bab i pendahuluan 1.1 latar belakang - sinta.unud.ac.id 1.pdf · 5 soflan dahlan dan eko soponyono,...

24
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan merupakan hak asasi manusia, dimana setiap orang berhak atas hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal yang layak, mendapatkan lingkungan hidup yang baik, sehat dan berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Pengertian kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis. 1 Kesehatan merupakan salah satu unsur kesejahteraan umum yang harus diwujudkan melalui berbagai upaya kesehatan dalam rangkaian pembangunan kesehatan secara menyeluruh dan terpadu yang didukung oleh suatu sistem kesehatan nasional. Negara bertanggung jawab atas hal penyediaan pelayanan kesehatan. Terdapat berbagai macam penyediaan pelayanan kesehatan yang terbuka untuk umum, antara lain yaitu dokter praktek, pusat kesehatan masyarakat (puskesmas), klinik kesehatan, rumah sakit, rumah bersalin, bidan praktek, laboratorium kesehatan, mantra praktek, pengobatan masal dan psikolog atau psikiater praktek. Rumah sakit sebagai salah satu fasilitas pelayanan kesehatan merupakan bagian dari sumber daya kesehatan yang sangat diperlukan dalam mendukung 1 Soekidjo Notoatmodjo, 2010, Etika dan Hukum Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta, h.7. 1

Upload: trinhtram

Post on 26-Apr-2018

220 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kesehatan merupakan hak asasi manusia, dimana setiap orang berhak atas

hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal yang layak, mendapatkan

lingkungan hidup yang baik, sehat dan berhak memperoleh pelayanan kesehatan.

Pengertian kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang

memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis.1 Kesehatan

merupakan salah satu unsur kesejahteraan umum yang harus diwujudkan melalui

berbagai upaya kesehatan dalam rangkaian pembangunan kesehatan secara

menyeluruh dan terpadu yang didukung oleh suatu sistem kesehatan nasional. Negara

bertanggung jawab atas hal penyediaan pelayanan kesehatan.

Terdapat berbagai macam penyediaan pelayanan kesehatan yang terbuka

untuk umum, antara lain yaitu dokter praktek, pusat kesehatan masyarakat

(puskesmas), klinik kesehatan, rumah sakit, rumah bersalin, bidan praktek,

laboratorium kesehatan, mantra praktek, pengobatan masal dan psikolog atau

psikiater praktek.

Rumah sakit sebagai salah satu fasilitas pelayanan kesehatan merupakan

bagian dari sumber daya kesehatan yang sangat diperlukan dalam mendukung

1 Soekidjo Notoatmodjo, 2010, Etika dan Hukum Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta, h.7.

1

2

penyelenggaraan upaya kesehatan. Pengertian rumah sakit sebagaimana diatur dalam

Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit

(selanjutnya disebut UU Rumah Sakit) menyatakan:

“rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggrakan

pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan

pelayanan rawat inap, rawat jalan dan gawat darurat”.

Rumah sakit sebagai salah satu sarana pelayanan kesehatan yang memberikan

pertolongan pertama pada hakekatnya berfungsi sebagai tempat penyembuhan

penyakit dan pemulihan kesehatan, memiliki makna yang merupakan tanggung jawab

pemerintah dalam meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat. Penyelenggaraan

pelayanan kesehatan di rumah sakit mempunyai cirinya tersendiri dan organisasi yang

sangat terstruktur sesuai dengan jenis rumah sakit tersebut.2

Rumah sakit terbagi menjadi beberapa jenis, berdasarkan jenis penyakit atau

masalah kesehatan penderita, rumah sakit dibagi menjadi 2 yaitu:

a. Rumah Sakit Umum (RSU)

b. Rumah Sakit Khusus

Selain rumah sakit berdasarkan jenis penyakit atau masalah kesehatan

penderita terdapat pula rumah sakit berdasarkan kepemilikannya, antara lain:

1. Rumah sakit yang dikelola dan dimiliki oleh Departemen Kesehatan;

2. Rumah sakit yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah (RSUD), yaitu:

2 Ibid, h.156.

3

a. Rumah Sakit Umum daerah Provinsi

b. Rumah Sakit Umum daerah Kabupaten

3. Rumah sakit yang dikelola dan dimiliki oleh TNI dan POLRI, yaitu:

a. Rumah Sakit Angkatan Darat (RSAD)

b. Rumah Sakit Angkatan Laut (RSAL)

c. Rumah Sakit Angkatan Udara (RSAU)

d. Rumah Sakit POLRI

4. Rumah sakit yang dikelola dan dimiliki oleh Departemen lain dan BUMN

5. Rumah Sakit Yang dikelola dan dimiliki swasta. 3

Penyelenggaraan pelayanan kesehatan dirumah sakit tidak dapat terlapas dari

adanya peranan tenaga medis. Hal ini disebabkan karena kebutuhan pasien yang

mendatangi rumah sakit dengan tujuan meminta pertolongan pertama kepada tenaga

medis, karena tenaga medis dianggap mampu untuk mengobati penyakit yang diderita

oleh pasien. Yang merupakan tenaga medis sebagaimana diatur dalam Undang-

Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan (selanjutnya disingkat UU

Tenaga Kesehatan) pada Pasal 11 ayat (2) yang menyatakan:

“Jenis tenaga kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga medis

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas dokter, dokter gigi,

dokter spesialis, dan dokter gigi spesialis”. Maka dari itu penyelenggaraan

pelayanan kesehatan dibidang medis tidak dapat dipisahkan dari adanya peranan

3 Ibid, h. 157.

4

seorang dokter, dalam hal ini pihak rumah sakit beserta dokter sebagai pemberi jasa

pelayanan kesehatan dalam bidang perawatan kesehatan dan pasien dikenal sebagai

penerima jasa pelayanan kesehatan.

Pengertian dokter sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 29

Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (selanjutnya disebut UU Praktik Kedokteran)

pada Pasal 1 ayat (2) yaitu:

“dokter dan dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi, dan dokter

spesialis lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi baik di dalam

maupun di luar negeri yang diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia sesuai

dengan peraturan perundang-undangan.”

Sebagai pekerjaan yang mulia, profesi dokter bukanlah profesi biasa seperti

profesi-profesi lainnya. Sebelum seorang dokter menjalankan profesi kedokterannya

maka ia diwajibkan untuk lulus pendidikan kedokteran dari lembaga-lembaga

pendidikan yang telah disahkan sebelumnya oleh Konsil Kedokteran Indonesia.

Selain menjalankan pendidikan yang berat seorang dokter, tidak langsung dapat

menjalankan prakteknya begitu saja, melainkan dokter tersebut harus wajib memiliki

surat izin praktek yang dikeluarkan oleh pejabat kesehatan yang berwenang.

Seiring dengan perkembangan zaman yang sangat pesat, maka turut sertanya

perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bidang kesehatan pada saat ini

mengharuskan seorang dokter wajib mengikuti perkembangan yang ada dalam rangka

pemberian pelayanan yang bermutu. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi

dalam bidang kesehatan, seperti halnya dalam metode perawatan membuat dokter

5

tidak dapat secara leluasa memberikan tindakan medis. Mengingat profesi dokter

yang sangat mulia, tentu saja terdapat resiko-resiko besar yang dihadapi dalam

menjalankan tugasnya. Secara tidak langsung hal tersebut membuat pengetahuan dan

kesadaran masyarakat semakin tinggi akan berbagai permasalahan dalam bidang

kesehatan. Akibat dari adanya perkembangan tersebut membuat permasalahan yang

timbul dalam pelayanan kesehatan juga bertambah besar dan kemungkinan untuk

melakukan kesalahan semakin besar.

Dahulu jika terjadi sesuatu tindakan yang tidak terduga terhadap pasien, baik

dalam hal diagnosis, terapeutik atau manajemen penyakit, yang dilakukan secara

melanggar hukum, kepatutan, kesusilaan dan prinsip-prinsip professional, baik

dilakukan dengan kesengajaan atau ketidak hati-hatian yang menyebabkan salah

tindak, rasa sakit, luka, cacat, kerusakan pada tubuh dan jiwa, serta menyebabkan

kematian, maka pasien atau pihak keluarga tidak pernah menuntut pihak dokter

ataupun rumah sakit, karena hal tersebut dianggap sebagai takdir yang ditentukan

oleh Tuhan. Akan tetapi pada saat ini sering timbul gugatan dari pasien atau

masyarakat yang merasa dirugikan akibat kesalahan yang dilakukan oleh pihak dokter

untuk menuntut ganti rugi. Sehingga munculah kasus-kasus tersebut di media cetak

dan media elektronik serta berujung pada gugatan yang dilakukan oleh pasien.

Tindakan tidak terduga yang dimaksud diatas merupakan tindak pidana yang

dilakukan oleh dokter.

Pada istilah medis, tindak pidana yang dilakukan oleh dokter disebut dengan

malpraktek. Malpraktek merupakan kesalahan dalam menjalankan profesi medik

6

yang tidak sesui dengan standar profesi medik dalam menjalankan profesinya.

Malpraktek tersebut sudah tentu bukanlah hal yang diinginkan oleh dokter dan

pasien. Meskipun hal tersebut tidak diinginkan, tetapi karena suatu hal kejadian

malpraktek pun bisa terjadi kepada dokter manapun, baik itu karena kesengajaan atau

kelalaian.4

Akibat yang ditimbulkan dari dugaan malpraktek tersebut membuat pihak

dokter selalu disalahkan. Apabila kembali melihat pada hubungan antara dokter dan

pasien, maka hubungan tersebut berdasarkan keadaan sosial budaya dan penyakit

pasien, dimana menurut Stas dan Hollender (1956) dapat dibedakan menjadi tiga,

yaitu:

1. Activity- Passivy

Hubungan ini terjadi pada pasien yang keselamatan jiwa yang sedang

terancam, sedang tidak sadar atau mengalami gangguan mental yang berat.

2. Guidance- Cooperation

Adanya hubungan membimbing serta kerjasama yang dilakukan oleh

dokter dengan pasien. Pada pola ini penyakit yang dialami oleh pasien

biasanya tidak terlalu berat, seperti misalnya infeksi baru yang dialami

oleh pasien. Dalam hal ini pasien tetap sadar mengobati penyakit yang

dideritanya.

3. Mutual Participation

Pada pola hubungan ini dokter dan pasien memiliki kedudukan yang

sederajat. Pasien memiliki peran aktif untuk memelihara kesehatannya,

misalnya dengan melakukan medical check up.5

Meskipun aturan dalam menjalankan praktek kedokteran telah diatur secara

jelas dalam UU Praktik Kedokteran, tetapi masih seringnya ditemui kesalahan-

4 J. Guwandi, 2005, Hukum Medik (Medical Law), Balai Penerbit FKUI, Jakarta, h.20..

5 Soflan Dahlan dan Eko Soponyono, 1994, Hukum Kedokteran, Universitas Diponogoro,

Semarang, h.1.

7

kesalahan dalam pemberian pelayanan kesahatan. Menurut UU Rumah Sakit Bab

VIII mengenai Hak dan Kewajiban bagian Kesatu tentang kewajiban Rumah Sakit

pada Pasal 29 ayat (1) huruf S UU Rumah Sakit menyatakan:

“Melindungi dan memberikan bantuan hukum bagi semua petugas rumah

sakit dalam melaksanakan tugas”.

Pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Bab XXI Menyebabkan

Mati Atau Luka-Luka Karena Kealpaan dalam Pasal 359 KUHP dan Pasal 360

KUHP yang membahas tentang kejahatan karena keselahan dalam menjalankan suatu

jabatan atau pencarian diatur dalam Pasal 361 KUHP yang menyebutkan “jika

kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam menjalankan suatu jabatan

atau pencarian, maka pidana ditambah dengan sepertiga dan yang bersalah dapat

dicabut haknya untuk menjalankan pencarian dalam mana dilakukan kejahatan dan

hakim dapat memerintahkan supaya putusannya diumumkan”.

Salah satu kasus yang merupakan dugaan malpraktek yang dilakukan oleh

dokter di rumah sakit yang terjadi dimasyarakat yaitu sesuai dengan Putusan Nomor

455 K/Pid/2010 dimana duduk perkaranya adalah dokter Taufik Wahyudi spesialis

kandungan yang bekerja dirumah sakit Kesdam Iskandar Muda Tingkat III Banda

Aceh (selanjutnya disingkat rumah sakit A) pada pukul 21.00 di tahun 2007,

memberikan tindakan Operasi Caesar terhadap proses persalinan terhadap korban

yang bernama Rita Yanti Binti (Alm), setelah selesai melaksanakan operasi tersebut,

pada tanggal 06 Desember 2008 pasien mengalami rasa sakit pada bekas jahitannya,

maka dengan sikap cepat pasien melakukan pemeriksaan ke rumah sakit umun

8

Zainoel Abidin (selanjutnya disingkat rumah sakit B) dan pemeriksaan dilakukan

oleh dokter Radjudin dan ditemukannya benda asing di dalam perut korban akibat

bekas Operasi Caesar yang dilakukan oleh dokter di rumah sakit A. selain itu pasien

pun bekonsultasi dengan dokter Andalas yang berada di rumah sakit B, hasil

pemeriksaan pun menyatakan bahwa pasien mengalami infeksi pada bekas operasiyag

dilakukan oleh dokter di rumah sakit A. Dokter Andalas melakukan operasi ulang

pada pasien dan menemukan kain kasa sepanjang kurang lebih 20 cm. Dengan adanya

kejadian seperti ini pasien pun akhinya meninggal dunia karena terlalu banyaknya

infeksi yang terjadi di dalam perutnya, maka dari itu dengan adanya kejadian seperti

ini terjadilah tuntutan yang diajukan oleh pihak keluarga kepada dokter yang

melakukan Operasi Caesar awal dirumah sakit A.6 Begitulah tindak pidana yang

dilakukan oleh dokter dan terjadi di dalam masyarakat.

Kurang terungkapnya perlindungan hukum oleh rumah sakit terhadap dokter

yang melaksanakan profesi kedokterannya membuat sebagian dokter menjadi

khawatir dan terancam, karena selalu dibayangi akan kesalahan medis terhadap

pasien yang dirawatnya yang dapat berujung pada tindak pidana, pada UU Rumah

Sakit khususnya Pasal 62 UU Rumah Sakit yang menyatakan hanya mengatur tentang

pidana penyelenggaraan rumah sakit yang tidak memiliki izin.

Pada dasarnya akibat dari kesalahan yang dilakukan oleh dokter tersebut

mempunyai dampak sangat merugikan yang akan mengurangi kepercayaan pasien

6 Amir Ilyas, 2014,Pertanggungjawaban Pidana Dokter Dalam Malpraktek Medik Di Rumah

Sakit, Rangkang Education, Yogyakarta, h. 187.

9

atau masyarakat terhadap pihak dokter dan pihak Rumah Sakit, serta menimbulkan

kerugian pada pasien. Untuk itu dalam memahami ada atau tidaknya kesalahan

pemberian tindakan pelayanan kesahatan yang dilakukan oleh dokter harus

diperhatikan aspek hukum yang mendasari terjadinya hubungan antara pasien, dokter,

dan rumah sakit. Maka dapat dikaji suatu permasalahan mengenai tanggung jawab

rumah sakit secara pidana bagi dokter yang melakukan malpraktek dalam pelayanan

kesehatan dan konsep hukum pidana terhadap dokter yang melakukan malpraktek di

dalam Rumah Sakit dengan mengambil judul penelitian

“PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA OLEH RUMAH SAKIT TERHADAP

DOKTER YANG MELAKUKAN MALPRAKTEK”

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat di tarik permasalahan

sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana oleh rumah sakit terhadap dokter

yang melakukan malprktek dalam pelayanan kesehatan ?

2. Bagaimanakah kebijakan hukum pidana terhadap dokter yang melakukan

malpraktek di rumah sakit ?

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Membahas permasalahan-permasalahan tersebut di atas, diperlukan adanya

batasan-batasan tertentu dalam ruang lingkup masalah. Hal ini dimaksud agar

10

pembahasan menjadi terarah dan tidak menyimpang dari pokok permasalahan. Ruang

lingkup dari permasalahan ini adalah mengenai kebijakan hukum pidana terhadap

dokter yang melakukan malpraktek di rumah sakit. Selain itu pasal-pasal yang

mengatur mengenai pertanggungjawaban rumah sakit yang diatur dalam KUHP,

Undang-Undang Rumah Sakit, dan Undang-Undang Praktik Kedokteran.

Terkait dengan permasalahan kedua yang akan dibahas adalah mengenai

kesalahan dokter dalam pelayanan kesehatan, tanggung jawab rumah sakit terhadap

dokter dalam pelayanan kesehatan. Membahas uraian-uraian di atas, maka dapat

diketahui jawaban dari permasalahan pertama sekaligus dapat menjawab dan

membahas mengenai permasalahan kedua. Jika dalam uraian selanjutnya di singgung

hal-hal lain di luar ruang lingkup masalah ini, maka hal tersebut hanyalah sebagai

pelengkap dan sebagai upaya untuk memperjelas uraian guna lebih sempurnanya

karya tulisan ini.

1.4 Tujuan Penelitian

Setiap penulisan karya ilmiah, tentu mempunyai suatu tujuan, baik dilihat dari

kumpulan data maupun dilihat dari manfaat yang dihasilkan. Adapun tujuan dari

penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Tujuan Umum

Tujuan dari penulisan penelitian ini adalah untuk mengetahui

pertanggungjawaban rumah sakit secara pidana terhadap kesalahan dokter dalam

pelayanan kesehatan.

11

b. Tujuan Khusus

Berdasarkan permasalahan yang dibahas dalam penulisan penelitian ini,

penelitian yang dilakukan untuk membahas permasalahan tersebut mempunya

tujuan khusus:

1. Untuk mengetahui kebijakan hukum pidana terhadap dokter yang

melakukan malpraktek di rumah sakit.

2. Untuk mengetahui pertanggungjawaban rumah sakit secara pidana

bagi dokter yang melakukan malpraktek dalam pelayanan kesehatan.

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat diambil dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Manfaat Teoritis

Penulisan karya tulis ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan penelitian

bagi lembaga Fakultas Hukum Universitas Udayana dan sebagai bahan

referensi pada perpustakaan.

b. Manfaat Praktis

Penulisan karya tulis ini nantinya diharapkan mampu menjadi bahan

pertimbangan dan solusi yang konkrit bagi para penegak hukum khususnya

pihak rumah sakit dalam hal pertanggungjawaban terhadap para dokter dalam

pelayanan kesehatan.

12

1.6 Landasan Teoritis

Untuk mengkaji lebih lanjut mengenai pertanggungjawaban pidana oleh

rumah sakit terhadap dokter yang melakukan malpraktek dalam pelayanan kesehatan,

terlebih dahulu akan dikemukakan sekilas mengenai hal-hal yang berkaitan dan

mendukung permasalahan yang akan di bahas selanjutnya dalam tulisan ini.

a. Pengertian Pidana dan Tindak Pidana

Istilah hukuman dan pidana memiliki arti yang berbeda, hukuman adalah

istilah umum untuk segala macam sanksi baik itu pidana, perdata, administratif, dan

disiplin. Istilah pidana diartikan sempit yang berkaitan dengan hukum pidana.7

Hukum pidana menurut Van Hamel dalam bukunya Moeljatno, hukum pidana

didefinisikan sebagai dasar-dasar dan aturan-aturan yang dianut oleh suatu Negara

dalam menyelenggarakan ketertiban umum (rechtsoerde) yaitu melarang apa yang

bertentangan dengan hukum dan mengenakan suatu nestapa yang melanggar

larangan-larangan tersebut.8 Menurut Moeljatno hukum pidana merupakan dasar-

dasar dan aturan-aturan untuk:

1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang

dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi berupa pidana tertentu bagi

barang siapa melanggar larangan tersebut;

2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah

melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana

sebagaimana yang telah diancamkan;

7 Andi Hamzah, 1994, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, h. 27. (Selanjutnya

disingkat Andi Hamzah I).

8Moeljatno, 1993, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta. h.8.

13

3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat

dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan

tersebut.9

Uraian yang telah dijabarkan di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa

hukum pidana mengatur tentang:

1. Larangan untuk melakukan suatu perbuatan;

2. Syarat-syarat agar seseorang dapat dikenakan sanksi pidana;

3. Sanksi pidana apa yang dapat dijatuhkan kepada seseorang yang melakukan

suatu perbuatan yang dilarang (delik);

4. Cara mempertahankan atau memberlakukan hukum pidana.

Istilah tindak pidana berasal dari “strafbaar feiit”, Istilah ini terdapat dalam

Wetboek van Strafrecht (WvS) Belanda demikian juga WvS Hindia Belanda atau yang

dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), tetapi tidak ada

penjelasan resmi mengenai apa yang dimaksud dengan “strafbaar feiit” tersebut.

Pengertian tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenai

hukuman pidana, dan pelaku ini dapat dikatakan merupakan subyek tindak pidana.10

Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum,

yang diancam dengan pidana. Pada sistem KUHP Indonesia mengenal beberapa

delik, yaitu:

9Ibid h.10.

10

Wirjono Prodjodikoro, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Refika Aditama,

Bandung, h.58.

14

a. Kejahatan ( misdrijven) yang dimuat di dalam Buku Kedua

b. Pelanggaran (Overtredingen) yang dimuat di dalam Buku Ketiga

Pembagian jenis Tindak Pidana ini dapat didasarkan kepada berat atau

ringannya ancaman, sifat, bentuk, dan cara perumusan suatu tindak pidana dan

lainnya. Perbuatan-perbuatan pidana menurut sistem KUHP kita dibagi atas kejahatan

(misdrijiven) dan pelanggaran (overtredingen). Menurut Memorie van Toelichting

(M.v.T) pembagian atas dua jenis tadi didasarkan atas perbedaan prinsipil. Selain

pembedaan tindak pidana atas kejahatan dan pelanggaran sebagaimana dapat dilihat

di dalam KUHP, dikenal juga pembedaan atau penggolongan tindak pidana yang

didasarkan kepada hal:

1. Cara merumuskan tindak pidana:

Cara merumuskan tindak pidana ini terbagi menjadi 2 yaitu melalui delik

formil (formele delicten) dan delik materiil (materiele delicten).

2. Bentuk kesalahan:

Bentuk kesalahan dalam tindak pidana terbagi menjadi 2 yaitu delik dolus

(dolus delicten) dan delik culpa (culpose delicten).

3. Perbedaan Subjek:

Perbedaan subjek dalam tindak pidan dibagi menjadi 2 yaitu delik khusus

(delicta propria) dan delik umum (commune delicten).

4. Berdasarkan kepada sumbernya:

Berdasarkan kepada sumbernya tindak pidan dibagi menjadi 2 yaitu tindak

pidana umum dan tindak pidana khusus.11

b. Pertanggungjawaban Pidana dan Teori Pertanggungjawaban Pidana

Pada dasarnya tindak pidana merupakan perbuatan atau serangkaian perbuatan

atau serangkaian perbuatan yang didasari sanksi pidana. Dilihat dari istilahnya, hanya

11

C.S.T. Kansil, 2007, Latihan Ujian Hukum Pidana, Sinar Grafika Offest, Jakarta, h.111.

(Selanjutnya disingkat C.S.T Kansil I).

15

sifat-sifat dari perbuatan saja yang meliputi suatu tindak pidana sedangkan sifat-sifat

orang yang yang melakukan tindak pidana menjadi bagian dari persoalan lain, yaitu

pertanggungjawaban pidana. Menurut Van Hamel bertanggung jawab adalah suatu

keadaan normalitas psychis dan kematangan atau kecerdasan yang membawa 3

kemampuan yaitu:

1. Mampu untuk mengerti nilai dari akibat-akibat perbuatannya sendiri;

2. Mampu untuk menyadari bahwa perbuatannya itu menurut pendangan

masyarakat tidak dibolehkan;

3. Mampu untuk menentukan kehendakya atas perbuatan-perbuatannya

itu.12

Menurut M.v.T, secara negatif menyebutkan mengenai pengertian

kemampuan bertanggungjawab itu antara lain, tidak ada kemampuan

bertanggungjawab pada si pelaku dalam hal:

1. Ia tidak ada kebebasan untuk memilih antara berbuat dan tidak berbuat

mengenai apa yang dilarang atau diperintahkan oleh undang-undang;

2. Ia ada dalam suatu keadaan yang sedemikian rupa, sehingga tidak dapat

menginsyafi bahwa perbuatannya itu bertentangan dengan hukum dan tidak

dapat menentukan akibat perbuatannya.13

Pemberian sanksi bagi seseorang yang telah melakukan suatu tindak pidana

secara umum bertujuan untuk memberikan suatu efek jera bagi seseorang tersebut

agar suatu saat nanti tidak mengulangi tindak pidana tersebut kembali. Pemberian

12 Moeljatno, op.cit, h.15.

13

Adami Chazawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, Raja Grafindo Persada, Jakarta,

h. 10.(selanjutnya disingkat Adami Chazawi I).

16

pidana sebagai salah satu bentuk pertanggungjawaban pidana harus memenuhi 3 hal

yaitu dapat menginsafi (mengerti) makna perbuatannya dalam kejahatan, dapat

menginsafi bahwa perbuatannya di pandang tidak patut dalam pergaulan di

masyarakat, mampu untuk menentukan niat atau kehendaknya terhadap perbuatan

tadi. Maka dapat dikaji mengenai teori pertanggungjawaban pidana yang dalam

istilah asing disebut dengan teorekenbaardheid atau criminal responsibility yang

menjurus kepada pemidanaan pelaku dengan maksud untuk menentukan apakah

seorang terdakwa atau tersangka dapat dipertanggungjawabkan atas suatu tindakan

pidana yang terjadi atau tidak.14

Pompe memberikan pendapat mengenai unsur-unsur kemampuan

bertanggungjawab sebagai berikut:

1. Kemampuan berpikir pembuat yang memungkinkan ia menguasai

pikirannya, yang memungkinkan ia menentukan perbuatannya.

2. Dan oleh sebab itu, ia dapat menentukan akibat dari perbuatannya.

3. Dan oleh sebab itu pula, ia dapat menentukan kehendaknya sesuai

dengan pendapatnya.15

Terkait dengan pertanggungjawaban pidana yang erat hubungannya dengan

kesalahan, untuk menentukan seseorang tersebut melakukan tindak pidana maka

dapat dilihat terlebih dahulu apakah dari perbuatannya harus mempunyai kesalahan.

Adapun teori yang mengatur mengenai kesalahan yaitu:

1. Teori psikologis merupakan teori yang menganggap kesalahan sebagai

sesuatu yang terdapat dalam alam pikiran orang yang bersalah (si pelaku) tadi,

14

Amir Ilyas, op.cit. h. 67.

15

Ibid, h.68

17

yang seakan-akan dapat ditangkap (dimengerti) oleh hakim, mungkin dengan

bantuan seorang psikiater (dokter penyakit jiwa) atau psikoanalis.

2. Teori normatif merupakan teori yang menganggap kesalahan tidak sebagai

sesuatu yang terdapat dalam alam pikiran, tetapi sebagai sifat yang

sedemikian rupa yang ditentukan oleh pertimbangan hukum.

3. Teori dimaksudkan disini, dimana kesalahan dilihat dari segi keputusan

pengadilan yaitu tindakan menghukum yang diambil.16

c. Teori Kebijakan Hukum Pidana

Teori kebijakan merupakan suatu teori yang digunakan sebagai sebagai

prinsip-prinsip umum yang berfungsi untuk mengarahkan pemerintah (dalam arti luas

termasuk pula aparat penegak hukum dalam mengelola, mengatur, atau

menyelesaikan urusan-urusan publik, masalah-masalah masyarakat atau bidang-

bidang penyusunan peraturan perundang-undangan dan pengaplikasian

hukum/peraturan, dengan tujuan (umum) yang mengarah pada upaya mewujudkan

kesejahteraan atau kemakmuran masyarakat (warga negara).17

Sudarto mengungkapkan tiga arti mengenai kebijakan criminal, yaitu:

1. Dalam arti sempit: keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar

dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana;

2. Dalam arti luas: keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum,

termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi;

3. dalam arti luas yang diambil dari Jorgen Jepsen: keseluruhan

kebijakan yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-

badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral

dari masyarakat.18

16 Soedjono, 1981, Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana, Alumni, Bandung, h.54.

17

Barda Nawawi Arief, 2008, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana dalam

Penanggulangan Kejahatan, Prenada Media Group, Jakarta, h. 22.

18

Ibid, h. 3

18

Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada

hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Jadi

kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian dari polittik kriminal

dengan perkataan lain dilihat dari sudut politik kriminal, maka politik hukum pidana

identik dengaan pengertian kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum

pidana.19

d. Teori Korporasi

Korporasi berasal dari kata corporate yang artinya suatu badan yang

mempunyai sekumpulan anggota dan anggota tersebut mempunyai hak dan kewajiban

sendiri yang terpisah dari hak dan kewajiban tiap-tiap anggotanya. Korporasi juga

badan hukum dan terdapat alasan untuk membatasi korporasi sebagai badan hukum

karena memiliki unsur-unsur yaitu mempunyai harta yang terpisah, ada suatu

organisasi yang ditetapkan oleh suatu tujuan dimana kekayaan terpisah itu

diperuntukkan, dan ada pengurus yang menguasai dan mengurusnya.20

Terdapat tiga situasi dimana korporasi tidak dapat melepaskan diri dari

tanggung jawab pidana atas tindak pidana yang dilakukan pengurs atau anggotanya

yaitu:

1. Jika tindakan pengurus dan anggotanya masih dalam ruang lingkup

dan sifat dasar pekerjaannya di korporasi;

19

Ibid, h.. 28.

20

Hanafi Amrani dan Mahrus Ali, 2015, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Perkembangan

dan Penerapan,Raja Grafindo Persada, Depok, h. 147.

19

2. Jika tindak pidana ditujukan untuk menguntungkan korporasi;

3. Pengadilan wajib melimpahkan kesengajaan pengurus tersebut kepada

korporasi.21

Beberapa teori-teori malpraktek yang didalamnya menyebutkan sumber dari

perbuatan malpraktek yaitu:

a. Teori pelanggaran kontrak

Teori pelanggaran kontrak menyatakan bahwa sumber dari perbuatan

malpraktek adalah karena terjadinya pelanggaran kontrak. Secara prinsip

hubungan antara tenaga kesehatan dengan pasien baru dapat terjadi apabila

telah terjadi kontrak antara kedua belah pihak, kecuali dalam keadaan gawat

darurat. Situasi seperti ini mendapatkan pesetujuan kontrak dari pihak ketiga

yaitu keluarga pasien. Namun jika pasien tersebut dalam keadaan darurat

tanpa adanya keluarga, maka demi kepentingan pasien menurut perundang-

undangan yang berlaku, seorang tenaga kesehatan diwajibkan memberikan

pertolongan pertama.

b. Teori perbuatan yang disengaja

Teori perbuatan yang disengaja merupakan teori yang dapat digunakan oleh

pasien sebagai dasar untuk menggugat tenaga kesehatan karena perbuatan

malpraktek adalah kesalahan yang dibuat dengan sengaja yang mengakibatkan

seseorang secara fisik mengalami cedera.

c. Teori kelalaian

21

Ibid, h. 186.

20

Teori kelalaian merupakan teori yang menyebutkan bahwa sumber perbuatan

malpraktek adalah kelalaian (negligence). Kelalaian yang menyebabkan

sumber perbuatan yang dikategorikan dalam malpraktek ini harus dapat

dibuktikan adanya, selain itu kelalaian yang dimaksud harus termasuk ke

dalm kategori kelalaian yang berat (culpa lata). Untuk membuktikan hal yang

demikian tentu saja bukan merupakan tugas yang mudah bagi aparat penegak

hukum.22

1.7 Metode Penelitian

Penulisan penelitian ini dilakukan dengan ditunjang oleh sekumpulan data,

untuk memperoleh data-data yang akurat, maka dilakukan langkah-langkah

pengumpulan data dengan menggunakan data sebagai berikut:

a. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan penelitian ini adalah

penelitian normatif yaitu penelitian hukum kepustakaan yang mengacu kepada

norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan

putusan pengadilan.23

Penulisan penelitian ini beranjak dari adanya suatu norma

kabur di dalam UU Rumah Sakit khususnya pada Pasal 29 ayat (1) huruf S yang

22

Ninik Mariyanti, 1988, Malpraktek Kedokteran Dari Segi Hukum Pidana dan Perdata,Bina

Aksara, Jakarta, h. 44.

23

Ronny Hanitijo Soemitro, 1988, Metodelogi Penelitian Hukum dan Jurimentri Cet, Ke IV,

Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 10.

21

mana tidak terdapat penjelasan apakah dokter juga termasuk ke dalam petugas

rumah sakit.

b. Jenis Pendekatan

Sebuah penelitian agar dapat mengungkapkan kebenaran jawaban atas

permasalahan secara sistematis, metodologis, konsisten, dan

dipertanggungjawabkan keilmiahannya, hendaknya disusun dengan menggunakan

pendekatan-pendekatan yang tepat.

Adapun pendekatan yang digunakan dalam penulisan ini adalah pendekatan

perundang-undangan (The Statute Approach) dan pendekatan analisa konsep

hukum (Analitical & Conseptual Approach). Pendekatan perundang-undangan

(The Statute Approach) adalah metode penelitian dengan menelaah semua

undang-undang, memahami hierarki dan asas-asas dalam peraturan perundang-

undangan. Dikatakan bahwa pendekatan peraturan perundang-undangan berupa

legislasi dan regulasi yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang

berwenang dan mengikat secara umum.24

Maka dalam hal ini yang dimaksud

dengan pendekatan perundang-undangan dengan mengkaji dan menganalisa

beberapa undang-undang yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang

Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, dan Undang-Undang Nomor 29

Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.

24

Peter Mahmud Marzuki, 2009, Penelitian Hukum, Cet ke IV, Kencana Prenada Media

Group, Jakarta, h.35.

22

Pendekatan analisa konsep hukum (Analitical & Conseptual Approach)

adalah dalam pendekatan anlisa konsep hukum dilakukan dengan menggunakan

konsep, prinsip-prinsip hukum yang relevan, pandangan-pandangan dan doktrin-

doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum dengan mempelajari pandang-

pandangan dan doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum terhadap pembahasan

mengenai kebijakan hukum terhadap dokter yang melakukan malpraktek dan

pertanggungjawaban pidana oleh rumah sakit terhadap dokter yang melakukan

malpraktek dalam pelayanan kesehatan. Pemahaman akan pendekatan analisa

konsep hukum ini akan melahirkan konsep-konsep hukum yang relevan dengan

isu yang dihadapi, akan tetapi tetap menggunakan peraturan perundang-undangan

yang berlaku.

c. Bahan Hukum

Bahan hukum yang digunakan dalam penulisan penelitian ini, yaitu :

1. Bahan Hukum Primer adalah suatu peraturan perundang-undangan yang

memiliki kaitan langsung maupun tidak langsung dari pengambilan keputusan

dalam pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan, antara lain :

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Kitab Undang-undang Hukum Pidana;

c. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit;

d. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran

2. Bahan Hukum Sekunder adalah buku-buku litelatur yang berkaitan dengan

permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini serta bahan-bahan yang

23

mempunyai hubungan erat dengan bahan hukum primer dan dapat membantu

menganalisis dan memahami bahan hukum primer.25

3. Bahan Hukum Tersier adalah bahan-bahan yang memberi petunjuk maupun

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, misalnya

seperti kamus-kamus hukum, ensiklopedia, indeks komulatif, dan sebagainya.26

Penggunaan bahan hukum tersier ini harus memperoleh bahan hukum atau

informasi terbaru dan berkaitan dengan permasalahan.

d. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan data yaitu teknik awal yang digunakan dalam setiap

penelitian ilmu hukum, baik dalam penelitian hukum normatif maupun dalam

penelitian hukum empiris. Dokumen yang dipelajari berupa peraturan perundang-

undangan, literatur, makalah, artikel, dan sebagainya demi medapatkan data yang

objektif dan akurat.

Penelitian hukum normatif dikenal dengan adanya teknik untuk

mengumpulkan data dengan cara studi kepustakaan yaitu data kepustakaan

dikumpulkan dengan cara membaca, mencatat, mempelajari, dan menganalisa isi

pustaka yang berkaitan dengan masalah objek penelitian serta dalam peraturan

perundang-undangan yang terkait dengan penyusunan penelitian ini. Adapun

25

Ronny Hanitijo Soemitro, op.cit, h. 53.

26

Ronny Hanitijo Soemitro, op.cit, h. 54.

24

peraturan perundang-undangan yang digunakan adalah KUHP, UU Rumah

Sakit,dan UU Praktik Kedokteran.

e. Teknik Analisa

Analisa data adalah kegiatan merapikan data hasil pengumpulan data sehingga

siap dipakai untuk dianalisa.27

Apabila keseluruhan bahan hukum yang diperoleh

dan sudah terkumpul melalui studi kepustakaan maka dalam menganalisa bahan-

bahan hukum yang telah terkumpul dalam penelitian ini penulis menggunakan

teknik deskripsi, sistematis, interpretasi, dan argumentasi. Maksudnya adalah

bahan hukum yang telah rampung, dipaparkan dengan disertai analisis sesuai

dengan teori yang terdapat pada peraturan perundang-undangan yang berlaku dan

pada buku-buku literatur, guna mendapatkan kesimpulan sebagai akhir dari

penulisan penelitian ini.

27

Bambang Waluyo, 2002, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Cet III, Sinar Grafika, Jakarta,

h. 72.