bab i manajemen konflik relevansinya dengan...

23
1 BAB I MANAJEMEN KONFLIK RELEVANSINYA DENGAN PENGEMBANGAN LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM A. LATAR BELAKANG MASALAH Pendidikan Islam hingga saat ini, terkesan sangat tertinggal dibandingkan dengan pendidikan-pendidikan umum lainnya. Ketertinggalan itu dapat dilihat baik di Madrasah, Sekolah Islam maupun Pondok Pesantren. Hal ini disebabkan karena pendidikan Islam kurang membuka diri terhadap dinamika sosial yang berkembang saat ini. Salah satu kasus tersebut dapat dilihat misalnya saja di daerah Tayu (Pati, 1998) terdapat sekitar 40 buah pesantren besar dan kecil, kebanyakan metode utama sistem pengajarannya bandongan dan weton. Dalam sistem ini, kyai membacakan salah satu kitab, menterjemahkannya ke dalam bahasa Jawa dan kemudian memberikan keterangan terhadap kata-kata yang sulit. Hampir tidak terjadi diskusi diantara kyai dan muridnya. 1 Selain itu, ternyata pesantren- pesantren tersebut belum bisa menyesuaikan dengan perkembangan zaman, baik sistemnya, kurikulumnya maupun manajemennya. Demikian pula yang dilakukan oleh pesantren-pesantren yang ada di Indonesia lainnya, disamping adanya beberapa pesantren yang sudah mampu menyelenggarakan pendidikan dengan sistem modern dewasa ini. Pesantren adalah sebuah sistem pendidikan Islam yang unik dan khas di Indonesia, ia adalah wacana yang selalu hidup dan dinamis, dimana mengkajinya dan memperbincangkannya terasa akan selalu menarik, segar dan aktual. Sebab, pesanten yang selama ini dikenal tradisional, tertinggal, kurang tertata, kumuh, dan sebagainya, ternyata anggapan itu tidak selamanya benar. 1 Pradjarta Dirdjosanjoto, Memelihara Ummat Kiai Pesantren - Kiai Langgar di Jawa, (Yogyakarta: LkiS, 1999), hlm. 149.

Upload: vankhanh

Post on 25-Apr-2018

219 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

MANAJEMEN KONFLIK RELEVANSINYA DENGAN

PENGEMBANGAN LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Pendidikan Islam hingga saat ini, terkesan sangat tertinggal dibandingkan

dengan pendidikan-pendidikan umum lainnya. Ketertinggalan itu dapat dilihat

baik di Madrasah, Sekolah Islam maupun Pondok Pesantren. Hal ini disebabkan

karena pendidikan Islam kurang membuka diri terhadap dinamika sosial yang

berkembang saat ini.

Salah satu kasus tersebut dapat dilihat misalnya saja di daerah Tayu (Pati,

1998) terdapat sekitar 40 buah pesantren besar dan kecil, kebanyakan metode

utama sistem pengajarannya bandongan dan weton. Dalam sistem ini, kyai

membacakan salah satu kitab, menterjemahkannya ke dalam bahasa Jawa dan

kemudian memberikan keterangan terhadap kata-kata yang sulit. Hampir tidak

terjadi diskusi diantara kyai dan muridnya.1 Selain itu, ternyata pesantren-

pesantren tersebut belum bisa menyesuaikan dengan perkembangan zaman, baik

sistemnya, kurikulumnya maupun manajemennya. Demikian pula yang dilakukan

oleh pesantren-pesantren yang ada di Indonesia lainnya, disamping adanya

beberapa pesantren yang sudah mampu menyelenggarakan pendidikan dengan

sistem modern dewasa ini.

Pesantren adalah sebuah sistem pendidikan Islam yang unik dan khas di

Indonesia, ia adalah wacana yang selalu hidup dan dinamis, dimana mengkajinya

dan memperbincangkannya terasa akan selalu menarik, segar dan aktual. Sebab,

pesanten yang selama ini dikenal tradisional, tertinggal, kurang tertata, kumuh,

dan sebagainya, ternyata anggapan itu tidak selamanya benar.

1 Pradjarta Dirdjosanjoto, Memelihara Ummat Kiai Pesantren - Kiai Langgar di Jawa,

(Yogyakarta: LkiS, 1999), hlm. 149.

2

Karena sudah tua dan mengakar di masyarakat, justru pesantren mampu

bertahan hidup berabad-abad dan bahkan sampai saat ini terlihat semakin hidup

dan menarik. Disamping itu, kita semua tahu bahwa tokoh-tokoh nasional

maupun para elit politik banyak yang berbasis pondok pesantren, para pengusaha,

para pedagang, wartawan, dan masih banyak lagi. Hal ini menunjukkan bahwa

alumnus pondok pesantren bisa terjun ke dalam masyarakat yang majemuk dan

sangat kompleks. Ditambah lagi dengan maraknya pesantren modern yang

membuka lembaga sekolah, kursus-kursus, agribisnis, wira usaha dan lain-lain.

Oleh karena keunikannya itulah pesantren sangat prospektif untuk dikaji dan

dikembangkan.

Dengan keunikannya ini, Drs. Hasbullah menyebutnya sebagai “bapak”

Pendidikan Islam di Indonesia. H.A.Timur Jaelani menyebut “indigenous

cultura”, atrinya lembaga asli Indonesia.2 Dan ketika Ki Hajar Dewantoro

menjabat sebagai tokoh pendidikan nasional dan sekaligus sebagai menteri PP

dan K RI yang pertama, berpendapat bahwa pondok pesantren merupakan dasar

dan sumber pendidikan Nasional.3

Di balik itu semua, Lembaga Pesantren misalnya, - berdasarkan statistik

pada Departemen Agama (1997) jumlah pesantren di seluruh Indonesia kini

mencapai lebih dari 9415 buah dengan santri lebih kurang 1.631.727 orang4, -

selama ini ternyata pesantren belum mampu menjawab problema kesejahteraan

masyarakat Indonesia secara maksimal. Indikasinya jelas, bahwa ekonomi

Indonesia 60 % atau lebih dikuasai orang China, yang mayoritas non Islam,

sedangkan masyarakat Islam sendiri masih banyak yang miskin dan serba

2 H.A.Timur Jaelani, Peningkatan Mutu Pendidikan Dan Pembangunan Perguruan Agama,

editor: Abdurrahman Soleh, (Jakarta: CV. Dermaga, 2000), hlm. 50. 3 Suwandi, Rekonstruksi Sistem Pendidikan Pesantren; Beberapa Catatan dalam Pendidikan

Masa Depan, Marzuki Wahid, dkk (penyunting), (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), hlm. 185. 4 Ismail SM dan Abdul Mukti, Pendidikan Islam; Demokratisasi Dan Masyarakat Madani,

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar bekerja sama dengan Fak. Tarbiyah IAIN WS, 2000), hlm. 182.

3

kekurangan, banyak juga yang tidak dapat mengenyam pendidikan, belum lagi

KKN merajalela dikalangan elit-elit pemerintahan kita ini.

Jika mau melihat secara jeli, tentu akan diketahui berapa banyak anak

putus sekolah, berapa kali terjadi tawuran pelajar, perkosaan, penjambretan.

Belum lagi dengan adanya mitos masyarakat tentang pendidikan Islam yang

kurang prospektif, tertinggal, miskin dan tidak punya bargaining sama sekali.

Bahkan banyak juga anggapan bahwa pelajaran-pelajaran yang ada di lembaga

pendidikan Islam (khususnya pesantren salaf) sangatlah tradisional dan tanpa

memberikan bekal skill pada anak didiknya, sehingga banyak orang mengatakan

bahwa pendidikan pesantren tidak memenuhi tuntutan zaman.

Hal-hal di atas merupakan indikator ”kurang berhasilnya” pesantren dalam

mengatasi problema masyarakat kita saat ini. Padahal kita tahu bahwa pesantren

adalah pusat pendidikan Islam, dimana konsep Islam tentang tafaqquh fiddin ini

semestinya harus diterapkan di sana. Karena memang di dalam Islam sendiri

diperintahkan untuk mengkaji tentang segala ilmu tanpa pandang bulu, artinya

tidak ada dikotomis antara ilmu dunia dengan ilmu akhirat.

Karenanya pendidikan harus terus menerus dikembangkan agar mampu

melayani kebutuhan pembangunan dan kemajuan iptek, atau dengan kata lain agar

mampu menghadapi tantangan zaman5. Maka disinilah pesantren diharapkan

mampu menjawab terhadap krisis global umat manusia yang terjadi karena

penerapan teknologi maju (advenced tegnology)6, dan yang paling perlu disadari

bahwa karena pendidikan Islam pada dasarnya bersifat gnostik, maka semua

bentuk ilmu, bahkan yang paling external sekalipun memiliki ciri sakral,

sepanjang ia setia pada prinsip-prinsip wahyu.7

5 Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta: INIS, 1994), hlm. 2. 6 Abdul Djamil, dkk, Pesantren dan Kebudayaan, (Semarang: IAIN Walisongo, 1999), hlm.

1. 7 Sayyed Husein Nasr, Sains dan Peradaban di dalam Islam, (Bandung: Pustaka, 1986), hlm.

47.

4

Secara terminologis dapat dijelaskan bahwa pendidikan pesantren dilihat

dari segi bentuk dan sistemnya, berasal dari India. Sebelum proses penyebaran

Islam di Indonesia, sistem tersebut telah digunakan secara umum untuk

pendidikan dan pengajaran agama Hindu di Jawa. Setelah Islam masuk dan

tersebar di Jawa, sistem tersebut kemudian diambil oleh Islam8. Nurcholis Madjid

juga menyatakan, dari segi histories pesantren tidak identik dengan makna

keislaman, tetapi juga mengandung makna keaslian Indonesia (indigenous), sebab

lembaga yang serupa dengan pesantren ini sebenarnya sudah ada sejak masa

kekuasaan Hindu-Budha, sehingga Islam tinggal meneruskan dan mengislamkan

lembaga pendidikan yang sudah ada.9 Tokoh lain mengatakan bahwa model

pesantren sudah ada sejak zaman kekholifahan dahulu, sehingga sistem pondok

pesantren ini juga termasuk ajaran budaya Islam.

Namun yang jelas, bahwa pesantren dipandang sebagai lembaga

pendidikan Islam yang memiliki akar sejarah panjang di Indonesia. Proses

pendidikannya berlangsung selama 24 jam penuh karena hubungan kyai, ulama

dan santri yang terkonsentrasi di satu kompleks merupakan suatu masyarakat

belajar.10

Dalam sejarah perjalanannya sampai saat ini, pesantren telah mengalami

perubahan-perubahan baik isi maupun bentuk. Dewasa ini ternyata ditemukan

bermacam-macam pola pesantren sebagai berikut:

1. Pesantren yang hanya terdiri dari masjid dan rumah kyai 2. Pesantren yang terdiri dari masjid, rumah kyai, pondok atau asrama 3. Pesantren yang terdiri dari masjid, rumah kyai, pondok atau asrama dan madrasah 4. Pesantren yang terdiri dari masjid, rumah kyai, pondok atau asrama dan madrasah

dan tempat ketrampilan (peternakan, menjahit, pertanian, dan lain-lain.)

8 Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah, (Jakarta: PT. Pustaka, 1994), hlm. 20-21 9 Nurcholis Madjid, Bilik-bilik Pesantren, (Jakarta: Paramadina, 1997), hlm. 3. 10Maksum Muhtar, Transformasi Pendidikan Islam dalam Pesantren Masa Depan, (Jakarta:

Pustaka Hidayah, 1999), hlm. 65.

5

5. Pesantren yang terdiri dari masjid, rumah kyai, pondok atau asrama dan madrasah, universitas, gedung pertemuan, tempat olah raga, dan sekolah umum.11

Selain unsur-unsur kelembagaan, karakteristik pesantren juga dapat dilihat

dari segi struktur organisasi. Struktur organisasi dan lingkungan kehidupan

pesantren meliputi: status kelembagaan, struktur organisasi, gaya kepemimpinan,

dan suksesi kepemimpinan.

Status kelembagaan pesantren dapat dikelompokkan menjadi dua

golongan: sebagai milik pribadi dan milik institusi. Adapun perbedaan status

kelembagaan tersebut sangat penting artinya jika dikaitkan dengan perspektif

pembinaan dan pengembangan. Kemudian, struktur organisasi pada setiap

pesantren berbeda-beda antara yang satu dengan yang lain sesuai dengan

kebutuhan masing-masing.

Gaya kepemimpinan pesantren memiliki ciri tersendiri. Adapun yang

dimaksud gaya kepemimpinan di sini ialah seni memanfaatkan seluruh daya:

dana, sarana dan tenaga untuk mencapai tujuan pesantren. Hal ini akan

bergantung dari kemampuan manajerial pimpinan pesantren itu sendiri.

Selama ini pesantren dikenal dengan lembaga pendidikan tradisional,

terbelakang, dengan kepemimpinan diktator, dan biasanya apa yang dikatakan

kyai pasti harus dilaksanakan tanpa membantah sedikitpun. Kemudian dalam

pengelolaan manajemennya masih sangat sederhana, dan masih banyak lagi

kekurangan-kekurangan lainnya yang ada.

Namun demikian, meskipun pendidikan pada awalnya bercorak

tradisional, dalam perkembangan berikutnya ia lebih bersifat dinamis, adaptif,

emansipatif dan responsif terhadap perkembangan dan kemajuan zaman.12

Bahkan pesantren yang besar mengelola TK, SD, SLTP, SLTA, Perguruan

11 Abudin Nata, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-lembaga Pendidikan

Islam di Indonesi, (Jakarta: PT. Grasindo, 2001), hlm. 120-121. 12 Abudin Nata, op.cit, hlm. 124.

6

Tinggi, dan Kursus Kejuruan. Pesantren corak ini biasanya terdapat di kota-kota

besar. Karena sistem pendidikan yang respontif terhadap perkembangan dan

kemajuan zaman, pesantren ini banyak diminati oleh banyak santri.

Untuk mencapai Pendidikan Islam yang ideal, maka pesantren perlu

melakukan perbaikan dan pembaharuan, baik dari sistem pendidikannya,

sarananya, bahkan manajemennya. Kalau hal ini bisa diwujudkan, maka posisi

pendidikan Islam adalah bagaimana pendidikan Islam dikembangkan sehingga

mampu melahirkan manusia paripurna, yakni manusia Muslim yang memiliki

kualitas ilmu dan iman yang prima, sehingga keberadaannya selalu dibutuhkan

oleh umat lain.13

Berpijak dari usaha pembaharuan dan pengembangan pondok pesantren,

maka dalam melakukan hal ini kita harus memperhatikan sikap dasar para

pemimpin pondok pesantren sendiri yang telah menetapkan policy dan strategi

dalam Muktamar Ikatan Pesantren (Robitthotul Mu’ahidil Islamiyah) yang ke-I,

Januari 1959, yang menyatakan sebagai berikut:

”Mempertahankan yang lama yang baik dan mengambil hal-hal baru yang lebih baik”14

Selain itu, perlu diperhatikan bagi pengembangan pendidikan pesantren

masa depan, yaitu sebagaimana nasehat shahabat Ali bin Abi Thalib Ra. yang

menegaskan: “Didiklah anak kalian tidak seperti yang dididikkan kepada kalian

13 H.M. Habib Toha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Pelajar, 1986),

hlm. 47. 14 H.M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum), (Jakarta: Bumi Aksara, 2000),

hlm. 250.

7

sendiri, oleh karena mereka itu diciptakan untuk generasi zaman yang berbeda

dengan generasi zaman kalian.15”

Dengan konsep yang ditawarkan Ali Bin Abi Thalib tersebut, maka

jelaslah, bahwa seharusnya para pengelola pondok pesantren dan bahkan kita

semua generasi muda, sadar dan mau meningkatkan kualitas pendidikan yang ada

di pesantren, dengan cara mengelola pendidikan pesantren ini tepat guna,

kompetensi, dan sesuai dengan apa yang dibutuhkan masyarakat dimasa yang

akan datang.

Untuk mengelola lembaga pendidikan pesantren masa depan, tentunya

tidak akan terlepas dari usaha-usaha rekonstruksi baik di bidang manajemen,

kurikulum, SDM, sarana, maupun hal-hal lain yang sangat urgens bagi

kelangsungan pendidikan pesantren.

Secara umum kajian skipsi ini adalah praktek manajemen di pondok

pesantren. Oleh karena itu, manajemen yang selama ini dikenal lemah, tentunya

sangat perlu untuk diperbaiki. Dengan demikian kajiannya nanti akan mengarah

pada: “Relevansi manajemen konflik dengan pengembangan lembaga pendidikan

pesantren”.

Istilah manajemen konflik selama ini belum dikenal pada dunia pesantren,

lebih-lebih pondok pesantren salaf yang dikenal dengan model tawadlu’nya

(ketaatan) terhadap kyai dan menganggap kyai adalah “segalanya”. Artinya:

segala yang diperbuat dan diperintahkannya harus diikuti tanpa membantah

sedikitpun. Dengan kata lain bahwa di dunia pesantren tidak ada istilah konflik

atau berbeda pendapat, pokoknya semua harus berjalan seragam, sejalur dan

sealiran. Walaupun ada pesantren-pesantren tertentu yang tidak memberlakukan

hal-hal demikian.

15 Ibid. hlm. 250.

8

Sebenarnya praktek manajemen konflik sudah sering dilakukan oleh

lembaga-lembaga pesantren, terutama pesantren-pesantren yang sudah modern

(misalnya: Darussalam Gontor, Darunnajah Jakarta, dan lain-lain). Hanya saja,

perilaku manajemen konflik ini tidak disadari oleh mereka, atau bahkan ada

istilah lain yang digunakan di sana. Manajemen konflik, selama ini lebih sering

dipakai oleh organisasi-organisasi perusahaan, organisasi masyarakat, maupun

instansi pemerintah (kepolisian). Sedangkan di dunia pendidikan masih jarang

digunakan istilah tersebut atau bahkan tidak ada sama sekali.

Pada perusahaan, aplikasi manajemen konflik biasanya digunakan untuk

menyelesaikan permasalahan buruh dan karyawannya. Di dalam suatu negara,

manajemen konflik digunakan untuk mengatasi konflik sara (pertikaian

kelompok, etnis, ras maupun agama), atau bahkan untuk mengatasi perselisiahan

dengan negara-negara lain. Sedangkan di dalam organisasi pesantren adalah

bagaimana konflik (internal dan eksternal) itu dikelola dengan baik, supaya

konflik tersebut menjadi fungsional dan dapat melahirkan inovasi-inovasi baru

untuk kemajuan lembaga pendidikan pesantren itu sendiri. Bahkan kalau perlu,

untuk mendapatkan kreatifitas dan inovasi baru, konflik justru diciptakan seorang

manajer untuk memancing para bawahan, kemudian, pada akhirnya nanti yang

didapat adalah adanya peningkatan kualitas SDM dan kinerja yang efektif-

inovatif.

Di pondok pesantren, biasanya sering menolak adanya konflik. Hal ini

disebabkan karena memang manajemen yang ada di sana masih memakai model

tradisional. Adapun pandangan tradisional tentang konflik adalah bahwa konflik

itu merupakan hal yang tidak perlu dan bahwasanya ia merupakan suatu yang

merugikan .

Sikap orang tentang konflik dalam organisasi telah mengalami perubahan

dengan berlangsungnya waktu. Pandangan yang berlaku sekarang adalah

bahwasanya konflik-konflik di dalam organisasi merupakan hal yang tidak dapat

9

dihindari, dan bahkan konflik-konflik itu perlu, terlepas dari bagaimana

organisasi-organisasi didesain dan dioperasikan.16

Bertolak dari sudut pandang modern tentang konflik, maka tugas para

manajer (pimpinan) pondok pesantren bukanlah menekan atau memecahkan

semua konflik, tetapi mereka perlu memanajnya sedemikian rupa, sehingga aspek

yang merugikan dapat diminimasi dan aspek yang menguntungkan dapat

dimaksimasi.

B. RUMUSAN MASALAH

Telaah ini akan difokuskan pada pencarian relevansi manajemen konflik

dengan pengembangan lembaga pendidikan Islam pesantren. Dengan demikian,

beberapa isu penting yang dikupas dalam tulisan ini adalah:

1. Bagaimanakah Manajemen Konflik yang diterapkan pada lembaga

pendidikan pesantren Darul Amanah?

2. Bagaimankah pengembangan lembaga pendidikan pesantren Darul Amanah?

3. Bagaimanakah relevansi manajemen konflik dengan pengembangan lembaga

pendidikan Islam di pesantren Darul Amanah?

C. TUJUAN PENELITIAN DAN SIGNIFIKANSI

Studi ini difokuskan pada pencarian relevansi manajemen konflik

dengan pengembangan lembaga pendidikan Islam pesantren, maka tujuan

penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui manajemen konflik dan penerapannya pada lembaga

pendidikan pondok pesantren Darul Amanah.

2. Mengetahui bagaimanakah pengembangan lembaga pendidikan pondok

pesantren Darul Amanah.

16 Winardi, Manajemen Konflik; Konflik Perubahan dan Pengembangan., (Bandung: Mandar

Maju, 1994), hlm.64.

10

3. Mengetahui sejauh mana relevansi manajemen konflik dengan pengembangan

lembaga pendidikan Islam di pesantren Darul Amanah.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat diterapkan pada lembaga-lembaga

pendidikan pesantren yang lainnya, serta dapat dijadikan referensi bagi

mahasiswa-mahasiswa jurusan Kependidikan Islam dan mahasiswa Tarbiyah pada

umumnya, untuk mengembangkan lembaga pendidikan Islam secara global.

D. PENEGASAN ISTILAH

1. Manajemen secara etimologi berarti kepemimpinan; proses pengaturan;

menjamin kelancaran jalannya pekerjaan dalam mencapai tujuan dengan

pengorbanan sekecil-kecilnya.17 Atau dengan kata lain manajemen secara

singkat berarti pengelolaan.

Menurut Mary Parker Vollett, manajemen merupakan seni dalam

menyelesaikan pekerjaan melalui orang lain. Namun lebih dari itu, manajemen

mempunyai pengertian sebagai proses perencanaan, pengorganisasian,

pengarahan dan pengawasan usaha-usaha para anggota organisasi dan

penggunaan sumberdaya-sumberdaya organisasi lainnya.18

Sedangkan Konflik dapat berarti perjuangan mental yang disebabkan

tindakan-tindakan atau cita-cita yang berlawanan.19 Dalam arti lain konflik

adalah adanya oposisi atau pertentangan pendapat atara orang-orang ,

kelompok-kelompok ataupun organisasi-organisasi.

Jadi, Manajemen konflik adalah seni mengatur dan mengelola konflik

yang ada pada organisasi agar menjadi fungsional dan bermanfaat bagi

peningkatan efektivitas dan prestasi organisasi.

17 M. Sastra Pradja, Kamus Istilah Pendidikan dan Umum, (Surabaya: Usaha Nasional, 1981),

hlm. 307. 18T. Hani Handoko, Manajemen Edisi 2, (Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta, 1995), hlm. 8. Lihat

juga Bedjo Siswanto, Manajemen Modern; Konsep dan Aplikasi, (Bandung: Sinar Baru, 1990), hlm. 3. 19 Komaruddin, Ensiklopedia Manajemen, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), hlm. 151.

11

2. Relevansi disini diartikan sebagai kait-mengkait, bersangkut-paut atau bisa

dikatakan relevansi adalah hubungan.20

3. Lembaga, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terdapat tiga arti, namun disini

lembaga sesuai dengan arti yang ke tiga yaitu: badan atau organisasi yang

bertujuan melakukan sesuatu penelitian keilmuan atau melakukan suatu

usaha.21 Selain itu dapat juga diartikan sebagai proses-proses terstruktur

(tersusun) untuk melaksanakan berbagai kegiatan tertentu.22

4. Lembaga Pendidikan Islam adalah badan atau organisasi pendidikan

bernafaskan Islam yang bertujuan memberikan pendidikan, pembinaan,

penelitian dan pengembangan keilmuan secara terstruktur dan sistematis untuk

mencapai tujuan yang sudah ditentukan.

4. Pengembangan Lembaga (organisasi) adalah proses terencana, dimanajemeni

dan secara sistematis untuk mengubah kultur, sistem dan perilaku organisasi

guna meningkatkan efektivitas organisasi dalam memecahkan masalah-

masalah dan pencapaian sasaran.23 Lembaga Pendidikan Islam bisa berupa

madrasah, Pesantren, Majlis ta’lim maupun sekolah Islam. Akan tetapi kajian

skripsi ini terfokus pada lembaga pendidikan Pesantren.

E. KAJIAN PUSTAKA

Mencari relevansi manajemen konflik dengan pengembangan lembaga

pendidikan Islam (pesantren), bukanlah telaah yng mengada-ada, karena terbukti

dari berbagai penelitian bahwa suatu lembaga yang mampu mengelola konflik

secara fungsional, maka secara periodik maupun secara insidental lembaga

tersebut mampu meraih kemajuan yang signifikan.

20 Lihat Kamus Bahasa Indonesia. 21 H.M.Daud Ali dan Habibah Daud, op.cit, hlm. 1. Lihat juga Anton M. Moeliono

(penyunting), Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, (Jakarta: Balai Pustaka, 1993), hlm. 512. 22 Paul B. Horton dan Chester L. Hant, Sosiologi, Alih bahasa: Aminuddin Ram dan A. Tito

Sobari, (Jakarta: Erlangga, 1999), hlm. 244. 23 James L. Cibson, dkk, Organisasi; Perilaku Struktur dan Proses, alih bahasa: Hunuk

Adiarni, (Jakarta: Bina Rupa Aksara, 1997), hlm. 353.

12

Perlu diketahui bahwa manajemen konflik ini lebih digunakan pada

organisasi-organisasi perusahaan. Dan selama ini penulis pun belum menemukan

karya para ahli yang menaruh perhatiannya pada kajian manajemen konflik yang

diterapkan di pondok pesantren, melainkan mereka hanya mengkaji sebatas pada

manajemen secara umum ataupun permasalahan-permasalahan tertentu saja dalam

pondok pesantren tersebut.

Beberapa tokoh seperti misalnya:

1. Zamakhsyari Dhofier (1982); menulis buku dengan judul Tradisi Pesantren24.

Dalam buku ini dideskripsikan mengenai ciri-ciri pesantren, elemen-elemen

sebuah pesantren (Pondok, masjid, pengajian kitab-kitab Islam klasik, santri

dan kyai), geneologi sosial pimpinan pesantren, maupun profil pesantren di

abad XX (kasus pesantren Tebuireng dan pesantren Tegalsari). Kaitanya

dengan manajemen dan kepemimipinan, ternyata kebanyakan orang

beranggapan bahwa lembaga-lembaga pesantren di Jawa mengidap sebuah

kelemahan, yaitu jarang sekali dapat mendidik pemimpin penerus, sehingga

pesantren yang semula besar dan masyhur, lama kelamaan pudar. Dalam bab

ini menguraikan bagaimana usaha para kyai untuk melestarikan kehidupan

dan kepemimpinan pesantren dan bagaimana mereka mendidik calon-calon

kyai yang diharapkan dapat menggantikan kedudukan mereka. 25Kaitanya

dengan hal itu, sarana para kyai yang paling utama dalam usaha melestarikan

tradisi pesantren ialah membangun solidaritas dan kerja sama sekuat-kuatnya

antara sesama mereka.

2. DR. dr. Wahjoetomo26 menulis buku: Perguruan Tinggi Pesanten Pendidikan

Alternatif Masa Depan. Dalam buku ini beberapa gagasan yang dikemukakan

penulis menjadi sorotan cukup tajam, seperti lembaga-lembaga pendidikan

24 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, (Jakarta: IKAPI dan LP3ES, 1982). 25 Ibid., hlm. 61. 26Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren Pendidikan Alternatif Masa Depan.,

penterjemah: Arif Santoso, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997).

13

yang ada. Secara khusus pula diangkat dengan obyektif kondisi perguruan

tinggi di Indonesia dan sekaligus menengok kehidupan pesantren. Dalam

buku ini dijelaskan mengenai sejarah pondok pesantren, model-model pondok

pesantren (pesantren salaf yang hanya mengkaji kitab kuning atau ilmu

akhirat dan pesantren khalaf atau modern; dimana kurikulum yang dipakai

meliputi pengetahuan agama dan pengetahuan umum), kemudian peran

pesantren dalam pengembangan masyarakat baik di bidang politik, ekonomi

maupun bidang sosial budaya. Konsep Perguruan Tinggi Pesantren disini

mendeskripsikan tujuan, kurikulum, manajemen, SDM dosen maupun

pendanaan. Tentang kurikulum, sama seperti perguruan tinggi lain yaitu ada

kurikulum inti dan kurikulum lokal. Hanya saja, kurikulum lokalnya diisi

dengan pendidikan keagamaan dan pengembangan kewirausahaan sebagai

pelajaran intra dan ekstra. Sedangkan manajemen yang diterapkan adalah

kombinasi antara Total Quality Manajemen (TQM) untuk perguruan tingginya

dan manajemen pondok pesantren yang berasaskan keikhlasan untuk

asramanya. Diharapkan dengan penggabungan dimensi positif kedua pola

lembaga pendidikan tersebut, akan menelurkan para sarjana yang menguasai

iptek secara professional dengan imtaq sebagai landasan. Bila ini terwujud

pada giliranya akan memberikan kontribusi yang positif bagi umat dan bangsa

dalam menyongsong era globalisasi yang sangat kompetitif. Gagasan

mengenai konsep perguruan tinggi pesantren ini sangatlah baik jika diterapkan

dimasa sekarang, dimana tujuan pendidikannya adalah membangun

masyarakat Indonesia seutuhnya, lahir dan bathin.27 atau terciptanya Baldatun

Thoyyibabatun wa Robbun Ghofur, atau menurut terminology al-Qur’an, yaitu

sebuah negara yang adil dan makmur serta diridloi Allah SWT karena

mengamalkan ajaran-ajaran-Nya

27 Wahjoetomo, op.cit., hlm. 105.

14

3. Karel A. Steenbrink menulis: Pesantren Madrasah Sekolah28. Dalam buku ini

dibahas mengenai proses sejarah dan perkembangan pendidikan Islam dalam

kurun modern. Dimana Karel S. menggembarkan sebuah tinjauan historis dari

zaman kolonial Belanda hingga zaman kemerdekaan Indonesia. Menurutnya

dualisme pendidikan yang sekarang mendapat bentuk formal dalam usaha

pendidikan yang diselenggarakan oleh dua departemen (Depdikbud dan

Depag) ternyata muncul pada akhir abad-19. Dualisme ini diperkuat dalam

periode kolonial abad-20 ini, karena disamping perkembangan lembaga

pendidikan Islam di Indonesia berjuang supaya tidak ketinggalan. Kebijakan

Depag dalam pembahasan ini digambarkan sebagai usaha konvergensi, : yaitu

usaha Depag untuk memperkecil perbedaan antara dua pola pendidikan di

lembaga umum dan lembaga agama. Sejak tahun 1970-an terjadi diversifikasi

yang agak menonjol di duania pesantren. Banyak pesantren mempunyai

“spesialisasi” di bidang tradisional seperti nahwu, sharaf, hadits, salah satu

cabang fiqih dan penghafalan atau pembacaan al-Qur’an. Disamping itu juga

terjadi disversifikasi intern dalam pesantren, yaitu yang sudah mempunyai

madrasah, kadang-kadang juga menyelenggarakan sekolah umum seperti

SMP maupun SMA, atau Fakultas umum dalam kampusnya, sehingga

mengundang penghuni kampus yang tidak homogen lagi.

5. Dawam Raharjo menulis: Pesantren dan Masa Depan Indonesia, Prof. H.

Moh. Daud Ali, S.H29 dalam bukunya: Lembaga-lembaga di Indonesia. Selain

itu ada tokoh terdahulu juga seperti : Martin Van Bruinessen30 yang menulis:

Kitab Kuning Pesantren dan Tarikat, Dan masih banyak lagi yang lainya.

Karya-karya para ahli tersebut hanya sebatas membahas tradisi, sejarah,

28 Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah, (Jakarta: PT. Pustaka dan LP3ES,

1994). 29 H. Moh. Daud Ali dan Hj. Habibah Daud, op.cit. 30 Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarikat: Tradisi-tradisi Islam di

Indonesia, (Bandung: Mizan, 1995).

15

sistem, kurikulum maupun gambaran-gambaran umum pesantren. Sedangkan

manajemen konflik pada lembaga pendidikan pesantren menurut pengetahuan

penulis belum pernah ada yang mengkaji.

Sedangkan Istilah manajemen konflik dapat ditemukan pada karya

ilmiah orang-orang ahli manajemen, terutama dari perguruan tinggi umum

khususnya jurusan manajemen, seperti karya:

6. Prof. Dr. Winardi, S.E. 31 dalam buku Manajemen Konflik. Ia

menggambarkan bagaimana hakekat konflik itu dan pandangan mengenai

konflik, baik tradisional, modern maupun kontemporer. Kemudian beberapa

hal yang terkait dengan proses konflik seperti situasi-situasi konflik, konflik

individu, antar individu, konflik kelompok, antar kelompok maupun konflik

antar organisatoris. Dalam bab lain diterangkan secara jelas bagaimana

memotivasi manusia, bagaimana memanaje konflik organisatoris, bagaimana

memahami perilaku perseorangan, bagaimana memotivasi karyawan, lalu

bagaimana memanaje kreativitas organisatoris serta adanya perubahan dan

pengembangan organisatoris. Selanjutnya dapat juga dilihat pada karya:

7. Dr. William Hendricks (1992) dalam buku aslinya How to Manage

conflick,32yang kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia oleh Arif

Santoso dengan judul “Bagaimana Mengelola Konflik, (1996). Dalam buku

ini dideskripsikan mengenai sebuah peta konflik manajer, dimana setiap

babnya memberikan gambaran tentang kawasan yang tidak dikenal (seperti

peta). Kita tidak pernah memikirkan masalah perujukan ataupun isu dimana

kita kehilangan dalam konflik. Dalam penjelasannya itu akan membantu

seseorang untuk mengidentifikasikan sikap-sikap pribadi tentang konflik dan

memetakan perspektif bisnis. Konflik tidak harus menyebabkan urusan

31 Winardi, op.cit. 32 William Hendricks, How to Manage Conflick, diterjemahkan oleh Arif Santoso, (Jakarta:

Bumi Aksara, 1996)

16

tertunda atau menjadi penghalang karier, konflik itu sangat penting, konflik

tidak pernah ditakuti. Dalam buku praktis ini, didesain untuk menghilangkan

ketakutan yang mengitari konflik dan memberikan rasa percaya yang baru

dengan melihat konflik sebagai komoditas yang dapat dikelola dan berguna

bagi perkembangan dan inovasi baru. Namun secara runtut memberikan

gambaran mengenai pemahaman konflik, identifikasai tahap-tahap konflik,

langkah-langkah konflik kontruktif, pendekatan manajemen konflik, lima

gaya manajemen konflik dan lain-lain.

8. karya Peg Pickering (2001) dalam Win-win Solution; How to manage

conflick, 33 Drs. Indriyo G. M.Com.34 dalam bukunya: Prilaku Organisasi,

dan dalam buku Manajemen II, karya: Dr. T. Handoko. Dan masih banyak

lagi buku-buku manajemen yang di dalamnya membahas mengenai

manajemen konflik. Dimana isinya semua hampir sama dengan manajemen

konflik yang digambarkan pada buku manajemen konflik karya Prof. Dr.

Winardi, SE., di atas.

Manajemen konflik yang mereka kaji inilah yang tentunya dapat

diterapkan pada dunia pesantren. Dimana suatu organisasi atau lembaga akan

berkembang dengan pesat apabila dilakukan usaha-usaha perubahan dan

pembaharuan. Dan pengembangan ini tentunya dapat dilakukan dengan

berbagai cara. Sebab, dalam setiap lembaga tentunya selalu dijumpai aneka

macam konflik, yang mana konflik itu dapat dikelola dan dimanaje

sedemikian rupa supaya menjadi fungsional. Bahkan konflik dapat diciptakan

guna membuat suatu pancingan terhadap emosi-positif yang dapat

menimbulkan rangsangan-rangsangan untuk menciptakan pemikiran-

pemikiran baru. Sebagaimana yang dikatakan Prof. Dr. Winardi, SE. , dalam

33 Peg Pickering, Win-win Solution; How to Manage Conflick, alih bahasa: Masri Maris, Kiat

Menagani Konflik, (Jakarta: Gelora Aksara Pratama dan Erlangga, 2001). 34 Indriyo Gitosudarmo dan I Nyoman S., Perilaku Organisasi, (Yogyakarta: Universitas

Janabadra dan BPFE, tt.).

17

bukunya Manajemen Konflik, mengatakan bahwa pada umumnya orang

beranggapan bahwa konflik itu selalu menimbulkan dampak negatif, namun

sebenarnya, dalam kondisi tertentu justru konflik dibutuhkan untuk

kepentingan perubahan dan pengembangan organisasi.

Studi ini akan memfokuskan bahasannya pada relevansi manajemen

konflik dengan pengembangan lembaga pendidikan Islam (pesantren). Karena

luasnya wilayah kajian pesantren, maka penelitian ini akan mengambil sampel

pondok pesantren Darul Amanah Sukorejo Kendal Jawa Tengah. Ini

diharapkan bisa memberikan kontribusi positif bagi revitalisasi dan

rekonstruksi manajemen pesantren yang memungkinkan untuk dikembangkan

pada pesantren lain dalam jangkauan lebih luas.

F. METODOLOGI PENELITIAN

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini termasuk jenis penelitian kualitatif yang

menggunakan strategi study kasus. Menurut seorang pengamat bahwa:

“esensi studi kasus, tendensi sentral dari semua jenis studi kasus, adalah

mencoba menjelaskan keputusan-keputusan tentang mengapa studi

tersebut dipilih, bagaimana mengimplementasikannya, dan apa hasilnya.

Dengan demikian definisi ini menonjolkan “keputusan” sebagai fokus

utamanya. Sejalan dengan itu topik-topik lain juga ditemukan, mencakup

organisasi, proses, program, lingkungan, institusi, dan bahkan peristiwa.35

2. Pendekatan

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian

kualitatif, dengan rancangan study kasus. Latar penelitian ini memiliki

35 Robert K. Yin, Study Kasus (desain dan metode), Penterjemah: M. Djauzi Mudzakir,

(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 17

18

karakteristik; (1) naturalistik; (2) kerja lapangan (3) instrumen utamanya

manusia, dan (4) sifatnya deskriptif.

Sebagaimana dikutip oleh Abu Choir dalam Tesisnya bahwa Kirk

dan Miller mendefinisikan, bahwa penelitian kualitatif adalah tradisi

tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental

bergantung pada pengamatan manusia dalam kawasannya sendiri dan

berhubungan dengan orang tersebut dalam bahasanya dan peristilahannya.

Bogdan dan Tylor (1975) mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai

prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata

tertulis atau lisan dari orang-orang atau perilaku yang dapat diamati.

Pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holistik

(utuh)36.

3. Metode

a. Metode Pengumpulan Data

1. Studi Pustaka (library research), yaitu suatu riset kepustakaan

murni.37Yang dimaksudkan untuk memperoleh data-data tertulis

(konseptual) tentang konsep manajeman konflik, pesantren

(lembaga pendidikan Islam), dan pengembangan suatu lembaga

pendidikan Pesantren. Sehingga dengan sendirinya tentu literatur

yang diperlukan adalah yang relevan dengan bahasan tersebut

2. Observasi Partisipatory. Observasi merupakan teknik untuk

mengamati langsung ataupun tidak langsung terhadap kegiatan-

kegiatan yang sedang berlangsung,38 yakni metode pengamatan

36 Abu Choir, Pembaharuan Manajemen Pondok Pesantren, Tesis Magister Agama Islam,

(Malang: STAIN Malang, 2002). 37 Sutrisno Hadi, Metodologi Riset, (Yogyakarta: Audy Ofset, 1998), hlm. 9. 38Moh. Surya, Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah; Suatu Pendekatan Praktek,

(Yogyakarta: Rineka Cipta, 1998), hlm.51.

19

lapangan yang terlibat didalam proses pelaksanaan manajemen

konflik maupun program pengembangan yang dilakukan pesantren

(partisipatory observation). Dalam hal ini peneliti melakukan

pengamatan langsung dengan terlibat di dalamnya yang

dilaksanakan sejak tanggal 21 Desember 2003 sampai 2 Pebruari

2004.

3. Interview. Interview, yang sering disebut wawancara atau

kuesioner lisan adalah sebuah dialog yang dilakukan oleh

pewawancara untuk memperoleh informasi dari terwawancara.39

Dengan kata lain, bahwa interview wawancara yang dimaksudkan

untuk merekam data-data tertulis yang berfungsi sebagai data

sangat penting untuk bahan analisis. Wawancara ini dilakukan

terhadap orang-orang yang terlibat dalam proses manajemen

konflik dan pelaksanaan program pengembangan lembaga

pendidikan pondok pesantren Darul Amanah.

Teknik Pengumpulan Data dan Wawancara

INFORMAN KEGIATAN TANGGAL

- Shobirin, S.Ip. - Junaidi Abdl. Jalal

S.Pd.I dan ustadz / ustadzah lain serta santri.

- Peneliti observasi

- Ijin / Orientasi - Pengamatan kegiatan dan lingkungan

pesantren secara keseluruhan - Mengambil data/arsip (Profil dan AD/ART) - Sejarah PPDA - Interview tentang: “Manajemen Konflik,

lingkup konflik, bentuk konflik, dan penyelesaian konflik di PPDA”

- Interview tentang: “Pengembangan lembaga pendidikan Darul Amanah; Latar belakang pengembangan, langkah-langkah pengembangan lembaga, bentuk pengembagan lembaga”.

- Pengamatan terlibat dalam “Rapat Dewan

21-22 Des ’03 28-30 Des ’03 3 Januari ‘04 10-17 Jan ’04 10-17 Jan ‘04 10-17 Jan ’04

39 Sutrisno Hadi, op.cit., hlm. 145.

20

terlibat / partisipasi - KH. Mas’ud AQ.

dan wali santri - Sa’ib, BA.

Guru, kegiatan harian santri dan lain-lain. - Interview tentang “Strategi dan Model

Manajemen PPDA, pengembangan, dll.” - Wewenang, kepengurusan dan pelaporan.

2 Pebruari ‘04 2 Pebruari ‘04

4. Dokumentasi, yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variabel

yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti,

notulen, rapat, legenda dan sebagainya.40

b. Metode Analisis Data

Mempertimbangkan rumusan masalah dan tujuan penelitian di atas,

maka penelitian ini termasuk jenis penelitian kualitatif. Dengan demikian,

analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif. Adapun proses analisis

data yang digunakan adalah dengan metode deskrptif-interpretatif.

1. Metode analisis deskriptif.

Metode deskriptif, menurut John W. Best adalah usaha untuk

mendeskripsikan dan menginterpretasikan mengenai apa yang ada tentang

kondisi, pendapat yang sedang berlangsung, serta akibat yang terjadi atau

kecenderungan yang tengah berkembang41. Dengan kata lain analisis

deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti kelompok manusia, suatu

obyek, suatu seting kondisi, suatu sistem pemikiran, atau suatu kelas

peristiwa pada masa sekarang.

Adapun tujuannya adalah untuk membuat diskripsi

(gambaran/lukisan) secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-

fakta, sifat-sifat serta hubungan fenomena yang diselidiki.

Dengan demikian, analisis deskriptif ini dilakukan ketika peneliti

saat berada dilapangan dengan cara mendeskripsikan segala data yang

40 Robert K. Yin, op.cit., hlm. 17 41 John W. Best, Research In Education, dalam Sanafiah Faisal dan Mulyadi Guntur W.

(eds.), Metodologi Penelitian Pendidikan, (Surabaya: Usaha Nasional, 1982), hlm. 119.

21

telah didapat, lalu dianalisis sedemikian rupa secara sistematis, cermat dan

akurat.

2. Metode analisis interpretatif.

Metode interpretatif adalah menyelami buku untuk sedapat

mungkin mampu mengungkapkan arti dan makna yang disajikan.42 Dalam

metode ini, memungkinkan penuh peneliti mengintervensi dan mengkritisi

setiap pendapat-pendapat dengan menggunakan analisis-analisis yang

akan dipaparkan dalam bab IV.

Dengan demikian, ketika peneliti telah mendapatkan data hasil

wawancara, survey maupun segala hasil yang diperoleh di lapangan, baik

berupa pendapat-pendapat, fakta-fakta maupun sifat-sifat serta fenomena

yang diteliti, maka setelah itu perlu dianalisis secara cermat dan matang

sehingga peneliti dapat mengintervensi dan mengkritisi terhadap

fenomena-fenomena yang diperolehnya itu dengan mengkomparasikan

terhadap berbagai pendapat para tokoh melalui sumber maupun buku apa

saja.

Untuk itu, dengan pendekatan ini diharapkan dapat ditarik kesimpulan

penelitian setidaknya meliputi:

1. Mencari relevansi manajemen konflik interpersonal dengan pengembangan

lembaga pendidikan pesantren.

2. Mencari relevansi manajemen konflik intrapersonal dengan pengembangan

lembaga pendidikan pesantren.

3. Mencari relevansi manajemen konflik intergroup dengan pengembangan

lembaga pendidikan pesantren.

4. Mencari relevansi manajemen konflik intragroup dengan pengembangan

lembaga pendidikan pesantren.

42 Anton Beker dan Ahmad Charis Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, (Yogyakarta:

Kanisius, 1990), hlm. 63.

22

G. SISTEMATIKA PENULISAN SKRIPSI

Sistematika penulisan diperlukan dalam rangka mengarahkan tulisan agar

runtun, sistematis, dan mengerucut pada pokok permasalahan, sehingga akan

memudahkan pembaca dalam memahami kandungan dari suatu karya ilmiah.

Adapun sistematika penulisan skripsi ini dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:

1. Bagian Awal

Pada bagian ini memuat: Halaman Sampul, Halaman Judul, Abstraksi

Penelitian, Halaman Pengesahan, Halaman Motto, Kata Pengantar, Daftar Isi,

Daftar Tabel, Daftar Gambar, Daftar Lampiran.

2. Bagian Inti

BAB I : PENDAHULUAN

Berisi Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan

dan Signifikansi, Penegasan Istilah, Kajian Pustaka, Metodologi

Penelitian dan Sistematika Penulisan Skripsi.

BAB II : KONSEP MANAJEMEN KONFLIK DAN PENGEMBANGAN

LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM

Mendeskripsikan hal-hal sebagai berikut: Definisi

Lembaga pendidikan Islam, Bentuk-bentuk Lembaga Pendidikan

Islam, Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan Islam,

Pengembangan Lembaga Pendidikan Islam, Pengertian Konflik,

Jenis-jenis Tipe Situasi Konflik, Manajemen Konflik, metode-

metode Manajemen Konflik, dan Lima Gaya Menejemen Konflik.

BAB III : APLIKASI MANAJEMEN KONFLIK DAN PENGEMBANGAN

LEMBAGA DI PESANTREN DARUL AMANAH

Pada bab ini pembahasannya meliputi: Letak Geografis,

Latar Belakang dan Perkembagannya serta Sistem Pendidikan

Pesantren Darul Amanah, Model Manajemen yang diterapkan,

Proses Manajemen Konflik, Bentuk Konflik dan Penyelesaiannya

23

BAB IV : MANAJEMEN KONFLIK RELEVANSINYA DENGAN

PENGEMBANGAN LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM

(PESANTREN)

Pembahasannya meliputi: analisis relevansi Manajemen

Konflik Interpersonal, Intrapersonal, Intergroup, Intragroup, dan

Interorganisatoris dengan Pengembangan Lembaga Pendidikan

Pesantren.

BAB V : PENUTUP

Bab terakhir ini berisikan: Kesimpulan, Saran dan Kata

Penutup.

3. Bagian Akhir

Pada bagian akhir skripsi ini memuat: Daftar Pustaka dan Lampiran-

lampiran.