bab i pendahuluan 1.1 latar...

22
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banyak dari kita yang tidak sadar bahwa kita sedang menonton kekerasan di layar kaca kita. Televisi dengan mudah menyebarkan pesan-pesan dalam tayangan kepada seluruh pemirsanya dengan bantuan teknologi yang memungkinkan televisi untuk memiliki cakupan yang luas. Beragam konten yang disediakan oleh setiap stasiun televisi, yang sejatinya ditujukan untuk mendidik, memberi informasi, dan menghibur pemirsa tidak serta merta bebas dari kekerasan bahkan yang bersifat hiburan sekalipun. Bagi beberapa orang, ketika menganggap kekerasan yang ditampilkan masih bisa dikompromikan dengan akal sehatnya, maka tidak menjadi masalah untuk menonton tayangan tersebut. Akan tetapi, tidak semua orang menganggap bahwa dengan level atau porsi kekerasan yang sama maka bisa mendapat tindakan penerimaan yang sama pula. Banyak faktor yang mempengaruhi seseorang dalam menginterpretasikan sesuatu, termasuk pesan media yang sedang dikonsumsinya. Kekerasan dalam tayangan hiburan memang bukanlah hal yang baru, dan justru perkembangan tayangan jenis ini termasuk cepat dan biasanya dengan cakupan audiens yang luas, contoh : Opera Van Java, Pesbukers. Munculnya istilah slapstick comedy yang menggunakan unsur kekerasan sebagai bahan utama leluconnya dan bahkan seringkali unsur kekerasan yang ditampilkan melebihi batas wajar atau akal sehat, semakin mempertegas keberadaan jenis tayangan yang mengandung unsur kekerasan. Bahkan tayangan slapstick comedy inipun tidak selalu dibalut dengan adegan-adegan maupun plot yang kompleks yang biasanya hanya orang dewasa maupun yang beranjak dewasa yang tertarik untuk menontonnya. Tayangan slapstick comedy juga muncul dalam tayangan yang memiliki ratinganak-anak.

Upload: phamtram

Post on 09-Apr-2019

218 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Banyak dari kita yang tidak sadar bahwa kita sedang menonton kekerasan

di layar kaca kita. Televisi dengan mudah menyebarkan pesan-pesan dalam

tayangan kepada seluruh pemirsanya dengan bantuan teknologi yang

memungkinkan televisi untuk memiliki cakupan yang luas. Beragam konten yang

disediakan oleh setiap stasiun televisi, yang sejatinya ditujukan untuk mendidik,

memberi informasi, dan menghibur pemirsa tidak serta merta bebas dari

kekerasan bahkan yang bersifat hiburan sekalipun.

Bagi beberapa orang, ketika menganggap kekerasan yang ditampilkan

masih bisa dikompromikan dengan akal sehatnya, maka tidak menjadi masalah

untuk menonton tayangan tersebut. Akan tetapi, tidak semua orang menganggap

bahwa dengan level atau porsi kekerasan yang sama maka bisa mendapat tindakan

penerimaan yang sama pula. Banyak faktor yang mempengaruhi seseorang dalam

menginterpretasikan sesuatu, termasuk pesan media yang sedang dikonsumsinya.

Kekerasan dalam tayangan hiburan memang bukanlah hal yang baru, dan

justru perkembangan tayangan jenis ini termasuk cepat dan biasanya dengan

cakupan audiens yang luas, contoh : Opera Van Java, Pesbukers. Munculnya

istilah slapstick comedy yang menggunakan unsur kekerasan sebagai bahan utama

leluconnya dan bahkan seringkali unsur kekerasan yang ditampilkan melebihi

batas wajar atau akal sehat, semakin mempertegas keberadaan jenis tayangan yang

mengandung unsur kekerasan.

Bahkan tayangan slapstick comedy inipun tidak selalu dibalut dengan

adegan-adegan maupun plot yang kompleks yang biasanya hanya orang dewasa

maupun yang beranjak dewasa yang tertarik untuk menontonnya. Tayangan

slapstick comedy juga muncul dalam tayangan yang memiliki ratinganak-anak.

2

Yang menjadi topik utama dalam penelitian ini adalah, serial animasi Tom and

Jerry.

Anak-anak generasi 90-an di Indonesia, yang sudah menikmati televisi

pada jamannya, bisa dikatakan tidak asing dengan serial animasi Tom and Jerry

ini. Pada jaman tersebut, serial animasi, atau yang akrab disebut dengan film

kartun, kebanyakan memang ditujukan untuk anak-anak. Tom and Jerrymemiliki

alur cerita yang tidak rumit, yang mengisahkan kehidupan tokoh Tom yang

merupakan seekor kucing dan seekor tikus bernama Jerry, yang dalam tiap

episode keduanya selalu terlibat perselisihan, hingga pertengkaran yang diwarnai

adegan kekerasan di mana-mana.

Kekerasan yang disuguhkan oleh Tom and Jerry ini tentu saja mengalami

interpretasi yang berbeda oleh penontonnya, terlebih lagi penonton Tom and Jerry

tidak hanya dari golongan anak-anak. Anak-anak adalah termasuk golongan usia

yang rentan, cenderung menyerap dan meniru semua yang dilihatnya tanpa

melalui filtrasi yang dibentuk oleh kesadaran atau nilai yang telah dipelajarinya.

Berbeda dengan remaja dan golongan dewasa yang mengalami perkembangan

secara usia dan mendapatkan pengalaman yang lebih banyak di lingkungan

sosialnya, bisa menganggap komedi yang disuguhkan oleh Tom and Jerry

terdapat kekerasan di dalamnya.

Steven J. Kirsh dalam Cartoon Violence and Aggression in Youth

mencoba membedakan antara kekerasan yang disuguhkan oleh live action

film/drama dengan yang ada di dalam film kartun. Umumnya, di dalam film aksi,

kekerasan yang tampak seringkali terasa nyata, semisal adegan orang yang sedang

merasakan rasa sakit, maupun adegan yang lebih bersifat ‘dewasa’ semacam

pemerkosaan maupun pembunuhan. Sedangkan di dalam film kartun, meski jelas

terdapat konten kekerasan, namun adegan yang ditampilkan dibuat tidak sejelas

yang ada pada film aksi ataupun drama (Kirsh, 2005: 548).

Kirsh juga mencontohkan beberapa riset yang telah dilakukan oleh

beberapa peneliti, yang kemudian memberikan kesimpulan bahwa perbedaan pada

3

usia atau tingkat kedewasaan secara umur, mempengaruhi pemahaman awal

mengenai konten kekerasan yang terdapat dalam film kartun.

For instance, Snow (1974) had youth evaluate cartoons, live-action dramas, and news footage of the Vietnam War for presence of violence. Violent elements in cartoons were consistenly overlooked, with only 27% of 4- to 8-year-old and mere 16% of 9- to 12-year olds correctly identifying that the cartoon (i.e Roadrunner) they had just watched contained violence. In comparison, nearly 70% of youth in Snow’s sample classified the television Western Gunsmoke as containing violance. Reagardless of age, all children correctly identified news clips of the Vietnam War as containing violent imagery. (Kirsh, 2012:161).

Selain dari penelitian yang dilakukan Snow, Kirsh dalam bukunya juga

mencontohkan penelitian yang dilakukan oleh Haynes sebagai perbandingan dari

penelitian yang telah dilakukan Snow dalam kekerasan yang terkandung dalam

tayangan televisi.

In contrast, in an investigation of 5th and 6th grade boys and girls Haynes (1978) found that cartoons with comedic elements were perceived as more violent than cartoon without comedic elements, eventhough both cartoons contained the same amount of violence. (Kirsh, 2012:161).

Pada awalnya, Tom and Jerry tidak banyak menarik perhatian karena

hanya sebuah film kartun yang jamak ditemukan pada siaran televisi nasional.

Namun teguran KPI terhadap tiga stasiun televisi yang menayangkan Tom and

Jerry (ANTV, RCTI dan Global TV) karena kandungan kekerasan yang terdapat

dalam episode menimbulkan beberapa pertanyaan.

Dalam studi audiens, penelitian mengenai khalayak umumnya bertujuan

untuk mengkonstruksi, menempatkan, dan mengidentifikasi entitas-entitas sosial

yang jelas, berubah-rubah maupun yang tidak diketahui (Allor, 1988 dalam

McQuail, 2005 : 401). Pendekatan menggunakan tradisi kultural dalam penelitian

audiens menekankan pada penggunaan media sebagai refleksi dari konteks sosio

kultural tertentu dan pengalaman dalam kehidupan sehari-hari (McQuail 2005 :

404).

4

Alasan KPI untuk memberi peringatan kepada film kartun Tom and

Jerrykarena tayangan tersebut memiliki rating anak yang di mana tayangan dalam

kategori anak-anak tidak boleh mempertontonkan adegan kekerasan yang ekplisit

dan dikhawatirkan memberi dampak buruk pada psikologi anak (terarsip dalam

www.kpi.go.id/index.php/lihat-sanksi). Alasan-alasan tersebut menimbulkan

beberapa pertanyaan, bagaimana audiens memaknai pesan kekerasan sebagai

pesan yang ditampilkan oleh Tom and Jerry? Bagaimana audiens bereaksi

terhadap kekerasan yang dominan yang dipertontonkan oleh Tom and Jerry?

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana audiens memaknai adegan kekerasan sebagai pesan dominan

dalam serial animasi Tom and Jerry?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap bagaimana audiens

memberikan pemaknaan atau melakukan decoding terhadap pesan kekerasan yang

terdapat pada serial animasi Tom and Jerry.

1.4 Manfaat Penelitian

a. Peneliti dapat mengetahui bagaimana audiens memaknai pesan kekerasan

yang terkandung Tom and Jerry.

b. Penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu referensi untuk

melakukan penelitian berbasis analisis resepsi.

c. Penelitian ini dapat digunakan sebagai sarana untuk membaca khalayak

dalam memaknai pesan yang diproduksi oleh media massa (tayangan

televisi).

5

1.5 Kerangka Pemikiran

1.5.1 Analisis Resepsi dan Model Encoding-Decoding Stuart Hall

Studi mengenai hubungan yang terjadi antara media dan khalayak

(pembaca,pemirsa, pengguna internet) menjadi perhatian utama antara industri

media, akademisi, maupun pemerhati media dan masalah sosial. Media mampu

menjadi stimulus individu untuk menikmati sajian pesan atau program yang

ditampilkan. Isi media mampu menjadi wacana perbincangan (penerimaan

khalayak) yang menarik apabila dikaitkan dengan konteks budaya, misalnya efek

dramatisasi visual yang ditimbulkan, pemirsa mampu mengkonstruksi makna

sesuai dengan teks dan konteks.

Salah satu standar untuk mengukur khalayak media adalah menggunakan

reception analysis (analisis resepsi), di mana analisis ini mencoba memberikan

sebuah makna atas pemahaman teks media (cetak, elektronik, internet) dengan

memahami bagaimana karakter teks media dibaca oleh khalayak. Individu yang

menganalisis media melalui kajian resepsi memfokuskan pada pengalaman dan

pemirsaan khalayak (penonton/pembaca), serta bagaimana makna diciptakan

melalui pengalaman tersebut.

Konsep teoritik terpenting dari analisis resepsi adalah bahwa teks media

penonton/pembaca atau program televisi bukanlah makna yang melekat pada teks

media tersebut, tetapi makna diciptakan dalam interaksinya antara khalayak

(penonton/ pembaca) dan teks. Dengan kata lain, makna diciptakan karena

menonton atau membaca dan memproses teks media.

Secara metodologi, analisis resepsi termasuk dalam paradigma

konstruktivis interpretif. Neuman menjelaskan,

...is the systematic analysis of socially meaningful action through the direct detailed observation of people in natural settings in order to arrive at understandings and interpretations of how people create and maintain their worlds”. (Neuman, 2000:71)

Artinya paradigma interpretif dalam konteks penelitian sosial digunakan

untuk melakukan interpretasi dan memahami alasan-alasan dari para pelaku

terhadap tindakan sosial yang mereka lakukan, yaitu cara-cara dari para pelaku

6

untuk mengkonstruksikan kehidupan mereka dan makna yang mereka berikan

kepada kehidupan tersebut.

Argumen tersebut dikembangkan dalam framework studi qualitative

empirical reception, yang mana selama dekade lampau telah mempunyai

kontribusi secara signifikan pada konvergensi antara tradisi penelitian ilmu sosial

dan humanistik, yang diartikulasikan kembali dalam batasan pemaknaan atau

penerimaan subyektifitas individu dan aktivitas sosial.

Analisis resepsi bukanlah hanya sekedar apa yang lakukan kepada

khalayaknya, atau bahkan apa yang khalayak lakukan pada media. Tetapi, pada

bagaimana media dan khalayak berinteraksi satu sama lain sebagai agen. Dalam

terminologi semiotika Saussure (1857-1913) merupakan ilmu yang mempelajari

the life of signs within society (Saussure, 1959 :16). Maknanya adalah dalam

pendekatan Semiotik komunikasi dilihat sebagai a mutual negotiation of meaning

lebih daripada hanya sekedar pengiriman pesan linear dari pengirim ke penerima.

Analisis Resepsi merujuk pada sebuah komparasi antara analisis tekstual

wacana media dan wacana khalayak, yang hasil interpretasinya merujuk pada

konteks, seperti cultural setting dan context atas isi media lain (Jensen, 2003 :

139). Khalayak dilihat sebagai bagian dari interpretive communitive yang selalu

aktif dalam mempersepsi pesan dan memproduksi makna, tidak hanya sekedar

menjadi individu pasif yang hanya menerima saja makna yang diproduksi oleh

media massa (McQuail,1997:19). Analisis resepsi merupakan studi yang

mendalam terhadap proses aktual di mana wacana dalam media diasimilasikan

kedalam wacana dan praktik-praktik budaya khalayak.

Menurut McQuail (1997), analisis resepsi menekankan pada penggunaan

media sebagai refleksi dari konteks sosial budaya dan sebagai proses dari pemberian

makna melalui persepsi khalayak atas pengalamannya. Penelitian resepsi

mendasarkan pada kesadaran atau cara subyek dalam memahami obyek dan peristiwa

dengan pengalaman individu. Analisis resepsi dapat melihat mengapa khalayak

memaknai sesuatu secara berbeda, faktor-faktor psikologis dan sosial apa yang

mempengaruhi perbedaan tersebut, dan konsekuensi sosial apakah yang muncul.

7

Analisis resepsi merujuk pada sebuah komparasi antara analisis tekstual

wacana media dan wacana khalayak, yang hasil interpretasinya merujuk pada

konteks, seperti cultural setting dan context atas isi media lain. Khalayak dilihat

sebagai bagian dari interpretive communitive yang selalu aktif dalam mempersepsi

pesan dan memproduksi makna, tidak hanya sekedar menjadi individu pasif yang

hanya menerima saja makna yang diproduksi oleh media massa. Pendekatan ini

mencoba untuk membuka dan menguraikan pemahaman individu secara nyata, apa

yang telah mereka alami dan rasakan.

Analisis resepsi dapat berarti sebagai analisis perbandingan tekstual dari

sudut pandang media dengan sudut pandang audiens yang menghasilkan suatu

pengertian tegas pada suatu konteks. Pembaca/pemirsa belum tentu melakukan

pembacaan sesuai apa yang diinginkan oleh pembuat teks atau dengan kata lain

khalayak melakukan interpretasi makna yang terdapat di dalam teks secara aktif.

Ratna (2008:165) mengemukakan secara definitif resepsi berasal dari

kata “recipere” (Latin), “reception” (Inggris) yang berarti penerimaan atau

penyambutan. Selanjutnya, Endraswara (2003: 118) mengemukakan bahwa

resepsi berarti penerimaan atau penikmatan sebuah teks oleh pembaca. Resepsi

merupakan aliran yang meneliti teks dengan bertitik tolak kepada pembaca yang

memberi reaksi atau tanggapan terhadap teks itu. Dalam bahasa Inggris dapat

disamakan dengan kata “perception” yang berarti tanggapan daya memahami atau

menanggapi. Dari istilah studi sastra, resepsi didefinisikan sebagai pengolahan

teks atau cara-cara pemberian makna (tanggapan) terhadap karya sastra sehingga

dapat memberikan respons terhadapnya.

Teori resepsi sastra ini kemudian diadopsi oleh teori komunikasi.

Analisis dengan teori resepsi biasanya masuk dalam pembahasan studi pembaca,

yang termasuk di dalamnya motivasi pembaca dalam memilih/menerima pesan

media/buku (Vivian, 2008: 438). Jika mengikuti tipologi Fiske (2006: 8 – 9)

mengenai aliran dalam kajian isi komunikasi, yang membagi menjadi dua : aliran

transmisi dan aliran produksi, dan pertukaran makna, maka analisis resepsi ini

dapat dimasukan dalam aliran yang kedua. Oleh karena itu, resepsi dipahami

dalam penelitian ini sebagaimana yang dikonsepkan dalam teori komunikasi

8

massa, yang mengadopsi teori resepsi sastra, yakni penerimaan/tanggapan

pembaca terhadap sebuah teks.

Pada awal perkembangannya, penelitian media massa hanya fokus

kepada analisis interpretasi makna. Pendekatan yang digunakan ialah metode

analisis isi sebagaimana penelitian isi koran yang dilakukan oleh Max Weber pada

tahun 1910 (Weber dalam Neuman, 1999: 293). Metode ini mengungkapkan isi

teks secara objektif sehingga hasil penelitiannya “replicable” atau dapat

dibuktikan oleh peneliti berikutnya dengan hasil yang sama (Kripendorrf, 1993:

14). Selain itu, sistematika penyampaian pesan pada awalnya digambarkan satu

arah atau secara linear.

Dengan kata lain, pengirim pesan (sender) diposisikan sebagai sumber

yang mutlak dan bertanggung jawab penuh atas pesan yang diciptakan (message).

Kemudian, proses distribusi pesan ini dianggap selesai ketika sampai kepada

penerima pesan (reciever). Pada kenyataanya, pola persebaran pesan seperti di

atas menuai kritik karena dianggap terlalu menekankan pada isi pesan tanpa

memperhatikan keterkaiatan yang cukup kompleks antara pengirim pesan, pesan

itu sendiri, dan penerima pesan. Dalam hal ini, pengirim pesan seolah-olah

memposisikan penerima pesan sebagai objek yang pasif. Hal ini berdasarkan

kepada asumsi bahwa pesan yang diciptakan akan secara menyeluruh dapat

diterima dan diserap oleh setiap penerima pesan sebagai target akhir. Padahal

menurut Elliot, penonton berperan sebagai penerima pesan (reciever) sekaligus

sumber (source) dalam distribusi pesan di televisi (dalam During, 1993: 92).

Sebagai solusi dari masalah di atas, tulisan Stuart Hall (1973) yang

berjudul “Encoding and Decoding Television Discourse” membawa pembaharuan

dalam bidang ini. Pada dasarnya, Hall berangkat dari konsep linear satu arah yang

kemudian ia kembangkan menjadi sebuah pola yang lebih dinamis dengan

memperhitungkan peranan semua pihak yang terkait dalam proses produksi dan

penyebaran pesan. Ia menawarkan empat tahapan dalam teori komunikasi,

produksi, sirkulasi, penggunaan (atau yang disebut dengan distribusi atau

konsumsi) dan reproduksi (During, 1993: 90). Dalam memaknai konsep Hall

tersebut, During menambahkan bahwa satu tahap mempengaruhi tahap

9

selanjutnya dan pesan yang diciptakan akan secara tersirat terbawa sampai akhir

produksi. Namun demikian, tahapan-tahapan bersifat independen karena dapat

dianalisis secara terpisah. Storey (1996) menyederhanakan konsep Hall menjadi

tiga bagian, dengan menggabungkan tahap ketiga dan keempat. Ketiga tahapan

tersebut dijelaskan dengan mengacu pada diagram persebaran makna milik Hall

seperti berikut:

Tahap pertama ialah proses produksi sebuah wacana, dalam hal ini

tayangan televisi. Salah satu alasan mendasar yang memicu terjadinya sebuah

produksi antara lain adanya kepentingan institusi terkait dan atau permintaan

pasar untuk menayangkan program yang baru di televisi. Proses ini dilakukan oleh

instansi media tertentu yang tergabung dalam sebuah lembaga profesional,

misalnya satu tim produksi dari sebuah stasiun televisi. Pada tahap ini, pengirim

pesan merencanakan dan memilih ide, nilai, serta fenomena sosial apa yang akan

ditampilkan kedalam tayangan. Maka, dari proses inilah siklus distribusi makna

dimulai. Selanjutnya, Hall menjelaskan aturan-aturan yang membatasi proses ini.

[the moment of media production] is framed throughout by meanings and ideas: knowledge in use concerning the routines of production, historically defined technical skills, professional ideologies, institutional knowledge, definitions and assumptions, assumptions about the audience and so on frame the constitution of the programme through this production structure. (dalam Storey, 1996:10).

Dari penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa sebuah proses produksi

dilakukan secara diskursif atau terbatas pada nilai-nilai tertentu. Adapun faktor

yang membatasinya terdiri dari faktor internal dan eksternal. Faktor internal

technical infrastructure

relations of productions

frameworks of knowledge

technical infrastructure

relations of productions

frameworks of knowledge

meaning structures 1

meaning structures 2

encoding decoding

programme as ‘meaningful’ discourse

Figur 1. Diagram sirkulasi makna oleh Hall (1973) (dalam Storey, 1996: 10)

10

meliputi sudut pandang produsen dalam melihat fenomena sosial sebagai bentuk

aplikasi dari ideologi yang menjadi visi dan misi. Citra atau gambaran yang

diharapkan dapat dibentuk dari tayangan yang dihasilkan. Kemudian, fasilitas

infrastruktur (teknis) serta kemampuan dan kreatifitas individu dalam proses

produksi juga sangat penting. Sementara itu, keberadaan target penonton pun turut

dipertimbangkan sebagai faktor eksternal dalam proses ini. Dengan adanya

batasan-batasan ini, maka proses produksi tayangan televisi berbeda antara satu

dan yang lainnya. Hasil akhir dari proses ini berupa pembentukan kode dari

fenomena sosial menjadi sebuah pesan atau yang disebut dengan meaning

structure 1 atau struktur rmakna 1. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa

struktur makna pada tahap ini didominasi dan dimaknai dari sudut pandang

produsen sebagai pencipta dan pengirim pesan.

Tahap selanjutnya ialah penyampaian pesan yang sudah dikemas dalam

bentuk sebuah tayangan atau program. Dengan kata lain, program tersebut

merupakan realisasi dari rancangan ide yang telah diproses sebelumnya. Melalui

medium inilah penonton memiliki akses untuk memaknai pesan yang dikirimkan.

Maka, penonton tidak secara langsung menerima struktur makna 1 dari produsen

melainkan dari tayangan yang ditonton di televisi. Selain itu, pada tahap ini

eksistensi pengirim pesan tidak lagi terlihat karena bahasa dan visualisasi dalam

tayangan menjadi elemen yang sangat mendominasi. Dengan demikian, ketika

pesan ini ditayangkan interpretasi terhadap isinya bisa dipastikan menjadi sangat

beragam dan sepenuhnya bergantung pada penonton sebagai penerima pesan.

Tahapan yang terakhir ialah saat di mana penonton berusaha memaknai

isi tayangan dengan membongkar kode-kode dari tayangan yang disaksikan. Sama

halnya dengan proses produksi, proses pembongkaran kode ini juga meliputi

beberapa proses dan dipengaruhi oleh latar belakang penonton. Sebagai contoh,

interpretasi yang berbeda antara beberapa orang penonton terhadap film yang

sama dapat disebabkan karena adanya perbedaan pengalaman tentang suatu

peristiwa. Pesan yang berhasil ditangkap dari sudut pandang penonton ini disebut

oleh Hall sebagai meaning structure 2 atau struktur makna 2. Praktek nyata atau

aplikasi pesan yang berhasil ditangkap oleh penonton merupakan bentuk

11

reproduksi dari sebuah produksi. Dengan kata lain, proses produksi yang bermula

dari visualisasi nilai kehidupan sosial kembali diproduksi dalam kehidupan sosial

pula. Berbeda dengan konsep linear yang satu arah, sirkulasi makna milik Hall

disebut juga sebagai rantai komunikasi karena proses produksi dan distribusi

pesan terus berputar secara sirkular.

Dari diagram diatas, makna yang dirancang dalam struktur makna 1 tidak

otomatis identik dengan makna yang ditangkap penonton dalam struktur makna 2.

Hal ini seperti yang dikatakan oleh Hall,

The codes of encoding and decoding may not be perfectly symmetrical

(dalam During, 1993: 93).

Pada kenyataannya, instansi profesional tentu saja mengharapkan

penonton dapat mengerti pesan yang diciptakan secara menyeluruh dan

menerimanya dengan baik.

Sebagai contoh, media berusaha meyakinkan penonton melalui sebuah

iklan agar produk tersebut laris di pasaran. Namun demikian, tidak ada jaminan

mengenai resepsi penonton yang akan dihasilkan dari sebuah produksi.

Perbedaan kedua makna tersebut sering kali diartikan sebagai sebuah

kesalahpahaman. Hall melihat fenomena ini dari sudut pandang yang berbeda,

What they [the broadcasters] really mean to say is that viewers are

not operating within the ‘dominant’ or ‘preferred’ code. (dalam Storey,

1996: 12).

Yang dimaksud dengan “dominant code” atau kode dominan dan

“preferredcode” atau kode pilihan adalah acuan terhadap pengetahuan atau

kebiasaan universal sebagai bagian dari budaya yang dipahami oleh kebanyakan

masyarakat.

Dalam sebuah tayangan, kedua kode di atas disebut juga sebagai kode

profesional karena di dalamnya mengandung dominasi dan ideologi institusional

pengirim pesan. Ketika penonton tidak mampu mengerti kode-kode tersebut

dalam sebuah tayangan, mereka seringkali dianggap salah. Hall tidak menyangkal

bahwa kesalahpahaman ini mungkin saja terjadi, namun ia berpendapat bahwa hal

ini perlu dimaknai secara tersendiri. Hal ini memicu pentingnya penelitian

12

mengenai resepsi penonton karena hal tersebut tidak bisa disamaratakan. Dalam

hal ini, ia memberikan kontribusi yang signifikan bagi pendekatan analisis media

massa, yakni penelitian dari segi penonton.

1.5.2 Khalayak dalam Analisis Resepsi

Riset khalayak menurut Stuart Hall (1973) seperti dikutip Baran (2003

:269) mempunyai perhatian langsung terhadap : (a) analisis dalam konteks sosial

dan politik di mana isi media diproduksi (encoding); dan (b) konsumsi isi media

(decoding) dalam konteks kehidupan sehari-hari. Analisis resepsi memfokuskan

pada perhatian individu dalam proses komunikasi massa (decoding), yaitu pada

proses pemaknaan dan pemahaman yang mendalam atas media texts, dan

bagaimana individu menginterpretasikan isi media (Baran, 2003 : 269-270). Hal

tersebut bisa diartikan individu secara aktif menginterpretasikan teks media

dengan cara memberikan makna atas pemahaman pengalamannya sesuai apa yang

dilihatnya dalam kehidupan sehari-hari (verstehen atau understanding).

Interpretasi didefinisikan sebagai kondisi aktif seseorang dalam proses berpikir

dan kegiatan kreatif pencarian makna (Littlejohn, 1999: 199). Sementara makna

pesan media tidaklah permanen, makna dikonstruksi oleh khalayak melalui

komitmen dengan teks media dalam kegiatan rutin interpretasinya. Artinya,

khalayak adalah aktif dalam menginterpretasi dan memaknai teks media.

Sementara menurut Lorimer (1994 : 170) melihat pada bagaimana

audiens merasakan (make sense) media sebagai sebuah produk budaya dan

bagaimana interpretasi atas apa yang mereka baca, lihat dan dengar. Proses

interpretasi terjadi apabila media mampu memberikan makna tersendiri atas ritual

konsumsi media yang dilakukan setiap harinya, dalam konteks sosialnya.

Konsumsi isi media mampu berbagi pengalaman antara seseorang dengan orang

lain melalui tahapan penggunaan media (contexts of media use), dengan

interpretasi secara introspeksi, retrospeksi (persepsi), dan pernyataan verbal

seseorang atas kegiatannya mengkonsumsi media. Tahapan decoding yaitu pada

proses memproduksi makna dan membagikan kepada orang lain. Dalam konteks

sosial, konsumsi media cenderung mengkonseptualisasikan media sebagai

13

representasi daripada sebagai sumber informasi. Media terintegrasi kedalam

kehidupan sosial seseorang setiap harinya (Jensen, 1991 : 161-163). Media adalah

bagian kehidupan sosial manusia, dan manusia terhubung dengan media dalam

nila-nilai sosial masing-masing.

Kelahiran penelitian resepsi dalam ranah penelitian komunikasi massa

kembali pada encoding dan decoding Stuart Hall (1974) dalam wacana televisi.

Penelitian resepsi dalam studi media adalah terkait dengan kajian budaya dan

Birmingham Centre, meskipun kemudian menunjukkan bahwa teori resepsi

memiliki akar lainnya (Alaasutari, 1999: 2). Kegiatan penerimaan pesan diawali

dengan proses decoding yang merupakan kegiatan yang berlawanan dengan

proses encoding. Decoding adalah kegiatan untuk menerjemahkan atau

menginterpretasikan pesan-pesan fisik ke dalam suatu bentuk yang memiliki arti

bagi penerima (Morissan, 2013: 21).

Menurut Stuart Hall, khalayak melakukan decoding terhadap pesan

media melalui tiga kemungkinan posisi, yaitu:

1. Posisi Hegemoni Dominan, yaitu situasi di mana khalayak menerima

pesan yang disampaikan oleh media. Ini adalah situasi di mana media

menyampaikan pesannya dengan menggunakan kode budaya dominan dalam

masyarakat. Dengan kata lain, baik media dan khalayak sama-sama menggunakan

budaya dominan yang berlaku. Media harus memastikan bahwa pesan yang

diproduksinya harus sesuai dengan budaya dominan yang ada dalam masyarakat.

Jika misalnya khalayak menginterpretasikan pesan iklan di media melalui cara-

cara yang dikehendaki media maka media, pesan, dan khalayak sama-sama

menggunakan ideologi dominan. Penonton yang termasuk dalam klasifikasi ini

memahami isi pesan secara apa adanya. Dengan kata lain, penonton sejalan

dengan kode dominan yang dari awal berusaha dibangun oleh pengirim pesan. Hal

ini merupakan contoh dari bentuk ideal peyampaian pesan yang transparan karena

respon penonton dianggap sesuai dengan harapan pengirim pesan yang sering kali

diartikulasikan melalui professional code (kode profesional).

2. Posisi Negosiasi, yaitu posisi di mana khalayak secara umum menerima

ideologi dominan namun menolak penerapannya dalam kasus-kasus tertentu

14

(sebagaimana dikemukakan Stuart Hall: the audience assimilates the leading

ideology in general but opposes its application in specific case). Dalam hal ini,

khalayak bersedia menerima ideologi dominan yang bersifat umum, namun

mereka akan melakukan beberapa pengecualian dalam penerapannya yang

disesuaikan dengan aturan budaya setempat. Posisi ini merupakan posisi

kombinasi. Pada satu sisi, penonton mampu menangkap kode dominan yang ada

di dalam teks (tayangan televisi) sebagai sebuah abstraksi yang terkandung

(global). Namun demikian di saat yang bersamaan, penonton juga melakukan

penolakan dengan menyeleksi mana yang cocok atau tidak untuk diadaptasikan ke

dalam konteks yang lebih terbatas (lokal). Dengan kata lain, penonton tidak

menerima mentah-mentah pesan yang ada. Storey (1996) menambahakan bahwa

secara umum mayoritas penonton berada dalam posisi ini.

3. Posisi Oposisi, Cara terakhir yang dilakukan khalayak dalam melakukan

decoding terhadap pesan media adalah melalui oposisi yang terjadi ketika

khalayak audiensi yang kritis mengganti atau mengubah pesan atau kode yang

disampaikan media dengan pesan atau kode alternatif. Audiensi menolak makna

pesan yang dimaksudkan atau disukai media dan menggantikannya dengan cara

berpikir mereka sendiri terhadap topik yang disampaikan media. Sama halnya

dengan penonton dalam posisi negosiasi, dalam hal ini penonton juga mengerti

benar makna denotatif dan konotatif sebagai abstraksi dari pesan yang dibuat,

tetapi sikap yang mereka tunjukkan justru bertolakbelakang dengan isi pesan.

Dengan kata lain, dalam posisi ini terlihat adanya bentuk keberatan terhadap kode

dominan karena adanya acuan alternatif yang dianggap lebih relevan.

Stuart Hall menerima fakta bahwa media membingkai pesan dengan

maksud tersembunyi yaitu untuk membujuk, namun demikian khalayak juga

memiliki kemampuan untuk menghindari diri dari kemungkinan tertelan oleh

ideologi dominan. Namun demikian sering kali pesan bujukan yang diterima

khalayak bersifat sangat halus. Para ahli teori studi kultural tidak berpandangan

khalayak mudah dibodohi media, namun seringkali khalayak tidak mengetahui

bahwa mereka telah terpengaruh dan menjadi bagian dari ideologi dominan

(Morissan, 2013: 550-551).

15

Menurut Littlejohn dan Foss, audiens dapat dibedakan menjadi audiens

pasif dan audiens aktif. Audienspasif maksudnya adalah pengertian yang

mengangap bahwa masyarakat lebih banyak dipengaruhi oleh media. Masyarakat

secara pasif menerima apa yang disampaikan media, masyarakat menerima secara

langsung apa-apa yang disampaikan oleh media. Sedangkan audiens aktif berlaku

sebaliknya, kelompok ini lebih selektif dalam menerima pesan-pesan media,

mereka juga selektif dalam memilih dan menggunakan media (Littlejohn, & Foss,

2005:333). Khalayak adalah partisipan aktif dalam membangun dan

menginterpretasikan makna atas apa yang mereka baca, dengar dan lihat sesuai

dengan konteks budaya. Isi media dipahami sebagai bagian dari sebuah proses di

mana common sense dikonstruksi melalui pembacaan yang diperoleh dari gambar

dan teks bahasa. Sementara, makna teks media bukanlah fitur yang transparan,

tetapi produk interpretasi oleh pembaca dan penonton. Asumsinya adalah,

sebelumnya media hanya menjadi penyalur informasi, maka kini ia menjadi

fasilitator, penyaring dan pemberi makna dari sebuah informasi. Media kini

bertugas untuk membawa audiensnya masuk dalam dunia makna yang lebih luas,

tidak terbatas pada tempat dan waktu kejadian sebuah peristiwa.

Konsep khalayak aktif (active audience) pada mulanya berangkat dari

Stuart Hall dalam tradisi cultural studies ketika memperkenalkan model

komunikasi encoding/decoding. Ini berisi gagasan tentang proses komunikasi di

mana gagasan/ide di-encode dalam pesan, dikirim dan diterima untuk di-decode,

yang bisa jadi ide yang dikirimkan tadi tidak dipahami secara identik dengan yang

mengirim, karena makna tidaklah ada dalam pesan, melainkan bahwa pemaknaan

ditentukan oleh faktor seperti konteks, tujuan, ideologi, kepentingan atau bahkan

juga media yang digunakan. Di situlah muncul bahwa khalayak tidaklah pasif,

tapi aktif karena berhak menentukan sendiri makna dan refleksi pengalamannya

terhadap teks yang dikonsumsinya.

Dalam kajian yang dilakukan oleh Frank Biocca dalam artikelnya yang

berjudul ”Opposing Conceptions of the Audience : The Active and Passive

Hemispheres of Communication Theory” (1998), yang kemudian diakui menjadi

tulisan paling komprehensif mengenai perdebatan tentang khalayak aktif versus

16

khalayak pasif, ditemukan beberapa tipologi dari khalayak aktif (Junaedi,

2007:82-83).

1. Selektifitas (selectivity)

Khalayak aktif dianggap selektif dalam proses konsumsi media yang mereka

pilih untuk digunakan. Mereka tidak asal-asalan dalam mengkonsumsi media,

namun didasari alasan dan tujuan tertentu.

2. Utilitarianisme (utilitarianism)

Di mana khalayak aktif dikatakan mengkonsumsi media dalam rangka suatu

kepentingan untuk memenuhi kebutuhan dan tujuan tertentu yang mereka

miliki.

3. Intensionalitas atau Intentionality

Mengandung makna penggunaan secara sengaja dari isi media.

4. Involvement atau Keikutsertaan

Khalayak secara aktif berfikir mengenai alasan mereka dalam mengkonsumsi

media.

5. Khalayak aktif dipercaya sebagai komunitas yang tahan dalam menghadapi

pengaruh media atau tidak mudah dibujuk oleh media itu sendiri.

Khalayak yang lebih terdidik (educated people) cenderung menjadi bagian dari

khalayak aktif, karena mereka lebih bisa memilih media yang mereka

konsumsi sesuai kebutuhan mereka dibandingkan khalayak yang tidak terdidik.

1.5.3 Serial Animasi Tom and Jerry

Sebuah film secara kuat menggambarkan dampak media massa pada

masyarakat yang lebihluas. Tom and Jerry adalah sebuah serial animasi Amerika

Serikat hasil produksi MGM yang bercerita tentang seekor kucing (Tom) dan

seekor tikus (Jerry) yang selalu bertengkar. Seri animasi ini telah memenangkan

penghargaan Academy Award (Piala Oscar) dan membentuk dasar dari seri sukses

studio Metro Goldwyn Mayer (MGM). Cerita pendek mereka ini diciptakan,

ditulis dan disutradarai oleh dua orang animator bernama William Hanna dan

Joseph Barbera (mereka kemudian terkenal sebagai Hanna-Barbera). Seri animasi

ini diproduksi oleh MGM Cartoon Studio di Hollywood pada tahun 1940 hingga

17

1957 saat unit animasi studio tersebut ditutup. Pada tahun 1960, MGM

mempekerjakan Rembrandt Films (pimpinan Gene Deitch) di Eropa Timur untuk

memproduksi seri Tom and Jerry ini.

Produksi Tom and Jerry kembali ke Hollywood pada tahun 1963,

dikerjakan oleh Sib-Tower 12 Productions pimpinan Chuck Jones. Seri produksi

ini berlangsung hingga tahun 1967. Tom and Jerry muncul kembali di acara

kartun televisi hasil produksi Hanna-Barbera (1975-1977; 1990-1993) dan

Filmation Studios (1980-1982). Film animasi pendek produksi MGM karya

Hanna dan Barbera dikenal karena telah memenangkan tujuh Academy Award,

menyamai prestasi Silly Symphonies karya Walt Disney. Dua karya ini adalah

karya animasi seri yang paling banyak menerima penghargaan.

1.6 Kerangka Konsep

Setelah melalui penjabaran kerangka pemikiran sebelumnya, maka dapat

diambil sejumlah konsep yang membantu peneliti untuk menjawab rumusan

masalah dalam penelitian ini. Konsep-konsep tersebut terdiri dari : perilaku

kekerasan dalam tayangan Tom and Jerry dan decoding audiens terhadap perilaku

kekerasan dalam tayangan Tom and Jerry.

1.6.1. Perilaku Kekerasan dalam Serial Animasi Tom and Jerry

Film Tom and Jerry adalah sebuah serial animasi Amerika Serikat hasil

produksi MGM yang bercerita tentang seekor kucing (Tom) dan seekor tikus

(Jerry) yang selalu bertengkar. Serial di sini merujuk kepada bentuk (biasanya

digunakan dalam istilah dunia perfilman) untuk menunjukkan bahwa suatu produk

penyiaran tersebut memiliki episode yang berurutan. Dalam merriam webster

dictionary, serial atau series memiliki arti, a set of regularly presented television

programs each of which is complete in itself (www.merriam-

webster.com/dictionary/series). Sedangkan animasi adalah salah satu bentuk

bagaimana sebuah film diproduksi, biasanya menggunakan bantuan komputer

untuk merealisasikannya (Cinemagz Edisi 171, Oktober 2013).

18

Cerita di dalam serial animasi Tom and Jerry berpusat pada karakter Tom

& Jerry, tentang persaingan keduanya dalam kehidupan sehari-hari di manapun

mereka berada. Tom and Jerry juga termasuk dalam kategori slapstick comedy.

Slapstick comedy adalah komedi yang menggunakan bentuk kekerasan sebagai

bahan utama leluconnya dan seringkali unsur kekerasan yang ditampilkan

melebihi batas wajar atau akal sehat. Ini terlihat dalam setiap episode tayangan

Tom and Jerry selalu saja terjadi adegan kekerasan (pukul-memukul, menendang,

dan sebagainya).

Beberapa bentuk kekerasan yang terjadi bersifat fisik yaitu memukulkan

kepala berkali-kali ke plang besi, adegan anjing memukul tubuh kucing dan

kepalanya dengan balok kayu, serta terdapat adegan saling mencekik, adegan

ketika seekor tikus kecil yang membawa kapak dan mengayunkan pada tokoh

Tom untuk memotong ekornya hingga putus. Kemudian dia juga memotong

bagian atas kepala Tom hingga bulu kepalanya terpotong. Sedangkan kekerasan

yang besifat verbal yaitu mengumpat, mencaci maki dan mengintimidasi.

Atmasasmita (2008:55) mendefinisikan kekerasan sebagai tindakan yang

membawa kekuatan untuk melakukan paksaan atau pun tekanan berupa fisik

maupun non fisik. Schneiders (2006:10) mendefinisikan agresi sebagai suatu

bentuk respon yang mencari pengurangan ketegangan dan frustasi melalui

perilaku yang banyak menuntut, memaksa dan menguasai orang lain.

Para ahli menggolongkan dua aspek perilaku kekerasan yaitu (Videbeck,

2008:9):

1. Aspek fisik, termasuk melemparkan sesuatu, menghentakkan kaki, mendorong,

mencekik, menyerobot, menampar, menendang, menghajar, meninju dan

serangan dengan menggunakan suatu obyek, seperti senjata tajam.

2. Aspek verbal, termasuk menolak berbicara, berteriak, menjerit, mengutuk,

menghina, mencaci maki, memfitnah dan menyebar gosip.

19

1.6.2. DecodingAudiens terhadap Perilaku Kekerasan dalam Serial

AnimasiTom and Jerry.

Penelitian ini mengenai studi khalayak, secara spesifik tentang audiens

yang menonton televisi program animasi kartun film Tom and Jerry. Sedangkan

hal yang yang ingin diteliti adalah mengenai resepsi audiens terhadap pesan

kekerasan dalam tayangan Tom and Jerry. Analisis konsep ini menggunakan

analisis resepsi; karena dalam studi analisis resepsi, audiens merupakan entitas

yang aktif dalam membangun dan menginterpretasikan makna atas apa yang

mereka baca, lihat, dan dengar sesuai dengan latar belakang dan faktor psikologi,

sejarah, sosial, politik dan budaya tertentu serta bingkai referensi (frame of

reference) dan bidang pengalaman (field of experience). Resepsi oleh audiens

dalam tayangan film Tom and Jerry mengacu pada segala bentuk proses decoding,

interpretasi, pemahaman, opini, dan pandangan dari pesan yang diterimanya.

1.7 Metodologi Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif, yang artinya penelitian ini dibuat hanya

untuk menggambarkan situasi atau peristiwa (Rakhmat, 1984:34). Menggunakan

pendekatan kualitatif, karena dengan pendekatan kualitatif hasil penelitian yang

didapatkan tidak dilakukan melalui perhitungan, maupun bukan dalam bentuk

hasil statistik (Strauss & Corbin, 2007:4). Sedangkan menurut Jensen (1991:136),

analisis resepsi dipakai sebagai metode untuk mengetahui bagaimana resepsi

audiens terhadap pesan yang terkandung di dalam sebuah media yang

dikonsumsinya. Dalam penelitian ini, analisis resepsi digunakan untuk melihat

bagaimana resepsi audiens terhadap pesan kekerasan yang terkandung di dalam

tayangan serial animasi Tom and Jerry.

1.7.1 Subjek dan Lokasi Penelitian

Meski tayangan Tom and Jerry di Indonesia memiliki rating A (anak)

menurut KPI, pada kenyataannya penonton Tom and Jerry tidak hanya berasal

dari golongan anak-anak. Dalam penelitian ini, akan dipilih subjek penelitian atau

informan yang memiliki kedekatan dengan teks, dalam hal ini serial animasi Tom

20

and Jerry. Dengan kata lain, informan yang dipilih adalah yang menonton serial

animasi Tom and Jerry di televisi.

1.7.2 Teknik Pengumpulan Data

1. Observasi Partisipan

Dalam observasi partisipan, peneliti turut serta melakukan apa yang

dikerjakan oleh subjek penelitian, mengamati segala yang dilakukan subjek, dan

kemudian melakukan analisis. Hal ini dilakukan ketika subjek melakukan

aktivitas menonton serial animasi Tom and Jerry, apakah mereka melakukan

imitasi tingkah laku tokoh, melakukan pendampingan, maupun mengalami

pelarangan menonton dari orang yang lebih tua dari subjek.

2. Wawancara

Wawancara dilakukan untuk mengetahui apa yang ada dalam pikiran

subjek ketika mereka menonton tayangan serial animasi Tom and Jerry. Dengan

menyodorkan berbagai pertanyaan yang sudah disesuaikan dengan aspek-aspek

yang perlu diteliti, peneliti akan mendapatkan data penelitian sesuai dengan

panduan wawancara yang telah dibuat.

3. Studi Pustaka

Studi pustaka diperlukan untuk memperkuat peneliti mengukur resepsi

pesan yang dilakukan subjek penelitian terhadap tayangan serial animasi Tom and

Jerry. Studi pustaka bisa bersumber dari penelitian yang telah dilakukan, jurnal,

maupun buku yang bersifat menunjang penelitian ini.

1.7.3 Teknik Analisis Data

Mengacu pada jenis data penelitian ini, yakni data kualitatif, maka

analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan analisis kualitatif. Teknik

kualitatif digunakan untuk menganalisis data yang diperoleh melalui hasil

dokumentasi lembar saran dan pendapat responden. Analisis data kualitatif berupa

21

analisis deskriptif. Penelitian deskriptif biasanya mempunyai dua tujuan, yang

pertama adalah mengetahui perkembangan fisik tertentu atau frekuensi

tersedianya suatu aspek fenomena sosial tertentu. Yang kedua adalah untuk

mendeskripsikan secara terperinci fenomena sosial tertentu.

Adapun langkah-langkah analisis data yang digunakan untuk

menganalisa masalah yang hendak diungkap yakni dengan menggunakan model

interaktif yang dikembangkan oleh Miles dan Huberman (2009: 20) sebagai

berikut:

a. Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dari pengamatan atau observasi dan dokumentasi

dicatat dalam catatan lapangan, yang terdiri dari dua bagian, yaitu: pertama,

catatan kasus yang merupakan catatan tentang apa yang diamati, didengar,

dilihat dan dialami sendiri oleh peneliti secara alami atau apa adanya dari

lapangan tanpa ada pendapat atau tafsiran dari peneliti. Kedua, catatan reflektif

yang merupakan catatan yang berisi kesan, komentar, pendapat, saran dan

tafsiran peneliti tentang fenomena yang baru saja dijumpai, dalam catatan

refleksi, peneliti mulai melakukan penarikan kesimpulan awal bersifat

sementara dan baru pada data secara sendiri-sendiri. Di samping itu dalam

catatan lapangan dibuat rencana untuk kegiatan pengumpulan data pada tahap

berikutnya

b. Reduksi Data

Data yang dicatat dalam catatan lapangan yang jumlahnya banyak akan

mempersulit penarikan kesimpulan, maka perlu dipersingkat, dirangkum dan

dipilih data yang penting dan berkaitan langsung dengan pokok persoalan.

Kegiatan ini disebut reduksi data.

c. Sajian Data

Data yang telah direduksi, perlu disajikan dalam bentuk tulisan yang

disusun secara sistematik, atau dibuat matrik, grafik, atau tabel supaya nudah

dilihat dan dipahami hubungannya antara satu data dengan yang lainnya,

sehingga memudahkan kesimpulan

22

d. Penarikan Kesimpulan

Penarikan kesimpulan dilakukan selama penelitian berlangsung. Data yang

diperoleh sejak awal penelitian sudah mulai ditafsirkan dan diambil

kesimpulannya. Ketika data masih sedikit jumlahnya, kesimpulan yang ditarik

masih belum jelas, makin banyak data yang didapat, maka kesimpulan akan

makin jelas. Apabila kesimpulan dirasa masih kurang mantap, makan peneliti

perlu kembali mengumpulkan data di lapangan. Keempat komponen tersebut

berinteraksi satu sama lain dan merupakan siklus dan dapat digambarkan

sebagai berikut:

Figur 2.

Bagan siklus analisis interaktif model Miles & Huberman (2009:20)

Pengumpulan Data (Data collection)

Penyajian Data (Data display)

Reduksi Data (Data reduktion)

Kesimpulan: Penarikan / Verifikasi