bab i pendahuluan 1.1. latar...

22
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Semarang merupakan ibukota provinsi dimana pusat perekonomian lebih dominan berada di pusat kota, sehingga mobilitas orang dengan berbagai aktivitas, mobilitas barang maupun jasa menupuk pada satu tujuan yaitu pusat kota (wilayah Simpang Lima dan sekitarnya). Dampak dari realita ini adalah pada jam-jam tertentu terjadi kemacetan di berbagai ruas Jalan Semarang. Kemacetan lalu lintas jalan ( congestion) dapat terjadi karena ruas jalan tersebut sudah tidak mampu menampung atau menerima arus kendaraan yang memiliki volume kendaraan yang berlebihan. Ruas jalan yang sempit, dan banyaknya kendaraan yang melewati dapat menjadi penyebab kemacetan. Selain itu pengaruh gangguan samping juga dapat mengakibatkan kemacetan, seperti parkir di badan jalan ( on road parking), berjualan di trotoar atau pinggir jalan seperti yang dilakukan oleh PKL (Pedagang Kaki Lima), jalan digunakan sebagai pangkalan becak/ojek, serta apabila jalan juga dimanfaatkan untuk kegiatan sosial yang dilakukan oleh masyarakat dengan menggunakan badan jalan (seperti adanya pesta, kematian, dll). Manajemen persimpangan yang buruk juga dapat memicu adanya kemacetan lalu lintas. Pertumbuhan penduduk yang melanda kota-kota besar itu baik sebagai pertumbuhan alamiah akibat kelahiran, maupun akibat terjadinya urbanisasi, menimbulkan tekanan-tekanan baru pada kehidupan kota dan jaringan pelayanan yang tersedia bagi penduduk kota tersebut. Salah satu jaringan pelayanan yang mengalami tekanan terberat adalah pelayanan transportasi. Berdasarkan hasil registrasi penduduk tahun 2010, jumlah penduduk Kota Semarang tercatat sebesar 1.527.433 jiwa dengan pertumbuhan penduduk selama tahun 2010 sebesar 1,36 % (Kota Semarang dalam Angka, 2010), dengan adanya pertumbuhan penduduk yang semakin tinggi disertai adanya pertambahan mobilitas penduduk dan pertumbuhan permintaan transportasi ini cenderung ditampung melalui adanya kebijakan yang mengatur tentang penyelesaian secara

Upload: trancong

Post on 19-Aug-2018

230 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kota Semarang merupakan ibukota provinsi dimana pusat perekonomian

lebih dominan berada di pusat kota, sehingga mobilitas orang dengan berbagai

aktivitas, mobilitas barang maupun jasa menupuk pada satu tujuan yaitu pusat

kota (wilayah Simpang Lima dan sekitarnya). Dampak dari realita ini adalah pada

jam-jam tertentu terjadi kemacetan di berbagai ruas Jalan Semarang.

Kemacetan lalu lintas jalan (congestion) dapat terjadi karena ruas jalan

tersebut sudah tidak mampu menampung atau menerima arus kendaraan yang

memiliki volume kendaraan yang berlebihan. Ruas jalan yang sempit, dan

banyaknya kendaraan yang melewati dapat menjadi penyebab kemacetan. Selain

itu pengaruh gangguan samping juga dapat mengakibatkan kemacetan, seperti

parkir di badan jalan (on road parking), berjualan di trotoar atau pinggir jalan

seperti yang dilakukan oleh PKL (Pedagang Kaki Lima), jalan digunakan sebagai

pangkalan becak/ojek, serta apabila jalan juga dimanfaatkan untuk kegiatan sosial

yang dilakukan oleh masyarakat dengan menggunakan badan jalan (seperti adanya

pesta, kematian, dll). Manajemen persimpangan yang buruk juga dapat memicu

adanya kemacetan lalu lintas.

Pertumbuhan penduduk yang melanda kota-kota besar itu baik sebagai

pertumbuhan alamiah akibat kelahiran, maupun akibat terjadinya urbanisasi,

menimbulkan tekanan-tekanan baru pada kehidupan kota dan jaringan pelayanan

yang tersedia bagi penduduk kota tersebut. Salah satu jaringan pelayanan yang

mengalami tekanan terberat adalah pelayanan transportasi.

Berdasarkan hasil registrasi penduduk tahun 2010, jumlah penduduk Kota

Semarang tercatat sebesar 1.527.433 jiwa dengan pertumbuhan penduduk selama

tahun 2010 sebesar 1,36 % (Kota Semarang dalam Angka, 2010), dengan adanya

pertumbuhan penduduk yang semakin tinggi disertai adanya pertambahan

mobilitas penduduk dan pertumbuhan permintaan transportasi ini cenderung

ditampung melalui adanya kebijakan yang mengatur tentang penyelesaian secara

2

individual dengan kendaraan-kendaraan bermotor yang berstatus kepemilikan

pribadi. Penyelesaian ini apabila dipandang dari satu sisi menguntungkan karena

tidak perlu campur tangan pemerintah dalam pengadaannya, tetapi pada sisi lain

akan menimbulkan persoalan lain yang cukup berat, seperti kemacetan lalu lintas

yang semakin parah, pemakaian bahan bakar fosil yang semakin meningkat,

sehingga akan menimbulkan pencemaran lingkungan yang mendekati ambang

batas yang diizinkan untuk masih dapat ditolerir oleh kesehatan seseorang.

Persoalan-persoalan ini pada akhirnya akan menjadi permasalahan yang harus

dapat dipecahkan oleh pemerintah dengan mengeluarkan berbagai kebijakan yang

tentunya diharapkan dapat mengatasi permasalahan yang hadir tersebut.

Urbanisasi merupakan salah satu faktor eksternal wilayah yang akan

mempengaruhi pertumbuhan penduduk total di sebuah wilayah. Sebuah kota

dengan daya tarik yang sangat besar seperti kota tersebut merupakan kota besar

yang menjadi pusat perdagangan, ekonomi, maupun pemerintahan merupakan

kota yang sangat memiliki potensi besar adanya urbanisasi skala besar.

Kebanyakan masyarakat yang melakukan urbanisasi adalah mereka yang ingin

memiliki penghidupan yang lebih baik di perkotaan. Kota yang seperti ini

tentunya memiliki proses perputaran uang yang lebih besar sehingga pantas saja

apabila kegiatan ekonomi di daerah perkotaan terlihat lebih mencolok.

Pertambahan jumlah penduduk secara alami ditambah dengan kegiatan

urbanisasi dan migrasi ke kota tentunya akan menambah volume perpindahan

secara massal maupun individu atau sering disebut mobilitas penduduk yang

semakin bertambah. Untuk melakukan kegiatan perpindahan atau mobilitas

penduduk ini pastilah memerlukan moda transportasi baik umum ataupun pribadi.

Kondisi transportasi umum di Indonesia secara umum yang masih di bawah

standar kenyamanan para pengguna ini mengakibatkan masyarakat beralih lebih

memilih moda transportasi pribadi seperti sepeda motor maupun mobil pribadi.

Semakin bertambahnya jumlah penduduk dengan dipermudah persyaratan untuk

memiliki sebuah kendaraan pribadi menyebabkan adanya pertambahan jumlah

kendaraan pribadi semakin banyak tiap tahunnya.

3

Kenyataan pertambahan volume kendaraan bermotor tiap tahunnya tidak

diimbangi dengan penambahan kapasitas jalan, sehingga yang terjadi adalah

kapasitas jalan yang tersedia tidak mencukupi volume yang ada. Maka tidak heran

daya layan jalan yang tidak memenuhi akan menyebabkan kemacetan jalan pada

saat kondisi puncak ramai kendaraan. Permasalahan kemacetan ini perlu diurai

dengan sebuah kebijakan yang sesuai. Pemerintah perlu mengambil tindakan

dengan mengambil keputusan yang bijak dalam rangka perlunya dibangun sistem

transportasi baru untuk mengurangi dan mengurai kemacetan dan kepadatan.

Dalam hal ini yang dibentuk adalah angkutan massal yang dapat mengangkut

banyak orang dalam sekali jalan sehingga perpindahan dapat dipercepat dengan

mengurangi transportasi pribadi yang digunakan. Manfaat dari moda transportasi

massal ini adalah mengurangi jumlah pengguna kendaraan pribadi yang beralih

untuk lebih memilih kendaraan massal untuk bermobilitas dan berkegiatan. Moda

transportasi yang digunakan Kota Semarang sebagai salah satu alternatif solusi

kebijakan adalah Bus Rapid Transit (BRT) Trans-Semarang.

Moda transportasi bus merupakan salah satu sistem transportasi yang dapat

menampung volume penumpang berkapasitas besar, sehingga pada konsepnya

dapat membantu dalam mengurangi kemacetan di daerah perkotaan. Salah satu

indikator dari pelayanan bus kota adalah penyediaan shelter1 yang baik di

sepanjang jalan, dimana shelter harus tepat penempatannya agar tidak

mengganggu lalu lintas (Ditjen Perhubungan Darat, 2000). Salah satu teknik

dalam pemberian prioritas angkutan umum adalah dengan penertiban shelter

(Tamin, 2000). Sehingga dengan adanya penempatan lokasi shelter yang tepat,

maka akan dapat mengurangi permasalahan transportasi di Kota Semarang

khususnya. Shelter didefinisikan sebagai tempat pemberhentian kendaraan

penumpang untuk menurunkan dan menaikkan penumpang yang dilengkapi

1 Shelter merupakan istilah lain dari halte yang memiliki pengertian tempat

untuk menaikkan dan menurunkan penumpang bus, biasanya ditempatkan

pada jaringan pelayanan angkutan bus (Tamin, 1997).

4

dengan bangunan. Halte/shelter merupakan salah satu fasilitas pendukung

perlengkapan jalan (PP No. 43 Tahun 1993) dan prasarana transportasi.

Berdasarkan Pedoman Teknis Perekayasaan Tempat Pemberhentian Kendaraan

Umum oleh Departemen Perhubungan (1996) menyatakan bahwa di dalam shelter

memiliki fasilitas pendukung seperti nama shelter, nomor shelter, rambu

petunjuk, papan informasi trayek, lampu penerangan, dan tempat duduk.

Pola persebaran pengguna Bus Rapid Transit (BRT) atau demand sangat

penting untuk diketahui. Tentunya pola persebaran kota satu dengan kota yang

lainnya tentunya sangatlah berbeda. Penting untuk diketahuinya pola persebaran

pengguna Bus Rapid Transit (BRT) ini adalah untuk mengetahui berapa nilai

persentase lokasi shelter tersebut digunakan oleh pengguna layanan. Peletakan

shelter Bus Rapid Transit (BRT) di Kota Semarang telah ditentukan dan dibangun

di beberapa lokasi maupun titik-titik yang menjadi pusat pemberhentian. Titik

pemberhentian ini diharapkan dapat menjadi titik berkumpulnya para pengguna

serta menjadi titik tujuan. Tentunya titik pemberhentian diletakkan di tempat

dimana lokasinya mudah dicapai, namun pada kenyataanya dilapangan banyak

lokasi shelter yang tidak terurus atau bahkan tidak dimaksimalkan penggunaannya

sehingga terkesan sia-sia. Faktor yang mempengaruhi tentunya banyak hal, salah

satunya adalah lokasi yang kurang optimal karena letaknya yang susah dijangkau

oleh pengguna, khususnya pejalan kaki.

1.2. Perumusan Masalah

Permasalahan di perkotaan tentunya sangat kompleks, salah satu masalah

yang sedang dicari solusinya adalah masalah transportasi publik. Transportasi

publik ini diharapkan dapat menjadi salah satu solusi yang dapat digunakan untuk

memecahkan masalah transportasi yakni kemacetan. Umumnya masyarakat lebih

memilih kepada transportasi pribadi daripada transportasi massal didasarkan

karena ketidaknyamanan masyarakat dalam menggunakan transportasi massal

untuk melakukan mobilitas. Bus Trans-Semarang merupakan solusi yang

dikeluarkan oleh Pemerintah Kota Semarang dalam menjawab permasalahan

5

transportasi massal. Bus Trans-Semarang telah beroperasi sejak tahun 2009

dengan menggunakan bus kapasitas 84 orang untuk bus besar dan 42 orang untuk

bus sedang melayani dua koridor perjalanan.

Shelter merupakan salah satu fasilitas krusial dalam operasional Bus Rapid

Transit (BRT) Trans-Semarang. Dimana jumlah shelter hingga saat ini sebanyak

69 pasang yang tersebar di dua koridor perjalanan. Peletakan shelter tentunya

bermacam-macam letak terhadap asosiasinya, letak shelter ini tentunya

mempengaruhi keinginan masyarakat untuk menggunakan BRT Trans-Semarang.

Pengaruhnya adalah pada jangkauan calon pengguna terhadap keberadaan lokasi

shelter. Sampai saat ini, banyak shelter yang tidak berfungsi secara optimal, hal

ini disebabkan karena shelter yang kurang baik peletakannya yang tidak

berdasarkan potensi bangkitan dan tarikan. Masyarakat harus berjalan jauh atau

harus menggunakan moda transportasi lain untuk menjangkau shelter BRT Trans-

Semarang.

Adanya gambaran dari fenomena tersebut, maka diperlukan adanya

deskripsi mengenai pola persebaran calon pengguna Bus Rapid Transit (BRT)

Trans-Semarang yang nantinya dapat mengacu kepada berapa besar daya layan

jangkauan shelter yang ada pada jalur pelayanan Bus Rapid Transit (BRT) dapat

menjangkau dan melayani pengguna. Oleh karena itu, pertanyaan pokok

penelitian yang akan dilakukan yakni terbagi menjadi 3 pertanyaan, yakni sebagai

berikut :

1. Dimana lokasi shelter Bus Rapid Transit (BRT) Trans-Semarang di

dua koridor pelayanan yang ada di Kota Semarang.

2. Bagaimana kondisi sosial dan ekonomi pengguna Bus Rapid

Transit (BRT) Trans-Semarang sebagai salah satu faktor yang

mempengaruhi intensitas penggunaan BRT.

3. Bagaimana jangkauan pengguna Bus Rapid Transit (BRT) Trans-

Semarang terhadap keberadaan shelter pada dua koridor pelayanan

yang ada di Kota Semarang.

6

1.3. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan masalah yang telah dirumuskan di atas, maka tujuan

penelitian yang hendak dicapai adalah sebagai berikut :

1. Mendeskripsikan lokasi sebaran shelter Bus Rapid Transit (BRT)

Trans-Semarang di dua koridor pelayanan yang ada di Kota

Semarang.

2. Mendeskripsikan kondisi sosial ekonomi pengguna Bus Rapid

Transit (BRT) Trans-Semarang.

3. Mendeskripsikan jangkauan para pengguna Bus Rapid Transit

(BRT) Trans-Semarang terhadap keberadaan shelter di seluruh

jalur pelayanan yang ada di Kota Semarang.

1.4. Kegunaan Penelitian

1. Diharapkan hasil penlitian dapat digunakan sebagai bahan

pertimbangan dalam meningkatkan kualitas dan efisiensi penggunaan

Bus Rapid Transit (BRT) Trans-Semarang.

2. Sebagai bahan masukan untuk perbaikan tingkat pelaksanaan Bus

Rapid Transit (BRT) Trans-Semarang.

7

1.5. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian yang diusung dengan mempertimbangkan

rumusan masalah yang muncul, didapatkan beberapa pertanyaan penelitian yang

muncul untuk dapat membantu menjawab tujuan penelitian yang tertera pada

Tabel 1.1.

Tabel 1.1. Tabel Pertanyaan Penelitian

No Tujuan Pertanyaan Penelitian

1

Mendeskripsikan lokasi sebaran shelter Bus Rapid Transit (BRT) Trans-Semarang di dua koridor pelayanan yang ada di Kota Semarang.

1. Dimana saja lokasi shelter BRT Trans Semarang? 2. Bagaimana kondisi shelter BRT Trans Semarang? 3. Bagaimana persebaran shelter pada dua koridor BRT Trans Semarang berdasarkan fungsi kawasan?

2

Mendeskripsikan kondisi sosial ekonomi pengguna Bus Rapid Transit (BRT) Trans-Semarang serta hubungan dengan intensitas penggunaannya.

1. Bagaimana kondisi sosial ekonomi pengguna BRT Trans Semarang?

2. Apakah ada kaitan antara kondisi sosial ekonomi pengguna BRT dengan intensitas penggunaan moda transportasi perkotaan Trans Semarang?

3

Mendeskripsikan jangkauan para pengguna Bus Rapid Transit (BRT) Trans-Semarang terhadap keberadaan shelter di dua jalur pelayanan di Kota Semarang.

1. Apakah shelter BRT Trans Semarang menjangkau para pengguna dalam cakupan willingness to walk sebesar 400 meter?

2. Bagaimana gambaran persebaran pengguna dalam cakupan buffer willingness to walk sebesar 400 meter?

8

1.6. Tinjauan Pustaka

1.6.1. Pendekatan Geografi

Geografi adalah ilmu yang mempelajari persamaan dan perbedaan geosfer

dengan sudut pendang kelingkungan dan kewilayahan dalam konteks keruangan.

Secara mendasar, ruang lingkup ilmu geografi meliputi segala fenomena yang

terjadi di permukaan bumi dengan berbagai variasi dan organsiasi keruangannya.

Objek kajian geografi pada dasarnya terbagi dua, yaitu objek material berupa

fenomena geosfer yang terdiri dari beberapa lapisan, yaitu litosfer, atmosfer,

hidrosfer, biosferm dan antroposfer. Sedangkan objek formalnya berkaitan dengan

cara pandang terhadap suatu gejala keruangan di muka bumi.

Pendekatan yang ada dalam kajian geografi jika menangani suatu masalah

menggunakan beberapa pendekatan, pada penelitian kali ini pendekatan geografi

yang digunakan yakni pendekatan kompleks wilayah.

Kombinasi antara analisa keruangan dengan analisa kelingkungan disebut

sebagai analisa kewilayahan atau analisa komplek wilayah. Pada analisa ini

wilayah tetentu didekati atau dihampiri dengan pengertian areal differentiation,

yaitu suatu anggapan bahwa interaksi antar wilayah akan berkembang karena pada

hakekatnya berbeda antar wilayah satu dengan wilayah lain. Pada analisa ini

diperhatikan pula mengenai penyebaran fenomena keruangan dengan interaksi

antara variabel manusia dan lingkungan untuk kemudian dipelajari kaitannya

sebagai analisa lingkungan dalam hubungannya dengan analisa komplek wilayah.

perancangan wilayah merupakan aspek-aspek penting dalam analisa tersebut.

Perkembangan konsep regional dalam geografi banyak digunakan dalam

menganalisa berbagai fenomena geosfer yang memiliki variasi keruangan yang

secara kausal berhubungan langsung maupun tidak langsung dengan

lingkungannya meliputi lingkungan biotik, abiotik maupun kultural sehingga

membentuk jaringan kewilayahan pendekatan wilayah.

Perbedaan sumberdaya yang ada di suatu daerah dengan daerah lain

mendorong masyarakat untuk melakukan mobilitas sehingga dapat memenuhi

kebutuhannya. Dalam proses mobilitas inilah transportasi memiliki peranan yang

penting untuk memudahkan dan memperlancar proses mobilitas tersebut. Proses

9

mobilitas ini tidak hanya sebatas oleh manusia saja, tetapi juga barang dan jasa.

Dengan demikian nantinya interaksi antar daerah akan lebih mudah dan dapat

mengurangi tingkat kesenjangan antar daerah.

Ullman (1957, dalam Pandini, 2011) mengungkapkan ada tiga syarat untuk

terjadinya interaksi keruangan, yaitu :

(1) Complementarity atau ketergantungan karena adanya perbedaan

demand dan supply antar daerah

(2) Intervening opportunity atau tingkat peluang atau daya tarik untuk

dipilih menjadi daerah tujuan perjalanan

(3) Transferability atau tingkat peluang untk diangkut atau dipindahkan

dari suatu tempat ke tempat lain yang dipengaruhi oleh jarak yang

dicerminkan dengan ukuran waktu dan atau biaya

1.6.2. Geografi Transportasi

Transportasi merupakan bagian yang sangat penting dalam fungsi

kehidupan masyarakat. Transportasi inilah yang akan menghubungkan bagian-

bagian penting yang berkaitan dengan gaya hidup, jangkauan, dan lokasi dari

kegiatan yang produktif serta distribusi barang-barang dan pelayanaan yang

tersedia untuk dapat dikonsumsi oleh masyarakat.

Geografi Transportasi merupakan bagian ilmu atau cabang dari Ilmu

Geografi yang terfokus kepada aspek-aspek fisik maupun sosial ekonomi yang

berkaitan dengan sistem transportasi tertentu. Transportasi sendiri berarti kegiatan

pemindahan barang (muatan) dan penumpang dari suatu tempat ke tempat lain.

Definisi transportasi dipertegas dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor

14 tahun 1992, yakni pemindahan orang dan atau barang dari suatu tempat ke

tempat lain dengan menggunakan kendaraan. Adapun kendaraan yang dimaksud

dalam Undang-undang tersebut adalah suatu alat yang dapat bergerak di jalan,

baik kendaraan bermotor atau tidak bermotor. Definisi lain yang lebih

menjelaskan bahwa transportasi adalah sarana manusia untuk memindahkan

sesuatu, baik manusia atau benda dari suatu tempat ke tempat lain, dengan

10

ataupun tanpa mempergunakan alat bantu. Alat tersebut dapat berupa tenaga

manusia, binatang, ataupun benda lain baik dengan mempergunakan mesin

ataupun tidak bermesin. Interelasi penelitian geografi transportasi difokuskan

kepada:

1. Jaringan, lokasi, struktur, dan evolusinya.

2. Arus pada jaringan.

3. Signifikansi dan pengaruh dari jaringan, serta arus pada ruang ekonomi

yang mengembangkan seperangkat prinsip saling ketergantungan

antara jaringan dan ekonomi, sebagai perubahan-perubahan

aksesibilitas.

Fasilitas transportasi pada akhirnya sangat mempengaruhi interaksi antar

wilayah. Keadaan transportasi yang ada di suatu wilayah nantinya akan menjadi

tolak ukur dalam interaksi keruangan antar wilayah dan sangat penting

peranannya dalam menunjang proses perkembangan wilayah tersebut. Kondisi

geografis yang beragam memerlukan pemikiran mendalam tentang terpilihnya

sebuah alat transportasi yang paling efektif dan optimal untuk digunakan secara

terpadu. Transportasi digunakan untuk dapat menghubungkan antara tata guna

lahan yang mungkin berbeda sehingga tercipta interaksi dan interelasi antar tata

guna lahan tersebut.

Transportasi yang baik, akan memudahkan terjadinya interaksi antara

penduduk lokal dengan dunia luar. Keterisolasian merupakan masalah pertama

yang harus ditangani. Transportasi berfungsi sebagai jembatan yang

menghubungkan produsen dengan konsumen dan meniadakan jarak di antara

keduanya. Jarak tersebut dapat dinyatakan sebagai jarak waktu maupun jarak

geografis. Jarak waktu timbul karena barang yang dihasilkan hari ini mungkin

belum dipergunakan sampai besok. Jarak atau kesenjangan ini dijembatani

melalui proses penggudangan dengan teknik tertentu untuk mencegah kerusakan

barang yang bersangkutan.

11

1.6.3. Peranan Transportasi dalam Mobilitas Penduduk

Mobilitas manusia sudah dimulai sejak jaman dahulu kala, kegiatan

tersebut dilakukan dengan tujuan lain untuk mencari dan mencukupi kebutuhan,

mencari tempat tinggal yang lebih baik, mengungsi dari serbuan orang lain dan

sebagainya. Dalam melakukan mobilitas tersebut sering membawa barang, namun

kadang kala juga tidak membawa barang apapun.

Perpindahan penduduk dan barang-barang sudah seusia dengan sejarah

manusia itu sendiri. Manusia zaman dahulu melakukan perpindahan dari suatu

tempat ke tempat lain dalam hal kebutuhannya mencukupi kebutuhan akan

makanan dan minuman. Perpindahan yang terbatas dan primitif itu merupakan

suatu awal dari cara hidup yang terjadi di zaman sekarang dimana terjadi

perpindahan baik dalam hal berlayar maupun berpergian. Pada sebagian besar

negara maju, sejumlah besar penduduk yang berkerja berpergian setiap hari

dengan kendaraan mekanis ke dan dari tempat bekerja, di samping perjalanan

untuk berbelanja maupun kegiatan sosial lainnya. Barang-barang dikirim melalui

darat, laut, maupun udara untuk dikirimkan ke suatu tempat demi memenuhi

kebutuhan akan barang tersebut yang merupakan suatu bagian dari standar

kehidupan yang diharapkan.

Pada saat yang bersamaan transportasi banyak menghabiskan sumberdaya.

Waktu yang dipergunakan banyak manusia untuk membangun, memelihara, dan

mengoprasikan sistem transportasi, minyak, dan material tanah. Pengeluaran

sumberdaya tersebut akan sia-sia apabila tidak ada manfaat nyata yang didapatkan

dari pemakaian transportasi yang luas. Tujuan yang ingin dicapai tentunya berupa

peningkatan kualitas hidup secara menyeluruh. Keuntungan dan kerugian yang

ada akan saling bermunculan bersamaan dengan meningkatnya kebutuhan akan

transportasi. Dapat dipahami sepenuhnya dengan mengetahui peranan yang ada

dalam sistem transportasi dalam kegiatan manusia. Hal ini dapat dengan mudah

dilakukan dengan tetap memperhatikan berbagai aspek peranannya secara

ekonomi, sosial, politik, dan lingkungan.

12

1.6.4. Sistem Transportasi Massal

Transportasi massal merupakan salah satu solusi kemacetan di beberapa

kota besar baik di Indonesia maupun negara lain. Transportasi massal ini identik

dengan angkutan umum yang merupakan inti dari pergerakan ekonomi di

perkotaan. Banyak moda transportasi muncul sebagai anggapan solusi

permasalahan transportasi di perkotaan dengan berbagai karakteristik dan tingkat

pelayanan yang diberikan mewarnai perkembangan sistem angkutan umum kota

yang berorientasi kepada kenyamanan dan keamanan sehingga dapat bersaing

dengan angkutan pribadi. Dari berbagai macam moda transportasi berupa

angkutan umum bus, baik berskala besar, menengah, maupun kecil tetap menjadi

angkutan yang dekat dengan masyarakat.

Faktor keamanan, kenyamanan, dan ketepatan waktu sering terabaikan

dalam proses perjalanan operasional angkutan bus yang akhirnya berdampak

kepada penurunan minat masyarakat untuk menggunakan transportasi tersebut.

Hal inilah yang sebenarnya akan sedikit menghalangi perkembangan sistem

angkutan kota massal yang berbasiskan Bus rapid Transit (BRT).

Konsep Bus rapid Transit (BRT) terus mengalami perkembangan yang

signifikan dari waktu ke waktu sebagai salah satu solusi permasalahan transportasi

terutama tentang kemacetan yang paling efektif dalam permasalahan sistem

angkutan massal bagi wilayah perkotaan. Dalam sejarahnya, BRT lahir di wilayah

Amerika latin yang saat itu tidak memiliki dana dalam mengembangkan

infrastruktur yang berbasis kendaraan (carbased infrastructure), sehingga

perencanaan kota tersebut tertantang untuk membuat paradigma baru dalam

transportasi kotanya. Secara umum, BRT memiliki kualitas yang baik dalam

melayani penumpang dengan berorientasi pada kecepatan, kenyamanan, dan

efektifitas biaya perjalanan penduduk. Dalam perjalanannya, BRT memiliki

nama-nama lain pada berbagai tempat seperti High-Capacity Bus System, High-

Quality Bus System, Metro-Bus, Express Bus System, dan Busway System (Duarte,

2012).

13

Karakteristik suatu sistem transportasi tergantung dengan lokasi

dibangunnya sistem transoirtasi yang terkait dengan aspek kondisi geografis,

lingkungan, sosial, maupun ekonomi.

1.6.5. Bus Rapid Transit (BRT)

Menurut World Bank (2011, dalam Duarte, 2012), Bus Rapid Transit

(BRT) adalah alat transportasi massal yang dapat dijangkau siapapun, dengan

adanya moda transportasi ini dapat meningkatkan keselamatan dan mengurangi

kecelakaan, memiliki akses yang mudah dijangkau, sebagai transportasi publik

yang dapat dipercaya dalam berbagai hal, serta memperhatikan kelestarian

lingkungan terkait polusi.

Negara yang pertama kali mengoperasikan Bus Rapid Transit (BRT)

adalah Kota Curitiba yang berada di Brazil pada tahun 1974. Konsep bus ini

adalah bus cepat yang dapat mengantarkan sekelompok yang dengan kapasitas

yang besar dengan kenyamanan serta keamanan yang dapat

dipertanggungjawabkan dan mengutamakan ketepatan waktu. Kemudian telah

menyebar di negara-negara di Amerika Tengah dan Amerika Selatan pada tahun

1970-an. Di Asia sendiri sebelum tahun 2000 pengembangan sistem Bus Rapid

Trans sangat terbatas. Sistem BRT di Nagoya-Jepang dan di Taipe-China adalah

sistem BRT yang relatif lengkap di negara-negara di kawasan Asia. Sistem Bus

Rapid Transit (BRT) telah Indonesia diimplementasikan di Kota Jakarta yang

lebih dikenal dengan Trans-Jakarta pada tahun 2004. Tujuan awal dibentuk Bus

Rapid Transit (BRT) ini adalah sebagai salah satu pilihan dan langkah yang baik

untuk dapat mengurangi kemacetan di Kota Jakarta itu sendiri (Wright, 2005

dalam Firmanda, 2013).

14

1.6.6. Lokasi Shelter Bus

Posisi shelter dalam operasional bus sangat penting, penempatan posisi

shelter sebisa mungkin dapat dijangkau oleh rata-rata daya jangkau perjalanan

para penggunanya, daya atau kemampuan penumpang menjangkau shelter sangat

penting untuk dijadikan sebagai pertimbangan dalam menentukan shelter, karena

ketidakmampuan menjangkau shelter akan berdampak pada tidak maksimalnya

fungsi shelter dalam operasional bus (Hasrul, 2011). Giannopoulos (1989) dalam

Hasrul (2011) mengatakan bahwa beberapa kriteria umum dalam menentukan

posisi shelter, hal utama dalam menentukan lokasi shelter adalah bagaimana

melihat kaitan antara tipe dan kepadatan penggunaan lahan di sekitar daerah

operasional bus, yang dari pengamatan tersebut akan dapat diidentifikasi daerah

mana yang memiliki konsentrasi lebih tinggi terhadap permintaan bus. Beberapa

pedoman dalam menentukan lokasi shelter menurut Giannopoulos (1989) dalam

Hasrul (2011) adalah sebagai berikut:

a) Pemilihan pertama dalam menentukan lokasi shelter adalah dengan

mengutamakan konsentrasi dari pergerakan penumpang (pusat perbelanjaan,

rumah sakit, sekolah, juga di sekitar pertemuan antara beberapa jalur

transportasi publik lainnya).

b) Memeriksa lokasi yang diusahakan menjadi daerah lokasi shelter yakni

dengan melakukan beberapa hal, seperti:

Ø Mengidentifikasi area sepanjang rute bus, daerah mana yang terlihat

potensial sebagai pusat konsentrasi penumpang.

Ø Mengidentifikasi lokasi potensial shelter bus sepanjang rute, dengan

menerapkan beberapa keriteria seperti daya jangkau, jarak maksimal

pejalan kaki, dan kriteria lainnya.

Ø Menentukan tipe dan shelter sesui dengan karakteristik geometrik lokasi.

Ø Memilih jenis bahan dan perabotan dalam shelter seperti tampilan

informasi, peta, dan lainnya.

c) Menghubungkan jarak maksimal berjalan kaki, adapun saran atau jarak rata-

rata yang disarankan adalah sebagai berikut:

15

Ø 150 – 250 meter dari pusat kota atau dari daerah yang berpopulasi tinggi

Ø 200 – 350 meter dari wilayah dengan populasi sedang dengan area

kepadatan 2000 orang/km².

Ø 250 – 500 meter di daerah pinggiran dan area kepadatan rendah.

1.6.7. Konsepsi Pelayanan Transportasi

Transportasi adalah faktor kekuatan pembentuk pertumbuhan.

Penyelenggaraan pelayanan transportasi yang efektif dan efisien diperlukan

peranan pemerintah yang proaktif, sebagai regulator dan fasilitator serta sebagai

operator. Transportasi dan pembangunan merupakan proses interaksi dua arah.

Penyelenggaraan pelayanan transportasi diarahkan untuk meningkatkan mobilitas

manusia, barang dan jasa, membantu terciptanya pola distribusi nasional yang

mantap dan dinamis, menggerakkan dinamika pembangunan, dan mendukung

pengembangan wilayah (Adisasmita, 2011).

Mobilitas manusia sudah dimulai sejak jaman dahulu kala, kegiatan

tersebut dilakukan dengan berbagai tujuan antara lain untuk mencari makan,

mencari tempat tinggal yang lebih baik, mengungsi dari serbuan orang lain dan

sebagainya. Oleh karenanya diperluhkan alat sebagai sarana transportasi.Beberapa

konsep dan cara yang dapat ditempuh dalam meningkatkan pelayanan angkutan

umum (Warpani, 1990), yakni :

• Memperbesar kapasitas pelayanan dengan menambah armada;

• Menawarkan pilihan moda, dengan sendirinya menyangkut alternatif lintasan;

• Mengatur pembagian waktu pelayanan;

• Mengurangi permintaan, misalnya dengan biaya tinggi;

• Menyesuaikan biaya pelayanan sesuai dengan watak permintaan, termasuk

mendorong permintaan ke jenis pelayanan tertentu dengan menurunkan

biayanya, dan upaya mengurangi permintaan yang sulit dilayani dengan

meningkatkan biaya.

16

1.7. Ulasan Penelitian Sebelumnya

Ulasan penelitian yang dilakukan oleh beberapa peneliti berbeda dengan

tema yang sama dengan tema penelitian kali ini perlu dijelaskan lebih rinci.

Tentunya ulasan ini berfungsi untuk menghindarkan dari kegiatan plagiat.

Beberapa penelitian sebelumnya tentunya memiliki fokus, tujuan, metode,

maupun lokasi yang sama dengan tema yang diangkat pada penelitian kali ini,

maka penjelasan di bawah ini akan membedakan perbedaan penelitian satu

dengan yang lainnya.

1) Ari Lestari (2002)

Penelitian yang dilakukan Ari Lestari berjudul Efektivitas Bis di Yogyakarta

dan Sekitarnya menggunakan merode survey lapangan. Data survei yang telah

didapatkan di lapangan dengan berbagai variabel yang digunakan, kemudian

dalam pengolahan data dan analisisnya menggunakan analisa spearman.

Dalam penelitian ini, peneliti menekankan kepada beberapa hal yang ingin

diketahui, yakni: mengetahui sistem transportasi di Kota Yogyakarta;

mengetahui angka guna halte Kota Yogyakarta dan sekitarnya; mengetahui

pengaruh agihan pusat kegiatan dengan agihan bangkitan penumpang terhadap

angka guna halte di Kota Yogyakarta dan sekitarnya; serta mengetahui

efektivitas halte bis dan potensi halte bis di Kota Yogyakarta dan sekitarnya.

Persamaan penelitian kali ini dengan penelitian Lestari (2002) adalah sama-

sama ingin mengetahui sebagaimana pengaruh pusat kegiatan dan bangkitan

dapat mempengaruhi jumlah serta jangkauan pengguna halte/shelter.

Perbedaan adalah analisis yang digunakan berbeda, dimana Lestari (2002)

menggunakan analisis spearman, sedangkan penelitian ini banyak

menggunakan analisa peta dan hasil kuesioner lapangan. Perbedaan lokasi

juga terlihat dari penelitian yang akan dilakukan dengan penelitian yang

dilakukan Lestari (2002).

2) Ari Susanto (2006)

Penelitian yang dilakukan Ari Susanto dilakukan di Kota Yogyakarta dengan

judul Penentuan Lokasi Halte Potensial Bagi Angkutan Umum Perkotaan di

17

Kota Yogyakarta. Metode yang digunakan untuk melakukan penelitian

Susanto (2006) menggunakan survey on bus dengan dibantu analisis deskriptif

kualitatif. Analisis deskriptif kualitatif didapatkan melalui analisis kuesioner

yang ditujakan kepada pengguna bus. Penelitian Susanto (2006) ini dilakukan

untuk dapat mengetahui sistem transportasi umum perkotaan Yogyakarta dan

rencana pengembangannya dengan mengidentifikasi lokasi yang sering

digunakan angkutan umum di perkotaan Yogyakarta sebagai tempat henti dan

pembuktian pengaruh tarikan dan bangkitan penumpang terhadap tempat

henti.

Persamaan penelitian kali ini dengan penelitian yang dilakukan Susanto

(2006) adalah analisis yang digunakan yakni deskriptif kualitatif, selain itu

fokus penelitian kepada bangkitan tarikan penumpang terhadap keberadaan

halte juga merupakan kajian yang sama dengan penelitian ini.

Perbedaan yang ada adalah survei yang dilakukan pada penelitian ini tidak

survei on bus, namun survey calon penumpang yang akan menggunakan Bus

Rapid Transit (BRT).

3) Maslahatun Nashiha, dkk.(2009)

Penelitian yang dilakukan Nashiha, dkk (2009) ini merupakan penelitian yang

dilakukan untuk mengikuti Program Kreatifitas Mahasiswa bidang penelitian

pada tahun 2009. Tujuan yang diusung pada penelitian yang berjudul

Pemodelan Spasial untuk Evaluasi dan Penentuan Alternatif Lokasi Shelter

Jalur dan Trayek Baru Trans Jogja adalah mengetahui efektifitas dan potensi

shelter menggunakan aplikasi pemodelan spasial sehingga dapat memberikan

rekomendasi bagi Trans Jogja. Metode yang digunakan adalah metode survei,

dengan analisis deskriptif kualitatif dan matching.

Persamaan dengan penelitian Nashiha, dkk (2009) ini adalah penelitian

difokuskan kepada keberadaan halte/shelter dan Bus Rapid Transit.

Perbedaan begitu nyata, bahwa penelitian Nashiha, dkk (2009) menggunakan

pemodelan spasial dalam analisis dan menjawab tujuan penelitian. Perbedaan

yang lainnya berada pada teknik analisis yang digunakan.

18

4) Intan Pandini (2011)

Penelitian Pandini (2011) berjudul Daya Layan Halte “Batik Solo Trans” di

Kota Surakarta, Kabupaten Boyolali, Kabupaten Karanganyar, dan

Kabupaten Sukoharjo. Penelitian Pandini (2011) menggunakan Willingness to

Walk sejauh 300 meter sebagai batasan yang mengasumsikan bahwa 300

meter adalah jarak maksimum yang dapat dijangkau calon pengguna dengan

berjalan kaki untuk dapat menjangkau keberadaan halte. Tujuan utama

penelitian Pandini (2011) adalah mengetahui lokasi eksisting halte serta

mendeskripsikan area cakupan halte. Metode yang digunakan adalah teknik

survei lapangan dan menggunakan analisis deskriptif dan analisa peta.

Persamaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh

Pandini (2011) ini adalah tujuan yakni mendeskripsikan lokasi eksisting halte

serta mendeskripsikan cakupan area halter dari sisi penumpang menggunakan

analisis peta.

Sedangkan perbedaannya berada pada lokasi penelitian yang berbeda. Pandini

(2011) melakukan penelitian di Kota Solo dan sekitarnya, sedangkan

penelitian kali ini melakukan penelitian di Kota Semarang. Selain itu,

penelitian kali ini juga memberikan analisis sosial ekonomi calon penumpang

Bus Rapid Transit Trans-Semarang.

5) Dhanisa Rifky Firmanda (2013)

Firmanda melakukan penelitiannya pada tahun 2013 dengan judul Sistem

Informasi Geografi untuk Evaluasi Lokasi Shelter Bus Trans-Semarang.

Penelitian ini menggunakan Citra QuickBird Kota Semarang dengan

mendeliniasi bangkitan dan tarikan yang akan mempengaruhi keefektivitasan

keberadaan shelter Trans-Semarang. Analisis menggunakan Sistem Informasi

Geografis juga digunakan pada penelitian Firmanda (2013) dengan harapan

dapat mengetahu persebaran serta mengevaluasi lokasi shelter Trans

Semarang berdasarkan potensi bangkitan dan tarikan penumpang.

Persamaan penelitian Firmanda (2013) dengan penelitian ini adalah

menggunakan potensi bangkitan dan tarikan. Persamaan lainnya adalah lokasi

penelitian yang ada di Kota Semarang.

19

Perbedaannya adalah analisis yang digunakan pada penelitian Firmanda (2013

adalah analisis potensi bangkitan dan tarikan menggunakan SIG.

Untuk lebih mempermudah dalam pemahaman, perbedaan ulasan

penelitian sebelumnya dengan penelitian kali ini dapat dilihat pada Tabel 1.2.

Tabel 1.2. : Tabel Perbandingan Ulasan Penelitian Sebelumnya

Nama Peneliti

Jenis Penelitian Judul dan Tahun Tujuan dan Hipotesis Metode Analisis

Ari Susanto Skripsi Efektivitas Bis di Yogyakarta dan Sekitarnya (2002)

1. mengetahui sistem transportasi di Kota Yogyakarta dan sekitarnya

survei

analisa spearman

2. mengetahui angka guna halte Kota Yogyakarta dan sekitarnya

3. mengetahui pengaruh agihan pusat kegiatan dengan agihan bangkitan penumpang terhadap angka guna halte di Kota Yogyakarta dan sekitarnya.

4. mengetahui efektivitas halte bis dan potensi halte bis di kota yogyakarta dan sekitarnya.

Ari Lestari Skripsi

Penentuan Lokasi Halte Potensial Bagi Angkutan

Umum PerkotaanYogyakarta (2006)

1. mengetahu sistem transportasi umum perkotaan yogyakarta dan rencana pengembangan dimasa mendatang

survei on bus

deskriptif kualitatif

2. mengidentifikasi lokasi yang sering digunakan angkutn umum perkotaan Yogyakarta sebagai tempat henti

3. membuktikan pengaruh agihan tarikan penumpang terhadap tempat henti angkutan umum perkotaan Yogyakatya

4. menentukan jumlah halte potensial dan sebarannya bagi angkutan umum

Maslahatun Nashiha,

dkk

Penelitian PKM -P

Pemodelan Spasial untuk Wvaluasi dan Penentuan Alternatif Lokasi Shelter,

Jalur dan Trayek Baru Trans Jogja (2009)

1. mengetahui efektifitas dan optimalisasi lokasi sheelter yang sudah ada dalam menampang potensi bangkitan dan tarikan penumpang yang ada

Survei

deskriptif kualitatif dan matching

2. mengaplikasikan analisa dan pemodelan spasial terhadap jarak transportasi Trans Jogja berdasarkan kajian sistem informasi geografi .

3. merekomendasikan pembenahan trayek (jalur)

4. memeberikan bentuk manajemen sistem jalur transportasi yang lebih efektif berdasarkan pemodelan SIG.

Intan Pandini Skripsi

Daya Layan Halte "batik Solo Trans" di Kota Surakarta,

Kabupaten Boyolali, Kabupaten Karanganyar, dan Kabupaten Sukoharjo (2011)

1. mendeksripsikan lokasi eksisting halte "BST" Survei

deskriptif dan analisa peta

2. mendeskripsikan are cakupan halte "BST" dari sisi penumpang.

Bersambung ke halaman berikutnya

20

Lanjutan Tabel 1.2. : Tabel Perbandingan Ulasan Penelitian Sebelumnya

1.8. Kerangka Penelitian

Penelitian kali ini dilakukan dengan landasan memperdalam adanya

kejadian atau fenomena geografis yang memang perlu dikaji lebih lanjut. Geografi

transportasi dipilih menjadi kajian pokok peneliti karena merupakan salah satu

cabang ilmu Geografi. Penelitian yang memfokuskan kepada cabang ilmu

Geografi Transportasi ini diharapkan dapat menjawab fenomena-fenomena yang

ditimbulkan dari pergerakan dan mobilitas penduduk serta memecahkan massalah

transportasi perkotaan di Kota Semarang yaitu dengan maraknya implementasi

transportasi missal baru di Kota Semarang sebagai salah satu solusi kemacetan di

perkotaan yakni BRT.

Pergerakan tentunya selalu dilakukan oleh setiap makhluk hidup. Pada

dasarnya pergerakan dilakukan untuk dapat berpindah dari satu tempat ke tempat

lain yang memiliki jarak tertentu. Kebutuhan akan mobilitas ini memerlukan

sebuah transportasi yang dapat digunakan untuk melakukan perpindahan tersebut.

Supply (ketersediaan) yang tersedia tentunya bermacam-macam moda transportasi

baik angkutan umum maupun angkutan pribadi, sedangkan demand (kebutuhan)

akan perjalanan atau perpindahan tentunya memiliki tujuan tertentu sesuai dengan

kebutuhan pergerakan seseorang, baik itu dilakukan secara rutin maupun tidak

rutin, bahkan untuk bersekolah, bekerja, belanja, rekreasi, dan tujuan lainnya.

Nama

Peneliti

Jenis

Penelitian Judul dan Tahun Tujuan dan Hipotesis Metode Analisis

Dhanisa

Rifky

Firmanda

Skripsi

Sistem Informasi Geografi

Untuk Evaluasi Lokasi

Shelter Bus Trans Semarang

(2013)

1. memetakan sebaran shelter Trans Semerang

Survei

Analisa

potensi

bangkitan

dan tarikan

penumpang

2. menganalisis hubungan antara lokasi shelter

dengan potensi bangkitan dan tarikan

3. mengevaluasi lokasi shelter Trans Semarang

berdasarkan bangkitan dan tarikan penumpang

dengan menggunakan SIG.

21

Pemerintah Kota Semarang memberikan berbagai macam moda transportasi,

dalam penelitian ini transpotasi umum dibagi menjadi dua yakni Bus Rapid

Transit (BRT) dan non-Bus Rapid Transit. Kajian utama pada penelitian ini

adalah BRT yang ada di Kota Semarang yakni Trans-Semarang. BRT tentunya

tidak dapat terpisah dari fasilitas- fasilitas yang mendukung operasional BRT, di

antaranya adalah: shelter, armada, dan jalur pelayanan. Penempatan lokasi shelter

yang baik tentunya didasarkan kepada potensi bangkitan dan tarikan yang ada

pada penggunaan lahan tertentu, sehingga penempatan lokasi dinyatakan optimal.

Namun, jangkauan pengguna BRT terhadap keberadaan bisa jadi menjadi alasan

utama pengguna untuk memiliki menggunakan transporasi umum modern ini.

Jangkauan pelayanan shelter yang dapat dijangkau oleh pengguna tentunya

memiliki nilai lebih terhadap keberadaan shelter sehingga penempatannya dapat

dikatakan sesuai dan optimal. Kerangka pemikiran ini dapat digambarkan dalam

Gambar 1.1.

22

Gambar 1.1. Diagram Alir Kerangka Pemikiran

Permasalahan Kemacetan di Perkotaan

Permasalahan Kemacetan di Perkotaan

Kawasan Permukiman

Kawasan Pusat Kegiatan

Kebijakan arahan pengembangan

transportasi kota

Pengoperasian BRT Trans-Semarang pada

tahun 2009

Moda Transportasi

Kerutinan Penggunaan

Angkutan Publik

Angkutan Pribadi

Non-BRT BRT

Aspek Rutinitas dan Intensitas penggunaan BRT Trans-Semarang

Analisis Kondisi Sosial Ekonomi yang mempengaruhi penggunaan BRT

Trans-Semarang

Trans-Semarang

Shelter

Sebaran Shelter BRT Trans-Semarang

Konsentrasi Pengguna Layanan

Perkantoran, pertokoan,

industri, pendidikan

Cakupan dan jangkauan penumpang terhadap

keberadaan shelter

Rutin Tidak Rutin