bab i
DESCRIPTION
bTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sekitar 80% dari seluruh kasus baru praktek umum berhubungan dengan
infeksi saluran napas yang terjadi di masyarakat (pneumonia komunitas/PK) atau
di dalam rumah sakit (pneumonia nosokomial/PN). Pneumonia yang merupakan
bentuk infeksi saluran nafas bawah akut di parenkim paru yang serius dijumpai
sekitar 15-20%.
Di AS pneumonia mencapai 13% dari semua penyakit infeksi pada anak
dibawah 2 tahun. Berdasarkan hasil penelitian insiden pada pneumonia didapat 4
kasus dari 100 anak prasekolah, 2 kasus dari 100 anak umur 5-9 tahun,dan 1 kasus
ditemukan dari 100 anak umur 9-15 tahun.
UNICEF memperkirakan bahwa 3 juta anak di dunia meninggal karena
penyakit pneumonia setiap tahun. Meskipun penyakit ini lebih banyak ditemukan
pada daerah berkembang akan tetapi di Negara majupun ditemukan kasus yang
cukup signifikan. Berdasarkan umur, pneumonia dapat menyerang siapa saja.
Meskipun lebih banyak ditemukan pada anak-anak. Pada berbagai usia
penyebabnya cendrung berbeda-beda, dan dapat menjadi pedoman dalam
memberikan terapi.
Pneumonia merupakan salah satu penyakit infeksi saluran napas yang
terbanyak di dapatkan dan sering merupakan penyebab kematian hampir di
seluruh dunia. Di Inggris pneumonia menyebabkan kematian 10 kali lebih banyak
dari pada penyakit infeksi lain, sedangkan di AS merupakan penyebab kematian
urutan ke 15.
Di Indonesia berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun
2007, menunjukkan; prevalensi nasional ISPA: 25,5% (16 provinsi di atas angka
nasional), angka kesakitan (morbiditas) pneumonia pada Bayi: 2.2 %, Balita: 3%,
angka kematian (mortalitas) pada bayi 23,8%, dan Balita 15,5%.
Pneumonia pada dapat terjadi pada orang tanpa kelainan imunitas yang
jelas. Namun pada kebanyakan pasien dewasa yang menderita pneumonia didapati
adanya satu atau lebih penyakit dasar yang mengganggu daya tahan tubuh.
1
Frekuensi relative terhadap mikroorganisme petogen paru bervariasi menurut
lingkungan ketika infeksi tersebut didapat.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan paru yang disebabkan
oleh mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit). Pneumonia yang disebabkan
oleh Mycobacterium tuberculosis tidak termasuk Sedangkan peradangan paru
yang disebabkan oleh non mikroorganisme (bahan kimia, radiasi, aspirasi bahan
toksik, obat-obatan dan lain -lain) disebut pneumonitis.
Di Indonesia, penyebab yang paling umum dari pneumonia adalah bakteri
Streptococcus pneumoniae. Pada pneumonia yang disebabkan oleh bakteri ini,
biasanya didapatkan suatu gejala tiba-tiba seperti menggigil, demam, dan produksi
dari suatu sputum yang berwarna karat (pekat). Infeksi menyebar ke dalam darah
pada 20%-30% dari kasus, dan jika ini terjadi 20%-30% dari pasien-pasien ini
meninggal dunia.
2.2 Etiologi
Menurut publikasi WHO, penelitian di berbagai negara menunjukan
bahwa di negara berkembang Streptokokus pneumonia dan Hemofilus influenza
merupakan bakteri yang selalu ditemukan pada dua pertiga dari hasil isolasi, yaitu
73,9 % aspirat paru dan 69,1% hasil isolasi dari spesimen darah. Sedangkan di
negara maju, pneumonia pada umumnya disebabkan oleh virus. Etiologi
pneumonia antara lain:
1. Bakteri : Diplococcus pneumonia, Pneumococcus, Streptococcus
hemolyticus, Streptococcus aureus, Hemophilus influenza, Bacillus
Friedlander.
2. Virus : Respiratory syncytial virus, virus influenza, adenovirus,
cytomegalovirus.
3. Jamur : Mycoplasma pneumoces dermatitides, Coccidioides immitis,
Aspergillus, Candida albicans.
4. Aspirasi : Makanan, kerosene (bensin, minyak tanah), cairan amnion,
benda asing.
3
2.3 Faktor Resiko
Beberapa kelompok-kelompok mempunyai faktor risiko yang lebih tinggi
untuk terkena pneumonia, yaitu antara :
Usia lebih dari 65 tahun
Merokok
Malnutrisi baik karena kurangnya asupan makan ataupun
dikarenakan penyakit kronis lain.
Kelompok dengan penyakit paru, termasuk kista fibrosis, asma,
PPOK, dan emfisema.
4
Kelompok dengan masalah-masalah medis lain, termasuk diabetes
dan penyakit jantung.
Kelompok dengan sistem imunitas dikarenakan HIV, transplantasi
organ, kemoterapi atau penggunaan steroid lama.
Kelompok dengan ketidakmampuan untuk batuk karena stroke,
obat-obatan sedatif atau alkohol, atau mobilitas yang terbatas.
Kelompok yang sedang menderita infeksi traktus respiratorius atas
oleh virus.
2.4 Klasifikasi
Pembagian pneumonia tidak ada yang memuaskan. Berdasarkan anatomis,
pneumonia dibagi atas:
1. Pneumonia lobaris :
Sering disebabkan aspirasi benda asing atau oleh infeksi bakteri
(Staphylococcus), jarang pada bayi dan orang tua. Pneumonia yang
terjadi pada satu lobus atau segmen kemungkinan sekunder
disebabkan oleh obstruksi bronkus misalnya pada aspirasi benda asing
atau proses keganasan. Pada gambaran radiologis, terlihat gambaran
gabungan konsolidasi berdensitas tinggi pada satu segmen/lobus atau
bercak yang mengikutsertakan alveoli yang tersebar. Air bronchogram
adalah udara yang terdapat pada percabangan bronchus, yang
dikelilingi oleh bayangan opak rongga udara. Ketika terlihat adanya
bronchogram, hal ini bersifat diagnostik untuk pneumonia lobaris
2. Pneumonia lobularis (bronkopneumonia)
Inflamasi paru-paru biasanya dimulai di bronkiolus terminalis.
Bronkiolus terminalis menjadi tersumbat dengan eksudat
mukopurulen membentuk bercak-bercak konsolidasi di lobulus yang
bersebelahan. Penyakit ini seringnya bersifat sekunder, mengikuti
infeksi dari saluran nafas atas, demam pada infeksi spesifik dan
penyakit yang melemahkan sistem pertahanan tubuh. Pada bayi dan
orang-orang yang lemah, Pneumonia dapat muncul sebagai infeksi
primer.
5
3. Pneumonia interstitialis (bronkiolitis)
Terutama pada jaringan penyangga, yaitu interstitial dinding
bronkus dan peribronkil. Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi
virus dan mycoplasma. Terjadi edema dinding bronkioli dan juga
edema jaringan interstisial prebronkial. Radiologis berupa bayangan
udara pada alveolus masih terlihat, diliputi perselubungan yang tidak
merata
4. Sedangkan klasifikasi pneumonia berdasarkan klinis dapat di lihat
pada table 2 berikut ini :
2.5 Patogenesis Pneumonia
Dalam keadaan sehat, pada paru tidak akan terjadi pertumbuhan
mikroorganisme. Keadaan ini disebabkan adanya mekanisme pertahanan paru.
Terdapatnya bakteri di dalam paru menunjukkan adanya gangguan daya tahan
tubuh, sehingga mikroorganisme dapat berkembang biak dan mengakibatkan
timbulnya infeksi penyakit. Masuknya mikroorganisme ke dalam saluran nafas
dan paru dapat melalui berbagai cara, antara lain inhalasi langsung dari udara,
aspirasi dari bahan-bahan yang ada di nasofaring dan orofaring serta perluasan
langsung dari tempat-tempat lain, penyebaran secara hematogen.
Mekanisme daya tahan traktus respiratorius bagian bawah sangat efisien
untuk mencegah infeksi yang terdiri dari susunan anatomis rongga hidung,
jaringan limfoid di nasofaring, bulu getar yang meliputi sebagian besar epitel
traktus respiratorius dan sekret lain yang dikeluarkan oleh sel epitel tersebut.
Reflek batuk, refleks epiglotis yang mencegah terjadinya aspirasi sekret yang
6
terinfeksi. Drainase sistem limfatis dan fungsi menyaring kelenjar limfe regional.
Fagositosis, aksi limfosit dan respon imunohumoral terutama dari IgA. Sekresi
enzim – enzim dari sel-sel yang melapisi trakeo-bronkial yang bekerja sebagai
anti mikroba yang non spesifik.1 Bila pertahanan tubuh tidak kuat maka
mikroorganisme dapat melalui jalan nafas sampai ke alveoli yang menyebabkan
radang pada dinding alveoli dan jaringan sekitarnya. Setelah itu mikroorganisme
tiba di alveoli membentuk suatu proses peradangan yang meliputi empat stadium,
yaitu :
7
A. Stadium (4–12 jam pertama/ kongesti)
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang
berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan
peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia
ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-sel mast setelah
pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator tersebut mencakup
histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur
komplemen.
Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk
melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru.
Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstisium
sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus.
Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus
ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida, sehingga mempengaruhi perpindahan
8
gas dalam darah dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen
hemoglobin.
B. Stadium II (48 jam berikutnya)
Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah
merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu (host) sebagai bagian dari
reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya
penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah
dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau
sangat minimal sehingga anak akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung
sangat singkat, yaitu selama 48 jam.
C. Stadium III (3–8hari)
Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih
mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin
terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel.
Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap padat
karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler
darah tidak lagi mengalami kongesti.
D. Stadium IV (7–11hari)
Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan
peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh
makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula.
2.6 Penegakan Diagnosa
Diagnosis pneumonia ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
fisik serta dibantu dengan pemeriksaan penunjang.
1. Anamnesis
Gejala tersering dari pneumonia antara lain nyeri dada, nafas memendek,
nyeri saat bernafas, nadi dan pernafasan meningkat/ cepat, nausea,
vomitus, diare, dan batuk dengan sputum berwarna hijau, kuning dan
berwarna karat. Kebanyakan penderita demam (temperatur > 38 ᵒC),
walaupun pada lansia dapat menderita demam dengan suhu yang lebih
rendah.
9
2. Pemeriksaan Fisik
Pneumonia dicurigai saat pada pemeriksaan fisik didapatkan ronki
(crackling sounds) saat mendengar dengan stetoskop pada bagian dada.
Dapat juga ditemukan wheezing, atau suara nafas yang menjadi kasar pada
beberapa daerah di dada.
3. Pemeriksaan Penunjang
a) Rogent torak PA merupakan dasar diagnosis utama pneumonia
b) Leukosit>15.000/ul, dengan didominasi sel neutrofil
c) Trombositopenia bisa didapatkan pada pneumonia dengan empiema
d) Pemeriksaan sputum kurang berguna
e) Biakan darah jarang positif (3 – 11%) kecuali untuk Pneumokokus dan
H. Influenzae (25 – 95%)
f) Rapid test untuk deteksi antigen bakteri mempunyai sensitifitas dan
spesifisitas rendah.
g) Pemeriksaan serologis kurang bermanfaat.
Gambar 3. Rogent torak PA penderita pneumonia
10
2.7 Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan penderita pneumonia adalah menghilangkan
infeksi dan mencegah terjadinya komplikasi akibat infeksi tersebut.
Penatalaksanaan pneumonia didasarkan kepada organisme apa yang menyebabkan
pneumonia tersebut (disebut dengan terapi empirik). Kebanyakan penderita
membaik dengan terapi empirik ini.
Kebanyakan pasien dengan pneumonia ditatalaksana di rumah dengan
pemberian antibiotik-antibiotik oral. Penderita dengan faktor resiko untuk menjadi
lebih berat dapat ditatalaksana dengan perawatan di rumah sakit. Monitoring di
rumah sakit termasuk kontrol terhadap frekuensi denyut jantung dan pernafasan,
temperatur, dan oksigenisasi. Penderita yang dirawat di rumah sakit biasanya
diberikan antibiotik intravena dengan dosis dan pemberian yang terkontrol.
Lamanya hari perawatan di rumah sakit sangat bervariasi tergantung bagaimana
respon penderita terhadap pengobatan, apakah ada penyakit penyerta/
sebelumnya, dan apakah ada masalah-masalah medis lainnya yang dapat
memperberat pneumonia yang dideritanya. Beberapa penderita, termasuk
penderita yang sebelumnya menderita kerusakan paru atau penyakit paru berat
lainnya, penderita dengan imunitas menurun, atau penderita dengan pneumonia
yang mengenai lebih dari 1 lobus (disebut multilobar pneumonia), dapat lebih
lambat untuk membaik atau mungkin membutuhkan perawatan lebih lama di
rumah sakit.
Berbagai macam regimen antibiotik tersedia untuk terapi pneumonia.
Pemilihan antibiotik mana yang baik digunakan bergantung pada banyak faktor,
termasuk :
- Penyakit penyerta/ sebelumnya
- Terinfeksi dengan bakteri yang resisten antibiotik tertentu.
Penderita yang sebelumnya menggunakan antibiotik untuk terapi penyakit
lain pada tiga bulan terakir mempunyai faktor resiko yang lebih tinggi untuk
terinfeksi bakteri yang resisten antibiotik tertentu. Untuk semua regimen
antibiotik, penting untuk menggunakan antibiotik tersebut sampai selesai dan
sesuai dengan prosedur penatalaksanaan.
11
Diagnosis etiologi pneumonia sangat sulit untuk dilakukan, sehingga
pemberian antibiotik diberikan secara empirik sesuai dengan pola kuman tersering
yaitu Streptococcus pneumonia dan H. influenza. Bila keadaan pasien berat atau
terdapat empiema, antibiotik adalah golongan sefalosporin. Antibiotik parenteral
diberikan sampai 48-72 jam setelah panas turun, dilanjutkan dengan pemberian
per oral selama 7 – 10 hari. Bila diduga penyebab pneumonia adalah S.aureus,
kloksasilin dapat segera diberikan. Bila alergi terhadap penisilin dapat diberikan
cefazolin, klindamisin, atau vancomycin. Lama pengobatan untuk Stafilokokus
adalah 3 – 4 minggu.10
12
BAB III
ILUSTRASI KASUS
I. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Ny. S
Usia : 41 Tahun
Alamat : Jl. Taman Bunga merak no.23 Malang
Jenis Kelamin : Perempuan
Pendidikan : S1
Pekerjaan : Guru
Agama : Islam
Status : Menikah
Suku : Jawa
2. ANAMNESA
1. Keluhan Utama : Muntah-muntah
Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien datang diantar suaminya ke UGD RSI
Malang pada pukul 20.15 WIB dengan keluhan muntah. Keluhan muntah sudah
sejak dua hari yang lalu. Setelah makan kadang pasien juga langsung muntah.
Dari pagi hingga saat ini muntah kurang lebih sudah 5 kali Selain itu, pasien juga
mengalami batuk berdahak dan pilek demam sejak tiga hari. Keluhan batuk dan
pilek dirasakan sejak 7 hari yang lalu. Terkadang batuk disertai sesak nafas.
Selain itu pasien juga mengalami demam terjadi pada siang sampai malam hari
dan turun pada pagi hari. Selama sakit, pasien tampak lemas
2. Riwayat Penyakit Dahulu:
Riwayat Sakit Serupa : Sering batuk dan flu sejak berusi 20 tahun,
sembuh jika dibawa ke dokter dan diberi obat. Obat yang diberikan adalah
oabat untuk batuk, panas, dan antibiotik. Setelah sehari pemberian obat,
pasien biasanya langsung sembuh, sehingga tidak melanjutkan untuk
minum obat.
Riwayat MRS : Disangkal.
Riwayat Sakit Kejang : Disangkal
Riwayat Alergi Obat : Disangkal
13
Riwayat Alergi Makanan : Disangkal
3. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat Keluarga dengan penyakit serupa : Disangkal
Riwayat Hipertensi : Disangkal
Riwayat Sakit Gula : Disangkal
Riwayat Jantung : Disangkal
Riwayat Penyakit Tumor :Disangkal
4. Riwayat Kebiasaan
Riwayat Merokok : Ny. S tidak merokok, sedangkan suaminya adalah
seorang perokok yaitu 1 pak per-hari.
5. Riwayat Sosial Ekonomi:
Pasien adalah lulusan S1, dan sekarang menjadi seorang guru di SMA.
Dan suaminya adalah seorang wirswasta. Pendapatan keluarga per bulan
kurang lebih 3,5 juta rupiah.
6. Riwayat Gizi:
Ny. S makan biasanya 2-3 kali perhari. Semenjak kuliah pasien jarang
makan secara teratur, sering terlambat makan. Pasien makan lauk sayur,
tempe, telur dan ayam. Jarang mengkonsumsi buah dan susu. Pasien
mengatakan badannya semakin kurus walaupun tidak dilakukan
penimbangan secara tepat.
3. ANAMNESA SISTEM
1. Kulit : Gatal (-).
2. Kepala : Sakit kepala (-), pusing (-), rambut todak rontok, luka
kepala (-), benjolan (-).
3. Mata : Penglihatan kabur (-), ketajaman penglihatan normal.
4. Hidung : Tersumbat (-) , mimisan (-)
5. Telinga : Pendengaran berkurang (-), berdengung (-), keluar
cairan (-)
6. Mulut : Sariawan (-), mulut kering (-), lidah terasa pahit (-)
7. Tenggorokan : Sakit menelan (-), suara serak (-)
8. Pernafasan : Sesak nafas (-), batuk (+)
9. Kardiovaskuler : Berdebar-debar (-), nyeri dada (-)
14
10. Gastrointestinal : Mual/muntah (+), diare (-), nafsu makan menurun (-),
nyeri perut kanan bawah (-), BAB normal.
11. Genitourinaria : BAK lancar
12. Neurologik : Kejang (-), lumpuh (-)
13. Psikiatri : Emosi stabil (+), mudah marah (-)
14. Muskuloskeletal : Kaku sendi (-), nyeri tangan dan kaki (-), nyeri otot (-)
15. Ekstremitas atas : Bengkak (-), sakit (-), luka (-)
16. Ekstremitas bawah : Bengkak (-), sakit (-), luka (-)
4. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum: Sakit sedang, Composmentis, GCS 456
2. Vital Sign :
RR : 28x/menit
Suhu : 38.80 C
Nadi : 104
Tensi : 100/70 mm/Hg
3. Antropometri :
- BB : 60 Kg
4. Kulit :Kulit sawo matang, turgor (N), ikterik (-), sianosis (-), pucat
(-), kulit gatal dan mengelupas (-), kulit kering (-)
5. Kepala :Simetris, normocephal, rambut tidak rontok, rambut tidak
mudah dicabut, luka pada kepala (-), benjolan/borok (-).
6. Mata :Mata cowong (+/+), Conjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik
(-/-), radang/konjungtivitis/uveitis (-/-), reflek cahaya (+/+).
7. Hidung :Nafas cuping hidung (-), simetris, saddle nose (-), sekret (-),
perforasi (-), epistaksis (-), deformitas hidung (-)
8. Telinga :Daun telinga simetris, pendengaran berkurang (-), cuping
telinga dalam batas normal.
9. Mulut : Simetris, mulut kering (-), sianosis (-), bibir pucat (-), bibir
kering (-), lidah kotor (-), papil lidah atrofi (-), tepi lidah hiperemis (-),
tremor (-), gusi berdarah (-).
10. Tenggorokan: Tonsil membesar (-), pharing hiperemis (-).
15
11. Leher : JVP tidak meningkat, trakea di tengah, pembesaran, kelenjar
tiroid (-), pembesaran kelenjar limfe (-), lesi pada kulit (-).
12. Thorax :Simetris, bentuk normochest, retraksi interkostal (-), retraksi
subkostal (- ), spider nevi (-), venectasi (-), pembesaran kelenjar limfe
(-)
Cor :
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis kuat angkat
Perkusi :
batas kiri atas : SIC II 1 cm lateral Linea Para Sternalis Sinistra
batas kanan atas : SIC II Linea Para Sternalis Dekstra
batas kiri bawah : SIC V 1 cm lateral Linea Medio Clavicularis
Sinistra
batas kanan bawah : SIC IV Linea Para Sternalis Dekstra
(batas jantung kesan tidak melebar)
Auskultasi : Bunyi Jantung I–II intensitas normal,
regular, bising (-)
Pulmo
Inspeksi : pengembangan dada kanan sama dengan kiri
Palpasi : fremitus raba kanan sama dengan kiri
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+), Ronkhi (+/+)
13. Abdomen
Inspeksi : dinding perut sejajar dengan dinding dada,
venektasi (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : timpani
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tak teraba
14. Ektremitas : palmar eritema (-/-)
Akral dingin
16
- -
- -
Oedem
Ulkus
14. Sistem genetalia: Tidak dilakukan pemeriksan
15. Pemeriksaan Neurologik : Tidak dilakukan pemeriksaan
16. Pemeriksaan Psikiatrik : Tidak dilakukan pemeriksaan
17
- -
- -
- -
- -
5. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium Darah Lengkap
Hb : 12.8 g/dL (12- 16 mg/dL)
Leukosit : 13.500 µL (4-10 ribu mg/dL)
LED : 66 mm/jam (2-20 mm/jam)
Trombosit : 410.000 µL (150- 400 ribu )
PCV : 38,7 % (37- 48 %)
Eritrosit : 4,66 juta/mm3 (4.0- 5.5 juta/mm3)
Hitung jenis : 1/1/-/67/14/8 lapang pandang
Pemeriksaan Kimia darah
SGOT : 22 (<40 IU)
SGPT : 8 (<40 IU)
Pemeriksaan Foto Thorak PA : Tampak infiltrate di pericardial dextra.
5. DIAGNOSA
Pneumonia
6. TERAPI
Terapi Non-Farmakologi
Tirah Baring
Diet TKTP lunak
Pemberian O2 2 ltr/menit
Pengaturan pola diet
18
Terapi Farmakologi
19
Suci Dwi Nurhidayah, SKedSP/SIP 208.121.0022
Alamat : Jl. MT.Haryono - MalangJam praktek 18.00-21.00
Telp (0341) 897401938
Malang, 22 Oktober 2013
R/ Inf Dekstrosa cc 500 Fl No. IVCum Infus set No.IIv catheter No.I S. i.m.m
R/ Inj. Ceftriaxone Vial 1 g No.IVCum Spuit cc 5 No.IAqua bidest No. 1S.i.m.m
R/ Inj. Ondansetron Ampul 4 mg No.IIICum Spuit cc 5 No.IS.i.m.m
R/ Ambroksol tab mg 30 No. XS. 3 dd tab 1
R/ Paracetamol tab mg 500 No. XS. prn (1-3) dd tab 1
R/ Salbutamol tab 4 mg No.X
S. 3 dd tab 1
Pro : Ny. S
Umur : 41 tahun
Alamat: Lowok Waru
Pro : BB :
Alamat : Usia :
Pro : Umur : Alamat : BB :
Pro : BB :
Alamat : Usia :
Pro : Umur : Alamat : BB :
BAB IV
PEMBAHASAN
1. ANTIBIOTIK
Karena pada pasien sudah termasuk kategori 3 jadi harus diberi antibiotik
golongan sefalosporin generasi 3 dengan rute injeksi dikarenakan pasiennya mual
dan muntah dan untuk mempercepat proses penyembuhan. Setelah pasien sudah
tidak mual muntah lagi diberikan secara rute oral.
Diberikan Ondansetron : karena pada pasien terjadi mual muntah yang
berlebihan
- Komposisi: Ondansetron 4 mg/2 ml
20
- Indikasi : Pencegahan dan pengobatan mual dan muntah karena
berbagai sebab.
- Dosis : Pencegahan mual dan muntah pasca bedah : Dosis pertama 1
tablet diberikan 1 jam sebelum pembiusan dianjurkan pemberian 2 dosis
berikutnya 1 tablet dengan interval waktu masing-masing 8 jam. Pengobatan mual
dan muntah pasca bedah : 4 mg im sebagai dosis tunggal atau injeksi iv secara
perlahan. Penderita degan gangguan hati tidak boleh lebih 8 mg.
- Kontraindikasi : Hipersensitivitas
- Efek samping : Sakit Kepala, Konstipasi, rasa panas pada kepala dan
epigastrium.
- Interaksi Obat: Karena Ondansetron dimetabolisme oleh enzim
metabolik sitokrom P-450, perangsangan dan penghambatan terhadap enzim ini
dapat mengubah klirens dan waktu paruhnya. Pada penderita yang sedang
mendapat pengobatan dengan obat-obat yang secara kuat merangsang enzim
metabolisme CYP3A4 (seperti Fenitoin, Karbamazepin dan Rifampisin), klirens
Ondansetron akan meningkat secara signifikan, sehingga konsentrasi dalam darah
akan menurun.
- Farmakodinamik: Ondansetron adalah golongan antagonis reseptor
serotonin (5-HT3) merupakan obat yang selektif menghambat ikatan serotonin
dan reseptor 5-HT3. Obat-obat anestesi akan menyebabkan pelepasan serotonin
dari sel-sel mukosa enterochromafin dan dengan melalui lintasan yang melibatkan
5-HT3 dapat merangsang area postrema menimbulkan muntah. Pelepasan
serotonin akan diikat reseptor 5-HT3 memacu aferen vagus yang akan
mengaktifkan refleks muntah. Serotonin juga dilepaskan akibat manipulasi
pembedahan atau iritasi usus yang merangsang distensi gastrointestinal.
Efek antiemetik ondansetron terjadi melalui:
a. Blokade sentral pada area postrema (CTZ) dan nukleus traktus solitarius
melalui kompetitif selektif di reseptor 5-HT3
b. Memblok reseptor perifer pada ujung saraf vagus yaitu dengan
menghambat ikatan serotonin dengan reseptor pada ujung saraf vagus
- Farmakokinetik: Setelah pemberian per oral, Ondansetron yang
diberikan dengan dosis 8 mg akan diserap dengan cepat dan konsentrasi
21
maksimum (30 ng / ml) dalam plasma dicapai dalam waktu 1,5 jam. Konsentrasi
yang sama dapat dicapai dalam 10 menit dengan pemberian Ondansetron 4 mg i.v.
Bioavalibilitas oral absolut Ondansetron sekitar 60%. Kondisi sistemik yang
setara juga dapat dicapai melalui pemberian secara i.m atau i.v. Waktu paruhnya
sekitar 3 jam. Volume distribusi dalam keadaan statis sekitar 140 L. Ondansetron
yang berikatan dengan protein plasma sekitar 70 – 76%. Ondansetron
dimetabolisme sanagt baik di sistem sirkulasi, sehingga hanya kurang dari 5 %
saja yang terdeteksi di urine.
22
DAFTAR PUSTAKA
1. Leman M. Pneumonia : Musuh Spesial para Lanjut Usia. Disitasi dari :
http://leman.or.id/medicastore/pneumonia.htm, pada tanggal : 20 Agustus
2009. Perbaharuan terakhir : Juni 2007.
2. Universuty of Michigan Health System. Pneumonia. Disitasi dari :
http://www.med.umich.edu/1libr/aha/aha_pneum_crs.htm, pada tanggal :
20 Agustus 2009. Perbaharuan terakhir : Januari 2009.
3. Webmaster. Pneumonia. Disitasi dari :
http://www.infeksi.com/articles.php(?lng=in&pg=48.htm, pada tanggal :
22 Agustus 2009. Perbaharuan terakhir : Januari 2009.
4. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan
Anak 3. Jakarta: Infomedika Jakarta; 1995.1228-1235.
5. Bartlett JG, Marrie TJ, File TM. Pneumonia in Adult. Disitasi dari :
http://www.utdol.com/patients/content/topic.do(?)topicKey=~IULIBvWW
VqokV S.htm, pada tanggal : 22 Agustus 2009. Perbaharuan terakhir :
Januari 2008.
6. Lampiran Keputusan Menteri Kesehatan. Pemberantasan Penyakit ISPA.
Nomor: 1537.A/MENKES/SK/XII/2002. Tanggal 5 Desember 2002.
Jakarta : Departemen Keseharan; 2002.
7. Reuters T. Pneumonia in Adult. Disitasi dari :
http://www.pdrhealth.com/disease/disease mono.aspx(?)contentFileName=
BHG01ID07.xml&contentName=Pneumonia+in+Adults&contentId=119.
htm, pada tanggal : 22 Agustus 2009. Perbaharuan terakhir : 2009.
8. Dahlan Z. Artikel: Pandangan Baru Pneumonia Atipik dan Terapinya.
Bagian Penyakit Dalam FK.UNPAD Rumah Sakit Hasan Sadikin
Bandung. Bandung : FK UNPAD; 2007.
9. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Standar Pelayanan Kesehatan Anak Edisi I.
2004. Jakarta : IDAI; 2004.
23