bab i jamban
DESCRIPTION
kti odfTRANSCRIPT
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Millenium Development Goals (MDGs) telah disepakati oleh pemimpin
dunia untuk menjadi tujuan pembangunan ke depan. Salah satu sasaran program
Millenium Development Goals (MDGs) adalah memastikan kelestarian
lingkungan dan menjadikan slah satu indikatornya adalah terjadinya penurunan
hingga setengah dari jumlah penduduk yang tidak mempunyai akses terhadap air
minum yang aman dan sanitasi dasar. Masalah kesehatan lingkungan di negara-
negara sedang berkembang adalah berkisar antara sanitasi dasar dan perumahan.
(Notoatmodjo, 2007)
Tantangan yang dihadapi Indonesia terkait dengan masalah air minum,
higiene dan sanitasi masih sangat besar. Hasil studi Indonesia Sanitation Sector
Development Program (ISSDP) tahun 2006, menunjukkan 47% masyarakat masih
berperilaku buang air besar ke sungai, sawah, kolam, kebun dan tempat terbuka.
Kondisi tersebut berkontribusi terhadap tingginya angka kejadian diare di
Indonesia. Hal ini terlihat dari angka kejadian diare nasional pada tahun 2006
sebesar 423 per seribu penduduk pad a semua umur dan 16 provinsi mengalami
Kejadian Luar Biasa (KLB) diare dengan Case Fatality Rate (CFR) sebesar 2,52.
Kondisi seperti ini dapat dikendalikan melalui intervensi terpadu melalui
pendekatan sanitasi total. Hal ini dibuktikan melalui hasil studi WHO tahun 2007,
yaitu kejadian diare menurun 32% dengan meningkatkan akses masyarakat
terhadap sanitasi dasar, 45% dengan perilaku mencuci tangan pakai sabun, dan
1
39% perilaku pengelolaan air minum yang aman di rumah tangga. Sedangkan
dengan mengintegrasikan ketiga perilaku intervensi tersebut, kejadian diare
menurun sebesar 94%.
Pemerintah telah memberikan perhatian di bidang higiene dan sanitasi
dengan menetapkan Open Defecation Free dan peningkatan perilaku hidup bersih
dan sehat pada tahun 2009 dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) Tahun 2004 - 2009. Hal ini sejalan dengan komitmen
pemerintah dalam mencapai target Millennium Development Goals (MDGs)
tahun 2015, yaitu meningkatkan akses air minum dan sanitasi dasar secara
berkesinambungan kepada separuh dari proporsi penduduk yang belum
mendapatkan akses.
Menyadari hal tersebut di atas, pemerintah telah melaksanakan beberapa
kegiatan, antara lain melakukan uji coba implementasi Community Led Total
Sanitation (CLTS) di 6 Kabupaten pada tahun 2005, dilanjutkan dengan
pencanangan gerakan sanitasi total oleh Menteri Kesehatan pada tahun 2006 di
Sumatera Barat serta pencanangan kampanye cuci tangan secara nasional oleh
Menko Kesra bersama Mendiknas dan Meneg Pemberdayaan Perempuan tahun
2007.
Sebagai tindak lanjut, dilakukan replikasi CLTS di berbagai lokasi oleh
berbagai lembaga, baik pemerintah maupun non pemerintah, yang menghasilkan
perubahan perilaku buang air besar di sembarang tempat, sehingga pada tahun
2006 sebanyak 160 desa telah ODF dan tahun 2007 mencapai 500 desa. (Depkes,
2007).
2
Kementrian Kesehatan mengembangkan teknik pendekatan perilaku hidup
bersih dan sehat, yaitu dengan pendekatan Community Led Total Sanitation
(CLTS) atau istilah lain adalah Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM).
Pendekatan CLTS ini menitikberatkan kepada fasilitasi atas suatu proses untuk
menyemangati serta memberdayakan masyarakat setempat untuk tidak buang air
besar di tempat terbuka serta membangun dan menggunakan jamban atas
kemauan sendiri tanpa subsidi dari luar. Melalui pendekatan CLTS anggota
masyarakat diajak menganalisis masalah sekaligus mencari solusinya sendiri.
Perlunya strategi nasional sanitasi total berbasis masyarakat berangkat dari
pelaksanaan kegiatan dengan pendekatan sektoral dan subsidi perangkat keras
selama ini tidak memberi daya ungkit terjadinya perubahan perilaku hygienis dan
peningkatan akses sanitasi, sehingga diperlukan strategi yang baru dengan
melibatkan lintas sektor sesuai dengan tugas dan pokok dan fungsi masing-masing
dengan leading sektor Departemen Kesehatan karena sanitasi total berbasis
masyarakat ini menekankan kepada 5 (lima) perubahan perilaku hygienis.
Kondisi Kesehatan Indonesia masih didominasi oleh penyakit berbasis
lingkungan khususnya penyakit yang dibawa oleh air (water borne diseases),
seperti DBD, Diare, Cacingan dan Polio. Penyebab utama tingginya penyakit-
penyakit tersebut adalah perilaku hidup yang belum bersih dan sehat, terutama
masih banyak masyarakat yang buang air besar di tempat terbuka (open
defecation), seperti di kebun, sungai, dan sebagainya.
Upaya-upaya peningkatan cakupan jamban yang telah dilakukan bertahun-
tahun melalui berbagai proyek dan pendekatan, tetapi belum memberikan hasil
yang signifikan dengan besarnya biaya yang telah dikeluarkan. Tolok ukur yang
3
digunakan dalam pelaksanaan program-program adalah peningkatan jumlah
jamban yang dibangun. Namun demikian, pada kenyataannya belum mampu
menurunkan prevalensi penyakit berbasis lingkungan, karena banyak masyarakat
yang tetap buang air besar di tempat terbuka. Buang Air Besar (BAB) di
sembarangan tempat itu berbahaya. Karena itu akan memudahkan terjadinya
penyebaran penyakit lewat lalat, udara dan air (B.Candra, 2007)
Pendekatan CLTS ini pertama kali diperkenalkan dan dikembangkan di
India dan Bangladesh dengan hasil yang luar biasa. Dengan hasil seperti itu,
kegiatan disebarluaskan ke berbagai pelosok di negara-negara tersebut, bahkan
kini telah diadopsi dan disebarluaskan di berbagai negara, termasuk Indonesia.
Pendekatan ini ternyata memberikan hasil dalam peningkatan akses sanitasi secara
spektakuler karena berlangsung dalam waktu yang sangat cepat.
Di Indonesia, penduduk pedesaan yang menggunakan air bersih baru
mencapai 67,3%. Dari angka tersebut hanya separuhnya (51,4%) yang memenuhi
syarat bakteriologis. Sedangkan penduduk yang menggunakan jamban sehat (WC)
hanya 54%. Itulah sebabnya penyakit diare sebagai salahsatu penyakit yang
ditularkan melalui air masih merupakan masalah kesehatan masyarakat dengan
angka kesakitan 374 per 1000 penduduk. Selain itu diare merupakan penyebab
kematian nomor 2 pada Balita dan nomor 3 bagi bayi serta nomor 5 bagi semua
umur. Penggunaan jamban di berbagai daerah di Indonesia masih menggunakan
pembuangan air yang tidak sehat.
Masalah kesehatan lingkungan pemukiman khususnya pada pembuangan
tinja merupakan salah satu dari berbagai masalah kesehatan yang perlu
mendapatkan prioritas. Penyediaan sarana pembuangan tinja masyarakat terutama
4
dalam pelaksanaannya tidaklah mudah, karena menyangkut peran serta
masyarakat yang biasanya sangat erat kaitannya dengan prilaku, tingkat ekonomi,
kebudayaan dan pendidikan.
Jamban merupakan sanitasi dasar penting yang harus dimiliki setiap
masyarakat sebenarnya,masyarakat sadar dan mengerti arti pentingnya
mempunyai jamban sendiri di rumah. Alasan utama yangselalu diungkapkan
masyarakat mengapa sampai saat ini belum memiliki jamban keluarga adalah
tidak atau belum mempunyai uang melihat faktor kenyataan tersebut, sebenarnya
tidak adanya jamban di setiap rumah tangga bukansemata faktor ekonomi, Tetapi
lebih kepada adanya kesadaran masyarakat untuk menerapkan pola hidup sehat
(PHBS), jamban pun tidak harus mewah dengan biaya yang mahal.
Cukup yang sederhana saja disesuaikan dengan kemampuan ekonomi
rumag tangga. Buat apa jamban yang mewah sementara perilaku buang air besar
(BAB) masih tetap sembarangan. Ada faktor lain yang menyebabkan masyarakat
untuk membuat atau membangun jamban yaitu ketergantungan pada bantuan
pemerintah dalam hal membangun jamban. Hal ini merupakan bagian dari
kesalahan masa lalu dalam penerapan kebijakan yang justru cenderung
memanjakan masyarakat. Program pembangunan jamban yang dilakukan selama
ini kurang optimal khususnya dalam membangun perubahan masyarakat.
pendekatan yang dilakukan mempunyai karakttreistik yang berorientasi kepada
konstruksi atau bangunan fisik jamban saja,tanpa ada upaya pendidikan perilaku
hidup bersih dan sehat (PHBS) yang memadai selain itu desain jamban yang
dianjurkan seringkali mahal bagi keluarga miskin. Subsidi proyek tidak efektif
5
menjangkau kelompok masyarakat miskin. jamban dibangun, tetapi seringkali
tidak digunakan masyarakat.
Pemerintah indonesia telah melakukan uji coba pendekatan CLTS sejak
bulan mei 2005 di 18 komunitas di 6 kabupaten di 6 propinsi degan karakteristik
yang berbeda, hasil uji coba dinilai cukup mengembirakan karena membawa 159
komunitas terbebas dari open defecation free dan mengubah prilaku bab 28.000
rumah tangga dalam rangka mendorong peningkatan akses sanitasi dan
peningkatan pelaku higine yang berkesinambungan untuk mencapai target MDGS
pada tahun 2015 juga sebagai imlplementasi dari kebijakan dan strategi national
sanitasi yang improved dimana kondisi saat ini masih berada pada angka 54,72%
( profil dinas kesehatan 2008.( Profil dinas kesehatan )
Pembuatan jamban merupakan usaha manusia untuk memelihara
kesehatan dengan membuat lingkungan tempat hidup sehat.Dalam pembuatan
jamban sedapat mungkin harus diusahakan agar jamban tidak menimbulkan bau
yang tidak sedap. Penduduk Indonesia yang menggunakan jamban sehat (WC)
hanya 54 % saja padahal menurut studi menunjukkan bahwa penggunaan jamban
sehat dapat mencegah penyakit diare sebesar 28%. (Depkes RI,2009)
Pekerjaan masyarakat serta pendapatan masyarakat yang masih kurang
ditambah lagi mahalnya harga kloset di pasaran menjadi salah satu faktor
penyebab kurangnya pembuatan sekaligus pemanfaatan jamban. Pemanfaatan
jamban keluarga sangat dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan dan kebiasaan
masyarakat. Kepemilikan jamban bagi keluarga merupakan salah satu indikator
rumah sehat selain pintu ventilasi, jendela, air bersih, tempat pembuangan
sampah, saluran air limbah, ruang tidur, ruang tamu, dan dapur.
6
Kepemilikan sarana sanitasi dasar yang dimiliki oleh keluarga meliputi
persediaan air bersih (PAB), jamban, tempat sampah, dan pengelolaan air limbah
(PAL). Dari 362.510 KK yang ada, tidak semuanya bisa diperiksa karena
keterbatasan sumber daya yang ada. Terkait masalah jamban, salah satu terobosan
dalam program Kesehatan Lingkungan adalah adanya program Sanitasi Total
Berbasis Masyarakat (STBM). Ada 5 pilar untuk mewujudkan STBM salah
satunya adalah tidak buang air besar sembarangan atau lebih dikenal dengan
istilah ODF (Open Defecation Free).
Sampai tahun 2010 telah dilakukan pemicuan di 115 desa atau 236 dusun
dengan jumlah KK 71.285. Dari jumlah KK tersebut pada akhir tahun 2010
diperoleh data bahwa sebanyak 78,6% telah memiliki akses jamban sehat
permanan (JSP), 6,6% memiliki akses jamban sehat semi permanen (JSSP) dan
14,8% masih buang air besar di tempat terbuka atau Open Defecation (tabel 51
Profil Kesehatan 2010). Cakupan dusun ODF tahun 2010 adalah 41,4% dari
jumlah dusun yang dipicu. Capaian tersebut telah melampaui target SPM
Kabupaten Jombang tahun 2010 yang menargetkan dusun ODF 10% dari dusun
yang dipicu. Sedangkan secara keseluruhan cakupan keluarga dengan akses
jamban sehat sebesar 68%, masih belum mencapai target (80%).
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dirumuskan masalah Faktor-
Faktor Apa yang Mempengaruhi Pencapaian Open Defecation Free (ODF) Pada
Desa Di Wilayah Kerja Puskesmas Peterongan?
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
7
Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pencapaian open
defecation free (ODF) pada desa di wilayah kerja Puskesmas Peterongan
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui karakteristik (umur, tingkat pendidikan dan sosial
ekonomi) masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Peterongan
2. Untuk mengetahui pengetahuan masyarakat tentang open defecation
free (ODF) di wilayah kerja Puskesmas Peterongan
3. Untuk mengetahui sikap masyarakat tentang open defecation free
(ODF) di wilayah kerja Puskesmas Peterongan
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Dinas Kesehatan Kabupaten Jombang
Memberikan informasi mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi
pencapaian Open Defecation Free (ODF), sehingga dapat digunakan sebagai
data dalam membantu melakukan promosi kesehatan dalam meningkatkan
perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS)
1.4.2 Puskesmas Peterongan
Memberikan informasi untuk meningkatkan pencapaian Open Defecation
Free (ODF) sebagai salah satu program kerja di Puskesmas Peterongan
1.4.3 Peneliti
Memberikan wawasan dan ilmu pengetahuan kepada peneliti, khususnya
dalam bidang sanitasi lingkungan
1.4.4 Peneliti Lain
Sebagai referensi bagi peneliti lain untuk dapat melakukan penelitian lebih
lanjut khususnya tentang sanitasi lingkungan
8