perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

184
TESIS PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN DALAM PELABELAN PRODUK PANGAN ANAK AGUNG AYU DIAH INDRAWATI PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2011

Upload: vandat

Post on 04-Jan-2017

279 views

Category:

Documents


13 download

TRANSCRIPT

Page 1: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

TESIS

PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMENDALAM PELABELAN PRODUK PANGAN

ANAK AGUNG AYU DIAH INDRAWATI

PROGRAM PASCASARJANAUNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR2011

Page 2: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

TESIS

PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMENDALAM PELABELAN PRODUK PANGAN

ANAK AGUNG AYU DIAH INDRAWATI

NIM : 0890561067

PROGRAM MAGISTERPROGRAM STUDI ILMU HUKUM

PROGRAM PASCASARJANAUNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR2011

Page 3: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMENDALAM PELABELAN PRODUK PANGAN

Tesis ini untuk memperoleh Gelar Magister HukumPada Program Studi Ilmu Hukum

Program Pascasarjana Universitas Udayana

ANAK AGUNG AYU DIAH INDRAWATINIM : 0890561067

PROGRAM MAGISTERPROGRAM STUDI ILMU HUKUM

PROGRAM PASCASARJANAUNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR2011

Page 4: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

Lembar Persetujuan Pembimbing

TESIS INI TELAH DISETUJUI

PADA TANGGAL 16 DESEMBER 2011

Pembimbing I, Pembimbing II,

Dr. I Wayan Wiryawan, SH, MH Dewa Gede Rudy, SH, MHNIP. 19550306 198403 1 003 NIP. 19590114 198601 1 001

Mengetahui,

Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum DirekturProgram Pascasarjana Program PascasarjanaUniversitas Udayana, Universitas Udayana,

Prof. Dr. Putu Sudarma Sumadi, SH, SU Prof.Dr.dr.A.A.Raka Sudewi, Sp.S(K)NIP. 19560419 198303 1 003 NIP. 19590215 19851 02 001

Page 5: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

Tesis Ini Telah Diuji

Pada Tanggal 16 Desember 2011

Panitia Penguji Tesis

Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana

Nomor : 2033/UN14.4/HK/2011, Tanggal 7 Desember 2011

Ketua : Dr. I Wayan Wiryawan, SH, MH

Sekretaris : Dewa Gde Rudy, SH, MH

Anggota : Prof. Dr. Putu Sudarma Sumadi, SH, SU

I Ketut Westra, SH, MH

Ida Bagus Putra Atmaja, SH, MH

Page 6: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN

Yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : Anak Agung Ayu Diah Indrawati

Tempat/Tanggal Lahir : Denpasar/11 April 1981

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Jl. Dr. Sutomo No. 27 Trenggalek Jawa Timur

Nomor Telepon : 081337023796

Jurusan : Magister Ilmu Hukum (Hukum Bisnis)

Dengan ini menyatakan bahwa Tesis ini merupakan hasil karya asli penulis,

tidak terdapat karya yang pernah diajukan memperoleh gelar kesarjanaan disuatu

perguruan tinggi manapun, dan sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat

karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh penulis lain, kecuali

yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Apabila Penulisan Tesis ini terbukti merupakan duplikasi ataupun plagiasi dari

hasil karya penulis lain dan / atau dengan sengaja mengajukan karya atau pendapat

yang merupakan hasil karya penulis lain, maka penulis bersedia menerima sanksi

akademik dan / atau sanksi hukum.

Demikian surat pernyataan ini penulis buat sebagai pertanggung jawaban ilmiah

tanpa ada paksaan maupun tekanan dari pihak manapun juga.

Trenggalek, 25 November 2011

Yang menyatakan

(ANAK AGUNG AYU DIAH INDRAWATI)NIM 0890561067

Page 7: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

UCAPAN TERIMA KASIH

Om Swastiastu,

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa /

Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat-Nyalah akhirnya penulis dapat

menyelesaikan tesis yang berjudul “PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN

DALAM PELABELAN PRODUK PANGAN”.

Terselesaikannya tesis ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, karenanya

pada kesempatan yang berbahagia ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima

kasih yang sedalam-dalamnya kepada :

1. Prof. Dr. I Made Bakta, Sp.PD (K) Rektor Universitas Udayana.

2. Prof. Dr. A.A. Raka Sudewi, Sp. S (K) Direktur Program Pascasarjana

Universitas Udayana.

3. Prof.Dr. Putu Sudarma Sumadi, SH, SU Ketua Program Studi Magister Ilmu

Hukum Universitas Udayana.

4. I Putu Gede Arya Sumerthayasa, SH, MH Sekretaris Program Studi Magister

Ilmu Hukum Universitas Udayana.

5. Dr. I Wayan Wiryawan, SH, MH Pembimbing I, yang telah banyak

memberikan masukan dan selalu mengingatkan untuk sesegera mungkin

menyelesaikan tesis ini.

6. Dewa Gede Rudy, SH, MH Pembimbing II yang banyak memberikan arahan,

bimbingan dan saran serta semangat untuk menyelesaikan tesis ini.

Page 8: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

7. Bapak / Ibu Dosen pengajar dan seluruh staf administrasi Program Studi

Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana yang telah membantu dalam

segala hal guna penyelesaian kuliah di Program Pascasarjana Universitas

Udayana.

8. Suamiku tersayang A.A.Putu Putra Ariyana, SH, Anandaku yang tercinta

A.A.Ayu Citra Nariswari, Ibundaku yang selalu memberi motivasi tiada henti

I.G.A Puspawati, SH, MH, Ajiku I Gusti Putu Gde Suwirya, kakakku

A.A.Putu Agung Suryakusuma, ST, dan adikku A.A.Gde Agung

Prawiranegara, SE dan keluarga di Jero Grenceng dan di Jero Peguyangan

yang begitu perhatian dan memberikan dukungan moril dan materiil dalam

menyelesaikan kuliah di Program Pascasarjana Universitas Udayana.

9. Teman-teman kuliah serta rekan-rekan kerja di Pengadilan Negeri Tabanan

dan Pengadilan Negeri Trenggalek yang selalu memberi semangat selama

masa perkuliahan dan selama penyusunan tesis ini.

Semoga kebaikan Bapak / Ibu dan Saudara sekalian mendapat pahala dari Ida

Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa.

Akhir kata, apabila ada kekurangan dalam tesis ini penulis minta maaf dan besar

harapan saya semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Om Santi Santi Santi Om.

Trenggalek, November 2011

Penulis

Page 9: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

ABSTRAK

PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMENDALAM PELABELAN PRODUK PANGAN

Pasal 1 (3) dari PP No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Panganmenentukan bahwa yang dimaksud dengan label pangan adalah : setiap keteranganmengenai pangan yang berbentuk gambar, tulisan, kombinasi keduanya atau bentuklain yang disertakan pada pangan, dimasukkan ke dalam, ditempelkan pada ataumerupakan bagian kemasan pangan. Dari pengertian label diatas dapat diketahuibahwa didalam label itu termuat informasi. Hak atas informasi yang benar, jelas danjujur adalah salah satu hak dari konsumen. Namun sayangnya, masalah labelkhususnya label pangan kurang mendapat perhatian dari konsumen maupun pelakuusaha, padahal label memegang peran penting dalam upaya perlindungan konsumen.Ketiadaan informasi yang benar, jelas dan jujur yang seharusnya tercantum dalamlabel bisa menyesatkan konsumen dan tentunya berakibat hukum pada pelaku usahauntuk bertanggungjawab apabila sampai merugikan konsumen. Untuk itu menarikuntuk dikaji apakah pelabelan produk pangan sebagaimana diatur dalam PP No. 69Tahun 1999 telah memenuhi asas-asas perlindungan konsumen dan apakah akibathukum dari informasi tidak benar, jelas dan jujur dalam label.

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yakni penelitian hukumnormative, yaitu suatu penelitian yang menempatkan norma sebagai obyek penelitiandalam hal ini adalah PP No. 69 Tahun 1999. Jenis pendekatan yang digunakan dalamdalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normative yaitu penelitian yangmenekankan pada data sekunder yang terdiri dari sumber bahan hukum primer,sekunder dan tersier. Pengumpulan bahan hukum diawali dengan inventarisasidengan pengoleksian dan pengorganisasian bahan hukum. Analisa bahan hukumdalam penelitian ini dilakukan secara kualitatif dan komprenhensif.

Dari hasil penelitian tersebut diatas, dapat diperoleh kesimpulan bahwaketentuan pelabelan produk pangan sebagaimana diatur dalam PP No. 69 Tahun 1999belum memenuhi asas-asas perlindungan konsumen, dan pelanggaran ketentuan labelpangan oleh pelaku usaha dapat dikenakan tanggungjawab administratif, perdatamaupun pidana.Kata kunci : label, informasi, hak konsumen dan perlindungan konsumen.

Page 10: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

ABSTRACT

CONSUMER PROTECTION LAW IN LABELINGFOOD PRODUCT

Article 1 (3) of the Government Regulation 69 of 1999 on Food Labels andAdvertising is meant to determine that food labels are : every description of food inthe form of drawing, writings, a combination of both or any other form supplied withfood, put in, affixed to or a part of food packinging. From the above definition, labelcan be seen that the information contained on the label. The right to correctinformation, clearly and honestly is one of the rights of consumers. But unfortunately,the problem of food labels, especially labels received less attention from consumersand businesses, whereas the label holds an important part in efforts to protectconsumers. The absence of correct information, clear and honest that should be listedin the labels could mislead consumers and course the legal consequances on actors inthe business to be responsible if to harm consumers. It is interesting to examinewhether the labeling of food products as stipulated in Government Regulation 69 of1999 has been compliance with the principles of consumer protection and wheatherthe legal effect of information that is not correct, clear and honest in the label.

This type of research applied in this study was normative legal research, astudy that puts the norm as a research object, in this case is Government Regulation69 of 1999. This type of approach used in this research was the normative jurisdicalapproach that emphasizes research on the secondary data from the source materialconsisting of primary law, secondary, tertiary differences. The collection of databegan with an inventory of legal materials by collecting and organizing legalmaterials. Analysis of legal materials in this study was qualititatively andcomprehensively conducted.

From the results, the conclusion can be obtained that the food productlabeling provisions as stipulated in Government Regulation 69 of 1999 do not meetthe principle of consumer protection, and violation of provisions of the food label bybusinesses may be subject to the responsibility of administarative, civil or criminal.

Keywords : labels, information, consumer rights and consumer protection.

Page 11: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

RINGKASAN

Bab I Pendahuluan, menguraikan bahwa hak atas informasi yang benaradalah salah satu hak konsumen sebagaimana diatur dalam pasal 4 UU No. 8 Tahun1999 tentang Perlindungan Konsumen.Salah satu sumber informasi adalah label.Dalam kaitannya dengan pangan yang merupakan salah salah satu kebutuhan dasarmanusia, maka masyarakat perlu memperoleh informasi yang benar, jelas, danlengkap, baik mengenai kuantitas, isi, kualitas maupun hal-hal lain yangdiperlukannya, yang mana hal itu semua bisa diketahui dari label pangan.

Ketentuan mengenai label diatur dalam beberapa undang-undang diantaranyaadalah Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan, Undang-Undang No. 36 Tahun 2009tentang Kesehatan, Undang-Undang No. 2 tahun 1981 tentang Metrologi Legal, danyang lebih spesifik lagi mengenai pangan diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 69Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan.

Label itu ibarat jendela, konsumen yang jeli bisa mengintip suatu produk darilabelnya. Dari informasi pada label, konsumen secara tepat dapat menentukan pilihansebelum membeli dan atau mengkonsumsi pangan. Tanpa adanya informasi yangjelas maka kecurangan-kecurangan dapat terjadi. Namun sayangnya, dari hasil kajianyang dilakukan BPKN (Badan Perlindungan Konsumen Nasional) masalah labelkurang mendapat perhatian dari konsumen dimana hanya 6,7% konsumen yangmemperhatikan kelengkapannya. Sikap yang sama juga ditunjukkan oleh pelakuusaha, sehingga di pasaran Indonesia saat ini dapat dengan mudah kita mendapatiproduk pangan yang tidak memberi informasi lengkap dalam label, misalnya sajaproduk dengan bahasa asing. Bagaimana label dengan bahasa asing bisa memberiinformasi. Dalam hal seperti ini, hak konsumen menjadi terabaikan.

Perdagangan pangan yang jujur dan bertanggungjawab bukan semata-matauntuk melindungi kepentingan masyarakat yang mengkonsumsi pangan. Melaluipengaturan yang tepat berikut sanksi-sanksi hukum yang berat, diharapkan setiaporang yang memproduksi pangan atau memasukkan pangan ke dalam wilayahIndonesia untuk diperdagangkan dapat memperoleh perlindungan dan jaminankepastian hukum.

Bab II, Tinjauan Umum Tentang Perlindungan Konsumen menguraikanmengenai pengertian perlindungan konsumen, asas dan tujuan perlindungankonsumen, hak dan kewajiban konsumen serta hak dan kewajiban pelaku usaha.

Pasal 1 angka 1 UU No. 8 Tahun 1999 memberi pengertian perlindungankonsumen sebagai segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untukmemberikan perlindungan kepada konsumen.Kepastian hukum untuk memberikanperlindungan kepada konsumen tersebut antara lain adalah dengan meningkatkanharkat dan martabat konsumen serta membuka akses informasi tentang barangdan/atau jasa baginya, dan menumbuhkembangkan sikap pelaku usaha yang jujur danbertanggung jawab (konsideran huruf d, UU).

Page 12: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

Di dalam usaha memberikan perlindungan hukum terhadap konsumen,terdapat beberapa asas yang terkandung di dalamnya. Perlindungan konsumendilakukan sebagai bentuk usaha bersama antara masyarakat (konsumen), pelakuusaha dan Pemerintah sebagai pembentuk Peraturan Perundang-Undangan yangberkaitan dengan Perlindungan Konsumen, hal ini terkandung dalam ketentuan pasal2 UUPK. Kelima asas tersebut adalah asas manfaat, asas keadilan, asaskeseimbangan, asas keamanan dan keselamatan konsumen serta asas kepastianhukum. Kelima asas itu mengacu pada filosofi pembangunan nasional yaitupembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada falsafah NegaraRepublik Indonesia. Kelima asas tersebut melandasi tujuan dari perlindungankonsumen sebagaimana dijelaskan dalam ketentuan pasal 3 Undang-Undang Nomor 8Tahun 1999.

Perlindungan konsumen sesungguhnya identik dengan perlindungan yangdiberikan hukum tentang hak-hak konsumen. Mengenai hak-hak konsumen diIndonesia diatur dalam l pasal 4 UU No. 8 Tahun 1999 tentang PerlindunganKonsumen. Disamping hak-hak dalam pasal 4 UUPK, juga terdapat hak-hakkonsumen yang dirumuskan dalam pasal-pasal berikutnya, khususnya dalam pasal 7yang mengatur tentang kewajiban pelaku usaha. Kewajiban dan hak merupakanantinomi dalam hukum, sehingga kewajiban pelaku usaha dapat dilihat sebagai hakkonsumen. Oleh karena itu dalam ketentuan Bab IV UUPK pasal 8 sampai dengan 17menyebutkan perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha. Pada hakikatnya, larangan-larangan terhadap pelaku usaha tersebut adalah mengupayakan agar barang dan/ataujasa yang beredar di masyarakat merupakan produk yang layak edar, yangmenyangkut asal-usul, kualitas sesuai dengan informasi pengusaha baik melalui label,iklan, dan lain sebagainya.

Bab III, Ketentuan Label Pangan Dalam Kaitannya Dengan AsasPerlindungan Konsumen, menguraikan mengenai pengertian label, label sebagaiwujud hak konsumen atas informasi, arti penting label pangan bagi konsumen danketentuan label pangan terkait dengan asas perlindungan konsumen.

Pasal 1 (3) dari PP No. 69 Tahun 1999 menentukan bahwa yang dimaksuddengan label pangan adalah : setiap keterangan mengenai pangan yang berbentukgambar, tulisan, kombinasi keduanya atau bentuk lain yang disertakan pada pangan,dimasukkan ke dalam, ditempelkan pada atau merupakan bagian kemasan pangan.

Dari pengertian label diatas dapat diketahui bahwa didalam label itu termuatinformasi. Informasi mana sangat berguna bagi konsumen, karena dari informasipada label, konsumen secara tepat dapat menentukan pilihan sebelum membeli danatau mengkonsumsi pangan. Informasi pada label tidak hanya bermanfaat bagikonsumen, karena label juga memberikan dampak signifikan untuk meningkatkanefisiensi dari konsumen dalam memilih produk serta meningkatkan kesetiaannyaterhadap produk tertentu, sehingga akan memberikan keuntungan juga bagi pelakuusaha.

Berbagai peraturan yang berkaitan dengan upaya perlindungan konsumenpada dasarnya sama dengan peraturan-peraturan lain yang ketentuannya mengandung

Page 13: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

ide-ide atau asas-asas yang boleh digolongkan abstrak, yang idealnya meliputi idetentang keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Akan tetapi setelah dicermatiketentuan-ketentuan yang ada di dalam PP No. 69 Tahun 1999, rupanya asas-asasperlindungan konsumen sebagaimana ditetapkan dalam pasal 2 Undang-Undang No.8 Tahun 1999 belum sepenuhnya memenuhi kelima asas-asas yang dimaksud. Mulaidari pengertian label sendiri yang masih memberi peluang terjadinya pelanggaran,masih adanya pengecualian penggunaan bahasa Indonesia, ketentuan penulisan masakadaluarsa yang tidak ada keseragaman.

Bab IV, Tanggung Jawab Pelaku Usaha Dalam Pelanggaran LabelPangan, menguraikan bahwa dalam hal pelaku usaha melakukan pelanggaranterhadap ketentuan label pangan maka pelaku usaha dapat dimintakanpertanggungjawaban baik secara perdata, pidana maupun administrative. Penegakanperaturan (by the law enforcement) melalui hukum administrative berfungsi untukmencegah (preventif) terjadinya pelanggaran hak-hak konsumen dengan perijinandan pengawasan. Hukum pidana berfungsi untuk menanggulangi (represif) setiappelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan, dengan cara mengenakansanksi hukum berupa sanksi pidana dan hukuman. Sedangkan hukum perdataberfungsi untuk memulihkan hak (curative/recovery) dengan membayar kompensasiatau ganti kerugian.

Bab V, Penutup, menguraikan mengenai kesimpulan dan saran. Kesimpulanpertama : bahwa ketentuan pelabelan produk pangan sebagaimana diatur dalam PPNo. 69 Tahun 1999 belum memenuhi asas-asas perlindungan konsumen, kedua :pelanggaran oleh pelaku usaha terhadap ketentuan label pangan dapat dikenakansanksi secara perdata, pidana maupun administrative. Adapun saran penulis terhadappermasalahan yang diteliti, Pertama : dalam rangka untuk lebih memberikanperlindungan hukum terhadap konsumen dalam masalah pelabelan pangan, makaperlu dilakukan peninjauan kembali terhadap Peraturan Pemerintah tentang Labeldan Iklan Pangan (PP 69/1999) yang memuat panduan yang lebih kongkrit dan jelasmengenai label pangan. Dengan adanya rambu -rambu dan peraturan yang jelas daripemerintah, maka konsumen terlindungi dari kemungkinan label yang tidak benar,atau bahkan menyesatkan. Kedua : Pemerintah melalui instansi-instansi terkait perlumelakukan upaya yang terus menerus untuk memberdayakan masyarakat denganmemberikan pemahaman dan perlindungan kepada konsumen, rendahnya kesadarankonsumen akan hak dan kewajibannya diakibatkan salah satunya oleh karena masihkurangnya upaya pendidikan konsumen oleh pemerintah. Disamping itu Pemerintahbaik di Pusat maupun daerah perlu selalu berkoordinasi melakukan pengawasan yanglebih baik dan lebih ketat terhadap pelaku usaha dalam peredaran produk pangan,khususnya produk pangan yang tidak memperhatikan ketentuan pelabelan. Kepadapelaku usaha penulis juga berharap agar konsep label hendaknya disusun dengantidak hanya bertujuan menjual, tetapi juga jujur sekaligus mendidik konsumen. Danterakhir kepada konsumen agar selalu mengecek label sebelum membeli ataumengkonsumsi suatu produk.

Page 14: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL........................................................................................ i

HALAMAN PERSYARATAN GELAR MAGISTER ................................... ii

HALAMAN PENGESAHAN.......................................................................... iii

PENETAPAN PANITIA PENGUJI ................................................................ iv

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN............................................................ v

UCAPAN TERIMA KASIH............................................................................ vi

ABSTRAK ....................................................................................................... viii

ABSTRACT..................................................................................................... ix

RINGKASAN .................................................................................................. x

DAFTAR ISI.................................................................................................... xiii

BAB I PENDAHULUAN.............................................................................. 1

1.1. Latar Belakang Masalah .................................................................. 1

1.2. Rumusan Masalah............................................................................ 16

1.3. Tujuan Penelitian ............................................................................. 17

1.3.1 Tujuan Umum....................................................................... 17

1.3.2 Tujuan Khusus...................................................................... 17

1.4. Manfaat Penelitian ........................................................................... 17

1.4.1 Manfaat Teoritis .................................................................. 17

1.4.2 Manfaat Praktis.................................................................... 18

Page 15: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

1.5. Orisinalitas Penelitian...................................................................... 18

1.6. Landasan Teoritis ............................................................................ 20

1.7. Metode Penelitian ............................................................................ 34

1.6.1 Jenis Penelitian ...................................................................... 34

1.6.2 Jenis Pendekatan.................................................................... 35

1.6.3 Sumber Bahan Hukum .......................................................... 36

1.6.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum..................................... 38

1.6.5 Teknik Analisis...................................................................... 38

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN 40

2.1. Pengertian Perlindungan Konsumen ................................................ 40

2.2. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen ...................................... 46

2.3. Hak dan Kewajiban Konsumen ....................................................... 56

2.4. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha................................................... 73

BAB III KETENTUAN LABEL PANGAN DALAM KAITANNYA

DENGAN ASAS PERLINDUNGAN KONSUMEN ..................... 78

3.1. Label Sebagai Wujud Hak Konsumen Atas Informasi.................... 78

3.2. Pentingnya Pelabelan Bagi Konsumen

Untuk Mendapatkan Perlindungan .................................................. 95

3.3. Ketentuan Label Pangan Terkait Asas Perlindungan Konsumen .... 99

BAB IV TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA DALAM

PELANGGARAN LABEL PANGAN............................................ 115

4.1. Aspek Perdata, Pidana dan Administrasi Dalam Perlindungan

Page 16: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

Hukum Konsumen........................................................................... 115

4.2. Tanggung Jawab Perdata Pelaku Usaha

Dalam Pelanggaran Label Pangan ................................................... 121

4.3. Tanggung Jawab Pidana Pelaku Usaha

Dalam Pelanggaran Label Pangan................................................... 139

4.4. Tanggung Jawab Administrasi Pelaku Usaha

Dalam Pelanggaran Label Pangan ................................................... 148

BAB V PENUTUP........................................................................................ 157

5.1. Kesimpulan...................................................................................... 157

5.2. Saran ................................................................................................ 158

DAFTAR PUSTAKA

Page 17: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Setiap orang, pada suatu waktu, dalam posisi tunggal/sendiri maupun

berkelompok bersama orang lain, dalam keadaan apapun pasti menjadi konsumen

untuk suatu produk barang atau jasa tertentu. Keadaan yang universal ini pada

beberapa sisi menunjukkan adanya berbagai kelemahan pada konsumen sehingga

konsumen tidak mempunyai kedudukan yang “ aman “.1

Posisi konsumen sebagai pihak yang lemah juga diakui secara internasional

sebagaimana tercermin dalam Resolusi Majelis Umum PBB No.A/RES/39/248

Tahun 1985, tentang Guidelines for Consumer Protection, yang menyatakan bahwa 2:

“ Taking into account the interest and needs of consumers in all countries,particularly those in developing countries, recognizing that consumers oftenface imbalance in economic terms, educational levels, and bargaining power,and bearing in mind that consumers should have the right of access to non-hazard-ous products, as well as the right to promote just, equitable andsustainable economic and social development,”.

Oleh karena itu secara mendasar konsumen juga membutuhkan perlindungan

hukum yang sifatnya universal juga. Mengingat lemahnya kedudukan konsumen pada

umumnya dibandingkan dengan kedudukan produsen yang lebih kuat dalam banyak

1 Sri Redjeki Hartono, 2000, Aspek-aspek Hukum Perlindungan Konsumen dalam KerangkaPerdagangan Bebas, dalam Husni Syawali & Neni Sri Imaniyati, Hukum Perlindungan Konsumen,Mandar Maju, Bandung, h. 33.

2 Susanti Adi Nugroho, 2008, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau Dari HukumAcara Serta Kendala Implementasinya, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 3.

Page 18: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

hal, maka pembahasan perlindungan konsumen akan selalu terasa aktual dan selalu

penting untuk dikaji.3

Perlindungan terhadap konsumen dipandang secara materiil maupun formal

makin terasa sangat penting, mengingat makin majunya ilmu pengetahuan dan

teknologi yang merupakan motor penggerak bagi produktifitas dan efisiensi produsen

atas barang atau jasa yang dihasilkannya dalam rangka mencapai sasaran usaha.

Dalam rangka mengejar dan mencapai kedua hal tersebut, akhirnya baik langsung

atau tidak langsung, maka konsumenlah yang pada umumnya akan merasakan

dampaknya. 4 Dengan demikian, upaya untuk memberikan perlindungan yang

memadai terhadap kepentingan konsumen merupakan suatu hal yang penting dan

mendesak, untuk segera dicari solusinya, mengingat sedemikian kompleksnya

permasalahan yang menyangkut perlindungan konsumen di Indonesia lebih-lebih

menyongsong era perdagangan bebas.

Konsumen yang keberadaannya sangat tidak terbatas dengan strata yang

sangat bervariasi menyebabkan produsen melakukan kegiatan pemasaran dan

distribusi produk barang atau jasa dengan cara seefektif mungkin agar dapat

mencapai konsumen yang sangat majemuk tersebut. Untuk itu semua cara pendekatan

diupayakan sehingga mungkin menimbulkan berbagai dampak termasuk keadaan

yang menjurus pada tindakan yang bersifat negatif bahkan tidak terpuji yang berawal

3 Yusuf Sofie, 2007, Kapita Selekta Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Ghalia-Indonesia, Jakarta, (selanjutnya disingkat Yusuf Sofie I), h. 17.

4 Happy Susanto, 2008, Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan, Visimedia, Jakarta, h. 39.

Page 19: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

dari itikad buruk. Dampak buruk yang lazim terjadi, antara lain menyangkut kualitas,

atau mutu barang, informasi yang tidak jelas bahkan menyesatkan, pemalsuan dan

sebagainya.5

Bagi konsumen, informasi tentang barang dan/atau jasa memiliki arti yang

sangat penting.6 Informasi-informasi tersebut meliputi tentang ketersediaan barang

atau jasa yang dibutuhkan masyarakat konsumen, tentang kualitas produk,

keamanannya, harga, tentang berbagai persyaratan dan/atau cara memperolehnya,

tentang jaminan atau garansi produk, persediaan suku cadang, tersedianya pelayanan

jasa purna purna-jual, dan lain-lain yang berkaitan dengan itu.

Menurut Troelstrup, konsumen pada saat ini membutuhkan lebih banyak

informasi yang lebih relevan dibandingkan lima puluh tahun lalu, karena pada saat ini

terdapat lebih banyak produk, merek dan tentu saja penjualnya, saat ini daya beli

konsumen makin meningkat, saat ini lebih banyak variasi merek yang beredar di

pasaran, sehingga belum banyak diketahui semua orang, saat ini model-model produk

lebih cepat berubah saat ini transportasi dan komunikasi lebih mudah sehingga akses

yang lebih besar kepada bermacam-macam produsen atau penjual. 7

Menurut sumbernya, informasi barang dan/atau jasa tersebut dapat dibedakan

menjadi tiga. 8 Pertama, informasi dari kalangan Pemerintah dapat diserap dari

berbagai penjelasan, siaran, keterangan, penyusun peraturan perundang-undangan

5 Zumroetin K. Soesilo, 1996, Penyambung Lidah Konsumen, Swadaya, Jakarta, h. 12.6 A.Z. Nasution, 1995, Konsumen dan Hukum, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, h. 76.7 Erman Raja Guguk, et. All, 2003, Hukum Perlindungan Konsumen, Mandar Maju, Jakarta,

h. 2.8 Taufik Simatupang, 2004, Aspek Hukum Periklanan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h.

13.

Page 20: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

secara umum atau dalam rangka deregulasi, dan/atau tindakan Pemerintah pada

umumnya atau tentang sesuatu produk konsumen. Dari sudut penyusunan peraturan

perundang-undangan terlihat informasi itu termuat sebagai suatu keharusan. Beberapa

di antaranya, ditetapkan harus dibuat, baik secara dicantumkan pada maupun dimuat

di dalam wadah atau pembungkusnya (antara lain label dari produk makanan dalam

kemasan sebagaimana diatur dalam PP No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan

Pangan). Sedang untuk produk hasil industry lainnya, informasi tentang produk itu

terdapat dalam bentuk standar yang ditetapkan oleh Pemerintah, standar internasional,

atau standar lain yang ditetapkan oleh pihak yang berwenang.

Kedua informasi dari konsumen atau organisasi konsumen tampak pada

pembicaraan dari mulut ke mulut tentang suatu produk konsumen, surat-surat

pembaca pada media massa, berbagai siaran kelompok tertentu, tanggapan atau protes

organisasi konsumen menyangkut sesuatu produk konsumen. Siaran pers organisasi

konsumen, seperti Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) tentang hasil-

hasil penelitian dan/atau riset produk konsumen tertentu, dapat ditemukan pada

harian-harian umum, majalah dan/atau berita resmi YLKI, yaitu warta konsumen.

Ketiga, informasi dari kalangan pelaku usaha (penyedia dana, produsen,

importir, atau lain-lain pihak yang berkepentingan), diketahui sumber-sumber

informasi itu umumnya terdiri dari berbagai bentuk iklan baik melalui media

nonelektronik atau elektronik, label termasuk pembuatan berbagai selebaran, seperti

brosur, pamflet, catalog, dan lain-lain sejenis itu. Bahan-bahan informasi ini pada

umumnya disediakan atau dibuat oleh kalangan usaha dengan tujuan

Page 21: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

memperkenalkan produknya, mempertahankan, dan/atau meningkatkan pangsa pasar

produk yang telah dan/atau ingin lebih lanjut diraih.

Diantara berbagai informasi tentang barang atau jasa konsumen yang

diperlukan konsumen, tampaknya yang paling berpengaruh pada saat ini adalah

informasi yang bersumber dari kalangan pelaku usaha. Terutama dalam bentuk iklan

dan label, tanpa mengurangi pengaruh dari berbagai bentuk informasi pengusaha

lainnya. 9

Hak atas informasi adalah salah satu dari sekian banyak hak-hak yang

dimiliki konsumen, sebagaimana dirumuskan didalam pasal 4 Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Adapun hak-hak konsumen

tersebut antara lain :

a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barangdan/atau jasa;

b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasatersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminanbarang dan/atau jasa;

d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yangdigunakan;

e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketaperlindungan konsumen secara patut;

f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak

diskriminatif;h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila

barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidaksebagaimana mestinya;

i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

9 Celine Tri Siwi Kristiyanti, 2008, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta,h. 71.

Page 22: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

Disamping hak-hak dalam pasal 4 UUPK, juga terdapat hak-hak konsumen

yang dirumuskan dalam pasal-pasal berikutnya, khususnya dalam pasal 7 yang

mengatur tentang kewajiban pelaku usaha. Kewajiban dan hak merupakan antinomi

dalam hukum, sehingga kewajiban pelaku usaha dapat dilihat sebagai hak

konsumen.10

Pentingnya informasi yang akurat dan lengkap atas suatu barang dan/atau jasa

mestinya menyadarkan pelaku usaha untuk menghargai hak-hak konsumen,

memproduksi barang dan jasa berkualitas, aman dikonsumsi atau digunakan,

mengikuti standar yang berlaku, dengan harga yang wajar (reasonable).

Disisi lain konsumen harus pula menyadari hak-haknya sebagai seorang

konsumen sehingga dapat melakukan pengawasan sosial (social control) terhadap

perbuatan dan prilaku pengusaha dan pemerintah. Bagaimanapun juga pada

kenyataannya, konsumen pada masyarakat modern akan dihadapkan pada beberapa

persoalan antara lain: Pertama, bisnis modern menampakkan kapasitas untuk

mempertahankan produksi secara massal barang baru sehubungan dengan adanya

teknologi canggih serta penelitian dan manajemen yang efisien. Kedua, banyaknya

barang dan jasa yang dipasarkan berada di bawah standar, berbahaya atau sia-sia.

Ketiga, ketidaksamaan posisi tawar merupakan masalah serius (kebebasan

berkontrak). Keempat, konsep kedaulatan mutlak konsumen bersandar pada

10 Shidarta, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo, Jakarta, h. 18.

Page 23: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

persaingan sempurna yang ideal, namun persaingan terus menurun sehingga kekuatan

konsumen di pasar menjadi melemah.

Menurut pasal 2 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 (lima)

asas yang relevan dalam pembangunan nasional, yaitu :

1. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalampenyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.

2. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkansecara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelakuusaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.

3. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antarakepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil ataupunspiritual.

4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikanjaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan,pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi ataudigunakan.

5. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumenmenaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungankonsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.

Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang juga merupakan komoditas

perdagangan, memerlukan dukungan sistem perdagangan pangan yang etis, jujur, dan

bertanggung jawab sehingga terjangkau oleh masyarakat. Pangan dalam bentuk

makanan dan minuman adalah salah satu kebutuhan pokok manusia yang diperlukan

untuk hidup, tumbuh, berkembang biak, dan reproduksi.11

11 Endrah, 2009, “ Kasus Tentang Perundangan Pangan “ diakses 2 Agustus 2010, availableFrom URL : http://endrah.blogspot.com.

Page 24: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

Dalam pasal 1 UU No.7 Tahun 1996 tentang Pangan, disebutkan bahwa “

Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang

diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia,

termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang

digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau

minuman”..

Dalam hubungannya dengan masalah label, khususnya label pangan maka

masyarakat perlu memperoleh informasi yang benar, jelas, dan lengkap, baik

mengenai kuantitas, isi, kualitas maupun hal-hal lain yang diperlukannya mengenai

pangan yang beredar di pasar.

Label itu ibarat jendela, konsumen yang jeli bisa mengintip suatu produk dari

labelnya. 12 Dari informasi pada label, konsumen secara tepat dapat menentukan

pilihan sebelum membeli dan atau mengkonsumsi pangan. Tanpa adanya informasi

yang jelas maka kecurangan-kecurangan dapat terjadi.13

Banyak masalah mengenai pangan terjadi di Indonesia. Hingga kini masih

banyak kita temui pangan yang beredar di masyarakat yang tidak mengindahkan

ketentuan tentang pencantuman label, sehingga meresahkan masyarakat. Perdagangan

pangan yang kedaluarsa, pemakaian bahan pewarna yang tidak diperuntukkan bagi

makanan, makanan berformalin, makanan mengandung bahan pengawet, atau

12 Purwiyatno Hariyadi, 2009, “ Mencermati Label dan Iklan Pangan “, diakses 29 Juni 2010,available from URL : http://www.republika.co.id.

13 Yusuf Shofie, 2000, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, CitraAditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disebut Yusuf Shofie II), h. 15.

Page 25: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

perbuatan-perbuatan lain yang akibatnya sangat merugikan masyarakat, bahkan dapat

mengancam kesehatan dan keselamatan jiwa manusia, terutama bagi anak-anak pada

umumnya dilakukan melalui penipuan pada label pangan. 14 Label yang tidak jujur

dan atau menyesatkan berakibat buruk terhadap perkembangan kesehatan manusia.

Selain diatur didalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen, norma hukum yang mengatur mengenai pelabelan

diantaranya dapat dilihat dalam UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan, PP No. 69

Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, UU No. 36 Tahun 2009 tentang

Kesehatan, Keputusan Menteri Kesehatan No. 924/Menkes/SK/VIII/1996 tentang

Perubahan Atas Keputusan Menteri Kesehatan RI No, 82/Menkes/SK/I/1996 tentang

Pencantuman Tulisan “ Halal “ pada Label Makanan, Peraturan Menteri Kesehatan

RI No. 180/Menkes/Per/IV/1985 tentang Makanan Daluwarsa yang telah dirubah

dengan Keputusan Dirjen POM No. 02591/B/SK/VIII/91.

Dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, pengaturan

pelabelan produk pangan tidak diatur secara spesifik. Pengaturan secara lebih

spesifiknya adalah PP No. 69 Tahun 1999. Sebelum PP tersebut lahir, pengaturan

pelabelan secara singkat ada dalam UU No. 7 Tahun 1996 tentang pangan.

Didalam pasal 1 (3) dari PP No. 69 Tahun 1999 ditentukan bahwa yang

dimaksud dengan label pangan adalah : setiap keterangan mengenai pangan yang

14 Dedi Barnadi – YLBK (Yayasan Lembaga Bantuan Konsumen) Konsumen CerdasMajalengka, 2009, “ Makanan Jajanan (Street Food) Anak Sekolah “, Diakses 30 Juni 2010,Available from : URL : http://www.konsumencerdas.co.cc

Page 26: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

berbentuk gambar, tulisan, kombinasi keduanya atau bentuk lain yang disertakan

pada pangan, dimasukkan ke dalam, ditempelkan pada atau merupakan bagian

kemasan pangan, yang selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah ini disebut Label.

Lebih lanjut didalam pasal 2 ditentukan bahwa :

(1). Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas kedalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label pada,di dalam, dan atau di kemasan pangan.

(2). Pencantuman Label sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sedemikianrupa sehingga tidak mudah lepas dari kemasannya, tidak mudah luntur ataurusak, serta terletak pada bagian kemasan pangan yang mudah untuk dilihat dandibaca.

Kemudian didalam pasal 3 dari PP No. 69 Tahun 1999 tersebut ditentukan

bahwa :

(1) Label sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 ayat (1) berisikan keteranganmengenai pangan yang bersangkutan.

(2) Keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya :a. nama produk;b. daftar bahan yang digunakan;c. berat bersih atau isi bersih;d. nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke

dalam wilayah Indonesia.e. tanggal, bulan, dan tahun kadaluwarsa.

Lebih lanjut dalam pasal 15 PP No. 69 Tahun 1999 ditentukan bahwa

keterangan pada label, ditulis atau dicetak dengan menggunakan bahasa Indonesia,

angka Arab, dan huruf Latin. Dalam bagian penjelasan dari pasal ini disebutkan

bahwa ketentuan ini dimaksudkan agar pangan olahan yang diperdagangkan di

Indonesia harus menggunakan label dalam bahasa Indonesia. Khusus bagi pangan

olahan untuk diekspor, dapat dikecualikan dari ketentuan ini.

Selanjutnya dalam pasal 16 disebutkan :

Page 27: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

(1) Penggunaan bahasa selain bahasa Indonesia, angka Arab dan huruf Latindiperbolehkan sepanjang tidak ada padanannya atau tidak dapat diciptakanpadanannya, atau dalam rangka perdagangan pangan ke luar negeri.

(2) Huruf dan angka yang tercantum pada Label harus jelas dan mudah dibaca.

Ketentuan pasal ini tidak ada penjelasannya sehingga menimbulkan banyak

pertanyaan dan dapat pula ditafsirkan macam-macam.

Bagian mana dari label itu yang boleh menggunakan bahasa selain bahasa

Indonesia, angka Arab dan huruf Latin karena tidak ada padanannya atau tidak dapat

diciptakan padanannya dalam Bahasa Indonesia, hal ini tidak diberi penjelasan. Apa

semua keterangan sebagaimana ditentukan dalam pasal 3 jo pasal 12 PP No. 69

Tahun 1999 boleh menggunakan bahasa selain bahasa Indonesia, angka Arab dan

huruf Latin karena tidak ada padanannya atau tidak dapat diciptakan padanannya.

Hal ini penting, karena kalau hanya nama produk yang tidak ada padanannya

dalam bahasa Indonesia tidak begitu menjadi persoalan. Namun bagaimana bila itu

menyangkut daftar bahan yang digunakan, tanggal, bulan dan tahun kadaluarsa, cara

menggunakan produk, lebih-lebih bila itu menyangkut produk impor.

Penggunaan label dengan bahasa Indonesia saja kadang bisa tidak

dimengerti/dipahami konsumen, apalagi produk selain bahasa Indonesia. Penggunaan

bahasa Indonesia pada label pangan memiliki peranan yang penting dalam

perlindungan konsumen. Dengan label berbahasa Indonesia, konsumen bisa

mengetahui informasi produk yang dibelinya sehingga bisa meminimalisasi resiko

kejadian yang tidak diinginkan. Label selain bahasa Indonesia tentu akan menyulitkan

Page 28: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

konsumen dalam memahami, menggunakan, serta mengetahui bahan-bahan yang

terdapat pada produk yang dibelinya.

Banyak produk makanan dengan pelabelan lengkap, tetapi pesan informasi

tidak sampai ke konsumen, karena menggunakan bahasa yang tidak dipahami

konsumen. Akhir-akhir ini, di pasaran dengan mudah ditemukan produk impor

dengan pelabelan menggunakan bahasa Negara asal produk tersebut, seperti Cina dan

Jepang.15

Pengecualian penggunaan bahasa Indonesia dalam label karena tidak ada

padanannya atau tidak dapat diciptakan padanannya dalam bahasa Indonesia justru

akan membuka peluang bagi pelaku usaha untuk memperdagangkan produk pangan

yang tidak dimengerti oleh konsumen sehingga berpotensi menimbulkan kerugian

yang tidak diinginkan.

Pasal 16 PP No. 69 Tahun 1999 juga tidak memberi penjelasan, dalam

rangka perdagangan pangan ke luar negeri (ekspor) bahasa apa yang harus

dipergunakan. Bahasa Inggris, bahasa Latin, atau bahasa lain.

Perdagangan pangan yang jujur dan bertanggungjawab bukan semata-mata

untuk melindungi kepentingan masyarakat yang mengkonsumsi pangan. Melalui

pengaturan yang tepat berikut sanksi-sanksi hukum yang berat, diharapkan setiap

orang yang memproduksi pangan atau memasukkan pangan ke dalam wilayah

Indonesia untuk diperdagangkan dapat memperoleh perlindungan dan jaminan

kepastian hukum.

15 Sudaryatmo, 1999, Hukum & Advokasi Konsumen, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 15.

Page 29: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

Dibandingkan dengan Negara-negara tetangga, Malaysia misalnya,

Indonesia masih tertinggal beberapa langkah dalam upaya melindungi konsumen. Di

Malaysia, pemberdayaan konsumen sudah ditangani oleh seorang Menteri, yaitu

Menteri Urusan Konsumen, sedangkan di Indonesia masih menggunakan Peraturan

Menteri Kesehatan serta yang baru UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan.16 Pada

kasus beredarnya makanan kedaluwarsa, mengetahui pihak yang bersalah lebih

mudah, karena itu sudah menjadi tugas mereka untuk tidak menjual makanan dan

minuman kedaluwarsa.

Indonesia memang belum menerapkan pelabelan kedaluwarsa pada setiap

makanan maupun minuman. Seperti yang tercantum dalam Permenkes No.

180/Menkes/1985, ada 13 jenis makanan dan minuman yang diharuskan

mencantumkan tanggal kedaluwarsa : roti, makanan rendah kalori, nutrisi suplemen,

coklat, kelapa dan hasil olahannya, minyak goreng, margarine, produk kacang, telur,

saus dan kecap, minuman ringan tak berkarbonat, sari buah dan susu.

Disamping itu pencantuman label kedaluwarsa sendiri sampai saat ini belum

ada standar baku. Ada yang sudah mengunakan Bahasa Indonesia beserta kaidah

penanggalannya (misalnya, sebaiknya digunakan sebelum : Januari 1999), dan tak

jarang pula yang masih memakai Bahasa Inggris dan aturan penanggalannya (best

before : 06.98). Namun ada juga yang hanya berisi angka-angka melulu yang bagi

masyarakat awam tentu akan menimbulkan tanda tanya.

16 Ibid.

Page 30: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

Menurut hasil kajian BPKN (Badan Perlindungan Konsumen Nasional) ada

4 (empat) masalah utama yang terkait dengan keamanan konsumen terhadap makanan

yang dikonsumsinya, yaitu 17:

1. Keracunan makanan yang terjadi karena makanan rusak dan terkontaminasi

atau tercampur dengan bahan berbahaya

2. Penggunaan bahan terlarang yang mencakup : Bahan Pengawet, Bahan

Pewarna, Bahan Pemanis dan Bahan-bahan tambahan lainnya

3. Ketentuan label bagi produk-produk industri makanan dan minuman yang

tidak sesuai dengan ketentuan label dan iklan pangan (PP 69 Tahun 1999)

beserta Permenkes.

4. Produk-produk industri makanan dan minuman yang kedaluarsa.

Menyangkut penyimpangan terhadap peraturan pelabelan yang paling

banyak ditemui adalah 18:

Penggunaan label tidak berbahasa Indonesia dan tidak menggunakan huruf

latin, terutama produk impor.

Label yang ditempel tidak menyatu dengan kemasan

Tidak mencantumkan waktu kedaluarsa

Tidak mencantumkan keterangan komposisi dan berat bersih

17 Konsumen Cerdas, 2009, “ Hasil Kajian BPKN di Bidang Pangan Terkait PerlindunganKonsumen ”, diakses 15 Agustus 2010, available from : URL : http://www.konsumencerdas.co.cc.

18 Ibid.

Page 31: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

Tidak ada kode barang MD, ML atau P-IRT dan acuan kecukupan gizi yang

tidak konsisten.

Tidak mencantumkan alamat produsen/importir (bagi produknya)

Hasil kajian menemukan bahwa masalah label kurang mendapat perhatian

dari konsumen dimana hanya 6,7% konsumen yang memperhatikan kelengkapannya.

Khusus menyangkut keterangan halal sebagai bagian dari label, data lembaga

pemeriksa halal (LP-POM MUI) menyebutkan saat ini baru sekitar 15% dari produk

pangan di Indonesia yang telah memiliki sertifikat halal. LP POM MUI telah

menerbitkan 3.742 sertifikat halal untuk sekitar 12.000 produk pangan. Sementara itu,

industri pangan di Indonesia mencapai lebih dari satu juta, dimana sekitar 2000

diantaranya merupakan industri besar dan sisanya merupakan industri kecil dan

menengah.

Konsumen dituntut untuk selalu berhati-hati dalam berkonsumsi rasanya

tidak adil. Harus ada langkah perlindungan yang nyata dari Pemerintah kepada

konsumen. Penegakan hukum dengan menerapkan sanksi yang benar bagi pelaku

usaha yang melanggar aturan harus dilaksanakan. Itu penting untuk mengajarkan

tanggung jawab moral kepada pelaku usaha.

Dalam kasus-kasus perlindungan konsumen ada beberapa hal yang perlu

dicermati, yakni :

1. Perbuatan pelaku usaha baik sengaja maupun karena kelalaiannya danmengabaikan etika bisnis, ternyata berdampak serius dan meluas.Akibatnya kerugian yang diderita konsumen missal (massive effect)karena menimpa apa saja dan siapa saja.

Page 32: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

2. Dampak yang ditimbulkan juga bisa bersifat seketika (rapidy effect),sebagai contoh konsumen yang dirugikan (dari mengkonsumsiproduk) bisa pingsan, sakit atau bahkan meninggal dunia. Ada jugayang ditimbulkan baru terasa beberapa waktu kemudian (hiddendefect), contoh yang paling nyata dari dampak ini adalah maraknyapenggunaan bahan pengawet dan pewarna makanan dalam sejumlahproduk yang bisa mengakibatkan kanker di kemudian hari.

3. Kalangan yang menjadi korban adalah masyarakat bawah. Karenatidak punya pilihan lain, masyarakat ini terpaksa mengkonsumsibarang/jasa yang hanya semampunya didapat, dengan standar kualitasdan keamanan yang sangat minim. Kondisi ini menyebabkan dirimereka selalu dekat dengan bahaya-bahaya yang bisa mengancamkesehatan dirinya kapan saja.19

Berkenaan dengan hal tersebut, menurut Sri Redjeki Hartono 20 , Negara

mempunyai kewajiban untuk mengatur agar kepentingan-kepentingan yang

berhadapan harus dapat dipertemukan dalam keselarasan dan harmonisasi yang ideal.

Untuk itu, Negara mempunyai kewenangan untuk mengatur dan campur tangan

dalam memprediksi kemungkinan pelanggaran yang terjadi dengan menyediakan

rangkaian perangkat peraturan yang mengatur sekaligus memberikan ancaman berupa

sanksi apabila terjadi pelanggaran siapapun pelaku ekonomi.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana diuraikan diatas, maka

dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut ?

1. Apakah ketentuan label produk pangan sebagaimana diatur dalam PP No. 69

Tahun 1999 telah memenuhi asas-asas perlindungan konsumen ?

19 N.H.T. Siahaan 2005, Hukum Konsumen, Perlindungan Konsumen, dan Tanggung JawabProduk, Panta Rei, Bogor, h. 11.

20 Sri Redjeki Hartono, 2007, Hukum Ekonomi Indonesia, Bayu Media, Malang, h. 132.

Page 33: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

2. Apakah akibat hukum dan tanggung jawab pelaku usaha terhadap pelanggaran

ketentuan label pangan ?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian meliputi tujuan umum dan tujuan khusus.

1.3.1 Tujuan Umum

Penelitian ini dimaksudkan untuk mengembangkan pemikiran yang

konseptual tentang label sebagai perwujudan hak konsumen atas informasi kaitannya

dengan perlindungan konsumen. Disamping itu penelitian ini juga dimaksudkan

untuk menyumbangkan pemikiran berkenaan dengan label, mengingat semakin

banyaknya produk makanan yang beredar di masyarakat dengan bermacam-macam

label, sehingga kepedulian konsumen akan haknya atas informasi sangat membantu

dalam usaha-usaha pemberdayaan konsumen itu sendiri.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk menganalisa ketentuan pelabelan produk pangan sebagaimana diatur

dalam PP No. 69 Tahun 1999 apa telah memenuhi asas-asas perlindungan

konsumen.

2. Untuk mengetahui apa akibat hukum dari pelanggaran ketentuan label pangan

bagi pelaku usaha.

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

Page 34: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

Penelitian tesis ini diharapkan dapat memberi pemahaman dan

pengembangan wawasan pengetahuan dibidang hukum perlindungan konsumen

khususnya tentang pelabelan.

1.4.2 Manfaat Praktis

Penelitian tesis ini diharapkan dapat berguna sebagai sumbangan pemikiran

bagi mereka yang terlibat langsung dalam usaha perlindungan konsumen baik

Yayasan Lembaga Konsumen (YLKI), lembaga perlindungan konsumen swadaya

masyarakat, konsumen itu sendiri maupun pelaku usaha. Disamping itu hasil

penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi Pemerintah

dalam membentuk peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan

perlindungan konsumen yang lebih baik dan tidak memihak sebelah.

1.5. Orisinalitas Penelitian

Dari hasil penelusuran yang dilakukan terhadap tulisan atau hasil penelitian

tentang “ Perlindungan Hukum Konsumen Dalam Pelabelan Produk Pangan “, belum

pernah ada yang melakukan penelitian sebelumnya. Akan tetapi pernah ada yang

meneliti tentang yang terkait dengan pelabelan, yaitu :

1. Tesis Kamila Hetami pada Program Magister Ilmu Hukum Kajian Hukum

Ekonomi dan Teknologi Universitas Diponogoro, Semarang, 2009 yang

berjudul “ Pelabelan Produk Pangan Yang Mengandung Bahan Rekayasa

Genetika Sebagai Wujud Azas Keterbukaan Informasi “. Adapun

permasalahan yang diangkat dan dibahas adalah : (1) Bagaimana

Page 35: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

implementasi perjanjian internasional mengenai organisme hasil rekayasa

genetika ke dalam peraturan perundang-undangan nasional. (2) Bagaimana

perlindungan konsumen di Indonesia berkaitan dengan keterbukaan informasi

produk-produk yang mengandung bahan rekayasa genetika khususnya yang

berkaitan dengan pelabelan. (3) Bagaimana tanggung jawab produsen

terhadap produk yang mengandung bahan rekayasa genetika khususnya yang

berkaitan dengan pelabelan.21

2. Tesis Ali Amran Tanjung pada Program Magister Pasca Sarjana Program

Studi Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 2009, yang berjudul “

Pengaturan, Penggunaan dan Pengawasan Label Halal Terhadap Produk

Makanan Perspektif Perlindungan Konsumen “ . Adapun permasalahan yang

diangkat dan dibahas adalah (1) Bagaimana pengaturan, penggunaan label

halal terhadap produk makanan, (2) Bagaimana pengawasan penggunaan label

halal terhadap produk makanan, (3) Bagaimana sanksi terhadap pelanggaran

penggunaan label halal.22

3. Selanjutnya ada juga penelitian dari Ari Fatmawati dari Fakultas Hukum

Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2011, yang berjudul “ Konsumen dan

Label (Study tentang Perlindungan Hukum Bagi Konsumen dalam

21 Kamila Hetami, 2009, “Pelabelan Produk Pangan Yang Mengandung Bahan RekayasaGenetika Sebagai Wujud Azas Keterbukaan Informasi ”. Diakses 1 Desember 2011, avalaible fromhttp://eprints.undip.ac.id/18037/1/Kamila Hetami.

22 Ali Amran, Tanjung, 2009, “ Pengaturan, Penggunaan dan Pengawasan Label HalalTerhadap Produk Makanan Perspektif Perlindungan Konsumen ”. Diakses 1 Desember 2011,avalaible from http://repositoryusu.ac.id/handle/123456789/199922.

Page 36: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

Mengkonsumsi Produk Berlabel Halal di Kota Yogyakarta) “. Adapun

permasalahan yang diangkat dan dibahas adalah (1) Bagaimanakah profil

label dalam makanan kemasan yang beredar di kota Yogyakarta, (2)

Bagaimanakah perlindungan hukum yang diberikan terhadap masyarakat

muslim sebagai konsumen makanan yang beredar di kota Yogyakarta.23

1.6. Landasan Teoritis

Teori adalah serangkaian proposisi atau keterangan yang saling berhubungan

dan tersusun dalam suatu system deduksi yang mengemukakan penjelasan atas suatu

gejala. Sementara itu pada suatu penelitian, teori memiliki fungsi sebagai pemberi

arahan kepada peneliti dalam melakukan penelitian.

Untuk mengkaji suatu permasalahan hukum secara lebih mendalam

diperlukan teori-teori yang berupa serangkaian asumsi, konsep, definisi dan proposisi

untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan

hubungan antar konsep.24

Teori ini juga sangat diperlukan dalam penulisan karya ilmiah dalam tatanan

hukum positif konkrit. 25 Hal ini sesuai dengan pendapat Jan Gijssels dan Mark Van

Koecke dalam teori hukum diperlukan suatu pandangan yang merupakan

23 Ari Fatmawati, 2011, “ Konsumen dan Label “, diakses 1 Desember 2011, available fromhttp://eprints.ums.edu.my/1436/1ae00000000209.pdf.

24 Burhan Ashsofa, 2004, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, h. 19.25 Ibid.

Page 37: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

pendahuluan dan dianggap mutlak perlu ada sebagai dasar dari studi ilmu

pengetahuan terhadap aturan hukum positif.

Terkait dengan teori yang dipergunakan dalam penelitian ini, maka tidak

terlepas dari sistem hukum yang berlaku di Indonesia yaitu sistem hukum yang

berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Dengan demikian setiap sektor hukum nasional haruslah bersumberkan pada

Pancasila dan UUD 1945. Pada bagian pembukaan UUD 1945, alenia ke-4 ada

berbunyi “ Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara

Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia ….“. Kata “ segenap bangsa

Indonesia “ adalah asas tentang persatuan seluruh bangsa Indonesia (sila ke-3

Pancasila Persatuan Indonesia). Dan kata “ melindungi “ mengandung asas

perlindungan (hukum) pada segenap bangsa tersebut, baik dia laki-laki, perempuan,

kaya, miskin, baik dia pelaku usaha ataupun konsumen.

Untuk menganalisa permasalahan pada penelitian ini penulis menggunakan

beberapa teori hukum, diantaranya teori system hukum dari Lawrence Friedman, teori

pengayoman dari Suhardjo, teori perlindungan dari Philipus M. Hadjon, teori

keadilan dari Aristoteles dan John Rawls, teori negara hukum dan teori / asas-asas

pembentukan peraturan perundang-undangan dari Lon. L. Fuller.

Alasan menggunakan teori sistem hukum, karena penulis berpendapat bahwa

ketentuan mengenai label merupakan elemen substansi dalam sistem hukum.

Kemudian digunakannya teori perlindungan dan teori pengayoman karena ketentuan

Page 38: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

mengenai label adalah ditujukan untuk perlindungan dan pengayoman kepada

masyarakat konsumen.

Sedangkan digunakannya teori Negara hukum karena salah satu ciri khas

Negara hukum adalah adanya pengakuan akan hak, termasuk hak konsumen akan

informasi yang benar yang dapat diperoleh dari label. Disamping itu dalam konsepsi

Negara hukum ada dikenal dua tipe Negara hukum yang salah satunya adalah Negara

hukum dalam arti luas dimana Negara bertugas menjaga keamanan dalam arti kata

seluas-luasnya, termasuk berupaya mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh warga

negara. Karena seluruh warga Negara adalah konsumen, maka perlindungan dan

kesejahteraan konsumen menjadi tanggungjawab Negara.

Digunakannya teori asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan

dari Lon. L. Fuller karena nampaknya ketentuan label sebagaimana diatur dalam PP.

No. 69 Tahun 1999 masih banyak ditemukan penyimpangan oleh pelaku usaha.

Kemudian digunakannya teori keadilan dari Aristoteles karena seperti telah

diuraikan sebelumnya, bahwa perlunya undang-undang perlindungan konsumen dan

peraturan pelaksana dibidang konsumen termasuk diantaranya ketentuan label pangan

dalam PP No. 69 Tahun 1999 karena karena lemahnya posisi konsumen dibanding

posisi produsen/pelaku usaha. Perlindungan terhadap konsumen didasarkan pada

keadilan komutatif yakni keadilan yang memberikan kepada setiap orang sama

banyaknya dengan tidak mengingat jasa-jasa perseorangan.

Page 39: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

Selengkapnya tentang teori-teori tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :

Lawrence M. Friedman mengungkapkan Three Elements of Legal System atau

tiga komponen dari system hukum. Ketiga komponen yang dimaksud adalah (1)

struktur (structure), (2) substansi (substance), dan (3) kultur (culture) atau budaya. 26

PSubstansi mencakup isi norma-norma hukum beserta perumusannya maupun cara

menegakkannya, yang berlaku bagi pelaksana hukum maupun pencari keadilan.

Substansi juga mencakup hukum yang hidup di tengah masyarakat bukan hanya pada

aturan-aturan yang ada di dalam buku-buku hukum/UU/putusan hakim. Struktural

mencakup wadah maupun bentuk dari system tatanan lembaga-lembaga formal,

hubungan antar lembaga-lembaga tersebut, hak-hak dan kewajibannya. Kultural

mencakup nilai-nilai dalam masyarakat yang mendasari hukum yang berlaku.

Malcolm Walters menyebutkan culture consists of generally shared visions of

meaning, value and preference. 27 Penegakan hukum sebagai suatu system

memerlukan sinergi antara komponen-komponennya (subsistem) tersebut diatas.

Menurut H.L.A Hart “ the union of primary and secondary rules is at the centre of a

legal system “ 28 (sistem hukum adalah kesatuan dari peraturan-peraturan primer

sekunder).

26 Lawrence M. Friedman, 2009, Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial (The Legal System : ASocial Science Perspektive), (M. Khozim, Pentj), Nusa Media, Bandung, h. 12-18.

27 Malcolm Walters, 1994, Modern Sociological Theory, Sage Publications, London, h.13.28 Charles Samford, 1989, The Disorder Of Law A Critique Of Legal Theory, Basil Blackwell

Ltd, UK, h. 26.

Page 40: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

Teori pengayoman dikemukakan oleh Prof. Suhardjo, Menteri Kehakiman

dalam Kabinet Presiden Soekarno.29 Menurut teori ini tujuan hukum adalah untuk

mengayomi manusia, baik secara aktif maupun pasif. 30 Secara aktif dimaksudkan

sebagai upaya untuk menciptakan suatu kondisi kemasyarakatan yang manusiawi

dalam proses yang berlangsung secara wajar. Sedangkan yang dimaksud secara pasif

adalah mengupayakan pencegahan atas upaya yang sewenang-wenang dan

penyalahgunaan hak secara tidak adil. Untuk mewujudkan pengayoman ini termasuk

didalamnya adalah :

1. Mewujudkan ketertiban dan keteraturan

2. Mewujudkan kedamaian sejati

3. Mewujudkan keadilan bagi seluruh masyarakat

4. Mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat

Kedamaian sejati dapat terwujud apabila masyarakat telah merasakan baik

lahir maupun bathin. Begitu pula dengan ketentraman, dianggap sudah ada apabila

warga masyarakat merasa yakin bahwa kelangsungan hidup dan pelaksanaan hak

tidak bergantung pada kekuatan fisik maupun non fisik belaka.

Teori perlindungan yang dikemukakan oleh Philipus M. Hadjon,

menyebutkan bahwa perlindungan hukum terbagi atas dua, yaitu perlindungan hukum

29 Bachsan Mustafa, 2003, Sistem Hukum Indonesia Terpadu, PT. Citra Aditya Bakti,Bandung, h. 22.

30 Abdul Manan, 2005, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Prenada Media, Jakarta, h. 23.

Page 41: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

represif dan perlindungan hukum preventif. 31 Perlindungan hukum represif yaitu

perlindungan hukum yang dilakukan dengan cara menerapkan sanksi terhadap pelaku

agar dapat memulihkan hukum kepada keadaan sebenarnya. Perlindungan jenis ini

biasanya dilakukan di Pengadilan. Perlindungan hukum preventif yaitu perlindungan

hukum yang bertujuan untuk mencegah terjadinya suatu sengketa. Perlindungan

hukum jenis ini misalnya sebelum Pemerintah menetapkan suatu aturan/keputusan,

rakyat dapat mengajukan keberatan, atau dimintai pendapatnya mengenai rencana

keputusan tersebut.

Pada hakekatnya perlindungan hukum itu berkaitan bagaimana hukum

memberikan keadilan yaitu memberikan atau mengatur hak-hak terhadap subyek

hukum, selain itu juga berkaitan bagaimana hukum memberikan keadilan terhadap

subyek hukum yang dilanggar haknya.

Terdapat macam-macam teori mengenai keadilan dan masyarakat yang adil.

Teori-teori ini menyangkut hak dan kebebasan, peluang kekuasaan, pendapatan dan

kemakmuran. Menurut Aristoteles dalam bukunya nicomachean ethics maka pada

dasarnya ada 2 (dua) teori tentang keadilan yaitu keadilan distributif dan keadilan

korektif/komutatif. Keadilan distributif ialah keadilan yang memberikan bagian

kepada setiap orang menurut jasanya, dan pembagian mana tidak didasarkan bagian

yang sama akan tetapi atas keseimbangan. Sedangkan keadilan korektif/komutatif

adalah keadilan yang memberikan kepada setiap orang sama banyaknya dengan tidak

31 Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, PT. Bina Ilmu,Surabaya, h. 3.

Page 42: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

mengingat jasa seseorang. Keadilan korektif/komutatif memegang peranan dalam

hal tukar menukar pada peraturan barang dan jasa, dalam mana sedapat mungkin

terdapat persamaan antara apa yang dipertukarkan. Sehingga keadilan

korektif/komutatif lebih menguasai hubungan antara perseorangan, sedangkan

keadilan distributif terutama menguasai hubungan antara masyarakat khususnya

negara dengan perseorangan.

Perlindungan terhadap konsumen didasarkan pada keadilan komutatif yakni

keadilan yang memberikan kepada setiap orang sama banyaknya dengan tidak

mengingat jasa-jasa perseorangan.32

Perlindungan konsumen adalah merupakan masalah kepentingan manusia,

oleh karenanya menjadi harapan bagi semua bangsa di dunia untuk dapat

mewujudkannya. Mewujudkan perlindungan konsumen adalah mewujudkan

hubungan berbagai dimensi yang satu sama lain mempunyai keterkaitan dan saling

ketergantungan antara konsumen, pengusaha, dan Pemerintah. 33

Menurut Lon Fuller ada 8 (delapan) kriteria hukum yang baik, yakni :

1. …a failure to achieve rules at all, so that every issue must be diceded on an hocbasic (peraturan harus berlaku juga bagi penguasa, harus ada kecocokan ataukonsistensi antara peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaannya,dituangkan dalam aturan-aturan yang berlaku umum, artinya suatu sistem hukumharus mengandung peraturan-peraturan dan tidak boleh sekadar mengandungkeputusan-keputusan yang bersifat sementara atau ad hoc);

2. A failure to publicize, or at least to make available to the affected party, the ruleshe is expected to observe (aturan-aturan yang telah dibuat harus diumumkankepada mereka yang menjadi objek pengaturan aturan-aturan tersebut);

32 Chainur Arrasjid, 2006, Dasar-dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h. 40.33 Erman Raja Guguk, et.all, 2003, Hukum Perlindungan Konsumen, Mandar Maju, Jakarta, h.

7.

Page 43: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

3. The abuse of retroactive legislation, which not only cannot it self guide action,but undercuts the integrity of rules prospective in effect, since it puts them underthe threat of retrospective change (tidak boleh ada peraturan yang memiliki dayalaku surut atau harus non retroaktif, karena dapat merusak integritas peraturanyang ditujukan untuk berlaku bagi waktu yang akan datang);

4. A failure to make rules understandable (dirumuskan secara jelas, artinya disusundalam rumusan yang dapat dimengerti);

5. The anactment of contradictory rules (tidak boleh mengandung aturan-aturanyang bertentangan satu sama lain);

6. Rules that require conduct beyond the poers if the affected party (tidak bolehmengandung beban atau persyaratan yang melebihi apa yang dapat dilakukan);

7. Introductions such frequent changes in the rules that the subject cannot orient hisaction by them (tidak boleh terus-menerus diubah, artinya tidak boleh adakebiasaan untuk mengubah-ubah peraturan sehingga menyebabkan seseorangkehilangan orientasi); dan

8. A failure of congruence between the rules as announced and their actualadministration (harus ada kecocokan atau konsistensi antara peraturan yangdiundangkan dengan pelaksanaan sehari-hari).

Dalam kaitannya dengan ketentuan label nampaknya ketentuan label

sebagimana diatur dalam PP No. 69 Tahun 1999 tidak memenuhi kriteria no. 8 dari

teori Lon Fuller.

Keberadaan tentang konsepsi negara hukum sudah ada semenjak

berkembangnya pemikiran cita negara hukum itu sendiri. Plato dan Aristoteles

merupakan penggagas dari pemikiran negara hukum. Pemikiran negara hukum

dimunculkan Plato. Menurut Plato, penyelenggaraan pemerintah yang baik ialah yang

diatur oleh hukum. Konsepsi negara hukum dalam kajian teoritis dapat dibedakan

dalam dua pengertian. Pertama, negara hukum dalam arti formal (sempit/klasik) yaitu

negara hukum sebagai Nachtwakerstaat atau Nachtwachterstaat (negara jaga malam)

yang tugasnya adalah menjamin ketertiban dan keamanan masyarakat, urusan

kesejahteraan didasarkan pada persaingan bebas (free fight), laisez faire, laisez ealler,

Page 44: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

siapa yang kuat dia yang menang. Negara hukum dalam arti formal ini kerjanya

hanya menjaga agar jangan sampai ada pelanggaran terhadap ketentraman dan

kepentingan umum, seperti yang telah ditentukan oleh hukum yang tertulis (undang-

undang), yaitu hanya bertugas melindungi jiwa, benda, atau hak asasi warganya

secara pasif, tidak campur tangan dalam bidang perekonomian atau penyelenggaraan

kesejahteraan rakyat, karena yang berlaku dalam lapangan ekonomi adalah prinsip

laiesez faire laiesizealler.

Namun teori Negara hukum dalam arti sempit ini mulai ditinggalkan karena

persaingan bebas ternyata makin melebarkan jurang pemisah antara golongan kaya

dan golongan miskin. 34 Maka para ahli berusaha menyempurnakan teorinya dengan

teori negara hukum dalam arti materiil (luas/modern) ialah negara yang terkenal

dengan istilah welfare state (walvaar staat), (wehlfarstaat). Disini Negara bertugas

menjaga keamanan dalam arti kata seluas-luasnya, yaitu keamanan social (social

security) dan menyelenggarakan kesejahteraan umum, berdasarkan prinsip-prinsip

hukum yang benar dan adil sehingga hak-hak asasi warga negaranya benar-benar

terjamin dan terlindungi. 35 Menurut teori ini, selain bertujuan melindungi hak dan

kebebasan warganya, negara juga berupaya mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh

warga negara.

34 A. Mukthie Fadjar, 2005, Tipe Negara Hukum, Bayumedia Publishing, Malang, h. 16.35 Dahlan Thaib, 1999, Kedaulatan Rakyat, Negara Hukum, dan Konstitusi, Liberty,

Yogyakarta, h. 46.

Page 45: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

Dalam penjelasan UUD 1945 dirumuskan bahwa “ Negara Indonesia berdasar

atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat) “.

Jadi demikian jelas Negara Indonesia adalah Negara hukum. 36

Negara hukum ditandai oleh empat unsur pokok yaitu :

1) pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia.

2) negara didasarkan pada teori trias politica.

3) pemerintahan diselenggarakan berdasarkan undang¬-undang (wetmatig

bestuur).

4) ada peradilan administrasi negara yang bertugas menangani kasus perbuatan

melanggar hukum oleh pemerintah (onrechtmatige overheidsdaad).

Seperti telah diuraikan diatas, salah satu ciri khas dari Negara hukum adalah

adanya pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Termasuk

dalam hak-hak asasi manusia adalah hak konsumen.

Mengingat betapa pentingnya hak-hak konsumen, sehingga melahirkan

pemikiran yang berpendapat bahwa hak-hak konsumen merupakan “Generasi

Keempat Hak Asasi Manusia” yang merupakan kata kunci dalam konsepsi hak asasi

dalam perkembangan umat manusia di masa-masa yang akan datang. 37 Dimana

persoalan hak asasi manusia tidak cukup hanya dipahami dalam konteks hubungan

kekuasan yang bersifat vertikal, tetapi mencakup pula hubungan-hubungan kekuasaan

36 Bernard Arief Shidarta, 2000, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Sebuah PenelitianTentang Fundasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum Sebagai Landasan PengembanganIlmu Hukum Nasional Indonesia, Mandar Maju, Bandung, h. 47.

37 Amstrong Sembiring, 2010, “ Menyoal Hak-Hak Konsumen “, diakses 8 Juni 2010,available from URL : http://www.facebook.com/note.php?note_id

Page 46: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

yang bersifat horisontal, antar kelompok masyarakat, antara golongan rakyat atau

masyarakat, dan bahkan antar satu kelompok masyarakat di suatu negara dengan

kelompok masyarakat di negara lain.

Hak konsumen dalam artian yang luas ini dapat disebut sebagai dimensi baru

hak asasi manusia yang tumbuh dan harus dilindungi dari kemungkinan

penyalahgunaan atau tindakan-tindakan sewenang-wenang dalam hubungan

kekuasaan yang bersifat horizontal antara pihak produsen dengan konsumennya.

Konsepsi generasi keempat ini dapat disebut sebagai Konsepsi Generasi Kedua

apabila seluruh corak pemikiran atau konsepsi hak asasi manusia sebelumnya yang

bersifat vertikal dikelompokkan sebagai satu generasi tersendiri dalam pertumbuhan

dan perkembangan konsepsi hak asasi manusia. Konsepsi Generasi kedua adalah

konsepsi hak asasi manusia untuk mengejar kemajuan ekonomi, sosial dan

kebudayaan, termasuk hak atas pendidikan, hak untuk menentukan status politik, hak

untuk menikmati ragam penemuan-penemuan ilmiah, dan lain-lain sebagainya.

Secara historis mengenai hak-hak dasar konsumen pertama kali dikemukakan

oleh Presiden Amerika Serikat J.F. Kennedy “Presiden yang pertama kali

mengangkat martabat konsumen” saat menyampaikan pidato revolusioner di depan

kongres (US Congress) pada tanggal 15 Maret 1962 tentang Hak konsumen. Ia

berujar, “Menurut definisi, konsumen adalah kita semua. Mereka adalah kelompok

ekonomi paling besar yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh hampir setiap

keputusan ekonomi Publik dan swasta, tetapi mereka hanya sekelompok penting yang

Page 47: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

suaranya nyaris tak didengar.” Yang di dalam pesannya kepada Kongres dengan judul

A Special Massage of Protection the Consumer Interest.

Presiden J.F. Kennedy menjabarkan empat hak konsumen sebagai berikut:

(1). the right to safety (hak atas keamanan)

(2). the right to choose (hak untuk memilih)

(3). the right tobe informed (hak mendapatkan informasi)

(4). the right tobe heard (hak untuk didengar pendapatnya). 38

Selanjutnya dalam perkembangannya hak-hak tersebut dituangkan di dalam

Piagam Hak Konsumen yang juga dikenal dengan Kennedy’s Hill of Right.

Kemudian muncul beberapa hak konsumen selain itu, yaitu hak ganti rugi, hak

pendidikan konsumen, hak atas pemenuhan kebutuhan dasar dan hak atas lingkungan

yang sehat. Selanjutnya, keempat hak tersebut merupakan bagian dari Deklarasi Hak-

hak Asasi Manusia yang dicanangkan PBB pada tanggal 10 Desember 1948, masing-

masing pada pasal 3, 8, 19, 21 dan pasal 26, yang oleh Organisasi Konsumen Sedunia

(International Organization of Consumers Union- IOCU) ditambahkan empat hak

dasar konsumen lainnya, hak untuk memperoleh kebutuhan hidup, hak untuk

memperoleh ganti rugi, hak untuk memperoleh pendidikan konsumen, hak untuk

memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat.

Masyarakat Eropa (Europese Ekonomische Gemeenschap atau EEG) juga

menyepakati lima hak dasar konsumen sebagai berikut, hak perlindungan kesehatan

38 Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, 2001, Hukum tentang Perlindungan Konsumen, PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h. 27.

Page 48: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

dan keamanan (recht op bescherming van zijn gezendheid en veiligheid), hak

perlindungan kepentingan ekonomi (recht op bescherming van zijn economische

belangen), hak mendapat ganti rugi (recht op schadevergoeding), hak atas

penerangan (recht op voorlichting en vorming), hak untuk didengar (recht om te

worden gehord).

Dua dekade kemudian setelah Kennedy menyampaikan pidato, pada tanggal

15 Maret 1983, maka Hari Hak Konsumen dirayakan untuk pertama kali, dan setelah

perjalanan panjang gerakan konsumen sejak pidatonya, hak konsumen akhirnya

diterima secara prinsip oleh pemerintah seluruh dunia dalam Sidang Majelis Umum

PBB (UN General Assembly) pada tanggal 9 April 1985. Pengakuan hak konsumen

dilakukan melalui adopsi UN guidelines for Consumers Protection. Lobi yang

konsisten oleh kelompok konsumen berdasarkan Guidelines tersebut merupakan

kesinambungan untuk meningkatkan dan memperkuat perlindungan hukum bagi

kelanjutan gerakan konsumen di seluruh dunia baik di negara berkembang maupun di

negara maju. Usai Presiden Amerika Serikat John .F. Kennedy sesudah itu, L.B.

Johnson, menambahkan perlu dikembangkan konsep product warranty dan product

liability.

Dan sementara itu, RRC, hak-hak konsumen diakui sebagai hak-hak: (1). To

select commodities and service of their own will; (2). To know the real circumstances

of the price, quality, Weight-measurement, function, ect., of commodities and service;

(3). To have guarantees of quality, weigths and measures, price, safety, and hygienes

as stipulated by law; (4). To request receipts for payment in purcahsing commodities

Page 49: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

and services; (5). To request repairing, replacing, or returning commodities or

service because of unstatisfactory quality according to the standard provided by law

agreed by the parties, to request compensation when persobal or property damage is

caused thereof; (6). To have other rights as stipulated law. Dalam catatan, mengenai

urutan hak-hak diatas tersebut telah beberapa kali diubah dan tidak bersifat tunggal

untuk seluruh negara tersebut. 39

Di Indonesia, mengenai hak-hak konsumen diatur dalam pasal 4 Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yakni :

a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsibarang dan/atau jasa;

b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barangdan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminanyang dijanjikan;

c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi danjaminan barang dan/atau jasa;

d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasayang digunakan;

e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaiansengketa perlindungan konsumen secara patut;

f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak

diskriminatif;h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian,

apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjianatau tidak sebagaimana mestinya;

i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undanganlainnya.

Disamping hak-hak dalam pasal 4 UUPK, juga terdapat hak-hak konsumen

yang dirumuskan dalam pasal-pasal berikutnya, khususnya dalam pasal 7 yang

39 Ibid.

Page 50: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

mengatur tentang kewajiban pelaku usaha. Kewajiban dan hak merupakan antinomi

dalam hukum, sehingga kewajiban pelaku usaha dapat dilihat sebagai hak

konsumen.40

Signifikansi pengaturan hak-hak konsumen melalui Undang-Undang

merupakan bagian dari implementasi sebagai suatu Negara kesejahteraan, karena

Undang-Undang Dasar 1945 di samping sebagai konstitusi politik juga dapat disebut

konstitusi ekonomi, yaitu konstitusi yang mengandung ide Negara kesejahteraan yang

tumbuh berkembang karena pengaruh sosialisme sejak abad 19. Indonesia melalui

Undnag-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menetapkan

kesembilan hak konsumen sebagai penjabaran dari pasal-pasal yang bercirikan

Negara kesejahteraan, yaitu pasal 27 ayat (2) dan pasal 33 Undang-Undang Dasar

1945

1.6 Metode Penelitian

1.6.1 Jenis Penelitian

Penelitian adalah merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan

analisa dan konstruksi yang dilakukan secara metodelogis, sistematis, dan

konsisten.41 Penelitian yang dilakukan kaitannya dengan penulisan tesis ini termasuk

dalam kategori/jenis penelitian normatif, yaitu penelitian hukum kepustakaan atau

40 Shidarta, Op.Cit, h. 18.41 Soerjono Soekanto, 1984, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta (selanjutnya

disebut Soerjono Soekanto I), h. 42.

Page 51: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

penelitian hukum yang didasarkan pada data sekunder.42 Data sekunder yaitu data-

data yang bersumber dari data yang sudah terdokumenkan dalam bentuk bahan

hukum.43

Perlunya penelitian hukum normatif ini adalah beranjak dari adanya

kekaburan norma hukum berkaitan permasalahan penelitian, sehingga didalam

mengkajinya lebih mengutamakan sumber data sekunder, yaitu berupa bahan hukum

primer, sekunder dan tersier.

Dalam kaitannya dengan penelitian hukum, maka Moris L. Cohen dan Kent.

C. Olson memberikan definisi tentang penelitian hukum sebagai berikut :44

Legal research is an assential component of legal practice. It is process offinding the law that the foverns an activity and materials that explain or analyse thatlaw. The resource give the lawyers the knowledge with which orovide accurate andinsigful advise, to draft effective document, or defend their clients rights in court.

Artinya bahwa penelitian hukum adalah salah satu komponen dari praktek

hukum, yang meliputi proses penemuan hukum dan yang menentukan suatu kegiatan

serta menjelaskan substansi atau analisis hukum. Dalam hal ini penelitian hukum

memberikan sumber pengetahuan kepada praktisi hukum untuk memberikan

ketepatan informasi yang cukup untuk membuat suatu dokumen atau pembelaan

terhadap hak-hak kliennya di Pengadilan.

1.6.2 Jenis Pendekatan

42 Soerjono Soekanto, 1985, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, CV.Rajawali Jakarta (selanjutnya disebut Soerjono Soekanto II), h.15.

43 Sedarmayanti & Syarifuddin Hidayat, 2002, Metodelogi Penelitian, Mandar Maju,Bandung, h. 108.

44 Moris L. Cohen, Kent C. Olson, 2000, Legal Research, West Group, USA.

Page 52: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

Penelitian hukum normatif mengenal beberapa jenis pendekatan yang dapat

digunakan, yaitu :

a. Pendekatan Kasus (the Case Approach);b. Pendekatan Perundang-undangan (the Statute Approach);c. Pendekatan Fakta (The Fact Approach);d. Pendekatan Analisa Konsep Hukum (Analitical and Conseptual Approach);e. Pendekatan Prasa (Word and Phrase Approach);f. Pendekatan Sejarah ( Historical Approach); dang. Pendekatan Perbandingan (Comparative Approach);45

Dalam penelitian ini dipergunakan pendekatan perundang-undangan (the

statue approach), pendekatan fakta (fact approach), dan pendekatan analisa konsep

hukum (analytical and conceptual approach). Permasalahan dikaji dengan

mempergunakan interpretasi hukum, serta kemudian diberikan argumentasi secara

teoritik berdasarkan teori-teori dan konsep hukum yang ada.

1.6.3. Sumber Bahan Hukum

Bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah bahan hukum

primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier. Adapun bahan-bahan

hukum sebagaimana dimaksud adalah sebagai berikut :

a. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang bersifat autoritatif atau mempunyai

otoritas atau memiliki kekuatan mengikat,46 yaitu:

1) Burgerlijke Wetboek (KUH Perdata).

45 Program Studi Magister Ilmu Hukum, 2008, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian danPenulisan Tesis, Universitas Udayana, h. 11-12.

46 Soerjono Soekanto & Sri Mahmmudji, 1988, Penelitian Hukum Normatif, Rajawali Press,Jakarta, h. 34

Page 53: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

2) Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan.

3) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

4) Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

5) Undang-Undang No. 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal.

6) Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan.

7) Peraturan Pemerintah No. 28/2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan

8) Keputusan Menteri Kesehatan No. 924/Menkes/SK/VIII/1996 tentang

perubahan atas Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 82/Menkes/SK/I/1996

tentang Pencantuman Tulisan “ Halal “ pada Label Makanan.

9) Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 180/Menkes. Per/IV/1985 tentang

Makanan Daluwarsa yang telah dirubah dengan Keputusan Dirjen POM No.

02591/B/SK/VIII/91.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan

terhadap bahan hukum primer, yaitu meliputi buku-buku, literature, makalah,

tesis, skripsi, dan bahan-bahan hukum tertulis lainnya yang berhubungan dengan

permasalahan penelitian.47 Disamping itu, juga dipergunakan bahan-bahan hukum

yang diperoleh melalui electronic research yaitu melalui internet dengan jalan

mengcopy (download) bahan hukum yang diperlukan. Keunggulan dalam

penggunaan ataupun pemakaian internet antara lain efisien, tanpa batas (without

47 Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penelitian Hukum, Cetakan ke-IV, Kencana, Jakarta, h. 141.

Page 54: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

boundry), terbuka 24 jam (24 hours online), interaktif dan terjalin dalam sekejap

(hyperlink).48

c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yaitu

berupa kamus.

1.6.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Pengumpulan bahan hukum dilakukan melalui studi dokumentasi. Bahan

hukum yang diperolehnya, diinfentarisasi dan diidentifikasi serta kemudian dilakukan

pengklasifikasian bahan-bahan sejenis, mencatat dan mengolahnya secara sistematis

sesuai dengan tujuan dan kebutuhan penelitian.49 Tujuan dari tehnik dokumentasi ini

adalah untuk mencari konsepsi-konsepsi, teori-teori, pendapat-pendapat, penemuan-

penemuan yang berhubungan dengan permasalahan penelitian.50

1.6.5 Teknik Analisis

Dari bahan hukum yang berhasil dikumpulkan dalam penelitian ini, baik

bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder, dianalisis dengan

menggunakan tehnik deskripsi, interpretasi, argumentasi, evaluasi, dan

sistematisasi. 51 Pengertian dari masing-masing tehnik analisis dimaksud adalah

sebagai berikut :

48 Budi Agus Riswandi, 2003, Hukum Internet, UII Press, Yogyakarta, h. 325.49 Sunaryati Hartono, 1994, Penelitian Hukum di Indonesia pada akhir abad 20, Alumni,

Bandung, h. 150.50 Romy Hanitidjo Soemitro, 1988, Metodelogi Penelitian Hukum dan Yurimetri, Ghalia

Indonesia, Jakarta, h. 98.51 Program Studi Magister Ilmu Hukum UNUD, Op.cit, h. 14-15.

Page 55: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

a. Tehnik deskripsi, adalah uraian apa adanya terhadap suatu kondisi atau proposisi-

proposisi hukum maupun non hukum.

b. Tehnik interpretasi, adalah penggunaan jenis-jenis penafsiran dalam ilmu hukum,

terutama penafsiran kontekstualnya.

c. Tehnik argumentasi, yaitu penilaian yang didasarkan pada alasan-alasan yang

bersifat penalaran hukum.

d. Tehnik evaluasi, yaitu penilaian tepat atau tidak tepat, benar atau salah, sah atau

tidak sah terhadap suatu pandangan atau proporsi, pernyataan rumusan norma,

keputusan, baik yang tertera dalam bahan hukum primer dan bahan hukum

sekunder.

e. Tehnik sistematisasi, adalah upaya mencari kaitan rumusan suatu konsep hukum

atau proposisi hukum antara peraturan perundang-undangan yang sederajat

maupun yang tidak sederajat.

Page 56: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

2.1 Pengertian Perlindungan Konsumen

Dalam berbagai literatur ditemukan sekurang-kurangnya dua istilah

mengenai hukum yang mempersoalkan konsumen, yaitu “ hukum konsumen “ dan “

hukum perlindungan konsumen “.

Istilah “ hukum konsumen “ dan “ hukum perlindungan konsumen “ sudah

sangat sering terdengar. Namun, belum jelas benar apa saja yang masuk ke dalam

materi keduanya. Juga, apakah kedua “ cabang “ hukum itu identik. 52

M.J Leder menyatakan : In a sence there is no such creature as consumer

law . Sekalipun demikian, secara umum sebenarnya hukum konsumen dan hukum

perlindungan konsumen itu seperti yang dinyatakan oleh Lowe, yakni : ….rules of

law which recognize the bargaining weakness of the individual consumer and which

ensure that weakness is not unfairly exploted. 53

Karena posisi konsumen yang lemah maka ia harus dilindungi oleh hukum.

Salah satu sifat, sekaligus tujuan hukum adalah memberikan perlindungan

(pengayoman) kepada masyarakat. Jadi, sebenarnya hukum konsumen dan hukum

perlindungan konsumen adalah dua bidang hukum yang sulit dipisahkan dan ditarik

batasnya.

52 Shidarta, Op.cit, h. 9.53 Ibid, h. 23.

Page 57: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

Oleh Az. Nasution dijelaskan bahwa kedua istilah itu berbeda, yaitu bahwa

hukum perlindungan konsumen adalah bagian dari hukum konsumen. Hukum

konsumen menurut beliau adalah :

Keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur hubungan danmasalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang danatau jasa konsumen, di dalam pergaulan hidup.

Sedangkan hukum perlindungan konsumen diartikan sebagai :

Keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur danmelindungi konsumen dalam hubungan dan masalahnya dengan para penyedia barangdan atau jasa konsumen.

Lebih lanjut mengenai definisinya itu, Az. Nasution menjelaskan sebagai

berikut :

Hukum konsumen pada pokoknya lebih berperan dalam hubungan danmasalah konsumen yang kondisi para pihaknya berimbang dalam kedudukansosial ekonomi, daya saing, maupun tingkat pendidikan. Rasionya adalahsekalipun tidak selalu tepat, bagi mereka masing-masing lebih mampumempertahankan dan menegakkan hak-hak mereka yang sah. Hukumperlindungan konsumen dibutuhkan apabila kondisi pihak-pihak yangmengadakan hubungan hukum atau bermasalah dalam masyarakat itu tidakseimbang.

Pada dasarnya, baik hukum konsumen maupun hukum perlindungan

konsumen membicarakan hal yang sama, yaitu kepentingan hukum (hak-hak)

konsumen. Bagaimana hak-hak konsumen itu diakui dan diatur di dalam hukum serta

bagaimana ditegakkan di dalam praktik hidup bermasyarakat, itulah yang menjadi

materi pembahasannya. Dengan demikian, hukum perlindungan konsumen atau

hukum konsumen dapat diartikan sebagai keseluruhan peraturan hukum yang

Page 58: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban konsumen dan produsen yang timbul

dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya.

Kata keseluruhan dimaksudkan untuk menggambarkan bahwa di dalamnya

termasuk seluruh pembedaan hukum menurut jenisnya. Jadi, termasuk di dalamnya,

baik aturan hukum perdata, pidana, administrasi Negara, maupun hukum

internasional. Sedangkan cakupannya adalah hak dan kewajiban serta cara-cara

pemenuhannya dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya, yaitu bagi konsumen

mulai dari usaha untuk mendapatkan kebutuhannya dari produsen, meliputi :

informasi, memilih, harga sampai pada akibat-akibat yang timbul karena pengguna

kebutuhan itu, misalnya untuk mendapatkan penggantian kerugian. Sedangkan bagi

produsen meliputi kewajiban yang berkaitan dengan produksi, penyimpanan,

peredaran dan perdagangan produk, serta akibat dari pemakaian produk itu.

Dengan demikian, jika perlindungan konsumen diartikan sebagai segala upaya

yang menjamin adanya kepastian pemenuhan hak-hak konsumen sebagai wujud

perlindungan kepada konsumen, maka hukum perlindungan konsumen tiada lain

adalah hukum yang mengatur upaya-upaya untuk menjamin terwujudnya

perlindungan hukum terhadap kepentingan konsumen.

Pasal 1 angka 1 UU No. 8 Tahun 1999 memberi pengertian perlindungan

konsumen sebagai segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk

memberikan perlindungan kepada konsumen.

Kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen tersebut

antara lain adalah dengan meningkatkan harkat dan martabat konsumen serta

Page 59: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

membuka akses informasi tentang barang dan/atau jasa baginya, dan

menumbuhkembangkan sikap pelaku usaha yang jujur dan bertanggung jawab

(konsideran huruf d, UU).

Khusus mengenai perlindungan konsumen, menurut Yusuf Shofie, undang-

undang perlindungan konsumen di Indonesia mengelompokkan norma-norma

perlindungan konsumen ke dalam 2 (dua) kelompok, yaitu 54:

1. Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha.

2. Ketentuan tentang pencantuman klausula baku.

Dengan adanya pengelompokan tersebut ditujukan untuk memberikan

perlindungan terhadap konsumen dari atau akibat perbuatan yang dilakukan pelaku

usaha. Berkenaan dengan perlindungan konsumen dapat dirinci bidang-bidang

perlindungan konsumen, yaitu sebagai berikut :55

1. keselamatan fisik;

2. peningkatan serta perlindungan kepentingan ekonomis konsumen;

3. standard untuk keselamatan dan kualitas barang serta jasa;

4. pemerataan fasilitas kebutuhan pokok;

5. upaya-upaya untuk memungkinkan konsumen melaksanakan tuntutan ganti

kerugian;

6. program pendidikan dan penyebarluasan informasi;

54 Yusuf Sofie II, Op.cit, h. 26.55 Taufik Simatupang, Op.cit, h. 11-13.

Page 60: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

7. pengaturan masalah-masalah khusus seperti makanan, minuman, obat-obatan

dan kosmetik.

Sementara itu, Janus Sidabalok mengemukakan ada 4 (empat) alasan pokok

mengapa konsumen perlu dilindungi, yaitu sebagai berikut56 :

1. Melindungi konsumen sama artinya dengan melindungi seluruh bangsa

sebagaimana diamanatkan oleh tujuan pembangunan nasional menurut UUD

1945;

2. Melindungi konsumen perlu untuk menghindarkan konsumen dari dampak

negative penggunaan teknologi;

3. Melindungi konsumen perlu untuk melahirkan manusia-manusia yang sehat

rohani dan jasmani sebagai pelaku-pelaku pembangunan, yang berarti juga

untuk menjaga kesinambungan pembangunan nasional;

4. Melindungi konsumen perlu untuk menjamin sumber dana pembangunan

yang bersumber dari masyarakat konsumen.

Sedangkan menurut Setiawan, perlindungan konsumen mempunyai 2 (dua)

aspek yang bermuara pada praktik perdagangan yang tidak jujur (unfair trade

practices) dan masalah keterikatan pada syarat-syarat umum dalam suatu perjanjian.

Dalam pandangan ini secara tegas dinyatakan bahwa upaya untuk melakukan

perlindungan konsumen disebabkan adanya tindakan-tindakan atau perbuatan para

pelaku usaha dalam menjalankan aktifitas bisnisnya yang tidak jujur sehingga dapat

56 Janus Sidabalok, 2010, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, PT. Citra AdityaBakti, Bandung, h. 6.

Page 61: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

merugikan konsumen, praktek-praktek yang dijalankan salah satunya mengunakan

bahan kimia sebagai bahan campuran dalam pengawetan makanan, misalanya

formalin. Menurut Adijaya Yusuf dan John W. Head, perlindungan konsumen adalah

istilah yang digunakan untuk menggambarkan perlindungan hukum yang diberikan

kepada konsumen dan usahanya untuk memenuhi kebutuhannya dari hal-hal yang

dapat merugikan konsumen. Undang-undang perlindungan konsumen mempunyai

suatu misi yang besar yaitu untuk mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara

yang adil dan makmur sesuai yang diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945.

Menurut Ali Mansyur, kepentingan konsumen dapat dibagi menjadi empat

macam kepentingan, yaitu sebagai berikut57 :

1. Kepentingan fisik;

Kepentingan fisik berkenaan dengan badan atau tubuh yang berkaitan dengan

keamanan dan keselamatan tubuh dan jiwa dalam penggunaan barang

dan/atau jasa. Kepentingan fisik ini juga berkaitan dengan kesehatan dan

keselamatan jiwa. Kepentingan fisik konsumen ini harus diperhatikan oleh

pelaku usaha.

2. Kepentingan sosial dan lingkungan;

Kepentingan sosial dan lingkungan konsumen adalah terwujudnya keinginan

konsumen untuk memperoleh hasil yang optimal dari penggunaan sumber-

sumber ekonomi mereka dalam mendapatkan barang dan jasa yang

57 M. Ali Mansyur, 2007, Penegakan Hukum Tentang Tanggung Gugat Produsen DalamPerwujudan Perlindungan Konsumen, Genta Press, Yogyakarta, h. 81.

Page 62: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

merupakan kebutuhan hidup, sehingga konsumen memerlukan informasi yang

benar mengenai produk yang mereka konsumen, sebab jika tidak maka akan

terjadi gejolak sosial apabila konsumen mengkonsumsi produk yang tidak

aman.

3. Kepentingan ekonomi;

Kepentingan ekonomi para pelaku usaha untuk mendapatkan laba yang

sebesar-besarnya adalah sesuatu yang wajar, akan tetapi dayabeli konsumen

juga harus dipertimbangkan dalam artian pelaku usaha jangan memikirkan

keuntungan semata tanpa merinci biaya riil produksi atas suatu produk yang

dihasilkan.

4. Kepentingan perlindungan hukum.

Kepentingan hukum konsumen adalah akses terhadap keadilan (acces to

justice), konsumen berhak untuk dilindungi dari perlakuan-perlakuan pelaku

usaha yang merugikan.

2.2. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen

Dalam setiap undang-undang yang dibuat pembentuk undang-undang,

biasanya dikenal sejumlah asas atau prisip yang mendasari diterbitkannya undang-

undang tersebut. Asas-asas hukum merupakan fondasi suatu undang-undang dan

Page 63: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

peraturan pelaksananya.58 Bila asas-asas dikesampingkan, maka runtuhlah bangunan

undang-undang itu dan segenap peraturan pelaksanaannya.59

Sudikno Mertokusumo memberikan ulasan asas hukum sebagai berikut : “

…bahwa asas hukum bukan merupakan hukum kongkrit, melainkan merupakan

pikiran dasar yang umum dan abstrak, atau merupakan latar belakang peraturan yang

kongkrit yang terdapat dalam dan di belakang setiap system hukum yang terjelma

dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum

positif dan dapat diketemukan dengan mencari sifat-sifat atau cirri-ciri yang umum

dalam peraturan kongkrit tersebut “.60

Sejalan dengan pendapat Sudikno tersebut, Satjipto Rahardjo berpendapat

bahwa asas hukum bukan merupakan peraturan hukum, namun tidak hukum yang

bisa dipahami tanpa mengetahui asas-asas hukum yang ada didalamnya, asas-asas

hukum memberi makna etis kepada setiap peraturan-peraturan hukum serta tata

hukum. 61 Asas hukum ini ibarat jantung peraturan hukum atas dasar dua alasan yaitu,

pertama asas hukum merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu

peraturan hukum. Ini berarti bahwa penerapan peraturan-peraturan hukum itu dapat

dikembalikan kepada asas-asas hukum. Kedua, karena asas hukum mengandung

58 Abdoel Djamali, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Indonesia, Raja Grafindo, Jakarta, h. 3.59 Yusuf Sofie, 2002, Pelaku Usaha, Konsumen dan Tindak Korporasi, Ghalia Indonesia,

Jakarta, (selanjutnya disingkat Yusuf Sofie III)h. 25.60 Sudikno Mertokusumo, 1996, Penemuan Hukum : Suatu Pengantar, Liberty, Jakarta, h. 5-

6.61 Satjipto Rahardjo, 1991, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya

disebut Satjipto Rahardjo I),h. 87.

Page 64: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

tuntutan etis, maka asas hukum diibaratkan sebagai jembatan antara peraturan-

peraturan hukum dengan cita-cita sosial dan pandangan etis masyarakatnya.62

Di dalam usaha memberikan perlindungan hukum terhadap konsumen,

terdapat beberapa asas yang terkandung di dalamnya. Perlindungan konsumen

dilakukan sebagai bentuk usaha bersama antara masyarakat (konsumen), pelaku

usaha dan Pemerintah sebagai pembentuk Peraturan Perundang-Undangan yang

berkaitan dengan Perlindungan Konsumen, hal ini terkandung dalam ketentuan pasal

2 UUPK. Kelima asas tersebut adalah :

1. Asas manfaat

Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam

penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-

besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.

Asas ini menghendaki bahwa pengaturan dan penegakan hukum perlindungan

konsumen tidak dimaksudkan untuk menempatkan salah satu pihak diatas pihak

yang lain atau sebaliknya, tetapi adalah untuk memberikan kepada masing-masing

pihak, pelaku usaha (produsen) dan konsumen, apa yang menjadi haknya.

Dengan demikian, diharapkan bahwa pengaturan dan penegakan hukum

perlindungan konsumen bermanfaat bagi seluruh lapisan masyarakat dan pada

gilirannya bermanfaat bagi kehidupan berbangsa.

2. Asas keadilan

62 Ibid, h. 85.

Page 65: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan

secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku

usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.

Asas ini menghendaki bahwa pengaturan dan penegakan hukum perlindungan

konsumen ini, konsumen dan pelaku usaha (produsen) dapat berlaku adil melalui

perolehan hak dan penunaian kewajiban secara seimbang. Karena itu, UUPK

mengatur sejumlah hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha.

3. Asas keseimbangan

Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara

kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil ataupun

spiritual.

Asas ini menghendaki agar konsumen, pelaku usaha (produsen), dan Pemerintah

memperoleh manfaat yang seimbang dari pengaturan dan penegakan hukum

perlindungan konsumen. Kepentingan antara konsumen, pelaku usaha (produsen)

dan Pemerintah diatur dan harus diwujudkan secara seimbang sesuai dengan hak

dan kewajibannya masing-masing dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Tidak ada salah satu pihak yang mendapat perlindungan atas kepentingannya

yang lebih besar dari pihak lain sebagai komponen bangsa dan Negara.

4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen

Asas ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan

keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan

barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.

Page 66: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

Asas ini menghendaki adanya jaminan hukum bahwa konsumen akan

memperoleh manfaat dari produk yang dikonsumsi/dipakainya, dan sebaliknya

bahwa produk itu tidak akan mengancam ketentraman dan keselamatan jiwa dan

harta bendanya. Karena itu Undang-Undang ini membebankan sejumlah

kewajiban yang harus dipenuhi dan menetapkan sejumlah larang yang harus

dipatuhi oleh produsen dalam memperoduksi dan mengedarkan produknya.

5. Asas kepastian hukum

Asas ini dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum

dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta

negara menjamin kepastian hukum.

Artinya Undang-Undang ini mengharapkan bahwa aturan-aturan tentang hak dan

kewajiban yang terkandung di dalam undang-undang ini harus diwujudkan dalam

kehidupan sehari-hari sehingga masing-masing pihak memperoleh keadilan. Oleh

karena itu, Negara bertugas dan menjamin terlaksananya undang-undang ini

sesuai dengan bunyinya.

Memperhatikan substansi pasal 2 UUPK demikian pula penjelasannya,

tampak bahwa perumusannya mengacu pada filosofi pembangunan nasional yaitu

pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada falsafah Negara

Republik Indonesia.

Kelima asas yang disebutkan dalam pasal tersebut, bila diperhatikan

substansinya, dapat dibagi menjadi 3 (tiga) asas yaitu :

Page 67: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

1. Asas kemanfaatan yang didalamnya meliputi asas keamanan dan keselamatan

konsumen,

2. Asas keadilan yang didalamnya meliputi asas keseimbangan, dan

3. Asas kepastian hukum.

Radbruch menyebutkan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian sebagai “ tiga

ide dasar hukum “ atau “ tiga nilai dasar hukum “, yang berarti dapat dipersamakan

dengan asas hukum. Keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum juga oleh banyak

jurist menyebut sebagai tujuan hukum.

Asas keamanan dan keselamatan konsumen yang dikelompokkan ke dalam

asas manfaat oleh karena keamanan dan keselamatan konsumen itu sendiri bagian

dari manfaat penyelenggaraan perlindungan yang diberikan kepada konsumen

disamping kepentingan pelaku usaha secara keseluruhan.

Sedangkan asas keseimbangan dikelompokkan ke dalam asas keadilan,

mengingat hakikat keseimbangan yang dimaksud adalah juga keadilan bagi

kepentingan masing-masing pihak, yaitu konsumen, pelaku usaha, dan Pemerintah.

Kepentingan Pemerintah dalam hubungan ini tidak dapat dilihat dalam

hubungan transaksi dagang secara langsung menyertai pelaku usaha dan konsumen.

Kepentingan Pemerintah dalam rangka mewakili kepentingan publik yang

kehadirannya tidak secara langsung di antara para pihak tetapi melalui berbagai

pembatasan dalam bentuk kebijakan yang dituangkan dalam berbagai peraturan

perundang-undangan.

Page 68: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

Keseimbangan perlindungan antara pelaku usaha dan konsumen

menampakkan fungsi hukum yang menurut Roscoe Pound sebagai sarana

pengendalian hidup bermasyarakat dengan menyeimbangkan kepentingan-

kepentingan yang ada dalam masyarakat atau dengan kata lain sebagai sarana kontrol

sosial.63

Keseimbangan perlindungan hukum terhadap pelaku usaha dan konsumen

tidak terlepas dari adanya pengaturan tentang hubungan-hubungan hukum yang

terjadi antara para pihak. Menurut Bellefroid, secara umum hubungan-hubungan

hukum yang bersifat publik maupun privat dilandaskan pada prinsip-prinsip atau asas

kebebasan, persamaan dan solidaritas.64 Dengan prinsip atau asas kebebasan, subyek

hukum bebas melakukan apa yang diinginkannya dengan dibatasi oleh keinginan

orang lain dan memelihara akan ketertiban sosial.

Dengan prinsip atau asas kesamaan, setiap individu mempunyai kedudukan

yang sama di dalam hukum untuk melaksanakan dan meneguhkan hak-haknya.

Dalam hal ini hukum memberikan perlakuan yang sama terhadap individu.

Sedangkan prinsip atau asas solidaritas sebenarnya merupakan sisi balik dari

kebebasan. Apabila dalam prinsip atau asas kebebasan yang menonjol adalah hak,

maka di dalam prinsip atau asas solidaritas yang menonjol adalah kewajiban, dan

seakan-akan setiap individu sepakat untuk tetap mempertahankan kehidupan

bermasyarakat yang merupakan modus survival manusia. Melalui prinsip atau asas

63 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, 2008, Hukum Perlindungan Konsumen, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 28.

64 Ibid.

Page 69: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

solidaritas dikembangkan kemungkinan Negara mencampuri urusan yang sebenarnya

privat dengan alasan tetap terpeliharanya kehidupan berama. Dalam hubungan inilah

kepentingan Pemerintah sebagaimana dimaksudkan dalam asas keseimbangan diatas

yang sekaligus sebagai karakteristik dari apa yang dikenal dalam kajian hukum

ekonomi.

Sejak masuknya paham welfare state, Negara telah ikut campur dalam

perekonomian rakyatnya melalui berbagai kebijakan yang terwujud dalam bentuk

peraturan perundang-undangan, termasuk dalam hubungan kontraktual antara pelaku

usaha dan konsumen. Pengaturan hal-hal tertentu yang berkaitan dengan masuknya

paham Negara modern melalui welfare state, kita tidak menemukan lagi pengurusan

kepentingan ekonomi oleh rakyat tanpa melibatkan Pemerintah sebagai lembaga

eksekutif di dalam suatu Negara. Sesuai fungsi kehadiran Negara, maka Pemerintah

sebagai lembaga eksekutif bertanggung jawab memajukan kesejahteraan rakyatnya

yang diwujudkan dalam suatu pembangunan nasional. Campur tangan Pemerintah di

Indonesia sendiri dapat diketahui dari isi Pembukaan dan pasal 33 Undang-Undang

Dasar 1945, serta dalam GBHN dan dalam berbagai peraturan perundang-undangan

yang menjadi aturan pelaksanaannya, termasuk Undang-Undang Perlindungan

Konsumen. Dalam pasal 2 UUPK secara jelas dapat diketahui bahwa perlindungan

secara jelas dapat diketahui bahwa perlindungan konsumen diselenggarakan dalam

rangka pembangunan nasional, yang menjadi tanggung jawab Pemerintah.

Mengacu pada pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 disebutkan

bahwa :

Page 70: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

“ perlindungan konsumen sebagai segala upaya yang menjamin adanyakepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen .“

Kata segala upaya adalah menyiratkan bahwa perlindungan konsumen

bertujuan untuk membentengi tindakan sewenang-wenangan dan agar pihak pelaku

usaha memberikan hak-hak yang dimiliki oleh konsumen sebagaimana mestinya.

Agar segala upaya tersebut berjalan efektif, ukurannya secara kualitatif ditentukan

dalam undang-undang perlindungan konsumen dan undang-undang lainnya juga

dimaksudkan dan masih berlaku untuk memberikan perlindungan terhadap

kepentingan konsumen, baik dalam hukum privat (perdata) maupun dalam bidang

hukum public (hukum pidana maupun hukum administrasi negara).

Tujuan Perlindungan Konsumen, sebagaimana termaksud dalam ketentuan

pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

bertujuan :

a. meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untukmelindungi diri;

b. mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dariekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;

c. meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, danmenuntut hak-haknya sebagai konsumen;

d. menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastianhukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;

e. menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungankonsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalamberusaha;

f. meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usahaproduksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dankeselamatan konsumen.

Page 71: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

Achmad Ali mengatakan bahwa “ masing-masing undang-undang memiliki

tujuan khusus “.65 Hal itu tampak dalam pengaturan pasal 3 Undang-Undang No. 8

Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen yang juga mengatur tujuan khusus

perlindungan konsumen sekaligus membedakan tujuan umum.

Rumusan tujuan perlindungan konsumen huruf a dan e mencerminkan tujuan

hukum mendapatkan keadilan. Sedangkan rumusan huruf a, b, termasuk c dan d serta

huruf f mencerminkan tujuan hukum memberikan kemanfaatan, dan tujuan hukum

khusus yang diarahkan untuk tujuan kepastian hukum tercermin dalam rumusan huruf

d.

Pengelompokan ini tidak berlaku mutlak, oleh karena seperti yang dapat kita

lihat dalam rumusan pada huruf a sampai dengan huruf f terdapat tujuan yang dapat

dikualifikasi sebagai tujuan ganda.

Kesulitan memenuhi ketiga tujuan hukum (umum) sekaligus sebagaimana

dikemukakan sebelumnya, menjadikan sejumlah tujuan khusus dalam huruf a sampai

dengan huruf f dari pasal 3 tersebut hanya dapat tercapai secara maksimal, apabila

didukung oleh keseluruhan subsistem perlindungan yang diatur dalam undang-

undang ini, tanpa mengabaikan fasilitas penunjang dan kondisi masyarakat. Unsur

masyarakat sebagaimana dikemukakan berhubungan dengan persoalan kesadaran

hukum dan ketaatan hukum, yang seterusnya menentukan efektivitas Undang-Undang

Perlindungan Konsumen, sebagaimana dikemukakan oleh Achmad Ali bahwa

65 Achmad Ali, 2002, Menguak Takbir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis),Cetakan Kedua, PT. Toko Gunung Agung Tbk, Jakarta, (selanjutnya disebut Achmad Ali I), h. 25.

Page 72: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

kesadaran hukum, ketaatan hukum dan efektivitas perundang-undangan adalah tiga

unsur yang saling berhubungan.66

Agar tujuan hukum perlindungan konsumen ini dapat berjalan sebagaimana

seperti yang telah dicita-citakan, hal ini harus diperkuat oleh kesatuan dari

keseluruhan sub sistem yang terkandung dalam undang-undang perlindungan

konsumen didukung oleh sarana dan fasilitas yang menunjang.

2.3 Hak dan Kewajiban Konsumen

Perlindungan hukum dapat diartikan perlindungan oleh hukum atau

perlindungan dengan menggunakan pranata dan sarana hukum. Ada beberapa cara

perlindungan secara hukum, antara lain sebagai berikut :67

1) membuat peraturan (by giving regulation), yang bertujuan untuk :

a. Memberikan hak dan kewajiban;

b. Menjamin hak-hak para subyek hukum;

2) Menegakkan peraturan (by the law enforcement) melalui :

a. Hukum administrasi Negara yang berfungsi untuk mencegah (preventif)

terjadinya pelanggaran hak-hak konsumen, dengan perijinan dan

pengawasan;

66 Achmad Ali, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum, 1988, Yarsif Watampone,Jakarta, (selanjutnya disebut Achmad Ali II),h. 191.

67 Wahyu Sasongko, 2007, Ketentuan-Ketentuan Pokok Hukum Perlindungan Konsumen,Universitas Lampung, Bandar Lampung, h. 31.

Page 73: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

b. Hukum pidana yang berfungsi untuk menanggulangi (repressive) setiap

pelanggaran terhadap peraturan-undangan, dengan cara mengenakan

sanksi hukum berupa sanksi pidana dan hukuman;

c. Hukum perdata yang berfungsi untuk memulihkan hak (curative,

recovery), dengan membayar kompensasi atau ganti kerugian.

Istilah “ perlindungan konsumen “ berkaitan dengan perlindungan hukum.

Oleh karena itu, perlindungan konsumen mengandung aspek hukum. Adapun materi

yang mendapatkan perlindungan itu bukan sekadar fisik, melainkan terlebih-lebih

hak-haknya yang bersifat abstrak. Dengan kata lain, perlindungan konsumen

sesungguhnya identik dengan perlindungan yang diberikan hukum tentang hak-hak

konsumen.

Sebagaimana disampaikan Munir Fuadi, kehadiran suatu kaedah hukum (legal

procept), aturan hukum (regulayuris), alat hukum (remedium juris) dan ketegakan

hukum (law enforcement) yang menatap adalah dambaan masyarakat Indonesia

sekarang, sehingga para konsumen, produsen, bahkan segenap masyarakat akan

memetik hasilnya.68

Secara historis mengenai hak-hak dasar konsumen pertama kali dikemukakan

oleh Presiden Amerika Serikat J.F. Kennedy. J.F Kennedy adalah Presiden yang

pertama kali mengangkat martabat konsumen saat menyampaikan pidato revolusioner

di depan kongres (US Congress) pada tanggal 15 Maret 1962 tentang Hak konsumen.

68 Munir Fuadi, 1994, Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktek Buku II, PT. Citra AdityaBakti, Bandung, h. 184.

Page 74: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

Ia berujar, “Menurut definisi, konsumen adalah kita semua. Mereka adalah kelompok

ekonomi paling besar yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh hampir setiap

keputusan ekonomi Publik dan swasta, tetapi mereka hanya sekelompok penting yang

suaranya nyaris tak didengar.”

Dalam pesannya kepada Kongres dengan judul A Special Massage of

Protection the Consumer Interest, Presiden J.F. Kennedy menjabarkan empat hak

konsumen sebagai berikut:

(1). the right to safety (hak atas keamanan);

(2). the right to choose (hak untuk memilih);

(3). the right tobe informed (hak mendapatkan informasi);

(4). the right tobe heard (hak untuk didengar pendapatnya).

Selanjutnya dalam perkembangannya hak-hak tersebut dituangkan di dalam

Piagam Hak Konsumen yang juga dikenal dengan Kennedy’s Hill of Right.

Kemudian muncul beberapa hak konsumen selain itu, yaitu hak ganti rugi,

hak pendidikan konsumen, hak atas pemenuhan kebutuhan dasar dan hak atas

lingkungan yang sehat.

Selanjutnya, keempat hak tersebut merupakan bagian dari Deklarasi Hak-hak

Asasi Manusia yang dicanangkan PBB pada tanggal 10 Desember 1948, masing-

masing pada pasal 3, 8, 19, 21 dan pasal 26, yang oleh Organisasi Konsumen Sedunia

(International Organization of Consumers Union- IOCU) ditambahkan empat hak

dasar konsumen lainnya, hak untuk memperoleh kebutuhan hidup, hak untuk

Page 75: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

memperoleh ganti rugi, hak untuk memperoleh pendidikan konsumen, hak untuk

memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat.

Masyarakat Eropa (Europese Ekonomische Gemeenschap atau EEG) juga

menyepakati lima hak dasar konsumen sebagai berikut :

1. hak perlindungan kesehatan dan keamanan (recht op bescherming van zijn

gezendheid en veiligheid);

2. hak perlindungan kepentingan ekonomi (recht op bescherming van zijn

economische belangen);

3. hak mendapat ganti rugi (recht op schadevergoeding);

4. hak atas penerangan (recht op voorlichting en vorming);

5. hak untuk didengar (recht om te worden gehord).

Dua dekade kemudian setelah Kennedy menyampaikan pidato, pada tanggal

15 Maret 1983, maka Hari Hak Konsumen dirayakan untuk pertama kali, dan setelah

perjalanan panjang gerakan konsumen sejak pidatonya, hak konsumen akhirnya

diterima secara prinsip oleh pemerintah seluruh dunia dalam Sidang Majelis Umum

PBB (UN General Assembly).

Pengakuan hak konsumen dilakukan melalui adopsi UN Guidelines for

Consumers Protection. Di dalam pedoman Perlindungan Bagi Konsumen yang

dikeluarkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UN-Guidelines for Consumer Protection)

melalui Resolusi PBB No. 39/248 pada tanggal 9 April 1985, pada Bagian II tentang

Prinsip-Prinsip Umum, Nomor 3 dikemukakan bahwa kebutuhan-kebutuhan

konsumen yang diharapkan dapat dilindungi oleh setiap Negara di dunia adalah :

Page 76: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

1. Perlindungan dari barang-barang yang berbahaya bagi kesehatan dan

keamanan konsumen;

2. Perlindungan kepentingan-kepentingan ekonomis konsumen;

3. Hak konsumen untuk mendapatkan informasi sehingga mereka dapat memilih

sesuatu yang sesuai dengan kebutuhannya;

4. Pendidikan konsumen;

5. Tersedianya ganti rugi bagi konsumen;

6. Kebebasan dalam membentuk lembaga konsumen atau lembaga lain yang

sejenis dan memberikan kesempatan bagi lembaga-lembaga tersebut untuk

mengemukakan pandangan mereka dalam proses pengambilan keputusan.

Resolusi ini lahir berkat perjuangan panjang selama kurang lebih sepuluh

tahun dari lembaga-lembaga konsumen di seluruh dunia yang dipimpin oleh

International Organization of Consumers Union (IOCU).

Usai Presiden Amerika Serikat John .F. Kennedy sesudah itu, L.B. Johnson,

menambahkan perlu dikembangkan konsep product warranty dan product liability.

Dan sementara itu, RRC, hak-hak konsumen diakui sebagai hak-hak:

1. To select commodities and service of their own will;

2. To know the real circumstances of the price, quality, Weight-measurement,

function, ect., of commodities and service;

3. To have guarantees of quality, weigths and measures, price, safety, and hygienes

as stipulated by law;

4. To request receipts for payment in purcahsing commodities and services;

Page 77: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

5. To request repairing, replacing, or returning commodities or service because of

unstatisfactory quality according to the standard provided by law agreed by the

parties, to request compensation when persobal or property damage is caused

thereof;

6. To have other rights as stipulated law.

Lahirnya gerakan perlindungan konsumen di Negara-negara maju, adalah

bukti adanya hak-hak konsumen dijunjung tinggi dan dihargai, demikian juga dalam

perkembangannya di Indonesia. Era globalisasi yang ditandai dengan membanjirnya

aneka macam produk barang dan/atau jasa di pasaran, telah menuntut pula

dilindunginya pihak konsumen sebagai pemakai produk tersebut. 69

Hak konsumen di Indonesia sebagaimana tertuang dalam pasal 4 UU No. 8

Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah sebagai berikut :

a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi

barang dan/atau jasa;

Hak ini mengandung arti bahwa konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan

pemanfaatan barang dan/ atau jasa yang akan dikonsumsi, mendapatkan jaminan

keamanan dan keselamatannya secara jasnmani maupun rohani.

Hak untuk memperoleh keamanan ini penting ditempatkan pada kedudukan

utama karena berabad-abad berkembang suatu falsafah berpikir bahwa konsumen

(terutama pembeli) adalah pihak yang wajib berhati-hati, bukan pelaku usaha.

69 C. Tantri D. Sulastri, 1995, Gerakan Organisasi Konsumen, Yayasan Lembaga KonsumenIndonesia, Jakarta, h. 18.

Page 78: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

Falsafah yang disebut caveat emptor (let the buyer beware) ini mencapai

puncaknya pada abad 19 seiring dengan berkembangnya paham rasional di

Amerika Serikat. Dalam perkembangannya kemudian prinsip yang merugikan

konsumen ini telah ditinggalkan.

Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa keamanan dan keselamatan

merupakan hal yang utama bagi manusia. Hanya saja disadari atau tidak,

penghargaan orang terhadap hal itu berbeda-beda. Hal ini tergantung pada tingkat

pendapatan dan kepedulian konsumen itu sendiri. Dan secara khusus konsumen di

negara Dunia Ketiga (termasuk Indonesia) karena mayoritas dalam kondisi

rentan, maka arti penting dari hak tersebut masih banyak diabaikan.

Berangkat dari kondisi konsumen yang masih rentan, baik secara ekonomi

maupun sosial, maka Undang-Undang Perlindungan Konsumen memandang perlu

menggariskan etika dan peraturan yang mewajibkan pelaku usaha untuk

menjamin kemanan dan keselamatan. Untuk implementasinya, selanjutnya

diperlukan peranan dari berbagai pihak, khususnya Pemerintah, secara intensif

dalam menyusun suatu peraturan maupun kontrol atas penerapan peraturan

tersebut.

Dalam kehidupan sehari-hari dengan mudah dapat dilihat bahwa hak atas

keamanan dan keselamatan masih diabaikan. Kekurang mampuan produk-produk

negeri kita menembus pasar internasional adalah suatu bukti dimana produk dari

para produsen dalam negeri relatif masih kurang baik. Dan pasar internasional –

Page 79: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

dimana tingkat kompetisinya cukup tinggi, jelas akan menyingkirkan produk-

produk yang tidak mempertimbangkan keamanan dan keselamatan konsumen.

Dengan demikian, pada dasarnya kepedulian produsen terhadap keamanan dan

keselamatan konsumen, justru akan menguntungkan semua pihak. Sementara

kepedulian konsumen akan haknya juga akan menjadi pendorong bagi kebijakan-

kebijakan baik pelaku usaha maupun pemerintah, sehingga menjadi lebih

sempurna. Baik langsung maupun tidak, hal ini akan membantu penggalangan

cinta produksi dalam negeri, serta pemasukan devisa melalui ekspor ke luar

negeri.

b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang

dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan

yang dijanjikan;

Mengkonsumsi suatu barang atau jasa harus berangkat dari kebutuhan dan

kecocokan konsumen. Bagi konsumen golongan menengah ke atas yang memiliki

kekuatan materi, mungkin saja tidak mempunyai masalah dengan hak pilih.

Namun bagi konsumen golongan bawah, dimana kemampuan daya belinya relatif

rendah, maka hal ini menjadi masalah. Ketidakberdayaan konsumen golongan ini

umumnya terletak pada pengetahuan mutu suatu barang dan / atau jasa. Sekalipun

mereka mengetahui adanya ancaman yang terselip dari barang yang dikonsumsi

tersebut, tetap saja konsumen golongan ini akan mengkonsumsi barang/ jasa

tersebut karena sesuai dengan daya belinya.

Page 80: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

Disamping itu hak konsumen dalam memilih barang atau jasa tidak akan ada

artinya bila pengadaan barang atau jasa dimaksud dilakukan secara monopoli.

Untuk kasus seperti ini, lagi-lagi golongan konsumen menengah ke atas tetap

dapat mempraktekkan hak pilihnya, misalnya dengan mencari alternatif pilihan

barang atau jasa yang lain tanpa mempersoalkan harganya. Namun bagi golongan

konsumen dengan penghasilan rendahlah yang akan mengalami tekanan cukup

parah dalam merealisasikan hak pilihnya.

Oleh sebab itu dalam menembus pembatasan akan hak pilih ini, sudah saatnya

konsumen menggalang kekuatan dengan meningkatkan rasa solidaritas. Karena

dengan cara penggalangan kekuatan itulah kekuatan konsumen akan dapat

terwujud.

c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan

jaminan barang dan/atau jasa;

Informasi yang benar serta lengkap dari suatu produk barang/ jasa harus

disertakan oleh produsen. Hal ini sangat penting, karena kelangkaan ataupun

kekeliruan memberikan informasi akan memberikan gambaran yang salah dan

membahayakan bagi konsumen.

Banyak ragam dan cara pelaku usaha dalam menyampaikan informasi. Antara lain

dapat dilakukan melalui: (a). disampaikan secara langsung; (b). melalui media

komunikasi, seperti iklan; (c). dicantumkan dalam label barang atau jasa.

Dengan demikian tujuan informasi dari suatu produk, baik disampaikan secara

langsung atau melalui iklan dan label, bukan semata untuk perluasan pasar saja,

Page 81: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

tetapi juga menyangkut masalah informasi secara keseluruhan menyangkut

kelebihan dan kekurangan atas produk tersebut, terutama dalam hal keamanan dan

keselamatan konsumen.

Pemberian batas kadaluarsa, kandungan bahan serta sejumlah peringatan dan

aturan penggunaan lainnya harus disertakan dan diberikan informasi secara benar

pada konsumen. Namun apabila hal-hal tersebut tidak dapat diberikan oleh

produsen/ pedagang, maka konsumen berhak untuk menuntutnya.

Terhadap hak atas informasi ini, konsumen perlu waspada mengingat seringnya

pihak produsen/ pedagang melakukan penyampaian informasi secara berlebihan.

Sehingga, dalam banyak hal, pihak produsen/ pedagang tanpa tersadari sering

mendorong konsumen untuk bertindak tidak lagi rasionil. Untuk itu konsumen

perlu selektif terhadap informasi yang diberikan dan berusaha mencocokkan

dengan kenyataan yang ada pada produk tersebut. Tak kalah pentingnya,

konsumen pun harus jeli dalam membedakan mana rayuan, mana promosi dan

mana kenyataannya. Hal itu merupakan tindakan yang bijak daripada mengalami

kerugian di belakang hari.

d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa

yang digunakan;

Keselamatan dan keamanan yang terancam, serta wujud yang tidak memenuhi

atau tidak sesuai dengan kenyataan produk yang dijajakan, cukup banyak terjadi.

Hal ini meresahkan serta merugikan konsumen. Untuk semua itu, konsumen

Page 82: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

berhak mengeluh dan menyampaikan masalah tersebut pada pelaku usaha

bersangkutan.

Sebaliknya, pelaku usaha juga harus bersedia mendengar, menampung dan

menyelesaikan perihal yang telah dikeluhkan oleh konsumen tadi. Pada hal yang

sama, hak ini dimaksudkan sebagai jaminan bahwa kepentingan, pendapat, serta

keluhan konsumen harus diperhatikan baik oleh pemerintah, produsen maupun

pedagang.

Hak untuk didengar dapat diungkapkan oleh konsumen dengan cara mengadu

kepada produsen/ penjual/ instansi yang terkait. Dan konsumen perlu

memanfaatkan hak untuk didengarnya dengan baik serta optimal. Hal ini dirasa

perlu, karena dari pengalaman sehari-hari terlihat, bahwa hak untuk didengar ini

belum dimanfaatkan.

Contoh yang paling sederhana misalnya, dalam ikatan transaksi jual beli atau

sewa beli, kontrak-kontrak sepihak dan ketentuan-ketentuan yang tercantum pada

bon pembelian yang biasanya hanya menguntungkan produsen/ pedagang,

biasanya karena dipermasalahkan secara terbuka. Kalaupun telah merasakan

ketidakseimbangan ketentuan tersebut, konsumen segan mengajukan usulan yang

menjadi haknya. Kedepannya, hal tersebut perlu mendapat perhatian, agar

konsumen jangan selamanya berada pada posisi yang dirugikan.

e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian

sengketa perlindungan konsumen secara patut;

Page 83: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

Bahwasanya di dalam memberikan perlindungan hukum bagi konsumen tercakup

juga kewajiban untuk melakukan upaya-upaya peningkatan kesadaran,

pengetahuan, kepedulian, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk

melindungi diri sendiri, sehingga pada gilirannya dapat meningkatkan harkat dan

martabat konsumen, sekaligus menumbuh kembangkan sikap pelaku usaha untuk

berlaku jujur dan bertanggung jawab.

Oleh karena itu, pemberian perlindungan hukum bagi konsumen hendaknya tanpa

merugikan pelaku usaha yang memang berperilaku baik dan jujur. Seyogyanya,

antara konsumen dengan pelaku usaha menjadi mitra sejajar dan saling

membutuhkan.

f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

Konsumen berhak untuk mendapatkan pendidikan dan ketrampilan, terutama

yang menyangkut mutu barang dan layanan agar peluang seorang konsumen

untuk ditipu atau tertipu semakin kecil.

Untuk meningkatkan hasil guna dan daya guna dari pendidikan ini, konsumen

memang dituntut aktif, seperti membiasakan untuk membaca label. Dan

sebaliknya, sangat diharapkan peran serta pemerintah dan produsen untuk

mendistribusikan materi yang diperlukan konsumen.

Upaya pendidikan konsumen tidak selalu harus melewati jenjang pendidikan

formal, tetapi dapat melewati media massa dan kegiatan lembaga swadaya

masyarakat.

Page 84: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

Dalam banyak hal, pelaku usaha terikat untuk memperhatikan hak konsumen

untuk mendapatkan “ pendidikan konsumen “ ini. Pengertian “ pendidikan “ tidak

harus diartikan sebagai proses formal yang dilembagakan. Pada prinsipnya, makin

kompleks teknologi yang diterapkan dalam menghasilkan suatu produk menuntut

pula makin banyak informasi yang harus disampaikan kepada konsumen. Bentuk

informasi yang lebih komprehensif dengan tidak semata-mata menonjolkan unsur

komersialisasi, sebenarnya sudah merupakan bagian dari pendidikan konsumen.

Produsen mobil misalnya dalam memasarkan produk dapat menyisipkan

program-program pendidikan konsumen yang memiliki kegunaan praktis, seperti

tata cara perawatan mesin, pemeliharaan ban, atau penggunaan sabuk pengaman.

g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak

diskriminatif;

Dalam praktek sehari-hari masih banyak dijumpai adanya pelaku usaha yang suka

membeda-bedakan pelayanan terhadap seoarang konsumen dengan konsumen

lainnya, antara lain dengan memilah-milah status konsumen. Contohnya, seorang

pejabat tidak perlu antri tiket seperti konsumen lainnya, karena pelaku usaha

memberikan perlakuan khusus. Begitu pula halnya ketika tiket kereta api hendak

dibeli konsumen dengan harga sebagaiman tarif, oleh si penjual dikatakan telah

habis, sementara bagi konsumen yang berani membelinya diatas tarif, maka tiket

tersebut akan dengan mudahnya diperoleh.

Page 85: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

Kesemuanya ini telah diantisipasi oleh UUPK, dimana konsumen dibekali hak

untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif

oleh pelaku usaha.

h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian,

apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian

atau tidak sebagaimana mestinya;

Ketika UUPK ini dirancang, para perumus RUUPK sangat memperhatikan dasar-

dasar acuan untuk mewujudkan perlindungan konsumen, yaitu pertama, hubungan

hukum antara penjual dengan konsumen secara jujur, kedua hubungan kontrak

penjual dan konsumen dirumuskan dengan jelas, ketiga konsumen sebagai pelaku

perekonomian, keempat, konsumen yang menderita kerugian akibat yang cacat

mendapat ganti rugi yang memadai, kelima, diberikannya pilihan penyelesaian

sengketa kepada para pihak.

Dasar-dasar tersebut telah menekankan pada pentingnya pemberian hak kepada

konsumen untuk mendapatkan kompensasi ganti rugi dan/ atau penggantian,

apabila ternyata tidak sesuai dengan yang diperjanjikan mamupun tidak dalam

kondisi sebagaimana mestinya. Terlepas adanya unsur ketidaksengajaan dari

pihak penjual yang mengakibatkan terjadinya cacat barang yang tersembunyi dan

sekalipun telah yakin terhadap kejujuran penjual tersebut, maka pada contoh

kasus ini telah melekat hak konsumen untuk mendapatkan ganti rugi.

Page 86: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

Ganti rugi dimaksud bisa saja dalam bentuk pengembalian pembayaran,

mengganti dengan barang baru yang sama, ataupun bentuk kompensasi lainnya

sesuai hasil penyelesaian masalah/ sengketa

i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan

lainnya.

Termasuk kedalam hak konsumen yang diatur dalam ketentuan peraturan

perundang-undangan lainnya, berupa :

- Hak Untuk Mendapatkan Lingkungan Hidup Yang Baik dan Sehat

Hak konsumen atas lingkungan yang baik dan sehat merupakan hak yang diterima

sebagai salah satu hak dasar konsumen oleh berbagai organisasi konsumen di

dunia. Lingkungan hidup yang baik dan sehat berarti sangat luas, dan setiap

makhluk hidup adalah konsumen atas lingkungan hidupnya. Lingkungan hidup

meliputi lingkungan hidup dalam arti fisik dan lingkungan non fisik.

Dalam pasal 6 Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan pasal

5 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup, hak untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat ini

dinyatakan secara tegas.

Desakan pemenuhan hak konsumen atas lingkungan hidup yang baik dan sehat

makin mengemuka akhir-akhir ini. Misalnya munculnya gerakan konsumerisme

hijau (green consumerism) yang sangat peduli pada kelestarian lingkungan.

Sementara itu, mulai tahun 2000 semua perusahaan yang berkaitan dengan hasil

hutan, baru dapat menjual produknya di Negara-negara yang tergabung dalam

Page 87: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

The International Tropical Timber Organization (ITTO), juga telah memperoleh

ecolabeling certificate. Ketentuan demikian sangat penting artinya, khususnya

bagi produsen hasil hutan tropis, seperti Indonesia karena praktis pangsa pasar

terbesarnya adalah Negara-negara anggota ITTO. Untuk itu lembaga Ecolabeling

Indonesia (LEI) pada tahun 1998 mulai melakukan audit atas sejumlah

perusahaan perkayuan Indonesia agar dapat diberikan sertifikat ekolabeling yang

disebut SNI 5000.

- Hak Untuk Dilindungi Dari Akibat Negatif Persaingan Curang

Persaingan curang atau dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 disebut dengan

“ persaingan usaha tidak sehat” dapat terjadi jika seorang pengusaha berusaha

menarik langganan atau klien pengusaha lain untuk memajukan usahanya atau

memperluas penjualan atau pemasarannya dengan menggunakan alat atau sarana

yang bertentangan dengan itikad baik dan kejujuran dalam pergaulan

perekonomian.

Walaupun persaingan terjadi antara pelaku usaha, namun dampak dari persaingan

itu selalu dirasakan oleh konsumen. Jika persaingan sehat, konsumen memperoleh

keuntungan. Sebaliknya jika persaingan curang konsumen pula yang dirugikan.

Kerugian itu boleh jadi tidak dirasakan dalam jangka pendek tetapi cepat atau

lambat pasti terjadi.

Contoh bentuk yang kerap terjadi dalam persaingan curang adalah permainan

harga (dumping). Satu produsen yang kuat mencoba mendesak produsen

saingannya yang lebih lemah dengan cara membanting harga produk. Tujuannya

Page 88: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

untuk merebut pasar, dan produsen saingannya akan berhenti berproduksi. Pada

kesempatan berikutnya, dalam pasar yang monopolistik itulah harga kembali

dikendalikan oleh si produsen curang ini. Dalam posisi demikian, konsumen pula

yang dirugikan.

Hak konsumen untuk dihindari dari akibat negatif persaingan curang dapat

dikatakan sebagai upaya pre-emptive yang harus dilakukan, khususnya oleh

Pemerintah guna mencegah munculnya akibat-akibat langsung yang merugikan

konsumen. Itulah sebabnya, gerakan konsumen sudah selayaknya menaruh

perhatian terhadap keberadaan peraturan perundang-undangan yang berkaitan

dengan hak ini, seperti yang ada saat ini, yaitu UU No. 5 Tahun 1999 tentang

Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Dalam UU No. 5 Tahun 1999 disebutkan adanya (1) perjanjian yang dilarang, dan

(2) kegiatan yang dilarang, antara lain dalam pasal 17 sampai dengan pasal 24.

Termasuk dalam bentuk perjanjian yang dilarang adalah ologopoli, penetapan

harga, pembagian wilayah, pemboikotan, kartel, trust, oligopsoni, integrasi

vertical, perjanjian tertutup, dan perjanjian dengan pihak luar negeri yang

mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan tidak sehat.

Jika dibandingkan antara hak-hak konsumen sebagaimana dimuat dalam

Undang-Undang Perlindungan Konsumen dengan Resolusi PBB, tampaknya tidak

ada perbedaan mendasar. Penyebabnya, antara lain adalah bahwa hak-hak konsumen

yang disebut di dalam Resolusi PBB itu adalah rumusan tentang hak-hak konsumen

yang diperjuangkan oleh lembaga-lembaga konsumen di dunia, dan telah sejak lama

Page 89: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

diperjuangkan di negaranya masing-masing. Hal ini menunjukkan pula bahwa hak-

hak konsumen bersifat universal.

Lawan dari hak adalah kewajiban. Mengenai kewajiban konsumen dijelaskan

dalam pasal 5 UUPK, yakni :

a. membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian ataupemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;

b. beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;c. membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;d. mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen

secara patut.

2.4 Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha

Dalam perdagangan pelaku usaha memiliki hak-hak yang harus diberikan dan

dihormati oleh pihak-pihak lain dalam perdagangan tersebut, misalnya konsumen.

Hak tersebut diimbangi dengan dibebankannya kewajiban pada pelaku usaha yang

harus ditaati dan dilaksanakan. Dalam pelaksanaannya antara hak dan kewajiban

tersebut adalah seimbang.

Adapun hak pelaku usaha sebagaimana disebutkan dalam pasal 6 UUPK

adalah :

a. hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenaikondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

b. hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikadtidak baik;

c. hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukumsengketa konsumen;

d. hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugiankonsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

e. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Page 90: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

Adapun kewajiban pelaku usaha diatur dalam pasal 7, yakni :

a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan

barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan danpemeliharaan;

c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidakdiskriminatif;

d. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkanberdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;

e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barangdan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yangdibuat dan/atau yang diperdagangkan;

f. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibatpenggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yangdiperdagangkan;

g. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/ataujasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Piranti hukum yang melindungi konsumen tidak dimaksudkan untuk

mematikan usaha pelaku usaha, tetapi justru sebaliknya perlindungan konsumen

dapat mendorong iklim berusaha yang sehat yang mendorong lahirnya perusahaan

yang tangguh dalam menghadapi persaingan melalui penyediaan barang dan/atau jasa

yang berkualitas.

Oleh karena itu dalam ketentuan Bab IV UUPK pasal 8 sampai dengan 17

menyebutkan perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha. Pada hakikatnya menurut

Nurmanjito, larangan-larangan terhadap pelaku usaha tersebut adalah mengupayakan

agar barang dan/atau jasa yang beredar di masyarakat merupakan produk yang layak

Page 91: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

edar, yang menyangkut asal-usul, kualitas sesuai dengan informasi pengusaha baik

melalui label, iklan, dan lain sebagainya.70

Tujuan pengaturan ini menurut Nurmandjito adalah untuk mengupayakan

terciptanya tertib perdagangan dalam rangka menciptakan iklim usaha yang sehat.71

Hal ini sebagai salah satu bentuk perlindungan konsumen, larangan-larangan tersebut

dibuat berupaya untuk memastikan bahwa produk yang diproduksi produsen aman,

layak konsumsi bagi konsumen.

Dalam ketentuan pasal 8 UUPK, disebutkan larangan-larangan tentang

produksi barang dan/atau jasa, dan larangan memperdagangkan barang dan/atau jasa,

antara lain :

(1) Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/ataujasa yang :

a. tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan danketentuan peraturan perundang-undangan;

b. tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalamhitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barangtersebut;

c. tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitunganmenurut ukuran yang sebenarnya;

d. tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuransebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/ataujasa tersebut;

e. tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya,mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atauketerangan barang dan/atau jasa tersebut;

70 Nurmandjito, 2000, Kesiapan Perangkat Peraturan Perundang-Undangan TentangPerlindungan Konsumen di Indonesia, “ dalam Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati, penyunting “Hukum Perlindungan Konsmen, Mandar Maju, Bandung, h. 18.

71 Ibid.

Page 92: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

f. tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan,iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;

g. tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktupenggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;

h. tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan"halal" yang dicantumkan dalam label;

i. tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat namabarang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggalpembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keteranganlain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus di pasang/dibuat;

j. tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalambahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

(2) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas,dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barangdimaksud.

(3) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yangrusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasisecara lengkap dan benar.

(4) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarangmemperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dariperedaran.

Dalam ketentuan pasal 10 dan 11 UUPK, berkaitan dengan larangan-larangan

representasi yang tertuju pada perilaku pelaku usaha guna memastikan produk yang

diperjualbelikan di masyarakat diproduksi dengan jalan sesuai dengan peraturan yang

berlaku/tidak melanggar hukum.

Dalam ketentuan pasal 12 dan 13 ayat (1) UUPK masih berkaitan dengan

larangan yang tertuju pada cara-cara penjualan yang dilakukan melalui sarana

penawaran, promosi atau pengiklanan dan larangan untuk mengelabui atau

menyesatkan konsumen.

Page 93: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

Pelaku usaha dalam menawarkan produknya ke pasaran, dilarang untuk

mengingkari untuk memberikan hadiah melalui undian berhadiah kemudian

melakukan pengumuman di media massa terhadap hasil pengundian agar masyarakat

mengetahui hasil dari pengundian berhadiah tersebut, hal ini diatur dalam ketentuan

pasal 14 UUPK yang menyebutkan :

Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untukdiperdagangkan dengan memberikan hadiah melalui cara undian, dilarang untuk :

a. tidak melakukan penarikan hadiah setelah batas waktu yang dijanjikan;b. mengumumkan hasilnya tidak melalui media masa;c. memberikan hadiah tidak sesuai dengan yang dijanjikan;d. mengganti hadiah yang tidak setara dengan nilai hadiah yang dijanjikan.

Dalam memasarkan produknya, pelaku usaha dilarang untuk melakukan cara-

cara penjualan dengan cara tidak benar dapat mengganggu secara fisik maupun psikis

konsumen. Hal ini diatur dalam ketentuan pasal 15 UUPK yang bunyinya :

Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa dilarang melakukan dengancara pemaksaan atau cara lain yang dapat menimbulkan gangguan baik fisik maupunpsikis terhadap konsumen.

Salah satu cara pemaksaan produk yang dimaksud adalah door to door sale,

rayuan dari sales tersebut ke rumah-rumah konsumen disadari baik secara langsung

maupun tidak langsung mempengaruhi kondisi psikologis konsumen. Penawaran

barang melalui cara ini, dapat mengusik ketenangan konsumen, karena walaupun

konsumen telah menyatakan tidak berminat terhadap barang yang ditawarkan, namun

sales tetap berusaha merayu agar konsumen membelinya.

Page 94: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

BAB III

KETENTUAN LABEL PANGAN

DALAM KAITANNYA DENGAN ASAS PERLINDUNGAN KONSUMEN

3.1 Label Sebagai Wujud Hak Konsumen Atas Informasi

Ketentuan hukum mengenai pelabelan tersebar dalam berbagai peraturan

perundang-undangan, diantaranya Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen, UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan, PP No. 69 Tahun

1999 tentang Label dan Iklan Pangan, Permendag No.22/M-DAG/PER/5/2010

tentang Kewajiban Pencantuman Label pada Barang, UU No. 36 Tahun 2009 tentang

Kesehatan, Keputusan Menteri Kesehatan No. 924/Menkes/SK/VIII/1996 tentang

Perubahan Atas Keputusan Menteri Kesehatan RI No, 82/Menkes/SK/I/1996 tentang

Pencantuman Tulisan “ Halal “ pada Label Makanan, Peraturan Menteri Kesehatan

RI No. 180/Menkes/Per/IV/1985 tentang Makanan Daluwarsa yang telah dirubah

dengan Keputusan Dirjen POM No. 02591/B/SK/VIII/91.

UU No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen sebagai undang-

undang payung tidak mengatur secara spesifik mengenai pelabelan khususnya produk

pangan. Pengaturan secara lebih spesifiknya ada dalam PP No. 69 Tahun 1999.

Sebelum PP tersebut lahir, pengaturan pelabelan secara singkat ada dalam UU No. 7

Tahun 1996 tentang pangan.

Pasal 1 (3) dari PP No. 69 Tahun 1999 menentukan bahwa yang dimaksud

dengan label pangan adalah : setiap keterangan mengenai pangan yang berbentuk

Page 95: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

gambar, tulisan, kombinasi keduanya atau bentuk lain yang disertakan pada pangan,

dimasukkan ke dalam, ditempelkan pada atau merupakan bagian kemasan pangan.

Pengertian yang sama juga ada dalam ketentuan pasal 1 angka 15 UU No 7 Tahun

1996.

Lebih lanjut didalam pasal 2 PP No. 69 Tahun 1999 ditentukan bahwa :

(1). Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas kedalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label pada,di dalam, dan atau di kemas pangan.

(2). Pencantuman Label sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sedemikianrupa sehingga tidak mudah lepas dari kemasannya, tidak mudah luntur ataurusak, serta terletak pada bagian kemasan pangan yang mudah untuk dilihat dandibaca.

Kemudian didalam pasal 3 dari PP No. 69 Tahun 1999 tersebut ditentukan

bahwa :

(1). Label sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 ayat (1) berisikan keteranganmengenai pangan yang bersangkutan.

(2). Keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya :a. nama produk;b. daftar bahan yang digunakan;c. berat bersih atau isi bersih;d. nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke

dalam wilayah Indonesia.e. tanggal, bulan, dan tahun kadaluwarsa.

Dari penjelasan pasal-pasal diatas, dapatlah dilihat bahwa label itu berbeda

dengan merek. Menurut pasal 1 angka 1 Undang-Undang N0. 15 Tahun 2001 tentang

Merek, merek adalah suatu tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf,

angka-angka, susunan warna atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki

Page 96: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang dan jasa. 72Merek

memiliki kemampuan untuk digunakan sebagai tanda yang dapat membedakan hasil

perusahan yang satu dengan perusahaan yang lain.73

Ditinjau dari fungsi, merek dapat berfungsi sebagai tanda pengenal untuk

membedakan hasil produksi yang dihasilkan seseorang atau beberapa orang secara

bersama sama atau badan hukum dengan produksi seseorang/beberapa orang atau

badan hukum lain, sebagai alat promosi, sehingga mempromosikan hasil

produksinya cukup dengan menyebut mereknya serta sebagai jaminan atas mutu

barangnya.74

Merek yang kuat ditandai dengan dikenalnya suatu merek dalam masyarakat,

asosiasi merek yang tinggi pada suatu produk, persepsi positif dari pasar dan

kesetiaan konsumen terhadap merek yang tinggi.

Dengan adanya merek yang membuat produk yang satu beda dengan yang

lain, diharapkan akan memudahkan konsumen dalam menentukan produk yang akan

dikonsumsinya berdasarkan berbagai pertimbangan serta menimbulkan kesetiaan

terhadap suatu merek (brand loyalty). Kesetiaan konsumen terhadap suatu merek atau

brand yaitu dari pengenalan, pilihan dan kepatuhan pada suatu merek.75

Merek dapat dipahami lebih dalam pada tiga hal berikut ini :

73 Rachmad Usman, 2003, Hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual : Perlindungan danDimensi Hukumnya di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 48.

74 Abdulkadir Muhammad, 2001, Kajian Hukum Ekonomi Hak Kekayaan Intelektual, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 89.

75 Ahmad Fauzan, 2006, Perlindungan Hukum Hak Kekayaan Intelektual, Yama Widya,Bandung, h. 127.

Page 97: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

1. Contoh brand name (nama) : nintendo, aqua, bata, rinso, kfc, acer, windows,

toyota, zyrex, sugus, gery, bagus, mister baso, gucci, c59, dan lain sebagainya.

2. Contoh mark (simbol) : gambar atau simbol sayap pada motor honda, gambar

jendela pada windows, gambar kereta kuda pada california fried chicken (cfc),

simbol orang tua berjenggot pada brand orang tua (ot) dan kentucky friend

chicken (kfc), simbol bulatan hijau pada sony ericsson, dan masih banyak contoh-

contoh lainnya yang dapat kita temui di kehidupan sehari-hari.

3. Contoh trade character (karakter dagang) : ronald mcdonald pada restoran

mcdonalds, si domar pada indomaret, burung dan kucing pada produk makanan

gery, dan lain sebagainya.

Sehingga jelas, dalam hal ini label dan merek itu berbeda, merek semata-mata

lebih difungsikan sebagai tanda pengenal, pembeda, alat promosi suatu produk,

sedangkan label sebagai sumber informasi yang lebih lengkap bagi konsumen karena

didalamnya termuat representasi, peringatan, maupun instruksi dari suatu produk.

Informasi sebagai pengertian merupakan stimuli yang secara konsisten

menggerakkan perilaku (behavior) antara si pengirim dan penerima informasi. 76

Selanjutnya Vincent Gaspersz, mengatakan informasi adalah data yang telah diolah

menjadi suatu yang berguna bagi si penerima dan mempunyai nilai yang nyata atau

76 Widyahartono, 1983, Industri Informasi dalam Dekade 80-an (Informatie Industrie In deJarem Tachtig D. Overkleeft), Alumni, Bandung, h. V.

Page 98: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

yang dapat dirasakan dalam keputusan-keputusan yang sekarang dan keputusan-

keputusan yang akan datang.77

Pada dasarnya informasi adalah data yang penting yang memberikan

pengetahuan yang berguna. Apakah suatu informasi itu berguna atau tidak tergantung

kepada :

(1) Tujuan Si Penerima

Apabila informasi itu tujuannya untuk member bantuan, maka informasi itu

harus membantu si penerima dalam apa yang ia usahakan untuk

memperolehnya.

(2) Ketelitian penyampaian dan pengolahan data

Dalam menyampaikan dan mengolah data, inti pentingnya informasi harus

dipertahankan. Jadi dengan informasi orang akan memperoleh keterangan yang jelas

mengenai sesuatu hal.

Bagi konsumen, informasi tentang barang dan/atau jasa merupakan kebutuhan

pokok, sebelum ia menggunakan sumber dananya (gaji, upah, honor atau apa pun

nama lainnya) untuk mengadakan transaksi konsumen tentang barang/jasa tersebut.

Dengan transaksi konsumen dimaksudkan diadakannya hubungan hukum (jual beli,

sewa-menyewa, pinjam-meminjam, dan sebagainya) tentang produk konsumen

dengan pelaku usaha itu.

77 Vincent Gaspersz,1988, Sistem Informasi Manajemen (Suatu Pengantar), Armico,Bandung, h. 15.

Page 99: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

Informasi-informasi tersebut meliputi tentang ketersediaan barang atau jasa

yang dibutuhkan masyarakat konsumen, tentang kualitas produk, keamanannya,

harga, tentang persyaratan dan/atau cara memperolehnya, terutama jaminan atau

garansi produk, persediaan suku cadang, tersedianya pelayanan jas purna jual, dan

lain-lain yang berkaitan dengan itu.

Menurut sumbernya, informasi barang dan/atau jasa tersebut dapat dibedakan

menjadi tiga. Pertama, informasi dari kalangan Pemerintah dapat diserap dari

berbagai penjelasan, siaran, keterangan, penyusun peraturan perundang-undangan

secara umum atau dalam rangka deregulasi, dan/atau tindakan Pemerintah pada

umumnya atau tentang sesuatu produk konsumen. Dari sudut penyusunan peraturan

perundang-undangan terlihat informasi itu termuat sebagai suatu keharusan. Beberapa

di antaranya, ditetapkan harus dibuat, baik secara dicantumkan pada maupun dimuat

di dalam wadah atau pembungkusnya (antara lain label dari produk makanan dalam

kemasan sebagaimana diatur dalam PP No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan

Pangan). Sedang untuk produk hasil industry lainnya, informasi tentang produk itu

terdapat dalam bentuk standar yang ditetapkan oleh Pemerintah, standar internasional,

atau standar lain yang ditetapkan oleh pihak yang berwenang.

Kedua, informasi dari konsumen atau organisasi konsumen tampak pada

pembicaraan dari mulut ke mulut tentang suatu produk konsumen, surat-surat

pembaca pada media massa, berbagai siaran kelompok tertentu, tanggapan atau protes

organisasi konsumen menyangkut sesuatu produk konsumen. Siaran pers organisasi

konsumen, seperti Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) tentang hasil-

Page 100: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

hasil penelitian dan/atau riset produk konsumen tertentu, dapat ditemukan pada

harian-harian umum, majalah dan/atau berita resmi YLKI, yaitu warta konsumen.

Ketiga, informasi dari kalangan pelaku usaha (penyedia dana, produsen,

importir, atau lain-lain pihak yang berkepentingan), diketahui sumber-sumber

informasi itu umumnya terdiri dari berbagai bentuk iklan baik melalui media

nonelektronik atau elektronik, label termasuk pembuatan berbagai selebaran, seperti

brosur, pamflet, catalog, dan lain-lain sejenis itu. Bahan-bahan informasi ini pada

umumnya disediakan atau dibuat oleh kalangan usaha dengan tujuan

memperkenalkan produknya, mempertahankan, dan/atau meningkatkan pangsa pasar

produk yang telah dan/atau ingin lebih lanjut diraih.

Diantara berbagai informasi tentang barang atau jasa konsumen yang

diperlukan konsumen, tampaknya yang paling berpengaruh pada saat ini adalah

informasi yang bersumber dari kalangan pelaku usaha. Terutama dalam bentuk iklan

dan label, tanpa mengurangi pengaruh dari berbagai bentuk informasi pengusaha

lainnya. 78

Adapun label merupakan informasi yang diwajibkan oleh peraturan

perundang-undangan sebagaimana diatur dalam PP No. 69 Tahun 1999 tentang Label

dan Iklan Pangan, Permendag No.22/M-DAG/PER/5/2010 tentang Kewajiban

Pencantuman Label pada Barang.

Informasi dapat memberikan dampak signifikan untuk meningkatkan efisiensi

dari konsumen dalam memilih produk serta meningkatkan kesetiaannya terhadap

78 Celine Tri Siwi Kristiyanti, Op.cit, h. 71.

Page 101: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

produk tertentu, sehingga akan memberikan keuntungan bagi perusahaan yang

memenuhi kebutuhannya.79

Ketiadaan informasi yang tidak memadai dari pelaku usaha merupakan salah

satu jenis cacat produk (cacat informasi) yang akan sangat merugikan konsumen.

Pentingnya penyampaian informasi yang benar terhadap konsumen mengenai

suatu produk, agar konsumen tidak salah terhadap gambaran mengenai suatu produk

tertentu. Penyampaian informasi terhadap konsumen tersebut dapat berupa

representasi, peringatan, maupun yang berupa instruksi. 80

Diperlukan representasi yang benar terhadap suatu produk, karena salah satu

penyebab terjadinya kerugian terhadap konsumen adalah terjadinya misrepresentasi

terhadap produk tertentu. Kerugian yang dialami oleh konsumen di Indonesia dalam

kaitannya dengan misrepresentation banyak sekali disebabkan karena tergiur oleh

iklan-iklan atau brosur-brosur produk tertentu, sedangkan iklan atau brosur tersebut

tidak selamanya memuat informasi yang benar karena pada umumnya hanya

menonjolkan kelebihan produk yang dipromosikan, sebaliknya kelemahan produk

tersebut ditutupi.81

Informasi yang diperoleh konsumen melalui brosur tersebut dapat menjadi

alat bukti yang dipertimbangkan oleh hakim dalam gugatan konsumen terhadap

produsen. Bahkan tindakan produsen yang berupa penyampaian informasi melalui

79 Ibid.80 Agnes M. Toar, 1998, Tanggung Jawab Produk, Sejarah, dan Perkembangannya, PT. Citra

Aditya Bakti, Bandung, h. 55.81 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op.cit, h. 54-55.

Page 102: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

brosur-brosur secara tidak benar yang merugikan konsumen tersebut, dikategorikan

sebagai wanprestasi. Karena brosur dikategorikan sebagai penawaran dan janji-janji

yang bersifat perjanjian, sehingga isi brosur tersebut dianggap diperjanjikan dalam

ikatan jual beli meskipun tidak dinyatakan secara tegas.

Pertimbangan hakim yang menggolongkan perbuatan produsen sebagai

wanprestasi diatas, dapat diartikan bahwa brosur yang dikeluarkan oleh produsen

merupakan bagian dari perjanjian, sehingga sebagai konsekuensinya, yang dapat

menuntut ganti kerugian hanya pihak yang terikat perjanjian dengan pelaku usaha.

Hal ini berbeda dengan Section 402 B Rest 2d of Tort, yang menempatkan

misrepresentasi sebagai alasan pertanggunggugatan pihak penjual terhadap kerugian

yang dialami oleh konsumen walaupun konsumennya tidak membeli atau terikat

kontrak dengan penjual. Lebih jelasnya Section 402 B Rest 2d of Tort, menentukan 82:

“ One engaged in the business of selling chattels who, by advertising, label,or otherwise, make the public a misrepresentation of a metrial fact concerningthe character or quality of a chattel sold by him is subject to liability forphysical harm harm to consumer of the chattel caused by justifiable relianceupon the misrepresentation, even though :a. It is not made fraudulently or negligently, andb. The consumer has not bought the chattel from or enterd into any

contractual relation with seller. “

Pembebanan tanggung gugat/tanggung jawab terhadap produsen yang

merepresentasikan suatu produk secara tidak benar, baik dengan alasan wanprestasi

maupun dengan alasan perbuatan melanggar hukum, merupakan suatu sarana yang

dapat memberikan perlindungan kepada konsumen, karena dengan adanya

82 Ibid.

Page 103: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

pertanggungjawaban/pertanggunggugatan tersebut dapat menmbuat produsen lebih

berhati-hati dalam merepresentasikan suatu produk tertentu, sehingga konsumen

dapat memperoleh gambaran yang benar terhadap suatu produk.

Representasi ini lebih menuntut kehati-hatian bagi orang yang mempunyai

keahlian khusus, karena apabila orang yang mempunyai keahlian khusus melakukan

representasi kepada orang lain – berupa nasihat, informasi atau opini- dengan maksud

agar orang lain mengadakan kontrak dengannya, maka dia berkewajiban untuk

berhati-hati secara layak bahwa representasi itu adalah benar, serta nasihat, informasi

atau opini itu dapat dipercaya. Jika ia tidak berhati-hati atau secara sembrono

memberikan nasihat, informasi atau opini yang keliru maka ia akan bertanggung

gugat dalam memberikan ganti kerugian.

Repsentasi suatu produk dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen

diatur dalam Bab IV mengenai perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha. Salah satu

larangan yang berkaitan dengan representasi tersebut terlihat dalam ketentuan pasal 8

ayat (1) f dan pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan.

Disamping larangan diatas, masih banyak larangan bagi pelaku usaha dalam

menawarkan barangnya kepada konsumen, namun secara garis besar, kesemuanya

adalah mengenai kualitas/kondisi, harga, kegunaan, jaminan atas barang tersebut,

serta pemberian hadiah kepada pembeli.

Berdasarkan berbagai ketentuan yang berkaitan dengan representasi produk

dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, maka tidak dipenuhinya ketentuan

tersebut oleh produsen yang menyebabkan kerugian konsumen, dapat dituntut

Page 104: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

berdasarkan perbuatan melanggar hukum, yang berarti bahwa untuk menggugat

pelaku usaha, konsumen tidak harus terikat perjanjian dengan pelaku usaha yang

digugat. Dengan demikian ketentuan dalam UUPK dapat memberikan perlindungan

hukum kepada pihak ketiga yang tidak terikat dengan pelaku usaha sebagaimana

halnya ketentuan dalam Section 402 B Rest 2d of Tort. Hal tersebut merupakan

langkah maju dibanding dengan menggolongkan misrepresentasi sebagai wanprestasi.

Peringatan ini sama pentingnya dengan instruksi penggunaan suatu produk

yang merupakan informasi bagi konsumen, walaupun keduanya memiliki fungsi yang

berbeda yaitu instruksi terutama telah diperhitungkan untuk menjamin efisiensi

penggunaan produk, sedangkan peringatan dirancang untuk menjamin keamanan

penggunaan produk.

Peringatan yang merupakan bagian dari pemberian informasi kepada

konsumen ini merupakan pelengkap dari proses produksi. Peringatan yang diberikan

kepada konsumen ini memegang peranan penting dalam kaitan dengan keamanan

suatu produk.83 Dengan demikian pabrikan (produsen pembuat wajib menyampaikan

peringatan kepada konsumen). Hal ini berarti bahwa tugas produsen pembuat tersebut

tidak berakhir hanya dengan menempatkan menempatkan suatu produk dalam

sirkulasi.

Produk yang dibawa ke pasar tanpa petunjuk cara pemakaian dan peringatan

atau petunjuk dan peringatan yang sangat kurang/tidak memadai menyebabkan suatu

83 Endang Sri Wahyuni, 2003, Aspek Hukum Sertifikasi & Keterkaitannya DenganPerlindungan Konsumen, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 73.

Page 105: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

produk dikategorikan sebagai produk yang cacat instruksi. Hal ini berlaku bagi

peringatan sederhana, misalnya “ simpan di luar jangkauan anak-anak “ dan berlaku

pula terhadap peringatan mengenai efek samping setelah pemakaian suatu produk

tertentu. Peringatan demikian maupun petunjuk-petunjuk pemakaian harus

disesuaikan dengan sifat produk dan kelompok pemakai.

Dalam kaitan dengan penyampaian informasi tentang penggunaan produk

kepada konsumen, maka peringatan untuk obat-obatan selayaknya lebih lengkap

dibanding dengan informasi untuk produk lainnya. Begitu pula jika kelompok

pemakai adalah anak-anak, maka harus dicantumkan peringatan yang lebih jelas dan

tegas.

Kelalaian menyampaikan peringatan terhadap konsumen dalam hal produk

yang bersangkutan memungkinkan timbulnya bahaya tertentu akan menimbulkan

tanggung gugat bagi produsen, karena walaupun secara fisik produk tersebut tidak

cacat, namun secara hukum produk tersebut dikategorikan sebagai produk cacat

instruksi, karena dapat membahayakan konsumennya. Pembebanan tanggung gugat

yang demikian hanya akan dibebankan kepada produsen manakala produsen tersebut

mempunyai pengetahuan atau dapat mempunyai pengetahuan tentang adanya

kecenderungan bahaya produk.

Permasalahan yang sering timbul adalah bahwa produsen telah

menyampaikan peringatan secara jelas pada label suatu produk, namun konsumen

tidak membaca peringatan yang telah disampaikan kepadanya, atau dapat pula terjadi

bahwa peringatan itu telah disampaikan tapi tidak jelas atau tidak mengundang

Page 106: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

perhatian konsumen untuk membacanya. Dalam kasus ER Squibb & Sons Inc V Cox,

pengadilan berpendapat bahwa konsumen tidak dapat menuntut jika peringatannya

sudah diberikan secara jelas dan tegas. Namun jika produsen tidak menggunakan cara

yang wajar dan efektif untuk mengkomunikasikan peringatan itu, yang menyebabkan

konsumen tidak membacanya, maka hal itu tidak menghalangi pemberian ganti

kerugian pada konsumen yang telah dirugikan.

Selain peringatan, instruksi yang ditujukan untuk menjamin efisiensi

penggunaan produk juga penting untuk mencegah timbulnya kerugian bagi

konsumen. Pencantuman informasi bagi konsumen yang berupa instruksi atau

petunjuk prosedur pemakaian suatu produk merupakan kewajiban bagi produsen agar

produknya tidak dianggap cacat (karena ketiadaan informasi atau informasi yang

tidak memadai). Sebaliknya, konsumen berkewajiban untuk membaca, atau

mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang

dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan.84

Walaupun terdapat kewajiban bagi konsumen untuk mengikuti instruksi

penggunaan suatu produk, namun instruksi tersebut tidak selamanya dipatuhi oleh

konsumen, misalnya penggunaan suatu produk (obat-obatan) oleh dokter atau

berdasarkan etiket produk tersebut telah diberikan instruksi bahwa pemakaiannya

hanya dalam dosis tertentu, misalnya satu tablet per hari, namun konsumen sendiri

yang tidak mematuhi instruksi tersebut. Kesalahan konsumen dalam penggunaan

produk, juga banyak terjadi pada penggunaan obat bebas (obat tanpa resep).

84 Ibid, h. 60.

Page 107: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

Walaupun obat bebas tersebut adalah obat yang dinyatakan oleh para ahli aman dan

manjur apabila digunakan sesuai petunjuk yang tertera pada label beserta

peringatannya, namun permasalahannya adalah mengobati diri sendiri dengan

menggunakan obat bebas sesungguhnya bukanlah aktivitas yang mudah, sederhana

dan selalu menguntungkan, karena tanpa dibekali dengan pengetahuan yang

memadai, tindakan tersebuut dapat menyebabkan terjadinya ketidaktepatan

penggunaan obat, yang bukannya menyembuhkan tetapi justru memperparah

penyakit, memperburuk kondisi tubuh atau menutupi gejala yang sesungguhnya

menjadi cirri utama penyakit yang lebih serius dan berbahaya.

Instruksi yang disampaikan kepada konsumen suatu produk memang paling

banyak berkaitan dengan produk obat-obatan, karena produk obat-obatanlah yang

akan lebih banyak menimbulkan kerugian manakala konsumen melakukan kesalahan

(ketidaksesuaian instruksi) dalam mengonsumsinya. Ini bukan berarti bahwa produk

lain tidak membutuhkan instruksi tentang cara pemakaiannya, karena terhadap

banyak produk lain, instruksi tersebut juga dibutuhkan oleh konsumen, karena setiap

produk yang memiliki kemungkinan menimbulkan kerugian manakala terjadi

penggunaan secara keliru seharusnya memiliki instruksi tentang cara pemakaiannya.

Hak untuk mendapatkan informasi adalah salah satu hak konsumen yang

paling mendasar. Melalui informasi yang benar dan lengkap inilah konsumen

kemudian menentukan/memilih produk untuk memenuhi kebutuhannya. Karena itu,

memberi informasi yang salah, menyesatkan dan tidak jujur melalui label, adalah

Page 108: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

melanggar hak konsumen. Melanggar hak orang lain berarti pula melakukan

perbuatan melanggar hukum.85

Oleh sebab itu, memberi informasi yang benar mengenai produk berarti

membantu konsumen menentukan pilihannya secara benar dan bertanggung jawab

dalam memenuhi kebutuhannya. Ini berarti pula memberi kesempatan kepada

konsumen mempergunakan haknya yang lain, yaitu hak untuk memilih.

Hendaknya produsen tidak mengharapkan konsumen memilih produknya

karena konsumen khilaf atau sesat, tetapi benar-benar sebagai cerminan keinginan

dan kebutuhannya. Dengan demikian, ada pegangan bagi produsen bahwa produknya

benar-benar diminati dan dibutuhkan masyarakat, dan atas dasar inilah produsen

menyusun kebijakan/strategi pengembangan melalui usahanya. Karenanya, memberi

informasi yang benar (melalui label) adalah kebutuhan bersama antara konsumen dan

produsen karena akan memberi keuntungan kepada produsen dan konsumen.

Berkaitan dengan pentingnya informasi ini, Durrel B. Lucas dan Steuart

Henderson Britt menggambarkan sebagai berikut :

If consumers are well informed and armed with honest data, they will make choicesthat will end up maximizing their welfare, thereby promoting allocative efficiency86

Setiap produk yang diperkenalkan kepada konsumen harus disertai informasi

yang benar. Informasi ini diperlukan agar konsumen tidak sampai mempunyai

gambaran yang keliru atas produk barang dan jasa. Informasi ini dapat disampaikan

85 Yusuf Sofie & Somi Awan, 2004, Sosok Peradilan Konsumen Mengungkap BerbagaiPersoalan Mendasar BPSK, Piramedia, Jakarta, h. 59.

86 Celine Tri Siwi, Op.cit, h. 87.

Page 109: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

dengan berbagai cara, seperti lisan kepada konsumen, melalui iklan di berbagai

media, atau mencantumkan label dalam kemasan produk (barang).

Jika dikaitkan dengan hak konsumen atas keamanan, maka setiap produk yang

mengandung risiko terhadap keamanan konsumen, wajib disertai informasi berupa

petunjuk pemakaian yang jelas. Sebagai contoh, iklan yang secara ideal diartikan

sebagai sarana pemberi informasi kepada konsumen, seharusnya terbebas dari

manipulasi data. Jika iklan memuat informasi yang tidak benar, maka perbuatan itu

memenuhi kriteria kejahatan yang lazim disebut fraudulent misrepresentation.

Bentuk kejahatan ini ditandai oleh (1) pemakaian pernyataan yang jelas-jelas salah

(false statement), seperti menyebutkan diri terbaik tanpa indicator yang jelas, dan (2)

pernyataan yang menyesatkan (mislead), misalnya menyebutkan adanya khasiat

tertentu padahal tidak.

Menurut Troelstrup, konsumen pada saat ini membutuhkan banyak informasi

yang lebih relevan dibandingkan dengan saat sekitar 50 tahun lalu. Alasannya, saat

ini : (1) terdapat lebih banyak produk, merek, dan tentu saja penjualnya, (2) daya beli

konsumen makin meningkat, (3) lebih banyak variasi merek yang beredar di pasaran,

sehingga belum banyak diketahui semua orang, (4) model-model produk lebih cepat

berubah, (5) kemudahan transportasi dan komunikasi sehingga membuka akses yang

lebih besar kepada bermacam-macam produsen atau penjual.

Hak untuk mendapatkan informasi menurut Prof. Hans W. Micklitz, seorang

ahli hukum konsumen dari Jerman, dalam ceramah di Jakarta, 26-30 Oktober 1998

Page 110: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

membedakan konsumen berdasarkan hak ini. 87 Ia menyatakan, sebelum kita

melangkah lebih detail dalam perlindungan konsumen, terlebih dulu harus ada

persamaan persepsi tentang tipe konsumen yang akan mendapatkan perlindungan.

Menurutnya, secara garis besar dapat dibedakan dua tipe konsumen, yaitu :

a. Konsumen yang terinformasi (well-informed)

b. Konsumen yang tidak terinformasi.

Ciri-ciri konsumen yang terinformasi sebagai tipe pertama adalah :

- Memiliki tingkat pendidikan tertentu;

- Mempunyai sumber daya ekonomi yang cukup, sehingga dapat berperan

dalam ekonomi pasar, dan

- Lancar berkomunikasi.

Dengan memiliki tiga potensi, konsumen jenis ini mampu bertanggung jawab

dan relative tidak memerlukan perlindungan.

Ciri-ciri konsumen yang tidak terinformasi sebagai tipe kedua memiliki ciri-

ciri, antara lain :

- Kurang berpendidikan;

- Termasuk kategori kelas menengah ke bawah;

- Tidak lancar berkomunikasi.

Konsumen jenis ini perlu dilindungi, dan khususnya menjadi tanggung jawab

Negara untuk memberikan perlindungan.

87 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.cit, h. 34.

Page 111: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

Selain ciri-ciri konsumen yang tidak terinformasikan, karena hal-hal khusus

dapat juga dimasukkan kelompok anak-anak, orang tua, dan orang asing (yang tidak

dapat berkomunikasi dengan bahasa setempat) sebagai jenis konsumen yang wajib

dilindungi oleh Negara. Informasi ini harus diberikan secara sama bagi semua

konsumen (tidak diskriminatif). Dalam perdagangan yang sangat mengandalkan

informasi, akses kepada informasi yang tertutup, misalnya dalam praktik insider

trading di bursa efek, dianggap sebagai bentuk kejahatan yang serius.

Penggunaan teknologi tinggi dalam mekanisme produksi barang dan/atau jasa

akan menyebabkan makin banyaknya informasi yang harus dikuasai oleh masyarakat

konsumen. Di sisi lain mustahil mengharapkan sebagian besar konsumen memiliki

kemampuan dan kesempatan akses informasi secara sama besarnya. Apa yang dikenal

dengan Consumer Ignorance, yaitu ketidakmampuan konsumen menerima informasi

akibat kemajuan teknologi dan keragaman produk yang dipasarkan dapat saja

dimanfaatkan secara tidak sewajarnya oleh pelaku usaha. Itulah sebabnya, hukum

perlindungan konsumen memberikan hak konsumen atas informasi yang benar, yang

didalamnya tercakup juga hak atas informasi yang proporsional dan diberikan secara

tidak diskriminatif.

3.2 Pentingnya Pelabelan Pangan Bagi Konsumen Untuk Mendapatkan

Perlindungan

Informasi tentang pangan merupakan hal yang sangat penting bagi manusia,

karena selama manusia hidup tidak akan pernah lepas dari yang namanya pangan.

Page 112: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

Tidak dapat dipungkiri bahwa pangan merupakan kebutuhan manusia yang sangat

mendasar karena sangat berpengaruh terhadap keberlangsungan hidup manusia.

Artinya pangan adalah kebutuhan mendasar yang harus terpenuhi.

Pangan yang cukup aman, bermutu, dan bergizi merupakan prasyarat utama

yang harus terpenuhi dalam upaya mewujudkan insan yang berharkat dan bermartabat

serta sumber daya manusia yang berkualitas. Sumber daya manusia yang berkualitas

merupakan unsur terpenting dan sekaligus tujuan utama pembangunan nasional

karena sumber daya manusia yang berkualitas merupakan faktor penentu keberhasilan

pembangunan nasional yang pada akhirnya ditentukan dengan tingkat konsumsi

pangan / makanan yang bergizi serta tidak mengandung zat-zat kimia yang

membahayakan kesehatan manusia serta terjaminnya ketersediaan pangan yang

memadai serta terjangkau oleh daya beli masyarakat.

Agar pangan yang aman tersedia secara memadai, perlu diupayakan

terwujudnya suatu sistem pangan yang mampu memberikan perlindungan kepada

masyarakat yang mengkonsumsi pangan tersebut, maka pangan yang beredar

dimasyarakat harus memenuhi persyaratan keamanan pangan.

Peredaran pangan yang dikonsumsi masyarakat pada dasarnya melalui mata

rantai proses yang meliputi produksi, penyimpanan, pengangkutan, peredaran hingga

tiba ditangan konsumen. Agar mata rantai tersebut memenuhi persyaratan keamanan,

mutu, dan gizi makanan perlu diwujudkan suatu sistem pengaturan, pembinaan, dan

pengawasan yang efektif dibidang keamanan , mutu dan gizi makanan.

Page 113: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 menyebutkan bahwa

pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber daya hayati dan air, baik yang

diolah, diperuntukan sebagai makanan dan minuman yang dikonsumsi manusia,

termasuk bahan tambahan makanan, bahan baku, dan bahan lainnya dalam diproses

penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan, dan minuman.

Lebih lanjut pasal 1 ayat 1 PP Nomor 69 Tahun 1999 tentang label dan iklan

makanan menyebutkan bahwa Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber

hayati dan air baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukan sebagai

makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan makanan,

bahan baku makanan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan,

pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman.

Dalam hubungannya dengan masalah label, khususnya label pangan maka

masyarakat perlu memperoleh informasi yang benar, jelas, dan lengkap, baik

mengenai kuantitas, isi, kualitas maupun hal-hal lain yang diperlukannya mengenai

pangan yang beredar di pasaran.

Label itu ibarat jendela, konsumen yang jeli bisa mengintip suatu produk dari

labelnya. 88 Dari informasi pada label, konsumen secara tepat dapat menentukan

pilihan sebelum membeli dan atau mengkonsumsi pangan.

Tanpa adanya informasi yang jelas maka kecurangan-kecurangan dapat

terjadi.89 Banyak masalah mengenai pangan terjadi di Indonesia. Hingga kini masih

88 Purwiyatno Hariyadi, Op.cit.89 Yusuf Shofie II, Op.cit, h. 15.

Page 114: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

banyak kita temui pangan yang beredar di masyarakat yang tidak mengindahkan

ketentuan tentang pencantuman label, sehingga meresahkan masyarakat.

Perdagangan pangan yang kedaluarsa, pemakaian bahan pewarna yang tidak

diperuntukkan bagi makanan, makanan berformalin, makanan mengandung bahan

pengawet, atau perbuatan-perbuatan lain yang akibatnya sangat merugikan

masyarakat, bahkan dapat mengancam kesehatan dan keselamatan jiwa manusia,

terutama bagi anak-anak pada umumnya dilakukan melalui penipuan pada label

pangan. 90

Adalah UU No 7 Tahun 1996 tentang Pangan yang menyatakan bahwa setiap

label harus memuat keterangan mengenai pangan dengan benar. Produk pangan

hendaknya tidak dinyatakan, didiskripsikan atau dipresentasikan secara salah,

menyesatkan (misleading atau deceptive), atau menjurus pada munculnya impresi

yang salah terhadap karakter produk pangan tersebut. Bahkan, diskripsi atau

presentasi baik melalui kata-kata, gambar, atau cara lain hendaknya tidak secara

sugestif, baik langsung atau tidak langsung, membuat konsumen mempunyai impresi

dan asosiasi terhadap produk lain.

Pengertian benar dan tidak menyesatkan berarti bahwa istilah yang digunakan

pada label hendaknya diartikan sama, baik oleh pemerintah (untuk keperluan

90 Dedi Barnadi – YLBK (Yayasan Lembaga Bantuan Konsumen) Konsumen CerdasMajalengka, 2009, “ Makanan Jajanan (Street Food) Anak Sekolah “, Diakses 30 Juni 2010,Available from : URL : http://www.konsumencerdas.co.cc

Page 115: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

pengawasan), kalangan produsen (untuk keperluan persaingan yang sehat) maupun

oleh konsumen (untuk keperluan menentukan pilihannya).

Kebenaran suatu informasi pada label hendaknya dikaji dan dievaluasi dengan

menggunakan prinsip ilmiah, yaitu berdasarkan pada fakta dan data ilmiah yang dapat

dipertanggungjawabkan. Hal ini penting khususnya dalam hubungannya dengan

perdagangan internasional. Namun, perlu disadari bahwa fakta dan data ini bisa saja

berubah terhadap waktu. Bahkan bisa saja hal itu berbeda antar negara sehingga

muncullah keperluan untuk melakukan transparansi informasi dan harmonisasi.

Salah satu manfaat pencantuman informasi yang benar pada label dan iklan

adalah untuk memberikan pendidikan kepada konsumen tentang hal yang berkaitan

dengan pangan. Informasi penting yang umum disampaikan melalui label dan iklan

tersebut antara lain berupa bagaimana cara menyimpan pangan, cara pengolahan yang

tepat, kandungan gizi pada pangan tertentu, fungsi zat gizi tersebut terhadap

kesehatan, dan sebagainya.

3.3 Ketentuan Label Pangan Terkait Asas Perlindungan Konsumen

Sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 69 tahun 1999 tentang Label dan

Iklan Pangan, maka produsen dan importir pangan berkewajiban untuk memberikan

keterangan dan atau pernyataan yang benar dan tidak menyesatkan tentang pangan

dalam label. Akan tetapi jika diperhatikan label pangan yang beredar saat ini terdapat

beragam informasi di dalamnya, mulai dari nama produk tersebut hingga kata-

kata/kalimat bombastis yang biasanya hanya untuk kepentingan promosi semata.

Page 116: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

Untuk itu sebagai konsumen yang cerdas, maka kita harus membiasakan diri

membaca/mengecek label dengan cermat. Sayangnya, dari hasil kajian yang

dilakukan BPKN (Badan Perlindungan Konsumen Nasional) ditemukan bahwa

masalah label kurang mendapat perhatian dari konsumen dimana hanya 6,7%

konsumen yang memperhatikan kelengkapan pada label.

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bahwa yang dimaksud dengan label

pangan sesuai ketentuan pasal 1 angka 3 PP No. 69 Tahun 1999 adalah setiap

keterangan mengenai pangan yang berbentuk gambar, tulisan, kombinasi keduanya

atau bentuk lain yang disertakan pada pangan, dimasukkan ke dalam, ditempelkan

pada atau merupakan bagian kemasan pangan.

Penggunaan kata ditempel pada pengertian label, menurut hemat penulis

menimbulkan persoalan. Kata ditempelkan menimbulkan kesan bahwa label dapat

ditempel kapan pun, padahal pada dasarnya label merupakan bagian tak terpisah dari

kemasan. Penggunaan kata ditempel juga terkesan terpisah dan bisa dipalsukan.

Selain bisa dipalsukan, label yang hanya berupa tempelan/stiker dapat dengan mudah

dicabut, diganti kemudian dilabeli kembali oleh pelaku usaha yang curang.

Label berupa stiker banyak ditemukan pada produk-produk impor. Hal ini

pernah dikeluhkan oleh Ketua bidang Regulasi Gabungan Perusahaan Makanan dan

Minuman Indonesia (Gapmmi) Franky Sibarani. 91

91 “ Label Juga Harus Berbahasa Indonesia “ diakses 21 Juni 2010, available from : http://www.hukumonline.com.

Page 117: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

Pelabelan kembali dengan cara mencabut, mengganti label tempelan sangat

mudah untuk dilakukan, bila dibandingkan jika produk itu labelnya disertakan pada

kemasan pangan atau yang dimasukkan ke dalam kemasan pangan.

Kecenderungan untuk mencapai untung yang tinggi secara ekonomis

ditambah dengan persaingan yang ketat di dalam berusaha dapat mendorong sebagian

pelaku usaha untuk bertindak curang dan tidak jujur. Kecurangan tidak hanya akan

merugikan konsumen saja, tetapi juga akan merugikan pelaku usaha yang jujur dan

bertanggungjawab.

Kesempatan untuk mengembangkan dan meningkatkan usaha bagi pelaku

usaha yang bertanggung jawab dapat diwujudkan tidak dengan jalan merugikan

kepentingan konsumen, tetapi dapat dicapai melalui penindakan terhadap pelaku

usaha yang melakukan kecurangan dalam kegiatan usahanya.

Asas manfaat dalam hukum perlindungan konsumen, menekankan bahwa

segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan

manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara

keseluruhan.

Asas keamanan dan keselamatan konsumen menekankan bahwa keamanan

dan keselamatan konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang

dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan dijamin oleh Undang-Undang.

Dengan adanya peluang untuk berbuat curang dalam pelabelan karena

ketentuan yang ada terlalu mudah, maka potensi kerugian bagi konsumen dan pelaku

Page 118: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

usaha yang jujur semakin besar. Sehingga jelas dalam hal ini asas manfaat dan asas

keselamatan dan keamanan konsumen tidak terpenuhi.

Guna terpenuhinya asas manfaat, asas keamanan dan keselamatan konsumen,

tidakkah baiknya penggunaan kata ditempel pada pengertian label dihilangkan saja,

karena dengan menghilangkan kata ditempelkan, maka dapat membuat label menjadi

satu dengan kemasan. Penghilangan kata ditempelkan pada pengertian label

setidaknya juga akan meminimalisir terjadi kecurangan-kecurangan seperti yang telah

disebutkan diatas. Dari hasil kajian Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN)

ditemukan bahwa penyimpangan terhadap peraturan pelabelan yang paling banyak

terjadi salah satunya adalah label yang ditempel tidak menyatu dengan kemasan.

Pasal 2 PP No. 69 Tahun 1999 menyebutkan :

(1). Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas kedalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label pada,di dalam, dan atau di kemasan pangan.

(2). Pencantuman Label sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sedemikianrupa sehingga tidak mudah lepas dari kemasannya, tidak mudah luntur ataurusak, serta terletak pada bagian kemasan pangan yang mudah untuk dilihat dandibaca.

Kemudian didalam pasal 3 dari PP No. 69 Tahun 1999 tersebut ditentukan

bahwa :

(1) Label sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 ayat (1) berisikan keteranganmengenai pangan yang bersangkutan.

(2) Keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya :a. nama produk;b. daftar bahan yang digunakan;c. berat bersih atau isi bersih;d. nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke

dalam wilayah Indonesia.e. tanggal, bulan, dan tahun kadaluwarsa.

Page 119: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

Hal yang sama juga ditentukan dalam pasal 111 ayat (3) Undang-Undang

Kesehatan No. 36 Tahun 2009.

Point a, c, d dalam pasal 3 ayat (2) dalam pasal 12 PP No. 69 Tahun 1999

disebut sebagai bagian utama dari label. Yang dimaksud dengan bagian utama yaitu

bagian yang memuat keterangan paling penting untuk diketahui konsumen.

Nama produk penting karena nama produk menunjukkan identitas mengenai

produk pangan. Padanya harus memberi penjelasan mengenai produk yang

bersangkutan, tidak menyesatkan dan harus menunjukkan sifat dan atau keadaan yang

sebenarnya. Bila terdapat gambar dalam label produk, gambar ini harus menunjukkan

keadaan yang sebenarnya. Misalnya, disuguhkan gambar buah-buahan, sayur, daging,

ikan atau lainnya harus benar mengandung bahan-bahan itu.

Penggunaan nama produk pangan tertentu yang sudah terdapat dalam Standar

Nasional Indonesia, dapat diberlakukan dengan wajib dengan Keputusan Menteri

Teknis. Dengan perkembangan teknologi di bidang pangan maka terdapat produk

pangan tertentu yang tidak atau belum memiliki nama produk, misalnya makanan

ringan yang dikenal dengan dengan istilah snack seperti chiki, tazzoz, dan lain-lain.

Oleh karena itu cukup dicantumkan nama jenis produk pangan yang bersangkutan,

seperti makanan ringan. Nama produk berbeda dengan nama dagang. Nama dagang

adalah merek. Merek sebagaimana diterangkan adalah suatu tanda yang berupa

gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna atau kombinasi dari

Page 120: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

unsur-unsur yang merupakan tanda pembeda produk yang satu dengan produk lan.

Misal, nama produk : minyak goreng, nama dagang/merek : sania.

Berat bersih (isi bersih) adalah pernyataan yang memberikan keterangan

mengenai kuantitas atau jumlah produk pangan yang terdapat di dalam kemasan atau

wadah. Penggunaan ukuran isi (liter dan sejenisnya) untuk makanan cair, ukuran

berat (kg dan sejenisnya) untuk makanan padat. Dan ukuran isi atau berat untuk

makanan semi padat atau kental. Khusus pangan yang menggunakan medium cair

maka berat bersih harus diukur dengan medium cair (setelah ditiriskan, drained

weight), dan disebut sebagai berat tiris. Contoh berat bersih 680 g.

Nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke

dalam wilayah Indonesia juga merupakan bagian utama dari label. Dalam hal pihak

yang memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia berbeda dengan pihak yang

mengedarkan, maka nama dan alamat pihak yang mengedarkan (distributor) juga

harus dicantumkan dalam label. Pentingnya mencantumkan nama dan alamat ini

adalah untuk memudahkan konsumen jika dikemudian hari produk yang dihasilkan

menimbulkan kerugian pada konsumen. Nama dan alamat ini paling tidak

menginformasikan nama kota, kode pos dan nama Negara.

Daftar bahan yang digunakan (ingredient list) adalah daftar yang memuat

setiap jenis bahan yang diformulasikan untuk produk pangan, kecuali vitamin,

mineral, dan zat penambah gizi lainnya. Dicantumkan berurutan secara menurun

mulai dari bahan yang dominan digunakan berdasarkan berat. Untuk air, bila dalam

proses pengolahan ditambahkan maka harus dicantumkan sebagai bahan yang

Page 121: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

digunakan, sedangkan bila merupakan kandungan suatu bahan atau mengalami

penguapan selama proses pengolahan, maka air tidak perlu dicantumkan. Penyebutan

nama bahan baku harus dalam nama umum/nama yang lazim digunakan/ nama yang

telah ditetapkan dalam Standar Nasional Indonesia. Misalnya untuk bahan gula, tidak

dicantumkan sebagai sukrosa. Dengan dicantumkannya daftar bahan yang digunakan

dalam label, konsumen dapat mengetahui apakah produk tersebut aman untuk

dikonsumsi, hal ini penting karena mungkin saja konsumen ada alergi pada suatu

bahan makanan tertentu.

Tanggal kadaluarsa adalah batas akhir suatu makanan dijamin mutunya

sepanjang penyimpanannya mengikuti petunjuk yang diberikan oleh produsen (pasal

1 huruf d Permenkes RI No. 180/1985), sedangkan makanan daluwarsa adalah

makanan yang telah lewat tanggal kadaluarsa (pasal 1 huruf c Permenkes RI No.

180/1985).

Makanan yang rusak baik sebelum dan maupun sesudah tanggal kadaluarsa

dinyatakan sebagai bahan berbahaya (pasal 3 Permenkes RI No. 180/1985).

Dari tanggal kadaluarsa yang tercantum pada label, konsumen dapat

mengetahui batas tanggal suatu produk makanan masih layak dikonsumsi. Akan

tetapi dari pengertian yang diberikan dalam pasal 3 Permenkes RI No. 180/1985,

dapat diketahui bahwa belum tentu juga makanan yang masih dalam batas kadaluarsa

aman untuk dikonsumsi.

Jalan yang harus dilalui suatu produk dari produsen hingga sampai ke tangan

konsumen terkadang melalui mata rantai yang panjang. Panjangnya mata rantai yang

Page 122: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

harus dilalui mengakibatkan banyak gangguan yang membuat makanan tak layak

dikonsumsi sampai ke tangan konsumen meski secara de jure masih aman.

Pencantuman masa kadaluarsa ini didasarkan pada aspek keamanan

(parameter utamanya adalah cemaran mikrobiologi, seperti jamur dan bakteri

pembusuk makanan) serta kelayakan konsumsi (parameter utamanya adalah

organileptik: penampakan, rasa, tekstur, bau, kandungan kimiawi). Jangan pernah

mengkonsumsi produk yang telah melewati masa kadaluarsanya. Dikhawatirkan ini

menjadi pencetus timbulnya gejala keracunan atau jika bakteri yang berkembang

seperti Clostridium botulinum maka dapat menyebabkan kematian. Gejala awal

umumnya muntah-muntah maupun mual. Oleh sebab itu masyarakat sebagai

konsumen harus proaktif dan kritis dalam menanggapi hal ini.

Beberapa waktu yang lalu pun di media sempat ramai oleh berita beredarnya

produk kadaluarsa di pasar-pasar tradisional yang dijual dengan harga yang sangat

murah dari harga sebenarnya. Bahkan ada juga produsen yang mendaur ulang produk

kadaluarsanya menjadi produk baru lagi. Tentulah kegiatan seperti tersebut diatas

tidak boleh dilakukan dan melanggar peraturan yang ada. Pemerintah perlu

melakukan tindakan pengawasan yang lebih baik lagi dan produsen harus menarik

produknya dari peredaran sebelum waktu kadaluarsanya habis dan memusnahkannya

sesuai prosedur yang berlaku.

Semua produk pangan yang akan dijual di wilayah Indonesia, baik produksi

lokal maupun impor, harus didaftarkan dan mendapatkan nomor pendaftaran dari

Badan POM, sebelum boleh diedarkan ke pasar (pasal 30 PP No. 69 Tahun 1999).

Page 123: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

Selain nomor pendaftaran, kode produksi pangan pun wajib dicantumkan pada label,

wadah atau kemasan pangan. Kode produksi dicantumkan pada bagian yang mudah

dibaca dan dilihat.

Peraturan ini berlaku bagi semua produk pangan yang dikemas dan

menggunakan label sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bagi

Badan POM, nomor pendaftaran ini berguna untuk mengawasi produk-produk yang

beredar di pasar, sehingga apabila terjadi suatu kasus akan mudah ditelusuri siapa

produsennya dan akan mudah pula melakukan penarikannya.

Apabila kita melihat pada produk-produk makanan dan minuman yang

beredar di supermarket, toko, warung dan pasar, maka nomor pendaftaran dapat kita

temukan di bagian depan label produk pangan tersebut dengan kode SP, MD atau ML

yang diikuti dengan sederetan angka. Nomor SP adalah Sertifikat Penyuluhan,

merupakan nomor pendaftaran yang diberikan kepada pengusaha kecil dengan modal

terbatas dan pengawasan diberikan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kodya, sebatas

penyuluhan.

Nomor MD diberikan kepada produsen makanan dan minuman bermodal

besar yang diperkirakan mampu untuk mengikuti persyaratan keamanan pangan yang

telah ditetapkan oleh pemerintah. Sedangkan nomor ML, diberikan untuk produk

makanan dan minuman olahan yang berasal dari produk impor, baik berupa kemasan

langsung maupun dikemas ulang.

Bagi produsen yang mempunyai beberapa lokasi pabrik yang berlainan,

namun memproduksi produk yang sama, maka nomor MD yang diberikan adalah

Page 124: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

berdasarkan kode lokasi produk. Sehingga dapat terjadi suatu produk pangan yang

sama, akan tetapi mempunyai nomor MD yang berbeda karena diproduksi oleh pabrik

yang berbeda.

Hal ini dimaksudkan untuk meringankan produsen bila terjadi suatu kasus

terhadap suatu produk dari merek tertentu, yang mengharuskan terjadinya

menghentian produksi atas produk tersebut. Maka yang terkena penghentian produksi

hanyalah di lokasi yang memproduksi produk MD yang terkena masalah.

Nomor pendaftaran tetap berlaku sepanjang tidak ada perubahan yang

menyangkut komposisi, perubahan proses meupun perubahan lokasi pabrik pengolah

dan lain-lain. Apabila terjadi perubahan dalam hal-hal tersebut di atas, maka produsen

harus melaporkan perubahan ini kepada Badan POM, dan bila perubahan ini terlalu

besar, maka harus diregistrasi ulang.

Akhir-akhir ini semakin banyak produsen yang menggunakan jasa produksi

dari pabrik lain, atas istilah tol manufaktur atau maclon. Dalam kasus ini, nomor MD

adalah diberikan kepada pobrik yang memproduksi produk tersebut. Sehingga apabila

produsen tersebut akan mengalihkan produksinya ke pabrik lain, maka harus

mendaftar ulang kembali ke Badan POM.

Sejauh ini pendaftaran makanan dan minuman untuk seluruh wilayah

Indonesia ditangani langsung oleh Direktorat Penilaian Keamanan Pangan, Badan

POM. Untuk makanan dalam negeri diperlukan fotokopi izin industri dari

Departemen Perindustrian dan Perdagangan. Formulir Pendaftaran dapat diperoleh di

Bagian Tata Usaha Direktorat Penilaian Keamanan Pangan, Badan POM, Gedung D

Page 125: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

Lantai III, Jalan Percetakan Negara No. 23 Jakarta Pusat, Telp. 021-4245267. Setelah

formulir ini diisi dengan lengkap, kemudian diserahkan kembali bersama contoh

produk dan rancangan label yang sesuai dengan yang akan diedarkan.

Penilaian untuk mendapatkan nomor pendaftaran disebut penilaian keamanan

pangan. Pada dasarnya klasifikasi penilaian pangan ada dua macam, yaitu penilaian

umum dan penilaian ODS (One Day Service). Penilaian umum adalah untuk semua

produk beresiko tinggi dan produk baru yang belum pernah mendapatkan nomor

pendaftaran. Penilaian ODS adalah untuk semua produk beresiko rendah dan produk

sejenis yang pernah mendapatkan nomor pendaftaran.

Bagian keempatbelas PP No. 69 Tahun 1999 ada menentukan mengenai

keterangan lain pada wajib dicantumkan pada label untuk pangan olahan tertentu.

Pasal 38

Keterangan pada Label tentang pangan olahan yang diperuntukan bagi bayi,anak berumur dibawah lima tahun, ibu yang sedang hamil atau menyusui,orang yang menjalani diet khusus, orang lanjut usia, dan orang berpenyakittertentu, wajib memuat keterangan tentang peruntukan, cara penggunaan,dan atau keterangan lain yang perlu diketahui, termasuk mengenai dampakpangan tersebut terhadap kesehatan manusia.

Pasal 39(1). Pada Label untuk pangan olahan yang memerlukan penyiapan dan ataupenggunaan nya dengan cara tertentu, wajib dicantumkan keterangan tentangcara penyiapan dan atau penggunaannya dimaksud.(2). Apabila tercantum keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)tidak mungkin dilakukan pada Label, maka pencantuman keterangandimaksud sekurang-kurangnya dilakukan pada wadah atau kemasan Pangan.

Pasal 40Dalam hal mutu suatu pangan tergantung pada cara penyimpanan ataumemerlukan cara penyimpanan khusus, maka petunjuk tentang carapenyimpanan harus dicantumkan pada Label.

Page 126: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

Lebih lanjut Pasal 15 PP No. 69 Tahun 1999 menentukan bahwa keterangan

pada label, ditulis atau dicetak dengan menggunakan bahasa Indonesia, angka Arab,

dan huruf Latin. Dalam bagian penjelasan dari pasal ini disebutkan bahwa ketentuan

ini dimaksudkan agar pangan olahan yang diperdagangkan di Indonesia harus

menggunakan label dalam bahasa Indonesia. Khusus bagi pangan olahan untuk

diekspor, dapat dikecualikan dari ketentuan ini.

Kemudian pasal 16 menyebutkan :

(1) Penggunaan bahasa selain bahasa Indonesia, angka Arab dan huruf Latindiperbolehkan sepanjang tidak ada padanannya atau tidak dapat diciptakanpadanannya, atau dalam rangka perdagangan pangan ke luar negeri.

(2) Huruf dan angka yang tercantum pada Label harus jelas dan mudah dibaca.

Ketentuan pasal ini tidak ada penjelasannya sehingga menimbulkan banyak

pertanyaan dan dapat pula ditafsirkan macam-macam.

Bagian mana dari label itu yang boleh menggunakan bahasa selain bahasa

Indonesia, angka Arab dan huruf Latin karena tidak ada padanannya atau tidak dapat

diciptakan padanannya dalam Bahasa Indonesia, hal ini tidak diberi penjelasan. Apa

semua keterangan sebagaimana ditentukan dalam pasal 3 jo pasal 12 PP No. 69

Tahun 1999 boleh menggunakan bahasa selain bahasa Indonesia, angka Arab dan

huruf Latin karena tidak ada padanannya atau tidak dapat diciptakan padanannya.

Sejak implementasi liberalisasi perdagangan dalam kerangka perdagangan

bebas Asean China (Asean China Free Trade Agreement/ACFTA), praktis ketakutan

terhadap membanjirnya produk impor makin kuat. Pasalnya, sebelum tarif sejumlah

Page 127: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

sektor dibebaskan, produk impor terutama dari China telah beredar dengan bebas.

Pasar Indonesia kini tengah menjadi sasaran empuk bagi produk impor, terutama dari

China, seperti biskuit, permen, coklat, susu dan minuman ringan. Produk-produk

tersebut beredar di pasaran tanpa mengindahkan ketentuan label sebagaimana

ditentukan dalam PP No. 69 Tahun 1999, khususnya menyangkut masalah bahasa.92

Bahasa yang digunakan dalam label produk tersebut masih bahasa asal produk yakni

China.

Darimana konsumen akan tahu mengenai nama produk, daftar bahan yang

digunakan, berat bersih atau isi bersih, nama dan alamat pihak yang memproduksi

atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia, tanggal, bulan, dan tahun

kadaluwarsa, keterangan tentang peruntukan, cara penggunaan, cara penyimpanan

dan atau keterangan lain yang perlu diketahui, termasuk mengenai dampak pangan

tersebut terhadap kesehatan manusia bila bahasa yang dipergunakan bukan bahasa

Indonesia.

Penggunaan label dengan bahasa Indonesia saja kadang bisa tidak

dimengerti/dipahami konsumen, apalagi produk selain bahasa Indonesia. Penggunaan

bahasa Indonesia pada label pangan memiliki peranan yang penting dalam

perlindungan konsumen. Dengan label berbahasa Indonesia, konsumen bisa

mengetahui informasi produk yang dibelinya sehingga bisa meminimalisasi resiko

92 “ YLKI Minta BPOM Tindaklanjuti Temuan Pangan Tanpa Label “, diakses 26 Oktober

2010, available from : http://m.antaranews.com

Page 128: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

kejadian yang tidak diinginkan. Label selain bahasa Indonesia tentu akan menyulitkan

konsumen dalam memahami, menggunakan, serta mengetahui bahan-bahan yang

terdapat pada produk yang dibelinya.

Bagaimana konsumen tahu bahwa produk tersebut cocok, aman, bermanfaat

baginya bila ia tidak paham. Keterangan atau penjelasan pada label terkait dengan

keselamatan, keamanan dan kesehatan konsumen. Konsumen harus dilindungi dari

segala bahaya yang mengancam kesehatan, jiwa, dan harta bendanya karena memakai

atau mengonsumsi produk (khususnya pangan).93 Dengan demikian, setiap produk

baik dari segi komposisi bahannya, dari desain dan kontruksinya, maupun dari segi

kualitasnya harus diarahkan untuk mempertinggi rasa kenyamanan, keamanan dan

keselamatan konsumen.

Tidak dikehendakinya adanya produk yang dapat mencelakakan dan

mencederai konsumen. Disinilah arti penting label, karena dari label konsumen dapat

mengetahui adanya unsur-unsur yang dapat membahayakan keamanan dan

keselamatan dirinya atau menerangkan secara lengkap perihal produknya sehingga

konsumen dapat memutuskan apakah produk tersebut cocok.

Informasi dalam label tidak hanya berdampak signifikan dalam meningkatkan

efisiensi dari konsumen dalam memilih produk, tetapi di satu sisi label dengan

informasi yang lengkap yang dapat dipahami konsumen akan mampu meningkatkan

93 “ Wajib Label Jangan Setengah Hati “,diakses 02 September 2010, available from :

http://bataviase.co.id

Page 129: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

kesetiaan konsumen terhadap suatu produk, dan hal ini tentu akan memberikan

keuntungan tersendiri bagi pelaku usaha.

Pengecualian penggunaan bahasa Indonesia dalam label karena tidak ada

padanannya atau tidak dapat diciptakan padanannya dalam bahasa Indonesia justru

akan membuka peluang bagi pelaku usaha untuk memperdagangkan produk pangan

yang tidak dimengerti oleh konsumen sehingga berpotensi menimbulkan kerugian

yang tidak diinginkan, karena pesan informasi tidak ditangkap konsumen, karena

kendala bahasa.

Dalam hal demikian, asas manfaat, asas keamanan dan keselamatan

konsumen, asas kepastian hukum tidak dapat dipenuhi

Permasalahan dalam pasal 16 PP No. 69 Tahun 1999 tidak hanya

diberikannya lagi peluang tidak menggunakan bahasa Indonesia dalam label,

permasalahan lainnya juga pasal tersebut tidak memberi penjelasan, dalam hal

perdagangan pangan ke luar negeri (ekspor) bahasa apa yang harus dipergunakan.

Bahasa Inggris, bahasa Latin, atau bahasa lain.

Pasal 27

(1) Tanggal, bulan dan Tahun kedaluwarsa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3ayat (2) wajib dicantumkan secara jelas pada Label.

(2) Pencantuman tanggal, bulan dan tahun kadaluwarsa sebagaimana dimaksuddalam ayat (1) dilakukan setelah pencantuman tulisan “Baik digunakansebelum” sesuai dengan jenis dan daya tahan pangan yang bersangkutan.

(3) Dalam hal produk pangan yang kadaluwarsanya lebih dari 3 (tiga) bulan,diperbolehkan untuk hanya mencantumkan bulan dan tahun kedaluwarsa saja.

Page 130: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

Meski telah ditegaskan bagaimana penulisan pencantuman label kadaluarsa,

tetapi hingga kini masih banyak produk yang tidak mengikuti ketentuan penulisan

tersebut. Banyak produk yang masih memakai Bahasa Inggris dan aturan

penanggalannya, seperti : “ manufacturing or packing date “ (diproduksi atau

dikemas tanggal), “ sell by date “ (dijual paling lama tanggal), “ use by date “

(digunakan paling lama tanggal), “ date of minimum durability / best before ”

(sebaiknya digunakan sebelum tanggal), “ exp ” (daluwarsa) yang diikuti angka-

angka. Bahkan tak jarang pula hanya berisi angka-angka melulu yang bagi

masyarakat awam tentu akan menimbulkan tanda tanya.

Dalam hal demikian, asas manfaat, asas keadilan, kepastian hukum, asas

keamanan dan keselamatan konsumen tidak terpenuhi. Mengapa tidak terpenuhi,

karena pencantuman tanggal kadaluarsa pada label produk tidak hanya bermanfaat

bagi konsumen, tetapi juga bagi distributor, penjual maupun produsen itu sendiri,

yaitu :

a. Konsumen dapat memperoleh informasi yang lebih jelas tentang

keamanan produk tersebut;

b. Distributor dan penjual makanan dapat mengatur stok barangnya (stock

raotation);

c. Produsen dirangsang untuk lebih menggiatkan pelaksanaan “ quality

control “ terhadap produknya.

Page 131: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

BAB IV

TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA

DALAM PELANGGARAN LABEL PANGAN

4.1 Aspek Perdata, Pidana dan Administrasi Dalam Perlindungan Konsumen

Hukum hidup, tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat sebagai sarana

menciptakan ketentraman dan ketertiban bagi kedamaian dalam hidup sesama warga

masyarakat. Hukum akan tumbuh dan berkembang bila masyarakat menyadari makna

kehidupan hukum dalam kehidupannya. Sedangkan tujuan hukum sendiri ialah untuk

mencapai kedamaian di dalam masyarakat 94. Hukum juga dituntut untuk memenuhi

nilai-nilai dasar hukum yang meliputi keadilan, kerugian/ kemanfaatan dan kepastian

hukum. Hukum yang mengatur perlindungan konsumen tentu saja di tuntut pula

untuk memenuhi nilai keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum, walaupun

kadang-kadang bila salah satu nilai tersebut tercapai nilai yang lain menjadi

terabaikan.

Keefektivan hukum bila di kaitkan dengan badan-badan penegak hukumnya,

maka menurut G.G Howard dan R.S Summers ada faktor yang mempengaruhinya :

a. Undang-undangnya harus dicanangkan dengan baik. Kaidah-kaidah yang bekerja

mematuhi tingkah laku itu harus ditulis dengan jelas dan dapat dipahami dengan

penuh kepastian;

94 Soerjono Soekanto ,1986, Permasalahan Hukum di Indonesia, Alumni, Bandung,(selanjutnya disebut Soerjono Soekanto III), h. 13.

Page 132: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

b. Mereka yang bekerja sebagai pelaksana hukum harus menunaikan tugasnya

dengan baik dan harus menafsirkan peraturan tersebut secara seragam dan sedapat

mungkin senafas dengan bunyi penafsiran yang mungkin dicoba dilakukan oleh

warga masyarakat yang terkena;

c. Aparat penegak hukum harus bekerja tanpa jenuh untuk menyidik dan menuntut

pelanggar-pelanggar.

Berbagai peraturan yang berkaitan dengan upaya perlindungan konsumen

pada dasarnya sama dengan peraturan-peraturan lain yang ketentuannya mengandung

ide-ide atau konsep-konsep yang boleh digolongkan abstrak, yang idealnya meliputi

ide tentang keadilan, kepastian dan kemanfaatan sebagaimana diungkapkan oleh

Gustav Radbruch. Oleh karena itu, persoalan konsumen untuk memperoleh

perlindungan sebagai bagian dari suatu sistem hukum akan berkaitan dengan upaya

mewujudkan ide-ide tersebut, bahkan seringkali negara harus ikut campur tangan

karena adanya kekuatan pengaruh yang menuntut hal demikian agar bekerjanya

hukum dapat efektif, khususnya dalam hal ini adalah mengenai penyelenggaraan

struktur hukum yang berupa lembaga-lembaga penegak hukum sebagai sarana bagi

pihak yang dirugikan untuk memperoleh keadilan. Dengan demikian diharapkan

sistem hukum dalam upaya perlindungan konsumen dapat berjalan dengan baik.

Keterlibatan negara atau pemerintah saja belum dapat menjamin terpenuhinya

atau berjalannya suatu sistem hukum karena ddalam suatu sistem hukum menurut

Lawrence M. Friedman meliputi tiga hal yaitu substansi hukum, struktur hukum dan

Page 133: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

kultural hukum, a legal system is actual operation is complex organism in which

sructure, substance and culturale interaction.

Dalam kaitannya fungsi hukum sebagai sarana rekayasa sosial (social

engineering) agar hukum (termasuk Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999) bisa

menentukan corak hidup masyarakat(yang dalam hal ini corak hidup masyarakat

selaku konsumen maupun pelaku usaha) bukanlah hal yang mudah, sebab banyak

faktor yang mempengaruhinya, di samping bahwa dalam setiap individu akan

tergantung pada pilihan-pilihan individu secara rasional untuk taat atau tidak taat

kepada ketentuan hukum yang berlaku (Undang-undang No 8 Tahun 1999). The law,

for Pound should act so to assure the maximum amount of fulfillment of interests in a

society.95 Individu akan selalu memilih aktifitas yang menguntungkan baginya dan

menghindari yang paling merugikan baginya di dalam area of choice menuntut

tingkat rasional (yang paling baik). Perilaku rasional ini paling tidak berorientasi pada

perilaku kebiasaan, nilai-nilai etik dan kebutuhan-kebutuhan individu.

Agar hukum dapat berfungsi sebagai sarana rekayasa sosial bagi masyarakat

konsumen dan pelaku usaha maka dapat dipakai pula pendekatan dengan mengambil

teori Robert Seidman, yaitu bahwa bekerjanya hukum dalam masyarakat itu

melibatkan tiga komponen dasar yakni pembuat hukum/ Undang-undang, birokrat

pelaksana dan pemegang peran.

95 Dragan Milovanovic, A Primer in the Sociology of Law Second Edition, Harrow and HestonPublishers, New York, h. 89.

Page 134: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

Bekerjanya hukum dapat dikatakan baik dan efektif bila melibatkan tiga

komponen dasar yaitu pembuat hukum, birokrat pelaksana dan pemegang peran.

Setiap anggota masyarakat (para konsumen dan pelaku usaha) sebagaimana

pemegang peran, perilakunya ditentukan oleh pola peranan yang diharapkan darinya,

namun bekerjanya harapan itu ditentukan faktor-faktor lainnya. Faktor-faktor tersebut

adalah 96:

a. Sanksi yang terdapat dalam peraturan;b. Aktivitas dari lembaga atau badan pelaksana hukum;c. Seluruh kekuatan sosial, politik dan yang lainnya yang bekerja atas diri pemegang

peran.

Perilaku konsumen dan pelaku usaha tentu saja juga tidak lepas dari tingkat

pengetahuan, sikapnya terhadap Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999, sehingga

kemudian menimbulkan niat untuk berperilaku. Fishbein dan Ajzen mengenalkan

model hubungan antara pengetahuan, sikap, niat dan perilaku. Menurut Hobbs dan

Freud, bahwa pada dasarnya perilaku individu manusia adalah egoistis dan karenanya

cenderung memuaskan kepentingannya sendiri. Akibat dari sifat manusia yang

cenderung ingin memuaskan kepentingannya sendiri itu, maka sering menimbulkan

benturan-benturan dengan fihak lain yang apabila hal ini dibiarkan terus berlangsung

akan menciptakan penyimpangan sosial (deviasi sosial). Dalam hal ini peranan

hukum sebagai upaya pembentukan perilaku sosial dalam diri seseorang untuk

mampu berbagi kepentingan dengan orang lain diperlukan.

96 Satjipto Rahardjo, 1977, Pemanfaatan Ilmu-ilmu Sosial bagi Pengembangan Ilmu Hukum,Alumni, Bandung, (selanjutnya disebut Satjipto Rahardjo II), h. 36.

Page 135: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

Ketaatan yang rendah terhadap hukum juga dimungkinkan karena warga

masyarakat konsumen kurang memahami norma-norma tersebut, sehingga mereka

sama sekali tidak mengetahui akan manfaaatnya untuk mematuhi akidah tersebut.

Sebagaimana yang dikemukakan oleh Gastra Van Loon, bahwa efektifnya suatu

perundang-undangan secara sederhana berarti tujuannya tercapai. Hal ini sangat

tergantung berbagai faktor, antara lain tingkat pengetahuan tersebut dan pelembagaan

dari Undang-undang pada bagian-bagian masyarakat sesuai dengan ruang lingkup

undang-undang tadi.

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bahwa perlindungan hukum

menurut Philipus M. Hadjon terbagi atas dua, yaitu perlindungan hukum preventif

dan perlindungan hukum represif. Perlindungan hukum preventif yaitu perlindungan

hukum yang bertujuan untuk mencegah terjadinya suatu sengketa. Perlindungan

hukum jenis ini misalnya sebelum Pemerintah menetapkan suatu aturan/keputusan,

rakyat dapat mengajukan keberatan, atau dimintai pendapatnya mengenai rencana

keputusan tersebut. Perlindungan hukum represif yaitu perlindungan hukum yang

dilakukan dengan cara menerapkan sanksi terhadap pelaku agar dapat memulihkan

hukum kepada keadaan sebenarnya. Perlindungan jenis ini biasanya dilakukan di

Pengadilan.

Pada hakekatnya perlindungan hukum itu berkaitan bagaimana hukum

memberikan keadilan yaitu memberikan atau mengatur hak-hak terhadap subyek

hukum, selain itu juga berkaitan bagaimana hukum memberikan keadilan terhadap

subyek hukum yang dilanggar haknya.

Page 136: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

Perlindungan konsumen adalah merupakan masalah kepentingan manusia,

oleh karenanya menjadi harapan bagi semua bangsa di dunia untuk dapat

mewujudkannya. Mewujudkan perlindungan konsumen adalah mewujudkan

hubungan berbagai dimensi yang satu sama lain mempunyai keterkaitan dan saling

ketergantungan antara konsumen, pengusaha, dan Pemerintah.

UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 7 Tahun

1996 tentang Pangan, PP No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan,

Keputusan Menteri Kesehatan No. 924/Menkes/SK/VIII/1996 tentang Pencantuman

Tulisan “ Halal “ pada Label Makanan, Peraturan Menteri Kesehatan RI No.

180/Menkes. Per/IV/1985 tentang Makanan Daluwarsa yang telah dirubah dengan

Keputusan Dirjen POM No. 02591/B/SK/VIII/91 dimaksudkan dalam upaya

memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat konsumen. Oleh karena itu

tanggung jawab pelaku usaha atas informasi yang tidak memadai dalam label menjadi

kebutuhan yang mutlak. Tuntutan tanggung jawab merupakan perlindungan hukum

represif sebagaimana dikemukakan oleh Philipus M. Hadjon.

Tanggungjawab yang dimiliki oleh suatu pihak dalam interaksinya dengan

pihak lain seharusnya dipenuhi manakala akibat dari kesalahan dari perbuatannya

menyebabkan kerugian bagi pihak lain. Tanggungjawab ini harus dipenuhi tidak saja

atas kesalahan perbuatan dari orang yang menjadi tanggungannya atau kerugian yang

ditimbulkan akibat dari barang yang berada di bawah pengawasannya, hal ini dapat

dicermati dari ketentuan Pasal 1367 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH

Perdata).

Page 137: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

Dalam ketentuan pidana masalah perlindungan konsumen juga memperoleh

perhatian sebagaimana diatur dalam Pasal 204 dan 205 Kitab Undang-undang Hukum

Pidana (KUHP). Ketentuan ini terutama berkaitan dengan hak konsumen untuk

memperoleh informasi secara benar.

Dari uraian tersebut maka dimensi perlindungan hukum bagi konsumen dapat

meliputi berbagai aspek dan dapat dilakukan dengan berbagai instrumen, yaitu

instrumen hukum perdata, instrumen hukum pidana dan juga instrumen hukum

administrasi.

4.2 Tanggung Jawab Perdata Pelaku UsahaDalam Pelanggaran Label Pangan

Produsen sebagai pelaku usaha mempunyai tugas dan kewajiban untuk ikut

serta menciptakan dan menjaga iklim usaha yang sehat yang menunjang bagi

pembangunan perekonomian nasional secara keseluruhan. Karena itu, kepada

produsen dibebankan tanggung jawab atas pelaksanaan tugas dan kewajiban itu, yaitu

melalui penerapan norma-norma hukum, kepatutan, dan menjunjung tinggi kebiasaan

yang berlaku di kalangan dunia usaha. Etika bisnis merupakan salah satu pedoman

bagi setiap pelaku usaha. Prinsip business is business , tidak dapat diterapkan, tetapi

harus dengan pemahaman atas prinsip bisnis untuk pembangunan. Jadi, sejauh

mungkin, pelaku usaha harus bekerja keras untuk menjadikan usahanya memberi

kontribusi pada peningkatan pembangunan nasional secara keseluruhan.

Kewajiban pelaku usaha untuk senantiasa beritikad baik dalam melakukan

kegiatannya (pasal 7 angka 1) berarti bahwa pelaku usaha ikut bertanggungjawab

Page 138: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

untuk menciptakan iklim yang sehat dalam berusaha demi menunjang pembangunan

nasional. Jelas ini adalah tanggung jawab publik yang diemban oleh seorang pelaku

usaha. Banyak ketentuan di dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini yang

bermaksud mengarahkan pelaku usaha untuk berperilaku sedemikian rupa dalam

rangka menyukseskan pembangunan ekonomi nasional, khususnnya di bidang usaha.

Atas setiap pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha maka kepadanya

dikenakan sanksi sebagai akibat hukum dari pelanggaran tersebut. Pemberian sanksi

sebagai akibat hukum pelanggaran ini penting, mengingat bahwa menciptakan iklim

berusaha yang sehat membutuhkan keseriusan dan ketegasan. Untuk ini sanksi

merupakan salah satu alat untuk mengembalikan keadaan pada keadaan semula

manakala telah terjadi pelanggaran (rehabilitasi) sekaligus sebagai alat preventif bagi

pengusaha lainnya sehingga tidak terulang lagi perbuatan yang sama.

Terkait dengan pelanggaran pada label produk pangan yang dilakukan pelaku

usaha, terdapat sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perlindungan

Konsumen, UU Pangan maupun PP No. 69 Tahun 1999. Sanksi ini dapat berupa

sanksi perdata, pidana maupun administratif.

Bagi pelaku usaha, selain dibebani kewajiban sebagaimana telah diuraikan

dalam bab sebelumnya ternyata juga dikenakan larangan-larangan sebagaimana

diatur dalam Pasal 8 sampai dengan 17 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen. Pasal 8 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen mengatur larangan bagi pelaku usaha yang sifatnya umum

dan secara garis besar dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu :

Page 139: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

a. Larangan mengenai produk itu sendiri, yang tidak memenuhi syarat dan

standar yang layak untuk dipergunakan atau dipakai atau dimanfaatkan oleh

konsumen.

b. Larangan mengenai ketersediaan informasi yang tidak benar, tidak akurat, dan

yang menyesatkan konsumen.

Masuk dalam kualifikasi larangan kedua ini adalah pelanggaran yang

dilakukan pelaku usaha dalam pelabelan.

Di samping adanya hak dan kewajiban yang perlu diperhatikan oleh pelaku

usaha, ada tanggung jawab produk (Product Liability) yang harus dipikul oleh pelaku

usaha sebagai bagian dari kewajiban yang mengikat kegiatannya dalam berusaha.

Sehingga diharapkan adanya kewajiban dari pelaku usaha untuk selalu bersikap hati-

hati dalam memproduksi barang/jasa yang dihasilkannya.

Tanggung jawab pelaku usaha atas kerugian konsumen dalam Undang-

Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, diatur khusus dalam

BAB VI, mulai dari Pasal 19 sampai dengan Pasal 28.

Pasal 19

(1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan,pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barangdan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.

(2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupapengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenisatau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberiansantunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undanganyang berlaku.

Page 140: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

(3) Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) harisetelah tanggal transaksi.

(4) Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkanpembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.

(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidakberlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahantersebut merupakan kesalahan konsumen.

Pasal 20

Pelaku usaha periklanan bertanggung jawab atas iklan yang diproduksi dansegala akibat yang ditimbulkan oleh iklan tersebut.

Pasal 21

(1) Importir barang bertanggung jawab sebagai pembuat barang yangdiimpor apabila importasi barang tersebut tidak dilakukan oleh agenatau perwakilan produsen luar negeri.

(2) Importir jasa bertanggung jawab sebagai penyedia jasa asing apabilapenyediaan jasa asing tersebut tidak dilakukan oleh agen atauperwakilan penyedia jasa asing.

Pasal 22

Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidanasebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (4), Pasal 20, dan Pasal 21merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutupkemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian.

Pasal 23

Pelaku usaha yang menolak dan/atau tidak memberi tanggapan dan/atautidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen sebagaimana dimaksuddalam Pasal 19 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), dapat digugatmelalui badan penyelesaian sengketa konsumen atau mengajukan ke badanperadilan di tempat kedudukan konsumen.

Pasal 24

Page 141: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

(1) Pelaku usaha yang menjual barang dan/atau jasa kepada pelaku usahalain bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatankonsumen apabila: a. pelaku usaha lain menjual kepada konsumen tanpamelakukan perubahan apa pun atas barang dan/atau jasa tersebut; b.pelaku usaha lain, di dalam transaksi jual beli tidak mengetahui adanyaperubahan barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh pelaku usaha atautidak sesuai dengan contoh, mutu, dan komposisi.

(2) Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebaskan daritanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumenapabila pelaku usaha lain yang membeli barang dan/atau jasa menjualkembali kepada konsumen dengan melakukan perubahan atas barangdan/atau jasa tersebut.

Pasal 25

(1) Pelaku usaha yang memproduksi barang yang pemanfaatannyaberkelanjutan dalam batas waktu sekurang-kurangnya 1 (satu) tahunwajib menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas purna jual dan wajibmemenuhi jaminan atau garansi sesuai dengan yang diperjanjikan.

(2) Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawabatas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelakuusaha tersebut : a. tidak menyediakan atau lalai menyediakan sukucadang dan/atau fasilitas perbaikan; b. tidak memenuhi atau gagalmemenuhi jaminan atau garansi yang diperjanjikan.

Pasal 26

Pelaku usaha yang memperdagangkan jasa wajib memenuhi jaminandan/atau garansi yang disepakati dan/atau yang diperjanjikan.

Pasal 27

Pelaku usaha yang memproduksi barang dibebaskan dari tanggung jawabatas kerugian yang diderita konsumen, apabila :

a. barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidakdimaksudkan untuk diedarkan;

b. cacat barang timbul pada kemudian hari;c. cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang;d. kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen;

Page 142: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

e. lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barangdibeli atau lewatnya jangka waktu yang diperjanjikan.

Pasal 28

Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugisebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23 merupakanbeban dan tanggung jawab pelaku usaha.

Memperhatikan substansi Pasal 19 ayat (1) Nomor 8 tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen, dapat diketahui bahwa tanggung jawab pelaku usaha

meliputi :

a. Tanggung jawab ganti kerugian atas kerusakan,

b. Tanggung jawab ganti kerugian atas pencemaran,

c. Tanggung jawab ganti kerugian atas kerugian konsumen.

Berdasarkan hal ini, maka adanya produk barang dan/atau jasa yang cacat

bukan merupakan satu-satunya dasar pertanggungjawaban pelaku usaha. Hal ini

berarti, bahwa tanggung jawab pelaku usaha meliputi segala kerugian yang dialami

konsumen.

Berbicara mengenai tanggung jawab, maka tidak lepas dari prinsip-prinsip

sebuah tanggung jawab, karena prinsip tentang tanggung jawab merupakan perihal

yang sangat penting dalam perlindungan konsumen. Secara umum prinsip-prinsip

tanggung jawab dalam hukum dapat dibedakan, yaitu :

a. Prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan (liability based on fault), yaitu

prinsip yang menyatakan bahwa seseorang baru dapat diminta

Page 143: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang

dilakukannya.97

Prinsip ini adalah prinsip yang cukup umum berlaku dalam hukum pidana dan

perdata. Dalam KUH Perdata, khususnya pasal 1365, 1366 dan 1367 prinsip ini

dipegang secara teguh. Pasal 1365 KUH Perdata lazim dikenal sebagai pasal

tentang perbuatan melanggar hukum, yang mempunyai empat unsur pokok, yaitu:

1. Adanya perbuatan

2. Adanya unsur kesalahan

3. Adanya kerugian yang diderita

4. Adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian.

Yang dimaksud dengan kesalahan adalah unsur yang bertentangan dengan

hukum. Pengertian “ hukum “ tidak hanya bertentangan dengan Undang-undang,

tetapi juga kepatutan dan kesusilaan dalam masyarakat.

Secara common sense, asas tanggung jawab ini dapat diterima karena adalah adil

bagi orang yang berbuat salah untuk mengganti kerugian bagi pihak korban.

Dengan kata lain, tidak adil jika orang yang tidak bersalah harus mengganti

kerugian yang diderita orang lain.

Mengenai pembagian beban pembuktiannya, asas ini mengikuti ketentuan pasal

163 HIR atau 283 Rbg dan pasal 1865 KUH Perdata. Disitu dikatakan, barang

siapa yang mengakui mempunyai hak, harus membuktikan adanya hak atau

97 Innosentius Samsul, 2004, Perlindungan Konsumen Kemungkinan Penerapan TanggungJawab Mutlak, Universitas Indonesia, Fakultas Hukum Pascasarjana, h. 48.

Page 144: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

peristiwa itu. Ketentuan diatas juga sejalan dengan teori umum dalam hukum

acara, yakni asas audi et altarem partem atau asas kedudukan yang sama antara

pihak yang berperkara.

b. Prinsip praduga untuk selalu bertanggungjawab (Presumption of libility), yaitu

prinsip yang menyatakan tergugat selalu dianggap bertanggung jawab sampai ia

dapat membuktikan, bahwa ia tidak bersalah, jadi beban pembuktian ada pada

tergugat. Pembuktian semacam ini lebih dikenal dengan sistem pembuktian

terbalik.

Undang-Undang Perlindungan Konsumen rupanya mengadopsi system

pembuktian ini, sebagaimana ditegaskan dalam pasal 19, 22, 23 dan 28.

Dasar pemikiran dari teori pembuktian terbalik ini adalah seseorang dianggap

bersalah, sampai yang bersangkutan dapat membuktikan sebaliknya. Hal ini tentu

bertentangan dengan asas hukum praduga tidak bersalah (presumption of

innocence) yang lazim dikenal dalam hukum.

Namun, jika diterapkan dalam kasus konsumen akan tampak, asas demikian

cukup relevan. Jika digunakan teori ini, maka yang berkewajiban untuk

membuktikan kesalahan itu ada dipihak pelaku usaha yang digugat. Tergugat ini

harus menghadirkan bukti-bukti dirinya tidak bersalah. Tentu saja konsumen

tidak lalu berarti dapat sekehendak hati mengajukan gugatan.

c. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab (Presumption of

nonliability), yaitu prinsip ini merupakan kebalikan dari prinsip praduga untuk

Page 145: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

selalu bertanggung jawab, di mana tergugat selalu dianggap tidak bertanggung

jawab sampai dibuktikan, bahwa ia bersalah.

d. Prinsip tanggung jawab mutlak (Strict libility).

Prinsip ini sering diidentikkan dengan prinsip tanggung jawab absolute (absolute

liability). Kendati demikian ada pula para ahli yang membedakan kedua

terminology diatas.

Ada pendapat yang mengatakan, strict liability adalah prinsip tanggung jawab

yang menetapkan kesalahan tidak sebagai factor yang menentukan. Namun ada

pengecualian-pengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskan dari tanggung

jawab, misalnya keadaan force majeur. Sebaliknya, absolute liability adalah

prinsip tanggung jawab tanpa kesalahan dan tidak ada pengecualiaannya. Selain

itu ada pandangan yang agak mirip, yang mengaitkan perbedaan kedua pada ada

tidaknya hubungan kausalitas antara subjek yang bertanggungjawab dan

kesalahannya. Pada strict liability, hubungan itu harus ada, sementara pada

absolute liability, hubungan itu tidak selalu ada. Maksudnya, pada absolute

liability, dapat saja si tergugat yang dimintai pertanggungjawaban itu bukan si

pelaku langsung kesalahan tersebut (misalnya dalam kasus bencana alam).

Menurut R.C. Hoeber et.al, biasanya prinsip tanggungjawab mutlak ini diterapkan

karena (1) konsumen tidak berada dalam posisi menguntungkan untuk

membuktikan adanya kesalahan dalam suatu proses produksi dan distribusi yang

kompleks, (2) diasumsikan produsen lebih dapat mengantisipasi jika sewaktu-

waktu ada gugatan atas kesalahannya, misalnya dengan asuransi atau menambah

Page 146: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

komponen biaya tertentu pada harga produknya, (3) asas ini dapat memaksa

produsen lebih berhati-hati.

Prinsip tanggung jawab mutlak dalam hukum perlindungan konsumen secara

umum digunakan untuk “ menjerat “ pelaku usaha, khususnya produsen barang,

yang memasarkan produknya yang merugikan konsumen. Asas tanggung jawab

itu dikenal dengan nama product liability. Menurut asas ini, produsen wajib

bertanggungjawab atas kerugian yang diderita konsumen atas penggunaan produk

yang dipasarkannya. Gugatan product liability dapat dilakukan berdasarkan tiga

hal :

(1) Melanggar jaminan (breach of warranty), misalnya khasiat yang timbul tidak

sesuai dengan janji yang tertera dalam kemasan produk;

(2) Ada unsur kelalaian (negligence), yaitu produsen lalai memenuhi standar

pembuatan produk yang baik;

(3) Menerapkan tanggung jawab mutlak (strict liability).

Variasi yang sedikit berbeda dalam penerapan tanggung jawab mutlak terletak

pada risk liability. Dalam risk liability, kewajiban mengganti rugi dibebankan

kepada pihak yang menimbulkan risiko adanya kerugian itu. Namun, penggugat

(konsumen) tetap diberikan beban pembuktian, walaupun tidak sebesar si

tergugat. Dalam hal ini, ia hanya perlu membuktikan adanya hubungan kausalitas

antara perbuatan pelaku usaha dan kerugian yang dideritannya. Selebihnya

diterapkan strict liability.

e. Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (limitation of liability).

Page 147: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

Prinsip ini sangat disenangi oleh pelaku usaha untuk dicantumkan sebagai klausul

eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya. Prinsip tanggung jawab

dengan pembatasan ini sangat merugikan konsumen bila ditetapkan secara

sepihak oleh pelaku usaha. Dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen seharusnya pelaku usaha tidak boleh secara sepihak menentukan

klausul yang merugikan konsumen, termasuk membatasi maksimal tanggung

jawabnya. Jika ada pembatasan mutlak harus berdasarkan pada peraturan

perundang-undangan.

Kembali pada ulasan mengenai product liability. Istilah product liability

diterjemahkan secara bervariasi ke dalam bahasa Indonesia seperti “ tanggung gugat

produk “ atau juga “ tanggung jawab produk “.

Secara historis product liabity lahir karena ada ketidak seimbangan tanggung

jawab antara produsen dan konsumen, dimana produsen yang pada awalnya

menerapkan strategi product oriented dalam pemasaran produknya, harus mengubah

strateginya menjadi consumer oriented.

Revolusi industry yang melanda Eropa dan kemudian menyebar ke daratan

Amerika Serikat menitik beratkan production centered development , dengan basis

utamanya adalah industrialisasi. Tujuan pembangunan adalah pencapaian

pertumbuhan ekonomi semaksimal mungkin, dengan memperbesar saving, sementara

Page 148: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

capital output ratio ditekan serendah-rendahnya. Orientasi kegiatan terarah kepada

mekanisme pasar, dan optimalisasi penumpukan dan pemanfaatan capital.98

Produsen lalu secara bebas dan leluasa memproduksi barang dan

melemparkan hasil produksinya itu ke pasar tanpa perlu mencermati kualitas dan

mutu barang. Pihak konsumenlah yang dituntut untuk bersikap waspada dan hati-hati

dalam membeli barang-barang tersebut demi keselamatan dirinya. Hal ini sesuai

dengan adagium yang berlaku waktu itu : caveat emptor konsumen selaku pembeli

haruslah berhati-hati.

Perkembangan sejarah dunia kemudian mencatat tumbuhnya kesadaran dunia

akan martabat manusia yang perlu dihormati. Hak-hak asasi manusia diperjuangkan

dan diberi tempat yang tinggi dalam peradaban manusia. Tuntutan penghormatan

akan hak-hak asasi ini melanda juga dunia industry dan perdagangan, sehingga

mengakibatkan bergesernya adagium caveat emptor menjadi caveat venditor

produsenlah yang harus cermat dan berhati-hati dalam menghasilkan dan

memasarkan barang-barangnya. Adagium caveat venditor mewajibkan pabrik dan

produsen sebagai penjual bersikap cermat, agar barang-barang hasil produksinya

tidak mendatangkan kerugian bagi kesehatan dan keselamatan konsumen, karena

pihak konsumen memiliki hak asasi untuk mendapatkan barang-barang yang tidak

mengandung cacat. Dalam suasana perdagangan inilah product liability sebagai

instrument hukum perlindungan konsumen lahir.

98 John Pieris dan Wiwik Sri Widiarty, 2007, Negara Hukum dan Perlindungan Konsumenterhadap Produk Pangan Kadaluarsa, Pelangi Cendikia, Jakarta, h. 86.

Page 149: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

Pengertian product liability dapat ditemukan pada beberapa sumber berikut,

Henry Campbell dalam Black’s Law Dictionary mendefinisikan product liability

sebagai berikut :

Refers to the legal liability of manufacturers and sellers to compensate buyers,users, and even bystanders, for damages or injuries suffered because of defect ingood purchase.

Menurut Natalie O’Connor :

Product Liability, These were designed to protect the consumer from faulty ordefective goods by imposing strict liability upon manufacturers.

Menurut Hursh :

Product liability is the liability of manufacturer, processor or nonmanufacturingseller for injury to the person or property of a buyer or third party, caused byproduct which has been sold.

Perkins Coie menyatakan :

Product Liability is the liability of the manufacturer or others in the chain ofdistribution of a product to a person injured by the use of product.

Sedangkan dalam convention on the Law Applicable to Products Liability

(The Hague Convention), article 3 menyatakan:

This convention shall applay to the liability of the following persons:1. manufacturers of a finished product or of a component part;2. producers of a natural product;3. suppliers of a product;4. other persons, including repairers, and warehousemen, in the commercial

chain of preparation or distribution of a product. It shall also apply to theliability oh the agents or employees of the persons specified above.

Page 150: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

Dengan demikian, yang dimaksud dengan product Liability adalah suatu

tanggung jawab secara hukum dari orang atau badan yang menghasilkan suatu produk

(producer, manufacture) atau dari orang atau badan yang bergerak dalam suatu

proses untuk menghasilkan suatu produk (processor, assembler) atau orang atau

badan yang menjual atau mendistribusikan produk tersebut.

Bahkan jika dilihat dari konvensi tentang product Liability di atas, berlakunya

konvensi tersebut diperluas terhadap orang/badan yang terlibat dalam rangkaian

komersial tentang persiapan atau penyebaran dari produk, termasuk para pengusaha

bengkel dan pergudangan. Demikian juga dengan para agen dan pekerja dari badan-

badan usaha di atas.

Tanggung jawab tersebut sehubungan dengan produk yang cacat sehingga

menyebabkan atau turut menyebabkan kerugian bagi pihak lain (konsumen), baik

kerugian badaniah, kematian maupun harta benda.

Tanggung jawab produk cacat berbeda dengan tanggung jawab terhadap hal-hal

yang sudah kita kenal selama ini. Tanggung jawab produk, barang dan jasa

meletakkan beban tanggung jawab pembuktian produk itu kepada pelaku usaha

pembuat produk (produsen) itu (Strict Liability). Hal ini dapat kita lihat dalam

ketentuan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen yang mengatur bahwa pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan

dalam perkara ini, menjadi beban dan tanggung pelaku usaha.

Kerugian yang diderita oleh seorang pemakai produk yang cacat atau

membahayakan, bahkan juga pemakai yang turut menjadi korban, merupakan

Page 151: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

tanggung jawab mutlak pelaku usaha pembuat produk itu sebagaimana diatur dalam

pasal 19 Undang-Undang Perlindungan Konsumen.

Dengan penerapan tanggung jawab mutlak produk ini, pelaku usaha pembuat

produk atau yang dipersamakan dengannya, dianggap bersalah atas terjadinya

kerugian pada konsumen pemakai produk, kecuali dia dapat membuktikan keadaan

sebaliknya, bahwa kerugian yang terjadi tidak dapat di persalahkan kepadanya.

Pada dasarnya konsepsi tanggung jawab produk ini, secara umum tidak jauh

berbeda dengan konsepsi tanggung jawab sebagaiman diatur dalam ketentuan Pasal

1365 (dan 1865) KUHPerdata. Perbedaannya adalah bahwa tanggung jawab produsen

untuk memberikan ganti rugi diperoleh, setelah pihak yang menderita kerugian dapat

membuktikan bahwa cacatnya produk tersebut serta kerugian yang timbul merupakan

akibat kesalahan yang dilakukan oleh produsen.

Perbedaan lainnya adalah ketentuan ini tidak secara tegas mengatur pemberian

ganti rugi atau beban pembuktian kepada konsumen, melainkan kepada pihak

manapun yang mempunyai hubungan hukum dengan produsen, apakah sebagai

konsumen, sesama produsen, penyalur, pedagang atau instansi lain.

Pertimbangan-pertimbangan yuridis yang menyebabkan urgenitas penerapan

instrumen hukum product liability :

1. Hak para konsumen Indonesia yang bagian terbesar adalah rakyat sederhana

perlu ditegakkan sebagai konsekuensi penghormatan hak asasi manusia.

Page 152: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

2. Agreement Establishing the World Trade Organization (WTO) yang telah

diratifikasi Indonesia, pada prinsipnya menekankan adanya keterkaitan yang

saling menguntungkan antara produsen dan konsumen.

3. Tata hukum positif tradisional yang masih berlaku di Indonesia selama ini,

tidak memberikan solusi terhadap kasus-kasus pelanggaran hak konsumen.

Tata hukum positif nasional hanya menyediakan dua sarana penyelesaian

kasus gugatan oleh konsumen yang mengalami kerugian yaitu instrumen

hukum wanprestasi (pasal 1243 KUH Perdata) instrumen hukum perbuatan

melangaar hukum (pasal 1365 KUHPerdata).

4. Tanggung jawab produk ini memang riil dibutuhkan mengingat pada tanggung

jawab produk ini tidak mengharuskan adanya hubungan kotraktuil antara

produsen dan konsumen, disamping juga adanya pembuktian terbalik oleh

pelaku usaha.

5. Seturut dengan teori fungsional dari hukum adalah bahwa hukum merupakan

instrumen pengatur masyarakat untuk mencapai tujuan tertentu. Hukum

haruslah menjadi sarana rekayasa sosial yang oleh Roscoeu Pound hukum

adalah a tool of social engineering

Selain hal tersebut diatas, ada alasan-alasan lain yang memperkuat penerapan

prinsip strict liability tersebut yang didasarkan pada prinsip Social Climate Theory,

yaitu :

1. Manufacturer adalah pihak yang berada dalam posisi keuangan yang lebih baik

untuk menanggung beban kerugian, dan pada setiap kasus yan

Page 153: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

mengharuskannya mengganti kerugian dia akan meneruskan kerugian tersebut

dan membagi resikonya kepada banyak pihak dengan cara menutup asuransi

yang preminya dimasukkan ke dalam perhitungan harga dari barang hasil

produksinya. Hal ini dikenal dengan deep pockets theory.

2. Terdapatnya kesulitan dalam membuktikan adanya unsur kesalahan dalam

suatu proses manufacturing yang demikian kompleks pada perusahaan besar

(industri) bagi seorang konsumen/korban/penggugat secara individual.

Dalam hukum tentang product liability, pihak korban/konsumen yang akan

menuntut kompensasi pada dasarnya hanya diharuskan menunjukkan tiga hal :

pertama, bahwa produk tersebut telah cacat pada waktu diserahkan oleh produsen,

kedua, bahwa cacat tersebut telah menyebabkan atau turut menyebabkan

kerugian/kecelakaan, ketiga, adanya kerugian.

Namun juga diakui secara umum bahwa pihak korban/konsumen harus

menunjukkan bahwa pada waktu terjadinya kerugian, produk tersebut pada

prinsipnya berada dalam keadaan seperti waktu diserahkan oleh produsen (artinya

tidak ada modifikasi-modifikasi).

Meskipun sistem tanggung jawab pada product liability berlaku prinsip strict

liability, pihak produsen dapat membebaskan diri dari tanggung jawabnya, baik untuk

seluruhnya atau untuk sebagian.

Hal-hal yang dapat membebaskan tanggung jawab produsen tersebut adalah :

a. Jika produsen tidak mengedarkan produknya (put into circulation),

Page 154: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

b. Cacat yang menyebabkan kerugian tersebut tidak ada pada saat produk

diedarkan oleh produsen, atau terjadinya cacat tersebut baru timbul kemudian,

c. Bahwa produk tersebut tidak dibuat oleh produsen baik untuk dijual atau

diedarkan untuk tujuan ekonomis maupun dibuat atau diedarkan dalam rangka

bisnis,

d. Bahwa terjadinya cacat pada produk tersebut akibat keharusan memenuhi

kewajiban yang ditentukan dalam peraturan yang dikeluarkan oleh

pemerintah,

e. Bahwa secara ilmiah dan teknis (state of scintific an technical knowledge,

state or art defense) pada saat produk tersebut diedarkan tidak mungkin cacat,

f. Dalam hal produsen dari suatu komponen, bahwa cacat tersebut disebabkan

oleh desain dari produk itu sendiri dimana komponen telah dicocokkan atau

disebabkan kesalahan pada petunjuk yang diberikan oleh pihak produsen

tersebut,

g. Bila pihak yang menderita kerugian atau pihak ketiga turut menyebabkan

terjadinya kerugian tersebut (contributory negligence),

h. Kerugian yang terjadi diakibatkan oleh Acts of God atau force majeur.

Dengan diberlakukannya prinsip strict liability diharapkan para produsen dan

industriawan di Indonesia menyadari betapa pentingnya menjaga kualitas produk

yang dihasilkannya, sebab bila tidak selain akan merugikan konsumen juga akan

sangat besar risiko yang harus ditanggungnya. Para produsen akan lebih berhati-hati

Page 155: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

dalam memproduksi barangnya sebelum dilempar ke pasaran sehingga konsumen,

baik dalam maupun luar negeri tidak akan ragu-ragu membeli produksi Indoensia.

Namun demikian, dengan berlakunya prinsip strict liability dalam hukum

tentang product liability tidak berarti pihak produsen tidak mendapat perlindungan.

Pihak produsen juga dapat mengasuransikan tanggung jawabnya sehingga secara

ekonomis dia tidak mengalami kerugian yang berarti.

Pentingnya hukum tentang tanggung jawab produsen (product liability) yang

menganut prinsip tanggung mutlak (strict liability) dalam mengantisipasi

kecenderungan dunia dewasa ini yang lebih menaruh perhatian pada perlindungan

konsumen dari kerugian yang diderita akibat produk yang cacat. Hal ini disebabkan

karena sistem hukum yang berlaku dewasa ini dipandang terlalu menguntungkan

pihak produsen, sementara produsen memiliki posisi ekonomis yang lebih kuat.

4.3 Tanggung Jawab Pidana Pelaku Usaha Dalam Pelanggaran Label Pangan

Disamping mempunyai aspek keperdataan, hukum perlindungan konsumen

juga mempunyai aspek pidana. Karena itu, hukum perlindungan konsumen adalah

juga bagian dari hukum pidana. Jelasnya, hak-hak konsumen sebagaimana disebutkan

di atas ada yang bernuansa publik sehingga dapat dipertahankan melalui hukum

pidana. Perbuatan produsen yang menimbulkan kerugian kepada konsumen dalam

tingkatan dan kompleksitas tertentu mungkin saja berdimensi kejahatan. Artinya,

perbuatan produsen yang merugikan/melanggar hak konsumen yang bertentangan

Page 156: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

dengan norma-norma hukum pidana dapat dikategorikan sebagai tindak pidana,

karena itu diselesaikan dengan hukum pidana dan memakai instrument pidana.

Mengenai penerapan hukum pidana dalam upaya mewujudkan hak-hak

konsumen, David Tench menuliskan pengalaman di negaranya sebagai berikut :99

With the great expansion in consumer law we have experience to our greatsatisfaction mostly-in recent years we are now beginning to wonder whetherthe criminal law is the right way to control commercial behavior in the marketplace. Obviously, where questions are involved, the criminal law will benecessary, and consumers will always require some part of consumer law toremain criminal.

Penuturan David Tench diatas, menunjukkan keampuhan hukum pidana

dalam menanggulangi perilaku-perilaku curang para pelaku ekonomi, khususnya

bidang hukum ekonomi, yang umumnya dimuat dalam bagian akhir dari undang-

undang tersebut, menunjukkan fungsi hukum sebagai pengendali.

Penerapan norma-norma hukum pidana seperti yang termuat dalam KUH

Pidana atau diluar KUH Pidana sepenuhnya diselenggarakan oleh alat-alat

perlengkapan Negara yang diberikan wewenang oleh Undang-undang untuk itu. UU

No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP (LN 1981 No. 76) menetapkan setiap Pejabat

Polisi Negara Republik Indonesia berwenang untuk melakukan tindakan penyelidikan

dan penyidikan atas suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana. Disamping

polisi, pegawai negeri sipil tertentu juga diberi wewenang khusus untuk melakukan

tindak penyelidikan.

99 Janus Sidabalok, op.cit, h. 59.

Page 157: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

Penerapan KUHPidana dan peraturan perundang-undangan lain yang

berkaitan dengan tindak pidana oleh badan-badan tata usaha negara memang

menguntungkan bagi perlindungan konsumen. Oleh karena itu keseluruhan proses

perkara menjadi wewenang dan tanggung jawab pemerintah.

Konsumen yang karena tindak pidana tersebut menderita kerugian, sangat

terbantu dalam mengajukan gugatan perdata ganti ruginya. Berdasarkan hukum atau

kenyataan beban pembuktian yang diatur dalam Pasal 1865 KUHPerdata sangat

memberatkan konsumen. Oleh karena itu fungsi perlindungan sebagian kepentingan

konsumen penerapannya perlu mengeluarkan tenaga dan biaya untuk pembuktian

peristiwa atau perbuatan melanggar hukum pelaku tindak pidana.

Di dalam KUH Pidana tidak disebutkan kata “ konsumen “. Kendati

demikian, secara implisit dapat ditarik beberapa pasal yang memberikan perlindungan

hukum bagi konsumen, antara lain :

- Pasal 204 ayat (1) menyatakan : “Barangsiapa menjual, menawarkan,menerimakan, atau membagi-bagikan barang, sedang diketahuinya bahwa barangitu berbahaya bagi jiwa atau keselamatan orang dan sifatnya yang berbahaya itudidiamkannya dihukum pernjara selama-lamanya lima belas tahun.”

- Pasal 204 ayat (2) dalam pasal ini menentukan : “Kalau ada orang mati lantaranperbuatan itu si tersalah dihukum penjara seumur hidup atau penjara selama-lamanya dua puluh tahun.”

- Pasal 205 ayat (1) menyatakan : “Barangsiapa karena salahnya menyebabkanbarang yang berbahaya bagi jiwa atau kesehatan orang, terjual, diterimakan ataudibagi-bagikan , sedang si pembeli atau yang memperolehnya tidak mengetahuiakan sifatnya yang berbahaya itu, dihukum penjara selama-lamanya sembilanbulan atau kurungan selamalamanya enam bulan atau denda sebanyak-banyaknyaRp.4.500,- (empat ribu lima ratus rupiah).”

Page 158: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

- Pasal 205 ayat (2) dari pasal ini menyatakan : “Kalau ada orang mati lantaran itu,maka si tersalah dihukum penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan ataukurungan selama-lamanya satu tahun.”

- Pasal 205 ayat (3) menyatakan : “Barang-barang itu dapat dirampas.”

- Pasal 382 bis menyatakan : “Barangsiapa melakukan perbuatan menipu untukmengelirukan orang banyak atau seseorang yang tertentu dengan maksud akanmendirikan atau membesarkan hasil perdagangannya atau perusahaannya sendiriatau kepunyaan orang lain, dihukum, karena bersaing curang, dengan hukumanpenjara selama-lamanya satu tahun empat bulan atau denda sebanyak-banyaknyaRp.13.500,- (tiga belas ribu lima ratus rupiah) jika hal itu dapat menimbulkansesuatu kerugian bagi saingannya sendiri atau saingan orang lain.”

- Pasal 383 menyatakan : “Dengan hukuman penjara selama-lamanya satu tahunempat bulan dihukum penjual yang menipu pembeli yaitu yang sengajamenyerahkan barang lain daripada yang telah ditunjuk oleh pembeli dan tentangkeadaan, sifat atau banyaknya barang yang diserahkan itu dengan memakai alatdan tipu muslihat.”

- Pasal 386 ayat (1) menyatakan : “Barangsiapa menjual, menawarkan ataumenyerahkan barang makanan atau minuman atau obat, sedang diketahuinyabahwa barang itu dipalsukan dan kepalsuan itu disembunyikan, dihukum penjaraselama-lamanya empat tahun.”

- Pasal 386 ayat (2) dari pasal ini menyebutkan : “Barang makanan atau minumanatau obat itu dipandang palsu, kalau harganya atau gunanya menjadi kurang sebabsudah dicampuri dengan zat-zat lain.”

- Pasal 387 ayat (1) menyatakan : “Dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuhtahun dihukum seorang pemborong atau ahli bangunan dari suatu pekerjaan ataupenjual bahan-bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan-bahanbangunan itu melakukan suatu alat tipu, yang dapat mendatangkan bahaya bagikeselamatan negara pada waktu ada perang.”

- Pasal 387 ayat (2) dari pasal ini mengatur dengan hukuman itu juga dihukum : “Barangsiapa diwajibkan mengawas-ngawasi pekerjaan atau penyerahan bahan-bahan bangunan itu dengan sengaja membiarkan akal tipu tadi.”

- Pasal 390 menyatakan : “Barangsiapa dengan maksud hendak menguntungkandiri sendiri atau orang lain dengan melawan hak, menurunkan atau menaikkan

Page 159: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

harga barang dagangan, fonds atau surat berharga uang dengan menyiarkan kabarbohong, dihukum penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan.”

Pasal 204 dan 205 KUHPidana dimaksudkan adalah jika pelaku usaha

melakukan perbuatan-perbuatan tersebut, sedang pelaku usaha itu mengetahui dan

menyadari bahwa barang-barang itu berbahaya bagi jiwa atau kesehatan si pemakai

barang dimana pihak pelaku usaha (produsen) tidak mengatakan atau menjelaskan

tentang sifat bahaya dari barangbarang tersebut, tapi jika pelaku usaha yang akan

menjual barang yang berbahaya bagi jiwa dan kesehatan, mengatakan terus terang

kepada konsumen tentang sifat berbahaya itu maka tidak dikenakan pasal ini.

Dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen hal ini tercantum dalam

pasal 18. Barang-barang yang termasuk dalam pasal 204 dan 205 KUHPidana

tersebut misalnya makanan, minuman, alat-alat tulis, bedak, cat rambut, cat bibir dan

sebagainya. Sedangkan dalam pasal 382 bis dan 383, 387, 390 KUHPidana dalam

pasal 382 bis, yaitu adanya persaingan yang curang dimana pelaku usaha melakukan

suatu perbuatan menipu konsumen baik konsumen itu terdiri dari publik atau seorang

yang tertentu. Perbuatan itu dilakukan untuk menarik suatu keuntungan di dalam

perdagangan yang dapat menimbulkan kerugian bagi pelaku usaha lainnya.

Pasal 383 adanya perbuatan penjual menipu pembeli misalnya saja

kualitas/mutu suatu barang dimana penjual barangnya yang sudah lama/tua kepada

pembeli dan mengatakannya pada pembeli bahwa barang tersebut adalah barang baru.

Pasal 386 adanya perbuatan yang dilakukan oleh penjual dengan menjual

barang palsu dan kepalsuan tersebut disembunyikan oleh pihak penjual. Misalnya

Page 160: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

penjual memalsukan barang makanan atau minuman dengan cara membuat barang

lain yang hampir serupa, atau menyampurinya dengan bahan-bahan lain sehingga

harga, kekuatan, guna atau kemanjurannya dapat berkurang.

Pasal 387 adanya perbuatan penipuan yang dilakukan pihak pemborong atau

ahli bangunan yang dapat membahayakan jiwa orang lain, misalnya suatu gedung

yang baru dibangun, roboh karena tidak kuatnya pondasi dari bangunan, hal ini bisa

terjadi karena bahan-bahan yang digunakan tidak memadai hal tersebut terjadi karena

adanya perbuatan penipuan dari seorang pemborong atau ahli bangunan, sehingga

merugikan masyarakat.

Pasal 390 adanya perbuatan yang dilakukan oleh pelaku usaha yaitu

menyiarkan kabar bohong yaitu dengan cara mempromosikan atau mengiklankan

harga atau tarif suatu barang/jasa, tanggung atau jaminan, hak ganti rugi atau suatu

barang dan jasa, adanya penawaran potongan harga atau hadiah menarik.

Sanksi pidana dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen diatur dalam

pasal 61, 62 dan 63.

Pasal 61 :

Penuntutan pidana dapat dilakukan terhadap pelaku usaha dan/ataupengurusnya

Ketentuan ini jelas memperlihatkan suatu bentuk pertanggungjawaban pidana

yang tidak daja dapat dikenakan kepada pengurus tetapi juga kepada perusahaan. Hal

ini menurut Nurmandjito merupakan upaya yang bertujuan menciptakan sistem bagi

Page 161: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

perlindungan konsumen. 100 Melalui ketentuan pasal ini perusahaan dinyatakan

sebagai subjek hukum pidana.

Pasal 62 :

(1) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalamPasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1)huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2), dan Pasal 18 dipidana denganpidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda palingbanyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

(2) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalamPasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 16, dan Pasal 17 ayat(1) huruf d dan huruf f dipidana dengan pidana penjara paling lama 2(dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (limaratus juta rupiah).

(3) Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacattetap atau kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku.

Ketentuan pasal 62 ini memberlakukan dua aturan hukum sesuai tingkat

pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha, yaitu pelanggaran yang

mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap, atau kematian diberlakukan

ketentuan hukum pidana sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana (KUHP), sementara di luar dari tingkat pelanggaran tersebut berlaku

ketentuan pidana tersebut dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Dengan

demikian, terhadap ilustrasi yang dikemukakan berkenaan dengan ketentuan pasal 61

sebelumnya, persoalan pidananya diselesaikan berdasarkan ketentuan KUHP

sepanjang akibat perbuatan pidana yang dilakukan oleh PT sebagai subjek hukum,

memenuhi kualifikasi luka berat, sakit berat, cacat tetap, atau kematian konsumen.

100 Nurmandjito, Op.cit, hal. 30.

Page 162: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

Hal lain yang juga dapat diketahui dari ketentuan ini, bahwa sanksi pidana

yang dikenal dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen ada 2 (dua) tingkatan,

yaitu sanksi pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling

banyak sebesar Rp. 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah), dan sanksi pidana penjara

paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima

ratus juta rupiah).

Khusus menyangkut istilah pelanggaran yang dipergunakan dalam rumusan

pasal 62, khususnya pasal 62 ayat (3) masih perlu ditinjau kembali karena akibat-

akibat dari pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 62 ayat (3) tersebut, di

dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dikualifikasi sebagai

kejahatan.

Sanksi pidana yang berupa denda sebagaimana dikemukakan diatas, dalam

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) termasuk dalam jenis hukuman

pokok, sebagaimana dapat dilihat dalam pasal 10 yang menentukan bahwa :

Hukuman-hukuman ialah :

a. Hukuman-hukuman pokok :

1. Hukuman mati,

2. Hukuman penjara,

3. Hukuman kurungan,

4. Hukuman denda.

b. Hukuman-hukuman tambahan ;

1. Pencabutan beberapa hak tertentu,

Page 163: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

2. Perampasan barang tertentu

3. Pengumuman keputusan hakim.

Menjadi masalah apabila sanksi pidana berupa denda yang dijatuhkan atas

perbuatan pidana yang dilakukan pelaku usaha berbadan hukum, hanya dipandang

sekedar “ ongkos “ sebagaimana halnya ongkos yang harus dikeluarkan dalam rangka

operasional produksi suatu perusahaan. Demikian hal ini lebih jelasnya dikemukakan

oleh Susanto bahwa, melihat praktek penegakan hukum terhadap pelanggaran-

pelanggaran yang dilakukan korporasi,agaknya bagi korporasi, pelanggaran hukum

hanya dipandang sekadar ongkos, yakni biaya atau pengurangan dari keuntungan “

melalui denda “ yang dikalkulasikan dan diperhitungkan sebelumnya dengan cara

yang sama seperti halnya dengan setiap ongkos yang harus dikeluarkan untuk

menghasilkan dan memasarkan produk dari korporasi yang bersangkutan.

Adanya pidana denda yang dipandang sebagai sekedar ongkos operasional

produksi atau pemasaran seperti itu, aan mengakibatkan perusahaan sebagai subjek

hukum pidana tidak menjadi jera atau sanksi pidana yang dimaksud tidak mengubah

perilaku perusahaan yang dimaksud. Akibatnya perbuatan pidana dapat selalu

berulang. Jika hal ini terjadi berarti sanksi pidana denda saja, masih belum cukup-

teristimewa sanksi pidana denda yang dimaksud jumlahnya kecil-sehingga harus ada

pertimbangan terhadap kemungkinannya memberikan sanksi tambahan sebagaimana

diatur dalam pasal 63 UUPK.

Pasal 63

Page 164: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

Terhadap sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62, dapatdijatuhkan hukuman tambahan, berupa:a. perampasan barang tertentu;b. pengumuman keputusan hakim;c. pembayaran ganti rugi;d. perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya

kerugian konsumen;e. kewajiban penarikan barang dari peredaran; atauf. pencabutan izin usaha.

4.4 Tanggung Jawab Administrasi Pelaku Usaha

Dalam Pelanggaran Label Pangan

Di atas sudah diuraikan bahwa Pemerintah memegang peranan penting dalam

upaya mewujudkan perlindungan hukum atas hak-hak konsumen, sebagaimana tipe

Negara kesejahteraan. Peranan itu dapat dimainkan dalam tiga hal, yaitu regulasi,

kontrol penaatan hukum/peraturan (termasuk punishment), dan social engineering.

Pemerintah dalam permasalahan konsumen tidak bisa lepas tangan, dimana telah

menjadi kewajiban Pemerintah untuk memperhatikannya sesuai dengan tujuan

Negara yang tercantum dalam konstitusi Undang-Undang Dasar 1945. Negara wajib

melindungi segenap bangsa Indonesia, dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk

memajukan kesejahteraan umum, perlindungan konsumen dan penanganan masalah

konsumen merupakan bagian tugas dari memajukan kesejahteraan umum secara luas.

101

Di bidang regulasi, Pemerintah dapat mengambil peran melalui

pembuatan/penciptaan peraturan-peraturan yang berisikan pengakuan dan penegasan

101 Muhammad Djumhana, 1994, Hukum Ekonomi Sosial Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti,Bandung, h. 345.

Page 165: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

hak-hak konsumen yang harus dihormati oleh pihak lain. Misalnya, membuat

sejumlah peraturan yang harus dipenuhi oleh produsen dalam rangka memproduksi

dan mengedarkan produknya ke masyarakat. Termasuk dalam hal ini adalah

penggunaan bahan baku, tahapan-tahapan produksi (pengolahan), pengemasan,

pengangkutan, promosi, label dan periklanan, serta harga.

Kemudian, Pemerintah perlu mengontrol / mengawasi penaatan terhadap

peraturan-peraturan tadi. Sekedar membuat peraturan tanpa mengawasi

pelaksanaannya di lapangan tidaklah bermanfaat banyak. Justru yang paling penting

itu adalah bagaimana produsen menaati peraturan tersebut di dalam usahanya

memproduksi dan mengedarkan produknya. Dengan demikian, jangan sampai beredar

ke masyarakat produk yang tidak memenuhi syarat (standar), yang kemudian dapat

merugikan konsumen. Dalam kaitan ini, Agnes M. Toar mengatakan bahwa

meskipun sudah banyak peraturan mengenai perlindungan konsumen, namun kontrol

penaatan peraturan tersebut (masih) sangat kurang.

Kontrol penaatan peraturan ini menjadi penting apabila berkaitan dengan

produk yang berhubungan erat dengan kesehatan dan keselamatan manusia, seperti

produk pangan. Tentu tidak perlu menunggu lebih dahulu jatuh korban keracunan

makan baru kemudian dilakukan pemeriksaan terhadap sarana dan prasarana

produksinya. Akan tetapi, aparat Negara yang bertugas dan berwenang untuk ini

harus proaktif memeriksa dan mengawasi proses produksi dan peredaran pangan

tersebut.

Page 166: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

Pelaksanaan peraturan perlindungan konsumen juga menjadi penting dalam

kaitannya dengan pemberian hukuman (punishment) atas setiap pelanggaran

ketentuan yang berlaku. Pemberian hukuman ini kadang kala menjadi suatu

keharusan apabila pelanggaran itu sudah sedemikian rupa supaya tidak terulang lagu

dan atau pihak lain tidak mengulanginya. Hukuman atau sanksi yang diberikan oleh

Pemerintah ini berupa sanksi administratif yang dapat diterapkan secara berjenjang

mulai dari teguran/peringatan, denda, sampai pada pencabutan ijin usaha.

Akhirnya, faktor yang juga tidak kalah penting adalah faktor situasi dan

kondisi yang memungkinkan produsen melakukannya dengan baik sekaligus yang

memungkinkan untuk memperoleh hak-haknya. Artinya, harus tercipta iklim yang

kondusif (bagi produsen) yang memberi kesempatan baginya untuk berperilaku sesuai

dengan peraturan yang ada. Kondisi seperti tentulah tidak muncul begitu saja, tetapi

harus diciptakan oleh Pemerintah. Tegasnya pihak Pemerintah harus memberi

kebebasan yang cukup bagi produsen untuk memenuhi aturan hukum yang ada.

Kesalahan Pemerintah di tahun-tahun sebelumnya adalah terlalu banyak pungutan

yang dibebankan kepada produsen sehingga menimbulkan biaya tinggi, yang

kemudian oleh produsen dijawab dengan tawaran berkolusi, yang pada gilirannya

dapat merugikan konsumen dan bahkan kehidupan berbangsa secara umum.

Kemudian, perlu juga iklim yang kondusif bagi konsumen untuk menuntut

haknya manakala konsumen telah menderita kerugian karena memakai atau

mengonsumsi produk. Artinya, jika konsumen bermaksud mempertahankan atau

menuntut haknya, seharusnya ia mendapat dukungan yang positif dari lembaga

Page 167: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

eksekutif dan lembaga-lembaga Negara lainnya yang terkait. Tidak seharusnya aparat

Pemerintah atau aparat keamanan berdiri di belakang produsen yang diduga

merugikan konsumen, tetapi harus mengambil posisi yang netral. Aneh sekali kalau

sekelompok konsumen menuntut haknya kepada produsen lalu pejabat Pemerintah

berdiri sebagai juru bicara produsen yang menegaskan bahwa produsen tidak

bersalah. Kecenderungan masyarakat berdelegasi ke Dewan Perwakilan Rakyat

(daerah atau pusat) antara lain disebabkan oleh praktik ini, dimana lembaga

Pemerintahan dirasa sudah tidak netral lagi.

Berjalannya pengadilan sesuai dengan harapan masyarakat pencari keadilan

juga banyak dipengaruhi oleh kondisi sosial politik suatu Negara. Oleh karena itu,

adalah tugas Pemerintah pula untuk menciptakan suasana sosial politik yang kondusif

sehingga memungkinkan badan-badan peradilan berfungsi dengan baik. Artinya,

hendaknya Pemerintah membiarkan dan menghormati kebebasan badan peradilan,

bukan malah mempengaruhi jalannya peradilan.

Akhirnya, tugas dan tanggungjawab Pemerintah pulalah untuk mengarahkan

seluruh lapisan masyarakat, baik produsen, konsumen maupun aparat Pemerintah

sendiri, untuk menaati hukum demi keadilan dan kesejahteraan seluruh masyarakat.

Jangan sampai timbul kesan bahwa kalau mematuhi hukum yang berlaku malah

mendatangkan kerugian dan sebaliknya lebih menguntungkan kalau bertindak

melawan hukum.

Seperti halnya hukum pidana, hukum administrasi Negara adalah instrument

hukum publik yang penting dalam perlindungan konsumen. Sanksi-sanksi hukum

Page 168: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

secara perdata dan pidana seringkali kurang efektif jika tidak disertai sanksi

administrative.102

Sanksi administratif tidak ditujukan pada konsumen pada umumnya, tetapi

justru kepada pengusaha, baik itu produsen maupun para penyalur hasil-hasil

produknya. Sanksi administratif berkaitan dengan perizinan yang diberikan.

Pemerintah kepada pengusaha/penyalur tersebut. Jika terjadi pelanggaran, ijin-ijin

tersebut dapat dicabut secara sepihak oleh Pemerintah.

Pencabutan ijin hanya bertujuan menghentikan proses produksi dari

produsen/penyalur. Produksi disini harus diartikan secara luas, dapat berupa barang

atau jasa. Dengan demikian, dampaknya secara tidak langsung berarti melindungi

konsumen pula, yakni mencegah jatuhnya lebih banyak korban. Adapun pemulihan

hak-hak korban (konsumen) yang dirugikan bukan lagi tugas instrument hukum

administrasi Negara. Hak-hak konsumen yang dirugikan dapat dituntut dengan

bantuan hukum perdata dan/atau pidana.

Campur tangan administrator Negara idealnya harus dilatarbelakangi itikad

melindungi masyarakat luas dari bahaya. Pengertian bahaya disini terutama

berkenaan dengan kesehatan dan jiwa. Itulah sebabnya, sejak prakemerdekaan

peraturan-peraturan tentang produk pangan diawasi secara ketat. Syarat-syarat

pendirian perusahaan yang bergerak di bidang tersebut dan pengawasan terhadap

proses produksinya dilakukan ekstra hati-hati. Peraturan-peraturan masa kolonial itu

bahkan cukup banyak yang masih berlaku sampai sekarang.

102 Shidarta, Op.cit, hal. 95.

Page 169: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

Sanksi administratif ini seringkali lebih efektif dibandingkan dengan sanksi

perdata atau pidana. Ada beberapa alasan untuk mendukung pernyataan ini.

1. Sanksi administratif dapat diterapkan secara langsung dan sepihak. Dikatakan

demikian, karena penguasa sebagai pihak pemberi ijin tidak perlu meminta

persetujuan dari pihak manapun. Persetujuan, kalaupun itu dibutuhkan,

mungkun dari instansi-instansi Pemerintah terkait. Sanksi administratif juga

tidak perlu melalui proses pengadilan. Memang, bagi pihak yang terkena

sanksi ini dibuka kesempatan untuk “ membela diri “, antara lain mengajukan

kasus tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara, tetapi sanksi itu sendiri

dijatuhkan terlebih dahulu, sehingga berlaku efektif.

2. Sanksi perdata dan/atau pidana acapkali tidak membawa efek “ jera “ bagi

pelakunya. Nilai ganti rugi dan pidana yang dijatuhkan mungkin tidak

seberapa dibanding dengan keuntungan yang diraih dari perbuatan negatif

produsen. Belum lagi mekanisme penjatuhan putusan yang berbelit-belit dan

membutuhkan proses yang lama, sehingga konsumen sering menjadi tidak

sabar. Untuk gugatan secara perdata, konsumen dihadapkan pada posisi tawar

yang tidak selalu menguntungkan dibandingkan dengan si produsen.103

Walaupun secara teoritis instrument hukum administrasi ini cukup efektif,

tetap ada kendala dalam penerapannya, dimana sanksi administrasi sangat jarang

dijatuhkan oleh Pemerintah terhadap produsen. Pemerintah masih mengandalkan

inisiatif konsumen untuk mempersalahkannya. Pemerintah nampaknya menjadikan

103 Shidarta, op.cit, h. 96.

Page 170: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

sanksi administrative ini sebagai ultimum remedium, karena dikaitkan dengan

pertimbangan tenaga kerja dan perpajakan. Tentu saja, kedua pertimbangan tersebut

seharusnya tidak menjadi alasan pemaaf bagi pengusaha yang merugikan konsumen

tersebut, sepanjang memang didukung oleh bukti-bukti yang cukup.

Dalam kaitannya dengan pelabelan produk pangan, dalam pasal 61 PP No. 69

Tahun 1999 disebutkan :

(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalamPeraturan Pemerintah ini dikenakan tindakan administratif.

(2) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :a. peringatan secara tertulis;b. larangan untuk mengedarkan untuk sementara waktu dan atau perintah untuk

menarik produk pangan dari peredaran;c. pemusnahan pangan jika terbukti membahayakan kesehatan dan jiwa

manusia;d. penghentian produksi untuk sementara waktu;e. pengenaan denda paling tinggi Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah),

dan atau;f. pencabutan izin produksi atau izin usaha.

(3). Pengenaan tindakan administrative sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) hurufb, c, d, e dan f hanya dapat dilakukan setelah peringatan tertulis sebagaimanadimaksud pada ayat (2) huruf a diberikan sebanyak – banyaknya tiga kali.

(4). Pengenaan tindakan administrative sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) danayat (3) dapat dilakukan oleh Menteri teknis sesuai dengan kewenangannyaberdasarkan masukan dari Menteri Kesehatan.

Hal yang sama disebutkan pula dalam pasal 57 UU No. 7 Tahun 1996

tentang Pangan.

Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen bentuk pertanggungjawaban

administratif yang dapat dituntut dari produsen sebagai pelaku usaha diatur di dalam

pasal 60 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1998 tentang Perlindungan Konsumen,

Page 171: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

yaitu pembayaran ganti kerugian paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta

rupiah), terhadap pelanggaran atas ketentuan tentang :

a. Kelalaian membayar ganti rugi kepada konsumen (pasal 19 ayat (2) dan

ayat (3));

b. Periklanan yang tidak memenuhi syarat (pasal 20);

c. Kelalaian dalam menyediakan suku cadang (pasal 25); dan

d. Kelalaian memenuhi garansi/jaminan yang dijanjikan.

Berdasarkan ketentuan pasal 60 UUPK, maka pelaku usaha yang lalai

memenuhi tanggung jawabnya, maka dapat dijatuhi sanksi yang jumlahnya

maksimum Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Ganti kerugian tersebut

merupakan bentuk pertanggunggugatan terbatas, sehingga secara keseluruhan dapat

dikatakan bahwa ganti kerugian yang dianut dalam Undang-Undang Perlindungan

Konsumen (UUPK) menganut prinsip ganti kerugian “ subjektif terbatas “.

Adanya pembatasan ganti kerugian atau yang disebut ganti kerugian subjektif

terbatas itu, untuk kondisi Indonesia sebagai Negara yang industrinya masih dalam

perkembangan dinilai tepat. Oleh karena, disamping memberikan perlindungan

kepada konsumen juga pelaku usaha masih terlindungi atau dapat terhindar dari

kerugian yang mengakibatkan kebangkrutan akibat pembayaran ganti kerugian yang

tanpa batas.

Masalah lain yang muncul dari rumusan pasal 60 tersebut adalah untuk siapa

uang Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) tersebut. Apabila untuk konsumen

yang dirugikan, maka bagaimanakah kalau jumlah konsumen yang dirugikan cukup

Page 172: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

banyak. Masalah-masalah inilah yang harus diatur secara tegas dalam peraturan

perundang-undangan yang mengatur lebih lanjut tentang tata cara penetapan sanksi

administratif tersebut.

Page 173: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

1. Ketentuan pelabelan produk pangan sebagaimana diatur dalam PP No. 69 Tahun

1999 belum memenuhi asas-asas perlindungan konsumen yakni asas manfaat,

keadilan, keseimbangan, keselamatan dan kepastian hukum. Hal mana dapat

dilihat dari pengertian label sendiri yang masih menimbulkan persoalan.

Penggunaan kata ditempel pada pengertian label, menimbulkan kesan bahwa label

dapat ditempel kapan pun, padahal pada dasarnya label merupakan bagian tak

terpisah dari kemasan. Penggunaan kata ditempel juga terkesan terpisah dan bisa

dipalsukan. Selain bisa dipalsukan, label yang hanya berupa tempelan/stiker dapat

dengan mudah dicabut, diganti kemudian dilabeli kembali oleh pelaku usaha yang

curang. Masih dimungkinkannya pengecualian terhadap penggunaan bahasa

Indonesia juga menyebabkan asas-asas perlindungan konsumen menjadi

terabaikan.

2. Dimensi perlindungan hukum bagi konsumen dapat meliputi berbagai aspek dan

dapat dilakukan dengan berbagai instrumen, yaitu instrumen hukum perdata,

instrumen hukum pidana dan juga instrumen hukum administrasi. Oleh karena itu

pelanggaran oleh pelaku usaha terhadap ketentuan label pangan dapat dikenakan

pertanggungjawaban atau sanksi secara perdata, pidana dan administratif. Sanksi

secara perdata dan pidana seringkali kurang efektif jika tidak disertai sanksi

Page 174: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

administrative. Sanksi administratif ini seringkali lebih efektif dibandingkan

dengan sanksi perdata atau pidana, oleh karena, pertama, sanksi administratif

dapat diterapkan secara langsung dan sepihak, kedua sanksi perdata dan/atau

pidana acapkali tidak membawa efek “ jera “ bagi pelakunya, nilai ganti rugi dan

pidana yang dijatuhkan mungkin tidak seberapa dibanding dengan keuntungan

yang diraih dari perbuatan negatif produsen. Belum lagi mekanisme penjatuhan

putusan yang berbelit-belit dan membutuhkan proses yang lama, sehingga

konsumen sering menjadi tidak sabar. Untuk gugatan secara perdata, konsumen

dihadapkan pada posisi tawar yang tidak selalu menguntungkan dibandingkan

dengan si produsen.

5.2 Saran

1. Untuk lebih memberikan perlindungan hukum terhadap konsumen dalam masalah

pelabelan pangan, maka perlu dilakukan peninjauan kembali terhadap Peraturan

Pemerintah tentang Label dan Iklan Pangan (PP 69/1999) yang memuat panduan

yang lebih kongkrit dan jelas mengenai label pangan. Dengan adanya rambu -

rambu dan peraturan yang jelas dari pemerintah, maka konsumen terlindungi dari

kemungkinan label yang tidak benar, atau bahkan menyesatkan. Konsep label

hendaknya disusun dengan tidak hanya bertujuan menjual, tetapi juga jujur

sekaligus mendidik konsumen.

2. Pemerintah melalui instansi-instansi terkait perlu melakukan upaya yang terus

menerus untuk memberdayakan masyarakat dengan memberikan pemahaman dan

perlindungan kepada konsumen, rendahnya kesadaran konsumen akan hak dan

Page 175: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

kewajibannya diakibatkan salah satunya oleh karena masih kurangnya upaya

pendidikan konsumen oleh pemerintah. Disamping itu Pemerintah baik di Pusat

maupun daerah perlu selalu berkoordinasi melakukan pengawasan yang lebih baik

dan lebih ketat terhadap pelaku usaha dalam peredaran produk pangan, khususnya

produk pangan yang tidak memperhatikan ketentuan pelabelan.

Page 176: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Abdoel Djamali, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Indonesia, Raja Grafindo, Jakarta.

Abdul Manan, 2005, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Prenada Media, Jakarta.

Abdulkadir Muhammad, 2001, Kajian Hukum Ekonomi Hak Kekayaan Intelektual,

PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Adi Nugroho, Susanto, 2008, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau Dari

Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya, Kencana Prenada Media

Group, Jakarta.

Ali, Achmad, 2002, Menguak Takbir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis),

Cetakan Kedua, PT. Toko Gunung Agung Tbk, Jakarta.

__________, 1988, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum, Yarsif

Watampone, Jakarta.

Ali, Mansyur M, 2007, Penegakan Hukum Tentang Tanggung Gugat Produsen

Dalam Perwujudan Perlindungan Konsumen, Genta Press, Yogyakarta.

Arrasjid, Chainur, 2006, Dasar-dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.

Ashsofa, Burhan, 2004, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta.

Black, Henry Campbell, 1990, Black’s Law Dictionary Sixth Edition, St. Paul Minn

West Publishing Co.

Cohen, Morris L. Kent. C. Olson. 2000, Legal Research, West Group, USA.

Page 177: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

Djumhana, Muhammad, 1994, Hukum Ekonomi Sosial Indonesia, PT. Citra Aditya

Bakti, Bandung.

Fadjar, A. Mukthie, 2005, Tipe Negara Hukum, Bayumedia Publishing, Malang.

Fuadi, Munir, 1994, Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktek Buku II, PT. Citra

Aditya Bakti, Bandung.

Fauzan, Ahmad, 2006, Perlindungan Hukum Hak Kekayaan Intelektual, Yama

Widya, Bandung.

Friedman, Lawrence M. 2009, Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial (The Legal

System : A Social Science Perspektive), (M. Khozim, Pentj), Nusa Media,

Bandung.

Gaspersz, Vincent, 1988, Sistem Informasi Manajemen (Suatu Pengantar), Armico,

Bandung.

Hadjon, Philipus M., 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, PT. Bina

Ilmu, Surabaya.

Hartono, Sri Redjeki, 2000, Aspek-aspek Hukum Perlindungan Konsumen dalam

Kerangka Perdagangan Bebas, dalam Husni Syawali & Neni Sri Imaniyati,

Hukum Perlindungan Konsumen, Mandar Maju, Bandung.

Hartono, Sunaryati, 1994, Penelitian Hukum di Indonesia pada akhir abad 20,

Alumni, Bandung.

Marzuki, Peter, Mahmud, 2008, Penelitian Hukum, Cetakan ke-IV, Kencana, Jakarta,

M. Toar Agnes, 1998, Tanggung Jawab Produk, Sejarah, dan Perkembangannya,

PT. Citra Aditya Bakti, Bandung

Page 178: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

Mertokusumo, Sudikno, 1996, Penemuan Hukum : Suatu Pengantar, Liberty, Jakarta.

Milovanovic, Dragan, A Primer in the Sociology of Law Second Edition, Harrow and

Heston Publishers, New York.

Miru, Ahmadi dan Sutarman Yodo, 2008, Hukum Perlindungan Konsumen, PT. Raja

Grafindo Persada, Jakarta.

Mustafa, Bachsan, 2003, Sistem Hukum Indonesia Terpadu, PT. Citra Aditya Bakti,

Bandung.

Nasution, A.Z., 1995, Konsumen dan Hukum, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

Nurmandjito, 2000, Kesiapan Perangkat Peraturan Perundang-Undangan Tentang

Perlindungan Konsumen di Indonesia, “ dalam Husni Syawali dan Neni Sri

Imaniyati, penyunting “ Hukum Perlindungan Konsmen, Mandar Maju,

Bandung.

Pieris, John dan Wiwik Sri Widiarty, 2007, Negara Hukum dan Perlindungan

Konsumen terhadap Produk Pangan Kadaluarsa, Pelangi Cendikia, Jakarta.

Rahardjo, Satjipto, 1991, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

_______________, 1977, Pemanfaatan Ilmu-ilmu Sosial bagi Pengembangan Ilmu

Hukum, Alumni, Bandung.

Raja Guguk, Erman, et. All, 2003, Hukum Perlindungan Konsumen, Mandar Maju,

Jakarta.

Riswandi, Budi Agus, 2003, Hukum Internet, UII Press, Yogyakarta.

Samford, Charles, 1989, The Disorder Of Law A Critique Of Legal Theory, Basil

Blackwell Ltd, UK.

Page 179: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

Samsul, Inosentius Samsul, 2004, Perlindungan Konsumen Kemungkinan Penerapan

Tanggung Jawab Mutlak, Universitas Indonesia, Fakultas Hukum

Pascasarjana.

Sasongko, Wahyu, 2007, Ketentuan-Ketentuan Pokok Hukum Perlindungan

Konsumen, Universitas Lampung, Bandar Lampung.

Sedarmayanti & Syarifuddin Hidayat, 2002, Metodelogi Penelitian, Mandar Maju,

Bandung.

Siahaan, N.H.T., 2005, Hukum Konsumen, Perlindungan Konsumen, dan Tanggung

Jawab Produk, Panta Rei, Bogor.

Sidabalok, Janus, 2010, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, PT. Citra

Aditya Bakti, Bandung.

Shidarta, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo, Jakarta.

Shidarta, Bernard Arief, 2000, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Sebuah

Penelitian Tentang Fundasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum

Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia, Mandar

Maju, Bandung.

Shofie, Yusuf, 2007, Kapita Selekta Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia,

Ghalia-Indonesia, Jakarta.

___________, 2000, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya,

Citra Aditya Bakti, Bandung.

___________, 2002, Pelaku Usaha, Konsumen dan Tindak Korporasi, Ghalia

Indonesia, Jakarta.

Page 180: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

___________, & Somi Awan, 2004, Sosok Peradilan Konsumen Mengungkap

Berbagai Persoalan Mendasar BPSK, Piramedia, Jakarta.

Simatupang, Taufik, 2004, Aspek Hukum Periklanan, PT. Citra Aditya Bakti,

Bandung.

Soemitro, Romy Hanitidjo, 1988, Metodelogi Penelitian Hukum dan Yurimetri,

Ghalia Indonesia.

Soerjono Soekanto, 1984, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta.

________________, 1985, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, CV.

Rajawali, Jakarta.

________________,1986, Permasalahan Hukum di Indonesia, Alumni, Bandung.

________________ & Sri Mahmmudji, 1988, Penelitian Hukum Normatif, Rajawali

Press, Jakarta.

Soesilo, Zumroetin K., 1996, Penyambung Lidah Konsumen, Swadaya, Jakarta.

Sudaryatmo, 1999, Hukum & Advokasi Konsumen, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Sulastri, C. Tantri D.,1995, Gerakan Organisasi Konsumen, Yayasan Lembaga

Konsumen Indonesia, Jakarta.

Susanto, Happy, 2008, Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan, Visimedia, Jakarta.

Thaib, Dahlan, 1999, Kedaulatan Rakyat, Negara Hukum, dan Konstitusi,

Yogyakarta, Liberty.

Tri Siwi Kristiyanti, Celine, 2008, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika,

Jakarta.

Page 181: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

Universitas Udayana, 2008, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Tesis 2008,

Denpasar.

Usman, Rachmad, 2003, Hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual : Perlindungan dan

Dimensi Hukumnya di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Wahyuni, Endang Sri, 2003, Aspek Hukum Sertifikasi & Keterkaitannya Dengan

Perlindungan Konsumen, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Walters, Malcolm ,1994, Modern Sociological Theory, Sage Publications, London.

Widjaja, Gunawan & Ahmad Yani, 2001, Hukum tentang Perlindungan Konsumen,

PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Widyahartono, 1983, Industri Informasi dalam Dekade 80-an (Informatie Industrie

In de Jarem Tachtig D. Overkleeft), Alumni, Bandung.

Artikel Dalam Format Elektronik (Internet)

Amran Tanjung, Ali, Pengaturan, Penggunaan dan Pengawasan Label Halal

Terhadap Produk Makanan Perspektif Perlindungan Konsumen ”. Diakses 1

Desember 2011, avalaible from

http://repositoryusu.ac.id/handle/123456789/199922.

Amstrong Sembiring, 2010, “ Menyoal Hak-Hak Konsumen “, diakses 8 Juni 2010,

available from URL : http://www.facebook.com/note.php?note_id

Dedi Barnadi – YLBK (Yayasan Lembaga Bantuan Konsumen) Konsumen Cerdas

Majalengka, 2009, “ Makanan Jajanan (Street Food) Anak Sekolah “,

Page 182: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

Diakses 30 Juni 2010, Available from : URL :

http://www.konsumencerdas.co.cc

Endrah, 2009, “ Kasus Tentang Perundangan Pangan “ diakses 2 Agustus 2010,

available From URL : http://endrah.blogspot.com.

Fatmawati, Ari, 2011, “ Konsumen dan Label “. Diakses 1 Desember 2011, available

from http://eprints.ums.edu.my/1436/1ae00000000209.pdf.

Hetami, Kamila 2009, “Pelabelan Produk Pangan Yang Mengandung Bahan

Rekayasa Genetika Sebagai Wujud Azas Keterbukaan Informasi ”. Diakses 1

Desember 2011, avalaible from http://eprints.undip.ac.id/18037/1/Kamila

Hetami.

Purwiyatno Hariyadi, 2009, “ Mencermati Label dan Iklan Pangan “, diakses 29 Juni

2010, available from URL : http://www.republika.co.id

“ Label Juga Harus Berbahasa Indonesia “ diakses 21 Juni 2010, available from : http:

//www.hukumonline.com.

“ YLKI Minta BPOM Tindaklanjuti Temuan Pangan Tanpa Label “, diakses 26

Oktober 2010, available from : http://m.antaranews.com

“ Wajib Label Jangan Setengah Hati “,diakses 02 September 2010, available from :

http://bataviase.co.id

Peraturan Perundang-Undangan

Burgerlijke Wetboek (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).

Page 183: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan

Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan.

Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

Undang-Undang No. 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal.

Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan.

Peraturan Pemerintah No. 28/2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan

Keputusan Menteri Kesehatan No. 924/Menkes/SK/VIII/1996 tentang perubahan atas

Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 82/Menkes/SK/I/1996 tentang

Pencantuman Tulisan “ Halal “ pada Label Makanan.

Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 180/Menkes. Per/IV/1985 tentang Makanan

Daluwarsa yang telah dirubah dengan Keputusan Dirjen POM No.

02591/B/SK/VIII/91.

Page 184: perlindungan hukum konsumen dalam pelabelan produk pangan