bab ii kusta

33
BAB II TINJAUAN TEORITIS A. Anatomi fisiologi Sistem Integumen Kulit merupakan pembungkus tubuh dan pelindung organ didalamnya. Luas permukaannya pada orang dewasa 1,5-1,75 m². Berat 15% dari total berat badan. Tebal tidak sama, bervariasi antara 5-6mm, pada telapak tangan dan kaki, 0,5mm pada kulit penis (Setiadi, 2007). Secara mikroskipik kulit terdiri dari 3 lapisan, yaitu: 1. Epidermis Lapisan epidermis terdiri atas : a. Stratum korneum Statum korneum, selnya sudah mati,tidak mempunyai inti sel dan menggandung sel keratin. b. Stratum lusidum Stratum lusidum, selnya pipih, bedanya dengan stratum granulosum ialah sel-sel sudah banyak kehilangan inti dan butir-butir sel telah menjadi jernih sekali dan tembus sinar. Lapisan ini hanya terdapat pada telapak tangan dan telapak kaki. Dalam lapisan terdapat seperti suatu pita yang bening, batas-batas sel sudah tidak begitu terlihat. c. Stratum granulosum Stratum granulosum, stratum ini terdiri dari sel-sel pipih seperti kumparan sel-sel tersebut terdapat 5

Upload: bayuk93

Post on 26-Dec-2015

13 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Bab II Makalah mengenai kusta

TRANSCRIPT

Page 1: Bab II Kusta

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Anatomi fisiologi Sistem Integumen

Kulit merupakan pembungkus tubuh dan pelindung organ didalamnya. Luas

permukaannya pada orang dewasa 1,5-1,75 m². Berat 15% dari total berat badan. Tebal tidak

sama, bervariasi antara 5-6mm, pada telapak tangan dan kaki, 0,5mm pada kulit penis

(Setiadi, 2007).

Secara mikroskipik kulit terdiri dari 3 lapisan, yaitu:

1. Epidermis

Lapisan epidermis terdiri atas :

a. Stratum korneum

Statum korneum, selnya sudah mati,tidak mempunyai inti sel dan menggandung

sel keratin.

b. Stratum lusidum

Stratum lusidum, selnya pipih, bedanya dengan stratum granulosum ialah sel-sel

sudah banyak kehilangan inti dan butir-butir sel telah menjadi jernih sekali dan

tembus sinar. Lapisan ini hanya terdapat pada telapak tangan dan telapak kaki.

Dalam lapisan terdapat seperti suatu pita yang bening, batas-batas sel sudah

tidak begitu terlihat.

c. Stratum granulosum

Stratum granulosum, stratum ini terdiri dari sel-sel pipih seperti kumparan sel-

sel tersebut terdapat hanya 2-3 lapis yang sejajar dengan permukaan kulit. Dalam

sitoplasma terdapat butir-butir yang disebut keratohialin yang merupakan fase

dalam pembentukan keratin oleh karna banyaknya butir-butir stratum

granulosum.

d. Stratum spinosum

Stratum spinosum/stratum akantosum, lapisan ini merupakan lapisan yang paling

tebal dan dapat mencapai 0,2 mm terdiri dari 5-8 lapisan. Sel-selnya disebut

spinosus karena jika kita lihat di bawah mikroskop sel-selnya terdiri dari sel

yang bentuknya poligonal (banyak sudut) dan mempunyai tanduk (spina).

5

Page 2: Bab II Kusta

Disebut akantosum karena selselnya berduri. Ternyata spina atau tanduk tersebut

adalah hubungan antara sel yang lain yang disebut jembatan interseluler.

e. Stratum basal

Stratum basal/germinatikum, disebut stratum basal karena sel-selnya terletak di

bagian basal. Stratum germinatikum menggantikan sel-sel yang di atasnya dan

merupakan sel-sel induk. Bentuknya silindris(tabung) dengan inti yang lonjong.

Di dalamnya terdapat butir-butir halus disebut butir melanin warna. Sel-el

tersebut disusun seperti pagar di bagian bawah sel tersebut terdapat suatu

membran yang disebut membran basalis.

2. Dermis

Dermis merupakan lapisan kedua dari kulit. Batas dengan epidermis dilapisi oleh

membran basalis dan di sebelah bawah berbatasan dengan subkutis tapi batas ini

tidak jelas hanya kita ambil sebagai patokan ialah mulainya terdapat sel lemak.

Lapisan dermis terbagi 2, yaitu:

a. Stratum Papilaris

Yaitu bagian yang menonjol ke epidermis, berisi ujung serabut saraf dan

pembuluh darah.

b. Stratum retikularis

Yaitu bagian dibawahnya yang menonjol ke arah subkutan, bagian ini terdiri

atas serabut-serabut penunjang misalnya serabut kolagen, elastin, dan retikulin.

Dasar (metrik) lapisan ini terdiri atas cairan kental asam hialuronat dan

kondoitin sulfal, dibagian ini terdapat pula fibroblast. Serabut kolagen dibentuk

oleh fibroblast, membentuk ikatan (bundel) yang mengandung hidroksiprolin

dan hidroksisil. Kolagen muda bersifat lentur dengan bertambah umur menjadi

kurang larut sehingga makin stabil. Retikulin mirip kolagen muda. Serabut

elastin biasanya bergelombang, berbentuk amorf dan mudah mengembang serta

lebih elastis.

3. Subkutis

Lapisan Subkutis adalah lanjutan dermis, terdiri atas jaringan ikat longgar berisi

sel-sel lemak didalamnya. Sel-sel lemak merupakan sel bulat, besar, dengan inti

terdesak kepinggir sitoplasma lemak yang bertambah.

6

Page 3: Bab II Kusta

Sel-sel ini membentuk kelompok yang dipisahkan satu dengan yang lain oleh

trabekula yang fibrosa. Lapisan sel-sel lemak disebut panikulus adifosa, berfungsi

sebagai cadangan makanan. Dilapisan ini terdapat ujung-ujung saraf tepi, pembuluh

darah, dan getah bening. Tebal tipisnya jaringan lemak tidak sama bergantung paa

lokasinya. Diabdomen dapat mencapai ketebalan 3 cm, didaerah kelopak mata dan

penis sangat sedikit. Lapisan ini juga merupakan bantalan.

Faskularisasi dikulit diatur oleh 2 fleksus, yaitu, fleksus yang terletak dibagian atas

dermis (fleksus superficial) dan yang terletak disubkutis (fleksus profunda). Fleksus

yang didermis bagian atas mengadakan anastomosis dipapil dermis, fleksus yang

disubkutis dan di pars retikulare juga mengadakan anastomosis, dibagian ini

pembuluh darah berukuran lebih besar. Bergandengan dengan pembuluh darah

terdapat saluran getah bening.

Subkutis terdiri dari kumpulan-kumpulan sel-sel lemak dan di antara gerombolan

ini berjalan serabut-serabut jarinan ikat dermis. Sel-sel lemak ini bentuknya bulat

dengan inti terdesak ke pingir, sehinga membentuk seperti cincin.

Gambar. 2.1 Anatomi kulit

Sumber: Medicalcenter.osu.edu

Kelenjar – Kelenjar pada Kulit antara lain :

a. Kelenjar sebasea

Berfungsi mengontrol sekresi minyak kedalam ruang antara folikel rambut dan

batang rambut yang akan melumasi rambut sehingga menjadi halus, lentur dan

lunak.

7

Page 4: Bab II Kusta

b. Kelenjar apokrin

Terdapat di aksil, anus, skrotum, labia mayora dan bermuara pada folikel

rambut. Kelenjar ini memproduksi keringat yang keruh seperti susu yang

diuraikan oleh bakteri menghasilkan bau khas pada aksila.

c. Kelenjar ekrin

Kelenjar ini terdapat di semua kulit. Melepaskan keringat sebagai reaksi

peningkatan suhu lingkungan dan suhu tubuh. Kecepatan eksresi keringat di

kendalikan oleh saraf simpatik.

Fungsi utama kulit ialah proteksi, absorpsi, ekskresi, persepsi, pengaturan

suhu tubuh (termoregulasi), pembentukan pigmen, pembentukan vitamin D, dan

keratinisasi. Faalkulit, yaitu :

1. fungsi proteksi, kulit menjaga bagian dalam tubuh terhadap gangguan fisik

atau mekanis, misalnya tekanan, gesekan, tarikan, gangguan kimiawi,

misalnya zat-zat kimia terutama yang bersif iritan, contohnya lisol, karbol,

asam, dan alkali kuat lainnya; gangguan yang bersifat panas, misalnya

radiasi, sengatan sinar ultra violet, gangguan infeksi luar terutama kuman/

bakteri mau pun jamur. Hal di atas di mungkinkan karena adanya bantalan

lemak, tebalnya dilapisan kulit dan serabut-serabut jaringan penunjang yang

berperan sebagai pelindung terhadap gangguan fisik. Melanosit turut

berperan dalam melindungi kulit terhadap pajanan sinar matahari dengan

mengadakan tanning. Proteksi rangsangan kimia dapat terjadi karena sifat

stratum korneum yang impermeabel terhadap berbagai zat kimia dan air,

disamping itu terdapat lapisan keasaman kulit yang melindungi kontak zat-

zat kimia dengan kulit. Lapisan keasaman kulit ini mungkin terbentuk dari

hasil ekresi keringat dan sebum, keasaman kulit menyebabkan pH kulit

berkisar pada pH 5-6,5 sehingga merupakan perlindungi kimiawi terhadap

infeksi bakteri/ jamur. Proses keratinisasi juga berperan sebagai sawar

(barier) mekanis karena sel-sel mati melepaskan diri secara teratur.

2. fungsi absorsi, kulit yang sehat tidak mudah menyerap air, larutan dan

benda padat, tetapi cairan yang mudah menguap dan mudah di serap,

begitupun larut lemak. Permeabilitas kulit terhadap O2, cO2, dan uap air

8

Page 5: Bab II Kusta

memungkinkan kulit ikut mengambil bagian pada fungsi respirasi.

Kemampuan absorpsi kulit di pengaruhi oleh tebal tipisnya kulit hidrasi,

kelembapan, metabolisme dan jenis pehikulum. Penyerapan dapat

berlangsung melalui celah antarsel menembus sel-sel epidermis atau melalui

muara sluran kelenjar ; tetepi lebih banyak yang melaui sel epidermis dari

pada yang melalui muara kelenjar.

3. fungsi eksresi, kelenjar kelenjar kulit mengeluarkan zat-zat yang tidak

berguna lagi atau sisa metabolisme dalam tubuh berupa NaCl, urea, asam

urat, dan amoniak. Kelenjar emak pada fetus atau pengaruh hormon

androgen dari ibunya memperoduksi sebum untuk melindungi kulitnya

terhadap cairan amnion, pada waktu lahir di jumpai sebagai fernix caseosa.

Sebum yang di peroduksi kulit karena lapisan sebum ini selain memiyaki

kulit juga menahan evaporasi air yang berlebihan sehingga kulit tidak

menjadi kering. Produk kelenjar lemak dan keringat di kulit menyebabkan

keasaman kulit pada pH 5-6,5.

4. fungsi persepsi, kulit mengandung ujung-ujung syaraf sensorik di dermis

dan subkutis. Trehadap rangsangan panas diperankan oleh badab-badab

rufini di dermis dan subkutis terhadap dingin di perankan oleh badan-badan

karuse yang terketak di dermis.badan taktil meyssner terletak di papila

dermis berperan terhadap rabaan, demikian pula badan marcel ranvier yang

terletak di epidermis. Sedangkan terhadap tekanan oleh badan paccini di

epidermis. Syaraf-syaraf sensorik lebih banyak jumlahnya di daerah erotik.

5. fungsi pengaturan suhu tubuh (termoregulasi), kulit melakukan peranan ini

dengan cara mengeluarkan keringat dan mengerutkan (otot berkontraksi)

pembuluh darah. Kulit kaya akan pembuluh darah sehingga memungkinkan

kulit mendapat nutrisi yang cukup baik. Tonus faskular di pengaruhi oleh

saraf simpatis (asetil kolin). Pada bayi biasanya dinding pembuluh darah

belum terbentuk sempurna, sehingga terjadi ekstrapasasi cairan, karna itu

kulit bayi tampak lebih edematosa karena lebih banyak mengandung air dan

Na.

9

Page 6: Bab II Kusta

6. fungsi pembentukan pigmen sel pembentuk pigmen (melatosit), terletak di

lapisan basal dan sel ini berasal dari rigi syaraf. Perbandingan jumlah sel

basal: 10:1. jumlah melanosit dan jumlah serta besarnya. Butiran pigmen

(melanosomes) menentukan warna kulit ras maupun individu. Pada pulasan

H.E. sel ini jernih berbentuk bulat dan merupakan sel dendrit, di sebut juga

sebagai clear cell. Melsnosom di bentuk oleh alat golgi dengan bantuan

enzim terosinase, ion Cu dan O2. pajanan terhadap sinar matahari

mempengaruhi produksi melanosom. Pigmen di sebar ke dalam epidermis

melalui tangan-tangan denrit sedangkan lapisan kulit bawah di bawa oleh sel

melanofak (melanofor). Warna kulit tidak sepenuhnya di pengaruhi oleh

pigmen kulit, melainkan juga oleh tebal tipisnya kulit, reduksi Hb, oksi Hb,

dan keorein.

7. fungsi keratuinisasi, lapisan epidermis dewasa mempunyai 3 jenis sel utama

yaitu keratinosit di mulai dari sel basal mengadakan pembelahan, sel basal

yang lain aka berpindah ke atas dan berubah bentuknya menjadi sel

spinosun makin ke atas sel menjadi makin gepeng dan bergranula menjadi

sel granulosum makin lama inti menghilang dan ceratinosit ini menjadi sel

tanduk yang amorf. Proses ini berlangsung terus-menerus dan sampai

sekarang belum sepenuhnya di mengerti. Matoltsy berpendapat mungkin

keratinosit melalui proses sintisis dan degranasi menjadi lapisan tanduk.

Proses ini berlangsung normal selama kira-kira 14-21 hari, dan memberi

perlindungan kulit terhadap infeksi secara mekanis fisiologi.

8. fungsi pembentukan Vitamin D, di mungkinkan dengan mengubah 7

dihidroksi kolesterol dengan pertolongan sinar matahari. Tetapi kebutuhan

tubuh akan vitamin D tidak cukup hanya dari hal tersebut sehingga

pemberian vitamin D sistemik masih dapat di perlukan.

10

Page 7: Bab II Kusta

B. KUSTA

1. Definisi Kusta

Penyakit kusta adalah suatu penyakit kronis menular yang disebabkan oleh infeksi

Mycobacterium leprae. Penyakit ini terutama menyerang pada masyarakat di

negara-negara berkembang dan menimbulkan dampak psikologis, social dan

ekonomi. Penyakit kusta adalah penyakit menular yang menahun yang menyerang

saraf perifer, kulit dan jaringan tubuh lainnya (Budi, 2000).

2. Klasifikasi

Untuk para petugas kesehatan di lapangan, bentuk klinis penyakit kusta

cukup dibedakan atas dua jenis yaitu:

a. Kusta bentuk kering (tipe tuberkuloid)

Merupakan bentuk yang tidak menular.Kelainan kulit berupa bercak

keputihan sebesar uang logam atau lebih, jumlahnya biasanya hanya beberapa,

sering di pipi, punggung, pantat, paha atau lengan. Bercak tampak kering,

perasaan kulit hilang sama sekali, kadang-kadang tepinya meninggi.Pada tipe

ini lebih sering didapatkan kelainan urat saraf tepi pada, sering gejala kulit tak

begitu menonjol tetapi gangguan saraf lebih jelas.

Komplikasi saraf serta kecacatan relatif lebih sering terjadi dan timbul

lebih awal dari pada bentuk basah.Pemeriksaan bakteriologis sering kali

negatif, berarti tidak ditemukan adanya kuman penyebab.Bentuk ini merupakan

yang paling banyak didapatkan di indonesia dan terjadi pada orang yang daya

tahan tubuhnya terhadap kuman kusta cukup tinggi.

b. Kusta bentuk basah (tipe lepromatosa)

Merupakan bentuk menular karena banyak kuman dapat ditemukan baik di

selaput lendir hidung, kulit maupun organ tubuh lain.Jumlahnya lebih sedikit

dibandingkan kusta bentuk kering dan terjadi pada orang yang daya tahan

tubuhnya rendah dalam menghadapi kuman kusta.Kelainan kulit bisa berupa

bercak kamarahan, bisa kecil-kecil dan tersebar diseluruh badan ataupun

sebagai penebalan kulit yang luas (infiltrat) yang tampak mengkilap dan

11

Page 8: Bab II Kusta

berminyak. Bila juga sebagai benjolan-benjolan merah sebesar biji jagung yang

sebesar di badan, muka dan daun telinga.Sering disertai rontoknya alis mata,

menebalnya cuping telinga dan kadang-kadang terjadi hidung pelana karena

rusaknya tulang rawan hidung.Kecacatan pada bentuk ini umumnya terjadi

pada fase lanjut dari perjalanan penyakit.Pada bentuk yang parah bisa terjadi

”muka singa” (facies leonina).

3. Etiologi

Mikobakterium leprae merupakan basil tahan asam (BTA) bersifat obligat

intraseluler, menyerang saraf perifer, kulit dan organ lain seperti mukosa saluran

nafas bagian atas, hati, sumsum tulang kecuali susunan saraf pusat. Masa

membelah diri mikobakterium leprae 12-21 hari dan masa tunasnya antara 40 hari-

40 tahun. Kuman kusta berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-8 micro, lebar

0,2-0,5 micro biasanya berkelompok dan ada yang disebar satu-satu, hidup dalam

sel dan BTA (Pendi, 2003).

4. Epidemiologi

Penyakit kusta hingga kini masih menghantui 14 provinsi di Indonesia,

empat provinsi di antaranya yakni Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan

Sulawesi Selatan. Dilaporkan ada lebih dari 1.000 kasus setiap

tahunnya."Program pengendalian penyakit kusta nasional melaporkan ada sekitar

17.000-18.000 kasus baru setiap tahunnya. Prevalensi penyakit kusta belum

menunjukkan kecenderungan menurun. Karena itu, penyakit kusta masih menjadi

prioritas program," ujar Menteri Kesehatan (Menkes) Endang Rahayu Sedya-

ningsih dalam "Pertemuan Aliansi Nasional Eliminasi Kusta (ANEK) dan

Eradikasi Frambusia", di Jakarta, Selasa (31/8). Menkes menambahkan, Indonesia

merupakan Negara ketiga di dunia setelah India dan Brasil yang memiliki kasus

kusta baru terbanyak. Secara nasional, Indonesia sebenarnya telah mencapai

tingkat eliminasi terhadap kusta dengan angka prevalensi kurang dari satu per

10.000 pada tahun 2000."Namun dengan tingkat populasi yang cukup besar, maka

12

Page 9: Bab II Kusta

jumlah penderita kus-ta baru sebanyak 18.000 orang per tahun terbilang cukup

besar," katanya.

Menurut Endang Rahayu, program pengendalian kusta telah berhasil

mengobati dan menyembuhkan sebanyak 375.119 penderita melalui Multi-Drug

Therapy (MDT) sejak 1990 dan telah menurunkan 80 persen jumlah penderita

dari 107.271 pada tahun 1990 menjadi 21.026 penderita pada tahun 2009. Namun,

diakui Menkes, beban akibat kecacatan akibat kusta masih tinggi yaitu sekitar

1.500 kasus cacat tingkat 2 masih ditemukan tiap tahunnya."Secara kumulatif,

sejak tahun 1990-2009 terdapat sekitar 30.000 kasus cacat tingkat 2 yang antara

lain mata tidak bisa menutup karena syaratnya terganggu, jari tangan atau kaki

bengkok/kiting atau adanya luka pada telapak tangan dan kaki akibat mati rasa,"

tutur Menkes. Besarnya beban akibat ke cacatan kusta itulah, lanjut Endang

Rahayu, mendorong Badan Kesehatan Dunia (WHO) merencanakan target

menurunkan 35 persen angka cacat tingkat 2 pada tahun 2015 berdasarkan data

tahun 2010.

Jambi, Batak Pos penularan penyakit kusta di kabupaten merangin,

Propinsi Jambi masuk dalam kategori kejadian luar biasa(KLB). Penularan

penyakit ini telah mewabah di seluruh kecamatan di Kabupaten Merangin.

Sebelumnya dinas kesehatan kabupaten Merangin hanya menemukan 40 orang

warga pengidap penyakit tersebut yang tersebar di desa lubuk beringin, lubuh

birah, dan desa durian rambun, kecamatan muara siau. Namun, kini sudah

menyebar luas ke seluruh kecamatan.(Sri Linuwih, 2002).

5. Patofisiologi

Setelah mikobakterium leprae masuk kedalam tubuh, perkembangan

penyakit kusta bergantung pada kerentanan seseorang. Teori yang paling banyak

digunakan adalah penularan melalui kontak/sentuhan yang berlangsung lama,

namun berbagai penelitian mutakhi rmengarah pada droplet infection yaitu

penularan melalui selaput lendir pada saluran napas. M. leprae tidak dapat

bergerak sendiri dan tidak menghasilkan racun yang dapat merusak kulit,

sedangkan ukuran fisiknya yang lebih besar dari pada pori-pori kulit. Oleh karena

13

Page 10: Bab II Kusta

itu, M. leprae yang karena sesuatu hal menempel pada kulit kita, tidak dapat

menembus kulit jika tidak ada luka pada kulit. Respon setelah masa tunas

dilampaui tergantung pada derajat sistem imunitas seluler (celuler midialet

immune) pasien. Kalau sistem imunitas seluler tinggi, penyakit berkembang

kearah tuberkoloid dan bila rendah berkembang kearah lepromatosa.

Mikobakterium leprae berpredileksi didaerah-daerah yang relatif dingin, yaitu

daerah akral dengan vaskularisasi yang sedikit. Derajat penyakit tidak selalu

sebanding dengan derajat infeksi karena imun pada tiap pasien berbeda. Gejala

klinis lebih sebanding dengan tingkat reaksi seluler dari pada intensitas infeksi

oleh karena itu penyakit kusta disebut penyakit imonologik (Beta, 2005).

6. Manifestasi Klinis

Menurut WHO (1995), seseorang didiagnosis menderita penyakit kusta apa bila

terdapat satu dari tanda cardinal berikut :

a. Adanya lesi kulit yang khas dan kehilangan sensibilitas.

Lesi kulit dapat tunggal atau pun multipel, biasanya hipopigmentasi tetapi

kadang-kadang lesi kemerahan atau berwarna tembaga. Lesi dapat bervariasi

tetapi umumnya berupa makula, papula atau nodul.

b. BTA Positif.

Pada beberapa kasus ditemukan basil tahan asam dari kerokan jaringan kulit.

Bila ragu-ragu maka dianggap sebagai kasus dicurigai dan periksa ulang setiap

3 bulan sampai ditegakan diagnosis kusta atau penyakit lain.

7. Pemeriksaan Penunjang

Menurut Pendi, 2003. Sebagai berikut:

a. Inspeksi, pasien diminta memejamakan mata, menggerakkan mulut, bersiul,

dan tertawa untuk mengetahui fungsi saraf wajah semua kelainan kulit

diseluruh tubuh di perhatikan, seperti adanya macula, nodul, jaringan parut,

kulit yang keriput, penebalan kulit, dan kehilangan rambut tubuh (alopesia dan

madarosis).

14

Page 11: Bab II Kusta

b. Pemeriksaan sensibilitas. Pada lesi kulit dengan menggunakan kapas (rasa

raba), Jarum pentul yang tajam dan tumpul (rasa nyeri, serta air panas dan

dingin dalam tabung reaksi (rasa suhu).

c. Pemeriksaan saraf tepi dan fungsinya dilakukan pada: nervus Auricularis

magnus, Nervus ulnaris, Nervus radialis, Nervus medianus, nervus peroneus

dan nervus tibialis posterior. Hasil pemeriksaan yang perlu dicatat adalah

pembesaran, konsistensi, penebalan, dan adanya nyeri tekan. Perhatikan raut

muka pasien apakah ia kesakitan atau tidak ssaat araf-saraf diraba.

d. Pemeriksaan fungsi saraf otonom, yaitu: memeriksa ada tidaknya kekeringan

pada lesi akibat tidak berfungsinya kelenjar keringat dengan menggunakan

pensiltinta (uji gunawan).

8. Penatalaksanaan

Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah penyembuhan pasien

kusta dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai penularan dari

pasien kusta terutama tipe yang menular kepada orang lain untuk menurunkan

insiden penyakit. Program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi

rifampisin, klofazimin, dan DDS dimulai tahun 1981. Program ini bertujuan untuk

mengatasi resistensi dapson yang semakin meningkat, mengurangi ketidaktaatan

pasien, menurunkan angka putus obat, dan mengeliminasi persistensi kuman kusta

dalam jaringan.

Rejimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai rekomendasi WHO 1995

sebagai berikut:

a. Tipe PB ( PAUSE BASILER)

Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa :

1) Rifampisin 600mg/bln diminum didepan petugas

2) DDS tablet 100 mg/hari diminum di rumah.Pengobatan 6 dosis

diselesaikan dalam 6-9 bulan dan setelah selesai minum 6 dosis

dinyatakan RFT (Release From Treatment) meskipun secara klinis

lesinya masih aktif. Menurut WHO(1995) tidak lagi dinyatakan RFT

15

Page 12: Bab II Kusta

tetapi menggunakan istilah Completion Of Treatment Cure dan pasien

tidak lagi dalam pengawasan.

b. Tipe MB ( MULTI BASILER)

Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa:

1) Rifampisin 600mg/bln diminum didepan petugas.

2) Klofazimin 300mg/bln diminum didepan petugas dilanjutkan dengan

klofazimin 50 mg /hari diminum di rumah.

3) DDS 100 mg/hari diminum dirumah,Pengobatan 24 dosis diselesaikan

dalam waktu maksimal 36 bulan sesudah selesai minum 24 dosis

dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesinya masih aktif dan

pemeriksaan bakteri positif. Menurut WHO (1998) pengobatan MB

diberikan untuk 12 dosis yang diselesaikan dalam 12-18 bulan dan pasien

langsung dinyatakan RFT.

4) Dosis untuk anak

a) Klofazimin:

Umur,dibawah 10 tahun: /blnHarian 50mg/2kali/minggu,Umur 11-14

tahun, Bulanan 100mg/bln,Harian 50mg/3kali/minggu.

b) DDS:1-2mg /Kg BB,Rifampisin:10-15mg/Kg BB.

5) Pengobatan MDT terbaru

Metode ROM adalah pengobatan MDT terbaru. Menurut WHO(1998),

pasien kusta tipe PB dengan lesi hanya 1 cukup diberikan dosis tunggal

rifampisin 600 mg, ofloksasim 400mg dan minosiklin 100 mg dan pasien

langsung dinyatakan RFT, sedangkan untuk tipe PB dengan 2-5 lesi

diberikan 6 dosis dalam 6 bulan. Untuk tipe MB diberikan sebagai obat

alternatif dan dianjurkan digunakan sebanyak 24 dosis dalam 24 jam.

6) Putus obat

Pada pasien kusta tipe PB yang tidak minum obat sebanyak 4 dosis dari

yang seharusnya maka di nyatakan DO, sedangkan pasien kusta tipe MB

di nyatakan DO bila tidak minum obat 12 dosis dari yang seharusnya.

9. Pencegahan Kusta

16

Page 13: Bab II Kusta

Ada 4  Konsep cara pencegahan penyakit kusta menurut (Dinkes RI, 2006) antara

lain :

a. Pencegahan primer

Pencegahan primer dapat dilakukan dengan :

1) Penyuluhan kesehatan

Pencegahan primer dilakukan pada kelompok orang sehat yang belum

terkena penyakit kusta dan memiliki resiko tertular karena berada disekitar

atau dekat dengan penderita seperti keluarga penderita dan tetangga

penderita, yaitu dengan memberikan penyuluhan tentang kusta. Penyuluhan

yang diberikan petugas kesehatan tentang penyakit kusta adalah proses

peningkatan pengetahuan, kemauan dan kemampuan masyarakat yang

belum menderita sakit sehingga dapat memelihara, meningkatkan dan

melindungi kesehatannya dari penyakit kusta. Sasaran penyuluhan penyakit

kusta adalah keluarga penderita, tetangga penderita dan masyarakat

(Depkes RI, 2006)

2) Pemberian imunisasi

Sampai saat ini belum ditemukan upaya pencegahan primer penyakit kusta

seperti pemberian imunisasi (Saisohar,1994). Dari hasil penelitian di

Malawi tahun 1996 didapatkan bahwa pemberian vaksinasi BCG satu kali

dapat memberikan perlindungan terhadap kusta sebesar 50%, sedangkan

pemberian dua kali dapat memberikan perlindungan terhadap kusta

sebanyak 80%, namun demikian penemuan ini belum menjadi kebijakan

program di Indonesia karena penelitian beberapa negara memberikan hasil

berbeda pemberian vaksinasi BCG tersebut (Depkes RI, 2006).

b. Pencegahan sekunder

Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan : Pengobatan pada penderita

adalah untuk memutuskan mata rantai penularan, menyembuhkan penyakit

penderita, mencegah terjadinya cacat atau mencegah bertambahnya cacat yang

sudah ada sebelum pengobatan. Pemberian Multi drug therapy pada penderita

kusta terutama pada tipe Multibaciler karena tipe tersebut merupakan sumber

kuman menularkan kepada orang lain (Depkes RI, 2006).

17

Page 14: Bab II Kusta

c. Pencegahan tertier

1) Pencegahan cacat kusta

2) Pencegahan tersier dilakukan untuk pencegahan cacat kusta pada penderita.

Upaya pencegahan cacat terdiri atas (Depkes RI, 2006).

3) Upaya pencegahan cacat primer meliputi penemuan dini penderita sebelum

cacat, pengobatan secara teratur dan penangan reaksi untuk mencegah

terjadinya kerusakan fungsi saraf.

4) Upaya pencegahan cacat sekunder meliputi perawatan diri sendiri untuk

mencegah luka dan perawatan mata, tangan, atau kaki yang sudah

mengalami gangguan fungsi saraf.

d. Rehabilitasi kusta

Rehabilitasi merupakan proses pemulihan untuk memperoleh fungsi

penyesuaian diri secara maksimal atas usaha untuk mempersiapkan penderita

cacat secara fisik, mental, sosial dan kekaryaan untuk suatu kehidupan yang

penuh sesuai dengan kemampuan yang ada padanya. Tujuan rehabilitasi adalah

penyandang cacat secara umum dapat dikondisikan sehingga memperoleh

kesetaraan, kesempatan dan integrasi sosial dalam masyarakat yang akhirnya

mempunyai kualitas hidup yang lebih baik (Depkes RI, 2006).

Rehabilitasi terhadap penderita kusta meliputi :

1) Latihan fisioterapi pada otot yang mengalami kelumpuhan untuk mencegah

terjadinya kontraktur.

2) Bedah rekonstruksi untuk koreksi otot yang mengalami kelumpuhan agar

tidak mendapat tekanan yang berlebihan.

3) Bedah plastik untuk mengurangi perluasan infeksi.

4) Terapi okupsi (kegiatan hidup sehari-hari) dilakukan bila gerakan normal

terbatas pada tangan.

5) Konseling dilakukan untuk mengurangi depresi pada penderita cacat.

18

Page 15: Bab II Kusta

10. Komplikasi

a. Bisa menyebabkan kecacatan.

b. Gangguan mental.

c. Resiko cedera.

d. Buta.

e. Kematian.

11. Asuhan keperawatan Secara Teoritis

a. Pengkajian

1) Biodata klien

Umur memberikan petunjuk mengenai dosis obat yang diberikan, anak-

anak dan dewasa pemberian dosis obatnya berbeda. Pekerjaan, alamat

menentukan tingkat sosial, ekonomi dan tingkat kebersihan lingkungan.

Karena pada kenyataannya bahwa sebagian besar penderita kusta adalah

dari golongan ekonomi lemah.

2) Riwayat kesehatan sekarang

Biasanya klien dengan morbus hansen datang berobat dengan keluhan

adanya lesi dapat tunggal atau multipel, neuritis (nyeri tekan pada saraf)

kadang-kadang gangguan keadaan umum penderita (demam ringan) dan

adanya komplikasi pada organ tubuh.

3) Riwayat kesehatan masa lalu

Pada klien dengan morbus hansen reaksinya mudah terjadi jika dalam

kondisi lemah, kehamilan, malaria, stres, sesudah mendapat imunisasi.

4) Riwayat kesehatan keluarga

Morbus hansen merupakan penyakit menular yang menahun yang

disebabkan oleh kuman kusta ( mikobakterium leprae) yang masa

inkubasinya diperkirakan 2-5 tahun. Jadi salah satu anggota keluarga yang

mempunyai penyakit morbus hansen akan tertular.

5) Riwayat psikososial

19

Page 16: Bab II Kusta

Klien yang menderita morbus hansen akan malu karena sebagian besar

masyarakat akan beranggapan bahwa penyakit ini merupakan penyakit

kutukan, sehingga klien akan menutup diri dan menarik diri, sehingga klien

mengalami gangguan jiwa pada konsep diri karena penurunan fungsi tubuh

dan komplikasi yang diderita.

6) Pola aktifitas sehari-hari

Aktifitas sehari-hari terganggu karena adanya kelemahan pada tangan dan

kaki maupun kelumpuhan. Klien mengalami ketergantungan pada orang

lain dalam perawatan diri karena kondisinya yang tidak memungkinkan.

7) Pemeriksaan fisik

a) Keadaan umum klien biasanya dalam keadaan demam karena reaksi

berat pada tipe I, reaksi ringan, berat tipe II morbus hansen. Lemah

karena adanya gangguan saraf tepi motorik.Sistem penglihatan. Adanya

gangguan fungsi saraf tepi sensorik, kornea mata anastesi sehingga

reflek kedip berkurang jika terjadi infeksi mengakibatkan kebutaan, dan

saraf tepi motorik terjadi kelemahan mata akan lagophthalmos jika ada

infeksi akan buta. Pada morbus hansen tipe II reaksi berat, jika terjadi

peradangan pada organ-organ tubuh akan mengakibatkan irigocyclitis.

Sedangkan pause basiler jika ada bercak pada alis mata maka alis mata

akan rontok.Sistem pernafasan. Klien dengan morbus hansen

hidungnya seperti pelana dan terdapat gangguan pada tenggorokan.

b) Sistem persarafan :

(1) Kerusakan fungsi sensorik,kelainan fungsi sensorik ini

menyebabkan terjadinya kurang/ mati rasa. Alibat kurang/ mati rasa

pada telapak tangan dan kaki dapat terjadi luka, sedang pada kornea

mata mengkibatkan kurang/ hilangnya reflek kedip.

(2) Kerusakan fungsi motorik,kekuatan otot tangan dan kaki dapat

menjadi lemah/ lumpuh dan lama-lama ototnya mengecil (atropi)

karena tidak dipergunakan. Jari-jari tangan dan kaki menjadi

bengkok dan akhirnya dapat terjadi kekakuan pada sendi

20

Page 17: Bab II Kusta

(kontraktur), bila terjadi pada mata akan mengakibatkan mata tidak

dapat dirapatkan (lagophthalmos).

(3) Kerusakan fungsi otonom, terjadi gangguan pada kelenjar keringat,

kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi darah sehingga kulit

menjadi kering, menebal, mengeras dan akhirnya dapat pecah-

pecah.

c) Sistem muskuloskeletal

Adanya gangguan fungsi saraf tepi motorik adanya kelemahan atau

kelumpuhan otot tangan dan kaki, jika dibiarkan akan atropi.

d) Sistem integumen

Terdapat kelainan berupa hipopigmentasi (seperti panu), bercak eritem

(kemerah-merahan), infiltrat (penebalan kulit), nodul (benjolan). Jika

ada kerusakan fungsi otonom terjadi gangguan kelenjar keringat,

kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi darah sehingga kulit kering,

tebal, mengeras dan pecah-pecah. Rambut: sering didapati kerontokan

jika terdapat bercak.

b. Diangnosa Keperawatan

Menurut (Dongues, 2002). Sebagai berikut:

1) Integritas kulit yang berhubungan dengan lesi dan proses inflamasi.

2) Gangguan rasa nyaman (nyeri) berhubungan dengan proses inflamasi

jaringan.

3) Gangguan konsep diri (citra diri) yang berhubungan dengan

ketidakmampuan dan kehilangan fungsi tubuh.

4) Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan kelemahan fisik.

5) Resti injuri berhubungan dengan invasive bakteri.

21

Page 18: Bab II Kusta

Nursing Care Planning

N

o

Diagnosa

Keperawatan

Tujuan

Kriteria Hasil

Intervensi Rasional

1 Integritas kulit

yang

berhubungan

dengan lesi dan

proses

inflamasi.

setelah dilakukan tindakan

keperawatan proses

inflamasi berhenti dan

berangsur-angsur sembuh.

KH :

Menunjukkan

regenerasi jaringan.

Mencapai

penyembuhan tepat

waktu pada lesi

1. catat warna lesi,perhatikan jika

ada jaringan nekrotik dan kondisi

sekitar luka.

2. Berikan perawatan khusus pada

daerah yang terjadi inflamasi.

3. Evaluasi warna lesi dan jaringan

yang terjadi inflamasi perhatikan

adakah penyebaran pada jaringan

sekitar.

4. Bersikan lesi dengan sabun dan

direndam.

5. Istirahatkan bagian yang terdapat

lesi dari tekanan

1. Memberikan inflamasi dasar tentang

terjadi proses inflamasi dan atau

mengenai sirkulasi daerah yang terdapat

lesi.

2. Menurunkan terjadinya penyebaran

inflamasi pada jaringan sekitar.

3. Mengevaluasi perkembangan lesi dan

inflamasi dan mengidentifikasi

terjadinya komplikasi.

4. Kulit yang terjadi lesi perlu perawatan

khusus untuk mempertahankan

kebersihan lesi

5. Tekanan pada lesi bisa maenghambat

proses penyembuhan

2 Gangguan rasa

nyaman : nyeri

berhubungan

dengan proses

Setelah dilakukan tindakan

keperawatan proses

inflamasi dapat berkurang

dan nyeri berkurang dan

1. Upayakan untuk menemukan

penyebab gangguan rasa nyaman.

2. Mencapai hasil-hasil observasi

1. Membantu mengidentifikasi tindakan

yang tepat untuk memberikan

kenyamanan

2. Deskrifsi yang akurat tentang erupsi

22

Page 19: Bab II Kusta

inflamasi

jaringan.

berangsur-angsur hilang secara rinci dengan memakai

terminology deskriftif.

3. Mengantisipasi reaksi alergi yang

mungkin terjadi.

4. Gunakan sabun ringan (detol)

atau sabun yang dibuat untuk

kulit sensitive.

kulit diperlukan diagnosis dan

pengobatan. Banyak kondisi tampak

serupa tapi mempunyai etiologi yang

berbeda.

3. Lesi yang menyeluru terutama dengan

awitan yang mendadak dapat

menunjukkan reaksi alergi terhadap

obat.

4. Upaya ini mencakup tidakan dan larutan

detergen, zat pewarna atau bahan

pengeras.

3 Gangguan

konsep diri

(citra diri) yang

berhubungan

dengan

ketidakmampu

an dan

kehilangan

fungsi tubuh.

Klien dapat

mengembangkan

peningkatan penerimaan

diri.

1. Kaji adanya gangguan pada citra

diri pasien (menghindari kontak

mata, ucapan yang merendahkan

diri sendiri, ekspresi perasaan

muak terhadap kondisi kulitnya.

2. Identifikasi stadium psikososial

tahap perkembangan.

3. Berikan kesempatan untuk

pengungkapan. Dengarkan

1. Gangguan citra diri akan menyertai

setiap penyakit atau keadaan yang

tampak nyata bagi pasien. Kesan

seseorang terhadap dirinya sendiri akan

berpengaruh pada konsep diri.

2. Terdapat hubungan antara stadium

perkembangan, citra diri dan reaksi

serta pemahaman pasien terhadap

kondisi kulitnya.

3. Pasien membutuhkan pengalaman di

23

Page 20: Bab II Kusta

(dengan cara yang terbuka, tidak

menghakimi) untuk

mengespresikan berduka atau

anseitas tentang perubahan citra

tubuh.

4. Bersikap realistic selama

pengobatan, pada penyuluhan

kesehatan.

5. Berikan harapan dalam parameter

situasi individu: jangan

memberikan keyakinan yang

salah.

dengarkan dan di pahami. Mendukung

upaya pasien untuk memperbaiki citra

diri.

4. Meningkatkan kepercayaan dan

mengadakan hubungan antara pasien

dan perawat.

5. Meningkatkan perilaku positif dan

memberikan kesempatan untuk

menyusun tujuan dan rencana untuk

masa depan berdasarkan realita.

24