bab i pendahuluan 1.1. latar belakang masalah 1.pdf1muhamad djumhana, 2000, hukum perbankan di...

34
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dewasa ini perkembangan dunia perbankan di Indonesia semakin pesat ditengah krisis ekonomi yang melanda perekonomian global. Bank memiliki fungsi sebagai lembaga keuangan dan lembaga pembiayaan. Sebagai lembaga keuangan, bank menyelengarakan kegiatan usaha di bidang keuangan dengan cara mengumpulkan dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan kembali kepada masyarakat dalam bentuk kredit maupun dalam bentuk lainnya. Dalam fungsinya sebagai lembaga pembiayaan, bank melakukan kegiatan untuk membiayai masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya baik untuk konsumsi maupun untuk mengembangkan usaha berupa pembelian alat-alat produksi. Dalam fungsinya sebagai lembaga keuangan, kegiatan utama perbankan adalah penyaluran kredit. Kredit menjadi kegiatan utama bank karena keuntungan atau laba bank sebagian besar berasal dari penyaluran kredit yaitu berupa bunga pinjaman, provisi, dan biaya administrasi. Kredit terdari dari 4 (empat) unsur yaitu kepercayaan, tenggang waktu, prestasi, dan degree of risk. 1 Unsur kredit pertama adalah kepercayaan yang merupakan keyakinan bank bahwa prestasi yang diberikan bank kepada debitur baik berupa uang, jasa dan barang akan benar-benar akan diterimanya kembali dalam jangka waktu 1 Muhamad Djumhana, 2000, Hukum Perbankan di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal 370.

Upload: hoangdung

Post on 03-Jul-2019

218 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Dewasa ini perkembangan dunia perbankan di Indonesia semakin pesat

ditengah krisis ekonomi yang melanda perekonomian global. Bank memiliki

fungsi sebagai lembaga keuangan dan lembaga pembiayaan. Sebagai lembaga

keuangan, bank menyelengarakan kegiatan usaha di bidang keuangan dengan cara

mengumpulkan dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan

kembali kepada masyarakat dalam bentuk kredit maupun dalam bentuk lainnya.

Dalam fungsinya sebagai lembaga pembiayaan, bank melakukan kegiatan untuk

membiayai masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya baik untuk konsumsi

maupun untuk mengembangkan usaha berupa pembelian alat-alat produksi.

Dalam fungsinya sebagai lembaga keuangan, kegiatan utama perbankan

adalah penyaluran kredit. Kredit menjadi kegiatan utama bank karena keuntungan

atau laba bank sebagian besar berasal dari penyaluran kredit yaitu berupa bunga

pinjaman, provisi, dan biaya administrasi. Kredit terdari dari 4 (empat) unsur yaitu

kepercayaan, tenggang waktu, prestasi, dan degree of risk.1

Unsur kredit pertama adalah kepercayaan yang merupakan keyakinan

bank bahwa prestasi yang diberikan bank kepada debitur baik berupa uang, jasa

dan barang akan benar-benar akan diterimanya kembali dalam jangka waktu

1Muhamad Djumhana, 2000, Hukum Perbankan di Indonesia, Citra Aditya

Bakti, Bandung, hal 370.

2

kredit. Unsur kredit yang kedua adalah tenggang waktu. Tengang waktu

merupakan suatu masa yang memisahkan antara pemberian prestasi berupa kredit

dengan kontra prestasi yang akan diterima berupa pokok dan bunga kredit. Unsur

kredit yang ketiga adalah prestasi. Prestasi diberikan tidak hanya dalam bentuk

uang, namun juga dapat berupa jasa dan barang. Unsur kredit terakhir adalah

degree of risk atau tingkat resiko yang dihadapi bank yang diakibatkan adanya

jangka waktu yang memisahkan antara pemberian prestasi berupa kredit dengan

kontra prestasi berupa pokok dan bunga. Semakin lama jangka waktu kredit yang

diberikan maka semakin besar pula resiko yang dihadapi oleh bank. Resiko ini

harus dikurangi oleh bank, oleh karena itu bank meminta kepada pemohon kredit

atau debitur agar dalam pemberian kredit untuk memberikan jaminan atas kredit

tersebut.

Berbagai jenis kredit pun ditawarkan bank kepada masyarakat yang

didasarkan klasifikasi yang dijalankan oleh bank dalam rangka mengontrol dan

mengatur kredit agat berjalan secara efektif. Salah satu klasifikasi kredit adalah

kredit berdasarkan penggunaannya antara lain kredit modal kerja, kredit investasi,

kredit konsumsi. Kredit modal kerja merupakan kredit yang diberikan oleh bank

kepada masyarakat yang digunakan untuk membangun usaha, atau

mengembangkan usaha yang sudah ada, sedangkan kredit investasi merupakan

kredit jangka panjang yang biasanya digunakan untuk keperluan perluasan usaha

3

atau membangun proyek atau pabrik yang masa pengembaliannya untuk suatu

periode relatif lebih lama dan dibutuhkan modal yang relatif besar pula.2

Kredit juga dapat diklasifikasikan berdasarkan jaminannya yaitu kredit

tanpa jaminan dan kredit dengan jaminan. Kredit tanpa jaminan atau kredit

blangko (unsecured loan) bank memberikan kredit tanpa meminta jaminan kepada

debitur. Pemberian kredit ini sangat selektif dan hanya ditujukan kepada nasabah

besar yang sudah teruji kredibilitas, bonadifitasnya, kejujuran dan ketaatannya

dalam bertransaksi perbankan maupun kegiatan yang dijalankan oleh debitur

tersebut. Kredit tanpa jaminan ini tetap mengandung resiko, bahkan resikonya

lebih besar karena apabila debitur wanprestasi maka kreditur tidak memiliki

jaminan yang bisa dieksekusi sebagai pelunasan utang debitur. Kredit dengan

jaminan ini diberikan kepada debitur selain didasarkan adanya keyakinan atas

kemampuan debitur juga berdasarkan kepada adanya jaminan misalnya berupa

tanah, bangunan atau alat-alat produksi. Jaminan ini dimaksudkan untuk

memudahkan kreditur apabila debitur wanprestasi bank segera dapat menerima

pelunasan hutangnya melalui cara pelelangan atas jaminan tersebut.3

Perjanjian kredit adalah perjanjian yang mengatur pemberian kredit dari

bank sebagai kreditur kepada nasabah atau masyarakat sebagai debitur dan

berisikan syarat-syarat pemberian kredit. Pemberian kredit bank dituangkan dalam

perjanjian kredit dalam bentuk notariil maupun perjanjian kredit bawah tangan.

2Kasmir, 2011, Dasar-Dasar Perbankan, Raja Grafindo Persada, Jakarta

(selanjutnya disebut Kasmir I ), hal 109. 3Muhamad Djumhana, op.cit, hal 382.

4

Perjanjian kredit ini merupakan perjanjian pokok, yang kemudian diikuti dengan

perjanjian assesoir berupa pengikatan jaminan kredit.

Secara umum jaminan dibagi menjadi 2 (dua) yaitu jaminan umum dan

jaminan khusus. Jaminan umum diatur dalam Pasal 1131 Kitab Undang-undang

Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUH Perdata). Menurut Pasal 1131 KUH

Perdata jaminan umum diartikan dengan “segala kebendaan si berutang, baik yang

bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru ada

dikemudian hari, menjadi tanggungan segala perikatan perseorangan”.

Berdasarkan rumusan pasal tersebut jaminan umum adalah seluruh aset yang

dimiliki debitur baik yang telah ada maupun yang kelak akan ada, atau dengan

kata lain seluruh kekayaan debitur adalah jaminan umum dari perikatan yang

dilakukan oleh debitur tersebut. Jaminan khusus adalah jaminan yang telah

ditentukan oleh debitur sebagai jaminan atas perikatan yang dilakukannya.

Jaminan khusus bersifat kontraktual, yaitu yang terbit dari perjanjian tertentu yang

khusus ditujukan terhadap benda-benda tertentu. Jaminan khusus dibedakan

menjadi 2 (dua) jenis yaitu jaminan perseorangan dan jaminan kebendaan.

Jaminan perseorangan merupakan suatu perjanjian pihak ketiga

menyanggupi pihak berpiutang (kreditur), bahwa ia menanggung pembayaran

suatu hutang bila yang berhutang (debitur) tidak menepati kewajibannya. Jaminan

perseorangan ini diatur dalam Pasal 1820 KUH Perdata. Jaminan kebendaan

dibagi menjadi 2 (dua) yaitu jaminan kebendaan untuk benda bergerak dan

jaminan kebendaan untuk benda tidak bergerak. Untuk jaminan kebendaan benda

bergerak lembaga jaminannya adalah fidusia dan gadai. Untuk jaminan fidusia

5

diatur dalam Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia

(Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 168, Tambahan Lembaran Negara

Repubik Indonesia Nomor 3889, untuk selanjutnya disebut Undang-Undang

Jaminan Fidusia), sedangkan lembaga jaminan gadai diatur dalam pada Pasal

1150 KUH Perdata yang mengatur tentang gadai.

Untuk jaminan benda tidak bergerak yaitu tanah, maka lembaga

jaminannya adalah hak tanggungan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor

4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang

Berkaitan Dengan Tanah (Lembaran Negara Nomor 1996 Nomor 42, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3632, selanjutnya disebut Undang-

Undang Hak Tanggungan). Hak tanggungan digunakan untuk pengikatan jaminan

berupa tanah dengan menggunakan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta

Tanah (selanjutnya disebut PPAT) yang disebut dengan akta pemberian hak

tanggungan (selanjutnya disebut APHT). Pada saat pengikatan kredit setelah

debitur menandatangani perjanjian kredit baik dalam bentuk notariil maupun

bawah tangan, maka akan dilanjutkan dengan penandatanganan pengikatan

jaminan berupa tanah yaitu dengan APHT. Setelah penandatangan APHT dalam

jangka 7 (tujuh) hari maka akta beserta kelengkapan berkas dan sertipikat tanda

hak atas tanah yang dijadikan jaminan didaftarkan di kantor Badan Pertanahan

Nasional, untuk selanjutnya diterbikan sertipikat hak tanggungan yang memiliki

kekuatan eksekutorial.

Selama menikmati fasilitas kredit, bukti kepemilikan terhadap tanah berupa

sertifikat tanda bukti hak atas tanah debitur akan dibebankan hak tanggungan.

6

Namun apabila obyek jaminan hak tanggungan tersebut lenyap akibat suatu

peristiwa alam seperti gempa dan tanah longsor, ini akan menimbulkan masalah

karena obyek jaminan hak tanggungan menjadi musnah. Kedudukan sertifikat

hak tanggungan pun menjadi tidak jelas, dan bagi pemegang hak tanggungan yaitu

bank akan mengalami kerugian jika debitur tidak bisa melunasi hutang kreditnya,

bank pun tidak bisa mengeksekusi jaminan karena jaminan hak tanggungan yang

berupa tanah sudah lenyap akibat peristiwa tanah longsor.

Pengaturan hapusnya hak tanggungan diatur dalam Pasal 18 Undang-

Undang Hak Tanggungan. Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan

merumuskan;

Hak Tanggungan hapus karena hal-hal sebagai berikut:

a. Hapusnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan;

b. Dilepaskannya Hak Tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan;

c. Pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh

Ketua Pengadilan Negeri;

d. Hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan.

Rumusan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan hanya

menyatakan bahwa hak tanggungan hapus karena 4 (empat) hal yaitu pelunasan

hutang yang dijamin dengan hak tanggungan oleh debitur, dilepaskannya hak

tanggungan oleh pemegang hak tanggungan atau kreditur, dikeluarkannya

penetapan dari pengadilan negeri yang isinya menghapus hak tanggungan, dan

hapusnya hak atas tanah yang dibebani hak tanggungan. Berkaitan dengan

hapusnya hak tanggungan karena suatu keadaan overmarcht yang mengakibatkan

obyek hak tanggungan musnah tidak diatur dalam Pasal 18 Undang-Undang Hak

Tanggungan maupun dalam rumusan pasal lain pada Undang-Undang Hak

7

Tanggungan. Keadaan demikian akan menimbulkan kekosongan norma (leemten

van norm) dalam Undang-Undang Hak Tanggungan.

Untuk menjamin originalitas penulisan tesis ini, maka harus dibandingkan

dengan penelitian lain. Pertama penulis membandingkan dengan tesis mahasiswa

Magister Hukum Universitas Udayana atas nama Ni Made Trisna Dewi pada

tahun 2011 (dua ribu sebelas) dengan judul tesis Tanggung Jawab Debitur

Terhadap Musnahnya Benda Jaminan Fidusia Dalam Perjanjian Kredit Bank.

Rumusan masalah dalam tesis tersebut antara lain Bagaimana pengaturan

tanggung jawab debitur terhadap benda jaminan fidusia yang musnah dalam suatu

perjanjian kredit bank menurut Undang-Undang Jaminan Fidusia ? Bagaimana

perlindungan hukum bagi para pihak dalam perjanjian kredit bank terhadap

masalah musnahnya benda jaminan fidusia ?

Hasil penelitian tesis tersebut antara lain pengaturan tanggung jawab

debitur terhadap benda jaminan fidusia yang musnah dalam suatu perjanjian kredit

bank menurut Undang-Undang Jaminan Fidusia adalah debitur tetap

bertanggungjawab mengembalikan pinjaman kredit walaupun benda jaminan

fidusia tersebut diasuransikan maupun tidak diasuransikan. Jika benda jaminan

fidusia diasuransikan maka akan dilunasi oleh perusahaan asuransi dimana benda

benda jaminan fidusia diasuransikan sesuai dengan isi perjanjian. Jika benda

jaminan fidusia tidak diasuransikan maka debitur bertanggungjawab penuh

mengembalikan pinjaman kredit. Hal ini dikarenakan debitur telah terikat dalam

perjanjian kredit dengan pihak bank, walaupun benda jaminan fidusia musnah.

Perlindungan hukum bagi para pihak dalam perjanjian kredit baik terhadap

8

masalah musnahnya benda jaminan fidusia sangat lemah. Hadirnya Undang-

Undang Jaminan Fidusia diharapkan dapat memberikan kepastian hukum bagi

para pihak dengan menjadikan jaminan fidusia sebagai salah satu sumber

pembiayaan guna menunjang dinamika kegiatan usaha ternyata yang terjadi

sebaliknya, yaitu ketidakteraturan dan kepastian hukum atau legal uncertainty.

Jika terjadi wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak, perlindungan

hukum tidak berlaku secara efektif bagi pihak-pihak yang dirugikan.

Selain itu penulis juga membandingan dengan tesis dari mahasiswa

Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro atas nama Nur Hayatun Nulus

pada tahun 2010 (dua ribu sepuluh) dengan judul tesis Proses Pembebanan Hak

Tanggungan Terhadap Tanah Yang Belum Bersertipikat (Studi di PT Bank

Rakyat Indonesia Tbk Unit Bekasi Kota). Rumusan masalah dari tesis tersebut

antara lain bagaimana pelaksanaan pembebanan hak tanggungan terhadap tanah

yang belum bersertipikat ? Rumusan masalah yang kedua bagaimanakah

penyelesaiannya apabila pemberi hak tanggungan atas tanah yang belum

bersertipikat tersebut meninggal dunia dan memiliki ahli waris, sementara piutang

kreditur tidak terbayar ?

Hasil penelitian tesis tersebut diatas antara lain pelaksanaan pembebanan

hak tanggungan terhadap tanah yang belum bersertipikat dalam prakteknya tidak

pernah dilakukan bank dengan cara membuat APHT secara langsung terhadap

tanah-tanah yang belum bersertipikat. Bank dalam hal ini hanya sebatas membuat

surat kuasa membebankan hak tanggungan (selanjutnya disebut SKMHT).

Pertimbangan hukum tidak dibuatnya APHT terhadap tanah-tanah yang belum

9

didaftar oleh karena terdapat kemungkinan hak-hak atas tanah tersebut belum

jelas kepemilikannya. Notaris atau PPAT dalam prakteknya selalu membuatkan

SKMHT sesuai dengan Pasal 15 ayat (4) Undang-Undang Hak Tanggungan untuk

mengikat jaminan atas tanah-tanah yang belum bersertipikat yang akan dijadikan

agunan. Namun hal inilah yang menjadi kendala karena proses pensertipikatannya

memerlukan jangka waktu 3 (tiga) bulan bahkan bisa 1 (satu) tahun.

Menghadapi permasalahan terjadinya kredit belum dilunasi dengan agunan tanah

yang belum bersertipikat sedangkan debitur telah meninggal dunia dan

meninggalkan ahli waris, maka ada beberapa cara penyelesaian yang dilakukan

oleh bank, yaitu jika kredit telah jatuh tempo, maka kredit dicover oleh asuransi

kredit. Jika kredit telah jatuh tempo dan asuransi kreditnya telah kadaluarsa, maka

akan ditagih sampai lunas kepada ahli warisnya dengan melakukan pendekatan

kekeluargaan dengan menawarkan keringanan bunga pinjaman, meminta ahli

waris yang bersangkutan untuk melakukan penjualan dibawah tangan atas obyek

jaminan tersebut.

Tesis yang juga penulis gunakan untuk membandingkan adalah tesis

mahasiswa Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro atas nama Rudhy

Florentinus Dewanto dengan judul tesis Kedudukan Kreditur Selaku Penerima

Jaminan Fidusia Dalam Hal Debitur Pailit. Adapun rumusan masalah dari tesis

tersebut antara lain bagaimanakah eksekusi Jaminan Fidusia dalam praktek dalam

hal debitur pailit berdasarkan Pasal 56 Undang-Undang Kepailitan Nomor 37

tahun 2007 ? Rumusan Masalah yang kedua adalah apakah kreditur separatis

selaku penerima jaminan Fidusia tetap memiliki hak yang didahulukan terhadap

10

kreditur lainnya dalam pemberesan harta pailit Debitur apabila ternyata Obyek

Jaminan Fidusia sudah tidak ada lagi pada Debitur pailit ?

Hasil penelitain dari tesis tersebut adalah Apabila debitur wanprestasi atau

cedera janji atau pailit, maka eksekusi yang diatur dalam Pasal 29 Undang-

Undang Jaminan Fidusia. Eksekusi Jaminan Fidusia yang diatur dalam

Bab V Undang-Undang Jaminan Fidusia. Berdasarkan Pasal 29 Undang-Undang

Jaminan Fidusia yang merumuskan:

Dalam hal debitur pemberi fidusia yang telah mempunyai/memegang

Sertipikat Fidusia dapat atau berhak untuk menjual obyek jaminan fidusia

dengan cara :

a. Eksekusi jaminan fidusia berdasarkan titel eksekutorial sebagaimana

yang dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) oleh penerima Fidusia, yaitu

dengan mohon eksekusi sertipikat jaminan fidusia kepada Ketua

Pengadilan Negeri yang berwenang.

b. Penjualan atas kekuasaan penerima fidusia berdasarkan parate eksekusi.

c. Penjualan dibawah tangan obyek jaminan fidusia berdasarakan pemberi

dan penerima fidusia.

Pasal 56 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 131, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4443, selanjutnya disebut Undang-

Undang Kepailitan) menentukan bahwa hak eksekusi kreditor separatis

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan

ditangguhkan untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari sejak

tanggal putusan pailit diucapkan. Masa penangguhan tersebut tidak pasti karena

berdasarkan Pasal 59 Undang-Undang Kepailitan, kreditur penerima hak jaminan

harus menjalankan haknya tersebut dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua)

bulan setelah dimulainya keadaan Insolvensi. Apabila rapat verifikasi berlarut-

larut dan masa insolvensinya menjadi tertunda melebihi jangka waktu

11

90 (sembilan puluh) hari setelah putusan pailit dibacakan, maka hak kreditur

separatis untuk bisa memulai melaksanakan eksekusinya menjadi ikut tertunda.

Hal ini menimbulkan resiko kreditur penerima jamina fidusia mengingat barang

yang dijaminkan berupa barang bergerak sudah tidak ada lagi pada debitur

(penurunan nilai aset). Proses kepailitan di Pengadilan Niaga dalam hal obyek

Jaminan Fidusia tidak ada lagi maka kreditur penerima jaminan fidusia tidak

memiliki hak untuk didahulukan dari kreditur lainnya, sehingga untuk

mengajukan tagihannya dalam kedudukannya sebagai kreditur konkruen.

Setelah penulis bandingkan dengan ketiga tesis tersebut maka penelitian

ini tidak ada kemiripan antara judul dan rumusan masalah yang penulis buat

dengan ketiga tesis tersebut diatas sehingga bebas dari penjiplakan atau plagiat.

Berdasarkan latar belakang diatas, selanjutnya akan dibahas lebih mendalam

tentang kedudukan sertifikat hak tanggungan dalam hal musnahnya obyek hak

tanggungan. Untuk itu diajukan sebagai tesis dengan judul : “KEKUATAN

HUKUM SERTIFIKAT HAK TANGGUNGAN DALAM HAL

MUSNAHNYA OBYEK HAK TANGGUNGAN KARENA BENCANA

ALAM”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan rumusan

masalah yang akan dibahas. Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam

tesis ini adalah:

1. Bagaimanakah kedudukan sertipikat hak tanggungan dengan jaminan berupa

tanah dalam hal seluruh obyeknya musnah karena bencana alam?

12

2. Bagaimanakah upaya perlindungan hukum bagi pemegang sertipikat hak

tanggungan dengan jaminan berupa tanah dalam hal seluruh obyeknya musnah

karena bencana alam ?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini dikualifikasi menjadi 2 (dua). Tujuan tersebut

yaitu tujuan yang bersifat umum dan tujuan yang bersifat khusus. Adapun tujuan

yang dimaksud sebagai berikut:

1.3.1. Tujuan Umum

Tujuan umum yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah untuk

mengkaji dan menganalisa kekuatan hukum sertifikat hak tanggungan ketika

terjadi bencana alam yang mengakibatkan musnahnya seluruh obyek hak

tanggungan tersebut. Dengan kata lain penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan

menganalisa perlindungan hukum bagi kreditur saat musnahnya seluruh obyek

hak tanggungan.

1.3.2. Tujuan Khusus

Selain tujuan yang bersifat umum, penelitian ini juga memiliki tujuan

khusus. Berdasarkan dengan rumusan masalah yang diuraikan diatas, maka secara

khusus penelitian ini tesis ini bertujuan:

1. Untuk mengkaji dan menganalisa kekuatan hukum sertipikat hak

tanggungan dengan jaminan berupa tanah dalam hal seluruh obyeknya

musnah karena bencana alam.

2. Untuk mengkaji dan menganalisa perlindungan hukum bagi para pihak

dalam hal musnahnya seluruh obyek hak tanggungan karena bencana alam.

13

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat diharapkan dari hasil penelitian ini dibagi menjadi

2 (dua). Manfaat tersebut antara lain manfaat secara teoritis dan manfaat secara

praktis yang akan dipaparkan sebagai berikut:

1.4.1. Manfaat Teoritis

Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah dapat dijadikan referensi,

tambahan ilmu dan memperdalam perkembangan hukum jaminan berkaitan

dengan kekuatan hukum sertifikat hak tanggungan dalam hal musnahnya seluruh

obyek hak tanggungan karena bencana alam.

1.4.2. Manfaat Praktis

Selain kegunaan secara teoritis, diharapkan hasil penelitian ini juga

mampu memberikan manfaat secara praktis. Adapun manfaat praktis yang dari

penelitian ini antara lain memberikan masukan kepada Pemerintah, Notaris/PPAT,

maupun masyarakat terkait dengan dengan kekuatan hukum sertifikat hak

tanggungan dalam hal musnahnya seluruh obyek hak tanggungan karena bencana

alam seperti:

1. Bagi Pemerintah, hasil dari penelitian ini diharapkan mampu dijadikan

informasi tentang dengan kekuatan hukum sertifikat hak tanggungan dalam

hal musnahnya seluruh obyek hak tanggungan karena bencana alam

kedudukan sertifikat hak tanggungan.

2. Bagi Notaris/PPAT hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah

pengetahuan terkait dengan kekuatan hukum sertifikat hak tanggungan dalam

hal musnahnya seluruh obyek hak tanggungan karena bencana alam.

14

3. Bagi masyarakat, baik masyarakat umum maupun steakholders di bidang

perbankan hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan

pengetahuan terkait dengan kekuatan hukum sertifikat hak tanggungan dalam

hal musnahnya seluruh obyek hak tanggungan karena bencana alam.

1.5. Landasan Teoritis dan Konsep

Tesis dengan judul kekuatan hukum sertifikat hak tanggungan dalam hal

musnahnya obyek hak tanggungan karena bencana alam akan dibahas secara

komprehensif, maka akan digunakan beberapa teori dan konsep sebagai pisau

analisisnya. Teori yang digunakan adalah teori kepastian hukum, dan teori

perlindungan hukum, selain itu juga digunakan beberapa definisi, seperti definisi

kredit, definisi jaminan, definisi hak tanggungan, definisi tanah, definisi

overmacht, dan definisi bencana alam.

1.5.1. Landasan Teoritis

a. Teori Kepastian Hukum

Menurut Utrecht, hukum bertugas menjamin adanya kepastian hukum

(rechhtszekerheid) dalam pergaulan manusia. Dalam tugas itu terdapat 2 (dua)

tugas lain, yaitu harus menjamin keadilan serta hukum bertugas polisionil

(politionele taak van het recht) yang berarti hukum menjaga agar dalam

masyarakat tidak terjadi main hakim sendiri.4

Teori kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian yaitu pertama

adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa

yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua berupa keamanan hukum bagi

4Riduan Syahrani, 2008, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Citra Aditya

Bakti, Bandung (selanjutnya disebut Riduan Syahrani I ), hal 23.

15

individu dari kesewenangan pemerintah, karena dengan adanya aturan hukum

yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh

dibebankan atau dilakukan oleh negara terhadap individu.5 Kepastian hukum

bukan hanya berupa pasal-pasal dalam undang-undang melainkan juga adanya

konsistensi dalam putusan hakim antara putusan hakim yang satu dengan putusan

hakim lainnya untuk kasus yang serupa yang telah diputuskan.

Kepastian hukum atau rechtszekerheid berdasarkan pendapat J.M Otto

yang dikutip oleh Tatiek Sri Djatmiati dijabarkan menjadi beberapa unsur sebagai

berikut:

1. Adanya aturan yang konsisten dan dapat diterapkan yang ditetapkan oleh

Negara;

2. Aparat pemerintah menerapkan aturan hukum tersebut secara konsisten

dan berpegang pada aturan hukum tersebut;

3. Rakyat pada dasarnya tunduk pada hukum;

4. Hakim yang bebas dan tidak memihak secara konsisten menerapkan aturan

hukum tersebut;

5. Putusan hukum dilaksanakan secara nyata6.

Berdasarkan penjabaran diatas jika dikaitkan dengan kekuatan hukum

sertifikat hak tanggungan dalam hal musnahnya seluruh obyek hak tanggungan

karena bencana alam adalah bagaimanakan kedudukan sertipikat hak tanggungan

bila obyeknya seluruhnya musnah karena bencana alam. Undang-undang hak

tanggungan tidak merumuskan kedudukan sertipikat hak tanggungan bila seluruh

obyeknya musnah karena bencana alam. Kekosongan norma dalam undang-

undang hak tanggungan tidak memberikan kepastian hukum terhadap kedudukan

5Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada

Media Group, Jakarta (selanjutnya disebut Peter Mahmud Marzuki I), hal 158. 6Tatiek Sri Djatmiati, 2002, Prinsip Izin Usaha Industri Di Indonesia,

Disertasi, PPS Universitas Airlangga, Surabaya, hal 18.

16

sertipikat hak tanggungan dalam hal musnahnya seluruh obyek hak tanggungan

karena bencana alam. kepastian hukum berkaitan erat dengan supremasi hukum.

Supremasi hukum merupakan bagian dari the rule of law yang dikemukakan oleh

Albert Vann Dicey. The rule of law bertumpu pada sistem hukum common law.

Unsur-unsur the rule of law antara lain:

1. Supremasi hukum;

2. Persamaan dihadapan hukum;

3. Terjaminnya hak-hak asasi tiap-tiap individu. Konstitusi bukanlah sumber

tetapi merupakan konsekuensi dari hak-hak individu yang dirumuskan

dan ditegaskan oleh peradilan.7

Supremasi hukum secara konsep memiliki kesamaan arti dengan asas

legalitas dalam konsep negara hukum (rechstaat) yang dikembangkan dalam

sistem hukum civil law. M.C. Burkens berpendapat syarat-syarat Negara hukum

antara lain:

1. Asas legalitas;

2. Pembagian kekuasaan;

3. Perlindungan hak asasi manusia;

4. Pengawasan pengadilan (Peradilan administrasi).8

7Didi Nazmi Yunus, 1992, Konsepsi Negara Hukum, Angkasa Raya,

Padang, hal 22. 8Yohanes Usfunan, 2004, Perancangan Peraturan Perundang-Undangan

Yang Baik Menciptakan Pemerintahan Yang Bersih dan Demokratis, Pidato

Pengukuhan Guru Besar Tetap Dalam Bidang Tata Negara Fakultas Hukum

Universitas Udayana, Denpasar, Tanggal 04 Mei 2004, hal 24.

17

Sistem hukum civil law dan common law memiliki kesamaan dimana

memposisikan supremasi hukum sebagai prinsip dasar dalam pelaksanaan

kegiatan Negara. Supremasi hukum mensyaratkan agar setiap tindakan

pemerintahan harus berdasarkan peraturan perundang-undangan. Tiap tindakan

memiliki tumpuan yang jelas, sehingga menjamin kepastian hukum baik bagi

pemerintah, maupun bagi masyarakat.

Berdasarkan pemaparan diatas maka dapat disimpulkan kepastian hukum

berarti hukum harus memberikan kejelasan atas tindakan pemerintah dan

masyarakat, sehingga memberikan kepastian hukum, dan tidak menimbulkan

multitafsir atas aturan hukum tersebut. Selain itu antara satu aturan dengan aturan

lain haruslah terjalin harmonisasi sehingga aturan tersebut tidak kontradiktif

antara satu aturan dengan aturan lain. Dengan penelitian ini diharapkan mampu

untuk memberikan kepastian hukum terhadap kekuatan hukum sertifikat hak

tanggungan dalam hal musnahnya seluruh obyek hak tanggungan karena bencana

alam. Teori kepastian hukum ini digunakan untuk menganalisa rumusan masalah

yang pertama.

b. Teori Perlindungan Hukum

Menurut Van Apeldoorn9 tujuan hukum adalah untuk mengatur pergaulan

hidup secara damai. Hukum menginginkan kedamaian. Kedamaian diantara

manusia dipertahankan oleh hukum dengan melindungi kepentingan-kepentingan

9L.J van Apeldoorn, 2004, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita,

Jakarta, hal 10.

18

manusia yang tertentu, yaitu kehormatan, kemerdekaan, jiwa, harta benda, dan

sebagainya terhadap hal-hal yang merugikannya.

Fitzgerald kemudian mengemukakan hukum bertujuan mengintegrasikan

dan mengkoordinasikan berbagai kepentingan dalam masyarakat karena dalam

suatu lalu lintas kepentingan, perlindungan terhadap kepentingan tertentu hanya

dapat dilakukan dengan cara membatasi berbagai kepentingan di lain pihak.10

Kepentingan hukum adalah mengurusi hak dan kepentingan manusia, sehingga

hukum memiliki otoritas tertinggi untuk menentukan kepentingan manusia yang

perlu diatur dan dilindungi.11

Philipus M. Hadjon membedakan perlindungan

hukum menjadi dua jenis yaitu:

1. Perlindungan hukum preventif

Perlindungan hukum preventif adalah perlindungan hukum yang bertujuan

untuk mencegah terjadinya permasalahan atau sengketa.

2. Perlindungan hukum represif

Perlindungan hukum represif adalah pelindungan hukum yang bertujuan

untuk menyelesaikan permasalahan atau sengketa yang timbul.12

Dalam penelitian ini teori ini diharapkan mampu menganalisa

perlindungan hukum bagi kreditur sebagai pemegang sertipikat hak tanggungan

dalam hal musnahnya seluruh obyek hak tanggungan karena bencana alam.

Kepentingan bank atas jaminan hak tanggungan yang diberikan oleh debitur pada

10

Satjipto Raharjo, 2000, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung

(selanjutnya disebut Satjipto Raharjo I ), hal 53. 11

Ibid, hal 69. 12

Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia,

Bina Ilmu, Surabaya, hal. 205.

19

saat terjadinya bencana alam yang mengakibatkan musnahnya seluruh obyek hak

tanggungan karena bencana alam, harus bisa dijamin oleh Undang-Undang Hak

Tanggungan. Perlindungan hukum yang digunakan dalam permasalahan ini adalah

perlindungan hukum preventif dan represif.

Perlindungan hukum preventif adalah perlindungan hukum yang bertujuan

untuk mencegah terjadinya permasalahan atau sengketa. Perlindungan hukum

represif adalah pelindungan hukum yang bertujuan untuk menyelesaikan

permasalahan atau sengketa yang timbul. Perlindungan hukum preventif

digunakan sebelum terjadinya sengketa dan bersifat pencegahan agar sengketa

tidak timbul. Perlindungan hukum preventif bagi kreditur dan debitur adalah

melalui tindakan-tindakan sebelum terjadinya peristiwa hukum. Perlindungan

hukum represif digunakan karena masalah perlindungan hukum bagi kreditur

sebagai pemegang sertipikat hak tanggungan dalam hal musnahnya seluruh obyek

hak tanggungan karena bencana alam terjadi setelah ditandatanganinya perjanjian

kredit dan APHT, sehingga permasalahan terjadi setelah terjadi pengikatan antara

bank sebagai kreditur dan masyarakat sebagai debitur. Teori Pelindungan Hukum

ini digunakan untuk menganalisis rumusan masalah yang kedua.

1.5.2 Konsep

Untuk menghindari penafsiran dan pemahanam yang terlalu luas terhadap

pokok-pokok kajian dalam penelitian ini, maka dikemukakan beberapa konsep

yang berhubungan dengan tesis yang berjudul kekuatan hukum sertifikat hak

tanggungan dalam hal musnahnya obyek hak tanggungan karena bencana alam.

Adapun konsep-konsep yang digunakan sebagai berikut:

20

a. Definisi Perjanjian Kredit

Kredit berasal dari bahasa Yunani yaitu “credere” yang berarti

kepercayaan. Dasar utama pemberian kredit dari seorang kreditur kepada debitur

adalah kepercayaan kreditur bahwa debitur akan mampu mengembalikan

pinjaman kredit sesuai dengan jangka waktu dan kesepakatan kedua belah pihak.13

Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Perbankan merumuskan pengertian kredit:

”kredit penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu,

berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara Bank dengan

pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah

jangka waktu dengan jumlah bunga”. Kredit diberikan oleh bank kepada

masyarakat berdasarkan atas kepercayaan, jadi dengan kata lain kredit merupakan

pemberian kepercayaan. Hal ini berarti bank sebagai pemberi kredit harus

memiliki kepercayaan bahwa penerima kredit akan mengembalikan pinjaman

yang diberikan oleh bank dengan syarat-syarat yang telah disetujui kedua belah

pihak. Pada hakekatnya perjanjian kredit merupakan perjanjian pinjam meminjam

yang diatur dalam buku ketiga KUH Perdata khususnya dalam Pasal 1754 KUH

Perdata sampai Pasal 1769 KUH Perdata.

Dalam Undang-Undang Perbankan tidak terdapat definisi tentang

perjanjian kredit. Sutan Remy Sjahdeini kemudian mendefinisikan perjanjian

kredit sebagaimana berikut:

Perjanjian kredit adalah perjanjian antara Bank sebagai kreditur dengan

nasabah sebagai nasabah debitur, mengenai penyediaan uang atau tagihan

13

Thomas Suyatno, 1998, Dasar-Dasar Perkreditan, Gramedia Pustaka

Utama, Jakarta, hal 12.

21

yang dapat dipersamakan dengan itu, yang mewajibkan nasabah-nasabah

debitur untuk melunasi hutang-hutangnya setelah jangka waktu tertentu

dengan jumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan.14

Perjanjian kredit telah berkembang tidak hanya berisikan perjanjian pinjam

meminjam, melainkan juga memuat perjanjian pemberian kuasa, dan perjanjian

lainnya. Menurut Ch. Gatot Wardoyo perjanjian kredit memiliki fungsi antara

lain:

1. Perjanjian kredit berfungsi sebagai perjanjian pokok, artinya perjanjian

kredit merupakan sesuatu yang menentukan batal, atau tidak batalnya

perjanjian lain yang mengikutinya, misalnya perjanjian pengikatan

jaminan.

2. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat bukti mengenai batasan-batasan

hak dan kewajiban diantara kreditur dan debitur.

3. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat untuk melakukan monitoring

kredit.15

Perjanjian kredit merupakan perjanjian pokok yang bersifat riil.

Sedangkani perjanjian jaminan adalah assessornya. Ada dan berakhirnya

perjanjian jaminan bergantung pada perjanjian pokok. Arti riil adalah bahwa

terjadinya perjanjian kredit ditentukan oleh penyerahan uang oleh bank kepada

nasabah debitur.16

b. Definisi Jaminan

Istilah jaminan berasal dari terjemahan bahasa Belanda yaitu “zeherheid”.

Zeherheid mencakup bagaimana cara kreditur menjamin dipenuhinya tagihannya

14

Sutan Remy Sjahdeini, 1993, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan

Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank, Institut Bankir

Indonesia, Jakarta (selanjutnya disebut Sutan Remy Sjahdeini I), hal 44.

15

Thomas Suyatno, op.cit, hal 13. 16

Hermansyah, 2010, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana

Prenada Media Group, Jakarta, hal 71.

22

disamping penanggungan jawab umum debitur terhadap barang-barangnya.17

M. Bahsan mendefinisikan jaminan adalah “segala sesuatu yang diterima kreditur

dan diserahkan debitur untuk menjamin suatu piutang dalam masyarakat”.18

Jaminan merupakan sesuatu yang diberikan kepada kreditur untuk menimbulkan

keyakinan bahwa debitur akan memenuhi kewajiban yang dapat dinilai dengan

uang yang timbul dari suatu perikatan. Dalam praktek perbankan terdapat dua

istilah yang dipergunakan untuk menjelaskan adalah jaminan yaitu jaminan dan

agunan. Jaminan dimaksud sebagai kepercayaan yang diberikan oleh kreditur

bank atas itikad baik dan kemampuan membayar utang atau kewajiban debitur,

sedangkan agunan dimaksudkan dengan barang-barang kebendaan milik debitur

yang dijadikan jaminan untuk melunasi utangnya.19

Secara umum jaminan dibagi menjadi 2 (dua) yaitu jaminan umum dan

jaminan khusus. Jaminan umum diatur dalam Pasal 1131 KUH Perdata. Menurut

Pasal 1131 KUH Perdata jaminan umum diartikan dengan “Segala kebendaan si

berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada

maupun yang baru ada dikemudian hari, menjadi tanggungan segala perikatan

perseorangan”. Berdasarkan rumusan pasal tersebut jaminan umum adalah

seluruh aset yang dimiliki debitur baik yang telah ada maupun yang kelak akan

ada, atau dengan kata lain seluruh kekayaan debitur adalah jaminan umum dari

17

Salim HS, 2004, Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia, Raja

Grafindo Persada, Jakarta (selanjutnya disebut Salim HS I), hal 21. 18

Muhammad Bahsan, 2002, Penilaian Jaminan Kredit Perbankan

Indonesia, Rejeki Agung, Jakarta, hal 148. 19

Suharningsih, 2011, Analisis Yuridis Terhadap Perjanjian Kredit Dengan

Jaminan Barang Inventory Dalam Bingkai Jaminan Fidusia, Universitas

Wisnuwardhana Pers, Malang, hal 19.

23

perikatan yang dilakukan oleh debitur tersebut. Jaminan khusus adalah jaminan

yang telah ditentukan oleh debitur sebagai jaminan atas perikatan yang

dilakukannya. Jaminan khusus bersifat kontraktual, karena terbit dari perjanjian

tertentu, baik yang khusus ditujukan terhadap benda-benda tertentu maupun orang

tertentu. Jaminan khusus secara garis besar dibedakan menjadi 2 (dua) jenis yaitu

jaminan perseorangan dan jaminan kebendaan.

Jaminan perseorangan merupakan suatu perjanjian dimana pihak ketiga

menyatakan kesanggupan bahwa ia menanggung pembayaran suatu hutang bila

yang berhutang (debitur) tidak menepati kewajibannya kepada kreditur. Jaminan

perseorangan diatur dalam Pasal 1820 KUH Perdata. Jaminan kebendaan adalah

jaminan yang obyeknya berupa barang bergerak maupun yang tidak beregerak

yang khusus diperuntukan untuk menjamin hutang debitur kepada kreditur apabila

dikemudian hari hutang tersebut tidak dapat dibayar oleh debitur.20

Jaminan kebendaan dibagi menjadi 2 (dua), yaitu jaminan kebendaan

untuk benda tidak bergerak dan jaminan kebendaan bergerak. Pembedaan benda

bergerak dan tidak bergerak ini penting untuk penguasaan (bezit), penyerahan

(levering), pembebanan (bezwaring) dan kadaluarsa (verjaring).21

Untuk jaminan

benda tidak bergerak yaitu tanah, maka lembaga jaminannya adalah hak

tanggungan dan tunduk pada Undang-Undang Hak Tanggungan. Jaminan

kebendaan benda bergerak tunduk pada lembaga jaminan fidusia dan gadai.

Jaminan fidusia diatur dalam Undang-undang Jaminan Fidusia, sedangkan

20

Gatot Supramono, 2013, Perjanjian Utang Piutang, Kencana Prenada

Media Group, Jakarta, hal 59.

21

Rachmadi Usman, 2008, Hukum Jaminan Keperdataan, Sinar Grafika,

Jakarta, hal 48.

24

lembaga jaminan gadai diatur dalam Pasal 1150 KUH Perdata yang mengatur

tentang gadai.

c. Definisi Hak Tanggungan

Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Hak Tanggungan merumuskan

definisi Hak Tanggungan. Definisi hak tanggungan tersebut adalah sebagaimana

berikut:

Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan

tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang

dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria,

berikut atau tidak berikut benda benda lain yang merupakan satu kesatuan

dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan

kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-

kreditor lain.

Boedi Harsono mendefinisikan hak tanggungan sebagai penguasaan hak

atas tanah, berisi kewenangan bagi kreditur untuk berbuat sesuatu mengenai tanah

yang dijadikan agunan, tetapi bukan untuk dikuasai secara fisik dan digunakan,

melainkan untuk menjualnya jika debitur cedera janji dan mengambil dari

hasilnya seluruhnya atau sebagian sebagai pembayaran lunas debitur kepadanya.22

Hak tanggungan merupakan perjanjian accesoir artinya disampingnya ada

perjanjian pokok yang berwujud perjanjian pinjam-meminjam uang. Sifat hak

tanggungan yang merupakan perjanjian assesoir maka adanya tergantung pada

perjanjian pokok, dan akan hapus dengan hapusnya perjanjian pokok.23

22

Salim HS I, op.cit, hal 97. 23

Titik Triwulan Tutik, 2008, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum

Nasional, Prenada Media Group, Jakarta, hal 182.

25

d. Definisi Tanah

Definisi tanah dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah permukaan

bumi atau lapisan bumi yang diatas sekali, sebagai permukaan bumi atau lapisan

bumi24

. Dalam lingkup agraria, tanah merupakan bagian dari bumi yang disebut

permukaan bumi. Tanah yang dimaksudkan disini bukanlah mengatur tanah dalam

segala aspeknya, melainkan hanya mengatur salah satu aspeknya yaitu tanah

dalam pengertian yuridis yang disebut hak.25

Tanah sebagai bagian dari bumi

dirumuskan dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang

Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 1960 Nomor 104 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

2043, selanjutnya disebut Undang-Undang Pokok Agraria) yang merumuskan:

Atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2

ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut

tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik

sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan

hukum.

Martin Dixon mendefinisikan tanah : ”Land is both the physical asset

which the owner may enjoy in or over it”.26

(Terjemahan bebas : tanah adalah aset

fisik dimana pemilik dapat menikmati manfaat atas aset tersebut). Berdasarkan

pemaparan diatas maka tanah dalam pengertian yuridis adalah permukaan bumi,

sedangkan hak atas tanah adalah hak atas sebagian tertentu atas permukan bumi

yang berbatas, berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar.

24

W.J.S Poerwadarminta, 2007, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai

Pustaka, Jakarta, hal 1195.

25

Urip Santoso, 2005, Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah, Kencana

Prenada Media Group, Jakarta, hal 10. 26

Martin Dixon, 2004, Principles of Land Law, Cavendish Publishing

Limited, London, hal 24.

26

e. Definisi Overmacht

Overmarcht atau keadaan memaksa adalah keadaan yang melepaskan

seseorang atau suatu pihak yang mempunyai kewajiban untuk dipenuhinya

berdasarkan suatu perikatan (debitur), yang tidak atau tidak dapat memenuhi

kewajibannya dari tanggung jawab untuk memberi ganti rugi, biaya dan bunga

dari tanggung jawab untuk memenuhi kewajibannya tersebut.27

Overmacht diatur

dalam Pasal 1244 KUH Perdata dan 1245 KUH Perdata. Pasal 1244 KUH Perdata

merumuskan:

Jika ada alasan untuk itu si berutang dihukum mengganti biaya, rugi dan

bunga, bila ia tidak membuktikan, bahwa hal tidak dilaksanakan atau tidak

pada waktu yang tepat dilaksanakannya perjanjian itu, disebabkan karena

suatu hal yang tak terduga, pun dapat dipertanggungjawabkan padanya

,kesemuanya itupun jika tidak buruk tidak ada pada pihaknya.

Pasal 1245 KUH Perdata mengatur tentang penghapusan ganti kerugian

dalam perikatan karena suatu peristiwa overmarcht. Pasal 1245 KUH Perdata

merumuskan “Tidaklah biaya rugi dan bunga harus digantinya, apabila karena

keadaan memaksa atau karena suatu keadaan yang tidak disengaja si berutang

berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan atau karena hal-

hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang”.

Keadaan overmacht memberikan kelonggaran kepada debitur untuk tidak

melakukan penggantian biaya, kerugian dan bunga kepada kreditur, oleh karena

suatu keadaan yang berada diluar kekuasaannya.28

Berdasarkan pemaparan

tersebut maka dapat dikemukakan overmacht adalah suatu keadaan diluar

27

Rahmat S.S. Soemadipradja, 2010, Penjelasan Hukum Tentang Keadaan

Memaksa, Nasional Legal Reform Program, Jakarta, hal 1. 28

Salim HS, 2001, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Sinar

Grafika, Jakarta (selanjutnya disebut Salim HS II), hal 183.

27

perkiraan yang membuat debitur tidak mampu memenuhi kewajibannya kepada

kreditur dalam suatu perikatan. Keadaan tersebut bisa dikarenakan bencana alam,

atau peristiwa lain yang tidak mampu diperkirakan sebelumnya.

f. Definisi Bencana Alam

Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang

Penanggulangan Bencana (Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 66, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4723, selanjutnya disebut Undang-

Undang Penanggulangan Bencana) merumuskan bencana alam sebagai “Bencana

yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh

alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir,

kekeringan, angin topan, dan tanah longsor”.

Tanah lonsor adalah suatu peristiwa geologi yang terjadi karena

pergerakan masa batuan atau tanah dengan berbagai tipe dan jenis seperti jatuhnya

bebatuan atau gumpalan besar tanah. Pemicu utama tanah longsor adalah

gravitasi, namun adapula faktor lain yang turut berpengaruh antara lain erosi dan

gempa bumi.29

1.6. Metode Penelitian

Dalam suatu penelitian ilmiah, metode memiliki peran yang sangat

penting, karena metode memberikan petunjuk-petunjuk bagaimana cara

memperoleh data dan bagaimana kemudian data tersebut diperoleh dan diolah

menjadi sebuah karya tulis ilmiah, sehingga hasil penelitan tersebut memiliki

29

http://id.wikipedia.org/wiki/Tanah_longsor, diakses pada tanggal

20 Agustus 2014 pada pukul 11.20 Wita.

28

dasar dan dapat dipertanggungjawabkan. Metode yang digunakan dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut:

1.6.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan untuk menyelesaikan permasalahan adalah

penelitian hukum normatif. Dalam penelitan hukum ini, hukum dikonsepkan

sebagai apa yang ditulis dalam peraturan perundang-undangan atau hukum

dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan perilaku

manusia yang dianggap pantas.30

Karateristik utama penelitian hukum normatif

adalah sumber utamanya adalah bahan hukum bukan data atau fakta sosial, karena

dalam penelitian hukum normatif yang dikaji adalah bahan hukum yang berisi

aturan-aturan yang bersifat normatif.31

Jenis penelitian hukum normatif dipilih dalam penulisan tesis ini, karena

beranjak dari kekosongan norma dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Hak

Tanggungan terkait hapusnya hak tanggungan karena obyek hak tanggungan

musnah akibat bencana alam. Keadaan ini menimbulkan kekosongan norma

(leemten van norm) dalam Undang-Undang Hak Tanggungan.

1.6.2 Jenis Pendekatan

Jenis pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari 2 (dua)

pendekatan. Pendekatan tersebut antara lain adalah pendekatan analisis konsep

hukum (analitical and conceptual approach) dan pendekatan perundang-

undangan (the statute approach). Pendekatan analisis konsep hukum (analitical

30

Amirudin, 2006, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo

Persada, Jakarta, hal 118.

31

Bahder Johan Nasution, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar

Maju, Bandung, hal 86.

29

and conceptual approach) adalah pendekatan yang beranjak dari pandangan-

pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. Dengan

mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin didalam ilmu hukum,

peneliti akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum,

konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang

dihadapi. Pendekatan undang-undang (the statute approach) dilakukan dengan

menelaah semua undang-undang dan peraturan yang bersangkut paut dengan isu

hukum yang sedang ditangani.32

Kedua pendekatan ini digunakan agar diperoleh

hasil penelitian yang lebih akurat.

1.6.3 Sumber Bahan Hukum

Pada penelitian hukum normatif sumber bahan hukum yang digunakan

bersumber dari data sekunder. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari

bahan-bahan pustaka.33

Data sekunder dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) yaitu

bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier.

a) Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mengikat dan terdiri dari

peraturan dasar peraturan perundang-undangan. Dalam penelitian ini digunakan

sumber hukum primer yang terdiri dari:

a) Burgerlijk Wetboek voor Indonesie (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Staatsblad 1847 Nomor 23), terjemahan R. Subekti dan R. Tjitrosudibio

32

Peter Mahmud Marzuki, 2006, Penelitian Hukum, Kencana Prenada

Media Group, Jakarta (selanjutnya disebut Peter Mahmud Marzuki II), hal 93. 33

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2010, Penelitian Hukum Normatif

Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Pers, Jakarta, hal 12.

30

b) Wetboek van Koophandel voor Indonesie (Kitab Undang-Undang Hukum

Dagang Staatsblad 1847 Nomor 23), terjemahan R. Subekti dan

R. Tjitrosudibio).

c) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-

Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor

104 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043).

d) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Juncto Undang-

undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 182 Tahun 1998 Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 3473).

e) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas

Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 4 Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 3632).

f) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi (Lembaran

Negara Republik Indonesia, Tahun 1999 Nomor 54, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 3833.

g) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 66 Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4723).

31

h) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106 Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756).

i) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157 Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5057).

j) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2014 Tentang

Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor

337 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618).

k) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak

Guna Bangunan, dan Hak Pakai (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 1996 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 3643).

l) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1998 Tentang

Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 1998 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 3746)

m) Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan

Pengadaan Barang dan Jasa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

2003 Nomor 120, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

4330).

32

n) Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor

422/KMK.06/2003 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi

dan Perusahaan Reasuransi.

o) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 8

Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Agraria / Kepala

Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang ketentuan

Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang

Pendaftaran Tanah.

p) Peraturan Bank Indonesia Nomor PBI 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian

Kualitas Aktiva Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

2005 Nomor 12 DPNP, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 4471 DPNP).

q) Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/15/PBI/2006 Tentang Perlakuan Khusus

Terhadap Kredit Bank Bagi Daerah-Daerah Tertentu Di Indonesia Yang

Terkena Bencana Alam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006

Nomor 72 DPNP/DPBPR/DPbS, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 4641 DPNP/DPBPR/DPbS).

b) Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder dapat berupa berupa

rancangan undang-undang, hasil penelitian, dan pendapat para pakar hukum.

Dalam penelitian ini bahan hukum sekunder yang digunakan adalah buku

literatur di bidang hukum perdata, hukum agraria dan lain sebagainya.

33

c) Bahan Hukum Tertier

Bahan hukum tertier yaitu bahan yang memberikan penjelasan terhadap

bahan hukum primer dan sekunder. Bahan hukum tertier tersebut berupa kamus

hukum dan ensiklopedia hukum.34

Bahan Hukum tertier yang digunakan dalam

penelitian ini adalah kamus hukum untuk mencari definisi dari istilah-istilah

hukum, dan Kamus Umum Bahasa Indonesia untuk mencari definisi istilah-istilah

yang digunakan dalam penulisan penelitian ini.

1.6.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Bahan hukum yang digunakan dalam penulisan ini diperoleh melalui

pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan teknik studi pustaka dengan sistem

kartu yakni semua bahan yang diperlukan kemudian dicatat mengenai hal-hal

yang dianggap penting bagi penelitian yang digunakan.35

Sistem kartu digunakan

saat mencatat judul buku, nama pengarang buku, halaman dan materi yang

dianggap penting dan mendukung penelitian ini. Sistem kartu ini juga didukung

dengan teknik bola salju (snow ball) yaitu dengan menemukan bahan hukum

sebanyak mungkin melalui referensi dari berbagai literatur hukum.

1.6.5 Teknik Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum

Teknik analisis bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini diawali

dengan mengumpulkan bahan-bahan hukum secara sistematis yang kemudian

dianalisis. Analisis dilakukan untuk mengetahui secara rinci permasalahan yang

ada dalam penelitian ini dengan mengambarkan apa adanya terhadap suatu

34

Bambang Waluyo, 2002, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar

Grafika, Jakarta, hal 23.

35

Soerjono Soekanto dan Sri Mujiati, op.cit, hal 13.

34

masalah (deskripsi), kemudian menjelaskan permasalahan yang ada (ekplanasi),

mengkaji permasalahan dengan mengkontruksi ketentuan hukum sehingga

didapatkan ketentuan norma yang mampu menyelesaikan permasalahan.

Permasalahan yang dikaji yaitu terjadinya kekosongan norma dalam Pasal 18 ayat

(1) Undang-Undang Hak Tanggungan yang tidak merumuskan kedudukan

sertipikat hak tanggungan dalam hal musnahnya seluruh obyek hak tanggungan

dan memberikan pendapat atas permasalahan dan hasil evaluasi tersebut

(argumentasi). Analisis tersebut dilakukan agar mendapatkan kesimpulan dan

solusi atas permasalahan yang dihadapi dalam penelitian ini.