bab i
DESCRIPTION
-TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
ISPA ( infeksi saluran pernafasan akut ) adalah penyakit terbanyak yang
dilaporkan kepada pelayanan kesehatan. ISPA bisa diderita oleh semua umur,
akan tetapi prevalensi ISPA tertinggi terjadi pada usia balita. World Health
Organization (WHO) memperkirakan insidensi Infeksi Saluran Pernapasan
Akut (ISPA) di negara berkembang dengan angka kematian balita di atas 40
per 1000 kelahiran hidup adalah 15%-20% pertahun pada golongan usia
balita. Menurut WHO ± 13 juta anak balita di dunia meninggal setiap tahun
dan sebagian besar kematian tersebut terdapat di negara berkembang dan
ISPA merupakan salah satu penyebab utama kematian dengan membunuh ± 4
juta anak balita setiap tahun (WHO, 2007).
ISPA merupakan penyakit yang menjadi consern di seluruh dunia. Salah
satu bukti bahwa ISPA menjadi consern dunia adalah dengan adanya
pertemuan United Nations Special Session on Children di New York pada
tahun 2002 yang hasilnya berupa sebuah dokumen A World Fit for Children
menegaskan bahwa salah satu cara untuk mencapai tujuan Millenium
Development Goals adalah dengan menurunkan sepertiga kematian bayi
akibat Infeksi Saluran Pernafasan Akut (Depkes, 2005)
Di Indonesia sendiri, ISPA masih merupakan penyakit terbanyak yang
dilaporkan oleh sebagian besar Puskesmas. Berdasarkan hasil laporan Riset
Kesehatan Dasar (RISKESDAS) pada tahun 2007, prevalensi ISPA di
Indonesia sekitar 25,5% dengan prevalensi tertinggi terjadi pada bayi dua
tahun (>35%). Sedangkan menurut Departemen Kesehatan jumlah balita
dengan ISPA di Indonesia pada tahun 2011 adalah lima diantara 1.000 balita
yang artinya jika dijabarkan sebanyak 150.000 balita meninggal pertahun atau
sebanyak 12.500 balita perbulan atau 416 kasus sehari atau 17 balita perjam
atau seorang balita perlima menit. Dapat disimpulkan bahwa prevalensi
penderita ISPA di Indonesia adalah 9,4% ( Depkes, 2012).
Jumlah penderita ISPA di Jawa Barat pada tahun 2012 diperkirakan
mencapai 20.687 kasus. Program pemerintah untuk menurunkan prevalensi
ISPA belum menemukan titik keefektifan karena faktor risiko ISPA sangat
beragam dan kompleks. Salah satu program pemerintah untuk menurunkan
angka kematian akibat ISPA adalah program MTBS (Manajemen Terpadu
Balita Sakit) tetapi program ini belum bisa menurunkan angka kejadian ISPA
pada balita di Indonesia.
Menurut kepala bagian Wasdal Dinas Kesehatan Kabupaten Bandung,
Kabupaten Bandung memiliki angka yang cukup tinggi untuk prevalensi
ISPA. Diperkirakan kasus ISPA yang diderita balita di Kabupaten Bandung
sebanyak 320 ribu balita dari total penduduk 3,2 juta jiwa tiap tahunnya. Pada
tahun 2010, dinas kesehatan Kabupaten Bandung menerima laporan penemuan
kasus Ispa dari Puskesmas sebanyak 21.929 kasus dengan dua kasus kematian.
Sedangkan pada 2011, sebanyak 22.371 kasus dengan dua kematian, pada
tahun 2012 sebanyak 183.640 kasus dengan satu kasus kematian dan pada
tahun 2013 sebanyak 144.366 kasus dan belum dilaporkan adanya kematian
akibat ISPA.
Menurut Dinas Kesehatan Kabupaten Bandung, Puskesmas Cicalengka
adalah Puskesmas yang melaporkan angka kejadian ISPA tertinggi di
Kabupaten Bandung. Puskesmas Cicalengka melaporkan kasus ISPA pada
tahun 2011 sebesar 3.501 kasus dari total balita 6.141. Pada tahun 2012 terjadi
penurunan penderita ISPA yang dilaporkan Puskesmas Cicalengka yaitu
sebesar 2.984 kasus. Tetapi terjadi peningkatan yang sangat drastis pada tahun
2013 yaitu sebanyak 9.917 kasus ISPA dan populasi ISPA tertinggi terjadi
pada kelompok usia 0-12 bulan. Puskesmas ini juga menerapkan program
MTBS di poli anak dan masih belum bisa menurunkan angka kejadian ISPA
tiap tahunnya.
Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya ISPA pada bayi. Faktor
utama pada peningkatan kejadian ISPA pada balita adalah pemberian ASI
non-eksklusif. Hal ini terlihat dari beberapa penelitian yang telah dilakukan
sebelumnya. Penelitian yang dilakukan oleh Miftahul Munir pada tahun 2013
di Puskesmas Tuban menunjukkan bahwa faktor risiko utama yang menjadi
pemicu kejadian ISPA pada balita adalah pemberian ASI non eksklusif
sebesar 78% dari faktor-faktor risiko lainnya. Sedangkan penelitian yang
dilakukan oleh Widarini dkk di Kabupaten Bandung menunjukkan Asi non-
eksklusif merupakan faktor risiko utama ISPA dengan persentase sebesar
60,78%. Penelitian lainnya yaitu penelitian yang dilakukan oleh Oddy et al
tahun 2003 di RS bersalin Perth Australia Barat dengan hasil pemberian
makanan pendamping ASI yang diberikan setelah anak berumur 6 bulan dan
kelanjutan pemberian ASI sampai anak berumur lebih dari satu tahun dapat
menurunkan prevalensi dan morbiditas penyakit pernapasan dan infeksi pada
satu tahun pertama kehidupan bayi.
Menurut WHO, ASI Eksklusif adalah air susu ibu yang diberikan pada
enam bulan pertama bayi baru lahir tanpa adanya makanan
pendamping lain. Data laporan tahun 2000 WHO, sekitar 15 % bayi di seluruh
dunia diberi ASI eksklusif selama 4 bulan dan seringkali pemberian makanan
pendamping ASI tidak sesuai dan tidak aman sehingga menyebabkan kurang
lebih 1, 5 juta anak meninggal karena pemberian makanan yang tidak benar.
Pada tahun 2000, survei kesehatan demografi WHO menemukan bahwa
pemberian ASI eksklusif selama 4 bulan pertama sangat rendah terutama di
Afrika Tengah dan utara, Asia dan Amerika Latin. Oleh karena itu, WHO
menganjurkan agar bayi diberikan ASI eksklusif selama 6 bulan pertama
sebab terbukti bahwa menyusu eksklusif selama 6 bulan menurunkan angka
kematian dan kesakitan pada umumnya dibandingkan menyusu selama 4
bulan.
Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2004-2009,
cakupan pemberian ASI eksklusif pada seluruh bayi dibawah 6 bulan (0–6
bulan) meningkat dari 58,9% pada tahun 2004 menjadi 61,3% pada tahun
2009. Begitu juga dengan cakupan bayi yang mendapat ASI eksklusif terus
menerus dari usia 0 sampai 6 bulan juga meningkat dari 19,5% tahun 2005
menjadi 34.3% pada tahun 2009. Sementara berdasarkan hasil analisis
Riskesdas tahun 2010 diketahui bahwa persentase bayi yang menyusui
eksklusif sampai dengan 6 bulan adalah 15,3 persen. Hal ini menunjukkan
adanya penurunan drastis pada pemberian ASI eksklusif di Indonesia.
Data Dinas Kesehatan Kabupaten Bandung mengenai ASI Eksklusif
menunjukkan penurunan setiap tahunnya. Pada tahun 2011 persentase
pemberian ASI eksklusif di Kabupaten Bandung adalah 47% dari total 24.872
bayi berumur 0-6 bulan. Pada tahun 2012 sebesar 41% dari total 26.591 bayi
0-6 bulan dan pada tahun 2013 persentase pemberian ASI eksklusif di
Kabupaten Bandung sebesar 19% dari total 30.535 bayi 0-6 bulan. Penurunan
pemberian ASI eksklusif dapat berpengaruh besar terhadap kesehatan anak
mengingat besarnya manfaat dari ASI yang salah satunya dapat melindungi
bayi dari infeksi.
Untuk wilayah kerja Puskesmas Cicalengka, pada tahun 2011 persentase
pemberian ASI eksklusif sebesar 45% dari total 555 bayi 0-6 bulan, sedangkan
pada tahun 2012 mengalami peningkatan menjadi 51% dari total 464 bayi 0-6
bulan. Pada tahun 2013 terjadi peningkatan kembali pemberian ASI eksklusif
menjadi 53% dari total 464 bayi 0-6 bulan. Angka-angka tersebut masih
kurang capaiannya karena untuk target ASI eksklusif sendiri sebenarnya
adalah 80%.
Meskipun terjadi peningkatan pemberian ASI eksklusif, angka kejadian
ISPA di wilayah kerja Puskesmas Cicalengka masih terus mengalami
peningkatan. Padahal menurut beberapa penelitian ASI eksklusif dapat
menyebabkan penurunan angka kejadian ISPA karena ASI eksklusif
merupakan faktor risiko utama untuk kejadian ISPA.
Ada beberapa faktor yang memengaruhi pemberian ASI yaitu faktor
biologis ibu, aktivitas, psikologi, pelayanan kesehatan, sosial ekonomi,
pendidikan dan pengetahuan serta masalah payudara (Arisman, 2004). Faktor
biologis ibu meliputi penyakit dan status gizi. Masalah gizi yang paling
banyak ditemui pada wanita menyusui adalah kurang energi kronis. Pada ibu
menyusui yang menderita KEK menunjukkan tidak adanya simpanan lemak
untuk memproduksi ASI sedangkan tuntutan untuk menyusui bayi harus tetap
terpenuhi sehingga tubuh ibu mengorbankan dirinya sendiri untuk memenuhi
kebutuhan tersebut. Data tentang status gizi ibu menyusui tidak tertulis
langsung. Data yang ada adalah tentang kurang energi kronis (KEK) pada ibu
hamil. Hasil survey menunjukkan bahwa prevalensi anemia pada ibu hamil
masih sangat tinggi, yaitu 51 % dan pada ibu nifas 45%, sedangkan prevalensi
wanita usia subur (WUS) menderita KEK pada tahun 2002 adalah 17,6%
(Sutriani, 2010). Sedangkan dari data yang ada saat ini pravelensi pada Wanita
Usia Subur (WUS) yang mengalami Kekurangan Energi Kronik (KEK)
mencapai 13,6% (Riskesdas 2007). Data Dinas Kesehatan Kabupaten
Bandung mencatat sebanyak 410 wanita usia subur mengalami kurang energi
kronis pada tahun 2012. Data di puskesmas tidak mencatat adanya KEK pada
wanita usia subur. Sedangkan data untuk status gizi ibu menyusi sama sekali
tidak tertulis. Hal ini menunjukkan tidak ada perhatian bagi status gizi ibu
menyusui. Padahal status gizi ibu menyusui akan memengaruhi pemberian
ASI eksklusif yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap kejadian ISPA
pada bayi.
Puskesmas Cicalengka berada di wilayah industri dan pasar. Puskesmas
Cicalengka membawahi enam desa. Dari ke enam desa tersebut, desa
Tenjolaya adalah desa yang paling jauh dari lokasi Puskesmas Cicalengka.
Wilayah Desa Tenjolaya cukup jauh dari kawasan industri besar. Desa ini
merupakan Desa dengan angka kejadian ISPA tertinggi di wilayah kerja
Puskesmas Cicalengka yaitu sebesar 49% dari total 921 bayi dan balitapada
tahun 2011, dan meningkat pada tahun 2012 menjadi 56% dari total 921 bayi
dan balita. Menurut data yang didapatkan dari salah satu petugas puskesmas,
desa Tenjolaya adalah desa rawan gizi dengan tiga penderita KEK.
Hasil studi pendahuluan yang dilakukan di Desa Tenjolaya Cicalengka
pada hari Jum’at tanggal 07 Maret 2014, didapatkan data jumlah ibu menyusui
di Desa Tenjolaya sebanyak 112 orang. Dari lima orang yang ditemui, tiga
diantaranya memiliki lingkar lengan atas < 23,5 cm dan berat badan
underweight yaitu sekitar 18,6.
1.2 Identifikasi Masalah
Penelitian-penelitian tentang hubungan pemberian ASI eksklusif dengan
kejadian ISPA pada bayi sudah banyak dilakukan di berbagai wilayah dan
terbuhti adanya hubungan pemberian ASI eksklusif dengan kejadian ISPA
pada bayi. Pada penelitian ini, peneliti menetapkan ibu menyusui sebagai
responden dan lebih menekankan kepada status gizi ibu menyusui karena
belum ada yang melakukan penelitian tentang hubungan status gizi ibu hamil
dengan kejadian ISPA pada bayi. Status gizi pada umumnya di fokuskan pada
bayi, balita dan ibu hamil. Padahal status gizi ibu menyusui dapat
memengaruhi pemberian ASI eksklusif pada bayi. Peneliti memperkirakan
adanya keterkaitan antara status gizi ibu menyusui dengan kejadian ISPA.
Oleh sebab itu peneliti merumuskan masalah sebagai berikut : “Adakah
hubungan antara status gizi ibu menyusui dengan kejadian ISPA pada bayi di
Desa Tenjolaya Wilayah Kerja Puskesmas Cicalengka?”
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan umum
Mengetahui hubungan antara status gizi ibu menyusui di Desa Tenjolaya
wilayah kerja Puskesmas Cicalengka.
1.3.2 Tujuan khusus
1. Mengetahui gambaran status gizi ibu menyusui di Desa Tenjolaya
wilayah kerja Puskesma Cicalengka.
2. Mengetahui gambaran pemberian ASI eksklusif pada di Desa
Tenjolaya wilayah kerja Puskesmas Cicalengka.
3. Mendeskripsikan gambaran kejadian ISPA di Desa Tenjolaya wilayah
kerja Puskesmas Cicalengka.
4. Menganalisis hubungan status gizi ibu menyusi dengan kejadian ISPA
pada bayi di Desa Tenjolaya wilayah kerja Puskesmas Cicalengka.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Bagi Institusi Pendidikan
Penelitian ini dapat menjadi pedoman bagi mahasiswa keperawatan dalam
memberikan pendidikan kesehatan kepada masyarakat tentang gizi ibu
menyusui, pemberian ASI eksklusif dan penyakit ISPA serta menjadi
inspirasi untuk penelitian selanjutnya.
1.4.2 Bagi Puskesmas
Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam
mengembangkan program promosi kesehatan untuk menurunkan angka
kejadian ISPA dan meningkatkan pemberian ASI eksklusif serta
peningkatan status gizi ibu menyusui.
1.4.3 Bagi Masyarakat
Menambah wawasan masyarakat tentang status gizi ibu menyusui, ASI
eksklusif dan penyakit ISPA sehingga hasil penelitian dapat diterapkan
dalam kehidupan sehari-hari terutama untuk ibu menyusui.
1.4.4 Bagi Peneliti
Menambah wawasan dan pengetahuan tentang ibu menyusui, ASI
eksklusif dan ISPA pada bayi serta menjadi panduan untuk penelitian
selanjutnya.
1.5 Kerangka Pemikiran
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan penyakit infeksi akut
yang menyerang salah satu atau lebih saluran pernafasan mulai dari rongga
hidung sampai ke paru-paru beserta jaringan adinekasnya seperti sinus, telinga
tengah dan pleura (Depkes, 2007). Infeksi Saluran Pernapasan Akut adalah
penyakit Infeksi pada saluran pernafasan yang sering diderita oleh anak-anak
dan balita di negara berkembang maupun negara maju ( Simoes et al, 2006).
Bayi yang mendapat ASI akan lebih terjaga dari penyakit infeksi terutama ISPA
dan diare (Lawrence, 2005). Dilaporkan juga bahwa ASI menurunkan risiko
infeksi saluran pernafasan atas dan bawah (Hanson, 2006).
Faktor penyebab ISPA menurut WHO 2008 :
a. Virus.
b. Bakteri.
c. Lingkungan (polusi udara, kepadatan perumahan, kelembaban,
kebersihan, musim, cuaca, suhu udara).
d. Ketersediaan dan efektivitas pelayanan kesehatan dan langkah
pencegahan infeksi untuk mencegah penyebaran ( misal vaksin, akses
terhadap fasilitas pelayanan kesehatan, kapasitas ruang isolasi).
e. Faktor pejamu seperti usia, kebiasaan merokok, kemampuan pejamu
menularkan infeksi, status kekebalan, status gizi, infeksi sebelumnya atau
infeksi serentak yang disebabkan oleh patogen lain, kondisi kesehatan
umum.
f. Karakteristik patogen seperti cara penularan, daya tular, faktor virulensi
( misalnya gen penyandi toksin) dan jumlah atau dosis mikroba (ukuran
inokulum).
Faktor risiko ISPA menurut Munir tahun 2009 dibedakan menjadi faktor
internal dan faktor eksternal. Faktor Internal meliputi BBLR, usia bayi, jenis
kelamin, status gizi, dan defisiensi vitamin A. Sedangkan Faktor Eksternal
meliputi Imunisasi, Malnutrisi, Pendidikan ibu, Pengetahuan ibu, Pekerjaan
ibu, Asap pembakaran dan Adanya perokok.
Penelitian yang dilakukan oleh Miftahul Munir pada tahun 2013 di
Puskesmas Tuban menunjukkan bahwa faktor risiko utama yang menjadi
pemicu kejadian ISPA pada balita adalah pemberian ASI non eksklusif
sebesar 78% dari faktor-faktor risiko lainnya. Sedangkan penelitian yang
dilakukan oleh Widarini dkk di Kabupaten Bandung menunjukkan Asi non-
eksklusif merupakan faktor risiko utama ISPA dengan persentase sebesar
60,78%. Penelitian lainnya yaitu penelitian yang dilakukan oleh Oddy et al
tahun 2003 di RS bersalin Perth Australia Barat dengan hasil pemberian
makanan pendamping ASI yang diberikan setelah anak berumur 6 bulan dan
kelanjutan pemberian ASI sampai anak berumur lebih dari satu tahun dapat
menurunkan prevalensi dan morbiditas penyakit pernapasan dan infeksi pada
satu tahun pertama kehidupan bayi.
Dalam memberikan ASI eksklusif terdapat beberapa faktor yang
memengaruhi. Menurut Arisman 2004 faktor yang memengaruhi pemberian
ASI meliputi faktor biologis ibu, aktivitas, psikologi, pelayanan kesehatan,
sosial ekonomi, pendidikan dan pengetahuan serta masalah payudara
(Arisman, 2004). Status gizi erat kaitannya dengan produksi ASI sehingga
akan memengaruhi keberhasilan ASI eksklusif.
Jika pemberian ASI eksklusif terganggu maka sistem kekebalan yang
diterima oleh bayi pun akan mengalami gangguan sehingga bayi akan mudah
terkena infeksi.
Bagan 1.1
Kerangka pemikiran
Keterangan :
= tidak diteliti = diteliti
Modifikasi dari : Semba, et al (2001), Rustam, Musfardi (2010), Lawrence (2005),
Hanson (2006), Munir (2013), Arisman (2004).
Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan ASI Eksklusif
Aktivitas psikologi
bayi
ASI eksklusif
frekuensi ISPA jarang
frekuensi ISPA sering
Kejadian ISPA
dewasa anak balita
Pelayanan kesehatan Sosial ekonomi
Status Gizi Produksi ASI