persistent pain after breast cancer treatment

33
NYERI YANG MENETAP PASCA TERAPI KANKER PAYUDARA Howard S. Smith, Sheng-Xi Wu PENDAHULUAN Kanker payudara merupakan kanker yang paling sering terjadi pada wanita, dengan survival rate 5 tahun lebih dari 80% dengan diagnosis yang lebih dini dan perbaikan manajemen penatalaksanaannya. Dengan peningkatan survival rate, terdapat peningkatan perhatian yang berfokus pada kualitas hidup pada para survivor kanker payudara ini. Faktor-faktor utama yang mempengaruhi kualitas hidup para survivor ialah beberapa efek samping terkait dengan terapi kanker yang terjadi pada hingga 90% pasien selama terapi dan dapat menetap selama berbulan- bulan bahkan bertahun-tahun setelah terapi berakhir. Kemoterapi, terapi radiasi, dan terapi hormonal, semua hal tersebut dapat berkontribusi dalam berkembangnya dan menetapnya efek samping, meliputi: limfedema restriksi ekstremitas superior, gangguan kognitif, kelemahan, kesulitan tidur, nyeri, neuropati perifer akibat kemoterapi, kardiotoksisitas, dan kehilangan komponen tulang. Semua efek samping tersebut disertai terapi kanker payudara berpengaruh negatif terhadap kualitas hidup dan aktivitas sehari-hari, menyebabkan 1

Upload: amsirlimbong

Post on 15-Jan-2016

26 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

jurnal onko

TRANSCRIPT

Page 1: Persistent Pain After Breast Cancer Treatment

NYERI YANG MENETAP PASCA TERAPI KANKER PAYUDARA

Howard S. Smith, Sheng-Xi Wu

PENDAHULUAN

Kanker payudara merupakan kanker yang paling sering terjadi pada

wanita, dengan survival rate 5 tahun lebih dari 80% dengan diagnosis yang lebih

dini dan perbaikan manajemen penatalaksanaannya. Dengan peningkatan survival

rate, terdapat peningkatan perhatian yang berfokus pada kualitas hidup pada para

survivor kanker payudara ini.

Faktor-faktor utama yang mempengaruhi kualitas hidup para survivor ialah

beberapa efek samping terkait dengan terapi kanker yang terjadi pada hingga 90%

pasien selama terapi dan dapat menetap selama berbulan-bulan bahkan bertahun-

tahun setelah terapi berakhir. Kemoterapi, terapi radiasi, dan terapi hormonal,

semua hal tersebut dapat berkontribusi dalam berkembangnya dan menetapnya

efek samping, meliputi: limfedema restriksi ekstremitas superior, gangguan

kognitif, kelemahan, kesulitan tidur, nyeri, neuropati perifer akibat kemoterapi,

kardiotoksisitas, dan kehilangan komponen tulang. Semua efek samping tersebut

disertai terapi kanker payudara berpengaruh negatif terhadap kualitas hidup dan

aktivitas sehari-hari, menyebabkan ketidakpatuhan terhadap terapi, dan akhirnya

mempengaruhi outcome prognosis dan angka survival rate. Intervensi untuk

mengatasi efek samping dibutuhkan untuk menurunkan beban gejala,

meningkatkan kualitas hidup dan kapasitas fungsional, dan meningkatkan

kepatuhan terhadap terapi.

Sebuah masalah potensial yang melemahkan yang dimana para survivor

kanker payudara dapat menderita karenanya ialah nyeri menetap setelah terapi

kanker payudara (persistent pain after breast cancer treatment-PPBCT) yang

merupakan efek samping yang sering terjadi dengan angka kejadian sebesar 50%.

International Association for the Study of Pain (IASP) telah mengumumkan

bahwa nyeri kronik ialah nyeri yang menetap di luar waktu penyembuhan normal,

selama 3 bulan, yang dipertimbangkan sebagai “waktu paling tepat pada

1

Page 2: Persistent Pain After Breast Cancer Treatment

pembagian antara nyeri akut dan kronik”. Kemudian, hal tersebut diusulkan pada

taksonomi IASP bahwa apabila nyeri berkaitan dengan kanker, ”3 bulan akan

menjadi waktu yang terlalu lama untuk menunggu sebelum menyebutnya sebagai

nyeri kronik”.

Sebuah analisis multivariat mengenai munculnya nyeri kronik pada para

survivor kanker payudara menunjukkan bahwa hanya usia yang lebih muda yang

berkaitan dengan peningkatan risiko yang signifikan pada perkembangan nyeri

kronik dalam 3 bulan setelah pembedahan. Selanjutnya, pembedahan yang lebih

invasif, terapi radiasi setelah pembedahan, dan nyeri pasca operasi akut yang

berarti secara klinis tetapi tidak pada status emosi preoperasi, masing-masing hal

tersebut secara independen dapat menjadi prediksi adanya nyeri kronik yang lebih

intens pada 3 bulan setelah pembedahan.

Etiologi terjadinya PPBCT kemungkinan multifaktorial. Berdasarkan

ulasan sistematis terkini mengenai angka kejadian dan etiologi nyeri neuropati

pada sebanyak 13683 pasien kanker yang teridentifikasi pada 22 penelitian yang

layak, baik abnormalitas sensorik maupun lesi diagnostik terbukti berkontribusi

pada terjadinya PPBCT pada sebanyak 14 penelitian. Meskipun terapi kanker

payudara meliputi berbagai jenis intervensi pembedahan yang berbeda-beda

(misal: mastektomi, lumpektomi, biopsi nodus limfatikus utama, dan diseksi

nodus limfatikus aksila), dan terapi ajuvan seperti kemoterapi, terapi radiasi dan

endokrin, hanya kerusakan saraf sebelumnya dan radioterapi yang muncul sebagai

faktor risiko yang signifikan. Detil mengenai etiologi terjadinya PPBCT masih

membutuhkan upaya penelitian lebih lanjut.

Mekanisme yang terlibat dalam terjadinya PPBCT masih belum pasti dan

dapat melibatkan struktur perifer serta spinal dan supraspinal. Event-related

potential (ERP) pada pasien-pasien PPBCT, pasien terapi kanker tanpa nyeri

menetap, dan sukarelawan sehat menunjukkan karakteristik yang berbeda-beda.

PPBCT berkaitan dengan proses stimulus yang tertunda (misal: peningkatan

latensi dari positivitas ERP antara 250-310 mdet [P260]) dan meningkat (misal:

peningkatan amplitudo P260) ketika dibandingkan dengan pasien terapi kanker

tanpa adanya nyeri menetap. Namun, terapi kanker tanpa nyeri yang menetap

2

Page 3: Persistent Pain After Breast Cancer Treatment

berkaitan dengan peningkatan proses stimulus (penurunan latensi P260) dan

menunjukkan kecenderungan untuk menjadi kurang intes (amplitudo P260 yang

lebih rendah) daripada sukarelawan sehat. Hasil ini menunjukkan bahwa terapi

dan nyeri yang menetap memiliki efek yang berlawanan pada respon kortikal.

EPIDEMIOLOGI PPBCT GLOBAL

Epidemiologi PPBCT global masih belum lengkap mungkin karena

terabaikannya pengetahuan tentang PPBCT. Pada hal ini angka kejadian PPBCT

belum dapat diperkirakan, karena mungkin terdapat penghalang multipel pada

pasien dalam melaporkan nyeri yang mereka rasakan pada dokter mereka. Nyeri

yang berlanjut setelah terapi menjadi kenyataan yang tidak terduga bagi beberapa

wanita dengan kanker payudara dan dapat memicu kecemasan akan adanya

rekurensi kanker yang dialaminya, dan beberapa wanita mungkin saja tidak

melaporkan rasa nyerinya karena takut apabila nyerinya tersebut menjadi tanda

rekurensi dari kanker yang dialaminya. Penghalang dalam bertanya tentang

nyerinya tersebut juga dapat karena takut jawabannya tidak akan terelakkan, dan

perhatian pada nyerinya akan teralih. Selain itu, beberapa penghalang lainnya

yang mungkin ialah seperti: takut akan mengganggu dokter mereka yang sibuk,

takut dokter mereka akan berpikir lebih ringan dari yang mereka rasakan (atau

menjadi terganggu oleh mereka), takut apabila mereka mengeluh tentang

nyerinya-hal ini akan mengalihkan perhatian dokternya dan membuang waktu

selama interaksi singkat mereka yang seharusnya lebih berfokus pada diskusi

tentang kankernya sendiri ataupun tentang prognosisnya.

Peretti-Watel dkk melakukan wawancara secara mendalam dengan para

survivor kanker payudara dari Perancis pada 24 bulan setelah didiagnosis kanker

dan mendapatkan terapi. Sebanyak 50% partisipan melaporkan mengalami

penderitaan karena nyeri kronik yang bermakna. Kebanyakan, nyeri tersebut tidak

tertangkap dalam kuesioner World Health Organization Quality of Life

(WHOQOL) dan tidak diterapi secara medis. Pasien “menormalkan” nyerinya

dengan berbagai cara: mereka menyadari hal itu sebagai langkah yang dibutuhkan

dalam proses pemulihan, sebagai efisiensi terapi, atau sebagai kondisi menetap

3

Page 4: Persistent Pain After Breast Cancer Treatment

yang mereka harus belajar untuk hidup dengannya. Meskipun hanya terdapat

sedikit laporan pada epidemiologi PPBCT, upaya yang lebih besar harus

dicurahkan dalam pengelolaan hal tersebut di masa yang akan datang.

NYERI MENETAP PASCA OPERASI KANKER PAYUDARA

Hampir semua dari sebanyak 226.870 wanita yang didiagnosis dengan

kanker payudara pada tahun 2012 yang akan menjalani operasi, memunculkan

fokus pada komplikasi yang paling sering diteliti, yaitu nyeri menetap pasca

operasi kanker payudara (persistent pain after breast cancer surgery-PPBCS).

PPBCS merupakan hal yang berbeda dari kebanyakan sindrom nyeri lainnya

karena hal itu terutama terletak pada regio anterior atau lateral thorax, aksilla,

lengan atas sebelah dan/atau medial, yang menyebabkan nyeri membakar, nyeri

tajam, sensasi penekanan atau kebas. Insidensi terjadinya sindrom nyeri pada 6

bulan terapi pasca operasi kanker payudara ialah sebanyak 52,9%. Berkaitan

dengan perubahan sensitivitas, sebanyak 52,6% menunjukkan adanya nyeri

intercostobrakhial, sebanyak 1,3% neuroma, dan sebanyak 3,2% mengalami nyeri

payudara karena khayalannya. Nyeri pada area bahu dan/atau thoracoscapula

sebagai akibat dilakukannya operasi kanker payudara didapatkan pada 27,2%

pasien [risiko relatif (RR) ¼ 5,23 95% confidence interval (CI): 1.11e24.64 dan

RR ¼ 2,01 95% CI: 1,08-3,75]. Pada wanita-wanita yang lebih muda (usia <40

tahun) dan pasien yang menjalani limfadenektomi aksilla (dengan lebih dari 15

limfonodi yang diangkat) menunjukkan risiko berkembangnya sindrom nyeri

setelah terapi operasi kanker payudara.

Secara umum, insidensi terjadinya PPBCS diperkirakan sebanyak masing-

masing pada: 10% herniotomi inguinal, 25-50% thorakotomi, dan 25-60% setelah

terapi kanker payudara. Tingkat keparahan PPBCS dapat bervariasi secara

signifikan tergantung pada prosedur operasi yang dilakukan. Gärtner dan

rekannya melakukan penelitian kuesioner cross-sectional secara nasional pada

3.754 wanita berusia 18-70 tahun yang mendapatkan terapi pembedahan dan

terapi ajuvan (jika diindikasikan) terhadap kanker payudara primer di Denmark

antara 1 Januari 2005-31 Desember 2006. Total sebanyak 1.543 pasien (47%)

4

Page 5: Persistent Pain After Breast Cancer Treatment

melaporkan adanya nyeri pada 1 area atau lebih, yang mana sebanyak 201 pasien

(13%) melaporkan adanya nyeri berat (skor 8-10 dari skor skala numerik 0-10),

sebanyak 595 pasien (39%) melaporkan nyeri sedang (skor 4-7), dan sebanyak

733 pasien (48%) melaporkan nyeri ringan (skor 1-3). Diantara para wanita yang

melaporkan nyeri berat, sebanyak 77% mengalami nyeri setiap hari, dimana hanya

36% wanita yang mengalami nyeri ringan setiap hari. Sebanyak total 278 pasien

(18%) yang melaporkan adanya nyeri hanya pada 1 area, sebanyak 435 pasien

(28%) pada 2 area, sebanyak 429 pasien (28%) pada 3 area, dan sebanyak 400

pasien (26%) pada 4 area. Area yang paling sering dilaporkan nyeri ialah area

payudara (n=1.331; sebanyak 86%), diikuti area aksilla (n=975; sebanyak 63%),

lengan (n=872; sebanyak 57%), dan sisi tubuh lainnya (n=857; sebanyak 56%).

Mastektomi tidak memiliki keterkaitan yang signifikan pada nilai OR dalam

laporan nyeri dibandingkan dengan operasi kanker payudara, tetapi wanita-wanita

yang melaporkan adanya nyeri setelah mastektomi memiliki risiko adanya nyeri

sedang-berat yang lebih besar dibandingkan dengan nyeri ringan (OR, 1,37; 95%

CI: 1,00-1,87; p=0,048). ALND berkaitan dengan peningkatan risiko nyeri (OR,

1,77; 95% CI: 1,43-2,19; p=0,001) dibandingkan dengan SLND, dan juga

berkaitan dengan faktor risiko terjadinya nyeri sedang-berat (OR, 1,39; 95% CI:

1,03-1,88; p=0,03).

Sejumlah besar wanita yang menjalani pembedahan limfonodi aksilla

berlanjut mengalami nyeri atau ketidaknyamanan fisik selama tahun setelah

terapi. Andersen dkk melakukan uji pada PPBCT, gangguan sensorik, dan

gangguan fungsional pada pasien yang diterapi dengan 2 tahap diseksi limfonodi

aksilla dibandingkan dengan pasien dengan biopsi limfonodi utama (sentinel

lymph node biopsi-SLNB) diikuti diseksi limfonodi aksilla (axillary lymph node

dissection-ALND) segera, dan pasien dengan ALND tanpa SLNB sebelumnya.

Terdapat tingginya prevalensi keseluruhan dari PPBCT dan gangguan sensorik,

yaitu sebesar 55% pada laporan PPBCT dan 77% pada laporan gangguan sensorik

pada keseluruhan kelompok. Tidak terdapat perbedaan yang ditemukan antara

kelompok prevalensi dan intensitas dari PPBCT (p=0,92), gangguan sensorik

(p=0,32), dan gangguan fungsional (p=0,35).

5

Page 6: Persistent Pain After Breast Cancer Treatment

Foley dan rekannya mendeskripsikan tentang perbedaan sindrom nyeri dan

abnomalitas sensorik pasca mastektomi yang kemudian mereka istilahkan dengan

sindrom nyeri pasca mastektomi (post-mastectomy pain syndrome-PMPS). Pada

PMPS, nyeri terutama terlokalisir pada aksilla, lengan atas sebelah medial,

dan/atau dinding dada bagian depan pada lokasi yang terkena. Kerusakan pada

saraf intercostobrakhial, yang dapat terjadi pada diseksi limfonodi aksilla,

diperkirakan menjadi penyebab yang paling sering pada PMPS. Sebagai contoh,

pada serial dari 38 pasien yang telah menjalani mastektomi dengan diseksi

limfonodi aksilla, sebuah lesi saraf intercostobrakhial diperkirakan menjadi

penyebab nyeri yang timbul pada 7 hingga 8 pasien dengan nyeri menetap yang

muncul selama pemeriksaan neurologis.

Sebuah penelitian yang secara khusus mengevaluasi nyeri setelah

rekonstruksi payudara meliputi pemasangan implan payudara memiliki prevalensi

nyeri yang lebih besar (53%) daripada pasien yang menjalani rekonstruksi tanpa

pemasangan implan (30%), dan pasien-pasien wanita yang menjalani rekonstruksi

tanpa pemasangan implan memiliki prevalensi nyeri yang hampir sama dengan

pasien-pasien yang menjalani mastektomi tanpa rekonstruksi. Terdapat beberapa

bukti bahwa insidensi terjadinya nyeri kronik pasca operasi kanker payudara,

intensitasnya, keterkaitannya dengan abnormalitas sensorik menurun dengan

berjalannya waktu. Ivens dkk (1992) menemukan bahwa kecenderungan adanya

nyeri kronik menurun dari 31% pada 1-2 tahun pasca operasi menjadi 20% setelah

lebih dari 4 tahun pasca operasi kanker payudara.

Bokhari dkk melakukan sebuah survei prospektif, kuantitatif, percobaan

longitudinal sebelum operasi dan saat 2 hari, 10 hari, dan 3 bulan pasca operasi

dalam upaya untuk memberikan penentuan sementara dari angka prevalensi

wanita yang menderita akibat nyeri neuropati pasca operasi kanker payudara

(PPBCS) dan mengekplorasi faktor-faktor risiko penting yang berkaitan dengan

perkembangan nyeri tersebut. Sebanyak 23% pasien mengalami PPBCS. Pasien

dengan usia lebih muda (<50 tahun), pembedahan yang lebih invasif, nyeri pasca

operasi akut, dan kurangnya penggunaan analgetik selama periode pasca operasi

6

Page 7: Persistent Pain After Breast Cancer Treatment

akut merupakan faktor-faktor yang berkaitan dengan perkembangan PPBCS

(sebelum operasi dan saat 2 hari, 10 hari, dan 3 bulan pasca operasi).

Sipilä dan rekannya melakukan sebuah penelitian prospektif untuk

mengembangkan metode skrining dalam mengidentifikasi demografi sebelum

pembedahan, faktor-faktor yang berkaitan dengan psikologis dan terapi yang

dapat memprediksi persistensi nyeri yang bermakna pada area operasi setelah 6

bulan pembedahan. Sebuah indeks risiko 6 faktor dikembangkan untuk

memperkirakan risiko PPBCS yang berkembang secara signifikan. Laporan

tentang nyeri kronik preoperasi, sebanyak 4 atau lebih operasi yang dilakukan

sebelumnya, nyeri preoperasi pada area yang akan dioperasi, indeks massa tubuh

yang tinggi, riwayat merokok sebelumnya, dan usia lebih tua diinklusikan ke

dalam model 6 faktor yang dapat memprediksikan dengan sangat baik nyeri yang

signifikan pada follow-up 489 wanita yang diteliti (sebuah indeks risiko 6 faktor

dikembangkan untuk memperkirakan risiko terjadinya nyeri yang berkembang

secara signifikan setelah operasi kanker payudara). Namun, kebanyakan dari

faktor risiko yang ada (misal: usia tua, kondisi nyeri kronik, riwayat merokok

sebelumnya, dan tingginya jumlah operasi sebelumnya) tidak dapat ditargetkan

secara spesifik dalam upaya untuk memodifikasi PPBCS secara aktif.

Miaskowski dan rekannya merekrut 398 pasien yang belum menjalani

operasi kanker payudara dan mengikutinya selama 6 bulan. Menggunakan

pemodelan pencampuran pertumbuhan-growth mixture, pasien diklasifikasikan ke

dalam kelompok tanpa nyeri (31,7%), nyeri ringan (43,4%), nyeri sedang

(13,3%), dan nyeri berat (11,6%) berdasarkan tingkat nyeri payudara terburuk.

Pasien-pasien kelompok nyeri sedang dan berat mengalami tingkat depresi,

kecemasan, dan gangguan tidur preoperasi yang lebih tinggi dibandingkan

kelompok tanpa nyeri. Temuan-temuan menunjukkan bahwa kira-kira sebesar

25% wanita mengalami tingkat nyeri payudara yang signifikan dan menetap pada

6 bulan pertama pasca operasi kanker payudara. Nyeri kanker payudara yang berat

berkaitan dengan penurunan yang bermakna secara klinis status fungsional dan

kualitas hidupnya.

7

Page 8: Persistent Pain After Breast Cancer Treatment

Pembawa alel minor untuk polimorfisme nukleotida tunggal (single

nucleotide polymorphism-SNP) pada interleukin (IL) 1-reseptor-1 (IL1R1)

(rs2110726) cenderung lebih sedikit melaporkan nyeri payudara sebelum

pembedahan (p=0,007). Pembawa alel minor untuk SNP pada IL13 (rs1295686)

cenderung lebih banyak melaporkan adanya nyeri payudara sebelum operasi

(p=0,019). Temuan-temuan ini menunjukan bahwa nyeri payudara terjadi pada

lebih dari seperempat wanita yang akan menjalani operasi kanker payudara, yang

sebagian karena perbedaan mekanisme inflamasi.

Edwards dan rekannya menggunakan uji sensorik kuantitatif untuk

membandingkan respon psikofisik terhadap stimulasi berbahaya terstandar pada

dua kelompok wanita yang sebelumnya sudah pernah menjalani operasi kanker

payudara: kelompok wanita dengan nyeri menetap pasca operasi (n=37) dan tanpa

nyeri menetap pasca operasi (n=34). Temuan mereka menunjukkan bahwa wanita

dengan nyeri menetap pasca operasi kanker payudara menunjukkan peningkatan

jumlah nyeri mekanik pada bagian temporal, kurangnya inhibisi nyeri endogen,

dan sensai nyeri yang lebih intens dibandingkan dengan wanita tanpa nyeri jangka

panjang, yang menunjukkan bahwa nyeri pasca operasi yang menetap dapat

berkaitan dengan perubahan pada proses modulasi nyeri sistem saraf pusat.

Tabel 1. Klasifikasi sindrom-sindrom nyeri neuropati kronik yang mengikuti

operasi kanker payudara

Sindrom DeskripsiNyeri payudara akibat khayalan

Pengalaman sensorik dari payudara yang diangkat yang masih muncul dan sangat nyeri

Neuralgia intercostobrakhial (termasuk sindrom nyeri pasca mastektomi)

Nyeri, biasanya disertai perubahan sensorik, pada distribusi saraf intercostobrakhial yang mengikuti operasi kanker payudara dengan atau tanpa diseksi aksilla

Nyeri neuroma (termasuk nyeri skar)

Nyeri pada regio skar pada payudara, dada, atau lengan yang diprovokasi atau kambuh dengan perkusi/ketukan

Nyeri kerusakan saraf lainnya Nyeri di luar distribusi saraf intercostobrakhial yang konsisten dengan kerusakan terhadap saraf lainnya selama operasi kanker payudara (misal: nervus pektoralis medialis dan lateralis, nervus thoracis longus, nervus thoracodorsalis, dan nervus intercostales

8

Page 9: Persistent Pain After Breast Cancer Treatment

lainnya)adibedakan berdasarkan sensasi payudara akibat khayalan non-nyeri

Hal tersebut di atas menunjukkan bahwa tidak hanya terdapat derajat nyeri

menetap yang signifikan pasca operasi kanker payudara tetapi juga terdapat

derajat gangguan tidur yang signifikan pasca operasi kanker payudara. Van

Onselen dkk mempublikasikan temuan dari 390 wanita yang telah melengkapi

pemeriksaan laporan pribadi untuk berbagai gejala, sebanyak 28,2% dari mereka

melaporkan nyeri pada payudara mereka sebelum operasi. Sejumlah besar

persentase wanita pada kelompok nyeri (yaitu 66,7% vs 53,5%) melaporkan

adanya tingkat gangguan tidur yang bermakna secara klinis.

KLASIFIKASI PPBCS

Jung dan rekannya membagi empat tipe PPBCS yang berbeda berdasarkan

penelitian-penelitian epidemiologi, mekanisme, dan terapi PPBCS. Peranan

lainnya dalam nyeri neuropati yang mengikuti pasca operasi kanker payudara

ialah adanya kerusakan pada nervus pectoralis medialis dan lateralis, nervus

thoracis longus, atau nervus thoracodorsalis yang secara rutin terlindung tetapi

dapat rusak oleh skar atau traksi selama mastektomi (tabel 1).

Estimasi risiko neuroma dengan nyeri pasca operasi kanker payudara juga

sangat bervariasi, mulai 23% hingga 49%. Nyeri neuroma bisa lebih sering terjadi

pasca lumpektomi daripada pasca mastektomi. Tasmuth dkk (1995) melaporkan

bahwa pasien-pasien yang menjalani lumpektomi, diseksi aksilla, dan radioterapi

secara signifikan lebih cenderung mengalami nyeri skar daripada pasien yang

menjalani mastektomi radikal modifikasi. Laporan anekdot menunjukkan bahwa

reseksi neuroma intercosta dapat mengatasi nyeri kronik pasca operasi kanker

payudara. Namun, karena neuroma dapat terbentuk kembali pasca eksisi, sehingga

relokasi area yang terlindungi dan upaya untuk meningkatkan regenerasi

menggunakan graf saraf menjadi pilihan terapi bedah saraf utama.

Meskipun terdapat banyak etiologi nyeri pasca operasi, dapat

mendiagnosis neuroma intercosta menjadi sangat penting karena kelainan ini

9

Page 10: Persistent Pain After Breast Cancer Treatment

dapat diterapi dengan pembedahan. Nguyen dan rekannya mendeskripsikan tiga

buah kasus neuroma intercosta pada pasien-pasien dengan implan payudara.

Sebuah tanda Tinel dapat timbul di sepanjang dinding dada sebelah lateral dan

blok anestesi lokal terkadang dapat mengatasi nyeri yang timbul. Manajemen

pembedahan dengan identifikasi dan pemotongan pada neuroma intercosta dan

membenamkannya ke dalam otot yang menjadi dasarnya, secara signifikan dapat

menurunkan nyeri pasca operasi dalam jangka waktu lama.

Kojima dan rekannya mengirimkan kuesioner ke 647 anggota spesialis

Breast Cancer Society di Jepang. PPBCS diketahui oleh sebanyak 70,5% dokter

responden, tetapi nyeri tersebut hanya diterapi oleh sebanyak 47,7% dokter

responden. Berbanding terbalik dengan penggunaan umum dari obat-obatan

antiinflamasi non-steroid (non-steroidal anti-inflammatory drug-NSAID), yang

terbukti kurang efektif untuk nyeri PPBCS, obat tersebut digunakan oleh

sebanyak 78,4% responden, tetapi obat-obatan yang lebih efektif jarang

digunakan, sehingga terapi diperkirakan menjadi kurang efektif sebesar 69,5%.

Sehingga, tampak bahwa sejumlah dokter tidak terbiasa dengan strategi terapi

optimal untuk mengatasi nyeri PPBCS.

STRATEGI-STRATEGI TERAPI UNTUK MEMPERBAIKI PPBCS

Saat ini, masih sangat sedikit penelitian acak, double-blind, dengan kontrol

plasebo mengenai PPBCS. Hanya pada penelitian acak terkontrol dengan

capsaicin topikal, terapi silang dengan capsaicin vs placebo pada 25 pasien yang

didiagnosis PPBCS, lebih besar berkaitan secara signifikan dengan pereda nyeri

dan penurunan nyeri tajam, meskipun kelompok terapinya tidak berbeda dengan

pereda pada nyeri yang stabil dan alodinia.

Beberapa obat telah diuji dengan randomized clinical trials secara

sistematis untuk efektivitasnya secara spesifik pada post mastectomy/lumpectomy

pain (PMLP). Bagaimanapun, gabapentin, obat antiepilepsi, dan venlafaxine,

sebuah serotonin-nonepinephrine reuptake inhibitor (SNRI), efektif pada

percobaan multipel yang melibatkan PMLP. Kedua obat tersebut melemahkan

munculnya nyeri kronis pada wanita yang sebelumnya menerima operasi kanker

10

Page 11: Persistent Pain After Breast Cancer Treatment

payudara. Ketika diberikan sebelum operasi, gabapentin menurunkan waktu

pemberian analgetik pertama postoperasi sama banyaknya dengan skor nyeri dan

analgetik adjuvan digunakan dalam waktu 10 hari pertama. Bagaimanapun, tidak

adanya efek yang diobservasi pada nyeri kronis yang waktunya lebih lama lagi

pada dua penelitian yang dilakukan 3 dan 6 bulan postoperasi.

Amitriptilin telah diperiksa pada randomized, double-blind, placebo-

controlled, crossover trial pada nyeri neuropatik yang mengikuti kanker

payudara. Pengurangan nyeri secara signifikan lebih baik dengan amitriptilin

dibandingkan dengan plasebo, dan delapan dari 15 pasien melaporkan sedikitnya

intensitas nyeri mereka berkurang 50%; lima dari pasien ini , bagaimanapun, tidak

ingin melanjutkan pengobatan setelah penelitian berakhir dikarenakan adanya

efek samping.

Tasmuth dan kawan-kawan membuat sebuah randomized, double-blind,

placebo-controlled, crossover trial dan gagal untuk mengemukakan keuntungan

signifikan venlafaxine versus plasebo pada endpoint primer (rating buku harian

nyeri) tetapi melaporkan adanya pengurangan nyeri yang lebih baik berhubungan

dengan pengobatan dengan venlafaxine untuk dua endpoint sekunder,

pengurangan nyeri dan nyeri maksimum.

Pengobatan perioperatif dengan eutectic mixture of local anesthetics

(EMLA), mexiletin, atau gabapetin muncul untuk mengurangi nyeri postoperasi

akut, termasuk nyeri spontan dan yang berhubungan dengan pergerakan, dan

menurunkan konsumsi analgetik postoperasi, bagaimanapun, pada penelitian

inisial mengenai gabapentin dan mexiletin tidak mengurangi insidensi ataupun

intensitas PPBCS. Sebuah eutectics cream mixture of local anesthetics (EMLA)

sendiri mungkin bermanfaat sebagai pengobatan preoperasi sebagai prevensi pada

nyeri postoperasi kronik. Ketika secara topikal diberikan pada area payudara dan

lengan pada satu hari prior operasi, EMLA menurunkan konsumsi analgetik

antara 2 sampai 6 hari postoperasi dan insidensi maupun intensitas nyeri 3 bulan

setelah operasi. Hasil yang sama diperoleh ketika investigator yang sama

mengkombinasikan EMLA dan gabapentin pada pengobatan preoperatif.

11

Page 12: Persistent Pain After Breast Cancer Treatment

Grigoras dan kawan-kawan membuat sebuah prospective randomized,

double-blinded trial mengenai PPBCT dan menemukan bahwa lidokain intravena

perioperasi menurunkan insidensi dan derajat keparahan PPBCS. Dua (11,8%)

pasien pada kelompok lidokain dan 9 (47,4%) pasien pada kelompok kontrol

melaporkan PPBCS pada follow-up 3 bulan (P=0,031). McGill Pain Questionaire

mengemukakan tingginya intensitas nyeri yang saat itu terjadi-visual analog scale

(VAS) di kelompok kontrol (14,6+22,5 vs. 2,6+7,5, P=0,025). Hiperalgesia

sekunder (nyeri diluar area operasi) secara signifikan kurang di kelompok dengan

lidokain dibandingkan dengan kelompok kontrol (0,2+0,8 vs. 3,2+4,5 cm,

P=0,002).

Dexmedetomidine menunjukkan efek dosis tergantung antiallodynic pada

rangsangan mekanik dan dingin di model tikus vincristin pembangkit neuropatik.

Jain dan kawan-kawan melakukan uji coba double-blind prospektif untuk

menganalisis peran pemberian dexmedetomidine perioperatif pada terjadinya

nyeri kronis pada wanita yang menjalani operasi kanker payudara.

Secara total, 84 kasus (42 dalam kelompok D dan 42 dalam kelompok C)

dianalisis untuk nyeri akut dan 69 (34 dalam kelompok D dan 35 dalam kelompok

C) untuk nyeri kronis. Konsumsi isoflurane / fentanyl intraoperatif dan

acetaminophen pasca operasi secara signifikan lebih rendah pada kelompok

dexmedetomidine. Verbal numerical score (VNS) saat istirahat dan setelah

gerakan secara signifikan lebih rendah di kelompok dexmedetomidine pada waktu

yang sesuai (kecuali pada 60 menit) di seluruh periode penilaian. Brief pain

inventory (BPI) dan skor short-form of the revised McGill Pain Questionnaire

(SF-MPQ2) jauh lebih rendah pada kelompok dexmedetomidine pada sebagian

besar faktor. Skor quality of life scale (QOLS) secara signifikan lebih baik dalam

kelompok dexmedetomidine di hampir semua hal. Mereka menyimpulkan bahwa

infus dexmedetomidine perioperatif memiliki peran penting dalam pelemahan

insiden dan tingkat keparahan nyeri kronis dan meningkatkan kualitas hidup

dalam kasus menjalani operasi kanker payudara.

Paravertebral nerve blocks (PVB) selama operasi kanker payudara telah

dilaporkan untuk mengurangi nyeri akut dan konsumsi opioid segera setelah

12

Page 13: Persistent Pain After Breast Cancer Treatment

operasi di beberapa randomized clinical trial. Andreae dan kawan-kawan

melakukan Cochrane Review yang termasuk RCTs membandingkan anestesi lokal

atau anestesi regional dibandingkan analgesia konvensional dengan hasil nyeri

pada enam atau 12 bulan setelah operasi. Mereka mengumpulkan dua studi pada

PVB untuk operasi kanker payudara; data yang diperoleh dari 89 peserta dengan

hasil pada lima sampai enam bulan disukai PVB dengan OR 0,37 (95 % CI: 0,14-

0,94). Kualitas metodologi penelitian yang termasuk dalam penelitian tersebut

adalah menengah. Mereka menyimpulkan bahwa PVB dapat mengurangi risiko

nyeri kronis setelah operasi kanker payudara di sekitar satu dari setiap lima wanita

yang diobati, meskipun keterbatasan penelitian mungkin termasuk bias kinerja,

pemasukan pendek dalam alokasi gesekan penyembunyian, dan data hasil

lengkap.

Ada juga faktor risiko untuk PPBCS, nyeri kronis preoperasi, operasi

aksila dan ketahanan psikologis yang secara signifikan memprediksi hasil nyeri

akut setelah operasi untuk kanker payudara. Identifikasi praoperasi dan intervensi

yang ditargetkan dari subkelompok risiko bisa dibayangkan meningkatkan

lintasan pemulihan pada penderita kanker. Strategi yang ditujukan untuk

mengontrol nyeri akut dan kronis di pasien yang menerima mastektomi dan

rekonstruksi payudara meliputi: terapi minimal invasif untuk kanker payudara,

seperti sebagai terapi konservasi payudara dari mastektomi dan rekonstruksi

payudara, biopsy nodus sentinel, dan perawatan awal radiasi dan kemoterapi.

PERSISTENT PAIN AFTER BREAST CANCER HORMONAL THERAPY

(PPBCHT)

Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa gangguan hormonal

berkontribusi terhadap kanker payudara, oleh karena itu terapi hormonal

direkomendasikan. Arthralgia, efek samping yang umum dari aromatase

inhibitor, dapat menghasilkan keterbatasan mobilitas menyakitkan dan

terganggunya kegiatan sehari-hari. Dibandingkan dengan tamoxifen, aromatase

inhibitor (AI) seperti anastrozole, letrozole, dan exemestane menunjukkan

manfaat meningkatkan kelangsungan hidup yang bebas penyakit; oleh karena itu,

13

Page 14: Persistent Pain After Breast Cancer Treatment

obat tersebut telah menjadi standar perawatan untuk pengobatan endokrin

adjuvant wanita postmenopause dengan reseptor hormon - kanker payudara dini

positif.

Din et al. mengulas insidensi terjasinya gejala muskuloskeletal pada uji

klinis tahap III dari anastrozole, letrozole, dan exemestane, dan perempuan

dimana pada mereka AI telah menunjukkan tingkat arthralgia yang lebih tinggi

secara signifikan dibandingkan dengan tamoxifen. Dalam sebuah studi yang

menyelidiki arthralgia yang spesifik pada 200 pasien AI, 47 % pasien melaporkan

AI terkait nyeri, dan 44 % melaporkan kekakuan. Biasanya, pasien pada AI

mengalami kekakuan, nyeri, atau nyeri yang seringnya simetris, terjadi di tangan,

lengan, lutut, kaki, dan tulang panggul dan pinggul. Selain itu, pasien AI dapat

mengembangkan perubahan tenosinovial, termasuk cairan dalam selubung tendon,

peningkatan ketebalan tendon, memicu jari, dan carpal tunnel syndrome.

Robidoux dan kawan-kawan melakukan studi percontohan prospektif yang

menyelidiki nyeri muskuloskeletal pada pasien kanker payudara pascamenopause

yang menerima terapi aromatase inhibitor. Selama masa studi 24 minggu, 20

peserta (67 %) tidak menunjukkan gejala sakit; 5 (17 %) mengalami nyeri rendah

atau sedang pada awalnya, yang tidak meningkat dengan pengobatan AI. Selama

terapi, 5 (17 %) menunjukkan eksaserbasi rasa sakit yang timbul dari

osteoarthritis tangan dan jari fleksor tenosinovitis. Meskipun semua 30 peserta

memiliki beberapa tingkat kondisi musculoskeletal sebelum terapi anastrozole

dimulai, kondisi yang sudah ada tidak selalu mempengaruhi para wanita untuk

peningkatan rasa sakit selama pengobatan anastrozole.

Penilaian muskuloskeletal awal menunjukkan sudah ada yang

menyebabkan nyeri di sebagian besar pasien studi sebelum inisiasi dari AI.

Eksaserbasi nyeri osteoarthritis yang ada dan gejala tenosynovial adalah

kontributor utama peningkatan rasa sakit. Penilaian nyeri muskuloskeletal pada

awal dan pengobatan gejala nyeri yang tepat mungkin dapat membantu

mengoptimalkan kepatuhan terhadap terapi AI. Nilai penilaian rutin penanda

inflamasi seperti C-reactive protein dan tingkat sedimentasi eritrosit tidak

didukung oleh studi percontohan. Profil ekspresi gen dalam sel mononuclear

14

Page 15: Persistent Pain After Breast Cancer Treatment

darah perifer dapat dieksplorasi lebih lanjut dalam skala studi yang lebih besar

sebagai penanda stratifikasi untuk mengidentifikasi pasien yang berisiko

mengembangkan arthralgia.

PERSISTENT PAIN AFTER BREAST CANCER CHEMOTERAPHY

(PPBCC)

Selama stadium lanjut untuk kanker payudara, metastasis merupakan

tantangan besar bagi pasien dan dokter dan saat ini harus ditangani dengan

kemoterapi menggunakan obat termasuk anthracyclines, taxanes, alkylating

agents, alkaloid vinca, capecitabine, gemcitabine, dan platinum agents, ---

carboplatin dan cisplatin. Taxanes, platinum agents, dan vinca alkaloid yang

paling mungkin menyebabkan PPBCC.

Dengan demikian, perempuan dengan kanker payudara metastatik

mungkin memiliki kesempatan yang tinggi untuk mengembangkan CIPN karena

meningkatnya paparan taxanes, kemoterapi antimetabolit, dan standar obat

lainnya yang berhubungan dengan neuropati perifer. CIPN menimbulkan masalah

psikososial maupun fisik yang dapat menyebabkan penurunan atau penghentian

pengobatan yang berpotensi efektif dikarenakan karena dosis yang berhubungan

dengan toksisitas. Gejala CIPN termasuk mati rasa, kesemutan, kelemahan, dan

rasa sakit yang dapat merusak fungsi dan aktivitas hidup sehari-hari, serta

keseimbangan, yang mengarah ke jatuh dan cedera.

Andersen dan kawan-kawan membandingkan pasien yang diobati dengan

cyclophosphamide, epirubicin dan fluorouracil (CEF) dan cyclophosphamide dan

epirubicin + docetaxel (CE + T) dalam kaitannya dengan PPBCT, gangguan

sensorik, gangguan sensorik perifer dan gangguan fungsional. Pasien yang

diobati dengan CE + T memiliki risiko gangguan sensorik yang lebih rendah di

daerah pembedahan dibandingkan dengan CEF, OR 0,75 (95 % CI: 0,62-0,90),

P=0,002. Kebanyakan pasien CE + T melaporkan gangguan sensoris perifer di

tangan, OR 1,56 (95 % CI: 1,27-1,92), P<0,0001, dan pada kaki, OR 2,0 (95 %

CI: 1,66-2,42) P<0,0001, dibandingkan dengan CEF. Tidak ada perbedaan dalam

gangguan fungsional (P=0.62). Docetaxcel sebagai pengobatan ajuvan untuk

15

Page 16: Persistent Pain After Breast Cancer Treatment

kanker payudara tidak meningkatkan risiko PPBCT, gangguan sensorik di daerah

pembedahan atau gangguan fungsional, namun peningkatan risiko untuk

gangguan sensorik perifer.

Golan-Vered dan Pud menyatakan bahwa tiga temuan utama penelitian

deskriptif mereka mengenai pasien kanker payudara yang menerima paclitaxel

menerima adalah: (I) 2 kelompok yang berbeda dari pasien dengan kanker

payudara, yaitu Low Cluster dan High Cluster, diidentifikasi berdasarkan

pengalaman mereka dengan 4 gejala yang sangat umum (depresi, kelelahan,

gangguan tidur, nyeri); (II) 50% dari pasien yang diobati dengan paclitaxel

mengembangkan CINP; (III) kombinasi CINP dan cluster mengungkapkan sub

kelompok dengan tidak ada bukti CINP dalam kelompok Low Cluster (35%) dan

subkelompok dengan CINP dalam kelompok High Cluster (22,5%). 2 sub

kelompok ini dapat dilihat sebagai "Double lucky" dan "double unlucky", secara

respektif.

Paclitaxel adalah salah satu perawatan kemoterapi kanker payudara yang

berhubungan dengan frekuensi tinggi neuropati perifer dalam dosis - dan paparan

– cara dependent. Hal ini ditandai pertama dengan paresthesia, diikuti oleh

dysesthesia.

Reyes-Gibby dan kawan-kawan melakukan survei terhadap pasien kanker

payudara yang telah berpartisipasi dalam uji klinis paclitaxel. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa 64 % mengalami CIPN selama pengobatan paclitaxel.

Tindak lanjut data survei mengungkapkan bahwa 27 % dari mereka dengan CIPN

yang kemudian didiagnosis dengan neuropathic pain (NP). Analisis regresi

logistic menunjukkan bahwa mereka yang pernah mengalami CIPN adalah 3 kali

lebih mungkin untuk mengembangkan NP. (95 % CI: 1,2-7,2 ; P < 0,001), yang

bertahan dalam model logistik multivariat. Selain itu, pasien NP dilaporkan dua

kali lebih banyak berkunjung ke penyedia layanan kesehatan mereka (P=0,02) dan

telah mengambil resep lebih banyak (50 % vs 19 %, P=0,001) dan over-the

counter medication (62,5 % vs 45 %, P=0,08) untuk nyeri dibandingkan mereka

yang tanpa NP. Tidak ada terapi khusus untuk PPBCC, pengobatan PPBCC pada

16

Page 17: Persistent Pain After Breast Cancer Treatment

dasarnya sama seperti untuk setiap pengobatan nyeri setelah perawatan

kemoterapi.

PERSISTENT PAIN AFTER BREAST CANCER RADIATION (PPBCR)

Radioterapi dapat menyebabkan rasa sakit terus-menerus pada penderita

kanker payudara yang selamat. Tidak ada terapi khusus untuk PPBCR sekarang

yang tersedia, dan pasien menerima perawatan umum nyeri setelah pengobatan

radiasi.

Hofsø dan kawan-kawan melakukan penelitian di mana mereka

mengevaluasi perubahan dan prediktor kejadian, keparahan, dan kesusahan dari

enam gejala umum (kekurangan energi, khawatir, sulit tidur, merasa mengantuk,

berkeringat, dan sakit) selama radiation teraphy (RT) untuk kanker payudara.

Penemuan mereka menunjukkan bahwa enam gejala-gejala tersebut terjadi pada

tingkat yang relatif tinggi, yang parah, dan terkait dengan tingkat distress.

Temuan penting adalah bahwa beberapa gejala (misalnya, merasa mengantuk)

dipamerkan oleh lintasan kompleks kejadian, keparahan dan distress. Sebaliknya,

beberapa gejala (misalnya nyeri) berlangsung (pada tingkat yang sama) selama

enam bulan dari studi.

Risiko berkembangnya komplikasi yang terlambat setelah fractionated

megavoltage radioteraphy secara konvensional diperkirakan di bawah 1%.

Meskipun, tidak sepenuhnya jelas, tampak bahwa rasa sakit di lengan atau bahu

karena radiation-induced brachialis plexopathy (RBP) mungkin lebih mungkin

setelah hypofractionation dalam radioterapi daripada setelah pengobatan

konvensional yang menggunakan 2 fraksi Gy / hari.

Radiasi yang paling umum mempengaruhi saraf adalah RBP. Pierce et al.

dalam review mereka pada 1.624 pasien mengungkapkan RBP pada 1,8% pasien.

Peneliti lain telah menemukan kejadian komplikasi ini kurang dari 1 %,

sedangkan Olsen dan rekan kerja dalam studi pada 161 pasien kanker payudara

dengan follow-up periode median 50 bulan, melaporkan bahwa 5 % dan 9 %

memiliki masing-masing, pengnonaktifan dan RBP ringan. Gejala mulai dari

enam bulan sampai 20 tahun setelah radioterapi (periode median 1,5 tahun).

17

Page 18: Persistent Pain After Breast Cancer Treatment

Kebanyakan pasien mengalami gejala dalam tiga tahun, tetapi presentasi terlambat

8-20 tahun kemudian dapat ditemui. Gejala adalah progresif pada semua pasien,

meskipun tingkatannya bervariasi. Nyeri adalah umum dan bertahan tanpa batas

pada semua kecuali satu pasien. Kelemahan progresif adalah universal dan

mengakibatkan hilangnya fungsi tangan yang berguna pada semua kecuali tiga

pasien. Waktu yang dibutuhkan untuk kehilangan penggunaan fungsi tangan

berkisar antara enam minggu sampai lima tahun (periode median 1,25 tahun).

Tiga pola kelemahan ekstremitas atas telah teridentifikasi, kelemahan ekstremitas

distal (13 pasien), kelemahan tungkai global yang lebih ditandai secara distal (11

pasien) , dan lengan benar-benar flaccid (10 pasien). Tujuh belas pasien

memerlukan morfin jangka panjang untuk meringankan rasa sakit. Sebuah

simpatektomi kimia bermanfaat pada tiga dari enam pasien yang menerima

injeksi.

Patofisiologi neuropati akibat radiasi ini tidak sepenuhnya dipahami. Saat

ini mungkin untuk menargetkan radiasi yang berhubungan dengan fibrosis dan

faktor yang terkait seperti iskemia, stres oksidatif dan peradangan serta

mekanisme patofisiologis lainnya yang diduga berkontribusi terhadap radiasi

neuropati. Sebuah uji coba fase III mengevaluasi hubungan pentoxifylline,

tocopherol dan clodronat (PENTOCLO , NCT01291433) pada radiasi yang

berhubungan dengan neuropati sekarang sedang direkrut.

PENGOBATAN NON-FARMAKOLOGIS PPBCT

Program latihan yang menggabungkan latihan aerobik dan pelatihan

ketahanan serta berbagai teknik pengobatan rehabilitasi fisik diantara pasien

kanker payudara dan survivor dapat secara efektif mengurangi efek samping.

Beberapa dari studi ini disajikan. Survivor kanker payudara tahap awal yang

menjalani kemoterapi dan / atau radiasi yang berpartisipasi dalam latihan aerobik

dan resistensi intervensi 2 hari seminggu selama 12 minggu dilaporkan

mengalami perbaikan CRF, kualitas hidup, kepuasan hidup, dan juga peningkatan

fungsi fisik dibandingkan dengan yang perawatan biasa. Mustian dan kawan-

kawan juga telah menunjukkan manfaat melakukan aerobik dan latihan resistensi

18

Page 19: Persistent Pain After Breast Cancer Treatment

selama pengobatan radiasi. Empat minggu dirancang secara individual, rumah

berbasis aerobik dan resistensi program pelatihan menghasilkan peningkatan

CRF, kualitas hidup, tidur, kapasitas aerobik, kekuatan dan fungsi kekebalan

tubuh.

Wanita dengan kanker payudara telah melaporkan menggunakan banyak

teknik Complementary and Alternative medicine (CAM) ini dalam hubungannya

dengan pengobatan mereka atau setelah selesainya pengobatan mereka. CAM

meliputi natural product, mind body medicine dan latihan berbasis tubuh dan

manipulatif, Mindfulness-based stress reduction (MBSR) [mediasi, postur],

latihan berbasis Mindfulness [Tai Chi Chuan, Yoga], serta akupunktur.

Jensen et al. melakukan studi percontohan untuk memberikan dukungan

awal untuk hipnosis mengurangi PPBCT serta gejala lainnya gejala.

Sebuah program terapi air 8 minggu efektif untuk memperbaiki nyeri leher

dan bahu / aksila, dan mengurangi kehadiran trigger points pada penderita kanker

payudara yang dibandingkan dengan perawatan biasa; namun, tidak ada

perubahan signifikan dalam nyeri tekan luas hiperalgesia yang ditemukan.

Wong dan kawan-kawan mengevaluasi pasien kanker payudara dengan

PPBCT sedang sampai berat pada 3-6 bulan setelah menyelesaikan semua

perawatan adjuvant dalam studi percontohan . Pasien-pasien ini berpartisipasi

dalam 12 minggu comprehensive health improvement program (CHIP) yang

melibatkan exercise training. Intensitasnya telah disesuaikan untuk mencapai 65-

85 % dari denyut jantung maksimal pasien.

Sebelum CHIP dan pada 1 dan 6 bulan setelah selesai dari CHIP ini,

kualitas hidup dan nyeri diukur dengan menggunakan kuesioner [European

Organization for Research and Treatment of Cancer Quality of Life core and

breast cancer modules (qlq-C30, -BR23) dan the McGill Pain Questionnaire

short form] diselesaikan oleh pasien. Tim CHIP terdiri dari internis, onkolog atau

perawatan paliatif dokter, psikolog, perawat, seorang fisioterapis, ahli gizi, dan

manajer klinik, yang bersama-sama memberikan pasien informasi, pengobatan,

dan dukungan. Setelah CHIP, pasien melaporkan perbaikan yang penting secara

signifikan dan klinis dalam kualitas hidup dan gejala. Pada 1 dan 6 bulan pasca -

19

Page 20: Persistent Pain After Breast Cancer Treatment

CHIP, pasien dalam penelitian merasa, rata-rata, lebih baik dalam kualitas hidup

secara keseluruhan daripada subyek kontrol sejarah.

Operasi dan radioterapi yang diduga menyebabkan nyeri payudara akut

dan kronis, tenderness, dan gangguan bahu pada hingga 50 % pasien yang

menyelesaikan breast-conserving therapy. Percobaan U.K. START

(Standardization of Breast Radiotherapy), yang dibandingkan dengan

hypofractionation dengan fraksinasi konvensional dari radioterapi adjuvant untuk

kanker payudara, menilai kualitas hidup dari 2208 pasien selama 5 tahun. Telah

diamati bahwa 20 % dan 30 % dari pasien dari kedua lengan penelitian mengalami

nyeri payudara dan lengan masing-masing pada 5 tahun masa follow-up.

Randomized control study telah menunjukkan bahwa, dibandingkan dengan

pasien kontrol yang tidak menerima intervensi, pasien kanker payudara diarahkan

untuk berolahraga lebih sering setelah diagnosis mereka mengalami perbaikan

dalam fungsi fisik, kualitas hidup secara keseluruhan, dan fungsi kardiopulmoner.

Pada tahun 2006, McGill CHIP, yang pada awalnya dikembangkan untuk pasien

dengan penyakit jantung, mulai untuk memasukkan latihan program rehabilitasi

untuk membantu penderita kanker pulih dan mencapai potensi penuh kesehatan

mereka setelah mereka telah menyelesaikan pengobatan kanker mereka.

Ringkasan

Peningkatan tingkat kelangsungan hidup kanker payudara tampaknya

memiliki kontribusi terhadap adanya isu klinis yang signifikan dari PPBCT. Nyeri

persisten dapat terjadi setelah pengobatan pembedahan, pengobatan hormonal,

kemoterapi dan /atau radioterapi. Pengobatan pendekatan untuk PPBCT mungkin

termasuk farmakologis, intervensi, dan strategi nonfarmakolgik. Saat ini terapi

untuk PPBCT masih suboptimal, bagaimanapun, diharapkan lebih besar apresiasi

terhadap diagnosis, evaluasi, dan manajemen dari PPBCT dapat menyebabkan

peningkatan hasil pasien secara keseluruhan dengan analgesia yang lebih baik

dan efek samping yang sedikit.

20