bab i pendahuluan 1.1 latar belakang - sinta.unud.ac.id i.pdf · diberikan mandat sebagaimana...

42
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanah tidak pernah lepas dari aktifitas setiap manusia karena di atas tanah manusia melakukan kegiatan sehari-hari. Oleh sebab itu tanah merupakan elemen yang sangat dibutuhkan oleh setiap manusia, sehingga tanah sering menimbulkan banyak sengketa diantara manusia. Tanah memiliki fungsi dan kedudukan yang sangat penting dalam berbagai kehidupan terlebih lagi sebagai tempat bermukim/perumahan. Maraknya pembangunan di berbagai bidang kehidupan menyebabkan tanah menjadi komoditi yang mempunyai nilai ekonomi yang sangat tinggi dan sulit dikendalikan. Kondisi demikian terutama diakibatkan oleh kebutuhan lahan yang terus meningkat dengan sangat pesat sementara ketersediannya terbatas sehingga tidak jarang menimbulkan konflik pertanahan baik berupa konflik kepemilikan maupun konflik yang menyangkut penggunaan / peruntukan tanah itu sendiri. 1 Landasan yang ideal mengenai hukum agraria Nasional terdapat dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “Bumi air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Untuk melaksanakan amanat yang terdapat dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, pada tanggal 24 1 Adrian Sutedi, 2006, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya , Sinar Grafika, Jakarta, hal. 22

Upload: dinhkien

Post on 09-Jun-2019

248 views

Category:

Documents


9 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tanah tidak pernah lepas dari aktifitas setiap manusia karena di atas tanah

manusia melakukan kegiatan sehari-hari. Oleh sebab itu tanah merupakan elemen

yang sangat dibutuhkan oleh setiap manusia, sehingga tanah sering menimbulkan

banyak sengketa diantara manusia. Tanah memiliki fungsi dan kedudukan yang

sangat penting dalam berbagai kehidupan terlebih lagi sebagai tempat

bermukim/perumahan. Maraknya pembangunan di berbagai bidang kehidupan

menyebabkan tanah menjadi komoditi yang mempunyai nilai ekonomi yang

sangat tinggi dan sulit dikendalikan. Kondisi demikian terutama diakibatkan oleh

kebutuhan lahan yang terus meningkat dengan sangat pesat sementara

ketersediannya terbatas sehingga tidak jarang menimbulkan konflik pertanahan

baik berupa konflik kepemilikan maupun konflik yang menyangkut penggunaan /

peruntukan tanah itu sendiri.1

Landasan yang ideal mengenai hukum agraria Nasional terdapat dalam

Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

yang menyatakan bahwa “Bumi air dan kekayaan alam yang terkandung

didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat”. Untuk melaksanakan amanat yang terdapat dalam Pasal 33

ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, pada tanggal 24

1Adrian Sutedi, 2006, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya,

Sinar Grafika, Jakarta, hal. 22

2

September Tahun 1960 pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, yang dikenal atau

sering disebut UUPA.

Tujuan diundangkannya UUPA sebagaimana termuat dalam penjelasan

umum dari UUPA, yaitu :

1. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan Hukum Agraria Nasional,

yang akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran,

kebahagian dan keadilan bagi Negara dan rakyat, terutama rakyat tani,

dalam rangka masyarakat adil dan makmur;

2. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan

kesederhanaan hukum pertanahan;

3. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai

hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.

Undang-Undang Pokok Agraria berlandaskan pendirian bahwa untuk

mencapai apa yang termuat dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 negara sebagai kekuasaan tertinggi yang

diberikan mandat sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Pokok Agraria

dalam pasal 2 ayat (2) diberi wewenang untuk:

1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan

dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa.

2. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-

orang dengan bumi, air dan ruang angkasa.

3

3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum yang mengenai

bumi, air dan ruang angkasa.

Pembangunan Nasional Indonesia memerlukan perhatian dari berbagai

pihak yang ada, karena dalam pembangunan kebutuhan tanah akan semakin

meningkat dalam menunjang kegiatan ekonomi rakyat. Namun ketersedian tanah

amat sangat terbatas karena luas tanah yang ada tidak akan meningkat melainkan

malah berkurang. Jaminan kepastian hukum yang diperuntukkan bagi rakyat

Indonesia di bidang pertanahan adalah tujuan dari diundangkannya Undang-

Undang Pokok Agraria yang dapat terwujud dalam dua upaya yaitu:

1. Karena memerlukan perangkat hukum yang tertulis, lengkap, dan jelas

yang dilaksanakan dengan konsisten sesuai dengan jiwa dan isi

ketentuan-ketentuannya.

2. Untuk menanggapi masalah-masalah konkret yang sering terjadi dalam

hukum pertanahan, jaminan kepastian hukum belum cukup hanya

dengan tersedianya perangkat hukum yang memenuhi persyaratan,

tetapi juga dibutuhkan pendaftaran tanah yang memungkinkan para

pemegang hak atas tanah untuk dengan mudah membuktikan haknya

atas tanah yang dikuasainya, dan juga hal ini dapat mendorong

peningkatan ekonomi rakyat apabila terjadi jual beli maupun

perkreditan modern, hal ini perlu dicatatkan oleh pihak yang

berwenang, karena keterangan tersebut tersimpan dalam Kantor

Pertanahan sebagai penyelenggara perdaftaran tanah dan terbuka untuk

4

umum serta bagi pemerintah untuk melaksanakan kebijakan

pertanahan.2

Pendaftaran tanah adalah kewajiban Negara yang diselenggarakan oleh

Pemerintah untuk kepentingan masyarakat Republik Indonesia, yang terdapat

dalam Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria, yaitu : “Untuk menjamin

kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftran tanah diseluruh Wilayah

Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan

Pemerintah”

Ketentuan mengenai Pasal 19 ayat (1) yang terdapat dalam Undang-

Undang Pokok Agraria lebih lanjut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10

Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah. Namun dalam Peraturan Pemerintah di

atas dinyatakan tidak berlaku lagi dengan diundangkanya Peraturan Pemerintah

Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang ini disahkan pada tanggal

8 Juli 1997, yang berlaku sejak tanggal 8 Oktober 1997. Peraturan Pemerintah

Nomor 24 Tahun 1997 tersebut dilaksanakan oleh Peraturan Menteri

Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional (Permen Agraria/Kepala BPN)

Nomor 3 Tahun 1997 mengenai Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah

Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Pembaharuan hukum dalam

bidang pertanahan khususnya dalam pendaftaran tanah ini bertujuan untuk

mempermudah penyelenggaraan pendaftaran tanah bagi rakyar Indonesia dan

bertujuan untuk menjamin kepastian hukum dari tanah yang dimiliki oleh rakyat

Indonesia.

2Penjelasan Umum Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang

Pendaftaran Tanah.

5

Pendaftaran tanah yang dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24

Tahun 1997 dalam pasal 1 ayat (1) :

“adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus

menerus berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan,

pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data pisik dan yuridis, dalam

bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan

rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-

bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun

serta hak-hak tertentu yang membebaninya.3

Untuk melakukan proses pendaftaran tanah, Kepala Kantor Badan

Pertanahan Nasional Kabupaten atau Kota tidak dapat melakukan sendiri, namun

membutuhkan bantuan dari instansi-insatansi dan pejabat lainnya. Dalam hal ini

pejabat yang membantu Kepala Kantor Badan Pertanahan Nasional ini adalah

Pejabat Pembuat Akta Tanah berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun

1997 mengenai Pendaftaran Tanah. Pejabat lain yang juga membantu dalam

proses pendaftaran tanah adalah pejabat dari kantor lelang, Pejabat Pembuat Akta

Ikrar Wakaf, dan Panitia Ajudikasi.

Dalam Pelaksanaan pendaftaran tanah Pejabat Pembuat Akta Tanah

(PPAT) berperan penting, karena Pejabat Pembuat Akta Tanah tersebut membantu

Kepala Kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten atau Kota. Pasal 6 ayat (2)

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, terdapat

kata “dibantu”. Berdasarkan kata tersebut bukan berarti Pejabat Pembuat Akta

Tanah merupakan bawahan dari Badan Pertanahan Nasional dan dapat diperintah,

3Himpunan Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, 2008,

Koperasi Bhumi Bhakti, Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, Jakarta,

hal. 2.

6

melainkan Pejabat Pembuat Akta Tanah memiliki kemandirian dan tidak memihak

dalam melaksanakan kewenangan dan tugasnya.

Kewenagan yang dimiliki oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah

membuat data atau alat bukti tentang perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas

tanah yang akan dijadikan dasar pendaftaran tanah, sehingga dalam melakukan

proses pendaftaran tanah. Kantor Pertanahan mutlak memerlukan data atau alat

bukti yang harus dalam bentuk akta yang hanya boleh dibuat oleh Pejabat

Pembuat Akta Tanah. Dalam pendaftaran peralihan hak atas tanah yang dilakukan

oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah ditetapkan dalam Pasal 103 ayat (1) Peraturan

Menteri Negara Agraria Nomor 3 Tahun 1997 mengenai Ketentuan Pelaksanaan

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran tanah yaitu,

Pejabat Pembuat Akta Tanah wajib menyampaikan akta yang ditandatanganinya

beserta warkah-warkah lain kepada Kantor Pertanahan dalam jangka waktu tujuh

hari kerja sejak ditandatanganinya akta. Namun dalam kenyataanya berdasarkan

pengamatan pada beberapa Pejabat Pembuat Akta Tanah dan Badan Pertanahan

Nasional dibeberapa Kabupaten dan Kota terdapat pelanggaran keterlambatan

penyerahan pendaftaran peralihan hak atas tanah yang diatur dalam Pasal 103 ayat

(1) Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 3 Tahun 1997 mengenai Ketentuan

Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran

Tanah, dan belum ada pengaturan yang jelas dalam pelanggaran keterlambatan

tersebut.

Dampak keterlambatan penyerahan pendaftaran peralihan hak atas tanah

tersebut menyebabkan terhambatnya proses pendaftran tanah. Keterlambatan ini

7

berdampak besar terhadap pelayanan publik terhadap masyarakat. Serta belum

adanya pengaturan yang tegas sehingga Pejabat Pembuat Akta Tanah tersebut

sering mengabaikan ketentuan dari Pasal 103 ayat (1) Peraturan Menteri Negara

Agraria Nomor 3 Tahun 1997 mengenai Ketentuan Pelaksanaan Peraturan

Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Tabel 1: Jumlah Pendaftaran Tanah

No.

Kabupaten /Kota

Permohonan Pendaftaran Tanah

2010 2011 2012 2013

1 Denpasar 15.996 17.021 17.773 19.748

2 Badung 19.921 19.150 20.301 23.670

3 Gianyar 9.081 9.522 9.846 10,051

4 Tabanan 17.370 17.446 18.272 20.304

Sumber: Badan Pertanahan Nasional Kota Denpasar, Kabupaten Badung,

Kabupaten Gianyar, Kabupaten Tabanan.

Berdasarkan tabel di atas, jumlah permohonan peralihan hak atas tanah

tiga tahun terakhir ini di tiga Kabupaten dan Kota adalah sebagai berikut. Di Kota

Denpasar pada tahun 2010 terdapat 15.996 permohonan, pada tahun 2011 terdapat

17.021 permohonan, pada tahun 2012 terdapat 17.773 permohonan, pada tahun

2013 terdapat 19.748 permohonan. Jumlah permohonan peralihan hak atas tanah

di Kabupaten Gianyar pada tahun 2010 terdapat 9.081 permohonan, pada tahun

2011 terdapat 9.522 permohonan, pada tahun 2012 terdapat 9.846 permohonan,

pada tahun 2013 terdapat 10.051 permohonan. Jumlah permohonan peralihan hak

atas tanah di Kabupaten Tabanan pada tahun 2010 terdapat 17.370 permohonan,

pada tahun 2011 terdapat 17.446 permohonan, pada tahun 2012 terdapat 18.272

8

permohonan, pada tahun 2013 terdapat 20.304 permohonan. Jumlah pemohon

peralihan hak atas tanah di Kabupaten Badung pada tahun 2010 terdapat 19.921

pemohon peralihan hak atas tanah, pada tahun 2011 terdapat 19.150 pemohon

peralihan hak atas tanah, pada tahun 2012 terdapat 20.301 pemohon peralihan hak

atas tanah dan pada tahun 2013 terdapat sekitar 22.670 pemohonan.

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas menarik untuk dibuat dalam

bentuk karya ilmiah dalam bentuk tesis dengan judul “Implementasi Pasal 103

Ayat (1) Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 3 Tahun 1997 Tentang

Peraturan Pelaksanaan Pendaftaran Tanah (Studi Di Kabupaten Badung)”.

Untuk menunjukkan bahwa penelitian yang dilakukan ini adalah baru

maka di bawah ini disajikan beberapa tulisan yang ada kaitannya dengan peralihan

hak atas tanah yang dilakukan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah yaitu:

a. Penelitian yang dilakukan oleh Vitri Rahmawati, Program Magister

Kenotariatan Pascasarjana Universitas Diponogoro, Semarang, tahun 2010,

dengan judul tesis “Praktek Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Pertama Kali

Secara Sporadik Di Kabupaten Tangerang“, dengan rumusan masalah sebagai

berikut:

1. Bagaimana pelaksanaan pendaftaran tanah pertama kali secara sporadik

di Kabupaten Tangerang?

2. Bagaimana cara masyarakat melakukan pendaftaran tanah pertama kali

secara sporadik di Kabupaten Tangerang?

9

3. Apa faktor-faktor yang menjadi penghambat dan pendukung dalam

pelaksanaan pendaftaran tanah pertama kali secara sporadik di Kabupaten

Tangerang?

b. Penelitian yang dilakukan oleh Ade Restya Helda, Program Magister

Kenotariatan Program Pasca Sarjana Universitas Diponogoro, Semarang,

tahun 2008, dengan judul tesis: “Peran Dan Tanggung Jawab Pejaat Pembuat

Akta Tanah dalam Rangka Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Berdasarkan

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 (Studi Pada Wilayah Kerja Kota

Jambi)”, dengan rumusan masalah sebahai berikut:

1. Bagaimanakah peran dan tanggung jawab Pejabat Pembuat Akta Tanah

dalam pelaksanaan kegiatan pendaftaran tanah ?

2. Apakah kendala-kendala yang dihadapi oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah

di wilayah kerja Kota Jambi dalam pelaksanaan kegiatan pendaftaran

tanah?

c. Penelitian yang dilakukan oleh I Wayan Sueden, Program Magister

Kenotariatan Program Pasca Sarjana Universitas Udayana, Denpasar, tahun

2013, dengan judul tesis: “Tinjauan Pendaftaran Tanah Untuk Menjamin

Kepastian Hukum Hak Atas Tanah”, dengan rumusan masalah sebagai

berikut:

1. Apakah manfaat pendaftaran tanah dalam jaminan kepastian hukum

kepemilikan hak atas tanah?

2. Bagaimanakah upaya-upaya yang dilakukan agar pendaftaran tanah

memenuhi kepastian hukum?

10

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan

dalam tesis ini sebagai berikut:

1. Bagaimakah implementasi proses pendaftaran peralihan hak atas tanah

yang dilakukan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah di Kabupaten

Badung?

2. Faktor-faktor apakah yang menghambat pelaksanaan pendaftaran

peralihan hak atas tanah oleh Pejabat Pembuat Akta tanah di

Kabupaten Badung?

3. Bagaimanakah kebijakan yang diambil oleh Badan Pertanahan

Nasional Kanupaten Badung apabila terjadi keterlambatan dalam

penyerahan permohonan pendaftaran peralihan hak atas tanah?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini dapat dikualifikasikan atas tujuan yang bersifat

umum dan tujuan yang bersifat khusus, lebih lanjut dijelaskan sebagai berikut:

1.3.1. Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah mengetahui bagaimanakah peran

dari Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam proses pendaftaran peralihan hak atas

tanah yang terdapat di Kantor Pertanahan Kabupaten Badung.

1.3.2. Tujuan Khusus

11

1. Untuk mengetahui implementasi proses pelaksanaan pendaftarn peralihan hak

atas tanah oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah di Kantor Badan Pertanahan

Nasional Kabupaten Badung.

2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menghambat dalam proses peralihan hak

atas tanah yang dilakukan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah wilayah kerja

Kabupaten Badung.

3. Untuk mengetahui penagturan terhadap Pejabat Pembuat Akta Tanah yang

melebihi jangka waktu permohonan pendaftaran peralihan hak atas tanah

kepada Badan Pertanahan Nasional

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah kasanah ilmu hukum

umumnya, khususnya dibidang Pejabat Pembuat Akta Tanah membantu

masyarakat dalam pendaftran peralihan hak atas tanah. Selain itu penelitian ini

diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan

hukum, khususnya bidang hukum agraria dan bidang kenotariatan dan Pejabat

Pembuat Akta Tanah yang lebih khusus lagi mengenai pendaftaran peralihan hak

atas tanah di Kabupaten Badung.

1.4.2. Manfaat Praktis

Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi

kepada pemerintah yang dalam hal ini adalah Badan Pertanahan Nasional, Pejabat

12

Pembuat Akta Tanah dan masyarakat khususnya yang memiliki permasalahan

dalam hukum pertanahan.

1.5. Kerangka Konsep dan Landasan Teoritis

Landasan teoritis yang dipergunakan dalam penelitian ini meliputi teori-

teori serta konsep-konsep yang terkait dengan permasalahan, adapun teori-teori

serta konsep yang digunakan yakni:

1.5.1. Kerangka Konsep

1.5.1.1. Konsep Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)

Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah adalah pejabat umum yang diberi

kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum

tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, hal

ini tercantum dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan Perundang-Undangan Nomor 37

Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.

Pejabat Pembuat Akta Tanah memiliki tugas pokok sebagai pejabat yang

melakukan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai

bukti yang digunakan sebagai dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran

tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum tersebut.

Dalam ketentuan Peraturan Perundang-Undangan Nomor 37 Tahun 1998

tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah tidak menjelaskan

mengenai kode etik dari seorang Pejabat Pembuat Akat Tanah, namun dalam

peraturan yang lebih lanjut disebutkan dalam Pasal 28 ayat (2) huruf c Perka

BPN No. 1 Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No. 37 Tahun 1998

13

tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, disebutkan bahwa PPAT

diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya oleh Kepala Badan (BPN)

karena melanggar kode etik profesi. Kode etik profesi PPAT disusun oleh

Organisasi PPAT dan/atau PPAT Sementara dan ditetapkan oleh Kepala BPN

yang berlaku secara nasional (Pasal 69 Perka BPN 1/2006). Organisasi PPAT saat

ini adalah Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (IPPAT). Dalam haman resmi

IPPAT (ippatonline.com) dicantumkan Kode Etik Profesi PPAT yang berlaku saat

ini yaitu hasil keputusan Kongres IV IPPAT 31 Agustus – 1 September 2007.4

Pasal 1 angka 2 Kode Etik Profesi PPAT, disebutkan bahwa:

“Kode Etik PPAT dan untuk selanjutnya akan disebut Kode Etik adalah

seluruh kaidah moral yang ditentukan oleh Perkumpulan berdasarkan

keputusan kongres dan/atau yang ditentukan oleh dan diatur dalam

peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hal itu dan yang

berlaku bagi serta wajib ditaati oleh setiap dan semua anggota

Perkumpulan IPPAT dan semua orang yang menjalankan tugas jabatan

sebagai PPAT, termasuk di dalamnya para PPAT Pengganti.”

1.5.1.2. Konsep Pendaftaran Tanah

Pendaftaran tanah pada prinsipnya adalah suatu kegiatan penyelenggaraan

pendaftaran tanah yang dilakukan dalam rangka menjamin kepastian hukum dan

kepastian hak. Menurut A. P. Parlindungan, pendaftaran berasal dari kata cadaster

(Bahasa Belanda Kadaster) suatu istilah teknis suatu rekaman, menunjukkan

kepada luas, nilai dan kepemilikan terhadap suatu bidang tanah. Kata ini berasal

dari bahasa Latin “Capistratum” yaitu suatu register yang diperbuat untuk pajak

4Hukumonline.com, “Perbedaan Kode Etik Notaris Dan PPAT, (Cited

2012 Nov 22), Available from URL:

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt509f7875153dc/perbedaan-kode-

etik-notaris-dan-ppat

14

tanah Romawi. Dalam arti yang tegas, Cadaster adalah record pada lahan-lahan,

nilai daripada tanah dan pemegang haknya dan untuk kepentingan perpajakan.

Dengan demikian, Cadaster merupakan alat yang tepat yang memberikan uraian

dan identifikasi dari tersebut dam juga sebagai Continuous recording (rekaman

yang berkesinambungan) dari hak atas tanah.5

Menurut Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997

tentang Pendaftaran Tanah adalah :

“Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh

pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur,

meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta

pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar,

mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun,

termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang

tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun

serta hak-hak tertentu yang membebaninya”

Dalam Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997 tentang

Pendaftaran Tanah diuraikan hal-hal sebagai berikut :

a. Kata-kata “suatu rangkaian kegiatan”, menunjuk pada adanya

berbagai kegiatan dalam penyelenggaraan pendaftaran tanah, yang

berkaitan satu sama lain, berurutan menjadi satu kesatuan

rangkaian yang bermuara pada tersedianya data yang diperlukan

dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum dibidang

pertanahan bagi rakyat.

b. Kata “terus-menerus” menunjuk pada pelaksanaan kegiatan, yang

sekali dimulai tidak akan ada akhirnya. Data yang sudah terkumpul

5Urip Santoso, 2010, Pendaftaran Dan Peralihan Hak Atas Tanah,

Kencana, Jakarta, hal. 12

15

dan tersedia harus selalu dipelihara, dalam arti disesuaikan dengan

perubahan-perubahan yang terjadi kemudian, sehingga tetap sesuai

dengan keadaaan yang terakhir.

c. Kata “teratur” menunjukkan bahwa semua kegiatan harus

melandaskan peraturan perundang-undangan yang sesuai, karena

hasilnya akan merupakan data bukti menurut hukum, biarpun daya

kekuatan pembuktiannya tidak selalu sama dalam hukum negara-

negara yang melaksanakan Pendaftaran Tanah.

d. Yang dimaksud dengan wilayah adalah wilayah kesatuan

administrasi pendaftaran yang biasa meliputi suatu negara.

Sedangkan kata-kata “tanah-tanah tertentu” menunjuk pada obyek

Pendaftaran Tanah.

Ada 3 macam pendaftaran tanah yaitu :

1. Pendaftaran Tanah untuk kepentingan perpajakan (Fiscal

Kadaster).

Pendaftaran Tanah dilaksanakan dengan tujuan untuk menetapkan

besarnya pajak atas tanah tersebut. Pendaftaran tanah seperti ini

paling banyak dilakukan pada waktu jaman penjajahan Inggris.

2. Pendaftaran tanah untuk keperluan pencatatan / pengumpulan data

tanah (Aantal Kadaster).

Aantal Kadaster adalah Pendaftaran Tanah yang dilakukan dengan

tujuan untuk keperluan pencatatan serta pengumpulan data tentang

tanah-tanah yang ada disuatu daerah.

16

3. Pendaftaran Tanah untuk keperluan pembuktian hak atas tanah

(Rechts Kadaster).

Rechts Kadaster adalah Pendaftaran Tanah yang dilaksanakan

dengan tujuan agar terwujudnya kepastian hukum mengenai status

sebidang tanah, serta status pihak yang menjadi pemegang atas

tanah yang bersangkutan.

Berdasarkan pasal 19 Undang-undang Pokok Agraria sedikitnya terdapat

tiga hal pokok mengapa pendaftaran tanah itu penting untuk dilakukan dalam

kaitannya dengan kepastian hukum. Menurut Pasal 3 Peraturan Pemerintah

Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, tujuan pokok penyelenggaraan

pendaftaran tanah yang berhubungan dengan kepastian hukum adalah:

a. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum

kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun

dan hak-hak lain yang terdaftar, agar dengan mudah dapat

membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan;

b. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang

berkepentingan termasuk Pemerintah agar dengan mudah dapat

memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan

hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah

susun yang sudah terdaftar;

c. Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.

Adapun tujuan dari pendaftaran tanah ini haruslah berdasarkan asas

pendaftaran tanah yang menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun

17

1997 tentang Pendaftaran Tanah, bahwa pendaftaran dilaksanakan berdasarkan

asas sederhana, aman, terjangkau, mutakhir dan terbuka. Oleh karena berdasarkan

asas sederhana tersebut, ketentuan dan prosedur pendaftaran tanah tersebut

dengan mudah dapat dipahami oleh pihak yang berkepentingan, terutama

pemegang hak atas tanah. Sedangkan berdasarkan asas aman, hasilnya dapat

memberikan jaminan kepastian hukum, berdasarkan asas terjangkau, biaya

penyelenggaraan pendaftaran tanah harus dapat dijangkau oleh pihak-pihak

berkepentingan yang memiliki kemampuan ekonomi lemah, asas mutakhir bahwa

data yang tersedia harus menunjukan keadaan yang mutakhir, berkesinambungan,

terpelihara, dan tercatat setiap perubahannya, dan asas terbuka artinya bahwa

setiap data yang tersimpan di Kantor Pertanahan harus dalam keadaan nyata, serta

setiap orang dapat mengakses data tersebut setiap saat.

1.5.1.3. Konsep Pelayanan Publik

Pengaturan penyelenggaraan pelayanan publik didasarkan pada Undang-

Undang Dasar Negara Tahun 1945. Undang-Undang Dasar Negara 1945

merupakan landasan dasar filosofis bagi pengaturan pelayanan publik. Dalam

Undang-Undang Dasar negara Republik Indonesia 1945 mengamanatkan bahwa

kewajiban pemerintah sebagai penyelenggara utama pelayanan publik untuk

melayani kebutuhan publik yang lebih baik sesuai dengan prinsip-prinsip tata

kelola pemerintahan yang baik (good governance) dan demokratis, Amanat ini

tercermin dalam Pasal 18 ayat (2), ayat (6), Pasal 28 B ayat (2), Pasal 28 C ayat

(1), Pasal 28 D ayat (2), Pasal 28 F, Pasal 28 H ayat (1), Pasal 28 i ayat (2)

Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Pasal-pasal tersebut

18

merupakan amanat negara bahwa penyelenggaraan pelayanan publik harus

dikelola, diatur dan diselenggarakan untuk melayani kebutuhan masyarakat.

Istilah pelayanan umum di Indonesia seringkali diidentikkan dengan

pelayanan publik sebagai terjemahan dari pubic service. Konsepsi pelayanan

administrasi pemerintahan seringkali digunakan secara bersama-sama atau dipakai

sebagai sinomin dari konsepsi pelayanan perizinan dan pelayanan umum, serta

pelayanan publik. Menurut Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara

Dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2014 tentang

Pedoman Standar Pelayanan yang telah mengganti atau mencabut KEP. MEN.

PAN No. 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan

Pelayanan Publik. Definisi pelayanan publik adalah penyelenggara pelayanan

publik yang selanjutnya disebut penyelenggara adalah setiap institusi

penyelenggara negara, korporasi, lembaga independen yang dibentuk berdasarkan

Undang-Undang untuk kegiatan pelayanan publik dan badan hukum lain yang

dibentuk semata-mata untuk kegiatan pelayanan publik.

Menurut pasal 1 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang

Pelayanan Publik mendefiniskan pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian

kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan

perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa,

dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan

publik.

Berdasarkan perspektif hukum, pelayanan publik dilihat sebagai suatu

kewajiban yang diberikan oleh konstitusi atau peraturan perundang-undangan

19

kepada pemerintah untuk memenuhi hak-hak dasar masyarakat atas suatu

pelayanan.6

Menurut Kotler, pelayanan adalah setiap kegiatan yang menguntungkan

dalam suatu kumpulan atau kesatuan dan menawarkan kepuasan meskipun

hasilnya tidak terikat pada suatu produk secara fisik.7

Berdasarkan definisi tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa

pelayanan publik merupakan seperangkat norma hukum tentang pemenuhan

keinginan atau kebutuhan dari masyarakat oleh penyelenggara negara yang

dituangkan baik dengan tertulis maupun secara tidak tertulis atau lisan, yang

mengikat pemerintah sebagai pemberi pelayanan publik dan masyarakat sebagai

penerima layanan publik secara keseluruhan, disertai sanksi bagi para pelanggar

aturan tersebut.

Menurut Pasal 4 UU No 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik

mengemukakan asas-asas pelayanan publik adalah sebagai berikut:

a. Kepentingan umum;

b. Kepastian hukum;

c. Kesamaan hak;

d. Keseimbangan hak dan kewajiban;

e. Keprofesionalan;

f. Partisipatif;

g. Persamaan perlakuan atau tidak diskriminatif;

6Sirajuddin, 2012, Hukum Pelayanan Publik Berbasis Partisipasi Dan

Keterbukaan Informasi, Setara Press, Malang, hal. 12 7Ibid.

20

h. Keterbukaan;

i. Akuntabilitas;

j. Fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan;

k. Ketepatan waktu;

l. Kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan;

Penyelenggaraan pelayanan publik adalah setiap institusi penyelenggara

negara, korporasi, lembaga independen yang dibentuk berdasarkan undang-

undang untuk kegiatan pelayanan publik, dan badan hukum lain yang dibentuk

semata-mata untuk kegiatan pelayanan publik. Dalam Pasal 14 UU No. 25 Tahun

2009 tentang Pelayanan Publik menyatakan penyelenggara memiliki hak:

a. Memberikan pelayanan tanpa dihambat pihak lain yang bukan tugasnya;

b. Melakukan kerjasama;

c. Mempunyai anggaran pembiayaan penyelenggaraan pelayanan publik;

d. Melakukan pembelaan terhadap pengaduan dan tuntutan yang tidak sesuai

dengan kenyataan dalam penyelenggaraan pelayanan publik;dan

e. Menolak permintaan pelayanan yang bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan.

Dalam Pasal 15 UU No.25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik

penyelenggaran berkewajiban:

a. Menyusun dan menetapkan standar pelayanan;

b. Menyusun, menetapkan, dan memublikasikan maklumat pelayanan;

c. Menempatkan pelaksana yang kompeten;

21

d. Menyediakan sarana, prasarana, dan/atau fasilitas pelayanan publik yang

mendukung terciptanya iklim pelayanan yang memadai;

Konsep pelayanan publik ini digunakan untuk mengkaji rumusan masalaha

nomor dua. Konsep ini bertujuan untuk mengkaji Pejabat Pembuat Akta Tanah

merupakan aparatur negara yang ditunjuk oleh negara berdasarkan Peraturan

Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat

Akta Tanah, sehingga Pejabat Pembuat Akta Tanah berkewajiban untuk

memenuhi standarisasi yang terdapat dalam Peraturan Menteri Pendayagunaan

Aparatur Negara Dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 15 Tahun

2014 tentang Pedoman Standar Pelayanan, serta menjalankan dengan benar apa

yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan

Publik demi membantu dan mempermudah warga negara dalam bidang hukum

pertananahan khususnya dalam peralihan hak atas tanah yang sering dilakukan

oleh masyarakat.

1.5.2. Landasan Teoritis

1.5.2.1. Teori Tanggung jawab

Teori tanggung jawab yang dalam bahasa Inggris disebut dengan the

theory of legal liability, merupakan teori yang menganalisis mengenai tanggung

jawab pelaku atau yang sering disebut dengan subyek hukum yang telah

melakukan perbuatan hukum yang merugikan pihak lain. Dalam bahasa Indonesia

kata tanggung jawab berarti keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (jika

terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan, dan sebagainya).

Menanggung diartikan merupakan bersedia memikul biaya (mengurus,

22

memelihara), menjamin, menyatakan keadaan kesediaan untuk melaksanakan

kewajiban.8

Liability merupakan istilah hukum yang luas yang menunjuk hampir

semua karakter risiko atau tanggung jawab, yang pasti, yang bergantung atau yang

mungkin meliputi semua karakter hak dan kewajiban secara aktual atau potensial

seperti kerugian, ancaman, kejahatan, biaya atau kondisi yang menciptakan tugas

untuk melaksanakan undang-undang. Dalam pengertian dan penggunaan praktis,

istilah liability menunjuk pada pertanggungjawaban hukum, yaitu tanggung gugat

akibat kesalahan yang dilakukan oleh subyek hukum.9

Mengenai persoalan pertanggungjawaban pejabat menurut Kranenburg

dan Vegtig ada dua teori yang melandasinya yaitu:

a. teori fautes personalles, yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian

terhadap pihak ketiga dibebankan kepada pejabat yang karena

tindakannya itu telah menimbulkan kerugian. Dalam teori ini beban

tanggung jawab ditujukan pada manusia selaku pribadi.

b. teori fautes de services, yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian

terhadap pihak ketiga dibebankan pada instansi dari pejabat yang

bersangkutan. Menurut teori ini tanggung jawab dibebankan kepada

jabatan. Dalam penerapannya, kerugian yang timbul itu disesuaikan

pula apakah kesalahan yang dilakukan itu merupakan kesalahan berat

8Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1989, Kamus Besar Bahasa

Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hal. 899. 9Ridwan H.R., 2006, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada,

Jakarta, hal. 335-337.

23

atau kesalahan ringan, dimana berat dan ringannya suatu kesalahan

berimplikasi pada tanggung jawab yang harus ditanggung.10

Secara umum prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat

dibedakan sebagai berikut:

1. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Unsur Kesalahan

Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (fault

liability atauliability based on fault) adalah prinsip yang cukup umum

berlaku dalam hukum pidana dan perdata. Dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata, khususnya pasal 1365, 1366, dan 1367, prinsip ini

dipegang secara teguh. Prinsip ini menyatakan, seseorang baru dapat

dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur

kesalahan yang dilakukannya.

Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang lazim dikenal

sebagai pasal tentang perbuatan melawan hukum, mengharuskan

terpenuhinya empat unsur pokok, yaitu:

a. adanya perbuatan;

b. adanya unsur kesalahan;

c. adanya kerugian yang diderita;

d. adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian.

Yang dimaksud kesalahan adalah unsur yang bertentangan dengan hukum.

Pengertian hukum tidak hanya bertentangan dengan undang-undang tetapi

juga kepatutan dan kesusilaan dalam masyarakat.11

10Ibid, hal. 365

24

2. Prinsip Praduga Untuk Selalu Bertanggung Jawab

Prinsip ini menyatakan bahwa tergugat selalu dianggap bertanggung jawab

(presumption of liability principle), sampai ia dapat membuktikan bahwa

ia tidak bersalah. Kata “dianggap” pada prinsip “presumption of liability”

adalah penting, karena ada kemungkinan tergugat membebaskan diri dari

tanggung jawab, yaitu dalam hal ia dapat membuktikan bahwa ia telah

“mengambil” semua tindakan yang diperlukan untuk menghindarkan

terjadinya kerugian. Dalam prinsip ini, beban pembuktiannya ada pada si

tergugat. Dalam hal ini tampak beban pembuktian terbalik (omkering van

bewijslast). Hal ini tentu bertentangan dengan asas hukum praduga tidak

bersalah (presumption of innocence). Namun jika diterapkan dalam kasus

konsumen akan tampak asas demikian cukup relevan. Jika digunakan teori

ini, maka yang berkewajiban untuk membuktikan kesalahan itu ada pada

pihak pelaku usaha yang digugat. Tergugat harus menghadirkan bukti-

bukti bahwa dirinya tidak bersalah. Tentu saja konsumen tidak dapat

sekehendak hati mengajukan gugatan. Posisi konsumen sebagai penggugat

selalu terbuka untuk digugat balik oleh pelaku usaha, jika ia gagal

menunjukkan kesalahan tergugat.12

3. Prinsip Praduga Untuk Tidak Selalu Bertanggung Jawab

11Shidarta, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Edisi Revisi,

Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, hal. 73-79. 12E. Suherman, 1979, Masalah Tanggung Jawab Pada Charter Pesawat

Udara Dan Beberapa Masalah Lain Dalam Bidang Penerbangan (Kumpulan

Karangan), Cet. II, Alumni, Bandung, hal. 21.

25

Prinsip ini adalah kebalikan dari prinsip yang kedua, prinsip praduga

untuk tidak selalu bertanggung jawab hanya dikenal dalam lingkup

transaksi konsumen yang sangat terbatas. Contoh dari penerapan prinsip

ini adalah pada hukum pengangkutan. Kehilangan atau kerusakan pada

bagasi kabin atau bagasi tangan, yang biasanya dibawa dan diawasi oleh

penumpang (konsumen) adalah tanggung jawab dari penumpang. Dalam

hal ini pengangkut (pelaku usaha) tidak dapat dimintakan

pertanggungjawabannya. Pihak yang dibebankan untuk membuktikan

kesalahan itu ada pada konsumen.

4. Prinsip Tanggung Jawab Mutlak

Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) sering diidentikkan dengan

prinsip tanggung jawab absolut (absolute liability). Kendati demikian ada

pula para ahli yang membedakan kedua terminologi di atas. Ada pendapat

yang menyatakan, strict liability adalah prinsip tanggung jawab yang

menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan. Namun ada

pengecualian-pengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskan dari

tanggung jawab, misalnya pada keadaan force majeure.

Sebaliknya absolute liability adalah prinsip tanggung jawab tanpa

kesalahan dan tidak ada pengecualiannya.

Menurut E. Suherman, strict liability disamakan dengan absolute liability,

dalam prinsip ini tidak ada kemungkinan untuk membebaskan diri dari

26

tanggung jawab, kecuali apabila kerugian yang timbul karena kesalahan

pihak yang dirugikan sendiri. Tanggung jawab adalah mutlak.13

5. Prinsip Tanggung Jawab Dengan Pembatasan

Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (limitation of liability

principle) ini sangat disenangi oleh pelaku usaha untuk dicantumkan

sebagai klausula eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya.

Dalam ketentuan pasal 19 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen ditentukan bahwa pelaku usaha

bertanggung jawab memberikan ganti kerugian atas kerusakan,

pencemaran dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang

dan/atau jasa yang dihasilkan.

Dalam kaitan dengan pelaksanaan jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah

diperlukan tanggung jawab profesional berhubungan dengan jasa yang diberikan.

Menurut Komar Kantaatmaja sebagaimana dikutip oleh Shidarta menyatakan

tanggung jawab profesional adalah tanggung jawab hukum (legal liability) dalam

hubungan dengan jasa profesional yang diberikan kepada klien. Tanggung jawab

profesional ini dapat timbul karena mereka (para penyedia jasa profesional) tidak

memenuhi perjanjian yang mereka sepakati dengan klien mereka atau akibat dari

kelalaian penyedia jasa tersebut mengakibatkan terjadinya perbuatan melawan

hukum.14

Dalam memberikan pelayanannya, profesional itu memiliki tanggung

jawab kepada diri sendiri dan kepada masyarakat. Bertanggung jawab kepada diri

13Ibid, hal. 23. 14Shidarta, op.cit., hlm. 82

27

sendiri, artinya bekerja karena integritas moral, intelektual dan profesional

merupakan bagian dari kehidupannya. Dalam memberikan pelayanan, seorang

profesional selalu mempertahankan cita-cita luhur profesi sesuai dengan tuntutan

kewajiban hati nuraninya. Bertanggung jawab kepada masyarakat, artinya mau

melakukan pelayanan kepada masyarakat tanpa memandang dari segi materi saja,

namun pelayanan yang berdampak positif bagi masyarakat berdasarkan

pengabdian berdasarkan tanggung jawab profesi. Bertanggung jawab juga berani

menanggung segala resiko yang timbul akibat dari pelayanannya itu. Kelalaian

dalam melaksanakan profesi menimbulkan dampak yang membahayakan atau

mungkin merugikan diri sendiri dan orang lain.15

Dalam menjalankan jabatannya Pejabat Pembuat Akta Tanah mempunyai

tanggung jawab moral terhadap profesinya. Menurut Paul F. Camanisch

sebagaimana dikutip oleh K. Bertens menyatakan bahwa profesi adalah suatu

masyarakat moral (moral community) yang memiliki cita-cita dan nilai-nilai

bersama. Kelompok profesi memiliki kekuasaan sendiri dan tanggung jawab

khusus. Sebagai profesi, kelompok ini mempunyai acuan yang disebut Kode Etik

Profesi.16

Berdasarkan uraian tersebut di atas, teori tanggung jawab ini akan

dipergunakan dalam menganalisis rumusan masalah pada nomor satu, karena

dalam dalam proses permohonan peralihan hak atas tanah merupakan

tanggungjawab dari Pejabat Pembuat Akta Tanah.

15Abdulkadir Muhamad, 2001, Etika Profesi Hukum, Citra Aditya Bakti,

Bandung, hal. 60. 16E. Sumaryono, 1995, Etika Profesi Hukum: Norma-Norma Bagi Penegak

Hukum, Kanisivs, Yogyakarta, hlm. 147.

28

1.5.2.2. Teori Efektifitas Hukum

Istilah teori efektivitas hukum berasal dari terjemahan dari bahasa

Inggris, yaitu effectiveness of the legal theory, bahasa Belanda disebut dengan

effectiviteit van de juridische theorie, bahasa Jermannya, yaitu wirksamkeit der

rechtlichen theorie.17

Ada tiga suku kata yang terkandung dalam teori efektivitas hukum, yaitu

teori, efektivitas, dan hukum. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ada

dua istilah yang berkaitan dengan efektifitas, yaitu efektif dan keefektifan. Efektif

artinya (1) ada efeknya (akibatnya, pengaruhnya, kesannya), (2) manjur atau

mujarab, (3) dapat membawa hasil, berhasil guna (tentang usaha, tindakan), (4)

mulai berlaku (tentang undang-undang, peraturan), Keefektifan artinya (1)

keadaan berpengaruh, hal berkesan, (2) kemanjuran; kemujaraban, (3)

keberhasilan (usaha, tindakan) dan (4) hal mulai berlakunya (undang-undang,

peraturan).18

Peraturan perundang-undangan, baik yang tingkatannya lebih rendah

maupun yang lebih tinggi bertujuan agar masyarakat maupun aparatur penegak

hukum dapat melaksanakannya secara konsisten dan tanpa membedakan antara

masyarakat yang satu denga masyarakat lainnya. Semua orang dipandang sama di

hadapan hukum (equality before the law). Namun dalam realitasnya peraturan

yang ditetapkan tersebut sering dilanggar, sehingga aturan itu tidak berlaku

17

Salim HS dan Erlies Septianan Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada

Penelitian Tesis dan Disertasi, Jakarta, Raja Grafindo, Cetakan 1, 2013, hlm.

301. 18

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa

Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1989, hlm 219.

29

efektif. Tidak efektifnya undang-undang bisa disebabkan karena undang-

undangnya kabur atau tidak jelas, aparatnya yang tidak konsisten dan atau

masyarakatnya tidak mendukung pelaksanaan dari undang-undang tersebut.

Apabila undang-undang itu dilaksanakan dengan baik, maka undang-uandang itu

dikatakan efektif. Dikatakan efektif karena bunyi undang-undangnya jelas dan

tidak perlu adanya penafsiran, aparat menegakkan hukum secara konsisten dan

masyarakat yang terkena aturan tersebut sangat mendukungnya. Teori yang

mengkaji dan menganalisis tentang hal itu yaitu teori efektivitas hukum.19

Hans Kelsen menyajikan defenisi tentang efektivitas hukum adalah apakah

orang-orang pada kenyataannya berbuat menurut suatu cara untuk menghindari

sanksi yang diancamkan oleh norma hukum atau bukan, dan apakah sanksi

tersebut benar-benar dilaksanakan bila syaratnya terpenuhi atau tidak terpenuhi.20

Efektivitas dalam defenisi Hans Kelsen difokuskan pada subyek dan

sanksi. Subyek yang melaksanakannya, yaitu orang-orang atau badan hukum.

Orang-orang tersebut harus melaksanakan hukum sesuai dengan bunyi norma

hukum. Bagi orang-orang yang dikenai sanksi hukum benar-benar dilaksanakan

atau tidak.

Antony Allot mengemukakan tentang efektivitas hukum. Ia

mengemukakan bahwa hukum akan menjadi efektif jika tujuan keberadaannya

dan penerapannya dapat mencegah perbuatan-perbuatan yang tidak diinginkan

dapat menghilangkan kekacauan. Hukum yang efektif secara umum dapat

19

Salim HS, Op. Cit hlm. 301. 20

Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, Bandung, Nusa

Media, 2006, hlm 39.

30

membuat apa yang dirancang dapat diwujudkan. Jika suatu kegagalan, maka

kemungkinan terjadi pembetulan secara gampang jika terjadi keharusan untuk

melaksanakan atau menerapkan hukum dalam suasana baru yang berbeda, hukum

akan sanggup menyelesaikannya.21

Menurut Anthony Allot tentang efektivitas hukum difokuskan pada

perwujudannya.Hukum yang efektif secara umum dapat membuat apa yang

dirancang dapat diwujudkan dalam kesejahteraan sosial masyarakat. Kedua

pandangan di atas hanya menyajikan tentang konsep efektivitas hukum, namun

tidak mengkaji tentang teori efektivitas hukum. Dengan melakukan sintesis

terhadap kedua pandangan di atas, maka dapat dikemukan tentang teori efektivitas

hukum.Teori efektivitas hukum adalah teori yang mengkaji dan menganalisis

tentang keberhasilan, kegagalan dan faktor-faktor yang mempengaruhi dalam

pelaksanaan dan penerapan hukum. Ada tiga fokus kajian teori efektivitas hukum,

yang meliputi:

a. keberhasilan dalam pelaksanaan hukum;

b. kegagalan dalam pelaksanaannya;

c. faktor-faktor yang mempengaruhinya.

Keberhasilan dalam pelaksanaan hukum adalah bahwa hukum yang dibuat

itu telah tercapai maksudnya. Maksud dari norma hukum adalah mengatur

kepentingan manusia. Apabila norma hukum itu ditaati dan dilaksanakan oleh

masyarakat maupun penegak hukum, maka pelaksanaan hukum itu dikatakan

efektif atau berhasil di dalam implementasinya. Kegagalan di dalam pelaksanaan

21

Salim HS, Op. Cit, hlm. 302-303

31

hukum adalah bahwa ketentuan-ketentuan hukum yang telah ditetapkan tidak

mencapai maksudnya atau tidak berhasil dalam implementasinya. Faktor-faktor

yang mempengaruhi adalah hal-hal yang ikut menyebabkan atau berpengaruh di

dalam pelaksanaan dan penerapan hukum tersebut. Faktor-faktor yang

mempengaruhi dapat dikaji dari aspek keberhasilannya dan aspek kegagalannya.

Bronislaw Malinowski (1884-1942) menyajikan teori efektivitas

pengendalian sosial atau hukum. Ia menyajikan teori efektivitas hukum dengan

menganalisis tiga masalah berikut ini, yang meliputi:

a. Dalam masyarakat modern, tata tertib kemasyarakatan dijaga

antara lain oleh suatu sistem pengendalaian sosial yang bersifat

memaksa, yaitu hukum.Untuk melaksanakannya, hukum didukung

oleh suatu sistem alat-alat kekuasaan (kepolisian, pengadilan dan

sebagainya) yang diorganisasi oleh suatu negara;

b. Dalam masyarakat primitif, alat-alat kekuasaan serupa itu kadang-

kadang tidak ada;

c. Dengan demikian, apakah dalam masyarakat primitif tidaka ada

hukum.22

Bronislaw Malinowski menganalisis efektivitas hukum dalam masyarakat.

Masyarakat dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:

a. Masyarakat modern; dan

b. Masyarakat primitif.

22

Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi, Jakarta, UI Press, 1987, hal

167-168.

32

Masyarakat modern merupakan masyarakat yang perekonomiannya

berdasarkan pasar secara luas, spesialisasi di bidang industri dan pemakaianm

teknologi canggih. Dalam masyarakat modern, hukum yang dibuat dan ditetapkan

oleh pejabat yang berwenang itu ditegakkan oleh kepolisian, pengadilan dan

sebagainya. Masyarakat primitif merupakan masyarakat yang mempunyai sistem

ekonomi yang sederhana. Dalam masyarakat primitif tidak mengenal alat-alat

kekuasaan. Lawrence M. Friedman mengemukakan tiga Komponen dari sistem

hukum. Ketiga komponen dimaksud meliputi struktur, substansi dan budaya

hukum.23

Struktur yaitu keseluruhan institusi hukum yang ada beserta aparatnya,

mencakup antara lain kepolisian dengan polisinya, kejaksaan dengan jaksanya,

pengadilan dengan para hakimnya, pengacara, dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil.

Substansi yaitu keseluruhan aturan hukum, norma hukum dan asas hukum, baik

yang tertulis maupun yang tidak tertulis termasuk putusan pengadilan. Kultur

hukum yaitu opini-opini, kepercayaan-kepercayaan (keyakinan-keyakinan),

kebiasaan-kebiasaan, cara berpikir dan cara bertindak, baik dari para aparat

penegak hukum maupun dari warga masyarakat, tentang hukum dan berbagai

fenomena yang berkaitan dengan hukum.

Menurut Howard dan Mummers bahwa ada delapan syarat agar hukum

dapat berlaku secara efektif. Kedelapan syarat tersebut adalah, sebagai berikut:

23

Lawrence, Friedman M, The Legal System A Social Science Perspective,

Russel Sage Foundation, New York, 1975 dalam Siswantoro Sunarso, 2004,

Penegakan Hukum Psikotropika Dalam Kajian Sosiologi Hukum, RajaGrafindo

Persada, Jakarta, hal. 7-9.

33

1. Undang-undang harus dirancang dengan baik, kaidah-kaidah yang

mematok harus dirumuskan secara jelas dan dapat dipahami dengan

penuh kepastian. Tanpa patokan-patokan yang jelas seperti itu, orang

sulit untuk mengetahui apa yang sesungguhnya diharuskan, sehingga

udang-undang tidak akan efektif.

2. Undang-undang itu dimana mungkin, seyogianya bersifat melarang

dan bukan bersifat mengharuskan. Dapat dikatakan bahwa hukum

prohibitur itu pada umumnya lebih mudah dilaksanakan ketimbang

hukum mandatur.

3. Sanksi yang diancamkan dalam undang-undang itu haruslah

berpadanan dengan sifat undang-undang yang dilanggar. Suatu sanksi

yang mungkin tepat untuk suatu tujuan tertentu, mungkin saja akan

dianggap tidak tepat untuk tujuan yang lain.

4. Berat sanksi yang diancamkan kepada si pelanggar tidaklah boleh

terlalu berat. Sangksi yang terlalu berat dan tak sebanding dengan

macam pelanggarannya akan menimbulkan keengganan dalam hati

para penegak hukum (khususnya para juri) untuk menerapkan sanksi

itu secara konsekuen terhadap orang-orang golongan tertentu.

5. Kemungkinan untuk mengamati dan menyidik perbuatan-perbuatan

yang dikaidahkan pada undang-undang harus ada. Hukum yang dibuat

untuk melarang perbuatan-perbuatan yang sulit dideteksi, tentulah

tidak mungkin efektif. Itulah sebabnya hukum berkehendak untuk

34

mengontrol kepercayaan-kepercayaan atau keyakinan-keyakinan orang

tidak mungkin efektif.

6. Hukuman yang mengandung larangan-larangan moral akan jauh lebih

efektif ketimbang hukum yang tidak selaras dengan kaidah-kaidah

moral, atau yang netral. Sering kali kita menjumpai hukum yang

demikian efektifnya, sehingga seolah-olah kehadirannya tak diperlukan

lagi, karena perbuatan-perbuatan yang tak dikehendaki itu juga sudah

dengan oleh daya kekuatan moral dan norma sosial. Akan tetapi, ada

juga hukum yang mencoba melarang perbuatan-perbuatan tertentu

sekalipun kaidah-kaidah moral tak berbicara apa-apa tentang perbuatan

itu, misalnya larangan menunggak pajak. Hukum seperti itu jelas kalah

efektif jika dibandingkan dengan hukum yang mengandung paham dan

pandangan moral di dalamnya.

7. Agar hukum itu bisa berlaku secara efektif, mereka yang bekerja

sebagai pelaksana-pelaksana hukum harus menunaikan tugas dengan

baik. Mereka harus mengumumkan undang-undang secara luas.

Mereka harus menafsirkannya secara seragam dan konsisten, serta

sedapat mungkin senapas atau senada dengan bunyi penafsiran yang

mungkin juga dicoba dilakukan oleh masyarakat yang terkena. Aparat-

aparat penegak hukum harus juga bekerja keras tanpa mengenal jemu

untuk menyidiki dan menuntut pelanggaran-pelanggaran.

8. Akhirnya, agar suatu undang-undang dapat efektif, suatu standar hidup

sosio-ekonomi yang minimal harus ada di dalam masyarakat. Pula, di

35

dalam masyarakat ini, ketertiban umum sedikit atau banyaknya harus

mudah terjaga.24

1.5.2.3. Teori Penegakan Hukum

Hukum adalah suatu sistem yang dibuat oleh manusia untuk membatasi

tingkah laku manusia agar tingkah laku tersebut dapat terkontrol dengan baik,

dapat berupa peraturan atau ketentuan-ketentuan tertulis maupun tidak tertulis

yang mengatur kehidupan manusia dan menyediakan sangsi bagi siapapun yang

melanggarnya. Hukum mempunyai tugas untuk menjamin adanya kepastian

hukum dalam masyarakat. Masyarakat berhak untuk mendapat pembelaan di

depan hukum. Penegakan hukum merupakan proses untuk tegaknya atau

berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman hubungan-

hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Menurut Lawrence Friedman, unsur-unsur sistem hukum itu terdiri dari

struktur hukum (legal structure), substansi hukum (legal substance) dan budaya

hukum (legal culture). Struktur hukum meliputi badan eksekutif, legislatif dan

yudikatif serta lembaga-lembaga terkait. Sedangkan substansi hukum adalah

mengenai norma, peraturan maupun undang-undang. Budaya hukum adalah

meliputi pandangan, kebiasaan maupun perilaku dari masyarakat mengenai

pemikiran nilai-nilai dan pengharapan dari sistim hukum yang berlaku, dengan

perkataan lain, budaya hukum itu adalah iklim dari pemikiran sosial tentang

bagaimana hukum itu diaplikasikan, dilanggar atau dilaksanakan.

24

Salim HS, Op. Cit, hal. 308-310

36

Tanpa budaya hukum sistem hukum itu sendiri tidak akan berdaya. Setiap

masyarakat, negara dan komunitas mempunyai budaya hukum. Selalu ada sikap

dan pendapat mengenai hukum. Hal ini tidak berarti bahwa setiap orang dalam

satu komunitas memberikan pemikiran yang sama.

Penegakan hukum, sebagaimana dirumuskan secara sederhana

oleh Satjipto Rahardjo, merupakan suatu proses untuk mewujudkan keinginan-

keinginan hukum menjadi kenyataan. Keinginan-keinginan hukum yang

dimaksudkan di sini yaitu yang merupakan pikiran-pikiran badan pembentuk

undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum itu.

Perumusan pikiran pembuat hukum yang dituangkan dalam peraturan hukum,

turut menentukan bagaimana penegakan hukum itu dijalankan.25

Dengan demikian pada gilirannya, proses penegakan hukum itu memuncak

pada pelaksanaannya oleh para pejabat penegak hukum itu sendiri. Keadaan ini,

dengan nada ekstrim dapat dikatakan bahwa keberhasilan ataupun kegagalan para

penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya sebetulnya sudah dimulai sejak

peraturan hukum yang harus dijalankan itu dibuat.26

Proses penegakan hukum, dalam pandangan Soerjono Soekanto,

dipengaruhi oleh lima faktor. Pertama, faktor hukum atau peraturan perundang-

undangan. Kedua, faktor aparat penegak hukumnya, yakni pihak-pihak yang

terlibat dalam peroses pembuatan dan penerapan hukumnya, yang berkaitan

dengan masalah mentalitas. Ketiga, faktor sarana atau fasilitas yang mendukung

25Satjipto Rahardjo, 1983, Masalah Penegakan Hukum, Sinar Baru,

Bandung, hal. 24 26Ibid, hal. 25

37

proses penegakan hukum. Keempat, faktor masyarakat, yakni lingkungan sosial di

mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan; berhubungan dengan kesadaran dan

kepatuhan hukum yang merefleksi dalam perilaku masyarakat. Kelima, faktor

kebudayaan, yakni hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia

di dalam pergaulan hidup.27

Sementara itu Satjipto Rahardjo, membedakan berbagai unsur yang

berpengaruh dalam proses penegakan hukum berdasarkan derajat kedekatannya

pada proses, yakni yang agak jauh dan yang agak dekat. Berdasarkan criteria

kedekatan tersebut, maka Satjipto Rahardjo membedakan tiga unsur utama yang

terlibat dalam proses penegakan hukum. Pertama, unsur pembuatan undang-

undang. Kedua, unsur penegakan hukum, dan ketiga, unsur lingkungan yang

meliputi pribadi warga negara dan sosial.28

Teori penegakan hukum ini dipergunakan dalam mengkaji mengenai

rumusan masalah nomor tiga, teori ini mengkaji mengenai penegakan pelanggaran

yang dilakukan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah yang melewati batas waktu atas

penyerahan permohonan peralihan hak atas tanah kepada Badan Pertanahan

Nasional.

1.6. Metode Penelitian

1.6.1. Jenis Penelitian

27Soerjono Soekanto, 1983, Penegakan Hukum, BPHN & Binacipta,

Jakarta, hal. 15 28Satjipto Rahardjo, op. cit., hal. 24

38

Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum empiris, karena pendekatan

masalah dari peraturan yang berlaku dan kenyataan yang ada pada masyarakat

dalam hal ini terdapat di Kabupaten Badung. Untuk mendukung perkembangan

ilmu hukum, tidak cukup hanya dilakukan dengan melakukan studi mengenai

sistem norma saja. Hukum yang kenyataannya dibuat dan diberlakukan oleh

manusia yang hidup dalam masyarakat. Artinya, keberadaan hukum tidak bisa

dilepaskan dari keadaan sosial masyarakat serta perilaku manusia yang terkait

dengan lembaga hukum tersebut.29

Penelitian empiris memiliki karakter yang beranjak dari adanya

kesenjangan antara das sollen dan das sein yaitu adanya kesenjangan antara teori

dan kenyataan, atau kesenjangan antara keadaan teoritis dengan fakta hukum,

dalam penelitian ini yang dimkasud adalah adanya kesenjangan dalam Peraturan

Menteri Negara Agraria Nomor 3 Tahun 1997 mengenai Ketentuan Pelaksanaan

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dengan

fakta hukum yang terjadi dimasyarakat.

1.6.2. Sifat Penelitian

Sifat penelitian adalah deskriptif, karena ingin menggambarkan kenyataan

yang terjadi di masyarakat dalam hal ini terdapat di Kabupaten Badung. Penelitian

deskriptif juga dapat membentuk teori-teori baru atau dapat memperkuat teori

yang sudah ada.

“Penelitian memungkinkan untuk melakukan hubungan antar variabel,

menguji hipotesis, mengembangkan generalisasi, dan mengembangkan teori

yang memiliki validitas universal. Di samping itu, penelitian deskriptif juga

29Mukti Fajar ND, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan

Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal. 44.

39

merupakan penelitian, dimana pengumpulan data untuk membandingkan

pertanyaan penelitian atau hipotesis yang berkaitan dengan keadaan dan

kejadian sekarang. Disajikan dengan melaporkan keadaan objek atau subjek

yang diteliti sesuai dengan apa adanya.”30

1.6.3. Data dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari dua sumber,

yaitu:

1. Data lapangan yang bersifat primer, yaitu data yang diperoleh terutama dari

penelitian yang dilakukan langsung pada Pejabat Pembuat Akta Tanah

wilayah kerja Kabupaten Badung dan Badan Pertanahan Nasional Kabupaten

Badung.

2. Data kepustakaan yang bersifat sekunder adalah data yang bersumber dari

penelitian kepustakaan yang terdiri dari:

a. Bahan hukum primer dapat berupa Kaedah Dasar (UUD Negara Republik

Indonesia 1945), Peraturan Perundang-Undangan, hukum yang tidak

tertulis seperti hukum adat, dan yuriprudensi. Bahan hukum primer yang

digunakan dalam penelitian ini, sebagai berikut ;

1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (terjemahan Prof. R. Subekti,

S.H., dan R. Tjitrosudibio).

2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar-Dasar

Pokok Agraria.

30Situs Resmi Universitas Negeri Makassar, 2009, Penelitian Deskriptif,

serial online 11 April 2009, (Cited 2012 may. 8), available from : URL :

http://www.penalaran-unm.org/index.php/artikel-nalar/penelitian/163-penelitian-

deskriptif.html

40

3. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran

Tanah;

4. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan

Pejabat Pembuat Akta Tanah.

5. Peraturan Menteri negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional

nomor 3 Tahun 1997 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan

Pemerintah Nomer 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

b. Bahan hukum sekunder, yang terdiri dari buku-buku, literatur-literatur, dan

makalah yang berkaitan dengan masalah yang dibahas.

1.6.4. Teknik Pengumpulan Data

Untuk mengumpulkan data lapangan digunakan tehnik wawancara dengan

informan yakni Pejabat Pembuat Akta Tanah wilayah kerja Kabupaten Badung

dan Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Badung. Wawancara merupakan salah

satu teknik yang digunakan dalam penelitian hukum empiris. Dalam kegiatan

ilmiah, wawancara dilakukan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada

informan yang dirancang untuk memperoleh jawaban yang relevan dengan

masalah penelitian. Informan, adalah orang atau individu yang memberikan

informasi data yang dibutuhkan oleh peneliti sebatas yang diketahuinya. Informan

diperlukan di dalam penelitian empiris untuk mendapatkan data secara kualitatif.31

1.6.5. Teknik Penentuan Sampel Penelitian

Lokasi penelitian dalam penelitian ini ditetapkan dengan Teknik Purposive

Sampling, yaitu dengan cara penarikan sampel penelitian yang ditentukan sendiri

31M. Iqbal Hasan, 2002, Pokok-Pokok Materi Metode Penelitian Dan

Aplikasinya, Cet. I, Ghalia, Indonesia, Jakarta, hal. 175

41

oleh peneliti dan dilakukan berdasarkan tujuan tertentu di Kabupaten Badung.

Terpilihnya Kabupaten Badung sebagai lokasi penelitian karena Kabupaten

Badung merupakan wilayah yang paling banyak terdapat permohonan peralihan

hak atas tanah diantara Kabupaten dan Kota di Provinsi Bali dan terjadi

pelanggaran mengenai keterlambatan atau melebihi tujuh hari kerja untuk

pendaftaran peralihan hak atas tanah, berdasarkan data yang diperoleh dari

beberapa Kabupaten dan Kota di Provinsi Bali yang telah dipaparkan dalam latar

belakang di atas.

Penentuan informan dilakukan yaitu dengan mencari key informan

(informan kunci) yaitu Pejabat Pembuat Akta Tanah wilayah kerja di Kabupaten

Badung serta Pejabat yang berwenang dalam bidang Pendaftaran Peralihan Hak

atas Tanah di Kantor Badan Pertanahan Kabupaten Badung yang mengetahui,

memahami, dan berpengalaman sesuai dengan objek penelitian ini Kemudian dari

informan tersebut menunjuk informan lain untuk bisa melakukan penelitian lebih

lanjut.

1.6.6. Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Pengolahan data adalah kegiatan merapikan data, setelah semua data

terkumpul baik data lapangan lapangan dan data kepustakaan, kemudian

diklasifikasikan sesuai dengan masalah. Data tersebut dianalisa dengan teori-teori

yang relevan, kemudian disimpulkan untuk menjawab masalah. Akhirnya data

tersebut disajikan secara deskriptif kualitatif.

Dalam penelitian dengan teknik analisis kualitatif atau yang sering dikenal

dengan analisis deskriptif kualitatif maka keseluruhan data yang terkumpul baik

42

data primer maupun data sekunder, diolah dan dianalisis dengan menyusun data

secara sitematis, digolongkan dalam pola dan tema, dikatagorisasikan dan

diklasifikasikan, dihubungkan antara satu data dengan data lainnya, dilakukan

interpretasi untuk memahami makna data dalam situasi sosial, dan dilakukan

penafsiran dari perspektif peneliti setelah memahami keseluruhan kualitas data.

Proses analisis tersebut dilakukan secara terus menerus sejak pencarian data di

lapangan dan berlanjut terus hingga pada tahap analisa. Setelah dilakukan analisa

secara kualitatif kemudian data disajikan secara deskriptif kualitatif.32

32M.Iqbal. Hasan, op.cit, hal.138