bab i pendahuluan 1.1. latar...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kaum perempuan hari ini tidak hanya beraktifitas di ranah domestik saja.
Namun, di dalam masyarakat telah terjadi perubahan paradigma mengenai peran
perempuan di ranah publik. Tidak dapat dipungkiri, bahwa gerakan sosial
feminisme yang berkembang mulai abad ke-18 telah menjadi salah satu penanda
terbukanya ruang publik bagi perempuan.
Dimulai dengan munculnya gerakan feminisme liberal yang mengajukan
solusi untuk menyelesaikan permasalahan pembangunan, yaitu menghentikan
marginalisasi perempuan dengan memperjuangkan perubahan hukum dan
peraturan yang memungkinkan bagi perempuan untuk memiliki akses dan kontrol
yang sama terhadap pekerjaan dan imbalan ekonomi (M. Fakih: 2009).
Kemudian dilanjutkan dengan munculnya gerakan feminisme marxis yang
mencoba melakukan gerakan melalui kritik terhadap kapitalisme, terutama yang
berkaitan dengan sistem mode produksi. Mereka lebih menekankan pada
pembangunan aliansi dengan kelompok-kelompok dan kelas-kelas yang tertindas
lainnya (Marisa Rueda, Marta Roodriguez, dan Susan: 2007). Lalu muncul lagi
feminisme radikal yang berusaha melihat diskriminasi perempuan dengan cara
berbeda. Mereka melihat masalah utamanya adalah sistem patriarki, dimana
seluruh sistem kekuasaan dipegang oleh laki-laki terhadap perempuan. Sehingga
mereka berjuang untuk mengakhiri relasi laki-laki dan perempuan.
2
Indonesia pun memperoleh dampak dari gerakan feminisme ini, ruang
publik pun terbuka. Dilihat dari perkembangan yang ada di Indonesia dengan
tuntutan dan perubahan yang ada, gerakan feminisme liberal lebih mendominasi.
Telah banyak perempuan yang turut serta sebagai motor penggerak perekonomian
keluarga dan aktif dalam kegiatan sosial kemasyarakatan pada umumnya, baik
sebagai petani, pedagang, guru, pekerja di sektor informal ataupun sebagai ibu
rumah tangga.
Berdasarkan hasil sensus penduduk BPS tahun 2010, jumlah penduduk
perempuan di Indonesia 118.010.413 jiwa, sedangkan jumlah penduduk laki-laki
119.630.913. Jumlah yang hampir sama antara penduduk laki-laki dan perempuan
ini mengindikasikan bahwa perempuan sebagai salah satu penyumbang kemajuan
negara, terkhusus di bidang ketenagakerjaan.
Cukup besar serta berimbangnya jumlah tenaga kerja perempuan ini
mengharuskan pihak pemerintah negara Indonesia untuk mengadakan aturan-
aturan berupa perundang-undangan untuk meminimalisir terjadinya diskriminasi
terhadap perempuan di dunia kerja.
ILO (International Labor Organization) sebagai organisasi perburuhan
yang berskala internasional di bawah naungan PBB yang memiliki 183 anggota,
berusaha membuat aturan-aturan dalam bentuk konvensi sebagai instrumen sah
yang mengatur aspek-aspek administrasi perburuhan, kesejahteraan sosial atau
hak asasi manusia. Bagi negara anggota yang meratifikasi konvensi mengemban
dua tugas sekaligus, yakni komitmen resmi untuk menerapkan aturan-aturan
3
konvensi, dan kemauan untuk menerima ukuran-ukuran penerapan yang diawasi
secara internasional.
Indonesia pun sebagai anggota ILO juga turut meratifikasi 18 (delapan
belas) konvensi terkhusus yang berkaitan dengan kesetaraan gender di dunia kerja
per tanggal 12 September 2011.
Tabel 1.1 Konvensi ILO yang telah Diratifikasi Indonesia
Konvensi Tanggal
Ratifikasi
Status
C19 Konvensi tentang Kesetaraan
Perlakuan (Konpensasi
Kecelakaan)
12:06:1950
Ratifikasi
C27 Konvensi tentang Pencatatan
Beban (Paket yang dikirim
dengan Kapal Besar)
12:06:1950
Ratifikasi
C29 Konvensi tentang Kerja Paksa 12:06:1950 Ratifikasi
C45 Konvensi tentang Kerja Bawah
Tanah
(bagi perempuan)
12:06:1950 Ratifikasi
C69 Konvensi tentang Sertifikasi Juru
Masak Kapal
30:03:1992 Ratifikasi
C81 Konvensi tentang Pengawasan
Perburuhan
29:01:2004 Ratifikasi
C87 Konvensi tentang Kebebasan
Berserikat
dan Perlindungan Hak
Berorganisasi
09:06:1998 Ratifikasi
C88 Konvensi tentang Pelayanan
Ketenagakerjaan
08:08:2002 Ratifikasi
C98 Konvensi tentang Hak
Berorganisasi danPerjanjian Kerja
Bersama
15:07:1957 Ratifikasi
C100 Konvensi tentang Upah yang
Sama untuk Jenis Pekerjaan yang
sama
11:08:1958 Ratifikasi
C105 Konvensi tentang Penghapusan
KerjaPaksa
07:06:1999 Ratifikasi
4
C106 Konvensi tentang Istirahat Akhir
Pekan (Komersial dan
Perkantoran)
23:08:1972 Ratifikasi
C111 Konvensi tentang Diskriminasi
(Pekerjaan dan Jabatan)
07:06:1999 Ratifikasi
C120 Konvensi tentang Kebersihan
(Komersial dan Perkantoran)
13:06:1969 Ratifikasi
C138 Konvensi tentang Upah Minimum 07:06:1999 Ratifikasi
C144 Konvensi tentang Konsultasi
Tripartit (Standar Perburuhan
Internasional)
17:10:1990 Ratifikasi
C182 Konvensi tentang Bentuk-Bentuk
PekerjaanTerburuk Anak-Anak
28:03:2000 Ratifikasi
C185 Konvensi tentang Dokumen
Identitas Pelaut (Revisi)
16:07:2008 Ratifikasi
Sumber: ILOLEX, http://www.ilo.org/ilolex/english/index.htm
Meskipun pemerintah Republik Indonesia telah melakukan ratifikasi
terhadap Konvensi ILO, khususnya Konvensi ILO No. 111 tentang Diskriminasi
Pekerjaan dan Jabatan, ternyata masih ada beberapa kasus yang menunjukkan
kurangnya pengawasan pemerintah terhadap realisasi standarisasi di atas.
Kebanyakan perempuan pekerja belum menikmati penghargaan dan
penghormatan yang sama dengan laki-laki sesuai dengan sumbangannya dan
beban kerjanya sebagai dampak dari diskriminasi yang terus-menerus terjadi.
Kaum perempuan masih menghadapi beragam masalah dalam mengakses
pendidikan dan pelatihan, dalam mendapatkan pekerjaan, dan dalam memperoleh
perlakuan yang sama di tempat kerja. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan
oleh University of Colorado Denver pada tahun 2010 ditemukan bahwa
perempuan cantik mengalami diskriminasi saat melamar pekerjaan yang dianggap
"maskulin" dan pekerjaan yang tidak membutuhkan penampilan yang menarik.
Sebaliknya, kaum laki-laki tidak mengalami diskriminasi yang sama dan selalu
mendapat keuntungan.
5
Berdasarkan berita yang diterbitkan oleh website antaranews.com pada
bulan Agustus 2010, menurut hasil penelitian majalah Newsweek baru-baru ini
terhadap 202 manajer dan 964 anggota masyarakat. Penelitian tersebut
menyimpulkan bahwa wajah berperan dalam segala aspek di tempat kerja dan
terutama bagi perempuan. Daya tarik lebih bermanfaat bagi perempuan yang
melamar jenis pekerjaan feminin daripada jenis pekerjaan maskulin.
Perempuan cantik cenderung dikelompokkan dalam pekerjaan seperti resepsionis
atau sekretaris. Perempuan cantik cenderung diabaikan dalam kategori pekerjaan
seperti direktur keamanan, sales perangkat keras, penjaga penjara dan sopir truk
gandeng.
Selain itu, Yayasan Jurnal Perempuan melalui situs resminya
(http://jurnalperempuan.com) dalam artikel yang berjudul “Hak-hak Buruh
(Pekerja) Perempuan” diterbitkan pada tanggal 25 Mei 2011, ditemukan adanya
diskriminasi pemberian upah terhadap perempuan. Upah perempuan lebih rendah
dari laki-laki karena buruh perempuan selalu dianggap berstatus lajang. Buruh
perempuan tidak mendapat tunjangan keluarga, serta jaminan sosial untuk suami
dan anak. Kemudian, perempuan sangat sulit memperoleh promosi jabatan karena
selalu ditempatkan di posisi yang lebih rendah dari laki-laki, yang tidak
mensyaratkan pendidikan dan keterampilan yang tinggi. Perempuan ditempatkan
pada pekerjaan yang hanya membutuhkan ketekunan, ketelitian, dan kerapihan,
dan biasanya hanya mengerjakan satu jenis pekerjaan setiap hari selama bertahun-
tahun.
6
Kendala-kendala ini dapat menimbulkan pelanggaran akan hak-hak dasar
serta menghambat kesempatan kaum perempuan dalam dunia kerja. Pada
gilirannya akan merugikan masyarakat dan perekonomian Indonesia mengingat
hilangnya kontribusi besar yang dapat diberikan kaum perempuan melalui tempat
kerja.
Meskipun perempuan Indonesia hari ini jauh lebih maju dibanding pada
beberapa masa yang lalu, tetapi hal tersebut ternyata tidak memberikan kontribusi
yang cukup baik bagi posisi perempuan di dunia kerja. Pemerintah bahkan lebih
menomorduakan penyelesaian masalah diskriminasi perempuan. Sehingga
masalah ini seakan-akan terlihat hanya milik kaum perempuan saja, bukan sebagai
permasalahan bersama antara laki-laki dan perempuan.
Perbaikan nasib pekerja perempuan Indonesia kerap menimbulkan banyak
kontroversial dan merupakan isu yang tak pernah habis untuk diperbincangkan.
Ketika perempuan masuk di dunia kerja, sering mengalami pola diskriminasi dan
peminggiran yang didasari pada keyakinan dan perilaku yang menetapkan
perempuan dalam posisi lebih rendah dibanding pekerja laki-laki. Nasib pekerja
perempuan Indonesia bergantung kepada kepedulian pemerintah untuk lebih
serius memikirkan serta memberi perlindungan terhadap warganya. Dengan
adanya diskriminasi bahkan menunjukkan adanya eksploitasi terhadap perempuan
Indonesia hingga saat ini merupakan bukti nyata bahwa kurang terlindunginya
hak-hak pekerja perempuan di Indonesia
Dalam penelitian ini, penulis menjadikan kota Makassar sebagai ruang
lingkup objek penelitian. Berdasarkan hasil sensus penduduk BPS tahun 2010,
7
jumlah penduduk perempuan 676.654 jiwa yang lebih besar dibanding jumlah
penduduk laki-laki yang hanya 662.009 jiwa. Selain itu berdasarkan buku
“Makassar Dalam Angka Tahun 2010” jumlah penduduk perempuan dilihat dari
usia produktif kerja (usia 15-64 tahun) berada pada angka 459.505 jiwa,
sedangkan jumlah penduduk laki-laki berada pada angka 399.428 jiwa. Dari data
di atas, dapat dilihat bahwa tenaga kerja perempuan memiliki potensi jauh lebih
besar memberikan sumbangsih dalam perkembangan ekonomi di kota Makassar.
Dari jumlah di atas, tidak dapat dipungkiri bahwa saat ini jumlah wanita
lebih banyak dibandingkan pria. Demikian halnya realitas yang terjadi di
Makassar. Namun sayangnya, jumlah kaum perempuan yang lebih tersebut belum
sebanding dengan jumlah yang terserap ke lapangan kerja. Hal ini dibenarkan
dengan data dari Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Kota Makassar.
Namun kenyataan berkata lain. Pada tahun 2010, di kota Makassar 1.600
pekerja/buruh perempuan di PHK (pemutusan hubungan kerja). Akibatnya 100
juta ibu tekor (utang) Rp30.000 untuk biaya konsumsi rumah tangga. Selain itu
pula, terjadi eksploitasi tenaga kerja perempuan, baik dalam konteks migrasi kerja
di luar negara (buruh migran perempuan), di dalam negara (buruh pabrik) maupun
di dalam rumah tangga (PRT).
Terbukanya peluang kerja bagi perempuan khususnya di kota Makassar,
ternyata tidak membuat pekerja perempuan bisa diterima di semua tempat kerja.
Hal ini terjadi karena masih adanya pendikotomian tempat kerja bagi perempuan.
Dari jumlah tenaga kerja perempuan di kota Makassar sebanyak 37.896, pekerja
perempuan banyak yang bekerja pada sektor industri, khususnya bidang jasa.
8
Beberapa contoh di antaranya adalah industri pengolahan ikan dan udang yang
ada di Kawasan Industri Makassar (KIMA), dan industri lainnya.
Untuk itu penulis mencoba melakukan penelitian dengan mengangkat
tema mengenai sejauh mana efektifitas pelaksanaan ratifikasi konvensi ILO No.
111 tentang Diskriminasi Pekerjaan di Indonesia. Oleh karena itu, judul yang
penulis ajukan yaitu Efektivitas Ratifikasi Konvensi ILO No. 111 terhadap
Penghapusan Diskriminasi Perempuan di Tempat Kerja di Kota Makassar.
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan sebuah permasalahan
yaitu, apakah ratifikasi konvensi ILO No. 111 sudah efektif dalam menghapus
diskriminasi perempuan di tempat kerja di kota Makassar?
1.3. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui sejauh mana efektivitas ratifikasi konvensi ILO No. 111
yang dilakukan oleh Negara Republik Indonesia dalam usahanya menghapus
diskriminasi perempuan di tempat kerja, khususnya di kota Makassar.
1.4. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian di atas, sebagai berikut.
1. Menjadi salah satu bagian dari pengembangan ilmu pengetahuan.
Khususnya dapat dijadikan sebagai salah satu referensi dalam
penelitian selanjutnya.
9
2. Bagi instansi terkait, diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan
sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan untuk
menyelesaikan permasalahan ketenagakerjaan, khususnya terhadap
penghapusan diskriminasi di lingkungan kerja.
1.5. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam penelitian ini terdiri atas 5 (lima) bab sebagai
berikut :
BAB I Pendahuluan. Bab ini terdiri dari latar belakang masalah,
perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, dan sistematika
penulisan.
BAB II Tinjauan Pustaka. Dalam bab ini akan dibahas mengenai sejumlah
konsep teori yang ada dan berhubungan dengan pokok bahasan yang diangkat.
BAB III Metodologi Penelitian. Dalam bab ini dikemukakan tentang
kerangka pemikiran, metode analisa data, sumber dan jenis data serta teknik
pengumpulan data yang penulis lakukan dalam penelitian ini.
Bab IV Pembahasan dan Hasil Penelitian. Merupakan bab pembahasan dan
hasil penelitian yang meliputi.
Bab V Kesimpulan dan Saran. Bab ini membahas kesimpulan terhadap
analisis yang dapat diambil oleh penulis dan saran yang diberikan penulis terkait
kesimpulan hasil analisis.
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Landasan Teori
2.1.1. Konsep Manajemen Sumber Daya Manusia
Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM) berhubungan dengan
sistem rancangan formal dalam suatu organisasi yang menentukan efektivitas
dan efisiensi untuk mewujudkan sasaran suatu organisasi. MSDM merupakan
konsep luas tentang filosofi, kebijakan, prosedur, dan praktik yang digunakan
untuk mengelola individu atau manusia melalui organisasi.
Menurut Gary Dessler (2003), manajemen sumber daya manusia
merupakan kebijakan dan praktik yang menentukan aspek “manusia” atau
sumber daya manusia dalam posisi manajemen termasuk merekrut,
menyaring, melatih, memberi penghargaan dan penilaian.
Manusia sebagai SDM memiliki keberadaan yang sangat penting dalam
perusahaan. SDM mampu menunjang perusahaan melalui karya, bakat,
kreativitas, dorongan dan peran nyata dalam setiap perusahaan ataupun
organisasi baik sebagai pengusaha, karyawan, manajer, komisaris ataupun
sebagai pemilik. Tanpa adanya unsur manusia, perusahaan tidak akan
memampu bergerak dan berjalan menuju ke arah yang diinginkan.
SDM perlu dikelola secara baik dan profesional agar dapat tercipta
keseimbangan antara kebutuhan SDM dengan tuntutan serta kemajuan bisnis
perusahaan. Bila pengelolaan SDM dapat dilaksanakan secara profesional,
11
diharapkan SDM dapat bekerja secara produktif. Pengelolaan SDM secara
profesional ini harus dimulai sejak perekrutan, seleksi, pengklasifikasian,
penempatan sesuai dengan kemampun, pelatihan dan pengembangan karir
karyawan (Veithzal Rivai,2004).
Hakekat manajemen SDM sangat ditentukan oleh sifat SDM itu sendiri,
yang selalu berkembang (dinamis) baik jumlah maupun mutunya. Jika
dikaitkan dengan pertumbuhan ekonomi, SDM yang tersedia haruslah
memiliki pendidikan yang bermutu dengan kualitas hidup yang baik. Selain
itu, harus didukung dengan adanya kesempatan kerja yang cukup besar. Maka
untuk mencapai tingkat keseimbangan antara SDM yang tersedia dengan
tingkat pertumbuhan ekonomi pada tahap tertentu diperlukan manajemen
SDM yang tepat pada tingkat nasional.
Dalam penerapannya, konsep manajemen SDM dilaksanakan melalui
tahapan sebagai berikut.
1. Penerapan fungsi manajemen SDM secara makro dan mikro.
Penerapan fungsi manajemen SDM dalam arti makro merupakan
pelaksanaan fungsi pokok manajemen secara umum (fungsi manajerial).
Sedangkan, dalam arti mikro merupakan fungsi manajemen SDM yang
sifatnya operasional. Pada tingkat mikro, fungsi-fungsi manajemen
SDM tidak semuanya dapat dipakai sepenuhnya pada organisasi atau
perusahaan.
Dengan demikian, SDM yang telah terikat pada suatu organisasi
(formal, perusahaan, industri) berdasarkan suatu kontrak kerja, atau
12
telah berhubungan kerja dengan suatu organisasi berdasarkan suatu
kerja sama, disebut SDM pada status mikro (pegawai, karyawan atau
staf) dan SDM yang masih bebas atau belum terikat kontrak kerja atau
kerja sama dengan suatu organisasi disebut SDM makro.
2. Prinsip-prinsip Manajemen SDM
Dalam manajemen SDM selain fungsi manajerial dan operasional di
dalam penerapannya harus diperhatikan pula prinsip-prinsip manajemen
SDM, sebagai berikut.
a. Kemanusiaan
b. Demokrasi
c. The right man on the right place
d. Equal pay for equal work
e. Kesatuan arah
f. Kesatuan komando
g. Efisiensi dan efektivitas
h. Produktivitas kerja
i. Disiplin
j. Wewenang dan tanggung jawab.
Menurut Malayu S.P. Hasibuan (2006:16) dalam mempelajari MSDM
ada tiga pendekatan yang dapat dilakukan, sebagai berikut.
1. Pendekatan Mekanis
Mekanisasi merupakan proses penggantian peranan tenaga kerja manusia
dengan mesin untuk menjalankan pekerjaan. Pendekatan mekanis ini
13
menitikberatkan analisisnya kepada spesialisasi, efektivitas, standardisasi,
dan memperlakukan karyawan sama halnya dengan mesin. Keuntungan
spesialisasi ini, pekerja semakin terampil dan efektivitas semakin besar.
Kelemahannya, pekerjaan membosankan karyawan, mematikan
kreativitas, dan kebanggaan karyawan atas pekerjaannya akan semakin
berkurang.
Standardisasi diterapkan cukup mendalam sehingga terjadi pemindahan
pekerjaan dari manusia kepada mesin antarkomponen yang satu dengan
komponen yang lainnya dapat saling dipertukarkan serta spesialisasi
mesin-mesin, peralatan, tata letak, dan pabrik pada karyawan itu
mempunyai pikiran, perasaan, cita-cita,harga diri, dan sebagainya.
2. Pendekatan Paternalis,
Pada pendekatan paternalis, manajer dalam pengarahan bawahannya
bertindak seperti bapak terhadap anaknya. Para bawahan diperlakukan
dengan baik, fasilitas-fasilitas diberikan, dan bawahan dianggap anak-
anaknya. Pendekatan ini menyebabkan karyawan menjadi manja, malas
sehingga produktivitas menjadi menurun. Kondisi yang memberikan
kebebasan terhadap karyawan akan berdampak negatif bagi perusahaan
apabila tidak ada harmonisasi yang terjalin antara atasan dan bawahan.
Dari kondisi tersebut, pendekatan sistem sosial hadir guna memberikan
penjelasan mengenai cara untuk meningkatkan kinerja karyawan dengan
mempertimbangkan berbagai aspek yang ada dalam perusahaan.
3. Pendekatan Sistem Sosial.
14
Pendekatan sistem sosial ini memandang bahwa organisasi/perusahaan
adalah suatu sistem yang kompleks yang beroperasi dalam lingkungan
yang kompleks.
Manajer menyadari dan mengakui bahwa tujuan organisasi/perusahaan
akan tercapai jika tercipta lingkungan yang harmonis yang akan
melahirkan kerjasama yang baik antara pihak atasan dan pihak bawahan
dalam suatu organisasi. Pemikiran ini didasari oleh adanya saling
ketergantungan, interaksi, dan keterkaitan antara sesama karyawan.
Setiap sistem senantiasa berkaitan, baik dengan sebuah sistem yang lebih
luas dan lebih tinggi tingkatannya, maupun dengan subsistem sendiri yang
mewakili integrasi berbagai sistem dari berbagai tingkatan yang lebih
rendah. Perusahaan akan tumbuh dan berkembang jika sistem sosial
terintegrasi dalam satu sistem yang harmonis serta berinteraksi dengan
baik. Pendekatan sistem sosial ini hendaknya menekankan kepada
kesadaran atas tugas dan tanggung jawab setiap individu maupun
kelompok yang didasari oleh sebuah pemahaman bersama dari sebuah
sistem nilai sehingga kinerja karyawan lebih optimal.
Hingga saat ini belum ada perusahaan yang mampu melaksanakan
tugas-tugasnya tanpa memerlukan sumber daya manusia. Terdapat
kecenderungan bahwa semakin besar suatu perusahaan, semakin besar pula
kebutuhan sumber daya manusianya. Hal ini dapat kita lihat dalam praktek
dunia bisnis. Walaupun suatu perusahaan sudah menggunakan mesin yang
berteknologi tinggi, modern, serta otomatis, perusahaan tetap saja
15
membutuhkan sumber daya manusia yang terampil dalam jumlah yang harus
memadai.
Sumber daya manusia yang terampil hanya akan didapatkan jika
perusahaan mau bertanggung jawab untuk mengembangkan para pekerjanya
dengan melaksanakan aktivitas yang mendukung peningkatan kompetensi
karyawan.
2.1.2. Efektivitas
Secara etimologi, kata “efektivitas” berasal dari kata “efektif”
(effective) yang memiliki makna berhasil. Menurut Effendy (1989)
mendefinisikan efektivitas sebagai komunikasi yang prosesnya mencapai
tujuan yang direncanakan sesuai dengan biaya yang dianggarkan, waktu yang
ditetapkan dan jumlah personil yang ditentukan. Efektivitas menurut
pengertian di atas mengartikan bahwa indikator efektivitas dalam artian
tercapainya sasaran atau tujuan yang telah ditentukan sebelumnya merupakan
sebuah pengukuran di mana suatu target telah tercapai sesuai dengan apa
yang telah direncanakan.
Menurut Arens, A. Alnin, Elder dan Beansley (2003:738), efektivitas
mengacu pada pencapaian tujuan, dimana efisiensi mengacu pada sumber
yang digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan.
Efektivitas berfokus pada outcome (hasil), program, atau kegiatan yang
dinilai efektif apabila output yang dihasilkan dapat memenuhi tujuan yang
diharapkan. Sehubungan dengan hal tersebut, maka efektivitas
16
menggambarkan seluruh siklus input, proses dan output yang mengacu pada
hasil guna dari suatu organisasi, program atau kegiatan yang menyatakan
sejauhmana tujuan (kualitas, kuantitas, dan waktu) telah tercapai, serta ukuran
berhasil tidaknya suatu organisasi mencapai tujuannya dan mencapai target-
targetnya.
Kata efektif sering dicampuradukkan dengan kata efisien, walaupun
artinya tidak sama. Sesuatu yang dilakukan secara efisien belum tentu efektif.
Secara singkat pengertian efisiensi adalah melakukan atau mengerjakan
sesuatu secara benar “doing things right”, sedangkan efektivitas berarti
melakukan atau mengerjakan sesuatu tepat pada sasaran “doing the right
things”.
Efisien harus selalu bersifat kuantitatif dan dapat diukur (measurable),
sedangkan efektif mengandung pula pengertian kualitatif. Efektif lebih
mengarah ke pencapaian sasaran. Efisien dalam menggunakan masukan
(input) akan menghasilkan produktifitas yang tinggi. Tingkat efektivitas itu
sendiri ditentukan oleh terintegrasinya sasaran dan kegiatan organisasi secara
menyeluruh, kemampuan adaptasi dari organisasi terhadap perubahan
lingkungannya.
Dari pengertian di atas, dapat diketahui bahwa efektivitas adalah
hubungan antara hasil (output) yang dicapai dengan sasaran yang ingin
dicapainya. Jika hasil tersebut semakin mendekati sasaran atau tujuan maka
semakin efektif.
17
2.1.2. Peran Negara dalam Melindungi Para Pekerja
Menurut Logemann, negara adalah suatu organisasi kemasyarakatan
yang bertujuan untuk mengatur serta menyelenggarakan sesuatu dalam
masyarakat. Sedangkan, Hans Kelsen mendefinisikan negara sebagai suatu
susunan pergaulan hidup bersama dengan tata paksa. Roger F. Soultau
mengartikan negara merupakan alat (agency) atau wewenang (authority) yang
mengatur atau mengendalikan persoalan bersama atas nama masyarakat.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, negara mempunyai dua
pengertian. Pertama, negara adalah organisasi di suatu wilayah yang
mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati rakyatnya. Kedua,
negara adalah kelompok sosial yang menduduki wilayah atau daerah tertentu
yang diorganisir di bawah lembaga politik dan pemerintah yang efektif,
mempunyai satu kesatuan politik, berdaulat sehingga berhak menentukan
tujuan nasionalnya.
Dari pendapat para ahli mengenai pengertian negara, maka secara garis
besar terdapat 3 unsur dalam sebuah negara, yaitu:
1. Rakyat
Orang-orang yang bertempat tinggal di wilayah itu, tunduk pada
kekuasaan negara dan mendukung negara yang bersangkutan.
2. Wilayah
Daerah yang menjadi kekuasaan negara serta menjadi tempat tinggal bagi
rakyat negara. Wilayah juga menjadi sumber kehidupan rakyat negara
yang meliputi wilayah laut, darat dan udara.
18
3. Pemerintah berdaulat
Adanya penyelenggara negara yang memiliki kekuasaan
menyelenggarakan pemerintahan di negara tersebut. Pemerintah memiiki
kedaulatan baik ke dalam yaitu memiliki kekuasaan untuk ditaati oleh
rakyatnya; serta kedaulatan ke luar yang artinya negara mampu
mempertahankan diri dari serangan negara lain.
Ketiga unsur di atas merupakan unsur konstitutif atau sebagai unsur
pembentuk. Selain unsur di atas, pengakuan dari negara lain merupakan unsur
deklaratif yaitu unsur yang sifatnya menyatakan, bukan sebagai unsur yang
mutlak.
Negara merupakan sebuah organisasi yang tidak hadir begitu saja, tetapi
negara hadir memiliki fungsi dan tujuannya, serta dibentuk untuk
menjalankan tugas-tugas tertentu. Fungsi negara merupakan gambaran yang
dilakukan negara untuk mencapai tujuannya.
Berikut fungsi-fungsi negara menurut beberapa ahli.
1. Menurut John Locke, negara memiliki 3 fungsi yaitu:
a. Fungsi legislatif, untuk membuat peraturan;
b. Fungsi eksekutif, untuk melaksanakan peraturan;
c. Fungsi federatif, untuk mengurusi urusan luar negeri dan urusan perang
dan damai.
2. Montesquieu dengan teori Trias Politica, fungsi negara sebagai berikut:
a. Fungsi legislatif, membuat undang-undang;
b. Fungsi eksekutif, melaksanakan undang-undang;
19
c. Fungsi yudikatif, untuk mengawasi pelaksanaan undang-undang (fungsi
mengadili).
3. Menurut Mirriam Budiardjo, fungsi pokok negara adalah sebagai berikut:
a. Melaksanakan penertiban untuk mencapai tujuan bersama dan
mencegah bentrokan dalam masyarakat (stabilisator);
b. Mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya. Fungsi ini
dijalankan dengan melaksanakan pembangunan di segala bidang;
c. Fungsi pertahanan untuk menjaga kemungkinan serangan dari luar;
d. Menegakkan keadilan melalui pembentukan badan-badan pengadilan.
4. Mc Iver menjelaskan bahwa ada 3 fungsi negara, yaitu:
a. Berfungsi dalam kebudayaan;
b. Berfungsi dalam bidang kesejahteraan umum;
c. Berfungsi dalam bidang perekonomian.
Pada intinya, semua negara dibentuk untuk mensejahterakan rakyatnya.
Dan kesejahteraan rakyat pada hakekatnya merupakan bentuk campur tangan
dari pemerintah. Kesejahteraan masyarakat merupakan hal yang wajib
dipenuhi oleh negara untuk warganya dalam kondisi dan situasi apapun.
Pekerja sebagai bagian dari masyarakat pun harus menikmati kesejahteraan
tersebut.
Menurut Undang-Undang Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003 pasal 1,
pekerja adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan
dalam bentuk lain. Sesuai dengan pengertian pekerja berdasarkan Kamus
20
Besar Bahasa Indonesia, merupakan orang yang bekerja; orang yang
menerima upah atas hasil kerjanya; buruh; karyawan.
Pekerja, karyawan atau biasa juga disebut sebagai buruh merupakan
pihak yang cukup banyak menyumbangkan perubahan dalam pembangunan
sebuah negara. Tak dapat dipungkiri, pekerja menjadi tulang punggung atas
terlaksananya seluruh aktivitas di semua aspek kehidupan berbangsa
bernegara. Dengan besarnya partisipasi pekerja dalam peningkatan ekonomi
sebuah negara, mengharuskan negara (pemerintah) memberikan perhatian
lebih terhadap kondisi pekerja.
Negara harus bisa menjamin stabilitas pertumbuhan perekonomian.
Tanpa adanya jaminan terhadap stabilitas pertumbuhan ekonomi, maka sulit
pula menjamin kesejahteraan para pekerja. Bentuk pertanggungjawaban lain
dari negara (pemerintah) terhadap perbaikan kondisi ketenagakerjaan di
Indonesia adalah membuat regulasi yang tidak berat sebelah, dimana regulasi
ini benar-benar harus dilaksanakan oleh seluruh pihak yang terkait.
Negara (pemerintah) turut campur tangan dalam peningkatan
kesejahteraan pekerja melalui peraturan perundang-undangan guna
memberikan jaminan kepastian hak dan kewajiban bagi semua pihak. Salah
satu usaha yang dilakukan negara (pemerintah) yaitu melalui Konvensi ILO
No. 111 tentang diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan yang telah
diratifikasi melalui UU No. 21 tahun 1999.
Konvensi merupakan instrumen sah yang mengatur aspek-aspek
administrasi perburuhan, kesejahteraan sosial atau hak asasi manusia. Bagi
21
negara anggota yang meratifikasi konvensi mengemban dua tugas sekaligus,
yakni komitmen resmi untuk menerapkan aturan-aturan konvensi, dan
kemauan untuk menerima ukuran-ukuran penerapan yang diawasi secara
internasional.
Konvensi ILO No. 111 ini berisi tentang diskriminasi pekerjaan dan
jabatan yang hadir untuk melindungi pekerja perempuan. Konvensi hadir
untuk menetapkan standar dan memberikan suatu model dan merangsang
adanya peraturan perundangan tingkat nasional dan praktik-praktiknya di
negara-negara anggota.
Konvensi ILO No. 111 bertujuan untuk mempromosikan kesempatan
dan perlakuan yang sama dalam pekerjaan dan jabatan yang mengarah kepada
penghapusan segala bentuk diskriminasi berdasarkan asal muasal termasuk
jenis kelamin melalui metode sesuai dengan kondisi nasional. Selain itu,
Konvensi ILO No. 111 hadir sebagai pelengkap Konvensi ILO No. 100
tentang pemberian upah yang setara untuk pekerjaan yang mempunyai nilai
setara antara laki-laki dan perempuan.
Untuk melindungi pekerja dari hal-hal yang sifatnya tidak mendukung,
peraturan-peraturan yang ada harus dilaksanakan oleh semua pihak yang
terkait. Dan tentu saja dengan hadirnya konsep pengawasan mempermudah
realisasi peraturan ketenagakerjaan yang ada.
22
2.1.3. Konsep Gender
Konsep gender merupakan konsep yang dipengaruhi oleh kedudukan
dan pembagian peran antara laki-laki dan perempuan. Dalam bukunya yang
berjudul “Analisis Gender dan Transformasi Sosial”, Mansour Fakih
menjelaskan konsep gender yang dipahami sebagai suatu sifat yang melekat
pada kaum laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun
kultural. Misalnya, perempuan dikenal lemah dan lembut; cantik dan
emosional. Sedangkan, laki-laki sering dianggap kuat dan perkasa; gagah dan
rasional. Ciri dari sifat di atas merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan.
Munculnya perbedaan dalam konsep gender antara laki-laki dan perempuan
dikarenakan oleh banyak hal, diantaranya dibentuk, disosialisasikan,
diperkuat, bahkan dikonstruksi secara sosial atau kultural, melalui ajaran
keagamaan maupun negara (Mansour Fakih:2008, 8).
Masyarakat yang berbeda memiliki banyak gagasan yang berbeda
tentang cara yang sesuai bagi perempuan dan laki-laki untuk berperilaku
seharusnya. Hal ini memperjelas sejauh mana peran gender bergeser dari asal-
usulnya ke dalam jenis kelamin biologis kita (Julius C. Mosse:1996).
Seringkali konsep gender disalahpahami sebagai konsep yang melekat secara
kodrati dalam diri manusia (laki-laki dan perempuan). Hal yang sifatnya
kodrati ini biasanya dilandasi dengan konsep seks (jenis kelamin), dimana
perbedaan antara perempuan dan laki-laki berdasarkan kondisi biologis (tabel
1.2). Padahal sebagian besar dari sesuatu yang dewasa ini sering dianggap
23
sebagai kodrat, sebenarnya merupakan konstruksi sosial dan kultur, atau
gender.
Tabel 1.2 Perbedaan biologis antara perempuan dan laki-laki
Ciri Primer Biologis Lelaki Biologis Perempuan
Penis, Scotrum, Testis, Sperma,
Prostat (Kelenjar)
Vagina, Indung telur, sel telur,
uterus, haid, hamil, melahirkan
menyusui
Bersifat bawaan, kodrat, ciptaan dari Tuhan. Tidak berubah oleh pengaruh
zaman, waktu, ras/suku/bangsa, kultur, agama, ideology
Ciri Sekunder Bulu dada/tangan, jakun, suara
berat, berkumis
Kulit halus, dada besar, suara
lebih bernada tinggi
Ciri tertier – relasi gender antara laki-laki dan perempuan.
Dapat diubah dan dipertukarkan, sesuai dengan norma, nilai dan budaya
setempat.
(Sumber: Pemberdayaan Perempuan dari Masa ke Masa- AidaVitayala, 2010)
Perempuan Indonesia selalu dikonotasikan sebagai sesosok makhluk
yang lemah lembut dan lebih mengedapankan sisi emosionalnya sehingga
perlu dilindungi, sedangkan laki-laki digambarkan sebagai sosok manusia
yang gagah, perkasa dan lebih rasional, sehingga lebih bisa menjadi
pelindung. Akibatnya, perempuan sejak kecil sudah disosialisasikan untuk
melakukan peran partikularistik uang bersifat domestik. Sedangkan, laki-laki
disosialisasikan untuk berperan universal (publik). Pencitraan ini
dimantapkan dan dilembagakan dalam tatanan nilai masyarakat sebagai acuan
bertindak (Hubeis, AV:2010).
Pencitraan ini mengakibatkan banyak orang berpendapat bahwa
pekerjaan dalam rumah urusan perempuan dan pekerjaan di luar rumah
sebagai tanggung jawab laki-laki. Namun, karena munculnya desakan
ekonomi dan berbagai alasan lain menyebabkan bergeser dan kaburnya
24
pembatas antara peran perempuan dan laki-laki di dalam maupun di luar
rumah. Akan tetapi, proses ini tidak menyebabkan perubahan secara utuh,
sehingga tidak jarang muncul kesalahpahaman dan konflik peran pada
perseorangan, kelompok dan masyarakat keseluruhan.
Ketimpangan tanggung jawab atas pergeseran peran telah terjadi,
mengakibatkan sebagian besar perempuan memiliki jam kerja lebih lama dari
rata-rata jam kerja laki-laki (Hubeis, AV:1987). Kekeliruan ini berlanjut
dalam menentukan jenis pekerjaan yang cocok dan tidak cocok untuk
dilakukan oleh seorang perempuan atau laki-laki. Karena dianggap lemah
maka hanya pekerjaan ringan yang cocok untuk perempuan, sedang laki-laki
melakukan pekerjaan berat.
Namun dalam realitasnya, tidak selamanya perempuan merupakan
sosok manusia lemah fisik atau nalar, begitu pula sebaliknya bahwa tidak
selamanya laki-laki selalu tampil dengan memiliki fisik dan penalaran yang
lebih baik. Dengan melihat kondisi di atas, perlu dilakukan represepsi yang
mengacu pada suatu wawasan bahwa laki-laki atau perempuan sebagai
manusia memiliki kesamaan kemampuan dalam berprestasi (Hubeis,
AV:2010,74).
2.1.4. Diskriminasi Perempuan Di Tempat Kerja
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, diskriminasi adalah
pembedaan perlakuan terhadap sesama warga negara (berdasarkan warna
kulit, golongan, suku, ekonomi, agama, dsb). Hal yang sama juga
25
dibahasakan pada Konvensi ILO No.111 pasal 1 ayat (1), istilah diskriminasi
meliputi setiap perbedaan, pengecualian atau pilihan atas dasar ras, warna
kulit, jenis kelamin, agama, keyakinan politik, kebangsaan atau asal usul
dalam masyarakat, yang mengakibatkan hilangnya atau berkurangnya
kesetaraan kesempatan atau perlakuan dalam pekerjaan atau jabatan.
Munculnya istilah diskriminasi terhadap perempuan tentu saja tidak
terlepas dari hadirnya gerakan feminisme. Seluruh gerakan feminis berangkat
dari kesadaran akan diskriminasi, ketidaksetaraan, ataupun ketidakadilan
terhadap perempuan. Feminisme sebagai teori perubahan sosial dan
pembangunan merupakan gejala baru, tepatnya ketika gerakan feminis
merespon dan melakukan kritik terhadap teori pembangunan yang
berkembang pesat sekitar tahun 1976.
Latar belakang perkembangan teori perubahan sosial dan kritik terhadap
pembangunan dari perspektif feminisme dicetuskan pada suatu konferensi
tentang pengintegrasian kaum perempuan dalam ekonomi yang
diselenggarakan di Wesley College, Amerika Serikat. Dari konferensi itulah
berkembang suatu pengetahuan baru yang segera menjalar ke birokrasi
pembangunan, sehingga mempergaruhi lahirnya urusan Women in
Development (WID) yang mulai dibuka di USAID. WID dikembangkan dan
difokuskan pada isu langsung yang berkenaan dengan usaha mendorong
partisipasi kaum perempuan dalam program pembangunan (M. Fakih: 2009).
Feminisme liberal menjadi landasan analisis sesungguhnya muncul
sebagai kritik terhadap teori politik liberal yang umumnya menjunjung tinggi
26
nilai otonomi, persamaan dan nilai moral dan kebebasan individu, tetapi pada
saat yang sama dianggap mendiskriminasi kaum perempuan. Asumsi dasar
feminisme liberal berakat pada pandangan bahwa kebebasan dan equalitas
berakar pada pandangan pemisahan antara dunia pribadi dan umum (M.Fakih:
2009, 148). Sehingga kerangka perjuangan feminisme liberal tertuju pada
kesempatan dan hak yang sama.
Diskriminasi yang menimpa kaum perempuan memunculkan persepsi
bahwa perempuan dilahirkan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang jauh
lebih terbatas jumlahnya dengan status pekerjaan rendah dengan imbalan
(upah/gaji) yang rendah pula. Pekerjaan perempuan selama ini umumnya
terbatas pada sektor rumah tangga (sektor domestik) (Wirartha:2000).
Walaupun kini, para perempuan mulai menyentuh pekerjaan di sektor publik,
jenis pekerjaan inipun merupakan perpanjangan dari pekerjaan rumah tangga
(Siagian:1993, Fakih:1996), misalnya: bidan,juru rawat, guru, sekretaris dan
pekerjaan lainnya yang lebih banyak memerlukan keahlian manual.
Selain itu di tempat kerja, masih ditemukan adanya praktek yang tidak
memberikan kesempatan perempuan untuk terjun ke dunia kerja seperti
diskriminasi dalam proses rekrutmen, pelecehan seksual dan diskriminasi
(Dameria, Eny: 2008) dalam kenaikan pangkat. Pada perusahaan tertentu
sering digunakan kriteria jenis kelamin yang membatasi kesempatan kaum
perempuan untuk menduduki posisi-posisi jabatan tertentu dalam perusahaan
(Notosusanto:1994).
27
Munculnya diskriminasi di tempat kerja, karena pekerja perempuan
dianggap memiliki human capital (pendidikan, pelatihan, dan pengalaman
kerja) yang lebih sedikit dibanding dengan pekerja laki-laki (Sumanto: 1993).
Hal ini disebabkan, karena secara kultural sebagian masyarakat masih
dipengaruhi secara kuat oleh budaya patriarki yang menimbulkan
ketimpangan struktur sehingga perempuan menjadi terbatas untuk
memperoleh akses pendidikan, ekonomi dan berorganisasi (Hatta: 2006).
Dampak lain dari sistem dominasi di lingkaran budaya patriarki ini
membuat mitos ataupun stereotipe tersendiri bagi pekerja perempuan, seperti
sebagai berikut:
1. Perempuan sebagai pekerja ideal, terampil, rajin dan teliti;
2. Pekerja perempuan bahagia dengan kesempatan kerjanya, sehingga mudah
diatur dan tidak banyak menuntut.
Kedua hal di atas banyak dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang memiliki
kepentingan untuk mengakumulasi modal (Tjandraningsih: 1997). Hal inilah
yang menyebabkan munculnya ketidakadilan dan melahirkan diskriminasi
terhadap perempuan. Jika posisi pekerja perempuan dikaitkan dengan isu
gender, maka akan ada beberapa hal yang muncul (Daulay, Harmona, 2006),
yaitu sebagai berikut:
1. Permasalahan marginalisasi, subordinasi dan stereotipe sosial.
a. Berkaitan dengan konteks marginalisasi, pekerja perempuan
diasosiasikan penempatannya pada pekerjaan-pekerjaan yang marginal.
Karena pekerja perempuan mempunyai sifat halus dan telaten, sehingga
28
pekerjaan yang diberikan merupakan pekerjaan yang kurang penting
dan berupah rendah. Selain itu, karena tingginya tingkat absensi pekerja
perempuan yang disebabkan hal biologis (cuti hamil dan melahirkan)
sering dijadikan alasan untuk menempatkan perempuan dalam
pekerjaan yang marginal (Abdullah, 1995).
b. Konteks subordinasi tidak akan melepaskan pembicaraan tentang
hubungan kekuasaan antara kelompok yang tersubordinasi. Dikaitkan
dengan ketenagakerjaan, makan muncul anggapan bahwan perempuan
adalah makhluk irrasional, emosional, dan lemah sehingga
menempatkan perempuan pada posisi yang kurang penting. Sedangkan,
laki-laki disimbolkan sebagai “tuan” yang mengakibatkan pandangan
bahwa perempuan sebagai relasinya adalah budak.
c. Stereotipe merupakan pelabelan atau ciri-ciri penandaan terhadap suatu
kelompok tertentu. Adanya budaya patriarki yang telah terinternalisasi
dalam masyarakat melahirkan stereotipe tentang keberadaan perempuan
dalam masyarakat. Perempuan dianggap mempunyai fungsi atau posisi
yang layak di rumah, sehingga dilekatkan label domestik. Stereotipe ini
juga masuk di tempat kerja dengan menempatkan posisi perempuan
berkenaan dengan barang-barang yang dikerjakan di dalam pabrik,
biasanya dekat dengan yang dikonsumsi perempuan sehingga muncul
feminisasi dalam dunia kerja.
2. Munculnya permasalahan ketidakadilan gender di tempat kerja
a. Jenis pekerjaan.
29
Di tempat kerja ada beberapa jenis pekerjaan yang dianggap tidak
sesuai jika dilakukan oleh perempuan. Pekerjaan tersebut biasanya
membutuhkan tenaga yang kuat dan termasuk dalam pengambilan
keputusan yang strategis. Pekerja perempuan biasanya ditempatkan
pada bagian yang membutuhkan ketelitian dan tidak membutuhkan
kekuatan fisik yang berat.
b. Penyediaan fasilitas kerja yang berbeda
Hal ini berkaitan dengan kondisi biologis antara perempuan dan laki-
laki. Di dalam penyediaan fasilitas kerja, perempuan memerlukan
tempat-tempat yang berbeda dengan laki-laki. Termasuk adanya
fasilitas kesehatan di dalam merawat diri mereka ataupun berkaitan
dengan kesehatan reproduksinya.
c. Perbedaan pemberian upah
Kebijakan upah didasarkan pada kebutuhan fisik minimum, juga
berdasarkan adanya perbedaan kebutuhan dasar antara para pekerja
laki-laki dan perempuan. Perhitungan ini dipengaruhi anggapan bahwa
perempuan bukan sebagai pencari nafkah utama keluarga. Karenanya
dalam penentuan komponen upah ini, standar yang digunakan adalah
kebutuhan fisik laki-laki.
d. Jenjang karir
Pekerja perempuan tidak dipercaya dalam memegang posisi strategis,
karena gender dan stereotipe perempuan lebih emosional dan rata-rata
memiliki pendidikan yang rendah.
30
e. Pelecehan seksual
Pekerja perempuan dianggap sebagai pihak yang pantas melakukan
gangguan dan godaan, yang berkembang menjadi pelecehan. Hal ini
muncul karena adanya ketimpangan ekonomi. Ditambah tidak adanya
jaminan keamanan dan hukum yang membuat perempuan memiliki
kekuatan untuk terlibat dalam suatu pekerjaan. Gangguan ini sering
menyebabkan perempuan meninggalkan tempat kerja dan keluar.
2.2. Kerangka Pikir
Sebagai narasi pemahaman penulis terhadap penelitian, kerangka pikir
penulis atas penelitian ini berangkat dari konsep ideal atas kondisi
ketenagakerjaan yang menjadi bagian dari tanggung jawab pemerintah untuk tetap
meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara umum. Kemudian, penulis
berusaha membandingkan kondisi ideal dengan kondisi realistas yang ada
mengenai kondisi ketenagakerjaan khususnya mengenai diskriminasi pekerja
perempuan di tempat kerja.
Gambaran realistis tidak hanya diperoleh dari data-data angka yang
dikeluarkan oleh pemerintah terkait pencapaian kesejahteraan pekerja perempuan,
melainkan juga dapat terlihat dari kondisi nyata yang dialami oleh pekerja
perempuan di tempat kerja, serta informasi-informasi yang diperoleh dari pihak
terkait seperti dari pihak manajerial tempat kerja para pekerja perempuan atau
instansi pemerintahan yang terkait.
31
Berdasarkan hasil analisis di atas, maka dapat dijadikan landasan penilaian
terhadap efektivitas penghapusan diskriminasi perempuan di tempat kerja di kota
Makassar. Berikut flow chart dari kerangka pikir penulis:
Gambar 1.1 Kerangka Pikir
Idealitas Kondisi
Pekerja Perempuan
Realitas Kondisi Pekerja
Perempuan di Tempat
Kerja
Aturan-aturan
Ketenagakerjaan di Indonesia
(Konvensi ILO No. 111)
Efektifitas Penghapusan
Diskriminasi Perempuan di
Tempat Kerja
32
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Lokasi dan Objek Penelitian
Berdasarkan judul yang peneliti angkat, yaitu ”Efektivitas Ratifikasi
Konvensi ILO No. 111 terhadap Penghapusan Diskriminasi Perempuan Di
Tempat Kerja Di Kota Makassar”, maka penelitian ini akan dilakukan di kota
Makassar, Sulawesi Selatan. Pekerja perempuan yang ada di kota Makassar
merupakan objek dari penelitian ini.
Dalam rangka memperoleh tingkat efektivitas ratifikasi Konvensi ILO No.
111, penulis membatasi beberapa pihak yang terkait dengan permasalahan yang
dibahas di penelitian ini. Syaratnya antara lain pekerja perempuan yang memiliki
pengetahuan tentang ketenagakerjaan, dan atau pihak-pihak yang terlibat dalam
pelaksanaan aturan Konvensi ILO No. 111 di kota Makassar.
3.2. Jenis Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan dengan metode kualitatif. Penelitian
kualitatif dilakukan dalam situasi wajar (natural setting). Metode ini berusaha
untuk memahami dan menafsirkan makna suatu peristiwa interaksi tingkah laku
manusia dalam situasi tertentu menurut perspektif peneliti sendiri (Husaini;
Akbar, Purnomo, 2009).
33
Penelitian kualitatif adalah penelitian yang menempatkan peneliti sebagai
key instrument (instrumen penelitian) dengan data yang meliputi kata-kata tertulis
atas lisan dari orang-orang yang memahami objek penelitian. Di samping itu,
pendekatan kualitatif lebih peka dan dapat menyesuaikan diri dengan banyak
penajaman pengaruh bersama serta pola-pola nilai yang dihadapi di lapangan
(Moelong, 2002). Menurut Denzin dan Lincoln (1994 dalam Agus Salim, 2006)
secara umum penelitian kualitatif sebagai suatu proses dari berbagai langkah
yang melibatkan peneliti, paradigma teoritis dan interpretatif, strategi penelitian,
metode pengumpulan data dan analisis data empiris, maupun pengembangan
interpretasi dan pemaparan.
Sarantakos (1998) berpendapat ada tiga paradigma utama dalam ilmu
sosial, yaitu positivistik, interpretatif, dan critical. Pemilihan paradigma memiliki
implikasi terhadap pemilihan metodologi dan metode pengumpulan dan analisis
data. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metodologi penelitian kualitatif
berdasarkan paradigma interpretif. Paradigma interpretif adalah suatu paradigma
yang menganggap bahwa ilmu bukanlah didasarkan pada hukum dan prosedur
yang baku. Manusia secara terus-menerus menciptakan realitas sosial mereka
dalam rangka berinteraksi dengan yang lain (Schutz, 1967 dalam Ghozali dan
Chairi, 2007). Tujuan pendekatan interpretif tidak lain adalah menganalisis realita
sosial semacam ini dan bagaimana realita sosial itu terbentuk (Ghozali dan Chairi,
2007). Untuk memahami sebuah lingkungan sosial yang spesifik, peneliti harus
menyelami pengalaman subjektif para pelakunya. Penelitian interpretif tidak
menempatkan objektivitas sebagai hal terpenting, melainkan mengakui bahwa
34
demi memperoleh pemahaman mendalam, maka subjektivitas para pelaku harus
digali sedalam mungkin hal ini memungkinkan terjadinya trade-off antara
objektivitas dan kedalaman temuan penelitian (Efferin et al., 2004).
Penelitian ini menggunakan metode studi kasus yang merupakan sebuah
penelitian yang berusaha menemukan makna, meyelidiki proses, dan memperoleh
pengertian dan pemahaman yang mendalam dari individu, kelompok atau situasi
(Emzir, 2010). Menurut Smith, sebagaimana dikutip Lodico, Spaulding, dan
Voegtle (2006) studi kasus dapat menjadi berbeda dari bentuk-bentuk penelitian
kualitatif lain oleh fakta bahwa studi ini berfokus pada satu “unit tunggal” atau
“suatu sistem terbatas”.
Menurut Merriam (1998:27-28) keterbatasan dapat ditentukan dengan
menanyakan apakah terdapat suatu batasan pada jumlah orang yang terlibat dapat
diwawancarai atau suatu batasan pada jumlah orang yang terlibat dapat
diwawancarai atau suatu jumlah waktu tertentu (untuk observasi)? Jika terdapat
jumlah orang tak terbatas (secara aktual maupun teoritis) yang dapat
diwawancarai atau pada observasi yang dapat dilaksanakan, maka fenomena
tersebut tidak cukup terbatas untuk menjadi sebuah kasus.
Untuk memulai penelitian studi kasus, peneliti mengidentifikasi masalah
atau pertanyaan yang akan diteliti dan mengembangkan suatu rasional untuk
menjawab alasan pemilihan metode studi kasus dalam sebuah penelitian. Dalam
studi kasus, berbagai teknik dapat digunakan termasuk wawancara, observasi, dan
terkadang pemeriksaan dokumen dan artefak dalam pengumpulan data.
35
Selain itu, dalam pemilihan partisipan harus didasarkan pada kemampuan
mereka menyumbang suatu pemahaman tentang fenomena yang akan diteliti.
Observasi yang dilakukan akan berfokus pada hakikat interaksi yang muncul
dalam setiap setting. Observasi ini akan menghasilkan temuan-temuan yang dapat
ditriangulasi dengan data wawancara, meningkatkan validitas data, temuan dan
kesimpulan. Sehingga dalam melakukan observasi, peneliti harus merekam data
yang terkumpul dari lapangan secara hati-hati.
Dengan paradigma interpretif dan menggunakan metode penelitian studi
kasus akan berusaha mengamati efektivitas ratifikasi Konvensi ILO No. 111 di
tempat kerja. Sehingga dengan melihat realitas yang dialami oleh pekerja
perempuan, maka akan diperoleh gambaran mengenai efektivitas ratifikasi dalam
menghapus diskriminasi perempuan di tempat kerja.
3.3. Jenis dan Sumber Data
3.3.1. Jenis Data
Jenis data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Data kualitatif merupakan jenis data yang sifatnya tertulis maupun
lisan dalam rangkaian kata-kata atau kalimat.
2. Data kuantitatif merupakan jenis data yang sifatnya angka-angka
yang dapat dihitung matematis.
36
3.3.2. Sumber Data
1. Data primer umumnya keberadaannya dapat dilisankan dan ada yang
tercatat, jika langsung dari sumbernya (tentang diri sumber data),
berupa karakteristik demografi atau sosio-ekonomi, dan sikap atau
pendapat.
2. Data sekunder yakni data yang telah disusun, dikembangkan dan
diolah kemudian tercatat, terdiri atas data sekunder internal suatu
organisasi dan data sekunder eksternal yang dipublikasikan.
3.4. Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini akan menggunakan dua metode pengumpulan data, antara
lain sebagai berikut:
1. Metode pengumpulan berupa penelitian lapangan (field research), yakni
mengadakan observasi partisipatif, wawancara kepada pihak-pihak
terkait, dan bahan dokumentasi.
a. Observasi atau pengamatan adalah perhatian yang terfokus
terhadap kejadian, gejala,atau sesuatu (Emzir,2010). Adapun
observasi ilmiah merupakan perhatian terfokus terhadap gejala,
kejadian atau sesuatu dengan maksud menafsirkannya,
mengungkapkan faktor-faktor penyebabnya, dan menemukan
kaidah-kaidah yang mengaturnya (Garayibah, et.al., 1981)
37
b. Wawancara dapat didefinisikan sebagai interaksi bahasa yang
berlangsung antara dua orang dalam situasi saling berhadapan salah
seorang, yaitu yang melakukan wawancara meminta informasi atau
ungkapan kepada orang yang diteliti yang berputar di sekitar
pendapat dan keyakinannya (Hasan (1963) dalam Garabiyah, 1981:
43).
c. Metode dokumenter adalah metode yang digunakan untuk
menelusuri data historis.
2. Metode penelitian pustaka (library research), yakni menggunakan
literatur-literatur dan tulisan- tulisan yang berkaitan dengan penelitian.
3.5. Metode Analisis Data
Tujuan analisis data ialah untuk mengungkapkan data apa yang masih
perlu dicari, hipotesis apa yang perlu diuji, pertanyaan apa yang perlu dijawab,
metode apa yang harus digunakan untuk mendapatkan informasi baru, dan
kesalahan apa yang harus segera diperbaiki (Usman, Husaini; Akbar, Purnomo,
2009). Menurut Spradley (1997), analisis data merujuk pada pengujian sistematis
terhadap sesuatu untuk menentukan bagian-bagiannya, hubungan di antara bagian-
bagian, dan hubungan bagian-bagian itu dengan keseluruhan.
Dalam penelitian ini, metode analisis data yang digunakan adalah analisis
data versi Miles dan Huberman. Versi ini menjelaskan bahwa ada tiga alur
kegiatan yang secara bersamaan dilakukan dalam analisis data, yaitu reduksi data,
38
penyajian data, serta penarikan kesimpulan atau verifikasi. Ketiga kegiatan ini
saling terkait dan merupakan rangkaian yang tidak berdiri sendiri.
a. Reduksi data dapat diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan
perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data
“kasar” yang muncul dari catatan-catatan lapangan. Reduksi data
merupakan suatu bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan,
mengorganisasikan, mengarahkan, membuang data yang tidak perlu, dan
mengorganisasikan data sedemikian rupa sehingga akhirnya data yang
terkumpul dapat diverifikasi.
b. Penyajian data adalah pendeskripsian sekumpulan informasi tersusun yang
memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan
tindakan. Penyajian data kualitatif disajikan dalam bentuk teks naratif atau
dapat juga berbentuk matriks, grafik, jaringan dan bagan.
c. Penarikan kesimpulan atau verifikasi merupakan kegiatan di akhir
penelitian kualitatif. Peneliti harus sampai pada kesimpulan dan
melakukan verifikasi, baik dari segi makna maupun kebenaran kesimpulan
yang disepakati oleh subjek tempat penelitian itu dilaksanakan. Makna
yang dirumuskan peneliti dari data harus diuji kebenaran, kecocokan, dan
kekokohannya.
39
Gambar 1.2 Model Interaktif (Miles dan Huberman, 1994)
(Sumber: Buku Metodologi Penelitian Sosial-Husaini&Purnomo, 2009)
3.6. Definisi Operasional
3.6.1. Efektivitas Ratifikasi Konvensi ILO No. 111
Efektivitas ratifikasi konvensi ILO No.111 merupakan suatu tingkatan
dari usaha yang dilakukan oleh pihak yang berkaitan dengan ketenagakerjaan,
agar terciptanya kesetaraan kesempatan dan perlakuan di lingkungan kerja
antara laki-laki dan perempuan, baik itu dalam hal pekerjaan maupun jabatan.
Istilah “pekerjaan” dan “jabatan” mencakup akses untuk memperoleh
pelatihan dan keterampilan, akses untuk memperoleh pekerjaan dan jabatan
tertentu, serta persyaratan dan ketentuan kerja.
Ukuran dari tingkatan keberhasilan tersebut dilihat dari:
1. Adanya formulasi kebijakan yang dibuat sesuai dengan Konvensi
ILO No. 111 dan harus memperhatikan prinsip-prinsip kesetaraan
kesempatan dan perlakuan dalam hal sebagai berikut:
Pengumpulan
data Penyajian data
Reduksi data
Kesimpulan/
Verifikasi
40
a. Akses untuk mendapatkan bimbingan pelatihan kerja dan layanan
penempatan kerja;
b. Akses untuk mendapatkan pelatihan dan pekerjaan sesuai dengan
pilihan berdasarkan kemampuan individu;
c. Kemajuan sesuai sifat, pengalaman, kemampuan dan ketekunan
masing-masing;
d. Keamanan masa kerja
e. Memperoleh upah atas pekerjaan yang sama nilainya;
f. Kondisi kerja meliputi jam kerja, waktu istirahat, cuti tahunan
dengan tetap dibayar, tindakan keselamatan dan kesehatan kerja,
serta tindakan pengaman sosial dan fasilitas kesejahteraan dan
tunjangan yang disediakan dalam hubungannya dengan pekerjaan.
2. Adanya penerapan yang maksimal dari formulasi kebijakan tersebut
di atas;
3. Adanya kontrol atau pengawasan langsung dari pihak terkait
terhadap pelaksanaan kebijakan-kebijakan yang berhubungan
langsung dengan bentuk penghapusan diskriminasi terhadap
perempuan di tempat kerja.
3.6.2. Diskriminasi Perempuan di Tempat Kerja
Diskriminasi yang menimpa kaum perempuan memunculkan persepsi
bahwa perempuan dilahirkan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang jauh
41
lebih terbatas jumlahnya dengan status pekerjaan rendah dengan imbalan
(upah/gaji) yang rendah pula.
Diskriminasi perempuan di tempat kerja dapat dipahami sebagai adanya
perbedaan perilaku yang sangat signifikan antara pekerja laki-laki dan pekerja
perempuan di tempat kerja. Adanya pembedaan jenis pekerjaan yang
diberikan antara laki-laki dan perempuan; perbedaan pemberian upah; hingga
tidak diberikannya ruang pada perempuan untuk memegang posisi strategis di
sebuah tempat kerja.
3.6.3. Penghapusan Diskriminasi Perempuan di Tempat Kerja
Kata penghapusan dapat dipahami sebagai sebuah proses peniadaan.
Sehingga untuk mengukur tingkat efektivitas penghapusan diskriminasi
perempuan di tempat kerja dapat dilihat melalui peniadaannya pemberian
perilaku yang berbeda secara signifikan antara pekerja laki-laki dan pekerja
perempuan di tempat kerja. Dalam hal pembedaan jenis pekerjaan, perbedaan
upah maupun mengenai pemberian kesempatan yang sama antara pekerja
laki-laki dan pekerja perempuan untuk mengembangkan jenjang karir yang
mereka miliki.
42
BAB IV
PEMBAHASAN & HASIL PENELITIAN
4.1. Kondisi Ideal Bagi Pekerja
Tidak dapat dipungkiri sangat besarnya peran pekerja dalam mencapai
keberhasilan sebuah organisasi/perusahaan. Sumber daya manusia mempunyai
dampak yang lebih besar terhadap efektivitas organisasi/perusahaan dibanding
sumber daya yang lain. Apapun bentuk serta tujuannya, organisasi/perusahaan
dibuat berdasarkan berbagai visi untuk kepentingan manusia dan dalam
pelaksanaannya tentu saja dikelola oleh sumber daya manusia (pekerja).
Andrew Foulkes (1998) memprediksi bahwa peran sumber daya manusia
(pekerja) dari waktu ke waktu akan mengalami peningkatan yang signifikan.
Berikut terjemahan kutipannya:
“Bertahun-tahun berkembang pendapat bahwa modal merupakan hambatan
dalam industri yang sedang berkembang. Menurut saya hal ini tidak lagi
sepenuhnya benar. Menurut saya, angkatan kerja dan ketidakmampuan
perusahaan (organisasi) merekrut dan mempertahankan angkatan kerja yang
baik merupakan penyebab hambatan dalam produksi. Dan saya kira hal ini
masih akan bertahan, bahkan di masa yang akan datang.”
Dari kutipan di atas terlihat gambaran bahwa pengelolaan sumber daya
manusia (pekerja) menjadi bagian yang sangat penting. Kompleksitas pengelolaan
SDM sangat dipengaruhi oleh berbagai macam faktor. Hal ini sesuai dengan
perkembangan dan kemajuan yang berlangsung saat ini. Pengelolaan SDM
dilakukan oleh semua pihak yang terkait, baik oleh perusahaan/organisasi, serikat
pekerja bahkan oleh pemerintah (negara). Di mana pengelolaan SDM ini
seharusnya memiliki konsep ideal yang disepakati bersama sesuai dengan etika
43
sosial dan hukum yang ada. Baik nilai etika sosial maupun hukum menjunjung
tinggi martabat dan kehormatan individu termasuk kaum perempuan yang bekerja.
Nilai etika sosial dan hukum yang secara konsisten diimplementasikan
organisasi akan memberi pengalaman positif bagi pekerja, hingga pada akhirnya
akan dapat meningkatkan kepuasan diantara para pekerja (Burke, 2001). Sebagai
akibat tingginya mobilitas sosial, organisasi memiliki pekerja yang berasal dari
berbagai suku, agama, dan ras dengan karakteristik yang berbeda. Kondisi ini
mengubah situasi pekerja yang semula bersifat homogen menjadi heterogen. Di
mana manajemen SDM secara konvensional tidak cukup memiliki kemampuan
untuk menangani masalah keanakeragaman pekerja. Manajemen SDM harus
mampu merumuskan kebijakan yang mampu mengakomodir perbedaan
kepentingan antar individu dalam perusahaan/organisasi.
Implikasi konvergensi manajemen SDM baru adalah adanya penekanan
kebijakan yang memiliki fokus perhatian terhadap tanggung jawab sosial
organisasi maupun kondisi pekerja internal. Melalui kebijakan manajemen SDM,
organisasi mampu menyusun program yang semakin beragam dengan melahirkan
serangkaian kegiatan afirmatif yang mengedepankan empati organisasi terhadap
kualitas kehidupan kerja. Pekerja tidak hanya mendapat jaminan kesejahteraan
yang diukur semata dari nilai material berupa gaji yang memadai, tetapi juga
mendapat perlindungan immaterial berupa keselamatan, keadilan, dan
kenyamanan dalam bekerja.
Negara (pemerintah) memiliki sejumlah kewenangan atau otoritas untuk
menegakkan nilai-nilai legal dalam bentuk serangkaian perundang-udangan yang
44
melindungi pekerja dan berbagai kewajiban yang harus dipenuhi oleh
perusahaan/organisasi. Sistem hukum dibangun melalui konstruksi industri yang
menjamin adanya kesetaraan bagi semua pekerja baik bagi laki-laki maupun
perempuan.
4.1.1. Etika Sosial Dalam Pengelolaan SDM
Berbicara tentang etika sosial dalam sebuah perusahaan/organisasi,
tentu saja membahas tentang tanggung jawab yang diemban oleh pihak
perusahaan/organisasi untuk memberikan sesuatu sebagai timbal balik atas
usaha yang diberikan oleh stakeholder yang dimilikinya. Tanggung jawab ini
tidak hanya diberikan kepada eksternal stakeholders, seperti masyarakat luas
yang memiliki interaksi tertentu dengan perusahaan/organisasi. Namun,
tanggung jawab serupa harus ditunjukkan oleh pihak perusahaan/organisasi
dalam melakukan pengelolaan SDM.
Dalam mengelola SDM, pekerja (pegawai/karyawan/buruh) baik laki-
laki maupun perempuan yang menjadi objek pembahasan. Bentuk tanggung
jawab perusahaan/organisasi dalam pengelolaan SDM untuk para pekerjanya
yaitu memberikan kompensasi (gaji atau upah) secara adil, membuka akses
pelatihan dan pengembangan untuk peningkatan kemampuan, pengetahuan
dan keahliannya dalam menunjang pelaksanaan pekerjaan, serta memberikan
fasilitas untuk pencapaian individu pekerja secara konsisten melalui
pengembangan karir.
a. Pemberian kompensasi (gaji/upah) yang adil bagi pekerja.
45
Pemberian kompensasi merupakan salah satu pelaksanaan fungsi
manajemen SDM yang berhubungan dengan semua jenis pemberian
penghargaan individual sebagai pertukaran dalam melakukan tugas
keorganisasian. Tujuan kompensasi salah satunya adalah menjamin
terciptanya keadilan internal dan eksternal. Keadilan eksternal yang
menjamin semua pekerjaan akan dikompensasikan secara adil dengan
membandingkan pekerjaan yang sama di tempat lain. Sedangkan, keadilan
internal mensyaratkan pembayaran dikaitkan dengan nilai relative sebuah
pekerjaan sehingga pekerjaan yang sama dibayar dengan besaran yang
sama.
Dalam memberikan kompensasi yang adil harus berdasarkan evaluasi dan
analisis pekerjaan. Dari informasi tersebut diharapkan dapat menjamin
keadilan internal yang didasarkan pada nilai relatif di setiap pekerjaan.
Selain itu, melakukan survei upah dan gaji untuk menentukan keadilan
eksternal yang didasarkan pada upah pembayaran di pasar kerja.
b. Akses mendapatkan pelatihan dan pengembangan kemampuan dan
keahlian
Kegiatan pelatihan dan pengembangan akan membantu pekerja untuk
mengerjakan tugasnya yang ada sekarang. Kegiatan pelatihan dan
pengembangan memberikan dividen kepada pekerja dan
perusahaan/organisasi, berupa keahlian dan keterampilan yang selanjutnya
akan menjadi aset yang berharga bagi perusahaan/organisasi.
46
Idealnya setiap penempatan seseorang pada posisi apa pun dalam suatu
perusahaan/organisasi harus ada kesesuaian antara kemampuan dan
tuntutan jabatan/pekerjaannya.
Dalam menentukan ada tidaknya pelatihan dan pengembangan,
sebelumnya harus dilakukan penelitian akan kebutuhan pelatihan dengan
mengumpulkan dan menganalisis gejala-gejala dan informasi yang
diharapkan dapat menunjukkan adanya kekurangan dan kesenjangan
pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja karyawan yang menempati
posisi pekerjaan tertentu. Dengan adanya kesempatan mengikuti pelatihan
dan pengembangan, perempuan sebagai pekerja memiliki kompetensi yang
memadai untuk dapat menjawab semua tuntutan pekerjaan.
c. Akses dalam pengembagan karir
Perencanaan karir merupakan cara untuk memenuhi kebutuhan internal
pekerja. Dengan adanya perencanaan karir, para pekerja dapar menentukan
tujuan karirnya, di mana hal ini akan menjadi pendorong untuk meraih
jenjang pendidikan lebih lanjut serta pelatihan dan pengembangan karir
lainnya. Perencanaan karir yang dibuat oleh pihak perusahaan/organisasi
harus mempertimbangkan keinginan pekerja. Suatu penelitian
menyimpulkan bahwa persamaan karir, masalah pengawasan, kesadaran
akan adanya kesempatan, minat pekerja, dan keputusan karir menjadi
keinginan pekerja yang harus diperhatikan secara seksama oleh pihak
perusahaan/organisasi.
47
Hubungan antara pengembangan karir dan perencanaan SDM sangatlah
jelas. Pengembangan karir menyediakan bakat dan kemampuan pekerja,
sementara perencanaan SDM memproyeksikan kebutuhan perusahaan
terhadap bakat dan kemampuan para pekerja.
Beberapa poin di atas menunjukkan bahwa adanya perbedaan pemberian
upah, akses terhadap pelatihan dan pengembangan, serta akses untuk
pengembangan karir ditentukan oleh adanya perbedaan peran dan tanggung
jawab dalam pekerjaan, bukan berdasarkan atas perbedaan ras, warna kulit,
agama, keyakinan politik, kebangsaan atau asal usul dalam masyarakat,
bahkan berdasarkan jenis kelamin.
4.1.2. Aspek Normatif (Hukum) dalam Pengelolaan SDM
Aspek normatif (hukum) dalam pengelolaan SDM berkaitan dengan
komitmen semua pihak yang terkait (pemerintah maupun
perusahaan/organisasi) dalam menerapkan prinsip di mana semua orang baik
laki-laki mampun perempuan diberikan kesempatan yang sama dalam
penerimaan dan penempatan pekerja (equal employment opportunity). Di
samping itu, secara khusus perusahaan/organisasi memiliki tanggung jawab
untuk mematuhi hukum dan perundang-undangan yang ditetapkan pemerintah
khususnya yang berkaitan dengan hubungan industrial.
Pemerintah memiliki sejumlah kewenangan atau otoritas untuk
menegakkan nilai-nilai legal dalam bentuk serangkaian perundang-undangan
yang melindungi pegawai dan berbagai kewajiban yang harus dipenuhi
48
perusahaan/organisasi. Sistem hukum dibangun melalui konstruksi industri
yang menjamin adanya persamaan bagi semua pekerja termasuk kaum
perempuan sebagaimana dapat dijumpai di negara-negara Eropa, misalnya di
Inggris yang memiliki sistem manajemen SDM yang memiliki kaitan erat
antara implementasi dengan sistem hukum yang berlaku (Fielden et al.,
2001).
Berbicara tentang aspek normatif dalam pengelolaan SDM, tentu tidak
terlepas dari hak-hak normatif yang dimiliki oleh para pekerja. Hak-hak
normatif dapat diartikan sebagai hak-hak pekerja yang harus diperoleh
berdasarkan undang-undang maupun aturan lain yang dibuat oleh pemerintah.
Gangguan utama bagi pekerja perempuan dalam bentuk pelecehan
seksual menjadi isu yang sangat sensitif karena menyangkut persoalan
martabat atau harga diri perempuan sebagai manusia. Tak pelak dibutuhkan
payung hukum dalam bentuk intervensi pemerintah melalui legal scheme
building (Scutt, 1992) untuk melindungi kaum perempuan yang bekerja di
perusahaan/organisasi agar merasa lebih nyaman sekaligus aman dalam
menjalankan setiap tugas dan pekerjaannya.
Ada beberapa hal yang secara hukum (normatif) harus diperhatikan
oleh pihak pemerintah maupun perusahaan/organisasi. Hal-hal ini berkaitan
langsung dengan pemenuhan kebutuhan para pekerja, yaitu sebagai berikut.
a. Keamanan Masa Kerja.
Keamanan masa kerja berkaitan dengan lamanya bekerja yang sesuai
dengan perjanjian kerja bersama antara pihak pekerja dan pihak
49
manajemen perusahaan/organisasi. Perjanjian kerja ini dilakukan diawal
masa kerja para pekerja.
Selain itu selama masa kerja, pihak manajemen perusahaan/organisasi
harus bisa memberikan jaminan kepada pekerjanya mengenai keamanan
masa kerjanya, misalnya dengan menjamin tidak adanya pemutusan
hubungan kerja tanpa alasan yang jelas.
Jika kondisi perusahaan/organisasi mengharuskan adanya PHK atau
merumahkan pekerja, perusahaan harus menjamin pemenuhan hak-hak
normatif pekerja pasca pemberhentian.
Dalam hal terjadinya pemutusan hubungan kerja, pihak
perusahaan/organisasi diwajibkan untuk membayar uang pesangon (UP)
dan atau pemberian uang penghargaan masa kerja (UPMK) dan uang
penggantian hak (UPH) yang seharusnya diterima oleh pekerja yang
dihitung berdasarkan upah pekerja dan masa kerjanya.
b. Kondisi Kerja
Kondisi kerja meliputi jam kerja, waktu istirahat, cuti tahunan dengan
tetap dibayar, tindakan keselamatan dan kesehatan kerja, serta tindakan
pengaman sosial dan fasilitas kesjahteraan dan tunjangan yang disediakan
dalam hubungannya dengan pekerjaan.
Untuk melindungi kenyamanan kondisi kerja para karyawan dilakukan
proteksi. Proteksi ini tidak hanya dalam bentuk imbalan, baik langsung
maupun tidak langsung, yang diterapkan oleh perusahaan/organisasi
kepada pekerja. Proteksi ini dengan memberikan rasa aman, baik dari sisi
50
finansial, kesehatan, maupun keselamatan fisik bagi pekerja sehingga
pekerja dapat beraktivitas dengan tenang dan dapat memberikan kontribusi
positif bagi peningkatan nilai tambah perusahaan/organisasi.
Proteksi atau perlindungan pekerja merupakan suatu keharusan bagi
perusahaan/organisasi yang diwajibkan oleh pemerintah melalui peraturan
perundang-undangan. Pemberian proteksi di antara masing-masing pekerja
dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu tanggung jawab, keahlian, kerja
mental (mental effort), kemampuan fisik (physical effort), kondisi kerja,
dan peraturan pemerintah.
Perlindungan atau proteksi terhadap pekerja berkaitan dengan masalah
keuangan dan keamanan fisik pekerja. Perlindungan yang berhubungan
dengan masalah keuangan dilakukan melalui pemberian berbagai santunan
dalam bentuk santunan jaminan sosial, kompensasi ketiadaaan pekerjaan,
biaya medis, dan kompensasi pekerja. Selain itu, perlindungan atau
proteksi berhungan dengan keamanan fisik karyawan. Dalam rangka
memberikan perlindungan terhadap keselamatan dan keamanan pekerja,
pemerintah mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang
mengharuskan perusahaan/organisasi untuk memberikan fasilitas yang
memadai demi menjamin keamanan kerja serta memberikan jaminan
finansial apabila pekerja mengalami kecelakaan kerja. Pekerja memiliki
hak untuk menuntut perusahaan/organisasi agar menyediakan fasilitas
kerja yang memadai agar keselematan fisik dan mental mereka terlindungi
dari jenis kecelakaan pekerjaan yang mereka lakukan. Dalam rangka
51
melakukan pengawasan terhadap program keselamtan pekerja, pemerintah
dapat menjatuhkan sanksi bagi perusahaan yang tidak melaksanakan
program yang dimaksud.
4.2. Kondisi Ketenagakerjaan di Indonesia
Berdasarkan Berita Resmi Statistik No. 74/11/Th. XIV, 7 November 2011,
pada bulan Februari hingga Agustus 2011 jumlah penduduk yang bekerja di
Indonesia mengalami kenaikan terutama di sektor industri dan di sektor
konstruksi. Namun pada beberapa sektor tertentu mengalami kondisi yang
berbeda, sektor-sektor yang mengalami penurunan adalah sektor pertanian dan di
sektor transportasi, pergudangan dan komunikasi, serta sektor jasa
kemasyarakatan. Sesuai dengan tabel di bawah ini:
Tabel 4.1.
Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas yang Bekerja
Menurut Lapangan Pekerjaan Utama, 2010-2011
(juta orang)
Lapangan Pekerjaan Utama 2010 2011
Februari Agustus Februari Agustus
Pertanian 42.83 41.49 42.48 39.33
Industri 13.05 13.82 13.70 14.54
Konstruksi 4.84 5.59 5.59 6.34
Perdagangan 22.21 22.49 23.24 23.40
Transportasi, Pergudangan &
Komunikasi
5.82 5.62 5.58 5.08
Keuangan 1.64 1.74 2.06 2.63
Jasa Kemasyarakatan 15.62 15.96 17.02 16.65
Lain-lain *) 1.40 1.50 1.61 1.70
Jumlah 107.41 108.21 111.28 109.67 *) Lapangan pekerjaan utama/sektor lainnya terdiri dari: Sektor Pertambangan, Listrik, Gas, dan
Air
Sumber: Berita Resmi Statistik No. 74/11/Th. XIV, 7 November 2011
52
Jika dibandingkan dengan keadaan pada bulan Februari 2011, jumlah
penduduk yang bekerja di Indonesia pada Agustus 2011 mengalami kenaikan
terutama di sektor industri sebesar 840.000 orang (6,13%) dan sektor konstruksi
sebesar 750.000 orang (13,42 persen). Sedangkan sektor pertanian; sektor
transportsi, pergudangan dan komunikasi; serta sektor jasa kemasyarakatan
mengalami penurunan. Sektor-sektor yang mengalami penurunan adalah sektor
pertanian sebesar 3,1 juta orang (7,42%) dan sektor transportasi, pergudangan dan
komunikasi sekitar 500.000 orang (8,96%), kemudian sektor jasa kemasyarakatan
sebesar 370.000 orang (2,17%).
Dibandingkan dengan Agustus 2010 hampir semua sektor mengalami
kenaikan jumlah pekerja, kecuali sektor pertanian dan sektor transportasi,
pergudangan dan komunikasi. Masing-masing mengalami penurunan jumlah
pekerja sebesar 5,21% dan 9,61%. Sektor pertanian, perdagangan, jasa
kemasyarakatan dan sektor industri secara berurutan menjadi penyumbang terbesar
penyerapan tenaga kerja pada bulan Agustus 2011.
Berdasarkan data statistik di atas ditemukan bahwa secara garis besar di
setiap sektor memiliki ruang-ruang yang mampu menyerap banyak tenaga kerja
yang ada di Indonesia. Walaupun, pada kenyataannya pada sektor tertentu masih
ada beberapa yang mengalami penurunan jumlah pekerja.
Jika menggunakan pembagian fungsi negara menurut Montesquieu, negara
terdiri atas tiga fungsi yaitu fungsi legislatif, eksekutif dan yudikatif. Maka peran
negara dalam melindungi kesejahteraan para pekerja ikut terbagi tiga berdasarkan
tiga fungsi di atas. Pertama melalui fungsi legislatifnya, negara harus bisa
53
membuat aturan dalam bentuk perundang-undangan sebagai usaha tindak lanjut
atas peran pemerintah untuk melindungi kesejahteraan para pekerjanya.
Fungsi yang kedua, negara sebagai bagian dari eksekutif harus mampu
mengimplementasikan aturan yang telah dibuat oleh legislatif secara mendetail
dan menyeluruh. Aturan yang ada harus dilaksanakan di tataran nasional maupun
yang sifatnya lokal di masing-masing daerah. Sedangkan pelaksanaan fungsi
ketiga negara sebagai yudikatif, negara harus mampu mengawasi pelaksanaan
pembentukan aturan hingga ketataran pelaksanaan aturan tersebut. Dan
menjatuhkan sanksi bagi pihak-pihak yang melakukan pelanggaran terhadap
aturan tersebut.
Secara garis besar, negara Republik Indonesia melalui MPR/DPR telah
membuat beberapa kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan
para pekerja. Tentu saja aturan-aturan tersebut sesuai dengan UUD 1945 pasal 27
ayat (1) dan (2), yaitu sebagai berikut;
1) Segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan
tidak ada kecualinya.
2) Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak
bagi kemanusiaan.
Beberapa aturan-aturan yang dibuat oleh DPR/MPR berkaitan dengan
peningkatan kesejahteraan para pekerja di Indonesia yaitu sebagai berikut.
1. UU No. 2 tahun 2004 tentang penyelesaian perselisahan hubungan
industrial.
Undang-undang ini menjelaskan tentang tata cara penyelesaian
perselisihan hubungan industrial, mulai dari penyelesaian melalui
54
mediasi, konsiliasi dan arbitrase. Juga tentang penyelesaian
perselisihan melalui pengadilan hubungan industrial; beserta sanksi
administratif dan ketentuan pidana.
2. UU No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.
Undang-undang ini menjelaskan tentang beberapa hal yang berkaitan
tentang ketenagakerjaan, mulai dari kesempatan dan perlakuan yang
sama; perencanaan tenaga kerja dan informasi ketenagakerjaan;
pelatihan kerja; penempatan tenaga kerja; perluasan kesempatan kerja;
penggunaan tenaga kerja asing; hubungan kerja; perlindungan,
pengupahan dan kesejahteraan; hubungan industrial; pemutusan
hubungan kerja; pembinaan, pengawasan, penyidikan; hingga
ketentuan pidana dan sanksi.
3. UU No. 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
Undang-undang ini berisi tentang ketentuan pembentukan serikat
pekerja/serikat buruh; asas, sifat dan tujuannya; keanggotaan SP/SB;
serta hak dan kewajiban SP/SB.
Selain aturan-aturan yang dibuat oleh DPR/MPR, pemerintah melalui keputusan
presiden maupun melalui peraturan yang dibuat oleh menteri tenaga kerja dan
transmigrasi juga telah membuat aturan-aturan yang lebih spesifik berkaitan
dengan ketenagakerjaan, yaitu sebagai berikut.
1. Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 2005 tentang tata kerja dan susunan
organisasi lembaga kerja sama tripartite;
55
2. Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 1993 tentang penyelenggaraan
program jaminan sosial tenaga kerja;
3. Peraturan Pemerintah No. 79 Tahun 1998 tentang perubahan atas
Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 1993 tentang penyelenggaraan
program jaminan sosial tenaga kerja;
4. Peraturan Pemerintah No 83 Tahun 2000 tentang perubahan atas
Peraturan Pemerintah No. 79 Tahun 1998 tentang penyelenggaraan
program jaminan sosial tenaga kerja;
5. Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2002 tentang perubahan ketiga
atas Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 1993 tentang
penyelenggaraan program jaminan sosial tenaga kerja;
6. Peraturan Pemerintah No. 64 Tahun 2005 tentang perubahan keempat
atas Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 1993 tentang
penyelenggaraan program jaminan sosial tenaga kerja;
7. Peraturan Presiden No. 50 Tahun 2005 tentang lembaga produktivitas
nasional presiden RI;
8. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. Per-
05/MEN/III/2005 tentang ketentuan sanksi administrative dan tata cara
penjatuhan sanksi dalam pelaksanaan penempatan dan perlindungan
TKI di luar negeri;
9. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.
Kep.48/MEN/IV/2004 tentang tata cara pembuatan dan pengesahan
56
peraturan perusahaan serta pembuatan dan pendaftaran perjanjian kerja
bersama;
10. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.
Kep.49/MEN/2004 tentang ketentuan struktur dan skala upah;
11. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.
Kep.102/MEN/VI/2004 tentang waktu lembur dan upah kerja lembur;
12. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.
Kep.150/MEN/2000 tentang penyelesaian PHK dan penetapan uang
pesangon, uang penghargaan masa kerja dan ganti kerugian di
perusahaan;
13. Surat edaran No. SE-907/MEN/PHI-PPHI/X/2004 tentang pencegahan
pemutusan kerja massal;
14. Peraturan Presiden No. 21 tahun 2010 tentang pengawasan
ketenagakerjaan.
Peraturan-peraturan yang hadir seharusnya tidak sekedar hitam di atas
putih. Akan tetapi peraturan dibuat untuk dilaksanakan oleh seluruh pihak yang
memiliki keterkaitan langusng dengan undang-undang tersebut. Secara garis besar
pelaksanaan aturan-aturan di atas belum maksimal, karena di setiap tahunnya pada
tanggal 1 Mei yang menjadi hari buruh internasional masih adanya tuntutan
penghapusan tindak ketidakadilan oleh pihak pekerja.
Misalnya adanya tuntutan yang dibahasakan oleh peserta aksi May Day
2011 di Bandara Internasional Sultan Hasanuddin, Makassar bulam Mei 2011
(dikutip di okezone.com),
57
“…Mereka menuntut buruh disejahterakan. Rupa kesejahteraan itu difokuskan
pada tuntutan menghapuskan pekerja sistem kontrak. Sistem itu diklaim hanya
penerapan politik upah murah oleh rezim pengusaha neoliberal… akibat
penerapan berbagai aturan tidak pro buruh, kaum pekerja menjadi sangat
rentan posisinya. Sistem kontrak yang secara massif dijalankan di berbagai
bidang pekerjaan akhirnya hanya akan menyebabkan hilangnya kepastian kerja
yang seharusnya dimiliki oleh buruh…”
Tuntutan ini hadir karena sistem kerja kontrak merupakan contoh yang
paling nyata, jika ingin melihat kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak kepada
kaum pekerja (buruh). Akibat penerapan kebijakan ini maka kehidupan kaum
pekerja (buruh) di Indonesia semakin terpuruk hingga saat ini. Kepastian kerja
menjadi tidak didapatkan lagi karena setiap saat buruh bisa saja diberhentikan
oleh pihak perusahaan tanpa alasan yang jelas.
Dilansir berdasarkan data Lembaga Buruh Internasional (ILO), pada 2010
di Indonesia ada 65% pekerja kontrak dan outsourcing. Dapat diartikan bahwa
hanya tinggal 35% pekerja tetap di Indonesia atau sekira 9,5 juta orang saja. Dari
data ini, dapat ditemukan bahwa kekuatan gerakan pekerja (buruh) hari ini ikut
terpecah-pecah karena para pekerja kontrak tidak berani untuk terlibat dalam
serikat buruh/pekerja.
Hal ini mengakibatkan kekuatan pekerja buruh ketika menemui
permasalahan dengan perusahaan akan sangat lemah. Pada 2010, hampir 75-80
persen buruh atau pekerja outsourcing kalah dalam kasus ketenagakerjaan di
Pengadilan Hubungan Industrial. Jika ada yang dimenangkan, pekerja akan
kesulitan mendapatkan pembayaran pesangon dan uang penghargaan masa kerja.
Ketidakseriusan pemerintah dalam pelaksanaan aturan yang ada khususnya
mengenai UU No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Keterbukaan
58
informasi ternyata tidak menyentuh seluruh lapisan masyarakat. Sosialisasi yang
dilakukan pemerintah melalui Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi
(nasional) maupun oleh Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (tingkat daerah)
tentang undang-undang ketenagakerjaan tersebut hanya sebatas pada pekerja elit
saja (pihak manajemen perusahaan).
Kondisi ini dapat dilihat dari masih banyaknya perusahaan yang
memberikan upah jauh di bawah standar UMP. Selain itu, tidak adanya
perlindungan dan jaminan kepastian kerja. Hal ini dapat dilihat dari masih
maraknya perusahaan yang mempekerjakan pekerja dengan sistem outsourcing
(Tuntutan Gabungan Serikat Buruh Nusantara/GSBN).
Belum lagi, beberapa minggu terakhir di layar kaca televisi maupun media
cetak diwarnai dengan berita pemogokan pekerja/buruh di beberapa kota di
Indonesia. Tuntutannya pun beragam mulai dari meminta kenaikan UMK (Upah
Minimum Kabupaten), keamanan masa kerja, tunjangan kesehatan dan
keselamatan kerja, hingga permintaan keterbukaan ruang komunikasi antara pihak
pekerja dan pihak manajemen perusahaan.
Banyaknya permasalahan yang masih terjadi mengharuskan pemerintah
kembali menilik lebih jauh terhadap pelaksanaan peraturan yang dibuat
sebelumnya. Karena pada dasarnya peraturan tersebut dibuat berdasarkan
keinginan untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja, namun pada kenyataannya
kesejahteraan yang diharapkan ternyata belum terealisasi dengan baik.
Sangat sulit melakukan pengawasan secara maksimal terhadap sesuatu hal,
ketika hal tersebut ternyata tidak berjalan sebagaimana mestinya. Terkait dengan
59
pengawasan pelaksanaan aturan-aturan yang berkaitan dengan ketenagakerjaan
masih sulit dilaksanakan. Apalagi kebanyakan peran yang dilakukan pemerintah
dalam hubungan tripartit (pemerintah, pekerja dan perusahaan) hanya sebagai
mediator saja. Pemerintah hanya bisa memediasi permasalahan yang ada, dan
terkadang hasilnya tidak begitu maksimal mengawal kepentingan pekerja, kondisi
ini ditemukan saat mewawancarai salah satu pengurus GSBN (Gabungan Serikat
Buruh Nusantara) sekaligus sebagai anggota salah satu LBH di Makassar yang
mengadvokasi kepentingan pekerja (HDR), pada tanggal 27 Januari 2012.
Dalam wawancara tersebut, narasumber mengatakan bahwa saat ini peran
pemerintah untuk menyelesaikan masalah perburuhan antara pekerja dan pihak
manajemen perusahaan hanya bersifat mediasi saja. Dalam hal ini, mediasi dapat
diartikan hanya memberikan nasehat untuk menyelesaikan permasalahan antara
pihak manajemen perusahaan dan pihak pekerja. Hasil dari perundingan hanya
mampu membawa pekerja yang sudah di-PHK hanya sampai pada titik
pembayaran pesangon, bukan kembali mempekerjakan pekerja yang telah di-PHK
sebelumnya.
Banyaknya masalah perburuhan/ketenagakerjaan yang terjadi di Indonesia
menunjukkan adanya kontradiksi dari pernyataan yang pernah diutarakan oleh
Susilo Bambang Yudiyono sebagai presiden Republik Indonesia. Pernyataan yang
disampaikan pada penyuluhan terhadap calon TKI dari PT Perwita Nusaraya di
Kecamatan Kriyan, Sidoarjo, Jawa Timur pada 14 Desember tahun lalu sebagai
berikut:
“Pemerintah terus membenahi undang-undang, kebijakan, dan program terkait
ketenagakerjaan… Ada saudara-saudara kita yang terlibat kejahatan, ada yang
60
narkoba, pembunuhan, kekerasan. Saya sedih karena tujuannya baik bekerja,
malah terlibat dalam kejahatan. Itupun saya masih memberikan bantuan atas
hak-hak dasarnya. Bantuan agar kalaupun melakukan kejahatan, hukumannya
tidak dilebih-lebihkan. Kalau bisa hukumannya diperingan karena bekerja di
tempat orang lain, negeri orang lain, sehingga stres dan melakukan tindak
kejahatan. Itupun kami bela.”
Kenyataan lain yang ditemukan bahwa selama ini pemerintah terkesan
bersifat pasif menanggapi isu ketenagakerjaan yang ada. Pemerintah terkesan
tidak begitu mempermasalahkan kasus-kasus yang ada, bahkan dalam kondisi
tertentu pemerintah terkesan pura-pura tidak tahu. Hal ini menunjukkan
ketidakseriusan pemerintah melaksanakan aturan yang dibuat sebelumnya.
Lanjut HDR, kesulitan dalam melakukan pengawasan disebabkan karena
masih adanya peraturan yang tidak jelas proses pelaksanaan dan sanksi yang
dibuat. Seperti masalah pemberian tunjangan pada pekerja, peraturan pemerintah
yang ada tidak memberikan spesifikasi tunjangan-tunjangan apa saja yang harus
diperoleh oleh para pekerja. Penentuan tunjangan-tunjangan tersebut ditentukan
sepenuhnya oleh kebijakan perusahaan masing-masing.
4.3. Kondisi Pekerja Perempuan di Kota Makassar
Dengan adanya keputusan pemerintah untuk meratifikasi konvensi ILO
No. 111 melalui Undang-undang No. 21 tahun 1999, seharusnya membawa
perubahan yang baik terhadap tingkat kesejahteraan para pekerja, terkhusus bagi
pekerja perempuan yang beberapa tahun belakangan menjadi terdiskriminasikan
oleh kebijakan yang ada. Dalam konvensi ILO No. 111, pengabaian atau
pengrusakan kesempatan dan perlakuan yang sama dalam pekerjaan sering
ditemukan pada akses untuk mendapat pekerjaan; akses untuk mengikuti magang
61
dan penempatan; kenaikan pangkat sesuai dengan pengalaman; keamanan
kedudukan; kondisi pekerjaan; termasuk mengenai upah yang seharusnya sama
untuk pekerjaan yang juga sama nilainya.
Penghapusan diskriminasi terhadap pekerja perempuan padahal telah
ditekankan oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi sebagai pihak yang
bertanggung jawab penuh terhadap kondisi kesejahteraan para tenaga kerja.
Dilaporkan oleh suaraperempuan.com per tanggal 24 Desember 2011, Muhaimin
Iskandar memberikan penegasan bahwa:
“…dalam hubungan kerja, tidak boleh ada perlakuan diskriminasi terhadap
pekerja perempuan terutama dalam pemberian upah, tunjangan keluarga dan
jaminan sosial, kesempatan mengikuti pelatihan serta promosi jabatan.
Pemenuhan hak tersebut tidak boleh berlaku diskriminatif. Perlunya
perlindungan kepada pekerja perempuan khususnya yang dipekerjakan pada
malam hari. Jaminan keamanan melalui penyediaan petugas keamanan di
tempat kerja, kamar mandi dengan penerangan yang layak serta fasilitas antar
jemput bagi buruh perempuan adalah bentuk perhatian khusus dari pihak
perusahaan. Para Kepala Dinas yang membidangi ketenagakerjaan di tingkat
Provinsi maupun Kabupaten/Kota untuk dapat menggerakkan pihak
Perusahaan agar terus mengusahakan fasilitas penunjang bagi buruh
perempuan, seperti ruang laktasi atau menyusui bagi para ibu dan tempat
penitipan anak…”
Pada Agustis 2011 angkatan kerja yang tercatat pada Badan Pusat Statistik
kota Makassar berdasarkan hasil survey angkatan kerja 2011, sebanyak 590.718
orang yang terdiri dari laki-laki sebanyak 355.419 orang dan perempuan 235.299
orang. Dari jumlah tersebut dapat dilihat bahwa angkatan kerja menurut tingkat
pendidikan terlihat bahwa tingkat pendidikan SLTA umum yang menempati
peringkat pertama yaitu 171.639 orang disusul tingkat pendidikan SMP sekitar
116.232 orang (tabel 4.2.).
62
Tabel 4.2.
ANGKATAN KERJA BERDASARKAN TINGKAT PENDIDIKAN DAN
JENIS KELAMIN DI KOTA MAKASSAR
PER AGUSTUS 2011
Tingkat Pendidikan Laki-laki Perempuan Jumlah
SD 76.599 37.318 113.917
SMP 73.094 43.138 116.232
SLTA Umum 101.559 70.080 171.639
SLTA Kejuruan 36.999 23.547 60.546
D1, D2/D3/Akademi 10.618 12.128 22.746
Universitas 56.550 49.088 105.638
JUMLAH 355.419 235.299 590.718
Sumber: BPS, Survei Angkatan Kerja Nasional Agustus 2011 diolah Pusdatinaker
Pada Agustus 2011, jumlah angkatan kerja berdasarkan golongan umur 15-
19 adalah 28.305 orang dengan komposisi laki-laki 13.215 orang dan perempuan
15.090 orang. Untuk golongan umur 20-24 hingga 65 ke atas, jumlah angkatan
kerja laki-laki lebih banyak dibanding perempuan. Jadi secara keseluruhan, usia
paling produktif untuk bekerja dipegang oleh laki-laki dibanding perempuan
(tabel 4.3.)
Tabel 4.3.
ANGKATAN KERJA DI KOTA MAKASSAR MENURUT GOLONGAN
UMUR DAN JENIS KELAMIN PER AGUSTUS 2011
Golongan Umur Laki-Laki Perempuan Jumlah
15-19 13.215 15.090 28.305
20-24 51.029 34.496 85.525
25-29 59.419 42.450 101.869
30-34 45.008 27.588 72.596
35-39 50.973 28.015 78.988
40-44 39.397 29.158 68.555
45-49 30.423 21.711 52.134
50-54 26.729 16.021 42.750
55-59 16.047 13.026 29.073
60-64 10.533 2.756 13.289
65 ke atas 12.646 4.988 17.634
Jumlah 355.419 235.299 590.718 Sumber: BPS, Survei Angkatan Kerja Nasional Agustus 2011 diolah Pusdatinaker
63
Di kota Makassar sendiri, masalah diskriminasi perempuan di tempat kerja
pada awalnya ditemukan sekitar tahun 1990-an. Fakta ini ditemukan pada saat
wawancara dengan HDR (Pengurus GSBN dan penggiat LBH), pada tanggal 27
Januari 2012. Dimana, pada masa itu sering disuarakannya isu emansipasi
perempuan ataupun kesetaraan gender. Perempuan mulai menuntut hak untuk
diberikan ruang selebar-lebarnya bekerja di ranah publik, menjadi pegawai atau
pekerja di perusahaan atau di tempat kerja lain layaknya laki-laki.
Adanya syarat-syarat untuk pekerjaan yang memiliki spesifikasi tertentu
membuat perempuan belum mampu bersaing dengan pekerja laki-laki. Karena
pada saat itu, perempuan belum terlalu memiliki pengalaman kerja dan
pendidikan yang layak. Keadaan ini memunculkan persepsi bahwa perempuan
dilahirkan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang jauh lebih terbatas
jumlahnya dengan status pekerjaan rendah dengan imbalan (upah/gaji) yang
rendah pula (Wiratha: 2000). Pengalaman kerja yang dimiliki perempuan hanya
berdasarkan tugas yang sering mereka lakukan di ranah domestik. Sehingga
pekerjaan yang diberikan pada saat itu tidak jauh dari apa yang sering mereka
kerjakan di rumah.
Kondisi seperti yang dijelaskan sebelumnya mulai bergeser. Diskriminasi
yang hadir tidak lagi dalam bentuk pengekangan ruang kerja perempuan pada
bidang tertentu saja. Perempuan hari ini sudah menduduki hampir semua posisi
yang ada di organisasi/perusahaan. Cukup banyak perempuan yang menduduki
posisi strategis di beberapa tempat. Beberapa nama tokoh perempuan pun berhasil
mencuri perhatian masyarakat sehingga mampu menduduki kursi legislatif di
64
tingkat nasional maupun daerah, sebut saja Marwah Daud atau sekarang ada St.
Muhyina Muin yang mewakili perempuan di DPRD Makassar.
Tidak dapat dipungkiri terbukanya ruang-ruang publik untuk perempuan,
membawa dampak yang sangat siginifikan. Jumlah pekerja perempuan pun sudah
semakin meningkat. Terbukti pada Desember 2010, Disnaker Kota Makassar
mengeluarkan pernyataan bahwa dari 5.658 perusahaan yang terdaftar di kota
Makassar, tercatat jumlah tenaga kerja wanita sebanyak 37.896 dari 106.459
tenaga kerja. Dari jumlah tersebut, didominasi pada sektor industri, khususnya
bidang jasa. Beberapa contoh di antaranya adalah industri pengolahan ikan dan
udang yang ada di Kawasan Industri Makassar (KIMA), dan industri lainnya.
Tabel 4.4.
PENDUDUK YANG BEKERJA DI KOTA MAKASSAR MENURUT
PENDIDIKAN DAN JENIS KELAMIN PER AGUSTUS 2011
Pendidikan Jenis Kelamin Jumlah
Laki-laki Perempuan
SD 75.267 31.602 106.869
SMP 70.775 35.997 106.772
SMA Umum 82.889 58.445 141.334
SMA Kejuruan 36.452 21.199 57.651
D1/D2/D3/Akademi 10.281 10.499 20.780
Universitas 53.926 43.718 97.644
Jumlah 339.590 201.460 541.050 Sumber: BPS, Survey Angkatan Kerja Nasional Agustus 2011 diolah Pusdatinaker
Dari tabel di atas (tabel 4.4.) dapat dilihat bahwa menurut jenjang
pendidikan, tenaga kerja perempuan masih kurang terserap. Karena hanya 201.
460 orang yang mampu diserap, sedangkan laki-laki berjumlah 339.590 orang.
Pada jenjang universitaslah tenaga kerja perempuan cukup banyak diserap yaitu
43.718 orang dibanding jenjang pendidikan lainnya, walaupun jumlah ini masih
ada di bawah tenaga kerja laki-laki.
65
Sesuai tabel 4.4. di atas dapat diperkirakan bahwa jumlah pekerja
perempuan yang terserap di tempat kerja pun sedikit, dari 235.299 angkatan kerja
perempuan di kota Makassar hanya 201.460 orang yang terserap, hingga masih
ada 33.839 orang perempuan yang tidak serap di tempat kerja. Dari 201.460 orang
ini pun otomatis membuat perempuan mendapatkan kuota lebih sedikit dibanding
laki-laki dalam penyebaran tenaga kerja di berbagai sektor pekerjaan di kota
Makassar (tabel 4.5.)
Tabel 4.5.
PENDUDUK YANG BEKERJA DI KOTA MAKASSAR MENURUT
PENDIDIKAN DAN LAPANGAN USAHA PER AGUSTUS 2011
Pendidikan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Jumlah
SD 918 0 2.260 0 16.309 41.321 30.683 565 14.813 106.869
SMP 125 3.151 6.749 0 7.759 43.784 8.273 7.191 29.740 106.772
SMA Umum 48 0 15.028 0 4.743 69.743 9.600 5.731 46.441 151.334
SMA
Kejuruan
2.522 0 2.861 809 4.964 26.979 6.063 0 13.453 57.651
D1/D2/D3/
Akademi
0 565 1.679 0 1.795 5.197 702 3.126 7.716 20.780
Universitas 0 0 1.965 0 5.483 8.701 2.534 10.640 68.321 97.644
Jumlah 3.613 3.716 30.542 809 41.054 195.725 57.855 27.253 180.484 541.050
Sumber: BPS, Survey Angkatan Kerja Nasional Agustus 2011 diolah Pusdatinaker
Ket: 1. Pertanian, kehutanan, perburuan dan perikanan, 2. Pertambangan dan penggalian, 3.
Industri pengolahan, 4. Listrik, gas dan air, 5. Bangunan, 6. Perdagangan besar, eceran, rumah
makan, dan hotel, 7. Angkutan, pergudangan dan komunikasi, 8. Keuangan, asuransi, usaha
persewaan bangunan, tanah, dan jasa perusahaan, 9. Jasa kemasyarakatan
Berdasarkan hasil wawancara pada tanggal 27 Januari 2012 dengan
pengurus GSBN (Gabungan Serikat Buruh Nusantara) ditemukan fakta bahwa
diskriminasi pekerjaan dan jabatan terhadap pekerja perempuan relatif tidak
terjadi lagi. Karena sudah banyak perempuan yang menduduki posisi strategis dan
hampir di semua perusahaan/organisasi terdapat pekerja perempuan yang
beraktifitas di dalam. Mulai dengan jabatan setingkat pimpinan, manajer atau pun
pekerja biasa.
66
Masih dari hasil wawancara per tanggal 27 Januari 2012, ditemukan
bahwa hanya pada bidang tertentu saja yang masih memperlihatkan indikasi
terjadinya diskriminasi terhadap perempuan di tempat kerja. Hal ini dikemukakan
sesuai dengan kutipan wawancara berikut ini,
“... Tidak ada masalah dengan diskriminasi. Cuma di beberapa tempat,
khususnya di perusahaan perhotelan atau pariwisata kebanyakan sangat
diskriminatif. Misalnya, di beberapa kasus ketika perempuan sudah menikah.
Sebenarnya ini sudah melanggar hak warga negara untuk menikah, itu sudah
tidak diperbolehkan bekerja di beberapa tempat di kota Makassar.”
(wawancara 27Januari 2012)
Dari pernyataan di atas, menunjukkan bahwa tidak sepenuhnya
diskriminasi terhadap perempuan di tempat kerja telah terhapus. Karena pada
kenyataannya, masih ada aturan-aturan yang hadir di beberapa perusahaan yang
sifatnya diskriminatif terhadap pekerja perempuan. Walaupun di sisi lain, telah
dibahasakan bahwa perempuan hari ini sudah sangat memiliki peluang untuk
bekerja di ranah publik di posisi manapun di dalam perusahaan/organisasi.
Hal ini tentu saja perlu mendapat perhatian langsung. Karena ternyata apa
yang diperjuangkan oleh orang-orang yang mengharapkan adanya persamaan hak
perempuan dan laki-laki di ranah publik belum sepenuhnya berhasil. Konsep
emansipasi atau penyeteraan gender belum terpahami dengan baik oleh
masyarakat secara luas.
4.4. Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan di Tempat Kerja di Kota
Makassar
Secara garis besar, Konvensi ILO No.111 membahas diskriminasi
pekerjaan dan jabatan dalam bentuk pembedaan dalam mendapat akses untuk
67
mendapat pekerjaan; akses untuk mengikuti pelatihan dan pengembangan;
kenaikan pangkat sesuai dengan pengalaman; keamanan masa kerja; kondisi
pekerjaan; termasuk mengenai upah yang seharusnya sama untuk pekerjaan yang
juga sama nilainya.
4.4.1. Akses untuk mendapat pekerjaan
Akses untuk mendapatkan pekerjaan berkaitan dengan proses rekrutmen
dan seleksi yang dilakukan oleh pihak manajemen perusahaan/organisasi.
Dalam melakukan kedua proses tersebut, pihak manajemen
perusahaan/organisasi harus menyesuaikannya dengan kebutuhan
perusahaan/organisasi tersebut. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, pihak
manajemen harus merekrut calon tenaga kerja yang berpotensi dan sesuai
dengan standar yang telah ditentukan.
Selanjutnya dilakukan kegiatan seleksi. Kegiatan seleksi ini dimaksudkan
agar organisasi membuat keputusan siapa-siapa saja yang diterima. Seleksi
diawali dengan mengidentifikasi kandidat dan menempatkan beberapa individu
yang mempunyai kemampuan terbaik pada pekerjaan yang tersedia dan
diakhiri dengan seleksi individu yang ditempatkan pada pekerjaannya dalam
organisasi.
Berkaitan dengan kesempatan mendapatkan akses pekerjaan bagi
perempuan tentu saja tidak bisa dilepaskan dengan kebutuhan umum dari
semua perusahaan/organisasi. Karena tidak semua perusahaan/organisasi
ternyata membutuhkan perempuan sebagai pekerjanya. Hal ini terjadi karena
68
spesifikasi pekerjaan yang ada memang tidak diperuntukkan bagi perempuan
dengan berbagai alasan.
Di Makassar pada tahun 2010, jumlah pencari kerja didominasi oleh
perempuan. Dari tahun tersebut ada 16.802 yang terdaftar sebagai pencari kerja
dan 60 persen di antaranya adalah perempuan. Namun pada kenyataannya,
tidak semua mampu diserap di lapangan kerja. Tenaga kerja perempuan hanya
mampu terserap 40 persen ke lapangan kerja. Dari jumlah tersebut, didominasi
pada sektor industri, khususnya bidang jasa. Beberapa contoh di antaranya
adalah industri pengelolaan ikan dan udang yang ada di Kawasan Industri
Makassar (KIMA) dan industri lainnya.
Pada tahun 2011 jumlah pekerja perempuan yang terserap di tempat kerja
pun sudah meningkat presentasinya, dari 235.299 angkatan kerja perempuan di
kota Makassar hanya 201.460 orang yang terserap, hingga masih ada 33.839
orang perempuan yang tidak serap di tempat kerja. Atau dengan kata lain
sekitar 85,62% dari jumlah angkatan kerja pekerja perempuan telah diserap di
lapangan kerja.
Di bidang perbankan, PT Bank Sulselbar setiap tahunnya melakukan
peningkatan rekrutmen terhadap pekerja perempuan, dapat dilihat pada tabel
(5.6.) tentang komposisi pegawai perserroan berdasarkan jenis kelamin.
Tabel 4.6.
Komposisi Pegawai Perseroan PT. Bank Sulselbar berdasarkan Jenis
Kelamin
Jenis Kelamin 31 Desember
2010 2009 2008 2007 2006
Laki-laki 681 687 622 638 630
Perempuan 332 310 264 266 232
69
Jumlah 1.013 997 886 904 862 Sumber: Buku Laporan Tahunan 2010 PT Bank Sulselbar
Selain itu, perusahaan/organisasi yang bergerak di bidang kesehatan
sebenarnya cukup membuka peluang yang besar bagi pekerja perempuan.
Karena perempuan memang lebih dekat dengan dunia persalinan (ibu dan
anak). Jadi secara garis besar, perempuan akan lebih banyak memenuhi syarat
untuk bekerja di tempat ini dibanding laki-laki.
Salah satu rumah sakit ibu dan anak miliki swasta pun secara kuantitas
memiliki jumlah tenaga kerja perempuan lebih banyak dibanding laki-laki, hal
ini ditemukan saat mewawancarai salah satu pekerja perempuan inisial AND
(22) yang bekerja di rumah sakit tersebut pada tanggal 2 Februari 2012.
Berikut kutipan wawancara dengan narasumber yang bersangkutan,
“kebanyakan memang cewek, sedikit sekali yang cowok. Di bagian
manajemen itu ada direktur, asisten direktur, KASUBAG TU, bidang
kepegawaian, di keuangan dua orang cowok, kepala JAMKESDA cowok.
Ituji delapan orang. Oh… tambah 1 orang di bagian JAMKESMAS.”
(wawancara 2 Februari 2012)
Hal ini sebenarnya kelihatan sangat lumrah atau biasa-biasa saja, Sehingga
sangatlah wajar jika jumlah pekerja perempuan di tempat ini jauh lebih banyak
dibanding laki-laki.
Di sektor perdagangan pun cukup terbuka lebar bagi perempuan. Di mana
ujung tombak dari perdagangan adalah pemasaran. Dalam melakukan kegiatan
pemasaran, tentu saja membutuhkan orang-orang yang mampu menarik
customer sebanyak-banyaknya. Perempuan sering dianggap sebagai orang yang
mampu menarik minat dari para customer. Sehingga hampir semua outlet di
70
tempat perbelanjaan di kota Makassar mempekerjakan perempuan baik sebagai
pelayan ataupun sebagai sales promotion.
Tidak hanya itu, untuk pekerjaan yang membutuhkan ketelitian dan
ketekunan yang tinggi, calon pekerja perempuan akan menjadi pilihan utama
bagi pihak manajemen perusahaan/organisasi untuk dipekerjakan. RHM
membenarkan pernyataan tersebut, sesuai dengan kutipan wawancara pada
tanggal 7 Februari 2012 lalu berikut ini,
“…Laki-laki itu banyakan di gudang, sepatu atau di bazanya (swalayan).
Kalau di fashion itu kebanyakan perempuan. Kalau kasir memang
perempuan, tidak ada laki-laki. Takutnya laki-laki teledor, atau ada
hubungan laki-laki sama perempuan takutnya ada kerjasama juga…”
(wawancara 7 Februari 2012)
Narasumber bernama RHM (23) ini bekerja di salah satu swalayan di
daerah Panakkukang, Makassar. RHM bekerja di bagian kasir sudah lima tahun
di swalayan tersebut.
Dari beberapa hasil wawancara di atas ditemukan bahwa perempuan
diberikan ruang seluas-luasnya bekerja pada bagian tertentu saja. Kelihatan
tidak dipermasalahkan oleh para narasumber yang merupakan pekerja
perempuan. Karena menurut mereka, selama mereka bekerja dan diberikan
gaji/upah yang sesuai itu tidak masalah, dimana pun posisinya. Hal ini juga
terdeskripsikan dari data survey angkatan kerja nasional 2011 di kota Makassar
(tabel 4.7.) berikut ini,
71
Tabel 4.7.
PENDUDUK YANG BEKERJA DI KOTA MAKASSAR MENURUT
JENIS PEKERJAAN/JABATAN DAN JENIS KELAMIN
PER AGUSTUS 2011
Jenis
Pekerjaan/Jabatan*)
Jenis Kelamin Jumlah
Perbedaan (JenisPekerjaan/Jabatan) Laki-Laki Perempuan
0/1 39.611 41.693 81.304 2.082
2 10.349 1.400 11.749 8.949
3 41.780 38.017 79.797 3.763
4 83.192 74.840 158.032 8.352
5 30.292 24.792 55.084 5.500
6 1.091 0 1.091 1.091
7/8/9 116.378 19.938 136.316 96.440
X/00 16.897 780 17.677 16.117
Jumlah 339.590 201.460 541.050 Sumber: BPS, Survey Angkatan Kerja Nasional 2011 diolah Pusdatinaker
*)0/1.Tenaga profesional, teknisi dan yang sejenis; 2.Tenaga kepemimpinan dan
ketatalaksanaan; 3.Tenaga tata usaha dan yang sejenis; 4.Tenaga usaha penjualan;
5.Tenaga usaha jasa; 6.Tenaga usaha pertanian, kehutanan, perburuan, dan perikanan;
7/8/9.Tenaga produksi,operator alat-alat angkutan dan pekerja kasar; X/00.Lainnya.
Tersegmentasinya jabatan dan pekerjaan tersebut, membuat pekerja
perempuan mengalami marjinalisasi sebagai proses feminisasi atau segregasi.
Hal ini bisa dilihat dari terkonsentrasinya pekerja perempuan ke dalam jabatan
pekerja yang seolah-olah sudah terfeminisasi atau pekerja yang dianggap
sebagai pekerja perempuan. Seperti sekretaris (tenaga administrasi), kasir,
pedagang, perawat, dan jenis-jenis pekerjaan yang masih merupakan
kepanjangan dari pekerjaan-pekerjaan rumah tangga (sektor domestik) yang
lebih banyak memerlukan keahlian manual (Mansour Fakih, 1996).
Scott (seperti dikutip , 1992) memandang segregasi pekerjaan berdasarkan jenis
kelamin merupakan salah satu bagian dari marginalisasi. Bila permasalahan
marginalisasi ini dikaitkan dengan ketimpangan gender, maka ada 2 hal yang
dapat dijelaskan:
72
1. Pekerjaan-pekerjaan marginal yang dikerjakan oleh perempuan dapat
dilihat sebagai akibat proses identifikasi perempuan terhadap apa-apa yang
sesuai dengan sifat keperempuanannya yang telah dikonstruksikan secara
sosial. Identifikasi ini merupakan proses pemaknaaan diri dan hal-hal yang
berkaitan dengan kehidupan perempuan sehingga berbagai faktor
diperhatikan di dalamnya.
2. Berbagai proses telah mereproduksi sifat keperempunanan dan kenyataan
tentang pekerjaan-pekerjaan yang sesuai dengan sifat keperempuanan
tersebut.
Hal yang paling besar mempengaruhi bentuk marginalisasi ini adalah
faktor budaya yang ada di lingkungan tersebut. Faktor ini juga diiyakan oleh
HDR dalam kutipan wawancara berikut ini,
“…adanya perbedaan pekerjaan dan jabatan antara perempuan dengan
laki-laki sebenarnya merupakan permasalahan yang hadir karena
konstruk sosial saja. Misalnya pemikiran masyarakat terhadap pekerja
perempuan yang pulang malam biasa dianggap melakukan pekerjaan
yang tidak baik. Perempuan bekerja di luar dianggap sebagai pekerja
sampingan saja.” (wawancara 27 Januari 2012)
Konteks seperti inilah yang sering mengarahkan perempuan untuk bekerja
pada bagian-bagian yang tidak terlalu berat dan telah tersegmentasikan di
tempat kerja.
4.4.2. Akses untuk Mendapatkan Pelatihan dan Pengembangan
Permintaan pekerjaan dan kemampuan karyawan harus diseimbangkan
melalui program orientasi dan pelatihan. Pelatihan dan pengembangan sangat
penting bagi pekerja/karyawan baru maupun lama untuk meningkatkan kinerja
73
saat ini dan di masa yang akan datang. Kegiatan pelatihan dan pengembangan
memberikan dividen kepada pekerja dan perusahaan, berupa keahlian dan
keterampilan yang selanjutnya akan menjadi aset yang berharga bagi
perusahaan/organisasi.
Dalam mendapatkan pelatihan dan pengembangan, pekerja perempuan di
kota Makassar tidak mengalami tindakan yang diskriminatif menurut Konvensi
ILO No.111. Karena menurut mereka, pelatihan dan pengembangan memang
bentuknya berbeda. Hal ini diakibatkan adanya posisi yang berbeda sehingga
membutuhkan program orientasi dan bentuk pelatihan yang berbeda.
Bahkan ada beberapa pekerja perempuan yang sudah memiliki jabatan
yang mapan dan lebih tinggi sering dikirim oleh pihak perusahaan untuk
melakukan bimbingan training ke pekerja baru yang akan dipekerjakan di
cabang yang akan dibuka selanjutnya.
“…sudah seringmi keliling. Tergantung kalau memang dipercayakan,
cara kerjanya bagus, bisa mengajar, atau jadi karyawan terbaik bisa
dikirim. Kalau ada cabang baru mau dibuka misalnya di Palu atau di
Jayapura, sampai tokonya dibuka atau sampai anak baru disana sudah
bisa mandiri. Selesai kontrak, kembali lagi ke cabang asal…”
(wawancara 7 Februari 2012)
Ini menunjukkan tingkat profesionalitas dan kinerja menjadi tolak ukur
perusahaan/organisasi untuk memberikan pelatihan dan pengembagan kepada
pekerjanya.
Jika melihat kondisi di atas, secara garis besar tidak ada diskriminasi yang
terjadi dalam konteks pemberian pelatihan dan pengembangan di tempat kerja
di kota Makassar terhadap pekerja perempuan. Ini dikarenakan
perusahaan/organisasi akan terus berusaha memberikan penambahan softskill
74
para pekerjanya memang sesuai dengan pekerjaan dan jabatan mereka. Karena
softskill pekerja ini merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi
perusahaan/organisasi, sehingga perusahaan tidak perlu segan-segan
melakukan petihan dan pengembangan untuk pekerjanya.
Seperti PT TELKOM yang telah merencanakan dan melaksanakan
program DIKLAT yang efektif bagi karyawan dengan tujuan untuk
membentuk SDM yang profesional dan produktif melalui proses pendidikan
dan pelatihan sehingga mampu mendukung daya saing PT. TELKOM secara
berkesinambungan. Untuk mendukung hal tersebut, setiap karyawan/pekerja
diberi kesempatan yang sama untuk mengikuti program DIKLAT yang
disediakan PT. TELKOM maupun program pendidikan mandiri guna
menghindari terjadinya kesenjangan kompentensi dengan rata-rata 20 hari kerja
pertahun dan memperhatikan skala prioritas sesuai kebutuhan.
Selain itu, dapat dilihat dari program pendidikan dan pelatihan yang
dilakukan oleh PT. Bank Sulselbar. PT Bank Sulselbar senantiasa berupaya
meningkatkan kompetensi dan produktifitas karyawan untuk mendukung
kelangsungan bisnis demi pencapaian target perusahaan yang optimal. Oleh
karena itu, PT Bank Sulselbar dengan semangat penuh melaksanakan program–
program yang telah dirumuskan untuk mendukung proses transformasi
organisasi yang telah direncanakan oleh manajemen, di samping itu juga
memberikan kesempatan kepada seluruh pegawai untuk dapat mengikuti
program pendidikan dan pelatihan bagi pengembangan wawasan dan keahlian.
Program pendidikan dan pelatihan , yang meliputi :
75
1. Pendidikan karir yang dilaksanakan secara reguler dan bertujuan untuk
mengantisipasi rencana pengembangan organisasi dan jaringan kantor
cabang, serta pengembangan karir. Bank Sulselbar telah melaksanakan
program ini dengan baik, di antaranya adalah Pelatihan Manajer Lini
Pertama, Manajer madya, Sertifikasi Pemimpin Cabang Konvensional dan
Syariah, Pelatihan ALMA, Sekolah Staf dan Pimpinan Bank
(Sespibank),dll.
2. Pendidikan dan pelatihan di bidang teknis perbankan untuk meningkatkan
pengetahuan dan keahlian pegawai, yaitu Pendidikan Akuntansi Bank,
Analis Kredit, Account Officer, dll.
3. Pelatihan maupun sosialisasi terkait dengan tranformasi organisasi dan
pengembangan jaringan dilakukan melalui pelatihan budaya kerja, nilai-
nilai perusahaan dan layanan Prima.
4. Pendidikan akademis, dengan memberikan kesempatan karyawan untuk
mengikuti pendidikan S-2, baik di dalam maupun di luar negeri.
5. Program peningkatan integritas pegawai dan efektifitas penerapan Good
Corporate Governance (GCG) dengan melaksanakan pendidikan di bidang
GCG, dll.
6. Dalam hal pengelolaan risiko bank, sebagai bagian kepatuhan (compliance)
bank terhadap peraturan Bank Indonesia, PT. Bank Sulselbar secara
konsisten mengikutsertakan pejabat dan staf untuk mengikuti program
Sertifikat Manajemen Risiko dan pendidikan di bidang risk management
secara berkelanjutan.
76
7. Program pengembangan kapasitas pegawai lainnya, dilakukan dengan
mengikuti seminar, workshop, outbound (team building), pelatihan
persiapan pensiun, dan lain sebagainya.
4.4.3. Kenaikan Pangkat Sesuai Dengan Pengalaman
Para pekerja yang telah selesai menjalankan program orientasi harus
segera mendapatkan tempat pekerjaan yang sesuai dengan bakat dan keahlian
yang dimilikinya. Salah satu hal yang harus dilakukan oleh pihak manajemen
perusahaan harus melakukan penempatan. Penempatan tersebut berarti
mengalokasikan para karyawan/pekerja pada posisi tertentu.
Salah satu bentuk penempatan yang dilakukan oleh manajemen perusahaan
adalah promosi. Promosi terjadi apabila seorang pekerja/karyawan dipindahkan
dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain yang lebih tinggi dalam pembayaran,
tanggung jawab dan atau level.
Umumnya dalam pemberian promosi juga dilakukan dengan pemberian
penghargaan, hadiah (reward system). Pemberian promosi dilakukan kepada
pekerja/karyawan berdasarkan usaha dan prestasi yang maksimal yang
diberikan di masa lampau.
PT. Carrefour Indonesia misalnya memberikan ruang bagi para karyawan
dan pekerjanya untuk terus berkembang. Dari para karyawan/pekerja dengan
pendidikan setingkat SLTA hingga perguruan tinggi akan mendapatkan
kesempatan yang sama untuk berkembang dan membangun karirnya sesuai
dengan kemampuan dan motivasi masing-masing karyawan.
77
Hal ini dimungkinkan karena Carrefour mempunyai tradisi untuk
melakukan "internal promotion" dalam mengisi lowongan yang ada dari waktu
ke waktu. Seiring dengan rencana pengembangan usaha ke depan, kami masih
membutuhkan tenaga-tenaga kerja yang handal untuk berkembang bersama
Carrefour.
PT TELKOM pun memiliki perencanaan pengembangan karir
karyawannya. Berdasarkan pasal 26 PKB, pola karir karyawan berbasis
kompetensi yang direncanakan dan dikembangkan berdasarkan kemitraan
partisipatif antara karyawan, manajer lini dan PT. TELKOM yang dilakukan
sebagai berikut:
1. Karyawan bertanggung jawab terhadap pengembangan karirnya, karenanya
harus merencanakan kariri yang hendak dicapainya pada masa yang akan
datang dengan diikuti pengembangan kompetensi sesuai dengan
persyaratan jabatan dan pekerjaan yang hendak dicapainya;
2. PT. TELKOM berperan dalam menyediakan fasilitas pengembangan
kompetensi dan karir bagi seluruh karyawannya
3. Manajer lini berperan dan bertanggung jawab dalam membimbing,
mengarahkan dan membina karyawan untuk meningkatkan dan
mengembangkan kompetensinya sehingga mampu menjadi kader yang
profesional;
4. Khusus bagi karyawan PT. TELKOM yang dipekerjakan/diperbantukan di
JVC/afiliasi harus mendapat perlakuan yang sama dengan karyawan PT.
TELKOM lainnya dalam aspek pengembangan karir.
78
Pengembangan karir dengan memberikan kenaikan pangkat kepada
karyawan/pekerja juga dirasakan aman-aman saja oleh salah satu pekerja
perempuan yang bekerja di salah satu hotel berbintang di Makassar.
Berdasarkan pengalaman kerjanya di hotel tersebut, FTS (22) bertutur seperti
berikut,
“…diskriminasi di tempat kerja sepertinya sudah tidak ada. Apalagi
karena manajer yang membawahi personalia perempuan, jadi tidak ada
masalah. Bisaji dilihat juga tidak adanya diskriminasi, karena cukup
banyak perempuan di tempat kerja saya memiliki posisi strategis dan
tinggi.” (wawancara 3 Februari 2012)
Seluruh pekerja di tempat kerja FTS di hotel tersebut mendapat kesempatan
yang sama dalam mengakses kenaikan pangkat berdasarkan pengalaman kerja
mereka. Mereka yang bekerja sebagai pegawai tidak tetap tentu saja tidak
mendapatkan hak ini. Kecuali jika pegawai tidak tetap ini memiliki kinerja
yang baik, mereka memiliki kesempatan besar untuk diangkat menjadi pekerja
tetap.
Narasumber berinisial RHM pun mengalami hal serupa. Khususnya pada
saat dia menjadi pekerja tetap. Berdasarkan pengalaman kerjanya, RHM
membutuhkan waktu setahun untuk terangkat menjadi pegawai tetap. Dalam
rentang waktu setahun kinerjanya dinilai untuk menentukan keberlanjutan
pekerjaannya di swalayan tempatnya bekerja. Seperti yang dituturkan dalam
penggalan wawancaranya berikut ini,
“…mungkin ada setahun lebih baru terangkat jadi pegawai tetap. Kalau
bagus kinerjanya bisa diangkat jadi pegawai tetap. Tapi, sekarang tidak
adami sistem pengangkatan langsung untuk tetap. Rata-rata sekarang itu
sistem kontrak, paling lama tiga bulan. Terus dinilaimi lagi, dilanjut atau
tidak…” (wawancara 7 Februari 2012)
79
Permasalahan lain yang mungkin muncul saat ini adalah sulitnya mendapat
status sebagai pekerja tetap bagi pekerja, sehingga ada beberapa hak yang tidak
bisa diberikan oleh mereka yang hanya berstatus pekerja tidak tetap atau
pekerja kontrak. Kebijakan perusahaan/organisasi untuk mempekerjakan lebih
banyak pekerja kontrak dikarenakan bentuk efisiensi yang dilakukan untuk
menekan jumlah biaya yang harus dikeluarkan oleh perusahaan/organisasi
setiap tahunnya. Hal ini mungkin menjadi permasalahan lain yang layak
diperhatikan.
4.4.4. Keamanan Masa Kerja
Dari wawancara dengan HDR sebagai pengurus GSBN ditemukan bahwa
masih ada beberapa perusahaan yang melakukan tindakan diskriminatif
terhadap pekerja perempuan, khususnya perusahaan yang bergerak di sektor
jasa parawisata (misalnya di bidang perhotelan). Ada beberapa kasus yang
menunjukkan kondisi di mana pekerja perempuan yang memilih untuk
menikah, tidak mendapatkan keamanan masa kerja. Karena ada beberapa
perusahaan yang memilih untuk memberhentikan pekerja perempuan yang
sudah menikah. Salah satu alasannya menyangkut masalah penurunan kinerja,
karena perempuan yang telah menikah akan lebih memilih untuk menjalankan
tugasnya di keluarga. Perusahaan tidak ingin mengambil resiko untuk itu.
Beberapa dari pekerja perempuan tersebut tidak begitu mempermasalahkan,
dengan alasan mereka memang membutuhkan waktu yang lebih banyak untuk
mengurus keluarga.
80
Ada juga perusahaan yang tidak mengambil jalan yang ekstrim seperti itu.
Di tempat kerja FTS di salah satu hotel di kota Makassar, pihak manajemen
lebih memilih memindahkan pekerja tersebut ke bagian back office.
“… di sini, karyawan perempuan yang sudah menikah biasanya
diberikan posisi di bagian back office. Itupun kalau ini karyawan tidak
memilih untuk resign sendiri.” (wawancara 3 Februari 2012)
Sesuai dengan Peraturan menteri tenaga kerja No. per. 04/MEN/1989
tentang larangan PHK bagi tenaga kerja wanita karena hamil atau melahirkan.
Dari wawancara dengan beberapa pekerja perempuan di beberapa tempat kerja
yang berbeda, peraturan di atas sudah dilaksanakan. Tidak pekerja perempuan
yang hamil atau melahirkan diberhentikan karena alasan tersebut, kecuali jika
pekerja perempuan tersebut yang memang meminta untuk berhenti.
Profesionalitas pihak manajemen perusahaan dalam mengelola sistem
masa kerja para pekerjanya dikatakan sudah sesuai. Pada PT Bank Sulselbar
telah memiliki aturan tersendiri mengenai masa pensiun para
pekerja/karyawannya. PT Bank Sulsebar telah menyiapkan dana pensiun untuk
para pekerjanya, sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang No. 11
Tahun 1992 tentang Dana Pensiun (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3477), Perseroan mendirikan Dana Pensiun Bank BPD Sulawesi
Selatan yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan dengan Surat
Keputusan No. Kep-172/KM.6/2002 tentang pengesahan atas peraturan dana
pensiun dari dana pensiun Bank Pembangunan Daerah Sulawesi Selatan
81
sebagaimana diumumkan dalam Berita Negara No.73 tanggal 10 September
2002 beserta tambahan Berita Negara No.34.
4.4.5. Akses Mendapatkan Upah yang Layak
Salah satu alasan orang untuk bekerja adalah untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Maka sangat pentinglah upah bagi mereka yang bekerja.
Peningkatan perlindungan bagi pekerja perempuan, dapat dilihat dengan
adanya beberapa ketentuan yang menghapuskan adanya pebedaan perlakuan
terhadap pekerja perempuan.
Adapun ketentuan tersebut adalah UU No. 80 tahun 1957 tentang
ratifikasi konvensi ILO No. 100 tahun 1954 mengenai upah yang sama antara
laki–laki dan wanita untuk pekerjaan yang sama nilainya. Dalam prakteknya
banyak sekali keluhan dari para pekerja wanita tersebut, misalnya: tidak
diberikannya kesempatan untuk mendapatkan pendidikan tambahan atas
beban perusahaan. Adanya diskriminasi atas pengupahan yang sama untuk
masa kerja yang sama dan pekerjaan yang sama nilainya, dan sebagainya.
Peraturan pemerintah No. 8 tahun 1981 tentang perlindungan upah yang
menyatakan adanya pemberian sanksi terhadap pelanggaran ketentuan yang
telah ditetapkan tersebut.
Peraturan ini memuat bahwa pengusaha tidak boleh mengurangi hak–hak
tenaga kerja wanita yang karena hamil dan karena fisik dan jenis pekerjaan
tersebut tidak mungkin dikerjakan olehnya. Artinya walaupun pekerja
tersebut cuti dan tugasnya dialihkan kepada orang lain, namun haknya untuk
82
mendapatkan upah tetap tiap bulan dan jika ia sudah dapat bekerja lagi maka
upah tersebut harus diterima kembali.
Namun, kenyataan yang terjadi tidak sesuai dengan aturan yang
dipaparkan di atas. Masih berdasarkan hasil wawancara dengan RHM yang
bekerja di salah satu swalayan di kota Makassar, hak cuti haid dan hamil-
melahirkan tetap diberikan oleh pihak perusahaannya. Akan tetapi, jika ada
pekerja perempuan yang meminta cuti tersebut, perusahaan melakukan
pengurangan terhadap upah pekerja tersebut.
Berikut kutipan wawancara dengan RHM mengenai hal di atas.
“…cuti hamil tiga bulan, cuti haid itu seminggu. Cuma untuk pekerja
tetap. Tapi kayaknya tidak ada yang berlakukanki, karena tidak adaji
yang bagaimana sekali. Biasanya kalo cuti halangan begitukan tetap
dipotong gaji, jadi orang pasti tidak mau. Kecuali kalo cuti hamil, tidak
dipotong gaji.” (wawancara 7 Februari 2012).
Hal ini juga didukung dengan data survey angkatan kerja nasional 2011
di kota Makassar. Ditemukan bahwa secara rata-rata, upah/gaji yang
diberikan selama sebulan oleh perusahaan kepada pekerja perempuan sudah
lebih baik, bahkan pada golongan usia tertentu upah yang diperoleh pekerja
perempuan sudah lebih tinggi dibanding laki-laki (tabel 4.8.).
Tabel 4.8.
RATA-RATA UPAH/GAJI BERSIH PEKERJA /KARYAWAN
SELAMA SEBULAN DI KOTA MAKASSAR MENURUT
GOLONGAN UMUR DAN JENIS KELAMIN (RUPIAH) PER
AGUSTUS 2011
Golongan
Umur
Jenis Kelamin Perbedaan (Rata-rata Upah/Gaji
Bersih Pekerja per
Bulan)
Laki-laki Perempuan
15-19 748.513 456.440 292.073
20-24 963.149 643.539 319.610
25-29 958.882 1.172.582 213.700
83
30-34 1.615.912 1.208.069 407.843
35-39 2.142.589 2.784.753 642.164
40-44 2.419.114 2.863.158 444.044
45-49 4.089.343 2.438.278 1.651.065
50-54 3.129.182 2.100.000 1.029.182
55-59 3.472.546 4.537.500 1.064.954
65 ke atas 6.203.750 0 6.203.750
Rata-rata 2.001.584 1.796.219 Sumber: BPS, Survey Angkatan Kerja Nasional Agustus 2011 diolah Pusdatinaker
Secara garis besar, untuk pemberian upah sudah dikelola berdasarkan
sistem yang ada. Misalnya, seperti PT Bank Sulselbar memiliki mekanisme
sendiri dalam memberikan upah kepada karyawannya. Pemberian upah/gaji di
PT Bank Sulselbar berdasarkan adanya perbedaan job group dan jabatan yang
ada. Berikut tabel rasio perbandingan gaji antara dewan komisaris, direksi
dan pegawai di PT Bank Sulselbar (tabel 4.9.)
Tabel 4.9.
Rasio Gaji Tertinggi dan Terendah Dewan Komisaris, Direksi dan
Pegawai dalam Skala Perbandingan PT Bank Sulselbar
Tahun 2010
No. Skala Perbandingan Rasio
1. Rasio gaji pegawai tertinggi dan terendah 8.76
2. Rasio gaji direksi tertinggi dan terendah 1.11
3. Rasio gaji komisaris tertinggi dan terendah 1.05
4. Rasio gaji direksi tertinggi dan terendah 1.82 Sumber: Laporan Good Corporate Governance PT. Bank Sulselbar 2010
Berbeda dengan upah yang berlaku di tempat kerja FTS di sebuah hotel
berbintang di kota Makassar. Sampai saat ini upah yang FTS dan pekerja
lainnya di sana belum sesuai dengan UMK kota Makassar. UMK untuk tahun
2012 di kota Makassar telah disepakati oleh Pemprov Sulsel, Pemkot
Makassar, Serikat Pekerja Indonesia Sulsel, serta para pengusaha sudah
sepakat nilai UMK naik 15% menjadi Rp1,265 juta. Namun, masih banyak
84
perusahaan yang tidak melaksanakan kesepakatan tersebut. Termasuk
perusahaan yang bergerak di bidang perhotelan, tempat kerja FTS.
“…kalau masalah salary sebenarnya di sini masih di bawah UMK. Cuma
karyawan di sini mengertiji, karena hotel baru buka beberapa tahun.
Jadi masih menyesuaikan, belum lagi masih ada pembangunan yang
dilakukan. Kalau hotelnya sudah mapan, mungkin karyawan di sini
sudah bisa menuntut salary sesuai UMK kota.” (wawancara 3 Februari
2012)
Hotel tempat FTS bekerja, masih dalam tahap survive sehingga pekerja
pun cukup mengerti mengenai jumlah upah yang diberikan oleh perusahaan.
Akan tetapi tidak sesuainya upah yang mereka dapatkan dengan UMK tidak
pula membuat sistem pengupahan di tempat kerja FTS tidak tersistematis.
Jumlah upah yang diberikan tetap sesuai dengan pekerjaan dan jabatan yang
dilakukan pekerja di sana.
Secara garis besar seharusnya tidak ada perlakuan diskriminatif terhadap
laki-laki dan perempuan mengenai pemberian gaji dan upah. Karena
pemberian gaji dan upah selalu berdasarkan kelompok-kelompok pekerjaan
dan jabatan yang ada di perusahaan/organisasi tersebut. Namun, tabel berikut
(tabel 4.10.) ini dapat menunjukkan adanya perbedaan jumlah upah
berdasarkan perbedaan jenis kelamin dan jenis pekerjaan dan jabatan yang
ada di kota Makassar.
Tabel 4.10.
RATA-RATA UPAH/GAJI BERSIH PEKERJA SELAMA SEBULAN
DI KOTA MAKASSAR MENURUT JENIS PEKERJAAN/JABATAN
DAN JENIS KELAMIN (RUPIAH) PER AGUSTUS 2011
Jenis Pekerjaan
/Jabatan*)
Jenis Kelamin Perbedaan (Upah/Gaji Bersih Pekerja Per Bulan) Laki-laki Perempuan
0/1 3.217.745 2.893.109 324.636
2 8.167.937 3.403.571 4.764.366
85
3 2.265.798 1.895.594 370.204
4 876.013 805.093 70.920
5 1.329.302 599.415 729.887
6 1.429.114 0 1.429.114
7/8/9 1.040.684 657.774 382910
X/00 3.032.818 1.500.000 1.532.818
Rata-rata 2.001.584 1.796.219 Sumber: BPS, Survey Angkatan Kerja Nasional Agustus 2011 diolah Pusdatinaker
Ket:*) 0/1. Tenaga profesional, teknisi dan yang sejenis, 2. Tenaga kepemimpinan dan
ketatalaksanaan, 3. Tenaga tata usaha dan yang sejenis, 4. Tenaga usaha penjualan, 5.
Tenaga usaha jasa, 6. Tenaga usaha pertanian, kehutanan, perburuan, dan perikanan, 7/8/9.
Tenaga produksi,operator alat-alat angkutan dan pekerja kasar, X/00. Lainnya.
Berbicara tentang tunjangan yang menjadi komponen gaji/upah yang
sebenarnya menjadi permasalahan inti. Ditemukan bahwa ada perbedaan
tunjangan yang diberikan oleh perusahaan/organisasi terhadap laki-laki dan
perempuan, khususnya mereka yang sudah berkeluarga. Walaupun pada
hakekatnya ketentuan tentang pengupahan dalam hukum perburuhan tidak
diskriminatif atau telah memuat keadilan bagi pekerja laki-laki dan
perempuan seperti dimuat dalam Konvensi ILO No. 100 tahun 1951, UU No.
13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, Konvensi tentang penghapusan
mengenai segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, tetapi
kenyataannya dalam praktek masih dijumpai perusahaan yang menerapkan
sistem pengupahan yang bias gender. Pembedaan ini disebabkan adanya
pengakuan status yang berbeda terhadap mereka. Jika pekerja laki-laki sudah
menikah, maka akan diakui sebagai laki-laki telah berkeluarga sehingga
statusnya diakui bukan lagi sebagai lajang. Namun, bagi pekerja perempuan
yang sudah menikah dalam hal pengupahan, perusahaan tetap mengakui
sebagai lajang.
86
Pembedaan ini berdampak terhadap penerapan sistem pengupahan.
Dalam prakteknya, sistem pengupahan yang diterapkan tersebut
menggunakan komponen yang berbeda untuk menghitung upah. Jika dalam
komponen upah pekerja laki-laki yang sudah menikah terdapat tunjangan istri
dan atau tunjangan anak, sedang pekerja perempuan dengan status sama tidak
pernah terdapat tunjangan suami beserta tunjangan tersebut. Demikian pula
dengan tunjangan anak karena tidak diakuinya status sebgai perempuan
menikah maka kepadanya juga tidak diberikan tunjagan anak dan tunjangan
lain yang sesuai.
Hal ini dialami oleh mereka yang bekerja di salah satu pusat perbelanjaan
di kota Makassar. RHM sebagai pekerja mengakui hal tersebut, berikut
kutipan wawancaranya,
“…Kalau laki-laki beda. Kalau laki-laki yang beristri mendapat
tunjangan istri dan anak. Kalau perempuan tidak ada, kecuali
perempuan yang janda. Perempuan yang janda dapat tunjangan janda.”
(wawancara 7 Februari 2012)
4.4.6. Kondisi Kerja
Kondisi kerja meliputi jam kerja, waktu istirahat, cuti tahunan dengan
tetap dibayar, tindakan keselamatan dan kesehatan kerja, serta tindakan
pengaman sosial dan fasilitas kesejahteraan dan tunjangan yang disediakan
dalam hubungannya dengan pekerjaan.
Kondisi kerja di atas sebelumnya telah diatur oleh peraturan yang dibuat
oleh pemerintah baik melalui undang-undang ataupun ketetapan dari presiden
atau menteri yang berkaitan, misalnya UU No. 15 tahun 2003 tentang
87
ketenagakerjaan pasal 79. Undang-undang ini mengharuskan pengusaha
mengatur waktu istirahat dan cuti. Waktu istirahat dan cuti meliputi : (a)
istirahat antara jam kerja, sekurang kurangnya setengah jam setelah bekerja
selama 4 (empat) jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak
termasuk jam kerja; (b) istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari
kerja dalam 1 (satu) minggu atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam
1 (satu) minggu; (c) cuti tahunan, sekurang kurangnya 12 (dua belas) hari
kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas)
bulan secara terus menerus; dan (d) istirahat panjang sekurang-kurangnya 2
(dua) bulan dan dilaksanakan pada tahun ketujuh dan kedelapan masing-
masing 1 (satu) bulan bagi pekerja/buruh yang telah bekerja selama 6 (enam)
tahun secara terus-menerus pada perusahaan yang sama dengan ketentuan
pekerja/buruh tersebut tidak berhak lagi atas istirahat tahunannya dalam 2
(dua) tahun berjalan dan selanjutnya berlaku untuk setiap kelipatan masa
kerja 6 (enam) tahun.
Sedangkan waktu kerja diatur sebagai berikut (a) 7 (tujuh) jam 1 (satu)
hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja
dalam 1 (satu) minggu; atau (b) 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat
puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
Aturan di atas sesuai dengan UU No. 15 tahun 2003 pasal 77.
Untuk mereka yang bekerja melebihi jam kerja (lembur) pun diatur di
undang-undang yang sama. Pasal 78 (1) Pengusaha yang mempekerjakan
pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77
88
ayat (2) harus memenuhi syarat : (a) ada persetujuan pekerja/buruh yang
bersangkutan; dan (b) waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling
banyak 3 (tiga) jam dalam 1 (satu) hari dan 14 (empat belas) jam dalam 1
(satu) minggu. Pasal 78 (2) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh
melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib membayar
upah kerja lembur. Pasal 78 (3) Ketentuan waktu kerja lembur sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf (b) tidak berlaku bagi sektor usaha atau
pekerjaan tertentu.
Berdasarkan data survey angkatan kerja nasional 2011 di kota Makassar
ditemukan bahwa jumlah jam kerja perempuan masih lebih sedikit dibanding
pekerja laki-laki, sesuai tabel 4.11. di bawah ini,
Tabel 4.11.
PENDUDUK YANG BEKERJA DI KOTA MAKASSAR MENURUT
JAM KERJA DAN JENIS KELAMIN PER AGUSTUS 2011
Jam Kerja Jenis Kelamin
Jumlah Perbedaan (Jam Kerja) Laki-laki Perempuan
0*)
3.048 1.795 4.843 1.253
1-9 5.196 2.080 7.276 3.116
10-14 3.495 7.527 11.022 4.032
15-24 12.622 11.974 24.596 648
25-34 9.871 17.799 27.670 7.928
35-44 69.144 50.483 119.627 18.661
45-59 161.053 65.378 226.431 95.675
60 ke atas 75.161 44.424 119.585 30.737
Jumlah 339.590 201.460 541.050 Sumber: BPS, Survey Angkatan Kerja Nasional Agustus 2011 diolah Pusdatinaker
Ket: *)
tidak bekerja
Di hotel tempat FTS bekerja telah mengatur 2 shift kerja untuk pekerja
perempuan, yaitu dari pukul 07.00-15.00 dan jam 15.00-23.00. Selain itu,
untuk pekerja perempuan yang mendapatkan jam kerja dari jam 15.00-23.00
89
mendapatkan fasilitas tambahan dari pihak manajemen perusahaan dengan
memberikan fasilitas mobil antar hingga tiba ke depan rumah masing-masing.
Sedangkan untuk kerja yang melebihi jam kerja yang telah ditentukan
atau biasa yang disebut dengan jam lembur, FTS bertutur bahwa kebanyakan
merupakan karena inisiatif dari para pekerja itu sendiri. Insiatif biasanya
muncul karena banyaknya pengunjung yang datang atau ada event besar yang
dilaksanakan. Waktu lembur maksimal adalah 4 jam, dimana bagi pekerja
yang melakukan kerja lembur sama sekali tidak mendapatkan upah lembur.
Sebagai ganti upah lembur yang tidak ada, pihak manajemen memberikan
extra off sehari untuk 4 jam kerja lembur.
“… Di sini delapan jam kerja untuk per shift. Kalau ada yang mau kerja
lebih dari jam kerja, biasanya insiatif sendiri. Kalau lagi banyak
pengunjung atau ada event di hotel, biasa karyawan insiatif buat kerja
lebih. Lumayan lembur 4 jam dapat extra off sehari. Tidak dapat gaji.”
(wawancara 3 Februari 2012)
RHM yang bekerja di pusat perbelanjaan di kota Makassar juga
mengutarakan hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaan aturan jam kerja di
tempat kerjanya,
“… kerjanya di sana pake shift. Ada dua shift, tapi kalau yang malam
jam kerjanya sampai jam 10 saja. Perempuan dan laki-laki samaji.”
(wawancara 7 Februari 2012)
Walaupun RHM tidak mendapat fasilitas yang sama dengan fasilitas
yang diperoleh FTS dari tempat kerjanya, akan tetapi dari batas jam kerja
yang RHM lakukan tidak bermasalah. Sehingga menurut RHM tidak ada
yang perlu dipermasalahkan mengenai ada tidaknya fasilitas antar jemput
yang disediakan oleh perusahaan tempat dia bekerja.
90
Namun, hal yang berbeda diutarakan oleh FTR salah satu pengurus
GSBN (wawancara 27 Januari 2012) mengenai kondisi pekerja perempuan di
sektor industri (pergudangan). Misalnya di industri pengelohan ikan atau
udang yang ada di kawasan industri Makassar (KIMA), banyak pekerjanya
berjenis kelamin perempuan. Namun, ternyata pihak manajemen perusahaan
tidak memberikan fasilitas transportasi ataupun tunjangan biaya transportasi
bagi pekerjanya. Bahkan lebih jauh lagi, jam kerja dari pekerja perempuan
tersebut sudah tidak diperhatikan. Pekerja perempuan pun mendapatkan shift
malam yang biasanya berakhir hampir dini hari.
Lain lagi jika membahas tentang hak cuti haid dan cuti hamil serta
melahirkan. Berdasarkan hasil wawancara dengan RHM yang bekerja di salah
satu swalayan, hak cuti hamil dan melahirkan tetap diberikan oleh pihak
perusahaan. Sedangkan, hak cuti haid diberikan dalam bentuk izin tanpa
pembayaran upah pada hari itu. Berikut kutipan wawancaranya:
“…Biasanya kalau cuti halangan begitukan tetap dipotong gaji, jadi
orang pasti tidak mau. Kecuali kalau cuti hamil, tidak dipotong gaji.”
(wawancara 7 Februari 2012)
Bahkan mengenai lingkungan kerja, pihak perusahaan tidak terlalu
memperhatikan hal tersebut. Dalam melaksanakan pekerjaannya, pekerja
perempuan terlalu sering berada dalam posisi berdiri. Hal ini menunjukkan
pihak perusahaan tidak begitu peka memperhatikan kondisi kerja dan
dampaknya bagi para pekerjanya.
Hal yang berkaitan dengan tindakan keselamatan dan kesehatan kerja,
serta tindakan pengaman sosial dan fasilitas kesejahteraan dan tunjangan yang
91
disediakan dalam hubungannya dengan pekerjaan pun sudah cukup dipenuhi
oleh pihak perusahaan tempat FTS dan RHM bekerja. Seperti di tempat kerja
FTS, telah disediakan jaminan kesehatan dari JAMSOSTEK atau ASKES,
tunjangan uang makan dan uang transportasi. Hal serupa juga diperoleh RHM
dari tempat kerjanya.
Dalam menentukan tunjangan, pihak perusahaan memiliki kebebasan
untuk menentukan kebijakannya masing-masing. Namun, kebijakan tersebut
harus disepakati bersama dan telah termaktub dalam penjanjian kerja
bersama. Dimana lampiran hasil perjanjian kerjasama ini harus diberikan
kepada semua pihak yang ikut serta.
4.5. Rekapitulasi Perbedaan Perlakuan Antara Pekerja Laki-laki dan
Pekerja Perempuan di Kota Makassar
Dari pemaparan hasil penelitian di atas, berikut rekapitulasi perbedaan
perlakuan (diskriminasi) antara pekerja laki-laki dan perempuan di tempat kerja di
Kota Makassar,
Tabel 4.12.
Perbedaan Perlakuan dan Keseteraan Kesempatan Antara Pekerja Laki-laki
dan Pekerja Perempuan di Kota Makassar
No Prinsip Kesetaraan
Kesempatan dan Perlakuan
Pekerja
Pekerja Laki-Laki Pekerja Perempuan
1. Akses untuk Mendapatkan
Pekerjaan
a. Jumlah pencari kerja
lebih banyak
(60,17%)
b. Terserap di semua
jenis pekerjaan dan
jabatan
a. Jumlah pencari kerja
sudah mulai banyak
(39,83%)
b. Hanya mampu terserap
40% di lapangan kerja
c. Masih banyak
tersegmentasikan pada
pekerjaan dan jabatan
92
yang terfeminisasi
2. Akses untuk Mendapatkan
Pelatihan dan Pengembangan
Disesuaikan dengan
pekerjaan dan jabatan
Disesuaikan dengan
pekerjaan dan jabatan
3. Akses Kenaikan Pangkat
Sesuai Dengan Pengalaman
a. Kesempatan yang
sama dalam
mengakses kenaikan
pangkat berdasarkan
pengalaman kerja
bagi pekerja tetap
b. Efisiensi biaya
perusahaan
menyebabkan banyak
pekerja memiliki
status pekerjan tidak
tetap bahkan pekerja
kontrak (outsourcing)
sehingga tidak bisa
mengalami kenaikan
pangkat
a. Kesempatan yang sama
dalam mengakses
kenaikan pangkat
berdasarkan
pengalaman kerja bagi
pekerja tetap
b. Efisiensi biaya
perusahaan
menyebabkan banyak
pekerja memiliki status
pekerjan tidak tetap
bahkan pekerja kontrak
(outsourcing) sehingga
tidak bisa mengalami
kenaikan pangkat
4. Keamanan Masa Kerja a. Terjaminnya
keamanan masa keja
hampir di semua
perusahaan/organisasi
bagi pekerja tetap
b. Mendapatkan dana
pensiun yang
memadai bagi pekerja
tetap
a. Di bidang jasa
perhotelan, beberapa
pekerja perempuan
yang memutuskan
menikah diberhentikan
oleh perusahaan.
b. Mendapatkan dana
pensiun yang memadai
bagi pekerja tetap
5. Akses Mendapatkan Upah
yang Layak
a. Upah yang diberikan
selama sebulan oleh
perusahaan sudah
sangat sesuai
b. Bagi yang sudah
menikah
mendapatkan
tunjangan istri dan
atau tunjangan anak
a. Rata-rata upah yang
diberikan selama
sebulan oleh
perusahaan sudah lebih
baik
b. Bagi yang sudah
menikah tidak
mendapat tunjangan
suami dan atau
tunjangan anak
6. Kondisi Kerja (Meliputi jam
kerja, waktu istirahat, cuti
tahunan dengan tetap
dibayar, tindakan
keselamatan dan kesehatan
kerja, serta tindakan
a. Jumlah jam kerja jauh
lebih banyak
b. Jam kerja tiap harinya
diatur per shift
a. Jumlah jam kerja masih
lebih sedikit
b. Tidak semua tempat
kerja yang memiliki
jam kerja hingga malam
hari memberikan
93
pengaman sosial dan fasilitas
kesejahteraan dan tunjangan
yang disediakan)
fasilitas penunjang
keamanan dan
kesehatan
c. Cuti karena haid tidak
ada. Yang ada hanya
pemberian izin haid
bagi karyawan tanpa
dibayar
d. Cuti hamil ada
94
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dipaparkan sebelumnya, dapat
disimpulkan bahwa belum efektifnya implementasi ratifikasi konvensi ILO
No.111 di kota Makassar. Secara garis besar, telah banyaknya aturan yang hadir
memberikan gambaran bahwa pemerintah telah berusaha memberikan
perlindungan bagi pekerja perempuan untuk mendapatkan kesejahteraan yang
layak. Namun, pada tataran pelaksanaan peraturan tersebut, pemerintah masih
kurang mengawal. Terbukti masih adanya beberapa perusahaan yang memberi
kebijakan tidak sesuai dengan aturan yang telah dibuat sebelumnya.
1. Pekerja perempuan telah mendapatkan tempat yang sama dengan pekerja
laki-laki dalam bekerja. Dapat dilihat dari hampir semua segmen pekerjaan
sudah terbuka untuk perempuan, walaupun secara kuantitas pekerja
perempuan masih sedikit. Akan tetapi dalam pemberian hak dan
kewajiban, pekerja perempuan masih sering diberikan perhatian yang tidak
begitu besar layaknya pekerja laki-laki. Masih adanya proses segmentensi
pekerjaan dan jabatan bagi pekerja perempuan, khususnya pada pekerjaan
yang telah terfeminisasi.
2. Akses untuk mendapatkan pelatihan dan pengembangan bagi pekerja
perempuan sudah berdasarkan dengan kebutuhan. Di sini dimaksudkan
bahwa pemberian pelatihan dan pengembangan disesuaikan dengan
95
segmentasi pekerjaan dan jabatan masing-masing, tanpa melihat lagi
adanya perbedaan jenis kelamin (pekerja perempuan dan pekerja laki-laki).
3. Dari hasil pengamatan telah ditemukan kecenderungan
perusahaan/organisasi memberikan akses kenaikan pangkat telah sesuai
dengan pengalaman yang dimiliki oleh pekerja, baik itu untuk pekerja laki-
laki dan pekerja perempuan.
4. Adanya beberapa perusahaan/organisasi yang tidak memberikan jaminan
terhadap masa kerja pekerja/karyawannya, khususnya
perusahaan/organisasi yang bergerak di bidang pariwisata dan perhotelan.
Kemudian dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya di tempat
kerja, perusahaan/organisasi tidak memberikan lingkungan kerja yang
kondusif bagi pekerjanya.
5. Masih adanya perbedaan upah antara laki-laki dan perempuan dengan nilai
pekerjaan dan jabatan yang sama. Ditambah lagi, dengan adanya
perbedaan komposisi tunjangan yang diberikan oleh pihak perusahaan
antara pekerja perempuan yang telah berkeluarga dan pekerja laki-laki
yang telah berkeluarga.
6. Kondisi kerja yang meliputi jam kerja, waktu istirahat, cuti tahunan
dengan tetap dibayar, tindakan keselamatan dan kesehatan kerja, serta
tindakan pengaman sosial dan fasilitas kesejahteraan dan tunjangan yang
disediakan belum maksimal dalam tataran pelaksanaannya. Tidak semua
tempat kerja yang memiliki jam kerja hingga malam hari memberikan
fasilitas penunjang keamanan dan kesehatan bagi pekerja perempuan.
96
Selain itu, izin haid (bukan cuti haid) diberikan kepada pekerja perempuan
atas permintaan sendiri dari pekerja yang bersangkutan tanpa dibayar
digaji pada saat itu. Positifnya bahwa cuti hamil, melahirkan dan menyusui
bagi pekerja perempuan telah disediakan oleh perusahaan/organisasi sesuai
aturan yang berlaku.
5.2. Saran
Kunci dari efektivitas penghapusan diskriminasi perempuan di tempat
kerja yaitu adanya pengawasan yang maksimal dari pihak pemerintah terhadap
pelaksanaan aturan yang telah dibuat. Selain itu, pihak perusahaan/organisasi
sebagai pihak yang menyediakan tempat bagi pekerja harusnya melaksanakan
kebijakan sesuai dengan apa yang diatur oleh pemerintah, karena pekerja
merupakan sebagai aset terpenting bagi keberhasilan perusahaan/organisasi.
Oleh karena itu sebagai saran ada beberapa hal yang harus diperbaiki
menyangkut penyelesaian masalah tersebut. Pemberian saran ini sesuai dengan
posisi masing-masing stakeholder dalam memperbaiki tingkat kesejahteraan
pekerja perempuan.
Pemerintah sebagai pembuat kebijakan harusnya tidak sekedar membuat
aturan saja tetapi harusnya turut mempertegas pelaksanaan aturan tersebut.
Pentingnya sosialisasi dalam kondisi ini tentu akan memberikan pembelajaran dan
pengetahuan terhadap hak dan kewajiban yang dimiliki, terkhusus untuk para
pekerja. Sehingga memudahkan pekerja dalam melakukan pekerjaannya dengan
baik. Pemerintah juga harusnya tidak sekedar sebagai mediator dalam setiap
97
permasalahan ketenagakerjaan, tetapi juga harus mencoba melakukan konsiliasi
dan proses arbitrase dalam menyelesaikan sengketa hubungan industrial
(pengusaha, pihak manajemen perusahaan dan pekerja).
Kedua, sebagai pihak yang bersentuhan langsung dengan pekerja, pihak
manajemen harus memperhatikan kebutuhan dari pekerja itu sendiri. Antara
pekerja laki-laki dan pekerja perempuan, harusnya pihak manajemen
memperhatikan hal tersebut. Sehingga dalam membuat kebijakan yang berkaitan
dengan pengembangan SDM, pihak manajemen tidak boleh mengalami
ketimpangan. Agar kepentingan manajemen perusahaan dan kepentingan pekerja
tidak tumpang tindih dibutuhkan komunikasi yang intensif melalui hubungan
bipartit dengan serikat pekerja.
Terakhir, pihak pekerja sebagai objek dari penelitian ini seharusnya bisa
menjadi agen yang mandiri dan bertanggung jawab. Pekerja harus memiliki
kapasitas dan kapabilitas serta kemampuan untuk membangun komunikasi dengan
pihak internal tempat mereka bekerja. Kapasitas dan kapabilitas tentu saja tidak
didapatkan di masa kerja saja untuk mendukung kinerja, tapi jauh sebelum itu
perempuan harus bisa mengenyam pendidikan (baik formal maupun non formal),
sehingga perbedaan pendidikan tidak lagi menjadi alasan perempuan tidak
mendapat posisi yang layak seperti pekerja laki-laki.
Mengetahui hak dan tanggung jawab mereka secara keseluruhan di awal
masa kerja adalah hal yang wajib. Dengan mengetahui hak dan kewajiban
tersebut, pihak pekerja bisa mengawasi pihak perusahaan/organisasi dalam
98
membuat dan menjalankan kebijakan yang berkaitan dengan kesejahteraan
mereka sendiri.
Selain itu untuk pekerja perempuan, mereka harus memiliki keberanian
yang lebih untuk menuntut hal-hal yang sesuai dengan apa yang dibutuhkan di
tempat kerja. Dengan memiliki kapasitas lebih atau pun softskill yang memadai
tentu saja akan memberikan nilai yang lebih kepada mereka untuk diperhitungkan
keberadaannya di tempat kerja.
99
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik Kota Makassar, 2010. Makassar Dalam Angka 2010.
Makassar: BPS Kota Makassar.
Budiono, T. Peranan Sistem Informasi Akuntansi Pelayanan Jasa Rawat Jalan
dan Rawat Inap dalam Menunjang Efektivitas Pengendalian Internal
Pendapatan Rumah Sakit (Studi Kasus pada Rumah Sakit Pertamina
Prabumulih). (Universitas Widyatama Bandung – Jawa Barat, 2008),
hlm.19-20.
Corporate Social Responsibility, Pekerja dan Pengusaha. http://indosdm.com/.
(Diakses pada tanggal 3 Oktober 2011, 15.30).
Dameria, Eny. Perlindungan Hukum Bagi Tenaga Kerja Perempuan di
Indonesia Ditinjau dari Konvensi ILO Nomor 111 dan Implementasinya
di Indonesia (Studi Penelitian di PT. Telkom Divisi Regional I Sumatera
Utara). (Sekolah Pasca Sarjana FH-Universitas Sumatera Utara, 2008).
Daulay, Harmona. Buruh Perempuan di Industri Manufaktur Suatu Kajian dan
Analisis Gender.Jurnal Wawasan. Edisi Februari 2006/Volume 11, Nomor
3.
Dessler, Gary. 2008. Manajemen Sumber Daya Manusia (Jilid 1) edisi
kesepuluh. Jakarta: PT Indeks
Dewi, Imma Indra. Konsep Keadilan dalam Pengupahan pada Perusahaan
Percetakan di Kabupaten Sleman. Justitia Et Pax, Vol. 26 No. 1, Juni 2006,
hlm 73-86.
100
Emzir. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif: Analisis Data. Jakarta: Rajawali
Pers.
Fakih, Mansour. 1996. Gender sebagai Alat Analisis Sosial. Jurnal Analisis
Sosial. Edisi 4/November. hlm. 7-20.
_____________. 2008. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta:
InsistPress.
_____________. 2009. Runtuhnya Teori Pembanguna dan Globalisasi.
Yogyakarta: InsistPress.
Fokus Media. 2011. Undang-Undang Ketenagakerjaan Edisi 2011. Bandung:
Penerbit Fokusmedia.
Gomes, Faustino Cardoso. 2003. Manajemen Sumber Daya Manusia.
Yogyakarta: Penerbit Andi.
Hak-hak Buruh (Pekerja) Perempuan, http://jurnalperempuan.com/, (Diakses
pada tanggal 16 September 2011, pukul 13.20).
Hasil Sensus Penduduk 2010, http://www.bps.go.id/ (Diakses pada tanggal 20
September 2011, pukul 10.15)
http://www.ilo.org/ilolex/english/index.htm/. (Diakses pada tanggal 12 September
2011, pukul 12.34)
Hubeis, Aida Vitayala S. 2010. Pemberdayaan Perempuan dari Masa ke Masa.
Bogor: IPB Press.
Jadi Perempuan Cantik Tidak Selalu Menguntungkan,
http://www.antaranews.com/berita/1281488710/jadi-perempuan-cantik-
101
tidak-selalu-menguntungkan. (Diakses pada tanggal 20 September 2011,
pukul 14.10)
Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam Jaringan, www.pusatbahasa.diknas.go.id/,
(Diakses pada tanggal 20 September 2011, pukul 14.03)
Kantor Perburuhan Internasional-ILO. 2006. Konvensi-Konvensi ILO tentang
Kesetaraan Gender di Dunia Kerja. Jakarta.
Khotimah, Erna. Analisis Kritis Teori Pembangunan dan Kedudukan
Perempuan dalam Perspektif Ekofeminisme.
Memperbaiki Kondisi Ketenagakerjaan di Indonesia.
http://lcdc.law.ugm.ac.id/detail/berita/15/memperbaiki-kondisi-
ketenagakerjaan-di-indonesia/diakses. (Diakses pada 31 januari 2012, pukul
10.47)
Mosse, Julia Cleves. 1996. Gender dan Pembangunan. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Muhaimin Minta Tak Ada Diskriminasi terhadap Pekerja Perempuan.
http://www.suarapembaruan.com/home/muhaimin-minta-tak-ada-
diskriminasi-terhadap-pekerja-perempuan/15226. (Diakses pada 6 Februari
2012, pukul 09.40).
Pentingnya Posisi Karyawan, http://suar.okezone.com/ (Diakses pada tanggal 3
Oktober 2011, pukul 19.36).
Pemerintah Terus Benahi UU dan Kebijakan Ketenagakerjaan
http://madina.co.id/index.php/kesejahteraan-rakyat/8840-pemerintah-terus-
102
benahi-uu-dan-kebijakan-ketenagakerjaan.html/. (Diakses pada 1 Januari
2012, pukul 12.17).
Pusat Data dan Informasi Ketenagakerjaan.
http://pusdatinaker.balitfo.depnakertrans.go.id/. (Diakses pada 25 Februari
2012, pukul 13.05).
Putnam Tong, Rosemarie. 2010. Feminisme Thought – Pengantar Paling
Komprehensif kepada Arus Utama Pemikiran Feminis. Yogyakarta:
Jalasutra.
Rr. Nurasih, Agustini Dyah Respati. Identifikasi Faktor-Faktor Diskriminasi
Gender yang Mempengaruhi Karir Karyawan Wanita di Kota Yogyakarta.
Universita Siagian, Faizal. 1993. Marginalisasi dalam Industri Bercorak
Kapitalis. Analisis CSIS. November-Desember, No. 6. Tahun XXII.
Rueda, Marisa. dan Marta Rodriguez, Susan Alice Watkins. Feminisme Untuk
Pemula. Yogyakarta: 2007.
Soekanto, Soerjono. 2007. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Rajagrafindo
Persada.
Tujuan dan fungsi negara. http://ruhcitra.wordpress.com/2008/11/09/tujuan-dan-
fungsi-negara/. (Diakses 8 oktober 2011, pukul 01.05).
Uli, Sinta. 2005. Pekerja Wanita dan Perusahaan dalam Perspektif Hukum dan
Jender. Jurnal Equality, Volume 10, No. 2 Agustus (hal 96-106).
UPT MKU Universitas Hasanuddin. 2007. Pendidikan Kewarganegaraan.
Makassar.
103
Usman, Husaini, dan Purnomo Setiady Akbar. 2009. Metodologi Penelitian
Sosial. Jakarta: Bumi Aksara.
Wirartha, I Made. 2000. Ketidakadilan Jender yang Dialami Pekerja Perempuan
di Daerah Pariwisata. Bali.
104
105
DAFTAR PERTANYAAN
1. Bagaimana kondisi kerja di Kota Makassar?
2. Bagaimana kondisi pekerja perempuan di Kota Makassar?
3. Di sektor mana saja yang didominasi oleh pekerja perempuan di Kota
Makassar?
4. Masih adakah tindakan diskriminasi yang didapatkan perempuan di tempat
kerja?
5. Diskriminasi dalam bentuk apa sajakah itu?
6. Di sektor mana saja yang rentan bagi pekerja perempuan untuk mendapatkan
tindakan diskriminasi?
7. Bagaimana akses pelatihan dan pengembangan serta penentuan penempatan
kerja untuk pekerja perempuan di kota Makassar?
8. Bagaimana bentuk jaminan keamanan masa kerja untuk pekerja perempuan di
kota Makassar?
9. Bagaimana bentuk pemberian upah untuk pekerja perempuan di kota
Makassar?
10. Bagaimana kondisi kerja (jam kerja, waktu istirahat, tindakan 3K, fasilitas
kerja dan tunjangan lainnya) untuk pekerja perempuan di kota Makassar?
11. Bagaimana hubungan pekerja dan pihak manajemen di Kota Makassar?
12. Bagaimana hubungan pekerja dan serikat pekerja di Kota Makassar?
13. Bagaimana hubungan pihak manajemen dan serikat pekerja serta pemerintah
dalam menyelesaikan permasalahan diskriminasi terhadap pekerja perempuan
di Kota Makassar?
106
DAFTAR PERTANYAAN
Nama :
Usia :
1. Dimana anda bekerja?
2. Bagaimana kondisi kerja di tempat anda bekerja?
3. Bagaimana kondisi pekerja perempuan di tempat anda bekerja?
4. Apakah ada tindakan diskriminasi pekerjaan dan jabatan terhadap perempuan
di tempat kerja?
Akses Pelatihan dan Pengembangan
5. Bagaimana akses pelatihan dan pengembangan di tempat kerja anda?
6. Adakah perbedaan akses pelatihan dan penempatan kerja yang didapatkan
antara pekerja laki-laki dan pekerja perempuan di tempat kerja anda? Seperti
apa?
Akses Penempatan Kerja dan Jenjang Karir
7. Bagaimana akses penempatan kerja di tempat kerja anda?
8. Bagaimana jenjang karir anda selama bekerja di tempat kerja tersebut?
9. Adakah perbedaan akses penempatan kerja dan jenjang karir yang didapatkan
antara pekerja laki-laki dan pekerja perempuan di tempat kerja anda? Seperti
apa?
Keamanan Masa Kerja
10. Bagaimana bentuk jaminan keamanan masa kerja di tempat anda?
11. Adakah perbedaan keamanan masa kerja yang didapatkan antara pekerja laki-
laki dan pekerja perempuan di tempat kerja anda? Seperti apa?
Pemberian Upah
12. Bagaimana bentuk pemberian upah di tempat kerja anda?
13. Apa yang menjadi dasar perbedaan upah antara pekerja di tempat kerja anda?
107
14. Ada tidak perbedaan upah antara pekerja laki-laki dan perempuan di tempat
kerja anda? Seperti apa?
Kondisi Kerja (Jam Kerja, Waktu Istirahat, Tindakan 3K, Fasilitas Kerja
dan Tunjangan Lainnya)
15. Berapa lama jam kerja dan waktu istirahat anda (pekerja perempuan) sehari di
tempat kerja anda?
16. Bagaimana tanggung jawab tempat kerja anda dalam menjamin kesehataan
dan keselamatan kerja anda (pekerja perempuan)?
17. Bagaimana fasilitas kerja yang diberikan tempat kerja anda kepada seluruh
pekerja perempuannya?
18. Adakah perbedaan tunjangan yang diberikan antara pekerja laki-laki dan
pekerja perempuan di tempat kerja anda?
Hubungan Pekerja dan Pihak Manajemen
19. Bagaimana hubungan pekerja dan pihak manajemen di tempat anda bekerja?