bab i kusta
DESCRIPTION
BAB I KUSTATRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit kusta merupakan salah satu penyakit menular, penyakit kusta
pada umumnya terdapat di negara-negara berkembang. Faktor limgkungan
mempengaruhi terjadinya penyakit kusta, dimana lingkungan yang kurang
baik akan menimbulkan bakteri Mycrobaterium leprae yang menyebabkan
penyakit kusta (Umar, 2011). Selain itu penyakit kusta merupakan salah
satu manifestasi kemiskinan karena kenyataannya sebagian penderita kusta
berasal dari golongan ekonomi yang lemah. Penyakit kusta bila tidak
ditangani dengan cermat dapat mengakibatkan kecacatan (Widoyono,
2011).
Secara umum, angka kemiskinan Indonesia sejak 1998 – 2011 terus
menurun. Penurunan tersebut tidak lepas dari upaya keras pemerintah
untuk menanggulangi kemiskinan melalui berbagai program pro-rakyat.
Kendati belum bisa dikatakan maksimal, akan tetapi tren penurunan
menunjukkan bahwa program-program penanggulangan kemiskinan yang
diluncurkan pemerintah telah memberikan efek positif bagi peningkatan
kemampuan masyarakat dalam mengembangkan hak-hak dasar mereka.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk miskin hingga
Maret 2013 mengalami penurunan sebesar 0,52 juta orang dibanding
September 2012. Penurunan jumlah penduduk miskin ini terjadi karena
masyarakat Indonesia sudah mengalami peningkatan pendapatan dan
sangat mempengaruhi kesehatan di Indonesia.
Menurut dari World Health Organization 2011 diperkirakan jumlah
penderita kusta di dunia pada tahun 2011 sebesar 219.075 orang.
Indonesia peringkat ketiga di dunia setelah India dan Brasil. Menurut data
1
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2011), penyakit kusta di
Indonesia tahun 2011 sebesar 19.371 penderita yang terbagi atas penderita
tipe PB ( Pause basiler) 3.278 penderita dan tipe MB (Multi basiler) 13.734
penderita dengan CDR (Case detection rate) kusta 7,22 per 100.000
penduduk. Jawa Timur dengan jumlah penderita kusta paling tinggi pada
tahun 2012 dan dengan jumlah penderita 5.284 penderita, Provinsi Jawa
Tengah mnduduki peringkat kedua (2.233 penderita) dengan (CDR 8,03
per 100.000 penduduk). Penyakit kusta dari tahun 2010 -2011 mengalami
peningkatan sebesar 12,18 %. (Kemenkes, 2011).
Pada tahun 2011, Dinas Kesehatan Jawa Tengah melaporkan terdapat
2.233 penderita kusta dengan Newly Case Detection Rate (NCDR)
sebesar 6,87 per 100.000 penduduk. Keberhasilan dalam mendeteksi
kasus baru dapat diukur dari tinggi rendahnya proporsi cacat tingkat II,
sedangkan untuk mengetahui tingkat penularan di masyarakat digunakan
indikator proporsi anak (0-14 tahun) di antara penderita baru 5% (Depkes,
2007). Proporsi cacat tingkat II pada tahun 2011 sebesar 10,14% (Depkes,
2011).
Penyakit kusta di Kabupaten Pemalang merupakan penyakit yang lama,
data jumlah penderita tahun 2010 terdapat 118 penderita (tipe PB 2 penderita
dan kusta tipe MB 116 penderita) dengan nilai CDR 8,61 per/100.000
penduduk (Dinkes Pemalang, 2010). Pada tahun 2011 terdapat 115
penderita yang terdiri atas penderita tipe PB atau kusta tipe kering 5
penderita dan kusta tipe MB atau kusta tipe kering 110 penderita dengan nilai
CDR 8,07 per 100.000 penduduk (Dinkes Pemalang, 2011), dari tahun
2010-2011 mengalami penurunan sebesar 2,54% dilihat dari jumlah
penderita penyakit kusta. Tahun 2012 terdapat 245 penderita yang terdiri atas
pederita tipe PB dan kusta tipe MB CDR 17,21 per 100.000 penduduk. Dari
tahun 2011-2012 penderita kusta mengalami peningkatan sebesar 8,44%
dilihat dari jumlah penderita penyakit kusta pertahun (Dinkes Pemalang,
2012).
2
Pada tahun 2011-2012 penderita penyakit kusta di Pemalang meningkat
sebesar 8,44% penderita terbanyak di Puskesmas Kabunan yaitu pada
tahun 2011-2012 mengalami peningkatan sebesar 82,85% pada tahun 2011
ada 6 penderita dan pada tahun 2012 ada 35 penderita. Pada penelitian yang
dilakukan Faturahman (2010), bahwa suhu rumah, dinding, lantai,
ventilasi, pencahayaan, kelembapan, merupakan faktor risiko dalam
kejadian penyakit kusta di Kabupaten Cilacap. Penyakit kusta dapat
menyerang semua orang, pria lebih banyak dibandingkan dengan wanita
dengan perbandingan 2:1, penyakit kusta dapat mengenai semua umur,
namun dengan demikian jarang dijumpai pada umur yang sangat muda.
Berdasarkan permasalahan tersebut maka kelompok tertarik untuk membuat
makalah yang berjudul “Tren dan Isu Penangan Kusta di Puskesmas”.
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari makalah ini agar mahasiswa/i mampu mengetahui tren
dan isu penaganganan kusta di Puskesmas.
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari makalah ini, yaitu mahasiswa/i mampu :
a. Mengetahui pengertian penyakit kusta
b. Mengetahui dampak penyakit kusta
c. Mengetahui tren dan isu penyakit kusta di Indonesia
d. Mengetahui pengobatan penyakit kusta di Indonesia
e. Mengetahui efek pengobatan penyakit kusta si Indonesia
C. Metode Penulisan
Metode yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah dengan
melakukan studi pustaka. Kami juga mencari bahan-bahan tentang kejadian
usta di Indonesia melalui website resmi Kemenkes dan Depkes.
3
D. Ruang Lingkup
Ruang lingkup dari permasalahan dalam makalah ini ialah segala sesuatu yang
berkenaan dengan trend an isu kusta di Puskesmas.
E. Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN : terdiri dari latar belakang, tujuan penulisan,
metode penulisan, ruang lingkup, dan sistematika penulisan. BAB II
TINJAUAN PUSTAKA : terdiri dari pengertian, dampak penyakit kusta,
trend an isu penyakit kusta di Indonesia, pengobatan penyakit kusta, efek
samping pengobatan kusta. BAB III PENUTUP : terdiri dari kesimpulan dan
saran.
4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Penyakit kusta adalah penyakit kronik yang di sebabkan oleh Infeksi
Mycobacterium Leprae yang pertama menyerang saraf tepi, selanjutnya dapat
menyerang kulit, mukosa mulut, saluran napas bagian atas, sistem retikulo
endothelial, mata, otot, tulang, dan testis kecuali ke susunan saraf pusat.
(Widoyono, 2011).
B. Dampak Penyakit Kusta
Seseorang yang merasakan dirinya menderita penyakit kusta akan mengalami
trauma psikis, sebagai akibat dari trauma psikis ini, si penderita akan bereaksi
sebagai berikut:
1. Dengan segera mencari pertolongan pengobatan
2. Mengulur-ulur waktu karena ketidaktahuan atau malu bahwa ia dan
keluarganya menderita penyakit kusta.
3. Menyembunyikan (mengasingkan) diri dari masyarakat sekelilingnya,
termasuk keluarganya.
4. Oleh karena berbagai masalah, pada akhirnya si penderita bersifat masa
bodoh terhadap penyakitnya.
Sebagai akibat dari hal-hal tersebut diatas, maka timbullah berbagai masalah
baru antara lain:
1. Masalah Terhadap Diri Penderita
Pada umumnya penderita kusta merasa rendah diri,merasa tekan batin,
takut terhadap penyakitnya dan terjadinya kecacatan, takut menghadapi
keluarga dan masyarakat karena sikap penerimaan mereka yang kurang
wajar.
2. Masalah Terhadap Keluarga.
Keluarga menjadi panik, berubah mencari pertolongan termasuk dukun
dan pengobatan tradisional,keluarga takut di asingkan oleh masyarakat di
sekitarnya.
5
3. Masalah Terhadap Masyarakat.
Pada umumnya masyarakat mengenal penyakit kusta dari tradisi
kebudayaan dan agama sehingga pendapat tentang kusta merupakan
penyakit yang menular,tidak dapat di obati,namun umumnya kendala
yang di hadapi adalah pasien mentaati resep dokter, sehingga selain
mereka tidak menjadi lebih baik,mereka pun akan resisten terhadap obat
yang telah di berikan.
C. Tren dan Isu Kusta di Indonesia
Morbus Hansen atau lepra atau kusta merupakan penyakit tertua sekaligus
penyakit menular yang sangat menakutkan. Penyakit ini ditemukan oleh GH
Armauer Hansen (Norwegia) pada tahun 1873, dengan menemukan
Mycobacterium leprae sebagai kuman penyebab. Sampai datangnya AIDS,
leprae adalah penyakit yang paling menakutkan daripada penyakit menular
lainnya. Penyakit ini menyesatkan hidup berjuta-juta orang, terutama di
Amerika Selatan, Afrika, dan Asia.
Penyakit ini di Indonesia lebih dikenal dengan penyakit Kusta.Kusta adalah
merupakan penyakit tertua yang diketahui manusia dan sudah dikenal hampir
2000 tahun SM. Hal ini diketahui dari catatan tulisan peninggalan sejarah dari
Mesir, Tiongkok dan Mesopotamia, namun tulisan yang memberikan gambaran
kusta yang sebenarnya dicatat di India pada tahun 600 SM.
Penyebab penyakit kusta adalah Mycobacterium leprae yang berbentuk
pleomorf lurus, batang panjang, sisi paralel dengan kedua ujung bulat, ukuran
0,3-0,5 x 1-8 mikron. Basil ini berbentuk batang gram positif dan bersifat tahan
asam, tidak mudah diwarnai namun jika diwarnai akan tahan terhadap
dekolorisasi oleh asam atau alkohol sehingga oleh karena itu dinamakan
sebagai basil tahan asam, tidak bergerak dan tidak berspora, dan dapat tersebar
atau dalam berbagai ukuran bentuk kelompok, termasuk masa irreguler besar
yang disebut globi.
6
Micobakterium ini termasuk kuman aerob. Kuman Mycobacterium leprae
menular kepada manusia melalui kontak langsung dengan penderita dan
melalui pernapasan, kemudian kuman membelah dalam jangka 14-21 hari
dengan masa inkubasi rata-rata 2-5 tahun. Setelah lima tahun, tanda-tanda
seseorang menderita penyakit kusta mulai muncul antara lain, kulit mengalami
bercak putih, merah, rasa kesemutan bagian anggota tubuh hingga tidak
berfungsi sebagaimana mestinya.
Di Indonesia pada tahun 2009, tercatat 17.260 kasus baru kusta (rate:
7,49/100.000) dan jumlah kasus terdaftar sebanyak 21.026 orang dengan angka
prevalensi: 0,91 per 10.000 penduduk. Sedangkan tahun 2010, jumlah kasus
baru tercatat 10.706 (Angka Penemuan kasus baru/CDR: 4.6/100.000) dan
jumlah kasus terdaftar sebanyak 20.329 orang dengan prevalensi: 0.86 per
10.000 penduduk.
Kusta adalah penyakit menular, menahun yang disebabkan oleh kuman kusta
(mycobacterium leprae) yang menyerang kulit, saraf tepi, dan jaringan tubuh
lainnya. Bila tidak terdiagnosis dan diobati secara dini, akan menimbulkan
kecacatan menetap. Jika sudah terjadi cacat, umumnya akan menyebabkan
penderitanya dijauhi, dikucilkan, diabaikan oleh keluarga dan sulit
mendapatkan pekerjaan. Mereka menjadi sangat tergantung secara fisik dan
finansial kepada orang lain yang pada akhirnya berujung pada akhirnya
berujung pada kemiskinan. Tingkat kecacatan kusta: tingkat 0, normal. Tingkat
I, mati rasa pada telapak tangan dan atau telapak kaki. Tingkat II, kelopak mata
tidak menutup, jari tangan maupun jari kaki memendek, bengkok dan luka.
Bagi orang yang terdampak kusta, biasanya partisipasi sosial mereka lebih
menyedihkan daripada dampak kusta pada diri mereka sendiri, dimana hal ini
akan mengganggu kualitas hidup mereka. Individu dengan kondisi yang
terstigmatisasi dapat mengalami masalah dalam: pernikahan, pekerjaan,
hubungan sosial dalam masyarakat dan pertemanan serta pendidikan. Stigma
bertanggungjawab pada semua dampak negatif yang merupakan hasil dari
7
kurangnya pengetahuan masyarakat dan masih terdapatnya konsep yang salah
tentang kusta.
Stigma sangat mempengaruhi banyak aspek dari orang yang terdampak kusta,
termasuk mobilitas, hubungan interpersonal, pernikahan, pekerjaan,
pemanfaatan waktu luang dan kehadiran pada pertemuan keagamaan dan
sosial. Dampak stigma pada program kesehatan sangat merugikan, dimana
pasien yang mengalami stigma mungkin akan menyembunyikan atau
menyangkal penyakitnya yang berakibat pada keterlambatan pengobatan. Pada
akhirnya kondisi ini akan menyebabkan penyakit semakin berat dan
meningkatkan terjadinya kecacatan dan komplikasi lainnya serta meningkatnya
penyebaran penyakit dalam masyarakat.
Secara statistik, hanya 5 persen yang tertular. Sebagai ilustrasi, dari 100 orang
terpapar, 95 orang di antaranya tetap sehat, 3 orang tertular dan sembuh sendiri
tanpa obat sedangkan 2 orang tertular dan menjadi sakit yang memerlukan
pengobatan. Karena itu, menemukan pasien kusta lebih dini dan mengobatinya
merupakan kunci memutus mata rantai penularan.
Permasalahan yang sedang dihadapi dalam upaya pemberantasan penyakit
kusta adalah rendahnya cakupan penemuan (Case finding) penderita kusta. Hal
ini disebabkan karena :
1. Keterbatasan SDM dan kemampuan petugas dalam mendeteksi dini
penyakit kusta masih rendah
2. Sebagian besar (85%) penderita kusta adalah masyarakat miskin yang
memiliki keterbatasan dalam menjangkau fasilitas pelayanan kesehatan baik
dari segi ekomomi, pengetahuan, transportasi dan pola pikir ekonomi.
3. Bertambahnya jumlah penduduk membawa konsekuensi meningkatnya
kepadatan penduduk, polusi udara sehingga memperpendek jangkauan
penularan kepada lingkungan sekitar.
4. Stigma terhadap kusta yang berlebihan baik oleh masyarakat maupun oleh
tenaga kesehatan sendiri.
8
Umumnya kecacatan ini terjadi bila pasien tidak dideteksi dan diobati secara
dini. Kondisi kecacatan yang berat dan ketakutan yang berlebihan pada kusta
menyebabkan munculnya stigma dan diskriminasi. Hal tersebut disebabkan
karena kurangnya pengertian dan pengetahuan tentang kusta di masyarakat
sehingga berdampak pada banyaknya anggapan yang keliru tentang penyakit
ini yang akhirnya merugikan pasien dan masyarakat, diantaranya adalah:
1. Tidak berobat dini dan datang sudah dalam keadaan cacat karena selama ini
tidak tahu kalau sedang menderita kusta.
2. Sudah mengetahui dirinya terkena penyakit kusta tetapi tidak mau berobat
karena malu.
3. Sudah tahu dirinya menderita kusta, dan sudah berobat ke Puskesmas,
namun merasa tidak ada kemajuan hingga akhirnya putus obat (default).
4. Telah melakukan pengobatan secara teratur hingga selesai, namun justru
penyakitnya bertambah parah karena sering timbul reaksi kusta.
5. Pengobatan yang lama dan teratur membuat jenuh, disamping warna kulit
menjadi lebih gelap.
6. Pengobatan lama dan teratur dianggap tidak ada hasilnya karena tidak
menyembuhkan cacat yang sudah ada.
Penanggulangan penyakit kusta telah banyak didengar di mana-mana.
Maksudnya mengembalikan penderita kusta menjadi manusia yang berguna,
mandiri, produktif, dan percaya diri. Metode penanggulangan ini terdiri dari
metode pemberantasan dan pengobatan, rehabilitasi. Terdiri dari rehabilitasi
medis, sosial, karya, dan pemasyarakatan yang merupakan tujuan akhir dari
rehabilitasi. Di mana penderita dan masyarakat membaur sehingga tidak ada
kelompok sendiri. Ketiga metode itu merupakan suatu sistem saling berkaitan
dan tidak dapat dipisahkan.
Melalui program Leprosy Elimination Campaign (LEC) yang gencar
dilaksanakan pada era 90-an, Indonesia telah mencapai eliminasi kusta pada
pertengahan tahun 2000 secara nasional, dimana angka prevalensi sudah berada
9
dibawah 1 kasus per 10,000 penduduk. Akan tetapi sampai saat ini penemuan
orang yang terdampak kusta baru sekitar 17.000 – 18.000 kasus pertahunnya.
Program pemberantasan penyakit (P2) kusta di Dinkes DIY dari tahun 2013
sudah banyak melakukan kegiatan. Seperti penemuan penderita kusta antara
lain penemuan penderita kusta secara aktif maupun pasif. Pembinaan dan
pengobatan penderita kusta selama 6-12 bulan. Pemeriksaan laboratorim
(skinmaer). Pemeriksaan rutin dalam pencegahan reaksi kusta dan obat kusta.
Konfirmasi diagnosis kusta oleh Wakil Supervisor (Wasor) Kusta. Monitoring
pencegahan cacat prevention of disability (POD), pencegahan cacat, dan
pemeriksaan fisik secara rutin. Survei kontak keluarga, Penyuluhan terhadap
masyarakat dan peran serta masyarakat tentang penyakit kusta dengan Leprosy
Elimination Champaign (LEC).
Pemeriksaan rutin secara pasif ke penderita kusta yang telah menyelesaikan
pengobatan selama 2-5 tahun. Pelatihan dokter dan pengelola kusta puskesmas.
Pelatihan Wasor kusta kabupaten. Pencatatan, pelaporan, dan manajemen
logistik. Leprosy Elimination Campaign (LEC) di DIY mempunyai tujuan:
1. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pemberantasan penyakit kusta.
2. Meningkatkan kemampuan petugas kesehatan di puskesmas dan bidan desa
dalam pemberantasan penyakit kusta.
3. Menemukan dan mengobati kasus kusta .
Sasaran Desa/Kelurahan atau unit yang lebih kecil,. Kegiatan yang turut
dilaksanakan antar lain Memberikan pengetahuan tentang penyakit kusta dan
mengharapkan bantuan Kades, Tokoh Masyarakat dalam pelaksanaan LEC
serta Kunjungan ke Desa untuk melukukan pemeriksaan semua masyarakat
yang mempunyai kelainan kulit. Bila ada tersangka penderita dicatat dan bila
ditentukan penderita baru dibuatkan kartu penderita dan diberi dosis pertama
MDT. Untuk selanjutnya meneruskan pengobatan di Puskesmas.
10
Badan Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan regimen Multy Drug
Therapy (MDT) sebagai pengobatan kusta. Sejumlah negara telah
melaksanakan pengobatan MDT dan mencapai hasil memuaskan. Obat MDT
diberikan secara gratis di Puskesmas. Dosis pertama harus diminum di depan
petugas Puskesmas dan untuk selanjutnya obat diminum sesuai petunjuk dalam
blister.
Dalam Global Strategy for Further Reducing the Disease Burden Due To
Leprosy 2011-2015 yang dicanangkan WHO, disebutkan target global yang
hendak dicapai tahun 2015 yaitu penurunan 35% angka cacat yang kelihatan
(tingkat II) pada tahun 2015 dari data tahun 2010. Hal ini relevan untuk dicapai
dengan melihat besarnya beban akibat kecacatan kusta.
Hingga saat ini tak ada vaksinasi untuk penyakit kusta. Hasil penelitian, kuman
kusta yang masih utuh, bentuknya lebih besar kemungkinan menimbulkan
penularan dibandingkan yang tidak utuh. Faktor pengobatan sangat penting
untuk menghancurkan kusta, sehingga penularan dapat dicegah. Pengobatan ke
penderita kusta, merupakan salah satu cara pemutusan mata rantai penularan.
Saat ini telah tersedia obat yang dapat menyembuhkan kusta. Sekurang-
kurangnya 80 persen dari semua orang, tidak mungkin terkena kusta. Enam
dari tujuh kusta tidaklah menular ke orang lain. Kasus-kasus menular tidak
akan menular, setelah diobati enam bulan atau lebih secara teratur. Diagnosa
dan pengobatan dini dapat mencegah sebagain besar cacat fisik, jadi dapat
disimpulkan bahwa penyebaran kusta pada masa yang akan datangakan
semakin menurun mengingat banyaknya usaha yang telah dilakukan oleh
pemerintah untuk menekan penyebaran dan penderita kusta.
D. Pengobatan Penyakit Kusta
Melalui pengobatan, penderita diberikan obat-obat yang membunuh kuman
kusta. Dengan demikian, pengobatan akan memutus mata rantai penularan,
menyembuhkan penyakit penderita, mencegah terjadinya cacat atau mencegah
bertambahnya cacat yang sudah ada sebelum pengobatan.
11
Regimen MDT yang dianjurkan oleh WHO adalah:
1. Regimen untuk penderita PB
Lama pengobatan 6 blister diminum dalam batas waktu 9 bulan
a. Dosis dewasa
Sekali sebulan diminum di depan petugas
2 kapsul Rifampisin 300 mg (jumlah 600 mg)
1 tablet DDS (Dapsone) 100 mg
Diminum di rumah selama 27 hari
1 tablet DDS 100 mg
b. Dosis anak 10-14 tahun
Sekali sebulan, Rifampicin 450 mg dan DDS 50 mg
Setiap hari dirumah DDS 50 mg
2. Regimen untuk penderita MB
Lama pengobatan 12 blister diminum dalam batas waktu 18 bulan
a. Dosis dewasa
Sekali sebulan diminum di depan petugas
2 kapsul Rifampicin 300 mg (jumlah 600 mg)
1 tablet DDS 100 mg
3 kapsul Lamprene (Clofazamine) 100 mg (jumlah 300 mg)
Diminum di rumah selama 27 hari
1 tablet DDS 100 mg
1 kapsul Lamprene 50 mg
b. Dosis anak 10-14 tahun
Sekali sebulan, Rimfapicin 450 mg, Lamprene
150 mg dan DDS 50 mg.
Setiap hari di rumah, Lamprene 50 mg dan DDS 50 mg
E. Efek Samping Obat
1. Rimfapicin: kencing merah selama 1-2 hari; hal ini tidak berbahaya.
2. Lamprene: kulit menjadi hitam, tetapi hanya selama minum Lamprene.
Sesudah selesai pengobatan, kulit kembali semula dengan perlahan-lahan.
12
3. DDS: bila agak pusing sesudah minum DDS sebaiknya diminum pada
malam hari, sebelum tidur; ada kemungkinan kecil obat tidak cocok
(alergi). Sangat penting pasien lapor kembali ke puskesmas bila terjadi
pada dua bulan yang pertama: gatal hebat, kulit merah sampai terkupas dan
demam.
Catatan:
1. Pengobatan MDT, tidak boleh satu jenis obat saja.
2. Penderita dapat diberikan obat lebih dari sebulan, jika rumah penderita
jauh, berpindah-pindah atau keluar daerah untuk kerja sementara.
3. Obat tidak berbahaya bagi janin dan tidak mengganggu produksi ASI.
4. Penderita drop out (DO), jika bolos pengobatan lebih dari 3 bulan (untuk
PB) atau 6 bulan (untuk MB). Penderita harus mulai pengobatannya lagi.
13
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Penyakit kusta adalah penyakit kronik yang di sebabkan oleh Infeksi
Mycobacterium Leprae yang pertama menyerang saraf tepi, selanjutnya dapat
menyerang kulit, mukosa mulut, saluran napas bagian atas, sistem retikulo
endothelial, mata, otot, tulang, dan testis kecuali ke susunan saraf pusat.
(Widoyono, 2011).
Seseorang yang merasakan dirinya menderita penyakit kusta akan mengalami
trauma psikis, sebagai akibat dari trauma psikis ini, si penderita akan bereaksi
dengan segera mencari pertolongan pengobatan, mengulur-ulur waktu karena
ketidaktahuan atau malu bahwa ia dan keluarganya menderita penyakit kusta,
menyembunyikan (mengasingkan) diri dari masyarakat sekelilingnya, termasuk
keluarganya, oleh karena berbagai masalah, pada akhirnya si penderita bersifat
masa bodoh terhadap penyakitnya.
Melalui program Leprosy Elimination Campaign (LEC) yang gencar
dilaksanakan pada era 90-an, Indonesia telah mencapai eliminasi kusta pada
pertengahan tahun 2000 secara nasional, dimana angka prevalensi sudah berada
dibawah 1 kasus per 10,000 penduduk. Akan tetapi sampai saat ini penemuan
orang yang terdampak kusta baru sekitar 17.000 – 18.000 kasus pertahunnya.
Program pemberantasan penyakit (P2) kusta di Dinkes DIY dari tahun 2013
sudah banyak melakukan kegiatan. Seperti penemuan penderita kusta antara
lain penemuan penderita kusta secara aktif maupun pasif. Pembinaan dan
pengobatan penderita kusta selama 6-12 bulan. Pemeriksaan laboratorim
(skinmaer). Pemeriksaan rutin dalam pencegahan reaksi kusta dan obat kusta.
Konfirmasi diagnosis kusta oleh Wakil Supervisor (Wasor) Kusta. Monitoring
pencegahan cacat prevention of disability (POD), pencegahan cacat, dan
pemeriksaan fisik secara rutin. Survei kontak keluarga, Penyuluhan terhadap
14
masyarakat dan peran serta masyarakat tentang penyakit kusta dengan Leprosy
Elimination Champaign (LEC).
Pemeriksaan rutin secara pasif ke penderita kusta yang telah menyelesaikan
pengobatan selama 2-5 tahun. Pelatihan dokter dan pengelola kusta puskesmas.
Pelatihan Wasor kusta kabupaten.
Sasaran Desa/Kelurahan atau unit yang lebih kecil,. Kegiatan yang turut
dilaksanakan antar lain Memberikan pengetahuan tentang penyakit kusta dan
mengharapkan bantuan Kades, Tokoh Masyarakat dalam pelaksanaan LEC
serta Kunjungan ke Desa untuk melukukan pemeriksaan semua masyarakat
yang mempunyai kelainan kulit. Bila ada tersangka penderita dicatat dan bila
ditentukan penderita baru dibuatkan kartu penderita dan diberi dosis pertama
MDT. Untuk selanjutnya meneruskan pengobatan di Puskesmas.
B. Saran
1. Mahasiswa/i :
Diharapkan agar mahasiswa/i dapat :
a. Mengetahui pengertian penyakit kusta
b. Mengetahui dampak penyakit kusta
c. Mengetahui tren dan isu penyakit kusta di Indonesia
d. Mengetahui pengobatan penyakit kusta di Indonesia
e. Mengetahui efek pengobatan penyakit kusta si Indonesia
2. Institusi
Diharapkan agar perpustakaan menyediakan buku-buku reverensi lebih
banyak lagi, sehingga memudahkan mahasiswa/i dalam menyelesaikan
tugas.
15