bab i kuantitatif.doc

17
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pada hakekatnya, dalam suatu keluarga adalah tugas seorang suami untuk mencari nafkah bagi istri dan anak- anaknya. Karena memang tanggung jawab suami lah untuk menghidupi anak istrinya. Di masa kini tak sedikit para wanita yang ikut turun tangan dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Tugas utama wanita sebagai ibu rumah tangga pun jadi bertambah karena mereka juga harus bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya dengan bekerja. Ibu bekerja adalah ibu yang melakukan suatu kegiatan di luar rumah dengan tujuan untuk mencari nafkah tambahan untuk keluarga. Selain itu, salah satu tujuan ibu bekerja adalah suatu bentuk aktualisasi diri guna menerapkan ilmu yang telah dimiliki ibu dan menjalin hubungan sosial dengan orang lain dalam bidang 1

Upload: surya-dewi-wijayanti

Post on 17-Dec-2015

218 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pada hakekatnya, dalam suatu keluarga adalah tugas seorang suami untuk mencari nafkah bagi istri dan anak-anaknya. Karena memang tanggung jawab suami lah untuk menghidupi anak istrinya. Di masa kini tak sedikit para wanita yang ikut turun tangan dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Tugas utama wanita sebagai ibu rumah tangga pun jadi bertambah karena mereka juga harus bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya dengan bekerja. Ibu bekerja adalah ibu yang melakukan suatu kegiatan di luar rumah dengan tujuan untuk mencari nafkah tambahan untuk keluarga. Selain itu, salah satu tujuan ibu bekerja adalah suatu bentuk aktualisasi diri guna menerapkan ilmu yang telah dimiliki ibu dan menjalin hubungan sosial dengan orang lain dalam bidang pekerjaan yang dipilihnya (Santrock, 2007). Lebih dari satu dari dua ribu ibu di Amerika Serikat yang memiliki anak berusia di bawah lima tahun adalah pekerja. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia pada tahun 2012, partisipasi perempuan dalam lapangan kerja meningkat signifikan. Selama Agustus 2011 jumlah angkatan kerja perempuan yaitu 45.118.964 jiwa, sedanngkan pada Februari 2012 jumlah pekerja perempuan bertambah menjadi 46.509.689 jiwa. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Timur pada tahun 2012 menyebutkan bahwa jumlah tenaga kerja perempuan pada Agustus 2012 mencapai 7,735 juta jiwa atau naik cukup signifikan yakni 141,789 ribu orang dibandingkan pada Agustus tahun 2011 hanya sebesar 7,593 juta jiwa. Kemungkinan penyebab terjadinya peningkatan jumlah pekerja perempuan adalah adanya unsur keterpaksaaan yang harus dijalani kaum perempuan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya. Data yang telah disebutkan diatas, terjadi peningkatan jumlah pekerja perempuan yang sebagian berasal dari perempuan yang sebelumnya berstatus ibu rumah tangga (bukan angkatan kerja) (Santrock, 2007).Data dari Pemerintah Kabupaten Bantul, jumlah pekerja wanita pada tahun 2010 sebesar 191.286 dari total 400.289 pekerja pria dan wanita. Jumlah wanita yang hanya bertindak sebagai ibu rumah tangga adalah sebesar 41.251 dari jumlah total 45.150 pria dan wanita (Disnakertrans,2011)Semakin meningkat jumlah ibu bekerja (terutama di kota besar), semakin kompleks pula dinamika kehidupan seperti tuntutan finansial dan biaya pendidikan anak. Para ibu menjadi pekerja keras untuk dapat membantu memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Data dari The Institute of Science and Technology Journals menunjukkan bahwa perempuan Indonesia telah bekerja saat berusia 22 tahun (belum menikah). Hanya sebagian kecil dari mereka yang berhenti bekerja setelah menikah dan memiliki anak. Situasi keluarga dimana ibu bekerja menurut data dari International Institute of Population Science, di Indonesia terdapat lebih dari 40% perempuan menjalankan fungsi ganda, yaitu membesarkan anak sambil bekerja (www.sinarharapan.co.id).Para ibu yang bekerja bukan hanya melakukan kegiatan-kegiatan rumah tangga, tetapi sudah melakukan kegiatan-kegiatan di sektor publik. Mereka dihadapkan pada situasi dimana partisipasi mereka dalam ekonomi rumah tangga menjadi lebih berarti. Pada saat yang sama, ibu memperoleh kesempatan pendidikan formal yang lebih tinggi. Pendidikan ini member kemungkinan ibu untuk memasuki lapangan kerja yang kompetitif. Keadaan mereka sebagai wanita karir, tentu saja akan mengurangi waktu bersama anak-anaknya.

Wanita mengalami lebih banyak masalah psikososial karena peran gandanya sebagai ibu rumah tangga dan pencari nafkah. Masalah psikososial yang bisa dialami oleh wanita contohnya kecemasan, frustasi, depresi, marah, stress, dan fobia (Kaur, dkk, 2010)

Kondisi stress dapat mempengaruhi keadaan pikiran, perasaan, dan perilaku individu dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Smet (1994), tuntutan kerja yang terlalu banyak dan beban kerja yang berat dapat menimbulkan stress. Oleh karena itu perlu adanya kekuatan fisik maupun mental untuk bisa melakukan seluruh pekerjaan rumah tangga dengan baik. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh National Institute for Child Health and Human Development Study of Early Child Care and Youth Development yang melibatkan 1.300 perempuan menunjukkan bahwa perempuan yang bekerja di luar rumah walau hanya bekerja part time memiliki kesehatan yang lebih baik dan lebih sedikit mengalami gejala depresi dibandingkan dengan perempuan yang mencurahkan waktunya untuk mengurusi rumah dan keluarga (Indriani, 2011).Banyak wanita yang bekerja melaporkan bahwa mereka merasa bersalah karena sepanjang hari meninggalkan rumah. Setibanya dirumah meraka merasa tertekan karena tuntutan anak-anak dan suami yang dapat menjadi pemicu stress pada wanita (Selye, 1982).Witkil & Lanoil (1986), juga mengatakan para wanita yang bekerja dikabarkan sebagai pihak yang mengalami stress lebih tinggi dibandingkan dengan pria. Masalahnya, wanita bekerja ini menghadapi konflik peran sebagai wanita yang bekerja sekaligus ibu rumah tangga. Terutama dalam alam kebudayaan Indonesia, wanita sangat dituntut perannya sebagai ibu rumah tangga yang baik dan benar sehingga banyak wanita yang merasa bersalah ketika harus bekerja. Perasaan bersalah ditambah dengan tuntutan dari dua sisi, yaitu pekerjaan dan ekonomi rumah tangga, sangat berpotensi menyebabkan wanita bekerja mengalami stress. Selanjutnya Anoraga (2001), mengatakan wanita yang bekerja hanya sekedar untuk mencari nafkah maka hal sekecil apapun dapat menjadi timbulnya pemicu konflik dan ketegangan yang berakibat munculnya stress.Stress pada dasarnya dapat dialami oleh siapa saja. Stress dalam istilah fisiologis adalah merupakan respon tubuh secara umum, artinya stress merupakan physiological state yang dihasilkan dalam tubuh seseorang karena pengaruh suatu stimulus dan stress dapat menimbulkan penyakit (Berry, 1998). Sarafino (2006), mengatakan bahwa stress adalah perasaan tidak mampu untuk memenuhi tuntutan dari lingkungan, merasakan adanya ketegangan dan rasa tidak nyaman yang berpengaruh pada kognisi, emosi dan perilaku sosial seseorang. Selanjutnya Cornelli (dalam Brecht, 1999), juga menyatakan bahwa stres dapat didefinisikan sebagai gangguan pada tubuh dan pikiran yang disebabkan oleh perubahan dan tuntutan kehidupan. Stress dipengaruhi baik oleh lingkungan maupun penampilan individu di dalam lingkungan tersebut.

Sebagian besar individu merasakan bahwa stress merupakan suatu kondisi yang negatif, yang mengarah ke timbulnya penyakit fisik ataupun mental ataupun perilaku yang tidak wajar. Adapun penyebab terjadinya stress di dalam diri seseorang disebabkan karena adanya stimulus yang membawa dan membangkitkannya yang disebut sebagai stressor. Bentuk dari stressor tersebut berupa situasi, kejadian atau objek yang dapat membawa pengaruh pada tubuh dan menyebabkan reaksi bagi diri seseorang (Selye, 1982).

Akibat akibat stress dapat berupa psikologik dan somatik. Stress yang akut dapat menimbulkan penyakit depresi dan kecemasan. Sedangkan stress yang kronik dapat menimbulkan gangguan jiwa yang berat (Schizofrenia ). Pendidikan dan status sosial ekonomi yang rendah akan lebih banyak mengalami stress. Jika dibandingkan dengan pria, wanita lebih emosional Karenanya, lebih rentan terkena stress (Sarafino, 2006).Selanjutnya Atkinson (2000), mengemukakan bahwa stress mengacu pada peristiwa yang dirasakan membahayakan kesejahteraan fisik dan psikologis seseorang. Kesejahteraan fisik berkaitan dengan kesehatan jasmani sedangkan kesejahteraan psikologis merupakan apa yang dirasakan individu mengenai aktivitas-aktivitas yang dilakukannya dalam kehidupan sehari-hari (Warr, dikutip oleh Ryff, 1995).Bernard (1971,1972) menyatakan bahwa perempuan yang bekerja mempunyai frekuensi gejala stress yang lebih rendah daripada ibu rumah tangga. Dengan diberikannya kesempatan untuk bekerja di luar rumah akan membuat perempuan terlepas dari perasaan bosan dan terisolasi dalam pekerjaan rumah tangga sehingga akan dapat mendorong tercapainya kebahagiaan dan self-fulfillment. Barnet dan Baruch (1979) juga menyatakan bahwa dengan bekerja, perasaan well-being perempuan dapat meningkat. Meningkatnya perasaan kompeten melalui bekerja disebabkan oleh gaji yang diterima dapat menimbulkan rasa ketidaktergantungan secara finansial sehingga juga meningkatkan perasaan dewasa dan mampu untuk mandiri. Efek-efek tersebut secara umum juga mempengaruhi tingkah laku perempuan dalam kehidupan perkawinannya. Ketidaktergantungan pada segi finansial juga memungkinkan ia untuk mengeluarkan uang ekstra untuk urusan rumah tangga dan kebutuhan anak.Bradburn, dkk (dalam Ryff, 1989) mengatakan kebahagiaan atau kesejahteraan psikologis dapat disebut juga dengan Psychological Well-Being (PWB). Ryff (dikutip oleh Wang, 2002) mendefinisikan Psychological Well-Being (yang selanjutnya disebut dengan PWB) sebagai fungsi positif dari individu. Fungsi positif dari individu merupakan arah atau tujuan yang diusahakan untuk dicapai oleh individu yang sehat (Schultz, 2002). Fungsi positif dari individu didasarkan pada pandangan humanistik mengenai self actualization, maturity, fully, functioning dan individuasi (Ryff & singer, 1996).

Selanjutnya Ryff (dalam Keyes, 1995) sebagai penggagas teori Psychological Well-Being menyebutkan bahwa PWB dapat ditandai dengan diperolehnya kebahagiaan, kepuasan hidup dan tidak adanya gejala-gejala depresi. (Ryff, 1989) menyebutkan kebahagian (hapiness) merupakan hasil dari kesejahteraan psikologis dan merupakan tujuan tertinggi yang ingin dicapai oleh setiap manusia.

Ryff menyebutkan bahwa PWB terdiri dari enam dimensi, yaitu kepemilikan akan rasa penghargaan terhadap diri sendiri, kemandirian, memiliki hubungan yang positif dengan orang lain, pengguasaan terhadap lingkungan, memiliki tujuan dan arti hidup serta pertumbuhan dan perkembangan yang berkelanjutan (Ryff & Keyes, 1995).Jumlah perempuan yang bekerja meningkat secara tajam selama abad ke-20. Secara khusus, jumlah perempuan menikah yang memasuki dunia kerja, bertambah secara tahunnya (Dubeck & Borman, 1996). Dengan masuknya perempuan menikah kedalam dunia kerja, maka bertambah pula perannya menjadi karyawati selain juga tetap berperan sebagai istri, ibu dan peran-peran yang lain. Adanya multi peran yang dimiliki oleh ibu bekerja dapat memberikan efek yang positif dan juga negative. Hyde, et al (1995) dalam Clark (1997) menuliskan bahwa sebenarnya semakin banyak peran yang disandang oleh seseorang semakin baik kesejahteraan psikologisnya (psychological well-being) karena dengan banyaknya peran yang dimiliki dapat meningkatkan self-esteem, status sosial dan identitas sosial.Dampak dari ibu yang bekerja terhadap anak menurut Parke & Buriel (dalam Papalia, Olds & Feldman, 2004) tergantung dari beberapa faktor seperti usia, jenis kelamin, temperamen dan kepribadian anak; apakah ibu bekerja penuh waktu atau paruh waktu; alasan ibu bekerja dan perasaan ibu terhadap pekerjaannya; apakah ibu memiliki suami yang mendukung atau tidak; status sosial ekonomi keluarga; dan jenis pola asuh yang diterapkan pada anak sebelum dan/atau sesudah sekolah. Semakin puas seorang ibu terhadap pekerjaannya, semakin efektif juga ia sebagai orang tua.Pola asuh adalah cara cara atau bentuk pengasuhan anak. Menurut Chabib Thoha (1997, dalam Puspitasari, 2006) bahwa pola asuh merupakan suatu cara yang terbaik yang dapat ditempuh orang tua dalam mendidik anak sebagai perwujudan dan rasa tanggung jawab kepada anak.

Pola asuh adalah kemampuan keluarga dan masyarakat untuk menyediakan waktu, perhatian dan dukungan terhadap anak agar dapat tumbuh kembang sebaik baiknya secara fisik, mental dan sosial (Soekirman, 2000 dalam Puspitasari, 2006).

Setiap anak tumbuh dan berkembang melalui proses belajar tentang dirinya sendiri dan dunia sekitarnya. Proses pembelajaran ini berlangsung dan berkesinambungan terus selama masa hidup seseorang, sejak anak usia bayi sampai mencapai usia dewasa. Kewajiban orang tua adalah terlibat dalam pengasuhan positif dan memandu anak menjadi manusia yang kompeten. Kewajiban anak adalah merespon sesuai dengan inisiatif dari orang tua dan mempertahankan hubungan positif dengan orang tua (Santrock, 2007). Pola asuh yang tepat dari orang tua terutama ibu sangat mempengaruhi proses pembelajaran ini. Diperlukan kesabaran dan kebijakan orang tua untuk dapat memberikan pertimbangan terbaik dalam pengambilan keputusan keputusan penting di dalam kehidupan anak.Masing masing ibu tentu saja memiliki pola asuh tersendiri dalam mengarahkan perilaku anak. Hal ini sangat dipengaruh oleh latar belakang pendidikan, mata pencaharian hidup, keadaan sosial ekonomi, adat istiadat, dan sebagainya. Contohnya, pola asuh ibu yang bekerja sebagai petani tidak sama dengan pedagang. Demikian pula pola asuh ibu yang berpendidikan rendah berbeda dengan pola asuh ibu yang berpendidikan tinggi. Ada yang menerapkan dengan pola asuh yang keras/ kejam, kasar, dan tidak berperasaan. Ada yang memakai pola asuh yang lemah lembut dan kasih sayang dan ada pula yang memakai sistem militer, yang apabila anaknya bersalah akan langsung diberi hukuman dan tindakan tegas (pola otoriter). Pola asuh yang diterapkan tiap tiap orang tua akan sangat mempengaruhi pada bentuk bentuk penyimpangan perilaku anak (Sunarti, 2004).Berdasarkan uraian diatas peneliti tertarik untuk melihat sejauh mana pengaruh stress ibu yang bekerja terhadap psychological well-being ibu dan pola asuh pada anak di kota Semarang.

B. PERUMUSAN MASALAH

Dari latar belakang masalah diatas, dapat dirumuskan permasalahnnya oleh peneliti yaitu Apakah ada pengaruh stress ibu yang bekerja terhadap psychological well-being ibu dan pola asuh pada anak di kota SemarangC. TUJUAN PENELITIAN

1. Tujuan Umum

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya pengaruh stress ibu yang bekerja terhadap psychological well-being ibu dan pola asuh anak di kota Semarang.2. Tujuan Khusus

a. Mengidentifikasi pengaruh stress ibu yang bekerja terhadap psychological well-being ibu di Kota Semarang.b. Mengidentifikasi pengaruh stress ibu yang bekerja terhadap pola asuh anak di Kota Semarang.

c. Mengidentifikasi pengaruh stress ibu yang bekerja terhadap psychological well-being ibu dan pola asuh anak di Kota Semarang.D. MANFAAT PENELITIAN1. Manfaat Bagi Peneliti

Menambah pengetahuan peneliti terkait pengaruh stress ibu yang bekerja terhadap psychological well-being ibu dan pola asuh anak sehingga bisa digunakan sebagai acuan dalam pengembangan keilmuan khususnya ilmu psikologi keluarga dan anak.

2. Manfaat bagi Institusi Pendidikan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah literatur Program Studi Pascasarjana Magister Profesi Psikologi Universitas Katolik Soegijapranata Semarang sehingga dapat digunakan untuk penelitian selanjutnya dan untuk menambah pengetahuan mahasiswa tentang pengaruh stress ibu yang bekerja terhadap psychological well-being ibu dan pola asuh anak di Kota Semarang.

3. Manfaat bagi Institusi Pelayanan Psikologi

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dan masukan dalam dalam meningkatkan kesejahteraan dan kebahagiaan seorang ibu dan membantu orang tua khususnya seorang ibu yang bekerja dalam pengasuhannya terhadap anak. Psikolog dapat membantu mengurangi permasalahan stress pada ibu yang bekerja sehingga dapat mencapai kesejahteraan nya dan membantunya dalam pengasuhan anak.4. Manfaat bagi MasyarakatHasil penelitian diharapkan dapat berguna untuk menambah pengetahuan kepada masyarakat khususnya orang tua terkait dalam pola pengasuhan terhadap anak. Ibu yang bekerja mengatur waktu dengan anaknya untuk memiliki kualitas hubungan yang baik, orang tua dapat mendeteksi adanya penyimpangan perilaku secara dini agar bisa ditangani dengan cepat, dan orang tua dapat memberikan perhatian lebih pada anak.11