bab i pendahuluan 1.1 latar belakang masalah “tujuan wisata

50
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah “Tujuan wisata kedua setelah Bali”. Julukan manis yang melekat pada Yogyakarta sekiranya tidak berlebihan, citra tempat wisata yang berujung pada minat wisatawan untuk singgah lebih lama tak lepas dari kondisi objek yang dijual dan kemasan objek wisata. Dalam konteks ini, DIY mempunyai kemampuan yang tak kalah dibanding Bali. Yogyakarta (sering juga disebut Jogja, Yogya, atau Jogya) terletak di tengah Pulau Jawa, tempat segalanya masih murah. Cukup dengan dua ratus ribu sehari, wisatawan sudah bisa menginap, menyantap masakan tradisional yang terkenal, dan menyewa kendaraan untuk menjelajahi Yogyakarta. Potensi dan kekuatan pariwisata yang dimiliki Yogyakarta merupakan potensi dan kekuatan pariwisata yang khas. Yogyakarta pada masa kini merupakan tempat dimana tradisi dan dinamika modern berjalan berdampingan. Di Yogyakarta, ada keraton dengan ratusan abdi dalem yang setia menjalankan tradisi, namun juga ada kehidupan urban yang berada di sepanjang jalan Malioboro. Di ujung selatan Malioboro ada pasar tradisional sementara di ujung utara Malioboro berdiri Malioboro Mall yang populer dengan restoran fast-food- nya yang memberikan kesan trendi dan internasional. Baik siang atau malam jalan ini tidak pernah sepi, trotoarnya penuh dengan pedagang kaki lima (Marianto, 1997 : 95). Keunikan lain yang ditampilkan Yogyakarta sehubungan dengan hadirnya lembaga pendidikan modern

Upload: dolien

Post on 09-Feb-2017

237 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah “Tujuan wisata

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

“Tujuan wisata kedua setelah Bali”. Julukan manis yang melekat pada

Yogyakarta sekiranya tidak berlebihan, citra tempat wisata yang berujung pada minat

wisatawan untuk singgah lebih lama tak lepas dari kondisi objek yang dijual dan

kemasan objek wisata. Dalam konteks ini, DIY mempunyai kemampuan yang tak

kalah dibanding Bali. Yogyakarta (sering juga disebut Jogja, Yogya, atau Jogya)

terletak di tengah Pulau Jawa, tempat segalanya masih murah. Cukup dengan dua

ratus ribu sehari, wisatawan sudah bisa menginap, menyantap masakan tradisional

yang terkenal, dan menyewa kendaraan untuk menjelajahi Yogyakarta.

Potensi dan kekuatan pariwisata yang dimiliki Yogyakarta merupakan potensi

dan kekuatan pariwisata yang khas. Yogyakarta pada masa kini merupakan tempat

dimana tradisi dan dinamika modern berjalan berdampingan. Di Yogyakarta, ada

keraton dengan ratusan abdi dalem yang setia menjalankan tradisi, namun juga ada

kehidupan urban yang berada di sepanjang jalan Malioboro. Di ujung selatan

Malioboro ada pasar tradisional sementara di ujung utara Malioboro berdiri

Malioboro Mall yang populer dengan restoran fast-food- nya yang memberikan kesan

trendi dan internasional. Baik siang atau malam jalan ini tidak pernah sepi, trotoarnya

penuh dengan pedagang kaki lima (Marianto, 1997 : 95). Keunikan lain yang

ditampilkan Yogyakarta sehubungan dengan hadirnya lembaga pendidikan modern

Page 2: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah “Tujuan wisata

2

yang dikelola baik oleh swasta maupun pemerintah. Sebut saja Universitas Gadjah

Mada yang merupakan salah satu universitas terkemuka di Asia Tenggara, yang

mampu menarik para orang muda hingga seluruh tanah air untuk menuntut ilmu.

Kehadiran kaum mahasiswa telah menciptakan dunia kehidupan kaum muda dengan

gaya hidup pop yang bersanding dengan kehidupan sebagian masyarakat yang hidup

dalam budaya agraris yang kental (Nurhajarini, 2012 : 135).

Di bagian selatan Yogyakarta, akan ditemui banyak objek wisata berupa

pantai. Pantai yang paling terkenal adalah Pantai Parangtritis dengan legenda Nyi

Roro Kidul, namun Yogyakarta juga memiliki pantai-pantai alami yang indah di

Gunung Kidul. Kita bisa menyaksikan Pantai Sadeng, misalnya, yang merupakan

muara Sungai Bengawan Solo purba sebelum kekuatan tektonik yang dahsyat

mengangkat permukaan Pulau Jawa bagian selatan sehingga aliran sungai tersebut

berbalik ke utara seperti saat ini.

Di ujung utara Yogyakarta, wisatawan bisa melihat Gunung Merapi berdiri

dengan gagah setinggi 2978 meter dengan diameter 28 km, luas 300-400 km2 dan

volume 150 km3. Gunung ini merupakan bagian dari rangkaian 129 gunung berapi

aktif (ring of fire) yang memanjang dari kepulauan Sumatra, Jawa hingga Indonesia

bagian timur. Bahkan Gunung Merapi dinobatkan menjadi “The Decade Volcano of

The World” oleh The International Disaster Reduction dibawah naungan PBB tahun

1994, bersama Gunung Etna di Italia (Wahyuningsih, 2001 : 1).

Page 3: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah “Tujuan wisata

3

Lereng Merapi memang sangat ideal untuk berwisata. Pemandangan bergaya

Mooi Indie 1 berupa hamparan sawah nan hijau dan Gunung Merapi sebagai latar

belakang masih bisa dilihat di pinggiran kota Jogja. Soal hawa dinginnya yang segar

dan khas pegunungan, sarana jalan yang bagus, lokasi yang terletak tidak terlalu jauh

dari kota dengan pemandangannya yang indah dan status Merapi sebagai gunung

berapi paling aktif di dunia justru membuatnya kian eksotis. Menantang untuk

ditaklukkan. Sejak letusan besar (eksplosif) pada 1872, 1911, dan 1930, Merapi

praktis hanya “batuk-batuk” kecil, kadang hanya “berdehem”. Dalam siklus letusan

4-6 tahunan, ia hanya mengalami erupsi kecil selama satu-dua minggu lalu kembali

tidur.

Bagi penduduk yang hidup di sekitar lereng Merapi, kegiatan bahkan letusan

Merapi bukanlah merupakan suatu ancaman serius yang harus sangat dikhawatirkan,

malahan kadangkala, dianggap sebagai anugerah. Merapi dipersonifikasikan sebagai

makhluk manusia yang sibuk dengan kegiatan sehari-hari. Sudah menjadi kebiasaan

Gunung Merapi, setiap bulan Sura selalu mengeluarkan suara gemuruh, banjir lahar,

atau letusan. Aktivitas Gunung Merapi tersebut dianggap oleh penduduk sebagai

upaya membersihkan keraton. Gas, abu, pasir, dan batuan vulkanik yang

1 Mooi indie berarti Hindia molek atau Indonesia jelita. Mooi Indie adalah cara pandang kolonialismeBelanda atas negeri jajahannya yaitu Hindia Belanda (Indonesia) yang diasumsikan sebagai alampedesaan yang damai, adem ayem dan harmonis. Cara pandang ini kemudian diadopsi menjadi salahsatu aliran dalam seni lukis, sehingga lukisan bergaya mooi indie selalu bertemakanlanskap/pemandangan alam. Ciri-ciri seni lukis mooi indie diantaranya adalah objek lukisan yangdidominasi oleh unsur gunung, sawah, pepohonan kadang juga air, cahaya dan warna-warni alamdilukiskan semirip aslinya. Istilah ini muncul sekitar tahun 1920-1938 an. Hasil karya seni lukis inidigunakan oleh pemerintah Belanda dan pelukis-pelukis asing pada waktu itu untuk untukmengeksploitasi keindahan alam Indonesia untuk dijual pada turis asing (Sumber :ayups87.wordpress.com/tag/aliran)

Page 4: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah “Tujuan wisata

4

dimuntahkan Merapi dipercayai sebagai kotoran dan sampah pembangunan keraton

Merapi. Selain bulan Sura, secara periodik delapan tahun sekali, pada tahun Wawu

Merapi selalu meletus dan mengeluarkan abu dalam jumlah yang relatif besar.

Sebagian besar penduduk menganggap letusan Merapi justru sebagai anugerah karena

setelah itu kehidupan menjadi tenang dan baik. Sebaliknya apabila Merapi tidak

meletus dalam jangka waktu lama, penduduk akan menjadi risau dan khawatir,

karena pada saat-saat tak terduga akan terjadi letusan dahsyat, melebihi letusan-

letusan sebelumnya (Triyoga, 2010 : 83-84).

Erupsi Gunung Merapi memiliki kekhasan tersendiri yang berbeda dengan

erupsi gunung-gunung api yang lain. Dengan kekhasannya tersebut erupsi Gunung

Merapi ditetapkan sebagai salah satu tipe erupsi gunung api yang selanjutnya dikenal

dengan letusan Merapi. Pada waktu jeda antarletusan, Gunung Merapi menghasilkan

pertumbuhan kubah lava. Posisi kubah lava ini tidak stabil, yang pada akhirnya

menghasilkan aliran awan panas guguran kubah lava. Guguran yang terjadi

dipengaruhi oleh gaya gravitasi atau dipicu oleh letusan terarah yang diawali oleh

guguran gravitasional sehingga menghasilkan aliran awan panas (pyroclastic flow)

(Setyarto, 2012 : 72).

Biasanya, erupsi tersebut tidak terlalu berbahaya dan hanya menimbulkan

luncuran awan panas paling jauh 6 kilometer. Hal itu justru membuat tempat wisata

di lereng Merapi yang rata-rata berjarak 10 kilometer dari puncak Merapi menjadi

sangat khas, mendebarkan. Pengunjung pun mempunyai kesempatan menyaksikan

Page 5: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah “Tujuan wisata

5

fenomena alam luar biasa. Cukup dekat untuk melihat gunung meletus, tapi cukup

aman. Siapa yang tidak tertarik menyaksikan tumpahan lava di puncak gunung

langsung dengan mata kepala sendiri?. Wisata lereng Merapi menyajikan kesempatan

itu. Bayek, salah seorang pemandu wisata di Sosrowijayan, menjelaskan bahwa

letusan Merapi yang bersifat efusif (meleleh) sebenarnya sangat diminati turis asing.

Mereka sangat tertarik dapat menyaksikan guguran lava pijar. “Pada tahun 2006 lalu,

kami juga menjual letusan ini kepada turis asing dengan peminat yang banyak. Saya

mengajak mereka menyaksikan lelehan lava dari pos pengamatan di Babadan”, begitu

kata Bayek2.

Namun, situasinya agak berbeda pada tahun 2010. Wisata menyaksikan

lelehan lava pijar ini tak bisa terulang pada tahun tersebut. Merapi meletus tak seperti

pola-pola sebelumnya. Meletus berurutan selama lebih dari tiga minggu dan tiga

diantaranya merupakan letusan cukup besar. Lahar panas dan awan panas pun

menerjang hingga mencapai jarak lebih dari 15 kilometer. Erupsi Gunung Merapi kali

ini tercatat sebagai erupsi terbesar dalam 138 tahun terakhir3 dan membuat para ahli

vulkanologi kehilangan jejak melacak kembali ‘kebiasaan’ Merapi. Letusan Merapi

tahun ini diperkirakan akan menyamai letusan Gunung Galunggung di Tasikmalaya

Jawa Barat pada 19824.

Erupsi Merapi awal November 2010 berdampak pada lumpuhnya aktivitas

wisata sepanjang November, dan potensial berlanjut pada bulan-bulan berikutnya.

2 Radar Jogja, 08 November 2010, hal. 233 Media Indonesia, 08 November 2010, hal. 14 Koran Tempo, 5 November 2010, hal. A4

Page 6: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah “Tujuan wisata

6

Dengan ditutupnya bandara Adi Sucipto, pihak bandara mengalami kerugian sebesar

Rp 225 juta per hari5, omzet bisnis biro perjalanan di Yogyakarta turun hingga 60

persen6, tingkat okupansi hotel turun hingga 60 persen7. Penurunan jumlah kunjungan

wisatawan dialami tidak hanya di Kabupaten Sleman tetapi beberapa objek wisata

seperti Pantai Parangtritis Bantul juga mengalami penurunan kunjungan wisatawan

hingga 75 persen8. Jumlah kunjungan ke keraton Yogyakarta turun hingga 90 persen9,

bahkan kunjungan wisatawan pantai selatan juga menurun tajam hingga 70 persen10.

Penurunan kunjungan wisatawan juga berdampak pada penurunan omzet terkait

perdagangan seperti yang terjadi di kawasan Malioboro, dimana banyak pedagang

yang mengeluhkan sepinya pembeli hingga omzet penjualan turun sampai 70 persen

11. Bahkan kusir andong dan pengemudi becak pun juga terkena imbas penurunan

pendapatan. Prakiraan kerugian sektor pariwisata DIY dapat dilihat pada tabel 1.1

Tabel 1.1 Prakiraan Kerugian Sektor Pariwisata

No. Sektor Ekonomi Kerugian

1. Jasa Perdagangan 3,150 triliun

2. Jasa Restoran 3,495 triliun

3. Jasa Perhotelan 717 miliar

4. Jasa Hiburan, rekreasi dan kebudayaan 122 miliar

Total Pariwisata DIY 7,484 triliun

Sumber : Kompas, 15 November 2010

5 Kedaulatan Rakyat, 09 November 2010, hal.26 Kompas, 15 November 20107 Kedaulatan Rakyat, 09 November 2010, hal.28 Kedaulatan Rakyat, 10 November 20109 Kompas, 19 November 2010, hal.1310 Kedaulatan Rakyat, 11 November 2010, hal.311 Kompas, 04 November 2010, hal. A

Page 7: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah “Tujuan wisata

7

Di Kabupaten Sleman, kerusakan yang dialami oleh sub sektor pariwisata

tercatat sekitar Rp 13.482.640.000,00. Adapun daerah yang terparah mengalami

kerusakan akibat terjangan awan panas dan guguran lava Gunung Merapi adalah

Kecamatan Cangkringan dan Pakembinangun sebelah utara. Kondisi objek-objek

wisata di Kabupaten Sleman bagian utara, lumpuh total. Sebanyak sembilan lokasi

wisata yang berada didalam zona rawan bencana Merapi – sejauh 10-20 kilometer-

telah tutup. Dengan tutupnya objek wisata objek wisata tersebut pemda Sleman telah

kehilangan pemasukan retribusi dari berbagai sektor wisata, seperti sektor wisata

alam, belanja, pendidikan, agrowisata serta minat khusus. Hilangnya pendapatan

serta potensi pendapatan yang seharusnya diterima adalah sebesar Rp

29.944.580.000,00 (BNPB 2010 dalam BLH DIY VI-24 : 2012).

Tidak hanya di Yogyakarta, letusan Gunung Merapi juga berimbas pada

kehidupan pariwisata di Jawa Tengah yang dekat dengan gunung berapi teraktif di

dunia tersebut. Sejumlah lokasi pariwisata terpaksa ditutup akibat serangan debu

vulkanik Merapi. Sementara tempat wisata yang buka mengalami penurunan jumlah

pengunjung. Kawasan wisata Candi Borobudur, misalnya, untuk sementara objek

wisata Borobudur ditutup akibat tebalnya abu dan material pasir dari Gunung Merapi

yang menyelimuti semua bangunan candi. Ketebalan abu vulkanik yang menempel

pada bangunan candi mencapai tiga centimeter, sedangkan di saluran-saluran air di

bawah bebatuan sekitar tujuh centimeter12. Sejak terjadi erupsi Merapi tahun 2010,

jumlah wisatawan Candi Borobudur, baik dari mancanegara maupun domestik

12 Kompas, 11 November 2010, hal. 23

Page 8: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah “Tujuan wisata

8

menurun drastis. Jumlah wisatawan domestik yang pada hari biasa 1000-7000 orang

per hari dan lebih dari 9000 orang pada akhir pekan, setelah erupsi Merapi 2010

hanya 400-2500 orang per hari (hari biasa) dan sekitar 5000 orang pada akhir pekan13

Erupsi Merapi juga berpengaruh pada menurunnya jumlah pengunjung di

Candi Prambanan, Klaten, Jawa Tengah. Penurunan kunjungan mencapai 30 hingga

70 persen. Sebelum Merapi meletus, jumlah wisatawan nusantara yang berkunjung

1.500-2.000 orang per hari, sedangkan wisatawan mancanegara mencapai 300-400

orang per hari, pada akhir pekan pengunjung candi mencapai 5.000 orang. Setelah

Merapi meletus kunjungan wisatawan nusantara berjumlah sekitar 400 orang per hari

dan wisatawan mancanegara hanya puluhan orang per hari14.

Namun, wajah lereng Merapi dan sebagian Kaliurang yang rusak akibat erupsi

justru semakin menarik minat orang untuk berkunjung. Pascaerupsi Merapi tahun

2006, kawasan Kaliadem yang hancur terimbas aktivitas Merapi semakin banyak

dikunjungi wisatawan. Tahun 2008, kunjungan wisatawan ke Kaliadem tercatat

44.594 orang, lalu meningkat menjadi 62.490 orang. Hingga tahun 2009 Kaliadem

tercatat dikunjungi 211.555 orang15. Pascaerupsi Merapi tahun 2010, kawasan yang

terimbas aktivitas Merapi bertambah tidak hanya di Kaliadem tetapi ribuan orang

berbondong-bondong mengunjungi lokasi bekas erupsi Merapi di Dusun Bronggang,

Ngancar, Glagahmalang, Kepuh dan Kinahrejo di Kecamatan Cangkringan, Sleman

yang sebelumnya merupakan tempat tinggal juru kunci Merapi Mbah Maridjan.

13 Kompas, 6 November 2010, hal.2314 Kedaulatan Rakyat, 21 November 2010, hal. 115 Kompas, 29 Desember 2010, hal. 4

Page 9: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah “Tujuan wisata

9

Tempat yang sebenarnya menyisakan tak lebih dari hamparan lautan pasir,

bongkahan batu, puing bangunan, serta jejak vegetasi terbakar justru menjadi

pemandangan yang menarik orang untuk datang berkunjung. Terlebih eksploitasi

alam ini dibarengi dengan sentuhan lain seperti kisah, mitos, dan sejarah terjadinya

letusan serta pengalaman langsung warga yang mengalami peristiwa letusan Gunung

Merapi tahun 2010. Kendati sederhana, kemasan semacam itu bisa menjadi wajah

baru wisata lereng Merapi yang tak lagi melulu menjual hawa dingin untuk menarik

banyak wisatawan datang berkunjung.

1.2 Permasalahan

Siang itu, di penghujung Desember 2011, suasana bekas Kampung Kinahrejo

di lereng Merapi sangat ramai. Jauh lebih ramai dibandingkan dengan sebelum

letusan Merapi pada Oktober 2010. Orang-orang yang penasaran datang dari

sejumlah kota melihat kondisi Kampung Kinahrejo dan perubahan lanskap Merapi

setelah letusan. Di samping itu, yang juga mereka ingin cari tahu adalah kisah tentang

Mbah Maridjan, juru kunci Gunung Merapi yang menolak mengungsi sekalipun

Merapi telah meletus. Segala mitos dan kisah hidup Mbah Maridjan menjadi magnet

yang menarik keingintahuan banyak orang, sehingga tidak mengherankan kalau

wisatawan menjadikan Kinahrejo sebagai tempat paling favorit. Bekas rumah Mbah

Maridjan di Kinahrejo menjadi objek wisata baru dan dibanjiri pelancong yang

penasaran. Setiap hari, ratusan orang, bahkan ribuan orang mengunjungi Kinahrejo.

“Pengunjung kebanyakan minta diantar ke rumah Mbah Maridjan”, ungkap Ponijo,

Page 10: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah “Tujuan wisata

10

seorang pengojek, yang melayani jasa pengantaran ke beberapa lokasi di kawasan

Gunung Merapi16.

Narasi tentang kehancuran dan perubahan bentang alam inilah yang menjadi

daya tarik utama wisatawan untuk datang. Awalnya, warga Kinahrejo merasa gerah

dengan kedatangan wisatawan yang seolah menjadikan petaka sebagai tontonan.

Namun, warga Kinahrejo akhirnya berbalik memanfaatkan rasa penasaran para

pelancong tersebut sebagai modal untuk membangun kembali desanya. “Sepedih-

pedihnya bencana pasti terkandung berkah besar menyertainya”. Begitulah petuah

bijak yang benar-benar diresapi oleh warga desa. Keingintahuan orang mengenai

kondisi rumah Mbah Maridjan menggelitik warga Kinahrejo. “Daripada nasib kami

menjadi tontonan, lebih baik kami sekalian menyediakan tontonan itu”, kata Asih,

salah seorang warga Kinahrejo. Warga pun mulai membersihkan puing, membuat

jalan, membuka warung, menyediakan ruang parkir, toilet dan suvenir. Bahkan,

warga kemudian ada yang menyediakan jasa ojek atau persewaan motor trail lengkap

dengan paket perjalanan wisata ke tempat-tempat bekas terkena erupsi Merapi 2010.

Namun di balik hiruk pikuk kedatangan pengunjung ke Kinahrejo terselip

permasalahan-permasalahan yang muncul dan mengusik kehidupan warga Kinahrejo

dan Pangukrejo yang terkena dampak erupsi Merapi 2010. Pada April 2011

pemerintah menggulirkan rencana relokasi warga di 11 dusun di area terdampak

langsung. Pada 5 Mei 2011, terbit Peraturan Bupati Sleman Nomor 20 Tahun 2011

tentang Kawasan Rawan Bencana Gunungapi Merapi. Peraturan itu menyatakan

16 Kedaulatan Rakyat, 11 Desember 2010, hal. 1

Page 11: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah “Tujuan wisata

11

Padukuhan Pelemsari, Padukuhan Pangukrejo, Kaliadem, Petung, Jambu, Kopeng,

Kalitengah Lor, Kalitengah Kidul dan Srunen terlarang bagi hunian. Namun, tak ada

kejelasan tentang status hak atas tanah warga di padukuhan yang harus dikosongkan

dari hunian itu.

Konsekuensi dari terbitnya peraturan bupati tentang kawasan rawan bencana

adalah relokasi warga yang tinggal di Kawasan Rawan Bencana Merapi III,

diantaranya adalah Kinahrejo dan Pangukrejo. Keberatan warga Kinahrejo (yang

terletak di Padukuhan Pelemsari) untuk relokasi karena tanah di Kinahrejo telah

menjadi penghidupan mereka. “Kami warga Kinahrejo sudah merencanakan wisata

lava sejak Desember 2010 untuk mengurangi penganggur di dusun kami. Dan

ternyata objek wisata itu diminati, mendatangkan manfaat ekonomi yang besar”, kata

Badiman, ketua Paguyuban Kinahrejo. Kekhawatiran warga akan kehilangan hak atas

tanah milik mereka juga diungkap oleh Dukuh Kinahrejo, Ramijo. Beliau

mempertanyakan bagaimana penghidupan warga jika tanah nenek moyang mereka

diambil pemerintah? Siapa yang akan mendapat manfaat ekonomi dari wisata lava

tour?, demikian pertanyaan-pertanyaan yang terlontar.

Berdasarkan fenomena sosial yang telah dipaparkan di atas, penelitian ini

akan mengkaji lebih jauh bagaimana pariwisata di Kinahrejo pascaerupsi Merapi

2010. Masalah utama penelitian berkaitan dengan fenomena berkembangnya

pariwisata di kawasan rawan bencana. Terlepas dari pro kontra masalah relokasi,

pariwisata di Kinahrejo yang notabene masuk Kawasan Rawan Bencana III justru

Page 12: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah “Tujuan wisata

12

semakin berkembang. Melalui kajian etnosains, penelitian ini akan menggali lebih

jauh pengetahuan warga Kinahrejo dan pengelola wisata volcano Desa Umbulaharjo -

sebagai organisasi yang mendapat legalitas dari pemerintah Kabupaten Sleman untuk

mengelola pariwisata di Kinahrejo- tentang Kinahrejo dan pariwisata di Kinahrejo

pascaerupsi Merapi 2010. Selain itu, penelitian ini juga akan mencari tahu bagaimana

pandangan dan sikap dari Dinas Pariwisata Sleman- yang membawahi kegiatan

pariwisata di Sleman- terhadap Kinahrejo dan perkembangan pariwisata di Kinahrejo

pascaerupsi Merapi 2010.

Pertanyaan penelitan yang perlu dijawab adalah :

1. Bagaimana pandangan warga Kinahrejo dengan Dinas Pariwisata Sleman dan

pengelola wisata volcano Desa Umbulharjo terhadap kawasan Kinahrejo

pascaerupsi Merapi tahun 2010?

2. Bagaimana pandangan warga Kinahrejo dengan Dinas Pariwisata Sleman dan

pengelola wisata volcano Desa Umbulharjo terhadap pariwisata di Kinahrejo

pascaerupsi Merapi tahun 2010?

3. Jika ada perbedaan pandangan, logika apakah yang menjadi dasar perbedaan

pandangan antara Dinas Pariwisata Sleman, pengelola wisata volcano Desa

Umbulahrjo dan warga Kinahrejo?

4. Upaya-upaya apa yang sudah dilakukan oleh warga Kinahrejo, pengelola

wisata volcano Desa Umbulharjo dan Dinas Pariwisata Sleman untuk

mengembangkan pariwisata di Kinahrejo pascaerupsi Merapi tahun 2010?

Page 13: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah “Tujuan wisata

13

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini, secara umum, ditujukan untuk menggali pengetahuan

masyarakat tentang pariwisata di Kinahrejo sebagai lahan untuk mereka mencari

penghidupan. Erupsi Merapi tahun 2010 telah menghancurkan sendi-sendi kehidupan

masyarakat agraris yang mengandalkan hidupnya dari ternak dan menghabiskan hari-

harinya untuk mencari rumput di hutan, kini mata pencaharian tersebut harus

berubah. Rekam dan catatan etnografis mencoba mendeskripsikan pengetahuan

mereka menyangkut lahan dan mata pencaharian mereka yang bisa saja berbeda

dengan pengetahuan yang dimiliki pengelola wisata volcano Desa Umbulharjo

maupun Dinas Pariwisata Sleman terhadap hal yang sama.

Adapun penelitian ini secara khusus bertujuan untuk :

1. Mengetahui bagaimana warga Kinahrejo memaknai Kinahrejo sebagai lahan

untuk mencari penghidupan mereka.

2. Mengetahui bagaimana warga Kinahrejo memaknai pariwisata di Kinahrejo

sebagai salah satu cara bagi mereka untuk mencari penghidupan.

3. Mengetahui upaya apa saja yang telah dilakukan oleh Dinas Pariwisata

Sleman, pengelola wisata volcano Desa Umbulharjo serta warga Kinahrejo

untuk mengembangkan pariwisata di Kinahrejo dan mengetahui hambata-

hambatan yang mereka alami.

Page 14: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah “Tujuan wisata

14

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan mempunyai implikasi teoritis dan praktis. Secara

teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya wacana ilmiah bagi

pengembangan penelitian berikutnya mengenai pariwisata dalam kajian antropologi,

khususnya melihat persoalan di bidang pariwisata melalui perspektif etnosains.

Telaah terhadap persoalan pariwisata dari sisi antropologi diharapkan juga dapat

memperkaya kajian ilmu pariwisata yang selama ini lebih banyak dilihat dari bingkai

ilmu ekonomi.

Manfaat praktis dari hasil penelitian ini diharapkan bisa memberikan masukan

kepada instansi terkait berkenaan dengan program-program yang mereka susun

untuk menata, mengelola dan mengembangkan pariwisata di Kinahrejo agar

mempertimbangkan kearifan lokal yang dimiliki suatu masyarakat dalam membuat

suatu kebijakan.

1.5 Kajian Pustaka

1.5.1 Pariwisata dan Bencana

Bencana sebagaimana diulas dalam Undang-undang No. 24 Tahun 2007

merupakan peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu

kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor alam

dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya

korban manusia (Sabir, 2011 : 3). Berdasarkan faktor genetiknya, bencana dapat

dikelompokkan menjadi tiga klas, yaitu : (1). Bencana alam (natural disasters)

Page 15: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah “Tujuan wisata

15

meliputi badai, banjir, erupsi gunung api, gempabumi, tsunami, longsor, dan bencana

meteorik; (2). Bencana biologis (biological disasters) mencakup epidemi, penyakit

tanaman, pest, dan kepunahan spesies (species extinction); (3). Bencana antropogenik

(anthropogenic disasters) antara lain bencana teknologi (kebocoran instalasi nuklir),

bencana struktural (kekeliruan dalam pengambilan kebijakan oleh pimpinan),

bencana sosial, serta bencana moral (moral hazard) (Sunarto dan Lies Rahayu,

2006:4).

Bencana dalam pandangan Irwan Abdullah (2006 : 142) sebenarnya bukanlah

barang baru karena ia telah muncul sejak puluhan ribu tahun yang lalu di berbagai

tempat dalam berbagai bentuknya. Bencana bukan suatu peristiwa yang tiba-tiba dan

tak terelakkan, tetapi menjadi bagian yang integral dari kehidupan rutin dan normal

yang tanda-tandanya sudah dapat dikenali dan dapat diprediksi, meskipun dapat saja

terjadi “unexamined normality” atas ketidakmampuan manusia dan sistem didalam

mengantisipasi suatu bencana (Abdullah, 2006 : 14). Bencana bukan lagi menjadi

peristiwa unik apalagi enmalig, tetapi sesuatu yang siklik dan ritmik, bahkan dalam

bahasa geologi sebagaimana makhluk, bencana merupakan cara alam melepas

‘hasrat’ untuk bisa berubah dalam tingkatan harmoni (Sunarto, 2006 : 1). “They are

part of nature, have happened in the past and will happen again”, bencana

merupakan bagian dari alam, pernah terjadi di masa lampau dan akan terjadi di masa

yang akan datang (Smith, 2003 : 159). Oleh karenanya suatu bencana tidak harus

mengganggu stabilitas, menyebabkan ketidakpastian, kekacauan, atau runtuhnya

Page 16: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah “Tujuan wisata

16

sistem sosial budaya, merusak kemampuan adaptasi masyarakat, serta

membahayakan sistem pandangan dunia. Bencana bahkan merupakan “peluang” bagi

perbaikan dan penataan hidup secara mendasar. Di satu sisi suatu peristiwa alam

menyebabkan trauma, luka, cacat, ataupun kematian; di sisi lain ia memberikan

kesempatan bagi perubahan kehidupan manusia dalam berbagai aspek.

Keterkaitan antara pariwisata dan bencana merupakan satu hubungan yang

negatif. Pariwisata seringkali diasosiasikan dengan kesenangan, dan wisatawan

melihat keamanan dan kenyamanan sebagai satu hal yang esensial dalam berwisata.

Bencana merupakan salah satu faktor yang sangat rentan mempengaruhi naik

turunnya permintaan dalam industri pariwisata. Penurunan jumlah wisatawan sebagai

akibat terjadinya tsunami tanggal 24 Desember 2004 dirasakan di beberapa kawasan

wisata seperti di Phuket Thailand, di Langkawi Malaysia, China, Aceh Indonesia, dan

Srilanka. Namun tidak ada yang tidak mungkin dalam pariwisata, karena bisa saja

tempat terjadinya bencana kemudian diekspos menjadi daya tarik wisata yang eksotis.

DeMond Shondell Miller (2008) menyebut wisata bencana menyajikan kemiskinan

dan kesempatan untuk merasakan kesusahan yang diderita oleh orang lain.

Wisatawan puas mengunjungi tempat-tempat dengan impak emosi yang tinggi karena

berhubungan dengan kematian, bencana dan kekejaman. Komoditisasi tempat dan

peristiwa tersebut tidak dikaitkan dengan sesuatu yang bersifat mistik atau ekologis

tetapi lebih merupakan cara untuk mendekatkan wisatawan pada realita dan

mendapatkan pengalaman yang nyata. Kunjungan wisatawan ke New Orleans yang

Page 17: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah “Tujuan wisata

17

porak-poranda setelah terjadinya badai Katrina menjadi bahan kajian yang menarik

bagi DeMond Shondell Miller mengenai wisata bencana. New Orleans menjadi objek

wisata ziarah setelah bencana Katrina dan merupakan bisnis baru bagi penduduk

lokal.

Tidak hanya yang bersifat alami, namun kemiskinan pun bisa dikemas

menjadi wisata kemiskinan (slum tourism). Ausland (dalam OBrien, 2011 : 35)

mengklasifikasi wisata kemiskinan dalam beberapa varian seperti “slumdog

tourism”, “poverty safaris” , dan “ghetto tourism”17 . Tujuan wisata kemiskinan

ternyata tidak hanya di kota-kota di negara berkembang seperti Nairobi, Cape Town,

Johannesburg, Siem Reap, New Delhi dan Jakarta tapi juga kota-kota di negara maju

seperti Toronto, Canada. Sebagaimana wisata bencana, wisata kemiskinan juga

menjadi kontroversi di kalangan para ahli. Sebagian ahli berpendapat wisata

kemiskinan merupakan suatu imperialisme dan eksploitasi kemiskinan karena hanya

menguntungkan perusahaan perjalanan. Wisata kemiskinan juga dianggap sebagai

dehumanisasi kaum miskin karena melakukan invasi terhadap privasi kehidupan

kaum miskin dan menjadikan kaum miskin sebagai objek dan pertunjukan gaya hidup

kepada wisatawan. Namun di sisi lain, operator perusahaan perjalanan berargumen

bahwa mereka mengemas wisata kemiskinan dengan tujuan untuk memberikan

kesadaran dan pendidikan pada wisatawan mengenai realita kemiskinan dan berusaha

menghilangkan stereotype negatif serta isolasi di seputar kehidupan kaum miskin

17 Ausland mengklasifikasi wisata kemiskinan kedalam “leisure tourism” dengan beberapa variansebagaimana disebut di atas.

Page 18: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah “Tujuan wisata

18

(OBrien, 2011 : 37). Fenzel (dalam OBrien, 2011 : 38) berpendapat bahwa

pengalaman kemiskinan memberikan motivasi sosial untuk melakukan kebaikan

bahkan merupakan upaya politis untuk mencapai keadilan sosial yang lebih besar.

Banyak penelitian dengan berbagai perspektif digunakan untuk membahas

kehidupan pariwisata pascabencana sebagaimana terangkum dalam kajian pustaka.

Telaah terhadap hasil penelitian pariwisata dari beberapa perspektif memberikan

suatu gambaran tentang dampak bencana terhadap kehidupan pariwisata dan upaya

pemulihan kehidupan pariwisata pascabencana.

1.5.2 Dampak Bencana Terhadap Kehidupan Pariwisata

Bencana telah menimbulkan dampak negatif bagi industri pariwisata di Bali

dan pertumbuhan sektor ekonomi daerah tersebut sebagaimana diungkap dalam

penelitian I Nyoman Erawan (2003) atas tragedi bom di Legian Kuta tanggal 12

Oktober 2002. Keluarnya “travel warning”18 oleh beberapa negara asal wisatawan

mancanegara, dan dibatalkannya penerbangan langsung ke Bali oleh beberapa

maskapai penerbangan asing telah menyebabkan arus wisatawan mancanegara yang

masuk ke Bali menurun drastis. Penurunan wisatawan mancanegara ke Bali pasca

pemboman di Legian Kuta tercatat mencapai -5,70 persen dibandingkan dengan

keadaan tahun 2001 yaitu sebesar -3,21 persen. Dampak lebih jauh adalah

menurunnya sumbangan sektor pariwisata terhadap PDRB Bali dari angka 59,95

18 Travel warning atau travel alert atau travel advisory adalah peringatan resmi yang dikeluarkan olehsuatu lembaga pemerintah kepada warga negaranya tentang kondisi keamanan suatu negara atausuatu destinasi. Tujuan dikeluarkannya peringatan menyangkut keamanan suatu negara ataudestinasi adalah agar wisatawan mempunyai informasi yang cukup untuk mengambil keputusanketika akan berkunjung serta mempunyai persiapan yang memadai untuk melakukan perjalanan kenegara atau destinasi tersebut. ( Sumber : en.wikipedia.org/wiki/Travel_warning).

Page 19: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah “Tujuan wisata

19

persen pada tahun 2000 menjadi 47,42 persen pada tahun 2002. Sektor yang paling

besar terkena dampak negatif dari bom Bali adalah sektor perdagangan, hotel dan

restoran, sektor pengangkutan dan komunikasi, sektor industri pengolahan, pertanian,

peternakan, kehutanan dan perikanan.

Penelitian Godfrey Pratt (2003) atas serangan teroris yang meruntuhkan

gedung World Trade Centre (WTC) pada tanggal 11 September 2001 menyebabkan

gelombang shock di kehidupan industri pariwisata di Jamaica dan Bahama. Hal ini

terjadi karena wisatawan terbesar yang datang ke Jamaica dan Bahama berasal dari

Amerika Serikat. Jumlah kunjungan wisatawan ke Jamaica menurun drastis hingga

mencapai angka 23 persen, dan lebih dari 70 persen penurunan kedatangan wisatawan

mempengaruhi GDP (Gross Domectic Product) Bahama.

Tsunami yang terjadi pada 26 Desember 2004 telah menyebabkan

kegoncangan ekonomi di Phuket Thailand. Jumpei Ichinosawa (2006) menganalisis

penyebab runtuhnya perekonomian Phuket bukan hanya disebabkan oleh bencana,

namun akibat dari adanya stigmatisasi. ‘Image’ tentang Phuket yang dulu terkenal

sebagai ‘Pearl of Andaman’ berubah menjadi zona bencana tsunami. Hal ini

berpengaruh pada penurunan jumlah wisatawan asing yang berkunjung ke Phuket.

Dampak stigmatisasi di Phuket dapat dilihat dari terjadinya stagnasi pertumbuhan

ekonomi, kehancuran sektor informal dan usaha kecil.

Kondisi yang berlawanan dengan Phuket Thailand dialami di kawasan wisata

Pantai Pangandaran Jawa Barat. Hasil penelitian Taupik Akbar (2012) menunjukkan

Page 20: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah “Tujuan wisata

20

meski tsunami yang terjadi pada tanggal 17 Juli 2006 di Pantai Pangandaran telah

mengakibatkan kerusakan infrastruktur, menimbulkan korban jiwa dan menyebabkan

lumpuhnya perekonomian masyarakat, namun tidak menimbulkan ‘image’ negatif

pada wisatawan. Penurunan jumlah kunjungan wisatawan dan aktivitas pariwisata

memang terjadi, namun kondisi tersebut tidak berlangsung lama, hanya sekitar dua

bulan. Aktivitas pariwisata berlangsung normal kembali, karena adanya peningkatan

kunjungan wisatawan setiap tahun. Wisatawan tetap menilai positif terhadap segala

aspek wisata di Pantai Pangandaran seperti : kenyamanan sosial, lingkungan,

keamanan dari konflik sosial, kondisi fasilitas, kelengkapan fasilitas, keindahan

panorama alam. Wisatawan memiliki harapan positif mengenai sarana dan prasarana

kegiatan wisata dan perangkat kebencanaan.

Tidak selamanya bencana membawa dampak negatif bagi kehidupan

pariwisata. Manfaat ekonomi justru dirasakan oleh biro perjalanan wisata di Cina

setelah terjadinya tsunami tanggal 24 Desember 2004. Penelitian yang dilakukan oleh

Hanqin Qiu Zhang (2005) menunjukkan bahwa tsunami yang terjadi di Cina tidak

begitu mempengaruhi minat wisatawan Cina untuk melakukan perjalanan.

Penurunan jumlah kunjungan di suatu tempat – dalam hal ini di Asia Tenggara dan

Asia Utara- diikuti oleh kenaikan jumlah kunjungan di objek wisata lain seperti di

Jepang, Korea, Hongkong, Macao, New Zealand, Australia, dan beberapa provinsi di

Cina sendiri. Kenaikan permintaan di sejumlah tempat mengakibatkan kenaikan

harga paket wisata yang dijual, seperti beberapa paket Hainan yang bisa dijual

Page 21: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah “Tujuan wisata

21

mencapai harga 2.000 RMB. Dampak lain yang ditimbulkan dengan terjadinya

tsunami di Cina adalah kepedulian untuk menggunakan asuransi kecelakaan. Hal ini

ditunjukkan dengan adanya peningkatan prosentase jumlah wisatawan Cina yang

menggunakan asuransi kecelakaan mendekati 90 persen dibanding sebelum terjadinya

tsunami hanya sebesar 1 persen. Di beberapa destinasi di Cina Barat, prosentase

penggunaan asuransi kecelakaan oleh wisatawan bahkan mencapai hampir 100

persen.

Fenomena serupa dapat dijumpai pula di Kaliurang yang terkena erupsi

Merapi tahun 2010. Penelitian awal yang dilakukan oleh Lestari Sri Andayani dkk

(2010) di Kaliurang menunjukkan bahwa bagi warga Kaliurang erupsi Merapi justru

menjadi berkah bagi mereka dengan terciptanya lapangan kerja baru sebagai penjual

jasa seperti tukang ojek, penjual foto erupsi Merapi, sewa jeep. Kata “lava tour”

digunakan oleh warga untuk menjual rute wisata agar mudah dikenal oleh wisatawan.

Respon atas bencana yang menimpa warga di Kinahrejo menjadi fokus

penelitian yang dilakukan oleh Heddy Shri-Ahimsa Putra (2012). Respon warga

muncul karena desa mereka yang rusak diterjang awan panas Merapi berubah

menjadi ‘pasar tiban’. Reruntuhan bangunan, hamparan lautan pasir, kerusakan hutan,

sampai kronologi kejadian menjadi atraksi wisata yang sangat menarik bagi

wisatawan. Bukan kesengsaraan akibat bencana yang dinikmati wisatawan,

melainkan kemahadahsyatan dampak yang membuat sebuah kawasan menjadi

istimewa. Fenomena ini yang kemudian dimanfaatkan warga Kinahrejo untuk

Page 22: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah “Tujuan wisata

22

mendapatkan penghasilan dengan menyediakan atraksi wisata, fasilitas dan layanan

wisata bagi wisatawan yang berkunjung.

Dari perspektif ketahanan nasional, penelitian Priya Falaha (2011)

menunjukkan bahwa dampak tragedi Bali 2002 telah mengganggu kondisi sosial

ekonomi masyarakat. Dari sisi sosial muncul rasa curiga warga terhadap orang yang

tidak dikenalnya. Ketika persepsi wisatawan asing akan keamanan Bali turun maka

berdampak langsung pada penurunan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara.

Tragedi 12 Oktober 2002 di Jalan Legian Kuta Bali telah mengusik tatanan

kehidupan sosial masyarakat Bali, khususnya masyarakat Kuta dan sekitarnya.

Masyarakat butuh waktu untuk memahami apa yang telah terjadi, karena pada

awalnya mereka merasakan bahwa Bali adalah daerah aman dan stabil untuk

berwisata maupun untuk ditinggali. Sebelum ledakan, persepsi masyarakat yang

tinggal di daerah Kuta terhadap faktor keamanan dan kenyamanan sangat tinggi.

Namun pascaledakan, persepsi itu turun drastis. Di bidang keamanan, masyarakat

berharap banyak kepada aparat negara untuk menciptakan Bali yang aman guna

mendukung pembangunan dunia pariwisata Bali. Masyarakat mengusulkan konsep

“sistem keamanan berlapis” dalam mengelola dan menjaga keamanan Bali dimana

masyarakat Bali dilibatkan secara aktif dalam menjaga keamanan wilayah Bali.

1.5.3 Pemulihan Kehidupan Pariwisata Pascabencana

Pemulihan denyut kehidupan pariwisata di suatu kawasan setelah terjadinya

bencana seringkali berjalan lambat bukan disebabkan oleh hambatan ekonomi tetapi

Page 23: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah “Tujuan wisata

23

disebabkan oleh hambatan sosial budaya. Michael Bird (2007) menyebut faktor

‘image tentang bencana’ dibandingkan dengan realita kerusakan yang sebenarnya

menyebabkan proses pemulihan kehidupan pariwisata di Langkawi berjalan lambat.

Sebagaimana diungkap oleh Bongkosh Ngamsom Rittichainuwat (2006) dalam

mengkaji penyebab terhambatnya pemulihan kehidupan pariwisata di Pantai

Andaman setelah terjadi tsunami 26 Desember 2004. Distorsi informasi dan laporan

yang tidak akurat telah menyebabkan banyak wisatawan asing yang berkunjung ke

Thailand memilih destinasi selain Pantai Andaman seperti Pattaya, Hua Hin, Cha-am,

Koh Chang, dan Rayong. Media dapat membentuk ‘image’ negatif yang

mengakibatkan resiko yang diterima lebih buruk, meski situasi di Pantai Andaman

sudah kembali pulih, fasilitas dan infrastruktur telah diperbaiki. Hal yang bisa dicatat

dari penelitian Bongkosh adalah pentingnya jaminan keamanan dan keselamatan bagi

wisatawan ketika mengunjungi kawasan wisata setelah terjadinya bencana. Bagi

wisatawan, bukan harga paket wisata yang murah namun faktor keamanan dan

keselamatan merupakan pertimbangan utama dalam mengambil keputusan untuk

berwisata dan memilih destinasi19 yang akan dikunjungi.

Belajar dari tragedi, Bongkosh melihat bahwa menjaga alur informasi yang

akurat merupakan kunci dalam upaya pemulihan situasi pascabencana. Pemerintah

harus bekerja sama dengan organisasi nasional dan internasional dalam menyebarkan

19 Destinasi pariwisata atau disebut juga dengan daerah tujuan wisata adalah kawasan geografis yangberada dalam satu atau lebih wilayah administratif yang didalamnya terdapat daya tarik wisata,fasilitas umum, fasilitas pariwisata, aksesibilitas, serta masyarakat yang saling terkait danmelengkapi terwujudnya kepariwisataan. (UU Kepariwisataan, 2009 : 3-4).

Page 24: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah “Tujuan wisata

24

informasi mengenai bencana kepada wisatawan, meningkatkan keamanan dan

keselamatan di tempat tersebut, menyediakan informasi yang seimbang dan selalu ‘up

to date’ menyangkut upaya pemulihan. Dengan demikian media dapat memberikan

informasi positif dan akurat mengenai area yang terkena dampak bencana. Upaya

pemulihan suatu destinasi membutuhkan bantuan segenap pemangku kepentingan

seperti hotel, maskapai, supplier untuk meyakinkan wisatawan untuk berkunjung

kembali ke Pantai Andaman. Catatan terakhir dari Bongkosh adalah kenangan

tentang kisah heroik dan keramahan Thais20 yang membantu wisatawan asing untuk

menyelamatkan diri pada saat terjadi tsunami menjadi legenda dan menciptakan

‘image’ positif tentang Thailand.

Faktor keselamatan dan keamanan wisatawan menjadi fokus penelitian Peter

E Murphy dan Robin Bayley (1989). Mengapa demikian? Karena wisatawan

seringkali mengunjungi tempat-tempat yang rentan dengan terjadinya bencana.

Wisatawan belum mengenal kawasan tersebut, sehingga beresiko tinggi jika terjadi

bencana. Perencanaan bencana harus diintegrasikan kedalam kegiatan pariwisata.

Masyarakat lokal dan industri pariwisata yang berada di area yang berbahaya bisa

melindungi wisatawan dan menyiapkan wisatawan untuk bisa mengantisipasi jika

terjadi bencana. Jika hal ini dilakukan, maka akan bisa meminimalisasi dampak dan

mempercepat proses pemulihan kondisi. Studi kasus yang dilakukan oleh Peter E

Murphy dan Robin Bayley terhadap bencana erupsi Gunung ST. Helens dan

kebakaran hutan yang terjadi di Kootenay timur menjadi contoh keberhasilan

20 Thais adalah sebutan untuk orang Thailand.

Page 25: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah “Tujuan wisata

25

penanggulangan bencana dan pemulihan kondisi pascabencana. Peter E. Murphy

menyebut faktor ketidakpastian kondisi kerusakan yang sebenarnya yang ada didalam

benak wisatawan bisa menghambat terjadinya pemulihan keadaan. Hal ini bisa

dibentuk oleh pemberitaan yang sensasional di media. Cara-cara yang efektif untuk

memulihkan pariwisata menurut Murphy adalah membangun sumber informasi yang

terpercaya untuk masyarakat setempat dan wisatawan, menyebarkan informasi yang

faktual secara internasional, membawa wisatawan serta jurnalis ke tempat-tempat

yang terkena dampak bencana, agar mereka dapat membangun citra mengenai

keselamatan dan daya tarik tempat tersebut. Kunjungan yang berhasil akan

membangun kekuatan realita bahwa pariwisata tetap survive dan pemulihan sedang

berjalan. Pemerintah, dalam hal ini kementrian pariwisata AS, telah berhasil

membangun sistem komunikasi yang reliable antara pihak kehutanan, industri

pariwisata, penduduk lokal dan wisatawan.

Penelitian mengenai recovery pengembangan wisata pascabencana erupsi

Merapi 2010 yang dilakukan oleh D. Agus Harjito dan kawan-kawan (2011) di desa

Umbulharjo, Kinahrejo dan kawasan Kaliurang mengidentifikasi potensi

kepariwisataan yang dapat dikembangkan setelah erupsi. Program recovery

pariwisata pascabencana erupsi Merapi ini bukan sesuatu yang berorientasi pada

penyelesaian keindahan fisik saja, akan tetapi harus disertai dengan peningkatan

ekonomi dan mentalitas masyarakat. Beberapa potensi kepariwisataan yang dapat

Page 26: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah “Tujuan wisata

26

dikembangkan antara lain : (a) wisata alam (volcano tour), (b). Wisata religi; (c).

Wisata kuliner; (d). Agrowisata.

Namun demikian, Agus Harjito (2011) menyebutkan bahwa wisata alam

dianggap kurang prospektif untuk dikembangkan, dengan beberapa alasan : (1).

Sebagai wisata bencana bagi wisatawan hal ini kurang menarik untuk dijadikan

tempat rekreasi atau bersenang-senang, kalaupun datang mereka hanya ingin tahu

kondisi terbaru wilayah bencana tersebut; (2). Wisata lava yang mulai dibuka

pascabencana, mulai berkurang jumlah pengunjungnya yang tadinya hampir 1 juta

wisatawan pada hari minggu sekarang hanya ratusan ribu saja, bahkan di hari biasa

hanya sekitar 100 ribu orang. Wisatawan tersebut bukanlah wisatawan lama yang

berkunjung untuk kesekian kalinya tapi merupakan wisatawan yang baru pertama kali

datang untuk melihat lokasi bencana; (3). Wisata lava lambat laun akan berkurang

keunikannya karena kondisinya yang secara alamiah akan kembali pada kondisi

semula dimana pepohonan sudah mulai tumbuh di sana; (4). Sebagai wilayah yang

masuk pada area bencana hal ini menjadikan wisatawan khawatir untuk mengunjungi

wilayah tersebut.

Berbeda dengan argumen yang dikemukakan oleh Agus Harjito, penelitian

yang dilakukan Retnaningtyas Susanti (2011) di Dusun Kinahrejo setelah erupsi

Merapi tahun 2010 menggambarkan adanya prospek yang bagus bagi pengembangan

atraksi wisata bencana. Komunitas Kinahrejo telah berhasil mengembangkan atraksi

wisata “Jelajah Kinahrejo” yang berbasis komunitas dan diharapkan dapat

Page 27: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah “Tujuan wisata

27

memberikan beberapa manfaat, yaitu : (1) dari sisi ekonomi, warga memiliki harapan

bahwa jelajah Kinahrejo dapat bertahan lama dan tetap memberikan mereka lapangan

pekerjaan dan penghasilan tambahan selain bertani; (2) Memperbaiki kualitas hidup

masyarakat setempat; (3) memberikan pengalaman dan pemahaman yang baik bagi

pengunjung; (4) Dari segi lingkungan, memelihara kualitas lingkungan supaya dapat

dimanfaatkan oleh generasi selanjutnya.

Penelitian tentang pariwisata pascabencana yang dilakukan oleh Agus Harjito

merupakan penelitian yang sekedar melihat potensi wisata bencana, mengakomodasi

berbagai permasalahan, merangkum tanggapan dan harapan masyarakat Desa

Umbulharjo pascaerupsi Merapi 2010. Tidak ada pembahasan lebih lanjut bagaimana

pengembangan wisata harus dilakukan agar dapat meningkatkan ekonomi

masyarakat. Adapun tinjauan penelitian Susanti terbatas hanya pada pengembangan

atraksi wisata yang ada di Kinahrejo, yang masih harus dipertanyakan

keberlanjutannya agar bisa menopang ekonomi warga.

Pemulihan pariwisata pascabencana tidak hanya menjadi tanggung jawab

masyarakat yang terkena bencana, namun pemulihan kondisi ini juga menjadi

tanggung jawab pelaku pariwisata yang lain yaitu pemerintah. Dalam kondisi yang

tidak stabil, pemerintah menjadi tumpuan harapan, dewa penyelamat dan ujung

tombak untuk memulihkan keadaan. Penelitian yang dilakukan oleh S. Bekti Istiyanto

(2011) terhadap program pemerintah di tiga lokasi wisata pantai yaitu Pantai

Pangandaran Ciamis, Pantai Widarapayung Cilacap dan Pantai Parangtritis Bantul

Page 28: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah “Tujuan wisata

28

menunjukkan adanya perbedaan hasil. Objek wisata Pantai Pangandaran yang berada

di Desa Pangandaran Ciamis merupakan daerah pariwisata produktif yang menjadi

lokasi terparah terkena tsunami pada 17 Juli 2006. Beberapa program pemulihan

ekonomi telah berhasil disusun oleh pemerintah daerah bersama dengan masyarakat

setempat. Meski disayangkan tidak ada informasi lebih lanjut mengenai pelaksanaan

program dan hasil-hasilnya. Penelitian yang dilakukan oleh Taupik Akbar (2012) di

kawasan wisata yang sama sekiranya dapat menjelaskan program Dinas Kebudayaan

dan Pariwisata Daerah Ciamis dan Badan Perencana Daerah Ciamis untuk

memulihkan kehidupan pariwisata di Pantai Pangandaran. Program dari dinas

kebudayaan dan pariwisata antara lain adalah penerapan konsep Destination

Management Organization (DMO), melaksanakan program Ngarumat Pangandaran

melalui Indecom (Indonesian Eco-tourism Network), melakukan Tourism

Management Planning (TMP) atau Rencana Pengelolaan Pariwisata di Pangandaran.

Beberapa program dari BAPPEDA adalah program peningkatan kapasitas masyarakat

lokal (Indonesia bekerja sama dengan Jerman untuk sistem peringatan dini tsunami),

sosialisasi pemanfaatan limbah menjadi barang-barang bernilai jual pasca tsunami,

periode Mei 2008 – April 2011, mengadakan Proyek Rehabilitasi dan Rekonstruksi

Masyarakat dan Pemukiman Berbasis Komunitas (REKOMPAK-JRF) yang bertujuan

untuk mengembangkan kondisi kehidupan masyarakat yang terkena dampak gempa

dan tsunami. Kebijakan yang dikeluarkan dari kedua instansi setelah terjadinya

tsunami lebih menekankan pada lingkungan dan kebencanaan di daerah atau kawasan

Page 29: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah “Tujuan wisata

29

pariwisata Pantai Pangandaran. Perubahan kebijakan ini diyakini akan sinergi dengan

upaya penentuan arah pengembangan ke depan yang berlandaskan lingkungan dan

antisipasi kebencanaan di wilayah pariwisata. Tidak ditemukan penelitian lebih lanjut

apakah program-program tersebut berhasil dilaksanakan.

Di kawasan wisata Pantai Parangtritis, bencana gempa yang menimpa

Yogyakarta dan Klaten seolah-olah menjadi pemicu (trigger) penataan kawasan

wisata. Meski pada tahun 2004 telah muncul Peraturan Daerah Relokasi No. 03/2004

tentang Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah dalam bentuk pariwisata

berbasis masyarakat, namun dalam praktiknya program ini dijalankan setelah terjadi

gempa tahun 2006. Relokasi penataan kegiatan usaha sendiri dinyatakan dalam

Peraturan Bupati No. 24/2006 tentang penataan kegiatan usaha atau relokasi di atas

batas teraman dari sempadan garis Pantai Parangtritis. Relokasi yang dibangun di

kawasan ini bukan sekedar pembangunan kios atau los bagi pedagang namun berupa

mitigasi bencana yaitu jalur evakuasi, jalan konblok sebagai sarana transportasi yang

menghubungkan Pantai Depok sampai Pantai Parang Kusumo dan pemasangan papan

informasi di sekitar kawasan wisata.

Di Pantai Widarapayung, Cilacap tidak ada program terpadu yang membuat

lokasi wisata dan kehidupan perekonomian masyarakat menjadi lebih baik

dibandingkan sebelumnya. Tindakan tanggap darurat yang dilakukan oleh pemerintah

daerah adalah membentuk Lakhar BPBD (Peraturan Daerah No. 48 tahun 2007 dan

2008) yang bertindak sebagai koordinator penanggulangan bencana. Namun sayang

Page 30: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah “Tujuan wisata

30

sekali bidang kerjanya melebar tidak hanya menangani kawasan wisata saja, tetapi

tindakan preventif dan penanggulangan bencana secara umum dan berlaku di seluruh

Kabupaten Cilacap. Pembangunan kembali jalan yang rusak menuju Pantai

Widarapayung ternyata terkait dengan kepentingan politis yaitu kedatangan Presiden

Susilo Bambang Yudhoyono.

Usaha yang berbeda dengan Indonesia dilakukan oleh pemerintah Bahama

dan Jamaica untuk memulihkan kehidupan industri pariwisata di kedua negara

tersebut. Direktur Jendral Pariwisata Bahama mengajak segenap pelaku wisata mulai

dari hotel, badan promosi, organisasi swasta dan pemerintah sendiri untuk

berpartisipasi melakukan kampanye dengan memanfaatkan media untuk menggalang

simpati dan empati untuk warga AS atas tragedi WTC. Sedangkan cara yang

dilakukan Departemen Pariwisata Jamaica untuk memulihkan kehidupan pariwisata

di Jamaica adalah menciptakan program untuk menggalang solidaritas bagi warga AS

dan mengundang mereka datang kembali ke Jamaica untuk membangkitkan semangat

hidup dan menyegarkan jiwa. Tragedi WTC 2011 telah memberikan pelajaran

berharga bagi Jamaica untuk memperluas pangsa pasar wisata tidak hanya ke AS tapi

juga ke Eropa dan Amerika latin.

Kajian terhadap upaya yang dilakukan pemerintah untuk memulihkan

pariwisata pascabencana antara Indonesia dan Jamaica serta Bahama menjadi suatu

bahan perbandingan yang menarik, dimana pemerintah Jamaica dan Bahama berhasil

mengembalikan kehidupan pariwisata melalui usaha terpadu antara pemerintah,

Page 31: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah “Tujuan wisata

31

organisasi swasta, dan badan promosi. Di Indonesia, pemulihan kehidupan pariwisata

setelah bencana seringkali dipenuhi dengan berbagai program dari pemerintah,

namun program yang ada bukan berarti akan menjawab permasalahan yang dihadapi

masyarakat di kawasan wisata yang terkena bencana. Karena seringkali tidak tercipta

sinergi kepentingan diantara pemangku kepentingan tersebut. Penelitian yang

bertujuan untuk memahami masyarakat yang terkena bencana sekiranya dapat

mempersempit jurang pemisah antara berbagai pihak yang berkepentingan dengan

masyarakat.

1.6 Landasan Teori dan Definisi Operasional

1.6.1 Pariwisata

Pariwisata adalah suatu fenomena yang ditimbulkan oleh salah satu bentuk

kegiatan manusia, yaitu kegiatan yang disebut perjalanan (travel). Ada beberapa

sebab manusia melakukan perjalanan, ada yang melakukan perjalanan karena sebab-

sebab yang erat berkaitan dengan eksistensi dan keselamatan hidup manusia,

misalnya melarikan diri dari peperangan, musibah, bencana alam. Ada yang

melakukan perjalanan karena didorong oleh alasan-alasan yang bersifat praktis dan

pragmatis, yaitu mencari nafkah misalnya bekerja, membuka ladang, berburu dan

sebagainya. Namun demikian, jika dilihat dari maksud dan tujuannya, perjalanan

tersebut tidak dapat digolongkan kedalam kegiatan wisata. Perjalanan yang dapat

digolongkan kedalam kegiatan wisata yang kita kenal dewasa ini adalah perjalanan

untuk memenuhi rasa ingin tahu, untuk keperluan yang bersifat rekreatif dan edukatif.

Page 32: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah “Tujuan wisata

32

Mengacu pada contoh-contoh di atas, maka perjalanan yang dikategorikan sebagai

kegiatan wisata dapat dirumuskan sebagai berikut :

“...... perjalanan dan persinggahan yang dilakukan oleh manusia di luar tempattinggalnya untuk berbagai maksud dan tujuan tetapi bukan untuk tinggalmenetap di tempat yang dikunjungi atau disinggahi, atau untuk melakukanpekerjaan-pekerjaan dengan mendapatkan upah” (Kodhyat, 1996 : 3).

Arti ‘pariwisata’ belum banyak diungkapkan oleh para ahli bahasa dan

pariwisata Indonesia. Kata ‘pariwisata’ berasal dari dua suku kata, yaitu pari dan

wisata. Pari berarti banyak, berkali-kali dan berputar-putar, sedangkan wisata berarti

perjalanan atau bepergian. Jadi pariwisata bisa diartikan sebagai perjalanan yang

dilakukan berkali-kali atau berputar-putar berangkat dari suatu tempat ke tempat yang

lain dan kembali ke tempat asal semula yang dalam bahasa Inggris disebut dengan

kata “tour”, sedang untuk pengertian jamak “kepariwisataan” dapat digunakan kata

“tourisme” atau “tourism”.

Undang-Undang Kepariwisataan No. 10 Tahun 2009 mendefinisikan

pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas

serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, pemerintah, dan

pemerintah daerah. Adapun pengertian wisata adalah kegiatan perjalanan yang

dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat

tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan

daya tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara (UU

Kepariwisataan, 2009 : 3).

Page 33: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah “Tujuan wisata

33

R.G Soekadijo (1996 : 2) mendefinisikan pariwisata ialah segala kegiatan

dalam masyarakat yang berhubungan dengan wisatawan. Semua kegiatan

pembangunan hotel, pemugaran objek budaya, pembuatan pusat rekreasi,

penyelenggaraan pekan pariwisata, penyediaan angkutan dan sebagainya – semua itu

dapat disebut kegiatan kepariwisataan sepanjang kegiatan-kegiatan itu dapat

mendatangkan wisatawan.

Pariwisata merupakan aktivitas, pelayanan dan produk hasil industri

pariwisata yang mampu menciptakan pengalaman perjalanan bagi wisatawan.

McIntosh (dalam Muljadi A.J, 2009 : 7) menyatakan bahwa pariwisata adalah :

“….. a composite of activities, services and industries that delivers a travelexperience: transportation, accommodation, eating and drinkingestablishment, shop, entertainment, activity, and other hospitality serviceavailable for individuals or group that away from home”.

Dari berbagai definisi pariwisata di atas nampak adanya dimensi aktivitas,

waktu, tujuan. Dimensi aktivitas menunjukkan bahwa ada serangkaian aktivitas yang

menciptakan perjalanan bagi wisatawan. Dimensi waktu menunjukkan bahwa

wisatawan tidak tinggal pada suatu daerah dalam jangka waktu lama. Dimensi tujuan

bukan untuk mencari penghidupan/pekerjaan di tempat yang dituju.

Dari perspektif Antropologi, kegiatan pariwisata menyangkut pula interaksi

sosio-kultural sebab didalamnya terkandung interaksi antara masyarakat (host)

dengan wisatawan selaku pengunjung (guest). Interaksi di antara mereka akan

terlaksana dalam konteks pencarian dan penyediaan pengalaman yang berbeda dan

dilakukan atas dasar pertukaran ekonomi. Konteks interaksi membawa akibat pada

Page 34: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah “Tujuan wisata

34

hadirnya tingkah laku interaksi yang khas, baik yang dialami wisatawan ataupun

diterima oleh masyarakat setempat.

Interaksi antara masyarakat (host) dan wisatawan yang berkunjung (guest)

akan menghasilkan pengalaman. Itulah esensi dari pariwisata menurut Ryan (dalam

M. Burns, 1999 : 28) yang berpendapat bahwa :

“Essentially, tourism is about experience of place. The tourism ‘product’ isnot the tourist destination, but it is about experience of that place and whathappens there: [which is] a series of internal and external interactions”.

Wisatawan yang melakukan perjalanan ke daerah tujuan wisata memerlukan

berbagai kebutuhan dan pelayanan mulai dari keberangkatan sampai kembali lagi ke

tempat tinggalnya. Oleh karena itu, aktivitas kepariwisataan erat kaitannya dengan

berbagai aspek lain yang saling terkait, seperti akomodasi, agen perjalanan, rumah

makan, jasa pemandu, atraksi wisata dan aspek lainnya.

Menurut Oka A. Yoeti (2002 : 4-5) komponen penting untuk mendukung

daerah tujuan wisata mencakup tiga komponen dimana satu dengan yang lainnya

sangat erat hubungannya. Tiga komponen tersebut adalah : daya tarik wisata (Tourist

Attractions), fasilitas (facilities of the tourist destination), aksesibilitas (accessibilitas

of the tourist destination),

Atraksi menjadi daya tarik orang-orang untuk datang ke suatu destinasi.

Atraksi atau daya tarik wisata adalah segala sesuatu yang memiliki keunikan,

keindahan, dan nilai yang berupa keaneragaman kekayaan alam, budaya, dan hasil

buatan manusia yang menjadi sasaran atau tujuan kunjungan wisatawan (UU

Page 35: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah “Tujuan wisata

35

Kepariwisataan No. 10 tahun 2009 : 3). Daya tarik wisata dibagi ke dalam kelompok-

kelompok yaitu : (1) Daya tarik wisata alam yang berupa pemandangan alam,

perbedaan iklim, pantai, pegunungan serta kondisi geografis lain di suatu destinasi

wisata; (2) Daya tarik wisata berbasis kebudayaan bisa berupa cerita sejarah, folklore,

upacara keagamaan, pertunjukan kesenian dan hiburan, festival; (3) Daya tarik

wisata yang berbasis pada kehidupan sosial berupa bahasa, tata cara kehidupan suatu

masyarakat, kesempatan untuk melakukan kegiatan-kegiatan sosial; (4) Daya tarik

wisata buatan manusia berupa bangunan-bangunan bersejarah, arsitektur modern,

monumen, taman nasional, latihan golf, arkeologi industri.

Fasilitas merupakan sarana prasarana yang berfungsi untuk memenuhi

kebutuhan wisatawan selama tinggal untuk sementara waktu di daerah tujuan wisata

yang dikunjungi. Menurut Victor T.C. Middleton (Oka A. Yoeti, 2002 : 4-5) yang

termasuk dalam kelompok ini adalah : (1) Akomodasi yaitu hotel, motel, villa,

homestay, hostel; (2) Restoran cepat saji, bar, café sampai restoran mewah; (3)

Transportasi di destinasi seperti mobil sewaan, taksi; (4) Berbagai macam olah raga

dan aktivitas keolahragaan seperti ski, golf, berburu, memancing, hiking; (5) Fasilitas

lain seperti toko handycraft, cenderamata; (6) Toko retail seperti biro perjalanan

wisata lokal, apotek, supplier film dan kamera; (7) Pelayanan lain seperti kantor

polisi, pusat informasi pariwisata. Keberadaan dan kelengkapan berbagai jenis

fasilitas menjadi prasyarat mutlak bagi peningkatan kunjungan wisatawan pada suatu

objek wisata. Dengan kata lain, meskipun objek wisata yang dimiliki dinilai cukup

Page 36: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah “Tujuan wisata

36

bagus namun bila tidak memiliki jaminan fasilitas yang memadai, lambat laun tentu

akan ditinggalkan wisatawan.

Sedangkan aksesibilitas berupa sarana-prasarana yang menyebabkan

wisatawan dapat berkunjung di sebuah kawasan wisata. Yang termasuk dalam

kelompok ini adalah : (1) Infrastruktur seperti bandara, pelabuhan, stasiun kereta api,

jalan dan terminal; (2) Transportasi seperti coach, pesawat terbang; (3) Peraturan

pemerintah menyangkut sistem keamanan, peraturan transportasi, peraturan visa; (4)

Prosedur operasional seperti regulasi tarif dan perubahan harga jasa dan pelayanan.

Dalam konteks ini, sarana dan prasarana dibangun agar wisatawan dapat

mencapai objek dengan aman, nyaman dan layak. Inilah yang membedakan dengan

domain ekonomi yang menyediakan sarana dan prasarana agar produk yang dijual

dapat didistribusi sehingga dapat dijangkau konsumen. Sementara domain pariwisata

sarana dan prasarana dibangun agar konsumen dapat mengunjungi objek wisata

sehingga mereka dapat ‘membeli’ produk tersebut. Dengan demikian aksesibilitas

menyebabkan wisatawan mencapai objek wisata dengan mudah, aman dan nyaman

atau layak.

Selain ketiga komponen di atas, ada satu komponen lain yang dianggap

penting oleh Robert Christie Mill. Komponen tersebut adalah keramahtamahan

(hospitality). Menurut Mill (2000 : 32) keramahtamahan di sebuah kawasan adalah

perasaan disambut baik yang diterima oleh wisatawan pada waktu mengunjungi suatu

kawasan. Kesan yang diperoleh orang-orang setelah melakukan perjalanan adalah

Page 37: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah “Tujuan wisata

37

bukan cuaca atau pemandangan alamnya, melainkan interaksi positif atau negatif

dengan wisatawan yang lain, dengan penduduk setempat di tempat tujuan wisata, atau

dengan karyawan restoran, hotel, toko. Kapan saja seorang wisatawan bertemu

dengan seorang karyawan atau penduduk setempat di suatu daerah tujuan wisata,

keadaan itu disebut oleh Mill sebagai ‘momen kebenaran’. Bagaimana seorang

karyawan atau penduduk lokal berinteraksi dengan wisatawan bisa meningkatkan

makna sebuah liburan atau merusak semua bunyi iklan yang menyebabkan wisatawan

pergi ke kawasan tersebut. Keramahtamahan winiwisatawan di daerah tujuan wisata

dapat diciptakan melalui pelatihan terutama bagi mereka yang berinteraksi langsung

dengan wisatawan. Sikap yang bisa diinternalisasikan menjadi kebiasaan antara lain

penampilan yang baik, sapaan ramah terhadap wisatawan dan sikap selalu siap

menolong.

1.6.2 Etno Pariwisata

Berpijak dari pemikiran bahwa manusia merupakan mahkluk yang berbudaya

serta memiliki akal dan mampu mengatasi persoalan dalam situasi apapun, kajian ini

mencoba untuk menggunakan pendekatan etnosains dalam menelaah persoalan yang

muncul lewat kacamata masyarakat. Pemahaman dari sudut pandang “native”

tersebut dapat dirujuk pada asumsi, anggapan Malinowski bahwa setiap manusia

memiliki pendapat dan pandangan yang berbeda, meskipun itu mengenai hal yang

sama. Setiap individu adalah khas, baik dalam pandangan-pandangannya, nilai-nilai

dan norma yang dianutnya, maupun dalam pola-pola perilakunya sehari-hari. Lewat

Page 38: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah “Tujuan wisata

38

pendekatan etnosains penelitian ini ditujukan untuk mengetahui gejala yang mereka

anggap penting dan bagaimana mereka mengorganisir berbagai gejala tersebut dalam

sistem ilmu pengetahuan.

Penelitian ini mendasarkan pada beberapa premis. Pertama, bahwa penelitian

mengenai perilaku manusia tidak terlepas dari pandangan mengenai hakekat manusia

dan perilakunya. Sehubungan dengan itu, dalam studi ini manusia dipandang sebagai

animal symbolicum (Cassirer, 1987 : 40) atau binatang yang dapat menggunakan dan

mengembangkan simbol-simbol sebagai alat komunikasi. Melalui perangkat simbol

tersebut manusia memberikan makna kepada sekelilingnya sehingga memiliki makna

baginya. Kedua, berbagai makna tersebut tersimpan dalam bahasa. Oleh sebab itu

melalui bahasa akan dapat menggapai, meraih dan menangkap berbagai makna yang

diberikan oleh manusia terhadap keadaan di sekitarnya. Menurut Spradley, bahasa

lebih dari sekedar alat mengkomunikasikan realitas; bahasa merupakan alat untuk

menyusun realitas. Bahasa yang berbeda menciptakan dan mengekspresikan realitas

yang berbeda. Bahasa yang berbeda itu mengkategorikan pengalaman dengan cara-

cara yang berbeda (Spradley, 1997:23). Mengingat persyaratan demikian menuntut

peneliti berangkat dari “dalam” yaitu dari sudut pandang orang yang diteliti (tineliti)

dan dengan demikian berimplikasi pada pendefinisian kebudayaan sebagai sistem

pengetahuan atau sistem ide, sebab dalam penjelasan ini “makna” yang diberikan

oleh pendukung kebudayaan menduduki peran yang penting (Ahimsa-Putra, 1985 :

106-107).

Page 39: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah “Tujuan wisata

39

Respon masyarakat atas kunjungan wisatawan di Kinahrejo setelah erupsi

Merapi 2010 telah memunculkan fenomena baru kehidupan wisata di sana. Respon

kepariwisataan ini yang disebut etno pariwisata yaitu perangkat pengetahuan yang

muncul dan dikembangkan oleh suatu masyarakat –berdasarkan atas pengetahuan dan

pemahaman mereka mengenai situasi dan kondisi yang mereka hadapi untuk

menyambut dan melayani wisatawan yang berkunjung (Ahimsa-Putra, 2012 : 109).

Etno-pariwisata berupaya mengungkap gejala yang dianggap penting oleh warga

Kinahrejo, Pangukrejo serta bagaimana mereka mengorganisir berbagai gejala

tersebut dalam sistem pengetahuannya. Sistem pengetahuan masyarakat terwujud

dalam klasifikasi, kategorisasi dan taksonomi unsur-unsur lingkungan (Ahimsa-

Putra, 1997 : 55) yang kemudian akan menuntun masyarakat dalam melakukan

model-model pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya lingkungan tersebut.

Kajian etno-pariwisata digunakan untuk menemukenali beberapa aspek yang

terkait dengan pengelolaan pariwisata setelah terjadi erupsi gunung Merapi tahun

2010. Perubahan yang terjadi dalam lingkungan melahirkan pemaknaan yang baru

dalam kehidupan masyarakat. Etno-pariwisata yang mendasarkan pada pendekatan

etnosains dipandang dapat memberikan penjelasan secara lebih mendetail

menyangkut pengelolaan pariwisata atas dasar pandangan masyarakat. Pembahasan

ini tidak terlepas dari mendefinisikan kebudayaan sebagaimana yang dikemukakan

Goodenough, yakni bahwa kebudayaan bukanlah fenomena atau gejala material.

Kebudayaan merupakan :

Page 40: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah “Tujuan wisata

40

“does not consist of things, people, behavior or emotions. It is rather theorganization of these things. It is the forms of things that people have in mind,their models for perceiving, relating and otherwise interpreting them as such.The things that people say and do, their social arrangement and events areproducts or by products of their culture as they apply it to the task ofperceiving and dealing with circumstances” (dalam Ahimsa-Putra, 2002 : 36).

Kajian ini memusatkan perhatian pada kebudayaan sebagai “…..the forms of

things that people have in mind, their models for perceiving”, yang dalam hal ini

ditafsirkan sebagai model-model untuk mengklasifikasi lingkungan atau situasi sosial

yang dihadapi. Dengan begitu kajian ini akan mengetahui perangkat pengetahuan dan

aktivitas serta bagaimana mengorganisir berbagai gejala tersebut. Bilamana hal

tersebut diketahui maka akan terungkap pula berbagai prinsip yang digunakan untuk

memahami lingkungan dan situasi yang dihadapi, sebagai landasan tingkah laku

(Tyler dalam Ahimsa-Putra, 1985 : 108).

Dengan demikian masalah yang berkenaan atau terkait dengan kerangka

pemikiran penelitian dapat ditelusuri lebih lanjut pada konsep-konsep yang mengkaji

tentang kawasan Kinahrejo, pariwisata di Kinahrejo, pandangan warga dan pengelola

wisata volcano serta dinas pariwisata tentang kawasan dan pariwisata di Kinahrejo

serta upaya-upaya pengembangan pariwisata setelah erupsi Merapi tahun 2010 baik

yang dilakukan oleh penduduk setempat maupun pengelola wisata volcano serta dinas

pariwisata.

1. Kawasan

Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 26 Tahun 2008

tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, yang dimaksud kawasan adalah

Page 41: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah “Tujuan wisata

41

wilayah yang memiliki fungsi utama lindung atau budi daya. Kawasan lindung

adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian

lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan.

Sedangkan kawasan budi daya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama

untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya

manusia, dan sumber daya buatan.

Di bab ketiga, pasal 63 Peraturan Pemerintah ini disebutkan bahwa salah satu

kawasan budi daya bisa difungsikan sebagai kawasan peruntukan pariwisata 21

dengan kriteria-kriteria sebagaimana disebutkan dalam pasal 70 ayat (1) yaitu 22:

a. Memiliki objek dan daya tarik wisata; dan / atau

b. Mendukung upaya pelestarian budaya, keindahan alam, dan lingkungan.

Kawasan dalam konteks kegiatan pariwisata menunjuk pada suatu kawasan

yang memiliki fungsi utama pariwisata atau memiliki potensi untuk pengembangan

21 Kawasan peruntukan pariwisata adalah kawasan yang didominasi oleh fungsi kepariwisataan dapatmencakup sebagian areal dalam kawasan lindung atau kawasan budi daya lainnya dimana terdapatkonsentrasi daya tarik dan fasilitas penunjang pariwisata.Kebutuhan pariwisata berkaitan dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata, termasukpengelolaan objek dan daya tarik wisata yang mencakup :(a). Objek dan daya tarik wisata ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, yang berwujud keadaan alam serta

flora dan fauna; dan(b). Objek dan daya tarik wisata hasil karya manusia yang berwujud museum, peninggalan

purbakala, peninggalan sejarah, seni budaya, wisata agro, wisata tirta, wisata petualanganalam, taman rekreasi, dan tempat hiburan.

22 Penerapan kriteria peruntukan pariwisata secara tepat diharapkan akan mendorong terwujudnyakawasan pariwisata yang diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut : (a) meningkatkandevisa dari pariwisata dan mendayagunakan investasi; (b) meningkatkan perkembanganpembangunan lintas sektor dan sub sektor serta kegiatan ekonomi sekitarnya; (c) tidak mengganggufungsi lindung; (d) tidak mengganggu upaya pelestarian kemampuan sumber daya alam; (e)meningkatkan pendapatan masyarakat; (f) meningkatkan pendapatan nasional dan daerah; (g)menciptakan kesempatan kerja; (h) melestarikan nilai warisan budaya, adat istiadat, kesenian danmutu keindahan lingkungan alam; dan/atau (i) meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Page 42: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah “Tujuan wisata

42

pariwisata yang mempunyai pengaruh penting dalam satu atau lebih aspek, seperti

pertumbuhan ekonomi, sosial dan budaya, pemberdayaan sumber daya alam, daya

dukung lingkungan hidup, serta pertahanan dan keamanan (UU Kepariwisataan,

2009 : 4).

Menurut Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No. PM. 88/ HK 501/

MKP/ 2010, kawasan pariwisata merupakan usaha komersial yang selanjutnya

disebut dengan usaha pariwisata yaitu usaha pembangunan dan/atau pengelolaan

kawasan untuk memenuhi kebutuhan pariwisata sesuai dengan peraturan perundang-

undangan.

Sedangkan Peraturan Pemerintah RI No. 67 tahun 1996 pasal 96, tentang

penyelenggaraan kepariwisataan menyebutkan kegiatan usaha kawasan pariwisata

meliputi : 1). Penyewaan lahan yang telah dilengkapi dengan prasarana sebagai

tempat untuk menyelenggarakan usaha pariwisata; 2). Penyewaan fasilitas pendukung

lainnya; 3). Penyediaan bangunan-bangunan untuk menunjang kegiatan usaha

pariwisata didalam kawasan pariwisata.

Jadi konsep kawasan dapat diartikan sebagai satu wilayah yang mempunyai

fungsi utama pariwisata atau pengembangan pariwisata yaitu pembangunan atau

pengelolaan kawasan yang didasarkan pada potensi sumber daya alam, sumber daya

manusia, dan sumber daya buatan untuk memenuhi kebutuhan pariwisata yang

mempunyai pengaruh penting dalam beberapa aspek seperti pertumbuhan ekonomi,

mendukung upaya pelestarian budaya, keindahan alam dan lingkungan.

Page 43: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah “Tujuan wisata

43

2. Pariwisata

Pariwisata di sini didefinisikan sebagai segala aktivitas yang berhubungan

dengan wisata yang didukung oleh komponen-komponen pariwisata berupa atraksi

wisata, fasilitas, aksesibilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat

Kinahrejo, Pangukrejo, pengusaha, pemerintah, pemerintah daerah. Pascaerupsi

Merapi 2010, atraksi wisata yang muncul adalah mengunjungi petilasan Mbah

Maridjan dan wisata petualangan di Kepuharjo. Atraksi lainnya adalah upacara

labuhan setiap bulan Ruwah. Fasilitas dapat dilihat dari penyediaan warung, toilet,

tempat ibadah, pos informasi, transportasi di objek wisata yaitu ojek, trail, jeep.

Aksesibilitas meliputi prasarana jalan menuju Kinahrejo, moda transportasi yang

digunakan pengunjung untuk sampai ke Kinahrejo, peraturan pemerintah yang

berkaitan dengan pariwisata di Kinahrejo. Sedangkan keramahtamahan (hospitality)

dapat dilihat dari penerimaan warga yang bekerja di sektor pariwisata terhadap

pengunjung yang datang ke Kinahrejo dan sikap mereka dalam melayani pengunjung.

3. Etno Pariwisata

Etno pariwisata didefinisikan sebagai perangkat pengetahuan yang muncul

dan dikembangkan oleh masyarakat Kinahrejo –berdasarkan atas pengetahuan dan

pemahaman mereka mengenai situasi dan kondisi yang mereka hadapi- untuk

menyambut dan melayani wisatawan yang berkunjung ke Kinahrejo. Berbagai

perilaku, aktivitas dan hasil aktivitas dalam suatu masyarakat tidak akan dipahami

dengan baik bilamana peneliti tidak memahami pandangan-pandangan dan

Page 44: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah “Tujuan wisata

44

pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat tersebut. Oleh karena itu, untuk

memahami berbagai perilaku, aktivitas dan hasil aktivitas masyarakat Kinahrejo

untuk menyambut dan melayani wisatawan yang berkunjung ke Kinahrejo, maka

peneliti harus memahami pandangan-pandangan dan pengetahuan yang dimiliki oleh

warga Kinahrejo. Selain mengungkap pengetahuan yang ada di masyarakat,

penelitian ini berusaha juga untuk mengungkap pengetahuan dan pandangan dari

pengelola wisata volcano Desa Umbulharjo dan Dinas Pariwisata Sleman

menyangkut Kinahrejo dan pariwisata di Kinahrejo pascaerupsi Merapi 2010. Hal ini

didasarkan pada perspekif etnosains, bahwa setiap individu dapat memiliki pendapat

dan pandangan yang berbeda mengenai hal yang sama. Setiap individu memiliki

alasan-alasan sendiri, mengapa dia mewujudkan perilaku tertentu atau melakukan

tindakan tertentu.

4. Pengembangan Pariwisata

Pengembangan pariwisata di Kinahrejo merupakan salah satu rangkaian dari

empat fase pembangunan kepariwisataan pascabencana yang dilakukan sesuai dengan

kondisi yang terjadi di lapangan. Rangkaian pembangunan kepariwisataan

pascabencana tersebut diawali dengan fase response atau penyelamatan (tanggap

darurat), fase recovery atau pemulihan kembali, fase reconstruction atau rehabilitasi,

dan fase development atau pengembangan (pembangunan) (Harjito, 2011 : 175).

Konsep pengembangan mengisyaratkan suatu proses evolusi dengan konotasi positif

atau sekurang-kurangnya bermakna “tidak jalan di tempat”. Kata pengembangan

Page 45: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah “Tujuan wisata

45

dapat dikaitkan dengan dua hal, yakni : ‘proses’ dan ‘tingkat’ perkembangan sesuatu

(Sammeng, 2000 : 227). Dalam konteks Kinahrejo, pengembangan menyiratkan suatu

proses mengembangkan sesuatu yang sudah ada atau sudah dimiliki lebih dulu. Ini

berarti bila hendak mengembangkan sesuatu dilakukan dengan menambahkan atau

mengubah sesuatu yang sudah dimiliki menjadi sesuatu yang lebih baik dalam hal

kualitasnya.

Sumberdaya wisata yang telah dimiliki Kinahrejo merupakan modal dasar

yang dapat dikembangkan. Dari sumberdaya wisata yang telah tersedia berupa

potensi lingkungan dan potensi budaya ini selanjutnya upaya pengembangan

dilakukan. Fokus pengembangan yang dikaji pada dua aspek yakni aspek pariwisata

dan aspek sumberdaya manusia (SDM). Aspek pariwisata dilihat dari jenis atraksi

yang dikembangkan, fasilitas dan aksesibilitas yang disediakan baik secara kuantitas

maupun kualitas. Sementara untuk aspek SDM, arah pengembangan ditekankan pada

aspek pengetahuan (knowledge) dan ketrampilan (skill). Setidaknya arah

pengembangan yang diberikan dapat diklasifikasikan dalam tiga wujud yakni wujud

kognitif (knowledge), wujud pola perilaku, dan wujud materi (material).

Sementara itu, upaya pengembangan yang dilakukan tidak hanya dikerjakan

oleh masyarakat setempat namun juga dilakukan oleh pihak-pihak terkait sesuai

dengan aspek yang dikembangkannya. Beberapa pihak yang mendukung

pengembangan Kinahrejo diantaranya dari pengelola wisata volcano Desa

Umbulharjo serta Dinas Pariwisata Sleman bekerjasama dengan swasta dan LSM.

Page 46: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah “Tujuan wisata

46

1.7 Metode Penelitian

1.7.1 Lokasi Penelitian

Penelitian akan dilakukan di kawasan wisata Kinahrejo yang termasuk dalam

wilayah Desa Umbulharjo Kecamatan Cangkringan. Beberapa pertimbangan

pemilihan lokasi di kawasan Kinahrejo adalah : pertama, Kinahrejo merupakan salah

satu ikon pariwisata di Yogyakarta yang terkenal dengan tokoh fenomenal yaitu

almarhum Mbah Maridjan alias Ki Surakso Hargo. Cerita tentang almarhum Mbah

Maridjan merupakan salah satu daya tarik tersendiri bagi wisatawan untuk

berkunjung ke Kinahrejo. Kedua, kawasan Kinahrejo merupakan kawasan yang

masih menjadi perselisihan antara warga dan pemerintah. Menurut warga, Kinahrejo

merupakan kawasan wisata yang tetap potensial untuk dikembangkan pascaerupsi

Merapi 2010 untuk membangun kesejahteraan warga, namun di sisi lain pemerintah

berkepentingan melindungi warganya dari ancaman bahaya erupsi Merapi sehingga

kawasan Kinahrejo akan diakuisisi oleh pemerintah menjadi taman nasional

(Retnaningtyas, 2011 : 77).

1.7.2 Pemilihan Informan

Etnografer bekerja sama dengan informan untuk menghasilkan sebuah

deskripsi kebudayaan. Informan merupakan sumber informasi; secara harfiah, mereka

menjadi guru bagi etnografer (Spradley, 1997:35). Berdasarkan pada rumusan

masalah penelitian, penentuan informan kunci adalah (1) Warga Kampung Kinahrejo

dan Pangukrejo Desa Umbulharjo dengan beberapa kriteria : a) Korban erupsi Merapi

Page 47: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah “Tujuan wisata

47

2010; b) Bekerja sehari-hari baik sebagai pedagang, menyediakan layanan jeep

wisata, menyewakan trail atau menjadi pengojek di Kinahrejo; (2) Dinas Pariwisata

dan Kebudayaan Kabupaten Sleman sebagai organisasi yang membawahi sektor

pariwisata di Sleman; (3) Pengelola wisata volcano tour Desa Umbulharjo sebagai

organisasi yang mendapat legalitas dari pemerintah Kabupaten Sleman untuk

mengelola wisata di Kinahrejo.

1.7.3 Pengumpulan Data

Data yang diperoleh dalam penelitian ini terbagi atas studi pustaka dan studi

lapangan. Studi pustaka dimaksudkan untuk memperoleh data sekunder berupa buku

teks yang berkaitan dengan aspek pariwisata, tesis, jurnal, berita koran baik berbentuk

hardcopy maupun softcopy yang membahas pariwisata setelah erupsi Gunung

Merapi tahun 2010. Data sekunder berfungsi untuk memperkuat analisis data baik di

awal, selama penelitian maupun saat penyusunan laporan penelitian, sehingga peneliti

memiliki orientasi lebih luas mengenai permasalahan yang dikaji dalam hal ini

mengenai sistem pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat setempat.

Studi lapangan dilakukan untuk melihat fenomena pariwisata yang ada di

lokasi penelitian dengan analisis data kualitatif. Data kualitatif diperoleh dengan :

a. Partisipasi observasi. Kerja partisipasi berarti peneliti ikut terlibat dalam kehidupan

masyarakat, yang seolah-olah menjadi warga masyarakat yang diteliti; sambil

berpartisipasi peneliti melakukan pengamatan dengan menggunakan instrumen

panca indera. Dengan demikian, partisipasi observasi adalah proses studi

Page 48: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah “Tujuan wisata

48

berkenaan dengan kejadian sosio-budaya, yakni: hubungan-hubungan antar

penduduk, pengorganisasiannya, serta peristiwa sosio-budaya yang rutin sehari-

hari maupun yang periodik dan insidentil. Hasil yang didapat adalah tulisan

etnografi. Peneliti menulis tentang proses kehidupan rutin warga masyarakat yang

ia kaji dari perspektif emik atau the native point of views (Suhardi, 2011:7).

b. Wawancara. Wawancara dalam suatu penelitian bertujuan untuk mengumpulkan

keterangan tentang kehidupan manusia dalam suatu masyarakat serta pendirian-

pendirian mereka. Metode wawancara merupakan alat bantu metode observasi.

(Koentjaraningrat, 1977 : 129). Ada beberapa macam bentuk wawancara.

Wawancara yang paling mudah dilakukan adalah wawancara sambil lalu. Cara ini

biasanya digunakan untuk mendapatkan pengetahuan awal mengenai suatu daerah

atau masalah. Berdasarkan atas hasil dari wawancara sambil lalu, seorang peneliti

kemudian menyusun sejumlah pertanyaan yang bersifat memperdalam

pengetahuan yang telah diperoleh. Wawancara sambil lalu dapat dilakukan di

mana saja, kapan saja dan dengan siapa saja. Oleh karena wawancara ini umumnya

berlangsung dalam suasana informal, dan orang yang diwawancara biasanya tidak

menyadari bahwa dia sedang ditanya oleh seorang peneliti, maka jawaban yang

diberikan pada umumnya lebih jujur, dan karena itu pula tingkat kebenarannya

cukup tinggi.

Bentuk wawancara yang lain adalah wawancara mendalam. Wawancara

semacam ini dilakukan terhadap informan-informan tertentu yang dianggap atau

Page 49: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah “Tujuan wisata

49

menurut keterangan banyak mengetahui masalah-masalah yang diteliti, atau dapat

memberikan keterangan yang cukup rinci mengenai berbagai macam hal yang

ingin diketahui. Informan semacam ini dapat diketahui dari hasil wawancara

sambil lalu yang telah dilakukan sebelumnya. Berbeda dengan wawancara

sebelumnya, wawancara mendalam biasanya dilakukan di tempat tertentu, pada

waktu tertentu, berdasarkan atas kesepakatan yang telah dibuat oleh peneliti

dengan orang yang akan diwawancara. (Ahimsa-Putra, 1997 : 7-8).

1.7.4 Analisis Data

Analisis, dalam bentuk yang bagaimanapun melibatkan suatu cara berpikir.

Analisis merujuk pada pengujian sistematis terhadap sesuatu untuk menentukan

bagian-bagiannya, hubungan di antara bagian-bagian, serta hubungan bagian-bagian

itu dengan keseluruhannya (Spradley, 1997:117). Analisis etnografis merupakan

penyelidikan berbagai bagian yang dikonseptualisasikan oleh informan untuk

menemukan pengetahuan budaya yang masih terpendam. Pengetahuan budaya

seorang informan secara sistematik berhubungan dengan kebudayaan secara

keseluruhan. Penggunaan berbagai macam cara untuk menganalisis budaya

mempunyai satu tujuan tunggal yaitu mengungkapkan sistem makna budaya yang

digunakan oleh masyarakat.

Langkah strategis untuk memudahkan analisis data adalah memahami bahasa

tineliti berikut dengan pencatatan istilah makna tertentu. Karena etnosains berangkat

dari pandangan masyarakat tineliti dengan mencoba menjelaskan berbagai gejala

Page 50: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah “Tujuan wisata

50

sosial melalui penafsiran para pelaku budaya (Ahimsa-Putra, 1985 : 30). Untuk itu

dibutuhkan perhatian khusus pada istilah-istilah lokal berikut dengan interpretasi

tineliti atau informan untuk melihat budaya mereka. Setelah data yang dibutuhkan

terkumpul, maka proses selanjutnya adalah taksonomi bahasa, objek dipilah-pilah dan

diklasifikasikan menurut kategori yang cocok.

Langkah selanjutnya adalah analisis komponen yang meliputi keseluruhan

berbagai kontras yang teridentifikasi menjadi kategori-kategori budaya. prinsip

kontras menegaskan bahwa makna sebuah simbol dapat ditemukan dengan

menemukan bagaimana sebuah simbol berbeda dari simbol-simbol yang lain

(Spradley, 1997 : 205). Prinsip tersebut berfungsi untuk mengumpulkan aneka

kategori menjadi dimensi-dimensi yang berbeda. Sebagaimana uraian James Spradley

(1997) bahwa analisis komponen dapat mencakup prinsip kontras berikut dengan

pengkategorian istilah budaya.