bab i pendahuluan 1.1 latar belakang masalah i.pdf · bahasa pelabelan yang tidak dipahami. ......

25
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Salah satu tujuan pembangunan nasional Indonesia adalah untuk meningkatkan kesejahteraan bangsa Indonesia, baik material maupun spiritual yaitu dengan tersedianya kebutuhan pokok berupa sandang (pakaian), pangan (makanan), dan papan (perumahan) yang layak sebagaimana yang diamatkan oleh Pancasila sebagai falsafah dan ideologi Negara Indonesia serta Undang- Undang Dasar 1945. 1 Pangan dalam bentuk makanan dan minuman adalah salah satu kebutuhan pokok manusia yang diperlukan untuk hidup, tumbuh, berkembang biak, dan reproduksi. Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang juga merupakan komoditas perdagangan. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan menentukan bahwa pangan adalah: Segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman. Industri pangan di Indonesia dari tahun ke tahun semakin berperan penting dalam pembangunan industri nasional, sekaligus dalam perekonomian keseluruhan. Perkembangan industri pangan nasional menunjukkan perkembangan yang cukup berarti. Hal ini ditandai oleh berkembangnya 1 Janus Sidabalok, 2010, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, h.1.

Upload: dinhnga

Post on 09-Mar-2019

214 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Salah satu tujuan pembangunan nasional Indonesia adalah untuk

meningkatkan kesejahteraan bangsa Indonesia, baik material maupun spiritual

yaitu dengan tersedianya kebutuhan pokok berupa sandang (pakaian), pangan

(makanan), dan papan (perumahan) yang layak sebagaimana yang diamatkan

oleh Pancasila sebagai falsafah dan ideologi Negara Indonesia serta Undang-

Undang Dasar 1945.1 Pangan dalam bentuk makanan dan minuman adalah salah

satu kebutuhan pokok manusia yang diperlukan untuk hidup, tumbuh,

berkembang biak, dan reproduksi. Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia

yang juga merupakan komoditas perdagangan. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang

Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan menentukan bahwa pangan adalah:

Segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian,

perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik

yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan

atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan

pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam

proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau

minuman.

Industri pangan di Indonesia dari tahun ke tahun semakin berperan

penting dalam pembangunan industri nasional, sekaligus dalam perekonomian

keseluruhan. Perkembangan industri pangan nasional menunjukkan

perkembangan yang cukup berarti. Hal ini ditandai oleh berkembangnya

1 Janus Sidabalok, 2010, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Citra Aditya Bakti,

Bandung, h.1.

2

berbagai jenis industri yang mengolah bahan baku baik dari sektor pertanian,

perternakan, dan lain sebagainya. Pertumbuhan dan perkembangan industri

tersebut dapat membawa dampak positif diantaranya tersedianya kebutuhan

dalam jumlah yang mencukupi, mutunya yang lebih baik, serta adanya alternatif

pilihan bagi konsumen dalam pemenuhan kebutuhannya. Munculnya

globalisasi dan perdagangan bebas juga telah memperluas ruang gerak arus

transaksi barang melintasi batas-batas wilayah suatu negara, sehingga barang

yang ditawarkan makin bervariasi, baik produk luar negeri maupun produksi

dalam negeri.2 Di samping itu, agar barang yang ditawarkan dapat menjangkau

konsumen yang keberadaannya sangat tidak terbatas dengan strata yang sangat

bervariasi pula, maka pelaku usaha melakukan kegiatan pemasaran dan

distribusi produk barang atau jasa dengan cara seefektif mungkin agar dapat

mencapai konsumen yang sangat majemuk tersebut.3

Pertumbuhan pengguna internet yang sedemikian pesatnya merupakan

suatu kenyataan yang membuat internet menjadi salah satu media yang efektif

bagi perusahaan maupun perseorangan untuk memperkenalkan dan menjual

barang atau jasa kepada konsumen dari seluruh dunia. Perdagangan secara

elektronik (e-commerce) tidak terlepas dari laju pertumbuhan internet karena e-

commerce berjalan melalui jaringan internet, dapat dikatakan e-commerce

menjadi penggerak ekonomi baru dalam bidang teknologi. E-commerce

2 Adrian Sutedi, 2008, Tanggung Jawab Produk dalam Hukum Perlindungan Konsumen,

Ghalia Indonesia, Bogor, h.1.

3 Zumroetin K. Soesilo, 1996, Penyambung Lidah Konsumen, Swadaya, Jakarta, h. 12.

3

merupakan model bisnis modern yang non-face (tidak menghadirkan pelaku

bisnis secara fisik) dan non-sign (tidak memakai tanda tangan asli).4

Dengan berbagai macam variasi produk pangan hasil olahan yang ada,

kini banyak pelaku usaha yang memilih untuk menjual produk pangan olahan

impor sebagai salah satu cara untuk mendapatkan keuntungan ekonomi melalui

media elektronik. Keinginan konsumen terhadap produk pangan olahan impor

sangat tinggi karena adanya kecenderungan konsumen untuk mencoba berbagai

jenis makanan dan minuman yang baru. Walaupun produk pangan olahan impor

tersebut dilengkapi dengan pelabelan lengkap tetapi pesan informasi pada label

seringkali tidak sampai ke konsumen hal ini dikarenakan menggunakan bahasa

yang tidak dipahami konsumen, karena dalam pelabelannya menggunakan

bahasa negara asal produk tersebut, seperti Cina dan Jepang.5 Pelaku usaha

tidak memperhatikan tentang pencantuman label berbahasa Indonesia pada

produk pangan olahan impor yang dipasarkan, hal ini diperparah dengan

kemudahan konsumen untuk mendapatkan produk yang diinginkan tersebut

melalui media elektronik. Peredaran produk pangan olahan impor ini tidak

disertai dengan pengawasan yang optimal sehingga makin banyaknya produk

pangan impor ilegal yang masuk ke Indonesia.

Berdasarkan Pasal 1 angka 19 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012

Tentang Pangan yang dimaksud “Pangan Olahan adalah makanan atau

minuman hasil proses dengan cara atau metode tertentu dengan atau tanpa

4 Niniek Suparni, 2001, Masalah Cyberspace Problematika Hukum dan Antisipasi

Pengaturannya, Fortun Mandiri Karya, Jakarta, h. 33.

5 Sudaryatmo, 1999, Hukum & Advokasi Konsumen, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 15.

4

bahan tambahan”. Jika dikaitkan dengan label maka dapat dilihat dalam Pasal 1

angka 3 Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 Tentang Label dan Iklan

Pangan yang menentukan bahwa label pangan adalah “Setiap keterangan

mengenai pangan yang berbentuk gambar, tulisan, kombinasi keduanya atau

bentuk lain yang disertakan pada pangan, dimasukkan ke dalam, ditempelkan

pada atau merupakan bagian kemasan pangan, yang selanjutnya dalam

Peraturan Pemerintah ini disebut Label”.

Label itu ibarat jendela, konsumen yang jeli bisa mengintip suatu produk

dari labelnya.6 Dari informasi pada label, konsumen secara tepat dapat

menentukan pilihan sebelum membeli dan atau mengkonsumsi pangan. Tanpa

adanya informasi yang jelas maka kecurangan-kecurangan dapat terjadi.7

Ketiadaan label berbahasa Indonesia pada produk pangan olahan impor tersebut

dapat menyesatkan konsumen yang memungkinkan berakibat buruk terhadap

perkembangan kesehatan manusia dan keselamatan jiwa manusia. Seperti

halnya gangguan kesehatan yang bisa terjadi pada konsumen yang memiliki

alergi terhadap suatu zat dalam produk makanan tetapi tidak mengetahui karena

bahasa pelabelan yang tidak dipahami.

Sebenarnya mengenai pencantuman label berbahasa Indonesia pada

produk pangan telah diatur di beberapa peraturan perundang-undangan

diantaranya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 Tentang Pangan yang

kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 Tentang

6 Purwiyatno Hariyadi, 2009, “Mencermati Label dan Iklan Pangan”,

http://www.republika.co.id. diakses tanggal 29 Oktober 2014.

7 Yusuf Shofie, 2000, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, Citra

Aditya Bakti, Bandung, h. 15.

5

Pangan (selanjutnya disebut UU Pangan), Undang-Undang Nomor 8 Tahun

1999 Tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut UU Perlindungan

Konsumen), Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 Tentang Label dan

Iklan Pangan (selanjutnya disebut PP Label dan Iklan Pangan), dan ketentuan

teknis lebih lanjut tentang pelabelan pangan olahan diatur dalam Peraturan

Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan Nomor 03.1.5.12.11.09955

Tahun 2011 Tentang Pendaftaran Pangan Olahan (selanjutnya disebut Peraturan

Kepala BPOM Tahun 2011).

Disini terlihat sudah cukup banyak peraturan perundang-undangan yang

mengatur mengenai pencantuman label berbahasa Indonesia pada produk

pangan. Hal ini menunjukkan bahwa pencantuman label berbahasa Indonesia

pada produk pangan amatlah penting. Akan tetapi jika dikaitkan dengan

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik (selanjutnya disebut UU ITE) hanya ditentukan bagi pelaku usaha

yang menawarkan produk melalui sistem elektronik harus menyediakan

informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen,

dan produk yang ditawarkan (Pasal 9 UU ITE). Tidak ada keharusan mengenai

pemberian informasi yang lengkap dan benar dengan menggunakan bahasa

Indonesia terhadap produk yang dipasarkan dalam perdagangan elektronik (e-

commerce).

Dari uraian tersebut diatas penulis tertarik untuk melakukan penelitian

lebih lanjut sehingga penulis mengangkat judul “Pencantuman Label

Berbahasa Indonesia Oleh Pelaku Usaha Pada Produk Pangan Olahan

6

Impor Yang Merugikan Konsumen Dalam Perdagangan Elektronik (E-

Commerce)”.

1.2 Rumusan Masalah

Dari uraian sebagaimana telah dipaparkan dalam latar belakang masalah

di atas, dapatlah dirumuskan pokok permasalahan sebagai berikut:

1.2.1 Bagaimanakah tanggung jawab importir sebagai pelaku usaha yang tidak

mencantumkan label berbahasa Indonesia pada produk pangan olahan

impor dalam perdagangan elektronik (e-commerce)?

1.2.2 Apakah upaya hukum yang dapat ditempuh oleh konsumen yang

dirugikan dalam hal pembelian produk pangan olahan impor tanpa

pencantuman label berbahasa Indonesia dalam perdagangan elektronik (e-

commerce)?

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Untuk mendapakatkan uraian yang lebih terarah dan sistematis terhadap

pokok bahasan, maka ruang lingkup masalah dibatasi yang secara umum

pembahasan disini adalah untuk mendapatkan jawaban mengenai

bagaimanakah tanggung jawab importir sebagai pelaku usaha yang tidak

mencantumkan label berbahasa Indonesia pada produk pangan olahan impor

dalam perdagangan elektronik (e-commerce) serta serta upaya hukum apakah

yang dapat ditempuh oleh konsumen yang dirugikan dalam hal pembelian

produk pangan olahan impor tanpa pencantuman label berbahasa Indonesia

dalam perdagangan elektronik (e-commerce).

7

1.4 Orisinalitas Penelitian

Skripsi ini berjudul “Pencantuman Label Berbahasa Indonesia Pada

Produk Pangan Olahan Impor Dalam Perdagangan Elektronik (E-Commerce)”.

Dengan rumusan masalah bagaimanakah tanggung jawab importir sebagai

pelaku usaha yang tidak mencantumkan label berbahasa Indonesia pada produk

pangan olahan impor dalam perdagangan elektronik (e-commerce), serta apakah

upaya hukum yang dapat ditempuh oleh konsumen yang dirugikan dalam hal

pembelian produk pangan olahan impor tanpa pencantuman label berbahasa

Indonesia dalam perdagangan elektronik (e-commerce). Ini merupakan hasil

karya orisinil, tidak terdapat karya dengan judul dan rumusan masalah yang

sama yang pernah diajukan, pernah ditulis, atau diterbitkan di Fakultas Hukum

Universitas Udayana. Namun adapun beberapa penelitian terkait tentang

pelabelan di luar Fakultas Hukum Universitas Udayana, antara lain:

No. Judul Penulis Rumusan Masalah

1 Tesis: Pengaturan,

Penggunaan dan

Pengawasan Label

Halal Terhadap

Produk Makanan

Perspektif

Perlindungan

Konsumen.

Ali Amran Tanjung

(Program Magister

Pasca Sarjana

Program Studi Ilmu

Hukum Universitas

Sumatera Utara,

Medan, 2009).

1. Bagaimana

pengaturan,

penggunaan label

halal terhadap

produk makanan.

2. Bagaimana

pengawasan

penggunaan label

halal terhadap

produk makanan.

3. Bagaimana sanksi

terhadap

pelanggaran

penggunaan label

halal.

8

2 Skripsi: Konsumen

dan Label (Study

tentang

Perlindungan

Hukum Bagi

Konsumen dalam

Mengkonsumsi

Produk Berlabel

Halal di Kota

Yogyakarta).

Ari Fatmawati

(Fakultas Hukum

Universitas

Muhammadiyah

Surakarta, 2011).

1. Bagaimanakah

profil label dalam

makanan kemasan

yang beredar di

kota Yogyakarta.

2. Bagaimanakah

perlindungan

hukum yang

diberikan terhadap

masyarakat muslim

sebagai konsumen

makanan yang

beredar di kota

Yogyakarta.

1.5 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini yang meliputi tujuan umum dan tujuan

khusus yaitu:

a. Tujuan Umum

Secara umum penelitian ini dimaksudkan untuk mengembangkan

pemikiran mengenai pencantuman label berbahasa Indonesia pada produk

pangan oleh pelaku usaha merupakan bagian dari hak konsumen atas

informasi dalam perlindungan konsumen. Selain itu, penelitian ini juga

dimaksudkan untuk menyumbangkan pemikiran berkenaan dengan

pencantuman label berbahasa Indonesia pada produk pangan, mengingat

makin banyaknya produk pangan impor yang dikonsumsi oleh masyarakat

Indonesia, sehingga nantinya dapat membantu dalam usaha-usaha

pemberdayaan konsumen itu sendiri.

9

b. Tujuan Khusus

Tujuan khusus meliputi:

1. Untuk mengetahui bagaimanakah tanggung jawab importir sebagai

pelaku usaha yang tidak mencantumkan label berbahasa Indonesia pada

produk pangan olahan impor dalam perdagangan elektronik (e-

commerce).

2. Untuk mengetahui apakah upaya hukum yang dapat ditempuh oleh

konsumen yang dirugikan dalam hal pembelian produk pangan olahan

impor tanpa pencantuman label berbahasa Indonesia dalam perdagangan

elektronik (e-commerce).

1.6 Manfaat Penelitian

Dalam setiap penulisan karya ilmiah ada beberapa manfaat yang dapat

diambil dari penelitian yang dilakukan. Adapun manfaat dari penelitian ini

dapat diklasifikasikan atas dua hal, baik yang bersifat teoritis maupun bersifat

praktis, yaitu:

a. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberi pemahaman dan

pengembangan wawasan pengetahuan dibidang hukum perlindungan

konsumen khususnya tentang pencantuman label berbahasa Indonesia pada

produk pangan olahan impor dalam perdagangan elektronik (e-commerce).

10

b. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai sumbangan

pemikiran bagi mereka yang terlibat langsung dalam usaha perlindungan

konsumen baik Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), Yayasan

Lembaga Konsumen (YLKI), konsumen itu sendiri, pelaku usaha, dan juga

pemerintah. Dimana nantinya hasil penelitian ini juga dapat digunakan

sebagai bahan masukan bagi pemerintah dalam membentuk peraturan

perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan konsumen.

1.7 Landasan Teoritis

Pasal 1 angka 2 UU Perlindungan Konsumen menentukan bahwa

konsumen adalah “Setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia

dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain,

maupun mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”. Perlindungan

terhadap konsumen merupakan masalah kepentingan manusia, oleh karenanya

menjadi harapan bagi semua bangsa di dunia untuk dapat mewujudkannya.

Mewujudkan perlindungan konsumen adalah mewujudkan hubungan berbagai

dimensi yang satu sama lain mempunyai keterkaitan dan saling ketergantungan

antara konsumen, pengusaha, dan pemerintah.8

Hukum tentang perlindungan konsumen menjadi sangat penting di era

globalisasi. Hukum tentang perlindungan konsumen mempersoalkan

perlindungan hukum yang diberikan konsumen dalam usahanya memperoleh

8 Erman Raja Guguk et. al., 2003, Hukum Perlindungan Konsumen, Mandar Maju, Jakarta,

h.7.

11

barang atau jasa dari kemungkinan timbulnya kerugian karena penggunaannya,

maka hukum perlindungan konsumen dapat dikatakan sebagai hukum yang

mengatur tentang pemberian perlindungan kepada konsumen dalam rangka

pemenuhan kebutuhannya sebagai konsumen. Dengan demikian, hukum

perlindungan konsumen mengatur hak dan kewajiban konsumen, hak dan

kewajiban produsen, serta cara-cara mempertahankan hak dan menjalankan

kewajiban itu.9

Menurut Hans W. Micklitz bahwa secara garis besar dalam hukum

perlindungan konsumen dapat ditempuh dua model kebijakan, yang pertama

adalah kebijakan komplementer yaitu kebijakan yang mewajibkan pelaku usaha

untuk memberikan informasi yang memadai kepada konsumen (hak atas

informasi). Kedua adalah kebijakan kompensatoris yaitu kebijakan yang

berisikan perlindungan terhadap kepentingan ekonomi konsumen (hak atas

kesehatan dan keamanan).10 Di Indonesia mengenai hak-hak konsumen diatur

dalam Pasal 4 UU Perlindungan Konsumen. Adapun hak-hak konsumen

tersebut ialah:

a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam

mengkonsumsi barang dan/atau jasa;

b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang

dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta

jaminan yang dijanjikan;

c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan

jaminan barang dan/atau jasa;

d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau

jasa yang digunakan;

e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya

penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

9 Yusuf Shofie, op.cit, h.55.

10 Yusuf Shofie, op.cit, h. 60.

12

f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta

tidak diskriminatif;

h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau

penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai

dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-

undangan lainnya.

Dari hak-hak konsumen yang telah dijabarkan diatas jika dikaitkan

dengan permasalahan tidak dicantumkannya label berbahasa Indonesia pada

produk pangan olahan impor dalam perdagangan elektronik (e-commerce),

maka terlihat adanya hak konsumen yang diabaikan oleh importir sebagai

pelaku usaha. Seharusnya merupakan kewajiban pelaku usaha agar

terpenuhinya hak-hak konsumen tersebut. Konsumen berhak untuk

memperoleh informasi yang benar, jelas, dan lengkap mengenai hal-hal yang

diperlukannya mengenai pangan yang beredar di pasar. Sehingga konsumen

juga memperoleh rasa nyaman, aman dan selamat dalam mengkonsumsi produk

pangan yang ada.

Bagi konsumen informasi tentang barang dan/ atau jasa memiliki arti

yang sangat penting. Menurut Troelstrup, konsumen pada saat ini

membutuhkan lebih banyak informasi yang lebih relevan dibandingkan lima

puluh tahun lalu, karena pada saat ini terdapat lebih banyak produk, merek dan

tentu saja penjualnya, saat ini daya beli konsumen makin meningkat, saat ini

lebih banyak variasi merek yang beredar di pasaran, sehingga belum banyak

diketahui semua orang, saat ini model-model produk lebih cepat berubah saat

ini transportasi dan komunikasi lebih mudah sehingga akses yang lebih besar

13

kepada bermacam-macam produsen atau penjual.11 Dan diantara berbagai

informasi tentang barang atau jasa konsumen yang diperlukan konsumen,

tampaknya yang paling berpengaruh pada saat ini adalah informasi yang

bersumber dari kalangan pelaku usaha. Terutama dalam bentuk iklan dan label,

tanpa mengurangi pengaruh dari berbagai bentuk informasi pengusaha

lainnya.12

Pasal 8 ayat (1) huruf j UU Perlindungan Konsumen menentukan bahwa

“Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/ atau memperdagangkan barang

dan/atau jasa yang tidak mencantumkan informasi dan/ atau petunjuk

penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan

perundang-undangan yang berlaku”. Pada produk pangan, informasi atau

petunjuk penggunaan yang dimaksud pada umumnya dapat dilihat pada label

yang tercantum pada kemasan pangan.

Label atau label pangan merupakan setiap keterangan mengenai pangan

yang berbentuk gambar, tulisan, kombinasi keduanya atau bentuk lain yang

disertakan pada pangan, dimasukkan ke dalam, ditempelkan pada atau

merupakan bagian kemasan pangan.Ketentuan lebih lanjut terkait dengan

pencantuman label berbahasa Indonesia dapat dilihat pada UU Pangan.Pasal 97

UU Pangan menentukan bahwa:

(1) Setiap Orang yang memproduksi Pangan di dalam negeri untuk

diperdagangkan wajib mencantumkan label di dalam dan/atau pada

Kemasan Pangan.

11 Erman Raja Guguket. al., op.cit, h.2.

12 Celine Tri Siwi Kristiyanti, 2011, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika,

Jakarta, h. 71.

14

(2) Setiap Orang yang mengimpor pangan untuk diperdagangkan wajib

mencantumkan label di dalam dan/atau pada Kemasan Pangan pada

saat memasuki wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

(3) Pencantuman label di dalam dan/atau pada Kemasan Pangan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditulis atau dicetak

dengan menggunakan bahasa Indonesia serta memuat paling sedikit

keterangan mengenai:

a. nama produk;

b. daftar bahan yang digunakan;

c. berat bersih atau isi bersih;

d. nama dan alamat pihak yang memproduksi atau mengimpor;

e. halal bagi yang dipersyaratkan;

f. tanggal dan kode produksi;

g. tanggal, bulan, dan tahun kedaluwarsa;

h. nomor izin edar bagi Pangan Olahan; dan

i. asal usul bahan Pangan tertentu.

(4) Keterangan pada label sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditulis,

dicetak, atau ditampilkan secara tegas dan jelas sehingga mudah

dimengerti oleh masyarakat.

Selanjutnya dapat dilihat pula pada Pasal 2 PP Label dan Iklan Pangan

yang menentukan bahwa:

(1) Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang

dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan wajib

mencantumkan label pada, di dalam, dan atau di kemasan pangan.

(2) Pencantuman Label sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan

sedemikian rupa sehingga tidak mudah lepas dari kemasannya, tidak

mudah luntur atau rusak, serta terletak pada bagian kemasan pangan

yang mudah untuk dilihat dan dibaca.

Pada Pasal 15 PP Label dan Iklan Pangan ditentukan bahwa “Keterangan pada

label, ditulis atau dicetak dengan menggunakan bahasa Indonesia, angka Arab,

dan huruf Latin”. Dalam bagian penjelasan dari pasal 15 PP Label dan Iklan

Pangan disebutkan bahwa ketentuan ini dimaksudkan agar pangan yang

diperdagangkan di Indonesia harus menggunakan label dalam bahasa Indonesia.

Khusus bagi pangan untuk diekspor, dapat dikecualikan dari ketentuan ini.

Dalam Pasal 16 PP ini disebutkan bahwa:

15

(1) Penggunaan bahasa selain bahasa Indonesia, angka Arab dan huruf

Latin diperbolehkan sepanjang tidak ada padanannya atau tidak

dapat diciptakan padanannya, atau dalam rangka perdagangan

pangan ke luar negeri.

(2) Huruf dan angka yang tercantum pada Label harus jelas dan mudah

dibaca.

Apabila ditinjau dari Peraturan Kepala BPOM Tahun 2011, maka terkait

dengan ketentuan pencantuman label berbahasa Indonesia dapat dilihat pada

Lampiran III Bagian I mengenai Ketentuan Umum yaitu pada angka:

1. Pangan Olahan yang diproduksi di dalam negeri atau dimasukkan ke

dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan dalam kemasan,

wajib mencantumkan label pada, di dalam, dan/atau di kemasan

pangan.

11. Label pangan olahan paling sedikit harus mencantumkan:

a. Nama pangan olahan;

b. Berat bersih atau isi bersih;

c. Nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan

pangan ke dalam wilayah Indonesia;

d. Daftar bahan yang digunakan;

e. Nomor pendaftaran pangan;

f. Keterangan kedaluwarsa; dan

g. Kode produksi.

12. Selain keterangan sebagaimana dimaksud pada angka 11, pada label

pangan olahan juga harus dicantumkan keterangan sebagai berikut:

a. Keterangan tentang kandungan gizi,

b. Keterangan tentang iradiasi pangan,

c. Keterangan tentang Pangan organik,

d. Keterangan tentang Pangan rekayasa genetika,

e. Keterangan tentang pangan yang dibuat dari bahan baku alamiah,

f. Petunjuk penggunaan/penyiapan,

g. Petunjuk tentang cara penyimpanan,

h. Keterangan tentang petunjuk atau saran penyajian,

i. Keterangan tentang peruntukan,

j. Keterangan lain yang perlu diketahui mengenai dampak pangan

terhadap kesehatan manusia,

k. Peringatan.

13. Pencantuman keterangan sebagaimana dimaksud pada angka 11 dan

12 sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Serta dapat dilihat pula pada Pada Lampiran III bagian II mengenai Tulisan dan

Gambar, yaitu:

16

1. Bahasa, Huruf dan Angka

a. Keterangan sebagaimana dimaksud pada Bagian I angka 12 dan angka

13 ditulis dan dicetak dengan menggunakan bahasa Indonesia, angka

Arab dan huruf Latin.

b. Penggunaan istilah asing dalam keterangan sebagaimana dimaksud pada

bagian I angka 12 dan angka 13 dapat dilakukan sepanjang tidak ada

padanannya, tidak dapat diciptakan padanannya atau digunakan untuk

kepentingan perdagangan pangan ke luar negeri.

c. Istilah asing sebagaimana dimaksud pada huruf b adalah bahasa, angka

atau huruf selain bahasa Indonesia, angka Arab atau huruf Latin serta

istilah teknis atau ilmiah, misalnya rumus kimia untuk menyebutkan

suatu jenis bahan yang digunakan dalam komposisi.

d. Dalam label dengan keterangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan

huruf b dapat ditambahkan keterangan yang sama dalam bahasa selain

bahasa Indonesia, angka Arab dan huruf Latin.

Penggunaan label berbahasa Indonesia pada produk pangan memiliki

peranan yang penting dalam perlindungan konsumen. Dengan label berbahasa

Indonesia, konsumen bisa mengetahui informasi produk yang dibelinya

sehingga bisa meminimalisasi resiko kejadian yang tidak diinginkan. Label

selain bahasa Indonesia tentu akan menyulitkan konsumen dalam memahami,

menggunakan, serta mengetahui bahan-bahan yang terdapat pada produk yang

dibelinya. Akan tetapi, jika dikaitkan dengan perdagangan elektronik (e-

commerce) maka dalam UU ITE pada Pasal 9 hanya menentukan bahwa

“Pelaku usaha yang menawarkan produk melalui sistem elektronik harus

menyediakan informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan syarat

kontrak, produsen, dan produk yang ditawarkan”. Pada penjelasan pasal ini

menentukan bahwa yang dimaksud dengan “informasi yang lengkap dan

benar”, meliputi:

a. informasi yang memuat identitas serta status subjek hukum dan

kompetensinya, baik sebagai produsen, pemasok, penyelenggara

maupun peratara;

17

b. informasi lain yang menjelaskan hal tertentu yang menjadi syarat

sahnya perjanjian serta menjelaskan barang dan/atau jasa yang

ditawarkan, seperti nama, alamat, dan deskripsi barang/jasa.

Disini terlihat bahwa dalam UU ITE tidak ada keharusan mengenai

pemberian informasi yang lengkap dan benar dengan menggunakan bahasa

indonesia terhadap produk yang ditawarkan dalam perdagangan elektronik (e-

commerce), sehingga dimungkinkan bagi pelaku usaha untuk memberikan

informasi menggunakan bahasa lain selain bahasa Indonesia (bahasa asal

produk) pada produk yang dipasarkannya tersebut.

Dengan adanya hak-hak konsumen dan kewajiban dari pelaku usaha,

timbul persoalan mengenai tanggung jawab. Tanggung jawab pelaku usaha

merupakan hal yang sangat penting dalam hukum perlindungan konsumen.

Tanggung jawab secara etimologi adalah kewajiban terhadap segala sesuatunya

atau fungsi menerima pembebanan sebagai akibat tindakan sendiri atau pihak

lain. Sedangkan pengertian tanggung jawab menurut Kamus Besar Bahasa

Indonesia adalah suatu keadaan wajib menanggung segala sesuatunya, jika

terjadi sesuatu dapat dituntut, dipersalahkan, diperkarakan, dan sebagainya.13

Pasal 1 angka 3 UU Perlindungan Konsumen, menentukan bahwa pelaku usaha

adalah:

Setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk

badan hukum maupun bukan hukum yang didirikan dan berkedudukan

atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik

Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian

menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.

13 Departemen Pendidikan Nasional, 2002, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka,

Jakarta, h. 1139

18

Adapun prinsip-prinsip tanggung jawab pelaku usaha secara umum dalam

hukum perlindungan konsumen dapat dibedakan menjadi 5(lima) prinsip, yaitu:

1. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Unsur Kesalahan (liability based on

fault)

Prinsip ini menyatakan bahwa seseorang baru dapat dimintakan

pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang

dilakukannya. Prinsip ini tergambar dalam beberapa ketentuan pada Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUH Perdata), yaitu

Pasal 1365, 1366, dan 1367 KUH Perdata. Dalam Pasal 1365 KUH Perdata

menjelaskan bahwa “tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa

kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya

menerbitkan kerugian itu, membawa kerugian tersebut”. Pasal 1365 KUH

Perdata mengharuskan terpenuhinya empat pokok untuk dapat dimintai

pertanggungjawaban hukum dalam perbuatan melawan hukum yaitu

adanya perbuatan, unsur kesalahan, adanya kerugian yang diderita, adanya

hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian.

Pasal 1366 dan 1367 KUH Perdata menjelaskan bahwa tanggung

jawab untuk mengganti kerugian tidak saja karena dilakukannya perbuatan

melanggar hukum, tetapi juga karena kelalaian atau kekuranghati-hatian.

Bahkan tanggung jawab itu meliputi perbuatan orang-orang yang menjadi

atau termasuk tanggung jawabnya. Mengenai beban pembuktiannya, asas

ini mengikuti ketentuan Pasal 1865 KUH Perdata yang mengatur bahwa

19

barangsiapa yang mengakui mempunyai suatu hak maka harus

membuktikan adanya hak atau peristiwa itu.14

2. Prinsip Praduga untuk Selalu Bertanggung Jawab (presumption of liability)

Prinsip ini menyatakan bahwa tergugat selalu dianggap bertanggung

jawab sampai ia dapat membuktikan ia tidak bersalah. Jadi beban

pembuktian ada pada si tergugat. Pembuktian semacam ini dikenal dengan

sistem pembuktian terbalik.

Dasar pemikiran dari teori pembalikan beban pembuktian ini adalah

seseorang dianggap bersalah, sampai yang bersangkutan dapat

membuktikan sebaliknya. Hal ini tentu bertentangan dengan asas hukum

praduga tidak bersalah (presumption of innocence) yang lazim dikenal

dalam hukum. Ketika asas ini diterapkan dalam kasus konsumen maka akan

tampak teori ini sangatlah relevan di mana yang berkewajiban untuk

membuktikan kesalahan ada dipihak pelaku usaha yang digugat.15

3. Prinsip Praduga untuk Tidak Selalu Bertanggung Jawab (presumption of

nonliability).

14 Destania Suswantika, 2011, “Perlindungan Konsumen Terhadap Pemadaman Listrik

Sepihak Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009”, Tesis Fakultas Hukum Universitas

Indonesia”, Depok, h. 34.

15 Ibid.

20

Prinsip ini merupakan kebalikan dari prinsip praduga untuk selalu

bertanggung jawab, di mana tergugat selalu dianggap tidak bertanggung

jawab sampai dibuktikan bahwa ia bersalah.16

4. Prinsip Tanggung Jawab Mutlak (strict liability)

Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) sering diidentikkan

dengan prinsip tanggung jawab absolut (absolute liability). Namum

demikian ada juga ahli yang mengatakan bahwa prinsip tanggung jawab

mutlak ini tidak selamnya sama dengan prinsip tanggung jawab absolut.

Dalam tanggung jawab mutlak, kesalahan tidak ditetapkan sebagai faktor

yang menentukan, terdapat pengecualian-pengecualian yang

memungkinkan untuk dibebaskan dari tanggung jawab sepertikeadaan

memaksa(force majeur). Di lain pihak tanggung jawab absolut merupakan

prinsip tanggung jawab tanpa kesalahan dan tidak ada pengecualiannya.17

5. Prinsip Tanggung Jawab dengan Pembatasan (limitation of liability)

Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan disenangi oleh pelaku

usaha untuk dimuat dalam perjajian standar yang dibuatnya. Prinsip

tanggung jawab ini sangat merugikan konsumen jika ditetapkan secara

sepihak oleh pelaku usaha. Dalam UU Perlindungan Konsumen, pelaku

usaha tidak boleh secara sepihak menetapkan klausula yang merugikan

konsumen, termasuk di dalamnya mengenai pembatasan maksimal

16 Ibid, h. 35. 17 Ibid.

21

tanggung jawabnya.18 Mengenai klasula baku telah diatur dalam Pasal 18

UU Perlindungan Konsumen.

Konsumen yang merasa dirugikan atas barang dan/atau jasa yang

diperdagangkan dan/atau diproduksi oleh pelaku usaha, dapat mengajukan upaya

hukum. Ada 2 (dua) upaya hukum yang dapat ditempuh konsumen untuk

meyelesaikan sengketa yaitu upaya hukum di luar pengadilan (non litigasi) dan

upaya hukum melalui pengadilan (litigasi), hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal

45 UU Perlindungan Konsumen yang menjelaskan bahwa:

(1) Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui

lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan

pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan

peradilan umum.

(2) Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan

atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang

bersengketa.

(3) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada

ayat (2) tidak menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana

diatur dalam undang-undang.

(4) Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar

pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila

upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh

para pihak yang bersengketa.

1.8 Metode Penelitian

a. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan ini ialah penelitian

hukum normatif. Penelitian hukum normatif merupakan penelitian hukum

yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka. Penelitian hukum jenis

ini meliputi penelitian asas hukum, norma hukum, sejarah hukum,

18 Ibid.

22

perbandingan hukum, inventarisasi hukum, sistematika hukum, sinkronisasi

hukum (vertikal dan horizontal). Perlunya penelitian hukum normatif dalam

penelitian ini berkaitan dengan sinkronisasi hukum baik secara vertical

maupun secara horizontal. Sinkronisasi hukum secara vertikal yakni antara

UU ITE dengan PP Label dan Iklan Pangan. Sedangkan sinkronisasi hukum

secara horizontal antara UU Pelindungan Konsumen dan UU Pangan

dengan UU ITE.

b. Jenis Pendekatan

Pendekatan ini merupakan jenis penelitian hukum normatif dengan

menggunakan pendekatan:

1. Pendekatan perundang-undangan (the statute approach)

Pendekatan ini dilakukan dengan menelaah semua peraturan

perundang-undangan yang bersangkut paut dengan permasalahan (isu

hukum) yang sedang dihadapi, yaitu untuk dapat menjelaskan

bagaimana tanggung jawab importir sebagai pelaku usaha yang tidak

mencantumkan label berbahasa Indonesia dalam perdagangan

elektronik (e-commerce), serta upaya hukum yang dapat ditempuh oleh

konsumen yang dirugikan akibat tidak dicantumkannya label berbahasa

indonesia pada produk pangan oahan impor dalam perdagangan

elektronik (e-commerce).

23

2. Pendekatan fakta (the fact approach)

Pendekatan ini merupakan pendekatan terhadap fakta-fakta yang

ada berdasarkan permasalahan yang dikaji yang selanjutnya dikaitkan

dengan penerapan hukum yang berlaku. Yaitu dengan adanya fakta

tidak dicantumkannya label berbahasa Indonesia pada produk pangan

olahan impor yang diperoleh melalui perdagangan elektronik (e-

commerce) kemudian dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan

yang ada.

3. Pendekatan frasa (words & phrase approach)

Pendekatan ini merupakan pendekatan dengan menelaah suatu

kata atau kalimat sehingga diperoleh sebuah pemahaman, dalam

penelitian ini berkenaan dengan isi pasal terkait pencantuman label

berbahasa Indonesia pada produk pangan dengan pasal 9 UU ITE.

c. Sumber Bahan Hukum

Sumber bahan hukum dalam penelitian ini ialah bahan hukum

primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Bahan hukum

primer yaitu bahan hukum yang bersifat autoritatif atau mempunyai otoritas

atau memiliki kekuatan mengikat,19 yaitu berupa peraturan perundang-

undangan yang terkait dengan permasalah yang diteliti. Sedangkan bahan

hukum sekunder merupakan bahan hukum yang memberikan penjelasan

terhadap bahan hukum primer, yaitu meliputi buku-buku, literatur, makalah,

19 Soerjono Soekanto & Sri Mahmmudji, 1988, Penelitian Hukum Normatif, Rajawali

Press, Jakarta, h. 34.

24

tesis, skripsi, dan bahan-bahan hukum tertulis lainnya yang berhubungan

dengan permasalahan penelitian.20 Disamping itu, juga dipergunakan

bahan-bahan hukum yang diperoleh melalui electronic research yaitu

melalui internet dengan jalan mengcopy (download) bahan hukum yang

diperlukan. Yang terakhir ialah bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum

yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum

primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus hukum.

d. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam

penelitian ini menggunakan sistem kartu (card system). Dimana baik judul,

dan pengarang selanjutnya agar lebih mudah, dibantu dengan menggunakan

kartu catatan. Yang ditekankan pada sistem ini ialah pencatatan mengenai

informasi yang relevan dengan topik permasalahan.

e. Teknik Analisis Bahan Hukum

Dari bahan hukum yang berhasil dikumpulkan dalam penelitian ini,

baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, maupun bahan hukum

tersier dianalisis dengan menggunakan teknik deskripsi, evaluasi, dan

sistematisasi. Teknik deskripsi, yaitu dengan cara memaparkan,

mendeskripsikan, maupun menganalisa bahan hukum yang berkaitan

dengan permasalahan yang diteliti. Teknik evaluasi yaitu dengan melakukan

20 Peter Mahmud Marzuki, op. cit, h. 141.

25

penilaian terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait dengan

permasalahan yang diteliti. Sedangkan teknik sistematisasi adalah

menjelaskan dan mencari hubungan antara suatu konsep hukum dengan

peraturan perundang-undangan terkait sehingga diperoleh suatu kesimpulan

yang ilmiah.