bab i pendahuluan 1.1 latar belakang - sinta.unud.ac.id i.pdfdisebut uujn), menyebutkan bahwa...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Peranan hukum dalam mengatur kehidupan masyarakat sudah dikenal
sejak masyarakat mengenal hukum itu sendiri, sebab hukum itu dibuat untuk
mengatur kehidupan manusia sebagai makhluk sosial. Hubungan antara
masyarakat dan hukum diungkapkan dengan sebuah adigium yang sangat terkenal
dalam ilmu hukum yaitu: ubi societas ibi ius (dimana ada masyarakat di sana ada
hukum).1
Negara Republik Indonesia merupakan suatu negara hukum dimana
kekuasaan tunduk pada hukum.2 Sebagai negara hukum, maka hukum mempunyai
kedudukan paling tinggi dalam pemerintahan, hukum adalah perlindungan
kepentingan manusia.3 Hukum mengatur segala hubungan antar individu atau
perorangan dan individu dengan kelompok atau masyarakat maupun individu
dengan pemerintah.4
Indonesia sebagai Negara hukum pasti membutuhkan para professional
hukum yang handal. Professional hukum di Indonesia harus mampu memiliki
keahlian yang berkeilmuan di bidangnya, sehingga mampu secara mandiri
1Satjipto Rahardjo, 1983, Masalah Penegakan Hukum (selanjutnya disebut Satjipto
Rahardjo I), Sinar Baru, Bandung, hal. 127. 2Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta, 2000, Pengantar Ilmu Hukum Suatu
Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum Buku I, Alumni, Bandung, hal. 43. 3Sudikno Mertokusumo, 2003, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta,
hal. 21. 4Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta, Op. Cit, hal. 1.
2
memenuhi kebutuhan masyarakat yang memerlukan pelayanan di bidang hukum.
Profesi hukum bukan saja menyangkut amanat kepercayaan yang menyangkut
kepentingan individu (private trust), tetapi menyangkut kepentingan umum
(public trust).5
Istilah profesi, professional dan profesionalisme sudah tidak asing lagi.
Ketika berbicara tentang profesi maka orang akan mengkaitkannya dengan
professional dan profesionalisme. Profesi sendiri memiliki arti pekerjaan yang
dilakukan sebagai kegiatan pokok untuk menghasilkan dengan mengandalkan
suatu keahlian.6 Professional dan profesionalisme sering dijadikan tuntutan
terhadap semua profesi dan jabatan diberbagai bidang pekerjaan tidak terkecuali
Jabatan Notaris.
Berdasarkan Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 juncto
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris (selanjutnya
disebut UUJN), menyebutkan bahwa notaris adalah pejabat umum yang
berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini atau berdasarkan undang-
undang lainnya. Notaris merupakan profesi yang menjalankan kekuasaan Negara
di bidang hukum privat dan mempunyai peran penting dalam membuat akta
otentik yang mempunyai kekuatan pembuktian sempurna dan oleh karena jabatan
5Suhrawardi K. Lubis, 2006, Etika Profesi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 9.
6Serian Wijatno, 2006, Pengelolaan Perguruan Tinggi Secara Efisien dan Ekonomis,
Salemba Empat, Jakarta, hal. 311.
3
Notaris merupakan jabatan kepercayaan, maka seorang Notaris harus mempunyai
perilaku yang baik.7
Kedudukan notaris dalam masyarakat masih disegani, masyarakat
membutuhkan seseorang (figur) yang dipercayai, yang tanda tangannya serta
segelnya (capnya) memberikan jaminan bukti kuat, seorang ahli yang tidak
memihak dan penasehat yang tidak ada cacatnya (onkreukbaar atau
unimpeachable), yang tutup mulut, dan membuat suatu perjanjian yang dapat
melindunginya di hari-hari yang akan datang.8
Jabatan Notaris tidak ditempatkan di lembaga pemerintahan seperti
lembaga yudikatif, eksekutif ataupun yudikatif. Notaris diharapkan memiliki
posisi netral, sehingga apabila Notaris ditempatkan di salah satu dari ketiga
lembaga pemerintahan tersebut maka Notaris tidak lagi dapat dianggap netral.
Dengan posisi netral tersebut, Notaris dapat memberikan penyuluhan hukum
untuk dan atas tindakan hukum yang dilakukan Notaris atas permintaan kliennya.
Dalam hal melakukan tindakan hukum untuk kliennya, Notaris juga tidak boleh
memihak kliennya, karena tugas Notaris ialah untuk mencegah terjadinya
permasalahan dengan para pihak.
Seorang Notaris dalam menjalankan jabatannya berada dalam pengawasan
Menteri yang dilimpahkan kepada Majelis Pengawas, pengawasan itu bertujuan
agar kewajiban, kewenangan, dan larangan yang telah ditetapkan oleh Undang-
undang (dalam hal ini Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan
7Munir Fuady, 2002, Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek (selanjutnya disebut Munir
Fuady I), Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 77. 8Tan Thong Kie, 2000, Studi Notariat dan Serba-Serbi Praktek Notaris Buku I, PT. Ichtiar
Baru Van Hoeve, Cetakan ke-2, Jakarta, hal. 162.
4
Notaris) tidak dilanggar atau disalahgunakan.9 Dalam melaksanakan tugas
jabatannya para notaris tidak hanya menjalankan pekerjaan yang diamanatkan
oleh undang-undang saja tapi juga sekaligus menjalankan suatu fungsi sosial yang
sangat penting yaitu bertanggung jawab untuk melaksanakan kepercayaan yang
diberikan masyarakat umum yang dilayaninya, seorang notaris harus berpegang
teguh kepada Kode Etik Notaris dan juga berkewajiban menegakkan Kode Etik
Notaris dan memiliki perilaku professional (professional behavior) yaitu
mempunyai integritas moral, menghindari sesuatu yang tidak baik, jujur, sopan
santun, tidak semata-mata karena pertimbangan uang dan berpegang teguh pada
kode etik profesi dimana didalamnya ditentukan segala perilaku yang harus
dimilki oleh notaris.10
Notaris sebagai pejabat publik tidak berarti sama dengan Pejabat Publik
dalam bidang pemerintahan yang dikategorikan sebagai Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara, hal ini dapat dibedakan dari produk masing-masing Pejabat Publik
tersebut. Notaris sebagai Pejabat Publik produk akhirnya berupa akta otentik,
yang terikat dalam ketentuan hukum perdata terutama dalam hukum
pembuktian.11
Notaris juga dituntut untuk memiliki nilai moral yang tinggi, karena
dengan adanya moral yang tinggi maka Notaris tidak akan menyalahgunakan
wewenang yang ada padanya, sehingga Notaris akan dapat menjaga martabatnya
9Sintia Dewi dan R.M. Fauwas Diradja, 2011, Panduan Teori & Praktik Notaris, cet.I,
Pustaka Yustisia, Yogyakarta, hal.13. 10
Abdulkadir Muhammad, 2006, Etika Profesi Hukum, Cet. 3, Citra Aditya Bakti,
Bandung, hal. 90. 11
Habib Adjie, 2008, Sanksi Perdata dan Administrasi Terhadap Notaris sebagai Pejabat
Publik (selanjutnya disingkat Habib Adjie I), Refika Aditama, Bandung, hal. 31.
5
sebagai seorang pejabat umum yang memberikan pelayanan yang sesuai dengan
aturan yang berlaku dan tidak merusak citra Notaris itu sendiri. Sebagaimana
harapan Komar Andasasmita, agar setiap Notaris mempunyai pengetahuan yang
cukup luas dan mendalam serta keterampilan sehingga merupakan andalan
masyarakat dalam merancang, menyusun dan membuat berbagai akta otentik,
sehingga susunan bahasa, teknis yuridisnya rapi, baik dan benar, karena
disamping keahlian tersebut diperlukan pula kejujuran atau ketulusan dan sifat
atau pandangan yang objektif.12
Akta Notaris lahir karena adanya keterlibatan langsung dari pihak yang
menghadap notaris, merekalah yang menjadi pemeran utama dalam pembuatan
sebuah akta sehingga tercipta sebuah akta yang otentik. Akta Notaris adalah akta
otentik yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara
yang ditetapkan dalam Undang-undang. Akta yang dibuat notaris menguraikan
secara otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang
disaksikan oleh para penghadap dan saksi-saksi.13
Dalam pembuatan akta otentik, Notaris perlu memperhatikan apa yang
disebut sebagai perilaku profesi yang memiliki unsur-unsur sebagai berikut:
a. Memiliki integritas moral yang mantap.
b. Harus jujur terhadap klien dan diri sendiri.
c. Sadar akan batas-batas kewenangannya.
12
Komar Andasasmita, 1981, Notaris Dengan Sejarah, Peranan, Tugas Kewajiban,
Rahasia Jabatannya, Sumur, Bandung, hal. 14. 13
Wawan Tunggal Alam, 2001, Hukum Bicara Kasus-kasus dalam Kehidupan Sehari-
hari, Milenia Populer, Jakarta, hal. 85.
6
d. Tidak semata-mata berdasarkan pertimbangan uang.14
Mengenai tanggungjawab Notaris sebagai Pejabat Umum yang
berhubungan dengan kebenaran materiil, dibedakan menjadi 4 (empat) poin,
yakni:
a. Tanggung jawab Notaris secara perdata terhadap kebenaran materiil dalam
akta yang dibuatnya.
b. Tanggung jawab Notaris secara pidana terhadap kebenaran materiil dalam
akta yang dibuatnya.
c. Tanggung jawab Notaris berdasarkan peraturan jabatan notaris, UUJN,
terhadap kebenaran materiil dalam akta yang dibuatnya.
d. Tanggung jawab Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya berdasarkan
kode etik notaris15
Wewenang Notaris diatur dalam Pasal 15 UUJN, sebagai berikut:
(1) Notaris berwenang membuat Akta autentik mengenai semua perbuatan,
perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-
undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk
dinyatakan dalam Akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan Akta,
menyimpan Akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan Akta, semuanya itu
sepanjang pembuatan Akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada
pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.
(2) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Notaris berwenang
pula:
a. mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di
bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
b. membukukan surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku
khusus;
14
Liliana Tedjosaputro, 1995, Etika Profesi Notaris (Dalam Penegakan Hukum Pidana)
(selanjutnya disebut dengan Liliana Tedjosaputro I), Bigraf Publishing, Yogyakarta, hal. 86. 15
Abdul Ghofur, 2009, Lembaga Kenotariatan Indonesia, UII Press Yogyakarta,
Yogyakarta, hal. 34.
7
c. membuat kopi dari asli surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat
uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang
bersangkutan;
d. melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;
e. memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan Akta;
f. membuat Akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau
g. membuat Akta risalah lelang.
(3) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Notaris
mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-
undangan.”
Notaris memiliki kewajiban-kewajiban yang diatur dalam UUJN, hal
tersebut ada pada Pasal 16, sebagai berikut:
(1) Dalam menjalankan jabatannya, Notaris wajib:
a. bertindak amanah, jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga
kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum;
b. membuat Akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya sebagai
bagian dari Protokol Notaris;
c. melekatkan surat dan dokumen serta sidik jari penghadap pada Minuta
Akta;
d. mengeluarkan Grosse Akta, Salinan Akta, atau Kutipan Akta berdasarkan
Minuta Akta;
e. memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang
ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya;
f. merahasiakan segala sesuatu mengenai Akta yang dibuatnya dan segala
keterangan yang diperoleh guna pembuatan Akta sesuai dengan
sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain;
g. menjilid Akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku yang
memuat tidak lebih dari 50 (lima puluh) Akta, dan jika jumlah Akta tidak
dapat dimuat dalam satu buku, Akta tersebut dapat dijilid menjadi lebih
dari satu buku, dan mencatat jumlah Minuta Akta, bulan, dan tahun
pembuatannya pada sampul setiap buku;
h. membuat daftar dari Akta protes terhadap tidak dibayar atau tidak
diterimanya surat berharga;
i. membuat daftar Akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan
waktu pembuatan Akta setiap bulan;
j. mengirimkan daftar Akta sebagaimana dimaksud dalam huruf i atau daftar
nihil yang berkenaan dengan wasiat ke pusat daftar wasiat pada
kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
hukum dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap bulan
berikutnya;
k. mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada setiap
akhir bulan;
8
l. mempunyai cap atau stempel yang memuat lambang negara Republik
Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan,
dan tempat kedudukan yang bersangkutan;
m. membacakan Akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling
sedikit 2 (dua) orang saksi, atau 4 (empat) orang saksi khusus untuk
pembuatan Akta wasiat di bawah tangan, dan ditandatangani pada saat itu
juga oleh penghadap, saksi, dan Notaris; dan
n. menerima magang calon Notaris.
(2) Kewajiban menyimpan Minuta Akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b tidak berlaku, dalam hal Notaris mengeluarkan Akta in originali.
(3) Akta in originali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
a. Akta pembayaran uang sewa, bunga, dan pensiun;
b. Akta penawaran pembayaran tunai;
c. Akta protes terhadap tidak dibayarnya atau tidak diterimanya surat
berharga;
d. Akta kuasa;
e. Akta keterangan kepemilikan; dan
f. Akta lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Akta in originali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dibuat lebih dari
1 (satu) rangkap, ditandatangani pada waktu, bentuk, dan isi yang sama,
dengan ketentuan pada setiap Akta tertulis kata-kata “BERLAKU SEBAGAI
SATU DAN SATU BERLAKU UNTUK SEMUA".
(5) Akta in originali yang berisi kuasa yang belum diisi nama penerima kuasa
hanya dapat dibuat dalam 1 (satu) rangkap.
(6) Bentuk dan ukuran cap atau stempel sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf l ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
(7) Pembacaan Akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf m tidak wajib
dilakukan, jika penghadap menghendaki agar Akta tidak dibacakan karena
penghadap telah membaca sendiri, mengetahui, dan memahami isinya, dengan
ketentuan bahwa hal tersebut dinyatakan dalam penutup Akta serta pada setiap
halaman Minuta Akta diparaf oleh penghadap, saksi, dan Notaris.
(8) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dikecualikan terhadap
pembacaan kepala Akta, komparasi, penjelasan pokok Akta secara singkat dan
jelas, serta penutup Akta.
(9) Jika salah satu syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf m dan ayat
(7) tidak dipenuhi, Akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan
pembuktian sebagai akta di bawah tangan.
(10) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (9) tidak berlaku untuk
pembuatan Akta wasiat.
(11) Notaris yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a sampai dengan huruf l dapat dikenai sanksi berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pemberhentian sementara;
c. pemberhentian dengan hormat; atau
d. pemberhentian dengan tidak hormat.
9
(12) Selain dikenai sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (11), pelanggaran
terhadap ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf j dapat menjadi alasan bagi pihak
yang menderita kerugian untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi, dan
bunga kepada Notaris.
(13) Notaris yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf n dapat dikenai sanksi berupa peringatan tertulis.”
Ketentuan mengenai penjatuhan sanksi terdapat pada Pasal 84 dan Pasal
85 UUJN, sebagai berikut:
Pasal 84:
“tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris terhadap ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf i, Pasal 16 ayat (1)
huruf k, Pasal 41, Pasal 44, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51, atau Pasal
52 yang mengakibatkan suatu hanya mempunyai kekuatan pembuktian
sebagai akta dibawah tangan atau suatu akta menjadi batal demi hukum
dapat menjadi alasan bagi pihak yang menderita kerugian untuk menuntut
penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga kepada Notaris.”
Pasal 85:
“Pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 16 ayat
(1) huruf a, Pasal 16 ayat (1) huruf b, Pasal 16 ayat (1) huruf c, Pasal 16 ayat
(1) huruf d, Pasal 16 ayat (1) huruf e, Pasal 16 ayat (1) huruf f, Pasal 16
ayat (1) huruf g, Pasal 16 ayat (1) huruf h, Pasal 16 ayat (1) huruf i, Pasal 16
ayat (1) huruf j, Pasal 16 ayat (1) huruf k, Pasal 17, Pasal 20, Pasal 27, Pasal
32, Pasal 37, Pasal 54, Pasal 58, Pasal 59, dan/atau Pasal 63 dapat dikenai
sanksi berupa:
a. Teguran lisan;
b.Teguran tertulis;
c. Pemberhentian sementara;
d.Pemberhentian dengan hormat; atau
e. Pemberhentian dengan tidak hormat.”
Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak
pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan
jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan merupakan bentuk
tingkah laku yang melanggar undang-undang pidana. Oleh sebab itu setiap
perbuatan yang dilarang oleh undang-undang harus dihindari dan barang siapa
melanggarnya maka akan dikenakan pidana. Jadi larangan-larangan dan
kewajiban-kewajiban tertentu yang harus ditaati oleh setiap warga Negara wajib
10
dicantumkan dalam undang-undang maupun peraturan-peraturan pemerintah, baik
di tingkat pusat maupun daerah.16
Unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau
yang berhubungan dengan diri si pelaku, dan termasuk ke dalamnya yaitu segala
sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Sedangkan unsur objektif adalah
unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam
keadaan-keadaan di mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan.17
Unsur-unsur subjektif dari suatu tindak pidana itu adalah:
a. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau Culpa).
b. Maksud atau Voornemen pada suatu percobaan atau pogging seperti yang
dimaksud dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP.
c. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di
dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan
dan lain-lain.
d. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang
terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP.
e. Perasaan takut yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak pidana
menurut Pasal 308 KUHP.18
Unsur-unsur objektif dari suatu tindak pidana itu adalah:
a. Sifat melanggar hukum atau wederrechtelicjkheid.
b. Kualitas dari si pelaku, misalnya keadaan sebagai seorang pegawai negeri
di dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP atau keadaan sebagai
pengurus atau komisaris dari suatu Perseroan Terbatas di dalam kejahatan
menurut Pasal 398 KUHP.
c. Kausalitas yakni hubungan antara suatu tindak pidana sebagai penyebab
dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.19
16
P.A.F. Lamintang, 1997, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT. Citra Adityta
Bakti, Bandung, hal.7. 17
Ibid, hal. 193. 18
Ibid.
11
Moeljatno mendefinisikan perbuatan pidana sebagai perbuatan yang
dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang
berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut. Larangan
ditujukan kepada perbuatan (suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh
kelakuan orang), sedangkan ancaman pidana ditujukan kepada orang yang
menimbulkan kejadian itu.20
Menurut Moeljatno Hukum Pidana adalah bagian
daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan
dasar-dasar dan aturan-aturan untuk:
a. Menentukan perbuatan-perbuatan yang mana tidak boleh dilakukan, yang
dilarang, dengan disertai ancaman dan sanksi yang berupa pidana tertentu
bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.
b. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah
melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana
sebagaimana yang telah diancamkan.
c. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat
dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan
tersebut.21
Moeljatno juga memberikan pengertian perbuatan pidana adalah perbuatan
yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan tersebut disertai ancaman atau
sanksi yang berupa pidana tertentu bagi yang melanggar larangan tersebut.22
Unsur-unsur tindak pidana adalah sebagai berikut:
a. Kelakuan dan akibat (perbuatan).
b. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan.
c. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana.
d. Unsur melawan hukum yang objektif.
e. Unsur melawan hukum yang subyektif.23
19
Ibid. 20
Moeljatno, 2002, Asas-Asas Hukum Pidana, Cet. 7, Rineka Cipta, Jakarta, hal. 54. 21
Ibid, hal. 1. 22
Ibid, hal. 2. 23
Andi Hamzah, 2001, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana (selanjutnya
disebut dengan Andi Hamzah I), Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 30.
12
Kenyataannya dalam menjalankan jabatannya ada saja Notaris yang
menyalahgunakan wewenang, melanggar kewajibannya serta aturan yang telah
ditetapkan sehingga menyebabkan Notaris dikenakan sanksi. Pengaturan sanksi
pada UUJN masuk dalam hukum administrasi maka penjatuhan sanksi biasanya
berupa pemanggilan atau pemberhentian. Sedangkan untuk sanksi perdata dan
pidana dijatuhkan apabila para pihak yang dirugikan mengajukan gugatan. UUJN
belum mengatur secara jelas mengenai sanksi pidana, bukan berarti bahwa Notaris
akan kebal terhadap hukum pidana ketika melakukan pelanggaran hukum dalam
menjalankan jabatannya, menyebabkan pengaturannya belum memadai.
Di Indonesia terdapat 3 jenis sanksi hukum, yaitu: perdata, administrasi
dan pidana, berkaitan dengan kasus tersebut apakah UUJN dapat mereformulasi
kembali pengaturan mengenai kebijakan pidana, karena sudah ada pihak yang
dirugikan walaupun belum bersifat membahayakan, apabila didiamkan terus
menerus akan semakin banyak Notaris yang melakukan pelanggaran tanpa adanya
perasaan takut akan sanksi yang akan dijatuhkan yang hanya bersifat perdata dan
administrasi, berbeda dengan mendengar sanksi pidana yang mungkin akan
membuat Notaris berpikir dua kali dalam melakukan perbuatan yang bertentangan
dengan norma. Hal inilah yang seharusnya menjadi acuan urgensi penambahan
ketentuan sanksi pidana di dalam UUJN maupun kode etik profesi Notaris, selain
itu juga dengan dimuatnya sanksi pidana akan melengkapi operator hukum dalam
sebuah peraturan perundang-undangan.
Dilihat dari segi yuridis, memang UUJN dan kode etik profesi Notaris
belum memuat kebijakan sanksi pidana dan masih mengacu pada ketentuan umum
13
apababila terjadi pelanggaran pidana ini berarti adanya kekosongan hukum akan
tetapi perlu dipertimbangkan juga peraturan yang telah ada, yang akan diubah atau
yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat,
dikaitkan dengan segi sosiologis bahwa sudah ada yang dirugikan atas sikap tidak
profesional yang ditunjukkan oleh Notaris akan menjadi lebih berbahaya jika
didiamkan terus menerus tanpa adanya pengaturan secara khusus dalam UUJN
dan kode etik Notaris itu sendiri yang merupakan landasan bagi profesi Notaris,
dan dilihat dari segi filosofis mengapa di dalam UUJN dan kode etik tidak
memuat sanksi pidana masih belum ada penjelasannya, karena berdasarkan
naskah akademik RUU UUJN yang terbaru tujuan adanya perubahan dari
Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 menjadi Undang-Undang Nomor 2 tahun
2014 adalah mengenai perubahan pengawasan bahwa Menteri Hukum dan
HAMlah yang akan melakukan pengawasan melalui MPD (Majelis Pengawas
Daerah), MPW (Majelis Pengawas Wilayah), MPP (Majelis Pengawas Pusat),
dengan adanya perubahan diharapkan UUJN akan lebih memantapkan dan
mempertegas tugas, fungsi dan kewenangan Notaris sebagai pejabat publik yang
memberikan pelayanan kepada masyarakat sehingga lebih menjamin kepastian
hukum dan sebagai perlindungan hukum bagi masyarakat. Selain itu harapan dari
perubahan UUJN ini akan terjadinya sinkronisasi antar peraturan perundang-
undangan agar tugas, fungsi dan kewenangan Notaris dapat dijalankan dengan
baik, profesional dan sesuai dalam jalur aturan hukum yang berlaku.
Beranjak dari isu hukum tersebut terdapat kekosongan norma mengenai
pengaturan kebijakan sanksi pidana. Maka inilah hal penting yang menjadi latar
14
belakang penulis untuk penulisan tugas akhir (tesis) dengan judul: “Urgensi
Kebijakan Sanksi Pidana Terhadap Notaris Yang Melakukan Pelanggaran
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris”.
Setelah ditelusuri judul-judul tesis yang ada di Indonesia melalui
penelusuran dengan media internet ditemukan beberapa judul tesis yang
menyangkut Urgensi Kebijakan Sanksi Pidana Terhadap Notaris Yang Melakukan
Pelanggaran Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris.
Adapun judul-judulnya adalah sebagai berikut:
1) Tesis berjudul: “Pelanggaran Hukum Pidana Yang Dilakukan Oleh Notaris
Dalam Membuat Akta Otentik”, oleh Maria Magdalena Barus, Universitas
Sumatera Utara, Tahun 2010. Penulisan ini dilakukan berdasarkan jenis
penulisan yuridis normatif, dengan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana bentuk pelanggaran hukum pidana yang dilakukan Notaris
dalam membuat akta otentik?
2. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan terjadinya pelanggaran
hukum yang dilakukan oleh Notaris dalam pembuatan akta otentik
yang menimbulkan tindak pidana?
3. Bagaimana upaya hukum dalam mengatasi perbuatan Notaris yang
menimbulkan tindak pidana dalam membuat akta otentik?
2) Tesis berjudul: “Pertanggungjawaban Notaris Yang Melakukan Perbuatan
Melawan Hukum Dalam Pembuatan Akta Otentik”, oleh Anak Agung Ngurah
Maha Putra, Universitas Udayana, Tahun 2014. Penulisan ini dilakukan
15
berdasarkan jenis penulisan normatif, dengan rumusan masalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana bentuk tanggung jawab notaris sebagai pejabat umum yang
melakukan perbuatan melawan hukum dalam pembuatan akta otentik?
2. Bagaimanakah akibat hukum terhadap akta otentik yang dibuat oleh
seorang Notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum dalam
pembuatan akta otentik?
3) Tesis berjudul: “Pertanggungjawaban Notaris Dalam Pembuatan Akta
Berdasarkan Pemalsuan Surat Oleh Para Pihak”, oleh Putu Vera Purnama
Diana, Universitas Udayana, Tahun 2015. Penulisan ini dilakukan berdasarkan
jenis penulisan normatif, dengan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah tanggung jawab notaris dalam hal terjadinya pemalsuan
surat yang dilakukan oleh para pihak dalam pembuatan akta notaris
menurut Undang-Undang Jabatan Notaris?
2. Apakah notaris dapat dimintai pertanggungjawaban pidana bila
muncul kerugian terhadap salah satu pihak sebagai akibat adanya
dokumen palsu dari salah satu pihak?
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan pada uraian latar belakang di atas, dan judul yang telah
diangkat, maka masalah-masalah yang dipilih dan dijadikan objek pembahasan
yang lebih mendalam, berhubungan dengan rencana pembahasan berikutnya
adalah:
16
1. Bagaimanakah pengaturan tanggung jawab Notaris terhadap pelanggaran
UUJN?
2. Apakah Notaris yang melakukan pelanggaran UUJN dapat dijatuhi sanksi
pidana?
3. Urgensi perumusan ketentuan sanksi pidana di dalam UUJN.
1.3 Ruang Lingkup Masalah
Ruang lingkup masalah dimaksudkan untuk membatasi permasalahan
dalam penelitian yang akan dilakukan sehingga pembahasan dalam tesis ini tidak
terlalu luas. Sesuai dengan judul yang diangkat maka dibatasi mengenai Urgensi
Kebijakan Sanksi Pidana Terhadap Notaris Yang Melakukan Pelanggaran
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris.
1.4 Tujuan Penelitian
Setiap kegiatan yang dilakukan terlebih dahulu harus dibuat suatu
perencanaan yang matang, sehingga dalam pelaksanaannya dapat meminimalisasi
hambatan yang akan ditemui serta hasil yang dicapai sesuai dengan tujuan yang
ditetapkan. Demikian pula halnya dalam penelitian ini, mempunyai suatu tujuan
yang hendak dicapai.
1.4.1 Tujuan Umum
Secara umum tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengembangkan
ilmu hukum terkait dan memperluas pengetahuan sehingga dapat memahami
khususnya mengenai Hukum Kenotariatan yang berkaitan dengan Urgensi
17
Kebijakan Sanksi Pidana Terhadap Notaris Yang Melakukan Pelanggaran
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris.
1.4.2 Tujuan Khusus
Selain tujuan umum, penelitian ini memiliki tujuan khusus. Adapun tujuan
khusus dari penelitian ini yaitu dapat diuraikan sebagai berikut :
a. Untuk mengetahui dan menganalisa pengaturan tanggung jawab Notaris
terhadap pelanggaran UUJN.
b. Untuk mengetahui dan menganalisa Notaris yang melakukan pelanggaran
UUJN tidak dijatuhi sanksi pidana.
c. Untuk mengetahui dan menganalisa Urgensi perumusan ketentuan sanksi
pidana di dalam UUJN.
1.5 Manfaat Penelitian
Setiap penelitian yang dilakukan diharapkan dapat memberikan manfaat
baik secara teoritis maupun praktis yaitu :
1.5.1 Manfaat Teoritis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran
atas permasalahan dilihat dari sudut teori.
b. Hasil penelitian ini sebagai bahan informasi, guna memperdalam dan
mengembangkan ilmu hukum khususnya dalam hal ilmu kenotariatan
berkaitan dengan pengaturan tanggung jawab Notaris terhadap
pelanggaran UUJN, Notaris yang melakukan pelanggaran UUJN tidak
18
dijatuhi sanksi pidana, serta Urgensi perumusan ketentuan sanksi pidana di
dalam UUJN.
c. Penelitian ini juga merupakan latihan dan pembelajaran dalam
menerapkan teori yang diperoleh sehingga menambah kemampuan,
pengalaman dan dokumentasi ilmiah.
1.5.2 Manfaat Praktis
Selain manfaat teoritis, penelitian ini memiliki manfaat praktis. Manfaat
praktis dari penelitian ini, antara lain :
a. Penulisan ini diharapkan dapat menambah pengetahuan kepada
masyarakat ataupun praktisi terhadap masalah pengaturan tanggung jawab
Notaris terhadap pelanggaran UUJN, Notaris yang melakukan pelanggaran
UUJN tidak dijatuhi sanksi pidana, serta Urgensi perumusan ketentuan
sanksi pidana di dalam UUJN.
b. Sebagai bahan perbandingan dan bahan masukan bagi pihak-pihak yang
berkaitan masalah yang dihadapi notaris berkaitan dengan urgensi
kebijakan sanksi pidana terhadap pelanggaran UUJN.
c. Hasil penelitian berguna sebagai bahan kajian bagi untuk menambah
wawasan ilmu terutama dalam bidang ilmu kenotariatan, khususnya dalam
aspek urgensi kebijakan sanksi pidana terhadap Notaris yang melakukan
pelanggaran Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan
Notaris.
19
1.6 Landasan Teori
Untuk menganalisis permasalahan mengenai “Urgensi Kebijakan Sanksi
Pidana Terhadap Notaris Yang Melakukan Pelanggaran Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris”, digunakan suatu landasan teori yang
berkaitan dengan pembahasan atau permasalahan yang diajukan.
Melakukan sebuah penelitian diperlukan adanya landasan teoritis,
sebagaimana dikemukakan oleh M. Solly Lubis bahwa landasan teoritis
merupakan kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, asas maupun
konsep yang relevan digunakan untuk mengupas suatu kasus ataupun
permasalahan.24
Untuk meneliti mengenai suatu permasalahan hukum, maka
pembahasan adalah relevan apabila dikaji menggunakan teori-teori hukum,
konsep-konsep hukum dan asas-asas hukum. Teori hukum dapat digunakan untuk
menganalisis dan menerangkan pengertian hukum dan konsep yuridis, yang
relevan untuk menjawab permasalahan yang muncul dalam penelitian hukum.25
Landasan teori merupakan ciri penting bagi penelitian ilmiah untuk
mendapatkan data. Teori merupakan alur penalaran atau logika (flow of
reasoning/logic), terdiri dari seperangkat konsep atau variabel, defenisi dan
proposisi yang disusun secara sistematis.26
Penelitian ini menggunakan beberapa teori, adapun teori-teori yang
digunakan berkaitan dengan penelitian ini adalah:
24
M. Solly Lubis, 1994, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, hal. 80. 25
Salim H. S., 2010, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, Rajawali Pers, Jakarta,
hal. 54. 26
J. Supranto, 2003, Metode Penelitian Hukum Dan Statistik, Rineka Cipta, Jakarta,
hal. 194.
20
1.6.1 Teori Pertanggung Jawaban Hukum
Ada dua istilah yang menunjuk pada pertanggungjawaban dalam kamus
hukum, yaitu liability dan responsibility. Liability merupakan istilah hukum yang
luas yang menunjuk hampir semua karakter resiko atau tanggung jawab, yang
pasti, yang bergantung atau mungkin meliputi semua karakter hak dan kewajiban
secara aktual atau potensial seperti kerugian, ancaman, kejahatan, biaya atau
kondisi yang menciptakan tugas untuk melaksanakan undang-undang.
Responsibility berarti hal yang dapat dipertanggungjawabkan atas suatu
kewajiban, dan termasuk putusan, ketrampilan, kemampuan dan kecakapan
meliputi juga kewajiban bertanggung jawab atas undang-undang yang
dilaksanakan.
Dalam pengertian dan penggunaan praktis, istilah liability menunjuk pada
pertanggungjawaban hukum, yaitu tanggung gugat akibat kesalahan yang
dilakukan oleh subyek hukum, sedangkan istilah responsibility menunjuk kepada
pertanggungjawaban politik.27
Hans Kelsen membagi pertanggungjawaban menjadi empat macam, yaitu:
a. Pertanggungan individu yaitu pertanggungjawaban yang harus dilakukan
terhadap pelanggaran yang dilakukan sendiri;
b. Pertanggungjawaban kolektif berarti bahwa seorang individu bertanggung
jawab atas suatu pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain;
c. Pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan yang berarti bahwa seorang
individu bertanggung jawab atas pelanggaran yang dilakukan karena
sengaja dan diperkirakan dengan tujuan menimbulkan kerugian;
d. Pertanggungjawaban mutlak yang berarti bahwa seorang individu
bertanggung jawab atas pelanggaran yang dilakukannya karena tidak
sengaja dan tidak diperkirakan.28
27
Ridwan H.R., 2011, Hukum Administrasi Negara, cet. Ke-6, PT. Raja Grafindo
Persada, hal. 335-337. 28
Hans Kelsen, 2006, Teori Hukum Murni (selanjutnya disebut Hans Kelsen I),
Diterjemahkan oleh Raisul Mutaqien, Nuansa & Nusamedia, Bandung, hal. 140.
21
Menurut pendapat Hans Kelsen tentang teori tanggung jawab hukum
menyatakan bahwa:
A concept related to that of legal duty is the concept of legal responsibility
(liability). That a person is legally responsible for a certain behavior or that
he bears the legal responsibility therefore means that he is liable to a
sanction in case contrary behavior. Normally, that is, in case the sanction is
directed againts the immediate delinquent, it is his own behavior for which
an individual is responsible. In this case the subject of the legal
responsibility and the subject of the legal duty coincide.29
(Bahwa suatu konsep yang terkait dengan kewajiban hukum adalah konsep
tanggung jawab (liability). Seseorang dikatakan secara hukum
bertanggungjawab untuk suatu perbuatan tertentu adalah bahwa dia dapat
dikenakan suatu sanksi dalam kasus perbuatan berlawanan dengan hukum.
Biasanya, dalam kasus, sanksi dikenakan terhadap delinquent (penjahat)
karena perbuatannya sendiri yang membuat orang tersebut harus
bertanggungjawab. Dalam kasus ini subjek tanggung jawab hukum
(responsibility) dan subjek kewajiban hukum adalah sama).
Roscoe Pound termasuk salah satu pakar yang menyumbangkan
gagasannya tentang timbulnya pertanggungjawaban. Melalui pendekatan analisis
kritisnya, Pound meyakini bahwa timbulnya pertanggungjawaban karena suatu
kewajiban atas kerugian yang ditimbulkan terhadap pihak lain. Pada sisi lain
Pound melihat lahirnya pertanggungjawaban tidak saja karena yang ditimbulkan
oleh suatu tindakan, tetapi juga karena suatu kesalahan.30
Pertanggungjawaban memiliki beberapa bentuk, sebagai berikut:
1. Pertanggungjawaban Pidana
Suatu konsep yang terkait dengan teori kewajiban hukum adalah konsep
teori tanggung jawab hukum (liability). Seorang secara hukum dikatakan
29
Hans Kelsen, 2007, General Theory Of Law and State (Teori Umum Hukum dan
Negara) (selanjutnya disebut Hans Kelsen II), diterjemahkan oleh Soemardi, BEE Media
Indonesia, Jakarta, hal. 65. 30
Roscoe Pound, 1982, Pengantar Filsafat Hukum, Diterjemahkan dari edisi yang
diperluas oleh Drs. Mohammad Radjab, Bhratara Karya Aksara, Jakarta, hal. 90.
22
bertanggung jawab untuk suatu perbuatan tertentu adalah bahwa dia dapat
dikenakan suatu sanksi dalam suatu perbuatan yang berlawanan. Normalnya,
dalam kasus sanksi dikenakan terhadap deliquent adalah karena perbuatannya
sendiri yang membuat orang tersebut harus bertanggungjawab. Menurut teori
tradisional terdapat 2 bentuk pertanggungjawaban hukum, yaitu berdasarkan
kesalahan (based on fault) dan pertanggungjawaban mutlak (absolute
responsibility).31
Hukum primitif melihat bahwa hubungan antara perbuatan dan efeknya
tidak memiliki kualifikasi psikologis. Apakah tindakan individu telah diantisipasi
atau dilakukan dengan maksud menimbulkan akibat atau tidak adalah tidak
relevan. Adalah cukup bahwa perbuatannya telah membawa efek yang dinyatakan
oleh legislator sebagai harmful, yang berarti menunjukkan hubungan eksternal
antara perbuatan dan efeknya. Tidak dibutuhkan adanya sikap mental
pelaku dan efek dari perbuatan tersebut. Pertanggungjawaban semacam ini
disebut dengan pertanggungjawaban absolut.32
Teknik hukum terkini menghendaki suatu pembedaan antara kasus ketika
individu merencanakan dan tidak merencanakan. Ide keadilan individualitas
masyarakat bahwa suatu sanksi harus diberikan kepada individu ketika tindakan
seorang individu membawa akibat harmful effect tapi tanpa direncanakan. Prinsip
pemberian sanksi terhadap individu hanya ketika tindakan individu tersebut
direncanakan akan berbeda dengan ketika tindakan individu itu tidak
direncanakan. Inilah yang disebutkan pertanggungjawaban karena kesalahan
31
Jimly Assidiqie dan M. Ali Syafaat, 2006, Teori Hans Kelsen tentang Hukum,
Konstitusi Press, Jakarta, hal. 61. 32
Ibid.
23
(culpability/responsibility based on fault).33
Pertanggungjawaban pidana dalam
bahasa asing disebut sebagai toereken-baarheid, criminal responsibility atau
criminal liability. Pertanggungjawaban pidana disini dimaksudkan untuk
menentukan apakah seseorang tersebut dapat dipertanggungjawabkan pidana atau
tidak terhadap tindakan yang dilakukannya.34
2. Pertanggungjawaban Perdata
Tanggung jawab hukum dalam hukum perdata berupa tanggung jawab
seseorang terhadap perbuatan yang melawan hukum. Perbuatan melawan hukum
memiliki ruang lingkup yang lebih luas dibandingkan dengan perbuatan pidana.
Perbuatan melawan hukum tidak hanya mencakup perbuatan yang bertentangan
dengan undang-undang pidana saja, akan tetapi jika perbuatan tersebut
bertentangan dengan undang-undang lainnya dan bahkan dengan ketentuan-
ketentuan hukum yang tidak tertulis. Ketentuan perundang-undangan dari
perbuatan melawan hukum bertujuan untuk melindungi dan memberikan ganti
rugi kepada pihak yang dirugikan.35
3. Pertanggungjawaban Administrasi
Tanggung Jawab Notaris secara administrasi sudah diatur dalam UUJN
serta kode etik, dapat dilihat dalam Pasal 85 UUJN dan Pasal 6 kode etik, hal ini
berlaku bagi Notaris apabila melanggar pasal-pasal yang diatur pada Pasal 85,
begitu pula dengan sanksi pada Pasal 6 kode etik profesi Notaris akan mendapat
sanksi teguran sampai pemberhentian.
33
Ibid. 34
S.R. Sianturi, 1996, Asas-Asas Hukum Pidana dan Penerapannya, Cet. IV, Alumni,
Jakarta, hal. 245. 35
Komariah, 2001, Edisi Revisi Hukum Perdata, Universitas Muhammadiyah, Malang,
hal. 12.
24
Menurut Kranenburg dan Vegtig ada dua teori yang melandasi
pertanggungjawaban pejabat, yaitu:
a. Teori fautes personalles, yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian
terhadap pihak ketiga dibebankan kepada pejabat yang karena tindakannya
itu telah menimbulkan kerugian. Dalam teori ini beban tanggung jawab
ditujukan pada manusia selaku pribadi.
b. Teori fautes de services, yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian
terhadap pihak ketiga dibebankan pada instansi dari pejabat yang
bersangkutan. Menurut teori ini tanggung jawab dibebankan kepada
jabatan. Dalam penerapannya, kerugian yang timbul itu disesuaikan pula
apakah kesalahan yang dilakukan itu merupakan kesalahan berat atau
kesalahan ringan, di mana berat dan ringannya suatu kesalahan
berimplikasi pada tanggung jawab yang harus ditanggung.36
Macam-macam pertanggungjawaban yang telah disebutkan diatas akan
menimbulkan suatu pengawasan yang bersifat represif dan preventif, sebagai
berikut:
1. Pengawasan preventif adalah pengawasan yang dilakukan sebelum
pelaksanaan, yakni pengawasan yang dilakukan terhadap sesuatu yang
bersifat rencana.37
2. Pengawasan Represif merupakan pengawasan yang dilakukan setelah
pekerjaan atau kegiatan dilaksanakan. Dapat pula dikatakan bahwa
36
Ridwan H.R., Loc.cit. 37
Sujamto, 1986, Beberapa Pengertian di Bidang Pengawasan, Cet. 2, Ghalia Indonesia,
Jakarta, hal. 85.
25
pengawasan represif sebagai salah satu bentuk pengawasan atas jalannya
pemerintahan.38
1.6.2 Teori Sanksi
Pertanggungjawaban menimbulkan pengawasan dan dari pengawasan
apabila terjadi pelanggaran maka akan diberlakukan sanksi-sanksi baik berupa
sanksi perdata, pidana maupun sanksi administrasi. Hukum meliputi berbagai
macam bentuk peraturan yang menentukan dan mengatur perhubungan di antara
orang-orang yakni peraturan-peraturan hidup kemasyarakatan yang dinamakan
kaedah hukum.39
C.S.T Kansil mengemukakan: “Barangsiapa yang dengan sengaja
melanggar sesuatu kaedah hukum akan dikenakan sanksi yakni sebagai akibat
pelanggaran kaedah hukum yang berupa hukuman.”40
Pengertian sanksi secara
umum adalah sebagai alat pemaksa supaya setiap orang mentaati norma-norma
yang berlaku. Sanksi terhadap pelanggaran norma hukum dapat diserahkan
kepada penguasa, dan sanksinya adalah berupa hukuman yang dengan segera
dapat dirasakan oleh pelanggar.41
Dikaitkan dengan norma hukum perdata sanksinya adalah berupa ganti
rugi, batalnya suatu perjanjian dan sebagainya. Jika dikaitkan dengan hukum
pidana sanksinya adalah berupa pidana mati, pidana penjara, pidana tutupan,
pidana kurungan, pidana denda ditambah dengan pidana tambahan tertentu.42
38
Ibid, hal. 87. 39
C.S.T. Kansil, 1986, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia (selanjutnya
disebut C.S.T. Kansil I), Balai Pustaka, Jakarta, hal 39. 40
Ibid. 41
S.R. Sianturi, Op.Cit, hal. 28. 42
S.R. Sianturi, Op.Cit, hal. 29.
26
Sanksi administrasi/administratif adalah sanksi yang dikenakan terhadap
pelanggaran administrasi atau ketentuan undang-undang yang bersifat
administratif dan pada umumnya sanksi administrasi/administratif berupa
pemanggilan dan teguran.
Menurut Herbert L. Packer, sanksi pidana adalah suatu alat atau sarana
terbaik yang tersedia, yang dimiliki untuk menghadapi kejahatan-kejahatan atau
bahaya besar serta untuk menghadapi ancaman-ancaman. Selanjutnya Packer
menyatakan bahwa:
1. (The criminal sanction is indispenable; we could not, now or in the
foreseeable future get along, without it). Sanksi pidana sangatlah
diperlukan; kita tidak dapat hidup, sekarang maupun dimasa yang akan
datang, tanpa pidana.
2. (The criminal sanction is the best available device we have for dealing
with gross & immediate harms and threats from harms). Sanksi pidana
merupakan alat atau sarana terbaik yang tersedia, yang kita miliki untuk
menghadapi kejahatan-kejahatan atau bahaya besar dan segera serta
untuk menghadapi ancaman-ancaman dari bahaya.
3. (The criminal sanction is at once prime guarantor and prime threatener
of human freedom. Used provedently and humanely, it is Guarantor;
used indiscriminately and, it is coercively threatener). Sanksi pidana
suatu ketika merupakan penjamin yang utama dari kebebasan manusia.
Ia merupakan penjamin apabila digunakan secara hemat-cermat dan
secara manusiawi, ia merupakan pengancam apabila digunakan secara
sembarangan dan secara paksa.43
Jan Remmelink menyatakan umumnya sanksi itu muncul dalam bentuk
pemidanaan, pengenaan secara sadar dan matang suatu azab oleh instansi
penguasa yang berwenang kepada pelaku yang bersalah melanggar aturan hukum.
Jan Remmelink mengemukakan juga, bahwa instansi kekuasaan yang berwenang
(hakim), tidak sekadar menjatuhkan sanksi, namun juga menjatuhkan tindakan
43
Herbert L. Packer, 1967, The Limits of the Criminal Sanction, Stanford California
University Press, hal. 344-346.
27
(maatregel) untuk pelanggaran norma yang dilakukan karena salah dan
kadangkala juga karena kelalaian.44
Adapun makna dari sanksi yang sesungguhnya adalah merupakan alat
pemaksa atau pendorong atau jaminan agar norma hukum ditaati oleh setiap
orang, dan juga merupakan akibat hukum bagi seseorang yang melanggar norma
hukum, sekaligus merupakan alat preventif dan alat represif.45
1.6.3 Teori Kebijakan Hukum Pidana
Pendekatan kebijakan mencakup pengertian yang saling terkait antara
pendekatan yang berorientasi pada tujuan, pendekatan yang rasional, pendekatan
ekonomis dan fragmatis, serta pendekatan yang berorientasi pada nilai.46
Crime is
designation, which means that crime is defined by other than criminals. Crime is
behavior subject to judgment of other47
(Kejahatan adalah sebutan, yang berarti
bahwa kejahatan didefinisikan oleh orang lain selain penjahat. Kejahatan adalah
perilaku subjek untuk pertimbangan lainnya).
Kebijakan penegakan hukum pidana merupakan serangkaian proses yang
terdiri dari tiga tahap kebijakan, yaitu:
a. Tahap kebijakan legislatif (formulatif) yaitu menetapkan atau merumuskan
perbuatan apa yang dapat dipidana dan sanksi apa yang dapat dikenakan
oleh badan pembuat undang-undang.
44
Jan Remmelink, 2003, Hukum Pidana, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 7. 45
S.R. Sianturi, Op.Cit, hal. 29-30. 46
Barda Nawawi Arief, 1994, Kebiiakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan
dengan Pidana Penjara (selanjutnya disebut Barda Nawawi Arief I), Universitas Diponegoro,
Semarang, hal. 61. 47
Peter Hoefnagels G., 1973, The Other Side of Criminology, Kluwer Deventer, Holland,
hal. 92.
28
b. Tahap kebijakan yudikatif/aplikatif yaitu menerapkan hukum pidana oleh
aparat penegak hukum, mulai dari kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan.
c. Tahap kebijakan eksekutif/administratif yaitu melaksanakan hukum pidana
secara konkrit, oleh aparat pelaksana pidana.48
Dalam arti sempit/formal, penjatuhan pidana berarti kewenangan
menjatuhkan/ mengenakan sanksi pidana menurut undang-undang oleh pejabat
yang berwenang (hakim). Sedangkan dalam arti luas/material, penjatuhan pidana
merupakan mata rantai proses tindakan hukum dari pejabat yang berwenang,
mulai dari proses penyidikan, penuntutan, sampai pada putusan pidana dijatuhkan
oleh pengadilan dan dilaksanakan oleh aparat pelaksana pidana. Hal ini
merupakan satu kesatuan sistem penegakan hukum pidana yang integral. Oleh
karena itu keseluruhan sistem/ proses/ kewenangan penegakan hukum pidana
itupun harus terwujud dalam satu kesatuan kebijakan legislatif yang integral.49
1.6.4 Teori Kewenangan
Teori kewenangan digunakan oleh peneliti untuk membahas dan mengkaji
permasalahan pertama. Kualifikasi perbuatan melawan hukum yang dilakukan
oleh Notaris, di mana dalam Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2014 tentang Jabatan Notaris menyebutkan:
Notaris berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan,
perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-
undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk
dinyatakan dalam Akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan
48
Barda Nawawi Arief, 1998, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan
Hukum Pidana (selanjutnya disebut Barda Nawawi Arief II), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
hal. 30. 49
Ida Ayu Indah Sukma Angandari, 2011, Kebijakan Pembaharuan Hukum Pidana Dalam
Penanggulangan Tindak Pidana Penyalahgunaan Kartu Kredit (Credit Card), Tesis Magister Ilmu
Hukum, Universitas Udayana, Denpasar, hal. 37.
29
Akta, menyimpan Akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan Akta,
semuanya itu sepanjang pembuatan Akta itu tidak juga ditugaskan atau
dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh
undang-undang.
Wewenang merupakan bagian yang sangat penting dalam Hukum Tata
Pemerintahan (Hukum Administrasi), karena pemerintahan baru dapat
menjalankan fungsinya atas dasar wewenang yang diperolehnya. Keabsahan
tindakan pemerintahan diukur berdasarkan wewenang yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan. Perihal kewenangan dapat dilihat dari Konstitusi
Negara yang memberikan legitimasi kepada Badan Publik dan Lembaga Negara
dalam menjalankan fungsinya. Wewenang adalah kemampuan bertindak yang
diberikan oleh undang-undang yang berlaku untuk melakukan hubungan dan
perbuatan hukum.50
Menurut Philipus M. Hadjon, wewenang (bevoegdheid) dideskripsikan
sebagai kekuasaan hukum (rechtsmacht). Jadi dalam konsep hukum publik
wewenang berkaitan dengan kekuasan.51
Philipus M. Hadjon mengemukakan ada
2 (dua) sumber untuk memperoleh wewenang yaitu atribusi dan delegasi, namun
dikatakan pula bahwa kadangkala mandat digunakan sebagai cara tersendiri dalam
memperoleh wewenang.52
J.G. Brouwer dan E.A. Schilder tidak sejalan dengan pendapat
sebelumnya. Mereka berpendapat bahwa kewenangan dapat diperoleh dengan tiga
50
SF. Marbun, 1997, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi Di
Indonesia, Liberty, Yogyakarta, hal. 154. 51
Philipus M. Hadjon, 1997, Tentang Wewenang, YURIDIKA No.5&6 Tahun XII,
September-Desember, hal. 1. 52
Philipus M. Hadjon, dkk, 1993, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia
(Introduction to the Indonesia Administrative Law) (selanjutnya disebut dengan Philipis M.
Hadjon I), Cet. I, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, hal. 128.
30
cara, yaitu secara atribusi, delegasi, dan mandat. Pendapat tersebut diperkuat
dengan pernyataan berikut:
a. With atribution, power is granted to an administrative authority by an
independent legislative body. The power is initial (originair), which is to
say that is not derived from a previciously existing power. The legislative
body creates independent and previously non-existent powers and assigns
them to an authority.
b. Deligation is a transfer of an acquired atribution of power from one
administrative authority to another, so that the delegate (the body that the
acquired the power) can exercise power in its own name.
c. With mandate, there is not transfer, but the mandate giver (mandan)
assigns power to the body (mandataris) to make decision or take action in
its name.53
Atribusi (attributie), delegasi (delegatie), dan mandat (mandaat), oleh
H.D.van Wijk/Willem Konijnenbelt dirumuskan sebagai berikut:
a. Attributie : toekenning van een bestuursbevoegdheid door een weigever
aan een bestuursorgaan;
b. Delegatie :overdracht van een bevoegheid van het ene bestuursorgaan
aan een ander;
c. Mandaat :een bestuursorgaan laat zijn bevoegheid namens hem uitoefenen
door een ander.54
Teori kewenangan dalam penelitian ini digunakan untuk membahas
rumusan masalah mengenai pelanggaran serta perbuatan melawan hukum yang
dilakukan oleh Notaris, di mana Notaris merupakan pejabat publik yang memiliki
kewenangan atribusi.
1.6.5 Teori Kepastian Hukum
E. Utrech memberikan definisi hukum dalam bukunya Pengantar Dalam
Hukum Indonesia menjelaskan bahwa hukum adalah himpunan petunjuk hidup
(perintah-perintah dan larangan-larangan) yang mengatur tata tertib dalam suatu
53
J.G, Brouwer, Dan E. A. Schilder, 1998, A Survey of Dutch Administrative Law, Ars
Aequi Libri, Nijmegen, hal. 6. 54
H.D. van Wijk dan Willem Konijnenbelt, 1990, Hoolfdstukken van Adminstratief
Recht, Uitgeverij Lemma BW, Utrecht, hal. 56.
31
masyarakat dan seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat yang bersangkutan,
oleh karena pelanggaran petunjuk hidup tersebut dapat menimbulkan tindakan
dari pihak pemerintah.55
Pendapat lain dikemukakan oleh J.C.T. Simorangkir dan
Woerjono Sastropranoto, mengungkapkan bahwa hukum itu adalah peraturan-
peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam
lingkungan masyarakat, yang dibuat oleh badan-badan resmi berwajib,
pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan tadi berakibat diambilnya
tindakan hukuman.56
Secara umum hukum dapat diberi definisi sebagai himpunan peraturan-
peraturan yang dibuat oleh yang berwenang dengan tujuan untuk mengatur tata
kehidupan bermasyarakat yang mempunyai ciri memerintah dan melarang serta
mempunyai sifat memaksa dengan menjatuhkan sanksi hukuman bagi mereka
yang melanggarnya, jadi dalam hukum terkandung unsur-unsur yaitu peraturan-
peraturan yang dibuat oleh yang berwenang, tujuan mengatur tata tertib kehidupan
bermasyarakat, mempunyai ciri memerintah dan melarang dan bersifat memaksa
agar ditaati.57
Suatu sistem hukum di Indonesia dalam bentuk peraturan perundang-
undangan terikat pada suatu hirarkis dalam arti peraturan perundang-undangan
yang lebih rendah validitasnya ditentukan oleh peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi. Hal tersebut dikemukan juga Hans Kelsen dengan Stufenbau
Teori yang menyebutkan bahwa tatanan hukum itu merupakan sistem norma yang
55
Mokhammad Najih dan Soimin, 2012, Pengantar Hukum Indonesia, Setara Press,
Malang, hal. 9. 56
C.S.T Kansil, 1996, Latihan Ujian Pengantar Ilmu Hukum (selanjutya disebut dengan
C.S.T. Kansil II), Sinar Grafika, Jakarta, hal. 11. 57
R. Soeroso, 2009, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal.38.
32
hirarkis atau bertingkat. Susunan kaidah hukum ini dimulai dari tingkat yang
paling bawah, yaitu:
1. Kaedah individual (konkrit) dari badan-badan pelaksanaan hokum
terutama pengadilan.
2. Kaedah umum yaitu peraturan perundang-undangn atau hukum kebiasaan.
3. Kaedah-kaedah dari konstitusi.
Ketiga kaedah tersebut disebut hukum positif. Di atas konstitusi terdapat
kaedah dasar hipotesis yang lebih tinggi yang bukan merupakan kaedah positif
dan disebut Grundnorm. Kaedah-kaedah hukum dari tingkatan yang lebih rendah
memperoleh kekuatannya dari kaedah hukum yang lebih tinggi. Dalam
hubungannya dengan hubungan hukum menurut Achmad Ali ada 3 jenis sudut
pandang:
1. Sudut pandang ilmu hukum positif normatif atau yuridis dokmatif yaitu di
mana hukum bertitik beratkan pada segi kepastian hukumnya.
2. Sudut pandang filsafat hukum yaitu tujuan hukum dititik beratkan pada
segi keadilan.
3. Sudut pandang sosiologis hukum yaitu tujuan hokum dititik beratkan pada
segi kemanfaatannya.58
Teori Kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian yaitu pertama
adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa
yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua berupa keamanan hukum bagi
individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan hukum
58
Achmad Ali, 2002, Menguak Tabir Hukum (selanjutnya disebut dengan Achmad Ali I),
Ghalia Indonesia, Bogor, hal.72.
33
yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh
dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu. Kepastian hukum
bukan hanya berupa pasal-pasal dalam undang-undang melainkan juga adanya
konsistensi dalam putusan hakim antara putusan hakim yang satu dengan putusan
hakim lainnya untuk kasus yang serupa yang telah diputuskan.59
Kepastian hukum adalah kepastian aturan hukum, bukan kepastian
tindakan terhadap atau tindakan yang sesuai dengan aturan hukum. Van Kant
mengatakan bahwa hukum bertujuan menjaga kepentingan tiap-tiap manusia
supaya kepentingan itu tidak dapat diganggu, berdasarkan anggapan Van Kant,
Utrecht mengemukakan pendapat bahwa hukum bertugas menjamin adanya
kepastian hukum (rechtzeker heid) dalam pergaulan manusia. Bagi dia hukum
menjamin kepada pihak yang satu terhadap pihak yang lain.60
Menurut Gustav Radbruch, kepastian hukum atau Rechtssicherkeit
security, rechts-zekerheid adalah sesuatu yang baru, yaitu sejak hukum itu
dituliskan, dipositifkan, dan menjadi publik.61
Kepastian hukum menyangkut
masalah law Sicherkeit durch das Recht, seperti memastikan bahwa pencurian,
pembunuhan menurut hukum merupakan kejahatan. Kepastian hukum adalah
Scherkeit des Rechts selbst atau kepastian hukum itu sendiri. Negara sebagai
sebuah sistem hukum yang pasti, sehingga dalam rangka menjamin kepastian
hukum maka berlaku asas-asas hukum. Dalam kehidupan masyarakat terdapat
59
Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum (selanjutnya disebut Peter
Mahmud Marzuki I), Kencana Pranada Media Group, Jakarta, hal. 158. 60
Chainur Arrasjid, 2008, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 42. 61
Achmad Ali, 2009, Menguak Teori (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(Judicialprudence) Termasuk Interprestasi Undang-Undang (Legisprudence) (selanjutnya disebut
dengan Achmad Ali II), Predana Media Group, hal. 292.
34
berbagai macam norma yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi
tata cara seseorang untuk berperilaku atau bertindak. Dalam bukunya yang
berjudul Genaral teori of law And State Hans Kelsen mengutarakan adanya dua
sistem norma, yaitu sistem norma yang statik (nomostatik) dan sistem norma
dinamik (nomodinamik).
1.6.6 Teori Perlindungan Hukum
Philipus M. Hadjon membagi bentuk perlindungan hukum menjadi 2
(dua), yaitu:
1. Perlindungan hukum preventif
Perlindungan ini memberikan kesempatan kepada rakyat untuk
mengajukan keberatan (inspraak) atas pendapatnya sebelum suatu
keputusan pemerintahan mendapat bentuk yang definitif. Sehingga,
perlindungan hukum ini bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa
dan sangat besar artinya bagi tindak pemerintah yang didasarkan pada
kebebasan bertindak. Dan dengan adanya perlindungan hukum yang
preventif ini mendorong pemerintah untuk berhati-hati dalam mengambil
keputusan yang berkaitan dengan asas freies ermessen, dan rakyat dapat
mengajukan keberatan atau dimintai pendapatnya mengenai rencana
keputusan tersebut.
35
2. Perlindungan hukum represif
Perlindungan hukum ini berfungsi untuk menyelesaikan masalah apabila
terjadi sengketa.62
Philipus M. Hadjon menyebutkan bahwa pada dasarnya perlindungan
hukum meliputi dua hal yakni perlindungan hukum preventif dan perlindungan
hukum represif. Perlindungan hukum preventif meliputi tindakan yang menuju
kepada upaya pencegahan terjadinya sengketa sedangkan perlindungan represif
maksudnya adalah perlindungan yang arahnya lebih kepada upaya untuk
menyelesaikan sengketa, seperti contohnya adalah penyelesaian sengketa di
pengadilan.63
Perlindungan hukum yang preventif bertujuan untuk mencegah
terjadinya sengketa, yang mengarahkan tindakan pemerintah untuk bersikap hati-
hati dalam pengambilan keputusan berdasarkan diskresi, dan perlindungan yang
represif bertujuan untuk menyelesaikan terjadinya sengketa, termasuk
penanganannya di lembaga peradilan.64
Menurut Fitzgerald, dia menjelaskan teori perlindungan hukum yaitu
hukum yang mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai kepentingan
dalam masyarakat karena dalam suatu lalu lintas kepentingan, perlindungan
terhadap kepentingan tertentu hanya dapat dilakukan dengan cara membatasi
berbagai kepentingan di lain pihak.65
Menurut Satjipto Rahardjo, perlindungan
62
Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia (selanjutnya
disebut Philipus M. Hadjon II), PT. Bina Ilmu, Surabaya, hal. 2. 63
Budi Agus Riswandi dan Sabhi Mahmashani, 2009, Dinamika Hak Kekayaan
Intelektual Dalam masyarakat Kreatif, Total Media, Yogyakarta, hal. 12. 64
Maria Alfons, 2010, Implementasi Perlindungan Indikasi Geografis Atas Produk-
produk Masyarakat Lokal Dalam Perspektif Hak Kekayaan Intelektual, Ringkasan Disertasi
Doktor, Universitas Brawijaya, Malang, hal 18. 65
Satjipto Rahardjo, 2000, Ilmu Hukum (selanjutnya disebut Satjipti Rahardjo II), PT.
Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 53.
36
hukum adalah memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang
dirugikan orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat
menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.66
Teori perlindungan hukum ini bisa dikaitkan dengan teori kemanfaatan,
menurut Satjipto Raharjo dalam bukunya “Ilmu Hukum” mengatakan bahwa:
teori kemanfaatan (kegunaan) hukum bisa dilihat sebagai perlengkapan
masyarakat untuk menciptakan ketertiban dan keteraturan. Oleh karena itu ia
bekerja dengan memberikan petunjuk tentang tingkah laku dan berupa norma
(aturan-aturan hukum). Pada dasarnya peraturan hukum yang mendatangkan
kemanfaatan atau kegunaan hukum ialah untuk terciptanya ketertiban dan
ketentraman dalam kehidupan masyarakat, karena adanya hukum tertib
(rechtsorde).67
Teori-teori yang diuraikan di atas dipergunakan untuk menjawab rumusan
masalah dalam penelitian ini. Teori kewenangan dan teori pertanggungjawaban
hukum digunakan untuk menganalisis rumusan masalah pertama, teori
perlindungan hukum dan teori sanksi digunakan untuk menganalisis rumusan
masalah kedua, sedangkan teori kebijakan hukum pidana dan kepastian hukum
digunakan untuk menganalisis rumusan masalah ketiga.
66
Ibid, hal 54. 67
Satjipto Rahardjo II, Op.Cit, hal. 13.
37
1.7 Metode Penelitian
1.7.1 Jenis Penelitian
Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analis
dan Konstruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan konsisten.
Metodologi berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu, sistematis adalah
berdasarkan suatu sistim, sedangkan konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang
bertentangan dalam suatu kerangka tertentu.68
Penelitian yang dalam bahasa inggris disebut dengan research, pada
hakekatnya merupakan sebuah upaya pencarian. Lewat penelitian (research)
orang mencari (search) temuan-temuan baru, berupa pengetahuan yang benar
(truth, true knowledge), yang dapat dipakai untuk menjawab suatu pertanyaan
atau untuk memecahkan masalah.69
Sebagaimana dinyatakan dalam buku Legal
Research, yaitu “Legal research is an essential component of legal practice. It is
the prosess of finding the law that governs an activity and materials that explain
or analyze that law”70
, bahwa penelitian hukum itu merupakan komponen penting
dari praktik hukum, ini merupakan proses untuk menemukan hukum yang
mengatur suatu aktifitas yang menjelaskan atau menganalisa hukum material
tersebut. Soerjono Soekanto mengemukakan, dalam ilmu hukum terdapat dua
68
Soerjono Soekanto, 2010, Pengantar Penelitian Hukum (selanjutnya disebut Soerjono
Soekanto I), cet.3, Universitas Indonesia (UI-Press), Jakarta, hal. 42. 69
M., Syamsudin, 2007, Operasionalisasi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, hal. 1. 70
Morris L. Cohen & Kent C. Olson, 2000, Legal Research, In A Nutshell, West
Group,ST. Paul, Minn, Printed in the United States of America, hal.1
38
jenis penelitian hukum, yaitu penelitian hukum normatif dan penelitian hukum
sosiologis atau empiris.71
Penelitian hukum ini termasuk dalam penelitian normatif. Penelitian
hukum normatif merupakan suatu penelitian yang melihat hukum terdiri atas
peraturan-peraturan tingkah laku atau kaidah-kaidah, peraturan-peraturan
perbuatan manusia atas suruhan dan larangan. Dengan demikian penelitian hukum
noramtif merupakan penelitian yang melihat hukum sebagai seperangkat norma
(kaidah).72
Sesuai dengan karakter dan tradisi ilmu hukum, maka penelitian
normatif merupakan ciri khas dari tradisi ilmu hukum. Penelitian hukum normatif
ini juga disebut dengan penelitian terhadap kaidah atau hukum itu sendiri dalam
peraturan perundang-undangan, yurisprudensi maupun hukum yang tidak
tertulis.73
Penelitian ini beranjak dari kekosongan norma mengenai urgensi
kebijakan sanksi tindak pidana dalam Undang-Undang Jabatan Notaris.
1.7.2 Jenis Pendekatan
Macam-macam pendekatan yang digunakan dalam di dalam penelitian
hukum adalah:74
a. Pendekatan undang-undang (statue approach)
b. Pendekatan kasus (case approach)
c. Pendekatan historis (historical approach)
d. Pendekatan komparatif (comparative approach)
71
Soerjono Soekanto I, Op.Cit, hal. 51 72
L.J. van Apeldoorn, 2001, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 18. 73
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2006, Penelitian Hukum Normatif:Suatu Tinjauan
Singkat(selanjutnya disebut Soerjono Soekanto II), Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 13. 74
Peter Mahmud Marzuki, 2009, Penelitian Hukum (selanjutnya disebut Peter Mahmud
Marzuki II), Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 93.
39
e. Pendekatan konseptual (conceptual approach)
Dalam penelitian ini dipergunakan pendekatan perundang-undangan (the
statue approach), pendekatan kasus (the case approach). Pendekatan perundang-
undangan (statue approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undang
dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang ditangani, yang
dimaksud dengan statue adalah legislasi dan regulasi.75
Pendekatan perundang-
undangan (statue approach) dilakukan dengan menelaah atau mengkaji ketentuan-
ketentuan hukum serta peraturan perundang-undangan76
yang mengatur mengenai
pegawai notaris sebagai saksi dapat dimintai pertanggungjawaban, serta bentuk
tanggung jawabnya. Pendekatan kasus (case approach) dilakukan dengan cara
melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi
yang telah menjadi putusan pengadilan.77
1.7.3 Sumber Bahan Hukum
Sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadikan sumber-sumber
penelitian yang berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan
hukum primer adalah merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif yang
artinya mempunyai otoritas, yang terdiri dari perundang-undangan, catatan-
catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-
putusan hakim. Sedangkan semua publikasi tentang hukum yang bukan
merupakan dokumen-dokumen resmi adalah merupakan bahan hukum sekunder.78
1. Bahan Hukum Primer
75
Soerjono Soekanto I, Op.Cit, hal. 93. 76
Peter Mahmud Marzuki II, Loc.Cit. 77
Peter Mahmud Marzuki II, Op.Cit, hal. 94. 78
Peter Mahmudi Marzuki II, Op.Cit, hal. 140.
40
Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang memiliki kekuatan
hukum yang mengikat yang terdiri dari peraturan perundang-undangan,
antara lain:
a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek, Staatsblad
1847 No. 23).
b. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek Van Strafrecht,
Staatblad 1915 No. 732).
c. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana.
d. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 117) junto Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 3).
e. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 82).
f. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
Nomor M.01.HT.03.01 Tahun 2006 tentang Syarat dan Tata Cara
Pengangkatan, Perpindahan dan Pemberhentian Notaris.
g. Peraturan Kode Etik Profesi Notaris.
2. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan
penjelasan terhadap bahan hukum primer yang meliputi buku-buku,
41
literatur, artikel, majalah, makalah dan bahan-bahan hukum tertulis
lainnya yang berhubungan dengan permasalahan penelitian.
3. Bahan hukum tertier yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder, yaitu: kamus hukum, kamus Bahasa Indonesia dan
ensiklopedia.
1.7.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Hukum
Menurut Soerjono Soekanto, dalam penelitian lazimnya dikenal tiga jenis
alat pengumpul data, yaitu studi dokumen atau bahan pustaka, pengamatan atau
observasi, dan wawancara atau interview.79
Sedangkan untuk memperoleh dan
mengumpulkan serta mengolah data dalam penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan bahan-bahan yang diperoleh melalui studi dokumen atau telaah
bahan pustaka dengan cara menginventarisasi, mempelajari dan mendalami
bahan-bahan hukum primer, sekunder maupun tersier yang relevan dengan objek
penelitian.
1.7.5 Teknik Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum
Seluruh bahan-bahan hukum yang dikumpulkan akan dicatat, diolah serta
diklasifikasikan secara sistematis sesuai dengan rumusan masalah dan tujuan
penelitian. Teknik analisis dalam penelitian ini dilakukan secara analisis
interpretasi yaitu teknik yang menggunakan jenis-jenis penafsiran dalam ilmu
hukum yang terkait dengan pembahasan yang tidak jelas dan teknik preskriptif
79
Amirudin dan Zainal Asikin, 2010, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, hal. 67.
42
dalam landasan teori yang diarahkan untuk dapat memberikan jawaban atas
rumusan masalah dan tujuan yang dikaji dalam penelitian ini.
Sebagai ilmu yang bersifat preskriptif yaitu ilmu hukum yang mempelajari
tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum,
dan norma-norma hukum. Dalam hal ini ilmu hukum bukan hanya menempatkan
hukum sebagai suatu gejala sosial yang hanya dipandang dari luar, melainkan
masuk ke suatu hal esensial yaitu intrinsik dari hukum.80
80
Peter Mahmudi Marzuki II, Op.Cit, hal. 20.