bab i pendahuluan 1.1 latar belakang masalah i.pdfbali, batam dan daerah wisata lainnya. di luar...

26
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Anak merupakan anugrah yang diberikan oleh Tuhan, dimana mereka merupakan cerminan dari generasi penerus bangsa yang akan datang. Kualitas suatu bangsa dapat diukur apabila adanya cerminan dari anak-anak bangsa yang baik saat ini sehingga anak harus dijamin dari segala kegiatan untuk melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. 1 Pada dasarnya, kita semua berkeyakinan bahwa semua anak kelahirannya diinginkan, direncanakan, dan oleh karena itu, masa depannya akan sangat dipedulikan. Sayang bahwa kajian mengenai kehidupan anak-anak di berbagai negara dan, terutama di negara berkembang yang menunjukkan kenyataan pahit, termasuk Indonesia. Sebagian anak-anak tersebut mengalami berbagai bentuk kekerasan, diskriminasi, penelantaran, dan eksploitasi. Dewasa ini tingkat kejahatan terhadap anak dalam masyarakat semakin berkembang pesat. Hal tersebut berbanding lurus dengan dampak yang telah ditimbulkan. Apapun bentuknya, kejahatan bukan merupakan perbuatan yang dapat dibenarkan. Keberadaan seorang anak terkadang menjadi beban bagi orang 1 Pasal 1 ayat (2), Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No 23 Tahun 2003 Tentang Perlindungan Anak.

Upload: vokhue

Post on 16-Mar-2019

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Anak merupakan anugrah yang diberikan oleh Tuhan, dimana mereka

merupakan cerminan dari generasi penerus bangsa yang akan datang. Kualitas

suatu bangsa dapat diukur apabila adanya cerminan dari anak-anak bangsa yang

baik saat ini sehingga anak harus dijamin dari segala kegiatan untuk melindungi

anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi

secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat

perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.1

Pada dasarnya, kita semua berkeyakinan bahwa semua anak kelahirannya

diinginkan, direncanakan, dan oleh karena itu, masa depannya akan sangat

dipedulikan. Sayang bahwa kajian mengenai kehidupan anak-anak di berbagai

negara dan, terutama di negara berkembang yang menunjukkan kenyataan pahit,

termasuk Indonesia. Sebagian anak-anak tersebut mengalami berbagai bentuk

kekerasan, diskriminasi, penelantaran, dan eksploitasi.

Dewasa ini tingkat kejahatan terhadap anak dalam masyarakat semakin

berkembang pesat. Hal tersebut berbanding lurus dengan dampak yang telah

ditimbulkan. Apapun bentuknya, kejahatan bukan merupakan perbuatan yang

dapat dibenarkan. Keberadaan seorang anak terkadang menjadi beban bagi orang

1 Pasal 1 ayat (2), Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas

Undang-Undang No 23 Tahun 2003 Tentang Perlindungan Anak.

2

tua. Kondisi tersebut dianggap sebagai penambah beban hidup masyarakat miskin

yang membuat anak seperti tidak diharapkan sehingga cenderung berbuat hal yang

negatif untuk memenuhi keinginannya.

Saat ini banyak sekali anak-anak yang terlibat dalam jaringan bisnis

seksual komersial, yang berada disekitar publik, tetapi jenis kegiatannya bersifat

domestik. Isu-isu ini akan terangkat ke atas bukan oleh penderitaan anak-anak itu

didalam tempat prostitusi, tetapi biasanya lebih oleh sindikasi dan modus operandi

perdagangan anak-anak untuk keperluan itu, lingkungan tidak dapat melakukan

kontrol sosial terhadap hal ini karena dianggap sebagai domestic affair yang tidak

dapat di intervensi oleh pihak luar.

Menurut laporan situasi anak dan perempuan (UNICEF, 2000), anak

dibawah usia 18 tahun yang tereksploitasi secara seksual dilaporkan mencapai

40-70 ribu anak. Sementara itu, menurut Pusat Data dan Informasi CNSP Center,

pada tahun 2000, terdapat sekitar 75.106 tempat pekerja seks komersial yang

terselubung ataupun yang "terdaftar". Sementara itu, menurut M. Farid (2000),

memperkirakan 30 % dari penghuni rumah bordil di Indonesia adalah perempuan

berusia 18 tahun ke bawah atau setara dengan 200-300 ribu anak-anak. Di

Malaysia dilaporkan terdapat 6.750 pekerja seks komersial (PSK). 62,7 % dari

Jumlah PSK tersebut berasal dari Indonesia atau sekitar 4.200 orang dan 40%

dari jumlah tersebut adalah anak-anak berusia antara 14-17 tahun.2

2 Anonim, 2010, Eksploitasi Seksual Komersial Mengintai Anak Kita, URL :

http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/hukum-pidana/648-eksploitasi-seksual-komersial-mengintai-

anak-kita.html diakses pada tanggal 15 Oktober 2014.

3

Daerah pengirim perdagangan anak untuk tujuan eksploitasi seksual

komersial tersebut umumnya adalah dari daerah-daerah kantong kemiskinan,

seperti Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggaran Timur, Sumatera Utara, Sumatra

Barat, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat,

Sulawesi Utara, dan Sulawesi Tenggara. Sedangkan daerah penerima atau transit

di Indonesia adalah kota-kota besar, kota industri, daerah wisata seperti Lombok,

Bali, Batam dan daerah wisata lainnya. Di luar Indonesia negara penerima atau

tujuan (destination) adalah Singapura, Malaysia, Thailand, Hongkong, Arab

Saudi, Taiwan , Australia bahkan Eropa Timur.3

Perdagangan anak untuk tujuan eksploitasi seksual komersial tidak hanya

terjadi di Indonesia saja. Menurut laporan badan Perserikatan Bangsa-Bangsa

(PBB), secara global memperkirakan bahwa dalam kurun waktu 10 tahun terakhir

di dunia terdapat 30 juta anak perempuan diperdagangkan. 225.000 orang

diantaranya berasal dari Asia Tenggara dan 150.000 orang dari Asia Selatan. Dari

Kawasan Asia Tenggara, menurut laporan tersebut, Indonesia diduga yang paling

terbanyak memperdagangkan perempuan dan anak. Masih menurut sumber badan

PBB tersebut, dari perdagangan anak diperkirakan memperoleh keuntungan US$

7 Miliar per tahun.4

Munculnya permasalahan hak asasi manusia menurut Burns H. Weston

disebabkan dua hal, pertama bahwa manusia dimana-mana menuntut realisasi dari

bermacam-macam nilai guna memastikan kesejahteraan individual dan kolektif

3 Ibid.

4 Ibid.

4

mereka. Kedua, tuntutan-tuntutan terhadap kesejahteraan individual dan kolektif

tersebut sering diabaikan sehingga mengakibatkan eksploitasi, penindasan,

penganiayaan dan bentuk-bentuk perampasan lain.5

Eksploitasi seksual komersial anak merupakan salah satu bentuk dari

pelanggaran hak asasi manusia. Seorang filsuf Inggris pada abad ke-17, John

Locke, merumuskan adanya hak alamiah (natural rights) yang melekat pada

setiap diri manusia, yaitu hak atas hidup, hak kebebasan, dan hak milik. Pada

waktu itu, hak masih terbatas pada bidang sipil (pribadi) dan politik. Sejarah

perkembangan hak asasi manusia ditandai adanya tiga peristiwa penting di dunia

Barat, yaitu Magna Charta, Revolusi Amerika, dan Revolusi Prancis. Pada

umumnya, hak asasi manusia dikenal sebagai hak-hak yang paling fundamental

dan mendasar, serta tidak dapat dipindahkan kepada orang lain, dan sangat

essensial untuk hidup sebagai manusia.

UNICEF mencatat bahwa tingkat kriminal yang tercapai di Indonesia

menyangkup hak-hak anak cukup tinggi untuk menarik minat maupun memancing

pihak luar negeri untuk ikut berpartisipasi dalam memberikan bantuan

kesejahteraan anak-anak di Indonesia. UNICEF menjalankan peranannya

berdasarkan Konvensi Hak Anak yang menjadi tonggak kesejahteraan anak di

seluruh dunia termasuk melindungi hak anak dari kekejaman eksploitasi seksual

yang menjerat anak-anak Indonesia.

5Todung Mulya Lubis, ed.,1993, Hak-Hak Asasi Manusia Dalam Masyarakat Dunia,

trans. A.Setiawan Abadi,Yayasan Obor Indonesia, Jakarta,h. 1.

5

UNICEF memiliki keyakinan bahwa pembangunan dan perhatian terhadap

anak-anak adalah dasar dari pembanguna manusia itu sendiri. UNICEF di

ciptakan dengan tujuan dan pemikiran-pemikiran tersebut, yaitu untuk

bekerjasama khususnya dengan negara-negara di dunia ini untuk mengentaskan

kemiskinan, kekerasan, penyakit dan eksploitasi anak menjadi prioritas utama

untuk diselesaikan. UNICEF sebagai Organisasi Internasional merupakan

lembaga pendidik, penyuluh, rehabilitor, dan advokat dalam pelayanan dan

perlindungan hak-hak anak di dunia berupaya untuk membantu menanggulangi

masalah eksploitasi seksual yang dialami anak-anak di Indonesia.

Dari bahasan diatas dapat diketahui bahwa UNICEF memiliki peran

strategi dalam melindungi hak-hak anak dari eksploitasi seksual. Dalam konteks

peran UNICEF tersebut penulis bermaksud membahas permasalahan eksploitasi

seksual komersial anak di Indonesia dengan judul “PERAN UNICEF (United

Nations International Children’s Emergency Fund) DALAM PENANGANAN

EKSPLOITASI SEKSUAL KOMERSIAL ANAK DI INDONESIA”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan dari rumusan latar belakang yang telah diuraikan di atas ,

maka dapat dikemukakan dua rumusan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah kondisi dan penanganan eksploitasi seksual komersial anak

oleh pemerintahan Indonesia?

2. Bagaimanakah peran dan upaya yang dilakukan UNICEF dalam

menangani serta melindungi hak-hak anak dari eksploitasi seksual di

Indonesia?

6

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Mengingat luasnya masalah yang terkait dengan masalah eksploitasi

seksual komersial anak ini, maka merupakan hal yang tidak mungkin untuk

membahas semuanya dalam satu tulisan terlebih dalam suatu bentuk penulisan

skripsi.

Penulisan karya tulis yang bersifat ilmiah perlu ditegaskan mengenai

materi yang diatur di dalamnya. Hal ini sangat diperlukan untuk menghindari agar

isi atau materi yang terkandung di dalamnya tidak menyimpang dari pokok

permasalahan yang telah dirumuskan sehingga dengan demikian dapat diuraikan

secara sistematis. Untuk menghindari pembahasan menyimpang dari pokok

permasalahan, diberikan batasan-batasan mengenai ruang lingkup permasalahan

yang akan dibahas. Adapun ruang lingkup permasalahan yang akan dibahas

adalah sebagai berikut :

1. Secara umum akan di bahas mengenai kondisi eksploitasi seksual

komersial anak di Indonesia.

2. Secara umum akan dibahas mengenai penanganan eksploitasi

seksual komersial anak oleh pemerintah Indonesia.

3. Secara umum akan diuraikan mengenai UNICEF sebagai

organisasi internasional yang memberikan perlindungan terhadap

hak-hak anak di dunia dan sejarah UNICEF di Indonesia.

4. Secara umum akan di bahas mengenai upaya-upaya yang dilakukan

UNICEF dalam memerangi eksploitasi seksual komersial anak di

Indonesia.

7

5. Secara umum akan dibahas mengenai peran serta tanggungjawab

UNICEF sebagai organisasi internasional yang bernaung dibawah

bendera PBB dalam perlindungan hak-hak anak.

1.4 Tujuan Penulisan

Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah

sebagai berikut :

1.4.1 Tujuan Umum

1. Untuk melatih mahasiswa dalam usaha menyatakan pikiran dalam

suatu karya ilmiah secara tertulis.

2. Untuk melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi, khususnya dalam

bidang penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa.

3. Untuk menambah perkembangan ilmu pengetahuan Hukum.

4. Untuk menambah perkembangan kepribadian diri mahasiswa dalam

kehidupan masyarakat.

5. Pembulatan studi mahasiswa untuk memenuhi persyaratan SKS dan

jumlah beban studi untuk memperoleh gelar sarjana hukum.

1.4.2 Tujuan Khusus

1. Untuk menganalisis kondisi dan penanganan eksploitasi seksual

komersial anak oleh pemerintahan Indonesia.

2. Untuk menganalisis peran dan upaya yang dilakukan UNICEF dalam

memberikan perlindungan terhadap korban eksploitasi seksual anak di

Indonesia.

8

1.5 Manfaat Penulisan

Adapun manfaat yang didapat dari penulisan skripsi ini adalah sebagai

berikut :

1.5.1 Manfaat Secara Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman mengenai

eksploitasi seksual komersial anak yang terjadi di Indonesia serta

penanganan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia serta peran

UNICEF dalam menangani masalah eksploitasi seksual komersial anak.

Selain itu diharapkan dapat dijadikan referensi tambahan bagi mahasiswa

pada umumnya dan penulis pada khususnya dalam hal pengetahuan

hukum yang terkait dengan peran organisasi internasional sebagai subjek

hukum internasional yang memberikan perlindungan terhadap hak-hak

anak dari segala bentuk eksploitasi seksual di Indonesia.

1.5.2 Manfaat Praktis

Dari segi praktis, berguna sebagai upaya yang dapat diperoleh

langsung manfaatnya, seperti peningkatan keahlian meneliti dan

keterampilan menulis, sumbangan pemikiran dalam pemecahan suatu

masalah hukum, acuan pengambilan keputusan yuridis, dan bacaan baru

bagi penelitian ilmu hukum.6 Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat

bagi masyarakat Internasional mengenai permasalahan-permasalahan yang

menyangkut tentang masalah eksplotasi seksual komersial anak. Serta

6 Abdul Kadir Muhamad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti,

Bandung, h. 66.

9

untuk menambah pedoman dalam penyelesaian kasus-kasus tentang

eksploitasi seksual komersial anak.

1.6 Landasan Teoritis

Penelitian ilmiah dalam bentuk skripsi ini berpedoman pada kaidah dan

norma hukum internasional. Menurut Mochtar Kusumaatmadja hukum

internasional adalah ketentuan keseluruhan kaidah dan asas yang mengatur

hubungan atau persoalan yang melintasi batas Negara (hubungan internasional)

yang bukan bersifat perdata.7

Untuk jelasnya, mengenai pengertian hukum internasional dapat

dirumuskan sebagai berikut :8

Hukum internasional ialah keseluruhan kaidah dan asas yang mengatur

hubungan atau persoalan yang melintasi batas Negara antara :

1. Negara dengan Negara;

2. Negara dengan subyek hukum lain bukan Negara atau subyek hukum

bukan Negara satu sama lain.

3. Subyek hukum bukan Negara dengan subyek hukum bukan Negara

lainnya.

Masyarakat internasional yang diatur oleh hukum internasional adalah

suatu tertib hukum koordinasi dari sejumlah negara-negara yang masing-masing

merdeka dan berdaulat. Sehingga, berbeda halnya dengan tertib hukum nasional

(yang bersifat subordinasi), dalam tertib hukum koordinasi (hukum internasional)

tidak terdapat lembaga-lembaga yang disangkutpautkan dengan hukum dan

7 Mochtar Kusumaatmadja, 1999, Pengantar Hukum Internasional, cet. IX, Bina Cipta,

Bandung, h.1. 8 Ibid, h.3.

10

pelaksanaannya dalam hukum internasional tidak terdapat kekuasaan eksekutif,

tidak terdapat lembaga legislative, tidak terdapat lembaga kehakiman (yudisial),

tidak terdapat lembaga kepolisian.9

Dalam hubungan ini telah timbul beberapa teori atau ajaran yang mencoba

memberikan landasan pemikiran tentang mengikatnya hukum internasional, yaitu:

1. Mazhab/Ajaran Hukum Alam.10

Menurut Mazhab Hukum Alam, hukum internasional mengikat karena ia

adalah bagian dari “hukum alam” yang diterapkan dalam kehidupan bangsa-

bangsa. Negara-negara tunduk atau terikat kepada hukum internasional dalam

hubungan antar mereka karena hukum internasional itu merupakan bagian dari

hukum yang lebih tinggi, yaitu “hukum alam”.

Kontribusi terbesar ajaran atau mazhab hukum alam bagi hukum

internasional adalah bahwa ia memberikan dasar-dasar bagi pembentukan hukum

yang ideal. Dalam hal ini, dengan menjelaskan bahwa konsep hidup

bermasyarakat internasional merupakan keharusan yang diperintahkan oleh akal

budi (rasio) manusia, mazhab hukum alam sesungguhnya telah meletakkan dasar

rasionalitas bagi pentingnya hidup berdampingan secara tertib dan damai antar

bangsa-bangsa di dunia ini walaupun mereka memiliki asal-usul keturunan,

pandangan hidup, dan nilai-nilai yang berbeda-beda.

2. Mazhab/Ajaran Hukum Positif

9 Ibid, h.32

10 Ibid, h. 33.

11

Ada beberapa mazhab yang termasuk ke dalam kelompok Mazhab atau Ajaran

Hukum Positif, yaitu:

a. Mazhab/Teori Kehendak Negara.11

Ajaran atau mazhab ini bertolak dari teori kedaulatan negara. Secara

umum inti dari ajaran atau mazhab ini adalah sebagai berikut: oleh karena negara

adalah pemegang kedaulatan, maka negara adalah juga sumber dari segala hukum.

Hukum internasional itu mengikat negara-negara karena negara-negara itu atas

kehendak atau kemauannya sendirilah tunduk atau mengikatkan diri kepada

hukum internasional.

Bagi mazhab ini, hukum internasional itu bukanlah sesuatu yang lebih

tinggi dari kemauan negara (hukum nasional) tetapi merupakan bagian dari

hukum nasional (c.q. hukum tata negara) yang mengatur hubungan luar suatu

negara (auszeres Staatsrecht).

b. Mazhab atau Teori Kehendak Bersama Negara-negara.12

Mazhab ini berusahan untuk menutup kelemahan Mazhab/Teori Kehendak

Negara sebagaimana telah dikemukan di atas. Menurut mazhab ini, hukum

internasional itu mengikat bukan karena bukan karena kehendak masing-masing

Negara secara sendiri-sendiri melainkan karena kehendak bersama masing-masing

negara itu di mana kehendak bersama ini lebih tinggi derajatnya dibandingkan

dengan kehendak negara secara sendiri-sendiri. Dikatakan pula oleh mazhab ini

11

Ibid, h. 35. 12

Ibid.

12

bahwa, berbeda halnya dengan kehendak negara secara sendiri-sendiri, kehendak

bersama ini tidak perlu dinyatakan secara tegas atau spesifik.

c. Mazhab Wina13

Kelemahan-kelemahan yang melekat pada mazhab-mazhab yang

meletakkan dasar kekuatan mengikat hukum internasional pada kehendak negara

(yang kerap juga disebut sebagai aliran voluntaris) melahirkan pemikiran baru

yang tidak lagi meletakkan dasar mengikat hukum internasional itu pada

kehendak negara melainkan pada adanya norma atau kaidah hukum yang telah ada

terlebih dahulu yang terlepas dari dikehendaki atau tidak oleh negara-negara

(aliran pemikiran ini kerap disebut sebagai aliran objektivist).

Menurut Kelsen, ada dan mengikatnya kaidah hukum internasional

didasarkan oleh ada dan mengikatnya kaidah hukum lain yang lebih tinggi. Ada

dan mengikatnya kaidah hukum yang lebih tinggi itu didasarkan oleh ada dan

mengikatnya kaidah hukum yang lebih tinggi lagi. Demikian seterusnya hingga

sampai pada suatu puncak piramida kaidah-kaidah hukum yang dinamakan

kaidah dasar (grundnorm) yang tidak lagi dapat dijelaskan secara hukum

melainkan harus diterima adanya sebagai hipotesa asal (ursprungshypothese).

Menurut Kelsen, kaidah dasar dari hukum internasional itu adalah prinsip atau

asas pacta sunt servanda.

3. Mazhab Perancis14

13

Ibid, h. 36. 14

Ibid, h.38.

13

Suatu mazhab yang mencoba menjelaskan dasar mengikatnya hukum

internasional dengan konstruksi pemikiran yang sama sekali berbeda dengan

kedua mazhab sebelumnya (Mazhab Hukum Alam dan Mazhab Hukum Positif)

muncul di Perancis. Karena itu, Mazhab ini dikenal sebagai Mazhab Perancis.

Dalam garis besarnya, mazhab ini meletakkan dasar mengikatnya hukum

internasional – sebagaimana halnya bidang hukum lainnya – pada faktor-faktor

yang mereka namakan “fakta-fakta kemasyarakatan” (fait social), yaitu berupa

faktor-faktor biologis, sosial, dan sejarah kehidupan manusia. Artinya, dasar

mengikatnya hukum internasional itu dapat dikembalikan kepada sifat alami

manusia sebagai mahluk sosial yang senantiasa memiliki hasrat untuk hidup

bergabung dengan manusia lain dan kebutuhan akan solidaritas. Kebutuhan dan

naluri sosial manusia sebagai individu itu juga dimiliki oleh negara-negara atau

bangsa-bangsa (yang merupakan kumpulan manusia). Dengan kata lain, menurut

mazhab ini, dasar mengikatnya hukum internasional itu, sebagaimana halnya

dasar mengikatnya setiap hukum, terdapat dalam kenyataan sosial yaitu pada

kebutuhan manusia untuk hidup bermasyarakat.

Pembahasan persoalan tempat atau kedudukan hukum intenasional dalam

rangka hukum secara keseluruhan didasarkan atas anggapan bahwa sebagai suatu

jenis atau bidang hukum, hukum internasional merupakan bagian dari pada

hukum pada umumnya. Anggapan atau pendirian demikian tidak dapat dielakkan

apabila kita hendak melihat hukum internasional sebagai suatu perangkat

ketentuan-ketentuan dan asas-asas yang efektif yang benar-benar hidup didalam

kenyataan dan karenanya mempunyai hubungan yang efektif pula dengan

14

ketentuan-ketentuan atau bidang-bidang hukum lainnya, di antaranya yang paling

penting adalah ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur kehidupan manusia

dalam masing-masing lingkungan kebangsaan yang dikenal dengan nama hukum

nasional.

Di dalam hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional

terdapat dua pandangan tentang hukum internasional ini yaitu pandangan yang

dinamakan voluntarisme, yang mendasarkan berlakunya hukum internasional dan

bahkan persoalan ada atau tidaknya hukum internasional ini pada kemauan

Negara. Berdasarkan pandangan ini maka muncul paham dualisme yang melihat

bahwa hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua perangkat hukum

yang hidup berdampingan dan terpisah. Sedangkan pandangan obyektivis yang

menganggap ada dan berlakunya hukum internasional ini lepas dari kemauan

Negara. Berdasarkan pandangan tersebut, maka munculah paham monisme yang

melihat hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua bagian dari satu

kesatuan yang lebih besar yaitu hukum yang mengatur kehidupan manusia. 15

Disamping itu terdapat juga teori transformasi,delegasi,dan harmonisasi.16

a) Teori Transformasi

Menurut teori transformasi, hukum internasional tidak akan pernah

berlaku sebelum konsep, kaedah dan prinsip-prinsip hukumnya belum menjadi

bagian dari prinsip atau kaedah-kaedah hukum nasional. Agar dapat berlaku,

15

Ibid, h. 40. 16

I Wayan Parthiana, 1990, Pengantar Hukum Internasional, Mandar Maju, Bandung,

h.257.

15

maka prinsi-prinsip hukum internasional harus terlebih dahulu menjadi bagian

dari prinsip-prinsip hukum nasional.

Proses transformasi ini dilakukan dengan melakukan perubahan terhadap

Undang-undang. Perubahan dapat dilakukan dengan melakukan penambahan,

pengurangan atau pembaharuan secara keseluruhan terhadap isi Undang-undang

dan menggantikannya dengan yang baru. Proses perubahan tunduk dan diatur

dalam ketentuan-ketentuan hukum ketatanegaraan yang mekanisme kerjasamanya

dengan pembuatan Undang-undang, yaitu dilakukan dengan melakukan pengajuan

oleh DPR/DPRD atau presiden.

b) Teori Delegasi

Berlakunya ketentuan-ketentuan hukum internasional setelah didelegasikan

ke hukum nasional yang dapat dilegalkan dengan pencantuman kaedah-kaedah

hukum internasional kedalam berbagai peraturan perundang-undangan nasional

atau dengan menerapkan kaedah-kaedahnya dalam memutus atau menyelesaikan

sengketa nasional. Proses pendelegasian terjadi secara diam-diam (eksplisit)

melalui konstitusi suatu Negara. Pada umumnya, konstitusi suatu Negara dapat

menyelami kehendak dan maksud hukum internasional, hanya saja dalam

pelaksanaannya ketentuan dimaksud belum dapat pengaturan dan

implementasinya yang masih belum sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum

internasional.

c) Teori Harmonisasi

16

Teori harmonisasi menganggap bahwa hukum internasional sebagai

hukum yang mengatur tingkah laku bagian hukum internasional dan diatur oleh

hukum nasional, tetapi teori ini juga mengakui adanya konflik antar kedua hukum

tersebut). Berdasarkan pendapat diatas, titik tolak teori harmonisasi adalah

“tingkah laku atau tindakan” yang sama antara hukum internasional dengan

hukum nasional dengan batas-batas dan kewenangan yang berbeda.

Organisasi Internasional merupakan salah satu bentuk subyek hukum

Internasional, UNICEF merupakan salah satu bentuk dari organisasi Internasional

publik, banyak ahli hukum Internasional yang memberikan definisi tentang

organisasi Internasional. Organisasi Internasional, secara sederhana dapat

dideinisikan sebagai “Any cooperative arrangement instituted among states,

usually by a basic agreement, to perform some mutually advantageous functions

implemented through periodic meetings and staff activities ”. (Setiap pengaturan

pola kerjasama yang dilembagakan antara negara-negara, biasanya dengan

kesepakatan dasar, untuk melakukan beberapa fungsi yang saling menguntungkan

dilaksanakan melalui pertemuan berkala dan kegiatan staf).17

Jadi, organisasi internasional menurut pengertian sederhana diatas,

mencakup adanya 3 (tiga) unsur, yaitu :

1. Keterlibatan Negara dalam suatu pola kerjasama.

2. Adanya pertemuan-pertemuan secara berkala.

3. Adanya staf yang bekerja sebagai “pegawai sipil internasional”

(international civil servant).

17

Teuku May Rudy, 1993, Administrasi dan Organisasi Internasional, Pt Eresco,

Bandung, h. 2.

17

Menurut Sumaryo Suryokusumo berpendapat Organisasi Internasional

adalah suatu proses, organisasi internasional juga menyangkut aspek-aspek

perwakilan dari tingkat proses tersebut yang telah dicapai pada waktu tertentu.18

Organisasi-organisasi Internasional tumbuh karena adanya kebutuhan dan

kepentingan masyarakat antarbangsa untuk adanya wadah serta alat untuk

melaksanakan kerjasama Internasional. Sarana untuk mengkoordinasikan

kerjasama antarnegara dan antarbangsa ke arah pencapaian tujuan yang sama dan

yang perlu diusahakan secara bersama-sama.

L. Leonard dalam buku “International Organization” mengemukakan

pendapatnya bahwa “Souvereign states recognized the need for more suistined

methods of collaboration on numerous problems. States established international

organization to meet these specicific needs”.19

(Negara-negara berdaulat menydari

perlunya pengembangan cara/ metode kerjasama berkesinambungan yang lebih

baik mengenai penanggulangan berbagai masalah. Negara-negara membentuk

organisasi Internasional untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut).

Hak anak merupakan bagian dari hak asasi manusia. Hak Asasi Manusia

merupakan hak yang melekat dengan kuat di dalam diri manusia. Keberadaanya

diyakini sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia.20

Menurut Miriam Budiardjo Hak Asasi Manusia adalah hak-hak yang

melekat pada diri kita, dan tanpa hak-hak itu kita tidak dapat hidup layak sebagai

18

Ade Marnan Suherman, 2003, Organisasi Internasional dan Integrasi Ekonomi

Regional Dalam Perspektif Hukum dan Globalisasi, PT Gahalia Indonesia, Jakarta, h.48. 19

Koesnadi Kertasasmita, 1987, Administrasi Internasional, FISIP Press UNPAD,

Bandung, h. 24 dan 39 20

Madja-El-Muhtaj, 2012, Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia, cet. IV,

Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h.6.

18

manusia. Sedangkan Jack Donnely berpendapat hak asasi manusia adalah hak-hak

yang dimiliki manusia semata-mata karena ia manusia. Umat manusia

memilikinya bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat atau berdasarkan

hukum positif, melainkan semata-mata berdasarkan martabatnya sebagai

manusia.21

Dalam perkembangannya banyak para ahli filsafat hukum yang

memberikan dasar-dasar teori mengenai hak asasi manusia, dasar-dasar teori

tersebut dikembangkan untuk melindungi manusia untuk dapat hidup secara

damai.

Ada 4 prinsip yang terkandung di dalam Konvensi Hak Anak, yakni :22

1. Prinsip non-diskriminasi. Artinya semua hak yang diakui dan terkandung

dalam Konvensi Hak Anak harus diberlakukan kepada setiap anak tanpa

pembedaan apapun. Prinsip ini tertuang dalam Pasal 2 Konvensi Hak

Anak, yakni : “Negara-negara peserta akan menghormati dan menjamin

hak-hak yang diterapkan dalam konvensi ini bagi setiap anak yang berada

dalam wilayah hukum mereka tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun,

tanpa memandang ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama,

pandangan politik atau pandangan-pandangan lain, asal-usul kebangsaan,

etnik atau sosial, status kepemilikan, cacat atau tidak, kelahiran atau status

lainnya baik dari si anak sendiri atau dari orang tua atau walinya yang

sah”. (Ayat 1). “Negara-negara peserta akan mengambil semua langkah

yang perlu untuk menjamin agar anak dilindungi dari semua bentuk

21

HAR TILAAR, 2001, Dimensi-dimensi Hak Asasi Manusia Dalam Kurikulum

Persekolahan Indonesia, Pt Alumni , Jakarta, h. 21. 22

Supriyadi W. Eddyono,2005, Pengantar Konvensi Anak, Lembaga Studi dan Advokasi

Masyarakat ELSAM, Jakarta, h.2

19

diskriminasi atau hukuman yang didasarkan pada status, kegiatan,

pendapat yang dikemukakan atau keyakinan dari orang tua anak, walinya

yang sah atau anggota keluarga”. (Ayat 2).

2. Prinsip yang terbaik bagi anak (best interest of the child). yaitu bahwa

dalam semua tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh

lembaga-lembaga kesejahteraan sosial pemerintah atau badan legislatif.

Maka dari itu, kepentingan yang terbaik bagi anak harus menjadi

pertimbangan utama (Pasal 3 ayat 1).

3. Prinsip atas hak hidup, kelangsungan dan perkembangan (the rights to life,

survival and development). Yakni bahwa negara-negara peserta mengakui

bahwa setiap anak memiliki hak yang melekat atas kehidupan (Pasal 6

ayat 1). Disebutkan juga bahwa negara-negara peserta akan menjamin

sampai batas maksimal kelangsungan hidup dan perkembangan anak

(Pasal 6 ayat 2).

4. Prinsip penghargaan terhadap pendapat anak (respect for the views of the

child). Maksudnya bahwa pendapat anak, terutama jika menyangkut hal-hal

yang mempengaruhi kehidupannya, perlu diperhatikan dalam setiap

pengambilan keputusan. Prinsip ini tertang dalam Pasal 12 ayat 1 Konvensi

Hak Anak, yaitu : “Negara-negara peserta akan menjamin agar anak-anak

yang mempunyai pandangan sendiri akan memperoleh hak untuk

menyatakan pandanganpandangannya secara bebas dalam semua hal yang

20

mempengaruhi anak, dan pandangan tersebut akan dihargai sesuai dengan

tingkat usia dan kematangan anak”.

Landasan teoritis mengenai Hak Asasi Manusia (HAM) bersumber dari dua

teori yaitu :23

1. Teori Hukum Kodrati (Natural Law Theory)

Teori ini dipelopori oleh Thomas Aquinas, yang mana dalam

pembahasannya mengenai hukum beliau membedakan hukum menjadi

4 golongan yakni, lex Aterna (rasio Tuhan yang dapat ditangkap oleh

manusia), lex divina (rasio tuhan yang dapat ditangkap oleh manusia),

lex naturalis (hukum alam), dan lex positivis (hukum positif yang

datang dari tuhan maupun dibuat oleh manusia).

2. Teori Hak Kodrati (Natural Rights Theory)

Teori ini merupakan bentuk perkembangan lebih lanjut dari teori

hukum kodrati, yang mana Natural Rights Theory ini dipelopori oleh

Jhon Locke. Didalam bukunya yang berjudul Two Treaties of Civil

Government, beliau menyatakan bahwa semua individu secara alamiah

dikaruniai oleh alam hak yang melekat atas hidup, kebebasan

menentukan tindakan, mendapatkan perlakuan, yang sama dan

merdeka.

Dimana Negara harus menghormati dan menjamin hak-hak yang

ditetapkan dalam konvensi ini pada setiap anak dalam wilayah hukum mereka

tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun, terlepas dari anak atau orang tua atau

23

LIli Rasjidi, 1985, Dasar-dasar Filsafat Hukum , cet.I, Alumni, Bandung, h.29-30.

21

ras, wali sah, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik, atau pendapat

lain, nasional, etnis atau asal-usul sosial, harta kekayaan,cacat kelahiran atau

status lainnya.

Pengertian perjanjian internasional dalam pengertian umum dan luas,

perjanjian internasional yang dalam bahasa Indonesia disebut juga persetujuan,

traktat, ataupun konvensi adalah :24

“Kata sepakat antara dua atau lebih subyek hukum internasional mengenai

suatu obyek atau masalah tertentu dengan maksud untuk membentuk hubungan

hukum atau melahirkan hak dan kewajiban yang diatur oleh hukum

internasional.”

Demikian pula dari bagian hukum perjanjian Internasional Konvensi Wina

Tahun 1969 pasal 2b menyatakan:25

ratifikasi didefinisikan sebagai tindakan

internasional dimana suatu Negara menyatakan kesediannya atau melahirkan

persetujuan untuk diikat oleh suatu perjanjian Internasional. Karena itu ratifikasi

tidak berlaku surut ,melainkan baru mengikat sejak penandatanganan ratifikasi.

Indonesia merupakan salah satu Negara di dunia yang meratifikasi Konvensi hak-

hak anak atau CRC (Convention on the Right of the Child). Ratifikasi tersebut

terwujud dengan membentuk UU No. 23 Tahun 2002 dan telah dirubah dengan

UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan anak.

Perlindungan anak merupakan masalah di setiap negara dan prioritas

tinggi untuk UNICEF. Bahwa konvensi tentang hak-hak anak dan perjanjian

24

I Wayan Pathiana, 2002, Hukum Perjanjian Internasional, CV Mandar Maju, Bandung,

h. 12. 25

Konvensi Wina Tahun 1969 Pasal 2b terjemahan bahasa Indonesia.

22

internasional lainnya, semua anak mempunyai hak untuk dilindungi dari bahaya.

Kegiatan UNICEF dipandu oleh kerangka normatif internasional yang ada

terhadap hak-hak anak, serta keputusan dan kebijakan Perserikatan Bangsa-

Bangsa sepakat dalam badan-badan antar pemerintah.

1.7 Metode Penelitian

Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan

yang disebut ilmu. Jadi, ilmu merupakan pengetahuan yang didapatkan lewat

metode ilmiah. Karena ideal dari ilmu adalah untuk memperoleh interelasi yang

sistematis dari fakta-fakta dengan menggunakan pendekatan kesangsian

sistematis.26

Penelitian hukum pada dasarnya merupakan suatu kegiatan ilmiah yang

didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk

mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jelas

menganalisisnya, kecuali itu maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam

terhadap fakta tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas

permasalahan-permasalahan yang timbul didalam gejala yang bersangkutan.27

Dalam penulisan skripsi ini metode penulisan yang digunakan penulis adalah

sebagai berikut :

a. Jenis Penelitian

Jenis penulisan yang digunakan dalam karya tulis ini adalah

penelitian hukum normatif. Menurut Soerjono Soekanto mengemukakan

bahwa penelitian hukum normatif mencakup : penelitian terhadap asas-

26

Bambang Sunggono,2007, Metodologi Penelitian Hukum, Pt Raja Grafindo,Jakarta,

h.44. 27

Ibid.

23

asas hukum, penelitian terhadap sistematika hukum, penelitian terhadap

taraf sinkronisasi, penelitian sejarah hukum dan penelitian perbandingan

hukum.28

Pendekatan normatif ini digunakan untuk menelaah ketentuan-

ketentuan yang berkaitan dengan eksploitasi seksual anak di Indonesia

yang mana dalam hal ini terkait dengan Konvensi hak-hak anak, UU

perlindungan anak dan sejumlah pengaturan perundang-undangan lainnya

yang berkaitan dengan eksploitasi seksual komersial anak.

b. Jenis Pendekatan

Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan.

pendekatan-pendekatan yang digunakan di dalam penelitian hukum adalah

:

a. Pendekatan Kasus (the cases approach)

b. Pendekatan Perundang-undangan (the statute approach)

c. Pendekatan fakta (the fact approach)

d. pendekatan analisis konsep hukum (analitical&conseptual approach)

e. pendekatan frasa (words&phrase approach)

f. pendekatan sejarah ( historical approach)

g. Pendekatan perbandingan (comperative approach)

Dalam karya tulis, penulis menggunakan pendekatan sejarah

(historical approach) dilakukan dengan menelaah latar belakang dan

28

Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan

Empiris, cetakan I, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,h.153.

24

perkembangan dari materi yang diteliti.29

Pendekatan perundang-undangan

(the statute approach) yang dilakukan dengan menelaah semua konvensi

internasional khususnya Konvensi hak-hak anak dan pendekatan fakta (the

fact aprroach), pendekatan fakta dilakukan dengan mengkaji fakta-fakta

yang terjadi dalam suatu masalah.

Pendekatan sejarah ini digunakan untuk meneliti latar belakang

eksploitasi seksual komersial anak yang hingga saat ini telah menambah

jumlah anak yang tereksploitasi secara seksual di Indonesia. Pendekatan

perundang-undangan digunakan untuk mempelajari hukum dan sanksi di

dalam ilmu hukum, penulis akan menemukan ide-ide yang melahirkan

peraturan hukum, konsep-konsep hukum dan asas-asas hukum yang

relevan dengan peran UNICEF dalam menangani eksploitasi seksual

komersial anak di Indonesia. Pendekatan fakta digunakan untu mengetahui

fakta-fakta yang terjadi dalam peningkatan jumlah anak yang

tereksploitasi secara seksual di Indonesia.

c. Bahan Hukum

Suatu penelitian normatif itu sumber datanya adalah data sekunder

yaitu data yang diperoleh peneliti dari penelitian kepustakaan dan hukum,

yang merupakan hasil penelitian dan pengolaan orang lain, yang sudah

tersedia dalam bentuk buku-buku atau dokumen yang biasanya disediakan

29

Mukti Fajar,op.cit, h.189.

25

diperpustakaaan, atau milik pribadi.30

Data sekunder itu sendiri dari bahan

hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.31

1. Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang sifatnya mengikat

dalam tulisan ini yang menjadi bahan hukum primer adalah Konvensi

hak-hak anak, perundang-undangan, dan hukum internasional.

2. Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer, seperti pendapat para sarjana hukum.

3. Bahan hukum tersier yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum seknder.

d. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum yang dipergunakan dalam

penelitian ini adalah dengan studi kepustakaan (library research) dimana

studi kepustakaan ini dilakukan dengan studi pustaka terhadap bahan-

bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, maupun

bahan hukum tersier dan atau bahan non hukum. Penelusuran bahan-bahan

hukum tersebut dapat dilakukan dengan membaca, melihat,

mendengarkan, maupun sekarang banyak dilakukan penelusuran bahan

hukum tersebut dengan melalui media internet.32

e. Teknik Analisis

Analisa data merupakan kegiatan dalaam penelitian yang berupa

melakukan kajian atau telaah terhadap hasil pengolahan data yang dibantu

30

Hilman hadikusuma, 1995, Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu Hukum,

Mandar Maju, Bandung, h. 65. 31

Amiruddin, dan Zainal Asikin, 2004 ,Pengantar Metode Penelitian Hukum , PT Raja

Grafindo Persada, Jakarta, h.118. 32

Mukti Fajar,op,cit,h.160.

26

dengan teori-teori yang telah didapatkan sebelumnya.33

Adapun teknik

pengolahan bahan hukum yaitu setelah bahan hukum terkumpul kemudian

dianalisis menggunakan teknik deskripsi yaitu dengan memaparkan bahan

hukum primer dan bahan hukum sekunder apa adanya.34

Bahan hukum

primer dan sekunder yang terkumpul selanjutnya diberikan penilaian

(evaluasi), kemudian dilakukan intepretasi hukum dan selanjutnya

diajukan argumentasi. Argumentasi disini dilakukan oleh penulis untuk

memberikan penilaian mengenai benar atau salah maupun apa yang

seharusnya menurutnya hukum terhadap fakta atau peristiwa hukum dari

hasil penelitian. dan hal tersebut nantinya akan ditarika kesimpulan secara

sistematis agar tidak menimbulkan kontradiksi antara bahan hukum yang

satu dengan bahan hukum yang lain .

Teknik lainnya yang penulis gunakan adalah teknik analisis, yaitu

pemaparan secara detail dari penjelasan yang didapat pada tahap

sebelumnya yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini

sehingga keseluruhannya membentuk satu kesatuan yang saling

berhubungan secara logis.35

33

Ibid, h. 183. 34

Rony Hanitijo,1991, Metode Penelitian Hukum, cet.II, Ghalia Indo, Jakarta, h.93. 35

Ibid.