bab i pendahuluan 1.1 latar...

42
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengetahuan manusia tentang apapun tak bisa dipisahkan dari bahasa. Bahasa tak hanya menjadi media dalam memperoleh pengetahuan tetapi juga menjadi penentu bagaimana pengetahuan itu sendiri. Peran utama bahasa yang oleh Lakoff (1987: 593) disebut sebagai entitas pembawa makna, telah menjadikan bahasa dan pengetahuan sebagai wujud yang utuh. Dalam kesatuan wujud itu, bahasa dan pengetahuan berkembang beriringan sejalan dengan perkembangan peradaban manusia itu sendiri. Ketika pengetahuan manusia berkembang maka bahasa pun berkembang dan pula sebaliknya. Namun demikian, dalam sejumlah hal, keduanya mengalami jarak di mana terkadang bahasa tidak mampu secara akurat merepresentasikan pengetahuan. Saat itulah bahasa secara alami merangkum pengetahuan dalam wujud kebahasaan yang sudah ada. Tahapan dimana wujud kebahasaan tertentu merangkum sejumlah makna atas sekian pengetahuan diterjemahkan sebagai polisemi. Secara lebih eksplisit, polisemi merupakan fenomena dimana sejumlah makna terliterasikan dalam satu wujud kebahasaan. Oleh Wijana dan Rohmadi (2008: 51), polisemi diterjemahkan sebagai sebuah bentuk kebahasaan yang memiliki berbagai macam makna. Makna-makna dalam sebuah polisemi saling terkait oleh kesamaan karakteristik tertentu. Hal ini diamini oleh Parera (2004: 81) dengan menyebut polisemi sebagai satu ujaran dalam

Upload: lynhan

Post on 07-Mar-2019

222 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75257/potongan/S2-2014... · mengalami jarak di mana terkadang bahasa tidak mampu secara akurat ... After

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pengetahuan manusia tentang apapun tak bisa dipisahkan dari bahasa. Bahasa

tak hanya menjadi media dalam memperoleh pengetahuan tetapi juga menjadi

penentu bagaimana pengetahuan itu sendiri. Peran utama bahasa yang oleh Lakoff

(1987: 593) disebut sebagai entitas pembawa makna, telah menjadikan bahasa dan

pengetahuan sebagai wujud yang utuh. Dalam kesatuan wujud itu, bahasa dan

pengetahuan berkembang beriringan sejalan dengan perkembangan peradaban

manusia itu sendiri. Ketika pengetahuan manusia berkembang maka bahasa pun

berkembang dan pula sebaliknya. Namun demikian, dalam sejumlah hal, keduanya

mengalami jarak di mana terkadang bahasa tidak mampu secara akurat

merepresentasikan pengetahuan. Saat itulah bahasa secara alami merangkum

pengetahuan dalam wujud kebahasaan yang sudah ada.

Tahapan dimana wujud kebahasaan tertentu merangkum sejumlah makna atas

sekian pengetahuan diterjemahkan sebagai polisemi. Secara lebih eksplisit, polisemi

merupakan fenomena dimana sejumlah makna terliterasikan dalam satu wujud

kebahasaan. Oleh Wijana dan Rohmadi (2008: 51), polisemi diterjemahkan sebagai

sebuah bentuk kebahasaan yang memiliki berbagai macam makna. Makna-makna

dalam sebuah polisemi saling terkait oleh kesamaan karakteristik tertentu. Hal ini

diamini oleh Parera (2004: 81) dengan menyebut polisemi sebagai satu ujaran dalam

Page 2: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75257/potongan/S2-2014... · mengalami jarak di mana terkadang bahasa tidak mampu secara akurat ... After

2

bentuk kata yang mempunyai makna berbeda-beda, tetapi masih terdapat hubungan

dan kaitan antara makna-makna yang berlainan tersebut. Ia kemudian memberikan

contoh kata kepala di mana kata tersebut bisa bermakna ‘kepala manusia’, ‘kepala

jawatan’, dan ‘kepala sarung’. Makna-makna dari kata kepala tersebut masih saling

terkait yakni sesuatu yang terdapat di bagian teratas.

Pembahasan terkait polisemi seringkali dikaitkan dengan homonim. Ini karena

keduanya memiliki kesamaan namun sejatinya sangat berbeda secara prinsip.

Penjelasan yang umum ditawarkan adalah dengan mengatakan homonim memiliki

entri dua atau lebih sedang polisemi hanya memiliki satu entri di dalam kamus.

Dengan kata lain, pembedaan polisemi dan homonim dilakukan secara historis atau

disebut juga etimologis. Namun demikian, cara tersebut belum bisa menjelaskan

polisemi dan homonim secara memuaskan. Contoh dalam bahasa Inggris adalah kata

pupil yang memiliki dua makna: ‘salah satu bagian mata’ atau ‘anak sekolah’. Secara

historis makna tersebut terkait, namun saat ini keduanya terpisah secara semantis —

memiliki dua entri di dalam kamus. Untuk itu Kreidler (1998: 52) mengatakan, “The

distinction between homonymy and polysemy is not an easy one to make. Two

lexemes are either identical in form or not, but relatedness of meaning is not a matter

of yes or no; it is a matter of more or less.” Aletrnatif analsis polisemi secara historis

nampaknya bulum cukup bisa menjelaskan fakta terkait polisemi.

Kesulitan untuk menentukan batasan polisemi barangkali disebabkan juga

oleh minimnya penjelasan terkait penyebab munculnya fenomena kepolisemian.

Wijana (2010: 163) membenarkan pendapat itu dengan mengatakan bahwa faktor-

Page 3: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75257/potongan/S2-2014... · mengalami jarak di mana terkadang bahasa tidak mampu secara akurat ... After

3

faktor penyebab kemunculan polisemi belum mendapatkan perhatian yang sungguh-

sungguh. Di sisi lain, penjelasan terkait penyebab polisemi akan memberikan

pemahaman terhadap kecenderungan-kecenderungan sebuah bahasa memperluas

komponen semantis leksikonnya. Kurangnya perhatian seputar polisemi mungkin

bisa tersirat dari sedikitnya publikasi seputar polisemi, terutama di Indonesia. Buku-

buku semantik yang terbit hanya membahas secara singkat polisemi dalam

subbabnya. Fakta tersebut kiranya membuat polisemi layak untuk dikaji secara lebih

mendalam.

Terlepas dari persoalan dalam pengkajiannya, polisemi merupakan fenomena

kebahasaan yang penting. Stephen Ulman mengatakan bahwa polisemi adalah “poros

dari analisis semantik” (1977: 117). Lewandowska-tomaszezyk (2007: 139)

menegaskan pentingnya polisemi dengan mengatakan, “One of the most fundamental

phenomena observed in language is the existence of a diversity of related meanings

expressed by the same word form. Pendapat-pendapat tersebut sangat beralasan. Ini

karena polisemi merupakan ciri fundamental bahasa dalam rangka mengembangkan

kemampuan kosakatanya untuk mengungkapkan konsep-konsep baru yang belum ada

sebelumnya (Wijana, 2010: 164). Pengkajian mendalam terhadap polisemi bisa

menjelaskan proses perkembangan bahasa.

Posisi strategis polisemi guna mengungkap tahapan perkembangan bahasa

mesti mendapat perhatian lebih. Analisis terhadapnya tidak bisa direduksi hanya

sebagai fenomena kebahasaan yang muncul begitu saja karena kebutuhan efisiensi

bahasa. Polisemi mesti diperlakukan sebagai sesuatu yang tak terlepas dari

Page 4: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75257/potongan/S2-2014... · mengalami jarak di mana terkadang bahasa tidak mampu secara akurat ... After

4

pengalaman, pikiran, dan bahasa itu sendiri. Linguistik kognitif — sebagai tradisi

linguistik yang mencoba menata ulang konsepsi kebahasaan — menawarkan

alternatif analisis kebahasaan yang bisa menjelaskan lebih banyak hal terkait polisemi

sekaligus menjawab sekian pertanyaan terhadap polisemi yang sukar dijelaskan

hingga kini. Untuk itu, Taylor (1989 dalam Lewandowska-tomaszczyk, 2007: 140)

mengatakan, “Even though classical polysemy refers first of all to lexis, Cognitive

linguistic tools make it possible to observe polysemic effects in phonology,

morphology, and syntax.” Linguistik kognitif memungkinakan studi terkait polisemi

menjadi lebih mendalam dan komperhensif.

Pendekatan linguistik kognitif dirasa mampu membahas polisemi lebih

mendalam karena karakteristiknya yang melihat bahasa secara lebih luas dan

menyeluruh. Linguistik kognitif berupaya merangkai kembali temuan-temuan teori

kebahasaan yang ada ke dalam komitmen generalisasi (Generalisation Commitment)

dan komitmen kognitif (Cognitive Commitment) serta sejumlah prinsip-prinsipnya.

Usaha tersebut bisa terwujud karena linguistik kognitif memulai pembahasan

mengenai bahasa dari pusat pengetahuan manusia: kognisi. Dalam naungan

komitmen dan prinsip linguistik kognitif, kajian terkait polisemi pada praksisnya

dilakukan dalam bingkai kognitif semantik, khusususnya kognitif semantik leksikal

(Cognitive Lexical Semantics).

Pembahasan mengenai polisemi telah mendapat perhatian sedari awal

perkembangan linguistik kognitif. Salah satu tokoh penting linguistik kognitif,

George Lakoff telah memulainya pada awal 1980-an dengan melakukan analisis

Page 5: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75257/potongan/S2-2014... · mengalami jarak di mana terkadang bahasa tidak mampu secara akurat ... After

5

polisemi melalui pendekatan yang ia sebut sebagai Idealised Cognitive Models

(ICMs). Setelah itu, kajian terhadap polisemi terus berkembang oleh para tokoh

linguistik kognitif seperti Dirk Geeraerts, Charles Fillmore, Andrea Tyler dan

Vyvyan Evans melalui sejumlah model pendekatan. Pendekatan yang relatif baru

adalah pendekatan polisemi terperinsip (Principled Polysemy) oleh Tyler dan Evans

(2001). Keduanya mengkaji polisemi preposisi dalam bahasa Inggris. Temuan

mengenai preposisi OVER1 cukup membuka cakrawala baru ihwal pengkajian

polisemi. Dengan penjelasan skena spasial (spatial scences), preposisi OVER mampu

dijabarkan dalam 14 makna dan keterkaitan antara makna-makna tersebut bisa

diungkap secara jelas dalam sebuah jejaring semantis. Model pendekatan lainnya

dilakukan dengan menganalisis struktur gramatikal sebuah polisemi leksem. Model

tersebut pernah dilakukan oleh Gisborne (2010) untuk mengkaji polisemi SEE.

Hasilnya, selain 15 makna perluasan, pendekatan tersebut juga menemukan jika

konstruksi dwitransitif (ditransitive) membuat makna SEE menjadi berbeda.

Prespektif baru terkait polisemi tersebut terkait dengan ciri linguistik kognitif

yang ditopang oleh sejumlah prinsip pemandu (guiding principles). Salah satu prinsip

tersebut adalah prinsip pengejawantahan (embodiment). Evans & Green (2006:44—

48) menjelaskan bahwa prinsip tersebut menekankan bahwa realitas tidaklah objektif

akan tetapi terejawantahkan dalam pengalaman badaniah (embodied eksperience).

Pengalaman badaniah itu kemudian ditangkap oleh kognisi dalam bentuk konsep- 1 Terkait dengan aspek ortografis, penulisan kapital dalam teks mengacu pada leksem dan konsep semantis, misalnya LOOK. Di luar itu, misalnya jika mengacu pada kata, look akan ditulis dengan huruf kecil miring.

Page 6: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75257/potongan/S2-2014... · mengalami jarak di mana terkadang bahasa tidak mampu secara akurat ... After

6

konsep. Artinya, pengetahuan diperoleh dari pengalaman atas organ-oragan tubuh.

Sebagai contoh adalah organ perasa kita: kulit dan lidah. Karena organ tersebut

sensitif terhadap rangsangan maka banyak pengalaman yang didapat dari organ

tersebut. Pengalaman yang didapat indra perasa kemudian tersimpan dalam sejumlah

konsep didalam memori. Konsep-konsep tersebut terkategorisasi dan tersimbolosasi

pada leksikon bahasa Inggris seperti itchy, crude, sweet, bitter, sour, dan sebagainya.

Karena indra perasa merupakan bagian panca indra yang penting, sejumlah konsep

yang dianggap sekategori sering menggunakan leksikon-leksikon tersebut dalam

ungkapan metaforis semisal sweet girl ‘gadis manis’. Kulit dan lidah juga kemudian

menjadi polisemis pada kata-kata semisal earth's crust ‘kulit bumi’ dan tongue of fire

‘lidah api’.

Selain kulit dan lidah, mata juga merupakan organ tubuh yang (paling) sering

digunakan. Sebagaimana prinsip pengejawantahan, leksikon terkait mata dan

pengalaman lewat penglihatan akan sangat melimpah. Bisa diprediksi pula bahwa

polisemi terkait mata akan begitu kaya. Untuk itulah, penelitian ini mencoba

menganalisis polisemi verba LOOK dalam sudut pandang linguistik kognitif. Verba

LOOK sendiri merupakan bagian dari jenis verba perseptif. Verba perseptif memiliki

nilai tersendiri, terutama dalam linguistik kognitif. Gisborne (2010: 181—182)

mengatakan, “I claim that verbs of perception are special precisely because they are

directly embodied and experiental… After all, we only become aware of motion and

causation via perception, so in this sense, perception is even more basic”. Verba

perseptif memiliki arti penting karena verba tersebut berhubungan langsung dengan

Page 7: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75257/potongan/S2-2014... · mengalami jarak di mana terkadang bahasa tidak mampu secara akurat ... After

7

pengalaman nyata. Jenis verba lainnya, seperti verba aksi-proses atau verba

pergerakan muncul sebagai akibat perkembangan dari verba perseptif. Verba

perseptif merupakan verba yang paling mendasar. Dengan demikian, penelitian yang

dilakukan pada verba perseptif menggambarkan bagaimana kognisi bekerja dalam

perkembangan bahasa.

Dari hasil pengamatan terhadap data pada Kamus Oxford (Oxford Advanced

Learner’s Dictionary) — yang kemudian disingkat Ox — verba LOOK muncul dalam

konstruksi sebagai berikut:

(1) She looked at me and smile. Ox ‘Dai menatapku dan tersenyum.’

(2) That book looks interesting. Ox ‘Buku itu tampak menarik.’

(3) They looked down on our little house. Ox ‘Mereka meremehkan rumah kita yang kecil ini.’

(4) He looked back on his time in England with a sense of nostalgia. Ox

‘Dia mengingat saat-saat di Inggris dalam nuansa penuh nostalgia.’

(5) Where have you been? We’ve been looking for you. Ox ‘Dari mana saja kamu? Kami sudah mencari-carimu.’

Kelima data tersebut merupakan sebagian dari konstruksi verba look yang ada.

Secara garis besar, data tersebut terbagi dalam konstruksi verba tunggal yakni data (1)

dan (2) serta verba LOOK dalam konstruksi verba frasal yakni data (3), (4), dan (5).

Page 8: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75257/potongan/S2-2014... · mengalami jarak di mana terkadang bahasa tidak mampu secara akurat ... After

8

Data (1) menunjukan verba LOOK dalam konstruksi transitif sedangkan data (2)

berada dalam konstruksi intransitif. Dari segi pemaknaan, keduanya memiliki

perbedaan: verba look pada data (1) memiliki makna ‘menatap’ sementara data (2)

bermakna ‘tampak’. Menariknya, verba look pada data (1) selalu hadir besama

preposisi at dan hanya mampu berada dalam konstruksi transitif. Verba look pada

data (2) tidak pernah muncul didampingi oleh objek atau bersifat intransitif. Selain

itu, secara peran, objek pada data (1) equivalen atau setara dengan subjek pada data

(2).

Sebagai verba frasal, data (3), (4), dan (5) memiliki sejumlah perbedaan.

Selain tersusun dari verba LOOK dengan partikel yang berbeda-beda, secara

maknawi, ketiganya menunjukan karakteristik yang khas. Verba frasal look down

pada data (3) memiliki makna ‘meremehkan’. Makna ini berhubungan dengan emosi.

Verba frasal look back memiliki makna ‘mengingat’ yang erat kaitannya dengan

aktifitas berpikir. Sementara itu, verba frasal look for pada data (5) memiliki makna

‘mencari’. Makna tersebut lebih merupakan aktifitas fisik untuk menemukan

seseorang atau sesuatu. Secara konstruksi, verba frasal look down dapat berada dalam

konstruksi transitif maupun intransitif. Sementara itu, verba frasal look for hanya bisa

berada dalam konstruksi transtif. Selain ketiga verba frasal tersebut, setidaknya masih

terdapat 14 verba frasal lainnya yang merupakan kombinasi antara verba look dengan

sejumlah partikel. Melihat keunikan ketiga verba frasal tersebut, akan cukup menarik

jika kesemua verba frasal yang terdiri dari verba akar look dan kombinasi partikel

Page 9: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75257/potongan/S2-2014... · mengalami jarak di mana terkadang bahasa tidak mampu secara akurat ... After

9

tersebut diteliti. Penelitian tersebut akan menggambarkan bagaimana mekanisme

kognitif berperan dalam perkembangan makna atau polisemi.

Selain sebagai verba tunggal dan verba frasal, verba LOOK juga banyak

muncul dalam konstruksi idiomatis. Berikut adalah beberapa data dari kamus idiom

NTC’S English Idioms Dictionary — yang selanjutnya disingkat menjadi NTC —

yang menunjukan verba look dalam konstruksi idiomatis.

(6) Sally looks as if butter wouldn’t melt in her mouth. She can be so cruel. ‘Sally nampak sangat angkuh. Dia bisa saja sangat kasar.’

(7) Don’t even look cross-eyed at the boss this morning unless you want trouble. NTC ‘Jangan pernah melakukan hal yang bisa memprofokasi bos pagi ini kecuali kamu ingin dapat masalah.’

Kedua data tersebut menunjukan bagaimana konstruksi idiomatis dari verba LOOK.

Dapat diamati jika makna idiom pada kedua data tersebut sangat tidak literal. Makna

yang bersifat metaforis tersebut menunjukan hubungan perbandingan yang menarik

untuk dikaji. Makna idiom tersebut masih termasuk ke dalam polisemi dari verba

look.

Tahapan yang penting untuk dilakukan dalam membedah polisemi verba

LOOK adalah dengan menganalisis ciri semantis dari verba tersebut. Ciri semantis

terkait dengan definisi dan kedinamisan dari verba LOOK. Tahapan ini menjadi dasar

bagi pembahasan berikutnya karena ciri semantis verba LOOK akan berpengaruh

pada konstruksi gramatikalnya. Konstruksi gramatikal verba LOOK menjadi tahapan

analisis selanjutnya. Tahapan ini akan menunjukan bagaimana sifat semantis verba

Page 10: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75257/potongan/S2-2014... · mengalami jarak di mana terkadang bahasa tidak mampu secara akurat ... After

10

LOOK akan berpengaruh pada valensi verba dan sifat-sifat dari argumennya dalam

sebuah konstruksi gramatikal. Keterkaitan antara konstruksi dengan makna leksikal

dibenarkan oleh Goldberg (1995: 32) dengan mengatakan, “In fact, many of the verb

classes associated with the construction can be seen to give rise to slightly different

interpretations.” Pada polisemi konstruksi, perbedaan makna sebuah kelas kata akan

tampak dari perbedaan pola konstruksinya.

Setelah ciri semantis dan konstruksi gramatikal verba LOOK telah mampu

dikaidahkan, tahapan penelusuran makna verba LOOK dapat dilakukan. Pada tahapan

ini makna verba LOOK terbagi dalam makna spasial dan makna perluasan.

Pembahasan makna spasial ini merujuk pada teori polisemi terperinsip (principled

polysemi) milik Tayler dan Evans (2001). Dalam teori ini, perbedaan makna dapat

ditunjukan dengan perbedaan posisi antara argumen subjek dengan argumen objek

pada ranah ruang atau spasial. Sementara itu, makna perluasan akan dapat ditelusuri

dengan menggunakan uji polisemi. Pengujian ini mengikuti pendapat Cruse (1986)

yang melihat perbedaan makna dapat dibuktikan dengan cara mengganti sebuah

leksem atau kelas kata dengan leksem atau kelas kata yang memiliki makna yang

sama. Pada pembahasan makna perluasan ini juga akan dijabarkan fitur-fitur semantis

dari masing-masing makna perluasan. Makna perluasan juga meliputi makna verba

LOOK dalam konstruksi idiomatis. Secara garis besar, makna dari verba LOOK

dalam kosntruksi idiomatis akan dibahas dengan mengikuti teori metafora. Penjelasan

tersebut akan menunjukan apakah sebuah idiom bersifat penuh (gelap) atau sebagian

(transparan).

Page 11: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75257/potongan/S2-2014... · mengalami jarak di mana terkadang bahasa tidak mampu secara akurat ... After

11

Tahapan paripurna dari pembahasan polisemi verba LOOK adalah

merumuskan makna prototipe dan keterkaitan antra makna-makna verba LOOK

dalam sebuah jejaring semantis (semantic network). Tahapan ini mengikuti

pandangan polisemi terperinsip milik Tayler dan Evans (2001). Polisemi terperinsip

menentukan beberapa kriteria untuk menentukan sebuah makna bisa dikatakan

sebagai makna prototipe. Teori tersebut juga menjelaskan bagiamana merumuskan

sebuah jejaring semantis yang menggambarkan pola perkembangan makna. Pada

jejaring tersebut terdapat sejumlah kelompok makna yang memiliki fitur semantis

yang sama. Dengan menerapkan langkah-langkah tersebut pada makna-makna verba

LOOK, pembahasan ini akan menunjukan bagaimana mekanisme kognitif bekerja

dalam perkembangan makna dari verba LOOK. Terkait dengan penyediaan data, tesis

ini menggunakan dua sumber data yakni kamus dan korpus. Kamus yang digunakan

adalah Oxford Advanced Learner’s Dictionary sebagai sumber data utama. Data

berupa idiom bersumber dari kamus idiom NTC’S English Idioms Dictionary. Data

dari korpus diakses secara online melalui laman British National Corpus (BNC). Data

dari korpus diperoleh dengan merujuk terlebih dahulu pada kamus.

Page 12: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75257/potongan/S2-2014... · mengalami jarak di mana terkadang bahasa tidak mampu secara akurat ... After

12

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian, identifikasi masalah dan pembatasan

masalah yang diajukan sebelumnya, rumusan masalah pada penelelitian ini adalah

sebagai berikut:

1. Bagaimana ciri semantis Verba LOOK?

2. Bagaimana konstruksi gramatikal verba LOOK?

3. Bagaimana makna spasial dan makna perluasan verba LOOK?

4. Bagaimana makna prototipe dan jejaring semantis verba LOOK?

1.3 Tujuan Penelitian

Dalam menanggapi rumusan masalah di atas, tujuan dari penelitian ini

dinyatakan sebagai berikut:

1. Mendeskripsikan ciri semantis verba LOOK.

2. Mendeskripsikan konstruksi garamtikal verba LOOK.

3. Mendeskripsikan makna spasial dan makna perluasan verba LOOK.

4. Mendeskripsikan makna prototipe dan jejaring semantis verba LOOK.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan produk penelitian yang bisa

bermanfaat baik secara teoritis maupun praktis. Secara teoritis, hasil dari penelitian

ini diharapkan bisa mewarnai studi keilmuan linguistik, terutama di Indonesia.

Linguistik kognitif yang mendasari penelitian ini adalah kajian yang relatif baru.

Page 13: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75257/potongan/S2-2014... · mengalami jarak di mana terkadang bahasa tidak mampu secara akurat ... After

13

Belum banyak penelitian apalagi literatur terkait linguistik kognitif di Indonesia.

Padahal, objek dan data kebahasaan sangat melimpah. Diharapkan teori yang

dihadirkan dalam penelitian ini bisa digunakan sebagai ancangan bagi para peneliti

untuk memulai studi kebahasaan di Indonesia dalam presepektif linguistik kognitif.

Terkait polisemi — sebuah kajian yang pula belum terlalu mendapat tempat dalam

prioritas penelitian linguistik — hasil penelitian ini semoga bisa mendorong studi

terkait polisemi untuk lebih berkembang.

Dalam tataran praktis, studi linguistik kognitif telah melegitimasi sejumlah

kajian mengenai pemerolehan dan pengajaran bahasa. Ini karena linguistik

memandang bahasa sebagai sesuatu yang tidak otonom dan menempatkan

kemampuan berbahasa adalah sama dengan pengetahuan tentang bahasa itu sendiri.

Oleh karena itu, temuan-temuan dalam penelitian ini bisa memberikan kerangka

berpikir dalam pengajaran bahasa, dalam hal ini bahasa Inggris. Mengenai polisemi,

pembahasan objek tersebut dalam penelitian ini menghasilkan sebuah jejaring makna

yang taksonomis. Hal ini akan sangat membantu pembelajar bahasa untuk bisa

memahami tidak hanya kosakata tetapi juga tatabahasa secara komperhensif.

1.5 Tinjauan Pustaka

Penelitian ini didahuli oleh tinjauan pustaka terhadap penelitian ilmiah

terdahulu yang terkait. Dari tinjauan tersebut, tercatat sejumlah penelitian yang

mengilhami studi mengenai analisis linguistik kognitif polisemi verba LOOK. Pada

1981, Coleman dan Kay mengawali analisis linguistik kognitif pada leksem

Page 14: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75257/potongan/S2-2014... · mengalami jarak di mana terkadang bahasa tidak mampu secara akurat ... After

14

berkategori verba dengan mengaplikasikan teori prototipe. Dalam penelitian tersebut,

mereka mencoba menawarkan analisis relasi semantik yang berbeda dengan tradisi

linguistik formal: cheklist theory. Dengan metode eksperimental, analisis ihwal LIE

menempatkan elemen “kepalsuan” sebagai prototipe dari LIE. Penelitian ini penting

untuk analsis LOOK terutama untuk memahami kerangka berpikir terkait makna

uatama atau dasar dalam sudut pandang linguistik kognitif. Namun demikian,

penelitian Coleman dan Kay belum mampu menunjukan polisemi LIE dalam jejaring

semantik karena mangabaikan prediksi perluasan makna LIE. Analisis polisemi

dengan menggunakan pendekatan semantik prototipe selanjutnya dilakukan juga oleh

Raukko (1994) dalam menganalisis polisemi verba GET. Metode yang digunakan

adalah tes eksperimen dan dilanjutkan dengan analisis struktur dalam konstruksi

GET. Raukko mendapati GET terbagi dalam enam kelompok makna yang terbagi lagi

menjadi sejumlah makna. Perluasan tersebut selain disebabkan oleh proses metaforis

dan idiomisasi juga karena adanya pengaruh struktur GET yang sangat kaya — get

merupakan verba yang sangat penting dalam bahasa Inggris. Penelitian ini cukup

mengilhami analisis polisemi LOOK karena membahas polisemi verba serta

mengkaitkannya dengan struktur argumen dari verba. Hal yang masih luput dari

penelitian ini adalah relasi makna dari masing-masing makna GET serta analisis

leksikal yang belum banyak tersentuh.

Pembahasan ihwal polisemi yang menitik beratkan pada struktur dilakukan

juga oleh Goldberg (1995) dengan objek berupa konstruksi dwitransitif (ditransitive)

pada bahasa Inggris. Dengan metode introspektif, penemu tatabahasa konstruksi

Page 15: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75257/potongan/S2-2014... · mengalami jarak di mana terkadang bahasa tidak mampu secara akurat ... After

15

tersebut menemukan jika konstruksi dwitransitif memiliki enam makna. Relasi makna

di mana agen berhasil menyebabkan recipient menjadi penderita adalah makna

utama. Ia juga menyebutkan sejumlah verba yang memiliki kemampuan membentuk

keenam relasi makna tersebut. Akantetapi, ia tidak secara spesifik menjelaskan

bagaimana verba tertentu mampu membentuk relasi makna tertentu. Penelitian

Goldberg ini sangat berperan dalam membedah polisemi LOOK terutama untuk

menunjukan makna konstruksi. Polisemi dwitransitif kemudian mengilhami Gisborne

(2010) untuk meneliti polisemi yang terkait dengan konstruksi. Melalui analisis

tatabahasa dipendensi atau word grammar (WG), ia menemukan bahwa verba SEE

memiliki 15 makna perluasan. Beberapa makna perluasan disebabkan oleh konstruksi

dwitransitif. Perluasan makna lainnya bisa ditunjukan melalui teori inheritance yang

terdapat dalam model WG. Akantetapi, penelitian tersebut belum menyentuh

pembahasan mengenai perluasan makna yang bersifat idiomatis dan metaforis. Dalam

penjelasnnya, Gisborne juga mengemukakan relasi makna sinonimi SEE dengan

LOOK. Untuk itu, penelitian polisemi SEE ini menjadi model dalam mengenalisis

polisemi verba LOOK dengan WG-nya tentu dengan melakukan sejumlah

pengembangan.

Penelitian polisemi kemudian juga mulai mengembangkan model pendekatan

polisemi terperinsip yang dipelopori oleh Tayler dan Evans (2001) dalam

menganalisis polisemi preposisi OVER. Studi yang menekankan relasi landmark dan

tranjector dalam konsep ruang tersebut merumuskan preposisi OVER terdiri dari 14

makna dengan makna utama “atas”. Penelitian berjudul “Reconsidering Prepositional

Page 16: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75257/potongan/S2-2014... · mengalami jarak di mana terkadang bahasa tidak mampu secara akurat ... After

16

Polysemy Networks: The case of over” tersebut pula menggambarkan relasi dan

perluasan makna OVER dalam sebuah jejaring semantik. Apa yang telah dipaparkan

oleh Tayler dan Evans dalam membahas polisemi OVER sangat menjadi perhatian

dalam mengenalisis polisemi LOOK. Ini karena LOOK juga terkait dengan makna

ruang atau skena spasial (spatial scene). Selain itu, penggambaran relasi makna

dalam jejaring semantik juga menarik untuk dilakukan pada polisemi verba LOOK.

Hal yang belum dijelaskan oleh Tayler dan Evans adalah struktur gramatikal dari

masing-masing konstruksi bentukan OVER serta motivasi yang menyebabkan

polisemi tersebut. Namun demikian, studi polisemi dalam pendekatan polisemi

terperinsip bisa dianggap paling sering dilakukan. Kamakura (2001) mengerjakan

disertasi dengan membahas polisemi preposisi over, into, dan through. Yang menarik

dari penelitian ini adalah penjelaskan ihwal relasi gramantikal dan konteks dalam

kalimat yang dapat membentuk makna dari preposisi. Selanjutnya, Kang (2012) juga

menulis disertasi mengenai skena konseptual dan polisemi terperinsip dengan judul

“Cognitive Linguistics Approach to Semantics of Spatial Relations in Korean”. Kang

cukup melakukan terobosan dengan menganalisis bentuk sufik penanda konseptual

dalam bahasa Korea. Ini menarik karena analsis dalam penelitian ini mencoba

menguak bagaimana pembentukan kata jadian berkategori nomina dan verba spasial

dari proses afiksasi. Di tahun yang sama, Skallaman menulis tesis dengan pendekatan

polisemi terperinsip guna membahas pengaruh antara sinonimi dan polisemi dalam

verba arrojar, echar, lanzar, dan tirar. Studi ini mampu menggambarkan konsep

sinonimi dan polisemi yang memang saling terkait sehingga menjadi jelas

Page 17: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75257/potongan/S2-2014... · mengalami jarak di mana terkadang bahasa tidak mampu secara akurat ... After

17

batasannya. Untuk itu, apa yang telah dibahas Kamakura, Kang, dan Skallaman

menjadi alternatif yang memperkaya sudut pandang dalam menganalisis polisemi

verba LOOK.

Di Indonesia, tercatat baru dua penelitian linguistik kognitif khususnya terkait

pembahasan polisemi yakni tesis S2 milik Wijaya pada 2011 dan Pasaribu di tahun

yang sama.Wijaya membahas polisemi leksem HEAD dengan pendekatan polisemi

terperinsip dan metode korpus. Penelitian berjudul “Polisemi Pada Leksem Head:

Tinjauan Linguistik Kognitif “ ini menarik karena membahas motifasi munculnya

polisemi leksem HEAD. Selain itu, Wijaya juga berjasa dalam memperkenalkan

sejumlah istilah linguistik kognitif dalam bahasa Indonesia. Namun demikian, ia

belum menyentuh aspek struktur gramatikal yang timbul dalam konstruksi leksem

HEAD. Kekurangan tersebut disempurnakan oleh Pasaribu dalam menganalisis

polisemi leksem CUT. Dalam tesisnya, mahasiswa S2 linguistik UGM ini selain

mengaplikasikan pendekatan polisemi terperinsip juga membahas struktur gramatikal

leksem CUT. Ia juga merumuskan perluasan makna leksem CUT dalam sebuah

jejaring semantik. Tesis yang berjudul “Analisis Linguistik Kognitif pada Polisemi

Leksem CUT” tersebut cukup memberikan inspirasi bagi penelitian polisemi verba

LOOK dalam penentuan metode analsis dan perumusan jejaring semantik.

Sejauh ini, pelacakan yang dilakukan pada penelitian terdahulu menunjukan

jika polisemi verba LOOK belum pernah diteliti. Untuk itu, penelitian dalam tesis ini

merupakan sesuatu yang baru baik dalam hal objek penelitian maupun teori yang

Page 18: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75257/potongan/S2-2014... · mengalami jarak di mana terkadang bahasa tidak mampu secara akurat ... After

18

digunakan. Penelitian terdahulu seputar polisemi dalam prespektif linguistik kognitif

bisa lebih jelas diamati dari tabel berikut ini.

Peneliti Tahun Obyek Bentuk Pendekatan Temuan Coleman & Kay

1981 Lie (Inggris)

Verba Semantik prototipe

Makna prototipe LIE adalah yang memenuhi: falsity, intent to speak falsely, dan intent to deceive. Elemen falsity merupakan elemen terpenting LIE.

Raukko 1994 Get (Inggris) Pitiiii (Finns)

Verba Semantik prototipe

Secara garis besar GET terdiri atas “obtaining”, “receiving”, “carrying”, “ability”, “reaching a stage”, dan “obligation” yang terbagi atas makna idiomatik, konkrit, abstrak, dst.

Goldberg 1995 dwitransitif (Inggris)

Konstruksi konstruksi (construction grammar)

Konstruksi dwitransitif minimal memiliki enam makna perluasan yang dibaedakan atas relasi argumen dengan verbanya.

Tyler & Evans

2001 Over (Inggris)

Preposisi Polisemi terperinsip

Preposisi OVER memiliki makna dasar ‘atas’ dan diikuti 14 makna lainnya yang saling terkait.

Kamakura 2001 over, into, through (Inggris)

Preposisi Polisemi terperinsip

Preposisi over, into dan through memiliki kesamaan ketika trajector dan landmark dikombinasikan di mana trajector manusia, objek konkrit dan abstrak menentukan pemaknaan preposisi tersebut.

Gisborne 2010 See (Inggris)

Verba konstruksi (word grammar)

Makna dasar SEE adalah physical perception sense dengan dua subleksem dan SEE terdiri dari 15 makna.

Wijaya 2011 Head (Inggris)

Nomina Polisemi terperinsip

Leksem HEAD memiliki 13 makna perluasan yang muncul dari interaksi metafora, metonimi, dan makna konstruksional.

Pasaribu 2011 Cut (Inggris)

Verba Polisemi terperinsip

Leksem CUT terdiri atas 12 makna perluasan di mana makna idiomatis berupa konstruksi transparan dan gelap.

Kang 2012 –ey, –eyse, –ulo (Korea)

Sufik Polisemi terperinsip

Penanda spasial –ey -eyse, -ulo memiliki satu makna sentral. Konstruksi penanda dan nomina spasial mengkombinasikan elemen geometri dan/atau tipologi sementara penanda dan verba spasial mengkombinasikan cara, direktif, atau path relations.

Skallaman 2012 arrojar, echar, lanzar, tirar

Verba (Norwegian)

Polisemi Terperinsip

Verba arrojar, echar, lanzar, tirar merupakan sinonimi memiliki konsep utama: polisemi “melempar” dengan sejumlah makna perluasan lainnya.

Tabel 1. Penelitian Terdahulu terkait Polisemi dalam Linguistik Kognitif

Page 19: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75257/potongan/S2-2014... · mengalami jarak di mana terkadang bahasa tidak mampu secara akurat ... After

19

1.6 Landasan Teori

1.6.1 Linguistik Kognitif

Linguistik kognitif merupakan kajian yang relatif baru. Kajian yang muncul

pada akhir 1970-an dan mulai berkembang pada tahun 1980-an ini mencoba keluar

dari dominasi pendekatan formal dalam studi kebahasaan saat itu. Beberapa tokoh

yang dianggap membidani lahirnya linguistik kognitif adalah Gilles Fauconner,

Charles Fillmore, George Lakoff, Eleanor Rosch, Leonard Talmy, dan Ronald

Langacker. Lahirnya lingustik kognitif dipengaruhi oleh berkembangnya kajian

kognisi – mengenai memori, persepsi, atensi, dan kategorisasi - saat itu khususnya

psikologi kognitif. Linguistik kognitif berfokus pada studi mengenai hubungan antara

bahasa (language), minda (mind), dan pengalaman sosio-fisik (socio-physical

experience). Hubungan antara ketiganya menurut Geeraerts dan Cuyckens (2007: 3)

adalah bahwa struktur formal bahasa dipelajari tidak secara otonom (autonomous),

melainkan sebuah refleksi atas pengorganisasian konseptual umum (general

conceptual organization) melalui proses kategorisasi (categorization principles) dan

mekanisme pemrosesan (processing mechanisms) serta pengaruh pengalaman dan

lingkungan (experiential and environmental influences). Dalam proses tersebutlah

kemudian batasan makna dan bahasa menjadi berbeda dalam sudut pandang linguistik

kognitif sebagaimana ditunjukan dalam kutipan berikut:

Meaning is not a thing; it involves what is meaningful to us. Nothing is meaningful in itself. Meaningfulness derives from the experience of functioning as a being of a certain sort in an environment of a certain. sort. Basic-level concepts are meaningful to us because they are characterized by the way we perceive the overall shape of things in

Page 20: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75257/potongan/S2-2014... · mengalami jarak di mana terkadang bahasa tidak mampu secara akurat ... After

20

terms of part-whole structure and by the way we interact with things with our bodies . Image schemas are meaningful to us because they too structure our perceptions and bodily movements, though in a much less detailed way. Natural metaphorical concepts are meaningful because they are based on (a) directly meaningful concepts and (b) correlations in our experience. And superordinate and subordinate concepts are meaningful because they are grounded in basic-level concepts and extended on the basis of such things as function and purpose. (Lakoff, 1987: 292) Hubungan antara bahasa, minda, dan pengalaman dalam pembentukan makna

kemudian memunculkan sejumlah hipotesis dalam linguistik kognitif. Tiga hipotesis

utama yang menjadi panduan dalam linguistik kognitif adalah: (i) bahasa bukan

merupakan kognisi yang otonom, (ii) tatabahasa adalah konseptualisasi, dan (iii)

pengetahuan mengenai bahasa timbul dari penggunaan bahasa (Croft dan Cruse,

2004: 1—4). Ketiga hipotesis tersebut ditentukan oleh aspek penting dari linguistik

kognitif yaitu prinsip pengejawantahan (embodiment) atau juga dikenal sebagai asas

kognisi terejawantahkan (embodied cognition) (Evans & Green, 2006:44—48). Asas

tersebut menekankan bahwa realitas tidaklah objektif akan tetapi terejawantahkan

dalam pengalaman badaniah (embodied experience). Pengalaman badaniah itu

kemudian ditangkap oleh kognisi dalam bentuk konsep-konsep. Bahasa berbasis pada

konsep tersebut (Lakoff, 1990: 206). Artinya, bahasa merefleksikan struktur

konseptual atas pengalaman badaniah.

Hipotesis dan asas dalam linguistik kognitif tersebut menimbulkan sejumlah

konsekuensi terhadap teori kebahasaan. Linguistik kognitif sendiri pada dasarnya

tidak berangkat dari teori tunggal yang spesifik. Kajian ini lebih sebagai pendekatan

yang dikembangkan dari sejumlah komitmen dan prinsip panduan. Hudson (2010:

Page 21: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75257/potongan/S2-2014... · mengalami jarak di mana terkadang bahasa tidak mampu secara akurat ... After

21

108) mengatakan, “cognitive linguistics is a ‘movement’ rather than a ‘theory’

because it’s united only by a few very general assumptions, including the assumption

that language is part of general cognition, and not a distinct module.” Lakoff (1990

dalam Evans, Bergan, & Zinken, 2007: 4) menjelaskan bahwa linguistik kognitif

memiliki sejumlah komitmen kunci. Evans & Green (2006:27—48) membagi

komitmen tersebut menjadi komitmen generalisasi (Generalisation Commitment) dan

komitmen kognitif (Cognitive Commitment). Keduanya menjadi penentu teori dan

model analisis dalam presepektif linguistik kognitif.

Komitmen generalisasi didasarkan pada asumsi bahwa bahasa merefleksikan

mekanisme dan proses kognitif secara umum. Komitmen tersebut merumuskan

karakter atas prinsip yang berlaku pada seluruh aspek bahasa. Untuk itu, menurut

Evans (2007: 88), komitmen generalisasi mendorong linguistik kognitif untuk

mengkaji prinsip-prinsip pengorganisasian umum (general organising principles)

yang terjadi pada sistem bahasa yang berbeda (fonologi, sintaksis, semantik, dan

sebagainya). Evans & Green (2006:28—39) menyebut prinsip pengorganisasian

umum tersebut meliputi mekanisme konseptual seperti (i) kategorisasi: misalnya

konstruksi diminuitif (morfologi), kelas gramatikal (sintaksis), fitur pembeda

(fonologi), (ii) polisemi yang muncul pada struktur leksikon, morfologis, dan

sintaksis, dan (iii) metafora yang muncul pada tataran leksikon dan sintaksis termasuk

mekanisme konseptual seperti metafora, pemaduan konseptual, dan fenomena

polisemi. Komitmen ini sekaligus mencoba keluar dari pandangan linguistik formal

yang cenderung memisahkan kajian linguistik berdasarkan aspek cakupannya, seperti

Page 22: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75257/potongan/S2-2014... · mengalami jarak di mana terkadang bahasa tidak mampu secara akurat ... After

22

fonologi (bunyi) terpisah dengan morfologi (struktur kata) dalam model analisisnya

dan seterusnya.

Komitmen kognitif — sebagai definisi dari linguistik kognitif itu sendiri –

juga menolak pendekatan modular (modular approach) pada bahasa dan minda dalam

linguistik formal. Komitmen kognitif merepresentasikan pandangan bahwa prinsip-

prinsip struktur linguistik harus merefleksikan kognisi manusia dari disiplin ilmu

lainnya, khususnya ilmu sains kognitif (filsafat, psikologi, artificial intelligence, dan

neuroscience) (Evans, 2007: 19). Dengan kata lain, komitemn kognitif melihat bahasa

dan pengorganisasian linguistik harus mencerminkan prinsip kognitif umum dari

prinsip kognitif spesifik menjadi milik bahasa. Lakoff (1990 dalam Evans, Bergan, &

Zinken, 2007: 4) menjelaskan bahwa komitmen kognitif menjadikan linguistik

kognitif menjadi kognitif dan pendekatan dalam kajian ini menjadi interdisipliner.

Penelitian ini dilakukan dalam naungan sejumlah komitmen dan prinsip dalam

Linguistik Kognitif yang ada.

1.6.2 Semantik Kognitif

Dari dua komitmen di atas, konsekuensi yang muncul adalah bahwa terdapat

dua wilayah kajian dalam linguistik kognitif yakni semantik kognitif (cognitive

semantic) dan tatabahasa (melalui pendekatan) kognitif (cognitive approaches to

grammar) (Evans & Green, 2006: 48). Pada hakikatnya, semua unsur kajian dan teori

dari linguistik kognitif, baik semantik maupun tatabahasa kognitif, saling melengkapi

dan terkait sehingga semantik dan tatabahasa kognitif dipandang sebagai dua sisi atas

Page 23: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75257/potongan/S2-2014... · mengalami jarak di mana terkadang bahasa tidak mampu secara akurat ... After

23

mata uang yang sama. Ini karena dalam kajian linguistik kognitif, semantik kognitif

dan tatabahasanya tidak dipisahkan sebagaimana dipostulatkan dalam komitmen

generalisasi, pemisahan keduanya dilakukan lebih karena pertimbangan praksis dalam

penelitian.

Cabang pertama linguistik kognitif yakni semantik kognitif lahir sebagai

reaksi atas pandangan objektivis dalam tradisi pemikiran Amerika yang

mengembangkan teori semantik berbasis realitas (truth-conditional semantics).

Seorang linguis kognitif, Eve Sweetser menjelaskan jika pendekatan semantik kaum

objektivis memandang makna sebagai hubungan antara kata dengan kata dan

mengeliminasi pengorganisasian kognitif dalam sistem linguistik (Sweester, 1990: 4,

dalam Evans & Green, 2006: 4). Semantik kognitif mengkritisinya dengan

mengajukan alternatif dengan mendefinisikan makna sebagai manifestasi struktur

konseptual. Talmy (2000: 4) menggambarkan bahwa penelitian dalam semantik

kognitif mencoba menyibak kadar konseptual dan pengorganisasiannya dalam

bahasa.

Sebagaimana karakteristik linguistik kognitif, semantik kognitif juga dilandasi

oleh sejumlah prinsip yakni: (i) struktur konseptual bersifat terejawantahkan

(conceptual structure is embodied), (ii) struktur semantik adalah struktur konseptual

(semantic structure is conceptual structure), (iii) representasi makna bersifat

ensiklopedis (meaning representation is encyclopaedic), (iv) konstruksi makna

adalah konseptualisasi (meaning construction is conceptualisation) (Evans & Green,

2006: 157—163). Dari empat prinsip tersebut, semantik kogitif berkembang ke

Page 24: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75257/potongan/S2-2014... · mengalami jarak di mana terkadang bahasa tidak mampu secara akurat ... After

24

sejumlah teori analisis. Beberapa teori dalam semantik kognitif adalah (i) Teori

Pembauran (Blending Theory), (ii) Teori Metafora Konseptual (Conceptual Metaphor

Theory), (iii) Teori Semantik Rangka (Frame Semantics), (iv) Teori Ruang Mental

dan Pemaduan Konseptual (Mental Spaces and Conceptual Blending Theory), (v)

Teori Lexical Semantics and Cognitive Model (LCCM), (vi) Teori Skema-Gambaran

(Image-Schema Theory), dan (vii) Teori Metafora dan Metonimi Konseptual.

1.6.3 Kajian Tatabahasa Kognitif

Cabang berikutnya yakni kajian tatabahasa melalui pendekatan kognitif

pertama kali dikembangkan oleh Leonard W. Langacker pada tahun 1976 dengan

nama tatabahasa spasial (Space Grammar) yang kemudian dikenal sebagai tatabahasa

kognitif (Cognitive Grammar). Sebagai salah satu cabang dari linguistik kognitif,

kajian tatabahasa (melalui pendekatan) kognitif sejalan dengan komitmen-komitmen

dalam linguistik kognitif. Langacker (2008: 4—5) mengatakan, “(tatabahasa) tidak

hanya memiliki makna, tetapi juga merefleksikan pengalaman mendasar kita dalam

bergerak, merasakan, dan bertindak di dunia. Makna dalam tatabahasa yang utama

adalah tindakan mental yang inheren dalam komponen pengalaman (moment-to-

moment living). Penjelasan tersebut menempatkan tujuan dari kajian tatabahasa

(melalui pendekatan) kognitif sejalan dengan komitmen kognitif. Kepatuhan

terhadap komitmen generalisasi nampak dari pendapat Bergen (2007: 441) yang

mengatakan bahwa kajian tatabahasa (melalui pendekatan) kognitif menunjadikan

seluruh kombinasi dalam pengetahuan linguistik sebagai substansi dari tatabahasa.

Page 25: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75257/potongan/S2-2014... · mengalami jarak di mana terkadang bahasa tidak mampu secara akurat ... After

25

Kajian tatabahasa (melalui pendekatan) kognitif pula dilandasi oleh prinsip

pemandu seperti asas simbolik (symbolic thesis) dan asas berbasis penggunaan

(usage-based thesis). Hal itu bisa disimpulkan dari pendapat Langacker (2008: 5),

“The basic tenet of CG (Cognitif Grammar) is that nothing beyond symbolic

structures need be invoked for the proper characterization of complex expressions

and the patterns they instantiate.” Selanjutnya, Langacker (2008: 220) juga

mengatakan bahwa peristiwa pemakaian (usage events) bahasa adalah sumber dari

semua unit linguistik. Secara umum, tujuan dari kajian tatabahasa (melalui

pendekatan) kognitif adalah untuk merumuskan serangkaian acuan yang pasti ihwal

struktur kebahasaan berdasarkan komitmen dan asas linguistik kognitif.

Pencabangan kajian tatabahasa (melalui pendekatan) kognitif sangatlah

beragam. Pertama, Penataan Sistem Konseptual (Conceptual Structuring Systems)

milik Talmy. Kedua, Pendekatan berbasis Khasanah (Inventory-based approach)

yang terbagi menjadi: (i) Tatabahasa Kognitif (Cognitive Grammar) milik Langacker,

(ii) Tatabahasa Konstruksi (Construction Grammar) versi Fillmore dan Kay, juga

Goldberg, (iii) Tatabahasa Konstruksi Radikal (Radical Construction Grammar) oleh

Croft, (vi) Tatabahasa Konstruksi Terejawantahkan (Embodied Construction

Grammar) oleh Bergen dkk., dan (v) Tatabahasa Dependensi (Word Grammar) pleh

Hudson serta Gisborne (Evans & Green, 2006:483).

Setelah Langacker mengembangkan tatabahasa kognitif, muncul sejumlah

teori tatabahasa lainnya dalam tradisi linguistik kognitif. Salah satu model kajian

tatabahasa (melalui pendekatan) kognitif tersebut adalah tatabahasa konstruksi

Page 26: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75257/potongan/S2-2014... · mengalami jarak di mana terkadang bahasa tidak mampu secara akurat ... After

26

(Construction Grammar) milik Charler Fillmore dan Paul Kay, Adle Goldberg, serta

William Croft. Croft dan Cruse (2004: 263) menjelaskan jika sebuah konstruksi

semestinya menempatkan representasi dari aspek-aspek kebahasaan dalam sebuah

jejaring yang independen jika menginginkan sebuah penjelasan utuh atas konstruksi

bahasa. Tugas dari tatabahasa konstruksi adalah untuk mengkaji hakikat hubungan

yang menyeluruh antara semantik dan sintaksis dan menunjukan seberapa dekat

kedua sistem tersebut (Gisborne, 2010: 63—65). Kedua sistem tersebut berada pada

pembahasan relasi argumen (argument linking).

Relasi argumen mengklaim bahwa satu jenis verba berkombinasi dengan

dipendensi tertentu yang relevan — semisal verba transitif dengan subjek dengan

objek langsung. Relasi argumen dimaknai sebagai relasi antara dipendensi sintaksis

sebuah kata dengan bagaimana relasi tersebut direpresentasikan secara semantik

(Hudson, 1990: 132). Secara lebih spesifik, relasi argumen menurut Holmes (2005,

dalam Gisborne, 2010: 56) memiliki dua jenis pendekatan: relasi argumen dapat

berbasis peran semantik (semantic role-based) atau berbasis kelas verba (verb class-

based). Pada relasi argumen dalam pendekatan berbasis peran semantik, ketentuan

lingking ditunjukkan dalam hubungan berdasarkan peran semantiknya (seperti dalam

istilah agentif, kausatif, pasien, dst.) terhadap argumen sintaksisnya (subjek, objek,

dst.). Penelitian ini menggunakan prinsip kajian tatabahasa (melalui pendekatan)

kognitif terutama tatabahasa konstruksi yang menekankan penjelasan pada relasi

argumen, klasifikasi verba, dan peran semantis.

Page 27: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75257/potongan/S2-2014... · mengalami jarak di mana terkadang bahasa tidak mampu secara akurat ... After

27

1.6.4 Klasifikasi Verba dan Peran Semantis

Relasi argumen — yang menjadi inti dari tatabahasa konstruksi — terkait

dengan klasifikasi verba dan peran semantis. Verba sendiri adalah kelas kata yang

biasanya berfungsi sebagai predikat (Kridalaksana, 2008: 254). Secara garis besar,

Chafe (1970: 95—104) membedakan verba menjadi tiga macam yakni verba keadaan

(state verb), verba proses (process verb), dan verba aksi (action verb). Verba keadaan

adalah verba yang menyatakan keadaan nominanya. Verba proses adalah verba yang

menerangkan suatu proses perubahan yang dialami oleh nominanya. Verba aksi

adalah verba menerangkan hal yang dilakukan oleh nominanya. Jenis verba tersebut

kemudian diturunkan ke sejumlah jenis verba lainnya. Beberapa jenis verba turunan

tersebut adalah verba aksi-proses (action-process verb) dan verba pengalam

(experiential verb). Verba aksi-proses adalah verba yang menerangkan hal yang

dilakukan nomina (subjek) sekaligus menghendaki kehadiran nomina lain sebagai

objek. Sementara itu, verba pengalam adalah verba yang menerangkan hal yang

dialami oleh nominanya.

Peran semantis dari nomina yang menjadi argumen dari verba-verba tersebut

adalah sebagai agen dan pasien terkecuali verba pengalam yang menjadikan

argumennya sebagai pengalam dan stimulus. Secara lebih spesifik, Jackendoff 1976

(dalam Van Vallin 2005: 53) membedakan peran semantis dari argumen sesuai

dengan sifat dari verbanya. Ia menggambarkan hubungan antara jenis verba dan peran

semantik sebagai hubungan generalisasi sebagaimana ditunjukan gambar berikut.

Page 28: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75257/potongan/S2-2014... · mengalami jarak di mana terkadang bahasa tidak mampu secara akurat ... After

28

Gambar 1. Hubungan Peran Semantis dan Jenis Verba

Gambar tersebut menunjukan bahwa verba tertentu dan dari jenis verba

tertentu menentukan peran semantis dari argumennya. Secara garis besar, peran

semantis dari nomina dibedakan menjadi aktor (actor) dan undergoer. Peran aktor

terbagi dalam peran semantis agen, pengalam, dan penerima. Peran pengalam terbagi

ke dalam peran semantis cognizer, perceiver, dan emoter. Sementara itu, peran

undergoer terbagi ke dalam peran semantis pengalam, penerima, stimulus, theme, dan

pasien. Penjelasan terkait klasifikasi verba dari Chafe (1970) dan peran semantis dari

Jackendoff (1976) akan dikombinasikan dan menjadi patokan dari analisis polisemi

verba LOOK.

Page 29: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75257/potongan/S2-2014... · mengalami jarak di mana terkadang bahasa tidak mampu secara akurat ... After

29

1.6.5 Polisemi

Polisemi merupakan salah satu kajian dalam cabang linguistik kognitif:

semantik kognitif. Kata polisemi berasal dari bahasa Yunani ‘pulosemous’ yang

merupakan gabungan dari leksem poly yang berarti ‘banyak’ dan sema yang berarti

“tanda”. Artinya, polisemi adalah satu leksem yang memiliki variasi makna yang

saling terkait. Terkait dengan disiplin ilmu linguistik, istilah polisemi pertama

diperkenalkan oleh Breal pada tahun 1897 sebagai kajian mengenai perubahan

makna. Polisemi kala itu dianggap sebagai pendorong utama dalam kajian semantik

(Lewandowska-tomaszczyk, 2007: 139). Stephen Ulman mengatakan bahwa

polisemi adalah “poros dari analisis semantik” (1977: 117). Pada abad ke-20, kajian

polisemi tak pernah sepi dari kajian teori-teori linguistik yang berkembang. Dari teori

struktural, transformasi-generatif, hingga kognitif, semuanya berusaha menjelaskan

polisemi ke dalam formulasi yang memuaskan. Namun demikian, polisemi masih

belum menemukan penjelasan yang tetap. Wierzbicka (1985: 11, dalam

Lewandowska-tomaszczyk, 2007: 140) mengatakan, ‘‘It goes without saying that

polysemy must never be postulated lightly, and that it has always to be justified on

language-internal grounds; but to reject polysemy in a dogmatic and a priori fashion

is just as foolish as to postulate it without justification.’’ Polisemi masih sulit untuk

dipostulatkan dalam dalil yang tak terbantahkan.

Dalam linguistik kognitif, studi polisemi ditempatkan dengan sejumlah obyek

kajian lainnya dalam kajian semantik leksikal kognitif (Cognitive Lexical Semantics).

Lingustik kognitif memandang polisemi tidak bisa direduksi sebagai makna kata atau

Page 30: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75257/potongan/S2-2014... · mengalami jarak di mana terkadang bahasa tidak mampu secara akurat ... After

30

relasi makna semata tetapi sebagai fitur fundamental atas bahasa. Polisemi adalah

kunci genaeralisasi terhadap fenomena kebahasaan yang berbeda-beda —

menunjukan ciri umum yang fundamental antara fenomena leksikal, morfologikal,

dan pengorganisasian sintaksis (Evans, 2007: 163). Definisi polisemi dalam linguistik

kognitif menurut Evans (2009: 150) adalah fenomena dimana vehicle — wujud

konseptual yang memiliki akses terhadap target (leksem) — diasosiasikan dengan dua

atau lebih konsep leksikal yang saling terkait secara semantis. Secara lebih spesifik,

Lakoff (2007: 250) mendefinisikan polisemi sebagai obyek leksikal yang muncul dari

kerangka kognitif yang berbeda. Kemudian Croft dan Cruse (2004: 111) menyebut

makna-makna polisemis terperinci (listed) dalam haluan utama yang tunggal (single

main heading) dan itu disebut sebagai ‘makna-makna yang berbeda dari kata yang

sama’. Seluruh ahli tersebut sama-sama mengaitkan polisemi dengan homonimi yang

memiliki kemiripan dalam sejumlah aspek namun memiliki perbedaan yang prinsipil.

Perbedaan antara polisemi dan homonimi secara tradisional dengan

membedakannya dalam pembahasan diakronis versus sinkronis. Dengan cara

tersebut, kehomoniman dibuktikan dengan sumber leksikal yang berbeda (dalam

kamus) dan terjadi karena proses perubahan bahasa atau peminjaman (brrowing).

Sebaliknya, kepolisemian muncul dari leksem yang sama kemudain berkembang

pemaknaannya. Menurut Wijana (2010: 164—165), polisemi muncul sebagai akibat

dari: (i) pergeseran pemakaian (shift in application), (ii) spesialisasi di dalam

lingkungan sosial (specialization in social milliew), (iii) bahasa figuratif (figuratif

language), (vi) penafsiran kembali pasangan berhomonim (homonymreinterpreted),

Page 31: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75257/potongan/S2-2014... · mengalami jarak di mana terkadang bahasa tidak mampu secara akurat ... After

31

dan (v) pengaruh bahasa asing (foreign influence). Dalam sudut pandang linguistik

kognitif, faktor-faktor tersebut terkait dengan (adalah) pengalaman yang

dikategorisasi oleh kognisi kemudian mawujud dalam bentuk kebahasaan yang sama.

Linguistik kognitif, melalui cabangnya semantik kognitif, selanjutnya

mengembangkan sejumlah model pendekatan untuk mengkaji kepolisemian.

Pendekatan pertama dikembangkan dari teori dalam tatabahasa kognitif mengenai

relasi antara trajector (TR) dan landmark (LM). Beberapa pendekatan tersebut adalah

Full-Specifi Cation Approach yang dikembangkan oleh Lakoff mulai tahun 1987.

Berikutnya adalah pendekatan Partial Approach dirumuskan oleh Kreitzer pada tahun

1997. Terakhir, dengan mengembangkan pendekatan sebelumnya, Vyvyan Evans

merumuskan Principled Polysemy sebagai model analisis polisemi. Dalam

pendekatan ini, polisemi akan terbagi maknanya ke dalam makna utama — disebut

juga makna prototipe — dan makna perluasan yang terhubung dalam sebuah jejaring

makna. (periksa Evans, Bergen, & Zinken, 2007: 189-199). Contoh model analisis

polisemi dari pendekatan di atas ditunjukan dengan polisemi “over” dalam kalimat

“The cat jumped over the wall”. Terdapat sejumlah kemungkinan mengenai TR The

cat dan LM the wall sebagaimana digambarkan dalam skema di bawah ini.

Gambar 2. Perluasan Makna dalam Polisemi Terperinsip

Page 32: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75257/potongan/S2-2014... · mengalami jarak di mana terkadang bahasa tidak mampu secara akurat ... After

32

Bagan tersebut menunjukan bahwa preposisi “over” memiliki sejumlah

makna. Kemungkinan The cat jumped over the wall dari (a) sampai (d) terkait

dengan apa yang menjadi TR dan LM dalam sebuah konstruksi. Dari keempat

kemungkinan makna tersebut akan bisa ditelisik mana makna prototipe dan makna

perluasannya dalam sebuah jejaring semantik. Berikut adalah gambar yang

menunjukan keterkaitan makna dari OVER.

Gambar 3. Jejaring Semantis Preposisi OVER

Pendekatan dalam analisis polisemi berikutnya dikembangkan dalam naungan

Tatabahasa Konstruksi. Dalam pendekatan yang ditawarkan Croft dan Cruse (2004:

109) ini, analisis polisemi dimaknai sebagai sebuah persoalan pengisolasian bagian

yang berbeda atas makna penuh (total meaning) yang potensial terhadap kata dalam

Page 33: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75257/potongan/S2-2014... · mengalami jarak di mana terkadang bahasa tidak mampu secara akurat ... After

33

kondisi (circumstances) yang berbeda. Proses pengisolasian bagian (portion) atas

makna yang potensial tersebut ditunjukan melalui perumusan sebuah batasan makna

(sense boundary) yang memagari sejumlah makna.

Dalam polisemi konstruksi, tahapan-tahapan dalam merumuskan batasan

makna mesti dilengkapi dengan penjelasan makna terkait dengan struktur semantik

dan sintaksis. Secara umum, penjelasan perihal polisemi terdapat dalam teori

pewarisan (Inheritance). Gisborne (2010: 14) mengatakan bahwa pembahasan

mengenai polisemi melalui model inheritance mencakup dua hal yakni (i) bagaimana

mengeksploitasi bukti kebahasaan untuk memutuskan makna sebuah leksem dan

bagaimana makna-makna tersebut berinteraksi dengan argumen-argumen dari leksem

tersebut, (ii) bagaimana memperagakan polisemi dengan menggunakan teori

mengenai struktur leksikon. Ia lantas menunjukan sejumlah kalimat yang di dalamnya

mengandung polisemi SEE sebagai berikut:

(8) Jane saw Peter.

‘Jane melihat Peter.’

(9) Jane saw Peter cross the road.

‘Jane melihat Peter menyeberang jalan.’

(10) Jane saw that Peter was crossing the road.

‘Jane mengetahui jika Peter sedang menyeberang jalan.’

(11) Jane saw that Peter had crossed the road.

‘Jane tahu jika Peter telah menyebarangi jalan.’

(12) Jane saw what Peter meant.

‘Jane paham apa yang Peter maksud.’

Page 34: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75257/potongan/S2-2014... · mengalami jarak di mana terkadang bahasa tidak mampu secara akurat ... After

34

Verba SEE pada (11) dan (12) tergolong dalam makna persepsi fisik dasar

sedangkan (13), mungkin (14), (15) termasuk dalam makna kognitif (memahami).

Contoh (14) belum bisa sepenuhnya dikatakan memiliki makna kognitif (memahami)

karena memiliki konstruksi dwitransitif. Konstruksi ditransitif (THAT clause) dalam

pandangan Gisborne (2010: 122) memiliki makna yang berbeda dimana argumen

pertama bermakna ‘memahami’ tetapi argumen kedua tidak demikian. Temuan inilah

yang memperkuat pandangan bahwa konstruksi berpengaruh atau dipengaruhi makna

yang berbeda. Gisborne (2010: 125) menegaskan bahwa pola komplemen dari verba

— berupa aturan semantis dan pola sintaksisnya — adalah pembuktian terhadap

polisemi. Selain contoh di atas, SEE juga bisa bermakna idiomatis seperti pada “I’ll

be seeing you” yang secara konvensional merupakan idiom dalam bahasa Inggris

(Alm-Arvius, 2003: 143). Pendekatan ini juga tidak kemudian menafikan sejumlah

model pengetesan polisemi yang telah dikembangkan sebelumnya. Model pengetesan

tersebut adalah tes sinonimi (Synonym Test) oleh Cruse (1986), tes kelogisan

(Logical Test) oleh Quine (1960), tes ambiguitas (Linguistic Ambiguity Test) oleh

Zwicky dan Sadock (1975), dan tes pendifinisian (Definitional Test) oleh Katz and

Fodor (1963) (Lewandowska-tomaszczyk, 2007: 141-144). Dalam menganalisis

polisemi verba LOOK, penelitian ini menggunakan teori polisemi terperinsip,

polisemi dalam pandangan konstruksi, dan melibatkan tes sinonimi.

Page 35: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75257/potongan/S2-2014... · mengalami jarak di mana terkadang bahasa tidak mampu secara akurat ... After

35

1.7 Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

penelitian deskriptif-kualitatif. Tahapan dalam penelitian ini meliputi tahap

pengumpulan data, penganalisisan data, dan penyajian data. Data yang digunakan

bersumber dari kamus dan korpus. Kamus digunakan sebagai sumber data utama

karena memberikan data yang sisitematis. Data dari kamus yang telah dikelompokan

kemudian ditambah dengan data dari korpus elektronik berdasarkan karakteristik

pada data dari kamus. Sumber data korpus elektronik digunakan karena mampu

menyediakan data yang melimpah.

1.7.1 Sumber Data

Sumber data utama dari penelitian ini adalah Oxford Advanced Learner’s

Dictionary edisi keempat. Sumber data ini menyediakan data sekaligus definisi dari

verba LOOK dan konstruksi verba frasal dari verba LOOK. Sumber data kedua

penelitian ini adalah korpus elektronik bahasa Inggris yang terdapat pada laman

British National Corpus (BNC) dengan alamat http://www.natcorp.ox.ac.uk. Laman

yang dekolola oleh Oxford University Press dengan bekerjasama dengan sejumlah

lembaga penelitian ini pertama dibuka kepada publik pada tahaun 1994. BNC

berisikan sekitar 100 juta kata yang terdiri dari 90% teks tertulis dan 10% lainnya

berupa transkrip ortografis dari teks verbal. Sumber data ketiga penelitian ini adalah

kamus idiom NTC’S English Idioms Dictionary. Kamus ini menyediakan data berupa

verba LOOK dalam konstruksi idiomatis.

Page 36: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75257/potongan/S2-2014... · mengalami jarak di mana terkadang bahasa tidak mampu secara akurat ... After

36

1.7.2 Metode Pengumpulan Data

Data dalam penelitian ini diperoleh melalui teknik pustaka dengan sumber

data adalah teks yang didalamnya mengandung verba LOOK. Data dari Oxford

Advanced Learner’s Dictionary menjadi variabel yang digunakan untuk melakukan

pengumpulan data dari sumber BNC. Tahapan pengumpulan data dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut.

1. Menyalin data dari sumber Oxford Advanced Learner’s Dictionary dan

NTC’S English Idioms Dictionary.

2. Mengelompokan data yang diperoleh dari kedua kamus tersebut

berdasarkan konstruksi dan definisinya (semisal sebagai verba tunggal

atau verba frasal).

3. Masuk ke laman situs BNC.

4. Memasukan kata kunci berdasarkan pengelompokan data dari Oxford

Advanced Learner’s Dictionary (semisal kata kunci berupa konstruksi

verba frasal look for).

5. Data yang terkumpul dari situs BNC dipindah ke Microsoft Word dan

dikelompokan berdasarkan konstruksi dari verba look.

6. Data yang bersumber dari Oxford Advanced Learner’s Dictionary ditandai

dengan label Ox, data dari BNC dilabeli BNC, dan data dari NTC’S

English Idioms Dictionary dilabeli NTC.

Page 37: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75257/potongan/S2-2014... · mengalami jarak di mana terkadang bahasa tidak mampu secara akurat ... After

37

1.7.3 Metode Analisis Data

Analisis data pada penelitian menggunakan sejumlah metode dan teknik untuk

menjawab rumusan masalah yang ada. Motode dan teknik yang digunakan adalah

untuk memperoleh penjelasan terkait polisemi verba LOOK dari berbagai sisi. Dalam

kajian linguistik kognitif, analisis kebahasaan mesti diawali dari analisis makna.

Untuk itu, penelitian ini diawali dengan analisis mengenai definisi dari verba look

yang ada pada kamus. Verba look di dalam kamus dibedakan menjadi tiga bagian

yakni sebagai verba tunggal, sebagai verba frasal, dan sebagai idiom. Bab II

penelitian ini memfokuskan analisisnya pada sifat semantis verba look baik dalam

konstruksi sebagai verba tunggal maupun verba frasal. Untuk menjawah rumusan

masalah pertama, Bab II penelitian ini menggunakan metode agih. Metode Agih oleh

Sudaryanto (1993: 15) dimaknai sebagai metode analisis yang alat penentunya bagian

dari bahasa yang bersangkutan itu sendiri. Terdapat beberapa teknik dalam metode

agih yang digunakan pada Bab II. Untuk membuktikan sebuah konstruksi merupakan

verba frasal penelitian ini menggunakan teknik balik, teknik sisip, dan lesap. Ini

karena karakteristik verba frasal cukup beragam sehingga diperlukan teknik berbeda

dalam mengujinya. Berikutnya, teknik perluas digunakan untuk menganalisis

kedinamisan dari verba dan verba frasal look. Penggunaan teknik ini semisal adalah

sebagai berikut.

(13) John looks at the vehicle. BNC ‘John menatap kendaraan itu.’

Page 38: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75257/potongan/S2-2014... · mengalami jarak di mana terkadang bahasa tidak mampu secara akurat ... After

38

(13a) John {is looking} at the vehicle.

‘John sedang menatap kendaraan itu. (13b) John {finishes} looking at the vehicle. ‘John selesai menatap kendaraan itu. (13c) John look at the vehicle {for an hour}. ‘John menatap kendaraan itu selama satu jam.’

Teknik perluas yang dilakukan pada data (13) bertujuan untuk menganalisis

kedinamisan verba look. Perubahan kala progresif yang dilakukan pada data (13a)

dilakukan untuk mengetahui sebuah verba bersifat dinamis atau statis. Teknik perluas

dengan menempatkan verba finish seperti pada data (13b) dilakukan untuk

membuktikan apakah sebuah verba bersifat telis atau atelis. Teknik perluas dengan

menempatkan keterangan waktu for an hour seperti pada bab (13c) berguna untuk

membuktikan apakah sebuah verba bersifat duratif atau pangtual. Karena data (13a)

hingga (13c) berterima maka sifat semantis dari verba look tersebut adalaha dinamis,

telis, dan duratif.

Sementara itu, untuk menjawab rumusan masalah kedua, Bab III penelitian ini

menganalisis konstruksi gramatikal verba look. Teori linguistik kognitif yang

mendasari penelitian ini menghendaki analisis sintaksis dan semantis secara sekaligus

dalam analisis konstruksi gramatikal. Tahapan ini juga menggunakan metode agih

namun dengan teknik yang berbeda. Teknik lesap dan teknik perluas digunakan untuk

membuktikan apakah verba look baik sebagai verba tunggal maupun verba frasal

Page 39: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75257/potongan/S2-2014... · mengalami jarak di mana terkadang bahasa tidak mampu secara akurat ... After

39

bersifat transitif atau intransitif. Setelah jelas ketranstifannya, teknik bagi unsur

langsung akan diterapkan pada konstruksi verba look tersebut seperti contoh berikut.

(14) Poirot looked happy. Ox S:St P:Vk Pel ‘Poriot tampak bahagia.’

(15) She will look to you for help. Ox S:Pn Mod P:Vp O:St Ket.Tuj

‘Dia akan mengharapkan pertolongannmu.’

Teknik bagi unsur langsung yang diterapkan pada data (14) dan (15) bertujuan

untuk mengetahui struktur argumen dari verba look. Secara sintaksis, verba look pada

data (14) memiliki argumen dengan fungsi subjek dan memiliki pelengkap. Secara

semantis, argumen dengan fungsi subjek Poriot tersebut memiliki peran sebagai

stimulus. Pada data (15), kehadiran verba frasal look to didahului oleh argumen

pengisi fungsi subjek she dengan peran semantis pengalam. Verba frasal tersebut juga

didampingi oleh argumen objek you yang berperan semantis sebagai stimulus. Teknik

bagi unsur langsung juga diperuntukan untuk mengetahui sifat dari argumen seperti

subjek pada data (14) dan (15) berupa persona ketiga jamak. Teknik ini diterapkan

dalam rangka pembuktian polisemi dalam teori polisemi dalam sudut pandang

konstruksional milik Goldberg (1995).

Selanjutnya, Bab IV penelitian ini membahas rumusan masalah ketiga dengan

menganalisis makna-makna dari verba look. Analisis pada bab ini masih

menggunakan metode agih dengan teknik ganti. Teknik ganti dipergunakan agar

dapat mengaplikasikan tes sinonimi yang merupakan salah satu cara untuk

Page 40: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75257/potongan/S2-2014... · mengalami jarak di mana terkadang bahasa tidak mampu secara akurat ... After

40

mengetahui makna-makna dari sebuah leksem atau kelas kata. Jika penggantian verba

look dengan verba lain masih membuat sebuah data memiliki referen yang sama

maka makna yang dimiliki oleh verba pengganti tersebut terbukti menjadi bagian dari

polisemi verba look. Analisis tersebut sebagaimana ditunjukan contoh data berikut

ini.

(16) Are you still looking for job? Ox Are you still {seek} job? ‘Apakah kamu masih mencari pekerjaan?’

(17) I’d like the doctor to look at him. Ox I’d like the doctor to {check} him. ‘Aku ingin ke dokter untuk memeriksakannya.’

Penggantian verba frasal look for pada data (16) dengan verba seek dan look

at pada data (17) dengan verba check tidak mengubah makna kalimat. Dengan

demikian, makna to seek ‘mencari’ dan to check ‘memeriksa’ merupakan bagian dari

makna verba look.

Untuk menjawab rumusan masalah keempat, Bab V penelitian ini

menganalisis makna prototipe dan jejaring semantis verba look. Pembahasan ini

menggunakan metode padan. Metode padan adalah analisis data yang alat penentunya

berada di luar, terlepas, dan tidak menjadi bagian dari bahasa yang diteliti

(Sudaryanto, 1993: 13). Metode ini sejalan dengan langkah-langkah penentuan makna

prototipe yang dirumuskan oleh Tyler dan Evans (2001) dalam teori polisemi

terperinsip. Polisemi terperinsip juga menunjukan langkah-langkah dalam

merumuskan jejaring semantis. Perumusan jejaring semantis melibatkan hasil analisis

Page 41: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75257/potongan/S2-2014... · mengalami jarak di mana terkadang bahasa tidak mampu secara akurat ... After

41

dari Bab II, Bab III, dan Bab IV. Keterangan yang diperoleh dari pembahasan

sebelumnya menggambarkan makna-makna verba look dan karakteristik dari masing-

masing makna. Karakteristik tersebut dibagi ke dalam sejumlah kelompok makna.

Pada akhir pembahasan Bab V, kelompok makna yang ada akan disatukan pada

sebuah jejaring semantis yang utuh.

1.7.4 Metode Penyajian Hasil Analisis Data

Mahsun (2011: 123) menyebutkan dua cara dalam tahap akhir ini, yaitu

dengan cara: (i) perumusan hasil tersebut dengan menggunakan kata-kata biasa,

termasuk penggunaan terminologi yang bersifat teknis data dan (ii) perumusan

dengan menggunakan tanda-tanda atau lambang. Senada dengan hal tersebut,

Sudaryanto (1993) menyatakan metode penyajian data bisa dilakukan dengan (i)

metode formal, yaitu kalimat dan tabel, serta (ii) metode informal, yaitu

menggunakan kalimat. Metode informal bisa membantu menjelaskan analisis formal,

sehingga penelitian ini menggunakan baik gambar, tabel serta kata-kata biasa dalam

menjelasan data.

Page 42: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75257/potongan/S2-2014... · mengalami jarak di mana terkadang bahasa tidak mampu secara akurat ... After

42

1.8 Sistematika Penyajian

Laporan penelitian akan disajikan dengan sistematika sebagai berikut:

BAB I : Menyajikan latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian,

tinjauan pustaka, landasan, metode penelitian dan sistematika

laporan penelitian.

BAB II : Menjawab rumusan masalah nomor (1) dengan menganalisis ciri

semantis verba LOOK.

BAB III : Menjawab rumusan masalah nomor (2) dengan menganalisis

konstruksi gramatikal verba LOOK.

BAB IV : Menjawab rumusan masalah nomor (3) dengan menganalisis makna

spasial dan makna perluasan verba LOOK.

BAB V : Menjawab rumusan masalah nomor (4) dengan menentukan makna

prototipe verba LOOK dan merumuskan keterkaitan makna verba

LOOK dalam sebuah jejaring semantis.

BAB VI : Menyajikan kesimpulan dan saran.