skripsi kusta bab 1-3 post sidang

41
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit kusta saat ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di beberapa wilayah Indonesia dan beberapa negera lain di dunia. Penyakit kusta sampai saat ini masih ditakuti oleh masyarakat, keluarga, dan termasuk petugas kesehatan sendiri. Penyakit kusta merupakan penyakit kronis yang menyerang saraf tepi, kulit, dan jaringan tubuh lainnya. 1,3 Meningkatnya prevalensi morbus hensen merupakan ancaman bagi kesehatan masyarakat. Berdasarkan laporan World Health Organitation (WHO) tahun 2000 dari sejumlah negara melaporkan, angka kejadian (prevalensi) penyakit kusta didunia tercatat 2,2 per 10.000 penduduk dengan sejumlah penderita sebanyak 641.091 orang. Dari laporan tersebut dikawasan Asia tenggara tercatat sebagai kawasan yang mempunyai prevalensi tertinggi yaitu 574.924 orang. Pada tahun 2005 di Indonesia tercatat 21.537 penderita kusta terdaftar, jumlah kasus baru sebanyak 19.695 penderita.pada tahuan 2006 WHO mencatat masih ada 15 negara yang melaporkan 1000 atau lebih penderita beru selama tahun 2006. Lima belas negara ini mempunyai kontribusi 94% dari seluruh penderita baru di dunia. Indonesia menempati urutan prevalensi ketiga setelah India dan Brazil. 6, 23, 30 Di Indonesia penderita kusta terdapat hampir pada seluruh propinsi dengan pola penyebaran yang tidak merata. Meskipun pada pertengahan tahun 2000 Indonesia secara nasional sudah mencapai eliminasi kusta namun pada tahun 2002 sampai dengan tahun 2006 terjadi peningkatan penderita kusta baru. Pada tahun 2006 jumlah penderita kusta baru di Indonesia sebanyak 17.921 orang. Propinsi terbanyak melaporkan penderita kusta baru adalah Maluku, Papua, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Selatan dengan prevalensi lebih besar dari dari 20 per 100.000 penduduk. Pada tahun 2010, tercatat 17.012 kasus baru kusta di Indonesia dengan angka prevalensi 7.22 per 100.000 penduduk sedangkan pada tahun 2011, tercatat 19.371 kasus baru kusta di Indonesia dengan angka prevalensi 8.03 per 100.000 penduduk. 6, 9, 35

Upload: intifikriamuchtadin

Post on 23-Dec-2015

54 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

epidemiologi kusta di rsud tangerangrisetskripsi

TRANSCRIPT

Page 1: Skripsi kusta Bab 1-3 Post Sidang

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit kusta saat ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat

di beberapa wilayah Indonesia dan beberapa negera lain di dunia. Penyakit

kusta sampai saat ini masih ditakuti oleh masyarakat, keluarga, dan termasuk

petugas kesehatan sendiri. Penyakit kusta merupakan penyakit kronis yang

menyerang saraf tepi, kulit, dan jaringan tubuh lainnya.1,3

Meningkatnya prevalensi morbus hensen merupakan ancaman bagi

kesehatan masyarakat. Berdasarkan laporan World Health Organitation

(WHO) tahun 2000 dari sejumlah negara melaporkan, angka kejadian

(prevalensi) penyakit kusta didunia tercatat 2,2 per 10.000 penduduk dengan

sejumlah penderita sebanyak 641.091 orang. Dari laporan tersebut dikawasan

Asia tenggara tercatat sebagai kawasan yang mempunyai prevalensi tertinggi

yaitu 574.924 orang. Pada tahun 2005 di Indonesia tercatat 21.537 penderita

kusta terdaftar, jumlah kasus baru sebanyak 19.695 penderita.pada tahuan

2006 WHO mencatat masih ada 15 negara yang melaporkan 1000 atau lebih

penderita beru selama tahun 2006. Lima belas negara ini mempunyai

kontribusi 94% dari seluruh penderita baru di dunia. Indonesia menempati

urutan prevalensi ketiga setelah India dan Brazil.6, 23, 30

Di Indonesia penderita kusta terdapat hampir pada seluruh propinsi

dengan pola penyebaran yang tidak merata. Meskipun pada pertengahan tahun

2000 Indonesia secara nasional sudah mencapai eliminasi kusta namun pada

tahun 2002 sampai dengan tahun 2006 terjadi peningkatan penderita kusta

baru. Pada tahun 2006 jumlah penderita kusta baru di Indonesia sebanyak

17.921 orang. Propinsi terbanyak melaporkan penderita kusta baru adalah

Maluku, Papua, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Selatan dengan prevalensi lebih

besar dari dari 20 per 100.000 penduduk. Pada tahun 2010, tercatat 17.012

kasus baru kusta di Indonesia dengan angka prevalensi 7.22 per 100.000

penduduk sedangkan pada tahun 2011, tercatat 19.371 kasus baru kusta di

Indonesia dengan angka prevalensi 8.03 per 100.000 penduduk.6, 9, 35

Page 2: Skripsi kusta Bab 1-3 Post Sidang

2

Berdasarkan laporan PP&PL Depkes, (2008) penderita Kusta baru di

provinsi Banten selama tahun 2011 mencapai jumlah 500 kasus penderita

kusta yang tersebar di beberapa wilayah dengan jumlah kasus yang berbeda-

beda. Untuk penyebaran terdapat di Cilegon, Serang, Pandeglang, Lebak.

Sedangkan untuk wilayah kabupaten Tangerang selama tahun 2010 angka

penderita kusta mencapai 277 kasus, ke-277 orang itu terdiri dari 242 orang

menderita kusta basah dan 35 orang kusta kering.5-7

Dengan adanya data tersebut penulis bermaksud melakukan penelitian

mengenai prevalensi penderita Morbus Hensen (kusta) di RSUD Tangerang

tahun 2011.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan dari uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah

dalam penelitian ini adalah, “bagaimanakah angka kejadian morbus hensen

(kusta) di RSUP Tangerang pada tahun 2011?.”

1.3 Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana angka kejadian morbus hensen berdasarkan usia di RSUD

Tangerang.

2. Bagaimana angka kejadian morbus hensen berdasarkan jenis kelamin di

RSUD Tangerang.

3. Bagaimana angka kejadian morbus hensen pada tahun 2011 di RSUD

Tangerang.

1.4 Tujuan Penelitian

1.4.1 Tujuan Umum

Mengetahui berapa banyak jumlah penderita morbus hensen (kusta) di

RSUD Tangerang pada tahun 2011.

1.4.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui gambaran angka kejadian morbus hensen berdasarkan

usia dan jenis kelamin di RSUD Tangerang tahun 2011.

2. Mengetahui gambaran angka kejadian morbus hensen berdasarkan

tempat (RSUD Tangerang) tahun 2011.

Page 3: Skripsi kusta Bab 1-3 Post Sidang

3

3. Mengetahui gambaran angka kejadian morbus hensen berdasarkan

waktu (tahun 2011).

1.5 Manfaat Penelitian

1. Pengetahuan peneliti tentang angka kejadian morbus hensen berdasarkan

usian dan jenis kelamin di RSUD Tangerang.

2. Informasi kepada masyarakat tentang angka kejadian morbus hensen di

RSUD Tangerang.

3. Informasi kepada institusi kesehatan tentang angka kejadian morbus

hensen di RSUD Tangerang tahun 2011, sebagai upaya dilakukannya

pencegahan sedini mungkin.

4. Sebagai referensi penelitian bagi mahasiswa Program Studi Pendidikan

Dokter Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan.

5. Menambah wawasan ilmu tentang Morbus Hensen (kusta).

6. Menjadi sarana untuk mengembangkan ilmu dan teori yang di daperoleh

saat kuliah.

7. Menambah wawasan dan pengalaman dalam melakukan penelitian di

bidang kesehatan.

Page 4: Skripsi kusta Bab 1-3 Post Sidang

4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Morbus Hensen (Penyakit Kusta)

2.1.1 Definisi

Penyakit Kusta adalah penyakit kronik yang disebabkan oleh

bakteri Mycobacterium Leprae yang menyerang saraf tepi, kulit dan

jaringan tubuh lain nya. Jaringan tubuh yang diserang antara lain mucosa

mulut, saluran nafas bagian atas, sistem retikuloendotelial, mata, otot-otot,

tulang, dan testis. Menifestasi klinis dari penyakit ini sangat bervariasi

dengan spektrum yang berada diantara dua bentuk klinis yaitu lepromatosa

dan tuberkuloid. Penyakit ini juga sering disebut dengan Morbus Hensen

dan Leprae.2,3

2.1.2 Epidemiologi

Sampai saat ini epidemiologi penyakit kusta belum sepenuhnya

diketahui secara pasti. Sumber infeksi kusta adalah penderita dengan

banyak basil yaitu tipe multibasiler (MB). Cara penularan belum diketahui

dengan pasti, dikatakan penularan bisa melalui kontak langsung antar kulit

yang lama dan erat. Sumber lain mengatakan secara inhalasi, sebab M.

leprae masih dapat hidup beberapa hari dalam droplet. Masa tunas kusta

bervariasi, 40 hari sampai 40 tahun.1, 5

Faktor sosial ekonomi memegang peranan, makin rendah sosial

ekonomi makin subur penyakit kusta, sebaliknya sosial ekonomi tinggi

membantu penyembuhan. Sehubungan dengan iklim, kusta tersebar di

daerah tropis dan sub tropis yang panas dan lembab, terutama di Asia,

Afrika dan Amerika Latin. Jumlah kasus terbanyak terdapat di India,

Brazil, Bangladesh, dan Indonesia.7, 9

Penyakit kusta tersebar di seluruh dunia terutama di daerah

tropis dan subtropis. Dapat menyerang semua umur, frekuensi tertinggi

pada kelompok umur antara 30-50 tahun dan lebih sering mengenai laki-

laki daripada wanita.19

Page 5: Skripsi kusta Bab 1-3 Post Sidang

5

Menurut WHO (2002), diantara 122 negara yang endemik pada

tahun 1985 dijumpai 107 negara telah mencapai target eliminasi kusta

dibawah 1 per 10.000 penduduk pada tahun 2000. Pada tahun 2006 WHO

mencatat masih ada 15 negara yang melaporkan 1000 atau lebih penderita

baru selama tahun 2006. Lima belas negara ini mempunyai kontribusi 94%

dari seluruh penderita baru didunia. Indonesia menempati urutan

prevalensi ketiga setelah India, dan Brazil.4, 5

Di Indonesia penderita kusta terdapat hampir pada seluruh

propinsi dengan pola penyebaran yang tidak merata. Meskipun pada

pertengahan tahun 2000 Indonesia secara nasional sudah mencapai

eliminasi kusta namun pada tahun tahun 2002 sampai dengan tahun 2006

terjadi peningkatan penderita kusta baru. Pada tahun 2006 jumlah

penderita kusta baru di Indonesia sebanyak 17.921 orang. Propinsi

terbanyak melaporkan penderita kusta baru adalah Maluku, Papua,

Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan dengan prevalensi lebih besar dari 20

per 100.000 penduduk.6, 18

Pada tahun 2010, tercatat 17.012 kasus baru kusta di Indonesia

dengan angka prevalensi 7,22 per 100.000 penduduk sedangkan pada

tahun 2011, tercatat 19.371 kasus baru kusta di Indonesia dengan angka

prevalensi 8,03 per 100.000 penduduk.18,19

2.1.3 Etiologi Morbus Hensen

Penyebab penyakit Kusta adalah bakteri Mycobacterium Leprae

yang ditemukan oleh GH Armauer Hansen, seorang sarjana dari Norwegia

pada tahun 1873, berbentuk batang panjang, sisi paralel dengan kedua

ujung bulat, ukuran 0,3 – 0,5 mikron x 1-8 mikron.2

Basil ini berbentuk

batang gram positif, tidak bergerak, tidak berspora, dapat tersebar atau

dalam berbagai ukuran bentuk kelompok. Pada pemeriksaan langsung

secara mikroskopis, tampak bentukan khas adanya basil yang

mengerombol seperti ikatan cerutu, sehingga disebut packet of cigart

(globi). Basil ini diduga berkapsul tetapi rusak pada pewarnaan

Page 6: Skripsi kusta Bab 1-3 Post Sidang

6

menggunakan karbon fukhsin. Organisme tidak tumbuh pada perbenihan

buatan.20

Penyakit kusta bersifat menahun karena bakteri kusta

memerlukan waktu 12-21 hari untuk membelah diri dan masa tunasnya

rata-rata 2-5 tahun. 21

2.1.4 Klasifikasi Morbus Hensen

1. Klasifikasi internasional

a. Interdeterminate ( I )

b.Tuberkuloid ( T )

c. Bordeline ( B )

d.Lepromatosa ( L )

Klasifikasi ini merupakan klasifikasi yang paling sederhana

berdasarkan manifestasi klinis lepra, pemeriksaan bakteriologis, dan

pemeriksaan histopatologi, sesuai rekomendasi dari International

Leprosy Association di Madrid tahun 1953 7, 21

2. Klasifikasi Ridley-Jopling

a. Tuberkuloid –tuberkuloid ( TT )

b.Bordeline – tuberkuloid ( BT )

c. Bordeline – bordeline ( BB )

d.Lepramatosa – lepramatosa ( LL )

Pada klasifikasi ini penyakit kusta merupakan suatu spektrum

klinis mulai dari daya kekebalan tubuhnya rendah pada suatu sisi

sampai mereka yang memiliki kekebalan yang tinggi terhadap

M.leprae di sisi yang lainnya. Kekebalan seluler (cell mediated

imunity = CMI) seseorang yang akan menentukan apakah dia akan

menderita kusta apabila individu tersebut mendapat infeksi M.leprae

dan tipe kusta yang akan dideritanya pada spektrum penyakit kusta.

Sistem klasifikasi ini banyak digunakan pada penelitian penyakit

kusta, karena bisa menjelaskan hubungan antara interaksi kuman

Page 7: Skripsi kusta Bab 1-3 Post Sidang

7

dengan respon imunologi seseorang, terutama respon imun seluler

spesifik. 3, 7, 21, 36

3. Klasifikasi menurut WHO

Pada tahun 1982, WHO mengembangkan klasifikasi untuk

mempermudah pengobatan di lapangan. Dalam klasifikasi ini seluruh

penderita kusta hanya dibagi menjadi 2 tipe yaitu :

1. Pausibasiler (PB)

Hanya kusta tipe I, TT dan sebagian besar BT dengan basil

tahan asam (BTA) negatif menurut kriteria Ridley dan Jopling

atau tipe I dan T menurut klasifikasi Madrid.6, 9

2. Multibasiler (MB)

Termasuk kusta tipe LL, BL, BB dan sebagian BT menurut

kriteria Ridley dan Jopling atau B dan L menurut Madrid dan

semua tipe kusta dengan BTA positif.6, 9

Sampai saat ini Departemen Kesehatan Indonesia

menerapkan klasifikasi menurut WHO sebagai pedoman

pengobatan penderita kusta. Dasar klasifikasi ini adalah negatif

dan positifnya basil tahan asam (BT) dalam skin smear.3,6

Tabel 2.1.5 1 Perbedaan tipe PB dan MB menurut klasifikasi

WHO.21,24

Tanda utama Pausibasiler

(Pb) Multibasiler (Mb)

Bercak kusta Jumlah 1 sampai

dengan 5 Jumlah lebih dari 5

Penebalan saraf tepi yang

disertai dengan gangguan

fungsi (gangguan fungsi

bisa berupa kurang/mati

rasa atau kelemahan otot

yang dipersarafi oleh saraf

yang bersangkutan.

Hanya satu

syaraf

Lebih dari satu

syaraf

Pemeriksaan bakteriologi Tidak dijumpai

basil tahan asam

(BTA negatif)

Dijumpai basil tahan

asam (BTA positif)

Page 8: Skripsi kusta Bab 1-3 Post Sidang

8

Tabel 2.1.5 2 tanda lain dan Perbedaan tipe PB dan MB menurut

klasifikasi WHO.21, 24

2.1.5 Diagnosis Morbus Hensen

Diagnosis pasien kusta berdasarkan tiga penemuan tanda utama

yaitu:

1. Bercak kulit yang mati rasa

Page 9: Skripsi kusta Bab 1-3 Post Sidang

9

Bercak hipopigmentasi atau erimatosa, mendatar

(makula) atau meninggi (plak). Mati rasa pada bercak bersifat

total atau sebagian saja terhadap rasa raba, rasa suhu dan rasa

nyeri.2, 10

2. Penebalan saraf tepi

Dapat disertai rasa nyeri dan dapat juga disertai atau

tanpa gangguan fungsi saraf yang terkena, yaitu:

1. Gangguan fungsi sensoris: mati rasa

2. Gangguan fungsi motoris: paresis atau paralisis

3. Gangguan fungsi otonom: kulit kering, retak, edema

dan pertumbuhan rambut yang terganggu. 10, 24

3. Ditemukan BTA

Bahan pemeriksaan adalah hapusan kulit cuping

telingadan lesi kulit pada bagian yang aktif. Kadang-kadang

bahan diperoleh dari biopsi kulit atau syaraf.

Untuk menegakkan diagnosis penyakit kusta, paling

sedikit harus ditemukan satu tanda utama. 10, 24

Tabel 2.1.7 Perbedaan tipe PB dan MB menurut klasifikasi WHO. 10,

24, 28

Tanda dan gejala MH Pb Mb

1. Lesi kulit (makula

yang datar, papul

yang meninggi,

infiltrat, plak eritem,

nodus)

- 1-5 lesi

- Hipopigmentasi/

eritema

- distribusi tidak

simetris

- >5 lesi

- distribusi

lebih simetris

Page 10: Skripsi kusta Bab 1-3 Post Sidang

10

2. Kerusakan pada

saraf (menyebabkan

hilangnya sensasi /

kelemahan otot

yang dipersyarafi

oleh syaraf yang

terkena)

- Hilangnya

sensasi yang

jelas

- hanya satu

cabang syaraf

- hilangnya

sensasi

kurang jelas

- banyak

cabang syaraf

2.1.6 Reaksi Kusta

Reaksi kusta adalah suatu episode akut di dalam perjalanan

klinik penyakit kusta yang ditandai dengan terjadinya reaksi radang akut

(neuritis) yang kadang-kadang disertai dengan gejala sistemik.10

Reaksi

kusta dapat merugikan pasien kusta, oleh karena dapat menyebabkan

kerusakan syaraf tepi terutama gangguan fungsi sensorik (anastesi)

sehingga dapat menimbulkan kecacatan pada pasien kusta. Reaksi kusta

dapat terjadi sebelum mendapat pengobatan, pada saat pengobatan,

maupun sesudah pengobatan, namun reaksi kusta paling sering terjadi

pada 6 bulan sampai satu tahun sesudah dimulainya pengobatan.10, 20

Reaksi kusta dapat dibagi atas dua kelompok yaitu:

1. Reaksi kusta tipe 1 (Reaksi Reversal= RR)

Reaksi imunologik yang sesuai adalah reaksi hipersensitivitas

tipe IV dari Coomb & Gel (Delayed Type Hypersensitivity Reaction).

Reaksi kusta tipe 1 terutama terjadi pada kusta tipe borderline (BT, BB,

BL) dan biasanya terjadi dalam 6 bulan pertama ataupun sedang mendapat

pengobatan. Pada reaksi ini terjadi peningkatan respon kekebalan seluler

secara cepat terhadap kuman kusta dikulit dan syaraf pada pasien kusta.

Hal ini berkaitan dengan terurainya M.leprae yang mati akibat pengobatan

yang diberikan.24

Antigen yang berasal dari basil yang telah mati akan bereaksi

dengan limfosit T disertai perubahan imunitas selular yang cepat. Dasar

Page 11: Skripsi kusta Bab 1-3 Post Sidang

11

reaksi kusta tipe 1 adalah adanya perubahan keseimbangan antara imunitas

selular dan basil. Diduga kerusakan jaringan terjadi akibat langsung reaksi

hipersensitivitas seluler terhadap antigen basil.24 Pada saat terjadi reaksi,

beberapa penelitian juga menunjukkan adanya peningkatan ekspresi

sitokin pro-inflamasi seperti TNF-α, IL-1b, IL-6, IFN-γ dan IL-12 dan

sitokin immunoregulatory seperti TGF-β dan IL-10 selama terjadi aktivasi

dari makrofag. Aktivasi CD4+ limfosit (Th-1) menyebabkan produksi IL-2

dan IFN-γ meningkat sehingga dapat terjadi lymphocytic infiltration pada

kulit dan syaraf IFNγ dan TNF-α bertanggung jawab terhadap terjadinya

edema, inflamasi yang menimbulkan rasa sakit dan kerusakan jaringan

yang cepat.20,21

Tabel 2.1.6 1 Gambaran reaksi kusta tipe 1 24

2. Reaksi kusta tipe 2 (reaksi eritema nodosum leprosum)

Reaksi kusta tipe 2 terutama terjadi pada kusta tipe lepromatous

(BL, LL). Diperkirakan 50% pasien kusta tipe LL Dan 25% pasien kusta

Page 12: Skripsi kusta Bab 1-3 Post Sidang

12

tipe BL mengalami episode ENL. Umumnya terjadi pada 1-2 tahun setelah

pengobatan tetapi dapat juga timbul pada pasien kusta yang belum

mendapat pengobatan Multi Drug Therapy (MDT). ENL diduga

merupakan manifestasi pengendapan kompleks antigen antibodi pada

pembuluh darah. Termasuk reaksi hipersensitivitas tipe III menurut

Coomb & Gel.24, 28

Pada pengobatan, banyak basil kusta yang mati dan hancur,

sehingga banyak antigen yang dilepaskan dan bereaksi dengan antibodi

IgG, IgM dan komplemen C3 membentuk kompleks imun yang terus

beredar dalam sirkulasi darah dan akhirnya akan di endapkan dalam

berbagai organ sehingga mengaktifkan sistem komplemen. Berbagai

macam enzim dan bahan toksik yang menimbulkan destruksi jaringan akan

dilepaskan oleh netrofil akibat dari aktivasi komplemen.20, 24

Pada ENL, dijumpai peningkatan ekspresi sitokin IL-4, IL-5, IL

13 dan IL-10 (respon tipeTh-2) serta peningkatan, IFN-γ danTNF-α. IL-4,

IL-5, IFN-γ,TNF-α bertanggung jawab terhadap kenaikan suhu dan

kerusakan jaringan selama terjadi reaksi ENL. 24, 34

Reaksi ENL cenderung berlangsung kronis dan rekuren.

Kronisitas dan rekurensi ENL menyebabkan pasien kusta akan tergantung

kepada pemberian steroid jangka panjang. 24

Gambar 2.1.6 Spektrum reaksi kusta RR dan ENL 21

Page 13: Skripsi kusta Bab 1-3 Post Sidang

13

Keterangan gambar:

Gambaran tipe reaksi yang terjadi dan hubungannya dengan tipe imunitas

dalam spektrum imunitas pasien kusta menurut Ridkey-Jopling 21

Reaksi tipe 1 diperantarai oleh mekanisme imunitas seluler

Reaksi tipe 2 diperantarai oleh mekanisme imunitas humoral

Tabel 2.1.6 2 Gambaran reaksi kusta tipe 2 20, 21

2.2 Faktor – Faktor yang Menyebabkan Kejadian Kusta

1. Agent

Mycobacterium leprae yang menyerang saraf tepi, kulit dan

jaringan tubuh lainnya kecuali susunan saraf pusat. Kusta adalah

penyakit yang disebabkan oleh bakteri M. leprae yang menyerang kulit,

saraf tepi di tangan maupun kaki, dan selaput lendir pada hidung,

tenggorokan dan mata. 2, 23

Page 14: Skripsi kusta Bab 1-3 Post Sidang

14

Kuman ini satu genus dengan kuman TB dimana di luar tubuh

manusia, kuman kusta hidup baik pada lingkungan yang lembab akan

tetapi tidak tahan terhadap sinar matahari.4 Kuman kusta dapat bertahan

hidup pada tempat yang sejuk, lembab, gelap tanpa sinar matahari sampai

bertahun-tahun lamanya.1 Kuman Tuberculosis dan leprae jika terkena

cahaya matahari akan mati dalam waktu 2 jam, selain itu. Seperti halnya

bakteri lain pada umumnya, akan tumbuh dengan subur pada lingkungan

dengan kelembaban yang tinggi.4 Air membentuk lebih dari 80% volume

sel bakteri dan merupakan hal esensial untuk pertumbuhan dan

kelangsungan hidup sel bakteri. Kelembaban udara yang meningkat

merupakan media yang baik untuk bakteri-bakteri patogen termasuk yang

memiliki rentang suhu yang disukai, merupakan bakteri mesofilik yang

tumbuh subur dalam rentang 25-400C, tetapi akan tumbuh secara optimal

pada suhu 31-370C.12

Mengetahui sifat-sifat agent sangat penting untuk melakukan

pencegahan dan penanggulangan penyakit, sifat-sifat tersebut termasuk

ukuran, kemampuan berkembangbiak, kematian agent atau daya tahan

terhadap pemanasan atau pendinginan.11

2. Host

Manusia merupakan reservoir untuk menularnya kuman seperti

Mycobacterium Tuberculosis dan Mycobacterium Leprae, kuman

tersebut bisa menularkan pada 10-15 orang. Menurut penelitian pusat

ekologi kesehatan (1991), tingkat penularan kusta di lingkungan keluarga

penderita cukup tinggi, dimana seorang penderita rata-rata dapat

menularkan kepada 2-3 orang di dalam rumahnya. Di dalam rumah

dengan ventilasi baik, kuman ini dapat hilang terbawa angin dan akan

lebih baik jika ventilasi suatu ruangan selalu dibuka dan menggunakan

pembersih udara yang bisa menangkap kuman.11

Hal-hal yang perlu diketahui tentang host atau penjamu meliputi

karakteristik; gizi atau daya tahan tubuh, pertahanan tubuh, personal

hygiene, gejala dan tanda penyakit dan pengobatan. Karakteristik host

Page 15: Skripsi kusta Bab 1-3 Post Sidang

15

dapat yaitu antara lain : umur, jenis kelamin, pekerjaan , keturunan, ras

dan gaya hidup.11

3. Environment

Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di luar diri host baik

benda mati, benda hidup, nyata atau abstrak, seperti suasana yang

terbentuk akibat interaksi semua elemen-elemen termasuk host yang lain.

Lingkungan terdiri dari lingkungan fisik dan non fisik, lingkungan fisik

terdiri dari : keadaan geografis (dataran tinggi atau rendah, persawahan

dan lain-lain), kelembaban udara, suhu, lingkungan tempat tinggal.

Adapun lingkungan non fisik meliputi : sosial (pendidikan, pekerjaan),

budaya (adat, kebiasaan turun temurun), ekonomi (kebijakan mikro dan

local) dan politik (suksesi kepemimpinan yang mempengaruhi kebijakan

pencegahan dan penanggulangan suatu penyakit).11, 15

Menurut APHA (American public helath Assosiation), lingkungan

rumah yang sehat harus memenuhi beberapa kriteria sebagai berikut :

1. Memenuhi kebutuhan fisiologis :

a. Suhu ruangan, diusahakan sedemikian rupa suhu

ruangan sebuah rumah tidak berubah banyak agar

kelembaban udara dapat dijaga jangan sampai terlalu

tinggi dan terlalu rendah. Kelembaban udara didalam

ruangan naik terjadnya proses penguapan cairan dari

kulit dan penyerapan. Suhu udara yang ideal di dalam

ruangan adalah 18-30°C. Kelembaban yang tinggi

merupakan media yang baik untuk pertumbuhan

bakteri-bakteri patogen. Suhu optimal pertumbuhan

bakteri bervarias, Mycobacterium Leprae tumbuh

optimal pada suhu 37°C. 12, 19

b. Pencahayaan yang baik siang maupun malam. Suatu

ruangan mendapat penerangan pagi dan siang hari yang

cukup yaitu jika luas ventilasi minimal 10% dari jumlah

luas lantai. Paparan sinar matahari selama 5 menit dapat

Page 16: Skripsi kusta Bab 1-3 Post Sidang

16

membunuh kuman M.Leprae. bakteri ini tahan hidup

dan berkembang di tempat yang gelap. 12

c. Ruangan harus segar dan tidak berbau, untuk ini

diperlukan ventilasi yang cukup untuk proses

pergantian udara.12

2. Perlindungan terhadap penularan penyakit:

a. Memiliki sumber air yang memenuhi syarat, baik secara

kualitas maupun kuantitas, sehingga selain kebutuhan

untuk makan dan minum terpenuhi, juga tersedia air

untuk memelihara kebesihan rumah, pakaian dan

penghuninya.11,12

b. Memiliki tempat penyimpanan sampah dan WC yang

baik dan memenuhi syarat, dan air pembuangan harus

bisa dialirkan dengan baik.11,12

c. Tempat memasak dan tempat makan hendaknya bebas

dari pencemaran dan gangguan binatang serangga dan

debu.11,12

d. Mencegah agar vektor penyakit tidak bisa hidup dan

berkembangbiak di dalam rumah, jadi rumah dalam

kontruksinya harus rat proof, fly fight, mosquito

fight.11,12

e. Luas kamar tidur minimal 9 m3 per orang dan tinggi

langit-langit minimal 2,75 meter.12

Faktor lingkungan memegang peranan yang penting dalam

penularan penyakit kusta, terutama pada pemenuhan physiologis rumah,

sebab sinar ultra violet yang terdapat pada sinar matahari dapat

membunuh kuman kusta, selain itu sinar matahari juga dapat mengurangi

kelembaban yang berlebihan, sehingga dapat mencegah berkembangnya

kuman kusta dalam rumah, oleh karenanya suatu rumah sangat perlu

adanya pencahayaan langsung yang cukup dari sinar matahari.12

4. Sosial Ekonomi

Page 17: Skripsi kusta Bab 1-3 Post Sidang

17

WHO (2003) menyebutkan 90% penderita kusta di dunia

merupakan dari kelompok sosial ekonomi rendah atau miskin. Hubungan

antara kemiskinan dengan penyakit kusta bersifat timbal balik. Kusta

merupakan penyebab kemiskinan dan karena miskin maka dapat

menderita kusta. Kondisi sosial ekonomi itu sendiri, mungkin tidak hanya

berhubungan secara langsung, namun dapat merupakan penyebab tidak

langsung seperti adanya kondisi gizi yang buruk, kondisi perumahan

yang tidak sehat, hygiene, sanitasi yang kurang dan akses terhadap

pelayanan kesehatan yang juga menurun.1, 19

Tingkat pekerjaan dan jenis pekerjaan sangat mempengaruhi

terjadinya kasus kusta atau keberhasilan pengobatan, status sosial

ekonomi keluarga diukur dari jenis, keadaan rumah, kepadatan penghuni

per kamar, status pekerjaan dan harta kepemilikan (Scoeman, 1991).

Masyarakat dengan sosial ekonomi yang rendah sering mengalami

kesulitan mendapat pelayanan kesehatan yang baik, sehingga penyakit

kusta menjadi ancaman bagi mereka (Soewasti, 1997). Salah satu

penyebab terbesar menurunnya kasus kusta adalah meningkatnya tingkat

sosial ekonomi keluarga tetapi faktor lain akibat sosial ekonomi adalah

pengaruh lingkungan rumah secara fisik baik pada, pencahayaan,

ventilasi, kepadatan rumah, dan pemenuhan kebutuhan gizi yang dapat

terpenuhi.1, 12

Faktor sosial ekonomi ini merupakan salah satu karakteristik

tentang faktor orang, perlu mendapat perhatian tersendiri. Status sosial

ekonomi sangat erat hubungannya dengan pekerjaan dan jenis pekerjaan

serta besarnya pendapatan keluarga juga hubungan dengan lokasi tempat

tinggal, kebiasaan hidup keluarga, termasuk kebiasaan makan, jenis

rekreasi keluarga, dan lain sebagainya. Status sosial ekonomi erat pula

hubungannya dengan faktor psikologi individu dan keluarga dalam

masyarakat. Status ekonomi sangat sulit dibatasi, hubungan dengan

kesehatan juga kurang nyata, yang jelas bahwa kemiskinan erat

hubungannya dengan penyakit hanya sulit dianalisa managemen sebab,

dan yang mana akibat. Status ekonomi menentukan kwalitas makanan,

Page 18: Skripsi kusta Bab 1-3 Post Sidang

18

hunian, kepadatan gizi, taraf pendidikan, tersediannya fasilitas air bersih,

sanitasi kesehatan lainnya, besar kecil keluarga, dan tekhnologi.1, 11,15

2.3 Mycobacterium Leprae

2.3.1 Struktur M. Leprae

1. Kapsul

Di sekeliling organisme terdapat suatu zona transparan

elektron dari bahan berbusa atau vesikular, yang diproduksi dan secara

struktur khas bentuk M. Leprae. Zona transparan ini terdiri dari dua

lipid, phthioceroldimycoserosate, yang dianggap memegang peranan

protektif pasif, dan suatu phenolic glycolipid, yang terdiri dari tiga

molekul gula hasil metilasi yang dihubungkan melalui molekul fenol

pada lemak (phthiocerol). Trisakarida memberikan sifat kimia yang

unik dan sifat antigenik yang spesifik terhadap M. leprae. 4, 37

2. Dindin Sel

a. Lapisan luar bersifat transparan elektron dan mengandung

lipopolisakarida yang terdiri dari rantai cabang arabinogalactan

yang diesterifikasi dengan rantai panjang asam mikolat, mirip

dengan yang ditemukan pada Mycobacteria lainnya. 4,37

b. Dinding dalam terdiri dari peptidoglycan: karbohidrat yang

dihubungkan melalui peptida-peptida yang memiliki rangkaian

asam-amino yang mungkin spesifik untuk M. leprae walaupun

peptida ini terlalu sedikit untuk digunakan sebagai antigen

diagnostik.4, 37

3. Membran

Tepat di bawah dinding sel, dan melekat padanya, adalah

suatu membran yang khusus untuk transport molekul-molekul kedalam

dan keluar organisme. Membran terdiri dari lipid dan protein. Protein

sebagian besar berupa enzim dan secara teori merupakan target yang

baik untuk kemoterapi. Protein ini juga dapat membentuk „antigen

protein permukaan‟ yang diekstraksi dari dinding sel M. leprae yang

sudah terganggu dan dianalisa secara luas.37

4. Sitoplasma

Page 19: Skripsi kusta Bab 1-3 Post Sidang

19

Bagian dalam sel mengandung granul-granul penyimpanan,

material genetik asam deoksiribonukleat (DNA), dan ribosom yang

merupakan protein yang penting dalam translasi dan multiplikasi.

Analisis DNA berguna dalam mengkonfirmasi identitas sebagai M.

leprae dari mycobacteria yang diisolasi dari armadillo liar, dan

menunjukkan bahwa M. leprae, walaupun berbeda secara genetik,

terkait erat dengan M. tuberculosis dan M. scrofulaceum.37

2.4 Keterlibatan Syaraf pada Penderita Morbus Hensen

2.4.1 Kerusakan Syaraf Tepi

Syaraf tepi yang terserang akan menunjukkan berbagai kelainan

yaitu: 24,26

1. N.fasialis: lagoftalmos, mulut mencong

2. N.trigeminus: anestesi kornea

3. N.aurikularis magnus

4. N.radialis: tangan lunglai (drop wrist)

5. N.ulnaris: anestesi dan paresis/paralisis otot tangan jari V dan

sebagian jari IV

6. N.medianus: anestesi dan paresis/paralisis otot tangan jari I, II,

III, dan

7. sebagian jari IV. Kerusakan N.ulnaris dan N.medianus

menyebabkan jari

8. kiting (clow toes) dan tangan cakar (claw hand)

9. N.peroneus komunis: kaki semper (drop foot)

10. N.tibialis posterior: mati rasa telapak kaki dan jari kiting

(claw toes)

Gambar 2.3.1 Syaraf Tepi 25

Page 20: Skripsi kusta Bab 1-3 Post Sidang

20

2.4.2 Tingkat kerusakan syaraf

Sebagian besar masalah kecacatan pada kusta ini terjadi

akibat penyakit kusta yang menyerang syaraf perifer. Menurut

Srinivasan, syaraf perifer yang terkena akan mengalami beberapa

tingkat kerusakan yaitu:

1. Stage of involvement

Pada tingkat ini syaraf menjadi lebih tebal dari

normal (penebalan syaraf) dan mungkin disertai nyeri

tekan dan nyeri spontan pada syaraf perifer tersebut,

tetapi belum disertai gangguan fungsi syaraf, misalnya

anestesi atau kelemahan otot.29

2. Stage of damage

Pada stadium ini syaraf telah rusak dan fungsi

syaraf tersebut telah terganggu. Kerusakan fungsi

syaraf, misalnya kehilangan fungsi syaraf otonom,

sensoris dan kelemahan otot menunjukkan bahwa syaraf

telah mengalami kerusakan (damage) atau telah

mengalami paralisis. Diagnosis stage of damage

ditegakkan, bila syaraf telah mengalami paralisis yang

Page 21: Skripsi kusta Bab 1-3 Post Sidang

21

tidak lengkap atau syaraf batang tubuh telah mengalami

paralisis lengkap tidak lebih dari 6-9 bulan. Penting

sekali untuk mengenali tingkat damage ini karena

dengan pengobatan pada tingkat ini kerusakan syaraf

yang permanen dapat dihindari.29

3. Stage of destruction

Pada tingkat ini syaraf telah rusak secara lengkap.

Diagnosis stage of destruction ditegakkan, jika sudah

terjadi kerusakan atau paralisis syaraf secara lengkap

lebih dari satu tahun. Pada tingkat ini walaupun dengan

pengobatan, fungsi syaraf sudah tidak dapat

diperbaiki.29

2.5 Kecacatan pada Morbus Hensen / Kusta

2.5.1 Jenis cacat kusta

a. Cacat primer : cacat yang disebabkan langsung oleh aktivitas

penyakit, terutama kerusakan oleh respons jaringan terhadap

M.Leprae. Cacat primaer dapat berupa:

i. Cacat pada fungsi saraf sensorik, misalnya anestesia, fungsi

saraf motorik, misalnya claw hand, wrist drop, foot drop,

claw toes, lagoftalmus. Dan cacat pada fungsi otonom yang

menyebabkan kulit menjadi kering, elastisitas kulit

berkurang serta gangguan refleks vasodilatasi.29

ii. Infiltrasi kuman pada kulit dan jaringan subkutan yang

menyebabkan kerusakan pada glandula sebasea dan

sudorifera, yang akibatnya kulit menjadi kering dan tidak

elastis. Akibatnya kulit mudah retak-retak dan

menimbulkan cacat sekunder.29

iii. Cacat pada jarigan lain yang diakibatkan oleh infiltrasi

kuman M.Leprae juga dapat terjadi pada tendon, ligamen,

sendi, tulang rawan, tulang testis dan bola mata.29

Page 22: Skripsi kusta Bab 1-3 Post Sidang

22

b. Cacat sekunder : cacat yang terjadi akibat cacat primer, terutama

karena adanya kerusakan saraf (sensorik, motorik, otonom) yang

mengakibatkan anestesia dan memudahkan terjadinya luka akibat

trauma mekanis atau termis yang dapat mengalami infeksi

sekunder dengan segala akibat. Kelumpuhan motorik yang

menimbulkan gangguan menggenggam dan berjalan juga dapat

memudahkan terjadinya luka.2, 29

2.5.2 Derajat Cacat Kusta menurut WHO

1. Cacat pada tangan dan kaki :

a. Tingkat 0 : tidak ada anestesi dan kelainan anatomis

b. Tingakat 1 : ada anestesi tetapi tidak ada kelainan

anatomis

c. Terdapat kelainan anatomis

2. Cacat pada mata :

a. Tingkat 0 : tidak ada kelainan pada mata (termasuk

visus)

b. Tingkat 1 : ada kelainan mata, tetapi tidak terlihat,

visus sedikit berkurang

c. Tingkat 2 : ada lagoftalmus dan visus sangat terganggu

2.5.3 Kecacatan Spesifik pada Tangan

1. Ganggan n. Ulnaris 2,29

a. Anestesi pada ujung jari bagian anterior kelingking dan jari

manis

b. Clowing kelingking dan jari manis

c. Atropi hipotenar dan otot interoseus dorsalis pertama

d. Pada pergelangan tangan, fleksi melemah dan tidak mampu

melakukan abduksi ke arah ulnar

e. Ketidakmampuan abduksi ibu jari

f. Terjadi gangguan sensasi pada sisi ulnar tangan dan jari V

Page 23: Skripsi kusta Bab 1-3 Post Sidang

23

g. Terjadi gangguan vasomotor, yaitu : dingin, kering, dan

pucat pada sisi ulnar tangan. Kuku jari V sering rusak, dan

luka sering terjadi karena gangguan sensasi serta gangguan

proses penyembuhan.

2. Gangguan n. Medianus 29

a. Anestesi pada ujung jari bagian anterior ibu jari telunjuk dan

jari tengah

b. Tidak mampu adduksi ibu jari

c. Clowing ibu jari, telunjuk, dan jari tengah

d. Ibu jari kontraktur

3. Kombinasi gangguan n. Ulnaris dan medianus 4, 29

a. Pergelangan tangan akan hiperekstensi dan tangan menetap

kearah radial. Ibu jari abduksi gerakan fleksor abduksi

ataupun adduksi jari-jari tidak dapat dikerjakan

b. Atropi pada dorsal interosious tenar, hipotenar, gambaran

tendon fleksor menonjol

c. Gangguan sensasi terjadi hampir pada seluruh tangan

d. Gangguan otonomik seperti pada gangguan saraf ulnaris

juga terjadi

4. Gangguan n. Radialis 29

a. Anestesi dorsum manus

b. Tangan gantung (wrist drop)

c. Tidak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan

2.5.4 Deformitas kaki

1. Drop foot (kelemahan kaki)

Gangguan syaraf popliteus lateralis dan syaraf kommunis

menyebabkan kelumpuhan dari otot-otot dorsifleksor dan invertor

sehingga menimbulkan luka terutama di daerah basis metatarsal

V.31

2. Claw toes (jari kaki keriting)

Ujung-ujung jari kaki yang menghadap ke bawah akan mudah

mendapat trauma dan luka akibat gangguan syaraf tibialis posterior

Page 24: Skripsi kusta Bab 1-3 Post Sidang

24

yang menyebabkan kelumpuhan otot-otot intrinsik kaki sehingga

menimbulkan jari kaki kiting. Luka terutama didaerah metatarsal III

dan IV disebabkan oleh sendi metatarsofalangeal menjadi

hiperekstensi sehingga arkus kaki menjadi datar.31, 32

Gambar 2.4.4 1 jari keriting pada penderita kusta 26

3. Kerusakan arsitektur tulang

Tulang kaki berubah menjadi pendek, kecil dan mengakibatkan

tekanan yang berlebihan pada kulit telapak kaki dan memudahkan

terjadinya luka akibat adanya luka plantar disertai komplikasi

osteomyelitis metatarsal.31

4. Ulkus plantaris

1. Ulkus plantaris akut, yaitu dimana ulkus menunjukkan adanya

infeksi akut dan peradangan akut. Daerah yang terkena menjadi

bengkak, hiperemi dengan dasar yang kotor. Dapat juga

dijumpai limfadenitis inguinal dan tanda gejala infeksi akut

seperti demam dan leukositosis.32

2. Ulkus plantaris yang bersifat superficial ulcer apabila tidak

mendapat penanganan yang tepat dapat berkembang menjadi

simple chronic ulcer. Ditandai dengan sedikit discharge,

terdapat hiperkeratotik dengan jaringan fibrosa yang padat dan

dasar ulkus berwarna pucat tertutup jaringan granulasi yang

tidak sehat.32

Page 25: Skripsi kusta Bab 1-3 Post Sidang

25

3. Complicated ulcer, dapat akut maupun kronik. Ditandai dengan

hilangnya jaringan lunak, fraktur yang patologik, destruksi dari

sendi, kehilangan tulang berhubungan dengan osteomyelitis

yang terjadi akibat jaringan di sekitar tulang (periosteum)

mengalami infeksi sehingga menyebabkan terjadinya inflamasi

pada tulang.32

4. Recurrent ulcers, yaitu ulkus plantaris yang mendapat

trauma/tekanan yang berulang, ditandai dengan ditemukannya

lokasi ulkus plantaris pada tempat yang sama.32

5. Pada beberapa kasus, ulkus plantaris dapat berkembang menjadi

premalignant atau malignant yang pertumbuhannya menyerupai

gambaran bunga kol (skuamous sel karsinoma atau

pseudoepitheliomatous hyperplasia.32

Gambar 2.4.4 2 penyebab ulkus plantaris pada penderita kusta31,32

Gambar 2.4.4 3 distribusi lokasi ulkus plantaris pada penderita

kusta26

Page 26: Skripsi kusta Bab 1-3 Post Sidang

26

Keterangan : 26

a. Tips of toes sebanyak <5 %

b. Big toe region sebanyak 30-50%

c. Central toe region 2nd-5th metatarsal head sebanyak 20-30%

d. Metatarsal head region sebanyak 15-20%

e. Mid lateral border of the foot (base of 5th metatarsal) sebanyak 15-

20%

f. Heel sebanyak 5-10%

g. Instep sebanyak <1%

2.6 Terapi Farmakologi Morbus Hensen / Kusta

Kemoterapi kusta dimulai yahun 1949 dengan DDS sebagai obat tunggal

(monoterapi DDS). DDS herus diminum selama 3-5 tahun untuk PB,

sedangkan untuk MB 5-10 tahun, bahkan seumur hidup. Kekurangan

monoterapi DDS adalah terjadinya resistensi, timbulnya kuman persisters

serta terjadinya pasien defaulter. Pada tahun 1964 ditemukan resistensi

terhadap DDS. Oleh karena itu pada tahun 1982 WHO merekomendasikan

pengobatan kusta dengan multi drug therapy (MDT) untuk tipe PB maupun

MB.33, 34

1. Tujuan pengobatan MDT

Tujuan pengobatan adalah : 33

a. Memutuskan rantai penularan

b. Mencegah resistensi obat

c. Memperpendek masa pengobatan

Page 27: Skripsi kusta Bab 1-3 Post Sidang

27

d. Mencegah terjadinya cacat atau mencegah bertambhanya cacat yang

sudah ada sebelum pengobatan.

Dengan matinya kuman makan sumber penularan dari pasien,

terutama tipe MB ke orang lain terputus. Cacat yang sudah terjadi

sebelum pengobatan tidak dapat diperbaiki dengan MDT.5

Bila pasien kusta tidak minum obat secara teratur, maka kuman kusta

dapat menjadi resisten terhadap MDT, sehingga gejala penyakit

menetap bahkan memburuk. Gejala baru pun dapat timbul pada kulit

dan saraf.6, 35

2. Regimen Pengobatan MDT

Multi drug therapy (MDT) adalah kombinasi dua atau lebih obat

antikusta, salah satunya rifampisin sebagai anti kusta yang bersifat

bakterisidal kuat, sedangkan obat anti kusta lai bersifat bakteriostatik.

Berikut ini merupakan kelompok orang yang membutuhkan MDT: 7, 33

1. Pasien yang baru didagnosis kusta dan belum pernah mendapat

MDT.

2. Pasien ulangan, yaitu pasien yang mengalami hal-hal di bawah ini :

a. Relaps

b. Masuk kembali setelah default (dapt PB maupuN MB)

c. Pindahan (pindah masuk)

d. Berubah klasifikasi/tipe

Regimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai dengan yyang

direkomendasikan oleh WHO. Regimen tersebut adalah sebaga berikut:

1, 33

- Pasien pausibasiler (PB)

Dewasa

Pengobatan bulanan : hari pertama (obat diminum di depan

petugas)

2 kapsul rifampisin @ 300mg (600 mg)

1 tablet dapson/DDS 100 mg

Pengobatan harian : hari ke 2-28

Page 28: Skripsi kusta Bab 1-3 Post Sidang

28

1 tablet dapson/DDS 100 mg

Satu blister untuk 1 bulan, dibutuhkan 6 blister yang diminum

selama 6-9 bulan.

- Pasein multibasiler (MB)

Pengobatan bulanan : hari pertama (obat diminu depan petugas )

2 kapsul rifampisin @ 300 mg (600 mg)

3 tablet lampren @ 100 mg (300 mg)

1 tablet dapson/DDS 100 mg

Pengobatan harian : hari ke 2-28

1 tablet lampren 50 mg

1 tablet dapson/DDS 100 mg

Satu blister untuk 1 bulan. Dibutuhkan 12 blister yang diminum

selama 12-18 bulan.

3. Dosis MDT PB untuk anak (umur 10-15 tahun) 1, 33

Pengobatan bulanan : hari pertama (obat diminum di depan petugas)

2 kapsul rifampisin 150 mg dan 300 mg

1 tablet dapson/DDS 50 mg

Pengobatan harian : hari ke 2-28

1 tablet dapson/DDS 50 mg

Satu blister untuk 1 bulan. Dibutuhkan 6 blister yang diminum selama

6-9 bulan.

4. Dosis MDT MB untuk anak (umur 10-15 tahun)1, 33

Pengobatan bulanan : hari pertama (obat diminum di depan petugas)

2 kapsul rifampisin 150 mg dan 300 mg

3 tablet lampren @ 50 mg (150 mg)

1 tablet dapson/DDS 50 mg

Pengobatan harian : hari ke 2-28

1 tablet lampren 50 mg selang sehari

Page 29: Skripsi kusta Bab 1-3 Post Sidang

29

1 tablet dapson/DDS 50 mg

Satu blister untuk 1 bulan. Dibutuhkan 12 blister ynag diminum selama

12 bulan.

Bagi dewasa dan anak usia 10-14 tahun tersedia paket dalam bentuk

blister.

Dosis anak disesuaikan dengan berat badan:

Rifampisin : 10-15 mg/kgBB

Dapson : 1-2 mgkgBB

Lampren : 1 mg/kgBB

Tabel 2.5 1 Pedoman dosis MDT bagi pasien kusta

Type PB 33, 34

Tabel 2.5 2 Pedoman praktis untuk dosis MDT bagi pasien kusta

Type MB 33, 34

Page 30: Skripsi kusta Bab 1-3 Post Sidang

30

2.7 Tatalaksana non farmakologi Kusta

1. Edukasi Pencegahan cacat

Tujuan pencegahan cacat: 29, 31

a. Mencegah timbulnya cacat pada saat diagnosis kusta ditegakkan

dan diobati, diagnosis dini dan terapi yang rasional perlu

ditegakkan dengan cepat dan tepat.

b. Mencegah agar cacat yang telah terjadi tidak menjadi lebih berat,

dengan cara :

i. Melindung dan menjaga tangan yang anastesi (dan yang

sudah cacat). Agar tangan nya tidak terluka, luka bisa

disebabkan oleh terbakar oleh kena benda panas, terbentur,

dan tersentuh benda tajam.untuk mencegah luka-luka

tersebut penderita kusta perlu diingatkan untuk : 22, 29

1. Selalu menjaga kebersihan tangan.

2. Tidak bekerja saat masih ada luka di tangan maupun

kaki sampai luka sembuh.

3. Melindungi diri dari benda yang panas, kasar, dan

tajam dengan memakai alas tangan.

4. Membagi tugas rumah tangga dan meminta orang

lain untuk mengerjakan pekerjan yang berbahaya.

Page 31: Skripsi kusta Bab 1-3 Post Sidang

31

5. Sering berhenti dan sering-sering melepaskan

pegangan dan memeriksa tangan saat sedang

bekerja.

6. Jika ada luka, lecet atau memar segera bersihkan

dan diobati.

ii. menjaga fungsi saraf

iii. untuk jari tangan dan kaki yang bengkok dan/atau kering :

1. merendam tangan dan kaki dengan air dingin setiap

hari selama 20 menit

2. mengolesi dengan minyak atau lotion

3. meluruskan jari-jari yang bengkok agar tidak

semakin kaku.

iv. untuk kaki yang mati rasa : 22

1. selalu memakai alas kaki (sendal / sepatu yang

empuk)

2. tidak berdiri, jongkok terlalu lama, dan menghindari

berjalan jauh.

3. Menghindari kaki dari benda tajam

c. Menjaga agar cacat yang telah baik tidak kambuh lagi. Pencegahan

terjadinya transisi dari disability ke handicap dapat dilakukan

antara lain dengan penyuluhan adaptasi sosial dan latihan.22

2.8 Kerangka Teori

Kerangka Teori Penelitian 17, 19

Page 32: Skripsi kusta Bab 1-3 Post Sidang

32

2.9 Kerangka Konsep

Kerangka Konsep Penelitian 17, 19

2.10 Definisi Operasional

Tabel 2.8. Definisi Operasional

No Variabel Definisi Cara ukur Alat ukur Skala Hasil ukur

1. Angka

kejadian

(prevalensi)

morbus

hensen/kusta

Jumlah seluruh

pendeita kusta yang

tercatat di rekam

medis RSUD

Tangerang tahun

2011.

Data

sekunder

Data

sekunder

Nominal Kasus kusta

2. Usia Hidup responden

yang dihitung dalam

tahun sejak lahir

sampai waktu

penelitian

Data

sekunder

Data

sekunder

Nominal Menurut WHO:

1. Muda (15-49

tahun)

2. Orang tua (50

tahun ke atas)

Page 33: Skripsi kusta Bab 1-3 Post Sidang

33

3. Jenis kelamin Status gender

seseorang (penderita

kusta)

Data

sekunder

Data

sekunder

Nominal 1. Laki-laki

2. Perempuan

4. Tempat Tempat pengambilan

data kasus

Data

sekunder

Data

sekunder

Nominal Rumah sakit

5. Waktu Rentang waktu yang

terdiri dari bulan dan

tahun

Data

sekunder

Data

sekunder

Nominal Tahun

Page 34: Skripsi kusta Bab 1-3 Post Sidang

34

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 DESAIN PENELITIAN

Jenis penelitian ini bersifat analisis deskriptif dengan metode studi

cross sectional tentang angka kejaidian morbus hensen/kusta di RSUD

Tangerang pada tahun 2011 dengan variabel usia dan jenis kelamin dalam

bentuk tabel dan grafik.

3.2 LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN

3.2.1 Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di RSUD kota Tangerang.

3.2.2 Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan September-Desember 2012.

3.3 POPULASI DAN SAMPEL PENELITIAN

3.3.1 Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh penderita kusta

yang tercatat dalam rekam medis poli kulit RSUD Tangerang tahun

2011.

3.3.2 Jumlah Sampel

Sampel penelitian adalah seluruh penderita kusta di RSUD

Tangerang sehingga penelitian ini adalah total sampling.

3.3.3 Cara Pengambilan Sampel

Sampel merupakan data sekunder yang diambil dari rekam

medis penderita kusta yang datang berobat ke poli kulit RSUD

Tangerang tahun 2011.

3.4 CARA KERJA PENELITIAN

3.4.1 Etika Penelitian

Penelitian ini telah memperoleh persetujuan dari Fakultas

Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Page 35: Skripsi kusta Bab 1-3 Post Sidang

35

Penulis mendapatkan persetujuan untuk melakukan penelitian di

RSUD Kota Tangerang.

3.4.2 Alur Penelitian

Gambar 3.4. Alur Penelitian

3.5 Manajemen Kerja

3.5.1 Pengumpulan Data

Data diambil dengan melihat rekam medis penderita kusta yang

datang ke poli kulit RSUD Tangerang.

3.5.2 Pengolahan Data

Data dimasukkan ke dalam komputer melalui data entry pada

program SPSS versi 16.0 untuk windows yang kemudian dianalisis lalu

dibahas secara deskriptif dalam laporan hasil penelitian.

3.5.3 Penyajian Data

Data-data hasil penelitian yang diolah ditampilkan secara deskriptif

dalam bentuk tabel, grafik dan gambaran.

3.5.4 Analisa Data

Analisa univariat dengan menampilkan tabel angka kejadian

morbus hensen/kusta berdasarkan variabel yang terdiri dari variabel usia

dan jenis kelamin.

3.5.5 Pelaporan Hasil Penelitian

Page 36: Skripsi kusta Bab 1-3 Post Sidang

36

Hasil penelitian dibuat dalam bentuk makalah laporan penelitian

yang dipresentasikan di hadapan staf pengajar program studi pendidikan

dokter FKIK IUN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Page 37: Skripsi kusta Bab 1-3 Post Sidang

37

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Angka Kejadian Morbus Hensen / Kusta Berdasarkan Usia di RSUD

Tangerang Tahun 2011

Tabel 4.1 Frekuensi Kejadian Morbus Hensen Berdasarkan Usia Di

RSUD Tangerang Tahun 2011 14

Usia Frekuensi Presentase (%)

11-20 0 0

21-30 5 15

31-40 3 9

41-50 5 15

51-60 13 38

61-70 8 23

total 34 100

Grafik 4.1 Perbandingan kejadian morbus hensen berdasarkan usia di

RSUD Tangerang tahun 2011 14

Page 38: Skripsi kusta Bab 1-3 Post Sidang

38

Berdasarkan tabel 4.1dan grafik 4.1 didapatkan hasil bahwa

kejadian kusta menurut kelompok usia yang paling tinggi adalah

kelompok usia 51-60 tahun yaitu 38%.

Kebanyakan peneliti melaporkan distribusi penyakit kusta menurut

umur berdasarkan prevalensi, hanya sedikit yang berdasarkan insiden,

karena kejadian penyakit sering terkait umur pada saat ditemukan nya

kusta daripada saat timbulnya penyakit.4

Kejadian kusta diketahui terjadi pada semua umur mulai bayi

sampai tua (3 minggu sampai lebih dari 70 tahun), namun penyakit kusta

jarang ditemukan pada bayi, yang terbanyak adalah pada usia dewasa

(diatas 15-30 tahun). Hal ini terjadi karena selain masa inkubasi kuman

M.Leprae yang lama juga karena kesulitan mengetahui awal mula

timbulnya penyakit. 24

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Brigitte Ranque, et.al

(1997), yang menyimpulkan bahwa penderita kusta lebih banyak

ditemukan pada kelompok usia dewasa dibandingkan anak, hal ini

disebabkan karena dalam sistem imun anak, sel T helper 2 (th2) diduga

kuat mampu mengatasi terjadinya infeksi sehingga reaksi kusta lebih

kecil terjadi pada anak. Sedangkan pada orang dewasa ketersediaan sel T

memori lebih banyak dan menyebabkan terjadinya reaksi kusta lebih

tinggi dan dapat memicu reaksi silang antara antigen M. Leprae dengan

antigen non M. Leprae seperti M. Tuberculosis.37

Namun dikatan juga

kecacatan lebih banyak terjadi pada usia produktif 19-55 tahun, dan

kecacatan sekunder umumnya lebih sering terjadi pada usia di bawah 30

tahun. Hal ini disebabkan karena bahaya yang terpapar saat beraktifitas.

Dan usia produktif lebih sering melakukan aktifitas dibandingkan dengan

anak dan usia lanjut.4

4.2. Angka Kejadian Morbus Hensen / Kusta Berdasarkan Jenis

Kelamin di RSUD Tangerang Tahun 2011

Tabel. 4.2 Frekuensi Kejadian Morbus Hensen Berdasarkan Jenis

Kelamin Di Rsud Tangerang Tahun 2011 14

Page 39: Skripsi kusta Bab 1-3 Post Sidang

39

Jenis kelamin Frekuensi Presentase (%)

Laki-laki 23 68

Perempuan 11 32

Total 34 100

Grafik 4.2 Perbandingan kejadian morbus hensen berdasarkan jenis

kelamin di RSUD Tangerang tahun 2011 14

Data penderita morbus hensen / kusta berdasarkan kelompok jenis

kelamin pada penelitian ini menunjukkan bahwa kusta di RSUD

Tangerang pada tahun 2011 paling tinggi pada jenis kelamin laki-laki

yaitu sebanyak 68%.

Laki-laki memiliki tingkat terkena kusta dua kali lebih tinggi

dibandingkan perempuan. Rendahnya kejadian morbus hensen / kusta

pada perempuan dapat disebabkan karena beberapa faktor antara lain

faktor lingkungan dan biologis.36

Menurut catatan sebagian besar negara di dunia kecuali dibeberapa

negara di Afrika menunjukkan bahwa laki-laki lebih banyak terserang

daripada wanita. Alasan nya seperti kebanyakan pada penyakit menular

lainnya yaitu laki-laki lebih banyak terpapar dengan faktor risiko yang

sebagian besar berkaitan dengan gaya hidup yaitu seperti kebiasaan

keluar rumah, laki-laki lebih sering beraktifitas di luar rumah dibanding

perempuan sehingga lebih rentan untuk tertular penyakit kusta.35

Page 40: Skripsi kusta Bab 1-3 Post Sidang

40

Dari berbagai penelitian menunjukkan 90% dari populasi yang

kontak langsung dengan penderita akan mengalami penularan kusta,

selain itu pekerjaan dan merokok juga termasuk faktor risiko yang

berhubungan dengan rentan nya laki-laki untuk terkena kusta dan tingkat

kecacatan yang lebih berat dibandingkan dengan perempuan.27

Page 41: Skripsi kusta Bab 1-3 Post Sidang

41

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

1. Kejadian morbus hensen/kusta di RSUD Tangerang tahun 2011 menurut

kelompok usia diketahui bahwa kelompok usia 51-60 tahun lebih banyak

dibandingkan kelompok usia lain yaitu 38%.

2. Kejadian morbus hensen/kusta di RSUD Tangerang berdasarkan jenis

kelamin diketahui bahwa laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan.

Hal ini dapat dilihat dari jumlah kasus pada laki-laki sebanyak 23 orang.

5.2 Saran

1. Diperlukan penyuluhan sedini mungkin kepada masyarakat tangerang dan

sekitarnya sebagai upaya pencegahan kejadian kusta.

2. Untuk RSUD Tangerang diharapkan mengetahui prevalensi jumlah pasien

penderita kusta berdasarkan karakteristik, jenis/tipe kusta yang di derita

pasien.

3. RSUD dan dinas kesehata kota Tangerang hendaknya dapat melakukan

survei lanjutan untuk mengetahui perkembangan kusta lebih lanjut, agar

dapat diketahui jumlah penderita kusta.