bab i pendahuluan 1.1 latar belakang masalah · tersebut dapat terlihat dari bagaimana cara...

32
1 Universitas Kristen Maranatha BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang masalah Narkoba telah menjadi masalah yang serius bagi Indonesia. Maraknya penggunaan narkoba pada saat ini telah menjadi trend atau gaya hidup sebagian masyarakat. Hingga tahun 2008 jumlah pengguna narkoba di Indonesia meningkat sebanyak 80% dibandingkan tahun 2007. Seriusnya permasalahan mengenai narkoba bagi Indonesia menjadi ketakutan tersendiri bagi masyarakat. Perubahan jaman yang semakin bergeser serta nilai dari norma-norma yang semakin melonggar membuat narkoba menjadi mudah beredar dan berkembang di kalangan masyarakat, khususnya masyarakat Indonesia (www.google.com//infonarkoba 2009). Pengguna narkotika di Jawa Barat, dari tahun ke tahun cenderung meningkat. Berdasarkan data yang dihimpun Badan Narkotika Nasional (BNN) pada tahun 2009, pengguna obat-obatan terlarang tersebut di Jawa Barat mencapai 1.9% dari jumlah penduduk nasional atau sekitar 800.000 orang. Hal tersebut diungkapkan Kepala Bidang Operasi (Kabid Dalops) pada Badan Narkotika Provinsi (BNP) Jawa Barat, Drs. Muhammad Nizar kepada “PR”, Rabu (16/6). Beliau menjelaskan, pemakai narkotika di Jawa Barat menduduki peringkat ke dua secara nasional. “Kalau situasi seperti ini terus dibiarkan, jelas akan mengancam masa depan generasi penerus,” ujarnya (http://bataviase.co.id/node/257647 ).

Upload: ngodang

Post on 08-Mar-2019

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

Universitas Kristen Maranatha

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang masalah

Narkoba telah menjadi masalah yang serius bagi Indonesia. Maraknya

penggunaan narkoba pada saat ini telah menjadi trend atau gaya hidup sebagian

masyarakat. Hingga tahun 2008 jumlah pengguna narkoba di Indonesia meningkat

sebanyak 80% dibandingkan tahun 2007. Seriusnya permasalahan mengenai narkoba

bagi Indonesia menjadi ketakutan tersendiri bagi masyarakat. Perubahan jaman yang

semakin bergeser serta nilai dari norma-norma yang semakin melonggar membuat

narkoba menjadi mudah beredar dan berkembang di kalangan masyarakat, khususnya

masyarakat Indonesia (www.google.com//infonarkoba 2009).

Pengguna narkotika di Jawa Barat, dari tahun ke tahun cenderung meningkat.

Berdasarkan data yang dihimpun Badan Narkotika Nasional (BNN) pada tahun 2009,

pengguna obat-obatan terlarang tersebut di Jawa Barat mencapai 1.9% dari jumlah

penduduk nasional atau sekitar 800.000 orang. Hal tersebut diungkapkan Kepala

Bidang Operasi (Kabid Dalops) pada Badan Narkotika Provinsi (BNP) Jawa Barat,

Drs. Muhammad Nizar kepada “PR”, Rabu (16/6). Beliau menjelaskan, pemakai

narkotika di Jawa Barat menduduki peringkat ke dua secara nasional. “Kalau situasi

seperti ini terus dibiarkan, jelas akan mengancam masa depan generasi penerus,”

ujarnya (http://bataviase.co.id/node/257647).

2

Universitas Kristen Maranatha

Ilya, salah satu konselor di panti rehabilitasi “X” Bandung yang juga

merupakan seorang mantan pengguna narkoba mengungkapkan bahwa stigma

masyarakat pada pecandu narkoba yang sangat negatif membuat para pecandu

kebanyakan mengalami masa yang sulit untuk menjadi individu yang baru, meskipun

dirinya telah melalui masa rehabilitasi dan telah dinyatakan sehat serta dapat kembali

dalam lingkungan masyarakat. Adanya diskriminasi dari masyarakat membuat

mereka (individu mantan pengguna narkoba) merasa tidak berarti dan usahanya untuk

sembuh hanyalah sia-sia dan pada akhirnya kembali terjerumus pada narkoba untuk

mengalihkan perasaan sakitnya karena banyak diperbincangkan oleh lingkungan yang

seharusnya mendukungnya.

Di panti rehabilitasi “X” kota Bandung, diterapkan empat tahapan program

yang harus dijalani oleh pengguna narkoba atau dapat disebut sebagai residen,

program tersebut disebut dengan reguler programme. Fase pertama adalah fase

induction (-/+ selama 2 bulan) merupakan tahap adaptasi yang bertujuan untuk

penyesuaian diri residen terhadap program pemulihannya yang akan dijalani. Pada

fase ini para residen (pengguna narkoba) dilakukan pengenalan terhadap program

therapeutic community serta pengenalan kultur dan peraturan-peraturan yang ada

pada panti rehabilitasi “X” tersebut, selain itu pada fase ini pula para residen

diberikan motivasi untuk melanjutkan program pemulihan selanjutnya. Selanjutnya

fase ke dua adalah fase awal / primary (3 bulan) tahapan ini bertujuan untuk

mengarahkan residen menerima dan menyadari bahwa dirinya adalah seorang

pecandu yang membutuhkan pertolongan.Motivasi dari dalam diri, serta menyadari

3

Universitas Kristen Maranatha

bahwasannya disamping masalah penyalahgunaan narkoba, ada masalah yang jauh

lebih penting yaitu masalah perilaku, dan bagaimana cara merubahnya. Setelah fase

primary dapat terselesaikan dilanjutkan pada fase ketiga yaitu menengah / pre re-

entry (3-4 bulan) dimana dalam fase ini para residen diarahkan untuk stabilisasi sikap

dan berperilaku hidup sehat. Pada fase ini juga dilakukan pemantauan kondisi emosi

dan keseimbangan psikologi. Pemantauan sikap dan perilaku bertanggung jawab,

serta proses interaksi sosial dengan keluarga sebagai basis utama. Selanjutnya fase

akhir atau fase keempat yaitu fase lanjutan / re-entry (3-4 bulan) dalam fase ini para

residen diarahkan untuk mengembangkan sikap dan perilaku bertanggung jawab dan

proses pengenalan serta pemantapan sikap dan perilaku hidup sehat di dalam keluarga

dan lingkungan sosial. Menambah wawasan untuk mempersiapkan diri untuk masa

depan, mengendalikan reaksi emosi, serta mengerti tentang coping skill dan stress

management.

Setelah para residen menjalankan serangkaian program rehabilitasi yang

terdiri dari empat fase program rehabilitasi, barulah para residen memasuki after care

programme dimana dalam program ini seorang pecandu kembali membangun hidup

dengan keluarga di lingkungan masyarakat dan dapat kembali produktif (bekerja,

sekolah, kursus). Berdasarkan survey awal yang dilakukan peneliti permasalahan

muncul ketika pada fase ini seorang mantan pengguna narkoba yang ingin kembali

hidup dengan “normal” seperti bekerja dan beraktivitas dengan lingkungan sosialnya

terbentur oleh masalah diskriminasi yang kental dari masyarakat sekitarnya. Adanya

labelling dari masyarakat yang mencap pecandu negatif meskipun telah menjalankan

4

Universitas Kristen Maranatha

rehabilitasi dan tidak lagi menggunakan narkoba, namun tetap dianggap „pecandu‟

yang meresahkan masyarakat dan dapat membawa dampak buruk bagi lingkungannya

karena perilakunya yang dulu sebagai pengguna narkoba. Pada akhirnya mantan

pengguna narkoba menjadi merasa terkucilkan kembali, hingga timbul kembali

perasaan tidak berharga, dan perasaan-perasaan negatif lainnya. Akhirnya apa yang

telah didapatkannya selama rehabilitasi menjadi tidak berguna dan hal ini

menghambat potensi-potensi yang seharusnya dapat diolah dan dikeluarkan oleh

mantan pengguna narkoba tersebut.

Terkait dengan permasalahan diskriminasi masyarakat terhadap pengguna

maupun mantan pengguna narkoba, masalah tersebut menjadi dari sumber masalah

yang sering ada atau terjadi pada para individu mantan pengguna narkoba. Ilya

(konselor panti rehabilitasi “X” kota Bandung / mantan pengguna narkoba)

mengungkapkan bahwa pada individu mantan pengguna narkoba meskipun telah

lepas dari narkoba dan merasa diri sehat, mantan pengguna narkoba pada saat-saat

tertentu (biasanya dalam rentang waktu 3-6 bulan sekali, tergantung pada telah

lamanya berhenti memakai narkoba) akan ada masa yang dinamakan masa relapse

atau disebut juga kembali pada fase dimana individu tersebut begitu menginginkan

narkoba dan kembali pada masa dimana mereka menjadi seorang pengguna (seperti

malas, sensitive, selfish, merasa terbuang, dan perasaan-perasaan negatif yang mereka

rasakan). Faktor dari terjadinya relapse antara lain faktor dari individu sendiri yang

terjadi karena adanya rasa “kangen” terhadap narkoba dan hal tersebut biasanya

terjadi saat sugesti dari dirinya mengenai narkoba tersebut sedang tinggi. Faktor

5

Universitas Kristen Maranatha

lainnya yang juga menjadi pengaruh sangat besar terhadap adanya relapse adalah

faktor lingkungan, dimana saat individu tersebut tersugesti begitu besar oleh

temannya yang sedang menggunakan narkoba, maka timbul perasaan yang sulit

dicegah untuk kembali memakai narkoba meskipun hanya sekedar mencicipi.

Kentalnya stigma negatif dari masyarakat terhadap mantan pengguna narkoba

yang dikenal dengan label “junkies” membuat mantan pengguna narkoba yang telah

merasa dirinya “sembuh” menjadi minder menghadapi dunia luar setelah selesai di

rehabilitasi. Pada akhirnya potensi-potensi yang telah di asah kembali semasa

menjalani rehabilitasi menjadi sulit untuk dikeluarkan oleh mantan pengguna narkoba

tersebut, padahal selama menjalani masa rehabilitasi mantan pengguna narkoba

tersebut di tekankan untuk dapat membentuk kembali pribadinya secara positif dan

menumbuhkan potensi-potensinya yang sempat terhambat.

Menurut filsuf Yunani Aristotle, seseorang yang dapat mengeluarkan potensi

terbaiknya adalah orang-orang yang mencapai self realization, dimana seseorang

hidup tidak hanya memenuhi kesenangan atau hasrat saja tetapi berusaha melakukan

sesuatu dengan mengeluarkan seluruh kemampuan terbaiknya (Ryff, 2006). Hal

tersebut dapat terlihat dari bagaimana cara individu pengguna narkoba mencoba

bangkit dan sembuh dari pengaruh narkoba dengan cara menjalankan rehabilitasi,

karena dalam program rehabilitasi individu mantan pengguna narkoba tersebut

diarahkan untuk dapat produktif kembali dan dibantu untuk mengeluarkan potensi-

potensinya yang sebelumnya sempat terhambat karena narkoba. Seorang tokoh

psikologi perkembangan bernama Carol Ryff berusaha menggabungkan berbagai ide

6

Universitas Kristen Maranatha

tersebut dalam suatu konsep multidimensional yang disebut Psychological Well

Being (PWB), dimana menurut Ryff, PWB adalah evaluasi hidup seseorang yang

menggambarkan bagaimana cara dia mempersepsi dirinya dalam menghadapi

tantangan hidupnya.

Bagi seorang individu mantan pengguna narkoba, PWB menjadi penting

adanya sebab untuk dapat menjadi individu yang “baru” setelah melalui pengalaman

yang kelam sebagai pengguna narkoba, penting adanya persepsi positif dari individu

tersebut untuk dirinya karena dengan begitu, persepsi mengenai masa lalunya dan

menjadikan masa lalu sebagai evaluasi hidupnya kedepan untuk menjadi orang yang

“baru” serta menerima apa yang terjadi di masa lalunya, menjadi salah satu cara yang

efektif bagi individu mantan pengguna narkoba untuk dapat kembali bangkit dari

keterpurukan akibat narkoba, serta kembali menata psikologisnya dan mengasah

kembali potensinya yang sempat terhambat sehingga menjadi produktif kembali. Hal

tersebut juga akan menjadi satu kekuatan tersendiri bagi individu mantan pengguna

narkoba untuk menghadapi tantangan-tantangan hidupnya.

Tantangan hidup yang seringkali dihadapi oleh para individu mantan

pengguna narkoba yang berada di panti rehabilitasi “X” kota Bandung tersebut salah

satunya adalah dalam bidang vocational, bagi mantan pengguna narkoba pekerjaan

lebih sulit didapatkan dibandingkan dengan individu yang tidak menggunakan

narkoba. Banyak alasan yang membuat para mantan pengguna narkoba menjadi

kesulitan salah satunya adalah adanya rasa kurang percaya terhadap kompetensi yang

dimiliki mantan pengguna narkoba, selain itu karena individu tersebut “junkies”

7

Universitas Kristen Maranatha

maka perusahaan-perusahaan menjadi kurang percaya terhadap potensi mereka dan

tidak ingin mengambil resiko tersebut. Selain tantangan pada bidang vocational

tantangan lainnya adalah kehidupan berkeluarga dan aktif kembali di lingkungan

masyarakat. Layaknya individu normal pada umumnya, individu mantan pengguna

narkoba juga mempunyai keinginan untuk memiliki keluarga yang utuh, menjalankan

rumah tangga dan memiliki keturunan.

Besarnya diskriminasi yang terlontar dari masyarakat terhadap mereka

menjadi satu hambatan yang nyata bagi individu mantan pengguna narkoba untuk

berelasi dengan lawan jenisnya. Adanya faktor tidak percaya diri serta cibiran-cibiran

yang diberikan oleh orang lain karena mereka adalah seorang mantan pengguna

narkoba sehingga membuat individu mantan pengguna narkoba merasa dirinya tidak

layak untuk mendapatkan pendamping hidup meskipun hal tersebut sangat mereka

inginkan. Berdasarkan data yang didapatkan dari sesi professional group yang

dilakukan dengan 10 individu mantan pengguna narkoba di panti rehabilitasi X kota

Bandung, 10 individu mantan pengguna narkoba menyatakan bahwa mereka menjadi

merasa terhambat dan terbatasi haknya sebagai insan manusia, selain hal tersebut

adapun 6 dari 10 individu mantan pengguna narkoba merasa mereka menjadi useless,

dan 7 dari 10 individu mantan pengguna narkoba mengungkapkan bahwa hal tersebut

membuat mereka menjadi tidak bisa mengembangkan potensi-potensi yang mereka

miliki.

Dalam PWB terdapat enam dimensi, dimana dimensi-dimensi tersebut

menjelaskan mengenai bagaimana seseorang berusaha berfungsi secara positif dalam

8

Universitas Kristen Maranatha

menghadapi tantangan-tantangan hidupnya. Dimensi yang pertama adalah self-

acceptance (penerimaan diri) adalah sikap positif individu terhadap diri sendiri,

mengakui dan menerima berbagai aspek dalam dirinya baik yang positif maupun

yang negatif, memandang positif kejadian dimasa lalu dalam hidupnya. Masa lalu

yang dialami oleh individu mantan pengguna narkoba membuat penerimaan diri

mereka menjadi cenderung terpengaruh. Adanya masa lalu yang “kelam” yang

mereka miliki membuat para individu mantan pengguna narkoba harus memiliki

sikap yang positif terhadap masa lalunya tersebuat agar dapat kembali melanjutkan

tujuan yang sempat tertunda.

Dimensi yang kedua adalah purpose in life, yaitu tujuan hidup, memiliki

tujuan dalam hidup dan terarah, merasakan ada makna dalam kehidupan masa lalu

maupun masa kini, keyakinan-keyakinan yang memberikan perasaan bahwa terdapat

tujuan hidup, mempunyai sasaran dan tujuan dalam hidup. Bagi individu mantan

pengguna narkoba, saat dirinya masih sebagai pengguna narkoba banyak potensi yang

terhambat dan karenanya banyak tujuan-tujuan hidup dari mereka yang tidak

terealisasikan pada saat itu seperti dalam bidang vocational. Selain dampak dari

narkoba sendiri adanya diskriminasi dari masyarakat menjadi salah satu hambatan

yang besar bagi individu mantan pengguna narkoba tersebut untuk mencapai tujuan

hidupnya tersebut.

Dimensi ketiga Autonomy terkait dengan kemandirian individu dalam

menjalani kehidupannya. Maksudnya adalah individu mampu membuat keputusan

sendiri dan mandiri, mampu melawan tekanan sosial untuk berpikir dan bertindak

9

Universitas Kristen Maranatha

dalam cara-cara tertentu, mengatur tingkah laku dari dalam diri, mengevaluasi diri

dengan menggunakan standar pribadi. Kemandirian sendiri menjadi penting adanya

mengingat banyaknya faktor yang dapat mempengaruhi individu mantan pengguna

narkoba tersebut untuk kembali menjadi pengguna narkoba. Adanya masa relapse

yang sering dihadapi oleh individu mantan pengguna narkoba tersebut menjadi salah

satu hal yang harus dihadapi dan untuk itu mereka perlu memantapkan setiap

keputusan atau tindakan untuk dapat menghindarinya.

Dimensi keempat adalah Personal growth (perkembangan individu) yaitu

dapat merasakan perkembangan yang berkesinambungan, memandang diri sendiri

seperti sedang tumbuh dan berkembang, terbuka terhadap pengalaman-pengalaman

yang baru, menyadari potensi dirinya, melihat perbaikan di dalam diri sendiri dan

perilaku dari waktu ke waktu, berubah dalam berbagai cara yang mencerminkan lebih

banyak pengetahuan diri dan keberhasilan. Setelah mereka menyelesaikan masa

rehabilitasi, potensi yang mereka miliki harus kembali diasah oleh individu mantan

pengguna narkoba tersebut. Hal tersebut untuk perkembangan individu tersebut agar

kembali menjalankan kehidupannya, seperti mengikuti pelatihan-pelatihan, terapi,

ataupun kembali menjalankan aktivitasnya (sekolah, bekerja, dll).

Dimensi kelima adalah Positive relationship with other yaitu memiliki

hubungan yang hangat, memuaskan, dan saling mempercayai hubungan-hubungan

dengan orang lain, memperhatikan kesejahteraan orang lain, kasih sayang dan

keakraban, memahami istilah memberi dan menerima dalam hubungan antar manusia.

Bagi individu mantan pengguna narkoba, untuk dapat menjalin kembali relationship

10

Universitas Kristen Maranatha

cenderung sulit mereka jalankan. Hal tersebut dikarenakan adanya rasa tidak percaya

yang cukup besar terhadap orang di luar komunitasnya. Salah satu penyebabnya

adalah labeling negatif yang seringkali mereka dapatkan dari lingkungannya

meskipun mereka sudah tidak lagi memakai narkoba.

Dimensi terakhir adalah Environmental mastery adalah penguasaan dan

kemampuan di dalam mengatur lingkungan, menguasai susunan aktifitas eksternal

yang kompleks, efektif dalam menggunakan kesempatan-kesempatan yang ada

disekitarnya, mampu memilih atau menciptakan keadaan-keadaan yang sesuai

dengan kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai pribadi. Saat individu mantan pengguna

narkoba menyelesaikan rehabilitasi, untuk dapat kembali kedalam lingkungan

masyarakatnya mereka harus berusaha kerasa agar dapat merubah lingkungannya

yang bereaksi negatif dan menilai negatif terhadap mereka menjadi percaya kembali

dan dapat menerima mereka kembali dalam lingkungan sosial.

Dari hasil survey awal dan wawancara yang telah dilakukan pada 10 individu

mantan pengguna narkoba, didapatkan data pada dimensi self acceptance

(penerimaan diri) sebanyak 70 % (7 dari 10 individu mantan pengguna narkoba) pada

saat share feeling atau ungkapan perasaan saat adanya sesi sharing bersama dengan

komunitas mengungkapkan bahwa mereka merasa malu mengakui akan adanya masa

lalu yang kelam sebagai pemakai narkoba, dan merasa apa yag terjadi di masa lalu

tersebut menjadi hambatan untuk dapat mengembangkan diri saat ini dan merasa

minder serta tidak percaya diri untuk kenal dan bergaul dengan orang lain. Sedangkan

30 % (3 individu mantan pengguna narkoba) mengakui bahwa apa yang terjadi pada

11

Universitas Kristen Maranatha

mereka di masa lalu (sebagai pengguna narkoba) menjadi bahan renungan dan

mereka menerima masa lalu tersebut dan berusaha untuk belajar dari kesalahan yang

telah diperbuat sebelumnya untuk kembali bangkit dari masa kelam.

Selanjutnya pada dimensi Purpose in life yang diartikan tujuan hidup,

keseluruhan dari individu mantan pengguna narkoba (10 individu mantan pengguna

narkoba) mengakui bahwa salah satu tujuan hidup saat ini yang penting bagi mereka

adalah berkeluarga dan bekerja. 60 % (6 individu mantan pengguna narkoba)

mengatakan bahwa tujuan tersebut sepertinya sulit untuk terealisasikan, melihat dari

banyaknya cibiran dan diskriminasi yang dilontarkan oleh masyarakat sehingga

mereka merasa apa yang telah direncanakan setelah selesai rehabilitasi menjadi tidak

berarti dan tidak ada rasa percaya diri untuk dapat mewujudkan tujuan tersebut.

Sedangkan 40 % (4 individu mantan pengguna narkoba) merasa bahwa mereka dapat

membina keluarga dan mendapatkan pekerjaan yang layak asalkan mampu bersaing

dan mengeluarkan potensi terbaik untuk membuktikan bahwa mereka mampu,

sehingga tujuan tersebut yang telah direncanakan dapat dicapai meskipun harus

mengeluarkan usaha lebih keras.

Dimensi selanjutnya Autonomy, sebanyak 70 % (7 orang individu mantan

pengguna narkoba) sering merasa sulit untuk menolak tawaran teman-temannya

tersebut yang berada di luar rehabilitasi, entah hanya sekedar minum minuman

beralkohol hingga tawaran „barang‟ yang sangat mereka kenal dan sukai seperti jenis

narkoba yang mereka gunakan. Meskipun tahu betul resiko yang dapat ditimbulkan

saat kembali menggunakan narkoba, seringkali hal tersebut diabaikan dan akhirnya

12

Universitas Kristen Maranatha

harus kembali ke panti rehabilitasi dan menjalani rehabilitasi kembali. Sedangkan 30

% (3 individu mantan pengguna narkoba) merasa apa yang telah mereka putuskan

(berhenti memakai narkoba sampai menjalankan rehabilitasi) serta seringkali

menghindari teman-teman yang mengajak untuk memakai narkoba atau minum

minuman beralkohol merupakan suatu „janji‟ yang dijalankan untuk diri sendiri dan

dapat menolak hal-hal yang negatif dari teman-temannya tersebut apabila hal tersebut

bertentangan dengan dirinya.

Dimensi selanjutnya adalah Personal growth (perkembangan individu)

sebanyak 60 % (6 individu mantan pengguna narkoba) menyatakan setelah

menyelesaikan rehabilitasi hingga saat ini (setelah -/+ 1 tahun berada di panti

rehabilitasi) belum pernah mengikuti kegiatan lain di luar seperti mencari pekerjaan,

memulai kembali sekolah ataupun sekedar mengikuti seminar dan trainning untuk

menjadi konselor pendamping seperti yang diperintahkan oleh konselor. Mereka

merasa belum siap untuk seperti itu dan seringkali melontarkan banyak alasan pada

konselor dan pendamping dengan alasan merasa belum mampu menjalankan hal-hal

tersebut dan masih merasa minder untuk kembali bersosialisasi. Sedangkan 40 % (4

individu mantan pengguna narkoba) mengakui bahwa mereka seringkali mengikuti

seminar dan meskipun belum dapat bekerja serta kembali bersosialisasi, namun

mereka telah mencoba mencari-cari pekerjaan. Jalan lain yang dipilih untuk kembali

aktif dan dapat produktif adalah ingin menjadi konselor dan pendamping di panti

rehabilitasi meskipun syaratnya cukup berat seperti harus mengikuti trainning dan

13

Universitas Kristen Maranatha

membuat makalah seperti mengerjakan skripsi saat kuliah seputar psikologi, terapi

sampai mengenai bidang kedokteran.

Pada dimensi Positive relationship with other, pada dimensi ini 70 % (7

individu mantan pengguna narkoba) mengatakan bahwa mereka merasa lebih nyaman

untuk hanya berelasi dan berhubungan dengan rekan satu komunitas ataupun teman-

teman yang memiliki masa lalu yang serupa, karena menurut mereka sebagai mantan

pengguna narkoba mereka telah banyak mendapatkan diskriminasi yang membuat

mereka menjadi enggan dan kurang percaya terhadap orang lain diluar komunitas.

Jangankan untuk dapat percaya, terkadang baru mengetahui bahwa mereka adalah

seorang mantan pengguna meskipun telah rehabilitasi, cibiran dan gunjingan banyak

dilontarkan dan menganggap mereka seperti tidak layak untuk bergabung bersama

lingkungan sosialnya. Sedangkan 30 % (3 mantan pengguna narkoba) menganggap

bahwa diskriminasi yang dilontarkan terhadap mereka yang membuat adanya

hambatan untuk berelasi meskipun terasa menyakitkan, bagi mereka hal tersebut

dianggap sebagai suatu pelajaran yang menguatkan dan memberikan motivasi bahwa

mereka dapat berubah untuk menjadi manusia yang berguna dan dapat mencoba

berelasi dengan individu diluar komunitas seperti masyarakat di sekitar lingkungan

rumah dimulai dengan hanya sekedar menyapa dan obrolan ringan yang meskipun

sulit, namun berusaha untuk tetap percaya diri dan mengerti bahwa hal tersebut akan

berlalu dengan sendirinya seiring dengan perubahan yang mereka buktikan.

Terakhir adalah Environmental mastery, sebanyak 80 % (8 individu mantan

pengguna narkoba) mengungkapkan bahwa seringkali mereka merasa kesulitan untuk

14

Universitas Kristen Maranatha

menyesuaikan diri terhadap lingkungan, seperti saat berada di panti rehabilitasi

mereka banyak mendapatkan peraturan yang kerasa yang harus dipatuhi, untuk

melakukan hal tersebut mereka harus berusaha karena tidak terbiasa, bahkan saat

selesai rehabilitasi dan kembali ke rumah, munculnya perasaan asing dengan suasana

rumah dan lingkungan sekitarnya serta harus kembali beradaptasi dengan lingkungan

baru beserta aturan-aturan yang baru yang pada akhirnya seringkali mereka langgar

tanpa disadari. Namun 20 % (2 individu mantan pengguna narkoba) menungkapkan

bahwa meskipun sulit untuk beradaptasi dari lingkungan rehabilitasi ke lingkungan

masyarakat sosial, namun mereka masih mau berusaha untuk dapat masuk dalam

lingkungan tersebut serta menyesuaikan diri dengan aturan-aturan setempat yang

berlaku seperti apabila ada kerja bakti di lingkungan rumahnya, mereka ikut kerja

bakti tersebut.

Berdasarkan fakta-fakta dan survey awal yang telah didapat dan telah di

paparkan di atas, peneliti merasa tertarik untuk meneliti mengenai gambaran

Psychological Well-Being pada mantan pengguna narkoba usia dewasa awal yang

berada pada tahap After Care di panti rehabilitasi X kota Bandung.

1.2 Identifikasi Masalah

15

Universitas Kristen Maranatha

Dalam penelitian ini, peneliti ingin mengetahui seperti apa gambaran

Psychological Well-Being pada individu mantan pengguna narkoba usia dewasa awal

yang berada pada tahap aftercare di Panti Rehabilitasi “X” Kota Bandung yang

ditinjau dari dimensi-dimensinya

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian

1.3.1 Maksud Penelitian

Untuk mendapatkan gambaran mengenai Psychological Well-Being pada

mantan pengguna narkoba usia dewasa awal yang berada pada tahap aftercare di

panti rehabilitasi X Bandung.

1.3.2 Tujuan Penelitian

Untuk memperoleh gambaran mengenai self-acceptance, purpose in life,

autonomy, personal growth, positive relationship with others, environmental mastery

pada individu mantan pengguna narkoba usia dewasa awal yang berada pada tahap

aftercare di panti rehabilitasi X kota Bandung.

1.4 Kegunaan Penelitian

1.4.1 Kegunaan Teoritis

Memberikan tambahan referensi untuk ilmu Psikologi, khususnya pada

Psikologi klinis, Psikologi sosial serta Psikologi perkembangan.

16

Universitas Kristen Maranatha

Memberikan informasi kepada peneliti lainnya yang tertarik untuk

meneliti lebih lanjut mengenai Psychological Well-Being.

1.4.2 Kegunaan Praktis

Memberikan informasi kepada konselor panti rehabilitasi, ataupun pihak-

pihak yang terkait dalam program rehabilitasi mengenai pentingnya

Psychological Well-Being bagi individu mantan pengguna narkoba dan

memberikan gambaran mengenai dimensi PWB sehingga konselor serta

pihak yang terkait dapat mengetahui dimensi mana yang perlu ditingkatkan

dengan cara konseling ataupun pelatihan.

Memberikan informasi kepada individu mantan pengguna narkoba

mengenai pentingnya Psychological Well-Being dalam menjalankan proses

pemulihan diri seperti mengikuti program rehabilitasi serta terapi.

1.5 Kerangka Pemikiran

Dalam menjalankan kehidupan sebagai insan manusia, individu pada

umumnya menginginkan jalan hidup yang sejahtera dan bahagia. Layaknya individu

normal lainnya yang menginginkan jalan hidup yang sesuai dengan harapan, begitu

pula dengan individu mantan pengguna narkoba. Bagi individu mantan pengguna

narkoba untuk dapat menjalankan kesehariannya sebagaimana individu normal

lainnya (bukan mantan pengguna narkoba) cenderung sulit untuk dijalankannya.

17

Universitas Kristen Maranatha

Adanya masa lalu yang kelam sebagai pengguna narkoba menjadikan satu hambatan

yang besar bagi para mantan pengguna narkoba untuk dapat menjadi seperti individu

normal pada umumnya. Adanya labeling serta diskriminasi yang seringkali

didapatkan oleh individu mantan pengguna narkoba menjadikan mereka merasa

terasing di lingkungannya sendiri, seperti di lingkungan rumah ataupun di lingkungan

sosialnya. Stigma negatif yang masih kental terhadap mantan pengguna narkoba yang

diberikan masyarakat menimbulkan satu hambatan tersendiri bagi mantan pengguna

narkoba untuk dapat mengeluarkan potensi yang ada pada dirinya. Bagi sebagian

besar masyarakat, seseorang yang telah menjadi pecandu narkoba meskipun telah

berhenti tetap saja di pandang negatif.

Permasalahan tersebut menjadi hambatan besar bagi individu mantan

pengguna narkoba untuk mengembangkan dirinya. Usaha yang telah dilakukannya

untuk penyembuhan dirinya seperti mengikuti terapi ataupun program rehabilitasi

menjadi terkesan sia-sia dan tidak ada manfaatnya bagi mereka. Hal tersebut pula

yang membuat para mantan pengguna narkoba banyak mengalami relapse atau

kembali menggunakan narkoba. Faktor-faktor yang menyebabkan mantan pengguna

narkoba mengalami relapse yaitu faktor dalam dirinya sendiri, dimana mantan

pengguna narkoba merasakan perasaan yang dinamakan “kangen” terhadap rasa dan

efek dari narkoba tersebut, selain itu adapun faktor lingkungan dimana pada saat

mantan pengguna narkoba tersebut terpengaruh oleh temannya ketika sedang

memakai narkoba.

18

Universitas Kristen Maranatha

Saat ini para individu mantan pengguna narkoba yang berada di Panti

rehabilitasi “X” berada dalam tahap perkembangan dewasa awal dengan rentang usia

20-35 tahun. Pada tahap ini mereka memiliki tugas perkembangan yang khas yaitu

kemandirian dalam membuat keputusan dan kemandirian ekonomi. Kemandirian

dalam membuat keputusan adalah membuat keputusan secara luas tentang karir, nilai-

nilai, keluarga dan hubungan serta gaya hidup yang akan dipilih oleh individu

tersebut. Sedangkan kemandirian ekonomi adalah ketika seseorang mendapatkan

pekerjaan penuh waktu yang cenderung menetap (John W.Santrock, 2004).

Berdasarkan teori CBT for substance disorder mengenai permasalahan adiksi,

seorang individu pengguna narkoba biasanya akan terhambat untuk menyelesaikan

tahap perkembangan yang sedang mereka jalani. Bagi individu pengguna narkoba,

pada saat dirinya masuk rehabilitasi usianya dianggap kembali pada usia 0 tahun. Hal

tersebut karena dampak dari narkoba sendiri adalah dapat mempengaruhi believe

system mereka, dimana yang dimaksud believe system disini adalah pemikiran yang

sudah tertanam dalam diri mereka mengenai „siapa mereka‟. Meskipun mereka telah

lepas dari narkoba dan dikatakan bukan lagi seorang pecandu, namun dalam

pemikiran mereka, mereka tetaplah seorang pecandu. Selain itu narkoba juga bisa

menurunkan kemampuan problem solving yang mereka miliki, terlihat apabila sedang

dihadapkan pada suatu masalah mereka cenderung lebih menghindari masalah

daripada menghadapinya. Adanya penurunan dalam kemampuan coping skill tersebut

tentu saja akan dapat menghambat seorang individu dalam menyelesaikan tugas

perkembangan yang ada. Dengan mengikuti program rehabilitasi di panti rehabilitasi

19

Universitas Kristen Maranatha

“X” individu mantan pengguna narkoba tesebut akan diberikan beberapa tahapan

rehabilitasi yang dapat membantu individu agar mampu melewati tugas

perkembangan sesuai dengan rentang usianya.

Walaupun sudah mengikuti rehabilitasi bukan berarti individu yang

bersangkutan bisa dapat dengan mudah menyelesaikan tahapan perkembangan. Hal

yang menghambat individu dalam penyelesaian tugas perkembangan ini salah satunya

adalah stigma negatif masyarakat terhadap para mantan pengguna narkoba. Situasi

tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi individu yang bersangkutan sehingga

mereka dituntut untuk mengerahkan kemampuan secara optimal agar dapat

melewatinya dengan baik. Selain itu adanya masa lalu mereka sebagai seorang

pecandu narkoba, menjadi bahan evaluasi bagi mereka untuk memperbaiki diri dan

kembali mengerahkan potensi-potensi yang sempat terhambat karena narkoba

tersebut. Apabila mereka dapat melewatinya maka akan muncul suatu kepuasan

tersendiri karena berhasil menyelesaikan tantangan dengan mengerahkan kemampuan

terbaik, hal ini yang disebut Ryff sebagai Psychological Well-Being atau disingkat

PWB.

Psychological Well-Being menurut Ryff adalah evaluasi hidup seseorang yang

menggambarkan bagaimana cara dia mempersepsi dirinya dalam menghadapi

tantangan hidupnya (Ryff, 2002). Ketika seorang mantan pengguna narkoba berhasil

melewati dan menghadapi masa-masa sulitnya saat ingin melepaskan diri dari

narkoba, seperti menjalankan program rehabilitasi dengan penuh perjuangan dan

dengan motivasi diri serta keinginan dari dalam diri untuk sembuh yang tinggi,

20

Universitas Kristen Maranatha

tentunya akan merasakan kepuasan tersendiri dan akan berbeda apabila dibandingkan

dengan mantan pengguna narkoba yang mengeluarkan usaha untuk penyembuhan

dirinya secara tidak optimal. Menurut Ryff seseorang yang berusaha untuk mencapai

sesuatu dengan potensi terbaiknya untuk memperbaiki atau meningkatkan keadaan

hidupnya akan memiliki psychological well-being yang tinggi (Ryff, 2005).

Untuk menggambarkan konsep PWB, Ryff mengajukan model multidimensi

dengan enam dimensi yaitu self-acceptance, purpose in life, autonomy, personal

growth, positive relationship with other serta environmental mastery dan setiap

dimensi menggambarkan healthy, well, dan full functioning dalam kerangka human

positive functioning (Ryff, 2006). Pada dimensi pertama self-acceptance yaitu

penerimaan diri baik kekurangan ataupun kelebihan diri serta kejadian di masa lalu

atau masa kini. Individu mantan pengguna narkoba yang memiliki skor tinggi pada

dimensi ini akan mempunyai sikap yang positif terhadap dirinya pribadi, menerima

dirinya baik kekurangannya ataupun kelebihan yang dimilikinya, serta memandang

positif apa yang terjadi di masa lalunya sebagai pengguna narkoba. Sedangkan

individu mantan pengguna narkoba yang memiliki skor rendah akan merasa tidak

puas terhadap diri sendiri, merasa kecewa dan memandang negatif mengenai masa

lalunya sebagai pengguna narkoba dan menyesal akan ketidakmampuan yang dimiliki

oleh dirinya.

Dimensi kedua adalah purpose in life, yaitu menggambarkan mengenai tujuan

hidup, merasakan adanya makna dalam kehidupan masa lalu maupun masa kini.

Individu mantan pengguna narkoba yang memiliki skor tinggi pada dimensi ini akan

21

Universitas Kristen Maranatha

merasa bahwa mereka dapat mewujudkan tujuan hidup mereka seperti membina

keluarga dan mendapatkan pekerjaan. Membuat perencanaan untuk masa depannya

setelah selesai menjalankan rehabilitasi dan berusaha untuk mecapai target-target

hidupnya yang sempat terhambat meskipun untuk mencapai hal tersebut mereka

harus berusaha cukup keras dan mau menghadapi dan menerima stigma masyarakat

yang negatif terhadap mantan pengguna narkoba, memiliki tujuan dalam hidup dan

terarah, keyakinan-keyakinan yang memberikan perasaan bahwa terdapat tujuan

hidup, mempunyai sasaran dan tujuan dalam hidup. Sedangkan individu mantan

pengguna narkoba yang memiliki skor rendah pada dimensi ini mereka akan

cenderung memiliki tujuan hidup yang belum pasti, tidak tahu apa yang akan

dilakukan setelah menyelesaikan rehabilitasi dan merasa usaha apapun yang

dilakukan untuk mencapai tujuan hidupnya akan sia-sia karena banyaknya hambatan

salah satunya diskriminasi yang sering mereka dapatkan dari lingkungannya atau

stigma masyarakat yang negatif terhadap para pecandu meskipun telah berhenti

menjadi pengguna narkoba, tidak melihat tujuan hidup di masa lalu, tidak memiliki

harapan atau kepercayaan yang memberikan arti hidup.

Dimensi selanjutnya adalah autonomy yaitu kemandirian seseorang, dimana

pengambilan keputusan bukan karena tekanan lingkungan tetapi dengan internal locus

of evaluation yaitu mengevaluasi diri sendiri sesuai dengan standar pribadinya sendiri

tanpa melihat persetujuan orang lain. Individu mantan pengguna narkoba yang

memiliki skor tinggi pada dimensi ini mampu mengambil keputusan seperti

keputusan untuk berhenti menggunakan narkoba dan keputusan untuk menjalankan

22

Universitas Kristen Maranatha

program rehabilitasi untuk penyembuhan dirinya berdasarkan keinginan sendiri dan

tidak ada paksaan dari orang-orang sekitarnya. Hal tersebut memang karena

keinginan pribadi individu tersebut sebagai satu upaya untuk penyembuhan dan

pemulihan dirinya, mampu melawan tekanan sosial untuk berfikir dan bertindak

dalam cara-cara tertentu, mengatur tingkah laku dari dalam diri, mengevaluasi diri

dengan menggunakan standar pribadi. Apabila individu mantan pengguna narkoba

tersebut memiliki skor rendah pada dimensi ini, ia cenderung mudah terpengaruh oleh

orang sekitarnya, keputusannya mudah terpengaruh oleh lingkungan dan temannya,

terfokus pada harapan dan evaluasi dari orang lain, berpegangan pada penilaian orang

lain untuk membuat keputusan yang penting.

Pada dimensi personal growth, yaitu dapat merasakan perkembangan yang

berkesinambungan, memandang diri sendiri seperti sedang tumbuh dan berkembang.

Individu mantan pengguna narkoba yang memiliki skor tinggi pada dimensi ini

senantiasa berusaha untuk memperbaiki diri, mengembangkan dirinya, seperti

mencoba mencari pekerjaan, mengikuti pelatihan serta seminar agar aktif kembali di

masyarakat, menyadari potensi yang dimiliki, berubah dalam berbagai cara yang

mencerminkan lebih banyak pengetahuan diri dan keberhasilan. Sedangkan individu

mantan pengguna narkoba yang memiliki skor rendah pada dimensi ini, cenderung

kurang suka mengembangkan diri, merasa dirinya tidak dapat berkembang sepanjang

waktu, merasa tidak dapat mengembangkan sikap atau perilaku baru, tidak akan

mengalami kemajuan dari dalam diri, kurang berkembang seiring berjalannya waktu,

23

Universitas Kristen Maranatha

merasa bosan dan tidak tertarik dengan hidup, merasa tidak mampu mengembangkan

sikap dan tingkah laku yang baru.

Dimensi kelima adalah positive relationship with other, yaitu memiliki

hubungan antar pribadi yang hangat, memuaskan, saling mempercayai serta terdapat

hubungan saling member dan menerima. Individu mantan pengguna narkoba yang

memiliki skor tinggi pada dimensi ini mempunyai sikap yang hangat, dapat

mempercayai orang lain, memiliki empati, afeksi dan intimasi yang kuat, serta

mengerti hubungan saling memberi dan menerima. Individu mantan pengguna

narkoba yang memiliki skor rendah pada dimensi ini cenderung tertutup, sulit

mempercayai orang lain, sulit untuk bersikap hangat, terbuka, peka terhadap orang

lain, serta kadang merasa terisolasi dan frustasi dalam hubungan interpersonal.

Dimensi terakhir adalah environmental mastery yaitu kemampuan individu

untuk memilih dan menciptakan lingkungan yang sesuai dengan nilai dan

kebutuhannya. Individu mantan pengguna narkoba yang memiliki skor tinggi pada

dimensi ini mampu membentuk lingkungannya sendiri seperti berusaha untuk

kembali masuk dan beradaptasi dengan lingkungan yang baru setelah dari panti

rehabilitasi serta berusaha mengikuti aturan-aturan yang berlaku dalam lingkungan

barunya tersebut, individu mantan pengguna narkoba tersebut juga dapat

menggunakan segala kesempatan yang ada dengan efektif. Individu mantan pengguna

narkoba yang memiliki skor rendah pada dimensi ini akan cenderung sulit untuk

merubah lingkungan sekitar menjadi lebih baik dan tidak menyadari kesempatan yang

ada disekitarnya serta merasa kesulitan menangani masalah-masalah sehari-harinya.

24

Universitas Kristen Maranatha

Dilihat dari ke enam dimensi yang ada, untuk setiap individu mantan

pengguna narkoba belum tentu setiap individunya memiliki ke enam dimensi yang

berskor tinggi ataupun rendah, ada kemungkinan bahwa setiap individu tersebut

hanya memiliki beberapa dimensi yang tinggi ataupun dimensi yang rendah,

perbedaan skor pada setiap dimensi untuk setiap individunya dapat terjadi sehingga

terlihat adanya dimensi yang tinggi atau rendah. Hal tersebut didukung oleh faktor-

faktor eksternal. Faktor-faktor yang mempengaruhi PWB pada individu mantan

pengguna narkoba di panti rehabilitasi “X” kota Bandung dapat berasal dari faktor

personality trait dan sosiodemografik (Ryff, 2002). Ryff menemukan bahwa terdapat

hubungan yang signifikan antara kepribadian trait extraversion, conscientiousness,

agreeableness, openness to experience, dan neurotic dengan dimensi-dimensi dari

psychological well-being (Ryff, 2002).

Seperti trait extraversion, trait berkaitan erat dengan purpose in life, self-

acceptance, personal growth dan environmental mastery. Orang yang memiliki trait

extraversion cenderung dipenuhi emosi yang positif, antusias, bergairah, bersemangat

dan optimis. Mereka cenderung memiliki activity level yang tinggi, selalu sibuk dan

mempunyai banyak aktivitas. Mereka juga dikenal asertif, terus terang,mengambil

tanggung jawab dan mengarahkan orang lain ( McCrae & Costa,1992). Individu

mantan pengguna narkoba yang dominan pada trait extravert cenderung merasa

antusias dan optimis, mereka memandang hidup sebagai tantangan, mereka

menghadapi tuntutan-tuntutan hidup dengan semangat dan optimis sehingga mereka

dapat melihat adanya visi kedepan dan dengan begitu mereka dapat menetapkan

25

Universitas Kristen Maranatha

sasaran dan tujuan dalam kehidupannya. Dalam pelaksanaannya mereka juga

ditunjang oleh activity level yang tinggi yang memberikan semangat dalam

melaksanakan setiap kegiatannya. Sifat optimis, kemampuan melihat visi kedepan

serta menetapkan sasaran dan tujuan tersebut merupakan gambaran dari purpose in

life yang tinggi. Individu mantan pengguna narkoba yang memiliki kepribadian ini

juga cenderung dapat lebih mudah menyesuaikan diri dan merasakan emosi yang

positif dan optimis sehingga ia dapat menerima dirinya apa adanya baik kelebihan

maupun kekurangannya (self-acceptance).

Individu mantan pengguna narkoba yang dominan pada trait extraversion juga

cenderung aktif, semangat dan antusias dalam menghadapi aktivitas maupun tuntutan

hidupnya, sehingga mereka punya hasrat yang tinggi dan aktif dalam

mengembangkan diri, mengikuti pelatihan-pelatihan atau seminar yang diadakan oleh

panti rehabilitasi (personal growth). Individu mantan pengguna narkoba ini dikenal

asertif, mereka mau mengarahkan orang lain ataupun ligkungan sesuai dengan

kebutuhan atau nilai-nilai yang sesuai dengan dirinya (environmental mastery).

Selain itu trait conscientiousness berpengaruh pada dimensi purpose in life,

self-acceptance, dan environmental mastery. Individu yang memiliki trait

conscientiousness yang kuat cenderung untuk mengontrol, meregulasi, dan

mengarahkan impuls atau dorongan-dorongannya. Individu tersebut juga mempunyai

achievement-striving yaitu keinginan atau hasrat untuk berusaha keras mencapai

prestasi yang baik atau tinggi. Dalam usaha mencapai prestasinya tersebut ditopang

juga dengan self-dicipline, yaitu kemampuan untuk bertahan dalam menyelesaikan

26

Universitas Kristen Maranatha

tugas-tugasnya hingga selesai, serta orderness yaitu keinginan untuk teratur dan

teroganisir (McCrae & Costa,1992).

Pada individu mantan pengguna narkoba yang memiliki trait

conscientiousness, mereka mempunyai keinginan untuk berusaha mencapai target-

target dalam hidupnya, membuat target untuk mencapai tujuannya sehingga hal

tersebut membuat mereka yakin dalam menjalani hidup dan menganggap hidup itu

berharga dan penting (purpose in life). Individu mantan pengguna nrkoba yang

dominan pada trait ini selalu memiliki hasrat untuk membuat goal dan perencanaan

mencapai tujuannya, sehingga sifat seperti itu membuat individu mantan pengguna

narkoba mempunyai pandangan positif pada dirinya, dimana hal ini menggambarkan

self-acceptance yang tinggi. Dengan demikian individu mantan pengguna narkoba

yang dominan pada trait ini akan berusaha mengatur lingkungan mereka agar dapat

mencapai tujuan serta memilih lingkungan yang sesuai yang dapat menunjang ambisi

mereka, mereka juga memaksimalkan segala kesempatan yang ada agar tujuan

mereka tercapai (environmental mastery).

Trait lainnya adalah neurotic, sifat dari neurotic ini membuat seseorang

cenderung mengalami emosi yang negatif seperti kecemasan, kemarahan dan agresi.

Orang yang memiliki level neurotic tinggi cenderung reaktif secara emosional.

Mereka merespon secara emosional pada situasi yang mungkin tidak berdampak apa-

apa pada kebanyakan orang, reaksi mereka cenderung lebih intens dari kebanyakan

orang. Reaksi emosi negative mereka cenderung bertahan dalam jangka waktu yang

lama, dalam arti mereka sering mengalami bad mood. Masalah dalam meregulasi

27

Universitas Kristen Maranatha

emosi ini dapat mengurangi kemampuan untuk berfikir jernih, membuat keputusan

dan coping stress yang efektif (McCrae & Costa, 1992).

Kecenderungan yang tinggi pada trait ini berdampak pada dimensi self-

acceptance yang berkaitan dengan penerimaan dirinya, baik aspek positif maupun

negatif. Mereka cenderung menginterpretasikan situasi biasa sebagai hal yang

mengancam, dan frustasi kecil sebagai hal yang menyulitkanatau tidak ada harapan,

hal ini membuat mereka cenderung merasa tidak puas terhadap diri sendiri, kecewa

dan menyesal akan ketidakmampuannya (self-acceptance yang rendah). Individu

mantan pengguna narkoba yang dominan pada trait ini juga cenderung mudah merasa

cemas, keadaan tersebut membuat individu mantan pengguna narkoba menjadi ragu

dalam membuat keputusan, dengan begitu mereka menjadi sulit dalam mengatur

lingkungan yang sesuai dengan kebutuhannya serta memilih lingkungan yang sesuai

dengan dirinya (environmental mastery yang rendah).

Namun disisi lain, individu mantan pengguna narkoba yang dominan pada

trait neurotic akan berusaha mengurangi kegelisahan, ketegangan serta keragu-raguan

mereka dengan cara membuat perencanaan secara teliti dan matang untuk mencegah

suatu hal yang tidak diharapkan, mereka juga akan berusaha menetapkan tujuan yang

ideal yang dapat dicapai mereka serta sering mengevaluasi tujuan-tujuan yang mereka

tetapkan. Membuat perencanaan yang teliti serta selalu mengevaluasi tujuan-tujuan

yang telah ditetapkan dapat digambarkan sebagai purposein life yang tinggi.

Sedangkan agreeableness berkaitan erat dengan dimensi autonomy dan

positive relationship with other (Ryff,2002). Orang yang memiliki trait agreeableness

28

Universitas Kristen Maranatha

tinggi lebih menekankan keharmonisan sosial, mudah untuk bekerja sama,

menekankan pentingnya bersama dengan orang lain (McCrae & Costa,1992).

Individu mantan pengguna narkoba yang agreeable dipandang sebagai orang yang

penuh perhatian, friendly, penolong, murah hati, dan berbagi dengan orang lain.

Mereka mempunyai pandangan yang optimis mengenai human nature (positive

relationship with other). Disisi lain sifat agreeableness menjadi tidak dapat

diandalkan pada situasi yang memerlukan pengambilan keputusan objektif yang

berkaitan erat dengan dimensi autonomy.

Pada trait openness to experience berhubungan erat dengan dimensi personal

growth. Sifat dari openness to experience adalah petualang, menghargai seni,

imaginative, serta punya rasa ingin tahu. Sifat mereka yang cenderung

membandingkan dirinya dengan orang terdekat, lebih kreatif dan lebih sadar

mengenai perasaan dirinya berkaitan erat dengan sifat-sifat orang yang memiliki

personal growth yang tinggi yaitu keinginan untuk mengembangkan diri, terbuka

akan pengalaman baru dan menyadari potensi yang dimiliki (McCrae & Costa, 1992).

Pada individu mantan pengguna narkoba, mereka akan berusaha mencari cara-cara

yang efektif untuk mempersiapkan diri mereka menghadapi situasi setelah mereka

menyelesaikan rehabilitasi. Mereka akan mempersiapkan diri untuk kembali

produktif dan aktif dalam lingkungan sosialnya.

Selain itu faktor sosiodemografik seperti usia, status sosial ekonomi, etnis /

suku, gender, dan status marital memiliki hubungan yang signifikan juga terhadap

dimensi-dimensi PWB. Ryff menemukan hubungan yang kuat antara usia dengan

29

Universitas Kristen Maranatha

dimensi PWB, menurutnya terjadi peningkatan pada dimensi autonomy dan

environmental mastery pada dewasa awal hingga dewasa menengah. Hal tersebut

mungkin disebabkan pada usia yang lebih tua, seseorang akan mempunyai peran yang

lebih besar dalan status sosialnya, seperti income, pendidikan dan kesempatan

pekerjaan (Ryff, 2002) namun dari masa dewasa tengah menuju dewasa akhir

cenderung terjadi penurunan pada dimensi personal growth dan purpose in life.

Status sosiodemografik seperti etnis atau suku juga berpengaruh pada PWB

karena terdapat keterkaitan antara nilai-nilai budaya yang dianut dengan dimensi

PWB, seperti pada budaya sunda dan jawa masyarakatnya cenderung memiliki sikap

yang nrimo dan legowo dimana ketika mereka dihadapkan pada satu masalah

cenderung berdiam diri dan pasrah menerima keadaan. Pada status ekonomi dan

sosial menunjukkan bahwa dalam psychological well-being yang tinggi, terdapat pada

dimensi purpose in life dan personal growth, didapati pada individu yang memiliki

status pekerjaan dan tingkat pendidikan tinggi karena perbedaan pendidikan

memberikan akses yang berbeda pada sumber daya dan kesempatan pada kehidupan

yang akhirnya berpengaruh pada kesehatan dan well-being. Gender juga berkaitan

erta dengan PWB, kecenderungan wanita mudah terbuka dan bersosialisasi dengan

lingkungan sekitarnya berkorelasi positif dengan dimensi positive relationship with

other dibandingkan dengan pria yang lebih menekankan individualism dan autonomy

(Gilligian, 1982 dalam Ryff, 2002). Status marital menikah juga menjadi prediktor

terhadap dimensi self-acceptance dan purpose in life (Ryff, 1989).

30

Universitas Kristen Maranatha

Dari uraian diatas dapat digambarkan melalui skema kerangka pikir sebagai

berikut:

31

Universitas Kristen Maranatha

Bagan 1.1 Bagan Kerangka Pemikiran

Pshycological Well-Being

Trait Personality

Self Acceptence Purpose in life

Enviromental mastery

Personal growth

Autonomy

Positive relationship

with other

Mantan

pengguna

narkoba usia

dewasa awal

yang berada

pada tahap

aftercare di

panti rehabilitasi

“X” Bandung

usia Suku/etnis Gender

Extraversion Neurotic

Conscientiousnes

s

Openess to Experience

Experience

Agreeableness

Status marital sosial ekonomi

Faktor sosiodemogafik

Profile PWB pada

mantan pengguna

narkoba usia

dewasa awal yang

berada pada tahap

aftercare di panti

rehabilitasi “X”

Bandung

32

Universitas Kristen Maranatha

1.6 Asumsi

Dalam mempersepsi dirinya menghadapi tantangan hidup, setiap mantan pengguna

narkoba di panti rehabilitasi “X” kota Bandung mempersepsi dan mengevaluasi

dirinya dengan cara yang berbeda-beda.

PWB pada mantan pengguna narkoba di panti rehabilitasi “X” kota Bandung dapat

dilihat dari enam dimensinya yaitu : self-acceptance, purpose in life, autonomy,

personal growth, positive relationship with other, environmental mastery.

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi dimensi-dimensi PWB pada mantan

pengguna narkoba di panti rehabilitasi “X” kota Bandung dapat berasal dari

personality trait dan sociodemografic factor.

Pada personality trait, extraversion, neurotic dan conscientiousness merupakan

predictor yang kuat terhadap self-acceptance, purpose in life dan environmental

mastery. Agreeableness berkaitan erat dengan dimensi autonomy danpositive

relationship with other dan trai openness to experience bersama extraversion

berhubungan erat dengan dimensi personal growth.