bab i pendahuluan 1.1. latar belakang...
TRANSCRIPT
58
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Perjanjian telah menjadi bagian yang penting didalam kehidupan manusia,
termasuk dalam dunia bisnis. Pelaku bisnis dalam melakukan kerja sama
dituangkan dalam suatu perjanjian. Perjanjian dalam dunia bisnis lazimnya
dilakukan secara tertulis, baik perjanjian yang dibuat secara notariil dihadapan
Notaris, maupun perjanjian dibawah tangan yang dibuat oleh para pihak.
Perjanjian di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia diatur di
dalam Buku III Tentang Perikatan, Pasal 1233 sampai dengan Pasal 1864.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia tidak mengenal dan
tidak mengatur Memorandum of Understanding (MoU). MoU merupakan
kesepakatan awal dalam kontrak yang dibuat berdasarkan sistem hukum Common
Law. Kontrak yang dibuat memiliki sifat yang tidak berbeda dengan perjanjian,
yaitu ikatan yang memiliki akibat hukum. Kontrak merupakan kesepakatan para
pihak yang mempunyai akibat hukum yang mengikat bagi para pihak sebagai
undang-undang sesuai dengan asas Pacta Sunt Servanda.
Istilah MoU berasal dari dua kata, yaitu memorandum dan understanding.
Secara gramatikal MoU diartikan sebagai nota kesepahaman. Dalam Black’s Law
Dictionary, yang diartikan memorandum adalah “is to serve as the basis of future
formal contract”.1 Artinya, dasar untuk memulai penyusunan kontrak secara
1 Bryan A. Gardner (ed.), Black Law Dictionary (5th edition), (West Publising Co.,
1979), hal. 888.
formal pada masa datang. Sedangkan understanding diartikan sebagai “an implied
agreement resulting from the express terms of another agreement, whether written
or oral, atau a valid contract engagement of a somewhat informal character; atau
a loose and ambiguous terms, unless it is accompanied by some expression that it
is constituted a meeting of the minds of parties upon something respecting which
they intended to be bound”.2 Artinya, sebuah perjanjian yang berisi pernyataan
persetujuan tidak langsung atas perjanjian lainnya baik secara lisan maupun
tertulis, atau pengikatan kontrak yang sah atas suatu materi yang bersifat informal
atau persyaratan yang longgar, kecuali pernyataan tersebut disertai atau
merupakan hasil persetujuan atau kesepakatan pemikiran dari para pihak yang
dikehendaki oleh keduanya untuk mengikat. Dari terjemahan kedua kata tersebut,
dapat dirumuskan pengertian MoU, yakni dasar penyusunan kontrak pada masa
datang yang didasarkan pada hasil pemufakatan para pihak, baik secara tertulis
maupun lisan.
Perkembangan bisnis di Indonesia dalam membuat perjanjian mendapat
pengaruh dari sistem hukum Common Law, sehingga para pihak dalam hubungan
binis biasanya membuat kontrak. Para pihak dalam membuat kontrak biasanya
didahului dengan MoU. MoU dalam sistem hukum Common Law belum
merupakan kontrak, belum menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak.
Sebelum transaksi bisnis atau MoU ini berlangsung biasanya terlebih dahulu
dilakukan negosiasi awal. Negosiasi merupakan suatu proses tawar-menawar
2 Ibid., hal. 889
dengan jalan berunding, guna mencapai kesepakatan bersama antara satu pihak
(kelompok atau organisasi) dengan pihak (kelompok atau organisasi) lain.3
MoU yang dibuat oleh para pihak yang tunduk kepada hukum perjanjian
di Indonesia, dimana dalam praktek salah satu pihak tidak melaksanakan
kewajibannya sebagimana ditentukan di dalam MoU, yang menimbulkan
konsekuensi perjanjian (kontrak) tidak bisa ditandatangani oleh para pihak.
Perjanjian (kontrak) yang tidak bisa ditandatangi oleh para pihak karena salah satu
pihak tidak mekakukan kewajibannya sebagaimana mestinya, menyebabkan
kerugian dan menghambat bisnis para pihak.
Perjanjian (kontrak) berdasarkan asas-asas yang diatur di dalam Buku III
KUH Perdada tentang Perikatan. Prinsip yang mendasari perjanjian (kontrak)
adalah asas mengikatnya kontrak (pacta sunt servanda) dimana asas ini
menjelaskan bahwa setiap orang yang membuat kontrak mengikat pada para
pihak sebagaimana undang-undang. Perjanjian (kontrak) berpedoman pada asas
kebebasan berkontrak yang diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata, yang menyatakan bahwa : “Semua perjanjian (kontrak)
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya”.
Kebebasan berkontrak artinya seseorang bebas untuk mengadakan
perjanjian, bebas mengenai apa yang diperjanjikan, bebas pula menentukan
bentuk kontraknya.4 Asas kebebasan berkontrak memberikan kebebasan bagi
pihak-pihak yang berkontrak, namun asas kebebasan berkontrak itu juga tidak
3 “Kamus Besar Bahasa Indonesia”, 1989, hal. 661
4 Abdul R.Salimin, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan (Teori Dan Contoh Kasus), Jakarta,
Kencana, 2010, h. 46
memberikan kebebasan yang mutlak. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
sendiri memberikan beberapa pembatasan terhadap asas kebebasan berkontrak ini,
antara lain dibatasi oleh undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.
Perjanjian (kontrak) merupakan bagian dalam proses transaksi bisnis, baik
transaksi bisnis dalam negeri maupun bisnis internasional. Fungsi perjanjian
(kontrak) sangat penting dalam menjamin bahwa seluruh hak dan kewajiban para
pihak dapat terlaksana dan dipenuhi. Para pihak yang tidak dapat melakukan hak
dan kewajibannya sebagaimana ditentukan di dalam perjanjian (kontrak) atau
dalam hal terjadi pelanggaran, maka menimbulkan hak kepada para pihak dapat
menuntut pemenuhan kewajibannya dan bahkan dapat menuntut ganti rugi.
Hukum perjanjian (kontrak) menjamin kepastian hukum para pihak dalam
melaksanakan perjanjian (kontrak) sebagaimana seharusnya dengan itikad baik.
Hukum perjanjian (kontrak) merupakan instrumen hukum yang berfungsi untuk
menjamin pelaksanaan perjanjian (kontrak).
Transaksi bisnis biasanya terlebih dahulu diawali dengan negosiasi awal.
Negosiasi merupakan suatu proses upaya untuk mencapai kesepakatan dengan
pihak lain. Negosiasi merupakan instrumen yang dapat menjembatani berbagai
kepentingan pelaku bisnis dalam merumuskan hak dan kewajibannya.
Negosiasi merupakan proses tawar menawar para pihak dalam menentukan
hak dan kewajibannya. Tahapan berikutnya setelah proses negosiasi adalah
pembuatan MoU. MoU merupakan pencatatan atau pendokumentasian hasil
negosiasi awal dalam bentuk tertulis MoU sangat penting sebagai pegangan untuk
digunakan lebih lanjut di dalam pembuatan perjanjian (kontrak).
Asas kebebasan berkontrak, para pihak diberi kebebasan untuk menentukan
materi muatan atau substansi MoU, yang mengatur apa saja, sepanjang tidak
bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum, dan
penyusunan MoU wajib memenuhi syarat-syarat sahnya sebuah perjanjian
sebagaimana tertuang dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
MoU tidak dikenal dalam hukum perjanjian di Indonesia. Hukum perjanjian
di Indonesia, tidak ada ketentuan yang secara khusus mengatur MoU. MoU dapat
diberlakukan di Indonesia berdasarkan pada asas kebebasan berkontrak.
Banyak hal yang melatarbelakangi dibuatnya MoU, salah satunya adalah
karena prospek bisnis suatu usaha dirasa belum jelas benar dan dengan negosiasi
yang rumit dan belum ada jalan keluarnya, sehingga dari pada tidak ada ikatan
apa-apa maka dibuatlah MoU. Apa yang namanya MoU sebenarnya tidak dikenal
dalam hukum konvensional di Indonesia, terutama dalam hukum kontrak di
Indonesia. Tetapi dewasa ini sering dipraktekkan dengan meniru (mengadopsi)
apa yang dipraktekkan secara internasional. Jadi sebenarnya dengan kita
memberlakukan MoU itu telah ikut memperkaya khasanah pranata hukum di
Indonesia ini. MoU tidak diatur di dalam hukum positif Indonesia, banyak
diberlakukan dalam praktek sebelum penandatanganan perjanjian (kontrak), maka
banyak menimbulkan permasalahan, antara lain: bagaimana kedudukan hukum
MoU dalam Hukum Perjanjian Indonesia, dan bagaimana kekuatan mengikat
MoU dalam Hukum Perjanjian Indonesia.
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka penulis tertarik untuk
melakukan penelitian atau kajian secara ilmiah dalam bentuk skripsi dengan judul
“STATUS HUKUM MEMORANDUM OF UNDERSTANDING (MOU) DALAM
HUKUM PERJANJIAN INDONESIA”.
1.2. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang diangkat oleh penulis pada skripsi ini
adalah:
1. Bagaimana kedudukan hukum Memorandum of Understanding (MoU) dalam
Hukum Perjanjian Indonesia?
2. Bagaimana kekuatan mengikat Memorandum of Understanding (MoU) dalam
Hukum Perjanjian Indonesia?
1.3. Ruang Lingkup Masalah
Sesuai dengan lingkup masalah yang telah ditentukan maka untuk
menghindari jangan sampai timbul suatu pembahasan yang nantinya keluar dari
pokok permasalahan, dalam kaitannya dengan judul yang telah dipilih tersebut,
maka untuk itu fokus pembahasan masalah dalam skripsi ini hanya mengenai
status hukum memorandum of understanding (MoU) dalam hukum perjanjian
Indonesia.
1.4. Originalitas Penelitian
Penulis Judul Rumusan Masalah
Rudi Hartono Manalu,
2012, Fakultas
Kedudukan dan
Kekuatan Hukum
1. Bagaimana kedudukan
hukum dari
Hukum, Universitas
Esa Unggul Jakarta
Memorandum Of
Understanding Ditinjau
Dari Segi Hukum
Kontrak
Memorandum Of
Understanding ditinjau
dari hukum kontrak ?
2. Bagaimana akibatnya
jika ada salah satu
pihak melakukan
pengingkaran terhadap
klausul Memorandum
Of Understanding?
Adawiah Benny La
Tanrang, 2013,
Fakultas Hukum,
Universitas
Hasanuddin, Makassar
Kekuatan Hukum
Memorandum Of
Understanding (Mou)
Dalam Penerapannya
Berdasarkan KUH
Perdata
1. Bagaimana kedudukan
hukum dan kekuatan
mengikatnya
Memorandum of
Understanding (MoU)
dalam penerapannya
berdasarkan KUH
Perdata?
2. Bagaimana akibat
hukum yang
ditimbulkan apabila
terjadi pengingkaran
oleh salah satu pihak
dalam Memorandum
of Understanding
(MoU) ?
1.5. Tujuan Penelitian
Di dalam melaksanakan suatu kegiatan tentunya memiliki suatu tujuan yang
sangat penting dan bermanfaat bagi diri sendiri maupun orang lain, begitu pula
dalam penulisan skripsi ini memiliki suatu tujuan yang hendak dicapai yaitu :
a. Tujuan Umum
Berdasarkan latar belakang dan pokok permasalahan tersebut di atas
maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui status hukum
memorandum of understanding (MoU) dalam hukum perjanjian Indonesia.
b. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui kedudukan hukum Memorandum of Understanding
(MoU) dalam Hukum Perjanjian Indonesia.
2. Untuk mengetahui kekuatan mengikat Memorandum of Understanding
(MoU) dalam Hukum Perjanjian Indonesia.
1.6. Manfaat Penelitian
Sesuai dengan pokok permasalahan yang ada, maka manfaat dari penelitian
dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
a. Manfaat Teoritis
1) Melatih kemampuan untuk melakukan penelitian secara ilmiah dan
merumuskan hasil-hasil penelitian tersebut ke dalam bentuk tulisan.
2) Menerakan teori-teori yang diperoleh dari bangku perkuliahan dan
menghubungkannya dengan praktik di lapangan.
3) Untuk memperoleh manfaat ilmu pengetahuan di bidang hukum pada
umumnya maupun di bidang hukum bisnis pada khususnya yaitu dengan
mempelajari litelatur yang ada di kombinasikan dengan perkembangan
yang terjadi di lapangan.
b. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini sangat diharapkan dapat memberikan masukan bagi
mahasiswa, masyarakat, dan lembaga pemerintah yang terkait berkenaan dengan
status hukum memorandum of understanding (MoU) di dalam hukum perjanjian
Indonesia.
1.7. Landasan Teoritis
Landasan Teoritis adalah upaya untuk mengidentifikasi teori hukum umum/
khusus, konsep – konsep hukum, asas – asas hukum dan lain-lain yang akan
dipakai sebagai landasan untuk membahas permasalahan penelitian.
Sebagai suatu pemahaman yang cukup tentang persoalan-persoalan, Teori-
Teori Hukum dipandang sebagai landasan yang mutlak diperlukan untuk
pembuatan kajian ilmiah terhadap hukum positif konkret. Kemudian dikatakan
bahwa tipikal dari Teori Hukum adalah memainkan peranan mengintegrasikan,
baik yang berkenaan dengan hubungan antara disiplin-disiplin satu terhadap yang
lainnya maupun yang berkenaan dengan integrasi hasil-hasil penelitian dari
disiplin-disiplin ilmu-ilmu hukum.
Teori hukum secara essensial bersifat interdisipliner, hal ini mengandung
arti bahwa Teori Hukum dalam derajat yang besar akan menggunakan hasi-hasil
penelitian dari berbagai disiplin yang mempelajari hukum. Dalam konteks
perkembangan masyarakat dan perkembangan hukum pada saat ini, ilmu hukum
tidak dapat menutup diri terhadap perkembangan dan pengaruh konteks
perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya.
Ilmu hukum berkembang bersamaan dan bersentuhan di dalam konteks
perkembangan ilmu pengetahuan yang berkembang dengan cepat, kompleks, dan
universal dalam globalisasi.
Teori Perjanjian
Pengertian Perjanjian diatur dalam ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata,
yakni perjanjian/persetujuan adalah perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Dengan adanya peristiwa
tersebut (perjanjian), timbulah suatu hubungan hukum antara dua orang atau lebih
yang disebut perikatan, dimana didalamnya terdapat hak dan kewajiban masing-
masing pihak. Mengenai perikatan, disebutkan dalam Pasal 1233 KUHPerdata,
bahwa perikatan lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang.
Subekti membedakan pengertian antara perikatan dengan perjanjian, yakni
bahwa hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah perjanjian itu menerbitkan
perikatan. Perjanjian adalah sumber perikatan, di samping sumber-sumber lain.
Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, karena dua pihak itu setuju untuk
melakukan sesuatu. Suatu perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua
orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu
hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi
tuntutan itu, sedangkan suatu perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang
berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk
melaksanakan sesuatu hal5.
Abdulkadir Muhammad menyatakan bahwa perjanjian adalah persetujuan
dengan mana dua pihak atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan
suatu hal yang bersifat kebendaan dibidang harta kekayaan. Definisi dalam arti
sempit ini jelas menunjukkan telah terjadi persetujuan (persepakatan) antara piak
yang satu (kreditor) dan pihak yang lain (debitor), untuk melaksanakan satu hal
yang bersifat kebendaan (zakelijk) sebagai obyek perjanjian6.
Ricardo Simanjuntak menyatakan bahwa kontrak merupakan bagian dari
pengertian perjanjian. Perjanjian sebagai suatu kontrak merupakan perikatan yang
mempunyai konsekuensi hukum yang mengikat para pihak yang pelaksanaannya
5 R. Subekti, 2005, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, hal. 1.
6 Abdulkadir Muhammad, 2010, Hukum Perdata Indonesia, Bandung, Citra Aditya
Bakti, h. 290.
akan berhubungan dengan hukum kekayaan dari masing-masing pihak yang
terikat dalam perjanjian tersebut7.
Syarat-syarat yang diperlukan untuk sahnya suatu perjanjian diatur dalam
dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu: 1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan
dirinya. 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan. 3. Suatu hal tertentu. 4.
Suatu sebab yang halal.
Kesepakatan (konsesualisme) bagi mereka yang mengikatkan dirinya,
maksudnya adalah bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut harus
bersepakat atau setuju mengenai perjanjian yang akan diadakan tersebut, tanpa
adanya paksaan, kekhilafan, dan penipuan. Dalam hal ini, antara para pihak harus
mempunyai kemauan yang bebas (sukarela) untuk mengikatkan diri, di mana
kesepakatan itu dapat dinyatakan secara tegas maupun diam-diam. Bebas di sini
artinya adalah bebas dari kekhilafan, paksaan, dan penipuan, dimana berdasarkan
Pasal 1321 KUHPer, perjanjian menjadi tidak sah apabila kesepakatan tersebut
terjadi karena adanya unsur-unsur kekhilafan, paksaan, atau penipuan.
Kecakapan, yaitu bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian harus
cakap menurut hukum, serta berhak dan berwenang melakukan perjanjian.
Mengenai kecakapan, Pasal 1329 KUH Perdata menyatakan bahwa setiap orang
cakap melakukan perbuatan hukum kecuali yang oleh undang-undang dinyatakan
tidak cakap. Mengenai orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu
perjanjian diatur dalam ketentuan Pasal 1330 KUH Perdata, yakni:
7 Ricardo Simanjutak, 2011, Hukum Kontrak Teknik Perancangan Kontrak Bisnis,
Kontan Pub., Jakarta, hal. 32.
1. Orang yang belum dewasa.Mengenai kedewasaan, dalam ketentuan Pasal 330
KUH Perdata, kecakapan diukur apabila para pihak yang membuat perjanjian
telah berumur 21 tahun atau kurang dari 21 tahun tetapi sudah menikah dan
sehat pikirannya.
2. Mereka yang berada di bawah pengampuan.
3. Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-Undang
(dengan berlakunya Undang-Undang Perkawinan, ketentuan ini sudah tidak
berlaku lagi).
4. Semua orang yang dilarang oleh Undang-Undang untuk membuat perjanjian-
perjanjian tertentu.
Suatu hal tertentu, maksudnya disini adalah bahwa perjanjian tersebut harus
mengenai suatu obyek tertentu. Sedangkan suatu sebab yang halal, maksudnya
adalah isi dan tujuan suatu perjanjian haruslah berdasarkan hal-hal yang tidak
bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban.
1.8. Metode Penelitian
Metode Penelitian adalah ilmu tentang metode-metode yang digunakan
dalam penelitian. Untuk membuktikan kebenaran ilmiah dari sebuah penelitian
yang dilaksanakan, dilakukan pengumpulan data dan fakta yang keseluruhannya
berhubungan erat dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian tersebut.
Kerangka pemikiran yang diperlukan di dalam penelitian hukum,
merupakan suatu paradigma mengenai pengertian-pengertian pokok atau
pengertian-pengertian dasar di dalam sistem hukum yang sifatnya universal.
Penelitian dalam dunia perguruan tinggi merupakan bagian yang sangat
penting, vital, dan wajib dilakukan karena mengandung muatan akademis dan
pengabdian kepada masyarakat. Sebuah penelitian dapat membantu, memberi
masukan dan solusi dalam memecahkan problem yang sedang dihadapi oleh
hukum dan masyarakat. Secara akademik, penelitian merupakan bagian dari
pengembangan keilmuan. Sehinggga sebuah perguruan tinggi tanpa adanya
program atau aktifitas penelitian, maka patut dipertanyakan keberadaannya.
Dalam penelitian ini digunakan Metode Penelitian Hukum Normatif, yaitu
suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika
keilmuan hukum dari sisi normatif.8
b. Jenis Penelitian
Jenis dari penelitian ini bersifat Penelitian Hukum Normatif yaitu penelitian
hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan hukum.9
Sebagai penelitian hukum dalam kaitannya dengan kegiatan akademis,
dimaksudkan untuk membedakan dengan penelitian hukum dalam kaitannya
dengan kegiatan yang bersifat praktis yang lebih diarahkan untuk memecahkan
masalah-masalah praktis. Bidang ilmu hukum memiliki karakter yang khas yakni
dengan sifatnya yang normatif.
b. Jenis Pendekatan
8 Jhony Ibrahim, 2006, Teori dan Metodelogi Hukum Normatif, Bayu Publishing, Malang,
hal. 57.
9 Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, 1985, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.13.
Ada beberapa metode pendekatan dalam penelitian normatif, yaitu:
Pendekatan Perundang-undangan (Statuta Approach), Pendekatan Konsep
(Conceptual Approach), Pendekatan Analisis (Analitical Approach), Pendekatan
Perbandingan (Comperatif Approach), Pendekatan Sejarah (Historical Approach),
Pendekatan Filsafat (Philosophical Approach), dan Pendekatan Kasus (Case
Approach).10
Adapun pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Dengan pendekatan Perundang-undangan (The Statute Approach) yaitu dengan
meneliti dan menganalisa peraturan perundang-undangan.
2. Pendekatan konsep (Conceptual Approach).
c. Sumber Bahan Hukum
Pada penelitian hukum normatif, bahan hukum mencakup; pertama bahan
hukum primer, kedua bahan hukum sekunder, dan ketiga bahan hukum tertier.11
Penelitian ini menggunakan bahan hukum primer yaitu merupakan bahan pustaka
yang berisikan pengetahuan ilmiah yang baru dan mutakhir, ataupun pengertian
baru tentang fakta-fakta yang diketahui mengenai suatu gagasan, ide.12
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoratif
artinya mempunyai otoritas, yang terdiri dari perundang-undangan, catatan-
10
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, (Selanjutnya disebut Peter Mahmud
Marzuki I ) Fajar Inter Pratama Offset, Jakarta, hal. 93.
11
Soerjono Sukanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press,
Jakarta, hal. 52.
12
Soerdjono Sukanto dan Sri Mamuji, op.cit., hal. 34.
catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-
putusan hakim.13
Bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan
merupakan dokumen-dokumen resmi, meliputi buku-buku, teks, kamus-kamus
hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar atas putusan pengadilan.14
Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, dan terdiri
dari norma dasar, peraturan dasar, peraturan perundang-undangan, bahan-bahan
hukum yang tidak dikodifikasikan, yurisprudensi, Traktat dan bahan hukum yang
hingga kini masih berlaku.15
Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan
hukum primer.16
Dalam penelitian ini bahan hukum sekunder yang digunakan
yakni buku-buku literatur yang relevan, doktrin dari para ahli hukum dan bahan
hukum yang diperoleh melalui electronic research yaitu melalui internet dengan
jalam mengkopi (download), bahan hukum yang diperlukan. Keunggulan dalam
penggunaan ataupun pemakain internet antara lain: efisien, tanpa batas (without
boundry) terbuka selama 24 jam (24 hours online), interaktif dan terjalin
dalam sekejap (hyperlink).17
Bahan hukum tertier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, contohnya kamus,
ensiklopedia, indeks kumulatif, dan seterusnya.18
Dalam penelitian ini bahan
13
Peter Mahmud Marzuki I, Op.cit.,hal.141. 14
Peter Mahmud Marzuki I, Op.cit.,hal.141. 15
Soerjono Sukanto dan Sri Mamuji, Op. cit, hal. 13. 16
Soerjono Sukanto dan Sri Mamuji, Op. cit, hal. 13. 17
Budi Agus Riswadi, 2003, Hukum Internet, UII Pres, Yogyakarta, hal. 325. 18
Soerjono Sukanto dan Sri Mamuji, Loc.cit.
hukum tertier yang digunakan adalah kamus Bahasa Indonesia, Kamus Hukum
Ekonomi dan Kamus Hukum yakni Black Law Dictionary.
d. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Ada beberapa cara prosedur pengumpulan bahan hukum yaitu:
1. Melakukan studi kepustakaan, yakni dengan mengumpulkan buku-buku
literatur yang berkaitan dengan obyek penelitian.
2. Melakukan studi dokumen yaitu menginventarisasi dan mengidentifikasi
peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan materi penelitian.
3. Bahan hukum yang diperoleh, baik dari hasil membaca, identifikasi
diklasifikasikan berdasarkan kategori tertentu dan disusun secara sistematis
disesuaikan dengan pokok permasalahan yang dibahas.
e. Teknik Analisis Bahan Hukum
Semua bahan hukum yang terkumpul dikelompokkan berdasarkan rumusan
masalah yang dibahas dalam penelitian untuk memperoleh jawaban dalam
penelitian ini. Bahan hukum dianalisa dengan menggunakan conceptual analysis
yakni dengan menguraikan kemudian menginterpretasikan dan menganalisa
peraturan perundang-undangan, sebagai hal yang umum dengan bantuan bahan
hukum sekunder, kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat khusus. Setelah itu
hasilnya diuraikan secara kualitatif yaitu berdasarkan isi dari peraturan
perundang-undangan yang digunakan untuk menjawab permasalahan yang
dibahas, sehinggga memperoleh suatu kesimpulan sebagai upaya pemecahan
masalah.