bab i pendahuluan 1.1 latar belakang - sinta.unud.ac.id i suariga... · putusan pengadilan negeri...

48
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perjanjian menguasai begitu banyak bagian dalam kehidupan sosial manusia, sampai-sampai orang tidak tahu berapa banyak perjanjian yang telah dibuat setiap harinya. Dalam pengertiannya yang luas, perjanjian adalah kesepakatan yang mendefinisikan hubungan antara 2 (dua) pihak atau lebih. Dua orang yang sedang menjalin perjanjian perkawinan; seorang yang sedang memilih makanan di pasar, menjalin perjanjian untuk membeli makanan tersebut dalam jumlah tertentu. Sedang perjanjian komersial dalam pengertiannya yang paling sederhana adalah kesepakatan yang dibuat oleh 2 (dua) pihak atau lebih untuk melakukan transaksi bisnis. Menurut Munir Fuady 1 banyak definisi tentang perjanjian telah di berikan dan masing-masing bergantung kepada bagian-bagian mana dan perjanjian tersebut yang dianggap sangat penting, dan bagian tersebutlah yang ditonjolkan dalam definisi tersebut. Salah satu definisi perjanjian yang diberikan oleh Black’s Law Dictionary mengatakan : A mutual understanding between two or more persons about their relative rights and duties regarding past or future performances; a manifestation of mutual assent by two or more persons. 2 (Terjemahan bebas: Kesepakatan bersama antara dua orang atau lebih tentang hak dan kewajiban dalam hubungan mereka mengenai prestasi mereka di masa lalu dan masa mendatang; bentuk kesepakatan dari dua orang atau lebih). 1 Munir Fuady, 2001, Hukum Kontrak: Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, Cetakan Pertama, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 4. 2 Bryan A. Garner, 2009, Black’s Law Dictionary, St.Paul. Minnesota, West Publishing Co., USA, hal. 78. 1

Upload: lelien

Post on 02-May-2018

216 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perjanjian menguasai begitu banyak bagian dalam kehidupan sosial

manusia, sampai-sampai orang tidak tahu berapa banyak perjanjian yang telah

dibuat setiap harinya. Dalam pengertiannya yang luas, perjanjian adalah

kesepakatan yang mendefinisikan hubungan antara 2 (dua) pihak atau lebih. Dua

orang yang sedang menjalin perjanjian perkawinan; seorang yang sedang memilih

makanan di pasar, menjalin perjanjian untuk membeli makanan tersebut dalam

jumlah tertentu. Sedang perjanjian komersial dalam pengertiannya yang paling

sederhana adalah kesepakatan yang dibuat oleh 2 (dua) pihak atau lebih untuk

melakukan transaksi bisnis.

Menurut Munir Fuady1 banyak definisi tentang perjanjian telah di berikan

dan masing-masing bergantung kepada bagian-bagian mana dan perjanjian

tersebut yang dianggap sangat penting, dan bagian tersebutlah yang ditonjolkan

dalam definisi tersebut. Salah satu definisi perjanjian yang diberikan oleh Black’s

Law Dictionary mengatakan :

A mutual understanding between two or more persons about their relative rights and duties regarding past or future performances; a manifestation of mutual assent by two or more persons.2 (Terjemahan bebas: Kesepakatan bersama antara dua orang atau lebih tentang hak dan kewajiban dalam hubungan mereka mengenai prestasi mereka di masa lalu dan masa mendatang; bentuk kesepakatan dari dua orang atau lebih).

1Munir Fuady, 2001, Hukum Kontrak: Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, Cetakan Pertama, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 4.

2Bryan A. Garner, 2009, Black’s Law Dictionary, St.Paul. Minnesota, West Publishing Co., USA, hal. 78.

1

2

J. Satrio mengemukakan pendapatnya bahwa, perjanjian adalah peristiwa

yang menimbulkan dan berisi ketentuan-ketentuan hak dan kewajiban antara dua

pihak atau dengan perkataan lain bahwa perjanjian berisi perikatan.3

Menurut Pasal 1313 KUHPerdata, suatu perjanjian adalah suatu perbuatan

dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau

lebih. Dari peristiwa ini, muncul suatu hubungan antara dua orang tersebut yang

dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang

yang membuatanya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian

perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau

ditulis. Dengan demikian, hubungan antara perikatan dan perjanjian, adalah

bahwa perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan. Perjanjian, adalah sumber

perikatan.4

Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa perjanjian

adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebih yang didasarkan pada kata

sepakat atau saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.

Mengingat terjadinya perjanjian berdasarkan pada kata sepakat, maka asas

yang sangat mendasar dalam perjanjian adalah asas konsensualisme. Asas

konsensualisme menurut Subekti merupakan syarat mutlak bagi hukum perjanjian

modern bagi terciptanya kepastian hukum.5 Dengan asas ini, perjanjian harus

didasarkan pada konsensus atau kesepakatan dari pihak-pihak yang membuat

perjanjian. Dengan asas konsensualisme. perjanjian dikatakan telah lahir jika ada kata

3J. Satrio, 1995, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 5 (selanjutnya disebut J. Satrio I).

4Subekti, 1996, Hukum Perjanjian, Mandar Maju, Bandung, (selanjutnya disingkat Subekti I) hal. 1.

5Subekti, 1986, Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, Alumni, Bandung, (selanjutnya disingkat Subekti II) hal 5.

3

sepakat atau persesuaian kehendak diantara para pihak yang membuat perjanjian

tersebut.6 Sehingga dapat dikatakan bahwa tidak ada kata sepakat, tidak ada

perjanjian.

Menurut Subekti, asas konsensualime memiliki arti penting untuk

melahirkan perjanjian cukup dengan dicapainya kata sepakat mengenai hal-hal

pokok dari perjanjian tersebut. Dengan demikian, perjanjian sudah lahir pada saat

terjadinya konsensus atau kata sepakat.7 Asas konsensualisme tersebut menurut

Eggens merupakan puncak peningkatan puncak manusia yang disimpulkan dari

pepatah ”een maan een man, een woord een word.” Pepatah itu menytakan bahwa

diletakkannya kepercayaan pada perkataanya, orang itu ditingkat martabatnya

yang tertinggi sebagai manusia.8 Berdasarkan asas konsensualisme itu, dianut

paham bahwa sumber kewajiban kontraktual adalah bertemunya kehendak

(convergence of wills) atau konsensus para pihak yang membuat perjanjian.9

Ciri khas yang paling penting dari suatu perjanjian adalah adanya

kesepakatan bersama (mutual consent) para pihak. Kesepakatan bersama ini

bukan hanya merupakan karakteristik dalam pembuatan perjanjian, tetapi hal itu

penting sebagai suatu niat yang diungkapkan kepada pihak lain. Di samping itu,

sangat mungkin suatu perjanjian yang sah dibuat tanpa adanya kesepakatan

bersama.10

6Ridwan Khairandy, 2004, Iktikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak, Universitas Indonesia, Jakarta, (selanjutnya disingkat Ridwan Khairandy I), hal. 27.

7R. Subekti, 1995, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disingkat Subekti III) hal.35.

8R. Subekti II, op.cit, hal. 6. 9Ridwan Khairandy, 2013, Hukum Kontrak Indonesia dalam Perspektif

Perbandingan (Bagian Pertama), FH UII Press, Yogyakarta, (selanjutnya disingkat Ridwan Khairandy II), hal. 90.

10Arthur s’ Hartkamp and Marianne M.M. Tillema, 1993, Contract Law in the Netherlands, Deventer: Kluwer, hal 33.

4

Kata sepakat harus dibentuk berdasarkan kehendak bebas dan dalam

suasana yang bebas pula. Perjanjian itu dilahirkan ex nihilo, yakni perjanjian

sebagai perwujudan kebebasan kehendak (free will) dari para pihak yang

memberikan perjanjian. Perjanjian adalah hasil pilihan bebas. Tidak seorangpun

terikat pada perjanjian sepanjang tidak tidak dilakukan atas dasar pilihan bebas

untuk melakukan sesuatu kewajiban kontraktual hanya dapat diciptakan oleh

maksud dan kehendak para pihak. Perjanjian secara eksklusif merupakan kehendak

bebas dari para pihak yang membuat perjanjian.11 Dengan demikian, perjanjian harus

didasarkan pada sepakat para pihak yang mengadakan perjanjian. Kata sepakat harus

dibentuk berdasarkan kehendak bebas dan suasana yang bebas pula.

Kesepakatan dalam pembentukan perjanjian merupakan kesepakatan yang

”bulat” dan merupakan kesepakatan yang saling meneguntungkan (mutual

benefit). Di dalam praktik, seringkali kesepakatan merupakan hasil paksaan,

kekeliruan, atau penipuan. Kesepakatan memang terjadi, tetapi di dalam

kesepakatan misalnya mengandung unsur penipuan atau paksaan. Kesepakatan

yang demikian mengandung cacat kehendak.12

Cacat kehendak (wilsgebreken atau defect af consent) adalah kecacatan

pada pembentukan kata sepakat dalam suatu perjanjian. Cacat kehendak ini adalah

tidak sempurnanya kata sepakat. Apabila kesepakatan mengandung cacat

kehendak, memang tampak seolah-olah adanya kata sepakat, tetapi kata sepakat

itu dibentuk tidak berdasar kehendak bebas. Cacat kehendak ini biasanya terjadi

pada periode atau fase prakontrak.13

11Ridwan Khairandy II, Op.cit, hal. 84-85. 12Ridwan Khairandy II, Op.cit, hal. 217. 13Ridwan Khairandy II, Op.cit. hal. 218.

5

Kesepakatan di dalam pembentukan suatu perjanjian seharusnya

merupakan kesepakatan yang bulat dan merupakan kesepakatan yang saling

menguntungkan. Dalam praktik, seringkali kesepakatan didapat itu merupakan

hasil paksaan, penipuan, kekeliruan, atau penyalahgunaan keadaan. Kesepakatan

yang terjadi karena adanya salah satu unsur tersebut disebut kesepakatan yang

mengandung cacat kehendak.14

Sehubungan dengan hal itu Pasal 1321 KUHPerdata menyebutkan tiada

kesepakatan yang memiliki kekuatan jika diberikan karena kekhilafan, atau

diperolehnya karena paksaan atau penipuan. Dengan demikian cacat kehendak

yang disebutkan dalam Pasal l32l KUHPerdata tersebut meliputi:

1. Kesesatan atau kekhilafan (dwaling);

2. Paksaan (dwang atau bedreiging); dan

3. Penipuan (bedrog).

Cacat kehendak yang disebutkan oleh Pasal l32l KUHPerdata tersebut

dinamakan cacat kehendak yang klasik. Selain cacat kehendak yang dimaksud

Pasal l32l KUHPerdata tersebut, di dalam praktik peradilan yang tercermin dari

yurisprudensi dikenal pula bentuk cacat kehendak yang keempat, yakni

penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheiden).15

Lembaga hukum (rechtsfiguur) penyalahgunaan keadaan (mishruik van

omstandigheiden) merupakan bentuk cacat kehendak yang baru dalam sistem

hukum perjanjian hukum Belanda. Hukum Perjanjian Belanda mengadopsi

lembaga penyalahgunaan keadaan ini dari hukum Inggris.16 Pada mulanya

14Ridwan Khairandy II, Op.cit. 15Ridwan Khairandy II, Op.cit. 16J.M. Van Dunne, 2002, Penyalahgunaan Keadaan, Kursus Hukum Perikatan

Bagian III, terjemahan Sudikno Mertokusumo, 1987, Dewan Kerjasama Ilmu Hukum Belanda Dengan Indonesia, Proyek Hukum Perdata, Medan, hal. 16-27.

6

penyalahgunaan keadaan ini di dalam hukum Belanda berkembang dalam

yurisprudensi. Sekarang lembaga ini diatur di dalam Artikel 3.44.4 Nederland

Bugerlijk Wetboek (biasa disebut sebagai Niuwe Bw, BwBaru).17 Di Indonesia,

lembaga ini belum ada pengaturannya dalam KUHPerdata, tetapi ia telah diterima

dalam yurisprudensi18 sebagai bentuk cacat kehendak yang keempat.

Penyalahgunaan keadaan dalam perjanjian sebagai cacat kehendak yang

diintroduksikan oleh pengadilan melalui yurisprudensi Indonesia setidaknya

menimbulkan dua permasalahan, yakni: pertama, penggunaan penyalahgunaan

perjanjian seringkali bertumpangtindih dengan iktikad baik; dan kedua, belum

jelasnya tolok ukur untuk menentukan ada tidaknya penyalahgunaan keadaan

yang dibangun pengadilan.

Penyalahgunaan keadaan terjadi manakala seseorang di dalam suatu

perjanjian dipengaruhi oleh suatu hal yang menghalanginya untuk melakukan

penilaian (judgment) yang bebas dari pihak lainnya, sehingga ia tidak dapat

mengambil putusan yang independen.19 Penekanan tersebut dapat dilakukan

karena salah satu pihak memiliki kedudukan khusus (misalnya kedudukan yang

dominan atau memiliki yang bersifat fiduciary dan confidence).20 Van Dunne

menyatakan bahwa penyalahgunaan keadaan tersebut dapat terjadi karena

keunggulan ekonomi maupun karena kejiwaan.21

17 Ridwan Khairandy I, Op.cit, hal. 89. 18Putusan Pengadilan Negeri Magelang Nomor

35/Pdt.G/2003/PN.Kab.Mgl, pada kasus jual beli tanah antara Tolani sebagai Penggugat dan Endang Billy Setiawan; dan Pututsan Mahkamah Agung Nomor 1992 K/Pdt/2010, pada kasus jual beli tanah antara Maonah dan Herman Santosa.

19Chaterine Tay Swee Kian dan Tang See chim, 1987, Contract Law, Times Book Intemational, Singapore, hal. 80. Lihat juga Paul Latimer, 1997, Australian Business Law, CH Australia Limted, Sydney, hal. 327-329.

20A.G. Guest, (ed), 1979, Anson’s Law of Contract, Clarendon Press, Oxford, hal. 2.

21J.M. Van Dunne, Op.Cit, hal. 16-27.

7

Pihak yang memiliki kedudukan khusus itu mengambil keuntungan secara

tidak pantas dari pihak yang lainnya yang lebih lemah. Hal tersebut dilakukan

tanpa adanya paksaan atau penipuan. Di sini terdapat ketidakseimbangan hubungan

proses terjadinya kontrak. Konsep penyalahgunaan keadaan tidak mencari dasar

pembenarannya pada doktrin kausa hukum yang tidak halal, melainkan pada cacat

kehendak.22

Penyalahgunaan keadaan dapat mengakibatkan suatu perjanjian tidak

mempunyai kekuatan hukum, kalau perjanjian itu diadakan dengan bertolak dari

suatu penyebab yang bertentangan dengan moralitas yang baik dan penggunaan

keadaan yang mengakibatkan pihak lawan tidak dapat mengambil putusan yang

bersifat independen.

Batalnya suatu perjanjian karena penyalahgunaan keadaan sama sekali

tidak mutlak adanya satu taraf tertentu atau satu bentuk tertentu dari hal yang

merugikan itu. Dirugikannya salah satu dari pihak-pihak hanya merupakan salah

satu dari faktor-faktor yang di samping semua keterangan-keterangan lain seperti

sifat dari keadaan-keadaan yang digunakan cara berlangsungnya penggunaan itu

dan hubungan antara pihak-pihak menentukan apakah perjanjian itu bertolak satu

sebab yang bertentangan dengan moralitas yang baik.23

Dalam perkembangan hukum adanya penyalahgunaan keadaan dapat

dijadikan alasan untuk membatalkan suatu perjanjian, meskipun hal ini secara

tegas tidak diatur dalam KUHPerdata (norma kosong), khususnya dalam pasal-

pasal yang menyebutkan tentang alasan-alasan kebatalan yaitu Pasal 1322

22Setiawan, 1993, “Menurunnya Supremasi Azas Kebebasan Berkontrak”, Newsletter, No. l5, Vol.lV.

23Ibid. hal. 84-85.

8

KUHPerdata tentang kekhilafan, Pasal 1323 KUHPerdata tentang paksaan dan

Pasal 1328 KUHPerdata tentang penipuan, sebagai alasan pembatalan perjanjian.

Berkembangnya ajaran penyalahgunaan keadaan di Indonesia telah

didukung oleh beberapa putusan hakim melalui lembaga peradilan yang

memberikan pertimbangan dalam suatu sengketa perdata mengenai perjanjian

antara penggugat dengan tergugat dimana berdasarkan fakta-fakta yang terungkap

di persidangan perjanjian tersebut telah dinilai tidak adil (unfair), sehingga

merugikan pihak yang posisinya lemah.24

Menggolongkan penyalahgunaan keadaan sebagai salah satu bentuk cacat

kehendak lebih sesuai dengan kebutuhan konstruksi hukum dalam hal seseorang

yang dirugikan menuntut pembatalan perjanjian. Gugatan atas dasar

penyalahgunaan keadaan terjadi dengan suatu tujuan tertentu. Penggugat

seharusnya mendalilkan bahwa perjanjian itu sebenarnya tidak ia kehendaki atau

bahwa perjanjian itu tidak ia kehendaki dalam bentuknya yang demikian.25

Terhadap pendapat yang menggolongkan penyalahgunaan keadaan itu ke dalam

“sebab yang tidak dibolehkan,” J.M van Dunne dan Gr van den Burght

mengajukan adanya keberatan baberapa penulis, diperinci sebagai berikut:26

Dalam ajaran hukum, pengertian tentang sebab ini diartikan sedemikian,

sehingga perjanjian berhubungan dengan tujuan atau dimaksud bertentangan

24Putusan Pengadilan Negeri Magelang Nomor 35/Pdt.G/2003/PN.Kab.Mgl, pada kasus jual beli tanah antara Tolani sebagai Penggugat dan Endang Billy Setiawan; dan Pututsan Mahkamah Agung Nomor 1992 K/Pdt/2010, pada kasus jual beli tanah antara Maonah dan Herman Santosa.

25Ibid, hal. 185. 26Henry P. Panggabean, 2001, Penyalahgunaan Keadaan (Misbruik van

omstandigheden) sebagai Alasan (Baru) Pembatalan Perjanjian, Liberty, Yogyakarta, hal. 42.

9

dengan undang-undang, kebiasaan yang tidak baik atau ketertiban. Pengertian

“sebab yang tidak diperbolehkan” itu, dulu dihubungkan dengan isi perjanjian.

Pada penyalahgunaan keadaan, tidaklah semata-mata berhubungan dengan isi

perjanjian, tetapi berhubungan dengan apa yang telah terjadi pada saat lahirnya

perjanjian, yaitu penyalahgunaan keadaan yang menyebabkan pernyataan

kehendak dan dengan sendirinya persetujuan satu pihak tanpa cacat.27

Apabila dilihat dari sisi kepentingan para pihak, maka perjanjian yang

demikian itu dari kreditur akan diuntungkan secara ekonomi karena posisinya

yang lebih kuat. Sebaliknya dari sisi debitor karena ia berada pada posisi yang

lemah maka ia akan dirugikan karena ia telah dihadapkan pada bentuk dan isi

perjanjian yang sebenarnya tidak dikehendaki, tetapi terpaksa disetujui karena

sudah tidak ada pilihan lagi baginya untuk mengemukakan suatu alternatif

terutama apabila format perjanjian telah dibakukan oleh kreditor.

Titik pangkal yang menjadikannya suatu perjanjian tidak seimbang adalah

karena pengaruh faktor ekonomi. Karena posisi kreditor yang secara ekonomis

kuat maka peluang kreditor untuk menyalahgunakan kekuasaan ekonomi

(misbruik van economish overwicht), maka sedemikian besar lemahnya posisi

debitor. Padahal, kehendak bebas para pihak dalam menentukan isi perjanjian

merupakan hal terpenting sebagai salah satu syarat untuk syahnya suatu

perjanjian. Z. Asikin Kusumah Atmadja menyatakan bahwa bagaimana

menciptakan adanya titik taut yang merupakan dasar bagi hakim untuk menilai

secara adil apakah suatu keadaan dapat ditafsirkan sebagai kakuasaan ekonomi

yang disalahgunakan.28

27Van Dunne dan Gr van der Burgt, Op.cit. hal 9. 28Setiawan, Op.cit, hal. 191.

10

Gejala penyalahgunaan keadaanya sendiri dalam suatu kontrak bukan

merupakan gejala yang baru. Adanya unsur seperti itu dalam kontrak sudah

dikenal sejak lama, yang baru adalah bahwa ia diakui sebagai alasan tersendiri di

luar cacat dalam kehendak yang tradisional untuk menuntut pembatalan kontrak

yang mengandung unsur seperti itu.29

Di Indonesia masalah penyalahgunaan keadaan belum diatur dalam

KUHPerdata (norma kosong). Kendatipun demikian sudah banyak hakim-hakim

atau pengadilan mendasarkan pertimbangan penyalahgunaan keadaan dalam

putusannya untuk membatalkan kontrak hingga akhirnya berkembang menjadi

yurisprudensi.

Ajaran mengenai penyalahgunaan keadaan tersebut merupakan hal yang

relatif baru di Indonesia, sehingga di dalam penempatannya masih menimbulkan

sejumlah permasalahan, misalnya menyangkut keberadaan ajaran tersebut, karena

penyalahgunaan keadaaan ini memang belum diatur dalam KUHPerdata.

Di dalam berbagai perkara, juga terlihat adanya ketidakjelasan kriteria

dalam menentukan ada tidaknya penyalahgunaan keadaan baik dari yang

didalilkan oleh penggugat maupun pertimbangan hukum majelis hakim, dan juga

permasalahan lain yang timbul dalam penerapan ajaran penyalahgunaan keadaan

tersebut adalah bagaimana atau apa tolak ukurnya seorang telah melakukan

penyalahgunaan keadaan tersebut. Ukuran itulah yang sebenarnya dapat menjadi

dasar bagi hakim dalam menerapkan doktrin tersebut.

Ajaran penyalahgunaan keadaan di Indonesia relatif baru. Berlaianan

dengan di Negara Belanda, doktrin penyalahgunaan keadaan belum dijadikan

29Henry P. Panggabean I, Op.cit, hal. 42.

11

sebagai hukum positif. Penerapan doktrin penyalahgunaan keadaan keadaan

dalam sistem civil law seperti Indonesia masih menimbulkan perdebatan. Dalam

sistem hukum telah dikenal adanya doktrin itikad baik yang mencakup itikad baik

dalam proses negosiasi dan penyusunan kontrak serta pelaksanaan kontrak. Selain

itu, seringkali dijumpai kesalahan dalam memahami makna penyalahgunaan

keadaan, bahkan ada yang menyamakan menyalahgunakan keadaan dengan

unconscionability. Keduanya memiliki kesamaan pada adanya ketidakseimbangan

posisi tawar menawar para pihak, tetapi di antara keduanya ada perbedaan.30

Kasus yang diangkat dalam penelitian ini adalah kasus penyalahgunaan keadaan

karena adanya unsur dwaling, dwang dan bedrog (kasus jual beli tanah Maonah

VS Herman Santosa) dan kasus penyalahgunaan keadaan karena adanya

ketidakseimbangan ekonomi (kasus PT. Telekomunikasi Indonesia, Tbk VS

PT.Natrindo Telepon Seluler).

Pada kasus jual beli tanah milik Maonah bermula dari kedatangan Herman

Santoso kurang lebih pada awal oktober 2006 yang intinya membujuk Maonah

supaya melepaskan haknya atas tanah tersebut untuk dibeli oleh Herman Santoso

dengan alasan untuk kepentingan sendiri, yaitu digunakan membuat kebun vanili.

Namun Herman Santoso menyembunyikan keadaan yang sebenarnya bahwa tanah

tersebut akan di jual kembali kepada Pemerintah Kota Magelang c.q . Walikota

Magelang dengan harga yang jauh lebih tinggi yang mengakibatkan Maonah

sangat dirugikan, karena tidak diberitahu keadaan yang sebenarnya tanah tersebut

akan dibeli oleh Pemerintah Kota Magelang c.q. Walikota Magelang untuk

pengembangan GOR Samapta dan Santoso memang bermaksud menyembunyikan

kenyataan tersebut untuk keuntungan Herman Santoso.

30 Ridwan Khairandy I, Op.cit, hal. 21-22.

12

Pada titel gugatannya Maonah mendalilkan "Perbuatan Melawan Hukum"

yang berupa penyalahgunaan keadaan dengan menyembunyikan tujuan pembelian

yang dilakukan Herman Santoso, namun pada materi lainnya Maonah menyatakan

perbuatan hukum Herman Santoso membeli tanah dari Maonah dan menjual

kepada Pemerintah Kota Magelang c.q . Walikota Magelang adalah tidak sesuai

dengan kepatutan dan kesusilaan serta tindakan melawan hukum adalah dalil yang

tidak didasarkan atas bukti yang kuat dan saling tidak berkesesuaian.

Terhadap gugatan tersebut Pengadilan Negeri Magelang telah mengambil

putusan, yaitu putusan No. 24/PDT/G/2008/PN.MGL., tangga l1 Juni 2009,

menyatakan Herman Santoso telah melakukan penyalahgunaan keadaan/

kesempatan untuk membeli tanah SHM No.86 atas nama Maonah sehingga

memutuskan batalnya jual beli di bawah tangan antara Maonah dan Herman

Santoso atas tanah SHM No.86 atas nama Maonah yang terletak di Dukuh

Sanden, Kelurahan Kramat, Kecamatan Magelang Utara, Kota Magelang.

Putusan Pengadilan Negeri tersebut telah dikuatkan oleh Pengadilan

Tinggi Semarang dengan putusan No. 288/Pdt/2009/PT.Smg., tanggal 10

November 2009. Putusan ini juga dikuatkan oleh Mahkamah Agung dalam

Putusan No. 1992 K/Pdt/2010.

Dalam kasus di atas secara tegas dinyatakan dalam kontrak tersebut adalah

bertentangan dengan kepatutan yang merupakan inti atau isi itikad baik. Dalam

hal ini terjadi penyalahgunaan keadaan yang dimungkinkan karena tidak adanya

itikad baik dari pembeli.31

31 Ridwan Khairandy I, Op.cit, hal. 23. Lihat juga Retnowulan Sutanto, 1990, “Perjanjian Menurut Hukum Indonesia,” Varia Peradilan, Tahun V, No.56, Mei 1990, hal. 131.

13

Pada kasus PT. Telekomunikasi Indonesia, Tbk (kasus PT.

Telekomunikasi Indonesia, Tbk VS PT.Natrindo Telepon Seluler (NTS)).

Telkomsel sebagai incumbent operator memiliki beberapa keuntungan dan

keunggulan, diantaranya adalah jaringan yang mapan dan telah dikenal baik oleh

pelanggan. NTS sebagai pemain baru tentu saja belum memiliki kedua hal

tersebut sehingga posisi pasaran NTS masih lemah dan pangsa pasarnya pun

masih sangat sedikit. Terlebih lagi dengan lisensi regional yang dimiliki NTS,

pelanggan NTS hanya bisa berkomunikasi dengan sesama pelanggan NTS yang

berada di region tersebut, yaitu Jawa Timur.32

Dalam hal perebutan pelanggan, incumbent tentu akan lebih unggul. Calon

pelanggan akan lebih memilih incumbent sebagai operator yang memiliki

keunggulan dalam jaringan dan pelanggan karena calon pelanggan tersebut dapat

berkomunikasi dengan banyak pelanggan dalam jaringan tersebut. Hal tersebut

tentu tidak berlaku bagi NTS sebagai operator dengan jaringan dan pelanggan

yang sedikit. Calon pelanggan tentu saja akan mempertimbangkan masak-masak

untuk memilih operator baru. Calon pelanggan tentu saja tidak ingin jika mereka

hanya dapat berkomunikasi dengan sedikit pelanggan yang di-cover oleh jaringan

operator baru tersebut. Hal ini menyebabkan operator baru akan sangat sulit untuk

berkembang. Oleh karena itu, NTS memiliki ketergantungan dengan Telkomsel

dimana jika NTS tidak berinterkoneksi, NTS tidak mampu meraih calon

pelanggan yang banyak dan tidak dapat bersaing dalam pasar telekomunikasi

seluler. Kebutuhan interkoneksi tersebut juga mendesak manakala diperlukan

32 Merupakan bagian dari putusan seperti yang dikutip pada Putusan Komisi Persaingan Usaha dengan Perkara Nomor: 26/KPPU-L/2007.

14

uang atau modal yang besar untuk membangun infrastruktur dan jaringan tidak

sementara perlu adanya pemasukan untuk menjaga kelangsungan usaha.33

Dengan kata lain, NTS tidak memiliki pilihan lain yang

memungkinkannya untuk mempertahankan dan memajukan perusahaan selain

berinterkoneksi dengan incumbent. Kondisi ini menurut Nieuw Burgerlijk

Wetboek (NBW) merupakan kondisi istimewa (bizondere omstandigheden) yaitu

ketergantungan yang dalam hal ini ketergantungan NTS terhadap Telkomsel.

Untuk dapat berinterkoneksi, NTS harus memenuhi syarat-syarat yang diberikan

incumbent terkait masalah teknis dan biaya yang selanjutnya disepakati

dituangkan dalam suatu perjanjian. Sehingga pada tahun 2001, dibuatlah

Perjanjian Kerja Sama Interkoneksi Telkomsel-NTS sebagai dasar bagi NTS agar

dapat berinterkoneksi dengan Telkomsel.34

Telkomsel dalam hal ini pasti mengetahui bahwa NTS karena keadaan

istimewa yang dialaminya, tergerak untuk menutup Perjanjian Interkoneksi. Jika

tidak demikian, Telkomsel semestinya mengetahui kondisi tersebut karena

merupakan suatu suatu hal yang nyata (kenbaarheid). Kondisi ini tentu saja tidak

seimbang. NTS tidak memiliki bargaining power yang setara dengan Telkomsel.

Sehingga, mau tidak mau NTS harus mengikuti ketentuan tersebut. Jika tidak,

interkoneksi tidak akan diberikan oleh Telkomsel (take it or leave it contract).

Pada dasarnya, NTS tidak pernah berinisiatif sejak awal dalam suatu kesepakatan

untuk menetapkan harga Short Message Servise tersebut.35

33 Ibid. 34 Ibid. 35 Ibid.

15

Berdasarkan uraian tersebut, terdapat ketidakseimbangan yang nyata yang

justru menguntungkan Telkomsel. Meskipun pada pokoknya kesepakatan dibuat

mengenai interkoneksi, namun syarat penetapan harga SMS menjadi bagian yang

juga harus disetujui. Meskipun belum ada peraturan mengenai harga layanan

SMS, NTS dalam keadaan tidak bebas untuk menegosiasikannya karena kondisi

inequality of bargaining power. Perjanjian interkoneksi antara Telkomsel dengan

NTS selanjutnya dinyatakan batal.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa perjanjian yang

dibuat dengan unsur-unsur dwaling (kekeliruan/kekhilafan/kesesatan), dwang

(paksaan) dan bedrog (penipuan) sebagaimana perjanjian jual-beli tanah antara

Maonah dengan Herman Santoso serta perjanjian yang dibuat berdasarkan kondisi

ekonomi yang tidak seimbang sebagaimana perjanjian interkoneksi antara

Telkomsel dengan NTS seperti yang telah diuraikan di atas, dapat dibatalkan oleh

Hakim karena memenuhi unsur-unsur penyalahgunaan keadaan.

Berdasarkan uraian di atas dapat dikemukakan bahwa peraturan perundang-

undangan di Indonesia belum mengatur secara jelas (norma kabur) tentang

penyalahgunaan keadaan dalam pembuatan perjanjian, sebagai akibatnya

pengadilan dalam memutus perkara penyalahgunaan keadaan tersebut lebih

banyak diawali oleh hakim berdasarkan pada yurisprudensi hakim baik hakim

pada pengadilan negeri, pengadilan tinggi ataupun hakim pada Mahkamah Agung

atau bahkan hanya berlandasakan pada pertimbangan hakim semata. Hal ini dapat

dikatakan bahwa masih terjadi norma kosong untuk pengaturan penyalahgunaan

keadaan dan akibat hukumnya. Penyalahgunaan keadaan seringkali ditemukan

dalam pembuatan perjanjian atau kontrak seperti misalnya pemberlakuan

perjanjian baku khususnya pada perjanjian kredit baik dengan lembaga perbankan

ataupun lembaga keuangan non-perbankan, perjanjian jual beli yang didahului

16

dengan adanya keadaan tertentu yang memaksa salah satu pihak terpaksa

menyetujui untuk melakukan transaksi jual beli. Sebenarnya tidak

dikehendakinya, perjanjian sewa menyewa, perjanjian dalam hubungan kerja baik

pada hubungan kerja waktu tertentu, hubungan kerja waktu tidak tertentu maupun

hubungan kerja berbasis outsourcing dan masih banyak lagi.

Berdasarkan penelitian kepustakaan baik melalui perpustakaan-

perpustakaan yang ada di Kota Denpasar maupun secara online terdapat beberapa

penelitian yang berkaitan dengan Penyalahgunaan Keadaan yaitu:

1. Penelitian Muhammad Arifin dengan judul ”Penyalahgunaan Keadaan

sebagai Faktor Pembatas Kebebasan Berkontrak”. Tesis dari Program Studi

Magister Ilmu Hukum, Universitas Muhamaddiyah Sumatera Utara, Medan,

Tahun 2011. Rumusan masalah dari tesis ini adalah sebagai berikut:

a. Bagaimanakah implementasi asas kebebasan berkontrak dalam

pembuatan suatu kontrak?

b. Apakah penyalahgunaan keadaan sebagai faktor pembatasan kebebasan

berkontrak?

Penelitian Muhammad Arifin dengan penelitian yang akan dilakukan

memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya kedua penelitian ini

sama-sama meneliti mengenai penyalahgunaan keadaan dalam kaitannya

dengan asas kebebasan berkontrak. Perbedaannya jika penelitian

Muhammad Arifin menggunakan metode penelitian yuridis empiris, maka

pada penelitian yang akan dilakukan menggunakan jenis penelitian hukum

normatif dengan pendekatan perundang-undangan (state approach) dan

pendekatan konsep (conseptual approach).

17

2. Penelitian Rizky Fauziah Putri dengan judul ”Keadaan Memaksa sebagai

Dasar Pembelaan Debitur: Studi kasus H. Darmawan Kasim terhadap PT.

Telkomsel”. Tesis dari Program Studi Magister Ilmu Hukum, Universitas

Indonesia, Jakarta, Tahun 2012. Rumusan masalah dari tesis ini adalah

sebagai berikut:

a. Bagaimana keadaan memaksa dapat dijadikan sebagai dasar pembelaan

debitur akibat wanprestasi?

b. Bagaimana pembatasan terhadap berlakunya keadaan memaksa sebagai

dasar pembelaan debitur yang wanprestasi?

c. Apakah pembelaan PT. Telkomsel terhadap gugatan H. Darmawan

Kasim yang didasarkan pada adanya keadaan memaksa dapat

dibenarkan menurut hukum?

Penelitian Rizky Fauziah Putri dengan penelitian yang akan dilakukan

memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya kedua penelitian ini

sama-sama meneliti mengenai penyalahgunaan keadaan dalam kaitannya

dengan wanprestasi dan pembatalan kontrak. Perbedaannya jika penelitian

Rizky Fauziah Putri menggunakan metode penelitian yuridis empiris, maka

pada penelitian yang akan dilakukan menggunakan jenis penelitian hukum

normatif dengan pendekatan perundang-undangan (state approach) dan

pendekatan konsep (conseptual approach).

3. Penelitian Ni Luh Putu Laksmi Puspitasari dengan judul ” Akibat Hukum

Klausula Pertelaan dalam Keadaan Memaksa (Overmacht) terhadap

Kepemilikan Satuan Rumah Susun”. Tesis dari Program Studi Magister

Kenotariatan, Universitas Udayana, Denpasar, Tahun 2013. Rumusan

masalah dari tesis ini adalah sebagai berikut:

18

a. Bagaimanakah akibat hukumnya bila dalam pembangunan rumah susun

pada tahap selanjutnya mengalami perubahan rencana bangun yang

mengakibatkan perubahan terhadap nilai perbandingan proporsional

Akta Pemisahan Rumah Susun?

b. Apakah Satuan Rumah susun (Sarusun) dan Sertifikat Hak Milik Atas

Satuan Rumah Susun (SHM Sarusun)/Sertifikat Kepemilikan Bangunan

Gedung Satuan Rumah Susun (SKBG Sarusun) dapat dijadikan jaminan

kredit dan bagaimana penerapan roya parsial dalam kredit konstruksi

rumah susun?

Penelitian Ni Luh Putu Laksmi Puspitasari dengan penelitian yang akan

dilakukan memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya kedua

penelitian ini sama-sama menggunakan metode penelitian yuridis normatif

dengan pendekatan perundang-undangan (state approach) dan pendekatan

konsep (conseptual approach). Perbedaannya jika penelitian Ni Luh Putu

Laksmi Puspitasari meneliti tentang penyalahgunaan keadaan memaksa,

maka pada penelitian yang akan dilakukan meneliti penyalahgunaan

keadaan dalam pembuatan kontrak.

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka saya

tertarik untuk melakukan penelitian dalam bentuk tesis tentang pembatalan

kontrak berdasarkan unsur penyalahgunaan keadaan.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka

rumusan masalah dalam penelitian ini dapat dikemukakan dalam research

questions sebagai berikut:

19

1. Unsur-unsur apakah yang menentukan adanya penyalahgunaan keadaan

dalam sebuah kontrak?

2. Bagaimanakah dasar pertimbangan hakim dalam membatalkan perjanjian

yang mengandung unsur penyalahgunaan keadaan?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan untuk mencari, menggali,

menghubungkan dan memprediksi suatu kejadian. Setiap penelitian hukum yang

dilakukan memiliki tujuan yang jelas dan terarah. Adapun tujuan dari penelitian

hukum ini adalah :

1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan umum yang hendak dicapai dari penulisan tesis ini yaitu untuk

pengembangan ilmu hukum terkait paradigma science as a process (ilmu sebagai

proses). Dengan paradigma ini, ilmu hukum tidak akan mandek dalam penggalian

atas kebenaran, khususnya terkait dengan materi penyalahgunaan keadaan dalam

perjanjian dapat dijadikan dasar pertimbangan hakim di Indonesia untuk

membatalkan perjanjian yang bersangkutan.

1.3.2 Tujuan Khusus

Adapun tujuan khusus dari penelitian tesis ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui dan menganalisis unsur-unsur yang menentukan adanya

penyalahgunaan keadaan dalam sebuah kontrak.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis dasar pertimbangan hakim dalam

membatalkan perjanjian yang mengandung unsur penyalahgunaan keadaan.

20

1.4 Manfaat Hasil Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik yang

bersifat teoritis maupun praktis sebagai berikut :

1.4.1 Manfaat Teoritis

Diharapkan dapat memberikan kontribusi dan berguna dalam rangka

pemantapan pengembangan studi hukum dan pembangunan secara interdisiplin,

terutama berkaitan dengan masalah penyalahgunaan keadaan terhadap penerapan

pelaksanaan kontrak, sehingga studi hukum tidak hanya dipahami dari sudut

legalitas formal saja, tetapi dikaitkan dengan perubahan dan perkembangan

zaman.

1.4.2 Manfaat Praktis

Diharapkan dapat memberikan masukan secara riil bagi pembuatan

kebijakan hukum kontrak dan sistem peradilan perdata di Indonesia serta dalam

rangka pembuatan kebijakan hukum nasional Indonesia.

1.5 Landasan Teoritis dan Kerangka Pemikiran

1.5.1 Landasan Teoritis

Pada dasarnya yang disebut teori adalah asas, konsep dasar, pendapat yang

telah menjadi hukum umum sehingga dipergunakan untuk membahas suatu

peristiwa atau fenomena dalam kehidupan manusia. Menurut Bernard Arief

Sidharta,36 teori hukum merupakan teori yang secara kritis menganalisis berbagai

aspek gejala hukum, baik dalam konsepsi teoritisnya maupun dalam kaitan

36 Bernard Arief Sidharta, 2000, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, hal. 104.

21

keseluruhan, baik dalam konsepsi teoritis maupun manifestasi praktis, dengan

tujuan memperoleh pemahaman yang lebih baik dan memberikan penjelasan

sejernih mungkin tentang bahan hukum yang tersaji dan kegiatan yuridis dalam

kenyataan masyarakat. Teori-teori yang digunakan untuk melihat dan

menganalisis penyalahgunaan keadaan yang disebabkan adanya

ketidakseimbangan para pihak dalam perjanjian digunakan Teori Keadilan dan

Keseimbangan serta Teori Kepastian Hukum, sedangkan konsep yang akan

digunakan dalam penelitian ini adalah Konsep dan Asas Hukum Perjanjian,

Konsep Pembatalan Perjanjian, dan Konsep Penyalahgunaan Keadaan.

1.5.1.1 Teori Keadilan dan Keseimbangan

Penyalahgunaan keadaan terjadi karena adanya ketidakseimbangan baik

posisi maupun ekonomi para pihak yang membuat perjanjian, sehingga

menimbulkan ketidakadilan bagi pihak yang memiliki posisi lemah. Teori

keadilan dan keseimbangan digunakan dalam penelitian ini untuk menganalisis

permasalahan adanya unsur-unsur penyalahgunaan keadaan dalam sebuah

kontrak.

Gustav Radbruch menyebut keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum

sebagai “tiga ide dasar hukum” atau “tiga nilai dasar hukum”,37 yang berarti dapat

dipersamakan dengan asas hukum. Di antara ketiga asas tersebut yang sering

menjadi sorotan utama adalah masalah keadilan, dimana Friedman menyebutkan

bahwa : “In terms of law, justice will be judged as how law treats people and how

37Gustav Radbruch, 1950, Legal Philosophy, in The legal Philosophies of Lask, Radbruch, and Dabin, Translated by Kurt Wilk, Harvard University Press, Massachusetts, hal. 107. Lihat juga Achmad Ali, 1996, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Ghalia Indonesia, Bogor, hal.67.

22

it distributes its benefits and cost,” dan dalam hubungan ini Friedman juga

menyatakan bahwa “every function of law, general or specific, is allocative”.38

Sebagai asas hukum, dengan sendirinya menempatkan asas ini yang menjadi

rujukan pertama baik dalam pengaturan perundang-undangan maupun dalam

berbagai aktivitas yang berhubungan dengan gerakan perlindungan konsumen

oleh semua pihak yang terlibat di dalamnya.39

Secara historis, pada awalnya menurut Gustav Radbruch tujuan kepastian

menempati peringkat yang paling atas di antara tujuan yang lain. Namun, setelah

melihat kenyataan bahwa dengan teorinya tersebut Jerman di bawah kekuasaan

Nazi melegalisasi praktek-praktek yang tidak berperikemanusiaan selama masa

Perang Dunia II dengan jalan membuat hukum yang mensahkan praktek-praktek

kekejaman perang pada masa itu, Radbruch pun akhirnya meralat teorinya

tersebut di atas dengan menempatkan tujuan keadilan di atas tujuan hukum yang

lain. Memanglah demikian bahwa keadilan adalah tujuan hukum yang pertama

dan utama, karena hal ini sesuai dengan hakekat atau ontologi hukum itu sendiri.

Bahwa hukum dibuat untuk menciptakan ketertiban melalui peraturan yang adil,

yakni pengaturan kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan dengan

seimbang sehingga setiap orang memperoleh sebanyak mungkin apa yang menjadi

bagiannya. Bahkan dapat dikatakan dalam seluruh sejarah filsafat hukum selalu

memberikan tempat yang istimewa kepada keadilan sebagai suatu tujuan

hukum.40

38Peter Mahmud Marzuki, 1997, “The Need for the Indonesian Economic Legal Framework”, dalam Jurnal Hukum Ekonomi, Edisi IX, hal. 28.

39 Sudikno Mertokusumo, Op.cit, hal.23. 40 Gustav Radbruch, Op.cit, hal.107.

23

Keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum juga oleh banyak hakim

menyebut sebagai tujuan hukum. Persoalannya, sebagai tujuan hukum, baik

Radbruch maupun Achmad Ali mengatakan adanya kesulitan dalam mewujudkan

secara bersamaan. Achmad Ali mengatakan, kalau dikatakan tujuan hukum

sekaligus mewujudkan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum, apakah hal

itu tidak menimbulkan masalah? Dalam kenyataan sering antara tujuan yang satu

dan lainnya terjadi benturan. Dicontohkannya, dalam kasus hukum tertentu bila

hakim menginginkan putusannya “adil” menurut persepsinya, maka akibatnya

sering merugikan kemanfaatan bagi masyarakat luas, demikian pula sebaliknya.41

Dalam hubungan ini, Radbruch mengajarkan :42

“Bahwa kita harus menggunakan asas prioritas dimana prioritas pertama

selalu jatuh pada keadilan, baru kemanfaatan, dan terakhir kepastian

hukum.”

Achmad Ali tidak dapat menyetujui sepenuhnya pendapat Radbruch

tersebut, sebagaimana dikatakannya :43

“Penulis sendiri sependapat untuk menganut asas prioritas, tetapi tidak dengan telah menetapkan urutan prioritas seperti apa yang diajarkan Radbruch, yakni berturut-turut keadilan dulu baru kemanfaatan barulah terkhir kepastian hukum. Penulis sendiri menganggap hal yang lebih realistis jika menganut asas prioritas yang kasuistis. Yang penulis maksudkan, ketiga tujuan hukum kita diprioritaskan sesuai kasus yang kita hadapi, sehingga pada kasus A mungkin prioritasnya pada kemanfaatan, sedang untuk kasus B prioritasnya pada kepastian hukum.” Dengan demikian dapat dikatakan bahwa melalui asas prioritas yang

kasuistis, tujuan hukum untuk mencapai keadilan, kemanfaatan, atau kepastian

41Achmad Ali, Op.cit, hal. 95-96. 42Achmad Ali, Op.cit, hal. 96. 43Achmad Ali, Op.cit, hal. 96.

24

hukum semua tergantung dari kondisi yang ada atau dihadapi di dalam setiap

kasus.

Dalam Teori Keadilan pengertian keadilan memiliki sejarah pemikiran

yang panjang. Dapat dikatakan tema keadilan merupakan tema utama dalam

hukum semenjak masa Yunani Kuno.44 Memang secara hakiki, dalam diskursus

hukum, sifat dari keadilan itu dapat dilihat dalam 2 (dua) arti pokok, yakni dalam

arti formal yang menuntut bahwa hukum itu berlaku secara umum, dan dalam arti

materil, yang menuntut agar setiap hukum itu harus sesuai dengan cita-cita

keadilan masyarakat.45 Namun apabila ditinjau dalam konteks yang lebih luas,

pemikiran mengenai keadilan itu berkembang dengan pendekatan yang berbeda-

beda, karena perbincangan tentang keadilan yang tertuang dalam banyak buku

atau literatur, tidak mungkin tanpa melibatkan tema-tema moral, politik dan teori

hukum yang ada. Oleh sebab itu menjelaskan mengenai keadilan secara tunggal

hampir-hampir sulit untuk dilakukan.

Namun pada garis besarnya, pembahasan mengenai keadilan terbagi atas 2

(dua) arus pemikiran, yang pertama adalah keadilan ontologis atau metafisik,

sedangkan yang kedua, keadilan yang rasional. Keadilan yang metafisik atau

ontologis diwakili oleh Plato, sedangkan keadilan yang rasional diwakili oleh

pemikiran Aristoteles. Keadilan yang metafisik, sebagimana diutarakan oleh

Plato, menyatakan bahwa sumber keadilan itu asalnya dari inspirasi dan intuisi.

44E. Fernando M. Manullang, 2007, Menggapai Hukum Berkeadilan, Tinjauan Hukum Kodrat dan Antinomi Nilai, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, hal. 96.

45Franz Magnis Suseno, 2003, Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 81.

25

Sementara, keadilan yang rasional mengambil sumber pemikirannya dari prinsip-

prinsip umum dari rasionalitas tentang keadilan.46

Lebih lanjut, Aristoteles memformulasikan bahwa filsafat hukum

membedakan keadilan menjadi 2 (dua) yaitu keadilan distributif dengan keadilan

korektif, yang merupakan dasar bagi semua pembahasan teoritis terhadap pokok

persoalan keadilan. Keadilan distributif mengacu pada pembagian barang dan jasa

kepada setiap orang sesuai dengan kedudukannya dalam masyarakat, dan

perlakuan yang sama terhadap kesederajatan di hadapan hukum (equity before the

law).47 Sedangkan keadilan korektif, pada dasarnya merupakan ukuran teknis dan

prinsip-prinsip yang mengatur penerapan hukum.

Dengan demikian, jelas sekali bahwa dalam menentukan pengertian

keadilan, baik secara formal maupun substansial, dirasakan sangat sulit ditentukan

secara definitif. Keadilan itu dapat berubah-ubah isinya, tergantung dari pihak

siapa yang menentukan isi keadilan itu, termasuk juga faktor-faktor lainnya yang

turut membentuk keadilan itu, seperti tempat maupun waktunya. Seperti halnya

John Rawls, yang membangun teorinya secara teliti mengenai keadilan.48

According to Rawls, justice was not only includes the moral concept of the individual, but also questioned the mechanism of achieving justice itself, including how the law participated and supported the efforts. (Terjemahan bebas: Menurut Rawls, keadilan itu tidak saja meliputi konsep moral tentang individunya, tetapi juga mempersoalkan mekanisme dari

46W. Friedman, 1967, Legal Theory, Columbia University Press, New York, hal. 346.

47Khudzaifah Dimyati, 2005, Teorisasi Hukum: Study Tentang Perkembangan Pemikiran Hukum Di Indonesia 1945-1990, Muhammadiyah University Press, Surakarta, hal. 54.

48 John Rawls, 1999, A Theory of Justice, Revised Edition, Harvard University Press, Massachusetts, hal. 11.

26

pencapaian keadilan itu sendiri, termasuk juga bagaimana hukum turut serta mendukung upaya tersebut).49 Sedangkan keadilan menurut Kelsen, pada dasarnya menyatakan keadilan

merupakan nilai yang mengarahkan setiap pihak untuk memberikan perlindungan

atas hak-hak yang dijamin oleh hukum (unsur hak) dan perlindungan itu sendiri

pada akhirnya harus memberikan manfaat kepada setiap individu (unsur

manfaat).50

1.5.1.2 Teori Kepastian Hukum

Penyalahgunaan keadaan belum diatur dalam Peraturan Perundang-

undangan maupun KUHPerdata di Indonesia. Jadi, dapat dikatakan

Penyalahgunaan keadaan dalam perjanjian belum memiliki kepastian hukum

apakah diperbolehkan atau di larang. Berdasarkan hal ini maka dalam penelitian

ini digunakan Teori Kepastian Hukum untuk menganalisis permasalahan yang

kedua mengenai dasar pertimbangan hakim dalam membatalkan perjanjian yang

mengandung unsur penyalahgunaan keadaan.

Kepastian hukum merupakan ciri yang tak dapat dipisahkan dari hukum,

terutama untuk norma hukum tertulis. Kepastian hukum disebut sebagai salah satu

tujuan dari hukum. Keteraturan masyarakat berkaitan erat dengan kepastian dalam

hukum, karena keteraturan merupakan inti dari kepastian itu sendiri.

Ajaran kepastian hukum berasal dari ajaran yuridis dogmatik yang

didasarkan pada pemikiran positivis di dunia hukum, melihat hukum sebagai

sesuatu yang otonom, mandiri karena hukum bagi aliran ini hanya sekumpulan

49 Ibid. 50Hans Kelsen, 2000, Pengantar Teori Hukum, Penerbit Nusa Media,

Bandung, hal. 48-51.

27

aturan. Tujuan hukum yang utama adalah kepastian hukum. Kepastian hukum

diwujudkan dengan membuat suatu aturan hukum yang bersifat umum yang

membuktikan bahwa tujuan hukum itu semata-mata untuk kepastian hukum.51

Gustav Radbruch menyebut keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum

sebagai tiga ide dasar hukum atau tiga nilai dasar hukum, yang berarti dapat

dipersamakan dengan asas hukum.52 Terkait dengan kepastian hukum, Gustav

Radburch mengemukakan empat hal yang mendasar berhubungan dengan

kepastian hukum, yaitu:

Pertama, bahwa hukum itu positif, artinya bahwa ia adalah perundang-undangan (gesetzliches Recht). Kedua, bahwa hukum ini didasarkan pada fakta (Tatsachen), bukan suatu rumusan tentang penilaian yang nanti akan dilakukan oleh hakim, seperti”kemauan baik”, “kesopanan”. Ketiga, bahwa fakta itu harus dirumuskan dengan cara yang jelas sehingga menghindari kekeliruan dalam pemaknaan, disamping juga mudah dijalankan. Keempat, hukum positif itu tidak boleh sering diubah-ubah….”.53 Pendapat Gustav Radburch tersebut didasarkan pada pandangannya bahwa

kepastian hukum adalah kepastian tentang hukum itu sendiri. Kepastian hukum

merupakan produk dari hukum atau lebih khusus perundang-undangan.54

Berdasarkan teori kepastian hukum yang telah diuraikan di atas, maka saya

berpendapat bahwa dalam kepastian hukum terkandung beberapa arti, yakni

adanya kejelasan dan tidak menimbulkan salah tafsir atau multi tafsir. Selain itu

kepastian hukum juga mengandung arti tidak menimbulkan kontradiktif dan dapat

dilaksanakan.

51Achmad Ali, Op.cit, hal.67. 52Gustav Radbruch, Op.cit, hal. 107. 53Achmad Ali, Op.cit., hal.293. 54 Gustav Radbruch, Op.cit, hal.109.

28

1.5.1.3 Konsep dan Asas Hukum Perjanjian

1. Pengertian Perjanjian

Tesis ini membahas tentang pembatalan kontrak berdasarkan unsur

penyalahgunaan keadaan. Dengan demikian dapat dikatakan topik atau

tesis ini terkait dengan kontrak/perjanjian. Oleh sebab itu dalam tesis ini

digunakan konsep perjanjian. Konsep ini diguanakan untuk menganalisis

permasalahan adanya unsur-unsur penyalahgunaan keadaan dalam sebuah

kontrak.

Pasal 1313 KUHPerdata memberikan rumusan tentang kontrak atau

perjanjian adalah “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana

satu orang lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.

Subekti55 memberikan definisi “perjanjian” adalah suatu peristiwa dimana

seorang berjanji pada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji

untuk melaksanakan sesuatu hal. Sedangkan KMRT Tirtodiningrat56

memberikan definisi perjanjian adalah suatu perbuatan hukum berdasarkan

kata sepakat di antara dua orang atau lebih untuk menimbulkan akibat-

akibat hukum yang dapat dipaksakan oleh undang-undang.

Menurut Neiwenhuis,57 perjanjian obligatoir (yang menciptakan

perikatan) merupakan sarana utama bagi para pihak untuk secara mandiri

mengatur hubungan-hubungan hukum di antara mereka. Menurut Polak,

suatu persetujuan tidak lain suatu perjanjian (afspraak) yang

mengakibatkan hak dan kewajiban. Pengertian kontrak atau perjanjian yang

55Subekti I, Op.cit, hal. 45. 56A. Qirom Meliala, 2008, Pokok-Pokok Hukum Perikatan Beserta

Perkembangannya, Liberty, Yogyakarta, hal. 8. 57J.H. Niewenhuis, 2005, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Terjemahan

Djasadin Saragih, Surabaya, hal. 1. (selanjutnya disingkat Niewenhuis III).

29

dikemukakan para ahli tersebut melengkapi kekurangan definisi Pasal 1313

KUHPerdata, sehingga secara lengkap pengertian kontrak atau perjanjian

adalah perbuatan hukum, dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya

atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.

2. Syarat Syahnya Perjanjian

Menurut Pasal 1320 KUHPerdata, suatu perjanjian itu sah harus

terpenuhi 4 syarat, yaitu:

a. Adanya kata sepakat; b. Kecakapan untuk membuat perjanjian; c. Adanya suatu hal tertentu; d. Adanya causa yang halal.

Syarat pertama dan kedua adalah syarat yang harus dipenuhi oleh

subyek suat perjanjian, oleh karena itu disebut sebagai syarat subyektif

Syarat ketiga dan keempat adalah syarat yang harus dipenuhi oleh obyek

perjanjian oleh karena itu disebut syarat obyektif. Jika syarat subyektif

tidak terpenuhi maka perjanjian dapat dibatalkan, sedang jika syarat

obyektif yang tidak terpenuhi, maka perjanjian batal demi hukum.58

3. Asas-Asas dalam Perjanjian

Asas hukum adalah pikiran dasar yang umum dan abstrak atau

merupakan latar belakang peraturan konkrit yang terdapat dalam setiap

sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan

putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat diketemukan

dengan mencari sifat-sifat atau ciri-ciri yang umum dalam peraturan

konkrit tersebut.59

58 Subekti I, Op.cit, hal. 17-20. 59 Sudikno Mertokusumo, 2005, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar,

Liberty, Yogyakarta, hal. 34.

30

Dengan demikian, asas hukum merupakan pikiran dasar yang

bersifat umum dan terdapat dalam hukum positif atau keseluruhan

peraturan perundang-undangan atau putusan-putusan hakim yang

merupakan ciri-ciri umum dari peraturan konkrit tersebut.60

Dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, dinyatakan semua

perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi

mereka yang membuatnya. Jadi, dalam pasal ini terkandung 3 macam asas

utama dalam perjanjian, yaitu: asas kebebasan berkontrak, asas

konsensualisme, dan asas pacta sunt-servanda. Di samping asas-asas itu,

masih terdapat asas itikad baik dan asas kepribadian.61

a. Asas kebebasan berkontrak

Asas kebebasan berkontrak merupakan salah satu asas yang

sangat penting dalam hukum kontrak. Kebebasan berkontrak ini oleh

sebagian sarjana hukum biasanya didasarkan pada Pasal 1338 ayat (1)

KUHPerdata bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku

sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Demikian pula

ada yang mendasarkan pada Pasal 1320 KUHPerdata yang

menerangkan tentang syarat-syarat sahnya perjanjian.62

Kebebasan berkontrak memberikan jaminan kebebasan kepada

seseorang untuk secara bebas dalam beberapa hal yang berkaitan

dengan perjanjian, sebagaimana yang dikemukakan Ahmadi Miru, di

antaranya:63

60 Ibid. 61 Ridwan Khairaandy I, Op.cit, hal. 21. 62 J. Satrio, 2003, Hukum Perikatan, Perikatan Pada Umumnya, Alumni,

Bandung, hal.36 (selanjutnya disebut J. Satrio II). 63Ahmadi Miru, 2007, Hukum Kontrak Perencanaan Kontrak, PT. Raja

Grafindo Persada, Jakarta, hal. 4.

31

1) bebas menentukan apakah ia akan melakukan perjanjian atau tidak;

2) bebas menentukan dengan siapa ia akan melakukan perjanjian;

3) bebas menentukan isi atau klausul perjanjian;

4) bebas menentukan bentuk perjanjian; dan

5) kebebasan-kebebasan lainnya yang tidak bertentangan dengan

peraturan perundang-undangan.

Asas kebebasan berkontrak merupakan suatu dasar yang

menjamin kebebasan orang dalam melakukan kontrak. Hal ini tidak

terlepas juga dari sifat Buku III KUHPerdata yang hanya merupakan

hukum yang mengatur sehingga para pihak dapat menyimpanginya

(mengesampingkannya), kecuali terhadap pasal-pasal tertentu yang

sifatnya memaksa.64

b. Asas konsensualisme

Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1320 dan Pasal 1338

KUHPerdata. Dalam Pasal 1320 KUHPerdata penyebutnya tugas

sedangkan dalam Pasal 1338 KUHPerdata ditemukan dalam istilah

”semua.” Kata-kata semua menunjukkan bahwa setiap orang diberi

kesempatan untuk menyatakan keinginannya (will), yang dirasanya baik

untuk menciptakan perjanjian. Asas ini sangat erat hubungannya

dengan asas kebebasan mengadakan perjanjian.65

64Ibid, hal. 4. 65Mariam Darus Badrulzaman, 1996, Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata Buku III Tentang Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, Ed. II, Cet. I, Alumni, Bandung, (Selanjutnya disingkat Badrulzaman I), hal. 113.

32

Perjanjian yang telah terbentuk dengan tercapainya kata sepakat

(consensus) diantara para pihak. Perjanjian ini tidak memerlukan

formalitas lain lagi sehingga dikatakan juga perjanjian ini sebagai

perjanjian bebas bentuk. Jika perjanjian ini dituangkan dalam bentuk

tertulis, maka tulisan itu hanya merupakan alat bukti saja dan bukan

syarat untuk terjadinya perjanjian. Perjanjian tersebut dinamakan

perjanjian konsensuil.66

Ada kalanya menetapkan perjanjian itu harus diadakan secara

tertulis atau dengan akta Notaris, akan tetapi hal ini ada

pengecualiannya yaitu undang-undang menetapkan formalitas-

formalitas tertentu untuk beberapa macam perjanjian karena adanya

ancaman batal apabila perjanjian tersebut tidak memenuhi syarat-syarat

yang dimaksud Pasal 1320 KUHPerdata, seperti perjanjian hibah harus

dengan akta notaris, perjanjian perdamaian harus secara tertulis.

Perjanjian yang ditetapkan dengan suatu formalitas tertentu tersebut

dengan perjanjian formil.67

c. Asas Pacta Sunt Servanda

Asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian dan tersimpul

dalam kalimat “berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang

membuatnya” pada akhir Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata. Jadi,

perjanjian yang dibuat secara sah oleh para pihak mengikat para

66 Riduan Syahrani, 2004, Seluk-Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung, hal.45.

67 Gunawan Widjaja, 2007, Seri Hukum Bisnis Memahami Prinsip Keterbukaan (Aanvullend Recht) dalam Hukum Perdata, RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal.250.

33

pembuatanya sebagai undang-undang. Dan kalimat ini pula tersimpul

larangan bagi semua pihak termasuk di dalamnya “hakim” untuk

mencampuri isi perjanjian yang telah dibuat secara sah oleh para pihak

tersebut. Oleh karenanya asas ini disebut juga asas kepastian hukum.

Asas ini dapat dipertahankan sepenuhnya dalam hal:

1) Kedudukan para pihak dalam perjanjian itu seimbang;

2) Para pihak cakap untuk melakukan perbuatan hukum.

d. Asas itikad baik

Asas itikad baik terkandung dalam Pasal 1338 KUHPerdata yang

menyatakan bahwa perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan

itikad baik. Asas ini berkenaan dengan pelaksanaan perjanjian dan

berlaku bagi debitur maupun bagi kreditur.68

Menurut Subekti, pengertian itikad baik dapat ditemui dalam

hukum benda (pengertian subyektif) maupun dalam hukum perjanjian

seperti yang diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata (pengertian

obyektif).69

Dalam hukum benda, itikad baik, artinya kejujuran atau bersih.

Seorang pembeli beritikad baik adalah orang jujur, orang bersih. Ia

tidak mengetahui tentang adanya cacat-cacat yang melekat pada barang

yang dibelinya, dalam arti cacat mengenai asal-usulnya. Sedangkan

pengertian itikad baik dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata adalah

68 Johannes Gunawan, 2003, “Reorientasi Hukum Kontrak di Indonesia”, Jurnal Hukum Bisnis, Vol.22, No.6, hal.48.

69Subekti, 2001, Hukum Pembuktian, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 42.

34

bahwa dalam pelaksanaan perjanjian harus berjalan dengan

mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan.70

Ketentuan Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata juga memberikan

kekuasaan pada hakim untuk mengawasi pelaksanaan suatu perjanjian

jangan sampai pelaksanaan itu melanggar kepatutan dan keadilan.

e. Asas kepribadian

Asas kepribadian ini sebenarnya menerangkan pihak-pihak mana

yang terikat pada perjanjian. Asas ini terkandung pada Pasal 1315 dan

Pasal 1340 KUHPerdata.

Pada Pasal 1315 disebutkan bahwa pada umumnya tak

seorangpun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta

ditetapkannya suatu janji daripada untuk dirinya. Selanjutnya Pasal

1340 KUHPerdata menyatakan bahwa perjanjian-perjanjian hanya

berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya, perjanjian itu tidak dapat

membawa rugi atau manfaat kepada pihak ketiga, selain dalam hal yang

diatur dalam Pasal 1317 KUHPerdata. Oleh karena perjanjian itu hanya

mengikat para pihak yang membuatnya dan tidak dapat mengikat pihak

lain. Maka asas ini dinamakan asas kepribadian.71

4. Konsep Pembatalan Perjanjian

Dalam konteks Hukum Perjanjian Indonesia menurut KUHPerdata,

terdapat beberapa alasan untuk membatalkan perjanjian. Alasan itu dapat

dikelompokkan ke dalam lima kategori sebagai berikut:

70 Arvie Johan, 2011, “Kesetaraan dan Keseimbangan sebagai Perwujudan Itikad Baik Berlandaskan Pancasila,” Jurnal Ilmu Hukum, Vol.14, No.1, hal.128-146.

71 Subekti I, Op.cit, hal.42.

35

a. Tidak terpenuhinya persyaratan yang ditetapkan oleh undang-undang

untuk jenis perjanjian formil, yang berakibat perjanjian batal demi

hukum;

b. Tidak terpenuhinya syarat sahnya perjanjian, yang berakibat:

1) perjanjian batal demi hukum, atau

2) perjanjian dapat dibatalkan;

c. Terpenuhinya syarat batal pada jenis perjanjian yang bersyarat;

d. Pembatalan oleh pihak ketiga atas dasar actio pauliana;

e. Pembatalan oleh pihak yang diberi wewenang khusus berdasarkan

undang-undang.72

Kondisi yang menyebabkan batalnya suatu perjanjian selanjutnya

diuraikan sebagai berikut:

a. Perjanjian Batal Demi Hukum (Null and Void; Nietig)

Apabila perjanjian batal demi hukum, artinya dari semula tidak

pernah dilahirkan suatu perjanjian, dan dengan demikian tidak pernah

ada suatu perikatan. Tujuan para pihak yang membuat perjanjian

semacam itu, yakni melahirkan perikatan hukum, telah gagal. Jadi,

tidak ada dasar untuk saling menuntut di muka hakim.73

Berikut ini alasan mengapa perjanjian batal demi hukum.

1) Batal Demi Hukum Karena Syarat Perjanjian Formil Tidak

Terpenuhi.

72 Gerry R. Weydekamp, 2013, “Pembatalan Perjanjian Sepihak sebagai Suatu Perbuatan Melawan Hukum,” Lex Privatum, Vol.I, No.4, hal.134-135.

73 Subekti III, Op.cit, hal. 19.

36

2) Batal Demi Hukum Karena Syarat Objektif Sahnya Perjanjian Tidak

Terpenuhi.

3) Batal Demi Hukum Karena Dibuat oleh Orang yang Tidak

Berwenang Melakukan Perbuatan Hukum.

4) Batal Demi Hukum Karena Ada Syarat Batal yang Terpenuhi.

b. Perjanjian Dapat Dibatalkan (Voidable atau Vernietigbaar)

Secara teoretik, terdapat perbedaan antara perjanjian yang batal

demi hukum dengan perjanjian yang dapat dibatalkan. Hal yang disebut

terakhir ini terjadi apabila perjanjian tersebut tidak memenuhi unsur

subjektif untuk sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320

KUHPerdata, yaitu kesepakatan para pihak dan kecakapan para pihak

untuk melakukan perbuatan hukum. Berikut ini alasan tentang hal

tersebut.

1) Dapat Dibatalkan Karena Ada Cacat pada Kehendak Pihak yang

Membuatnya.

2) Dapat Dibatalkan Karena Dibuat oleh Orang yang Tidak Cakap

Melakukan Tindakan Hukum.74

c. Penuntutan Pembatalan, dan Penguatan atau Penetapan, atas Perjanjian

yang Dapat Dibatalkan.

1) Pembatalan Perjanjian oleh Pihak Ketiga (Actio Pauliana).

2) Pembatalan Perjanjian oleh Pihak yang Berwenang karena Undang-

Undang.

74 Abdulkadir Muhammad, 2006, Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, hal.154-157.

37

3) Putusan Hakim tentang Kebatalan Perjanjian yang Menjadi

Yurisprudensi.75

Secara praktis, perjanjian yang dapat dibatalkan ataupun yang batal

demi hukum pada akhirnya akan berakibat sama, yakni perjanjian-

perjanjian itu menurut hukum dinilai tidak memiliki efek hukum.

Perjanjian yang batal demi hukum tidak lantas berarti perjanjiannya tidak

ada atau dianggap tidak ada sebab bagaimanapun perjanjian itu telah ada

atau telah terjadi, hanya menurut hukum perjanjian semacam itu tidak

diberi akibat atau tidak berefek Pada keadaan seperti itu, hukum menilai

bahwa kondisi dikembalikan mundur ke kondisi semula seperti pada saat

perikatan itu timbul atau pada saat perjanjian tersebut ditutup. Karena

perjanjian tidak berakibat hukum maka para pihak tidak perlu melakukan

prestasi, dan kepada pihak yang telah melakukan prestasi dianggap telah

terjadi pembayaran yang tidak diwajibkan. Pembayaran yang tidak

diwajibkan seperti ini, menurut Pasal 1359 KUHPerdata harus

dikembalikan. Pasal 1359 KUHPerdata berbunyi “Tiap pembayaran

mengandaikan adanya suatu utang; apa yang telah dibayar tanpa

diwajibkan untuk itu, dapat dituntut kembali. Terhadap perikatan bebas

yang secara sukarela telah dipenuhi, tak dapat dilakukan penuntutan

kembali”.76

Suatu kontrak yang baik selalu terdapat klausul mengenai cara dan

akibat-akibat pemutusan kontrak. Ada berbagai kemungkinan pengaturan

75 Ibid. 76 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2005, Perikatan yang Lahir dari

Undang-Undang, RajaGrafindo Perkasa, Jakarta, hal.47-48 (selanjutnya disebut Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja I).

38

pemutusan kontrak dalam kontrak yang bersangkutan, yaitu sebagai

berikut:77

a. Penyebutan alasan pemutusan kontrak.

b. Kontrak dapat dihapus dengan sepakat kedua belah pihak.

c. Mengesampingkan Pasal 1266 KUHPerdata.

d. Tata cara pemutusan kontrak.

Ketentuan dalam Pasal 1338 Ayat (2) KUHPerdata

Pada prinsipnya Pasal 1338 ayat (2) KUHPerdata tidak

memperkenankan ditariknya kembali suatu kontrak kecuali apabila

dipenuhi syarat-syarat tertentu.

Prinsip Perlindungan Pihak Yang Dirugikan.

Salah satu prinsip yang sangat mendasar dalam ilmu hukum kontrak

adalah prinsip perlindungan kepada pihak yang dirugikan akibat adanya

wanprestasi dari pihak lainnya dalam kontrak yang bersangkutan.

Ada kemungkinan bahwa sungguhpun salah satu pihak telah

melakukan wanprestasi, tetapi sebagian prestasi telah dilakukan atau

terdapat cukup alasan untuk menunda sementara pelaksanaan prestasi

ataupun ada alasan-alasan lain yang menyebabkan kepentingan pihak yang

melakukan wanprestasi pun dilindungi. Karena itu dalam hukum kontrak

dikenal dengan prinsip keseimbangan, yakni keseimbangan antara

kepentingan pihak yang dirugikan dengan kepentingan dari pihak yang

melakukan wanprestasi.78

77 Munir Fuady, Op.cit, hal. 93. 78 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja I, Op.cit.

39

Seperti telah dijelaskan bahwa oleh hukum kontrak diberikan hak

untuk melakukan terminasi kontrak (dengan berbagai konsekuensinya)

kepada pihak yang dirugikan oleh tindakan wanprestasi, akan tetapi untuk

menjaga keseimbangan, kepada pihak yang telah melakukan wanprestasi

juga diberikan hak-hak atau perlindungan tertentu.

Pada prinsipnya KUHPerdata tidak mensyaratkan eksistensi unsur

“kesalahan” agar suatu kontrak dapat diputuskan oleh pihak yang dirugikan

atau agar dapat dituntutnya suatu pembayaran ganti rugi. Akan tetapi

berdasarkan Pasal 1266 KUHPerdata yang melibatkan pengadilan untuk

memutuskan kontrak timbal balik, maka penggunaan diskresi pengadilan

untuk memutuskan kontrak tersebut juga antara lain akan menggunakan

faktor “kesalahan” pihak pelaku wanprestasi untuk dapat menentukan

apakah kontrak tersebut dapat diputus atau tidak.

Dengan demikian, menurut sistem KUHPerdata Indonesia, maka

pada prinsipnya asal ada kewajiban yang tidak dilaksanakan tersebut cukup

material (material breach), maka suatu kontrak sudah dapat diputuskan dan

ganti rugi sudah dapat dimintakan. Asal saja ketidakterlaksanaan kewajiban

tersebut bukan karena hal-hal yang bersifat Force Majeure, yang untuk ini

tidak diatur oleh hukum yang mengatur tentang wanprestasi, tetapi sudah

merupakan wilayah hukum yang lain, yakni hukum yang mengatur tentang

Force Majeure dan tentang “resiko”.79

1.5.1.4 Konsep Penyalahgunaan Keadaan

79 Taryana Soenandar, 2004, Prinsip-Prinsip UNIDROIT sebagai Sumber Hukum Kontrak dan Penyelesaian Sengketa Bisnis Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, hal.121.

40

Istilah penyalahgunaan keadaan dalam hukum Indonesia merupakan

padanan dari istilah misbruik van omstandigheden, dalam Kamus Hukum,

misbruik van omstandigheden adalah penyalahgunaan keadaan, yaitu keadaan

dimana orang mengetahui atau seharusnya mengerti bahwa pihak lain karena

suatu keadaan khusus seperti keadaan darurat, ketergantungan, tidak dapat

berpikir panjang, keadaan jiwa yang abnormal atau tidak berpengalaman tergerak

untuk melakukan suatu perbuatan hukum, meskipun ia tahu atau seharusnya

mengerti bahwa sebenarnya ia harus mencegahnya.80

Penyalahgunaan keadaan sebagai faktor yang membatasi kebebasan

berkontrak, berhubungan dengan terjadinya kontrak, bukan karena causa yang

tidak dibolehkan. Penyalahgunaan keadaan tidak semata berhubungan dengan isi

perjanjian, melainkan berhubungan dengan apa yang telah terjadi pada saat

lahirnya perjanjian karena tidak bebas menentukan kehendaknya dalam kontrak.81

Penyalahgunaan keadaan menyangkut keadaan-keadaan yang berperan

pada terjadinya kontrak, yakni menikmati keadaan orang lain tidak menyebabkan

isi atau maksud kontrak menjadi tidak dibolehkan, tetapi menyebabkan kehendak

yang disalahgunakan menjadi tidak bebas. Penyakit sesungguhnya tidak terletak

pada causa yang tidak dibolehkan, tetapi terletak pada cacat kehendak.82

Seseorang yang memiliki keunggulan posisi tawar akan dapat mendominasi

dan mempengaruhi kehendak pihak lainnya dalam suatu kontrak, sehingga pihak

lain terpaksa mengadakan kontrak tersebut. Sedikit banyaknya harus ada

kedudukan terpaksa dari pihak yang membutuhkan, dimana dalam keadaan itu

80Bryana Garner, 2009, Black’s Law Dictionary, West Thomson Return Business, Amerika, hal. 346.

81 Arthur Lewis, 2009, Dasar-Dasar Hukum Bisnis, penerjemah Derta Sri Widowatie, Nusa Media, Bandung, hal. 132, dalam terjemahan ini istilah undue influence dipadankan menjadi pengaruh yang menjerumuskan.

82J.M. Van Dunne, Op.cit, hal. 11.

41

tidak ada alternatif riil untuk membuat kontrak dengan orang lain, dan dengan

demikian juga tidak ada kemungkinan untuk mengadalan kontrak yang riil.83

Keunggulan yang tidak berimbang akan dapat melahirkan kesepakatan yang

timpang, sehingga melahirkan kontrak yang dilandasi dengan kesepakatan semu,

yang dibuat karena keterpaksaan.pihak yang lebih lemah untuk memenuhi

keperluannya. Sepintas peristiwa tersebut dilindungi dengan asas kebebasan

berkontrak, dan karenanya mempunyai kekuatan mengikat, namun karena

kesepakatan yang diberi tidak didasarkan atas kehendak bebas, melainkan karena

keadaan terpaksa, maka kontrak itu dapat dibatalkan atas dasar penyalahgunaan

keadaan. Kiranya dapat dikatakan, bahwa kebebasan berkontrak yang tidak

bertanggung jawab akan cenderung dapat menimbulkan penyalahgunaan keadaan.

Dengan diakuinya penyalahgunaan keadaan sebagai salah satu alasan pembatalan

kontrak, maka ia sekaligus berfungsi sebagai faktor pembatas terhadap praktik

kebebasan dalam pembuatan kontrak.

Pada penyalahgunaan keadaan masalahnya adalah mengenai keunggulan

pihak yang satu terhadap pihak lainnya. Keunggulan itu tidak saja bersifat

ekonomis, tetapi juga keunggulan kejiwaan atau keduanya, baik keunggulan

ekonomis maupun keunggulan kejiwaan. Apabila dilakukan penyalahgunaan

keunggulan, terjadilah penyalahgunaan keadaan.84 Penyalahgunaan keadaan

terjadi karena adanya inequality of bargaining power yang tak dapat dihindari

oleh pihak yang lemah dan pihak yang lebih kuat menyalahgunakannya dengan

memaksakan isi kontrak yang memberinya keuntungan yang tidak seimbang.

Penyalahgunaan keadaan karena keunggulan ekonomis dapat terjadi dengan

83 J.M. Van Dunne, Op.cit, hal. 19. 84 J.M. Van Dunne, Op.cit, hal. 16.

42

persyaratan dasar:85 (1) satu pihak harus mempunyai keunggulan ekonomis

terhadap yang lain; (2) pihak lain terpaksa mengadakan perjanjian atau kontrak.

Sementara itu, terhadap Penyalahgunaan keadaan karena keunggulan

kejiwaan dapat terjadi apabila: (1) salah satu pihak menyalahgunakan keuntungan

relatif, yaitu terdapat hubungan kepercayaan istimewa, seperti antara orang tua-

anak, suami-isteri, dokterpasien; (2) salah satu pihak menyalahgunakan keadaan

jiwa yang istimewa dari pihak lawan, yang dapat disebabkan oleh gangguan jiwa,

usia lanjut, tidak berpengalaman, gegabah, kurang pengetahuan dan kondisi badan

yang tidak baik. Dengan kondisi kejiwaan yang demikian, pihak yang dirugikan

ada dalam keadaan yang sangat mudah dipengaruhi.

1.5.2 Kerangka Pemikiran

Berdasarkan rumusan masalah, tujuan penelitian dan landasan teoritis,

maka dapat digambarkan kerangka pemikiran sebagai berikut:

85 J.M. Van Dunne, Op.cit, hal. 18-20.

43

Gambar 1.1 Kerangka Pemikiran

1.6 Metode Penelitian

1.6.1 Jenis Penelitian

Perjanjian

ketidakseimbangan Cacat Kehendak (Pasal 1321 KUHPer

Bedrog Dwaling Dwang Ekonomi Psikologis/ Kejiwaan

Penyalahgunaan Keadaan

Perjanjian dapat dibatalkan

Pembatalan Kontrak Berdasarkan Unsur Penyalahgunaan Keadaan

1. Bagaimanakah menentukan adanya unsur-unsur penyalahgunaan keadaan dalam sebuah kontrak?

2. Bagaimanakah dasar pertimbangan hakim dalam membatalkan perjanjian yang mengandung unsur penyalahgunaan keadaan?

• Teori Keadilan dan Keseimbangan

• Teori Kepastian Hukum • Konsep dan Asas

Hukum Perjanjian • Konsep Penyalahgunaan

Keadaan

44

Berangkat belum jelasnya pengaturan mengenai penyalahgunaan keadaan

dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, yang dalam hal ini berarti

masih terdapat norma kosong mengenai pengaturan penyalahgunaan keadaan dan

akibat hukumnya, maka metode penelitian yang digunakan adalah metode

penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif merupakan penelitian yang

dilakukan dengan cara mengkaji peraturan perundang-undangan yang berlaku atau

diterapkan terhadap suatu permasalahan hukum tertentu yang dalam hal ini adalah

permasalahan tentang pembatalan kontrak berdasarkan konsep penyalahgunaan

keadaan.

Penelitian normatif seringkali disebut dengan penelitian doktrinal, yaitu

penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma

dalam hukum positif.86 Dalam peneltian normatif hukum dipandang identik

dengan norma-norma tertulis, yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga atau

pejabat yang berwenang dan meninjau hukum sebagai suatu sistem normatif yang

otonom, mandiri, tertutup dan terlepas dari kehidupan masyarakat nyata.87

1.6.2 Jenis Pendekatan

Pendekatan (apprach) yang digunakan dalam suatu penelitian normatif

akan memungkinkan seorang peneliti untuk memanfaatkan hasil-hasil temuan

ilmu hukum dan ilmu-ilmu lain untuk kepentingan dan analisis serta eksplanasi

hukum tanpa mengubah karakter ilmu hukum sebagai ilmu normatif.

86Johny Ibrahim, 2012, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Banyumedia, Malang, hal. 295.

87Ronny Hanitijo Soemitro, 2008, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Alumni, Jakarta, hal 13-14.

45

Dalam kaitannya dengan penelitian normatif dapat digunakan beberapa

pendekatan yaitu :88

1. Pendekatan Perundang-undangan (statute approach).

2. Pendekatan Konsep (conceptual approach).

3. Pendekatan Perbandingan (comparative approach).

4. Pendekatan Historis (historical approach).

5. Pendekatan Filsafat (philosophical approach).

6. Pendekatan Kasus (case approach).

Pendekatan-pendekatan tersebut dapat digabung sehingga dalam suatu

penelitian hukum normatif dapat saja menggunakan dua pendekatan atau lebih

yang sesuai.

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konsep

(conceptual approach) dan pendekatan kasus (case approach), mengingat

permasalahan yang diteliti dan dibahas dalam penelitian ini adalah mengenai

pembatalan kontrak berdasarkan konsep penyalahgunaan keadaan dan pembatasan

kasus pada Putusan Mahkamah Agung No. 1992 K/Pdt/2010 serta Putusan

Komisi Pengawas Persaingan Usaha No. 26/KPPU-L/2007.

1.6.3 Sumber Bahan Hukum

Sumber bahan hukum yang diperlukan dalam penelitian hukum normatif

merupakan data sekunder. Data sekunder yaitu data yang diambil secara tidak

88 Johnny Ibrahim, Op.cit, hal. 300-301.

46

langsung atau yang telah terlebih dahulu dikumpulkan orang lain di luar dari

penelitian sendiri. Adapun data sekunder terdiri dari :89

1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yang

berupa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan

permasalahan yang akan dikaji, terdiri dari :

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.

b. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

c. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 8 dan

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4358).

d. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 117 dan

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4432).

e. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 3 dan

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5491).

f. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1).

2. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang diperoleh dari buku

teks, jurnal-jurnal asing, pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum, serta

simposium yang dilakukan para pakar terkait dengan objek kajian

penelitian hukum ini.90

89Bambang Waluyo, 2001, Penelitian Hukum Dalam Praktik, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, hal. 18.

90Johny Ibrahim, Op.cit, hal. 392.

47

3. Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberi

petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum

sekunder, seperti kamus hukum,91 Surat kabar, majalah mingguan, bulletin

dan internet juga dapat menjadi bahan bagi penelitian ini sepanjang memuat

informasi yang relevan dengan objek kajian penelitian hukum ini.92

1.6.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Dalam pengumpulan bahan hukum ini harus ditegaskan permasalahan

mengenai jenis, sifat dan kategori bahan hukum serta perlakuan terhadap bahan

hukum yang dikumpulkan. Tujuannya agar pengumpulan bahan hukum dan

penganalisaan terhadap bahan hukum dapat sesuai dengan tujuan dari penelitian.

Teknik pengumpulan bahan hukum yang akan digunakan adalah studi

pustaka atau studi dokumen yaitu mengumpulkan bahan hukum mengenai obyek

penelitian yang berupa bahan-bahan hukum bersifat normative-perspektif,

dilakukan dengan cara penelusuran kepustakaan, baik secara konvensional

maupun dengan menggunakan teknologi informasi seperti internet, dan lain-lain.

1.6.5 Teknik Analisis Bahan Hukum

Di dalam penelitian hukum normatif yang dianalisis bukanlah data,

melainkan melalui bahan hukum seperti tersebut di atas. Dengan demikian, erat

kaitannya antara metode analisis dengan pendekatan masalah. Analisis bahan

91Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2003, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 14-15.

92Jay A. Sieglar dan Benyamin R. Beede, 2007, The Legal Souyrces of Public Policy, Lexington Books, Massachussets, Toronto, hal. 23.

48

hukum yang berhasil dikumpulkan dalam penelitian ini akan dilakukan secara

deskriptif, interpretatif, evaluatif dan argumentatif, yang diterangkan sebagai

berikut:

1. Teknik deskriptif, yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk memperoleh

gambaran secara mendalam mengenai perumusan tindak pidana dan sanksi

pidananya.

2. Teknik Interpretatif berupa penggunaan jenis-jenis penafsiran dalam ilmu

hukum seperti penafsiran historis,sistematis, dan lain-lain. Selanjutnya

bahan Hukum tersebut dianalisis dengan menggunakan teknik evaluatif

,sistematis dan argumentatif.

3. Teknik evaluatif yaitu memberikan penilaian terhadap suatu pandangan,

proporsi, pernyataan, rumusan norma, keputusan,baik yang tertera dalam

baik dalam hukum primer maupun dalam hukum sekunder.

4. Teknik Sistematif berupaya mencari kaitan rumus suatu konsep hukum

atau konsep hukum antara perundang-undangan yang sederajat maupun

tidak sederajat.

5. Teknik Argumentatif tidak bisa dilepaskan dari teknik evaluasi karena

penilaian harus didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran

hukum.93

93 Buku Pedoman, 2008, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Tesis, Program Studi Magister Hukum Universitas Udayana, hal. 14.