bab i i.1 latar belakang masalah -...
TRANSCRIPT
BAB I
I.1 Latar Belakang Masalah
Pembagian kekuasaan secara horizontal adalah pembagian kekuasaan menurut fungsinya,
dan ini ada hubungannya dengan doktrin Trias Politika. Trias Politika adalah anggapan bahwa
kekuasaan negara terdiri atas 3 macam yaitu kekuasaan legislatif atau kekuasaan membuat
undang-undang, kekuasaan eksekutif atau kekuasaan melaksanakan undang-undang, dan
kekuasaan yudikatif atau kekuasaan mengadili atas pelanggaran undang-undang. Doktrin ini
untuk pertama kali di kemukakan oleh Jhon Locke (1632-1704) dan Montesqiue (1689-1755).
Filsuf Inggris, Jhon Locke mengemukakan konsep yang ditulisnya ini ke dalam bukunya
yang berjudul Two Treatises on Civil Government (1690). Dalam bukunya, Jhon Locke
mengemukakan bahwa kekuasaan negara dibagi dalam tiga kekuasaan, yaitu kekuasaan legislatif
(membuat peraturan dan perundang – undangan), kekuasaan eksekutif (melaksanakan undang –
undang sekaligus mengadili), dan kekuasaan federatif (menjaga keamanan negara dalam
hubungan dengan negara lain), yang masing – masing terpisah satu sama lain.1
1 Miriam Budihardjo. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik Edisi Revisi.Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. hal 282.
Beberapa puluh tahun kemudian, pada tahun 1784, filsuf Prancis Montesqieu
memperkembangkan lebih lanjut pemikiran Locke ini dalam bukunya yang berjudul L’Espirit
des Louis ( The Spirit of Law ). Dalam uraiannya, Montesqieu membagi kekuasaan pemerintahan
kedalam tiga cabang, yaitu kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan yudikatif.
Menurutnya ketiga jenis kekuasaan ini haruslah terpisah satu sama lain, baik mengenai tugas
(fungsi ) maupun alat perlengkapan ( organ ) yang menyelengarakannya.
Universitas Sumatera Utara
Di Indonesia kekuasaan membuat undang – undang dilakukan oleh Dewan Perwakilan
Rakyat ( DPR ). Menurut Undang - Undang no 32 tahun 2004 pasal 40 dijelaskan bahwa DPRD
merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah dan berkedudukan sebagai unsur penyelenggaraan
pemerintah daerah.
Seperti yang kita ketahui bahwa lembaga legislatif DPRD memiliki 3 fungsi yang
dijelaskan lebih lanjut dalam pasal 41 Undang - Undang no 32 tahun 2004 yakni: (1) Legislasi,
yaitu membuat undang-undang dalam hal ini peraturan daerah ;(2) Controlling/pengawasan,
yaitu mengawasi eksekutif (dalam hal ini adalah Bupati) dan peraturan daerah yang telah dibuat;
(3) Budgeting/Anggaran, yakni bersama-sama dengan Kepala Daerah menyusun dan menetapkan
APBD.
DPRD memiliki tugas dan wewenang dalam membahas dan menyetujui rancangan perda
mengenai APBD bersama kepala daerah. DPRD juga melaksanakan pengawasan terhadap
pelaksanaan perda dan peraturan perundang – undangan lainnya, peraturan kepala daerah, APBD
yang dijelaskan lebih lanjut dalam pasal 42 ayat 1 butir b dan c Undang - Undang no 32 tahun
2004.
Simalungun, seperti halnya dengan kabupaten/kota yang lain juga memiliki Anggaran
Penerimaan dan Belanja Daerah (APBD). Menurut pasal 1 ayat 14 Undang – Undang no 32 tahun
2004, yang dimaksud dengan APBD adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang
ditetapkan dengan peraturan daerah. Sebelum APBD menjadi Peraturan Daerah (Perda), Kepala
Daerah yang bersangkutan membuat rancangan anggaran yang kemudian diajukan kepada DPRD
dan DPRD membahas bersama Kepala Daerah agar Rancangan Anggaran Penerimaan dan
Belanja Daerah (RAPBD) dapat menjadi Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah (APBD),
Universitas Sumatera Utara
yang dimaksud adalah perda mengenai Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah Kabupaten
Simalungun.
Dalam pembuatan peraturan daerah diperlukan tahapan – tahapan didalamnya, yakni :
1. Tahapan pengusulan raperda.
2. Tahapan pembahasan raperda.
3. Tahapan penetapan raperda menjadi perda.
4. Tahapan evaluasi perda
Dalam proses tahapan pembuatan perda mengenai Anggaran Penerimaan Belanja
Daerah tersebut biasanya terjadi tarik ulur kepentingan yang mungkin terjadi didalam
pembahasan mengenai rancangan APBD tersebut. DPRD yang berfungsi untuk mengontrol
budgeting pemerintah daerah sedangkan pemerintah daerah butuh anggaran yang besar untuk
menjalankan program – program kerja pemerintah tersebut.
Simalungun seperti halnya daerah lainnya juga melalui tahapan – tahapan dalam
penyusunan peraturan daerah dalam hal ini adalah peraturan daerah mengenai Anggaran
Penerimaan dan Belanja Daerah, juga mungkin mengalami proses yang dapat dikatakan tarik
ulur kepentingan dalam penyusunan perda mengenai APBD tersebut. APBD Simalungun untuk
tahun anggaran 2011 yaitu pada pendapatan daerah sebesar Rp. 1.006.510.043.930,- dan pada
pengeluaran belanja daerah yaitu sebesar Rp. 1.051.208.762.290,- dan kemudian dengan
persetujuan bersama DPRD Kabupaten Simalungun dan Bupati Simalungun menetapkan perda
No. 1 Tahun 2011 tentang Anggaran Penerimaan Belanja Daerah Kabupaten Simalungun
Tahun Anggaran 2011.
Seperti yang dikemukakan diatas maka dapat kita lihat bahwa ini merupakan proses
pembentukan peraturan daerah. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk meneliti bagaimana
Universitas Sumatera Utara
kemudian APBD tersebut menjadi sebuah peraturan daerah atas persetujuan DPRD.
Hal ini dikuatkan oleh definisi tentang Perda berdasarkan ketentuan Undang-Undang no
32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yaitu peraturan perundang-undangan yang dibentuk
bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan Kepala Daerah baik di provinsi
maupun di Kabupaten/Kota yang merupakan penjelasan dalam pasal 1 butir 10 undang –
undang nomor 32 tahun 2004 mengenai Pemerintahan Daerah.
Rancangan Peraturan Daerah dapat berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD) dan juga Kepala Daerah dalam hal ini Gubernur, Bupati/Walikota. Apabila dalam satu
kali masa sidang, Kepala Daerah dan DPRD menyampaikan materi yang sama mengenai
Peraturan Daerah, maka hal yang akan dibahas adalah rancangan Peraturan Daerah yang
disampaikan oleh DPRD, sedangkan rancangan perda yang disampaikan oleh Kepala Daerah
dipergunakan sebagai bahan persandingan.
Tidak jauh beda dengan daerah lainnya, penyusunan rancangan Anggaran Penerimaan
dan Belanja Daerah Kabupaten Simalungun sebelum menjadi Anggaran Penerimaan dan
Belanja Daerah, dibahas bersama-sama oleh pemerintah kabupaten dalam hal ini yaitu Bupati
Simalungun bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Simalungun.
Setelah itu, maka rancangan yang telah dibahas tadi akan dibuat menjadi Anggaran Penerimaan
dan Belanja Daerah yang akan disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menjadi
peraturan daerah (perda).
Program penyusunan Peraturan Daerah dilakukan dalam satu Program Legislasi Daerah
yang dimuat dalam ketentuan pasal 15 undang – undang nomor 10 tahun 2004 mengenai
pembentukan peraturan perundang - undangan, sehingga diharapkan agar tidak terjadi
tumpang tindih dalam penyiapan satu materi Peraturan Daerah, dalam hal ini peraturan daerah
Universitas Sumatera Utara
proses pembentukan peraturan daerah mengenai Anggaran Penerimaan Belanja Daerah
Kabupaten tahun 2011 Kabupaten Simalungun.
I.2. Perumusan Masalah
Atas dasar latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan yang ingin
dikaji yakni “Bagaimana proses pembentukan Peraturan Daerah mengenai Anggaran
Penerimaan dan Belanja Daerah Kabupaten Simalungun Tahun Anggaran 2011?”
I.3. Pembatasan Masalah
Agar penelitian ini terfokus terhadap permasalahannya, maka lebih baik jika dibuat
pembatasan masalahnya. Pada proposal penelitian ini adapun masalah yang ingin diteliti adalah :
1. Proses pengusulan raperda mengenai APBD Kabupaten Simalungun tahun
Anggaran 2011.
2. Proses pembahasan raperda mengenai APBD Kabupaten Simalungun tahun
Anggaran 2011.
3. Proses penetapan raperda menjadi perda mengenai APBD Kabupaten
Simalungun tahun Anggaran 2011.
I.4. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan
menganalisis bagaimana sebenarnya proses pembentukan Peraturan Daerah nomor 1 tahun 2011
mengenai APBD Kabupaten Simalungun Tahun Anggaran 2011.
Universitas Sumatera Utara
I.5. Manfaat Penelitian
Adapun yang menjadi manfaat penelitian ini adalah:
1. Secara teoritis maupun metodologis, Penelitian ini diharapkan mampu memberikan
sumbangan terhadap perkembangan dan pendalaman studi perwakilan politik di
Indonesia.
2. Bagi akademisi, khususnya Departemen Ilmu Politik, Penelitian ini dapat menjadi bahan
acuan maupun referensi dalam konteks ilmu politik di Indonesia.
3. Bagi masyarakat sendiri, penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan
masyarakat sendiri mengenai proses pembentukan peraturan daerah mengenai Anggaran
Penerimaan Belanja Daereah.
I.6 Kerangka Teori
Untuk mempermudah pelaksanaan penelitian perlu adanya dasar berpikir yaitu kerangka
teori. Sebelum melakukan penelitian, seorang peneliti perlu menyusun kerangka teori sebagai
landasan berpikir untuk menggambarkan dari sudut mana permasalahan akan diteliti. Teori
adalah serangkaian asumsi, konsep, konstrak, defenisi, dan preposisi untuk menerangkan suatu
fenomena social secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antara konsep.2
Woodrow Wilson mengemukakan bahwa legislation is an aggregate, not a simple
production. Namun sebelumnya Jeremy Bentham dan John Austin memberikan konsep legislasi
I.6.1 Fungsi Legislatif
2 Masri Singarimbun dan Sofian Effendi. 1998. Metode Penelitian Sosial. Jakarta: LP3ES. Hal 37
Universitas Sumatera Utara
sebagai “any form of law-making”. Karenanya bentuk peraturan yang ditetapkan oleh lembaga
legislatif untuk maksud mengikat umum dapat dikaitkan dengan pengertian “enacted law”,
“statute”, atau undang-undang dalam arti luas. Dalam pengertian itu, fungsi legislasi merupakan
fungsi dalam pembentukan perundang-undangan.3
Lebih lanjut Jimmly Assiddiqie, mengemukakan bahwa fungsi legislasi menyangkut
empat bentuk kegiatan, yaitu Pertama, prakarsa pembuatan undang-undang (legislative
initiation), Kedua, pembahasan rancangan undang-undang (law making process), Ketiga,
persetujuan atas pengesahan rancangan undang-undang (law enactment approval), dan Keempat,
pemberian persetujuan pengikatan atau ratifikasi atas perjanjian atau persetujuan international
dan dokumen-dokumen hukum yang mengikat lainnya.
4
Muchtar Pakpahan membagi fungsi DPR secara garis besar kedalam tiga fungsi yaitu,
legislative function (fungsi legislatif), controlling function (fungsi pengawasan) dan budgeting
function (fungsi budget atau anggaran).
5
Fungsi pokok DPR adalah membuat undang-undang yang berarti menjadi landasan
hukum bagi pemerintah dalam membuat kebijakan publik. Menurut Miriam Budiardjo bahwa
“lembaga legislatif adalah lembaga yang “legislate” atau membuat undang-undang. Anggota-
anggotanya dianggap mewakili rakyat.”
6
3 Jimly Assiddiqie. 2006. Perihal Undang-Undang Di Indonesia. Sekretariat Jenderal Mahkamah Agung Konstitusi Republik Indonesia. Jakarta. hal. 31-32 4 Ibid hal. 34 5 Muchtar Pakapahan. 1994. DPR RI Semasa Orde Baru. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan. hal. 18 6 Miriam Budihardjo, Op.Cit, hal.173
sedangakan menurut David E. After bahwa badan
Universitas Sumatera Utara
legislatif terdiri dari wakil-wakil rakyat dan semua penetapan undang-undang harus disetujui
oleh legislatif.7
Pada hakekatnya fungsi utama dari legislatif adalah membuat undang-undang (legislasi),
hal ini juga sejalan dengan fungsi-fungsi yang lain seperti fungsi pengawasan (controlling) juga
merupakan bagian fungsi legislasi, karena dalam menjalankan fungsi pengawasan tentunya
terlebih dahulu melahirkan peraturan perundangan-undangan yang dijadikan sebagai acuan
dalam melakukan pengawasan terhadap pemerintah dalam menjalankan tugasnya. Begitu juga
fungsi angggaran (budgeting) yang merupakan sebagian dari fungsi legislasi karena untuk
menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) juga ditetapkan dengan
peraturan Daerah APBD setiap tahun anggaran, dan ketiga fungsi tersebut dijalankan dalam
kerangka representasi rakyat di daerah.
8
Dalam perwakilan politik, kita mengetahui ada 2 jenis perwakilan. Yakni perwakilan
langsung dan perwakilan tidak langsung. Sejarah perwakilan telah mulai di perbincangkan dalam
kehidupan non-politik sejak Yunani kuno, namum pembahasan dalam bentuk konsep baru
dimulai pada awal abad ke 14. Thomas Hobbes pada tahun 1965 menerbitkan Leviathan untuk
Maka yang menjadi fungsi pokok dari DPR adalah pembentukan undang-undang sebagai
landasan hukum bagi pemerintah dalam membuat kebijakan publik. Sebagaimana dijelaskan
bahwa dalam konsep demokrasi menempatkan partipasi sebagai intinya, berarti menghendaki
diikutsertakannya masyarakat dalam perbuatan kebijakan publik (public policy).
I.6.2 Teori Perwakilan Politik
7 David E. Apter.1985. Pengantar Analisa Politik, Jakarta : CV Rajawali. hal. 230-234 8 Peraturan DPRD Kabupaten Simalungun No. 13 tahun 2010 mengenai Tata Tertib DPRD Kabupaten Simalungun Pasal 2 Ayat 5
Universitas Sumatera Utara
membahas masalah perwakilan politik secara filisofis dan pada abad ke 18 studi yang
berpengaruh sampai dewasa ini diantaranya antara lain karena teori kemandirian wakil yang di
kemukan oleh Edmun Burke tahun 1779. Karya Burke (dimana wakil bebas bertindak dan
menentukan sikapnya terhadap yang diwakili) dianggap sebagai permulaan studi kasik terhadap
perwakilan politik, disusul oleh sejumlah peneliti mulai dari John Stuart Mill (1861) sampai
dengan Karl Loewenstein (1922). Studi yang lebih mendalam dilakukan oleh Alfred de Grazia
(1968) dan Pitkin (1957).
Perwakilan politik sebagai sebuah praktek telah lama berlangsung dalam kehidupan
bernegara jauh sebelum teori-teori perwakilan itu lahir, perwakilan politik telah lahir dan di
laksanakan oleh beberapa negara dan bangsa sejak zaman dahulu mulai dari zaman Yunani kuno,
Romawi dan juga pada Zaman Islam ketika Nabi Muhammad Masih hidup. Pada zaman Yunani
kuno masyarakat hidup dalam suatu negara yang di sebut dengan polis, dimana konsep
perwakilan pada saat itu dilaksanakan secara langsung, karena jumlah masyarakat yang relatif
sedikit dan wilayah yang tidak terlalu luas.
Studi yang lebih mendalam dilakukan oleh Alfred de Grazia dan Pitkin sudah lebih
mendalam dari perwakilan politik. Perwakilan politik sebagai sebuah praktek telah lama
berlangsung dalam kehidupan bernegara jauh sebelum teori-teori perwakilan itu lahir,
perwakilan politik telah lahir dan dilaksanakan oleh beberapa negara dan bangsa sejak zaman
dahulu mulai dari zaman Yunani kuno dan Romawi. Pada zaman Yunani kuno masyarakat hidup
dalam suatu negara yang disebut dengan polis, dimana konsep perwakilan pada saat itu
dilaksanakan secara langsung, karena jumlah masyarakat yang relatif sedikit dan wilayah yang
tidak terlalu luas. Begitu juga pada zaman romawi kuno. Konsep perwakilan pada saat itu ialah
Universitas Sumatera Utara
konsep perwakilan langsung. Fungsi perwakilan pun pada saat dulu masih terbatas mengingat
kekuasaan raja yang besar dan belum kompleknya permasalahan negara seperti saat ini.9
Sebagai konsekuensinya raja harus membentuk suatu badan/lembaga yang terdiri dari
pada lord, dan kemudian ditambah dengan para pendeta. Tempat ini menjadi tempat meminta
nasehat raja dalam rangka masalah-masalah kenegaraan terutama yang berhubungan dengan
Pandangan Rousseau yang berkeinginan untuk berlangsungnya demokrasi langsung
sebagaimana pelaksanaannya pada zaman Yunani kuno. Kenyataanya sulit untuk dipertahankan
lagi. Faktor-Faktor seperti luasnya suatu wilayah negara, populasi penduduk yang sangat cepat,
makin sulit dan rumitnya masalah politik dan kenegaraan, serta kemajuan ilmu dan teknologi
merupakan persoalan yang menjadi kendala untuk melaksanakan demokrasi langsung pada era
sekarang. Sebagai ganti dari gagasan Rousseau maka lahirlah demokrasi tidak langsung (indirect
democracy), yang disalurkan melalui lembaga perwakilan atau yang dikenal dengan parlemen.
Kelahiran parlemen ini pada dasarnya bukan karena gagasan dan cita-cita demokrasi tapi karena
kelicikan feodal. Pada abad pertengahan yang berkuasa di Inggris adalah raja-raja/bangsawan
yang sangat feodalistis (monarchi feodal). Dalam kerajaan yang berbentuk feodal, kekuatan
berada pada kaum feodal yang berprofesi sebagai tuan tanah yang kaya (pengusaha). Mereka
tidak hanya kaya, mempunyai tanah yang luas tapi mereka juga menguasai orang-orang yang ada
dalam lingkaran kekuasaan (kerajaan). Apabila pada suatu saat raja menginginkan penambahan
tentara dan pajak, maka para raja akan mengirimkan utusan untuk menyampaikan keinginannya
dan maksud pada tuan tanah (Lord). Lama kelamaan praktek semacam ini menurut raja tidak
layak sehingga timbul pemikiran untuk memanggil mereka ke pusat pemerintahan sehingga
kalau raja menginginkan sesuatu, maka raja tinggal memanggil mereka.
9 Deliar dan Noer.1999. Pemikiran Politik di negeri Barat. Cetakan IV. Mizan. Bandung. hal. 42.
Universitas Sumatera Utara
pajak. Secara pelan tapi pasti lembaga ini menjadi permanen yang kemudian disebut ‘’Curia
Regis’’ dan kemudian menjadi House of Lords seperti sekarang.10
Kelahiran House of Lords adalah merupakan pertanda kelahiran lembaga perwakilan
pertama di era modern. House of lord dalam perjalannya mempunyai kekuasaan yang sangat
besar, maka raja berkehendak untuk mengurangi kekuasaan dan hak-hak mereka, akibatnya
timbul pertikaian antara raja dan kaum ningrat (lords), dengan bantuan rakyat dan kaum borjuis
kepada kaum ningrat maka raja mengalah, akibatnya hak-hak raja dibatasi. Karena rakyat dan
kaum menengah yang menjadi korban manakala raja membuat kebijakan, maka rakyat minta
agar rakyat mempunyai wakil dan diminta pendapat dan keterangannya sebelum sebuah
kebijakan dibuat. Karena yang pada awalnya kalangan yang duduk dalam house of lord didukung
oleh para rakyat dan kaum menengah yang akhirnya kaum ningrat mendapatkan kemenangan,
maka sejak saat itu pula kedudukan rakyat dan kaum menengah menjadi kuat. Sebagai bagian
dari perwujudan agar terbentuk perwakilan rakyat maka lahirlah apa yang disebut Magnum
Consilium , yang terdiri dari para wakil rakyat yang perkembangan selajutnya adalah bahwa
house of commons mempunyai kekuatan yang semakin bertambah. Mereka dapat membebaskan
para menteri (perdana menteri) yang mereka tidak sukai walaupun tidak berbuat kejahatan untuk
turun dari kekuasaan, kekuasaan yang demikian dilakukan dengan mengajukan ’’mosi tidak
percaya’’ yang dapat mengakibatkan jatuh dan mundurnya sebuah kabinet dan itu berlangsung
sampai sekarang. Dalam konstitusi Inggris yang lebih berkuasa adalah house of lord yang dipilih
melalui pemilihan umum sedangkan house of lord adalah kumpulan para lord yang terdiri dari
para orang-orang yang dipilih secara turun-temurun.
11
10Ibid, hal. 44. 11 Ibid, hal. 45.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Thomas Hobbes dalam bukunya “Leviathan” Kehidupan manusia tidak terlepas
dari suatu keterikatan sosial, karena kehidupan manusia senantiasa berlandaskan kepada
kepentingan. Perjanjian (keterikatan) sosial itu mengakibatkan manusia-manusia bersangkutan
menyerahkan segenap kekuatan dan kekuasaannya masing-masing kepada sebuah majelis, agar
kepentingannya tersalurkan bagai sebuah kanal. Terbentuknya majelis (dewan perwakilan) juga
merupakan bentuk sejati dari penyerahan hak dan kekuasaan manusia untuk memerintah dirinya
sendiri dalam sebuah komunitas bersama (politik). Namun demikian, majelis pun harus
dikenakan syarat yaitu ia harus menyerakan hak kekuasaannya pada manusia-manusia yang telah
memandatkannya apabila terjadi perusakan moral majelis. Kekuasaan majelis bersifat ’’absolut’’
karena keterikatan (perjanjian) sosial yang dibangun didasarkan atas penyerahan hak yang
dominan dari manusia-manusia kepada majelis dan bukan sebaliknya. Karenanya, majelis (dan
juga penguasa politik yang dimandatkan oleh perjanjian) dapat menggunakan segala cara,
termasuk kekerasan untuk menjaga ketenteraman dan ketertiban. Penguasa harus menjadi
“Leviathan” (binatang buas). Idealnya, kekuasaan oleh satu majelis lebih baik dijalankan oleh
satu orang (center of power), karena jalan satu-satunya untuk mendirikan kekuasaan ialah
dengan menyerahkan kekuasaan dan kekuasaan seluruhnya pada satu orang. Sejatinya dewan
rakyat/majelis (perwakilan) dipegang oleh penguasa negara, sehingga aspirasi kepentingan
rakyat akan cepat terselesaikan daripada menunggu kerja majelis yang penuh dengan
perbantahan. Fokusnya majelis berada dalam heredity power.12
Menurut Montesqiue Kekuasaan yang menampung, membicarakan dan memperjuangkan
keterwakilan kepentingan rakyat banyak serta merumuskan peraturan adalah “legislatif”. Mutlak
perlu dibentuk legisltif sebagai perwakilan rakyat agar pembicaraan yang menyangkut
12 Ibid, hal. 46.
Universitas Sumatera Utara
kepentingan masyarakat banyak akan bisa dipenuhi, tanpa perwakilan, maka yang terjadi adalah
’’suara minoritas (minority sounds) hal yang mudah ditaklukkan oleh mayoritas kekuasaan.
Dewan rakyat (legislatif) merupakan mediator antara rakyat dan penguasa, menjadi komunikator
dan agregator aspirasi dan kepentingan rakyat banyak. Realitanya, masyarakat terdiri atas kelas
utama yaitu rakyat pada umumnya dan kaum bangsawan. Karenanya dalam lembaga perwakilan
harus dibagi dalam dua kamar (chamber) yaitu rakyat umum dan kaum bangsawan. Masing-
masing mempunyai hak veto yang dibuat tiap kamar. Prinsipnya, masing-masing kekuasaan
politik haruslah dibuat terpisah (trias politica) dan masing-masing memiliki wewenang untuk
saling mengawasi.13
13 Ibid, hal. 48
Salah satu teori yang menjelaskan tentang lembaga perwakilan adalah Teori Mandat.
Dalam Teori Mandat ini dibagi lagi ke dalam 3 bagian. Teori yang pertama ialah teori mandat
bebas, teori mandat imperatif, dan teori mandat yang ketiga ialah teori mandat representative.
Teori mandat menjelaskan bahwa seorang wakil dianggap duduk di lembaga Perwakilan karena
mendapat mandat dari rakyat sehingga disebut mandataris. Yang memberikan teori ini dipelopori
oleh Rousseau dan diperkuat oleh Petion.
Menurut mandat Imperatif, bahwa seorang wakil yang bertindak di lembaga perwakilan
harus sesuai dengan perintah (intruksi) yang diberikan oleh yang diwakilinya. Si wakil tidak
boleh bertindak di luar perintah, sedangkan kalau ada hal-hal atau masalah/persoalan baru yang
tidak terdapat dalam perintah tersebut maka sang wakil harus mendapat perintah baru dari yang
diwakilinya. Dengan demikian berarti akan menghambat tugas perwakilan tersebut, akibatnya
lahir teori mandat baru yang disebut mandat bebas.
Universitas Sumatera Utara
Teori mandat bebas berpendapat bahwa sang wakil dapat bertindak tanpa tergantung pada
perintah (intruksi) dari yang diwakilinya. Menurut teori ini sang wakil adalah merupakan orang-
orang yang terpercaya dan terpilih serta memiliki kesadaran hukum dari masyarakat yang
diwakilinya sehingga sang wakil dimungkinkan dapat bertindak atas nama mereka yang
diwakilinya. Ajaran ini dipelopori oleh Abbe Sieyes di Perancis dan Block Stone di Inggris.
Dalam perkembangan selanjutnya teori ini berkembang menjadi teori mandat representatif.
Teori mandat representatif mengatakan bahwa sang wakil dianggap bergabung dalam
lembaga perwakilan, dimana yang diwakili memilih dan memberikan mandat pada lembaga
perwakilan, sehingga sang wakil sebagai individu tidak ada hubungan dengan pemilihnya apalagi
untuk meminta pertanggungjawabannya. Yang bertanggung jawab justru adalah lembaga
perwakilan terhadap rakyat pemilihnya.
Dalam teori perwakilan, biasanya ada 2 kategori yang dibedakan. Kategori pertama ialah
Perwakilan Politik (Polotical representation) dan Perwakilan Fungsional (Fungsional
Representation). Kategori kedua menyangkut peran anggota parlemen sebagai pengemban
“mandat” perwakilan (representation) adalah konsep bahwa seseorang atau suatu kelompok
mempunyai kemampuan atau kewajiban untuk bicara dan bertindak atas nama suatu kelompok
yang lebih besar. Dewasa ini, anggota badan legislatif pada umumnya mewakili rakyat melalui
partai politik. Hal ini yang disebut dengan perwakilan politik (political representation).14
Sekalipun asas perwakilan politik telah menjadi sangat umum, tetapi ada beberapa
kalangan yang merasa bahwa partai politik dan perwakilan yang berdasarkan kesatuan-kesatuan
politik semata-mata, mengabaikan berbagai kepentingan dan kekuatan lain yang ada didalam
14 Miriam Budihardjo, Op.Cit, hal.317.
Universitas Sumatera Utara
masyarakat terutama dibidang ekonomi. Beberapa negara telah mencoba untuk mengatasi
persoalan ini dengan mengikutsertakan wakil dari berbagai-bagai golongan yang dianggap
memerlukan perlindungan khusus. Misalnya, India mengangkat beberapa wakil dari golongan
Anglo-Indian sebagai anggota majelis rendah, sedangkan beberapa wakil dari golongan
kebudayaan, kesusastraan, dan pekerjaan sosial diangkat sebagai majelis tinggi.
Dari uraian tentang perwakilan politik dapat kita ambil kesimpulan, bahwa dewasa ini
perwakilan politik merupakan sistem perwakilan yang dianggap paling wajar. Disamping itu,
beberapa negara merasa bahwa asas functional or occupational representation perlu diperhatikan
dan sedapat mungkin diakui kepentingannya disamping sistem perwakilan politik.
I.6.2.1 Badan Legislatif di Indonesia
Badan legislatif mencerminkan salah satu fungsi badan legislatif yaitu legislate, atau
membuat undang – undang. Di Indonesia sendiri badan legislatif disebut dengan DPR ( Dewan
Perwakilan Rakyat ) yang berada di pusat dan DPRD yang berada di daerah baik provinsi
maupun kabupaten/kota. Indonesia sendiri, sebagai negara demokrasi, badan legislatif disusun
secara sedemikian rupa sehingga badan legislatif tersebut dapat mewakili mayoritas dari rakyat
dan pemerintah bertanggung jawab terhadapnya. Dengan perkataan lain, negara demokrasi
didasari oleh sistem perwakilan demokratis yang menjamin kedaulatan rakyat.
Dalam masalah perwakilan, biasanya ada dua kategori yang dibedakan. Kategori pertama
yakni perwakilan politik (political representation) dan perwakilan fungsional (functional
representation). Kategori kedua menyangkut peran anggota parlemen sebagai trustee, dan
perannya sebagai pengemban mandat perwakilan. Dewasa ini anggota badan legislatif pada
Universitas Sumatera Utara
umumnya mewakili rakyat melalui partai politik. Hal ini dinamakan perwakilan yang bersifat
politik (political representation).
Disamping itu ditemukan bahwa di beberapa negara termasuk Indonesia (pada
penyelenggaraan Pemiliahan Umum 1971 dengan mengikutsertakan asas perwakilan fungsional
yaitu golongan karya), asas perwakilan politik diragukan kewajarannya dan perlu diganti atau
sekurang – kurangnya dilengkapi dengaan asas perwakilan fungsional (functional
representation). Hal ini perlu diperhatikan dan sedapat mungkin diakui kepentingan di samping
sistem perwakilan politik, sebagai cara untuk memasukkan sifat professional ke dalam proses
pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan umum.
Badan legislatif juga memiliki fungsi yang paling penting yaitu :
1. Menentukan kebijakan (policy) dan membuat undang – undang. Untuk itu badan legislatif
diberi hak inisiatif, hak untuk mengadakan amandemen terhadap rancangan undang –
undang yang disusun oleh pemerintah, dan terutama di bidang budget atau anggaran
2. Mengontrol badan eksekutif dalam arti menjaga agar semua tindakan badan eksekutif
sesuai dengan kebijakan – kebijakan yang telah ditetapkan.15
Badan legislatif di Indonesia telah ada mulai dari penjajahan Belanda, kemudian pada
masa awal kemerdekaan, era orde lama, era orde baru, era reformasi, sampai era pasca reformasi
sekarang ini. Berikut ini Badan Legislatif di Indonesia dari zaman Belanda hingga sekarang :
1. Volksraad : 1918 – 1942
2. Komite nasional Indonesia : 1945 – 1949
15 Ibid hal 322.
Universitas Sumatera Utara
3. DPR dan Senat Republik Indonesia Serikat : 1949 – 1950
4. DPR Sementara : 1950 – 1956
5. a. DPR (hasil pemilihan umum 1955) : 1956 – 1959
b. DPR Peralihan : 1959 – 1960
6. DPR Gotong – Royong – Demokrasi Terpimpin : 1960 – 1966
7. DPR Gotong – Royong – Demokrasi Pancasila : 1966 – 1971
8. DPR hasil pemilihan umum 1971
9. DPR hasil pemilihan umum 1977
10. DPR hasil pemilihan umum 1982
11. DPR hasil pemilihan umum 1987
12. DPR hasil pemilihan umum 1992
13. DPR hasil pemilihan umum 1997
14. DPR hasil pemilihan umum 1999
15. DPR hasil pemilihan umum 2004
16. DPR hasil pemilihan umum 200916
I.6.3 Proses Pengambilan Kebijakan
1.6.3.1. Perumusan Kebijakan
Pendefinisian Masalah (Defining Problem)
Menurut Winarno, mengenali dan mendefinisikan suatu masalah merupakan langkah
yang paling fundamental dalam perumusan kebijakan17
16 Ibid hal 329. 17 Budi Winarno. 2002. Teori dan Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta: Media Presindo. Hal 45
. Agar dapat merumuskan kebijakan
Universitas Sumatera Utara
dengan baik, maka masalah-masalah publik harus harus didefinisikan dengan baik, karena pada
dasarnya kebijakan publik dibuat untuk memecahkan masalah yang ada dalam masyarakat. Oleh
karena itu, seberapa besar kontribusi yang diberikan oleh kebijakan publik dalam menjawab
permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat akan menjadi pertanyaan yang
menarik dalam evaluasi kebijakan publik. Kegagalan suatu kebijakan publik sering disebabkan
aleh kesalahan-kesalahan para pembuat kebijakan dalam mendefinisikan suatu masalah. Jadi
pendefinisian suatu masalah merupakan langkah yang sangat krusial dalam perumusan suatu
kebijakan. Di dalam perumusan kebijakan inilah dicarikan berbagai alternatif kebijakan yang
nantinya akan di bahas lebih mendalam dan mendetail pada agenda setting.
1.6.3.2.Tahapan Kebijakan
Proses pengambilan kebijakan merupakan proses yang kompleks karena melibatkan
banyak proses maupun variabel yang harus dikaji. Oleh karena itu, proses pengambilan
kebijakan tersebut perlu dikelompokkan ke dalam beberapa tahapan. Hal ini akan memudahkan
kita dalam memahami proses pengambilan kebijakan publik18
a. Tahap Penyusunan Agenda (Agenda Setting)
.
Di sekitar lingkungan pemerintahan terdapat berbagai persoalan yang harus diselesaikan,
namun masalah-masalah tersebut tidak langsung mendapatkan perhatian dari para pengambil
kebijakan. Setiap masalah publik harus mendapatkan pengorganisasian agar masalah tersebut
menjadi isu kebijakan yang akan dibahas para pembuat kebijakan. Setelah suatu masalah
diorganisasikan dengan baik, selanjutnya isu tersebut diteruskan pada para pembuat kebijakan.
18 Charles Lindblom. 1986. Proses Penetapan Kebijakan Publik. Jakarta: Airlangga. Hal 54-55
Universitas Sumatera Utara
Maka masalah itu kemungkinan akan mendapat perhatian dari para pejabat publik, untuk
dicarikan penyelesaiannya. Pada tahapan inilah dibutuhkan peranan partai politik, kelompok
kepentingan, maupun masyarakat secara umum untuk mengangkat suatu permasalahan yang
sedang dihadapi oleh masyarakat untuk menjadi isu kebijakan. Setelah berbagai isu kebijakan
sampai di tangan para pembuat kebijakan, berbagai isu tersebut harus bersaing untuk
mendapatkan perhatian yang lebih besar dari para pejabat publik. Hal ini dikarenakan banyaknya
persoalan (isu kebijakan) yang sama-sama membutuhkan penyelesaian. Pada tahapan ini suatu
masalah (isu kebijakan) mungkin tidak disentuh oleh para pengambil kebijakan, ada masalah
yang pembahasannya ditunda untuk beberapa waktu, dan ada masalah yang langsung ditanggapi
/ dibahas oleh para pengambil kebijakan.
b. Tahap Formulasi Kebijakan (Policy Formulation)
Masalah (isu kebijakan) yang telah masuk dalam agenda setting kemudian dibahas oleh
para pembuat kebijakan. Sejumlah permasalahan itu dirumuskan melalui proses analisa yang
cermat tentang pendefinisian masalah tersebut, alternatif cara penanggulangannya apa, dan
bagaimana dampaknya. Pemecahan masalah tersebut, berasal dari berbagai alternatif kebijakan
yang telah disediakan. Alternatif-alternatif kebijakan inilah yang nantinya akan dipilih sebagai
kebijakan yang diambil untuk memecahkan masalah tersebut. Pada tahap ini, pembuat kebijakan
akan berusaha semaksimal mungkin untuk memanifestasikan kepentingannya di dalam subsitansi
kebijakan.
c. Tahap Penetapan Kebijakan (Policy Adoption)
Pada tahap ini para pengambil kebijakan akan mempertimbangkan berbagai alternatif
kebijakan, bagaimana dampak (untung-rugi) suatu alternatif kebijakan, bagaimana cara
menerapkan alternatif. Setelah melakukan penelahaan yang sangat cermat, para pengambil
Universitas Sumatera Utara
kebijakan akan menetapkan salah satu alternatif kebijakan dari sejumlah alternatif yang
ditawarkan para perumus kebijakan.
d. Tahap Implementasi Kebijakan (Policy Implementation)
Tahap ini, suatu kebiajakan yang telah ditetapkan harus diimplemetasikan agar kebijakan
itu tidak hanya sebagai catatan elit semata. Penerapan kebijakan ini membutuhkan keseriusan
para pelaksana kebijakan (birokrat) agar kebijakan tersebut dapat berfungsi secara optimal di
dalam masyarakat. Di dalam tahapan ini biasanya terjadi perbedaan sikap dari para pelaksana
kebijakan, ada yang mendukung dan ada pula yang menentang pelaksanaan kebijakan tersebut.
e. Tahap Evaluasi Kebijakan (Policy Evaluation)
Pada tahap ini, kebijakan yang telah diimplementasikan akan dievaluasi atau dihakimi
(judged), untuk melihat sejauh mana suatu kebijakan yang telah ditetapkan dan
diimplementasikan, mampu memberikan solusi pada masyarakat. Suatu kebijakan tersebut bisa
dinyatakan berhasil apabila kebijakan tersebut mampu menjawab persoalan yang sedang
dihadapi masyarakat. Sebaliknya, suatu kebijakan bisa saja dinyatakan gagal apabila penerapan
suatu kebijakan justru mendatangkan persoalan yang baru yang lebih kompleks dari sebelumnya.
I.7. Metodologi Penelitian
Kajian ilmu sosial terhadap satu fenomena sosial suda tentu membutuhkan kecermatan.
Sebagai suatu ilmu tentang metode atau tata cara kerja, maka metodologi ialah pengetahuan
tentang tata cara mengkonstruksi bentuk dan instrumen penelitian. Konstruksi teknik dan
instrumen yang baik dan benar akan mampu menghimpun data secara objektif, lengkap dan
Universitas Sumatera Utara
dapat dianalisa utntuk memecahkan suatu permasalahan. Menurut Antonius Birowo,
menjelaskan apa yang diyakini dapat diketahui dari masalah penelitian yang akan dilakukan19
1. Untuk mengetahui perkembangan sarana fisik tertentu atau frekuensi terjadinya suatu
aspek fenomena sosial tertentu. Hasilnya kemudian dicantumkan kedalam tabel-tabel
frekuensi.
I.7.1 Metode Penelitian
Penelitian ini memiliki tujuan metodologis, yaitu deskriptif. Penelitian deskriptif ialah
langkah-langkah melakukan reinterpretasi objektif tentang fenomena-fenomena sosial yang
terdapat dalam masalah yang diteliti. Penelitian deskriptif biasanya memiliki 2 tujuan, yaitu:
2. Untuk mendeskripsikan secara terperinci fenomena sosial tertentu, seperti interaksi
sosial, sistem kekerabatan dan lain-lain.
Jenis penelitian ini tidak sampai mempersoalkan jalinan hubungan antar variabel yang
ada, tidak dimaksudkan untuk menarik generalisasi yang menjelaskan variabel-variabel yang
menyebabkan suatu gejala atau kenyataan sosial. Karenanya, pada penelitian deskriptif tidak
menggunakan atau tidak melakukan peengujian hipotesa (seperti yang dilakukan pada
penelitiaan eksplanatif) berarti tidak dimaksudkan untuk membangun dan mengembangkan
perbendaharaan teori.20
Penelitian seperti ini juga biasanya dilakukan tanpa hipotesa yang dirumuskan terlalu
ketat. Dengan kata lain, penelitian ini tidak menguji hipotesa melainkan hanya mendeskripsikan,
membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematik, faktual dan akurat mengenai
19 Antonius Birowo. 2004. Metode Penelitian Komunikasi. Yogyakarta: Gintanyali. hal. 71-72. 20 Sanafiah Faisal, Format Penelitian Sosial Dasar-Dasar Aplikasi, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995, hal. 20.
Universitas Sumatera Utara
keadaan saat ini. Metode deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti suatu kelompok
manusia, suatu obyek, suatu kondisi, suatu sistem pemikiran maupun peristiwa pada masa
sekarang.
Metode ini merupakan langkah-langkah melakukan representasi obyektif tentang gejala-
gejala yang terdapat didalam masalah yang diteliti. Ciri-ciri pokok penelitian yang menggunakan
penelitian deskriptif adalah:
1. Memusatkan perhatian pada masalah yang ada pada saat penelitisn dilakukan atau
masalah-masalah yang bersifat faktual.
2. Menggambarkan fakta-fakta tentang masalah yang diselidiki sebagaimana adanya,di
iringi dengan interpretasinasional yang memadai.
Menurut nasir, gambaran penelitian deskriptif adalah sebagai studi untuk menentukan
fakta dengan interpretasi yang tepat. Melukiskan secara akurat sifat-sifat dari beberapa fenomena
individu atau kelompok, menentukan frekuensi terjadinya suatu keberadaan untuk
meminimalkan bias dan memaksimalkan reabilitas. Analisisnya dikerjakan berdasarkan “exposy
facto” yang artinya data dikumpulkan, setelah semua kejadian berlangsung.21
Studi ini pada dasarnya bertumpu pada penelitian kualitatif. Aplikasi penelitian kualitatif
ini adalah konsekuensi metodologis dari penggunaan metode deskriptif. Bogdan dan Taylor
mengungkapkan bahwa ”metodologi kualitatif” sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan
I.7.2 Jenis Penelitian
21 Mohammad Nasir. 1983. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia. hal. 105.
Universitas Sumatera Utara
data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat
diamati.22
22 Lexy J. Moleong. 1994. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. hal. 3.
Penelitian kualitatif dapat diartikan sebagai rangkaian kagiatan atau proses penjaringan
informasi, dari kondisi sewajarnya dalam kehidupan suatu obyek, dihubungkan dengan
pemecahan masalah, baik dari sudut pandang teoritis maupun praktis. Dari pengertian diatas
jelaslah bahwa penelitian kualitatif bersifat induktif, karena tidak dimulai dari hipotesa sebagai
generalisasi, untuk diuji kebenarannya melalui pengumpulan data yang bersifat khusus.
Penelitian kualitatif dimulai dengan mengumpulkan informasi dalam situasi sewajarnya,
untuk dirumuskan menjadi satu generalisasi yang dapat diterima oleh akal sehat manusia.
Masalah yang akan diungkapkan dapat disiapkan sebelum mengumpulkan data atau informasi,
akan tetapi mungkin saja berkembang dan berubah selama kegiatan penelitian dilakukan. Dengan
demikian data/informasi yang dikumpulkan data terarah pada kalimat yang diucapkan, kalimat
yang tertulis dan tingkah laku kegiatan. Informasi dapat dipelajari dan ditafsirkan sebagai usaha
untuk memahami maknanya sesuai dengan sudut pandang sumber datanya. Maka informasi
yang bersifat khusus itu, dalam bentuk teoritis melalui proses penelitian kualitatif tidak mustahil
akan menghasilkan teori-teori baru, tidak sekedar untuk kepentingan praktis saja.
I.7.3 Deskripsi Lokasi Penelitian
Pelaksanaan penelitian ini berlokasi di Kantor DPRD Kabupaten Simalungun Komplek
Perkantoran Pemkab Simalungun Pamatang Raya – Sumatera Utara.
Universitas Sumatera Utara
I.7.4 Teknik Pengumpulan Data
Dalam melahirkan sebuah penelitian, ada beberapa metode yang biasa digunakan untuk
mengumpulkan data antara lain wawancara (interview), observasi (observation), dan
dokumentasi (documentation).
Dalam suatu penelitian, disamping menggunakan metode yang tepat diperlukan pula
kemampuan memilih dan bahkan juga menyusun teknik dan alat pengumpulan data yang
relevan. Kecermatan dalam memilih dan menyusun teknik dan alat pengumpul data ini sangat
berpengaruh terhadap obyeksifitas hasil penelitian. Mempertimbangkan hal tersebut, dan
keharusan untuk memenuhi validitas dan realibilitas dalam teknik pengumpulan datanya. Teknik
ini adalah cara mengumpulkan data melalui peninggalan tertulis terutama berupa arsip-arsip dan
termasuk juga buku-buku tentang pendapat, teori, dalil atau hukum-hukum, dan lain-lain yang
berhubungan dengan masalah penelitian.Untuk memperoleh data atau informasi, keterangan-
keterangan atau fakta-fakta yang diperlukan, maka penulis dalam penelitian ini menggunakan
teknik pengumpulan data sebagai berikut:
1. Data Primer, yaitu penelitian lapangan (field research), yaitu pengumpulan data dengan
terjun langsung ke lokasi penelitian. Penelitian ini dilakukan dengan cara wawancara,
yaitu dengan mewawancarai Ketua Badan Anggaran DPRD Kabupaten Simalungun
yakni Bapak Bintaon Tindaon, SPd , Wakil Ketua Badan Anggaran yakni Bapak Ojak
Naibaho, SH.
2. Data Sekunder, yaitu penelitian kepustakaan (Library research) yaitu dengan mempelajari
buku-buku, peraturan-peraturan, laporan-laporan serta bahan-bahan lain yang berkaitan
dengan penelitian.
Universitas Sumatera Utara
I.7.5 Teknik Analisis Data
Analisis data adalah proses pengorganisasian dengan mengurutkan data kedalam pola,
kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema permasalahan. Data yang telah
dikumpulkan kemudian disusun, dianalisa, dan disajikan untuk memperoleh gambaran sistematis
tentang kondisi dan situasi yang ada. Data-data tersebut diolah dan dieksplorasi secara mendalam
yang selanjutnya akan menghasilkan kesimpulan yang menjelaskan masalah yang akan diteliti
I.8. SISTEMATIKA PENULISAN
Untuk mendapatkan gambaran yang terperinci, dan untuk mempermudah isi daripada skripsi ini,
maka penulis membagi sistematika penulisan kedalam 4 bab yaitu:
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini berisi tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian, kerangka teori atau pemikiran, metodologi penelitian, serta
sistematika penelitian.
BAB II : PROFIL DPRD DAN KABUPATEN SIMALUNGUN
Pada bab ini akan diuraikan tentang gambaran dari lokasi penelitian di DPRD Kabupaten
Simalungun. Antara lain, profil Kabupaten Simalungun, sejarah singkat tentang DPRD
Kabupaten Simalungun, profil DPRD Simalungun.
BAB III : PROSES PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH NO. 1 TAHUN 2011
MENGENAI APBD KABUPATEN SIMALUNGUN TA. 2011
Universitas Sumatera Utara
Pada bab ini akan membahas mengenai Bagaimana proses pembentukan peraturan
daerah tentang Anggaran Penerimaan Belanja Daerah Kabupaten Simalungun
BAB IV : PENUTUP
Bab ini merupakan bab terakhir dari penulisan skripsi ini, yang berisi kesimpulan yang
diperoleh dari hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan, serta dalam bab ini akan berisi
saran-saran, baik yang bermanfaat bagi penulis secara pribadi maupun bagi lembaga-
lembaga yang terkait secara umum.
Universitas Sumatera Utara