bab i ketentuan umum ketentuan umum€¦ · no. uu nomor 10 tahun 2004 tentang pembentukan...
TRANSCRIPT
MATRIKS PERUBAHAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
1. Menimbang:
Menimbang:
a. bahwa pembentukan peraturan perundang‐undangan merupakan salah satu syarat dalam rangka pembangunan hukum nasional yang hanya dapat terwujud apabila didukung oleh cara dan metode yang pasti, baku, dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang membuat peraturan perundang‐ ndangan;
a. bahwa untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum, negara berkewajiban melaksanakan pembangunan hukum nasional yang dilakukan secara terencana, terpadu, dan berkelanjutan dalam system hukum nasional yang menjamin pelindungan hak dan kewajiban segenap rakyat Indonesia berdasarkan Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa untuk lebih meningkatkan koordinasi dan kelancaran proses pembentukanan peraturan perundang‐undangan, maka negara Republik Indonesia sebagai negara yang berdasar atas hukum perlu memiliki peraturan mengenai pembentukan peraturan perundang‐undangan;
b. bahwa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat atas peraturan perundang‐undangan yang baik, perlu dibuat peraturan mengenai pembentukan peraturan perundang‐undangan yang dilaksanakan dengan cara dan metode yang pasti, baku, dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang membentuk peraturan perundang‐undangan;
c. bahwa selama ini ketentuan yang berkaitan dengan pembentukan peraturan perundang‐undangan terdapat dalam beberapa peraturan perundang‐undangan yang sudah tidak sesuai lagi dengan hukum ketatanegaraan Republik Indonesia;
c. bahwa dalam Undang‐Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang‐undangan masih terdapat kekurangan dan belum dapat menampung perkembangan kebutuhan masyarakat mengenai aturan pembentukan peraturan perundangundangan yang baik sehingga perlu diganti;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang‐Undang tentang Pembentukanan Peraturan Perundang‐ndangan.
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang‐Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang‐undangan;
2. Mengingat: Mengingat: Pasal 20, Pasal 20A ayat (1), Pasal 21, dan Pasal 22A Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 22A Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
3. Memutuskan: Menetapkan :
Memutuskan: Menetapkan :
UNDANG‐UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANGUNDANGAN
UNDANG‐UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG‐UNDANGAN.
4. BAB I KETENTUAN UMUM
BAB I KETENTUAN UMUM
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
5. Pasal 1 Pasal 1 6. Dalam Undang‐Undang ini yang dimaksud dengan: Dalam Undang‐Undang ini yang dimaksud dengan:
(1) Pembentukan Peraturan Perundang‐undangan adalah proses pembuatan Peraturan Perundang‐undangan yang pada dasarnya dimulai dari perencanaan, persiapan,teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan, dan penyebarluasan.
1. Pembentukan Peraturan Perundang‐undangan adalah pembuatan Peraturan Perundang‐undangan yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan.
(2) Peraturan Perundang‐undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum.
2. Peraturan Perundang‐undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang‐undangan.
(3) Undang‐Undang adalah Peraturan Perundang‐undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden.
3. Undang‐Undang adalah Peraturan Perundang‐undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden.
(4) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang‐Undang adalah Peraturan Perundang‐undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa.
4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang‐Undang adalah Peraturan Perundang‐undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa.
(5) Peraturan Pemerintah adalah Peraturan Perundang‐undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan Undang‐Undang sebagaimana mestinya.
5. Peraturan Pemerintah adalah Peraturan Perundang‐undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan Undang‐Undang sebagaimana mestinya.
(6) Peraturan Presiden adalah Peraturan Perundang‐undangan yang dibuat oleh Presiden.
6. Peraturan Presiden adalah Peraturan Perundang‐undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan perintah Peraturan Perundangundangan yang lebih tinggi atau dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan.
(7) Peraturan Daerah adalah Peraturan Perundang‐undangan yang dibentuk oleh dewan perwakilan rakyat daerah dengan persetujuan bersama kepala daerah.
7. Peraturan Daerah Provinsi adalah Peraturan Perundang‐undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dengan persetujuan bersama Gubernur.
Dalam UU Nomor 12 Tahun 2011, Peraturan daerah lebih dispesifikan lagi menjadi Peraturan Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota
(8) Peraturan Desa/peraturan yang setingkat adalah Peraturan Perundang‐undangan yang dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya.
8. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adalah Peraturan Perundang‐undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama Bupati/Walikota.
(9) Program Legislasi Nasional adalah instrumen perencanaan program pembentukan Undang‐Undang yang disusun secara berencana, terpadu,
9. Program Legislasi Nasional yang selanjutnya disebut Prolegnas adalah instrumen perencanaan program pembentukan Undang‐Undang yang
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
dan sistematis. disusun secara terencana, terpadu, dan sistematis. (10) Program Legislasi Daerah adalah instrumen perencanaan program
pembentukan Peraturan Daerah yang disusun secara berencana, terpadu, dan sistematis.
10. Program Legislasi Daerah yang selanjutnya disebut Prolegda adalah instrumen perencanaan program pembentukan Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang disusun secara terencana, terpadu, dan sistematis.
11. Naskah Akademik adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut dalam suatu Rancangan Undang‐Undang, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, atau Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat.
Dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 diberikan definisi tentang Naskah Akademis yang semula tidak terdapat dalam UU Nomor 10 Tahun 2004.
(11) Pengundangan adalah penempatan Peraturan Perundang‐undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Tambahan Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah, atau Berita Daerah.
12. Pengundangan adalah penempatan Peraturan Perundang‐undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Tambahan Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah, Tambahan Lembaran Daerah, atau Berita Daerah.
(12) Materi Muatan Peraturan Perundang‐undangan adalah materi yang dimuat dalam Peraturan Perundang‐undangan sesuai dengan jenis, fungsi, dan hierarki Peraturan Perundang‐undangan.
13. Materi Muatan Peraturan Perundang‐undangan adalah materi yang dimuat dalam Peraturan Perundang‐undangan sesuai dengan jenis, fungsi, dan hierarki Peraturan Perundang‐undangan.
14. Dewan Perwakilan Rakyat yang selanjutnya disingkat DPR adalah Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Dalam UU Nomor 12
Tahun 2011 diberikan definisi tentang DPR, DPD, dan DPRD, yang semula tidak terdapat dalam UU Nomor 10 Tahun 2004.
15. Dewan Perwakilan Daerah yang selanjutnya disingkat DPD adalah Dewan Perwakilan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
16. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
6. Pasal 2 Pasal 2 Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum negara. Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum negara.
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
7. Pasal 3 Pasal 3 (1) Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan
hukum dasar dalam Peraturan Perundang‐undangan. (1) Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
merupakan hukum dasar dalam Peraturan Perundang‐undangan.
(2) Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
(2) Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
(3) Penempatan Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia tidak merupakan dasar pemberlakuannya.
(3) Penempatan Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia tidak merupakan dasar pemberlakuannya.
8. Pasal 4 Pasal 4 Peraturan Perundang‐undangan yang diatur lebih lanjut dalam Undang‐Undang ini meliputi Undang‐Undang dan Peraturan Perundang‐undangan di bawahnya.
Peraturan Perundang‐undangan yang diatur dalam Undang‐Undang ini meliputi Undang‐Undang dan Peraturan Perundang‐undangan di bawahnya.
9. BAB II ASAS PERATURAN PERUNDANG‐UNDANGAN
BAB II ASAS PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG‐UNDANGAN
10. Pasal 5 Pasal 5 Dalam membentuk Peraturan Perundang‐undangan harus berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang‐undangan yang baik yang meliputi:
Dalam membentuk Peraturan Perundang‐undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang‐undangan yang baik, yang meliputi:
a. Kejelasan tujuan; a. kejelasan tujuan; b. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat; b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat; c. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan; c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan; d. Dapat dilaksanakan; d. dapat dilaksanakan; e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan; e. kedayagunaan dan kehasilgunaan; f. Kejelasan rumusan; dan f. kejelasan rumusan; dan g. Keterbukaan. g. Keterbukaan.
11. Pasal 6 Pasal 6 (1) Materi Muatan Peraturan Perundang‐undangan mengandung asas:
a. pengayoman; b. kemanusiaan; c. kebangsaan; d. kekeluargaan;
(1) Materi muatan Peraturan Perundang‐undangan harus mencerminkan asas: a. pengayoman; b. kemanusiaan; c. kebangsaan; d. kekeluargaan;
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
e. kenusantaraan; f. bhinneka tunggal ika; g. keadilan; h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
e. kenusantaraan; f. bhinneka tunggal ika; g. keadilan; h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
(2) Selain asas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Peraturan Perundang‐undangan tertentu dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang‐undangan yang bersangkutan.
(2) Selain mencerminkan asas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Peraturan Perundang‐undangan tertentu dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang‐undangan yang bersangkutan.
12. BAB III JENIS, HIERARKI, DAN MATERI MUATAN PERATURAN PERUNDANG‐
UNDANGAN
13. Pasal 7 Pasal 7 (1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang‐undangan adalah sebagai berikut:
a. Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Undang‐Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang‐Undang; c. Peraturan Pemerintah; d. Peraturan Presiden; e. Peraturan Daerah.
(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang‐undangan terdiri atas:
a. Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Undang‐Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang‐Undang; d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden; f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Pasal 7 dalam UU Nomor 10 Tahun 2004 masih merupakan bagian dari BAB II UU tersebut< sedangkan dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 Pasal 7 Sudah merupakan bagian dari BAB III. Menambahkan kembali TAP dalam hierarkhi peraturan perundang‐undangan dan memperjelas kedudukan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
(2) Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e meliputi: a. Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
daerah provinsi bersama dengan gubernur; b. Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan
rakyat daerah kabupaten/kota bersama bupati/walikota; c. Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan
perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembuatan Peraturan Desa/peraturan yang setingkat diatur dengan Perataran Daerah kabupaten/kota yang bersangkutan.
(4) Jenis Peraturan Perundang‐undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang‐undangan yang lebih tinggi.
(5) Kekuatan hukum Peraturan Perundang‐undangan adalah sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(2) Kekuatan hukum Peraturan Perundang‐undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
14. Pasal 8 (1) Jenis Peraturan Perundang‐undangan selain sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang‐Undang atau Pemerintah atas perintah Undang‐Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
Pasal 8 UU Nomor 10 Tahun 2004 yang mengatur tentang materi muatan yang harus diatur dengan UU, dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 diatur dalam Pasal 9. Pasal 7 UU Nomor 10 Tahun 2004 yang terdiri dari 5 ayat dijabarkan dalam 2 Pasal dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 yaitu Pasal 7 dan Pasal 8.
(2) Peraturan Perundang‐undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang‐undangan yang
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.
Pasal 9 (1) Dalam hal suatu Undang‐Undang diduga bertentangan dengan
Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi.
Pengujian suatu UU yang bertentangan dengan UUD 1945 dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi
(2) Dalam hal suatu Peraturan Perundang‐undangan di bawah Undang‐Undang diduga bertentangan dengan Undang‐Undang, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Agung.
Pengujian suatu Peraturan Perundang‐undangan yang bertentangan dengan UU dilakukan oleh Mahkamah Agung
15. BAB III MATERI MUATAN
16. Pasal 8 Pasal 10 17. Materi muatan yang harus diatur dengan Undang‐Undang berisi hal‐hal yang:
a. mengatur lebih lanjut ketentuan Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang meliputi: 1. hak‐hak asasi manusia; 2. hak dan kewajiban warga negara; 3. pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara serta pembagian
kekuasaan negara; 4. wilayah negara dan pembagian daerah; 5. kewarganegaraan dan kependudukan; 6. keuangan negara.
b. diperintahkan oleh suatu Undang‐Undang untuk diatur dengan Undang‐Undang.
(1) Materi muatan yang harus diatur dengan Undang‐Undang berisi: a. pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang‐Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. perintah suatu Undang‐Undang untuk diatur dengan Undang‐
Undang; c. pengesahan perjanjian internasional tertentu; d. tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau e. pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.
(2) Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan oleh DPR atau Presiden.
18. Pasal 9 Pasal 11
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
Materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang‐Undang sama dengan materi muatan Undang‐Undang.
Materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang‐Undang sama dengan materi muatan Undang‐Undang.
19. Pasal 10 Pasal 12 Materi muatan Peraturan Pemerintah berisi materi untuk menjalankan Undang‐Undang sebagaimana mestinya.
Materi muatan Peraturan Pemerintah berisi materi untuk menjalankan Undang‐Undang sebagaimana mestinya.
20. Pasal 11 Pasal 13 Materi muatan Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh Undang‐Undang atau materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah.
Materi muatan Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh Undang‐Undang, materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah, atau materi untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan.
21. Pasal 12 Pasal 14 Materi muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang‐undangan yang lebih tinggi.
Materi muatan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang‐undangan yang lebih tinggi.
Perda Prov dan Perda Kab/Kota berisi materi muatan dalam rangka penyelengaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus
22. Pasal 13 Materi muatan Peraturan Desa/yang setingkat adalah seluruh materi dalam rangka penyelenggaraan urusan desa atau yang setingkat serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang‐undangan yang lebih tinggi.
23. Pasal 14 Pasal 15 Materi muatan mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam Undang‐Undang dan Peraturan Daerah.
(1) Materi muatan mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam: a. Undang‐Undang; b. Peraturan Daerah Provinsi; atau c. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
24. (2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c berupa ancaman pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
25. (3) Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dapat memuat ancaman pidana kurungan atau pidana denda selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan yang diatur dalam Peraturan Perundang‐undangan lainnya.
26. BAB IV PERENCANAAN PENYUSUNAN UNDANG‐UNDANG
BAB IV PERENCANAAN PERATURAN PERUNDANG‐UNDANGAN
27. Bagian Kesatu Perencanaan Undang‐Undang
28. Pasal 15 Pasal 16 (1) Perencanaan penyusunan Undang‐Undang dilakukan dalam suatu Program
Legislasi Nasional. Perencanaan penyusunan Undang‐Undang dilakukan dalam Prolegnas.
(2) Perencanaan penyusunan Peraturan Daerah dilakukan dalam suatu Program Legislasi Daerah.
29. Pasal 17 Prolegnas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 merupakan skala
prioritas program pembentukan Undang‐Undang dalam rangka mewujudkan sistem hukum nasional.
30. Pasal 18 Dalam penyusunan Prolegnas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16,
penyusunan daftar Rancangan Undang‐Undang didasarkan atas: a. perintah Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945; b. perintah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. perintah Undang‐Undang lainnya; d. sistem perencanaan pembangunan nasional; e. rencana pembangunan jangka panjang nasional; f. rencana pembangunan jangka menengah; g. rencana kerja pemerintah dan rencana strategis DPR; dan h. aspirasi dan kebutuhan hukum masyarakat.
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
31. Pasal 19 (1) Prolegnas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 memuat program
pembentukan Undang‐Undang dengan judul Rancangan Undang‐Undang, materi yang diatur, dan keterkaitannya dengan Peraturan Perundang‐undangan lainnya.
(2) Materi yang diatur dan keterkaitannya dengan Peraturan Perundang‐undangan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan keterangan mengenai konsepsi Rancangan Undang‐Undang yang meliputi: a. latar belakang dan tujuan penyusunan; b. sasaran yang ingin diwujudkan; dan c. jangkauan dan arah pengaturan.
32. (3) Materi yang diatur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang telah melalui pengkajian dan penyelarasan dituangkan dalam Naskah Akademik.
33. Pasal 16 Pasal 20 (1) Penyusunan Program Legislasi Nasional antara Dewan Perwakilan Rakyat
dan Pemerintah dikoordinasikan oleh Dewan Perwakilan Rakyat melalui alat pelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat yang khusus menangani bidang legislasi.
(1) Penyusunan Prolegnas dilaksanakan oleh DPR dan Pemerintah.
(2) Penyusunan Program Legislasi Nasional di lingkungan Dewan Perwakilan Rakyat dikoordinasikan oleh alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat yang khusus menangani bidang legislasi.
(2) Prolegnas ditetapkan untuk jangka menengah dan tahunan berdasarkan skala prioritas pembentukan Rancangan Undang‐Undang.
(3) Penyusunan Program Legislasi Nasional di lingkungan Pemerintah dikoordinasikan oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang Peraturan Perundang‐undangan.
(3) Penyusunan dan penetapan Prolegnas jangka menengah dilakukan pada awal masa keanggotaan DPR sebagai Prolegnas untuk jangka waktu 5 (lima) tahun.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan dan pengelolaan Program Legislasi Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden.
(4) Prolegnas jangka menengah dapat dievaluasi setiap akhir tahun bersamaan dengan penyusunan dan penetapan Prolegnas prioritas tahunan.
34. (5) Penyusunan dan penetapan Prolegnas prioritas tahunan sebagai pelaksanaan Prolegnas jangka menengah dilakukan setiap tahun
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
sebelum penetapan Rancangan Undang‐Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
35. Pasal 21 36. (1) Penyusunan Prolegnas antara DPR dan Pemerintah dikoordinasikan
oleh DPR melalui alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi.
37. (2) Penyusunan Prolegnas di lingkungan DPR dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi.
38. (3) Penyusunan Prolegnas di lingkungan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan mempertimbangkan usulan dari fraksi, komisi, anggota DPR, DPD, dan/atau masyarakat.
(4) Penyusunan Prolegnas di lingkungan Pemerintah dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan Prolegnas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan DPR.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan Prolegnas di lingkungan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Presiden.
39. Pasal 22 (1) Hasil penyusunan Prolegnas antara DPR dan Pemerintah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) disepakati menjadi Prolegnas dan ditetapkan dalam Rapat Paripurna DPR.
(2) Prolegnas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan DPR.
40. Pasal 23 (1) Dalam Prolegnas dimuat daftar kumulatif terbuka yang terdiri atas:
a. pengesahan perjanjian internasional tertentu; b. akibat putusan Mahkamah Konstitusi; c. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
d. pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah Provinsi dan/atau Kabupaten/Kota; dan
e. penetapan/pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang‐Undang.
(2) Dalam keadaan tertentu, DPR atau Presiden dapat mengajukan Rancangan Undang‐Undang di luar Prolegnas mencakup: a. untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau
bencana alam; dan b. keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi
nasional atas suatu Rancangan Undang‐Undang yang dapat disetujui bersama oleh alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.
41. BAB V PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG‐UNDANGAN
42. Bagian Kesatu Persiapan Pembentukan Undang‐Undang
43. Pasal 17 (1) Rancangan undang‐undang baik yang berasal dari Dewan Pewakilan
Rakyat, Presiden, maupun dari Dewan Perwakilan Daerah disusun berdasarkan Program Legislasi Nasional.
(2) Rancangan undang‐undang yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Daerah, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah rancangan undang‐undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
44. (3) Dalam keadaan tertentu, Dewan Perwakilan Rakyat atau Presiden dapat mengajukan rancangan undang‐undang di luar Program Legislasi Nasional.
45. Pasal 18 (1) Rancangan undang‐undang yang diajukan oleh Presiden disiapkan oleh
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
menteri atau pimpinan lembaga pemerintah non departemen, sesuai dengan lingkup tugas dan tanggung jawabnya.
(2) Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi rancangan undangundang yang berasal dari Presiden, dikoordinasikan oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang‐undangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mempersiapkan rancangan undang‐undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden.
46. Pasal 19 (1) Rancangan undang‐undang yang berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat
diusulkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
(2) Rancangan undang‐undang yang berasal dari Dewan Perwakilan Daerah dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Daerah kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengusulan rancangan undang‐undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat dan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Daerah.
47. Pasal 20 (1) Rancangan undang‐undang yang telah disiapkan oleh Presiden diajukan
dengan surat Presiden kepada pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat.
(2) Dalam surat Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditegaskan antara lain tentang menteri yang ditugasi mewakili Presiden dalam melakukan pembahasan rancangan undang‐undang di Dewan Perwakilan Rakyat.
(3) Dewan Perwakilan Rakyat mulai membahas rancangan undang‐undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam jangka waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak surat Presiden diterima.
(4) Untuk keperluan pembahasan rancangan undang‐undang di Dewan Perwakilan Rakyat, menteri atau pimpinan lembaga pemrakarsa
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
memperbanyak naskah rancangan undang‐undang tersebut dalam jumlah yang diperlukan.
48. Pasal 21 (1) Rancangan undang‐undang yang telah disiapkan oleh Dewan Perwakilan
Rakyat disampaikan dengan surat pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Presiden.
(2) Presiden menugasi menteri yang mewakili untuk membahas rancangan undang‐undang bersama Dewan Perwakilan Rakyat dalam jangka waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak surat pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat diterima.
(3) Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengkoordinasikan persiapan pembahasan dengan menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang‐undangan.
49. Pasal 22 (1) Penyebarluasan rancangan undang‐undang yang berasal dari Dewan
Perwakilan Rakyat dilaksanakan oleh Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat.
(2) Penyebarluasan rancangan undang‐undang yang berasal dari Presiden dilaksanakan oleh instansi pemrakarsa.
50. Pasal 23 Apabila dalam satu masa sidang, Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden menyampaikan rancangan undang‐undang mengenai materi yang sama, maka yang dibahas adalah rancangan undang‐undang yang disampaikan oleh Dewan Perwakilan Rakyat, sedangkan rancangan undang‐undang yang disampaikan Presiden digunakan sebagai bahan untuk dipersandingkan.
51. Bagian Kedua Persiapan Pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang‐Undang,
Peraturan Pemerintah, dan Peraturan Presiden
Bagian Kedua Perencanaan Peraturan Pemerintah
52. Pasal 24 Pasal 24 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mempersiapkan rancangan peraturan pemerintah pengganti undang‐undang, rancangan peraturan
Perencanaan penyusunan Peraturan Pemerintah dilakukan dalam suatu program penyusunan Peraturan Pemerintah.
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
pemerintah, dan rancangan peraturan presiden diatur dengan Peraturan Presiden.
53. Pasal 25 (1) Perencanaan penyusunan Peraturan Pemerintah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24 memuat daftar judul dan pokok materi muatan Rancangan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan Undang‐Undang sebagaimana mestinya.
(2) Perencanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan untuk jangka waktu 1 (satu) tahun.
54. Pasal 26 (1) Perencanaan penyusunan Peraturan Pemerintah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25 dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.
(2) Perencanaan penyusunan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
55. Pasal 27 Rancangan Peraturan Pemerintah berasal dari kementerian dan/atau
lembaga pemerintah nonkementerian sesuai dengan bidang tugasnya.
56. Pasal 28 (1) Dalam keadaan tertentu, kementerian atau lembaga pemerintah
nonkementerian dapat mengajukan Rancangan Peraturan Pemerintah di luar perencanaan penyusunan Peraturan Pemerintah.
(2) Rancangan Peraturan Pemerintah dalam keadaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat berdasarkan kebutuhan Undang‐Undang atau putusan Mahkamah Agung.
57. Pasal 29 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perencanaan penyusunan
Peraturan Pemerintah diatur dengan Peraturan Presiden.
58. Bagian Ketiga Perencanaan Peraturan Presiden
59. Pasal 30
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
Perencanaan penyusunan Peraturan Presiden dilakukan dalam suatu program penyusunan Peraturan Presiden.
60. Pasal 31 Ketentuan mengenai perencanaan penyusunan Peraturan Pemerintah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 sampai dengan Pasal 29 berlaku secara mutatis mutandis terhadap perencanaan penyusunan Peraturan Presiden.
61. Pasal 25 (1) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang‐Undang harus diajukan ke Dewan
Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut.
(2) Pengajuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang‐Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk pengajuan rancangan undang‐undang tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti undang‐undang menjadi undang‐undang.
(3) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang‐Undang ditolak Dewan Perwakilan Rakyat, maka Peraturan Pemerintah Pengganti Undang‐Undang tersebut tidak berlaku.
(4) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang‐Undang ditolak Dewan Perwakilan Rakyat, maka Presiden mengajukan rancangan undang‐undang tentang pencabutan peraturan pemerintah pengganti undang‐undang tersebut yang dapat mengatur pula segala akibat dari penolakan tersebut.
62. Bagian Ketiga Persiapan Pembentukan Peraturan Daerah
Pasal 26 Rancangan peraturan daerah dapat berasal dari dewan perwakilan rakyat daerah atau gubernur, atau bupati/walikota, masing‐masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, atau kota.
63. Pasal 27 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mempersiapkan rancangan peraturan daerah yang berasal dari gubernur atau bupati/walikota diatur dengan Peraturan Presiden.
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
64. Pasal 28 (1) Rancangan peraturan daerah dapat disampaikan oleh anggota, komisi,
gabungan komisi, atau alat kelengkapan dewan perwakilan rakyat daerah yang khusus menangani bidang legislasi.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mempersiapkan rancangan peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
65. Pasal 29 (1) Rancangan peraturan daerah yang telah disiapkan oleh gubernur atau
bupati/walikota disampaikan dengan surat pengantar gubernur atau bupati/walikota kepada dewan perwakilan rakyat daerah oleh gubernur atau bupati/walikota.
(2) Rancangan peraturan daerah yang telah disiapkan oleh dewan perwakilan rakyat daerah disampaikan oleh pimpinan dewan perwakilan rakyat daerah kepada gubernur atau bupati/walikota.
66. Pasal 30 (1) Penyebarluasan rancangan peraturan daerah yang berasal dari dewan
perwakilan rakyat daerah dilaksanakan oleh sekretariat dewan perwakilan rakyat daerah.
(2) Penyebarluasan rancangan peraturan daerah yang berasal dari gubernur atau bupati/walikota dilaksanakan olah sekretaris daerah.
67. Pasal 31 Apabila dalam satu masa sidang, gubernur atau bupati/walikota dan dewan perwakilan rakyat daerah menyampaikan rancangan peraturan daerah, mengenai materi yang sama, maka yang dibahas adalah rancangan peraturan daerah yang disampaikan oleh dewan perwakilan rakyat daerah, sedangkan rancangan peraturan daerah yang disampaikan oleh gubernur atau bupati/walikota digunakan sebagai bahan untuk dipersandingkan.
68. Bagian Keempat Perencanaan Peraturan Daerah Provinsi
69. Pasal 32
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
Perencanaan penyusunan Peraturan Daerah Provinsi dilakukan dalam Prolegda Provinsi.
70. Pasal 33 (1) Prolegda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 memuat program
pembentukan Peraturan Daerah Provinsi dengan judul Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, materi yang diatur, dan keterkaitannya dengan Peraturan Perundang‐undangan lainnya.
(2) Materi yang diatur serta keterkaitannya dengan Peraturan Perundang‐undangan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan keterangan mengenai konsepsi Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang meliputi: a. latar belakang dan tujuan penyusunan; b. sasaran yang ingin diwujudkan; c. pokok pikiran, lingkup, atau objek yang akan diatur; dan d. jangkauan dan arah pengaturan.
(3) Materi yang diatur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang telah melalui pengkajian dan penyelarasan dituangkan dalam Naskah Akademik.
71. Pasal 34 (1) Penyusunan Prolegda Provinsi dilaksanakan oleh DPRD Provinsi dan
Pemerintah Daerah Provinsi.
(2) Prolegda Provinsi ditetapkan untuk jangka waktu 1 (satu) tahun berdasarkan skala prioritas pembentukan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi.
(3) Penyusunan dan penetapan Prolegda Provinsi dilakukan setiap tahun sebelum penetapan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi.
72. Pasal 35 Dalam penyusunan Prolegda Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
34 ayat (1), penyusunan daftar rancangan peraturan daerah provinsi didasarkan atas:
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
a. perintah Peraturan Perundang‐undangan lebih tinggi; b. rencana pembangunan daerah; c. penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan; dan d. aspirasi masyarakat daerah.
73. Pasal 36 (1) Penyusunan Prolegda Provinsi antara DPRD Provinsi dan Pemerintah
Daerah Provinsi dikoordinasikan oleh DPRD Provinsi melalui alat kelengkapan DPRD Provinsi yang khusus menangani bidang legislasi.
(2) Penyusunan Prolegda Provinsi di lingkungan DPRD Provinsi dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPRD Provinsi yang khusus menangani bidang legislasi.
(3) Penyusunan Prolegda Provinsi di lingkungan Pemerintah Daerah Provinsi dikoordinasikan oleh biro hukum dan dapat mengikutsertakan instansi vertical terkait.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan Prolegda Provinsi di lingkungan DPRD Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan DPRD Provinsi.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan Prolegda Provinsi di lingkungan Pemerintah Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Gubernur.
74. Pasal 37 (1) Hasil penyusunan Prolegda Provinsi antara DPRD Provinsi dan
Pemerintah Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) disepakati menjadi Prolegda Provinsi dan ditetapkan dalam Rapat Paripurna DPRD Provinsi.
(2) Prolegda Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan DPRD Provinsi.
75. Pasal 38 (1) Dalam Prolegda Provinsi dapat dimuat daftar kumulatif terbuka yang
terdiri atas: a. akibat putusan Mahkamah Agung; dan
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
b. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi. (2) Dalam keadaan tertentu, DPRD Provinsi atau Gubernur dapat
mengajukan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi di luar Prolegda Provinsi: a. untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau
bencana alam; b. akibat kerja sama dengan pihak lain; dan c. keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi atas
suatu Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang dapat disetujui bersama oleh alat kelengkapan DPRD Provinsi yang khusus menangani bidang legislasi dan biro hukum.
76. Bagian Kelima Perencanaan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
77. Pasal 39 Perencanaan penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dilakukan
dalam Prolegda Kabupaten/Kota.
78. Pasal 40 Ketentuan mengenai perencanaan penyusunan Peraturan Daerah Provinsi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 sampai dengan Pasal 38 berlaku secara mutatis mutandis terhadap perencanaan penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
79. Pasal 41 Dalam Prolegda Kabupaten/Kota dapat dimuat daftar kumulatif terbuka
mengenai pembentukan, pemekaran, dan penggabungan Kecamatan atau nama lainnya dan/atau pembentukan, pemekaran, dan penggabungan Desa atau nama lainnya.
80. Bagian Keenam Perencanaan Peraturan Perundang‐undangan Lainnya
81. Pasal 42 (1) Perencanaan penyusunan Peraturan Perundangundangan lainnya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) merupakan
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
kewenangan dan disesuaikan dengan kebutuhan lembaga, komisi, atau instansi masing‐masing.
(2) Perencanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh lembaga, komisi, atau instansi masing‐masing untuk jangka waktu 1 (satu) tahun.
82. BAB V PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG‐UNDANGAN
83. Bagian Kesatu Penyusunan Undang‐Undang
84. Pasal 43 (1) Rancangan Undang‐Undang dapat berasal dari DPR atau Presiden. (2) Rancangan Undang‐Undang yang berasal dari DPR sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat berasal dari DPD.
(3) Rancangan Undang‐Undang yang berasal dari DPR, Presiden, atau DPD harus disertai Naskah Akademik.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak berlaku bagi Rancangan Undang‐Undang mengenai: a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; b. penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang‐Undang
menjadi Undang‐Undang; atau c. pencabutan Undang‐Undang atau pencabutan d. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang‐Undang.
(5) Rancangan Undang‐Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disertai dengan keterangan yang memuat pokok pikiran dan materi muatan yang diatur.
85. Pasal 44 (1) Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undang‐Undang dilakukan
sesuai dengan teknik penyusunan Naskah Akademik.
(2) Ketentuan mengenai teknik penyusunan Naskah Akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Undang‐Undang ini.
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
86. Pasal 45 (1) Rancangan Undang‐Undang, baik yang berasal dari DPR maupun
Presiden serta Rancangan Undang‐Undang yang diajukan DPD kepada DPR disusun berdasarkan Prolegnas.
(2) Rancangan Undang‐Undang yang diajukan oleh DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Rancangan Undang‐Undang yang berkaitan dengan: a. otonomi daerah; b. hubungan pusat dan daerah; c. pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah; d. pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
lainnya; dan e. perimbangan keuangan pusat dan daerah.
87. Pasal 46 (1) Rancangan Undang‐Undang dari DPR diajukan oleh anggota DPR,
komisi, gabungan komisi, atau alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi atau DPD.
(2) Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang‐Undang yang berasal dari DPR dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mempersiapkan Rancangan Undang‐Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan DPR.
88. Pasal 47 (1) Rancangan Undang‐Undang yang diajukan oleh Presiden disiapkan
oleh menteri atau pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian sesuai dengan lingkup tugas dan tanggung jawabnya.
(2) Dalam penyusunan Rancangan Undang‐Undang, menteri atau pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian terkait membentuk panitia antarkementerian dan/atau antarnonkementerian.
(3) Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
Rancangan Undang‐Undang yang berasal dari Presiden dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mempersiapkan Rancangan Undang‐Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden.
89. Pasal 48 (1) Rancangan Undang‐Undang dari DPD disampaikan secara tertulis
oleh pimpinan DPD kepada pimpinan DPR dan harus disertai Naskah Akademik.
(2) Usul Rancangan Undang‐Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh pimpinan DPR kepada alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi untuk dilakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang‐Undang.
(3) Alat kelengkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam melakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang‐Undang dapat mengundang pimpinan alat kelengkapan DPD yang mempunyai tugas di bidang perancangan Undang‐Undang untuk membahas usul Rancangan Undang‐Undang.
(4) Alat kelengkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menyampaikan laporan tertulis mengenai hasil pengharmonisasian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada pimpinan DPR untuk selanjutnya diumumkan dalam rapat paripurna.
90. Pasal 49 (1) Rancangan Undang‐Undang dari DPR disampaikan dengan surat
pimpinan DPR kepada Presiden.
(2) Presiden menugasi menteri yang mewakili untuk membahas Rancangan Undang‐Undang bersama DPR dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak surat pimpinan DPR diterima.
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
(3) Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengoordinasikan persiapan pembahasan dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.
91. Pasal 50 (1) Rancangan Undang‐Undang dari Presiden diajukan dengan surat
Presiden kepada pimpinan DPR.
(2) Surat Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat penunjukan menteri yang ditugasi mewakili Presiden dalam melakukan pembahasan Rancangan Undang‐Undang bersama DPR.
(3) DPR mulai membahas Rancangan Undang‐Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak surat Presiden diterima.
(4) Untuk keperluan pembahasan Rancangan Undang‐Undang di DPR, menteri atau pimpinan lembaga pemrakarsa memperbanyak naskah Rancangan Undang‐Undang tersebut dalam jumlah yang diperlukan.
92. Pasal 51 Apabila dalam satu masa sidang DPR dan Presiden menyampaikan
Rancangan Undang‐Undang mengenai materi yang sama, yang dibahas adalah Rancangan Undang‐Undang yang disampaikan oleh DPR dan Rancangan Undang‐Undang yang disampaikan Presiden digunakan sebagai bahan untuk dipersandingkan.
93. BAB VI PEMBAHASAN DAN PENGESAHAN RANCANGAN UNDANG‐UNDANG
94. Bagian Kesatu Pembahasan Rancangan Undang‐undang di Dewan Perwakilan Rakyat
95. Pasal 32 (1) Pembahasan rancangan undang‐undang di Dewan Perwakilan Rakyat
dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat bersama Presiden atau menteri yang ditugasi.
(2) Pembahasan rancangan undang‐undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat den daerah,
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah dilakukan dengan mengikutkan Dewan Perwakilan Daerah.
(3) Keikutsertaan Dewan Perwakilan Daerah dalam pembahasan rancangan undang‐undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya pada rapat komisi/panitia/alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat yang khusus menangani bidang legislasi.
(4) Keikutsertaan Dewan Perwakilan Daerah dalam pembahasan rancangan undang‐undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diwakili oleh komisi yang membidangi materi muatan rancangan undang‐undang yang dibahas.
(5) Pembahasan bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui tingkat‐tingkat pembicaraan.
(6) Tingkat‐tingkat pembicaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan dalam rapat komisi/panitia/alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat yang khusus menangani bidang legislasi dan rapat paripurna.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembahasan rancangan undang‐undang sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur dengan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat.
96. Pasal 33 Dewan Perwakilan Rakyat memberitahukan Dewan Perwakilan Daerah akan dimulainya pembahasan rancangan undang‐undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2).
97. Pasal 34 Dewan Perwakilan Daerah memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang‐undang tentang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang‐undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.
98. Pasal 35 (1) Rancangan undang‐undang dapat ditarik kembali sebelum dibahas
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden. (2) Rancangan Undang‐undang yang sedang dibahas hanya dapat ditarik
kembali berdasarkan persetujuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penarikan kembali rancangan undang‐undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat.
99. Pasal 36 (1) Pembahasan rancangan undang‐undang tentang penetapan peraturan
pemerintah pengganti undang‐undang menjadi undang‐undang dilaksanakan melalui mekanisme yang sama dengan pembahasan rancangan undang‐undang.
(2) Dewan Perwakilan Rakyat hanya menerima atau menolak Peraturan Pemerintah Pengganti Undang‐Undang.
(3) Dalam hal rancangan undang‐undang mengenai penetapan peraturan pemerintah pengganti undang‐undang menjadi undang‐undang ditolak oleh Dewan Perwakilan Rakyat maka Peraturan Pemerintah Pengganti Undang‐Undang tersebut dinyatakan tidak berlaku.
(4) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang‐Undang ditolak Dewan Perwakilan Rakyat maka Presiden mengajukan rancangan undang‐undang tentang pencabutan peraturan pemerintah pengganti undang‐undang tersebut yang dapat mengatur pula segala akibat dari penolakan tersebut.
100. Bagian Kedua Pengesahan
101. Pasal 37 (1) Rancangan undang‐undang yang telah disetujui bersama oleh Dewan
Perwakilan Rakyat dan Presiden, disampaikan oleh pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Presiden untuk disahkan menjadi Undang‐Undang.
(2) Penyampaian rancangan undang‐undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
sejak tanggal persetujuan bersama. 102. Pasal 38 (1) Rancangan undang‐undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37
disahkan oleh Presiden dengan membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak rancangan undang‐undang tersebut disetujui bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden.
(2) Dalam hal rancangan undang‐undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak ditandatangani oleh Presiden dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak rancangan undang‐undang tersebut disetujui bersama, maka rancangan undang‐undang tersebut sah menjadi Undang‐Undang dan wajib diundangkan.
(3) Dalam hal sahnya rancangan undang‐undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka kalimat pengesahannya berbunyi: Undang‐Undang ini dinyatakan sah berdasarkan, ketentuan Pasal 20 ayat (5) Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
(4) Kalimat pengesahan yang berbunyi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus dibubuhkan pada halaman terakhir Undang‐Undang sebelum Pengundangan naskah Undang‐Undang ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
103. Pasal 39 (1) Peraturan Pemerintah ditetapkan untuk melaksanakan Undang‐Undang. (2) Setiap Undang‐Undang wajib mencantumkan batas waktu penetapan
Peraturan Pemerintah dan peraturan lainnya sebagai pelaksanaan Undang‐Undang tersebut.
(3) Penetapan Peraturan Pemerintah dan peraturan lainnya yang diperlukan dalam penyelenggaraan pemerintahan negara tidak atas permintaan secara tegas dari suatu Undang‐Undang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
104. Bagian Kedua Penyusunan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang‐Undang
105. Pasal 52
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
(1) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang‐Undang harus diajukan ke DPR dalam persidangan yang berikut.
(2) Pengajuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang‐Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)dilakukan dalam bentuk pengajuan Rancangan Undang‐Undang tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang‐Undang menjadi Undang‐Undang.
(3) DPR hanya memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang‐Undang.
(4) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang‐Undang mendapat persetujuan DPR dalam rapat paripurna, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang‐Undang tersebut ditetapkan menjadi Undang‐Undang.
(5) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang‐Undang tidak mendapat persetujuan DPR dalam rapat paripurna, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang‐Undang tersebut harus dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku.
(6) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang‐Undang harus dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku sebagaimana dimaksud pada ayat (5), DPR atau Presiden mengajukan Rancangan Undang‐Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang‐Undang.
(7) Rancangan Undang‐Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang‐Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (6) mengatur segala akibat hukum dari pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang‐Undang.
(8) Rancangan Undang‐Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang‐Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditetapkan menjadi Undang‐Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang‐Undang dalam rapat paripurna yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
106. Pasal 53 Ketentuan mengenai tata cara penyusunan Rancangan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang‐Undang diatur dengan Peraturan Presiden.
107. Bagian Ketiga Penyusunan Peraturan Pemerintah
108. Pasal 54 (1) Dalam penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah, pemrakarsa
membentuk panitia antarkementerian dan/atau lembaga pemerintah non kementerian.
(2) Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Peraturan Pemerintah dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan panitia antarkementerian dan/atau antar non kementerian, pengharmonisasian, penyusunan, dan penyampaian Rancangan Peraturan Pemerintah diatur dengan Peraturan Presiden.
109. Bagian Keempat Penyusunan Peraturan Presiden
110. Pasal 55 (1) Dalam penyusunan Rancangan Peraturan Presiden, pemrakarsa
membentuk panitia antarkementerian dan/atau antarnonkementerian.
(2) Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Peraturan Presiden dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan panitia antar kementerian dan/atau antar non kementerian, pengharmonisasian, penyusunan, dan penyampaian Rancangan Peraturan Presiden diatur dalam Peraturan Presiden.
111. Bagian Kelima
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
Penyusunan Peraturan Daerah Provinsi 112. Pasal 56
(1) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dapat berasal dari DPRD Provinsi atau Gubernur.
(2) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan penjelasan atau keterangan dan/atau Naskah Akademik.
(3) Dalam hal Rancangan Peraturan Daerah Provinsi mengenai: a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi; b. pencabutan Peraturan Daerah Provinsi; atau c. perubahan Peraturan Daerah Provinsi yang hanya terbatas
mengubah beberapa materi, disertai dengan keterangan yang memuat pokok pikiran dan materi muatan yang diatur.
113. Pasal 57 (1) Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Provinsi
dilakukan sesuai dengan teknik penyusunan Naskah Akademik.
(2) Ketentuan mengenai teknik penyusunan Naskah Akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Undang‐Undang ini.
114. Pasal 58 (1) Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi
Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang berasal dari DPRD Provinsi dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPRD Provinsi yang khusus menangani bidang legislasi.
(2) Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang berasal dari Gubernur dikoordinasikan oleh biro hukum dan dapat mengikutsertakan instansi vertikal dari kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.
115. Pasal 59
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang berasal dari Gubernur diatur dengan Peraturan Presiden.
116. Pasal 60 (1) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dapat diajukan oleh anggota,
komisi, gabungan komisi, atau alat kelengkapan DPRD Provinsi yang khusus menangani bidang legislasi.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mempersiapkan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan DPRD Provinsi.
117. Pasal 61 (1) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang telah disiapkan oleh
DPRD Provinsi disampaikan dengan surat pimpinan DPRD Provinsi kepada Gubernur.
(2) Rancangan Peraturan Daerah yang telah disiapkan oleh Gubernur disampaikan dengan surat pengantar Gubernur kepada pimpinan DPRD Provinsi.
118. Pasal 62 Apabila dalam satu masa sidang DPRD Provinsi dan Gubernur
menyampaikan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi mengenai materi yang sama, yang dibahas adalah Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang disampaikan oleh DPRD Provinsi dan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang disampaikan oleh Gubernur digunakan sebagai bahan untuk dipersandingkan.
119. Bagian Keenam Penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
120. Pasal 63 Ketentuan mengenai penyusunan Peraturan Daerah Provinsi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 sampai dengan Pasal 62 berlaku secara mutatis mutandis terhadap penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
121. BAB VII PEMBAHASAN DAN PENGESAHAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH
122. Bagian Kesatu Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
123. Pasal 40 (1) Pembahasan rancangan peraturan daerah di dewan perwakilan rakyat
daerah dilakukan oleh dewan perwakilan rakyat daerah bersama gubernur atau bupati/walikota.
(2) Pembahasan bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui tingkat‐tingkat pembicaraan.
(3) Tingkat‐tingkat pembicaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam rapat komisi/panitia/alat kelengkapan dewan perwakilan rakyat daerah yang khusus menangani bidang legislasi dan rapat paripurna.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembahasan rancangan peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
124. Pasal 41 (1) Rancangan peraturan daerah dapat ditarik kembali sebelum dibahas
bersama oleh dewan perwakilan rakyat daerah dan gubernur atau bupati/walikota.
(2) Rancangan peraturan daerah yang sedang dibahas hanya dapat ditarik kembali berdasarkan persetujuan bersama dewan perwakilan rakyat daerah dan gubernur atau bupati/walikota.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penarikan kembali rancangan peraturan daerah diatur dengan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
125. Bagian Kedua Penetapan
126. Pasal 42 (1) Rancangan peraturan daerah yang telah disetujui bersama oleh dewan
perwakilan rakyat daerah dan gubernur atau bupati/walikota disampaikan
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
oleh pimpinan dewan perwakilan rakyat daerah kepada gubernur atau bupati/walikota untuk ditetapkan menjadi Peraturan Daerah.
(2) Penyampaian rancangan peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama.
127. Pasal 43 (1) Rancangan peraturan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42
ditetapkan oleh gubernur atau bupati/walikota dengan membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak rancangan peraturan daerah tersebut disetujui bersama oleh dewan perwakilan rakyat daerah dan gubernur atau bupati/walikota.
(2) Dalam hal rancangan peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak ditandatangani oleh gubernur atau bupati/walikota dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak rancangan peraturan daerah tersebut disetujui bersama, maka rancangan peraturan daerah tersebut sah menjadi Peraturan Daerah dan wajib diundangkan.
(3) Dalam hal sahnya rancangan peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka kalimat pengesahannya berbunyi: Peraturan Daerah ini dinyatakan sah.
(4) Kalimat pengesahan yang berbunyi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus dibubuhkan pada halaman terakhir Peraturan Daerah sebelum pengundangan naskah Peraturan Daerah ke dalam Lembaran Daerah.
128. BAB VIII TEKNIK PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG‐UNDANGAN
BAB VI TEKNIK PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG‐UNDANGAN
Pasal 44 Pasal 64 (1) Penyusunan rancangan peraturan perundang‐undangan dilakukan sesuai
dengan teknik penyusunan peraturan perundang‐undangan. (1) Penyusunan Rancangan Peraturan Perundangundangan dilakukan
sesuai dengan teknik penyusunan Peraturan Perundang‐undangan.
(2) Ketentuan mengenai teknik penyusunan peraturan perundang‐undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam lampiran yang tidak terpisahkan dari Undang‐Undang ini.
(2) Ketentuan mengenai teknik penyusunan Peraturan Perundang‐undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Undang‐Undang ini.
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai perubahan terhadap teknik penyusunan peraturan perundang‐undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Presiden.
(3) Ketentuan mengenai perubahan terhadap teknik penyusunan Peraturan Perundang‐undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Presiden.
129. BAB VII PEMBAHASAN DAN PENGESAHAN RANCANGAN UNDANG‐UNDANG
130. Bagian Kesatu Pembahasan Rancangan Undang‐Undang
131. Pasal 65 (1) Pembahasan Rancangan Undang‐Undang dilakukan oleh DPR
bersama Presiden atau menteri yang ditugasi.
(2) Pembahasan Rancangan Undang‐Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berkaitan dengan: a. otonomi daerah; b. hubungan pusat dan daerah; c. pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; d. pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
lainnya; dan e. perimbangan keuangan pusat dan daerah, dilakukan dengan
mengikutsertakan DPD.
(3) Keikutsertaan DPD dalam pembahasan Rancangan Undang‐Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan hanya pada pembicaraan tingkat I.
(4) Keikutsertaan DPD dalam pembahasan Rancangan Undang‐Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diwakili oleh alat kelengkapan yang membidangi materi muatan Rancangan Undang‐Undang yang dibahas.
(5) DPD memberikan pertimbangan kepada DPR atas Rancangan Undang‐Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Rancangan Undang‐Undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.
132. Pasal 66
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
Pembahasan Rancangan Undang‐Undang dilakukan melalui 2 (dua) tingkat pembicaraan.
133. Pasal 67 Dua tingkat pembicaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 terdiri
atas: a. pembicaraan tingkat I dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi,
rapat Badan Legislasi, rapat Badan Anggaran, atau rapat Panitia Khusus; dan
b. pembicaraan tingkat II dalam rapat paripurna.
134. Pasal 68 (1) Pembicaraan tingkat I dilakukan dengan kegiatan sebagai berikut:
a. pengantar musyawarah; b. pembahasan daftar inventarisasi masalah; dan c. penyampaian pendapat mini.
(2) Dalam pengantar musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a: a. DPR memberikan penjelasan dan Presiden menyampaikan
pandangan jika Rancangan Undang‐Undang berasal dari DPR; b. DPR memberikan penjelasan serta Presiden dan DPD
menyampaikan pandangan jika Rancangan Undang‐Undang yang berkaitan dengan kewenangan DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) berasal dari DPR;
c. Presiden memberikan penjelasan dan fraksi memberikan pandangan jika Rancangan Undang‐Undang berasal dari Presiden; atau
d. Presiden memberikan penjelasan serta fraksi dan DPD menyampaikan pandangan jika Rancangan Undang‐Undang yang berkaitan dengan kewenangan DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) berasal dari Presiden.
(3) Daftar inventarisasi masalah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diajukan oleh: a. Presiden jika Rancangan Undang‐Undang berasal dari DPR; atau
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
b. DPR jika Rancangan Undang‐Undang berasal dari Presiden dengan mempertimbangkan usul dari DPD sepanjang terkait dengan kewenangan DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2).
(4) Penyampaian pendapat mini sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c disampaikan pada akhir pembicaraan tingkat I oleh: a. fraksi; b. DPD, jika Rancangan Undang‐Undang berkaitan dengan
kewenangan DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2); dan
c. Presiden.
(5) Dalam hal DPD tidak menyampaikan pandangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf d dan/atau tidak menyampaikan pendapat mini sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b, pembicaraan tingkat I tetap dilaksanakan.
(6) Dalam pembicaraan tingkat I dapat diundang pimpinan lembaga negara atau lembaga lain jika materi Rancangan Undang‐Undang berkaitan dengan lembaga negara atau lembaga lain.
135. Pasal 69 (1) Pembicaraan tingkat II merupakan pengambilan keputusan dalam
rapat paripurna dengan kegiatan: a. penyampaian laporan yang berisi proses, pendapat mini fraksi,
pendapat mini DPD, dan hasil pembicaraan tingkat I; b. pernyataan persetujuan atau penolakan dari tiap‐tiap fraksi dan
anggota secara lisan yang diminta oleh pimpinan rapat paripurna; dan
c. penyampaian pendapat akhir Presiden yang dilakukan oleh menteri yang ditugasi.
(2) Dalam hal persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak dapat dicapai secara musyawarah untuk mufakat, pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan suara terbanyak.
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
(3) Dalam hal Rancangan Undang‐Undang tidak mendapat persetujuan bersama antara DPR dan Presiden, Rancangan Undang‐Undang tersebut tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu.
136. Pasal 70 (1) Rancangan Undang‐Undang dapat ditarik kembali sebelum dibahas
bersama oleh DPR dan Presiden.
(2) Rancangan Undang‐Undang yang sedang dibahas hanya dapat ditarik kembali berdasarkan persetujuan bersama DPR dan Presiden.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penarikan kembali Rancangan Undang‐Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan DPR.
137. Pasal 71 (1) Pembahasan Rancangan Undang‐Undang tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang‐Undang dilaksanakan melalui mekanisme yang sama dengan pembahasan Rancangan Undang‐Undang.
(2) Pembahasan Rancangan Undang‐Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang‐Undang dilaksanakan melalui mekanisme khusus yang dikecualikan dari mekanisme pembahasan Rancangan Undang‐Undang.
(3) Ketentuan mengenai mekanisme khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dengan tata cara sebagai berikut: a. Rancangan Undang‐Undang tentang Pencabutan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang‐Undang diajukan oleh DPR atau Presiden;
b. Rancangan Undang‐Undang tentang Pencabutan sebagaimana dimaksud dalam huruf a diajukan pada saat Rapat Paripurna DPR tidak memberikan persetujuan atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang‐Undang yang diajukan oleh Presiden; dan
(4) Pengambilan keputusan persetujuan terhadap Rancangan Undang‐Undang tentang Pencabutan sebagaimana dimaksud dalam huruf b
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
dilaksanakan dalam Rapat Paripurna DPR yang sama dengan rapat paripurna penetapan tidak memberikan persetujuan atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang‐Undang tersebut.
138. Bagian Kedua Pengesahan Rancangan Undang‐Undang
139. Pasal 72 (1) Rancangan Undang‐Undang yang telah disetujui bersama oleh DPR
dan Presiden disampaikan oleh Pimpinan DPR kepada Presiden untuk disahkan menjadi Undang‐Undang.
(2) Penyampaian Rancangan Undang‐Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama.
140. Pasal 73 (1) Rancangan Undang‐Undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72
disahkan oleh Presiden dengan membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak Rancangan Undang‐Undang tersebut disetujui bersama oleh DPR dan Presiden.
(2) Dalam hal Rancangan Undang‐Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak ditandatangani oleh Presiden dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak Rancangan Undang‐Undang tersebut disetujui bersama, Rancangan Undang‐Undang tersebut sah menjadi Undang‐Undang dan wajib diundangkan.
(3) Dalam hal sahnya Rancangan Undang‐Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kalimat pengesahannya berbunyi: Undang‐Undang ini dinyatakan sah berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (5) Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
(4) Kalimat pengesahan yang berbunyi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus dibubuhkan pada halaman terakhir Undang‐Undang sebelum pengundangan naskah Undang‐Undang ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
141. Pasal 74 (1) Dalam setiap Undang‐Undang harus dicantumkan batas waktu
penetapan Peraturan Pemerintah dan peraturan lainnya sebagai pelaksanaan Undang‐Undang tersebut.
(2) Penetapan Peraturan Pemerintah dan peraturan lainnya yang diperlukan dalam penyelenggaraan pemerintahan tidak atas perintah suatu Undang‐ Undang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
142. BAB VIII PEMBAHASAN DAN PENETAPAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH
PROVINSI DAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN/KOTA
143. Bagian Kesatu Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi
144. Pasal 75 (1) Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dilakukan oleh
DPRD Provinsi bersama Gubernur.
(2) Pembahasan bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui tingkat‐tingkat pembicaraan.
(3) Tingkat‐tingkat pembicaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam rapat komisi/panitia/badan/alat kelengkapan DPRD Provinsi yang khusus menangani bidang legislasi dan rapat paripurna.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi diatur dengan Peraturan DPRD Provinsi.
145. Pasal 76 (1) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dapat ditarik kembali sebelum
dibahas bersama oleh DPRD Provinsi dan Gubernur.
(2) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang sedang dibahas hanya dapat ditarik kembali berdasarkan persetujuan bersama DPRD Provinsi dan Gubernur.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penarikan kembali
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
Rancangan Peraturan Daerah Provinsi diatur dengan Peraturan DPRD Provinsi.
146. Bagian Kedua Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
147. Pasal 77 Ketentuan mengenai pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 dan Pasal 76 berlaku secara mutatis mutandis terhadap pembahasan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
148. Bagian Ketiga Penetapan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi
149. Pasal 78 (1) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang telah disetujui bersama
oleh DPRD Provinsi dan Gubernur disampaikan oleh pimpinan DPRD Provinsi kepada Gubernur untuk ditetapkan menjadi Peraturan Daerah Provinsi.
(2) Penyampaian Rancangan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama.
150. Pasal 79 (1) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 78 ditetapkan oleh Gubernur dengan membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak Rancangan Peraturan Daerah Provinsi tersebut disetujui bersama oleh DPRD Provinsi dan Gubernur.
(2) Dalam hal Rancangan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak ditandatangani oleh Gubernur dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak Rancangan Peraturan Daerah Provinsi tersebut disetujui bersama, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi tersebut sah menjadi Peraturan Daerah Provinsi dan wajib diundangkan.
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
(3) Dalam hal sahnya Rancangan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kalimat pengesahannya berbunyi: Peraturan Daerah ini dinyatakan sah.
(4) Kalimat pengesahan yang berbunyi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus dibubuhkan pada halaman terakhir Peraturan Daerah Provinsi sebelum pengundangan naskah Peraturan Daerah Provinsi dalam Lembaran Daerah.
151. Bagian Keempat Penetapan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
152. Pasal 80 Ketentuan mengenai penetapan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 dan Pasal 79 berlaku secara mutatis mutandis terhadap penetapan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
153. BAB IX PENGUNDANGAN DAN PENYEBARLUASAN
BAB IX PENGUNDANGAN
154. Bagian Kesatu Pengundangan
155. Pasal 45 Pasal 81 Agar setiap orang mengetahuinya, Peraturan Perundang‐undangan harus diundangkan dengan menempatkannya dalam: a. Lembaran Negara Republik Indonesia; b. Berita Negara Republik Indonesia; c. Lembaran Daerah; atau d. Berita Daerah.
Agar setiap orang mengetahuinya, Peraturan Perundang‐undangan harus diundangkan dengan menempatkannya dalam: a. Lembaran Negara Republik Indonesia; b. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia; c. Berita Negara Republik Indonesia; d. Tambahan Berita Negara Republik Indonesia; e. Lembaran Daerah; f. Tambahan Lembaran Daerah; atau g. Berita Daerah.
156. Pasal 46 Pasal 82 (1) Peraturan Perundang‐undangan yang diundangkan dalam Lembaran Peraturan Perundang‐undangan yang diundangkan dalam Lembaran Negara
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
Negara Republik Indonesia, meliputi: a. Undang‐Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang‐Undang; b. Peraturan Pemerintah; c. Peraturan Presiden mengenai:
1. pengesahan perjanjian antara negara Republik Indonesia dan negara lain atau badan internasional; dan
2. pernyataan keadaan bahaya. d. Perataran Perundang‐undangan lain yang menurut Peraturan
Perundangundangan yang berlaku harus diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Republik Indonesia, meliputi: a. Undang‐Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang‐Undang; b. Peraturan Pemerintah; c. Peraturan Presiden; dan d. Peraturan Perundang‐undangan lain yang menurut Peraturan
Perundang‐undangan yang berlaku harus diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
(2) Peraturan Perundang‐undangan lain yang menurut Peraturan Perundang‐undangan yang berlaku harus diundangkan dalam Berita Negara Republik Indonesia.
157. Pasal 47 (1) Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia memuat penjelasan
Peraturan Perundang‐undangan yang dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
(1) Tambahan Berita Negara Republik Indonesia memuat penjelasan Peraturan Perundang‐undangan yang dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia.
158. Pasal 48 Pasal 83 Pengundangan Peraturan Perundang‐undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia atau Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dilaksanakan oleh menteri yang tugas dan tanggung Jawabnya di bidang peraturan perundang‐undangan.
Peraturan Perundang‐undangan yang diundangkan dalam Berita Negara Republik Indonesia meliputi Peraturan Perundang‐undangan yang menurut Peraturan Perundang‐undangan yang berlaku harus diundangkan dalam Berita Negara Republik Indonesia.
159. Pasal 84 (1) Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia memuat penjelasan
Peraturan Perundang‐undangan yang dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
(2) Tambahan Berita Negara Republik Indonesia memuat penjelasan Peraturan Perundang‐undangan yang dimuat dalam Berita Negara
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
Republik Indonesia. 160. Pasal 85
Pengundangan Peraturan Perundang‐undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia atau Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 dan Pasal 83 dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.
161. Pasal 49 Pasal 86 (1) Peraturan Perundang‐undangan yang diundangkan dalam Lembaran
Daerah adalah Peraturan Daerah. (1) Peraturan Perundang‐undangan yang diundangkan dalam Lembaran
Daerah adalah Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
(2) Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati/Walikota, atau peraturan lain di bawahnya dimuat dalam Berita Daerah.
(2) Peraturan Gubernur dan Peraturan Bupati/Walikota diundangkan dalam Berita Daerah.
(3) Pengundangan Peraturan Daerah dalam Lembaran Daerah dan Berita Daerah dilaksanakan oleh sekretaris daerah.
(3) Pengundangan Peraturan Perundang‐undangan dalam Lembaran Daerah dan Berita Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan oleh Sekretaris Daerah.
162. Pasal 50 Pasal 87 Peraturan Perundang‐undangan mulai berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat pada tanggal diundangkan, kecuali ditentukan lain di dalam Peraturan Perundang‐undangan yang bersangkutan.
Peraturan Perundang‐undangan mulai berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat pada tanggal diundangkan, kecuali ditentukan lain di dalam Peraturan Perundang‐undangan yang bersangkutan.
163. Bagian Kedua Penyebarluasan
BAB X PENYEBARLUASAN
164. Bagian Kesatu Penyebarluasan Prolegnas, Rancangan Undang‐Undang,dan Undang‐
Undang
165. Pasal 51 Pasal 88 Pemerintah wajib menyebarluaskan Peraturan Perundang‐undangan yang telah diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia atau Berita Negara Republik Indonesia.
(1) Penyebarluasan dilakukan oleh DPR dan Pemerintah sejak penyusunan Prolegnas, penyusunan Rancangan Undang‐Undang, pembahasan Rancangan Undang‐Undang, hingga Pengundangan Undang‐Undang
166. (2) Penyebarluasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk memberikan informasi dan/atau memperoleh masukan masyarakat serta para pemangku kepentingan.
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
167. Pasal 89 168. (1) Penyebarluasan Prolegnas dilakukan bersama oleh DPR dan
Pemerintah yang dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi.
169. (2) Penyebarluasan Rancangan Undang‐Undang yang berasal dari DPR dilaksanakan oleh komisi/panitia/badan/alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi.
170. (3) Penyebarluasan Rancangan Undang‐Undang yang berasal dari Presiden dilaksanakan oleh instansi pemrakarsa.
171. Pasal 90 172. (1) Penyebarluasan Undang‐Undang yang telah diundangkan dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia dilakukan secara bersama‐sama oleh DPR dan Pemerintah.
173. (2) Penyebarluasan Undang‐Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh DPD sepanjang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
174. Pasal 91 175. (1) Dalam hal Peraturan Perundang‐undangan perlu diterjemahkan ke
dalam bahasa asing, penerjemahannya dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.
176. (2) Terjemahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan terjemahan resmi.
177. Bagian Kedua Penyebarluasan Prolegda, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, dan Peraturan Daerah Provinsi atau
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
178. Pasal 52 Pasal 92 Pemerintah Daerah wajib menyebarluaskan Peraturan Daerah yang telah (1) Penyebarluasan Prolegda dilakukan oleh DPRD dan Pemerintah
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
diundangkan dalam Lembaran Daerah dan peraturan di bawahnya yang telah diundangkan dalam Berita Daerah.
Daerah sejak penyusunan Prolegda, penyusunan Rancangan Peraturan Daerah, pembahasan Rancangan Peraturan Daerah, hingga Pengundangan Peraturan Daerah.
(2) Penyebarluasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk dapat memberikan informasi dan/atau memperoleh masukan masyarakat dan para pemangku kepentingan.
179. Pasal 93 (1) Penyebarluasan Prolegda dilakukan bersama oleh DPRD dan
Pemerintah Daerah Provinsi atau Kabupaten/Kota yang dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPRD yang khusus menangani bidang legislasi.
(2) Penyebarluasan Rancangan Peraturan Daerah yang berasal dari DPRD dilaksanakan oleh alat kelengkapan DPRD.
(3) Penyebarluasan Rancangan Peraturan Daerah yang berasal dari Gubernur atau Bupati/Walikota dilaksanakan oleh Sekretaris Daerah.
180. Pasal 94 Penyebarluasan Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota yang telah diundangkan dalam Lembaran Daerah dilakukan bersama oleh DPRD dan Pemerintah Daerah Provinsi atau Kabupaten/Kota.
181. Bagian Ketiga Naskah yang Disebarluaskan
182. Pasal 95 Naskah Peraturan Perundang‐undangan yang disebarluaskan harus
merupakan salinan naskah yang telah diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Tambahan Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah, Tambahan Lembaran Daerah, dan Berita Daerah.
183. BAB X BAB XI
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
PARTISIPASI MASYARAKAT PARTISIPASI MASYARAKAT 184. Pasal 53 Pasal 96
Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan undang‐undang dan rancangan peraturan daerah.
(1) Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam Pembentukan Peraturan Perundang‐undangan.
(2) Masukan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui: a. rapat dengar pendapat umum; b. kunjungan kerja; c. sosialisasi; dan/atau seminar, lokakarya, dan/atau diskusi.
(3) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan atas substansi Rancangan Peraturan Perundang‐undangan.
(4) Untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap Rancangan Peraturan Perundang‐undangan harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.
185. BAB XI KETENTUAN LAIN‐LAIN
BAB XII KETENTUAN LAIN‐LAIN
186. Pasal 54 Pasal 97 Teknik penyusunan dan/atau bentuk Keputusan Presiden, Keputusan Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Keputusan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat, Keputusan Pimpinan Dewan Perwakilan Daerah, Keputusan Ketua Mahkamah Agung, Keputusan Ketua Mahkamah Konstitusi, Keputusan Kepala Badan Pemeriksa Keuangan, Keputusan Gubernur Bank Indonesia, Keputusan Menteri, Keputusan kepala badan, lembaga, atau komisi yang setingkat, Keputusan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Keputusan Gubernur, Keputusan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Keputusan Bupati/Walikota, Keputusan Kepala Desa atau yang setingkat harus berpedoman pada teknik penyusunan dan/atau bentuk yang diatur dalam Undang‐Undang ini.
Teknik penyusunan dan/atau bentuk yang diatur dalam Undang‐Undang ini berlaku secara mutatis mutandis bagi teknik penyusunan dan/atau bentuk Keputusan Presiden, Keputusan Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Keputusan Pimpinan DPR, Keputusan Pimpinan DPD, Keputusan Ketua Mahkamah Agung, Keputusan Ketua Mahkamah Konstitusi, Keputusan Ketua Komisi Yudisial, Keputusan Kepala Badan Pemeriksa Keuangan, Keputusan Gubernur Bank Indonesia, Keputusan Menteri, Keputusan Kepala Badan, Keputusan Kepala Lembaga, atau Keputusan Ketua Komisi yang setingkat, Keputusan Pimpinan DPRD Provinsi, Keputusan Gubernur, Keputusan Pimpinan DPRD Kabupaten/Kota, Keputusan Bupati/Walikota, Keputusan Kepala Desa atau yang setingkat.
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
187. Pasal 98 (1) Setiap tahapan Pembentukan Peraturan Perundang‐undangan
mengikutsertakan Perancang Peraturan Perundang‐undangan.
(2) Ketentuan mengenai keikutsertaan dan pembinaan Perancang Peraturan Perundang‐undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
188. Pasal 99 Selain Perancang Peraturan Perundang‐undangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 98 ayat (1), tahapan pembentukan Undang‐Undang, Peraturan Daerah Provinsi, dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota mengikutsertakan peneliti dan tenaga ahli.
189. BAB XII KETENTUAN PERALIHAN
190. Pasal 55 Pengundangan Peraturan Perundang‐undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia atau Berita Negara Republik Indonesia oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48, dilaksanakan paling lambat 1 (satu)tahun terhitung sejak diundangkannya Undang‐Undang ini.
191. BAB XIII KETENTUAN PENUTUP
BAB XIII KETENTUAN PENUTUP
192. Pasal 56 Pasal 100 Semua Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Keputusan Gubernur, Keputusan Bupati/walikota, atau keputusan pejabat lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 yang sifatnya mengatur, yang sudah ada sebelum Undang‐Undang ini berlaku, harus dibaca peraturan, sepanjang tidak bertentangan dengan Undang‐Undang ini.
Semua Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Keputusan Gubernur, Keputusan Bupati/Walikota, atau keputusan pejabat lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 yang sifatnya mengatur, yang sudah ada sebelum Undang‐Undang ini berlaku, harus dimaknai sebagai peraturan, sepanjang tidak bertentangan dengan Undang‐Undang ini.
193. Pasal 57 Pada saat Undang‐Undang ini mulai berlaku maka: a. Undang‐Undang Nomor 1 Tahun 1950 tentang Jenis dan Bentuk Peraturan
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
yang Dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat; b. Ketentuan‐ketentuan dalam Undang‐Undang Nomor 2 Tahun 1950 tentang
Menetapkan Undang‐Undang Darurat tentang Penerbitan Lembaran Negara Republik Indonesia Serikat dan Berita Negara Republik Indonesia Serikat dan tentang Mengeluarkan, Mengumumkan, dan Mulai Berlakunya Undang‐Undang Federal dan Peraturan Pemerintah sebagai Undang‐Undang Federal (Lembaran Negara Tahun 1950 Nomor 1), sepanjang yang telah diatur dalam Undang‐Undang ini; dan
c. Peraturan Perundang‐undangan lain yang ketentuannya telah diatur dalam Undang‐Undang ini, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 101 Pada saat Undang‐Undang ini mulai berlaku, semua Peraturan
Perundang‐undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang‐Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4389), dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang‐Undang ini.
Pasal 102 Pada saat Undang‐Undang ini mulai berlaku, Undang‐Undang Nomor 10
Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang‐undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 103 Peraturan pelaksanaan dari Undang‐Undang ini harus ditetapkan paling
lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang‐Undang ini diundangkan.
194. Pasal 58 Pasal 104 Undang‐Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan, yang mulai dilaksanakan pada tanggal 1 November 2004.
Undang‐Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang‐
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang‐Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
195. PENJELASAN UNDANG‐UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG
PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG‐UNDANGAN
PENJELASAN ATAS
UNDANG‐UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011
TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG‐UNDANGAN
196. Pasal 1
Cukup jelas Cukup jelas
197. Pasal 2
Penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara adalah sesuai dengan Pembukaan Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menempatkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis bangsa dan negara sehingga setiap Materi Muatan Peraturan Perundang‐undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai‐nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara adalah sesuai dengan Pembukaan Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea keempat yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
198. Pasal 3
Ayat (1) Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
yang memuat hukum dasar negara merupakan sumber hukum bagi Pembentukan Peraturan Perundang‐undangan di bawah Undang‐Undang Dasar.
Ayat (1) Yang dimaksud dengan “hukum dasar” adalah norma dasar bagi
Pembentukan Peraturan Perundang‐undangan yang merupakan sumber hukum bagi Pembentukan Peraturan Perundang‐undangan di bawah Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Ketentuan ini menyatakan bahwa Undang‐Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berlaku sejak ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Ayat (3) Cukup jelas.
199. Pasal Yang diatur lebih lanjut dalam Undang‐Undang ini hanya Undang‐ Cukup jelas
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
4 Undang ke bawah, mengingat Undang‐Undang Dasar tidak termasuk kompetensi pembentuk Undang‐Undang.
200. Pasal 5
Huruf a Yang dimaksud dengan "kejelasan tujuan" adalah bahwa setiap
Pembentukan Peraturan Perundang‐undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai.
Huruf a Yang dimaksud dengan “asas kejelasan tujuan” adalah bahwa setiap
Pembentukan Peraturan Perundang‐undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai.
Huruf b Yang dimaksud dengan asas “kelembagaan atau organ
pembentuk yang tepat” adalah bahwa setiap jenis Peraturan Perundang‐undangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat Pembentuk Peraturan Perundang‐undangan yang berwenang. Peraturan Perundang‐undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum, apabila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang.
Huruf b Yang dimaksud dengan “asas kelembagaan atau pejabat pembentuk
yang tepat” adalah bahwa setiap jenis Peraturan Perundang‐undangan harus dibuat oleh lembaga negara atau pejabat Pembentuk Peraturan Perundang‐undangan yang berwenang. Peraturan Perundang‐undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum apabila dibuat oleh lembaga negara atau pejabat yang tidak berwenang.
Huruf c Yang dimaksud dengan asas "kesesuaian antara jenis dan materi
muatan" adalah bahwa dalam Pembentakan Peraturan Perundang‐undangan harus benar‐benar memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis Peraturan Perundang‐undangannya.
Huruf c Yang dimaksud dengan “asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan
materi muatan” adalah bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang‐undangan harus benar‐benar memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki Peraturan Perundang‐undangan.
Huruf d Yang dimaksud dengan asas "dapat dilaksanakan" adalah bahwa
setiap Pembentukan Peraturan Perundang‐undangan harus memperhitungkan efektivitas Peraturan Perundang‐undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis.
Huruf d Yang dimaksud dengan “asas dapat dilaksanakan” adalah bahwa
setiap Pembentukan Peraturan Perundang‐undangan harus memperhitungkan efektivitas Peraturan Perundang‐undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis.
Huruf e Yang dimaksud dengan asas "kedayagunaan dan kehasilgunaan"
adalah bahwa setiap Peraturan Perundang‐undangan dibuat karena memang benar‐benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Huruf e Yang dimaksud dengan “asas kedayagunaan dan kehasilgunaan”
adalah bahwa setiap Peraturan Perundangundangan dibuat karena memang benar‐benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
Huruf f Yang dimaksud dengan asas "kejelasan rumusan" adalah bahwa
setiap Peraturan Perundang‐undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan Perundang‐undangan, sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.
Huruf f Yang dimaksud dengan “asas kejelasan rumusan” adalah bahwa
setiap Peraturan Perundang‐undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan Perundang‐undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.
Huruf g Yang dimaksud dengan asas "keterbukaan" adalah bahwa dalam
proses Pembentukan Peraturan Perundang‐undangan mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan, dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka.
Dengan demikian seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas‐luasnya untuk memberikan masukan dalam proses pembuatan Peraturan Perundang‐undangan.
Huruf g Yang dimaksud dengan “asas keterbukaan” adalah bahwa dalam
Pembentukan Peraturan Perundang‐undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas‐luasnya untuk memberikan masukan dalam Pembentukan Peraturan Perundang‐undangan.
201. Pasal 6
Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan "asas pengayoman" adalah bahwa
setiap Materi Muatan Peraturan Perundang‐undangan harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketenteraman masyarakat.
Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “asas pengayoman” adalah bahwa
setiap Materi Muatan Peraturan Perundangundangan harus berfungsi memberikan pelindungan untuk menciptakan ketentraman masyarakat.
Huruf b Yang dimaksud dengan "asas kemanusiaan" adalah bahwa
setiap Materi Muatan Peraturan Perundang‐undangan harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak‐hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional.
Huruf b Yang dimaksud dengan “asas kemanusiaan” adalah bahwa
setiap Materi Muatan Peraturan Perundangundangan harus mencerminkan pelindungan dan penghormatan hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional.
Huruf c Yang dimaksud dengan "asas kebangsaan" adalah bahwa
setiap Materi Muatan Peraturan Perundang‐undangan
Huruf c Yang dimaksud dengan “asas kebangsaan” adalah bahwa
setiap Materi Muatan Peraturan Perundang‐undangan harus
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang pluralistik (kebhinekaan) dengan tetap menjaga prinsip negara kesatuan Republik Indonesia.
mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang majemuk dengan tetap menjaga prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Huruf d Yang dimaksud dengan "asas kekeluargaan" adalah bahwa
setiap Materi Muatan Peraturan Perundang‐undangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.
Huruf d Yang dimaksud dengan “asas kekeluargaan” adalah bahwa
setiap Materi Muatan Peraturan Perundangundangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.
Huruf e Yang dimaksud dengan "asas kenusantaraan" adalah
bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang‐undangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan materi muatan Peraturan Perundang‐undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila.
Huruf e Yang dimaksud dengan “asas kenusantaraan” adalah bahwa
setiap Materi Muatan Peraturan Perundangundangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan Materi Muatan Peraturan Perundang‐undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Huruf f Yang dimaksud dengan "asas bhinneka tunggal ika" adalah
bahwa Materi Muatan Peraturan Perundang‐undangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya khususnya yang menyangkut masalah‐masalah sensitif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Huruf f Yang dimaksud dengan “asas bhinneka tunggal ika” adalah
bahwa Materi Muatan Peraturan Perundangundangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah serta budaya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Huruf g Yang dimaksud dengan "asas keadilan" adalah bahwa
setiap Materi Muatan Peraturan Perundang‐undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa kecuali.
Huruf g Yang dimaksud dengan “asas keadilan” adalah bahwa setiap
Materi Muatan Peraturan Perundang‐undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara.
Huruf h Yang dimaksud dengan "asas kesamaan kedudukan dalam
Huruf h Yang dimaksud dengan “asas kesamaan kedudukan dalam
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
hukum dan pemerintahan" adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang‐undangan tidak boleh berisi hal‐hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial.
hukum dan pemerintahan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang‐undangan tidak boleh memuat hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial.
Huruf i Yang dimaksud dengan "asas ketertiban dan kepastian
hukum" adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang‐undangan harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum.
Huruf i Yang dimaksud dengan “asas ketertiban dan kepastian hukum”
adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang‐undangan harus dapat mewujudkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan kepastian hukum.
Huruf j Yang dimaksud dengan "asas keseimbangan, keserasian,
dan keselarasan" adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang‐undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara.
Huruf j Yang dimaksud dengan “asas keseimbangan, keserasian, dan
keselarasan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang‐undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu, masyarakat dan kepentingan bangsa dan negara.
Ayat (2) Yang dimaksud dengan "asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang‐undangan yang bersangkutan", antara lain: a. dalam Hukum Pidana, misalnya, asas legalitas, asas tiada
hukuman tanpa kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan asas praduga tak bersalah;
b. dalam Hukum Perdata, misalnya, dalam hukum perjanjian, antara lain, asas kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan iktikad baik.
Ayat (2) Yang dimaksud dengan “asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang‐undangan yang bersangkutan”, antara lain: a. dalam Hukum Pidana, misalnya, asas legalitas, asas tiada
hukuman tanpa kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan asas praduga tak bersalah;
b. dalam Hukum Perdata, misalnya, dalam hukum perjanjian, antara lain, asas kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan itikad baik.
202. Pasal 7
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (1) Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
Yang dimaksud dengan “Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat” adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, tanggal 7 Agustus 2003.
Huruf c Cukup jelas.
Huruf d Cukup jelas.
Huruf e Cukup jelas.
Huruf f Termasuk dalam Peraturan Daerah Provinsi adalah Qanun yang berlaku di Provinsi Aceh dan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) serta Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) yang berlaku di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.
Huruf g Termasuk dalam Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adalah Qanun yang berlaku di Kabupaten/Kota di Provinsi Aceh.
Ayat (2) Huruf a
Termasuk dalam jenis Peraturan Daerah Provinsi adalah Qanun yang berlaku di Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Perdasus serta Perdasi yang berlaku di Provinsi Papua.
Ayat (2) Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “hierarki” adalah penjenjangan setiap jenis Peraturan Perundang‐undangan yang didasarkan pada asas bahwa Peraturan Perundang‐undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang‐undangan yang lebih tinggi.
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
Huruf b Cukup jelas.
Huruf c Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Jenis Peraturan Perundang‐undangan selain dalam ketentuan ini, antara lain, peraturan yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Bank Indonesia, Menteri, kepala badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentak oleh undang‐undang atau pemerintah atas perintah undang‐undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
Ayat (5) Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan "hierarki" adalah penjenjangan setiap jenis Peraturan Perundang‐undangan yang didasarkan pada asas bahwa peraturan perundang‐undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang‐undangan yang lebih tinggi.
203. Pasal 8
Cukup jelas. Ayat (1) Yang dimaksud dengan “Peraturan Menteri” adalah peraturan yang ditetapkan oleh menteri berdasarkan materi muatan dalam rangka penyelenggaraan urusan tertentu dalam pemerintahan.
Ayat (2) Yang dimaksud dengan “berdasarkan kewenangan” adalah penyelenggaraan urusan tertentu pemerintahan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang‐undangan.
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
204. Pasal 9
Cukup jelas. Cukup jelas.
205. Pasal 10
Yang dimaksud dengan "sebagaimana mestinya" adalah materi muatan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah tidak boleh menyimpang dari materi yang diatur dalam Undang‐Undang yang bersangkutan.
Ayat (1) Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b Cukup jelas.
Huruf c Yang dimaksud dengan “perjanjian internasional tertentu” adalah perjanjian internasional yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau perjanjian tersebut mengharuskan perubahan atau pembentukan Undang‐Undang dengan persetujuan DPR.
Huruf d Yang dimaksud dengan ”tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi” terkait dengan putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pengujian Undang‐Undang terhadap Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Materi muatan yang dibuat, terkait dengan ayat, pasal, dan/atau bagian Undang‐Undang yang secara tegas dinyatakan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Huruf e Cukup jelas.
Ayat (2) Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kekosongan hukum.
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
206. Pasal 11
Sesuai dengan kedudukan Presiden menurut Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Peraturan Presiden adalah peraturan yang dibuat oleh Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara sebagai atribusi dari Pasal 4 ayat (1) Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Peraturan Presiden dibentuk untuk menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut perintah Undang‐Undang atau Peraturan Pemerintah baik secara tegas maupun tidak tegas diperintahkan pembentukannya.
Cukup jelas.
207. Pasal 12
Cukup jelas. Yang dimaksud dengan “menjalankan Undang‐Undang sebagaimana mestinya” adalah penetapan Peraturan Pemerintah untuk melaksanakan perintah Undang‐Undang atau untuk menjalankan Undang‐Undang sepanjang diperlukan dengan tidak menyimpang dari materi yang diatur dalam Undang‐Undang yang bersangkutan.
208. Pasal 13
Yang dimaksud dengan "yang setingkat” dalam ketentuan ini adalah nama lain dari pemerintahan tingkat desa.
Peraturan Presiden dibentuk untuk menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut perintah Undang‐Undang atau Peraturan Pemerintah secara tegas maupun tidak tegas diperintahkan pembentukannya.
209. Pasal 14
Cukup Jelas Cukup Jelas
210. Pasal 15
Agar dalam Pembentukan Peraturan Perundang‐undangan dapat dilaksanakan, secara berencana, maka Pembentukan Peraturan Perundang‐undangan perlu dilakukan berdasarkan Program Legislasi Nasional. Dalam Program Legislasi Nasional tersebut ditetapkan skala prioritas sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat. Untuk maksud tersebut, maka dalam Program Legislasi Nasional memuat program legislasi jangka panjang, menengah, atau tahunan. Program Legislasi Nasional hanya memuat program penyusunan Peraturan Perundang‐undangan tingkat pusat. Dalam penyusunan program tersebut perlu ditetapkan pokok materi yang hendak diatur serta kaitannya dengan Peraturan Perundang‐undangan lainnya. Oleh karena itu, penyusunan Program Legislasi Nasional disusun secara terkoordinasi, terarah, dan terpadu yang disusun bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah.
Cukup Jelas
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
Untuk perencanaan Pembentukan Peraturan Perundang‐undangan daerah dilakukan berdasarkan Program Legislasi Daerah. Di samping memperhatikan hal di atas, Program Legislasi Daerah dimaksudkan untuk menjaga agar produk Peraturan Perundang‐undangan daerah tetap berada dalam kesatuan system hukum nasional.
211. Pasal 16
Cukup jelas Cukup jelas
212. Pasal 17
Ayat (1) Cukup jelas.
Yang dimaksud dengan “sistem hukum nasional” adalah suatu sistem hukum yang berlaku di Indonesia dengan semua elemennya serta saling menunjang satu dengan yang lain dalam rangka mengantisipasi dan mengatasi permasalahan yang timbul dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat yang berdasarkan Pancasila dan Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan "dalam keadaan tertentu" adalah kondisi yang memerlukan pengaturan yang tidak tercantum dalam Program Legislasi Nasional.
213. Pasal 18
Cukup jelas Huruf a Cukup jelas.
Huruf b Yang dimaksud dengan “Perintah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat” adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: I/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, tanggal 7 Agustus 2003.
Huruf c Cukup jelas.
Huruf d Cukup jelas.
Huruf e Cukup jelas.
Huruf f Cukup jelas.
Huruf f Cukup jelas.
Huruf g Cukup jelas.
Huruf h Cukup jelas.
214. Pasal 19
Cukup jelas Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Yang dimaksud dengan “pengkajian dan penyelarasan” adalah proses untuk mengetahui keterkaitan materi yang akan diatur dengan Peraturan Perundang‐undangan lainnya yang vertical atau horizontal sehingga dapat mencegah tumpang tindih pengaturan atau kewenangan.
215. Pasal 20
Cukup jelas. Cukup jelas.
216. Pasal 21
Cukup jelas. Ayat (1) Cukup jelas.
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Yang dimaksud dengan “menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum” adalah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Ayat (5) Cukup jelas.
Ayat (6) Cukup jelas.
217. Pasal 22
Maksud "penyebarluasan” dalam ketentuan ini adalah agar khalayak ramai mengetahui adanya rancangan undang‐undang yang sedang dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat guna memberikan masukan atas materi yang sedang dibabas. Penyebarluasan dilakukan baik melalui media elektronik seperti televisi, radio, internet, maupun media cetak seperti surat kabar, majalah, dan edaran.
Cukup jelas.
218. Pasal 23
Cukup jelas Ayat (1) Huruf a
Yang dimaksud dengan “perjanjian internasional tertentu” adalah perjanjian internasional yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau perjanjian tersebut mengharuskan perubahan atau pembentukan Undang‐Undang dengan persetujuan DPR.
Huruf b Cukup jelas.
Huruf c Cukup jelas.
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
Huruf d Cukup jelas.
Huruf e Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
219. Pasal 24
Cukup jelas. Cukup jelas.
220. Pasal 25
Ayat (1) Yang dimaksud dengan "persidangan yang berikut" adalah masa persidangan Dewan Perwakilan Rakyat yang hanya diantarai satu masa reses.
Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.
221. Pasal 26
Cukup jelas. Cukup jelas.
222. Pasal 27
Cukup jelas. Cukup jelas.
223. Pasal 28
Cukup jelas. Cukup jelas.
224. Pasal 29
Cukup jelas. Cukup jelas.
225. Pasal 30
Sebagaimana rancangan undang‐undang, rancangan peraturan daerah juga disebarluaskan, misalnya melalui Televisi Republik Indonesia, Radio Republik Indonesia, Internet, media cetak seperti surat kabar, majalah, dan edaran di daerah yang bersangkutan, sehingga khalayak
Cukup jelas.
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
ramai mengetahui adanya rancangan peraturan daerah yang sedang dibahas di dewan perwakilan rakyat daerah yang bersangkutan. Dengan demikian masyarakat dapat memberikan masukan atas materi rancangan peraturan daerah yang sedang dibahas tersebut.
226. Pasal 31
Cukup jelas. Cukup jelas.
227. Pasal 32
Ketentuan mengenai tingkat pembahasan rancangan undang‐undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini berlaku juga terhadap pembahasan rancangan undang‐undang: a. usul inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat; b. ratifikasi; c. penetapan peraturan pemerintah pengganti undang‐undang; d. penetapan anggaran pendapatan dan belanja Negara serta nota
keuangan; e. perubahan anggaran pendapatan dan belanja negara; dan f. perhitungan anggaran negara.
Ketentuan ini dimaksudkan untuk menjaga agar produk Peraturan Daerah Provinsi tetap berada dalam kesatuan sistem hukum nasional.
228. Pasal 33
Cukup jelas. Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Yang dimaksud dengan “pengkajian dan penyelarasan” adalah proses untuk mengetahui keterkaitan materi yang akan diatur dengan Peraturan Perundang‐undangan lainnya yang vertical atau horizontal sehingga dapat mencegah tumpang tindih pengaturan atau kewenangan.
229. Pasal 34
Cukup jelas. Cukup jelas.
230. Pasal 35
Ayat (1) Cukup jelas.
Cukup jelas.
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Ketentuan ini dimaksudkan untuk menyederhanakan mekanisme penarikan kembali rancangan undang‐undang.
231. Pasal 36
Cukup jelas. Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Yang dimaksud dengan “instansi vertikal terkait” antara lain instansi vertikal dari kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.
Ayat (4) Cukup jelas.
232. Ayat (5) Cukup jelas.
233. Pasal 37
Ayat (1) Penyampaian rancangan undang‐undang yang telah disetujui bersama Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah kepada Presiden, disertai Surat Pengantar pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat. Secara formil rancangan undang‐undang menjadi Undang‐undang setelah disahkan oleh Presiden.
Cukup jelas.
Ayat (2) Tenggang waktu 7 (tujuh) hari dianggap layak untuk mempersiapkan segala hal yang berkaitan dengan teknis penulisan rancangan undang‐undang ke lembaran resmi Presiden sampai dengan penandatanganan pengesahan Undang‐Undang oleh Presiden dan penandatanganan sekaligus Pengundangan ke Lembaran Negara Republik Indonesia oleh Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
peraturan perundang‐undangan. 234. Pasal
38
Batas waktu 30 (tiga puluh) hari adalah sesuai dengan ketentuan Pasal 20 ayat (5) Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Cukup jelas.
235. Pasal 39
Cukup jelas. Cukup jelas.
236. Pasal 40
Ayat (1) Dalam pembahasan rancangan peraturan daerah di dewan perwakilan rakyat daerah, gubernur atau bupati/walikota dapat diwakilkan, kecuali dalam pengajuan dan pengambilan keputusan.
Cukup jelas
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas
237. Pasal 41
Cukup jelas Cukup jelas
238. Pasal 42
Cukup jelas Cukup jelas
239. Pasal 43
Cukup jelas Cukup jelas
240. Pasal 44
Penyempurnaan teknik dan penulisan, rancangan undang‐undang yang masih mengandung kesalahan tersebut mencakup pula format rancangan undangundang.
Cukup jelas
241. Pasal 45
Dengan diundangkan Peraturan Perundang‐undangan dalam lembaran resmi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini maka setiap orang dianggap telah mengetahuinya.
Cukup jelas
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
242. Pasal 46
Cukup jelas Cukup jelas
243. Pasal 47
Cukup jelas Cukup jelas
244. Pasal 48
Cukup jelas Cukup jelas
245. Pasal 49
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Peraturan Perundang‐undangan yang diundangkan dalam Berita Daerah misalnya Peraturan Nagari, Peraturan Desa, atau Peraturan Gampong di lingkungan daerah yang bersangkutan.
Ayat (2) Penugasan menteri disertai penyampaian Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang telah disusun dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari tersebut.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
246. Pasal 50
Berlakunya Peraturan Perundang‐undangan yang tidak, sama dengan tanggal Pengundangan, dimungkinkan, untuk persiapan sarana dan prasarana serta kesiapan aparatur pelaksana Peraturan Perundang‐undangan tersebut.
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari tersebut, DPR telah menyelesaikan penyusunan DIM.
Ayat (4) Cukup jelas.
247. Pasal 51
Yang dimaksud dengan "menyebarluaskan" adalah agar khalayak ramai mengetahui Peraturan Perundang‐undangan tersebut dan mengerti/memahami isi serta maksud‐maksud yang terkandung di
Cukup jelas
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
dalamnya Penyebarluasan Peraturan Perundang‐undangan tersebut dilakukan, misalnya, melalui media elektronik seperti Televisi Republik Indonesia dan Radio Republik Indonesia atau media cetak.
248. Pasal 52
Yang dimaksud dengan "menyebarluaskan" adalah agar khalayak ramai mengetahui Peraturan Perundang‐undangan di daerah yang bersangkutan dan mengerti/memahami isi serta maksud‐maksud yang terkandung di dalamnya. Penyebarluasan Peraturan Perundang‐undangan tersebut dilakukan, misalnya, melalui media elektronik seperti Televisi Republik Indonesia dan Radio Republik Indonesia, stasiun daerah, atau media cetak yang terbit di daerah yang bersangkutan.
Ayat (1) Yang dimaksud dengan “persidangan yang berikut” adalah masa sidang pertama DPR setelah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang‐Undang ditetapkan.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.
Ayat (5) Cukup jelas.
Ayat (6) Cukup jelas.
Ayat (7) Cukup jelas.
Ayat (8) Cukup jelas.
249. Pasal 53
Hak masyarakat dalam ketentuan ini dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat/dewan, perwakilan rakyat daerah.
Cukup jelas
250. Pasal 54
Ketentuan dalam Pasal ini menyangkut keputusan di bidang administrasi di berbagai lembaga yang ada sebelum Undang‐Undang ini diundangkan
Cukup jelas
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
dan dikenal dengan keputusan yang bersifat tidak mengatur.
251. Pasal 55
Cukup jelas Cukup jelas
252. Pasal 56
Cukup jelas Cukup jelas
253. Pasal 57
Cukup jelas Cukup jelas
254. Pasal 58
Cukup jelas Cukup jelas
255. Pasal 59
Cukup jelas
256. Pasal 60
Cukup jelas
257. Pasal 61
Cukup jelas
258. Pasal 62
Cukup jelas
259. Pasal 63
Cukup jelas
260. Pasal 64
Cukup jelas
261. Pasal 65
Cukup jelas
262. Pasal 66
Cukup jelas
263. Pasal 67
Cukup jelas
264. Pasal 68
Cukup jelas
265. Pasal Cukup jelas
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
69 266. Pasal
70
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Ketentuan ini dimaksudkan untuk menyederhanakan mekanisme penarikan kembali Rancangan Undang‐Undang.
267. Pasal 70
Cukup jelas
268. Pasal 71
Cukup jelas
269. Pasal 72
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Tenggang waktu 7 (tujuh) hari dianggap layak untuk mempersiapkan segala hal yang berkaitan dengan teknis penulisan Rancangan Undang‐Undang ke Lembaran Resmi Presiden sampai dengan penandatanganan pengesahan Undang‐Undang oleh Presiden dan penandatanganan sekaligus Pengundangan ke Lembaran Negara Republik Indonesia oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.
270. Pasal 73
Cukup jelas
271. Pasal 74
Cukup jelas
272. Pasal 75
Ayat (1) Dalam pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi di DPRD Provinsi, Gubernur dapat diwakilkan, kecuali dalam pengajuan dan
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
pengambilan keputusan.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.
273. Pasal 76
Cukup jelas.
274. Pasal 77
Cukup jelas.
275. Pasal 78
Cukup jelas.
276. Pasal 79
Cukup jelas.
277. Pasal 80
Cukup jelas.
278. Pasal 81
Dengan diundangkannya Peraturan Perundang‐undangan dalam lembaran resmi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini, setiap orang dianggap telah mengetahuinya.
279. Pasal 82
Cukup jelas.
280. Pasal 83
Cukup jelas.
281. Pasal 84
Cukup jelas.
282. Pasal 85
Cukup jelas.
283. Pasal 86
Cukup jelas.
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
284. Pasal 87
Berlakunya Peraturan Perundang‐undangan yang tidak sama dengan tanggal Pengundangan dimungkinkan untuk persiapan sarana dan prasarana serta kesiapan aparatur pelaksana Peraturan Perundang‐undangan tersebut.
285. Pasal 88
Ayat (1) Yang dimaksud dengan “penyebarluasan” adalah kegiatan menyampaikan informasi kepada masyarakat mengenai Prolegnas, Rancangan Undang‐Undang yang sedang disusun, dibahas, dan yang telah diundangkan agar masyarakat dapat memberikan masukan atau tanggapan terhadap Undang‐Undang tersebut atau memahami Undang‐Undang yang telah diundangkan. Penyebarluasan Peraturan Perundang‐undangan tersebut dilakukan, misalnya, melalui media elektronik dan/atau media cetak.
Ayat (2) Cukup jelas.
286. Pasal 89
Cukup jelas.
287. Pasal 90
Cukup jelas.
288. Pasal 91
Cukup jelas.
289. Pasal 92
Ayat (1) Yang dimaksud dengan “penyebarluasan” adalah kegiatan menyampaikan informasi kepada masyarakat mengenai Prolegda, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, atau Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang sedang disusun, dibahas, dan yang telah diundangkan agar masyarakat dapat memberikan masukan atau tanggapan terhadap Peraturan Daerah tersebut atau memahami Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang telah diundangkan. Penyebarluasan Peraturan Perundang‐undangan tersebut dilakukan, misalnya, melalui media elektronik dan/atau media cetak.
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
Ayat (2) Cukup jelas.
290. Pasal 93
Cukup jelas.
291. Pasal 94
Cukup jelas.
292. Pasal 95
Cukup jelas.
293. Pasal 96
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Termasuk dalam kelompok orang antara lain, kelompok/organisasi masyarakat, kelompok profesi, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat adat.
Ayat (4) Cukup jelas.
294. Pasal 97
Cukup jelas
295. Pasal 98
Ayat (1) Yang dimaksud dengan “Perancang Peraturan Perundangundangan” adalah pegawai negeri sipil yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak, secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melakukan kegiatan menyusun Rancangan Peraturan Perundang‐undangan dan/atau instrumen hukum lainnya sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang‐undangan.
Ayat (2) Cukup jelas.
296. Pasal 99
Cukup jelas
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
297. Pasal 100
Cukup jelas
298. Pasal 101
Cukup jelas
299. Pasal 102
Cukup jelas
300. Pasal 103
Cukup jelas
301. Pasal 104
Cukup jelas
LAMPIRAN I UNDANG–UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG
PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG–UNDANGAN
TEKNIK PENYUSUNAN NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANGUNDANG, RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI, DAN
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN/KOTA
1. Naskah Akademik adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut dalam suatu Rancangan Undang‐Undang, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat.
2. Sistematika Naskah Akademik adalah sebagai berikut: JUDUL KATA PENGANTAR DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
BAB II KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG‐
UNDANGAN TERKAIT BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP
MATERI MUATAN UNDANG‐UNDANG, PERATURAN DAERAH PROVINSI, ATAU PERATURAN DAERAH KABUPATEN/KOTA
BAB VI PENUTUP DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN: RANCANGAN PERATURAN PERUNDANG‐UNDANGAN
Uraian singkat setiap bagian: 1. BAB I PENDAHULUAN
Pendahuluan memuat latar belakang, sasaran yang akan diwujudkan, identifikasi masalah, tujuan dan kegunaan, serta metode penelitian.
A. Latar Belakang Latar belakang memuat pemikiran dan alasan‐alasan perlunya penyusunan Naskah Akademik sebagai acuan pembentukan Rancangan Undang‐Undang atau Rancangan Peraturan Daerah tertentu. Latar belakang menjelaskan mengapa pembentukan Rancangan Undang‐Undang atau Rancangan Peraturan Daerah suatu Peraturan Perundang‐undangan memerlukan suatu kajian yang mendalam dan komprehensif mengenai teori atau pemikiran ilmiah yang berkaitan dengan materi muatan Rancangan Undang‐Undang atau Rancangan Peraturan Daerah yang akan dibentuk. Pemikiran ilmiah tersebut mengarah kepada penyusunan argumentasi filosofis, sosiologis serta yuridis guna mendukung perlu atau tidak perlunya penyusunan Rancangan Undang‐Undang atau Rancangan Peraturan Daerah.
B. Identifikasi Masalah Identifikasi masalah memuat rumusan mengenai masalah apa yang
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
akan ditemukan dan diuraikan dalam Naskah Akademik tersebut. Pada dasarnya identifikasi masalah dalam suatu Naskah Akademik mencakup 4 (empat) pokok masalah, yaitu sebagai berikut: 1) Permasalahan apa yang dihadapi dalam kehidupan berbangsa,
bernegara, dan bermasyarakat serta bagaimana permasalahan tersebut dapat diatasi.
2) Mengapa perlu Rancangan Undang‐Undang atau Rancangan Peraturan Daerah sebagai dasar pemecahan masalah tersebut, yang berarti membenarkan pelibatan negara dalam penyelesaian masalah tersebut.
3) Apa yang menjadi pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, yuridis pembentukan Rancangan Undang‐Undang atau Rancangan Peraturan Daerah.
4) Apa sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan, jangkauan, dan arah pengaturan.
C. Tujuan dan Kegunaan Kegiatan Penyusunan Naskah Akademik Sesuai
dengan ruang lingkup identifikasi masalah yang dikemukakan di atas, tujuan penyusunan Naskah Akademik dirumuskan sebagai berikut: 1) Merumuskan permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan
berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat serta cara‐cara mengatasi permasalahan tersebut.
2) Merumuskan permasalahan hukum yang dihadapi sebagai alasan pembentukan Rancangan Undang‐Undang atau Rancangan Peraturan Daerah sebagai dasar hukum penyelesaian atau solusi permasalahan dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.
3) Merumuskan pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, yuridis pembentukan Rancangan Undang‐Undang atau Rancangan Peraturan Daerah.
4) Merumuskan sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan, jangkauan, dan arah pengaturan dalam Rancangan
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
Undang‐Undang atau Rancangan Peraturan Daerah. Sementara itu, kegunaan penyusunan Naskah Akademik adalah sebagai acuan atau referensi penyusunan dan pembahasan Rancangan Undang‐Undang atau Rancangan Peraturan Daerah.
D. Metode
Penyusunan Naskah Akademik pada dasarnya merupakan suatu kegiatan penelitian sehingga digunakan metode penyusunan Naskah Akademik yang berbasiskan metode penelitian hukum atau penelitian lain. Penelitian hukum dapat dilakukan melalui metode yuridis normatif dan metode yuridis empiris. Metode yuridis empiris dikenal juga dengan penelitian sosiolegal. Metode yuridis normatif dilakukan melalui studi pustaka yang menelaah (terutama) data sekunder yang berupa Peraturan Perundang‐undangan, putusan pengadilan, perjanjian, kontrak, atau dokumen hukum lainnya, serta hasil penelitian, hasil pengkajian, dan referensi lainnya. Metode yuridis normative dapat dilengkapi dengan wawancara, diskusi (focus group discussion), dan rapat dengar pendapat. Metode yuridis empiris atau sosiolegal adalah penelitian yang diawali dengan penelitian normatif atau penelaahan terhadap Peraturan Perundangundangan (normatif) yang dilanjutkan dengan observasi yang mendalam serta penyebarluasan kuesioner untuk mendapatkan data faktor nonhukum yang terkait dan yang berpengaruh terhadap Peraturan Perundang‐undangan yang diteliti.
2. BAB II KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS Bab ini memuat uraian mengenai materi yang bersifat teoretis, asas, praktik, perkembangan pemikiran, serta implikasi sosial, politik, dan ekonomi, keuangan negara dari pengaturan dalam suatu Undang‐Undang, Peraturan Daerah Provinsi, atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Bab ini dapat diuraikan dalam beberapa sub bab berikut : A. Kajian teoretis.
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
B. Kajian terhadap asas/prinsip yang terkait dengan penyusunan norma. Analisis terhadap penentuan asas‐asas ini juga memperhatikan berbagai aspek bidang kehidupan terkait dengan Peraturan Perundang‐undangan yang akan dibuat, yang berasal dari hasil penelitian.
C. Kajian terhadap praktik penyelenggaraan, kondisi yang ada, serta permasalahan yang dihadapi masyarakat.
D. Kajian terhadap implikasi penerapan sistem baru yang akan diatur dalam Undang‐Undang atau Peraturan Daerah terhadap aspek kehidupan masyarakat dan dampaknya terhadap aspek beban keuangan negara.
3. BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANGUNDANGAN TERKAIT Bab ini memuat hasil kajian terhadap Peraturan Perundang‐undangan terkait yang memuat kondisi hukum yang ada, keterkaitan Undang‐Undang dan Peraturan Daerah baru dengan Peraturan Perundang‐undangan lain, harmonisasi secara vertikal dan horizontal, serta status dari Peraturan Perundang‐undangan yang ada, termasuk Peraturan Perundang‐undangan yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku serta Peraturan Perundang‐undangan yang masih tetap berlaku karena tidak bertentangan dengan Undang‐Undang atau Peraturan Daerah yang baru. Kajian terhadap Peraturan Perundang‐undangan ini dimaksudkan untuk mengetahui kondisi hukum atau peraturan perundang‐undangan yang mengatur mengenai substansi atau materi yang akan diatur. Dalam kajian ini akan diketahui posisi dari Undang‐Undang atau Peraturan Daerah yang baru. Analisis ini dapat menggambarkan tingkat sinkronisasi, harmonisasi Peraturan Perundang‐undangan yang ada serta posisi dari Undang‐Undang dan Peraturan Daerah untuk menghindari terjadinya tumpang tindih pengaturan. Hasil dari penjelasan atau uraian ini menjadi bahan bagi penyusunan landasan
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
filosofis dan yuridis dari pembentukan Undang‐Undang, Peraturan Daerah Provinsi, atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang akan dibentuk.
4. BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS A. Landasan Filosofis
Landasan filosofis merupakan pertimbangan atau alas an yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
B. Landasan Sosiologis Landasan sosiologis merupakan pertimbangan atau alas an yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek. Landasan sosiologis sesungguhnya menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan masalah dan kebutuhan masyarakat dan negara.
C. Landasan Yuridis Landasan yuridis merupakan pertimbangan atau alas an yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat. Landasan yuridis menyangkut persoalan hukum yang berkaitan dengan substansi atau materi yang diatur sehingga perlu dibentuk Peraturan Perundang‐Undangan yang baru. Beberapa persoalan hukum itu, antara lain, peraturan yang sudah ketinggalan, peraturan yang tidak harmonis atau tumpang tindih, jenis peraturan yang lebih rendah dari Undang‐Undang sehingga daya berlakunya lemah, peraturannya sudah ada tetapi tidak memadai, atau
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
peraturannya memang sama sekali belum ada. 5. BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP
MATERI MUATAN UNDANG‐UNDANG, PERATURAN DAERAH PROVINSI, ATAU PERATURAN DAERAH KABUPATEN/KOTA
Naskah Akademik pada akhirnya berfungsi mengarahkan ruang lingkup materi muatan Rancangan Undang‐Undang, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, atau Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang akan dibentuk. Dalam Bab ini, sebelum menguraikan ruang lingkup materi muatan, dirumuskan sasaran yang akan diwujudkan, arah dan jangkauan pengaturan. Materi didasarkan pada ulasan yang telah dikemukakan dalam bab sebelumnya. Selanjutnya mengenai ruang lingkup materi pada dasarnya mencakup: A. ketentuan umum memuat rumusan akademik mengenai
pengertian istilah, dan frasa; B. materi yang akan diatur; C. ketentuan sanksi; dan D. ketentuan peralihan.
6. BAB VI PENUTUP Bab penutup terdiri atas subbab simpulan dan saran. A. Simpulan Simpulan memuat rangkuman pokok pikiran yang berkaitan dengan praktik penyelenggaraan, pokok elaborasi teori, dan asas yang telah diuraikan dalam bab sebelumnya. B. Saran Saran memuat antara lain: 1. Perlunya pemilahan substansi Naskah Akademik dalam suatu
Peraturan Perundang‐undangan atau Peraturan Perundangundangan di bawahnya.
2. Rekomendasi tentang skala prioritas penyusunan Rancangan Undang‐Undang/Rancangan Peraturan Daerah dalam Program
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
Legislasi Nasional/Program Legislasi Daerah. 3. Kegiatan lain yang diperlukan untuk mendukung penyempurnaan
penyusunan Naskah Akademik lebih lanjut. 7. DAFTAR PUSTAKA
Daftar pustaka memuat buku, Peraturan Perundangundangan, dan jurnal yang menjadi sumber bahan penyusunan Naskah Akademik.
8. LAMPIRAN RANCANGAN PERATURAN PERUNDANG‐UNDANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd. DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
LAMPIRAN UNDANG‐UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG
PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG‐UNDANGAN
LAMPIRAN II UNDANG–UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG
PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG–UNDANGAN
SISTEMATIKA TEKNIK PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG‐UNDANGAN
TEKNIK PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG‐UNDANGAN
SISTEMATIKA BAB I KERANGKA PERATURAN PERUNDANG‐UNDANGAN
A. JUDUL B. PEMBUKAAN
1. Frase Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa 2. Jabatan Pembentuk Peraturan Perundang‐undangan 3. Konsiderans 4. Dasar Hukum 5. Diktum
C. BATANG TUBUH 1. Ketentuan Umum 2. Materi Pokok yang Diatur
BAB I KERANGKA PERATURAN PERUNDANG–UNDANGAN A. JUDUL B. PEMBUKAAN
1. Frasa Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa 2. Jabatan Pembentuk Peraturan Perundang‐undangan 3. Konsiderans 4. Dasar Hukum 5. Diktum
C. BATANG TUBUH 1. Ketentuan Umum 2. Materi Pokok yang Diatur
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
3. Ketentuan Pidana (Jika diperlukan) 4. Ketentuan Peralihan (Jika diperlukan) 5. Ketentuan Penutup
D. PENUTUP E.PENJELASAN (Jika diperlukan) F. LAMPIRAN (Jika diperlukan)
BAB II HAL‐HAL KHUSUS
A. PENDELEGASIAN KEWENANGAN B. PENYIDIKAN C. PENCABUTAN D. PERUBAHAN PERATURAN PERUNDANG‐UNDANGAN E.PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG‐
UNDANG MENJADI UNDANG‐UNDANG F. PENGESAHAN PERJANJIAN INTERNASIONAL
BAB III RAGAM BAHASA PERATURAN PERUNDANG‐UNDANGAN
A. BAHASA PERATURAN PERUNDANG‐UNDANGAN B. PILIHAN KATA ATAU ISTILAH C. TEKNIK PENGACUAN
BAB IV BENTUK RANCANGAN PERATURAN PERUNDANG‐UNDANGAN
A. BENTUK RANCANGAN UNDANG‐UNDANG PADA UMUMNYA B. BENTUK RANCANGAN UNDANG‐UNDANG PENETAPAN
PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG‐UNDANG MENJADI UNDANGUNDANG.
C. BENTUK RANCANGAN UNDANG‐UNDANG PENGESAHAN PERJANJIAN INTERNASIONAL YANG TIDAK MENGGUNAKAN BAHASA INDONESIA SEBAGAI SALAH SATU BAHASA RESMI
D. BENTUK RANCANGAN UNDANG‐UNDANG PERUBAHAN UNDANGUNDANG
E.BENTUK RANCANGAN UNDANG‐UNDANG PENCABUTAN
3. Ketentuan Pidana (jika diperlukan) 4. Ketentuan Peralihan (jika diperlukan) 5. Ketentuan Penutup
D. PENUTUP E. PENJELASAN (jika diperlukan) F. LAMPIRAN (jika diperlukan)
BAB II HAL–HAL KHUSUS
A. PENDELEGASIAN KEWENANGAN B. PENYIDIKAN C. PENCABUTAN D. PERUBAHAN PERATURAN PERUNDANG–UNDANGAN E. PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG–
UNDANG MENJADI UNDANG–UNDANG F. PENGESAHAN PERJANJIAN INTERNASIONAL
BAB III RAGAM BAHASA PERATURAN PERUNDANG–UNDANGAN
A. BAHASA PERATURAN PERUNDANG–UNDANGAN B. PILIHAN KATA ATAU ISTILAH C. TEKNIK PENGACUAN
BAB IV BENTUK RANCANGAN PERATURAN PERUNDANG‐UNDANGAN
A. BENTUK RANCANGAN UNDANG‐UNDANG PADA UMUMNYA B. BENTUK RANCANGAN UNDANG–UNDANG PENETAPAN PERATURAN
PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG‐UNDANG MENJADI UNDANG–UNDANG
C. BENTUK RANCANGAN UNDANG–UNDANG PENGESAHAN PERJANJIAN INTERNASIONAL YANG TIDAK MENGGUNAKAN BAHASA INDONESIA SEBAGAI SALAH SATU BAHASA RESMI
D. BENTUK RANCANGAN UNDANG–UNDANG PERUBAHAN UNDANG–UNDANG
E. BENTUK RANCANGAN UNDANG–UNDANG PENCABUTAN UNDANG–
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
UNDANGUNDANG F. BENTUK RANCANGAN UNDANG‐UNDANG PENCABUTAN
PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG‐UNDANG G. BENTUK RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI
UNDANG‐UNDANG H. BENTUK RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH I. BENTUK RANCANGAN PERATURAN PRESIDEN J. BENTUK RANCANGAN PERATURAN DAERAH
UNDANG F. BENTUK RANCANGAN UNDANG–UNDANG PENCABUTAN
PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG–UNDANG G. BENTUK RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI
UNDANG‐UNDANG H. BENTUK RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH I. BENTUK RANCANGAN PERATURAN PRESIDEN J. BENTUK RANCANGAN PERATURAN MENTERI K. BENTUK RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI L. BENTUK RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN/KOTA
BAB I KERANGKA PERATURAN PERUNDANG‐UNDANGAN BAB I KERANGKA PERATURAN PERUNDANG‐UNDANGAN 1. Kerangka Peraturan Perundang‐undangan terdiri atas:
A. Judul; B. Pembukaan; C. Batang Tubuh; D. Penutup; E. Penjelasan (Jika diperlukan); F. Lampiran (Jika diperlukan).
1. Kerangka Peraturan Perundang–undangan terdiri atas: A. Judul; B. Pembukaan; C. Batang Tubuh; D. Penutup; E. Penjelasan (jika diperlukan); F. Lampiran (jika diperlukan).
A. JUDUL A. JUDUL 2. Judul Peraturan Perundang‐undangan memuat keterangan
mengenai jenis, nomor, tahun pengundangan atau penetapan, dan nama Peraturan Perundang‐undangan.
2. Judul Peraturan Perundang–undangan memuat keterangan mengenai jenis, nomor, tahun pengundangan atau penetapan, dan nama Peraturan Perundang–undangan.
3. Nama Peraturan Perundang‐undangan dibuat secara singkat dan mencerminkan isi Peraturan Perundang‐undangan.
3. Nama Peraturan Perundang–undangan dibuat secara singkat dengan hanya menggunakan 1 (satu) kata atau frasa tetapi secara esensial maknanya telah dan mencerminkan isi Peraturan Perundang‐undangan. Contoh nama Peraturan Perundang‐undangan yang menggunakan 1 (satu) kata: − Paten; − Yayasan; − Ketenagalistrikan.
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
Contoh nama Peraturan Perundang‐undangan yang menggunakan frasa: − Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum; − Pajak Daerah dan Retribusi Daerah; − Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu
Kebangsaan. 4. Judul ditulis seluruhnya dengan huruf kapital yang diletakkan di
tengah marjin tanpa diakhiri tanda baca. Contoh:
UNDANG‐UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2002
TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
4. Judul Peraturan Perundang‐undangan ditulis seluruhnya dengan huruf kapital yang diletakkan di tengah marjin tanpa diakhiri tanda baca. Contoh: a.
UNDANG‐UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2011
TENTANG KEIMIGRASIAN
b. PERATURAN DAERAH PROVINSI
DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 8 TAHUN 2007
TENTANG KETERTIBAN UMUM
c. QANUN KABUPATEN ACEH JAYA
NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG
PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN d.
PERATURAN DAERAH PROVINSI PAPUA NOMOR 5 TAHUN 2010
TENTANG KEDUDUKAN PROTOKOLER PIMPINAN DAN ANGGOTA
MAJELIS RAKYAT PAPUA
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
e.
PERATURAN DAERAH KHUSUS PROVINSI PAPUA NOMOR 23 TAHUN 2008
TENTANG HAK ULAYAT MASYARAKAT HUKUM ADAT DAN HAK
PERORANGAN WARGA MASYARAKAT HUKUM ADAT ATAS TANAH 5. Pada judul Peraturan Perundang‐undangan perubahan
ditambahkan frase perubahan atas depan nama Peraturan Perundang‐undangan yang diubah. Contoh:
UNDANG‐UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003
TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG‐UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002
TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
5. Judul Peraturan Perundang‐undangan tidak boleh ditambah dengan singkatan atau akronim. Contoh yang tidak tepat dengan menambah singkatan: a.
UNDANG‐UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR ... TAHUN ...
TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA (APBN)
b. PERATURAN DAERAH KOTA PEKANBARU
NOMOR 9 TAHUN 2005 TENTANG
LEMBAGA PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELURAHAN (LPMK)
Contoh yang tidak tepat dengan menggunakan akronim:
PERATURAN DAERAH KABUPATEN ... NOMOR ... TAHUN ...
TENTANG PENYUSUNAN PROGRAM LEGISLASI DAERAH (PROLEGDA)
6. Jika Peraturan Perundang‐undangan telah diubah lebih dari 1 (satu) kali, di antara kata perubahan dan kata atas disisipkan keterangan yang menunjukkan berapa kali perubahan tersebut telah dilakukan, tanpa merinci perubahan sebelumnya. Contoh:
6. Pada nama Peraturan Perundang–undangan perubahan ditambahkan frasa perubahan atas di depan judul Peraturan Perundang‐undangan yang diubah. Contoh: a.
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
UNDANG‐UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR…TAHUN…
TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS
UNDANG–UNDANG NOMOR…TAHUN….TENTANG ….
UNDANG‐UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2011
TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG‐UNDANG NOMOR 2 TAHUN
2008 TENTANG PARTAI POLITIK b.
PERATURAN DAERAH KABUPATEN JAYAPURA NOMOR 14 TAHUN 2009
TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH
NOMOR 2 TAHUN 2007 TENTANG POKOK‐POKOK PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH
7. Jika Peraturan Perundang‐undangan yang diubah mempunyai nama singkat, Peraturan Perundang‐undangan perubahan dapat menggunakan nama singkat Peraturan Perundang‐undangan yang diubah. Contoh:
UNDANG‐UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR ... TAHUN ...
TENTANG PERUBAHAN ATAS
UNDANG‐UNDANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI 1984
7. Jika Peraturan Perundang–undangan telah diubah lebih dari 1 (satu) kali, di antara kata perubahan dan kata atas disisipkan keterangan yang menunjukkan berapa kali perubahan tersebut telah dilakukan, tanpa merinci perubahan sebelumnya. Contoh:
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007
TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 24 TAHUN 2004 TENTANG KEDUDUKAN PROTOKOLER DAN
KEUANGAN ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH
Contoh Peraturan Daerah: PERATURAN DAERAH KABUPATEN MINAHASA TENGGARA
NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN DAERAH NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA
KERJA DINAS DAERAH KABUPATEN MINAHASA TENGGARA
8. Pada judul Peraturan Perundang‐undangan pencabutan disisipkan 8. Jika Peraturan Perundang–undangan yang diubah mempunyai nama
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
kata pencabutan di depan nama Peraturan Perundang‐undangan yang dicabut. Contoh:
UNDANG‐UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUIN 1985
TENTANG PENCABUTAN UNDANG‐UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1970
TENTANG PEMBENTUKAN DAERAH PERDAGANGAN BEBAS DAN PELABUHAN BEBAS SABANG
singkat, Peraturan Perundang–undangan perubahan dapat menggunakan nama singkat Peraturan Perundang–undangan yang diubah.
9. Pada judul Peraturan Pemerintah Pengganti Undang‐Undang (Perpu) yang ditetapkan menjadi Undang‐Undang, ditambahkan kata penetapan di depan nama Peraturan Perundang‐undangan yang ditetapkan dan diakhiri dengan frase menjadi Undang‐Undang. Contoh:
UNDANG‐UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2003
TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG‐UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA
TERORISME MENJADI UNDANG‐UNDANG
9. Pada nama Peraturan Perundang–undangan pencabutan ditambahkan kata pencabutan di depan judul Peraturan Perundang–undangan yang dicabut. Contoh:
UNDANG‐UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2010
TENTANG PENCABUTAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANGUNDANG
NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG‐UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
Contoh Peraturan Daerah: PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN
NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG
PENCABUTAN PERATURAN DAERAH PROPINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 4 TAHUN 2003 TENTANG RETRIBUSI IZIN
TRAYEK DAN IZIN ANGKUTAN KHUSUS DI PERAIRAN DARATAN LINTAS KABUPATEN ATAU KOTA
10. Pada judul Peraturan Perundang‐undangan pengesahan perjanjian 10. Pada nama Peraturan Pemerintah Pengganti Undang–Undang (Perpu)
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
atau persetujuan internasional, ditambahkan kata pengesahan di depan nama perjanjian atau persetujuan internasional yang akan disahkan.
yang ditetapkan menjadi Undang–Undang, ditambahkan kata penetapan di depan judul Peraturan Perundang–undangan yang ditetapkan dan diakhiri dengan frasa menjadi Undang‐Undang. Contoh:
UNDANG–UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2003
TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG– UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME MENJADI UNDANG–UNDANG
11. Jika dalam perjanjian atau persetujuan internasional Bahasa Indonesia digunakan sebagai teks resmi, nama perjanjian atau persetujuan ditulis dalam Bahasa Indonesia, yang diikuti oleh teks resmi bahasa asing yang ditulis dengan huruf cetak miring dan diletakkan di antara tanda baca kurung. Contoh:
UNDANG‐UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1999
TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN
AUSTRALIA MENGENAI BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA
(TREATY BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND AUSTRALIA ON MUTUAL LEGAL ASSISTANCE IN CRIMINAL MATTERS)
11. Pada nama Peraturan Perundang–undangan pengesahan perjanjian atau persetujuan internasional, ditambahkan kata pengesahan di depan nama perjanjian atau persetujuan internasional yang akan disahkan. Contoh:
UNDANG‐UNDANG NOMOR 47 TAHUN 2007 TENTANG
PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA TENTANG KERANGKA KERJA SAMA KEAMANAN (AGREEMENT BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND
AUSTRALIA ON THE FRAMEWORK FOR SECURITY COOPERATION)
12. Jika dalam, perjanjian atau persetujuan internasional, Bahasa Indonesia tidak digunakan sebagai teks resmi, nama perjanjian atau persetujuan ditulis dalam Bahasa Inggris dengan huruf cetak miring, dan diikuti oleh terjemahannya dalam Bahasa Indonesia yang diletakkan di antara tanda baca kurung. Contoh:
UNDANG‐UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1997
12. Jika dalam perjanjian atau persetujuan internasional bahasa Indonesia digunakan sebagai salah satu teks resmi, nama perjanjian atau persetujuan ditulis dalam bahasa Indonesia, yang diikuti oleh bahasa asing dari teks resmi yang ditulis dengan huruf cetak miring dan diletakkan di antara tanda baca kurung. Contoh:
UNDANG‐UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2010
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
TENTANG PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST ILLICIT TRAFFIC
IN NARCOTIC DRUGS AND PSYCHOTROPIC SUBTANCES, 1998 (KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA‐BANGSA TENTANG
PEMBERANTASAN PEREDARAN GELAP NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA, 1998)
TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK SINGAPURA TENTANG PENETAPAN GARIS BATAS LAUT WILAYAH KEDUA NEGARA DI BAGIAN BARAT SELAT SINGAPURA,
2009 (TREATY BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE REPUBLIC OF SINGAPORE RELATING DELIMITATION OF THE
TERRITORIAL SEAS OF THE TWO COUNTRIES IN THE WESTERN PART OF THE STRAIT OF SINGAPORE, 2009)
13. Jika dalam perjanjian atau persetujuan internasional, bahasa
Indonesia tidak digunakan sebagai teks resmi, nama perjanjian atau persetujuan ditulis dalam bahasa Inggris dengan huruf cetak miring, dan diikuti oleh terjemahannya dalam bahasa Indonesia yang diletakkan di antara tanda baca kurung. Contoh:
UNDANG–UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2009
TENTANG PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST
TRANSNATIONAL ORGANIZED CRIME (KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA–BANGSA MENENTANG TINDAK
PIDANA TRANSNASIONAL YANG TERORGANISASI)
B. PEMBUKAAN 13. Pembukaan Peraturan Perundang‐undangan terdiri atas:
1. Frase Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa; 2. Jabatan Pembentuk Peraturan Perundang‐undangan; 3. Konsiderans; 4. Dasar Hukum; dan 5. Diktum.
B. PEMBUKAAN 14. Pembukaan Peraturan Perundang–undangan terdiri atas:
a. Frasa Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa; b. Jabatan pembentuk Peraturan Perundang‐undangan; c. Konsiderans; d. Dasar Hukum; dan e. Diktum.
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
B.1 Frase Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa 14. Pada pembukaan tiap jenis Peraturan Perundang‐undangan
sebelum nama jabatan pembentuk Peraturan Perundang‐undangan dicantumkan frase DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA yang ditulis seluruhnya dengan huruf kapital yang diletakkan di tengah marjin.
B.1. Frasa Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa 15. Pada pembukaan tiap jenis Peraturan Perundang–undangan
sebelum nama jabatan pembentuk Peraturan Perundang–undangan dicantumkan Frasa Dengan Rahmat Tuhan yang Maha Esa yang ditulis seluruhnya dengan huruf kapital yang diletakkan di tengah marjin.
B.2. Jabatan Pembentuk Peraturan Perundang‐undangan 15. Jabatan pembentuk Peraturan Perundang‐undangan ditulis
seluruhnya dengan huruf kapital yang diletakkan di tengah marjin dan diakhiri dengan tanda baca koma.
B.2. Jabatan Pembentuk Peraturan Perundang‐undangan 16. Jabatan pembentuk Peraturan Perundang–undangan ditulis
seluruhnya dengan huruf kapital yang diletakkan di tengah marjin dan diakhiri dengan tanda baca koma. Contoh jabatan pembentuk Undang‐Undang: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Contoh jabatan pembentuk Peraturan Daerah Provinsi: GUBERNUR JAWA BARAT, Contoh jabatan pembentuk Peraturan Daerah Kabupaten: BUPATI GUNUNG KIDUL, Contoh jabatan pembentuk Peraturan Daerah Kota: WALIKOTA DUMAI,
B.3. Konsiderans B.3. Konsiderans 16. Konsiderans diawali dengan kata Menimbang. 17. Konsiderans diawali dengan kata Menimbang. 17. Konsiderans memuat uraian singkat mengenai pokok‐pokok pikiran
yang menjadi latar belakang dan alasan pembuatan Peraturan Perundang‐undangan.
18. Konsiderans memuat uraian singkat mengenai pokok pikiran yang menjadi pertimbangan dan alasan pembentukan Peraturan Perundang–undangan.
18. Pokok‐pokok pikiran pada konsiderans Undang‐Undang atau peraturan daerah memuat unsur filosofis, yuridis, dan sosiologis yang menjadi latar belakang pembuatannya.
19. Pokok pikiran pada konsiderans Undang–Undang, Peraturan Daerah Provinsi, atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota memuat unsure filosofis, sosiologis, dan yuridis yang menjadi pertimbangan dan alasan
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
pembentukannya yang penulisannya ditempatkan secara berurutan dari filosofis, sosiologis, dan yuridis. − Unsur filosofis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk
mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
− Unsur sosiologis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek.
− Unsur yuridis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat. Contoh: Undang‐Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas Menimbang : a. bahwa perekonomian nasional yang
diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional, perlu didukung oleh kelembagaan perekonomian yang kokoh dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat;
b. bahwa dalam rangka lebih meningkatkan pembangunan perekonomian nasional dan sekaligus memberikan landasan yang kokoh bagi dunia usaha dalam menghadapi perkembangan perekonomian dunia dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di era globalisasi pada masa mendatang, perlu didukung oleh suatu
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
undang‐undang yang mengatur tentang perseroan terbatas yang dapat menjamin terselenggaranya iklim dunia usaha yang kondusif;
c. bahwa perseroan terbatas sebagai salah satu pilar pembangunan perekonomian nasional perlu diberikan landasan hukum untuk lebih memacu pembangunan nasional yang disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan;
d. bahwa Undang‐Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat sehingga perlu diganti dengan undang‐undang yang baru;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu membentuk Undang‐Undang tentang Perseroan Terbatas;
Contoh: Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 4 Tahun 2009 tentang Sistem Kesehatan Daerah Menimbang: a. bahwa derajat kesehatan masyarakat yang semakin
tinggi merupakan investasi strategis pada sumber daya manusia supaya semakin produktif dari waktu ke waktu;
b. bahwa untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat perlu diselenggarakan pembangunan kesehatan dengan batas‐batas peran, fungsi, tanggung jawab, dan kewenangan yang jelas, akuntabel, berkeadilan, merata, bermutu, berhasil guna dan berdaya guna;
c. bahwa untuk memberikan arah, landasan dan kepastian hukum kepada semua pihak yang
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
terlibat dalam pembangunan kesehatan, maka diperlukan pengaturan tentang tatanan penyelenggaraan pembangunan kesehatan;
19. Pokok‐pokok pikiran yang hanya menyatakan bahwa Peraturan Perundang‐undangan dianggap perlu untuk dibuat adalah kurang tepat karena tidak mencerminkan tentang latar belakang dan alasan dibuatnya peraturan perundang‐undangan tersebut. Lihat juga Nomor 24.
20. Pokok pikiran yang hanya menyatakan bahwa Peraturan Perundangundangan dianggap perlu untuk dibentuk adalah kurang tepat karena tidak mencerminkan pertimbangan dan alasan dibentuknya Peraturan Perundang–undangan tersebut. Lihat juga Nomor 24.
20. Jika konsiderans memuat lebih dari satu pokok pikiran, tiap‐tiap pokok pikiran dirumuskan dalam rangkaian kalimat yang merupakan kesatuan pengertian.
21. Jika konsiderans memuat lebih dari satu pokok pikiran, setiap pokok pikiran dirumuskan dalam rangkaian kalimat yang merupakan kesatuan pengertian.
21. Tiap‐tiap pokok pikiran diawali dengan huruf abjad, dan dirumuskan dalam satu kalimat yang diawali dengan kata bahwa dan diakhiri dengan tanda baca titik koma. Contoh: Menimbang: a. bahwa….;
b. bahwa….; c. bahwa….;
22. Tiap‐tiap pokok pikiran diawali dengan huruf abjad, dan dirumuskan dalam satu kalimat yang diawali dengan kata bahwa dan diakhiri dengan tanda baca titik koma. Contoh: Menimbang: a. bahwa …;
b. bahwa ...; c. bahwa ...; d. bahwa …;
22. Jika konsiderans memuat lebih dari satu pertimbangan, rumusan butir pertimbangan terakhir berbunyi sebagai berikut: Contoh: Menimbang: a. bahwa.....;
b. bahwa….; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b perlu membentuk Undang‐Undang (Peraturan Daerah) tentang…;
Contoh untuk Peraturan Perundang‐undangan di bawah Undang‐Undang atau peraturan daerah: Menimbang:a. bahwa…;
b. bahwa…;
23. Jika konsiderans memuat lebih dari satu pertimbangan, rumusan butir pertimbangan terakhir berbunyi sebagai berikut: Contoh 1: Konsiderans Undang‐Undang Menimbang: a. bahwa…;
b. bahwa ...; c. bahwa …; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu membentuk Undang‐Undang tentang ...;
Contoh 2: Konsiderans Peraturan Daerah Provinsi Menimbang: a. bahwa …;
b. bahwa …; c. bahwa ...;
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b perlu menetapkan Peraturan Pemerintah (Peraturan Presiden);.
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang ...;
23. Konsiderans Peraturan Pemerintah pada dasarnya cukup memuat satu pertimbangan yang berisi uraian ringkas mengenai perlunya melaksanakan, ketentuan pasal atau beberapa pasal dari Undang‐Undang yang memerintahkan pembuatan Peraturan Pemerintah tersebut. Lihat juga Nomor 19.
24. Konsiderans Peraturan Pemerintah cukup memuat satu pertimbangan yang berisi uraian ringkas mengenai perlunya melaksanakan ketentuan pasal atau beberapa pasal dari Undang‐Undang yang memerintahkan pembentukan Peraturan Pemerintah tersebut dengan menunjuk pasal atau beberapa pasal dari Undang‐Undang yang memerintahkan pembentukannya. Lihat juga Nomor 19. Contoh: Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2011 tentang Manajemen dan Rekayasa, Analisis Dampak, serta Manajemen Kebutuhan Lalu Lintas. Menimbang: bahwa untuk mengoptimalkan penggunaan jaringan
jalan dan gerakan lalu lintas dalam rangka menjamin keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas dan angkutan jalan, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 93, Pasal 101, Pasal 102 ayat (3), Pasal 133 ayat (5) dan Pasal 136 ayat (3) Undang‐Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Manajemen dan Rekayasa, Analisis Dampak, serta Manajemen Kebutuhan Lalu Lintas;
24. Konsiderans Peraturan Pemerintah cukup memuat satu pokok pikiran yang isinya menunjuk pasal (‐pasal) dari Undang‐Undang yang memerintahkan pembuatannya. Lihat juga Nomor 20. Contoh:
25. Konsiderans Peraturan Presiden cukup memuat satu pertimbangan yang berisi uraian ringkas mengenai perlunya melaksanakan ketentuan pasal atau beberapa pasal dari Undang–Undang atau Peraturan Pemerintah yang memerintahkan pembentukan Peraturan Presiden tersebut dengan menunjuk pasal atau beberapa pasal dari Undang–Undang atau Peraturan Pemerintah yang memerintahkan pembentukannya. Contoh:
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 34 ayat (3) Undang‐Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat;
Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2011 tentang Penggunaan Kawasan Hutan Lindung untuk Penambangan Bawah Tanah. Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 5 ayat (2)
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan, perlu menetapkan Peraturan Presiden tentang Penggunaan Kawasan Hutan Lindung untuk Penambangan Bawah Tanah;
26. Konsiderans Peraturan Presiden untuk menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan memuat unsur filosofis, sosiologis, dan yuridis yang menjadi pertimbangan dan alasan pembentukan Peraturan Presiden.
27. Konsiderans Peraturan Daerah cukup memuat satu pertimbangan yang berisi uraian ringkas mengenai perlunya melaksanakan ketentuan pasal atau beberapa pasal dari Undang–Undang atau Peraturan Pemerintah yang memerintahkan pembentukan Peraturan Daerah tersebut dengan menunjuk pasal atau beberapa pasal dari Undang–Undang atau Peraturan Pemerintah yang memerintahkan pembentukannya. Contoh: Peraturan Daerah Kabupaten Bangka Barat Nomor 8 Tahun 2010 tentang Hutan Kota Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Hutan Kota;
B.4. Dasar Hukum B.4. Dasar Hukum 25. Dasar hukum diawali dengan kata Mengingat. 28. Dasar hukum diawali dengan kata Mengingat.
Dasar hukum memuat: Dasar kewenangan pembentukan Peraturan Perundangundangan; dan Peraturan Perundang‐undangan yang memerintahkan pembentukan Peraturan Perundang‐undangan.
26. Dasar hukum memuat dasar kewenangan pembuatan Peraturan Perundangundangan dan Peraturan Perundang‐undangan yang
29. Dasar hukum pembentukan Undang‐Undang yang berasal dari DPR adalah Pasal 20 dan Pasal 21 Undang‐Undang Dasar Negara Republik
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
memerintahkan pembuatan Peraturan Perundang‐undangan tersebut.
Indonesia Tahun 1945.
27. Peraturan Perundang‐undangan yang digunakan sebagai dasar hukum hanya Peraturan Perundang‐undangan yang tingkatannya sama atau lebih tinggi.
30. Dasar hukum pembentukan Undang‐Undang yang berasal dari Presiden adalah Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
28. Peraturan Perundang‐undangan yang akan dicabut dengan Peraturan Perundangundangan yang akan dibentuk atau Peraturan Perundang‐undangan yang sudah diundangkan tetapi belum resmi berlaku, tidak dicantumkan sebagai dasar hukum.
31. Dasar hukum pembentukan Undang‐Undang yang berasal dari DPR atas usul DPD adalah Pasal 20 dan Pasal 22D ayat (1) Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
29. Jika jumlah Peraturan Perundang‐undangan yang dijadikan dasar hukum lebih dari satu, urutan pencantuman perlu memperhatikan tata urutan Peraturan Perundangundangan dan jika tingkatannya sama disusun secara kronologis berdasarkan saat pengundangan atau penetapannya.
32. Jika Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memerintahkan langsung untuk membentuk Undang‐Undang, pasal yang memerintahkan dicantumkan dalam dasar hukum. Contoh: Mengingat: Pasal 15, Pasal 20, dan Pasal 21 Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Contoh tersebut terdapat dalam Undang‐Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.
30. Dasar hukum yang diambil dari pasal (‐pasal) dalam Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditulis dengan menyebutkan pasal atau beberapa pasal yang berkaitan Frase Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditulis sesudah penyebutan pasal terakhir dan kedua huruf u ditulis dengan huruf kapital. Contoh: Mengingat: Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
33. Jika materi yang diatur dalam Undang‐Undang yang akan dibentuk merupakan penjabaran dari pasal atau beberapa pasal Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pasal tersebut dicantumkan sebagai dasar hukum. Contoh 1 (RUU yang berasal dari DPR): Mengingat: Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28C ayat (1), Pasal 28H ayat (1), ayat (2), ayat (4), Pasal 33 ayat (3), Pasal 34 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Contoh tersebut terdapat dalam Undang‐Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman. Contoh 2 (RUU yang berasal dari Presiden):
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
Mengingat: Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 26 ayat (2), dan Pasal 28E ayat (1) Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Contoh tersebut terdapat dalam Undang‐Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian.
31. Dasar hukum yang bukan Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak perlu mencantumkan pasal, tetapi cukup mencantumkan nama judul Peraturan Perundang‐undangan. Penulisan undang‐undang, kedua huruf u ditulis dengan huruf kapital. Undang‐Undang, Peraturan Pemerintah, dan Peraturan Presiden perlu dilengkapi dengan pencantuman Lembaran Negara Republik Indonesia dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia yang diletakkan di antara tanda baca kurung. Contoh: Mengingat: 1. ….;
2. Undang‐Undang Nomor 43 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 4316);
34. Dasar hukum pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang‐Undang adalah Pasal 22 ayat (1) Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
32. Dasar hukum yang berasal dari peraturan perundang‐undangan jaman Hindia Belanda atau yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda sampai dengan tanggal 27 Desember 1949, ditulis lebih dulu terjemahannya dalam Bahasa Indonesia dan kemudian judul asli Bahasa Belanda dan dilengkapi dengan tahun dan nomor Staadsblad yang dicetak miring di antara tanda baca kurung.
Contoh: Mengingat: 1. Kitab Undang‐Undang Hukum Dagang (Wetboek van
Koophandel, Staatsblad 1847);
35. Dasar hukum pembentukan Undang‐Undang tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang‐Undang menjadi Undang‐Undang adalah Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 22 ayat (2) Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
33. Cara penulisan sebagaimana dimaksud dalam Nomor 32 berlaku juga untuk pencabutan peraturan perundang‐undangan yang berasal dari jaman Hindia Belanda atau yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda sampai dengan tanggal 27 Desember
36. Dasar hukum pembentukan Undang‐Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang‐Undang adalah Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 22 ayat (3) Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
1949. 34. Jika dasar hukum memuat lebih dari satu Peraturan Perundang‐
undangan, tiap dasar hukum diawali dengan angka Arab 1, 2, 3, dan seterusnya, dan diakhiri dengan tanda baca titik koma. Contoh: Mengingat: 1. ….;
2. ….; 3. ….;
37. Dasar hukum pembentukan Peraturan Pemerintah adalah Pasal 5 ayat (2) Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
38. Dasar hukum pembentukan Peraturan Presiden adalah Pasal 4 ayat (1) Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
39. Dasar hukum pembentukan Peraturan Daerah adalah Pasal 18 ayat (6) Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang‐Undang tentang Pembentukan Daerah dan Undang‐Undang tentang Pemerintahan Daerah.
40. Jika terdapat Peraturan Perundang–undangan di bawah Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang memerintahkan secara langsung pembentukan Peraturan Perundang–undangan, Peraturan Perundang–undangan tersebut dimuat di dalam dasar hukum. Contoh: Mengingat: 1. Pasal 5 ayat (2) Undang‐Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang‐Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang
Keterbukaan Informasi Publik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 61, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4846);
Contoh ini terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Undang‐Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
41. Peraturan Perundang–undangan yang digunakan sebagai dasar hukum hanya Peraturan Perundang–undangan yang tingkatannya sama atau lebih tinggi.
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
42. Peraturan Perundang‐undangan yang akan dicabut dengan Peraturan Perundang‐undangan yang akan dibentuk, Peraturan Perundang–undangan yang sudah diundangkan tetapi belum resmi berlaku, tidak dicantumkan dalam dasar hukum.
43. Jika jumlah Peraturan Perundang–undangan yang dijadikan dasar hukum lebih dari satu, urutan pencantuman perlu memperhatikan tata urutan Peraturan Perundang–undangan dan jika tingkatannya sama disusun secara kronologis berdasarkan saat pengundanganatau penetapannya.
44. Dasar hukum yang diambil dari pasal atau beberapa pasal dalam Undang–Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditulis dengan menyebutkan pasal atau beberapa pasal. Frasa Undang–Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditulis sesudah penyebutan pasal terakhir dan kedua huruf u ditulis dengan huruf kapital. Contoh: Mengingat: Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
45. Dasar hukum yang bukan Undang–Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak perlu mencantumkan pasal, tetapi cukup mencantumkan jenis dan nama Peraturan Perundang–undangan tanpa mencantumkan frasa Republik Indonesia.
46. Penulisan jenis Peraturan Perundang–undangan dan rancangan Peraturan Perundang–undangan, diawali dengan huruf kapital. Contoh : Undang‐Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Rancangan Undang‐Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, Rancangan Peraturan Presiden, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
47. Penulisan Undang–Undang dan Peraturan Pemerintah, dalam dasar hukum dilengkapi dengan pencantuman Lembaran Negara Republik Indonesia dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia yang
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
diletakkan di antara tanda baca kurung. Contoh : Mengingat: 1. …;
2. Undang‐Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5216);
48. Penulisan Peraturan Presiden tentang pengesahan perjanjian internasional dan Peraturan Presiden tentang pernyataan keadaan bahaya dalam dasar hukum dilengkapi dengan pencantuman Lembaran Negara Republik Indonesia dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia yang diletakkan di antara tanda baca kurung.
49. Penulisan Peraturan Daerah dalam dasar hukum dilengkapi dengan pencantuman Lembaran Daerah Provinsi, Kabupaten/Kota dan Tambahan Lembaran Daerah Provinsi, Kabupaten/Kota yang diletakkan di antara tanda baca kurung. Contoh: Qanun Kabupaten Aceh Jaya Nomor 3 Tahun 2010 tentang Susunan dan Organisasi dan Tata Kerja Perangkat Daerah Kabupaten Aceh Jaya (Lembaran Daerah Kabupaten Aceh Jaya Tahun 2010 Nomor 3, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Aceh Jaya Nomor 2)
50. Dasar hukum yang berasal dari Peraturan Perundang–undangan zaman Hindia Belanda atau yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda sampai dengan tanggal 27 Desember 1949, ditulis lebih dulu terjemahannya dalam bahasa Indonesia dan kemudian judul asli bahasa Belanda dan dilengkapi dengan tahun dan nomor Staatsblad yang dicetak miring di antara tanda baca kurung. Contoh : Mengingat: 1. ...;
2. Kitab Undang–Undang Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel, Staatsblad 1847: 23 );
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
51. Cara penulisan sebagaimana dimaksud dalam nomor berlaku juga untuk pencabutan peraturan perundang–undangan yang berasal dari zaman Hindia Belanda atau yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda sampai dengan tanggal 27 Desember 1949.
52. Jika dasar hukum memuat lebih dari satu Peraturan Perundang–undangan, tiap dasar hukum diawali dengan angka Arab 1, 2, 3, dan seterusnya, dan diakhiri dengan tanda baca titik koma. Contoh : Mengingat: 1. …;
2. …; 3. …;
B.5. Diktum B.5. Diktum 35. Diktum terdiri atas:
a. kata Memutuskan; b. kata Menetapkan; c. Nama Peraturan Perundang‐undangan.
53. Diktum terdiri atas: a. kata Memutuskan; b. kata Menetapkan; dan c. jenis dan nama Peraturan Perundang‐undangan.
36. Kata Memutuskan ditulis seluruhnya dengan huruf kapital tanpa spasi di antara suku kata dan diakhiri dengan tanda baca titik dua serta diletakkan di tengah marjin.
54. Kata Memutuskan ditulis seluruhnya dengan huruf kapital tanpa spasi di antara suku kata dan diakhiri dengan tanda baca titik dua serta diletakkan di tengah marjin.
37. Pada Undang‐Undang, sebelum kata Memutuskan dicantumkan frase Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA yang diletakkan di tengah marjin. Contoh Undang‐Undang:
Dengan Persetujuan Bersama: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
55. Pada Undang‐Undang, sebelum kata Memutuskan dicantumkan Frasa Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA yang diletakkan di tengah marjin. Contoh Undang‐Undang:
Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
38. Pada Peraturan Daerah, sebelum kata Memutuskan dicantumkan frase Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
56. Pada Peraturan Daerah, sebelum kata Memutuskan dicantumkan Frasa Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH …
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
DAERAH ... (nama daerah) dan GUBERNUR/ BUPATI/ WALIKOTA ... (nama daerah), yang ditulis seluruhnya dengan huruf kapital dan diletakkan di tengah marjin. Contoh Peraturan Daerah:
Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH ... (nama daerah)
dan GUBERNUR ... (nama daerah)
MEMUTUSKAN:
(nama daerah) dan GUBERNUR/BUPATI/WALIKOTA … (nama daerah), yang ditulis seluruhnya dengan huruf kapital dan diletakkan di tengah marjin. Contoh:
Peraturan Daerah Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH JAWA BARAT dan
GUBERNUR JAWA BARAT MEMUTUSKAN:
39. Kata Menetapkan dicantumkan sesudah kata Memutuskan yang disejajarkan ke bawah dengan kata Menimbang dan Mengingat. Huruf awal kata Menetapkan ditulis dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda baca titik dua.
57. Kata Menetapkan dicantumkan sesudah kata Memutuskan yang disejajarkan ke bawah dengan kata Menimbang dan Mengingat. Huruf awal kata Menetapkan ditulis dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda baca titik dua.
40. Nama yang tercantum dalam judul Peraturan Perundang‐undangan dicantumkan lagi setelah kata Menetapkan dan didahului dengan percantuman jenis Peraturan Perundang‐undangan tanpa frase Republik Indonesia, serta ditulis seluruhnya dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda baca titik. Contoh:
MEMUTUSKAN: Menetapkan: UNDANG‐UNDANG TENTANG PERIMBANGAN
KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH.
58. Jenis dan nama yang tercantum dalam judul Peraturan Perundang‐undangan dicantumkan lagi setelah kata Menetapkan tanpa frasa Republik Indonesia, serta ditulis seluruhnya dengan huruf capital dan diakhiri dengan tanda baca titik. Contoh:
MEMUTUSKAN: Menetapkan: UNDANG–UNDANG TENTANG PERIMBANGAN
KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH.
41. Pembukaan Peraturan Perundang‐undangan tingkat pusat yang tingkatannya lebih rendah daripada Undang‐Undang, seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, dan peraturan pejabat yang setingkat, secara mutatis mutandis berpedoman pada pembukaan Undang‐Undang.
59. Jenis dan nama yang tercantum dalam judul Peraturan Daerah dicantumkan lagi setelah kata Menetapkan tanpa frasa Provinsi, Kabupaten/Kota, serta ditulis seluruhnya dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda baca titik. Contoh:
MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN DAERAH TENTANG RETRIBUSI IZIN
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
MENDIRIKAN BANGUNAN. 60. Pembukaan Peraturan Perundang–undangan tingkat pusat yang
tingkatannya lebih rendah daripada Undang‐Undang, antara lain Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat, Peraturan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Peraturan Dewan Perwakilan Daerah, Peraturan Bank Indonesia, Peraturan Menteri, dan peraturan pejabat yang setingkat, secara mutatis mutandis berpedoman pada pembukaan Undang‐Undang.
C. BATANG TUBUH C. BATANG TUBUH 42. Batang tubuh Peraturan Perundang‐undangan memuat semua
substansi Peraturan Perundang‐undangan yang dirumuskan dalam pasal (‐pasal).
61. Batang tubuh Peraturan Perundang‐undangan memuat semua materi muatan Peraturan Perundang‐undangan yang dirumuskan dalam pasal atau beberapa pasal.
43. Pada umumnya substansi dalam batang tubuh dikelompokkan ke dalam: (1) Ketentuan Umum; (2) Materi Pokok yang Diatur; (3) Ketentuan Pidana (Jika diperlukan); (4) Ketentuan Peralihan (Jika diperlukan); (5) Ketentuan Penutup.
62. Pada umumnya materi muatan dalam batang tubuh dikelompokkan ke dalam: a. ketentuan umum; b. materi pokok yang diatur; c. ketentuan pidana (jika diperlukan); d. ketentuan peralihan (jika diperlukan); dan e. ketentuan penutup.
44. Dalam pengelompokan substansi sedapat mungkin dihindari adanya bab ketentuan lain atau sejenisnya. Materi yang bersangkutan, diupayakan untuk masuk ke dalam bab yang ada atau dapat pula dimuat dalam bab tersendiri dengan judul yang sesuai dengan materi yang diatur.
63. Pengelompokan materi muatan dirumuskan secara lengkap sesuai dengan kesamaan materi yang bersangkutan dan jika terdapat materi muatan yang diperlukan tetapi tidak dapat dikelompokkan dalam ruang lingkup pengaturan yang sudah ada, materi tersebut dimuat dalam bab ketentuan lain‐lain.
45. Substansi yang berupa sanksi administratif atau sanksi keperdataan atas pelanggaran norma tersebut dirumuskan menjadi satu bagian (pasal) dengan norma yang memberikan sanksi administratif atau sanksi keperdataan.
64. Substansi yang berupa sanksi administratif atau sanksi keperdataan atas pelanggaran norma tersebut dirumuskan menjadi satu bagian (pasal) dengan norma yang memberikan sanksi administratif atau sanksi keperdataan.
46. Jika norma yang memberikan sanksi administratif atau keperdataan terdapat lebih dari satu pasal, sanksi administratif atau sanksi keperdataan dirumuskan dalam pasal terakhir dari bagian (pasal)
65. Jika norma yang memberikan sanksi administratif atau keperdataan terdapat lebih dari satu pasal, sanksi administratif atau sanksi keperdataan dirumuskan dalam pasal terakhir dari bagian (pasal)
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
tersebut. Dengan demikian hindari rumusan ketentuan sanksi yang sekaligus memuat sanksi pidana, sanksi perdata, dan sanksi administrative dalam satu bab.
tersebut. Dengan demikian tidak merumuskan ketentuan sanksi yang sekaligus memuat sanksi pidana, sanksi perdata, dan sanksi administratif dalam satu bab.
47. Sanksi administratif dapat berupa, antara lain, pencabutan izin, pembubaran,pengawasan,pemberhentian sementara,denda administratif, atau daya paksa polisional. Saksi keperdataan dapat berupa, antara lain, ganti kerugian.
66. Sanksi administratif dapat berupa, antara lain, pencabutan izin, pembubaran, pengawasan, pemberhentian sementara, denda administratif, atau daya paksa polisional. Sanksi keperdataan dapat berupa, antara lain, ganti kerugian.
48. Pengelompokan materi Peraturan Perundang‐undangan dapat disusun secara sistematis dalam buku, bab, bagian, dan paragraf.
67. Pengelompokkan materi muatan Peraturan Perundang‐undangan dapat disusun secara sistematis dalam buku, bab, bagian, dan paragraf.
49. Jika Peraturan Perundang‐undangan mempunyai materi yang ruang lingkupnya sangat luas dan mempunyai banyak pasal, pasal (‐pasal) tersebut dapat dikelompokkan menjadi: buku (jika merupakan kodifikasi), bab, bagian, dan paragraf.
68. Jika Peraturan Perundangan‐undangan mempunyai materi muatan yang ruang lingkupnya sangat luas dan mempunyai banyak pasal, pasal atau beberapa pasal tersebut dapat dikelompokkan menjadi: buku (jika merupakan kodifikasi), bab, bagian, dan paragraf.
50. Pengelompokan materi dalam buku, bab, bagian, dan paragraf dilakukan atas dasar kesamaan materi.
69. Pengelompokkan materi muatan dalam buku, bab, bagian, dan paragraf dilakukan atas dasar kesamaan materi.
51. Urutan pengelompokan adalah sebagai berikut: a. bab dengan pasal (‐pasal) tanpa bagian dan paragraf, b. bab dengan bagian dan pasal (‐pasal) tanpa paragraf‐, atau c. bab dengan bagian dan paragraf yang berisi pasal (‐pasal).
70. Urutan pengelompokan adalah sebagai berikut: a. bab dengan pasal atau beberapa pasal tanpa bagian dan paragraf; b. bab dengan bagian dan pasal atau beberapa pasal tanpa paragraf;
atau c. bab dengan bagian dan paragraf yang berisi pasal atau beberapa
pasal.
52. Buku diberi nomor urut dengan bilangan tingkat dan judul yang seluruhnya ditulis dengan huruf kapital. Contoh:
BUKU KETIGA PERIKATAN
71. Buku diberi nomor urut dengan bilangan tingkat dan judul yang seluruhnya ditulis dengan huruf kapital. Contoh:
BUKU KETIGA PERIKATAN
53. Bab diberi nomor urut dengan angka Romawi dan judul bab yang seluruhnya ditulis dengan huruf kapital. Contoh:
BAB I KETENTUAN UMUM
72. Bab diberi nomor urut dengan angka Romawi dan judul bab yang seluruhnya ditulis dengan huruf kapital. Contoh:
BAB I KETENTUAN UMUM
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
54. Bagian diberi nomor urut dengan bilangan tingkat yang ditulis dengan huruf dan diberi judul.
73. Bagian diberi nomor urut dengan bilangan tingkat yang ditulis dengan huruf dan diberi judul.
55. Huruf awal kata bagian, urutan bilangan, dan setiap kata pada judul bagian ditulis dengan huruf kapital, kecuali huruf awal kata partikel yang tidak terletak pada awal frase. Contoh:
Bagian Kelima Persyaratan Teknis Kendaraan Bermotor, Kereta Gandengan, dan
Kereta Tempelan
74. Huruf awal kata bagian, urutan bilangan, dan setiap kata pada judul bagian ditulis dengan huruf kapital, kecuali huruf awal partikel yang tidak terletak pada awal frasa. Contoh:
Bagian Kesatu Susunan dan Kedudukan
56. Paragraf diberi nomor urut dengan angka Arab dan diberi judul. 75. Paragraf diberi nomor urut dengan angka Arab dan diberi judul. 57. Huruf awal dari kata paragraf dan setiap kata pada judul paragraf
ditulis dengan huruf kapital, kecuali huruf awal kata partikel yang tidak terletak pada awal frase. Contoh: Paragraf 1 Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim
76. Huruf awal dari kata paragraf dan setiap kata pada judul paragraph ditulis dengan huruf kapital, kecuali huruf awal partikel yang tidak terletak pada awal frasa. Contoh: Paragraf 1 Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim
58. Pasal merupakan satuan aturan dalam Peraturan Perundang‐undangan yang memuat satu norma, dan dirumuskan dalam satu kalimat yang disusun secara singkat, jelas, dan lugas.
77. Pasal merupakan satuan aturan dalam Peraturan Perundang‐undangan yang memuat satu norma dan dirumuskan dalam satu kalimat yang disusun secara singkat, jelas, dan lugas.
59. Materi Peraturan Perundang‐undangan lebih baik dirumuskan dalam banyak pasal yang singkat dan jelas daripada ke dalam beberapa pasal yang masing‐masing pasal memuat banyak ayat, kecuali jika materi yang menjadi isi pasal itu merupakan satu rangkaian yang tidak dapat dipisahkan.
78. Materi muatan Peraturan Perundang‐undangan lebih baik dirumuskan dalam banyak pasal yang singkat dan jelas daripada ke dalam beberapa pasal yang masing‐masing pasal memuat banyak ayat, kecuali jika materi muatan yang menjadi isi pasal itu merupakan satu rangkaian yang tidak dapat dipisahkan.
60. Pasal diberi nomor urut dengan angka Arab. 79. Pasal diberi nomor urut dengan angka Arab dan huruf awal kata pasal ditulis dengan huruf kapital. Contoh:
Pasal 3
61. Huruf awal kata pasal yang digunakan sebagai acuan ditulis dengan huruf kapital. Contoh:
80. Huruf awal kata pasal yang digunakan sebagai acuan ditulis dengan huruf kapital. Contoh:
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
Pasal 34 Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dan Pasal 26 tidak meniadakan kewajiban membayar ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33.
Pasal 34 Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dan Pasal 26 tidak meniadakan kewajiban membayar ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33.
62. Pasal dapat dirinci ke dalam beberapa ayat. 81. Pasal dapat dirinci ke dalam beberapa ayat. 63. Ayat diberi nomor urut dengan angka Arab di antara tanda baca
kurung tanpa diakhiri tanda baca titik. 82. Ayat diberi nomor urut dengan angka Arab diantara tanda baca kurung
tanpa diakhiri tanda baca titik.
64. Satu ayat hendaknya hanya memuat satu norma yang dirumuskan dalam satu kalimat utuh.
83. Satu ayat hendaknya hanya memuat satu norma yang dirumuskan dalam satu kalimat utuh.
65. Huruf awal kata ayat yang digunakan sebagai acuan ditulis dengan huruf kecil. Contoh:
Pasal 8 (1) Satu permintaan pendaftaran merek hanya dapat diajukan
untuk 1 (satu) kelas barang. (2) Permintaan pendaftaran merek sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) menyebutkan jenis barang atau jasa yang termasuk dalam kelas yang bersangkutan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kelas barang atau jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
84. Huruf awal kata ayat yang digunakan sebagai acuan ditulis dengan huruf kecil. Contoh:
Pasal 8 (1) Satu permintaan pendaftaran merek hanya dapat diajukan untuk 1
(satu) kelas barang. (2) Permintaan pendaftaran merek sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) menyebutkan jenis barang atau jasa yang termasuk dalam kelas yang bersangkutan.
66. Jika satu pasal atau ayat memuat rincian unsur, maka di samping dirumuskan dalam bentuk kalimat dengar rincian, dapat pula dipertimbangkan penggunaan rumusan dalam bentuk tabulasi. Contoh: Pasal 17 Yang dapat diberi hak pilih ialah warga negara Indonesia yang telah berusia 17 (tujuh belas) tahun atau telah kawin dan telah terdaftar pada daftar pemilih. Isi pasal tersebut dapat lebih mudah dipahami jika dirumuskan sebagai berikut:
85. Jika satu pasal atau ayat memuat rincian unsur, selain dirumuskan dalam bentuk kalimat dengan rincian, juga dapat dirumuskan dalam bentuk tabulasi. Contoh:
Pasal 28 Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam pidato resmi Presiden, Wakil Presiden, dan pejabat negara yang lain yang disampaikan di dalam atau di luar negeri. Isi pasal tersebut dapat lebih mudah dipahami jika dirumuskan sebagai berikut :
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
Contoh rumusan tabulasi: Pasal 17 Yang dapat diberi hak pilih ialah warga negara Indonesia yang: a. telah berusia 17 (tujuh belas) tahun atau telah kawin; dan b. telah terdaftar pada daftar pemilih.
Contoh rumusan tabulasi: Pasal 28
Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam pidato resmi: a. Presiden; b. Wakil Presiden; dan c. pejabat negara yang lain, yang disampaikan di dalam atau di luar negeri.
86. Penulisan bilangan dalam pasal atau ayat selain menggunakan angka Arab diikuti dengan kata atau frasa yang ditulis diantara tanda baca kurung.
67. Dalam membuat rumusan pasal atau ayat dengan bentuk tabulasi hendaknya diperhatikan hal‐hal sebagai berikut : a. setiap rincian harus dapat dibaca sebagai satu rangkaian
kesatuan dengan frase pembuka; b. setiap rincian diawali dengan huruf (abjad) kecil dan diberi
tanda baca titik; c. setiap frase dalam rincian diawali dengan huruf kecil; d. setiap rincian diakhiri dengan tanda baca titik koma; e. jika suatu rincian dibagi lagi ke dalam unsur yang lebih kecil,
maka unsure tersebut dituliskan masuk ke dalam; f. di belakang rincian yang masih mempunyai rincian lebih lanjut
diberi tanda baca titik dua; g. pembagian rincian (dengan urutan makin kecil) ditulis dengan
abjad kecil, yang diikuti dengan tanda baca titik; angka Arab diikuti dengan tanda baca titik; abjad kecil dengan tanda baca kurung tutup; angka Arab dengan tanda baca kurung tutup;
h. pembagian rincian hendaknya tidak melebihi empat tingkat. Jika rincian melebihi empat tingkat, perlu dipertimbangkan pemecahan pasal yang bersangkutan ke dalam pasal atau ayat lain.
87. Jika merumuskan pasal atau ayat dengan bentuk tabulasi, memperhatikan ketentuan sebagai berikut : a. setiap rincian harus dapat dibaca sebagai satu rangkaian kesatuan
dengan frasa pembuka; b. setiap rincian menggunakan huruf abjad kecil dan diberi tanda baca
titik; c. setiap frasa dalam rincian diawali dengan huruf kecil; d. setiap rincian diakhiri dengan tanda baca titik koma; e. jika suatu rincian dibagi lagi ke dalam unsur yang lebih kecil, unsur
tersebut dituliskan masuk ke dalam; f. di belakang rincian yang masih mempunyai rincian lebih lanjut
diberi tanda baca titik dua; g. pembagian rincian (dengan urutan makin kecil) ditulis dengan huruf
abjad kecil yang diikuti dengan tanda baca titik; angka Arab diikuti dengan tanda baca titik; abjad kecil dengan tanda baca kurung tutup; angka Arab dengan tanda baca kurung tutup; dan
h. pembagian rincian tidak melebihi 4 (empat) tingkat. Jika rincian melebihi 4 (empat) tingkat, pasal yang bersangkutan dibagi ke dalam pasal atau ayat lain.
68. Jika unsur atau rincian dalam tabulasi dimaksudkan sebagai rincian kumulatif, ditambahkan kata dan yang diletakkan di belakang
88. Jika unsur atau rincian dalam tabulasi dimaksudkan sebagai rincian kumulatif, ditambahkan kata dan yang diletakkan di belakang rincian
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
rincian kedua dari rincian terakhir. kedua dari rincian terakhir. 69. Jika rincian dalam tabulasi dimaksudkan sebagai rincian alternatif
ditambahkan kata atau yang diletakkan di belakang rincian kedua dari rincian terakhir.
89. Jika rincian dalam tabulasi dimaksudkan sebagai rincian alternative ditambahkan kata atau yang di letakkan di belakang rincian kedua dari rincian terakhir.
70. Jika rincian dalam tabulasi dimaksudkan sebagai rincian kumulatif dan alternatif, ditambahkan kata dan/atau yang diletakkan di belakang rincian kedua dari rincian terakhir.
90. Jika rincian dalam tabulasi dimaksudkan sebagai rincian kumulatif dan alternatif, ditambahkan kata dan/atau yang diletakkan di belakang rincian kedua dari rincian terakhir.
71. Kata dan, atau, dan/atau tidak perlu diulangi pada akhir setiap unsur atau rincian.
91. Kata dan, atau, dan/atau tidak perlu diulangi pada akhir setiap unsur atau rincian.
Contoh: a. Tiap‐tiap rincian ditandai dengan huruf a, huruf b, dan
seterusnya. Contoh:
Pasal 9 (1) …..: (2) …..:
a. ….; b. ….; (dan, atau, dan/atau) c. … .
92. Tiap rincian ditandai dengan huruf a, huruf b, dan seterusnya. Contoh:
Pasal 9 (1) ... . (2) ...:
a. …; b. …; (dan, atau, dan/atau) c. … .
b. Jika suatu rincian memerlukan lebih lanjut, rincian itu ditandai dengan angka Arab 1, 2, dan seterusnya. Contoh:
Pasal 12 (1) ….. (2) …..;
a. ….; b. ….; (dan, atau, dan/atau) c. ….:
1. ….; 2. ….; (dan, atau, dan/atau) 3. ….
93. Jika suatu rincian memerlukan rincian lebih lanjut, rincian itu ditandai dengan angka Arab 1, 2, dan seterusnya. Contoh:
Pasal 9 (1) … . (2) …:
a. …; b. …; (dan, atau, dan/atau) c. …:
1. ...; 2. …; (dan, atau, dan/atau) 3. … .
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
c. Jika suatu rincian lebih lanjut memerlukan rincian yang mendetail, rincian itu ditandai dengan huruf a), b), dan seterusnya. Contoh:
Pasal 20 (1) …. (2) …. (3) ….:
a. …. b. ….; (dan, atau, dan/atau) c. ….:
1. …; 2. …; (dan, atau, dan/atau) 3. …:
a) …; b) …; (dan, atau, dan/atau) c) …
94. Jika suatu rincian lebih lanjut memerlukan rincian yang mendetail, rincian itu ditandai dengan huruf a), b), dan seterusnya. Contoh:
Pasal 9 (1) … . (2) … . a. …; b. …; (dan, atau, dan/atau) c. ...:
1. …; 2. …; (dan, atau, dan/atau) 3. …:
a) …; b) …; (dan, atau, dan/atau) c) … .
d. Jika suatu rincian lebih lanjut memerlukan rincian yang mendetail, rincian itu ditandai dengan angka 1), 2), dan seterusnya. Contoh:
Pasal 22
95. Jika suatu rincian lebih lanjut memerlukan rincian yang mendetail, rincian itu ditandai dengan angka 1), 2), dan seterusnya. Contoh:
Pasal 9 … .
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
(1) … (2) …
a. ... ; b. …; (dan, atau, dan/atau) c. …:
1. … 2. …(dan, atau, dan/atau) 3. …:
a) ….; b) ….; (dan, atau, dan/atau) c) ….:
1. …; 2. …; (dan, atau, dan/atau)
(1) … . (2) …:
a. …; b. …; (dan, atau, dan/atau) c. …:
1. …; 2. …; (dan, atau, dan/atau) 3. …:
a) …; b) …; (dan, atau, dan/atau) c) … . 1) …; 2) …; (dan, atau, dan/atau) 3) … .
C.1. Ketentuan Umum C.1. Ketentuan Umum 72. Ketentuan umum diletakkan dalam bab kesatu. Jika dalam
Peraturan Perundangundangan tidak dilakukan pengelompokan bab, ketentuan umum diletakkan dalam pasal (‐pasal) awal.
96. Ketentuan umum diletakkan dalam bab satu. Jika dalam Peraturan Perundang‐undangan tidak dilakukan pengelompokan bab, ketentuan umum diletakkan dalam pasal atau beberapa pasal awal. Contoh:
BAB I KETENTUAN UMUM
73. Ketentuan umum dapat memuat lebih dari satu pasal. 97. Ketentuan umum dapat memuat lebih dari satu pasal. 74. Ketentuan umum berisi:
a. batasan pengertian atau definisi; b. singkatan atau akronim yang digunakan dalam peraturan; c. hal‐hal lain yang bersifat umum yang berlaku bagi pasal (‐pasal)
berikutnya antara lain ketentuan yang mencerminkan asas, maksud, dan tujuan.
98. Ketentuan umum berisi: a. batasan pengertian atau definisi; b. singkatan atau akronim yang dituangkan dalam batasan pengertian
atau definisi; dan/atau c. hal‐hal lain yang bersifat umum yang berlaku bagi pasal atau
beberapa pasal berikutnya antara lain ketentuan yang mencerminkan asas, maksud, dan tujuan tanpa dirumuskan tersendiri dalam pasal atau bab.
Contoh batasan pengertian:
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
1. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan.
2. Pemerintah Daerah adalah Bupati dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah Kabupaten Mimika.
Contoh definisi: 1. Spasial adalah aspek keruangan suatu objek atau kejadian yang
mencakup lokasi, letak, dan posisinya. 2. Pajak Daerah yang selanjutnya disebut pajak, adalah kontribusi
wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang‐Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar‐besarnya kemakmuran rakyat.
Contoh singkatan: 1. Badan Pemeriksa Keuangan yang selanjutnya disingkat BPK
adalah lembaga negara yang bertugas memeriksa pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Sistem Pengendalian Intern Pemerintah, yang selanjutnya disingkat SPIP adalah sistem pengendalian intern yang diselenggarakan secara menyeluruh terhadap proses perancangan dan pelaksanaan kebijakan serta perencanaan, penganggaran, dan pelaksanaan di lingkungan Pemerintah Kota Dumai.
Contoh akronim: 1. Asuransi Kesehatan yang selanjutnya disebut Askes adalah… 2. Orang dengan HIV/AIDS yang selanjutnya disebut ODHA adalah
orang yang sudah terinfeksi HIV baik pada tahap belum ada gejala maupun yang sudah ada gejala.
75. Frase pembuka dalam ketentuan umum undang‐undang berbunyi – Dalam Undang‐Undang ini yang dimaksudkan dengan:
99. Frasa pembuka dalam ketentuan umum undang‐undang berbunyi:
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
Dalam Undang‐Undang ini yang dimaksud dengan:
76. Frase pembuka dalam ketentuan umum Peraturan Perundang‐undangan di bawah Undang‐Undang disesuaikan dengan jenis peraturannya.
100. Frasa pembuka dalam ketentuan umum peraturan perundang‐undangan di bawah Undang‐Undang disesuaikan dengan jenis peraturannya.
77. Jika ketentuan umum memuat batasan pengertian atau definisi singkatan atau akrorim lebih dari satu, maka masing‐masing uraiannya diberi nomor urut dengan angka Arab dan diawali dengan huruf kapital serta diakhiri dengan tanda baca titik.
101. Jika ketentuan umum memuat batasan pengertian atau definisi,singkatan atau akronim lebih dari satu, maka masing‐masing uraiannya diberi nomor urut dengan angka Arab dan diawali dengan huruf kapital serta diakhiri dengan tanda baca titik.
78. Kata atau istilah yang dimuat dalam ketentuan umum hanyalah kata atau istilah yang digunakan berulang‐ulang di dalam pasal (‐pasal) selanjutnya.
102. Kata atau istilah yang dimuat dalam ketentuan umum hanyalah kata atau istilah yang digunakan berulang‐ulang di dalam pasal atau beberapa pasal selanjutnya
103. Apabila rumusan definisi dari suatu Peraturan Perundang‐undangan dirumuskan kembali dalam Peraturan Perundang‐undangan yang akan dibentuk, rumusan definisi tersebut harus sama dengan rumusan definisi dalam Peraturan Perundang‐undangan yang telah berlaku tersebut.
104. Rumusan batasan pengertian dari suatu Peraturan Perundang‐undangan dapat berbeda dengan rumusan Peraturan Perundangundangan yang lain karena disesuaikan dengan kebutuhan terkait dengan materi muatan yang akan diatur. Contoh 1: a. Hari adalah hari kalender (rumusan ini terdapat dalam Undang‐
Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas). b. Hari adalah hari kerja (rumusan ini terdapat dalam Undang‐
Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah).
Contoh 2: a. Setiap orang adalah orang perseorangan atau badan usaha, baik
yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hokum (rumusan ini terdapat dalam Undang‐Undang Nomor 32 Tahun
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup). b. Setiap orang adalah orang perseorangan atau badan hukum
(Undang‐Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman).
79. Jika suatu kata atau istilah hanya digunakan satu kali, namun kata atau istilah itu diperlukan pengertiannya untuk suatu bab, bagian atau paragraf tertentu, dianjurkan agar kata atau istilah itu diberi definisi.
105. Jika suatu kata atau istilah hanya digunakan satu kali, namun kata atau istilah itu diperlukan pengertiannya untuk suatu bab, bagian atau paragraf tertentu, kata atau istilah itu diberi definisi.
80. Jika suatu batasan pengertian atau definisi perlu dikutip kembali di dalam ketentuan umum suatu peraturan pelaksanaan, maka rumusan batasan pengertian atau definisi di dalam peraturan pelaksanaan harus sama dengan rumusan batasan pengertian atau definisi yang terdapat di dalam peraturan lebih tinggi yang dilaksanakan tersebut.
106. Jika suatu batasan pengertian atau definisi perlu dikutip kembali di dalam ketentuan umum suatu peraturan pelaksanaan, maka rumusan batasan pengertian atau definisi di dalam peraturan pelaksanaan harus sama dengan rumusan batasan pengertian atau definisi yang terdapat di dalam peraturan lebih tinggi yang dilaksanakan tersebut.
81. Karena batasan pengertian atau definisi, singkatan, atau akronim berfungsi, untuk menjelaskan makna suatu kata atau istilah maka batasan pengertian atau definisi, singkatan, atau akronim tidak perlu diberi penjelasan, dan karena itu harus dirumuskan sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan pengertian ganda.
107. Karena batasan pengertian atau definisi, singkatan, atau akronim berfungsi untuk menjelaskan makna suatu kata atau istilah maka batasan pengertian atau definisi, singkatan, atau akronim tidak perlu diberi penjelasan, dan karena itu harus dirumuskan dengan lengkap dan jelas sehingga tidak menimbulkan pengertian ganda.
108. Penulisan huruf awal tiap kata atau istilah yang sudah didefinisikan atau diberi batasan pengertian dalam ketentuan umum ditulis dengan huruf kapital baik digunakan dalam norma yang diatur, penjelasan maupun dalam lampiran.
82. Urutan penempatan kata atau istilah dalam ketentuan umum mengikuti ketentuan sebagai berikut: a. pengertian yang mengatur tentang lingkup umum ditempatkan
lebih dahulu dari yang berlingkup khusus; b. pengertian yang terdapat lebih dahulu di dalam materi pokok
yang diatur ditempatkan dalam urutan yang lebih dahulu; dan c. pengertian yang mempunyai kaitan dengan pengertian di
atasnya diletakkan berdekatan secara berurutan.
109. Urutan penempatan kata atau istilah dalam ketentuan umum mengikuti ketentuan sebagai berikut: a. pengertian yang mengatur tentang lingkup umum ditempatkan
lebih dahulu dari yang berlingkup khusus; b. pengertian yang terdapat lebih dahulu di dalam materi pokok yang
diatur ditempatkan dalam urutan yang lebih dahulu; dan c. pengertian yang mempunyai kaitan dengan pengertian di atasnya
diletakkan berdekatan secara berurutan.
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
C.2. Materi Pokok yang Diatur C.2. Materi Pokok yang Diatur 83. Materi pokok yang diatur ditempatkan langsung setelah bab
ketentuan umum, dan jika tidak ada pengelompokan bab, materi pokok yang diatur diletakkan setelah pasal (‐pasal) ketentuan umum.
110. Materi pokok yang diatur ditempatkan langsung setelah bab ketentuan umum, dan jika tidak ada pengelompokkan bab, materi pokok yang diatur diletakkan setelah pasal atau beberapa pasal ketentuan umum.
84. Pembagian materi pokok ke dalam kelompok yang lebih kecil dilakukan menurut kriteria yang dijadikan dasar pembagian. Contoh: a. pembagian berdasarkan hak atau kepentingan yang dilindungi,
seperti pembagian dalam Kitab Undang‐Undang Hukum Pidana: (1) kejahatan terhadap keamanan negara; (2) kejahatan terhadap martabat Presiden; (3) kejahatan terhadap negara sahabat dan wakilnya; (4) kejahatan terhadap kewajiban dan hak kenegaraan; (5) kejahatan terhadap ketertiban umum dan seterusnya.
b. pembagian berdasarkan urutan/kronologis, seperti pembagian dalam hokum acara pidana, dimulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tingkat pertama, tingkat banding, tingkat kasasi, dan peninjauan kembali.
c. pembagian berdasarkan urutan jenjang jabatan, seperti Jaksa Agung, Wakil Jaksa Agung, dan Jaksa Agung Muda.
111. Pembagian materi pokok ke dalam kelompok yang lebih kecil dilakukan menurut kriteria yang dijadikan dasar pembagian. Contoh: a. pembagian berdasarkan hak atau kepentingan yang dilindungi,
seperti pembagian dalam Kitab Undang‐Undang Hukum Pidana: 1. kejahatan terhadap keamanan negara; 2. kejahatan terhadap martabat Presiden; 3. kejahatan terhadap negara sahabat dan wakilnya; 4. kejahatan terhadap kewajiban dan hak kenegaraan; 5. kejahatan terhadap ketertiban umum dan seterusnya.
b. pembagian berdasarkan urutan/kronologis, seperti pembagian dalam hukum acara pidana, dimulai dari penyelidikan, penyidikan,penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tingkat pertama, tingkat banding, tingkat kasasi, dan peninjauan kembali.
c. pembagian berdasarkan urutan jenjang jabatan, seperti Jaksa Agung, Wakil Jaksa Agung, dan Jaksa Agung Muda.
C.3. Ketentuan Pidana (jika diperlukan) C.3. Ketentuan Pidana (jika diperlukan) 85. Ketentuan pidana memuat rumusan yang menyatakan penjatuhan
pidana atas pelanggaran terhadap ketentuan yang berisi norma larangan atau perintah.
112. Ketentuan pidana memuat rumusan yang menyatakan penjatuhan pidana atas pelanggaran terhadap ketentuan yang berisi norma larangan atau norma perintah.
86. Dalam merumuskan ketentuan pidana perlu diperhatikan asas‐asas umum ketentuan pidana yang terdapat dalam Buku Kesatu Kitab Undang‐Undang Hukum Pidana, karena ketentuan dalam Buku Kesatu berlaku juga bagi perbuatan yang dapat dipidana menurut Peraturan Perundang‐undangan lain, kecuali jika oleh Undang‐
113. Dalam merumuskan ketentuan pidana perlu diperhatikan asas‐asas umum ketentuan pidana yang terdapat dalam Buku Kesatu Kitab Undang‐Undang Hukum Pidana, karena ketentuan dalam Buku Kesatu berlaku juga bagi perbuatan yang dapat dipidana menurut peraturan perundang‐undangan lain, kecuali jika oleh Undang‐Undang
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
Undang ditentukan lain (Pasal 103 Kitab Undang‐Undang Hukum Pidana).
ditentukan lain (Pasal 103 Kitab Undang‐Undang Hukum Pidana).
87. Dalam menentukan lamanya pidana atau banyaknya denda perlu dipertimbangkan mengenai dampak yang ditimbulkan oleh tindak pidana dalam masyarakat serta unsure kesalahan pelaku.
114. Dalam menentukan lamanya pidana atau banyaknya denda perlu dipertimbangkan mengenai dampak yang ditimbulkan oleh tindak pidana dalam masyarakat serta unsur kesalahan pelaku.
88. Ketentuan pidana ditempatkan dalam bab tersendiri, yaitu bab ketentuan pidana yang letaknya sesudah materi pokok yang diatur atau sebelum bab ketentuan peralihan. Jika bab ketentuan peralihan tidak ada, letaknya adalah sebelum bab ketentuan penutup.
115. Ketentuan pidana ditempatkan dalam bab tersendiri, yaitu bab ketentuan pidana yang letaknya sesudah materi pokok yang diatur atau sebelum bab ketentuan peralihan. Jika bab ketentuan peralihan tidak ada, letaknya adalah sebelum bab ketentuan penutup.
89. Jika di dalam Peraturan Perundang‐undangan tidak diadakan pengelompokan bab per bab, ketentuan pidana ditempatkan dalam pasal yang terletak langsung sebelum pasal (‐pasal) yang berisi ketentuan peralihan. Jika tidak ada pasal yang berisi ketentuan peralihan, ketentuan pidana diletakkan sebelum pasal penutup.
116. Jika di dalam Peraturan Perundang‐undangan tidak diadakan pengelompokan bab per bab, ketentuan pidana ditempatkan dalam pasal yang terletak langsung sebelum pasal atau beberapa pasal yang berisi ketentuan peralihan. Jika tidak ada pasal yang berisi ketentuan peralihan, ketentuan pidana diletakkan sebelum pasal atau beberapa pasal yang berisi ketentuan penutup.
90. Ketentuan pidana hanya dimuat dalam Undang‐Undang dan Peraturan Daerah.
117. Ketentuan pidana hanya dimuat dalam Undang‐Undang, Peraturan Daerah Provinsi, dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
91. Rumusan ketentuan pidana harus menyebutkan secara tegas norma larangan atau perintah yang dilanggar dan menyebutkan pasal (‐pasal) yang memuat norma tersebut. Dengan demikian, perlu dihindari: a. pengacuan kepada ketentuan pidana Peraturan Perundang‐
undangan lain. Lihat juga Nomor 98;
118. Rumusan ketentuan pidana harus menyebutkan secara tegas norma larangan atau norma perintah yang dilanggar dan menyebutkan pasal atau beberapa pasal yang memuat norma tersebut. Dengan demikian, perlu dihindari: a. pengacuan kepada ketentuan pidana Peraturan
Perundangundangan lain. Lihat juga Nomor 98; Contoh: Qanun Kabupaten Aceh Jaya Nomor 2 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan
Pasal 73 Tindak pidana di bidang Adminstrasi Kependudukan yang dilakukan oleh penduduk, petugas, dan Badan Hukum diancam dengan hukuman pidana sebagaimana diatur dalam Undang‐Undang
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
b. pengacuan kepada Kitab Undang‐Undang Hukum Pidana, jika elemen atau unsur‐unsur dari norma yang diacu tidak sama; atau
c. penyusunan rumusan sendiri yang berbeda atau tidak terdapat di norma‐norma yang diatur dalam pasal (‐pasal) sebelumnya, kecuali untuk Undang‐Undang tindak pidana khusus.
Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. b. pengacuan kepada Kitab Undang‐Undang Hukum Pidana, jika
elemen atau unsur‐unsur dari norma yang diacu tidak sama; atau c. penyusunan rumusan sendiri yang berbeda atau tidak terdapat di
dalam norma‐norma yang diatur dalam pasal atau beberapa pasal sebelumnya, kecuali untuk undang‐undang mengenai tindak pidana khusus.
92. Jika ketentuan pidana berlaku bagi siapapun, subyek dari ketentuan pidana dirumuskan dengan frase setiap orang. Contoh:
Pasal 81 Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan merek yang sama pada keseluruhannya dengan merek terdaftar milik orang lain atau badan hukum lain untuk barang atau jasa sejenis yang diproduksi dan atau diperdagangkan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling banyak Rp 100.000,00 (seratus ribu rupiah).
119. Jika ketentuan pidana berlaku bagi siapapun, subyek dari ketentuan pidana dirumuskan dengan frasa setiap orang. Contoh:
Pasal 81 Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan merek yang sama pada keseluruhannya dengan merek terdaftar milik orang lain atau badan hukum lain untuk barang atau jasa sejenis yang diproduksi dan atau diperdagangkan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah).
93. Jika ketentuan pidana hanya berlaku bagi subyek tertentu, subyek itu dirumuskan secara tegas, misalnya, orang asing, pegawai negeri, saksi. Contoh:
Pasal 95
Saksi yang memberi keterangan tidak benar dalam pemeriksaan perkara tindak pidana narkotika di muka sidang pengadilan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000, 00 (tiga ratus juta rupiah).
120. Jika ketentuan pidana hanya berlaku bagi subyek tertentu, subyek itu dirumuskan secara tegas, misalnya, orang asing, pegawai negeri,saksi. Contoh 1: Undang‐Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
Pasal 143 Saksi yang memberi keterangan tidak benar dalam pemeriksaan perkara tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika di muka sidang pengadilan, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). Contoh 2:
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
Peraturan Daerah Kota Sawahlunto Nomor 9 Tahun 2009 tentang Pajak Hiburan Wajib Pajak yang dengan sengaja tidak menyampaikan SPTPD atau mengisi dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 sehingga merugikan keuangan daerah dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) bulan dan/atau denda paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak yang terutang.
94. Sehubungan adanya pembedaan antara tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran di dalam Kitab Undang‐Undang Hukum Pidana, rumusan ketentuan pidana harus menyatakan secara tegas apakah perbuatan yang diancam dengan pidana itu dikualifikasikan sebagai pelanggaran atau kejahatan. Contoh:
BAB V KETENTUAN PIDANA
Pasal 33 (1) Setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal......dipidana
dengan pidana kurungan paling lama……atau denda paling banyak Rp…………, 00.
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelanggaran.
121. Sehubungan adanya pembedaan antara tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran di dalam Kitab Undang‐Undang Hukum Pidana, rumusan ketentuan pidana harus menyatakan secara tegas kualifikasi dari perbuatan yang diancam dengan pidana itu sebagai pelanggaran atau kejahatan. Contoh:
BAB V KETENTUAN PIDANA
Pasal 33 (1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal …, dipidana dengan pidana kurungan paling lama … atau pidana denda paling banyak Rp…,00
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelanggaran.
95. Rumusan ketentuan pidana harus menyatakan secara tegas apakah pidana yang dijatuhkan bersifat kumulatif, alternatif, atau kumulatif alternatif. Contoh: ♦ Sifat kumulatif:
Setiap orang yang dengan sengaja menyiarkan hal‐hal yang bersifat sadisme, pornografi, dan/atau bersifat perjudian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (7) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda
122. Rumusan ketentuan pidana harus menyatakan secara tegas kualifikasi pidana yang dijatuhkan bersifat kumulatif, alternatif, atau kumulatif alternatif. a. Sifat kumulatif:
Contoh: Setiap orang yang dengan sengaja menyiarkan hal‐hal yang bersifat sadisme, pornografi, dan/atau bersifat perjudian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (7) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). ♦ Sifat alternative:
Setiap orang yang dengan sengaja menyelenggarakan penyiaran tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun atau denda paling banyak Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).
♦ Sifat kumulatif alternative: Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus juta ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya
banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). b. Sifat alternatif:
Contoh: Setiap orang yang dengan sengaja menyelenggarakan penyiaran tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun atau pidana denda paling banyak Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).
c. Sifat kumulatif alternatif: Contoh: Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.
96. Hindari rumusan dalam ketentuan pidana yang tidak menunjukkan dengan jelas apakah unsur‐unsur perbuatan pidana bersifat kumulatif atau alternatif. Contoh: Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Pasal 13 dan Pasal 14, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 10 (sepuluh) bulan.
123. Perumusan dalam ketentuan pidana harus menunjukkan dengan jelas unsur‐unsur perbuatan pidana bersifat kumulatif atau alternatif.
97. Jika suatu Peraturan Perundang‐undangan yang memuat ketentuan pidana akan diberlakusurutkan, ketentuan pidananya harus dikecualikan, mengingat adanya asas umum dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang‐Undang Hukum Pidana yang menyatakan bahwa ketentuan pidana tidak boleh berlaku surut.
124. Jika suatu Peraturan Perundang‐undangan yang memuat ketentuan pidana akan diberlakusurutkan, ketentuan pidananya harus dikecualikan, mengingat adanya asas umum dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang‐Undang Hukum Pidana yang menyatakan bahwa ketentuan pidana tidak boleh berlaku surut.
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
Contoh: Undang‐Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkannya dan berlaku surut sejak tanggal 1 Januari 1976, kecuali untuk ketentuan pidananya.
Contoh: Undang‐Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkannya dan berlaku surut sejak tanggal 1 Januari 1976, kecuali untuk ketentuan pidananya.
98. Ketentuan pidana bagi tindak pidana yang merupakan pelanggaran terhadap kegiatan bidang ekonomi dapat tidak diatur tersendiri di dalam undang‐undang yang bersangkutan, tetapi cukup mengacu kepada Undang‐Undang yang mengatur mengenai tindak pidana ekonomi, misalnya, Undang‐Undang Nomor 7 Drt. Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi.
125. Ketentuan pidana bagi tindak pidana yang merupakan pelanggaran terhadap kegiatan bidang ekonomi dapat tidak diatur tersendiri di dalam undang‐undang yang bersangkutan, tetapi cukup mengacu kepada Undang‐Undang yang mengatur mengenai tindak pidana ekonomi, misalnya, Undang‐Undang Nomor 7 Drt. Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi.
99. Tindak pidana dapat dilakukan oleh orang‐perorangan atau oleh korporasi. Pidana terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi dijatuhkan kepada: a. Badan hukum, perseroan, perkumpulan, atau yayasan; b. mereka yang memberi perintah melakukan tindak pidana atau
yang bertindak sebagai pimpinan dalam melakukan tindak pidana; atau
c. kedua‐duanya.
126. Tindak pidana dapat dilakukan oleh orang‐perorangan atau oleh korporasi. Pidana terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi dijatuhkan kepada: a. badan hukum antara lain perseroan, perkumpulan, yayasan, atau
koperasi; dan/atau b. pemberi perintah untuk melakukan tindak pidana atau yang
bertindak sebagai pimpinan dalam melakukan tindak pidana.
C.4. Ketentuan Peralihan (jika diperlukan) C.4. Ketentuan Peralihan (jika diperlukan) 100. Ketentuan peralihan memuat penyesuaian terhadap Peraturan
Perundang‐undangan yang sudah ada pada saat Peraturan Perundang‐undangan baru mulai berlaku, agar Peraturan Perundang‐undangan tersebut dapat berjalan lancar dan tidak menimbulkan permasalahan hukum.
127. Ketentuan Peralihan memuat penyesuaian pengaturan tindakan hukum atau hubungan hukum yang sudah ada berdasarkan Peraturan Perundang‐undangan yang lama terhadap Peraturan Perundang‐undangan yang baru, yang bertujuan untuk: a. menghindari terjadinya kekosongan hukum; b. menjamin kepastian hukum; c. memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang terkena
dampak perubahan ketentuan Peraturan Perundang‐undangan; dan
d. mengatur hal‐hal yang bersifat transisional atau bersifat sementara.
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
Contoh 1: Undang‐Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
Pasal 35 Perjanjian Internasional, baik bilateral, regional, maupun multilateral, dalam bidang penanaman modal yang telah disetujui oleh Pemerintah Indonesia sebelum Undang‐Undang ini berlaku, tetap berlaku sampai dengan berakhirnya perjanjian tersebut. Contoh 2: Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 3 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Area Pasar
Pasal 18 Izin yang telah dikeluarkan sebelum berlakunya Peraturan Daerah ini tetap berlaku sampai dengan habis berlakunya izin. Contoh 3: Peraturan Daerah Kabupaten Kuantan Singingi Nomor 10 Tahun 2009 tentang Pemeliharaan Kesehatan Hewan
Pasal 38 Orang atau Badan yang telah memiliki izin usaha pemeliharaan kesehatan hewan yang telah ada sebelum berlakunya Peraturan Daerah ini, tetap berlaku dan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun harus menyesuaikan dengan Peraturan Daerah ini.
101. Ketentuan peralihan dimuat dalam bab ketentuan peralihan dan
ditempatkan di antara bab ketentuan pidana dan bab Ketentuan Penutup. Jika dalam Peraturan Perundang‐undangan tidak diadakan pengelompokan bab, pasal yang memuat ketentuan peralihan ditempatkan sebelum pasal yang memuat ketentuan penutup.
128. Ketentuan Peralihan dimuat dalam Bab Ketentuan Peralihan dan ditempatkan di antara Bab Ketentuan Pidana dan Bab Ketentuan Penutup. Jika dalam Peraturan Perundang‐undangan tidak diadakan pengelompokan bab, pasal atau beberapa pasal yang memuat Ketentuan Peralihan ditempatkan sebelum pasal atau beberapa pasal yang memuat ketentuan penutup.
102. Pada saat suatu Peraturan Perundang‐undangan dinyatakan mulai
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
berlaku, segala hubungan hukum yang ada atau tindakan hukum yang terjadi baik sebelum, pada saat maupun sesudah Peraturan Perundang‐undangan yang baru itu dinyatakan mulai berlaku, tunduk pada ketentuan Peraturan Perundang‐undangan baru.
103. Di dalam Peraturan Perundang‐undangan yang baru, dapat dimuat pengaturan yang memuat penyimpangan sementara atau penundaan sementara bagi tindakan hokum atau hubungan hukum tertentu.
129. Di dalam Peraturan Perundang‐undangan yang baru, dapat dimuat ketentuan mengenai penyimpangan sementara atau penundaan sementara bagi tindakan hukum atau hubungan hukum tertentu. Contoh 1: Undang‐Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara
Pasal 27 Kementerian yang sudah ada pada saat berlakunya Undang‐Undang ini tetap menjalankan tugasnya sampai dengan terbentuknya Kementerian berdasarkan ketentuan dalam Undang‐Undang ini. Contoh 2: Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 7 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan serta Musyawarah Perencanaan Pembangunan Daerah
Pasal 44 (1) … . (2) Sebelum RPJMD ditetapkan, penyusunan RKPD berpedoman
kepada RPJMD periode sebelumnya.
104. Penyimpangan sementara itu berlaku juga bagi ketentuan yang diberlakusurutkan.
130. Penyimpangan sementara terhadap ketentuan Peraturan Perundangundangan berlaku juga bagi ketentuan yang diberlakusurutkan.
105. Jika suatu Peraturan Perundang‐undangan diberlakukan surut, Peraturan Perundangundangan tersebut hendaknya memuat ketentuan mengenai status dari tindakan hukum yang terjadi, atau hubungan hukum yang ada di dalam tenggang waktu antara tanggal mulai berlaku surut dan tanggal mulai berlaku pengundangannya.
131. Jika suatu Peraturan Perundang‐undangan diberlakukan surut, Peraturan Perundang‐undangan tersebut hendaknya memuat ketentuan mengenai status dari tindakan hukum yang terjadi, atau hubungan hukum yang ada di dalam tenggang waktu antara tanggal mulai berlaku surut dan tanggal mulai berlaku pengundangannya. Contoh:
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
Contoh: Selisih tunjangan perbaikan yang timbul akibat Peraturan Pemerintah ini dibayarkan paling lambat 3 (tiga) bulan sejak saat tanggal pengundangan Peraturan Pemerintah ini.
Selisih tunjangan perbaikan yang timbul akibat Peraturan Pemerintah ini dibayarkan paling lambat 3 (tiga) bulan sejak saat tanggal pengundangan Peraturan Pemerintah ini.
106. Mengingat berlakunya asas‐asas umum hukum pidana, penentuan daya laku surut hendaknya tidak diberlakusurutkan bagi ketentuan yang menyangkut pidana atau pemidanaan.
132. Mengingat berlakunya asas umum hukum pidana, penentuan daya laku surut tidak diberlakukan bagi Ketentuan Pidana.
107. Penentuan daya laku surut sebaiknya tidak diadakan bagi Peraturan Perundangundangan yang memuat ketentuan yang memberi beban konkret kepada masyarakat.
133. Penentuan daya laku surut tidak dimuat dalam Peraturan Perundang‐undangan yang memuat ketentuan yang memberi beban konkret kepada masyarakat, misalnya penarikan pajak atau retribusi.
108. Jika penerapan suatu ketentuan Peraturan Perundang‐undangan dinyatakan ditunda sementara, bagi tindakan hukum atau hubungan hukum tertentu, ketentuan Peraturan Perundang‐undangan tersebut harus memuat secara tegas dan rinci tindakan hokum dan hubungan hukum mana yang dimaksud, serta jangka waktu atau syarat‐syarat berakhirnya penundaan sementara tersebut. Contoh: Izin ekspor rotan setengah jadi yang telah dikeluarkan berdasarkan Peraturan Pemerintah .... Tahun .... masih tetap berlaku untuk jangka waktu 60 (enam puluh) hari sejak tanggal pengundangan Peraturan Pemerintah ini.
134. Jika penerapan suatu ketentuan Peraturan Perundang‐undangan dinyatakan ditunda sementara bagi tindakan hukum atau hubungan hukum tertentu, ketentuan Peraturan Perundang‐undangan tersebut harus memuat secara tegas dan rinci tindakan hukum atau hubungan hukum yang dimaksud, serta jangka waktu atau persyaratan berakhirnya penundaan sementara tersebut. Contoh: Izin ekspor rotan setengah jadi yang telah dikeluarkan berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor … Tahun ... tentang… masih tetap berlaku untuk jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal pengundangan Peraturan Pemerintah ini.
109. Hindari rumusan dalam ketentuan peralihan yang isinya memuat perubahan terselubung atas ketentuan Peraturan Perundang‐undangan lain. Perubahan ini hendaknya dilakukan dengan membuat batasan pengertian baru di dalam ketentuan umum Peraturan Perundang‐undangan atau dilakukan dengan membuat Peraturan Perundang‐undangan perubahan.
Contoh: Pasal 35
(1) Desa atau yang disebut dengan nama lainnya yang setingkat dengan desa yang sudah ada pada saat mulai berlakunya
135. Rumusan dalam Ketentuan Peralihan tidak memuat perubahan terselubung atas ketentuan Peraturan Perundang‐undangan lain. Perubahan ini hendaknya dilakukan dengan membuat batasan pengertian baru di dalam Ketentuan Umum Peraturan Perundangundangan atau dilakukan dengan membuat Peraturan Perundangundangan perubahan. Contoh rumusan yang memuat perubahan terselubung:
Pasal 35 (1) Desa atau yang disebut nama lainnya yang setingkat dengan desa
yang sudah ada pada saat mulai berlakunya Undang‐Undang ini
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
Undang‐Undang ini dinyatakan sebagai desa menurut Pasal I huruf a.
dinyatakan sebagai desa menurut Pasal 1 huruf a.
C.5. Ketentuan Penutup C.5. Ketentuan Penutup 110. Ketentuan penutup ditempatkan dalam bab terakhir. Jika tidak
diadakan pengelompokan bab, ketentuan penutup ditempatkan dalam pasal (‐pasal) terakhir.
136. Ketentuan Penutup ditempatkan dalam bab terakhir. Jika tidak diadakan pengelompokan bab, Ketentuan Penutup ditempatkan dalam pasal atau beberapa pasal terakhir.
111. Pada umumnya ketentuan penutup memuat ketentuan mengenai: a. penunjukan organ atau alat perlengkapan yang melaksanakan
Peraturan Perundang‐undangan; b. nama singkat; c. status Peraturan Perundang‐undangan yang sudah ada; dan d. saat mulai berlaku Peraturan Perundang‐undangan.
137. Pada umumnya Ketentuan Penutup memuat ketentuan mengenai: a. penunjukan organ atau alat kelengkapan yang melaksanakan
Peraturan Perundang‐undangan; b. nama singkat Peraturan Perundang‐undangan; c. status Peraturan Perundang‐undangan yang sudah ada; dan d. saat mulai berlaku Peraturan Perundang‐undangan.
112. Ketentuan penutup dapat memuat peraturan pelaksanaan yang bersifat: a. menjalankan (eksekutif), misalnya, penunjukan pejabat
tertentu yang diberi kewenangan untuk memberikan izin, mengangkat pegawai, dan lain‐lain;
b. mengatur (legislatif), misalnya, memberikan kewenangan untuk membuat peraturan pelaksanaan.
138. Penunjukan organ atau alat kelengkapan yang melaksanakan Peraturan Perundang‐undangan bersifat menjalankan (eksekutif), misalnya, penunjukan pejabat tertentu yang diberi kewenangan untuk memberikan izin, dan mengangkat pegawai.
113. Bagi nama Peraturan Perundang‐undangan yang panjang dapat dimuat ketentuan mengenai nama singkat (judul kutipan) dengan memperhatikan hal‐hal sebagai berikut: a. nomor dan tahun pengeluaran peraturan yang bersangkutan
tidak dicantumkan; b. nama singkat bukan berupa singkatan atau akronim, kecuali
jika singkatan atau akronim itu sudah sangat dikenal dan tidak menimbulkan salah pengertian.
139. Bagi nama Peraturan Perundang‐undangan yang panjang dapat dimuat ketentuan mengenai nama singkat dengan memperhatikan hal‐hal sebagai berikut: a. nomor dan tahun pengeluaran peraturan yang bersangkutan tidak
dicantumkan; b. nama singkat bukan berupa singkatan atau akronim, kecuali jika
singkatan atau akronim itu sudah sangat dikenal dan tidak menimbulkan salah pengertian.
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
114. Nama singkat tidak memuat pengertian yang menyimpang dari isi dan nama peraturan. Contoh nama singkat yang kurang tepat (Undang‐Undang tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan) Undang‐Undang ini dapat disebut Undang‐Undang tentang Karantina Hewan.
140. Nama singkat tidak memuat pengertian yang menyimpang dari isi dan nama peraturan. Contoh nama singkat yang tidak tepat: (Undang‐Undang tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan) Undang‐Undang ini dapat disebut Undang‐Undang tentang Karantina Hewan
115. Hindari memberikan nama singkat bagi nama Peraturan Perundang‐undangan yang sebenarnya sudah singkat. Contoh nama singkat yang kurang tepat: (Undang‐Undang tentang Bank Sentral) Undang‐Undang ini dapat disebut Undang‐Undang tentang Bank Indonesia.
141. Nama Peraturan Perundang‐undangan yang sudah singkat tidak perlu diberikan nama singkat. Contoh nama singkat yang tidak tepat: (Undang‐Undang tentang Bank Sentral) Undang‐Undang ini dapat disebut Undang‐Undang tentang Bank Indonesia.
116. Hindari penggunaan sinonim sebagai nama singkat. Contoh nama singkat yang kurang tepat: (Undang‐Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara) Undang‐Undang ini dapat disebut dengan Undang‐Undang tentang Peradilan Administrasi Negara.
142. Sinonim tidak dapat digunakan untuk nama singkat. Contoh nama singkat yang tidak tepat: (Undang‐Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara) Undang‐Undang ini dapat disebut dengan Undang‐Undang tentang Peradilan Administrasi Negara.
117. Jika materi dalam Peraturan Perundang‐undangan baru menyebabkan perlunya penggantian seluruh atau sebagian materi dalam Peraturan Perundang‐undangan lama, di dalam Peraturan Perundang‐undangan baru harus secara tegas diatur mengenai pencabutan seluruh atau sebagian Peraturan Perundang‐undangan lama.
143. Jika materi muatan dalam Peraturan Perundang‐undangan yang baru menyebabkan perubahan atau penggantian seluruh atau sebagian materi muatan dalam Peraturan Perundang‐undangan yang lama, dalam Peraturan Perundang‐undangan yang baru harus secara tegas diatur mengenai pencabutan seluruh atau sebagian materi muatan Peraturan Perundang‐undangan yang lama.
118. Rumusan pencabutan diawali dengan frase Pada saat Undang‐Undang ini mulai berlaku, kecuali untuk pencabutan yang dilakukan dengan Peraturan Perundang‐undangan pencabutan tersendiri.
144. Rumusan pencabutan Peraturan Perundang‐undangan diawali dengan frasa Pada saat …(jenis Peraturan Perundang‐undangan) ini mulai berlaku, kecuali untuk pencabutan yang dilakukan dengan Peraturan Perundang‐undangan pencabutan tersendiri.
119. Demi kepastian hukum, pencabutan Peraturan Perundang‐undangan hendaknya tidak dirumuskan secara umum tetapi menyebutkan dengan tegas Peraturan Perundang‐undangan mana yang dicabut.
145. Demi kepastian hukum, pencabutan Peraturan Perundang‐undangan tidak dirumuskan secara umum tetapi menyebutkan dengan tegas Peraturan Perundang‐undangan yang dicabut.
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
120. Untuk mencabut Peraturan Perundang‐undangan yang telah diundangkan dan telah mulai berlaku, gunakan frase dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Contoh untuk, Nomor 118, 119, dan 120: Pada saat Undang‐Undang ini mulai berlaku, Undang‐undang Nomor ... Tahun .... tentang ... (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun .... Nomor Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor ... ) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
146. Untuk mencabut Peraturan Perundang‐undangan yang telah diundangkan dan telah mulai berlaku, gunakan frasa dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Contoh: Undang‐Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Pada saat Undang‐Undang ini mulai berlaku, Undang‐Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 92, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4310), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
121. Jika jumlah Peraturan Perundang‐undangan yang dicabut lebih dari 1 (satu), dapat dipertimbangkan cara penulisan dengan rincian dalam bentuk tabulasi. Contoh: Pada saat Undang‐Undang ini mulai berlaku: (1) Ordonansi Perburuan (Jachfordonantie 1931, Slaatsblad 1931:
133); (2) Ordonansi Perlindungan Binatang‐binatang Liar
(Dierenbeschermingsordonantie 1931, Staasblad 1931: 134); (3) Ordonansi Perburuan Jawa dan Madura (Jachtordonantie Java
en Madoera 1940, Staasblad 1939: 733); dan (4) Ordonansi Perlindungan Alam (Natuurbescherming‐
sordonantie 1941, Staasblad 1941: 167); dicabut dan dinyatakan tidak berlaku,
147. Jika jumlah Peraturan Perundang‐undangan yang dicabut lebih dari 1 (satu), cara penulisan dilakukan dengan rincian dalam bentuk tabulasi. Contoh: Pada saat Undang‐Undang ini mulai berlaku: a. Ordonansi Perburuan (Jachtsordonantie 1931, Staatsblad
1931:133); b. Ordonansi Perlindungan Binatang‐binatang Liar
(Dierenbeschermingsordonantie 1931, Staatsblad 1931: 134); c. Ordonansi Perburuan Jawa dan Madura (Jachtsordonantie Java en
Madoera 1940, Staatsblad 1939: 733); dan d. Ordonansi Perlindungan Alam (Natuurbeschermingsordonantie
1941, Staatsblad 1941: 167), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
122. Pencabutan Peraturan Perundang‐undangan harus disertai dengan keterangan mengenai, status hukum dari peraturan pelaksanaan, peraturan lebih rendah, atau keputusan yang telah dikeluarkan berdasarkan Peraturan Perundang‐undangan yang dicabut.
148. Pencabutan Peraturan Perundang‐undangan disertai dengan keterangan mengenai status hukum dari peraturan pelaksanaan atau keputusan yang telah dikeluarkan berdasarkan Peraturan Perundang‐undangan yang dicabut.
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
Contoh: Pasal 102
Pada saat Undang‐Undang ini mulai berlaku, semua Peraturan Perundang‐undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang‐Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1976 Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3086) dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang‐Undang ini.
123. Untuk mencabut Peraturan Perundang‐undangan yang telah diundangkan tetapi belum mulai berlaku, gunakan frase ditarik kembali dan dinyatakan tidak berlaku. Contoh: Pada saat Undang‐Undang ini mulai berlaku, Undang‐Undang Nomor ... Tahun … tentang ... (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun ... Nomor Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor .... ditarik kembali dan dinyatakan tidak berlaku.
149. Untuk mencabut Peraturan Perundang‐undangan yang telah diundangkan tetapi belum mulai berlaku, gunakan frasa ditarik kembali dan dinyatakan tidak berlaku. Contoh: Pada saat Undang‐Undang ini mulai berlaku, Undang‐Undang Nomor ... Tahun... tentang ... (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun ... Nomor..., Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor ...) ditarik kembali dan dinyatakan tidak berlaku.
124. Pada dasarnya setiap Peraturan Perundang‐undangan mulai berlaku pada saat peraturan yang bersangkutan diundangkan.
150. Pada dasarnya Peraturan Perundang‐undangan mulai berlaku pada saat Peraturan Perundang‐undangan tersebut diundangkan. Contoh: a. Undang‐Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. b. Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. c. Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
125. Jika ada penyimpangan terhadap saat mulai berlakunya Peraturan Perundang‐undangan yang bersangkutan pada saat diundangkan, hal ini hendaknya dinyatakan secara tegas di dalam Peraturan Perundang‐undangan yang bersangkutan dengan: a. menentukan tanggal tertentu saat peraturan akan berlaku;
Contoh: Undang‐Undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 April 2000.
b. menyerahkan penetapan saat mulai berlakunya kepada Peraturan Perundang‐undangan lain yang tingkatannya sama,
151. Jika ada penyimpangan terhadap saat mulai berlakunya Peraturan Perundang‐undangan tersebut pada saat diundangkan, hal ini dinyatakan secara tegas di dalam Peraturan Perundang‐undangan tersebut dengan: a. menentukan tanggal tertentu saat peraturan akan berlaku;
Contoh: Undang‐Undang ini mulai berlaku pada tanggal 17 Agustus 2011.
b. menyerahkan penetapan saat mulai berlakunya kepada Peraturan Perundang‐undangan lain yang tingkatannya sama, jika yang
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
jika yang diberlakukan itu kodifikasi, atau oleh Peraturan Perundang‐undangan lain yang lebih rendah. Contoh: Saat mulai berlakunya Undang‐Undang ini akan ditetapkan dengan Peraturan Presiden.
c. dengan menentukan lewatnya tenggang waktu tertentu sejak saat Pengundangan atau penetapan. Agar tidak menimbulkan kekeliruan penafsiran gunakan frase setelah ... (tenggang waktu) sejak ... Contoh: Undang‐Undang ini mulai berlaku setelah 1 (satu) tahun sejak tanggal pengundangan.
diberlakukan itu kodifikasi, atau kepada Peraturan Perundang‐undangan lain yang lebih rendah jika yang diberlakukan itu bukan kodifikasi; Contoh: Saat mulai berlakunya Undang‐Undang ini akan ditetapkan dengan Peraturan Presiden.
c. dengan menentukan lewatnya tenggang waktu tertentu sejak saat Pengundangan atau penetapan. Agar tidak menimbulkan kekeliruan penafsiran gunakan frasa setelah ... (tenggang waktu) terhitung sejak tanggal diundangkan. Contoh: Undang‐Undang ini mulai berlaku setelah 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan.
126. Hindari frase ... mulai berlaku efektif pada tanggal ... atau yang sejenisnya, karena frase ini menimbulkan ketakpastian mengenai saat resmi berlalunya suatu Peraturan Perundang‐undangan : saat Pengundangan atau saat berlaku efektif.
152. Tidak menggunakan frasa ... mulai berlaku efektif pada tanggal ... atau yang sejenisnya, karena frasa ini menimbulkan ketidakpastian mengenai saat berlakunya suatu Peraturan Perundang‐undangan yaitu saat diundangkan atau saat berlaku efektif.
127. Pada dasarnya saat mulai berlaku Peraturan Perundang‐undangan adalah sama bagi seluruh bagian Peraturan Perundang‐undangan dan seluruh wilayah negara Republik Indonesia. Contoh: Undang‐Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
153. Pada dasarnya saat mulai berlaku Peraturan Perundang‐undangan adalah sama bagi seluruh bagian Peraturan Perundang‐undangan dan seluruh wilayah negara Republik Indonesia atau seluruh wilayah Provinsi, Kabupaten/Kota untuk Peraturan Daerah Provinsi, Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
128. Penyimpangan terhadap saat mulai berlaku Peraturan Perundang‐undangan hendaknya dinyatakan secara tegas dengan: a. menetapkan bagian‐bagian mana dalam Peraturan Perundang‐
undangan itu yang berbeda saat mulai berlakunya; Contoh:
Pasal 45 (1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1),
ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) mulai berlaku pada tanggal…
154. Penyimpangan terhadap saat mulai berlaku Peraturan Perundangundangan dinyatakan secara tegas dengan:
a. menetapkan ketentuan dalam Peraturan Perundang‐undangan itu
yang berbeda saat mulai berlakunya; Contoh:
Pasal 45 (1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), ayat
(2), ayat (3), dan ayat (4) mulai berlaku pada tanggal… .
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
b. menetapkan saat mulai berlaku yang berbeda bagi wilayah
negara tertentu. Contoh:
Pasal 40 (15) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat
(1) mulai berlaku untuk wilayah Jawa dan Madura pada tanggal…
b. menetapkan saat mulai berlaku yang berbeda bagi wilayah Negara tertentu. Contoh:
Pasal 40 (1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1)
mulai berlaku untuk wilayah Jawa dan Madura pada tanggal…. 129. Pada dasarnya saat mulai berlakunya Peraturan Perundang‐
undangan tidak dapat ditentukan lebih awal dari pada saat pengundangannya.
155. Pada dasarnya mulai berlakunya Peraturan Perundang‐undangan tidak dapat ditentukan lebih awal dari pada saat pengundangannya.
130. Jika ada alasan yang kuat untuk memberlakukan Peraturan Perundang‐undangan lebih awal daripada saat pengundangannya (artinya, berlaku surut), perlu diperhatikan hal‐hal sebagai berikut: a. ketentuan baik yang berkaitan dengan masalah pidana, baik
jenis, berat, sifat, maupun klasifikasinya, tidak ikut diberlakusurutkan;
b. rincian mengenai pengaruh ketentuan berlaku surut itu terhadap tindakan hukum, hubungan hukum, dan akibat hukum tertentu yang sudah ada, perlu dimuat dalam ketentuan peralihan;
c. awal dari saat mulai berlaku Perataran Perundang‐undangan sebaiknya ditetapkan tidak lebih dahulu dari saat rancangan Peraturan Perundangundangan tersebut mulai diketahui oleh masyarakat, misalnya, saat rancangan undang‐undang itu disampaikan ke Dewan Perwakilan Rakyat.
156. Jika ada alasan yang kuat untuk memberlakukan Peraturan Perundang‐undangan lebih awal daripada saat pengundangannya (berlaku surut), diperhatikan hal sebagai berikut: a. ketentuan baru yang berkaitan dengan masalah pidana, baik jenis,
berat, sifat, maupun klasifikasinya, tidak ikut diberlakusurutkan; b. rincian mengenai pengaruh ketentuan berlaku surut itu terhadap
tindakan hukum, hubungan hukum, dan akibat hukum tertentu yang sudah ada, dimuat dalam ketentuan peralihan;
c. awal dari saat mulai berlaku Peraturan Perundang‐undangan ditetapkan tidak lebih dahulu daripada saat rancangan Peraturan Perundang‐undangan tersebut mulai diketahui oleh masyarakat, misalnya, saat rancangan Peraturan Perundang‐undangan tersebut tercantum dalam Prolegnas, Prolegda, dan perencanaan rancangan Peraturan Perundang‐undangan lainnya.
131. Saat mulai berlaku Peraturan Perundang‐undangan, pelaksanaannya tidak boleh ditetapkan lebih awal daripada saat mulai berlaku Peraturan Perundang‐undangan yang mendasarinya.
157. Saat mulai berlaku Peraturan Perundang‐undangan, pelaksanaannya tidak boleh ditetapkan lebih awal daripada saat mulai berlaku Peraturan Perundang‐undangan yang mendasarinya.
132. Penutup merupakan bagian akhir Peraturan Perundang‐undangan dan memuat:
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
a. rumusan perintah pengundangan dan penempatan Peraturan Perundang‐undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah, atau Berita Daerah;
b. penandatanganan pengesahan atau penetapan Peraturan Perundangundangan;
c. Pengundangan Peraturan Perundang‐undangan; dan d. akhir bagian penutup.
133. Peraturan Perundang‐undangan hanya dapat dicabut dengan Peraturan Perundang‐undangan yang tingkatannya sama atau lebih tinggi.
158. Peraturan Perundang‐undangan hanya dapat dicabut dengan Peraturan Perundang‐undangan yang tingkatannya sama atau lebih tinggi.
134. Pencabutan Peraturan Perundang‐undangan dengan Peraturan Perundang‐undangan yang tingkatannya lebih tinggi itu dilakukan, jika Peraturan Perundang‐undangan yang lebih tinggi itu dimaksudkan untuk menampung kembali seluruh atau sebagian materi Peraturan Perundang‐undangan lebih rendah yang dicabut itu.
159. Pencabutan Peraturan Perundang‐undangan dengan Peraturan Perundang‐undangan yang tingkatannya lebih tinggi itu dilakukan, jika Peraturan Perundang‐undangan yang lebih tinggi itu dimaksudkan untuk menampung kembali seluruh atau sebagian materi muatan Peraturan Perundang‐undangan lebih rendah yang dicabut itu.
D. PENUTUP D. PENUTUP 135. Rumusan perintah pengundangan dan penempatan Peraturan
Perundang‐undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia yang berbunyi sebagai berikut: Contoh: Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan…(jenis Peraturan Perundang‐undangan) ... ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
160. Penutup merupakan bagian akhir Peraturan Perundang‐undangan yang memuat: a. rumusan perintah pengundangan dan penempatan Peraturan
Perundang‐undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah Provinsi, Lembaran Daerah Kabupaten/Kota, Berita Daerah Provinsi atau Berita Daerah Kabupaten/Kota;
b. penandatanganan pengesahan atau penetapan Peraturan Perundang‐undangan;
c. pengundangan atau Penetapan Peraturan Perundang‐undangan; dan
d. akhir bagian penutup.
136. Rumusan perintah pengundangan dan penempatan Peraturan 161. Rumusan perintah pengundangan dan penempatan Peraturan
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
Perundang‐undangan dalam Berita Negara Republik Indonesia yang berbunyi sebagai berikut: Contoh: Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan, pengundangan...(Jenis Peraturan Perundang‐undangan), ... ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Perundang‐undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia yang berbunyi sebagai berikut: Contoh: Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan … (jenis Peraturan Perundang‐undangan) ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
137. Rumusan perintah pengundangan dan penempatan Peraturan Perundang‐undangan dalam Lembaran Negara atau Berita Daerah yang berbunyi sebagai berikut: Contoh: Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan...(jenis Peraturan Perundang‐undangan) ... ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah (Berita Daerah).
162. Rumusan perintah pengundangan dan penempatan Peraturan Perundang‐undangan dalam Berita Negara Republik Indonesia yang berbunyi sebagai berikut: Contoh: Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan … (jenis Peraturan Perundang‐undangan) ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
163. Rumusan perintah pengundangan dan penempatan Peraturan Perundang‐undangan dalam Lembaran Daerah atau Berita Daerah yang berbunyi sebagai berikut: Contoh Peraturan Daerah Provinsi: Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Provinsi Sumatera Barat.
138. Penandatanganan pengesahan atau penetapan Peraturan Perundang‐undangan memuat: i. tempat dan tanggal pengesahan atau penetapan; j. nama jabatan; k. tanda tangan pejabat; dan l. nama lengkap pejabat yang menandatangani, tanpa gelar dan
pangkat.
164. Penandatanganan pengesahan atau penetapan Peraturan Perundangundangan memuat: a. tempat dan tanggal pengesahan atau penetapan; b. nama jabatan; c. tanda tangan pejabat; dan d. nama lengkap pejabat yang menandatangani, tanpa gelar,pangkat,
golongan, dan nomor induk pegawai.
139. Rumusan tempat dan tanggal pengesahan atau penetapan diletakkan di sebelah kanan.
165. Rumusan tempat dan tanggal pengesahan atau penetapan diletakkan di sebelah kanan.
140. Nama jabatan dan nama pejabat ditulis dengan huruf kapital. Pada akhir nama jabatan diberi tanda baca koma.
166. Nama jabatan dan nama pejabat ditulis dengan huruf kapital. Pada akhir nama jabatan diberi tanda baca koma.
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
Contoh untuk pengesahan Disahkan di Jakarta pada tanggal ... PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, tanda tangan NAMA
Contoh untuk penetapan:
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal ... PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, tanda tangan NAMA
a. untuk pengesahan: Contoh:
Disahkan di Jakarta pada tanggal 22 Juli 2011 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
tanda tangan SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
b. untuk penetapan: Contoh:
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 22 Juli 2011 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
tanda tangan SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
141. Pengundangan Peraturan Perundang‐undangan memuat: i. tempat dan tanggal Pengundangan; j. nama jabatan yang berwenang mengundangkan; k. tanda tangan; dan l. nama lengkap pejabat yang menandatangani, tanpa gelar dan
pangkat.
167. Pengundangan Peraturan Perundang‐undangan memuat: a. tempat dan tanggal Pengundangan; b. nama jabatan yang berwenang mengundangkan; c. tanda tangan; dan d. nama lengkap pejabat yang menandatangani, tanpa gelar,pangkat,
golongan, dan nomor induk pegawai.
142. Tempat tanggal Pengundangan Peraturan Perundang‐undangan diletakkan di sebelah kiri (di bawah penandatanganan pengesahan atau penetapan).
168. Tempat tanggal pengundangan Peraturan Perundang‐undangan diletakkan di sebelah kiri (di bawah penandatanganan pengesahan atau penetapan).
143. Nama jabatan dan nama pejabat ditulis dengan huruf kapital. Pada akhir nama jabatan diberi tanda baca koma. Contoh: Diundangkan di ... pada tanggal ... MENTERI (yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang Peraturan Perundangundangan)
tanda tangan NAMA
169. Nama jabatan dan nama pejabat ditulis dengan huruf kapital. Pada akhir nama jabatan diberi tanda baca koma. Contoh: Diundangkan di Jakarta pada tanggal 22 Juli 2011 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA, tanda tangan PATRIALIS AKBAR
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
144. Jika dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari Presiden tidak menandatangani rancangan undang‐undang yang telah disetujui bersama antara Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden, maka dicantumkan kalimat pengesahan setelah nama pejabat yang mengundangkan yang berbunyi: Undang‐Undang ini dinyatakan sah berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (5) Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
170. Jika dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari Presiden tidak menandatangani Rancangan Undang‐Undang yang telah disetujui bersama antara DPR dan Presiden, maka dicantumkan kalimat pengesahan setelah nama pejabat yang mengundangkan yang berbunyi: Undang‐Undang ini dinyatakan sah berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (5) Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
145. Jika dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari Gubernur/Bupati/Walikota tidak menandatangani rancangan peraturan daerah yang telah disetujui bersama antara Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Gubernur atau Bupati/Walikota, maka dicantumkan kalimat pengesahan setelah nama pejabat yang mengundangkan yang berbunyi: Peraturan Daerah ini dinyatakan sah.
171. Jika dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari Gubernur atau Bupati/Walikota tidak menandatangani Rancangan Peraturan Daerah yang telah disetujui bersama antara DPRD dan Gubernur atau Bupati/Walikota, maka dicantumkan kalimat pengesahan setelah nama pejabat yang mengundangkan yang berbunyi: Peraturan Daerah ini dinyatakan sah.
146. Pada akhir bagian penutup dicantumkan Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah, dan Berita Daerah beserta tahun dan nomor dari Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah, dan Berita Daerah tersebut.
172. Pada akhir bagian penutup dicantumkan Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah Provinsi, Lembaran Daerah Kabupaten/Kota, Berita Daerah Provinsi atau Berita Daerah Kabupaten/Kota beserta tahun dan nomor dari Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah Provinsi, Lembaran Daerah Kabupaten/Kota, Berita Daerah Provinsi atau Berita Daerah Kabupaten/Kota.
147. Penulisan frase Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah, dan Berita Daerah ditulis seluruhnya dengan huruf kapital.
Contoh: LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN ... NOMOR.... Contoh:
173. Penulisan frasa Lembaran Negara Republik Indonesia atau Lembaran Daerah ditulis seluruhnya dengan huruf kapital.
Contoh: LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN ... NOMOR... Contoh:
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN ... NOMOR.. Contoh: LEMBARAN DAERAH PROVINSI (KABUPATEN/KOTA) ... TAHUN ...NOMOR....
LEMBARAN DAERAH PROVINSI (KABUPATEN/KOTA) ... TAHUN ... NOMOR ...
E. PENJELASAN E. PENJELASAN 148. a. Setiap Undang‐Undang perlu diberi penjelasan.
b. Peraturan Perundang‐undangan di bawah Undang‐Undang dapat diberi penjelasan, jika diperlukan.
174. Setiap Undang‐Undang, Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota diberi penjelasan.
175. Peraturan Perundang‐undangan di bawah Undang‐Undang (selain Peraturan Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota) dapat diberi penjelasan jika diperlukan.
149. Penjelasan berfungsi sebagai tafsiran resmi pembentuk Peraturan Perundang‐undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh. Oleh karena itu, penjelasan hanya memuat uraian atau jabaran lebih lanjut dari norma yang diatur dalam batang tubuh. Dengan demikian, penjelasan sebagai sarana untuk memperjelas norma dalam batang tubuh tidak boleh mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan dari norma yang dijelaskan.
176. Penjelasan berfungsi sebagai tafsir resmi pembentuk Peraturan Perundang‐undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh. Oleh karena itu, penjelasan hanya memuat uraian terhadap kata, frasa, kalimat atau padanan kata/istilah asing dalam norma yang dapat disertai dengan contoh. Penjelasan sebagai sarana untuk memperjelas norma dalam batang tubuh tidak boleh mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan dari norma yang dimaksud.
150. Penjelasan tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk membuat peraturan lebih lanjut. Oleh karena itu, hindari membuat rumusan norma di dalam bagian penjelasan.
177. Penjelasan tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk membuat peraturan lebih lanjut dan tidak boleh mencantumkan rumusan yang berisi norma.
151. Dalam penjelasan dihindari rumusan yang isinya memuat perubahan terselubung terhadap ketentuan Peraturan Perundang‐undangan.
178. Penjelasan tidak menggunakan rumusan yang isinya memuat perubahan terselubung terhadap ketentuan Peraturan Perundang‐undangan.
152. Naskah penjelasan disusun bersama‐sama dengan penyusunan rancangan peraturan perundang‐undangan yang bersangkutan.
179. Naskah penjelasan disusun bersama‐sama dengan penyusunan rancangan Peraturan Perundang‐undangan.
153. Judul penjelasan sama dengan judul Peraturan Perundang‐undangan yang bersangkutan.
180. Judul penjelasan sama dengan judul Peraturan Perundang‐undangan yang diawali dengan frasa penjelasan atas yang ditulis dengan huruf
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
Contoh:
PENJELASAN ATAS
UNDANG‐UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR ... TAHUN ...
TENTANG KESEJAHTERAAN ANAK
kapital. Contoh:
PENJELASAN ATAS
UNDANG‐UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2011
TENTANG TRANSFER DANA
154. Penjelasan Peraturan Perundang‐undangan memuat penjelasan umum dan penjelasan pasal demi pasal.
181. Penjelasan Peraturan Perundang‐undangan memuat penjelasan umum dan penjelasan pasal demi pasal.
155. Rincian penjelasan umum dan penjelasan pasal demi pasal diawali dengan angka Romawi dan ditulis seluruhnya dengan huruf kapital. Contoh: I. UMUM II. PASAL DEMI PASAL
182. Rincian penjelasan umum dan penjelasan pasal demi pasal diawali dengan angka Romawi dan ditulis dengan huruf kapital. Contoh: I. UMUM II. PASAL DEMI PASAL
156. Penjelasan umum memuat uraian secara sistematis mengenai latar belakang pemikiran, maksud, dan tujuan penyusunan Peraturan Perundang‐undangan yang telah tercantum secara singkat dalam butir konsiderans, serta asas‐asas, tujuan, atau pokok‐pokok yang terkandung dalam batang tubuh Peraturan Perundang‐undangan.
183. Penjelasan umum memuat uraian secara sistematis mengenai latar belakang pemikiran, maksud, dan tujuan penyusunan Peraturan Perundang‐undangan yang telah tercantum secara singkat dalam butir konsiderans, serta asas, tujuan, atau materi pokok yang terkandung dalam batang tubuh Peraturan Perundang‐undangan.
157. Bagian‐bagian dari penjelasan umum dapat diberi nomor dengan angka Arab, jika hal ini lebih memberikan kejelasan. Contoh: I. UMUM (1) Dasar Pemikiran ... (2) Pembagian Wilayah ... (3) Asas‐asas Penyelenggara Pemerintahan ... (4) Daerah Otonom
184. Bagian‐bagian dari penjelasan umum dapat diberi nomor dengan angka Arab, jika hal ini lebih memberikan kejelasan. Contoh: I. UMUM 1. Dasar Pemikiran ... 2. Pembagian Wilayah … 3. Asas‐asas Penyelenggara Pemerintahan … 4. Daerah Otonom
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
... (5) Wilayah Administratif ... (6) Pengawasan ...
… 5. Wilayah Administratif … 6. Pengawasan …
158. Jika dalam penjelasan umum dimuat pengacuan ke Peraturan Perundang‐undangan lain atau dokumen lain, pengacuan itu dilengkapi dengan keterangan mengenai sumbernya.
185. Jika dalam penjelasan umum dimuat pengacuan ke Peraturan Perundang‐undangan lain atau dokumen lain, pengacuan itu dilengkapi dengan keterangan mengenai sumbernya.
159. Dalam menyusun penjelasan pasal demi pasal harus ‐ diperhatikan agar rumusannya: a. tidak bertentangan dengan materi pokok yang diatur dalam
batang tubuh; b. tidak memperluas atau menambah norma yang ada dalam
batang tubuh; c. tidak melakukan pengulangan atas materi pokok yang diatur
dalam batang tubuh; d. tidak mengulangi uraian kata, istilah, atau pengertian yang
telah dimuat di dalam ketentuan umum.
186. Rumusan penjelasan pasal demi pasal memperhatikan hal sebagai berikut: a. tidak bertentangan dengan materi pokok yang diatur dalam batang
tubuh; b. tidak memperluas, mempersempit atau menambah pengertian
norma yang ada dalam batang tubuh; c. tidak melakukan pengulangan atas materi pokok yang diatur dalam
batang tubuh; d. tidak mengulangi uraian kata, istilah, frasa, atau pengertian yang
telah dimuat di dalam ketentuan umum; dan/atau e. tidak memuat rumusan pendelegasian
160. Ketentuan umum yang memuat batasan pengertian atau definisi dari kata atau istilah, tidak perlu diberikan penjelasan karena itu batasan pengertian atau definisi harus dirumuskan sedemikian rupa sehingga dapat dimengerti tanpa memerlukan penjelasan lebih lanjut.
187. Ketentuan umum yang memuat batasan pengertian atau definisi dari kata atau istilah, tidak perlu diberikan penjelasan.
161. Pada pasal atau ayat yang tidak memerlukan penjelasan ditulis frase cukup jelas yang diakhiri dengan tanda baca titik, sesuai dengan makna frase penjelasan pasal demi pasal tidak digantungkan walaupun terdapat beberapa pasal berurutan yang tidak memerlukan penjelasan. Contoh yang kurang tepat: Pasal 7, Pasal 8 dan Pasal 9 (Pasal 7 s/d Pasal 9)
Cukup jelas,
188. Pada pasal atau ayat yang tidak memerlukan penjelasan ditulis frasa cukup jelas yang diakhiri dengan tanda baca titik (.) dan huruf c ditulis dengan huruf kapital. Penjelasan pasal demi pasal tidak digabungkan walaupun terdapat beberapa pasal berurutan yang tidak memerlukan penjelasan.
Contoh yang tidak tepat: Pasal 7, Pasal 8 dan Pasal 9 (Pasal 7 s/d Pasal 9)
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
Seharusnya Pasal 7
Cukup jelas. Pasal 8
Cukup jelas. Pasal 9
Cukup jelas.
Cukup jelas. Seharusnya: Pasal 7
Cukup jelas. Pasal 8
Cukup jelas. Pasal 9
Cukup jelas. 162. Jika suatu pasal terdiri dari beberapa ayat atau butir tidak
memerlukan penjelasan, pasal yang bersangkutan cukup diberi penjelasan. Cukup jelas., tanpa merinci masing‐masing ayat atau butir.
189. Jika suatu pasal terdiri dari beberapa ayat atau butir tidak memerlukan penjelasan, pasal yang bersangkutan cukup diberi penjelasan cukup jelas., tanpa merinci masing‐masing ayat atau butir.
163. a. Jika suatu pasal terdiri dari beberapa ayat atau butir dan salah satu ayat atau butir tersebut memerlukan penjelasan, setiap ayat atau butir perlu dicantumkan dan dilengkapi dengan penjelasan yang sesuai. Contoh: Pasal 7
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Ayat ini dimaksudkan untuk memberi kepastian hukum kepada hakim dan para pengguna hukum.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.
190. Jika suatu pasal terdiri dari beberapa ayat atau butir dan salah satu ayat atau butir tersebut memerlukan penjelasan, setiap ayat atau butir perlu dicantumkan dan dilengkapi dengan penjelasan yang sesuai.
Contoh: Pasal 7
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Ayat ini dimaksudkan untuk memberi kepastian hokum kepada hakim dan para pengguna hukum.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
b. jika suatu istilah/kata/frase dalam suatu pasal atau ayat yang memerlukan penjelasan, gunakan tanda baca petik (“…”) pada istilah kata/frase tersebut. Contoh: Pasal 25
Ayat (1) Yang dimaksud dengan "persidangan yang berikut" adalah masa persidangan Dewan Perwakilan Rakyat yang hanya diantarai satu masa reses.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.
191. Jika suatu istilah/kata/frasa dalam suatu pasal atau ayat yang memerlukan penjelasan, gunakan tanda baca petik (“…“) pada istilah/kata/frasa tersebut. Contoh: Pasal 25
Ayat (1) Yang dimaksud dengan “persidangan yang berikut” adalah masa sidang pertama DPR setelah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang‐Undang ditetapkan.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.
F. LAMPIRAN (Jika diperlukan) F. LAMPIRAN 164. Dalam hal Peraturan Perundang‐undangan memerlukan lampiran,
hal tersebut harus dinyatakan dalam batang tubuh dan pernyataan bahwa lampiran tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Perundang‐undangan yang bersangkutan. Pada akhir lampiran harus dicantumkan nama dan tanda tangan pejabat yang mengesahkan/ menetapkan Peraturan Perundang‐undangan yang bersangkutan.
192. Dalam hal Peraturan Perundang‐undangan memerlukan lampiran, hal tersebut dinyatakan dalam batang tubuh bahwa lampiran dimaksud merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Perundang‐undangan.
193. Lampiran dapat memuat antara lain uraian, daftar, tabel, gambar, peta, dan sketsa.
194. Dalam hal Peraturan Perundang‐undangan memerlukan lebih dari satu lampiran, tiap lampiran harus diberi nomor urut dengan menggunakan angka romawi. Contoh: LAMPIRAN I
LAMPIRAN II
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
195. Judul lampiran ditulis seluruhnya dengan huruf kapital yang diletakkan di sudut kanan atas tanpa diakhiri tanda baca dengan rata kiri. Contoh:
LAMPIRAN I UNDANG–UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR ... TAHUN … TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG–UNDANGAN
196. Nama lampiran ditulis seluruhnya dengan huruf kapital yang diletakkan di tengah tanpa diakhiri tanda baca. Contoh:
TEKNIK PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG‐UNDANGAN
197. Pada halaman akhir tiap lampiran harus dicantumkan nama dan tanda tangan pejabat yang mengesahkan atau menetapkan Peraturan Perundang‐undangan ditulis dengan huruf kapital yang diletakkan di sudut kanan bawah dan diakhiri dengan tanda baca koma setelah nama pejabat yang mengesahkan atau menetapkan Peraturan Perundang‐undangan. Contoh:
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, tanda tangan
SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
BAB II HAL‐HAL KHUSUS
BAB II HAL‐HAL KHUSUS
A. PENDELEGASIAN KEWENANGAN A. PENDELEGASIAN KEWENANGAN 165. Peraturan Perundang‐undangan yang lebih tinggi dapat
mendelegasikan kewenangan mengatur lebih lanjut kepada 198. Peraturan Perundang‐undangan yang lebih tinggi dapat
mendelegasikan kewenangan mengatur lebih lanjut kepada Peraturan
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
Peraturan Perundang‐undangan yang lebih rendah. Perundang‐undangan yang lebih rendah. 199. Pendelegasian kewenangan dapat dilakukan dari suatu Undang‐
Undang kepada Undang‐Undang yang lain, dari Peraturan Daerah Provinsi kepada Peraturan Daerah Provinsi yang lain, atau dari Peraturan Daerah Kabupaten/Kota kepada Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang lain. Contoh: Undang‐Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
Pasal 48 (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai perlindungan terhadap kawasan
lahan abadi pertanian pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e diatur dengan Undang‐Undang.
166. Pendelegasian kewenangan mengatur, harus menyebut dengan tegas: a. ruang lingkup materi yang diatur; dan b. jenis Peraturan Perundang‐undangan.
200. Pendelegasian kewenangan mengatur harus menyebut dengan tegas: a. ruang lingkup materi muatan yang diatur; dan b. jenis Peraturan Perundang‐undangan.
167. a. Jika materi yang didelegasikan sebagian sudah diatur pokok‐pokoknya di dalam Peraturan Perundang‐undangan yang mendelegasikan tetapi materi itu harus diatur hanya di dalam Peraturan Perundang‐undangan yang didelegasikan dan tidak boleh didelegasikan lebih lanjut ke Peraturan Perundang‐undangan yang lebih rendah (subdelegasi), gunakan kalimat Ketentuan lebih lanjut mengenai ... diatur dengan...
201. Jika materi muatan yang didelegasikan sebagian sudah diatur pokok‐pokoknya di dalam Peraturan Perundang‐undangan yang mendelegasikan tetapi materi muatan itu harus diatur hanya di dalam Peraturan Perundang‐undangan yang didelegasikan dan tidak boleh didelegasikan lebih lanjut ke Peraturan Perundang‐undangan yang lebih rendah (subdelegasi), gunakan kalimat Ketentuan lebih lanjut mengenai … diatur dengan … . Contoh 1: Pasal … (1) ... . (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai … diatur dengan Peraturan
Pemerintah. Contoh 2: Peraturan Daerah Kabupaten Gorontalo Utara Nomor 87 Tahun 2010 tentang Pajak Reklame
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
b. Jika pengaturan materi tersebut dibolehkan didelegasikan lebih lanjut (subdelegasi) gunakan kalimat Ketentuan lebih lanjut mengenai ...diatur dengan atau berdasarkan... Contoh huruf a:
Pasal ... (1) ... (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai ... diatur dengan Peraturan
Pemerintah. Contoh huruf b:
Pasal ... (1) ... (2)Ketentuan lebih lanjut mengenai ... diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Pemerintah.
Pasal 18 (1) ... . (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengisian dan
penyampaian SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan diatur dengan Peraturan Kepala Daerah.
Contoh 3: Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Sampah Regional Jawa Timur
Pasal 23 (1) … . (2) … . (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan tata cara peran serta
masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Gubernur.
202. Jika pengaturan materi muatan tersebut dibolehkan didelegasikan lebih lanjut (subdelegasi), gunakan kalimat Ketentuan lebih lanjut mengenai … diatur dengan atau berdasarkan … . Contoh:
Pasal … (1) … . (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai … diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Pemerintah.
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
168. a. Jika materi yang didelegasikan sama sekali belum diatur pokok‐pokoknya di dalam Peraturan Perundang‐undangan yang mendelegasikan dan materi itu harus diatur di dalam Peraturan Perundang‐undangan yang diberi delegasi dan tidak boleh didelegasikan lebih lanjut ke Peraturan Perundang‐undangan yang lebih rendah (subdelegasi), gunakan kalimat Ketentuan mengenai ... diatur dengan...
203. Jika materi muatan yang didelegasikan sama sekali belum diatur pokok‐pokoknya di dalam Peraturan Perundang‐undangan yang mendelegasikan dan materi muatan itu harus diatur di dalam Peraturan Perundang‐undangan yang diberi delegasi dan tidak boleh didelegasikan lebih lanjut ke Peraturan Perundang‐undangan yang lebih rendah (subdelegasi), gunakan kalimat Ketentuan mengenai … diatur dengan … .
Contoh:
Pasal … (1) … . (2) Ketentuan mengenai … diatur dengan Peraturan Pemerintah.
204. Jika pengaturan materi tersebut dibolehkan didelegasikan lebih lanjut (subdelegasi) digunakan kalimat Ketentuan mengenai … diatur dengan atau berdasarkan … . Contoh:
Pasal ... (1) ... . (2) Ketentuan mengenai … diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Pemerintah.
b. Jika peraturan materi tersebut dibolehkan didelegasikan lebih lanjut (subdelegasi) digunakan kalimat Ketentuan mengenai…diatur dengan atau berdasarkan… Contoh huruf a:
Pasal…
205. Jika terdapat beberapa materi muatan yang didelegasikan dan materi muatan tersebut tercantum dalam beberapa pasal atau ayat tetapi akan didelegasikan dalam suatu Peraturan Perundang‐undangan, gunakan kalimat “Ketentuan mengenai … diatur dalam ….”
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
(1) … (2) Ketentuan mengenai ... diatur dengan Peraturan Pemerintah. Contoh huruf b:
Pasal ... (1) .... (2) Ketentuan mengenai ... diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Pemerintah.
Contoh: Qanun Kabupaten Aceh Jaya Nomor 2 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan
Pasal 57 (1) … . (2) … . (3) … . (4) ... . . . (5) … . (6) … . (7) Ketentuan mengenai pedoman persyaratan dan tata cara untuk
mendapatkan KIPAS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Bupati.
206. Jika terdapat beberapa materi muatan yang didelegasikan maka materi muatan yang didelegasikan dapat disatukan dalam 1 (satu) peraturan pelaksanaan dari Peraturan Perundang‐undangan yang mendelegasikan, gunakan kalimat “(jenis Peraturan Perundangundangan) … tentang Peraturan Pelaksanaan ...” Contoh: Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 tentang
Peraturan Pelaksanaan Undang‐Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.
169. Untuk mempermudah dalam penentuan judul dari peraturan pelaksana yang akan dibuat rumusan pendelegasian perlu mencantumkan secara singkat tetapi lengkap mengenai apa yang akan diatur lebih lanjut. Contoh:
Pasal 10 (6) … (7) ketentuan lebih lanjut tentang tata cara permohonan
pendaftaran desain industri diatur dengan Peraturan Pemerintah.
207. Untuk mempermudah dalam penentuan judul dari peraturan pelaksanaan yang akan dibuat, rumusan pendelegasian perlu mencantumkan secara singkat tetapi lengkap mengenai apa yang akan diatur lebih lanjut. Contoh: Diambil dari Undang‐Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan
Pasal 76 (1) ... . (2) ... .
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
(3) ... . (4) ... . (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai kemudahan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
170. Jika pasal terdiri dari beberapa ayat pendelegasian kewenangan dimuat pada ayat terakhir dari pasal yang bersangkutan.
208. Jika pasal terdiri dari beberapa ayat, pendelegasian kewenangan dimuat pada ayat terakhir dari pasal yang bersangkutan.
171. Jika pasal terdiri dari banyak ayat, pendelegasian kewenangan dapat dipertimbangkan untuk dimuat dalam pasal tersendiri, karena materi pendelegasian ini pada dasarnya berbeda dengan apa yang diatur dalam rangkaian ayat‐ayat sebelumnya.
209. Jika pasal terdiri dari beberapa ayat, pendelegasian kewenangan dapat dipertimbangkan untuk dimuat dalam pasal tersendiri, karena materi pendelegasian ini pada dasarnya berbeda dengan apa yang diatur dalam rangkaian ayat‐ayat sebelumnya.
172. Dalam pendelegasian kewenangan mengatur sedapat mungkin dihindari adanya delegasi blangko. Contoh:
Pasal ... Hal‐hal yang belum cukup diatur dalam Undang‐Undang ini, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
210. Dalam pendelegasian kewenangan mengatur tidak boleh adanya delegasi blangko. Contoh 1:
Pasal … Hal‐hal yang belum cukup diatur dalam Undang‐Undang ini, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Contoh 2: Qanun Kabupaten Aceh Jaya Nomor 4 Tahun 2010 tentang Pembentukan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Badan Penanggulangan Bencana Daerah
Pasal 24 Hal‐hal yang belum diatur dalam Qanun ini sepanjang pengaturan pelaksanaannya, diatur dengan Peraturan Bupati.
173. Pendelegasian kewenangan mengatur dari Undang‐Undang kepada menteri atau pejabat yang setingkat dengan menteri dibatasi untuk peraturan yang bersifat teknis administratif.
211. Pendelegasian kewenangan mengatur dari Undang‐Undang kepada menteri, pemimpin lembaga pemerintah nonkementerian, atau pejabat yang setingkat dengan menteri dibatasi untuk peraturan yang bersifat teknis administratif.
174. Kewenangan yang didelegasikan kepada suatu alat penyelenggara negara tidak dapat didelegasikan lebih lanjut kepada alat penyelenggara negara lain, kecuali jika oleh Undang‐Undang yang
212. Kewenangan yang didelegasikan kepada suatu alat penyelenggara negara tidak dapat didelegasikan lebih lanjut kepada alat penyelenggara negara lain, kecuali jika oleh Undang‐Undang yang
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
mendelegasikan kewenangan tersebut dibuka kemungkinan untuk itu.
mendelegasikan kewenangan tersebut dibuka kemungkinan untuk itu.
175. Hindari pendelegasian kewenangan mengatur secara langsung dari Undang‐Undang kepada direktur jenderal atau pejabat yang setingkat.
213. Pendelegasian kewenangan mengatur dari suatu Peraturan Perundang‐undangan tidak boleh didelegasikan kepada direktur jenderal, sekretaris jenderal, atau pejabat yang setingkat.
176. Pendelegasian langsung kepada direktur jenderal atau pejabat yang setingkat hanya dapat diberikan oleh Peraturan Perundang‐undangan yang tingkatannya lebih rendah daripada Undang‐Undang.
214. Pendelegasian langsung kepada direktur jenderal atau pejabat yang setingkat hanya dapat diberikan oleh Peraturan Perundang‐undangan yang tingkatannya lebih rendah daripada Undang‐Undang.
177. Peraturan Perundang‐undangan pelaksanaannya hendaknya tidak mengulangi ketentuan norma yang telah diatur di dalam Peraturan Perundang‐undangan yang mendelegasikan, kecuali jika hal tersebut memang tidak dapat dihindari.
215. Peraturan Perundang‐undangan pelaksanaannya hendaknya tidak mengulangi ketentuan norma yang telah diatur di dalam Peraturan Perundang‐undangan yang mendelegasikan, kecuali jika hal tersebut memang tidak dapat dihindari.
178. Di dalam peraturan pelaksana sedapat mungkin dihindari pengutipan kembali rumusan norma atau ketentuan yang terdapat dalam peraturan perundang‐undangan lebih tinggi yang mendelegasikan. Pengutipan kembali dapat dilakukan sepanjang rumusan norma atau ketentuan tersebut diperlukan sebagai pengantar (aanloop) untuk merumuskan norma atau ketentuan lebih lanjut di dalam pasal (‐pasal) atau ayat (‐ayat) selanjutnya.
216. Di dalam peraturan pelaksanaan tidak mengutip kembali rumusan norma atau ketentuan yang terdapat dalam Peraturan Perundang‐undangan lebih tinggi yang mendelegasikan. Pengutipan kembali dapat dilakukan sepanjang rumusan norma atau ketentuan tersebut diperlukan sebagai pengantar (aanloop) untuk merumuskan norma atau ketentuan lebih lanjut di dalam pasal atau beberapa pasal atau ayat atau beberapa ayat selanjutnya.
B. PENYIDIKAN B. PENYIDIKAN 179. Ketentuan penyidikan hanya dapat dimuat di dalam Undang‐
Undang dan Peraturan Daerah. 217. Ketentuan penyidikan hanya dapat dimuat di dalam Undang‐Undang,
Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
180. Ketentuan penyidikan memuat pemberian kewenangan kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil departemen atau instansi tertentu untuk menyidik pelanggaran terhadap ketentuan Undang‐Undang atau Peraturan Daerah.
218. Ketentuan penyidikan memuat pemberian kewenangan kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil kementerian, lembaga pemerintah nonkementerian, atau instansi tertentu untuk menyidik pelanggaran terhadap ketentuan Undang‐Undang, Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
181. Dalam merumuskan ketentuan yang menunjuk pejabat tertentu sebagai penyidik hendaknya diusahakan ajar tidak mengurangi kewenangan penyidik umum untuk melakukan penyidikan.
219. Dalam merumuskan ketentuan yang menunjuk pejabat tertentu sebagai penyidik pegawai negeri sipil diusahakan agar tidak mengurangi kewenangan penyidik umum untuk melakukan
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
Contoh: Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan ... (nama departemen atau instansi)... dapat diberikan kewenangan untuk melaksanakan penyidikan terhadap pelanggaran terhadap ketentuan‐ketentuan dalam Undang‐Undang (atau Peraturan Daerah) ini.
penyidikan. Contoh: Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan ... (nama kementerian atau instansi) dapat diberikan kewenangan untuk melaksanakan penyidikan terhadap pelanggaran terhadap ketentuan‐ketentuan dalam Undang‐Undang (Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota) ini.
182. Ketentuan penyidikan ditempatkan sebelum ketentuan pidana atau jika dalam Undang‐Undang atau Peraturan Daerah tidak diadakan pengelompokan, ditempatkan pada pasal (‐pasal) sebelum ketentuan pidana.
220. Ketentuan penyidikan ditempatkan sebelum ketentuan pidana atau jika dalam Undang‐Undang, Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota tidak diadakan pengelompokan, ditempatkan pada pasal atau beberapa pasal sebelum ketentuan pidana.
C. PENCABUTAN C. PENCABUTAN 183. Jika ada Peraturan Perundang‐undangan lama yang tidak
diperlukan lagi dan diganti dengan Peraturan Perundang‐undangan baru, Peraturan Perundang‐undangan yang baru harus secara tegas mencabut Peraturan Perundang‐undangan yang tidak diperlukan itu.
221. Jika ada Peraturan Perundang‐undangan lama yang tidak diperlukan lagi dan diganti dengan Peraturan Perundang‐undangan baru, Peraturan Perundang‐undangan yang baru harus secara tegas mencabut Peraturan Perundang‐undangan yang tidak diperlukan itu.
184. Peraturan Perundang‐undangan pada dasarnya hanya dapat dicabut melalui Peraturan Perundang‐undangan yang setingkat.
222. Jika materi dalam Peraturan Perundang‐undangan yang baru menyebabkan perlu penggantian sebagian atau seluruh materi dalam Peraturan Perundang‐undangan yang lama, di dalam Peraturan Perundang‐undangan yang baru harus secara tegas diatur mengenai pencabutan sebagian atau seluruh Peraturan Perundang‐undangan yang lama.
185. Peraturan Perundang‐undangan yang lebih rendah tidak boleh mencabut Peraturan Perundang‐undangan yang lebih tinggi.
223. Peraturan Perundang‐undangan hanya dapat dicabut melalui Peraturan Perundang‐undangan yang setingkat atau lebih tinggi.
186. Pencabutan melalui Peraturan Perundang‐undangan yang tingkatannya lebih tinggi dilakukan jika Peraturan Perundang‐undangan yang lebih tinggi tersebut dimaksudkan untuk menampung kembali seluruh atau sebagian dari materi Peraturan Perundang‐undangan yang lebih rendah yang dicabut itu.
224. Pencabutan melalui Peraturan Perundang‐undangan yang tingkatannya lebih tinggi dilakukan jika Peraturan Perundang‐undangan yang lebih tinggi tersebut dimaksudkan untuk menampung kembali seluruh atau sebagian dari materi Peraturan Perundang‐undangan yang lebih rendah yang dicabut itu.
187. Jika Peraturan Perundang‐undangan baru mengatur kembali suatu 225. Jika Peraturan Perundang‐undangan baru mengatur kembali suatu
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
materi yang sudah diatur dan sudah diberlakukan, pencabutan Peraturan Perundang‐undangan itu dinyatakan dalam salah satu pasal dalam ketentuan penutup dari Peraturan Perundang‐undangan yang baru, dengan menggunakan rumusan dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
materi yang sudah diatur dan sudah diberlakukan, pencabutan Peraturan Perundang‐undangan itu dinyatakan dalam salah satu pasal dalam ketentuan penutup dari Peraturan Perundang‐undangan yang baru, dengan menggunakan rumusan dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
188. Pencabutan Peraturan Perundang‐undangan yang sudah diundangkan atau diumumkan, tetapi belum mulai berlaku, dapat dilakukan dengan peraturan tersendiri dengan menggunakan rumusan ditarik kembali dan dinyatakan tidak berlaku.
226. Pencabutan Peraturan Perundang‐undangan yang sudah diundangkan tetapi belum mulai berlaku, dapat dilakukan dengan peraturan tersendiri dengan menggunakan rumusan ditarik kembali dan dinyatakan tidak berlaku.
189. Jika pencabutan Peraturan Perundang‐undangan dilakukan dengan peraturan pencabutan tersendiri, peraturan pencabutan itu hanya memuat 2 (dua) pasal yang ditulis dengan angka Arab, yaitu sebagai berikut: e. Pasal 1 memuat ketentuan yang menyatakan tidak berlakunya
Peraturan Perundang‐undangan yang sudah diundangkan tetapi belum mulai berlaku.
f. Pasal 2 memuat ketentuan tentang saat mulai berlakunya Peraturan Perundang‐undangan pencabutan yang bersangkutan.
Contoh:
Pasal 1 Undang‐Undang Nomor…Tahun…tentang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun ... Nomor…Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor ...) dicabut dan di nyatakan tidak berlaku.
Pasal 2 Undang‐Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
227. Jika pencabutan Peraturan Perundangan‐undangan dilakukan dengan peraturan pencabutan tersendiri, peraturan pencabutan tersebut pada dasarnya memuat 2 (dua) pasal yang ditulis dengan angka Arab, yaitu sebagai berikut : a. Pasal 1 memuat ketentuan yang menyatakan tidak berlakunya
Peraturan Perundang‐undangan yang sudah diundangkan. b. Pasal 2 memuat ketentuan tentang saat mulai berlakunya
Peraturan Perundang‐undangan pencabutan yang bersangkutan. Contoh:
Pasal 1 Undang‐Undang Nomor … Tahun ... tentang … (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun … Nomor …, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor …) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 2 Undang‐Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
190. Pencabutan Peraturan Perundang‐undangan yang menimbulkan perubahan dalam Peraturan Perundang‐undangan lain yang terkait, tidak mengubah Peraturan Perundang‐undangan lain yang terkait tersebut, kecuali ditentukan lain secara tegas.
228. Pencabutan Peraturan Perundang‐undangan yang menimbulkan perubahan dalam Peraturan Perundang‐undangan lain yang terkait, tidak mengubah Peraturan Perundang‐undangan lain yang terkait tersebut, kecuali ditentukan lain secara tegas.
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
191. Peraturan Perundang‐undangan atau ketentuan yang telah dicabut, otomatis tidak berlaku kembali, meskipun Peraturan Perundang‐undangan yang mencabut di kemudian hari dicabut pula.
229. Peraturan Perundang‐undangan atau ketentuan yang telah dicabut, tetap tidak berlaku, meskipun Peraturan Perundang‐undangan yang mencabut di kemudian hari dicabut pula.
D. PERUBAHAN PERATURAN PERUNDANG‐UNDANGAN D. PERUBAHAN PERATURAN PERUNDANG‐UNDANGAN 192. Perubahan Peraturan Perundang‐undangan dilakukan dengan:
a. menyisipkan atau menambah materi ke dalam Peraturan Perundang‐undangan; atau
b. menghapus atau mengganti sebagian materi Peraturan Perundang‐undangan.
230. Perubahan Peraturan Perundang‐undangan dilakukan dengan: a. menyisip atau menambah materi ke dalam Peraturan
Perundangundangan; atau b. menghapus atau mengganti sebagian materi Peraturan
Perundangundangan.
193. Perubahan Peraturan Perundang‐undangan dapat dilakukan terhadap: a. seluruh atau sebagian buku, bab, bagian, paragraf, pasal,
dan/atau ayat; atau b. kata, istilah, kalimat, angka, dan/atau tanda baca.
231. Perubahan Peraturan Perundang‐undangan dapat dilakukan terhadap: a. seluruh atau sebagian buku, bab, bagian, paragraf, pasal, dan/atau
ayat; atau b. kata, frasa, istilah, kalimat, angka, dan/atau tanda baca.
194. Jika Pengaturan Perundang‐undangan yang diubah mempunyai nama singkat, Peraturan Perundang‐undangan perubahan dapat menggunakan nama singkat Peraturan Perundang‐undangan yang diubah.
232. Jika Peraturan Perundang‐undangan yang diubah mempunyai nama singkat, Peraturan Perundang‐undangan perubahan dapat menggunakan nama singkat Peraturan Perundang‐undangan yang diubah.
195. Pada dasarnya batang tubuh Peraturan Perundang‐undangan perubahan terdiri atas 2 (dua) pasal yang ditulis dengan angka Romawi yaitu sebagai berikut:
c. Pasal 1 memuat judul Peraturan Perundang‐undangan yang
diubah, dengan menyebutkan Lembaran Negara Republik Indonesia dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia yang diletakkan di antara tanda baca kurung serta memuat materi atau norma yang diubah. Jika materi perubahan lebih dari satu, setiap, materi perubahan dirinci dengan menggunakan angka Arab (1, 2, 3, dan seterusnya).
233. Pada dasarnya batang tubuh Peraturan Perundang‐undangan perubahan terdiri atas 2 (dua) pasal yang ditulis dengan angka Romawi yaitu sebagai berikut: a. Pasal I memuat judul Peraturan Perundang‐undangan yang diubah,
dengan menyebutkan Lembaran Negara Republik Indonesia dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia yang diletakkan di antara tanda baca kurung serta memuat materi atau norma yang diubah. Jika materi perubahan lebih dari satu, setiap materi perubahan dirinci dengan menggunakan angka Arab (1, 2, 3, dan seterusnya). Contoh 1:
Pasal I
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
Contoh:
Pasal 1 Beberapa ketentuan dalam Undang‐Undang Nomor...Tahun...tentang...(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun...Nomor..., Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor...) diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:... 2. Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:... 3. dan seterusnya...
d. Jika Peraturan Perundang‐undangan telah diubah lebih dari satu kali, pasal 1 memuat, selain mengikuti ketentuan pada Nomor 193 huruf a, juga tahun dan nomor dari Peraturan Perundang‐undangan perubahan yang ada serta Lembaran Negara Republik Indonesia dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia yang diletakkan di antara tanda baca kurung dan dirinci dengan huruf‐huruf (abjad) kecil (a, b, c dan seterusnya). Contoh: Pasal 1
Beberapa ketentuan dalam Undang‐Undang Nomor … Tahun … tentang … (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun … Nomor …, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor …) diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
… 2. Ketentuan ayat (2) dan ayat (3) Pasal 8 diubah, sehingga
berbunyi sebagai berikut: … 3. dan seterusnya …
Contoh 2:
Pasal I Ketentuan Pasal ... dalam Undang‐Undang Nomor … Tahun … tentang … (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun … Nomor …, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor …) diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: …
b. Jika Peraturan Perundang‐undangan telah diubah lebih dari satu
kali, Pasal I memuat, selain mengikuti ketentuan pada Nomor 193 huruf a, juga tahun dan nomor dari Peraturan Perundangundangan perubahan yang ada serta Lembaran Negara Republik Indonesia dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia yang diletakkan di antara tanda baca kurung dan dirinci dengan huruf (abjad) kecil (a, b, c, dan seterusnya). Contoh:
Pasal I Undang‐Undang Nomor … Tahun … tentang … (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun … Nomor …, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor … ) yang telah beberapa kali diubah dengan Undang‐Undang: a. Nomor … Tahun … (Lembaran Negara Republik Indonesia
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
Undang‐undang Nomor…Tahun…tentang ... (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun…Nomor…; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor…) yang telah beberapa kali diubah dengan Undang‐undang: a. Nomor…Tahun…(Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun…Nomor… Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor…);
b. Nomor…Tahun…(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun…Nomor… Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor…);
c. Nomor…Tahun…(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun…Nomor… Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor…);
d. Pasal II memuat ketentuan tentang saat mulai berlaku. Dalam hal tertentu, Pasal II juga dapat memuat ketentuan peralihan dari Peraturan Perundangundangan, perubahan, yang maksudnya berbeda dengan ketentuan peralihan dari Peraturan Perundang‐undangan yang diubah.
Tahun … Nomor …, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor …);
b. Nomor … Tahun … (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun … Nomor …, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor …);
c. Nomor … Tahun … (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun … Nomor …, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor …);
diubah sebagai berikut: 1. Bab V dihapus. 2. Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: 3. dan seterusnya ...
c. Pasal II memuat ketentuan tentang saat mulai berlaku. Dalam hal
tertentu, Pasal II juga dapat memuat ketentuan peralihan dari Peraturan Perundang‐undangan perubahan, yang maksudnya berbeda dengan ketentuan peralihan dari Peraturan Perundangundangan yang diubah.
196. Jika dalam Peraturan Perundang‐undangan ditambahkan atau disisipkan bab, bagian, paragraf, atau pasal baru, maka bab, bagian, paragraf, atau pasal baru tersebut dicantumkan pada tempat yang sesuai dengan materi yang bersangkutan. Contoh penyisipan bab: 1. Di antara BAB IX dan BAB X disisipkan 1 (satu) bab, yakni BAB IX
A sehingga berbunyi sebagai berikut: BAB IX A
INDIKASI GEOGRAFI DAN INDIKASI ASAL Bagian Pertama Indikasi Geografi
Pasal 79 A
234. Jika dalam Peraturan Perundang‐undangan ditambahkan atau disisipkan bab, bagian, paragraf, atau pasal baru, maka bab, bagian, paragraf, atau pasal baru tersebut dicantumkan pada tempat yang sesuai dengan materi yang bersangkutan. a. Penyisipan Bab
Contoh: Di antara BAB IX dan BAB X disisipkan 1 (satu ) bab, yakni BAB IXA sehingga berbunyi sebagai berikut:
BAB IXA INDIKASI GEOGRAFI DAN INDIKASI ASAL
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
(1) … (2) ... (3) …
Pasal 79 B (1) … (2) … (3) …
Contoh penyisipan pasal: 1. Di antara Pasal 128 dan Pasal 129 disisipkan 1 (satu) pasal,
yakni Pasal 128 A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 128 A Dalam hal terbukti adanya pelanggaran paten, hakim dapat memerintahkan hasil‐hasil pelanggaran paten tersebut dirampas untuk negara untuk dimusnahkan.
b. Penyisipan Pasal: Contoh: Di antara Pasal 128 dan Pasal 129 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 128A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 128A Dalam hal terbukti adanya pelanggaran paten, hakim dapat memerintahkan hasil‐hasil pelanggaran paten tersebut dirampas untuk negara untuk dimusnahkan.
197. Jika dalam 1 (satu) pasal yang terdiri dari beberapa ayat disisipkan ayat baru, penulisan ayat baru tersebut diawali dengan angka Arab sesuai dengan angka ayat yang disisipkan dan ditambah dengan huruf kecil a, b, c, yang diletakkan di antara tanda baca kurung. Contoh: 2. Di antara ayat (1) dan ayat (2) Pasal 18 disisipkan 2 (dua) ayat,
yakni ayat (1a) dan ayat (1b) sehingga Pasal 18 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 19 (1) …. (1a) …. (1b) …. (2) ….
235. Jika dalam 1 (satu) pasal yang terdiri dari beberapa ayat disisipkan ayat baru, penulisan ayat baru tersebut diawali dengan angka Arab sesuai dengan angka ayat yang disisipkan dan ditambah dengan huruf kecil a, b, c, yang diletakkan di antara tanda baca kurung( ). Contoh: Di antara ayat (1) dan ayat (2) Pasal 18 disisipkan 2 (dua) ayat, yakni ayat (1a) dan ayat (1b) sehingga Pasal 18 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 18 (1) … . (1a)… . (1b)… . (2) … .
198. Jika dalam suatu Peraturan Perundang‐undangan dilakukan penghapusan atas suatu bab, bagian, paragraf, pasal, atau ayat, maka urutan bab, bagian paragraf, pasal, atau ayat tersebut tetap dicantumkan dengan diberi keterangan dihapus.
236. Jika dalam suatu Peraturan Perundang‐undangan dilakukan penghapusan atas suatu bab, bagian, paragraf, pasal, atau ayat, maka urutan bab, bagian, paragraf, pasal, atau ayat tersebut tetap dicantumkan dengan diberi keterangan dihapus.
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
Contoh: 1. Pasal 16 dihapus 2. Pasal 19 ayat (2) dihapus sehingga Pasal 18 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 18 (1) … (2) Dihapus (3) …
Contoh 1: 1. Pasal 16 dihapus. 2. Pasal 18 ayat (2) dihapus sehingga Pasal 18 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 18
(1) … . (2) Dihapus. (3) … . Contoh 2: Peraturan Daerah tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Nomor 16 Tahun 2005 tentang Pengujian Kendaraan Bermotor dan Retribusi 5. Ketentuan Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) dihapus, sehingga Pasal 4 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 4 (1) Dihapus. (2) Dihapus. (3) Lokasi Pengujian dan Penguji ditetapkan dengan Keputusan
Kepala Dinas Perhubungan. 199. suatu perubahan Peraturan Perundang‐undangan mengakibatkan:
a. sistematika Peraturan Perundang‐undangan berubah; b. materi Peraturan Perundang‐undangan berubah lebih dari 50%
(lima puluh persen); atau c. esensinya berubah, Peraturan Perundang‐undangan yang
diubah tersebut lebih baik dicabut dan disusun kembali dalam Peraturan Perundang‐undangan yang baru mengenai masalah tersebut.
237. Jika suatu perubahan Peraturan Perundang‐undangan mengakibatkan: a. sistematika Peraturan Perundang‐undangan berubah; b. materi Peraturan Perundang‐undangan berubah lebih dari 50%
(lima puluh persen); atau c. esensinya berubah, Peraturan Perundang‐undangan yang diubah
tersebut lebih baik dicabut dan disusun kembali dalam Peraturan Perundang‐undangan yang baru mengenai masalah tersebut.
200. Jika suatu Peraturan Perundang‐undangan telah sering mengalami perubahan sehingga menyulitkan pengguna Peraturan Perundang‐undangan, sebaiknya Peraturan Perundang‐undangan tersebut
238. Jika suatu Peraturan Perundang‐undangan telah sering mengalami perubahan sehingga menyulitkan pengguna Peraturan Perundangundangan, sebaiknya Peraturan Perundang‐undangan
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
disusun kembali dalam naskah sesuai dengan perubahan‐perubahan yang telah dilakukan, dengan mengadakan penyesuaian pada: 1. urutan bab, bagian, paragraf, pasal, ayat, angka, atau butir; 2. penyebutan‐penyebutan, dan 3. ejaan, jika Peraturan Perundang‐undangan yang diubah masih
tertulis dalam ejaan lama.
tersebut disusun kembali dalam naskah sesuai dengan perubahan yang telah dilakukan, dengan mengadakan penyesuaian pada: a. urutan bab, bagian, paragraf, pasal, ayat, angka, atau butir; b. penyebutan‐penyebutan; dan c. ejaan, jika Peraturan Perundang‐undangan yang diubah masih
tertulis dalam ejaan lama.
201. Penyusunan kembali sebagaimana dimaksud pada Nomor 199 butir a dilaksanakan oleh Presiden dengan mengeluarkan suatu penetapan yang berbunyi sebagai berikut:
Contoh: PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR ... TAHUN ... TENTANG
PENYUSUNAN KEMBALI NASKAH UNDANG‐UNDANG NOMOR... TAHUN…
TENTANG ………………….
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk mempermudah pemahaman materi yang
diatur dalam Undang‐Undang Nomor ... Tahun ... tentang... sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang‐Undang Nomor ... Tahun ... tentang Perubahan Undang‐Undang Nomor ... Tahun…tentang ... perlu menyusun kembali naskah Undang‐Undang tersebut dengan memperhatikan segala perubahan yang telah diadakan;
Mengingat: Pasal 4 ayat (1) Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
MEMUTUSKAN: Menetapkan:
KESATU: Naskah Undang‐Undang Nomor…Tahun…tentang…yang telah
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang‐Undang Nomor ... Tahun ... tentang ... dan dengan mengadakan penyesuaian mengenai urutan bab, bagian, paragraf, pasal, ayat, angka dan butir serta penyebutan‐penyebutannya dan ejaanejaannya, berbunyi sebagai tercantum dalam Lampiran Peraturan Presiden ini.
KEDUA: Peraturan Presiden ini dengan lampirannya ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
KETIGA: Peraturan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
E. PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG‐UNDANG MENJADI UNDANG‐UNDANG
E. PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG‐UNDANG MENJADI UNDANG‐UNDANG
202. Batang tubuh Undang‐Undang tentang penetapan peraturan pemerintah penggantiun dang‐undang (Perpu) menjadi undang‐undang pada dasarnya terdiri dari 2 (dua) pasal, yang ditulis dengan angka Arab, yaitu sebagai berikut: a. Pasal 1 memuat penetapan Perpu menjadi undang‐undang
yang diikuti dengan pernyataan melampirkan Perpu sebagai bagian yang tidak terpisahkan dengan undang‐undang penetapan yang bersangkutan.
b. Pasal 2 memuat ketentuan mengenai saat mulai berlaku.
Contoh:
Pasal 1 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang‐Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 106, Tambahan
239. Batang tubuh Undang‐Undang tentang Penetapan PeraturanPemerintah Pengganti Undang‐Undang (Perpu) menjadi Undang‐Undang pada dasarnya terdiri dari 2 (dua) pasal, yang ditulis dengan angka Arab, yaitu sebagai berikut: a. Pasal 1 memuat Penetapan Perpu menjadi Undang‐Undang yang
diikuti dengan pernyataan melampirkan Perpu sebagai bagian yang tidak terpisahkan dengan Undang‐Undang penetapan tersebut.
b. Pasal 2 memuat ketentuan mengenai saat mulai berlaku.
Contoh: Undang‐Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang‐Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang‐Undang.
Pasal 1 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang‐Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4232) ditetapkan
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor ... ) ditetapkan menjadi Undang‐Undang, dan melampirkannya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Undang‐Undang ini.
Pasal 2 Undang‐Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
menjadi Undang‐Undang, dan melampirkannya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Undang‐Undang ini.
Pasal 2 Undang‐Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
F. PENGESAHAN PERJANJIAN INTERNATIONAL F. PENGESAHAN PERJANJIAN INTERNASIONAL 203. Batang tubuh Undang‐Undang tentang pengesahan perjanjian
internasional pada dasarnya terdiri atas 2 (dua) pasal yang ditulis dengan angka Arab, yaitu sebagai berikut: a. Pasal 1 memuat pengesahan perjanjian internasional dengan
memuat pernyataan melampirkan salinan naskah aslinya atau naskah asli bersama dengan terjemahannya dalam bahasa Indonesia.
b. Pasal 2 memuat ketentuan mengenai saat mulai berlaku.
Contoh untuk perjanjian multilateral: Pasal 1
Mengesahkan Convention on the Prohibition of the Development, Production, Stockpiling and Use of Chemical Weapon and on Their Destruction (Konvensi tentang Pelanggaran Pengembangan, Produksi, Penimbunan, dan Penggunaan Senjata Kimia serta Pemusnahannya) yang naskah aslinya dalam bahasa Inggris dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia sebagaimana terlampir dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Undang‐Undang ini.
Pasal 2 Undang‐Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Contoh untuk perjanjian bilateral yang menggunakan dua bahasa:
240. Batang tubuh Undang‐Undang tentang Pengesahan Perjanjian Internasional pada dasarnya terdiri atas 2 (dua) pasal yang ditulis dengan angka Arab, yaitu sebagai berikut: a. Pasal 1 memuat pengesahan perjanjian internasional dengan
memuat pernyataan melampirkan salinan naskah asli dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia.
b. Pasal 2 memuat ketentuan mengenai saat mulai berlaku.
Contoh untuk perjanjian multilateral:
Pasal 1 Mengesahkan Convention on the Prohibition of the Development, Production, Stockpiling and Use of Chemical Weapon and on Their Destruction (Konvensi tentang Pelanggaran Pengembangan, Produksi, Penimbunan, dan Penggunaan Senjata Kimia serta Pemusnahannya) yang naskah aslinya dalam bahasa Inggris dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia sebagaimana terlampir dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Undang‐Undang ini.
Pasal 2 Undang‐Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Contoh untuk perjanjian bilateral yang hanya menggunakan dua bahasa:
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
Pasal 1 Mengesahkan Perjanjian Kerjasama antara Republik Indonesia dan Australia Mengenai Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana (Treaty between the Republic of Indonesia and Australia on Mutual Assistance in Criminal Matters) yang telah ditandatangani pada tanggal 27 Oktober 1995 di Jakarta yang salinan naskah aslinya dalam bahasa Indonesia sebagaimana terlampir dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Undang‐Undang ini.
Pasal 2 Undang‐Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Contoh untuk perjanjian bilateral yang menggunakan lebih dari dua bahasa:
Pasal 1 Mengesahkan Persetujuan antara Republik Indonesia dan Pemerintah Hongkong untuk Penyerahan Pelanggar Hukum yang Melarikan Diri (Agreement the Government of the Republic of Indonesia and the Government of Hongkong for the Surrender of Fugitive Offenders) yang telah ditandatangani pada tanggal 5 Mei 19977 di Hongkong yang salinan naskah aslinya dalam bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan bahasa Cina sebagaimana terlampir dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Undang‐Undang ini.
Pasal 2 Undang‐Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan
Pasal 1 Mengesahkan Perjanjian Kerjasama antara Republik Indonesia dan Australia Mengenai Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana (Treaty between the Republic of Indonesia and Australia on Mutual Assistance in Criminal Matters) yang telah ditandatangani pada tanggal 27 Oktober 1995 di Jakarta yang salinan naskah aslinya dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris sebagaimana terlampir dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Undang–Undang ini.
Pasal 2 Undang‐Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Contoh untuk perjanjian bilateral yang menggunakan lebih dari dua bahasa:
Pasal 1 Mengesahkan Persetujuan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Hongkong untuk Penyerahan Pelanggar Hukum yang Melarikan Diri (Agreement between the Government of the Republik of Indonesia and the Government of Hongkong for the Surrender of Fugitive Offenders) yang telah ditandatangani pada tanggal 5 Mei 1977 di Hongkong yang salinan naskah aslinya dalam bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan bahasa Cina sebagaimana terlampir dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Undang‐Undangini.
Pasal 2
Undang‐Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
204. Cara penulisan rumusan Pasal 1 bagi pengesahan perjanjian atau persetujuan internasional dilakukan dengan Undang‐Undang berlaku juga bagi pengesahan perjanjian atau persetujuan internasional yang dilakukan dengan Peraturan Presiden.
241. Cara penulisan rumusan Pasal 1 bagi pengesahan perjanjian atau persetujuan internasional yang dilakukan dengan Undang‐Undang berlaku juga bagi pengesahan perjanjian atau persetujuan internasional yang dilakukan dengan Peraturan Presiden.
BAB III BAB III
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
RAGAM BAHASA PERATURAN PERUNDANG‐UNDANGAN RAGAM BAHASA PERATURAN PERUNDANG – UNDANGAN A. BAHASA PERATURAN PERUNDANG‐UNDANGAN BAHASA PERATURAN PERUNDANG‐UNDANGAN 205. Bahasa Peraturan Perundang‐undangan pada dasarnya tunduk
kepada kaidah tata Bahasa Indonesia, baik yang menyangkut pembentukan kata, penyusunan kalimat, teknik penulisan, maupun pengejaannya, namun demikian bahasa Peraturan Perundang‐undangan mempunyai corak tersendiri yang bercirikan kejernihan atau kejelasan pengertian, kelugasan, kebakuan, keserasian, dan ketaatan asas sesuai dengan kebutuhan hukum.
Contoh:
Pasal 34 (1) Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati
setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain.
Rumusan yang lebih baik: (1) Suami isteri wajib saling mencintai, menghormati, setia, dan
memberi bantuan lahir batin.
242. Bahasa Peraturan Perundang–undangan pada dasarnya tunduk pada kaidah tata Bahasa Indonesia, baik pembentukan kata, penyusunan kalimat, teknik penulisan, maupun pengejaannya. Namun bahasa Peraturan Perundang‐undangan mempunyai corak tersendiri yang bercirikan kejernihan atau kejelasan pengertian, kelugasan, kebakuan, keserasian, dan ketaatan asas sesuai dengan kebutuhan hukum baik dalam perumusan maupun cara penulisan.
243. Ciri‐ciri bahasa Peraturan Perundang‐undangan antara lain: a. lugas dan pasti untuk menghindari kesamaan arti atau
kerancuan; b. bercorak hemat hanya kata yang diperlukan yang dipakai; c. objektif dan menekan rasa subjektif (tidak emosi dalam
mengungkapkan tujuan atau maksud); d. membakukan makna kata, ungkapan atau istilah yang digunakan
secara konsisten; e. memberikan definisi atau batasan pengertian secara cermat; f. penulisan kata yang bermakna tunggal atau jamak selalu
dirumuskan dalam bentuk tunggal; dan Contoh:
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
buku‐buku ditulis buku murid‐murid ditulis murid g. penulisan huruf awal dari kata, frasa atau istilah yang sudah
didefinisikan atau diberikan batasan pengertian, nama jabatan, nama profesi, nama institusi/lembaga pemerintah/ketatanegaraan, dan jenis Peraturan Perundang‐undangan dan rancangan Peraturan Perundang‐undangan dalam rumusan norma ditulis dengan huruf kapital.
Contoh: ‐ Pemerintah ‐ Wajib Pajak ‐ Rancangan Peraturan Pemerintah
206. Dalam merumuskan ketentuan Peraturan Perundang‐undangan digunakan kalimat yang tegas, jelas, singkat, dan mudah dimengerti.
Contoh:
Pasal 5 (1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang‐Undang ini, harus dipenuhi syaratsyarat sebagai berikut:
Rumusan yang lebih baik: (1) Permohonan berisi lebih dari seorang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1) harus memenuhi syarat‐syarat sebagai berikut:
244. Dalam merumuskan ketentuan Peraturan Perundang–undangan digunakan kalimat yang tegas, jelas, singkat, dan mudah dimengerti.
Contoh:
Pasal 5 (1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang‐Undang ini, harus dipenuhi syarat‐syarat sebagai berikut:
Rumusan yang lebih baik: (1) Permohonan beristri lebih dari seorang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
207. Hindarkan penggunaan kata atau frase yang artinya kurang menentu atau konteksnya dalam kalimat kurang jelas. Contoh: Istilah minuman keras mempunyai makna yang kurang jelas
245. Tidak menggunaan kata atau frasa yang artinya tidak menentu atau konteksnya dalam kalimat tidak jelas. Contoh: Istilah minuman keras mempunyai makna yang kurang jelas
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
dibandingkan dengan istilah minuman beralkohol. dibandingkan dengan istilah minuman beralkohol. 208. Dalam merumuskan ketentuan Peraturan Perundang‐undangan,
gunakan kaidah tata bahasa Indonesia yang baku.
Contoh kalimat yang tidak baku: (1) Rumah itu pintunya putih. (2) Pintu rumah itu warnanya putih. (3) Izin usaha perusahaan yang melanggar kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 dapat dicabut. Contoh kalimat yang baku: (1) Rumah itu mempunyai pintu (yang berwarna) putih. (2) Pintu ramah itu (berwarna) putih. (3) Warna pintu rumah itu putih. (4) Perusahaan yang melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 dapat dicabut izin usahanya.
246. Dalam merumuskan ketentuan Peraturan Perundang‐undangan, gunakan kaidah tata bahasa Indonesia yang baku. Contoh kalimat yang tidak baku: Izin usaha perusahaan yang melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dapat dicabut. Contoh kalimat yang baku: Perusahaan yang melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dapat dicabut izin usahanya.
209. Untuk memberikan perluasan pengertian kata atau istilah yang sudah diketahui umum tanpa membuat definisi baru, gunakan kata meliputi. Contoh: 1. Pejabat negara meliputi direksi badan usaha milik negara dan
direksi badan usaha milik daerah.
247. Untuk memberikan perluasan pengertian kata atau istilah yang sudah diketahui umum tanpa membuat definisi baru, gunakan kata meliputi.
Contoh: Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan Kabupaten Hulu Sungai Utara
Pasal 58 (3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
a. nama dan alamat percetakan perusahaan yang melakukan pencetakan blanko;
b. jumlah blanko yang dicetak; dan c. jumlah dokumen yang diterbitkan.
210. Untuk mempersempit pengertian kata istilah isilah yang sudah diketahui umum tanpa membuat definisi baru, gunakan kata tidak meliputi.
248. Untuk mempersempit pengertian kata atau isilah yang sudah diketahui umum tanpa membuat definisi baru, gunakan kata tidak meliputi. Contoh:
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
Contoh: 1. Anak buah kapal tidak meliputi koki magang.
Anak buah kapal tidak meliputi koki magang.
211. Hindari pemberian arti kepada kata atau frase yang maknanya terlalu menyimpang dari makna yang biasa digunakan dalam penggunaan bahasa sehari‐hari. Contoh: 1. Pertanian meliput pula perkebunan, peternakan, dan
perikanan. Rumusan yang baik: 0. Pertanian meliputi perkebunan.
249. Tidak memberikan arti kepada kata atau frasa yang maknanya terlalu menyimpang dari makna yang biasa digunakan dalam penggunaan bahasa sehari‐hari. Contoh: Pertanian meliputi pula perkebunan, peternakan, dan perikanan. Rumusan yang baik: Pertanian meliputi perkebunan.
212. Di dalam Peraturan Perundang‐undangan yang sama hindari penggunaan :
.beberapa istilah yang berbeda untuk menyatakan satu. Contoh: Istilah gaji, upah, atau pendapatan dapat menyatakan pengertian penghasilan. Jika untuk menyatakan penghasilan, dalam suatu pasal telah digunakan kata gaji maka dalam pasal‐pasal selanjutnya jangan menggunakan kata upah atau pendapatan untuk menyatakan pengertian penghasilan. .satu istilah untuk beberapa pengertian yang berbeda. Contoh: Istilah penangkapan tidak digunakan untuk meliputi pengertian penahanan atau pengamanan karena pengertian penahanan tidak sama dengan pengertian pengamanan.
250. Di dalam Peraturan Perundang‐undangan yang sama, tidak menggunakan: a. beberapa istilah yang berbeda untuk menyatakan satu pengertian
yang sama. Contoh: Istilah gaji, upah, atau pendapatan dapat menyatakan pengertian penghasilan. Jika untuk menyatakan penghasilan, dalam suatu pasal telah digunakan kata gaji maka dalam pasal‐pasal selanjutnya jangan menggunakan kata upah atau pendapatan untuk menyatakan pengertian penghasilan.
b. satu istilah untuk beberapa pengertian yang berbeda. Contoh: Istilah penangkapan tidak digunakan untuk meliputi pengertian penahanan atau pengamanan karena pengertian penahanan tidak sama dengan pengertian pengamanan.
213. Jika membuat pengacuan ke pasal atau ayat lain, sedapat mungkin dihindari penggunaan frase tanpa mengurangi, dengan tidak
251. Jika membuat pengacuan ke pasal atau ayat lain, tidak boleh menggunakan frasa tanpa mengurangi, dengan tidak mengurangi, atau
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
mengurangi, atau tanpa menyimpang dari. tanpa menyimpang dari. 214. Jika kata atau frase tertentu digunakan berulang‐ulang maka untuk
menyederhanakan rumusan dalam peraturan perundang‐undangan, kata atau frase sebaiknya didefinisikan dalam pasal yang memuat arti kata, istilah, pengertian, atau digunakan singkatan atau akronim. Contoh: a. Menteri adalah Menteri Keuangan. b. Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara yang
selanjutnya disebut Komisi Pemeriksa adalah… c. Tentara Nasional Republik Indonesia yang selanjutnya disingkat
TNI adalah… d. Asuransi Kesehatan yang selanjutnya disingkat ASKES.
215. Jika dalam peraturan pelaksanaan dipandang perlu mencantumkan kembali definisi atau batasan pengertian yang terdapat dalam Peraturan Perundang‐undangan yang dilaksanakan, rumusan definisi atau batasan pengertian tersebut hendaknya tidak berbeda dengan rumusan definisi atau batasan pengertian yang terdapat dalam Peraturan Perundang‐undangan yang lebih tinggi tersebut.
216. Untuk menghindari perubahan nama suatu departemen, penyebutan menteri sebaiknya menggunakan penyebutan yang didasarkan pada tugas dan tanggung jawab di bidang yang bersangkutan.
Contoh: Menteri adalah Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang…(misalnya, bidang ketenagakerjaan)
252. Untuk menghindari perubahan nama kementerian, penyebutan menteri sebaiknya menggunakan penyebutan yang didasarkan pada urusan pemerintahan dimaksud. Contoh: Menteri adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan.
217. Penyerapan kata atau frase bahasa asing yang banyak dipakai dan telah disesuaikan ejaannya dengan kaidah Bahasa Indonesia dapat digunakan, jika kata atau frase tersebut: a. mempunyai konotasi yang cocok;
253. Penyerapan kata, frasa, atau istilah bahasa asing yang banyak dipakai dan telah disesuaikan ejaannya dengan kaidah Bahasa Indonesia dapat digunakan jika: a. mempunyai konotasi yang cocok;
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
b. lebih singkat bila dibandingkan dengan padanannya dalam Bahasa Indonesia;
c. mempunyai corak internasional; d. lebih mempermudah tercapainya kesepakatan; atau e. lebih mudah dipahami daripada terjemahannya dalam Bahasa
Indonesia. Contoh: (1) devaluasi (penurunan nilai uang) (2) devisa (alat pembayaran luar negeri)
b. lebih singkat bila dibandingkan dengan padanannya dalam Bahasa Indonesia;
c. mempunyai corak internasional; d. lebih mempermudah tercapainya kesepakatan; atau e. lebih mudah dipahami daripada terjemahannya dalam Bahasa
Indonesia. Contoh: 1. devaluasi (penurunan nilai uang) 2. devisa (alat pembayaran luar negeri)
218. Penggunaan kata atau frase bahasa asing hendaknya hanya digunakan di dalam penjelasan peraturan perundang‐undangan. Kata atau frase bahasa asing itu didahului oleh padanannya dalam Bahasa Indonesia, ditulis miring, dan diletakkan di antara tanda baca kurung. Contoh: (1) penghinaan terhadap peradilan (contempt of court) (2) penggabungan (merger)
254. Penggunaan kata, frasa, atau istilah bahasa asing hanya digunakan di dalam penjelasan Peraturan Perundang–undangan. Kata, frasa, atau istilah bahasa asing itu didahului oleh padanannya dalam Bahasa Indonesia, ditulis miring, dan diletakkan diantara tanda baca kurung ( ). Contoh: 1. penghinaan terhadap peradilan (contempt of court) 2. penggabungan (merger)
B. PILIHAN KATA ATAU ISTILAH PILIHAN KATA ATAU ISTILAH 219. Untuk menyatakan pengertian maksimum dan minimum dalam
menentukan ancaman pidana atau batasan waktu yang digunakan kata paling. Contoh: ... dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun, atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp 1 .000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
255. Gunakan kata paling, untuk menyatakan pengertian maksimum dan minimum dalam menentukan ancaman pidana atau batasan waktu. Contoh: … dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun atau paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Contoh untuk Perda: … dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
220. Untuk menyatakan maksimum dan minimum bagi satuan: a. waktu, gunakan frase paling singkat atau paling lama; b. jumlah uang, gunakan frase paling sedikit atau paling banyak; c. jumlah non‐uang, gunakan frase paling rendah dan paling
tinggi;
256. Untuk menyatakan maksimum dan minimum bagi satuan: a. waktu, gunakan frasa paling singkat atau paling lama untuk
menyatakan jangka waktu; Contoh 1: Peraturan pelaksanaan Undang‐Undang ini harus ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang‐Undang ini diundangkan. Contoh 2: Presiden menugasi menteri yang mewakili untuk membahas rancangan undang‐undang bersama DPR dalam waktu paling lama 60 (enam puluh) hari sejak surat Pimpinan DPR diterima. b. waktu, gunakan frasa paling lambat atau paling cepat untuk
menyatakan batas waktu. Contoh: Surat permohonan izin usaha disampaikan kepada dinas perindustrian paling lambat tanggal 22 Juli 2011. c. jumlah uang, gunakan frasa paling sedikit atau paling banyak; d. jumlah non‐uang, gunakan frasa paling rendah dan paling tinggi.
221. Untuk menyatakan makna tidak termasuk, gunakan kata kecuali. Kata kecuali ditempatkan di awal kalimat, jika yang dikecualikan adalah seluruh kalimat. Contoh: Kecuali A dan B, setiap orang wajib memberikan kesaksian di depan siding pengadilan.
257. Untuk menyatakan makna tidak termasuk, gunakan kata kecuali. Kata kecuali ditempatkan di awal kalimat, jika yang dikecualikan adalah seluruh kalimat. Contoh: Undang‐Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
Pasal 29 Kecuali terdapat unsur penyalahgunaan wewenang, Pihak Pelapor, pejabat, dan pegawainya tidak dapat dituntut, baik secara perdata
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
maupun pidana, atas pelaksanaan kewajiban pelaporan menurut Undang‐Undang ini.
222. Kata kecuali ditempatkan langsung di belakang suatu kata, jika yang akan dibatasi hanya kata yang bersangkutan. Contoh: Yang dimaksud dengan anak buah kapal adalah mualim, juru mudi, pelaut, dan koki, kecuali koki magang.
258. Kata kecuali ditempatkan langsung di belakang suatu kata, jika yang akan dibatasi hanya kata yang bersangkutan. Contoh: Undang‐Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian
Pasal 1 .... 38. Penumpang adalah setiap orang yang berada di atas alat angkut, kecuali awak alat angkut.
223. Untuk menyatakan makna termasuk, gunakan kata selain. Contoh: Selain wajib memenuhi syarat yang telah ditentukan dalam Pasal 7, pemohon wajib membayar biaya pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14.
259. Untuk menyatakan makna termasuk, gunakan kata selain. Contoh: Undang‐Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
Pasal 77 (1) Selain penyelenggaraan RUPS sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 76, RUPS dapat juga dilakukan melalui media telekonferensi, video konferensi, atau sarana media elektronik lainnya yang memungkinkan semua peserta RUPS saling melihat dan mendengar secara langsung serta berpartisipasi dalam rapat.
224. Untuk menyatakan makna pengandaian atau kemungkinan, digunakan kata jika, apabila, atau frase dalam hal. a. Kata jika digunakan untuk menyatakan suatu hubungan kausal
(pola karena maka). Contoh: Jika suatu perusahaan melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, izin perusahaan tersebut dapat dicabut.
260. Untuk menyatakan makna pengandaian atau kemungkinan, digunakan kata jika, apabila, atau frasa dalam hal. a. Kata jika digunakan untuk menyatakan suatu hubungan kausal (pola
karena‐maka). Contoh: Jika suatu perusahaan melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, izin perusahaan tersebut dapat dicabut. Undang‐Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
b. Kata apabila digunakan untuk menyatakan hubungan kausal
yang mengandung waktu. Contoh: Apabila anggota Komisi Pemberantasan Korupsi berhenti dalam masa jabatannya karena alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4), yang bersangkutan digantikan oleh anggota pengganti sampai habis masa jabatannya.
c. Frase dalam hal digunakan untuk menyatakan suatu
kemungkinan, keadaan atau kondisi yang mungkin terjadi atau mungkin tidak terjadi (pola kemungkinan‐maka).
Contoh: Dalam hal Ketua tidak dapat hadir, sidang dipimpin oleh Wakil Ketua.
Pasal 41 (3) Jika terjadi kekosongan jabatan Presiden, MPR segera
menyelenggarakan sidang paripurna MPR untuk melantik Wakil Presiden menjadi Presiden.
b. Kata apabila digunakan untuk menyatakan hubungan kausal yang
mengandung waktu. Contoh: Apabila anggota Komisi Pemberantasan Korupsi berhenti dalam masa jabatannya karena alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4), yang bersangkutan digantikan oleh anggota pengganti sampai habis masa jabatannya. c. Frasa dalam hal digunakan untuk menyatakan suatu kemungkinan,
keadaan atau kondisi yang mungkin terjadi atau mungkin tidak terjadi (pola kemungkinan‐maka).
Contoh: Dalam hal Ketua tidak dapat hadir, sidang dipimpin oleh Wakil Ketua. Undang‐Undang Nomor 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura
Pasal 33 (2) Dalam hal sarana hortikultura dalam negeri tidak mencukupi atau
tidak tersedia, dapat digunakan sarana hortikultura yang berasal dari luar negeri.
225. Frase pada saat digunakan untuk menyatakan suatu keadaan yang pasti akan terjadi di masa depan. Contoh: Pada saat Undang‐Undang ini mulai berlaku, Pasal 45, Pasal 46, dan Pasal 47 Kitab Undang‐Undang Hukum Pidana dinyatakan tidak berlaku.
261. Frasa pada saat digunakan untuk menyatakan suatu keadaan yang pasti akan terjadi di masa depan. Contoh: Undang‐Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik
Pasal 59 Pada saat Undang‐Undang ini mulai berlaku, semua peraturan atau ketentuan mengenai penyelenggaraan pelayanan publik wajib disesuaikan dengan ketentuan dalam Undang‐Undang ini paling lambat 2 (dua) tahun.
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
226. Untuk menyatakan sifat kumulatif, digunakan kata dan. Contoh: A dan B dapat menjadi ...
262. Untuk menyatakan sifat kumulatif, gunakan kata dan. Contoh: Undang‐Undang Nomor 38 Tahun 2009 tentang Pos
Pasal 30 Penyelenggara pos wajib menjaga kerahasiaan, keamanan, dan keselamatan kiriman.
227. Untuk menyatakan sifat alternatif, digunakan kata atau. Contoh: A atau B wajib memberikan...
263. Untuk menyatakan sifat alternatif, gunakan kata atau. Contoh: Undang‐Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara
Pasal 19 (1) Pengubahan sebagai akibat pemisahan atau penggabungan
kementerian dilakukan dengan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.
Undang‐Undang Nomor 9 Tahun 2010 tentang Keprotokolan
Pasal 22 (2) Dalam hal tidak ada korps musik atau genderang dan/atau
sangkakala pengibaran atau penurunan bendera negara diiringi dengan lagu kebangsaan oleh seluruh peserta upacara.
228. Untuk menyatakan sifat kumulatif sekaligus alternatif, gunakan frase dan/atau. Contoh: A dan/atau B dapat memperoleh...
264. Untuk menyatakan sifat kumulatif sekaligus alternatif, gunakan frasa dan/atau. Contoh: Undang‐Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan
Pasal 69 (1) Pelayanan kesehatan hewan meliputi pelayanan jasa
laboratorium veteriner, pelayanan jasa laboratorium pemeriksaan dan pengujian veteriner, pelayanan jasa medik veteriner, dan/atau pelayanan jasa di pusat jasa kesehatan hewan atau pos kesehatan hewan.
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
Contoh: Undang‐Undang Nomor 9 Tahun 2010 tentang Keprotokolan Pasal 31 (1) Penghormatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. penghormatan dengan bendera negara; b. penghormatan dengan lagu kebangsaan; dan/atau c. bentuk penghormatan lain sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang‐undangan. 229. Untuk menyatakan adanya suatu hak, gunakan kata berhak.
Contoh: Setiap orang berhak mengemukakan pendapat di muka umum.
265. Untuk menyatakan adanya suatu hak, gunakan kata berhak. Contoh: Undang‐Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Pasal 72 (1) DPR dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya berhak
meminta pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, atau warga masyarakat untuk memberikan keterangan tentang sesuatu hal yang perlu ditangani demi kepentingan bangsa dan negara.
230. Untuk menyatakan pemberian kewenangan kepada seseorang atau lembaga gunakan kata berwenang. Contoh: Presiden berwenang menolak atau mengabulkan permohonan grasi.
266. Untuk menyatakan pemberian kewenangan kepada seseorang atau lembaga gunakan kata berwenang. Contoh: Undang‐Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan
Pasal 313 (1) Menteri berwenang menetapkan program penegakan hukum dan
mengambil tindakan hukum di bidang keselamatan penerbangan.
231. Untuk menyatakan sifat diskresioner dari suatu kewenangan yang diberikan kepada seorang atau lembaga, gunakan kata dapat. Contoh: Menteri dapat menolak atau mengabulkan permohonan pendaftaran paten.
267. Untuk menyatakan sifat diskresioner dari suatu kewenangan yang diberikan kepada seorang atau lembaga, gunakan kata dapat. Contoh 1: Undang‐Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
Pasal 90 Pemegang IUP dan IUPK dapat melakukan sebagian atau seluruh tahapan usaha pertambangan, baik kegiatan eksplorasi maupun kegiatan operasi produksi. Contoh 2: Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan Kabupaten Hulu Sungai Utara
Pasal 28 (2) Penduduk yang tidak mampu melaksanakan pelaporan sendiri
terhadap peristiwa kependudukan yang menyangkut dirinya sendiri dapat dibantu oleh instansi pelaksana atau meminta bantuan kepada orang lain.
232. Untuk menyatakan adanya suatu kewajiban yang telah ditetapkan, gunakan kata wajib. Jika kewajiban tersebut tidak dipenuhi, yang bersangkutan akan dijatuhi sanksi hukum menurut hukum yang berlaku. Contoh: Untuk membangun rumah, seseorang wajib memiliki izin mendirikan bangunan.
268. Untuk menyatakan adanya suatu kewajiban yang telah ditetapkan, gunakan kata wajib. Jika kewajiban tersebut tidak dipenuhi, yang bersangkutan dijatuhi sanksi. Contoh 1: Undang‐Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian
Pasal 8
(1) Setiap orang yang masuk atau ke luar Wilayah Indonesia wajib memiliki Dokumen Perjalanan yang sah dan masih berlaku.
Contoh 2: Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan Kabupaten Hulu Sungai Utara
Pasal 17 (1) Setiap penduduk wajib memiliki NIK.
233. Untuk menyatakan pemenuhan suatu kondisi atau persyaratan tertentu, gunakan kata harus. Jika keharusan tersebut tidak
269. Untuk menyatakan pemenuhan suatu kondisi atau persyaratan tertentu, gunakan kata harus. Jika keharusan tersebut tidak dipenuhi,
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
dipenuhi, yang bersangkutan tidak memperoleh sesuatu yang seharusnya akan didapat seandainya ia memenuhi kondisi atau persyaratan tersebut. Contoh: Untuk memperoleh izin mendirikan bangunan, seseorang harus memenuhi syarat‐syarat sebagai berikut:
yang bersangkutan tidak memperoleh sesuatu yang seharusnya akan didapat seandainya ia memenuhi kondisi atau persyaratan tersebut. Contoh: Undang‐Undang Nomor 5 Tahun 2011 tentang Akuntan Publik
Pasal 6 (1) Untuk mendapatkan izin menjadi Akuntan Publik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) seseorang harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. memiliki sertifikat tanda lulus ujian profesi akuntan publik
yang sah; b. berpengalaman praktik memberikan jasa sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3; c. berdomisili di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; d. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak; e. tidak pernah dikenai sanksi administratif berupa pencabutan
izin Akuntan Publik; f. tidak pernah dipidana yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
g. menjadi anggota Asosiasi Profesi Akuntan Publik yang ditetapkan oleh Menteri; dan
h. tidak berada dalam pengampuan. 234. Untuk menyatakan adanya larangan, gunakan kata dilarang. 270. Untuk menyatakan adanya larangan, gunakan kata dilarang.
Contoh 1: Undang‐Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman
Pasal 135 Setiap orang dilarang menyewakan atau mengalihkan kepemilikannya atas rumah umum kepada pihak lain. Contoh 2: Peraturan Daerah Kabupaten Hulu Sungai Utara Nomor 2 Tahun
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
2010 tentang Izin Usaha Perikanan dan Tanda Pencatatan Kegiatan Perikanan
Pasal 11 (1) Setiap pemegang IUP atau TPKP dilarang:
a. melakukan kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan alat terlarang seperti bahan kimia, bahan peledak, obat bius, arus listrik, dan menggunakan alat tangkap dengan ukuran mata jaring kurang 2,5 cm atau alat tangkap dengan ukuran mata bilah kurang dari 1 cm.
C. TEKNIK PENGACUAN TEKNIK PENGACUAN 235. Pada dasarnya setiap pasal merupakan suatu kebulatan pengertian
tanpa mengacu ke pasal atau ayat lain. Namun untuk menghindari pengulangan rumusan dapat digunakan teknik pengacuan.
271. Pada dasarnya setiap pasal merupakan suatu kebulatan pengertian tanpa mengacu ke pasal atau ayat lain. Namun, untuk menghindari pengulangan rumusan digunakan teknik pengacuan.
236. Teknik pengacuan dilakukan dengan menunjuk pasal atau ayat dari Peraturan Perundang‐undangan yang bersangkutan atau Peraturan Perundang‐undangan yang lain dengan menggunakan frase sebagaimana dimaksud dalam Pasal ... atau sebagaimana dimaksud pada ayat.
Contoh: a. Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1)
dan ayat (2)... b. Izin sebagaimana dimaksud pada ayat ( 3 ) berlaku pula...
272. Teknik pengacuan dilakukan dengan menunjuk pasal atau ayat dari Peraturan Perundang–undangan yang bersangkutan atau Peraturan Perundang–undangan yang lain dengan menggunakan frasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal … atau sebagaimana dimaksud pada ayat … .
Contoh 1: Undang‐Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
Pasal 72 (1) Kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71
dilaksanakan oleh penyidik BNN. (2) Penyidik BNN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan
diberhentikan oleh Kepala BNN. Contoh 2: Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan Kabupaten Hulu Sungai Utara
Pasal 5
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
(1) Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a, penyelenggara mengadakan koordinasi dengan instansi vertikal dan lembaga pemerintah nonkementerian.
(2) Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkaitan dengan aspek perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi penyelenggaraan administrasi kependudukan.
237. Pengacuan dua atau lebih terhadap pasal atau ayat yang berurutan
tidak perlu menyebutkan pasal demi pasal atau ayat demi ayat yang diacu tetapi cukup dengan menggunakan frase sampai dengan. Contoh: a. ... sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal
12. b. ... sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) sampai dengan
ayat (4).
273. Pengacuan lebih dari dua terhadap pasal, ayat, atau huruf yang berurutan tidak perlu menyebutkan pasal demi pasal, ayat demi ayat, atau huruf demi huruf yang diacu tetapi cukup dengan menggunakan frasa sampai dengan. Contoh: Undang‐Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
Pasal 10 Ketentuan lebih lanjut mengenai perizinan, bentuk badan hukum, anggaran dasar, serta pendirian dan kepemilikan Bank Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 9 diatur dengan Peraturan Bank Indonesia. Undang‐Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial
Pasal 57 (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Undang‐Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
Pasal 37 (3) ...
f. perusahaan yang di dalamnya terdapat kepentingan dari pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf e.
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
238. Pengacuan dua atau lebih terhadap pasal atau ayat yang berurutan, tetapi ada ayat dalam salah satu pasal yang dikecualikan, pasal atau ayat yang tidak ikut diacu dinyatakan dengan kata kecuali. Contoh: a. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sampai dengan
Pasal 12 berlaku juga bagi calon hakim, kecuali Pasal 7 ayat (1). b. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan
ayat (5) berlaku juga bagi tahanan kecuali ayat (4) huruf a.
274. Pengacuan lebih dari dua terhadap pasal atau ayat yang berurutan, tetapi ada ayat dalam salah satu pasal yang dikecualikan, pasal atau ayat yang tidak ikut diacu dinyatakan dengan kata kecuali. Contoh: a. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sampai dengan
Pasal 12 berlaku juga bagi calon hakim, kecuali Pasal 7 ayat (1). b. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan
ayat (5) berlaku juga bagi tahanan, kecuali ayat (4) huruf a.
239. Kata Pasal ini tidak perlu digunakan jika ayat yang diacu merupakan salah satu ayat dalam pasal yang bersangkutan. Contoh:
Pasal 8 (1) … (2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal ini berlaku
untuk 60 (enam puluh) hari.
275. Kata pasal ini tidak perlu digunakan jika ayat yang diacu merupakan salah satu ayat dalam pasal yang bersangkutan. Contoh: Rumusan yang tidak tepat:
Pasal 8 (1) … . (2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal ini berlaku untuk 60
(enam puluh) hari.
240. Jika ada dua atau lebih pengacuan, urutan dari pengacuan dimulai dari ayat dalam pasal yang bersangkutan (Jika ada), kemudian diikuti dengan pasal atau ayat yang angkanya lebih kecil. Contoh:
Pasal 15 (1) … (2) … (3) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pasal 7 ayat (2) dan
ayat (4), Pasal 12, dan Pasal 13 ayat (3) diajukan kepada Menteri Pertambangan.
276. Jika ada dua atau lebih pengacuan, urutan dari pengacuan dimulai dari ayat dalam pasal yang bersangkutan (jika ada), kemudian diikuti dengan pasal atau ayat yang angkanya lebih kecil. Contoh:
Pasal 15 (1) … . (2) … . (3) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pasal 7 ayat (2) dan ayat
(4), Pasal 12, dan Pasal 13 ayat (3) diajukan kepada Menteri Pertambangan.
241. Pengacuan sedapat mungkin dilakukan dengan mencantumkan pula secara singkat materi pokok yang diacu. Contoh: Izin penambangan batu bara sebagaimana dimaksud dalam Pasal
277. Pengacuan dilakukan dengan mencantumkan secara singkat materi pokok yang diacu. Contoh: Izin penambangan batu bara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
15 diberikan oleh… diberikan oleh … . 242. Pengacuan hanya dapat dilakukan ke Peraturan Perundang‐
undangan yang tingkatannya sama atau lebih tinggi. 278. Pengacuan hanya dapat dilakukan ke Peraturan Perundang–undangan
yang tingkatannya sama atau lebih tinggi.
243. Hindari pengacuan ke pasal atau ayat yang terletak setelah pasal atau ayat yang bersangkutan. Contoh:
Pasal Permohonan izin pengelolaan hutan wisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dibuat dalam rangkap 5 (lima).
279. Hindari pengacuan ke pasal atau ayat yang terletak setelah pasal atau ayat bersangkutan.
Contoh: Undang‐Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
Pasal 15 Pejabat atau pegawai PPATK yang melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
244. Pengacuan dilakukan dengan menyebutkan secara tegas nomor dari pasal atau ayat yang diacu dan dihindarkan pengguna frase pasal yang terdahulu atau pasal tersebut di atas.
280. Pengacuan dilakukan dengan menyebutkan secara tegas nomor dari pasal atau ayat yang diacu dan tidak menggunakan frasa pasal yang terdahulu atau pasal tersebut di atas.
245. Pengacuan untuk menyatakan berlakunya berbagai ketentuan peraturan perundang‐undangan yang tidak disebutkan secara rinci, menggunakan frase sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang‐undangan.
281. Pengacuan untuk menyatakan berlakunya berbagai ketentuan Peraturan Perundang–undangan yang tidak disebutkan secara rinci, menggunakan frasa sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang– undangan.
246. Untuk menyatakan bahwa (berbagai) peraturan pelaksanaan dari suatu Peraturan Perundang‐undangan masih diberlakukan atau dinyatakan berlaku selama belum diadakan penggantian dengan Peraturan Perundang‐undangan yang baru, gunakan frase berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam (Jenis peraturan yang bersangkutan).
282. Untuk menyatakan peraturan pelaksanaan dari suatu Peraturan Perundang–undangan dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Perundang–undangan, gunakan frasa dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam … (jenis Peraturan Perundang‐undangan yang bersangkutan) ini. Contoh: Pada saat Undang‐Undang ini mulai berlaku, semua Peraturan Perundang‐undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang‐Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang‐undangan (Lembaran Negara Republik
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389), dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang‐Undang ini.
247. Jika Peraturan Perundang‐undangan yang dinyatakan masih tetap berlaku hanya sebagian dari ketentuan peraturan perundang‐undangan tersebut, gunakan frase tetap berlaku, kecuali… Contoh: Pada saat Undang‐Undang ini berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor…Tahun… (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun…Nomor…, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor…) tetap berlaku kecuali Pasal 5 sampai dengan Pasal 10.
283. Jika Peraturan Perundang‐undangan yang dinyatakan masih tetap berlaku hanya sebagian dari ketentuan Peraturan Perundang– undangan tersebut, gunakan frasa dinyatakan tetap berlaku, kecuali … . Contoh: Pada saat Undang‐Undang ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor … Tahun … tentang ... (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun … Nomor … , Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor …) dinyatakan tetap berlaku, kecuali Pasal 5 sampai dengan Pasal 10.
284. Naskah Peraturan Perundang‐undangan diketik dengan jenis huruf Bookman Old Style, dengan huruf 12, di atas kertas F4.
BAB IV BENTUK RANCANGAN PERATURAN PERUNDANG‐UNDANGAN
BAB IV BENTUK RANCANGAN PERATURAN PERUNDANG–UNDANGAN
A. BENTUK RANCANGAN UNDANG‐UNDANG A. BENTUK RANCANGAN UNDANG–UNDANG UNDANG‐UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR…TAHUN…TENTANG (Nama Undang‐Undang)
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa…;
b. bahwa…; c. dan seterusnya…;
Mengingat: 1. …; 2. …;
UNDANG–UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR … TAHUN …
TENTANG …
(Nama Undang–Undang) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa …;
b. bahwa …; c. dan seterusnya …;
Mengingat: 1. …; 2. …;
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
3. dan seterusnya…; Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG‐UNDANG TENTANG…(nama undang‐undang). BAB I …
Pasal 1 …
BAB II …
Pasal ... BAB ... (dan seterusnya)
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang‐Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta pada tanggal ... PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, (tanda tangan) (NAMA)
Diundangkan di Jakarta pada tanggal… MENTERI (yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang‐undangan) (tanda tangan) (NAMA)
3. dan seterusnya …; Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG–UNDANG TENTANG … (nama Undang–Undang). BAB I …
Pasal 1 . . . …
BAB II …
Pasal … BAB … (dan seterusnya)
Pasal … Undang‐Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang–Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta pada tanggal … PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, tanda tangan NAMA
Diundangkan di Jakarta pada tanggal … MENTERI (yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum), tanda tangan NAMA
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN...NOMOR… LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN … NOMOR … B. RANCANGAN UNDANG‐UNDANG PENETAPAN PERATURAN
PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG‐UNDANG MENJADI UNDANG‐UNDANG
B. RANCANGAN UNDANG‐UNDANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG‐UNDANG MENJADI UNDANG‐UNDANG
UNDANG‐UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR…TAHUN...
TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI
UNDANG‐UNDANG NOMOR…TAHUN… TENTANG ... MENJADI UNDANG‐UNDANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a.bahwa…;
b.bahwa…; c.dan seterusnya…;
Mengingat: 1. …; 2. …; 3. dan seterusnya…;
Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT PEPUBLIK INDONESIA
dan PRESIDEN REPUBLIK INDONIESIA
MEMUTUSKAN: Menetapkan: UNDANG‐UNDANG TENTANG PENETAPAN PERATURAN
PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG‐UNDANG NOMOR…TAHUN…TENTANG… MENJADI UNDANG‐UNDANG.
Pasal 1 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang‐Undang Nomor ... Tahun … tentang … (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun … Nomor …, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor …) ditetapkan menjadi Undang‐Undang dan melampirkannya sebagai bagian yang
UNDANG–UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR …TAHUN …
TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI
UNDANG‐UNDANG NOMOR … TAHUN … TENTANG … MENJADI UNDANG–UNDANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa …;
b. bahwa …; c. dan seterusnya …;
Mengingat: 1. ...; 2. …; 3. dan seterusnya …;
Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN: Menetapkan: UNDANG–UNDANG TENTANG PENETAPAN PERATURAN
PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG–UNDANG NOMOR … TAHUN ... TENTANG … MENJADI UNDANG–UNDANG.
Pasal 1 . . .
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang–Undang Nomor … Tahun … tentang … (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun ... Nomor ... , Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor …) ditetapkan menjadi Undang–Undang dan melampirkannya sebagai bagian yang tidak
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
tidak terpisahkan dari Undang‐Undang ini. Pasal 2
Undang‐Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang‐Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta pada tanggal ... PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, (tanda tangan) (NAMA)
Diundangkan di Jakarta pada tanggal ... MENTERI (yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang‐undangan) (tanda tangan) (NAMA)
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN…NOMOR...
terpisahkan dari Undang‐Undang ini. Pasal 2
Undang–Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang–Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta pada tanggal … PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, tanda tangan NAMA
Diundangkan di Jakarta pada tanggal … MENTERI (yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum), tanda tangan NAMA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN … NOMOR … C. RANCANGAN UNDANG‐UNDANG PENGESAHAN PERJANJIAN
INTERNASIONAL YANG TIDAK MENGGUNAKAN BAHASA INDONESIA SEBAGAI SALAH SATU BAHASA RESMI
C. RANCANGAN UNDANG–UNDANG PENGESAHAN PERJANJIAN INTERNASIONAL YANG TIDAK MENGGUNAKAN BAHASA INDONESIA SEBAGAI SALAH SATU BAHASA RESMI
UNDANG‐UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR…TAHUN…
TENTANG PENGESAHAN KONVENSI…
(bahasa asli perjanjian internasional yang diratifikasi dan diikuti dengan bahasa
Indonesia sebagai terjemahannya) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ...;
UNDANG–UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR … TAHUN …
TENTANG PENGESAHAN KONVENSI …
(bahasa asli perjanjian internasional yang diratifikasi dan diikuti dengan bahasa Indonesia sebagai terjemahannya) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa …;
b. bahwa …;
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
b. bahwa ...; c. dan seterusnya...;
Mengingat: 1. ...; 2. ...; 3. dan seterusnya…;
Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN: Menetapkan: UNDANG‐UNDANG TENTANG PENGESAHAN KONVENSI ...
(bahasa asli perjanjian internasional yang diratifikasi dan diikuti dengan bahasa Indonesia sebagai terjemahannya).
Pasal 1 (1) Mengesahkan Konvensi...(bahasa asli perjanjian internasional yang
diratifikasikan dan diikuti dengan bahasa Indonesia sebagai terjemahannya) ... dengan Reservation (Pensyaratan) terhadap Pasal...tentang...
(2) Salinan naskah asli Konvensi...(bahasa asli perjanjian internasional yang diratifikasikan dan diikuti dengan bahasa Indonesia sebagai terjemahannya)...dengan Reservation (Pensyaratan) terhadap Pasal...tentang...dalam bahasa Inggris dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia sebagaimana terlampir dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Undang‐Undang ini.
Pasal 2 Undang‐Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya memerintahkan pengundangan Undang‐Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta pada tanggal...
c. dan seterusnya …; Mengingat: 1. …;
2. …; 3. dan seterusnya …;
Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN: Menetapkan: UNDANG–UNDANG TENTANG PENGESAHAN KONVENSI …
(bahasa asli perjanjian internasional yang diratifikasi dan diikuti dengan bahasa Indonesia sebagai terjemahannya).
Pasal 1 (1) Mengesahkan Konvensi … (bahasa asli perjanjian internasional yang
diratifikasikan dan diikuti dengan bahasa Indonesia sebagai terjemahannya) … dengan Reservation (Pensyaratan) terhadap Pasal ... tentang… .
(2) Salinan naskah asli Konvensi … (bahasa asli perjanjian internasional yang diratifikasikan dan diikuti dengan bahasa Indonesia sebagai terjemahannya) … dengan Reservation (Pensyaratan) terhadap Pasal ... tentang … dalam bahasa Inggris dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia sebagaimana terlampir dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Undang‐Undang ini.
Pasal 2 Undang–Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang–Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta pada tanggal … PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, tanda tangan
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, (tanda tangan) (NAMA)
Diundangkan di Jakarta Pada tanggal... MENTERI (yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang‐undangan) (tanda tangan) (NAMA)
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN...NOMOR...
NAMA Diundangkan di Jakarta pada tanggal … MENTERI (yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum), tanda tangan NAMA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN … NOMOR …
D. BENTUK RANCANGAN UNDANG‐UNDANG PERUBAHAN UNDANG‐UNDANG
D. BENTUK RANCANGAN UNDANG‐UNDANG PERUBAHAN UNDANGUNDANG
UNDANG‐UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN...
TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG‐UNDANG
NOMOR…TAHUN…TENTANG (untuk perubahan pertama)
atau PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG‐UNDANG
NOMOR…TAHUN…TENTANG… (untuk perubahan kedua, dan seterusnya) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa…;
b. bahwa…; c. dan seterusnya…;
Mengingat: 1. …; 2. …; 3. dan seterusnya…;
Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
UNDANG – UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR … TAHUN …
TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG – UNDANG
NOMOR … TAHUN … TENTANG … (untuk perubahan pertama )
atau PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG‐UNDANG
NOMOR ... TAHUN ... TENTANG ... ( untuk perubahan kedua, dan seterusnya ) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa …;
b. bahwa …; c. dan seterusnya …;
Mengingat: 1. …; 2. …; 3. dan seterusnya …;
Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN: Menetapkan: UNDANG‐UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS
UNDANG‐UNDANG NOMOR…TAHUN…TENTANG… Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Undang‐Undang Nomor…Tahun…tentang...(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun...Nomor…, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor…), diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal…(bunyi rumusan tergantung keperluan), dan
seterusnya. Pasal II
Undang‐Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang‐Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta pada tanggal ... PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, (tanda tangan) (NAMA)
Diundangkan di Jakarta pada tanggal... MENTERI (yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang‐undangan) (tanda tangan) (NAMA)
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN ... NOMOR ...
dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN: Menetapkan: UNDANG–UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG‐
UNDANG NOMOR … TAHUN … TENTANG ... . Pasal I . . .
Beberapa ketentuan dalam Undang–Undang Nomor ... Tahun … tentang … (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun … Nomor …, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor … ) diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal ... ( bunyi rumusan tergantung keperluan ), dan
seterusnya. Pasal II
Undang–Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang‐Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta pada tanggal … PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, tanda tangan NAMA
Diundangkan di Jakarta pada tanggal … MENTERI (yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum), tanda tangan NAMA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN … NOMOR …
E. BENTUK RANCANGAN UNDANG‐UNDANG PENCABUTAN UNDANG‐UNDANG
E. BENTUK RANCANGAN UNDANG–UNDANG PENCABUTAN UNDANG–UNDANG
UNDANG‐UNDANG REPUBLIK INDONESIA UNDANG–UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
NOMOR... TAHUN... TENTANG
PENCABUTAN UNDANG‐UNDANG NOMOR... TAHUN... TENTANG ... (Nama Undang‐Undang)
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa…; b. bahwa…; c. dan seterusnya…;
Mengingat: 1. …; 2. …; 3. dan seterusnya ...;
Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN: Menetapkan: UNDANG‐UNDANG TENTANG PENCABUTAN UNDANG‐
UNDANG NOMOR ... TAHUN ... TENTANG .... Pasal 1
Undang‐Undang Nomor ... Tahun … tentang ... (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun ... Nomor ...., Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor...) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku (bagi Undang‐Undang yang sudah berlaku) atau ditarik kembali dan dinyatakan tidak berlaku (bagi Undang‐Undang yang sudah diundangkan tetapi belum mulai berlaku).
Pasal 2 Undang‐Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang‐Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
NOMOR … TAHUN … TENTANG
PENCABUTAN UNDANG–UNDANG NOMOR … TAHUN … TENTANG … (Nama Undang–Undang)
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa …; b. bahwa …; c. dan seterusnya …;
Mengingat: 1. …; 2. …; 3. dan seterusnya …;
Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN: Menetapkan: UNDANG–UNDANG TENTANG PENCABUTAN UNDANGUNDANG NOMOR … TAHUN … TENTANG ... .
Pasal 1 Undang–Undang Nomor … Tahun … tentang ... (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun … Nomor ..., Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor …) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku (bagi Undang–Undang yang sudah berlaku) atau ditarik kembali dan dinyatakan tidak berlaku (bagi Undang–Undang yang sudah diundangkan tetapi belum mulai berlaku).
Pasal 2 Undang–Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang‐Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
pada tanggal ... PRESIDEN REPUBLIK ENDONESIA, (tanda tangan) (NAMA)
Diundangkan di Jakarta pada tanggal ... MENTERI (yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang‐undangan) (tanda tangan) (NAMA)
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN…NOMOR…
pada tanggal … PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, tanda tangan NAMA
Diundangkan di Jakarta pada tanggal … MENTERI (yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum), tanda tangan NAMA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN … NOMOR …
F. BENTUK RANCANGAN UNDANG‐UNDANG PENCABUTAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG‐UNDANG
F. BENTUK RANCANGAN UNDANG‐UNDANG PENCABUTAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG‐UNDANG
UNDANG‐UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR…TAHUN…
TENTANG PENCABUTAN PERATURAN PEMERINTAH
PENGGANTI UNDANG‐UNDANG NOMOR…TAHUN…TENTANG... DENGAN RAHMAT TUHAN YANUGMAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa…;
b. bahwa…; c. dan seterusnya…;
Mengingat: 1. …; 2. …; 3. dan seterusnya…;
Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
UNDANG‐UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR … TAHUN …
TENTANG PENCABUTAN PERATURAN PEMERINTAH
PENGGANTI UNDANG‐UNDANG NOMOR … TAHUN … TENTANG … DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa …;
b. bahwa …; c. dan seterusnya …;
Mengingat: 1. …; 2. …; 3. dan seterusnya …;
Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
Menetapkan: UNDANG‐UNDANG NOMOR…TAHUN…TENTANG PENCABUTAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG‐UNDANG NOMOR ... TAHUN…TENTANG...
Pasal I Peraturan Pemerintah Pengganti Undang‐Undang Nomor…Tahun…(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun…Nomor…, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor ... ) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku (bagi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang‐undang yang sudah berlaku) atau ditarik kembali dan dinyatakan tidak berlaku (bagi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang‐undang yang sudah diundangkan tetapi belum mulai berlaku).
Pasal 2 Undang‐Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang‐Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta pada tanggal ... PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, (tanda tangan) (NAMA)
Diundangkan di Jakarta pada tanggal ... MENTERI (yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan Perundang‐undangan) (tanda tangan) (NAMA)
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN...NOMOR...
Menetapkan: UNDANG‐UNDANG NOMOR ... TAHUN … TENTANG PENCABUTAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG‐UNDANG NOMOR … TAHUN … TENTANG …
Pasal 1 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang‐Undang Nomor … Tahun ... tentang ... (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun …. Nomor ..., Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor …) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku (bagi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang‐undang yang sudah berlaku) atau ditarik kembali dan dinyatakan tidak berlaku (bagi Peraturan . . . Peraturan Pemerintah Pengganti Undang‐undang yang sudah diundangkan tetapi belum mulai berlaku).
Pasal 2
Undang–Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang‐Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta pada tanggal … PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, tanda tangan NAMA
Diundangkan di Jakarta pada tanggal … MENTERI (yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum), tanda tangan NAMA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN … NOMOR … G. RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG‐
UNDANG G. RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG‐UNDANG
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG‐UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR…TAHUN... TENTANG
(Nama Peraturan Pemerintah Pengganti Undang‐undang) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa…;
b. bahwa…; c. dan seterusnya...;
Mengingat: 1. ...; 2. ...; 3. dan seterusnya...;
MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG‐
UNDANG TENTANG .... (Nama Peraturan Pemerintah Pengganti Undang‐undang).
BAB I ...
Pasal 1 ...
BAB II ...
Pasal ... BAB
(dan seterusnya) Pasal 2
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang‐Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG‐UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR …. TAHUN ….. TENTANG
(Nama Peraturan Pemerintah Pengganti Undang‐undang) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa …;
b. bahwa …; c. dan seterusnya …;
Mengingat: 1. …; 2. …; 3. dan seterusnya …;
MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG‐UNDANG
TENTANG … (Nama Peraturan Pemerintah Pengganti Undang‐undang).
BAB I …
Pasal 1 BAB II ...
Pasal … BAB
(dan seterusnya) Pasal 2 . . .
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang‐Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang‐Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
pada tanggal ... PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, (tanda tangan) (NAMA)
Diundangkan di Jakarta pada tanggal ... MENTERI (yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang‐undangan) (tanda tangan) (NAMA)
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN…NOMOR…
pada tanggal … PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, tanda tangan NAMA
Diundangkan di Jakarta pada tanggal … MENTERI (yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum), tanda tangan NAMA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN … NOMOR … H. BENTUK RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH H. BENTUK RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR…TAHUN... TENTANG
(Nama Peraturan Pemerintah) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa...;
b. bahwa...; c. dan seterusnya
Mengingat: 1. …; 2. …; 3. dan seterusnya…;
MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN PEMERINTAH TENTANG (nama Peraturan
Pemerintah). BAB I …
Pasal 1 BAB II Pasal…
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR … TAHUN …
TENTANG (Nama Peraturan Pemerintah)
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa …; b. bahwa …; c. dan seterusnya …; Mengingat: 1. …; 2. …; 3. dan seterusnya …; MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN PEMERINTAH TENTANG …. (nama Peraturan
Pemerintah). BAB I …
Pasal 1 BAB II Pasal …
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
BAB… (dan seterusnya)
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal ... PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, (tanda tangan) (NAMA)
Diundangkan di Jakarta pada tanggal ... MENTERI (yang tugas dan tanggung Jawabnya di bidang peraturan perundang‐undangan) (tanda tangan) (NAMA)
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN…NOMOR...
BAB … (dan seterusnya)
Pasal … Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal … PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, tanda tangan NAMA Diundangkan di Jakarta pada tanggal … MENTERI (yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum), tanda tangan NAMA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN … NOMOR… I. BENTUK RANCANGAN PERATURAN PRESIDEN I. BENTUK RANCANGAN PERATURAN PRESIDEN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR…TAHUN… TENTANG
(nama Peraturan Presiden) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa…;
b. bahwa…; c. dan seterusnya...;
Mengingat: 1. ...; 2. ...; 3. dan seterusnya...;
PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR … TAHUN …
TENTANG (Nama Peraturan Presiden)
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa …; b. bahwa …; c. dan seterusnya …;
Mengingat: 1. …; 2. …; 3. dan seterusnya …;
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN PRESIDEN TENTANG (nama Peraturan
Presiden). BAB I ...
Pasal 1 BAB II ...
Pasal... BAB...
(dan seterusnya) Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Presiden ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal... PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, (tanda tangan) (NAMA)
Diundangkan di Jakarta pada tanggal… MENTERI (yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang‐undangan) (tanda tangan) (NAMA)
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN…NOMOR...
MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN PRESIDEN TENTANG …. (nama Peraturan
Presiden). BAB I …
Pasal 1 BAB II Pasal … BAB …
(dan seterusnya) Pasal …
Peraturan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Presiden ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal … PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, tanda tangan NAMA
Diundangkan di Jakarta pada tanggal … MENTERI (yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum), tanda tangan NAMA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN … NOMOR… J. BENTUK RANCANGAN PERATURAN MENTERI PERATURAN MENTERI … REPUBLIK INDONESIA
NOMOR … TAHUN … TENTANG
(Nama Peraturan Menteri)
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI …REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa …; b. bahwa …; c. dan seterusnya …;
Mengingat: 1. …; 2. …; 3. dan seterusnya …;
MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN MENTERI … TENTANG …. (nama Peraturan
Menteri). BAB I …
Pasal 1 BAB II Pasal … BAB …
(dan seterusnya) Pasal …
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal … MENTERI ... REPUBLIK INDONESIA, tanda tangan NAMA
Diundangkan di Jakarta pada tanggal … MENTERI (yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum),
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
tanda tangan NAMA
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN … NOMOR… J. BENTUK RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI K. BENTUK RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI PERATURAN DAERAH PROVINSI... (Nama Provinsi)
NOMOR...TAHUN... TENTANG
(nama Peraturan Daerah) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR PROVINSI (Nama Provinsi), Menimbang: a. bahwa...;
b. bahwa...; c. dan seterusnya...;
Mengingat: 1. ...; 2. ...; 3. dan seterusnya ...
Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI
(Nama Provinsi) dan
GUBERNUR... (Nama Provinsi) MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN DAERAH TENTANG ... (nama Peraturan Daerah Provinsi).
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal I BAB II ...
Pasal ... BAB ...
(dan seterusnya)
PERATURAN DAERAH PROVINSI … (Nama Provinsi) NOMOR … TAHUN …
TENTANG (nama Peraturan Daerah)
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR (Nama Provinsi),
Menimbang : a. bahwa …; b. bahwa …; c. dan seterusnya …;
Mengingat: 1. …; 2. …; 3. dan seterusnya …;
Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI …
(Nama Provinsi) dan
GUBERNUR … (Nama Provinsi) MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN DAERAH TENTANG ... (Nama Peraturan Daerah) BAB I
KETENTUAN UMUM Pasal 1 BAB II …
Pasal … BAB …
(dan seterusnya) Pasal ...
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Provinsi ... (Nama Provinsi).
Ditetapkan di.... pada tanggal... GUBERNUR PROVINSI ... (Nama Provinsi) (tanda tangan) (NAMA)
Diundangkan di ... pada tanggal ... SEKRETARIS DAERAH ... (Nama Provinsi) LEMBARAN DAERAH PROVINSI ... (Nama Provinsi) TAHUN ... NOMOR ...
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Provinsi … (Nama Provinsi).
Ditetapkan di … pada tanggal … GUBERNUR … (Nama Provinsi) tanda tangan NAMA
Diundangkan di … pada tanggal … SEKRETARIS DAERAH PROVINSI… (Nama Provinsi), tanda tangan NAMA
LEMBARAN DAERAH PROVINSI … (Nama Provinsi) TAHUN … NOMOR … K. BENTUK RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN/KOTA L. BENTUK RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN/KOTA PERATURAN DAERAH KABUPATEN/KOTA ... (nama kabupaten/kota)
NOMOR ... TAHUN ... TENTANG
(nama Peraturan Daerah) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI/WALIKOTA (nama kabupaten/kota),
Menimbang: a. bahwa...; b. bahwa...; c. dan seterusnya
Mengingat: 1. ...; 2. ...; 3. dan seterusnya
Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN/KOTA...
(nama kabupaten/kota)
PERATURAN DAERAH KABUPATEN/KOTA… (nama kabupaten/kota) NOMOR … TAHUN …
TENTANG (nama Peraturan Daerah)
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI/WALIKOTA (nama kabupaten/kota),
Menimbang: a. bahwa …; b. bahwa …; c. dan seterusnya …;
Mengingat: 1. …; 2. …; 3. dan seterusnya …;
Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN/KOTA …
(nama kabupaten/kota)
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
dan BUPATI/WALIKOTA.... (nama kabupaten/kota)
MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN DAERAH TENTANG...(nama Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota). BAB I
KETENTUAN UMUM Pasal I ...
BAB II ...
Pasal... BAB...
(dan seterusnya) Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten/Kota ... (nama kabupaten/kota).
Ditetapkan di.... pada tanggal... BUPATI/WALIKOTA ... (nama kabupaten/kota) (tanda tangan) (NAMA)
Diundangkan di ... pada tanggal ... SEKRETARIS DAERAH ... (Nama Kabupaten/Kota) (tanda tangan) (NAMA) LEMBARAN DAERAH KABUPATEN/KOTA ... (Nama kabupaten/Kota)
TAHUN ... NOMOR ...
dan BUPATI/WALIKOTA … (nama kabupaten/kota)
MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN DAERAH TENTANG ... (Nama Peraturan
Daerah). BAB I
KETENTUAN UMUM Pasal 1 BAB II …
Pasal … BAB …
(dan seterusnya) Pasal …
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten/Kota … (nama kabupaten/kota).
Ditetapkan di … pada tanggal … BUPATI/WALIKOTA … (nama kabupaten/kota), tanda tangan NAMA
Diundangkan di … pada tanggal … SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN/KOTA … (nama kabupaten/kota), tanda tangan NAMA
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN/KOTA … (nama kabupaten/kota) TAHUN … NOMOR …
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETERANGAN
Ttd. MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
ttd. DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO