat peran modal sosial dalam
jaringan antar aktor. Teori ini juga dirasa mampu untuk memberikan
nilai terhadap hubungan kekerabatan maupun keanggotaan bersama
asosiasi sekunder yang ada pada kelompok sasaran program. Oleh
karena itu, dapat disimpulkan bahwa modal sosial terbentuk dari
beberapa komponen, yaitu partisipasi, interaksi dan sosiabilitas,
jaringan (network), dan kepercayaan (trust).
1) Partisipasi
Partisipasi adalah proses tumbuhnya kesadaran terhadap
kesalingterhubungan di antara stakeholders yang berbeda dalam
masyarakat, yaitu diantara kelompok-kelompok sosial dan komunitas
dengan pengambil kebijakan dan lembaga-lembaga jasa lain (Syahyuti,
2006:47). Partisipasi dapat didefinisikan sebagai proses dimana seluruh
pihak dapat membentuk dan terlibat dalam seluruh inisiatif
pembangunan. Maka, bisa dibilang pembangunan yang partisipatif
adalah proses yang melibatkan masyarakat secara aktif dalam seluruh
keputusan substansial yang berkenaan dengan kehidupan mereka.
Secara umum, sisi positif dari partisipasi adalah program yang
dijalankan akan lebih respon terhadap kebutuhan dasar yang
sesungguhnya. Ini merupakan suatu cara penting untuk menjamin
keberlanjutan program, akan lebih efisien karena membantu
29
mengidentifikasi strategi dan teknik yang lebih tepat, serta meringankan
beban pusat (penyelenggara program) baik dari sisi dana, tenaga
maupun material. Namun sisi negatifnya, partisipasi akan
melonggarkan kewenangan pihak atas sehingga akuntabilitas pihak atas
sulit diukur, proses pembuatan keputusan menjadi lambat demikian
pula pelaksanaannya, serta bentuk program juga akan berbeda-beda
karena masyarakat yang beragam. Di luar itu, program juga berpeluang
untuk diselewengkan oleh pihak tertentu untuk kepentingan
kelompoknya sendiri.
Makna partisipasi itu sendiri berbeda-beda menurut mereka yang
terlibat, misalnya antara pengambil kebijakan, pelaksana di lapangan,
dan masyarakat. Para ahli telah mampu membuat pengklasifikasian
partisipasi. Misalnya, ada yang berpendapat bahwa sesungguhnya ada
tujuh karakteristik tipologi partisipasi (J. Pretty, 1995 dalam Syahyuti,
2006:49), yang berturut-turut semakin dekat kepada bentuk ideal, yaitu:
a. Partisipasi pasif atau manipulatif. Ini merupakan bentuk partisipasi
yang paling lemah. Karakteristiknya adalah masyarakat menerima
pemberitahuan apa yang sedang dan telah terjadi. Pengumuman
sepihak oleh pelaksana proyek tidak memperhatikan tanggapan
masyarakat sebagai sasaran program. Informasi yang dipertukarkan
terbatas pada kalangan profesional di luar kelompok sasaran
belaka.
b. Partisipasi informatif. Di sini masyarakat hanya menjawab
pertanyaan-pertanyaan untuk proyek, namun tidak berkesempatan
untuk terlibat dan mempengaruhi proses keputusan. Akurasi hasil
studi, tidak dibahas bersama masyarakat.
c. Partisipasi konsultatif. Masyarakat berpartisipasi dengan cara
berkonsultasi, sedangkan orang luar mendengarkan, serta
menganalisa masalah dan pemecahannya. Dalam pola ini belum
ada peluang untuk pembuatan keputusan bersama. Para profesional
tidak berkewajiban untuk mengajukan pandangan masyarakat
(sebagai masukan) untuk ditindaklanjuti.
30
d. Partisipasi insentif. Masyarakat memberikan korbanan dan jasa
untuk memperoleh imbalan insentif berupa upah, walau tidak
dilibatkan dalam proses pembelajaran atau eksperimen-eksperimen
yang dilakukan. Masyarakat tidak memiliki andil untuk
melanjutkan kegiatan-kegiatan setelah insentif dihentikan.
e. Partisipasi fungsional. Masyarakat membentuk kelompok sebagai
bagian proyek, setelah ada keputusan-keputusan utama yang
disepakati. Pada tahap awal, masyarakat tergantung kepada pihak
luar, tetapi secara bertahap kemudian menunjukkan
kemandiriannya.
f. Partisipasi interaktif. Masyarakat berperan dalam proses analisis
untuk perencanaan kegiatan dan pembentukan atau penguatan
kelembagaan. Pola ini cenderung melibatkan metoda interdisipliner
yang mencari keragaman perspektif dalam proses belajar yang
terstruktur dan sistematis. Masyarakat memiliki peran untuk
mengontrol atas pelaksanaan keputusan-keputusan mereka,
sehingga memiliki andil dalam keseluruhan proses kegiatan.
g. Mandiri (self mobilization). Masyarakat mengambil inisiatif sendiri
secara bebas (tidak dipengaruhi oleh pihak luar) untuk merubah
sistem atau nilai-nilai yang mereka junjung. Mereka
mengembangkan kontak dengan lembaga-lembaga lain untuk
mendapatkan bantuan dan dukungan teknis serta sumber daya yang
diperlukan. Yang terpenting, masyarakat juga memegang kendali
atas pemanfaatan sumberdaya yang ada dan atau digunakan.
Partisipasi yang akan dilihat dalam penelitian ini bukanlah animo
masyarakat yang tertarik untuk bergabung dalam kelompok TM,
melainkan bagaimana peran aktif peternak TM dalam program yang
mereka ikuti dan dimanakah posisi mereka dalam program, apakah
mereka hanya sebatas menjalankan program ataukah mereka juga
memperoleh kesempatan untuk mengajukan pendapat guna
mengembangkan program yang sudah ada.
31
2) Interaksi
Kodrat manusia sebagai makhluk sosial memiliki konsekuensi
bahwa setiap manusia hidup berdampingan satu sama lain dan saling
membutuhkan baik secara langsung maupun tidak langsung. Aktivitas-
aktivitas yang dilakukan seseorang di dalam kehidupan masyarakat
pasti melibatkan orang lain, sesuai dengan kepentingannya masing-
masing. Untuk itu setiap manusia pasti melakukan interaksi dengan
sesamanya, karena interaksi sosial merupakan syarat utama terjadinya
aktivitas-aktivitas sosial serta merupakan dasar dari terciptanya proses
sosial. Tanpa ada interaksi sosial, juga tidak akan terbentuk modal
sosial di antara anggota masyarakat. Karena dengan proses interaksi
yang intens dan erat maka akan terbentuk modal sosial yang kuat pula.
Interaksi sosial sendiri merupakan hubungan-hubungan sosial dinamis
yang menyangkut hubungan antara orang-orang perorangan, antara
kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang perorangan dengan
kelompok manusia (Soekanto, 2006:55). Interaksi sosial sendiri
memiliki dua syarat terbentuknya, yakni kontak sosial dan komunikasi
(Soekanto, 2006:58). Kontak sosial dapat terjadi tanpa adanya kontak
secara fisik (badaniah), karena dengan kecanggihan teknologi, orang
dapat melakukan kontak sosial tanpa harus bersentuhan maupun
bertemu. Sedangkan komunikasi memiliki arti penting bahwa seseorang
memberikan tafsiran pada perilaku orang lain (yang berwujud
pembicaraan, gerak-gerak badaniah atau sikap), perasaan-perasaan apa
yang ingin disampaikan oleh orang tersebut (Soekanto, 2006:60).
Kontak sosial dan komunikasi sebagai syarat terciptanya interaksi
sosial, maka suatu kontak tanpa adanya komunikasi tidaklah berarti
apa-apa. Karena suatu kontak tanpa komunikasi tidak akan
menghasilkan suatu interaksi. Suatu masyarakat di mana anggotanya
memiliki frekuensi interaksi yang tinggi, maka proses komunikasi yang
berlangsung pun akan semakin intim dan dalam yang kemudian akan
menghasilkan suatu kedekatan tersendiri antar pihak yang mengadakan
interaksi. Semakin sering seseorang berkomunikasi satu sama lain,
32
maka akan lebih saling mengenal dan akan berbuah pada hubungan
yang lebih jauh dari sekedar berbincang-bincang. Sangat mungkin,
komunikasi tersebut akan menciptakan sebuah hubungan kerjasama
satu sama lain serta menemukan persamaan-persamaan kepentingan
dan membentuk suatu ikatan tertentu yang nantinya akan menjadi
tonggak bagi terbentuknya modal sosial. Komunikasi sendiri
merupakan salah satu tindakan atau sikap relasional yang biasa disebut
dengan sosiabilitas.
Adanya proses interaksi sosial juga menjadi indikator adanya
kehidupan sosiabilitas. Kehidupan sosiabilitas masyarakat menjadi
salah satu sumber terbentuknya modal sosial karena memiliki nilai-nilai
seperti kepercayaan sosial, kepedulian, dan solidaritas sosial antar
warga masyarakat (Linda Darmajanti, 2002). Dengan kehidupan
sosiabilitas itu, masyarakat membangun sebuah hubungan yang erat
satu sama lain, yang kemudian menjadi embrio terbentuknya modal
sosial.
Interaksi yang terjadi dalam kelompok TM Suka Rahmat
merupakan hubungan dinamis yang terjadi antara peternak TM dengan
sesama peternak TM, peternak TM dengan masyarakat sekitar, dan
peternak TM dengan stakeholder terkait (pemerintah daerah, NGO, dan
pihak penyelenggara program). Interaksi yang dilakukan pun tidak
selalu bertatap muka maupun berupa kegiatan fisik bersama yang biasa
terjadi dalam program, namun interaksi juga dapat dilakukan melalui
SMS (Short Message Service) maupun percakapan melalui telepon.
Forum yang menjadi wadah interaksi
3) Jaringan
Jaringan telah lama dipandang penting bagi keberhasilan bisnis
dan organisasi. Khususnya pada tahap awal, banyak diyakini bahwa
jaringan berfungsi sebagai sumber informasi penting, yang bisa menjadi
sesuatu yang kritis dalam mengidentifikasi dan menggali peluang bisnis
(Hendry, 1991; Mulholland, 1997. Dalam Field, 2010:86). Jaringan pun
33
dapat membantu memberikan akses keuangan (Bates, 1994, dalam
Field 2010:86). Modal sosial telah dipandang sebagai aset pasar dan
tenaga kerja; bahkan ketika direkrut melalui perantara, pelanggan dan
pekerja dikatakan menunjukkan loyalitas dan komitmen lebih besar
daripada yang mungkin terjadi di kalangan orang yang sama sekali
asing (Bates, 1994; Jones, 1993. Dalam Field, 2010;86). Hal serupa
terjadi pada kehidupan para peternak TM, mereka saling bertukar
informasi seputar cara perawatan sapi dan berkebun ketika mereka
saling bertemu satu sama lain maupun melalui SMS. Para peternak pun
mendapatkan akses pinjaman uang dari pihak BMT yang dapat
digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka selama masa
penggemukan maupun sebagai modal produktif usaha lainnya.
Beberapa peternak TM juga sering meminjam uang kepada peternak
TM lainnya, yang biasanya adalah tetangga mereka sendiri. Kinerja dan
komitmen para peternak TM juga sudah teruji selama tujuh tahun
program TM ini berjalan.
Dalam bahasa Inggris, jaringan adalah network. Kata dalam
bahasa Inggris ini yang memunculkan pemahaman Robert M.Z Lawang
mengenai makna jaringan (Robert M.Z Lawang, 2004 dalam Damsar,
2009:157). Network berasal dari kata net dan work. Net diterjemahkan
sebagai jaring yang terdiri dari banyak ikatan antar simpul yang saling
terhubung satu sama lain. Sedangkan kata work berarti kerja, sehingga
jika dihubungkan kedua kata tersebut dapat dimengerti sebagai kerja
(bekerja) dalam hubungan antar simpul-simpul seperti halnya jaring
(net). Dan dari cara berpikir itulah Robert M.Z Lawang memahami
jaringan sebagai: (1) ada ikatan antar simpul (orang atau kelompok)
yang dihubungkan dengan media (hubungan sosial). Hubungan sosial
ini diikat dengan kepercayaan. Kepercayaan itu dipertahankan oleh
norma yang mengikat kedua belah pihak; (2) ikatan atau pengikat
(simpul) adalah norma yang mengatur dan menjaga bagaimana ikatan
dan medianya itu dipelihara dan dipertahankan. Dari pemaknaan Robert
M.Z Lawang tersebut dapat disimpulkan bahwa studi jaringan sosial
34
melihat hubungan antar individu yang memiliki makna subjektif yang
berhubungan atau dikaitkan dengan sesuatu simpul atau ikatan. Simpul
dilihat melalui aktor individu di dalam jaringan, sedangkan ikatan
merupakan hubungan antar para aktor tersebut (Damsar, 2009:158).
Sedangkan dalam Powell dan Smith-Doer (1994:365), mengutarakan
bahwa studi tentang jaringan sosial telah dilakukan oleh sosiolog sejak
tahun 1960-an yang biasanya dikaitkan dengan bagaimana pribadi-
pribadi berhubungan antara satu sama lain dan bagaimana ikatan afiliasi
melayani baik sebagai pelicin dalam memperoleh sesuatu yang
dikerjakan, sebagai jembatan untuk memudahkan hubungan antara satu
pihak dengan pihak lainnya, maupun sebagai perekat yang memberikan
tatanan dan makna pada kehidupan sosial (Damsar, 2009:159). Oleh
karenanya jaringan sosial sangat memudahkan seseorang di dalam
menjalani kehidupannya, karena biasanya melalui jaringan seseorang
kerap menyelesaikan masalahnya. Hal ini sebab jaringan yang kuat
akan menguatkan keinginan saling membutuhkan dan membantu satu
sama lain serta semakin bermanfaatlah modal sosial yang terbentuk.
Seperti yang diutarakan Putnam (1995) bahwa jaringan-jaringan sosial
yang kuat akan memperkuat perasaan kerjasama para anggotanya serta
manfaat-manfaat dari partisipasinya tiap pihak yang terlibat. Namun,
jaringan yang telah terbentuk harus selalu dipelihara agar tetap erat dan
hubungan satu sama lain tidak renggang. Karena jika suatu hubungan
tidak dipelihara, maka akan merusak jaringan tersebut yang akan
mengurangi kebermanfaatannya.
Dari pemaknaan-pemaknaan mengenai jaringan sosial di atas,
maka dapat dillihat bahwa jaringan sosial memang erat hubungannya
dengan hubungan sosial. Hubungan sosial dianggap sebagai syarat
terciptanya jaringan sosial di dalam kehidupan manusia dan ternyata
jaringan sosial tidak hanya beroperasi dalam satu tingkatan, melainkan
pada banyak tingkatan. Dilihat dari tingkatannya, jaringan terdiri dari
tiga jenis, yakni jaringan mikro, meso, dan makro (Damsar, 2009:160-
166). Pertama, jaringan sosial mikro merupakan jaringan sosial yang
35
terbentuk dari hubungan antar individu atau antar pribadi. Seseorang
yang berinteraksi dan berhubungan dengan orang lain secara pribadi
dan bukan atas nama kelompok berarti itu disebut sebagai jaringan
mikro. Jaringan mikro ini merupakan tingkatan jaringan yang paling
kecil. Jaringan mikro ini memiliki tiga fungsi, yakni sebagai pelicin,
sebagai jembatan, dan sebagai perekat. Sebagai pelicin berarti jaringan
sosial memberikan berbagai kemudahan dalam mengakses berbagai
macam barang dan/atau sumber daya. Jaringan sebagai jembatan pada
tingkatan mikro ini berarti sebagai media yang memudahkan hubungan
antar pribadi yang satu dengan pribadi yang lain. Sedangkan sebagai
perekat berarti jaringan sosial antar individu memberikan tatanan dan
makna kehidupan pada kehidupan sosial yang akan menjaga hubungan
antar pribadi tersebut. Kedua, jaringan meso berarti hubungan yang
dibangun para aktor dengan dan atau di dalam kelompok sehingga
terbentuk suatu ikatan. Jaringan pada tingkat meso ini juga memiliki
fungsi yang sama seperti jaringan pada tingkat mikro, yaitu sebagai
pelicin, jembatan, dan perekat. Ketiga, jaringan makro, yakni ikatan
yang terbentuk karena terjalinnya simpul-simpul dari beberapa
kelompok. Jaringan ini terajut dari ikatan antara dua kelompok atau
lebih. Kelompok dalam hal ini bisa dalam bentuk organisasi, institusi,
atau bahkan negara. Tidak seperti dua tingkatan sebelumnya, jaringan
tingkat makro ini lebih berfungsi sebagai jembatan yang memberikan
fasilitas atau saluran bagi terjalinnya komunikasi antar kelompok yang
terlibat.
Sementara itu, Dalton (1959), melihat jaringan sosial dapat
dianalisis atas dasar organisasi formal dan organisasi informal (dalam
Damsar, 2009:180). Formal berarti suatu hubungan dan ikatan yang
memang direncanakan, disetujui, bahkan diharuskan untuk terjadi
dalam rangka mencapai tujuan organisasi tersebut. Sedangkan informal
berarti ikatan-ikatan yang secara spontan, tidak disengaja dan
direncanakan, bahkan bersifat fleksibel di antara anggota-anggotanya
yang dituntun oleh perasaan-perasaan dan kepentingan tertentu seperti
36
komunitas informal atau kelompok-kelompok pergaulan. Sejalan pula
dengan Fukuyama (2005:251) yang mendefinisikan jaringan sebagai
kelompok-kelompok yang berbagi norma-norma dan nilai-nilai
informal. Ini menjadi penting karena menyediakan saluran alternatif
bagi penyebaran informasi kepada pihak-pihak yang terlibat di dalam
jaringan tersebut.
4) Kepercayaan
Modal sosial juga erat kaitannya dengan kepercayaan (trust).
Seperti yang diutarakan Ancok (2003:19) bahwa pada dasarnya modal
sosial bersumber pada rasa percaya pada setiap pihak yang terlibat
dalam interaksi sosial. Oleh karena itu, kepercayaan sangat penting bagi
seseorang yang ingin berhubungan dan bekerjasama dengan orang lain.
Kepercayaan membuat sebuah hubungan menjadi lebih mudah, karena
dengan adanya kepercayaan, tidak akan ada sikap curiga atau berburuk
sangka satu sama lainnya. Suatu hubungan dan kerjasama yang tidak
dilandasi oleh kepercayaan, tidak akan berjalan lancar, dan akan sulit
untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Secara sosiologis, kepercayaan
pada umumnya dikaitkan dengan keterbatasan perkiraan dan
ketidakpastian yang berkenaan dengan perilaku orang lain dan motif
mereka (Gambetta, 1988 dalam Damsar, 2009:201). Maka dengan kata
lain, rasa percaya akan menetralisir dan meningkatkan toleransi pada
ketidakpastian yang ada, sehingga suatu hubungan tidak akan diwarnai
dengan kecurigaan berlebih. Berikut beberapa definisi konsep
kepercayaan menurut beberapa tokoh (dalam Damsar, 2009:185-187),
Torsvik (2000) menyebutkan bahwa kepercayaan merupakan
kecenderungan perilaku tertentu yang dapat mengurangi
resiko yang muncul dari perilakunya.
Lawang (2004) menyebutkan bahwa kepercayaan merupakan
hubungan antara dua belah pihak atau lebih yang
mengandung harapan yang menguntungkan salah satu pihak
atau kedua belah pihak melalui interaksi sosial.
37
Diddens (2005) mengatakan bahwa kepercayaan biasanya
berfungsi untuk mereduksi atau meminimalisasi bahaya yang
berasal dari aktivitas tertentu.
Dari beberapa definisi yang berbeda tersebut, dapat disimpulkan
bahwa kepercayaan memang dibutuhkan di dalam kehidupan
bermasyarakat, terutama dalam berhubungan dan bekerjasama dengan
pihak lain. Kepercayaan dapat meminimalisir berbagai resiko yang
mungkin terjadi, sehingga mendorong tercapainya suatu tujuan tertentu
dengan mudah.
Menurut Giddens (2005) terdapat tiga lingkungan yang dapat
menimbulkan kepercayaan pada masyarakat modern, yaitu sistem
abstrak, relasi personal, dan orientasi masa depan (dalam Damsar,
2009:197-200). Sistem abstrak adalah mekanisme institusional yang
mencabut hubungan-hubungan sosial dari konteks lokal. Relasi
personal merupakan hubungan kekerabatan, persahabatan, dan
pertemanan. Pada masyarakat modern kepercayaan pada level personal
menjadi suatu proyek yang ‘dikerjakan’ oleh pihak-pihak yang terlibat,
dan menghendaki keterbukaan seorang individu terhadap orang lain,
adanya proses timbal balik dan keterbukaan diri. Sedangkan orientasi
masa depan berupa pemikiran kontra-faktual sebagai bentuk keterkaitan
masa lalu dan masa kini yang dapat menjadi lingkungan kepercayaan
pada masyarakat modern. Sedangkan Dunn (1984) menyebutkan bahwa
masyarakat modern lebih banyak berjalan di atas sistem kepercayaan
yang didasarkan atas cara-cara di mana institusi hadir di hadapan kita
dibandingkan pada kepercayaan emosional pribadi (dalam Damsar,
2009:203). Ini ditunjukkan ketika warga berada pada organisasi tertentu
yang menuntutnya bekerjasama dengan orang lain dan harus saling
percaya satu sama lain antar anggota organisasi dalam menjalankan
tugas dan mencapai tujuan bersama. Sehingga kepercayaan yang
terjalin bukanlah atas dasar emosional pribadi, melainkan atas dasar
profesional yang merupakan tuntutan institusi.
38
Kepercayaan berfungsi mengurangi atau meminimalisir
kompleksitas sosial serta memelihara keberlangsungan kehidupan
masyarakat yang harmonis. Kepercayaan juga akan memperbesar
keinginan dan kemampuan seseorang untuk bekerjasama dengan pihak
lain dalam mencapai suatu tujuan tertentu. Berdasarkan
kemunculannya, kepercayaan terbagi dalam dua bentuk, yakni
kepercayaan askriptif dan kepercayaan prosesual (Damsar, 2009:203).
Kepercayaan askriptif tumbuh di dalam sebuah hubungan yang
didasarkan pada ciri-ciri yang melekat pada pribadi seperti latar
belakang kekerabatan, etnis, dan keturunan. Sedangkan kepercayaan
prosesual tumbuh melalui interaksi sosial yang dibangun oleh para
aktor yang terlibat, seperti dalam hubungan bisnis. Kepercayaan
prosesual ini sejalan dengan apa yang diutarakan oleh Dunn
sebelumnya, bahwa kepercayaan yang dibangun atas dasar institusional
(profesional).
Kepercayaan tidak akan tumbuh dengan sendirinya, memerlukan
waktu dan proses yang lama untuk menumbuhkannya. Menurut Marnia
Nes (2008) dibutuhkan beberapa hal untuk memicu dan mendorong
terbentuknya modal sosial di dalam kehidupan suatu masyarakat. Maka
setidaknya dibutuhkan empat hal mendasar untuk menumbuhkan
kepercayaan di dalam suatu kelompok (komunitas), yaitu penerimaan,
berbagi informasi dan kepedulian, menentukan tujuan, serta
pengorganisasian dan tindakan. Tanpa adanya penerimaan yang baik
antar sesama warga, tidak akan terbangun hubungan yang harmonis
satu sama lain. Melalui penerimaan yang baik, akan terjalin hubungan
yang baik pula serta akan memudahkan dalam transfer informasi dan
menumbuhan sikap kepedulian antar sesama. Adanya tujuan bersama
juga akan mendorong terjadinya tindakan kolektif yang lebih
terorganisir, sehingga akan lebih mudah di dalam mencapai tujuan
tersebut.