bab i i.1 latar belakang masalah -...

26
BAB I I.1 Latar Belakang Masalah Pembagian kekuasaan secara horizontal adalah pembagian kekuasaan menurut fungsinya, dan ini ada hubungannya dengan doktrin Trias Politika. Trias Politika adalah anggapan bahwa kekuasaan negara terdiri atas 3 macam yaitu kekuasaan legislatif atau kekuasaan membuat undang-undang, kekuasaan eksekutif atau kekuasaan melaksanakan undang-undang, dan kekuasaan yudikatif atau kekuasaan mengadili atas pelanggaran undang-undang. Doktrin ini untuk pertama kali di kemukakan oleh Jhon Locke (1632-1704) dan Montesqiue (1689-1755). Filsuf Inggris, Jhon Locke mengemukakan konsep yang ditulisnya ini ke dalam bukunya yang berjudul Two Treatises on Civil Government (1690). Dalam bukunya, Jhon Locke mengemukakan bahwa kekuasaan negara dibagi dalam tiga kekuasaan, yaitu kekuasaan legislatif (membuat peraturan dan perundang – undangan), kekuasaan eksekutif (melaksanakan undang – undang sekaligus mengadili), dan kekuasaan federatif (menjaga keamanan negara dalam hubungan dengan negara lain), yang masing – masing terpisah satu sama lain. 1 1 Miriam Budihardjo. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik Edisi Revisi.Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. hal 282. Beberapa puluh tahun kemudian, pada tahun 1784, filsuf Prancis Montesqieu memperkembangkan lebih lanjut pemikiran Locke ini dalam bukunya yang berjudul L’Espirit des Louis ( The Spirit of Law ). Dalam uraiannya, Montesqieu membagi kekuasaan pemerintahan kedalam tiga cabang, yaitu kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan yudikatif. Menurutnya ketiga jenis kekuasaan ini haruslah terpisah satu sama lain, baik mengenai tugas (fungsi ) maupun alat perlengkapan ( organ ) yang menyelengarakannya. Universitas Sumatera Utara

Upload: others

Post on 11-Sep-2019

21 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB I

I.1 Latar Belakang Masalah

Pembagian kekuasaan secara horizontal adalah pembagian kekuasaan menurut fungsinya,

dan ini ada hubungannya dengan doktrin Trias Politika. Trias Politika adalah anggapan bahwa

kekuasaan negara terdiri atas 3 macam yaitu kekuasaan legislatif atau kekuasaan membuat

undang-undang, kekuasaan eksekutif atau kekuasaan melaksanakan undang-undang, dan

kekuasaan yudikatif atau kekuasaan mengadili atas pelanggaran undang-undang. Doktrin ini

untuk pertama kali di kemukakan oleh Jhon Locke (1632-1704) dan Montesqiue (1689-1755).

Filsuf Inggris, Jhon Locke mengemukakan konsep yang ditulisnya ini ke dalam bukunya

yang berjudul Two Treatises on Civil Government (1690). Dalam bukunya, Jhon Locke

mengemukakan bahwa kekuasaan negara dibagi dalam tiga kekuasaan, yaitu kekuasaan legislatif

(membuat peraturan dan perundang – undangan), kekuasaan eksekutif (melaksanakan undang –

undang sekaligus mengadili), dan kekuasaan federatif (menjaga keamanan negara dalam

hubungan dengan negara lain), yang masing – masing terpisah satu sama lain.1

1 Miriam Budihardjo. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik Edisi Revisi.Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. hal 282.

Beberapa puluh tahun kemudian, pada tahun 1784, filsuf Prancis Montesqieu

memperkembangkan lebih lanjut pemikiran Locke ini dalam bukunya yang berjudul L’Espirit

des Louis ( The Spirit of Law ). Dalam uraiannya, Montesqieu membagi kekuasaan pemerintahan

kedalam tiga cabang, yaitu kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan yudikatif.

Menurutnya ketiga jenis kekuasaan ini haruslah terpisah satu sama lain, baik mengenai tugas

(fungsi ) maupun alat perlengkapan ( organ ) yang menyelengarakannya.

Universitas Sumatera Utara

Di Indonesia kekuasaan membuat undang – undang dilakukan oleh Dewan Perwakilan

Rakyat ( DPR ). Menurut Undang - Undang no 32 tahun 2004 pasal 40 dijelaskan bahwa DPRD

merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah dan berkedudukan sebagai unsur penyelenggaraan

pemerintah daerah.

Seperti yang kita ketahui bahwa lembaga legislatif DPRD memiliki 3 fungsi yang

dijelaskan lebih lanjut dalam pasal 41 Undang - Undang no 32 tahun 2004 yakni: (1) Legislasi,

yaitu membuat undang-undang dalam hal ini peraturan daerah ;(2) Controlling/pengawasan,

yaitu mengawasi eksekutif (dalam hal ini adalah Bupati) dan peraturan daerah yang telah dibuat;

(3) Budgeting/Anggaran, yakni bersama-sama dengan Kepala Daerah menyusun dan menetapkan

APBD.

DPRD memiliki tugas dan wewenang dalam membahas dan menyetujui rancangan perda

mengenai APBD bersama kepala daerah. DPRD juga melaksanakan pengawasan terhadap

pelaksanaan perda dan peraturan perundang – undangan lainnya, peraturan kepala daerah, APBD

yang dijelaskan lebih lanjut dalam pasal 42 ayat 1 butir b dan c Undang - Undang no 32 tahun

2004.

Simalungun, seperti halnya dengan kabupaten/kota yang lain juga memiliki Anggaran

Penerimaan dan Belanja Daerah (APBD). Menurut pasal 1 ayat 14 Undang – Undang no 32 tahun

2004, yang dimaksud dengan APBD adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang

ditetapkan dengan peraturan daerah. Sebelum APBD menjadi Peraturan Daerah (Perda), Kepala

Daerah yang bersangkutan membuat rancangan anggaran yang kemudian diajukan kepada DPRD

dan DPRD membahas bersama Kepala Daerah agar Rancangan Anggaran Penerimaan dan

Belanja Daerah (RAPBD) dapat menjadi Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah (APBD),

Universitas Sumatera Utara

yang dimaksud adalah perda mengenai Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah Kabupaten

Simalungun.

Dalam pembuatan peraturan daerah diperlukan tahapan – tahapan didalamnya, yakni :

1. Tahapan pengusulan raperda.

2. Tahapan pembahasan raperda.

3. Tahapan penetapan raperda menjadi perda.

4. Tahapan evaluasi perda

Dalam proses tahapan pembuatan perda mengenai Anggaran Penerimaan Belanja

Daerah tersebut biasanya terjadi tarik ulur kepentingan yang mungkin terjadi didalam

pembahasan mengenai rancangan APBD tersebut. DPRD yang berfungsi untuk mengontrol

budgeting pemerintah daerah sedangkan pemerintah daerah butuh anggaran yang besar untuk

menjalankan program – program kerja pemerintah tersebut.

Simalungun seperti halnya daerah lainnya juga melalui tahapan – tahapan dalam

penyusunan peraturan daerah dalam hal ini adalah peraturan daerah mengenai Anggaran

Penerimaan dan Belanja Daerah, juga mungkin mengalami proses yang dapat dikatakan tarik

ulur kepentingan dalam penyusunan perda mengenai APBD tersebut. APBD Simalungun untuk

tahun anggaran 2011 yaitu pada pendapatan daerah sebesar Rp. 1.006.510.043.930,- dan pada

pengeluaran belanja daerah yaitu sebesar Rp. 1.051.208.762.290,- dan kemudian dengan

persetujuan bersama DPRD Kabupaten Simalungun dan Bupati Simalungun menetapkan perda

No. 1 Tahun 2011 tentang Anggaran Penerimaan Belanja Daerah Kabupaten Simalungun

Tahun Anggaran 2011.

Seperti yang dikemukakan diatas maka dapat kita lihat bahwa ini merupakan proses

pembentukan peraturan daerah. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk meneliti bagaimana

Universitas Sumatera Utara

kemudian APBD tersebut menjadi sebuah peraturan daerah atas persetujuan DPRD.

Hal ini dikuatkan oleh definisi tentang Perda berdasarkan ketentuan Undang-Undang no

32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yaitu peraturan perundang-undangan yang dibentuk

bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan Kepala Daerah baik di provinsi

maupun di Kabupaten/Kota yang merupakan penjelasan dalam pasal 1 butir 10 undang –

undang nomor 32 tahun 2004 mengenai Pemerintahan Daerah.

Rancangan Peraturan Daerah dapat berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

(DPRD) dan juga Kepala Daerah dalam hal ini Gubernur, Bupati/Walikota. Apabila dalam satu

kali masa sidang, Kepala Daerah dan DPRD menyampaikan materi yang sama mengenai

Peraturan Daerah, maka hal yang akan dibahas adalah rancangan Peraturan Daerah yang

disampaikan oleh DPRD, sedangkan rancangan perda yang disampaikan oleh Kepala Daerah

dipergunakan sebagai bahan persandingan.

Tidak jauh beda dengan daerah lainnya, penyusunan rancangan Anggaran Penerimaan

dan Belanja Daerah Kabupaten Simalungun sebelum menjadi Anggaran Penerimaan dan

Belanja Daerah, dibahas bersama-sama oleh pemerintah kabupaten dalam hal ini yaitu Bupati

Simalungun bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Simalungun.

Setelah itu, maka rancangan yang telah dibahas tadi akan dibuat menjadi Anggaran Penerimaan

dan Belanja Daerah yang akan disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menjadi

peraturan daerah (perda).

Program penyusunan Peraturan Daerah dilakukan dalam satu Program Legislasi Daerah

yang dimuat dalam ketentuan pasal 15 undang – undang nomor 10 tahun 2004 mengenai

pembentukan peraturan perundang - undangan, sehingga diharapkan agar tidak terjadi

tumpang tindih dalam penyiapan satu materi Peraturan Daerah, dalam hal ini peraturan daerah

Universitas Sumatera Utara

proses pembentukan peraturan daerah mengenai Anggaran Penerimaan Belanja Daerah

Kabupaten tahun 2011 Kabupaten Simalungun.

I.2. Perumusan Masalah

Atas dasar latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan yang ingin

dikaji yakni “Bagaimana proses pembentukan Peraturan Daerah mengenai Anggaran

Penerimaan dan Belanja Daerah Kabupaten Simalungun Tahun Anggaran 2011?”

I.3. Pembatasan Masalah

Agar penelitian ini terfokus terhadap permasalahannya, maka lebih baik jika dibuat

pembatasan masalahnya. Pada proposal penelitian ini adapun masalah yang ingin diteliti adalah :

1. Proses pengusulan raperda mengenai APBD Kabupaten Simalungun tahun

Anggaran 2011.

2. Proses pembahasan raperda mengenai APBD Kabupaten Simalungun tahun

Anggaran 2011.

3. Proses penetapan raperda menjadi perda mengenai APBD Kabupaten

Simalungun tahun Anggaran 2011.

I.4. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan

menganalisis bagaimana sebenarnya proses pembentukan Peraturan Daerah nomor 1 tahun 2011

mengenai APBD Kabupaten Simalungun Tahun Anggaran 2011.

Universitas Sumatera Utara

I.5. Manfaat Penelitian

Adapun yang menjadi manfaat penelitian ini adalah:

1. Secara teoritis maupun metodologis, Penelitian ini diharapkan mampu memberikan

sumbangan terhadap perkembangan dan pendalaman studi perwakilan politik di

Indonesia.

2. Bagi akademisi, khususnya Departemen Ilmu Politik, Penelitian ini dapat menjadi bahan

acuan maupun referensi dalam konteks ilmu politik di Indonesia.

3. Bagi masyarakat sendiri, penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan

masyarakat sendiri mengenai proses pembentukan peraturan daerah mengenai Anggaran

Penerimaan Belanja Daereah.

I.6 Kerangka Teori

Untuk mempermudah pelaksanaan penelitian perlu adanya dasar berpikir yaitu kerangka

teori. Sebelum melakukan penelitian, seorang peneliti perlu menyusun kerangka teori sebagai

landasan berpikir untuk menggambarkan dari sudut mana permasalahan akan diteliti. Teori

adalah serangkaian asumsi, konsep, konstrak, defenisi, dan preposisi untuk menerangkan suatu

fenomena social secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antara konsep.2

Woodrow Wilson mengemukakan bahwa legislation is an aggregate, not a simple

production. Namun sebelumnya Jeremy Bentham dan John Austin memberikan konsep legislasi

I.6.1 Fungsi Legislatif

2 Masri Singarimbun dan Sofian Effendi. 1998. Metode Penelitian Sosial. Jakarta: LP3ES. Hal 37

Universitas Sumatera Utara

sebagai “any form of law-making”. Karenanya bentuk peraturan yang ditetapkan oleh lembaga

legislatif untuk maksud mengikat umum dapat dikaitkan dengan pengertian “enacted law”,

“statute”, atau undang-undang dalam arti luas. Dalam pengertian itu, fungsi legislasi merupakan

fungsi dalam pembentukan perundang-undangan.3

Lebih lanjut Jimmly Assiddiqie, mengemukakan bahwa fungsi legislasi menyangkut

empat bentuk kegiatan, yaitu Pertama, prakarsa pembuatan undang-undang (legislative

initiation), Kedua, pembahasan rancangan undang-undang (law making process), Ketiga,

persetujuan atas pengesahan rancangan undang-undang (law enactment approval), dan Keempat,

pemberian persetujuan pengikatan atau ratifikasi atas perjanjian atau persetujuan international

dan dokumen-dokumen hukum yang mengikat lainnya.

4

Muchtar Pakpahan membagi fungsi DPR secara garis besar kedalam tiga fungsi yaitu,

legislative function (fungsi legislatif), controlling function (fungsi pengawasan) dan budgeting

function (fungsi budget atau anggaran).

5

Fungsi pokok DPR adalah membuat undang-undang yang berarti menjadi landasan

hukum bagi pemerintah dalam membuat kebijakan publik. Menurut Miriam Budiardjo bahwa

“lembaga legislatif adalah lembaga yang “legislate” atau membuat undang-undang. Anggota-

anggotanya dianggap mewakili rakyat.”

6

3 Jimly Assiddiqie. 2006. Perihal Undang-Undang Di Indonesia. Sekretariat Jenderal Mahkamah Agung Konstitusi Republik Indonesia. Jakarta. hal. 31-32 4 Ibid hal. 34 5 Muchtar Pakapahan. 1994. DPR RI Semasa Orde Baru. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan. hal. 18 6 Miriam Budihardjo, Op.Cit, hal.173

sedangakan menurut David E. After bahwa badan

Universitas Sumatera Utara

legislatif terdiri dari wakil-wakil rakyat dan semua penetapan undang-undang harus disetujui

oleh legislatif.7

Pada hakekatnya fungsi utama dari legislatif adalah membuat undang-undang (legislasi),

hal ini juga sejalan dengan fungsi-fungsi yang lain seperti fungsi pengawasan (controlling) juga

merupakan bagian fungsi legislasi, karena dalam menjalankan fungsi pengawasan tentunya

terlebih dahulu melahirkan peraturan perundangan-undangan yang dijadikan sebagai acuan

dalam melakukan pengawasan terhadap pemerintah dalam menjalankan tugasnya. Begitu juga

fungsi angggaran (budgeting) yang merupakan sebagian dari fungsi legislasi karena untuk

menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) juga ditetapkan dengan

peraturan Daerah APBD setiap tahun anggaran, dan ketiga fungsi tersebut dijalankan dalam

kerangka representasi rakyat di daerah.

8

Dalam perwakilan politik, kita mengetahui ada 2 jenis perwakilan. Yakni perwakilan

langsung dan perwakilan tidak langsung. Sejarah perwakilan telah mulai di perbincangkan dalam

kehidupan non-politik sejak Yunani kuno, namum pembahasan dalam bentuk konsep baru

dimulai pada awal abad ke 14. Thomas Hobbes pada tahun 1965 menerbitkan Leviathan untuk

Maka yang menjadi fungsi pokok dari DPR adalah pembentukan undang-undang sebagai

landasan hukum bagi pemerintah dalam membuat kebijakan publik. Sebagaimana dijelaskan

bahwa dalam konsep demokrasi menempatkan partipasi sebagai intinya, berarti menghendaki

diikutsertakannya masyarakat dalam perbuatan kebijakan publik (public policy).

I.6.2 Teori Perwakilan Politik

7 David E. Apter.1985. Pengantar Analisa Politik, Jakarta : CV Rajawali. hal. 230-234 8 Peraturan DPRD Kabupaten Simalungun No. 13 tahun 2010 mengenai Tata Tertib DPRD Kabupaten Simalungun Pasal 2 Ayat 5

Universitas Sumatera Utara

membahas masalah perwakilan politik secara filisofis dan pada abad ke 18 studi yang

berpengaruh sampai dewasa ini diantaranya antara lain karena teori kemandirian wakil yang di

kemukan oleh Edmun Burke tahun 1779. Karya Burke (dimana wakil bebas bertindak dan

menentukan sikapnya terhadap yang diwakili) dianggap sebagai permulaan studi kasik terhadap

perwakilan politik, disusul oleh sejumlah peneliti mulai dari John Stuart Mill (1861) sampai

dengan Karl Loewenstein (1922). Studi yang lebih mendalam dilakukan oleh Alfred de Grazia

(1968) dan Pitkin (1957).

Perwakilan politik sebagai sebuah praktek telah lama berlangsung dalam kehidupan

bernegara jauh sebelum teori-teori perwakilan itu lahir, perwakilan politik telah lahir dan di

laksanakan oleh beberapa negara dan bangsa sejak zaman dahulu mulai dari zaman Yunani kuno,

Romawi dan juga pada Zaman Islam ketika Nabi Muhammad Masih hidup. Pada zaman Yunani

kuno masyarakat hidup dalam suatu negara yang di sebut dengan polis, dimana konsep

perwakilan pada saat itu dilaksanakan secara langsung, karena jumlah masyarakat yang relatif

sedikit dan wilayah yang tidak terlalu luas.

Studi yang lebih mendalam dilakukan oleh Alfred de Grazia dan Pitkin sudah lebih

mendalam dari perwakilan politik. Perwakilan politik sebagai sebuah praktek telah lama

berlangsung dalam kehidupan bernegara jauh sebelum teori-teori perwakilan itu lahir,

perwakilan politik telah lahir dan dilaksanakan oleh beberapa negara dan bangsa sejak zaman

dahulu mulai dari zaman Yunani kuno dan Romawi. Pada zaman Yunani kuno masyarakat hidup

dalam suatu negara yang disebut dengan polis, dimana konsep perwakilan pada saat itu

dilaksanakan secara langsung, karena jumlah masyarakat yang relatif sedikit dan wilayah yang

tidak terlalu luas. Begitu juga pada zaman romawi kuno. Konsep perwakilan pada saat itu ialah

Universitas Sumatera Utara

konsep perwakilan langsung. Fungsi perwakilan pun pada saat dulu masih terbatas mengingat

kekuasaan raja yang besar dan belum kompleknya permasalahan negara seperti saat ini.9

Sebagai konsekuensinya raja harus membentuk suatu badan/lembaga yang terdiri dari

pada lord, dan kemudian ditambah dengan para pendeta. Tempat ini menjadi tempat meminta

nasehat raja dalam rangka masalah-masalah kenegaraan terutama yang berhubungan dengan

Pandangan Rousseau yang berkeinginan untuk berlangsungnya demokrasi langsung

sebagaimana pelaksanaannya pada zaman Yunani kuno. Kenyataanya sulit untuk dipertahankan

lagi. Faktor-Faktor seperti luasnya suatu wilayah negara, populasi penduduk yang sangat cepat,

makin sulit dan rumitnya masalah politik dan kenegaraan, serta kemajuan ilmu dan teknologi

merupakan persoalan yang menjadi kendala untuk melaksanakan demokrasi langsung pada era

sekarang. Sebagai ganti dari gagasan Rousseau maka lahirlah demokrasi tidak langsung (indirect

democracy), yang disalurkan melalui lembaga perwakilan atau yang dikenal dengan parlemen.

Kelahiran parlemen ini pada dasarnya bukan karena gagasan dan cita-cita demokrasi tapi karena

kelicikan feodal. Pada abad pertengahan yang berkuasa di Inggris adalah raja-raja/bangsawan

yang sangat feodalistis (monarchi feodal). Dalam kerajaan yang berbentuk feodal, kekuatan

berada pada kaum feodal yang berprofesi sebagai tuan tanah yang kaya (pengusaha). Mereka

tidak hanya kaya, mempunyai tanah yang luas tapi mereka juga menguasai orang-orang yang ada

dalam lingkaran kekuasaan (kerajaan). Apabila pada suatu saat raja menginginkan penambahan

tentara dan pajak, maka para raja akan mengirimkan utusan untuk menyampaikan keinginannya

dan maksud pada tuan tanah (Lord). Lama kelamaan praktek semacam ini menurut raja tidak

layak sehingga timbul pemikiran untuk memanggil mereka ke pusat pemerintahan sehingga

kalau raja menginginkan sesuatu, maka raja tinggal memanggil mereka.

9 Deliar dan Noer.1999. Pemikiran Politik di negeri Barat. Cetakan IV. Mizan. Bandung. hal. 42.

Universitas Sumatera Utara

pajak. Secara pelan tapi pasti lembaga ini menjadi permanen yang kemudian disebut ‘’Curia

Regis’’ dan kemudian menjadi House of Lords seperti sekarang.10

Kelahiran House of Lords adalah merupakan pertanda kelahiran lembaga perwakilan

pertama di era modern. House of lord dalam perjalannya mempunyai kekuasaan yang sangat

besar, maka raja berkehendak untuk mengurangi kekuasaan dan hak-hak mereka, akibatnya

timbul pertikaian antara raja dan kaum ningrat (lords), dengan bantuan rakyat dan kaum borjuis

kepada kaum ningrat maka raja mengalah, akibatnya hak-hak raja dibatasi. Karena rakyat dan

kaum menengah yang menjadi korban manakala raja membuat kebijakan, maka rakyat minta

agar rakyat mempunyai wakil dan diminta pendapat dan keterangannya sebelum sebuah

kebijakan dibuat. Karena yang pada awalnya kalangan yang duduk dalam house of lord didukung

oleh para rakyat dan kaum menengah yang akhirnya kaum ningrat mendapatkan kemenangan,

maka sejak saat itu pula kedudukan rakyat dan kaum menengah menjadi kuat. Sebagai bagian

dari perwujudan agar terbentuk perwakilan rakyat maka lahirlah apa yang disebut Magnum

Consilium , yang terdiri dari para wakil rakyat yang perkembangan selajutnya adalah bahwa

house of commons mempunyai kekuatan yang semakin bertambah. Mereka dapat membebaskan

para menteri (perdana menteri) yang mereka tidak sukai walaupun tidak berbuat kejahatan untuk

turun dari kekuasaan, kekuasaan yang demikian dilakukan dengan mengajukan ’’mosi tidak

percaya’’ yang dapat mengakibatkan jatuh dan mundurnya sebuah kabinet dan itu berlangsung

sampai sekarang. Dalam konstitusi Inggris yang lebih berkuasa adalah house of lord yang dipilih

melalui pemilihan umum sedangkan house of lord adalah kumpulan para lord yang terdiri dari

para orang-orang yang dipilih secara turun-temurun.

11

10Ibid, hal. 44. 11 Ibid, hal. 45.

Universitas Sumatera Utara

Menurut Thomas Hobbes dalam bukunya “Leviathan” Kehidupan manusia tidak terlepas

dari suatu keterikatan sosial, karena kehidupan manusia senantiasa berlandaskan kepada

kepentingan. Perjanjian (keterikatan) sosial itu mengakibatkan manusia-manusia bersangkutan

menyerahkan segenap kekuatan dan kekuasaannya masing-masing kepada sebuah majelis, agar

kepentingannya tersalurkan bagai sebuah kanal. Terbentuknya majelis (dewan perwakilan) juga

merupakan bentuk sejati dari penyerahan hak dan kekuasaan manusia untuk memerintah dirinya

sendiri dalam sebuah komunitas bersama (politik). Namun demikian, majelis pun harus

dikenakan syarat yaitu ia harus menyerakan hak kekuasaannya pada manusia-manusia yang telah

memandatkannya apabila terjadi perusakan moral majelis. Kekuasaan majelis bersifat ’’absolut’’

karena keterikatan (perjanjian) sosial yang dibangun didasarkan atas penyerahan hak yang

dominan dari manusia-manusia kepada majelis dan bukan sebaliknya. Karenanya, majelis (dan

juga penguasa politik yang dimandatkan oleh perjanjian) dapat menggunakan segala cara,

termasuk kekerasan untuk menjaga ketenteraman dan ketertiban. Penguasa harus menjadi

“Leviathan” (binatang buas). Idealnya, kekuasaan oleh satu majelis lebih baik dijalankan oleh

satu orang (center of power), karena jalan satu-satunya untuk mendirikan kekuasaan ialah

dengan menyerahkan kekuasaan dan kekuasaan seluruhnya pada satu orang. Sejatinya dewan

rakyat/majelis (perwakilan) dipegang oleh penguasa negara, sehingga aspirasi kepentingan

rakyat akan cepat terselesaikan daripada menunggu kerja majelis yang penuh dengan

perbantahan. Fokusnya majelis berada dalam heredity power.12

Menurut Montesqiue Kekuasaan yang menampung, membicarakan dan memperjuangkan

keterwakilan kepentingan rakyat banyak serta merumuskan peraturan adalah “legislatif”. Mutlak

perlu dibentuk legisltif sebagai perwakilan rakyat agar pembicaraan yang menyangkut

12 Ibid, hal. 46.

Universitas Sumatera Utara

kepentingan masyarakat banyak akan bisa dipenuhi, tanpa perwakilan, maka yang terjadi adalah

’’suara minoritas (minority sounds) hal yang mudah ditaklukkan oleh mayoritas kekuasaan.

Dewan rakyat (legislatif) merupakan mediator antara rakyat dan penguasa, menjadi komunikator

dan agregator aspirasi dan kepentingan rakyat banyak. Realitanya, masyarakat terdiri atas kelas

utama yaitu rakyat pada umumnya dan kaum bangsawan. Karenanya dalam lembaga perwakilan

harus dibagi dalam dua kamar (chamber) yaitu rakyat umum dan kaum bangsawan. Masing-

masing mempunyai hak veto yang dibuat tiap kamar. Prinsipnya, masing-masing kekuasaan

politik haruslah dibuat terpisah (trias politica) dan masing-masing memiliki wewenang untuk

saling mengawasi.13

13 Ibid, hal. 48

Salah satu teori yang menjelaskan tentang lembaga perwakilan adalah Teori Mandat.

Dalam Teori Mandat ini dibagi lagi ke dalam 3 bagian. Teori yang pertama ialah teori mandat

bebas, teori mandat imperatif, dan teori mandat yang ketiga ialah teori mandat representative.

Teori mandat menjelaskan bahwa seorang wakil dianggap duduk di lembaga Perwakilan karena

mendapat mandat dari rakyat sehingga disebut mandataris. Yang memberikan teori ini dipelopori

oleh Rousseau dan diperkuat oleh Petion.

Menurut mandat Imperatif, bahwa seorang wakil yang bertindak di lembaga perwakilan

harus sesuai dengan perintah (intruksi) yang diberikan oleh yang diwakilinya. Si wakil tidak

boleh bertindak di luar perintah, sedangkan kalau ada hal-hal atau masalah/persoalan baru yang

tidak terdapat dalam perintah tersebut maka sang wakil harus mendapat perintah baru dari yang

diwakilinya. Dengan demikian berarti akan menghambat tugas perwakilan tersebut, akibatnya

lahir teori mandat baru yang disebut mandat bebas.

Universitas Sumatera Utara

Teori mandat bebas berpendapat bahwa sang wakil dapat bertindak tanpa tergantung pada

perintah (intruksi) dari yang diwakilinya. Menurut teori ini sang wakil adalah merupakan orang-

orang yang terpercaya dan terpilih serta memiliki kesadaran hukum dari masyarakat yang

diwakilinya sehingga sang wakil dimungkinkan dapat bertindak atas nama mereka yang

diwakilinya. Ajaran ini dipelopori oleh Abbe Sieyes di Perancis dan Block Stone di Inggris.

Dalam perkembangan selanjutnya teori ini berkembang menjadi teori mandat representatif.

Teori mandat representatif mengatakan bahwa sang wakil dianggap bergabung dalam

lembaga perwakilan, dimana yang diwakili memilih dan memberikan mandat pada lembaga

perwakilan, sehingga sang wakil sebagai individu tidak ada hubungan dengan pemilihnya apalagi

untuk meminta pertanggungjawabannya. Yang bertanggung jawab justru adalah lembaga

perwakilan terhadap rakyat pemilihnya.

Dalam teori perwakilan, biasanya ada 2 kategori yang dibedakan. Kategori pertama ialah

Perwakilan Politik (Polotical representation) dan Perwakilan Fungsional (Fungsional

Representation). Kategori kedua menyangkut peran anggota parlemen sebagai pengemban

“mandat” perwakilan (representation) adalah konsep bahwa seseorang atau suatu kelompok

mempunyai kemampuan atau kewajiban untuk bicara dan bertindak atas nama suatu kelompok

yang lebih besar. Dewasa ini, anggota badan legislatif pada umumnya mewakili rakyat melalui

partai politik. Hal ini yang disebut dengan perwakilan politik (political representation).14

Sekalipun asas perwakilan politik telah menjadi sangat umum, tetapi ada beberapa

kalangan yang merasa bahwa partai politik dan perwakilan yang berdasarkan kesatuan-kesatuan

politik semata-mata, mengabaikan berbagai kepentingan dan kekuatan lain yang ada didalam

14 Miriam Budihardjo, Op.Cit, hal.317.

Universitas Sumatera Utara

masyarakat terutama dibidang ekonomi. Beberapa negara telah mencoba untuk mengatasi

persoalan ini dengan mengikutsertakan wakil dari berbagai-bagai golongan yang dianggap

memerlukan perlindungan khusus. Misalnya, India mengangkat beberapa wakil dari golongan

Anglo-Indian sebagai anggota majelis rendah, sedangkan beberapa wakil dari golongan

kebudayaan, kesusastraan, dan pekerjaan sosial diangkat sebagai majelis tinggi.

Dari uraian tentang perwakilan politik dapat kita ambil kesimpulan, bahwa dewasa ini

perwakilan politik merupakan sistem perwakilan yang dianggap paling wajar. Disamping itu,

beberapa negara merasa bahwa asas functional or occupational representation perlu diperhatikan

dan sedapat mungkin diakui kepentingannya disamping sistem perwakilan politik.

I.6.2.1 Badan Legislatif di Indonesia

Badan legislatif mencerminkan salah satu fungsi badan legislatif yaitu legislate, atau

membuat undang – undang. Di Indonesia sendiri badan legislatif disebut dengan DPR ( Dewan

Perwakilan Rakyat ) yang berada di pusat dan DPRD yang berada di daerah baik provinsi

maupun kabupaten/kota. Indonesia sendiri, sebagai negara demokrasi, badan legislatif disusun

secara sedemikian rupa sehingga badan legislatif tersebut dapat mewakili mayoritas dari rakyat

dan pemerintah bertanggung jawab terhadapnya. Dengan perkataan lain, negara demokrasi

didasari oleh sistem perwakilan demokratis yang menjamin kedaulatan rakyat.

Dalam masalah perwakilan, biasanya ada dua kategori yang dibedakan. Kategori pertama

yakni perwakilan politik (political representation) dan perwakilan fungsional (functional

representation). Kategori kedua menyangkut peran anggota parlemen sebagai trustee, dan

perannya sebagai pengemban mandat perwakilan. Dewasa ini anggota badan legislatif pada

Universitas Sumatera Utara

umumnya mewakili rakyat melalui partai politik. Hal ini dinamakan perwakilan yang bersifat

politik (political representation).

Disamping itu ditemukan bahwa di beberapa negara termasuk Indonesia (pada

penyelenggaraan Pemiliahan Umum 1971 dengan mengikutsertakan asas perwakilan fungsional

yaitu golongan karya), asas perwakilan politik diragukan kewajarannya dan perlu diganti atau

sekurang – kurangnya dilengkapi dengaan asas perwakilan fungsional (functional

representation). Hal ini perlu diperhatikan dan sedapat mungkin diakui kepentingan di samping

sistem perwakilan politik, sebagai cara untuk memasukkan sifat professional ke dalam proses

pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan umum.

Badan legislatif juga memiliki fungsi yang paling penting yaitu :

1. Menentukan kebijakan (policy) dan membuat undang – undang. Untuk itu badan legislatif

diberi hak inisiatif, hak untuk mengadakan amandemen terhadap rancangan undang –

undang yang disusun oleh pemerintah, dan terutama di bidang budget atau anggaran

2. Mengontrol badan eksekutif dalam arti menjaga agar semua tindakan badan eksekutif

sesuai dengan kebijakan – kebijakan yang telah ditetapkan.15

Badan legislatif di Indonesia telah ada mulai dari penjajahan Belanda, kemudian pada

masa awal kemerdekaan, era orde lama, era orde baru, era reformasi, sampai era pasca reformasi

sekarang ini. Berikut ini Badan Legislatif di Indonesia dari zaman Belanda hingga sekarang :

1. Volksraad : 1918 – 1942

2. Komite nasional Indonesia : 1945 – 1949

15 Ibid hal 322.

Universitas Sumatera Utara

3. DPR dan Senat Republik Indonesia Serikat : 1949 – 1950

4. DPR Sementara : 1950 – 1956

5. a. DPR (hasil pemilihan umum 1955) : 1956 – 1959

b. DPR Peralihan : 1959 – 1960

6. DPR Gotong – Royong – Demokrasi Terpimpin : 1960 – 1966

7. DPR Gotong – Royong – Demokrasi Pancasila : 1966 – 1971

8. DPR hasil pemilihan umum 1971

9. DPR hasil pemilihan umum 1977

10. DPR hasil pemilihan umum 1982

11. DPR hasil pemilihan umum 1987

12. DPR hasil pemilihan umum 1992

13. DPR hasil pemilihan umum 1997

14. DPR hasil pemilihan umum 1999

15. DPR hasil pemilihan umum 2004

16. DPR hasil pemilihan umum 200916

I.6.3 Proses Pengambilan Kebijakan

1.6.3.1. Perumusan Kebijakan

Pendefinisian Masalah (Defining Problem)

Menurut Winarno, mengenali dan mendefinisikan suatu masalah merupakan langkah

yang paling fundamental dalam perumusan kebijakan17

16 Ibid hal 329. 17 Budi Winarno. 2002. Teori dan Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta: Media Presindo. Hal 45

. Agar dapat merumuskan kebijakan

Universitas Sumatera Utara

dengan baik, maka masalah-masalah publik harus harus didefinisikan dengan baik, karena pada

dasarnya kebijakan publik dibuat untuk memecahkan masalah yang ada dalam masyarakat. Oleh

karena itu, seberapa besar kontribusi yang diberikan oleh kebijakan publik dalam menjawab

permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat akan menjadi pertanyaan yang

menarik dalam evaluasi kebijakan publik. Kegagalan suatu kebijakan publik sering disebabkan

aleh kesalahan-kesalahan para pembuat kebijakan dalam mendefinisikan suatu masalah. Jadi

pendefinisian suatu masalah merupakan langkah yang sangat krusial dalam perumusan suatu

kebijakan. Di dalam perumusan kebijakan inilah dicarikan berbagai alternatif kebijakan yang

nantinya akan di bahas lebih mendalam dan mendetail pada agenda setting.

1.6.3.2.Tahapan Kebijakan

Proses pengambilan kebijakan merupakan proses yang kompleks karena melibatkan

banyak proses maupun variabel yang harus dikaji. Oleh karena itu, proses pengambilan

kebijakan tersebut perlu dikelompokkan ke dalam beberapa tahapan. Hal ini akan memudahkan

kita dalam memahami proses pengambilan kebijakan publik18

a. Tahap Penyusunan Agenda (Agenda Setting)

.

Di sekitar lingkungan pemerintahan terdapat berbagai persoalan yang harus diselesaikan,

namun masalah-masalah tersebut tidak langsung mendapatkan perhatian dari para pengambil

kebijakan. Setiap masalah publik harus mendapatkan pengorganisasian agar masalah tersebut

menjadi isu kebijakan yang akan dibahas para pembuat kebijakan. Setelah suatu masalah

diorganisasikan dengan baik, selanjutnya isu tersebut diteruskan pada para pembuat kebijakan.

18 Charles Lindblom. 1986. Proses Penetapan Kebijakan Publik. Jakarta: Airlangga. Hal 54-55

Universitas Sumatera Utara

Maka masalah itu kemungkinan akan mendapat perhatian dari para pejabat publik, untuk

dicarikan penyelesaiannya. Pada tahapan inilah dibutuhkan peranan partai politik, kelompok

kepentingan, maupun masyarakat secara umum untuk mengangkat suatu permasalahan yang

sedang dihadapi oleh masyarakat untuk menjadi isu kebijakan. Setelah berbagai isu kebijakan

sampai di tangan para pembuat kebijakan, berbagai isu tersebut harus bersaing untuk

mendapatkan perhatian yang lebih besar dari para pejabat publik. Hal ini dikarenakan banyaknya

persoalan (isu kebijakan) yang sama-sama membutuhkan penyelesaian. Pada tahapan ini suatu

masalah (isu kebijakan) mungkin tidak disentuh oleh para pengambil kebijakan, ada masalah

yang pembahasannya ditunda untuk beberapa waktu, dan ada masalah yang langsung ditanggapi

/ dibahas oleh para pengambil kebijakan.

b. Tahap Formulasi Kebijakan (Policy Formulation)

Masalah (isu kebijakan) yang telah masuk dalam agenda setting kemudian dibahas oleh

para pembuat kebijakan. Sejumlah permasalahan itu dirumuskan melalui proses analisa yang

cermat tentang pendefinisian masalah tersebut, alternatif cara penanggulangannya apa, dan

bagaimana dampaknya. Pemecahan masalah tersebut, berasal dari berbagai alternatif kebijakan

yang telah disediakan. Alternatif-alternatif kebijakan inilah yang nantinya akan dipilih sebagai

kebijakan yang diambil untuk memecahkan masalah tersebut. Pada tahap ini, pembuat kebijakan

akan berusaha semaksimal mungkin untuk memanifestasikan kepentingannya di dalam subsitansi

kebijakan.

c. Tahap Penetapan Kebijakan (Policy Adoption)

Pada tahap ini para pengambil kebijakan akan mempertimbangkan berbagai alternatif

kebijakan, bagaimana dampak (untung-rugi) suatu alternatif kebijakan, bagaimana cara

menerapkan alternatif. Setelah melakukan penelahaan yang sangat cermat, para pengambil

Universitas Sumatera Utara

kebijakan akan menetapkan salah satu alternatif kebijakan dari sejumlah alternatif yang

ditawarkan para perumus kebijakan.

d. Tahap Implementasi Kebijakan (Policy Implementation)

Tahap ini, suatu kebiajakan yang telah ditetapkan harus diimplemetasikan agar kebijakan

itu tidak hanya sebagai catatan elit semata. Penerapan kebijakan ini membutuhkan keseriusan

para pelaksana kebijakan (birokrat) agar kebijakan tersebut dapat berfungsi secara optimal di

dalam masyarakat. Di dalam tahapan ini biasanya terjadi perbedaan sikap dari para pelaksana

kebijakan, ada yang mendukung dan ada pula yang menentang pelaksanaan kebijakan tersebut.

e. Tahap Evaluasi Kebijakan (Policy Evaluation)

Pada tahap ini, kebijakan yang telah diimplementasikan akan dievaluasi atau dihakimi

(judged), untuk melihat sejauh mana suatu kebijakan yang telah ditetapkan dan

diimplementasikan, mampu memberikan solusi pada masyarakat. Suatu kebijakan tersebut bisa

dinyatakan berhasil apabila kebijakan tersebut mampu menjawab persoalan yang sedang

dihadapi masyarakat. Sebaliknya, suatu kebijakan bisa saja dinyatakan gagal apabila penerapan

suatu kebijakan justru mendatangkan persoalan yang baru yang lebih kompleks dari sebelumnya.

I.7. Metodologi Penelitian

Kajian ilmu sosial terhadap satu fenomena sosial suda tentu membutuhkan kecermatan.

Sebagai suatu ilmu tentang metode atau tata cara kerja, maka metodologi ialah pengetahuan

tentang tata cara mengkonstruksi bentuk dan instrumen penelitian. Konstruksi teknik dan

instrumen yang baik dan benar akan mampu menghimpun data secara objektif, lengkap dan

Universitas Sumatera Utara

dapat dianalisa utntuk memecahkan suatu permasalahan. Menurut Antonius Birowo,

menjelaskan apa yang diyakini dapat diketahui dari masalah penelitian yang akan dilakukan19

1. Untuk mengetahui perkembangan sarana fisik tertentu atau frekuensi terjadinya suatu

aspek fenomena sosial tertentu. Hasilnya kemudian dicantumkan kedalam tabel-tabel

frekuensi.

I.7.1 Metode Penelitian

Penelitian ini memiliki tujuan metodologis, yaitu deskriptif. Penelitian deskriptif ialah

langkah-langkah melakukan reinterpretasi objektif tentang fenomena-fenomena sosial yang

terdapat dalam masalah yang diteliti. Penelitian deskriptif biasanya memiliki 2 tujuan, yaitu:

2. Untuk mendeskripsikan secara terperinci fenomena sosial tertentu, seperti interaksi

sosial, sistem kekerabatan dan lain-lain.

Jenis penelitian ini tidak sampai mempersoalkan jalinan hubungan antar variabel yang

ada, tidak dimaksudkan untuk menarik generalisasi yang menjelaskan variabel-variabel yang

menyebabkan suatu gejala atau kenyataan sosial. Karenanya, pada penelitian deskriptif tidak

menggunakan atau tidak melakukan peengujian hipotesa (seperti yang dilakukan pada

penelitiaan eksplanatif) berarti tidak dimaksudkan untuk membangun dan mengembangkan

perbendaharaan teori.20

Penelitian seperti ini juga biasanya dilakukan tanpa hipotesa yang dirumuskan terlalu

ketat. Dengan kata lain, penelitian ini tidak menguji hipotesa melainkan hanya mendeskripsikan,

membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematik, faktual dan akurat mengenai

19 Antonius Birowo. 2004. Metode Penelitian Komunikasi. Yogyakarta: Gintanyali. hal. 71-72. 20 Sanafiah Faisal, Format Penelitian Sosial Dasar-Dasar Aplikasi, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995, hal. 20.

Universitas Sumatera Utara

keadaan saat ini. Metode deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti suatu kelompok

manusia, suatu obyek, suatu kondisi, suatu sistem pemikiran maupun peristiwa pada masa

sekarang.

Metode ini merupakan langkah-langkah melakukan representasi obyektif tentang gejala-

gejala yang terdapat didalam masalah yang diteliti. Ciri-ciri pokok penelitian yang menggunakan

penelitian deskriptif adalah:

1. Memusatkan perhatian pada masalah yang ada pada saat penelitisn dilakukan atau

masalah-masalah yang bersifat faktual.

2. Menggambarkan fakta-fakta tentang masalah yang diselidiki sebagaimana adanya,di

iringi dengan interpretasinasional yang memadai.

Menurut nasir, gambaran penelitian deskriptif adalah sebagai studi untuk menentukan

fakta dengan interpretasi yang tepat. Melukiskan secara akurat sifat-sifat dari beberapa fenomena

individu atau kelompok, menentukan frekuensi terjadinya suatu keberadaan untuk

meminimalkan bias dan memaksimalkan reabilitas. Analisisnya dikerjakan berdasarkan “exposy

facto” yang artinya data dikumpulkan, setelah semua kejadian berlangsung.21

Studi ini pada dasarnya bertumpu pada penelitian kualitatif. Aplikasi penelitian kualitatif

ini adalah konsekuensi metodologis dari penggunaan metode deskriptif. Bogdan dan Taylor

mengungkapkan bahwa ”metodologi kualitatif” sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan

I.7.2 Jenis Penelitian

21 Mohammad Nasir. 1983. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia. hal. 105.

Universitas Sumatera Utara

data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat

diamati.22

22 Lexy J. Moleong. 1994. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. hal. 3.

Penelitian kualitatif dapat diartikan sebagai rangkaian kagiatan atau proses penjaringan

informasi, dari kondisi sewajarnya dalam kehidupan suatu obyek, dihubungkan dengan

pemecahan masalah, baik dari sudut pandang teoritis maupun praktis. Dari pengertian diatas

jelaslah bahwa penelitian kualitatif bersifat induktif, karena tidak dimulai dari hipotesa sebagai

generalisasi, untuk diuji kebenarannya melalui pengumpulan data yang bersifat khusus.

Penelitian kualitatif dimulai dengan mengumpulkan informasi dalam situasi sewajarnya,

untuk dirumuskan menjadi satu generalisasi yang dapat diterima oleh akal sehat manusia.

Masalah yang akan diungkapkan dapat disiapkan sebelum mengumpulkan data atau informasi,

akan tetapi mungkin saja berkembang dan berubah selama kegiatan penelitian dilakukan. Dengan

demikian data/informasi yang dikumpulkan data terarah pada kalimat yang diucapkan, kalimat

yang tertulis dan tingkah laku kegiatan. Informasi dapat dipelajari dan ditafsirkan sebagai usaha

untuk memahami maknanya sesuai dengan sudut pandang sumber datanya. Maka informasi

yang bersifat khusus itu, dalam bentuk teoritis melalui proses penelitian kualitatif tidak mustahil

akan menghasilkan teori-teori baru, tidak sekedar untuk kepentingan praktis saja.

I.7.3 Deskripsi Lokasi Penelitian

Pelaksanaan penelitian ini berlokasi di Kantor DPRD Kabupaten Simalungun Komplek

Perkantoran Pemkab Simalungun Pamatang Raya – Sumatera Utara.

Universitas Sumatera Utara

I.7.4 Teknik Pengumpulan Data

Dalam melahirkan sebuah penelitian, ada beberapa metode yang biasa digunakan untuk

mengumpulkan data antara lain wawancara (interview), observasi (observation), dan

dokumentasi (documentation).

Dalam suatu penelitian, disamping menggunakan metode yang tepat diperlukan pula

kemampuan memilih dan bahkan juga menyusun teknik dan alat pengumpulan data yang

relevan. Kecermatan dalam memilih dan menyusun teknik dan alat pengumpul data ini sangat

berpengaruh terhadap obyeksifitas hasil penelitian. Mempertimbangkan hal tersebut, dan

keharusan untuk memenuhi validitas dan realibilitas dalam teknik pengumpulan datanya. Teknik

ini adalah cara mengumpulkan data melalui peninggalan tertulis terutama berupa arsip-arsip dan

termasuk juga buku-buku tentang pendapat, teori, dalil atau hukum-hukum, dan lain-lain yang

berhubungan dengan masalah penelitian.Untuk memperoleh data atau informasi, keterangan-

keterangan atau fakta-fakta yang diperlukan, maka penulis dalam penelitian ini menggunakan

teknik pengumpulan data sebagai berikut:

1. Data Primer, yaitu penelitian lapangan (field research), yaitu pengumpulan data dengan

terjun langsung ke lokasi penelitian. Penelitian ini dilakukan dengan cara wawancara,

yaitu dengan mewawancarai Ketua Badan Anggaran DPRD Kabupaten Simalungun

yakni Bapak Bintaon Tindaon, SPd , Wakil Ketua Badan Anggaran yakni Bapak Ojak

Naibaho, SH.

2. Data Sekunder, yaitu penelitian kepustakaan (Library research) yaitu dengan mempelajari

buku-buku, peraturan-peraturan, laporan-laporan serta bahan-bahan lain yang berkaitan

dengan penelitian.

Universitas Sumatera Utara

I.7.5 Teknik Analisis Data

Analisis data adalah proses pengorganisasian dengan mengurutkan data kedalam pola,

kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema permasalahan. Data yang telah

dikumpulkan kemudian disusun, dianalisa, dan disajikan untuk memperoleh gambaran sistematis

tentang kondisi dan situasi yang ada. Data-data tersebut diolah dan dieksplorasi secara mendalam

yang selanjutnya akan menghasilkan kesimpulan yang menjelaskan masalah yang akan diteliti

I.8. SISTEMATIKA PENULISAN

Untuk mendapatkan gambaran yang terperinci, dan untuk mempermudah isi daripada skripsi ini,

maka penulis membagi sistematika penulisan kedalam 4 bab yaitu:

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab ini berisi tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan

manfaat penelitian, kerangka teori atau pemikiran, metodologi penelitian, serta

sistematika penelitian.

BAB II : PROFIL DPRD DAN KABUPATEN SIMALUNGUN

Pada bab ini akan diuraikan tentang gambaran dari lokasi penelitian di DPRD Kabupaten

Simalungun. Antara lain, profil Kabupaten Simalungun, sejarah singkat tentang DPRD

Kabupaten Simalungun, profil DPRD Simalungun.

BAB III : PROSES PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH NO. 1 TAHUN 2011

MENGENAI APBD KABUPATEN SIMALUNGUN TA. 2011

Universitas Sumatera Utara

Pada bab ini akan membahas mengenai Bagaimana proses pembentukan peraturan

daerah tentang Anggaran Penerimaan Belanja Daerah Kabupaten Simalungun

BAB IV : PENUTUP

Bab ini merupakan bab terakhir dari penulisan skripsi ini, yang berisi kesimpulan yang

diperoleh dari hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan, serta dalam bab ini akan berisi

saran-saran, baik yang bermanfaat bagi penulis secara pribadi maupun bagi lembaga-

lembaga yang terkait secara umum.

Universitas Sumatera Utara