pencitraan dalam novel sepatu dahlan

119
PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN (Studi Analisis Wacana Kritis dalam Novel Sepatu Dahlan Karya Khrisna Pabichara) Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I) Oleh Leni Cahyani NIM: 108051000183 JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1434 H./2013 M.

Upload: others

Post on 24-Jan-2022

8 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN

PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN (Studi Analisis Wacana Kritis dalam Novel Sepatu Dahlan Karya

Khrisna Pabichara)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I)

Oleh

Leni Cahyani

NIM: 108051000183

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1434 H./2013 M.

Page 2: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN
Page 3: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN
Page 4: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN
Page 5: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN

ii

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Segala puji bagi Allah SWT, dan kesejahteraan serta kedamaian semoga

dilimpahkan kepada mahlukNya yang paling mulia dan sebaik-baik manusia,

yakni Nabi Muhammad SAW, para keluarga beliau, para sahabat beliau yang

mulia, dan orang-orang yang mengikuti beliau dengan kebaikan hingga hari

pembalasan.

Dalam penelitian skripsi ini, peneliti menyadari benar bahwa tanpa adanya

bantuan dari berbagai pihak terkait, peneliti tidak dapat menyelesaikan skripsi ini

dengan baik. Karena berkat arahan, bantuan, petunjuk dan motivasi yang

diberikan, akhirnya peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini guna mendapatkan

gelar Strata Satu (S1) di Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam,

Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FIDKOM), Universitas Islam

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Pada kesempatan ini, peneliti mengucapkan terima kasih yang sebesar-

besarnya kepada:

1. Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FIDKOM) Dr. Arief

Subhan, M.A, Wakil Dekan I Drs. Wahidin Saputra, M.A, Wakil Dekan II

Drs. Mahmud Jalal, M.A, dan Wakil Dekan III Drs. Study Rizal LK, M.A.

2. Drs. Jumroni, M.Si dan Umi Musyarofah, M.A selaku Ketua Jurusan dan

Sekretaris Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam.

Page 6: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN

iii

3. Bintan Humeira, S.Sos, M.Si selaku pembimbing yang telah banyak

memberikan bimbingan, petunjuk, dan pemikirannya kepada peneliti. Juga

menyemangati peneliti untuk dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

4. Khrisna Pabichara selaku peneliti novel Sepatu Dahlan dan Yunarto

Wijaya, S.IP., MM sebagai narasumber pengamat politik yang sudah

meluangkan waktunya dan memberikan kesempatan untuk wawancara

terkait penelitian novel Sepatu Dahlan.

5. Seluruh Dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi yang telah

mendidik serta memberikan beragam ilmu. Semoga ilmu para dosen

dibalas dengan ruang yang tak terhingga.

6. Seluruh Staf Tata Usaha dan Karyawan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu

Komunikasi yang telah membantu peneliti dalam hal administrasi selama

perkuliahan dan penelitian skripsi ini.

7. Orang tua tercinta IbuSutiyah dan Bapak Cecep Sahara atas kesabaran dan

kepercayaan mereka yang tak henti-hentinya mendoakan, memberi

dukungan moril maupun materil, semangat dan motivasi kepada peneliti.

8. Teman-teman KPI F,C,D 2008 dan teman-teman seperjuangan lainnya

yang tak henti-hentinya menularkan semangat berjuang untuk skripsi.

Semoga silaturahmi kita akan tetap terjaga nantinya, dan suatu saat bisa

bertemu dan berkumpul kembali untuk mengenang kebersamaan kita.

Amin .

9. Dan semua pihak yang telah membantu dalam penelitian skripsi ini

Page 7: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN

iv

Peneliti mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas segala

bantuan yang diberikan dan mohon maaf atas segala kekhilafan yang terjadi

selama ini. Harapan peneliti semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua,

terutama bagi teman-teman mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta, dan khususnya bagi peneliti sendiri. Amin

Jakarta, 4 Oktober 2013

Leni Cahyani

Page 8: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN

108

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Arifin, Anwar. Komunikasi Politik Filsafat, Paradigma, Teori, Tujuan Strategi

dan Komunikasi Politik Indonesia, Jogjakarta: Graha Ilmu, 2011.

____________. Opini Publik, Jakarta: Gramata Publishing, 2010.

Badara, Aris. Analisis Wacana Teori, Metode, dan Penerapannya pada Wacana

Media, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012.

Danial, Akhmad. Iklan Politik Tv, Modernisasi Kampanye Politik Pasca Orde

Baru, Yogyakarta: Lkis Yogyakarta, 2009.

Eriyanto, Analisis Wacana, Pengantar Analisis Teks Media, Yogyakarta:

LkiS,2006.

Firmanzah, Marketing Politik, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007.

Hasan Lubis, Hamid. Analisis Wacana Pragmatik, Bandung: Angkasa, 1993.

Heryanto, Gun gun. Komunikasi Politik Di Era Industri Citra, Jakarta: PT

Laswell Visitama, 2010.

________________. Handout Perkuliahan Matakuliah Komunikasi Politik

________________. dan Farida, Ade rina. Komunikasi Politik, Jakarta: Lembaga

Penelitian UIN Jakarta, 2011.

Keraf, Gorys. Komposisi Sebuah Pengantar Kemahiran Bahasa, Ende-Flores:

Nusa Indah. 1980.

Kurnia Syah Putra, Dedi. Media dan Politik Menemukan Relasi antara Dimensi

Simbiosis-Mutualisme Media dan Politik, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012.

Kusmayadi, Ismail. Think Smart Bahasa Indonesia, Bandung : Media Grafindo

Pratama, 2006.

Kriyantono, Rachmat. Teknik Praktis Riset Komunikasi, Jakarta: Kencana, 2007.

Margaretha, Selu Kushendrawati. Hiperrealitas dan Ruang Publik:sebuah

analisis cultural studies, Jakarta: penaku, 2011.

Oetomo, Dede. Kelahiran dan Perkembangan analisis wacana, dalam PELLBA,

Yogyakarta: Kanisius, 1993.

Page 9: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN

109

Rachmat, Jalaludin. Psikologi Komunikasi, Bandung: PT Remaja Rosdakarya,

2005.

Sobur, Alex. Dr. M.Si,. Analisis Teks Media Suatu Pengantar Untuk Analisis

Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing, Bandung: PT. Remaja

Rosdakarya, 2006.

Sumardjo, Jakob Dan Saini K.M, Apresiasi Kesusastraan, Jakarta : Penerbit

Gramedia, 1986, cet. Ke-1.

Sutrisno. Metodologi Research, Jogjakarta: Andi Offset, 1989.

Wijana. Dasar-dasar Pragmatik, Yogyakarta: ANDI, 1996.

Data Internet

AG Eka Wenats Wuryanta, “perspektif teori kritis dan kultur komunikasi massa”,

http://ekawenats.blogspot.com/2010/05/perspektif-teori-kritis-dan-

kultur.html. diakses pada tanggal 30 september 2013, pukul 14:37 Wib

Damar Fery Ardiyan, “sedikit catatan: Perspektif Kritis,” artikel diakses pada 30

oktober 2013 dari http://banyulanang.blogspot.com/2011/04/sedikit-

catatan-perspektif-kritis,html.

Kamaruddin, “Komunikasi Politik dan Pencitraan,” artikel diakses pada 06

januari 2013 dari http://kamaruddin-

blog.blogspot.com/2010/10/komunikasi-politik-dan-pecitraan.html,

Shinta Kusuma, “Pencitraan Bukan Kamuflase”, artikel diakses pada Tanggal 17

september 2013 Pukul 15:41 wib. Dari

http://www.pesona.co.id/refleksi/refleksi/pencitraan.bukan.kamuflase/00

1/001/134.

Widodo S Jusuf, Dahlan Iskan Jangan Menapaki Jejak SBY, artikel diakses pada

Tanggal 17 september 2013 Pukul 15:41 wib dari

http://politik.kompasiana.com/2012/03/26/dahlan-iskan-jangan-

menapaki-jejak-sby-445181.html.

Yasraf Amir Piliag, Simulacra Politik, http://www.unisosdem.org, diakses pada 2

juni 2013. 14.37 wib.

Lain-lain

Akmal Fauzi, “Kajian Pencitraan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil

Kota Tangerang Selatan” (Tangerang Selatan: Saung Kecapi,2013)

Page 10: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN

v

DAFTAR ISI

ABSTRAK ......................................................................................................... i

KATA PENGANTAR ....................................................................................... ii

DAFTAR ISI ...................................................................................................... v

DAFTAR TABEL ............................................................................................. vii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah .............................................................. 1

B. Batasan dan Rumusan Masalah ................................................... 5

C. Tujuan Penelitian ........................................................................ 6

D. Manfaat Penelitian ...................................................................... 6

E. Metodologi Penelitian ................................................................. 7

F. Tinjauan Kepustakaan ................................................................. 12

G. Sistematika Penulisan ................................................................. 13

BAB II KAJIAN TEORITIS

A. Media Massa Dalam Perspektif Kritis ........................................ 16

B. Analisis Wacana .......................................................................... 17

C. Citra Politik (Political Image) ..................................................... 31

BAB III BIOGRAFI KHRISNA PABICHARA DAN SINOPSIS NOVEL

SEPATU DAHLAN

A. Riwayat Hidup Khrisna Pabichara ............................................. 39

B. Karya-Karya Khrisna Pabichara ................................................. 41

1. Karya Fiksi Khrisna Pabichara.............................................. 41

2. Karya Non-Fiksi Khrisna Pabichara ..................................... 42

C. Gambaran Umum Novel Sepatu Dahlan .................................... 43

1. Latar Belakang Terbitnya Novel Sepatu Dahlan .................. 43

2. Sinopsis Novel Sepatu Dahlan ............................................. 45

BAB IV TEMUAN DAN ANALISIS PENELITIAN

Page 11: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN

vi

A. Analisis Wacana Kritis Pencitraan dalam Novel Sepatu Dahlan

Karya Khrisna Pabichara Dilihat dari Analisis Teks .................. 52

B. Analisis Wacana Kritis Pencitraan Dilihat dari Kognisi Sosial .. 88

C. Analisis Wacana Kritis Pencitraan Dilihat dari Konteks Sosial . 94

D. Interpretasi................................................................................... 97

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan.................................................................................. 105

B. Saran ............................................................................................ 107

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 108

LAMPIRAN

Page 12: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN

vii

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Tabel 1. Skema Penelitian dan Metode Van Dijk ......................................... 26

2. Tabel 2. Struktur Model Analisis Wacana Van Dijk .................................... 28

3. Tabel 3. Temuan Teks Pada Novel Sepatu Dahlan ...................................... 89

Page 13: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang Masalah

Dewasa ini perkembangan teknologi sangatlah pesat seiring melihat

manusia zaman sekarang yang kini sudah memasuki masyarakat informasi.

Beragamnya teknologi sudah menjadi santapan sehari-hari bagi kehidupan

manusia. Media misalnya, sebagai alat informasi menjadi sangat penting pada

kehidupan manusia sebagai makhluk sosial. Ini dikarenakan kebutuhan yang besar

dari masyarakat akan informasi. Informasi menjadi sesuatu yang sangat berharga

bagi masyarakat. Tidak terkecuali yang terjadi pada media tulisan atau cetak yang

merupakan bagian dari media massa itu sendiri.

“Beragamnya media massa, khususnya media cetak sangat memperkaya

dunia baca bagi masyarakat. Semua pesan dari media massa dikonsumsi

oleh masyarakat sebagai bahan informasi dan referensi bagi wawasan ilmu

pengetahuan mereka. Karena pada dasarnya media adalah saluran dimana

seseorang dapat menyatakan gagasan, isi jiwa atau kesadarannya atau

dengan kata lain media adalah alat untuk menyampaikan gagasan.”1

Atar Semi dalam bukunya mengatakan sastra merupakan salah satu karya

seni yang bermediakan bahasa. Sastra telah menempati dimensi ruang dan waktu

dalam peradaban manusia. Kehadiran sastra tidak dapat ditolak, bahkan

kehadirannya telah dianggap sebagai suatu karya kreatif yang mempunyai nilai,

hasil imajinasi, dan emosi sehingga dapat diterima sebagai realitas sosial budaya.2

1 Anwar Arifin, Opini Publik (Jakarta: Gramata Publishing, 2010), h. 116.

2 Atar Semi, Metode Penelitian Sastra (Bandung : Penerbit Angkasa , 1993 ), h. 1.

Page 14: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN

2

Sastra merupakan media komunikasi yang menyajikan keindahan, memberikan

makna terhadap kehidupan atau pemberian pelepasan ke dunia imajinasi.3

Dalam era globalisasi ini, media komunikasi merupakan aspek penting

dalam edukasi publik dalam hal ini edukasi politik publik. Selain melalui media

massa harian seperti surat kabar, media buku saat ini merupakan media informasi

yang sangat disukai. Buku mengenai riwayat orang-orang penting di dunia telah

banyak digunakan untuk menyampaikan informasi dengan berbagai macam

bentuk dan dikemas secara baik. Hal itu dilakukan untuk dapat mencapai sasaran

khalayaknya dengan baik dan harus mempertimbangkan dengan cermat dan tepat.

Dalam suatu informasi, bahasa merupakan unsur yang terpenting, bahasa tidak

hanya mencerminkan realitas tetapi juga bisa menciptakan suatu realitas. Tentu

saja dalam hal ini adalah novel.

“Novel adalah salah satu bentuk karya sastra atau karya seni yang

mengandung unsur estetika. Hal lain berkaitan dengan isi cerita, sikap

yang dideskripsikan dalam novel mampu mengubah sikap hidup seseorang

dan memberikan sebuah persepsi terhadap seseorang, mengingat hal itu

tentunya novel dapat dimanfaatkan menjadi sarana yang efektif untuk

membentuk suatu image dengan sebuah pendekatan yang baru.”4

Novel juga merupakan seni menulis kata-kata yang indah. Itulah kelebihan

dari salah satu karya sastra, ia menyodorkan lebih dari sekedar pemberian

pengetahuan. Karya sastra seperti novel bisa langsung masuk ke dasar

penghayatan yang paling halus dalam diri manusia lewat bahasa, alur cerita,

imajinasi yang dirangkai sedemikian rupa. Dalam hal ini sebuah novel menjadi

medium dalam pembentukan citra dimana sebuah realita direalisasikan dalam

3 Melani Budianta, dkk., Membaca Sastra: Pengantar Memahami Sastra untuk

Perguruan Tinggi, (Magelang: Indonesiatera, 2003), h. 2. 4 Yunarto Wijaya, wawancara, Selasa, 16 April 2013.

Page 15: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN

3

berupa karya imajinatif. Seperti yang dikemukakan Baudrillard, bahwa kita hidup

dalam era simulakra. Dimana batas antara realitas dan citra telah melebur.

Novel dapat memberikan peranan yang sangat penting bagi kehidupan

masyarakat, di mana keberadaanya turut membantu perubahan sosial, karena

novel tidak hanya sekedar bacaan hiburan saja, tetapi di dalamnya terkandung

pelajaran, pengajaran, serta tingkah laku dan pola-pola kehidupan masyarakat.

Sehingga hal demikian dapat dengan mudah khalayak terasuki oleh citra yang

dibuat tidak sebagaimana adanya.

Di Indonesia buku yang mengupas profil pelaku sejarah, politik, budaya

dan sebagainya banyak beredar di pasaran. Buku-buku tersebut mengupas tokoh-

tokoh penting yang ada di Indonesia. Termasuk buku dengan berbagai macam alur

cerita yaitu novel Sepatu Dahlan. Novel yang salah satunya berfungsi sebagai

media komunikasi kini menjadi medium alternatif bagi para politisi untuk

melakukan pencitraan, meningkatkan popularitas dan meningkatnya elektabilitas

pemilih. Cara ini menjadi efektif karena sebagian isi dari novel mengandung

hiburan dan dapat menarik minat pembaca.

Berkaitan dengan hal ini, Noura Books yang menerbitkan novel Sepatu

Dahlan pandai memilah sosok yang kisah hidupnya dapat dijadikan sebuah novel.

Bersamaan Dahlan Iskan di mana Dahlan merupakan salah satu tokoh yang

sedang naik daun di tengah masyarakat dengan kebijakan politiknya dan

kepribadiannya yang sederhana. Maka CEO dari Noura Books ini membukukan

kisah hidup Dahlan kecil dengan harapan selain untuk menghibur seperti lazimnya

Page 16: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN

4

sebuah novel juga untuk mendapat keuntungan profit dari terbitnya novel Sepatu

Dahlan.5

Novel Sepatu Dahlan adalah karangan Khrisna Pabichara yang

menceritakan masa lalu menteri BUMN, Dahlan Iskan. Novel yang memaparkan

mengenai profil seorang tokoh politisi merupakan novel yang bertujuan salah

satunya adalah untuk menunjukkan citra tokoh tersebut. Selain itu novel dengan

konsep seperti ini merupakan buku yang bertujuan untuk menunjukkan eksistensi

tokoh tersebut. Bahkan untuk meningkatkan popularitas, berkaitan dengan

seorang tokoh Dahlan Iskan yang notabenenya adalah publik figur sebagai

Menteri BUMN. Karena terkait dengan citra yang baik, dengan sendirinya akan

meningkatkan popularitas dan elektabilitas politisi, begitupun sebaliknya.

Sehingga tidak salah politisi melakukan pertarungan pencitraan di dunia politik.

Novel yang mengupas aspek-aspek kehidupan sosial seseorang terkait

dengan kehidupan kesehariannya dan menceritakan proses perjuangan hidupnya,

serta hal-hal lain yang ada di sekitarnya merupakan suatu media sosialisasi publik

yang sangat efektif. Oleh karenanya, saat ini buku maupun novel yang

menceritakan profil seseorang seperti autobiografi maupun biografi saat ini

banyak bermunculan.

Melihat kisah yang digambarkan dari perjuangan dan pengorbanan yang

dialami Dahlan, peneliti melihat bahwa teks tersebut dibentuk berdasarkan

kebutuhan dan informasi apa yang akan disampaikan kepada khalayak media,

sehingga dikemas melalui sebuah tulisan. Hal itulah yang mendorong keinginan

peneliti untuk meneliti lebih jauh cara penyajian suatu pesan dalam novel yang

5 Wawancara Peneliti dengan Suhindrati Shinta (Penyunting Novel Sepatu Dahlan) di

Kantor penerbit Noura Books, pada 30 Agustus 2013.

Page 17: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN

5

juga terkait pencitraannya sendiri. Dan mengingat saat ini kesadaran publik

mengenai politik pencitraan semakin meningkat. Sehingga, novel yang ditulis

Khrisna Pabichara ini menjadi novel best seller yang pernah ditayangkan dalam

program Kick Andy Foundation dan diminati oleh para pembaca.

Berdasarkan pemikiran di atas, penelitian ini diberi judul “Pencitraan

dalam Novel Sepatu Dahlan” (Studi Analisis Wacana Kritis dalam Novel

Sepatu Dahlan Karya Khrisna Pabichara).

B. Batasan dan Rumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Dalam novel Sepatu Dahlan terdapat banyak pencitraan yang ditekankan

ke dalam teks oleh Khrisna Pabichara. Kemampuannya menciptakan citra

terhadap sosok Dahlan dapat menunjukkan eksistensi tokoh Dahlan Iskan, bahkan

untuk meningkatkan popularitas, berkaitan dengan seorang Dahlan Iskan yang

notabenenya adalah aktor politik.

2. Pembatasan Masalah

Dalam penelitian ini, penulis memberikan batasan masalah pada

pencitraan tokoh Dahlan Iskan dalam novel Sepatu Dahlan karya Khrisna

Pabichara. Peneliti merumuskan batasan pencitraan tokoh Dahlan Iskan yang

mencakup seluruh isi cerita yang terdiri dari 32 bab dan 369 halaman.

3. Rumusan Masalah

Mengacu pada batasan masalah di atas, maka peneliti membuat rumusan

masalah sebagai berikut :

Page 18: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN

6

Bagaimana wacana pencitraan dilihat dari segi teks, kognisi sosial dan

konteks sosial yang terdapat dalam novel Sepatu Dahlan karya Khrisna

Pabichara?

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan

penelitian ini adalah:

Untuk mengetahui wacana pencitraan Dahlan Iskan dari segi teks, kognisi

sosial dan konteks sosial dalam novel Sepatu Dahlan karya Khrisna Pabichara

D. Manfaat Penelitian

Dalam melakukan penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat

dari segi akademis dan praktis, yaitu:

1. Akademis

Untuk pengembangan ilmu komunikasi, diharapkan penelitian ini dapat

menjadi tambahan referensi, dan peningkatan wawasan akademis terutama tentang

analisis wacana, dengan fokus kepada analisis wacana karya sastra, sehingga

secara umum dapat bermanfaat dan memberikan konstribusi bagi kajian

komunikasi penyiaran islam.

2. Praktis

Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat menjadi pelengkap dan

bahan perbandingan bagi penelitian serupa yang telah ada, dan memberikan

inspirasi dan kontribusi bagi para peminat karya sastra dalam menerapkan sebuah

gagasan dan mampu memberikan pengetahuan mendasar terkait dengan

pengemasan pencitraan melalui sebuah karya sastra bagi masyarakat.

Page 19: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN

7

E. Metodologi Penelitian

1. Paradigma penelitian

Peneliti menggunakan paradigma kritis dalam penelitian tentang politik

pencitraan Dahlan Iskan dalam novel Sepatu Dahlan. Aliran ini sebenarnya tidak

dapat dikatakan sebagai suatu paradigma, tetapi lebih tepat ideologically Oriented

Inquiry, yaitu suatu wacana atau cara pandang terhadap realitas yang mempunyai

orientasi ideologis terhadap paham tertentu. Ideologi ini meliputi: Neo Marxisme,

materialisme, feminisme, Freireisme, partisipatory inquiry, dan paham-paham

yang setara. 6

Dilihat dari ontologis paham paradigma ini sama dengan post positivisme

yang menilai objek atau realitas secara kritis (critical realism) yang tidak dapat

dilihat secara benar oleh pengamatan manusia. Oleh karena itu untuk mengatasi

masalah ini, secara metodologis paham ini mengajukan dialog dengan

transformasi untuk menemukan kebenaran realitas yang hakiki. 7

Secara epistimologis hubungan antara pengamat dengan realitas yang

menjadi objek merupakan suatu hal yang tidak dapat dipisahkan. Oleh karena itu,

aliran ini lebih menekankan subjektifitas dalam menentukan suatu ilmu

pengetahuan, karena nilai-nilai yang dianut oleh subjek atau pengamat ikut

campur dalam menentukan kebenaran tentang suatu hal. 8

“Paradigma kritis ini sebenarnya ingin mengoreksi pandangan

konstruktivis yang dianggap kurang sensitif pada proses produksi dan

reproduksi makna yang terjadi secara historis ataupun institusional.

Analisis wacana dalam paradigma kritis ini menekankan pada konstelasi

kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna.

6 Norman K. Denzin, dan Egon Guba, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial

(Yogyakarta; PT. Tiara Wacana Yogya, 2001), h. 41.

7 Norman K. Denzin, dan Egon Guba, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial, h. 41.

8 Norman K. Denzin, dan Egon Guba, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial, h. 41-42.

Page 20: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN

8

Individu tidak dianggap sebagai subjek yang netral yang bisa menafsirkan

secara bebas sesuai pikirannya.”9

Bahasa ini tidak dipahami sebagai medium netral yang terletak diluar diri

si pembicara. Bahasa dalam pandangan kritis dipahami sebagai representasi yang

berperan dalam membentuk subjek tertentu, tema-tema wacana tertentu, ataupun

berperan dalam membentuk subjek tertentu, tema-tema wacana tertentu, ataupun

strategi-strategi di dalamnya. Oleh karena itu analisis wacana kritis digunakan

untuk membongkar kuasa yang ada dalam setiap proses bahasa.10

2. Metode penelitian

Pendekatan yang peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif,

riset ini bertujuan untuk menjelaskan fenomena sedalam-dalamnya melalui

pengumpulan data dalam wawancara.11

Pendekatan kualitatif menurut Kirk dan

Miller bahwa penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan

sosial yang secara fundamental bergantung dari pengamatan pada manusia, baik

dalam kawasannya maupun dalam peristilahannya.12

Bogdan dan Taylor mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai prosedur

penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari

orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.13

Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif dengan

pendekatan kualitatif. Teori yang digunakan adalah Teori Wacana Kritis (Critical

9 Eriyanto, Analisis Wacana; Pengantar Analisis Teks Media (Yogyakarta: Lks, 2001), h.

6.

10 Eriyanto, Analisis Wacana; Pengantar Analisis Teks Media, h. 6.

11

Rachmat Kriyantono, Teknik Praktis: Riset Komunikasi (Jakarta: Kencana Perdana

Media Group, 2006), h. 58.

12 Nurul Hidayati, Metodologi Penelitian Dakwah dengan Pendekatan Kualitatif

(Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006), Cet ke 1, h. 7. 13

Lexy J. Moeleng, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,

1993), Cet ke 10, h. 3.

Page 21: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN

9

Discourse) model Teun A. Van Djik. Adapun level yang diteliti menurut level

CD Van Dijk, yaitu level segi teks, level segi kognisi sosial, dan level segi

konteks sosial.

Menurut Lexy J. Moleong penelitian kualitatif adalah penelitian yang

bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dipahami oleh subjek

penelitian, seperti perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain. Penelitian

ini dilakukan secara holistik dan dengan cara deskriptif dan dalam bentuk kata-

kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan

memanfaatkan berbagai metode ilmiah.14

Dalam skripsi ini penelitian akan dilakukan dengan menggunakan analisis

wacana dari Teun Van Dijk dengan perspektif analisis paradigma kritis yang

berpandangan bahwa media bukanlah saluran bebas dan netral. Komunikasi tidak

bisa dilepaskan dari kekuatan-kekuatan yang ada yang mempengaruhi

berlangsungnya komunikasi.15

Analisis wacana Teun A Van Dijk menggambarkan

wacana dalam 3 dimensi, yaitu teks, kognisi sosial, dan konteks sosial.

Melalui analisis wacana kita bukan hanya mengetahui bagaimana isi teks

berita tetapi juga bagaimana pesan itu disampaikan. Dalam mengadakan

penelitian wacana novel Sepatu Dahlan karya Khrisna Pabichara, selain

menganalisis teks, juga diperlukan analisis kognisi sosial dan konteks sosial.

Menurut Stuart Hall, titik penting dalam memahami media menurut

paradigma kritis adalah bagaimana media melakukan politik pemaknaan, karena

makna tidak tergantung pada struktur makna itu sendiri, melainkan pada praktik

14 Lexy J. Moleong, Metodelogi Penelitian Kualitatif, h. 6.

15 Eriyanto, Analisis Wacana; Pengantar Analisis Teks Media (Yogyakarta: Lkis

Yogyakarta, 2001), h. 48.

Page 22: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN

10

pemaknaan. Dari analisis teks akan diteliti elemen-elemen dari struktur mikro,

suprastruktur, dan struktur makro yang terdiri dari tema, latar, detil, maksud,

bentuk kalimat, pra anggapan, koherensi, kata ganti, leksikon, grafis dan ekspresi

yang digunakan wartawan dalam pemberitaanya. Dengan meneliti hal-hal

tersebut, akan diungkap representasi bahasa yang berperan dalam membentuk

makna mengenai subjek tertentu, tema-tema wacana tertentu dan strategi-strategi

di dalamnya.

Dimensi kedua yang dipakai dalam penelitian ini adalah kognisi sosial.

Paradigma kritis mempertanyakan posisi wartawan dan media dalam keseluruhan

struktur sosial dan kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat yang pada

akhirnya posisi tersebut memengaruhi berita, bukan pencerminan dari realitas

sebenarnya.16

Hal ini diasumsikan dengan meneliti kesadaran mental individu

pengarang dalam membuat teks.

Dimensi ketiga yang diteliti adalah konteks sosial. Dalam aspek konteks

sosial akan diteliti kondisi masyarakat (tren yang sedang berkembang dalam

masyarakat) yang memengaruhi keluarnya suatu pemberitaan yang disajikan

wartawan, karena pada umumnya sebuah pemberitaan yang keluar di media massa

mengacu kepada suatu fenomena yang terjadi dalam suatu masyarakat.

3. Subjek dan Objek Penelitian

Adapun subjek penelitian ini adalah penulis novel Sepatu Dahlan yaitu,

Khrisna Pabichara sedangkan objek dari penelitian ini hanya fokus pada isi dalam

novel Sepatu Dahlan karya Khrisna Pabichara.

4. Teknik Pengumpulan Data

16

Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 32.

Page 23: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN

11

Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode wawancara

teks/ dokumen research. Sebagai metode ilmiah penelitian ini digunakan untuk

memperoleh data dalam bentuk pengamatan dan pencatatan dengan sistematis

fenomena yang diselidiki.17

Dalam hal ini, melalui wawancara peneliti

mempunyai tujuan untuk menggali secara mendalam terkait proses pemaknaan

dan pemaknaan itu sendiri dari narasumber.

Peneliti mewawancarai penulis novel Sepatu Dahlan, yaitu Khrisna

Pabichara. Dan untuk memperkuat petunjuk secara garis besar tentang proses dan

isi wawancara peneliti juga mewawancarai pengamat politik yaitu Yunarto

Wijaya, SIP., MM dan penyunting novel Sepatu Dahlan Suhindrati Shinta.

5. Teknik Analisis Data

“Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara

sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan

dokumentasi, dengan cara mengorganisasikan ke dalam kategori,

menjabarkan dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam

pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari, dan membuat

kesimpulan sehingga mudah dipahami oleh diri sendiri maupun orang

lain.”18

Dalam menganalisis data peneliti menggunakan analisis wacana

dibandingkan analisis lainnya. Analisis wacana adalah studi tentang struktur pesan

dalam komunikasi.19

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan model Teun A

Van Dijk yang menggambarkan wacana dalam 3 dimensi, yaitu teks, kognisi

sosial, dan konteks sosial. Alasan peneliti menggunakan analisis wacana karena

penelitian ini tidak hanya membahas teks semata, namun juga dapat melihat

bagaimana suatu pesan disampaikan melalui kata, frasa, kalimat ataupun bentuk

metafora apa yang disajikan juga terdapat makna ideologi dalam produksi teks.

17

Sutrisno, Metodologi Research (Jogjakarta: Andi Offset, 1989), h. 192.

18 Sugiono, Memahami Penelitian Kualitatif (Bandung: Alfabeta, cv. 2010), h. 89.

19 Alex Sobur, Analisis Teks Media (Bandung: Rosdakarya, 2006), cet. Ke-4, h. 48.

Page 24: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN

12

6. Teknik Penulisan

Penulisan dalam penelitian ini merujuk kepada buku Pedoman Penulisan

Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) karya Hamid Nasuhi dkk, yang

diterbitkan CeQDA (Center for Quality Development and Assurance).

F. Tinjauan Kepustakaan

Dalam penyusunan penelitian ini, terdapat beberapa skripsi yang

dijadikan tinjauan pustaka, diantaranya:

1. Analisis Wacana Pesan Moral Dalam Novel Laskar Pelangi Karya Andrea

Hirata. Skripsi ini ditulis oleh Siti Aminah, mahasiswi fakultas Ilmu Dakwah

Dan Ilmu Komunikasi, Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam. Skripsi ini

menggunakan model wacana Van Djik yang menggambarkan sturuktur

pragmatik atau struktur kebahasaan dalam novel laskar pelangi (LP). Novel

yang sangat fenomenal beberapa tahun lalu dengan penjualan terbaik di

Indonesia .

2. Analisis wacana citra perempuan dalam tabloid nova edisi khusus kecantikan

tanggal 21-27 november 2011. Skripsi ini ditulis oleh Tiara Mustika,

mahasiswi Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Jurusan Konsentrasi

Jurnalistik. Skipsi ini menekankan kepada artikel-artikel tabloid nova yang

dapat membentuk pemikiran khalayak mengenai permasalahan seputar makna

kecantikan perempuan dan kriteria apa yang harus dimiliki perempuan agar

dapat dikatakan cantik.penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode

analisis kritis.

3. Analisis wacana sinetron Dewi Fortuna oleh Mira Khairunnisa, Fakultas

FISIP UI Depok tahun 1992. Penelitian ini dilakukan dengan dasar bahwa

Page 25: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN

13

media massa melalui program-programnya dapat membuat khalayak untuk

berpikir mengenai hal apapun kepada pemikiran yang diarahkan media

massa, termasuk citra mengenai perempuan yang ideal. Skripsi ini mencoba

meneliti pembentukan citra perempuan ideal tersebut oleh media massa

dengan cara menganalisis wacana-wacana yang terdapat dalam sinetron yang

berjudul Dewi Fortuna.

Dari beberapa tinjauan pustaka di atas penelitian ini memiliki karakter

yang berbeda, hal ini dapat dilihat dari latar belakang dan analisis yang berbeda

dari penelitian yang akan dilakukan dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Dan

penelitian yang penulis lakukan diharapkan memberi tambahan atau pelengkap

dari penelitian yang dilakukan sebelumnya.

G. Sistematika Penulisan

Untuk mengetahui gambaran yang jelas tentang hal-hal yang diuraikan

dalam penulisan ini, maka penulis membagi sistematika penyusunan penulisan,

dimana masing-masing dibagi ke dalam sub-sub dengan rincian sebagai berikut:

Pada bab satu peneliti akan menguraikan latar belakang masalah yang

menjadi alasan peneliti melakukan penelitian terhadap novel Sepatu Dahlan, juga

batasan dan perumusan masalah, tujuan dan kegiatan penelitian, metodologi

penelitian, tinjauan pustaka, kajian teori dan sistematika penulisan.

Adapun pada bab dua peneliti menguraikan teori-teori yang menjadi

landasan dalam kerangka pemikiran dalam penelitian, diantaranya pembahasan

mengenai media massa dalam perspektif kritis, selanjutnya pengertian analisis

wacana, analisis wacana Teun A. Van Dijk yang terdiri dari tiga level analisis,

yaitu teks, kognisi sosial, dan konteks sosial, selanjutnya pada bab ini juga

Page 26: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN

14

membahas tentang pengertian citra, media massa dalam pencitraan, dan

simulakra.

Sedangkan pada bab tiga ini berisi biografi (riwayat hidup) penulis yaitu

Khrisna Pabichara yang meliputi sejarah singkat Khrisna Pabichara, Karya-

karyanya dan ringkasan cerita novel Sepatu Dahlan karya Khrisna Pabichara.

Selanjutnya pada bab empat berisi hasil analisis dan temuan peneliti yang meliputi

Analisis wacana kritis pencitraan Dahlan dalam novel Sepatu Dahlan dilihat dari

analisis teks yang meliputi struktur makro, superstruktur, dan struktur mikro,

analisis wacana kritis novel Sepatu Dahlan dilihat dari kognisi sosial, analisis

wacana kritis novel Sepatu Dahlan dilihat dari konteks sosial.

Bab terakhir pada penelitian ini berisi penutup yakni, kesimpulan dan

saran. Peneliti berharap dapat mendeskripsikan hasil dari penelitian dan

menguraikan data secara baik. Sehingga beberapa uraian penting yang peneliti

berikan dari hasil penelitian ini akan dirangkum dalam bahasan kesimpulan.

Selanjutnya untuk menyempurnakan penelitian ini peneliti menyisipkan saran-

saran agar menjadi bahan pertimbangan tentang bahasan peneliti yang telah

diangkat sebagai pokok permasalahannya.

Page 27: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN

15

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Media massa dalam perspektif kritis

Perspektif kritis berasal dari asumsi-asumsi teori Marxis. Pendekatan kritis

meneliti kondisi sosial serta membongkar tatanan kekuasaan. Teori tradisional

cenderung bersifat netral, ia hanya menyediakan diri sebagai alat untuk

menganalisis secara teknis setiap hal dan keadaan termasuk masyarakat. Maka

teori kritis ini bertujuan memberikan kesadaran untuk membebaskan manusia dari

masyarakat yang irasioanal, selain itu, memberikan kesadaran untuk

pembangunan masyarakat rasional yang mana merupakan tempat manusia untuk

memuaskan semua kebutuhan dan kemampuannya. Sebagaimana yang

diungkapkan Marx Horkheimer.1

Bebarapa teoritisi kritis berpendapat bahwa orang bisa bertahan dari

gempuran pengaruh media dan bahwa media menyediakan sekian banyak ruang

publik di mana kekuatan elite dominan mampu secara efektif dikritisi secara

maksimal. Dalam perdebatan teoritis ini memang harus diperlihatkan sejauh

mana pendekatan kritis dan kultural ini dibandingkan dengan penelitian yang

bersifat empirik positivistik.2

Teori kritis secara klasifikatif dapat digolongkan pada kelompok aliran

Neo Marxis, namun dalam perdebatan filosofis ada yang menganggap bahwa teori

1 Damar Fery Ardiyan, “sedikit catatan: Perspektif Kritis,”

http://banyulanang.blogspot.com/2011/04/sedikit-catatan-perspektif-kritis,html. artikel diakses

pada tanggal 30 september 2013, pukul 14:37 Wib.

2 AG Eka Wenats Wuryanta, “perspektif teori kritis dan kultur komunikasi massa”,

http://ekawenats.blogspot.com/2010/05/perspektif-teori-kritis-dan-kultur.html. diakses pada

tanggal 30 september 2013, pukul 14:37 Wib.

Page 28: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN

16

16

kritis teori yang bukan Marxis lagi. Teori kritis adalah anak cabang pemikiran

Marxis dan sekaligus cabang marxisme yang paling jauh meninggalkan Karl Marx

(Frankfurter Schule). Media dalam konteks teori kritis selalu berhubungan dengan

ideologi dan hegemoni. Hal ini berkaitan dengan cara bagaimana sebuah realitas

wacana atau teks ditafsirkan dan dimaknai dengan cara pandang tertentu.3

“Penelitian media massa lebih diletakkan dalam kesadaran bahwa teks atau

wacana dalam media massa mempunyai pengaruh yang sedemikian rupa

pada manusia. Seluruh aktifitas dan makna simbolik dapat dilakukan dalam

teks media massa. Pada dasarnya teks media massa bukan realitas yang

bebas nilai. Pada titik kesadaran pokok manusia, teks selalu memuat

kepentingan. Teks pada prinsipnya telah diambil sebagai realitas yang

memihak. Tentu saja teks dimanfaatkan untuk memenangkan pertarungan

idea, kepentingan atau ideologi tertentu eklas tertentu. Pada titik tertentu

teks media pada dirinya sudah bersifat ideologis.”4

Teori kritis melihat bahwa media tidak lepas dari kepentingan, terutama

sarat kepentingan kaum pemilik modal, negara atau kelompok yang menindas

lainnya. Dalam artian ini media menjadi alat dominasi dan hegemoni masyarakat.

Konsekuensinya logisnya adalah realitas yang dihasilkan oleh media bersifat pada

dirinya bias atau terdistorsi.

Proses pemberitaan tidak bisa dipisahkan dengan proses politik yang

berlangsung dan akumulasi modal yang dimanfaatkan sebagai sumber daya. Ini

merupakan proses interplay yang mana proses ekonomi politik dalam media akan

membentuk dan dibentuk melalui proses produksi, distribusi dan konsumsi media

tersebut. Ini berarti bahwa apa yang terlihat pada permukaan realitas belum tentu

menjawab masalah yang ada. Apa yang nampak dari permukaan harian belum

3 Litlejohn (2002), dalam artikel: AG, Eka Wenats wuryanta, “teori kritis dan varian

paradigmatis dalam ilmu komunikasi,” http://ekawenats.blogspot.com/2006/06/teori-kritis-dan-

varian-paradigmatis.html. diakses pada tanggal 30 september 2013, pukul 14:37 Wib.

4 AG. Eka Wenats Wuriyanta, “teori kritis dan varian paradigmatis dalam ilmu

komunikasi,” http://ekawenats.blogspot.com/2006/06/teori-kritis-dan-varian-paradigmatis.html.

diakses pada tanggal 30 september 2013, pukul 14:37 Wib.

Page 29: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN

17

17

tentu mewakili kebenaran realitas itu sendiri. Teori kritis pada akhirnya selalu

mengajarkan kecurigaan dan cenderung selalu mempertanyakan realitas yang

ditemui, termasuk di dalamnya teks media itu sendiri.

B. Analisis wacana

1. Konsep Analisis Wacana

Dalam suatu studi terhadap media, terdapat beberapa pendekatan yang

dapat digunakan, yaitu analisis isi, analisis framing, analisis semiotika, dan

analisis wacana. Posisi keempatnya sama-sama berada dalam pembahasan

terhadap isi media, khususnya dengan, metodologi kualitatif. Perbedannya adalah

pendekatan analisis isi hanya bertujuan melihat peristiwa apa yang diberitakan

pada suatu media (to find what), sementara kegiatan pendekatan lainnya melihat

bagaimana wartawan memandang suatu peristiwa (to find how). Seiring

perkembangannya, analisis isi dinilai memiliki banyak keterbatasan untuk

menganalisis isi pesan, terutama dalam menyingkap tingkat ideologis suatu

media.

Sementara seperti yang Alex Sobur katakan bahwa dengan analisis

framing, analisis semiotika, dan analisis wacana, dapat dipahami bahwa isi media

itu dipengaruhi oleh berbagai komponen dalam institusi media itu sendiri.5

Rincinya, analisis isi hanya melihat apa yang tertulis dalam teks media. Analisis

semiotika meneliti tanda-tanda yang terdapat dalam bahasa atau gambar. Analisis

framing membedah cara-cara atau ideologi media dalam mengonstruksi fakta

dengan melihat bagian-bagian yang ditonjolkan, dihilangkan, dan arah suatu

pemberitaan. Sedangkan analisis wacana melihat bagaimana cara media/

5 Alex Sobur, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis

Semiotik, dan Analisis Framing (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006), cet. Ke-4, h. 3.

Page 30: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN

18

18

wartawan mewacanakan suatu berita, dengan meneliti struktur dan

kesinambungan suatu teks. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan

pendekatan analisis wacana.

Istilah wacana secara etimologis berasal dari bahasa Sansekerta

wac/wak/vak, artinya „berkata‟ atau berucap‟. Kata tersebut mengalami

perkembangan menjadi wacana. Jadi kata wacana dapat diartikan sebagai

perkataan atau tuturan. Istilah wacana diperkenalkan dan digunakan oleh para

linguis di Indonesia sebagai terjemahan istilah dari bahasa inggris discourse. Kata

ini diturunkan dari dis (dan/dalam arah yang berbeda) dan currere (lari).6

Dalam buku Alex Sobur dituliskan pengertian wacana menurut Ismail

Maharimin, yakni sebagai kemampuan untuk maju (dalam pembahasan) menurut

urut-urutan yang teratur dan semestinya, komunikasi buah pikiran, baik lisan

maupun tulisan, yang resmi dan teratur.7 Sedangkan menurut Roger Flower dalam

buku Eriyanto mengatakan wacana adalah komunikasi lisan atau tulisan yang

dilihat dari titik pandang kepercayaan, nilai, dan kategori yang masuk di

dalamnya; kepercayaan di sini mewakili pandangan dunia; sebuah organisasi atau

representasi dari pengalaman.8

Mengenai pengertian analisis wacana, Alex Sobur berpendapat bahwa

wacana merupakan studi tentang struktur pesan dalam komunikasi atau telaah

mengenai aneka fungsi (pragmatik) bahasa.9

6 Dede Oetomo, Kelahiran dan Perkembangan Analisis Wacana, dalam PELLBA

(Yogyakarta: Kanisius, 1993), h. 3. 7 Alex Sobur, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis

Semiotik, dan Analisis Framing, h. 10. 8 Eriyanto, Analisis Wacana, Pengantar Analisis Teks Media , h. 2.

9 Alex Sobur, Analisis Teks Media; Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis

Semiotik, dan Analisis Framing, h.75.

Page 31: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN

19

19

Pembahasan wacana pada segi lain adalah membahas bahasa dan tuturan

itu harus di dalam rangkaian kesatuan situasi penggunaan yang utuh. Analisis

wacana lebih menekankan pada pemaknaan teks dari pada penjumlahan unit

kategori, dasar dari analisis wacana adalah interpretasi, karena analisis wacana

merupakan bagian dari metode interpretatif yang mengandalkan pengamatan dan

penafsiran peneliti.10

Ada tiga pandangan mengenai analisis wacana dalam bahasa. Pandangan

pertama dituturkan kaum positivism-empiris, menurutnya analisis wacana

menggambarkan tata tuturan kalimat, bahasa, dan pengertian bahasa. Pandangan

kedua disebut sebagai konstruktivisme, yang menempatkan analisis wacana

sebagai suatu analisis untuk membongkar maksud dan makna-makna tertentu.

Pandangan ketiga, disebut sebagai paradigma kritis yang menekankan pada

konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna, di

mana bahasa dipahami sebagai reprentasi yang berperan dalam membentuk subjek

tertentu, tema-tema wacana tertentu, maupun strategi-strategi di dalamnya.11

Paradigma kritis melihat bahwa media bukanlah saluran bebas dan netral. Media

justru dimiliki oleh kelompok tertentu dan digunakan untuk mendominasi

kelompok yang tidak dominan.12

Pandangan ini melihat bagaimana kedudukan

wartawan dan media yang bersangkutan dalam keseluruhan proses berita.

2. Analisis Wacana dalam Paradigma kritis

Menurut Eriyanto, dalam khasanah studi analisis tekstual analisis wacana

masuk dalam paradigma kritis dimana paradigma kritis ini melihat pesan sebagai

10

Eriyanto, Analisis Wacana, Pengantar Analisis Teks (Yogyakarta: LkiS,2006), cet. Ke-

7, h. 337. 11

Aris Badara, Analisis Wacana: Teori, Metode dan Penerapannya pada Wacana Media

(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), h. 19-20. 12

Eriyanto, Analisis Wacana, Pengantar Analisis Teks Media, h. 3-6.

Page 32: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN

20

20

pertarungan kekuasaan, sehingga teks dipandang sebagai bentuk dominasi dan

hegemoni satu kelompok kepada kelompok yang lain.13

Sebagaimana dikutip Alex Sobur dalam bukunya Analisis Teks Media,

paradigma kritis menurut Stuart Hall bukan hanya mengubah pandangan

mengenai realitas yang dipandang alamiah tersebut, tetapi juga berargumentasi

bahwa media adalah kunci utama dari pertarungan kekuasaan tersebut, melalui

mana nilai-nilai kelompok dominan dimapankan, dibuat berpengaruh, dan

menentukan apa yang diinginkan oleh khalayak. Sedangkan menurut Stephen W.

Littlejohn paradigma kritis yaitu, perkembangan teori komunikasi massa yang

didsasarkan pada tradisi kritis Eropa (Marxis) cenderung memandang media

sebagai alat ideologi kelas dominan.14

Fenomena komunikasi massa bukanlah sekedar sebuah proses pengiriman

pesan kepada khalayak, tetapi dalam proses tersebut komunikasi dilihat sebagai

produksi dan pertukaran pesan pada saat berinteraksi dengan masyarakat yang

bertujuan untuk memproduksi makna tertentu.

Paradigma kritis melihat bahwa media bukanlah saluran yang bebas dan

netral. Media justru dimiliki oleh kelompok tertentu dan digunakan untuk

mendominasi kelompok yang tidak dominan. Paradigma kritis melihat

komunikasi dan proses yang terjadi di dalamnya haruslah dengan pandangan

holistik. Menghindari konteks sosial akan menghasilkan distorsi yang serius.

Paradigma kritis bersifat holistik dan bergerak dalam struktur sosial ekonomi

masyarakat. Karena menurut pandangan kritis, komunikasi tidak dapat dilepaskan

13

Eriyanto, Analisis Wacana, Pengantar Analisis Teks Media, h. 21-22. 14

Alex sobur, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis

Semiotik, dan Analisis Framing, h. 144-145.

Page 33: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN

21

21

dari kekuatan-kekuatan yang ada yang mempengaruhi berlangsungnya

komunikasi.

Menurut Eriyanto ada beberapa pertanyaan yang muncul dari sebuah

paradigma kritis, yaitu siapakah (orang/kelompok) yang menguasai/mengontrol

media? Kenapa ia mengontrol? Dan Apa keuntungan yang didapat oleh

seseorang/kelompok tersebut dengan mengontrol media? Pihak manakah yang

tidak dominan?, sehingga tidak bisa mempunyai akses dan kontrol terhadap media

bahkan hanya menjadi objek pengontrolan?15

Pertanyaan tersebut menjadi penting

karena paradigma ini percaya bahwa media adalah sarana di mana kelompok

dominan dapat mengontrol kelompok yang tidak dominan bahkan

mengelompokkan mereka dengan menguasai dan mengontrol media.

3. Pengertian Analisis Wacana Kritis

Sebagaimana dikutip Eriyanto dalam bukunya analisis wacana menurut

Michael Foucault sesuatu yang memproduksi yang lain (sebuah gagasan, konsep

atau efek). Wacana dapat dideteksi karena sistematis suatu ide, opini, konsep, dan

pandangan hidup dibentuk dalam suatu konteks tertentu sehingga memengaruhi

cara berpikir dan bertindak tertentu.16

Berdasarkan hal tersebut analisis wacana

yang bersifat kritis yaitu suatu pengkajian secara mendalam yang berusaha

mengungkap kegiatan, pandangan, dan identitas berdasarkan bahasa yang

digunakan dalam wacana.

Dari beberapa pengertian wacana yang disampaikan di atas, analisis

wacana kritis lebih mengerucut. Dalam pendekatan kritis memandang bahasa

selalu terlibat dalam hubungan kekuasaan, terutama dalam membentuk subjek

15

Alex sobur, Analisis Teks Media, h. 24. 16

Eriyanto, Analisis Wacana, Pengantar Analisis Teks Media, h.65.

Page 34: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN

22

22

serta berbagai tindakan representasi yang terdapat dalam masyarakat. Analisis

wacana kritis yang juga menggunakan pendekatan kritis menganalisis bahasa

tidak saja dari aspek kebahasaan, tetapi juga menghubungkannya dengan konteks

untuk tujuan dan praktik tertentu. Analisis wacana kritis menggali secara

mendalam unsur-unsur yang terdapat dalam suatu wacana.

Mengutip Fairclough dan Wodak dalam Analisis Wacana yang ditulis Aris

Badara mengatakan bahwa analisis wacana kritis adalah bagaimana bahasa

menyebabkan kelompok sosial yang bertarung dan mengajukan ideologinya

masing-masing. Berikut disajikan karakteristik penting dari analisis kritis17

:

a. Tindakan. Wacana dapat dipahami sebagai tindakan (actions) yaitu

mengasosiasikan wacana sebagai bentuk interaksi. Seseorang berbicara

menulis, menggunakan bahasa untuk berinteraksi dan berhubungan dengan

orang lain.

b. Konteks. Analisis wacana kritis mempertimbangkan konteks dari wacana

seperti latar, situasi, peristiwa dan kondisi. Wacana dipandang produksi dan

dimengerti dan dianalisis dalam konteks tertentu.

c. Historis. Menempatkan wacana dalam konteks sosial tertentu dan tidak dapat

dimengerti tanpa menyertakan konteks.

d. Kekuasaan. Analisis wacana kritis mempertimbangkan elemen kekuasaan.

Wacana dalam bentuk teks, percakapan atau apapun tidak di pandang sebagai

sesuatu yang alamiah wajar dan netral tetapi merupakan bentuk pertarungan

kekuasaan. Konsep kekuasaan yang dimaksudkan adalah salah satu kunci

hubungan antara wacana dan masyarakat.

17 Aris Badara, Analisis Wacana: Teori, Metode dan Penerapannya pada Wacana Media,

h. 29-32.

Page 35: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN

23

23

Ideologi adalah salah satu konsep sentral dalam analisis wacana kritis

karena setiap bentuk teks, percakapan dan sebagainya adalah praktik ideologi atau

pancaran ideologi tertentu. Wacana bagi ideologi adalah medium melalui mana

kelompok dominan memerkuasai dan mengomunikasikan kepada khalayak

kekuasaan yang mereka miliki sehingga absah dan benar.18

4. Model Analisis Wacana Kritis

Analisis wacana ini memiliki beberapa model analisis, yaitu model Roger

Fowler dkk., model Theo Van Leeuwen, model Sara Mills, model Teun A. Van

Djik dan model Norman Fairclough. Secara singkat, perbedaan kelima model

tersebut dapat dilihat pada tiga tingkatan analisis wacana: 1) analisis mikro, yang

mempelajari unsur bahasa pada teks, 2) analisis makro, yang menganalisis

struktur sosial, ekonomi, politik dan budaya masyarakat, dan 3) analisis meso,

yaitu analisis pada diri individu sebagai pemroduksi teks dan juga analisis pada

sisi khalayak sebagai konsumen teks. Pada model analisis Roger Flower dkk.,

Theo van Leeuwen, dan Sara Mills, analisisnya hanya dipusatkan pada analisis

mikro dan analisis makro tanpa mengikutsertakan analisis meso. Ketiga analisis

tersebut memiliki kekuatan praktik sosial dan politik yang tercipta dalam

masyarakat.

Sebagaimana dikutip Eriyanto, Sara Mils dalam konsepnya lebih melihat

pada bagaimana aktor ditampilkan dalam teks. Posisi-posisi ini dalam arti siapa

yang menjadi subyek penceritaan dan siapa yang menjadi obyek penceritaan akan

menentukan bagaimana struktur teks dan bagaimana makna diperlakukan dalam

teks secara keseluruhan. Selain itu juga diperhatikan bagaimana pembaca dan

18 Aris Badara, Analisis Wacana: Teori, Metode dan Penerapannya pada Wacana Media,

h. 34.

Page 36: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN

24

24

penulis ditampilkan dalam teks dan bagaimana pembaca diidentifikasikan dirinya

dalam penceritaan teks.19

Adapun Theo Van Leeuwen memusatkan analisisnya terutama pada

keterkaitan antara analisis di tingkat mikro dengan analisis di tingkat makro.

Ia mendeteksi dan meneliti bagaimana suatu kelompok atau seseorang

dimarjinalkan posisinya dalam suatu wacana.20

Sementara, pada model Van Dijk dan Farchlough, selain memasukkan

analisis mikro dan makro, terdapat juga analisis meso yang melihat bagaimana

suatu konteks diproduksi dan dikonsumsi. Sehingga dapat dipahami bahwa di

antara lima model analisis wacana, analisis Van Dijk dan Fairclough memiliki

kelebihan di antara tiga analisis lainnya. Namun, model yang paling banyak

dipakai adalah model analisis Van Dijk yang dapat mengelaborasikan elemen-

elemen wacana sedemikian rupa sehingga dapat digunakan secara lebih praktis

dan dapat diterapkan pada berbagai bentuk wacana.

Kognisi sosial yang diperkenalkan Van Dijk, diadopsi dari ilmu psikologi

sosial. Kognisi sosial ini digunakan untuk menjelaskan struktur dan proses

terbentuknya suatu teks. Dalam metodenya Van Dijk menggunakan metode

penafsiran dalam memahami suatu teks. Metode penafsiran ini mempunyai

kelebihan yaitu peneliti tidak hanya dapat melihat makna yang terdapat dalam

suatu teks semata, tetapi juga dapat menyelami makna yang tersirat dalam teks

tersebut.

5. Analisis Wacana Teun A. Van Djik

“Critical discourse analisyst (CDA) has become the general label for a

study pf text and talk, emerging from critical linguistics, critical semiotics

and in general from sosio-politically conscious and oppositional way of

investigating language, discource and communication”.21

19

Eriyanto, Analisis Wacana, Pengantar Analisis Teks Media, h. 200-201. 20

Eriyanto, Analisis Wacana, Pengantar Analisis Teks Media, h. 171. 21

Teun Van Dijk. Aims of Critical Discource Analisyst (Japan: Discourse. 1995), h. 7.

Page 37: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN

25

25

“Discourse analysis is concerned with the study of relationship between

language and the contexts in which it is used. Discourse analysist study

language in use: written texts of all kinds, like speech and spoken data from

conversation to highly institutionalized forms of talk”.22

Dari dua pernyataan di atas dapat dipahami bahwa analisis wacana kritis

bermula dari linguistik kritis, semiotika kritis dan kesadaran sosiopolitik dan

merupakan sisi lain penelitian mengenai bahasa, wacana dan komunikasi.

Penelitian ini berfokus pada hubungan antara bahasa dan konteks. Konteks dalam

analisis wacana Van Dijk berfokus pada aspek bahasa non-verbal, aspek sosial

dan aspek situasional dari kegiatan komunikasi, misalnya latar belakang sejarah

dan politik, situasi di mana teks tersebut diproduksi dan sebagainya:

Menurut Van Djik, wacana dapat berfungsi sebagai suatu pernyataan

(assertion), pertanyaan (question), tuduhan (accusation), atau ancaman (threat).

Wacana juga dapat digunakan untuk mendeskriminasi atau mempersuasi orang

lain untuk melakukan diskriminasi.23

Van Dijk menggambarkan bahwa wacana

mempunyai tiga dimensi yang terdiri dari teks, kognisi sosial dan konteks sosial

yang digabungkan ke dalam suatu kesatuan analisis.

Skema penelitian dan metode analisis wacana Van Dijk dapat

digambarkan sebagai berikut:

Tabel 1.

Skema Penelitian dan Metode Van Dijk

22

Teun Van Dijk, Handbook of Discourse Analysist (Amsterdam: academic press, 1988),

h. 1. 23

Alex Sobur, Analisis Teks Media, h. 71.

Struktur Metode

Teks

Menganalisis bagaimana strategi

wacana yang digunkan untuk

Critical Linguistic

Page 38: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN

26

26

Sumber: Eriyanto24

a. Teks

Teun A. Van Dijk membuat kerangka model analisis wacana, ia melihat

suatu wacana terdiri atas berbagai struktur/tingkatan, yang masing masing bagian

saling mendukung. Van Djik membaginya kedalam tiga tingkatan:

1. Struktur makro. Ini merupakan makna global/umum dari suatu teks yang

dapat dipahami dengan melihat topik dari suatu teks. Tema wacana ini bukan

hanya isi, tetapi juga sisi tertentu dari suatu peristiwa.

2. Superstruktur adalah kerangka suatu teks, bagaimana struktur dan elemen

wacana itu disusun dalam teks secara utuh.

24

Eriyanto, Analisis Wacana; Pengantar Analisis Teks Media, h. 224.

menggambarkan seseorang atau

peristiwa tertentu. bagaimana strategi

tekstual yang dipakai untuk

memarjinalkan suatu kelompok,

gagasan atau peristiwa tertentu.

Kognisi Sosial

Menganalisis bagaimana kognisi

penulis dalam memahami seseorang

atau peristiwa tertentu yang akan

ditulis.

Wawancara mendalam

Konteks Sosial

Menganalisis bagaimana wacana yang

berkembang dalam masyarakat, proses

produksi dan reproduksi seseorang atau

peristiwa digambarkan.

Studi Pustaka, Penelusuran sejarah, dan

wawancara

Page 39: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN

27

27

3. Struktur mikro adalah makna wacana yang dapat diamati dengan

menganalisis kata, kalimat, proposisi, anak kalimat, parafrase yang dipakai

dan sebagainya.25

Struktur/elemen yang dikemukakan Van Djik ini dapat digambarkan sebagai

berikut26

:

Tabel 2

Struktur model analisis Wacana Van Dijk

Struktur wacana Hal yang diamati Elemen

Struktur Makro TEMATIK

(Tema yang dikedepankan

dalam suatu berita)

Topik (Tema dalam novel

Sepatu Dahlan)

Superstruktur SKEMATIK

(Bagaimana pendapat disusun

dan dirangkai?)

Skema (struktur tiga

babak, yaitu: awal,

konflik, resolusi)

Struktur Mikro SEMANTIK

(Makna yang ingin ditekankan

dalam teks berita)

Latar, Detil, Maksud,

Pranggapan, nominalisasi

Struktur Mikro

SINTAKSIS

(Bagaimana pendapat

disampaikan?)

Bentuk Kalimat,

Koherensi, Kata ganti

Struktur Mikro

STILISTIK

(Pilihan kata apa yang

dipakai?)

Leksiskon

Struktur Mikro

RETORIS

(Bagaimana dan dengan cara

apa penekanan dilakukan?)

Grafis, Metafora,

Ekspresi

b. Kognisi Sosial

Van Dijk meneliti teks dari sisi lain yang tidak dilihat oleh penelitian

wacana lainnnya, yaitu unsur kognisi sosial, yang meneliti bagaimana suatu teks

diproduksi dengan memperhatikan latar belakang kepercayaan, pengetahuan,

prilaku, norma, nilai dan ideologi yang dianut wartawan sebagai bagian dari suatu

25

Alex Sobur, Analisis Teks Media, h.73-74 26

Eriyanto, Analisis Wacana; Pengantar Analisis Teks Media, h. 228-229

Page 40: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN

28

28

grup. Dalam kerangka analisis Van Djik, perlu ada penelitian mengenai kognisi

sosial yang meneliti kesadaran mental wartawan, dalam hal karya sastra maka bisa

dikatakan kesadaran mental pengarangnya dalam membentuk teks dalam

karyanya. Dalam pandangan Van Djik, analisis wacana tidak dibatasi hanya pada

struktur teks, karena struktur wacana itu sendiri menunjukkan atau menandakan

sejumlah makna, pendapat, dan ideologi. Untuk membongkar bagaimana makna

tersembunyi dari teks, maka dibutuhkan suatu analisis kognisi dan konteks sosial.

Pendekatan kognitif didasarkan pada asumsi bahwa teks tidak mempunyai makna,

tetapi makna itu diberikan oleh pemakai bahasa.27

Dalam hal ini diperhatikan bagaimana suatu teks diproduksi dan

bagaimana cara ia memandang suatu realitas sosial sehingga dituangkan ke dalam

sebuah tulisan tertentu dalam dimensi kognisi sosial yang memiliki hubungan erat

dengan proses pembuatan teks dimana peristiwa atau informasi yang hendak

ditonjolkan, ditutup- tutupi, waktu, kejadian, dan lokasi, keadaan yang relevan

atau perangkat yang dibentuk dalam struktur teks.

c. Konteks sosial

Titik perhatian dari analisis wacana adalah menggambarkan teks dan

konteks secara bersama-sama dalam suatu proses komunikasi, konteks sangat

penting untuk menentukan makna dari suatu tujuan. Konteks sosial berusaha

memasukkan semua situasi dan hal yang berada di luar teks dan mempengaruhi

pemakaian bahasa.

Pemakaian kata-kata tertentu, kalimat, gaya tertentu bukan semata-mata

dipandang sebagai cara berkomunikasi, tetapi dipandang sebagai politik

27

Eriyanto, Analisis Wacana; Pengantar Analisis Teks Media, h. 260.

Page 41: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN

29

29

berkomunikasi suatu acara untuk mempengaruhi pendapat umum, menciptakan

dukungan, memperkuat legitimasi, dan menyingkirkan lawan atau penentang.

Dalam pandangan Van Djik, teks itu dapat di analisis dengan

menggunakan elemen tersebut. Untuk memperoleh gambaran dari elemen struktur

wacana (teks) di atas, berikut adalah penjelasan secara singkat:

1) Tematik

Elemen tematik menunjukkan pada gambaran umum dari suatu teks.

Secara harfiah tema berarti “sesuatu yang diuraikan”, yaitu suatu amanat

utama yang disampaikan oleh penulis melalui tulisannya.28

Tema bisa juga

disebut sebagai gagasan inti, ringkasan, atau yang utama dari suatu teks.29

2) Skematik

Skematik menggambarkan bentuk wacana umum yang disusun dengan

sejumlah kategori seperti pendahuluan, isi, kesimpulan, pemecahan masalah,

penutup, dan sebagainya. Alur tersebut menunjukkan bagaimana bagian-

bagian dalam teks disusun dan diurutkan sehingga membentuk kesatuan

arti.30

Struktur skematik memberikan tekanan pada bagian mana yang didahulukan

dan bagian mana yang bisa dikemudiankan sebagai strategi untuk

menyembunyikan informasi penting.

28

Gorys Keraf, Komposisi; Sebuah Pengantar Kemahiran Bahasa, (Ende-Flores: Nusa

Indah. 1980), h. 107 29

Eriyanto, Analisis Wacana; Pengantar Analisis Teks Media, h. 229 30

Eriyanto, Analisis Wacana; Pengantar Analisis Teks Media, h. 232.

Page 42: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN

30

30

3) Semantik

Semantik adalah disiplin ilmu bahasa yang menelaah makna satuan

lingual, baik leksikal (unit semantik terkecil) maupun makna gramatikal

(makna yang terbentuk dari gabungan satuan-satuan kebahasaan).31

4) Sintaksis

Menurut Pateda dalam buku Analisis Teks Media yang ditulis oleh Alex

Sobur, Secara etimologis, kata sintaksis berasal dari kata yunani (sun=

„dengan‟ + tattein= „menempatkan‟). Jadi secara etimologis berarti

menempatkan bersama-sama kata-kata menjadi kelompok kata atau kalimat.

Sintaksis ialah bagian atau cabang dari ilmu bahasa yang membicarakan seluk

beluk wacana, kalimat, klausa, dan frase.32

Sintaksis bisa juga diartikan

sebagai tata bahasa yang membahas hubungan antar kata dalam

tuturan/kalimat.

5) Stilistik

Stilistik menitikberatkan pada style (gaya bahasa) yaitu cara yang

digunakan pengarang untuk menyatakan maksudnya dengan menggunakan

bahasa sebagai sarana.

6) Retoris

Retoris adalah gaya yang diungkapkan ketika seseorang berbicara atau

menulis. Misalnya dengan pemakaian kata yang berlebihan (hiperbolik), atau

bertele-tele. Retoris mempunyai fungsi persuasif, dan berhubungan erat

31

Wijana, Dasar-dasar Pragmatik, (Yogyakarta: ANDI. 1996), h. 1. 32

Alex sobur, Analisis Teks Media; Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis

Semiotik, dan Analisis Framing, h. 80.

Page 43: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN

31

31

dengan bagaimana pesan itu disampaikan kepada khalayak.33

Strategi retoris

juga muncul dalam bentuk interaksi, yakni bagaimana pembicara

menempatkan/memposisikan dirinya diantara khalayak.

C. Citra Politik (Political Image)

Rachmat Kriyantono dalam bukunya yang berjudul Teknik Praktis Riset

Komunikasi menyatakan bahwa citra merupakan “mental pictures” yang dibentuk

akibat terpaan stimulus.34

Citra merupakan sebuah persepsi tentang suatu realitas

dan tidak harus selalu sesuai dengan realitas yang ada. Citra terbentuk

berdasarkan informasi yang diterima.35

Menurut Nimmo (1978), citra adalah

segala hal yang berkaitan dengan keseharian seseorang menyangkut pengetahuan,

perasaan dan kecenderungannya terhadap sesuatu. Sehingga citra dapat berubah

seiring dengan perjalanan waktu.36

Jalaluddin Racmat menyatakan bahwa citra

membentuk berdasarkan informasi yang kita terima. Media massa bekerja untuk

menyampaikan informasi untuk khalayak dimana informasi tersebut membentuk,

mempertahankan atau mendefinisikan citra.37

Politik citra merupakan penggambaran tentang suatu tokoh dalam situasi

dan kondisi apa saja baik politik, sosial, budaya dan lain-lain. Dimana ia berperan

aktif dalam kegiatan politik dan dapat membentuk image diri menjadi sesuatu

yang ia inginkan. Kecenderungan politik citra mengarah pada apa yang disebut

Jean Baudrillard dalam tulisannya The Precession of Simulacra, sebagai simulasi

33

Alex Sobur, Analisis Teks Media : Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis

Semiotik, dan Analisis Framing, h. 83-84 34

Rachmat Kriyantono, Teknik Praktis Riset Komunikasi (Jakarta: Kencana. 2007), h.

350. 35

Jalaludin Rachmat, Psikologi Komunikasi (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005), h.

223. 36

Kamaruddin, Komunikasi Politik dan Pencitraan, http://kamaruddin-

blog.blogspot.com/2010/10/komunikasi-politik-dan-pecitraan.html, artikel diakses pada 06 januari

2013, pukul 11:17 37

Jalaludin Rachmat, Psikologi Komunikasi, h. 224.

Page 44: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN

32

32

realitas. Pada dasarnya simulasi realitas ini merupakan sebuah tindakan yang

memiliki tujuan membentuk persepsi yang cenderung palsu (seolah-olah mewakili

kenyataan). Ruang pemaknaan di mana tanda-tanda saling terkait dianggap tidak

harus memiliki tautan logis.38

Dari definisi-definisi tersebut di atas maka citra itu pada intinya bisa

disimpulkan:

1. Kesan yang timbul karena pemahaman akan suatu kenyataan

2. Citra merupakan kesan atau impresi seseorang terhadap sesuatu.

3. Citra merupakan persepsi yang terbentuk dalam benak manusia

4. Citra adalah pencapaian tujuan dari kegiatan PR, Citra sesuatu yang abstrak

tidak dapat diukur dalam ukuran nominal, tapi dapat dirasakan, dan bisa

diciptakan.39

Citra di dalam politik lebih dari sekedar strategi untuk menampilkan

kandidat kepada para pemilih. Tetapi juga berkaitan dengan kesan yang dimiliki

oleh pemilih baik yang diyakini sebagai hal yang benar atau tidak. Artinya citra

lebih dari sekedar pesan yang dibuat oleh kandidat ataupun gambaran yang dibuat

oleh pemilih tetapi citra merupakan negoisasi, evaluasi, dan konstruksi oleh

kandidat dan pemilih dalam sebuah usaha bersama.

Pada dasarnya praktek politik pencitraan merupakan strategi bagi politisi

untuk mendapatkan dukungan dan perolehan suara. Melalui berbagai media dapat

membantu mengemas secara signifikan citra aktor dengan mengkostruksi

38

Gun gun Heryanto, Komunikasi Politik; Di Era Industri Citra (Jakarta:Lasweel

Visitama, 2010), h. 51 39

Akmal Fauzi, “Kajian Pencitraan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota

Tangerang Selatan” (Tangerang Selatan: Saung Kecapi, 2013), h. 11.

Page 45: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN

33

33

masyarakat agar dapat memberikan efek positif. Hal itu dilakukan untuk

mendapatkan kekuasaan dengan kekuatan media dalam memproduksi citra politik.

Di masa lampau, bahkan hingga saat ini pun, politik selalu mendapatkan cap

buruk. Padahal sesungguhnya semua orang berpolitik, bahkan ketika sikapnya

adalah „tidak berpolitik‟ itu adalah suatu bentuk keputusan politik.40

Dengan

membanjirnya informasi yang diterima konsumen politik, masing-masing partai

politik (dan politisi) perlu memikirkan strategi yang dapat menentukan

kemenangan. Ketika semua partai politik (dan politisi) melakukan hal yang sama,

yaitu membeberkan rancangan program kerja mereka, makai partai politik (dan

politisi) membutuhkan „image‟ untuk membedakan satu partai politik dengan

partai politik lainnya.41

Terdapat beberapa hal yang terkait dalam strategi pembangunan image

politik, antara lain:42

1. Waktu

Untuk membangun image dibutuhkan waktu yang relatif lama karena

masyarakat dan media perlu merangkai satu-persatu pesan dan aktivitas

politik untuk kemudian dimaknai dan dibentuk pemahaman umum atas image

politik.

2. Konsistensi

Membangun image membutuhkan konsistensi dari semua hal yang

dilakukan partai politik (dan politisi) bersangkutan untuk mencegah ambiguitas

40

Firmanzah, Marketing Politik, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007), h. 229 41

Firmanzah, Marketing Politik, h. 230 42

Firmanzah, Marketing Politik, h. 232

Page 46: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN

34

34

atau inkonsistensi dalam hal-hal yang dilakukan yang membuat image yang

terekam di kalangan publik menjadi tidak utuh.

3. Kesan dan Persepsi

Image politik adalah kesan dan persepsi publik terhadap apa saja yang

dilakukan partai politik (dan politisi) sehingga mereka harus mampu

menempatkan kesan, citra, dan reputasi olitik mereka dalam benak masyarakat.

Hal ini menjadi sangat sulit karena masyarakat memiliki derajat kebebasan

(degree of freedom) yang cukup tinggi untuk mengartikan semua informasi yang

mereka terima.

4. Kesadaran

Image politik terdapat dalam kesadaran publik yang berasal dari memori

kolektif masyarakat. Masyarakat dan publik adalah entitas yang aktif dan dinamis.

Penilaian-penilaian yang berlangsung di masyarakat inilah yang dapat

memunculkan kesan dan image politik.

D. Simulacra Politik

Simulasi (simulation) adalah proses penciptaan bentuk nyata melalui

model-model yang tidak mempunyai asal-usul atau referensi realitas, sehingga

memampukan manusia membuat yang supernatural, ilusi, fantasi, khayali menjadi

tampak nyata. Sedangkan simulakra (simulacra) adalah sebuah duplikasi dari

duplikasi, yang aslinya tidak pernah ada, sehingga perbedaan antara duplikasi dan

asli menjadi kabur.43

Pemikiran Jean Baudrillard masih lekat dengan pemikiran Marshall

McLuhan dalam mengkaji fenomena media, dalam membentuk masyarakat

43

Selu Margaretha Kushendrawati, Hiperrealitas dan Ruang Publik: Sebuah Analisis

Cultural Studies (Jakarta; Penaku, 2011), h. 88.

Page 47: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN

35

35

konsumen. The Simulation dan simulacra adalah konsep yang penting dalam

menjelaskan efek media, konsep yang diusung oleh Baudrillard ini

mengasumsikan apa yang dibangun oleh media akan menjadi kenyataan. Terlebih

lagi ketika kenyataan hasil konstruksi media lebih nyata dari kenyataan yang

sesungguhnya sehingga menjadi populer konsep hyperrealitas.

Begitu besarnya pengaruh media terhadap pembentukan realitas, efek

media terasa sangat kuat terhadap khalayak. Dampak histeris yang dapat dilihat

secara kasat mata ketika khalayak dan seorang tokoh yang dikonstruk oleh media

melakukan meet and great seolah-olah tokoh itu layak dipuja dan diidolakan.

Menurut Baudrillard penjelasan di atas adalah manusia hidup dalam era

ketidaknyataan, kehidupan yang dijalani melebihi dari aturan normal bagi

kebanyakan orang, media telah memanipulasi melalui perkembangan teknologi

komunikasi. Baudrillard memudahkan para peneliti melihat fenomena komunikasi

berbasis teknologi informasi. Seperti fenomena tentang masyarakat informasi dan

realitas simbolik media. Budaya elektronik memudahkan media membangun opini

kepada khalayak sehingga mudah berkembang.44

Politik pencitraan pada dasarnya adalah merupakan simbiosis antara

strategi politik dengan teknik pencitraan yang di dalamnya ada pengemasan

terhadap sesuatu objek pelaku politik baik itu perorangan (tokoh politik) maupun

kelompok (partai politik). politik pencitraan digunakan dalam rangka

mempengaruhi persespi, perasaan, pilihan dan keputusan politik tertentu.45

44

Dedi Kurnia Syah Putra, Media dan Politik; Menemukan Relasi antara Dimensi

Simbiosis-Mutualisme Media dan Politik, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012), h. 113-114. 45

Yasraf Amir Piliag, “Simulacra Politik”, http://www.unisosdem.org, diakses pada

tanggal 2 juni 2013, pukul 14:37 wib.

Page 48: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN

36

36

Pendekatan politik pencitraan secara esensial digunakan untuk

menciptakan ketersambungan atau kontinuitas antara realitas dan citra politik.

namun dalam imagologi politik, pendekatan pencitraan juga bisa digunakan untuk

hal sebaliknya, dimana bila terjadi diskontinuitas antara citra politik dan realitas

politik. dalam hal ini pencitraan digunakan untuk menciptakan realitas kedua

(second reality) yang didalamnya terdapat kebenaran yang dimanipulasi. Sehingga

realitas yang digambarkan lewat pencitraan (realitas virtual) seolah-olah

merupakan realitas sebenarnya (realitas aktual). Dengan kata lain dapat dikatakan

bahwa politik pencitraan merupakan interprestasi dari simulasi realitas

(simulakra).

Jean Baudrillard dalam simulations (1981) mengatakan bahwa simulakra

adalah strategi penyamaran tanda dan citra (disguising), sebuah proses

penjungkirbalikan tanda yang menciptakan kekacauan, turbulensi, dan

indeterminasi dalam dunia representasi dan pertandaan. Simulakra politik adalah

penggunaan tanda dan citra dalam politik, sedemikian rupa, yang di dalamnya

citra telah terputus dari realitas yang direpresentasikan sehingga didalamnya

bercampur aduk antara yang asli/palsu, realitas/fantasi, kenyataan/fatamorgana,

citra/realitas yang menggiring dunia politik ke arah penopengan realitas

(masquerade of reality).46

46

Yasraf Amir Piliag, “Simulacra Politik”, http://www.unisosdem.org, diakses pada 2

juni 2013, pukul 14:37 wib.

Page 49: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN

39

BAB III

BIOGRAFI KHRISNA PABICHARA DAN

SINOPSIS NOVEL SEPATU DAHLAN

A. Riwayat Hidup Khrisna Pabichara

Khrisna Pabichara atau yang biasa disapa Daeng Marewa adalah asli

orang indonesia, ia lahir di Sulawesi Selatan, tepatnya di daerah

Borongtammatea kabupaten Jeneponto 89 kilometer dari Makassar, pada

tanggal 10 november 1975. Beliau merupakan putra kelima dari tujuh

bersaudara dari sepasang petani Yadli Malik Daeng Ngadele dan Shafiya

Djumpa yaitu seorang pendongeng spesial bagi anak-anak dan cucu-cucunya.

Khrisna yang memiiki hobi gemar membaca ini mulai merantau sejak

SMA untuk menimba ilmu di sekolah SMKI Negeri Ujung Pandang, dengan

mengambil jurusan teater. Lantaran jurusan yang dipilihnya, membuat hobi

membaca semakin meningkat bahkan menambahkan hobi baru: gila menulis.

Namun sangat disayangkan menimba ilmu di SMKI tidak ditamatkan lantaran

masa sekolah selama empat tahun engan diteruskan olehnya. Saat duduk di

kelas tiga, beliau pindah kemudian melanjutkan pendidikannya ke SMA

Muhammadiyah Sungguminasa, Kabupaten Gowa. Meskipun demikian

aktivitas berteater tetap dilakoninya. Bersamaan dengan itu pula Daeng

Marewa begitu biasa dipanggil oleh orang-orang terdekatnya mendirikan

sebuah Teater Tutur di tanah kelahiran, Kabupaten Jeneponto bersama tiga

temannya, Agus Sijaya Dasrum, Syaripuddin D, dan Syaifullah Marewa.

Page 50: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN

40

Group Teater yang dibuatnya sering diundang untuk mengisi acara drama dan

teater rakyat di TVRI Stasiun Ujung Pandang.

Kegiatan berkesenian itu agak berkurang sejak pemilik hobi gila

menulis ini melanjutkan pendidikan dengan jurusan akutansi yang

ditekuninya, dengan biaya pendidikan yang ditanggung oleh sebuah lembaga

perbankan. Maka, beliau mengabdi selama tiga tahun untuk mendalami

akutansi. Setelah kontrak kerja usai, Juni 1997, pendiri Teater Tutur ini

memutuskan berhenti dan merantau ke tanah Jawa. Bogor menjadi pilihan

saya. Hingga saat ini bersama keluarga, saya masih menetap di Bogor.1

Penyuka prosa ini merupakan ayah dari dua orang putri, berprofesi

sebagai penyunting lepas dan aktif dalam berbagai kegiatan literasi. Terobsesi

menjadi penulis sejak kecil ini mengatakan, ‘jika ada mimpi, cita-cita, atau

harapan terbesar dalam hidup saya, pasti ‘menulis’ jawabannya.’ Sejak

duduk di sekolah menengah beliau kerap membayangkan buku yang

dianggitnya bisa terpajang disalah satu toko buku. Lalu, pada 1997 tahun

mulanya Khrisna merantau ke pulau Jawa dan meninggalkan tanah kelahiran,

Makassar dengan mengusung harapan besar menjadi penulis. Menekuni hobi

sebagai penulis merupakan kenyataan tidak semudah yang terbayangkan.

Hingga akhir 2003, tak satupun penerbit yang menerbitkan buku puisi

karyanya. Dengan menerima jawaban dari penerbit bahwa kumpulan puisi tak

laku di pasar buku, bahkan gubahan penyair ternama sekalipun. Pernyataan

tersebut tidak membuatnya putus asa, bahkan akibat penolakan-penolakan itu

1 Wawancara Peneliti dengan Khrisna Pabichara (Penulis Novel Sepatu Dahlan) di Café

Housen Cullinary, pada 5 April 2013.

Page 51: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN

41

membuat gairah pemimpi menjadi seorang penulis ini terbakar semakin

membara. Hingga kemudian ia beralih sejenak ke dunia non-fiksi.

Pada tahun 2007, akhirnya lahirlah buku pertama yang berjudul 12

Rahasia Pembelajar Cemerlang. Membuatnya seolah bertemu jodoh, setelah

sepuluh tahun menunggu untuk dapat melihat hasil karyanya terpajang di

sebuah toko buku. Selama sepuluh tahun itu pula, beliau berkutat di dunia

pendidikan dan perbukuan, seorang trainer dan motivator pengembangan

kecakapan belajar ini juga semakin aktif menulis esai, cerpen dan puisi di

media, juga bergiat sebagai penulis dan penyunting di Kayla Pustaka. Dalam

bersastra, ia bergiat di Kosakata, Komunitas Mata Aksara dan Kmunitas

Planet Senen. Dengan demikian buku demi buku berlahiran.

Karya-karyanya atau buku-buku yang telah diterbitkan yaitu sejak

April 2013, penyuka prosa ini sudah menggait 16 buku. Fiksi dan non-fiksi.

Karya fiksi yang berupa kumpulan puisi, cerita pendek, dan novel. Sedangkan

non-fiksi selalu terkait dengan pengembangan kecakapan belajar. Sebagai

berikut.

B. Karya-karya Khrisna Pabichara

1. Karya-karya fiksi Khrisna Pabichara

a. Di Matamu [Tak] Ada Luka (Kumpulan Puisi, 2004)

b. Mengawini Ibu (Kumpulan Cerpen: Kayla Pustaka, 2010)

c. Gadis Pakarena (Kumpulan Cerpen: Dolphin, 2012)

d. Berumah Di Negeri Angin (Puisi)

Page 52: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN

42

e. Hikayat Para Perindu (Puisi, 2011)

f. Seseorang Bernama Cinta (Puisi)

g. Semesta Cinta (Puisi)

h. Setitik Embun Menggantung di Sudut Matamu (Puisi, 2011)

i. Sakramen Rindu (Puisi)

j. Tuhan Mengirimkan Kamu Untuk Kurindui (puisi)

k. Revolusi Berkomunikasi

l. Baby Learning: Cahaya Cinta Cahaya Mata

m. Kolecer dan Hari Raya Hantu

n. Pepatu Dahlan (Novel: Noura Books, 2012)

o. Surat Dahlan (Novel: Noura Books, 2013)

2. Karya-karya non-fiksi Khrisna Pabichara

a. 12 Rahasia Pembelajar Cemerlang (Kolbu, 2007)

b. Rahasia Melatih Daya Ingat (Kayla Pustaka, 2010)

c. Kamus Nama Indah Islami (Zaman, 2010)

d. 10 Rahasia Pembelajar Kreatif (Zaman, 2013)

Yang menginspirasi pengarang dalam penulisan semua hasil karya

yang telah ada adalah dari segala juru. Kadang lahir dari peristiwa yang

diamati selama berhari-hari, kadang hanya terpantik dari sekelebatan peristiwa

atau cerita. Terdapat sebuah cerpen yang di anggit oleh penulis novel Sepatu

Dahlan ini tersebab dari sebuah berita yang ia tonton di televisi, tentang

seorang anak yang „mengawini‟ ibu tirinya. Namun sebagian cerpen yang di

gubah olehnya selalu berhubungan dengan tradisi dan adat Bugis- Makasar.

Page 53: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN

43

Seperti halnya cerpen yang di tulisnya berjudul Kedai Kopi Ceu Enah,

ditulis setelah beliau menyaksikan fenomena gurandil sebutan bagi penebang

emas liar di Gunung Pongkor, Kabupaten Bogor. Dengan meneropong hal-hal

di luar, kenangan dari tanah leluhur selalu berkaitan dengan tradisi atau

kearifan lokal daerah tertentu. Karena hal demikian terlintas inspirasi untuk

menulis cepen tersebut. Begitu pula dengan tulisan non fiksi. Penulis trilogi

Novel Sepatu Dahlan ini biasanya mendapatkan ide karena dipicu oleh

pengalaman sehari-hari, baik yang disaksikan maupun yang dialaminya

sendiri. Seperti pada karyanya yang berjudul Rahasia Melatih Daya Ingat.

Buku itu dutulisnya setelah beliau menyaksikan sendiri betapa lucu dan

mirisnya nasib kawan yang menderita penyakit lupa yang akut. Begitu pula

dengan Kamus Nama Indah Islami. Buku tersebut lahir tersebab sering

diminta untuk mencari atau memberi nama bagi bayi yang baru lahir.

“Bagi saya, ide itu laksana bintang liar. Saya harus berusaha untuk

mencari, memburu, dan menangkapnya. Setelah itu, mengandangkannya

lewat tulisan.”

C. Gambaran Umum Novel Sepatu Dahlan

1. Latar Belakang Terbitnya Novel Sepatu Dahlan

Novel Sepatu Dahlan muncul dari sebuah ide atau gagasan yang

dilontarkan oleh Dede Ridwan, CEO Noura Books. Sebuah lini penerbitan

Mizan Group. Hal itu dimulai dari perbincangan ringan Dede Ridwan

dengan Khrisna Pabichara pada pertengahan Desember 2011. Ide itu lantas

ditawarkan penulisannya kepada Khrisna Pabichara dalam percakapan

ringan di cipete.

Page 54: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN

44

Melihat kisah seseorang yang gigih dalam memperjuangkan

harapan dan cita-citanya dengan segala keterbatasan dan situasi yang

membelit hidup Dahlan membuat Khrisna tanpa berpikir panjang

menerima tawaran tersebut kemudian membukukannya. Khrisna

merancang buku itu bukan dalam bentuk biografi atau memoar, melainkan

dibentuk dalam sebuah novel. Dengan banyaknya informasi terkait sumber

cerita mengenai Dahlan Iskan maka novel ini ditulis oleh Khrisna secara

berangkai sebagai novel trilogi.

Novel yang berdasarkan kisah dari seorang pejuang ditulis Khrisna

dengan beberapa peristiwa yang benar-benar terjadi dalam kehidupan

nyata. Namun sebagaimana lazimnya sebuah novel Khrisna mengolah atau

meracik beberapa peristiwa, tokoh, dan latar alur dengan

imajinasi.Meskipun Khrisna menulis novel sepatu Dahlan pure imajinasi

yang berlatar dari kisah nyata. Namun cerita yang dikemasnya

menghasilkan suatu daya tarik sendiri bagi peneliti maupun pembaca. Hal

itu dapat memancing pembaca untuk membentuk persepsi sendiri atas

kisah yang telah disampaikan mengenai kehidupan Dahlan Iskan.

Berdasarkan hal tersebut novel Sepatu Dahlan terbit dalam berupa

kisah trilogi. Bersamaan dengan hal itu, Khrisna ingin berbagi kabar

kepada pembaca perihal ada seseorang yang begitu semangat berjuang

dengan harapan dan kesungguhan dalam menjalani kehidupannya dan

mampu dengan ketabahan dan keikhlasan melampau situasi yang melilit

hidupnya. Hal lain Khrisna ingin menyampaikannya dengan lebih bewarna

Page 55: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN

45

yaitu, memperhitungkan latar, alur, konflik dan karakter tokoh Dahlan

Iskan dengan menggunakan sudut pandang orang pertama. Kemudian

semua dileburkan ke dalam sebuah cerita.

2. Sinopsis Novel Sepatu Dahlan

Buku ini mengisahkan tentang perjalanan hidup seorang laki-laki

bernama Dahlan (tokoh utama dalam kisah ini). Kisahnya berawal dari

sebuah desa kecil di Kebon Dalem, Magetan. Sebuah perkampungan kecil

di antara perkebunan tebu yang mayoritas penduduknya hidup kekurangan.

Tidak ada listrik ataupun fasilitas lainnya. Saat malam datang rumah-

rumah itu hanya berhias lampu teplok yang tentunya tidak seterang lampu

zaman sekarang ini. Perjalanan kehidupan yang diwarnai dengan rasa lapar

terus-menerus sudah menjadi keseharian hidup keluarga Dahlan Iskan

dimasa kecilnya.

Tiwul adalah makanan keseharian mereka karena hanya itu yang

mampu mereka beli. Melihat pekerjaan mereka yang hanya nyabit, nguli

nandur, dan ngangon domba. Memang sepertinya hanya itulah yang

mampu mereka jangkau dari pada bebutiran beras. Kehidupan

mendidiknya dengan keras. Baginya rasa perih dan lapar adalah sahabat

baik yang enggan pergi. Begitu pula dengan lecet dikakinya, hal tersebut

merupakan bukti perjuangan dalam meraih ilmu. Namun, semua itu tidak

menyurutkan semangat Dahlan untuk tetap bersekolah. Meskipun setiap

hari dia harus berjalan berkilo-kilometer untuk bersekolah tanpa alas kaki.

Tak pernah Dahlan kecil merasakan nikmatnya bersekolah dengan

memakai sepatu.

Page 56: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN

46

Tak hanya itu, sejak kelas 3 Sekolah Rakyat sepulang dari sekolah,

selain sebagai pengembala domba-domba keluarga, masih banyak

pekerjaan yang harus dilakukannya demi sesuap nasi tiwul. Tak jarang

anak seusianya harus membanting tulang, sehingga kehilangan saat-saat

bermain bersama temannya. Di bawah terik matahari yang menyengat,

yang sering membuatnya pulang dalam keadaan capek luar biasa, tetapi

masih harus bekerja lagi. Ia harus bekerja tidak hanya untuk kebutuhannya

saja, tapi juga untuk membantu keluarganya. Ia bekerja sebagai kuli nyeset

dan kuli tandur. Tidak hanya nguli nyeset dan nguli tandur, ia juga melatih

tim voli anak-anak juragan tebu.

Rumah atau lebih tepatnya disebut gubuk keluarga Dahlan Iskan

berlantai tanah. Yang jika musim hujan lantai menjadi basah dan lembab.

Kalau musim kemarau tiba terasa panas dan berdebu. Di atas lantai tanah

itulah, dengan menggelar tikar, Dahlan dan adiknya Zain biasanya

memejamkan mata. Tidur dengan sangat lelap. Sedangkan dinding

rumahnya dari sisa-sisa batu bata merah yang tak terpakai dan sudah

dibuang oleh pemiliknya. Di rumah itu tak ada perabot apapun, termasuk

ranjang, maupun kasur, selain sebuah lemari kecil tua, yang dipakai untuk

menyimpan peralatan dapur dan peralatan membatik sang ibu. Sedangkan

pakaian keluarga itu yang hanya ada beberapa pasang. Sudah cukup

digantungkan di paku yang ditancapkan pada dinding rumah. Walaupun

demikian, Dahlan selalu beranggapan hidup dalam kemiskinan itu, ia sama

sekali tidak merasa menderita. Karena ia menjalani hidup itu dengan apa

Page 57: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN

47

adanya. Sambil tetap bekerja keras dengan disiplin yang tinggi.

Kedisiplinan yang selalu diterapkan dari bapak. Ia selalu menanamkan

dalam pikirannya bahwa “Hidup bagi orang miskin, harus dijalani apa

adanya.” Karena hati yang lapang dan sifat yang sabar, hidup serba

kekurangan, semua itu tidak membuat Dahlan putus asa. Ia tidak

merasakan keriangan masa kanak–kanaknya hilang. Ketegasan dan

kelembutan hati seorang ibu, membuatnya bertahan. Persahabatan yang

murni menyemangatinya untuk terus berjuang.

Sepatu. Itulah benda yang paling diidam-idamkan, paling mewah,

sekaligus paling tak terbelikan oleh Dahlan Iskan di kala itu. Orangtuanya

yang miskin, ayah hanya bekerja sebagai buruh tani (mengerjakan sawah

orang lain), dan sekali-kali menjadi kuli bangunan, sedangkan sang ibu

sekali-kali menerima pesanan membatik, tidak mampu untuk membelikan

Dahlan sepasang sepatu, bekas sekalipun. Meskipun mereka tahu anak

laki-lakinya itu sejak lama sangat menginginkannya. Tak jarang, Dahlan

terpaksa menelan air liurnya sendiri ketika melihat ada teman-temannya

yang memakai sepatu yang dinilainya bagus. Disertai dengan mimpi-

mimpi indahnya suatu waktu kelak bisa memakai dan mempunyai sepatu.

Ibu, sosok yang baik hati dan sabar itu, sangat disayang oleh

Dahlan. Pernah suatu ketika saat ibu Dahlan sakit, dan harus dirawat di

rumah sakit, Zain dan Dahlan lapar karena tidak ada makanan di rumah.

Terpaksa Dahlan mencuri tebu di kebun yang dijaga oleh mandor Komar.

Namun, nasib baik sedang tidak berpihak ia tertangkap dan harus

Page 58: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN

48

menanggung malu. Semenjak itulah ia selalu berusaha tidak mencuri

meskipun perut menahan rasa sakit karena lapar. Sakit yang diderita

ibunya semakin parah sehingga tidak dapat terselamatkan. Ibunya

meninggal saat Zain dan Dahlan lama menunggu kepulangan Ayah yang

membawa ibunya kembali ke rumah. Kehidupan Dahlan semakin terpuruk

setelah ditinggal Ibunya. Harapan untuk mendapatkan sepasang sepatu

yang selalu diutarakan kepada ibunya semakin pupus. Karena lebih banyak

kebutuhan yang mendesak dan sangat perlu dibandingkan sepasang sepatu.

Selain sepatu, Dahlan juga sangat mendambakan sebuah sepeda.

Agar dia tidak perlu lagi berjalan kaki pergi-pulang sejauh 12 kilometer

untuk sekolah, di bawah terik matahari yang menyengat. Yang sering

membuatnya pulang dalam keadaan capek luar biasa, tetapi masih harus

bekerja lagi, nguli nyeset.

Dari kerja kerasnya itu Dahlan selalu mendambakan akan mampu

membeli sepasang sepatu baginya dan adiknya, Zain. Tetapi, selalu saja

tidak kesampaian, karena belum juga duitnya cukup terkumpul, selalu ada

keperluan lain yang jauh lebih penting. Membeli gula, garam, beras,

minyak goreng, dan sebagainya. Namun demikian, kemiskinan bagi

Dahlan bukan halangan untuk menuntut ilmu dan meraih impiannya.

Keinginan bersekolah di sekolah idamannya. SMP Magetan tak bisa ia

rasakan, bukan karena ia tak bisa bersekolah di Magetan, lantaran larangan

dari bapak. Bapak melarang karena faktor biaya dan jarak bersekolah yang

Page 59: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN

49

terlalu jauh. Hingga bapak meimnta Dahlan untuk bersekolah di Pesantren

Takeran, karena banyak keluarga yang memang di sekolahkan di sana.

Dahlan pun masuk ke Pesantren Takeran dengan melewati masa

orientasi yang menyenangkan terutama dengan kata-kata sambutan yang

bijak dari Ustad Ilham yang membuat Dahlan merasa bersalah karena telah

memandang remeh Pesantren ini. Sejarah pesantren Takeran tak bisa

dipisahkan dengan pelarian Pangeran Diponegoro, Kyai Hasan Ulama

bersama sahabatnya Kyai Muhammad Ilyas yang mendirikan Pesantren

Takeran pada tahun 1430 H. sejarah pesantren takeran juga tidak lepas dari

sejarah Kiai Mursid yang mengubah nama pesantren Takeran menjadi

Pesantren Sabilil Muttaqien yang ditahan oleh FDR yang didampingi oleh

sahabatnya Imam Faham dan tidak kembali lagi.

Di pesantren itu pula Dahlan mengikuti tim bola voli di sekolahnya

dan menjadi peserta unggulan. Pernah suatu ketika, Dahlan bersama teman

satu tim mewakili sekolahnya dalam kejuaraan bola voli kemudian

berhasil menjadi juara. Yang pada awalnya Dahlan dan teman-temannya

sempat putus asa karena dalam pertandingan tersebut diwajibkan memakai

sepatu, sedangkan Dahlan tak memiliki sepatu. Namun ia dan teman setim

tidak menyerah begiu saja. Pertandingan tetap dijalaninya. hingga tak

disangka karena prestasi yang bagus dalam bola voli Ia dipercayai menjadi

ketua tim voli Pesantren Takeran. Demikian pula ia menjadi pelatih voli

anak-anak juragan tebu. Untuk menambah tabungannya dengan upah yang

tak seberapa. Dengan kepolosan, ketekunan, kerajinan, ketakwaan yang

Page 60: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN

50

dimiliki oleh Dahlan. Iapun terpilih sebagai pengurus ikatan santri yang

baru, yang harus memegang amanat yang dibebankan olehnya.

Menjalankannya dengan pesan dari Kiai Irsjad bahwa untuk menjadi

pemimpin santri itu harus tawaduk, harus rendah hati, karena menjadi

pemimpin bukan berarti menjadi penguasa yang berhak memerintah

sekehendak hati, melainkan jadi pelayan bagi orang-orang yang

dipimpinnya. Kemudian harus tawakal. Karena dunia ini hanya

persinggahan semata. Jabatan adalah amanat yang dilimpahkan kepada

kita, kelak kita akan dimintai pertanggung jawaban. 2

Kehidupan telah mendidik Dahlan kecil dengan keras. Hidup

kekurangan, mengharukan, menyedihkan telah dirasakannya. Ketegasan

sang ayah dan kelembutan seorang ibu, membuatnya tetap bertahan.

Persahabatan yang murni menyemangatinya untuk terus berjuang untuk

meraih impiannya. Mendapatkan sepatu dan sepeda menjadi cita-cita

besarnya. Baginya kemiskinan bukan untuk ditakuti ataupun disesali.

Hingga akhirnya keinginan itu bisa tercapai, dari hasil jeri payah dan kerja

keras Dahlan dapat membeli sepasang sepatu untuknya bekaspun tak jadi

masalah, sehingga Dahlan juga dapat membelikan adiknya Zain sepasang

sepatu.

Tiba hari kelulusan para santri Pesantren Takeran membuat Dahlan

bersedih karena takut kehilangan sahabat pejuang yang begtu murni, yang

saling mendukung, selalu menghadapi bersama-sama, selalu memberikan

2 Khrisna Pabichara, Sepatu Dahlan, Noura books, Jakarta, 2012. Hal. 158

Page 61: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN

51

semangat juang, sahabat yang selalu memberikan kisah penuh canda dan

tawa. Ketika malam hari Arif berkunjung ke rumah Dahlan dengan sepeda

melaju dengan sangat cepat untuk menyampaikan surat penting dari Aisha.

Wanita yang ia sukai sejak duduk di sekolah menengah. Namun Dahlan

tak pernah memiliki nyali untuk mengatakan perasaan itu kepada Aisha.

Surat yang isinya mengatakan bahwa Aisha juga menaruh hati pada

Dahlan, dan ia meminta Dahlan untuk menunggunya selama tiga tahun

karena setelah lulus Aisha melanjutkan pendidikannya di Yogyakarta.

Sepintas Dahlan merenung dan berpikir meminta izin kepada bapaknya

untuk merantau ke Samarinda tempat kakaknya. Keinginan itu direstui

oleh bapak Dahlan. Meskipun berat karena Dahlan harus meninggalkan

adiknya Zain yang begitu amat disayanginya.

Page 62: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN

52

BAB IV

TEMUAN DAN ANALISIS PENELITIAN

A. Hasil Temuan Penelitian

Dalam analisis teks, peneliti memfokuskan pada strategi wacana serta

teknik penulisan yang dipakai untuk menggambarkan peristiwa tertentu,

dengan cara menguraikan struktur kebahasaan secara makro (tematik),

superstruktur (skematik), dan mikro (semantik, sintaksis, stilistik dan retoris).

Novel Sepatu Dahlan setebal tiga ratus enam puluh halaman dirangkai

oleh Khrisna Pabichara dengan alur yang terdiri atas satu prolog dari halaman

satu sampai halaman sembilan, tiga puluh dua episode dari halaman tiga belas

sampai halaman tiga ratus lima puluh sembilan dan epilog dari halaman tiga

ratus enam pulu empat sampai halaman tiga ratus enam puluh sembilan. Tidak

kesemua judul terkait secara langsung tentang pencitraan Dahlan Iskan.

Melainkan pula terdapat kisah yang menceritakan sosok Dahlan terkait dengan

lingkungan di sekitar. Peneliti menganalisis dan mengkategorikan kalimat-

kalimat yang terkait secara langsung dengan sosok Dahlan melalui cerita

novel tersebut. Hal tersebut dilakukan karena penelitian ini merupakan

penelitian dengan tujuan utamanya adalah untuk menganalisa penggambaran

pencitraan Dahlan Iskan sebagai tokoh utama dalam Novel Sepatu Dahlan.

Secara lebih jelas, analisis teks wacana kritis Novel Sepatu Dahlan

mengenai pencitraan yang terbangun atas novel tersebut dapat dijelaskan

secara rinci pada masing-masing sub bab di bawah ini melalui elemen analisis

teks model Van Dijk.

Page 63: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN

53

1. Struktur makro

Unsur global dari wacana disebut tematik. Tema merupakan gagasan

inti dari suatu teks yang menggambarkan apa yang ingin disampaikan oleh

seorang penulis kepada pembaca melalui tulisannya dalam melihat atau

memandang suatu peristiwa. Tema dalam suatu karya fiksi atau novel

merupakan gagasan sentral yang menjadi dasar penulisan sebuah karya dan

dalam tema itu tercakup persoalan dan tujuan atau amanat penulis kepada

pembaca melalui tulisannya. Secara keseluruhan, Novel Sepatu Dahlan

menceritakan tentang perjalanan kehidupan Dahlan kecil. Kisah tersebut

diawali dengan prolog kemudian mengkisahkan perjuangan hidup Dahlan

kecil yang tinggal di Perkampungan, Desa Kebon Dalem Magetan sampai

lulus sekolah menengah dan setelah itu berencana merantau. Namun, di akhir

cerita novel ini terdapat epilog yang membangunkan dan mengkisahkan cerita

baru berupa sebuah mimpi baru bagi Dahlan.

a. Mimpi Dan Cita-cita

Tema secara umum pada Novel Sepatu Dahlan adalah

menguraikan tentang Mimpi dan Cita-cita. Tema tersebut diuraikan

penulis dalam bentuk masalah sosial, khususnya kemampuan seseorang

untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan hidupnya dengan menempuh

berbagai cara. Khrisna Pabichara mengungkapkan bagaimana upaya yang

dilakukan Dahlan kecil untuk meraih mimpi dan cita-citanya berupa sepatu

dan sepeda. Dan bagaimana Dahlan kecil dengan lincahnya menggapai

visi hidupnya. Tidak pernah takut bermimpi untuk meraih cita-cita

Page 64: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN

54

setinggi-tingginya. Akan tetapi yang menarik di sini adalah seolah Dahlan

paham betul efek dari kerja kerasnya untuk masa depannya. Padahal masa

itu adalah masa bermain Dahlan, yang seharusnya tidak terlalu jauh

berfikir tentang visi dan misi hidupnya, akan tetapi Dahlan berimajinasi

diluar batas anak seusianya.

Mengenai sepatu dan sepeda yang menjadi mimpi dan cita-cita

terlihat dalam penggalan berikut ini.

“Tak ada salahnya bermimpi punya sepatu, tetapi jangan karena

mimpi itu belum tercapai lantas kamu putus asa. Hidup ini keras,

kamu harus berjuang sendiri”

“Meskipun Ibu pasti menyadari bahwa aku memang sejak dulu ingin

sepatu, dan keinginan itu semakin bertambah setelah aku menginjak

usia remaja. Dengan sepatu itu, kakiku tidak perlu melepuh atau lecet-

lecet. Meski begitu, aku tak berharap Ibu atau Bapak akan

membelikan sepatu untukku. Kemiskinan telah mengajari kami bahwa

banyak yang lebih penting dibeli dibanding sepatu.”1

Kemahiran penulis novel dalam merangkai teks terangkai dalam

setiap kalimatnya yang ia tulis. Seperti kegigihan Dahlan kecil yang

tertulis di dalam teks, sangat terasa dimata pembaca novel.

Menggambarkan betapa keinginan Dahlan dalam mewujudkan cita-citanya

untuk memiliki sepatu dan sepeda. Teks tersebut juga menggambarkan

betapa kemandirian Dahlan semenjak kecil karena ia ingin mewujudkan

cita-citanya tanpa dibantu orang tuanya.

“Mimpi-mimpiku itu, seandainya sepatu dan sepeda tak layak disebut

cita-cita, tak jauh berbeda dengan mimpi-mimpi anak-anak di

kampungku. Bedanya, sepenuh daya aku berusaha meraih mimpi-

mimpi itu, dan tak berhenti sampai benar-benar aku memilikinya.

Dulu aku sering bertanya-tanya bagaimana rasanya orang-orang

berjalan dengan sepatu, dan bertekad kelak aku harus bisa beli sepatu.

1 Khrisna Pabichara, Sepatu Dahlan, (Jakarta Noura Books PT. Mizan Publika), h. 40-41

Page 65: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN

55

Harus. Dulu aku juga sering memikirkan enaknya memperpendek

jarak tempuh dengan sebuah sepeda, dan kupikir akan sangat

menghemat waktu dibanding jalan kaki, hingga aku sangat

meninginkan sebuah sepeda.”

“Aku pernah nguli nandur berhari-hari, berharap dari upahnya aku

bisa membeli sepasang sepatu. Namun, ketika upah itu kuterima, ada

barang lain yang mesti ditebus dan itu jauh lebih mendesak dibanding

sepatu seperti beras, tepung singkong, cabai, gula, atau minyak tanah.

Aku ikut nguli nyeset dan berharap dari upahnya aku bisa punya

sepeda, tetapi ada saja yang terjadi sehingga upah itu tak pernah

dipakai membeli sepeda.”2

Kegigihan, cita-cita yang tinggi yang dimiliki Dahlan menjadi nilai

tersendiri bagi penulis novel dalam mengolah kata-kata, yaitu Khrisna

Pabichara. Ia mengatakan usaha yang dilakukan Dahlan kecil sama halnya

yang ia lakukan sejak kecil dalam menggapai sebuah mimpi, jeri payah,

semangat, dan pantang menyerah. Kesamaan latar belakang menjadi daya

tarik sendiri untuk penulis. Alasan inilah yang membuat Khrisna antusias

dalam menulis tentang kehidupan Dahlan. Hal demikian tercakup pada

hasil wawancara sebagai berikut.

“secara pribadi saya menyukai pemikiran dan terobosan Dahlan Iskan

yang kerap dituturkan lewat tulisan-tulisan di media. Saya juga ingin

berbagi kabar kepada pembaca perihal ada seseorang yang begitu

gigih memperjuangkan harapan dan cita-cita sederhananya. Bahkan

dengan segala keterbatasan, mampu melampau situasi yang membelit

dan melilit hidupnya. Hal lain, masa kecil Dahlan Iskan rada mirip

dengan masa kecil saya. Kami lahir dan besar dari keluarga sederhana,

sebut saja miskin- yang buat makan saja amat susah. Kami juga sama-

sama mengembala kambing, bedanya hanya pada ternak piaraan: pak

Dahlan menggembala kambing, saya menggembala kerbau. O ya,

kami juga sama-sama nyeker kalau ke sekolah. Ini saya maksud

dengan ada kemiripan latar masa lalu. Kalaupun ada perbedaan, lebih

lantaran Dahlan Iskan sekarang sudah kaya. Saya, belum. Hehe”3

2 Khrisna Pabichara, Sepatu Dahlan, h. 337-338

3 Wawancara Peneliti dengan Khrisna Pabichara (Penulis Novel Sepatu Dahlan) di Café

Housen Cullinary, pada 5 April 2013.

Page 66: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN

56

b. Kesederhanaan

Topik lain yang disajikan dalam tema sentral di atas adalah mengenai

kehidupan yang sederhana. Tema hidup sederhana tersebut merupakan

serangkaian alur cerita yang menggambarkan kondisi kehidupan keluarga

Dahlan kecil. Dahlan dibesarkan dilingkungan pedesaan dangan serba

kekurangan, begitu pula dengan rumahnya yang berlantai tanah. Jika musim

hujan datang lantai selalu basah dan ketika musim kemarau lantai akan selalu

berdebu. Disisi lain ada cerita menarik yang yang menggambarkan betapa

serba kekurangannya Dahlan saat kecil. Disitu diceritakan Dahlan kecil hanya

memiliki satu celana pendek dan satu baju, tapi masih memiliki satu sarung.

Diceritakan dalam novel bahwa sarung yang Dahlan miliki bisa jadi apa saja.

Mulai jadi alat ibadah, mencari rezeki, alat hiburan, fashion, kesehatan sampai

menjadi alat untuk menakut-nakuti. Dimana kisah mengenai kehidupan

Dahlan digambarkan Khrisna seperti di bawah ini;

“Pakaian misalnya, aku hanya punya sepasang dan itu alamat akan

jadi bahan ejekan bagi murid-murid lain yang rata-rata punya orang

tua yang mampu membelikan mereka banyak pakaian.”4

Teks ini menjelaskan kondisi kehidupan Dahlan yang sederhana, yang

hidup dalam kemiskinan, Dahlan nampak terlihat kekurangan semenjak kecil,

tidak pernah membayangkan memiliki pakaian lebih, untuk makan sehari-hari

saja belum tentu bisa. Seperti teks yang peneliti temui sebagai berikut.

“sebatang pohon mangga yang rimbun tepat berada di tengah

halaman. Jelang musim hujan, mangga itu adalah rezeki berlimpah

4 Khrisna Pabichara, Sepatu Dahlan, (Jakarta Noura Books PT. Mizan Publika),

h. 21-22

Page 67: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN

57

bagi kami;buah pengganjal perut. Di dekat pagar, tiga pohon kelapa

gading berjajar dengan rapi. Tingginya sekitar lima meter. Kelapa

gading yang di tengah itu sering mengancam nyawa adikku.”5

Dalam teks di atas dijelaskan bahwa ketika musim hujan tiba adalah

rezeky yang berlimpah bagi Dahlan karena mendapatkan buah mangga.

Artinya buah mangga itu menjadi makanan pengganjal perut Dahlan dan

Adiknya disaat lapar. Selain itu yang digambarkan sederhana dalam

kehidupan Dahlan peneliti temukan dalam teks sebagai berikut.

“Rumahku. Seperti rumah lainnya di kampung ini, berlantai tanah.

Jika musim hujan tiba, akan lembab dan basah. Setiap kemarau

datang, lantai tanah itu panas dan berdebu. Di sana, di lantai tanah

yang lembab atau berdebu itu, aku dan adikku menggelar tikar setiap

malam. Ajaibnya, kami selalu bisa mendengkur dengan nikmat”6

Melalui tulisannya, Khrisna melukiskan secara fakta kondisi

kehidupan yang di alami Dahlan kecil. Penggambaran hidup sederhana Dahlan

kecil yang disampaikan penulis dalam tulisannya mencerminkan tokoh dengan

sosok figur yang sederhana. Dengan adanya figur Dahlan dalam novel,

Khrisna menggambarkan fenomena sebagian kehidupan rakyat kalangan

bawah, mulai dari masalah ekonomi maupun pendidikan. Hal yang

menyangkut tema hidup sederhana juga terdapat dalam kalimat sebagai

berikut.

“Sejak Ibu meninggal, Bapak jarang di rumah. Setiap malam tiba,

dengan lampu teplok di tangan, beliau ke sawah bengkok yang dia

garap. Kadang pulang setelah malam larut, kadang beberapa saat

sebelum subuh berkumandang, lalu pergi lagi. Aku dan Zain juga

sama. Bangun lebih pagi dari biasanya, bersama-sama ke tegalan,

pematang-pematang sawah, atau ke jalanan pembatas ladang tebu

untuk menyambit rumput. Embun masih tersisa di daun rumput yang

5 Khrisna Pabichara, Sepatu Dahlan, h. 44

6 Khrisna Pabichara, Sepatu Dahlan, h. 42

Page 68: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN

58

kami sabit itu, tapi kami harus berlomba dengan matahari. Setiba di

rumah, tak ada sarapan pagi. Paling sekedar teh hangat dari air yang

dijerang Bapak..”7

Gambaran kehidupan Dahlan yang sederhana dapat dilihat pada teks di

atas yang menjelaskan tidak ada sajian istimewa untuk dihidangkan, hanya

sekedar air teh hangat yang disediakan oleh bapak Dahlan. Sederhana yang

dimiliki Dahlan tidak hanya sederhana dalam kehidupannya, mulai dari

pakaian, kondisi rumah, bahkan untuk makan sehari-hari tak pernah terlihat

istimewa.

c. Perjuangan

Tema selanjutnya menguraikan arti perjuangan seseorang. Berbeda

dengan tema sebelumnya, tema perjuangan yang dipaparkan Khrisna

menjelaskan seorang anak dusun yang berjuang. Bagaimana perjuangan

Dahlan kecil demi mendapatkan pendidikan, susah payah yang ia dapatkan

semasa sekolah hingga perjuanganya mendapatkan sepasang sepatu untuk

digunakannya saat bersekolah. Kisah Dahlan dalam novel ini bertujuan untuk

membangkitkan semangat setiap orang yang membacanya karena berisi pesan

moral yang sangat kuat. Salah satunya adalah bahwa setiap orang berhak atas

keberhasilan dalam hidupnya. Tidak peduli dia lahir dari keluarga miskin

sekalipun.

Keras dan pahitnya perjuangan hidup Dahlan kecil untuk tetap terus

menuntut ilmu dan bersekolah. Baginya, pendidikan adalah hal yang tidak bisa

tergantikan dengan harta kekayaan manapun, siapa yang ingin sukses maka ia

7 Khrisna Pabichara, Sepatu Dahlan, h. 163

Page 69: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN

59

harus siap menjadi sosok terdidik walau sesulit apapun perjuangan yang ia

hadapi. Baginya rasa perih karena lapar adalah sahabat baik yang enggan

pergi. Begitu pula dengan lecet di kakinya, bukti perjuangan dan kegigihan

dalam meraih ilmu. Bagaimana tidak, ia harus berjalan berkilo-kilometer

untuk bersekolah tanpa alas kaki. Semua itu tak membuat Dahlan putus asa,

justru ia terus termotivasi untuk terus belajar dan menggapai cita-citanya. Hal

tersebut tercakup dalam teks berikut.

“Ibu yang sedang asyik membatik terkejut dan segera mendatangiku.

“Capek, le”?

Capek banget, Bu,” keluhku sambil membaringkan badan,

memejamkan mata.

“tidur dulu sebentar.”

Aku menggelengkan kepala. “Ndak ada waktu, Bu. Harus nyabit

lagi.”

“tapi kamu kan baru pulang, le?

„ini hari pertama, Bu. Kata bapak, nanti juga terbiasa.”

Ibu tersenyum dengan manis, “iya…”8

Teks di atas menunjukkan bahwa Dahlan adalah anak yang suka

bekerja keras. Ketika sepulang sekolah ia tetap menjalankan tugasnya

menyabit rumput. Meskipun lelah, ia tetap bekerja. Seperti saat ibu menyuruh

Dahlan istirahat, namun ia tetap bekerja. Kutipan lain adalah sebagai berikut;

“keputusan sudah ditetapkan. Tak boleh ada bantahan atau sanggahan.

Tapi, aku bukan orang yang gampang menyerah.”9

“Hari pertama di Pesantren Takeran memang telah mengobati

kekecewaan hatiku karena gagal melanjutkan sekolah di tempat

impian. Namun, ketika dalam perjalanan pulang, alam menghadirkan

kejutan yang tak kalah menyiksa. Matahari tepat berada di ubun-ubun,

panas membara. Bayang-bayang memendek. Aku berjalan kaki

sepanjang enam kilometer dengan perut keroncongan. Keringat

bercucuran di dahi, leher, dan punggung. Kerongkongan yang kering

terasa terbakar. Waktu berlalu amat lambat. Setiba di rumah, aku

8 Khrisna Pabichara, Sepatu Dahlan, h. 39-40

9 Khrisna Pabichara, Sepatu Dahlan, h. 20

Page 70: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN

60

terkapar. Tak berdaya karena haus dan lapar. Pandangan berkunang-

kunang, kesadaran menipis, dada sesak, dan napas tersengal-sengal.”10

Pada teks di atas Khrisna mengungkapkan secara fakta, ini didasarkan

penelitian penulis ketempat-tempat dimana dulu Dahlan menjalani hidupnya.

Berjalan enam kilometer, mengembala domba, berjalan ditengah-tengah

perkebunan tebu dan bergesekan dengan daun tebu tanpa alas kaki. Inilah

sebagian penelitian penulis terhadap kisah perjuangan dari seorang Dahlan

untuk menggapai kehidupan yang lebih baik. Khrisna terjun langsung ke

lapangan untuk merasakan apa yang dirasakan Dahlan ketika itu. Ini dilakukan

agar penulis bisa merasakan apa yang dialami Dahlan, dan apa yang di tulis

dalam novel dengan kejadian aslinya tidak jauh berbeda.

Khrisna menguraikan sosok Dahlan Iskan, tokoh utama dalam novel

Sepatu Dahlan dengan berbagai upaya suka cita yang dilewati Dahlan kecil

dalam menempuh perjalanan ke sekolah yang setiap harinya dialami ketika

pulang dan pergi ke sekolah. Hal demikian dapat menunjukkan citra sebagai

pejuang bagi tokoh Dahlan tersebut.

Teks yang menguraikan Dahlan Iskan sebagai sosok pekerja keras juga

terdapat pada penggalan kalimat berikut.

“sungguh aku ingin mengatakan bahwa selama ini tak ada waktu

luang agar aku bisa belajar dengan tenang. Setelah salat subuh sudah

harus menyabit rumput, terus ke sekolah, setelahnya menyabit rumput

lagi, lalu belajar mengaji, ngangon domba, dan tatkala malam sudah

menyelimuti Kebon Dalem tak mungkin lagi belajar karena gelap

gulita. Tapi, lidahku sekonyong-konyong kelu, tak mampu

mengatakan apa pun.”11

10

Khrisna Pabichara, Sepatu Dahlan, h. 39 11

Khrisna Pabichara, Sepatu Dahlan, h. 19

Page 71: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN

61

Kalimat di atas diuraikan kembali oleh Khrisna pada bab ke tujuh yang

berjudul „senyum ibu‟ pada cerita novel sepatu Dahlan.

“Matahari belum terbit waktu aku pulang nyabit rumput untuk domba-

dombaku. Biasanya setelah salat Subuh aku bertualang ke pematang-

pematang sawah atau jalanan pembatas ladang tebu untuk menyabit

rumput. Setelah itu, baru berangkat ke sekolah yang letaknya tak

seberapa jauh dari Kebon Dalem, tepatnya di Kampung Bukur, di

seberang Sungai Kanal.”12

“Aku dan Zain juga sama. Bangun lebih pagi dari biasanya, bersama-

sama ke tegalan, pematang-pematang sawah, atau ke jalanan pembatas

ladang tebu untuk menyambit rumput. Embun masih tersisa di daun

rumput yang kami sabit itu, tapi kami harus berlomba dengan

matahari.”13

Dalam teks di atas Khrisna menyampaikan sejarah perjuangan yang

dialami Dahlan, kerja keras setiap hari, setiap pagi sehabis shalat subuh

Dahlan selalu bekerja menyabit rumput setelah itu ia berangkat ke sekolah.

Tak hanya itu, sepulang belajar, masih banyak pekerjaan yang harus

dilakukanya demi sesuap nasi tiwul. Mulai dari nguli, nyeset, nguli nandur,

sampai melatih tim voli anak-anak juragan tahu. Usaha yang dilakukan

Dahlan diselipkan Khrisna dalam bab satu dan bab tujuh yang menceritakan

tentang usaha kerja keras untuk menyambung hidupnya. Hal itu dilakukan

dengan semangat hidup dan keyakinan atas kekuasaan Allah SWT, Dahlan

terus tumbuh menjadi sosok pejuang yang sukses.

d. Kedisiplinan

Tema selanjutnya menerapkan sebuah kedisiplinan. Dahlan selain

dapat dikenal sebagai figur yang sederhana, ia juga dapat dikenal sebagai

sosok yang disiplin. Meskipun terlahir dalam kondisi keluarga serba

12

Khrisna Pabichara, Sepatu Dahlan, h. 74-75 13

Khrisna Pabichara, Sepatu Dahlan, h. 163

Page 72: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN

62

kekurangan, namun Dahlan terdidik dengan keras, pendidikan dan

kedisiplinan selalu diterapkan dalam dirinya. Sejak kecil Dahlan selalu dididik

agar selalu disiplin. Baik dalam segi waktu, sikap, maupun hal-hal yang

berkaitan dengan kedisplinan. Hal tersebut dideskripsikan oleh penulis pada

bab ke lima dalam novel sepatu Dahlan yang berjudul „berhenti merawat

luka‟.

“Hari ini aku memakai kemeja baru. Kata Ibu, hadiah dari Bu Mantri

karena aku rajin membantu Ibu. Andai saja hadiahnya sepatu. Aku

segera mengusir angan-angan tentang sepatu itu sebab hanya akan

menambah perih di hati dan lecet di kaki. Tibalah aku di depan papan

pengumuman yang terpajang di dinding kantor. Belum seorang pun

santri yang datang. Baru aku seorang. Dan, ini hal yang biasa bagiku.

Di rumah, Bapak sangat ketat melatih kami soal disiplin, begitulah

cara kami menghargai waktu.”14

“seperti aturan-aturan lain di rumahku, larangan itupun tak boleh

dilanggar. Kedisiplinan bapak itu telah mengkristal di hatiku.”15

Memiliki sikap disiplin dalam bekerja dan dalam hal apapun terserap

pada tokoh Dahlan sejak kecil dalam novel Sepatu Dahlan. Dan apa yang di

tuangkan Khrisna mengenai Dahlan dalam novel tersebut tergambar tokoh

dengan karakter yang disiplin. Ini tertulis di dalam bab yang ada dalam novel.

e. Persahabatan

Tema lain yang terdapat dalam novel Sepatu Dahlan adalah tema

mengenai sebuah persahabatan. Hal tersebut mengacu pada kisah persahabatan

semasa remaja Dahlan. Sebenarnya selain dua hal tersebut, persahabatan juga

mewarnai harti-hari Dahlan kecil. Betapa persahabatan membuat segala hal

menjadi mudah jika dipikirkan bersama. Tak ada yang tak bisa jika seluruh

14

Khrisna Pabichara, Sepatu Dahlan, h. 53 15

Khrisna Pabichara, Sepatu Dahlan, h.114

Page 73: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN

63

sahabat bersatu padu. Bahkan dalam kenakalan pun mereka bersatu, kompak.

Kadang dalam persahabatan ada perselisihan, tapi itu membuat persahabatan

yang ada kian kental.

Persahabatan yang tulus anak-anak miskin dilukiskan penulis dengan

baik. Hal tersebut diuraikan penulis dalam teks berikut.

“tiga laki-laki dan dua perempuan di hadapanku seperti sepakat

memandang ke masa silam. Kadir baru saja merampungkan lagu yang

dia dendangkan, lagu yang dia gubah sendiri syairnya. Lagu tentang

persahabatan sejati tanpa memandang asal muasal. Lagu yang

diilhami oleh persahabatan kami, arif, Imran, Maryati, Komariyah, dia

dan aku, dan berharap persahabatan kami tidak berakhir hingga di sini,

di masa-masa akhir Madrasah Aliyah Pesantren Sabilil Muttaqien.”16

“Tuhan memberkati hidupku lewat pertemuan dan pertemanan yang hebat.”17

Khrisna menceritakan peritiwa persahabatan yang digambarkan oleh

tokoh-tokoh dalam novel Sepatu Dahlan mengacu pada bagaimana seseorang

harus bersikap, bagaimana cara mereka menyelesaikan masalah dan

menghadapi situasi tertentu. Persahabatan yang didasari dari saling

menghargai, saling mengormati adalah hal bijak yang seharusnya dilakukan

manusia sebagai makhluk sosial. Sesungguhnya sebagai makhluk sosial

realitanya kita tidak dapat hidup sendiri. Dengan demikian dapat tercipta sikap

toleransi dan rasa persaudaraan yang lebih kental dan kuat.

f. Nilai Pendidikan

Nilai pendidikan juga menjadi tema yang peneliti tuangkan dalam

Novel Sepatu Dahlan. Hal ini mengacu pada hal-hal yang dialami Dahlan

Iskan sepanjang hidupnya. Khrisna menyelipkan kisah Dahlan kecil banyak

16

Khrisna Pabichara, Sepatu Dahlan, h. 340 17

Khrisna Pabichara, Sepatu Dahlan, h. 344

Page 74: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN

64

memberikan ajaran dan perilaku yang dapat diterapkan oleh teman-temannya.

Setiap manusia memiliki kisah hidup yang berbeda. Namun, kisah yang

berbeda tidak membuat seseorang menyerah akan kehidupan yang lebih baik.

Sosok Dahlan Iskan yang digambarkan dalam hal demikian terdapat pada

kutipan sebagai berikut.

“Meski warga Kebon Dalem miskin, anak-anak atau remaja seusiaku

semuanya bersekolah. Bagi penduduk Kebon Dalem, kemiskinan

bukan halangan untuk menuntut ilmu.”18

Hal demikian terdapat pula dalam teks yang disampikan penulis dalam

bab ke enam yang berjudul „Gitar Kadir‟ berupa pesan yang disampaikan.

“Kalau tidak ada guru, berusahalah belajar sendiri. Belajar tidak harus

di bawah sorot mata guru.”19

Hal lain yang dilukiskan penulis mengenai nilai pendidikan terdapat dalam

kutipan sebagai berikut.

“Tak ada kegembiraan bagi setiap pencoba selain keberhasilan pada

percobaan pertama yang dia lakukan.”20

Hal tersebut diungkapkan kembali oleh Khrisna dalam teks sebagai berikut.

“kita dapat menjadi orang yang merasa tidak beruntung karena lahir di

tengah-tengah keluarga miskin, bermimpi ketiban rezeki semacam

„durian runtuh‟ agar bisa membeli benda-benda idaman, atau

membayangkan hal-hal lain yang menggiurkan seperti nasib baik

anak-anak orang kaya. Tapi kita dapat juga memilih menjalani hidup

dengan wajar dan penuh keriangan, berusaha membantu orang tua

sedapat mungkin, meraih segala yang didamba dengan keringat

sendiri, dan tetap antusias memandang masa depan.”21

18

Khrisna Pabichara, Sepatu Dahlan, h. 15 19

Khrisna Pabichara, Sepatu Dahlan, h. 105 20

Khrisna Pabichara, Sepatu Dahlan, h. 115 21

Khrisna Pabichara, Sepatu Dahlan, h. 248

Page 75: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN

65

Kutipan di atas diuraikan Khrisna dengan tujuan untuk memberikan

sebuah pesan yang dapat ditiru dari sosok seorang pemimpin „Dahlan Iskan‟

dalam kisah liku hidupnya. Hal tersebut dipuji oleh Putra Nababan sebagai

berikut;

“bahwa kesederhanaan, kerendahan hati, dan kerja keras yang

dibarengi keteguhan hati, bukanlah sekedar gebrakan. Tapi itu semua

adalah bentuk ucapan syukur pak Dahlan terhadap apa yang pernah

dilalui dan sudah dicapainya.”22

2. Superstruktur

Skematik merupakan teks atau wacana umumnya yang mempunyai

alur dari pendahuluan sampai akhir. Alur tersebut menunjukkan bagaimana

bagian-bagian dalam teks disusun dan diurutkan sehingga membentuk

kesatuan arti. Secara struktur, bangunan novel telah lengkap dan pembaca

secara jelas disodorkan pada suatu nilai pemahaman, bahwa dalam hidup

seseorang harus selalu dapat mensyukuri apa yang diberikan oleh Tuhan.

Struktur bangunan pada novel ini sebagaimana novel pada umumnya dengan

menggunakan tiga struktur babak yakni: awal, konflik dan resolusi yang

dikemas dalam alur maju-mundur.

a. Babak Awal. Khrisna Pabichara membangunnya lewat pendeskripsian di

awal cerita dengan memulai cerita dari tahap tengah. Mengisahkan

seorang tokoh Dahlan melalui sebuah prolog tentang operasi cangkok liver

terhadap tokoh Aku yang menjadi tokoh utama dalam novel. Ketika

operasi akan dimulai, mimpi membawanya ke masa lalu di Kebon Dalem.

22

Putra Nababan, Wakil Pemimpin Redaksi dan Penyiar Seputar Indonesia RCTI. Pujian

untuk sepatu Dahlan.

Page 76: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN

66

Tokoh Aku dalam novel ini adalah Dahlan kecil. Dahlan lahir di Kebon

Dalem, Kampung kecil dengan enam rumah yang berada saling berjauhan

di daerah Takeran, Magetan. Bersama keluarga dan teman-temannya

Dahlan diwarnai dengan suka duka. Keluarga Dahlan terdiri dari Bapak,

Ibu, Zain (Adik kandung Dahlan). Bapak setiap hari pergi ke sawah untuk

memenuhi kebutuhan hidup keluarga, Ibu sehari-hari membatik dan

mengajari perempuan-perempuan di Kampungnya membatik, Mbak Atun

dan Mbak Sofwati sedang bekerja dan kuliah, sedangkain Zain masih

kecil. Setelah lulus dari Sekolah Rakyat (SR) dengan tiga angka merah di

izajah, Dahlan Ragu untuk melanjutkan sekolah di SMP favorit, SMP

Magetan karena niatnya seolah dihalangi oleh sang Bapak. Hingga

akhirnya Dahlan memilih melanjutkan sekolah di Tsanawiyah Takeran.

Ibu Dahlan memiliki hubungan yang erat dengan kerabat-kerabat di

sekolah tersebut. Kedua kakaknya pun pernah bersekolah di sana.

Dahlan menikmati masa-masa sekolahnya di Tsanawiyah Takeran. Setiap

hari dia harus menempuh perjalanan sekolah sejauh enam kilo meter

dengan jalan kaki, itupun tanpa alas kaki sehingga membuat kakinya

sering lecet dan melepuh. Tapi semangat bertahan Dahlan mampu

mengatasi hal tersebut.

Di Tsanawiyah Takeran dan di kampungnya, Dahlan mendapatkan

persahabatan bersama teman-temannya, Kadir, Maryati, Imam, Arif,

Komariyah, dan Aisha. Di sekolah, Dahlan terpilih sebagai ketua tim Voli,

Page 77: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN

67

pengurus ikatan Santri, dan mendapat nilai yang baik. Senyuman Bapak

yang bangga menjadi kebahagiaan tersendiri bagi Dahlan.

b. Babak Konflik. Pendeskripsian munculya konflik tokoh Aku di dalam

novel ini adalah Dahlan kecil. Dahlan tumbuh di Kebon Dalam, kampung

kecil dengan enam rumah saling berjauhan di daerah Takeran, Magetan.

Bersama keluarga dan teman-temannya, kehidupan Dahlan diwarnai

dengan suka duka. Keluarga Dahlan terdiri dari Bapak, Ibu, Zain (adik

kandung Dahlan), Mbak Atun dan Mbak Sofwati (kedua-duanya adalah

kakak kandung Dahlan). Bapak setiap hari pergi ke sawah untuk

memenuhi kebutuhan hidup keluarga, Ibu sehari-hari membatik dan

mengajari perempuan-perempuan di kampungnya membatik, Mbak Atun

dan Mbak Sofwati sedang bekerja dan kuliah, sedangkan Zain masih kecil.

Setelah lulus dari Sekolah Rakyat (SR) dengan tiga angka merah di izajah,

Dahlan ragu untuk melanjutkan sekolah ke SMP favorit, SMP Magetan

karena niatnya seolah dihalangi oleh sang Bapak. Hingga akhirnya, Dahlan

memilih melanjutkan sekolah di Tsanawiyah Takeran. Ibu Dahlan

memiliki hubungan yang erat dengan kerabat-kerabat di sekolah tersebut.

Kedua kakaknya pun pernah bersekolah di sana.

Dahlan menikmati masa-masa sekolahnya di Tsanawiyah Takeran. Setiap

hari dia harus menempuh perjalanan ke sekolah sejauh enam kilometer

dengan jalan kaki, itupun tanpa alas kaki sehingga membuat kakinya

sering lecet dan melepuh. Tapi semangat bertahan Dahlan mampu

mengatasi hal tersebut. Sebelum berangkat sekolah, Dahlan biasa nyabit

Page 78: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN

68

rumput untuk domba-domba peliharaannnya. Sepulang sekolah, Dahlan

ngangon domba dan dia juga sering kuli nyeset dan kuli nandur. Dahlan

sebenarnya ingin membeli sepatu dan sepeda, dua benda yang menjadi

impiannya. Akan tetapi uang yang ada terpaksa selalu digunakan untuk

membeli keperluan makan. Ketikapun lapar, Dahlan sudah terbiasa

menjalani kehidupan dengan perut melilit yang membuat perih. Pernah

suatu ketika Dahlan terpaksa mencuri tebu karena dia dan adiknya

kelaparan, tetapi Dahlan kedapatan mencuri oleh anak buah Mandor

Komar dan harus menjalani hukuman mondok. Hal tersebut menjadi

pelajaran bagi Dahlan untuk menjalani hidup dengan jujur dan kerja keras.

Petuah-petuah sang Bapak, yang juga sering memberikan dongeng-

dongeng kepada anak-anak kampung di langgar dan kelembutan sang Ibu

membuat Dahlan mampu menjalani hidup dengan kesabaran dan semangat

bertahan hidup. Ketika sang Ibu meninggal dunia karena menderita

penyakit aneh, Dahlan merasakan kesedihan dan kehilangan. Tidak ada

lagi kelembutan sang Ibu yang dapat membelainya. Dahlanpun merasakan

kehilangan lagi setelah Mbak Atun memutuskan untuk pergi ke

Kalimantan. Tapi Dahlan tetap bertahan dan melanjutkan kehidupan

bersama Bapak dan Zain. Di Tsanawiyah Takeran dan di kampungnya,

Dahlan mendapatkan persahabatan bersama teman-temannya, Kadir,

Maryati, Imran, Arif, Komariyah, dan Aisha. Di sekolah, Dahlan terpilih

sebagai ketua Tim Voli, Pengurus Ikatan Santri, dan mendapat nilai yang

terbaik. Senyuman sang Bapak yang bangga menjadi kebahagiaan

Page 79: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN

69

tersendiri bagi Dahlan. Puncaknya, ketika Tim Voli Tsanawiyah Takeran

yang mengikuti Turnamen Voli memperebutkan piala bergilir Bupati

Magetan melaju ke babak final melawan tim favorit juara, SMP Magetan.

Meskipun, syarat harus bersepatu sempat menjadi hambatan, dengan

bantuan dari para santriwati yang membelikan sepatu untuk Dahlan

akhirnya dia bersama teman-teman setim, Dirham, Imran, Fadli, Rahmat,

Suparto, Arif, Zainal, dan Rizki berhasil memenangkan turnamen. Hal

tersebut menjadi kebanggaan keluarga dan sekolah hingga Dahlan

memiliki pekerjaan baru untuk mengumpulkan uang demi mengejar

impiannya, sepatu dan sepeda yaitu melatih tim voli anak-anak juragan

tebu.

Novel ini juga bercerita tentang pembantaian massal terhadap simpatisan

PKI di sumur Soco, Cigrok, dan Dusun Dadapan. Ayah Kadir meninggal

ketika Kadir masih dalam kandungan karena dituduh sebagai anggota

Laskar Merah, bentukan Front Demokrasi Rakyat. Untungnya, Ibu Kadir

yang sedang mengandung Kadir berhasil melarikan diri ke rumah

kakeknya. Banyak orang terdahulu di Kebon Dalem yang menjadi korban

pembantaian massal tersebut.

Dengan hasil jerih payahnya sendiri, melatih voli anak-anak juragan tebu,

Dahlan berhasil mengumpulkan uang untuk menebus cicilan sepeda dari

Arif dan berhasil membeli dua pasang sepatu, satu untuknya dan satu lagi

untuk adiknya, Zain. Akhirnya impian Dahlan terwujud, Sepeda dan

Sepatu.

Page 80: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN

70

c. Babak Resolusi. Penyelesaian akhir cerita yang dipaparkan Khrisna

dalam Novel Sepatu Dahlan dimulai ketika Dahlan memutuskan untuk

kuliah karena respon terhadap surat yang diberikan Aisha. Perjumpaan

Dahlan dengan Aisha dimulai ketika Dahlan dan Kadir bernyanyi di

halaman sekolah dan sosok gadis berambut panjang itu memandangi

Dahlan, peristiwa jatuhnya Dahlan dan Maryati dari sepeda ke selokan,

sosok gadis itu juga muncul kembali dalam pandangannya.

Dahlan mendapatkan surat dari Aisha yang isinya setelah tiga tahun lagi

Aisha akan menunggu di Takeran setelah keduanya lulus sarjana muda.

Dahlan tidak ingin merasakan kehilangan lagi. Sudah cukup bagaimana

rasanya Ibu dan Mbak Atun meninggalkan Dahlan. Di akhir cerita ini

Dahlan harus meninggalkan Zain dan ayahnya.

Dengan penyelesaian akhir cerita, kemudian dituliskan kembali dalam

sebuah epilog mengenai berhasilnya operasi cangkok liver terhadap tokoh

Aku.

3. Struktur Mikro

a. Semantik

Semantik adalah makna yang ingin ditekankan dalam teks dari

hubungan antar kalimat, hubungan antar proposisi yang membangun

makna tertentu dalam bangunan teks. Elemen-elemen semantik adalah

sebagai berikut:

1) Latar

Page 81: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN

71

Merupakan bagian teks yang bisa mempengaruhi semantik (arti

kata) yang ingin ditampilkan. Novel Sepatu Dahlan mengambil tiga

latar. Yang pertama latar tempat, ia mengambil latar di sebuah

pedesaan yang disebut dalam novel ini adalah “Desa Kebon Dalem”

yang mana merupakan desa tempat tinggal Dahlan semasa kecil.

Sebuah kampung kecil dengan enam buah rumah yang letaknya saling

berjauhan. Latar yang kedua adalah latar suasana, yang digambarkan

pengarang dengan suasana kedaerahan. Pengarang menggambarkan

suasana pada Novel Sepatu Dahlan seperti yang dialami tokoh Dahlan

Iskan ketika dirinya menghadapi suatu peristiwa. Sehingga suasana

yang menegangkan, menyakitkan, menyenangkan, memprihatinkan

dan mengharukan diceritakan dalam novel ini. Sedangkan yang ketiga

adalah latar waktu, pengarang menunjukkan setting waktu dalam

Novel Sepatu Dahlan berupa hari. Situasi pada pagi, siang, sore dan

malam hari, selain itu pengarang juga menunjukkan setting tahun dan

jam pada Novel Sepatu Dahlan. Mengenai latar tersebut terdapat pada

kutipan sebagai berikut.

“Kebon Dalem. Itulah kampung kelahiranku. Sebuah kampung

kecil dengan enam buah rumah, atau sebut saja gubug, yang

letaknya saling berjauhan.”23

“Hari itu di bawah rindang trembesi di halaman gedung

berbentuk huruf U, aku membayangkan nasib baru yang akan

digariskan Tuhan untukku.”24

23

Khrisna Pabichara, Sepatu Dahlan, h. 13 24

Khrisna Pabichara, Sepatu Dahlan, hal. 156

Page 82: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN

72

Dengan latar tempat, suasana dan waktu tersebut pengarang

memberikan gambaran tentang keadaan di mana tokoh-tokoh dalam

Novel Sepatu Dahlan diceritakan dengan berbagai kegiatan religius

yang dilakukan di Desa Kebon Dalem. Dengan kegiatan anak-anak

desa yang selau giat berangkat mengaji pada saat malam hari. Tidak

hanya tempat di pedesaan, novel ini juga menjelaskan secara jelas

kondisi madrasah tempat Dahlan bersekolah tsanawiyah, serta cerita

ketika Dahlan bersama sahabatnya telah lulus menempuh pendidikan

di Pesantren Takeran.

Pemberian latar semacam ini akan membentuk kesadaran

pembaca bahwa berbagai kegiatan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh

dalam novel tersebut khususnya tokoh Dahlan telah menunjukkan

perjalanan hidupnya dengan berbagai rintangan, harapan dan keinginan

yang sederhana menjadi sebuah mimpi dan cita-cita besar. Sehingga

pembaca memahami bahwa hidup dengan kesederhanaan, kemiskinan

bukan halangan untuk berani bermimpi bahkan untuk mewujudkannya.

Kemudian novel ini juga menunjukkan bukti sejarah bangsa

Indonesia ketika berada di bawah pengaruh komunismenya. Lalu

menunjukkan tempat- tempat kegiatan pemerintahan berlangsung.

Kutipan yang menunjukkan latar tersebut adalah sebagai berikut.

“lalu, pada pertengahan September 1948, di Madiun, berdirilah

sebuah negara, Republik Soviet Indonesia. Negara itu didirikan

oleh FDR. Dan, siapa saja yang berani menentang pendirian negara

baru itu akan “diamankan”. Bupati magetan, R. Soedibjo, dengan

sengit menentang, akibatnya dia langsung “diamankan” oleh

Page 83: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN

73

Laskar Merah. Sebagai pengganti, FDR memilih seorang kader

militan PKI, Soebandi, sebagai Bupati Magetan”25

“Dan, tibalah kami di sumur tua Cigrok yang berada di tengah-

tengah tegalan dengan batang-batang ketela yang tumbuh liar,

semak belukar dan rumput-rumput setinggi lutut, juga beringin

besar yang terkenal keramat.”26

2) Detil

Berhubungan dengan kontrol informasi yang ditampilkan

komunikator atau pengarang. Pengarang akan menampilkan secara

berlebihan informasi yang menguntungkan dirinya atau citra yang baik.

Sebaliknya ia akan menampilkan informasi dalam jumlah sedikit, hal yang

merugikan dirinya. Dalam novel Sepatu Dahlan, pengarang banyak

menampilkan informasi yang menguntungkan kedudukannya. Salah

satunya adalah detil mengenai perjalanan hidup tokoh utamanya Dahlan

Iskan. Dan salah satu yang ditampilkan pengarang dalam jumlah sedikit

informasi yang merugikan dirinya terdapat dalam kutipan sebagai berikut.

“aku tercenung sendiri setelah menjawab dengan suara yang agak

tinggi. Ya, aku baru saja mengalami pengalaman menarik

tertangkap basah mencuri tebu untuk kali pertama. Namun, lapar

adalah pengalaman lain yang jauh lebih menjengkelkan.”27

“aku berjalan kembali ke arah kampung berharap bisa tiba di sana

sebelum beduk Magrib terdengar. Zain pasti sudah letih

menungguku. Tiba-tiba aku melihat sebatang pisang dengan buah

yang sudah layak ditanak atau dibakar. Pisang itu bukan milik

Bapak, apalagi milikku. Ini kebun bengkok, milik pak lurah.

Kedapatan mencuri pisang pasti lebih “mengerikan” ketimbang

mencuri tebu. Nanang pernah merasakannya, dia dihukum kuli

macul Cuma-Cuma selama satu minggu. Selain itu ada banyak

bayangan mengerikan dikepalaku, tapi bertahan hidup memang

penuh risiko. Jadi, aku kuatkan hati dan memutuskan untuk

25

Khrisna Pabichara, Sepatu Dahlan, h. 65 26

Khrisna Pabichara, Sepatu Dahlan, h. 68 27

Khrisna Pabichara, Sepatu Dahlan, h. 91

Page 84: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN

74

mengambil setandan pisang itu. Gagang parang yang tadi terselip

rapi di punggung telah berpindah ke tanganku.”28

3) Maksud

Melihat apakah teks yang dibuat oleh pengarang disampaikan

secara eksplisit (langsung) atau implisit (tidak langsung). Elemen maksud

dalam novel sepatu dahlan banyak yang disampaikan secara implisit. Salah

satu teks yang terdapat dalam cerita itu adalah mengenai penjelasan

tentang pemahaman dari suatu istilah. Seperti terdapat pada kutipan

sebagai berikut ini:

“Mimpi-mimpiku itu, seandainya sepatu dan sepeda tak layak di

sebut cita-cita, tak jauh berbeda dengan mimpi-mimpi anak-

anak di kampungku. Bedanya, sepenuh daya aku berusaha

meraih mimpi-mimpi itu, dan tak berhenti sampai benar-benar

aku memilikinya. Kalaupun ada anak-anak lain yang punya

mimpi berbeda, pasti Kadirlah orangnya. Dia bermimpi punya

gitar dan dia korbankan seekor domba kesayangannya demi

mewujudkan mimpi itu. Barangkali mimpi anak-anak miskin di

mana-mana sama, sederhana. Manakala mimpi itu sudah

kupenuhi, anehnya aku merasa ini bukan akhir dari keinginan

yang hendak kupenuhi. Ada mimpi baru, mimpi yang tiba-tiba

saja ingin kupenuhi, bisa makan setiap kali perut melilit-lilit

karena kelaparan. Mimpi ini, mungkin, seperti sepatu dan

sepeda, juga sederhana. Tak ada yang aneh, apalagi ajaib.”29

Dari kutipan di atas sangat jelas bahwa informasi yang terdapat dalam

teks tersebut disajikan secara tidak langsung. Dengan begitu hubungan antara

pengarang dengan pembaca adalah hubungan yang tidak langsung dan tersirat.

Makna yang diterima pembaca bisa jadi berbeda. Dalam kalimat tersebut

seakan keinginan atau mimpi dari kalangan bawah berbeda dengan kalangan

menengah apalagi kalangan atas.

28

Khrisna Pabichara, Sepatu Dahlan h. 95 29

Khrisna Pabichara, Sepatu Dahlan, hal. 338

Page 85: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN

75

Dan dari kalimat tersebut seakan menandakan bagi kalangan bawah

bermimpi itu enggan terlalu tinggi, dengan melihat kehidupannya yang

sederhana maka memiliki mimpi yang sederhana pula. Berbeda dengan

kalimat yang menyatakan Kadir memiliki mimpi yang berbeda yang

disampaikan secara eksplisit bahwa yang dilakukan Kadir dengan menjual

domba maka ia bisa mewujudkan mimpinya. Dalam hal ini menunjukkan

bagaimana pengarang menggunakan praktik bahasa tertentu untuk

menonjolkan perbedaan pada kutipan tersebut.

b. Sintaksis

Sintaksis adalah bagian dari ilmu bahasa yang membicarakan seluk

beluk wacana, kalimat, klausa, dan frase. Dalam hal ini menerangkan tentang

bagaimana pengarang menggunakan kalimat dalam menampilkan sosok

sebagai suatu citra yang positif maupun negatif dilakukan dengan

memanipulasi menggunakan sintaksis (kalimat). Dalam memanipulasi kalimat

dilakukan seperti dengan pemakaian kata ganti, aturan tata kata, pemakaian

kalimat aktif atau pasif, peletakan anak kalimat, pemakaian kalimat yang

kompleks atau sebagainya.

Terkait dengan novel Sepatu Dahlan dimana penelitian ini

memfokuskan pada sosok Dahlan Iskan dalam novel tersebut, sintaksis dalam

teks tersebut dapat dilihat pada koherensi, bentuk kalimat, maupun kata ganti

sehubungan dengan pencitraan Dahlan yang terbentuk, dapat dilihat pada teks

di bawah ini.

1) Koherensi

Page 86: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN

76

Merupakan pertalian antar kata/ kalimat, biasanya dapat diamati

dengan memakai kata penghubung (konjungsi): dan, atau, tetapi, namun,

seperti, karena, meskipun, jika, demikian pula, agar, dan sebagainya. Hal

tersebut terlihat pada kutipan sebagai berikut:

“Siapa pun bisa tenang hidup bergelimang harta, meski hati mereka

miskin iman, tapi aku tidak akan menjadi orang seperti itu. Lagi

pula, tak seberapa penting bagiku harta kekayaan itu, sebab yang

selama ini memenuhi kepalaku hanya dua: sepatu dan sepeda. Itu

saja.”30

Penempatan kata „tapi‟, „lagi pula‟, dan „sebab‟ pada kutipan

paragraf di atas mempunyai fungsi sebagai konjungsi (kata penghubung)

antar kalimat yang satu dengan kalimat yang lainnya. Fungsi dari kata

penghubung „tapi‟ pada paragraf di atas merupakan kata penghubung yang

menunjukan adanya bertentangan dalam suatu konteks, dalam kalimat di

atas, dimana kata-kata yang menunjukan suatu pertentangan apabila

Dahlan hidup berlimpah harta tidak menjadi orang yang miskin hati.

Penulis menyampaikan makna dalam keterangan penegasan bahwa aku

tidak akan seperti itu. Dan kata konjungsi „lagi pula‟ yang diletakkan

diawal kalimat kedua digunakan sebagai kata yang memiliki makna lain.

Dalam konteks di atas dapat dilihat suatu hal yang dipertentangkan.

Sedangkan kata „sebab‟ merupakan kata penghubung yang

menjelaskan keterangan bahwa kalimat tersebut menjadi penegas bahwa

harta kekayaan bukan hal yang penting yang harus kita fikirkan terlalu

jauh bagi kita untuk memikirkan kekayaan harta. Namun hal-hal yang

30

Khrisna Pabichara, Sepatu Dahlan, h. 32

Page 87: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN

77

dikatakan dapat berbeda dengan realisasi yang ada. Koherensi dalam

kutipan di atas yang disampaikan Khrisna lebih menonjolkan pada hal

tersebut.

2) Bentuk Kalimat

Merupakan sintaksis yang berhubungan dengan cara berpikir logis.

Menjelaskan tentang proposisi-proposisi yang diatur dalam satu rangkaian

kalimat. Maksudnya, proposisi-proposisi mana yang akan ditempatkan di

awal atau akhir kalimat. Hal tersebut dapat dilihat pada kalimat di bawah

ini.

“Aku sangat menghormati Bapak, mungkin karena takut atau

memang suka, terlepas dari sikap taatnya terhadap aturan-aturan

yang dibuatnya.”31

Aku sangat menghormati Bapak,

S P O

mungkin karena takut atau memang suka, terlepas dari sikap taatnya

K

terhadap aturan-aturan yang dibuatnya

Bentuk kalimat pada teks di atas menunjukkan susunan subjek

(yang menerangkan) dan predikat (yang diterangkan). Teks dengan bentuk

kalimat seperti di atas menentukan makna yang dibentuk oleh susunan

kalimat yaitu menggambarkan akan sikap Dahlan terhadap orang tuanya.

Kalimat tersebut disampaikan dengan mendeskripsikan situasi yang ada.

Kata “mungkin karena takut atau memang suka” menunjukkan bahwa

sikap taatnya terhadap aturan-aturan yang dibuat oleh bapaknya dilakukan

dengan rasa takut dan patuh terhadap bapaknya.

31

Khrisna Pabichara, Sepatu Dahlan, h. 17

Page 88: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN

78

Hal serupa juga dapat dilihat dalam teks berikut.

“aku tidak ingin mempermainkan lelaki pendiam yang kukagumi

kesetiaannya ini. Aku hanya ingin berbagi hening dengan Subuh dan

kesetiaan Bapak yang diam-diam kucemburui, mengira-ngira apakah

aku bisa sesetia itu terhadap sesuatu.”32

Aku tidak ingin mempermainkan lelaki pendiam yang kukagumi

kesetiaannya ini.

Dalam teks di atas tergambarkan akan sikap Dahlan yang

dilakukan dengan tujuan agar tidak mengecewakan bapaknya dan

berkeinginan untuk setia terhadap sesuatu yang dilakukan. Sikap-sikap

tersebut dapat dikatakan merupakan salah satu strategi bentuk pencitraan

yang dilakukan Dahlan.

3) Kata Ganti

Dalam penelitian ini, fokus perhatian ditujukan pada sosok Dahlan

kecil meskipun tidak terlepas dari hal-hal yang sangat dekat dengan diri

Dahlan. Kata ganti terhadap Dahlan menunjukkan penggambaran Khrisna

sebagai narator dalam novel Sepatu Dahlan. Khrisna menyebut Dahlan

dalam novel Sepatu Dahlan sebagai “aku”. Hal tersebut terdapat pada teks

berikut.

“sewaktu kecil, aku tak pernah membayangkan suatu ketika akan

terbaring di kamar operasi dan menunggu detik-detik menegangkan

seperti sekarang. Sewaktu kecil, aku tidak pernah berpikir

sejenakpun bahwa liver bisa dipotong dan didonorkan kepada

orang lain. Sayangnya, hal ini tak mungkin dilakukan kepada ibu.

Bukan semata karena teknologi dan ilmu kedokteran, tapi karena

kalaupaun memungkinkan, kami tak punya biaya untuk operasi

32

Khrisna Pabichara, Sepatu Dahlan, h. 25-26

Page 89: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN

79

walaupun rumah dan seluruh isinya dijual. Sewaktu kecil, aku yak

tahu bahwa liver yang dipotong itu bisa tumbuh kembali dengan

baik dalam waktu tak terlalu lama. Sekarang, hari ini, di kamar

operasi, segera kumasuki gerbang kelahiran baru, jauh dari tanah

kelahiran pertama, Kebon Dalem.”33

Melalui kata ganti “aku” tersebut, Khrisna membahasakan dirinya

sebagai narator, tanpa mengurangi rasa hormat Khrisna terhadap Dahlan

Iskan, Khrisna dengan cara menyebutkan Dahlan Iskan sebagai aku.

Kata ganti lain yang digunakan dalam novel Sepatu Dahlan adalah

kata ganti “kami” dalam mengungkapkan kisah Dahlan dalam cerita ini.

Kata “kami” dalam penggalan kalimat ini seolah-olah Dahlan bercerita

tentang keadaan dirinya dan keluarganya pada saat itu. Dan penulis

berperan sebagai narator atau pencerita. Contoh kata ganti “kami” serta

penulis sebagai narator terlihat pada kutipan sebagai berikut:

“Matahari semakin rebah. Air Sungai Kanal mengalir dengan

tenang. Di sungai inilah dulu aku mulai mengajari Zain berenang,

tubuhnya di ayun-ayunkan oleh Kadir dan Nanang lalu

dilemparkan ke dalam sungai, menunggui dia gelagapan-timbul-

tenggelam dengan tangan menggapai-gapai tak beraturan ke udara.

Di sungai ini pula kami belajar cara mengatasi keterbatasan.

Mencari ikan, memandikan ternak, berleha-leha dengan tokoh-

tokoh wayang, bermain luncur-luncuran, dan belajar menikmati

kemiskinan.”34

c. Stilistik

Stilistik adalah cara yang digunakan penulis untuk menyatakan

maksud melalui pilihan kata yang digunakan. Dalam menyajikan cerita,

penulis menggunakan bahasa tertentu sebagai sarana. Gaya bahasa yang

33

Khrisna Pabichara, Sepatu Dahlan, h. 2 34

Khrisna Pabichara, Sepatu Dahlan, h. 346

Page 90: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN

80

digunakan penulis dalam Novel Sepatu Dahlan menunjukkan sosok dengan

kepribadian yang dimiliki Dahlan Iskan. Gaya bahasa yang digunakan penulis

terdapat dalam kutipan sebagai berikut:

“keesokan harinya, sebelum matahari terbit, aku sudah menyusuri

jalan raya Takeran. Sisa-sisa hujan dan embun membuat permukaan

batu-batu menjadi licin. Sudah dua kali aku terpeleset, terjengkang,

dan nyaris jatuh. Lumpur dan bebatuan beberapa kali nyaris

membuatku celaka. Sekarang, aku lebih hati-hati..”35

Dari kutipan paragraf di atas penulis menggunakan gaya bahasa yang

mencakup pilihan kata yang digunakan seorang sastrawan yang terdapat dalam

sebuah karya sastra. Pilihan kata dalam kalimat di atas menunjukkan bahwa

Dahlan adalah anak yang tidak mudah berputus asa. Hidup dalam kemiskinan

tidak membuat Dahlan berputus asa. Meskipun sekolah tanpa alas kaki dan

banyak rintangan yang dia hadapi. Sebagai penulis, Khrisna mengunakan gaya

bahasa, yang pada dasarnya digunakan untuk menunjukkan akan sikap,

perbuatan, maupun segala hal yang dapat dikenal dari figur Dahlan Iskan. Hal

itu ditemukan dalam hasil wawancara dengan penulis novel Sepatu Dahlan;

“saya menulis Sepatu Dahlan dengan bahasa sederhana dan berharap

mudah dicerna oleh siapa saja. Tua-muda, laki-laki-perempuan,

orangtua-anak, guru-murid, dan lain-lain. nah ini terkait dengan gaya

menulis. saya, dengan sadar, menggunakan sudut pandang orang

pertama agar lebih “menggigit”. Tentu saja, saya memperhitungkan

latar, alur, konflik, dan karakter agar bisa membetot emosi

pembaca.”36

d. Retoris

35

Khrisna Pabichara, Sepatu Dahlan, h. 37 36

Wawancara Peneliti dengan Khrisna Pabichara (Penulis Novel Sepatu Dahlan) di Café

Housen Cullinary, pada 5 April 2013.

Page 91: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN

81

Retoris adalah gaya yang diungkapkan pengarang untuk menyatakan

sesuatu dengan sebuah intonasi dan penekanan dalam bentuk tulisan.

1) Grafis

Elemen ini merupakan bagian untuk memeriksa apa yang

ditekankan atau ditonjolkan oleh seseorang yang dapat diamati dari teks.

Elemen grafis ini biasanya muncul lewat bagian tulisan yang dibuat lain

dibandingkan tulisan lain. Misalnya, pemakaian huruf tebal, cetak miring,

pemakaian garis bawah, huruf yang dibuat dengan ukuran lebih besar

(kapital) termasuk di dalamnnya adalah pemakaian caption, raster, grafik,

gambar, atau tabel untuk mendukung arti penting suatu pesan.37

Elemen grafis itu juga muncul dalam bentuk foto, gambar, atau

tabel untuk mendukung gagasan, serta pemakaian angka-angka yang

diantaranya untuk mensugestikan kebenaran dan ketelitian. Secara lebih

detil, elemen grafis dalam analisis wacana Novel Sepatu Dahlan terdapat

pada kutipan berikut :

“Aku ingin seperti lelaki pemilik kapak yang berhenti mengiba

atau mengharapkan belas kasihan orang lain. Sampai hari ini mimpi

bersepatu masih menghantui tidurku, dan aku harus berusaha

sekuat tenaga untuk mengupayakannya sendiri. Aku takkan

bersedih lagi. Kemiskinan bukan untuk ditangisi. Hidup bagi orang

miskin sepertiku, harus di jalani apa adanya.”38

Kalimat tersebut ditonjolkan dalam Novel Sepatu Dahlan dalam

bentuk dan ukuran huruf lebih kecil dengan bentuk italic untuk

menekankan kepada pembaca pentingnya kalimat tersebut. Pengarang juga

37

Eriyanto, Analisis Wacana, h. 257-259 38

Khrisna Pabichara, Sepatu Dahlan, h. 147

Page 92: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN

82

menginginkan pembaca menaruh perhatian lebih pada statement yang

disampaikan di awal juga di tengah cerita. Kalimat “aku ingin seperti

lelaki pemilik kapak yang berhenti mengiba atau mengharapkan belas

kasihan orang lain” memberikan efek kognitif, pengarang menyampaikan

pesan dalam bentuk intonasi untuk mensugestikan kepada

khalayak/pembaca pada bagian mana yang harus diperhatikan dan bagian

mana yang tidak.

2) Metafora

Elemen lain dari retoris yaitu metafora. Kalimat yang mendukung

kiasan, ungkapan sehari-hari, pepatah, nasihat agama, semuanya

digunakan pengarang dalam suatu wacana untuk memperjelas pesan

utama, agar orang yang membaca akan mudah mengingat dan memahami

isi pesan tersebut. Metafora berusaha membandingkan dua hal yang

dinyatakan secara eksplisit. Pada Novel Sepatu Dahlan pengarang

menyampaikan pesan tidak hanya lewat teks tetapi berupa kiasan yang

mengandung muatan informasi sebagai ornamen untuk menguatkan pesan

utama. Berikut kutipannya :

“ojo kepingin sugih, lan ojo wedi mlarat”.

“sumber bening ora bakal nggolek timbo”39

Kalimat tersebut mengandung elemen metafora dan lazim

digunakan untuk menggambarkan orang-orang yang ingin hidup kaya

harta dan takut hidup melarat. Pesan yang disampaikan melalui kalimat di

atas dalam novel Sepatu Dahlan adalah jangan berlebihan meminta banyak

39

Khrisna Pabichara, Sepatu Dahlan, h. 31

Page 93: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN

83

harta namun kita miskin iman lebih baik hidup miskin tetapi tetap

beriman, karena kaya tanpa iman atau miskin dengan iman itu bukan

sebuah pilihan.

Siapa saja bisa bertahan hidup meskipun dalam belitan kemiskinan,

hanya saja orang miskin punya banyak keterbatasan, terutama yang terkait

dengan uang. Dalam hal ini, Khrisna Pabichara mempertegas sosok dan

perilaku Dahlan Iskan dalam kehidupannya yang berubah, tak lagi sesulit

dulu untuk mendapatkan sepatu, tak lagi harus menahan saat kelaparan.

Keadaan yang berubah menunjukkan suatu hal yang dilakukan Dahlan

Iskan selalu bersyukur atas apa yang didapati.

Elemen metafora lain juga dapat dilihat dalam kutipan sebagai

berikut.

“Biasanya, setelah salat subuh aku bertualang ke pematang-

pematang sawah atau jalanan pembatas ladang tebu untuk menyabit

rumput. Setelah itu, baru berangkat ke sekolah yang letaknya tak

seberapa jauh dari Kebon Dalem, tepatnya di kampung Bukur, di

seberang Sungai Kanal.”40

Terkait dengan analisis wacana mengenai pencitraan Dahlan Iskan

dalam Novel Sepatu Dahlan, kutipan di atas merupakan bagian dari

elemen metafora yang terkait dengan sosok Dahlan Iskan. Istilah

bertualang, wacana mengenai pencitraan tokoh Dahlan merupakan bagian

yang menunjukkan majas metafora yang bermakna perjuangan Dahlan

Iskan dengan sosok pekerja keras dalam perjalanan hidupnya.

3) Pengingkaran

40

Khrisna Pabichara, Sepatu Dahlan, h. 74-75

Page 94: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN

84

Elemen lain dari retoris adalah pengingkaran. Elemen

pengingkaran tersebut menggambarkan suatu pernyataan yang

berkebalikan. Artinya, penulis mengungkapkan suatu pernyataan yang

kemudian digambarkan seolah-olah hal tersebut sejalan dengan pola pikir

penulis padahal yang diinginkan penulis adalah hal yang berkebalikan.

Khrisna tidak banyak melakukan suatu pengingkaran dalam novel ini.

Karena Khrisna menyampaikannya secara terang-terangan terkait

pencitraan sosok Dahlan dalam Novel Sepatu Dahlan. Adapun elemen

tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut ini;

“Akhirnya, matahari mulai terbenam, dan aku belum menemukan

apa pun. Aku sudah coba menangkap ikan di Sungai Kanal, tetapi

menjelang Magrib seperti ini sangat susah menagkap satu-dua ekor

ikan. Aku juga sudah menyisir pohon-pohon mangga di tepi sungai,

tak ada yang berbuah. Aku membuka baju karena keringat di bagian

punggung membuat baju itu terasa lengket di kulit. Angin

mengeringkan keringatku. Aku menahan gigil dan kesedihan yang

kualami. Telah kucoba melakukan apa yang seharusnya kulakukan.

Kalaupun aku tak menemukan apa-apa, setidaknya aku telah

berusaha. Itu saja. Aku berjalan kembali ke arah kampung berharap

bisa tiba di sana sebelum beduk Magrib terdengar. Zain pasti sudah

letih menungguku. Tiba-tiba aku melihat sebatang pisang dengan

buah yang sudah layak ditanak atau dibakar. Pisang itu bukan milik

Bapak, apalagi milikku. Ini kebun bengkok, milik Pak Lurah.

Kedapatan mencuri pisang pasti lebih “mengerikan” ketimbang

mencuri tebu.”41

Hal. 94-95

Dalam kutipan di atas, Khrisna menyampaikan mengenai tindakan

yang dilakukan Dahlan ketika itu. Dahlan, tokoh dalam novel itu

diceritakan telah melakukan tindakan mencuri. Namun oleh penulis, sosok

Dahlan digambarkan sebagai orang yang sadar dalam mencuri. Hal ini

dapat kita lihat dalam kutipan di bawah ini.

41

Khrisna Pabichara, Sepatu Dahlan, h. 94-95

Page 95: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN

85

“Tulang-tulangku terasa lemas, lutut gemeteran, dan bayangan

peristiwa memalukan di ladang tebu kembali terputar di benakku.

Apa aku mesti melakukan kesalahan yang sama dalam satu hari,

demi dua perut yang sedang tak kuat menanggung lapar? Tidak , aku

tidak akan mencuri lagi. Maka, kubatalkan niat menebang pohon

pisang itu. Aku berlari, terus berlari. Napas mulai ngos-ngosan,

tersengal-sengal, dan azan Magrib mengentak-entak gendang telinga.

Aku masih berlari dan baru berhenti setelah tiba di jalanan di depan

rumah. Dengan napas tersengal-sengal dan tubuh lunglai, aku

memasuki halaman rumah. Tiba-tiba terdengar suara seseorang

berseru memanggil namaku. Komariyah sedang berjalan ke arahku

dengan tangan memegang sesuatu yang ditutupi dengan kain batik.

Titipan ibuku.

Apa itu?

Nasi tiwul, ikan teri, dan sambel terasi.”42

Kesadaran Dahlan yang cepat merupakan tindakan yang

memberikan image positif terhadap khalayak atau pembaca. Niat buruk

yang terlintas dibenaknya membuat tokoh utama dalam trilogi novel ini

dapat mempelajari kembali kesalahan yang pernah dilakukan. Dengan

melihat pernyataan kisah Dahlan tersebut, peneliti mengartikan bahwa teks

di atas hanya fiksi agar membangun citra positif di tengah mata pembaca.

Artinya cerita yang ditulis adalah hipperealita yang dilakukan oleh penulis.

Kesimpulan secara keseluruhan dari hasil temuan peneliti dalam

novel ini meliputi beberapa pencitraan. Peneliti merangkum temuan

pencitraan, temuan teks dan penjelasannya dalam tabel berikut:

Tabel 3. Temuan Teks pada novel Sepatu Dahlan

Temuan pencitraan Temuan Teks Keterangan

Sederhana

“Rumahku. Seperti rumah

lainnya di kampung ini,

berlantai tanah. Jika musim

hujan tiba, akan lembab dan

basah. Setiap kemarau

Pada teks ini tokoh

Dahlan digambarkan

dengan sosok yang

sederhana. Sederhana

disini nampak pada sejak

42

Khrisna Pabichara, Sepatu Dahlan, h. 95-96

Page 96: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN

86

datang, lantai tanah itu

panas dan berdebu. Di sana,

di lantai tanah yang lembab

atau berdebu itu, aku dan

adikku menggelar tikar

setiap malam. Ajaibnya,

kami selalu bisa

mendengkur dengan

nikmat” h. 42

“Pakaian misalnya, aku

hanya punya sepasang dan

itu alamat akan jadi bahan

ejekan bagi murid-murid

lain yang rata-rata punya

orang tua yang mampu

membelikan mereka banyak

pakaian. h. 21-22

kecil, Dahlan yang

dibesarkan dilingkungan

pedesaan dangan serba

kekurangan, begitu pula

dengan rumahnya yang

berlantai tanah. Jika

musim hujan datang

lantai selalu basah dan

ketika musim kemarau

lantai akan selalu

berdebu.

Sederhana yang dimiliki

Dahlan tidak hanya

sederhana dalam

kehidupannya, mulai dari

pakaian, kondisi rumah,

bahkan untuk makan

sehari-hari tak pernah

terlihat istimewa.

Disiplin “Hari ini aku memakai

kemeja baru. Kata Ibu,

hadiah dari Bu Mantri

karena aku rajin membantu

Ibu. Andai saja hadiahnya

sepatu. Aku segera

mengusir angan-angan

tentang sepatu itu sebab

hanya akan menambah

perih di hati dan lecet di

kaki. Tibalah aku di depan

papan pengumuman yang

terpajang di dinding kantor.

Belum seorang pun santri

yang datang. Baru aku

seorang. Dan, ini hal yang

biasa bagiku. Di rumah,

Bapak sangat ketat melatih

kami soal disiplin, begitulah

cara kami menghargai

waktu.” h. 53

Pada teks ini,

kedisiplinan memang

diterapkan oleh sang

ayah, hal ini di paparkan

oleh penulis tentang

kedisiplinan dahlan,

terutama dalam soal

waktu. Dikatakan dalam

novel bahwa ia orang

pertama yang datang ke

sekolah berdiri didepan

papan pengumuman.

Penulis novel melakukan

penekanan tokoh dahlan

yangdisiplin dengan kata

“sangat ketat”. Kita dapat

membayangkan betapa

kerasnya sang ayah

dalam menerapkan

kedisiplinan bagi anak-

anaknya (Dahlan).

Pekerja keras “Ibu yang sedang asyik

membatik terkejut dan

Teks ini menunjukkan

bahwa Dahlan Iskan

Page 97: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN

87

segera mendatangiku.

“Capek, le”?

Capek banget, Bu,” keluhku

sambil membaringkan

badan, memejamkan mata.

“tidur dulu sebentar.”

Aku menggelengkan

kepala. “Ndak ada waktu,

Bu. Harus nyabit lagi.”

“tapi kamu kan baru pulang,

le?

„ini hari pertama, Bu. Kata

bapak, nanti juga terbiasa.”

Ibu tersenyum dengan

manis, “iya…” h. 39-40

“Kesunyian itu manis,

seperti sekarang. Di tepi

sungai, bersandar pada

sebatang pohon jawi,

bermandikan cahaya

matahari senja. Aku

mengamat-amati kedua

tanganku, tangan ini telah

bekerja amat keras meski

anak-anak lainpun bekerja

tak kalah kerasnya”. h. 147

“sungguh aku ingin

mengatakan bahwa selama

ini tak ada waktu luang agar

aku bisa belajar dengan

tenang. Setelah salat subuh

sudah harus menyabit

rumput, terus ke sekolah,

setelahnya menyabit rumput

lagi, lalu belajar mengaji,

ngangon domba, dan tatkala

malam sudah menyelimuti

Kebon Dalem tak mungkin

lagi belajar karena gelap

gulita. Tapi, lidahku

sekonyong-konyong kelu,

tak mampu mengatakan apa

pun.” h. 19

adalah anak yang suka

bekerja keras. Artinya

Dahlan berperilaku

menunjukkan upaya

sungguh-sungguh dalam

mengatasi berbagai

hambatan belajar dan

tugas, dan dapat

menyelesaikan tugas

dengan sebaik-baiknya.

Karakter pekerja keras

tertanam sejak kecil

dimana ketika sepulang

sekolah Dahlan harus

tetap menjalankan

tugasnya menyabit

rumput. Bekerja keras

yang seharusnya tidak

dirasakan Dahlan pada

usianya saat itu.

Meskipun lelah, ia tetap

bekerja. Seperti saat ibu

menyuruh Dahlan

istirahat, namun ia tetap

bekerja.

Pada teks di samping,

Khrisna menyampaikan

sejarah perjuangan yang

dialami Dahlan kecil,

kerja keras setiap hari,

setiap pagi sehabis shalat

subuh Dahlan selalu

bekerja menyabit rumput

setelah itu ia berangkat

ke sekolah, Tak hanya

itu, sepulang belajar,

masih banyak pekerjaan

yang harus dilakukanya

demi sesuap nasi tiwul.

Mulai dari nguli, nyeset,

nguli nandur, sampai

melatih tim voli anak-

anak juragan tahu.

Page 98: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN

88

Bersahabat/komunikatif

“Tuhan memberkati

hidupku lewat pertemuan

dan pertemanan yang

hebat” h.344

Bersahabat yang peneliti

temukan pada sosok

Dahlan merupakan

tindakan yang

memperlihatkan rasa

senang berbicara,

bergaul, dan bekerja

sama dengan orang lain.

Amanah Berita terpilihnya aku

sebagai pengurus Ikatan

Santri ternyata sudah

didengar oleh bapak. Itu

kuketahui tak lama setelah

tiba di rumah. Tidak seperti

biasanya, bukan zain yang

menjawab salamku. Tapi,

Bapak. Biasanya, siang-

siang begini beliau sudah

tidak ada di rumah, kecuali

karena alasan khusus yang

penting dan mendesak.

Jawabannya aku tahu dari

mata beliau yang berbinar-

binar. “jabatan itu amanat,

le,” ujar bapak sambil

mengelus kepalaku sewaktu

aku mencium punggung

tangannya. „tirulah sifat

kakakmu, sofwati, jujur dan

disiplin.” H. 163

Ketika nama pengurus di

sebut satu per satu, aku lihat

Bapak menengadah dengan

mata berbinar-binar,

bercahaya. Hatiku bergetar,

sangat terharu. Saban hari

bapak bekerja keras demi

anak-anaknya, dan selama

ini aku lebih sering

merepotkan ketimbang

membahagiakannya. Tapi

hari ini, karena aku,

putranya, Bapak berdiri

dengan punggung lebih

tegak. Senyum seolah tak

Pada teks ini sosok

Dahlan dapat dikenal

sebagai tokoh yang

mampu memegang

amanah, dalam arti sosok

yang penuh tanggung

jawab. Sikap dan

perilaku Dahlan dalam

melaksanakan tugas dan

kewajibannya, yang

seharusnya dia lakukan

terhadap diri sendiri,

masyarakat, lingkungan,

dan sebagainya.

Bagi Dahlan selama ini

ia lebih sering

merepotkan bapak

ataupun

mengecewakannya tp

dalam teks ini ada

tindakan yang

menunjukkan sikap yang

mendorong dirinya untuk

menghasilkan sesuatu

berguna bagi masyarakat

dengan amanah yang dia

dapat bahwa Dahlan

dipercayai mampu

menjadi pemimpin yang

amanah. s

Page 99: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN

89

mau lepas dari sepasang

bibirnya, apalagi sewaktu

kiai Irsyad menjabat

tanganku dan menepuk

pundakku. h. 165

B. Analisis Wacana Kritis Pencitraan Dilihat dari Kognisi Sosial

Novel Sepatu Dahlan terbit berdasarkan keinginan penerbit mizan

(noura books) yang menantang salah satu penulis untuk menguraikan kisah

hidup semasa remaja Dahlan Iskan. Penulis ingin menyampaikan hal-hal yang

terkait dengan kehidupan masa kecil Menteri BUMN. Namun penulis tidak

ingin menyampaikannya secara biasa seperti pada media cetak lainnya.

Namun lebih berwarna. Penulis menyampaikan ha-hal tersebut dengan bahasa

dirinya, yang ringan, sederhana dan menggelitik dengan beberapa sentilan

yang disampaikan.

Hal di atas tercakup dalam hasil wawancara peneliti dengan penulis

novel Sepatu Dahlan yaitu, Khrisna Pabichara.

“Gagasan awal penulisan septu dahlan bukan berasal dari saya. Ide

penulisan itu pertama kali dilontarkan oleh Deden Ridan, CEO

Noura Books, sebuah lini penerbitan Mizan Group, lantas

ditawarkan penulisannya kepada saya. Lewat perbincangan ringan di

Cipete pada pertengahan Desember 2011, saya terima tantangan itu.

Lalu, saya rancang buku itu bukan dalam bentuk biografi atau

memoar melainkan novel. Sebagaimana lazimnya novel, ada

beberapa peristiwa, tokoh, dan latar alur yang murni imajinasi. Ada

juga nukilan peristiwa yang benar-benar terjadi, tetapi saya olah dan

racik sedemikian rupa supaya renyah dibaca.”43

43

Wawancara Peneliti dengan Khrisna Pabichara (Penulis Novel Sepatu Dahlan) di Café

Housen Cullinary, pada 5 April 2013.

Page 100: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN

90

Pada analisis kognisi sosial difokuskan bagaimana sebuah teks

diproduksi, dipahami, ditafsirkan, disimpulkan, dan dimaknai oleh penulis.

Proses terbentuknya teks ini tidak hanya bermakna bagaimana suatu teks itu

dibentuk, proses ini juga memasukkan informasi yang digunakan untuk

menulis dari suatu bentuk wacana tertentu.

Terkait dengan kognisi sosial, pemahaman penulis sangat berpengaruh

terhadap sesuatu yang dituangkan ke dalam cerita Sepatu Dahlan. Dalam

wawancara yang dilakukan peneliti, pada tanggal 05 April 2013, peneliti

menemukan beberapa jawaban terkait pandangannya terhadap pembuatan

novel yang terinspirasi dari salah satu tokoh Menteri. Pada penulisan Novel

Sepatu Dahlan penulis bertindak sebagai pengamat yang menjelaskan

peristiwa yang berlangsung serta suasana perasaan dan pikiran para pelaku

cerita.

Dalam menentukan tema dan gagasan atau fakta yang dipilih untuk

ditulis, peneliti yang dalam hal ini dilakukan oleh penulis novel Sepatu Dahlan

diberikan kebebasan serta merta ide yang akan dituangkan. Namun gagasan

awal penulisan novel Sepatu Dahlan pertama kali diperintahkan oleh Deden

Ridwan sebagai praktisi di dunia perbukuan CEO Noura Books. Dalam

wawancara ditemukan di café housen culinary adalah sebagi berikut:

“Gagasan penulisan Sepatu Dahlan bukan berasal dari saya. Ide

penulisan itu pertama kali dilontarkan oleh Deden Ridwan, CEO

Noura Books- sebuah lini penerbitan Mizan Group, lantas

ditawarkan penulisannya kepada saya. Saya terima tantangan itu.

Page 101: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN

91

Lalu, saya rancang buku itu bukan dalam bentuk biografi atau

memoar, melainkan novel.”44

Menurut pakar politik yang peneliti wawancarai novel Sepatu Dahlan

dikategorikan sebagai novel yang mengandung unsur pencitraan politik. ini

terkait isu kenaikan Dahlan Iskan ikut serta dalam pencalonan presiden tahun

2014 yang akan datang. Maka dari itu peneliti mengkaitkan novel ini sebagai

salah satu alat pencitraan Dahlan Iskan. Hal itu terungkap dalam hasil

wawancara peneliti dengan pengamat politik dari Charta politik, sebagai

berikut;

“saya sih percaya ya dalam novel itu jelas ada sebuah pencitraan.

Kita lihat dari sisi momentum, memang ada 2014 ketika namanya

mulai disebut-sebut sebagai salah satu capres atau cawapres dan

munculnya buku ini juga pada masa-masa sudah mulai munculnya

nama dia sebagai capres atau cawapres. Saya yakin sekali bahwa itu

bagian dari kesadaran bahwa dia mungkin memiliki peluang menjadi

capres atau cawapres. Mungkin ketika ini tidak berhasil menjadi

sebuah bentuk pencitraan yang bersifat politik minimal dia bisa

melakukan grand sebagai seorang tokoh, dia bisa menginspirasikan

kehidupan dia di sisi lain yaa dengan berbagai macam silih yang

pernah dia alami.”45

Namun beberapa pembaca lain menganggap novel ini adalah sebuah

karya sastra, sebuah fiksi, novel semata yang melukiskan kisah kehidupan

seseorang. Di lihat dari judulnya Sepatu Dahlan itulah pembaca dihadapkan

pada suatu istilah yang menarik minat pembacanya. Pada bab per bab

diceritakan bahwa Sepatu Dahlan merupakan sebuah mimpi besar yang ingin

digapai dalam kisah hidup Dahlan Iskan ketika masa kecilnya di mana ia

44

Wawancara Peneliti dengan Khrisna Pabichara (Penulis Novel Sepatu Dahlan) di Café

Housen Cullinary, pada 5 April 2013. 45

Wawancara Peneliti dengan Yunarto Wijaya (Pengamat Politik) di kantor Catra

Politik, pada 16 April 2013.

Page 102: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN

92

merupakan tokoh utama dalam novel tersebut, dan novel ini merupakan kisah

nyata dari kehidupan Dahlan Iskan.

Tokoh Dahlan dikisahkan dalam novel ini selalu bermimpi ingin

memiliki sepatu untuk bersekolah karena keinginannya untuk membeli tidak

mungkin diraihnya ketika itu. Sehingga judul tersebut bisa diartikan bahwa

„Sepatu‟ itu sebagai mimpi atau cita-cita besar dalam hidupnya. Dengan harus

bekerja setelah pulang sekolah untuk membantu orang tua, dan membesarkan

adik kemudian berangkat kesekolah tidak menggunakan sepatu. Keadaan

kehidupan yang membatasi keinginannya untuk membeli sepatu dan sepeda.

Secara mendalam informasi yang digunakan penulis dalam merangkai

alur cerita kehidupan tokoh Dahlan Iskan dalam novelnya juga untuk

mengenal karakter tokoh berdasarkan pengalaman diri sebagai penulis yang

mengamati dengan menginap di kediaman Dahlan selama tiga hari dua malam

lalu bertransformasi menjadi keluarga inti Dahlan. Khrisna Pabichara

menyajikan tulisan dengan alur kisah mundur ( sorot-balik/ flash back).

Khrisna memutuskan diri untuk terbang ke surabaya dan menginap di

rumah Dahlan dalam beberapa hari untuk mengamati beragam hal yang

dilakukan Dahlan. Dimulai pada saat berbincang santai, berdiskusi, nonton

televisi, menerima tamu, hingga pada saat makan bersama dalam satu meja.

Hal tersebut terdapat dalam wawancara sebagai berikut;

“untuk mengenal karakter tokoh utamanya, awal februari lalu saya

memutuskan untuk terbang ke surabaya dan menginap di kediaman

Pak Daklan. Selama tiga hari dua malam saya bertransformasi

menjadi keluarga inti Dahlan, kemudian saya melihat dan mencatat

apa yang dilakukan Dahlan. Mulai dari berbincang santai, nonton

Page 103: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN

93

televisi, berdiskusi, menerima tamu, hingga makan bersama dalam

satu meja.”46

Sebagai penulis yang melakukan pengamatan secara intents, menginap

di kediaman Dahlan kemudian berbincang dengannya merupakan pintu masuk

untuk mendapatkan segala hal yang berkaitan dengan penulisan novelnya.

Berdasarkan hasil wawancara di atas, peneliti melihat bahwasannya

ada ikatan emosional antara Dahlan Iskan dengan Khrisna Pabichara. Ini

terbukti dari kegiatan Khrisna selama tiga hari di rumah Dahlan Iskan mulai

dari kegiatan yang kecil hingga makan malam satu meja bersama keluarga

Dahlan Iskan. Peneliti menyimpulkan bahwa Khrisna bukan hanya sebagai

penulis Sepatu Dahlan di dalam keluarganya. Tetapi terlihat adanya kedekatan

lebih dari sekedar relasi yang ia tunjukkan dalam kunjungannya selama tiga

hari di rumah Dahlan Iskan. Kedekatan di atas juga peneliti temukan dalam

kutipan hasil wawancara dengan penulis novel Sepatu Dahlan sebagai berikut.

“semua perbincangan saya catat dan saya rekam dalam ngobrol

santai mengenai banyak hal. Makanya saya harus menseleksi banyak

dari perbincangan saya dengan beliau untuk menjadi bahan

penulisan novel ini.” 47

Dalam pegamatannya, Khrisna tidak hanya diam di kediaman Dahlan,

dia juga mendatangi kota-kota lain yang pernah ditinggali Dahlan dalam

perjalanan hidupnya. Di antaranya, kota kelahiran Dahlan Magetan, lalu

Madiun, Ponorogo, Kertosono, Ngawi, dan Samarinda. Di kota-kota tersebut,

46

Wawancara Peneliti dengan Khrisna Pabichara (Penulis Novel Sepatu Dahlan) di Café

Housen Cullinary, pada 5 April 2013. 47

Wawancara Peneliti dengan Khrisna Pabichara (Penulis Novel Sepatu Dahlan) di Café

Housen Cullinary, pada 5 April 2013.

Page 104: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN

94

Khrisna berburu informasi tentang sosok yang akan ditulis. Baik dari saudara

kandung, sahabat, hingga teman-teman angkatan Dahlan saat bersekolah.

“bermacam pengalaman menarik yang saya alami ketika saya

menggali data di desa-desa yang pernah ditinggali Dahlan, karena

saya ingin menggambarkan Dahlan sebagai sosok apa adanya. Bukan

sosok malaikat yang turun dari langit.”48

Hal lain yang peneliti temukan adalah penilaian penulis terhadap sosok

Dahlan dimana Khrisna ingin mengungkapan kisah Dahlan dengan apa

adanya, agar cerita yang ditunjukkan dalam novel menjadi lebih menarik.

Namun di akhir kalimat Khrisna mengatakan dahlan bukanlah sosok malaikat

yang turun dari langit. Menurut peneliti kalimat diatas membuat persepsi baru

untuk peneliti dan khalayak bahwa Dahlan Iskan selama ini bagai seorang

malaikat penyelamat yang hadir membawa perubahan.

Adanya keinginan menampilkan cerita yang natural dan apa adanya

tentang sosok Dahlan juga dikatakan oleh pihak penerbit. Ini dikatakan oleh

Suhindrati Shinta sebagai penyunting novel Sepatu Dahlan.

“Kita kan misinya pingin membuat buku yang menarik, dan kita

ingin mas Khrisna itu menampilkan pak Dahlan yang apa adanya.

Artinya bukan menampilkan pak Dahlan yang bagus-bagusnya ajah.

Kalo dia melakukan apa yang keliatannya jeleknya itu diungkapkan.

Intinya yang paling utama ya tetep supaya orang terinspirasi. Jadi

kita nerbitin novel tentu saja sangat ingin orang terinspirasi hal-hal

baik jadi misalnya kalo novel trailer itukan kadang-kadang misinya

hiburan aja. Dan kalo novel-novel inspiratif seperti ini ya tujuannya

supaya orang-orang terinspirasi.. oh pak Dahlan aja bisa gimana

ceritanya kamu juga bisa jadi ya tujuannya itu. Pas pembuatan kita

diskusi sama penulisnya gimana caranya novelnya itu menarik, gak

ngebosenin, dan teknik awal penulisan novelnya gimana, kita juga

48 Wawancara Peneliti dengan Khrisna Pabichara (Penulis Novel Sepatu Dahlan)

di Café Housen Cullinary, pada 5 April 2013

Page 105: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN

95

ingin menampilkan apa adanya. Tentang Human gitu loh, bukan

dewa.”49

Penulis dan penerbit lagi-lagi mempunyai pemikiran yang sama dalam

penulisan novel ini, yaitu menampilkan alur cerita yang apa adanya dalam

novel. Sehingga terkesan lebih menarik dan lebih nyata saat dibaca khalayak.

Namun dalam akhir kutipan kalimat wawancara dengan Shinta, ia

menyebutkan kalimat tentang „human gitu loh, bukan dewa‟, ini sama halnya

dengan apa yang dikatakan Khrisna diakhir kutipan wawancara „Dahlan

sebagai sosok apa adanya. Bukan sosok malaikat yang turun dari langit‟.

Menurut peneliti dari kedua kutipan di atas mempunyai makna yang sama.

Yaitu tidak ingin melebih-lebihkan sosok Dahlan Iskan. Seperti yang peneliti

katakan di atas, bahwasanya kutipan-kutipan ini mengandung makna

sebaliknya. Yaitu sosok Dahlan sebagai malaikat dan sosok Dahlan sebagai

dewa.

C. Analisis Wacana Kritis Pencitraan Dilihat dari Konteks Sosial

Terkait dengan konteks sosial maka berdasarkan teks pada Novel

Sepatu Dahlan dapat diketahui bagaimana pencitraan dan relasi kuasa yang

dibangun dan berkembang dalam masyarakat melalui proses produksi dan

reproduksi pesan. Peristiwa yang digambarkan melalui penelusuran maupun

studi pustaka. Bangunan teks dalam konteks sosial ini, menjadi suatu

bangunan berpikir terkait pencitraan Dahlan Iskan.

49

Wawancara Peneliti dengan Suhindrati Shinta (Penyunting Novel Sepatu Dahlan) di

Kantor penerbit Noura Books, pada 30 Agustus 2013.

Page 106: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN

96

Dalam penelitian ini, konteks sosial dilihat melalui studi pustaka. Hal

yang terlihat adalah masyarakat sangat terinspiratif, sangat termotivasi pada

sosok Dahlan Iskan. Hal tersebut menjadi suatu hal yang sangat penting dalam

penelitian ini. Faktor Dahlan Iskan sebagai Menteri BUMN merupakan hal

penting untuk disorot. Terkait dengan penelitian ini, Novel Sepatu Dahlan

menyajikan wacana pencitraan yang cenderung positif. Hal tersebut terkait

dengan konteks sosial yang berkembang dimasyarakat.

Terbitnya novel ini bagian dari salah satu dari bentuk pencitraan dari

berbagai media yang ada pada saat ini. Banyak buku-buku yang menerbitkan

tentang sosok penguasa yang ada di negeri ini. Ini dilakukan agar masyarakat

dapat mengenal lebih dekat sosok penguasa yang nantinya akan tampil

dihadapan publik. Buku-buku yang diterbitkan menceritakan sosok penguasa

yang baik hati, bijaksana, ramah dan sederhana juga berbagai penghargaan-

penghargaan yang mereka dapatkan. Itulah yang menjadi senjata utama dari

terbitnya buku-buku yang ada saat ini.

Begitupula dengan terbitnya novel Sepatu Dahlan. Menurut peneliti

isinya tidak jauh berbeda dari buku-buku biografi tokoh penguasa yang ada

saat ini, hanya saja pengemasannya yang berbeda. Isinya dikemas lebih ringan

dari yang sudah terbit sebelumnya yaitu dalam berbentuk novel agar lebih

menarik untuk dibaca oleh khalayak.

Teks dalam novel Sepatu Dahlan, menunjukkan bahwa Khrisna secara

langsung mendeskripsikan kisah Dahlan Iskan berdasarkan realitas yang

ditemui, yang dirangkai dalam suatu alur cerita melalui novel tersebut. Hal-hal

Page 107: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN

97

positif maupun negatif dari cerita yang menyedihkan kemudian mengharukan

disampaikan Khrisna melalui novel Trilogi Sepatu Dahlan yang mudah

dipahami dan berkembang dimasyarakat.

Dengan hal demikian nampak bahwa media memiliki kebebasan dalam

berpendapat. Hal apa saja dapat dituangkan dalam berbagai media seperti yang

dilakukan penulis Khrisna Pabichara melalui novel Sepatu Dahlan.

D. Interpretasi

Berdasarkan penelitian di atas, keseluruhan penjelasan dari analisis

wacana baik yang meliputi analisis teks, kognisi sosial maupun konteks sosial,

masing-masing memberikan makna tersendiri. Secara teks, analisis wacana

mengenai pencitraan Dahlan Iskan disampaikan banyak mengandung suatu

pengungkapan realitas mengenai sikap, perbuatan maupun segala hal terkait

kehidupannya.

Sosok Dahlan Iskan dikenal sebagai menteri BUMN yang pandai

membangun suatu pencitraan yang baik. Seperti yang ditulis widodo dalam

situs kompasiana pada 12 maret 2012 mengatakan bahwa Dahlan Iskan

namanya mulai membuming diperbincangkan dikalangan masyarakat

berkaitan dengan citra yang dibentuknya. Misalnya Dahlan Iskan yang

melakukan gebrakan dengan membuka pintu tol yang menjadi biang keladi

kemacetan beberapa waktu lalu. Orang pun lantas menilai sosok Dahlan Iskan

sebagai pribadi yang tegas, berani, dan action-oriented.50

Melihat tindakannya

itu secara tidak langsung dapat memberikan asosiasi bahwa Dahlan Iskan

50

Shinta Kusuma, Pencitraan Bukan Kamuflase, dikutip dari pesona.com.

http://www.pesona.co.id/refleksi/refleksi/pencitraan.bukan.kamuflase/001/001/134. di akses pada

Tanggal 17-09-2013 Pukul 15:41 wib.

Page 108: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN

98

membangun citra diri yang positif dengan gambaran seseorang tentang

ulahnya yang menjadi perhatian publik.

Widodo juga mengatakan Dahlan Iskan pandai mengkilapkan citra dari

tokoh yang biasa menjadi luar biasa, segala aktifitas tentang Dahlan

diceritakan dalam berbagai media. Hal lain juga ditulis widodo tentang

wacana pencapresan Dahlan mengemuka menyusul pernyataan Ketua DPP PD

Bidang Pusat Pengembangan Strategi dan Kebijakan DPP PD, Ulil Abshar

Abdalla. Menurut Ulil, Dahlan berpotensi dan punya kapasitas maju pada

Pilpres 2014.51

Berdasarkan sumber kantor berita antara yang diposting melalui berita

satu.com, bahwa salah satu lembaga survei menyebutkan posisi rating Dahlan

Iskan berada pada urutan ke-8 dengan raihan 3,6 persen, berada di bawah

Mahfud MD yang dipilih 5,4 persen responden. Sementara posisi pertama

capres pilihan responden ditempati Jokowi dengan 18,1 persen, disusul

Prabowo Subianto 10,9 persen, dan Wiranto 9,8 persen.

Pada urutan keempat, ditempati mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla 8,9

persen, disusul Ketua Umum DPP Partai Golkar Aburizal Bakrie 8,7 persen

dan mantan Presiden Megawati Soekarnoputri 7,2 persen. Namun, dibawah

Dahlan Iskan ada nama Hatta Rajasa yang dipilih 2,9 persen responden disusul

51 Widodo S Jusuf, Dahlan Iskan Jangan Menapaki Jejak SBY, dikutip dari

kompasiana.com. http://politik.kompasiana.com/2012/03/26/dahlan-iskan-jangan-menapaki-jejak-

sby-445181.html. Tanggal 17-09-2013 Pukul 15:41 wib.

Page 109: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN

99

Rhoma Irama sebesar 1,7 persen, Muhaimin Iskandar 1,1 persen persen dan

Anas Urbaningrum 0,5 persen. .52

Sosok Dahlan Iskan dalam strategi pencitraan menjadi suatu hal

tersendiri dalam kehidupan berpolitik. Kisah hidup sosok Dahlan Iskan dalam

novel Sepatu Dahlan menjadi tokoh yang inpiratif bagi khalayak pembaca. Hal

tersebut bermaksud membentuk citra Dahlan sebagai tokoh yang gigih,

pantang menyerah, disiplin dan beriman.

Secara kognisi sosial, makna yang dapat dipetik dalam novel Sepatu

Dahlan memberikan pengalaman pribadi yang memberikan keuntungan bagi

Khrisna Pabichara sebagai penulis Novel Sepatu Dahlan. Hal tersebut

tercakup dalam hasil wawancara peneliti dengan penulis sebagai berikut;

“tentu ada manfaat yang saya dapatkan dari sepatu Dahlan. Salah

satunya, royalti. Semakin banyak yang beli novel ini, semakin

banyak royalti yang saya dapat. Tetapi jangan lupa, ada sumbangan

wajib bernama pajak penghasilan sebesar 15% daro royalti itu yang

saya dermakan pada negara. Selain itu, tiap satu buku yang terjual

disumbangkan sebesar Rp. 1.000 demi “gerakan Septu untuk anak

Indonesia”. Gerakan ini terjalin atas kerja sama antara penerbit

dengan Kick Andy Foundation.”

Akan tetapi pengalaman tersebut menjadi pemahaman tersendiri pada

masyarakat mengenai realitas melalui kacamata penulis. Melalui profesi

sebagai penulis informasi dapat tergali lebih dalam dan mendetail. Oleh

karena itu, novel Sepatu Dahlan ini dapat diungkap secara kritis dan lugas.

Cara pandang penulis yang mengamati kisah perjuangan hidup Dahlan Iskan

52

Berita Antara di posting melalui http://www.beritasatu.com/nasional/109048-soal-

caprescawapres-2014-dahlan-malumalu-mau.html di akses pada tanggal 02 oktober 2013 pukul

15:52 wib.

Page 110: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN

100

menjadi pendeskripsian yang ada sebagai suatu pembuka wacana masyarakat

agar lebih terbuka dan luas.

Hubungan antara Dahlan Iskan dengan Khrisna Pabichara tidak lain

hanyalah sebatas tokoh dalam novel dan seorang penulisnya. Dalam proses

produksinya Dahlan Iskan tidak bercampur tangan dari ide awal penulisan

sampai terbitnya novel Sepatu Dahlan. Artinya Dahlan sama sekali tidak

memberikan arahan dan masukan dalam penentuan konsep dan ide cerita

sepenuhnya dilakukan oleh penulis.

Khrisna Pabichara menjelaskan kepada peneliti mengenai penentuan

penulisan novel Sepatu Dahlan dalam hasil wawancara sebagai berikut;

“tidak seorangpun yang turut mencampuri penulisan novel Sepatu

Dahlan. Termasuk Dahlan Iskan. Bahkan, beliau tidak membaca

manuskrip novel ini. Dengan kata lain, tidak ada yang mengarahkan

atau mengatur-atur saya dalam penulisan novel ini. Tidak ada pula

yang menegaskan mana yang boleh dan apa yang tidak boleh ditulis.

Saya bebas sebebas-bebasnya. Pihak penerbitpun hanya terlibat

dalam proses penyuntingan: memberikan saran apabila ada yang

dianggap butuh tambahan atau perbaikan. Selebihnya tidak ada.”53

Khrisna menyampaikan bahwa menulis novel tersebut bukanlah

dengan tujuan pembentukan citra atau sebuah novel pesanan. Namun asusmi

peneliti melihat proses yang dilakukan khrisna memiliki kompetensi

menciptakan karakter yang baik terhadap sosok Dahlan untuk

menampilkannya di depan publik. Asumsi ini peneliti temukan dalam proses

pembuatan novel dengan waktu yang singkat dan dengan data kisah hidup

Dahlan kecil yang didapat dengan mudah.

53

Wawancara Peneliti dengan Khrisna Pabichara (Penulis Novel Sepatu Dahlan) di Café

Housen Cullinary, pada 5 April 2013

Page 111: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN

101

Secara konteks sosial, menunjukkan makna bahwa proses kehidupan

politik merupakan hal yang penuh dengan berbagai macam cara maupun

strategi dalam proses pemenangannya. Proses untuk memperoleh kekuasaan

dan kemudian mempertahankan kekuasaan tersebut dilakukan melalui

berbagai cara baik yang positif maupun negatif. Salah satu proses yang ada

merupakan proses pencitraan, dimana efeknya tidak dapat dirasakan sekejap

mata melainkan melalui berbagai proses dan waktu yang cukup panjang.

Keterbukaan informasi menjadikan proses tersebut menjadi suatu hal yang

lebih kompleks.

Novel Sepatu Dahlan merupakan salah satu cara pencitraan Dahlan

Iskan yang mempunyai tujuan sasaran pasar tersendiri di khalayak. Dalam

novel Sepatu Dahlan, sosok Dahlan menjadi sosok yang sangat sederhana

dikemas dengan cerita yang sangat dramatis dan menarik. Begitu pun dengan

buku-buku biografi Dahlan Iskan lainnya yang muncul setelah terbitnya novel

Sepatu Dahlan mempunyai sasaran pasar tersendiri di khalayak. Seperti, Surat

Dahlan, Dahlan Iskan Juga Manusia, (certwit) Dahlan Is Dahlan Can dan lain

sebagainya.

Buku-buku tentang biografi seseorang saat ini menjadi media politik

yang efektif bagi mereka yang ingin menarik perhatian dan mempunyai citra

baik di mata khalayak. Ini terbukti dengan beredarnya sosok-sosok baru dalam

buku biografi. Seperti, Chairul Tanjung Si Anak Singkong, Jokowi Spirit

Bantaran Kali Anyar, Mahmud Md Terus Mengalir, dan lain sebagainya.

Page 112: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN

102

Berbagai hal yang disampaikan penulis merupakan penggambaran

yang melahirkan fenomena seolah-olah seperti yang digambarkan atau

dicitrakan dari bangunan pencitraan Khrisna yang mengarah pada hiperealitas.

Artinya, segala hal yang digambarkan maupun dilukiskan murni cara pandang

Khrisna terhadap sosok Dahlan Iskan mencakup pilihan bahasa, dari kata

hingga paragraf. Hasil dari proses tersebut merupakan sebuah wacana atau

realitas yang membentuk opini massa, massa cenderung apriori, dan opini

massa cenderung sinis melihat sisi positif dan negatif sejalan yang

disampaikan Khrisna. Akan tetapi hal tersebut tidak serta merta terjadi

dikarenakan faktor internal pembaca sendiri.

Khrisna membangun sebuah teks dengan muatan simulakra dan

hiperrealitas ke dalam novel Sepatu Dahlan dengan cukup jelas dalam novel

Sepatu Dahlan simulakra tersebut ditunjukkan melalui bahasa yang mampu

menciptakan sosok figur Dahlan Iskan. Sebagaimana simulakra merupakan

penampakkan sesuatu yang tak sebagaimana adanya. Dalam hal ini, Khrisna

melukiskan beberapa peristiwa, tokoh, dan latar alur dengan imajinasi.

Sebagaimana lazimnya sebuah novel, dan instrumen tersebut terklarifikasi

dalam salah satu bentuk media simulakra.

Hal demikian secara tak langsung dapat menunjukkan konsep yang

disitilahkan Baudrillard sebagai hiperrealitas atau sesuatu yang melampaui

kenyataan. (menjelaskan tentang hiperealitas) Namun, dalam sebuah novel hal

tersebut menjadi mungkin untuk digambarkan melalui imajinasi dengan

Page 113: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN

103

berlatar kisah nyata. Novel Sepatu Dahlan ini mengandung muatan

hiperrealitas yang menyangkut beberapa hal.

Pertama, sebuah cerita yang direalisasikan dari sebuah kisah nyata

mampu dirangkai sedemikian rupa dengan melakukan riset yang berlangsung

cepat selama satu setengah bulan. (jelaskan karena dengan waktu yang

sedemikian singkat, ada halnya bahwa dalam novel itu banyak hasil imajinatif

penulis). Kemudian dengan melihat konteks latar cerita ketika Dahlan kecil

yang kondisinya jauh berubah dengan sekarang. Konsep simulakra dengan

novel ini sangat erat kaitannya, dimana simulakra merupakan realita yang

dilebih-lebihkan. Begitu pun dalam novel, yang mana novel merupakan karya

fiksi dimana isinya boleh saja tidak mencerminkan realita lebih banyak

menceritakan fiksi dari pada fakta. Walaupun ada sebagian alur cerita dalam

novel yang nyata. Dalam hal ini adalah novel sepatu dahlan yang diangkat dari

kisah nyata Dahlan Iskan semasa kecil. Ditambah dengan imajinasi penulis

yang mana novel memiliki ruang imajinasi sehingga penulis mengembangkan

sebuah cerita novel ini menjadi menarik dan dramatis. Ini penulis sampaikan

dalam wawancara dengan peneliti.

“sebagaimana lazimnya novel, ada beberapa peristiwa, tokoh, dan

latar-alur yang murni imajinasi. Ada juga nukilan peristiwa yang

benar-benar terjadi, tetapi saya olah atau racik sedemikian rupa

supaya renyah dibaca. Jika seluruh bagian dalam Sepatu Dahlan

persis sebagaimana fakta sebenarnya, tentu bukan novel bentuknya.

Bisa biografi, bisa memoar. Dengan kata lain novel ini berlatar kisah

nyata.”54

54

Wawancara Peneliti dengan Khrisna Pabichara (Penulis Novel Sepatu Dahlan) di Café

Housen Cullinary, pada 5 April 2013

Page 114: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN

104

Kedua, muatan hiperrealitas yang terdapat dalam novel Sepatu Dahlan

dapat dilihat melalui sudut pandang (khalayak/pembaca). Seperti yang kita

ketahui Dahlan Iskan yang demikian dapat dikenal sebagai figur yang mampu

meraih mimpinya dengan segala keterbatasan ekonomi dalam hidupnya.

Hingga hal yang dicapai saat ini Dahlan memiliki ratusan media, menjadi

Dirut PLN dan menjabat sebagai Menteri BUMN. Hal tersebut sulit

direalisasikan dalam kehidupan nyata.

Merujuk pada baudrillard bahwa penggunaan tanda dan citra dalam

politik, sedemikian rupa, yang di dalamnya citra telah terputus dari realitas

yang direpresentasikan sehingga didalamnya bercampur aduk antara yang

asli/palsu, realitas/fantasi, kenyataan/fatamorgana, citra/realitas yang

menggiring dunia politik ke arah penopengan realitas (masquerade of reality).

novel ini menyajikan antara fakta dan imajinasi penulis sudah sulit dibedakan.

Dengan demikian cerita tentang Dahlan Iskan yang ada dalam novel sudah

sulit dibedakan mana yang realitas dan mana yang fantasis si penulis, mana

yang asli dan mana yang palsu, mana yang citra dan mana yang realitas.

Page 115: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN

BAB V

PENUTUP

Kesimpulan

Dalam Analisis Wacana Kritis (Critical Dicourse Analisis / CDA), wacana

tidak hanya dipahami sebagai studi bahasa. Bahasa dianalisis tidak hanya dari aspek

kebahasaan saja, tetapi juga menghubungkannya dengan konteks. Konteks disini

berarti bahasa dipakai untuk tujuan dan praktik tertentu

Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan oleh peneliti mengenai

pencitraan Dahlan Iskan terkait dalam novel Sepatu Dahlan, maka dapat disimpulkan

bahwa proses pemaknaan atas pesan yang disampaikan, yaitu melalui struktur teks

(makro, superstruktur, dan struktur mikro), dan dalam kognisi sosial dan konteks

sosial dalam novel Sepatu Dahlan. Dalam novel tersebut dapat menjadi suatu sarana

pembentuk citra diri terhadap tokoh Dahlan yang dibangun oleh Khrisna. Meskipun

Khrisna menyampaikan bahwa menulis novel tersebut bukanlah dengan tujuan

pembentukan citra atau sebuah novel pesanan. Namun asusmi peneliti melihat proses

yang dilakukan Khrisna memiliki kompetensi menciptakan karakter yang baik

terhadap sosok Dahlan untuk menampilkannya di depan publik. Asumsi ini peneliti

temukan dalam proses pembuatan novel dengan waktu yang singkat dan dengan data

kisah hidup Dahlan kecil yang didapat dengan mudah.

Dari analisis data yang telah peneliti lakukan tersebut ditemukan melalui

analisis wacana kritis Teun A. Van Dijk dengan tiga level analisis. Sebagai berikut:

105

Page 116: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN

1) Dilihat dari segi teks, Novel Sepatu Dahlan yang diteliti ini menunjukkan adanya

pencitraan dengan mengidentifikasikan kisah pengalaman hidup Dahlan Iskan

dengan penekanan makna dan pemilihan kata atau kalimat yang ditonjolkan

mengenai sosok Dahlan Iskan seperti: sosok yang sederhana, disiplin, pekerja

keras, bersahabat/ komunikatif, dan amanah.

2) Dari segi kognisi sosial, penulis novel ini memahami bahwa terlepas dari tipisnya

perbedaan antara fakta dan fiksi, tidak ada kisah hidup Dahlan yang dilebihkan

dan dikurangkan, namun dalam hasil wawancara terlontar kalimat tentang

‘human gitu loh, bukan dewa’, ini sama halnya dengan apa yang dikatakan

Khrisna diakhir kutipan wawancara ‘Dahlan sebagai sosok apa adanya. Bukan

sosok malaikat yang turun dari langit’. Menurut peneliti dari kedua kutipan di

atas mempunyai makna yang sama. Yaitu tidak ingin melebih-lebihkan sosok

Dahlan Iskan. Seperti yang peneliti sudah jelaskan pada bab IV bahwasanya

kutipan-kutipan ini mengandung makna sebaliknya. Yaitu sosok Dahlan sebagai

malaikat dan sosok Dahlan sebagai dewa. Ini berdasarkan pengamatan penulis

novel selama pembuatan novel ini.

3) Dari segi konteks sosial, melihat maraknya fenomena tindakan politik pencitraan

akhir-akhir ini di masyarakat Indonesia banyak tokoh publik yang melakukan

pencitraan dalam pertarungan di dunia politik melalui media massa cetak. Seperti

buku biografi yang ditulis oleh Wartawan SKH Kompas: Antonius Wisnu

Nugroho yang berjudul Pak Beye dan Politiknya, autobiografi maupun novel.

Publikasi yang dilakukan pada tokoh-tokoh tersebut dilakukan melalui media

massa maupun media sastra.

106

Page 117: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN

Saran

Berdasarkan dengan penelitian yang telah dilakukan, ada beberapa hal yang

dapat menjadi saran baik kepada segenap akademisi Fakultas Ilmu Komunikasi,

khususnya Program Studi Komunikasi Penyiaran Islam UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta bagi peminat novel khususnya pecinta karya sastra:

1. Untuk penelitian selanjutnya disarankan menggunakan metode analisis wacana

yang beragam di Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi dan agar bisa

mengkaji lebih dalam dan mendapat perhatian lebih guna memperkaya khasanah

keilmuan komunikasi.

2. Bagi masyarakat ini bisa menjadi gambaran dalam melakukan pencitraan yang

menggunakan media massa maupun media sastra.

3. Semoga hal-hal yang baik dalam penelitian ini menjadi masukan yang dapat

mengembangkan karya sastra seperti novel yang sarat dengan nilai-nilai positif

yang tertuang di dalamnya agar dapat diserap dengan baik.

107

Page 118: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN
Page 119: PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN