bab i pendahuluan 1.1 latar belakang - sinta.unud.ac.id i.pdf · diberikan mandat sebagaimana...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tanah tidak pernah lepas dari aktifitas setiap manusia karena di atas tanah
manusia melakukan kegiatan sehari-hari. Oleh sebab itu tanah merupakan elemen
yang sangat dibutuhkan oleh setiap manusia, sehingga tanah sering menimbulkan
banyak sengketa diantara manusia. Tanah memiliki fungsi dan kedudukan yang
sangat penting dalam berbagai kehidupan terlebih lagi sebagai tempat
bermukim/perumahan. Maraknya pembangunan di berbagai bidang kehidupan
menyebabkan tanah menjadi komoditi yang mempunyai nilai ekonomi yang
sangat tinggi dan sulit dikendalikan. Kondisi demikian terutama diakibatkan oleh
kebutuhan lahan yang terus meningkat dengan sangat pesat sementara
ketersediannya terbatas sehingga tidak jarang menimbulkan konflik pertanahan
baik berupa konflik kepemilikan maupun konflik yang menyangkut penggunaan /
peruntukan tanah itu sendiri.1
Landasan yang ideal mengenai hukum agraria Nasional terdapat dalam
Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
yang menyatakan bahwa “Bumi air dan kekayaan alam yang terkandung
didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat”. Untuk melaksanakan amanat yang terdapat dalam Pasal 33
ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, pada tanggal 24
1Adrian Sutedi, 2006, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya,
Sinar Grafika, Jakarta, hal. 22
2
September Tahun 1960 pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, yang dikenal atau
sering disebut UUPA.
Tujuan diundangkannya UUPA sebagaimana termuat dalam penjelasan
umum dari UUPA, yaitu :
1. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan Hukum Agraria Nasional,
yang akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran,
kebahagian dan keadilan bagi Negara dan rakyat, terutama rakyat tani,
dalam rangka masyarakat adil dan makmur;
2. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan
kesederhanaan hukum pertanahan;
3. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai
hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.
Undang-Undang Pokok Agraria berlandaskan pendirian bahwa untuk
mencapai apa yang termuat dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 negara sebagai kekuasaan tertinggi yang
diberikan mandat sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Pokok Agraria
dalam pasal 2 ayat (2) diberi wewenang untuk:
1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan
dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa.
2. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-
orang dengan bumi, air dan ruang angkasa.
3
3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum yang mengenai
bumi, air dan ruang angkasa.
Pembangunan Nasional Indonesia memerlukan perhatian dari berbagai
pihak yang ada, karena dalam pembangunan kebutuhan tanah akan semakin
meningkat dalam menunjang kegiatan ekonomi rakyat. Namun ketersedian tanah
amat sangat terbatas karena luas tanah yang ada tidak akan meningkat melainkan
malah berkurang. Jaminan kepastian hukum yang diperuntukkan bagi rakyat
Indonesia di bidang pertanahan adalah tujuan dari diundangkannya Undang-
Undang Pokok Agraria yang dapat terwujud dalam dua upaya yaitu:
1. Karena memerlukan perangkat hukum yang tertulis, lengkap, dan jelas
yang dilaksanakan dengan konsisten sesuai dengan jiwa dan isi
ketentuan-ketentuannya.
2. Untuk menanggapi masalah-masalah konkret yang sering terjadi dalam
hukum pertanahan, jaminan kepastian hukum belum cukup hanya
dengan tersedianya perangkat hukum yang memenuhi persyaratan,
tetapi juga dibutuhkan pendaftaran tanah yang memungkinkan para
pemegang hak atas tanah untuk dengan mudah membuktikan haknya
atas tanah yang dikuasainya, dan juga hal ini dapat mendorong
peningkatan ekonomi rakyat apabila terjadi jual beli maupun
perkreditan modern, hal ini perlu dicatatkan oleh pihak yang
berwenang, karena keterangan tersebut tersimpan dalam Kantor
Pertanahan sebagai penyelenggara perdaftaran tanah dan terbuka untuk
4
umum serta bagi pemerintah untuk melaksanakan kebijakan
pertanahan.2
Pendaftaran tanah adalah kewajiban Negara yang diselenggarakan oleh
Pemerintah untuk kepentingan masyarakat Republik Indonesia, yang terdapat
dalam Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria, yaitu : “Untuk menjamin
kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftran tanah diseluruh Wilayah
Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan
Pemerintah”
Ketentuan mengenai Pasal 19 ayat (1) yang terdapat dalam Undang-
Undang Pokok Agraria lebih lanjut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10
Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah. Namun dalam Peraturan Pemerintah di
atas dinyatakan tidak berlaku lagi dengan diundangkanya Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang ini disahkan pada tanggal
8 Juli 1997, yang berlaku sejak tanggal 8 Oktober 1997. Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997 tersebut dilaksanakan oleh Peraturan Menteri
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional (Permen Agraria/Kepala BPN)
Nomor 3 Tahun 1997 mengenai Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Pembaharuan hukum dalam
bidang pertanahan khususnya dalam pendaftaran tanah ini bertujuan untuk
mempermudah penyelenggaraan pendaftaran tanah bagi rakyar Indonesia dan
bertujuan untuk menjamin kepastian hukum dari tanah yang dimiliki oleh rakyat
Indonesia.
2Penjelasan Umum Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah.
5
Pendaftaran tanah yang dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997 dalam pasal 1 ayat (1) :
“adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus
menerus berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan,
pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data pisik dan yuridis, dalam
bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan
rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-
bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun
serta hak-hak tertentu yang membebaninya.3
Untuk melakukan proses pendaftaran tanah, Kepala Kantor Badan
Pertanahan Nasional Kabupaten atau Kota tidak dapat melakukan sendiri, namun
membutuhkan bantuan dari instansi-insatansi dan pejabat lainnya. Dalam hal ini
pejabat yang membantu Kepala Kantor Badan Pertanahan Nasional ini adalah
Pejabat Pembuat Akta Tanah berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
1997 mengenai Pendaftaran Tanah. Pejabat lain yang juga membantu dalam
proses pendaftaran tanah adalah pejabat dari kantor lelang, Pejabat Pembuat Akta
Ikrar Wakaf, dan Panitia Ajudikasi.
Dalam Pelaksanaan pendaftaran tanah Pejabat Pembuat Akta Tanah
(PPAT) berperan penting, karena Pejabat Pembuat Akta Tanah tersebut membantu
Kepala Kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten atau Kota. Pasal 6 ayat (2)
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, terdapat
kata “dibantu”. Berdasarkan kata tersebut bukan berarti Pejabat Pembuat Akta
Tanah merupakan bawahan dari Badan Pertanahan Nasional dan dapat diperintah,
3Himpunan Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, 2008,
Koperasi Bhumi Bhakti, Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, Jakarta,
hal. 2.
6
melainkan Pejabat Pembuat Akta Tanah memiliki kemandirian dan tidak memihak
dalam melaksanakan kewenangan dan tugasnya.
Kewenagan yang dimiliki oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah
membuat data atau alat bukti tentang perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas
tanah yang akan dijadikan dasar pendaftaran tanah, sehingga dalam melakukan
proses pendaftaran tanah. Kantor Pertanahan mutlak memerlukan data atau alat
bukti yang harus dalam bentuk akta yang hanya boleh dibuat oleh Pejabat
Pembuat Akta Tanah. Dalam pendaftaran peralihan hak atas tanah yang dilakukan
oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah ditetapkan dalam Pasal 103 ayat (1) Peraturan
Menteri Negara Agraria Nomor 3 Tahun 1997 mengenai Ketentuan Pelaksanaan
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran tanah yaitu,
Pejabat Pembuat Akta Tanah wajib menyampaikan akta yang ditandatanganinya
beserta warkah-warkah lain kepada Kantor Pertanahan dalam jangka waktu tujuh
hari kerja sejak ditandatanganinya akta. Namun dalam kenyataanya berdasarkan
pengamatan pada beberapa Pejabat Pembuat Akta Tanah dan Badan Pertanahan
Nasional dibeberapa Kabupaten dan Kota terdapat pelanggaran keterlambatan
penyerahan pendaftaran peralihan hak atas tanah yang diatur dalam Pasal 103 ayat
(1) Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 3 Tahun 1997 mengenai Ketentuan
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah, dan belum ada pengaturan yang jelas dalam pelanggaran keterlambatan
tersebut.
Dampak keterlambatan penyerahan pendaftaran peralihan hak atas tanah
tersebut menyebabkan terhambatnya proses pendaftran tanah. Keterlambatan ini
7
berdampak besar terhadap pelayanan publik terhadap masyarakat. Serta belum
adanya pengaturan yang tegas sehingga Pejabat Pembuat Akta Tanah tersebut
sering mengabaikan ketentuan dari Pasal 103 ayat (1) Peraturan Menteri Negara
Agraria Nomor 3 Tahun 1997 mengenai Ketentuan Pelaksanaan Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Tabel 1: Jumlah Pendaftaran Tanah
No.
Kabupaten /Kota
Permohonan Pendaftaran Tanah
2010 2011 2012 2013
1 Denpasar 15.996 17.021 17.773 19.748
2 Badung 19.921 19.150 20.301 23.670
3 Gianyar 9.081 9.522 9.846 10,051
4 Tabanan 17.370 17.446 18.272 20.304
Sumber: Badan Pertanahan Nasional Kota Denpasar, Kabupaten Badung,
Kabupaten Gianyar, Kabupaten Tabanan.
Berdasarkan tabel di atas, jumlah permohonan peralihan hak atas tanah
tiga tahun terakhir ini di tiga Kabupaten dan Kota adalah sebagai berikut. Di Kota
Denpasar pada tahun 2010 terdapat 15.996 permohonan, pada tahun 2011 terdapat
17.021 permohonan, pada tahun 2012 terdapat 17.773 permohonan, pada tahun
2013 terdapat 19.748 permohonan. Jumlah permohonan peralihan hak atas tanah
di Kabupaten Gianyar pada tahun 2010 terdapat 9.081 permohonan, pada tahun
2011 terdapat 9.522 permohonan, pada tahun 2012 terdapat 9.846 permohonan,
pada tahun 2013 terdapat 10.051 permohonan. Jumlah permohonan peralihan hak
atas tanah di Kabupaten Tabanan pada tahun 2010 terdapat 17.370 permohonan,
pada tahun 2011 terdapat 17.446 permohonan, pada tahun 2012 terdapat 18.272
8
permohonan, pada tahun 2013 terdapat 20.304 permohonan. Jumlah pemohon
peralihan hak atas tanah di Kabupaten Badung pada tahun 2010 terdapat 19.921
pemohon peralihan hak atas tanah, pada tahun 2011 terdapat 19.150 pemohon
peralihan hak atas tanah, pada tahun 2012 terdapat 20.301 pemohon peralihan hak
atas tanah dan pada tahun 2013 terdapat sekitar 22.670 pemohonan.
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas menarik untuk dibuat dalam
bentuk karya ilmiah dalam bentuk tesis dengan judul “Implementasi Pasal 103
Ayat (1) Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 3 Tahun 1997 Tentang
Peraturan Pelaksanaan Pendaftaran Tanah (Studi Di Kabupaten Badung)”.
Untuk menunjukkan bahwa penelitian yang dilakukan ini adalah baru
maka di bawah ini disajikan beberapa tulisan yang ada kaitannya dengan peralihan
hak atas tanah yang dilakukan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah yaitu:
a. Penelitian yang dilakukan oleh Vitri Rahmawati, Program Magister
Kenotariatan Pascasarjana Universitas Diponogoro, Semarang, tahun 2010,
dengan judul tesis “Praktek Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Pertama Kali
Secara Sporadik Di Kabupaten Tangerang“, dengan rumusan masalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana pelaksanaan pendaftaran tanah pertama kali secara sporadik
di Kabupaten Tangerang?
2. Bagaimana cara masyarakat melakukan pendaftaran tanah pertama kali
secara sporadik di Kabupaten Tangerang?
9
3. Apa faktor-faktor yang menjadi penghambat dan pendukung dalam
pelaksanaan pendaftaran tanah pertama kali secara sporadik di Kabupaten
Tangerang?
b. Penelitian yang dilakukan oleh Ade Restya Helda, Program Magister
Kenotariatan Program Pasca Sarjana Universitas Diponogoro, Semarang,
tahun 2008, dengan judul tesis: “Peran Dan Tanggung Jawab Pejaat Pembuat
Akta Tanah dalam Rangka Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 (Studi Pada Wilayah Kerja Kota
Jambi)”, dengan rumusan masalah sebahai berikut:
1. Bagaimanakah peran dan tanggung jawab Pejabat Pembuat Akta Tanah
dalam pelaksanaan kegiatan pendaftaran tanah ?
2. Apakah kendala-kendala yang dihadapi oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah
di wilayah kerja Kota Jambi dalam pelaksanaan kegiatan pendaftaran
tanah?
c. Penelitian yang dilakukan oleh I Wayan Sueden, Program Magister
Kenotariatan Program Pasca Sarjana Universitas Udayana, Denpasar, tahun
2013, dengan judul tesis: “Tinjauan Pendaftaran Tanah Untuk Menjamin
Kepastian Hukum Hak Atas Tanah”, dengan rumusan masalah sebagai
berikut:
1. Apakah manfaat pendaftaran tanah dalam jaminan kepastian hukum
kepemilikan hak atas tanah?
2. Bagaimanakah upaya-upaya yang dilakukan agar pendaftaran tanah
memenuhi kepastian hukum?
10
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan
dalam tesis ini sebagai berikut:
1. Bagaimakah implementasi proses pendaftaran peralihan hak atas tanah
yang dilakukan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah di Kabupaten
Badung?
2. Faktor-faktor apakah yang menghambat pelaksanaan pendaftaran
peralihan hak atas tanah oleh Pejabat Pembuat Akta tanah di
Kabupaten Badung?
3. Bagaimanakah kebijakan yang diambil oleh Badan Pertanahan
Nasional Kanupaten Badung apabila terjadi keterlambatan dalam
penyerahan permohonan pendaftaran peralihan hak atas tanah?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini dapat dikualifikasikan atas tujuan yang bersifat
umum dan tujuan yang bersifat khusus, lebih lanjut dijelaskan sebagai berikut:
1.3.1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah mengetahui bagaimanakah peran
dari Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam proses pendaftaran peralihan hak atas
tanah yang terdapat di Kantor Pertanahan Kabupaten Badung.
1.3.2. Tujuan Khusus
11
1. Untuk mengetahui implementasi proses pelaksanaan pendaftarn peralihan hak
atas tanah oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah di Kantor Badan Pertanahan
Nasional Kabupaten Badung.
2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menghambat dalam proses peralihan hak
atas tanah yang dilakukan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah wilayah kerja
Kabupaten Badung.
3. Untuk mengetahui penagturan terhadap Pejabat Pembuat Akta Tanah yang
melebihi jangka waktu permohonan pendaftaran peralihan hak atas tanah
kepada Badan Pertanahan Nasional
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah kasanah ilmu hukum
umumnya, khususnya dibidang Pejabat Pembuat Akta Tanah membantu
masyarakat dalam pendaftran peralihan hak atas tanah. Selain itu penelitian ini
diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan
hukum, khususnya bidang hukum agraria dan bidang kenotariatan dan Pejabat
Pembuat Akta Tanah yang lebih khusus lagi mengenai pendaftaran peralihan hak
atas tanah di Kabupaten Badung.
1.4.2. Manfaat Praktis
Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi
kepada pemerintah yang dalam hal ini adalah Badan Pertanahan Nasional, Pejabat
12
Pembuat Akta Tanah dan masyarakat khususnya yang memiliki permasalahan
dalam hukum pertanahan.
1.5. Kerangka Konsep dan Landasan Teoritis
Landasan teoritis yang dipergunakan dalam penelitian ini meliputi teori-
teori serta konsep-konsep yang terkait dengan permasalahan, adapun teori-teori
serta konsep yang digunakan yakni:
1.5.1. Kerangka Konsep
1.5.1.1. Konsep Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)
Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah adalah pejabat umum yang diberi
kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum
tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, hal
ini tercantum dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan Perundang-Undangan Nomor 37
Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Pejabat Pembuat Akta Tanah memiliki tugas pokok sebagai pejabat yang
melakukan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai
bukti yang digunakan sebagai dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran
tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum tersebut.
Dalam ketentuan Peraturan Perundang-Undangan Nomor 37 Tahun 1998
tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah tidak menjelaskan
mengenai kode etik dari seorang Pejabat Pembuat Akat Tanah, namun dalam
peraturan yang lebih lanjut disebutkan dalam Pasal 28 ayat (2) huruf c Perka
BPN No. 1 Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No. 37 Tahun 1998
13
tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, disebutkan bahwa PPAT
diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya oleh Kepala Badan (BPN)
karena melanggar kode etik profesi. Kode etik profesi PPAT disusun oleh
Organisasi PPAT dan/atau PPAT Sementara dan ditetapkan oleh Kepala BPN
yang berlaku secara nasional (Pasal 69 Perka BPN 1/2006). Organisasi PPAT saat
ini adalah Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (IPPAT). Dalam haman resmi
IPPAT (ippatonline.com) dicantumkan Kode Etik Profesi PPAT yang berlaku saat
ini yaitu hasil keputusan Kongres IV IPPAT 31 Agustus – 1 September 2007.4
Pasal 1 angka 2 Kode Etik Profesi PPAT, disebutkan bahwa:
“Kode Etik PPAT dan untuk selanjutnya akan disebut Kode Etik adalah
seluruh kaidah moral yang ditentukan oleh Perkumpulan berdasarkan
keputusan kongres dan/atau yang ditentukan oleh dan diatur dalam
peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hal itu dan yang
berlaku bagi serta wajib ditaati oleh setiap dan semua anggota
Perkumpulan IPPAT dan semua orang yang menjalankan tugas jabatan
sebagai PPAT, termasuk di dalamnya para PPAT Pengganti.”
1.5.1.2. Konsep Pendaftaran Tanah
Pendaftaran tanah pada prinsipnya adalah suatu kegiatan penyelenggaraan
pendaftaran tanah yang dilakukan dalam rangka menjamin kepastian hukum dan
kepastian hak. Menurut A. P. Parlindungan, pendaftaran berasal dari kata cadaster
(Bahasa Belanda Kadaster) suatu istilah teknis suatu rekaman, menunjukkan
kepada luas, nilai dan kepemilikan terhadap suatu bidang tanah. Kata ini berasal
dari bahasa Latin “Capistratum” yaitu suatu register yang diperbuat untuk pajak
4Hukumonline.com, “Perbedaan Kode Etik Notaris Dan PPAT, (Cited
2012 Nov 22), Available from URL:
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt509f7875153dc/perbedaan-kode-
etik-notaris-dan-ppat
14
tanah Romawi. Dalam arti yang tegas, Cadaster adalah record pada lahan-lahan,
nilai daripada tanah dan pemegang haknya dan untuk kepentingan perpajakan.
Dengan demikian, Cadaster merupakan alat yang tepat yang memberikan uraian
dan identifikasi dari tersebut dam juga sebagai Continuous recording (rekaman
yang berkesinambungan) dari hak atas tanah.5
Menurut Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah adalah :
“Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh
pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur,
meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta
pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar,
mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun,
termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang
tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun
serta hak-hak tertentu yang membebaninya”
Dalam Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah diuraikan hal-hal sebagai berikut :
a. Kata-kata “suatu rangkaian kegiatan”, menunjuk pada adanya
berbagai kegiatan dalam penyelenggaraan pendaftaran tanah, yang
berkaitan satu sama lain, berurutan menjadi satu kesatuan
rangkaian yang bermuara pada tersedianya data yang diperlukan
dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum dibidang
pertanahan bagi rakyat.
b. Kata “terus-menerus” menunjuk pada pelaksanaan kegiatan, yang
sekali dimulai tidak akan ada akhirnya. Data yang sudah terkumpul
5Urip Santoso, 2010, Pendaftaran Dan Peralihan Hak Atas Tanah,
Kencana, Jakarta, hal. 12
15
dan tersedia harus selalu dipelihara, dalam arti disesuaikan dengan
perubahan-perubahan yang terjadi kemudian, sehingga tetap sesuai
dengan keadaaan yang terakhir.
c. Kata “teratur” menunjukkan bahwa semua kegiatan harus
melandaskan peraturan perundang-undangan yang sesuai, karena
hasilnya akan merupakan data bukti menurut hukum, biarpun daya
kekuatan pembuktiannya tidak selalu sama dalam hukum negara-
negara yang melaksanakan Pendaftaran Tanah.
d. Yang dimaksud dengan wilayah adalah wilayah kesatuan
administrasi pendaftaran yang biasa meliputi suatu negara.
Sedangkan kata-kata “tanah-tanah tertentu” menunjuk pada obyek
Pendaftaran Tanah.
Ada 3 macam pendaftaran tanah yaitu :
1. Pendaftaran Tanah untuk kepentingan perpajakan (Fiscal
Kadaster).
Pendaftaran Tanah dilaksanakan dengan tujuan untuk menetapkan
besarnya pajak atas tanah tersebut. Pendaftaran tanah seperti ini
paling banyak dilakukan pada waktu jaman penjajahan Inggris.
2. Pendaftaran tanah untuk keperluan pencatatan / pengumpulan data
tanah (Aantal Kadaster).
Aantal Kadaster adalah Pendaftaran Tanah yang dilakukan dengan
tujuan untuk keperluan pencatatan serta pengumpulan data tentang
tanah-tanah yang ada disuatu daerah.
16
3. Pendaftaran Tanah untuk keperluan pembuktian hak atas tanah
(Rechts Kadaster).
Rechts Kadaster adalah Pendaftaran Tanah yang dilaksanakan
dengan tujuan agar terwujudnya kepastian hukum mengenai status
sebidang tanah, serta status pihak yang menjadi pemegang atas
tanah yang bersangkutan.
Berdasarkan pasal 19 Undang-undang Pokok Agraria sedikitnya terdapat
tiga hal pokok mengapa pendaftaran tanah itu penting untuk dilakukan dalam
kaitannya dengan kepastian hukum. Menurut Pasal 3 Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, tujuan pokok penyelenggaraan
pendaftaran tanah yang berhubungan dengan kepastian hukum adalah:
a. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum
kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun
dan hak-hak lain yang terdaftar, agar dengan mudah dapat
membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan;
b. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang
berkepentingan termasuk Pemerintah agar dengan mudah dapat
memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan
hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah
susun yang sudah terdaftar;
c. Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.
Adapun tujuan dari pendaftaran tanah ini haruslah berdasarkan asas
pendaftaran tanah yang menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
17
1997 tentang Pendaftaran Tanah, bahwa pendaftaran dilaksanakan berdasarkan
asas sederhana, aman, terjangkau, mutakhir dan terbuka. Oleh karena berdasarkan
asas sederhana tersebut, ketentuan dan prosedur pendaftaran tanah tersebut
dengan mudah dapat dipahami oleh pihak yang berkepentingan, terutama
pemegang hak atas tanah. Sedangkan berdasarkan asas aman, hasilnya dapat
memberikan jaminan kepastian hukum, berdasarkan asas terjangkau, biaya
penyelenggaraan pendaftaran tanah harus dapat dijangkau oleh pihak-pihak
berkepentingan yang memiliki kemampuan ekonomi lemah, asas mutakhir bahwa
data yang tersedia harus menunjukan keadaan yang mutakhir, berkesinambungan,
terpelihara, dan tercatat setiap perubahannya, dan asas terbuka artinya bahwa
setiap data yang tersimpan di Kantor Pertanahan harus dalam keadaan nyata, serta
setiap orang dapat mengakses data tersebut setiap saat.
1.5.1.3. Konsep Pelayanan Publik
Pengaturan penyelenggaraan pelayanan publik didasarkan pada Undang-
Undang Dasar Negara Tahun 1945. Undang-Undang Dasar Negara 1945
merupakan landasan dasar filosofis bagi pengaturan pelayanan publik. Dalam
Undang-Undang Dasar negara Republik Indonesia 1945 mengamanatkan bahwa
kewajiban pemerintah sebagai penyelenggara utama pelayanan publik untuk
melayani kebutuhan publik yang lebih baik sesuai dengan prinsip-prinsip tata
kelola pemerintahan yang baik (good governance) dan demokratis, Amanat ini
tercermin dalam Pasal 18 ayat (2), ayat (6), Pasal 28 B ayat (2), Pasal 28 C ayat
(1), Pasal 28 D ayat (2), Pasal 28 F, Pasal 28 H ayat (1), Pasal 28 i ayat (2)
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Pasal-pasal tersebut
18
merupakan amanat negara bahwa penyelenggaraan pelayanan publik harus
dikelola, diatur dan diselenggarakan untuk melayani kebutuhan masyarakat.
Istilah pelayanan umum di Indonesia seringkali diidentikkan dengan
pelayanan publik sebagai terjemahan dari pubic service. Konsepsi pelayanan
administrasi pemerintahan seringkali digunakan secara bersama-sama atau dipakai
sebagai sinomin dari konsepsi pelayanan perizinan dan pelayanan umum, serta
pelayanan publik. Menurut Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara
Dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2014 tentang
Pedoman Standar Pelayanan yang telah mengganti atau mencabut KEP. MEN.
PAN No. 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan
Pelayanan Publik. Definisi pelayanan publik adalah penyelenggara pelayanan
publik yang selanjutnya disebut penyelenggara adalah setiap institusi
penyelenggara negara, korporasi, lembaga independen yang dibentuk berdasarkan
Undang-Undang untuk kegiatan pelayanan publik dan badan hukum lain yang
dibentuk semata-mata untuk kegiatan pelayanan publik.
Menurut pasal 1 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang
Pelayanan Publik mendefiniskan pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian
kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa,
dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan
publik.
Berdasarkan perspektif hukum, pelayanan publik dilihat sebagai suatu
kewajiban yang diberikan oleh konstitusi atau peraturan perundang-undangan
19
kepada pemerintah untuk memenuhi hak-hak dasar masyarakat atas suatu
pelayanan.6
Menurut Kotler, pelayanan adalah setiap kegiatan yang menguntungkan
dalam suatu kumpulan atau kesatuan dan menawarkan kepuasan meskipun
hasilnya tidak terikat pada suatu produk secara fisik.7
Berdasarkan definisi tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa
pelayanan publik merupakan seperangkat norma hukum tentang pemenuhan
keinginan atau kebutuhan dari masyarakat oleh penyelenggara negara yang
dituangkan baik dengan tertulis maupun secara tidak tertulis atau lisan, yang
mengikat pemerintah sebagai pemberi pelayanan publik dan masyarakat sebagai
penerima layanan publik secara keseluruhan, disertai sanksi bagi para pelanggar
aturan tersebut.
Menurut Pasal 4 UU No 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik
mengemukakan asas-asas pelayanan publik adalah sebagai berikut:
a. Kepentingan umum;
b. Kepastian hukum;
c. Kesamaan hak;
d. Keseimbangan hak dan kewajiban;
e. Keprofesionalan;
f. Partisipatif;
g. Persamaan perlakuan atau tidak diskriminatif;
6Sirajuddin, 2012, Hukum Pelayanan Publik Berbasis Partisipasi Dan
Keterbukaan Informasi, Setara Press, Malang, hal. 12 7Ibid.
20
h. Keterbukaan;
i. Akuntabilitas;
j. Fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan;
k. Ketepatan waktu;
l. Kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan;
Penyelenggaraan pelayanan publik adalah setiap institusi penyelenggara
negara, korporasi, lembaga independen yang dibentuk berdasarkan undang-
undang untuk kegiatan pelayanan publik, dan badan hukum lain yang dibentuk
semata-mata untuk kegiatan pelayanan publik. Dalam Pasal 14 UU No. 25 Tahun
2009 tentang Pelayanan Publik menyatakan penyelenggara memiliki hak:
a. Memberikan pelayanan tanpa dihambat pihak lain yang bukan tugasnya;
b. Melakukan kerjasama;
c. Mempunyai anggaran pembiayaan penyelenggaraan pelayanan publik;
d. Melakukan pembelaan terhadap pengaduan dan tuntutan yang tidak sesuai
dengan kenyataan dalam penyelenggaraan pelayanan publik;dan
e. Menolak permintaan pelayanan yang bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan.
Dalam Pasal 15 UU No.25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik
penyelenggaran berkewajiban:
a. Menyusun dan menetapkan standar pelayanan;
b. Menyusun, menetapkan, dan memublikasikan maklumat pelayanan;
c. Menempatkan pelaksana yang kompeten;
21
d. Menyediakan sarana, prasarana, dan/atau fasilitas pelayanan publik yang
mendukung terciptanya iklim pelayanan yang memadai;
Konsep pelayanan publik ini digunakan untuk mengkaji rumusan masalaha
nomor dua. Konsep ini bertujuan untuk mengkaji Pejabat Pembuat Akta Tanah
merupakan aparatur negara yang ditunjuk oleh negara berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat
Akta Tanah, sehingga Pejabat Pembuat Akta Tanah berkewajiban untuk
memenuhi standarisasi yang terdapat dalam Peraturan Menteri Pendayagunaan
Aparatur Negara Dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 15 Tahun
2014 tentang Pedoman Standar Pelayanan, serta menjalankan dengan benar apa
yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan
Publik demi membantu dan mempermudah warga negara dalam bidang hukum
pertananahan khususnya dalam peralihan hak atas tanah yang sering dilakukan
oleh masyarakat.
1.5.2. Landasan Teoritis
1.5.2.1. Teori Tanggung jawab
Teori tanggung jawab yang dalam bahasa Inggris disebut dengan the
theory of legal liability, merupakan teori yang menganalisis mengenai tanggung
jawab pelaku atau yang sering disebut dengan subyek hukum yang telah
melakukan perbuatan hukum yang merugikan pihak lain. Dalam bahasa Indonesia
kata tanggung jawab berarti keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (jika
terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan, dan sebagainya).
Menanggung diartikan merupakan bersedia memikul biaya (mengurus,
22
memelihara), menjamin, menyatakan keadaan kesediaan untuk melaksanakan
kewajiban.8
Liability merupakan istilah hukum yang luas yang menunjuk hampir
semua karakter risiko atau tanggung jawab, yang pasti, yang bergantung atau yang
mungkin meliputi semua karakter hak dan kewajiban secara aktual atau potensial
seperti kerugian, ancaman, kejahatan, biaya atau kondisi yang menciptakan tugas
untuk melaksanakan undang-undang. Dalam pengertian dan penggunaan praktis,
istilah liability menunjuk pada pertanggungjawaban hukum, yaitu tanggung gugat
akibat kesalahan yang dilakukan oleh subyek hukum.9
Mengenai persoalan pertanggungjawaban pejabat menurut Kranenburg
dan Vegtig ada dua teori yang melandasinya yaitu:
a. teori fautes personalles, yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian
terhadap pihak ketiga dibebankan kepada pejabat yang karena
tindakannya itu telah menimbulkan kerugian. Dalam teori ini beban
tanggung jawab ditujukan pada manusia selaku pribadi.
b. teori fautes de services, yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian
terhadap pihak ketiga dibebankan pada instansi dari pejabat yang
bersangkutan. Menurut teori ini tanggung jawab dibebankan kepada
jabatan. Dalam penerapannya, kerugian yang timbul itu disesuaikan
pula apakah kesalahan yang dilakukan itu merupakan kesalahan berat
8Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1989, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hal. 899. 9Ridwan H.R., 2006, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, hal. 335-337.
23
atau kesalahan ringan, dimana berat dan ringannya suatu kesalahan
berimplikasi pada tanggung jawab yang harus ditanggung.10
Secara umum prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat
dibedakan sebagai berikut:
1. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Unsur Kesalahan
Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (fault
liability atauliability based on fault) adalah prinsip yang cukup umum
berlaku dalam hukum pidana dan perdata. Dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, khususnya pasal 1365, 1366, dan 1367, prinsip ini
dipegang secara teguh. Prinsip ini menyatakan, seseorang baru dapat
dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur
kesalahan yang dilakukannya.
Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang lazim dikenal
sebagai pasal tentang perbuatan melawan hukum, mengharuskan
terpenuhinya empat unsur pokok, yaitu:
a. adanya perbuatan;
b. adanya unsur kesalahan;
c. adanya kerugian yang diderita;
d. adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian.
Yang dimaksud kesalahan adalah unsur yang bertentangan dengan hukum.
Pengertian hukum tidak hanya bertentangan dengan undang-undang tetapi
juga kepatutan dan kesusilaan dalam masyarakat.11
10Ibid, hal. 365
24
2. Prinsip Praduga Untuk Selalu Bertanggung Jawab
Prinsip ini menyatakan bahwa tergugat selalu dianggap bertanggung jawab
(presumption of liability principle), sampai ia dapat membuktikan bahwa
ia tidak bersalah. Kata “dianggap” pada prinsip “presumption of liability”
adalah penting, karena ada kemungkinan tergugat membebaskan diri dari
tanggung jawab, yaitu dalam hal ia dapat membuktikan bahwa ia telah
“mengambil” semua tindakan yang diperlukan untuk menghindarkan
terjadinya kerugian. Dalam prinsip ini, beban pembuktiannya ada pada si
tergugat. Dalam hal ini tampak beban pembuktian terbalik (omkering van
bewijslast). Hal ini tentu bertentangan dengan asas hukum praduga tidak
bersalah (presumption of innocence). Namun jika diterapkan dalam kasus
konsumen akan tampak asas demikian cukup relevan. Jika digunakan teori
ini, maka yang berkewajiban untuk membuktikan kesalahan itu ada pada
pihak pelaku usaha yang digugat. Tergugat harus menghadirkan bukti-
bukti bahwa dirinya tidak bersalah. Tentu saja konsumen tidak dapat
sekehendak hati mengajukan gugatan. Posisi konsumen sebagai penggugat
selalu terbuka untuk digugat balik oleh pelaku usaha, jika ia gagal
menunjukkan kesalahan tergugat.12
3. Prinsip Praduga Untuk Tidak Selalu Bertanggung Jawab
11Shidarta, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Edisi Revisi,
Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, hal. 73-79. 12E. Suherman, 1979, Masalah Tanggung Jawab Pada Charter Pesawat
Udara Dan Beberapa Masalah Lain Dalam Bidang Penerbangan (Kumpulan
Karangan), Cet. II, Alumni, Bandung, hal. 21.
25
Prinsip ini adalah kebalikan dari prinsip yang kedua, prinsip praduga
untuk tidak selalu bertanggung jawab hanya dikenal dalam lingkup
transaksi konsumen yang sangat terbatas. Contoh dari penerapan prinsip
ini adalah pada hukum pengangkutan. Kehilangan atau kerusakan pada
bagasi kabin atau bagasi tangan, yang biasanya dibawa dan diawasi oleh
penumpang (konsumen) adalah tanggung jawab dari penumpang. Dalam
hal ini pengangkut (pelaku usaha) tidak dapat dimintakan
pertanggungjawabannya. Pihak yang dibebankan untuk membuktikan
kesalahan itu ada pada konsumen.
4. Prinsip Tanggung Jawab Mutlak
Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) sering diidentikkan dengan
prinsip tanggung jawab absolut (absolute liability). Kendati demikian ada
pula para ahli yang membedakan kedua terminologi di atas. Ada pendapat
yang menyatakan, strict liability adalah prinsip tanggung jawab yang
menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan. Namun ada
pengecualian-pengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskan dari
tanggung jawab, misalnya pada keadaan force majeure.
Sebaliknya absolute liability adalah prinsip tanggung jawab tanpa
kesalahan dan tidak ada pengecualiannya.
Menurut E. Suherman, strict liability disamakan dengan absolute liability,
dalam prinsip ini tidak ada kemungkinan untuk membebaskan diri dari
26
tanggung jawab, kecuali apabila kerugian yang timbul karena kesalahan
pihak yang dirugikan sendiri. Tanggung jawab adalah mutlak.13
5. Prinsip Tanggung Jawab Dengan Pembatasan
Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (limitation of liability
principle) ini sangat disenangi oleh pelaku usaha untuk dicantumkan
sebagai klausula eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya.
Dalam ketentuan pasal 19 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen ditentukan bahwa pelaku usaha
bertanggung jawab memberikan ganti kerugian atas kerusakan,
pencemaran dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang
dan/atau jasa yang dihasilkan.
Dalam kaitan dengan pelaksanaan jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah
diperlukan tanggung jawab profesional berhubungan dengan jasa yang diberikan.
Menurut Komar Kantaatmaja sebagaimana dikutip oleh Shidarta menyatakan
tanggung jawab profesional adalah tanggung jawab hukum (legal liability) dalam
hubungan dengan jasa profesional yang diberikan kepada klien. Tanggung jawab
profesional ini dapat timbul karena mereka (para penyedia jasa profesional) tidak
memenuhi perjanjian yang mereka sepakati dengan klien mereka atau akibat dari
kelalaian penyedia jasa tersebut mengakibatkan terjadinya perbuatan melawan
hukum.14
Dalam memberikan pelayanannya, profesional itu memiliki tanggung
jawab kepada diri sendiri dan kepada masyarakat. Bertanggung jawab kepada diri
13Ibid, hal. 23. 14Shidarta, op.cit., hlm. 82
27
sendiri, artinya bekerja karena integritas moral, intelektual dan profesional
merupakan bagian dari kehidupannya. Dalam memberikan pelayanan, seorang
profesional selalu mempertahankan cita-cita luhur profesi sesuai dengan tuntutan
kewajiban hati nuraninya. Bertanggung jawab kepada masyarakat, artinya mau
melakukan pelayanan kepada masyarakat tanpa memandang dari segi materi saja,
namun pelayanan yang berdampak positif bagi masyarakat berdasarkan
pengabdian berdasarkan tanggung jawab profesi. Bertanggung jawab juga berani
menanggung segala resiko yang timbul akibat dari pelayanannya itu. Kelalaian
dalam melaksanakan profesi menimbulkan dampak yang membahayakan atau
mungkin merugikan diri sendiri dan orang lain.15
Dalam menjalankan jabatannya Pejabat Pembuat Akta Tanah mempunyai
tanggung jawab moral terhadap profesinya. Menurut Paul F. Camanisch
sebagaimana dikutip oleh K. Bertens menyatakan bahwa profesi adalah suatu
masyarakat moral (moral community) yang memiliki cita-cita dan nilai-nilai
bersama. Kelompok profesi memiliki kekuasaan sendiri dan tanggung jawab
khusus. Sebagai profesi, kelompok ini mempunyai acuan yang disebut Kode Etik
Profesi.16
Berdasarkan uraian tersebut di atas, teori tanggung jawab ini akan
dipergunakan dalam menganalisis rumusan masalah pada nomor satu, karena
dalam dalam proses permohonan peralihan hak atas tanah merupakan
tanggungjawab dari Pejabat Pembuat Akta Tanah.
15Abdulkadir Muhamad, 2001, Etika Profesi Hukum, Citra Aditya Bakti,
Bandung, hal. 60. 16E. Sumaryono, 1995, Etika Profesi Hukum: Norma-Norma Bagi Penegak
Hukum, Kanisivs, Yogyakarta, hlm. 147.
28
1.5.2.2. Teori Efektifitas Hukum
Istilah teori efektivitas hukum berasal dari terjemahan dari bahasa
Inggris, yaitu effectiveness of the legal theory, bahasa Belanda disebut dengan
effectiviteit van de juridische theorie, bahasa Jermannya, yaitu wirksamkeit der
rechtlichen theorie.17
Ada tiga suku kata yang terkandung dalam teori efektivitas hukum, yaitu
teori, efektivitas, dan hukum. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ada
dua istilah yang berkaitan dengan efektifitas, yaitu efektif dan keefektifan. Efektif
artinya (1) ada efeknya (akibatnya, pengaruhnya, kesannya), (2) manjur atau
mujarab, (3) dapat membawa hasil, berhasil guna (tentang usaha, tindakan), (4)
mulai berlaku (tentang undang-undang, peraturan), Keefektifan artinya (1)
keadaan berpengaruh, hal berkesan, (2) kemanjuran; kemujaraban, (3)
keberhasilan (usaha, tindakan) dan (4) hal mulai berlakunya (undang-undang,
peraturan).18
Peraturan perundang-undangan, baik yang tingkatannya lebih rendah
maupun yang lebih tinggi bertujuan agar masyarakat maupun aparatur penegak
hukum dapat melaksanakannya secara konsisten dan tanpa membedakan antara
masyarakat yang satu denga masyarakat lainnya. Semua orang dipandang sama di
hadapan hukum (equality before the law). Namun dalam realitasnya peraturan
yang ditetapkan tersebut sering dilanggar, sehingga aturan itu tidak berlaku
17
Salim HS dan Erlies Septianan Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada
Penelitian Tesis dan Disertasi, Jakarta, Raja Grafindo, Cetakan 1, 2013, hlm.
301. 18
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1989, hlm 219.
29
efektif. Tidak efektifnya undang-undang bisa disebabkan karena undang-
undangnya kabur atau tidak jelas, aparatnya yang tidak konsisten dan atau
masyarakatnya tidak mendukung pelaksanaan dari undang-undang tersebut.
Apabila undang-undang itu dilaksanakan dengan baik, maka undang-uandang itu
dikatakan efektif. Dikatakan efektif karena bunyi undang-undangnya jelas dan
tidak perlu adanya penafsiran, aparat menegakkan hukum secara konsisten dan
masyarakat yang terkena aturan tersebut sangat mendukungnya. Teori yang
mengkaji dan menganalisis tentang hal itu yaitu teori efektivitas hukum.19
Hans Kelsen menyajikan defenisi tentang efektivitas hukum adalah apakah
orang-orang pada kenyataannya berbuat menurut suatu cara untuk menghindari
sanksi yang diancamkan oleh norma hukum atau bukan, dan apakah sanksi
tersebut benar-benar dilaksanakan bila syaratnya terpenuhi atau tidak terpenuhi.20
Efektivitas dalam defenisi Hans Kelsen difokuskan pada subyek dan
sanksi. Subyek yang melaksanakannya, yaitu orang-orang atau badan hukum.
Orang-orang tersebut harus melaksanakan hukum sesuai dengan bunyi norma
hukum. Bagi orang-orang yang dikenai sanksi hukum benar-benar dilaksanakan
atau tidak.
Antony Allot mengemukakan tentang efektivitas hukum. Ia
mengemukakan bahwa hukum akan menjadi efektif jika tujuan keberadaannya
dan penerapannya dapat mencegah perbuatan-perbuatan yang tidak diinginkan
dapat menghilangkan kekacauan. Hukum yang efektif secara umum dapat
19
Salim HS, Op. Cit hlm. 301. 20
Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, Bandung, Nusa
Media, 2006, hlm 39.
30
membuat apa yang dirancang dapat diwujudkan. Jika suatu kegagalan, maka
kemungkinan terjadi pembetulan secara gampang jika terjadi keharusan untuk
melaksanakan atau menerapkan hukum dalam suasana baru yang berbeda, hukum
akan sanggup menyelesaikannya.21
Menurut Anthony Allot tentang efektivitas hukum difokuskan pada
perwujudannya.Hukum yang efektif secara umum dapat membuat apa yang
dirancang dapat diwujudkan dalam kesejahteraan sosial masyarakat. Kedua
pandangan di atas hanya menyajikan tentang konsep efektivitas hukum, namun
tidak mengkaji tentang teori efektivitas hukum. Dengan melakukan sintesis
terhadap kedua pandangan di atas, maka dapat dikemukan tentang teori efektivitas
hukum.Teori efektivitas hukum adalah teori yang mengkaji dan menganalisis
tentang keberhasilan, kegagalan dan faktor-faktor yang mempengaruhi dalam
pelaksanaan dan penerapan hukum. Ada tiga fokus kajian teori efektivitas hukum,
yang meliputi:
a. keberhasilan dalam pelaksanaan hukum;
b. kegagalan dalam pelaksanaannya;
c. faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Keberhasilan dalam pelaksanaan hukum adalah bahwa hukum yang dibuat
itu telah tercapai maksudnya. Maksud dari norma hukum adalah mengatur
kepentingan manusia. Apabila norma hukum itu ditaati dan dilaksanakan oleh
masyarakat maupun penegak hukum, maka pelaksanaan hukum itu dikatakan
efektif atau berhasil di dalam implementasinya. Kegagalan di dalam pelaksanaan
21
Salim HS, Op. Cit, hlm. 302-303
31
hukum adalah bahwa ketentuan-ketentuan hukum yang telah ditetapkan tidak
mencapai maksudnya atau tidak berhasil dalam implementasinya. Faktor-faktor
yang mempengaruhi adalah hal-hal yang ikut menyebabkan atau berpengaruh di
dalam pelaksanaan dan penerapan hukum tersebut. Faktor-faktor yang
mempengaruhi dapat dikaji dari aspek keberhasilannya dan aspek kegagalannya.
Bronislaw Malinowski (1884-1942) menyajikan teori efektivitas
pengendalian sosial atau hukum. Ia menyajikan teori efektivitas hukum dengan
menganalisis tiga masalah berikut ini, yang meliputi:
a. Dalam masyarakat modern, tata tertib kemasyarakatan dijaga
antara lain oleh suatu sistem pengendalaian sosial yang bersifat
memaksa, yaitu hukum.Untuk melaksanakannya, hukum didukung
oleh suatu sistem alat-alat kekuasaan (kepolisian, pengadilan dan
sebagainya) yang diorganisasi oleh suatu negara;
b. Dalam masyarakat primitif, alat-alat kekuasaan serupa itu kadang-
kadang tidak ada;
c. Dengan demikian, apakah dalam masyarakat primitif tidaka ada
hukum.22
Bronislaw Malinowski menganalisis efektivitas hukum dalam masyarakat.
Masyarakat dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
a. Masyarakat modern; dan
b. Masyarakat primitif.
22
Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi, Jakarta, UI Press, 1987, hal
167-168.
32
Masyarakat modern merupakan masyarakat yang perekonomiannya
berdasarkan pasar secara luas, spesialisasi di bidang industri dan pemakaianm
teknologi canggih. Dalam masyarakat modern, hukum yang dibuat dan ditetapkan
oleh pejabat yang berwenang itu ditegakkan oleh kepolisian, pengadilan dan
sebagainya. Masyarakat primitif merupakan masyarakat yang mempunyai sistem
ekonomi yang sederhana. Dalam masyarakat primitif tidak mengenal alat-alat
kekuasaan. Lawrence M. Friedman mengemukakan tiga Komponen dari sistem
hukum. Ketiga komponen dimaksud meliputi struktur, substansi dan budaya
hukum.23
Struktur yaitu keseluruhan institusi hukum yang ada beserta aparatnya,
mencakup antara lain kepolisian dengan polisinya, kejaksaan dengan jaksanya,
pengadilan dengan para hakimnya, pengacara, dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil.
Substansi yaitu keseluruhan aturan hukum, norma hukum dan asas hukum, baik
yang tertulis maupun yang tidak tertulis termasuk putusan pengadilan. Kultur
hukum yaitu opini-opini, kepercayaan-kepercayaan (keyakinan-keyakinan),
kebiasaan-kebiasaan, cara berpikir dan cara bertindak, baik dari para aparat
penegak hukum maupun dari warga masyarakat, tentang hukum dan berbagai
fenomena yang berkaitan dengan hukum.
Menurut Howard dan Mummers bahwa ada delapan syarat agar hukum
dapat berlaku secara efektif. Kedelapan syarat tersebut adalah, sebagai berikut:
23
Lawrence, Friedman M, The Legal System A Social Science Perspective,
Russel Sage Foundation, New York, 1975 dalam Siswantoro Sunarso, 2004,
Penegakan Hukum Psikotropika Dalam Kajian Sosiologi Hukum, RajaGrafindo
Persada, Jakarta, hal. 7-9.
33
1. Undang-undang harus dirancang dengan baik, kaidah-kaidah yang
mematok harus dirumuskan secara jelas dan dapat dipahami dengan
penuh kepastian. Tanpa patokan-patokan yang jelas seperti itu, orang
sulit untuk mengetahui apa yang sesungguhnya diharuskan, sehingga
udang-undang tidak akan efektif.
2. Undang-undang itu dimana mungkin, seyogianya bersifat melarang
dan bukan bersifat mengharuskan. Dapat dikatakan bahwa hukum
prohibitur itu pada umumnya lebih mudah dilaksanakan ketimbang
hukum mandatur.
3. Sanksi yang diancamkan dalam undang-undang itu haruslah
berpadanan dengan sifat undang-undang yang dilanggar. Suatu sanksi
yang mungkin tepat untuk suatu tujuan tertentu, mungkin saja akan
dianggap tidak tepat untuk tujuan yang lain.
4. Berat sanksi yang diancamkan kepada si pelanggar tidaklah boleh
terlalu berat. Sangksi yang terlalu berat dan tak sebanding dengan
macam pelanggarannya akan menimbulkan keengganan dalam hati
para penegak hukum (khususnya para juri) untuk menerapkan sanksi
itu secara konsekuen terhadap orang-orang golongan tertentu.
5. Kemungkinan untuk mengamati dan menyidik perbuatan-perbuatan
yang dikaidahkan pada undang-undang harus ada. Hukum yang dibuat
untuk melarang perbuatan-perbuatan yang sulit dideteksi, tentulah
tidak mungkin efektif. Itulah sebabnya hukum berkehendak untuk
34
mengontrol kepercayaan-kepercayaan atau keyakinan-keyakinan orang
tidak mungkin efektif.
6. Hukuman yang mengandung larangan-larangan moral akan jauh lebih
efektif ketimbang hukum yang tidak selaras dengan kaidah-kaidah
moral, atau yang netral. Sering kali kita menjumpai hukum yang
demikian efektifnya, sehingga seolah-olah kehadirannya tak diperlukan
lagi, karena perbuatan-perbuatan yang tak dikehendaki itu juga sudah
dengan oleh daya kekuatan moral dan norma sosial. Akan tetapi, ada
juga hukum yang mencoba melarang perbuatan-perbuatan tertentu
sekalipun kaidah-kaidah moral tak berbicara apa-apa tentang perbuatan
itu, misalnya larangan menunggak pajak. Hukum seperti itu jelas kalah
efektif jika dibandingkan dengan hukum yang mengandung paham dan
pandangan moral di dalamnya.
7. Agar hukum itu bisa berlaku secara efektif, mereka yang bekerja
sebagai pelaksana-pelaksana hukum harus menunaikan tugas dengan
baik. Mereka harus mengumumkan undang-undang secara luas.
Mereka harus menafsirkannya secara seragam dan konsisten, serta
sedapat mungkin senapas atau senada dengan bunyi penafsiran yang
mungkin juga dicoba dilakukan oleh masyarakat yang terkena. Aparat-
aparat penegak hukum harus juga bekerja keras tanpa mengenal jemu
untuk menyidiki dan menuntut pelanggaran-pelanggaran.
8. Akhirnya, agar suatu undang-undang dapat efektif, suatu standar hidup
sosio-ekonomi yang minimal harus ada di dalam masyarakat. Pula, di
35
dalam masyarakat ini, ketertiban umum sedikit atau banyaknya harus
mudah terjaga.24
1.5.2.3. Teori Penegakan Hukum
Hukum adalah suatu sistem yang dibuat oleh manusia untuk membatasi
tingkah laku manusia agar tingkah laku tersebut dapat terkontrol dengan baik,
dapat berupa peraturan atau ketentuan-ketentuan tertulis maupun tidak tertulis
yang mengatur kehidupan manusia dan menyediakan sangsi bagi siapapun yang
melanggarnya. Hukum mempunyai tugas untuk menjamin adanya kepastian
hukum dalam masyarakat. Masyarakat berhak untuk mendapat pembelaan di
depan hukum. Penegakan hukum merupakan proses untuk tegaknya atau
berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman hubungan-
hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Menurut Lawrence Friedman, unsur-unsur sistem hukum itu terdiri dari
struktur hukum (legal structure), substansi hukum (legal substance) dan budaya
hukum (legal culture). Struktur hukum meliputi badan eksekutif, legislatif dan
yudikatif serta lembaga-lembaga terkait. Sedangkan substansi hukum adalah
mengenai norma, peraturan maupun undang-undang. Budaya hukum adalah
meliputi pandangan, kebiasaan maupun perilaku dari masyarakat mengenai
pemikiran nilai-nilai dan pengharapan dari sistim hukum yang berlaku, dengan
perkataan lain, budaya hukum itu adalah iklim dari pemikiran sosial tentang
bagaimana hukum itu diaplikasikan, dilanggar atau dilaksanakan.
24
Salim HS, Op. Cit, hal. 308-310
36
Tanpa budaya hukum sistem hukum itu sendiri tidak akan berdaya. Setiap
masyarakat, negara dan komunitas mempunyai budaya hukum. Selalu ada sikap
dan pendapat mengenai hukum. Hal ini tidak berarti bahwa setiap orang dalam
satu komunitas memberikan pemikiran yang sama.
Penegakan hukum, sebagaimana dirumuskan secara sederhana
oleh Satjipto Rahardjo, merupakan suatu proses untuk mewujudkan keinginan-
keinginan hukum menjadi kenyataan. Keinginan-keinginan hukum yang
dimaksudkan di sini yaitu yang merupakan pikiran-pikiran badan pembentuk
undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum itu.
Perumusan pikiran pembuat hukum yang dituangkan dalam peraturan hukum,
turut menentukan bagaimana penegakan hukum itu dijalankan.25
Dengan demikian pada gilirannya, proses penegakan hukum itu memuncak
pada pelaksanaannya oleh para pejabat penegak hukum itu sendiri. Keadaan ini,
dengan nada ekstrim dapat dikatakan bahwa keberhasilan ataupun kegagalan para
penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya sebetulnya sudah dimulai sejak
peraturan hukum yang harus dijalankan itu dibuat.26
Proses penegakan hukum, dalam pandangan Soerjono Soekanto,
dipengaruhi oleh lima faktor. Pertama, faktor hukum atau peraturan perundang-
undangan. Kedua, faktor aparat penegak hukumnya, yakni pihak-pihak yang
terlibat dalam peroses pembuatan dan penerapan hukumnya, yang berkaitan
dengan masalah mentalitas. Ketiga, faktor sarana atau fasilitas yang mendukung
25Satjipto Rahardjo, 1983, Masalah Penegakan Hukum, Sinar Baru,
Bandung, hal. 24 26Ibid, hal. 25
37
proses penegakan hukum. Keempat, faktor masyarakat, yakni lingkungan sosial di
mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan; berhubungan dengan kesadaran dan
kepatuhan hukum yang merefleksi dalam perilaku masyarakat. Kelima, faktor
kebudayaan, yakni hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia
di dalam pergaulan hidup.27
Sementara itu Satjipto Rahardjo, membedakan berbagai unsur yang
berpengaruh dalam proses penegakan hukum berdasarkan derajat kedekatannya
pada proses, yakni yang agak jauh dan yang agak dekat. Berdasarkan criteria
kedekatan tersebut, maka Satjipto Rahardjo membedakan tiga unsur utama yang
terlibat dalam proses penegakan hukum. Pertama, unsur pembuatan undang-
undang. Kedua, unsur penegakan hukum, dan ketiga, unsur lingkungan yang
meliputi pribadi warga negara dan sosial.28
Teori penegakan hukum ini dipergunakan dalam mengkaji mengenai
rumusan masalah nomor tiga, teori ini mengkaji mengenai penegakan pelanggaran
yang dilakukan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah yang melewati batas waktu atas
penyerahan permohonan peralihan hak atas tanah kepada Badan Pertanahan
Nasional.
1.6. Metode Penelitian
1.6.1. Jenis Penelitian
27Soerjono Soekanto, 1983, Penegakan Hukum, BPHN & Binacipta,
Jakarta, hal. 15 28Satjipto Rahardjo, op. cit., hal. 24
38
Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum empiris, karena pendekatan
masalah dari peraturan yang berlaku dan kenyataan yang ada pada masyarakat
dalam hal ini terdapat di Kabupaten Badung. Untuk mendukung perkembangan
ilmu hukum, tidak cukup hanya dilakukan dengan melakukan studi mengenai
sistem norma saja. Hukum yang kenyataannya dibuat dan diberlakukan oleh
manusia yang hidup dalam masyarakat. Artinya, keberadaan hukum tidak bisa
dilepaskan dari keadaan sosial masyarakat serta perilaku manusia yang terkait
dengan lembaga hukum tersebut.29
Penelitian empiris memiliki karakter yang beranjak dari adanya
kesenjangan antara das sollen dan das sein yaitu adanya kesenjangan antara teori
dan kenyataan, atau kesenjangan antara keadaan teoritis dengan fakta hukum,
dalam penelitian ini yang dimkasud adalah adanya kesenjangan dalam Peraturan
Menteri Negara Agraria Nomor 3 Tahun 1997 mengenai Ketentuan Pelaksanaan
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dengan
fakta hukum yang terjadi dimasyarakat.
1.6.2. Sifat Penelitian
Sifat penelitian adalah deskriptif, karena ingin menggambarkan kenyataan
yang terjadi di masyarakat dalam hal ini terdapat di Kabupaten Badung. Penelitian
deskriptif juga dapat membentuk teori-teori baru atau dapat memperkuat teori
yang sudah ada.
“Penelitian memungkinkan untuk melakukan hubungan antar variabel,
menguji hipotesis, mengembangkan generalisasi, dan mengembangkan teori
yang memiliki validitas universal. Di samping itu, penelitian deskriptif juga
29Mukti Fajar ND, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan
Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal. 44.
39
merupakan penelitian, dimana pengumpulan data untuk membandingkan
pertanyaan penelitian atau hipotesis yang berkaitan dengan keadaan dan
kejadian sekarang. Disajikan dengan melaporkan keadaan objek atau subjek
yang diteliti sesuai dengan apa adanya.”30
1.6.3. Data dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari dua sumber,
yaitu:
1. Data lapangan yang bersifat primer, yaitu data yang diperoleh terutama dari
penelitian yang dilakukan langsung pada Pejabat Pembuat Akta Tanah
wilayah kerja Kabupaten Badung dan Badan Pertanahan Nasional Kabupaten
Badung.
2. Data kepustakaan yang bersifat sekunder adalah data yang bersumber dari
penelitian kepustakaan yang terdiri dari:
a. Bahan hukum primer dapat berupa Kaedah Dasar (UUD Negara Republik
Indonesia 1945), Peraturan Perundang-Undangan, hukum yang tidak
tertulis seperti hukum adat, dan yuriprudensi. Bahan hukum primer yang
digunakan dalam penelitian ini, sebagai berikut ;
1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (terjemahan Prof. R. Subekti,
S.H., dan R. Tjitrosudibio).
2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar-Dasar
Pokok Agraria.
30Situs Resmi Universitas Negeri Makassar, 2009, Penelitian Deskriptif,
serial online 11 April 2009, (Cited 2012 may. 8), available from : URL :
http://www.penalaran-unm.org/index.php/artikel-nalar/penelitian/163-penelitian-
deskriptif.html
40
3. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah;
4. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan
Pejabat Pembuat Akta Tanah.
5. Peraturan Menteri negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional
nomor 3 Tahun 1997 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan
Pemerintah Nomer 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
b. Bahan hukum sekunder, yang terdiri dari buku-buku, literatur-literatur, dan
makalah yang berkaitan dengan masalah yang dibahas.
1.6.4. Teknik Pengumpulan Data
Untuk mengumpulkan data lapangan digunakan tehnik wawancara dengan
informan yakni Pejabat Pembuat Akta Tanah wilayah kerja Kabupaten Badung
dan Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Badung. Wawancara merupakan salah
satu teknik yang digunakan dalam penelitian hukum empiris. Dalam kegiatan
ilmiah, wawancara dilakukan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada
informan yang dirancang untuk memperoleh jawaban yang relevan dengan
masalah penelitian. Informan, adalah orang atau individu yang memberikan
informasi data yang dibutuhkan oleh peneliti sebatas yang diketahuinya. Informan
diperlukan di dalam penelitian empiris untuk mendapatkan data secara kualitatif.31
1.6.5. Teknik Penentuan Sampel Penelitian
Lokasi penelitian dalam penelitian ini ditetapkan dengan Teknik Purposive
Sampling, yaitu dengan cara penarikan sampel penelitian yang ditentukan sendiri
31M. Iqbal Hasan, 2002, Pokok-Pokok Materi Metode Penelitian Dan
Aplikasinya, Cet. I, Ghalia, Indonesia, Jakarta, hal. 175
41
oleh peneliti dan dilakukan berdasarkan tujuan tertentu di Kabupaten Badung.
Terpilihnya Kabupaten Badung sebagai lokasi penelitian karena Kabupaten
Badung merupakan wilayah yang paling banyak terdapat permohonan peralihan
hak atas tanah diantara Kabupaten dan Kota di Provinsi Bali dan terjadi
pelanggaran mengenai keterlambatan atau melebihi tujuh hari kerja untuk
pendaftaran peralihan hak atas tanah, berdasarkan data yang diperoleh dari
beberapa Kabupaten dan Kota di Provinsi Bali yang telah dipaparkan dalam latar
belakang di atas.
Penentuan informan dilakukan yaitu dengan mencari key informan
(informan kunci) yaitu Pejabat Pembuat Akta Tanah wilayah kerja di Kabupaten
Badung serta Pejabat yang berwenang dalam bidang Pendaftaran Peralihan Hak
atas Tanah di Kantor Badan Pertanahan Kabupaten Badung yang mengetahui,
memahami, dan berpengalaman sesuai dengan objek penelitian ini Kemudian dari
informan tersebut menunjuk informan lain untuk bisa melakukan penelitian lebih
lanjut.
1.6.6. Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Pengolahan data adalah kegiatan merapikan data, setelah semua data
terkumpul baik data lapangan lapangan dan data kepustakaan, kemudian
diklasifikasikan sesuai dengan masalah. Data tersebut dianalisa dengan teori-teori
yang relevan, kemudian disimpulkan untuk menjawab masalah. Akhirnya data
tersebut disajikan secara deskriptif kualitatif.
Dalam penelitian dengan teknik analisis kualitatif atau yang sering dikenal
dengan analisis deskriptif kualitatif maka keseluruhan data yang terkumpul baik
42
data primer maupun data sekunder, diolah dan dianalisis dengan menyusun data
secara sitematis, digolongkan dalam pola dan tema, dikatagorisasikan dan
diklasifikasikan, dihubungkan antara satu data dengan data lainnya, dilakukan
interpretasi untuk memahami makna data dalam situasi sosial, dan dilakukan
penafsiran dari perspektif peneliti setelah memahami keseluruhan kualitas data.
Proses analisis tersebut dilakukan secara terus menerus sejak pencarian data di
lapangan dan berlanjut terus hingga pada tahap analisa. Setelah dilakukan analisa
secara kualitatif kemudian data disajikan secara deskriptif kualitatif.32
32M.Iqbal. Hasan, op.cit, hal.138