bab i
DESCRIPTION
testTRANSCRIPT
LOKALISASI PELACURAN MENURUT FIKIH ISLAM
Makalah
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
………………………………………
Oleh
EVI SILVIA AGUSTIN
31 13 019
JURUSAN ADMINISTRASI BISNIS
UNIVERSITAS PESANTREN TINGGI DARUL ULUM
JOMBANG
2015
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan pertolonganNya kami dapat menyelesaiakan Makalah yang berjudul ‘Lokalisasi Pelacuran Menurut Fikih Islam”. Meskipun banyak rintangan dan hambatan yang penyusun alami dalam proses pengerjaannya, tapi penyusun berhasil menyelesaikannya dengan baik.
Tak lupa penyusun mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing yang telah membantu dalam mengerjakan makalah ini. Penyusun juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman mahasiswa yang juga sudah memberi kontribusi baik langsung maupun tidak langsung dalam pembuatan makalah ini.
Tentunya ada hal-hal yang ingin penyusun berikan kepada masyarakat dari hasil makalah ini. Karena itu penyusun berharap semoga makalah ini dapat menjadi sesuatu yang berguna bagi kita bersama.
Pada bagian akhir, penyusun akan mengharapkan berbagai masukan dan pendapat dari orang-orang yang ahli di bidangnya, agar nantinya bisa berguna bagi kita semua kedepannya.
Semoga makalah yang penyusun buat ini dapat membuat kita mencapai kehidupan yang lebih baik lagi.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
Kata Pengantar .................................................................................................ii
Daftar Isi..........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah ...........................................................................1
1.2 Rumusan Masalah .....................................................................................3
1.3 Tujuan ........................................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Lokalisasi Pelacuran ................................................................4
2.2 Lokalisasi Pelacuran Dalam Prespektif Fikih Islam...................................5
2.3 Solusi Lokalisasi Pelacuran Dalam Prespektif Islam................................11
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan ............................................................................................14
3.2 Saran ......................................................................................................14
Daftar Pustaka
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Keberadaan lokalisasi pelacuran di mata masyarakat dipandang sebagai
“tempat kotor” dan “tempat orang - orang yang berdosa”, namun secara diam-
diam tidak sedikitmasyarakat yang ikut serta menikmati keberadaannya, mulai
dari yang mencari kenikmatan esek-esek, mengais rizki dengan menjual makanan
dan minuman, hingga berprofesi merawat kesehatan para penghuninya (pelacur).
Singkatnya, keberadaan lokalisasi pelacuran oleh masyarakat dibenci sekaligus
disukai.
Stereotipe negatif terhadap lokalisasi pelacuran biasanya muncul dari
anggapan bahwa tempat tersebut bertentangan dengan ajaran agama, sehingga
pantas jika tempat inisering menjadi sasaran amuk sebagian umat Islam dengan
dalih amar ma‟ruf nahy munkar. Sesungguhnya asumsi demikian terlalu gegabah,
masyarakat yang membenci keberadaannya dan hendak membubarkan memiliki
pandangan yang sporadis dan simplistis, mereka hanya menilai dari satu sisi,
yakni bertentangan dengan ajaran agama yang melarang perzinaan, sehingga
melokalisir perzinaan tidak lebih dari menyediakan tempat bagi para pengobral
dosa.
Lokalisasi pelacuran di dalamnya tersimpan permasalahan yang sangat
kompleks,tidak cukup jika melihatnya dari satu sisi, yakni menjadi tempat
perzinaan, tapi harus dilihatdari berbagai sisi dengan seobjektif mungkin, yakni
dengan melihat latar di balik keberadaannya di satu sisi, dan penyebab yang
mengantarkan seseorang menjadi pemuas seks bayaran di sisi lain.
Semua orang tidak ada yang memiliki cita-cita berprofesi menjadi pemuas
seks transaksional, sehingga orang yang menjalankan pekerjaan esek-esek ini
dapat dipastikan diluar kehendaknya atau terpaksa. Hal ini dapat dibuktikan
melalui kehidupan para pelacur yang memiliki dua wajah atau dalam bahasa Nur
Syam memiliki dua panggung, yakni panggung depan dan panggung belakang. Di
panggung depan pelacur pura-pura menampakkan wajah yang ceria, molek, penuh
desah mesra, menggoda, orgasme, namun sesungguhnya di balik itu, di panggung
1
belakang yang tersembunyi mereka sangat lara,mereka pura-pura melakukan itu
semua karena terpaksa agar dapat membiayai diri dan keluarganya.
Ringkasnya, lokalisasi pelacuran adalah tempat orang-orang tertindas,
sehingga dalammenyikapinya tidak cukup jika hanya dilihat bahwa di dalamnya
menjadi “tempat wisatakelamin”
yang diharamkan agama, tapi juga harus dilihat dari status para pelakunya
yangdalam bahasa al-
Quran disebut dengan “masyarakat tertindas (dlu‟afa ) ” sehingga apabila
lokalisasi pelacuran disikapi dengan teks-teks keagamaan (al-nushush
al- syar‟iyyah) maka harus memperhatikan pula semua latar yang mengitari
lokalisasi pelacuran dan penghuninya,mulai dari penyebab yang mengantarkan
seseorang menjadi pemuas nafsu bayaran hingga praktek esek-eseknya itu sendiri.
Sahal Mahfudh dalam bukunya, Nuansa Fiqih Sosial, menyatakan bahwa
lokalisasi pelacuran dapat dibenarkan karena dengan melokalisasikannya para
pelacur dapat terkontrol.Pandangan Sahal ini berdasarkan pada kaidah “idza
ta‟aradla mafsadatani ru‟iyaa‟dzamuhuma dlararan bir
tikabi akhaffihima (apabila terdapat dua kerusakan yang bertentangan maka
dilihat dampaknya yang lebih besar dengan melakukan kerusakan yanglebih
ringan). Sahal menilai prostitusi merupakan persoalan sosial yang kompleks
sehingga sangat sulit untuk dihilangkan, sehingga masyarakat dihadapkan pada
dua pilihan yang sama-sama mengandung kerusakan, antara membiarkannya tidak
terkontrol di tengah masyarakatdan melokalisasikannya agar dapat terkontrol.
Oleh karena itu melalui kaidah fikih tersebut Sahal menawarkan pilihan yang
kandungan kerusakannya lebih ringan, yaitu denganmelokalisasikannya.
Pandangan Sahal ini senada dengan pendapat St. Augustine dan St. Thomas
Aquinas yang menyatakan, bahwa pelacuran memang dilarang, namun tidak serta
merta harus dihilangkan dari muka bumi ini. St. Augustine sebagaimana dikutip
oleh Thanh Dam truong mengatakan, “menyingkirkan pelacuran dari kehidupan
manusia akan mengotori semua hal dengan nafsu birahi dan karena itu perempuan
sundal adalah imoralitas yang dapat dibenarkan secara hukum.” Begitu juga
dengan St. Thomas Aquinas, ia menyatakan,“Enyahkan tempat sampah dan anda
2
akan mengotori istana, enyahkan pelacur dari muka bumi dan anda akan
memenuhinya dengan sodomi.”
Melalui perspektif “ pembebasan”yang menjadi misi agama Islam, tulisan
sederhanaini hendak melengkapi beberapa pandangan di atas. Namun yang lebih
ditekankan dalamtulisan ini bahwa lokalisasi pelacuran semata-mata bukan
sebagai problematika social an sich sebagaimana yang dilihat Sahal, tapi lebih
dari itu, yakni suatu “ kebutuhan sosial” yang menjadi salah satu media
(wasilah) untuk membebaskan para pelacur dari penindasanstruktur sosial
masyarakatnya.
Oleh karena itu tulisan ini diawali dengan pembahasan watak fikih Islam
yangmembebaskan, yang kemudian disusul dengan pelacuran dan perzinaan yang
dimaksud al-Quran, hingga klimaksnya menawarkan konsep ideal lokalisasi
pelacuran sebagai upayamembebaskan duka lara yang tersimpan di balik desah
mesra para pelacur.
1.2 Rumusan Masalah
1.Apa itu lokalisasi ?
2.Bagaimana prespektif fiqih islam terhadap lokalisasi pelacuran ?
3.Bagaimana solusi yang sebaiknya diambil untuk menanggulangi bisnis
lokalisasi pelacuran ini ?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui /
memahami tentang apa itu lokalisasi. Selain itu dalam makalah ini akan dibahas
mengenai pandangan fikih islam terhadap lokalisasi pelacuran serta bagaimana
dampak adanya lokalisasi terhadap kondisi masyrakat sekitar dan bagaiamana
solusi yang akan diambil dan dilakukan untuk menanggulangi adanya lokalisasi
tersebut.
3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Lokalisasi Pelacuran
Lokalisasi adalah istilah yang berkonotasi sebagai tempat penampungan
wanita penghibur dan Wanita Tuna Susila (WTS). Atau juga Kawasan Pelacuran
yang dimana berisi wisma esek - esek, cafe Dangdut dan panti pijat pelacuran plus
- plus yang berjejer rapi di kawasan lokalisasi tersebut. Biasanya lebih dari ratusan
wanita Penjaja cinta,Pelacur Remaja dibawah umur , Germo, ahli pijat aurat yang
selalu siap menawarkan alat kelaminnya kepada para pelanggan atau penikmat
kesenangan dunia sesaat. Dan terdapat ribuan pedagang kaki lima, tukang
parkir,calo Prostitusi, dll yang menggantungkan hidup di Lokalisasi Pelacuran
tersebut. Semua saling berkait menjalin sebuah simbiosis mutualisme. Pekerjaan
melacur atau nyundal sudah dikenal di masyarakat sejak berabad lampau. Ini
terbukti dengan banyaknya catatan tercecer seputar mereka dari masa kemasa.
Sundal selain meresahkan juga mematikan, karena merekalah yang ditengarai
menyebarkan penyakit AIDS akibat perilaku seks bebas tanpa pengaman. Selain
itu dengan semakin canggihnya dunia teknologi, lokalisasi mulai merambah dunia
maya. Pelacuran dalam bentuk baru dan rapi ini melibatkan banyak remaja
dibawah umur juga. Remaja dibawah 18 tahun yang kesehariannya berstatus
pelajar. Sebut saja kasus pelacuran dunia online yang beralamat
www.wanita18.com (sekarang sudah off) dengan pemilik Albert Timothius yang
kini sudah diusut oleh polisi. Kasus tersebut terbilang rapi karena setiap orang
yang ingin mendapatkan layanan dari cewek - cewek seksi yang ada di daftar situs
nya haruslah menjadi member dengan registrasi terlebih dahulu. Harga yang
dipatok untuk layananseks komersial prostitusi dunia online ini berkisar antara
800rb - 1,5 juta Rupiah dengan pembagian 70 - 30. 70% untuk Albert Timothius
dan 30% untuk si cewek pemuas nafsu tersebut. Namun kini Pelacuran dunia
online malah sudah mewabah hingga memasuki salah satu portal networking
terbesar didunia yaitu Friendster atau pun Facebook. Salah satu portal yang saat
ini banyak digunakan oleh remaja didunia untuk bersosialisasi lewatdunia maya.
4
2.2 Lokalisasi Pelacuran Dalam Prespektif Fikih Islam
Menurut al-Ghazali, ilmu fikih merupakan ilmu dunia yang berfungsi
untuk menciptakan kebaikan di dunia, yakni menata kehidupan masyarakat agar
tercipta kehidupan yang lekat dengan kebahagiaan, ketentraman dan keselamatan,
sebagaimana ilmu kedokteran yang juga berfungsi merawat kehidupan di dunia
ini, yakni menjaga kesehatan masyarakat. Hanya saja yang menjadikan ilmu fikih
lebih utama ketimbang ilmu-ilmu dunia lainnya adalah kaki pijak referensialnya
pada wahyu kenabian, sementara yang lainnya lebih didasarkan pada
eksperimentasi (al-tajribah). Kategorisasi ilmu fikih sebagai ilmu dunia ini dapat
dipahami bahwa fikih Islam harus memiliki watak kemanusiaan, bukan
ketuhanan, Fikih Islam harus membicarakan persoalan manusia, bukan persoalan
Tuhan, karena sesungguhnya kehidupan di akhirat hanyalah balasan atas apa yang
dikerjakan di dunia.
Fikih sebagai aturan hidup yang mengatur kehidupan manusia di dunia ini
jauh sebelum Islam datang masyarakat Arab pra Islam sudah memilikinya, namun
peraturan hidup mereka berbeda-beda sesuai dengan tatanan masyarakatnya yang
terkotak - kotak dalam berbagai suku. Ketika Islam datang fikih Islam di samping
mengadopsi darinya juga memperbaharuinya dengan mengambil lokus yang
mempersatukan, universal, dan komprehensif serta mengandung kebaikan bagi
semua masyarakat ( jami‟ li al-mashalih al-ijtima‟iyyah). Bahkan fikih Islam ini
tidak hanya mengatur kehidupan umat muslim semata,tapi juga mengatur semua
masyarakat dengan beragam agama, ras, budaya, dan yang lainnyadalam satu titik
temu, yaitu menciptakan kebaikan. Kebaikan dimaksud adalah kebaikan di dunia,
bukan di akhirat, karena kehidupan akhirat merupakan balasan atas perbuatan
didunia.
Watak humanisme yang dimiliki fikih Islam menjadikannya tidak hanya
berbicara shalat, zakat, puasa, dan haji, tapi juga mencakup semua aktifitas
kehidupan di dunia, mu‟amalah, jinayah, dan yang lainnya. Juga tidak hanya
mengatur aktifitas manusia dengan halal dan haram, tapi juga memberikan solusi
problematika hidup dengan tetap berpegang pada karakternya yang membebaskan
dan egaliterian, karena Islam sendiri diturunkan untuk membebaskan manusia dari
berbagai panindasan hingga pada gilirannya terciptalahmasyarakat yang adil,
5
makmur, dan sejahtera (baldah thayyibah wa rabbun ghafur). Oleh karena itu
Allah memerintahkan umat Islam agar selalu berjuang di jalan Allah dan
membelaorang-orang lemah, baik laki-laki, perempuan, maupun anak-anak (QS.
4:75).
Nabi Muhammad Saw. sendiri diperintahkan oleh Allah agar selalu
membela kaum proletar meskipun diiming-imingi keuntungan finansial oleh kaum
borjuis jika beliau berkenan membiarkannya dalam keadaan papa (QS. 80:5-10).
Selama hidupnya Nabi Muhammad Saw. hanya digunakan untuk
memperjuangkan nasib wong cilik Makkah yang tersingkirkan dari struktur sosial
kaum borjuis Quraisy. Konsistensi nabi Muhammad Saw. dalam membebaskan
kaum dlu‟afa Arab ini tercermin dalam do‟anya yang meminta kepada Tuhan
agar dalam keadaan hidup maupun mati selalu dikumpulkan dengan orang-
orangmiskin.
“ Allahumma ahyini miskinan, wa amitni miskinan wahsyurni fi zumratil
masakin yaumal qiyamah. (Ya Tuhan, hidupkanlah aku dalam keadaan miskin,
matikanlah aku dalamkeadaan miskin, dan kelak di Hari Kiamat
kumpulkanlah aku dengan kelompok orang-orangmiskin).
Do‟a nabi Muhammad Saw ini bukan berarti beliau memohon miskin
kepada Allah, tapi meminta kepada-Nya agar selalu diberi kekuatan untuk
memperjuangkan hak-hak orang miskin yang saat itu hak-haknya direbut kaum
borjuis Quraisy.
Al-Quran dalam beberapa tempat seringkali mencela kondisi sosial ekonomi
masyarakat Makkah yang hanya dikuasai oleh kaum borjuis dan memberikan
perintah aktif untuk memberdayakan kaum proletar. Oleh karena itu nabi
Muhammad Saw. menghapus praktik lintah darat, riba, perjudian, dan praktik-
praktik ekonomi eksploitatif lainnya (QS.2:219), pemberi utang dituntut untuk
cuma mengambil sejumlah piutangnya, namun biladisedekahkan maka itu lebih
baik (QS. 2:280), dan orang kaya diperintah untuk mendermakan kelebihan
hartanya (QS. 2:219). Sebagai upaya pemberdayaan kaum miskin al-Quran
mengatakan bahwa dalam harta orang kaya terdapat bagian intrinsik bagi orang
miskin (QS. 70:25, QS. 51:19). Al-Quran juga sangat menekankan keadilan
6
distributif dengan tujuan agar harta benda tidak hanya beredar di kalangan borjuis
semata (QS. 59:7).
Farid Esack menyatakan, ide satu pencipta ( tauhid ) dalam Islam memiliki
makna bahwa umat manusia dengan beragam ras, suku, dan sosial bertemu dalam
satu dimensi “ kemanusiaan ”, sehingga dalam memperjuangkan hak-hak kaum
tertindas juga tidak bolehdisekat dengan kesamaan agama, tapi harus mencakup
semua umat manusia walaupun berbeda agama. Kebencian yang ditampakkan
oleh kuffar Quraisy kepada Muhammad Saw tidak lebih dari sebab pembelaan
Muhammad Saw. terhadap kaum proletar. Borjuis Makkah yang memiliki
kepentingan eksploitasi ekonomi dalam bisnisnya merasa terancam olehkehadiran
Islam yang disampaikan oleh Muhammad Saw. yang menekankan keadilan
bagikaum tertindas dan tersisih.
Karena Islam memiliki kepentingan membebaskan masyarakat tertindas
inilah, orang-orang miskin dalam Islam sangat dimuliakan. Dalam ( QS. 28:5 )
dinyatakan bahwa Tuhan sangat mengutamakan kaum tertindas, dalam hal ini
diceritakan bahwa Tuhan memberikan karunia kepada Bani Israil yang ditindas
oleh Fir‟aun dan penguasa Mesir lainnya.
Oleh karena itu tidak heran jika Nabi Muhammad Saw. pernah memberikan
informasi bahwa pernah ada seorang pelacur yang masuk sorga sebab memberi
minuman kepada anjing. Hal ini dapat dimaklumi mengingat seorang pelacur
masuk dalam deretan kaum tertindas, sehingga hanya gara-gara menolong anjing
yang sedang kehausan Tuhan memberikan rahmat kepadanya dengan ditempatkan
di surga.
Para peneliti hampir mengeluarkan konsensus bersama bahwa seseorang
terjun kedunia pelacuran bukan atas kemauan sendiri, tapi karena terpaksa.
Keterpaksaan ini disebabkan oleh faktor ekonomi, baik untuk dirinya sendiri
maupun keluarga, sementaradirinya tidak memiliki keahlian (skill) untuk
melakukan pekerjaan yang halal dan layak. Oleh karena itu para ilmuan sering
kali mendefinisikan pelacuran dengan seksualitas sesaat yang dilakukan dengan
siapa saja (promiskuitas) untuk mendapatkan imbalan materi.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa pelacur merupakan salah satu dari
sederet masyarakat yang terpinggirkan sehingga harus dibebaskan dari jeratan itu.
7
Pelacur rela mengorbankan diri, masa depan, dan kehidupannya demi membiayahi
diri, anak, dan keluarganya. Bahkan ketertindasan pelacur tidak hanya dari
struktur sosial masyarakat disekelilingnya yang mengantarkan dirinya hidup di
lembah hitam, tapi di dalam lembah hitam atau lokalisasi juga mereka ditindas.
Uang yang mereka dapat dari pekerjaan esek-esek tidak 100 persen masuk
kantong, tapi masih harus dibagi-bagi dengan pihak yang terlibat
dalam pekerjaannya, yakni mucikari, uang kamar, uang kesehatan, uang
keamanan, calo, dan yang lainnya. Sehingga mereka hanya mengantongi uang
dengan jumlah yang sangat sedikit.
Sesungguhnya para pelacur sadar bahwa dirinya adalah orang yang sangat
tidak diuntungkan, namun mereka tidak berdaya di tengah sulitnya akses
kehidupan yang tidak ramah. Menurut Nur Syam, kesadaran inilah yang disebut
oleh Karl Max dengan “kesadaran palsu”, yakni kesadaran yang banyak dimiliki
oleh kaum pinggiran. Mereka sadar akan keterpinggirannya, namun mereka tidak
memiliki relasi kuasa untuk menolak terhadap realitas tersebut.
Pemerasan terhadap pelacur sesungguhnya tidak diperbolehkan karena
mereka adalah orang-orang yang tertindas, orang-orang yang memiliki nasib
malang dan mengenaskan. Diceritakan bahwa ketika sahabat Nabi Muhammad
SAW. hijrah ke Madinah di antara mereka banyak yang punya rencana untuk
menikah dengan para pelacur, karena pelacur - pelacur di Madinah selain cantik-
cantik juga kaya-raya memiliki penghasilan dari kerja esek-eseknya. Sahabat
muhajirin mengatakan, “ andai kita menikah dengan mereka maka kita akan hidup
bersama mereka dengan kaya raya. ” Namun oleh nabi Muhammad Saw. rencana
tersebutdigagalkan (dilarang) karena dengan menikahinya yang bertujuan untuk
memanfaatkan “ kekayaan pelacur ” bukan sebagai tindakan yang dapat
membebaskannya dari penindasanstruktur sosial masyarakat saat itu, tapi malah
hendak memeras, atau orang jawa menyebutnya dengan “ wis tibo ketiban ondo
(sudah jatuh kejatuhan tangga) ”
“Ala kulli hal “, karena posisi pelacur sebagai orang yang tertindas,
sehingga menurut fikih Islam mereka harus dibebaskan dari penindasan itu
dengan cara menghilangkan praktik prostitusi yang terkonsep dalam hukum
larangan zina, namun karena larangan ini belum dapat memberikan solusi yang
8
dapat mengurai kesulitan hidupnya terutama dalam bidang ekonomi, maka cara
yang harus pertama kali dilalui adalah membiarkannya agar para pelacur dapat
mencari bekal hidup secukupnya sembari dibina dan dididik berwira usaha.
Walaupun prostitusi di larang oleh Islam karena menindas perempuan,
namun bukan berarti fikih Islam tidak memiliki solusi dalam mengurai duka lara
yang mendera penghuninya. Fikih Islam memiliki konsep solutif dalam mengurai
dan membebaskan profesiharam yang sulit dihilangkan, atau ringkasnya profesi
haram yang dijalankan karena keterpaksaan.
Pada masa jahiliyyah pelacuran hanya dilakukan oleh para budak yang
dipaksa oleh para pemiliknya ( malik al-ammah ), sedangkan esek-esek di luar
pernikahan yang dilakukanwanita merdeka ( hurrah ) biasanya dilakukan atas
dasar suka sama suka, seperti dalam al-musafahah dan al-mukhadanah. Jika tidak
demikian maka didorong oleh keterpaksaan untuk mendapatkan makan dan
minum atau disebut dengan al-mudlamadah. Al-mudlamadah ini berbeda dengan
“pelacuran”, karena pelacur mengais dinar dengan semua pria yang mengencani,
sedangkan al-mudlamadah tertentu dengan satu orang lelaki atau dua atau
tiga(maksimal tiga) agar lelaki memberinya makan atau mungkin pada masa
sekarang biasadikenal dengan “ istri simpanan ”.
Seiring dengan laju kesadaran masyarakat praktek perbudakan telah
dihapus, namun wanita penjaja seks dalam ruang sejarah kehadirannya selalu ada
dan tersebar di mana-mana.Oleh karena itu pertanyaan yang patut dilempar apa
faktor utama yang membuatnyamenyewakan tubuhnya untuk dinikmati oleh para
lelaki hidung belang? Sebagaimana disinggung di muka, para peneliti
menyimpulkan bahwa faktor utama yang mengantarkan seseorang menjadi
pelacur adalah tuntutan ekonomi, mereka hendak bekerja namun tidak memiliki
keahlian (skill) , sementara persaingan hidup kian hari selalu menggerus
perekonomian masyarakat bawah, sehingga mau tidak mau demi mendapatkan
sepiring nasiia harus merelakan tubuhnya untuk dinikmati dengan imbalan harta
benda.
Jika demikian halnya maka mereka sejatinya adalah orang-orang yang
tertindas dari ekonomi masyarakat di sekitarnya, sehingga dalam fikih Islam hal
itu tetap dilarang namun bukan berarti mereka tidak boleh melakukannya, mereka
9
diperbolehkan beroprasi menjajakan diri, namun dengan ketentuan sebatas untuk
mencari bekal hidup atau modal untuk berusaha.Oleh karena itu fikih Islam sangat
mendukung keberadaan lokalisasi pelacuran demi mempermudah mengorganisir
pendidikan kepada mereka dan mengais keuntungan yangterlindungi. Lokalisasi
pelacuran menurut fikih Islam adalah media (wasilah) Yang diharamkan karena
dengan melokalisir tempat esek-esek berarti menyediakan tempat maksiat, namun
bukan berarti hal ini dilarang karena wasilah yang haram selama dapat
mendatangkan kebaikan (mashlahah) maka mutlak dilegalkan, bahkan keberadaan
wasilah tersebut harus dikonsep seideal mungkin agar orang-orang yang tertindas
(dalam hal ini para pelacur) dapat segera terbebaskan dan kembali hidup normal
sembari menatap masa depanyang gemilang. Al-Qarafî dalam beberapa karyanya
mengatakan:
“Qad takunu wasilah al -muharrami ghaira muharramah idza afdlat ila
mashlahah rajihah (Terkadang media [wasilah] yang diharamkan itu tidak
haram apabila wasilah tersebut dapat mendatangkanmashlahat yang lebih
tinggi). ”
Konsep ini bermula dari Sadd al- Dzara`i‟, yakni menutup tindakan yang
dapat mengantarkan pada kerusakan, kendati tindakan tersebut hukum asalnya
diperbolehkan.Sedangkan membuka tindakan untuk menuju kemashlahatan
dinamakan dengan Fath al-Dzara`i‟. Kedua teori ini dalam penelitian al-Qarafi
merupakan sumber hukum yangdisepakati oleh para imam madzhab walaupun
secara tekstual banyak ulama yang tidak mengakui kedua teori ini sebagai
landasan hukum, namun pada tataran praksisnya para ulamasepakat
menggunakannya.Jika dalam Sadd al- Dzara`i‟ maupun Fath Dzara`i‟
tindakanyang ditutup (sadd) atau tindakan yang dibuka (fath) memiliki hukum asal
yangdiperbolehkan, lantas bagaimana jika tindakan yang akan ditutup atau dibuka
memilikihukum dilarang? Karena fikih memiliki kepentingan menciptakan
kemashlahatan sehinggadalam persoalan ini dikembalikan pada tujuan, yakni
apakah dengan menggunakan caramembuka atau menutup tindakan akan
menghasilkan kebaikan atau tidak, jika mendapatkankebaikan maka mutlak
diperbolehkan.
10
Melalui pandangan al-Qarafi yang juga diamini oleh para ulama lainnya di
atas dapatdisimpulkan bahwa keberadaan lokalisasi pelacuran mutlak dilegalkan
karena sebagaiwasilah yang dapat mendatangkan kebaikan. Dengan melokalisir
prostitusi maka para pelacur akan mudah dibina dan dilindungi hingga pada
akhirnya mereka dapat terbebaskan nasibnyadari tindasan yang mereka rasakan.
Oleh karena itu lokalisasi pelacuran seharusnya dibersihkan dari
“penindasan lain”, yakni penindasan yang dilakukan oleh pemerintah dalam
menarik pajak yang mencekik, mucikari yang memperlakukan gundiknya seperti
pelacur budak pra Islam, dan tidak mencacinya. Bahkan seharusnya pemerintah
khususnya dan masyarakat pada umumnya wajib melindungi pelacur dari berbagai
penindasan, merawat kesehatannya, memberikan pendidikan moral dan berwira
usaha, serta menyiapkan lapangan pekerjaan yang layak danhalal, karena para
pelacur rata-rata ketika usianya mulai menginjak 40 tahun atau ketika sudah
jarang diminati oleh pelanggannya lagi maka mereka akan mengakhiri profesi
yang mengenaskan itu.
2.3 Solusi Lokalisasi Pelacuran Dalam Prespektif Fiqih Islam
Cara untuk memahami segala persoalan dalam kehidupan tidak bisa hanya
didasarkan pada al-Qur’an dan hadits secara literal. Sebab kedua sumber hukum
Islam tersebut mempunyai jangkauan yang luas, mengenai bahasa, tempat, waktu,
dan keadaan. Dengan demikian, persoalan yang kerap muncul dalam kehidupan
tidak bisa begitu saja diselesaikan dengan hanya lebel ‘halal-haram’ atau ‘hitam-
putih’.
Dalam kajian fikih pesantren, perspektif fikih bisa dikatakan kokoh jika
didasari oleh teori ushul fikih. Termasuk jika hendak mengupas persoalan boleh
tidaknya kebijakan lokalisasi. Menarik dikemukakan pandangan salah seorang
ulama ushul fikih (al-Maghfurlah) KH. MA Sahal Mahfudh dalam bukunya
Nuansa Fiqih Sosial (2004). Kiai Sahal berpendapat bahwa pilihan terhadap
kebijakan lokalisasi prostitusi merupakan pilihan yang didasarkan atas prinsip
memilih perbuatan yang dampak buruknya lebih ringan. Dengan demikian,
tinjauan fiqh sosial membenarkan tindakan lokalisasi terhadap perempuan pekerja
seks komersial.
11
Pendapat ini bagi sebagian pihak mungkin terasa mengagetkan, sehingga
akan dituduh sebagai sebuah dukungan akan maraknya perzinahan. Tetapi, sekali
lagi, bagi yang terbiasa mengaji ushul fikih di pesantren, sesungguhnya pendapat
itu didasarkan pada kaidah idza ta’aradha mafsadatani ru’ya a’zhamuhuma
dhararan bi irtikabi akhaffihima, apabila bertemu dua keburukan, maka
pertimbangkan mana yang paling besar dampak keburukannya, lalu pilihlah yang
dampak keburukannya lebih kecil.
Upaya ini bermakna bahwa prostitusi merupakan persoalan sosial yang
kompleks, yang tak bisa diselesaikan hanya dengan cap ‘halal-haram’. Saya
memaknainya sebagai solusi gradual untuk menuntaskan persoalan prostitusi.
Dengan kata lain, kita sepakat bahwa prostitusi dilarang agama, tetapi kemudian
kita juga mesti peduli bahwa mereka para pedila (perempuan yang dilacurkan) itu
juga manusia yang punya hati nurani untuk bisa berupaya hidup normal
sebagaimana mestinya. Butuh waktu yang panjang untuk memulihkannya,
pemulihan dari sisi psikologis, sosial, ekonomi, dan lain-lain.
Sebagai contoh masalah lokalisasi Dolly dan Jarak Surabaya. Kompleksitas
pada persoalan lokalisasi Dolly dan Jarak tak hanya menimpa para perempuan,
tetapi juga anak-anak. Siapa menyangka, mereka yang semestinya mengisi masa
anak-anaknya dengan berpendidikan dan bermain, mau tak mau terjerambab pada
lingkaran setan prostitusi. Risma pernah betutur bahwa anak-anak di komplek
lokalisasi malah menjadi pelanggan perempuan lanjut usia.
Di sinilah pentingnya mengedepankan akal sehat dan nurani suci. Melalui
jalan pemberdayaan, bukan pengharaman, penyerangan, dan perusakan. Bahwa
persoalan lokalisasi Dolly dan Jarak bukan mempertentangkan pro dan kontra.
Ada hal yang jauh lebih subtantif yakni masa depan Surabaya dan bangsa yakni
masa depan yang sejahtera dan mencerahkan masyarakatnya. Atas hal ini, saya
tidak ingin turut menghabiskan energi pada perseteruan sengit; pro atau kontra
sebagaimana pihak kebanyakan.
Fokus kita sekarang dan terus selanjutnya adalah bagaimana bisa
memerdekakan dan mendaulat hak-hak perempuan dan anak-anak dari jeratan
penzaliman pihak-pihak yang berkepentingan. Pihak-pihak yang berkepentingan
12
inilah yang sesungguhnya membuat permasalahan menjadi semakin runyam.
Merasa kehilangan aset materi, jika ‘bisnis’ asusila yang telah memakmurkannya,
tiba-tiba ditutup.
Oleh karena itu, pemerintah pusat, pemprov, pemkot, tokoh agama, tokoh
masyarakat, dan semua pihak terkait mesti menjalin komunikasi (dialog) dan
solidaritas yang kokoh. Sebab, lokalisasi bukan hanya menjadi masalah pemkot
Surabaya saja, melainkan menjadi masalah bangsa, masalah kita bersama.
Sehingga untuk mencari solusi adilnya membutuhkan proses yang panjang,
bertahap, dan pendekatan yang santun.
Terlepas dari kontroversi pro-kontra pada masalah ini, pemkot Surabaya dan
pemprov Jawa Timur mesti terus melakukan pemberdayaan. Pemberdayaan
melalui pendekatan pendidikan, psikologi, dakwah, kewirausahaan, dan lainnya
secara berkelanjutan. Jangan sampai nasib para perempuan (pedila) dan anak-anak
semakin terpuruk dan terzalimi. Sampai pada saatnya nanti kebijakan penutupan
itu benar terjadi, semoga saja tidak berangkat dari niat dan sikap yang sempit,
apalagi karena intimidasi kelompok ormas Islam tertentu, untuk kemudian
menelantarkan. Na’uzubillah. Wallahua’lam bis-Shawab.
13
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Lokalisasi pelacuran menurut fikih Islam merupakan media yang
diharapkan dapat mengurai dan membebaskan duka lara para pelacur, sehingga
di dalam lokalisasi pelacuran pemerintah dan masyarakat dilarang melakukan
penindasan lain, meminta pajak yang terlalu besar, menutupnya dengan dalih
menghormati bulan suci, menangkap pela cur yang beroperasi di luar
kesepakatannya dengan pemerintah, mencaci dan bentuk penindasan lainnya.
Di samping itu, pemerintah dan masyarakat juga harus menolong dan
melindunginya dengan cara menjaga kesehatan mereka, mendidik, dan
menyediakan lapangan kerja yang halal dan layak. Perlindungan seperti ini
merupakan implementasi dari doktrin “amar ma‟ruf nahy munkar” terhadap para
pelacur. Memerintah berbuat baik (amar ma‟ruf) kepada pelacur dilakukan
dengan cara memberikan solusi yang dapat membebaskannya dari
penindasan struktur sosial masyarakat, dan melarang berbuat kemungkaran
(nahy munkar) terhadapnya ditunaikan dengan cara mencegah orang-orang yang
melakukan penindasan terhadap mereka.
Dengan demikian, bagi sebagian umat Islam yang sering melakukan
sweping ke lokalisasi pelacuran sudah saatnya mengubah aksi amar ma‟ruf
nahy munkarnya dengan melaksanakan aksi yang membebaskan, bukan aksi
pentungan, menunaikan perintah Allah adalah membebaskan manusia tertindas,
bukan membuat luka di atas derita.
3.2 Saran
14
DAFTAR PUSTAKA
Abi Hamid al-Ghazali, Ihya`Ulum al-Din, Kairo: Dar al-Hadis 2004.Abu al-Abbas Syihabuddin Ahmad Al-Qarafi, al-Dzakhirah, Beirut: Dar al-Gharb al-Islami, cet. I, 1994.____, Anwar al-Buruq fi Anwa` al-Furuq, ttp. „Alam al -Kutub, tt.____, Syarh Tanqih al-Fushul, Syirkah al-Thaba‟ah al-Fanniyah al-Muttahidah, cet. I, 1973.Abu al-Hasan „Ali al-Naisaburi , Asbab Nuzul al-Qur`an, Beirut: Dar al Kutub al-„Ilmiyyah, cet. I, 1411 H.Endah Sulistyowati, dkk. Hegemoni Hetero-Normativitas; Membongkar Seksualitas Perempuan Yang Terbungkam, Jakarta: Kartini Network, cet. I, 2007.Farid Esack, Al-Quran, Liberalisme, Pluralisme; Membebaskan Yang Tertindas, Bandung: Mizan, cet. I, 2000.Hasan bin Umar al-Sinawani al-Maliki, al-Ashl al-Jami‟ li Idlah al-Durar al-Mandzumah fi Suluk Jam‟ al-Jawami‟, Tunis: Mathba‟ah al-Nahdlah, cet. I, 1928.Isma‟il al-Hasani, Nadzariyyah al-Maqashid „Inda al-Imam Muhammad al-Thahir Ibn Asyur, ttp. al -Ma‟had al-„Alami li al-Fikr al-Islami, 1995.Jawwad Ali, al-Mufashal fi Tarikh al-„Arab Qabl al-Islam, Baghdad: Universitas Baghdad, tt.MA. Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial, Yogyakarta: LKiS, cet. VI, 2007.Muhammad bin „Isa al-Turmudzi, Sunan al-Turmudzi, Mesir: Syirkah Maktabah wa Mathba‟ah Mushthafa al-Babi al-Halabi, cet. II, 1975.Muhammad bin al-Hasan al-Hajwi al-Tsu‟alabi, al-Fikr al-Sami fi Tarikh al-Fiqh al-Islami,ttp. Idarah al -Ma‟arif 1340 H.Muhammad bin al-Thahir bin Asyur, al-Tahrir wa al-Tanwir, Tunis: Dar al-Tunisiyyah li alNasyr, 1984.Muhammad bin Isma‟il al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, ttp. Dar Thuq al -Najah, cet. I, 1422 H.Muhammad bin Jari r al -Thabari , Jami‟ al-Bayan „an Ta`wil Ayi al-Qur`an, ttp. Dar Hijr, cet.I, 2001.Nur Syam, Agama Pelacur; Dramaturgi Transendental, Yogyakarta: LKiS, cet. II, 2011.Thanh Dam Truong, Seks, Uang, dan Kekuasaan, Jakarta: LP3ES, 1992