bab ii kusta
DESCRIPTION
Bab II Makalah mengenai kustaTRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Anatomi fisiologi Sistem Integumen
Kulit merupakan pembungkus tubuh dan pelindung organ didalamnya. Luas
permukaannya pada orang dewasa 1,5-1,75 m². Berat 15% dari total berat badan. Tebal tidak
sama, bervariasi antara 5-6mm, pada telapak tangan dan kaki, 0,5mm pada kulit penis
(Setiadi, 2007).
Secara mikroskipik kulit terdiri dari 3 lapisan, yaitu:
1. Epidermis
Lapisan epidermis terdiri atas :
a. Stratum korneum
Statum korneum, selnya sudah mati,tidak mempunyai inti sel dan menggandung
sel keratin.
b. Stratum lusidum
Stratum lusidum, selnya pipih, bedanya dengan stratum granulosum ialah sel-sel
sudah banyak kehilangan inti dan butir-butir sel telah menjadi jernih sekali dan
tembus sinar. Lapisan ini hanya terdapat pada telapak tangan dan telapak kaki.
Dalam lapisan terdapat seperti suatu pita yang bening, batas-batas sel sudah
tidak begitu terlihat.
c. Stratum granulosum
Stratum granulosum, stratum ini terdiri dari sel-sel pipih seperti kumparan sel-
sel tersebut terdapat hanya 2-3 lapis yang sejajar dengan permukaan kulit. Dalam
sitoplasma terdapat butir-butir yang disebut keratohialin yang merupakan fase
dalam pembentukan keratin oleh karna banyaknya butir-butir stratum
granulosum.
d. Stratum spinosum
Stratum spinosum/stratum akantosum, lapisan ini merupakan lapisan yang paling
tebal dan dapat mencapai 0,2 mm terdiri dari 5-8 lapisan. Sel-selnya disebut
spinosus karena jika kita lihat di bawah mikroskop sel-selnya terdiri dari sel
yang bentuknya poligonal (banyak sudut) dan mempunyai tanduk (spina).
5
Disebut akantosum karena selselnya berduri. Ternyata spina atau tanduk tersebut
adalah hubungan antara sel yang lain yang disebut jembatan interseluler.
e. Stratum basal
Stratum basal/germinatikum, disebut stratum basal karena sel-selnya terletak di
bagian basal. Stratum germinatikum menggantikan sel-sel yang di atasnya dan
merupakan sel-sel induk. Bentuknya silindris(tabung) dengan inti yang lonjong.
Di dalamnya terdapat butir-butir halus disebut butir melanin warna. Sel-el
tersebut disusun seperti pagar di bagian bawah sel tersebut terdapat suatu
membran yang disebut membran basalis.
2. Dermis
Dermis merupakan lapisan kedua dari kulit. Batas dengan epidermis dilapisi oleh
membran basalis dan di sebelah bawah berbatasan dengan subkutis tapi batas ini
tidak jelas hanya kita ambil sebagai patokan ialah mulainya terdapat sel lemak.
Lapisan dermis terbagi 2, yaitu:
a. Stratum Papilaris
Yaitu bagian yang menonjol ke epidermis, berisi ujung serabut saraf dan
pembuluh darah.
b. Stratum retikularis
Yaitu bagian dibawahnya yang menonjol ke arah subkutan, bagian ini terdiri
atas serabut-serabut penunjang misalnya serabut kolagen, elastin, dan retikulin.
Dasar (metrik) lapisan ini terdiri atas cairan kental asam hialuronat dan
kondoitin sulfal, dibagian ini terdapat pula fibroblast. Serabut kolagen dibentuk
oleh fibroblast, membentuk ikatan (bundel) yang mengandung hidroksiprolin
dan hidroksisil. Kolagen muda bersifat lentur dengan bertambah umur menjadi
kurang larut sehingga makin stabil. Retikulin mirip kolagen muda. Serabut
elastin biasanya bergelombang, berbentuk amorf dan mudah mengembang serta
lebih elastis.
3. Subkutis
Lapisan Subkutis adalah lanjutan dermis, terdiri atas jaringan ikat longgar berisi
sel-sel lemak didalamnya. Sel-sel lemak merupakan sel bulat, besar, dengan inti
terdesak kepinggir sitoplasma lemak yang bertambah.
6
Sel-sel ini membentuk kelompok yang dipisahkan satu dengan yang lain oleh
trabekula yang fibrosa. Lapisan sel-sel lemak disebut panikulus adifosa, berfungsi
sebagai cadangan makanan. Dilapisan ini terdapat ujung-ujung saraf tepi, pembuluh
darah, dan getah bening. Tebal tipisnya jaringan lemak tidak sama bergantung paa
lokasinya. Diabdomen dapat mencapai ketebalan 3 cm, didaerah kelopak mata dan
penis sangat sedikit. Lapisan ini juga merupakan bantalan.
Faskularisasi dikulit diatur oleh 2 fleksus, yaitu, fleksus yang terletak dibagian atas
dermis (fleksus superficial) dan yang terletak disubkutis (fleksus profunda). Fleksus
yang didermis bagian atas mengadakan anastomosis dipapil dermis, fleksus yang
disubkutis dan di pars retikulare juga mengadakan anastomosis, dibagian ini
pembuluh darah berukuran lebih besar. Bergandengan dengan pembuluh darah
terdapat saluran getah bening.
Subkutis terdiri dari kumpulan-kumpulan sel-sel lemak dan di antara gerombolan
ini berjalan serabut-serabut jarinan ikat dermis. Sel-sel lemak ini bentuknya bulat
dengan inti terdesak ke pingir, sehinga membentuk seperti cincin.
Gambar. 2.1 Anatomi kulit
Sumber: Medicalcenter.osu.edu
Kelenjar – Kelenjar pada Kulit antara lain :
a. Kelenjar sebasea
Berfungsi mengontrol sekresi minyak kedalam ruang antara folikel rambut dan
batang rambut yang akan melumasi rambut sehingga menjadi halus, lentur dan
lunak.
7
b. Kelenjar apokrin
Terdapat di aksil, anus, skrotum, labia mayora dan bermuara pada folikel
rambut. Kelenjar ini memproduksi keringat yang keruh seperti susu yang
diuraikan oleh bakteri menghasilkan bau khas pada aksila.
c. Kelenjar ekrin
Kelenjar ini terdapat di semua kulit. Melepaskan keringat sebagai reaksi
peningkatan suhu lingkungan dan suhu tubuh. Kecepatan eksresi keringat di
kendalikan oleh saraf simpatik.
Fungsi utama kulit ialah proteksi, absorpsi, ekskresi, persepsi, pengaturan
suhu tubuh (termoregulasi), pembentukan pigmen, pembentukan vitamin D, dan
keratinisasi. Faalkulit, yaitu :
1. fungsi proteksi, kulit menjaga bagian dalam tubuh terhadap gangguan fisik
atau mekanis, misalnya tekanan, gesekan, tarikan, gangguan kimiawi,
misalnya zat-zat kimia terutama yang bersif iritan, contohnya lisol, karbol,
asam, dan alkali kuat lainnya; gangguan yang bersifat panas, misalnya
radiasi, sengatan sinar ultra violet, gangguan infeksi luar terutama kuman/
bakteri mau pun jamur. Hal di atas di mungkinkan karena adanya bantalan
lemak, tebalnya dilapisan kulit dan serabut-serabut jaringan penunjang yang
berperan sebagai pelindung terhadap gangguan fisik. Melanosit turut
berperan dalam melindungi kulit terhadap pajanan sinar matahari dengan
mengadakan tanning. Proteksi rangsangan kimia dapat terjadi karena sifat
stratum korneum yang impermeabel terhadap berbagai zat kimia dan air,
disamping itu terdapat lapisan keasaman kulit yang melindungi kontak zat-
zat kimia dengan kulit. Lapisan keasaman kulit ini mungkin terbentuk dari
hasil ekresi keringat dan sebum, keasaman kulit menyebabkan pH kulit
berkisar pada pH 5-6,5 sehingga merupakan perlindungi kimiawi terhadap
infeksi bakteri/ jamur. Proses keratinisasi juga berperan sebagai sawar
(barier) mekanis karena sel-sel mati melepaskan diri secara teratur.
2. fungsi absorsi, kulit yang sehat tidak mudah menyerap air, larutan dan
benda padat, tetapi cairan yang mudah menguap dan mudah di serap,
begitupun larut lemak. Permeabilitas kulit terhadap O2, cO2, dan uap air
8
memungkinkan kulit ikut mengambil bagian pada fungsi respirasi.
Kemampuan absorpsi kulit di pengaruhi oleh tebal tipisnya kulit hidrasi,
kelembapan, metabolisme dan jenis pehikulum. Penyerapan dapat
berlangsung melalui celah antarsel menembus sel-sel epidermis atau melalui
muara sluran kelenjar ; tetepi lebih banyak yang melaui sel epidermis dari
pada yang melalui muara kelenjar.
3. fungsi eksresi, kelenjar kelenjar kulit mengeluarkan zat-zat yang tidak
berguna lagi atau sisa metabolisme dalam tubuh berupa NaCl, urea, asam
urat, dan amoniak. Kelenjar emak pada fetus atau pengaruh hormon
androgen dari ibunya memperoduksi sebum untuk melindungi kulitnya
terhadap cairan amnion, pada waktu lahir di jumpai sebagai fernix caseosa.
Sebum yang di peroduksi kulit karena lapisan sebum ini selain memiyaki
kulit juga menahan evaporasi air yang berlebihan sehingga kulit tidak
menjadi kering. Produk kelenjar lemak dan keringat di kulit menyebabkan
keasaman kulit pada pH 5-6,5.
4. fungsi persepsi, kulit mengandung ujung-ujung syaraf sensorik di dermis
dan subkutis. Trehadap rangsangan panas diperankan oleh badab-badab
rufini di dermis dan subkutis terhadap dingin di perankan oleh badan-badan
karuse yang terketak di dermis.badan taktil meyssner terletak di papila
dermis berperan terhadap rabaan, demikian pula badan marcel ranvier yang
terletak di epidermis. Sedangkan terhadap tekanan oleh badan paccini di
epidermis. Syaraf-syaraf sensorik lebih banyak jumlahnya di daerah erotik.
5. fungsi pengaturan suhu tubuh (termoregulasi), kulit melakukan peranan ini
dengan cara mengeluarkan keringat dan mengerutkan (otot berkontraksi)
pembuluh darah. Kulit kaya akan pembuluh darah sehingga memungkinkan
kulit mendapat nutrisi yang cukup baik. Tonus faskular di pengaruhi oleh
saraf simpatis (asetil kolin). Pada bayi biasanya dinding pembuluh darah
belum terbentuk sempurna, sehingga terjadi ekstrapasasi cairan, karna itu
kulit bayi tampak lebih edematosa karena lebih banyak mengandung air dan
Na.
9
6. fungsi pembentukan pigmen sel pembentuk pigmen (melatosit), terletak di
lapisan basal dan sel ini berasal dari rigi syaraf. Perbandingan jumlah sel
basal: 10:1. jumlah melanosit dan jumlah serta besarnya. Butiran pigmen
(melanosomes) menentukan warna kulit ras maupun individu. Pada pulasan
H.E. sel ini jernih berbentuk bulat dan merupakan sel dendrit, di sebut juga
sebagai clear cell. Melsnosom di bentuk oleh alat golgi dengan bantuan
enzim terosinase, ion Cu dan O2. pajanan terhadap sinar matahari
mempengaruhi produksi melanosom. Pigmen di sebar ke dalam epidermis
melalui tangan-tangan denrit sedangkan lapisan kulit bawah di bawa oleh sel
melanofak (melanofor). Warna kulit tidak sepenuhnya di pengaruhi oleh
pigmen kulit, melainkan juga oleh tebal tipisnya kulit, reduksi Hb, oksi Hb,
dan keorein.
7. fungsi keratuinisasi, lapisan epidermis dewasa mempunyai 3 jenis sel utama
yaitu keratinosit di mulai dari sel basal mengadakan pembelahan, sel basal
yang lain aka berpindah ke atas dan berubah bentuknya menjadi sel
spinosun makin ke atas sel menjadi makin gepeng dan bergranula menjadi
sel granulosum makin lama inti menghilang dan ceratinosit ini menjadi sel
tanduk yang amorf. Proses ini berlangsung terus-menerus dan sampai
sekarang belum sepenuhnya di mengerti. Matoltsy berpendapat mungkin
keratinosit melalui proses sintisis dan degranasi menjadi lapisan tanduk.
Proses ini berlangsung normal selama kira-kira 14-21 hari, dan memberi
perlindungan kulit terhadap infeksi secara mekanis fisiologi.
8. fungsi pembentukan Vitamin D, di mungkinkan dengan mengubah 7
dihidroksi kolesterol dengan pertolongan sinar matahari. Tetapi kebutuhan
tubuh akan vitamin D tidak cukup hanya dari hal tersebut sehingga
pemberian vitamin D sistemik masih dapat di perlukan.
10
B. KUSTA
1. Definisi Kusta
Penyakit kusta adalah suatu penyakit kronis menular yang disebabkan oleh infeksi
Mycobacterium leprae. Penyakit ini terutama menyerang pada masyarakat di
negara-negara berkembang dan menimbulkan dampak psikologis, social dan
ekonomi. Penyakit kusta adalah penyakit menular yang menahun yang menyerang
saraf perifer, kulit dan jaringan tubuh lainnya (Budi, 2000).
2. Klasifikasi
Untuk para petugas kesehatan di lapangan, bentuk klinis penyakit kusta
cukup dibedakan atas dua jenis yaitu:
a. Kusta bentuk kering (tipe tuberkuloid)
Merupakan bentuk yang tidak menular.Kelainan kulit berupa bercak
keputihan sebesar uang logam atau lebih, jumlahnya biasanya hanya beberapa,
sering di pipi, punggung, pantat, paha atau lengan. Bercak tampak kering,
perasaan kulit hilang sama sekali, kadang-kadang tepinya meninggi.Pada tipe
ini lebih sering didapatkan kelainan urat saraf tepi pada, sering gejala kulit tak
begitu menonjol tetapi gangguan saraf lebih jelas.
Komplikasi saraf serta kecacatan relatif lebih sering terjadi dan timbul
lebih awal dari pada bentuk basah.Pemeriksaan bakteriologis sering kali
negatif, berarti tidak ditemukan adanya kuman penyebab.Bentuk ini merupakan
yang paling banyak didapatkan di indonesia dan terjadi pada orang yang daya
tahan tubuhnya terhadap kuman kusta cukup tinggi.
b. Kusta bentuk basah (tipe lepromatosa)
Merupakan bentuk menular karena banyak kuman dapat ditemukan baik di
selaput lendir hidung, kulit maupun organ tubuh lain.Jumlahnya lebih sedikit
dibandingkan kusta bentuk kering dan terjadi pada orang yang daya tahan
tubuhnya rendah dalam menghadapi kuman kusta.Kelainan kulit bisa berupa
bercak kamarahan, bisa kecil-kecil dan tersebar diseluruh badan ataupun
sebagai penebalan kulit yang luas (infiltrat) yang tampak mengkilap dan
11
berminyak. Bila juga sebagai benjolan-benjolan merah sebesar biji jagung yang
sebesar di badan, muka dan daun telinga.Sering disertai rontoknya alis mata,
menebalnya cuping telinga dan kadang-kadang terjadi hidung pelana karena
rusaknya tulang rawan hidung.Kecacatan pada bentuk ini umumnya terjadi
pada fase lanjut dari perjalanan penyakit.Pada bentuk yang parah bisa terjadi
”muka singa” (facies leonina).
3. Etiologi
Mikobakterium leprae merupakan basil tahan asam (BTA) bersifat obligat
intraseluler, menyerang saraf perifer, kulit dan organ lain seperti mukosa saluran
nafas bagian atas, hati, sumsum tulang kecuali susunan saraf pusat. Masa
membelah diri mikobakterium leprae 12-21 hari dan masa tunasnya antara 40 hari-
40 tahun. Kuman kusta berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-8 micro, lebar
0,2-0,5 micro biasanya berkelompok dan ada yang disebar satu-satu, hidup dalam
sel dan BTA (Pendi, 2003).
4. Epidemiologi
Penyakit kusta hingga kini masih menghantui 14 provinsi di Indonesia,
empat provinsi di antaranya yakni Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan
Sulawesi Selatan. Dilaporkan ada lebih dari 1.000 kasus setiap
tahunnya."Program pengendalian penyakit kusta nasional melaporkan ada sekitar
17.000-18.000 kasus baru setiap tahunnya. Prevalensi penyakit kusta belum
menunjukkan kecenderungan menurun. Karena itu, penyakit kusta masih menjadi
prioritas program," ujar Menteri Kesehatan (Menkes) Endang Rahayu Sedya-
ningsih dalam "Pertemuan Aliansi Nasional Eliminasi Kusta (ANEK) dan
Eradikasi Frambusia", di Jakarta, Selasa (31/8). Menkes menambahkan, Indonesia
merupakan Negara ketiga di dunia setelah India dan Brasil yang memiliki kasus
kusta baru terbanyak. Secara nasional, Indonesia sebenarnya telah mencapai
tingkat eliminasi terhadap kusta dengan angka prevalensi kurang dari satu per
10.000 pada tahun 2000."Namun dengan tingkat populasi yang cukup besar, maka
12
jumlah penderita kus-ta baru sebanyak 18.000 orang per tahun terbilang cukup
besar," katanya.
Menurut Endang Rahayu, program pengendalian kusta telah berhasil
mengobati dan menyembuhkan sebanyak 375.119 penderita melalui Multi-Drug
Therapy (MDT) sejak 1990 dan telah menurunkan 80 persen jumlah penderita
dari 107.271 pada tahun 1990 menjadi 21.026 penderita pada tahun 2009. Namun,
diakui Menkes, beban akibat kecacatan akibat kusta masih tinggi yaitu sekitar
1.500 kasus cacat tingkat 2 masih ditemukan tiap tahunnya."Secara kumulatif,
sejak tahun 1990-2009 terdapat sekitar 30.000 kasus cacat tingkat 2 yang antara
lain mata tidak bisa menutup karena syaratnya terganggu, jari tangan atau kaki
bengkok/kiting atau adanya luka pada telapak tangan dan kaki akibat mati rasa,"
tutur Menkes. Besarnya beban akibat ke cacatan kusta itulah, lanjut Endang
Rahayu, mendorong Badan Kesehatan Dunia (WHO) merencanakan target
menurunkan 35 persen angka cacat tingkat 2 pada tahun 2015 berdasarkan data
tahun 2010.
Jambi, Batak Pos penularan penyakit kusta di kabupaten merangin,
Propinsi Jambi masuk dalam kategori kejadian luar biasa(KLB). Penularan
penyakit ini telah mewabah di seluruh kecamatan di Kabupaten Merangin.
Sebelumnya dinas kesehatan kabupaten Merangin hanya menemukan 40 orang
warga pengidap penyakit tersebut yang tersebar di desa lubuk beringin, lubuh
birah, dan desa durian rambun, kecamatan muara siau. Namun, kini sudah
menyebar luas ke seluruh kecamatan.(Sri Linuwih, 2002).
5. Patofisiologi
Setelah mikobakterium leprae masuk kedalam tubuh, perkembangan
penyakit kusta bergantung pada kerentanan seseorang. Teori yang paling banyak
digunakan adalah penularan melalui kontak/sentuhan yang berlangsung lama,
namun berbagai penelitian mutakhi rmengarah pada droplet infection yaitu
penularan melalui selaput lendir pada saluran napas. M. leprae tidak dapat
bergerak sendiri dan tidak menghasilkan racun yang dapat merusak kulit,
sedangkan ukuran fisiknya yang lebih besar dari pada pori-pori kulit. Oleh karena
13
itu, M. leprae yang karena sesuatu hal menempel pada kulit kita, tidak dapat
menembus kulit jika tidak ada luka pada kulit. Respon setelah masa tunas
dilampaui tergantung pada derajat sistem imunitas seluler (celuler midialet
immune) pasien. Kalau sistem imunitas seluler tinggi, penyakit berkembang
kearah tuberkoloid dan bila rendah berkembang kearah lepromatosa.
Mikobakterium leprae berpredileksi didaerah-daerah yang relatif dingin, yaitu
daerah akral dengan vaskularisasi yang sedikit. Derajat penyakit tidak selalu
sebanding dengan derajat infeksi karena imun pada tiap pasien berbeda. Gejala
klinis lebih sebanding dengan tingkat reaksi seluler dari pada intensitas infeksi
oleh karena itu penyakit kusta disebut penyakit imonologik (Beta, 2005).
6. Manifestasi Klinis
Menurut WHO (1995), seseorang didiagnosis menderita penyakit kusta apa bila
terdapat satu dari tanda cardinal berikut :
a. Adanya lesi kulit yang khas dan kehilangan sensibilitas.
Lesi kulit dapat tunggal atau pun multipel, biasanya hipopigmentasi tetapi
kadang-kadang lesi kemerahan atau berwarna tembaga. Lesi dapat bervariasi
tetapi umumnya berupa makula, papula atau nodul.
b. BTA Positif.
Pada beberapa kasus ditemukan basil tahan asam dari kerokan jaringan kulit.
Bila ragu-ragu maka dianggap sebagai kasus dicurigai dan periksa ulang setiap
3 bulan sampai ditegakan diagnosis kusta atau penyakit lain.
7. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Pendi, 2003. Sebagai berikut:
a. Inspeksi, pasien diminta memejamakan mata, menggerakkan mulut, bersiul,
dan tertawa untuk mengetahui fungsi saraf wajah semua kelainan kulit
diseluruh tubuh di perhatikan, seperti adanya macula, nodul, jaringan parut,
kulit yang keriput, penebalan kulit, dan kehilangan rambut tubuh (alopesia dan
madarosis).
14
b. Pemeriksaan sensibilitas. Pada lesi kulit dengan menggunakan kapas (rasa
raba), Jarum pentul yang tajam dan tumpul (rasa nyeri, serta air panas dan
dingin dalam tabung reaksi (rasa suhu).
c. Pemeriksaan saraf tepi dan fungsinya dilakukan pada: nervus Auricularis
magnus, Nervus ulnaris, Nervus radialis, Nervus medianus, nervus peroneus
dan nervus tibialis posterior. Hasil pemeriksaan yang perlu dicatat adalah
pembesaran, konsistensi, penebalan, dan adanya nyeri tekan. Perhatikan raut
muka pasien apakah ia kesakitan atau tidak ssaat araf-saraf diraba.
d. Pemeriksaan fungsi saraf otonom, yaitu: memeriksa ada tidaknya kekeringan
pada lesi akibat tidak berfungsinya kelenjar keringat dengan menggunakan
pensiltinta (uji gunawan).
8. Penatalaksanaan
Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah penyembuhan pasien
kusta dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai penularan dari
pasien kusta terutama tipe yang menular kepada orang lain untuk menurunkan
insiden penyakit. Program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi
rifampisin, klofazimin, dan DDS dimulai tahun 1981. Program ini bertujuan untuk
mengatasi resistensi dapson yang semakin meningkat, mengurangi ketidaktaatan
pasien, menurunkan angka putus obat, dan mengeliminasi persistensi kuman kusta
dalam jaringan.
Rejimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai rekomendasi WHO 1995
sebagai berikut:
a. Tipe PB ( PAUSE BASILER)
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa :
1) Rifampisin 600mg/bln diminum didepan petugas
2) DDS tablet 100 mg/hari diminum di rumah.Pengobatan 6 dosis
diselesaikan dalam 6-9 bulan dan setelah selesai minum 6 dosis
dinyatakan RFT (Release From Treatment) meskipun secara klinis
lesinya masih aktif. Menurut WHO(1995) tidak lagi dinyatakan RFT
15
tetapi menggunakan istilah Completion Of Treatment Cure dan pasien
tidak lagi dalam pengawasan.
b. Tipe MB ( MULTI BASILER)
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa:
1) Rifampisin 600mg/bln diminum didepan petugas.
2) Klofazimin 300mg/bln diminum didepan petugas dilanjutkan dengan
klofazimin 50 mg /hari diminum di rumah.
3) DDS 100 mg/hari diminum dirumah,Pengobatan 24 dosis diselesaikan
dalam waktu maksimal 36 bulan sesudah selesai minum 24 dosis
dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesinya masih aktif dan
pemeriksaan bakteri positif. Menurut WHO (1998) pengobatan MB
diberikan untuk 12 dosis yang diselesaikan dalam 12-18 bulan dan pasien
langsung dinyatakan RFT.
4) Dosis untuk anak
a) Klofazimin:
Umur,dibawah 10 tahun: /blnHarian 50mg/2kali/minggu,Umur 11-14
tahun, Bulanan 100mg/bln,Harian 50mg/3kali/minggu.
b) DDS:1-2mg /Kg BB,Rifampisin:10-15mg/Kg BB.
5) Pengobatan MDT terbaru
Metode ROM adalah pengobatan MDT terbaru. Menurut WHO(1998),
pasien kusta tipe PB dengan lesi hanya 1 cukup diberikan dosis tunggal
rifampisin 600 mg, ofloksasim 400mg dan minosiklin 100 mg dan pasien
langsung dinyatakan RFT, sedangkan untuk tipe PB dengan 2-5 lesi
diberikan 6 dosis dalam 6 bulan. Untuk tipe MB diberikan sebagai obat
alternatif dan dianjurkan digunakan sebanyak 24 dosis dalam 24 jam.
6) Putus obat
Pada pasien kusta tipe PB yang tidak minum obat sebanyak 4 dosis dari
yang seharusnya maka di nyatakan DO, sedangkan pasien kusta tipe MB
di nyatakan DO bila tidak minum obat 12 dosis dari yang seharusnya.
9. Pencegahan Kusta
16
Ada 4 Konsep cara pencegahan penyakit kusta menurut (Dinkes RI, 2006) antara
lain :
a. Pencegahan primer
Pencegahan primer dapat dilakukan dengan :
1) Penyuluhan kesehatan
Pencegahan primer dilakukan pada kelompok orang sehat yang belum
terkena penyakit kusta dan memiliki resiko tertular karena berada disekitar
atau dekat dengan penderita seperti keluarga penderita dan tetangga
penderita, yaitu dengan memberikan penyuluhan tentang kusta. Penyuluhan
yang diberikan petugas kesehatan tentang penyakit kusta adalah proses
peningkatan pengetahuan, kemauan dan kemampuan masyarakat yang
belum menderita sakit sehingga dapat memelihara, meningkatkan dan
melindungi kesehatannya dari penyakit kusta. Sasaran penyuluhan penyakit
kusta adalah keluarga penderita, tetangga penderita dan masyarakat
(Depkes RI, 2006)
2) Pemberian imunisasi
Sampai saat ini belum ditemukan upaya pencegahan primer penyakit kusta
seperti pemberian imunisasi (Saisohar,1994). Dari hasil penelitian di
Malawi tahun 1996 didapatkan bahwa pemberian vaksinasi BCG satu kali
dapat memberikan perlindungan terhadap kusta sebesar 50%, sedangkan
pemberian dua kali dapat memberikan perlindungan terhadap kusta
sebanyak 80%, namun demikian penemuan ini belum menjadi kebijakan
program di Indonesia karena penelitian beberapa negara memberikan hasil
berbeda pemberian vaksinasi BCG tersebut (Depkes RI, 2006).
b. Pencegahan sekunder
Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan : Pengobatan pada penderita
adalah untuk memutuskan mata rantai penularan, menyembuhkan penyakit
penderita, mencegah terjadinya cacat atau mencegah bertambahnya cacat yang
sudah ada sebelum pengobatan. Pemberian Multi drug therapy pada penderita
kusta terutama pada tipe Multibaciler karena tipe tersebut merupakan sumber
kuman menularkan kepada orang lain (Depkes RI, 2006).
17
c. Pencegahan tertier
1) Pencegahan cacat kusta
2) Pencegahan tersier dilakukan untuk pencegahan cacat kusta pada penderita.
Upaya pencegahan cacat terdiri atas (Depkes RI, 2006).
3) Upaya pencegahan cacat primer meliputi penemuan dini penderita sebelum
cacat, pengobatan secara teratur dan penangan reaksi untuk mencegah
terjadinya kerusakan fungsi saraf.
4) Upaya pencegahan cacat sekunder meliputi perawatan diri sendiri untuk
mencegah luka dan perawatan mata, tangan, atau kaki yang sudah
mengalami gangguan fungsi saraf.
d. Rehabilitasi kusta
Rehabilitasi merupakan proses pemulihan untuk memperoleh fungsi
penyesuaian diri secara maksimal atas usaha untuk mempersiapkan penderita
cacat secara fisik, mental, sosial dan kekaryaan untuk suatu kehidupan yang
penuh sesuai dengan kemampuan yang ada padanya. Tujuan rehabilitasi adalah
penyandang cacat secara umum dapat dikondisikan sehingga memperoleh
kesetaraan, kesempatan dan integrasi sosial dalam masyarakat yang akhirnya
mempunyai kualitas hidup yang lebih baik (Depkes RI, 2006).
Rehabilitasi terhadap penderita kusta meliputi :
1) Latihan fisioterapi pada otot yang mengalami kelumpuhan untuk mencegah
terjadinya kontraktur.
2) Bedah rekonstruksi untuk koreksi otot yang mengalami kelumpuhan agar
tidak mendapat tekanan yang berlebihan.
3) Bedah plastik untuk mengurangi perluasan infeksi.
4) Terapi okupsi (kegiatan hidup sehari-hari) dilakukan bila gerakan normal
terbatas pada tangan.
5) Konseling dilakukan untuk mengurangi depresi pada penderita cacat.
18
10. Komplikasi
a. Bisa menyebabkan kecacatan.
b. Gangguan mental.
c. Resiko cedera.
d. Buta.
e. Kematian.
11. Asuhan keperawatan Secara Teoritis
a. Pengkajian
1) Biodata klien
Umur memberikan petunjuk mengenai dosis obat yang diberikan, anak-
anak dan dewasa pemberian dosis obatnya berbeda. Pekerjaan, alamat
menentukan tingkat sosial, ekonomi dan tingkat kebersihan lingkungan.
Karena pada kenyataannya bahwa sebagian besar penderita kusta adalah
dari golongan ekonomi lemah.
2) Riwayat kesehatan sekarang
Biasanya klien dengan morbus hansen datang berobat dengan keluhan
adanya lesi dapat tunggal atau multipel, neuritis (nyeri tekan pada saraf)
kadang-kadang gangguan keadaan umum penderita (demam ringan) dan
adanya komplikasi pada organ tubuh.
3) Riwayat kesehatan masa lalu
Pada klien dengan morbus hansen reaksinya mudah terjadi jika dalam
kondisi lemah, kehamilan, malaria, stres, sesudah mendapat imunisasi.
4) Riwayat kesehatan keluarga
Morbus hansen merupakan penyakit menular yang menahun yang
disebabkan oleh kuman kusta ( mikobakterium leprae) yang masa
inkubasinya diperkirakan 2-5 tahun. Jadi salah satu anggota keluarga yang
mempunyai penyakit morbus hansen akan tertular.
5) Riwayat psikososial
19
Klien yang menderita morbus hansen akan malu karena sebagian besar
masyarakat akan beranggapan bahwa penyakit ini merupakan penyakit
kutukan, sehingga klien akan menutup diri dan menarik diri, sehingga klien
mengalami gangguan jiwa pada konsep diri karena penurunan fungsi tubuh
dan komplikasi yang diderita.
6) Pola aktifitas sehari-hari
Aktifitas sehari-hari terganggu karena adanya kelemahan pada tangan dan
kaki maupun kelumpuhan. Klien mengalami ketergantungan pada orang
lain dalam perawatan diri karena kondisinya yang tidak memungkinkan.
7) Pemeriksaan fisik
a) Keadaan umum klien biasanya dalam keadaan demam karena reaksi
berat pada tipe I, reaksi ringan, berat tipe II morbus hansen. Lemah
karena adanya gangguan saraf tepi motorik.Sistem penglihatan. Adanya
gangguan fungsi saraf tepi sensorik, kornea mata anastesi sehingga
reflek kedip berkurang jika terjadi infeksi mengakibatkan kebutaan, dan
saraf tepi motorik terjadi kelemahan mata akan lagophthalmos jika ada
infeksi akan buta. Pada morbus hansen tipe II reaksi berat, jika terjadi
peradangan pada organ-organ tubuh akan mengakibatkan irigocyclitis.
Sedangkan pause basiler jika ada bercak pada alis mata maka alis mata
akan rontok.Sistem pernafasan. Klien dengan morbus hansen
hidungnya seperti pelana dan terdapat gangguan pada tenggorokan.
b) Sistem persarafan :
(1) Kerusakan fungsi sensorik,kelainan fungsi sensorik ini
menyebabkan terjadinya kurang/ mati rasa. Alibat kurang/ mati rasa
pada telapak tangan dan kaki dapat terjadi luka, sedang pada kornea
mata mengkibatkan kurang/ hilangnya reflek kedip.
(2) Kerusakan fungsi motorik,kekuatan otot tangan dan kaki dapat
menjadi lemah/ lumpuh dan lama-lama ototnya mengecil (atropi)
karena tidak dipergunakan. Jari-jari tangan dan kaki menjadi
bengkok dan akhirnya dapat terjadi kekakuan pada sendi
20
(kontraktur), bila terjadi pada mata akan mengakibatkan mata tidak
dapat dirapatkan (lagophthalmos).
(3) Kerusakan fungsi otonom, terjadi gangguan pada kelenjar keringat,
kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi darah sehingga kulit
menjadi kering, menebal, mengeras dan akhirnya dapat pecah-
pecah.
c) Sistem muskuloskeletal
Adanya gangguan fungsi saraf tepi motorik adanya kelemahan atau
kelumpuhan otot tangan dan kaki, jika dibiarkan akan atropi.
d) Sistem integumen
Terdapat kelainan berupa hipopigmentasi (seperti panu), bercak eritem
(kemerah-merahan), infiltrat (penebalan kulit), nodul (benjolan). Jika
ada kerusakan fungsi otonom terjadi gangguan kelenjar keringat,
kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi darah sehingga kulit kering,
tebal, mengeras dan pecah-pecah. Rambut: sering didapati kerontokan
jika terdapat bercak.
b. Diangnosa Keperawatan
Menurut (Dongues, 2002). Sebagai berikut:
1) Integritas kulit yang berhubungan dengan lesi dan proses inflamasi.
2) Gangguan rasa nyaman (nyeri) berhubungan dengan proses inflamasi
jaringan.
3) Gangguan konsep diri (citra diri) yang berhubungan dengan
ketidakmampuan dan kehilangan fungsi tubuh.
4) Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan kelemahan fisik.
5) Resti injuri berhubungan dengan invasive bakteri.
21
Nursing Care Planning
N
o
Diagnosa
Keperawatan
Tujuan
Kriteria Hasil
Intervensi Rasional
1 Integritas kulit
yang
berhubungan
dengan lesi dan
proses
inflamasi.
setelah dilakukan tindakan
keperawatan proses
inflamasi berhenti dan
berangsur-angsur sembuh.
KH :
Menunjukkan
regenerasi jaringan.
Mencapai
penyembuhan tepat
waktu pada lesi
1. catat warna lesi,perhatikan jika
ada jaringan nekrotik dan kondisi
sekitar luka.
2. Berikan perawatan khusus pada
daerah yang terjadi inflamasi.
3. Evaluasi warna lesi dan jaringan
yang terjadi inflamasi perhatikan
adakah penyebaran pada jaringan
sekitar.
4. Bersikan lesi dengan sabun dan
direndam.
5. Istirahatkan bagian yang terdapat
lesi dari tekanan
1. Memberikan inflamasi dasar tentang
terjadi proses inflamasi dan atau
mengenai sirkulasi daerah yang terdapat
lesi.
2. Menurunkan terjadinya penyebaran
inflamasi pada jaringan sekitar.
3. Mengevaluasi perkembangan lesi dan
inflamasi dan mengidentifikasi
terjadinya komplikasi.
4. Kulit yang terjadi lesi perlu perawatan
khusus untuk mempertahankan
kebersihan lesi
5. Tekanan pada lesi bisa maenghambat
proses penyembuhan
2 Gangguan rasa
nyaman : nyeri
berhubungan
dengan proses
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan proses
inflamasi dapat berkurang
dan nyeri berkurang dan
1. Upayakan untuk menemukan
penyebab gangguan rasa nyaman.
2. Mencapai hasil-hasil observasi
1. Membantu mengidentifikasi tindakan
yang tepat untuk memberikan
kenyamanan
2. Deskrifsi yang akurat tentang erupsi
22
inflamasi
jaringan.
berangsur-angsur hilang secara rinci dengan memakai
terminology deskriftif.
3. Mengantisipasi reaksi alergi yang
mungkin terjadi.
4. Gunakan sabun ringan (detol)
atau sabun yang dibuat untuk
kulit sensitive.
kulit diperlukan diagnosis dan
pengobatan. Banyak kondisi tampak
serupa tapi mempunyai etiologi yang
berbeda.
3. Lesi yang menyeluru terutama dengan
awitan yang mendadak dapat
menunjukkan reaksi alergi terhadap
obat.
4. Upaya ini mencakup tidakan dan larutan
detergen, zat pewarna atau bahan
pengeras.
3 Gangguan
konsep diri
(citra diri) yang
berhubungan
dengan
ketidakmampu
an dan
kehilangan
fungsi tubuh.
Klien dapat
mengembangkan
peningkatan penerimaan
diri.
1. Kaji adanya gangguan pada citra
diri pasien (menghindari kontak
mata, ucapan yang merendahkan
diri sendiri, ekspresi perasaan
muak terhadap kondisi kulitnya.
2. Identifikasi stadium psikososial
tahap perkembangan.
3. Berikan kesempatan untuk
pengungkapan. Dengarkan
1. Gangguan citra diri akan menyertai
setiap penyakit atau keadaan yang
tampak nyata bagi pasien. Kesan
seseorang terhadap dirinya sendiri akan
berpengaruh pada konsep diri.
2. Terdapat hubungan antara stadium
perkembangan, citra diri dan reaksi
serta pemahaman pasien terhadap
kondisi kulitnya.
3. Pasien membutuhkan pengalaman di
23
(dengan cara yang terbuka, tidak
menghakimi) untuk
mengespresikan berduka atau
anseitas tentang perubahan citra
tubuh.
4. Bersikap realistic selama
pengobatan, pada penyuluhan
kesehatan.
5. Berikan harapan dalam parameter
situasi individu: jangan
memberikan keyakinan yang
salah.
dengarkan dan di pahami. Mendukung
upaya pasien untuk memperbaiki citra
diri.
4. Meningkatkan kepercayaan dan
mengadakan hubungan antara pasien
dan perawat.
5. Meningkatkan perilaku positif dan
memberikan kesempatan untuk
menyusun tujuan dan rencana untuk
masa depan berdasarkan realita.
24