bab i pendahuluan 1.1 latar...

34
15 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menekuni kerja kritik sastra memerlukan pengetahuan luas. Tanpa pengetahuan luas, kritik yang disajikan dangkal. Pengetahuan yang dimaksud dapat berupa pengetahuan mengenai kesastraan itu sendiri, misalnya tentang sejarah ataupun teori sastra, atau pengetahuan di luar kesastraan, misalnya sosial budaya, politik dan ekonomi. Bagi Frye (2000: 3) kritik sastra bukan sesuatu yang sederhana dari bagian besar sebuah aktivitas kesastraan, melainkan sebagai bagian yang esensial. Posisinya yang sangat esensial itulah yang menjadikan kritik sastra layak untuk dikaji. Kritik sastra pada hakikatnya bukan disiplin studi yang berdiri sendiri (Davi & Schleifer, tt: ix). Kritik sastra dapat bekerja bersama-sama dengan disiplin ilmu yang lain. Davi & Schleifer (tanpa tahun: 8) menunjukkan bahwa kritik sastra terkini telah bersinggungan dengan praktik kebudayaan, seperti bahasa, pengajaran, politik, psikologi, filsafat, ideologi dan sosiologi. Persingungan antara disiplin ilmu kritik sastra dengan disiplin ilmu lain menimbulkan dua implikasi. Pertama, sebagaimana yang dikatakan Rokhman (2003: 4), memiliki keuntungan sebab dapat meminimalisasi keterkucilan kritik sastra dengan disiplin ilmu lain. Keuntungan lainnya yani menciptakan kesejajaran objek penelitian, memicu toleransi antar disiplin ilmu, memperkaya 1

Upload: truongkhuong

Post on 01-Sep-2018

222 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

15

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Menekuni kerja kritik sastra memerlukan pengetahuan luas. Tanpa

pengetahuan luas, kritik yang disajikan dangkal. Pengetahuan yang dimaksud

dapat berupa pengetahuan mengenai kesastraan itu sendiri, misalnya tentang

sejarah ataupun teori sastra, atau pengetahuan di luar kesastraan, misalnya sosial

budaya, politik dan ekonomi. Bagi Frye (2000: 3) kritik sastra bukan sesuatu yang

sederhana dari bagian besar sebuah aktivitas kesastraan, melainkan sebagai bagian

yang esensial. Posisinya yang sangat esensial itulah yang menjadikan kritik sastra

layak untuk dikaji.

Kritik sastra pada hakikatnya bukan disiplin studi yang berdiri sendiri (Davi

& Schleifer, tt: ix). Kritik sastra dapat bekerja bersama-sama dengan disiplin ilmu

yang lain. Davi & Schleifer (tanpa tahun: 8) menunjukkan bahwa kritik sastra

terkini telah bersinggungan dengan praktik kebudayaan, seperti bahasa,

pengajaran, politik, psikologi, filsafat, ideologi dan sosiologi.

Persingungan antara disiplin ilmu kritik sastra dengan disiplin ilmu lain

menimbulkan dua implikasi. Pertama, sebagaimana yang dikatakan Rokhman

(2003: 4), memiliki keuntungan sebab dapat meminimalisasi keterkucilan kritik

sastra dengan disiplin ilmu lain. Keuntungan lainnya yani menciptakan

kesejajaran objek penelitian, memicu toleransi antar disiplin ilmu, memperkaya

1

16

pengetahuan kritikus dan meluasnya predikat kritikus yang tidak hanya disandang

oleh seorang ahli atau akademisi sastra. Kedua, menimbulkan persoalan di dalam

metode kerja kritik. Hal ini sebagaimana yang terlihat dalam perdebatan kritik

akademik dengan kritik para sastrawan.

Kritik Ganzheit yang menggabungkan antara disiplin ilmu kritik sastra dan

disiplin ilmu psikologi, menuai banyak tanggapan dari sisi metode yang

digunakan. Penggabungan itu sama dengan yang dilakukan Easthope melalui apa

yang disebut sebagai praktik penandaan (signiftying practice). Easthope (tanpa

tahun: 5) menyadari bahwa mengkombinasikan kajian teks sastra dengan budaya

populer dalam praktik penandaan akan menimbulkan polemik. Salah satu polemik

tersebut adalah persoalan mengkatagorikan antara teks sastra dengan teks di luar

sastra.

Banyak persoalan lain di dalam kritik sastra Indonesia yang telah

dikemukakan oleh para pakar, misalnya seperti yang dikemukakan oleh Pradopo

(2008)1 dan Semi (1985)

2. Persoalan yang dikemukakan oleh kedua pakar tersebut

hingga kini masih relevan untuk dicermati dan diperhatikan. Bahkan, tampak

bahwa pemikiran mengenai persoalan kritik sastra yang dikemukakan oleh kedua

pakar tersebut telah menjadi sebuah paradigma sebagaimana yang dikonsepkan

1 Persoalan kritik sastra Indonesia meliputi kurangnya tempat, kurangnya kritikus yang

profesional, terdapat perbedaan pandangan antara kritikus dengan sastrawan, tidak sesuainya teori

kritik dengan corak dan wujud kesastrawan Indonesia modern yang bersifat nasional dan regional,

pertentangan antara kritik sastra sastrawan dan kritik sastra akademik (hlm. 96). 2 Perkembangan kritik sastra yang kurang memuaskan akibat dari kurangnya majalah sastra, kritik

sastra sebagai kritik kewartawanan, kurangnya pendidikan sastra, anggapan yang tersebar

mengenai sastra yang hanya permainan belaka, kurangnya kebiasaan membaca, kurangnya

terjemahan sastra dunia, dan kurangnya kemampuan bahasa asing (hlm. 68).

17

oleh Faruk (2001: 7; 2012: 108), paradigma terbentuk apabila terjadi kesepakatan

pada komunitas tertentu mengenai berbagai pemikiran yang dianggap normal.3

Hal tersebut dapat dilihat dari munculnya persoalan-persoalan kritik sastra

yang juga disepakati oleh para aktivis sastra, misalnya anggapan mengenai

kredibilitas kritikus akademik yang masih di luar harapan (Muhammad, 2010:xii;

Saidi, 2006: 32—34; Situmorang, 2009: 16), minimnya kritik sastra (Darma,

1992: 366; Mahayana, 2009: 13; Malna, 2000: 119; 125; Sarjono, 2001: 157), dan

atau masih dinilainya kekakuan kritik sastra yang hidup di lingkungan akademis

(Mahayana, 2005: 225—226; 2009: 13; Lilis A, 2009: 13). Selain itu, persoalan

profesionalisme dan kemampuan kreatif seorang kritikus dalam menggugah

pembacanya (Damono, 1983: 37—38; Darma, 2007: 110; Kleden, 2004: 19),

masih selalu diperbincangkan.

Persoalan kritik sastra lainnya yang telah menjadi paradigmatik sifatnya ialah

sebagaimana yang dikemukakan oleh Mahayana (2007: xii) dan Salam (2008)

yang melihat praktik kritik dalam sastra Indonesia masih terpolariasi pada analisis

intrinsik dan ekstrinsik karya sastra. Padahal, sebagaimana yang dikemukakan

oleh Davi & Schleifer di atas, perkembangan kritik sastra saat ini telah mengarah

pada kerja kritik yang lintas disiplin. Keadaan semacam itu dapat menyuguhkan

sebuah konstruksi kewacanaan dalam kritik sastra.

Implikasinya, kritik sastra menjadi bagian dari formasi diskursif dalam

pembentukan subjek dan realitas dan dengan demikian dapat pula terlibat dalam

3 Paradigma yang dimaksud dalam teks ini, diakui Faruk, belum seketat paradigma dalam konsep

Khun (2001: 10; 2012: 111). Paradigma mengenai kritik sastra menurut Faruk (2009:1—13; 2012:

59—75), berupa kritik sastra humanis dan pembentukan subjek, kritik sastra strukturalis dan

penaklukan subjek, kritik sastra dikursif atau pasca-struktural, kritik sastra pasca-marxis, kajian-

kajian budaya, dan pendekatan kritis.

18

pembentukan subjek dan realitas dan dengan demikian dapat pula terlibat dalam

kepentingan ekonomi politik tertentu (Faruk, 2009: 13). Terdapat relasi yang

saling terkait antara kritik sastra sebagai sebuah disiplin ilmu dengan disiplin ilmu

lainnya. Hal senada disampaikan oleh Kleden (2004: 200) yang mengatakan

bahwa kritik sastra adalah bagian dari kritik yang lebih luas: akademis, politis,

kultural, ideologi, atau intelektual. Namun, wacana-wacana diskursif dalam kritik

sastra Indonesia saat ini belum mendapat perhatian yang maksimal. Masih kuat

kecenderungan paradigma kritik sastra sebagaimana yang dikatakan Mahaya dan

Salam di atas.

Paradigmatisasi kritik sastra juga dapat dilihat dari kemunculan H.B. Jassin

dan A. Teeuw yang menurut Toda (1984: 25) merupakan dua nama besar yang

tidak dapat dipisahkan dari sejarah penelitian dan pengenalan sastra Indonesia

modern. Berbagai tulisan kritiknya sering dijadikan acuan dalam penulisan kritik

sastra. Dengan kata lain, apa yang ditulis oleh Jassin misalnya, telah dijadikan

panutan atau pedoman dalam kesastraan Indonesia. Hal itu diungkapkan Faruk

(2001: 11; 2012: 111) dengan menunjukkan bagaimana tulisan Jassin mengenai

Chairil Anwar banyak ditiru dan dijadikan pedoman bagi pelajaran sastra di

berbagai institusi pendidikan.

Layak kemudian untuk dicermati mengenai paradigma kritik sastra.

Diperlukan landasan teoretis yang representatif dalam menentukan sebuah

paradigma kritik sastra. Konsep paradigma sebagaimana yang dikemukakan oleh

Thomas S. Khun dalam The Structure of Scientific Revolutions (1962) sangat

19

diperlukan dalam membantu dan menentukan landasan teoretis mengenai kritik

sastra.

Penelitian ini akan mengkaji paradigma kritik sastra A. Teeuw. Teeuw

sebagai seorang kritikus asing memiliki banyak pengaruh dalam khazanah sastra

Indonesia. Terutama setelah Teeuw ikut membimbing langsung program doktoral

sastra, kritik sastra diwujudkan dalam rangka penelitian sastra dengan

memperkenalkan bermacam-macam metode (Rahmanto, 1990). Berbagai bukunya

mengenai teori maupun kritik sastra banyak dijadikan acuan di dalam bahan

pengajaran karya sastra. Penelitian ini penting diteliti sebab kajian atau penelitian

paradigma kritik sastra jarang dilakukan. Padahal, penelitian semacam ini dapat

menambah khazanah keilmuan sastra itu sendiri.

Pemilihan kritik sastra A. Teeuw sebagai objek material untuk diteliti

berdasar pada dua hal. Pertama, pengaruhnya yang besar dalam khazanah sastra

Indonesia, sebagaimana yang dikatakan Rahmanto di atas. Kedua, A. Teeuw

merupakan kritikus asing yang belum banyak dikaji hasil kerja kritiknya secara

lebih mendalam.

1.2 Masalah Penelitian

Masalah dalam penelitian ini melingkupi dua hal. Pertama, bagaimanakah

paradigma kritik sastra A. Teeuw. Kedua, bagaimanakah terbentuknya pola-pola

paradigma pada kritik sastra A. Teeuw.

20

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan dan menganalisis paradigma

kritik sastra A. Teeuw. Selain itu, tujuan penelitian ini adalah menunjukkan pola-

pola paradigma yang terdapat dalam kritik sastra A. Teeuw.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini memiliki dua manfaat, yakni manfaat teoretis dan manfaat

praktis. Manfaat teoretis untuk mengakumulasi teori kritik sastra dan

mendiskripsikan serta menganalisis paradigma kritik sastra A. Teeuw.

Manfaat praktis dalam penelitian ini adalah untuk a) mendorong penelitian-

penelitian yang serupa agar wacana penelitian kritik sastra semakin mendapat

perhatian sehingga b) menyemarakkan perkembangan ilmu sastra menjadi acuan

dalam penelitian-penelitian berikutnya, khususnya dalam ilmu kritik sastra.

1.5 Tinjauan Pustaka

Sebuah buku Tentang Kritik Sastra: Sebuah Diskusi (1978) yang diedit oleh

Lukman Ali menyajikan tentang polemik kritik sastra antara kelompok Ganzheit

dan kelompok Rawamangun. Polemik yang dimunculkaan tidak terlepas dari

persoalan metode dalam mengkritik karya sastra. Bagi kubu Ganzheit kritik sastra

merupakan sebuah pembacaan totalitas, pertemuan antara manusia dengan karya

seni. Membaca karya sastra seperti memahami manusia, tidak memahaminya

setapak demi setapak, unsur demi unsur, dan bukan elemen-elemen yang datang

21

terlebih dahulu pada kita, melainkan totalitasnya (Budiman dan Mohamad, 1978:

4). Sementara itu, dalam pandangan aliran Rawamangun, kritik sastra

memerlukan kaidah dalam pelaksaan teknisnya. Kaidah tersebut yang nantinya

dapat menjelaskan data-data objektif sehingga kesan subjektifitas dalam menilai

karya sastra dapat dihindari (Effendi, 1978: 24—23).

Apa yang disajikan dalam buku tersebut pada dasarnya berkutat pada wilayah

orentasi sastra, menyangkut metode operasionalsiasi kritik sastra. Selain itu, usaha

dalam menentukan objektifitas dalam mengkritik juga telah ditunjukkan. Bagi

kelompok Ganzheit hal ini sangat jelas dikemukakan bahwa “yang penting

bukanlah satu keputusan yang bisa disetujui bersama oleh semua orang,

melainkan bagaimana ia mempertanggungjawabkan keputusan itu, satu keputusan

yang baginya—mungkin tidak bagi orang lain—satu kebenaran yang diyakini

(Budiman dan Mohamad, 1978: 6). Kritik sastra tetap mementingkan

pertanggungjawaban yang tidak lain adalah upaya mengungkapkan gagasan atau

argumentasi mengenai apa yang dibacanya.

Bagi kelompok Rawamangun, apa yang dikemukakan oleh kelompok

Ganzheit merupakan pelaksaan kerja kritik yang sangat subjektif. Namun, jika

dicermati kembali, aliran Rawamangun terjebak pada konsepnya sendiri. Apa

yang dikatakan sebagai “persedian” yang dikemukakan oleh kelompok

Rawamangun, menunjukkan bahwa kelompok ini berada pada ranah subjektif.4

4 Effendi (1978: 24), “Penanggap referat beranggapan, bahwa sikap penilai sebelum menghadapi

sebuah cipta sastra adalah sikap yang “dinafasi” oleh suatu “persedian” atau “apersepsi material”

tertentu yang tidak dibawa sejak penilaian dilahirkan, “persedian” yang tumbuh berkembang

berkat rangsangan lingkungan dalam arti seluas-luasnya: perhubungan mesra terus-menerus

dengan kehidupan cipta sastra, dengan hasil-hasil telaah sendiri atau orang lain, ilmu-ilmu yang

22

Subjektifitas yang dimaksud berupa penilaian yang sebenarnya tidak murni

objektif. Pengetahuan seoang kritikus sangat dipengaruhi oleh latar belakang

pengetahuan, budaya dan intensitas dalam bergelut dengan dunia yang

ditekuninya. “Persedian” sang kritikus yang satu dengan sang kritikus yang lain

tidak sama. Hal inilah yang kemudian dapat memberikan cara pandang, maupun

cara kerja kritik sastra yang berlainan.

Buku Kritik Sastra Indonesia Modern (2002) oleh Rachmad Djoko Pradopo

merupakan buku sejarah kritik sastra Indonesia. Buku yang mulanya berawal dari

disertasi ini menganalisis berbagai macam kritik sastra Indonesia secara lengkap

(Yudiono, K.S., 2009: 27). Dalam buku ini, Pradopo (2002: 13), menguraikan

teori mengenai dasar-dasar kritik sastra, jenis-jenis, dan metode-metode yang ada

dalam kritik sastra, juga, diuraikan segala wujud kritik sastra Indonesia, dan

mengenai teori-teori yang menjadi dasar kritik sastra Indonesia modern.

Ruang lingkup yang luas tersebut ditopang dengan penggunaan teori yang

memadukan berbagai macam pendekatan, yakni struktural, bandingan, sosiologi

sastra dan estetika resepsi. Namun, ruang lingkup yang luas menjadikan analisis

yang dilakukan kerap tumpang tindih secara teoretis. Teori kritik sastra MH.

Abrams tidak dioperasikan dengan teliti. Terkesan adanya penyederhanaan dalam

pelaksanaan teori tersebut. Hal ini misalnya dapat terlihat pada analisis mengenai

kritik sastra Armijin Pane. Dikatakan bahwa kritik Armijin Pane bercorak

ekspresif (Pradopo, 2002: 110). Persoalan utamanya adalah adanya pemahaman

terhadap „hamba sukma‟ sebagai suatu yang dianggap sebagai elemen ekspresif.

telah dicapai manusia, khususnya yang masih “dekat” dengan keperluannya sebagai penilai dan

aneka-ragam lagi.”

23

Padahal, sebagaimana yang kemudian dijelaskan dalam buku tersebut, bahwa

ternyata hamba sukma tersebut tidak dapat terlepas dari gambaran (cermin)

masyarakatnya, yang itu berarti terikat pada elemen mimetik. Hal serupa terjadi

misalnya pada analisis kritik sastra Sanusi Pane.

Buku tersebut tidak menjelaskan bagaimana kedua elemen ini sebenarnya

saling melengkapi, atau dapat pula saling bertumpang tindih. Tidak ada uraian

yang mengungkapkan persoalan tersebut. Akibatnya, kecenderungan untuk

menyederhanakan teori begitu tampak. Ketidakcermatan dalam penguasaan teori

menjadi titik lemah dalam buku ini.

Kecermatan dalam operasionalisasi teori juga tampak dari pemaduan dua

konsep teoretis yang sebenarnya berbeda. Uraian mengenai analisis dalam kritik

sastra dengan konsep norma Roman Ingarden yang disifatkan sebagai struktural

misalnya, membuktikan tiadanya batasan yang ketat antara strukturalisme sebagai

sebuah relasi antar unsur, dengan fenomenologisme yang menekankan keutuhan.

Makna dalam pengertian fenomenologis bukanlah kumpulan gagasan-gagasan,

simbol-simbol, orientasi-orientasi yang terpecah dan secara genetik berhubungan,

melainkan lebih merupakan totalitas (Faruk, 2010: 209). Namun, yang tejadi pada

buku tersebut menekankan totalitas yang diidentikkan dengan hubungan atau

relasi antar unsur. Apa yang kemudian disifatkan sebagai struktural, menjadi tidak

tepat, sebab sebenarnya bersifat fenomenologis. Kemungkinan ini terjadi sebab

teori sastra Rene Wellek dan Austine Warren yang telah mendarah-daging pada

„tubuh‟ penulisnya (Faruk, 2002: 18).

24

Hal ini sebenarnya telah disadari oleh Pradopo (2002: 71) dengan membawa

lebih jauh lagi analisis norma ke ranah sistem semiotik. Persoalannya kemudian,

apa yang disifatkan sebagai struktural itu kembali lagi ke soal fenomenologis.

Implikasi dari itu semuanya ialah analisis yang sekadar pada ranah

pengkatagorian berdasar fakta yang berupa teks kritik sastra yang dijadikan objek

mataerial penelitian tersebut. Tidak mengherankan jika kemudian analisis yang

dikemukakan berdasar pada apa yang tersaji dalam teks, secara tersurat, tanpa

memperhatikan wacana-wacana lain yang ada di sekitarnya secara lebih kritis.

Dikatagorikannya kritik Sutan Takdir Asisjahbana sebagai kritik pragmatik

misalnya, hanya didasarkan pada data tekstual mengenai tulisan-tulisan STA yang

menurut Pradopo (2002: 117) penuh semangat dan optimisme perjuangan.

Penelitian Pradopo tentang kritik sastra Indonesia, pada mulanya sudah

dilakukan pada penelitian sebelumnya yang kemudian dibukukan dengan judul

Prinsip-Prinsip Kritik Sastra (2003).5 Buku tersebut berisikan teori kritik sastra

dan analisis terhadap beberapa hasil kerja kritik seorang kritikus sastra. Di antara

kritikus yang diteliti hasil kerjanya ialah 1) H.B. Jassin, 2) Amal Hamzah, 3) Ajib

Rosidi, 4) J.U. Nasution, 5) Junus Amir Hamsah, 6) Boen S. Oemarjati, 7) M.S.

Hutagalung. Sebagaimana buku yang terakhir ditulis, analisis yang digunakan

dalam buku tersebut terbatas pada orientasi kritik M.H. Abrams yang tidak ditaati

dengan baik.

Namun demikian, buku ini telah membangun konsep kritik sastra sebagaimana

yang dikatakan Pradopo (2003:4) bahwa kekurangan kritik sastra Indonesia ialah

5 Cetakan buku pertama ini diterbitkan oleh Dwi Dharma dalam bentuk stensilan pada tahun 1967.

Buku ini bermula dari hasil penelitian skripsi. Tahun 1994, buku ini diterbitkan melalui jalur

penerbit formal (tidak stensilan). Di dalamnya memuat teori-teori mengenai kritik sastra.

25

ketika membicarakan karya sastra sendiri, sering sebatas pada tataran objektivasi

atau yang dinamakan “impressionistik”. Hal ini mengakibatkan kritik hanya

berupa kesan-kesan yang sifatnya masih pada tataran permukaan. Pradopo

(2003:4), kritik sastra seharusnya membahas karya sastra, menganalisis karya

sastra, sedang pembicaraan mengenai sastrawannya diletakkan pada nomor dua,

yakni sebagai penerang dari segi-segi yang gelap dalam karyanya. Sayangnya, apa

yang dikonsepkan itu, agar kritik harus proporsional, tidak teroperasikan dengan

baik pada analisisnya.

Sebuah Tesis Fungsi Sosial Kritik Sastra Sunda Ajib Rosidi (2007) yang

disusun oleh Teddi Muhtadin menyimpulkan tentang kritik sastra sunda Ajib

Rosidi yang berfungsi dalam mendorong renaisans sunda. Renaisans sunda

adalah kembali kejiwa aktif-kreatif leluhur sunda sebagai jalankeluar dari masalah

susbstansi yang dihadapi masyarakat sunda yakni kemerdekaan dan kebekuan

kebudayaan Sunda yang dipengaruhi oleh feodalisme Mataram serta dikukuhkan

oleh kolonialisme Belanda dan Jepang. Hal inilah yang merupakan substansi,

"ideologi" atau leading principle kritik sastra Sunda AR (Muhtadin, 2007: 71).

Medernisasi Eropa lebih mengarah kepada bentuk, sedangkan kritik sastra Sunda

AR lebih mementingkan isi atau substansi.

Tesis ini berangkat dari konsep fungsi kritik sastra Terry Eagleton dalam The

Fungcition of Criticism: from The Spectator to Post-Structuralism. Konsep

tersebut kemudian dipadukan dengan teori Raymond Williams tentang budaya

residu, bangkit dan dominan. Selain itu, digunakan pula pendekatan "diskursive

practice" yang dirumuskan oleh Muhammad A.S. Hikam dari karya-karya Michel

26

Foucault yang menganggap bahwa bahasa, di dalam dirinya, merupakan

representasi dari diployment (penjelasan) berbagai macam kekuatan; oleh karena

itu, bahasa merupakan salah satu space (ranah) tempat terjadinya konflik berbagai

kepentingan dan counter-hegemoni (hegemoni tanding).

Dari sisi ketersebaran wacana dalam kritik sastra, argumentasi yang muncul

melalui pendekatan teori yang digunakan sangat relevan. Tesis ini telah

menunjukkan praktik diskursif lain dalam kritik sastra secara lebih kritis. Namun,

kelemahannya ialah tidak ketatnya pada peguasaan orientasi kritik sastra sebagai

sesuatu yang teknis-metodelogis. Akibatnya, analisis yang tercipta terfokus pada

satu sisi saja, yakni sisi argumentasinya yang telah memasukkan wacana-wacana

lain dalam kritik sastra.

Buku Pengkajian Kritik Sastra Indonesia (2009) oleh Yudiono K.S. berisikan

mengenai teori kritik sastra serta analisis buku-buku kritik sastra. Terdapat

sepuluh buku yang dijadikan objek penelitian.6 Namun, analisis yang muncul

tidak mencerminkan ketaatan terhadap teori kritik sastra. Hal tidak terlepas dari

tujuan buku ini yang “misinya adalah merangsang dan menggugah semangat

mahasiswa untuk menulis kritik sastra yang kelak akan terbaca masyarakat luas”

(Yudiono, K.S., 2009: 134). Misi itulah yang menegaskan bahwa sejumlah buku

kritik sastra yang ditawarkan dalam buku tersebut bukan objek penelitian,

6 Kesepuluh buku kritik tersebut adalah 1) Kritik Sastra Indonesia Modern dalam Kritik dan Esai I

(H.B. Jassin, 1954), 2) Tanggapan Dunia Asrul Sani (M.S. Hutagalung, 1967), 3) Chairil Anwar

Sebuah Pertemuan (Arief Budiman, 1976), 4) Tergantung Pada Kata (A. Teeuw, 1980), 5) Sosok

Pribadi dalam Sajak (Subagio Sastrowardoyo, 1980), 6) Dari Mochtar Lubis hingga

Mangunwijaya (Th. Sri Rahayu Prihatmi, 1989), 7) Melawan Kucuran Keringat (Suripan Sadi

Hutomo, 1992), 8) Ahmad Tohari: Karya dan Dunianya (Yudiono K.S., 2003), 9) Taufiq Ismail:

Karya dan Dunianya (Sumito. A. Sayuti, 2005), dan 10) Tamsil Zaman Citra (Arif Bagusd

Prasetyo, dkk., 2007).

27

melainkan contoh-contoh kritik sastra Indonesia dari masa ke masa (Yudiono,

K.S., 2009: 132; 134). Pembicaraan mengenai buku kritik sastra yang terdapat

dalam buku tersebut hanya berkisar pada kesan-kesan belaka, atau menyerupai

resensi yang sekadar mengulas isi buku, tanpa mengkaitkannya dengan teori kritik

sastra.

Sebelum menerbitkan Pengkajian Kritik Sastra Indonesia, Yudiono K.S.,

menerbitkan buku Telaah Kritik Sastra Indonesia (1990). Buku tersebut bermula

dari sebuah tesis yang membahas tentang buku-buku kritik sastra Indonesia.7

Berbeda dengan buku yang ditulis terakhir, Telaah Kritik Sastra Indonesia masih

memperlihatkan penggunaan teori kritik sastra. Teori yang digunakan adalah teori

kritik sastra MH. Abrams.

Namun, operasionalisasi dari teori kritik Abrams terlalu disederhanakan.

Buku-buku yang dijadikan objek penelitian seolah-olah dipaksakan masuk ke

dalam katagori orientasi kritik, yakni objektif, ekspresif, dan mimetik. Sementara

paradigma pragmatik tidak ditemukan buku kritik yang masuk ke dalam

paradigma tersebut. Alasan pengkatagorian itu sendiri berdasar pada

“kecenderungan yang menonjol untuk memanfaatkan pendekatan tertentu”

(Yudiono K.S., 1990: 66). Hal ini menunjukkan bahwa analisis yang digunakan

sekadar pada tataran teknis-metodelogis (orientasi). Padahal persoalan dalam

kritik sastra Indonesia, terlebih yang telah berbentuk buku, bukan sekadar soal

orientasi belaka.

7 Buku yang dijadikan sampel sebanyak 21 buah. Pemilihan buku tersebut berdasar pada 1) belum

dibahas oleh Rachmad Djoko Pradopo yang pernah melakukan penelitian kritik sastra Indonesia

tahun 1966—1967 dan, 2) buku tersebut dianggap mewakili keseluruhan bahan penelitian

(Yudiono, K.S., 1990: 17).

28

Buku Kritik Sastra Indonesia di Yogyakarta 1966—1980 (2009) oleh Tirto

Suwondo dkk. Buku tersebut merupakan hasil penelitian mengenai kritik sastra

Indonesia yang berada di Jogjakarta pada rentang waktu 1966 sampai dengan

1980. Sampel yang digunakan merupakan media massa yang terbit di Yogyakarta.

Di antaranya adalah Minggu Pagi, Kedaulatan Rakyat, Mercu Suar (Masa Kini).

Basis, Semangat, Suara Muhammadiyah, dan Pelopor. Penelitian tersebut

mengunakan teori dari Jauss dan Isser dengan prinsip dasarnya horizon harapan

(horizon of expectation) dan tempat terbuka (blank, apenness) yang dipadukan

dengan Ronald Tanaka, Said dan Abrams. Hasil penelitian hanya berupa diskripsi

dan pemetaan nama-nama kritikus. Selain itu, (Suwondo dkk, 2009: 110),

menyimpulkan pula bahwa kritik sastra Indonesia di Yogyakarya selama rentang

waktu 1966 sampai dengan 1980 bersifat impresionestik. Hal itu disebabkan oleh

media massa yang berkembang pesat dan digunakan sebagai sarana yang efektif

oleh para kritikus saat itu.

1.6 Landasan Teori

1.6.1 Kritik Sastra

Memahami definisi kritik sastra, akan lebih baik jika dilakukan dengan

mengetahui landasan etimologisnya. Selain itu, kritik sastra harus dipahami

sebagai ilmu pengetahuan sebab telah menjadi disiplin ilmu sendiri dalam isntitusi

pendidikan sastra. Melalui pemahaman terhadap kritik sastra sebagai ilmu

pengetahuan, dapat mengantarkan ke dalam konsep paradigma sebagaimana yang

dikonsepkan oleh Khun.

29

1.6.1.1 Etimologi

Kritik sastra tidak dapat dapat dipahami pengertiannya tanpa menelusuri jejak

etimologisnya. Pengertian kritik (sastra) berasal dari kata krites (Yunani Kuno)

yang artinya „hakim‟ (Habib, 2005: 9; Pradotokusumo, 2002: 39; Semi,1985: 7).

Bentuk krites inilah yang menjadi dasar kata kritik yang digunakan saat ini.

Kata krites sendiri berasal dari kata krinein yang berarti menghakimi,

membanding, atau menimbang (Pradotokusumo, 2002: 39; Semi,1985: 7). Kata

kritikos digunakan oleh kaum Pergamon yang dipimpin oleh Crates. Kata tersebut

digunakan untuk membedakannya dengan kaum gramatikos, yakni kaum yang

ahli dalam bidang gramatikal bahasa. Kaum gramatikos dipimpin oleh Aristarchos

di sebuah wilayah yang bernama Alexandria. Abad ke-2 M istilah kritikos dan

grammatikos memiliki arti sama. Hal ini menjadikan kata kritikos sendiri leyap

tidak dipergunakan lagi pada zaman itu.

Istilah criticus dalam sastra Latin memiliki arti lebih tinggi dari kata

gramaticus. Hal itu dikarenakan isilah criticus memiliki juga arti „penafsiran

naskah‟ dan „penafsiran kata-kata‟. Pengertian criticus atau kritikos sebagai

literary criticism dalam khasanah kesastraan Inggris dipelopori oleh Quintilian

dan Aristoteles (Yudiono KS, 2009: 29). Istilah tersebut pada abad pertengahan

Eropa hanya muncul pada bidang kedokteran. Pengertiannya pun mengalami

perubahan, yakni untuk menyatakan suatu penyakit yang kritis atau sangat

membahayakan bagi penderitanya. Pada zaman Renaissance, pengertian dari

istilah tersebut kemudian kembali ke awal. Seorang bernama Poliziano di tahun

30

1492 mengunakan istilah-istilah tersebut untuk membedakannya dengan filsuf.

Sementara itu, istilah criticus dan gramaticus digunakan untuk menunjuk orang

yang tekun dan mendalami bidang sastra lama. Kemudian istilah ars critica

digunakan untuk mempergunakan Alkitab oleh pujangga Erasmus.

Kalangan Humanisme kemudian mempersempit pengertian istilah tersebut

yang sebatas pada penyuntingan dan pembetulan teks-teks kuno. Kemudian di

akhir tahun 1600, pengertian kritik terbatas pada cakupan pembetulan dan edisi,

pernyataan pengarang, sensor dan penghakiman serta sintaksis. Perkembangan

selanjutnya, istilah kritik digunakan untuk orang yang melakukan kerja kritik dan

juga kegiatan kiritik itu sendiri. Sementara itu, pada abad 19, di Perancis dan

Amerika mulai dikenal dua pengertian secara luas. Istilah critique digunakan

untuk menunjuk atau membicarakan tentang seorang pengarang tertentu,

sementara istilah criticism menunjuk kepada teori-teorinya. Di Jerman terdapat

istilah kritish yang berasal dari Perancis, dan Literaturwissenscht yang berarti

teori sastra (Yudiono KS, 2009: 30).

1.6.1.2 Definisi dan Orientasi

Kritik sastra merupakan studi tentang definisi, klasifikasi, analisis,

interpretasi, dan evalusasi karya sastra (Abrams, 1999: 49). Interpretasi yang

dikemukakan Abrams (1999: 127) dibagi menjadi dua, yakni interpretasi dalam

arti sempit dan interpretasi dalam arti luas. Pengertian arti sempit berarti

memperjelas atau menjernihkan arti bahasa secara analisis, parafrase, dan

31

komentar. Sementara dalam arti luas, interpretasi berarti memperjelas karya sastra

dalam segala bentuknya, seperti genre, unsur-unsur struktur, tema dan efeknya.

Abrams (1999: 50) membagi kritik sastra menjadi dua, yakni kritik teoretis

dan kritik aplikatif. Kritik teoretis bertujuan mengeksplisitkan teori sastra, prinsip-

prinsip umum, kumpulan bentuk, perbedaan, dan katagori, sebagai dasar yang

dapat diaplikasikan pada karya sastra untuk mengidentifikasi dan menganalisis

berdasar kriteria sastra (Abrams, 1999: 50). Kritik teoretis lebih banyak

menyajikan berbagai macam teori-teori kritik.

Dikemukakan oleh Abrams (1999: 50), para intelektual dalam bidang kritik

teoretis di antarnya adalah Longinus di Yunani; Horace di Roma; Boileau dan

Sainte-Beuve di Perancis; Baugmgarten dan Goethe di Jerman; Samuel Johnson,

Coleridge, dan Matthew Arnold di Inggris; serta Poe dan Emerson di Amerika.

Buku-buku kritik teoretis di abad XX, yang disebutkan Abrams (1999: 50) di

antaranya adalah I.A. Richard, Principles of Literary Criticism (1924); Kenneth

Burke, The Philosophy of Literary Form (1941, rev. 1957); Eric Auebach,

Mimesis (1946); R.S. Crane, ed., Citic and Criticism (1952); dan Northrop Frye,

Anatomy of Criticism (1957).

Kritik aplikasi memfokuskan diri pada diskusi seputar karya sastra dan

pengarangnya, mengaplikasikan teori kritik, prinsip-prinsip teori dalam

menganalisis, menginterpretasikan dan mengevaluasi karya sastra dan

pengarangnya (Abrams, 1999: 50). Beberapa pakar dan bentuk kritik aplikasi ini,

dicontohkan oleh Abrams (1999: 50) adalah tulisan Dryden dalam Restoration;

Dr. Johnson‟s Lives of the English Poet (1779—81); Mattheew Arnold‟s Essays in

32

Criticism (1868); I.A. Richard Practical Criticism (1930); T.S. Elio‟t Selected

Essay (1932); dan beberapa kritik oleh Virginia Wolf; F.R. Leavis; dan Lionel

Trilling.

Kritik aplikasi masih dikatagorikan lagi menjadi dua bentuk, yakni kritik

impresionistik dan kritik yudisial (Abrams, 1999: 51—52). Kritik impresionistik

merupakan kritik yang mengarah pada impresi atau kesan-kesan kritikus terhadap

karya sastra maupun pengarangnya. Kritik yudisial merupakan kritik yang

menganalisis dan menerangkan efek karya ssstra menurut subjek, organisasi,

tekhnik, serta gaya berdasarkan pertimbangan standar umum tentang kehebatan

dan keluarbiasaan sastra.

Abrams (1979:6) menguraikan empat unsur dalam kritik sastra. Pertama,

karya sastra (work), sebagai produk dari seorang pengarang. Kedua, pengarang

(arts), itu sendiri yang menghasilkan karya sastra. Ketiga, alam (universe) yang

memberikan ide dan bahan untuk membuat karya sastra oleh seorang pengarang,

dan keempat adalah pembaca (audience). Unsur keempat ini yang memberikan

makna, penafsiran dan respon terhadap karya sastra. Karya sastra yang dihasilkan

oleh pengarang dari ide-ide yang berasal dari alam, ditujukan kepada elemen

keempat ini, yakni pembaca. Keempat elemen tersebut jika dibagankan akan

tampak seperti di bawah ini.

33

Bagan 1

Orientasi Kritik Sastra M.H. Abrams

Keempat unsur tersebut saling berkaitan. Orientasi kritik sastra menurut

Abrams didasarkan pada hubungan antar unsur tersebut. Kritik sastra yang

menghubungkan antara karya sastra dengan alam dinamakan kritik mimetik; kritik

sastra yang menghubungkan antara karya sastra dengan pembaca dinamakan kritik

pragmatik; kritik sastra yang menghubungkan antara karya sastra dengan

pengarang dinamakan kritik ekspresif; dan kritik sastra yang mengkaji tentang

karya sastra itu sendiri dinamakan kritik objektif (Abrams, 1999: 51—52).

Abrams (1979) menyebut keempat orientasi tersebut sebagai teori, yakni teori

mimetik, teori pragmatik, teori ekspresif dan teori objektif.

1.6.1.3 Kritik Sastra sebagai Ilmu

Kritik sastra dalam penelitian ini, ditempatkan ke dalam kerangka ilmu

(science), bukan pengetahuan (knowledge). Penekan ini untuk menghindari

kemunculan perbedan konsep antara ilmu dan pengetahuan. Meskipun, dalam

ALAM

(UNIVERSE)

KARYA SASTRA

(WORK)

PEMBACA

(AUDIENCE)

PENGARANG

(ARTS)

34

beberapa hal keduanya disamakan, atau digabungkan menjadi satu frase, „ilmu

pengetahuan‟, namun, keduanya tetap memiliki perbedaan yang mendasar.

Diperlukannya penjelasan mengenai kritik sastra sebagai ilmu, bertujuan

untuk mengantarkan dalam memahami, menelaah dan menggunakan pengertian

paradigma Thomas S. Khun. Bermula dari hal itu, dapat ditemukan kemudian

bagaimana paradigma-paradigma yang terdapat dalam kritik sastra.

Pemahaman mengenai paradigma harus ditujukan kepada khazanah ilmu

sebagaimana yang dikatakan Khun (2008:1), bahwa sebagai sebuah khazanah,

revolusi ilmu bukan sekadar sebagai anekdot atau kronologi sejarah. Khun lebih

memilih menggunakan diksi ilmu (science) daripada diksi pengetahuan

(knowledge) pada judul bukunya, The Structure of Scientific Revolution. Hal ini

mengidentifikasikan bahwa konsep paradigma lebih ditekankan kepada sebuah

kazanah ilmu.

Penting dikemukakan mengenai ilmu dan pengetahuan untuk menjelaskan

pengertian atau konsepnya. Dikatakan Suriasumantri (2007:294), pengetahuan

(knowledge) merupakan terminologi generik sementara ilmu (science) merupakan

anggota (species) dari kelompok (genus) tersebut. Sebagai anggota dari kelompok,

ilmu ditandai oleh tiga terminologi, yakni ontologis, epistemologis dan aksiologis.

Ontologis terdiri atas dua kata, yakni ontos dan logos. Ontos berarti sesuatu yang

berwujud, dan logos yang berarti ilmu. Terminologi ontologis dengan demikian

berkaitan dengan ilmu tentang sesuatu, tentang “ada” (Adib, 2011: 69;

Suriasumantri, 2009: 5).

35

Epistemologi, terdiri atas dua kata, yakni episteme yang berarti pengetahun

dan logos yang memiliki arti ilmu. Terminologi epistemologis merupakan teori

pengetahun, yakni membahas cara memperoleh pengetahuan (Adib, 2011: 69;

Suriasumantri, 2009: 9). Sementara terminologi aksiologis berkaitan dengan nilai-

nilai, manfaat atau kegunaan ilmu.

Kritik sastra, memiliki ketiga kategori tersebut. Terminologi ontologis berupa

persoalan kritik sastra yang menyangkut pada analisis, penilaian dan penghakiman

karya sastra. Sementara terminologi epistemologi dalam kritik sastra, yakni

terdapatnya berbagai teori, metode dan pendekatan dalam kritik sastra. Penekanan

antara teori, pendekatan dan metode dalam kritik sastra, sering menjadi tumpang

tindih. Teori sosiologi sastra misalnya, juga disebut sebagai pendekatan sosiologi

sastra. Begitu juga dengan teori hermeutika, juga kerap dilekatkan sebagai metode

hermeutika.

Teori kritik sastra, dapat disebut dengan teori sastra, sebab, di dalam kritik

sastra juga terdapat teori sastra yang dioperasionalkan. Teori kritik sastra itu yang

dinamakan sebagai kritik teoretis (theoretical criticism) dalam istilah Abrams.

Dalam kritik sastra, terdapat berbagai macam teori, misalnya teori strukturalisme,

strukturalisme dinamik, strukturalisme genetik dan teori-teori post-struktural dan

post-modern.

Metode dalam kritik sastra dalam dikatagorikan ke dalam metode intuitif,

metode hermeutika, metode kualitatif, metode analisis isi, metode formal, metode

dialektika, dan metode deskriptif analitis, sebagaimana yang dicontohkan Ratna

(2006). Metode sendiri berasal dari bahasa Latin, yakni methodos yang memiliki

36

akar kata meta dan hodos. Meta memiliki arti menuju, melalui, mengikuti,

sesudah, sementara hodos, memiliki arti jalan, arah, cara. Dengan demikian, arti

secara luas, metode memiliki arti sebagai strategi untuk memahami realitas,

langkah-langkah sistematis untuk memecahkan rangkaian sebab akibat berikutnya

(Ratna, 2006: 34). Sementara pendekatan, berbeda dengan teori dan metode.

Ratna (2006: 41) menjelaskan bahwa pendekatan memiliki tingkat abstraksi lebih

tinggi daripada teori dan metode. Dalam sebuah pendekatan, dimungkinkan

mengunakan sejumlah teori dan metode. Pendekatan dalam kritik sastra, menurut

Ratna (2006: ) dapat dibedakan menjadi menjadi pendekatan sosiologi sastra,

pendekatan psikologi sastra dan pendekatan antropologi sastra.

Terminologi aksiologis dalam kritik sastra, sebagaimana yang telah dijelaskan

pada pembahasan sebelumnya, kritik sastra memiliki banyak manfaat. Baik yang

berupa manfaat untuk perkembangan keilmuan (kritik) sastra sendiri, maupun

untuk memberikan penjelasan kepada masyarakat mengenai karya sastra yang

dikritik. Dikatakan Pradopo (2002: 35—38; 2003: 14), kritik sastra memiliki

kegunakan a) untuk keilmuan sastra, b) untuk perkembangan kesastraan dan c)

untuk kepentingan masyarakat yang menginginkan penerangan tentang karya

sastra. Kritik sastra sebagai ilmu, jika dibagankan akan tersaji seperti Bagan 2

Landasan Pengetahuan Ilmu Kritik Sastra di bawah ini.

37

Bagan 2

Landasan Pengetahuan Ilmu Kritik Sastra

1.6.2 Paradigma Thomas S.Khun

Paradigma yang dikemukakan Thomas S. Khun (2008: 170), menunjukkan

sejenis unsur dalam konstalasi (kepercayaan, nilai, teknik, yang dimiliki bersama

oleh anggota masyarakat tertentu), pemecahan teka-teki yang konkret, yang jika

digunakan model atau contoh, dapat menggantikan kaidah-kaidah yang eksplisit

sebagai dasar bagi pemecahan teka-teki sains yang normal yang masih tertinggal.

Konsep tersebut ditegaskan lagi dengan menganologkan paradigma dengan

„matriks disipliner‟. „Disipliner‟ karena ia mengacu kepada dimilikinya disiplin

tertentu oleh para pemraktek bersama-sama, dan „matriks‟ karena ia terdiri atas

Ilmu Kritik Sastra

Epistemologis Aksiologis Ontologis

Bagaimana Mengapa/Untuk Apa Apa

Metode Manfaat Teori

1. Intuitif

2. Hemeutika

3. Kualitatif

4. Analisis isi

5. Formal

6. Dialektika

7. Deskriptif

analisis

1. keilmuan sastra,

2. perkembangan

kesastraan dan

3. kepentingan

masyarakat yang

menginginkan

penerangan tentang

karya sastra

1. Strukturalisme

2. Strukturalisme

dinamik

3. Strukturalisme

genetik

4. Posmo

38

beberapa jenis unsur yang tertata yang masing-masing memerlukan spesifikasi

lebih lanjut (Khun, 2008: 177). Jenis unsur yang tertata dan membentuk

keseluruhan serta berfungsi bersama itu yang kemudian dikonsepkan sebagai

paradigma.

Terdapat empat unsur yang dikemukakan oleh Khun mengenai paradigma

(2008). Pertama, „generalisasi simbolis‟, yakni ungkapan yang digunakan tanpa

keraguan atau penolakan oleh anggota kelompok yang dapat ditungkan ke dalam

bentuk yang logis. Kedua, model. Khun membagi model menjadi dua, yakni

model heruistik dan model ontologis. Model heuristik merupakan model yang

membantu dalam penemuan atau dalam belajar, sementara model ontologis

merupakan model yang berdasarkan eksistensi. Model digunakan untuk

membantu menjelaskaan dan memecahkan teka-teki. Begitu sebaliknya, daftar

teka-teki yang belum dipecahkan dapat mengacu kepada model yang telah ada.

Ketiga, nilai-nilai. Nilai-nilai sebagai unsur paradigma merupakan ukuran

dalam mempertimbangkan keakuratan, margin kesalahan, teori, kesedehanaan,

konsistensi, kelogisan. Setiap ilmuan atau kelompok ilmuan, kadang tidak pernah

sama dalam menentukan standar nilai yang diacu. Namun demikian, nilai bersama

dapat menjadi determinan penting dari perilaku kelompok meskipun tidak semua

anggota kelompok menerapkan dengan cara yang sama. Keempat, eksemplar,

yakni sederet masalah yang dipelajari bersama beserta pemecahannya. Banyaknya

eksemplar yang kemudian bermunculan, dapat mempengaruhi generasi simbolik.

Khun menempatkan eksemplar sebagai unsur dalam matrik disipliner yang

memerlukan banyak perhatian.

39

Mempelajari sederet masalah beserta pemecahannya (eksemplar),

memerlukan keterampilan dalam memahami teori dan kaidah dalam memecahkan

masalah. Hal yang perlu ditekankan adalah tidak semua teori dapat menjelaskan

tentang fakta. Sementara kaidah, merupakan „titik pandang yang mapan‟ atau

dengan „prakonsepsi‟ sebagai sebuah pembatasan, baik sifat pemecahan-

pemecahan yang dapat diterima maupun langkah-langkah untuk memperolehnya

(Khun, 2008: 38).

Teori hanya dapat menjelaskan dari sebagian kecil fakta yang diperoleh.

Tidak ada teori yang pernah mendapat tempat terbuka bagi semua kemungkinan

tes yang relevan, mereka bukan menanyakan apakah suatu teori telah diverifikasi,

melainkan menanyakan probalitasnya dilihat dari kenyataan yang benar-benar ada

(Khun, 2008: 142). Tidak ada jawaban yang lebih tepat bagi pertanyaan apakah

atau sejauh mana teori individual cocok dengan fakta (Khun, 2008: 144).

Penekanannya hanya pada kesesuaian antara salah satu teori dengan fakta yang

ada.

Khun mencontohkan pada kasus teori Priestlye dan Lavoisier setelah satu

dasawarsa, ternyata teori Lavoiser lebih sesuai dengan fakta yang dikemukakan.

Namun demikian, ketidaksesuaiaan antara teori dan fakta tersebut meneguhkan

karakteristik sains yang normal. Khun (2008: 143), menjelaskan bahwa

ketidaklengkapan dan ketidaksempurnaan kesesuaian data-teori yang ada yang,

kapan pun menetapkan banyak teka-teki yang menjadi karakteristik sains yang

normal. Dikatakan Khun (2008: 10), „sains yang normal‟ berarti riset yang dengan

teguh berdasar atas satu atau dua lebih pencapaian ilmiah yang lalu, pencapaian

40

yang oleh masyarakat ilmiah tertentu pada suatu ketika dinyatakan sebagai

pemberi fondasi bagi praktik selanjutnya.

Dipaparkan Khun (2008: 96), teori dapat berkembang menjadi teori baru

ketika, pertama, terdiri atas gejala-gejala yang telah diterangkan dengan jelas oleh

paradigma yang ada, dan gejala itu jarang menyajikan motif atau titik tolak bagi

penyusunan teori. Kedua, terdiri atas gejala-gejala yang sifatnya ditunjukkan oleh

paradigma-paradigma yang ada, tetapi yang rinciannya hanya dapat dipahami

melalui artikulasi teori selanjutnya. Ketiga, anomali-anomali yang diakui yang

karena karakteristiknya menandakan kerumitannya dalam menolak

pengasimilasian kepada paradigma-paradigma yang ada. Selain itu, supaya

diterima sebagai sebuah paradigma, sebuah teori harus tampak lebih baik daripada

saingannya, tetapi tidak perlu, dan memang tidak pernah, menerangkan semua

fakta yang dapat dihadapkan kepadanya (Khun, 2008: 17). Tidak semua teori

adalah paradigma (Khun, 2008: 60). Semntara teori, dapat menjadi paradigma

ketika telah memenuhi keempat unsur paradigma.

Standar verifikasi sebagai cara mengartikulasikan teori tidak jauh beda

dengan maksud falsifikasi Karl Popper, yakni teks yang, karena hasilnya negatif,

mementingkan penolakan teori yang mapan. Penolakan itu terjadi jika berulang

kali terjadi kegagalan-kegagalan atau ketidaksesuaian antara pengharapan

terhadap teori dengan fakta yang ada. Kegagalan berulang pada akhirnya dapat

mempengaruhi penolakan teori sampai kapan pun, selamanya.

Paradigma, dalam pandangan Khun, terbentuk ketika „sains yang normal‟

diterima secara konsensus oleh masyarakat ilmiah. Penerimaan itu disebabkan

41

oleh penemuan atau penciptaan baru yang belum pernah ada, serta bersifat cukup

terbuka untuk dikritisi kembali keberadaanya. Baik penemuan (discovery) dan

penciptaan (invention), atau antara teori dan fakta, dalam pandangan Khun,

bersifat artifisial. Penemuan-penemuan bukanlah peristiwa-peristiwa yang

terasing, melainkan episode-episode yang diperluas dengan struktur yang berulang

secara teratur (Khun, 2008: 52).

Implikasi dari episode (riset) ini, pada awalnya, tidak menyebabkan

munculnya keseragaman, namun sebaliknya, memunculkan variasi-variasi,

pembacaan atau artikulasi hasil pengamatan yang berbeda. Hal inilah yang

kemudian memuculkan paradigma baru. Menurut Khun (2008: 16), setiap tahap-

tahap awal perkembangan sains mana pun, orang yang berbeda yang menghadapi

deretan gejala yang sama, tetapi tidak selalu gejala tertentu yang sama,

melukiskan dan menafsirkan gejala itu dengan cara-cara yang berbeda. Pada tahap

akhir, perbedaan pengamatan dapat hilang atau pun lenyap selamanya ketika

aliran paradigma hanya menekankan suatu bagian khusus dari kumpulan

informasi yang terlalu besar dan belum lengkap (Khun, 2008: 16).

Perbedaan dalam melukiskan dan menafsirkan gejala, bagi Khun (2008:115)

terjadi akibat persoalan „persepsi‟ dan „melihat‟. „Persepsi‟ dipengaruhi oleh latar

belakang seorang ilmuan (ras, budaya, profesi). Karakteristik persepsi dalam

sebuah eksperimen riset, bagi Khun (2008: 111), dapat menjadi sentral dalam

perkembangan ilmu pengetahuan. Persepsi tersebut yang kemudian

mempengaruhi ilmuan dalam melihat objek risetnya. Apa yang dilihat orang

bergantung pada apa yang dipandangnya dan juga pada apa yang diajarkan

42

kepadanya untuk terlihat oleh pengalaman konsep visual terdahulu (Khun, 208:

111).

Persepsi dipengaruhi oleh rangsangan dan sensasi yang didapat oleh seorang

ilmuan, baik sebagai individu maupun kelompok, ketika melihat objek risetnya.

Rangsangan yang berbeda dapat menciptakan sensasi yang sama, dan rangsangan

yang sama kadang menciptakan sensasi yang berbeda. Keduanya dipengaruhi oleh

faktor pendidikan. Menurut Khun, (2008: 188), dunia kita ini dihuni pertama-

pertama bukan oleh rangsangan, melainkan oleh objek-objek sensasi kita, dan

mereka (para ilmuan) tidak perlu sama, antara individu dengan individu, atau

kelompok dengan kelompok. Persepsi yang terbentuk dari rangsangan dan

sensasi, dikemukakan Khun sebagai titik pandang yang tidak dapat dibandingkan.

Persoalan persepsi yang mempengaruhi pengamatan seorang ilmuan terhadap

objek risetnya, berpengaruh kepada interpretasi data. Namun sebaliknya, apa yang

terjadi selama revolusi sains tidak dapat sepenuhnya direduksi menjadi

reinterpretasi data-data individual yang abadi (Khun, 2008: 119). Perbedaan

„melihat‟ memengaruhi interpretasi data. Hal tersebut misalnya terjadi pada kasus

Aristoteles dan Galelio mengenai pendulum. Keduanya melihat dan mengamati

objek yang sama, namun berbeda dalam menginterpretasikan. Di mana pendulum

dan jatuh yang tertahan bukanlah persepsi yang berbeda, melainkan interpretasi

yang berbeda tentang data-data yang tidak diragukan yang disajikan oleh

pengamatan terhadap batu yang berayun (Khun, 2008: 122). Persoalan tersebut,

menurut Khun, tidak lagi terletak pada persepsi, melainkan interpretasi.

43

Keseluruhan dari rangangan, sensasi, persepsi dan interpretasi, merupakan unsur

paradigma yang menjadi kesatuan dalam generalisasi simbolis.

Paradigma baru dapat pula muncul ketika paradigma lama tidak dapat

memecahkan teka-teki yang masih mengendap, atau munculnya kesadaran akan

anomali. Khun (2008: 53) menjelaskan anomali sebagai pengakuan alam, dengan

suatu cara, telah melanggar pengharapan—yang didorong—oleh paradigma yang

menguasai sains normal. Pada tahap inilah krisis sains terjadi yang kemudian

melahirkan revolusi sains. Putusan untuk menolak sebuah paradigma selalu

sekaligus merupakan putusan untuk menerima yang lain, dan pertimbangan yang

mengakibatkan putusan itu melibatkan perbandingan paradigma-paradigma

dengan alam maupun satu sama lain (Khun, 2008: 77).

1.6.3 Orientasi Kritik M.H Abrams sebagai Paradigma

Paradigma dalam kritik sastra dapat ditelusuri dengan mengklasifikasikan

unsur-unsur yang membangunnya. Dengan cara demikian, dapat diketahui bahwa

sebuah paradigma dapat memungkinkan menjadi beberapa paradigma, atau

sebaliknya, beberapa paradigma, dapat diklasifikasikan ke dalam satu paradigma.

Kemungkinan-kemungkinan tersebut berdasarkan pada argumentasi dalam

menentukan unsur-unsur paradigma.

Orientasi kritik sastra Abrams, yang dikatagorikan ke dalam kritik mimesis,

kritik ekspresif, kritik objektif dan kritik prakmatis, menurut Kaiser (2004: 12)

termasuk ke dalam paradigma romantik. Dikotomi menjadi salah satu unsur

penting dalam paradigma romantisme. Kaiser (2004: 12) mengatakan bahwa

44

sejarah krtitik romantisme berada pada dikotomi antara satu bentuk dengan

bentuk yang lain: institusi atau kesadaran, politik atau subjektifitas. Sementara

itu, bagi Abrams, kritik romantik dapat membedakan antara sifat kesastraan

dengan wacana diskriptif (1979:56). Persoalan ini tidak terlepas dari bagaimana

sebuah tiruan (imitasi) kemudian dijadikan sebagai bahan untuk berekspresi.

Imitasi tidak dapat disertakan begitu saja sebagai karya seni tanpa melibatkan

imajinasi. Kritik mimetik misalnya, yang memfokuskan pada kritik yang

melibatkan peniruan, tidak serta merta menihilkan elemen ekspresi pengarang.

Orientasi kritik Abrams hadir sebagai sebuah metode yang berakar dari

orientasi teori estetika romantik. Bagi Abrams (1979: 100), orientasi teori estetika

romantik bukan sekadar ide atau premis, namun sebuah arah kebiasaan umum,

yang dapat ditemui pada karya sastra yang mengungkapkan sesuatu tentang alam,

dan tidak begitu saja diterima sebagai kritik yang khusus mengenai keadaan yang

digambarkan. Dalam orientasi estetika romantik, akan selalu melibatkan banyak

perkiraan perbedaan filsafat, pengucapan, motif berdialektika, dan penghakiman

kritik.

Teori romantik sebagai sebuah implikasi analog dengan alternatif dalam

sebuah interaksi kesastraan, bersama-sama berpengaruh di luar dan di dalam

kesastraran, pikiran dan objek, keinginan dan perasaan terhadap persepsi

(Abrams, 1979: 51). Pengaruh tersebut dapat dimaksudkan sebagai nilai-nilai dan

menjadikannya sebagai sebuah paradigma, yakni paradigma kritik romantik.

Ukuran di dalam kritik dalam paradigma romantik ditentukan oleh artikulasi

45

berinteraksi dalam kesastraan. Sejauh mana pengaruh di luar dan di dalam sastra

beroperasi dan menunjukkan dikotominya.

Eksemplar paradigma romantik MH. Abrams dapat ditelusuri dalam The

Mirror and the Lamp yang mengartikulasikan masalah kritik beserta

pemecahannya melalui pemodelan teori-teori estetika. Orientasi yang bersumber

karya sastra (work), sebagai produk dari seorang pengarang; pengarang (arts),

yang menghasilkan karya sastra; alam (universe) yang memberikan ide dan bahan

untuk membuat karya sastra oleh seorang pengarang; dan pembaca (audience),

merupakan model dari teori estetika. Setiap karya seni selalu hadir dari keempat

unsur tersebut. Pemecahan masalah yang dimaksud dapat dilihat dari analisisnya

mengenai kesastraan Wordsworth dan Shelley. Dapat dilihat bagaimana

keduanya, baik Shelley maupun Wordsworth, bentuk kesastraannya tidak sekadar

mimetik, namun menyerupai penciptaan produk kesastraan dalam respon emosi

terhadap sensibilitas objek (Abrams, 1979: 129). Apa yang terjadi pada keduanya

merupakan kombinasi dari Platonisme dan psikologi empiris, antara mimetik dan

ekspresif.

Orentasi kritik sastra Abrams dengan memperhatikan unsur paradigma di

atas, yang kemudian dapat disebut sebagai paradigma kritik romantik, dapat pula

dirumuskan kembali melalui konsep paradigma paradigma Thomas S. Khun yang

telah diuraikan sebelumnya. Perumusan tersebut dapat berimplikasi kepada

kemunculan paradigma baru. Hal itu sesuai dengan yang dikatakan Khun bahwa

paradigma dapat lahir ketika muncul konsensus dan memenuhi keempat unsur

paradigma, yakni generalisasi simbolis, model, nilai-nilai, dan eksemplar.

46

Kemunculan paradigma dapat bermula dari teori. Penyebutan Abrams

mengenai keempat orientasi kritik sebagai teori, memberikan kemungkinan besar

terhadap terjadinya paradigma. Di sisi lain, teori yang dikemukakan itu berdasar

pada data-data yang relevan. Khun juga menunjukan bagaimana sebuah teori

kemudian menjadi paradigma, yakni seperti pada teori relativitas Einstein.

Memandang orientasi atau teori kritik M.H. Abrams, seperti yang telah

dikemukakan di atas, harus memenuhi syarat sebagai sebuah paradigma.

Orientasi kritik mimetik misalnya, memiliki generalisasi simbolis, model, nilai-

nilai dan eksemplar yang ternyata berbeda dengan orientasi ekspresif, objektif

dan pragmatis. Perbedaan itu yang kemudian meletakkan orientasi mimetik

sebagai paradigma.

Pengakuan bahwa segala ciptaan manusia adalah tiruan alam, merupakan

generalisasi simbolis. Sementara teori penciptaan karya seni oleh Aristoteles

merupakan modelnya. Ukuran nilai dalam paradigma mimetik dapat ditelusuri

dari seberapa jauh ciptaan meniru kenyataan yang ada, dan eksemplar dapat

ditelusuri dari terdapatnya beberapa kritik sastra yang menekankan kepada

kemiripan karya sastra dengan alam. Mengenai paradigma kritik sastra M.H

Abrams ini, akan diuraikan lebih lengkap pada Bab II penelitian ini.

1.7 Metode Penelitian

Objek formal penelitian ini adalah paradigma kritik sastra, sementara objek

materialnya adalah buku kritik sastra A. Teeuw, yakni buku Citra Manusia

Indonesia dalam Karya Pramoedya ananta Toer dan buku Tergantung Pada

47

Kata. Penelitian ini menggunakan metode diskriptif-analisis, yakni

mendiskripsikan data-data untuk kemudian dianalisis. Data-data yang digunakan

berupa beberapa kutipan tulisan kritik Teeuw dari objek material penelitian ini.

Pengolahan data dilakukan dengan dua langkah. Pertama, dilakukan

pembacaan kritis terhadap objek material. Kedua, dilakukan deskripsi dan

analisis data yang didapat dari pembacaan kritis. Analisis yang dilakukan

berdasarkan teori paradigma kritik sastra. Diskripsi dan analisis dilakukan

melalui dua tahap sebagaimana masalah yang akan dijawab dalam penelitian ini.

Pertama, analisis dilakukan berdasar setiap bab atau bahasan pada objek material.

Hal itu dilakukan untuk menjawab masalah pertama penelitian ini, yakni

mengetahui paradigma-paradigma kritik sastra Teeuw. Kedua, analisis dilakukan

secara keseluruhan objek material, tidak lagi dilihat per bab. Langkah tersebut

bertujuan menjawab pertanyaan masalah penelitian yang kedua, yakni untuk

menemukan pola-pola paradigma dalam kritik sastra A. Teeuw.

1.8 Sistematika Penulisan

Penelitian ini terdiri atas lima bab. Bab I Pendahuluan, memaparkan

mengenai latar belakang, masalah penelitian, tujuan penelitian, manfaat

penelitian, tinjauan pustaka, landasan teoretis, metode penelitian dan sistematika

penulisan. Bab II Paradigma-Paradigma Kritik Sastra, memaparkan dan

mendiskripsikan unsur-unsur pada masing-masing paradigma. Setiap paradigma,

dijelaskan unsur-unsur yang membentuknya. Teori kritik sastra M.H. Abrams

dipaparkan dalam bab ini sebagai sebuah paradigma. Pemaparan tersebut

48

berlandaskan pada unsur paradigma sebagaimana yang dikonsepkan oleh Thomas

S. Khun.

Bab III Paradigma Kritik Sastra A. Teeuw, memaparkan analisis terhadap

kritik sastra A. Teeuw berdasarkan teori paradigma yang telah dikemukakan pada

BAB II. Bab IV Pola Paradigma Kritik Sastra A. Teeuw, memaparkan mengenai

persoalan kombinasi dan dominasi paradigma kritik yang terdapat dalam kritik

sastra A. Teeuw. Pada bab ini akan dilihat bagaimana pola-pola yang terdapat

pada kritik A Teeuw pada buku Citra Manusia Indonesia dalam Karya

Pramoedya ananta Toer dan buku Tergantung Pada Kata.Kemudian Bab V

Penutup, berisi simpulan dan implikasi penelitian.