bab i

30
LOKALISASI PELACURAN MENURUT FIKIH ISLAM Makalah Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah ……………………………………… Oleh EVI SILVIA AGUSTIN 31 13 019 JURUSAN ADMINISTRASI BISNIS i

Upload: m-irwan-badrus-alfani

Post on 07-Apr-2016

218 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

test

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I

LOKALISASI PELACURAN MENURUT FIKIH ISLAM

Makalah

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

………………………………………

Oleh

EVI SILVIA AGUSTIN

31 13 019

JURUSAN ADMINISTRASI BISNIS

UNIVERSITAS PESANTREN TINGGI DARUL ULUM

JOMBANG

2015

i

Page 2: BAB I

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan pertolonganNya kami dapat menyelesaiakan Makalah yang berjudul ‘Lokalisasi Pelacuran Menurut Fikih Islam”. Meskipun banyak rintangan dan hambatan yang penyusun alami dalam proses pengerjaannya, tapi penyusun berhasil menyelesaikannya dengan baik.

Tak lupa penyusun mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing yang telah membantu dalam mengerjakan makalah ini. Penyusun juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman mahasiswa yang juga sudah memberi kontribusi baik langsung maupun tidak langsung dalam pembuatan makalah ini.

Tentunya ada hal-hal yang ingin penyusun berikan kepada masyarakat dari hasil makalah ini. Karena itu penyusun berharap semoga makalah ini dapat menjadi sesuatu yang berguna bagi kita bersama.

Pada bagian akhir, penyusun akan mengharapkan berbagai masukan dan pendapat dari orang-orang yang ahli di bidangnya, agar nantinya bisa berguna bagi kita semua kedepannya.

Semoga makalah yang penyusun buat ini dapat membuat kita mencapai kehidupan yang lebih baik lagi.

Penyusun

ii

Page 3: BAB I

DAFTAR ISI

Kata Pengantar .................................................................................................ii

Daftar Isi..........................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah ...........................................................................1

1.2 Rumusan Masalah .....................................................................................3

1.3 Tujuan ........................................................................................................3

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Lokalisasi Pelacuran ................................................................4

2.2 Lokalisasi Pelacuran Dalam Prespektif Fikih Islam...................................5

2.3 Solusi Lokalisasi Pelacuran Dalam Prespektif Islam................................11

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan ............................................................................................14

3.2 Saran ......................................................................................................14

Daftar Pustaka

iii

Page 4: BAB I

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Keberadaan lokalisasi pelacuran di mata masyarakat dipandang sebagai

“tempat kotor” dan “tempat orang - orang yang berdosa”, namun secara diam-

diam tidak sedikitmasyarakat yang ikut serta menikmati keberadaannya, mulai

dari yang mencari kenikmatan esek-esek, mengais rizki dengan menjual makanan

dan minuman, hingga berprofesi merawat kesehatan para penghuninya (pelacur).

Singkatnya, keberadaan lokalisasi pelacuran oleh masyarakat dibenci sekaligus

disukai.

Stereotipe negatif terhadap lokalisasi pelacuran biasanya muncul dari

anggapan bahwa tempat tersebut bertentangan dengan ajaran agama, sehingga

pantas jika tempat inisering menjadi sasaran amuk sebagian umat Islam dengan

dalih amar ma‟ruf nahy munkar. Sesungguhnya asumsi demikian terlalu gegabah,

masyarakat yang membenci keberadaannya dan hendak membubarkan memiliki

pandangan yang sporadis dan simplistis, mereka hanya menilai dari satu sisi,

yakni bertentangan dengan ajaran agama yang melarang perzinaan, sehingga

melokalisir perzinaan tidak lebih dari menyediakan tempat bagi para pengobral

dosa.

Lokalisasi pelacuran di dalamnya tersimpan permasalahan yang sangat

kompleks,tidak cukup jika melihatnya dari satu sisi, yakni menjadi tempat

perzinaan, tapi harus dilihatdari berbagai sisi dengan seobjektif mungkin, yakni

dengan melihat latar di balik keberadaannya di satu sisi, dan penyebab yang

mengantarkan seseorang menjadi pemuas seks bayaran di sisi lain.

Semua orang tidak ada yang memiliki cita-cita berprofesi menjadi pemuas

seks transaksional, sehingga orang yang menjalankan pekerjaan esek-esek ini

dapat dipastikan diluar kehendaknya atau terpaksa. Hal ini dapat dibuktikan

melalui kehidupan para pelacur yang memiliki dua wajah atau dalam bahasa Nur

Syam memiliki dua panggung, yakni panggung depan dan panggung belakang. Di

panggung depan pelacur pura-pura menampakkan wajah yang ceria, molek, penuh

desah mesra, menggoda, orgasme, namun sesungguhnya di balik itu, di panggung

1

Page 5: BAB I

belakang yang tersembunyi mereka sangat lara,mereka pura-pura melakukan itu

semua karena terpaksa agar dapat membiayai diri dan keluarganya.

 Ringkasnya, lokalisasi pelacuran adalah tempat orang-orang tertindas,

sehingga dalammenyikapinya tidak cukup jika hanya dilihat bahwa di dalamnya

menjadi “tempat wisatakelamin”

yang diharamkan agama, tapi juga harus dilihat dari status para pelakunya

yangdalam bahasa al-

Quran disebut dengan “masyarakat tertindas (dlu‟afa ) ” sehingga apabila

lokalisasi pelacuran disikapi dengan teks-teks keagamaan (al-nushush

al- syar‟iyyah) maka harus memperhatikan pula semua latar yang mengitari

lokalisasi pelacuran dan penghuninya,mulai dari penyebab yang mengantarkan

seseorang menjadi pemuas nafsu bayaran hingga praktek esek-eseknya itu sendiri.

Sahal Mahfudh dalam bukunya, Nuansa Fiqih Sosial, menyatakan bahwa

lokalisasi pelacuran dapat dibenarkan karena dengan melokalisasikannya para

pelacur dapat terkontrol.Pandangan Sahal ini berdasarkan pada kaidah “idza

ta‟aradla mafsadatani ru‟iyaa‟dzamuhuma dlararan bir 

tikabi akhaffihima (apabila terdapat dua kerusakan yang bertentangan maka

dilihat dampaknya yang lebih besar dengan melakukan kerusakan yanglebih

ringan). Sahal menilai prostitusi merupakan persoalan sosial yang kompleks

sehingga sangat sulit untuk dihilangkan, sehingga masyarakat dihadapkan pada

dua pilihan yang sama-sama mengandung kerusakan, antara membiarkannya tidak

terkontrol di tengah masyarakatdan melokalisasikannya agar dapat terkontrol.

Oleh karena itu melalui kaidah fikih tersebut Sahal menawarkan pilihan yang

kandungan kerusakannya lebih ringan, yaitu denganmelokalisasikannya.

 Pandangan Sahal ini senada dengan pendapat St. Augustine dan St. Thomas

Aquinas yang menyatakan, bahwa pelacuran memang dilarang, namun tidak serta

merta harus dihilangkan dari muka bumi ini. St. Augustine sebagaimana dikutip

oleh Thanh Dam truong mengatakan, “menyingkirkan pelacuran dari kehidupan

manusia akan mengotori semua hal dengan nafsu birahi dan karena itu perempuan

sundal adalah imoralitas yang dapat dibenarkan secara hukum.” Begitu juga

dengan St. Thomas Aquinas, ia menyatakan,“Enyahkan tempat sampah dan anda

2

Page 6: BAB I

akan mengotori istana, enyahkan pelacur dari muka bumi dan anda akan

memenuhinya dengan sodomi.”

Melalui perspektif  “ pembebasan”yang menjadi misi agama Islam, tulisan

sederhanaini hendak melengkapi beberapa pandangan di atas. Namun yang lebih

ditekankan dalamtulisan ini bahwa lokalisasi pelacuran semata-mata bukan

sebagai problematika social an sich sebagaimana yang dilihat Sahal, tapi lebih

dari itu, yakni suatu “ kebutuhan sosial” yang menjadi salah satu media

(wasilah) untuk membebaskan para pelacur dari penindasanstruktur sosial

masyarakatnya.

Oleh karena itu tulisan ini diawali dengan pembahasan watak fikih Islam

yangmembebaskan, yang kemudian disusul dengan pelacuran dan perzinaan yang

dimaksud al-Quran, hingga klimaksnya menawarkan konsep ideal lokalisasi

pelacuran sebagai upayamembebaskan duka lara yang tersimpan di balik desah

mesra para pelacur.

1.2 Rumusan Masalah

1.Apa itu lokalisasi ?

2.Bagaimana prespektif fiqih islam terhadap lokalisasi pelacuran ?

3.Bagaimana solusi yang sebaiknya diambil untuk menanggulangi bisnis

lokalisasi pelacuran ini ?

1.3 Tujuan

Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui /

memahami tentang apa itu lokalisasi. Selain itu dalam makalah ini akan dibahas

mengenai pandangan fikih islam terhadap lokalisasi pelacuran serta bagaimana

dampak adanya lokalisasi terhadap kondisi masyrakat sekitar dan bagaiamana

solusi yang akan diambil dan dilakukan untuk menanggulangi adanya lokalisasi

tersebut.

3

Page 7: BAB I

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Lokalisasi Pelacuran

Lokalisasi adalah istilah yang berkonotasi sebagai tempat penampungan

wanita penghibur dan Wanita Tuna Susila (WTS). Atau juga Kawasan Pelacuran

yang dimana berisi wisma esek - esek, cafe Dangdut dan panti pijat pelacuran plus

- plus yang berjejer rapi di kawasan lokalisasi tersebut. Biasanya lebih dari ratusan

wanita Penjaja cinta,Pelacur Remaja dibawah umur , Germo, ahli pijat aurat yang

selalu siap menawarkan alat kelaminnya kepada para pelanggan atau penikmat

kesenangan dunia sesaat. Dan terdapat ribuan pedagang kaki lima, tukang

parkir,calo Prostitusi, dll yang menggantungkan hidup di Lokalisasi Pelacuran

tersebut. Semua saling berkait menjalin sebuah simbiosis mutualisme. Pekerjaan

melacur atau nyundal sudah dikenal di masyarakat sejak berabad lampau. Ini

terbukti dengan banyaknya catatan tercecer seputar mereka dari masa kemasa.

Sundal selain meresahkan juga mematikan, karena merekalah yang ditengarai

menyebarkan penyakit AIDS akibat perilaku seks bebas tanpa pengaman. Selain

itu dengan semakin canggihnya dunia teknologi, lokalisasi mulai merambah dunia

maya. Pelacuran dalam bentuk baru dan rapi ini melibatkan banyak remaja

dibawah umur juga. Remaja dibawah 18 tahun yang kesehariannya berstatus

pelajar. Sebut saja kasus pelacuran dunia online yang beralamat

www.wanita18.com (sekarang sudah off) dengan pemilik Albert Timothius yang

kini sudah diusut oleh polisi. Kasus tersebut terbilang rapi karena setiap orang

yang ingin mendapatkan layanan dari cewek - cewek seksi yang ada di daftar situs

nya haruslah menjadi member dengan registrasi terlebih dahulu. Harga yang

dipatok untuk layananseks komersial prostitusi dunia online ini berkisar antara

800rb - 1,5 juta Rupiah dengan pembagian 70 - 30. 70% untuk Albert Timothius

dan 30% untuk si cewek pemuas nafsu tersebut. Namun kini Pelacuran dunia

online malah sudah mewabah hingga memasuki salah satu portal networking

terbesar didunia yaitu Friendster atau pun Facebook. Salah satu portal yang saat

ini banyak digunakan oleh remaja didunia untuk bersosialisasi lewatdunia maya.

4

Page 8: BAB I

2.2 Lokalisasi Pelacuran Dalam Prespektif Fikih Islam

Menurut al-Ghazali, ilmu fikih merupakan ilmu dunia yang berfungsi

untuk menciptakan kebaikan di dunia, yakni menata kehidupan masyarakat agar

tercipta kehidupan yang lekat dengan kebahagiaan, ketentraman dan keselamatan,

sebagaimana ilmu kedokteran yang juga berfungsi merawat kehidupan di dunia

ini, yakni menjaga kesehatan masyarakat. Hanya saja yang menjadikan ilmu fikih

lebih utama ketimbang ilmu-ilmu dunia lainnya adalah kaki pijak referensialnya

pada wahyu kenabian, sementara yang lainnya lebih didasarkan pada

eksperimentasi (al-tajribah). Kategorisasi ilmu fikih sebagai ilmu dunia ini dapat

dipahami bahwa fikih Islam harus memiliki watak kemanusiaan, bukan

ketuhanan, Fikih Islam harus membicarakan persoalan manusia, bukan persoalan

Tuhan, karena sesungguhnya kehidupan di akhirat hanyalah balasan atas apa yang

dikerjakan di dunia.

Fikih sebagai aturan hidup yang mengatur kehidupan manusia di dunia ini

jauh sebelum Islam datang masyarakat Arab pra Islam sudah memilikinya, namun

peraturan hidup mereka berbeda-beda sesuai dengan tatanan masyarakatnya yang

terkotak - kotak dalam berbagai suku. Ketika Islam datang fikih Islam di samping

mengadopsi darinya juga memperbaharuinya dengan mengambil lokus yang

mempersatukan, universal, dan komprehensif serta mengandung kebaikan bagi

semua masyarakat ( jami‟ li al-mashalih al-ijtima‟iyyah). Bahkan fikih Islam ini

tidak hanya mengatur kehidupan umat muslim semata,tapi juga mengatur semua

masyarakat dengan beragam agama, ras, budaya, dan yang lainnyadalam satu titik

temu, yaitu menciptakan kebaikan. Kebaikan dimaksud adalah kebaikan di dunia,

bukan di akhirat, karena kehidupan akhirat merupakan balasan atas perbuatan

didunia.

Watak humanisme yang dimiliki fikih Islam menjadikannya tidak hanya

berbicara shalat, zakat, puasa, dan haji, tapi juga mencakup semua aktifitas

kehidupan di dunia, mu‟amalah, jinayah, dan yang lainnya. Juga tidak hanya

mengatur aktifitas manusia dengan halal dan haram, tapi juga memberikan solusi

problematika hidup dengan tetap berpegang pada karakternya yang membebaskan

dan egaliterian, karena Islam sendiri diturunkan untuk membebaskan manusia dari

berbagai panindasan hingga pada gilirannya terciptalahmasyarakat yang adil,

5

Page 9: BAB I

makmur, dan sejahtera (baldah thayyibah wa rabbun ghafur). Oleh karena itu

Allah memerintahkan umat Islam agar selalu berjuang di jalan Allah dan

membelaorang-orang lemah, baik laki-laki, perempuan, maupun anak-anak (QS.

4:75). 

Nabi Muhammad Saw. sendiri diperintahkan oleh Allah agar selalu

membela kaum proletar meskipun diiming-imingi keuntungan finansial oleh kaum

borjuis jika beliau berkenan membiarkannya dalam keadaan papa (QS. 80:5-10).

Selama hidupnya Nabi Muhammad Saw. hanya digunakan untuk

memperjuangkan nasib wong cilik Makkah yang tersingkirkan dari struktur sosial

kaum borjuis Quraisy. Konsistensi nabi Muhammad Saw. dalam membebaskan

kaum dlu‟afa Arab ini tercermin dalam do‟anya yang meminta kepada Tuhan

agar dalam keadaan hidup maupun mati selalu dikumpulkan dengan orang-

orangmiskin.

“ Allahumma ahyini miskinan, wa amitni miskinan wahsyurni fi zumratil

masakin yaumal qiyamah. (Ya Tuhan, hidupkanlah aku dalam keadaan miskin,

matikanlah aku dalamkeadaan miskin, dan kelak di Hari Kiamat

kumpulkanlah aku dengan kelompok orang-orangmiskin).

Do‟a nabi Muhammad Saw ini bukan berarti beliau memohon miskin

kepada Allah, tapi meminta kepada-Nya agar selalu diberi kekuatan untuk

memperjuangkan hak-hak orang miskin yang saat itu hak-haknya direbut kaum

borjuis Quraisy.

Al-Quran dalam beberapa tempat seringkali mencela kondisi sosial ekonomi

masyarakat Makkah yang hanya dikuasai oleh kaum borjuis dan memberikan

perintah aktif untuk memberdayakan kaum proletar. Oleh karena itu nabi

Muhammad Saw. menghapus praktik lintah darat, riba, perjudian, dan praktik-

praktik ekonomi eksploitatif lainnya (QS.2:219), pemberi utang dituntut untuk

cuma mengambil sejumlah piutangnya, namun biladisedekahkan maka itu lebih

baik (QS. 2:280), dan orang kaya diperintah untuk mendermakan kelebihan

hartanya (QS. 2:219). Sebagai upaya pemberdayaan kaum miskin al-Quran

mengatakan bahwa dalam harta orang kaya terdapat bagian intrinsik bagi orang

miskin (QS. 70:25, QS. 51:19). Al-Quran juga sangat menekankan keadilan

6

Page 10: BAB I

distributif dengan tujuan agar harta benda tidak hanya beredar di kalangan borjuis

semata (QS. 59:7).

Farid Esack menyatakan, ide satu pencipta ( tauhid ) dalam Islam memiliki

makna bahwa umat manusia dengan beragam ras, suku, dan sosial bertemu dalam

satu dimensi “ kemanusiaan ”, sehingga dalam memperjuangkan hak-hak kaum

tertindas juga tidak bolehdisekat dengan kesamaan agama, tapi harus mencakup

semua umat manusia walaupun berbeda agama. Kebencian yang ditampakkan

oleh kuffar Quraisy kepada Muhammad Saw tidak lebih dari sebab pembelaan

Muhammad Saw. terhadap kaum proletar. Borjuis Makkah yang memiliki

kepentingan eksploitasi ekonomi dalam bisnisnya merasa terancam olehkehadiran

Islam yang disampaikan oleh Muhammad Saw. yang menekankan keadilan

bagikaum tertindas dan tersisih.

Karena Islam memiliki kepentingan membebaskan masyarakat tertindas

inilah, orang-orang miskin dalam Islam sangat dimuliakan. Dalam ( QS. 28:5 )

dinyatakan bahwa Tuhan sangat mengutamakan kaum tertindas, dalam hal ini

diceritakan bahwa Tuhan memberikan karunia kepada Bani Israil yang ditindas

oleh Fir‟aun dan penguasa Mesir lainnya.

Oleh karena itu tidak heran jika Nabi Muhammad Saw. pernah memberikan

informasi bahwa pernah ada seorang pelacur yang masuk sorga sebab memberi

minuman kepada anjing. Hal ini dapat dimaklumi mengingat seorang pelacur

masuk dalam deretan kaum tertindas, sehingga hanya gara-gara menolong anjing

yang sedang kehausan Tuhan memberikan rahmat kepadanya dengan ditempatkan

di surga.

Para peneliti hampir mengeluarkan konsensus bersama bahwa seseorang

terjun kedunia pelacuran bukan atas kemauan sendiri, tapi karena terpaksa.

Keterpaksaan ini disebabkan oleh faktor ekonomi, baik untuk dirinya sendiri

maupun keluarga, sementaradirinya tidak memiliki keahlian (skill) untuk

melakukan pekerjaan yang halal dan layak. Oleh karena itu para ilmuan sering

kali mendefinisikan pelacuran dengan seksualitas sesaat yang dilakukan dengan

siapa saja (promiskuitas) untuk mendapatkan imbalan materi.

 Dengan demikian dapat dipahami bahwa pelacur merupakan salah satu dari

sederet masyarakat yang terpinggirkan sehingga harus dibebaskan dari jeratan itu.

7

Page 11: BAB I

Pelacur rela mengorbankan diri, masa depan, dan kehidupannya demi membiayahi

diri, anak, dan keluarganya. Bahkan ketertindasan pelacur tidak hanya dari

struktur sosial masyarakat disekelilingnya yang mengantarkan dirinya hidup di

lembah hitam, tapi di dalam lembah hitam atau lokalisasi juga mereka ditindas.

Uang yang mereka dapat dari pekerjaan esek-esek tidak 100 persen masuk

kantong, tapi masih harus dibagi-bagi dengan pihak yang terlibat

dalam pekerjaannya, yakni mucikari, uang kamar, uang kesehatan, uang

keamanan, calo, dan yang lainnya. Sehingga mereka hanya mengantongi uang

dengan jumlah yang sangat sedikit.

Sesungguhnya para pelacur sadar bahwa dirinya adalah orang yang sangat

tidak diuntungkan, namun mereka tidak berdaya di tengah sulitnya akses

kehidupan yang tidak ramah. Menurut Nur Syam, kesadaran inilah yang disebut

oleh Karl Max dengan “kesadaran palsu”, yakni kesadaran yang banyak dimiliki

oleh kaum pinggiran. Mereka sadar akan keterpinggirannya, namun mereka tidak

memiliki relasi kuasa untuk menolak terhadap realitas tersebut.

 Pemerasan terhadap pelacur sesungguhnya tidak diperbolehkan karena

mereka adalah orang-orang yang tertindas, orang-orang yang memiliki nasib

malang dan mengenaskan. Diceritakan bahwa ketika sahabat Nabi Muhammad

SAW. hijrah ke Madinah di antara mereka banyak yang punya rencana untuk

menikah dengan para pelacur, karena pelacur - pelacur di Madinah selain cantik-

cantik juga kaya-raya memiliki penghasilan dari kerja esek-eseknya. Sahabat

muhajirin mengatakan, “ andai kita menikah dengan mereka maka kita akan hidup

bersama mereka dengan kaya raya. ” Namun oleh nabi Muhammad Saw. rencana

tersebutdigagalkan (dilarang) karena dengan menikahinya yang bertujuan untuk

memanfaatkan “ kekayaan pelacur ”  bukan sebagai tindakan yang dapat

membebaskannya dari penindasanstruktur sosial masyarakat saat itu, tapi malah

hendak memeras, atau orang jawa menyebutnya dengan “ wis tibo ketiban ondo

(sudah jatuh kejatuhan tangga) ”

“Ala kulli hal “, karena posisi pelacur sebagai orang yang tertindas,

sehingga menurut fikih Islam mereka harus dibebaskan dari penindasan itu

dengan cara menghilangkan praktik prostitusi yang terkonsep dalam hukum

larangan zina, namun karena larangan ini belum dapat memberikan solusi yang

8

Page 12: BAB I

dapat mengurai kesulitan hidupnya terutama dalam bidang ekonomi, maka cara

yang harus pertama kali dilalui adalah membiarkannya agar para pelacur dapat

mencari bekal hidup secukupnya sembari dibina dan dididik berwira usaha.

Walaupun prostitusi di larang oleh Islam karena menindas perempuan,

namun bukan berarti fikih Islam tidak memiliki solusi dalam mengurai duka lara

yang mendera penghuninya. Fikih Islam memiliki konsep solutif dalam mengurai

dan membebaskan profesiharam yang sulit dihilangkan, atau ringkasnya profesi

haram yang dijalankan karena keterpaksaan.

Pada masa jahiliyyah pelacuran hanya dilakukan oleh para budak yang

dipaksa oleh para pemiliknya ( malik al-ammah ), sedangkan esek-esek di luar

pernikahan yang dilakukanwanita merdeka ( hurrah ) biasanya dilakukan atas

dasar suka sama suka, seperti dalam al-musafahah dan al-mukhadanah. Jika tidak

demikian maka didorong oleh keterpaksaan untuk mendapatkan makan dan

minum atau disebut dengan al-mudlamadah. Al-mudlamadah ini berbeda dengan

“pelacuran”, karena pelacur mengais dinar dengan semua pria yang mengencani,

sedangkan al-mudlamadah tertentu dengan satu orang lelaki atau dua atau

tiga(maksimal tiga) agar lelaki memberinya makan atau mungkin pada masa

sekarang biasadikenal dengan “ istri simpanan ”.

Seiring dengan laju kesadaran masyarakat praktek perbudakan telah

dihapus, namun wanita penjaja seks dalam ruang sejarah kehadirannya selalu ada

dan tersebar di mana-mana.Oleh karena itu pertanyaan yang patut dilempar apa

faktor utama yang membuatnyamenyewakan tubuhnya untuk dinikmati oleh para

lelaki hidung belang? Sebagaimana disinggung di muka, para peneliti

menyimpulkan bahwa faktor utama yang mengantarkan seseorang menjadi

pelacur adalah tuntutan ekonomi, mereka hendak bekerja namun tidak memiliki

keahlian (skill) , sementara persaingan hidup kian hari selalu menggerus

perekonomian masyarakat bawah, sehingga mau tidak mau demi mendapatkan

sepiring nasiia harus merelakan tubuhnya untuk dinikmati dengan imbalan harta

benda.

 Jika demikian halnya maka mereka sejatinya adalah orang-orang yang

tertindas dari ekonomi masyarakat di sekitarnya, sehingga dalam fikih Islam hal

itu tetap dilarang namun bukan berarti mereka tidak boleh melakukannya, mereka

9

Page 13: BAB I

diperbolehkan beroprasi menjajakan diri, namun dengan ketentuan sebatas untuk

mencari bekal hidup atau modal untuk berusaha.Oleh karena itu fikih Islam sangat

mendukung keberadaan lokalisasi pelacuran demi mempermudah mengorganisir

pendidikan kepada mereka dan mengais keuntungan yangterlindungi. Lokalisasi

pelacuran menurut fikih Islam adalah media (wasilah) Yang diharamkan karena

dengan melokalisir tempat esek-esek berarti menyediakan tempat maksiat, namun

bukan berarti hal ini dilarang karena wasilah yang haram selama dapat

mendatangkan kebaikan (mashlahah) maka mutlak dilegalkan, bahkan keberadaan

wasilah tersebut harus dikonsep seideal mungkin agar orang-orang yang tertindas

(dalam hal ini para pelacur) dapat segera terbebaskan dan kembali hidup normal

sembari menatap masa depanyang gemilang. Al-Qarafî dalam beberapa karyanya

mengatakan:

“Qad takunu wasilah al -muharrami ghaira muharramah idza afdlat ila

mashlahah rajihah (Terkadang media [wasilah] yang diharamkan itu tidak

haram apabila wasilah tersebut dapat mendatangkanmashlahat yang lebih

tinggi). ”

 Konsep ini bermula dari Sadd al- Dzara`i‟, yakni menutup tindakan yang

dapat mengantarkan pada kerusakan, kendati tindakan tersebut hukum asalnya

diperbolehkan.Sedangkan membuka tindakan untuk menuju kemashlahatan

dinamakan dengan Fath al-Dzara`i‟. Kedua teori ini dalam penelitian al-Qarafi

merupakan sumber hukum yangdisepakati oleh para imam madzhab walaupun

secara tekstual banyak ulama yang tidak mengakui kedua teori ini sebagai

landasan hukum, namun pada tataran praksisnya para ulamasepakat

menggunakannya.Jika dalam Sadd al- Dzara`i‟ maupun Fath Dzara`i‟

tindakanyang ditutup (sadd) atau tindakan yang dibuka (fath) memiliki hukum asal

yangdiperbolehkan, lantas bagaimana jika tindakan yang akan ditutup atau dibuka

memilikihukum dilarang? Karena fikih memiliki kepentingan menciptakan

kemashlahatan sehinggadalam persoalan ini dikembalikan pada tujuan, yakni

apakah dengan menggunakan caramembuka atau menutup tindakan akan

menghasilkan kebaikan atau tidak, jika mendapatkankebaikan maka mutlak

diperbolehkan.

10

Page 14: BAB I

Melalui pandangan al-Qarafi yang juga diamini oleh para ulama lainnya di

atas dapatdisimpulkan bahwa keberadaan lokalisasi pelacuran mutlak dilegalkan

karena sebagaiwasilah yang dapat mendatangkan kebaikan. Dengan melokalisir

prostitusi maka para pelacur akan mudah dibina dan dilindungi hingga pada

akhirnya mereka dapat terbebaskan nasibnyadari tindasan yang mereka rasakan.

Oleh karena itu lokalisasi pelacuran seharusnya dibersihkan dari

“penindasan lain”, yakni penindasan yang dilakukan oleh pemerintah dalam

menarik pajak yang mencekik, mucikari yang memperlakukan gundiknya seperti

pelacur budak pra Islam, dan tidak mencacinya. Bahkan seharusnya pemerintah

khususnya dan masyarakat pada umumnya wajib melindungi pelacur dari berbagai

penindasan, merawat kesehatannya, memberikan pendidikan moral dan berwira

usaha, serta menyiapkan lapangan pekerjaan yang layak danhalal, karena para

pelacur rata-rata ketika usianya mulai menginjak 40 tahun atau ketika sudah

jarang diminati oleh pelanggannya lagi maka mereka akan mengakhiri profesi

yang mengenaskan itu.

2.3 Solusi Lokalisasi Pelacuran Dalam Prespektif Fiqih Islam

Cara untuk memahami segala persoalan dalam kehidupan tidak bisa hanya

didasarkan pada al-Qur’an dan hadits secara literal. Sebab kedua sumber hukum

Islam tersebut mempunyai jangkauan yang luas, mengenai bahasa, tempat, waktu,

dan keadaan. Dengan demikian, persoalan yang kerap muncul dalam kehidupan

tidak bisa begitu saja diselesaikan dengan hanya lebel ‘halal-haram’ atau ‘hitam-

putih’.

Dalam kajian fikih pesantren, perspektif  fikih bisa dikatakan kokoh jika

didasari oleh teori ushul fikih. Termasuk jika hendak mengupas persoalan boleh

tidaknya kebijakan lokalisasi. Menarik dikemukakan pandangan salah seorang

ulama ushul fikih (al-Maghfurlah) KH. MA Sahal Mahfudh dalam bukunya

Nuansa Fiqih Sosial (2004). Kiai Sahal berpendapat bahwa pilihan terhadap

kebijakan lokalisasi prostitusi merupakan pilihan yang didasarkan atas prinsip

memilih perbuatan yang dampak buruknya lebih ringan. Dengan demikian,

tinjauan fiqh sosial membenarkan tindakan lokalisasi terhadap perempuan pekerja

seks komersial.

11

Page 15: BAB I

 

Pendapat ini bagi sebagian pihak mungkin terasa mengagetkan, sehingga

akan dituduh sebagai sebuah dukungan akan maraknya perzinahan. Tetapi, sekali

lagi, bagi yang terbiasa mengaji ushul fikih di pesantren, sesungguhnya pendapat

itu didasarkan pada kaidah idza ta’aradha mafsadatani ru’ya a’zhamuhuma

dhararan bi irtikabi akhaffihima, apabila bertemu dua keburukan, maka

pertimbangkan mana yang paling besar dampak keburukannya, lalu pilihlah yang

dampak keburukannya lebih kecil.

Upaya ini bermakna bahwa prostitusi merupakan persoalan sosial yang

kompleks, yang tak bisa diselesaikan hanya dengan cap ‘halal-haram’. Saya

memaknainya sebagai solusi gradual untuk menuntaskan persoalan prostitusi.

Dengan kata lain, kita sepakat bahwa prostitusi dilarang agama, tetapi kemudian

kita juga mesti peduli bahwa mereka para pedila (perempuan yang dilacurkan) itu

juga manusia yang punya hati nurani untuk bisa berupaya hidup normal

sebagaimana mestinya. Butuh waktu yang panjang untuk memulihkannya,

pemulihan dari sisi psikologis, sosial, ekonomi, dan lain-lain.

Sebagai contoh masalah lokalisasi Dolly dan Jarak Surabaya. Kompleksitas

pada persoalan lokalisasi Dolly dan Jarak tak hanya menimpa para perempuan,

tetapi juga anak-anak. Siapa menyangka, mereka yang semestinya mengisi masa

anak-anaknya dengan berpendidikan dan bermain, mau tak mau terjerambab pada

lingkaran setan prostitusi. Risma pernah betutur bahwa anak-anak di komplek

lokalisasi malah menjadi pelanggan perempuan lanjut usia.

Di sinilah pentingnya mengedepankan akal sehat dan nurani suci. Melalui

jalan pemberdayaan, bukan pengharaman, penyerangan, dan perusakan. Bahwa

persoalan lokalisasi Dolly dan Jarak bukan mempertentangkan pro dan kontra.

Ada hal yang jauh lebih subtantif yakni masa depan Surabaya dan bangsa yakni

masa depan yang sejahtera dan mencerahkan masyarakatnya. Atas hal ini, saya

tidak ingin turut menghabiskan energi pada perseteruan sengit; pro atau kontra

sebagaimana pihak kebanyakan.

Fokus kita sekarang dan terus selanjutnya adalah bagaimana bisa

memerdekakan dan mendaulat hak-hak perempuan dan anak-anak dari jeratan

penzaliman pihak-pihak yang berkepentingan. Pihak-pihak yang berkepentingan

12

Page 16: BAB I

inilah yang sesungguhnya membuat permasalahan menjadi semakin runyam.

Merasa kehilangan aset materi, jika ‘bisnis’ asusila yang telah memakmurkannya,

tiba-tiba ditutup.

Oleh karena itu, pemerintah pusat, pemprov, pemkot, tokoh agama, tokoh

masyarakat, dan semua pihak terkait mesti menjalin komunikasi (dialog) dan

solidaritas yang kokoh. Sebab, lokalisasi bukan hanya menjadi masalah pemkot

Surabaya saja, melainkan menjadi masalah bangsa, masalah kita bersama.

Sehingga untuk mencari solusi adilnya membutuhkan proses yang panjang,

bertahap, dan pendekatan yang santun.

Terlepas dari kontroversi pro-kontra pada masalah ini, pemkot Surabaya dan

pemprov Jawa Timur mesti terus melakukan pemberdayaan. Pemberdayaan

melalui pendekatan pendidikan, psikologi, dakwah, kewirausahaan, dan lainnya

secara berkelanjutan. Jangan sampai nasib para perempuan (pedila) dan anak-anak

semakin terpuruk dan terzalimi. Sampai pada saatnya nanti kebijakan penutupan

itu benar  terjadi, semoga saja tidak berangkat dari niat dan sikap yang sempit,

apalagi karena intimidasi kelompok ormas Islam tertentu, untuk kemudian

menelantarkan. Na’uzubillah. Wallahua’lam bis-Shawab.

13

Page 17: BAB I

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Lokalisasi pelacuran menurut fikih Islam merupakan media yang

diharapkan dapat mengurai dan membebaskan duka lara para pelacur, sehingga

di dalam lokalisasi pelacuran pemerintah dan masyarakat dilarang melakukan

penindasan lain, meminta pajak yang terlalu besar, menutupnya dengan dalih

menghormati bulan suci, menangkap pela cur yang beroperasi di luar

kesepakatannya dengan pemerintah, mencaci dan bentuk penindasan lainnya.

Di samping itu, pemerintah dan masyarakat juga harus menolong dan

melindunginya dengan cara menjaga kesehatan mereka, mendidik, dan

menyediakan lapangan kerja yang halal dan layak. Perlindungan seperti ini

merupakan implementasi dari doktrin “amar ma‟ruf nahy munkar” terhadap para

pelacur. Memerintah berbuat baik (amar ma‟ruf) kepada pelacur dilakukan

dengan cara memberikan solusi yang dapat membebaskannya dari

penindasan struktur sosial masyarakat, dan melarang berbuat kemungkaran

(nahy munkar) terhadapnya ditunaikan dengan cara mencegah orang-orang yang

melakukan penindasan terhadap mereka.

Dengan demikian, bagi sebagian umat Islam yang sering melakukan

sweping ke lokalisasi pelacuran sudah saatnya mengubah aksi amar ma‟ruf

nahy munkarnya dengan melaksanakan aksi yang membebaskan, bukan aksi

pentungan, menunaikan perintah Allah adalah membebaskan manusia tertindas,

bukan membuat luka di atas derita.

3.2 Saran

14

Page 18: BAB I

DAFTAR PUSTAKA

Abi Hamid al-Ghazali, Ihya`Ulum al-Din, Kairo: Dar al-Hadis 2004.Abu al-Abbas Syihabuddin Ahmad Al-Qarafi, al-Dzakhirah, Beirut: Dar al-Gharb al-Islami, cet. I, 1994.____, Anwar al-Buruq fi Anwa` al-Furuq, ttp. „Alam al -Kutub, tt.____, Syarh Tanqih al-Fushul, Syirkah al-Thaba‟ah al-Fanniyah al-Muttahidah, cet. I, 1973.Abu al-Hasan „Ali al-Naisaburi , Asbab Nuzul al-Qur`an, Beirut: Dar al Kutub al-„Ilmiyyah, cet. I, 1411 H.Endah Sulistyowati, dkk. Hegemoni Hetero-Normativitas; Membongkar Seksualitas Perempuan Yang Terbungkam, Jakarta: Kartini Network, cet. I, 2007.Farid Esack, Al-Quran, Liberalisme, Pluralisme; Membebaskan Yang Tertindas, Bandung: Mizan, cet. I, 2000.Hasan bin Umar al-Sinawani al-Maliki, al-Ashl al-Jami‟ li Idlah al-Durar al-Mandzumah fi Suluk Jam‟ al-Jawami‟, Tunis: Mathba‟ah al-Nahdlah, cet. I, 1928.Isma‟il al-Hasani, Nadzariyyah al-Maqashid „Inda al-Imam Muhammad al-Thahir Ibn Asyur, ttp. al -Ma‟had al-„Alami li al-Fikr al-Islami, 1995.Jawwad Ali, al-Mufashal fi Tarikh al-„Arab Qabl al-Islam, Baghdad: Universitas Baghdad, tt.MA. Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial, Yogyakarta: LKiS, cet. VI, 2007.Muhammad bin „Isa al-Turmudzi, Sunan al-Turmudzi, Mesir: Syirkah Maktabah wa Mathba‟ah Mushthafa al-Babi al-Halabi, cet. II, 1975.Muhammad bin al-Hasan al-Hajwi al-Tsu‟alabi, al-Fikr al-Sami fi Tarikh al-Fiqh al-Islami,ttp. Idarah al -Ma‟arif 1340 H.Muhammad bin al-Thahir bin Asyur, al-Tahrir wa al-Tanwir, Tunis: Dar al-Tunisiyyah li alNasyr, 1984.Muhammad bin Isma‟il al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, ttp. Dar Thuq al -Najah, cet. I, 1422 H.Muhammad bin Jari r al -Thabari , Jami‟ al-Bayan „an Ta`wil Ayi al-Qur`an, ttp. Dar Hijr, cet.I, 2001.Nur Syam, Agama Pelacur; Dramaturgi Transendental, Yogyakarta: LKiS, cet. II, 2011.Thanh Dam Truong, Seks, Uang, dan Kekuasaan, Jakarta: LP3ES, 1992