i. bab i pendahuluan 1.1 latar belakang masalah

90
IR PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA I-1 SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA I. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Secara geografis dan geologis Indonesia merupakan negara yang rawan terhadap bencana alam, seperti bencana gempa bumi, tsunami, banjir, tanah longsor, angin puting beliung dan lainnya. Secara geografis, Indonesia dihimpit oleh Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Sedangkan secara geologis, Indonesia terletak pada tumbukan tiga lempeng dunia yaitu lempeng Indo-Australia, lempeng Eurasia, dan lempeng Pasifik. Aktivitas tektonik pada ketiga lempeng tersebut menjadi alasan mengapa Indonesia berada pada lintasan Ring of Fire (cincin api) atau Cincin Api Pasifik yaitu pola gunung api teraktif di dunia yang tersebar di lempeng pasifik. Hal itu menyebabkan wilayah Indonesia terletak di jalur gempa teraktif di dunia. 1 Begitu tingginya intensitas kejadian bencana alam di Indonesia dapat memunculkan istilah bahwa Indonesia merupakan “gudang” bencana. Bencana alam di Indonesia banyak memakan korban jiwa, harta benda, serta menimbulkan kerusakan lingkungan. Berdasarkan Data Informasi Bencana Indonesia (DIBI) dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) diperoleh data bahwa tren kejadian bencana dalam lima tahun terakhir yaitu periode 2015 hingga 2019 bersifat fluktuatif seperti yang disajikan pada grafik 1.1 berikut ini. 2 1 Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Risiko Bencana Indonesia, (Jakarta: Badan Nasional Penanggulangan Bencana, 2016), hlm. 14 2 Badan Nasional Penanggulangan Bencana, “Data Informasi Bencana Indonesia (DIBI)”, diakses dari http://bnpb.cloud/dibi/laporan5, pada tanggal 1 Februari 2020 pukul 18.25

Upload: others

Post on 30-Oct-2021

1 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-1

SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA

I. BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Secara geografis dan geologis Indonesia merupakan negara yang rawan

terhadap bencana alam, seperti bencana gempa bumi, tsunami, banjir, tanah

longsor, angin puting beliung dan lainnya. Secara geografis, Indonesia dihimpit

oleh Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Sedangkan secara geologis, Indonesia

terletak pada tumbukan tiga lempeng dunia yaitu lempeng Indo-Australia, lempeng

Eurasia, dan lempeng Pasifik. Aktivitas tektonik pada ketiga lempeng tersebut

menjadi alasan mengapa Indonesia berada pada lintasan Ring of Fire (cincin api)

atau Cincin Api Pasifik yaitu pola gunung api teraktif di dunia yang tersebar di

lempeng pasifik. Hal itu menyebabkan wilayah Indonesia terletak di jalur gempa

teraktif di dunia.1

Begitu tingginya intensitas kejadian bencana alam di Indonesia dapat

memunculkan istilah bahwa Indonesia merupakan “gudang” bencana. Bencana

alam di Indonesia banyak memakan korban jiwa, harta benda, serta menimbulkan

kerusakan lingkungan. Berdasarkan Data Informasi Bencana Indonesia (DIBI) dari

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) diperoleh data bahwa tren

kejadian bencana dalam lima tahun terakhir yaitu periode 2015 hingga 2019 bersifat

fluktuatif seperti yang disajikan pada grafik 1.1 berikut ini.2

1 Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Risiko Bencana Indonesia, (Jakarta: Badan Nasional

Penanggulangan Bencana, 2016), hlm. 14 2 Badan Nasional Penanggulangan Bencana, “Data Informasi Bencana Indonesia (DIBI)”, diakses

dari http://bnpb.cloud/dibi/laporan5, pada tanggal 1 Februari 2020 pukul 18.25

IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-2

SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA

Grafik 1.1 Tren kejadian bencana di Indonesia tahun 2015-2019

Sumber: Data Informasi Bencana Indonesia Badan Nasional Penanggulangan

Bencana (https://dibi.bnpb.cloud/)

Tabel 1.1 Jumlah kejadian bencana, korban, rumah rusak dan fasilitas rusak tahun

2015-2019

No Tahun

Kejadian

Jumlah

Kejadian

Bencana

Korban

(Jiwa)

Rumah

Rusak

(Unit)

Fasilitas

Rusak

(Unit)

1. 2015 1.691 1.216.462 25.532 501

2. 2016 2.302 3.164.475 47.798 2.317

3. 2017 2.853 3.675.570 49.461 2.158

4. 2018 2.572 10.359.206 319.805 2.699

5. 2019 1.426 2.596.626 26.825 757

TOTAL 10.844 21.012.339 469.421 8.432

Sumber: Data Informasi Bencana Indonesia Badan Nasional Penanggulangan

Bencana (https://dibi.bnpb.cloud/)

Selanjutnya pada tabel 1.1 tercantum rincian data terkait naik dan turunnya

jumlah kejadian bencana di Indonesia, korban, rumah rusak, dan fasilitas rusak

akibat bencana alam pada tahun 2015 hingga 2019. Mulai tahun 2015 hingga tahun

2017 jumlah kejadian bencana mengalami kenaikan, sedangkan tahun 2017 hingga

IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-3

SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA

2019 mengalami penurunan. Kendati jumlahnya menurun, permasalahan bencana

alam di Indonesia tidak patut untuk dianggap remeh karena kerugian yang

ditimbulkan pasca terjadinya bencana alam seperti korban, rumah rusak, dan

fasilitas rusak jumlahnya juga tidak sedikit. Hal tersebut dapat dilihat pada tabel

1.1, yakni selama kurun waktu lima tahun terakhir total jumlah korban (meninggal

dan hilang, luka-luka, serta terdampak dan mengungsi) sebanyak 21.012.339 jiwa.

Selanjutnya total rumah rusak berjumlah 469.421. Sedangkan fasilitas rusak

mencapai angka 8.432 unit.

Dampak dari bencana alam yang terjadi yaitu dapat menghambat

pembangunan di daerah yang terkena bencana. Seperti contoh pada kejadian

bencana di Aceh pada tahun 2004 silam, instansi pemerintah yang berkewajiban

mengatur dan memberikan pelayanan pada korban bencana seketika menjadi tidak

bernyawa. Sebagian kecil pelayan publik menjadi korban, dan sebagian lain yang

selamat disibukkan dengan mencari sanak keluarganya masing-masing. Bantuan

dari luar daerah datang terlambat karena akses yang sulit menuju ke lokasi bencana.

Beberapa infrastruktur seperti jalan dan jembatan menjadi lumpuh, sehingga

menghambat proses evakuasi korban.3

Maraknya bencana alam di Indonesia menuntut berbagai elemen masyarakat,

khususnya pemerintah untuk menyelenggarakan penanggulangan bencana. Sejauh

ini, upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah pusat untuk menanggulangi

bencana yaitu dengan menyusun dan menetapkan Undang-Undang Nomor 24

Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana untuk dijadikan acuan dalam

penanggulangan bencana yang kemudian diselenggarakan melalui manajemen

penanggulangan bencana. Seperti yang diamanatkan pada regulasi tersebut,

tepatnya pasal 1 ayat 5 menyebutkan bahwa penyelenggaraan penanggulangan

bencana adalah serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan

pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana,

tanggap darurat, dan rehabilitasi.4 Dalam hal ini penetapan kebijakan pembangunan

3 Deny Hidayati dkk., Kesiapsiagaan Masyarakat: Dalam Mengantisipasi Bencana Alam di

Kabupaten Cilacap, (Jakarta: LIPI Press, 2008), hlm. v 4 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana

IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-4

SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA

merupakan kapasitas dari pemerintah, seperti yang tercantum pasal 5 Undang-

Undang Nomor 24 Tahun 2007 yaitu pemerintah dan pemerintah daerah menjadi

penanggungjawab dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana.

Selanjutnya untuk mengimplementasikan amanat dari Undang-Undang

Nomor 24 Tahun 2007, maka melalui Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2008

pemerintah membentuk Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang

merupakan lembaga pemerintah non departemen yang posisinya di bawah dan

bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Berdasarkan pasal 3 Peraturan

Presiden Nomor 8 Tahun 2008, BNPB menyelenggarakan fungsi perumusan dan

penetapan kebijakan penanggulangan bencana dan penanganan pengungsi dengan

bertindak cepat dan tepat serta efektif dan efisien serta fungsi pengkoordinasian

pelaksanaan kegiatan penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, dan

menyeluruh.

Untuk menyelenggarakan penanggulangan bencana, BNPB perlu melakukan

koordinasi dengan instansi di tingkat daerah seperti Badan Penanggulangan

Bencana Daerah (BPBD) agar dapat menekan lambannya birokrasi serta mampu

memberdayakan pemerintah di tingkat lokal untuk turut serta dalam mengelola

risiko bencana. Namun bukan hanya pemerintah saja yang berperan dalam proses

penanggulangan bencana, masyarakat juga harus dilibatkan karena mengingat

bahwa kesiapsiagaan masyarakat merupakan hal yang sangat penting dalam

mengantisipasi bencana.

Dalam hal ini, BNPB telah melakukan pengurangan risiko bencana berbasis

komunitas (PRBBK) yang selanjutnya akan digunakan istilah community-based

disaster risk management (CBDRM) karena mempunyai makna yang hampir sama.

Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Komunitas/Masyarakat adalah proses

pengelolaan risiko bencana yang melibatkan secara aktif masyarakat yang berisiko

dalam mengkaji, menganalisis, menangani, memantau dan mengevaluasi risiko

bencana untuk mengurangi kerentanan dan meningkatkan kemampuannya.5

Sedangkan CBDRM atau manajemen risiko bencana berbasis komunitas dimaknai

5 Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana No. 1 Tahun 2012 Tentang Pedoman

Umum Desa/Kelurahan Tangguh Bencana

IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-5

SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA

sebagai suatu proses di mana masyarakat yang berisiko terlibat secara aktif dalam

identifikasi, analisis, perawatan, pemantauan dan evaluasi risiko bencana untuk

mengurangi kerentanan mereka dan meningkatkan kapasitas mereka.6

CBDRM yang dimaksudkan oleh BNPB yaitu dengan mengembangkan

program desa atau kelurahan tangguh bencana (Destana). Regulasi terkait program

Destana tercantum dalam Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan

Bencana Nomor 1 Tahun 2012 Tentang Pedoman Umum Desa/Kelurahan Tangguh

Bencana yang ditetapkan oleh Kepala BNPB, Syamsul Maarif pada tanggal 10

Januari 2012 di Jakarta.7 Pedoman tersebut ditujukan bagi pengembangan desa atau

kelurahan tangguh di daerah yang rawan bencana. Berdasarkan Perka BNPB No. 1

Tahun 2012 Tentang Pedoman Umum Desa/Kelurahan Tangguh Bencana,

Desa/Kelurahan Tangguh Bencana merupakan desa/kelurahan yang memiliki

kemampuan mandiri untuk beradaptasi dan menghadapi ancaman bencana, serta

memulihkan diri dengan segera dari dampak bencana yang merugikan, jika terkena

bencana.8 Perumusan kebijakan program destana ini dilakukan oleh pemerintah di

tingkat pusat. Sedangkan dalam pelaksanaannya, peran masyarakat lokal menjadi

ujung tombak keberhasilan dari program Destana sendiri. Jadi intervensi yang

dilakukan oleh pihak pemerintah maupun non-pemerintah harus diminimalisir,

yaitu sebatas stimulan.

Destana merupakan suatu program yang fokus pada aspek pengembangan

masyarakat untuk menghadapi risiko bencana. Yang mana dampak dari bencana

seringkali merugikan kehidupan banyak orang mulai dari hilangnya nyawa hingga

kerusakan berbagai properti. Apabila pemerintah tidak memfasilitasi masyarakat

yang terkena dampak dengan mengembangkan destana, maka masyarakat tidak

dapat memulihkan kondisi kehidupan mereka pasca bencana terjadi. Oleh karena

itu, destana dapat berfungsi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang

terdampak bencana.

6 Imelda Abarquez dan Zubair Murshed, Community-based disaster risk management: field

practitioners’ handbook, (Bangkok: Asian Disaster Preparedness Center, 2004), hlm. 15 7 Badan Nasional Penanggulangan Bencana, “Perka BNPB No. 1/2012 tentang Pedoman Umum

Desa/Kelurahan Tangguh Bencana”, (https://bnpb.go.id/berita/perka-bnpb-no-1-2012-tentang-

pedoman-umum-desa-kelurahan-tangguh-bencana, Diakses pada 13 Maret 2019, 2016) 8 Ibid.

IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-6

SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA

Destana sudah mulai diterapkan di beberapa provinsi yang memiliki

kota/kabupaten rawan bencana. Salah satunya yaitu di Jawa Timur yang merupakan

provinsi dengan angka kejadian bencana tertinggi kedua di Indonesia dalam lima

tahun terakhir yaitu periode 2015 hingga 2019, setelah Jawa Tengah. Jumlah

kejadian bencana di Indonesia tahun 2015-2019 tercantum dalam tabel 1.2.

Tabel 1.2 Jumlah kejadian bencana di Indonesia tahun 2015-2019

No. Provinsi Tahun

Total 2015 2016 2017 2018 2019

1. Jawa Tengah 390 600 1.067 577 432 3.066

2. Jawa Timur 301 405 434 450 239 1.829

3. Jawa Barat 217 306 316 338 275 1.452

4. Aceh 90 82 91 160 41 464

5. Sulawesi Selatan 47 56 71 86 82 342

6. Kalimantan Timur 60 189 39 30 18 336

7. Sumatera Barat 89 68 60 91 21 329

8. Sumatera Utara 63 73 76 91 12 315

9. Sumatera Selatan 45 61 62 75 33 276

10. Kalimantan Selatan 12 21 63 96 32 224

11. Banten 63 31 39 65 2 200

12. Nusa Tenggara

Barat 17 25 71 41 24 178

13. Kalimantan Tengah 8 15 50 59 28 160

14. Riau 18 25 37 54 24 158

15. DI Yogyakarta 29 38 24 25 21 137

16. Bali 6 19 28 48 19 120

17. Jambi 14 37 29 28 8 116

18. Kalimantan Barat 19 22 27 26 11 105

19. Nusa Tenggara

Timur 27 19 13 34 9 102

20. Sulawesi Utara 18 16 38 23 7 102

21. Lampung 20 18 9 32 10 89

22. Sulawesi Tenggara 8 13 28 25 8 82

23. Gorontalo 19 11 29 17 3 79

24. Bengkulu 31 18 11 11 1 72

25. DKI Jakarta 3 43 15 7 3 71

26. Maluku Utara 7 7 32 15 7 68

27. Maluku 18 5 21 7 16 67

IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-7

SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA

28. Sulawesi Tengah 13 12 19 10 4 58

29. Kep. Bangka

Belitung 12 18 8 10 8 56

30. Papua 8 5 20 12 9 54

31. Sulawesi Barat 6 9 12 12 5 44

32. Kalimantan Utara 7 15 2 1 2 27

33. Papua Barat 1 4 7 7 6 25

Sumber: Data diolah dari Data Informasi Bencana Indonesia Badan Nasional

Penanggulangan Bencana (https://dibi.bnpb.cloud/)

Selanjutnya terdapat beberapa kota atau kabupaten di Jawa Timur yang

merupakan daerah yang rawan bencana. Tabel 1.3 memaparkan data jumlah

kejadian bencana di kota atau kabupaten yang ada di Jawa Timur dalam periode

lima tahun terakhir, tahun 2015 hinga tahun 2019.

Tabel 1.3 Jumlah kejadian bencana di Jawa Timur tahun 2015-2019

No. Kabupaten/Kota Tahun

Total 2015 2016 2017 2018 2019

1. Ponorogo 11 27 52 43 15 148

2. Trenggalek 7 41 29 34 11 122

3. Bojonegoro 63 19 6 16 8 112

4. Situbondo 14 21 27 41 8 111

5. Jember 9 14 15 42 18 98

6. Nganjuk 14 13 31 21 6 85

7. Lumajang 13 30 15 10 9 77

8. Mojokerto 8 9 20 28 12 77

9. Tuban 22 17 11 11 9 70

10. Kota Batu 4 11 16 25 4 60

11. Malang 8 13 13 17 4 55

12. Banyuwangi 7 10 16 13 9 55

13. Tulungagung 14 18 8 8 5 53

14. Sidoarjo 4 5 15 13 15 52

15. Jombang 6 12 16 12 6 52

16. Probolinggo 8 8 13 11 8 48

17. Gresik 5 10 10 7 15 47

18. Pasuruan 11 10 11 5 8 45

19. Magetan 6 11 13 11 4 45

20. Pacitan 3 13 9 14 5 44

21. Blitar 5 11 5 12 8 41

IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-8

SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA

22. Kota Malang 1 11 13 9 7 41

23. Kediri 7 6 13 8 6 40

24. Ngawi 5 9 7 7 3 31

25. Pamekasan 9 10 5 3 3 30

26. Lamongan 2 4 6 6 7 25

27. Sampang 6 10 6 1 2 25

28. Sumenep 1 4 5 9 4 23

29. Madiun 7 4 3 3 5 22

30. Bondowoso 6 4 7 2 2 21

31. Bangkalan 2 6 8 2 3 21

32. Kota Pasuruan 3 5 6 1 1 16

33. Kota Probolinggo 4 5 1 0 1 11

34. Kota Surabaya 1 2 3 0 2 8

35. Kota Madiun 2 1 0 2 2 7

36. Kota Blitar 1 0 0 3 1 5

37. Kota Kediri 2 1 0 0 1 4

38. Kota Mojokerto 0 0 0 0 1 1

Sumber: Data diolah dari Data Informasi Bencana Indonesia Badan Nasional

Penanggulangan Bencana (https://dibi.bnpb.cloud/)

Berdasarkan data pada tabel 1.3 tersebut dapat diketahui bahwa Ponorogo

merupakan kabupaten dengan angka kejadian bencana paling tinggi di Jawa Timur

dalam lima tahun terakhir. Kejadian bencana yang terjadi di Kabupaten Ponorogo

sangatlah beragam, datanya seperti pada grafik 1.2 di bawah ini yaitu mulai dari

banjir, tanah longsor, puting beliung, kekeringan, serta kebakaran hutan dan lahan.

Grafik 1.2 Tren kejadian bencana di Kabupaten Ponorogo tahun 2015-2019

Sumber: Data Informasi Bencana Indonesia Badan Nasional Penanggulangan

Bencana (https://dibi.bnpb.cloud/)

IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-9

SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA

Meskipun tren kejadian bencana di Kabupaten Ponorogo yang tercantum

pada grafik 1.2 mengalami penurunan pada tahun 2018 dan 2019, namun tetap saja

Kabupaten Ponorogo menjadi penyumbang angka terbesar kejadian bencana di

Jawa Timur selama lima tahun terakhir. Bencana yang terjadi di Kabupaten

Ponorogo tahun 2015-2019 didominasi oleh bencana tanah longsor, yakni seperti

data pada tabel 1.4 terdapat 71 kejadian.

Tabel 1.4 Jumlah kejadian bencana di Kabupaten Ponorogo tahun 2015-2019

No. Kejadian

Bencana

Tahun Total

2015 2016 2017 2018 2019*

1. Tanah longsor 2 18 29 15 7 71

2.

Kebakaran

hutan dan lahan

(karhutla)

2 0 12 19 0 33

3. Puting beliung 4 4 6 4 5 23

4. Banjir 3 5 5 3 3 19

5. Kekeringan 0 0 0 2 0 2

Total 11 27 52 43 15 148

*periode Januari-Maret 2019

Sumber: Data diolah dari Data Informasi Bencana Indonesia Badan Nasional

Penanggulangan Bencana (https://dibi.bnpb.cloud/)

Dalam menangani kejadian bencana di Kabupaten Ponorogo, pemerintah

daerah mempunyai peran yang besar, salah satunya peran dari BPBD Kabupaten

Ponorogo untuk mengembangkan program destana bagi masyarakat yang

terdampak bencana. Agar manajemen bencana dapat menangani kerugian

masyarakat yang terdampak bencana, maka masyarakat perlu menerima intervensi

secara efektif dan adil. Selanjutnya juga perlu adanya perubahan perilaku, yakni

yang sebelumnya seringkali masyarakat kurang memerhatikan apa yang harus

dilakukan ketika bencana melanda, menjadi perilaku yang lebih positif yaitu fokus

pada bagaimana pemerintah memperkuat masyarakat dengan pengembangan

kapasitas yang sangat mendasar termasuk penguatan ikatan sosial.9 Hal tersebut

selaras dengan pernyataan Imam Basori selaku Kepala BPBD Ponorogo pada saat

9 Liza Ireni-Saban, “Challenging Disaster Administration: Toward Community-Based Disaster

Resilience”, Administration & Society Vol. 45 No. 6, 2012, hlm. 652-653

IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-10

SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA

acara Seminar Akhir Pembentukan Desa Tangguh Bencana (10/12/2018) yang

menuturkan bahwa destana dibentuk untuk menguatkan kapasitas masyarakat yang

ada di empat daerah rawan bencana di Ponorogo seperti Banaran, Maguwa,

Tugurejo, dan Dayakan agar menjadi masyarakat yang tangguh bencana dan dapat

segera menyelamatkan diri saat terjadi bencana.10

Berdasarkan data dari BPBD Ponorogo (9/11/2018), terdapat sembilan

kecamatan di Ponorogo yang merupakan daerah rawan bencana longsor,

diantaranya Kecamatan Pulung, Kecamatan Ngebel, Kecamatan Sooko, Kecamatan

Pudak, Kecamatan Sambit, Kecamatan Sawoo, Kecamatan Slahung, Kecamatan

Ngrayun dan Kecamatan Badegan. Sedangkan terdapat dua belas kecamatan yang

merupakan daerah rawan banjir yaitu Kecamatan Ponorogo, Kecamatan Siman,

Kecamatan Mlarak, Kecamatan Balong, Kecamatan Kauman, Kecamatan Babadan,

Kecamatan Sukorejo, Kecamatan Bungkal, Kecamatan Sambit, Kecamatan

Sampung, Kecamatan Slahung dan Kecamatan Jenangan.11 Menurut data Badan

Metereologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Jawa Timur pada tahun 2019

terdapat lima belas kecamatan rawan bencana banjir yang terdeteksi masuk dalam

kategori tinggi, diantaranya Kecamatan Jetis, Kecamatan Kauman, Kecamatan

Jambon, Kecamatan Badegan, Kecamatan Sampung, Kecamatan Sukorejo,

Kecamatan Ponorogo, Kecamatan Ngrayun, Kecamatan Sambit, Kecamatan

Sawoo, Kecamatan Sooko, Kecamatan Pulung, Kecamatan Mlarak, Kecamatan

Babadan, dan Kecamatan Jenangan.12

10 Kominfo Ponorogo, “Destana Ciptakan Masyarakat Tangguh Bencana”,

(https://ponorogo.go.id/2018/12/10/destana-ciptakan-masyarakat-tangguh-bencana/, Diakses pada

28 April 2019, 2018) 11 Charolin Pebrianti, “Musim Hujan, 9 Kecamatan di Ponorogo Rawan Longsor”,

(https://news.detik.com/berita-jawa-timur/d-4294474/musim-hujan-9-kecamatan-di-ponorogo-

rawan-longsor, Diakses pada 28 April 2019, 2018) 12 Jawa Pos Radar Madiun, “15 Kecamatan di Ponorogo Potensi Tinggi Bencana Banjir”,

(https://radarmadiun.co.id/15-kecamatan-di-ponorogo-potensi-tinggi-bencana-banjir/, Diakses pada

29 Februari 2020, 2019)

IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-11

SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA

Pada tabel 1.5 di bawah ini tercantum data desa tangguh bencana di

Kabupaten Ponorogo beserta jenis bahaya yang terjadi dalam periode tahun 2015

hingga 2019. Berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa tanah longsor

merupakan jenis bahaya terjadi pada hampir seluruh wilayah destana di Kabupaten

Ponorogo.

Tabel 1.5 Jenis bahaya di desa tangguh bencana Kabupaten Ponorogo tahun

2015-2019

No. Desa Tangguh Bencana Jenis Bahaya

1. Desa Sooko, Kecamatan Sooko Tanah longsor, angin kencang

2. Desa Jurug, Kecamatan Sooko Tanah longsor, karhutla, angin

kencang, tanah retak

3. Desa Tumpuk, Kecamatan Sawoo Tanah longsor

4. Desa Tempuran, Kecamatan Sawoo Tanah longsor, angin kencang,

tanah retak

5. Desa Banaran, Kecamatan Pulung Tanah longsor

6. Desa Tugurejo, Kecamatan Slahung Tanah longsor, tanah retak,

karhutla

7. Desa Maguwan, Kecamatan Sambit Banjir luapan, karhutla

8. Desa Dayakan, Kecamatan Badegan Tanah longsor, banjir bandang,

kekeringan, kebakaran, angin

kencang, tanah retak

9. Desa Bekiring, Kecamatan Pulung Tanah longsor

10. Desa Slahung, Kecamatan Slahung Tanah longsor, banjir, angin

kencang

Sumber: BPBD Kabupaten Ponorogo

IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-12

SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA

Gambar 1.1 Peta bahaya tanah longsor Kabupaten Ponorogo

Sumber: BPBD Kabupaten Ponorogo

IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-13

SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA

Gambar 1.2 Peta bahaya tanah longsor Desa Tugurejo

Sumber: BPBD Kabupaten Ponorogo

Gambar 1.1 merupakan peta bahaya tanah longsor di Kabupaten Ponorogo

yang menunjukkan wilayah-wilayah dengan indeks bahaya tanah longsor rendah,

sedang, dan tinggi. Kemudian pada gambar 1.2 dapat dilihat bahwa Desa Tugurejo

merupakan wilayah dengan indeks bahaya tanah longsor kategori tinggi. Namun di

sisi lain, Desa Tugurejo mampu menjadi desa yang tangguh melalui pelaksanaan

program desa tangguh bencana. Hal tersebut dibuktikan dengan keberhasilan Desa

Tugurejo mendapatkan Juara 3 Desa/Kelurahan Terbaik Kategori Utama pada

Lomba Desa/Kelurahan Tangguh Bencana Tingkat Provinsi Jawa Timur Tahun

2019.

Gambar 1.3 Penghargaan dari Gubernur Jawa Timur

IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-14

SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA

Sumber: Profil Desa Tangguh Bencana dan Kampung Tangguh Desa Tugurejo

Kecamatan Slahung Kabupaten Ponorogo

Destana Tugurejo memiliki inovasi desa dengan membentuk kelompok kerja

bernama Pertahana (Perempuan Tangguh Bencana). Hal tersebut mengantarkan

Desa Tugurejo menjadi wakil Kabupaten Ponorogo untuk maju dalam ajang Bulan

Bhakti Gotong Royong Masyarakat (BBGRM) tingkat Provinsi Jawa Timur.13

Bukan hanya Pertahana saja, namun Desa Tugurejo juga memiliki Tagana (Taruna

Tangguh Bencana) yang mana keduanya menjadi salah satu keunggulan Desa

Tugurejo untuk menjuarai lomba destana Provinsi Jawa Timur.14 Berdasarkan

wawancara pendahuluan tanggal 23 Juni 2020, Bapak Siswanto selaku Kepala Desa

Tugurejo memberikan informasi bahwa destana di Desa Tugurejo memiliki sumber

daya manusia (SDM) yang kuat dibandingkan destana lain di Kabupaten Ponorogo,

di samping itu Pertahana di Desa Tugurejo merupakan sebuah gerakan mandiri

yang diinisiasi oleh masyarakat setempat guna mengoptimalkan peran perempuan

dalam kegiatan pra, tanggap, maupun pasca bencana. Bapak Siswanto menjelaskan

bahwa Pertahana Desa Tugurejo merupakan satu-satunya di Indonesia. Melalui

informasi tersebut dapat dilihat bahwa destana di Desa Tugurejo memiliki sumber

daya manusia yang aktif dalam mengurangi risiko bencana di wilayahnya. Hal

itulah yang menjadi pertimbangan bagi peneliti dalam menentukan lokasi penelitian

ini.

Gambar 1.4 Logo Badan Nasional Penanggulangan Bencana

Sumber: http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/arsip/bn/2014/bn2077-2014.pdf

13 Kominfo Ponorogo, “Desa Tugurejo Maju BBGRM Provinsi Jatim”,

(https://ponorogo.go.id/2019/06/19/desa-tugurejo-maju-bbgrm-provinsi-jatim/, Diakses pada 2 Mei

2020, 2019) 14 Kominfo Ponorogo, “Wabup: Destana Tugurejo Bisa Menjadi Yang Terbaik”,

(https://ponorogo.go.id/2019/09/10/wabup-destana-tugurejo-bisa-menjadi-yang-terbaik/, Diakses

pada 2 Mei 2020, 2019)

IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-15

SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA

Berdasarkan Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana

Nomor 15 Tahun 2014 Tentang Pakaian Dinas dan Atribut Badan Nasional

Penanggulangan Bencana dilampirkan penjelasan terkait makna logo BNPB.

Segitiga warna biru yang terletak di tengah lingkaran oranye melambangkan misi

BNPB, perlindungan kepada masyarakat terhadap ancaman bencana, serta

pelaksanaannya melibatkan peran dari pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha.15

Dengan kata lain, BNPB memang merupakan leading sector penanggulangan

bencana di Indonesia, sedangkan BPBD di tingkat kota dan kabupaten merupakan

perpanjangan tangan dari BNPB. Namun, dalam pelaksanaannya membutuhkan

peran aktif dari pemerintah (state/government), masyarakat (civil society), dan

dunia usaha (private sector) yang merupakan komponen dari governance seperti

yang diilustrsikan pada gambar 1.4 berikut ini.16

Sumber: United Nation Development Programme (UNDP)

Menurut hasil wawancara pendahuluan pada tanggal 23 Juni 2020 dengan

Bapak Siswanto selaku Kepala Desa Tugurejo, terdapat berbagai macam peran

pemerintah mulai dari level desa, kabupaten, provinsi, hingga kementerian dalam

proses penanggulangan bencana di Desa Tugurejo Kecamatan Slahung. Pada level

desa, pemerintah desa mendukung kegiatan tagana dan pertahana dengan adanya

15 Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 15 Tahun 2014 Tentang

Pakaian Dinas dan Atribut Badan Nasional Penanggulangan Bencana 16 United Nation Development Programme, Participatory Local Governance, (New York: Local

Initiative Facility for Urban Environment, Management Development and Government Division

UNDP, 1997)

state civil

society

private

sector

Gambar 1.5 Komponen governance

IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-16

SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA

surat keterangan (SK) yang memperkuat eksistensi mereka dalam mengurangi

risiko bencana di wilayahnya. Pada level kabupaten, di Kabupaten Ponorogo

sendiri, pihak yang selalu terjun langsung yaitu BPBD Kabupaten Ponorogo yang

berperan dalam proses evakuasi, pencegahan, dan mitigasi. Selain itu Dinas Sosial,

Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Andak (P3A) Kabupaten Ponorogo

juga terlibat dalam menangani dampak sosial akibat dari bencana, terkait juga

dengan logistik dan tempat tinggal (pengungsian). Dinas Komunikasi Informatika

dan Statistik Kabupaten Ponorogo juga turut serta menyampaikan berita tentang

kebencanaan di Desa Tugurejo melalui laman ponorogo.go.id. Pada level provinsi,

BPBD Provinsi Jawa Timur turut memberikan sosialisasi dan alat EWS (early

warning system). Pada level kementerian, Tim Pusat Vulkanologi dan Mitigasi

Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya

Mineral (ESDM) melalui BPBD Kabupaten Ponorogo melakukan pengecekan

calon lokasi untuk relokasi Sekolah Dasar Negeri (SDN) 2 Tugurejo dan

permukiman warga.17 Pihak TNI yang diwakili oleh Bintara Pembina Desa

(Babinsa) Desa Tugurejo dan pihak kepolisian yang diwakili oleh Bhayangkara

Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Bhabinkamtibmas) Desa Tugurejo

juga turut berperan dalam memberikan sosialisasi terkait kebencanaan kepada

masyarakat Desa Tugurejo. Upaya seperti itu memang harus dilakukan karena

ikatan masyarakat tidak dapat dipertahankan jika institusi pada administrasi publik

tidak dapat menanggapi bencana dengan cara yang efektif dan adil.18

Peran masyarakat (civil society) dapat berasal dari kelompok masyarakat,

akademisi, dan media. Pada ruang lingkup Desa Tugurejo terdapat kelompok

masyarakat yaitu Tagana dan Pertahana yang secara aktif bergerak untuk

menanggulangi bencana. Tagana berperan dalam pencegahan, mitigasi, dan

evakuasi. Sedangkan pertahana berperan pada penanganan pasca bencana.

Berdasarkan wawancara pendahuluan pada 23 Juni 2020 dengan Pak Siswanto

didapatkan informasi bahwa LPBI NU dan PMI Ponorogo merupakan kelompok

17 Kominfo Ponorogo, “Kades Tugurejo: Kalau Aman, Warga Ingin Relokasi Tahun Ini”,

(https://ponorogo.go.id/2020/02/20/kades-tugurejo-kalau-aman-warga-ingin-relokasi-tahun-ini/,

Diakses pada 26 Mei 2020, 2020) 18 Saban, Loc.Cit.

IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-17

SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA

masyarakat yang turut serta berkontribusi dalam pengurangan risiko bencana di

Desa Tugurejo. Contoh aktivitas yang dilakukan yaitu reboisasi dengan menanam

bibit pohon beringin di beberapa wilayah desa Tugurejo dalam rangka

menyelamatkan sumber mata air.19 Kegiatan tersebut masuk dalam serangkaian

acara peluncuran Gerak Warog (Gerakan Reboisasi, Alam, Kehutanan dan Wilayah

Air, Rakyat Obah Gumregah). Gerak Warog adalah inisiatif gerakan penanaman

hingga pemeliharaan untuk menjaga kelestarian alam.20 Organisasi Radio Antar

Penduduk Indonesia (RAPI) juga turut serta membantu fasilitasi terkait informasi

kejadian bencana di Kabupaten Ponorogo terutama daerah rawan bencana yang

berada di perbukitan dan cukup jauh dari pusat pemerintahan.21 Komunitas

(Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT) Sub Rayon Tugurejo dan komunitas

Ponorogo Peduli juga terlibat dalam penanggulangan bencana di Desa Tugurejo

dengan memberikan bantuan sembako pada masyarakat yang terdampak bencana.

Dalam hal kebencanaan, Desa Tugurejo juga menjalin silaturahmi yang baik

dengan akademisi. Tim penelitian dosen Universitas Darussalam (UNIDA) Gontor

Ponorogo memilih Desa Tugurejo dengan membawa dokumen-dokumen milik

pemerintah desa untuk bahan observasi dan kajian mengenai kebencanaan. Alasan

memilih Desa Tugurejo yaitu karena Desa Tugurejo merupakan contoh pengelolaan

destana yang baik di Kabupaten Ponorogo.

Desa Tugurejo juga bersinergi dengan pihak media. Menurut informasi dari

Bapak Siswanto saat wawancara pendahuluan, sejauh ini media yang paling efektif

adalah radio. Salah satu mitra Desa Tugurejo yang komunikasinya paling intens

yaitu radio Gema Surya. Di samping itu juga ada dari radio Duta Nusantara

Ponorogo, Radio Songgolangit, dan reporter TV-One juga turut memberitakan

bencana dan menjalin komunikasi yang baik dengan Desa Tugurejo.

19 Cerita Relawan, “PMI Ponorogo Ikuti Penghijauan bersama Bupati Ipong & Gerak Warok di

Tugurejo”, (https://www.ceritarelawan.id/2020/01/pmi-ponorogo-ikuti-penghijauan-bersama.html,

Diakses pada 20 Juni 2020, 2020) 20 Kominfo Ponorogo, “Bupati Ipong, Luncurkan Gerak Warog”,

(https://ponorogo.go.id/2020/01/18/bupati-ipong-luncurkan-gerak-warog/, Diakses pada 20 Juni

2020, 2020)

I. 21 Yusron Al-Fatah, “Permudah Akses Informasi, BPBD Ponorogo Gandeng RAPI Sebagai

Koordinator Di Setiap Kecamatan”, (https://rri.co.id/madiun/daerah/780128/permudah-akses-

informasi-bpbd-ponorogo-gandeng-rapi-sebagai-koordinator-di-setiap-kecamatan, Diakses pada 29

April 2020, 2020)

IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-18

SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA

Selanjutnya dunia usaha juga terlibat dalam pengurangan risiko bencana di

Desa Tugurejo Kecamatan Slahung, khususnya pada aspek logistik. Menurut

informasi dari Bapak Siswanto, sejauh ini dunia usaha yang pernah membantu Desa

Tugurejo dalam menanggulangi bencana yaitu Perkumpulan Peternak Ayam

Petelur Ponorogo (PPAPP). Kemudian Perum Perhutani melalui Resort

Pemangkuan Hutan (RPH) Guyangan juga turut aktif berperan dalam hal sosialisasi

kebencanaan dan memberikan bantuan kepada korban bencana.

Berdasarkan penjelasan sebelumnya, dapat diketahui bahwa peran dari

berbagai komponen governance sangat diperlukan dalam penanggulangan bencana

di Desa Tugurejo. Agar unsur-unsur dari tiga komponen tersebut dapat dibedakan

dengan jelas, maka peneliti memetakan pemangku kepentingan (stakeholder)

dalam penanggulangan bencana di Desa Tugurejo seperti yang tercantum tabel 1.6

berikut ini:

IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-19

SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA

Tabel 1.6 Pemangku kepentingan (stakeholder) dalam penanggulangan bencana

di Desa Tugurejo

Pemerintah

(Government)

Masyarakat (Civil Society) Dunia Usaha

(Private Sector) Kelompok

Masyarakat Akademisi Media

1. Level Desa

Pemerintah Desa

Tugurejo

2. Level Kabupaten

- BPBD

Kabupaten

Ponorogo

- Dinas Sosial

P3A Kabupaten

Ponorogo

- Dinas Kominfo

dan Statistik

Kabupaten

Ponorogo

3. Level Provinsi

BPBD Provinsi

Jawa Timur

4. Level Kementerian

Tim PVMBG

Badan Geologi

Kementerian

ESDM

5. Babinsa

6. Bhabinkamtibmas

1. Tagana

2. Pertahana

3. LPBI NU

4. PMI

Ponorogo

5. Organisasi

Radio Antar

Penduduk

Indonesia

(RAPI)

6. Komunitas

Ponorogo

Peduli

7. PSHT Sub

Rayon

Tugurejo

Tim Dosen

UNIDA

Gontor

Ponorogo

1. Radio Gema

Surya

2. Radio Duta

Nusantara

Ponorogo

3. Radio

Songgolangit

4. TV-One

1. Perkumpulan

Peternak

Ayam

Petelur

Ponorogo

(PPAPP)

2. Perum

Perhutani

RPH

Guyangan

Sumber: dokumen pribadi peneliti

IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-20

SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA

Dari fenomena tersebut dapat disebutkan bahwa program desa tangguh

bencana di Desa Tugurejo telah menerapkan tata kelola adaptif (adaptive

governance) di level desa. Tata kelola yang adaptif mencakup gambaran besar tidak

hanya secara geografis, tetapi juga secara kelembagaan yaitu semua lembaga formal

dan informal.22 Tata kelola yang adaptif memiliki tujuan untuk mengatasi masalah

ketidakadilan dengan fokus pada dimensi kelembagaannya.23 Institusi juga menjadi

salah satu faktor penentu adaptasi (di samping faktor lain seperti pengetahuan,

teknologi, pendidikan atau kesehatan) yang mempengaruhi kejadian dan sifat

adaptasi yang mana dengan demikian mampu membatasi kerentanan sistem dan

dampak residualnya.24 Tata kelola adaptif sering mengatur diri sendiri sebagai

jejaring sosial dengan tim dan kelompok aktor yang memanfaatkan berbagai sistem

pengetahuan dan pengalaman untuk pengembangan pemahaman dan kebijakan

bersama.25 Dalam hal ini, Desa Tugurejo tidak bekerja sendiri, namun juga

melibatkan berbagai aktor seperti pemerintah, masyarakat (kelompok masyarakat,

media, akademisi) dan dunia usaha untuk mengurangi risiko bencana di daerahnya.

Terdapat lima penelitian terdahulu yang digunakan sebagai acuan bagi

penelitian ini. Pertama, hasil pemikiran dari Riyanti Djalante, Cameron Holley, dan

Frank Thomalla yang tercantum dalam artikel jurnal yang berjudul “Adaptive

Governance and Managing Resilience to Natural Hazards” yang menjelaskan

bahwa terdapat empat karakteristik penting dalam tata kelola adaptif untuk

meningkatkan ketahanan terhadap bencana alam.26 Djalante et al. juga menyertakan

studi kasus terkait karateristik tata kelola adaptif yang diimplementasikan pada

konteks bencana di beberapa wilayah. Bidang kajian dari pemikiran Djalante et al.

dan penelitian ini memang sama, yaitu terkait karakteristik tata kelola adaptif pada

ketahanan bencana alam. Namun studi kasus yang diberikan oleh Djalante et al.

22 Margot A. Hurlbert, Adaptive Governance of Disaster: Drought and Flood in Rural Areas,

(Switzerland: Springer International Publishing, 2018), hlm. 1 23 Ibid., hlm. 5 24 James J. McCarthy dkk. (eds.), Climate Change 2001: Impacts, Adaptation, and Vulnerability,

(Cambridge: Cambridge University Press, 2001), hlm. 893 25 Carl Folke, Thomas Hahn, Per Olsson, and Jon Norberg, “Adaptive Governance of Social-

Ecological System”, Annual Review of Environment and Resources Vol. 30, 2005, hlm. 441 26 Riyanti Djalante, Cameron Holley, dan Frank Thomalla, “Adaptive Governance and Managing

Resilience to Natural Hazards”, International Journal of Disaster Risk Science Vol. 2 No. 4, 2011,

hlm. 3

IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-21

SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA

memiliki level analisis di tingkat regional hingga global. Sehingga research gap

dari pemikiran Djalante el al. dan penelitian ini yaitu peneliti hendak mengisi

kekosongan dengan melakukan penelitian konteks bencana di level desa.

Kedua, penelitian tesis dari Reiza Syarini yang berjudul “Adaptive

Governance Characteristics of Yogyakarta Special Region PROKLIM (Climate

Village Program) Villages”. Dalam penelitian tersebut, Syarini fokus meneliti tiga

kampung iklim yang menjadi model bagi masyarakat lokal dalam membangun

ketahanan iklim. Syarini mengkaji tentang tiga karakteristik tata kelola adaptif

yakni manakah karakteristik yang paling signifikan dalam proses membangun

ketahanan iklim bagi masyarakat di desa-desa PROKLIM.27 Temuan yang

dihasilkan yaitu partisipasi menjadi karakteristik yang paling menonjol. Penelitian

Syarini menggunakan teori tata kelola adaptif dari Djalante et al. yang sudah

dijelaskan di paragraf sebelumnya. Hanya saja Syarini sedikit memodifikasi

karakteristik tersebut dengan menggabungkan dua karakteristik, totalnya menjadi

tiga karakteristik.28 Penelitian ini merujuk tiga karakteristik tersebut karena

penelitian ini sama-sama dilakukan pada level desa. Research gap pada penelitian

Syarini dan penelitian ini yaitu Syarini mengaitkan karakteristik tata kelola adaptif

dengan ketahanan masyarakat terhadap perubahan iklim, sedangkan penelitian ini

berfokus pada ketahanan masyarakat terhadap bencana alam.

Ketiga, penelitian tesis milik Septiana Sintauri dari program studi magister

manajemen bencana Universitas Gadjah Mada dengan titel “Partisipasi Masyarakat

Dalam Program Desa Tangguh Bencana (Studi Kasus Di Desa Poncosari

Kecamatan Srandakan Kabupaten Bantul)”. Penelitian Sintauri bertujuan untuk

mengidentifikasi aktivitas masyarakat serta melakukan analisis bentuk dan derajat

partisipasi masyarakat dalam program desa tangguh bencana.29 Penelitian Sintauri

dan penelitian ini memiliki kesamaan yaitu mengkaji desa tangguh bencana.

27 Reiza Syarini, Tesis: “Adaptive Governance Characteristics of Yogyakarta Special Region

PROKLIM (Climate Village Program) Villages”, (Yogyakarta, Universitas Gadjah Mada, 2017),

hlm. x 28 Syarini, Op.Cit., hlm. 30 29 Septiana Sintauri, Tesis: “Partisipasi Masyarakat Dalam Program Desa Tangguh Bencana

(Studi Kasus Di Desa Poncosari Kecamatan Srandakan Kabupaten Bantul)”, (Yogyakarta,

Universitas Gadjah Mada, 2017), hlm. x

IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-22

SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA

Penelitian ini dapat menjadi pelengkap penelitian Sintauri. Research gap pada

penelitian Sintauri dan penelitian ini yaitu peneliti bukan hanya menganalisis dari

aspek partisipasi masyarakat saja, namun peneliti melihat pada institusi polisentris,

partisipasi, serta pembelajaran dan inovasi yang merupakan kesatuan dari teori tata

kelola adaptif di level desa. Peneliti menggunakan pisau analisis yang lebih

komprehensif dalam kajian desa tangguh bencana.

Keempat, penelitian dari Muhamad Fajar Pramono, Setiawan Bin Lahuri, dan

Mohammad Gozali yang telah diterbitkan dalam versi buku berjudul “Pengelolaan

Bencana Longsor Kabupaten Ponorogo Dari Aspek Sosiologis”30. Selain itu

penelitian beliau juga diterbitkan dalam versi jurnal dengan judul “Disaster

Resilient Village Based on Sociocultural in Ponorogo”31. Penelitian tersebut

mengkaji model pengelolaan desa tangguh bencana yang baik berdasarkan aspek

sosiokultural di Ponorogo. Research gap pada penelitian Pramono et al. dan

penelitian ini yaitu dalam penelitian Pramono et al, Desa Tugurejo dijadikan model

desa tangguh bencana di Ponorogo dan dikaji dalam aspek sosiologis. Sedangkan

penelitian ini berusaha mengisi kekosongan dengan meneliti keberhasilan Desa

Tugurejo pada aspek tata kelola desa adaptif.

Kelima, penelitian dari Galih Marendra, Edi Santosa, dan Nunik Retno H.

yang berjudul “Kapasitas Kelembagaan dan Kearifan Lokal dalam Antisipasi

Penanggulangan Bencana Merapi Tahun 2010 di Kabupaten Klaten (Studi Kasus di

Desa Balerante Kecamatan Kemalang)”.32 Marendra et al. meneliti kapasitas

kelembagaan dan potensi kearifan lokal dalam mengantisipasi penanggulangan

bencana Merapi tahun 2010 serta hambatan-hambatan yang dihadapi. Sedangkan

penelitian ini berusaha mengisi kekosongan penelitian Marendra et al. dengan

30 Muhamad Fajar Pramono, Setiawan Bin Lahuri, dan Mohammad Ghozali, Pengelolaan Bencana

Longsor Kabupaten Ponorogo Dari Aspek Sosiologis, (Ponorogo: UNIDA Gontor Press, 2020),

hlm. 3 31 Muhamad Fajar Pramono, Setiawan Bin Lahuri, dan Mohammad Ghozali, “Disaster Resilient

Village Based on Sociocultural in Ponorogo”, MIMBAR Jurnal Sosial dan Pembangunan Vol. 36

No. 1, 2020, hlm. 63 32 Galih Marendra, Edi Santosa, dan Nunik Retno H., “Kapasitas Kelembagaan dan Kearifan Lokal

dalam Antisipasi Penanggulangan Bencana Merapi Tahun 2010 di Kabupaten Klaten (Studi Kasus

Di Desa Balerante Kecamatan Kemalang)”, Journal of Politic and Government Studies Vol.3 No.3,

2014, hlm. 276

IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-23

SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA

meneliti aspek kelembagaan sekaligus partisipasi masyarakat serta pembelajaran

dan inovasi yang merupakan kesatuan teori tata kelola adaptif dalam konteks

penanggulangan bencana level desa.

Berdasarkan permasalahan empiris (empirical problem) dan permasalahan

teoritis (theoritical problem) yang telah dijelaskan, maka urgensi penelitian ini

yaitu pada rujukan penelitian terdahulu belum ada yang meneliti tentang

keberhasilan program desa tangguh bencana dalam perspektif tata kelola adaptif di

level desa. Terdapat penelitian sebelumnya yang mengkaji tata kelola adaptif,

namun level analisisnya tingkat regional hingga global. Selanjutnya terdapat

penelitian lain terkait tata kelola adaptif di level desa, namun konteksnya bukan

ketahanan terhadap bencana alam, melainkan ketahanan terhadap perubahan iklim.

Kemudian peneliti sebelumnya hanya mengkaji desa tangguh bencana dari aspek

partisipasi masyarakat saja. Bukan hanya itu, namun juga terdapat peneliti yang

mengkaji Desa Tugurejo sebagai model desa tangguh bencana di Kabupaten

Ponorogo, hanya saja peneliti tersebut fokus pada aspek sosiologis. Selanjutnya

juga terdapat penelitian tentang penanggulangan bencana yang fokus pada

kelembagaan dan kearifan lokal saja. Hal itu mendorong peneliti untuk menggali

lebih lanjut terkait keberhasilan program desa tangguh bencana di Desa Tugurejo

Kecamatan Slahung dalam perspektif tata kelola desa adaptif (adaptive village

governance) guna meningkatkan ketahanan masyarakat terhadap bencana alam.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan, maka rumusan

masalah dalam penelitian ini yaitu bagaimana fenomena keberhasilan program desa

tangguh bencana di Desa Tugurejo Kecamatan Slahung Kabupaten Ponorogo dalam

perspektif tata kelola desa adaptif (adaptive village governance)?

IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-24

SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan, maka penelitian ini

memiliki tujuan untuk mendeskripsikan, mendokumentasikan, dan

mengidentifikasi fenomena keberhasilan program desa tangguh bencana di Desa

Tugurejo Kecamatan Slahung Kabupaten Ponorogo dalam perspektif tata kelola

desa adaptif (adaptive village governance).

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Akademis

Berdasarkan analisis studi terdahulu, research gap antara penelitian ini

dengan penelitian terdahulu yaitu belum ada yang meneliti tentang keberhasilan

program desa tangguh bencana dalam perspektif tata kelola desa adaptif (adaptive

village governance). Maka penelitian ini diharapkan membawa manfaat dengan

memberikan kajian terkait keberhasilan program desa tangguh bencana di Desa

Tugurejo Kecamatan Slahung Kabupaten Ponorogo dalam perspektif tata kelola

desa adaptif (adaptive village governance) mampu meningkatkan ketahanan

masyarakat terhadap bencana alam yang terjadi. Hasil penelitian ini dapat

digunakan sebagai bahan pengembangan ilmu administrasi negara khususnya pada

aspek kelembagaan (institutional) serta dapat menjadi bahan rujukan bagi

penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan keberhasilan program desa tangguh

bencana dalam perspektif tata kelola desa adaptif (adaptive village governance).

1.4.2 Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan rekomendasi kepada

pemangku kepentingan seperti pemerintah, civil society (kelompok masyarakat,

akademisi, media) dan dunia usaha yang terlibat dalam program desa tangguh

bencana di Desa Tugurejo sebagai bahan perbaikan kinerja agar lebih mampu

mengoptimalkan peran untuk meningkatkan ketahanan terhadap bencana alam,

khususnya dalam program desa tangguh bencana. Selanjutnya melalui keberhasilan

program desa tangguh bencana di Desa Tugurejo Kecamatan Slahung Kabupaten

Ponorogo dalam perspektif tata kelola desa adaptif (adaptive village governance)

IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-25

SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA

diharapkan mampu menjadi lesson learnt dalam mengurangi risiko bencana di

daerah rawan bencana. Dengan begitu, pemerintah kabupaten/kota lain yang

memiliki daerah rawan bencana dapat membina desa/kelurahannya agar memiliki

ketangguhan di level desa/kelurahan dengan melakukan studi banding melalui hasil

penelitian ini.

1.5 Kerangka Teori

W. Lawrence Neuman menjelaskan dalam bukunya yang berjudul “Social

Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches” bahwa teori mampu

memudahkan peneliti untuk memperluas pemahaman terkait kerumitan sebuah

fenomena sosial.33 Teori juga mempertajam pemikiran peneliti tentang hal-hal yang

dilakukan dalam penelitian. Apabila teori yang digunakan jelas dan eksplisit, maka

orang lain dapat menangkap maksud penelitian dengan mudah.34

Dalam bab ini peneliti memaparkan teori tentang tata kelola adaptif (adaptive

governance), hasil pemikiran dari Djalante et al, yang menjelaskan bahwa terdapat

empat karakteristik tata kelola adaptif yang penting dalam meningkatkan ketahanan

masyarakat terhadap bencana alam.35 Empat karakteristik tersebut yaitu institusi

polisentris dan multilayer, partisipasi dan kolaborasi, pengorganisasian diri dan

jaringan, serta pembelajaran dan inovasi. Hasil pemikiran Djalante et al. tersebut

level analisisnya tingkat regional hingga global. Masih terdapat kekosongan yang

belum mampu diisi oleh Djalante et al. yaitu penelitian terkait kebencanaan yang

level analisisnya tingkat desa.

Selanjutnya dalam bab ini peneliti juga menyuguhkan pemikiran Syarini yang

merupakan hasil modifikasi teori dari Djalante et al. dengan menggabungkan dua

karakteristik menjadi satu karakteristik karena memiliki indikator yang serupa

untuk analisis level desa. Totalnya terdapat tiga karakteristik, yaitu institusi

polisentris dan jaringan, partisipasi, serta pembelajaran dan inovasi.36 Meskipun

33 W. Lawrence Neuman, Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches

(Seventh Edition), (London: Pearson Education Limited, 2014), hlm. 56 34 Ibid., hlm. 58 35 Djalante et.al., Loc.Cit. 36 Syarini, Loc.Cit.

IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-26

SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA

sama-sama meneliti tata kelola adaptif di level desa, penelitian Syarini lebih

berfokus dalam mengaji ketahanan terhadap perubahan iklim. Masih terdapat ruang

kosong yang belum mampu diisi oleh Syarini yaitu penelitian tata kelola adaptif di

level desa pada bidang kajian ketahanan terhadap bencana alam.

Peneliti berusaha mengisi ruang kosong yang belum mampu diisi oleh

Djalante et al. dan Syarini dengan melakukan penelitian tentang tata kelola adaptif

pada ketahanan terhadap bencana alam di level desa. Selanjutnya peneliti akan

mengkategorikan pemikiran Syarini ke dalam teori tata kelola desa adaptif

(adaptive village governance). Di samping itu, peneliti juga menyajikan teori

ketahanan masyarakat untuk memberikan pemahaman lebih lanjut terkait

bagaimana ketahanan masyarakat terhadap bencana alam yang selaras dengan teori

tata kelola adaptif hasil pemikiran dari Djalante et al. Kemudian, peneliti juga

menyuguhkan teori kesetaraan gender dalam penanggulangan bencana sebagai teori

pendukung untuk diinterpretasikan dengan hasil temuan di lapangan.

Sebelum memaparkan teori tata kelola adaptif, peneliti akan terlebih dahulu

menyajikan teori kelembagaan. Teori tata kelola adaptif juga menggunakan

pendekatan kelembagaan. Seperti pendapat dari Toddi Steelman yang merujuk pada

pemikiran Brunner dengan membagi tata kelola adaptif menjadi tiga cabang utama

— pendekatan sosio-ekologis, kelembagaan, dan ilmu kebijakan.37 Pendekatan

kelembagaan dalam tata kelola adaptif menjadi pendekatan yang relevan dengan

hasil penelitian ini.

1.5.1 Kelembagaan (Institutional)

Lembaga formal bukan satu-satunya sumber pemerintahan kontemporer. Hal

tersebut jelas benar, dan telah benar secara historis maupun dalam periode

kontemporer. Namun demikian, sulit untuk memahami tata kelola tanpa referensi

ke lembaga formal pemerintah. Bahkan jika lembaga-lembaga ini hanya berfungsi

untuk memberikan “bayangan hierarki” untuk tindakan aktor lain, mereka penting.

Peran lembaga umumnya meluas, bagaimanapun, jauh melampaui peran yang agak

37 Toddi Steelman, “Adaptive governance”, dalam Handbook on Theories of Governance, ed.

Christopher Ansell dan Jacob Torfing (UK: Edward Elgar Publishing, 2016), hlm. 538

IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-27

SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA

pasif itu. Untuk memahami bentuk-bentuk pemerintahan kontemporer, maka harus

memahami peran yang dimainkan oleh institusi.38

Dalam menguraikan peran lembaga dan teori kelembagaan dalam tata kelola

(governance), B. Guy Peters akan melakukan dua tugas utama. Yang pertama

adalah menguraikan cara teori kelembagaan menjelaskan bagaimana tata kelola

disediakan dan peran struktur formal dalam menyediakan komoditas penting bagi

masyarakat dan ekonomi. Tugas kedua adalah bergerak melampaui gagasan formal

lembaga dan memeriksa peran struktur yang kurang formal dalam tata kelola.

Meskipun tidak memiliki formalisasi hukum dari beberapa lembaga yang terlibat

dalam pemerintahan, lembaga informal ini merupakan mekanisme penting untuk

memberikan pengarahan. Struktur kelembagaan informal perlu dipahami dengan

sendirinya tetapi juga melalui interaksinya dengan struktur formal.39

Keunggulan utama dari pendekatan kelembagaan adalah bahwa ia harus,

setidaknya pada prinsipnya, fokus pada organisasi dan lembaga dalam sektor publik

yang membuat dan melaksanakan kebijakan publik. Dalam “old institutionalism”,

fokus pada struktur pemerintahan formal seperti legislatif atau kabinet menekankan

peran institusi dalam pemerintahan. Sedangkan dalam “new institutionalism”,

memiliki potensi untuk menjelaskan pola tata kelola.40

Memahami peran institusi dalam pemerintahan membutuhkan beberapa

pertimbangan tentang sistem politik yang melaluinya pemerintahan disediakan.

Sistem politik terfragmentasi secara vertikal dan horizontal. Baik dimensi

fragmentasi horizontal maupun vertikal menghadirkan tantangan tata kelola, tetapi

juga menghadirkan peluang untuk membangun lembaga yang dapat

mengintegrasikan beragam aktor dan preferensi. Kapasitas untuk beradaptasi dan

menyesuaikan diri dengan keadaan yang berubah — lingkungan dan politik —

adalah pertanyaan sentral lainnya untuk penggunaan teori kelembagaan dalam

mempelajari tata kelola. Salah satu kebajikan yang dianggap baik dari lembaga

adalah bahwa mereka memberikan stabilitas, sedangkan dugaan keburukan adalah

38 B. Guy Peters, “Institutional theory”, dalam Handbook on Theories of Governance, ed.

Christopher Ansell dan Jacob Torfing (UK: Edward Elgar Publishing, 2016), hlm. 308 39 Ibid. 40 Ibid., hlm. 309

IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-28

SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA

bahwa mereka kaku dan menghadapi kesulitan dalam mengubah pola tata kelola

mereka. Oleh karena itu, Peters melakukan berbagai pendekatan terhadap

institusionalisme, dengan memperhatikan kapasitas lembaga yang adaptif dan

inovatif. Lebih lanjut, kapasitas untuk beradaptasi ini mungkin lebih nyata dalam

pembentukan struktur informal yang lebih atau kurang yang dapat melengkapi, atau

bahkan menggantikan, tindakan lembaga formal.41

Untuk tujuan pemeriksaan implikasi tata kelola dari teori kelembagaan, Peters

membahas lima perspektif alternatif tentang lembaga: sosiologis, pilihan rasional,

historis, empiris dan diskursif. Pendekatan ini memiliki beberapa fitur umum tetapi

juga memiliki perbedaan substansial, yang digabungkan dengan perhatian bersama

dengan peran struktur dalam mendefinisikan perilaku individu.42

1) Institusionalisme Sosiologis (Sociological Institutionalism)

Dalam sebagian besar analisis, terdapat satu versi teori kelembagaan dengan

latar belakang sosiologis yang kuat yang bergantung pada berbagai instrumen

normatif untuk melakukan kontrol atas, atau setidaknya untuk mengelola,

anggota lembaga. Logika internal dari pendekatan ini adalah preferensi

individu yang bergabung dalam suatu institusi dibentuk oleh institusi tersebut.

Oleh karena itu tindakan mereka dibentuk oleh nilai-nilai dan simbol di

dalamnya.43 Sementara instrumen normatif yang terlibat dalam versi

institusionalisme ini didiskusikan terutama sebagai alat untuk mengubah

perilaku individu, penekanan pada nilai juga dapat digunakan sebagai alat

untuk menghasilkan pemerintahan.

2) Institusionalisme Pilihan Rasional (Rational Choice Institutionalism)

Pendekatan institusi ini berfokus pada kapasitas institusi untuk menyelesaikan

aksi kolektif masalah. Untuk versi pilihan rasional dari institusionalisme,

instrumen utama yang tersedia untuk kontrol secara internal adalah aturan.

Aturan-aturan ini dirancang untuk mengatasi kepentingan pribadi individu,

atau mungkin mewakili cara-cara di mana para pelaku dapat menampung

41 Ibid. 42 Ibid. 43 Ibid., hlm. 310

IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-29

SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA

kepentingan pribadi orang lain serta diri mereka sendiri untuk membuat

keputusan yang dapat menghasilkan lebih banyak manfaat kolektif.44

Penekanan pada pengambilan keputusan dan kapasitas untuk menyelesaikan

beberapa jenis masalah sosial yang sulit memiliki relevansi yang jelas untuk

tata kelola. Memang, pendekatan terhadap institusi ini memiliki perhatian yang

lebih langsung pada tata kelola daripada versi sosiologis yang dibahas

sebelumnya. Sedangkan pendekatan sosiologis mengandung seperangkat

instrumen yang sangat kuat untuk mengontrol perilaku anggota lembaga

tertentu, namun fokusnya cenderung kurang pada masalah tata kelola.

Pendekatan pilihan rasional cenderung dimulai dengan kesulitan membuat

keputusan, dan terutama keputusan berkualitas tinggi, dalam menghadapi

hambatan keputusan tersebut. Seperti halnya pendekatan sosiologis, sebagian

besar relevansi pendekatan pilihan rasional adalah untuk masalah tingkat mikro

dalam tata kelola. Demikian juga, penekanan pada pengambilan keputusan di

dalam lembaga cenderung berfokus pada lembaga tertentu daripada organisasi

dan lembaga yang lebih luas yang terlibat dalam pemerintahan. Perumusan

melibatkan penyatuan seperangkat aturan, insentif dan disinsentif, dan proses

itu merupakan inti dari pendekatan pilihan rasional.45

3) Institusionalisme Historis (Historical Institutionalism)

Dalam versi pendekatan institusionalis umum ini, institusi ditentukan sebagian

oleh ide-ide dan sebagian oleh persistensi ide-ide tersebut dalam kebijakan dan

struktur. Artinya, setelah dibuat, kebijakan atau organisasi di sektor publik

dikatakan dibentuk oleh "jalur ketergantungan" dan terus berjalan di jalur yang

ditentukan dalam "momen formatif" hingga dipaksa untuk berubah. Perspektif

institusionalis historis tampak kurang dapat digunakan sebagai alat untuk

memahami tata kelola tingkat makro, meskipun dengan sedikit perluasan

argumen dapat dibuat. Kerangka dasar institusionalisme historis relevan untuk

mempelajari sebagian besar elemen pembuatan kebijakan, dengan

pengecualian mungkin implementasinya. Perkembangan beberapa ide tentang

44 Ibid., hlm. 311 45 Ibid., hlm. 312

IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-30

SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA

perubahan kelembagaan dalam kerangka tersebut, bagaimanapun, membuka

analisis untuk lebih memikirkan perumusan kebijakan atau bahkan penetapan

tujuan.46

4) Institusionalisme Empiris (Empirical Institutionalism)

Dalam versi institusionalisme ini, gagasan tentang lembaga adalah akal sehat

salah satu struktur, tetapi pertanyaan yang sedang dijawab tetap menjadi

pertanyaan penting untuk tata kelola. Berbeda dengan pendekatan lain,

motivasi utama dari bentuk kelembagaan ini adalah analisis tata kelola tingkat

makro.47 Format kelembagaan seperti pemerintahan parlementer dan

presidensial dapat diharapkan memiliki pengaruh yang luas terhadap

pemerintahan, meskipun juga dengan beberapa pengaruh di tingkat mikro.

5) Institusionalisme Diskurif (Discursive Institutionalism)

Versi terakhir dari institusionalisme, sampai taraf tertentu mirip dengan

institusionalisme sosiologis dan historis, sebagian besar ditentukan oleh

gagasan. Kelembagaan diskursif berpendapat bahwa lembaga mencerminkan

wacana di antara anggota lembaga, dan antara lembaga dan lingkungannya.48

Sebagaimana dicatat, pendekatan diskursif memiliki beberapa kesamaan

dengan institusionalisme sosiologis tetapi berbeda dalam beberapa hal. Yang

terpenting adalah bahwa struktur normatif suatu lembaga dalam pendekatan

sosiologis cenderung mapan dan direplikasi melalui sosialisasi anggota baru,

dalam pendekatan diskursif norma lebih diperebutkan. Di sisi lain,

bagaimanapun, wacana koordinatif dalam model lembaga ini merupakan

keseimbangan sementara, dan tunduk pada diskusi berkelanjutan di antara

anggota. Dalam konsepsi ini, lembaga lebih didefinisikan oleh wacana yang

berkelanjutan di antara para anggota daripada dengan keseimbangan yang

stabil dan serangkaian pernyataan yang disepakati tentang apa arti lembaga

tersebut. Seperti halnya perspektif sosiologis atau normatif tentang lembaga,

model diskursif lebih efektif dalam menjelaskan tata kelola tingkat mikro

46 Ibid., hlm. 313 47 Ibid., hlm. 314 48 Ibid., hlm. 315

IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-31

SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA

daripada dalam menangani tata kelola makro. Namun dalam kenyataannya,

konsepsi lembaga yang agak tidak kekal ini, berbeda dengan kebanyakan

lembaga lainnya, dapat mempersulit pemerintahan bahkan di tingkat mikro.

Sementara lembaga mungkin dikritik karena mungkin terlalu stabil untuk

beradaptasi secara memadai dengan tuntutan tata kelola yang berubah, versi

diskursif tampaknya tidak cukup permanen untuk memberikan arahan

berkelanjutan.49

Lembaga Informal untuk Tata Kelola (Informal Institutions for Governance)

Istilah “lembaga informal” mungkin tampak sebagai oksimoron, dan untuk

konsepsi lembaga yang lebih tradisional, istilah tersebut memang demikian. Untuk

memeriksa pola-pola tata kelola yang lebih informal, namun melembaga ini, Peters

menggunakan konsep “struktur tata kelola” (governance structure). Konsep ini

sejalan dengan “struktur implementasi” yang telah digunakan untuk mempelajari

implementasi kebijakan yang melibatkan berbagai aktor. Struktur ini mewakili pola

interaksi yang stabil di antara sejumlah organisasi, lembaga, dan bahkan pelaku

individu baik di sektor publik maupun swasta.50

Struktur ini akan memenuhi setidaknya definisi minimalis dari institusi

dengan memiliki interaksi berpola selama periode waktu tertentu, dan struktur

berinteraksi untuk memberikan tata kelola. Tata kelola yang diberikan biasanya

dalam satu area kebijakan tetapi pada prinsipnya dapat diperluas untuk mencakup

domain kebijakan yang lebih luas. Struktur tata kelola ini juga akan memenuhi

kriteria yang lebih ketat untuk institusi. Hal ini paling jelas berlaku untuk perspektif

normatif atau sosiologis. Dalam pandangan ini, pelembagaan melibatkan

penanaman struktur dengan nilai-nilai. Struktur tidak hanya berfungsi tetapi juga

mulai memiliki arti bagi anggota struktur itu.51 Para anggota ini, sekali lagi apakah

individu atau organisasi dalam hal ini, percaya bahwa pola interaksi mereka penting

bagi mereka, dan juga bagi masyarakat. Ini bukanlah hubungan mekanis sederhana

49 Ibid. 50 Ibid., hlm. 316 51 Ibid.

IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-32

SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA

yang diperlukan untuk melakukan tugas, melainkan bagian penting dari kehidupan

profesional dan bahkan pribadi mereka.

Dalam konsepsi pilihan rasional lembaga, struktur tata kelola juga dapat

dengan mudah dimodifikasi untuk memenuhi kriteria lembaga. Jika sebuah

lembaga akan didefinisikan melalui seperangkat aturan dan / atau insentif bagi

anggotanya, yang dianggap menghasilkan perilaku yang diinginkan dari para

peserta, maka struktur tata kelola dapat dengan mudah dilihat sebagai sebuah

lembaga. Kesulitan nyata untuk konsepsi struktur tata kelola ini mungkin dalam

menciptakan kewenangan yang cukup untuk menegakkan aturan dan sumber daya

yang cukup untuk memberikan insentif yang memadai bagi peserta untuk mematuhi

aturan struktur yang muncul.

Setelah membenarkan konseptualisasi struktur pemerintahan sebagai

institusi, selanjutnya harus mencoba memahami bagaimana mereka berfungsi.

Mungkin jawaban yang paling mendasar adalah jawaban fungsionalis bahwa ada

kebutuhan yang diakui untuk struktur ini. Struktur formal yang ada akan dianggap

tidak mampu melakukan tugas yang dipersyaratkan, atau melaksanakannya dengan

cara yang dianggap paling tepat. Karena itu, konsepsi fungsionalis dapat berfungsi

sebagai dasar pembentukan struktur tata kelola, seperti halnya untuk lembaga yang

lebih formal, cara pelembagaan struktur dapat dianggap agak berbeda, dan oleh

karena itu dapat melibatkan dinamika yang berbeda. Misalnya, sebagaimana telah

dikemukakan, perspektif normatif tentang pelembagaan melibatkan penanaman

nilai di antara anggota. Di sisi lain, perspektif pilihan rasional cenderung

melibatkan lebih banyak desain yang berasal dari beberapa pemimpin atau

pemimpin yang diduga mencoba menciptakan struktur. Asumsinya adalah bahwa

perancang seperti itu akan membuat aturan dan struktur insentif yang akan

memotivasi peserta untuk berfungsi dengan cara yang diinginkan.

Selain perspektif fungsionalis dan desain dasarnya tentang pembentukan

struktur tata kelola, mungkin juga muncul logika untuk pembentukan lembaga,

terutama lembaga informal. Mengingat asumsi informalitas dalam struktur tata

kelola, lembaga dapat muncul dari interaksi yang kurang lebih otonom di antara

para pelaku, misalnya dalam interaksi kebijakan pasar tenaga kerja antara serikat

IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-33

SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA

pekerja, penyedia pendidikan, bisnis dan organisasi pasar tenaga kerja sektor

publik. Dalam perspektif ini lembaga akan berkembang melalui tawar-menawar,

negosiasi dan interaksi berkelanjutan.

Agak membingungkan, beberapa, jika bukan sebagian besar, aktor yang

terlibat dalam struktur tata kelola adalah lembaga formal itu sendiri. Dalam analisis

lembaga informal ini, informalitas merujuk terutama pada tidak adanya struktur

formal, bahkan ketika ada pola interaksi yang berkelanjutan dan aturan informal

yang dipahami secara luas (dan diikuti).52 Sampai taraf tertentu, struktur tata kelola

informal ini mampu melakukan tugas tata kelola yang tidak begitu sesuai dengan

lembaga formal sektor publik. Misalnya, kebijakan sosial mungkin lebih mudah

disampaikan oleh struktur tata kelola informal daripada oleh birokrasi publik yang

mungkin tampak kaku dan mengancam banyak penerima potensial.

Struktur tata kelola informal ini dapat berdiri dalam berbagai hubungan

dengan lembaga pemerintahan formal. Hubungan tersebut tergantung pada dua

karakteristik lembaga formal dan mitra informal potensial mereka. Yang pertama

adalah efektivitas lembaga formal. Dapatkah aktor pemerintah formal menyediakan

tata kelola di bidang kebijakan yang menjadi tanggung jawab mereka secara

nominal? Dalam versi asli argumen ini, mereka menggunakan sifat hasil sebagai

variabel kedua. Namun, dalam bab ini, Peters menggunakan sejauh mana tujuan

aktor formal dan informal diselaraskan sebagai variabel kedua. Peters telah

mencatat sejauh mana penetapan tujuan sangat penting untuk tata kelola, dan di sini

ada dua rangkaian tujuan yang mungkin atau mungkin tidak kompatibel.

Tabel 1.7 Tipologi institusi informal

Goals Effective formal institutions Ineffective formal institutions

Convergent Complementary Substitutive

Divergent Accommodating Competing

Sumber: Adaptasi dari Helmke dan Levitsky

52 Ibid., hlm. 317

IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-34

SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA

Interaksi kedua variabel ini menghasilkan empat kemungkinan jenis

hubungan antara pelaku tata kelola formal dan informal. Keempat pola hubungan

tersebut semuanya berasumsi bahwa ada struktur informal yang layak, yang dapat

memberikan alternatif bagi lembaga formal yang beroperasi dalam domain

kebijakan. Paling ekstrim struktur informal pada dasarnya menggantikan formal,

sementara di semua yang lain mereka hidup berdampingan dan setidaknya dua akan

bekerja sama untuk memastikan bahwa tata kelola semacam itu disediakan. Seperti

yang telah dikemukakan, dalam pemikiran tradisional tentang lembaga dan

mengatur negara adalah pusatnya, tetapi perpaduan antara formal dan informal ini

sekarang umum jika tidak hampir universal.

Dalam penjelasan Peters terkait institutional theory, meskipun

kecenderungannya untuk memikirkan lembaga secara formal, ada juga struktur

kelembagaan informal yang penting atau bahkan esensial untuk pemerintahan.53

Struktur informal ini melibatkan hubungan antara aktor sektor publik dan / atau

swasta yang dapat melengkapi kegiatan lembaga formal yang terlibat dalam

pemerintahan, atau mungkin mencoba untuk menggantikan diri mereka dengan

lembaga pemerintahan formal. Karenanya, segala macam lembaga sangat penting

untuk mengatur, dan tugas teoretisnya adalah memahami keragaman hubungan dan

dampaknya terhadap masyarakat.

1.5.2 Tata Kelola Adaptif (Adaptive Governance)

1.5.2.1 Definisi Tata Kelola Adaptif (Adaptive Governance)

Hurlbert berpendapat bahwa tata kelola adaptif (adaptive governance)

merupakan sebuah tata kelola yang memiliki tujuan untuk meningkatkan kapasitas

adaptasi seseorang dalam rangka mengatasi dan mengurangi risiko serta kerentanan

mereka terhadap bencana. Selain itu tata kelola adaptif juga bertujuan untuk

53 Ibid., hlm. 318

IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-35

SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA

meningkatkan kapasitas adaptif lembaga.54 Fitur penting tata kelola adaptif adalah

partisipasi dan pembelajaran pemangku kepentingan.55

Selanjutnya Hurlbert merangkum pemikiran beberapa tokoh seperti Berkes

dan Folke, Gunderson and Holling, Folke et al., dan Olsson et al. bahwa tata kelola

adaptif merupakan berbagai sistem politik, sosial, ekonomi, dan administrasi yang

mengembangkan, mengelola, dan mendistribusikan sumber daya dengan cara yang

meningkatkan ketahanan melalui manajemen masalah berbasis kolaboratif,

fleksibel, dan berbasis pembelajaran di berbagai skala yang berbeda.56

Tata kelola adaptif menyoroti saling ketergantungan dari praktik inovatif

dalam sains, kebijakan, dan struktur pengambilan keputusan. Secara khusus, tata

kelola adaptif mengintegrasikan ilmu pengetahuan dan jenis pengetahuan lainnya

ke dalam kebijakan untuk memajukan kepentingan bersama dalam konteks tertentu

melalui struktur pengambilan keputusan terbuka.57 Ilmu pengetahuan berupa

pengetahuan lokal dan lainnya yang diperlukan untuk mendukung kebijakan.

Kebijakan yang dimaksudkan yaitu kebijakan sehat yang mengintegrasikan

berbagai kepentingan jika memungkinkan atau menyeimbangkannya jika perlu.

Selanjutnya inisiatif berbasis komunitas lokal dapat melengkapi struktur

pengambilan keputusan yang terfragmentasi, dengan mengintegrasikan atau

menyeimbangkan banyak kepentingan birokrasi yang bersaing dan kelompok

terorganisir untuk memajukan kepentingan mereka bersama. Tidak ada satu pun

otoritas pusat untuk memutuskan masalah-masalah penting.58

Brunner dan Lynch menyampaikan gagasan mereka dengan memahami

pemerintahan adaptif sebagai tindakan darurat di tingkat lokal yang secara longgar

berkoordinasi dengan tingkat pemerintahan yang lebih tinggi. Sistem pemerintahan

ini dapat membuat karakteristik yang lebih responsif terhadap perbedaan dan

54 Margot A. Hurlbert, Adaptive Governance of Disaster, Water Governance – Concepts, Methods,

and Practice, (Switzerland: Springer International Publishing AG, 2018), hlm. 23 55 Ibid., hlm. 21 56 Ibid., hlm. 25 57 Ronald D. Brunner, Toddi A. Steelman, Lindy Coe-Juell, Christina M. Cromley, Christine M.

Edwards, dan Donna W. Trucker (eds.), Adaptive Governance: Integrating Science, Policy, and

Decision Making, (New York: Columbia University Press, 2005), hlm. viii 58 Ibid., hlm. 7

IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-36

SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA

perubahan di lapangan, bereaksi terhadap berbagai jenis dampak perubahan iklim,

dan dapat meningkatkan kerentanan orang terhadap perubahan iklim.59

Tata kelola adaptif telah disarankan sebagai pendekatan yang sesuai untuk

pengelolaan ekosistem dalam perubahan lingkungan karena tata kelola adaptif

mampu membangun kapasitas untuk mengatur berbagai macam layanan ekosistem

dan merespons perubahan ekosistem yang luas serta memungkinkan adanya

kolaborasi berbagai kepentingan, sektor, dan pengelolaan kelembagaan.60

Hasil diskusi dari Martin Brown Munene, Asa Gerger Swartling dan Frank

Thomalla dalam artikel yang berjudul “The Sendai Framework: A catalyst for the

transformation of disaster risk reduction through adaptive governance?”

menjelaskan bahwa konsep tata kelola adaptif muncul dari manajemen lingkungan

dan penelitian ketahanan sebagai upaya untuk mencapai sistem tata kelola yang

fleksibel, multi-level, inklusif yang dapat menangani secara efektif dengan sistem

sosial-ekologis yang kompleks, dalam menghadapi ketidakpastian dan bahkan

perubahan mendadak.61 Pendekatan tata kelola adaptif dapat membantu pemangku

kepentingan yang terlibat dalam pengurangan risiko bencana untuk lebih

memahami kompleksitas ini dengan memupuk kolaborasi dan pertimbangan

berbagai perspektif, disiplin, jenis pengetahuan, pengalaman dan tindakan yang

mungkin dilakukan.62

Berdasarkan hasil tinjauan dari Riyanti Djalante, Cameron Holley, dan Frank

Thomalla, mereka menyampaikan pendapatnya yaitu meskipun tidak ada model

adaptive governance yang tunggal, masing-masing pengelompokan teori

menekankan pendekatan untuk mengatur beberapa atau semua prinsip-prinsip

berikut: institusi polisentris dan multilayer, partisipasi dan kolaborasi,

pengorganisasian dan jaringan, serta pembelajaran dan inovasi.63

59 Syarini, Op.Cit., hlm. 15 60 Lisen Schultz, Carl Folke, Henrik Osterblom, dan Per Olsson, “Adaptive governance, ecosystem

management, and natural capital”, PNAS, Vol. 112 No. 24, 2015, hlm. 7369 61 Martin Brown Munene, Asa Gerger Swartling dan Frank Thomalla, “The Sendai Framework: A

catalyst for the transformation of disaster risk reduction through adaptive governance?”,

Discussion Brief, Stockholm Environment Institute, 2016, hlm. 1 62 Ibid. 63 Djalante et al., Loc.Cit.

IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-37

SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA

Pada tabel 1.7 di bawah ini peneliti mengutip beberapa definisi tata kelola

adaptif (adaptive governance) yang berasal dari kumpulan definisi sejumlah tokoh

yang tercantum pada artikel jurnal milik Brian C. Chaffin, Hannah Gosnell dan

Barbara A. Cosens yang berjudul “A decade of adaptive governance scholarship

synthesis and future directions”.64

Tabel 1.8 Definisi tata kelola adaptif

Tahun Nama Tokoh Definisi

1999 Gunderson Membangun ketahanan sistem ekologis

dan fleksibilitas dalam sistem sosial

yang berdampingan.

2003 Dietz et al. Mengelola beragam interaksi

lingkungan manusia dalam menghadapi

ketidakpastian yang ekstrim.

2004 Walker et al. Proses menciptakan kemampuan

beradaptasi dan transformabilitas dalam

sistem sosial-ekologis; evolusi aturan

yang memengaruhi ketahanan selama

pengorganisasian diri.

2005 Brunner et al. Jenis pengetahuan ilmiah dan lainnya

diintegrasikan ke dalam kebijakan yang

memajukan kepentingan bersama dalam

tata kelola lingkungan melalui struktur

pengambilan keputusan terbuka yang

diperjuangkan oleh inisiatif berbasis

masyarakat.

2005 Folke et al. Konteks sosial diperlukan untuk

mengelola ketahanan dalam sistem

sosial-ekologis.

2005 Scholz dan Stiftel Evolusi lembaga pemerintahan baru

yang mampu menghasilkan solusi

kebijakan jangka panjang dan

berkelanjutan untuk masalah jahat

melalui upaya terkoordinasi yang

melibatkan sistem pengguna,

pengetahuan, otoritas, dan kepentingan

terorganisir yang sebelumnya

independen.

2006 Olsson et al. Dietz et al. 2003; Folke et al. 2005;

Rezim tata kelola lingkungan yang dapat

64 Brian C. Chaffin, Hannah Gosnell dan Barbara A. Cosens, “A decade of adaptive governance

scholarship synthesis and future directions”, Ecology and Society, Vol. 19 No. 3, 2014, hlm. 3-4

IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-38

SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA

menangani ketidakpastian dan

perubahan.

2006 Folke Folke et al. 2005, tetapi menambahkan

bahwa sistem tata kelola adaptif

memungkinkan untuk pengelolaan

layanan ekosistem penting melalui

transformasi dalam tata kelola sistem

sosial-ekologis (yang bertentangan

dengan adaptasi saja).

2006 Gunderson dan Light Dietz et al. 2003, Folke et al. 2005;

Integrasi ilmu pengetahuan, kebijakan

dan pengambilan keputusan dalam

sistem yang mengasumsikan dan

mengelola perubahan yang bertentangan

dengan itu.

2007 Olsson et al. Folke et al. 2005; bentuk dari tata kelola

yang cocok untuk berurusan dengan

sistem sosial-ekologis yang kompleks

dan meningkatkan kesesuaian antara

lembaga dan dinamika ekosistem.

2009 Pahl-Wostl Dietz et al. 2003, Folke et al. 2005;

adaptive governance sangat penting

untuk mengatur sistem sosial-ekologis

pada saat perubahan tiba-tiba.

Sumber: Brian C. Chaffin, Hannah Gosnell and Barbara A. Cosens, 2014

Berdasarkan pemaparan sebelumnya dapat diketahui bahwa dalam tata kelola

adaptif, Hurlbert, Brunner dan Lynch, serta para ahli lainnya menyebutkan bahwa

keterlibatan pemangku kepentingan di berbagai sektor sangat penting. Dalam hal

ini, governance stakeholder (pemerintah, kelompok masyarakat, akademisi, media,

dan dunia usaha) memegang peran besar dalam tata kelola adaptif.

Kemudian pendapat para ahli yang telah disajikan sebelumnya juga secara

spesifik menjelaskan bahwa tata kelola adaptif sangat menekankan pada proses

adaptasi dengan meningkatkan ketahanan. Ketahanan dapat diwujudkan dengan

partisipasi, kolaborasi, dan pembelajaran dari para pemangku kepentingan.

Pemikiran para ahli juga mengarah pada satu ciri khusus bahwa tata kelola

adaptif bertujuan untuk mengurangi risiko pada ketidakpastian dan perubahan yang

mendadak secara efektif. Dalam konteks penelitian ini, bencana alam merupakan

IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-39

SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA

wujud dari ketidakpastiaan dan perubahan mendadak. Maka tata kelola adaptif

bertujuan mengurangi risiko bencana secara efektif.

Berdasarkan penjelasan para ahli, maka dapat disimpulkan bahwa tata kelola

adaptif (adaptive governance) merupakan interaksi antara governance stakeholder

(pemerintah, kelompok masyarakat, akademisi, media, dan dunia usaha) untuk

meningkatkan ketahanan dalam mengurangi risiko bencana secara efektif.

1.5.2.2 Karakteristik Adaptive Governance

Riyanti Djalante, Cameron Holley, dan Frank Thomalla menuliskan dalam

artikel jurnal yang berjudul “Adaptive Governance and Managing Resilience to

Natural Hazards” bahwa terdapat empat karakteristik tata kelola adaptif (adaptive

governance) yang penting dalam meningkatkan ketahanan masyarakat terhadap

bencana alam.65 Empat karakteristik tersebut yaitu institusi polisentris dan

multilayer (polycentric and multilayered institutions), partisipasi dan kolaborasi

(participation and collaboration), pengorganisasian diri dan jaringan (self-

organization and networks), dan pembelajaran dan inovasi (learning and

innovation) yang akan dijelaskan lebih rinci sebagai berikut.

Gambar 1.6 Keterkaitan antara karakteristik utama tata kelola adaptif dalam

membangun ketahanan

Sumber: Djalante et al., 2011

65 Djalante et al., Loc.Cit

IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-40

SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA

Gambar di atas menunjukkan keterkaitan antara karakteristik utama tata

kelola adaptif yang membantu membangun ketahanan terhadap bencana alam.

Panah garis yang padat menunjukkan hubungan utama di antara karakteristik.

Institusi polisentris dan multilayer adalah langkah kunci dalam arah tata kelola

adaptif. Pengaturan ini, bersama dengan kepemimpinan, kepercayaan, dan modal

sosial, dapat meningkatkan kemungkinan untuk partisipasi dan kolaborasi.

Pengorganisasian diri dapat dilakukan secara formal atau informal oleh arena sosial

mana pun yang dibentuk dan dipraktikkan dalam berbagai bentuk jaringan. Jaringan

ini pada gilirannya membantu meningkatkan pembelajaran dan inovasi, yang dapat

menciptakan kondisi yang memungkinkan untuk membangun ketahanan. Garis

putus-putus mewakili hubungan tidak langsung. Keberadaan lembaga polisentris

dan multilayer membantu mendorong pengorganisasian diri dan pembentukan

jaringan dan sebaliknya, sementara partisipasi dan kolaborasi dapat lebih

mempercepat pembelajaran dan inovasi.66

a. Institusi Polisentris dan Multilayer (Polycentric and Multilayered

Institutions)

Berdasarkan hasil tinjauan dari Riyanti Djalante, Cameron Holley, dan Frank

Thomalla, institusi polisentris dan multilayer memiliki potensi yang sangat besar

dalam mempengaruhi kapasitas untuk mengelola ketahanan terhadap bencana

alam.67 Institusi polisentris dapat dipahami seperti berbagai aktor non negara yang

mampu melaksanakan fungsi administratif, pengaturan, manajerial, dan mediasi

yang sebelumnya dilakukan oleh pemerintah pusat.68

Dave Huitema, Erik Mostert, Wouter Egas, Sabine Moellenkamp, Claudia

Pahl-Wostl, dan Resul Yalcin menyampaikan bahwa publikasi tertua terkait

pemerintahan polisentris sangat peduli dengan kapasitas pemerintahan mandiri dari

masyarakat lokal.69 Hal ini diartikan sebagai kondisi masyarakat lokal yang

66 Djalante et al., Op.Cit., hlm. 4 67 Ibid., hlm. 4 68 Ibid 69 Dave Huitema, Erik Mostert, Wouter Egas, Sabine Moellenkamp, Claudia Pahl-Wostl, dan Resul

Yalcin, “Adaptive Water Governance: Assessing the Institutional Prescriptions of Adaptive (Co-)

IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-41

SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA

menghadapi masalah mereka sendiri serta keterampilan dan pengetahuan lokal yang

mereka miliki mampu menempatkan mereka pada posisi terbaik untuk mengatasi

masalah ini. Menurut pendapat Huitema dkk., sistem pemerintahan polisentris

seharusnya lebih tangguh dan lebih mampu mengatasi perubahan dan

ketidakpastian.70 Alasannya yaitu masalah dengan cakupan geografis yang berbeda

dapat dikelola pada skala yang berbeda. Selain itu sistem polisentris memiliki

tingkat tumpang tindih dan redudansi tinggi yang dapat mengurangi kerentanan.

Jika terdapat satu unit yang gagal, maka unit yang lain mungkin akan mengambil

alih fungsinya. Pada akhirnya sejumlah besar unit memungkinkan untuk

bereksperimen dengan pendekatan baru sehingga unit-unit tersebut memiliki

kesempatan untuk saling belajar.

Sendai Framework for Disaster Risk Reduction 2015-2030 secara jelas

menyebutkan bahwa tata kelola risiko bencana yang efektif melibatkan banyak

pelaku pada tingkatan yang berbeda.71 Sebagai konsekuensinya, para pemangku

kepentingan di setiap tingkat diberikan peran dan tanggung jawab yang berbeda.

Pada dokumen Sendai Framework bagian peran stakeholder mengamanatkan

bahwa pengurangan risiko bencana merupakan tanggung jawab bersama antara

pemerintah dan stakeholder terkait dalam pelaksanaan kerangka kerja di tingkat

lokal, nasional, regional dan global.72

Institusi yang bersifat polisentris dan multilayer memungkinkan

keberagaman sosial antar lembaga untuk diberdayakan sehingga menghasilkan

solusi kolektif untuk masalah lingkungan lokal yang muncul.73

Management from a Governance Perspective and Defining a Research Agenda”, Ecology and

Society Vol.14 No.1, 2009, hlm. 3 70 Ibid 71 Munene, et al., Op.Cit., hlm. 4 72 Sendai Framework for Disaster Risk Reduction 2015-2030, Badan Nasional Penanggulangan

Bencana, 2015, hlm. 57 73 Syarini, Op.Cit., hlm. 20

IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-42

SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA

V. Ostrom et al. yang menjelaskan bahwa sistem politik polisentris terdiri

dari74:

1) Banyak unit otonom yang secara formal independen satu sama lain

2) Memilih untuk bertindak dengan cara mempertimbangkan orang lain

3) Melalui proses kerja sama, kompetisi, konflik, dan resolusi konflik.

Berdasarkan pendapat Ostrom tersebut, Keith Carlisle and Rebecca L. Gruby

memodifikasi dengan mengusulkan dua atribut sistem pemerintahan polisentris,

diantaranya yaitu sebagai berikut75:

1) Berganda, pusat pengambilan keputusan yang tumpang tindih dengan beberapa

tingkat otonomi

Carlisle dan Gruby menggunakan istilah “pusat pengambilan keputusan”

untuk menggantikan kata “unit” pada pendapat V. Ostrom. Dengan demikian, pusat

pengambilan keputusan dalam sistem pemerintahan polisentris tidak terbatas pada

badan pemerintahan formal. Tata kelola polisentris membutuhkan kombinasi yang

kompleks dari berbagai tingkatan organisasi, mulai dari sektor publik, swasta,

asosiasi sukarela, dan organisasi berbasis masyarakat yang memiliki bidang

tanggung jawab dan kapasitas fungsional yang tumpang tindih. Termasuk di

dalamnya perlu melibatkan peran perempuan. Perempuan adalah bagian penting

dari proses perencanaan untuk mitigasi dan respon risiko bencana, meningkatkan

perencanaan bencana dengan perspektif berbeda yang seringkali berfokus pada

kebutuhan masyarakat dan kelompok rentan.76 Perempuan lebih peka terhadap

kebutuhan masyarakat. Perempuan lebih memperhatikan hal detail dan

kesejahteraan sosial masyarakat. Mereka mengkhawatirkan keselamatan anak-

anak, orang tua, dan keluarga yang tidak mampu. Tanggapan laki-laki biasanya

diarahkan pada pertanian dan infrastruktur dan dampak dari praktik pertanian yang

tidak berkelanjutan di desa.77

74 Keith Carlisle dan Rebecca L. Gruby, “Polycentric Systems of Governance: A Theoretical Model

for the Commons”, Policy Studies Journal Vol.47 No.4, 2019, hlm. 931 75 Ibid., hlm. 932-935 76 Rebecca Zorn, “Women have a role in Disaster Risk Reduction”,

(https://www.undp.org/content/undp/en/home/blog/2015/3/9/In-Lao-PDR-women-have-a-role-in-

Disaster-Risk-Reduction-/, Diakses pada 13 Oktober 2020, 2015) 77 Ibid.

IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-43

SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA

Menurut pandangan dari Carlisle dan Gruby, cara terbaik untuk

membayangkan sistem pemerintahan polisentris bukanlah sebagai jaringan terpisah

yang rapi dan statis maupun pusat-pusat pengambilan keputusan yang terhubung.

Alih-alih, ini adalah jaringan pusat pengambilan keputusan yang padat dan

berkembang — beberapa sementara dan lainnya relatif tetap — dan mendukung

aktor dari berbagai sektor dan domain.

Selanjutnya kata “tumpang tindih” dalam atribut ini dimaksudkan untuk

menggambarkan yurisdiksi atau domain pusat pengambilan keputusan, yang

merupakan bagian integral dari sistem pemerintahan polisentris. Tumpang tindih

dapat diakibatkan oleh peletakan pusat pengambilan keputusan yang beroperasi di

berbagai tingkatan atau yurisdiksi ketika mereka berbagi kapasitas fungsional atau

bidang tanggung jawab tertentu sehingga memungkinkan mereka untuk mengetahui

lembaga mana yang dipekerjakan oleh orang lain telah berhasil.

Pertanyaan yang masuk akal mengenai sistem pemerintahan polisentris

adalah yaitu berapa banyak pusat pengambilan keputusan yang dibutuhkan. Hasil

kajian Carlisle dan Gruby menunjukkan bahwa mencapai keseimbangan dan

perwakilan dalam pengambilan keputusan juga cenderung lebih penting daripada

jumlah pusat pengambilan keputusan. Akhirnya, otonomi atau kemandirian dalam

pengambilan keputusan juga merupakan karakteristik mendasar dari sistem

pemerintahan polisentris. Otonomi menyiratkan bahwa pusat pengambilan

keputusan bertindak atas nama mereka sendiri, tanpa koordinasi terpusat.

2) Memilih untuk bertindak dengan cara mempertimbangkan orang lain melalui

proses kerja sama, kompetisi, konflik, dan resolusi konflik

Secara umum, ini berarti bahwa pusat pengambilan keputusan, bahkan jika

secara formal independen satu sama lain, mendasarkan keputusan mereka sebagian

pada tindakan, tidak adanya tindakan atau pengalaman dari anggota lain dari sistem.

Dalam mempertimbangkan satu sama lain, pusat pengambilan keputusan dan aktor

pendukung lainnya dalam sistem pemerintahan berinteraksi dalam proses kerja

sama, persaingan, konflik, dan resolusi konflik. Proses-proses ini dapat mengarah

pada kecenderungan pengorganisasian sendiri sejauh pusat-pusat pengambilan

keputusan memiliki "insentif untuk menciptakan atau melembagakan pola-pola

IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-44

SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA

hubungan yang teratur yang sesuai". Sistem tata kelola yang mengatur diri sendiri

mampu bertahan dan beradaptasi tanpa memerlukan perencanaan atau arahan pusat

atau luar.

Selanjutnya Carlisle dan Gruby memahami kerja sama sebagai kategori luas

yang melibatkan aksi bersama sukarela yang mencakup proses seperti kolaborasi

dan usaha kontrak. Kerja sama sangat penting untuk fungsionalitas sistem

pemerintahan, karena pusat pengambilan keputusan individu mungkin tidak

mampu secara efektif atau efisien menghasilkan barang dan jasa tertentu atau

mengatasi masalah tertentu secara mandiri. Namun, melalui proses kerja sama,

mereka mungkin dapat meningkatkan kapasitas kolektif mereka atau untuk

melakukan outsourcing fungsi ke pusat pengambilan keputusan yang lebih mampu

atau aktor pendukung. Poin ini mendasar untuk klaim dalam V. Ostrom et al. (1961)

bahwa sistem pemerintahan polisentris mungkin mampu berkinerja baik atau lebih

baik daripada sistem monosentris. Misalnya, pusat pengambilan keputusan yang

tidak memiliki sumber daya atau kemampuan untuk menghasilkan pengetahuan

yang diperlukan untuk membuat keputusan yang efektif mengenai sumber daya

alam dapat mengalihkan produksi ke produsen yang lebih mampu atau efisien,

seperti tingkat pemerintahan yang lebih tinggi, ilmuwan penelitian, atau pengguna

sumber daya lokal.

Sementara proses kompetitif dapat mengarah pada kecenderungan

pengorganisasian diri yang menguntungkan, persaingan yang ketat atas masalah

distribusi dapat merusak kerja sama dan menghambat kapasitas sistem tata kelola

untuk pengaturan sendiri. Ini menyoroti pentingnya merancang lembaga untuk

mengelola atau meminimalkan persaingan atas sumber daya, dan ini menunjukkan

perlunya mekanisme resolusi konflik yang efektif. Mempertahankan kemampuan

untuk menyelesaikan konflik sangat penting dan resolusi konflik mungkin sama

pentingnya seperti alasan untuk merancang lembaga tata kelola sumber daya

sebagai keprihatinan atas sumber daya.

Dari penjelasan di atas, institusi polisentris dan multilayer ditandai dengan

keterlibatan para stakeholder pada tingkatan yang berbeda. Meraka memiliki peran

dan tanggung jawab masing-masing untuk mengatasi masalah yang terjadi. Dalam

IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-45

SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA

konteks penelitian ini, institusi polisentris dan multilayer dipahami sebagai

keterlibatan para stakeholder pada tingkatan yang berbeda sehingga mampu

menghasilkan solusi kolektif untuk menyelesaikan permasalahan bencana lokal

yang muncul. Para stakeholder bertindak sesuai peran dan tanggung jawabnya

masing-masing.

b. Partisipasi dan Kolaborasi (Participation and Collaboration)

Sendai Framework for Disaster Risk Reduction 2015-2030 menyampaikan

pesan pada berbagai tingkatan aktor untuk “berkoordinasi” dan “terlibat” dalam tata

kelola risiko, masing-masing mengambil dari keunggulan kompetitifnya, untuk

menciptakan sinergi, bahkan jika tanggung jawab keseluruhan untuk pengurangan

risiko bencana tetap berada di tangan negara. Kata-kata “partisipasi” dan

“kolaborasi” digunakan beberapa kali dalam kerangka kerja, seperti istilah yang

berhubungan dan bentuk sinonim, diantaranya “engagement”, “involvement”,

“participate”, dan sebagainya.78

Huitema et al. mendefinisikan partisipasi yang terkait “partisipasi publik”

dengan merujuk pada kolaborasi antara pemangku kepentingan pemerintah dan

non-pemerintah.79 Partisipasi publik akan meningkatkan kualitas pengambilan

keputusan dengan membuka proses pengambilan keputusan dan memanfaatkan

lebih baik informasi dan kreativitas yang tersedia di masyarakat. Selain itu,

partisipasi publik akan meningkatkan pemahaman publik tentang isu-isu

manajemen yang dipertaruhkan, membuat pengambilan keputusan lebih transparan,

dan mungkin merangsang berbagai badan pemerintah yang terlibat untuk

mengoordinasikan tindakan mereka lebih banyak untuk memberikan tindak lanjut

serius terhadap input yang diterima. Akhirnya, partisipasi publik dapat

meningkatkan demokrasi. Partisipasi publik akan menjadi keharusan setiap kali

pemerintah tidak memiliki sumber daya yang cukup (informasi, keuangan,

kekuasaan, dll.) untuk mengelola masalah secara efektif.80

78 Munene et al., Loc.Cit. 79 Huitema et al., Op.Cit., hlm. 5 80 Ibid.

IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-46

SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA

Djalante et al. menjelaskan bahwa kolaborasi dapat terjadi dengan cara yang

berbeda dan melibatkan aktor yang berbeda. Hubungan kolaboratif mungkin

merupakan peristiwa sekali saja, tetapi banyak yang merupakan proses yang

berkelanjutan, di mana pemangku kepentingan merencanakan,

mengimplementasikan, memantau, dan menyesuaikan tindakan mereka dari waktu

ke waktu. Partisipasi dan kolaborasi memengaruhi kapasitas untuk mengelola

ketahanan.81

Berdasarkan hasil kajian Djalante et al., literatur tata kelola adaptif mengakui

berbagai faktor yang mempengaruhi partisipasi dan kolaborasi seperti pengalaman

kepemimpinan dan kualitas, biaya transaksi, sejauh mana solusi yang diperoleh dari

kolaborasi mengikat semua pihak yang berkolaborasi, bagaimana identitas dan

kesetiaan kelompok dibentuk dan diorganisir, pengalaman kolektif kolaborasi, dan

kekuatan atau pengaruh eksternal yang memengaruhi upaya kolaborasi. Penting

untuk menyadari bahwa kolaborasi tidak hanya butuh untuk menyatukan para aktor,

tetapi juga menjaga respons partisipatif dan kolaboratif dalam jangka panjang.

Pelajaran utama yang dapat diambil dari tata kelola adaptif adalah bagaimana agar

berhasil melibatkan semua pemangku kepentingan karena para relawan

membutuhkan dana yang harus sesuai untuk menggantikan waktu dan uang yang

telah mereka gunakan dalam kegiatan pengurangan risiko bencana.82

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya oleh Djalante et al. bahwa

kepemimpinan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi partisipasi dan

kolaborasi. Pemimpin merupakan agen perubahan dalam organisasi mereka dan

bertanggung jawab untuk membantu dan membimbing orang lain melalui

komunikasi yang tepat.83 Seorang pemimpin dapat didefinisikan sebagai orang

yang tidak pernah bereaksi, tetapi mengamati, memahami, menganalisis, dan

kemudian bertindak dengan tegas. Dia tidak akan langsung bereaksi pada hal-hal

kecil karena dia memiliki beberapa kualitas yang kuat dan karismatik.84

81 Djalante et al., Op.Cit., hlm. 5 82 Ibid., hlm. 6 83 R. Radhakrishna Pillai, Anil Kumar G, dan Krishnadas N., “Role of Self-managing Leadership in

Crisis Management: An Empirical Study on the Effectiveness of Rajayoga”, IIM Kozhikode Society

& Management Review Vol.4 No.1, 2015, hlm. 17 84 Ibid.

IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-47

SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA

Gubernur King dari Maine menjelaskan pendidikannya dalam manajemen

bencana yakni Di Asosiasi Gubernur Nasional Amerika Serikat, yang merupakan

asosiasi dari semua gubernur yang bertemu tiga kali setahun, memiliki sekolah

untuk gubernur baru. Selama tiga hari, dua puluh gubernur berpengalaman

menyampaikan apa yang diharapkan. Salah satu hal yang dipelajari oleh Gubernur

King yaitu seorang pemimpin tidak bisa keluar dari kondisi saat terjadi bencana

alam. Pemimpin harus berada di sana secara fisik. Peran penting seorang pemimpin

dalam situasi bencana adalah menjadi terlihat dan meyakinkan publik:

menunjukkan bahwa seseorang bertanggung jawab, bahwa seseorang peduli, bahwa

seseorang sedang berusaha memecahkan masalah. Gubernur king menambahkan

bahwa komunikasi dengan publik adalah salah satu bagian terpenting dari peran

sebagai seorang pemimpin. Ini lebih bersifat simbolis dan psikologis, yaitu

memberikan jaminan kepada orang-orang di saat krisis. Orang ingin merasa ada

yang merawat mereka.85

Selanjutnya sangat penting bagi seorang pemimpin untuk memberikan

informasi yang selengkap mungkin dengan cara yang paling cepat.86 Seperti contoh

Perdana Menteri Bouchard dan Andre Caille, presiden dan CEO Hydro-Québec,

memberikan konferensi pers yang disiarkan televisi setiap hari (terkadang dua kali

sehari) untuk menginformasikan orang-orang tentang keadaan dan apa yang sedang

dilakukan, untuk memberikan saran mengenai tindakan yang harus mereka ambil,

dan untuk meminta kerja sama mereka. Penduduk secara terus terang diberitahu

tentang besarnya masalah dan semua hal spesifik.87 Florent Gagne menyimpulkan

bahwa para pemimpin sengaja transparan dalam menangani bencana ini karena “hal

terburuk bagi masyarakat terjadi ketika mereka tidak mengetahuinya. Komunikasi

menenangkan orang dan membantu mereka menyesuaikan tindakan.”88

Berdasarkan pendapat para ahli yang telah dijelaskan sebelumnya, poin

penting dari partisipasi dan kolaborasi yaitu adanya keterlibatan dari para

85 Raymond Murphy, Leadership in Disaster: Learning for a Future with Global Climate Change,

(Canada: McGill-Queen’s University Press, 2009), hlm. 172-173 86 Ibid., hlm. 175 87 Ibid. 88 Ibid., hlm. 176

IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-48

SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA

stakeholder. Proses partisipasi dan kolaborasi dapat dilakukan secara berkelanjutan.

Kemudian tujuan utama dari partisipasi dan kolaborasi yaitu untuk menyelesaikan

suatu permasalahan bersama. Dalam konteks penelitian ini permasalahan yang

dihadapi bersama yaitu permasalahan bencana di tingkat lokal. Dari penjelasan

tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa partisipasi dan kolaborasi yaitu para

stakeholder terlibat dalam proses berkelanjutan untuk menyelesaikan permasalahan

bencana di tingkat lokal.

c. Pengorganisasian Diri dan Jaringan (Self-Organization and Networks)

Sendai Framework for Disaster Risk Reduction 2015-2030 menyebutkan

secara eksplisit “akademik, entitas ilmiah dan penelitian, jaringan, dan sektor

swasta”, yang kerjasamanya didorong untuk pengembangan maupun promosi

produk dan layanan pengurangan risiko bencana. Ada pengenalan organisasi batas

atau organisasi jembatan di berbagai tingkat yang memfasilitasi operasi antar-

tingkat. Istilah dan konsep terkait yang muncul dalam teks ini mencakup koordinasi,

komunikasi, mekanisme, strategi, rencana, prosedur, skema, kode, standar,

dukungan, panduan operasional, dan instrumen panduan.89

Bevaola Kusumasari menjelaskan bahwa dalam pengertian yang cukup luas,

jaringan dipahami sebagai hubungan timbal balik yang kekal antara individu,

kelompok, dan organisasi.90 Kusumasari juga mengutip pendapat dari Moynihan

yang menuturkan apabila terjadi bencana maka dibutuhkan suatu jaringan

antarorganisasi daripada hanya jaringan tunggal karena masing-masing organisasi

dimungkinkan masih minim dalam hal pengalaman, cara kerja, maupun peralatan

dan teknologi.91

Berdasarkan hasil kajian Djalante et al., jaringan diaktualisasikan melalui

organisasi batas (boundary organizations), organisasi penghubung (bridging

organizations), atau komunitas epistemik (epistemic communities). Organisasi

batas dideskripsikan sebagai wadah bagi banyak entitas (khususnya ilmuwan dan

89 Munene et al., Loc.Cit. 90 Bevaola Kusumasari, Manajemen Bencana dan Kapabilitas Pemerintahan Lokal, (Yogyakarta:

Penerbit Gava Media, 2014), hlm. 50 91 Ibid., hlm. 51

IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-49

SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA

pembuat kebijakan) untuk menciptakan pemahaman bersama tentang suatu masalah

dan bertanggung jawab kepada semua pihak yang terlibat. Organisasi penghubung

memiliki ruang lingkup yang lebih luas jika dibandingkan organisasi batas.

Organisasi penghubung terdiri dari penilai yang berperan penting dalam sistem

sosial-ekologis, LSM, dan komunitas ilmiah yang mampu mengakomodir segala

proses adaptasi. Komunitas epistemik merupakan sistem tata kelola yang terdiri dari

agen berbeda yang beroperasi pada tingkat yang berbeda, dibentuk melalui minat

yang sama dalam mempengaruhi dan menerapkan kebijakan. Bentuk organisasi

mandiri lainnya yang dikenal adalah arena transisi, di mana masalah dan

kemungkinan solusi secara sengaja dihadapkan dan kemudian diintegrasikan untuk

menghasilkan agenda inovatif dan visioner.92

Organisasi kemanusiaan, LSM, dan organisasi masyarakat sipil memiliki

peran yang sangat penting dalam pengurangan risiko bencana. Fleksibilitas yang

mereka miliki memungkinkan untuk bergerak lebih cepat dalam setiap tahapan

manajemen bencana karena tidak perlu melalui proses birokrasi. Pentingnya forum

multi-pemangku kepentingan dalam membantu menciptakan ruang untuk

kolaborasi dan pembelajaran juga telah diakui oleh UNISDR. Ada peningkatan

pengakuan tentang peran sistem tata kelola alternatif dalam menangani perubahan

dan risiko lingkungan global. Pemerintah daerah di seluruh dunia secara aktif

terlibat dalam jaringan inovatif untuk saling berbagi pengalaman seperti Cities for

Climate Protection oleh International Council for Local Environmental Initiatives

(ICLEI), Climate Resilience Cities oleh World Bank, dan the Resilient Cities

Campaign oleh UNISDR. Semua ini adalah jaringan kota di negara berkembang

dan maju yang menyadari bahwa aktor lokal adalah responden pertama yang

melawan dampak bencana alam atau risiko perubahan iklim. Dalam hal ini, kota

memiliki potensi besar dalam mengimplementasikan mitigasi dan adaptasi terhadap

perubahan iklim secara bersamaan, hubungan langsung di antara mereka

memungkinkan transfer pengetahuan dan memfasilitasi pembelajaran sosial.93

92 Djalante et al., Op.Cit., hlm. 7 93 Ibid., hlm. 8

IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-50

SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA

Berdasarkan pemikiran para ahli dapat digarisbawahi bahwa

pengorganisasian diri dan jaringan merupakan keterlibatan government stakeholder

dalam forum non government stakeholder. Para stakeholder tersebut melakukan

transfer pengetahuan dan pengalaman untuk adaptasi terhadap perubahan. Dalam

konteks penelitian ini, perubahan yang dimaksudkan yaitu kejadian bencana alam

di tingkat lokal.

Dari penjelasan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa pengorganisasian diri

dan jaringan merupakan keterlibatan government stakeholder dalam forum non

government stakeholder melalui proses transfer pengetahuan dan pengalaman

untuk adaptasi terhadap bencana alam di tingkat lokal.

d. Pembelajaran dan Inovasi (Learning and Innovation)

Tata kelola yang adaptif akan selalu melibatkan proses pembelajaran

berkelanjutan, memelihara kepercayaan, refleksi cara kerja dan struktur, dan

mengembangkan kolaborasi untuk mencapai tujuan bersama.94 Djalante et al.

menyebutkan bahwa salah satu istilah penting yang dikembangkan untuk

pembelajaran berkelanjutan adalah pembelajaran publik atau sosial. Pembelajaran

publik merupakan kemampuan dalam memahami konsekuensi tindakan individu

kepada publik. Sedangkan pembelajaran sosial termasuk dalam proses akumulasi

nilai dan pengalaman yang digunakan sebagai cara untuk mengatasi perubahan.95

Pembelajaran dipandang sebagai karakteristik positif dalam literatur

pengurangan risiko bencana. Pembelajaran sosial dapat dipromosikan melalui

pengembangan pengetahuan yang ada. Di banyak tempat, pengetahuan dan praktik-

praktik lokal telah membantu masyarakat mengatasi dan merespons bahaya alam

dan perubahan lingkungan selama beberapa generasi.96 Zein mengemukakan bahwa

masyarakat adalah pihak yang memiliki pengalaman langsung dalam kejadian

bencana sehingga pemahaman yang dimiliki menjadi modal bagi mereka untuk

94 Schultz et al., Op.Cit., hlm. 7373 95 Djalante et al., Op.Cit., hlm. 8 96 Ibid., hlm. 9

IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-51

SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA

mengurangi resiko bencana.97 Hardoyo et al. menyampaikan bahwa pemahaman

masyarakat berupa pengetahuan persepsi yang teraktualisasi dalam sikap dan atau

tindakan dalam menghadapi bencana.98

Berbicara mengenai praktik lokal, jelas berkaitan juga dengan kearifan lokal

suatu daerah karena tiap daerah pasti memiliki dan melakukan praktik lokal yang

belum tentu sama dengan daerah lainnya. Kearifan lokal adalah pandangan hidup

dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas

yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam

pemenuhan kebutuhan mereka. Dalam bahasa asing sering juga dikonsepsikan

sebagai kebijakan setempat “local wisdom” atau pengetahuan setempat “local

knowledge” atau kecerdasan setempat “local genious”.99

Menurut pendapat Rahyono, kearifan lokal dipahami sebagai kecerdasan

manusia yang dimiliki oleh kelompok etnis tertentu yang diperoleh melalui

pengalaman masyarakat.100 Artinya, kearifan lokal adalah hasil dari masyarakat

tertentu melalui pengalaman mereka dan belum tentu dialami oleh masyarakat yang

lain. Nilai-nilai tersebut akan melekat sangat kuat pada masyarakat tertentu dan

nilai itu sudah melalui perjalanan waktu yang panjang, sepanjang keberadaan

masyarakat tersebut.101

Kearifan lokal adalah warisan masa lalu yang berasal dari leluhur, yang tidak

hanya terdapat dalam sastra tradisional (sastra lisan atau sastra tulis) sebagai

refleksi masyarakat penuturnya, tetapi terdapat dalam berbagai bidang kehidupan

nyata, seperti filosofi dan pandangan hidup, kesehatan, dan arsitektur.102 Kearifan

lokal hanya akan abadi apabila kearifan lokal terimplementasikan dalam kehidupan

97 Muhammad Zein, Tesis: “A Community Based Approach to Flood Hazard and Vulnerability

Assessment in Flood Prone Area: A Case Study in Kelurahan Sewu, Surakarta City, Indonesia”,

(Yogyakarta, Universitas Gadjah Mada, 2010) 98 Su Rito Hardoyo, Muh Aris Marfai, Novi Maulida Ni’mah, Rizki Yustiana Mukti, Qori’atu Zahro,

dan Anisa Halim, Strategi Adaptasi Masyarakat dalam Menghadapi Bencana Banjir Pasang Air

Laut di Kota Pekalongan, (Yogyakarta: MPPDAS Universitas Gadjah Mada, 2010), hlm. 2 99 Ulfah Fajarini, “Peranan Kearifan Lokal dalam Pendidikan Karakter”, Sosio Didaktika Vol.1

No.2, 2014, hlm. 123-124 100 F. X. Rahyono, Kearifan Budaya dalam Kata, (Jakarta: Wedatama Widyasastra, 2009) 101 Fajarini, Loc.Cit. 102 Suyono Suyatno, “Revitalisasi Kearifan Lokal sebagai Upaya Penguatan Identitas

Keindonesiaan”, (http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/content/revitalisasi-kearifan-

lokal-sebagai-upaya-penguatan-identitas-keindonesiaan, Diakses pada 13 Oktober 2020)

IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-52

SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA

konkret sehari-hari sehingga mampu merespons dan menjawab arus zaman yang

telah berubah.103

Melalui pembelajaran mampu memantik munculnya suatu inovasi dari

masyarakat lokal yang terdampak bencana. Djalante et al juga menyarankan agar

lebih banyak perhatian pada pelajaran yang muncul dari literatur tata kelola adaptif

serta penelitian terkait bagaimana masyarakat mampu belajar dan berinovasi dari

berbagai jenis bencana dalam semua tahapan pengurangan risiko bencana.104

Sendai Framework for Disaster Risk Reduction 2015-2030 dibangun

berdasarkan pelajaran yang dipetik melalui penerapan Kerangka Aksi Hyogo,

kemudian melihat ke depan, memberi penekanan lebih besar pada pembelajaran

dan inovasi. Belajar dideskripsikan terutama sebagai “pembelajaran sebaya” (peer

learning) atau “pembelajaran bersama” (mutual learning). Inovasi merupakan saran

utama dalam kerangka kerja, dengan perhatian khusus pada inovasi teknologi dan

ilmiah. Istilah lain yang muncul adalah penelitian, penilaian, ulasan (rekan),

pemantauan, alih teknologi, berbagi pengalaman, komunikasi, pengembangan

kapasitas, pelatihan dan pendidikan.105

Gambar 1.7 Interaksi karakteristik tata kelola adaptif memungkinkan

pembelajaran dan inovasi

Sumber: Munene et al., 2016

103 Fajarini, Op.Cit., hlm. 129 104 Ibid., hlm. 11 105 Munene et al., Loc.Cit.

IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-53

SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA

Aspek penting dari tata kelola adaptif yang tergabung dalam Sendai

Framework for Disaster Risk Reduction 2015-2030 adalah promosi pembelajaran

yang menyeluruh, berkelanjutan dan kontekstual. Seperti yang diilustrasikan dalam

Gambar 1.2, Munene et al. berpendapat bahwa pembelajaran dan inovasi yang lebih

signifikan secara kontekstual terjadi dalam lingkungan kolaboratif yang mendorong

heterogenitas, partisipasi, dan pengorganisasian diri. Partisipasi dan kolaborasi

antara lembaga formal dan informal dan jaringan lintas skala mendorong

pembelajaran dan inovasi, terutama dengan mempromosikan berbagi pengetahuan,

ide, dan pengalaman yang bermanfaat untuk mengurangi risiko bencana. Dengan

demikian, pembelajaran dan inovasi adalah motivasi utama dan hasil yang

diinginkan dari tata kelola adaptif.106

Berdasarkan pemahaman para ahli, poin penting dari pembelajaran dan

inovasi dalam konteks kebencanaan yaitu adanya pengetahuan dan praktik terkait

bencana di tingkat lokal. Dengan begitu masyarakat mampu beradaptasi dengan

mengurangi risiko bencana. Maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran dan

inovasi merupakan pengetahuan dan praktik-praktik lokal yang telah memudahkan

masyarakat dalam mengurangi risiko bencana.

1.5.2.3 Tata Kelola Desa Adaptif (Adaptive Village Governance)

Penelitian ini berfokus pada studi kasus kebencanaan di level desa, maka

dibutuhkan teori yang relevan untuk menganalisis fenomena yang terjadi. Teori tata

kelola desa adaptif (adaptive village governance) yang dijelaskan dalam bagian ini

merupakan bentuk pengerucutan dari teori tata kelola adaptif (adaptive

governance). Teori tata kelola adaptif (adaptive governance) dan tata kelola desa

adaptif (adaptive village governance) memiliki perbedaan pada level analisisnya

saja. Maka tata kelola desa adaptif dapat dipahami sebagai interaksi antara

governance stakeholder (pemerintah, kelompok masyarakat, akademisi, media, dan

106 Ibid., hlm.4-5

IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-54

SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA

dunia usaha) untuk meningkatkan kapasitas dalam mengurangi risiko bencana di

level desa secara efektif.

Peneliti merujuk pada pemikiran Syarini yang merupakan hasil modifikasi

teori tata kelola adaptif dari Djalante et al., yang awalnya terdapat empat

karakteristik menjadi tiga karakteristik. Modifikasi Syarini mencerminkan

karakteristik tata kelola desa adaptif dalam membangun ketahanan masyarakat

terhadap bencana alam di Desa Tugurejo Kecamatan Slahung Kabupaten Ponorogo.

Syarini memodifikasi dengan menggabungkan dua karakteristik yaitu

polycentric and multilayered institutions (institusi polisentris dan multilayer) dan

self-organization and networks (pengorganisasian diri dan jaringan) menjadi

karakteristik polycentric institutions and networking (institusi polisentris dan

jaringan) karena kedua karakteristik tersebut memiliki indikator yang serupa dalam

konteks penelitian di level desa.107 Institusi polisentris dan multilayer merupakan

keterlibatan para stakeholder pada tingkatan yang berbeda sehingga mampu

menghasilkan solusi kolektif untuk menyelesaikan permasalahan bencana lokal

yang muncul. Para stakeholder bertindak sesuai peran dan tanggung jawabnya

masing-masing. Sedangkan pengorganisasian diri dan jaringan merupakan

keterlibatan government stakeholder dalam forum non government stakeholder

melalui proses transfer pengetahuan dan pengalaman untuk adaptasi terhadap

bencana alam di tingkat lokal. Kedua karakteristik tersebut memiliki kesamaaan

yaitu sama-sama melibatkan governance stakeholder dan bertujuan untuk

memberikan solusi kolektif terkait permasalahan bencana lokal. Dengan demikian,

institusi polisentris dan jaringan dapat dipahami sebagai keterlibatan para

stakeholder sesuai peran dan tanggung jawabnya masing-masing untuk

menghasilkan solusi koleksif terkait permasalahan bencana lokal. Dalam hal ini,

para stakeholder saling transfer pengetahuan dan pengalaman.

Pada karakteristik partisipasi, Syarini memfokuskan pada partisipasi warga

desa dalam kegiatan adaptasi dan mitigasi bersama kepemimpinan, kepercayaan,

dan nilai sosial yang dipegang oleh warga desa, warga desa yang setia terus

melanjutkan berkontribusi dalam setiap kegiatan yang diperlukan untuk

107 Syarini, Loc.Cit.

IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-55

SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA

membangun ketahanan. Sedangkan pada tata kelola desa adaptif, stakeholder yang

terlibat bukan hanya masyarakat saja. Dengan kata lain, partisipasi dapat dipahami

sebagai upaya para stakeholder dalam meningkatkan ketahanan masyarakat

terhadap bencana.

Kristiani, Djoko Mursinto, dan Antun Mardiyanta dalam artikel mereka yang

berjudul “Model Development of Civil Society Participation in Post Implementation

of Rural Development Act No. 6, 2014 in Banaran Grogol, District of Sukoharjo”

menjelaskan bahwa partisipasi masyarakat dalam pembangunan pedesaan dapat

dipahami lebih lanjut sebagai keterlibatan langsung secara sukarela dan mandiri

baik dalam perencanaan maupun pelaksanaan kegiatan pembangunan.108 Dalam

artikel tersebut, Kristiani et al. mengembangkan model partisipasi yang tepat dalam

pembangunan pedesaan sebagai solusi untuk mempercepat pencapaian

pembangunan dana desa.109 Pengembangan model partisipasi disesuaikan dengan

pemikiran Pretty terkait tangga pemberdayaan dari tipologi partisipasi publik dalam

program dan proyek pembangunan, serta pemikiran Arnstein terkait tangga

partisipasi.110 Pada pengembangan model partisipasi terdapat dua tingkatan yaitu

kontrol masyarakat dan partisipasi, seperti yang tercantum pada tabel 1.8 berikut

ini.111

108 Kristiani, Djoko Mursinto, dan Antun Mardiyanta, “Model Development of Civil Society

Participation in Post Implementation of Rural Development Act No. 6, 2014 in Banaran Grogol,

District of Sukoharjo”, Journal of Economics and Sustainable Development Vol. 8 No. 8, 2017,

hlm. 178 109 Ibid., hlm. 176 110 Ibid., hlm. 182 111 Ibid., hlm. 183

IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-56

SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA

Tabel 1.9 Tipologi partisipasi baru contoh studi kasus di Banaran Grogol

Tipologi Partisipasi

Mekanisme Partisipasi yang

Dimungkinkan

Kontrol masyarakat 6 Kontrol

masyarakat

Rapat koordinasi

Sosialisasi

Partisipasi

Tinggi 5 Interaktif Inisiatif masyarakat

RT

RW

Lembaga Pemberdayaan

Masyarakat (LPM)

Rapat koordinasi

Sedang 4 Fungsional Kontributor

Komite (TPK)

Pengadaan barang dan

jasa

Lembaga Pemberdayaan

Masyarakat (LPM)

Rendah

3 Material/Insentif Masyarakat

Pembuatan/produksi

2 Konsultasi Pertemuan desa

Musrenbang desa

1 Informasi Sosialisasi informasi

pembangunan

Sumber: Kristiani et al.

IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-57

SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA

Karakteristik dari tipologi partisipasi terkait bagaimana orang berpartisipasi

dalam program dan proyek pembangunan112 yakni sebagai berikut:

1. Partisipasi dengan Informasi

Kristiani et al. mengganti istilah partisipasi non-partisipatif yang

sebelumnya diusulkan oleh Pretty dengan istilah partisipasi informasi.

Partisipasi non-partisipatif tidak diperlukan karena kemungkinan manipulasi

partisipasi tampaknya terjadi dalam proses kebijakan partisipasi, pada

kenyataannya masyarakat yang melakukannya tidak memiliki peran sama

sekali.113 Orang berpartisipasi dengan diberi tahu apa yang sudah diputuskan

atau sudah terjadi. Ini melibatkan pengumuman sepihak oleh suatu administrasi

atau manajemen proyek tanpa mendengarkan tanggapan orang. Informasi yang

dibagikan hanya milik profesional eksternal.114 Dengan kata lain, tipologi

informasi merupakan partisipasi dalam penyediaan informasi.115 Partisipasi

dilakukan dengan menyampaikan sosialisasi tentang informasi pembangunan.

2. Partisipasi dengan Konsultasi

Orang berpartisipasi dengan dikonsultasikan atau dengan menjawab

pertanyaan. Agen eksternal mendefinisikan masalah, memproses pengumpulan

informasi, dan analisis kontrol. Proses konsultatif seperti itu tidak disetujui

setiap bagian dalam pengambilan keputusan dan para profesional tidak

memiliki kewajiban untuk mengambil pandangan masyarakat. Tipologi ini

melibatkan dialog dengan kegiatan masyarakat yang berarti bahwa orang

memiliki hak untuk didengar, walaupun mereka tidak terlibat langsung dalam

pengambilan keputusan. Pada tahap ini dilakukan komunikasi dua arah antara

pihak berwenang dan masyarakat.

3. Partisipasi dengan Insentif Material

Orang berpartisipasi dengan menyumbangkan sumber daya, misalnya

tenaga kerja, imbalan atas makanan, uang tunai atau insentif material lainnya.

112 Jules N. Pretty, “Participatory Learning for Sustainable Agriculture”, World Development Vol.

23 No. 8, 1995, hlm. 9-10 113 Kristiani et al., Op.Cit., hlm. 182-183 114 Pretty, Loc.Cit. 115 Kristiani et al., Op.Cit., hlm. 178

IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-58

SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA

Petani mungkin menyediakan ladang dan tenaga kerja, tetapi tidak terlibat

dalam eksperimen maupun proses pembelajaran. Sangat umum untuk melihat

ini disebut partisipasi, namun orang tidak memiliki kepentingan dalam

memperpanjang teknologi atau praktik ketika insentif berakhir.

4. Partisipasi Fungsional

Partisipasi dilihat oleh lembaga eksternal sebagai sarana untuk mencapai

tujuan proyek, terutama mengurangi biaya. Orang dapat berpartisipasi dengan

membentuk kelompok untuk memenuhi tujuan yang telah ditentukan terkait

dengan proyek. Seperti keterlibatan dapat bersifat interaktif dan melibatkan

keputusan bersama, tetapi cenderung muncul hanya setelah keputusan besar

telah dibuat oleh agen eksternal. Paling buruk, penduduk lokal mungkin hanya

dikooptasi untuk melayani tujuan eksternal.

5. Partisipasi Interaktif

Orang berpartisipasi dalam analisis bersama, rencana aksi pembangunan

dan pembentukan atau penguatan institusi lokal. Partisipasi dilihat sebagai hak,

bukan hanya sarana untuk mencapai tujuan proyek. Prosesnya melibatkan

metodologi interdisipliner yang mencari berbagai perspektif dan

memanfaatkan proses pembelajaran sistemik dan terstruktur. Sebagai

kelompok mengambil kendali atas keputusan lokal dan menentukan bagaimana

sumber daya yang tersedia digunakan, sehingga mereka memiliki kepentingan

dalam mempertahankan struktur atau praktik

6. Partisipasi Kontrol Masyarakat

Kontrol masyarakat merupakan tahap maksimum partisipasi yang

memainkan fungsi preskriptif seperti kontrol masyarakat sebagai idealis yang

diinginkan oleh para pemangku kepentingan pembangunan pedesaan.116

Tipologi tertinggi keenam tersebut diharapkan untuk mendapatkan partisipasi

masyarakat. Karena kontrol masyarakat yang terlibat aktif secara langsung atau

tidak langsung dalam pembangunan, partisipasi mereka dapat ditingkatkan.117

116 Kristiani et al, Op.Cit., hlm. 182 117 Ibid., hlm. 183

IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-59

SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA

Karakteristik terakhir dari tata kelola desa adaptif yaitu pembelajaran dan

inovasi (learning and innovation). Pembelajaran dan inovasi merupakan

pengetahuan dan praktik-praktik lokal yang telah memudahkan masyarakat dalam

mengurangi risiko bencana. Dalam konteks penelitian ini, pembelajarn dan inovasi

akan menjelaskan bagaimana penduduk di desa tangguh bencana Desa Tugurejo

Kecamatan Slahung Kabupaten Ponorogo meningkatkan kapasitas mereka untuk

beradaptasi dengan dampak bencana setelah menyadari kerentanan desa mereka.

1.5.3 Ketahanan Masyarakat (Community Resilience)

Riyanti Djalante dan Frank Thomalla dalam penelitian mereka yang berjudul

“Community Resilience To Natural Hazards And Climate Change Impacts: A

Review Of Definitions And Operational Frameworks” menjelaskan bagaimana

ketahanan didefinisikan dalam konteks bencana alam dengan memeriksa dua belas

kerangka kerja ketahanan dari organisasi yang berbeda.118 Berdasarkan kerangka

kerja tersebut, Djalante dan Thomalla menemukan definisi ketahanan sebagai

atribut positif suatu masyarakat yang memungkinkan mereka memiliki kapasitas

untuk mengatasi dan pulih dari bencana. Ketahanan dianggap sebagai karakteristik

yang melekat dari sebuah masyarakat di mana kapasitas individu dan kolektif

bersama-sama menentukan ketahanan keseluruhan masyarakat. Dalam menghadapi

bencana, masyarakat mempekerjakan berbagai mekanisme yang berkaitan dengan

risiko bencana siklus manajemen kesiapsiagaan, mitigasi, dan pemulihan

pascabencana.119

Selain itu, Djalante dan Thomalla membagi tiga kerangka kerja yang berbeda

untuk menjelaskan elemen-elemen penting ketahanan terhadap bencana alam dan

perubahan iklim, seperti, pembangunan berkelanjutan, pengurangan risiko bencana

dan pengembangan masyarakat. Elemen-elemen ini diperlukan untuk membangun

ketahanan dengan menciptakan lingkungan yang mendukung untuk mencapai

118 Riyanti Djalante dan Frank Thomalla, “Community Resilience To Natural Hazards And Climate

Change Impacts: A Review Of Definitions And Operational Frameworks”, (Artikel dipresentasikan

pada 5th Annual International Workshop & Expo on Sumatra Tsunami Disaster & Recovery, Banda

Aceh, 2010), hlm. 164 119 Ibid., hlm. 166

IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-60

SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA

ketahanan. Di samping itu, mereka menyatakan bahwa pelajaran yang didapat dari

implementasi beberapa kerangka kerja yang dipilih dalam proyek ketahanan

berbasis masyarakat dalam artikel mereka mengkonfirmasi pentingnya memandang

ketahanan sebagai suatu proses, bukan sekadar hasil yang sangat penting untuk

belajar dari pengalaman masa lalu, mengukur dan mengevaluasi kemajuan dalam

membangun ketahanan.120

Quinlan, A. E., Blazquez, M. B., Haider, L. J., dan Peterson, G. D.

mengusulkan tujuh strategi dan prinsip yang relevan dengan kebijakan untuk

meningkatkan ketahanan layanan ekosistem kritis untuk kesejahteraan manusia

pada perubahan yang sedang berlangsung dalam sistem sosial-ekologis yang

kompleks, di antaranya yaitu keanekaragaman dan redundansi yang

dipertahankan; mengelola konektivitas; mengelola variabel lambat dan umpan

balik; menumbuhkan pemahaman tentang sistem sosial-ekologis yang kompleks

sistem adaptif; mendorong pembelajaran dan eksperimen; memperluas partisipasi;

dan mempromosikan sistem pemerintahan polisentris.121 Strategi-strategi ini

memiliki beberapa kesamaan dengan karakteristik yang dikemukakan oleh Djalante

et al.

Berdasarkan penjelasan di atas, ketahanan masyarakat dapat dipahami

sebagai kapasitas individu dan masyarakat lokal yang secara kolektif mampu

mengatasi dan segera pulih dari bencana. Konsep tersebut sejalan dengan konsep

tata kelola adaptif di level desa. Ketahanan masyarakat terhadap bencana yang

terjadi di Desa Tugurejo Kecamatan Slahung Kabupaten Ponorogo adalah tujuan

akhir untuk mengurangi risiko bencana dan hal itu dapat diwujudkan dengan

menerapkan karakteristik tata kelola desa adaptif di masyarakat.

120 Ibid., hlm. 168 121 Quinlan, A. E., Blazquez, M. B., Haider, L. J., & Peterson, G. D., “Measuring and assessing

resilience: broadening understanding through multiple disciplinary perspectives”, International

Journal of Applied Ecology Vol. 53, 2016, hlm. 677-687

IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-61

SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA

1.5.4 Kesetaraan Gender dalam Penanggulangan Bencana

Kata “gender” dapat diartikan sebagai perbedaan peran, fungsi, status dan

tanggung jawab pada laki-laki dan perempuan sebagai hasil dari konstruksi sosial

budaya yang tertanam lewat proses sosialisasi dari satu generasi ke generasi

berikutnya.122 Dengan demikian gender adalah hasil kesepakatan antar manusia

yang tidak bersifat kodrati, dapat berubah dan dapat dipertukarkan pada manusia

satu ke manusia lainnya tergantung waktu dan budaya setempat. Oleh karenanya

gender bervariasi dari satu tempat ke tempat lain dan dari satu waktu ke waktu

berikutnya.

Aspek gender dalam organisasi sosial dan kemasyarakatan mengarah pada

perbedaan substansial tentang bagaimana laki-laki dan perempuan dari semua

kelompok umur mengalami dan menghadapi bencana baik sebelum, selama dan

sesudahnya. Interaksi sosial antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat

menghasilkan peran, tanggung jawab dan identitas yang dikonstruksi secara sosial

untuk laki-laki, perempuan, anak perempuan dan anak laki-laki.123

Pemahaman masyarakat terhadap bencana merupakan kemampuan

masyarakat untuk mengetahui sekaligus memahami arti, tujuan, dampak dan

manfaat dari suatu bencana. Messner dan Meyer menyebutkan bahwa

pemahaman akan dipengaruhi oleh perbedaan informasi yang dimiliki tiap

individu, ketidakpastian, perbedaan nilai dalam bersikap dan kepentingan tiap

individu.124 Pemahaman bencana oleh kaum perempuan dan anak-anak sangat

dibutuhkan dalam situasi bencana.125 Pemahaman perempuan sebagai manajer

122 Herien Puspitawati, Gender dan Keluarga: Konsep dan Realita di Indonesia, (Bogor: IPB Press,

2012) 123 Madhavi Malalgoda Ariyabandu, “Sex, Gender and Gender Relations in Disasters”, dalam

Women, Gender, and Disaster: Global Issues and Initiatives, ed. Elaine Enarson dan P.G. Dhar

Chakrabarti (India: Sage Publications India Pvt Ltd, 2009), hlm. 5-6 124 Frank Messner dan Volker Meyer, “Flood damage, vulnerability and risk perception - challenges

for flood damage research”, UFZ Discussion Paper, No. 13/2005, hlm. 7 125 Siti Hadiyati Nur Hafida, “Pemberdayaan Perempuan sebagai Bentuk Penguatan Strategi

Pengarusutamaan Gender dalam Situasi Bencana di Kabupaten Klaten”, Jurnal SOLMA Vol. 08

No. 01, 2019, hlm. 64

IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-62

SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA

risiko yang kontribusinya terhadap kesiapsiagaan, mitigasi, bantuan darurat dan

pemulihan berkelanjutan sangat diperlukan.126

Ariyabandu secara luas mengamati, meneliti, dan mendokumentasikan bahwa

perempuan yang termasuk dalam kelas sosial, ras, etnis dan kelompok usia yang

berbeda lebih rentan dibandingkan laki-laki dari kelas / kelompok sosial yang sama

sebelum, selama dan setelah bencana.127 Meskipun perempuan seringkali lebih

rentan terhadap bencana daripada laki-laki karena hubungan sosial, harapan dan

tanggung jawab gender konvensional, mereka bukan hanya “korban tak berdaya”,

seperti yang sering direpresentasikan. Wanita memiliki pengetahuan dan

pengalaman yang berharga dalam mengelola dan mengatasi bencana, sering kali

dibentuk dengan menjalani siklus bencana musiman yang teratur dan mengelola

risiko yang terkait.128 Oleh karena itu, inklusivitas gender dalam kebijakan, strategi,

rencana, dan program sangat penting untuk memberdayakan bangsa dan

masyarakat agar berhasil membangun ketahanan dalam menghadapi tantangan

bencana.129

Meskipun perempuan lebih rentan terhadap bencana, mereka memiliki

banyak kapasitas yang dapat membuat mereka lebih tahan terhadap bencana.130

Mereka memahami risikonya dan bisa memberikan pengurangan risiko bencana di

rumah. Mereka dapat mendidik anggota keluarga lainnya bagaimana mereka

menghadapi resiko. Semua komunitas perlu berinvestasi untuk memberdayakan

perempuan dan menggunakan kapasitas mereka untuk pengurangan risiko bencana

dan pengelolaan. Manajemen risiko yang efektif terutama di pemerintah daerah

membutuhkan kontribusi aktif perempuan dalam pengkajian risiko bencana. Selain

itu, mereka harus berpartisipasi dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi

pengukuran risiko bencana.

126 Elaine Enarson dan P.G. Dhar Chakrabarti (eds.), Women, Gender, and Disaster: Global Issues

and Initiatives, (India: Sage Publications India Pvt Ltd, 2009), hlm. xv 127 Ibid. 128 Ibid. 129 Ibid., hlm. 16 130 Abbas Ostad Taghizadeh dan Ali Ardalan, “Women in disasters: Vulnerable or resilient?”,

Conference Paper, 2016, hlm. 2

IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-63

SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA

Penting untuk ditekankan bahwa kesetaraan gender dalam kebijakan dan

tindakan pengurangan bencana membutuhkan peningkatan peran perempuan dalam

kepemimpinan, manajemen dan pengambilan keputusan, serta mengakui posisi

perempuan dalam komunitas mereka dan masyarakat yang lebih luas.131 Partisipasi

penuh dan setara dari perempuan dan laki-laki diperlukan untuk mengurangi

bahaya, mengurangi kerentanan sosial dan membangun kembali masyarakat yang

lebih berkelanjutan, adil dan tahan bencana.132 Strategi yang mengembangkan dan

memperkuat kapasitas perempuan dalam pengurangan bahaya dan tanggap bencana

mengakui bahwa mereka, bersama laki-laki, adalah aktor sosial utama dalam

mengembangkan masyarakat yang lebih tahan bahaya.133

Di seluruh wilayah, organisasi berbasis komunitas sedang mengembangkan

cara inovatif untuk menangani masalah pengucilan sosial untuk berkontribusi pada

kemampuan populasi dalam rangka menghadapi bahaya.134 Terdapat beberapa

praktik bagus (good practice) yang telah dilakukan untuk mengurangi risiko

bencana dengan mengembangkan komunitas di tingkat lokal. Hal tersebut

menunjukkan betapa bermanfaatnya menyediakan informasi dan keterampilan

yang diperlukan orang dewasa dan anak-anak. Dengan begitu, mereka dapat

memperkuat kapasitas individu dan rumah tangga mereka untuk menghadapi

tantangan yang muncul dalam krisis, lebih tangguh dalam menghadapi bahaya yang

berulang dan bahkan mungkin membantu memastikan bahwa bahaya tidak perlu

berubah menjadi bencana.135

Seperti contoh di sebuah distrik pegunungan di negara bagian Uttarakhand di

India utara di mana Sri Bhuvaneshwari Mahila Ashram (SBMA), dengan dukungan

dari Plan International, telah membangun komunitas di tingkat desa dengan

131 Helena Molin Valdes, “A Gender Perspective on Disaster Risk Reduction”, dalam Women,

Gender, and Disaster: Global Issues and Initiatives, ed. Elaine Enarson dan P.G. Dhar Chakrabarti

(India: Sage Publications India Pvt Ltd, 2009), hlm. 24 132 Cheryl L. Anderson, “Organising for Risk Reduction: The Honolulu Call to Action”, dalam

Women, Gender, and Disaster: Global Issues and Initiatives, ed. Elaine Enarson dan P.G. Dhar

Chakrabarti (India: Sage Publications India Pvt Ltd, 2009), hlm. 42 133 Manjari Mehta, “Reducing Disaster Risk through Community Resilience in the Himalayas”,

dalam Women, Gender, and Disaster: Global Issues and Initiatives, ed. Elaine Enarson dan P.G.

Dhar Chakrabarti (India: Sage Publications India Pvt Ltd, 2009), hlm. 65 134 Ibid 135 Ibid.

IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-64

SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA

melibatkan wanita dan anak-anak untuk mengembangkan program mitigasi

bencana.136 Fokus pekerjaannya dengan mengarahkan anggota komunitas untuk

mengatasi situasi berbahaya, penekanan pada kebutuhan anak-anak, wanita hamil,

dan orang tua. Terdapat pemberdayaan remaja yang melatih anak perempuan terkait

penyelamatan khusus dan pertolongan pertama. Hampir 900 wanita dari desa

terdekat terlibat dalam pekerjaan penyelamatan dan membantu membersihkan

lumpur, memulihkan jenazah dan memberikan konseling kepada keluarga yang

paling terkena dampak. Salah satu kelompok dari daerah yang terkena dampak

parah segera mulai bekerja untuk membangun kembali jalur desa, bekerja selama

hampir dua hari untuk membuat jalan setapak sementara.137

Berdasarkan penjelasan di atas, kesetaraan gender dalam penanggulangan

bencana dapat dipahami sebagai kondisi perempuan dan laki-laki yang setara dan

sama dalam mewujudkan hak asasi manusia di bidang penanggulangan bencana.

Pada konteks penelitian ini, kesetaraan gender dalam penanggulangan bencana

berarti bahwa masyarakat Desa Tugurejo baik laki-laki dan perempuan memiliki

hak yang sama untuk terlibat dalam proses penanggulangan bencana.

1.6 Definisi Konsep

Definisi konsep berfungsi untuk memberikan gambaran dan batasan terkait

fokus penelitian. Konsep yang digunakan dalam penelitian ini di antaranya yaitu:

1. Lembaga Informal

Tata kelola yang lebih informal, namun melembaga, yang mewakili pola

interaksi yang stabil di antara sejumlah organisasi, lembaga, dan bahkan pelaku

individu baik di sektor publik maupun swasta.

2. Tata Kelola Adaptif (Adaptive Governance)

Tata kelola adaptif merupakan interaksi antara governance stakeholder

(pemerintah, kelompok masyarakat, akademisi, media, dan dunia usaha) untuk

meningkatkan ketahanan dalam mengurangi risiko bencana secara efektif

136 Ibid., hlm. 67 137 Ibid.

IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-65

SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA

3. Institusi Polisentris dan Multilayer (Polycentric and Multilayered

Institutions)

Institusi polisentris dan multilayer merupakan keterlibatan para stakeholder

pada tingkatan yang berbeda sehingga mampu menghasilkan solusi kolektif

untuk menyelesaikan permasalahan bencana lokal yang muncul. Para

stakeholder bertindak sesuai peran dan tanggung jawabnya masing-masing.

4. Partisipasi dan Kolaborasi (Participation)

Partisipasi dan kolaborasi yaitu para stakeholder terlibat dalam proses

berkelanjutan untuk menyelesaikan permasalahan bencana di tingkat lokal.

5. Pengorganisasian Diri dan Jaringan (Self-Organization and Networks)

Pengorganisasian diri dan jaringan merupakan keterlibatan government

stakeholder dalam forum non government stakeholder melalui proses transfer

pengetahuan dan pengalaman untuk adaptasi terhadap bencana alam..

6. Pembelajaran dan Inovasi (Learning and Innovation)

Pembelajaran dan inovasi merupakan pengetahuan dan praktik-praktik lokal

yang telah memudahkan masyarakat dalam mengurangi risiko bencana.

7. Tata Kelola Desa Adaptif (Adaptive Village Governance)

Tata kelola desa adaptif merupakan interaksi antara governance stakeholder

(pemerintah, kelompok masyarakat, akademisi, media, dan dunia usaha) untuk

meningkatkan ketahanan dalam mengurangi risiko bencana di level desa secara

efektif.

8. Institusi Polisentris dan Jaringan (Polycentric Institutions and Networking)

Institusi polisentris dan jaringan merupakan keterlibatan para stakeholder

sesuai peran dan tanggung jawabnya masing-masing untuk menghasilkan

solusi koleksif terkait permasalahan bencana lokal. Dalam hal ini, para

stakeholder saling transfer pengetahuan dan pengalaman.

9. Partisipasi (Participation)

Partisipasi merupakan upaya para stakeholder dalam meningkatkan ketahanan

masyarakat terhadap bencana.

IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-66

SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA

10. Ketahanan Masyarakat

Ketahanan masyarakat merupakan kapasitas individu dan masyarakat lokal

yang secara kolektif mampu mengatasi dan segera pulih dari bencana.

11. Kesetaraan Gender dalam Penanggulangan Bencana

Kesetaraan gender dalam penanggulangan bencana merupakan kondisi

perempuan dan laki-laki yang setara dan sama dalam mewujudkan hak asasi

manusia di bidang penanggulangan bencana.

1.7 Kerangka Berpikir

Penelitian ini berusaha menjawab pertanyaan penelitian terkait keberhasilan

tata kelola desa adaptif pada program desa tangguh bencana di Desa Tugurejo

Kecamatan Slahung Kabupaten Ponorogo. Berdasarkan hal tersebut, peneliti

menggunakan pemikiran Syarini yaitu dengan mengkaji karakteristik tata kelola

desa adaptif yang muncul dalam interaksi governance stakeholder (pemerintah,

kelompok masyarakat, akademisi, media, dan dunia usaha) untuk meningkatkan

ketahanan masyarakat terhadap bencana. Berikut ini merupakan skema kerangka

berpikir pada penelitian ini.

Institusi Polisentris dan Jaringan

(Polycentric Institutions and

Networking)

Tata Kelola Desa Adaptif

(Adaptive Village Governance)

Partisipasi

(Participation)

Pembelajaran dan Inovasi

(Learning and Innovation)

Ketahanan Masyarakat

(Community Resilience)

Gambar 1.8 Skema kerangka berpikir

Sumber: dokumen pribadi peneliti

IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-67

SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA

1.8 Metodologi Penelitian

Metodologi penelitian adalah suatu cara untuk memecahkan masalah

penelitian secara sistematis.138 Sedangkan metode penelitian merupakan istilah

yang menunjukkan suatu perspektif tentang penelitian yang menampilkan

informasi berurutan dan konstruksi penelitian secara luas ke prosedur metode yang

sempit.139 Metode penelitian merupakan bagian dari metodologi penelitian.140

Penelitian ini menggunakan interpretive approach dengan metode penelitian

kualitatif. Selanjutnya penelitian ini merupakan jenis penelitian studi kasus.

Terkait pendekatan interpretive approach, Neuman menjelaskan bahwa

interpretive approach menekankan pada tindakan sosial yang bermakna, makna

yang dibangun secara sosial, dan relativisme nilai.141 Pendekatan interpretif

merupakan analisis terstruktur dari tindakan yang bermakna sosial melalui

pengamatan rinci terhadap orang-orang dengan pengaturan alami untuk memahami

dan menafsirkan bagaimana orang-orang menciptakan dan mempertahankan

kehidupan sosial mereka.142 Interpretive approach adalah dasar dari teknik

penelitian sosial yang sensitif terhadap konteks, yang masuk ke dalam cara orang

lain melihat dunia, dan yang lebih peduli dengan mencapai pemahaman empatik

daripada dengan menguji hukum seperti teori perilaku manusia.143

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Menurut John W. Creswell,

penelitian kualitatif merupakan metode untuk mengeksplorasi dan memahami

makna yang (oleh sejumlah individu atau sekelompok orang) dianggap berasal dari

masalah sosial.144 Creswell juga menjelaskan bahwa proses penelitian kualitatif

melibatkan upaya-upaya penting, seperti mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan

prosedur-prosedur, mengumpulkan data yang spesifik dari para partisipan,

menganalisis data secara induktif mulai dari tema-tema khusus ke tema-tema

umum, dan menafsirkan makna data. Selanjutnya, laporan akhir untuk penelitian

138 C. R. Kothari, Research Methodology: Methods and Techniques, (New Delhi: New Age

International (P) Ltd., 2004), hlm. 8 139 Neuman, Op.Cit., hlm. 3 140 Kothari, Loc.Cit. 141 Neuman, Op.Cit., hlm. 103 142 Ibid., hlm. 104 143 Ibid., hlm. 109 144 Creswell, Op.Cit., hlm. 4

IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-68

SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA

kualitatif memiliki struktur atau kerangka yang fleksibel.145 Creswell menegaskan

bahwa siapa saja yang terlibat dalam bentuk penelitian kualitatif, maka harus

memiliki cara pandang induktif, berfokus pada makna individual serta mampu

menafsirkan kompleksitas suatu masalah.146

Tracy menjelaskan bahwa dalam penelitian kualitatif sering berbicara tentang

pemahaman emik tentang adegan, yang berarti perilaku itu dijelaskan dari sudut

pandang aktor dan spesifik konteks.147 Penelitian induktif mengacu pada makna

yang muncul dari lapangan.148 Tracy menegaskan bahwa peneliti yang

menggunakan pendekatan induktif (1) mulai dengan mengamati interaksi tertentu;

(2) membuat konsep pola umum dari pengamatan ini; (3) membuat klaim tentatif

(yang kemudian diperiksa kembali di lapangan); dan (4) menarik kesimpulan yang

membangun teori atau membuat cerita yang menarik.149

Data kualitatif tidak hanya bagus untuk menjawab pertanyaan “Apa yang

sedang terjadi sini?” tetapi juga siap menjawab pertanyaan “Mengapa?” dan

“Bagaimana bisa?” Menganalisis sebab kausalitas memberikan temuan berharga

terkait prediksi, tindakan, dan perubahan.150 Analisis data kualitatif tidak dirancang

untuk menghasilkan hukum universal yang secara kausal menghubungkan bersama

variabel independen dekontekstual. Peneliti kualitatif lebih berfokus pada

menghasilkan penjelasan tentang aktivitas kontekstual dan data kualitatif yang kaya

sangat berharga untuk tujuan tersebut.151

Para peneliti kualitatif menggunakan teori dalam penelitian untuk tujuan-

tujuan yang berbeda.152 Dalam penelitian ini teori digunakan sebagai poin akhir

penelitian. Dengan menjadikan teori sebagai poin akhir penelitian, berarti peneliti

menerapkan proses penelitiannya secara induktif yang berlangsung mulai dari data,

145 Ibid., hlm. 5 146 Ibid. 147 Sarah J. Tracy, Qualitative Research Methods: Collecting Evidence, Crafting Analysis,

Communicating Impact (Second Edition), (USA: John Wiley & Sons, Inc., 2020) hlm. 26 148 Ibid., hlm. 27 149 Ibid. 150 Ibid., hlm. 253 151 Ibid. 152 Creswell, Op.Cit., hlm. 84

IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-69

SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA

lalu ke tema-tema umum, kemudian menuju teori atau model tertentu.153 Logika

induktif dalam penelitian kualitaif dapat dilihat pada gambar 1.9 berikut ini.

Sumber: John W. Creswell

Penelitian kualitatif memiliki beberapa jenis penelitian, seperti naratif,

fenomenologi, grounded theory, studi kasus, dan etnografi. Jenis penelitian yang

digunakan dalam penelitian ini yaitu studi kasus. Jenis penelitian studi kasus

berusaha menjawab pertanyaan “bagaimana” dan “mengapa” untuk menjelaskan

fenomena sosial.154 Robert K. Yin menjelaskan bahwa apabila peneliti perlu

mengetahui “bagaimana” atau “mengapa” suatu program berhasil (atau tidak),

maka peneliti harus condong ke studi kasus atau percobaan lapangan.155 Maxwell

153 Ibid., hlm. 87 154 Robert K. Yin, Case Study Research: Design and Methods (Fifth Edition), (USA: Sage

Publications, 2014), hlm. 37 155 Ibid., hlm. 46

Peneliti mengemukakan generalisasi-generalisasi atau teori-teori dari literatur-

literatur dan pengalaman-pengalaman pribadinya

Peneliti mencari pola-pola umum, generalisasi-generalisasi, atau teori-teori

dari tema-tema atau kategori-kategori

Peneliti menganalisis data untuk membuat tema-tema atau

kategori-kategori

Peneliti mengajukan pertanyaan terbuka kepada partisipan atau merekam

catatan-catatan lapangan

Peneliti mengumpulkan informasi-informasi (misalnya, wawancara-

wawancara, informasi-informasi)

Gambar 1.9 Logika induktif dalam penelitian kualitatif

IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-70

SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA

berpendapat bahwa penelitian lapangan jauh lebih baik daripada pendekatan

terkuantifikasi semata-mata dalam mengembangkan penjelasan tentang kausalitas

lokal - yang terdiri dari peristiwa dan proses lokal yang mengarah pada hasil

tertentu dalam konteks atau kasus tertentu. Misalnya, pertanyaan seperti

“Bagaimana serangkaian perselisihan perkawinan menyebabkan perceraian

pasangan ini?” atau “Mengapa beberapa guru lebih berhasil daripada yang lain

dalam membantu siswa untuk belajar di sekolah ini?” adalah pertanyaan tentang

kausalitas lokal.156 Hal tersebut sangat relevan dengan penelitian ini yang berusaha

menjawab pertanyaan bagaimana fenomena keberhasilan program desa tangguh

bencana di Desa Tugurejo Kecamatan Slahung Kabupaten Ponorogo dalam

perpektif tata kelola desa adaptif (adaptive village governance).

Jenis penelitian studi kasus juga berusaha menjawab pertanyaan penelitian

yang membutuhkan pemaparan luas dan mendalam dari beberapa fenomena

sosial.157 Hal itu sejalan dengan penelitian ini karena peneliti berusaha untuk

mendeskripsikan, mendokumentasikan, dan mengidentifikasi fenomena

keberhasilan program desa tangguh bencana di Desa Tugurejo Kecamatan Slahung

Kabupaten Ponorogo dalam perspektif tata kelola desa adaptif (adaptive village

governance).

1.8.1 Tipe Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif tipe deskriptif. Tipe

penelitian deskriptif bertujuan untuk memberikan suatu gambaran menggunakan

kata atau angka dan untuk menyajikan profil, klasifikasi jenis, atau garis besar

langkah-langkah untuk menjawab pertanyaan siapa, kapan, di mana, dan

bagaimana.158 Penelitian deskriptif dimulai dengan masalah atau pertanyaan yang

didefinisikan dengan baik dan mencoba menggambarkannya secara akurat. Hasil

156 Tracy, Loc.Cit. 157 Ibid., hlm. 37 158 W. Lawrence Neuman, Op.Cit., hlm. 38

IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-71

SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA

penelitian adalah gambaran rinci tentang masalah atau jawaban untuk pertanyaan

penelitian.159

Dalam penelitian ini menggambarkan tentang suatu fenomena keberhasilan

tata kelola desa adaptif (adaptive village governance) pada program desa tangguh

bencana di Desa Tugurejo Kecamatan Slahung Kabupaten Ponorogo. Oleh karena

itu, metode penelitian kualitatif tipe deskriptif sangat sesuai untuk digunakan dalam

penelitian ini.

1.8.2 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Ponorogo, tepatnya di desa tangguh

bencana Desa Tugurejo Kecamatan Slahung Kabupaten Ponorogo. Adapun

beberapa pertimbangan yang menyertai pemilihan lokasi penelitian, antara lain:

a. Kabupaten Ponorogo merupakan daerah dengan jumlah kejadian bencana

tertinggi di Jawa Timur dalam lima tahun terakhir (2015-2019).

b. Kabupaten Ponorogo merupakan daerah dengan risiko bencana yang tinggi,

karena masuk dalam wilayah dataran tinggi dan terdapat banyak bukit.

c. Desa Tugurejo merupakan desa yang masuk dalam kategori potensi bencana

tinggi

d. Desa Tugurejo mendapatkan Juara 3 Bursa Inovasi Desa Kabupaten Ponorogo

tahun 2017 (kategori Tagana)

e. Desa Tugurejo mendapatkan Juara 1 Bursa Inovasi Desa Kabupaten Ponorogo

tahun 2018 (kategori Pertahana)

f. Desa Tugurejo mendapatkan Juara 3 Desa/Kelurahan Terbaik Kategori Utama

pada Lomba Desa/Kelurahan Tangguh Bencana Tingkat Provinsi Jawa Timur

Tahun 2019

g. Desa Tugurejo memiliki gerakan Pertahana yang merupakan inisiatif desa

untuk mengoptimalkan peran perempuan dalam mengurangi risiko bencana

dan gerakan tersebut adalah satu-satunya di Indonesia

159 Ibid., hlm. 39

IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-72

SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA

1.8.3 Teknik Penentuan Informan

Penentuan informan dalam penelitian ini dilakukan melalui teknik purposive

yaitu sengaja dipilih berdasarkan kriteria tertentu dan penuh perencanaan.160

Pemilihan informan pada teknik purposive yaitu memilih dengan kriteria yang

dianggap paling penting untuk studi tertentu.161 Pertimbangan utama dalam teknik

purposive yaitu penilaian peneliti tentang siapa yang dapat memberikan informasi

terbaik untuk mencapai tujuan studi.162 Peneliti mendatangi orang-orang yang

cenderung memiliki informasi yang diperlukan dan bersedia membagikannya

kepada peneliti. Teknik purposive sangat berguna ketika peneliti ingin membangun

realitas sejarah, menggambarkan suatu fenomena, atau mengembangkan sesuatu

yang hanya sedikit diketahui.163 Dalam penelitian ini informan yang dipilih oleh

peneliti di antaranya sebagai berikut:

1. Kepala Desa Tugurejo Kecamatan Slahung Kabupaten Ponorogo, Bapak

Siswanto

Beliau adalah Kepala Desa Tugurejo dengan masa jabatan 2016-2022. Beliau

memahami betul bagaimana perjalanan Desa Tugurejo menjadi desa tangguh

bencana mandiri dengan membentuk taruna tangguh bencana (tagana) pada

tahun 2017 dan perempuan tangguh bencana (pertahana) pada tahun 2018,

hingga ditetapkannya Desa Tugurejo sebagai desa tangguh bencana pada tahun

2018.

2. Ketua Perempuan Tangguh Bencana (Pertahana) Desa Tugurejo Kecamatan

Slahung Kabupaten Ponorogo, Ibu Kartini

Beliau adalah salah satu orang yang memprakarsai terbentuknya Pertahana di

Desa Tugurejo pada tahun 2018.

3. Ketua Taruna Tangguh Bencana (Tagana) Desa Tugurejo Kecamatan Slahung

Kabupaten Ponorogo, Bapak Muhammad Syarifudin

160 Creswell, Op.Cit., hlm. 253 161 Prabhat Pandey dan Meenu Mishra Pandey, Research Methodology: Tools And Techniques,

(Romania: Bridge Center, 2015), hlm. 54 162 Ranjit Kumar, Research Methodology: A Step-by-Step Guide for Beginners (Fourth Edition),

(USA: Sage Publications, 2014), hlm. 380 163 Ibid.

IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-73

SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA

Beliau adalah salah satu orang yang memprakarsai terbentuknya Tagana di

Desa Tugurejo pada tahun 2017.

4. Masyarakat Desa Tugurejo Kecamatan Slahung Kabupaten Ponorogo

Masyarakat yang dipilih menjadi informan yaitu masyarakat yang pernah

terdampak bencana di Desa Tugurejo dan masyarakat yang pernah terlibat

dalam forum sosialisasi maupun pelatihan tentang pengurangan risiko bencana

di Desa Tugurejo. Masyarakat yang dipilih menjadi informan di antaranya

sebagai berikut:

Bapak Jarwan

Beliau merupakan ketua RT 01 RW 03 Dukuh Krajan Desa Tugurejo

Bapak Elyus Dwi Hartanto

Beliau merupakan tokoh masyarakat di lingkungan RT 01 RW 01 Dukuh

Tugunongko Desa Tugurejo

Ibu Yuyun

Beliau merupakan perwakilan masyarakat di lingkungan RT 01 RW 02

Dukuh Sumber Desa Tugurejo

5. Kepala Seksi Pencegahan BPBD Kabupaten Ponorogo, Ibu Marem, S.Sos.,

M.Si.

Seksi Pencegahan memiliki salah satu kegiatan yaitu membentuk dan membina

desa tangguh bencana. Oleh karena itu, Ibu Marem memahami betul terkait

pelaksanaan destana dan beliau juga menjadi pembina destana di Desa

Tugurejo.

6. Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik BPBD Kabupaten Ponorogo, Bapak

Setyo Budiyono, S.Sos., M.M.

Kegiatan yang dilakukan oleh bidang kedaruratan dan logistik yaitu

pertolongan dan evakuasi korban bencana. Selain itu juga pengadaan logistik

dan peralatan. Bapak Budi sering turun langsung ke lokasi bencana termasuk

di Desa Tugurejo, sehingga beliau merupakan orang yang tepat untuk

diwawancarai.

IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-74

SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA

7. Staf Administrasi Dinas Sosial, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan

Anak (P3A) Kabupaten Ponorogo, Bapak Harjuni

Dinas Sosial P3A berperan dalam menangani dampak sosial akibat dari

bencana, terkait juga dengan logistik dan tempat tinggal (pengungsian) saat

terjadi bencana di Kabupaten Ponorogo, termasuk di Desa Tugurejo. Bapak

Harjuni pernah terjun langsung saat ada bencana di Desa Tugurejo, sehingga

beliau mampu memberikan informasi yang tepat.

8. Kepala Seksi Pengelolaan Informasi Publik Dinas Komunikasi Informatika dan

Statistik Kabupaten Ponorogo, Bapak Andri Hendratmoyo, S.T., M.T., M.M.

Seksi Pengelolaan Informasi Publik melaksanakan salah satu fungsi yaitu

monitoring isu publik yang berkembang di media, baik media massa maupun

media sosial. Tujuannya untuk menangkal hoaks dari sumber-sumber berita

yang tidak kurang valid. Seksi Pengelolaan Informasi Publik bertanggung

jawab untuk mengelola berita melalui laman ponorogo.go.id dan media sosial

(instagram, facebook, dan twitter). Oleh karena itu Bapak Andri merupakan

orang yang tepat untuk diwawancarai karena paham betul terkait

perkembangan isu di masyarakat, termasuk isu bencana di Kabupaten

Ponorogo.

9. Kepala Seksi Pencegahan BPBD Provinsi Jawa Timur, Bapak Dadang

Iqwandy, ST., M.T.

Beliau dipilih menjadi informan karena BPBD Provinsi Jawa Timur turut

membantu dalam proses evakuasi dan tanggap bencana di Desa Tugurejo dan

beliau memahami betul bagaimana pelaksanaan Destana di Provinsi Jawa

Timur.

10. Kepala Sub Bidang Mitigasi Gerakan Tanah Wilayah Barat Pusat Vulkanologi

dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi Kementerian Energi

dan Sumber Daya Mineral, Bapak Sumaryono, S.T., M.Eng.

Beliau dipilih menjadi informan karena pernah terlibat dalam pengecekan

calon lokasi untuk relokasi Sekolah Dasar Negeri (SDN) Tugurejo 2 dan

permukiman warga yang terdampak bencana di Desa Tugurejo.

IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-75

SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA

11. Bintara Pembina Desa (Babinsa) Desa Tugurejo Kecamatan Slahung,

Komando Distrik Militer (Kodim) 0802 / Rayon Militer (Ramil) Slahung,

Bapak Ali Subroto

Beliau merupakan unsur TNI yang terlibat dalam pengurangan risiko bencana

di Desa Tugurejo dengan mengimbau masyarakat untuk menjaga kelestarian

alam dan gotong royong dalam membersihkan lingkungan masing-masing

untuk mencegah terjadinya bencana.

12. Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat

(Bhabinkamtibmas) Desa Tugurejo, Polsek Slahung, Bapak Novedi Adrion

Beliau merupakan unsur Polri yang terlibat dalam pengurangan risiko bencana

di Desa Tugurejo dengan melakukan patroli dan sosialisasi agar siap siaga

kapanpun terjadi bencana.

13. Direktur Kedaruratan, Rehabilitasi, dan Rekonstruksi Lembaga

Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim Nahdlatul Ulama (LPBI NU)

Kabupaten Ponorogo, Bapak Sofyan

Beliau dipilih menjadi informan karena pernah terlibat langsung dalam

pengurangan risiko bencana dengan membantu kegiatan penanaman pohon di

Desa Tugurejo.

14. Staf Penanganan Bencana Palang Merah Indonesia (PMI) Kabupaten

Ponorogo, Bapak M. Nur Amin Zabidi

Beliau dipilih menjadi informan karena pernah terlibat langsung dalam

pengurangan risiko bencana dengan membantu menyusun peta rawan bencana

di Desa Tugurejo.

15. Satuan Tugas Komunikasi Organisasi Radio Antar Penduduk Indonesia

(RAPI), Bapak Hadi Susanto

Beliau dipilih menjadi informan karena pernah terlibat langsung dalam

sosialisasi terkait komunikasi melalui radio tentang kebencanaan di Desa

Tugurejo.

IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-76

SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA

16. Pelatih Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT) Sub Rayon Tugurejo, Bapak

Budi Susanto

PSHT turut terlibat dalam membantu penanggulangan bencana di Desa

Tugurejo dengan mengadakan bakti sosial untuk korban bencana.

17. Ketua Komunitas Ponorogo Peduli, Bapak Jumeno

Ponorogo Peduli berpartisipasi dalam membantu penanggulangan bencana di

Desa Tugurejo dengan memberikan bantuan berupa sembako untuk korban

bencana.

18. Dosen Universitas Darussalam Gontor Ponorogo, Bapak Dr. Muhamad Fajar

Pramono, M.Si.

Beliau dipilih menjadi informan karena pernah melibatkan Desa Tugurejo

sebagai lokasi penelitian untuk bahan observasi dan kajian mengenai

kebencanaan.

19. Programmer Radio Gema Surya, Bapak Ari Mahendra

Beliau dipilih menjadi informan karena menjadi fasilitator Desa Tugurejo

untuk melakukan on air di Radio Gema Surya terkait perkembangan bencana.

20. Redaktur Radio Duta Nusantara Ponorogo, Hadi Sanyoto

Beliau dipilih menjadi informan karena memahami perkembangan isu di

Ponorogo yang disiarkan di Radio Duta Nusantara Ponorogo, termasuk isu

bencana di Desa Tugurejo.

21. Jurnalis dan Penyiar Radio Songgolangit, Lucia Marwa

Beliau dipilih menjadi informan karena pernah meliput dan menyiarkan berita

bencana di Desa Tugurejo.

22. Reporter TV-One, Bapak Aries

Beliau dipilih menjadi informan karena pernah meliput bencana di Desa

Tugurejo. Selain itu, beliau juga sering berinteraksi dengan Pemerintah Desa

untuk mengetahui perkembangan bencana.

IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-77

SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA

23. Ketua Perkumpulan Peternak Ayam Petelur Ponorogo (PPAPP), Ibu Eni

Kustianingsih

Beliau dipilih menjadi informan karena pernah mewakili PPAPP berkunjung

ke Desa Tugurejo untuk memberikan bantuan saat terjadi bencana di Desa

Tugurejo, tepatnya di Dukuh Tugunongko.

24. Kepala Resort Pemangkuan Hutan (RPH) Guyangan, Bagian Kesatuan

Pemangkuan Hutan (BKPH) Ponorogo Barat, KPH Lawu Ds, Divisi Regional

Jawa Timur, Perum Perhutani, Bapak Darwitono

Beliau pernah terlibat aktif membantu pengurangan risiko bencana di Desa

Tugurejo melalui kegiatan sosialisasi kepada masyarakat dan memberikan

bantuan saat terjadi bencana di Desa Tugurejo.

1.8.4 Teknik Pengumpulan Data

Menurut pendapat Robert K. Yin, pengumpulan data pada studi kasus dapat

berasal dari enam sumber164, yaitu sebagai berikut:

a. Dokumentasi

Jenis informasi ini dapat memiliki berbagai macam bentuk dan harus menjadi

objek rencana pengumpulan data eksplisit. Untuk penelitian studi kasus,

penggunaan dokumen yang paling penting adalah untuk menguatkan dan

menambah bukti dari sumber lain.165 Beberapa dokumen yang dibutuhkan

dalam penelitian ini yakni:

Surat, memo, email masuk maupun keluar dari para governance

stakeholder (pemerintah, kelompok masyarakat, akademisi, media, dan

dunia usaha) yang membahas upaya pengurangan risiko bencana di Desa

Tugurejo

Notulensi rapat para governance stakeholder (pemerintah, kelompok

masyarakat, akademisi, media, dan dunia usaha) yang membahas upaya

pengurangan risiko bencana di Desa Tugurejo

164 Yin, Op.Cit., hlm. 170 165 Ibid., hlm. 171

IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-78

SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA

Dokumen pengumuman (cetak maupun online) pada ruang lingkup desa

untuk sosialisasi maupun pelatihan tentang pengurangan risiko bencana di

Desa Tugurejo

Presensi kegiatan sosialisasi dan pelatihan tentang pengurangan risiko

bencana yang dihadiri oleh masyarakat Desa Tugurejo

Proposal kerja sama antara Desa Tugurejo dengan para governance

stakeholder (pemerintah, kelompok masyarakat, akademisi, media, dan

dunia usaha) untuk pengurangan risiko bencana di Desa Tugurejo

Laporan pertanggungjawaban dana desa, khususnya anggaran yang

dialokasikan untuk pengurangan risiko bencana di Desa Tugurejo

Hasil kajian dari para akademisi terkait pengurangan risiko bencana di

Desa Tugurejo

Publikasi media (cetak, elektronik maupun online) terkait berita bencana

di Desa Tugurejo Kecamatan Slahung Kabupaten Ponorogo

b. Catatan arsip

Untuk banyak studi kasus, catatan arsip sering berupa file komputer dan catatan

seperti data sensus. Catatan arsip ini dapat digunakan bersama dengan sumber

informasi lain dalam menghasilkan studi kasus.166 Catatan arsip yang

dibutuhkan dalam penelitian ini meliputi:

Data kejadian bencana di Kabupaten Ponorogo tahun 2015-2019

Catatan organisasi, seperti catatan anggaran atau personil

Catatan organisasi ini didapat dari kelompok masyarakat, diantaranya

Tagana, Pertahana, LPBI NU Kabupaten Ponorogo, PMI Kabupaten

Ponorogo, RAPI Kabupaten Ponorogo, PSHT Sub Rayon Tugurejo, dan

Ponorogo Peduli

Peta rawan bencana Desa Tugurejo

c. Wawancara Mendalam

Wawancara adalah sumber penting dari bukti studi kasus karena sebagian besar

studi kasus adalah tentang urusan atau tindakan manusia. Wawancara dalam

166 Ibid., hlm. 174-175

IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-79

SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA

penelitian studi kasus menyerupai percakapan terpandu daripada pertanyaan

terstruktur. Terdapat tiga jenis wawancara dalam studi kasus yaitu wawancara

yang berkepanjangan (prolonged case study interviews), Wawancara yang

lebih pendek (shorter case study interviews), dan wawancara survei dalam

studi kasus (survey interviews in a case study).167 Namun dalam penelitian ini

hanya menggunakan dua jenis wawancara yaitu antara lain:

1) Wawancara yang berkepanjangan (prolonged case study interviews)

Wawancara-wawancara ini dapat berlangsung lebih dari dua jam, baik

dalam satu kali datang atau selama periode waktu yang panjang yang

mencakup banyak bagian. Peneliti bertanya kepada informan tentang

interpretasi dan pendapat mereka terkait orang dan peristiwa atau wawasan,

penjelasan, dan makna yang terkait dengan kejadian tertentu. Peneliti

kemudian dapat menggunakan proposisi tersebut sebagai dasar untuk

penyelidikan lebih lanjut Informan kunci seringkali penting untuk

keberhasilan studi kasus.

2) Wawancara yang lebih pendek (shorter case study interviews)

Daripada terjadi selama periode waktu yang panjang atau beberapa bagian,

banyak wawancara studi kasus mungkin lebih fokus dan hanya memakan

waktu sekitar satu jam atau lebih. Dalam situasi seperti itu, wawancara

masih tetap terbuka dan mengambil cara percakapan, tetapi peneliti

cenderung mengikuti protokol studi kasus dengan lebih dekat. Misalnya,

tujuan utama dari wawancara semacam itu mungkin hanya untuk

menguatkan temuan-temuan tertentu yang menurut peneliti telah

ditetapkan, tetapi tidak untuk bertanya tentang topik lain yang sifatnya lebih

luas dan terbuka.

d. Pengamatan langsung

Studi kasus harus dilakukan dalam pengaturan kasus di dunia nyata, maka

peneliti menciptakan peluang untuk pengamatan langsung. Pengamatan dapat

berkisar dari kegiatan pengumpulan data formal hingga kasual.168 Dalam

167 Ibid., hlm. 176-179 168 Ibid., hlm. 180-181

IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-80

SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA

penelitian ini, peneliti melakukan pengaman langsung secara kasual.

Pengamatan langsung yang kurang formal atau disebut kasual yaitu

pengamatan langsung dapat dilakukan sepanjang kerja lapangan, termasuk

saat-saat di mana bukti lain seperti wawancara mendalam sedang dikumpulkan.

e. Pengamatan partisipan

Pengamatan partisipan adalah mode pengamatan khusus di mana peneliti

bukan sekadar menjadi pengamat pasif. Sebaliknya, peneliti dapat mengambil

berbagai peran dalam situasi kerja lapangan dan mungkin benar-benar

berpartisipasi dalam tindakan yang dipelajari. Peran untuk studi ilustratif yang

berbeda di lingkungan dan organisasi.169 Peneliti melakukan pengamatan

partisipan dengan cara mempelajari dokumen-dokumen sosialisasi dan

pelatihan pengurangan risiko bencana, serta mewawancarai informan yang

pernah mengikuti sosialisasi dan wawancara terkait kebencanaan di Desa

Tugurejo.

f. Artefak fisik

Sumber bukti terakhir adalah artefak fisik atau budaya — misalnya, perangkat

teknologi, alat atau instrumen, karya seni, atau beberapa bukti fisik lainnya.

Artefak tersebut dapat dikumpulkan atau diamati sebagai bagian dari studi

kasus dan telah digunakan secara luas dalam penelitian antropologis. Jika

relevan, artefak dapat menjadi komponen penting dalam keseluruhan kasus.170

Artefak fisik yang diamati dalam penelitian ini yakni bukti fisik kelengkapan

fasilitas untuk pengurangan risiko bencana di Desa Tugurejo, seperti seragam

destana, ambulans, motor trail, perlengkapan dapur umum, dan sistem

peringatan dini (early warning system).

169 Ibid., hlm. 182-185 170 Ibid., hlm. 186

IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-81

SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA

1.8.5 Teknik Analisis Data

Analisis data merupakan proses memberikan makna pada data yang berupa

wacana atau gambar serta proses yang berhubungan dengan pemetakan data serta

menyusunnya kembali.171 Penelitian ini merupakan jenis penelitian studi kasus

dengan analisis data strategi induktif, yaitu mengolah data dari bawah ke atas.

Analisis data dilakukan bukan dengan memikirkan proposisi teoritis, namun dengan

menuangkan seluruh data. Kemudian memperhatikan pola dan menemukan

beberapa bagian dari data menyarankan satu atau dua konsep yang berguna.

Wawasan seperti itu dapat menjadi awal dari jalur analitik, membawa peneliti lebih

jauh ke dalam data dan mungkin menyarankan hubungan tambahan.172 Konsep-

konsep kunci muncul dengan memeriksa data secara cermat, bukan dari proposisi

teoretis sebelumnya.173

Analisis data strategi induktif selaras dengan proses analisis data kualitatif.

Creswell melihat analisis data kualitatif sebagai suatu proses penerapan langkah-

langkah dari yang spesifik hingga yang umum. Analisis data dalam penelitian

kualitatif dirangkum pada gambar 1.10 berikut ini.174

171 Creswell, Op.Cit., hlm. 260 172 Yin, Op.Cit., hlm. 211 173 Ibid., hlm. 212 174 Creswell, Op.Cit., hlm. 263

IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-82

SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA

Sumber: John W. Creswell

Menginterpretasi makna

tema/deskripsi

Saling menghubungkan

tema/deskripsi

Tema Deskripsi

Memberi kode pada data

Membaca seluruh data

Menyusun dan

mempersiapkan data untuk

analisis

Data mentah

(transkrip, catatan lapangan,

gambar, dan sebagainya)

Validasi akurasi informasi

Gambar 1.10 Skema proses analisis data

IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-83

SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA

Proses analisis data seperti yang nampak pada gambar di atas dapat dirinci

dalam beberapa langkah175, antara lain:

1. Langkah pertama yaitu mengolah dan menyiapkan data. Dalam langkah ini

menyertakan transkrip wawancara, meninjau materi-materi, mengetik data

yang diperoleh di lapangan, atau membuat segmentasi pada data kemudian

merapikannya ke dalam kategori-kategori yang berbeda berdasarkan sumber

informasi.

2. Langkah kedua yaitu membaca semua data. Membaca semua data berfungsi

untuk membangun pemahaman umum terkait informasi yang telah didapatkan.

Pada langkah ini, peneliti menulis catatan tertentu maupun gagasan umum

tentang data yang didapatkan.

3. Langkah ketiga yaitu membuat coding pada keseluruhan data. Coding

merupakan proses membuat kategori pada data yang telah terkumpul. Langkah

ini memuat beberapa tahapan yaitu mengambil data tulisan atau gambar dari

proses pengumpulan, melakukan segmentasi gambar atau kalimat ke dalam

kategori, selanjutnya melabeli kategori dengan sebutan khusus.

4. Langkah keempat yaitu menerapkan proses coding untuk membuat deskripsi

pada setting, partisipan, kategori maupun yang hendak dianalisis. Deskripsi

tersebut berisi informasi lengkap tentang lokasi, partisipan, maupun peristiwa

dalam setting tertentu. Selanjutnya proses coding digunakan untuk membuat

tema atau kategori yang dapat dimanfaatkan untuk analisis yang lebih

kompleks.

5. Langkah kelima yaitu menyajikan kembali deskripsi dan tema dalam laporan.

Dalam pembahasan ini menggunakan pendekatan naratif yang berisi tentang

kronologi kejadian dan tema tertentu. Untuk membantu penyajian dalam

pembahasan, maka peneliti menggunakan visual, tabel, dan gambar.

6. Langkah keenam yaitu membuat interpretasi data. Interpretasi dapat berasal

dari celah antara hasil penelitian dengan informasi pada literatur. Dengan kata

lain peneliti dapat menegaskan hasil penelitiannya dengan membenarkan

maupun menyanggah informasi terdahulu.

175 Ibid., hlm. 263-268

IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-84

SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA

1.8.6 Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data

Untuk memeriksa keabsahan data dalam penelitian ini, maka peneliti

menggunakan strategi triangulasi. Dalam penelitian sosial, peneliti membangun

prinsip belajar lebih banyak dengan mengamati dari berbagai perspektif daripada

hanya melihat dari satu perspektif saja.176 Dalam penelitian ini menggunakan

triangulasi sumber data yaitu dilakukan dengan memeriksa bukti dari sumber data

kemudian memanfaatkannya untuk membuat justifikasi tema.177 Keabsahan data

dalam penelitian ini dapat dicapai dengan melakukan:

a. Perbandingan hasil wawancara dengan hasil pengamatan

Peneliti membandingkan hasil wawancara pada berbagai governance

stakeholder (pemerintah, kelompok masyarakat, akademisi, media, dan dunia

usaha) tentang keberhasilan tata kelola adaptif pada desa tangguh bencana di

Desa Tugurejo Kecamatan Slahung Kabupaten Ponorogo dengan hasil

pengamatan selama di lapangan.

b. Perbandingan hasil wawancara dengan dokumen

Peneliti membandingkan hasil wawancara dengan dokumen pendukung yang

relevan.

c. Perbandingan hasil wawancara dari informan yang berbeda

Peneliti membandingkan hasil wawancara dari masing-masing informan

kemudian berusaha memahami sudut pandang informan satu dan lainnya..

1.8.7 Rincian Data yang Dikumpulkan

Pengumpulan data pada studi kasus dapat berasal dari enam sumber yaitu

dokumentasi, catatan arsip, wawancara mendalam, pengamatan langsung,

pengamatan pastisipan, dan artefak fisik. Untuk menjawab pertanyaan penelitian

tentang fenomena keberhasilan program desa tangguh bencana di Desa Tugurejo

Kecamatan Slahung Kabupaten Ponorogo dalam perpektif tata kelola adaptive

(adaptive village governance), maka data yang dikumpulkan dalam penelitian ini

berkaitan dengan interaksi antara pemerintah, kelompok masyarakat, akademisi,

176 W. Lawrence Neuman, Op.Cit., hlm. 166 177 Creswell, Op.Cit., hlm. 269

IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-85

SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA

media dan dunia usaha dalam mengurangi risiko bencana di Desa Tugurejo

Kecamatan Slahung Kabupaten Ponorogo. Ketika pengumpulan data berlangsung,

terdapat beberapa kendala yang dialami peneliti khususnya terkait dokumen formal.

Pada tabel berikut ini, peneliti memaparkan rencana dan realisasi data yang berhasil

dikumpulkan maupun yang terkendala.

Tabel 1.10 Rencana dan realisasi data yang diperoleh selama proses penelitian

No. Jenis Data Rencana Realisasi Keterangan

1. Regulasi terkait

pengurangan

risiko bencana

dan desa tangguh

bencana

(Destana) yang

disusun oleh

Kepala Desa

maupun

Pemerintah Desa

Tugurejo

Kecamatan

Slahung

Kabupaten

Ponorogo

✔ ✔ Regulasi terkait pengurangan

risiko bencana dan desa

tangguh bencana (Destana)

yang disusun oleh Kepala

Desa maupun Pemerintah

Desa Tugurejo Kecamatan

Slahung Kabupaten Ponorogo

berhasil diperoleh, di

antaranya yaitu:

Surat Keputusan (SK)

Pembentukan Desa

Tangguh Bencana

(Destana) Desa Tugurejo

Kecamatan Slahung

Kabupaten Ponorogo

Peraturan Desa tentang

penanggulangan bencana

di Desa Tugurejo

Kecamatan Slahung

Kabupaten Ponorogo

Surat Keputusan (SK)

tentang Pembentukan

IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-86

SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA

Perempuan Tangguh

Bencana (Pertahana)

Desa Tugurejo

Kecamatan Slahung

Kabupaten Ponorogo

Surat Keputusan (SK)

tentang Pembentukan

Taruna Tangguh

Bencana (Tagana) Desa

Tugurejo Kecamatan

Slahung Kabupaten

Ponorogo

2. Surat, memo,

email masuk

maupun keluar

dari para

governance

stakeholder

(pemerintah,

kelompok

masyarakat,

akademisi, media,

dan dunia usaha)

yang membahas

upaya

pengurangan

risiko bencana di

Desa Tugurejo

✔ Surat terkait upaya

pengurangan risiko bencana

Desa Tugurejo yang berhasil

didapatkan yaitu hanya dari

pihak akademisi. Pihak

pemerintah tidak bersedia

memberikan dokumen

tersebut. Sedangkan pihak

kelompok masyarakat, media,

dan dunia usaha mengalami

kendala untuk mencari

dokumen tersebut.

3. Notulensi rapat

para governance

stakeholder

✔ Notulensi rapat terkait upaya

pengurangan risiko bencana di

Desa Tugurejo yang berhasil

IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-87

SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA

(pemerintah,

kelompok

masyarakat,

akademisi, media,

dan dunia usaha)

yang membahas

upaya

pengurangan

risiko bencana di

Desa Tugurejo

didapatkan yaitu hanya dari

pihak Pemerintah Desa. Pihak

Pemerintah Kabupaten dan

Pemerintah Pusat tidak

bersedia memberikan

dokumen tersebut. Peneliti

hanya berhasil mendapatkan

materi sosialisasi dari LPBI

NU Kabupaten Ponorogo.

4. Dokumen

pengumuman

(cetak maupun

online) pada

ruang lingkup

desa untuk

sosialisasi

maupun pelatihan

tentang

pengurangan

risiko bencana di

Desa Tugurejo

✔ ✔ Dokumen pengumuman

(cetak maupun online) pada

ruang lingkup desa untuk

sosialisasi maupun pelatihan

tentang pengurangan risiko

bencana di Desa Tugurejo

berhasil diperoleh. Media

online diperoleh melalui

tangkapan layar grup

whatsapp.

5. Presensi kegiatan

sosialisasi dan

pelatihan tentang

pengurangan

risiko bencana

yang dihadiri oleh

masyarakat Desa

Tugurejo

✔ ✔ Presensi yang berhasil

diperoleh yakni presensi saat

kegiatan pelatihan tanggap

bencana di Desa Tugurejo

IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-88

SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA

6. Proposal kerja

sama antara Desa

Tugurejo dengan

para governance

stakeholder

(pemerintah,

kelompok

masyarakat,

akademisi, media,

dan dunia usaha)

untuk

pengurangan

risiko bencana di

Desa Tugurejo

✔ ✔ Proposal kerja sama tidak

berhasil diperoleh. Namun

Kepala Desa memberikan

dokumen berita acara tentang

Musyawarah Pembentukan

Kerja Sama dalam

Penanganan Keamanan

Hutan. Selain itu peneliti juga

memperoleh dokumen Surat

Keputusan Kerja Sama antara

Lembaga Masyarakat Desa

Hutan (LMDH) dengan

Taruna Tangguh Bencana

(Tagana).

7. Laporan

pertanggungjawa

ban dana desa,

khususnya

anggaran yang

dialokasikan

untuk

pengurangan

risiko bencana di

Desa Tugurejo

✔ ✔ Laporan pertanggungjawaban

dana desa, khususnya

anggaran yang dialokasikan

untuk pengurangan risiko

bencana di Desa Tugurejo

berhasil diperoleh, yaitu untuk

tahun anggaran 2019.

8.. Hasil kajian dari

para akademisi

terkait

pengurangan

risiko bencana di

Desa Tugurejo

✔ ✔ Hasil kajian dari para

akademisi terkait

pengurangan risiko bencana di

Desa Tugurejo berhasil

diperoleh melalui jurnal

ilmiah dan buku yang

IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-89

SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA

diterbitkan oleh Dosen

UNIDA.

9. Publikasi media

(cetak, elektronik

maupun online)

terkait berita

bencana di Desa

Tugurejo

Kecamatan

Slahung

Kabupaten

Ponorogo

✔ ✔ Publikasi media (cetak,

elektronik maupun online)

terkait berita bencana di Desa

Tugurejo Kecamatan Slahung

Kabupaten Ponorogo berhasil

diperoleh.

10. Data kejadian

bencana di

Kabupaten

Ponorogo tahun

2015-2019

✔ ✔ Data kejadian bencana di

Kabupaten Ponorogo tahun

2015-2019 berhasil diperoleh

melalui BPBD Kabupaten

Ponorogo, BPBD Provinsi

Jawa Timur, dan BNPB

11. Catatan organisasi

tentang anggaran

dan personil dari

kelompok

masyarakat,

diantaranya

Tagana,

Pertahana, LPBI

NU, PMI

Ponorogo, dan

Organisasi RAPI

✔ ✔ Catatan organisasi tentang

personil dari kelompok

masyarakat, diantaranya

Tagana, Pertahana, LPBI NU,

PMI Ponorogo, dan

Organisasi RAPI berhasil

diperoleh. Namun untuk

catatan organisasi tentang

anggaran, organisasi tersebut

tidak bersedia memberikan

informasi.

IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-90

SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA

12. Peta rawan

bencana Desa

Tugurejo

✔ ✔ Peta rawan bencana Desa

Tugurejo berhasil diperoleh.

13. Makna

keberhasilan

program desa

tangguh bencana

bagi para

governance

stakeholder

✔ ✔ Makna keberhasilan program

desa tangguh bencana bagi

para governance stakeholder

berhasil diperoleh

Sumber: dokumen pribadi peneliti