persistent pain after breast cancer treatment
DESCRIPTION
jurnal onkoTRANSCRIPT
NYERI YANG MENETAP PASCA TERAPI KANKER PAYUDARA
Howard S. Smith, Sheng-Xi Wu
PENDAHULUAN
Kanker payudara merupakan kanker yang paling sering terjadi pada
wanita, dengan survival rate 5 tahun lebih dari 80% dengan diagnosis yang lebih
dini dan perbaikan manajemen penatalaksanaannya. Dengan peningkatan survival
rate, terdapat peningkatan perhatian yang berfokus pada kualitas hidup pada para
survivor kanker payudara ini.
Faktor-faktor utama yang mempengaruhi kualitas hidup para survivor ialah
beberapa efek samping terkait dengan terapi kanker yang terjadi pada hingga 90%
pasien selama terapi dan dapat menetap selama berbulan-bulan bahkan bertahun-
tahun setelah terapi berakhir. Kemoterapi, terapi radiasi, dan terapi hormonal,
semua hal tersebut dapat berkontribusi dalam berkembangnya dan menetapnya
efek samping, meliputi: limfedema restriksi ekstremitas superior, gangguan
kognitif, kelemahan, kesulitan tidur, nyeri, neuropati perifer akibat kemoterapi,
kardiotoksisitas, dan kehilangan komponen tulang. Semua efek samping tersebut
disertai terapi kanker payudara berpengaruh negatif terhadap kualitas hidup dan
aktivitas sehari-hari, menyebabkan ketidakpatuhan terhadap terapi, dan akhirnya
mempengaruhi outcome prognosis dan angka survival rate. Intervensi untuk
mengatasi efek samping dibutuhkan untuk menurunkan beban gejala,
meningkatkan kualitas hidup dan kapasitas fungsional, dan meningkatkan
kepatuhan terhadap terapi.
Sebuah masalah potensial yang melemahkan yang dimana para survivor
kanker payudara dapat menderita karenanya ialah nyeri menetap setelah terapi
kanker payudara (persistent pain after breast cancer treatment-PPBCT) yang
merupakan efek samping yang sering terjadi dengan angka kejadian sebesar 50%.
International Association for the Study of Pain (IASP) telah mengumumkan
bahwa nyeri kronik ialah nyeri yang menetap di luar waktu penyembuhan normal,
selama 3 bulan, yang dipertimbangkan sebagai “waktu paling tepat pada
1
pembagian antara nyeri akut dan kronik”. Kemudian, hal tersebut diusulkan pada
taksonomi IASP bahwa apabila nyeri berkaitan dengan kanker, ”3 bulan akan
menjadi waktu yang terlalu lama untuk menunggu sebelum menyebutnya sebagai
nyeri kronik”.
Sebuah analisis multivariat mengenai munculnya nyeri kronik pada para
survivor kanker payudara menunjukkan bahwa hanya usia yang lebih muda yang
berkaitan dengan peningkatan risiko yang signifikan pada perkembangan nyeri
kronik dalam 3 bulan setelah pembedahan. Selanjutnya, pembedahan yang lebih
invasif, terapi radiasi setelah pembedahan, dan nyeri pasca operasi akut yang
berarti secara klinis tetapi tidak pada status emosi preoperasi, masing-masing hal
tersebut secara independen dapat menjadi prediksi adanya nyeri kronik yang lebih
intens pada 3 bulan setelah pembedahan.
Etiologi terjadinya PPBCT kemungkinan multifaktorial. Berdasarkan
ulasan sistematis terkini mengenai angka kejadian dan etiologi nyeri neuropati
pada sebanyak 13683 pasien kanker yang teridentifikasi pada 22 penelitian yang
layak, baik abnormalitas sensorik maupun lesi diagnostik terbukti berkontribusi
pada terjadinya PPBCT pada sebanyak 14 penelitian. Meskipun terapi kanker
payudara meliputi berbagai jenis intervensi pembedahan yang berbeda-beda
(misal: mastektomi, lumpektomi, biopsi nodus limfatikus utama, dan diseksi
nodus limfatikus aksila), dan terapi ajuvan seperti kemoterapi, terapi radiasi dan
endokrin, hanya kerusakan saraf sebelumnya dan radioterapi yang muncul sebagai
faktor risiko yang signifikan. Detil mengenai etiologi terjadinya PPBCT masih
membutuhkan upaya penelitian lebih lanjut.
Mekanisme yang terlibat dalam terjadinya PPBCT masih belum pasti dan
dapat melibatkan struktur perifer serta spinal dan supraspinal. Event-related
potential (ERP) pada pasien-pasien PPBCT, pasien terapi kanker tanpa nyeri
menetap, dan sukarelawan sehat menunjukkan karakteristik yang berbeda-beda.
PPBCT berkaitan dengan proses stimulus yang tertunda (misal: peningkatan
latensi dari positivitas ERP antara 250-310 mdet [P260]) dan meningkat (misal:
peningkatan amplitudo P260) ketika dibandingkan dengan pasien terapi kanker
tanpa adanya nyeri menetap. Namun, terapi kanker tanpa nyeri yang menetap
2
berkaitan dengan peningkatan proses stimulus (penurunan latensi P260) dan
menunjukkan kecenderungan untuk menjadi kurang intes (amplitudo P260 yang
lebih rendah) daripada sukarelawan sehat. Hasil ini menunjukkan bahwa terapi
dan nyeri yang menetap memiliki efek yang berlawanan pada respon kortikal.
EPIDEMIOLOGI PPBCT GLOBAL
Epidemiologi PPBCT global masih belum lengkap mungkin karena
terabaikannya pengetahuan tentang PPBCT. Pada hal ini angka kejadian PPBCT
belum dapat diperkirakan, karena mungkin terdapat penghalang multipel pada
pasien dalam melaporkan nyeri yang mereka rasakan pada dokter mereka. Nyeri
yang berlanjut setelah terapi menjadi kenyataan yang tidak terduga bagi beberapa
wanita dengan kanker payudara dan dapat memicu kecemasan akan adanya
rekurensi kanker yang dialaminya, dan beberapa wanita mungkin saja tidak
melaporkan rasa nyerinya karena takut apabila nyerinya tersebut menjadi tanda
rekurensi dari kanker yang dialaminya. Penghalang dalam bertanya tentang
nyerinya tersebut juga dapat karena takut jawabannya tidak akan terelakkan, dan
perhatian pada nyerinya akan teralih. Selain itu, beberapa penghalang lainnya
yang mungkin ialah seperti: takut akan mengganggu dokter mereka yang sibuk,
takut dokter mereka akan berpikir lebih ringan dari yang mereka rasakan (atau
menjadi terganggu oleh mereka), takut apabila mereka mengeluh tentang
nyerinya-hal ini akan mengalihkan perhatian dokternya dan membuang waktu
selama interaksi singkat mereka yang seharusnya lebih berfokus pada diskusi
tentang kankernya sendiri ataupun tentang prognosisnya.
Peretti-Watel dkk melakukan wawancara secara mendalam dengan para
survivor kanker payudara dari Perancis pada 24 bulan setelah didiagnosis kanker
dan mendapatkan terapi. Sebanyak 50% partisipan melaporkan mengalami
penderitaan karena nyeri kronik yang bermakna. Kebanyakan, nyeri tersebut tidak
tertangkap dalam kuesioner World Health Organization Quality of Life
(WHOQOL) dan tidak diterapi secara medis. Pasien “menormalkan” nyerinya
dengan berbagai cara: mereka menyadari hal itu sebagai langkah yang dibutuhkan
dalam proses pemulihan, sebagai efisiensi terapi, atau sebagai kondisi menetap
3
yang mereka harus belajar untuk hidup dengannya. Meskipun hanya terdapat
sedikit laporan pada epidemiologi PPBCT, upaya yang lebih besar harus
dicurahkan dalam pengelolaan hal tersebut di masa yang akan datang.
NYERI MENETAP PASCA OPERASI KANKER PAYUDARA
Hampir semua dari sebanyak 226.870 wanita yang didiagnosis dengan
kanker payudara pada tahun 2012 yang akan menjalani operasi, memunculkan
fokus pada komplikasi yang paling sering diteliti, yaitu nyeri menetap pasca
operasi kanker payudara (persistent pain after breast cancer surgery-PPBCS).
PPBCS merupakan hal yang berbeda dari kebanyakan sindrom nyeri lainnya
karena hal itu terutama terletak pada regio anterior atau lateral thorax, aksilla,
lengan atas sebelah dan/atau medial, yang menyebabkan nyeri membakar, nyeri
tajam, sensasi penekanan atau kebas. Insidensi terjadinya sindrom nyeri pada 6
bulan terapi pasca operasi kanker payudara ialah sebanyak 52,9%. Berkaitan
dengan perubahan sensitivitas, sebanyak 52,6% menunjukkan adanya nyeri
intercostobrakhial, sebanyak 1,3% neuroma, dan sebanyak 3,2% mengalami nyeri
payudara karena khayalannya. Nyeri pada area bahu dan/atau thoracoscapula
sebagai akibat dilakukannya operasi kanker payudara didapatkan pada 27,2%
pasien [risiko relatif (RR) ¼ 5,23 95% confidence interval (CI): 1.11e24.64 dan
RR ¼ 2,01 95% CI: 1,08-3,75]. Pada wanita-wanita yang lebih muda (usia <40
tahun) dan pasien yang menjalani limfadenektomi aksilla (dengan lebih dari 15
limfonodi yang diangkat) menunjukkan risiko berkembangnya sindrom nyeri
setelah terapi operasi kanker payudara.
Secara umum, insidensi terjadinya PPBCS diperkirakan sebanyak masing-
masing pada: 10% herniotomi inguinal, 25-50% thorakotomi, dan 25-60% setelah
terapi kanker payudara. Tingkat keparahan PPBCS dapat bervariasi secara
signifikan tergantung pada prosedur operasi yang dilakukan. Gärtner dan
rekannya melakukan penelitian kuesioner cross-sectional secara nasional pada
3.754 wanita berusia 18-70 tahun yang mendapatkan terapi pembedahan dan
terapi ajuvan (jika diindikasikan) terhadap kanker payudara primer di Denmark
antara 1 Januari 2005-31 Desember 2006. Total sebanyak 1.543 pasien (47%)
4
melaporkan adanya nyeri pada 1 area atau lebih, yang mana sebanyak 201 pasien
(13%) melaporkan adanya nyeri berat (skor 8-10 dari skor skala numerik 0-10),
sebanyak 595 pasien (39%) melaporkan nyeri sedang (skor 4-7), dan sebanyak
733 pasien (48%) melaporkan nyeri ringan (skor 1-3). Diantara para wanita yang
melaporkan nyeri berat, sebanyak 77% mengalami nyeri setiap hari, dimana hanya
36% wanita yang mengalami nyeri ringan setiap hari. Sebanyak total 278 pasien
(18%) yang melaporkan adanya nyeri hanya pada 1 area, sebanyak 435 pasien
(28%) pada 2 area, sebanyak 429 pasien (28%) pada 3 area, dan sebanyak 400
pasien (26%) pada 4 area. Area yang paling sering dilaporkan nyeri ialah area
payudara (n=1.331; sebanyak 86%), diikuti area aksilla (n=975; sebanyak 63%),
lengan (n=872; sebanyak 57%), dan sisi tubuh lainnya (n=857; sebanyak 56%).
Mastektomi tidak memiliki keterkaitan yang signifikan pada nilai OR dalam
laporan nyeri dibandingkan dengan operasi kanker payudara, tetapi wanita-wanita
yang melaporkan adanya nyeri setelah mastektomi memiliki risiko adanya nyeri
sedang-berat yang lebih besar dibandingkan dengan nyeri ringan (OR, 1,37; 95%
CI: 1,00-1,87; p=0,048). ALND berkaitan dengan peningkatan risiko nyeri (OR,
1,77; 95% CI: 1,43-2,19; p=0,001) dibandingkan dengan SLND, dan juga
berkaitan dengan faktor risiko terjadinya nyeri sedang-berat (OR, 1,39; 95% CI:
1,03-1,88; p=0,03).
Sejumlah besar wanita yang menjalani pembedahan limfonodi aksilla
berlanjut mengalami nyeri atau ketidaknyamanan fisik selama tahun setelah
terapi. Andersen dkk melakukan uji pada PPBCT, gangguan sensorik, dan
gangguan fungsional pada pasien yang diterapi dengan 2 tahap diseksi limfonodi
aksilla dibandingkan dengan pasien dengan biopsi limfonodi utama (sentinel
lymph node biopsi-SLNB) diikuti diseksi limfonodi aksilla (axillary lymph node
dissection-ALND) segera, dan pasien dengan ALND tanpa SLNB sebelumnya.
Terdapat tingginya prevalensi keseluruhan dari PPBCT dan gangguan sensorik,
yaitu sebesar 55% pada laporan PPBCT dan 77% pada laporan gangguan sensorik
pada keseluruhan kelompok. Tidak terdapat perbedaan yang ditemukan antara
kelompok prevalensi dan intensitas dari PPBCT (p=0,92), gangguan sensorik
(p=0,32), dan gangguan fungsional (p=0,35).
5
Foley dan rekannya mendeskripsikan tentang perbedaan sindrom nyeri dan
abnomalitas sensorik pasca mastektomi yang kemudian mereka istilahkan dengan
sindrom nyeri pasca mastektomi (post-mastectomy pain syndrome-PMPS). Pada
PMPS, nyeri terutama terlokalisir pada aksilla, lengan atas sebelah medial,
dan/atau dinding dada bagian depan pada lokasi yang terkena. Kerusakan pada
saraf intercostobrakhial, yang dapat terjadi pada diseksi limfonodi aksilla,
diperkirakan menjadi penyebab yang paling sering pada PMPS. Sebagai contoh,
pada serial dari 38 pasien yang telah menjalani mastektomi dengan diseksi
limfonodi aksilla, sebuah lesi saraf intercostobrakhial diperkirakan menjadi
penyebab nyeri yang timbul pada 7 hingga 8 pasien dengan nyeri menetap yang
muncul selama pemeriksaan neurologis.
Sebuah penelitian yang secara khusus mengevaluasi nyeri setelah
rekonstruksi payudara meliputi pemasangan implan payudara memiliki prevalensi
nyeri yang lebih besar (53%) daripada pasien yang menjalani rekonstruksi tanpa
pemasangan implan (30%), dan pasien-pasien wanita yang menjalani rekonstruksi
tanpa pemasangan implan memiliki prevalensi nyeri yang hampir sama dengan
pasien-pasien yang menjalani mastektomi tanpa rekonstruksi. Terdapat beberapa
bukti bahwa insidensi terjadinya nyeri kronik pasca operasi kanker payudara,
intensitasnya, keterkaitannya dengan abnormalitas sensorik menurun dengan
berjalannya waktu. Ivens dkk (1992) menemukan bahwa kecenderungan adanya
nyeri kronik menurun dari 31% pada 1-2 tahun pasca operasi menjadi 20% setelah
lebih dari 4 tahun pasca operasi kanker payudara.
Bokhari dkk melakukan sebuah survei prospektif, kuantitatif, percobaan
longitudinal sebelum operasi dan saat 2 hari, 10 hari, dan 3 bulan pasca operasi
dalam upaya untuk memberikan penentuan sementara dari angka prevalensi
wanita yang menderita akibat nyeri neuropati pasca operasi kanker payudara
(PPBCS) dan mengekplorasi faktor-faktor risiko penting yang berkaitan dengan
perkembangan nyeri tersebut. Sebanyak 23% pasien mengalami PPBCS. Pasien
dengan usia lebih muda (<50 tahun), pembedahan yang lebih invasif, nyeri pasca
operasi akut, dan kurangnya penggunaan analgetik selama periode pasca operasi
6
akut merupakan faktor-faktor yang berkaitan dengan perkembangan PPBCS
(sebelum operasi dan saat 2 hari, 10 hari, dan 3 bulan pasca operasi).
Sipilä dan rekannya melakukan sebuah penelitian prospektif untuk
mengembangkan metode skrining dalam mengidentifikasi demografi sebelum
pembedahan, faktor-faktor yang berkaitan dengan psikologis dan terapi yang
dapat memprediksi persistensi nyeri yang bermakna pada area operasi setelah 6
bulan pembedahan. Sebuah indeks risiko 6 faktor dikembangkan untuk
memperkirakan risiko PPBCS yang berkembang secara signifikan. Laporan
tentang nyeri kronik preoperasi, sebanyak 4 atau lebih operasi yang dilakukan
sebelumnya, nyeri preoperasi pada area yang akan dioperasi, indeks massa tubuh
yang tinggi, riwayat merokok sebelumnya, dan usia lebih tua diinklusikan ke
dalam model 6 faktor yang dapat memprediksikan dengan sangat baik nyeri yang
signifikan pada follow-up 489 wanita yang diteliti (sebuah indeks risiko 6 faktor
dikembangkan untuk memperkirakan risiko terjadinya nyeri yang berkembang
secara signifikan setelah operasi kanker payudara). Namun, kebanyakan dari
faktor risiko yang ada (misal: usia tua, kondisi nyeri kronik, riwayat merokok
sebelumnya, dan tingginya jumlah operasi sebelumnya) tidak dapat ditargetkan
secara spesifik dalam upaya untuk memodifikasi PPBCS secara aktif.
Miaskowski dan rekannya merekrut 398 pasien yang belum menjalani
operasi kanker payudara dan mengikutinya selama 6 bulan. Menggunakan
pemodelan pencampuran pertumbuhan-growth mixture, pasien diklasifikasikan ke
dalam kelompok tanpa nyeri (31,7%), nyeri ringan (43,4%), nyeri sedang
(13,3%), dan nyeri berat (11,6%) berdasarkan tingkat nyeri payudara terburuk.
Pasien-pasien kelompok nyeri sedang dan berat mengalami tingkat depresi,
kecemasan, dan gangguan tidur preoperasi yang lebih tinggi dibandingkan
kelompok tanpa nyeri. Temuan-temuan menunjukkan bahwa kira-kira sebesar
25% wanita mengalami tingkat nyeri payudara yang signifikan dan menetap pada
6 bulan pertama pasca operasi kanker payudara. Nyeri kanker payudara yang berat
berkaitan dengan penurunan yang bermakna secara klinis status fungsional dan
kualitas hidupnya.
7
Pembawa alel minor untuk polimorfisme nukleotida tunggal (single
nucleotide polymorphism-SNP) pada interleukin (IL) 1-reseptor-1 (IL1R1)
(rs2110726) cenderung lebih sedikit melaporkan nyeri payudara sebelum
pembedahan (p=0,007). Pembawa alel minor untuk SNP pada IL13 (rs1295686)
cenderung lebih banyak melaporkan adanya nyeri payudara sebelum operasi
(p=0,019). Temuan-temuan ini menunjukan bahwa nyeri payudara terjadi pada
lebih dari seperempat wanita yang akan menjalani operasi kanker payudara, yang
sebagian karena perbedaan mekanisme inflamasi.
Edwards dan rekannya menggunakan uji sensorik kuantitatif untuk
membandingkan respon psikofisik terhadap stimulasi berbahaya terstandar pada
dua kelompok wanita yang sebelumnya sudah pernah menjalani operasi kanker
payudara: kelompok wanita dengan nyeri menetap pasca operasi (n=37) dan tanpa
nyeri menetap pasca operasi (n=34). Temuan mereka menunjukkan bahwa wanita
dengan nyeri menetap pasca operasi kanker payudara menunjukkan peningkatan
jumlah nyeri mekanik pada bagian temporal, kurangnya inhibisi nyeri endogen,
dan sensai nyeri yang lebih intens dibandingkan dengan wanita tanpa nyeri jangka
panjang, yang menunjukkan bahwa nyeri pasca operasi yang menetap dapat
berkaitan dengan perubahan pada proses modulasi nyeri sistem saraf pusat.
Tabel 1. Klasifikasi sindrom-sindrom nyeri neuropati kronik yang mengikuti
operasi kanker payudara
Sindrom DeskripsiNyeri payudara akibat khayalan
Pengalaman sensorik dari payudara yang diangkat yang masih muncul dan sangat nyeri
Neuralgia intercostobrakhial (termasuk sindrom nyeri pasca mastektomi)
Nyeri, biasanya disertai perubahan sensorik, pada distribusi saraf intercostobrakhial yang mengikuti operasi kanker payudara dengan atau tanpa diseksi aksilla
Nyeri neuroma (termasuk nyeri skar)
Nyeri pada regio skar pada payudara, dada, atau lengan yang diprovokasi atau kambuh dengan perkusi/ketukan
Nyeri kerusakan saraf lainnya Nyeri di luar distribusi saraf intercostobrakhial yang konsisten dengan kerusakan terhadap saraf lainnya selama operasi kanker payudara (misal: nervus pektoralis medialis dan lateralis, nervus thoracis longus, nervus thoracodorsalis, dan nervus intercostales
8
lainnya)adibedakan berdasarkan sensasi payudara akibat khayalan non-nyeri
Hal tersebut di atas menunjukkan bahwa tidak hanya terdapat derajat nyeri
menetap yang signifikan pasca operasi kanker payudara tetapi juga terdapat
derajat gangguan tidur yang signifikan pasca operasi kanker payudara. Van
Onselen dkk mempublikasikan temuan dari 390 wanita yang telah melengkapi
pemeriksaan laporan pribadi untuk berbagai gejala, sebanyak 28,2% dari mereka
melaporkan nyeri pada payudara mereka sebelum operasi. Sejumlah besar
persentase wanita pada kelompok nyeri (yaitu 66,7% vs 53,5%) melaporkan
adanya tingkat gangguan tidur yang bermakna secara klinis.
KLASIFIKASI PPBCS
Jung dan rekannya membagi empat tipe PPBCS yang berbeda berdasarkan
penelitian-penelitian epidemiologi, mekanisme, dan terapi PPBCS. Peranan
lainnya dalam nyeri neuropati yang mengikuti pasca operasi kanker payudara
ialah adanya kerusakan pada nervus pectoralis medialis dan lateralis, nervus
thoracis longus, atau nervus thoracodorsalis yang secara rutin terlindung tetapi
dapat rusak oleh skar atau traksi selama mastektomi (tabel 1).
Estimasi risiko neuroma dengan nyeri pasca operasi kanker payudara juga
sangat bervariasi, mulai 23% hingga 49%. Nyeri neuroma bisa lebih sering terjadi
pasca lumpektomi daripada pasca mastektomi. Tasmuth dkk (1995) melaporkan
bahwa pasien-pasien yang menjalani lumpektomi, diseksi aksilla, dan radioterapi
secara signifikan lebih cenderung mengalami nyeri skar daripada pasien yang
menjalani mastektomi radikal modifikasi. Laporan anekdot menunjukkan bahwa
reseksi neuroma intercosta dapat mengatasi nyeri kronik pasca operasi kanker
payudara. Namun, karena neuroma dapat terbentuk kembali pasca eksisi, sehingga
relokasi area yang terlindungi dan upaya untuk meningkatkan regenerasi
menggunakan graf saraf menjadi pilihan terapi bedah saraf utama.
Meskipun terdapat banyak etiologi nyeri pasca operasi, dapat
mendiagnosis neuroma intercosta menjadi sangat penting karena kelainan ini
9
dapat diterapi dengan pembedahan. Nguyen dan rekannya mendeskripsikan tiga
buah kasus neuroma intercosta pada pasien-pasien dengan implan payudara.
Sebuah tanda Tinel dapat timbul di sepanjang dinding dada sebelah lateral dan
blok anestesi lokal terkadang dapat mengatasi nyeri yang timbul. Manajemen
pembedahan dengan identifikasi dan pemotongan pada neuroma intercosta dan
membenamkannya ke dalam otot yang menjadi dasarnya, secara signifikan dapat
menurunkan nyeri pasca operasi dalam jangka waktu lama.
Kojima dan rekannya mengirimkan kuesioner ke 647 anggota spesialis
Breast Cancer Society di Jepang. PPBCS diketahui oleh sebanyak 70,5% dokter
responden, tetapi nyeri tersebut hanya diterapi oleh sebanyak 47,7% dokter
responden. Berbanding terbalik dengan penggunaan umum dari obat-obatan
antiinflamasi non-steroid (non-steroidal anti-inflammatory drug-NSAID), yang
terbukti kurang efektif untuk nyeri PPBCS, obat tersebut digunakan oleh
sebanyak 78,4% responden, tetapi obat-obatan yang lebih efektif jarang
digunakan, sehingga terapi diperkirakan menjadi kurang efektif sebesar 69,5%.
Sehingga, tampak bahwa sejumlah dokter tidak terbiasa dengan strategi terapi
optimal untuk mengatasi nyeri PPBCS.
STRATEGI-STRATEGI TERAPI UNTUK MEMPERBAIKI PPBCS
Saat ini, masih sangat sedikit penelitian acak, double-blind, dengan kontrol
plasebo mengenai PPBCS. Hanya pada penelitian acak terkontrol dengan
capsaicin topikal, terapi silang dengan capsaicin vs placebo pada 25 pasien yang
didiagnosis PPBCS, lebih besar berkaitan secara signifikan dengan pereda nyeri
dan penurunan nyeri tajam, meskipun kelompok terapinya tidak berbeda dengan
pereda pada nyeri yang stabil dan alodinia.
Beberapa obat telah diuji dengan randomized clinical trials secara
sistematis untuk efektivitasnya secara spesifik pada post mastectomy/lumpectomy
pain (PMLP). Bagaimanapun, gabapentin, obat antiepilepsi, dan venlafaxine,
sebuah serotonin-nonepinephrine reuptake inhibitor (SNRI), efektif pada
percobaan multipel yang melibatkan PMLP. Kedua obat tersebut melemahkan
munculnya nyeri kronis pada wanita yang sebelumnya menerima operasi kanker
10
payudara. Ketika diberikan sebelum operasi, gabapentin menurunkan waktu
pemberian analgetik pertama postoperasi sama banyaknya dengan skor nyeri dan
analgetik adjuvan digunakan dalam waktu 10 hari pertama. Bagaimanapun, tidak
adanya efek yang diobservasi pada nyeri kronis yang waktunya lebih lama lagi
pada dua penelitian yang dilakukan 3 dan 6 bulan postoperasi.
Amitriptilin telah diperiksa pada randomized, double-blind, placebo-
controlled, crossover trial pada nyeri neuropatik yang mengikuti kanker
payudara. Pengurangan nyeri secara signifikan lebih baik dengan amitriptilin
dibandingkan dengan plasebo, dan delapan dari 15 pasien melaporkan sedikitnya
intensitas nyeri mereka berkurang 50%; lima dari pasien ini , bagaimanapun, tidak
ingin melanjutkan pengobatan setelah penelitian berakhir dikarenakan adanya
efek samping.
Tasmuth dan kawan-kawan membuat sebuah randomized, double-blind,
placebo-controlled, crossover trial dan gagal untuk mengemukakan keuntungan
signifikan venlafaxine versus plasebo pada endpoint primer (rating buku harian
nyeri) tetapi melaporkan adanya pengurangan nyeri yang lebih baik berhubungan
dengan pengobatan dengan venlafaxine untuk dua endpoint sekunder,
pengurangan nyeri dan nyeri maksimum.
Pengobatan perioperatif dengan eutectic mixture of local anesthetics
(EMLA), mexiletin, atau gabapetin muncul untuk mengurangi nyeri postoperasi
akut, termasuk nyeri spontan dan yang berhubungan dengan pergerakan, dan
menurunkan konsumsi analgetik postoperasi, bagaimanapun, pada penelitian
inisial mengenai gabapentin dan mexiletin tidak mengurangi insidensi ataupun
intensitas PPBCS. Sebuah eutectics cream mixture of local anesthetics (EMLA)
sendiri mungkin bermanfaat sebagai pengobatan preoperasi sebagai prevensi pada
nyeri postoperasi kronik. Ketika secara topikal diberikan pada area payudara dan
lengan pada satu hari prior operasi, EMLA menurunkan konsumsi analgetik
antara 2 sampai 6 hari postoperasi dan insidensi maupun intensitas nyeri 3 bulan
setelah operasi. Hasil yang sama diperoleh ketika investigator yang sama
mengkombinasikan EMLA dan gabapentin pada pengobatan preoperatif.
11
Grigoras dan kawan-kawan membuat sebuah prospective randomized,
double-blinded trial mengenai PPBCT dan menemukan bahwa lidokain intravena
perioperasi menurunkan insidensi dan derajat keparahan PPBCS. Dua (11,8%)
pasien pada kelompok lidokain dan 9 (47,4%) pasien pada kelompok kontrol
melaporkan PPBCS pada follow-up 3 bulan (P=0,031). McGill Pain Questionaire
mengemukakan tingginya intensitas nyeri yang saat itu terjadi-visual analog scale
(VAS) di kelompok kontrol (14,6+22,5 vs. 2,6+7,5, P=0,025). Hiperalgesia
sekunder (nyeri diluar area operasi) secara signifikan kurang di kelompok dengan
lidokain dibandingkan dengan kelompok kontrol (0,2+0,8 vs. 3,2+4,5 cm,
P=0,002).
Dexmedetomidine menunjukkan efek dosis tergantung antiallodynic pada
rangsangan mekanik dan dingin di model tikus vincristin pembangkit neuropatik.
Jain dan kawan-kawan melakukan uji coba double-blind prospektif untuk
menganalisis peran pemberian dexmedetomidine perioperatif pada terjadinya
nyeri kronis pada wanita yang menjalani operasi kanker payudara.
Secara total, 84 kasus (42 dalam kelompok D dan 42 dalam kelompok C)
dianalisis untuk nyeri akut dan 69 (34 dalam kelompok D dan 35 dalam kelompok
C) untuk nyeri kronis. Konsumsi isoflurane / fentanyl intraoperatif dan
acetaminophen pasca operasi secara signifikan lebih rendah pada kelompok
dexmedetomidine. Verbal numerical score (VNS) saat istirahat dan setelah
gerakan secara signifikan lebih rendah di kelompok dexmedetomidine pada waktu
yang sesuai (kecuali pada 60 menit) di seluruh periode penilaian. Brief pain
inventory (BPI) dan skor short-form of the revised McGill Pain Questionnaire
(SF-MPQ2) jauh lebih rendah pada kelompok dexmedetomidine pada sebagian
besar faktor. Skor quality of life scale (QOLS) secara signifikan lebih baik dalam
kelompok dexmedetomidine di hampir semua hal. Mereka menyimpulkan bahwa
infus dexmedetomidine perioperatif memiliki peran penting dalam pelemahan
insiden dan tingkat keparahan nyeri kronis dan meningkatkan kualitas hidup
dalam kasus menjalani operasi kanker payudara.
Paravertebral nerve blocks (PVB) selama operasi kanker payudara telah
dilaporkan untuk mengurangi nyeri akut dan konsumsi opioid segera setelah
12
operasi di beberapa randomized clinical trial. Andreae dan kawan-kawan
melakukan Cochrane Review yang termasuk RCTs membandingkan anestesi lokal
atau anestesi regional dibandingkan analgesia konvensional dengan hasil nyeri
pada enam atau 12 bulan setelah operasi. Mereka mengumpulkan dua studi pada
PVB untuk operasi kanker payudara; data yang diperoleh dari 89 peserta dengan
hasil pada lima sampai enam bulan disukai PVB dengan OR 0,37 (95 % CI: 0,14-
0,94). Kualitas metodologi penelitian yang termasuk dalam penelitian tersebut
adalah menengah. Mereka menyimpulkan bahwa PVB dapat mengurangi risiko
nyeri kronis setelah operasi kanker payudara di sekitar satu dari setiap lima wanita
yang diobati, meskipun keterbatasan penelitian mungkin termasuk bias kinerja,
pemasukan pendek dalam alokasi gesekan penyembunyian, dan data hasil
lengkap.
Ada juga faktor risiko untuk PPBCS, nyeri kronis preoperasi, operasi
aksila dan ketahanan psikologis yang secara signifikan memprediksi hasil nyeri
akut setelah operasi untuk kanker payudara. Identifikasi praoperasi dan intervensi
yang ditargetkan dari subkelompok risiko bisa dibayangkan meningkatkan
lintasan pemulihan pada penderita kanker. Strategi yang ditujukan untuk
mengontrol nyeri akut dan kronis di pasien yang menerima mastektomi dan
rekonstruksi payudara meliputi: terapi minimal invasif untuk kanker payudara,
seperti sebagai terapi konservasi payudara dari mastektomi dan rekonstruksi
payudara, biopsy nodus sentinel, dan perawatan awal radiasi dan kemoterapi.
PERSISTENT PAIN AFTER BREAST CANCER HORMONAL THERAPY
(PPBCHT)
Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa gangguan hormonal
berkontribusi terhadap kanker payudara, oleh karena itu terapi hormonal
direkomendasikan. Arthralgia, efek samping yang umum dari aromatase
inhibitor, dapat menghasilkan keterbatasan mobilitas menyakitkan dan
terganggunya kegiatan sehari-hari. Dibandingkan dengan tamoxifen, aromatase
inhibitor (AI) seperti anastrozole, letrozole, dan exemestane menunjukkan
manfaat meningkatkan kelangsungan hidup yang bebas penyakit; oleh karena itu,
13
obat tersebut telah menjadi standar perawatan untuk pengobatan endokrin
adjuvant wanita postmenopause dengan reseptor hormon - kanker payudara dini
positif.
Din et al. mengulas insidensi terjasinya gejala muskuloskeletal pada uji
klinis tahap III dari anastrozole, letrozole, dan exemestane, dan perempuan
dimana pada mereka AI telah menunjukkan tingkat arthralgia yang lebih tinggi
secara signifikan dibandingkan dengan tamoxifen. Dalam sebuah studi yang
menyelidiki arthralgia yang spesifik pada 200 pasien AI, 47 % pasien melaporkan
AI terkait nyeri, dan 44 % melaporkan kekakuan. Biasanya, pasien pada AI
mengalami kekakuan, nyeri, atau nyeri yang seringnya simetris, terjadi di tangan,
lengan, lutut, kaki, dan tulang panggul dan pinggul. Selain itu, pasien AI dapat
mengembangkan perubahan tenosinovial, termasuk cairan dalam selubung tendon,
peningkatan ketebalan tendon, memicu jari, dan carpal tunnel syndrome.
Robidoux dan kawan-kawan melakukan studi percontohan prospektif yang
menyelidiki nyeri muskuloskeletal pada pasien kanker payudara pascamenopause
yang menerima terapi aromatase inhibitor. Selama masa studi 24 minggu, 20
peserta (67 %) tidak menunjukkan gejala sakit; 5 (17 %) mengalami nyeri rendah
atau sedang pada awalnya, yang tidak meningkat dengan pengobatan AI. Selama
terapi, 5 (17 %) menunjukkan eksaserbasi rasa sakit yang timbul dari
osteoarthritis tangan dan jari fleksor tenosinovitis. Meskipun semua 30 peserta
memiliki beberapa tingkat kondisi musculoskeletal sebelum terapi anastrozole
dimulai, kondisi yang sudah ada tidak selalu mempengaruhi para wanita untuk
peningkatan rasa sakit selama pengobatan anastrozole.
Penilaian muskuloskeletal awal menunjukkan sudah ada yang
menyebabkan nyeri di sebagian besar pasien studi sebelum inisiasi dari AI.
Eksaserbasi nyeri osteoarthritis yang ada dan gejala tenosynovial adalah
kontributor utama peningkatan rasa sakit. Penilaian nyeri muskuloskeletal pada
awal dan pengobatan gejala nyeri yang tepat mungkin dapat membantu
mengoptimalkan kepatuhan terhadap terapi AI. Nilai penilaian rutin penanda
inflamasi seperti C-reactive protein dan tingkat sedimentasi eritrosit tidak
didukung oleh studi percontohan. Profil ekspresi gen dalam sel mononuclear
14
darah perifer dapat dieksplorasi lebih lanjut dalam skala studi yang lebih besar
sebagai penanda stratifikasi untuk mengidentifikasi pasien yang berisiko
mengembangkan arthralgia.
PERSISTENT PAIN AFTER BREAST CANCER CHEMOTERAPHY
(PPBCC)
Selama stadium lanjut untuk kanker payudara, metastasis merupakan
tantangan besar bagi pasien dan dokter dan saat ini harus ditangani dengan
kemoterapi menggunakan obat termasuk anthracyclines, taxanes, alkylating
agents, alkaloid vinca, capecitabine, gemcitabine, dan platinum agents, ---
carboplatin dan cisplatin. Taxanes, platinum agents, dan vinca alkaloid yang
paling mungkin menyebabkan PPBCC.
Dengan demikian, perempuan dengan kanker payudara metastatik
mungkin memiliki kesempatan yang tinggi untuk mengembangkan CIPN karena
meningkatnya paparan taxanes, kemoterapi antimetabolit, dan standar obat
lainnya yang berhubungan dengan neuropati perifer. CIPN menimbulkan masalah
psikososial maupun fisik yang dapat menyebabkan penurunan atau penghentian
pengobatan yang berpotensi efektif dikarenakan karena dosis yang berhubungan
dengan toksisitas. Gejala CIPN termasuk mati rasa, kesemutan, kelemahan, dan
rasa sakit yang dapat merusak fungsi dan aktivitas hidup sehari-hari, serta
keseimbangan, yang mengarah ke jatuh dan cedera.
Andersen dan kawan-kawan membandingkan pasien yang diobati dengan
cyclophosphamide, epirubicin dan fluorouracil (CEF) dan cyclophosphamide dan
epirubicin + docetaxel (CE + T) dalam kaitannya dengan PPBCT, gangguan
sensorik, gangguan sensorik perifer dan gangguan fungsional. Pasien yang
diobati dengan CE + T memiliki risiko gangguan sensorik yang lebih rendah di
daerah pembedahan dibandingkan dengan CEF, OR 0,75 (95 % CI: 0,62-0,90),
P=0,002. Kebanyakan pasien CE + T melaporkan gangguan sensoris perifer di
tangan, OR 1,56 (95 % CI: 1,27-1,92), P<0,0001, dan pada kaki, OR 2,0 (95 %
CI: 1,66-2,42) P<0,0001, dibandingkan dengan CEF. Tidak ada perbedaan dalam
gangguan fungsional (P=0.62). Docetaxcel sebagai pengobatan ajuvan untuk
15
kanker payudara tidak meningkatkan risiko PPBCT, gangguan sensorik di daerah
pembedahan atau gangguan fungsional, namun peningkatan risiko untuk
gangguan sensorik perifer.
Golan-Vered dan Pud menyatakan bahwa tiga temuan utama penelitian
deskriptif mereka mengenai pasien kanker payudara yang menerima paclitaxel
menerima adalah: (I) 2 kelompok yang berbeda dari pasien dengan kanker
payudara, yaitu Low Cluster dan High Cluster, diidentifikasi berdasarkan
pengalaman mereka dengan 4 gejala yang sangat umum (depresi, kelelahan,
gangguan tidur, nyeri); (II) 50% dari pasien yang diobati dengan paclitaxel
mengembangkan CINP; (III) kombinasi CINP dan cluster mengungkapkan sub
kelompok dengan tidak ada bukti CINP dalam kelompok Low Cluster (35%) dan
subkelompok dengan CINP dalam kelompok High Cluster (22,5%). 2 sub
kelompok ini dapat dilihat sebagai "Double lucky" dan "double unlucky", secara
respektif.
Paclitaxel adalah salah satu perawatan kemoterapi kanker payudara yang
berhubungan dengan frekuensi tinggi neuropati perifer dalam dosis - dan paparan
– cara dependent. Hal ini ditandai pertama dengan paresthesia, diikuti oleh
dysesthesia.
Reyes-Gibby dan kawan-kawan melakukan survei terhadap pasien kanker
payudara yang telah berpartisipasi dalam uji klinis paclitaxel. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa 64 % mengalami CIPN selama pengobatan paclitaxel.
Tindak lanjut data survei mengungkapkan bahwa 27 % dari mereka dengan CIPN
yang kemudian didiagnosis dengan neuropathic pain (NP). Analisis regresi
logistic menunjukkan bahwa mereka yang pernah mengalami CIPN adalah 3 kali
lebih mungkin untuk mengembangkan NP. (95 % CI: 1,2-7,2 ; P < 0,001), yang
bertahan dalam model logistik multivariat. Selain itu, pasien NP dilaporkan dua
kali lebih banyak berkunjung ke penyedia layanan kesehatan mereka (P=0,02) dan
telah mengambil resep lebih banyak (50 % vs 19 %, P=0,001) dan over-the
counter medication (62,5 % vs 45 %, P=0,08) untuk nyeri dibandingkan mereka
yang tanpa NP. Tidak ada terapi khusus untuk PPBCC, pengobatan PPBCC pada
16
dasarnya sama seperti untuk setiap pengobatan nyeri setelah perawatan
kemoterapi.
PERSISTENT PAIN AFTER BREAST CANCER RADIATION (PPBCR)
Radioterapi dapat menyebabkan rasa sakit terus-menerus pada penderita
kanker payudara yang selamat. Tidak ada terapi khusus untuk PPBCR sekarang
yang tersedia, dan pasien menerima perawatan umum nyeri setelah pengobatan
radiasi.
Hofsø dan kawan-kawan melakukan penelitian di mana mereka
mengevaluasi perubahan dan prediktor kejadian, keparahan, dan kesusahan dari
enam gejala umum (kekurangan energi, khawatir, sulit tidur, merasa mengantuk,
berkeringat, dan sakit) selama radiation teraphy (RT) untuk kanker payudara.
Penemuan mereka menunjukkan bahwa enam gejala-gejala tersebut terjadi pada
tingkat yang relatif tinggi, yang parah, dan terkait dengan tingkat distress.
Temuan penting adalah bahwa beberapa gejala (misalnya, merasa mengantuk)
dipamerkan oleh lintasan kompleks kejadian, keparahan dan distress. Sebaliknya,
beberapa gejala (misalnya nyeri) berlangsung (pada tingkat yang sama) selama
enam bulan dari studi.
Risiko berkembangnya komplikasi yang terlambat setelah fractionated
megavoltage radioteraphy secara konvensional diperkirakan di bawah 1%.
Meskipun, tidak sepenuhnya jelas, tampak bahwa rasa sakit di lengan atau bahu
karena radiation-induced brachialis plexopathy (RBP) mungkin lebih mungkin
setelah hypofractionation dalam radioterapi daripada setelah pengobatan
konvensional yang menggunakan 2 fraksi Gy / hari.
Radiasi yang paling umum mempengaruhi saraf adalah RBP. Pierce et al.
dalam review mereka pada 1.624 pasien mengungkapkan RBP pada 1,8% pasien.
Peneliti lain telah menemukan kejadian komplikasi ini kurang dari 1 %,
sedangkan Olsen dan rekan kerja dalam studi pada 161 pasien kanker payudara
dengan follow-up periode median 50 bulan, melaporkan bahwa 5 % dan 9 %
memiliki masing-masing, pengnonaktifan dan RBP ringan. Gejala mulai dari
enam bulan sampai 20 tahun setelah radioterapi (periode median 1,5 tahun).
17
Kebanyakan pasien mengalami gejala dalam tiga tahun, tetapi presentasi terlambat
8-20 tahun kemudian dapat ditemui. Gejala adalah progresif pada semua pasien,
meskipun tingkatannya bervariasi. Nyeri adalah umum dan bertahan tanpa batas
pada semua kecuali satu pasien. Kelemahan progresif adalah universal dan
mengakibatkan hilangnya fungsi tangan yang berguna pada semua kecuali tiga
pasien. Waktu yang dibutuhkan untuk kehilangan penggunaan fungsi tangan
berkisar antara enam minggu sampai lima tahun (periode median 1,25 tahun).
Tiga pola kelemahan ekstremitas atas telah teridentifikasi, kelemahan ekstremitas
distal (13 pasien), kelemahan tungkai global yang lebih ditandai secara distal (11
pasien) , dan lengan benar-benar flaccid (10 pasien). Tujuh belas pasien
memerlukan morfin jangka panjang untuk meringankan rasa sakit. Sebuah
simpatektomi kimia bermanfaat pada tiga dari enam pasien yang menerima
injeksi.
Patofisiologi neuropati akibat radiasi ini tidak sepenuhnya dipahami. Saat
ini mungkin untuk menargetkan radiasi yang berhubungan dengan fibrosis dan
faktor yang terkait seperti iskemia, stres oksidatif dan peradangan serta
mekanisme patofisiologis lainnya yang diduga berkontribusi terhadap radiasi
neuropati. Sebuah uji coba fase III mengevaluasi hubungan pentoxifylline,
tocopherol dan clodronat (PENTOCLO , NCT01291433) pada radiasi yang
berhubungan dengan neuropati sekarang sedang direkrut.
PENGOBATAN NON-FARMAKOLOGIS PPBCT
Program latihan yang menggabungkan latihan aerobik dan pelatihan
ketahanan serta berbagai teknik pengobatan rehabilitasi fisik diantara pasien
kanker payudara dan survivor dapat secara efektif mengurangi efek samping.
Beberapa dari studi ini disajikan. Survivor kanker payudara tahap awal yang
menjalani kemoterapi dan / atau radiasi yang berpartisipasi dalam latihan aerobik
dan resistensi intervensi 2 hari seminggu selama 12 minggu dilaporkan
mengalami perbaikan CRF, kualitas hidup, kepuasan hidup, dan juga peningkatan
fungsi fisik dibandingkan dengan yang perawatan biasa. Mustian dan kawan-
kawan juga telah menunjukkan manfaat melakukan aerobik dan latihan resistensi
18
selama pengobatan radiasi. Empat minggu dirancang secara individual, rumah
berbasis aerobik dan resistensi program pelatihan menghasilkan peningkatan
CRF, kualitas hidup, tidur, kapasitas aerobik, kekuatan dan fungsi kekebalan
tubuh.
Wanita dengan kanker payudara telah melaporkan menggunakan banyak
teknik Complementary and Alternative medicine (CAM) ini dalam hubungannya
dengan pengobatan mereka atau setelah selesainya pengobatan mereka. CAM
meliputi natural product, mind body medicine dan latihan berbasis tubuh dan
manipulatif, Mindfulness-based stress reduction (MBSR) [mediasi, postur],
latihan berbasis Mindfulness [Tai Chi Chuan, Yoga], serta akupunktur.
Jensen et al. melakukan studi percontohan untuk memberikan dukungan
awal untuk hipnosis mengurangi PPBCT serta gejala lainnya gejala.
Sebuah program terapi air 8 minggu efektif untuk memperbaiki nyeri leher
dan bahu / aksila, dan mengurangi kehadiran trigger points pada penderita kanker
payudara yang dibandingkan dengan perawatan biasa; namun, tidak ada
perubahan signifikan dalam nyeri tekan luas hiperalgesia yang ditemukan.
Wong dan kawan-kawan mengevaluasi pasien kanker payudara dengan
PPBCT sedang sampai berat pada 3-6 bulan setelah menyelesaikan semua
perawatan adjuvant dalam studi percontohan . Pasien-pasien ini berpartisipasi
dalam 12 minggu comprehensive health improvement program (CHIP) yang
melibatkan exercise training. Intensitasnya telah disesuaikan untuk mencapai 65-
85 % dari denyut jantung maksimal pasien.
Sebelum CHIP dan pada 1 dan 6 bulan setelah selesai dari CHIP ini,
kualitas hidup dan nyeri diukur dengan menggunakan kuesioner [European
Organization for Research and Treatment of Cancer Quality of Life core and
breast cancer modules (qlq-C30, -BR23) dan the McGill Pain Questionnaire
short form] diselesaikan oleh pasien. Tim CHIP terdiri dari internis, onkolog atau
perawatan paliatif dokter, psikolog, perawat, seorang fisioterapis, ahli gizi, dan
manajer klinik, yang bersama-sama memberikan pasien informasi, pengobatan,
dan dukungan. Setelah CHIP, pasien melaporkan perbaikan yang penting secara
signifikan dan klinis dalam kualitas hidup dan gejala. Pada 1 dan 6 bulan pasca -
19
CHIP, pasien dalam penelitian merasa, rata-rata, lebih baik dalam kualitas hidup
secara keseluruhan daripada subyek kontrol sejarah.
Operasi dan radioterapi yang diduga menyebabkan nyeri payudara akut
dan kronis, tenderness, dan gangguan bahu pada hingga 50 % pasien yang
menyelesaikan breast-conserving therapy. Percobaan U.K. START
(Standardization of Breast Radiotherapy), yang dibandingkan dengan
hypofractionation dengan fraksinasi konvensional dari radioterapi adjuvant untuk
kanker payudara, menilai kualitas hidup dari 2208 pasien selama 5 tahun. Telah
diamati bahwa 20 % dan 30 % dari pasien dari kedua lengan penelitian mengalami
nyeri payudara dan lengan masing-masing pada 5 tahun masa follow-up.
Randomized control study telah menunjukkan bahwa, dibandingkan dengan
pasien kontrol yang tidak menerima intervensi, pasien kanker payudara diarahkan
untuk berolahraga lebih sering setelah diagnosis mereka mengalami perbaikan
dalam fungsi fisik, kualitas hidup secara keseluruhan, dan fungsi kardiopulmoner.
Pada tahun 2006, McGill CHIP, yang pada awalnya dikembangkan untuk pasien
dengan penyakit jantung, mulai untuk memasukkan latihan program rehabilitasi
untuk membantu penderita kanker pulih dan mencapai potensi penuh kesehatan
mereka setelah mereka telah menyelesaikan pengobatan kanker mereka.
Ringkasan
Peningkatan tingkat kelangsungan hidup kanker payudara tampaknya
memiliki kontribusi terhadap adanya isu klinis yang signifikan dari PPBCT. Nyeri
persisten dapat terjadi setelah pengobatan pembedahan, pengobatan hormonal,
kemoterapi dan /atau radioterapi. Pengobatan pendekatan untuk PPBCT mungkin
termasuk farmakologis, intervensi, dan strategi nonfarmakolgik. Saat ini terapi
untuk PPBCT masih suboptimal, bagaimanapun, diharapkan lebih besar apresiasi
terhadap diagnosis, evaluasi, dan manajemen dari PPBCT dapat menyebabkan
peningkatan hasil pasien secara keseluruhan dengan analgesia yang lebih baik
dan efek samping yang sedikit.
20