bab i ketentuan umum ketentuan umum€¦ · no. uu nomor 10 tahun 2004 tentang pembentukan...

189
MATRIKS PERUBAHAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KETERANGAN 1. Menimbang: Menimbang: a. bahwa pembentukan peraturan perundangundangan merupakan salah satu syarat dalam rangka pembangunan hukum nasional yang hanya dapat terwujud apabila didukung oleh cara dan metode yang pasti, baku, dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang membuat peraturan perundangndangan; a. bahwa untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum, negara berkewajiban melaksanakan pembangunan hukum nasional yang dilakukan secara terencana, terpadu, dan berkelanjutan dalam system hukum nasional yang menjamin pelindungan hak dan kewajiban segenap rakyat Indonesia berdasarkan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. bahwa untuk lebih meningkatkan koordinasi dan kelancaran proses pembentukanan peraturan perundangundangan, maka negara Republik Indonesia sebagai negara yang berdasar atas hukum perlu memiliki peraturan mengenai pembentukan peraturan perundangundangan; b. bahwa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat atas peraturan perundangundangan yang baik, perlu dibuat peraturan mengenai pembentukan peraturan perundangundangan yang dilaksanakan dengan cara dan metode yang pasti, baku, dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang membentuk peraturan perundangundangan; c. bahwa selama ini ketentuan yang berkaitan dengan pembentukan peraturan perundangundangan terdapat dalam beberapa peraturan perundangundangan yang sudah tidak sesuai lagi dengan hukum ketatanegaraan Republik Indonesia; c. bahwa dalam UndangUndang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan masih terdapat kekurangan dan belum dapat menampung perkembangan kebutuhan masyarakat mengenai aturan pembentukan peraturan perundangundangan yang baik sehingga perlu diganti; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk UndangUndang tentang Pembentukanan Peraturan Perundangndangan. d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk UndangUndang tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan; 2. Mengingat: Mengingat: Pasal 20, Pasal 20A ayat (1), Pasal 21, dan Pasal 22A UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 22A UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 3. Memutuskan: Menetapkan : Memutuskan: Menetapkan : UNDANGUNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANGUNDANGAN UNDANGUNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANGUNDANGAN. 4. BAB I KETENTUAN UMUM BAB I KETENTUAN UMUM

Upload: others

Post on 27-Nov-2019

13 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

MATRIKS PERUBAHAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

1.   Menimbang:  

Menimbang: 

 

  a. bahwa  pembentukan  peraturan  perundang‐undangan  merupakan  salah  satu syarat dalam  rangka pembangunan hukum nasional  yang hanya dapat  terwujud apabila  didukung  oleh  cara  dan  metode  yang  pasti,  baku,  dan  standar  yang mengikat  semua  lembaga  yang  berwenang  membuat  peraturan  perundang‐ ndangan; 

 

a. bahwa  untuk  mewujudkan  Indonesia  sebagai  negara  hukum,  negara berkewajiban  melaksanakan  pembangunan  hukum  nasional  yang  dilakukan secara  terencana,  terpadu, dan berkelanjutan dalam  system hukum nasional yang  menjamin  pelindungan  hak  dan  kewajiban  segenap  rakyat  Indonesia berdasarkan Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 

 

b. bahwa  untuk  lebih  meningkatkan  koordinasi  dan  kelancaran  proses pembentukanan peraturan perundang‐undangan, maka negara Republik Indonesia sebagai  negara  yang  berdasar  atas  hukum  perlu memiliki  peraturan mengenai pembentukan peraturan perundang‐undangan; 

 

b. bahwa  untuk memenuhi  kebutuhan masyarakat  atas  peraturan  perundang‐undangan  yang  baik,  perlu  dibuat  peraturan  mengenai  pembentukan peraturan  perundang‐undangan  yang  dilaksanakan dengan  cara dan metode yang pasti, baku, dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang membentuk peraturan perundang‐undangan; 

 

c. bahwa  selama  ini  ketentuan  yang  berkaitan  dengan  pembentukan  peraturan perundang‐undangan  terdapat  dalam  beberapa  peraturan  perundang‐undangan yang sudah tidak sesuai lagi dengan hukum ketatanegaraan Republik Indonesia; 

c. bahwa dalam Undang‐Undang Nomor  10  Tahun 2004  tentang  Pembentukan Peraturan Perundang‐undangan masih terdapat kekurangan dan belum dapat menampung  perkembangan  kebutuhan  masyarakat  mengenai  aturan pembentukan peraturan perundangundangan yang baik sehingga perlu diganti; 

 

d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan  huruf  c,  perlu  membentuk  Undang‐Undang  tentang  Pembentukanan Peraturan Perundang‐ndangan. 

d. bahwa  berdasarkan  pertimbangan  sebagaimana  dimaksud  dalam  huruf  a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang‐Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang‐undangan; 

 

2.   Mengingat:  Mengingat:   Pasal  20,  Pasal  20A  ayat  (1),  Pasal  21, dan  Pasal  22A Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 

Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 22A Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 

 

3.   Memutuskan: Menetapkan : 

Memutuskan: Menetapkan : 

 

UNDANG‐UNDANG  TENTANG  PEMBENTUKAN  PERATURAN PERUNDANGUNDANGAN 

UNDANG‐UNDANG  TENTANG  PEMBENTUKAN  PERATURAN  PERUNDANG‐UNDANGAN. 

 

4.   BAB I KETENTUAN UMUM 

BAB I KETENTUAN UMUM 

 

Page 2: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

5.   Pasal 1  Pasal 1   6.   Dalam Undang‐Undang ini yang dimaksud dengan:  Dalam Undang‐Undang ini yang dimaksud dengan:   

(1) Pembentukan  Peraturan  Perundang‐undangan  adalah  proses  pembuatan Peraturan  Perundang‐undangan  yang  pada  dasarnya  dimulai  dari perencanaan,  persiapan,teknik  penyusunan,  perumusan,  pembahasan, pengesahan, pengundangan, dan penyebarluasan. 

1. Pembentukan  Peraturan  Perundang‐undangan  adalah  pembuatan Peraturan  Perundang‐undangan  yang  mencakup  tahapan perencanaan,  penyusunan,  pembahasan,  pengesahan  atau penetapan, dan pengundangan. 

 

(2) Peraturan  Perundang‐undangan  adalah  peraturan  tertulis  yang  dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum. 

2. Peraturan Perundang‐undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma  hukum  yang  mengikat  secara  umum  dan  dibentuk  atau ditetapkan  oleh  lembaga  negara  atau  pejabat  yang  berwenang melalui  prosedur  yang  ditetapkan  dalam  Peraturan  Perundang‐undangan. 

 

(3) Undang‐Undang  adalah  Peraturan  Perundang‐undangan  yang  dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden. 

3. Undang‐Undang adalah Peraturan Perundang‐undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden. 

 

(4) Peraturan  Pemerintah  Pengganti  Undang‐Undang  adalah  Peraturan Perundang‐undangan  yang  ditetapkan  oleh  Presiden  dalam  hal  ikhwal kegentingan yang memaksa. 

4. Peraturan  Pemerintah  Pengganti  Undang‐Undang  adalah  Peraturan Perundang‐undangan  yang  ditetapkan  oleh  Presiden  dalam  hal  ihwal kegentingan yang memaksa. 

 

(5) Peraturan  Pemerintah  adalah  Peraturan  Perundang‐undangan  yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan Undang‐Undang sebagaimana mestinya. 

5. Peraturan  Pemerintah  adalah  Peraturan  Perundang‐undangan  yang ditetapkan  oleh  Presiden  untuk  menjalankan  Undang‐Undang sebagaimana mestinya. 

 

(6) Peraturan  Presiden  adalah  Peraturan  Perundang‐undangan  yang  dibuat oleh Presiden. 

6. Peraturan  Presiden  adalah  Peraturan  Perundang‐undangan  yang ditetapkan  oleh  Presiden  untuk  menjalankan  perintah  Peraturan Perundangundangan yang lebih tinggi atau dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan. 

 

(7) Peraturan Daerah  adalah  Peraturan  Perundang‐undangan  yang  dibentuk oleh dewan perwakilan rakyat daerah dengan persetujuan bersama kepala daerah. 

7. Peraturan  Daerah  Provinsi  adalah  Peraturan  Perundang‐undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dengan persetujuan bersama Gubernur. 

Dalam  UU  Nomor  12 Tahun  2011,  Peraturan daerah    lebih  dispesifikan lagi  menjadi  Peraturan Daerah  Provinsi  dan Kabupaten/Kota 

(8) Peraturan Desa/peraturan  yang  setingkat  adalah  Peraturan  Perundang‐undangan  yang  dibuat  oleh  badan  perwakilan  desa  atau  nama  lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya. 

8. Peraturan  Daerah  Kabupaten/Kota  adalah  Peraturan  Perundang‐undangan  yang  dibentuk  oleh  Dewan  Perwakilan  Rakyat  Daerah Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama Bupati/Walikota. 

(9) Program  Legislasi  Nasional  adalah  instrumen  perencanaan  program pembentukan  Undang‐Undang  yang  disusun  secara  berencana,  terpadu, 

9. Program Legislasi Nasional yang selanjutnya disebut Prolegnas adalah instrumen  perencanaan  program  pembentukan Undang‐Undang  yang 

 

Page 3: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

dan sistematis.  disusun secara terencana, terpadu, dan sistematis. (10) Program  Legislasi  Daerah  adalah  instrumen  perencanaan  program 

pembentukan Peraturan Daerah yang disusun secara berencana, terpadu, dan sistematis. 

10. Program  Legislasi  Daerah  yang  selanjutnya  disebut  Prolegda  adalah instrumen  perencanaan  program  pembentukan  Peraturan  Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang disusun secara terencana, terpadu, dan sistematis. 

 

  11. Naskah  Akademik  adalah  naskah  hasil  penelitian  atau  pengkajian hukum dan hasil penelitian  lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang  dapat  dipertanggungjawabkan  secara  ilmiah  mengenai pengaturan  masalah  tersebut  dalam  suatu  Rancangan  Undang‐Undang,  Rancangan  Peraturan  Daerah  Provinsi,  atau  Rancangan Peraturan  Daerah  Kabupaten/Kota  sebagai  solusi  terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat. 

Dalam  UU  Nomor  12 Tahun  2011  diberikan definisi  tentang  Naskah Akademis  yang  semula tidak  terdapat  dalam  UU Nomor 10 Tahun 2004. 

(11) Pengundangan adalah penempatan Peraturan Perundang‐undangan dalam Lembaran  Negara  Republik  Indonesia,  Tambahan  Lembaran  Negara Republik  Indonesia,  Berita  Negara  Republik  Indonesia,  Tambahan  Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah, atau Berita Daerah. 

12. Pengundangan  adalah  penempatan  Peraturan  Perundang‐undangan dalam  Lembaran  Negara  Republik  Indonesia,  Tambahan  Lembaran Negara  Republik  Indonesia,  Berita  Negara  Republik  Indonesia, Tambahan  Berita  Negara  Republik  Indonesia,  Lembaran  Daerah, Tambahan Lembaran Daerah, atau Berita Daerah. 

 

(12) Materi Muatan Peraturan Perundang‐undangan adalah materi yang dimuat dalam  Peraturan  Perundang‐undangan  sesuai  dengan  jenis,  fungsi,  dan hierarki Peraturan Perundang‐undangan. 

13. Materi  Muatan  Peraturan  Perundang‐undangan  adalah  materi  yang dimuat  dalam  Peraturan  Perundang‐undangan  sesuai  dengan  jenis, fungsi, dan hierarki Peraturan Perundang‐undangan. 

 

  14. Dewan  Perwakilan  Rakyat  yang  selanjutnya  disingkat  DPR  adalah Dewan  Perwakilan  Rakyat  sebagaimana  dimaksud  dalam  Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945  Dalam  UU  Nomor  12 

Tahun  2011  diberikan definisi tentang DPR, DPD, dan  DPRD,  yang  semula tidak  terdapat  dalam  UU Nomor 10 Tahun 2004. 

  15. Dewan  Perwakilan  Daerah  yang  selanjutnya  disingkat  DPD  adalah Dewan  Perwakilan  Daerah  sebagaimana  dimaksud  dalam  Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 

  16. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah  yang  selanjutnya disingkat DPRD adalah  Dewan  Perwakilan  Rakyat  Daerah  sebagaimana  dimaksud dalam Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 

6.   Pasal 2  Pasal 2   Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum negara.  Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum negara.   

Page 4: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

7.   Pasal 3  Pasal 3   (1) Undang‐Undang Dasar Negara Republik  Indonesia Tahun 1945 merupakan 

hukum dasar dalam Peraturan Perundang‐undangan. (1) Undang‐Undang  Dasar  Negara  Republik  Indonesia  Tahun  1945 

merupakan hukum dasar dalam Peraturan Perundang‐undangan.  

(2) Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. 

(2) Undang‐Undang  Dasar  Negara  Republik  Indonesia  Tahun  1945 ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. 

 

(3) Penempatan Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam  Lembaran  Negara  Republik  Indonesia  tidak  merupakan  dasar pemberlakuannya. 

(3) Penempatan Undang‐Undang Dasar Negara  Republik  Indonesia  Tahun 1945  dalam  Lembaran  Negara  Republik  Indonesia  tidak  merupakan dasar pemberlakuannya. 

 

8.   Pasal 4  Pasal 4   Peraturan Perundang‐undangan yang diatur lebih lanjut dalam Undang‐Undang ini meliputi Undang‐Undang dan Peraturan Perundang‐undangan di bawahnya. 

Peraturan  Perundang‐undangan  yang  diatur  dalam  Undang‐Undang  ini meliputi Undang‐Undang dan Peraturan Perundang‐undangan di bawahnya. 

 

9.   BAB II ASAS PERATURAN PERUNDANG‐UNDANGAN 

BAB II ASAS PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG‐UNDANGAN 

  

10.   Pasal 5  Pasal 5   Dalam membentuk  Peraturan  Perundang‐undangan  harus  berdasarkan  pada asas Pembentukan Peraturan Perundang‐undangan yang baik yang meliputi: 

Dalam  membentuk  Peraturan  Perundang‐undangan  harus  dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang‐undangan yang baik, yang meliputi: 

 

a. Kejelasan tujuan;  a. kejelasan tujuan;   b. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;  b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;   c. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan;  c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;   d. Dapat dilaksanakan;  d. dapat dilaksanakan;   e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan;  e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;   f. Kejelasan rumusan; dan  f. kejelasan rumusan; dan   g. Keterbukaan.  g. Keterbukaan.   

11.   Pasal 6  Pasal 6   (1) Materi Muatan Peraturan Perundang‐undangan mengandung asas:  

a. pengayoman; b. kemanusiaan; c. kebangsaan; d. kekeluargaan; 

(1) Materi muatan  Peraturan  Perundang‐undangan  harus mencerminkan asas: a. pengayoman; b. kemanusiaan; c. kebangsaan; d. kekeluargaan; 

 

Page 5: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

e. kenusantaraan; f. bhinneka tunggal ika; g. keadilan; h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. 

e. kenusantaraan; f. bhinneka tunggal ika; g. keadilan; h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. 

(2) Selain  asas  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1),  Peraturan  Perundang‐undangan  tertentu  dapat  berisi  asas  lain  sesuai  dengan  bidang  hukum Peraturan Perundang‐undangan yang bersangkutan. 

(2) Selain  mencerminkan  asas  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1), Peraturan  Perundang‐undangan  tertentu  dapat  berisi  asas  lain  sesuai dengan  bidang  hukum  Peraturan  Perundang‐undangan  yang bersangkutan. 

 

12.     BAB III JENIS, HIERARKI, DAN MATERI MUATAN PERATURAN PERUNDANG‐

UNDANGAN  

13.   Pasal 7  Pasal 7   (1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang‐undangan adalah sebagai berikut: 

a. Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Undang‐Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang‐Undang; c. Peraturan Pemerintah; d. Peraturan Presiden; e. Peraturan Daerah. 

(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang‐undangan terdiri atas:  

a. Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Undang‐Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang‐Undang; d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden; f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. 

Pasal  7  dalam UU Nomor 10  Tahun  2004  masih merupakan  bagian  dari BAB  II  UU  tersebut< sedangkan  dalam  UU Nomor  12  Tahun  2011 Pasal 7  Sudah merupakan bagian dari BAB III. Menambahkan  kembali TAP  dalam  hierarkhi peraturan  perundang‐undangan  dan memperjelas  kedudukan Peraturan Daerah Provinsi dan  Peraturan  Daerah Kabupaten/Kota 

(2) Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e meliputi: a. Peraturan  Daerah  provinsi  dibuat  oleh  dewan  perwakilan  rakyat 

   

Page 6: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

daerah provinsi bersama dengan gubernur; b. Peraturan  Daerah  kabupaten/kota  dibuat  oleh  dewan  perwakilan 

rakyat daerah kabupaten/kota bersama bupati/walikota; c. Peraturan  Desa/peraturan  yang  setingkat,  dibuat  oleh  badan 

perwakilan desa atau nama  lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya. 

(3) Ketentuan  lebih  lanjut  mengenai  tata  cara  pembuatan  Peraturan Desa/peraturan  yang  setingkat  diatur  dengan  Perataran  Daerah kabupaten/kota yang bersangkutan. 

   

(4) Jenis Peraturan Perundang‐undangan  selain  sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan  oleh  Peraturan  Perundang‐undangan  yang  lebih tinggi. 

   

(5) Kekuatan  hukum  Peraturan  Perundang‐undangan  adalah  sesuai  dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1). 

(2) Kekuatan  hukum  Peraturan  Perundang‐undangan  sesuai  dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1). 

 

14.     Pasal 8     (1) Jenis  Peraturan  Perundang‐undangan  selain  sebagaimana  dimaksud 

dalam  Pasal  7  ayat  (1) mencakup  peraturan  yang  ditetapkan  oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa  Keuangan,  Komisi  Yudisial,  Bank  Indonesia,  Menteri, badan,  lembaga, atau  komisi  yang  setingkat  yang dibentuk dengan Undang‐Undang  atau  Pemerintah  atas  perintah  Undang‐Undang, Dewan  Perwakilan  Rakyat  Daerah  Provinsi,  Gubernur,  Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat. 

Pasal  8  UU  Nomor  10 Tahun  2004  yang mengatur  tentang  materi muatan  yang harus diatur dengan  UU,  dalam  UU Nomor  12  Tahun  2011 diatur dalam Pasal 9.  Pasal  7  UU  Nomor  10 Tahun  2004  yang  terdiri dari  5  ayat  dijabarkan dalam  2  Pasal  dalam  UU Nomor  12  Tahun  2011 yaitu Pasal 7 dan Pasal 8. 

(2) Peraturan  Perundang‐undangan  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang  diperintahkan  oleh  Peraturan  Perundang‐undangan  yang 

 

Page 7: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.  

  Pasal 9     (1) Dalam  hal  suatu  Undang‐Undang  diduga  bertentangan  dengan 

Undang‐Undang  Dasar  Negara  Republik  Indonesia  Tahun  1945, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. 

Pengujian  suatu  UU  yang bertentangan  dengan UUD  1945  dilakukan  oleh Mahkamah Konstitusi 

  (2) Dalam hal  suatu Peraturan Perundang‐undangan di bawah Undang‐Undang diduga bertentangan dengan Undang‐Undang, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Agung. 

Pengujian suatu Peraturan Perundang‐undangan yang  bertentangan dengan UU dilakukan oleh Mahkamah Agung 

15.   BAB III MATERI MUATAN 

   

16.   Pasal 8  Pasal 10   17.   Materi muatan yang harus diatur dengan Undang‐Undang berisi hal‐hal yang: 

a. mengatur  lebih  lanjut  ketentuan Undang‐Undang Dasar Negara  Republik Indonesia Tahun 1945 yang meliputi: 1. hak‐hak asasi manusia; 2. hak dan kewajiban warga negara; 3. pelaksanaan  dan  penegakan  kedaulatan  negara  serta  pembagian 

kekuasaan negara; 4. wilayah negara dan pembagian daerah; 5. kewarganegaraan dan kependudukan; 6. keuangan negara. 

b. diperintahkan oleh suatu Undang‐Undang untuk diatur dengan Undang‐Undang.  

(1) Materi muatan yang harus diatur dengan Undang‐Undang berisi: a. pengaturan  lebih  lanjut  mengenai  ketentuan  Undang‐Undang 

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. perintah  suatu  Undang‐Undang  untuk  diatur  dengan  Undang‐

Undang; c. pengesahan perjanjian internasional tertentu; d. tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau e. pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat. 

 

    (2) Tindak  lanjut  atas  putusan  Mahkamah  Konstitusi  sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan oleh DPR atau Presiden. 

 

18.   Pasal 9  Pasal 11   

Page 8: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

  Materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang‐Undang sama dengan materi muatan Undang‐Undang. 

Materi  muatan  Peraturan  Pemerintah  Pengganti  Undang‐Undang  sama dengan materi muatan Undang‐Undang. 

 

19.   Pasal 10  Pasal 12   Materi  muatan  Peraturan  Pemerintah  berisi  materi  untuk  menjalankan Undang‐Undang sebagaimana mestinya. 

Materi  muatan  Peraturan  Pemerintah  berisi  materi  untuk  menjalankan Undang‐Undang sebagaimana mestinya. 

 

20.   Pasal 11  Pasal 13   Materi  muatan  Peraturan  Presiden  berisi  materi  yang  diperintahkan  oleh Undang‐Undang atau materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah. 

Materi muatan  Peraturan  Presiden  berisi materi  yang  diperintahkan  oleh Undang‐Undang, materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah, atau materi untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan. 

 

21.   Pasal 12  Pasal 14   Materi muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan  otonomi  daerah  dan  tugas  pembantuan,  dan menampung kondisi  khusus  daerah  serta  penjabaran  lebih  lanjut  Peraturan  Perundang‐undangan yang lebih tinggi. 

Materi  muatan  Peraturan  Daerah  Provinsi  dan  Peraturan  Daerah Kabupaten/Kota  berisi  materi  muatan  dalam  rangka  penyelenggaraan otonomi daerah dan  tugas pembantuan  serta menampung kondisi khusus daerah  dan/atau  penjabaran  lebih  lanjut  Peraturan  Perundang‐undangan yang lebih tinggi. 

Perda  Prov  dan  Perda Kab/Kota  berisi  materi muatan  dalam  rangka penyelengaraan  otonomi daerah  dan  tugas pembantuan  serta menampung  kondisi khusus 

22.   Pasal 13     Materi muatan  Peraturan  Desa/yang  setingkat  adalah  seluruh materi  dalam rangka  penyelenggaraan  urusan  desa  atau  yang  setingkat  serta  penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang‐undangan yang lebih tinggi. 

   

23.   Pasal 14  Pasal 15   Materi  muatan  mengenai  ketentuan  pidana  hanya  dapat  dimuat  dalam Undang‐Undang dan Peraturan Daerah. 

   

    (1) Materi muatan mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam: a. Undang‐Undang; b. Peraturan Daerah Provinsi; atau c. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. 

 

24.     (2) Ketentuan  pidana  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  huruf  b  dan huruf c berupa ancaman pidana kurungan paling  lama 6  (enam) bulan 

 

Page 9: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

atau  pidana  denda  paling  banyak  Rp50.000.000,00  (lima  puluh  juta rupiah). 

25.     (3) Peraturan  Daerah  Provinsi  dan  Peraturan  Daerah  Kabupaten/Kota dapat memuat  ancaman  pidana  kurungan  atau  pidana  denda  selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan yang diatur dalam Peraturan Perundang‐undangan lainnya. 

 

26.   BAB IV PERENCANAAN PENYUSUNAN UNDANG‐UNDANG 

BAB IV PERENCANAAN PERATURAN PERUNDANG‐UNDANGAN 

 

27.     Bagian Kesatu Perencanaan Undang‐Undang 

 

28.   Pasal 15  Pasal 16   (1) Perencanaan penyusunan Undang‐Undang dilakukan dalam suatu Program 

Legislasi Nasional. Perencanaan penyusunan Undang‐Undang dilakukan dalam Prolegnas.   

(2) Perencanaan  penyusunan  Peraturan  Daerah  dilakukan  dalam  suatu Program Legislasi Daerah. 

   

29.     Pasal 17     Prolegnas  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  16  merupakan  skala 

prioritas  program  pembentukan  Undang‐Undang  dalam  rangka mewujudkan sistem hukum nasional. 

 

30.     Pasal 18     Dalam  penyusunan  Prolegnas  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  16, 

penyusunan daftar Rancangan Undang‐Undang didasarkan atas: a. perintah  Undang‐Undang  Dasar  Negara  Republik  Indonesia  Tahun 

1945; b. perintah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. perintah Undang‐Undang lainnya; d. sistem perencanaan pembangunan nasional; e. rencana pembangunan jangka panjang nasional; f. rencana pembangunan jangka menengah; g. rencana kerja pemerintah dan rencana strategis DPR; dan h. aspirasi dan kebutuhan hukum masyarakat. 

 

Page 10: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

31.     Pasal 19     (1) Prolegnas  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 memuat program 

pembentukan  Undang‐Undang  dengan  judul  Rancangan  Undang‐Undang, materi  yang  diatur,  dan  keterkaitannya  dengan  Peraturan Perundang‐undangan lainnya. 

 

  (2) Materi yang diatur dan keterkaitannya dengan Peraturan Perundang‐undangan  lainnya  sebagaimana dimaksud pada ayat  (1) merupakan keterangan  mengenai  konsepsi  Rancangan  Undang‐Undang  yang meliputi: a. latar belakang dan tujuan penyusunan; b. sasaran yang ingin diwujudkan; dan c. jangkauan dan arah pengaturan. 

 

32.     (3) Materi yang diatur sebagaimana dimaksud pada ayat  (2) yang telah melalui  pengkajian  dan  penyelarasan  dituangkan  dalam  Naskah Akademik. 

 

33.   Pasal 16  Pasal 20   (1) Penyusunan  Program  Legislasi Nasional  antara Dewan  Perwakilan Rakyat 

dan  Pemerintah  dikoordinasikan  oleh  Dewan  Perwakilan  Rakyat melalui alat pelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat yang khusus menangani bidang legislasi. 

(1) Penyusunan Prolegnas dilaksanakan oleh DPR dan Pemerintah.   

(2) Penyusunan  Program  Legislasi Nasional  di  lingkungan Dewan  Perwakilan Rakyat  dikoordinasikan  oleh  alat  kelengkapan  Dewan  Perwakilan  Rakyat yang khusus menangani bidang legislasi. 

(2) Prolegnas  ditetapkan  untuk  jangka  menengah  dan  tahunan berdasarkan  skala  prioritas  pembentukan  Rancangan  Undang‐Undang. 

 

(3) Penyusunan  Program  Legislasi  Nasional  di  lingkungan  Pemerintah dikoordinasikan oleh menteri yang tugas dan tanggung  jawabnya meliputi bidang Peraturan Perundang‐undangan. 

(3) Penyusunan  dan  penetapan  Prolegnas  jangka menengah  dilakukan pada awal masa  keanggotaan DPR  sebagai Prolegnas untuk  jangka waktu 5 (lima) tahun. 

 

(4) Ketentuan  lebih  lanjut mengenai  tata  cara  penyusunan  dan  pengelolaan Program  Legislasi  Nasional  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  diatur dengan Peraturan Presiden. 

(4) Prolegnas  jangka  menengah  dapat  dievaluasi  setiap  akhir  tahun bersamaan  dengan  penyusunan  dan  penetapan  Prolegnas  prioritas tahunan. 

 

34.     (5) Penyusunan  dan  penetapan  Prolegnas  prioritas  tahunan  sebagai pelaksanaan  Prolegnas  jangka  menengah  dilakukan  setiap  tahun 

 

Page 11: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

sebelum  penetapan  Rancangan  Undang‐Undang  tentang  Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. 

35.     Pasal 21   36.     (1) Penyusunan  Prolegnas  antara DPR  dan  Pemerintah  dikoordinasikan 

oleh  DPR  melalui  alat  kelengkapan  DPR  yang  khusus  menangani bidang legislasi. 

 

37.     (2) Penyusunan  Prolegnas  di  lingkungan DPR  dikoordinasikan  oleh  alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi. 

 

38.     (3) Penyusunan  Prolegnas  di  lingkungan  DPR  sebagaimana  dimaksud pada  ayat  (2)  dilakukan  dengan  mempertimbangkan  usulan  dari fraksi, komisi, anggota DPR, DPD, dan/atau masyarakat. 

 

  (4) Penyusunan Prolegnas di lingkungan Pemerintah dikoordinasikan oleh menteri  yang  menyelenggarakan  urusan  pemerintahan  di  bidang hukum. 

 

  (5) Ketentuan  lebih  lanjut  mengenai  tata  cara  penyusunan  Prolegnas sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1),  ayat  (2),  dan  ayat  (3)  diatur dengan Peraturan DPR. 

 

  (6) Ketentuan  lebih  lanjut mengenai  tata  cara penyusunan Prolegnas di lingkungan Pemerintah  sebagaimana dimaksud pada ayat  (4) diatur dengan Peraturan Presiden. 

 

39.     Pasal 22     (1) Hasil  penyusunan  Prolegnas  antara  DPR  dan  Pemerintah 

sebagaimana dimaksud dalam Pasal  21 ayat  (1)  disepakati menjadi Prolegnas dan ditetapkan dalam Rapat Paripurna DPR. 

 

  (2) Prolegnas  sebagaimana dimaksud  pada  ayat  (1)  ditetapkan  dengan Keputusan DPR. 

 

40.     Pasal 23     (1) Dalam Prolegnas dimuat daftar kumulatif terbuka yang terdiri atas: 

a. pengesahan perjanjian internasional tertentu; b. akibat putusan Mahkamah Konstitusi; c. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; 

 

Page 12: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

d. pembentukan,  pemekaran,  dan  penggabungan  daerah  Provinsi dan/atau Kabupaten/Kota; dan 

e. penetapan/pencabutan  Peraturan  Pemerintah  Pengganti Undang‐Undang. 

  (2) Dalam  keadaan  tertentu,  DPR  atau  Presiden  dapat  mengajukan Rancangan Undang‐Undang di luar Prolegnas mencakup: a. untuk  mengatasi  keadaan  luar  biasa,  keadaan  konflik,  atau 

bencana alam; dan b. keadaan  tertentu  lainnya  yang  memastikan  adanya  urgensi 

nasional  atas  suatu  Rancangan  Undang‐Undang  yang  dapat disetujui  bersama  oleh  alat  kelengkapan  DPR  yang  khusus menangani bidang  legislasi dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. 

 

41.   BAB V PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG‐UNDANGAN 

   

42.   Bagian Kesatu Persiapan Pembentukan Undang‐Undang 

   

43.   Pasal 17     (1) Rancangan  undang‐undang  baik  yang  berasal  dari  Dewan  Pewakilan 

Rakyat,  Presiden,  maupun  dari  Dewan  Perwakilan  Daerah  disusun berdasarkan Program Legislasi Nasional. 

   

(2) Rancangan undang‐undang yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Daerah, sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  adalah  rancangan  undang‐undang yang  berkaitan  dengan  otonomi  daerah,  hubungan  pusat  dan  daerah, pembentukan  dan  pemekaran  serta  penggabungan  daerah,  pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. 

   

44.   (3) Dalam  keadaan  tertentu, Dewan  Perwakilan  Rakyat  atau  Presiden  dapat mengajukan rancangan undang‐undang di luar Program Legislasi Nasional. 

   

45.   Pasal 18     (1) Rancangan  undang‐undang  yang  diajukan  oleh  Presiden  disiapkan  oleh     

Page 13: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

menteri  atau  pimpinan  lembaga  pemerintah  non  departemen,  sesuai dengan lingkup tugas dan tanggung jawabnya. 

  (2) Pengharmonisasian,  pembulatan,  dan  pemantapan  konsepsi  rancangan undangundang  yang  berasal  dari  Presiden,  dikoordinasikan  oleh menteri yang  tugas  dan  tanggung  jawabnya  di  bidang  peraturan  perundang‐undangan. 

   

  (3) Ketentuan  lebih  lanjut  mengenai  tata  cara  mempersiapkan  rancangan undang‐undang  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  diatur  dengan Peraturan Presiden. 

   

46.   Pasal 19       (1) Rancangan  undang‐undang  yang  berasal  dari  Dewan  Perwakilan  Rakyat 

diusulkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat.    

  (2) Rancangan  undang‐undang  yang  berasal  dari  Dewan  Perwakilan  Daerah dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Daerah kepada Dewan Perwakilan Rakyat. 

   

  (3) Ketentuan  lebih  lanjut mengenai tata cara pengusulan rancangan undang‐undang  sebagaimana dimaksud pada ayat  (1) dan ayat  (2) diatur dengan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat dan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Daerah. 

   

47.   Pasal 20       (1) Rancangan  undang‐undang  yang  telah  disiapkan  oleh  Presiden  diajukan 

dengan surat Presiden kepada pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat.    

  (2) Dalam  surat  Presiden  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  ditegaskan antara  lain  tentang  menteri  yang  ditugasi  mewakili  Presiden  dalam melakukan pembahasan  rancangan undang‐undang di Dewan Perwakilan Rakyat. 

   

  (3) Dewan  Perwakilan  Rakyat  mulai  membahas  rancangan  undang‐undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam jangka waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak surat Presiden diterima. 

   

  (4) Untuk  keperluan  pembahasan  rancangan  undang‐undang  di  Dewan Perwakilan  Rakyat,  menteri  atau  pimpinan  lembaga  pemrakarsa 

   

Page 14: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

memperbanyak naskah  rancangan undang‐undang  tersebut dalam  jumlah yang diperlukan. 

48.   Pasal 21     (1) Rancangan  undang‐undang  yang  telah  disiapkan  oleh Dewan  Perwakilan 

Rakyat  disampaikan  dengan  surat  pimpinan  Dewan  Perwakilan  Rakyat kepada Presiden. 

   

(2) Presiden  menugasi  menteri  yang  mewakili  untuk  membahas  rancangan undang‐undang  bersama  Dewan  Perwakilan  Rakyat  dalam  jangka waktu paling  lambat  60  (enam  puluh)  hari  sejak  surat  pimpinan  Dewan Perwakilan Rakyat diterima. 

   

(3) Menteri  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (2)  mengkoordinasikan persiapan pembahasan dengan menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang‐undangan. 

   

49.   Pasal 22     (1) Penyebarluasan  rancangan  undang‐undang  yang  berasal  dari  Dewan 

Perwakilan  Rakyat  dilaksanakan  oleh  Sekretariat  Jenderal  Dewan Perwakilan Rakyat. 

   

(2) Penyebarluasan  rancangan  undang‐undang  yang  berasal  dari  Presiden dilaksanakan oleh instansi pemrakarsa. 

   

50.   Pasal 23     Apabila  dalam  satu  masa  sidang,  Dewan  Perwakilan  Rakyat  dan  Presiden menyampaikan rancangan undang‐undang mengenai materi yang sama, maka yang dibahas adalah rancangan undang‐undang yang disampaikan oleh Dewan Perwakilan  Rakyat,  sedangkan  rancangan  undang‐undang  yang  disampaikan Presiden digunakan sebagai bahan untuk dipersandingkan. 

   

51.   Bagian Kedua Persiapan Pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang‐Undang, 

Peraturan Pemerintah, dan Peraturan Presiden 

Bagian Kedua Perencanaan Peraturan Pemerintah 

 

52.   Pasal 24  Pasal 24   Ketentuan  lebih  lanjut  mengenai  tata  cara  mempersiapkan  rancangan peraturan  pemerintah  pengganti  undang‐undang,  rancangan  peraturan 

Perencanaan  penyusunan  Peraturan  Pemerintah  dilakukan  dalam  suatu program penyusunan Peraturan Pemerintah. 

 

Page 15: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

pemerintah,  dan  rancangan  peraturan  presiden  diatur  dengan  Peraturan Presiden. 

53.     Pasal 25     (1) Perencanaan  penyusunan  Peraturan  Pemerintah  sebagaimana 

dimaksud  dalam  Pasal  24  memuat  daftar  judul  dan  pokok  materi muatan  Rancangan  Peraturan  Pemerintah  untuk  menjalankan Undang‐Undang sebagaimana mestinya. 

 

  (2) Perencanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan untuk jangka waktu 1 (satu) tahun. 

 

54.     Pasal 26       (1) Perencanaan  penyusunan  Peraturan  Pemerintah  sebagaimana 

dimaksud  dalam  Pasal  25  dikoordinasikan  oleh  menteri  yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. 

 

    (2) Perencanaan  penyusunan  Peraturan  Pemerintah  sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Presiden. 

 

55.     Pasal 27       Rancangan  Peraturan  Pemerintah  berasal  dari  kementerian  dan/atau 

lembaga pemerintah nonkementerian sesuai dengan bidang tugasnya.  

56.     Pasal 28     (1) Dalam  keadaan  tertentu,  kementerian  atau  lembaga  pemerintah 

nonkementerian  dapat  mengajukan  Rancangan  Peraturan Pemerintah di luar perencanaan penyusunan Peraturan Pemerintah. 

 

  (2) Rancangan  Peraturan  Pemerintah  dalam  keadaan  tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat berdasarkan kebutuhan Undang‐Undang atau putusan Mahkamah Agung. 

 

57.     Pasal 29     Ketentuan  lebih  lanjut  mengenai  tata  cara  perencanaan  penyusunan 

Peraturan Pemerintah diatur dengan Peraturan Presiden.  

58.     Bagian Ketiga Perencanaan Peraturan Presiden 

 

59.     Pasal 30   

Page 16: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

  Perencanaan  penyusunan  Peraturan  Presiden  dilakukan  dalam  suatu program penyusunan Peraturan Presiden. 

 

60.     Pasal 31     Ketentuan  mengenai  perencanaan  penyusunan  Peraturan  Pemerintah 

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 sampai dengan Pasal 29 berlaku secara mutatis mutandis  terhadap  perencanaan  penyusunan  Peraturan Presiden. 

 

61.   Pasal 25     (1) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang‐Undang harus diajukan ke Dewan 

Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut.    

(2) Pengajuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang‐Undang sebagaimana dimaksud  pada  ayat  (1)  dilakukan  dalam  bentuk  pengajuan  rancangan undang‐undang  tentang  penetapan  peraturan  pemerintah  pengganti undang‐undang menjadi undang‐undang. 

   

(3) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang‐Undang ditolak Dewan Perwakilan Rakyat, maka Peraturan Pemerintah Pengganti Undang‐Undang tersebut tidak berlaku. 

   

(4) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang‐Undang ditolak Dewan Perwakilan Rakyat, maka Presiden mengajukan rancangan undang‐undang tentang  pencabutan  peraturan  pemerintah  pengganti  undang‐undang tersebut yang dapat mengatur pula segala akibat dari penolakan tersebut. 

   

62.   Bagian Ketiga Persiapan Pembentukan Peraturan Daerah 

   

Pasal 26   Rancangan  peraturan  daerah  dapat  berasal  dari  dewan  perwakilan  rakyat daerah  atau  gubernur,  atau  bupati/walikota, masing‐masing  sebagai  kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, atau kota. 

   

63.   Pasal 27   Ketentuan  lebih  lanjut  mengenai  tata  cara  mempersiapkan  rancangan peraturan  daerah  yang  berasal  dari  gubernur  atau  bupati/walikota  diatur dengan Peraturan Presiden. 

   

Page 17: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

64.   Pasal 28     (1) Rancangan  peraturan  daerah  dapat  disampaikan  oleh  anggota,  komisi, 

gabungan komisi, atau alat kelengkapan dewan perwakilan  rakyat daerah yang khusus menangani bidang legislasi. 

   

(2) Ketentuan  lebih  lanjut  mengenai  tata  cara  mempersiapkan  rancangan peraturan  daerah  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  diatur  dalam Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. 

   

65.   Pasal 29     (1) Rancangan  peraturan  daerah  yang  telah  disiapkan  oleh  gubernur  atau 

bupati/walikota  disampaikan  dengan  surat  pengantar  gubernur  atau bupati/walikota  kepada  dewan  perwakilan  rakyat  daerah  oleh  gubernur atau bupati/walikota. 

 

(2) Rancangan peraturan daerah yang telah disiapkan oleh dewan perwakilan rakyat daerah disampaikan oleh pimpinan dewan perwakilan rakyat daerah kepada gubernur atau bupati/walikota. 

   

66.   Pasal 30     (1) Penyebarluasan  rancangan  peraturan  daerah  yang  berasal  dari  dewan 

perwakilan rakyat daerah dilaksanakan oleh sekretariat dewan perwakilan rakyat daerah. 

   

(2) Penyebarluasan  rancangan  peraturan  daerah  yang  berasal  dari  gubernur atau bupati/walikota dilaksanakan olah sekretaris daerah. 

 

67.   Pasal 31     Apabila  dalam  satu masa  sidang,  gubernur  atau  bupati/walikota  dan  dewan perwakilan  rakyat  daerah  menyampaikan  rancangan  peraturan  daerah, mengenai materi yang sama, maka yang dibahas adalah rancangan peraturan daerah  yang  disampaikan  oleh  dewan  perwakilan  rakyat  daerah,  sedangkan rancangan  peraturan  daerah  yang  disampaikan  oleh  gubernur  atau bupati/walikota digunakan sebagai bahan untuk dipersandingkan. 

   

68.     Bagian Keempat Perencanaan Peraturan Daerah Provinsi 

 

69.     Pasal 32  

Page 18: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

  Perencanaan  penyusunan  Peraturan  Daerah  Provinsi  dilakukan  dalam Prolegda Provinsi. 

 

70.     Pasal 33    (1) Prolegda  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  32 memuat  program 

pembentukan  Peraturan  Daerah  Provinsi  dengan  judul  Rancangan Peraturan  Daerah  Provinsi, materi  yang  diatur,  dan  keterkaitannya dengan Peraturan Perundang‐undangan lainnya. 

 

  (2) Materi  yang  diatur  serta  keterkaitannya  dengan  Peraturan Perundang‐undangan  lainnya  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1) merupakan  keterangan  mengenai  konsepsi  Rancangan  Peraturan Daerah Provinsi yang meliputi: a. latar belakang dan tujuan penyusunan; b. sasaran yang ingin diwujudkan; c. pokok pikiran, lingkup, atau objek yang akan diatur; dan d. jangkauan dan arah pengaturan. 

 

  (3) Materi yang diatur sebagaimana dimaksud pada ayat  (2) yang telah melalui  pengkajian  dan  penyelarasan  dituangkan  dalam  Naskah Akademik. 

 

71.     Pasal 34    (1) Penyusunan Prolegda Provinsi dilaksanakan oleh DPRD Provinsi dan 

Pemerintah Daerah Provinsi.  

  (2) Prolegda  Provinsi  ditetapkan  untuk  jangka  waktu  1  (satu)  tahun berdasarkan  skala  prioritas  pembentukan  Rancangan  Peraturan Daerah Provinsi. 

 

  (3) Penyusunan dan penetapan Prolegda Provinsi dilakukan setiap tahun sebelum  penetapan  Rancangan  Peraturan  Daerah  Provinsi  tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi. 

 

72.     Pasal 35    Dalam penyusunan Prolegda Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 

34  ayat  (1),  penyusunan  daftar  rancangan  peraturan  daerah  provinsi didasarkan atas: 

 

Page 19: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

a. perintah Peraturan Perundang‐undangan lebih tinggi; b. rencana pembangunan daerah; c. penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan; dan d. aspirasi masyarakat daerah. 

73.     Pasal 36    (1) Penyusunan Prolegda Provinsi antara DPRD Provinsi dan Pemerintah 

Daerah  Provinsi  dikoordinasikan  oleh  DPRD  Provinsi  melalui  alat kelengkapan DPRD Provinsi yang khusus menangani bidang legislasi. 

 

  (2) Penyusunan  Prolegda  Provinsi  di  lingkungan  DPRD  Provinsi dikoordinasikan  oleh  alat  kelengkapan  DPRD  Provinsi  yang  khusus menangani bidang legislasi. 

 

  (3) Penyusunan  Prolegda  Provinsi  di  lingkungan  Pemerintah  Daerah Provinsi  dikoordinasikan  oleh  biro  hukum  dan  dapat mengikutsertakan instansi vertical terkait. 

 

  (4) Ketentuan  lebih  lanjut  mengenai  tata  cara  penyusunan  Prolegda Provinsi  di  lingkungan  DPRD  Provinsi  sebagaimana  dimaksud  pada ayat (2) diatur dengan Peraturan DPRD Provinsi. 

 

  (5) Ketentuan  lebih  lanjut  mengenai  tata  cara  penyusunan  Prolegda Provinsi  di  lingkungan  Pemerintah  Daerah  Provinsi  sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Gubernur. 

 

74.     Pasal 37    (1) Hasil  penyusunan  Prolegda  Provinsi  antara  DPRD  Provinsi  dan 

Pemerintah Daerah Provinsi  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat  (1) disepakati menjadi Prolegda Provinsi dan ditetapkan dalam Rapat Paripurna DPRD Provinsi. 

 

  (2) Prolegda  Provinsi  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  ditetapkan dengan Keputusan DPRD Provinsi. 

 

75.     Pasal 38    (1) Dalam Prolegda Provinsi dapat dimuat daftar kumulatif terbuka yang 

terdiri atas: a. akibat putusan Mahkamah Agung; dan 

 

Page 20: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

b. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi.   (2) Dalam  keadaan  tertentu,  DPRD  Provinsi  atau  Gubernur  dapat 

mengajukan Rancangan  Peraturan Daerah  Provinsi  di  luar  Prolegda Provinsi: a. untuk  mengatasi  keadaan  luar  biasa,  keadaan  konflik,  atau 

bencana alam; b. akibat kerja sama dengan pihak lain; dan c. keadaan  tertentu  lainnya yang memastikan adanya urgensi atas 

suatu Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang dapat disetujui bersama  oleh  alat  kelengkapan  DPRD  Provinsi  yang  khusus menangani bidang legislasi dan biro hukum. 

 

76.     Bagian Kelima Perencanaan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota 

 

77.     Pasal 39    Perencanaan  penyusunan  Peraturan  Daerah  Kabupaten/Kota  dilakukan 

dalam Prolegda Kabupaten/Kota.  

78.     Pasal 40    Ketentuan mengenai perencanaan penyusunan Peraturan Daerah Provinsi 

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 sampai dengan Pasal 38 berlaku secara mutatis mutandis  terhadap  perencanaan  penyusunan  Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. 

 

79.     Pasal 41    Dalam Prolegda Kabupaten/Kota dapat dimuat daftar kumulatif terbuka 

mengenai  pembentukan,  pemekaran,  dan  penggabungan  Kecamatan atau  nama  lainnya  dan/atau  pembentukan,  pemekaran,  dan penggabungan Desa atau nama lainnya. 

 

80.     Bagian Keenam Perencanaan Peraturan Perundang‐undangan Lainnya 

 

81.     Pasal 42    (1) Perencanaan  penyusunan  Peraturan  Perundangundangan  lainnya 

sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  8  ayat  (1)  merupakan  

Page 21: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

kewenangan  dan  disesuaikan  dengan  kebutuhan  lembaga,  komisi, atau instansi masing‐masing. 

  (2) Perencanaan  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  ditetapkan  oleh lembaga, komisi, atau  instansi masing‐masing untuk  jangka waktu 1 (satu) tahun. 

 

82.     BAB V PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG‐UNDANGAN 

 

83.     Bagian Kesatu Penyusunan Undang‐Undang 

 

84.     Pasal 43    (1) Rancangan Undang‐Undang dapat berasal dari DPR atau Presiden.     (2) Rancangan  Undang‐Undang  yang  berasal  dari  DPR  sebagaimana 

dimaksud pada ayat (1) dapat berasal dari DPD.  

  (3) Rancangan  Undang‐Undang  yang  berasal  dari  DPR,  Presiden,  atau DPD harus disertai Naskah Akademik. 

 

  (4) Ketentuan  sebagaimana dimaksud pada ayat  (3)  tidak berlaku bagi Rancangan Undang‐Undang mengenai: a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; b. penetapan  Peraturan  Pemerintah  Pengganti  Undang‐Undang 

menjadi Undang‐Undang; atau c. pencabutan Undang‐Undang atau pencabutan d. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang‐Undang. 

 

  (5) Rancangan  Undang‐Undang  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (4) disertai dengan keterangan yang memuat pokok pikiran dan materi muatan yang diatur. 

 

85.     Pasal 44    (1) Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undang‐Undang dilakukan 

sesuai dengan teknik penyusunan Naskah Akademik.  

  (2) Ketentuan  mengenai  teknik  penyusunan  Naskah  Akademik sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  tercantum  dalam  Lampiran  I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Undang‐Undang ini. 

 

Page 22: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

86.     Pasal 45    (1) Rancangan  Undang‐Undang,  baik  yang  berasal  dari  DPR  maupun 

Presiden  serta  Rancangan  Undang‐Undang  yang  diajukan  DPD kepada DPR disusun berdasarkan Prolegnas. 

 

  (2) Rancangan  Undang‐Undang  yang  diajukan  oleh  DPD  sebagaimana dimaksud  pada  ayat  (1)  adalah  Rancangan  Undang‐Undang  yang berkaitan dengan: a. otonomi daerah; b. hubungan pusat dan daerah; c. pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah; d. pengelolaan  sumber  daya  alam  dan  sumber  daya  ekonomi 

lainnya; dan e. perimbangan keuangan pusat dan daerah. 

 

87.     Pasal 46    (1) Rancangan  Undang‐Undang  dari  DPR  diajukan  oleh  anggota  DPR, 

komisi,  gabungan  komisi,  atau  alat  kelengkapan  DPR  yang  khusus menangani bidang legislasi atau DPD. 

 

  (2) Pengharmonisasian,  pembulatan,  dan  pemantapan  konsepsi Rancangan  Undang‐Undang  yang  berasal  dari  DPR  dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi. 

 

  (3) Ketentuan  lebih  lanjut  mengenai  tata  cara  mempersiapkan Rancangan  Undang‐Undang  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1) diatur dengan Peraturan DPR. 

 

88.     Pasal 47    (1) Rancangan  Undang‐Undang  yang  diajukan  oleh  Presiden  disiapkan 

oleh  menteri  atau  pimpinan  lembaga  pemerintah  nonkementerian sesuai dengan lingkup tugas dan tanggung jawabnya. 

 

  (2) Dalam  penyusunan  Rancangan  Undang‐Undang,  menteri  atau pimpinan  lembaga  pemerintah  nonkementerian  terkait membentuk panitia antarkementerian dan/atau antarnonkementerian. 

 

  (3) Pengharmonisasian,  pembulatan,  dan  pemantapan  konsepsi   

Page 23: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

Rancangan  Undang‐Undang  yang  berasal  dari  Presiden dikoordinasikan  oleh  menteri  yang  menyelenggarakan  urusan pemerintahan di bidang hukum. 

  (4) Ketentuan  lebih  lanjut  mengenai  tata  cara  mempersiapkan Rancangan  Undang‐Undang  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1) diatur dengan Peraturan Presiden. 

 

89.     Pasal 48    (1) Rancangan  Undang‐Undang  dari  DPD  disampaikan  secara  tertulis 

oleh pimpinan DPD kepada pimpinan DPR dan harus disertai Naskah Akademik. 

 

  (2) Usul Rancangan Undang‐Undang  sebagaimana dimaksud pada ayat (1)  disampaikan  oleh  pimpinan  DPR  kepada  alat  kelengkapan  DPR yang  khusus  menangani  bidang  legislasi  untuk  dilakukan pengharmonisasian,  pembulatan,  dan  pemantapan  konsepsi Rancangan Undang‐Undang. 

 

  (3) Alat  kelengkapan  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (2)  dalam melakukan  pengharmonisasian,  pembulatan,  dan  pemantapan konsepsi  Rancangan  Undang‐Undang  dapat mengundang  pimpinan alat kelengkapan DPD yang mempunyai tugas di bidang perancangan Undang‐Undang untuk membahas usul Rancangan Undang‐Undang. 

 

  (4) Alat  kelengkapan  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (2) menyampaikan  laporan  tertulis  mengenai  hasil  pengharmonisasian sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (3)  kepada  pimpinan  DPR  untuk selanjutnya diumumkan dalam rapat paripurna. 

 

90.     Pasal 49    (1) Rancangan  Undang‐Undang  dari  DPR  disampaikan  dengan  surat 

pimpinan DPR kepada Presiden.  

  (2) Presiden  menugasi  menteri  yang  mewakili  untuk  membahas Rancangan Undang‐Undang bersama DPR dalam jangka waktu paling lama  60  (enam  puluh)  hari  terhitung  sejak  surat  pimpinan  DPR diterima. 

 

Page 24: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

  (3) Menteri  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (2)  mengoordinasikan persiapan  pembahasan  dengan  menteri  yang  menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. 

 

91.     Pasal 50    (1) Rancangan  Undang‐Undang  dari  Presiden  diajukan  dengan  surat 

Presiden kepada pimpinan DPR.  

  (2) Surat  Presiden  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  memuat penunjukan  menteri  yang  ditugasi  mewakili  Presiden  dalam melakukan pembahasan Rancangan Undang‐Undang bersama DPR. 

 

  (3) DPR  mulai  membahas  Rancangan  Undang‐Undang  sebagaimana dimaksud pada ayat  (1) dalam  jangka waktu paling  lama 60  (enam puluh) hari terhitung sejak surat Presiden diterima. 

 

  (4) Untuk  keperluan  pembahasan  Rancangan  Undang‐Undang  di  DPR, menteri atau pimpinan  lembaga pemrakarsa memperbanyak naskah Rancangan Undang‐Undang tersebut dalam jumlah yang diperlukan. 

 

92.     Pasal 51    Apabila  dalam  satu  masa  sidang  DPR  dan  Presiden  menyampaikan 

Rancangan Undang‐Undang mengenai materi  yang  sama, yang dibahas adalah  Rancangan  Undang‐Undang  yang  disampaikan  oleh  DPR  dan Rancangan  Undang‐Undang  yang  disampaikan  Presiden  digunakan sebagai bahan untuk dipersandingkan. 

 

93.   BAB VI PEMBAHASAN DAN PENGESAHAN RANCANGAN UNDANG‐UNDANG 

   

94.   Bagian Kesatu Pembahasan Rancangan Undang‐undang di Dewan Perwakilan Rakyat 

   

95.   Pasal 32  (1) Pembahasan  rancangan  undang‐undang  di  Dewan  Perwakilan  Rakyat 

dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat bersama Presiden atau menteri yang ditugasi. 

   

(2) Pembahasan rancangan undang‐undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat den daerah, 

   

Page 25: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

pembentukan,  pemekaran,  dan  penggabungan  daerah,  pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi  lainnya, serta perimbangan keuangan  pusat  dan  daerah  dilakukan  dengan  mengikutkan  Dewan Perwakilan Daerah. 

(3) Keikutsertaan  Dewan  Perwakilan  Daerah  dalam  pembahasan  rancangan undang‐undang  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (2)  hanya  pada  rapat komisi/panitia/alat  kelengkapan  Dewan  Perwakilan  Rakyat  yang  khusus menangani bidang legislasi. 

   

(4) Keikutsertaan  Dewan  Perwakilan  Daerah  dalam  pembahasan  rancangan undang‐undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diwakili oleh  komisi  yang membidangi materi muatan  rancangan  undang‐undang yang dibahas. 

   

(5) Pembahasan  bersama  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  dilakukan melalui tingkat‐tingkat pembicaraan. 

   

(6) Tingkat‐tingkat  pembicaraan  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (5) dilakukan dalam rapat komisi/panitia/alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat yang khusus menangani bidang legislasi dan rapat paripurna. 

 

(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembahasan rancangan undang‐undang sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur dengan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat. 

   

96.   Pasal 33  Dewan  Perwakilan  Rakyat memberitahukan  Dewan  Perwakilan  Daerah  akan dimulainya  pembahasan  rancangan  undang‐undang  sebagaimana  dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2). 

   

97.   Pasal 34  Dewan  Perwakilan  Daerah  memberikan  pertimbangan  kepada  Dewan Perwakilan  Rakyat  atas  rancangan  undang‐undang  tentang  anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang‐undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama. 

   

98.   Pasal 35  (1) Rancangan  undang‐undang  dapat  ditarik  kembali  sebelum  dibahas     

Page 26: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden. (2) Rancangan  Undang‐undang  yang  sedang  dibahas  hanya  dapat  ditarik 

kembali berdasarkan persetujuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden. 

   

(3) Ketentuan  lebih  lanjut mengenai  tata  cara  penarikan  kembali  rancangan undang‐undang  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (2)  diatur  dengan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat. 

   

99.   Pasal 36  (1) Pembahasan  rancangan  undang‐undang  tentang  penetapan  peraturan 

pemerintah  pengganti  undang‐undang  menjadi  undang‐undang dilaksanakan  melalui  mekanisme  yang  sama  dengan  pembahasan rancangan undang‐undang. 

   

(2) Dewan  Perwakilan  Rakyat  hanya  menerima  atau  menolak  Peraturan Pemerintah Pengganti Undang‐Undang. 

   

(3) Dalam  hal  rancangan  undang‐undang  mengenai  penetapan  peraturan pemerintah  pengganti  undang‐undang  menjadi  undang‐undang  ditolak oleh  Dewan  Perwakilan  Rakyat  maka  Peraturan  Pemerintah  Pengganti Undang‐Undang tersebut dinyatakan tidak berlaku. 

   

(4) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang‐Undang ditolak Dewan Perwakilan Rakyat maka Presiden mengajukan  rancangan undang‐undang tentang  pencabutan  peraturan  pemerintah  pengganti  undang‐undang tersebut yang dapat mengatur pula segala akibat dari penolakan tersebut. 

   

100. Bagian Kedua Pengesahan 

   

101. Pasal 37  (1) Rancangan  undang‐undang  yang  telah  disetujui  bersama  oleh  Dewan 

Perwakilan  Rakyat  dan  Presiden,  disampaikan  oleh  pimpinan  Dewan Perwakilan  Rakyat  kepada  Presiden  untuk  disahkan  menjadi  Undang‐Undang. 

   

(2) Penyampaian rancangan undang‐undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)  dilakukan  dalam  jangka waktu  paling  lambat  7  (tujuh)  hari  terhitung 

   

Page 27: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

sejak tanggal persetujuan bersama. 102. Pasal 38    (1) Rancangan  undang‐undang  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  37 

disahkan oleh Presiden dengan membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling  lambat 30  (tiga puluh) hari sejak  rancangan undang‐undang tersebut disetujui bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden. 

   

  (2) Dalam hal rancangan undang‐undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak  ditandatangani  oleh  Presiden  dalam  waktu  paling  lambat  30  (tiga puluh)  hari  sejak  rancangan  undang‐undang  tersebut  disetujui  bersama, maka  rancangan  undang‐undang  tersebut  sah  menjadi  Undang‐Undang dan wajib diundangkan. 

   

  (3) Dalam hal sahnya rancangan undang‐undang sebagaimana dimaksud pada ayat  (2),  maka  kalimat  pengesahannya  berbunyi:  Undang‐Undang  ini dinyatakan sah berdasarkan, ketentuan Pasal 20 ayat  (5) Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 

   

  (4) Kalimat pengesahan  yang berbunyi  sebagaimana dimaksud pada  ayat  (3) harus  dibubuhkan  pada  halaman  terakhir  Undang‐Undang  sebelum Pengundangan  naskah  Undang‐Undang  ke  dalam  Lembaran  Negara Republik Indonesia. 

 

103. Pasal 39  (1) Peraturan Pemerintah ditetapkan untuk melaksanakan Undang‐Undang.     (2) Setiap  Undang‐Undang  wajib  mencantumkan  batas  waktu  penetapan 

Peraturan Pemerintah dan peraturan lainnya sebagai pelaksanaan Undang‐Undang tersebut. 

   

(3) Penetapan  Peraturan  Pemerintah dan peraturan  lainnya  yang diperlukan dalam  penyelenggaraan  pemerintahan  negara  tidak  atas  permintaan secara  tegas  dari  suatu  Undang‐Undang  dikecualikan  dari  ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). 

   

104.   Bagian Kedua Penyusunan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang‐Undang 

 

105.   Pasal 52  

Page 28: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

  (1) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang‐Undang harus diajukan ke DPR dalam persidangan yang berikut. 

 

  (2) Pengajuan  Peraturan  Pemerintah  Pengganti  Undang‐Undang sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)dilakukan  dalam  bentuk pengajuan Rancangan Undang‐Undang tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang‐Undang menjadi Undang‐Undang. 

 

  (3) DPR  hanya  memberikan  persetujuan  atau  tidak  memberikan persetujuan  terhadap  Peraturan  Pemerintah  Pengganti  Undang‐Undang. 

 

  (4) Dalam  hal  Peraturan  Pemerintah  Pengganti  Undang‐Undang mendapat  persetujuan  DPR  dalam  rapat  paripurna,  Peraturan Pemerintah Pengganti Undang‐Undang  tersebut ditetapkan menjadi Undang‐Undang. 

 

  (5) Dalam  hal  Peraturan  Pemerintah  Pengganti  Undang‐Undang  tidak mendapat  persetujuan  DPR  dalam  rapat  paripurna,  Peraturan Pemerintah  Pengganti  Undang‐Undang  tersebut  harus  dicabut  dan harus dinyatakan tidak berlaku. 

 

  (6) Dalam  hal  Peraturan  Pemerintah  Pengganti  Undang‐Undang  harus dicabut dan harus dinyatakan  tidak berlaku  sebagaimana dimaksud pada  ayat  (5), DPR  atau  Presiden mengajukan  Rancangan Undang‐Undang  tentang  Pencabutan  Peraturan  Pemerintah  Pengganti Undang‐Undang. 

 

  (7) Rancangan  Undang‐Undang  tentang  Pencabutan  Peraturan Pemerintah Pengganti Undang‐Undang sebagaimana dimaksud pada ayat  (6) mengatur  segala  akibat  hukum  dari  pencabutan  Peraturan Pemerintah Pengganti Undang‐Undang. 

 

  (8) Rancangan  Undang‐Undang  tentang  Pencabutan  Peraturan Pemerintah Pengganti Undang‐Undang sebagaimana dimaksud pada ayat  (7)  ditetapkan  menjadi  Undang‐Undang  tentang  Pencabutan Peraturan  Pemerintah  Pengganti  Undang‐Undang  dalam  rapat paripurna yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (5). 

 

Page 29: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

106.   Pasal 53    Ketentuan  mengenai  tata  cara  penyusunan  Rancangan  Peraturan 

Pemerintah  Pengganti  Undang‐Undang  diatur  dengan  Peraturan Presiden. 

 

107.   Bagian Ketiga Penyusunan Peraturan Pemerintah 

 

108.   Pasal 54    (1) Dalam  penyusunan  Rancangan  Peraturan  Pemerintah,  pemrakarsa 

membentuk panitia antarkementerian dan/atau lembaga pemerintah non kementerian. 

 

  (2) Pengharmonisasian,  pembulatan,  dan  pemantapan  konsepsi Rancangan Peraturan Pemerintah dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. 

 

  (3) Ketentuan  lebih  lanjut  mengenai  tata  cara  pembentukan  panitia antarkementerian  dan/atau  antar  non  kementerian, pengharmonisasian,  penyusunan,  dan  penyampaian  Rancangan Peraturan Pemerintah diatur dengan Peraturan Presiden. 

 

109.   Bagian Keempat Penyusunan Peraturan Presiden 

 

110.   Pasal 55     (1) Dalam  penyusunan  Rancangan  Peraturan  Presiden,  pemrakarsa 

membentuk  panitia  antarkementerian  dan/atau antarnonkementerian. 

 

  (2) Pengharmonisasian,  pembulatan,  dan  pemantapan  konsepsi Rancangan  Peraturan  Presiden  dikoordinasikan  oleh  menteri  yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. 

 

  (3) Ketentuan  lebih  lanjut  mengenai  tata  cara  pembentukan  panitia antar  kementerian  dan/atau  antar  non  kementerian, pengharmonisasian,  penyusunan,  dan  penyampaian  Rancangan Peraturan Presiden diatur dalam Peraturan Presiden. 

 

111.   Bagian Kelima   

Page 30: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

Penyusunan Peraturan Daerah Provinsi 112. Pasal 56   

  (1) Rancangan  Peraturan  Daerah  Provinsi  dapat  berasal  dari  DPRD Provinsi atau Gubernur. 

 

  (2) Rancangan Peraturan Daerah  Provinsi  sebagaimana  dimaksud  pada ayat  (1)  disertai  dengan  penjelasan  atau  keterangan  dan/atau Naskah Akademik. 

 

  (3) Dalam hal Rancangan Peraturan Daerah Provinsi mengenai: a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi; b. pencabutan Peraturan Daerah Provinsi; atau c. perubahan  Peraturan  Daerah  Provinsi  yang  hanya  terbatas 

mengubah beberapa materi,  disertai dengan keterangan yang memuat pokok pikiran dan materi muatan yang diatur. 

 

113. Pasal 57     (1) Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Provinsi 

dilakukan sesuai dengan teknik penyusunan Naskah Akademik.  

  (2) Ketentuan  mengenai  teknik  penyusunan  Naskah  Akademik sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  tercantum  dalam  Lampiran  I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Undang‐Undang ini. 

 

114. Pasal 58     (1) Pengharmonisasian,  pembulatan,  dan  pemantapan  konsepsi 

Rancangan  Peraturan  Daerah  Provinsi  yang  berasal  dari  DPRD Provinsi  dikoordinasikan  oleh  alat  kelengkapan DPRD  Provinsi  yang khusus menangani bidang legislasi. 

 

  (2) Pengharmonisasian,  pembulatan,  dan  pemantapan  konsepsi Rancangan  Peraturan  Daerah  Provinsi  yang  berasal  dari  Gubernur dikoordinasikan  oleh  biro  hukum  dan  dapat  mengikutsertakan instansi  vertikal  dari  kementerian  yang  menyelenggarakan  urusan pemerintahan di bidang hukum. 

 

115. Pasal 59   

Page 31: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

  Ketentuan  lebih  lanjut  mengenai  tata  cara  penyusunan  Rancangan Peraturan  Daerah  Provinsi  yang  berasal  dari  Gubernur  diatur  dengan Peraturan Presiden. 

 

116.   Pasal 60     (1) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dapat diajukan oleh anggota, 

komisi, gabungan komisi, atau alat kelengkapan DPRD Provinsi yang khusus menangani bidang legislasi. 

 

  (2) Ketentuan  lebih  lanjut  mengenai  tata  cara  mempersiapkan Rancangan Peraturan Daerah  Provinsi  sebagaimana  dimaksud  pada ayat (1) diatur dalam Peraturan DPRD Provinsi. 

 

117.   Pasal 61     (1) Rancangan  Peraturan  Daerah  Provinsi  yang  telah  disiapkan  oleh 

DPRD  Provinsi  disampaikan  dengan  surat  pimpinan  DPRD  Provinsi kepada Gubernur. 

 

  (2) Rancangan  Peraturan  Daerah  yang  telah  disiapkan  oleh  Gubernur disampaikan  dengan  surat  pengantar  Gubernur  kepada  pimpinan DPRD Provinsi. 

 

118.   Pasal 62     Apabila  dalam  satu  masa  sidang  DPRD  Provinsi  dan  Gubernur 

menyampaikan Rancangan  Peraturan Daerah  Provinsi mengenai materi yang  sama,  yang dibahas adalah Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang disampaikan oleh DPRD Provinsi dan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi  yang  disampaikan  oleh  Gubernur  digunakan  sebagai  bahan untuk dipersandingkan. 

 

119.   Bagian Keenam Penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota 

 

120.   Pasal 63     Ketentuan  mengenai  penyusunan  Peraturan  Daerah  Provinsi 

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 sampai dengan Pasal 62 berlaku secara  mutatis  mutandis  terhadap  penyusunan  Peraturan  Daerah Kabupaten/Kota. 

 

Page 32: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

121. BAB VII PEMBAHASAN DAN PENGESAHAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH 

   

122. Bagian Kesatu Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 

   

123. Pasal 40    (1) Pembahasan  rancangan  peraturan  daerah  di  dewan  perwakilan  rakyat 

daerah dilakukan oleh dewan perwakilan rakyat daerah bersama gubernur atau bupati/walikota. 

   

(2) Pembahasan  bersama  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  dilakukan melalui tingkat‐tingkat pembicaraan. 

   

(3) Tingkat‐tingkat  pembicaraan  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (2) dilakukan dalam rapat komisi/panitia/alat kelengkapan dewan perwakilan rakyat daerah yang khusus menangani bidang legislasi dan rapat paripurna. 

   

(4) Ketentuan  lebih  lanjut  mengenai  tata  cara  pembahasan  rancangan peraturan  daerah  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (3)  diatur  dengan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. 

   

124. Pasal 41    (1) Rancangan  peraturan  daerah  dapat  ditarik  kembali  sebelum  dibahas 

bersama  oleh  dewan  perwakilan  rakyat  daerah  dan  gubernur  atau bupati/walikota. 

   

(2) Rancangan  peraturan  daerah  yang  sedang  dibahas  hanya  dapat  ditarik kembali  berdasarkan  persetujuan  bersama  dewan  perwakilan  rakyat daerah dan gubernur atau bupati/walikota. 

   

(3) Ketentuan  lebih  lanjut mengenai  tata  cara  penarikan  kembali  rancangan peraturan daerah diatur dengan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. 

   

125. Bagian Kedua Penetapan 

   

126. Pasal 42    (1) Rancangan  peraturan  daerah  yang  telah  disetujui  bersama  oleh  dewan 

perwakilan rakyat daerah dan gubernur atau bupati/walikota disampaikan    

Page 33: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

oleh  pimpinan  dewan  perwakilan  rakyat  daerah  kepada  gubernur  atau bupati/walikota untuk ditetapkan menjadi Peraturan Daerah. 

(2) Penyampaian  rancangan  peraturan  daerah  sebagaimana  dimaksud  pada ayat  (1)  dilakukan  dalam  jangka  waktu  paling  lambat  7  (tujuh)  hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama. 

   

127. Pasal 43    (1) Rancangan  peraturan  daerah  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  42 

ditetapkan  oleh  gubernur  atau  bupati/walikota  dengan  membubuhkan tanda tangan dalam  jangka waktu paling  lambat 30 (tiga puluh) hari sejak rancangan  peraturan  daerah  tersebut  disetujui  bersama  oleh  dewan perwakilan rakyat daerah dan gubernur atau bupati/walikota. 

   

(2) Dalam hal rancangan peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak ditandatangani oleh gubernur atau bupati/walikota dalam waktu paling  lambat  30  (tiga  puluh)  hari  sejak  rancangan  peraturan  daerah tersebut  disetujui  bersama, maka  rancangan  peraturan  daerah  tersebut sah menjadi Peraturan Daerah dan wajib diundangkan. 

   

(3) Dalam  hal  sahnya  rancangan  peraturan  daerah  sebagaimana  dimaksud pada ayat (2), maka kalimat pengesahannya berbunyi: Peraturan Daerah ini dinyatakan sah. 

   

(4) Kalimat pengesahan  yang berbunyi  sebagaimana dimaksud pada  ayat  (3) harus  dibubuhkan  pada  halaman  terakhir  Peraturan  Daerah  sebelum pengundangan naskah Peraturan Daerah ke dalam Lembaran Daerah. 

   

128. BAB VIII TEKNIK PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG‐UNDANGAN 

BAB VI TEKNIK PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG‐UNDANGAN 

 

Pasal 44 Pasal 64   (1) Penyusunan  rancangan  peraturan  perundang‐undangan  dilakukan  sesuai 

dengan teknik penyusunan peraturan perundang‐undangan. (1) Penyusunan  Rancangan  Peraturan  Perundangundangan  dilakukan 

sesuai dengan teknik penyusunan Peraturan Perundang‐undangan.  

(2) Ketentuan mengenai  teknik  penyusunan  peraturan  perundang‐undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam lampiran yang tidak terpisahkan dari Undang‐Undang ini. 

(2) Ketentuan  mengenai  teknik  penyusunan  Peraturan  Perundang‐undangan  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  tercantum  dalam Lampiran  II  yang  merupakan  bagian  tidak  terpisahkan  dari  Undang‐Undang ini. 

 

Page 34: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

(3) Ketentuan  lebih  lanjut mengenai perubahan  terhadap  teknik penyusunan peraturan  perundang‐undangan  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (2) diatur dengan Peraturan Presiden. 

(3) Ketentuan  mengenai  perubahan  terhadap  teknik  penyusunan Peraturan  Perundang‐undangan  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (2) diatur dengan Peraturan Presiden. 

 

129.   BAB VII PEMBAHASAN DAN PENGESAHAN RANCANGAN UNDANG‐UNDANG 

 

130.   Bagian Kesatu Pembahasan Rancangan Undang‐Undang 

 

131.   Pasal 65     (1) Pembahasan  Rancangan  Undang‐Undang  dilakukan  oleh  DPR 

bersama Presiden atau menteri yang ditugasi.  

  (2) Pembahasan  Rancangan  Undang‐Undang  sebagaimana  dimaksud pada ayat (1) yang berkaitan dengan: a. otonomi daerah; b. hubungan pusat dan daerah; c. pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; d. pengelolaan  sumber  daya  alam  dan  sumber  daya  ekonomi 

lainnya; dan e. perimbangan  keuangan  pusat  dan  daerah,  dilakukan  dengan 

mengikutsertakan DPD. 

 

  (3) Keikutsertaan  DPD  dalam  pembahasan  Rancangan  Undang‐Undang sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (2)  dilakukan  hanya  pada pembicaraan tingkat I. 

 

  (4) Keikutsertaan  DPD  dalam  pembahasan  Rancangan  Undang‐Undang sebagaimana dimaksud pada ayat  (2) dan ayat  (3) diwakili oleh alat kelengkapan  yang membidangi materi muatan Rancangan Undang‐Undang yang dibahas. 

 

  (5) DPD  memberikan  pertimbangan  kepada  DPR  atas  Rancangan Undang‐Undang  tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan  Rancangan  Undang‐Undang  yang  berkaitan  dengan  pajak, pendidikan, dan agama. 

 

132.   Pasal 66   

Page 35: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

  Pembahasan  Rancangan  Undang‐Undang  dilakukan  melalui  2  (dua) tingkat pembicaraan. 

 

133.   Pasal 67     Dua  tingkat pembicaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66  terdiri 

atas: a. pembicaraan  tingkat  I  dalam  rapat  komisi,  rapat  gabungan  komisi, 

rapat  Badan  Legislasi,  rapat  Badan  Anggaran,  atau  rapat  Panitia Khusus; dan 

b. pembicaraan tingkat II dalam rapat paripurna. 

 

134.   Pasal 68     (1) Pembicaraan tingkat I dilakukan dengan kegiatan sebagai berikut: 

a. pengantar musyawarah; b. pembahasan daftar inventarisasi masalah; dan c. penyampaian pendapat mini. 

 

  (2) Dalam pengantar musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a: a. DPR  memberikan  penjelasan  dan  Presiden  menyampaikan 

pandangan jika Rancangan Undang‐Undang berasal dari DPR; b. DPR  memberikan  penjelasan  serta  Presiden  dan  DPD 

menyampaikan pandangan jika Rancangan Undang‐Undang yang berkaitan  dengan  kewenangan  DPD  sebagaimana  dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) berasal dari DPR; 

c. Presiden  memberikan  penjelasan  dan  fraksi  memberikan pandangan  jika  Rancangan  Undang‐Undang  berasal  dari Presiden; atau 

d. Presiden  memberikan  penjelasan  serta  fraksi  dan  DPD menyampaikan pandangan jika Rancangan Undang‐Undang yang berkaitan  dengan  kewenangan  DPD  sebagaimana  dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) berasal dari Presiden. 

 

  (3) Daftar  inventarisasi masalah  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1) huruf b diajukan oleh: a. Presiden jika Rancangan Undang‐Undang berasal dari DPR; atau 

 

Page 36: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

b. DPR  jika  Rancangan  Undang‐Undang  berasal  dari  Presiden dengan  mempertimbangkan  usul  dari  DPD  sepanjang  terkait dengan kewenangan DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2). 

  (4) Penyampaian  pendapat mini  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1) huruf c disampaikan pada akhir pembicaraan tingkat I oleh: a. fraksi; b. DPD,  jika  Rancangan  Undang‐Undang  berkaitan  dengan 

kewenangan  DPD  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  65  ayat (2); dan 

c. Presiden. 

 

  (5) Dalam  hal  DPD  tidak  menyampaikan  pandangan  sebagaimana dimaksud  pada  ayat  (2)  huruf  b  dan  huruf  d  dan/atau  tidak menyampaikan pendapat mini sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b, pembicaraan tingkat I tetap dilaksanakan. 

 

  (6) Dalam  pembicaraan  tingkat  I  dapat  diundang  pimpinan  lembaga negara  atau  lembaga  lain  jika  materi  Rancangan  Undang‐Undang berkaitan dengan lembaga negara atau lembaga lain. 

 

135.   Pasal 69     (1) Pembicaraan  tingkat  II  merupakan  pengambilan  keputusan  dalam 

rapat paripurna dengan kegiatan: a. penyampaian  laporan  yang  berisi  proses,  pendapat mini  fraksi, 

pendapat mini DPD, dan hasil pembicaraan tingkat I; b. pernyataan persetujuan atau penolakan dari  tiap‐tiap  fraksi dan 

anggota secara lisan yang diminta oleh pimpinan rapat paripurna; dan 

c. penyampaian  pendapat  akhir  Presiden  yang  dilakukan  oleh menteri yang ditugasi. 

 

  (2) Dalam hal persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak dapat dicapai secara musyawarah untuk mufakat, pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan suara terbanyak. 

 

Page 37: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

  (3) Dalam  hal Rancangan Undang‐Undang  tidak mendapat  persetujuan bersama  antara  DPR  dan  Presiden,  Rancangan  Undang‐Undang tersebut tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu. 

 

136.   Pasal 70     (1) Rancangan Undang‐Undang  dapat  ditarik  kembali  sebelum  dibahas 

bersama oleh DPR dan Presiden.  

  (2) Rancangan Undang‐Undang yang sedang dibahas hanya dapat ditarik kembali berdasarkan persetujuan bersama DPR dan Presiden. 

 

  (3) Ketentuan  lebih  lanjut  mengenai  tata  cara  penarikan  kembali Rancangan  Undang‐Undang  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (2) diatur dengan Peraturan DPR. 

 

137.   Pasal 71     (1) Pembahasan  Rancangan  Undang‐Undang  tentang  Penetapan 

Peraturan  Pemerintah  Pengganti  Undang‐Undang  dilaksanakan melalui  mekanisme  yang  sama  dengan  pembahasan  Rancangan Undang‐Undang. 

 

  (2) Pembahasan  Rancangan  Undang‐Undang  tentang  Pencabutan Peraturan  Pemerintah  Pengganti  Undang‐Undang  dilaksanakan melalui  mekanisme  khusus  yang  dikecualikan  dari  mekanisme pembahasan Rancangan Undang‐Undang. 

 

  (3) Ketentuan mengenai mekanisme khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dengan tata cara sebagai berikut: a. Rancangan  Undang‐Undang  tentang  Pencabutan  Peraturan 

Pemerintah  Pengganti  Undang‐Undang  diajukan  oleh  DPR  atau Presiden; 

b. Rancangan  Undang‐Undang  tentang  Pencabutan  sebagaimana dimaksud dalam huruf a diajukan pada saat Rapat Paripurna DPR tidak  memberikan  persetujuan  atas  Peraturan  Pemerintah Pengganti Undang‐Undang yang diajukan oleh Presiden; dan 

 

  (4) Pengambilan  keputusan  persetujuan  terhadap  Rancangan  Undang‐Undang  tentang Pencabutan  sebagaimana dimaksud dalam huruf b 

 

Page 38: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

dilaksanakan dalam Rapat Paripurna DPR  yang  sama dengan  rapat paripurna  penetapan  tidak memberikan  persetujuan  atas  Peraturan Pemerintah Pengganti Undang‐Undang tersebut. 

138.   Bagian Kedua Pengesahan Rancangan Undang‐Undang 

 

139.   Pasal 72     (1) Rancangan Undang‐Undang  yang  telah  disetujui  bersama  oleh DPR 

dan Presiden disampaikan oleh Pimpinan DPR kepada Presiden untuk disahkan menjadi Undang‐Undang. 

 

  (2) Penyampaian  Rancangan  Undang‐Undang  sebagaimana  dimaksud pada  ayat  (1)  dilakukan  dalam  jangka waktu  paling  lama  7  (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama. 

 

140.   Pasal 73     (1) Rancangan Undang‐Undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 

disahkan oleh Presiden dengan membubuhkan tanda tangan dalam jangka  waktu  paling  lama  30  (tiga  puluh)  hari  terhitung  sejak Rancangan  Undang‐Undang  tersebut  disetujui  bersama  oleh  DPR dan Presiden. 

 

  (2) Dalam hal Rancangan Undang‐Undang sebagaimana dimaksud pada ayat  (1)  tidak  ditandatangani  oleh  Presiden  dalam  waktu  paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak Rancangan Undang‐Undang tersebut disetujui bersama, Rancangan Undang‐Undang tersebut sah menjadi Undang‐Undang dan wajib diundangkan. 

 

  (3) Dalam  hal  sahnya  Rancangan  Undang‐Undang  sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kalimat pengesahannya berbunyi: Undang‐Undang ini dinyatakan sah berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (5) Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 

 

  (4) Kalimat  pengesahan  yang  berbunyi  sebagaimana  dimaksud  pada ayat  (3) harus dibubuhkan pada halaman  terakhir Undang‐Undang sebelum pengundangan naskah Undang‐Undang ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. 

 

Page 39: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

141.   Pasal 74     (1) Dalam  setiap  Undang‐Undang  harus  dicantumkan  batas  waktu 

penetapan  Peraturan  Pemerintah  dan  peraturan  lainnya  sebagai pelaksanaan Undang‐Undang tersebut. 

 

  (2) Penetapan  Peraturan  Pemerintah  dan  peraturan  lainnya  yang diperlukan  dalam  penyelenggaraan  pemerintahan  tidak  atas perintah  suatu  Undang‐  Undang  dikecualikan  dari  ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). 

 

142.   BAB VIII PEMBAHASAN DAN PENETAPAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH 

PROVINSI DAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 

 

143.   Bagian Kesatu Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi 

 

144.   Pasal 75     (1) Pembahasan Rancangan  Peraturan Daerah  Provinsi  dilakukan  oleh 

DPRD Provinsi bersama Gubernur.  

  (2) Pembahasan  bersama  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1) dilakukan melalui tingkat‐tingkat pembicaraan. 

 

  (3) Tingkat‐tingkat pembicaraan  sebagaimana dimaksud pada ayat  (2) dilakukan  dalam  rapat  komisi/panitia/badan/alat  kelengkapan DPRD  Provinsi  yang  khusus menangani  bidang  legislasi  dan  rapat paripurna. 

 

  (4) Ketentuan  lebih  lanjut mengenai tata cara pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi diatur dengan Peraturan DPRD Provinsi. 

 

145.   Pasal 76     (1) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dapat ditarik kembali sebelum 

dibahas bersama oleh DPRD Provinsi dan Gubernur.  

  (2) Rancangan  Peraturan Daerah  Provinsi  yang  sedang  dibahas hanya dapat  ditarik  kembali  berdasarkan  persetujuan  bersama  DPRD Provinsi dan Gubernur. 

 

  (3) Ketentuan  lebih  lanjut  mengenai  tata  cara  penarikan  kembali   

Page 40: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

Rancangan  Peraturan  Daerah  Provinsi  diatur  dengan  Peraturan DPRD Provinsi. 

146.   Bagian Kedua Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota 

 

147.   Pasal 77     Ketentuan mengenai pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi 

sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  75  dan  Pasal  76  berlaku  secara mutatis  mutandis  terhadap  pembahasan  Peraturan  Daerah Kabupaten/Kota. 

 

148.   Bagian Ketiga Penetapan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi 

 

149.   Pasal 78     (1) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang telah disetujui bersama 

oleh DPRD Provinsi dan Gubernur disampaikan oleh pimpinan DPRD Provinsi  kepada  Gubernur  untuk  ditetapkan  menjadi  Peraturan Daerah Provinsi. 

 

  (2) Penyampaian  Rancangan  Peraturan  Daerah  Provinsi  sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama. 

 

150.   Pasal 79     (1) Rancangan  Peraturan  Daerah  Provinsi  sebagaimana  dimaksud 

dalam  Pasal  78  ditetapkan  oleh  Gubernur  dengan  membubuhkan tanda tangan dalam  jangka waktu paling  lama 30  (tiga puluh) hari sejak  Rancangan  Peraturan  Daerah  Provinsi  tersebut  disetujui bersama oleh DPRD Provinsi dan Gubernur. 

 

  (2) Dalam  hal  Rancangan  Peraturan  Daerah  Provinsi  sebagaimana dimaksud pada ayat  (1)  tidak ditandatangani oleh Gubernur dalam waktu paling  lama 30  (tiga puluh) hari  sejak Rancangan Peraturan Daerah  Provinsi  tersebut  disetujui  bersama,  Rancangan  Peraturan Daerah Provinsi tersebut sah menjadi Peraturan Daerah Provinsi dan wajib diundangkan. 

 

Page 41: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

  (3) Dalam  hal  sahnya  Rancangan  Peraturan  Daerah  Provinsi sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (2),  kalimat  pengesahannya berbunyi: Peraturan Daerah ini dinyatakan sah. 

 

  (4) Kalimat  pengesahan  yang  berbunyi  sebagaimana  dimaksud  pada ayat (3) harus dibubuhkan pada halaman terakhir Peraturan Daerah Provinsi  sebelum pengundangan naskah Peraturan Daerah Provinsi dalam Lembaran Daerah. 

 

151.   Bagian Keempat Penetapan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota 

 

152.   Pasal 80     Ketentuan mengenai  penetapan  Rancangan  Peraturan  Daerah  Provinsi 

sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  78  dan  Pasal  79  berlaku  secara mutatis  mutandis  terhadap  penetapan  Peraturan  Daerah Kabupaten/Kota.  

 

153. BAB IX PENGUNDANGAN DAN PENYEBARLUASAN 

BAB IX PENGUNDANGAN 

 

154. Bagian Kesatu Pengundangan 

   

155. Pasal 45 Pasal 81   Agar  setiap  orang  mengetahuinya,  Peraturan  Perundang‐undangan  harus diundangkan dengan menempatkannya dalam: a. Lembaran Negara Republik Indonesia; b. Berita Negara Republik Indonesia; c. Lembaran Daerah; atau d. Berita Daerah. 

Agar  setiap  orang mengetahuinya,  Peraturan  Perundang‐undangan  harus diundangkan dengan menempatkannya dalam: a. Lembaran Negara Republik Indonesia; b. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia; c. Berita Negara Republik Indonesia; d. Tambahan Berita Negara Republik Indonesia; e. Lembaran Daerah; f. Tambahan Lembaran Daerah; atau g. Berita Daerah. 

 

156. Pasal 46 Pasal 82   (1) Peraturan  Perundang‐undangan  yang  diundangkan  dalam  Lembaran  Peraturan Perundang‐undangan yang diundangkan dalam Lembaran Negara   

Page 42: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

Negara Republik Indonesia, meliputi: a. Undang‐Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang‐Undang; b. Peraturan Pemerintah; c. Peraturan Presiden mengenai: 

1. pengesahan  perjanjian  antara  negara  Republik  Indonesia  dan negara lain atau badan internasional; dan 

2. pernyataan keadaan bahaya. d. Perataran  Perundang‐undangan  lain  yang  menurut  Peraturan 

Perundangundangan yang berlaku harus diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. 

Republik Indonesia, meliputi: a. Undang‐Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang‐Undang; b. Peraturan Pemerintah; c. Peraturan Presiden; dan d. Peraturan  Perundang‐undangan  lain  yang  menurut  Peraturan 

Perundang‐undangan yang berlaku harus diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. 

(2) Peraturan Perundang‐undangan  lain yang menurut Peraturan Perundang‐undangan yang berlaku harus diundangkan dalam Berita Negara Republik Indonesia. 

   

157. Pasal 47  (1) Tambahan  Lembaran  Negara  Republik  Indonesia  memuat  penjelasan 

Peraturan  Perundang‐undangan  yang  dimuat  dalam  Lembaran  Negara Republik Indonesia. 

   

(1) Tambahan Berita Negara Republik Indonesia memuat penjelasan Peraturan Perundang‐undangan  yang  dimuat  dalam  Berita  Negara  Republik Indonesia. 

   

158. Pasal 48 Pasal 83   Pengundangan  Peraturan  Perundang‐undangan  dalam  Lembaran  Negara Republik  Indonesia  atau  Berita  Negara  Republik  Indonesia  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dilaksanakan oleh menteri yang tugas dan tanggung Jawabnya di bidang peraturan perundang‐undangan. 

Peraturan  Perundang‐undangan  yang  diundangkan  dalam  Berita  Negara Republik Indonesia meliputi Peraturan Perundang‐undangan yang menurut Peraturan  Perundang‐undangan  yang  berlaku  harus  diundangkan  dalam Berita Negara Republik Indonesia. 

 

159.   Pasal 84     (1) Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia memuat penjelasan 

Peraturan  Perundang‐undangan  yang  dimuat  dalam  Lembaran Negara Republik Indonesia. 

 

  (2) Tambahan  Berita  Negara  Republik  Indonesia  memuat  penjelasan Peraturan  Perundang‐undangan  yang  dimuat  dalam Berita Negara 

 

Page 43: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

Republik Indonesia. 160.   Pasal 85   

  Pengundangan Peraturan Perundang‐undangan dalam Lembaran Negara Republik  Indonesia atau Berita Negara Republik  Indonesia  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 dan Pasal 83 dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. 

 

161. Pasal 49 Pasal 86   (1) Peraturan  Perundang‐undangan  yang  diundangkan  dalam  Lembaran 

Daerah adalah Peraturan Daerah. (1) Peraturan  Perundang‐undangan  yang  diundangkan  dalam  Lembaran 

Daerah  adalah  Peraturan  Daerah  Provinsi  dan  Peraturan  Daerah Kabupaten/Kota. 

 

(2) Peraturan  Gubernur,  Peraturan  Bupati/Walikota,  atau  peraturan  lain  di bawahnya dimuat dalam Berita Daerah. 

(2) Peraturan  Gubernur  dan  Peraturan  Bupati/Walikota  diundangkan dalam Berita Daerah. 

 

(3) Pengundangan  Peraturan  Daerah  dalam  Lembaran  Daerah  dan  Berita Daerah dilaksanakan oleh sekretaris daerah. 

(3) Pengundangan  Peraturan  Perundang‐undangan  dalam  Lembaran Daerah dan Berita Daerah  sebagaimana dimaksud pada ayat  (1) dan ayat (2) dilaksanakan oleh Sekretaris Daerah. 

 

162. Pasal 50 Pasal 87   Peraturan  Perundang‐undangan  mulai  berlaku  dan  mempunyai  kekuatan mengikat  pada  tanggal  diundangkan,  kecuali  ditentukan  lain  di  dalam Peraturan Perundang‐undangan yang bersangkutan. 

Peraturan  Perundang‐undangan mulai  berlaku  dan mempunyai  kekuatan mengikat  pada  tanggal  diundangkan,  kecuali  ditentukan  lain  di  dalam Peraturan Perundang‐undangan yang bersangkutan. 

 

163. Bagian Kedua Penyebarluasan 

BAB X PENYEBARLUASAN 

 

164.   Bagian Kesatu Penyebarluasan Prolegnas, Rancangan Undang‐Undang,dan Undang‐

Undang 

 

165. Pasal 51 Pasal 88   Pemerintah  wajib  menyebarluaskan  Peraturan  Perundang‐undangan  yang telah  diundangkan  dalam  Lembaran  Negara  Republik  Indonesia  atau  Berita Negara Republik Indonesia. 

(1) Penyebarluasan dilakukan oleh DPR dan Pemerintah sejak penyusunan Prolegnas,  penyusunan  Rancangan  Undang‐Undang,  pembahasan Rancangan Undang‐Undang, hingga Pengundangan Undang‐Undang 

 

166.   (2) Penyebarluasan  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  dilakukan untuk  memberikan  informasi  dan/atau  memperoleh  masukan masyarakat serta para pemangku kepentingan. 

 

Page 44: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

167.   Pasal 89   168.   (1) Penyebarluasan  Prolegnas  dilakukan  bersama  oleh  DPR  dan 

Pemerintah  yang  dikoordinasikan oleh  alat  kelengkapan DPR  yang khusus menangani bidang legislasi. 

 

169.   (2) Penyebarluasan Rancangan Undang‐Undang yang berasal dari DPR dilaksanakan oleh komisi/panitia/badan/alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi. 

 

170.   (3) Penyebarluasan  Rancangan  Undang‐Undang  yang  berasal  dari Presiden dilaksanakan oleh instansi pemrakarsa. 

 

171.   Pasal 90   172.   (1) Penyebarluasan  Undang‐Undang  yang  telah  diundangkan  dalam 

Lembaran  Negara  Republik  Indonesia  dilakukan  secara  bersama‐sama oleh DPR dan Pemerintah. 

 

173.   (2) Penyebarluasan Undang‐Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh DPD sepanjang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta  penggabungan  daerah,  pengelolaan  sumber  daya  alam  dan sumber  daya  ekonomi  lainnya,  serta  yang  berkaitan  dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. 

 

174.   Pasal 91   175.   (1) Dalam  hal  Peraturan  Perundang‐undangan  perlu  diterjemahkan  ke 

dalam  bahasa  asing,  penerjemahannya  dilaksanakan  oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. 

 

176.   (2) Terjemahan  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  merupakan terjemahan resmi. 

 

177.   Bagian Kedua Penyebarluasan Prolegda, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, dan Peraturan Daerah Provinsi atau 

Peraturan Daerah Kabupaten/Kota 

 

178. Pasal 52 Pasal 92   Pemerintah  Daerah  wajib  menyebarluaskan  Peraturan  Daerah  yang  telah  (1) Penyebarluasan  Prolegda  dilakukan  oleh  DPRD  dan  Pemerintah   

Page 45: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

diundangkan dalam Lembaran Daerah dan peraturan di bawahnya yang  telah diundangkan dalam Berita Daerah. 

Daerah sejak penyusunan Prolegda, penyusunan Rancangan Peraturan Daerah,  pembahasan  Rancangan  Peraturan  Daerah,  hingga Pengundangan Peraturan Daerah. 

  (2) Penyebarluasan  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  dilakukan untuk dapat memberikan  informasi dan/atau memperoleh masukan masyarakat dan para pemangku kepentingan. 

 

179.   Pasal 93     (1) Penyebarluasan  Prolegda  dilakukan  bersama  oleh  DPRD  dan 

Pemerintah  Daerah  Provinsi  atau  Kabupaten/Kota  yang dikoordinasikan  oleh  alat  kelengkapan  DPRD  yang  khusus menangani bidang legislasi. 

 

  (2) Penyebarluasan  Rancangan  Peraturan  Daerah  yang  berasal  dari DPRD dilaksanakan oleh alat kelengkapan DPRD. 

 

  (3) Penyebarluasan  Rancangan  Peraturan  Daerah  yang  berasal  dari Gubernur  atau  Bupati/Walikota  dilaksanakan  oleh  Sekretaris Daerah. 

 

180.   Pasal 94     Penyebarluasan  Peraturan  Daerah  Provinsi  atau  Peraturan  Daerah 

Kabupaten/Kota  yang  telah  diundangkan  dalam  Lembaran  Daerah dilakukan  bersama  oleh  DPRD  dan  Pemerintah  Daerah  Provinsi  atau Kabupaten/Kota. 

 

181.   Bagian Ketiga Naskah yang Disebarluaskan 

 

182.   Pasal 95     Naskah  Peraturan  Perundang‐undangan  yang  disebarluaskan  harus 

merupakan  salinan  naskah  yang  telah  diundangkan  dalam  Lembaran Negara  Republik  Indonesia,  Tambahan  Lembaran  Negara  Republik Indonesia,  Berita  Negara  Republik  Indonesia,  Tambahan  Berita  Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah, Tambahan Lembaran Daerah, dan Berita Daerah. 

 

183. BAB X  BAB XI   

Page 46: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

PARTISIPASI MASYARAKAT  PARTISIPASI MASYARAKAT 184. Pasal 53 Pasal 96   

Masyarakat  berhak  memberikan  masukan  secara  lisan  atau  tertulis  dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan undang‐undang dan rancangan peraturan daerah. 

(1) Masyarakat  berhak  memberikan  masukan  secara  lisan  dan/atau tertulis dalam Pembentukan Peraturan Perundang‐undangan. 

 

  (2) Masukan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui: a. rapat dengar pendapat umum; b. kunjungan kerja; c. sosialisasi; dan/atau seminar, lokakarya, dan/atau diskusi. 

 

  (3) Masyarakat  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  adalah  orang perseorangan  atau  kelompok  orang  yang mempunyai  kepentingan atas substansi Rancangan Peraturan Perundang‐undangan. 

 

  (4) Untuk  memudahkan  masyarakat  dalam  memberikan  masukan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap  Rancangan  Peraturan  Perundang‐undangan  harus  dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat. 

 

185. BAB XI KETENTUAN LAIN‐LAIN 

BAB XII KETENTUAN LAIN‐LAIN 

 

186. Pasal 54 Pasal 97   Teknik penyusunan dan/atau bentuk Keputusan Presiden, Keputusan Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Keputusan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat,  Keputusan  Pimpinan  Dewan  Perwakilan  Daerah,  Keputusan  Ketua Mahkamah Agung, Keputusan Ketua Mahkamah Konstitusi, Keputusan Kepala Badan Pemeriksa Keuangan, Keputusan Gubernur Bank  Indonesia, Keputusan Menteri,  Keputusan  kepala  badan,  lembaga,  atau  komisi  yang  setingkat, Keputusan  Pimpinan  Dewan  Perwakilan  Rakyat  Daerah  Provinsi,  Keputusan Gubernur,  Keputusan  Pimpinan  Dewan  Perwakilan  Rakyat  Daerah Kabupaten/Kota,  Keputusan  Bupati/Walikota,  Keputusan  Kepala  Desa  atau yang  setingkat harus berpedoman pada  teknik penyusunan dan/atau bentuk yang diatur dalam Undang‐Undang ini. 

Teknik penyusunan dan/atau bentuk yang diatur dalam Undang‐Undang ini berlaku secara mutatis mutandis bagi  teknik penyusunan dan/atau bentuk Keputusan Presiden, Keputusan Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Keputusan  Pimpinan  DPR,  Keputusan  Pimpinan  DPD,  Keputusan  Ketua Mahkamah  Agung,  Keputusan  Ketua  Mahkamah  Konstitusi,  Keputusan Ketua  Komisi  Yudisial,  Keputusan  Kepala  Badan  Pemeriksa  Keuangan, Keputusan  Gubernur  Bank  Indonesia,  Keputusan  Menteri,  Keputusan Kepala  Badan,  Keputusan  Kepala  Lembaga,  atau  Keputusan  Ketua  Komisi yang  setingkat, Keputusan Pimpinan DPRD Provinsi, Keputusan Gubernur, Keputusan  Pimpinan  DPRD  Kabupaten/Kota,  Keputusan  Bupati/Walikota, Keputusan Kepala Desa atau yang setingkat. 

 

Page 47: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

187.   Pasal 98     (1) Setiap  tahapan  Pembentukan  Peraturan  Perundang‐undangan 

mengikutsertakan Perancang Peraturan Perundang‐undangan.  

  (2) Ketentuan  mengenai  keikutsertaan  dan  pembinaan  Perancang Peraturan  Perundang‐undangan  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 

 

188.   Pasal 99     Selain  Perancang  Peraturan  Perundang‐undangan  sebagaimana 

dimaksud  dalam  Pasal  98  ayat  (1),  tahapan  pembentukan  Undang‐Undang,  Peraturan  Daerah  Provinsi,  dan  Peraturan  Daerah Kabupaten/Kota mengikutsertakan peneliti dan tenaga ahli. 

 

189. BAB XII KETENTUAN PERALIHAN 

   

190. Pasal 55    Pengundangan  Peraturan  Perundang‐undangan  dalam  Lembaran  Negara Republik Indonesia atau Berita Negara Republik  Indonesia oleh menteri yang tugas dan tanggung  jawabnya  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  48,  dilaksanakan paling  lambat 1  (satu)tahun  terhitung  sejak diundangkannya Undang‐Undang ini. 

   

191. BAB XIII KETENTUAN PENUTUP 

BAB XIII KETENTUAN PENUTUP 

 

192. Pasal 56  Pasal 100   Semua  Keputusan  Presiden,  Keputusan  Menteri,  Keputusan  Gubernur, Keputusan  Bupati/walikota,  atau  keputusan  pejabat  lainnya  sebagaimana dimaksud  dalam  Pasal  54  yang  sifatnya mengatur,  yang  sudah  ada  sebelum Undang‐Undang  ini  berlaku,  harus  dibaca  peraturan,  sepanjang  tidak bertentangan dengan Undang‐Undang ini. 

Semua  Keputusan  Presiden,  Keputusan  Menteri,  Keputusan  Gubernur, Keputusan Bupati/Walikota,  atau  keputusan pejabat  lainnya  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 yang sifatnya mengatur, yang sudah ada sebelum Undang‐Undang  ini berlaku, harus dimaknai  sebagai peraturan,  sepanjang tidak bertentangan dengan Undang‐Undang ini. 

 

193. Pasal 57    Pada saat Undang‐Undang ini mulai berlaku maka: a. Undang‐Undang Nomor 1 Tahun 1950 tentang Jenis dan Bentuk Peraturan 

   

Page 48: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

yang Dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat; b. Ketentuan‐ketentuan dalam Undang‐Undang Nomor 2 Tahun 1950 tentang 

Menetapkan  Undang‐Undang  Darurat  tentang  Penerbitan  Lembaran Negara Republik  Indonesia  Serikat dan Berita Negara Republik  Indonesia Serikat dan tentang Mengeluarkan, Mengumumkan, dan Mulai Berlakunya Undang‐Undang  Federal  dan  Peraturan  Pemerintah  sebagai  Undang‐Undang Federal (Lembaran Negara Tahun 1950 Nomor 1), sepanjang yang telah diatur dalam Undang‐Undang ini; dan 

c. Peraturan Perundang‐undangan lain yang ketentuannya telah diatur dalam Undang‐Undang ini, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. 

   Pasal 101     Pada  saat  Undang‐Undang  ini  mulai  berlaku,  semua  Peraturan 

Perundang‐undangan  yang  merupakan  peraturan  pelaksanaan  dari Undang‐Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan  (Lembaran Negara Republik  Indonesia  Tahun  2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4389), dinyatakan masih tetap  berlaku  sepanjang  tidak  bertentangan  dengan  ketentuan  dalam Undang‐Undang ini. 

 

  Pasal 102     Pada saat Undang‐Undang  ini mulai berlaku, Undang‐Undang Nomor 10 

Tahun  2004  tentang  Pembentukan  Peraturan  Perundang‐undangan (Lembaran Negara Republik  Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran  Negara  Republik  Indonesia  Nomor  4389),  dicabut  dan dinyatakan tidak berlaku. 

 

Pasal 103     Peraturan pelaksanaan dari Undang‐Undang  ini harus ditetapkan paling 

lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang‐Undang ini diundangkan.  

194. Pasal 58 Pasal 104   Undang‐Undang  ini  mulai  berlaku  pada  tanggal  diundangkan,  yang  mulai dilaksanakan pada tanggal 1 November 2004. 

Undang‐Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang‐

 

Page 49: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

Agar  setiap  orang  mengetahuinya,  memerintahkan  pengundangan  Undang‐Undang  ini  dengan  penempatannya  dalam  Lembaran  Negara  Republik Indonesia. 

Undang  ini  dengan  penempatannya  dalam  Lembaran  Negara  Republik Indonesia. 

195. PENJELASAN UNDANG‐UNDANG REPUBLIK INDONESIA 

NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG 

PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG‐UNDANGAN 

PENJELASAN ATAS 

UNDANG‐UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 

TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG‐UNDANGAN 

 

196. Pasal 1 

Cukup jelas  Cukup jelas   

197. Pasal 2 

Penempatan  Pancasila  sebagai  sumber  dari  segala  sumber  hukum negara  adalah  sesuai  dengan  Pembukaan  Undang‐Undang  Dasar Negara Republik  Indonesia  Tahun 1945  yang menempatkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis bangsa dan  negara  sehingga  setiap  Materi  Muatan  Peraturan  Perundang‐undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai‐nilai yang terkandung dalam Pancasila. 

Penempatan Pancasila  sebagai  sumber dari  segala  sumber hukum negara adalah  sesuai dengan Pembukaan Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia  Tahun  1945  alinea  keempat  yaitu  Ketuhanan  Yang Maha  Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin  oleh  hikmat  kebijaksanaan  dalam  Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. 

 

198. Pasal 3 

Ayat (1)               Undang‐Undang Dasar Negara Republik  Indonesia Tahun 1945 

yang memuat hukum dasar negara merupakan sumber hukum bagi  Pembentukan  Peraturan  Perundang‐undangan di bawah Undang‐Undang Dasar. 

Ayat (1)             Yang  dimaksud  dengan  “hukum  dasar”  adalah  norma  dasar  bagi 

Pembentukan  Peraturan  Perundang‐undangan  yang  merupakan sumber hukum bagi Pembentukan Peraturan Perundang‐undangan di bawah Undang‐Undang Dasar Negara Republik  Indonesia Tahun 1945. 

 

Ayat (2)               Cukup jelas. 

Ayat (2)               Cukup jelas. 

 

Ayat (3)               Ketentuan  ini  menyatakan  bahwa  Undang‐Undang  Dasar 

Negara  Republik  Indonesia  Tahun  1945  berlaku  sejak ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. 

Ayat (3)               Cukup jelas. 

 

199. Pasal  Yang  diatur  lebih  lanjut  dalam  Undang‐Undang  ini  hanya  Undang‐ Cukup jelas   

Page 50: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

4  Undang  ke  bawah, mengingat  Undang‐Undang  Dasar  tidak  termasuk kompetensi pembentuk Undang‐Undang. 

200. Pasal 5 

Huruf a              Yang dimaksud dengan "kejelasan tujuan" adalah bahwa setiap 

Pembentukan  Peraturan  Perundang‐undangan  harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai. 

Huruf a              Yang dimaksud dengan “asas kejelasan tujuan” adalah bahwa setiap 

Pembentukan  Peraturan  Perundang‐undangan  harus  mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai. 

 

Huruf b             Yang  dimaksud  dengan  asas  “kelembagaan  atau  organ 

pembentuk  yang  tepat”  adalah  bahwa  setiap  jenis  Peraturan Perundang‐undangan  harus  dibuat  oleh  lembaga/pejabat Pembentuk  Peraturan  Perundang‐undangan  yang  berwenang. Peraturan Perundang‐undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum,  apabila dibuat oleh  lembaga/pejabat  yang tidak berwenang. 

Huruf b              Yang dimaksud dengan “asas kelembagaan atau pejabat pembentuk 

yang  tepat”  adalah  bahwa  setiap  jenis  Peraturan  Perundang‐undangan  harus  dibuat  oleh  lembaga  negara  atau  pejabat Pembentuk  Peraturan  Perundang‐undangan  yang  berwenang. Peraturan  Perundang‐undangan  tersebut  dapat  dibatalkan  atau batal demi hukum apabila dibuat oleh lembaga negara atau pejabat yang tidak berwenang. 

 

Huruf c             Yang dimaksud dengan asas "kesesuaian antara jenis dan materi 

muatan"  adalah  bahwa  dalam  Pembentakan  Peraturan Perundang‐undangan  harus  benar‐benar  memperhatikan materi muatan yang  tepat dengan  jenis Peraturan Perundang‐undangannya. 

Huruf c              Yang dimaksud dengan “asas kesesuaian antara  jenis, hierarki, dan 

materi  muatan”  adalah  bahwa  dalam  Pembentukan  Peraturan Perundang‐undangan  harus  benar‐benar  memperhatikan  materi muatan  yang  tepat  sesuai  dengan  jenis  dan  hierarki  Peraturan Perundang‐undangan. 

 

Huruf d              Yang dimaksud dengan asas "dapat dilaksanakan" adalah bahwa 

setiap  Pembentukan  Peraturan  Perundang‐undangan  harus memperhitungkan  efektivitas  Peraturan  Perundang‐undangan tersebut  di  dalam  masyarakat,  baik  secara  filosofis,  yuridis maupun sosiologis. 

Huruf d              Yang  dimaksud  dengan  “asas  dapat  dilaksanakan”  adalah  bahwa 

setiap  Pembentukan  Peraturan  Perundang‐undangan  harus memperhitungkan  efektivitas  Peraturan  Perundang‐undangan tersebut  di  dalam  masyarakat,  baik  secara  filosofis,  sosiologis, maupun yuridis. 

 

Huruf e              Yang dimaksud dengan asas "kedayagunaan dan kehasilgunaan" 

adalah  bahwa  setiap  Peraturan  Perundang‐undangan  dibuat karena  memang  benar‐benar  dibutuhkan  dan  bermanfaat dalam  mengatur  kehidupan  bermasyarakat,  berbangsa,  dan bernegara. 

Huruf e              Yang  dimaksud  dengan  “asas  kedayagunaan  dan  kehasilgunaan” 

adalah bahwa setiap Peraturan Perundangundangan dibuat karena memang benar‐benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. 

 

Page 51: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

Huruf f              Yang dimaksud dengan asas "kejelasan rumusan" adalah bahwa 

setiap  Peraturan  Perundang‐undangan  harus  memenuhi persyaratan  teknis  penyusunan  Peraturan  Perundang‐undangan, sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya  jelas dan mudah dimengerti, sehingga  tidak menimbulkan  berbagai  macam  interpretasi  dalam pelaksanaannya. 

Huruf f              Yang  dimaksud  dengan  “asas  kejelasan  rumusan”  adalah  bahwa 

setiap  Peraturan  Perundang‐undangan  harus  memenuhi persyaratan  teknis  penyusunan  Peraturan  Perundang‐undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan  mudah  dimengerti  sehingga  tidak  menimbulkan  berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya. 

 

Huruf g              Yang dimaksud dengan asas "keterbukaan" adalah bahwa dalam 

proses  Pembentukan  Peraturan  Perundang‐undangan  mulai dari  perencanaan,  persiapan,  penyusunan,  dan  pembahasan bersifat transparan dan terbuka. 

            Dengan  demikian  seluruh  lapisan  masyarakat  mempunyai kesempatan  yang  seluas‐luasnya  untuk memberikan masukan dalam proses pembuatan Peraturan Perundang‐undangan. 

Huruf g              Yang  dimaksud  dengan  “asas  keterbukaan”  adalah  bahwa  dalam 

Pembentukan  Peraturan  Perundang‐undangan  mulai  dari perencanaan,  penyusunan,  pembahasan,  pengesahan  atau penetapan,  dan  pengundangan  bersifat  transparan  dan  terbuka. Dengan  demikian,  seluruh  lapisan  masyarakat  mempunyai kesempatan  yang  seluas‐luasnya  untuk  memberikan  masukan dalam Pembentukan Peraturan Perundang‐undangan. 

 

201. Pasal 6 

Ayat (1)            Huruf a                        Yang dimaksud dengan "asas pengayoman" adalah bahwa 

setiap  Materi  Muatan  Peraturan  Perundang‐undangan harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketenteraman masyarakat. 

Ayat (1)             Huruf a                        Yang  dimaksud  dengan  “asas  pengayoman”  adalah  bahwa 

setiap Materi Muatan Peraturan Perundangundangan harus berfungsi  memberikan  pelindungan  untuk  menciptakan ketentraman masyarakat. 

 

           Huruf b                        Yang dimaksud dengan "asas kemanusiaan" adalah bahwa 

setiap  Materi  Muatan  Peraturan  Perundang‐undangan harus  mencerminkan  perlindungan  dan  penghormatan hak‐hak asasi manusia  serta harkat dan martabat  setiap warga  negara  dan  penduduk  Indonesia  secara proporsional. 

             Huruf b                         Yang  dimaksud  dengan  “asas  kemanusiaan”  adalah  bahwa 

setiap Materi Muatan Peraturan Perundangundangan harus mencerminkan  pelindungan  dan  penghormatan  hak  asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional. 

 

           Huruf c                        Yang dimaksud dengan  "asas  kebangsaan"  adalah bahwa 

setiap  Materi  Muatan  Peraturan  Perundang‐undangan 

             Huruf c                        Yang  dimaksud  dengan  “asas  kebangsaan”  adalah  bahwa 

setiap Materi Muatan Peraturan Perundang‐undangan harus 

 

Page 52: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

harus mencerminkan  sifat  dan watak  bangsa  Indonesia yang  pluralistik  (kebhinekaan)  dengan  tetap  menjaga prinsip negara kesatuan Republik Indonesia. 

mencerminkan  sifat  dan  watak  bangsa  Indonesia  yang majemuk  dengan  tetap  menjaga  prinsip  Negara  Kesatuan Republik Indonesia. 

           Huruf d                        Yang dimaksud dengan "asas kekeluargaan" adalah bahwa 

setiap  Materi  Muatan  Peraturan  Perundang‐undangan harus  mencerminkan  musyawarah  untuk  mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan. 

              Huruf d                        Yang  dimaksud  dengan  “asas  kekeluargaan”  adalah  bahwa 

setiap Materi Muatan Peraturan Perundangundangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan. 

 

           Huruf e                        Yang  dimaksud  dengan  "asas  kenusantaraan"  adalah 

bahwa  setiap  Materi  Muatan  Peraturan  Perundang‐undangan  senantiasa  memperhatikan  kepentingan seluruh wilayah  Indonesia dan materi muatan Peraturan Perundang‐undangan  yang dibuat di daerah merupakan bagian  dari  sistem  hukum  nasional  yang  berdasarkan Pancasila. 

              Huruf e                        Yang  dimaksud  dengan  “asas  kenusantaraan”  adalah  bahwa 

setiap  Materi  Muatan  Peraturan  Perundangundangan senantiasa  memperhatikan  kepentingan  seluruh  wilayah Indonesia  dan  Materi  Muatan  Peraturan  Perundang‐undangan  yang  dibuat  di  daerah  merupakan  bagian  dari sistem  hukum  nasional  yang  berdasarkan  Pancasila  dan Undang‐Undang  Dasar  Negara  Republik  Indonesia  Tahun 1945. 

 

           Huruf f                         Yang dimaksud dengan "asas bhinneka tunggal ika" adalah 

bahwa  Materi  Muatan  Peraturan  Perundang‐undangan harus  memperhatikan  keragaman  penduduk,  agama, suku  dan  golongan,  kondisi  khusus  daerah,  dan  budaya khususnya  yang  menyangkut  masalah‐masalah  sensitif dalam  kehidupan  bermasyarakat,  berbangsa,  dan bernegara. 

             Huruf f                        Yang  dimaksud  dengan  “asas  bhinneka  tunggal  ika”  adalah 

bahwa Materi Muatan Peraturan Perundangundangan harus memperhatikan  keragaman  penduduk,  agama,  suku  dan golongan,  kondisi  khusus  daerah  serta  budaya  dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. 

 

           Huruf g                        Yang  dimaksud  dengan  "asas  keadilan"  adalah  bahwa 

setiap  Materi  Muatan  Peraturan  Perundang‐undangan harus mencerminkan  keadilan  secara  proporsional  bagi setiap warga negara tanpa kecuali. 

             Huruf g                        Yang  dimaksud  dengan  “asas  keadilan”  adalah  bahwa  setiap 

Materi  Muatan  Peraturan  Perundang‐undangan  harus mencerminkan  keadilan  secara  proporsional  bagi  setiap warga negara. 

 

           Huruf h                        Yang dimaksud dengan "asas kesamaan kedudukan dalam 

             Huruf h                        Yang  dimaksud  dengan  “asas  kesamaan  kedudukan  dalam 

 

Page 53: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

hukum dan  pemerintahan"  adalah bahwa  setiap Materi Muatan  Peraturan  Perundang‐undangan  tidak  boleh berisi  hal‐hal  yang  bersifat  membedakan  berdasarkan latar  belakang,  antara  lain,  agama,  suku,  ras,  golongan, gender, atau status sosial. 

hukum  dan  pemerintahan”  adalah  bahwa  setiap  Materi Muatan Peraturan Perundang‐undangan tidak boleh memuat hal  yang  bersifat membedakan  berdasarkan  latar  belakang, antara  lain, agama,  suku,  ras, golongan, gender, atau  status sosial. 

           Huruf i                        Yang  dimaksud  dengan  "asas  ketertiban  dan  kepastian 

hukum"  adalah  bahwa  setiap Materi Muatan  Peraturan Perundang‐undangan  harus  dapat  menimbulkan ketertiban  dalam  masyarakat  melalui  jaminan  adanya kepastian hukum. 

             Huruf i                        Yang dimaksud dengan “asas ketertiban dan kepastian hukum” 

adalah  bahwa  setiap Materi Muatan  Peraturan  Perundang‐undangan  harus  dapat  mewujudkan  ketertiban  dalam masyarakat melalui jaminan kepastian hukum. 

 

            Huruf j                        Yang  dimaksud  dengan  "asas  keseimbangan,  keserasian, 

dan  keselarasan"  adalah  bahwa  setiap  Materi  Muatan Peraturan  Perundang‐undangan  harus  mencerminkan keseimbangan,  keserasian,  dan  keselarasan,  antara kepentingan  individu  dan  masyarakat  dengan kepentingan bangsa dan negara. 

             Huruf j                         Yang dimaksud dengan  “asas  keseimbangan,  keserasian, dan 

keselarasan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang‐undangan  harus  mencerminkan  keseimbangan, keserasian,  dan  keselarasan,  antara  kepentingan  individu, masyarakat dan kepentingan bangsa dan negara. 

 

Ayat (2) Yang dimaksud dengan "asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan  Perundang‐undangan  yang  bersangkutan",  antara lain: a. dalam  Hukum  Pidana, misalnya,  asas  legalitas,  asas  tiada 

hukuman  tanpa  kesalahan,  asas  pembinaan  narapidana, dan asas praduga tak bersalah; 

b. dalam Hukum Perdata, misalnya, dalam hukum perjanjian, antara  lain, asas  kesepakatan,  kebebasan berkontrak, dan iktikad baik. 

Ayat (2) Yang  dimaksud  dengan  “asas  lain  sesuai  dengan  bidang  hukum Peraturan Perundang‐undangan yang bersangkutan”, antara lain: a. dalam  Hukum  Pidana,  misalnya,  asas  legalitas,  asas  tiada 

hukuman  tanpa  kesalahan,  asas  pembinaan  narapidana,  dan asas praduga tak bersalah; 

b. dalam  Hukum  Perdata,  misalnya,  dalam  hukum  perjanjian, antara lain, asas kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan itikad baik. 

 

202. Pasal 7 

Ayat (1) Cukup jelas. 

Ayat (1) Huruf a 

Cukup jelas. 

 

  Huruf b   

Page 54: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

Yang  dimaksud  dengan  “Ketetapan  Majelis Permusyawaratan  Rakyat”  adalah  Ketetapan  Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku sebagaimana dimaksud  dalam  Pasal  2  dan  Pasal  4  Ketetapan  Majelis Permusyawaratan  Rakyat  Republik  Indonesia  Nomor: I/MPR/2003  tentang  Peninjauan  Terhadap  Materi  dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, tanggal 7 Agustus 2003. 

  Huruf c Cukup jelas. 

 

  Huruf d Cukup jelas. 

 

  Huruf e Cukup jelas. 

 

  Huruf f Termasuk dalam Peraturan Daerah Provinsi  adalah Qanun yang berlaku di Provinsi Aceh dan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus)  serta  Peraturan Daerah  Provinsi  (Perdasi)  yang berlaku di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. 

 

  Huruf g Termasuk dalam Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adalah Qanun yang berlaku di Kabupaten/Kota di Provinsi Aceh. 

 

Ayat (2) Huruf a 

Termasuk  dalam  jenis  Peraturan  Daerah  Provinsi adalah  Qanun  yang  berlaku  di  Daerah  Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Perdasus serta Perdasi yang berlaku di Provinsi Papua. 

Ayat (2) Dalam  ketentuan  ini  yang  dimaksud  dengan  “hierarki”  adalah penjenjangan  setiap  jenis  Peraturan  Perundang‐undangan  yang didasarkan pada asas bahwa Peraturan Perundang‐undangan yang lebih  rendah  tidak  boleh  bertentangan  dengan  Peraturan Perundang‐undangan yang lebih tinggi. 

 

Page 55: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

Huruf b Cukup jelas. 

   

Huruf c Cukup jelas. 

   

Ayat (3) Cukup jelas. 

   

Ayat (4) Jenis  Peraturan  Perundang‐undangan  selain  dalam  ketentuan ini,  antara  lain,  peraturan  yang  dikeluarkan  oleh  Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah  Konstitusi, Badan  Pemeriksa  Keuangan,  Bank  Indonesia, Menteri,  kepala badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentak oleh undang‐undang atau pemerintah atas perintah undang‐undang, Dewan  Perwakilan  Rakyat Daerah  Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan  Rakyat  Daerah  Kabupaten/Kota,  Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat. 

   

Ayat (5) Dalam  ketentuan  ini  yang dimaksud dengan  "hierarki"  adalah penjenjangan setiap jenis Peraturan Perundang‐undangan yang didasarkan  pada  asas  bahwa  peraturan  perundang‐undangan yang  lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang‐undangan yang lebih tinggi. 

   

203. Pasal 8 

Cukup jelas.  Ayat (1) Yang dimaksud dengan “Peraturan Menteri” adalah peraturan yang ditetapkan oleh menteri berdasarkan materi muatan dalam rangka penyelenggaraan urusan tertentu dalam pemerintahan. 

 

  Ayat (2) Yang  dimaksud  dengan  “berdasarkan  kewenangan”  adalah penyelenggaraan  urusan  tertentu  pemerintahan  sesuai  dengan ketentuan Peraturan Perundang‐undangan. 

 

Page 56: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

204. Pasal 9 

Cukup jelas.  Cukup jelas.   

205. Pasal 10  

Yang dimaksud dengan "sebagaimana mestinya" adalah materi muatan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah tidak boleh menyimpang dari materi yang diatur dalam Undang‐Undang yang bersangkutan. 

Ayat (1) Huruf a 

Cukup jelas. 

 

  Huruf b Cukup jelas. 

 

  Huruf c Yang dimaksud dengan  “perjanjian  internasional  tertentu” adalah  perjanjian  internasional  yang menimbulkan  akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan  beban  keuangan  negara  dan/atau  perjanjian tersebut  mengharuskan  perubahan  atau  pembentukan Undang‐Undang dengan persetujuan DPR. 

 

 

  Huruf d Yang  dimaksud  dengan  ”tindak  lanjut  atas  putusan Mahkamah Konstitusi”  terkait dengan putusan Mahkamah Konstitusi  mengenai  pengujian  Undang‐Undang  terhadap Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Materi  muatan  yang  dibuat,  terkait  dengan  ayat,  pasal, dan/atau  bagian  Undang‐Undang  yang  secara  tegas dinyatakan  dalam  Putusan  Mahkamah  Konstitusi bertentangan  dengan  Undang‐Undang  Dasar  Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 

 

  Huruf e Cukup jelas. 

 

  Ayat (2) Tindak  lanjut  atas  putusan  Mahkamah  Konstitusi  dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kekosongan hukum. 

 

Page 57: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

206. Pasal 11 

Sesuai  dengan  kedudukan  Presiden  menurut  Undang‐Undang  Dasar Negara  Republik  Indonesia  Tahun  1945,  Peraturan  Presiden  adalah peraturan  yang  dibuat  oleh  Presiden  dalam  menyelenggarakan pemerintahan  negara  sebagai  atribusi  dari  Pasal  4  ayat  (1)  Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.  Peraturan  Presiden  dibentuk  untuk  menyelenggarakan  pengaturan lebih  lanjut perintah Undang‐Undang atau Peraturan Pemerintah baik secara tegas maupun tidak tegas diperintahkan pembentukannya. 

Cukup jelas.   

207. Pasal 12 

Cukup jelas.  Yang  dimaksud  dengan  “menjalankan  Undang‐Undang  sebagaimana mestinya”  adalah  penetapan  Peraturan  Pemerintah  untuk melaksanakan perintah  Undang‐Undang  atau  untuk  menjalankan  Undang‐Undang sepanjang  diperlukan  dengan  tidak menyimpang  dari materi  yang  diatur dalam Undang‐Undang yang bersangkutan. 

 

208. Pasal 13  

Yang  dimaksud  dengan  "yang  setingkat”  dalam  ketentuan  ini  adalah nama lain dari pemerintahan tingkat desa. 

Peraturan  Presiden  dibentuk  untuk  menyelenggarakan  pengaturan  lebih lanjut  perintah  Undang‐Undang  atau  Peraturan  Pemerintah  secara  tegas maupun tidak tegas diperintahkan pembentukannya. 

 

209. Pasal 14 

Cukup Jelas  Cukup Jelas   

210. Pasal 15  

Agar  dalam  Pembentukan  Peraturan  Perundang‐undangan  dapat dilaksanakan,  secara  berencana,  maka  Pembentukan  Peraturan Perundang‐undangan  perlu  dilakukan  berdasarkan  Program  Legislasi Nasional. Dalam Program  Legislasi Nasional  tersebut ditetapkan  skala prioritas sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat. Untuk  maksud  tersebut,  maka  dalam  Program  Legislasi  Nasional memuat  program  legislasi  jangka  panjang, menengah,  atau  tahunan. Program  Legislasi  Nasional  hanya  memuat  program  penyusunan Peraturan  Perundang‐undangan  tingkat  pusat.  Dalam  penyusunan program  tersebut  perlu  ditetapkan  pokok materi  yang  hendak  diatur serta  kaitannya dengan Peraturan Perundang‐undangan  lainnya. Oleh karena  itu,  penyusunan  Program  Legislasi  Nasional  disusun  secara terkoordinasi, terarah, dan terpadu yang disusun bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah. 

Cukup Jelas   

Page 58: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

Untuk  perencanaan  Pembentukan  Peraturan  Perundang‐undangan daerah  dilakukan  berdasarkan  Program  Legislasi  Daerah.  Di  samping memperhatikan  hal  di  atas,  Program  Legislasi  Daerah  dimaksudkan untuk  menjaga  agar  produk  Peraturan  Perundang‐undangan  daerah tetap berada dalam kesatuan system hukum nasional. 

211. Pasal 16  

Cukup jelas  Cukup jelas   

212. Pasal 17  

Ayat (1) Cukup jelas. 

 

Yang  dimaksud  dengan  “sistem  hukum  nasional”  adalah  suatu  sistem hukum  yang  berlaku  di  Indonesia  dengan  semua  elemennya  serta  saling menunjang  satu  dengan  yang  lain  dalam  rangka  mengantisipasi  dan mengatasi  permasalahan  yang  timbul  dalam  kehidupan  berbangsa, bernegara,  dan  bermasyarakat  yang  berdasarkan  Pancasila  dan  Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 

 

Ayat (2) Cukup jelas. 

   

Ayat (3) Dalam  ketentuan  ini  yang  dimaksud  dengan  "dalam  keadaan tertentu"  adalah  kondisi  yang  memerlukan  pengaturan  yang tidak tercantum dalam Program Legislasi Nasional. 

   

213. Pasal 18 

Cukup jelas  Huruf a Cukup jelas. 

 

  Huruf b Yang  dimaksud  dengan  “Perintah  Ketetapan  Majelis Permusyawaratan  Rakyat”  adalah  Ketetapan  Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku sebagaimana dimaksud  dalam  Pasal  2  dan  Pasal  4  Ketetapan  Majelis Permusyawaratan  Rakyat  Republik  Indonesia  Nomor: I/MPR/2003  tentang  Peninjauan  terhadap  Materi  dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat 

 

Page 59: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, tanggal 7 Agustus 2003. 

  Huruf c Cukup jelas. 

 

  Huruf d Cukup jelas. 

 

  Huruf e Cukup jelas. 

 

  Huruf f Cukup jelas. 

 

  Huruf f Cukup jelas. 

 

  Huruf g Cukup jelas. 

 

  Huruf h Cukup jelas. 

 

214. Pasal 19 

Cukup jelas  Ayat (1) Cukup jelas. 

 

  Ayat (2) Cukup jelas. 

 

  Ayat (3) Yang  dimaksud  dengan  “pengkajian  dan  penyelarasan”  adalah proses  untuk  mengetahui  keterkaitan  materi  yang  akan  diatur dengan Peraturan Perundang‐undangan  lainnya yang vertical atau horizontal  sehingga  dapat mencegah  tumpang  tindih  pengaturan atau kewenangan. 

 

215. Pasal 20  

Cukup jelas.  Cukup jelas.   

216. Pasal 21 

Cukup jelas.  Ayat (1) Cukup jelas. 

 

Page 60: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

    Ayat (2) Cukup jelas. 

 

  Ayat (3) Cukup jelas. 

 

  Ayat (4) Yang  dimaksud  dengan  “menteri  yang menyelenggarakan  urusan pemerintahan  di  bidang  hukum”  adalah Menteri Hukum  dan Hak Asasi Manusia. 

 

  Ayat (5) Cukup jelas. 

 

  Ayat (6) Cukup jelas. 

 

217. Pasal 22  

Maksud  "penyebarluasan”  dalam  ketentuan  ini  adalah  agar  khalayak ramai  mengetahui  adanya  rancangan  undang‐undang  yang  sedang dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat guna memberikan masukan atas materi yang sedang dibabas. Penyebarluasan dilakukan baik melalui media elektronik seperti televisi, radio,  internet, maupun media cetak seperti surat kabar, majalah, dan edaran. 

Cukup jelas.   

218. Pasal 23 

Cukup jelas  Ayat (1) Huruf a 

Yang dimaksud dengan  “perjanjian  internasional  tertentu” adalah  perjanjian  internasional  yang menimbulkan  akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan  beban  keuangan  negara  dan/atau  perjanjian tersebut  mengharuskan  perubahan  atau  pembentukan Undang‐Undang dengan persetujuan DPR. 

 

  Huruf b Cukup jelas. 

 

  Huruf c Cukup jelas. 

 

Page 61: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

Huruf d Cukup jelas. 

  Huruf e Cukup jelas. 

 

  Ayat (2) Cukup jelas. 

 

219. Pasal 24  

Cukup jelas.  Cukup jelas.   

220. Pasal 25  

Ayat (1) Yang  dimaksud  dengan  "persidangan  yang  berikut"  adalah  masa persidangan Dewan Perwakilan Rakyat yang hanya diantarai satu masa reses. 

Cukup jelas.   

Ayat (2) Cukup jelas. 

   

Ayat (3) Cukup jelas. 

   

Ayat (4) Cukup jelas. 

   

221. Pasal 26 

Cukup jelas.  Cukup jelas.   

222. Pasal 27 

Cukup jelas.  Cukup jelas.   

223. Pasal 28 

Cukup jelas.  Cukup jelas.   

224. Pasal 29 

Cukup jelas.  Cukup jelas.   

225. Pasal 30  

Sebagaimana  rancangan undang‐undang,  rancangan peraturan daerah juga  disebarluaskan,  misalnya  melalui  Televisi  Republik  Indonesia, Radio  Republik  Indonesia,  Internet, media  cetak  seperti  surat  kabar, majalah, dan edaran di daerah yang bersangkutan,  sehingga khalayak 

Cukup jelas.   

Page 62: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

ramai mengetahui  adanya  rancangan  peraturan  daerah  yang  sedang dibahas di dewan perwakilan rakyat daerah yang bersangkutan. Dengan demikian  masyarakat  dapat  memberikan  masukan  atas  materi rancangan peraturan daerah yang sedang dibahas tersebut. 

226. Pasal 31 

Cukup jelas.  Cukup jelas.   

227. Pasal 32  

Ketentuan mengenai  tingkat  pembahasan  rancangan  undang‐undang sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  ini  berlaku  juga  terhadap pembahasan rancangan undang‐undang: a. usul inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat; b. ratifikasi; c. penetapan peraturan pemerintah pengganti undang‐undang; d. penetapan  anggaran  pendapatan  dan  belanja  Negara  serta  nota 

keuangan; e. perubahan anggaran pendapatan dan belanja negara; dan f. perhitungan anggaran negara. 

Ketentuan  ini dimaksudkan untuk menjaga agar produk Peraturan Daerah Provinsi tetap berada dalam kesatuan sistem hukum nasional. 

 

228. Pasal 33  

Cukup jelas.  Ayat (1) Cukup jelas.  

 

  Ayat (2) Cukup jelas. 

 

  Ayat (3) Yang  dimaksud  dengan  “pengkajian  dan  penyelarasan”  adalah proses  untuk  mengetahui  keterkaitan  materi  yang  akan  diatur dengan Peraturan Perundang‐undangan  lainnya yang vertical atau horizontal  sehingga  dapat mencegah  tumpang  tindih  pengaturan atau kewenangan. 

 

229. Pasal 34 

Cukup jelas.  Cukup jelas.   

230. Pasal 35 

Ayat (1) Cukup jelas. 

Cukup jelas.   

Page 63: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

  Ayat (2) Cukup jelas. 

   

Ayat (3) Ketentuan  ini  dimaksudkan  untuk  menyederhanakan mekanisme penarikan kembali rancangan undang‐undang. 

   

231. Pasal 36  

Cukup jelas.  Ayat (1) Cukup jelas. 

 

  Ayat (2) Cukup jelas. 

 

  Ayat (3) Yang dimaksud dengan “instansi vertikal terkait” antara lain instansi vertikal  dari  kementerian  yang  menyelenggarakan  urusan pemerintahan di bidang hukum. 

 

  Ayat (4) Cukup jelas. 

 

232.     Ayat (5) Cukup jelas. 

 

233. Pasal 37  

Ayat (1) Penyampaian  rancangan  undang‐undang  yang  telah  disetujui bersama  Dewan  Perwakilan  Rakyat  dan  Pemerintah  kepada Presiden, disertai Surat Pengantar pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat.  Secara  formil  rancangan  undang‐undang  menjadi Undang‐undang setelah disahkan oleh Presiden. 

Cukup jelas.   

Ayat (2) Tenggang  waktu  7  (tujuh)  hari  dianggap  layak  untuk mempersiapkan  segala  hal  yang  berkaitan  dengan  teknis penulisan  rancangan  undang‐undang  ke  lembaran  resmi Presiden  sampai  dengan  penandatanganan  pengesahan Undang‐Undang oleh Presiden dan penandatanganan sekaligus Pengundangan  ke  Lembaran  Negara  Republik  Indonesia  oleh Menteri  yang  tugas  dan  tanggung  jawabnya  di  bidang 

   

Page 64: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

peraturan perundang‐undangan. 234. Pasal 

38  

Batas waktu 30 (tiga puluh) hari adalah sesuai dengan ketentuan Pasal 20  ayat  (5)  Undang‐Undang  Dasar  Negara  Republik  Indonesia  Tahun 1945. 

Cukup jelas.   

235. Pasal 39 

Cukup jelas.  Cukup jelas.   

236. Pasal 40  

Ayat (1) Dalam pembahasan rancangan peraturan daerah di dewan perwakilan rakyat daerah, gubernur atau bupati/walikota dapat diwakilkan, kecuali dalam pengajuan dan pengambilan keputusan. 

Cukup jelas   

Ayat (2) Cukup jelas. 

   

Ayat (3) Cukup jelas. 

   

Ayat (4) Cukup jelas 

   

237. Pasal 41  

Cukup jelas  Cukup jelas   

238. Pasal 42  

Cukup jelas  Cukup jelas   

239. Pasal 43  

Cukup jelas  Cukup jelas   

240. Pasal 44  

Penyempurnaan teknik dan penulisan, rancangan undang‐undang yang masih  mengandung  kesalahan  tersebut  mencakup  pula  format rancangan undangundang. 

Cukup jelas   

241. Pasal 45  

Dengan diundangkan Peraturan Perundang‐undangan dalam  lembaran resmi  sebagaimana dimaksud dalam  ketentuan  ini maka  setiap orang dianggap telah mengetahuinya. 

Cukup jelas   

Page 65: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

242. Pasal 46  

Cukup jelas  Cukup jelas   

243. Pasal 47  

Cukup jelas  Cukup jelas   

244. Pasal 48  

Cukup jelas  Cukup jelas   

245. Pasal 49  

Ayat (1) Cukup jelas. 

Ayat (1) Cukup jelas. 

 

Ayat (2) Peraturan  Perundang‐undangan  yang  diundangkan  dalam Berita Daerah misalnya Peraturan Nagari, Peraturan Desa, atau Peraturan Gampong di lingkungan daerah yang bersangkutan. 

Ayat (2) Penugasan  menteri  disertai  penyampaian  Daftar  Inventarisasi Masalah  (DIM)  yang  telah  disusun  dalam  jangka waktu  60  (enam puluh) hari tersebut. 

 

Ayat (3) Cukup jelas. 

Ayat (3) Cukup jelas. 

 

246. Pasal 50  

Berlakunya  Peraturan  Perundang‐undangan  yang  tidak,  sama  dengan tanggal  Pengundangan,  dimungkinkan,  untuk  persiapan  sarana  dan prasarana  serta  kesiapan  aparatur  pelaksana  Peraturan  Perundang‐undangan tersebut. 

Ayat (1) Cukup jelas. 

 

 

  Ayat (2) Cukup jelas. 

 

  Ayat (3) Dalam  jangka  waktu  60  (enam  puluh)  hari  tersebut,  DPR  telah menyelesaikan penyusunan DIM. 

 

  Ayat (4) Cukup jelas. 

 

247. Pasal 51  

Yang dimaksud dengan "menyebarluaskan" adalah agar khalayak ramai mengetahui  Peraturan  Perundang‐undangan  tersebut  dan mengerti/memahami  isi  serta  maksud‐maksud  yang  terkandung  di 

Cukup jelas   

Page 66: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

dalamnya  Penyebarluasan  Peraturan  Perundang‐undangan  tersebut dilakukan, misalnya, melalui media elektronik seperti Televisi Republik Indonesia dan Radio Republik Indonesia atau media cetak. 

248. Pasal 52  

Yang dimaksud dengan "menyebarluaskan" adalah agar khalayak ramai mengetahui  Peraturan  Perundang‐undangan  di  daerah  yang bersangkutan dan mengerti/memahami  isi serta maksud‐maksud yang terkandung di dalamnya. Penyebarluasan  Peraturan  Perundang‐undangan  tersebut  dilakukan, misalnya, melalui media elektronik  seperti Televisi Republik  Indonesia dan Radio Republik  Indonesia,  stasiun daerah, atau media  cetak yang terbit di daerah yang bersangkutan. 

Ayat (1) Yang  dimaksud  dengan  “persidangan  yang  berikut”  adalah  masa  sidang pertama  DPR  setelah  Peraturan  Pemerintah  Pengganti  Undang‐Undang ditetapkan.  

 

  Ayat (2) Cukup jelas. 

 

  Ayat (3) Cukup jelas. 

 

  Ayat (4) Cukup jelas. 

 

  Ayat (5) Cukup jelas. 

 

  Ayat (6) Cukup jelas. 

 

  Ayat (7) Cukup jelas. 

 

  Ayat (8) Cukup jelas. 

 

249. Pasal 53  

Hak  masyarakat  dalam  ketentuan  ini  dilaksanakan  sesuai  dengan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat/dewan, perwakilan rakyat daerah. 

Cukup jelas   

250. Pasal 54  

Ketentuan  dalam  Pasal  ini  menyangkut  keputusan  di  bidang administrasi di berbagai  lembaga yang ada  sebelum Undang‐Undang  ini diundangkan 

Cukup jelas   

Page 67: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

dan dikenal dengan keputusan yang bersifat tidak mengatur. 

251. Pasal 55 

Cukup jelas  Cukup jelas   

252. Pasal 56 

Cukup jelas  Cukup jelas   

253. Pasal 57 

Cukup jelas  Cukup jelas   

254. Pasal 58 

Cukup jelas  Cukup jelas   

255. Pasal 59 

  Cukup jelas   

256. Pasal 60 

  Cukup jelas   

257. Pasal 61 

  Cukup jelas   

258. Pasal 62 

  Cukup jelas   

259. Pasal 63 

  Cukup jelas   

260. Pasal 64 

  Cukup jelas   

261. Pasal 65 

  Cukup jelas   

262. Pasal 66 

  Cukup jelas   

263. Pasal 67 

  Cukup jelas   

264. Pasal 68 

  Cukup jelas   

265. Pasal    Cukup jelas   

Page 68: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

69 266. Pasal 

70  

  Ayat (1) Cukup jelas. 

 

  Ayat (2) Cukup jelas. 

 

  Ayat (3) Ketentuan  ini  dimaksudkan  untuk  menyederhanakan  mekanisme penarikan kembali Rancangan Undang‐Undang. 

 

267. Pasal 70 

  Cukup jelas   

268. Pasal 71 

  Cukup jelas   

269. Pasal 72  

  Ayat (1) Cukup jelas. 

 

  Ayat (2) Tenggang  waktu  7  (tujuh)  hari  dianggap  layak  untuk mempersiapkan segala hal yang berkaitan dengan teknis penulisan Rancangan  Undang‐Undang  ke  Lembaran  Resmi  Presiden  sampai dengan  penandatanganan  pengesahan  Undang‐Undang  oleh Presiden  dan  penandatanganan  sekaligus  Pengundangan  ke Lembaran  Negara  Republik  Indonesia  oleh  menteri  yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. 

 

270. Pasal 73  

  Cukup jelas   

271. Pasal 74  

  Cukup jelas   

272. Pasal 75 

  Ayat (1) Dalam pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi di DPRD Provinsi, Gubernur dapat diwakilkan, kecuali dalam pengajuan dan 

 

Page 69: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

pengambilan keputusan.  

  Ayat (2) Cukup jelas. 

 

  Ayat (3) Cukup jelas. 

 

  Ayat (4) Cukup jelas. 

 

273. Pasal 76 

  Cukup jelas.   

274. Pasal 77 

  Cukup jelas.   

275. Pasal 78 

  Cukup jelas.   

276. Pasal 79 

  Cukup jelas.   

277. Pasal 80 

  Cukup jelas.   

278. Pasal 81  

  Dengan diundangkannya Peraturan Perundang‐undangan dalam  lembaran resmi  sebagaimana dimaksud dalam  ketentuan  ini,  setiap orang dianggap telah mengetahuinya. 

 

279. Pasal 82 

  Cukup jelas.   

280. Pasal 83 

  Cukup jelas.   

281. Pasal 84 

  Cukup jelas.   

282. Pasal 85 

  Cukup jelas.   

283. Pasal 86 

  Cukup jelas.   

Page 70: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

284. Pasal 87  

  Berlakunya  Peraturan  Perundang‐undangan  yang  tidak  sama  dengan tanggal  Pengundangan  dimungkinkan  untuk  persiapan  sarana  dan prasarana  serta  kesiapan  aparatur  pelaksana  Peraturan  Perundang‐undangan tersebut. 

 

285. Pasal 88  

  Ayat (1) Yang  dimaksud  dengan  “penyebarluasan”  adalah  kegiatan menyampaikan  informasi kepada masyarakat mengenai Prolegnas, Rancangan  Undang‐Undang  yang  sedang  disusun,  dibahas,  dan yang  telah  diundangkan  agar  masyarakat  dapat  memberikan masukan  atau  tanggapan  terhadap Undang‐Undang  tersebut  atau memahami  Undang‐Undang  yang  telah  diundangkan. Penyebarluasan  Peraturan  Perundang‐undangan  tersebut dilakukan,  misalnya,  melalui  media  elektronik  dan/atau  media cetak. 

 

  Ayat (2) Cukup jelas. 

 

286. Pasal 89 

  Cukup jelas.   

287. Pasal 90 

  Cukup jelas.   

288. Pasal 91 

  Cukup jelas.   

289. Pasal 92  

  Ayat (1) Yang dimaksud dengan  “penyebarluasan”  adalah  kegiatan menyampaikan informasi  kepada  masyarakat  mengenai  Prolegda,  Rancangan  Peraturan Daerah  Provinsi,  atau Rancangan  Peraturan Daerah Kabupaten/Kota  yang sedang  disusun,  dibahas,  dan  yang  telah  diundangkan  agar  masyarakat dapat memberikan masukan  atau  tanggapan  terhadap  Peraturan  Daerah tersebut atau memahami Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota  yang  telah  diundangkan.  Penyebarluasan  Peraturan Perundang‐undangan  tersebut  dilakukan,  misalnya,  melalui  media elektronik dan/atau media cetak. 

 

Page 71: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

      Ayat (2) Cukup jelas. 

 

290. Pasal 93  

  Cukup jelas.   

291. Pasal 94  

  Cukup jelas.   

292. Pasal 95  

  Cukup jelas.   

293. Pasal 96  

  Ayat (1) Cukup jelas. 

 

  Ayat (2) Cukup jelas. 

 

  Ayat (3) Termasuk dalam kelompok orang antara  lain, kelompok/organisasi masyarakat, kelompok profesi,  lembaga  swadaya masyarakat, dan masyarakat adat. 

 

  Ayat (4) Cukup jelas. 

 

294. Pasal 97 

  Cukup jelas   

295. Pasal 98  

  Ayat (1) Yang  dimaksud  dengan  “Perancang  Peraturan Perundangundangan” adalah pegawai negeri sipil yang diberi tugas, tanggung  jawab, wewenang,  dan  hak,  secara  penuh  oleh  pejabat yang berwenang untuk melakukan kegiatan menyusun Rancangan Peraturan Perundang‐undangan dan/atau instrumen hukum lainnya sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang‐undangan. 

 

  Ayat (2) Cukup jelas. 

 

296. Pasal 99 

  Cukup jelas   

Page 72: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

297. Pasal 100 

  Cukup jelas   

298. Pasal 101 

  Cukup jelas   

299. Pasal 102 

  Cukup jelas   

300. Pasal 103 

  Cukup jelas   

301. Pasal 104 

  Cukup jelas   

      LAMPIRAN I UNDANG–UNDANG REPUBLIK INDONESIA 

NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG 

PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG–UNDANGAN 

 

      TEKNIK PENYUSUNAN NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANGUNDANG, RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI, DAN 

RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN/KOTA  

 

      1. Naskah  Akademik  adalah  naskah  hasil  penelitian  atau  pengkajian hukum dan hasil penelitian  lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang  dapat  dipertanggungjawabkan  secara  ilmiah  mengenai pengaturan  masalah  tersebut  dalam  suatu  Rancangan  Undang‐Undang, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota,  sebagai solusi  terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat. 

 

      2. Sistematika Naskah Akademik adalah sebagai berikut: JUDUL KATA PENGANTAR DAFTAR ISI BAB  I        PENDAHULUAN 

 

Page 73: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

BAB  II       KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS BAB III        EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG‐

UNDANGAN    TERKAIT BAB IV      LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS BAB V        JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP 

MATERI    MUATAN UNDANG‐UNDANG, PERATURAN DAERAH PROVINSI, ATAU PERATURAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 

BAB VI      PENUTUP DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN: RANCANGAN PERATURAN PERUNDANG‐UNDANGAN 

      Uraian singkat setiap bagian:         1. BAB I PENDAHULUAN 

Pendahuluan memuat latar belakang, sasaran yang akan diwujudkan, identifikasi masalah, tujuan dan kegunaan, serta metode penelitian. 

 

      A. Latar Belakang Latar  belakang  memuat  pemikiran  dan  alasan‐alasan  perlunya penyusunan  Naskah  Akademik  sebagai  acuan  pembentukan Rancangan  Undang‐Undang  atau  Rancangan  Peraturan  Daerah tertentu.  Latar  belakang  menjelaskan  mengapa  pembentukan Rancangan Undang‐Undang atau Rancangan Peraturan Daerah suatu Peraturan  Perundang‐undangan  memerlukan  suatu  kajian  yang mendalam  dan  komprehensif mengenai  teori  atau  pemikiran  ilmiah yang  berkaitan  dengan materi muatan  Rancangan Undang‐Undang atau  Rancangan  Peraturan  Daerah  yang  akan  dibentuk.  Pemikiran ilmiah  tersebut mengarah kepada penyusunan argumentasi  filosofis, sosiologis  serta  yuridis  guna mendukung  perlu  atau  tidak  perlunya penyusunan Rancangan Undang‐Undang atau Rancangan Peraturan Daerah.  

B. Identifikasi Masalah Identifikasi masalah memuat  rumusan mengenai masalah apa  yang 

 

Page 74: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

akan  ditemukan  dan  diuraikan  dalam  Naskah  Akademik  tersebut. Pada  dasarnya  identifikasi masalah  dalam  suatu Naskah  Akademik mencakup 4 (empat) pokok masalah, yaitu sebagai berikut: 1) Permasalahan  apa  yang  dihadapi  dalam  kehidupan  berbangsa, 

bernegara,  dan  bermasyarakat  serta  bagaimana  permasalahan tersebut dapat diatasi. 

2) Mengapa  perlu  Rancangan  Undang‐Undang  atau  Rancangan Peraturan  Daerah  sebagai  dasar  pemecahan masalah  tersebut, yang berarti membenarkan pelibatan negara dalam penyelesaian masalah tersebut. 

3) Apa  yang  menjadi  pertimbangan  atau  landasan  filosofis, sosiologis, yuridis pembentukan Rancangan Undang‐Undang atau Rancangan Peraturan Daerah. 

4) Apa  sasaran  yang  akan  diwujudkan,  ruang  lingkup  pengaturan, jangkauan, dan arah pengaturan. 

 C. Tujuan dan Kegunaan Kegiatan Penyusunan Naskah Akademik Sesuai 

dengan ruang lingkup identifikasi masalah yang dikemukakan di atas, tujuan penyusunan Naskah Akademik dirumuskan sebagai berikut: 1) Merumuskan  permasalahan  yang  dihadapi  dalam  kehidupan 

berbangsa,  bernegara,  dan  bermasyarakat  serta  cara‐cara mengatasi permasalahan tersebut. 

2) Merumuskan permasalahan hukum yang dihadapi sebagai alasan pembentukan  Rancangan  Undang‐Undang  atau  Rancangan Peraturan Daerah sebagai dasar hukum penyelesaian atau solusi permasalahan  dalam  kehidupan  berbangsa,  bernegara,  dan bermasyarakat. 

3)  Merumuskan  pertimbangan  atau  landasan  filosofis,  sosiologis, yuridis  pembentukan  Rancangan  Undang‐Undang  atau Rancangan Peraturan Daerah. 

4) Merumuskan  sasaran  yang  akan  diwujudkan,  ruang  lingkup pengaturan,  jangkauan, dan arah pengaturan dalam Rancangan 

Page 75: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

Undang‐Undang atau Rancangan Peraturan Daerah. Sementara  itu,  kegunaan  penyusunan  Naskah  Akademik  adalah sebagai  acuan  atau  referensi  penyusunan  dan  pembahasan Rancangan Undang‐Undang atau Rancangan Peraturan Daerah. 

 D. Metode 

Penyusunan  Naskah  Akademik  pada  dasarnya  merupakan  suatu kegiatan penelitian sehingga digunakan metode penyusunan Naskah Akademik yang berbasiskan metode penelitian hukum atau penelitian lain.  Penelitian  hukum  dapat  dilakukan  melalui  metode  yuridis normatif dan metode yuridis empiris. Metode yuridis empiris dikenal juga dengan penelitian sosiolegal. Metode yuridis normatif dilakukan melalui studi pustaka yang menelaah (terutama) data sekunder yang berupa  Peraturan  Perundang‐undangan,  putusan  pengadilan, perjanjian,  kontrak,  atau  dokumen  hukum  lainnya,  serta  hasil penelitian,  hasil  pengkajian,  dan  referensi  lainnya.  Metode  yuridis normative dapat dilengkapi dengan wawancara, diskusi (focus group discussion), dan rapat dengar pendapat. Metode yuridis empiris atau sosiolegal adalah penelitian yang diawali dengan penelitian normatif atau penelaahan terhadap Peraturan Perundangundangan (normatif) yang  dilanjutkan  dengan  observasi  yang  mendalam  serta penyebarluasan kuesioner untuk mendapatkan data faktor nonhukum yang  terkait dan yang berpengaruh  terhadap Peraturan Perundang‐undangan yang diteliti. 

      2. BAB II KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS Bab  ini memuat uraian mengenai materi yang bersifat teoretis, asas, praktik, perkembangan pemikiran,  serta  implikasi  sosial, politik, dan ekonomi,  keuangan  negara  dari  pengaturan  dalam  suatu  Undang‐Undang,  Peraturan  Daerah  Provinsi,  atau  Peraturan  Daerah Kabupaten/Kota. Bab ini dapat diuraikan dalam beberapa sub bab berikut : A. Kajian teoretis. 

 

Page 76: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

B. Kajian  terhadap  asas/prinsip  yang  terkait  dengan  penyusunan norma. Analisis  terhadap  penentuan  asas‐asas  ini  juga memperhatikan berbagai  aspek  bidang  kehidupan  terkait  dengan  Peraturan Perundang‐undangan  yang  akan  dibuat,  yang  berasal  dari  hasil penelitian. 

C. Kajian terhadap praktik penyelenggaraan, kondisi yang ada, serta permasalahan yang dihadapi masyarakat. 

D. Kajian  terhadap  implikasi  penerapan  sistem  baru  yang  akan diatur  dalam  Undang‐Undang  atau  Peraturan  Daerah  terhadap aspek  kehidupan  masyarakat  dan  dampaknya  terhadap  aspek beban keuangan negara. 

      3. BAB  III  EVALUASI  DAN  ANALISIS  PERATURAN PERUNDANGUNDANGAN TERKAIT Bab  ini  memuat  hasil  kajian  terhadap  Peraturan  Perundang‐undangan terkait yang memuat kondisi hukum yang ada, keterkaitan Undang‐Undang  dan  Peraturan  Daerah  baru  dengan  Peraturan Perundang‐undangan lain, harmonisasi secara vertikal dan horizontal, serta status dari Peraturan Perundang‐undangan yang ada, termasuk Peraturan  Perundang‐undangan  yang  dicabut  dan  dinyatakan  tidak berlaku  serta  Peraturan  Perundang‐undangan  yang  masih  tetap berlaku  karena  tidak  bertentangan  dengan  Undang‐Undang  atau Peraturan Daerah yang baru. Kajian  terhadap  Peraturan  Perundang‐undangan  ini  dimaksudkan untuk  mengetahui  kondisi  hukum  atau  peraturan  perundang‐undangan yang mengatur mengenai substansi atau materi yang akan diatur. Dalam  kajian  ini  akan  diketahui  posisi  dari Undang‐Undang atau Peraturan Daerah yang baru. Analisis ini dapat menggambarkan tingkat  sinkronisasi,  harmonisasi  Peraturan  Perundang‐undangan yang  ada  serta  posisi  dari  Undang‐Undang  dan  Peraturan  Daerah untuk menghindari terjadinya tumpang tindih pengaturan. Hasil dari penjelasan atau uraian  ini menjadi bahan bagi penyusunan  landasan 

 

Page 77: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

filosofis  dan  yuridis  dari  pembentukan  Undang‐Undang,  Peraturan Daerah Provinsi, atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang akan dibentuk. 

      4. BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS A. Landasan Filosofis 

Landasan  filosofis merupakan  pertimbangan  atau  alas  an  yang menggambarkan  bahwa  peraturan  yang  dibentuk mempertimbangkan  pandangan  hidup,  kesadaran,  dan  cita hukum  yang meliputi  suasana  kebatinan  serta  falsafah  bangsa Indonesia  yang  bersumber  dari  Pancasila  dan  Pembukaan Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 

B. Landasan Sosiologis Landasan sosiologis merupakan pertimbangan atau alas an yang menggambarkan  bahwa  peraturan  yang  dibentuk  untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek. Landasan  sosiologis  sesungguhnya  menyangkut  fakta  empiris mengenai  perkembangan  masalah  dan  kebutuhan  masyarakat dan negara. 

C. Landasan Yuridis Landasan  yuridis  merupakan  pertimbangan  atau  alas  an  yang menggambarkan  bahwa  peraturan  yang  dibentuk  untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan  aturan  yang  telah  ada,  yang  akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan  rasa  keadilan  masyarakat.  Landasan  yuridis  menyangkut persoalan  hukum  yang  berkaitan  dengan  substansi  atau materi yang  diatur  sehingga  perlu  dibentuk  Peraturan  Perundang‐Undangan yang baru. Beberapa persoalan hukum itu, antara lain, peraturan  yang  sudah  ketinggalan,  peraturan  yang  tidak harmonis atau tumpang tindih, jenis peraturan yang lebih rendah dari  Undang‐Undang  sehingga  daya  berlakunya  lemah, peraturannya  sudah  ada  tetapi  tidak  memadai,  atau 

 

Page 78: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

peraturannya memang sama sekali belum ada.       5. BAB  V  JANGKAUAN,  ARAH  PENGATURAN,  DAN  RUANG  LINGKUP 

MATERI  MUATAN  UNDANG‐UNDANG,  PERATURAN  DAERAH PROVINSI, ATAU PERATURAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 

 Naskah  Akademik  pada  akhirnya  berfungsi  mengarahkan  ruang lingkup  materi  muatan  Rancangan  Undang‐Undang,  Rancangan Peraturan  Daerah  Provinsi,  atau  Rancangan  Peraturan  Daerah Kabupaten/Kota  yang  akan  dibentuk.  Dalam  Bab  ini,  sebelum menguraikan ruang lingkup materi muatan, dirumuskan sasaran yang akan diwujudkan, arah dan jangkauan pengaturan. Materi didasarkan pada ulasan yang  telah dikemukakan dalam bab sebelumnya.  Selanjutnya  mengenai  ruang  lingkup  materi  pada dasarnya mencakup: A. ketentuan  umum  memuat  rumusan  akademik  mengenai 

pengertian istilah, dan frasa; B. materi yang akan diatur; C. ketentuan sanksi; dan D. ketentuan peralihan. 

 

      6. BAB VI PENUTUP Bab penutup terdiri atas subbab simpulan dan saran. A. Simpulan Simpulan memuat  rangkuman pokok pikiran yang berkaitan dengan praktik penyelenggaraan, pokok elaborasi teori, dan asas yang telah diuraikan dalam bab sebelumnya. B. Saran Saran memuat antara lain: 1. Perlunya  pemilahan  substansi  Naskah  Akademik  dalam  suatu 

Peraturan  Perundang‐undangan  atau  Peraturan Perundangundangan di bawahnya. 

2. Rekomendasi  tentang  skala  prioritas  penyusunan  Rancangan Undang‐Undang/Rancangan  Peraturan  Daerah  dalam  Program 

 

Page 79: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

Legislasi Nasional/Program Legislasi Daerah. 3. Kegiatan lain yang diperlukan untuk mendukung penyempurnaan 

penyusunan Naskah Akademik lebih lanjut.       7. DAFTAR PUSTAKA 

Daftar  pustaka memuat  buku,  Peraturan  Perundangundangan,  dan jurnal yang menjadi sumber bahan penyusunan Naskah Akademik. 

 

      8. LAMPIRAN RANCANGAN  PERATURAN  PERUNDANG‐UNDANGAN  PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,  

ttd. DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO 

 

    LAMPIRAN UNDANG‐UNDANG REPUBLIK INDONESIA 

NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG 

PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG‐UNDANGAN 

LAMPIRAN II UNDANG–UNDANG REPUBLIK INDONESIA 

NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG 

PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG–UNDANGAN 

 

    SISTEMATIKA TEKNIK PENYUSUNAN  PERATURAN PERUNDANG‐UNDANGAN 

TEKNIK PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG‐UNDANGAN  

 

      SISTEMATIKA       BAB I KERANGKA PERATURAN PERUNDANG‐UNDANGAN 

A. JUDUL B. PEMBUKAAN 

1. Frase Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa 2. Jabatan Pembentuk Peraturan Perundang‐undangan 3. Konsiderans 4. Dasar Hukum 5. Diktum 

C. BATANG TUBUH 1. Ketentuan Umum 2. Materi Pokok yang Diatur 

BAB I KERANGKA PERATURAN PERUNDANG–UNDANGAN A. JUDUL B. PEMBUKAAN 

1. Frasa Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa 2. Jabatan Pembentuk Peraturan Perundang‐undangan 3. Konsiderans 4. Dasar Hukum 5. Diktum 

C. BATANG TUBUH 1. Ketentuan Umum 2. Materi Pokok yang Diatur 

 

Page 80: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

3. Ketentuan Pidana (Jika diperlukan) 4. Ketentuan Peralihan (Jika diperlukan) 5. Ketentuan Penutup 

D. PENUTUP E.PENJELASAN (Jika diperlukan) F. LAMPIRAN (Jika diperlukan) 

 BAB II HAL‐HAL KHUSUS 

A. PENDELEGASIAN KEWENANGAN B. PENYIDIKAN C. PENCABUTAN D. PERUBAHAN PERATURAN PERUNDANG‐UNDANGAN E.PENETAPAN  PERATURAN  PEMERINTAH  PENGGANTI UNDANG‐

UNDANG MENJADI UNDANG‐UNDANG F. PENGESAHAN PERJANJIAN INTERNASIONAL 

 BAB III RAGAM BAHASA PERATURAN PERUNDANG‐UNDANGAN 

A. BAHASA PERATURAN PERUNDANG‐UNDANGAN B. PILIHAN KATA ATAU ISTILAH C. TEKNIK PENGACUAN 

 BAB IV BENTUK RANCANGAN PERATURAN PERUNDANG‐UNDANGAN 

A. BENTUK RANCANGAN UNDANG‐UNDANG PADA UMUMNYA B. BENTUK  RANCANGAN  UNDANG‐UNDANG  PENETAPAN 

PERATURAN  PEMERINTAH  PENGGANTI  UNDANG‐UNDANG MENJADI UNDANGUNDANG. 

C. BENTUK  RANCANGAN  UNDANG‐UNDANG  PENGESAHAN PERJANJIAN  INTERNASIONAL  YANG  TIDAK  MENGGUNAKAN BAHASA INDONESIA SEBAGAI SALAH SATU BAHASA RESMI 

D. BENTUK  RANCANGAN  UNDANG‐UNDANG  PERUBAHAN UNDANGUNDANG 

E.BENTUK  RANCANGAN  UNDANG‐UNDANG  PENCABUTAN 

3. Ketentuan Pidana (jika diperlukan) 4. Ketentuan Peralihan (jika diperlukan) 5. Ketentuan Penutup 

D. PENUTUP E. PENJELASAN (jika diperlukan) F. LAMPIRAN (jika diperlukan) 

 BAB II HAL–HAL KHUSUS 

A. PENDELEGASIAN KEWENANGAN B. PENYIDIKAN C. PENCABUTAN D. PERUBAHAN PERATURAN PERUNDANG–UNDANGAN E. PENETAPAN  PERATURAN  PEMERINTAH  PENGGANTI  UNDANG–

UNDANG MENJADI UNDANG–UNDANG F. PENGESAHAN PERJANJIAN INTERNASIONAL 

 BAB III RAGAM BAHASA PERATURAN PERUNDANG–UNDANGAN 

A. BAHASA PERATURAN PERUNDANG–UNDANGAN B. PILIHAN KATA ATAU ISTILAH C. TEKNIK PENGACUAN 

 BAB IV BENTUK RANCANGAN PERATURAN PERUNDANG‐UNDANGAN 

A. BENTUK RANCANGAN UNDANG‐UNDANG PADA UMUMNYA B. BENTUK RANCANGAN UNDANG–UNDANG PENETAPAN PERATURAN 

PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG‐UNDANG MENJADI UNDANG–UNDANG 

C. BENTUK  RANCANGAN  UNDANG–UNDANG  PENGESAHAN PERJANJIAN  INTERNASIONAL  YANG  TIDAK  MENGGUNAKAN BAHASA INDONESIA SEBAGAI SALAH SATU BAHASA RESMI 

D. BENTUK RANCANGAN UNDANG–UNDANG  PERUBAHAN UNDANG–UNDANG 

E. BENTUK RANCANGAN UNDANG–UNDANG PENCABUTAN UNDANG–

Page 81: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

UNDANGUNDANG F. BENTUK  RANCANGAN  UNDANG‐UNDANG  PENCABUTAN 

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG‐UNDANG G. BENTUK RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI 

UNDANG‐UNDANG H. BENTUK RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH I. BENTUK RANCANGAN PERATURAN PRESIDEN J. BENTUK RANCANGAN PERATURAN DAERAH 

UNDANG F. BENTUK  RANCANGAN  UNDANG–UNDANG  PENCABUTAN 

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG–UNDANG G. BENTUK  RANCANGAN  PERATURAN  PEMERINTAH  PENGGANTI 

UNDANG‐UNDANG H. BENTUK RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH I. BENTUK RANCANGAN PERATURAN PRESIDEN J. BENTUK RANCANGAN PERATURAN MENTERI K. BENTUK RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI L. BENTUK RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 

    BAB I KERANGKA PERATURAN PERUNDANG‐UNDANGAN  BAB I KERANGKA PERATURAN PERUNDANG‐UNDANGAN       1. Kerangka Peraturan Perundang‐undangan terdiri atas: 

A. Judul; B. Pembukaan; C. Batang Tubuh; D. Penutup; E. Penjelasan (Jika diperlukan); F. Lampiran (Jika diperlukan). 

1. Kerangka Peraturan Perundang–undangan terdiri atas: A. Judul; B. Pembukaan; C. Batang Tubuh; D. Penutup; E. Penjelasan (jika diperlukan); F. Lampiran (jika diperlukan). 

 

    A. JUDUL  A. JUDUL       2. Judul  Peraturan  Perundang‐undangan  memuat  keterangan 

mengenai  jenis,  nomor,  tahun  pengundangan  atau  penetapan, dan nama Peraturan Perundang‐undangan. 

2. Judul  Peraturan  Perundang–undangan  memuat  keterangan mengenai  jenis, nomor,  tahun pengundangan  atau penetapan, dan nama Peraturan Perundang–undangan. 

 

    3. Nama Peraturan Perundang‐undangan dibuat secara singkat dan mencerminkan isi Peraturan Perundang‐undangan. 

3. Nama Peraturan Perundang–undangan dibuat secara singkat dengan hanya menggunakan 1  (satu)  kata atau  frasa  tetapi  secara esensial maknanya  telah  dan  mencerminkan  isi  Peraturan  Perundang‐undangan. Contoh nama Peraturan Perundang‐undangan yang menggunakan 1 (satu) kata: − Paten; − Yayasan; − Ketenagalistrikan. 

 

Page 82: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

Contoh nama Peraturan Perundang‐undangan yang menggunakan frasa: − Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum; − Pajak Daerah dan Retribusi Daerah; − Bendera,  Bahasa,  dan  Lambang  Negara  serta  Lagu 

Kebangsaan.     4. Judul ditulis  seluruhnya dengan huruf kapital yang diletakkan di 

tengah marjin tanpa diakhiri tanda baca. Contoh: 

UNDANG‐UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2002 

TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG 

 

4. Judul  Peraturan  Perundang‐undangan  ditulis  seluruhnya  dengan huruf kapital yang diletakkan di  tengah marjin  tanpa diakhiri  tanda baca. Contoh: a.  

UNDANG‐UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2011 

TENTANG KEIMIGRASIAN 

b.  PERATURAN  DAERAH PROVINSI 

DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 8 TAHUN 2007 

TENTANG KETERTIBAN UMUM 

c.  QANUN KABUPATEN ACEH JAYA 

NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG 

PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN d.  

PERATURAN DAERAH PROVINSI PAPUA NOMOR 5 TAHUN 2010 

TENTANG KEDUDUKAN PROTOKOLER PIMPINAN DAN ANGGOTA 

MAJELIS RAKYAT PAPUA 

 

Page 83: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

 e.  

PERATURAN DAERAH KHUSUS PROVINSI PAPUA NOMOR 23 TAHUN 2008 

TENTANG HAK ULAYAT MASYARAKAT HUKUM ADAT DAN HAK 

PERORANGAN WARGA MASYARAKAT HUKUM ADAT ATAS TANAH     5. Pada  judul  Peraturan  Perundang‐undangan  perubahan 

ditambahkan  frase  perubahan  atas  depan  nama  Peraturan Perundang‐undangan yang diubah. Contoh: 

UNDANG‐UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 

TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG‐UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 

TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG  

5. Judul  Peraturan  Perundang‐undangan  tidak  boleh  ditambah  dengan singkatan atau akronim. Contoh yang tidak tepat dengan menambah singkatan: a.  

UNDANG‐UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR ... TAHUN ... 

TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA (APBN) 

b.  PERATURAN DAERAH KOTA PEKANBARU 

NOMOR 9 TAHUN 2005 TENTANG 

LEMBAGA PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELURAHAN (LPMK)  

Contoh yang tidak tepat dengan menggunakan akronim:  

PERATURAN DAERAH KABUPATEN ... NOMOR ... TAHUN ... 

TENTANG PENYUSUNAN PROGRAM LEGISLASI DAERAH (PROLEGDA) 

 

    6. Jika Peraturan Perundang‐undangan telah diubah lebih dari 1 (satu) kali, di antara kata perubahan dan kata atas disisipkan keterangan yang menunjukkan berapa kali perubahan tersebut telah dilakukan, tanpa merinci perubahan sebelumnya. Contoh: 

6. Pada  nama  Peraturan  Perundang–undangan  perubahan  ditambahkan frasa  perubahan  atas  di  depan  judul  Peraturan  Perundang‐undangan yang diubah. Contoh: a.  

 

Page 84: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

UNDANG‐UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR…TAHUN… 

TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS 

UNDANG–UNDANG NOMOR…TAHUN….TENTANG …. 

 

UNDANG‐UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2011 

TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG‐UNDANG NOMOR 2 TAHUN 

2008 TENTANG PARTAI POLITIK b.  

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JAYAPURA NOMOR 14 TAHUN 2009 

TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH 

NOMOR 2 TAHUN 2007 TENTANG POKOK‐POKOK PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH 

    7. Jika Peraturan Perundang‐undangan yang diubah mempunyai nama singkat,  Peraturan  Perundang‐undangan  perubahan  dapat menggunakan nama  singkat Peraturan Perundang‐undangan  yang diubah. Contoh: 

UNDANG‐UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR ... TAHUN ... 

TENTANG PERUBAHAN ATAS 

UNDANG‐UNDANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI 1984 

7. Jika  Peraturan  Perundang–undangan  telah  diubah  lebih  dari  1  (satu) kali, di antara kata perubahan dan kata atas disisipkan keterangan yang menunjukkan  berapa  kali  perubahan  tersebut  telah  dilakukan,  tanpa merinci perubahan sebelumnya. Contoh: 

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 

TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 24 TAHUN 2004 TENTANG KEDUDUKAN PROTOKOLER DAN 

KEUANGAN ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH  

Contoh Peraturan Daerah: PERATURAN DAERAH KABUPATEN MINAHASA TENGGARA 

NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG 

PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN DAERAH NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA 

KERJA DINAS DAERAH KABUPATEN MINAHASA TENGGARA 

 

    8. Pada  judul Peraturan Perundang‐undangan pencabutan disisipkan  8. Jika  Peraturan  Perundang–undangan  yang  diubah  mempunyai  nama   

Page 85: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

kata  pencabutan  di  depan  nama  Peraturan  Perundang‐undangan yang dicabut. Contoh: 

UNDANG‐UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUIN 1985 

TENTANG PENCABUTAN UNDANG‐UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1970 

TENTANG PEMBENTUKAN DAERAH PERDAGANGAN BEBAS DAN PELABUHAN BEBAS SABANG 

singkat,  Peraturan  Perundang–undangan  perubahan  dapat menggunakan  nama  singkat  Peraturan  Perundang–undangan  yang diubah. 

 

    9. Pada  judul  Peraturan  Pemerintah  Pengganti  Undang‐Undang (Perpu)  yang  ditetapkan  menjadi  Undang‐Undang,  ditambahkan kata  penetapan  di  depan  nama  Peraturan  Perundang‐undangan yang  ditetapkan  dan  diakhiri  dengan  frase  menjadi  Undang‐Undang. Contoh: 

UNDANG‐UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2003 

TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG‐UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA 

TERORISME MENJADI UNDANG‐UNDANG  

9. Pada nama Peraturan Perundang–undangan pencabutan ditambahkan kata pencabutan di depan  judul Peraturan Perundang–undangan yang dicabut.   Contoh: 

UNDANG‐UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2010 

TENTANG PENCABUTAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANGUNDANG 

NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG‐UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI 

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI  

 Contoh Peraturan Daerah: PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN 

NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG 

PENCABUTAN PERATURAN DAERAH PROPINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 4 TAHUN 2003 TENTANG RETRIBUSI IZIN 

TRAYEK DAN IZIN ANGKUTAN KHUSUS DI PERAIRAN DARATAN LINTAS KABUPATEN ATAU KOTA 

 

    10. Pada  judul Peraturan Perundang‐undangan pengesahan perjanjian  10. Pada nama  Peraturan  Pemerintah  Pengganti Undang–Undang  (Perpu)   

Page 86: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

atau  persetujuan  internasional,  ditambahkan  kata  pengesahan  di depan  nama  perjanjian  atau  persetujuan  internasional  yang  akan disahkan. 

 

yang  ditetapkan  menjadi  Undang–Undang,  ditambahkan  kata penetapan  di  depan  judul  Peraturan  Perundang–undangan  yang ditetapkan dan diakhiri dengan frasa menjadi Undang‐Undang. Contoh: 

UNDANG–UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2003 

TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG– UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME MENJADI UNDANG–UNDANG 

    11. Jika  dalam  perjanjian  atau  persetujuan  internasional  Bahasa Indonesia  digunakan  sebagai  teks  resmi,  nama  perjanjian  atau persetujuan ditulis dalam Bahasa  Indonesia, yang diikuti oleh  teks resmi  bahasa  asing  yang  ditulis  dengan  huruf  cetak  miring  dan diletakkan di antara tanda baca kurung. Contoh: 

UNDANG‐UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1999 

TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN 

AUSTRALIA MENGENAI BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA 

(TREATY BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND AUSTRALIA ON MUTUAL LEGAL ASSISTANCE IN CRIMINAL MATTERS) 

11. Pada  nama  Peraturan  Perundang–undangan  pengesahan  perjanjian atau persetujuan internasional, ditambahkan kata pengesahan di depan nama perjanjian atau persetujuan internasional yang akan disahkan.  Contoh: 

UNDANG‐UNDANG NOMOR 47 TAHUN 2007 TENTANG 

PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA TENTANG KERANGKA KERJA SAMA KEAMANAN (AGREEMENT BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND 

AUSTRALIA ON THE FRAMEWORK FOR SECURITY COOPERATION)  

 

    12. Jika  dalam,  perjanjian  atau  persetujuan  internasional,  Bahasa Indonesia tidak digunakan sebagai teks resmi, nama perjanjian atau persetujuan ditulis dalam Bahasa Inggris dengan huruf cetak miring, dan  diikuti  oleh  terjemahannya  dalam  Bahasa  Indonesia  yang diletakkan di antara tanda baca kurung. Contoh: 

UNDANG‐UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1997 

12. Jika dalam perjanjian atau persetujuan  internasional bahasa  Indonesia digunakan  sebagai  salah  satu  teks  resmi,  nama  perjanjian  atau persetujuan  ditulis  dalam  bahasa  Indonesia,  yang  diikuti  oleh  bahasa asing  dari  teks  resmi  yang  ditulis  dengan  huruf  cetak  miring  dan diletakkan di antara tanda baca kurung. Contoh: 

UNDANG‐UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2010 

 

Page 87: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

TENTANG PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST ILLICIT TRAFFIC 

IN NARCOTIC DRUGS AND PSYCHOTROPIC SUBTANCES, 1998 (KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA‐BANGSA TENTANG 

PEMBERANTASAN PEREDARAN GELAP NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA, 1998) 

 

TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK SINGAPURA TENTANG PENETAPAN GARIS BATAS LAUT WILAYAH KEDUA NEGARA DI BAGIAN BARAT SELAT SINGAPURA, 

2009 (TREATY BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE REPUBLIC OF SINGAPORE RELATING DELIMITATION OF THE 

TERRITORIAL SEAS OF THE TWO COUNTRIES IN THE WESTERN PART OF THE STRAIT OF SINGAPORE, 2009) 

       13. Jika  dalam  perjanjian  atau  persetujuan  internasional,  bahasa 

Indonesia  tidak digunakan sebagai  teks  resmi, nama perjanjian atau persetujuan ditulis dalam bahasa  Inggris dengan huruf cetak miring, dan  diikuti  oleh  terjemahannya  dalam  bahasa  Indonesia  yang diletakkan di antara tanda baca kurung. Contoh: 

UNDANG–UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2009 

TENTANG PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST 

TRANSNATIONAL ORGANIZED CRIME (KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA–BANGSA MENENTANG TINDAK 

PIDANA TRANSNASIONAL YANG TERORGANISASI)  

 

    B. PEMBUKAAN 13. Pembukaan Peraturan Perundang‐undangan terdiri atas: 

1. Frase Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa; 2. Jabatan Pembentuk Peraturan Perundang‐undangan; 3. Konsiderans; 4. Dasar Hukum; dan 5. Diktum. 

 

B. PEMBUKAAN 14. Pembukaan Peraturan Perundang–undangan terdiri atas: 

a. Frasa Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa; b. Jabatan pembentuk Peraturan Perundang‐undangan; c. Konsiderans; d. Dasar Hukum; dan e. Diktum. 

 

 

Page 88: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

    B.1 Frase Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa 14. Pada  pembukaan  tiap  jenis  Peraturan  Perundang‐undangan 

sebelum  nama  jabatan  pembentuk  Peraturan  Perundang‐undangan dicantumkan  frase DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA  ESA  yang ditulis  seluruhnya  dengan huruf  kapital  yang diletakkan di tengah marjin. 

 

B.1. Frasa Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa 15. Pada  pembukaan  tiap  jenis  Peraturan  Perundang–undangan 

sebelum  nama  jabatan  pembentuk  Peraturan  Perundang–undangan  dicantumkan  Frasa  Dengan  Rahmat  Tuhan  yang Maha Esa yang ditulis seluruhnya dengan huruf kapital yang diletakkan di tengah marjin. 

 

 

    B.2. Jabatan Pembentuk Peraturan Perundang‐undangan 15. Jabatan  pembentuk  Peraturan  Perundang‐undangan  ditulis 

seluruhnya  dengan  huruf  kapital  yang  diletakkan  di  tengah marjin dan diakhiri dengan tanda baca koma. 

 

B.2. Jabatan Pembentuk Peraturan Perundang‐undangan 16. Jabatan  pembentuk  Peraturan  Perundang–undangan  ditulis 

seluruhnya dengan huruf kapital yang diletakkan di  tengah marjin dan diakhiri dengan tanda baca koma.  Contoh jabatan pembentuk Undang‐Undang: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,  Contoh jabatan pembentuk Peraturan Daerah Provinsi: GUBERNUR JAWA BARAT,  Contoh jabatan pembentuk Peraturan Daerah Kabupaten: BUPATI GUNUNG KIDUL,  Contoh jabatan pembentuk Peraturan Daerah Kota: WALIKOTA DUMAI, 

 

    B.3. Konsiderans  B.3. Konsiderans       16. Konsiderans diawali dengan kata Menimbang.  17. Konsiderans diawali dengan kata Menimbang.       17. Konsiderans memuat uraian singkat mengenai pokok‐pokok pikiran 

yang  menjadi  latar  belakang  dan  alasan  pembuatan  Peraturan Perundang‐undangan. 

18. Konsiderans  memuat  uraian  singkat  mengenai  pokok  pikiran  yang menjadi pertimbangan dan alasan pembentukan Peraturan Perundang–undangan. 

 

    18. Pokok‐pokok  pikiran  pada  konsiderans  Undang‐Undang  atau peraturan  daerah memuat  unsur  filosofis,  yuridis,  dan  sosiologis yang menjadi latar belakang pembuatannya. 

19. Pokok  pikiran  pada  konsiderans  Undang–Undang,  Peraturan  Daerah Provinsi,  atau  Peraturan  Daerah  Kabupaten/Kota  memuat  unsure filosofis, sosiologis, dan yuridis yang menjadi pertimbangan dan alasan 

 

Page 89: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

pembentukannya  yang  penulisannya  ditempatkan  secara  berurutan dari filosofis, sosiologis, dan yuridis. − Unsur  filosofis  menggambarkan  bahwa  peraturan  yang  dibentuk 

mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi  suasana  kebatinan  serta  falsafah  bangsa  Indonesia yang  bersumber  dari  Pancasila  dan  Pembukaan  Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 

− Unsur  sosiologis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek. 

− Unsur  yuridis  menggambarkan  bahwa  peraturan  yang  dibentuk untuk mengatasi  permasalahan  hukum  atau mengisi  kekosongan hukum  dengan mempertimbangkan  aturan  yang  telah  ada,  yang akan  diubah,  atau  yang  akan  dicabut  guna  menjamin  kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat. Contoh: Undang‐Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas Menimbang  :  a.  bahwa  perekonomian  nasional  yang 

diselenggarakan  berdasar  atas  demokrasi ekonomi  dengan  prinsip  kebersamaan,  efisiensi berkeadilan,  berkelanjutan,  berwawasan lingkungan,  kemandirian,  serta  dengan  menjaga keseimbangan  kemajuan  dan  kesatuan  ekonomi nasional,  perlu  didukung  oleh  kelembagaan perekonomian  yang  kokoh  dalam  rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat; 

b. bahwa  dalam  rangka  lebih  meningkatkan pembangunan  perekonomian  nasional  dan sekaligus memberikan  landasan  yang  kokoh bagi dunia  usaha  dalam  menghadapi  perkembangan perekonomian  dunia  dan  kemajuan  ilmu pengetahuan dan teknologi di era globalisasi pada masa  mendatang,  perlu  didukung  oleh  suatu 

Page 90: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

undang‐undang  yang  mengatur  tentang perseroan  terbatas  yang  dapat  menjamin terselenggaranya iklim dunia usaha yang kondusif; 

c. bahwa perseroan terbatas sebagai salah satu pilar pembangunan  perekonomian  nasional  perlu diberikan  landasan  hukum  untuk  lebih memacu pembangunan  nasional  yang  disusun  sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan; 

d. bahwa  Undang‐Undang  Nomor  1  Tahun  1995 tentang  Perseroan  Terbatas  dipandang  sudah tidak  sesuai  lagi  dengan  perkembangan  hukum dan kebutuhan masyarakat sehingga perlu diganti dengan undang‐undang yang baru; 

e. bahwa  berdasarkan  pertimbangan  sebagaimana dimaksud  dalam  huruf  a,  huruf  b,  huruf  c,  dan huruf  d  perlu  membentuk  Undang‐Undang tentang Perseroan Terbatas; 

Contoh: Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 4 Tahun 2009 tentang Sistem Kesehatan Daerah Menimbang: a. bahwa derajat kesehatan masyarakat yang semakin 

tinggi merupakan  investasi strategis pada sumber daya  manusia  supaya  semakin  produktif  dari waktu ke waktu; 

b. bahwa  untuk  meningkatkan  derajat  kesehatan masyarakat  perlu  diselenggarakan  pembangunan kesehatan  dengan  batas‐batas  peran,  fungsi, tanggung  jawab,  dan  kewenangan  yang  jelas, akuntabel,  berkeadilan,  merata,  bermutu, berhasil guna dan berdaya guna; 

c. bahwa  untuk  memberikan  arah,  landasan  dan kepastian  hukum  kepada  semua  pihak  yang 

Page 91: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

terlibat  dalam  pembangunan  kesehatan,  maka diperlukan  pengaturan  tentang  tatanan penyelenggaraan pembangunan kesehatan; 

    19. Pokok‐pokok  pikiran  yang  hanya  menyatakan  bahwa  Peraturan Perundang‐undangan dianggap perlu untuk dibuat adalah  kurang tepat  karena  tidak  mencerminkan  tentang  latar  belakang  dan alasan  dibuatnya  peraturan  perundang‐undangan  tersebut.  Lihat juga Nomor 24. 

20. Pokok  pikiran  yang  hanya  menyatakan  bahwa  Peraturan Perundangundangan  dianggap  perlu  untuk  dibentuk  adalah  kurang tepat  karena  tidak  mencerminkan  pertimbangan  dan  alasan dibentuknya  Peraturan  Perundang–undangan  tersebut.  Lihat  juga Nomor 24. 

 

    20. Jika  konsiderans memuat  lebih  dari  satu  pokok  pikiran,  tiap‐tiap pokok  pikiran  dirumuskan  dalam  rangkaian  kalimat  yang merupakan kesatuan pengertian. 

21. Jika  konsiderans memuat  lebih  dari  satu  pokok  pikiran,  setiap  pokok pikiran dirumuskan dalam rangkaian kalimat yang merupakan kesatuan pengertian. 

 

    21. Tiap‐tiap  pokok  pikiran  diawali  dengan  huruf  abjad,  dan dirumuskan  dalam  satu  kalimat  yang  diawali  dengan  kata  bahwa dan diakhiri dengan tanda baca titik koma. Contoh: Menimbang: a. bahwa….; 

b. bahwa….; c. bahwa….; 

22. Tiap‐tiap  pokok  pikiran  diawali  dengan  huruf  abjad,  dan  dirumuskan dalam  satu  kalimat  yang  diawali  dengan  kata  bahwa  dan  diakhiri dengan tanda baca titik koma. Contoh:  Menimbang: a. bahwa …; 

b. bahwa ...; c. bahwa ...; d. bahwa …; 

 

    22. Jika  konsiderans memuat  lebih  dari  satu  pertimbangan,  rumusan butir pertimbangan terakhir berbunyi sebagai berikut: Contoh: Menimbang: a. bahwa.....; 

b. bahwa….; c. bahwa  berdasarkan  pertimbangan  sebagaimana 

dimaksud  dalam  huruf  a  dan  huruf  b  perlu membentuk  Undang‐Undang  (Peraturan  Daerah) tentang…; 

Contoh untuk Peraturan Perundang‐undangan di bawah Undang‐Undang atau peraturan daerah: Menimbang:a. bahwa…; 

b. bahwa…; 

23. Jika konsiderans memuat  lebih dari satu pertimbangan, rumusan butir pertimbangan terakhir berbunyi sebagai berikut: Contoh 1: Konsiderans Undang‐Undang Menimbang:  a. bahwa…; 

b. bahwa ...; c. bahwa …; d.  bahwa  berdasarkan  pertimbangan  sebagaimana 

dimaksud  dalam  huruf  a,  huruf  b,  dan  huruf  c  perlu membentuk Undang‐Undang tentang ...; 

Contoh 2: Konsiderans Peraturan Daerah Provinsi Menimbang:   a. bahwa …; 

b. bahwa …; c. bahwa ...; 

 

Page 92: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

c. bahwa  berdasarkan  pertimbangan  sebagaimana dimaksud  dalam  huruf  a  dan  huruf  b  perlu menetapkan  Peraturan  Pemerintah  (Peraturan Presiden);. 

 

d.  bahwa  berdasarkan  pertimbangan  sebagaimana dimaksud  dalam  huruf  a,  huruf  b,  dan  huruf  c  perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang ...; 

    23. Konsiderans Peraturan Pemerintah pada dasarnya  cukup memuat satu  pertimbangan  yang  berisi  uraian  ringkas mengenai  perlunya melaksanakan, ketentuan pasal atau beberapa pasal dari Undang‐Undang  yang  memerintahkan  pembuatan  Peraturan  Pemerintah tersebut. Lihat juga Nomor 19. 

 

24. Konsiderans Peraturan Pemerintah  cukup memuat  satu pertimbangan yang berisi uraian ringkas mengenai perlunya melaksanakan ketentuan pasal  atau  beberapa  pasal  dari Undang‐Undang  yang memerintahkan pembentukan Peraturan Pemerintah  tersebut dengan menunjuk pasal atau  beberapa  pasal  dari  Undang‐Undang  yang  memerintahkan pembentukannya. Lihat juga Nomor 19. Contoh: Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2011 tentang Manajemen dan Rekayasa, Analisis Dampak, serta Manajemen Kebutuhan Lalu Lintas. Menimbang:  bahwa  untuk  mengoptimalkan  penggunaan  jaringan 

jalan  dan  gerakan  lalu  lintas  dalam  rangka menjamin keamanan,  keselamatan,  ketertiban,  dan  kelancaran lalu  lintas  dan  angkutan  jalan,  serta  untuk melaksanakan ketentuan Pasal 93, Pasal 101, Pasal 102 ayat  (3),  Pasal  133  ayat  (5)  dan  Pasal  136  ayat  (3) Undang‐Undang  Nomor  22  Tahun  2009  tentang  Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Manajemen dan Rekayasa, Analisis Dampak, serta Manajemen Kebutuhan Lalu Lintas; 

 

    24. Konsiderans  Peraturan  Pemerintah  cukup  memuat  satu  pokok pikiran  yang  isinya menunjuk  pasal  (‐pasal)  dari  Undang‐Undang yang memerintahkan pembuatannya. Lihat juga Nomor 20.     Contoh: 

25. Konsiderans  Peraturan  Presiden  cukup  memuat  satu  pertimbangan yang berisi uraian ringkas mengenai perlunya melaksanakan ketentuan pasal  atau  beberapa  pasal  dari  Undang–Undang  atau  Peraturan Pemerintah  yang  memerintahkan  pembentukan  Peraturan  Presiden tersebut  dengan menunjuk  pasal  atau  beberapa  pasal  dari  Undang–Undang  atau  Peraturan  Pemerintah  yang  memerintahkan pembentukannya. Contoh: 

 

Page 93: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 34 ayat (3)  Undang‐Undang  Nomor  26  Tahun  2000  tentang Pengadilan  Hak  Asasi  Manusia  perlu  menetapkan Peraturan  Pemerintah  tentang  Tata  Cara Perlindungan  Terhadap  Korban  dan  Saksi  dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat; 

 

Peraturan  Presiden  Nomor  28  Tahun  2011  tentang  Penggunaan Kawasan Hutan Lindung untuk Penambangan Bawah Tanah. Menimbang:  bahwa  untuk melaksanakan  ketentuan  Pasal  5  ayat  (2) 

Peraturan  Pemerintah  Nomor  24  Tahun  2010  tentang Penggunaan  Kawasan  Hutan,  perlu  menetapkan Peraturan Presiden tentang Penggunaan Kawasan Hutan Lindung untuk Penambangan Bawah Tanah;  

      26. Konsiderans Peraturan Presiden untuk menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan  memuat  unsur  filosofis,  sosiologis,  dan  yuridis  yang menjadi pertimbangan dan alasan pembentukan Peraturan Presiden. 

 

      27. Konsiderans  Peraturan  Daerah  cukup  memuat  satu  pertimbangan yang  berisi  uraian  ringkas  mengenai  perlunya  melaksanakan ketentuan  pasal  atau  beberapa  pasal  dari  Undang–Undang  atau Peraturan Pemerintah yang memerintahkan pembentukan Peraturan Daerah  tersebut  dengan menunjuk  pasal  atau  beberapa  pasal  dari Undang–Undang  atau  Peraturan  Pemerintah  yang  memerintahkan pembentukannya. Contoh: Peraturan  Daerah  Kabupaten  Bangka  Barat  Nomor  8  Tahun  2010 tentang  Hutan  Kota  Menimbang  :  bahwa  untuk  melaksanakan ketentuan  Pasal  2  Peraturan  Pemerintah  Nomor  63  Tahun  2002 tentang  Hutan  Kota  perlu  membentuk  Peraturan  Daerah  tentang Hutan Kota; 

 

    B.4. Dasar Hukum  B.4. Dasar Hukum       25. Dasar hukum diawali dengan kata Mengingat.  28. Dasar hukum diawali dengan kata Mengingat. 

Dasar hukum memuat: Dasar  kewenangan  pembentukan  Peraturan  Perundangundangan; dan  Peraturan  Perundang‐undangan  yang  memerintahkan pembentukan Peraturan Perundang‐undangan. 

 

    26. Dasar  hukum  memuat  dasar  kewenangan  pembuatan  Peraturan Perundangundangan  dan  Peraturan  Perundang‐undangan  yang 

29. Dasar  hukum  pembentukan  Undang‐Undang  yang  berasal  dari  DPR adalah  Pasal 20 dan  Pasal  21 Undang‐Undang Dasar Negara Republik 

 

Page 94: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

memerintahkan  pembuatan  Peraturan  Perundang‐undangan tersebut. 

Indonesia Tahun 1945.  

    27. Peraturan  Perundang‐undangan  yang  digunakan  sebagai  dasar hukum  hanya  Peraturan  Perundang‐undangan  yang  tingkatannya sama atau lebih tinggi. 

30. Dasar hukum pembentukan Undang‐Undang yang berasal dari Presiden adalah  Pasal  5  ayat  (1)  dan  Pasal  20  Undang‐Undang  Dasar  Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 

 

    28. Peraturan  Perundang‐undangan  yang  akan  dicabut  dengan Peraturan Perundangundangan yang akan dibentuk atau Peraturan Perundang‐undangan yang sudah diundangkan tetapi belum resmi berlaku, tidak dicantumkan sebagai dasar hukum. 

31. Dasar hukum pembentukan Undang‐Undang yang berasal dari DPR atas usul DPD adalah Pasal 20 dan Pasal 22D ayat (1) Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 

 

    29. Jika  jumlah  Peraturan  Perundang‐undangan  yang  dijadikan  dasar hukum  lebih dari satu, urutan pencantuman perlu memperhatikan tata  urutan  Peraturan  Perundangundangan  dan  jika  tingkatannya sama  disusun  secara  kronologis  berdasarkan  saat  pengundangan atau penetapannya. 

32. Jika  Undang‐Undang  Dasar  Negara  Republik  Indonesia  Tahun  1945 memerintahkan  langsung  untuk  membentuk  Undang‐Undang,  pasal yang memerintahkan dicantumkan dalam dasar hukum.  Contoh: Mengingat: Pasal 15, Pasal 20, dan Pasal 21 Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Contoh  tersebut  terdapat  dalam  Undang‐Undang  Nomor  20  Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. 

 

    30. Dasar  hukum  yang  diambil  dari  pasal  (‐pasal)  dalam  Undang‐Undang  Dasar  Negara  Republik  Indonesia  Tahun  1945  ditulis dengan menyebutkan  pasal  atau  beberapa  pasal  yang  berkaitan Frase  Undang‐Undang  Dasar  Negara  Republik  Indonesia  Tahun 1945 ditulis sesudah penyebutan pasal terakhir dan kedua huruf u ditulis dengan huruf kapital. Contoh: Mengingat:  Pasal  5  ayat  (1)  dan  Pasal  20 Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 

33. Jika  materi  yang  diatur  dalam  Undang‐Undang  yang  akan  dibentuk merupakan penjabaran dari pasal atau beberapa pasal Undang‐Undang Dasar  Negara  Republik  Indonesia  Tahun  1945,  pasal  tersebut dicantumkan sebagai dasar hukum.   Contoh 1 (RUU yang berasal dari DPR): Mengingat: Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28C ayat  (1), Pasal 28H ayat  (1), ayat (2), ayat (4), Pasal 33 ayat (3), Pasal 34 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;  Contoh tersebut terdapat dalam Undang‐Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman. Contoh 2 (RUU yang berasal dari Presiden): 

 

Page 95: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

Mengingat: Pasal 5 ayat  (1), Pasal 20, Pasal 26 ayat  (2), dan Pasal 28E ayat (1) Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;  Contoh tersebut terdapat dalam Undang‐Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian. 

    31. Dasar hukum  yang bukan Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia  Tahun  1945  tidak  perlu  mencantumkan  pasal,  tetapi cukup mencantumkan nama judul Peraturan Perundang‐undangan. Penulisan  undang‐undang,  kedua  huruf  u  ditulis  dengan  huruf kapital.  Undang‐Undang,  Peraturan  Pemerintah,  dan  Peraturan Presiden perlu dilengkapi dengan pencantuman Lembaran Negara Republik  Indonesia  dan  Tambahan  Lembaran  Negara  Republik Indonesia yang diletakkan di antara tanda baca kurung. Contoh: Mengingat: 1. ….; 

2. Undang‐Undang  Nomor  43  Tahun  2003  tentang Mahkamah  Konstitusi  (Lembaran Negara  Republik Indonesia  Tahun  2003  Nomor  98,  Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 4316); 

34. Dasar hukum pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang‐Undang  adalah  Pasal  22  ayat  (1)  Undang‐Undang  Dasar  Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 

 

 

    32. Dasar  hukum  yang  berasal  dari  peraturan  perundang‐undangan jaman  Hindia  Belanda  atau  yang  dikeluarkan  oleh  Pemerintah Kolonial Belanda sampai dengan tanggal 27 Desember 1949, ditulis lebih dulu  terjemahannya dalam Bahasa  Indonesia dan  kemudian judul asli Bahasa Belanda dan dilengkapi dengan tahun dan nomor Staadsblad yang dicetak miring di antara tanda baca kurung. 

Contoh: Mengingat:  1.  Kitab  Undang‐Undang  Hukum  Dagang  (Wetboek  van 

Koophandel, Staatsblad 1847); 

35. Dasar  hukum  pembentukan  Undang‐Undang  tentang  Penetapan Peraturan  Pemerintah  Pengganti  Undang‐Undang  menjadi  Undang‐Undang adalah Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 22 ayat (2) Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 

 

 

    33. Cara  penulisan  sebagaimana  dimaksud  dalam  Nomor  32  berlaku juga  untuk  pencabutan  peraturan  perundang‐undangan  yang berasal  dari  jaman  Hindia  Belanda  atau  yang  dikeluarkan  oleh Pemerintah Kolonial Belanda sampai dengan tanggal 27 Desember 

36. Dasar  hukum  pembentukan  Undang‐Undang  tentang  Pencabutan Peraturan  Pemerintah  Pengganti Undang‐Undang  adalah  Pasal  5  ayat (1),  Pasal  20,  dan  Pasal  22  ayat  (3)  Undang‐Undang  Dasar  Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 

 

Page 96: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

1949.       34. Jika  dasar  hukum memuat  lebih  dari  satu  Peraturan  Perundang‐

undangan, tiap dasar hukum diawali dengan angka Arab 1, 2, 3, dan seterusnya, dan diakhiri dengan tanda baca titik koma. Contoh: Mengingat: 1. ….; 

2. ….; 3. ….; 

37. Dasar hukum pembentukan Peraturan Pemerintah adalah Pasal 5 ayat (2) Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 

 

 

      38. Dasar hukum pembentukan Peraturan Presiden adalah Pasal 4 ayat (1) Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 

 

      39. Dasar hukum pembentukan Peraturan Daerah adalah Pasal 18 ayat (6)  Undang‐Undang  Dasar  Negara  Republik  Indonesia  Tahun  1945, Undang‐Undang  tentang Pembentukan Daerah dan Undang‐Undang tentang Pemerintahan Daerah. 

 

      40. Jika  terdapat  Peraturan  Perundang–undangan  di  bawah  Undang‐Undang  Dasar  Negara  Republik  Indonesia  Tahun  1945  yang memerintahkan  secara  langsung  pembentukan  Peraturan Perundang–undangan,  Peraturan  Perundang–undangan  tersebut dimuat di dalam dasar hukum. Contoh: Mengingat:  1.  Pasal  5  ayat  (2)  Undang‐Undang  Dasar  Negara 

Republik Indonesia Tahun 1945; 2.  Undang‐Undang  Nomor  14  Tahun  2008  tentang 

Keterbukaan  Informasi  Publik  (Lembaran  Negara Republik  Indonesia Tahun 2008 Nomor 61, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4846); 

Contoh  ini  terdapat  dalam  Peraturan  Pemerintah  Nomor  61  Tahun 2010  tentang  Pelaksanaan  Undang‐Undang  Nomor  14  Tahun  2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. 

 

      41. Peraturan  Perundang–undangan  yang  digunakan  sebagai  dasar hukum  hanya  Peraturan  Perundang–undangan  yang  tingkatannya sama atau lebih tinggi. 

 

Page 97: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

      42. Peraturan Perundang‐undangan yang akan dicabut dengan Peraturan Perundang‐undangan  yang  akan  dibentuk,  Peraturan  Perundang–undangan yang sudah diundangkan tetapi belum resmi berlaku, tidak dicantumkan dalam dasar hukum. 

 

      43. Jika  jumlah  Peraturan  Perundang–undangan  yang  dijadikan  dasar hukum  lebih  dari  satu,  urutan  pencantuman  perlu  memperhatikan tata  urutan  Peraturan  Perundang–undangan  dan  jika  tingkatannya sama disusun secara kronologis berdasarkan saat pengundanganatau penetapannya. 

 

      44. Dasar  hukum  yang  diambil  dari  pasal  atau  beberapa  pasal  dalam Undang–Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditulis dengan  menyebutkan  pasal  atau  beberapa  pasal.  Frasa  Undang–Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditulis sesudah penyebutan  pasal  terakhir  dan  kedua  huruf  u  ditulis  dengan  huruf kapital. Contoh: Mengingat:  Pasal  5  ayat  (1)  dan  Pasal  20  Undang‐Undang  Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 

 

      45. Dasar  hukum  yang  bukan  Undang–Undang  Dasar  Negara  Republik Indonesia Tahun 1945 tidak perlu mencantumkan pasal, tetapi cukup mencantumkan  jenis  dan  nama  Peraturan  Perundang–undangan tanpa mencantumkan frasa Republik Indonesia. 

 

      46. Penulisan  jenis  Peraturan  Perundang–undangan  dan  rancangan Peraturan Perundang–undangan, diawali dengan huruf kapital. Contoh : Undang‐Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Rancangan  Undang‐Undang,  Rancangan  Peraturan  Pemerintah, Rancangan Peraturan Presiden, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. 

 

      47. Penulisan Undang–Undang  dan  Peraturan  Pemerintah,  dalam  dasar hukum  dilengkapi  dengan  pencantuman  Lembaran Negara Republik Indonesia dan Tambahan Lembaran Negara Republik  Indonesia yang 

 

Page 98: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

diletakkan di antara tanda baca kurung. Contoh : Mengingat: 1. …; 

2.  Undang‐Undang  Nomor  6  Tahun  2011  tentang Keimigrasian  (Lembaran  Negara  Republik  Indonesia Tahun  2011  Nomor  52,  Tambahan  Lembaran  Negara Republik Indonesia Nomor 5216); 

      48. Penulisan  Peraturan  Presiden  tentang  pengesahan  perjanjian internasional  dan  Peraturan  Presiden  tentang  pernyataan  keadaan bahaya  dalam  dasar  hukum  dilengkapi  dengan  pencantuman Lembaran  Negara  Republik  Indonesia  dan  Tambahan  Lembaran Negara  Republik  Indonesia  yang  diletakkan  di  antara  tanda  baca kurung. 

 

      49. Penulisan  Peraturan Daerah  dalam  dasar  hukum  dilengkapi  dengan pencantuman  Lembaran  Daerah  Provinsi,  Kabupaten/Kota  dan Tambahan  Lembaran  Daerah  Provinsi,  Kabupaten/Kota  yang diletakkan di antara tanda baca kurung. Contoh: Qanun Kabupaten Aceh  Jaya Nomor 3 Tahun 2010  tentang Susunan dan  Organisasi  dan  Tata  Kerja  Perangkat  Daerah  Kabupaten  Aceh Jaya  (Lembaran Daerah Kabupaten Aceh  Jaya Tahun 2010 Nomor 3, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Aceh Jaya Nomor 2) 

 

      50. Dasar  hukum  yang  berasal  dari  Peraturan  Perundang–undangan zaman  Hindia  Belanda  atau  yang  dikeluarkan  oleh  Pemerintah Kolonial Belanda  sampai  dengan  tanggal  27 Desember  1949,  ditulis lebih  dulu  terjemahannya  dalam  bahasa  Indonesia  dan  kemudian judul  asli  bahasa Belanda  dan  dilengkapi  dengan  tahun  dan  nomor Staatsblad yang dicetak miring di antara tanda baca kurung. Contoh : Mengingat: 1.    ...; 

2.  Kitab Undang–Undang Hukum Dagang  (Wetboek  van Koophandel, Staatsblad 1847: 23 ); 

 

Page 99: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

      51. Cara  penulisan  sebagaimana  dimaksud  dalam  nomor  berlaku  juga untuk pencabutan peraturan perundang–undangan yang berasal dari zaman  Hindia  Belanda  atau  yang  dikeluarkan  oleh  Pemerintah Kolonial Belanda sampai dengan tanggal 27 Desember 1949. 

 

      52. Jika  dasar  hukum  memuat  lebih  dari  satu  Peraturan  Perundang–undangan, tiap dasar hukum diawali dengan angka Arab 1, 2, 3, dan seterusnya, dan diakhiri dengan tanda baca titik koma. Contoh : Mengingat: 1. …; 

2. …; 3. …; 

 

    B.5. Diktum  B.5. Diktum       35. Diktum terdiri atas: 

a. kata Memutuskan; b. kata Menetapkan; c. Nama Peraturan Perundang‐undangan. 

53. Diktum terdiri atas: a. kata Memutuskan; b. kata Menetapkan; dan c. jenis dan nama Peraturan Perundang‐undangan. 

 

    36. Kata Memutuskan  ditulis  seluruhnya  dengan  huruf  kapital  tanpa spasi di antara suku kata dan diakhiri dengan  tanda baca  titik dua serta diletakkan di tengah marjin. 

54. Kata Memutuskan ditulis  seluruhnya dengan huruf kapital  tanpa  spasi di  antara  suku  kata  dan  diakhiri  dengan  tanda  baca  titik  dua  serta diletakkan di tengah marjin. 

 

    37. Pada  Undang‐Undang,  sebelum  kata  Memutuskan  dicantumkan frase Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK  INDONESIA  dan  PRESIDEN  REPUBLIK  INDONESIA  yang diletakkan di tengah marjin. Contoh Undang‐Undang: 

Dengan Persetujuan Bersama: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA 

dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA 

MEMUTUSKAN: 

55. Pada Undang‐Undang,  sebelum  kata Memutuskan  dicantumkan  Frasa Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA  dan  PRESIDEN  REPUBLIK  INDONESIA  yang  diletakkan  di tengah marjin. Contoh Undang‐Undang: 

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA 

dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA 

MEMUTUSKAN: 

 

    38. Pada  Peraturan Daerah,  sebelum  kata Memutuskan  dicantumkan frase Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT 

56. Pada Peraturan Daerah, sebelum kata Memutuskan dicantumkan Frasa Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH … 

 

Page 100: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

DAERAH  ... (nama daerah) dan GUBERNUR/ BUPATI/ WALIKOTA  ... (nama  daerah),  yang  ditulis  seluruhnya  dengan  huruf  kapital  dan diletakkan di tengah marjin. Contoh Peraturan Daerah: 

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH ... (nama daerah) 

dan GUBERNUR ... (nama daerah) 

MEMUTUSKAN: 

(nama  daerah)  dan GUBERNUR/BUPATI/WALIKOTA …  (nama  daerah), yang ditulis  seluruhnya dengan huruf kapital dan diletakkan di  tengah marjin. Contoh: 

Peraturan Daerah Dengan Persetujuan Bersama 

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH JAWA BARAT dan 

GUBERNUR JAWA BARAT MEMUTUSKAN: 

    39. Kata  Menetapkan  dicantumkan  sesudah  kata  Memutuskan  yang disejajarkan  ke  bawah  dengan  kata Menimbang  dan Mengingat. Huruf  awal  kata  Menetapkan  ditulis  dengan  huruf  kapital  dan diakhiri dengan tanda baca titik dua. 

57. Kata  Menetapkan  dicantumkan  sesudah  kata  Memutuskan  yang disejajarkan ke bawah dengan kata Menimbang dan Mengingat. Huruf awal kata Menetapkan ditulis dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda baca titik dua. 

 

    40. Nama yang tercantum dalam judul Peraturan Perundang‐undangan dicantumkan  lagi  setelah  kata Menetapkan dan didahului dengan percantuman  jenis  Peraturan  Perundang‐undangan  tanpa  frase Republik  Indonesia,  serta  ditulis  seluruhnya  dengan  huruf  kapital dan diakhiri dengan tanda baca titik. Contoh:   

MEMUTUSKAN: Menetapkan:  UNDANG‐UNDANG  TENTANG  PERIMBANGAN 

KEUANGAN  ANTARA  PEMERINTAH  PUSAT  DAN DAERAH. 

58. Jenis  dan  nama  yang  tercantum  dalam  judul  Peraturan  Perundang‐undangan  dicantumkan  lagi  setelah  kata  Menetapkan  tanpa  frasa Republik  Indonesia,  serta ditulis  seluruhnya dengan huruf  capital dan diakhiri dengan tanda baca titik.  Contoh: 

MEMUTUSKAN: Menetapkan:  UNDANG–UNDANG  TENTANG  PERIMBANGAN 

KEUANGAN  ANTARA  PEMERINTAH  PUSAT  DAN DAERAH. 

 

    41. Pembukaan  Peraturan  Perundang‐undangan  tingkat  pusat  yang tingkatannya  lebih  rendah  daripada  Undang‐Undang,  seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, dan peraturan  pejabat  yang  setingkat,  secara  mutatis  mutandis berpedoman pada pembukaan Undang‐Undang. 

 

59. Jenis  dan  nama  yang  tercantum  dalam  judul  Peraturan  Daerah dicantumkan  lagi  setelah  kata  Menetapkan  tanpa  frasa  Provinsi, Kabupaten/Kota,  serta  ditulis  seluruhnya  dengan  huruf  kapital  dan diakhiri dengan tanda baca titik.  Contoh: 

MEMUTUSKAN: Menetapkan:  PERATURAN  DAERAH  TENTANG  RETRIBUSI  IZIN 

 

Page 101: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

MENDIRIKAN BANGUNAN.       60. Pembukaan  Peraturan  Perundang–undangan  tingkat  pusat  yang 

tingkatannya  lebih  rendah  daripada  Undang‐Undang,  antara  lain Peraturan  Pemerintah,  Peraturan  Presiden,  Peraturan  Dewan Perwakilan  Rakyat,  Peraturan  Majelis  Permusyawaratan  Rakyat, Peraturan  Dewan  Perwakilan  Daerah,  Peraturan  Bank  Indonesia, Peraturan  Menteri,  dan  peraturan  pejabat  yang  setingkat,  secara mutatis mutandis berpedoman pada pembukaan Undang‐Undang. 

 

    C. BATANG TUBUH  C. BATANG TUBUH       42. Batang  tubuh  Peraturan  Perundang‐undangan  memuat  semua 

substansi Peraturan Perundang‐undangan yang dirumuskan dalam pasal (‐pasal). 

61. Batang  tubuh  Peraturan  Perundang‐undangan memuat  semua materi muatan Peraturan Perundang‐undangan yang dirumuskan dalam pasal atau beberapa pasal. 

 

    43. Pada  umumnya  substansi  dalam  batang  tubuh  dikelompokkan  ke dalam: (1) Ketentuan Umum; (2) Materi Pokok yang Diatur; (3) Ketentuan Pidana (Jika diperlukan); (4) Ketentuan Peralihan (Jika diperlukan); (5) Ketentuan Penutup. 

62. Pada umumnya materi muatan dalam batang tubuh dikelompokkan ke dalam: a. ketentuan umum; b. materi pokok yang diatur; c. ketentuan pidana (jika diperlukan); d. ketentuan peralihan (jika diperlukan); dan e. ketentuan penutup. 

 

    44. Dalam  pengelompokan  substansi  sedapat  mungkin  dihindari adanya  bab  ketentuan  lain  atau  sejenisnya.  Materi  yang bersangkutan,  diupayakan  untuk masuk  ke  dalam  bab  yang  ada atau  dapat  pula  dimuat  dalam  bab  tersendiri  dengan  judul  yang sesuai dengan materi yang diatur. 

63. Pengelompokan  materi  muatan  dirumuskan  secara  lengkap  sesuai dengan kesamaan materi yang bersangkutan dan  jika  terdapat materi muatan yang diperlukan tetapi tidak dapat dikelompokkan dalam ruang lingkup pengaturan yang sudah ada, materi tersebut dimuat dalam bab ketentuan lain‐lain. 

 

    45. Substansi yang berupa sanksi administratif atau sanksi keperdataan atas pelanggaran norma tersebut dirumuskan menjadi satu bagian (pasal) dengan norma  yang memberikan  sanksi administratif atau sanksi keperdataan. 

64. Substansi  yang  berupa  sanksi  administratif  atau  sanksi  keperdataan atas  pelanggaran  norma  tersebut  dirumuskan  menjadi  satu  bagian (pasal) dengan norma yang memberikan sanksi administratif atau sanksi keperdataan. 

 

    46. Jika norma yang memberikan sanksi administratif atau keperdataan terdapat  lebih  dari  satu  pasal,  sanksi  administratif  atau  sanksi keperdataan  dirumuskan  dalam  pasal  terakhir  dari  bagian  (pasal) 

65. Jika  norma  yang  memberikan  sanksi  administratif  atau  keperdataan terdapat  lebih  dari  satu  pasal,  sanksi  administratif  atau  sanksi keperdataan  dirumuskan  dalam  pasal  terakhir  dari  bagian  (pasal) 

 

Page 102: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

tersebut. Dengan demikian hindari rumusan ketentuan sanksi yang sekaligus  memuat  sanksi  pidana,  sanksi  perdata,  dan  sanksi administrative dalam satu bab. 

tersebut. Dengan  demikian  tidak merumuskan  ketentuan  sanksi  yang sekaligus  memuat  sanksi  pidana,  sanksi  perdata,  dan  sanksi administratif dalam satu bab. 

    47. Sanksi  administratif  dapat  berupa,  antara  lain,  pencabutan  izin, pembubaran,pengawasan,pemberhentian  sementara,denda administratif, atau daya paksa polisional. Saksi keperdataan dapat berupa, antara lain, ganti kerugian. 

66. Sanksi  administratif  dapat  berupa,  antara  lain,  pencabutan  izin, pembubaran,  pengawasan,  pemberhentian  sementara,  denda administratif,  atau  daya  paksa  polisional.  Sanksi  keperdataan  dapat berupa, antara lain, ganti kerugian. 

 

    48. Pengelompokan  materi  Peraturan  Perundang‐undangan  dapat disusun secara sistematis dalam buku, bab, bagian, dan paragraf. 

67. Pengelompokkan materi muatan Peraturan Perundang‐undangan dapat disusun secara sistematis dalam buku, bab, bagian, dan paragraf. 

 

    49. Jika Peraturan Perundang‐undangan mempunyai materi yang ruang lingkupnya sangat luas dan mempunyai banyak pasal, pasal (‐pasal) tersebut  dapat  dikelompokkan  menjadi:  buku  (jika  merupakan kodifikasi), bab, bagian, dan paragraf. 

68. Jika Peraturan Perundangan‐undangan mempunyai materi muatan yang ruang  lingkupnya sangat  luas dan mempunyai banyak pasal, pasal atau beberapa  pasal  tersebut  dapat  dikelompokkan  menjadi:  buku  (jika merupakan kodifikasi), bab, bagian, dan paragraf. 

 

    50. Pengelompokan  materi  dalam  buku,  bab,  bagian,  dan  paragraf dilakukan atas dasar kesamaan materi. 

69. Pengelompokkan materi muatan dalam buku, bab, bagian, dan paragraf dilakukan atas dasar kesamaan materi. 

 

    51. Urutan pengelompokan adalah sebagai berikut: a. bab dengan pasal (‐pasal) tanpa bagian dan paragraf, b. bab dengan bagian dan pasal (‐pasal) tanpa paragraf‐, atau c. bab dengan bagian dan paragraf yang berisi pasal (‐pasal). 

70. Urutan pengelompokan adalah sebagai berikut: a. bab dengan pasal atau beberapa pasal tanpa bagian dan paragraf; b. bab dengan bagian dan pasal  atau beberapa pasal  tanpa paragraf; 

atau c. bab  dengan  bagian  dan  paragraf  yang  berisi  pasal  atau  beberapa 

pasal. 

 

    52. Buku  diberi  nomor  urut  dengan  bilangan  tingkat  dan  judul  yang seluruhnya ditulis dengan huruf kapital. Contoh: 

BUKU KETIGA PERIKATAN 

71. Buku  diberi  nomor  urut  dengan  bilangan  tingkat  dan  judul  yang seluruhnya ditulis dengan huruf kapital. Contoh: 

BUKU KETIGA PERIKATAN 

 

    53. Bab diberi nomor urut dengan angka Romawi dan  judul bab yang seluruhnya ditulis dengan huruf kapital. Contoh: 

BAB I KETENTUAN UMUM 

72. Bab  diberi  nomor  urut  dengan  angka  Romawi  dan  judul  bab  yang seluruhnya ditulis dengan huruf kapital. Contoh: 

BAB I KETENTUAN UMUM 

 

Page 103: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

    54. Bagian  diberi  nomor  urut  dengan  bilangan  tingkat  yang  ditulis dengan huruf dan diberi judul. 

73. Bagian diberi nomor urut dengan bilangan  tingkat yang ditulis dengan huruf dan diberi judul. 

 

    55. Huruf awal kata bagian, urutan bilangan, dan setiap kata pada judul bagian ditulis dengan huruf kapital, kecuali huruf awal kata partikel yang tidak terletak pada awal frase. Contoh: 

Bagian Kelima Persyaratan Teknis Kendaraan Bermotor, Kereta Gandengan, dan 

Kereta Tempelan 

74. Huruf  awal  kata  bagian,  urutan  bilangan,  dan  setiap  kata  pada  judul bagian  ditulis  dengan  huruf  kapital,  kecuali  huruf  awal  partikel  yang tidak terletak pada awal frasa. Contoh: 

Bagian Kesatu Susunan dan Kedudukan 

 

 

    56. Paragraf diberi nomor urut dengan angka Arab dan diberi judul.  75. Paragraf diberi nomor urut dengan angka Arab dan diberi judul.       57. Huruf awal dari kata paragraf dan setiap kata pada  judul paragraf 

ditulis dengan huruf kapital, kecuali huruf awal kata partikel yang tidak terletak pada awal frase. Contoh: Paragraf 1 Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim 

76. Huruf  awal  dari  kata  paragraf  dan  setiap  kata  pada  judul  paragraph ditulis  dengan  huruf  kapital,  kecuali  huruf  awal  partikel  yang  tidak terletak pada awal frasa. Contoh:   Paragraf 1 Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim 

 

    58. Pasal  merupakan  satuan  aturan  dalam  Peraturan  Perundang‐undangan  yang memuat  satu norma, dan dirumuskan dalam  satu kalimat yang disusun secara singkat, jelas, dan lugas. 

77. Pasal merupakan satuan aturan dalam Peraturan Perundang‐undangan yang memuat  satu  norma  dan  dirumuskan  dalam  satu  kalimat  yang disusun secara singkat, jelas, dan lugas. 

 

    59. Materi  Peraturan  Perundang‐undangan  lebih  baik  dirumuskan dalam  banyak  pasal  yang  singkat  dan  jelas  daripada  ke  dalam beberapa  pasal  yang masing‐masing  pasal memuat  banyak  ayat, kecuali  jika  materi  yang  menjadi  isi  pasal  itu  merupakan  satu rangkaian yang tidak dapat dipisahkan. 

78. Materi muatan Peraturan Perundang‐undangan  lebih baik dirumuskan dalam banyak pasal yang singkat dan jelas daripada ke dalam beberapa pasal  yang  masing‐masing  pasal  memuat  banyak  ayat,  kecuali  jika materi muatan  yang menjadi  isi  pasal  itu merupakan  satu  rangkaian yang tidak dapat dipisahkan. 

 

    60. Pasal diberi nomor urut dengan angka Arab.  79. Pasal diberi nomor urut dengan angka Arab dan huruf awal kata pasal ditulis dengan huruf kapital. Contoh: 

Pasal 3 

 

    61. Huruf awal kata pasal yang digunakan sebagai acuan ditulis dengan huruf kapital. Contoh: 

80. Huruf  awal  kata  pasal  yang  digunakan  sebagai  acuan  ditulis  dengan huruf kapital. Contoh: 

 

Page 104: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

Pasal 34 Ketentuan  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  20  dan  Pasal  26 tidak  meniadakan  kewajiban  membayar  ganti  kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33. 

Pasal 34 Ketentuan  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  20 dan  Pasal  26  tidak meniadakan  kewajiban  membayar  ganti  kerugian  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33. 

    62. Pasal dapat dirinci ke dalam beberapa ayat.  81. Pasal dapat dirinci ke dalam beberapa ayat.       63. Ayat  diberi  nomor  urut  dengan  angka Arab  di  antara  tanda  baca 

kurung tanpa diakhiri tanda baca titik. 82. Ayat diberi nomor urut dengan angka Arab diantara tanda baca kurung 

tanpa diakhiri tanda baca titik.  

    64. Satu ayat hendaknya hanya memuat satu norma yang dirumuskan dalam satu kalimat utuh. 

83. Satu  ayat  hendaknya  hanya  memuat  satu  norma  yang  dirumuskan dalam satu kalimat utuh. 

 

    65. Huruf awal kata ayat yang digunakan sebagai acuan ditulis dengan huruf kecil. Contoh: 

Pasal 8 (1) Satu  permintaan  pendaftaran  merek  hanya  dapat  diajukan 

untuk 1 (satu) kelas barang. (2) Permintaan  pendaftaran merek  sebagaimana  dimaksud  pada 

ayat  (1) menyebutkan  jenis  barang  atau  jasa  yang  termasuk dalam kelas yang bersangkutan. 

(3) Ketentuan  lebih  lanjut  mengenai  kelas  barang  atau  jasa sebagaimana dimaksud pada ayat  (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 

84. Huruf  awal  kata  ayat  yang  digunakan  sebagai  acuan  ditulis  dengan huruf kecil. Contoh: 

Pasal 8 (1) Satu permintaan pendaftaran merek hanya dapat diajukan untuk 1 

(satu) kelas barang. (2) Permintaan pendaftaran merek  sebagaimana dimaksud pada  ayat 

(1) menyebutkan jenis barang atau jasa yang termasuk dalam kelas yang bersangkutan. 

 

 

    66. Jika  satu pasal atau ayat memuat  rincian unsur, maka di  samping dirumuskan  dalam  bentuk  kalimat  dengar  rincian,  dapat  pula dipertimbangkan penggunaan rumusan dalam bentuk tabulasi. Contoh: Pasal 17 Yang dapat diberi hak pilih ialah warga negara Indonesia yang telah berusia 17 (tujuh belas) tahun atau telah kawin dan telah terdaftar pada daftar pemilih. Isi  pasal  tersebut  dapat  lebih  mudah  dipahami  jika  dirumuskan sebagai berikut: 

85. Jika  satu  pasal  atau  ayat  memuat  rincian  unsur,  selain  dirumuskan dalam  bentuk  kalimat  dengan  rincian,  juga  dapat  dirumuskan  dalam bentuk tabulasi. Contoh: 

Pasal 28 Bahasa  Indonesia wajib digunakan dalam pidato resmi Presiden, Wakil Presiden, dan pejabat negara yang lain yang disampaikan di dalam atau di luar negeri. Isi pasal tersebut dapat lebih mudah dipahami jika dirumuskan sebagai berikut : 

 

Page 105: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

Contoh rumusan tabulasi: Pasal 17 Yang dapat diberi hak pilih ialah warga negara Indonesia yang: a. telah berusia 17 (tujuh belas) tahun atau telah kawin; dan b. telah terdaftar pada daftar pemilih. 

Contoh rumusan tabulasi: Pasal 28 

Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam pidato resmi: a. Presiden; b. Wakil Presiden; dan c.  pejabat  negara  yang  lain,  yang  disampaikan  di  dalam  atau  di  luar negeri. 

      86. Penulisan bilangan dalam pasal atau ayat selain menggunakan angka Arab diikuti dengan kata atau frasa yang ditulis diantara tanda baca kurung. 

 

    67. Dalam membuat  rumusan pasal atau ayat dengan bentuk  tabulasi hendaknya diperhatikan hal‐hal sebagai berikut : a. setiap  rincian  harus  dapat  dibaca  sebagai  satu  rangkaian 

kesatuan dengan frase pembuka; b. setiap  rincian  diawali  dengan  huruf  (abjad)  kecil  dan  diberi 

tanda baca titik; c. setiap frase dalam rincian diawali dengan huruf kecil; d. setiap rincian diakhiri dengan tanda baca titik koma; e. jika  suatu  rincian  dibagi  lagi  ke  dalam  unsur  yang  lebih  kecil, 

maka unsure tersebut dituliskan masuk ke dalam; f. di belakang rincian yang masih mempunyai rincian  lebih  lanjut 

diberi tanda baca titik dua; g. pembagian  rincian  (dengan urutan makin kecil) ditulis dengan 

abjad  kecil,  yang  diikuti  dengan  tanda  baca  titik;  angka  Arab diikuti dengan  tanda baca  titik; abjad kecil dengan  tanda baca kurung tutup; angka Arab dengan tanda baca kurung tutup; 

h. pembagian  rincian  hendaknya  tidak  melebihi  empat  tingkat. Jika  rincian  melebihi  empat  tingkat,  perlu  dipertimbangkan pemecahan pasal yang bersangkutan ke dalam pasal atau ayat lain. 

87. Jika  merumuskan  pasal  atau  ayat  dengan  bentuk  tabulasi, memperhatikan ketentuan sebagai berikut : a. setiap  rincian harus dapat dibaca sebagai satu  rangkaian kesatuan 

dengan frasa pembuka; b. setiap rincian menggunakan huruf abjad kecil dan diberi tanda baca 

titik; c. setiap frasa dalam rincian diawali dengan huruf kecil; d. setiap rincian diakhiri dengan tanda baca titik koma; e. jika suatu rincian dibagi  lagi ke dalam unsur yang  lebih kecil, unsur 

tersebut dituliskan masuk ke dalam; f. di  belakang  rincian  yang  masih  mempunyai  rincian  lebih  lanjut 

diberi tanda baca titik dua; g. pembagian rincian (dengan urutan makin kecil) ditulis dengan huruf 

abjad kecil yang diikuti dengan tanda baca titik; angka Arab diikuti dengan  tanda  baca  titik;  abjad  kecil  dengan  tanda  baca  kurung tutup; angka Arab dengan tanda baca kurung tutup; dan 

h. pembagian  rincian  tidak  melebihi  4  (empat)  tingkat.  Jika  rincian melebihi  4  (empat)  tingkat,  pasal  yang  bersangkutan  dibagi  ke dalam pasal atau ayat lain. 

 

    68. Jika unsur atau rincian dalam tabulasi dimaksudkan sebagai rincian kumulatif,  ditambahkan  kata  dan  yang  diletakkan  di  belakang 

88. Jika  unsur  atau  rincian  dalam  tabulasi  dimaksudkan  sebagai  rincian kumulatif,  ditambahkan  kata  dan  yang  diletakkan  di  belakang  rincian 

 

Page 106: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

rincian kedua dari rincian terakhir.  kedua dari rincian terakhir.     69. Jika  rincian dalam  tabulasi dimaksudkan  sebagai  rincian  alternatif 

ditambahkan kata atau yang diletakkan di belakang  rincian kedua dari rincian terakhir. 

89. Jika  rincian  dalam  tabulasi  dimaksudkan  sebagai  rincian  alternative ditambahkan kata atau yang di  letakkan di belakang rincian kedua dari rincian terakhir. 

 

    70. Jika  rincian dalam  tabulasi dimaksudkan  sebagai  rincian kumulatif dan  alternatif,  ditambahkan  kata  dan/atau  yang  diletakkan  di belakang rincian kedua dari rincian terakhir. 

90. Jika  rincian dalam  tabulasi dimaksudkan sebagai  rincian kumulatif dan alternatif,  ditambahkan  kata  dan/atau  yang  diletakkan  di  belakang rincian kedua dari rincian terakhir. 

 

    71. Kata  dan,  atau,  dan/atau  tidak  perlu  diulangi  pada  akhir  setiap unsur atau rincian. 

91. Kata dan,  atau, dan/atau  tidak perlu diulangi pada  akhir  setiap unsur atau rincian. 

 

Contoh: a. Tiap‐tiap  rincian  ditandai  dengan  huruf  a,  huruf  b,  dan 

seterusnya. Contoh: 

Pasal 9 (1) …..: (2) …..: 

a. ….; b. ….; (dan, atau, dan/atau) c. … . 

 

92. Tiap rincian ditandai dengan huruf a, huruf b, dan seterusnya. Contoh: 

Pasal 9 (1) ... . (2) ...: 

a. …; b. …; (dan, atau, dan/atau) c. … . 

   

b. Jika suatu rincian memerlukan  lebih  lanjut, rincian  itu ditandai dengan angka Arab 1, 2, dan seterusnya. Contoh: 

Pasal 12 (1) ….. (2) …..; 

a. ….; b. ….; (dan, atau, dan/atau) c. ….: 

1. ….; 2. ….; (dan, atau, dan/atau) 3. …. 

93. Jika  suatu  rincian memerlukan  rincian  lebih  lanjut,  rincian  itu ditandai dengan angka Arab 1, 2, dan seterusnya. Contoh: 

Pasal 9 (1) … . (2) …: 

a. …; b. …; (dan, atau, dan/atau) c. …: 

1. ...; 2. …; (dan, atau, dan/atau) 3. … . 

Page 107: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

   

c. Jika  suatu  rincian  lebih  lanjut  memerlukan  rincian  yang mendetail,  rincian  itu  ditandai  dengan  huruf  a),  b),  dan seterusnya. Contoh: 

Pasal 20 (1) …. (2) …. (3) ….: 

a. …. b. ….; (dan, atau, dan/atau) c. ….: 

1. …; 2. …; (dan, atau, dan/atau) 3. …: 

a) …; b) …; (dan, atau, dan/atau) c) …  

 

94. Jika  suatu  rincian  lebih  lanjut  memerlukan  rincian  yang  mendetail, rincian itu ditandai dengan huruf a), b), dan seterusnya. Contoh: 

Pasal 9 (1) … . (2) … . a. …; b. …; (dan, atau, dan/atau) c. ...:  

1. …; 2. …; (dan, atau, dan/atau) 3. …: 

a) …; b) …; (dan, atau, dan/atau) c) … .    

d. Jika  suatu  rincian  lebih  lanjut  memerlukan  rincian  yang mendetail,  rincian  itu  ditandai  dengan  angka  1),  2),  dan seterusnya. Contoh: 

Pasal 22 

95. Jika  suatu  rincian  lebih  lanjut  memerlukan  rincian  yang  mendetail, rincian itu ditandai dengan angka 1), 2), dan seterusnya. Contoh: 

Pasal 9 … . 

Page 108: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

(1) … (2) … 

a. ... ; b. …; (dan, atau, dan/atau) c. …: 

1. … 2. …(dan, atau, dan/atau) 3. …: 

a) ….; b) ….; (dan, atau, dan/atau) c) ….: 

1. …; 2. …; (dan, atau, dan/atau) 

(1) … . (2) …: 

a. …; b. …; (dan, atau, dan/atau) c. …: 

1. …; 2. …; (dan, atau, dan/atau) 3. …: 

a) …; b) …; (dan, atau, dan/atau) c) … . 1) …; 2) …; (dan, atau, dan/atau) 3) … . 

    C.1. Ketentuan Umum  C.1. Ketentuan Umum       72. Ketentuan  umum  diletakkan  dalam  bab  kesatu.  Jika  dalam 

Peraturan  Perundangundangan  tidak  dilakukan  pengelompokan bab, ketentuan umum diletakkan dalam pasal (‐pasal) awal. 

 

96. Ketentuan  umum  diletakkan  dalam  bab  satu.  Jika  dalam  Peraturan Perundang‐undangan  tidak  dilakukan  pengelompokan  bab,  ketentuan umum diletakkan dalam pasal atau beberapa pasal awal. Contoh: 

BAB I KETENTUAN UMUM 

 

    73. Ketentuan umum dapat memuat lebih dari satu pasal.  97. Ketentuan umum dapat memuat lebih dari satu pasal.       74. Ketentuan umum berisi: 

a. batasan pengertian atau definisi; b. singkatan atau akronim yang digunakan dalam peraturan; c. hal‐hal lain yang bersifat umum yang berlaku bagi pasal (‐pasal) 

berikutnya  antara  lain  ketentuan  yang  mencerminkan  asas, maksud, dan tujuan. 

98. Ketentuan umum berisi: a. batasan pengertian atau definisi; b. singkatan atau akronim yang dituangkan dalam batasan pengertian 

atau definisi; dan/atau c. hal‐hal  lain  yang  bersifat  umum  yang  berlaku  bagi  pasal  atau 

beberapa  pasal  berikutnya  antara  lain  ketentuan  yang mencerminkan  asas,  maksud,  dan  tujuan  tanpa  dirumuskan tersendiri dalam pasal atau bab. 

Contoh batasan pengertian: 

 

Page 109: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

1. Menteri  adalah  menteri  yang  menyelenggarakan  urusan pemerintahan di bidang keuangan. 

2. Pemerintah Daerah adalah Bupati dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah Kabupaten Mimika. 

Contoh definisi: 1. Spasial adalah aspek keruangan suatu objek atau kejadian yang 

mencakup lokasi, letak, dan posisinya. 2. Pajak Daerah  yang  selanjutnya disebut pajak, adalah  kontribusi 

wajib  kepada  Daerah  yang  terutang  oleh  orang  pribadi  atau badan  yang  bersifat  memaksa  berdasarkan  Undang‐Undang, dengan  tidak  mendapatkan  imbalan  secara  langsung  dan digunakan  untuk  keperluan  Daerah  bagi  sebesar‐besarnya kemakmuran rakyat. 

Contoh singkatan: 1. Badan  Pemeriksa  Keuangan  yang  selanjutnya  disingkat  BPK 

adalah  lembaga  negara  yang  bertugas memeriksa  pengelolaan dan  pertanggungjawaban  keuangan  negara  sebagaimana dimaksud  dalam  Undang‐Undang  Dasar  Negara  Republik Indonesia Tahun 1945. 

2. Sistem  Pengendalian  Intern  Pemerintah,  yang  selanjutnya disingkat  SPIP  adalah  sistem  pengendalian  intern  yang diselenggarakan  secara  menyeluruh  terhadap  proses perancangan  dan  pelaksanaan  kebijakan  serta  perencanaan, penganggaran, dan pelaksanaan di  lingkungan Pemerintah Kota Dumai. 

Contoh akronim: 1. Asuransi Kesehatan yang selanjutnya disebut Askes adalah… 2. Orang dengan HIV/AIDS  yang  selanjutnya disebut ODHA adalah 

orang  yang  sudah  terinfeksi  HIV  baik  pada  tahap  belum  ada gejala maupun yang sudah ada gejala. 

    75. Frase pembuka dalam ketentuan umum undang‐undang berbunyi – Dalam Undang‐Undang ini yang dimaksudkan dengan: 

99. Frasa pembuka dalam ketentuan umum undang‐undang berbunyi:  

 

Page 110: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

  Dalam Undang‐Undang ini yang dimaksud dengan:  

    76. Frase  pembuka  dalam  ketentuan  umum  Peraturan  Perundang‐undangan  di  bawah  Undang‐Undang  disesuaikan  dengan  jenis peraturannya. 

100. Frasa  pembuka  dalam  ketentuan  umum  peraturan  perundang‐undangan  di  bawah  Undang‐Undang  disesuaikan  dengan  jenis peraturannya. 

 

    77. Jika  ketentuan  umum  memuat  batasan  pengertian  atau  definisi singkatan  atau  akrorim  lebih  dari  satu,  maka  masing‐masing uraiannya  diberi  nomor  urut  dengan  angka  Arab  dan  diawali dengan huruf kapital serta diakhiri dengan tanda baca titik. 

101. Jika  ketentuan  umum  memuat  batasan  pengertian  atau definisi,singkatan  atau  akronim  lebih  dari  satu, maka masing‐masing uraiannya diberi nomor urut dengan angka Arab dan diawali dengan huruf kapital serta diakhiri dengan tanda baca titik. 

 

    78. Kata  atau  istilah  yang  dimuat  dalam  ketentuan  umum  hanyalah kata  atau  istilah  yang digunakan berulang‐ulang di dalam pasal  (‐pasal) selanjutnya. 

102. Kata atau  istilah yang dimuat dalam ketentuan umum hanyalah kata atau  istilah  yang  digunakan  berulang‐ulang  di  dalam  pasal  atau beberapa pasal selanjutnya 

 

      103. Apabila rumusan definisi dari suatu Peraturan Perundang‐undangan dirumuskan  kembali  dalam  Peraturan  Perundang‐undangan  yang akan  dibentuk,  rumusan  definisi  tersebut  harus  sama  dengan rumusan definisi dalam Peraturan Perundang‐undangan yang  telah berlaku tersebut. 

 

      104. Rumusan  batasan  pengertian  dari  suatu  Peraturan  Perundang‐undangan  dapat  berbeda  dengan  rumusan  Peraturan Perundangundangan  yang  lain  karena  disesuaikan  dengan kebutuhan terkait dengan materi muatan yang akan diatur. Contoh 1: a. Hari adalah hari kalender  (rumusan  ini  terdapat dalam Undang‐

Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas). b. Hari  adalah  hari  kerja  (rumusan  ini  terdapat  dalam  Undang‐

Undang  Nomor  27  Tahun  2009  tentang  Majelis Permusyawaratan  Rakyat,  Dewan  Perwakilan  Rakyat,  Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah). 

Contoh 2: a. Setiap orang adalah orang perseorangan atau badan usaha, baik 

yang  berbadan  hukum  maupun  yang  tidak  berbadan  hokum (rumusan  ini  terdapat  dalam  Undang‐Undang  Nomor  32  Tahun 

 

Page 111: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup). b. Setiap  orang  adalah  orang  perseorangan  atau  badan  hukum 

(Undang‐Undang Nomor  1  Tahun  2011  tentang  Perumahan  dan Kawasan Pemukiman). 

    79. Jika suatu kata atau  istilah hanya digunakan satu kali, namun kata atau  istilah  itu diperlukan pengertiannya untuk  suatu bab, bagian atau paragraf  tertentu, dianjurkan agar kata atau  istilah  itu diberi definisi. 

105. Jika suatu kata atau istilah hanya digunakan satu kali, namun kata atau istilah  itu  diperlukan  pengertiannya  untuk  suatu  bab,  bagian  atau paragraf tertentu, kata atau istilah itu diberi definisi. 

 

    80. Jika suatu batasan pengertian atau definisi perlu dikutip kembali di dalam  ketentuan  umum  suatu  peraturan  pelaksanaan,  maka rumusan  batasan  pengertian  atau  definisi  di  dalam  peraturan pelaksanaan harus sama dengan rumusan batasan pengertian atau definisi  yang  terdapat  di  dalam  peraturan  lebih  tinggi  yang dilaksanakan tersebut. 

106. Jika  suatu  batasan  pengertian  atau  definisi  perlu  dikutip  kembali  di dalam ketentuan umum suatu peraturan pelaksanaan, maka rumusan batasan  pengertian  atau  definisi  di  dalam  peraturan  pelaksanaan harus  sama  dengan  rumusan  batasan  pengertian  atau  definisi  yang terdapat di dalam peraturan lebih tinggi yang dilaksanakan tersebut. 

 

    81. Karena  batasan  pengertian  atau  definisi,  singkatan,  atau  akronim berfungsi, untuk menjelaskan makna  suatu kata atau  istilah maka batasan  pengertian  atau  definisi,  singkatan,  atau  akronim  tidak perlu  diberi  penjelasan,  dan  karena  itu  harus  dirumuskan sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan pengertian ganda. 

107. Karena  batasan  pengertian  atau  definisi,  singkatan,  atau  akronim berfungsi  untuk  menjelaskan  makna  suatu  kata  atau  istilah  maka batasan pengertian atau definisi,  singkatan, atau akronim  tidak perlu diberi  penjelasan,  dan  karena  itu  harus  dirumuskan  dengan  lengkap dan jelas sehingga tidak menimbulkan pengertian ganda. 

 

      108. Penulisan huruf awal tiap kata atau  istilah yang sudah didefinisikan atau  diberi  batasan  pengertian  dalam  ketentuan  umum  ditulis dengan  huruf  kapital  baik  digunakan  dalam  norma  yang  diatur, penjelasan maupun dalam lampiran. 

 

    82. Urutan  penempatan  kata  atau  istilah  dalam  ketentuan  umum mengikuti ketentuan sebagai berikut: a. pengertian yang mengatur tentang lingkup umum ditempatkan 

lebih dahulu dari yang berlingkup khusus; b. pengertian yang  terdapat  lebih dahulu di dalam materi pokok 

yang diatur ditempatkan dalam urutan yang lebih dahulu; dan c. pengertian  yang  mempunyai  kaitan  dengan  pengertian  di 

atasnya diletakkan berdekatan secara berurutan. 

109. Urutan  penempatan  kata  atau  istilah  dalam  ketentuan  umum mengikuti ketentuan sebagai berikut: a. pengertian  yang  mengatur  tentang  lingkup  umum  ditempatkan 

lebih dahulu dari yang berlingkup khusus; b. pengertian yang terdapat  lebih dahulu di dalam materi pokok yang 

diatur ditempatkan dalam urutan yang lebih dahulu; dan c. pengertian  yang mempunyai  kaitan dengan pengertian di  atasnya 

diletakkan berdekatan secara berurutan. 

 

Page 112: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

    C.2. Materi Pokok yang Diatur  C.2. Materi Pokok yang Diatur       83. Materi  pokok  yang  diatur  ditempatkan  langsung  setelah  bab 

ketentuan umum, dan  jika  tidak  ada pengelompokan bab, materi pokok  yang  diatur  diletakkan  setelah  pasal  (‐pasal)  ketentuan umum. 

110. Materi  pokok  yang  diatur  ditempatkan  langsung  setelah  bab ketentuan  umum,  dan  jika  tidak  ada  pengelompokkan  bab,  materi pokok  yang  diatur  diletakkan  setelah  pasal  atau  beberapa  pasal ketentuan umum. 

 

    84. Pembagian  materi  pokok  ke  dalam  kelompok  yang  lebih  kecil dilakukan menurut kriteria yang dijadikan dasar pembagian. Contoh: a. pembagian berdasarkan hak atau kepentingan yang dilindungi, 

seperti pembagian dalam Kitab Undang‐Undang Hukum Pidana: (1) kejahatan terhadap keamanan negara; (2) kejahatan terhadap martabat Presiden; (3) kejahatan terhadap negara sahabat dan wakilnya; (4) kejahatan terhadap kewajiban dan hak kenegaraan; (5) kejahatan terhadap ketertiban umum dan seterusnya. 

b. pembagian berdasarkan urutan/kronologis,  seperti pembagian dalam  hokum  acara  pidana,  dimulai  dari  penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tingkat  pertama,  tingkat  banding,  tingkat  kasasi,  dan peninjauan kembali. 

c. pembagian  berdasarkan  urutan  jenjang  jabatan,  seperti  Jaksa Agung, Wakil Jaksa Agung, dan Jaksa Agung Muda. 

111. Pembagian  materi  pokok  ke  dalam  kelompok  yang  lebih  kecil dilakukan menurut kriteria yang dijadikan dasar pembagian. Contoh: a. pembagian  berdasarkan  hak  atau  kepentingan  yang  dilindungi, 

seperti pembagian dalam Kitab Undang‐Undang Hukum Pidana: 1. kejahatan terhadap keamanan negara; 2. kejahatan terhadap martabat Presiden; 3. kejahatan terhadap negara sahabat dan wakilnya; 4. kejahatan terhadap kewajiban dan hak kenegaraan; 5. kejahatan terhadap ketertiban umum dan seterusnya. 

b. pembagian  berdasarkan  urutan/kronologis,  seperti  pembagian dalam  hukum  acara  pidana,  dimulai  dari  penyelidikan, penyidikan,penuntutan,  dan  pemeriksaan  di  sidang  pengadilan tingkat  pertama,  tingkat  banding,  tingkat  kasasi,  dan  peninjauan kembali. 

c. pembagian  berdasarkan  urutan  jenjang  jabatan,  seperti  Jaksa Agung, Wakil Jaksa Agung, dan Jaksa Agung Muda. 

 

    C.3. Ketentuan Pidana (jika diperlukan)  C.3. Ketentuan Pidana (jika diperlukan)       85. Ketentuan pidana memuat rumusan yang menyatakan penjatuhan 

pidana  atas  pelanggaran  terhadap  ketentuan  yang  berisi  norma larangan atau perintah. 

112. Ketentuan  pidana  memuat  rumusan  yang  menyatakan  penjatuhan pidana  atas  pelanggaran  terhadap  ketentuan  yang  berisi  norma larangan atau norma perintah. 

 

    86. Dalam merumuskan ketentuan pidana perlu diperhatikan asas‐asas umum  ketentuan  pidana  yang  terdapat  dalam  Buku  Kesatu  Kitab Undang‐Undang  Hukum  Pidana,  karena  ketentuan  dalam  Buku Kesatu berlaku  juga bagi perbuatan yang dapat dipidana menurut Peraturan  Perundang‐undangan  lain,  kecuali  jika  oleh  Undang‐

113. Dalam  merumuskan  ketentuan  pidana  perlu  diperhatikan  asas‐asas umum  ketentuan  pidana  yang  terdapat  dalam  Buku  Kesatu  Kitab Undang‐Undang Hukum Pidana, karena ketentuan dalam Buku Kesatu berlaku  juga bagi perbuatan yang dapat dipidana menurut peraturan perundang‐undangan  lain,  kecuali  jika  oleh  Undang‐Undang 

 

Page 113: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

Undang  ditentukan  lain  (Pasal  103  Kitab  Undang‐Undang  Hukum Pidana). 

ditentukan lain (Pasal 103 Kitab Undang‐Undang Hukum Pidana). 

    87. Dalam menentukan  lamanya  pidana  atau  banyaknya  denda  perlu dipertimbangkan mengenai dampak  yang ditimbulkan oleh  tindak pidana dalam masyarakat serta unsure kesalahan pelaku. 

114. Dalam  menentukan  lamanya  pidana  atau  banyaknya  denda  perlu dipertimbangkan  mengenai  dampak  yang  ditimbulkan  oleh  tindak pidana dalam masyarakat serta unsur kesalahan pelaku. 

 

    88. Ketentuan  pidana  ditempatkan  dalam  bab  tersendiri,  yaitu  bab ketentuan pidana yang  letaknya sesudah materi pokok yang diatur atau  sebelum  bab  ketentuan  peralihan.  Jika  bab  ketentuan peralihan  tidak  ada,  letaknya  adalah  sebelum  bab  ketentuan penutup. 

115. Ketentuan  pidana  ditempatkan  dalam  bab  tersendiri,  yaitu  bab ketentuan  pidana  yang  letaknya  sesudah materi  pokok  yang  diatur atau  sebelum bab ketentuan peralihan.  Jika bab ketentuan peralihan tidak ada, letaknya adalah sebelum bab ketentuan penutup. 

 

    89. Jika  di  dalam  Peraturan  Perundang‐undangan  tidak  diadakan pengelompokan bab per bab, ketentuan pidana ditempatkan dalam pasal  yang  terletak  langsung  sebelum  pasal  (‐pasal)  yang  berisi ketentuan  peralihan.  Jika  tidak  ada  pasal  yang  berisi  ketentuan peralihan, ketentuan pidana diletakkan sebelum pasal penutup. 

116. Jika  di  dalam  Peraturan  Perundang‐undangan  tidak  diadakan pengelompokan  bab  per  bab,  ketentuan  pidana  ditempatkan  dalam pasal yang terletak  langsung sebelum pasal atau beberapa pasal yang berisi ketentuan peralihan.  Jika  tidak ada pasal yang berisi ketentuan peralihan, ketentuan pidana diletakkan sebelum pasal atau beberapa pasal yang berisi ketentuan penutup. 

 

    90. Ketentuan  pidana  hanya  dimuat  dalam  Undang‐Undang  dan Peraturan Daerah. 

117. Ketentuan  pidana  hanya  dimuat  dalam  Undang‐Undang,  Peraturan Daerah Provinsi, dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. 

 

    91. Rumusan  ketentuan  pidana  harus  menyebutkan  secara  tegas norma  larangan  atau  perintah  yang  dilanggar  dan menyebutkan pasal  (‐pasal)  yang  memuat  norma  tersebut.  Dengan  demikian, perlu dihindari: a. pengacuan  kepada  ketentuan  pidana  Peraturan  Perundang‐

undangan lain. Lihat juga Nomor 98;        

118. Rumusan  ketentuan  pidana  harus menyebutkan  secara  tegas  norma larangan atau norma perintah yang dilanggar dan menyebutkan pasal atau beberapa pasal yang memuat norma tersebut. Dengan demikian, perlu dihindari: a. pengacuan  kepada  ketentuan  pidana  Peraturan 

Perundangundangan lain. Lihat juga Nomor 98;  Contoh: Qanun  Kabupaten  Aceh  Jaya  Nomor  2  Tahun  2010  tentang Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan 

Pasal 73 Tindak pidana di bidang Adminstrasi Kependudukan yang dilakukan oleh  penduduk,  petugas,  dan  Badan  Hukum  diancam  dengan hukuman  pidana  sebagaimana  diatur  dalam  Undang‐Undang 

 

Page 114: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

  

b. pengacuan  kepada  Kitab Undang‐Undang Hukum  Pidana,  jika elemen  atau  unsur‐unsur  dari  norma  yang  diacu  tidak  sama; atau 

c. penyusunan rumusan sendiri yang berbeda atau tidak terdapat di norma‐norma yang diatur dalam pasal  (‐pasal) sebelumnya, kecuali untuk Undang‐Undang tindak pidana khusus. 

Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. b. pengacuan  kepada  Kitab  Undang‐Undang  Hukum  Pidana,  jika 

elemen atau unsur‐unsur dari norma yang diacu tidak sama; atau c. penyusunan  rumusan  sendiri yang berbeda atau  tidak  terdapat di 

dalam norma‐norma yang diatur dalam pasal atau beberapa pasal sebelumnya, kecuali untuk undang‐undang mengenai tindak pidana khusus. 

    92. Jika ketentuan pidana berlaku bagi siapapun, subyek dari ketentuan pidana dirumuskan dengan frase setiap orang. Contoh: 

Pasal 81 Setiap  orang  yang  dengan  sengaja  dan  tanpa  hak menggunakan merek  yang  sama  pada  keseluruhannya  dengan merek  terdaftar milik  orang  lain  atau  badan  hukum  lain  untuk  barang  atau  jasa sejenis  yang  diproduksi  dan  atau  diperdagangkan,  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, dipidana dengan pidana penjara paling lama  7  (tujuh)  tahun  dan  denda  paling  banyak  Rp  100.000,00 (seratus ribu rupiah). 

119. Jika  ketentuan  pidana  berlaku  bagi  siapapun,  subyek  dari  ketentuan pidana dirumuskan dengan frasa setiap orang. Contoh: 

Pasal 81 Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan merek yang  sama pada keseluruhannya dengan merek  terdaftar milik orang lain  atau  badan  hukum  lain  untuk  barang  atau  jasa  sejenis  yang diproduksi  dan  atau  diperdagangkan,  sebagaimana  dimaksud  dalam Pasal 20, dipidana dengan pidana penjara paling  lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah). 

 

    93. Jika ketentuan pidana hanya berlaku bagi subyek  tertentu, subyek itu dirumuskan secara tegas, misalnya, orang asing, pegawai negeri, saksi. Contoh: 

 Pasal 95 

Saksi  yang  memberi  keterangan  tidak  benar  dalam  pemeriksaan perkara  tindak  pidana  narkotika  di  muka  sidang  pengadilan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000, 00 (tiga ratus juta rupiah). 

 

120. Jika ketentuan pidana hanya berlaku bagi subyek tertentu, subyek  itu dirumuskan secara tegas, misalnya, orang asing, pegawai negeri,saksi. Contoh 1: Undang‐Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika 

Pasal 143 Saksi  yang  memberi  keterangan  tidak  benar  dalam  pemeriksaan perkara  tindak  pidana  Narkotika  dan  Prekursor  Narkotika  di  muka sidang  pengadilan,  dipidana  dengan  pidana  penjara  paling  singkat  1 (satu)  tahun  dan  paling  lama  10  (sepuluh)  tahun  dan  pidana  denda paling  sedikit  Rp60.000.000,00  (enam  puluh  juta  rupiah)  dan  paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).  Contoh 2: 

 

Page 115: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

Peraturan  Daerah  Kota  Sawahlunto  Nomor  9  Tahun  2009  tentang Pajak Hiburan Wajib  Pajak  yang  dengan  sengaja  tidak menyampaikan  SPTPD  atau mengisi  dengan  tidak  benar  atau  tidak  lengkap  atau  melampirkan keterangan  yang  tidak benar  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 sehingga merugikan keuangan daerah dapat dipidana dengan pidana penjara  paling  lama  3  (tiga)  bulan  dan/atau  denda  paling  banyak  4 (empat) kali jumlah pajak yang terutang. 

    94. Sehubungan  adanya  pembedaan  antara  tindak  pidana  kejahatan dan  tindak  pidana  pelanggaran  di  dalam  Kitab  Undang‐Undang Hukum  Pidana,  rumusan  ketentuan  pidana  harus  menyatakan secara  tegas  apakah  perbuatan  yang  diancam  dengan  pidana  itu dikualifikasikan sebagai pelanggaran atau kejahatan. Contoh: 

BAB V KETENTUAN PIDANA 

Pasal 33 (1) Setiap  orang  yang  melanggar  ketentuan  Pasal......dipidana 

dengan  pidana  kurungan  paling  lama……atau  denda  paling banyak Rp…………, 00. 

(2) Tindak  pidana  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  adalah pelanggaran. 

121. Sehubungan adanya pembedaan antara  tindak pidana kejahatan dan tindak  pidana  pelanggaran  di  dalam  Kitab  Undang‐Undang  Hukum Pidana,  rumusan  ketentuan  pidana  harus menyatakan  secara  tegas kualifikasi  dari  perbuatan  yang  diancam  dengan  pidana  itu  sebagai pelanggaran atau kejahatan. Contoh: 

BAB V KETENTUAN PIDANA 

Pasal 33 (1) Setiap  orang  yang  melanggar  ketentuan  sebagaimana  dimaksud 

dalam  Pasal …,  dipidana  dengan  pidana  kurungan  paling  lama … atau pidana denda paling banyak Rp…,00 

(2) Tindak  pidana  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  adalah pelanggaran. 

 

 

    95. Rumusan ketentuan pidana harus menyatakan secara tegas apakah pidana yang dijatuhkan bersifat kumulatif, alternatif, atau kumulatif alternatif. Contoh: ♦ Sifat kumulatif: 

Setiap  orang  yang  dengan  sengaja  menyiarkan  hal‐hal  yang bersifat  sadisme,  pornografi,  dan/atau  bersifat  perjudian sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  32  ayat  (7)  dipidana dengan  pidana  penjara  paling  lama  3  (tiga)  tahun  dan  denda 

122. Rumusan ketentuan pidana harus menyatakan secara tegas kualifikasi pidana  yang  dijatuhkan  bersifat  kumulatif,  alternatif,  atau  kumulatif alternatif. a. Sifat kumulatif: 

Contoh: Setiap  orang  yang  dengan  sengaja  menyiarkan  hal‐hal  yang bersifat  sadisme,  pornografi,  dan/atau  bersifat  perjudian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat  (7) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling 

 

Page 116: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). ♦ Sifat alternative: 

Setiap  orang  yang  dengan  sengaja  menyelenggarakan penyiaran  tanpa  izin  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  17 ayat  (1)  dipidana  dengan  pidana  penjara  paling  lama  8 (delapan)  tahun atau denda paling banyak Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).  

♦ Sifat kumulatif alternative: Dipidana dengan pidana penjara paling  singkat 1  (satu)  tahun dan paling  lama 5  (lima)  tahun dan/atau pidana denda paling sedikit  Rp  50.000.000,00  (lima  puluh  juta  rupiah)  dan  paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus juta ratus lima puluh juta rupiah)  pegawai  negeri  atau  penyelenggara  negara  yang menerima  hadiah  atau  janji  padahal  diketahui  atau  patut diduga  bahwa  hadiah  atau  janji  tersebut  diberikan  karena kekuasaan  atau  kewenangan  yang    berhubungan  dengan jabatannya,  atau  menurut  pikiran  orang  yang  memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya 

banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). b. Sifat alternatif: 

Contoh: Setiap  orang  yang  dengan  sengaja menyelenggarakan  penyiaran tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun atau pidana denda  paling  banyak  Rp800.000.000,00  (delapan  ratus  juta rupiah). 

c. Sifat kumulatif alternatif: Contoh: Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling  lama  5  (lima)  tahun dan/atau pidana denda paling  sedikit Rp50.000.000,00  (lima  puluh  juta  rupiah)  dan  paling  banyak Rp250.000.000,00  (dua  ratus  lima  puluh  juta  rupiah)  pegawai negeri  atau  penyelenggara  negara  yang  menerima  hadiah  atau janji padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau  janji tersebut  diberikan  karena  kekuasaan  atau  kewenangan  yang berhubungan  dengan  jabatannya,  atau  menurut  pikiran  orang yang  memberikan  hadiah  atau  janji  tersebut  ada  hubungan dengan jabatannya. 

    96. Hindari rumusan dalam ketentuan pidana yang tidak menunjukkan dengan  jelas  apakah  unsur‐unsur  perbuatan  pidana  bersifat kumulatif atau alternatif. Contoh: Setiap  orang  yang  melanggar  ketentuan  sebagaimana  dimaksud dalam  Pasal  12,  Pasal  13  dan  Pasal  14,  dipidana  dengan  pidana kurungan paling lama 10 (sepuluh) bulan. 

123. Perumusan dalam ketentuan pidana harus menunjukkan dengan jelas unsur‐unsur perbuatan pidana bersifat kumulatif atau alternatif. 

 

 

    97. Jika suatu Peraturan Perundang‐undangan yang memuat ketentuan pidana  akan  diberlakusurutkan,  ketentuan  pidananya  harus dikecualikan, mengingat adanya asas umum dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab  Undang‐Undang  Hukum  Pidana  yang  menyatakan  bahwa ketentuan pidana tidak boleh berlaku surut. 

124. Jika  suatu  Peraturan  Perundang‐undangan  yang memuat  ketentuan pidana  akan  diberlakusurutkan,  ketentuan  pidananya  harus dikecualikan, mengingat  adanya  asas  umum  dalam  Pasal  1  ayat  (1) Kitab  Undang‐Undang  Hukum  Pidana  yang  menyatakan  bahwa ketentuan pidana tidak boleh berlaku surut. 

 

Page 117: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

Contoh: Undang‐Undang  ini  mulai  berlaku  pada  tanggal  diundangkannya dan  berlaku  surut  sejak  tanggal  1  Januari  1976,  kecuali  untuk ketentuan pidananya. 

Contoh: Undang‐Undang  ini mulai berlaku pada  tanggal diundangkannya dan berlaku  surut  sejak  tanggal  1  Januari  1976,  kecuali  untuk  ketentuan pidananya. 

    98. Ketentuan pidana bagi tindak pidana yang merupakan pelanggaran terhadap kegiatan bidang ekonomi dapat tidak diatur tersendiri di dalam  undang‐undang  yang  bersangkutan,  tetapi  cukup mengacu kepada  Undang‐Undang  yang mengatur mengenai  tindak  pidana ekonomi,  misalnya,  Undang‐Undang  Nomor  7  Drt.  Tahun  1955 tentang  Pengusutan,  Penuntutan,  dan  Peradilan  Tindak  Pidana Ekonomi. 

125. Ketentuan  pidana  bagi  tindak  pidana  yang  merupakan  pelanggaran terhadap  kegiatan  bidang  ekonomi  dapat  tidak  diatur  tersendiri  di dalam  undang‐undang  yang  bersangkutan,  tetapi  cukup  mengacu kepada  Undang‐Undang  yang  mengatur  mengenai  tindak  pidana ekonomi, misalnya, Undang‐Undang Nomor 7 Drt. Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi. 

 

    99. Tindak  pidana  dapat  dilakukan  oleh  orang‐perorangan  atau  oleh korporasi.  Pidana  terhadap  tindak  pidana  yang  dilakukan  oleh korporasi dijatuhkan kepada: a. Badan hukum, perseroan, perkumpulan, atau yayasan;  b. mereka yang memberi perintah melakukan tindak pidana atau 

yang  bertindak  sebagai  pimpinan  dalam  melakukan  tindak pidana; atau 

c. kedua‐duanya. 

126. Tindak  pidana  dapat  dilakukan  oleh  orang‐perorangan  atau  oleh korporasi.  Pidana  terhadap  tindak  pidana  yang  dilakukan  oleh korporasi dijatuhkan kepada: a. badan  hukum  antara  lain  perseroan,  perkumpulan,  yayasan,  atau 

koperasi; dan/atau b. pemberi  perintah  untuk  melakukan  tindak  pidana  atau  yang 

bertindak sebagai pimpinan dalam melakukan tindak pidana.  

 

    C.4. Ketentuan Peralihan (jika diperlukan)  C.4. Ketentuan Peralihan (jika diperlukan)       100. Ketentuan  peralihan  memuat  penyesuaian  terhadap  Peraturan 

Perundang‐undangan  yang  sudah  ada  pada  saat  Peraturan Perundang‐undangan  baru  mulai  berlaku,  agar  Peraturan Perundang‐undangan  tersebut  dapat  berjalan  lancar  dan  tidak menimbulkan permasalahan hukum. 

127. Ketentuan  Peralihan  memuat  penyesuaian  pengaturan  tindakan hukum atau hubungan hukum yang sudah ada berdasarkan Peraturan Perundang‐undangan  yang  lama  terhadap  Peraturan  Perundang‐undangan yang baru, yang bertujuan untuk: a. menghindari terjadinya kekosongan hukum; b. menjamin kepastian hukum; c. memberikan  perlindungan  hukum  bagi  pihak  yang  terkena 

dampak perubahan  ketentuan Peraturan Perundang‐undangan; dan 

d. mengatur  hal‐hal  yang  bersifat  transisional  atau  bersifat sementara. 

 

Page 118: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

 Contoh 1: Undang‐Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. 

Pasal 35 Perjanjian  Internasional,  baik  bilateral,  regional,  maupun multilateral,  dalam  bidang  penanaman modal  yang  telah  disetujui oleh  Pemerintah  Indonesia  sebelum  Undang‐Undang  ini  berlaku, tetap berlaku sampai dengan berakhirnya perjanjian tersebut.  Contoh 2: Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus  Ibukota  Jakarta Nomor 3 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Area Pasar 

Pasal 18 Izin yang telah dikeluarkan sebelum berlakunya Peraturan Daerah ini tetap berlaku sampai dengan habis berlakunya izin.  Contoh 3: Peraturan  Daerah  Kabupaten  Kuantan  Singingi  Nomor  10  Tahun 2009 tentang Pemeliharaan Kesehatan Hewan 

Pasal 38 Orang  atau  Badan  yang  telah  memiliki  izin  usaha  pemeliharaan kesehatan  hewan  yang  telah  ada  sebelum  berlakunya  Peraturan Daerah  ini,  tetap  berlaku  dan  dalam  jangka waktu  paling  lama  1 (satu) tahun harus menyesuaikan dengan Peraturan Daerah ini. 

     101. Ketentuan  peralihan  dimuat  dalam  bab  ketentuan  peralihan  dan 

ditempatkan di antara bab  ketentuan pidana dan bab Ketentuan Penutup.  Jika  dalam  Peraturan  Perundang‐undangan  tidak diadakan  pengelompokan  bab,  pasal  yang  memuat  ketentuan peralihan  ditempatkan  sebelum  pasal  yang  memuat  ketentuan penutup. 

128. Ketentuan  Peralihan  dimuat  dalam  Bab  Ketentuan  Peralihan  dan ditempatkan  di  antara  Bab  Ketentuan  Pidana  dan  Bab  Ketentuan Penutup.  Jika  dalam  Peraturan  Perundang‐undangan  tidak  diadakan pengelompokan  bab,  pasal  atau  beberapa  pasal  yang  memuat Ketentuan Peralihan ditempatkan sebelum pasal atau beberapa pasal yang memuat ketentuan penutup. 

 

    102. Pada saat suatu Peraturan Perundang‐undangan dinyatakan mulai     

Page 119: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

berlaku,  segala hubungan hukum yang ada atau  tindakan hukum yang  terjadi baik  sebelum, pada  saat maupun  sesudah Peraturan Perundang‐undangan  yang  baru  itu  dinyatakan  mulai  berlaku, tunduk pada ketentuan Peraturan Perundang‐undangan baru. 

    103. Di dalam Peraturan Perundang‐undangan yang baru, dapat dimuat pengaturan  yang  memuat  penyimpangan  sementara  atau penundaan  sementara  bagi  tindakan  hokum  atau  hubungan hukum tertentu. 

129. Di  dalam  Peraturan  Perundang‐undangan  yang  baru,  dapat  dimuat ketentuan  mengenai  penyimpangan  sementara  atau  penundaan sementara bagi tindakan hukum atau hubungan hukum tertentu. Contoh 1: Undang‐Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara 

Pasal 27 Kementerian yang sudah ada pada saat berlakunya Undang‐Undang ini  tetap  menjalankan  tugasnya  sampai  dengan  terbentuknya Kementerian berdasarkan ketentuan dalam Undang‐Undang ini.  Contoh 2: Peraturan  Daerah  Kota  Bandung  Nomor  7  Tahun  2008  tentang Tahapan,  Tata  Cara  Penyusunan,  Pengendalian  dan  Evaluasi Pelaksanaan  Rencana  Pembangunan  serta  Musyawarah Perencanaan Pembangunan Daerah 

Pasal 44 (1) … . (2) Sebelum  RPJMD  ditetapkan,  penyusunan  RKPD  berpedoman 

kepada RPJMD periode sebelumnya. 

 

    104. Penyimpangan  sementara  itu  berlaku  juga  bagi  ketentuan  yang diberlakusurutkan. 

130. Penyimpangan  sementara  terhadap  ketentuan  Peraturan Perundangundangan  berlaku  juga  bagi  ketentuan  yang diberlakusurutkan. 

 

    105. Jika  suatu  Peraturan  Perundang‐undangan  diberlakukan  surut, Peraturan  Perundangundangan  tersebut  hendaknya  memuat ketentuan mengenai status dari tindakan hukum yang terjadi, atau hubungan  hukum  yang  ada  di  dalam  tenggang  waktu  antara tanggal  mulai  berlaku  surut  dan  tanggal  mulai  berlaku pengundangannya. 

131. Jika  suatu  Peraturan  Perundang‐undangan  diberlakukan  surut, Peraturan  Perundang‐undangan  tersebut  hendaknya  memuat ketentuan mengenai  status  dari  tindakan  hukum  yang  terjadi,  atau hubungan hukum  yang  ada di dalam  tenggang waktu  antara  tanggal mulai berlaku surut dan tanggal mulai berlaku pengundangannya. Contoh: 

 

Page 120: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

Contoh: Selisih  tunjangan  perbaikan  yang  timbul  akibat  Peraturan Pemerintah  ini dibayarkan paling  lambat 3  (tiga) bulan  sejak  saat tanggal pengundangan Peraturan Pemerintah ini. 

Selisih tunjangan perbaikan yang timbul akibat Peraturan Pemerintah ini  dibayarkan  paling  lambat  3  (tiga)  bulan  sejak  saat  tanggal pengundangan Peraturan Pemerintah ini. 

    106. Mengingat berlakunya asas‐asas umum hukum pidana, penentuan daya laku surut hendaknya tidak diberlakusurutkan bagi ketentuan yang menyangkut pidana atau pemidanaan. 

132. Mengingat  berlakunya  asas  umum  hukum  pidana,  penentuan  daya laku surut tidak diberlakukan bagi Ketentuan Pidana. 

 

 

    107. Penentuan  daya  laku  surut  sebaiknya  tidak  diadakan  bagi Peraturan  Perundangundangan  yang  memuat  ketentuan  yang memberi beban konkret kepada masyarakat. 

133. Penentuan daya  laku surut tidak dimuat dalam Peraturan Perundang‐undangan  yang  memuat  ketentuan  yang  memberi  beban  konkret kepada masyarakat, misalnya penarikan pajak atau retribusi. 

 

    108. Jika  penerapan  suatu  ketentuan  Peraturan  Perundang‐undangan dinyatakan  ditunda  sementara,  bagi  tindakan  hukum  atau hubungan  hukum  tertentu,  ketentuan  Peraturan  Perundang‐undangan tersebut harus memuat secara tegas dan rinci tindakan hokum dan hubungan hukum mana yang dimaksud,  serta  jangka waktu  atau  syarat‐syarat  berakhirnya  penundaan  sementara tersebut. Contoh: Izin ekspor rotan setengah jadi yang telah dikeluarkan berdasarkan Peraturan  Pemerintah  ....  Tahun  ....  masih  tetap  berlaku  untuk jangka waktu  60  (enam  puluh)  hari  sejak  tanggal  pengundangan Peraturan Pemerintah ini. 

134. Jika  penerapan  suatu  ketentuan  Peraturan  Perundang‐undangan dinyatakan  ditunda  sementara  bagi  tindakan  hukum  atau  hubungan hukum  tertentu,  ketentuan  Peraturan  Perundang‐undangan  tersebut harus memuat secara tegas dan rinci tindakan hukum atau hubungan hukum  yang  dimaksud,  serta  jangka  waktu  atau  persyaratan berakhirnya penundaan sementara tersebut.  Contoh: Izin  ekspor  rotan  setengah  jadi  yang  telah  dikeluarkan  berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor … Tahun  ...  tentang… masih tetap berlaku untuk  jangka waktu paling  lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal pengundangan Peraturan Pemerintah ini. 

 

    109. Hindari  rumusan dalam ketentuan peralihan yang  isinya memuat perubahan  terselubung  atas  ketentuan  Peraturan  Perundang‐undangan  lain.  Perubahan  ini  hendaknya  dilakukan  dengan membuat  batasan  pengertian  baru  di  dalam  ketentuan  umum Peraturan Perundang‐undangan atau dilakukan dengan membuat Peraturan Perundang‐undangan perubahan. 

Contoh: Pasal 35 

(1) Desa  atau  yang  disebut  dengan  nama  lainnya  yang  setingkat dengan  desa  yang  sudah  ada  pada  saat  mulai  berlakunya 

135. Rumusan  dalam  Ketentuan  Peralihan  tidak  memuat  perubahan terselubung  atas  ketentuan  Peraturan  Perundang‐undangan  lain. Perubahan  ini  hendaknya  dilakukan  dengan  membuat  batasan pengertian  baru  di  dalam  Ketentuan  Umum  Peraturan Perundangundangan  atau  dilakukan  dengan  membuat  Peraturan Perundangundangan perubahan. Contoh rumusan yang memuat perubahan terselubung: 

Pasal 35 (1) Desa atau yang disebut nama  lainnya yang  setingkat dengan desa 

yang  sudah  ada  pada  saat mulai  berlakunya  Undang‐Undang  ini 

 

Page 121: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

Undang‐Undang  ini  dinyatakan  sebagai  desa menurut  Pasal  I huruf a. 

dinyatakan sebagai desa menurut Pasal 1 huruf a. 

    C.5. Ketentuan Penutup  C.5. Ketentuan Penutup       110. Ketentuan  penutup  ditempatkan  dalam  bab  terakhir.  Jika  tidak 

diadakan  pengelompokan  bab,  ketentuan  penutup  ditempatkan dalam pasal (‐pasal) terakhir. 

136. Ketentuan  Penutup  ditempatkan  dalam  bab  terakhir.  Jika  tidak diadakan pengelompokan bab, Ketentuan Penutup ditempatkan dalam pasal atau beberapa pasal terakhir. 

 

    111. Pada umumnya ketentuan penutup memuat ketentuan mengenai: a. penunjukan organ atau alat perlengkapan yang melaksanakan 

Peraturan Perundang‐undangan; b. nama singkat; c. status Peraturan Perundang‐undangan yang sudah ada; dan d. saat mulai berlaku Peraturan Perundang‐undangan. 

137. Pada umumnya Ketentuan Penutup memuat ketentuan mengenai: a. penunjukan  organ  atau  alat  kelengkapan  yang  melaksanakan 

Peraturan Perundang‐undangan; b. nama singkat Peraturan Perundang‐undangan; c. status Peraturan Perundang‐undangan yang sudah ada; dan d. saat mulai berlaku Peraturan Perundang‐undangan. 

 

    112. Ketentuan  penutup  dapat memuat  peraturan  pelaksanaan  yang bersifat: a. menjalankan  (eksekutif),  misalnya,  penunjukan  pejabat 

tertentu  yang  diberi  kewenangan  untuk  memberikan  izin, mengangkat pegawai, dan lain‐lain; 

b. mengatur (legislatif), misalnya, memberikan kewenangan untuk membuat peraturan pelaksanaan. 

   

      138. Penunjukan  organ  atau  alat  kelengkapan  yang  melaksanakan Peraturan  Perundang‐undangan  bersifat  menjalankan  (eksekutif), misalnya,  penunjukan  pejabat  tertentu  yang  diberi  kewenangan untuk memberikan izin, dan mengangkat pegawai. 

 

    113. Bagi  nama  Peraturan  Perundang‐undangan  yang  panjang  dapat dimuat ketentuan mengenai nama singkat  (judul kutipan) dengan memperhatikan hal‐hal sebagai berikut: a. nomor  dan  tahun  pengeluaran  peraturan  yang  bersangkutan 

tidak dicantumkan; b. nama  singkat  bukan  berupa  singkatan  atau  akronim,  kecuali 

jika singkatan atau akronim itu sudah sangat dikenal dan tidak menimbulkan salah pengertian. 

139. Bagi nama Peraturan Perundang‐undangan yang panjang dapat dimuat ketentuan  mengenai  nama  singkat  dengan  memperhatikan  hal‐hal sebagai berikut: a. nomor dan  tahun pengeluaran peraturan yang bersangkutan  tidak 

dicantumkan; b. nama  singkat  bukan  berupa  singkatan  atau  akronim,  kecuali  jika 

singkatan  atau  akronim  itu  sudah  sangat  dikenal  dan  tidak menimbulkan salah pengertian. 

 

Page 122: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

    114. Nama singkat tidak memuat pengertian yang menyimpang dari  isi dan nama peraturan. Contoh nama singkat yang kurang tepat (Undang‐Undang tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan) Undang‐Undang  ini  dapat  disebut  Undang‐Undang  tentang Karantina Hewan. 

140. Nama singkat tidak memuat pengertian yang menyimpang dari isi dan nama peraturan. Contoh nama singkat yang tidak tepat: (Undang‐Undang  tentang  Karantina  Hewan,  Ikan,  dan  Tumbuhan) Undang‐Undang  ini dapat disebut Undang‐Undang  tentang Karantina Hewan 

 

    115. Hindari  memberikan  nama  singkat  bagi  nama  Peraturan Perundang‐undangan yang sebenarnya sudah singkat. Contoh nama singkat yang kurang tepat: (Undang‐Undang tentang Bank Sentral) Undang‐Undang  ini  dapat  disebut Undang‐Undang  tentang  Bank Indonesia. 

141. Nama Peraturan Perundang‐undangan yang sudah singkat tidak perlu diberikan nama singkat. Contoh nama singkat yang tidak tepat: (Undang‐Undang tentang Bank Sentral) Undang‐Undang  ini  dapat  disebut  Undang‐Undang  tentang  Bank Indonesia. 

 

    116. Hindari penggunaan sinonim sebagai nama singkat. Contoh nama singkat yang kurang tepat: (Undang‐Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara) Undang‐Undang ini dapat disebut dengan Undang‐Undang tentang Peradilan Administrasi Negara. 

142. Sinonim tidak dapat digunakan untuk nama singkat. Contoh nama singkat yang tidak tepat: (Undang‐Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara) Undang‐Undang  ini  dapat  disebut  dengan  Undang‐Undang  tentang Peradilan Administrasi Negara. 

 

    117. Jika  materi  dalam  Peraturan  Perundang‐undangan  baru menyebabkan perlunya penggantian seluruh atau sebagian materi dalam  Peraturan  Perundang‐undangan  lama,  di  dalam  Peraturan Perundang‐undangan  baru  harus  secara  tegas  diatur  mengenai pencabutan seluruh atau sebagian Peraturan Perundang‐undangan lama. 

143. Jika materi muatan dalam Peraturan Perundang‐undangan yang baru menyebabkan  perubahan  atau  penggantian  seluruh  atau  sebagian materi  muatan  dalam  Peraturan  Perundang‐undangan  yang  lama, dalam  Peraturan  Perundang‐undangan  yang baru harus  secara  tegas diatur  mengenai  pencabutan  seluruh  atau  sebagian  materi  muatan Peraturan Perundang‐undangan yang lama. 

 

    118. Rumusan  pencabutan  diawali  dengan  frase  Pada  saat  Undang‐Undang  ini  mulai  berlaku,  kecuali  untuk  pencabutan  yang dilakukan  dengan  Peraturan  Perundang‐undangan  pencabutan tersendiri. 

144. Rumusan pencabutan Peraturan Perundang‐undangan diawali dengan frasa  Pada  saat  …(jenis  Peraturan  Perundang‐undangan)  ini  mulai berlaku,  kecuali untuk pencabutan  yang dilakukan dengan Peraturan Perundang‐undangan pencabutan tersendiri. 

 

    119. Demi  kepastian  hukum,  pencabutan  Peraturan  Perundang‐undangan  hendaknya  tidak  dirumuskan  secara  umum  tetapi menyebutkan dengan tegas Peraturan Perundang‐undangan mana yang dicabut. 

145. Demi  kepastian  hukum,  pencabutan  Peraturan  Perundang‐undangan tidak  dirumuskan  secara  umum  tetapi  menyebutkan  dengan  tegas Peraturan Perundang‐undangan yang dicabut. 

 

Page 123: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

    120. Untuk  mencabut  Peraturan  Perundang‐undangan  yang  telah diundangkan dan  telah mulai berlaku, gunakan  frase dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Contoh untuk, Nomor 118, 119, dan 120: Pada  saat  Undang‐Undang  ini  mulai  berlaku,  Undang‐undang Nomor  ...  Tahun  ....  tentang  ...  (Lembaran  Negara  Republik Indonesia Tahun .... Nomor Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor ... ) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. 

 

146. Untuk  mencabut  Peraturan  Perundang‐undangan  yang  telah diundangkan  dan  telah  mulai  berlaku,  gunakan  frasa  dicabut  dan dinyatakan tidak berlaku. Contoh: Undang‐Undang  Nomor  27  Tahun  2009  tentang  Majelis Permusyawaratan  Rakyat,  Dewan  Perwakilan  Rakyat,  Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Pada saat Undang‐Undang ini mulai berlaku, Undang‐Undang Nomor 22 Tahun 2003  tentang  Susunan  dan  Kedudukan  Majelis  Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan  Perwakilan  Rakyat  Daerah  (Lembaran  Negara  Republik Indonesia  Tahun  2003  Nomor  92,  Tambahan  Lembaran  Negara Republik  Indonesia  Nomor  4310),  dicabut  dan  dinyatakan  tidak berlaku. 

 

    121. Jika jumlah Peraturan Perundang‐undangan yang dicabut lebih dari 1  (satu),  dapat  dipertimbangkan  cara  penulisan  dengan  rincian dalam bentuk tabulasi. Contoh: Pada saat Undang‐Undang ini mulai berlaku: (1) Ordonansi Perburuan  (Jachfordonantie 1931,  Slaatsblad 1931: 

133); (2) Ordonansi  Perlindungan  Binatang‐binatang  Liar 

(Dierenbeschermingsordonantie 1931, Staasblad 1931: 134); (3) Ordonansi Perburuan  Jawa dan Madura  (Jachtordonantie  Java 

en Madoera 1940, Staasblad 1939: 733); dan (4) Ordonansi  Perlindungan  Alam  (Natuurbescherming‐

sordonantie 1941, Staasblad 1941: 167); dicabut dan dinyatakan tidak berlaku, 

147. Jika  jumlah Peraturan Perundang‐undangan yang dicabut  lebih dari 1 (satu), cara penulisan dilakukan dengan rincian dalam bentuk tabulasi. Contoh: Pada saat Undang‐Undang ini mulai berlaku: a. Ordonansi  Perburuan  (Jachtsordonantie  1931,  Staatsblad 

1931:133); b. Ordonansi  Perlindungan  Binatang‐binatang  Liar 

(Dierenbeschermingsordonantie 1931, Staatsblad 1931: 134); c. Ordonansi Perburuan  Jawa dan Madura  (Jachtsordonantie  Java en 

Madoera 1940, Staatsblad 1939: 733); dan d. Ordonansi  Perlindungan  Alam  (Natuurbeschermingsordonantie 

1941, Staatsblad 1941: 167), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. 

 

    122. Pencabutan Peraturan Perundang‐undangan harus disertai dengan keterangan mengenai,  status hukum dari peraturan pelaksanaan, peraturan  lebih  rendah,  atau  keputusan  yang  telah  dikeluarkan berdasarkan Peraturan Perundang‐undangan yang dicabut. 

148. Pencabutan  Peraturan  Perundang‐undangan  disertai  dengan keterangan mengenai  status hukum dari peraturan pelaksanaan atau keputusan yang  telah dikeluarkan berdasarkan Peraturan Perundang‐undangan yang dicabut. 

 

Page 124: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

Contoh: Pasal 102 

Pada  saat  Undang‐Undang  ini  mulai  berlaku,  semua  Peraturan Perundang‐undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang‐Undang  Nomor  9  Tahun  1976  tentang  Narkotika (Lembaran  Negara  Republik  Indonesia  Tahun  1976  Nomor  36, Tambahan  Lembaran  Negara  Republik  Indonesia  Nomor  3086) dinyatakan  masih  tetap  berlaku  sepanjang  tidak  bertentangan dengan ketentuan dalam Undang‐Undang ini. 

    123. Untuk  mencabut  Peraturan  Perundang‐undangan  yang  telah diundangkan  tetapi  belum  mulai  berlaku,  gunakan  frase  ditarik kembali dan dinyatakan tidak berlaku. Contoh: Pada  saat  Undang‐Undang  ini  mulai  berlaku,  Undang‐Undang Nomor  ...  Tahun  …  tentang  ...  (Lembaran  Negara  Republik Indonesia Tahun  ... Nomor Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor .... ditarik kembali dan dinyatakan tidak berlaku. 

149. Untuk  mencabut  Peraturan  Perundang‐undangan  yang  telah diundangkan  tetapi  belum  mulai  berlaku,  gunakan  frasa  ditarik kembali dan dinyatakan tidak berlaku. Contoh: Pada  saat Undang‐Undang  ini mulai berlaku, Undang‐Undang Nomor ... Tahun... tentang  ...  (Lembaran Negara Republik  Indonesia Tahun  ... Nomor..., Tambahan Lembaran Negara Republik  Indonesia Nomor  ...) ditarik kembali dan dinyatakan tidak berlaku. 

 

    124. Pada  dasarnya  setiap  Peraturan  Perundang‐undangan  mulai berlaku pada saat peraturan yang bersangkutan diundangkan. 

150. Pada  dasarnya  Peraturan  Perundang‐undangan  mulai  berlaku  pada saat Peraturan Perundang‐undangan tersebut diundangkan. Contoh:   a. Undang‐Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. b. Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. c.  Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. 

 

    125. Jika ada penyimpangan terhadap saat mulai berlakunya Peraturan Perundang‐undangan yang bersangkutan pada  saat diundangkan, hal  ini  hendaknya  dinyatakan  secara  tegas  di  dalam  Peraturan Perundang‐undangan yang bersangkutan dengan: a. menentukan tanggal tertentu saat peraturan akan berlaku; 

Contoh: Undang‐Undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 April 2000. 

b. menyerahkan  penetapan  saat  mulai  berlakunya  kepada Peraturan  Perundang‐undangan  lain  yang  tingkatannya  sama, 

151. Jika  ada  penyimpangan  terhadap  saat  mulai  berlakunya  Peraturan Perundang‐undangan  tersebut  pada  saat  diundangkan,  hal  ini dinyatakan  secara  tegas  di  dalam  Peraturan  Perundang‐undangan tersebut dengan: a. menentukan tanggal tertentu saat peraturan akan berlaku; 

Contoh: Undang‐Undang ini mulai berlaku pada tanggal 17 Agustus 2011. 

b. menyerahkan penetapan  saat mulai berlakunya  kepada Peraturan Perundang‐undangan  lain  yang  tingkatannya  sama,  jika  yang 

 

Page 125: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

jika  yang  diberlakukan  itu  kodifikasi,  atau  oleh  Peraturan Perundang‐undangan lain yang lebih rendah. Contoh: Saat  mulai  berlakunya  Undang‐Undang  ini  akan  ditetapkan dengan Peraturan Presiden.  

c. dengan menentukan  lewatnya  tenggang waktu  tertentu  sejak saat Pengundangan  atau penetapan. Agar  tidak menimbulkan kekeliruan  penafsiran  gunakan  frase  setelah  ...  (tenggang waktu) sejak ...  Contoh: Undang‐Undang  ini mulai berlaku  setelah 1  (satu)  tahun  sejak tanggal pengundangan. 

diberlakukan  itu  kodifikasi,  atau  kepada  Peraturan  Perundang‐undangan  lain yang  lebih  rendah  jika yang diberlakukan  itu bukan kodifikasi; Contoh: Saat mulai berlakunya Undang‐Undang  ini akan ditetapkan dengan Peraturan Presiden. 

c. dengan menentukan  lewatnya  tenggang waktu  tertentu sejak saat Pengundangan atau penetapan. Agar tidak menimbulkan kekeliruan penafsiran  gunakan  frasa  setelah  ...  (tenggang  waktu)  terhitung sejak tanggal diundangkan. Contoh: Undang‐Undang  ini mulai berlaku setelah 1  (satu)  tahun  terhitung sejak tanggal diundangkan. 

    126. Hindari  frase  ... mulai  berlaku  efektif  pada  tanggal  ...  atau  yang sejenisnya,  karena  frase  ini menimbulkan  ketakpastian mengenai saat resmi berlalunya suatu Peraturan Perundang‐undangan : saat Pengundangan atau saat berlaku efektif. 

152. Tidak menggunakan frasa ... mulai berlaku efektif pada tanggal ... atau yang  sejenisnya,  karena  frasa  ini  menimbulkan  ketidakpastian mengenai saat berlakunya suatu Peraturan Perundang‐undangan yaitu saat diundangkan atau saat berlaku efektif. 

 

    127. Pada dasarnya saat mulai berlaku Peraturan Perundang‐undangan adalah  sama bagi  seluruh bagian Peraturan Perundang‐undangan dan seluruh wilayah negara Republik Indonesia. Contoh: Undang‐Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. 

153. Pada  dasarnya  saat  mulai  berlaku  Peraturan  Perundang‐undangan adalah sama bagi seluruh bagian Peraturan Perundang‐undangan dan seluruh  wilayah  negara  Republik  Indonesia  atau  seluruh  wilayah Provinsi, Kabupaten/Kota untuk Peraturan Daerah Provinsi, Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. 

 

    128. Penyimpangan terhadap saat mulai berlaku Peraturan Perundang‐undangan hendaknya dinyatakan secara tegas dengan: a. menetapkan bagian‐bagian mana dalam Peraturan Perundang‐

undangan itu yang berbeda saat mulai berlakunya;  Contoh: 

Pasal 45 (1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), 

ayat  (2),  ayat  (3),  dan  ayat  (4)  mulai  berlaku  pada tanggal… 

154. Penyimpangan  terhadap  saat  mulai  berlaku  Peraturan Perundangundangan dinyatakan secara tegas dengan: 

 a. menetapkan  ketentuan  dalam  Peraturan  Perundang‐undangan  itu 

yang berbeda saat mulai berlakunya;  Contoh: 

Pasal 45 (1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), ayat 

(2), ayat (3), dan ayat (4) mulai berlaku pada tanggal… . 

 

Page 126: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

 b. menetapkan  saat  mulai  berlaku  yang  berbeda  bagi  wilayah 

negara tertentu.  Contoh: 

Pasal 40 (15) Ketentuan  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  15  ayat 

(1) mulai berlaku untuk wilayah  Jawa dan Madura pada tanggal… 

  

b. menetapkan saat mulai berlaku yang berbeda bagi wilayah Negara tertentu.  Contoh: 

Pasal 40 (1) Ketentuan  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  15  ayat  (1) 

mulai berlaku untuk wilayah Jawa dan Madura pada tanggal….     129. Pada  dasarnya  saat  mulai  berlakunya  Peraturan  Perundang‐

undangan  tidak  dapat  ditentukan  lebih  awal  dari  pada  saat pengundangannya. 

155. Pada dasarnya mulai berlakunya Peraturan Perundang‐undangan tidak dapat ditentukan lebih awal dari pada saat pengundangannya. 

 

    130. Jika  ada  alasan  yang  kuat  untuk  memberlakukan  Peraturan Perundang‐undangan  lebih awal daripada  saat pengundangannya (artinya, berlaku surut), perlu diperhatikan hal‐hal sebagai berikut: a. ketentuan  baik  yang  berkaitan  dengan masalah  pidana,  baik 

jenis,  berat,  sifat,  maupun  klasifikasinya,  tidak  ikut diberlakusurutkan; 

b. rincian  mengenai  pengaruh  ketentuan  berlaku  surut  itu terhadap  tindakan  hukum,  hubungan  hukum,  dan  akibat hukum  tertentu  yang  sudah  ada,  perlu  dimuat  dalam ketentuan peralihan; 

c. awal  dari  saat mulai  berlaku  Perataran  Perundang‐undangan sebaiknya  ditetapkan  tidak  lebih  dahulu  dari  saat  rancangan Peraturan Perundangundangan  tersebut mulai diketahui oleh masyarakat,  misalnya,  saat  rancangan  undang‐undang  itu disampaikan ke Dewan Perwakilan Rakyat. 

156. Jika ada alasan yang kuat untuk memberlakukan Peraturan Perundang‐undangan  lebih awal daripada saat pengundangannya (berlaku surut), diperhatikan hal sebagai berikut: a. ketentuan baru yang berkaitan dengan masalah pidana, baik  jenis, 

berat, sifat, maupun klasifikasinya, tidak ikut diberlakusurutkan; b. rincian mengenai  pengaruh  ketentuan  berlaku  surut  itu  terhadap 

tindakan  hukum,  hubungan  hukum,  dan  akibat  hukum  tertentu yang sudah ada, dimuat dalam ketentuan peralihan; 

c. awal  dari  saat  mulai  berlaku  Peraturan  Perundang‐undangan ditetapkan  tidak  lebih dahulu daripada  saat  rancangan Peraturan Perundang‐undangan  tersebut mulai  diketahui  oleh masyarakat, misalnya, saat rancangan Peraturan Perundang‐undangan tersebut tercantum  dalam  Prolegnas,  Prolegda,  dan  perencanaan rancangan Peraturan Perundang‐undangan lainnya. 

 

    131. Saat  mulai  berlaku  Peraturan  Perundang‐undangan, pelaksanaannya  tidak  boleh  ditetapkan  lebih  awal  daripada  saat mulai berlaku Peraturan Perundang‐undangan yang mendasarinya. 

157. Saat mulai  berlaku  Peraturan  Perundang‐undangan,  pelaksanaannya tidak  boleh  ditetapkan  lebih  awal  daripada  saat  mulai  berlaku Peraturan Perundang‐undangan yang mendasarinya. 

 

    132. Penutup merupakan bagian akhir Peraturan Perundang‐undangan dan memuat: 

   

Page 127: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

a. rumusan  perintah  pengundangan  dan  penempatan  Peraturan Perundang‐undangan  dalam  Lembaran  Negara  Republik Indonesia,  Berita  Negara  Republik  Indonesia,  Lembaran Daerah, atau Berita Daerah; 

b. penandatanganan  pengesahan  atau  penetapan  Peraturan Perundangundangan; 

c. Pengundangan Peraturan Perundang‐undangan; dan d. akhir bagian penutup. 

    133. Peraturan  Perundang‐undangan  hanya  dapat  dicabut  dengan Peraturan  Perundang‐undangan  yang  tingkatannya  sama  atau lebih tinggi. 

158. Peraturan  Perundang‐undangan  hanya  dapat  dicabut  dengan Peraturan  Perundang‐undangan  yang  tingkatannya  sama  atau  lebih tinggi. 

 

    134. Pencabutan  Peraturan  Perundang‐undangan  dengan  Peraturan Perundang‐undangan yang tingkatannya  lebih tinggi  itu dilakukan, jika  Peraturan  Perundang‐undangan  yang  lebih  tinggi  itu dimaksudkan  untuk menampung  kembali  seluruh  atau  sebagian materi Peraturan Perundang‐undangan  lebih rendah yang dicabut itu. 

159. Pencabutan  Peraturan  Perundang‐undangan  dengan  Peraturan Perundang‐undangan yang tingkatannya lebih tinggi itu dilakukan, jika Peraturan  Perundang‐undangan  yang  lebih  tinggi  itu  dimaksudkan untuk  menampung  kembali  seluruh  atau  sebagian  materi  muatan Peraturan Perundang‐undangan lebih rendah yang dicabut itu. 

 

    D. PENUTUP  D. PENUTUP       135. Rumusan  perintah  pengundangan  dan  penempatan  Peraturan 

Perundang‐undangan dalam Lembaran Negara Republik  Indonesia yang berbunyi sebagai berikut: Contoh: Agar  setiap  orang  mengetahuinya,  memerintahkan pengundangan…(jenis  Peraturan  Perundang‐undangan)  ...  ini dengan  penempatannya  dalam  Lembaran  Negara  Republik Indonesia. 

 

160. Penutup  merupakan  bagian  akhir  Peraturan  Perundang‐undangan yang memuat: a. rumusan  perintah  pengundangan  dan  penempatan  Peraturan 

Perundang‐undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita  Negara  Republik  Indonesia,  Lembaran  Daerah  Provinsi, Lembaran  Daerah  Kabupaten/Kota,  Berita  Daerah  Provinsi  atau Berita Daerah Kabupaten/Kota; 

b. penandatanganan  pengesahan  atau  penetapan  Peraturan Perundang‐undangan; 

c. pengundangan  atau  Penetapan  Peraturan  Perundang‐undangan; dan 

d. akhir bagian penutup. 

 

    136. Rumusan  perintah  pengundangan  dan  penempatan  Peraturan  161. Rumusan  perintah  pengundangan  dan  penempatan  Peraturan   

Page 128: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

Perundang‐undangan  dalam  Berita  Negara  Republik  Indonesia yang berbunyi sebagai berikut: Contoh: Agar  setiap  orang  mengetahuinya,  memerintahkan, pengundangan...(Jenis  Peraturan  Perundang‐undangan),  ...  ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. 

Perundang‐undangan  dalam  Lembaran  Negara  Republik  Indonesia yang berbunyi sebagai berikut: Contoh:   Agar  setiap  orang mengetahuinya, memerintahkan  pengundangan … (jenis  Peraturan  Perundang‐undangan)  ini  dengan  penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. 

    137. Rumusan  perintah  pengundangan  dan  penempatan  Peraturan Perundang‐undangan dalam Lembaran Negara atau Berita Daerah yang berbunyi sebagai berikut: Contoh: Agar  setiap  orang  mengetahuinya,  memerintahkan pengundangan...(jenis  Peraturan  Perundang‐undangan)  ...  ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah (Berita Daerah). 

162. Rumusan  perintah  pengundangan  dan  penempatan  Peraturan Perundang‐undangan  dalam  Berita  Negara  Republik  Indonesia  yang berbunyi sebagai berikut: Contoh: Agar  setiap  orang mengetahuinya, memerintahkan  pengundangan … (jenis  Peraturan  Perundang‐undangan)  ini  dengan  penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. 

 

      163. Rumusan  perintah  pengundangan  dan  penempatan  Peraturan Perundang‐undangan  dalam  Lembaran Daerah  atau  Berita Daerah yang berbunyi sebagai berikut: Contoh Peraturan Daerah Provinsi: Agar  setiap  orang mengetahuinya, memerintahkan  pengundangan Peraturan  Daerah  ini  dengan  penempatannya  dalam  Lembaran Daerah Provinsi Sumatera Barat. 

 

    138. Penandatanganan  pengesahan  atau  penetapan  Peraturan Perundang‐undangan memuat: i. tempat dan tanggal pengesahan atau penetapan; j. nama jabatan; k. tanda tangan pejabat; dan l. nama  lengkap pejabat yang menandatangani,  tanpa gelar dan 

pangkat. 

164. Penandatanganan  pengesahan  atau  penetapan  Peraturan Perundangundangan memuat: a. tempat dan tanggal pengesahan atau penetapan; b. nama jabatan; c. tanda tangan pejabat; dan d. nama  lengkap pejabat yang menandatangani, tanpa gelar,pangkat, 

golongan, dan nomor induk pegawai. 

 

    139. Rumusan  tempat  dan  tanggal  pengesahan  atau  penetapan diletakkan di sebelah kanan. 

165. Rumusan tempat dan tanggal pengesahan atau penetapan diletakkan di sebelah kanan. 

 

    140. Nama jabatan dan nama pejabat ditulis dengan huruf kapital. Pada akhir nama jabatan diberi tanda baca koma.  

166. Nama  jabatan  dan  nama  pejabat  ditulis  dengan  huruf  kapital.  Pada akhir nama jabatan diberi tanda baca koma. 

 

 

Page 129: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

Contoh untuk pengesahan Disahkan di Jakarta pada tanggal ... PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, tanda tangan NAMA 

 Contoh untuk penetapan: 

 Ditetapkan di Jakarta pada tanggal ... PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, tanda tangan NAMA 

a. untuk pengesahan: Contoh: 

Disahkan di Jakarta pada tanggal 22 Juli 2011 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 

tanda tangan SUSILO BAMBANG YUDHOYONO 

b. untuk penetapan: Contoh: 

Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 22 Juli 2011 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 

tanda tangan SUSILO BAMBANG YUDHOYONO 

    141. Pengundangan Peraturan Perundang‐undangan memuat: i. tempat dan tanggal Pengundangan; j. nama jabatan yang berwenang mengundangkan; k. tanda tangan; dan l. nama  lengkap pejabat yang menandatangani,  tanpa gelar dan 

pangkat. 

167. Pengundangan Peraturan Perundang‐undangan memuat: a. tempat dan tanggal Pengundangan; b. nama jabatan yang berwenang mengundangkan; c. tanda tangan; dan d. nama  lengkap pejabat yang menandatangani, tanpa gelar,pangkat, 

golongan, dan nomor induk pegawai. 

 

    142. Tempat  tanggal  Pengundangan  Peraturan  Perundang‐undangan diletakkan di sebelah kiri (di bawah penandatanganan pengesahan atau penetapan). 

168. Tempat  tanggal  pengundangan  Peraturan  Perundang‐undangan diletakkan  di  sebelah  kiri  (di  bawah  penandatanganan  pengesahan atau penetapan). 

 

    143. Nama jabatan dan nama pejabat ditulis dengan huruf kapital. Pada akhir nama jabatan diberi tanda baca koma. Contoh: Diundangkan di ... pada tanggal ... MENTERI (yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang Peraturan Perundangundangan) 

tanda tangan NAMA 

 

169. Nama  jabatan  dan  nama  pejabat  ditulis  dengan  huruf  kapital.  Pada akhir nama jabatan diberi tanda baca koma. Contoh: Diundangkan di Jakarta pada tanggal 22 Juli 2011 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA 

REPUBLIK INDONESIA, tanda tangan PATRIALIS AKBAR 

 

Page 130: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

    144. Jika dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari Presiden tidak menandatangani  rancangan  undang‐undang  yang  telah  disetujui bersama  antara  Dewan  Perwakilan  Rakyat  dan  Presiden,  maka dicantumkan  kalimat  pengesahan  setelah  nama  pejabat  yang mengundangkan  yang  berbunyi:  Undang‐Undang  ini  dinyatakan sah  berdasarkan  ketentuan  Pasal  20  ayat  (5)  Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 

170. Jika  dalam  waktu  paling  lama  30  (tiga  puluh)  hari  Presiden  tidak menandatangani  Rancangan  Undang‐Undang  yang  telah  disetujui bersama  antara  DPR  dan  Presiden,  maka  dicantumkan  kalimat pengesahan  setelah  nama  pejabat  yang  mengundangkan  yang berbunyi: Undang‐Undang  ini dinyatakan  sah berdasarkan  ketentuan Pasal  20  ayat  (5)  Undang‐Undang  Dasar  Negara  Republik  Indonesia Tahun 1945. 

 

    145. Jika  dalam  waktu  paling  lambat  30  (tiga  puluh)  hari Gubernur/Bupati/Walikota  tidak  menandatangani  rancangan peraturan  daerah  yang  telah  disetujui  bersama  antara  Dewan Perwakilan  Rakyat  Daerah  dan  Gubernur  atau  Bupati/Walikota, maka dicantumkan kalimat pengesahan setelah nama pejabat yang mengundangkan  yang berbunyi: Peraturan Daerah  ini dinyatakan sah. 

171. Jika  dalam  waktu  paling  lama  30  (tiga  puluh)  hari  Gubernur  atau Bupati/Walikota  tidak menandatangani Rancangan Peraturan Daerah yang  telah  disetujui  bersama  antara  DPRD  dan  Gubernur  atau Bupati/Walikota,  maka  dicantumkan  kalimat  pengesahan  setelah nama pejabat yang mengundangkan yang berbunyi: Peraturan Daerah ini dinyatakan sah. 

 

 

    146. Pada  akhir  bagian  penutup  dicantumkan  Lembaran  Negara Republik  Indonesia,  Berita Negara  Republik  Indonesia,  Lembaran Daerah,  dan  Berita  Daerah  beserta  tahun  dan  nomor  dari Lembaran  Negara  Republik  Indonesia,  Berita  Negara  Republik Indonesia, Lembaran Daerah, dan Berita Daerah tersebut. 

 

172. Pada  akhir  bagian  penutup  dicantumkan  Lembaran Negara  Republik Indonesia,  Berita  Negara  Republik  Indonesia,  Lembaran  Daerah Provinsi, Lembaran Daerah Kabupaten/Kota, Berita Daerah Provinsi atau  Berita Daerah  Kabupaten/Kota  beserta  tahun  dan  nomor  dari Lembaran  Negara  Republik  Indonesia,  Berita  Negara  Republik Indonesia,  Lembaran  Daerah  Provinsi,  Lembaran  Daerah Kabupaten/Kota,  Berita  Daerah  Provinsi  atau  Berita  Daerah Kabupaten/Kota. 

 

    147. Penulisan  frase  Lembaran  Negara  Republik  Indonesia,  Berita Negara Republik  Indonesia, Lembaran Daerah, dan Berita Daerah ditulis seluruhnya dengan huruf kapital. 

 Contoh:  LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN ... NOMOR....  Contoh:  

173. Penulisan  frasa  Lembaran Negara Republik  Indonesia  atau  Lembaran Daerah ditulis seluruhnya dengan huruf kapital. 

  

Contoh:  LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN ... NOMOR...  Contoh:  

 

Page 131: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN ... NOMOR..  Contoh:  LEMBARAN  DAERAH  PROVINSI  (KABUPATEN/KOTA)  ...  TAHUN ...NOMOR.... 

 

LEMBARAN  DAERAH  PROVINSI  (KABUPATEN/KOTA)  ...  TAHUN  ... NOMOR ... 

 

    E. PENJELASAN  E. PENJELASAN       148. a. Setiap Undang‐Undang perlu diberi penjelasan. 

b.  Peraturan  Perundang‐undangan  di  bawah  Undang‐Undang dapat diberi penjelasan, jika diperlukan. 

174. Setiap  Undang‐Undang,  Peraturan  Daerah  Provinsi  dan  Peraturan Daerah Kabupaten/Kota diberi penjelasan. 

 

 

      175. Peraturan  Perundang‐undangan  di  bawah  Undang‐Undang  (selain Peraturan  Daerah  Provinsi  dan  Kabupaten/Kota)  dapat  diberi penjelasan jika diperlukan. 

 

    149. Penjelasan berfungsi sebagai tafsiran resmi pembentuk Peraturan Perundang‐undangan  atas  norma  tertentu  dalam  batang  tubuh. Oleh  karena  itu,  penjelasan  hanya memuat  uraian  atau  jabaran lebih  lanjut dari norma yang diatur dalam batang  tubuh. Dengan demikian,  penjelasan  sebagai  sarana  untuk memperjelas  norma dalam  batang  tubuh  tidak  boleh  mengakibatkan  terjadinya ketidakjelasan dari norma yang dijelaskan. 

176. Penjelasan  berfungsi  sebagai  tafsir  resmi  pembentuk  Peraturan Perundang‐undangan atas norma  tertentu dalam batang  tubuh. Oleh karena  itu,  penjelasan  hanya  memuat  uraian  terhadap  kata,  frasa, kalimat  atau  padanan  kata/istilah  asing  dalam  norma  yang  dapat disertai dengan contoh. Penjelasan sebagai sarana untuk memperjelas norma  dalam  batang  tubuh  tidak  boleh  mengakibatkan  terjadinya ketidakjelasan dari norma yang dimaksud. 

 

    150. Penjelasan  tidak  dapat  digunakan  sebagai  dasar  hukum  untuk membuat  peraturan  lebih  lanjut.  Oleh  karena  itu,  hindari membuat rumusan norma di dalam bagian penjelasan. 

177. Penjelasan  tidak  dapat  digunakan  sebagai  dasar  hukum  untuk membuat  peraturan  lebih  lanjut  dan  tidak  boleh  mencantumkan rumusan yang berisi norma. 

 

    151. Dalam  penjelasan  dihindari  rumusan  yang  isinya  memuat perubahan terselubung terhadap ketentuan Peraturan Perundang‐undangan. 

178. Penjelasan  tidak  menggunakan  rumusan  yang  isinya  memuat perubahan  terselubung  terhadap  ketentuan  Peraturan  Perundang‐undangan. 

 

    152. Naskah  penjelasan  disusun  bersama‐sama  dengan  penyusunan rancangan peraturan perundang‐undangan yang bersangkutan. 

179. Naskah  penjelasan  disusun  bersama‐sama  dengan  penyusunan rancangan Peraturan Perundang‐undangan. 

 

    153. Judul  penjelasan  sama  dengan  judul  Peraturan  Perundang‐undangan yang bersangkutan. 

180. Judul  penjelasan  sama  dengan  judul  Peraturan  Perundang‐undangan yang diawali dengan  frasa penjelasan  atas  yang ditulis dengan huruf 

 

Page 132: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

Contoh:  

PENJELASAN ATAS 

UNDANG‐UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR ... TAHUN ... 

TENTANG KESEJAHTERAAN ANAK 

kapital. Contoh: 

PENJELASAN ATAS 

UNDANG‐UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2011 

TENTANG TRANSFER DANA 

    154. Penjelasan  Peraturan  Perundang‐undangan  memuat  penjelasan umum dan penjelasan pasal demi pasal. 

181. Penjelasan Peraturan Perundang‐undangan memuat penjelasan umum dan penjelasan pasal demi pasal. 

 

    155. Rincian penjelasan umum dan penjelasan pasal demi pasal diawali dengan angka Romawi dan ditulis seluruhnya dengan huruf kapital. Contoh: I. UMUM II. PASAL DEMI PASAL 

182. Rincian  penjelasan  umum  dan  penjelasan  pasal  demi  pasal  diawali dengan angka Romawi dan ditulis dengan huruf kapital.  Contoh: I. UMUM II. PASAL DEMI PASAL 

 

    156. Penjelasan umum memuat uraian secara sistematis mengenai latar belakang  pemikiran, maksud,  dan  tujuan  penyusunan  Peraturan Perundang‐undangan  yang  telah  tercantum  secara  singkat dalam butir konsiderans, serta asas‐asas, tujuan, atau pokok‐pokok yang terkandung dalam batang tubuh Peraturan Perundang‐undangan. 

183. Penjelasan  umum memuat  uraian  secara  sistematis mengenai  latar belakang  pemikiran,  maksud,  dan  tujuan  penyusunan  Peraturan Perundang‐undangan yang telah tercantum secara singkat dalam butir konsiderans,  serta  asas,  tujuan,  atau materi  pokok  yang  terkandung dalam batang tubuh Peraturan Perundang‐undangan. 

 

    157. Bagian‐bagian dari penjelasan umum dapat diberi nomor dengan angka Arab, jika hal ini lebih memberikan kejelasan. Contoh: I. UMUM (1) Dasar Pemikiran ... (2) Pembagian Wilayah ... (3) Asas‐asas Penyelenggara Pemerintahan ... (4) Daerah Otonom 

184. Bagian‐bagian  dari  penjelasan  umum  dapat  diberi  nomor  dengan angka Arab, jika hal ini lebih memberikan kejelasan. Contoh: I. UMUM 1. Dasar Pemikiran ... 2. Pembagian Wilayah … 3. Asas‐asas Penyelenggara Pemerintahan … 4. Daerah Otonom 

 

Page 133: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

... (5) Wilayah Administratif ... (6) Pengawasan ... 

… 5. Wilayah Administratif … 6. Pengawasan … 

    158. Jika  dalam  penjelasan  umum  dimuat  pengacuan  ke  Peraturan Perundang‐undangan  lain  atau  dokumen  lain,  pengacuan  itu dilengkapi dengan keterangan mengenai sumbernya. 

185. Jika  dalam  penjelasan  umum  dimuat  pengacuan  ke  Peraturan Perundang‐undangan  lain  atau  dokumen  lain,  pengacuan  itu dilengkapi dengan keterangan mengenai sumbernya. 

 

    159. Dalam menyusun penjelasan pasal demi pasal harus ‐ diperhatikan agar rumusannya: a. tidak  bertentangan  dengan  materi  pokok  yang  diatur  dalam 

batang tubuh; b. tidak  memperluas  atau  menambah  norma  yang  ada  dalam 

batang tubuh; c. tidak melakukan  pengulangan  atas materi  pokok  yang  diatur 

dalam batang tubuh; d. tidak  mengulangi  uraian  kata,  istilah,  atau  pengertian  yang 

telah dimuat di dalam ketentuan umum.  

186. Rumusan  penjelasan  pasal  demi  pasal  memperhatikan  hal  sebagai berikut: a. tidak bertentangan dengan materi pokok yang diatur dalam batang 

tubuh; b. tidak  memperluas,  mempersempit  atau  menambah  pengertian 

norma yang ada dalam batang tubuh; c. tidak melakukan pengulangan atas materi pokok yang diatur dalam 

batang tubuh; d. tidak mengulangi  uraian  kata,  istilah,  frasa,  atau  pengertian  yang 

telah dimuat di dalam ketentuan umum; dan/atau e. tidak memuat rumusan pendelegasian 

 

    160. Ketentuan umum  yang memuat batasan pengertian  atau definisi dari kata atau  istilah,  tidak perlu diberikan penjelasan karena  itu batasan  pengertian  atau  definisi  harus  dirumuskan  sedemikian rupa  sehingga  dapat  dimengerti  tanpa  memerlukan  penjelasan lebih lanjut. 

187. Ketentuan  umum  yang  memuat  batasan  pengertian  atau  definisi dari kata atau istilah, tidak perlu diberikan penjelasan. 

 

    161. Pada  pasal  atau  ayat  yang  tidak memerlukan  penjelasan  ditulis frase  cukup  jelas  yang  diakhiri  dengan  tanda  baca  titik,  sesuai dengan  makna  frase  penjelasan  pasal  demi  pasal  tidak digantungkan walaupun  terdapat beberapa pasal berurutan  yang tidak memerlukan penjelasan. Contoh yang kurang tepat: Pasal 7, Pasal 8 dan Pasal 9 (Pasal 7 s/d Pasal 9) 

Cukup jelas, 

188. Pada pasal atau ayat yang  tidak memerlukan penjelasan ditulis  frasa cukup jelas yang diakhiri dengan tanda baca titik (.) dan huruf c ditulis dengan huruf kapital. Penjelasan pasal demi pasal  tidak digabungkan walaupun terdapat beberapa pasal berurutan yang tidak memerlukan penjelasan. 

 Contoh yang tidak tepat: Pasal 7, Pasal 8 dan Pasal 9 (Pasal 7 s/d Pasal 9) 

 

Page 134: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

 Seharusnya Pasal 7 

Cukup jelas. Pasal 8 

Cukup jelas. Pasal 9 

Cukup jelas. 

Cukup jelas.  Seharusnya: Pasal 7 

Cukup jelas. Pasal 8 

Cukup jelas. Pasal 9 

Cukup jelas.     162. Jika  suatu  pasal  terdiri  dari  beberapa  ayat  atau  butir  tidak 

memerlukan  penjelasan,  pasal  yang  bersangkutan  cukup  diberi penjelasan. Cukup  jelas.,  tanpa merinci masing‐masing  ayat  atau butir. 

189. Jika suatu pasal terdiri dari beberapa ayat atau butir tidak memerlukan penjelasan,  pasal  yang  bersangkutan  cukup  diberi  penjelasan  cukup jelas., tanpa merinci masing‐masing ayat atau butir. 

 

    163. a.  Jika suatu pasal  terdiri dari beberapa ayat atau butir dan salah satu  ayat  atau  butir  tersebut memerlukan  penjelasan,  setiap ayat  atau  butir  perlu  dicantumkan  dan  dilengkapi  dengan penjelasan yang sesuai. Contoh: Pasal 7 

Ayat (1) Cukup jelas. 

Ayat (2) Ayat ini dimaksudkan untuk memberi kepastian hukum  kepada  hakim  dan  para  pengguna hukum. 

Ayat (3) Cukup jelas. 

Ayat (4) Cukup jelas. 

   

190. Jika  suatu pasal  terdiri dari beberapa  ayat  atau butir dan  salah  satu ayat atau butir tersebut memerlukan penjelasan, setiap ayat atau butir perlu dicantumkan dan dilengkapi dengan penjelasan yang sesuai. 

 Contoh: Pasal 7 

Ayat (1) Cukup jelas. 

Ayat (2) Ayat ini dimaksudkan untuk memberi kepastian hokum kepada hakim dan para pengguna hukum. 

Ayat (3) Cukup jelas. 

Ayat (4) Cukup jelas. 

 

Page 135: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

b. jika  suatu  istilah/kata/frase dalam  suatu pasal  atau ayat  yang memerlukan penjelasan, gunakan tanda baca petik  (“…”) pada istilah kata/frase tersebut. Contoh: Pasal 25 

Ayat (1) Yang  dimaksud  dengan  "persidangan  yang berikut"  adalah  masa  persidangan  Dewan Perwakilan  Rakyat  yang  hanya  diantarai  satu masa reses. 

Ayat (2) Cukup jelas. 

Ayat (3) Cukup jelas. 

Ayat (4) Cukup jelas. 

191. Jika  suatu  istilah/kata/frasa  dalam  suatu  pasal  atau  ayat  yang memerlukan  penjelasan,  gunakan  tanda  baca  petik  (“…“)  pada istilah/kata/frasa tersebut. Contoh: Pasal 25 

Ayat (1) Yang  dimaksud  dengan  “persidangan  yang  berikut” adalah  masa  sidang  pertama  DPR  setelah  Peraturan Pemerintah Pengganti Undang‐Undang ditetapkan. 

Ayat (2) Cukup jelas. 

Ayat (3) Cukup jelas. 

Ayat (4) Cukup jelas. 

    F. LAMPIRAN (Jika diperlukan)  F. LAMPIRAN       164. Dalam hal Peraturan Perundang‐undangan memerlukan  lampiran, 

hal tersebut harus dinyatakan dalam batang tubuh dan pernyataan bahwa  lampiran  tersebut  merupakan  bagian  yang  tidak terpisahkan  dari  Peraturan  Perundang‐undangan  yang bersangkutan. Pada akhir  lampiran harus dicantumkan nama dan tanda tangan pejabat yang mengesahkan/ menetapkan Peraturan Perundang‐undangan yang bersangkutan. 

192. Dalam  hal  Peraturan  Perundang‐undangan memerlukan  lampiran, hal  tersebut  dinyatakan  dalam  batang  tubuh  bahwa  lampiran dimaksud merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Perundang‐undangan. 

 

      193. Lampiran dapat memuat antara  lain uraian, daftar,  tabel, gambar, peta, dan sketsa. 

 

      194. Dalam  hal  Peraturan  Perundang‐undangan memerlukan  lebih  dari satu  lampiran,  tiap  lampiran  harus  diberi  nomor  urut  dengan menggunakan angka romawi. Contoh: LAMPIRAN I 

LAMPIRAN II  

 

Page 136: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

      195. Judul  lampiran  ditulis  seluruhnya  dengan  huruf  kapital  yang diletakkan  di  sudut  kanan  atas  tanpa  diakhiri  tanda  baca  dengan rata kiri. Contoh: 

LAMPIRAN I UNDANG–UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR ... TAHUN … TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG–UNDANGAN 

 

      196. Nama  lampiran  ditulis  seluruhnya  dengan  huruf  kapital  yang diletakkan di tengah tanpa diakhiri tanda baca. Contoh:   

TEKNIK  PENYUSUNAN  PERATURAN  PERUNDANG‐UNDANGAN 

 

      197. Pada  halaman  akhir  tiap  lampiran  harus  dicantumkan  nama  dan tanda  tangan  pejabat  yang  mengesahkan  atau  menetapkan Peraturan  Perundang‐undangan  ditulis  dengan  huruf  kapital  yang diletakkan  di  sudut  kanan  bawah  dan  diakhiri  dengan  tanda  baca koma  setelah  nama  pejabat  yang mengesahkan  atau menetapkan Peraturan Perundang‐undangan. Contoh: 

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,  tanda tangan  

SUSILO BAMBANG YUDHOYONO 

 

    BAB II HAL‐HAL KHUSUS 

BAB II HAL‐HAL KHUSUS 

 

    A. PENDELEGASIAN KEWENANGAN  A. PENDELEGASIAN KEWENANGAN       165. Peraturan  Perundang‐undangan  yang  lebih  tinggi  dapat 

mendelegasikan  kewenangan  mengatur  lebih  lanjut  kepada 198. Peraturan  Perundang‐undangan  yang  lebih  tinggi  dapat 

mendelegasikan kewenangan mengatur  lebih  lanjut kepada Peraturan  

Page 137: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

Peraturan Perundang‐undangan yang lebih rendah.  Perundang‐undangan yang lebih rendah.       199. Pendelegasian  kewenangan  dapat  dilakukan  dari  suatu  Undang‐

Undang  kepada Undang‐Undang  yang  lain,  dari  Peraturan Daerah Provinsi  kepada  Peraturan  Daerah  Provinsi  yang  lain,  atau  dari Peraturan  Daerah  Kabupaten/Kota  kepada  Peraturan  Daerah Kabupaten/Kota yang lain. Contoh: Undang‐Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang 

Pasal 48 (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai perlindungan terhadap kawasan 

lahan abadi pertanian pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e diatur dengan Undang‐Undang. 

 

    166. Pendelegasian  kewenangan  mengatur,  harus  menyebut  dengan tegas: a. ruang lingkup materi yang diatur; dan b. jenis Peraturan Perundang‐undangan. 

200. Pendelegasian kewenangan mengatur harus menyebut dengan tegas: a. ruang lingkup materi muatan yang diatur; dan b. jenis Peraturan Perundang‐undangan. 

 

    167. a.  Jika materi  yang  didelegasikan  sebagian  sudah  diatur  pokok‐pokoknya  di  dalam  Peraturan  Perundang‐undangan  yang mendelegasikan  tetapi materi  itu harus diatur hanya di dalam Peraturan  Perundang‐undangan  yang  didelegasikan  dan  tidak boleh  didelegasikan  lebih  lanjut  ke  Peraturan  Perundang‐undangan  yang  lebih  rendah  (subdelegasi),  gunakan  kalimat Ketentuan lebih lanjut mengenai ... diatur dengan... 

         

201. Jika materi muatan yang didelegasikan  sebagian  sudah diatur pokok‐pokoknya  di  dalam  Peraturan  Perundang‐undangan  yang mendelegasikan tetapi materi muatan itu harus diatur hanya di dalam Peraturan  Perundang‐undangan  yang  didelegasikan  dan  tidak  boleh didelegasikan  lebih  lanjut  ke  Peraturan  Perundang‐undangan  yang lebih  rendah  (subdelegasi),  gunakan  kalimat  Ketentuan  lebih  lanjut mengenai … diatur dengan … .  Contoh 1: Pasal … (1)    ... .   (2)  Ketentuan  lebih  lanjut  mengenai  …  diatur  dengan  Peraturan 

Pemerintah. Contoh 2: Peraturan Daerah Kabupaten Gorontalo Utara Nomor 87 Tahun 2010 tentang Pajak Reklame 

 

Page 138: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

               

b. Jika pengaturan materi tersebut dibolehkan didelegasikan lebih lanjut  (subdelegasi)  gunakan  kalimat  Ketentuan  lebih  lanjut mengenai ...diatur dengan atau berdasarkan... Contoh huruf a: 

Pasal ... (1) ... (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai ... diatur dengan Peraturan 

Pemerintah. Contoh huruf b: 

Pasal ... (1) ... (2)Ketentuan  lebih  lanjut  mengenai  ...  diatur  dengan  atau 

berdasarkan Peraturan Pemerintah. 

Pasal 18 (1) ... . (2)  Ketentuan  lebih  lanjut  mengenai  tata  cara  pengisian  dan 

penyampaian  SKPD  atau  dokumen  lain  yang  dipersamakan diatur dengan Peraturan Kepala Daerah. 

 Contoh 3: Peraturan  Daerah  Nomor  4  Tahun  2010  tentang  Pengelolaan Sampah Regional Jawa Timur 

Pasal 23 (1) … . (2) … . (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan tata cara peran serta 

masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Gubernur. 

202. Jika  pengaturan  materi  muatan  tersebut  dibolehkan  didelegasikan lebih  lanjut  (subdelegasi),  gunakan  kalimat  Ketentuan  lebih  lanjut mengenai … diatur dengan atau berdasarkan … . Contoh: 

Pasal … (1)  … . (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai … diatur dengan atau berdasarkan 

Peraturan Pemerintah. 

Page 139: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

    168. a. Jika materi yang didelegasikan sama sekali belum diatur pokok‐pokoknya  di  dalam  Peraturan  Perundang‐undangan  yang mendelegasikan dan materi itu harus diatur di dalam Peraturan Perundang‐undangan  yang  diberi  delegasi  dan  tidak  boleh didelegasikan  lebih  lanjut  ke  Peraturan  Perundang‐undangan yang  lebih  rendah  (subdelegasi),  gunakan  kalimat  Ketentuan mengenai ... diatur dengan... 

      

 

203. Jika  materi  muatan  yang  didelegasikan  sama  sekali  belum  diatur pokok‐pokoknya  di  dalam  Peraturan  Perundang‐undangan  yang mendelegasikan  dan  materi  muatan  itu  harus  diatur  di  dalam Peraturan Perundang‐undangan  yang diberi delegasi dan  tidak boleh didelegasikan  lebih  lanjut  ke  Peraturan  Perundang‐undangan  yang lebih  rendah  (subdelegasi),  gunakan  kalimat  Ketentuan mengenai … diatur dengan … . 

 Contoh: 

Pasal … (1) … . (2) Ketentuan mengenai … diatur dengan Peraturan Pemerintah. 

 

  204. Jika pengaturan materi tersebut dibolehkan didelegasikan  lebih  lanjut (subdelegasi) digunakan kalimat Ketentuan mengenai … diatur dengan atau berdasarkan … . Contoh: 

Pasal ... (1)   ... . (2) Ketentuan mengenai … diatur dengan atau berdasarkan Peraturan 

Pemerintah. 

    b. Jika peraturan materi  tersebut dibolehkan didelegasikan  lebih lanjut  (subdelegasi)  digunakan  kalimat  Ketentuan mengenai…diatur dengan atau berdasarkan…  Contoh huruf a: 

Pasal… 

205. Jika  terdapat  beberapa  materi  muatan  yang  didelegasikan  dan materi muatan tersebut tercantum dalam beberapa pasal atau ayat tetapi  akan  didelegasikan  dalam  suatu  Peraturan  Perundang‐undangan,  gunakan  kalimat  “Ketentuan mengenai …  diatur  dalam ….”  

 

Page 140: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

(1) … (2)  Ketentuan  mengenai  ...  diatur  dengan  Peraturan Pemerintah.  Contoh huruf b: 

Pasal ... (1)    .... (2)    Ketentuan mengenai  ...  diatur  dengan  atau  berdasarkan 

Peraturan Pemerintah. 

Contoh: Qanun  Kabupaten  Aceh  Jaya  Nomor  2  Tahun  2010  tentang Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan 

Pasal 57 (1) … . (2) … . (3) … . (4) ... . . . (5) … . (6) … . (7) Ketentuan mengenai pedoman persyaratan dan  tata  cara untuk 

mendapatkan KIPAS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Bupati. 

      206. Jika  terdapat  beberapa  materi  muatan  yang  didelegasikan  maka materi muatan yang didelegasikan dapat disatukan dalam 1  (satu) peraturan  pelaksanaan  dari  Peraturan  Perundang‐undangan  yang mendelegasikan,  gunakan  kalimat  “(jenis  Peraturan Perundangundangan) … tentang Peraturan Pelaksanaan ...”  Contoh:  Peraturan  Pemerintah  Nomor  36  Tahun  2005  tentang 

Peraturan  Pelaksanaan  Undang‐Undang  Nomor  28  Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung. 

 

    169. Untuk  mempermudah  dalam  penentuan  judul  dari  peraturan pelaksana  yang  akan  dibuat  rumusan  pendelegasian  perlu mencantumkan  secara  singkat  tetapi  lengkap mengenai apa yang akan diatur lebih lanjut. Contoh: 

Pasal 10 (6) … (7)  ketentuan  lebih  lanjut  tentang  tata  cara  permohonan 

pendaftaran  desain  industri  diatur  dengan  Peraturan Pemerintah. 

207. Untuk  mempermudah  dalam  penentuan  judul  dari  peraturan pelaksanaan  yang  akan  dibuat,  rumusan  pendelegasian  perlu mencantumkan secara singkat tetapi lengkap mengenai apa yang akan diatur lebih lanjut. Contoh: Diambil  dari  Undang‐Undang  Nomor  18  Tahun  2009  tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan 

Pasal 76 (1) ... . (2) ... . 

 

Page 141: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

(3) ... . (4) ... . (5)  Ketentuan  lebih  lanjut  mengenai  kemudahan  sebagaimana 

dimaksud  pada  ayat  (1)  dan  ayat  (2)  diatur  dengan  atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. 

    170. Jika  pasal  terdiri  dari  beberapa  ayat  pendelegasian  kewenangan dimuat pada ayat terakhir dari pasal yang bersangkutan. 

208. Jika  pasal  terdiri  dari  beberapa  ayat,  pendelegasian  kewenangan dimuat pada ayat terakhir dari pasal yang bersangkutan. 

 

    171. Jika  pasal  terdiri  dari  banyak  ayat,  pendelegasian  kewenangan dapat  dipertimbangkan  untuk  dimuat  dalam  pasal  tersendiri, karena materi  pendelegasian  ini  pada  dasarnya  berbeda  dengan apa yang diatur dalam rangkaian ayat‐ayat sebelumnya. 

209. Jika pasal terdiri dari beberapa ayat, pendelegasian kewenangan dapat dipertimbangkan untuk dimuat dalam pasal  tersendiri, karena materi pendelegasian  ini  pada  dasarnya  berbeda  dengan  apa  yang  diatur dalam rangkaian ayat‐ayat sebelumnya. 

 

    172. Dalam  pendelegasian  kewenangan  mengatur  sedapat  mungkin dihindari adanya delegasi blangko. Contoh: 

Pasal ... Hal‐hal yang belum cukup diatur dalam Undang‐Undang ini, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. 

210. Dalam  pendelegasian  kewenangan  mengatur  tidak  boleh  adanya delegasi blangko. Contoh 1: 

Pasal … Hal‐hal  yang  belum  cukup  diatur  dalam  Undang‐Undang  ini,  diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.  Contoh 2: Qanun  Kabupaten  Aceh  Jaya  Nomor  4  Tahun  2010  tentang Pembentukan  Susunan  Organisasi  dan  Tata  Kerja  Badan Penanggulangan Bencana Daerah 

Pasal 24 Hal‐hal  yang belum diatur dalam Qanun  ini  sepanjang pengaturan pelaksanaannya, diatur dengan Peraturan Bupati. 

 

    173. Pendelegasian  kewenangan  mengatur  dari  Undang‐Undang kepada  menteri  atau  pejabat  yang  setingkat  dengan  menteri dibatasi untuk peraturan yang bersifat teknis administratif. 

211. Pendelegasian  kewenangan  mengatur  dari  Undang‐Undang  kepada menteri,  pemimpin  lembaga  pemerintah  nonkementerian,  atau pejabat yang setingkat dengan menteri dibatasi untuk peraturan yang bersifat teknis administratif. 

 

    174. Kewenangan yang didelegasikan kepada suatu alat penyelenggara negara  tidak  dapat  didelegasikan  lebih  lanjut  kepada  alat penyelenggara negara  lain, kecuali  jika oleh Undang‐Undang yang 

212. Kewenangan  yang  didelegasikan  kepada  suatu  alat  penyelenggara negara  tidak  dapat  didelegasikan  lebih  lanjut  kepada  alat penyelenggara  negara  lain,  kecuali  jika  oleh  Undang‐Undang  yang 

 

Page 142: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

mendelegasikan kewenangan tersebut dibuka kemungkinan untuk itu. 

mendelegasikan kewenangan tersebut dibuka kemungkinan untuk itu. 

    175. Hindari pendelegasian kewenangan mengatur secara langsung dari Undang‐Undang  kepada  direktur  jenderal  atau  pejabat  yang setingkat. 

213. Pendelegasian  kewenangan  mengatur  dari  suatu  Peraturan Perundang‐undangan  tidak  boleh  didelegasikan  kepada  direktur jenderal, sekretaris jenderal, atau pejabat yang setingkat. 

 

    176. Pendelegasian  langsung  kepada  direktur  jenderal  atau  pejabat yang  setingkat hanya dapat diberikan oleh Peraturan Perundang‐undangan  yang  tingkatannya  lebih  rendah  daripada  Undang‐Undang. 

214. Pendelegasian  langsung  kepada  direktur  jenderal  atau  pejabat  yang setingkat hanya dapat diberikan oleh Peraturan Perundang‐undangan yang tingkatannya lebih rendah daripada Undang‐Undang. 

 

    177. Peraturan Perundang‐undangan pelaksanaannya hendaknya  tidak mengulangi ketentuan norma yang telah diatur di dalam Peraturan Perundang‐undangan  yang  mendelegasikan,  kecuali  jika  hal tersebut memang tidak dapat dihindari. 

215. Peraturan  Perundang‐undangan  pelaksanaannya  hendaknya  tidak mengulangi  ketentuan  norma  yang  telah  diatur  di  dalam  Peraturan Perundang‐undangan  yang mendelegasikan,  kecuali  jika  hal  tersebut memang tidak dapat dihindari. 

 

    178. Di  dalam  peraturan  pelaksana  sedapat  mungkin  dihindari pengutipan kembali rumusan norma atau ketentuan yang terdapat dalam  peraturan  perundang‐undangan  lebih  tinggi  yang mendelegasikan.  Pengutipan  kembali  dapat  dilakukan  sepanjang rumusan  norma  atau  ketentuan  tersebut  diperlukan  sebagai pengantar  (aanloop)  untuk merumuskan  norma  atau  ketentuan lebih lanjut di dalam pasal (‐pasal) atau ayat (‐ayat) selanjutnya. 

216. Di  dalam  peraturan  pelaksanaan  tidak  mengutip  kembali  rumusan norma  atau  ketentuan  yang  terdapat  dalam  Peraturan  Perundang‐undangan  lebih  tinggi  yang  mendelegasikan.  Pengutipan  kembali dapat  dilakukan  sepanjang  rumusan  norma  atau  ketentuan  tersebut diperlukan  sebagai  pengantar  (aanloop)  untuk  merumuskan  norma atau ketentuan  lebih  lanjut di dalam pasal atau beberapa pasal atau ayat atau beberapa ayat selanjutnya. 

 

    B. PENYIDIKAN  B. PENYIDIKAN       179. Ketentuan  penyidikan  hanya  dapat  dimuat  di  dalam  Undang‐

Undang dan Peraturan Daerah. 217. Ketentuan penyidikan hanya dapat dimuat di dalam Undang‐Undang, 

Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.  

    180. Ketentuan  penyidikan  memuat  pemberian  kewenangan  kepada Penyidik  Pegawai Negeri  Sipil  departemen  atau  instansi  tertentu untuk menyidik pelanggaran  terhadap ketentuan Undang‐Undang atau Peraturan Daerah. 

218. Ketentuan  penyidikan  memuat  pemberian  kewenangan  kepada Penyidik  Pegawai  Negeri  Sipil  kementerian,  lembaga  pemerintah nonkementerian,  atau  instansi  tertentu  untuk menyidik  pelanggaran terhadap ketentuan Undang‐Undang, Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. 

 

    181. Dalam merumuskan  ketentuan  yang menunjuk  pejabat  tertentu sebagai  penyidik  hendaknya  diusahakan  ajar  tidak  mengurangi kewenangan penyidik umum untuk melakukan penyidikan. 

219. Dalam  merumuskan  ketentuan  yang  menunjuk  pejabat  tertentu sebagai  penyidik  pegawai  negeri  sipil  diusahakan  agar  tidak mengurangi  kewenangan  penyidik  umum  untuk  melakukan 

 

Page 143: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

 Contoh: Pejabat  Pegawai  Negeri  Sipil  tertentu  di  lingkungan  ...  (nama departemen  atau  instansi)...  dapat  diberikan  kewenangan  untuk melaksanakan  penyidikan  terhadap  pelanggaran  terhadap ketentuan‐ketentuan  dalam  Undang‐Undang  (atau  Peraturan Daerah) ini. 

penyidikan. Contoh: Penyidik  Pegawai  Negeri  Sipil  tertentu  di  lingkungan  ...  (nama kementerian  atau  instansi)  dapat  diberikan  kewenangan  untuk melaksanakan penyidikan  terhadap pelanggaran  terhadap ketentuan‐ketentuan  dalam  Undang‐Undang  (Peraturan  Daerah  Provinsi  atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota) ini. 

    182. Ketentuan  penyidikan  ditempatkan  sebelum  ketentuan  pidana atau  jika  dalam  Undang‐Undang  atau  Peraturan  Daerah  tidak diadakan  pengelompokan,  ditempatkan  pada  pasal  (‐pasal) sebelum ketentuan pidana. 

220. Ketentuan  penyidikan  ditempatkan  sebelum  ketentuan  pidana  atau jika dalam Undang‐Undang, Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota tidak diadakan pengelompokan, ditempatkan pada pasal atau beberapa pasal sebelum ketentuan pidana. 

 

    C. PENCABUTAN  C. PENCABUTAN       183. Jika  ada  Peraturan  Perundang‐undangan  lama  yang  tidak 

diperlukan  lagi  dan  diganti  dengan  Peraturan  Perundang‐undangan baru, Peraturan Perundang‐undangan  yang baru harus secara tegas mencabut Peraturan Perundang‐undangan yang tidak diperlukan itu. 

221. Jika  ada  Peraturan  Perundang‐undangan  lama  yang  tidak  diperlukan lagi  dan  diganti  dengan  Peraturan  Perundang‐undangan  baru, Peraturan  Perundang‐undangan  yang  baru  harus  secara  tegas mencabut Peraturan Perundang‐undangan yang tidak diperlukan itu. 

 

    184. Peraturan  Perundang‐undangan  pada  dasarnya  hanya  dapat dicabut melalui Peraturan Perundang‐undangan yang setingkat. 

222. Jika  materi  dalam  Peraturan  Perundang‐undangan  yang  baru menyebabkan perlu penggantian sebagian atau seluruh materi dalam Peraturan  Perundang‐undangan  yang  lama,  di  dalam  Peraturan Perundang‐undangan  yang  baru  harus  secara  tegas  diatur mengenai pencabutan  sebagian  atau  seluruh  Peraturan  Perundang‐undangan yang lama. 

 

    185. Peraturan  Perundang‐undangan  yang  lebih  rendah  tidak  boleh mencabut Peraturan Perundang‐undangan yang lebih tinggi. 

223. Peraturan  Perundang‐undangan  hanya  dapat  dicabut  melalui Peraturan Perundang‐undangan yang setingkat atau lebih tinggi. 

 

    186. Pencabutan  melalui  Peraturan  Perundang‐undangan  yang tingkatannya  lebih  tinggi  dilakukan  jika  Peraturan  Perundang‐undangan  yang  lebih  tinggi  tersebut  dimaksudkan  untuk menampung kembali seluruh atau sebagian dari materi Peraturan Perundang‐undangan yang lebih rendah yang dicabut itu. 

224. Pencabutan  melalui  Peraturan  Perundang‐undangan  yang tingkatannya  lebih  tinggi  dilakukan  jika  Peraturan  Perundang‐undangan yang  lebih  tinggi tersebut dimaksudkan untuk menampung kembali  seluruh  atau  sebagian  dari  materi  Peraturan  Perundang‐undangan yang lebih rendah yang dicabut itu. 

 

    187. Jika Peraturan Perundang‐undangan baru mengatur kembali suatu  225. Jika  Peraturan  Perundang‐undangan  baru  mengatur  kembali  suatu   

Page 144: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

materi  yang  sudah  diatur  dan  sudah  diberlakukan,  pencabutan Peraturan  Perundang‐undangan  itu  dinyatakan  dalam  salah  satu pasal  dalam  ketentuan  penutup  dari  Peraturan  Perundang‐undangan yang baru, dengan menggunakan rumusan dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. 

materi  yang  sudah  diatur  dan  sudah  diberlakukan,  pencabutan Peraturan Perundang‐undangan itu dinyatakan dalam salah satu pasal dalam  ketentuan  penutup  dari  Peraturan  Perundang‐undangan  yang baru,  dengan  menggunakan  rumusan  dicabut  dan  dinyatakan  tidak berlaku. 

    188. Pencabutan  Peraturan  Perundang‐undangan  yang  sudah diundangkan atau diumumkan, tetapi belum mulai berlaku, dapat dilakukan  dengan  peraturan  tersendiri  dengan  menggunakan rumusan ditarik kembali dan dinyatakan tidak berlaku. 

226. Pencabutan Peraturan Perundang‐undangan yang sudah diundangkan tetapi  belum  mulai  berlaku,  dapat  dilakukan  dengan  peraturan tersendiri  dengan  menggunakan  rumusan  ditarik  kembali  dan dinyatakan tidak berlaku. 

 

    189. Jika pencabutan Peraturan Perundang‐undangan dilakukan dengan peraturan pencabutan tersendiri, peraturan pencabutan itu hanya memuat  2  (dua)  pasal  yang  ditulis  dengan  angka  Arab,  yaitu sebagai berikut: e. Pasal 1 memuat ketentuan yang menyatakan tidak berlakunya 

Peraturan  Perundang‐undangan  yang  sudah  diundangkan tetapi belum mulai berlaku. 

f. Pasal  2  memuat  ketentuan  tentang  saat  mulai  berlakunya Peraturan  Perundang‐undangan  pencabutan  yang bersangkutan. 

 Contoh: 

Pasal 1 Undang‐Undang  Nomor…Tahun…tentang  (Lembaran  Negara Republik Indonesia Tahun ... Nomor…Tambahan Lembaran Negara Republik  Indonesia  Nomor  ...)  dicabut  dan  di  nyatakan  tidak berlaku. 

Pasal 2 Undang‐Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. 

227. Jika pencabutan Peraturan Perundangan‐undangan dilakukan dengan peraturan pencabutan tersendiri, peraturan pencabutan tersebut pada dasarnya memuat 2 (dua) pasal yang ditulis dengan angka Arab, yaitu sebagai berikut : a. Pasal  1  memuat  ketentuan  yang  menyatakan  tidak  berlakunya 

Peraturan Perundang‐undangan yang sudah diundangkan. b. Pasal  2  memuat  ketentuan  tentang  saat  mulai  berlakunya 

Peraturan Perundang‐undangan pencabutan yang bersangkutan.  Contoh: 

Pasal 1 Undang‐Undang  Nomor  …  Tahun  ...  tentang  …  (Lembaran  Negara Republik  Indonesia  Tahun … Nomor …,  Tambahan  Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor …) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. 

Pasal 2 Undang‐Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. 

 

    190. Pencabutan  Peraturan  Perundang‐undangan  yang  menimbulkan perubahan  dalam  Peraturan  Perundang‐undangan  lain  yang terkait, tidak mengubah Peraturan Perundang‐undangan  lain yang terkait tersebut, kecuali ditentukan lain secara tegas. 

228. Pencabutan  Peraturan  Perundang‐undangan  yang  menimbulkan perubahan  dalam  Peraturan  Perundang‐undangan  lain  yang  terkait, tidak  mengubah  Peraturan  Perundang‐undangan  lain  yang  terkait tersebut, kecuali ditentukan lain secara tegas. 

 

Page 145: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

    191. Peraturan  Perundang‐undangan  atau  ketentuan  yang  telah dicabut,  otomatis  tidak  berlaku  kembali,  meskipun  Peraturan Perundang‐undangan  yang  mencabut  di  kemudian  hari  dicabut pula. 

229. Peraturan Perundang‐undangan atau ketentuan yang telah dicabut, tetap tidak berlaku, meskipun Peraturan Perundang‐undangan yang mencabut di kemudian hari dicabut pula. 

 

    D. PERUBAHAN PERATURAN PERUNDANG‐UNDANGAN  D. PERUBAHAN PERATURAN PERUNDANG‐UNDANGAN       192. Perubahan Peraturan Perundang‐undangan dilakukan dengan: 

a. menyisipkan  atau  menambah  materi  ke  dalam  Peraturan Perundang‐undangan; atau 

b. menghapus  atau  mengganti  sebagian  materi  Peraturan Perundang‐undangan. 

230. Perubahan Peraturan Perundang‐undangan dilakukan dengan: a. menyisip  atau  menambah  materi  ke  dalam  Peraturan 

Perundangundangan; atau b. menghapus  atau  mengganti  sebagian  materi  Peraturan 

Perundangundangan. 

 

    193. Perubahan  Peraturan  Perundang‐undangan  dapat  dilakukan terhadap: a. seluruh  atau  sebagian  buku,  bab,  bagian,  paragraf,  pasal, 

dan/atau ayat; atau b. kata, istilah, kalimat, angka, dan/atau tanda baca. 

231. Perubahan Peraturan Perundang‐undangan dapat dilakukan terhadap: a. seluruh atau sebagian buku, bab, bagian, paragraf, pasal, dan/atau 

ayat; atau b. kata, frasa, istilah, kalimat, angka, dan/atau tanda baca. 

 

    194. Jika  Pengaturan  Perundang‐undangan  yang  diubah  mempunyai nama  singkat,  Peraturan  Perundang‐undangan  perubahan  dapat menggunakan nama singkat Peraturan Perundang‐undangan yang diubah. 

232. Jika  Peraturan  Perundang‐undangan  yang  diubah mempunyai  nama singkat,  Peraturan  Perundang‐undangan  perubahan  dapat menggunakan  nama  singkat  Peraturan  Perundang‐undangan  yang diubah. 

 

    195. Pada  dasarnya  batang  tubuh  Peraturan  Perundang‐undangan perubahan  terdiri  atas  2  (dua)  pasal  yang  ditulis  dengan  angka Romawi yaitu sebagai berikut: 

 c. Pasal  1  memuat  judul  Peraturan  Perundang‐undangan  yang 

diubah,  dengan  menyebutkan  Lembaran  Negara  Republik Indonesia dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia yang  diletakkan  di  antara  tanda  baca  kurung  serta  memuat materi  atau  norma  yang  diubah.  Jika materi  perubahan  lebih dari  satu,  setiap,  materi  perubahan  dirinci  dengan menggunakan angka Arab (1, 2, 3, dan seterusnya). 

 

233. Pada  dasarnya  batang  tubuh  Peraturan  Perundang‐undangan perubahan terdiri atas 2 (dua) pasal yang ditulis dengan angka Romawi yaitu sebagai berikut: a. Pasal I memuat judul Peraturan Perundang‐undangan yang diubah, 

dengan menyebutkan  Lembaran  Negara  Republik  Indonesia  dan Tambahan  Lembaran Negara Republik  Indonesia  yang  diletakkan di  antara  tanda  baca  kurung  serta memuat materi  atau  norma yang diubah.  Jika materi perubahan  lebih dari satu, setiap materi perubahan dirinci dengan menggunakan angka Arab  (1, 2, 3, dan seterusnya). Contoh 1: 

Pasal I 

 

Page 146: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

 Contoh: 

Pasal 1 Beberapa  ketentuan  dalam  Undang‐Undang Nomor...Tahun...tentang...(Lembaran  Negara  Republik Indonesia  Tahun...Nomor...,  Tambahan  Lembaran  Negara Republik Indonesia Nomor...) diubah sebagai berikut: 1.  Ketentuan  Pasal  6  diubah  sehingga  berbunyi  sebagai berikut:... 2.  Ketentuan  Pasal  8  diubah  sehingga  berbunyi  sebagai berikut:... 3. dan seterusnya... 

         

d. Jika  Peraturan  Perundang‐undangan  telah  diubah  lebih  dari satu  kali,  pasal  1 memuat,  selain mengikuti  ketentuan  pada Nomor  193  huruf  a,  juga  tahun  dan  nomor  dari  Peraturan Perundang‐undangan  perubahan  yang  ada  serta  Lembaran Negara  Republik  Indonesia  dan  Tambahan  Lembaran  Negara Republik Indonesia yang diletakkan di antara tanda baca kurung dan  dirinci  dengan  huruf‐huruf  (abjad)  kecil  (a,  b,  c  dan seterusnya). Contoh: Pasal 1 

Beberapa  ketentuan  dalam  Undang‐Undang  Nomor  …  Tahun  … tentang …  (Lembaran Negara Republik  Indonesia Tahun … Nomor …,  Tambahan  Lembaran  Negara  Republik  Indonesia  Nomor  …) diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: 

… 2. Ketentuan  ayat  (2)  dan  ayat  (3)  Pasal  8  diubah,  sehingga 

berbunyi sebagai berikut: … 3. dan seterusnya … 

 Contoh 2: 

Pasal I Ketentuan  Pasal  ...  dalam  Undang‐Undang  Nomor  …  Tahun  … tentang … (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun … Nomor …,  Tambahan  Lembaran  Negara  Republik  Indonesia  Nomor  …) diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:  … 

 b. Jika  Peraturan  Perundang‐undangan  telah  diubah  lebih  dari  satu 

kali, Pasal I memuat, selain mengikuti ketentuan pada Nomor 193 huruf a, juga tahun dan nomor dari Peraturan Perundangundangan perubahan  yang  ada  serta  Lembaran Negara  Republik  Indonesia dan  Tambahan  Lembaran  Negara  Republik  Indonesia  yang diletakkan di antara  tanda baca kurung dan dirinci dengan huruf (abjad) kecil (a, b, c, dan seterusnya). Contoh: 

Pasal I Undang‐Undang Nomor … Tahun …  tentang …  (Lembaran Negara Republik  Indonesia  Tahun  …  Nomor  …,  Tambahan  Lembaran Negara  Republik  Indonesia Nomor …  )  yang  telah  beberapa  kali diubah dengan Undang‐Undang: a. Nomor  …  Tahun  …  (Lembaran  Negara  Republik  Indonesia 

Page 147: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

Undang‐undang Nomor…Tahun…tentang  ...  (Lembaran Negara Republik  Indonesia  Tahun…Nomor…;  Tambahan  Lembaran Negara Republik  Indonesia Nomor…) yang  telah beberapa kali diubah dengan Undang‐undang: a. Nomor…Tahun…(Lembaran  Negara  Republik  Indonesia 

Tahun…Nomor…  Tambahan  Lembaran  Negara  Republik Indonesia Nomor…); 

b. Nomor…Tahun…(Lembaran  Negara  Republik  Indonesia Tahun…Nomor…  Tambahan  Lembaran  Negara  Republik Indonesia Nomor…); 

c. Nomor…Tahun…(Lembaran  Negara  Republik  Indonesia Tahun…Nomor…  Tambahan  Lembaran  Negara  Republik Indonesia Nomor…); 

d. Pasal  II  memuat  ketentuan  tentang  saat  mulai  berlaku. Dalam hal tertentu, Pasal  II  juga dapat memuat ketentuan peralihan dari Peraturan Perundangundangan, perubahan, yang maksudnya berbeda dengan ketentuan peralihan dari Peraturan Perundang‐undangan yang diubah. 

Tahun  …  Nomor  …,  Tambahan  Lembaran  Negara  Republik Indonesia Nomor …); 

b. Nomor  …  Tahun  …  (Lembaran  Negara  Republik  Indonesia Tahun  …  Nomor  …,  Tambahan  Lembaran  Negara  Republik Indonesia Nomor …); 

c. Nomor  …  Tahun  …  (Lembaran  Negara  Republik  Indonesia Tahun  …  Nomor  …,  Tambahan  Lembaran  Negara  Republik Indonesia Nomor …);  

 diubah sebagai berikut: 1. Bab V dihapus. 2. Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: 3. dan seterusnya ... 

  c. Pasal II memuat ketentuan tentang saat mulai berlaku. Dalam hal 

tertentu,  Pasal  II  juga  dapat memuat  ketentuan  peralihan  dari Peraturan  Perundang‐undangan  perubahan,  yang  maksudnya berbeda  dengan  ketentuan  peralihan  dari  Peraturan Perundangundangan yang diubah. 

    196. Jika  dalam  Peraturan  Perundang‐undangan  ditambahkan  atau disisipkan  bab,  bagian,  paragraf,  atau  pasal  baru,  maka  bab, bagian,  paragraf,  atau  pasal  baru  tersebut  dicantumkan  pada tempat yang sesuai dengan materi yang bersangkutan. Contoh penyisipan bab: 1. Di antara BAB IX dan BAB X disisipkan 1 (satu) bab, yakni BAB IX 

A sehingga berbunyi sebagai berikut: BAB IX A 

INDIKASI GEOGRAFI DAN INDIKASI ASAL Bagian Pertama Indikasi Geografi 

Pasal 79 A 

234. Jika  dalam  Peraturan  Perundang‐undangan  ditambahkan  atau disisipkan  bab,  bagian,  paragraf,  atau pasal  baru, maka  bab,  bagian, paragraf,  atau  pasal  baru  tersebut  dicantumkan  pada  tempat  yang sesuai dengan materi yang bersangkutan. a. Penyisipan Bab 

Contoh: Di antara BAB IX dan BAB X disisipkan 1 (satu ) bab, yakni BAB IXA sehingga berbunyi sebagai berikut:  

BAB IXA INDIKASI GEOGRAFI DAN INDIKASI ASAL 

 

 

Page 148: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

(1) … (2) ... (3) … 

Pasal 79 B (1) … (2) … (3) … 

Contoh penyisipan pasal: 1. Di  antara  Pasal  128  dan  Pasal  129  disisipkan  1  (satu)  pasal, 

yakni Pasal 128 A sehingga berbunyi sebagai berikut:  

Pasal 128 A Dalam  hal  terbukti  adanya  pelanggaran  paten,  hakim  dapat memerintahkan  hasil‐hasil  pelanggaran  paten  tersebut  dirampas untuk negara untuk dimusnahkan. 

       

b. Penyisipan Pasal: Contoh: Di antara Pasal 128 dan Pasal 129 disisipkan 1  (satu) pasal, yakni Pasal 128A sehingga berbunyi sebagai berikut: 

Pasal 128A Dalam  hal  terbukti  adanya  pelanggaran  paten,  hakim  dapat memerintahkan  hasil‐hasil  pelanggaran  paten  tersebut  dirampas untuk negara untuk dimusnahkan. 

    197. Jika dalam 1 (satu) pasal yang terdiri dari beberapa ayat disisipkan ayat baru, penulisan ayat baru tersebut diawali dengan angka Arab sesuai  dengan  angka  ayat  yang  disisipkan  dan  ditambah  dengan huruf kecil a, b, c, yang diletakkan di antara tanda baca kurung. Contoh: 2. Di antara ayat (1) dan ayat (2) Pasal 18 disisipkan 2 (dua) ayat, 

yakni  ayat  (1a)  dan  ayat  (1b)  sehingga  Pasal  18  berbunyi sebagai berikut: 

Pasal 19 (1) …. (1a) …. (1b) …. (2) …. 

235. Jika dalam 1 (satu) pasal yang terdiri dari beberapa ayat disisipkan ayat baru, penulisan ayat baru  tersebut diawali dengan angka Arab sesuai dengan angka ayat yang disisipkan dan ditambah dengan huruf kecil a, b, c, yang diletakkan di antara tanda baca kurung( ). Contoh: Di antara ayat  (1) dan ayat  (2) Pasal 18 disisipkan 2  (dua) ayat, yakni ayat (1a) dan ayat (1b) sehingga Pasal 18 berbunyi sebagai berikut: 

Pasal 18 (1) … . (1a)… . (1b)… . (2) … . 

 

    198. Jika  dalam  suatu  Peraturan  Perundang‐undangan  dilakukan penghapusan  atas  suatu  bab,  bagian,  paragraf,  pasal,  atau  ayat, maka urutan bab, bagian paragraf, pasal, atau ayat tersebut tetap dicantumkan dengan diberi keterangan dihapus. 

236. Jika  dalam  suatu  Peraturan  Perundang‐undangan  dilakukan penghapusan atas suatu bab, bagian, paragraf, pasal, atau ayat, maka urutan  bab,  bagian,  paragraf,  pasal,  atau  ayat  tersebut  tetap dicantumkan dengan diberi keterangan dihapus. 

 

Page 149: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

Contoh: 1.    Pasal 16 dihapus 2.   Pasal 19 ayat  (2) dihapus  sehingga Pasal 18 berbunyi  sebagai  

berikut:  

Pasal 18 (1) … (2) Dihapus (3) … 

 Contoh 1: 1. Pasal 16 dihapus. 2.  Pasal  18  ayat  (2)  dihapus  sehingga  Pasal  18  berbunyi  sebagai berikut: 

 Pasal 18 

(1) … . (2) Dihapus. (3) … .  Contoh 2: Peraturan Daerah tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Nomor 16 Tahun 2005 tentang Pengujian Kendaraan Bermotor dan Retribusi 5. Ketentuan Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) dihapus, sehingga Pasal 4 berbunyi sebagai berikut: 

Pasal 4 (1)  Dihapus. (2)  Dihapus. (3)  Lokasi  Pengujian  dan  Penguji  ditetapkan  dengan  Keputusan 

Kepala Dinas Perhubungan.     199. suatu perubahan Peraturan Perundang‐undangan mengakibatkan: 

a. sistematika Peraturan Perundang‐undangan berubah; b. materi Peraturan Perundang‐undangan berubah lebih dari 50% 

(lima puluh persen); atau c. esensinya  berubah,  Peraturan  Perundang‐undangan  yang 

diubah tersebut lebih baik dicabut dan disusun kembali dalam Peraturan Perundang‐undangan yang baru mengenai masalah tersebut. 

237. Jika suatu perubahan Peraturan Perundang‐undangan mengakibatkan: a. sistematika Peraturan Perundang‐undangan berubah; b. materi  Peraturan  Perundang‐undangan  berubah  lebih  dari  50% 

(lima puluh persen); atau c. esensinya  berubah,  Peraturan  Perundang‐undangan  yang  diubah 

tersebut  lebih baik dicabut dan disusun kembali dalam Peraturan Perundang‐undangan yang baru mengenai masalah tersebut. 

 

    200. Jika suatu Peraturan Perundang‐undangan telah sering mengalami perubahan sehingga menyulitkan pengguna Peraturan Perundang‐undangan,  sebaiknya  Peraturan  Perundang‐undangan  tersebut 

238. Jika  suatu  Peraturan  Perundang‐undangan  telah  sering  mengalami perubahan  sehingga  menyulitkan  pengguna  Peraturan Perundangundangan,  sebaiknya  Peraturan  Perundang‐undangan 

 

Page 150: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

disusun  kembali  dalam  naskah  sesuai  dengan  perubahan‐perubahan  yang  telah  dilakukan,  dengan  mengadakan penyesuaian pada: 1. urutan bab, bagian, paragraf, pasal, ayat, angka, atau butir; 2. penyebutan‐penyebutan, dan 3. ejaan,  jika Peraturan Perundang‐undangan  yang diubah masih 

tertulis dalam ejaan lama. 

tersebut disusun kembali dalam naskah sesuai dengan perubahan yang telah dilakukan, dengan mengadakan penyesuaian pada: a. urutan bab, bagian, paragraf, pasal, ayat, angka, atau butir; b. penyebutan‐penyebutan; dan c. ejaan,  jika  Peraturan  Perundang‐undangan  yang  diubah  masih 

tertulis dalam ejaan lama. 

    201. Penyusunan  kembali  sebagaimana  dimaksud  pada  Nomor  199 butir  a  dilaksanakan  oleh  Presiden  dengan mengeluarkan  suatu penetapan yang berbunyi sebagai berikut: 

Contoh: PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA 

NOMOR ... TAHUN ... TENTANG 

PENYUSUNAN KEMBALI NASKAH UNDANG‐UNDANG NOMOR... TAHUN… 

TENTANG …………………. 

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:  bahwa  untuk  mempermudah  pemahaman  materi  yang 

diatur dalam Undang‐Undang Nomor ... Tahun ... tentang... sebagaimana  telah diubah beberapa kali,  terakhir dengan Undang‐Undang  Nomor  ...  Tahun  ...  tentang  Perubahan Undang‐Undang  Nomor  ...  Tahun…tentang  ...  perlu menyusun  kembali  naskah  Undang‐Undang  tersebut dengan  memperhatikan  segala  perubahan  yang  telah diadakan; 

Mengingat:  Pasal  4  ayat  (1)  Undang‐Undang  Dasar  Negara  Republik Indonesia Tahun 1945; 

MEMUTUSKAN: Menetapkan: 

KESATU: Naskah Undang‐Undang Nomor…Tahun…tentang…yang  telah 

   

Page 151: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

beberapa  kali  diubah,  terakhir  dengan  Undang‐Undang Nomor  ...  Tahun  ...  tentang  ...  dan  dengan  mengadakan penyesuaian mengenai urutan bab, bagian, paragraf, pasal, ayat, angka dan butir serta penyebutan‐penyebutannya dan ejaanejaannya, berbunyi sebagai tercantum dalam Lampiran Peraturan Presiden ini. 

KEDUA:      Peraturan  Presiden  ini  dengan  lampirannya  ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. 

KETIGA:        Peraturan  Presiden  ini  mulai  berlaku  pada  tanggal ditetapkan. 

    E. PENETAPAN  PERATURAN  PEMERINTAH  PENGGANTI  UNDANG‐UNDANG MENJADI UNDANG‐UNDANG 

E. PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG‐UNDANG MENJADI UNDANG‐UNDANG 

 

    202. Batang  tubuh  Undang‐Undang  tentang  penetapan  peraturan pemerintah  penggantiun  dang‐undang  (Perpu)  menjadi  undang‐undang  pada  dasarnya  terdiri  dari  2  (dua)  pasal,  yang  ditulis dengan angka Arab, yaitu sebagai berikut: a. Pasal  1  memuat  penetapan  Perpu  menjadi  undang‐undang 

yang  diikuti  dengan  pernyataan melampirkan  Perpu  sebagai bagian  yang  tidak  terpisahkan  dengan  undang‐undang penetapan yang bersangkutan. 

b. Pasal 2 memuat ketentuan mengenai saat mulai berlaku.  

 Contoh: 

    

Pasal 1 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang‐Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (Lembaran Negara  Republik  Indonesia  Tahun  2002  Nomor  106,  Tambahan 

239. Batang  tubuh  Undang‐Undang  tentang  Penetapan PeraturanPemerintah  Pengganti  Undang‐Undang  (Perpu)  menjadi Undang‐Undang pada dasarnya  terdiri dari 2  (dua) pasal, yang ditulis dengan angka Arab, yaitu sebagai berikut: a. Pasal  1 memuat  Penetapan  Perpu menjadi  Undang‐Undang  yang 

diikuti  dengan  pernyataan  melampirkan  Perpu  sebagai  bagian yang  tidak  terpisahkan  dengan  Undang‐Undang  penetapan tersebut. 

b. Pasal 2 memuat ketentuan mengenai saat mulai berlaku.   

Contoh: Undang‐Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang‐Undang Nomor 1 Tahun 2002  tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang‐Undang. 

Pasal 1 Peraturan  Pemerintah  Pengganti  Undang‐Undang  Nomor  1  Tahun 2002  tentang  Pemberantasan  Tindak  Pidana  Terorisme  (Lembaran Negara  Republik  Indonesia  Tahun  2002  Nomor  106,  Tambahan Lembaran  Negara  Republik  Indonesia  Nomor  4232)  ditetapkan 

 

Page 152: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

Lembaran  Negara  Republik  Indonesia  Nomor  ...  )  ditetapkan menjadi  Undang‐Undang,  dan  melampirkannya  sebagai  bagian yang tidak terpisahkan dari Undang‐Undang ini.  

Pasal 2 Undang‐Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. 

menjadi  Undang‐Undang,  dan melampirkannya  sebagai  bagian  yang tidak terpisahkan dari Undang‐Undang ini.  

Pasal 2 Undang‐Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. 

    F. PENGESAHAN PERJANJIAN INTERNATIONAL  F. PENGESAHAN PERJANJIAN INTERNASIONAL       203. Batang  tubuh  Undang‐Undang  tentang  pengesahan  perjanjian 

internasional pada dasarnya  terdiri atas 2  (dua) pasal yang ditulis dengan angka Arab, yaitu sebagai berikut: a. Pasal  1 memuat  pengesahan  perjanjian  internasional  dengan 

memuat pernyataan melampirkan salinan naskah aslinya atau naskah  asli  bersama  dengan  terjemahannya  dalam  bahasa Indonesia. 

b. Pasal 2 memuat ketentuan mengenai saat mulai berlaku.  

Contoh untuk perjanjian multilateral: Pasal 1 

Mengesahkan Convention on the Prohibition of the Development, Production, Stockpiling and Use of Chemical Weapon and on Their Destruction  (Konvensi  tentang  Pelanggaran  Pengembangan, Produksi,  Penimbunan,  dan  Penggunaan  Senjata  Kimia  serta Pemusnahannya)  yang  naskah  aslinya  dalam  bahasa  Inggris  dan terjemahannya  dalam  bahasa  Indonesia  sebagaimana  terlampir dan  merupakan  bagian  yang  tidak  terpisahkan  dari  Undang‐Undang ini.   

Pasal 2 Undang‐Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.  Contoh untuk perjanjian bilateral yang menggunakan dua bahasa: 

240. Batang  tubuh  Undang‐Undang  tentang  Pengesahan  Perjanjian Internasional  pada  dasarnya  terdiri  atas  2  (dua)  pasal  yang  ditulis dengan angka Arab, yaitu sebagai berikut: a. Pasal  1  memuat  pengesahan  perjanjian  internasional  dengan 

memuat  pernyataan  melampirkan  salinan  naskah  asli  dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia. 

b. Pasal 2 memuat ketentuan mengenai saat mulai berlaku.  

 Contoh untuk perjanjian multilateral: 

Pasal 1 Mengesahkan  Convention  on  the  Prohibition  of  the  Development, Production,  Stockpiling  and  Use  of  Chemical Weapon  and  on  Their Destruction  (Konvensi  tentang Pelanggaran Pengembangan, Produksi, Penimbunan,  dan  Penggunaan  Senjata  Kimia  serta  Pemusnahannya) yang naskah  aslinya dalam bahasa  Inggris dan  terjemahannya dalam bahasa Indonesia sebagaimana terlampir dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Undang‐Undang ini. 

  

Pasal 2 Undang‐Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.  Contoh  untuk  perjanjian  bilateral  yang  hanya  menggunakan  dua bahasa: 

 

Page 153: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

Pasal 1 Mengesahkan Perjanjian Kerjasama antara Republik Indonesia dan Australia Mengenai  Bantuan  Timbal  Balik  dalam  Masalah  Pidana  (Treaty between the Republic  of  Indonesia  and  Australia  on  Mutual  Assistance  in Criminal  Matters)  yang  telah  ditandatangani  pada  tanggal  27 Oktober 1995 di Jakarta yang salinan naskah aslinya dalam bahasa Indonesia  sebagaimana  terlampir  dan  merupakan  bagian  yang tidak terpisahkan dari Undang‐Undang ini. 

Pasal 2 Undang‐Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.  Contoh  untuk  perjanjian  bilateral  yang menggunakan  lebih  dari dua bahasa: 

Pasal 1 Mengesahkan  Persetujuan  antara  Republik  Indonesia  dan Pemerintah Hongkong  untuk  Penyerahan  Pelanggar Hukum  yang Melarikan  Diri  (Agreement  the  Government  of  the  Republic  of Indonesia and the Government of Hongkong  for the Surrender of Fugitive Offenders) yang telah ditandatangani pada tanggal 5 Mei 19977  di  Hongkong  yang  salinan  naskah  aslinya  dalam  bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan bahasa Cina sebagaimana terlampir dan  merupakan  bagian  yang  tidak  terpisahkan  dari  Undang‐Undang ini. 

Pasal 2 Undang‐Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan 

Pasal 1 Mengesahkan  Perjanjian  Kerjasama  antara  Republik  Indonesia  dan Australia  Mengenai  Bantuan  Timbal  Balik  dalam  Masalah  Pidana (Treaty  between  the  Republic  of  Indonesia  and Australia  on Mutual Assistance in Criminal Matters) yang telah ditandatangani pada tanggal 27 Oktober 1995 di Jakarta yang salinan naskah aslinya dalam bahasa Indonesia dan bahasa  Inggris  sebagaimana  terlampir dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Undang–Undang ini. 

Pasal 2 Undang‐Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.  Contoh  untuk  perjanjian  bilateral  yang menggunakan  lebih  dari  dua bahasa: 

Pasal 1 Mengesahkan Persetujuan antara Pemerintah Republik  Indonesia dan Pemerintah  Hongkong  untuk  Penyerahan  Pelanggar  Hukum  yang Melarikan Diri  (Agreement between  the Government of  the Republik of  Indonesia and  the Government of Hongkong  for  the  Surrender of Fugitive Offenders) yang telah ditandatangani pada tanggal 5 Mei 1977 di  Hongkong  yang  salinan  naskah  aslinya  dalam  bahasa  Indonesia, bahasa  Inggris,  dan  bahasa  Cina  sebagaimana  terlampir  dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Undang‐Undangini. 

 Pasal 2 

Undang‐Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. 

    204. Cara penulisan  rumusan Pasal 1 bagi pengesahan perjanjian atau persetujuan  internasional  dilakukan  dengan  Undang‐Undang berlaku  juga  bagi  pengesahan  perjanjian  atau  persetujuan internasional yang dilakukan dengan Peraturan Presiden. 

241. Cara  penulisan  rumusan  Pasal  1  bagi  pengesahan  perjanjian  atau persetujuan  internasional  yang  dilakukan  dengan  Undang‐Undang berlaku  juga  bagi  pengesahan  perjanjian  atau  persetujuan internasional yang dilakukan dengan Peraturan Presiden. 

 

    BAB III  BAB III   

Page 154: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

RAGAM BAHASA PERATURAN PERUNDANG‐UNDANGAN  RAGAM BAHASA PERATURAN PERUNDANG – UNDANGAN     A. BAHASA PERATURAN PERUNDANG‐UNDANGAN  BAHASA PERATURAN PERUNDANG‐UNDANGAN       205. Bahasa  Peraturan  Perundang‐undangan  pada  dasarnya  tunduk 

kepada  kaidah  tata  Bahasa  Indonesia,  baik  yang  menyangkut pembentukan  kata,  penyusunan  kalimat,  teknik  penulisan, maupun  pengejaannya,  namun  demikian  bahasa  Peraturan Perundang‐undangan mempunyai corak tersendiri yang bercirikan kejernihan  atau  kejelasan  pengertian,  kelugasan,  kebakuan, keserasian, dan ketaatan asas sesuai dengan kebutuhan hukum. 

 Contoh: 

Pasal 34 (1) Suami  isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati 

setia dan memberi bantuan  lahir batin yang satu kepada yang lain. 

 Rumusan yang lebih baik:  (1) Suami  isteri  wajib  saling mencintai, menghormati,  setia,  dan 

memberi bantuan lahir batin. 

242. Bahasa  Peraturan  Perundang–undangan  pada  dasarnya  tunduk  pada kaidah  tata  Bahasa  Indonesia,  baik  pembentukan  kata,  penyusunan kalimat,  teknik  penulisan,  maupun  pengejaannya.  Namun  bahasa Peraturan  Perundang‐undangan  mempunyai  corak  tersendiri  yang bercirikan kejernihan atau kejelasan pengertian, kelugasan, kebakuan, keserasian, dan  ketaatan  asas  sesuai dengan  kebutuhan hukum baik dalam perumusan maupun cara penulisan. 

 

 

      243. Ciri‐ciri bahasa Peraturan Perundang‐undangan antara lain: a. lugas  dan  pasti  untuk  menghindari  kesamaan  arti  atau 

kerancuan; b. bercorak hemat hanya kata yang diperlukan yang dipakai; c. objektif  dan  menekan  rasa  subjektif  (tidak  emosi  dalam 

mengungkapkan tujuan atau maksud); d. membakukan makna kata, ungkapan atau istilah yang digunakan 

secara konsisten; e. memberikan definisi atau batasan pengertian secara cermat; f. penulisan  kata  yang  bermakna  tunggal  atau  jamak  selalu 

dirumuskan dalam bentuk tunggal; dan Contoh: 

 

Page 155: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

buku‐buku ditulis buku murid‐murid ditulis murid g. penulisan  huruf  awal  dari  kata,  frasa  atau  istilah  yang  sudah 

didefinisikan atau diberikan batasan pengertian, nama  jabatan, nama  profesi,  nama  institusi/lembaga pemerintah/ketatanegaraan,  dan  jenis  Peraturan  Perundang‐undangan dan rancangan Peraturan Perundang‐undangan dalam rumusan norma ditulis dengan huruf kapital. 

Contoh: ‐ Pemerintah ‐ Wajib Pajak ‐ Rancangan Peraturan Pemerintah 

    206. Dalam  merumuskan  ketentuan  Peraturan  Perundang‐undangan digunakan  kalimat  yang  tegas,  jelas,  singkat,  dan  mudah dimengerti. 

 Contoh: 

Pasal 5 (1) Untuk  dapat  mengajukan  permohonan  kepada  Pengadilan 

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang‐Undang ini, harus dipenuhi syaratsyarat sebagai berikut: 

 Rumusan yang lebih baik:  (1) Permohonan  berisi  lebih  dari  seorang  sebagaimana  dimaksud 

dalam Pasal 4 ayat  (1) harus memenuhi syarat‐syarat sebagai berikut: 

244. Dalam  merumuskan  ketentuan  Peraturan  Perundang–undangan digunakan kalimat yang tegas, jelas, singkat, dan mudah dimengerti. 

 Contoh: 

Pasal 5 (1) Untuk  dapat  mengajukan  permohonan  kepada  Pengadilan 

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang‐Undang ini, harus dipenuhi syarat‐syarat sebagai berikut:  

Rumusan yang lebih baik:  (1) Permohonan  beristri  lebih  dari  seorang  sebagaimana  dimaksud 

dalam  Pasal  4  ayat  (1)  harus  memenuhi  persyaratan  sebagai berikut: 

 

    207. Hindarkan  penggunaan  kata  atau  frase  yang  artinya  kurang menentu atau konteksnya dalam kalimat kurang jelas.  Contoh: Istilah  minuman  keras  mempunyai  makna  yang  kurang  jelas 

245. Tidak menggunaan kata atau frasa yang artinya tidak menentu atau konteksnya dalam kalimat tidak jelas.  Contoh: Istilah  minuman  keras  mempunyai  makna  yang  kurang  jelas 

 

Page 156: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

dibandingkan dengan istilah minuman beralkohol.  dibandingkan dengan istilah minuman beralkohol.     208. Dalam  merumuskan  ketentuan  Peraturan  Perundang‐undangan, 

gunakan kaidah tata bahasa Indonesia yang baku.  

Contoh kalimat yang tidak baku: (1) Rumah itu pintunya putih. (2) Pintu rumah itu warnanya putih. (3) Izin usaha perusahaan yang melanggar kewajiban sebagaimana 

dimaksud dalam Pasal 6 dapat dicabut.  Contoh kalimat yang baku: (1) Rumah itu mempunyai pintu (yang berwarna) putih. (2) Pintu ramah itu (berwarna) putih. (3) Warna pintu rumah itu putih. (4) Perusahaan yang melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud 

dalam Pasal 6 dapat dicabut izin usahanya. 

246. Dalam  merumuskan  ketentuan  Peraturan  Perundang‐undangan, gunakan kaidah tata bahasa Indonesia yang baku.  Contoh kalimat yang tidak baku: Izin  usaha  perusahaan  yang  melanggar  kewajiban  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dapat dicabut.    Contoh kalimat yang baku: Perusahaan  yang  melanggar  kewajiban  sebagaimana  dimaksud dalam Pasal 6 dapat dicabut izin usahanya. 

 

    209. Untuk  memberikan  perluasan  pengertian  kata  atau  istilah  yang sudah diketahui umum tanpa membuat definisi baru, gunakan kata meliputi.  Contoh: 1. Pejabat negara meliputi direksi badan usaha milik negara dan 

direksi badan usaha milik daerah. 

247. Untuk memberikan perluasan pengertian kata atau  istilah yang sudah diketahui umum tanpa membuat definisi baru, gunakan kata meliputi. 

 Contoh: Peraturan  Daerah  Nomor  4  Tahun  2010  tentang  Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan Kabupaten Hulu Sungai Utara 

Pasal 58 (3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi: 

a. nama  dan  alamat  percetakan  perusahaan  yang melakukan pencetakan blanko; 

b. jumlah blanko yang dicetak; dan c. jumlah dokumen yang diterbitkan. 

 

    210. Untuk  mempersempit  pengertian  kata  istilah  isilah  yang  sudah diketahui umum tanpa membuat definisi baru, gunakan kata tidak meliputi.  

248. Untuk mempersempit pengertian kata atau isilah yang sudah diketahui umum tanpa membuat definisi baru, gunakan kata tidak meliputi.  Contoh: 

 

Page 157: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

Contoh: 1. Anak buah kapal tidak meliputi koki magang. 

Anak buah kapal tidak meliputi koki magang.  

    211. Hindari  pemberian  arti  kepada  kata  atau  frase  yang  maknanya terlalu  menyimpang  dari  makna  yang  biasa  digunakan  dalam penggunaan bahasa sehari‐hari.  Contoh: 1. Pertanian  meliput  pula  perkebunan,  peternakan,  dan 

perikanan.  Rumusan yang baik:  0. Pertanian meliputi perkebunan. 

249. Tidak memberikan arti kepada kata atau frasa yang maknanya terlalu menyimpang  dari  makna  yang  biasa  digunakan  dalam  penggunaan bahasa sehari‐hari.  Contoh: Pertanian meliputi pula perkebunan, peternakan, dan perikanan.  Rumusan yang baik:  Pertanian meliputi perkebunan. 

 

    212. Di  dalam  Peraturan  Perundang‐undangan  yang  sama  hindari penggunaan : 

 .beberapa istilah yang berbeda untuk menyatakan satu. Contoh: Istilah gaji, upah, atau pendapatan dapat menyatakan pengertian penghasilan. Jika  untuk  menyatakan  penghasilan,  dalam  suatu  pasal  telah digunakan  kata  gaji  maka  dalam  pasal‐pasal  selanjutnya  jangan menggunakan  kata  upah  atau  pendapatan  untuk  menyatakan pengertian penghasilan.  .satu istilah untuk beberapa pengertian yang berbeda. Contoh: Istilah  penangkapan  tidak  digunakan  untuk  meliputi  pengertian penahanan atau pengamanan karena pengertian penahanan tidak sama dengan pengertian pengamanan. 

250. Di  dalam  Peraturan  Perundang‐undangan  yang  sama,  tidak menggunakan:  a. beberapa  istilah yang berbeda untuk menyatakan  satu pengertian 

yang sama. Contoh: Istilah gaji, upah, atau pendapatan dapat menyatakan pengertian penghasilan.  Jika  untuk  menyatakan  penghasilan,  dalam  suatu pasal  telah  digunakan  kata  gaji  maka  dalam  pasal‐pasal selanjutnya  jangan  menggunakan  kata  upah  atau  pendapatan untuk menyatakan pengertian penghasilan.  

b. satu istilah untuk beberapa pengertian yang berbeda. Contoh: Istilah  penangkapan  tidak  digunakan  untuk  meliputi  pengertian penahanan atau pengamanan karena pengertian penahanan tidak sama dengan pengertian pengamanan. 

 

    213. Jika membuat pengacuan ke pasal atau ayat lain, sedapat mungkin dihindari  penggunaan  frase  tanpa  mengurangi,  dengan  tidak 

251. Jika  membuat  pengacuan  ke  pasal  atau  ayat  lain,  tidak  boleh menggunakan frasa tanpa mengurangi, dengan tidak mengurangi, atau 

 

Page 158: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

mengurangi, atau tanpa menyimpang dari.  tanpa menyimpang dari.     214. Jika kata atau frase tertentu digunakan berulang‐ulang maka untuk 

menyederhanakan  rumusan  dalam  peraturan  perundang‐undangan,  kata  atau  frase  sebaiknya  didefinisikan  dalam  pasal yang  memuat  arti  kata,  istilah,  pengertian,  atau  digunakan singkatan atau akronim. Contoh:   a. Menteri adalah Menteri Keuangan. b. Komisi  Pemeriksa  Kekayaan  Penyelenggara  Negara  yang 

selanjutnya disebut Komisi Pemeriksa adalah… c. Tentara Nasional Republik Indonesia yang selanjutnya disingkat 

TNI adalah… d. Asuransi Kesehatan yang selanjutnya disingkat ASKES. 

   

    215. Jika dalam peraturan pelaksanaan dipandang perlu mencantumkan kembali  definisi  atau  batasan  pengertian  yang  terdapat  dalam Peraturan  Perundang‐undangan  yang  dilaksanakan,  rumusan definisi  atau  batasan  pengertian  tersebut  hendaknya  tidak berbeda  dengan  rumusan  definisi  atau  batasan  pengertian  yang terdapat dalam Peraturan Perundang‐undangan  yang  lebih  tinggi tersebut. 

   

    216. Untuk  menghindari  perubahan  nama  suatu  departemen, penyebutan  menteri  sebaiknya  menggunakan  penyebutan  yang didasarkan  pada  tugas  dan  tanggung  jawab  di  bidang  yang bersangkutan. 

 Contoh: Menteri  adalah  Menteri  yang  tugas  dan  tanggung  jawabnya  di bidang…(misalnya, bidang ketenagakerjaan) 

252. Untuk  menghindari  perubahan  nama  kementerian,  penyebutan menteri  sebaiknya menggunakan  penyebutan  yang  didasarkan  pada urusan pemerintahan dimaksud.    Contoh: Menteri adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan. 

 

    217. Penyerapan kata atau frase bahasa asing yang banyak dipakai dan telah disesuaikan ejaannya dengan kaidah Bahasa Indonesia dapat digunakan, jika kata atau frase tersebut: a. mempunyai konotasi yang cocok; 

253. Penyerapan kata, frasa, atau  istilah bahasa asing yang banyak dipakai dan telah disesuaikan ejaannya dengan kaidah Bahasa Indonesia dapat digunakan jika: a. mempunyai konotasi yang cocok; 

 

Page 159: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

b. lebih  singkat  bila  dibandingkan  dengan  padanannya  dalam Bahasa Indonesia; 

c. mempunyai corak internasional; d. lebih mempermudah tercapainya kesepakatan; atau e. lebih mudah dipahami daripada  terjemahannya dalam Bahasa 

Indonesia.  Contoh: (1) devaluasi (penurunan nilai uang) (2) devisa (alat pembayaran luar negeri) 

b. lebih singkat bila dibandingkan dengan padanannya dalam Bahasa Indonesia; 

c. mempunyai corak internasional; d. lebih mempermudah tercapainya kesepakatan; atau e. lebih  mudah  dipahami  daripada  terjemahannya  dalam  Bahasa 

Indonesia.  Contoh: 1. devaluasi (penurunan nilai uang) 2. devisa (alat pembayaran luar negeri) 

    218. Penggunaan  kata  atau  frase  bahasa  asing  hendaknya  hanya digunakan  di  dalam  penjelasan  peraturan  perundang‐undangan. Kata atau frase bahasa asing itu didahului oleh padanannya dalam Bahasa  Indonesia,  ditulis miring,  dan  diletakkan  di  antara  tanda baca kurung.  Contoh: (1) penghinaan terhadap peradilan (contempt of court) (2) penggabungan (merger) 

254. Penggunaan kata,  frasa, atau  istilah bahasa asing hanya digunakan di dalam  penjelasan  Peraturan  Perundang–undangan.  Kata,  frasa,  atau istilah  bahasa  asing  itu  didahului  oleh  padanannya  dalam  Bahasa Indonesia, ditulis miring, dan diletakkan diantara tanda baca kurung ( ).  Contoh: 1. penghinaan terhadap peradilan (contempt of court) 2. penggabungan (merger) 

 

    B. PILIHAN KATA ATAU ISTILAH  PILIHAN KATA ATAU ISTILAH       219. Untuk  menyatakan  pengertian  maksimum  dan  minimum  dalam 

menentukan ancaman pidana atau batasan waktu yang digunakan kata paling.  Contoh: ...  dipidana  dengan  pidana  penjara  paling  singkat  3  (tiga)  tahun, atau pidana penjara paling  lama 20  (dua puluh) tahun dan denda paling  sedikit  Rp  500.000,00  (lima  ratus  ribu  rupiah)  dan  paling banyak Rp 1 .000.000.000,00 (satu milyar rupiah). 

255. Gunakan  kata  paling,  untuk menyatakan  pengertian maksimum  dan minimum dalam menentukan ancaman pidana atau batasan waktu.  Contoh: … dipidana dengan pidana penjara paling  singkat 3  (tiga)  tahun atau paling  lama  20  (dua  puluh)  tahun  dan  denda  paling  sedikit Rp500.000,00  (lima  ratus  ribu  rupiah)  atau  paling  banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).  Contoh untuk Perda: …  dipidana  dengan  pidana  kurungan  paling  lama  6  (enam)  bulan atau denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). 

 

Page 160: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

    220. Untuk menyatakan maksimum dan minimum bagi satuan: a. waktu, gunakan frase paling singkat atau paling lama;             b. jumlah uang, gunakan frase paling sedikit atau paling banyak;     c. jumlah  non‐uang,  gunakan  frase  paling  rendah  dan  paling 

tinggi; 

256. Untuk menyatakan maksimum dan minimum bagi satuan: a. waktu,  gunakan  frasa  paling  singkat  atau  paling  lama  untuk 

menyatakan jangka waktu;  Contoh 1: Peraturan pelaksanaan Undang‐Undang  ini harus ditetapkan paling lama  1  (satu)  tahun  terhitung  sejak  Undang‐Undang  ini diundangkan.  Contoh 2: Presiden  menugasi  menteri  yang  mewakili  untuk  membahas rancangan undang‐undang bersama DPR dalam waktu paling  lama 60 (enam puluh) hari sejak surat Pimpinan DPR diterima.  b. waktu,  gunakan  frasa  paling  lambat  atau  paling  cepat  untuk 

menyatakan batas waktu. Contoh: Surat  permohonan  izin  usaha  disampaikan  kepada  dinas perindustrian paling lambat tanggal 22 Juli 2011.  c. jumlah uang, gunakan frasa paling sedikit atau paling banyak; d. jumlah non‐uang, gunakan frasa paling rendah dan paling tinggi. 

 

    221. Untuk menyatakan makna  tidak  termasuk,  gunakan  kata  kecuali. Kata  kecuali  ditempatkan  di  awal  kalimat,  jika  yang  dikecualikan adalah seluruh kalimat.  Contoh: Kecuali  A  dan  B,  setiap  orang  wajib  memberikan  kesaksian  di depan siding pengadilan. 

 

257. Untuk menyatakan makna tidak termasuk, gunakan kata kecuali. Kata  kecuali  ditempatkan  di  awal  kalimat,  jika  yang  dikecualikan adalah seluruh kalimat.  Contoh: Undang‐Undang  Nomor  8  Tahun  2010  tentang  Pencegahan  dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang 

Pasal 29 Kecuali  terdapat unsur penyalahgunaan wewenang, Pihak Pelapor, pejabat, dan pegawainya  tidak dapat dituntut, baik secara perdata 

 

Page 161: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

maupun  pidana,  atas  pelaksanaan  kewajiban  pelaporan  menurut Undang‐Undang ini. 

    222. Kata  kecuali  ditempatkan  langsung  di  belakang  suatu  kata,  jika yang akan dibatasi hanya kata yang bersangkutan.  Contoh: Yang dimaksud dengan anak buah kapal adalah mualim, juru mudi, pelaut, dan koki, kecuali koki magang. 

258. Kata  kecuali  ditempatkan  langsung di  belakang  suatu  kata,  jika  yang akan dibatasi hanya kata yang bersangkutan.  Contoh: Undang‐Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian  

Pasal 1 .... 38. Penumpang adalah setiap orang yang berada di atas alat angkut, kecuali awak alat angkut. 

 

    223. Untuk menyatakan makna termasuk, gunakan kata selain.  Contoh: Selain wajib memenuhi  syarat yang  telah ditentukan dalam Pasal 7,  pemohon  wajib  membayar  biaya  pendaftaran  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14. 

259. Untuk menyatakan makna termasuk, gunakan kata selain.  Contoh: Undang‐Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas 

Pasal 77 (1) Selain  penyelenggaraan  RUPS  sebagaimana  dimaksud  dalam 

Pasal  76,  RUPS  dapat  juga  dilakukan  melalui  media telekonferensi,  video  konferensi,  atau  sarana media  elektronik lainnya yang memungkinkan semua peserta RUPS saling melihat dan  mendengar  secara  langsung  serta  berpartisipasi  dalam rapat. 

 

    224. Untuk  menyatakan  makna  pengandaian  atau  kemungkinan, digunakan kata jika, apabila, atau frase dalam hal. a. Kata  jika digunakan untuk menyatakan suatu hubungan kausal 

(pola karena maka). Contoh:   Jika  suatu  perusahaan  melanggar  kewajiban  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, izin perusahaan tersebut dapat dicabut.    

260. Untuk menyatakan makna pengandaian atau kemungkinan, digunakan kata jika, apabila, atau frasa dalam hal. a. Kata jika digunakan untuk menyatakan suatu hubungan kausal (pola 

karena‐maka). Contoh: Jika  suatu  perusahaan melanggar  kewajiban  sebagaimana  dimaksud dalam Pasal 6, izin perusahaan tersebut dapat dicabut. Undang‐Undang  Nomor  27  Tahun  2009  tentang  Majelis Permusyawaratan  Rakyat,  Dewan  Perwakilan  Rakyat,  Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. 

 

Page 162: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

     b. Kata  apabila  digunakan  untuk  menyatakan  hubungan  kausal 

yang mengandung waktu. Contoh: Apabila  anggota  Komisi  Pemberantasan  Korupsi  berhenti  dalam masa  jabatannya  karena  alasan  sebagaimana  dimaksud  dalam Pasal  10  ayat  (4),  yang  bersangkutan  digantikan  oleh  anggota pengganti sampai habis masa jabatannya. 

 c. Frase  dalam  hal  digunakan  untuk  menyatakan  suatu 

kemungkinan, keadaan atau kondisi yang mungkin terjadi atau mungkin tidak terjadi (pola kemungkinan‐maka). 

Contoh: Dalam  hal  Ketua  tidak  dapat  hadir,  sidang  dipimpin  oleh Wakil Ketua. 

Pasal 41 (3) Jika  terjadi  kekosongan  jabatan  Presiden,  MPR  segera 

menyelenggarakan sidang paripurna MPR untuk melantik Wakil Presiden menjadi Presiden. 

 b. Kata  apabila  digunakan  untuk menyatakan  hubungan  kausal  yang 

mengandung waktu. Contoh: Apabila anggota Komisi Pemberantasan Korupsi berhenti dalam masa jabatannya karena alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4),  yang  bersangkutan  digantikan  oleh  anggota  pengganti  sampai habis masa jabatannya.  c. Frasa dalam hal digunakan untuk menyatakan suatu kemungkinan, 

keadaan  atau  kondisi  yang  mungkin  terjadi  atau  mungkin  tidak terjadi (pola kemungkinan‐maka). 

Contoh: Dalam hal Ketua tidak dapat hadir, sidang dipimpin oleh Wakil Ketua. Undang‐Undang Nomor 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura 

Pasal 33 (2) Dalam hal sarana hortikultura dalam negeri tidak mencukupi atau 

tidak tersedia, dapat digunakan sarana hortikultura yang berasal dari luar negeri. 

    225. Frase pada saat digunakan untuk menyatakan suatu keadaan yang pasti akan terjadi di masa depan. Contoh: Pada  saat Undang‐Undang  ini mulai  berlaku,  Pasal  45,  Pasal  46, dan  Pasal  47  Kitab  Undang‐Undang  Hukum  Pidana  dinyatakan tidak berlaku. 

261. Frasa  pada  saat  digunakan  untuk menyatakan  suatu  keadaan  yang pasti akan terjadi di masa depan. Contoh: Undang‐Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik 

Pasal 59 Pada saat Undang‐Undang  ini mulai berlaku, semua peraturan atau ketentuan  mengenai  penyelenggaraan  pelayanan  publik  wajib disesuaikan  dengan  ketentuan  dalam  Undang‐Undang  ini  paling lambat 2 (dua) tahun. 

 

Page 163: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

    226. Untuk menyatakan sifat kumulatif, digunakan kata dan.  Contoh: A dan B dapat menjadi ... 

262. Untuk menyatakan sifat kumulatif, gunakan kata dan.  Contoh: Undang‐Undang Nomor 38 Tahun 2009 tentang Pos 

Pasal 30 Penyelenggara  pos  wajib  menjaga  kerahasiaan,  keamanan,  dan keselamatan kiriman. 

 

    227. Untuk menyatakan sifat alternatif, digunakan kata atau.  Contoh: A atau B wajib memberikan... 

263. Untuk menyatakan sifat alternatif, gunakan kata atau. Contoh: Undang‐Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara 

Pasal 19 (1) Pengubahan  sebagai  akibat  pemisahan  atau  penggabungan 

kementerian dilakukan dengan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. 

 Undang‐Undang Nomor 9 Tahun 2010 tentang Keprotokolan 

Pasal 22 (2) Dalam  hal  tidak  ada  korps  musik  atau  genderang  dan/atau 

sangkakala pengibaran atau penurunan bendera negara diiringi dengan lagu kebangsaan oleh seluruh peserta upacara. 

 

    228. Untuk  menyatakan  sifat  kumulatif  sekaligus  alternatif,  gunakan frase dan/atau.  Contoh: A dan/atau B dapat memperoleh... 

264. Untuk menyatakan  sifat  kumulatif  sekaligus  alternatif,  gunakan  frasa dan/atau. Contoh: Undang‐Undang  Nomor  18  Tahun  2009  tentang  Peternakan  dan Kesehatan Hewan 

Pasal 69 (1) Pelayanan  kesehatan  hewan  meliputi  pelayanan  jasa 

laboratorium  veteriner,  pelayanan  jasa  laboratorium pemeriksaan  dan  pengujian  veteriner,  pelayanan  jasa  medik veteriner,  dan/atau  pelayanan  jasa  di  pusat  jasa  kesehatan hewan atau pos kesehatan hewan. 

 

 

Page 164: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

Contoh: Undang‐Undang Nomor 9 Tahun 2010 tentang Keprotokolan Pasal 31 (1) Penghormatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: 

a. penghormatan dengan bendera negara; b. penghormatan dengan lagu kebangsaan; dan/atau c. bentuk  penghormatan  lain  sesuai  dengan  ketentuan 

peraturan perundang‐undangan.     229. Untuk menyatakan adanya suatu hak, gunakan kata berhak. 

Contoh: Setiap orang berhak mengemukakan pendapat di muka umum. 

265. Untuk menyatakan adanya suatu hak, gunakan kata berhak. Contoh: Undang‐Undang  Nomor  27  Tahun  2009  tentang  Majelis Permusyawaratan  Rakyat,  Dewan  Perwakilan  Rakyat,  Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 

Pasal 72 (1) DPR  dalam  melaksanakan  tugas  dan  wewenangnya  berhak 

meminta  pejabat  negara,  pejabat  pemerintah,  badan  hukum, atau warga masyarakat untuk memberikan keterangan tentang sesuatu hal yang perlu ditangani demi kepentingan bangsa dan negara. 

 

    230. Untuk  menyatakan  pemberian  kewenangan  kepada  seseorang atau lembaga gunakan kata berwenang. Contoh: Presiden  berwenang  menolak  atau  mengabulkan  permohonan grasi. 

266. Untuk  menyatakan  pemberian  kewenangan  kepada  seseorang  atau lembaga gunakan kata berwenang. Contoh: Undang‐Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan 

Pasal 313 (1) Menteri berwenang menetapkan program penegakan hukum dan 

mengambil  tindakan  hukum  di  bidang  keselamatan penerbangan. 

 

    231. Untuk menyatakan sifat diskresioner dari suatu kewenangan yang diberikan kepada seorang atau lembaga, gunakan kata dapat. Contoh: Menteri  dapat  menolak  atau  mengabulkan  permohonan pendaftaran paten. 

267. Untuk  menyatakan  sifat  diskresioner  dari  suatu  kewenangan  yang diberikan kepada seorang atau lembaga, gunakan kata dapat.  Contoh 1: Undang‐Undang  Nomor  4  Tahun  2009  tentang  Pertambangan Mineral dan Batubara  

 

Page 165: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

Pasal 90 Pemegang  IUP  dan  IUPK  dapat melakukan  sebagian  atau  seluruh tahapan  usaha  pertambangan,  baik  kegiatan  eksplorasi  maupun kegiatan operasi produksi.  Contoh 2: Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan Kabupaten Hulu Sungai Utara 

Pasal 28 (2) Penduduk  yang  tidak  mampu  melaksanakan  pelaporan  sendiri 

terhadap  peristiwa  kependudukan  yang  menyangkut  dirinya sendiri  dapat  dibantu  oleh  instansi  pelaksana  atau  meminta bantuan kepada orang lain. 

    232. Untuk menyatakan adanya suatu kewajiban yang telah ditetapkan, gunakan kata wajib.  Jika kewajiban  tersebut  tidak dipenuhi, yang bersangkutan  akan  dijatuhi  sanksi  hukum menurut  hukum  yang berlaku.  Contoh: Untuk  membangun  rumah,  seseorang  wajib  memiliki  izin mendirikan bangunan. 

268. Untuk  menyatakan  adanya  suatu  kewajiban  yang  telah  ditetapkan, gunakan kata wajib. Jika  kewajiban  tersebut  tidak  dipenuhi,  yang  bersangkutan  dijatuhi sanksi.  Contoh 1: Undang‐Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian 

 Pasal 8 

(1) Setiap orang  yang masuk atau  ke  luar Wilayah  Indonesia wajib memiliki Dokumen Perjalanan yang sah dan masih berlaku. 

 Contoh 2: Peraturan  Daerah  Nomor  4  Tahun  2010  tentang  Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan Kabupaten Hulu Sungai Utara 

Pasal 17 (1) Setiap penduduk wajib memiliki NIK. 

 

    233. Untuk  menyatakan  pemenuhan  suatu  kondisi  atau  persyaratan tertentu,  gunakan  kata  harus.  Jika  keharusan  tersebut  tidak 

269. Untuk  menyatakan  pemenuhan  suatu  kondisi  atau  persyaratan tertentu, gunakan kata harus. Jika keharusan tersebut tidak dipenuhi, 

 

Page 166: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

dipenuhi,  yang  bersangkutan  tidak  memperoleh  sesuatu  yang seharusnya  akan  didapat  seandainya  ia memenuhi  kondisi  atau persyaratan tersebut.  Contoh: Untuk  memperoleh  izin  mendirikan  bangunan,  seseorang  harus memenuhi syarat‐syarat sebagai berikut: 

yang bersangkutan  tidak memperoleh  sesuatu yang  seharusnya akan didapat seandainya ia memenuhi kondisi atau persyaratan tersebut. Contoh: Undang‐Undang Nomor 5 Tahun 2011 tentang Akuntan Publik 

Pasal 6 (1) Untuk mendapatkan  izin menjadi  Akuntan  Publik  sebagaimana 

dimaksud  dalam  Pasal  5  ayat  (1)  seseorang  harus  memenuhi syarat sebagai berikut: a. memiliki  sertifikat  tanda  lulus  ujian  profesi  akuntan  publik 

yang sah; b. berpengalaman  praktik  memberikan  jasa  sebagaimana 

dimaksud dalam Pasal 3; c. berdomisili di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; d. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak; e. tidak pernah dikenai sanksi administratif berupa pencabutan 

izin Akuntan Publik; f. tidak  pernah  dipidana  yang  telah  mempunyai  kekuatan 

hukum  tetap  karena  melakukan  tindak  pidana  kejahatan yang  diancam  dengan  pidana  penjara  5  (lima)  tahun  atau lebih; 

g. menjadi  anggota  Asosiasi  Profesi  Akuntan  Publik  yang ditetapkan oleh Menteri; dan 

h. tidak berada dalam pengampuan.     234. Untuk menyatakan adanya larangan, gunakan kata dilarang.  270. Untuk menyatakan adanya larangan, gunakan kata dilarang. 

Contoh 1: Undang‐Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman 

Pasal 135 Setiap  orang  dilarang  menyewakan  atau  mengalihkan kepemilikannya atas rumah umum kepada pihak lain. Contoh 2: Peraturan Daerah Kabupaten Hulu Sungai Utara Nomor 2 Tahun 

 

Page 167: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

2010  tentang  Izin  Usaha  Perikanan  dan  Tanda  Pencatatan Kegiatan Perikanan 

Pasal 11 (1) Setiap pemegang IUP atau TPKP dilarang: 

a. melakukan  kegiatan  penangkapan  ikan  dengan menggunakan alat  terlarang  seperti bahan kimia, bahan peledak,  obat  bius,  arus  listrik,  dan  menggunakan  alat tangkap dengan ukuran mata  jaring kurang 2,5  cm atau alat tangkap dengan ukuran mata bilah kurang dari 1 cm. 

    C. TEKNIK PENGACUAN  TEKNIK PENGACUAN       235. Pada dasarnya setiap pasal merupakan suatu kebulatan pengertian 

tanpa mengacu ke pasal atau ayat lain. Namun untuk menghindari pengulangan rumusan dapat digunakan teknik pengacuan. 

271. Pada  dasarnya  setiap  pasal merupakan  suatu  kebulatan  pengertian tanpa mengacu  ke  pasal  atau  ayat  lain. Namun,  untuk menghindari pengulangan rumusan digunakan teknik pengacuan. 

 

 

    236. Teknik pengacuan dilakukan dengan menunjuk pasal atau ayat dari Peraturan  Perundang‐undangan  yang  bersangkutan  atau Peraturan  Perundang‐undangan  yang  lain  dengan menggunakan frase  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  ...  atau  sebagaimana dimaksud pada ayat. 

 Contoh: a. Persyaratan  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  13  ayat  (1) 

dan ayat (2)... b. Izin sebagaimana dimaksud pada ayat ( 3 ) berlaku pula... 

272. Teknik  pengacuan  dilakukan  dengan menunjuk  pasal  atau  ayat  dari Peraturan  Perundang–undangan  yang  bersangkutan  atau  Peraturan Perundang–undangan  yang  lain  dengan  menggunakan  frasa sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  …  atau  sebagaimana  dimaksud pada ayat … . 

 Contoh 1: Undang‐Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika 

Pasal 72 (1) Kewenangan  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  71 

dilaksanakan oleh penyidik BNN. (2) Penyidik BNN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan 

diberhentikan oleh Kepala BNN.  Contoh 2: Peraturan  Daerah  Nomor  4  Tahun  2010  tentang  Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan Kabupaten Hulu Sungai Utara 

Pasal 5 

 

Page 168: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

(1) Dalam melaksanakan  kewenangan  sebagaimana  dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a, penyelenggara mengadakan koordinasi dengan instansi vertikal dan lembaga pemerintah nonkementerian. 

(2) Koordinasi  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  berkaitan dengan aspek perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan,  dan  evaluasi  penyelenggaraan  administrasi kependudukan. 

     237. Pengacuan dua atau lebih terhadap pasal atau ayat yang berurutan 

tidak  perlu menyebutkan  pasal  demi  pasal  atau  ayat  demi  ayat yang  diacu  tetapi  cukup  dengan  menggunakan  frase  sampai dengan. Contoh: a.  ...  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5  sampai dengan Pasal 

12. b. ... sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) sampai dengan 

ayat (4). 

273. Pengacuan  lebih  dari  dua  terhadap  pasal,  ayat,  atau  huruf  yang berurutan tidak perlu menyebutkan pasal demi pasal, ayat demi ayat, atau huruf demi huruf yang diacu tetapi cukup dengan menggunakan frasa sampai dengan. Contoh: Undang‐Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah 

Pasal 10 Ketentuan  lebih  lanjut mengenai  perizinan,  bentuk  badan  hukum, anggaran  dasar,  serta  pendirian  dan  kepemilikan  Bank  Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 9 diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.  Undang‐Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial 

Pasal 57 (5) Ketentuan  lebih  lanjut  mengenai  pembinaan  sebagaimana 

dimaksud pada ayat  (1)  sampai dengan ayat  (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 

 Undang‐Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah 

Pasal 37 (3) ... 

f. perusahaan yang di dalamnya terdapat kepentingan dari pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf e. 

 

Page 169: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

    238. Pengacuan  dua  atau  lebih  terhadap  pasal  atau  ayat  yang berurutan,  tetapi  ada  ayat  dalam  salah  satu  pasal  yang dikecualikan,  pasal  atau  ayat  yang  tidak  ikut  diacu  dinyatakan dengan kata kecuali. Contoh: a. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sampai dengan 

Pasal 12 berlaku juga bagi calon hakim, kecuali Pasal 7 ayat (1). b. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan 

ayat (5) berlaku juga bagi tahanan kecuali ayat (4) huruf a. 

274. Pengacuan  lebih  dari  dua  terhadap  pasal  atau  ayat  yang  berurutan, tetapi ada ayat dalam  salah  satu pasal  yang dikecualikan, pasal atau ayat yang tidak ikut diacu dinyatakan dengan kata kecuali. Contoh: a. Ketentuan  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  5  sampai  dengan 

Pasal 12 berlaku juga bagi calon hakim, kecuali Pasal 7 ayat (1). b. Ketentuan  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  sampai  dengan 

ayat (5) berlaku juga bagi tahanan, kecuali ayat (4) huruf a. 

 

    239. Kata  Pasal  ini  tidak  perlu  digunakan  jika  ayat  yang  diacu merupakan salah satu ayat dalam pasal yang bersangkutan.  Contoh: 

Pasal 8 (1) … (2)  Izin  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  Pasal  ini  berlaku 

untuk 60 (enam puluh) hari. 

275. Kata pasal  ini  tidak perlu digunakan  jika  ayat  yang diacu merupakan salah satu ayat dalam pasal yang bersangkutan.  Contoh: Rumusan yang tidak tepat: 

Pasal 8 (1) … . (2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal ini berlaku untuk 60 

(enam puluh) hari. 

 

    240. Jika ada dua atau lebih pengacuan, urutan dari pengacuan dimulai dari  ayat  dalam  pasal  yang  bersangkutan  (Jika  ada),  kemudian diikuti dengan pasal atau ayat yang angkanya lebih kecil. Contoh: 

Pasal 15 (1) … (2) … (3)  Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pasal 7 ayat (2) dan 

ayat  (4),  Pasal  12,  dan  Pasal  13  ayat  (3)  diajukan  kepada Menteri Pertambangan. 

276. Jika ada dua atau lebih pengacuan, urutan dari pengacuan dimulai dari ayat  dalam  pasal  yang  bersangkutan  (jika  ada),  kemudian  diikuti dengan pasal atau ayat yang angkanya lebih kecil. Contoh: 

Pasal 15 (1) … . (2) … . (3) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pasal 7 ayat (2) dan ayat 

(4),  Pasal  12,  dan  Pasal  13  ayat  (3)  diajukan  kepada  Menteri Pertambangan. 

 

    241. Pengacuan  sedapat  mungkin  dilakukan  dengan  mencantumkan pula secara singkat materi pokok yang diacu. Contoh: Izin penambangan batu bara  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 

277. Pengacuan  dilakukan  dengan  mencantumkan  secara  singkat  materi pokok yang diacu. Contoh: Izin penambangan batu  bara  sebagaimana dimaksud dalam  Pasal  15 

 

Page 170: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

15 diberikan oleh…  diberikan oleh … .     242. Pengacuan  hanya  dapat  dilakukan  ke  Peraturan  Perundang‐

undangan yang tingkatannya sama atau lebih tinggi. 278. Pengacuan hanya dapat dilakukan ke Peraturan Perundang–undangan 

yang tingkatannya sama atau lebih tinggi.  

    243. Hindari pengacuan ke pasal atau ayat yang  terletak  setelah pasal atau ayat yang bersangkutan.  Contoh: 

Pasal Permohonan  izin  pengelolaan  hutan  wisata  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dibuat dalam rangkap 5 (lima). 

279. Hindari pengacuan ke pasal atau ayat yang terletak setelah pasal atau ayat bersangkutan. 

 Contoh: Undang‐Undang  Nomor  8  Tahun  2010  tentang  Tindak  Pidana Pencucian Uang 

Pasal 15 Pejabat  atau  pegawai  PPATK  yang  melanggar  kewajiban sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  37  ayat  (4)  dipidana  dengan pidana penjara paling  lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). 

 

    244. Pengacuan  dilakukan  dengan menyebutkan  secara  tegas  nomor dari  pasal  atau  ayat  yang  diacu  dan  dihindarkan  pengguna  frase pasal yang terdahulu atau pasal tersebut di atas. 

280. Pengacuan  dilakukan  dengan menyebutkan  secara  tegas  nomor  dari pasal  atau  ayat  yang diacu dan  tidak menggunakan  frasa pasal  yang terdahulu atau pasal tersebut di atas. 

 

    245. Pengacuan  untuk  menyatakan  berlakunya  berbagai  ketentuan peraturan perundang‐undangan yang tidak disebutkan secara rinci, menggunakan  frase  sesuai  dengan  ketentuan  Peraturan Perundang‐undangan. 

281. Pengacuan  untuk  menyatakan  berlakunya  berbagai  ketentuan Peraturan  Perundang–undangan  yang  tidak  disebutkan  secara  rinci, menggunakan  frasa  sesuai  dengan  ketentuan  Peraturan  Perundang– undangan. 

 

    246. Untuk menyatakan bahwa  (berbagai) peraturan pelaksanaan dari suatu  Peraturan  Perundang‐undangan  masih  diberlakukan  atau dinyatakan  berlaku  selama  belum  diadakan  penggantian  dengan Peraturan Perundang‐undangan yang baru, gunakan frase berlaku sepanjang  tidak  bertentangan  dengan  ketentuan  dalam  (Jenis peraturan yang bersangkutan). 

282. Untuk  menyatakan  peraturan  pelaksanaan  dari  suatu  Peraturan Perundang–undangan dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Perundang–undangan, gunakan frasa dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan  dalam  …  (jenis  Peraturan  Perundang‐undangan  yang bersangkutan) ini. Contoh: Pada  saat  Undang‐Undang  ini  mulai  berlaku,  semua  Peraturan Perundang‐undangan  yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang‐Undang  Nomor  10  Tahun  2004  tentang  Pembentukan Peraturan  Perundang‐undangan  (Lembaran  Negara  Republik 

 

Page 171: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

Indonesia  Tahun  2004  Nomor  53,  Tambahan  Lembaran  Negara Republik  Indonesia  Nomor  4389),  dinyatakan masih  tetap  berlaku sepanjang  tidak  bertentangan  dengan  ketentuan  dalam  Undang‐Undang ini. 

    247. Jika Peraturan Perundang‐undangan yang dinyatakan masih  tetap berlaku  hanya  sebagian  dari  ketentuan  peraturan  perundang‐undangan tersebut, gunakan frase tetap berlaku, kecuali… Contoh: Pada  saat  Undang‐Undang  ini  berlaku,  Peraturan  Pemerintah Nomor…Tahun…  (Lembaran  Negara  Republik  Indonesia Tahun…Nomor…, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor…) tetap berlaku kecuali Pasal 5 sampai dengan Pasal 10. 

283. Jika  Peraturan  Perundang‐undangan  yang  dinyatakan  masih  tetap berlaku  hanya  sebagian  dari  ketentuan  Peraturan  Perundang– undangan tersebut, gunakan frasa dinyatakan tetap berlaku, kecuali … . Contoh: Pada  saat  Undang‐Undang  ini mulai  berlaku,  Peraturan  Pemerintah Nomor …  Tahun …  tentang  ...  (Lembaran Negara Republik  Indonesia Tahun … Nomor …  , Tambahan Lembaran Negara Republik  Indonesia Nomor …)  dinyatakan  tetap  berlaku,  kecuali  Pasal  5  sampai  dengan Pasal 10. 

 

      284. Naskah  Peraturan  Perundang‐undangan  diketik  dengan  jenis  huruf Bookman Old Style, dengan huruf 12, di atas kertas F4. 

 

    BAB IV BENTUK RANCANGAN PERATURAN PERUNDANG‐UNDANGAN 

BAB IV BENTUK RANCANGAN PERATURAN PERUNDANG–UNDANGAN 

 

    A. BENTUK RANCANGAN UNDANG‐UNDANG  A. BENTUK RANCANGAN UNDANG–UNDANG       UNDANG‐UNDANG REPUBLIK INDONESIA 

NOMOR…TAHUN…TENTANG (Nama Undang‐Undang) 

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 

  Menimbang: a. bahwa…; 

b. bahwa…; c. dan seterusnya…; 

Mengingat:  1. …; 2. …; 

UNDANG–UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR … TAHUN … 

TENTANG … 

(Nama Undang–Undang) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:  a. bahwa …; 

b. bahwa …; c. dan seterusnya …; 

Mengingat:  1. …; 2. …; 

 

Page 172: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

3. dan seterusnya…; Dengan Persetujuan Bersama 

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan 

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: 

Menetapkan: UNDANG‐UNDANG TENTANG…(nama undang‐undang). BAB I … 

Pasal 1 … 

BAB II … 

Pasal ... BAB ... (dan seterusnya) 

 Agar  setiap  orang  mengetahuinya,  memerintahkan  pengundangan Undang‐Undang  ini  dengan  penempatannya  dalam  Lembaran Negara Republik Indonesia.  

 Disahkan di Jakarta pada tanggal ... PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, (tanda tangan) (NAMA) 

Diundangkan di Jakarta pada tanggal… MENTERI  (yang  tugas  dan  tanggung  jawabnya  di  bidang  peraturan perundang‐undangan) (tanda tangan) (NAMA) 

3. dan seterusnya …; Dengan Persetujuan Bersama 

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan 

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: 

Menetapkan: UNDANG–UNDANG TENTANG … (nama Undang–Undang). BAB I … 

Pasal 1 . . . … 

BAB II … 

Pasal … BAB … (dan seterusnya) 

Pasal … Undang‐Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang–Undang  ini  dengan  penempatannya  dalam  Lembaran  Negara  Republik Indonesia.  

Disahkan di Jakarta pada tanggal … PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, tanda tangan NAMA 

Diundangkan di Jakarta pada tanggal … MENTERI (yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum), tanda tangan NAMA 

Page 173: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN...NOMOR…  LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN … NOMOR …     B. RANCANGAN  UNDANG‐UNDANG  PENETAPAN  PERATURAN 

PEMERINTAH  PENGGANTI  UNDANG‐UNDANG  MENJADI  UNDANG‐UNDANG 

B. RANCANGAN UNDANG‐UNDANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG‐UNDANG MENJADI UNDANG‐UNDANG 

 

    UNDANG‐UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR…TAHUN... 

TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI 

UNDANG‐UNDANG NOMOR…TAHUN… TENTANG ... MENJADI UNDANG‐UNDANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :  a.bahwa…; 

b.bahwa…; c.dan seterusnya…; 

Mengingat:     1. …; 2. …; 3. dan seterusnya…; 

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT PEPUBLIK INDONESIA 

dan PRESIDEN REPUBLIK INDONIESIA 

MEMUTUSKAN: Menetapkan:  UNDANG‐UNDANG  TENTANG  PENETAPAN  PERATURAN 

PEMERINTAH  PENGGANTI  UNDANG‐UNDANG NOMOR…TAHUN…TENTANG…  MENJADI  UNDANG‐UNDANG. 

Pasal 1 Peraturan  Pemerintah  Pengganti Undang‐Undang Nomor  ...  Tahun … tentang …  (Lembaran Negara  Republik  Indonesia  Tahun … Nomor …, Tambahan Lembaran Negara Republik  Indonesia Nomor …) ditetapkan menjadi  Undang‐Undang  dan  melampirkannya  sebagai  bagian  yang 

UNDANG–UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR …TAHUN … 

TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI 

UNDANG‐UNDANG NOMOR … TAHUN … TENTANG … MENJADI UNDANG–UNDANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:  a. bahwa …; 

b. bahwa …; c. dan seterusnya …; 

Mengingat:    1. ...; 2. …; 3. dan seterusnya …; 

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA 

dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA 

MEMUTUSKAN: Menetapkan: UNDANG–UNDANG TENTANG PENETAPAN PERATURAN 

PEMERINTAH  PENGGANTI  UNDANG–UNDANG  NOMOR  … TAHUN ... TENTANG … MENJADI UNDANG–UNDANG. 

 Pasal 1 . . . 

Peraturan  Pemerintah  Pengganti  Undang–Undang  Nomor  …  Tahun  … tentang  …  (Lembaran  Negara  Republik  Indonesia  Tahun  ...  Nomor  ...  , Tambahan  Lembaran  Negara  Republik  Indonesia  Nomor  …)  ditetapkan menjadi Undang–Undang  dan melampirkannya  sebagai  bagian  yang  tidak 

 

Page 174: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

tidak terpisahkan dari Undang‐Undang ini. Pasal 2 

Undang‐Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar  setiap  orang  mengetahuinya,  memerintahkan  pengundangan Undang‐Undang  ini  dengan  penempatannya  dalam  Lembaran Negara Republik Indonesia.  

Disahkan di Jakarta pada tanggal ... PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, (tanda tangan) (NAMA) 

Diundangkan di Jakarta pada tanggal ... MENTERI  (yang  tugas  dan  tanggung  jawabnya  di  bidang  peraturan perundang‐undangan) (tanda tangan) (NAMA) 

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN…NOMOR... 

terpisahkan dari Undang‐Undang ini. Pasal 2 

Undang–Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang–Undang  ini  dengan  penempatannya  dalam  Lembaran  Negara  Republik Indonesia.  

Disahkan di Jakarta pada tanggal … PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, tanda tangan NAMA 

Diundangkan di Jakarta pada tanggal … MENTERI (yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum), tanda tangan NAMA 

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN … NOMOR …     C. RANCANGAN  UNDANG‐UNDANG  PENGESAHAN  PERJANJIAN 

INTERNASIONAL YANG  TIDAK MENGGUNAKAN BAHASA  INDONESIA SEBAGAI SALAH SATU BAHASA RESMI 

C. RANCANGAN  UNDANG–UNDANG  PENGESAHAN  PERJANJIAN INTERNASIONAL  YANG  TIDAK  MENGGUNAKAN  BAHASA  INDONESIA SEBAGAI SALAH SATU BAHASA RESMI 

 

    UNDANG‐UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR…TAHUN… 

TENTANG PENGESAHAN KONVENSI… 

(bahasa asli perjanjian internasional yang diratifikasi dan diikuti dengan bahasa 

Indonesia sebagai terjemahannya) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ...; 

UNDANG–UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR … TAHUN … 

TENTANG PENGESAHAN KONVENSI … 

(bahasa asli perjanjian internasional yang diratifikasi dan diikuti dengan bahasa Indonesia sebagai terjemahannya) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:  a. bahwa …; 

b. bahwa …; 

 

Page 175: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

b. bahwa ...; c. dan seterusnya...; 

Mengingat:   1. ...; 2. ...; 3. dan seterusnya…; 

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA 

dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA 

MEMUTUSKAN: Menetapkan: UNDANG‐UNDANG TENTANG PENGESAHAN KONVENSI ... 

(bahasa  asli perjanjian  internasional  yang diratifikasi dan  diikuti  dengan  bahasa  Indonesia  sebagai terjemahannya). 

Pasal 1 (1) Mengesahkan Konvensi...(bahasa asli perjanjian  internasional yang 

diratifikasikan  dan  diikuti  dengan  bahasa  Indonesia  sebagai terjemahannya)  ...  dengan  Reservation  (Pensyaratan)  terhadap Pasal...tentang... 

(2) Salinan naskah asli Konvensi...(bahasa asli perjanjian  internasional yang  diratifikasikan  dan  diikuti  dengan  bahasa  Indonesia  sebagai terjemahannya)...dengan  Reservation  (Pensyaratan)  terhadap Pasal...tentang...dalam  bahasa  Inggris  dan  terjemahannya  dalam bahasa  Indonesia  sebagaimana  terlampir  dan merupakan  bagian yang tidak terpisahkan dari Undang‐Undang ini. 

Pasal 2 Undang‐Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar  setiap  orang  mengetahuinya  memerintahkan  pengundangan Undang‐Undang  ini  dengan  penempatannya  dalam  Lembaran Negara Republik Indonesia. 

Disahkan di Jakarta pada tanggal... 

c. dan seterusnya …; Mengingat:    1. …; 

2. …; 3. dan seterusnya …; 

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA 

dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA 

MEMUTUSKAN: Menetapkan:  UNDANG–UNDANG  TENTANG  PENGESAHAN  KONVENSI  … 

(bahasa  asli  perjanjian  internasional  yang  diratifikasi  dan diikuti dengan bahasa Indonesia sebagai terjemahannya). 

Pasal 1 (1) Mengesahkan  Konvensi  …  (bahasa  asli  perjanjian  internasional  yang 

diratifikasikan  dan  diikuti  dengan  bahasa  Indonesia  sebagai terjemahannya) … dengan Reservation (Pensyaratan) terhadap Pasal ... tentang… . 

(2) Salinan  naskah  asli  Konvensi  …  (bahasa  asli  perjanjian  internasional yang  diratifikasikan  dan  diikuti  dengan  bahasa  Indonesia  sebagai terjemahannya) … dengan Reservation (Pensyaratan) terhadap Pasal ... tentang  …  dalam  bahasa  Inggris  dan  terjemahannya  dalam  bahasa Indonesia  sebagaimana  terlampir  dan  merupakan  bagian  yang  tidak terpisahkan dari Undang‐Undang ini. 

Pasal 2 Undang–Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang–Undang  ini  dengan  penempatannya  dalam  Lembaran  Negara  Republik Indonesia. 

Disahkan di Jakarta pada tanggal … PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, tanda tangan 

Page 176: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, (tanda tangan) (NAMA) 

Diundangkan di Jakarta Pada tanggal... MENTERI  (yang  tugas  dan  tanggung  jawabnya  di  bidang  peraturan perundang‐undangan) (tanda tangan) (NAMA) 

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN...NOMOR... 

NAMA Diundangkan di Jakarta pada tanggal … MENTERI (yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum), tanda tangan NAMA 

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN … NOMOR … 

    D. BENTUK  RANCANGAN  UNDANG‐UNDANG  PERUBAHAN  UNDANG‐UNDANG 

D. BENTUK  RANCANGAN  UNDANG‐UNDANG  PERUBAHAN UNDANGUNDANG 

 

    UNDANG‐UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... 

TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG‐UNDANG 

NOMOR…TAHUN…TENTANG (untuk perubahan pertama) 

atau PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG‐UNDANG 

NOMOR…TAHUN…TENTANG… (untuk perubahan kedua, dan seterusnya) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa…; 

b. bahwa…; c. dan seterusnya…; 

Mengingat:    1. …; 2. …; 3. dan seterusnya…; 

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA 

UNDANG – UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR … TAHUN … 

TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG – UNDANG 

NOMOR … TAHUN … TENTANG … (untuk perubahan pertama ) 

atau PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG‐UNDANG 

NOMOR ... TAHUN ... TENTANG ... ( untuk perubahan kedua, dan seterusnya ) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:  a. bahwa …; 

b. bahwa …; c. dan seterusnya …; 

Mengingat:  1. …; 2. …; 3. dan seterusnya …; 

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA 

 

Page 177: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA 

MEMUTUSKAN: Menetapkan:  UNDANG‐UNDANG  TENTANG  PERUBAHAN  ATAS 

UNDANG‐UNDANG NOMOR…TAHUN…TENTANG… Pasal I 

Beberapa  ketentuan  dalam  Undang‐Undang Nomor…Tahun…tentang...(Lembaran  Negara  Republik  Indonesia Tahun...Nomor…, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor…), diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan  Pasal…(bunyi  rumusan  tergantung  keperluan),  dan 

seterusnya. Pasal II 

Undang‐Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar  setiap  orang  mengetahuinya,  memerintahkan  pengundangan Undang‐Undang  ini  dengan  penempatannya  dalam  Lembaran Negara Republik Indonesia. 

Disahkan di Jakarta pada tanggal ... PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, (tanda tangan) (NAMA) 

Diundangkan di Jakarta pada tanggal... MENTERI  (yang  tugas  dan  tanggung  jawabnya  di  bidang  peraturan perundang‐undangan) (tanda tangan) (NAMA) 

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN ... NOMOR ... 

dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA 

MEMUTUSKAN: Menetapkan:  UNDANG–UNDANG  TENTANG  PERUBAHAN  ATAS  UNDANG‐

UNDANG NOMOR … TAHUN … TENTANG ... . Pasal I . . . 

Beberapa ketentuan dalam Undang–Undang Nomor  ... Tahun … tentang … (Lembaran  Negara  Republik  Indonesia  Tahun  …  Nomor  …,  Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor … ) diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan  Pasal  ...  (  bunyi  rumusan  tergantung  keperluan  ),  dan 

seterusnya. Pasal II 

Undang–Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang‐Undang  ini  dengan  penempatannya  dalam  Lembaran  Negara  Republik Indonesia. 

Disahkan di Jakarta pada tanggal … PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, tanda tangan NAMA 

Diundangkan di Jakarta pada tanggal … MENTERI (yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum), tanda tangan NAMA 

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN … NOMOR … 

    E. BENTUK  RANCANGAN  UNDANG‐UNDANG  PENCABUTAN  UNDANG‐UNDANG 

E. BENTUK  RANCANGAN  UNDANG–UNDANG  PENCABUTAN  UNDANG–UNDANG 

 

    UNDANG‐UNDANG REPUBLIK INDONESIA  UNDANG–UNDANG REPUBLIK INDONESIA   

Page 178: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

NOMOR... TAHUN... TENTANG 

PENCABUTAN UNDANG‐UNDANG NOMOR... TAHUN... TENTANG ... (Nama Undang‐Undang) 

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 

Menimbang:  a. bahwa…; b. bahwa…; c. dan seterusnya…; 

Mengingat:  1. …; 2. …; 3. dan seterusnya ...; 

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA 

dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA 

MEMUTUSKAN: Menetapkan:  UNDANG‐UNDANG  TENTANG  PENCABUTAN  UNDANG‐

UNDANG NOMOR ... TAHUN ... TENTANG .... Pasal 1 

Undang‐Undang  Nomor  ...  Tahun  …  tentang  ...  (Lembaran  Negara Republik  Indonesia  Tahun  ... Nomor  ....,  Tambahan  Lembaran Negara Republik  Indonesia  Nomor...)  dicabut  dan  dinyatakan  tidak  berlaku (bagi  Undang‐Undang  yang  sudah  berlaku)  atau  ditarik  kembali  dan dinyatakan  tidak  berlaku  (bagi  Undang‐Undang  yang  sudah diundangkan tetapi belum mulai berlaku). 

Pasal 2 Undang‐Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar  setiap  orang  mengetahuinya,  memerintahkan  pengundangan Undang‐Undang  ini  dengan  penempatannya  dalam  Lembaran Negara Republik Indonesia. 

Disahkan di Jakarta 

NOMOR … TAHUN … TENTANG 

PENCABUTAN UNDANG–UNDANG NOMOR … TAHUN … TENTANG … (Nama Undang–Undang) 

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 

Menimbang:  a. bahwa …; b. bahwa …; c. dan seterusnya …; 

Mengingat:    1. …; 2. …; 3. dan seterusnya …; 

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA 

dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA 

MEMUTUSKAN: Menetapkan:  UNDANG–UNDANG  TENTANG  PENCABUTAN UNDANGUNDANG NOMOR … TAHUN … TENTANG ... . 

Pasal 1 Undang–Undang Nomor … Tahun … tentang ... (Lembaran Negara Republik Indonesia  Tahun  …  Nomor  ...,  Tambahan  Lembaran  Negara  Republik Indonesia Nomor …) dicabut dan dinyatakan  tidak berlaku  (bagi Undang–Undang  yang  sudah  berlaku)  atau  ditarik  kembali  dan  dinyatakan  tidak berlaku (bagi Undang–Undang yang sudah diundangkan tetapi belum mulai berlaku). 

Pasal 2 Undang–Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang‐Undang  ini  dengan  penempatannya  dalam  Lembaran  Negara  Republik Indonesia. 

Disahkan di Jakarta 

Page 179: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

pada tanggal ... PRESIDEN REPUBLIK ENDONESIA, (tanda tangan) (NAMA) 

Diundangkan di Jakarta pada tanggal ... MENTERI  (yang  tugas  dan  tanggung  jawabnya  di  bidang  peraturan perundang‐undangan) (tanda tangan) (NAMA) 

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN…NOMOR…  

pada tanggal … PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, tanda tangan NAMA 

Diundangkan di Jakarta pada tanggal … MENTERI (yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum), tanda tangan NAMA 

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN … NOMOR … 

    F. BENTUK RANCANGAN UNDANG‐UNDANG PENCABUTAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG‐UNDANG 

F. BENTUK  RANCANGAN  UNDANG‐UNDANG  PENCABUTAN  PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG‐UNDANG 

 

    UNDANG‐UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR…TAHUN… 

TENTANG PENCABUTAN PERATURAN PEMERINTAH 

PENGGANTI UNDANG‐UNDANG NOMOR…TAHUN…TENTANG... DENGAN RAHMAT TUHAN YANUGMAHA ESA 

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa…; 

b. bahwa…; c. dan seterusnya…; 

Mengingat:    1. …; 2. …; 3. dan seterusnya…; 

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA 

dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA 

MEMUTUSKAN: 

UNDANG‐UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR … TAHUN … 

TENTANG PENCABUTAN PERATURAN PEMERINTAH 

PENGGANTI UNDANG‐UNDANG NOMOR … TAHUN … TENTANG … DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:  a. bahwa …; 

b. bahwa …; c. dan seterusnya …; 

Mengingat:    1. …; 2. …; 3. dan seterusnya …; 

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA 

dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA 

MEMUTUSKAN: 

 

Page 180: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

Menetapkan:  UNDANG‐UNDANG  NOMOR…TAHUN…TENTANG PENCABUTAN  PERATURAN  PEMERINTAH  PENGGANTI UNDANG‐UNDANG NOMOR ... TAHUN…TENTANG... 

Pasal I Peraturan  Pemerintah  Pengganti  Undang‐Undang Nomor…Tahun…(Lembaran  Negara  Republik  Indonesia Tahun…Nomor…, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor  ...  )  dicabut  dan  dinyatakan  tidak  berlaku  (bagi  Peraturan Pemerintah Pengganti Undang‐undang yang sudah berlaku) atau ditarik kembali  dan  dinyatakan  tidak  berlaku  (bagi  Peraturan  Pemerintah Pengganti Undang‐undang yang sudah diundangkan tetapi belum mulai berlaku). 

Pasal 2 Undang‐Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar  setiap  orang  mengetahuinya,  memerintahkan  pengundangan Undang‐Undang  ini  dengan  penempatannya  dalam  Lembaran Negara Republik Indonesia. 

Disahkan di Jakarta pada tanggal ... PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, (tanda tangan) (NAMA) 

Diundangkan di Jakarta pada tanggal ... MENTERI  (yang  tugas  dan  tanggung  jawabnya  di  bidang  peraturan Perundang‐undangan) (tanda tangan) (NAMA) 

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN...NOMOR... 

Menetapkan:  UNDANG‐UNDANG NOMOR ... TAHUN … TENTANG PENCABUTAN  PERATURAN  PEMERINTAH  PENGGANTI UNDANG‐UNDANG NOMOR … TAHUN … TENTANG … 

Pasal 1 Peraturan  Pemerintah  Pengganti  Undang‐Undang  Nomor  …  Tahun  ... tentang  ...  (Lembaran  Negara  Republik  Indonesia  Tahun  ….  Nomor  ..., Tambahan  Lembaran  Negara  Republik  Indonesia  Nomor  …)  dicabut  dan dinyatakan  tidak  berlaku  (bagi  Peraturan  Pemerintah  Pengganti  Undang‐undang  yang  sudah  berlaku)  atau  ditarik  kembali  dan  dinyatakan  tidak berlaku (bagi Peraturan . . . Peraturan Pemerintah Pengganti Undang‐undang yang sudah diundangkan tetapi belum mulai berlaku). 

 Pasal 2 

Undang–Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang‐Undang  ini  dengan  penempatannya  dalam  Lembaran  Negara  Republik Indonesia. 

Disahkan di Jakarta pada tanggal … PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, tanda tangan NAMA 

Diundangkan di Jakarta pada tanggal … MENTERI (yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum), tanda tangan NAMA 

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN … NOMOR …     G. RANCANGAN  PERATURAN  PEMERINTAH  PENGGANTI  UNDANG‐

UNDANG G. RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG‐UNDANG   

Page 181: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

    PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG‐UNDANG REPUBLIK INDONESIA 

NOMOR…TAHUN... TENTANG 

(Nama Peraturan Pemerintah Pengganti Undang‐undang) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:  a. bahwa…; 

b. bahwa…; c. dan seterusnya...; 

Mengingat:    1. ...; 2. ...; 3. dan seterusnya...; 

MEMUTUSKAN: Menetapkan:    PERATURAN  PEMERINTAH  PENGGANTI  UNDANG‐

UNDANG  TENTANG  ....  (Nama  Peraturan  Pemerintah Pengganti Undang‐undang). 

BAB I ... 

Pasal 1 ... 

BAB II ... 

Pasal ... BAB 

(dan seterusnya) Pasal 2 

 Agar  setiap  orang  mengetahuinya,  memerintahkan  pengundangan Peraturan  Pemerintah  Pengganti  Undang‐Undang  ini  dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. 

Ditetapkan di Jakarta 

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG‐UNDANG REPUBLIK INDONESIA 

NOMOR …. TAHUN ….. TENTANG 

(Nama Peraturan Pemerintah Pengganti Undang‐undang) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:  a. bahwa …; 

b. bahwa …; c. dan seterusnya …; 

Mengingat:    1. …; 2. …; 3. dan seterusnya …; 

MEMUTUSKAN: Menetapkan:  PERATURAN  PEMERINTAH  PENGGANTI  UNDANG‐UNDANG 

TENTANG  …  (Nama  Peraturan  Pemerintah  Pengganti Undang‐undang). 

BAB I … 

Pasal 1 BAB II ... 

Pasal … BAB 

(dan seterusnya) Pasal 2 . . . 

Peraturan  Pemerintah  Pengganti  Undang‐Undang  ini mulai  berlaku  pada tanggal diundangkan. Agar  setiap  orang  mengetahuinya,  memerintahkan  pengundangan Peraturan  Pemerintah  Pengganti  Undang‐Undang  ini  dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. 

Ditetapkan di Jakarta 

 

Page 182: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

pada tanggal ... PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, (tanda tangan) (NAMA) 

Diundangkan di Jakarta pada tanggal ... MENTERI  (yang  tugas  dan  tanggung  jawabnya  di  bidang  peraturan perundang‐undangan) (tanda tangan) (NAMA) 

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN…NOMOR… 

pada tanggal … PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, tanda tangan NAMA 

Diundangkan di Jakarta pada tanggal … MENTERI (yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum), tanda tangan NAMA 

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN … NOMOR …     H. BENTUK RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH  H. BENTUK RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH       PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA 

NOMOR…TAHUN... TENTANG 

(Nama Peraturan Pemerintah) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa...; 

b. bahwa...; c. dan seterusnya 

Mengingat:    1. …; 2. …; 3. dan seterusnya…; 

MEMUTUSKAN: Menetapkan:    PERATURAN  PEMERINTAH  TENTANG  (nama  Peraturan 

Pemerintah). BAB I … 

Pasal 1 BAB II Pasal… 

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR … TAHUN … 

TENTANG (Nama Peraturan Pemerintah) 

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 

Menimbang: a. bahwa …; b. bahwa …; c. dan seterusnya …; Mengingat: 1. …; 2. …; 3. dan seterusnya …; MEMUTUSKAN: Menetapkan:  PERATURAN  PEMERINTAH  TENTANG  ….  (nama  Peraturan 

Pemerintah). BAB I … 

Pasal 1 BAB II Pasal … 

 

Page 183: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

BAB… (dan seterusnya) 

 Agar  setiap  orang  mengetahuinya,  memerintahkan  pengundangan Peraturan  Pemerintah  ini  dengan  penempatannya  dalam  Lembaran Negara Republik Indonesia. 

Ditetapkan di Jakarta pada tanggal ... PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, (tanda tangan) (NAMA) 

 Diundangkan di Jakarta pada tanggal ... MENTERI  (yang  tugas  dan  tanggung  Jawabnya  di  bidang  peraturan perundang‐undangan) (tanda tangan) (NAMA) 

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN…NOMOR... 

BAB … (dan seterusnya) 

Pasal … Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar  setiap  orang  mengetahuinya,  memerintahkan  pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal … PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, tanda tangan NAMA Diundangkan di Jakarta pada tanggal … MENTERI (yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum), tanda tangan NAMA 

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN … NOMOR…     I. BENTUK RANCANGAN PERATURAN PRESIDEN  I. BENTUK RANCANGAN PERATURAN PRESIDEN       PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA 

NOMOR…TAHUN… TENTANG 

(nama Peraturan Presiden) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa…; 

b. bahwa…; c. dan seterusnya...; 

Mengingat:    1. ...; 2. ...; 3. dan seterusnya...; 

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR … TAHUN … 

TENTANG (Nama Peraturan Presiden) 

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 

Menimbang:  a. bahwa …; b. bahwa …; c. dan seterusnya …; 

Mengingat:    1. …; 2. …; 3. dan seterusnya …; 

 

Page 184: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

MEMUTUSKAN: Menetapkan:  PERATURAN  PRESIDEN  TENTANG  (nama  Peraturan 

Presiden). BAB I ... 

Pasal 1 BAB II ... 

Pasal... BAB... 

(dan seterusnya) Agar  setiap  orang  mengetahuinya,  memerintahkan  pengundangan Peraturan  Presiden  ini  dengan  penempatannya  dalam  Lembaran Negara Republik Indonesia. 

Ditetapkan di Jakarta pada tanggal... PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, (tanda tangan) (NAMA) 

 Diundangkan di Jakarta pada tanggal… MENTERI  (yang  tugas  dan  tanggung  jawabnya  di  bidang  peraturan perundang‐undangan) (tanda tangan) (NAMA) 

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN…NOMOR... 

MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN PRESIDEN TENTANG …. (nama Peraturan 

Presiden). BAB I … 

Pasal 1 BAB II Pasal … BAB … 

(dan seterusnya) Pasal … 

Peraturan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar  setiap  orang  mengetahuinya,  memerintahkan  pengundangan Peraturan  Presiden  ini  dengan  penempatannya  dalam  Lembaran  Negara Republik Indonesia. 

Ditetapkan di Jakarta pada tanggal … PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, tanda tangan NAMA 

Diundangkan di Jakarta pada tanggal … MENTERI (yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum), tanda tangan NAMA 

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN … NOMOR…       J. BENTUK RANCANGAN PERATURAN MENTERI         PERATURAN MENTERI … REPUBLIK INDONESIA 

NOMOR … TAHUN … TENTANG 

(Nama Peraturan Menteri) 

 

Page 185: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI …REPUBLIK INDONESIA, 

Menimbang:  a. bahwa …; b. bahwa …; c. dan seterusnya …; 

Mengingat:    1. …; 2. …; 3. dan seterusnya …; 

MEMUTUSKAN: Menetapkan:  PERATURAN  MENTERI  …  TENTANG  ….  (nama  Peraturan 

Menteri). BAB I … 

Pasal 1 BAB II Pasal … BAB … 

(dan seterusnya) Pasal … 

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar  setiap  orang  mengetahuinya,  memerintahkan  pengundangan Peraturan  Menteri  ini  dengan  penempatannya  dalam  Berita  Negara Republik Indonesia. 

Ditetapkan di Jakarta pada tanggal … MENTERI ... REPUBLIK INDONESIA, tanda tangan NAMA 

Diundangkan di Jakarta pada tanggal … MENTERI (yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum), 

Page 186: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

tanda tangan NAMA 

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN … NOMOR…     J. BENTUK RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI  K. BENTUK RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI       PERATURAN DAERAH PROVINSI... (Nama Provinsi) 

NOMOR...TAHUN... TENTANG 

(nama Peraturan Daerah) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 

GUBERNUR PROVINSI (Nama Provinsi), Menimbang: a. bahwa...; 

b. bahwa...; c. dan seterusnya...; 

Mengingat:    1. ...; 2. ...; 3. dan seterusnya ... 

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI 

(Nama Provinsi) dan 

GUBERNUR... (Nama Provinsi) MEMUTUSKAN: 

Menetapkan:  PERATURAN  DAERAH  TENTANG  ...  (nama  Peraturan Daerah Provinsi). 

BAB I KETENTUAN UMUM 

Pasal I BAB II ... 

Pasal ... BAB ... 

(dan seterusnya) 

PERATURAN DAERAH PROVINSI … (Nama Provinsi) NOMOR … TAHUN … 

TENTANG (nama Peraturan Daerah) 

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR (Nama Provinsi), 

Menimbang : a. bahwa …; b. bahwa …; c. dan seterusnya …; 

Mengingat:    1. …; 2. …; 3. dan seterusnya …; 

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI … 

(Nama Provinsi) dan 

GUBERNUR … (Nama Provinsi) MEMUTUSKAN: 

Menetapkan: PERATURAN DAERAH TENTANG ... (Nama Peraturan Daerah) BAB I 

KETENTUAN UMUM Pasal 1 BAB II … 

Pasal … BAB … 

(dan seterusnya) Pasal ... 

 

Page 187: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

  Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar  setiap  orang  dapat  mengetahuinya,  memerintahkan pengundangan  dengan  penempatannya  dalam  Lembaran  Daerah Provinsi ... (Nama Provinsi). 

Ditetapkan di.... pada tanggal... GUBERNUR PROVINSI ... (Nama Provinsi) (tanda tangan) (NAMA) 

Diundangkan di ... pada tanggal ... SEKRETARIS DAERAH ... (Nama Provinsi)  LEMBARAN DAERAH PROVINSI ... (Nama Provinsi) TAHUN ... NOMOR ... 

 Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar  setiap  orang  mengetahuinya,  memerintahkan  pengundangan Peraturan  Daerah  ini  dengan  penempatannya  dalam  Lembaran  Daerah Provinsi … (Nama Provinsi). 

Ditetapkan di … pada tanggal … GUBERNUR … (Nama Provinsi) tanda tangan NAMA 

Diundangkan di … pada tanggal … SEKRETARIS DAERAH PROVINSI… (Nama Provinsi), tanda tangan NAMA 

LEMBARAN DAERAH PROVINSI … (Nama Provinsi) TAHUN … NOMOR …     K. BENTUK RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN/KOTA  L. BENTUK RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN/KOTA       PERATURAN DAERAH KABUPATEN/KOTA ... (nama kabupaten/kota) 

NOMOR ... TAHUN ... TENTANG 

(nama Peraturan Daerah) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI/WALIKOTA (nama kabupaten/kota), 

Menimbang: a. bahwa...; b. bahwa...; c. dan seterusnya 

Mengingat:    1. ...; 2. ...; 3. dan seterusnya 

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN/KOTA... 

(nama kabupaten/kota) 

PERATURAN DAERAH KABUPATEN/KOTA… (nama kabupaten/kota) NOMOR … TAHUN … 

TENTANG (nama Peraturan Daerah) 

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI/WALIKOTA (nama kabupaten/kota), 

Menimbang:  a. bahwa …; b. bahwa …;   c. dan seterusnya …; 

Mengingat:    1. …; 2. …; 3. dan seterusnya …; 

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN/KOTA … 

(nama kabupaten/kota) 

 

Page 188: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

dan BUPATI/WALIKOTA.... (nama kabupaten/kota) 

MEMUTUSKAN: Menetapkan:  PERATURAN  DAERAH  TENTANG...(nama  Peraturan 

Daerah Kabupaten/Kota). BAB I 

KETENTUAN UMUM Pasal I ... 

BAB II ... 

Pasal... BAB... 

(dan seterusnya) Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar  setiap  orang  dapat  mengetahuinya,  memerintahkan pengundangan  Peraturan  Daerah  ini  dengan  penempatannya  dalam Lembaran Daerah Kabupaten/Kota ... (nama kabupaten/kota). 

Ditetapkan di.... pada tanggal... BUPATI/WALIKOTA ... (nama kabupaten/kota) (tanda tangan) (NAMA) 

Diundangkan di ... pada tanggal ... SEKRETARIS DAERAH ... (Nama Kabupaten/Kota) (tanda tangan) (NAMA) LEMBARAN DAERAH KABUPATEN/KOTA ... (Nama kabupaten/Kota) 

TAHUN ... NOMOR ... 

dan BUPATI/WALIKOTA … (nama kabupaten/kota) 

MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN DAERAH TENTANG ... (Nama Peraturan 

Daerah). BAB I 

KETENTUAN UMUM Pasal 1 BAB II … 

Pasal … BAB … 

(dan seterusnya) Pasal … 

Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar  setiap  orang  mengetahuinya,  memerintahkan  pengundangan Peraturan  Daerah  ini  dengan  penempatannya  dalam  Lembaran  Daerah Kabupaten/Kota … (nama kabupaten/kota). 

Ditetapkan di … pada tanggal … BUPATI/WALIKOTA  …  (nama kabupaten/kota), tanda tangan NAMA 

Diundangkan di … pada tanggal … SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN/KOTA … (nama kabupaten/kota), tanda tangan NAMA 

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN/KOTA … (nama kabupaten/kota) TAHUN … NOMOR … 

    PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA  PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,   

Page 189: BAB I KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM€¦ · NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

Ttd. MEGAWATI SOEKARNOPUTRI 

ttd. DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO