bab i kusta

23
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit kusta merupakan salah satu penyakit menular, penyakit kusta pada umumnya terdapat di negara-negara berkembang. Faktor limgkungan mempengaruhi terjadinya penyakit kusta, dimana lingkungan yang kurang baik akan menimbulkan bakteri Mycrobaterium leprae yang menyebabkan penyakit kusta (Umar, 2011). Selain itu penyakit kusta merupakan salah satu manifestasi kemiskinan karena kenyataannya sebagian penderita kusta berasal dari golongan ekonomi yang lemah. Penyakit kusta bila tidak ditangani dengan cermat dapat mengakibatkan kecacatan (Widoyono, 2011). Secara umum, angka kemiskinan Indonesia sejak 1998 2011 terus menurun. Penurunan tersebut tidak lepas dari upaya keras pemerintah untuk menanggulangi kemiskinan melalui berbagai program pro-rakyat. Kendati belum bisa dikatakan maksimal, akan tetapi tren penurunan menunjukkan bahwa program-program penanggulangan kemiskinan yang diluncurkan pemerintah telah memberikan 1

Upload: rimayunike

Post on 31-Jan-2016

229 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

BAB I KUSTA

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I KUSTA

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit kusta merupakan salah satu penyakit menular, penyakit kusta

pada umumnya terdapat di negara-negara berkembang. Faktor limgkungan

mempengaruhi terjadinya penyakit kusta, dimana lingkungan yang kurang

baik akan menimbulkan bakteri Mycrobaterium leprae yang menyebabkan

penyakit kusta (Umar, 2011). Selain itu penyakit kusta merupakan salah

satu manifestasi kemiskinan karena kenyataannya sebagian penderita kusta

berasal dari golongan ekonomi yang lemah. Penyakit kusta bila tidak

ditangani dengan cermat dapat mengakibatkan kecacatan (Widoyono,

2011).

Secara umum, angka kemiskinan Indonesia sejak 1998 – 2011 terus

menurun. Penurunan tersebut tidak lepas dari upaya keras pemerintah

untuk menanggulangi kemiskinan melalui berbagai program pro-rakyat.

Kendati belum bisa dikatakan maksimal, akan tetapi tren penurunan

menunjukkan bahwa program-program penanggulangan kemiskinan yang

diluncurkan pemerintah telah memberikan efek positif bagi peningkatan

kemampuan masyarakat dalam mengembangkan hak-hak dasar mereka.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk miskin hingga

Maret 2013 mengalami penurunan sebesar 0,52 juta orang dibanding

September 2012. Penurunan jumlah penduduk miskin ini terjadi karena

masyarakat Indonesia sudah mengalami peningkatan pendapatan dan

sangat mempengaruhi kesehatan di Indonesia.

Menurut dari World Health Organization 2011 diperkirakan jumlah

penderita kusta di dunia pada tahun 2011 sebesar 219.075 orang.

Indonesia peringkat ketiga di dunia setelah India dan Brasil. Menurut data

1

Page 2: BAB I KUSTA

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2011), penyakit kusta di

Indonesia tahun 2011 sebesar 19.371 penderita yang terbagi atas penderita

tipe PB ( Pause basiler) 3.278 penderita dan tipe MB (Multi basiler) 13.734

penderita dengan CDR (Case detection rate) kusta 7,22 per 100.000

penduduk. Jawa Timur dengan jumlah penderita kusta paling tinggi pada

tahun 2012 dan dengan jumlah penderita 5.284 penderita, Provinsi Jawa

Tengah mnduduki peringkat kedua (2.233 penderita) dengan (CDR 8,03

per 100.000 penduduk). Penyakit kusta dari tahun 2010 -2011 mengalami

peningkatan sebesar 12,18 %. (Kemenkes, 2011).

Pada tahun 2011, Dinas Kesehatan Jawa Tengah melaporkan terdapat

2.233 penderita kusta dengan Newly Case Detection Rate (NCDR)

sebesar 6,87 per 100.000 penduduk. Keberhasilan dalam mendeteksi

kasus baru dapat diukur dari tinggi rendahnya proporsi cacat tingkat II,

sedangkan untuk mengetahui tingkat penularan di masyarakat digunakan

indikator proporsi anak (0-14 tahun) di antara penderita baru 5% (Depkes,

2007). Proporsi cacat tingkat II pada tahun 2011 sebesar 10,14% (Depkes,

2011).

Penyakit kusta di Kabupaten Pemalang merupakan penyakit yang lama,

data jumlah penderita tahun 2010 terdapat 118 penderita (tipe PB 2 penderita

dan kusta tipe MB 116 penderita) dengan nilai CDR 8,61 per/100.000

penduduk (Dinkes Pemalang, 2010). Pada tahun 2011 terdapat 115

penderita yang terdiri atas penderita tipe PB atau kusta tipe kering 5

penderita dan kusta tipe MB atau kusta tipe kering 110 penderita dengan nilai

CDR 8,07 per 100.000 penduduk (Dinkes Pemalang, 2011), dari tahun

2010-2011 mengalami penurunan sebesar 2,54% dilihat dari jumlah

penderita penyakit kusta. Tahun 2012 terdapat 245 penderita yang terdiri atas

pederita tipe PB dan kusta tipe MB CDR 17,21 per 100.000 penduduk. Dari

tahun 2011-2012 penderita kusta mengalami peningkatan sebesar 8,44%

dilihat dari jumlah penderita penyakit kusta pertahun (Dinkes Pemalang,

2012).

2

Page 3: BAB I KUSTA

Pada tahun 2011-2012 penderita penyakit kusta di Pemalang meningkat

sebesar 8,44% penderita terbanyak di Puskesmas Kabunan yaitu pada

tahun 2011-2012 mengalami peningkatan sebesar 82,85% pada tahun 2011

ada 6 penderita dan pada tahun 2012 ada 35 penderita. Pada penelitian yang

dilakukan Faturahman (2010), bahwa suhu rumah, dinding, lantai,

ventilasi, pencahayaan, kelembapan, merupakan faktor risiko dalam

kejadian penyakit kusta di Kabupaten Cilacap. Penyakit kusta dapat

menyerang semua orang, pria lebih banyak dibandingkan dengan wanita

dengan perbandingan 2:1, penyakit kusta dapat mengenai semua umur,

namun dengan demikian jarang dijumpai pada umur yang sangat muda.

Berdasarkan permasalahan tersebut maka kelompok tertarik untuk membuat

makalah yang berjudul “Tren dan Isu Penangan Kusta di Puskesmas”.

B. Tujuan Penulisan

1. Tujuan Umum

Tujuan umum dari makalah ini agar mahasiswa/i mampu mengetahui tren

dan isu penaganganan kusta di Puskesmas.

2. Tujuan Khusus

Tujuan khusus dari makalah ini, yaitu mahasiswa/i mampu :

a. Mengetahui pengertian penyakit kusta

b. Mengetahui dampak penyakit kusta

c. Mengetahui tren dan isu penyakit kusta di Indonesia

d. Mengetahui pengobatan penyakit kusta di Indonesia

e. Mengetahui efek pengobatan penyakit kusta si Indonesia

C. Metode Penulisan

Metode yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah dengan

melakukan studi pustaka. Kami juga mencari bahan-bahan tentang kejadian

usta di Indonesia melalui website resmi Kemenkes dan Depkes.

3

Page 4: BAB I KUSTA

D. Ruang Lingkup

Ruang lingkup dari permasalahan dalam makalah ini ialah segala sesuatu yang

berkenaan dengan trend an isu kusta di Puskesmas.

E. Sistematika Penulisan

BAB I PENDAHULUAN : terdiri dari latar belakang, tujuan penulisan,

metode penulisan, ruang lingkup, dan sistematika penulisan. BAB II

TINJAUAN PUSTAKA : terdiri dari pengertian, dampak penyakit kusta,

trend an isu penyakit kusta di Indonesia, pengobatan penyakit kusta, efek

samping pengobatan kusta. BAB III PENUTUP : terdiri dari kesimpulan dan

saran.

4

Page 5: BAB I KUSTA

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian

Penyakit kusta adalah penyakit kronik yang di sebabkan oleh Infeksi

Mycobacterium Leprae yang pertama menyerang saraf tepi, selanjutnya dapat

menyerang kulit, mukosa mulut, saluran napas bagian atas, sistem retikulo

endothelial, mata, otot, tulang, dan testis kecuali ke susunan saraf pusat.

(Widoyono, 2011).

B. Dampak Penyakit Kusta

Seseorang yang merasakan dirinya menderita penyakit kusta akan mengalami

trauma psikis, sebagai akibat dari trauma psikis ini, si penderita akan bereaksi

sebagai berikut:

1. Dengan segera mencari pertolongan pengobatan

2. Mengulur-ulur  waktu karena ketidaktahuan atau malu bahwa ia dan

keluarganya menderita penyakit kusta.

3. Menyembunyikan (mengasingkan) diri dari masyarakat sekelilingnya,

termasuk keluarganya.

4. Oleh karena berbagai masalah, pada akhirnya si penderita bersifat masa

bodoh terhadap penyakitnya.

Sebagai akibat dari hal-hal tersebut diatas, maka timbullah berbagai masalah

baru antara lain:

1. Masalah Terhadap Diri Penderita

Pada umumnya penderita kusta merasa rendah diri,merasa tekan batin,

takut terhadap penyakitnya dan terjadinya kecacatan, takut menghadapi

keluarga dan masyarakat karena sikap penerimaan mereka yang kurang

wajar.

2. Masalah Terhadap Keluarga.

Keluarga menjadi panik, berubah mencari pertolongan termasuk dukun

dan pengobatan tradisional,keluarga takut di asingkan oleh masyarakat di

sekitarnya.

5

Page 6: BAB I KUSTA

3. Masalah Terhadap Masyarakat.

Pada umumnya masyarakat mengenal penyakit kusta dari tradisi

kebudayaan dan agama sehingga pendapat tentang kusta merupakan

penyakit yang menular,tidak dapat di obati,namun umumnya kendala

yang di hadapi adalah pasien mentaati resep dokter, sehingga selain

mereka tidak menjadi lebih baik,mereka pun akan resisten terhadap obat

yang telah di berikan.

C. Tren dan Isu Kusta di Indonesia

Morbus Hansen atau lepra atau kusta merupakan penyakit tertua sekaligus

penyakit menular yang sangat menakutkan. Penyakit ini ditemukan oleh GH

Armauer Hansen (Norwegia) pada tahun 1873, dengan menemukan

Mycobacterium leprae sebagai kuman penyebab. Sampai datangnya AIDS,

leprae adalah penyakit yang paling menakutkan daripada penyakit menular

lainnya. Penyakit ini menyesatkan hidup berjuta-juta orang, terutama di

Amerika Selatan, Afrika, dan Asia.

Penyakit ini di Indonesia lebih dikenal dengan penyakit Kusta.Kusta adalah

merupakan penyakit tertua yang diketahui manusia dan sudah dikenal hampir

2000 tahun SM. Hal ini diketahui dari catatan tulisan peninggalan sejarah dari

Mesir, Tiongkok dan Mesopotamia, namun tulisan yang memberikan gambaran

kusta yang sebenarnya dicatat di India pada tahun 600 SM.

Penyebab penyakit kusta adalah Mycobacterium leprae yang berbentuk

pleomorf lurus, batang panjang, sisi paralel dengan kedua ujung bulat, ukuran

0,3-0,5 x 1-8 mikron. Basil ini berbentuk batang gram positif dan bersifat tahan

asam, tidak mudah diwarnai namun jika diwarnai akan tahan terhadap

dekolorisasi oleh asam atau alkohol sehingga oleh karena itu dinamakan

sebagai basil tahan asam, tidak bergerak dan tidak berspora, dan dapat tersebar

atau dalam berbagai ukuran bentuk kelompok, termasuk masa irreguler besar

yang disebut globi.

6

Page 7: BAB I KUSTA

Micobakterium ini termasuk kuman aerob. Kuman Mycobacterium leprae

menular kepada manusia melalui kontak langsung dengan penderita dan

melalui pernapasan, kemudian kuman membelah dalam jangka 14-21 hari

dengan masa inkubasi rata-rata 2-5 tahun. Setelah lima tahun, tanda-tanda

seseorang menderita penyakit kusta mulai muncul antara lain, kulit mengalami

bercak putih, merah, rasa kesemutan bagian anggota tubuh hingga tidak

berfungsi sebagaimana mestinya.

Di Indonesia pada tahun 2009, tercatat 17.260 kasus baru kusta (rate:

7,49/100.000) dan jumlah kasus terdaftar sebanyak 21.026 orang dengan angka

prevalensi: 0,91 per 10.000 penduduk. Sedangkan tahun 2010, jumlah kasus

baru tercatat 10.706 (Angka Penemuan kasus baru/CDR: 4.6/100.000) dan

jumlah kasus terdaftar sebanyak 20.329 orang dengan prevalensi: 0.86 per

10.000 penduduk.

Kusta adalah penyakit menular, menahun yang disebabkan oleh kuman kusta

(mycobacterium leprae) yang menyerang kulit, saraf tepi, dan jaringan tubuh

lainnya. Bila tidak terdiagnosis dan diobati secara dini, akan menimbulkan

kecacatan menetap. Jika sudah terjadi cacat, umumnya akan menyebabkan

penderitanya dijauhi, dikucilkan, diabaikan oleh keluarga dan sulit

mendapatkan pekerjaan. Mereka menjadi sangat tergantung secara fisik dan

finansial kepada orang lain yang pada akhirnya berujung pada akhirnya

berujung pada kemiskinan. Tingkat kecacatan kusta: tingkat 0, normal. Tingkat

I, mati rasa pada telapak tangan dan atau telapak kaki. Tingkat II, kelopak mata

tidak menutup, jari tangan maupun jari kaki memendek, bengkok dan luka.

Bagi orang yang terdampak kusta, biasanya partisipasi sosial mereka lebih

menyedihkan daripada dampak kusta pada diri mereka sendiri, dimana hal ini

akan mengganggu kualitas hidup mereka. Individu dengan kondisi yang

terstigmatisasi dapat mengalami masalah dalam: pernikahan, pekerjaan,

hubungan sosial dalam masyarakat dan pertemanan serta pendidikan. Stigma

bertanggungjawab pada semua dampak negatif yang merupakan hasil dari

7

Page 8: BAB I KUSTA

kurangnya pengetahuan masyarakat dan masih terdapatnya konsep yang salah

tentang kusta.

Stigma sangat mempengaruhi banyak aspek dari orang yang terdampak kusta,

termasuk mobilitas, hubungan interpersonal, pernikahan, pekerjaan,

pemanfaatan waktu luang dan kehadiran pada pertemuan keagamaan dan

sosial. Dampak stigma pada program kesehatan sangat merugikan, dimana

pasien yang mengalami stigma mungkin akan menyembunyikan atau

menyangkal penyakitnya yang berakibat pada keterlambatan pengobatan. Pada

akhirnya kondisi ini akan menyebabkan penyakit semakin berat dan

meningkatkan terjadinya kecacatan dan komplikasi lainnya serta meningkatnya

penyebaran penyakit dalam masyarakat.

Secara statistik, hanya 5 persen yang tertular. Sebagai ilustrasi, dari 100 orang

terpapar, 95 orang di antaranya tetap sehat, 3 orang tertular dan sembuh sendiri

tanpa obat sedangkan 2 orang tertular dan menjadi sakit yang memerlukan

pengobatan. Karena itu, menemukan pasien kusta lebih dini dan mengobatinya

merupakan kunci memutus mata rantai penularan.

Permasalahan yang sedang dihadapi dalam upaya pemberantasan penyakit

kusta adalah rendahnya cakupan penemuan (Case finding) penderita kusta. Hal

ini disebabkan karena :

1. Keterbatasan SDM dan kemampuan petugas dalam mendeteksi dini

penyakit kusta masih rendah

2. Sebagian besar (85%) penderita kusta adalah masyarakat miskin yang

memiliki keterbatasan dalam menjangkau fasilitas pelayanan kesehatan baik

dari segi ekomomi, pengetahuan, transportasi dan pola pikir ekonomi.

3. Bertambahnya jumlah penduduk membawa konsekuensi meningkatnya

kepadatan penduduk, polusi udara sehingga memperpendek jangkauan

penularan kepada lingkungan sekitar.

4. Stigma terhadap kusta yang berlebihan baik oleh masyarakat maupun oleh

tenaga kesehatan sendiri.

8

Page 9: BAB I KUSTA

Umumnya kecacatan ini terjadi bila pasien tidak dideteksi dan diobati secara

dini. Kondisi kecacatan yang berat dan ketakutan yang berlebihan pada kusta

menyebabkan munculnya stigma dan diskriminasi. Hal tersebut disebabkan

karena kurangnya pengertian dan pengetahuan tentang kusta di masyarakat

sehingga berdampak pada banyaknya anggapan yang keliru tentang penyakit

ini yang akhirnya merugikan pasien dan masyarakat, diantaranya adalah:

1. Tidak berobat dini dan datang sudah dalam keadaan cacat karena selama ini

tidak tahu kalau sedang menderita kusta.

2. Sudah mengetahui dirinya terkena penyakit kusta tetapi tidak mau berobat

karena malu.

3. Sudah tahu dirinya menderita kusta, dan sudah berobat ke Puskesmas,

namun merasa tidak ada kemajuan hingga akhirnya putus obat (default).

4. Telah melakukan pengobatan secara teratur hingga selesai, namun justru

penyakitnya bertambah parah karena sering timbul reaksi kusta.

5. Pengobatan yang lama dan teratur membuat jenuh, disamping warna kulit

menjadi lebih gelap.

6. Pengobatan lama dan teratur dianggap tidak ada hasilnya karena tidak

menyembuhkan cacat yang sudah ada.

Penanggulangan penyakit kusta telah banyak didengar di mana-mana.

Maksudnya mengembalikan penderita kusta menjadi manusia yang berguna,

mandiri, produktif, dan percaya diri. Metode penanggulangan ini terdiri dari

metode pemberantasan dan pengobatan, rehabilitasi. Terdiri dari rehabilitasi

medis, sosial, karya, dan pemasyarakatan yang merupakan tujuan akhir dari

rehabilitasi. Di mana penderita dan masyarakat membaur sehingga tidak ada

kelompok sendiri. Ketiga metode itu merupakan suatu sistem saling berkaitan

dan tidak dapat dipisahkan.

Melalui program Leprosy Elimination Campaign (LEC) yang gencar

dilaksanakan pada era 90-an, Indonesia telah mencapai eliminasi kusta pada

pertengahan tahun 2000 secara nasional, dimana angka prevalensi sudah berada

9

Page 10: BAB I KUSTA

dibawah 1 kasus per 10,000 penduduk. Akan tetapi sampai saat ini penemuan

orang yang terdampak kusta baru sekitar 17.000 – 18.000 kasus pertahunnya.

Program pemberantasan penyakit (P2) kusta di Dinkes DIY dari tahun 2013

sudah banyak melakukan kegiatan. Seperti penemuan penderita kusta antara

lain penemuan penderita kusta secara aktif maupun pasif. Pembinaan dan

pengobatan penderita kusta selama 6-12 bulan. Pemeriksaan laboratorim

(skinmaer). Pemeriksaan rutin dalam pencegahan reaksi kusta dan obat kusta.

Konfirmasi diagnosis kusta oleh Wakil Supervisor (Wasor) Kusta. Monitoring

pencegahan cacat prevention of disability (POD), pencegahan cacat, dan

pemeriksaan fisik secara rutin. Survei kontak keluarga, Penyuluhan terhadap

masyarakat dan peran serta masyarakat tentang penyakit kusta dengan Leprosy

Elimination Champaign (LEC).

Pemeriksaan rutin secara pasif ke penderita kusta yang telah menyelesaikan

pengobatan selama 2-5 tahun. Pelatihan dokter dan pengelola kusta puskesmas.

Pelatihan Wasor kusta kabupaten. Pencatatan, pelaporan, dan manajemen

logistik. Leprosy Elimination Campaign (LEC) di DIY mempunyai tujuan:

1. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pemberantasan penyakit kusta.

2. Meningkatkan kemampuan petugas kesehatan di puskesmas dan bidan desa

dalam pemberantasan penyakit kusta.

3. Menemukan dan mengobati kasus kusta .

Sasaran Desa/Kelurahan atau unit yang lebih kecil,. Kegiatan yang turut

dilaksanakan antar lain Memberikan pengetahuan tentang penyakit kusta dan

mengharapkan bantuan Kades, Tokoh Masyarakat dalam pelaksanaan LEC

serta Kunjungan ke Desa untuk melukukan pemeriksaan semua masyarakat

yang mempunyai kelainan kulit. Bila ada tersangka penderita dicatat dan bila

ditentukan penderita baru dibuatkan kartu penderita dan diberi dosis pertama

MDT. Untuk selanjutnya meneruskan pengobatan di Puskesmas.

10

Page 11: BAB I KUSTA

Badan Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan regimen Multy Drug

Therapy (MDT) sebagai pengobatan kusta. Sejumlah negara telah

melaksanakan pengobatan MDT dan mencapai hasil memuaskan. Obat MDT

diberikan secara gratis di Puskesmas. Dosis pertama harus diminum di depan

petugas Puskesmas dan untuk selanjutnya obat diminum sesuai petunjuk dalam

blister.

Dalam Global Strategy for Further Reducing the Disease Burden Due To

Leprosy 2011-2015 yang dicanangkan WHO, disebutkan target global yang

hendak dicapai tahun 2015 yaitu penurunan 35% angka cacat yang kelihatan

(tingkat II) pada tahun 2015 dari data tahun 2010. Hal ini relevan untuk dicapai

dengan melihat besarnya beban akibat kecacatan kusta.

Hingga saat ini tak ada vaksinasi untuk penyakit kusta. Hasil penelitian, kuman

kusta yang masih utuh, bentuknya lebih besar kemungkinan menimbulkan

penularan dibandingkan yang tidak utuh. Faktor pengobatan sangat penting

untuk menghancurkan kusta, sehingga penularan dapat dicegah. Pengobatan ke

penderita kusta, merupakan salah satu cara pemutusan mata rantai penularan.

Saat ini telah tersedia obat yang dapat menyembuhkan kusta. Sekurang-

kurangnya 80 persen dari semua orang, tidak mungkin terkena kusta. Enam

dari tujuh kusta tidaklah menular ke orang lain. Kasus-kasus menular tidak

akan menular, setelah diobati enam bulan atau lebih secara teratur. Diagnosa

dan pengobatan dini dapat mencegah sebagain besar cacat fisik, jadi dapat

disimpulkan bahwa penyebaran kusta pada masa yang akan datangakan

semakin menurun mengingat banyaknya usaha yang telah dilakukan oleh

pemerintah untuk menekan penyebaran dan penderita kusta.

D. Pengobatan Penyakit Kusta

Melalui pengobatan, penderita diberikan obat-obat yang membunuh kuman

kusta. Dengan demikian, pengobatan akan memutus mata rantai penularan,

menyembuhkan penyakit penderita, mencegah terjadinya cacat atau mencegah

bertambahnya cacat yang sudah ada sebelum pengobatan.

11

Page 12: BAB I KUSTA

Regimen MDT yang dianjurkan oleh WHO adalah:

1. Regimen untuk penderita PB

Lama pengobatan 6 blister diminum dalam batas waktu 9 bulan

a. Dosis dewasa

Sekali sebulan diminum di depan petugas

2 kapsul Rifampisin 300 mg (jumlah 600 mg)

1 tablet DDS (Dapsone) 100 mg

Diminum di rumah selama 27 hari

1 tablet DDS 100 mg

b. Dosis anak 10-14 tahun

Sekali sebulan, Rifampicin 450 mg dan DDS 50 mg

Setiap hari dirumah DDS 50 mg

2. Regimen untuk penderita MB

Lama pengobatan 12 blister diminum dalam batas waktu 18 bulan

a. Dosis dewasa

Sekali sebulan diminum di depan petugas

2 kapsul Rifampicin 300 mg (jumlah 600 mg)

1 tablet DDS 100 mg

3 kapsul Lamprene (Clofazamine) 100 mg (jumlah 300 mg)

Diminum di rumah selama 27 hari

1 tablet DDS 100 mg

1 kapsul Lamprene 50 mg

b. Dosis anak 10-14 tahun

Sekali sebulan, Rimfapicin 450 mg, Lamprene

150 mg dan DDS 50 mg.

Setiap hari di rumah, Lamprene 50 mg dan DDS 50 mg

E. Efek Samping Obat

1. Rimfapicin: kencing merah selama 1-2 hari; hal ini tidak berbahaya.

2. Lamprene: kulit menjadi hitam, tetapi hanya selama minum Lamprene.

Sesudah selesai pengobatan, kulit kembali semula dengan perlahan-lahan.

12

Page 13: BAB I KUSTA

3. DDS: bila agak pusing sesudah minum DDS sebaiknya diminum pada

malam hari, sebelum tidur; ada kemungkinan kecil obat tidak cocok

(alergi). Sangat penting pasien lapor kembali ke puskesmas bila terjadi

pada dua bulan yang pertama: gatal hebat, kulit merah sampai terkupas dan

demam.

Catatan:

1. Pengobatan MDT, tidak boleh satu jenis obat saja.

2. Penderita dapat diberikan obat lebih dari sebulan, jika rumah penderita

jauh, berpindah-pindah atau keluar daerah untuk kerja sementara.

3. Obat tidak berbahaya bagi janin dan tidak mengganggu produksi ASI.

4. Penderita drop out (DO), jika bolos pengobatan lebih dari 3 bulan (untuk

PB) atau 6 bulan (untuk MB). Penderita harus mulai pengobatannya lagi.

13

Page 14: BAB I KUSTA

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Penyakit kusta adalah penyakit kronik yang di sebabkan oleh Infeksi

Mycobacterium Leprae yang pertama menyerang saraf tepi, selanjutnya dapat

menyerang kulit, mukosa mulut, saluran napas bagian atas, sistem retikulo

endothelial, mata, otot, tulang, dan testis kecuali ke susunan saraf pusat.

(Widoyono, 2011).

Seseorang yang merasakan dirinya menderita penyakit kusta akan mengalami

trauma psikis, sebagai akibat dari trauma psikis ini, si penderita akan bereaksi

dengan segera mencari pertolongan pengobatan, mengulur-ulur  waktu karena

ketidaktahuan atau malu bahwa ia dan keluarganya menderita penyakit kusta,

menyembunyikan (mengasingkan) diri dari masyarakat sekelilingnya, termasuk

keluarganya, oleh karena berbagai masalah, pada akhirnya si penderita bersifat

masa bodoh terhadap penyakitnya.

Melalui program Leprosy Elimination Campaign (LEC) yang gencar

dilaksanakan pada era 90-an, Indonesia telah mencapai eliminasi kusta pada

pertengahan tahun 2000 secara nasional, dimana angka prevalensi sudah berada

dibawah 1 kasus per 10,000 penduduk. Akan tetapi sampai saat ini penemuan

orang yang terdampak kusta baru sekitar 17.000 – 18.000 kasus pertahunnya.

Program pemberantasan penyakit (P2) kusta di Dinkes DIY dari tahun 2013

sudah banyak melakukan kegiatan. Seperti penemuan penderita kusta antara

lain penemuan penderita kusta secara aktif maupun pasif. Pembinaan dan

pengobatan penderita kusta selama 6-12 bulan. Pemeriksaan laboratorim

(skinmaer). Pemeriksaan rutin dalam pencegahan reaksi kusta dan obat kusta.

Konfirmasi diagnosis kusta oleh Wakil Supervisor (Wasor) Kusta. Monitoring

pencegahan cacat prevention of disability (POD), pencegahan cacat, dan

pemeriksaan fisik secara rutin. Survei kontak keluarga, Penyuluhan terhadap

14

Page 15: BAB I KUSTA

masyarakat dan peran serta masyarakat tentang penyakit kusta dengan Leprosy

Elimination Champaign (LEC).

Pemeriksaan rutin secara pasif ke penderita kusta yang telah menyelesaikan

pengobatan selama 2-5 tahun. Pelatihan dokter dan pengelola kusta puskesmas.

Pelatihan Wasor kusta kabupaten.

Sasaran Desa/Kelurahan atau unit yang lebih kecil,. Kegiatan yang turut

dilaksanakan antar lain Memberikan pengetahuan tentang penyakit kusta dan

mengharapkan bantuan Kades, Tokoh Masyarakat dalam pelaksanaan LEC

serta Kunjungan ke Desa untuk melukukan pemeriksaan semua masyarakat

yang mempunyai kelainan kulit. Bila ada tersangka penderita dicatat dan bila

ditentukan penderita baru dibuatkan kartu penderita dan diberi dosis pertama

MDT. Untuk selanjutnya meneruskan pengobatan di Puskesmas.

B. Saran

1. Mahasiswa/i :

Diharapkan agar mahasiswa/i dapat :

a. Mengetahui pengertian penyakit kusta

b. Mengetahui dampak penyakit kusta

c. Mengetahui tren dan isu penyakit kusta di Indonesia

d. Mengetahui pengobatan penyakit kusta di Indonesia

e. Mengetahui efek pengobatan penyakit kusta si Indonesia

2. Institusi

Diharapkan agar perpustakaan menyediakan buku-buku reverensi lebih

banyak lagi, sehingga memudahkan mahasiswa/i dalam menyelesaikan

tugas.

15