bab i pendahuluan 1.1.latar belakang...

Download BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalaherepo.unud.ac.id/11155/2/28c13894d5a0be250644eb72def4545e.pdf · dominan adalah faktor ekonomi. Masalah kesempatan kerja semakin penting

If you can't read please download the document

Upload: hoangthuy

Post on 06-Feb-2018

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 1

    1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1.Latar Belakang Masalah

    Indonesia sebagai bangsa yang berdaulat dan merdeka wajib melindungi

    segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Oleh karena itu negara wajib

    melindungi warga negaranya dimanapun ia berada, sebagaimana yang telah

    diamanahkan oleh isi pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 Alenia terakhir yang

    berbunyi Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa

    Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia...

    Perpanjangan tangan pemerintah Indonesia di luar wilayah Negara Indonesia

    adalah perwakilan-perwakilan Pemerintah Republik Indonesia, yang mana

    perwakilan-perwakilan tersebut memiliki kewajiban untuk memupuk persatuan dan

    kerukunan antara sesama warga negara Indonesia di luar negeri serta wajib

    memberikan pengayoman, perlindungan dan bantuan hukum bagi warga negara dan

    badan hukum Indonesia di luar negeri. Dalam hal Warga Negara Indonesia terancam

    bahaya nyata, Perwakilan Republik Indonesia berkewajiban memberikan

    perlindungan, membantu dan menghimpun mereka diwilayah yang aman, serta

    mengusahakan untuk memulangkan mereka ke Indonesia atas biaya Negara.

    Dewasa ini telah terjadi pergeseran konsep mengenai keamanan terhadap

    manusia (human security). Pada masa lalu saat perang masih berkecamuk, ancaman

  • 2

    terhadap keamanan manusia selalu diartikan dengan ancaman dari luar negara,

    sehingga keamanan manusia difokuskan pada pengamanan negara seperti

    pengamanan masalah perbatasan, uji coba senjata dan peralatan militer dan

    pencegahan perang. Saat ini keamanan manusia lebih mengarah kepada individu

    dibandingkan terhadap negara. Isu-isu seperti kemiskinan, penghormatan terhadap

    hak asasi manusia termasuk di dalamnya perlindungan terhadap buruh migran

    mendapatkan perhatian yang lebih besar sebagai ancaman terhadap keamanan

    manusia.1

    Dalam konsep human security ini, negara tetap memiliki tanggung jawab

    yang besar terhadap keamanan individu. Sebagai subyek Hukum Internasional,

    negara memiliki hak dan kewajiban internasional. Adapun hak dan kewajiban negara

    terhadap individu pada hakekatnya ditentukan oleh wilayah negara tersebut dan

    kewarganegaraan dari individu yang bersangkutan. Menurut pendapat Sugeng Istanto,

    semua orang yang berada di wilayah suatu negara baik itu warganegaranya sendiri

    maupun orang asing harus tunduk pada kekuasaan dan hukum negara tersebut.2

    Meskipun untuk orang asing akan berlaku beberapa pengecualian seperti tidak

    mempunyai hak dalam pemilihan umum dan tidak berhak menduduki jabatan

    tertentu, hal ini dapat dimengerti karena orang asing juga tunduk pada hukum negara

    asalnya. Namun di lain pihak, negara juga mempunyai kewajiban untuk melindungi

    1I Dewa Palguna, 2008, Tanggung Jawab Individu dan Negara Menurut Hukum

    Internasional, Seri Kuliah Hukum Internasional, Jakarta, hal. 2 2 Sugeng Istanto, 1998, Hukum Internasional, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta,

    hal.42

  • 3

    warga negaranya yang tinggal atau berada di luar negeri. Hal tersebut sesuai dengan

    prinsip kewarganegaraan pasif yang menetapkan bahwa suatu negara mempunyai

    yurisdiksi atas orang yang melakukan pelanggaran hukum di wilayah negara lain,

    yang akibat hukumnya menimpa warga negaranya. Oleh karena itu, jika negara

    tempat terjadinya pelanggaran tidak mampu dan tidak mau menghukum pelaku

    pelanggaran, maka negara yang warga negaranya dirugikan berwenang untuk

    menghukum.3

    Tanggung jawab dan kewajiban suatu negara untuk melindungi warga

    negaranya yang berada di luar negeri diemban oleh fungsi diplomatic dan konsuler

    suatu negarayaitu perwakilan konsuler negara pengirim di negara penerima

    berkewajiban untuk melindungi warga negaranya dan kepentingan mereka.

    Faktor utama mobilitas tenaga kerja antar negara dipengaruhi hal yang

    dominan adalah faktor ekonomi. Masalah kesempatan kerja semakin penting dan

    mendesak, karena diperkirakan pertumbuhan angkatan kerja lebih cepat dari

    pertumbuhan kesempatan kerja. Hal ini akan mengakibatkan tingkat pengangguran

    yang semakin meningkat lebih-lebih dalam era krisis ekonomi dan moneter yang

    menlanda Indonesia saat ini yang ditandai dengan penyerapan angkatan kerja yang

    sangat sedikit, tingginya angka Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), nilai tukar rupiah

    3Ibid.

  • 4

    yang cernderung melemah. Dalam kondisi yang demikian alternatif yang paling tepat

    dilakukan adalah mencari pekerjaan di luar negeri.4

    Menurut Iman Syahputra Tunggal, dan Amin Widjaja Tunggal dengan

    semakin meluasnya pola perekonomian pasar dan pesatnya globalisasi perdagangan,

    keuangan, teknologi dan migrasi tenaga kerja antar negara maka dalam menganalisa

    konteks ekonomi perlu diletakkan pada konteks sistem sosial (social system) yaitu

    hubungan yang saling terkait antara apa yang disebut faktor ekonomi dan faktor non

    ekonomi. Faktor non ekonomi adalah sikap masyarakat dan individu dalam

    memandang kehidupan (norma budaya), kerja dan wewenang, struktur administrasi

    dan struktur birokrasi dalam sektor pemerintah/publik maupun swasta, pola-pola

    kekerabatan dan agama, tradisi budaya dan lain-lain.5

    Muncul kasus-kasus yang berkaitan dengan nasib tenaga kerja Indonesia

    (TKI) semakin beragamdan bahkan berkembang ke arah perdagangan manusia yang

    dapat dikategorikan sebagai kejahatan kemanusiaan. Untuk menjamin dan

    mempercepat terwujudnya tujuan penempatan dan perlindungan tenaga kerja

    Indonesia (TKI) di luar negeri, perlu di perlukan pelayanan dan tanggungjawab

    secara terpadu. Untuk mencapai tujuan tersebut di bentuk Badan Nasional

    Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), yang berfungsi

    4Michael Todaro P, 1998, Pembangunan ekonomi di Dunia Ketiga, Erlangga,

    Badung, hal. 90. 5Iman Syahputra Tunggal, Amin Widjaja Tunggal, 1999, Peraturan Perundang-

    Undangan Ketenagakerjaan Baru di Indonesia, Harvarindo, Jakarta, hal. 47.

  • 5

    merumuskan kebijakan di bidang penempatan dan perlindungan tenaga kerja

    Indonesia di luar negeri secara terkoordinasi dan terintegrasi.6

    Apabila seorang warga negara dari suatu negara pengirim mengalami suatu

    masalah di negara penerima maka perwakilan konsuler negara pengirim di negara

    penerima harus memberikan bantuan dan pertolongan. Maraknya peristiwa

    pelanggaran hukum yang menimpa warga negara Indonesia yang berada di luar

    negeri baik yang bekerja maupun menjalankan kegiatan lainnya menjadi peringatan

    keras bagi Pemerintah Indonesia untuk lebih memperhatikan perlindungan warga

    negara Indonesia yang berada di luar negeri.

    Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka saya tertarik untuk mengangkat

    skripsi yang berjudul TANGGUNG JAWAB NEGARA TERHADAP TENAGA

    KERJA INDONESIA DI LUAR NEGERI OLEH PERWAKILAN

    DIPLOMATIK BERDASARKAN HUKUM INTERNASIONAL.

    1.2.Rumusan Masalah

    Berdasarkan latar belakang di atas dalam skripsi ini ada 2 (dua) permasalahan

    pokok yang akan dibahas, yaitu :

    1. Faktor apakah yang menjadi penyebab perwakilan diplomatik belum dapat

    melindungi Tenaga Kerja Indonesia?

    2. Bagaimanakah tanggung jawab perwakilan diplomatik terhadap Tenaga

    Kerja Indonesia di Luar Negeri?

    6Mauna Boer, 2003, Hukum Internasional Pengertian Peranan dan Fungsi Dalam

    Era Dinamika Global, PT Alumni, Bandung, hal.597

  • 6

    1.3. Ruang Lingkup Masalah

    Agar pembahasan tidak menyimpang dari permasalahan yang dirumuskan,

    maka ruang lingkup masalah pertama yang akan dibahas menyangkut penyebab

    perwakilan diplomatik belum dapat melindungi Tenaga Kerja Indonesiadan tanggung

    jawab perwakilan diplomatik terhadap Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.

    1.4.Orisinalitas Penelitian

    Dalam rangka menumbuhkan semangat anti plagiat didalam dunia pendidikan

    di Indonesia, maka mahasiswa diwajibkan untuk mampu menunjukkan orisinalitas

    dari penelitian yang tengah dibuat dengan menampilkan beberapa judul penelitian

    terdahulu sebagai pembanding. Adapun dalam penelitian ini, peneliti akan

    menampilkan 3 (tiga) skripsi terdahulu yang pembahasannya berkaitan dengan

    tanggung jawab perwakilan diplomatik terhadap Tenaga Kerja Indonesia di Luar

    Negeri,antara lain:

    No Judul Skripsi Penulis Rumusan Masalah

    1.

    2.

    Ketidakpatuhan TKI

    Yang Tidak Terampil

    Terhadap Peraturan

    Perundang-Undangan

    Tentang Penempatan

    TKI ke Luar Negeri

    Peranan Kementerian

    Muslan

    Abdurrahman,

    Fakultas Hukum

    Universitas

    Diponegoro, 2006

    Chairiah Ulfa,

    1. Mengapa para TKI

    berangkat secara ilegal?

    1. Bagaimana tinjauan umum

  • 7

    3.

    Luar Negeri Indonesia

    dalam Menangani

    Masalah Hukum Yang

    Menimpa Tenaga

    Kerja Indonesia di

    Arab Saudi

    Aspek Perlindungan

    Hukum Hak-Hak

    Tenaga Kerja

    Indonesia di Luar

    Negeri

    Fakultas Hukum

    Universitas

    Sumatera Utara,

    Medan, 2011

    I Dewa Rai

    Astawa

    tentang Kementerian Luar

    Negeri?

    2. Bagaimana perkembangan

    Tenaga kerja Indonesia di

    Arab Saudi?

    3. Bagaimana peranan

    Kementerian Luar Negeri

    Indonesia dalam menangani

    masalah hukum yang

    menimpa Tenaga Kerja

    Indonesia di Arab Saudi?

    1. Apakah ada penyimpangan

    yang dilakukan TKI baik

    lewat PJTKI maupun non

    PJTKI di wilayah

    Kabupaten Grobogan?

    2. Upaya-upaya apa yang

    dilakukan dalam

    perlindungan hukum

    terhadap TKI diluar negeri

    yang dikirim PJTKI dan non

  • 8

    PJTKI?

    3. Bagaimana aspek

    perlindungan hukum dan

    hak-hak TKI di luar negri

    yang melalui PJTKI dan non

    PJTKI?

    1.5. Tujuan Penelitian

    1.5.1 Tujuan Umum

    1. Untuk mengetahui tinjauan umum tentang perwakilan diplomatik.

    2. Untuk mengetahui tinjauan umum tentang Tenaga Kerja Indonesia.

    1.5.2 Tujuan Khusus

    1. Untuk mengetahui penyebab perwakilan diplomatik belum dapat

    melindungi Tenaga Kerja Indonesia secara yuridis dan sosiologis.

    2. Untuk mengetahui fungsi dantanggung jawab perwakilan diplomatik

    terhadap Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.

    1.6.Manfaat Penelitian

    Hasil penelitian nantinya dapat bermanfaat baik secara teoritis maupun secara

    praktis, yaitu :

  • 9

    1.6.1 Manfaat Teoritis

    Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna dan

    bermanfaat serta meningkatkan khasanah pengetahuan bagi kalangan akademis

    dalam mempelajari bagaimana tanggung jawab negara terhadap tenaga kerja

    Indonesia di luar negeri oleh perwakilan diplomatik berdasarkan Hukum

    Internasional.

    1.6.2 Manfaat Praktis

    Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat

    bagi masyarakat serta dapat untuk menambah wawasan dalam bidang ilmu

    pengetahuan bagi para pihak dibidang Hukum Internasional.

    1.7.Landasan Teoritis

    Teori kedaulatan negara menurut Paul Laband dan George Jellinek adanya

    negara merupakan kodrat alam, demikian pula kekuasaan tertinggi terdapat pada

    pemimpin negara. Kodrat alam merupakan sumber kedaulatan. Penerapan hukum

    mengikat disebabkan karena dikehendaki oleh negara yang menurut kodrat memiliki

    kekuasaan mutlak.7

    Kemunculan teori ini dianggap sebagai kelanjutan dari teori kedaulatan

    rakyat. Ajaran ini pertama kali muncul di Jerman. Kemunculan teori ini

    terkonsepsikan dalam rangka mempertahankan kedudukan raja yang pada saat itu

    mendapatkan dukungan dari tiga lapisan masyarakat yang cukup besar, baik dari

    7 Sefriani, 2014, Hukum Internasional Suatu Pengantar, Rajawali Press, Jakarta,

    hal.203

  • 10

    golongan bangsawan (jungkertum), golongan militer, maupun alat-alat pemerintah

    atau birokrasi.

    Teori kedaulatan negara mengajarkan bahwa kekuasaan tertinggi terletak pada

    negara. Sumber kedaulatan adalah negara, yang merupakan lembaga tertinggi

    kehidupan suatu bangsa. Kedaulatan timbul bersamaan dengan berdirinya suatu

    negara. Demikian juga hukum dan konstitusi juga merupakan kehendak negara,

    diperlukan negara dan diabdikan kepada kepentingan negara.

    Menurut Jimly teori kedaulatan negara biasanya dibicarakan dalam konteks

    hukum Internasional karena teori kedaulatan ini bisa dipandang sebagai konsep

    kekuasaan negara yang bersifat eksternal yaitu hubungan antar negara, sementara

    ajaran kedaulatan lainnya dipandang sebagai konsep kekuasaan yang bersifat internal

    dan dianggap penting untuk dibahas dalam kajian Hukum Tata Negara.8

    Boer Mauna berpendapat bahwa kedaulatan negara diartikan sebagai

    kekuasaan tertinggi yang dimiliki suatu negara untuk secara bebas melakukan

    berbagai kegiatan sesuai dengan kepentingannya, selama tidak bertentangan dengan

    hukum Internasional.

    Pada dasarnya, ada dua macam teori pertanggungjawaban negara, yaitu

    pertama teori resiko (risk theory) yang kemudian melahirkan prinsip tanggung jawab

    mutlak (absolute liability atau strict liability) atau tanggung jawab objektif (objective

    responbility) yaitu bahwa suatu negara mutlak bertanggung jawab atas setiap kegiatan

    8 Sugeng Istanto, Op.Cit, hal.51

  • 11

    yang menimbulkan akibat yang sangat membahayakan (harmful effects of untra-

    hazardous activities) walaupun kegiatan ini sendiri adalah kegiatan yang sah menurut

    hukum. Kedua teori kesalahan (fault theory) yang melahirkan prinsip tanggung jawab

    subjektif (subjective responbility) atau tanggung jawab atas dasar kesalahan (liability

    based on fault) yang artinya bahwa tanggung jawab negara atas perbuatannya baru

    dikatakan ada jika dapat dibuktikan adanya unsur kesalahan pada perbuatan itu.9

    Tanggung jawab negara merupakan prinsip dasar di dalam hukum

    internasional. Prinsip ini semula dikenal di dalam hukum perdata, yang menyebutkan

    bahwa seseorang harus bertanggung jawab terhadap kesalahan yang telah dibuatnya.

    Dalam hukum romawi, konsep pertanggungjawaban negara disebut sebagai Sic Utere

    jure tuo ut alienum non laedes yang artinya bahwa seseorang boleh menggunakan

    haknya atas semua miliknya, tetapi harus dijaga agar tidak mencelakai atau

    merugikan orang lain.10

    Tanggung jawab negara muncul diakibatkan karena adanya prinsip

    persamaan dan kedaulatan negara yang diakui di dalam hukum internasional.

    Pertanggungjawaban negara tersebut pada dasarnya timbul karena adanya

    pelanggaran atas hukum internasional seperti pelanggaran terhadap perjanjian

    internasional, pelanggaran terhadap kedaulatan wilayah negara lain, penyerangan

    9 Sigit Riyanto, 2010, Pengantar Hukum Internasional, Bagian Hukum Internasional

    Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hal.51-52 10

    Yanti Fristikawati, 2005, Tanggung Jawab Negara Berkenaan Dengan Kerusakan

    Lingkungan Akibat Kegiatan Pada Reaktor Penelitian Nuklir, Disertasi, Universitas Katolik

    Parahyangan, Bandung,hal.73

  • 12

    terhadap negara lain hingga pelanggaran terhadap perwakilan diplomatik dari negara

    lain maupun warga negara asing.11

    Dalam hukum internasional dinyatakan bahwa suata negara mempunyai hak

    dan tanggung jawab untuk melindungi warga negaranya yang berada di luar negeri.

    Pernyataan ini sejalan dengan the Mavrommatis Palestine Concessions Case, the

    Permanent Court of International Justice by acts contrary to international Law

    committed by another state, from whom the have been unable to obtain satisfaction

    through the ordinary vannel.12

    Suatu negara bertanggung jawab atas pelanggaran

    terhadap orang asing, oleh sebab itu maka sebuah negara memiliki hak dan kewajiban

    untuk melakukan perlindungan diplomatik terhadap tenaga kerja Indonesia yang

    menderita kerugian di luar negeri. Lebih lanjut, Pasal 2 ayat (2) International Law

    Commision Draft Articles on Diplomatik Protection 2006 menyatakan bahwa a state

    has the right to exercise diplomatik protection in accordance with the present draft

    articles.13

    Tenaga kerja adalah tiap orang yang mampu melaksanakan pekerjaan baik

    didalam maupun diluar hubungan kerja guna menghasilkan barang atau jasa untuk

    11

    Jawahir Thontowi, 2006, Hukum Internasional Kontemporer, PT Refika Aditama,

    Bandung, hal.194 12

    Craig Forcese, The Capacity to Protect : Diplomatik Protection of Dual National

    in the War on Terror, European Journal of International Law, Vol.369, 2006, hal.373,

    ditelusuri di http://www.ejil.org/pdfs/17/2/79.pdf, diakses pada tanggal 25 mei 2014 pukul

    09.15 WITA. 13

    International Law Commisions Draft Artcles on Diplomatik Protection with

    Commentaries,ditelusuridihttp://untreaty.un.org/ilc/texts/instrumen/english/commentaries/9

    _8_2006.pdf,, diakses terakhir 25 Mei 2014

    http://www.ejil.org/pdfs/17/2/79.pdfhttp://untreaty.un.org/ilc/texts/instrumen/english/%20commentaries%20/9_8_2006.pdfhttp://untreaty.un.org/ilc/texts/instrumen/english/%20commentaries%20/9_8_2006.pdf

  • 13

    memenuhi kebutuhan masyarakat. Hal ini sesuai dengan undang-undang Nomor 14

    Tahun 1969, Pasal 1 tentang ketentuan-ketentuan pokok mengenai tenaga kerja.

    Demikian juga jika tenaga kerja wanita yang bekerja di perusahaan atau

    pabrik maupun yang menjual jasa dari tenaganya, harus mendapat perlindungan yang

    baik atas keselamatan, kesehatan, serta kesusilaan, pemeliharaan moril kerja serta

    perlakuan yang sesuai dengan martabat manusia dan moral agama. Hal ini telah

    diterapkan dalam pasal 10 UU No. 1969, yang berlaku baik tenaga kerja pria maupun

    wanita yang menyebutnya bahwa pemerintah membina perlindungan kerja yang

    mencakup :

    a. Norma Keselamatan Kerja ;

    b. Norma Kesehatan Kerja dan hygiene perusahaan ;

    c. Norma Kerja ;

    d. Pemberian ganti kerugian, perawatan dan rehabilitas dalam hal

    kecelakaan kerja.

    Pemerintah mempunyai kewajiban membina perlindungan kerja bagi tenaga

    kerja Indonesia, dan tidak membedakan antara tenaga kerja laki-laki dan tenaga kerja

    wanita.

    Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1969, pasal 2 menyebutkan bahwa :

    Didalam menjalankan undang-undang ini serta peraturan pelaksaannya tidak boleh

    diadakan diskriminasi.

    Namun dalam kenyataan menunjukkan bahwa ada peraturan-peraturan atau

    ketentuan yang hanya diperuntukkan sifat kodrat wanita, yang pada saat tertentu

  • 14

    mengalami haid, hamil, melahirkan dan sebagainya. Mengingat hal demikian

    pemerintah membina perlindungan kerja yang khusus bagi tenaga kerja wanita.

    Perlindungan suatu negara terhadap tenaga kerja Indonesia yang berada di luar

    negeri dikenal dengan istilah Diplomatic Protection. Craig Forcese berpendapat

    bahwa Diplomatic Protection adalah action taken by a state against another state in

    respect of injury to the person or property of national caused by an internationally

    wrongful act or omission attributable to the latter state.14

    Berbicara mengenai

    Diplomatic Protection maka hal ini akan berkaitan erat dengan peranan perwakilan

    konsuler dan tuntutan suatu negara ke negara lain berkaitan dengan adanya

    pelanggaran hukum internasional (Espousal of Claims).

    Berdasarkan pendapat Craig Forcese, kita dapat mengetahui bahwa

    perlindungan diplomatik akan diberikan oleh suatu negara kepada warga negaranya di

    luar negeri dalam hal jika :

    a. Ada tindakan yang melanggar hukum internasional.

    Dalam konteks ini, suatu negara pengirim mempunyai kewajiban untuk

    memberikan perlindungan terhadap warga negaranya di luar negeri apabila terjadi

    pelanggaran hukum internasional yang dilakukan oleh negara penerima terhadap

    warga negara dari negara pengirim. Adapun tindakan pelanggaran hukum

    internasional dari negara penerima ini dilakukan secara langsung maupun tidak

    langsung (dilakukan oleh pejabat negara). Dalam hal ini jika pelanggaran hukum

    internasional dikaitkan dengan masalah perlindungan diplomatik maka penjelasannya

    14

    Craig Forcese, Op. Cit., hal.375

  • 15

    akan mengarah pada pelaksanaan Pasal 3 Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan

    Diplomatik yang menyatakan bahwa, protection in the receiving state the interests

    of the sending state and its nationals, within the limits permitted by international

    law. Dalam pasal tersebut dijelaskan tentang perlindungan negara penerima terhadap

    kepentingan negara pengirim dan warga negaranya dengan batasan-batasan yang

    dijinkan oleh Hukum Internasional. Selain itu dalam Pasal 36 ayat (1a) Konvensi

    Wina 1963 tentang Hubungan Konsuler dinyatakan bahwa,

    Consular officials are free to communicate with nationals of the sending state

    and to have access to them. Nationals of the sending state shall have the same

    freedom with respect to communication with access to consular officers of the

    sending state.

    Pasal tersebut menerangkan bahwa perwakilan konsuler dari negara pengirim

    mempunyai kebebasan untuk berhubungan (berkomunikasi) dengan warga negaranya

    begitu juga dengan sebaliknya. Dengan kata lain pasal ini merupakan sebuah bentuk

    penegasan bahwa negara pengirim akan selalu meberikan perlindungan dan bantuan

    bagi warga negaranya di negara penerima baik itu ketika ada masalah maupun ketika

    tidak ada masalah. Hukum internasional mengatur bahwa suatu negara harus

    memperlakukan warga negara asing yang berada di dalam negaranya dengan baik,

    adanya perlakuan yang salah terhadap warga negara asing dianggap sebagai sebuah

    denial justice. Adapun pengertian denial justice adalah is sometimes loosely used

  • 16

    to denote any international delinquency towards and alien for which a state is liable

    to made reparation.15

    b. Individu yang menderita kerugian harus melewati pengadilan local.

    Syarat ke-2 ini terkenal dengan istilah Exhaustion local Remedies.

    Berdasarkan persyaratan ini maka warga negara asing yang mengalami perlakuan

    tidak baik (terjadi pelanggaran hukum internasional) yang dilakukan oleh negara

    penerima (baik secara langsung maupun tidak) maka warga negara asing dapat

    melakukan penuntutan dengan diharuskan menempuh jalur hukum domestik terlebih

    dahulu di negara tersebut sebelum diajukan ke Mahkamah Internasional. Perlu

    mendapat catatan disini bahwa yurisdiksi Mahkamah Internasional adalah

    menyelesaikan perkara hukum antara negara dengan negara. Dengan kata lain,

    perlindungan diplomatik suatu negara (bantuan hukum kepada negara lain) akan

    dilakukan apabila si warga negara tersebut telah menempuh upaya hukum local di

    negara penerima.

    c.Perlindungan tersebut harus dilakukan oleh negara dari individu (warga negara)

    yang menderita kerugian.

    Secara umum dapat dikatakan bahwa perlindungan diplomatik hanya dapat

    dilakukan oleh negara yang warga negaranya mengalami tindakan pelanggaran

    hukum internasional oleh negara lain. Hal ini seperti juga tertuang dalam Pasal 3 ayat

    (1) the International Law Commision Draft Articles on Diplomatik Protection 2006

    yang menyatakan bahwa, The Articles on Diplomatik Protection is the state of

    15

    Craig Forcese, 1963, Op. Cit., hal.376 J. Brierly, the Law of Nations, hal.286

  • 17

    nationality. Pasal ini ternyata membuka wacana lain mengenai pertanyaan siapakah

    yang dimaksud dengan warga negara itu dan bagaimana status kewarganegaraanya.

    Mengenai hal ini Pasal 4 the International Law Commision Draft Articles on

    Diplomatik Protection 2006 secara jelas menyebutkan bahwa,

    For the purposes of diplomatik protection of natural persons, a state of

    nationality means a state whose nationality the individual sought to be

    protected has acquired, descent, succession of states, naturalization or in any

    other manner, not inconsistent with international law.

    Berdasarkan pasal tersebut dapat diketahui bahwa untuk tujuan perlindungan

    diplomatik, kewarganegaraan asli seseorang dapat diperoleh karena kelahiran,

    keturunan, suksesi negara, naturalisasi atau cara lainnya yang tidak bertentangan

    dengan hukum internasional.

    1.8.Metode Penelitian

    1.8.1 Jenis Penelitian

    Jenis penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah penelitian hukum

    normatif, yaitu mengkaji pokok permasalahan yang dibahas dengan mengkaitkannya

    dengan peraturan perundanag-undangan dan pendapat-pendapat para sarjana dari

    berbagai sumber buku yang terkait dengan permasalahan, sehingga ditemukan titik

    pangkal dalam pembahasan.

  • 18

    1.8.2 Jenis Pendekatan

    Peter Mahmud Marzuki mengatakan bahwa pendekatan-pendekatan yang

    digunakan dalam penelitian hukum adalah pendekatan undang-undang (statute

    approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical

    approach), pendekatan komparatif (comparative approach) dan pendekatan

    konsepsual (conceptual approach).16

    Dalam penulisan ini digunakan pendekatan undang-undang yaitu mengkaji

    permasalahan dari segi hukum yang sumbernya berdasarkan pada peraturan

    perundang-undangan. Dan juga menggunakan pendekatan konsep yaitu mengutip

    pandangan-pandangan atau pendapat-pendapat para sarjana yang terdapat dalam

    buku-buku atau literatur-literatur yang relevan dengan permasalahan yang dibahas.

    1.8.3 Sumber Bahan Hukum

    1. Bahan Hukum Primer

    Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat mengikat berupa

    peraturan perundang-undangan, dalam tulisan ini bahan hukum primer yang

    digunakan adalah Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan

    Luar Negeri, Konvensi Wina Tahun 1963 tentang Hubungan Konsuler,

    Konvensi Wina Tahun 1961 tentang Hubungan Diplomatik, Undang-Undang

    Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar

    16

    Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Cet I, Prenada Media, Jakarta,

    hal.93

  • 19

    Negeri, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan

    Indonesia.

    2. Bahan Hukum Sekunder

    Bahan hukum sekunder adalahbahan hukum yang memberikan penjelasan

    terhadap bahan hukum primer berupa berbagai bahan kepustakaan yang

    diperoleh melalui buku-buku, karya tulis ilmiah, laporan-laporan dan literatur-

    literatur.

    3. Bahan Hukum Tersier

    Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk

    maupun penjelesan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder

    berupa kamus hukum, ensiklopedia dan lain-lain.

    1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

    Mengenai teknik yang diterapkan dalam pengolahan bahan hukum yang

    diperlukan dalam penelitian ini adalah melalui teknik telaah kepustakaan (study

    document). Telaah kepustakaan dilakukan dengan sistem kartu (card system) yakni

    dengan cara mencatat dan memahami isi dari masing-masing informasi yang

    diperoleh dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Dalam penerapan

    teknik telaah kepustakaan itu didukung pula oleh teknik bola salju dengan

    menggunakan bahan hukum sebanyak mungkin dari informasi yang awalnya sedikit

    sehingga bahan hukum yang diperoleh terkait dengan tanggungjawab negara terhadap

    TKI di luar negeri oleh perwakilan diplomatic berdasarkan hukum internasional.

  • 20

    1.8.5 Teknik Analisis Bahan Hukum

    Dalam penelitian hukum normatif, pengolahan bahan hukum pada

    hakikatnya merupakan kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-

    bahan hukum. Sistematisasi berarti membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum

    tersebut untuk memudahkan pekerjaan analisis dan kontruksi.17

    Bahan-bahan hukum tersebut diolah dengan langkah-langkah deskripsi,

    sistematisasi dan eksplanasi. Deskripsi yaitu penggambaran bahan-bahan hukum

    sebagaimana adanya. Sedangkan sistematisasi yaitu menghubungkan bahan hukum

    yang satu dengan bahan hukum yang lain sehingga tidak menunjukkan adanya

    kontradiksi antara bahan hukum yang satu dengan bahan hukum yang lain. Kemudian

    dilanjutkan dengan eksplanasi ialah memberikan uraian-uraian yang bersifat

    penjelasan serta argumentasi-argumentasi terhadap bahan hukum yang diperoleh.

    Bahan-bahan hukum yang telah diolah tersebut selanjutnya dianalisis dengan

    menggunakan metode interpretasi. Interpretasi yang digunakan adalah interpretasi

    gramatikal, sistematik dan otentik yang kemudian dianalisa berdasarkan teori-teori

    yang relavan dengan permasalahan yang ada. Hasil dari analisa tersebut kemudian

    ditarik kesimpulan secara sistematis agar tidak menunjukkan adanya kontradiksi

    antara bahan hukum yang satu dengan bahan hukum yang lainnya.

    17

    Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986,

    hal.251-252