bab i pendahauluan
DESCRIPTION
pendahuluanTRANSCRIPT
HUBUNGAN ANGKA TROMBOSIT SEBAGAI FAKTOR RISIKO SYOK PADA PENDERITA DEMAM BERDARAH DENGUE DI RSUD WAHAB SJAHRANIE
SAMARINDA
Proposal Skripsi
Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat
Memperoleh Derajat Sarjana Kedokteran
Oleh :
Rizma Alfiani Rachmi
J500110028
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2014
HUBUNGAN HASIL LABORATORIUM DENGAN KEJADIAN SYOK PADA PENDERITA DEMAM BERDARAH DENGUE DI RSUD WAHAB SJAHRANIE
SAMARINDA
Proposal Skripsi
Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat
Memperoleh Derajat Sarjana Kedokteran
Oleh :
Rizma Alfiani Rachmi
J500110028
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2014
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Demam berdarah dengue (DBD) pertama kali dikenali di Filipina pada tahun
1953.Pada tahun 1958 meletus epidemik penyakit serupa di Bangkok.Setelah tahun
1958 penyakit ini dilaporkan berjangkit dalam bentuk epidemic di beberapa negara
lain di Asia Tenggara, di antaranya di Hanoi (1958), Malaysia (1962-1964), Saigon
(1965).Selama tahun 1960-an dan 1970-an ,DHF/DSS secara progresif meningkat
sebagai masalah kesehatan yang menyebar dari kota-kota besar ke kota-kota kecil di
negara-negara endemik.Selama periode ini ,1070207 kasus dan 42808 kematian
dilaporkan yang sebagian adalah anak-anak.Di Indonesia sendiri DBD pertama kali
dicurigai di Surabaya pada tahun 1968.Kemudian DBD berturut-turut dilaporkan di
Bandung (1972),Yogyakarta (1972).Epidemi pertama kali dilaporkan diluar Jawa
pada tahun 1972 di Sumatera Barat dan Lampung, disusul oleh Riau ,Sulawesi Utara
dan Bali (1973).Pada tahun 1993 DBD telah menyebar ke seluruh propinsi di
Indonesia.( WHO 2012; Soedarmo 2008)
Demam berdarah dengue merupakan salah satu penyakit tropis yang banyak
ditemukan di Indonesia.Indonesia termasuk salah satu negara tropis dimana penyakit
DBD merupakan masalah kesehatan yang banyak dijumpai. Terhitung sejak tahun
1968 hingga tahun 2009,World Health Organization (WHO) mencatat Negara
Indonesia sebagai negara dengan kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara .Jumlah
penderitanya cenderung meningkat dan penyebarannya semakin bertambah seiring
dengan meningkatnya mobilitas dan kepadatan penduduk (Sukowati S,2010)
Gambar 1. Angka Insiden DBD per 100.000 Penduduk di Indonesia Tahun 2009.
(Ditjen PP & PL Kemenkes RI, 2009)
Penyebaran DBD terus meningkat,tidak hanya mengenai daerah perkotaan
saja tetapi juga mengenai daerah pedesaan. Insidensi DBD yang cukup tinggi di
daerah Kalimantan Timur menyebabkan daerah ini disebut sebagai daerah endemis
dengan peningkatan kasus luar biasa (KLB) setiap tahunnya di beberapa kabupaten
dan kota.Peningkatan kasus demam berdarah kemungkinan disebabkan oleh
transportasi ,mobilisasi penduduk dan upaya pemberantasan nyamuk ( PSN) demam
beradarah yang belum optimal (Dinas Kesehatan,2007)
Gambar 2. Lima provinsi tertinggi angka insidensi DBD per 100.000 penduduk di IIndonesiaTahun 2005-2009 ( Ditjen PP & PL Depkes RI,2009)
Dalam 5 tahun terakhir (2005-2009) Provinsi DKI Jakarta dan Kalimantan
Timur selalu berada dalam 5 provinsi dengan angka insidensi (AI) tertinggi.DKI
Jakarta selalu menempati AI yang paling tinggi setiap tahunnya,Hal ini terjadi karena
pengaruh kepadatan penduduk,mobilitas penduduk yang tinggi dan sarana
transportasi yang lebih baik disbanding daerah yang lain ,sehingga penyebaran
virusnya menjadi lebih mudah dan luas.Berbeda dengan Kalimantan Timur yang
penduduknya tidak terlalu padat,faktor yang mempengaruhi tingginya kejadian DBD
diKalimantan Timur kemungkinan adalah karena curah hujan yang tinggi sepanjang
tahun dan adanya lingkungan biologi yang menyebabkan nyamuk mudah berkembang
biak (Sukowati S,2010)
Menurut departemen kesehatan RI dalam profil kesehatan provinsi
Kalimantan Timur tahun 2012,DBD mendapat urutan ke 4 dari 10 besar penyakit
terbanyak yang dapat ditemukan pada pasien rawat inap di rumah sakir se-
Kalimantan Timur.Di sebutkan juga bahwa penyakit ini sering muncul sebagai KLB
dengan angka kesakitan dan angka kematian yang relatif tinggi.
Gambar 3 : Jumlah kasus DBD dan kematian Prov.Kaltim tahun 2012 ( Sumber :
Bidang P2PL Dinkes Kaltim th 2012)
Kelompok yang sering terkena adalah anak-anak umur 4-10 tahun,walaupun
dapat mengenai bayi di bawah umur 1 tahun juga.Anak mudah terserang demam
berdarah bisa dikarenakan cara hidup nyamuk terutama nyamuk betina yang mengigit
pada pagi dan siang hari.Nyamuk Aedes menyukai tempat yang teduh, terlindung
matahari dan berbau manusia.Oleh karena itu balita yang masih membutuhkan tidur
di pagi dan siang hari sering menjadi sasaran gigitan nyamuk.Sarang nyamuk selain
berada dalam rumah juga dapat ditemukan di dalam sekolah, apalagi bila keadaan
kelasnya lembap dan gelap.Sehingga sasaran yang paling sering berikutnya adalah
anak sekolah yang pada pagi dan siang hari berada di sekolah.Selain nyamuk Aedes
Aegypti yang senang berada dalam rumah,terdapat juga nyamuk Aedes Albopictus
yang dapat menularkan penyakit demam berdarah dengue.Nyamuk Aedes Albopictus
hidup diluar rumah, di kebun yang rindang,sehingga anak usia sekolah dapat juga
terkena gigitan nyamuk kebun tersebut ketika sedang bermain.(Misnadiarly,2009)
Deman Berdarah Dengue merupakan penyakit demam akut menular yang
dapat menyerang segala usia baik anak-anak maupun orang dewasa.Akan tetapi
penyakit DBD ini lebih banyak menimbulkan korban pada anak-anak usia dibawah
15 tahun disertai dengan perdarahan yang dapat menimbulkan renjatan (syok)
sehingga mengakitbatkan kematian pada penderita. Terbatasnya kemampuan sistem
hemodinamik pada anak-anak untuk mengkompensasi kebocoran kapiler pada DBD
diyakini menjadi salah satu penyebab penyakit DBD lebih sering menimbulkan
korban pada anak-anak dibanding dewasa muda dan orang dewasa.( Chandra,2008 ;
Rollan Elling dkk,2013).
Gambaran klinis DBD sangat bervariasi.Pasien yang awalnya mempunyai
gejala yang tampak ringan dapat mengalami syok hingga kematian.Oleh karena itulah
dibutuhkan parameter-parameter untuk mengetahui faktor risiko apa saja yang dapat
menyebabkan syok pada penderita DBD (Mayetti,2010).Menurut WHO
(1997),kriteria diagnosis DBD dibagi menjadi dua yaitu berdasarkan kriteria klinis
dan kriteria laboratorium.Kriteria klinis dapat berupa demam 2-7 hari yang timbul
tanpa sebab yang jelas dan berlangsung terus menerus.Selain itu ditemukan
manifestasi perdarahan,pembesaran hati dan syok.Sedangkan untuk kriteria
laboratoris, ditemukannya trombositopenia (<100.000/mm3) dan hemokonsentrasi (Ht
meningkat 20%).Seseorang dinyatakan positif terkena DBD apabila terdapat minimal
2 gejala klinis dan 1 hasil laboratorium yang positif.Apabila gejala dan dan tanda
tersebut kurang dari ketentuan diatas maka pasien akan dinyatakan menderita demam
dengue.
Berdasarkan latar belakang masalah yang ada, Penelitian ini ditulis untuk
mengetahui hubungan angka trombosit sebagai faktor risiko terjadinya syok pada
penderita demam berdarah dengue di RSUD Wahab Sjahranie Samarinda.
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan sebuah pertanyaan penelitian
yaitu “Apakah ada hubungan antara trombosit dengan kejadian syok pada penderita
DBD di RSUD Wahab Sjahranie Samarinda?”
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara angka
trombosit sebagai faktor risiko terjadi syok pada penderita demam berdarah dengue
di RSUD Wahab Sjahranie Samarinda.
1.4. Keaslian Penelitian
Terdapat penelitian yang pernah meneliti tentang kejadian DBD pada anak yaitu :
1. Hubungan jumlah trombosit dengan tingkat keparahan klinis Dengue
Hemorrhagic fever di RSUD Sleman periode 1 januari 2006 – 31 agustus
2008 oleh Lussa Ayatillahi Azizah hasil penelitian tersebut adalah :
Tidak terdapat hubungan antara jumlah trombosit secara keseluruhan
terhadap tingkat keparahan Dengue Hemorrhagic Fever dimana diperoleh
nilai p= 0,43 atau p>0,05 yang berarti tidak ada hubungan yang signifikan
bahwa semakin rendah jumlah trombosit secara keseluruhan, semakin tinggi
derajt DHF. Kemudian bila dicari hubungan jumlah trombosit dengan
membaginya menjadi trombositopenia ringan, sedang dan berat terhadap
derajat DHF diperoleh hasil bahwa tidak ada hubungan antara
trombositopenia ringan dan sedang terhadap derajat DHF. Sedang pada
trombositopenia berat dimana nilai p=0,01 atau p>0,05 maka terdapat
hubungan antara trombositopenia berat dengan tingkat keparahan DHF.
Perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan terdapat pada
tempat dan waktu penelitian.
2. Nugraha (2010), meneliti gejala klinis dan laboratoris sebagai prediktor
terjadinya Dengue Shock Syndrome (DSS) pada pasien DHF pada bangsal
anak di RSUD Kota Yogyakarta periode Januari 2008 – Januari 2010.
Penelitian ini merupakan studi observasional non eksperimental deskriptif
analitik dengan rancang bangun kasus kontrol. Hasil dari penelitian ini adalah
jumlah trombosit ≤ 50.000 sel/mmk merupakan faktor yang dapat
meramalkan terjadinya DSS pada pasien DHF.
Perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah waktu dan
tempat penelitian.
3. Kartika (2012), meneliti faktor prediktor kejadian demam berdarah dengue
menjadi DSS pada anak di RSUD Wonosari Kabupaten Gunung Kidul. Hasil
penelitian tersebut adalah :
Terdapat empat faktor yang dapat menjadi faktor prediktor terjadinya DSS
pada kasus DBD anak nilai p<0,05, yaitu Nyeri Perut (p=0,003; OR
0,155; CI OR 0,045-0,533), asites (p= 0,000; OR 0,037; CI OR 0,007-
0,192), melena (p=0,005; OR 0,088; CI OR 0,016-0,487) dan nilai
hematokrit >45 % (p=0,000; OR 0,054; CI OR 0,019-0,152).
Terdapat dua belas faktor dari gejala klinis dan laboratoris yang
berhubungan dengan terjadinya DSS pada kasus DBD anak, yaitu nyeri
kepala, nyeri perut, perdarahan gusi, mual muntah, asites, edema palpebra,
melena, mimisan, efusi pleura, nilai hemoglobin, nilai hematokrit dan
angka trombosit.
Perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah waktu dan
tempat penelitian.
4.Hubungan Hasil Pemeriksaan Laboratorium Untuk Memprediksi
Terjadinya Sindrom Syok Dengue Terhadap Infeksi Demam Berdarah
Dengue di RS PKU Muhammadiyah Bantul periode 1 JULI 2011- 31
JULI 2012 oleh Suci Damalia hasil penelitian tersebut adalah :
Hasil analisis data menggunakan chi-square didapatkan jumlah
trombosit <50.000/ml3,angka leukosit <4000 /mm3,peningkatan nilai
hematokrit >45, dan peningkatan hemoglobin >15% memiliki hubungan
dengan terjadinya SSD pada Demam Berdarah Dengue.
Perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah waktu dan
tempat penelitian.
5. Faktor Prediktor Terjadinya Sindrom Syok Dengue Pada Pasien DBD
Anak Di RS Panembahan Senopati Bantul periode 1 Juli 2010-31 Juli
2012 oleh Puri Dwi Andina dengan hasil penelitian sebagai berikut :
Berdasarkan karakteristik klinis yaitu suhu tubuh,petekie,nyeri perut dan
hepatomegali mendapatkan hasil p <0,05 yang menandakan bahwa keempat
faktor tersebut memiliki hubungan dengan terjadinya SSD pada pasien DBD
anak. Sedangkan berdasarkan karakteristik laboratorium terdapat 3 faktor
yang signifikan yang mempengaruhi terjadinya SSD pada pasien anak yaitu
jumlah hematokrit >45% dengan nilai p 0,008,angka leukosit ≤4.000 dengan
nilai p 0,005 dan angka trombosit ≤50.000 .
1.5. Manfaat Penelitian
Beberapa manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah:
1. Bagi Ilmu Pengetahuan
Diharapkan dengan adanya penelitian ini, dapat memperkaya ilmu
pengetahuan kita tentang kejadian penyakit DBD dan SSD.
2. Bagi Pelayan Kesehatan
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai
faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian SSD pada DBD anak
berdasar hasil temuan laboratoris sehingga diagnosis dapat segera ditegakkan
dan dapat segera dilakukan tindakan untuk menurunkan atau mencegah angka
mortalitas dan morbiditas.
3. Bagi Peneliti
Melalui penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan,
wawasan dan pengalaman bagi penulis. Serta diharapkan dapat menanamkan
kesadaran akan pentingnya pemeriksaan laboratorium disamping anamnesis
dan pemeriksaan fisik dalam membantu menegakkan diagnosis.
4. Bagi Penelitian Selanjutnya
Penelitian ini masih dapat dikembangkan lagi untuk mengetahui
faktor-faktor lain yang mempengaruhi terjadinya syok pada penderita demam
berdarah dengue.